Rami

26
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Syarat Tumbuh Rami Tanaman rami adalah tanaman serat nabati yang menghasilkan serat dari kulit kayunya. Tanaman yang diduga berasal dari Cina itu secara botanis dikenal dengan nama Boehmeria nivea (L.) Gaud.) (Sumantri, 1984; Ji Junsan dan Han Yanru,1989; Li Tsongdao, 1992). Tanaman rami (Boehmeria nivea L. (Gaud.) di Jawa Barat dikenal dengan nama haramay, sedangkan di Minangkabau dikenal dengan romin. Menurut Ochse et al. (1961), rami merupakan salah satu tanaman serat-seratan yang paling dulu dikenal manusia. Rami merupakan tanaman yang penting di Asia. Matthews (1960, dikutip Bermanakusumah, 2001) menyebutkan bahwa tanaman rami termasuk famili Urticaceae yang diklasifikasi oleh Linnaeus tahun 1737 dalam Species Plantarum dengan nama Urtica nivea, tetapi beberapa tahun kemudian Gaudichaud Beaupré memberi nama Boehmeria. Selanjutnya disebutkan bahwa spesies rami yang terdapat di Indonesia ada dua, yaitu Boehmeria nivea yang permukaan daunnya berwarna perak, dikenal dengan nama china grass, dan Boehmeria tenacissima dengan permukaan bawah daunnya berwarna hijau dan lebih sempit, dikenal dengan nama rhea (Fletcher, 1999). Fletcher (1999) melaporkan bahwa kain dari bahan rami telah ditemukan pada mumi pradinasti Mesir yang diperkirakan ada pada periode 5000 sampai 3300 tahun sebelum Masehi. Akan tetapi, Petruszka (1977) menyebutkan bahwa baru pada awal abad pertengahan serat rami secara luas dipergunakan di Eropa dengan nama china grass karena merupakan tanaman khas yang berasal dari Cina.

description

bahan bacaan

Transcript of Rami

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Botani dan Syarat Tumbuh Rami

    Tanaman rami adalah tanaman serat nabati yang menghasilkan serat dari

    kulit kayunya. Tanaman yang diduga berasal dari Cina itu secara botanis dikenal

    dengan nama Boehmeria nivea (L.) Gaud.) (Sumantri, 1984; Ji Junsan dan Han

    Yanru,1989; Li Tsongdao, 1992). Tanaman rami (Boehmeria nivea L. (Gaud.) di

    Jawa Barat dikenal dengan nama haramay, sedangkan di Minangkabau dikenal

    dengan romin. Menurut Ochse et al. (1961), rami merupakan salah satu tanaman

    serat-seratan yang paling dulu dikenal manusia. Rami merupakan tanaman yang

    penting di Asia. Matthews (1960, dikutip Bermanakusumah, 2001) menyebutkan

    bahwa tanaman rami termasuk famili Urticaceae yang diklasifikasi oleh Linnaeus

    tahun 1737 dalam Species Plantarum dengan nama Urtica nivea, tetapi beberapa

    tahun kemudian Gaudichaud Beaupr memberi nama Boehmeria. Selanjutnya

    disebutkan bahwa spesies rami yang terdapat di Indonesia ada dua, yaitu

    Boehmeria nivea yang permukaan daunnya berwarna perak, dikenal dengan nama

    china grass, dan Boehmeria tenacissima dengan permukaan bawah daunnya

    berwarna hijau dan lebih sempit, dikenal dengan nama rhea (Fletcher, 1999).

    Fletcher (1999) melaporkan bahwa kain dari bahan rami telah ditemukan

    pada mumi pradinasti Mesir yang diperkirakan ada pada periode 5000 sampai

    3300 tahun sebelum Masehi. Akan tetapi, Petruszka (1977) menyebutkan bahwa

    baru pada awal abad pertengahan serat rami secara luas dipergunakan di Eropa

    dengan nama china grass karena merupakan tanaman khas yang berasal dari Cina.

  • 20

    Pakaian yang dibuat dari benang serat tersebut disebut grass linen. Serat itu lebih

    dahulu dikenal daripada sutera sebagai bahan tekstil.

    Menurut Peterson (2002) dan Anderson (2003), klon rami dalam sistematika

    botaninya sebagai berikut :

    Divisio : Magnoliophyta

    Classis : Magnoliosida

    Subclassis : Hammamelidae

    Ordo : Urticales

    Familia : Urticaceae

    Genus : Boehmeria

    Species : Boehmeria nivea

    Batang tanaman rami tinggi ramping hingga mencapai ketinggian antara 200

    sampai 250 cm, tetapi adakalanya hingga mencapai ketinggian 300 cm. Diameter

    batang berkisar antara 12 sampai 20 mm, bergantung pada kondisi pertumbuhan

    (Sumantri, 1984). Menurut Dempsey (1963), diameter batang rami berkisar

    antara 8 sampai 16 mm.

    Daun rami sangat karakteristik, berbentuk menyerupai jantung dan bagian

    sisinya bergerigi halus, panjang 10 sampai 20 cm, dan lebar 5 sampai 15 cm.

    Daunnya berwarna hijau muda hingga tua berkilap pada bagian atasnya dan

    berwarna putih keperak-perakan dan berbulu halus pada bagian punggungnya.

    Bunganya tergolong majemuk dengan biji sangat kecil. Bunga pada beberapa

    varietas berwarna putih kehijau-hijauan di samping ada yang berwarna hijau

    kekuningan-kuningan dan berubah menjadi coklat jika sudah tua. Bunga rami

  • 21

    terikat mengelompok di sela-sela daun pada bagian bawah buku-buku batang

    (Petruszka, 1977).

    Rami mempunyai dua sistem perakaran (dimorfis), yaitu akar umbi sebagai

    pangkal akar yang menembus tanah secara vertikal sampai kedalaman 25 cm yang

    lebih berfungsi sebagai penyimpan cadangan makanan, dan akar reproduksi

    (rizom) yang menjalar di bawah permukaan tanah sedalam kira-kira 10 cm. Pada

    rizom banyak terdapat mata tunas yang dapat digunakan sebagai perbanyakan

    tanaman rami.

    Sastrosupadi dan Isdijoso (1992) menyatakan bahwa rami tergolong

    tanaman yang pertumbuhan vegetatifnya cepat karena setiap 2 bulan sekali harus

    dipanen atau dipotong agar pertumbuhan batang yang berasal dari rizom dapat

    terpacu. Berdasarkan sifat itu, rami membutuhkan air yang cukup tersedia

    sepanjang tahun serta tanah yang subur dan gembur. Agar pertumbuhannya baik

    atau berproduksi tinggi, rami memerlukan ketersediaan air sepanjang tahun

    sehingga daerah yang cocok untuk pertanaman rami adalah daerah dengan tipe

    iklim A dan B menurut klasifikasi Oldeman (Sastrosupadi et al., 1992c). Menurut

    Suratman dan Suharjan (1984), sebaiknya rami dikembangkan di daerah dengan

    klasifikasi curah hujan tipe B dan C menurut Schmidt dan Ferguson (1951), yakni

    daerah dengan bulan basah 6 sampai 9 bulan dengan bulan kering kurang dari 3-4

    bulan. Persyaratan itu menuntut daerah pengembangan yang beriklim basah dan

    tanah yang tinggi kandungan bahan organiknya (Djafaruddin et al., 1992;

    Dempsey, 1963; Petruszka, 1977; Sumantri, 1984; Sastrosupadi dan Isdijoso,

    1992). Namun demikian, tanaman rami peka terhadap genangan (Suratman et al.,

  • 22

    1992; Singh, 1989). Fletcher (1999) menyatakan bahwa rami toleran terhadap

    berbagai jenis tanah, tetapi sangat peka terhadap genangan. Menurut Leandro et

    al. (1990), rami masih dapat bertahan terhadap genangan selama satu hari setelah

    tanam/panen dan 2 hari pada pertengahan stadia vegetatif umur 20 harian.

    Genangan sangat berpengaruh terhadap tinggi tanaman dan bobot batang.

    Tanaman rami dapat tumbuh di daerah subtropis dan daerah tropis. Menurut

    Setyo-Budi et al. (1992), tanaman rami klon Pujon 10 mampu tumbuh dan

    menghasilkan hasil serat yang tinggi di dataran tinggi, dataran sedang, dataran

    medium, dan dataran rendah. Sastrosupadi dan Isdijoso (1992) menyebutkan

    bahwa di dataran rendah pun produksi rami dapat tinggi asalkan pengairan cukup.

    Meskipun di dataran rendah rami agak lebih cepat berbunga, yang sangat

    menentukan pertumbuhan adalah tersedianya air dan pemberian pupuk setelah

    panen. Purwati et al. (1991) melaporkan bahwa kelompok bunga klon Pujon 10

    kecil-kecil dan sedikit jumlahnya Hasil fotosintesis yang digunakan untuk

    pertumbuhan generatif pun sedikit sehingga dapat digunakan sebesar-besarnya

    untuk pertumbuhan bagian vegetatif. Bentuk klon Pujon 10 ramping,

    pembungaan terbentuk mulai dari sepertiga batang dari atas dan bunga tersebar

    tidak rapat, sedangkan batang masih mampu tumbuh ke atas pada saat terbentuk

    bunga. Tipe daunnya tidak lebar dengan posisi daun agak tegak yang

    memungkinkan penetrasi cahaya matahari menjangkau kanopi bagian tengah dan

    bawah (Santoso et al., 1992). Menurut Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman

    Serat (1995), ditinjau dari pertumbuhan dan jumlah anakan, klon Pujon 10 lebih

    baik dibandingkan dengan klon lain.

  • 23

    Menurut Sastrosupadi dan Isdijoso (1992), tanaman rami akan tumbuh baik jika ditanam pada ketinggian 350 sampai 1200 m dari permukaan laut karena pada ketinggian tersebut masa vegetatif lebih lama dan masa pembungaan tidak cepat.

    Selanjutnya Tu Shikun (1992) melaporkan bahwa rami dapat beradaptasi pada ketinggian 3 sampai 800 m di atas permukaan laut. Menurut Suratman et al.

    (1992), kisaran daerah pengembangan antara 10 sampai 1500 m di atas

    permukaan laut. Sastrosupadi et al. (1992a) menyatakan bahwa tanaman rami

    juga dapat ditanam di daratan rendah seperti tanah gambut dengan memperhatikan drainase dan pemupukan. Curah hujan yang dikehendaki oleh tanaman rami 2000 sampai 2500 mm dengan pembagian yang merata sepanjang tahun. Cai Tiangchang dan Lou Ling (1989) menyatakan bahwa curah hujan yang dibutuhkan rami di atas 800 sampai 1900 mm/tahun dengan kelembaban relatif

    70%, sedangkan menurut Pathak dan Pal (1987), curah hujan yang sesuai untuk tanaman rami antara 1600 sampai 2000 mm/tahun dengan kelembaban relatif

    80%.

    Untuk memperoleh hasil yang diproduksi tinggi, tanaman memerlukan tanah

    yang subur, iklim yang berkelembaban cukup dengan temperatur yang memadai,

    dan curah hujan memenuhi kebutuhan minimal 90 mm/bulan (Sumantri,1984). Menurut Cabangbang (1988), rami membutuhkan curah hujan 150 sampai 200 mm per 50-60 hari, bergantung pada keadaan tanah dan cuaca. Dempsey (1963)

    menyatakan bahwa rami membutuhkan curah hujan minimal 140 mm per bulan. Cai Tianchang dan Lou Ling (1989) menyebutkan bahwa temperatur optimum

    untuk tanaman rami antara 23 sampai 29.7 oC dengan temperatur minimum 9oC.

    Tu Shikun (1992) menyatakan bahwa temperatur optimum tanaman rami antara

    15 oC sampai 32 oC. Menurut Sumantri (1984) dan Dempsey (1963), tanaman

  • 24

    rami akan tumbuh baik pada tanah bertekstur ringan seperti tanah gambut atau

    tanah liat berpasir dengan pH berkisar dari 4.8 sampai 5.6, sedangkan pada tanah

    mineral yang kaya zat hara pH yang cocok berkisar dari 5.6 sampai 6.4. Suratman

    dan Suharjan (1984) dan Suratman et al. (1992) menyatakan bahwa rami menghendaki tanah lempung berpasir dan gembur dengan pH 4.6 sampai 6.4.

    Menurut Wan Qiang dan Xiao Zehong (1989), nitrogen sangat penting untuk

    meningkatkan hasil rami, kalium tidak hanya meningkatkan hasil, tetapi juga memperbaiki kualitas serat, sedangkan fosfor dibutuhkan pada awal pertumbuhan

    dan kurang berpengaruh terhadap hasil dan kualitas serat.

    Menurut FAO (1994), serat rami berasal dari pita serat pada kulit (ribbon)

    yang mengandung zat perekat (Sumantri, 1984). Selanjutnya Singh (1989)

    menyatakan bahwa serat rami terdapat pada bagian kulit antara kulit luar dengan

    kayu, disebut China grass, bernilai ekonomis, dan diperoleh dari 2.5% sampai 3%

    bobot total hijauan tanaman (Lampiran 2) . Hong et al. (1989) melaporkan bahwa

    tinggi tanaman rami 168 cm menghasilkan bobot ribbon tertinggi sebesar 457.5

    kg ha-1.

    Serat rami merupakan serat yang kuat dan tahan lama. Oleh karena itu, serat

    rami menempati urutan nilai teratas di antara serat-serat alam nabati yang ada.

    Menurut Scruggs dan Smith (2003), serat rami mempunyai sifat yang baik, yaitu

    berwarna sangat putih berkilau, tidak berubah warna dan tidak berkerut oleh sinar

    matahari, higroskopis, dan mudah kering. Serat rami merupakan salah satu bahan

    baku tekstil yang pemakaiannya dapat dicampur dengan serat kapas atau

    polyester. Selain itu, serat rami juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan gorden, handuk, campuran wol, dan kain tenda. Buxton dan Greenhalgh (1989) dan

  • 25

    Tu Shikun (1992) menyatakan bahwa serat rami juga dapat digunakan untuk terpal, kaus lampu tekan, uang kertas, dan kertas sigaret. Oleh sebab itu, tanaman

    itu dapat dikembangkan semakin luas dan prospeknya sangat cerah (Riyadi,

    1991).

    Menurut Dempsey (1963), kriteria siap panen untuk tanaman rami adalah (1)

    tanaman sudah berhenti tumbuh atau laju pertumbuhan tingginya berkurang, (2) separuh dari batang sudah berwarna coklat muda, dan (3) muncul tunas-tunas di

    permukaan tanah. Pemanenan atau pemangkasan pertama dilakukan 2 bulan

    setelah tanam. Pemangkasan itu bertujuan untuk merangsang tumbuh tunas baru yang lebih banyak. Hasil pemangkasan pertama biasa digunakan sebagai pupuk

    hijau atau pakan ternak. Pemangkasan berikutnya dapat dilakukan setelah tanaman berumur 2 bulan setelah pemangkasan pertama (Sumantri, 1984).

    2.2 Karakteristika Tanah Gambut

    Ditinjau dari persyaratan tumbuhnya, rami dapat ditanam pada semua jenis

    tanah. Tanaman rami membutuhkan curah hujan yang cukup tinggi dan tanah

    yang kaya bahan organik. Lahan gambut berpeluang besar untuk ditanami rami

    dilihat dari sisi kebutuhan tanaman rami akan bahan organik dan air untuk

    pertumbuhan karena tanaman rami membutuhkan tanah yang kaya bahan organik

    dan gembur. Lahan gambut memenuhi persyaratan itu. Air juga cukup tersedia,

    baik dari curah hujan maupun akibat pasang surut. Wilayah lahan-lahan gambut

    di Sumatera umumnya beriklim basah dan hal itu merupakan persyaratan yang

    dikehendaki oleh tanaman rami (Sastrosupadi dan Isdijoso, 1992). Menurut

    Purnamaningsih dan Jusniarti (1993) dan Singh (1989), lahan gambut umumnya

  • 26

    terletak di wilayah yang beriklim basah dan mengandung bahan organik yang

    tinggi sehingga sangat cocok untuk pengembangan tanaman rami.

    Tanah gambut dapat terbentuk di daerah rawa pasang surut dan di daerah

    rawa-rawa pedalaman yang tidak dipengaruhi oleh air pasang surut

    (Hardjowigeno, 1996). Tanah gambut terbentuk karena laju akumulasi bahan

    organik melebihi proses mineralisasi yang biasanya terjadi pada kondisi jenuh air

    yang hampir terus menerus sehingga sirkulasi oksigen dalam tanah terhambat.

    Hal tersebut akan memperlambat proses dekomposisi bahan organik dan akhirnya

    bahan organik itu akan menumpuk (Buol et al., 1978; Chotimah, 2002).

    Gambut tropis umumnya berwarna coklat tua (gelap), bergantung pada

    tahapan dekomposisinya. Kandungan air yang tinggi dan kapasitas memegang air

    15 sampai 30 kali dari bobot kering, bobot isi rendah (0.05-0.4 g cm-3), dan

    porositas total antara 75% sampai 95% menyebabkan terbatasnya penggunaan

    mesin-mesin pertanian dan pemilihan komoditas yang akan diusahakan (Ambak

    dan Melling, 2000). Sifat lain yang merugikan adalah jika gambut mengalami

    pengeringan yang berlebihan sehingga koloid gambut menjadi rusak. Gejala

    kering tak balik (irreversible drying) terjadi dan gambut berubah sifat seperti

    arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air (Subagyo et

    al.,1996). Gambut akan kehilangan air tersedia setelah 4 sampai 5 minggu

    pengeringan dan hal itu mengakibatkan gambut mudah terbakar.

    Komposisi bahan penyusun gambut berkaitan erat dengan asam-asam

    organik yang dihasilkan selama proses dekomposisi. Stevenson (1994)

    menjelaskan bahwa lignin akan mengalami proses degradasi menjadi senyawa

  • 27

    humat dan selama proses degradasi tersebut akan dihasilkan asam-asam fenolat.

    Flaig et al. (1975) mengatakan bahwa dari selulosa dan hemiselulosa dihasilkan

    asam-asam karboksilat.

    Kesuburan tanah gambut sangat beragam, mulai dari sangat subur hingga

    sangat miskin. Adanya keragaman kesuburan gambut bergantung pada berbagai

    faktor yang mempengaruhi kualitas gambut, yaitu : (1) ketebalan lapisan tanah

    gambut, (2) komposisi tanaman penyusun gambut, (3) tanah mineral yang terdapat

    di bawah lapisan gambut, (4) kualitas air yang mempengaruhi pembentukannya,

    dan (5) tingkat dekomposisi tanah gambut (Widjaja-Adhi, 1988; Soekardi dan

    Hidayat, 1994).

    Menurut Subagyo et al. (1996), tanah bawah gambut dapat terdiri atas liat

    endapan marin, pasir kuarsa, atau endapan liat nonmarin. Tanah gambut yang

    berkembang di atas pasir kuarsa miskin hara esensial dibandingkan dengan tanah

    gambut yang berkembang di atas tanah lempung dan liat (Widjaja-Adhi, 1988).

    Menurut Suhardjo dan Soepraptohardjo(1981), tanah gambut mempunyai

    lapisan organik setebal 50 cm atau lebih dari permukaan tanah. Kriteria

    penggolongan tanah gambut dengan tanah mineral secara kuantitatif ditentukan

    oleh kandungan fraksi bahan tanah mineral dan C-organik. Menurut Everret

    (1983), suatu tanah digolongkan pada tanah gambut jika (1) mempunyai 18 %

    atau lebih C-organik jika fraksi mineral terdiri atas 60% atau lebih kadar liat, (2)

    mempunyai 12% atau lebih kecil C-organik jika fraksi mineral tidak mengandung

    liat, dan (3) mempunyai 12% sampai 18% C-organik jika fraksi mineral

    mengandung liat antara 0% sampai 60 %. Soil Survey Staff (1990) menyatakan

  • 28

    bahwa yang dimaksud dengan tanah organik (Histosol) adalah tanah yang

    mempunyai ketebalan sebagai berikut :

    (1) 60 cm atau lebih dengan kandungan serat (bahan organik kasar) meliputi 3/4

    volume atau lebih dan kerapatan jenis dalam keadaan lembab kurang dari 0.1

    g ml-1;

    (2) 40 cm atau lebih :

    (a) dengan lapisan bahan organik jenuh air lebih dari 6 bulan atau telah ada

    perbaikan drainase;

    (b) dengan bahan organik terdiri atas bahan organik halus (saprik) atau bahan

    organik sedang (hemik) atau bahan fibrik (kasar) kurang dari 2/3 volume

    dan kerapatan jenis dalam keadaan lembab 0.1 g ml-1 atau lebih.

    Tingkat dekomposisi bahan organik ditunjukkan oleh kandungan serat.

    Pengertian taraf dekomposisi bahan organik tanah yang lebih jelas dikemukakan

    Widjaja-Adhi (1988). Yang dimaksud dengan fibrik adalah bahan organik tanah

    yang sangat sedikit terdekomposisi yang mengandung serat sebanyak 2/3 volume.

    Bobot volume fibrik lebih kecil dari 0.075 g cm-3 dan kandungan air tinggi jika

    tanah dalam keadaan jenuh air. Saprik adalah bahan organik yang terdekomposisi

    paling lanjut yang mengandung serat kurang dari 1/3 volume dan bobot isi saprik

    adalah 0.195 g cm-3, sedangkan hemik adalah bahan organik yang mempunyai

    tingkat dekomposisi antara fibrik dengan saprik dengan bobot isi 0.075 sampai

    0.195 g cm-3.

    Berdasarkan status hara, Fleisher (1965, dikutip Driessen dan

    Soepraptohardjo, 1974) memilah gambut menjadi tiga golongan, yaitu :

  • 29

    (1) gambut eutropik yang subur, (2) gambut mesotropik dengan kesuburan

    sedang, dan (3) gambut oligotropik sebagai gambut miskin. Penggolongan

    tersebut didasarkan pada kandungan nitrogen (N), kalium (K), fosfor (P), kalsium

    (Ca), dan kadar abunya seperti yang disajikan pada Tabel 1.

    Tabel 1. Kriteria kimia gambut eutropik, mesotropik, dan oligotropik menurut Fleischer

    Kriteria Penilaian (%) Tingkat Kesuburan

    N K2O P2O5 CaO Abu

    Eutropik 2.50 0.10 0.25 4.00 10.00 Mesotropik 2.00 0.10 0.20 1.00 5.00 Oligotropik 0.80 0.03 0.05 0.25 2.00 Sumber : Driessen dan Soepraptohardjo (1974).

    Sebagai akibat akumulasi bahan organik dan tanah dalam lingkungan

    tergenang air, banyak terbentuk senyawa-senyawa asam organik sehingga derajat

    kemasaman tanah gambut tinggi. Menurut Halim dan Soepardi (1987), kategori

    kemasaman tanah gambut dibedakan atas : (1) tinggi, pH kurang dari 4; (2)

    sedang, pH berkisar antara 4 sampai 5; (3) rendah, pH lebih dari 5.

    Kemasaman tanah gambut Anai, Sumatera Barat, sebagai salah satu wilayah

    lahan gambut yang diamati dari beberapa lokasi pengamatan bervariasi antara 3,1

    sampai 4.7 (Tim Survei Fakultas Pertanian Unand, 1979). Derajat kemasaman

    tanah gambut beberapa sampel profil tanah berdasarkan ketebalan gambut tertera

    pada Lampiran 3.

    Tingkat kemasaman tanah gambut sedang dan tinggi merupakan masalah

    bagi pertumbuhan tanaman, khususnya yang menyangkut penyediaan hara yang

    dibutuhkan tanaman dan dapat meracuni tanaman. Oleh sebab itu, pH tanah

  • 30

    gambut yang akan diusahakan untuk pertanian perlu ditingkatkan atau

    kemasaman tanah diturunkan.

    Everret (1983) mengemukakan bahwa Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah

    gambut pada umumnya sangat tinggi, biasanya lebih dari 100 cmol kg-1 tanah.

    KTK tanah gambut di dataran Anai termasuk tinggi dan sangat tinggi, yaitu antara

    35,1 sampai 65,6 cmol kg-1 tanah. Data KTK tanah gambut di dataran Anai yang

    diambil dari beberapa sampel profil tercantum pada Lampiran 3.

    Nilai Kejenuhan Basa (KB) adalah persentase dari total kapasitas tukar

    kation yang ditempati oleh kation-kation basa seperti kalsium, magnesium,

    kalium, dan natrium. Nilai KB berhubungan erat dengan pH dan tingkat

    kesuburan tanah. Kemasaman akan menurun dan kesuburan tanah akan

    meningkat dengan meningkatnya KB. Laju pelepasan kation terjerap bagi

    tanaman bergantung pada tingkat KB suatu tanah. Suatu tanah dikatakan sangat

    subur jika KB-nya lebih besar dari 80%, kesuburan sedang jika KB-nya berkisar

    antara 50% sampai 80%, dan dikatakan tidak subur jika KB-nya kurang dari 50%

    (Tan, 1993).

    Berdasarkan analisis tanah dari beberapa lokasi sampel tanah di dataran

    Anai, ternyata KB tanah gambut di dataran Anai termasuk rendah dan sedang,

    yaitu antara 14% sampai 36% karena, menurut Halim dan Soepardi (1987),

    tingkat kritik KB sebesar 30%. Data nilai KB gambut dataran Anai berdasarkan

    ketebalan bahan organik disajikan pada Lampiran 3.

    Soekardi dan Hidayat (1994) menyatakan bahwa tanah-tanah gambut

    umumnya miskin unsur hara makro P, K, Ca, dan Mg dan kekurangan unsur hara

  • 31

    mikro Cu dan Zn. Selanjutnya Prasetyo (1996) menyatakan bahwa tanah gambut

    mempunyai kandungan asam-asam organik tinggi, tata air yang buruk, dan daya

    dukung tanah rendah.

    Pada pengelolaan tanah gambut untuk usaha pertanian, yang pertama-tama

    harus diperhatikan adalah dinamika sifat-sifat fisika dan kimia tanah gambut,

    terutama sifat kimia yang berhubungan dengan manajemen air tanah, antara lain

    (1) dinamika sifat kemasaman tanah yang dikaitkan dengan pengendalian asam-

    asam organik meracun, dan (2) dinamika kesuburan tanah sehubungan dengan

    ketersediaan unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman yang

    diusahakan (Sabiham, 1996).

    Tindak lanjut masalah tanah gambut yang sudah dipecahkan adalah usaha

    memperbaiki kesuburan tanah dengan pencucian bahan-bahan beracun (Prasetyo,

    1996), pengapuran untuk menaikkan pH tanah (Mawardi et al.,1997),

    peningkatan ketersediaan hara tanaman (Nelvia, 1997), dan aplikasi mikrobia

    pelapuk bahan organik (Poeloengan et al., 1995). Hasil penelitian Mawardi et

    al. (1997) memperlihatkan bahwa bahan-bahan amelioran dapat menetralkan

    asam-asam organik yang bersifat meracuni, meningkatkan pH, dan memperbaiki

    pertumbuhan dan produksi tanaman.

    Menurut Sastrosupadi et al. (1992a), pengapuran dapat meningkatkan pH

    tanah, menetralkan Al, dan meningkatkan ketersediaan P untuk tanaman.

    Rendahnya pH dan besarnya kapasitas sangga tanah gambut menyebabkan banyak

    diperlukan kapur untuk meningkatkan setiap satuan pH.

  • 32

    2.3 Peran Raw mix Semen pada Tanah Gambut

    Menurut Tan (1993), untuk meningkatkan kejenuhan basa tanah, pemberian

    kapur umum dilakukan. Raw mix semen yang terutama mengandung CaCO3

    (75.55 %) dan MgCO3 (1.16 %) dapat merupakan sumber basa untuk tanah

    gambut.

    PT Semen Padang (1998) melaporkan bahwa raw mix semen mengandung

    75.55 % CaCO3, 14.44% SiO2, 4.59% Al2O3, 2.44% Fe2O3, dan 1.16 % MgCO3

    dengan nilai pH 7,39. Jika dilihat bahan yang dikandung oleh raw mix semen

    seperti CaO dan MgO, penggunaan raw mix semen analog dengan penggunaan

    kapur pertanian. Pemakaian raw mix semen yang berpedoman pada perhitungan

    kandungan CaO yang tidak berbeda jauh antara raw mix semen dengan kalsit

    diharapkan dapat memperbaiki sifat fisika, kimia, dan biologi tanah sehingga pH

    meningkat.

    Secara umum pengapuran bertujuan untuk memperbaiki sifat fisika, kimia,

    dan biologi tanah (Nyakpa et al., 1988), sedangkan menurut Hakim et al. (1986),

    pengaruh pemberian kapur terhadap pertumbuhan ditinjau dari dua segi, yakni

    pengaruh langsung, kapur sebagai sumber Ca dan Mg, dan pengaruh tidak

    langsung, yaitu perbaikan terhadap ciri kimia tanah.

    Kalsium merupakan unsur esensial untuk pembelahan dan perpanjangan sel.

    Status Ca dalam tanaman berhubungan erat dengan pH. Ca mempengaruhi

    ketersediaan unsur hara lain dan pertumbuhan mikroflora tanah, terutama bakteri

    (Gardner et al., 1991).

  • 33

    Kalsium diserap akar dalam bentuk kation bivalen (Ca2+) yang masuk ke

    dalam akar sebagian besar melalui proses pasif. Pergerakan Ca dari korteks ke

    stele terbatas dengan cara apoplas atau melintas ruang bebas yang hanya terjadi

    pada akar-akar muda. Selanjutnya, Ca yang ada dalam pembuluh xilem

    ditranslokasikan langsung ke atas dengan aliran transpirasi (Mengel dan Kirby,

    1987).

    Berbeda dengan hara makro lainnya, sebagian besar Ca2+ dalam jaringan

    tanaman berlokasi pada dinding sel. Menurut Marschner (1986), ada dua tempat

    pada dinding sel dengan konsentrasi Ca2+ tinggi, yaitu pada lamela tengah dan

    permukaan luar membran plasma. Pada dua tempat itu Ca2+ mempunyai fungsi

    struktural penting, khususnya dalam pengendalian permeabilitas membran dan

    proses-proses yang berhubungan dengan itu, dan penguatan dinding sel.

    Umumnya pada jaringan tanaman, kekurangan Ca menyebabkan terhambatnya

    pembentukan struktur membran karena Ca berfungsi sebagai pengikat antara

    molekul fosfolipid dengan protein penyusun. Jika suplai Ca dari luar cukup, akan

    terjadi peningkatan laju sintesis protein.

    Fungsi Ca2+ lainnya yang menarik adalah dalam mengendalikan aktivitas

    beberapa enzim yang berlokasi dalam sitoplasma dan kloroplas. Dari beberapa

    hasil penelitian disimpulkan bahwa konsentrasi Ca2+ di dalam sitoplasma harus

    ada dalam level rendah karena jika konsentrasi Ca2+ tinggi, akan terbentuk garam-

    garam kalsium tak larut yang dapat menghambat aliran sitoplasma. Oleh karena

    itu, jika kelebihan, Ca2+-sitoplasma akan ditransfer ke dalam vakuola dan

    mitokondria. Masuknya Ca2+ dan auksin ke dalam sitoplasma melalui membran

  • 34

    plasma diperantarai transpor auksin aktif. Tampaknya, mekanisme itu berkaitan

    erat dengan kalmodulin dan auksin yang secara sederhana diilustrasikan seperti

    terlihat dalam Gambar 1.

    Gambar 1. Model pengendalian intraselular kalsium (), via kalmodulin (CaM) dan auksin (IAA) [Dikutip dari Marschner, 1986]

    Salisbury dan Ross (1995) mengemukakan bahwa ketika konsentrasi Ca2+

    mulai meningkat dalam sitoplasma, beberapa Ca2+ bergabung membentuk kelat

    atau kompleks dengan kalmodulin tidak aktif menghasilkan komplek kalmodulin

    yang aktif. Kemudian kompleks itu sendiri mengaktifkan beberapa enzim seperti

    NAD-kinase (enzim yang menggunakan ATP untuk memfosforilasi NAD+

    menjadi NADP+) dan ATPase pada membran plasma yang memindahkan

    kelebihan Ca2+ ke luar sel. Dengan cara itu, konsentrasi Ca2+ tetap dapat

    dipertahankan dalam level yang rendah di dalam sitoplasma, yaitu

  • 35

    keberadaan Ca2+ dalam konsentrasi yang sangat rendah dalam kloroplas

    merupakan persyaratan untuk laju fotosintesis yang tinggi (Marschner, 1986).

    Di samping mengandung unsur Ca, raw mix semen juga mengandung Mg.

    Menurut Salisbury dan Ross (1995), Mg sangat berperan dalam proses

    pembentukan klorofil, bergabung dengan ATP sehingga ATP dapat berfungsi

    dalam berbagai reaksi dan pembentukan DNA dan RNA, serta mengaktifkan

    enzim yang berperan dalam fotosintesis dan respirasi yang penting dan sangat

    menentukan pertumbuhan tanaman. Menurut Lawlor (1993), dalam fotosintesis

    Mg berperan mengaktifkan enzim RuBP-karboksilase, sedoheptulosa bifosfatase,

    dan fruktosa bifosfatase. Menurut Salisbury dan Ross (1995), dalam respirasi

    tahapan glikolisis, Mg berperan mengaktifkan enzim fosfoglukomutase,

    fruktokinase, ATP-fosfofruktokinase, fosfoglisero mutase, fosfoglisero kinase,

    enolase, dan piruvat kinase, sedangkan dalam siklus Krebs, Mg berperan

    mengaktifkan enzim asam piruvat dehidrogenase.

    Menurut Stevenson (1994) dan Rachim (1995), senyawa yang mengandung

    Al dan Fe tidak berbahaya bagi tanaman jika diberikan ke tanah gambut.

    Kalsium dengan kadar tinggi, yaitu >75%, Al2O3 sebanyak >4%, dan Fe2O3

    sebanyak >2.4% yang terdapat pada raw mix semen dapat menetralkan asam-

    asam organik beracun. Penetralan asam-asam organik tersebut terjadi melalui

    terbentuknya kompleks organo- kation (Prasetyo, 1996; Stevenson, 1994).

    Dengan cukupnya suplai Ca dan unsur-unsur hara yang lain dan ada dalam

    proporsi yang sesuai dalam organel-organel spesifik atau jaringan-jaringan

    tanaman, fungsi dan/atau perannya tidak hanya terlihat pada taraf hirarki seperti

  • 36

    dikemukakan di atas, tetapi juga tercermin pada taraf hirarki berikutnya, yaitu

    organ-organ tumbuh dan hasil selama faktor lainnya mendukung.

    Hasil penelitian Winarti et al. (1997) menunjukkan bahwa pemberian abu

    sekam sebanyak 10 ton ha-1 dapat meningkatkan kandungan Ca lahan gambut.

    Penambahan Ca dapat memperkaya nitrogen dan mengurangi kemasaman tanah

    sehingga perkembangan mikroorganisme meningkat.

    Hasil penelitian pada gambut pedalaman Berengbekel, Kalimantan Tengah

    (Tim Fakultas Pertanian IPB, 1986; Halim 1983; dan Halim dan Soepardi, 1987),

    juga menunjukkan pentingnya pemakaian kapur. Pemberian 4 ton ha-1 menaikkan

    pH tanah dari 3.3 menjadi 4.5 hingga 4.8 dan KB dari 2.6 menjadi 23 hingga

    35.6 %. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat (1995) melaporkan

    bahwa penambahan kapur dan unsur mikro Cu dan Zn dapat memperbaiki

    pertumbuhan vegetatif rami seperti tinggi tanaman, diameter batang, dan bobot

    batang basah berturut-turut 157 cm, 11.4 mm, dan 10.2 ton ha-1.

    2.4 Teknologi M-Bio

    Pertanian organik, khususnya yang memanfaatkan teknologi mikrobia

    inokulan, akhir-akhir ini kembali mendapat perhatian besar ketika keracunan

    lingkungan karena penggunaan bahan-bahan kimia anorganik sudah semakin

    mengkhawatirkan. Oleh karena itu, berbagai pemikiran dan upaya ke arah sistem

    pertanian yang berdampak negatif terhadap lingkungan harus dihindarkan dan

    harus berubah ke sistem pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

    Hal itu telah menjadi topik pembicaraan di antara para ahli dalam berbagai forum

    pertemuan ilmiah di seluruh dunia (Martamidjaja, 1996).

  • 37

    Di samping menggunakan raw mix semen, pemecahan masalah tanah

    marjinal juga dapat dilakukan dengan budidaya pertanian secara alami yang akrab

    lingkungan dengan menggunakan mikroorganisme efektif (EM) yang bertujuan

    untuk mengurangi pemakaian bahan-bahan kimia seperti pupuk dan pestisida serta

    untuk meningkatkan dan menjaga dengan memanfaatkan seluruh sumberdaya

    alam sehingga tidak memutuskan rantai sistem ekologi pertanian itu sendiri.

    Teknologi EM dalam bidang pertanian merupakan teknologi budidaya pertanian

    untuk meningkatkan kesehatan dan kesuburan tanah dan kestabilan produksi

    pertanian dengan menggunakan mikroorganisme yang bermanfaat bagi

    lingkungan dan tanaman (Higa, 1994).

    PT Hayati Lestari Indonesia (1998) melaporkan bahwa salah satu EM yang

    digunakan dalam bidang pertanian adalah M-Bio yang merupakan larutan

    senyawa organik yang berisi kultur campuran mikroorganisme yang

    menguntungkan seperti ragi 7 x 102 populasi ml-1, Lactobacillus sp. 55 x 103

    populasi ml-1, bakteri pelarut fosfat 8 x 104 populasi ml-1, dan Azospirillum sp. 15

    x 102 populasi ml-1, di samping unsur hara makro dan mikro seperti N, P, K, S,

    Mo, Fe, Mn, dan B yang dapat memperbaiki sifat kimia tanah sehingga dapat

    meningkatkan kegiatan mikroorganisme tanah yang berarti meningkatkan

    kesuburan biologi tanah. Ketersediaan unsur hara juga merupakan hal yang sangat

    penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman karena kandungan unsur

    hara akan membantu memperlancar proses metabolisme tanaman, di antaranya

    proses fotosintesis sehingga fotosintat yang dihasilkan lebih tinggi yang

  • 38

    selanjutnya akan ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman yang akibatnya akan

    berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman.

    Menurut Higa (1994), peran dan fungsi mikroorganisme yang terdapat

    dalam EM adalah sebagai berikut : (1) ragi menghasilkan berbagai enzim dan

    hormon sebagai senyawa bioaktif untuk pertumbuhan tanaman, (2) Lactobacillus

    sp. berperan meningkatkan dekomposisi atau pemecahan bahan organik seperti

    lignin dan selulosa dan menghasilkan asam laktat, (3) bakteri pelarut fosfat dapat

    melarutkan zat-zat anorganik (P, Ca, Mg, dan lainnya) dan zat-zat/senyawa-

    senyawa organik (gula, asam amino, alkohol, asam organik), dan (4) Azospirillum

    sp. dapat mengikat nitrogen udara. Mikroorganisme yang menguntungkan itu

    secara aktif mempengaruhi mikroorganisme tanah untuk meningkatkan kesuburan

    tanah.

    Berdasarkan beberapa hasil penelitian tentang bakteri pelarut hara, Singh

    dan Subba Rao (1979), Planzinski dan Rolfe (1985), dan Young et al. (1990)

    menunjukkan bahwa pemberian bakteri jenis tertentu yang mampu melarutkan

    unsur hara tertentu meningkatkan kemampuan tanaman dalam menyerap unsur

    hara yang bersangkutan. Di pihak lain, menurut Linch (1983), stabilitas agregat

    tanah secara umum meningkat dengan makin banyaknya jumlah mikroba

    pemantap agregat yang ditambahkan. Penelitian yang dilakukan Goenadi et

    al.(1995) menunjukkan bahwa Azospirillum sp., Azotobacter sp., Streptomyces

    sp., dan Aspergillus sp. mempunyai kemampuan dalam menghasilkan enzim urea

    reduktase dan fosfatase yang berperan penting dalam penambatan N bebas dari

    udara dan pelarut P dari senyawa P sukar larut. Selain itu, mikroba tersebut juga

  • 39

    menghasilkan asam-asam organik pelarut P dan/atau polisakarida ekstrasel yang

    berguna sebagai perekat dalam pembentukan agregat mikro. Perekat partikel

    tanah akan mendorong terbentuknya butiran tanah yang mantap sehingga aerasi

    lebih baik dan secara keseluruhan tanah menjadi lebih tahan terhadap erosi.

    Setiap bahan organik yang terfermentasi oleh jasad renik fermentasi, antara

    lain oleh M-Bio, akan ada dalam kondisi semi aerob atau anaerob pada suhu 40oC

    sampai 50 oC. Hasil fermentasi bahan organik, setelah mengalami mineralisasi,

    dapat dengan mudah diserap oleh perakaran tanaman. Dengan demikian,

    pemberian M-Bio dapat memfermentasi bahan organik yang tersedia dalam tanah

    gambut dan berintegrasi dengan tanah yang sudah diberi raw mix semen .

    Menurut Priyadi (1998), kultur campuran mikroorganisme yang terdapat

    dalam M-Bio tersebut antara lain ragi (yeast), Lactobaccillus sp., bakteri pelarut

    fosfat (solubelizing phosphate bacteria), dan Azospirillum sp. yang bekerja secara

    berkesinambungan dan saling mengisi satu sama lain dalam memfermentasi bahan

    organik, baik yang terdapat di alam/tanah maupun bahan organik yang telah

    disediakan sebelumnya, diaplikasikan melalui Pupuk Organik Cara Fermentasi

    (Porasi) atau dapat juga diaplikasikan langsung ke tanah.

    Priyadi (1997) menjelaskan bahwa jika diberi M-Bio, bahan organik akan

    mengalami proses fermentasi dan jika ada dalam tanah, akan dihasilkan senyawa

    organik atau senyawa antara seperti asam amino, alkohol, dan asam organik yang

    dapat diserap langsung oleh tanaman. Selanjutnya dalam tubuh tanaman senyawa

    tersebut akan diubah menjadi kabohidrat, protein, dan lemak untuk proses

    pertumbuhan dan perkembangannya.

  • 40

    Higa (1988) menyatakan bahwa EM yang sudah diaplikasikan ke tanah akan

    menjadikan tanah bersifat zimogenik, yaitu banyak mengandung mikroorganisme

    fermentatif yang dalam aktivitasnya memfermentasi bahan organik. Dalam tanah

    zimogenik, mikroorganisme tanah yang merugikan tanaman akan mengalami tiga

    hal, yaitu (1) mikroorganisme patogen tidak dapat menetap di lingkungan itu, (2)

    mikroorganisme patogen ada, tetapi tidak dapat menyebabkan penyakit, dan (3)

    mikroorganisme patogen ada dan dapat menyebabkan penyakit, tetapi

    patogenitasnya akan menurun walaupun dalam sistem monokultur. Menurunnya

    aktivitas patogen dalam tanah zimogenik terjadi karena dalam tanah zimogenik

    berlangsung proses fermentasi bahan organik yang menghasilkan asam amino dan

    sakarida dan senyawa organik terlarut sehingga siklus hidup organisme

    pengganggu akan terhambat. Sebaliknya, organisme pengganggu tanaman lebih

    menyukai meneruskan siklus hidupnya pada kondisi kondusif bagi penyakit, yaitu

    terjadinya pembusukan bahan organik dalam tanah yang menghasilkan bahan

    organik dan menghasilkan energi dalam bentuk gas dan panas.

    Subadiyasa (1997) menyatakan bahwa perombakan bahan organik dapat

    terjadi melalui (1) proses oksidatif (pembusukan) oleh bakteri aerob sintetik,

    ditandai dengan bau busuk hasil pelepasan gas amoniak, hidrogen sulfida, dan

    metan, dan (2) proses fermentasi yang dilakukan oleh mikroorganisme anaerob.

    Pada proses fermentasi akan dihasilkan senyawa organik (asam laktat, alkohol,

    vitamin, gula, asam amino) yang dapat langsung diserap oleh tanaman, sedangkan

    pada proses pembusukan dihasilkan ion-ion an-organik , gas, dan panas dan masih

    terikat oleh molekul-molekul lainnya.

  • 41

    Higa dan Wididana (1996) menyatakan bahwa mekanisme EM berinteraksi

    dengan lingkungan tanah-tanaman didasarkan atas beberapa teori: (1) tanah

    penekan penyakit, EM terdiri atas mikroorganisme yang sangat fermentif, yaitu

    bakteri asam laktat fotosintetik, ragi, dan jamur dapat menekan serangan patogen

    dan serangga hama; (2) energi organik, Lactobaccillus sp. memfermentasi bahan

    organik tanah dan membebaskan asam amino dan sakarida, suatu senyawa organik

    terlarut yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi dalam metabolisme

    tanaman; (3) hara organik terlarut, mikroorganisme tanah merombak bahan

    organik tanah menjadi ion-ion anorganik yang kemudian dapat diserap tanaman

    sebagai unsur hara; (4) keseimbangan populasi mikroorganisme tanah,

    keseimbangan populasi dan keragaman antara mikroorganisme yang

    menguntungkan dan yang merugikan akan menentukan apakah ekosistem tanah

    cocok atau tidak bagi pertumbuhan dan kesehatan tanaman; (5) mikroorganisme

    fotosintetik dan penambat nitrogen, jika EM diaplikasikan ke dalam tanah atau

    permukaan tanaman, populasi bakteri fotosintetik dan bakteri penambat N

    meningkat tajam. Bakteri fotosintetik dan bakteri penambat N yang lebih banyak

    akan meningkatkan laju fotosintesis dan kemampuan menambat N. EMRO

    Research (2002) melaporkan bahwa jika disemprotkan ke daun tanaman, EM yang

    mengandung bakteri fotosintetik dan bakteri fiksasi N dapat meningkatkan

    fotosintesis dan kapasitas fiksasi N. Mikroorganisme yang berasal dari EM juga

    mampu menekan perkembangan patogen penyebab penyakit pada permukaan

    daun.

  • 42

    Menurut Higa (1992, dikutip Wididana, 1994), EM dapat memacu

    pertumbuhan tanaman dengan cara: (1) memperbaiki sifat fisika, kimia, dan

    biologi tanah, (2) memacu pertumbuhan tanaman dengan cara mengeluarkan zat

    pengatur tumbuh, (3) melarutkan unsur hara dari batuan induk yang relatif susah

    kelarutannya menjadi unsur tersedia, (4) menjaga tanaman dari serangan hama

    dan penyakit, (5) menyediakan molekul organik sederhana agar dapat diserap

    langsung oleh tanaman, dan (6) memperbaiki dekomposisi bahan organik dan

    residu tanaman serta mempercepat daur ulang unsur hara. Ho In-Ho dan Kim Ji-

    Hwan (2002) melaporkan bahwa EM lebih besar pengaruhnya terhadap

    pertumbuhan akar karena dengan EM yang mengandung IAA, aktivitas

    pertumbuhan akar meningkat 8 %.

    Selanjutnya Higa dan Wididana (1996) menyatakan bahwa cara kerja EM

    dalam meningkatkan kesuburan dan produksi tanaman adalah dengan (1) menekan

    pertumbuhan patogen tanah, (2) mempercepat dekomposisi limbah dan sampah

    organik, (3) meningkatkan ketersediaan nutrisi dan senyawa organik pada

    tanaman, (4) meningkatkan aktivitas mikroorganisme indigen yang

    menguntungkan, misalnya Mycorrhiza, Rhizobium, dan bakteri pelarut fosfat, (5)

    memfiksasi nitrogen, dan (6) mengurangi kebutuhan pupuk dan pestisida kimia.

    Higa (1988) menyatakan bahwa jika diaplikasikan ke dalam tanah, (1) EM

    dapat meningkatkan ketersediaan P untuk tanaman, (2) memperbaiki sifat fisika

    tanah, di antaranya dapat meningkatkan daya sangga air, kandungan air, agregasi,

    dan aerasi tanah, serta mengurangi pengaruh aliran permukaan, (3) memperbaiki

    sifat kimia tanah, di antaranya memperbesar kapasitas tukar kation dan

  • 43

    meningkatkan kelarutan unsur fosfat dalam tanah, dan (4) memperbaiki sifat

    biologi tanah, di antaranya dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme di

    dalam tanah.

    Dalam upaya peningkatan produksi, ketersediaan unsur hara yang siap

    diserap tanaman merupakan faktor yang sangat penting. M-Bio mengandung

    bakteri Lactobaccillus dan mikroorganisme penghasil asam laktat yang dapat

    memfermentasi bahan organik dan mengubah bahan organik yang tak larut

    menjadi senyawa organik yang larut dalam air tanah. Selain itu, M-Bio

    merangsang pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri pelarut fosfat dan

    mikroorganisme yang bersifat antagonis terhadap penyakit tanaman (PT Hayati

    Lestari Indonesia, 1998).

    Penggunaan EM menyebabkan bahan organik menjadi pupuk organik yang

    mampu menyediakan unsur hara makro dan mikro yang meliputi N, P, K, B, S,

    Fe, Mn, Cu, dan Co, memperbaiki sifat fisik permukaan tanah sedalam 0-0.5 m,

    serta mengurangi kerapatan tanah (bulk density) sehingga tanah menjadi lebih

    gembur dan kepadatannya berkurang serta lebih tahan terhadap erosi tanah oleh

    air (Karim et al., 1992).

    Sarief (1989) menyatakan bahwa bahan organik dapat memperbaiki kualitas

    tanah. Ketersediaan bahan organik di dalam tanah ikut menentukan kesuburan

    tanah sebab bahan organik di dalam tanah berfungsi sebagai unsur hara,

    merangsang aktivitas organisme tanah, dan memperbaiki sifat fisika, kimia, dan

    biologi tanah.

  • 44

    Hasil penerapan teknologi EM di Indonesia telah banyak dilaporkan.

    Teknologi EM terbukti dapat meningkatkan produksi tanaman, di antaranya dapat

    meningkatkan jeruk di Sukabumi dari 150 kg menjadi 400 kg per 700 pohon dan

    meningkatkan produksi tomat dan kedelai masing-masing 133% dan 114%

    (Zaenudin, 1993). Pada uji coba, penggunaan M-Bio yang diaplikasikan melalui

    porasi kotoran sapi sebanyak 6 sampai 10 ton ha-1 dengan tidak menambahkan

    pupuk buatan atau pupuk organik menghasilkan gabah kering panen sebanyak

    7.07 sampai 7.68 ton ha-1, sedangkan dengan pemberian pupuk buatan sesuai

    dengan dosis anjuran hanya memberikan hasil gabah kering panen sebanyak 6.98

    ton ha-1 (Priyadi, 1998). Hasil penelitian Priyadi (2001) menunjukkan bahwa

    dengan menggunakan M-Bio yang diaplikasikan melalui kotoran domba sebanyak

    9.63 ton ha-1 dengan tidak menambahkan pupuk buatan atau pupuk organik,

    menghasilkan biji kering kedelai kultivar Slamet maksimum sebesar 2.5 ton ha-1.

    Teknologi EM pada budidaya tanaman telah dibuktikan dapat meningkatkan

    hasil. Mashar (1999) melaporkan bahwa tanaman kedelai kultivar Slamet yang

    ditanam pada tanah gambut dengan aplikasi EM mampu menghasilkan 1.1 sampai

    3.8 ton ha-1, sedangkan tanpa EM sebesar 0.4 sampai 0.6 ton ha-1.