Rami
-
Upload
akmalia-mn -
Category
Documents
-
view
9 -
download
3
description
Transcript of Rami
-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Botani dan Syarat Tumbuh Rami
Tanaman rami adalah tanaman serat nabati yang menghasilkan serat dari
kulit kayunya. Tanaman yang diduga berasal dari Cina itu secara botanis dikenal
dengan nama Boehmeria nivea (L.) Gaud.) (Sumantri, 1984; Ji Junsan dan Han
Yanru,1989; Li Tsongdao, 1992). Tanaman rami (Boehmeria nivea L. (Gaud.) di
Jawa Barat dikenal dengan nama haramay, sedangkan di Minangkabau dikenal
dengan romin. Menurut Ochse et al. (1961), rami merupakan salah satu tanaman
serat-seratan yang paling dulu dikenal manusia. Rami merupakan tanaman yang
penting di Asia. Matthews (1960, dikutip Bermanakusumah, 2001) menyebutkan
bahwa tanaman rami termasuk famili Urticaceae yang diklasifikasi oleh Linnaeus
tahun 1737 dalam Species Plantarum dengan nama Urtica nivea, tetapi beberapa
tahun kemudian Gaudichaud Beaupr memberi nama Boehmeria. Selanjutnya
disebutkan bahwa spesies rami yang terdapat di Indonesia ada dua, yaitu
Boehmeria nivea yang permukaan daunnya berwarna perak, dikenal dengan nama
china grass, dan Boehmeria tenacissima dengan permukaan bawah daunnya
berwarna hijau dan lebih sempit, dikenal dengan nama rhea (Fletcher, 1999).
Fletcher (1999) melaporkan bahwa kain dari bahan rami telah ditemukan
pada mumi pradinasti Mesir yang diperkirakan ada pada periode 5000 sampai
3300 tahun sebelum Masehi. Akan tetapi, Petruszka (1977) menyebutkan bahwa
baru pada awal abad pertengahan serat rami secara luas dipergunakan di Eropa
dengan nama china grass karena merupakan tanaman khas yang berasal dari Cina.
-
20
Pakaian yang dibuat dari benang serat tersebut disebut grass linen. Serat itu lebih
dahulu dikenal daripada sutera sebagai bahan tekstil.
Menurut Peterson (2002) dan Anderson (2003), klon rami dalam sistematika
botaninya sebagai berikut :
Divisio : Magnoliophyta
Classis : Magnoliosida
Subclassis : Hammamelidae
Ordo : Urticales
Familia : Urticaceae
Genus : Boehmeria
Species : Boehmeria nivea
Batang tanaman rami tinggi ramping hingga mencapai ketinggian antara 200
sampai 250 cm, tetapi adakalanya hingga mencapai ketinggian 300 cm. Diameter
batang berkisar antara 12 sampai 20 mm, bergantung pada kondisi pertumbuhan
(Sumantri, 1984). Menurut Dempsey (1963), diameter batang rami berkisar
antara 8 sampai 16 mm.
Daun rami sangat karakteristik, berbentuk menyerupai jantung dan bagian
sisinya bergerigi halus, panjang 10 sampai 20 cm, dan lebar 5 sampai 15 cm.
Daunnya berwarna hijau muda hingga tua berkilap pada bagian atasnya dan
berwarna putih keperak-perakan dan berbulu halus pada bagian punggungnya.
Bunganya tergolong majemuk dengan biji sangat kecil. Bunga pada beberapa
varietas berwarna putih kehijau-hijauan di samping ada yang berwarna hijau
kekuningan-kuningan dan berubah menjadi coklat jika sudah tua. Bunga rami
-
21
terikat mengelompok di sela-sela daun pada bagian bawah buku-buku batang
(Petruszka, 1977).
Rami mempunyai dua sistem perakaran (dimorfis), yaitu akar umbi sebagai
pangkal akar yang menembus tanah secara vertikal sampai kedalaman 25 cm yang
lebih berfungsi sebagai penyimpan cadangan makanan, dan akar reproduksi
(rizom) yang menjalar di bawah permukaan tanah sedalam kira-kira 10 cm. Pada
rizom banyak terdapat mata tunas yang dapat digunakan sebagai perbanyakan
tanaman rami.
Sastrosupadi dan Isdijoso (1992) menyatakan bahwa rami tergolong
tanaman yang pertumbuhan vegetatifnya cepat karena setiap 2 bulan sekali harus
dipanen atau dipotong agar pertumbuhan batang yang berasal dari rizom dapat
terpacu. Berdasarkan sifat itu, rami membutuhkan air yang cukup tersedia
sepanjang tahun serta tanah yang subur dan gembur. Agar pertumbuhannya baik
atau berproduksi tinggi, rami memerlukan ketersediaan air sepanjang tahun
sehingga daerah yang cocok untuk pertanaman rami adalah daerah dengan tipe
iklim A dan B menurut klasifikasi Oldeman (Sastrosupadi et al., 1992c). Menurut
Suratman dan Suharjan (1984), sebaiknya rami dikembangkan di daerah dengan
klasifikasi curah hujan tipe B dan C menurut Schmidt dan Ferguson (1951), yakni
daerah dengan bulan basah 6 sampai 9 bulan dengan bulan kering kurang dari 3-4
bulan. Persyaratan itu menuntut daerah pengembangan yang beriklim basah dan
tanah yang tinggi kandungan bahan organiknya (Djafaruddin et al., 1992;
Dempsey, 1963; Petruszka, 1977; Sumantri, 1984; Sastrosupadi dan Isdijoso,
1992). Namun demikian, tanaman rami peka terhadap genangan (Suratman et al.,
-
22
1992; Singh, 1989). Fletcher (1999) menyatakan bahwa rami toleran terhadap
berbagai jenis tanah, tetapi sangat peka terhadap genangan. Menurut Leandro et
al. (1990), rami masih dapat bertahan terhadap genangan selama satu hari setelah
tanam/panen dan 2 hari pada pertengahan stadia vegetatif umur 20 harian.
Genangan sangat berpengaruh terhadap tinggi tanaman dan bobot batang.
Tanaman rami dapat tumbuh di daerah subtropis dan daerah tropis. Menurut
Setyo-Budi et al. (1992), tanaman rami klon Pujon 10 mampu tumbuh dan
menghasilkan hasil serat yang tinggi di dataran tinggi, dataran sedang, dataran
medium, dan dataran rendah. Sastrosupadi dan Isdijoso (1992) menyebutkan
bahwa di dataran rendah pun produksi rami dapat tinggi asalkan pengairan cukup.
Meskipun di dataran rendah rami agak lebih cepat berbunga, yang sangat
menentukan pertumbuhan adalah tersedianya air dan pemberian pupuk setelah
panen. Purwati et al. (1991) melaporkan bahwa kelompok bunga klon Pujon 10
kecil-kecil dan sedikit jumlahnya Hasil fotosintesis yang digunakan untuk
pertumbuhan generatif pun sedikit sehingga dapat digunakan sebesar-besarnya
untuk pertumbuhan bagian vegetatif. Bentuk klon Pujon 10 ramping,
pembungaan terbentuk mulai dari sepertiga batang dari atas dan bunga tersebar
tidak rapat, sedangkan batang masih mampu tumbuh ke atas pada saat terbentuk
bunga. Tipe daunnya tidak lebar dengan posisi daun agak tegak yang
memungkinkan penetrasi cahaya matahari menjangkau kanopi bagian tengah dan
bawah (Santoso et al., 1992). Menurut Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman
Serat (1995), ditinjau dari pertumbuhan dan jumlah anakan, klon Pujon 10 lebih
baik dibandingkan dengan klon lain.
-
23
Menurut Sastrosupadi dan Isdijoso (1992), tanaman rami akan tumbuh baik jika ditanam pada ketinggian 350 sampai 1200 m dari permukaan laut karena pada ketinggian tersebut masa vegetatif lebih lama dan masa pembungaan tidak cepat.
Selanjutnya Tu Shikun (1992) melaporkan bahwa rami dapat beradaptasi pada ketinggian 3 sampai 800 m di atas permukaan laut. Menurut Suratman et al.
(1992), kisaran daerah pengembangan antara 10 sampai 1500 m di atas
permukaan laut. Sastrosupadi et al. (1992a) menyatakan bahwa tanaman rami
juga dapat ditanam di daratan rendah seperti tanah gambut dengan memperhatikan drainase dan pemupukan. Curah hujan yang dikehendaki oleh tanaman rami 2000 sampai 2500 mm dengan pembagian yang merata sepanjang tahun. Cai Tiangchang dan Lou Ling (1989) menyatakan bahwa curah hujan yang dibutuhkan rami di atas 800 sampai 1900 mm/tahun dengan kelembaban relatif
70%, sedangkan menurut Pathak dan Pal (1987), curah hujan yang sesuai untuk tanaman rami antara 1600 sampai 2000 mm/tahun dengan kelembaban relatif
80%.
Untuk memperoleh hasil yang diproduksi tinggi, tanaman memerlukan tanah
yang subur, iklim yang berkelembaban cukup dengan temperatur yang memadai,
dan curah hujan memenuhi kebutuhan minimal 90 mm/bulan (Sumantri,1984). Menurut Cabangbang (1988), rami membutuhkan curah hujan 150 sampai 200 mm per 50-60 hari, bergantung pada keadaan tanah dan cuaca. Dempsey (1963)
menyatakan bahwa rami membutuhkan curah hujan minimal 140 mm per bulan. Cai Tianchang dan Lou Ling (1989) menyebutkan bahwa temperatur optimum
untuk tanaman rami antara 23 sampai 29.7 oC dengan temperatur minimum 9oC.
Tu Shikun (1992) menyatakan bahwa temperatur optimum tanaman rami antara
15 oC sampai 32 oC. Menurut Sumantri (1984) dan Dempsey (1963), tanaman
-
24
rami akan tumbuh baik pada tanah bertekstur ringan seperti tanah gambut atau
tanah liat berpasir dengan pH berkisar dari 4.8 sampai 5.6, sedangkan pada tanah
mineral yang kaya zat hara pH yang cocok berkisar dari 5.6 sampai 6.4. Suratman
dan Suharjan (1984) dan Suratman et al. (1992) menyatakan bahwa rami menghendaki tanah lempung berpasir dan gembur dengan pH 4.6 sampai 6.4.
Menurut Wan Qiang dan Xiao Zehong (1989), nitrogen sangat penting untuk
meningkatkan hasil rami, kalium tidak hanya meningkatkan hasil, tetapi juga memperbaiki kualitas serat, sedangkan fosfor dibutuhkan pada awal pertumbuhan
dan kurang berpengaruh terhadap hasil dan kualitas serat.
Menurut FAO (1994), serat rami berasal dari pita serat pada kulit (ribbon)
yang mengandung zat perekat (Sumantri, 1984). Selanjutnya Singh (1989)
menyatakan bahwa serat rami terdapat pada bagian kulit antara kulit luar dengan
kayu, disebut China grass, bernilai ekonomis, dan diperoleh dari 2.5% sampai 3%
bobot total hijauan tanaman (Lampiran 2) . Hong et al. (1989) melaporkan bahwa
tinggi tanaman rami 168 cm menghasilkan bobot ribbon tertinggi sebesar 457.5
kg ha-1.
Serat rami merupakan serat yang kuat dan tahan lama. Oleh karena itu, serat
rami menempati urutan nilai teratas di antara serat-serat alam nabati yang ada.
Menurut Scruggs dan Smith (2003), serat rami mempunyai sifat yang baik, yaitu
berwarna sangat putih berkilau, tidak berubah warna dan tidak berkerut oleh sinar
matahari, higroskopis, dan mudah kering. Serat rami merupakan salah satu bahan
baku tekstil yang pemakaiannya dapat dicampur dengan serat kapas atau
polyester. Selain itu, serat rami juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan gorden, handuk, campuran wol, dan kain tenda. Buxton dan Greenhalgh (1989) dan
-
25
Tu Shikun (1992) menyatakan bahwa serat rami juga dapat digunakan untuk terpal, kaus lampu tekan, uang kertas, dan kertas sigaret. Oleh sebab itu, tanaman
itu dapat dikembangkan semakin luas dan prospeknya sangat cerah (Riyadi,
1991).
Menurut Dempsey (1963), kriteria siap panen untuk tanaman rami adalah (1)
tanaman sudah berhenti tumbuh atau laju pertumbuhan tingginya berkurang, (2) separuh dari batang sudah berwarna coklat muda, dan (3) muncul tunas-tunas di
permukaan tanah. Pemanenan atau pemangkasan pertama dilakukan 2 bulan
setelah tanam. Pemangkasan itu bertujuan untuk merangsang tumbuh tunas baru yang lebih banyak. Hasil pemangkasan pertama biasa digunakan sebagai pupuk
hijau atau pakan ternak. Pemangkasan berikutnya dapat dilakukan setelah tanaman berumur 2 bulan setelah pemangkasan pertama (Sumantri, 1984).
2.2 Karakteristika Tanah Gambut
Ditinjau dari persyaratan tumbuhnya, rami dapat ditanam pada semua jenis
tanah. Tanaman rami membutuhkan curah hujan yang cukup tinggi dan tanah
yang kaya bahan organik. Lahan gambut berpeluang besar untuk ditanami rami
dilihat dari sisi kebutuhan tanaman rami akan bahan organik dan air untuk
pertumbuhan karena tanaman rami membutuhkan tanah yang kaya bahan organik
dan gembur. Lahan gambut memenuhi persyaratan itu. Air juga cukup tersedia,
baik dari curah hujan maupun akibat pasang surut. Wilayah lahan-lahan gambut
di Sumatera umumnya beriklim basah dan hal itu merupakan persyaratan yang
dikehendaki oleh tanaman rami (Sastrosupadi dan Isdijoso, 1992). Menurut
Purnamaningsih dan Jusniarti (1993) dan Singh (1989), lahan gambut umumnya
-
26
terletak di wilayah yang beriklim basah dan mengandung bahan organik yang
tinggi sehingga sangat cocok untuk pengembangan tanaman rami.
Tanah gambut dapat terbentuk di daerah rawa pasang surut dan di daerah
rawa-rawa pedalaman yang tidak dipengaruhi oleh air pasang surut
(Hardjowigeno, 1996). Tanah gambut terbentuk karena laju akumulasi bahan
organik melebihi proses mineralisasi yang biasanya terjadi pada kondisi jenuh air
yang hampir terus menerus sehingga sirkulasi oksigen dalam tanah terhambat.
Hal tersebut akan memperlambat proses dekomposisi bahan organik dan akhirnya
bahan organik itu akan menumpuk (Buol et al., 1978; Chotimah, 2002).
Gambut tropis umumnya berwarna coklat tua (gelap), bergantung pada
tahapan dekomposisinya. Kandungan air yang tinggi dan kapasitas memegang air
15 sampai 30 kali dari bobot kering, bobot isi rendah (0.05-0.4 g cm-3), dan
porositas total antara 75% sampai 95% menyebabkan terbatasnya penggunaan
mesin-mesin pertanian dan pemilihan komoditas yang akan diusahakan (Ambak
dan Melling, 2000). Sifat lain yang merugikan adalah jika gambut mengalami
pengeringan yang berlebihan sehingga koloid gambut menjadi rusak. Gejala
kering tak balik (irreversible drying) terjadi dan gambut berubah sifat seperti
arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air (Subagyo et
al.,1996). Gambut akan kehilangan air tersedia setelah 4 sampai 5 minggu
pengeringan dan hal itu mengakibatkan gambut mudah terbakar.
Komposisi bahan penyusun gambut berkaitan erat dengan asam-asam
organik yang dihasilkan selama proses dekomposisi. Stevenson (1994)
menjelaskan bahwa lignin akan mengalami proses degradasi menjadi senyawa
-
27
humat dan selama proses degradasi tersebut akan dihasilkan asam-asam fenolat.
Flaig et al. (1975) mengatakan bahwa dari selulosa dan hemiselulosa dihasilkan
asam-asam karboksilat.
Kesuburan tanah gambut sangat beragam, mulai dari sangat subur hingga
sangat miskin. Adanya keragaman kesuburan gambut bergantung pada berbagai
faktor yang mempengaruhi kualitas gambut, yaitu : (1) ketebalan lapisan tanah
gambut, (2) komposisi tanaman penyusun gambut, (3) tanah mineral yang terdapat
di bawah lapisan gambut, (4) kualitas air yang mempengaruhi pembentukannya,
dan (5) tingkat dekomposisi tanah gambut (Widjaja-Adhi, 1988; Soekardi dan
Hidayat, 1994).
Menurut Subagyo et al. (1996), tanah bawah gambut dapat terdiri atas liat
endapan marin, pasir kuarsa, atau endapan liat nonmarin. Tanah gambut yang
berkembang di atas pasir kuarsa miskin hara esensial dibandingkan dengan tanah
gambut yang berkembang di atas tanah lempung dan liat (Widjaja-Adhi, 1988).
Menurut Suhardjo dan Soepraptohardjo(1981), tanah gambut mempunyai
lapisan organik setebal 50 cm atau lebih dari permukaan tanah. Kriteria
penggolongan tanah gambut dengan tanah mineral secara kuantitatif ditentukan
oleh kandungan fraksi bahan tanah mineral dan C-organik. Menurut Everret
(1983), suatu tanah digolongkan pada tanah gambut jika (1) mempunyai 18 %
atau lebih C-organik jika fraksi mineral terdiri atas 60% atau lebih kadar liat, (2)
mempunyai 12% atau lebih kecil C-organik jika fraksi mineral tidak mengandung
liat, dan (3) mempunyai 12% sampai 18% C-organik jika fraksi mineral
mengandung liat antara 0% sampai 60 %. Soil Survey Staff (1990) menyatakan
-
28
bahwa yang dimaksud dengan tanah organik (Histosol) adalah tanah yang
mempunyai ketebalan sebagai berikut :
(1) 60 cm atau lebih dengan kandungan serat (bahan organik kasar) meliputi 3/4
volume atau lebih dan kerapatan jenis dalam keadaan lembab kurang dari 0.1
g ml-1;
(2) 40 cm atau lebih :
(a) dengan lapisan bahan organik jenuh air lebih dari 6 bulan atau telah ada
perbaikan drainase;
(b) dengan bahan organik terdiri atas bahan organik halus (saprik) atau bahan
organik sedang (hemik) atau bahan fibrik (kasar) kurang dari 2/3 volume
dan kerapatan jenis dalam keadaan lembab 0.1 g ml-1 atau lebih.
Tingkat dekomposisi bahan organik ditunjukkan oleh kandungan serat.
Pengertian taraf dekomposisi bahan organik tanah yang lebih jelas dikemukakan
Widjaja-Adhi (1988). Yang dimaksud dengan fibrik adalah bahan organik tanah
yang sangat sedikit terdekomposisi yang mengandung serat sebanyak 2/3 volume.
Bobot volume fibrik lebih kecil dari 0.075 g cm-3 dan kandungan air tinggi jika
tanah dalam keadaan jenuh air. Saprik adalah bahan organik yang terdekomposisi
paling lanjut yang mengandung serat kurang dari 1/3 volume dan bobot isi saprik
adalah 0.195 g cm-3, sedangkan hemik adalah bahan organik yang mempunyai
tingkat dekomposisi antara fibrik dengan saprik dengan bobot isi 0.075 sampai
0.195 g cm-3.
Berdasarkan status hara, Fleisher (1965, dikutip Driessen dan
Soepraptohardjo, 1974) memilah gambut menjadi tiga golongan, yaitu :
-
29
(1) gambut eutropik yang subur, (2) gambut mesotropik dengan kesuburan
sedang, dan (3) gambut oligotropik sebagai gambut miskin. Penggolongan
tersebut didasarkan pada kandungan nitrogen (N), kalium (K), fosfor (P), kalsium
(Ca), dan kadar abunya seperti yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria kimia gambut eutropik, mesotropik, dan oligotropik menurut Fleischer
Kriteria Penilaian (%) Tingkat Kesuburan
N K2O P2O5 CaO Abu
Eutropik 2.50 0.10 0.25 4.00 10.00 Mesotropik 2.00 0.10 0.20 1.00 5.00 Oligotropik 0.80 0.03 0.05 0.25 2.00 Sumber : Driessen dan Soepraptohardjo (1974).
Sebagai akibat akumulasi bahan organik dan tanah dalam lingkungan
tergenang air, banyak terbentuk senyawa-senyawa asam organik sehingga derajat
kemasaman tanah gambut tinggi. Menurut Halim dan Soepardi (1987), kategori
kemasaman tanah gambut dibedakan atas : (1) tinggi, pH kurang dari 4; (2)
sedang, pH berkisar antara 4 sampai 5; (3) rendah, pH lebih dari 5.
Kemasaman tanah gambut Anai, Sumatera Barat, sebagai salah satu wilayah
lahan gambut yang diamati dari beberapa lokasi pengamatan bervariasi antara 3,1
sampai 4.7 (Tim Survei Fakultas Pertanian Unand, 1979). Derajat kemasaman
tanah gambut beberapa sampel profil tanah berdasarkan ketebalan gambut tertera
pada Lampiran 3.
Tingkat kemasaman tanah gambut sedang dan tinggi merupakan masalah
bagi pertumbuhan tanaman, khususnya yang menyangkut penyediaan hara yang
dibutuhkan tanaman dan dapat meracuni tanaman. Oleh sebab itu, pH tanah
-
30
gambut yang akan diusahakan untuk pertanian perlu ditingkatkan atau
kemasaman tanah diturunkan.
Everret (1983) mengemukakan bahwa Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah
gambut pada umumnya sangat tinggi, biasanya lebih dari 100 cmol kg-1 tanah.
KTK tanah gambut di dataran Anai termasuk tinggi dan sangat tinggi, yaitu antara
35,1 sampai 65,6 cmol kg-1 tanah. Data KTK tanah gambut di dataran Anai yang
diambil dari beberapa sampel profil tercantum pada Lampiran 3.
Nilai Kejenuhan Basa (KB) adalah persentase dari total kapasitas tukar
kation yang ditempati oleh kation-kation basa seperti kalsium, magnesium,
kalium, dan natrium. Nilai KB berhubungan erat dengan pH dan tingkat
kesuburan tanah. Kemasaman akan menurun dan kesuburan tanah akan
meningkat dengan meningkatnya KB. Laju pelepasan kation terjerap bagi
tanaman bergantung pada tingkat KB suatu tanah. Suatu tanah dikatakan sangat
subur jika KB-nya lebih besar dari 80%, kesuburan sedang jika KB-nya berkisar
antara 50% sampai 80%, dan dikatakan tidak subur jika KB-nya kurang dari 50%
(Tan, 1993).
Berdasarkan analisis tanah dari beberapa lokasi sampel tanah di dataran
Anai, ternyata KB tanah gambut di dataran Anai termasuk rendah dan sedang,
yaitu antara 14% sampai 36% karena, menurut Halim dan Soepardi (1987),
tingkat kritik KB sebesar 30%. Data nilai KB gambut dataran Anai berdasarkan
ketebalan bahan organik disajikan pada Lampiran 3.
Soekardi dan Hidayat (1994) menyatakan bahwa tanah-tanah gambut
umumnya miskin unsur hara makro P, K, Ca, dan Mg dan kekurangan unsur hara
-
31
mikro Cu dan Zn. Selanjutnya Prasetyo (1996) menyatakan bahwa tanah gambut
mempunyai kandungan asam-asam organik tinggi, tata air yang buruk, dan daya
dukung tanah rendah.
Pada pengelolaan tanah gambut untuk usaha pertanian, yang pertama-tama
harus diperhatikan adalah dinamika sifat-sifat fisika dan kimia tanah gambut,
terutama sifat kimia yang berhubungan dengan manajemen air tanah, antara lain
(1) dinamika sifat kemasaman tanah yang dikaitkan dengan pengendalian asam-
asam organik meracun, dan (2) dinamika kesuburan tanah sehubungan dengan
ketersediaan unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman yang
diusahakan (Sabiham, 1996).
Tindak lanjut masalah tanah gambut yang sudah dipecahkan adalah usaha
memperbaiki kesuburan tanah dengan pencucian bahan-bahan beracun (Prasetyo,
1996), pengapuran untuk menaikkan pH tanah (Mawardi et al.,1997),
peningkatan ketersediaan hara tanaman (Nelvia, 1997), dan aplikasi mikrobia
pelapuk bahan organik (Poeloengan et al., 1995). Hasil penelitian Mawardi et
al. (1997) memperlihatkan bahwa bahan-bahan amelioran dapat menetralkan
asam-asam organik yang bersifat meracuni, meningkatkan pH, dan memperbaiki
pertumbuhan dan produksi tanaman.
Menurut Sastrosupadi et al. (1992a), pengapuran dapat meningkatkan pH
tanah, menetralkan Al, dan meningkatkan ketersediaan P untuk tanaman.
Rendahnya pH dan besarnya kapasitas sangga tanah gambut menyebabkan banyak
diperlukan kapur untuk meningkatkan setiap satuan pH.
-
32
2.3 Peran Raw mix Semen pada Tanah Gambut
Menurut Tan (1993), untuk meningkatkan kejenuhan basa tanah, pemberian
kapur umum dilakukan. Raw mix semen yang terutama mengandung CaCO3
(75.55 %) dan MgCO3 (1.16 %) dapat merupakan sumber basa untuk tanah
gambut.
PT Semen Padang (1998) melaporkan bahwa raw mix semen mengandung
75.55 % CaCO3, 14.44% SiO2, 4.59% Al2O3, 2.44% Fe2O3, dan 1.16 % MgCO3
dengan nilai pH 7,39. Jika dilihat bahan yang dikandung oleh raw mix semen
seperti CaO dan MgO, penggunaan raw mix semen analog dengan penggunaan
kapur pertanian. Pemakaian raw mix semen yang berpedoman pada perhitungan
kandungan CaO yang tidak berbeda jauh antara raw mix semen dengan kalsit
diharapkan dapat memperbaiki sifat fisika, kimia, dan biologi tanah sehingga pH
meningkat.
Secara umum pengapuran bertujuan untuk memperbaiki sifat fisika, kimia,
dan biologi tanah (Nyakpa et al., 1988), sedangkan menurut Hakim et al. (1986),
pengaruh pemberian kapur terhadap pertumbuhan ditinjau dari dua segi, yakni
pengaruh langsung, kapur sebagai sumber Ca dan Mg, dan pengaruh tidak
langsung, yaitu perbaikan terhadap ciri kimia tanah.
Kalsium merupakan unsur esensial untuk pembelahan dan perpanjangan sel.
Status Ca dalam tanaman berhubungan erat dengan pH. Ca mempengaruhi
ketersediaan unsur hara lain dan pertumbuhan mikroflora tanah, terutama bakteri
(Gardner et al., 1991).
-
33
Kalsium diserap akar dalam bentuk kation bivalen (Ca2+) yang masuk ke
dalam akar sebagian besar melalui proses pasif. Pergerakan Ca dari korteks ke
stele terbatas dengan cara apoplas atau melintas ruang bebas yang hanya terjadi
pada akar-akar muda. Selanjutnya, Ca yang ada dalam pembuluh xilem
ditranslokasikan langsung ke atas dengan aliran transpirasi (Mengel dan Kirby,
1987).
Berbeda dengan hara makro lainnya, sebagian besar Ca2+ dalam jaringan
tanaman berlokasi pada dinding sel. Menurut Marschner (1986), ada dua tempat
pada dinding sel dengan konsentrasi Ca2+ tinggi, yaitu pada lamela tengah dan
permukaan luar membran plasma. Pada dua tempat itu Ca2+ mempunyai fungsi
struktural penting, khususnya dalam pengendalian permeabilitas membran dan
proses-proses yang berhubungan dengan itu, dan penguatan dinding sel.
Umumnya pada jaringan tanaman, kekurangan Ca menyebabkan terhambatnya
pembentukan struktur membran karena Ca berfungsi sebagai pengikat antara
molekul fosfolipid dengan protein penyusun. Jika suplai Ca dari luar cukup, akan
terjadi peningkatan laju sintesis protein.
Fungsi Ca2+ lainnya yang menarik adalah dalam mengendalikan aktivitas
beberapa enzim yang berlokasi dalam sitoplasma dan kloroplas. Dari beberapa
hasil penelitian disimpulkan bahwa konsentrasi Ca2+ di dalam sitoplasma harus
ada dalam level rendah karena jika konsentrasi Ca2+ tinggi, akan terbentuk garam-
garam kalsium tak larut yang dapat menghambat aliran sitoplasma. Oleh karena
itu, jika kelebihan, Ca2+-sitoplasma akan ditransfer ke dalam vakuola dan
mitokondria. Masuknya Ca2+ dan auksin ke dalam sitoplasma melalui membran
-
34
plasma diperantarai transpor auksin aktif. Tampaknya, mekanisme itu berkaitan
erat dengan kalmodulin dan auksin yang secara sederhana diilustrasikan seperti
terlihat dalam Gambar 1.
Gambar 1. Model pengendalian intraselular kalsium (), via kalmodulin (CaM) dan auksin (IAA) [Dikutip dari Marschner, 1986]
Salisbury dan Ross (1995) mengemukakan bahwa ketika konsentrasi Ca2+
mulai meningkat dalam sitoplasma, beberapa Ca2+ bergabung membentuk kelat
atau kompleks dengan kalmodulin tidak aktif menghasilkan komplek kalmodulin
yang aktif. Kemudian kompleks itu sendiri mengaktifkan beberapa enzim seperti
NAD-kinase (enzim yang menggunakan ATP untuk memfosforilasi NAD+
menjadi NADP+) dan ATPase pada membran plasma yang memindahkan
kelebihan Ca2+ ke luar sel. Dengan cara itu, konsentrasi Ca2+ tetap dapat
dipertahankan dalam level yang rendah di dalam sitoplasma, yaitu
-
35
keberadaan Ca2+ dalam konsentrasi yang sangat rendah dalam kloroplas
merupakan persyaratan untuk laju fotosintesis yang tinggi (Marschner, 1986).
Di samping mengandung unsur Ca, raw mix semen juga mengandung Mg.
Menurut Salisbury dan Ross (1995), Mg sangat berperan dalam proses
pembentukan klorofil, bergabung dengan ATP sehingga ATP dapat berfungsi
dalam berbagai reaksi dan pembentukan DNA dan RNA, serta mengaktifkan
enzim yang berperan dalam fotosintesis dan respirasi yang penting dan sangat
menentukan pertumbuhan tanaman. Menurut Lawlor (1993), dalam fotosintesis
Mg berperan mengaktifkan enzim RuBP-karboksilase, sedoheptulosa bifosfatase,
dan fruktosa bifosfatase. Menurut Salisbury dan Ross (1995), dalam respirasi
tahapan glikolisis, Mg berperan mengaktifkan enzim fosfoglukomutase,
fruktokinase, ATP-fosfofruktokinase, fosfoglisero mutase, fosfoglisero kinase,
enolase, dan piruvat kinase, sedangkan dalam siklus Krebs, Mg berperan
mengaktifkan enzim asam piruvat dehidrogenase.
Menurut Stevenson (1994) dan Rachim (1995), senyawa yang mengandung
Al dan Fe tidak berbahaya bagi tanaman jika diberikan ke tanah gambut.
Kalsium dengan kadar tinggi, yaitu >75%, Al2O3 sebanyak >4%, dan Fe2O3
sebanyak >2.4% yang terdapat pada raw mix semen dapat menetralkan asam-
asam organik beracun. Penetralan asam-asam organik tersebut terjadi melalui
terbentuknya kompleks organo- kation (Prasetyo, 1996; Stevenson, 1994).
Dengan cukupnya suplai Ca dan unsur-unsur hara yang lain dan ada dalam
proporsi yang sesuai dalam organel-organel spesifik atau jaringan-jaringan
tanaman, fungsi dan/atau perannya tidak hanya terlihat pada taraf hirarki seperti
-
36
dikemukakan di atas, tetapi juga tercermin pada taraf hirarki berikutnya, yaitu
organ-organ tumbuh dan hasil selama faktor lainnya mendukung.
Hasil penelitian Winarti et al. (1997) menunjukkan bahwa pemberian abu
sekam sebanyak 10 ton ha-1 dapat meningkatkan kandungan Ca lahan gambut.
Penambahan Ca dapat memperkaya nitrogen dan mengurangi kemasaman tanah
sehingga perkembangan mikroorganisme meningkat.
Hasil penelitian pada gambut pedalaman Berengbekel, Kalimantan Tengah
(Tim Fakultas Pertanian IPB, 1986; Halim 1983; dan Halim dan Soepardi, 1987),
juga menunjukkan pentingnya pemakaian kapur. Pemberian 4 ton ha-1 menaikkan
pH tanah dari 3.3 menjadi 4.5 hingga 4.8 dan KB dari 2.6 menjadi 23 hingga
35.6 %. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat (1995) melaporkan
bahwa penambahan kapur dan unsur mikro Cu dan Zn dapat memperbaiki
pertumbuhan vegetatif rami seperti tinggi tanaman, diameter batang, dan bobot
batang basah berturut-turut 157 cm, 11.4 mm, dan 10.2 ton ha-1.
2.4 Teknologi M-Bio
Pertanian organik, khususnya yang memanfaatkan teknologi mikrobia
inokulan, akhir-akhir ini kembali mendapat perhatian besar ketika keracunan
lingkungan karena penggunaan bahan-bahan kimia anorganik sudah semakin
mengkhawatirkan. Oleh karena itu, berbagai pemikiran dan upaya ke arah sistem
pertanian yang berdampak negatif terhadap lingkungan harus dihindarkan dan
harus berubah ke sistem pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Hal itu telah menjadi topik pembicaraan di antara para ahli dalam berbagai forum
pertemuan ilmiah di seluruh dunia (Martamidjaja, 1996).
-
37
Di samping menggunakan raw mix semen, pemecahan masalah tanah
marjinal juga dapat dilakukan dengan budidaya pertanian secara alami yang akrab
lingkungan dengan menggunakan mikroorganisme efektif (EM) yang bertujuan
untuk mengurangi pemakaian bahan-bahan kimia seperti pupuk dan pestisida serta
untuk meningkatkan dan menjaga dengan memanfaatkan seluruh sumberdaya
alam sehingga tidak memutuskan rantai sistem ekologi pertanian itu sendiri.
Teknologi EM dalam bidang pertanian merupakan teknologi budidaya pertanian
untuk meningkatkan kesehatan dan kesuburan tanah dan kestabilan produksi
pertanian dengan menggunakan mikroorganisme yang bermanfaat bagi
lingkungan dan tanaman (Higa, 1994).
PT Hayati Lestari Indonesia (1998) melaporkan bahwa salah satu EM yang
digunakan dalam bidang pertanian adalah M-Bio yang merupakan larutan
senyawa organik yang berisi kultur campuran mikroorganisme yang
menguntungkan seperti ragi 7 x 102 populasi ml-1, Lactobacillus sp. 55 x 103
populasi ml-1, bakteri pelarut fosfat 8 x 104 populasi ml-1, dan Azospirillum sp. 15
x 102 populasi ml-1, di samping unsur hara makro dan mikro seperti N, P, K, S,
Mo, Fe, Mn, dan B yang dapat memperbaiki sifat kimia tanah sehingga dapat
meningkatkan kegiatan mikroorganisme tanah yang berarti meningkatkan
kesuburan biologi tanah. Ketersediaan unsur hara juga merupakan hal yang sangat
penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman karena kandungan unsur
hara akan membantu memperlancar proses metabolisme tanaman, di antaranya
proses fotosintesis sehingga fotosintat yang dihasilkan lebih tinggi yang
-
38
selanjutnya akan ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman yang akibatnya akan
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman.
Menurut Higa (1994), peran dan fungsi mikroorganisme yang terdapat
dalam EM adalah sebagai berikut : (1) ragi menghasilkan berbagai enzim dan
hormon sebagai senyawa bioaktif untuk pertumbuhan tanaman, (2) Lactobacillus
sp. berperan meningkatkan dekomposisi atau pemecahan bahan organik seperti
lignin dan selulosa dan menghasilkan asam laktat, (3) bakteri pelarut fosfat dapat
melarutkan zat-zat anorganik (P, Ca, Mg, dan lainnya) dan zat-zat/senyawa-
senyawa organik (gula, asam amino, alkohol, asam organik), dan (4) Azospirillum
sp. dapat mengikat nitrogen udara. Mikroorganisme yang menguntungkan itu
secara aktif mempengaruhi mikroorganisme tanah untuk meningkatkan kesuburan
tanah.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian tentang bakteri pelarut hara, Singh
dan Subba Rao (1979), Planzinski dan Rolfe (1985), dan Young et al. (1990)
menunjukkan bahwa pemberian bakteri jenis tertentu yang mampu melarutkan
unsur hara tertentu meningkatkan kemampuan tanaman dalam menyerap unsur
hara yang bersangkutan. Di pihak lain, menurut Linch (1983), stabilitas agregat
tanah secara umum meningkat dengan makin banyaknya jumlah mikroba
pemantap agregat yang ditambahkan. Penelitian yang dilakukan Goenadi et
al.(1995) menunjukkan bahwa Azospirillum sp., Azotobacter sp., Streptomyces
sp., dan Aspergillus sp. mempunyai kemampuan dalam menghasilkan enzim urea
reduktase dan fosfatase yang berperan penting dalam penambatan N bebas dari
udara dan pelarut P dari senyawa P sukar larut. Selain itu, mikroba tersebut juga
-
39
menghasilkan asam-asam organik pelarut P dan/atau polisakarida ekstrasel yang
berguna sebagai perekat dalam pembentukan agregat mikro. Perekat partikel
tanah akan mendorong terbentuknya butiran tanah yang mantap sehingga aerasi
lebih baik dan secara keseluruhan tanah menjadi lebih tahan terhadap erosi.
Setiap bahan organik yang terfermentasi oleh jasad renik fermentasi, antara
lain oleh M-Bio, akan ada dalam kondisi semi aerob atau anaerob pada suhu 40oC
sampai 50 oC. Hasil fermentasi bahan organik, setelah mengalami mineralisasi,
dapat dengan mudah diserap oleh perakaran tanaman. Dengan demikian,
pemberian M-Bio dapat memfermentasi bahan organik yang tersedia dalam tanah
gambut dan berintegrasi dengan tanah yang sudah diberi raw mix semen .
Menurut Priyadi (1998), kultur campuran mikroorganisme yang terdapat
dalam M-Bio tersebut antara lain ragi (yeast), Lactobaccillus sp., bakteri pelarut
fosfat (solubelizing phosphate bacteria), dan Azospirillum sp. yang bekerja secara
berkesinambungan dan saling mengisi satu sama lain dalam memfermentasi bahan
organik, baik yang terdapat di alam/tanah maupun bahan organik yang telah
disediakan sebelumnya, diaplikasikan melalui Pupuk Organik Cara Fermentasi
(Porasi) atau dapat juga diaplikasikan langsung ke tanah.
Priyadi (1997) menjelaskan bahwa jika diberi M-Bio, bahan organik akan
mengalami proses fermentasi dan jika ada dalam tanah, akan dihasilkan senyawa
organik atau senyawa antara seperti asam amino, alkohol, dan asam organik yang
dapat diserap langsung oleh tanaman. Selanjutnya dalam tubuh tanaman senyawa
tersebut akan diubah menjadi kabohidrat, protein, dan lemak untuk proses
pertumbuhan dan perkembangannya.
-
40
Higa (1988) menyatakan bahwa EM yang sudah diaplikasikan ke tanah akan
menjadikan tanah bersifat zimogenik, yaitu banyak mengandung mikroorganisme
fermentatif yang dalam aktivitasnya memfermentasi bahan organik. Dalam tanah
zimogenik, mikroorganisme tanah yang merugikan tanaman akan mengalami tiga
hal, yaitu (1) mikroorganisme patogen tidak dapat menetap di lingkungan itu, (2)
mikroorganisme patogen ada, tetapi tidak dapat menyebabkan penyakit, dan (3)
mikroorganisme patogen ada dan dapat menyebabkan penyakit, tetapi
patogenitasnya akan menurun walaupun dalam sistem monokultur. Menurunnya
aktivitas patogen dalam tanah zimogenik terjadi karena dalam tanah zimogenik
berlangsung proses fermentasi bahan organik yang menghasilkan asam amino dan
sakarida dan senyawa organik terlarut sehingga siklus hidup organisme
pengganggu akan terhambat. Sebaliknya, organisme pengganggu tanaman lebih
menyukai meneruskan siklus hidupnya pada kondisi kondusif bagi penyakit, yaitu
terjadinya pembusukan bahan organik dalam tanah yang menghasilkan bahan
organik dan menghasilkan energi dalam bentuk gas dan panas.
Subadiyasa (1997) menyatakan bahwa perombakan bahan organik dapat
terjadi melalui (1) proses oksidatif (pembusukan) oleh bakteri aerob sintetik,
ditandai dengan bau busuk hasil pelepasan gas amoniak, hidrogen sulfida, dan
metan, dan (2) proses fermentasi yang dilakukan oleh mikroorganisme anaerob.
Pada proses fermentasi akan dihasilkan senyawa organik (asam laktat, alkohol,
vitamin, gula, asam amino) yang dapat langsung diserap oleh tanaman, sedangkan
pada proses pembusukan dihasilkan ion-ion an-organik , gas, dan panas dan masih
terikat oleh molekul-molekul lainnya.
-
41
Higa dan Wididana (1996) menyatakan bahwa mekanisme EM berinteraksi
dengan lingkungan tanah-tanaman didasarkan atas beberapa teori: (1) tanah
penekan penyakit, EM terdiri atas mikroorganisme yang sangat fermentif, yaitu
bakteri asam laktat fotosintetik, ragi, dan jamur dapat menekan serangan patogen
dan serangga hama; (2) energi organik, Lactobaccillus sp. memfermentasi bahan
organik tanah dan membebaskan asam amino dan sakarida, suatu senyawa organik
terlarut yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi dalam metabolisme
tanaman; (3) hara organik terlarut, mikroorganisme tanah merombak bahan
organik tanah menjadi ion-ion anorganik yang kemudian dapat diserap tanaman
sebagai unsur hara; (4) keseimbangan populasi mikroorganisme tanah,
keseimbangan populasi dan keragaman antara mikroorganisme yang
menguntungkan dan yang merugikan akan menentukan apakah ekosistem tanah
cocok atau tidak bagi pertumbuhan dan kesehatan tanaman; (5) mikroorganisme
fotosintetik dan penambat nitrogen, jika EM diaplikasikan ke dalam tanah atau
permukaan tanaman, populasi bakteri fotosintetik dan bakteri penambat N
meningkat tajam. Bakteri fotosintetik dan bakteri penambat N yang lebih banyak
akan meningkatkan laju fotosintesis dan kemampuan menambat N. EMRO
Research (2002) melaporkan bahwa jika disemprotkan ke daun tanaman, EM yang
mengandung bakteri fotosintetik dan bakteri fiksasi N dapat meningkatkan
fotosintesis dan kapasitas fiksasi N. Mikroorganisme yang berasal dari EM juga
mampu menekan perkembangan patogen penyebab penyakit pada permukaan
daun.
-
42
Menurut Higa (1992, dikutip Wididana, 1994), EM dapat memacu
pertumbuhan tanaman dengan cara: (1) memperbaiki sifat fisika, kimia, dan
biologi tanah, (2) memacu pertumbuhan tanaman dengan cara mengeluarkan zat
pengatur tumbuh, (3) melarutkan unsur hara dari batuan induk yang relatif susah
kelarutannya menjadi unsur tersedia, (4) menjaga tanaman dari serangan hama
dan penyakit, (5) menyediakan molekul organik sederhana agar dapat diserap
langsung oleh tanaman, dan (6) memperbaiki dekomposisi bahan organik dan
residu tanaman serta mempercepat daur ulang unsur hara. Ho In-Ho dan Kim Ji-
Hwan (2002) melaporkan bahwa EM lebih besar pengaruhnya terhadap
pertumbuhan akar karena dengan EM yang mengandung IAA, aktivitas
pertumbuhan akar meningkat 8 %.
Selanjutnya Higa dan Wididana (1996) menyatakan bahwa cara kerja EM
dalam meningkatkan kesuburan dan produksi tanaman adalah dengan (1) menekan
pertumbuhan patogen tanah, (2) mempercepat dekomposisi limbah dan sampah
organik, (3) meningkatkan ketersediaan nutrisi dan senyawa organik pada
tanaman, (4) meningkatkan aktivitas mikroorganisme indigen yang
menguntungkan, misalnya Mycorrhiza, Rhizobium, dan bakteri pelarut fosfat, (5)
memfiksasi nitrogen, dan (6) mengurangi kebutuhan pupuk dan pestisida kimia.
Higa (1988) menyatakan bahwa jika diaplikasikan ke dalam tanah, (1) EM
dapat meningkatkan ketersediaan P untuk tanaman, (2) memperbaiki sifat fisika
tanah, di antaranya dapat meningkatkan daya sangga air, kandungan air, agregasi,
dan aerasi tanah, serta mengurangi pengaruh aliran permukaan, (3) memperbaiki
sifat kimia tanah, di antaranya memperbesar kapasitas tukar kation dan
-
43
meningkatkan kelarutan unsur fosfat dalam tanah, dan (4) memperbaiki sifat
biologi tanah, di antaranya dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme di
dalam tanah.
Dalam upaya peningkatan produksi, ketersediaan unsur hara yang siap
diserap tanaman merupakan faktor yang sangat penting. M-Bio mengandung
bakteri Lactobaccillus dan mikroorganisme penghasil asam laktat yang dapat
memfermentasi bahan organik dan mengubah bahan organik yang tak larut
menjadi senyawa organik yang larut dalam air tanah. Selain itu, M-Bio
merangsang pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri pelarut fosfat dan
mikroorganisme yang bersifat antagonis terhadap penyakit tanaman (PT Hayati
Lestari Indonesia, 1998).
Penggunaan EM menyebabkan bahan organik menjadi pupuk organik yang
mampu menyediakan unsur hara makro dan mikro yang meliputi N, P, K, B, S,
Fe, Mn, Cu, dan Co, memperbaiki sifat fisik permukaan tanah sedalam 0-0.5 m,
serta mengurangi kerapatan tanah (bulk density) sehingga tanah menjadi lebih
gembur dan kepadatannya berkurang serta lebih tahan terhadap erosi tanah oleh
air (Karim et al., 1992).
Sarief (1989) menyatakan bahwa bahan organik dapat memperbaiki kualitas
tanah. Ketersediaan bahan organik di dalam tanah ikut menentukan kesuburan
tanah sebab bahan organik di dalam tanah berfungsi sebagai unsur hara,
merangsang aktivitas organisme tanah, dan memperbaiki sifat fisika, kimia, dan
biologi tanah.
-
44
Hasil penerapan teknologi EM di Indonesia telah banyak dilaporkan.
Teknologi EM terbukti dapat meningkatkan produksi tanaman, di antaranya dapat
meningkatkan jeruk di Sukabumi dari 150 kg menjadi 400 kg per 700 pohon dan
meningkatkan produksi tomat dan kedelai masing-masing 133% dan 114%
(Zaenudin, 1993). Pada uji coba, penggunaan M-Bio yang diaplikasikan melalui
porasi kotoran sapi sebanyak 6 sampai 10 ton ha-1 dengan tidak menambahkan
pupuk buatan atau pupuk organik menghasilkan gabah kering panen sebanyak
7.07 sampai 7.68 ton ha-1, sedangkan dengan pemberian pupuk buatan sesuai
dengan dosis anjuran hanya memberikan hasil gabah kering panen sebanyak 6.98
ton ha-1 (Priyadi, 1998). Hasil penelitian Priyadi (2001) menunjukkan bahwa
dengan menggunakan M-Bio yang diaplikasikan melalui kotoran domba sebanyak
9.63 ton ha-1 dengan tidak menambahkan pupuk buatan atau pupuk organik,
menghasilkan biji kering kedelai kultivar Slamet maksimum sebesar 2.5 ton ha-1.
Teknologi EM pada budidaya tanaman telah dibuktikan dapat meningkatkan
hasil. Mashar (1999) melaporkan bahwa tanaman kedelai kultivar Slamet yang
ditanam pada tanah gambut dengan aplikasi EM mampu menghasilkan 1.1 sampai
3.8 ton ha-1, sedangkan tanpa EM sebesar 0.4 sampai 0.6 ton ha-1.