Restorasi Gambut Dengan Tiga Jenis Surfaktan, dan Pengaruhnya ...
RASA TAKUT DAN PENGARUHNYA DALAM PILIHAN SUBJEK: …
Transcript of RASA TAKUT DAN PENGARUHNYA DALAM PILIHAN SUBJEK: …
RASA TAKUT DAN PENGARUHNYA DALAM PILIHAN SUBJEK:
ANALISIS EKSISTENSIALIS MENURUT JEAN PAUL SARTRE
Aldair Zerista Hutama, Ikhaputri Widiantini
Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Abstrak
Dalam eksistensialisme Sartre, rasa takut kurang mendapat penjelasan yang
mendalam, sehingga sulit untuk dapat melihat pengaruhnya dalam eksistensi seorang subjek.
Rasa takut sesungguhnya adalah salah satu rasa mendasar yang dimiliki oleh manusia. Rasa
takut sudah terstruktur di dalam diri seorang manusia. Ia mempengaruhi hal-hal yang
dilakukan oleh subjek bahkan sejak subjek masih dalam tahap kesadaran pra-reflektif. Rasa
muak akan membawa subjek menyadari bahwa sesungguhnya ia memiliki kebebasan dan
dapat menentukan eksistensi dirinya sendiri. Dari sana, kesadaran pra-reflektif berubah
menjadi kesadaran reflektif. Kebebasan adalah kutukan karena ia selalu diiringi dengan
tanggung jawab yang berat padahal tidak pernah ada kepastian akan hasil yang nantinya
didapat. Hal itulah yang membuat manusia mengalami rasa cemas. Rasa cemas ini kemudian
membawa manusia melihat konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dari pilihan yang ada
bagi si subjek. Disinilah kemudian rasa takut mempengaruhi subjek dalam mengambil pilihan
eksistensialisnya. Apakah subjek akan memilih pilihan yang aman baginya, ataukah ia berani
melawan ketakutannya dan bertransendenis menjadi diri yang baru.
Abstract
Fear And Its Effect On Subjective Choice:
Analysis Existentialist According To Jean Paul Sartre
The focus of this study is to prove the effect of fear for the existence of the subject,
which is not well explained in Sartre‟s existensialism. As a matter of fact, fear is one of
human basic feeling, it is an undeniable structure as a human. Feareffected subjects act even
in pra-reflective conciousness stage. Nausea will bring subject to realizing, that in fact, he has
a freedom and he can choose freely, what kind of existence that he want to create for his own
self. At that stage, pra-reflective conciousness will change into reflective conciousnes and
subject could realize their freedom. But freedom it self is a curse because there‟s a great
responsibility adheres our acts whereas there‟s never been any certainity about the
consequnces. This condition trap human in anxiety feeling. Anxiety will bring subject to see
the consequences that probably will appear from all the choice that they can take. At this
Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013
stage, fear will effecting subject in taking his existential choice. Will the subject going to
choose the savest choiceor fight his fear and doing transcended and becoming a new self.
Key words: Fear, existence, anxiety, nausea, freedom, facticity, responsibility, Negation
counciousness, transcendence.
1. Pendahuluan
Pada dasarnya hidup adalah pilihan. Manusia setiap hari mau atau tidak mau
diharuskan untuk melakukan pilihan. Pilihan yang ia lakukan sangatlah penting bagi hidup
manusia, karena pilihan itu yang akan menentukan eksistensinya kedepan. Ketidakpastiaan
akan hasil dari pilihan bebas mereka membuat manusia mulai merasakan kecemasan terhadap
segala pilihan yang harus mereka ambil. Kecemasan ini juga kemudian dapat memunculkan
rasa takut ketika subjek melihat berbagai konsekuensi yang mungkin mereka hadapi dari
pilihan yang mungkin ia lakukan. Manusia sering merasa tidak siap dan juga takut terhadap
segala konsekuensi yang mungkin terjadi dan harus mereka tanggung. Hal ini kemudian
menjatuhkan manusia ke dalam apa yang Sartre sebut dengan Bad Faith.
Apa sesungguhnya yang akhirnya menjatuhkan manusia kedalam bad faith?
Kecemasan dirasa kurang cukup untuk menjelaskan persimpangan yang terjadi yang
membedakan kenapa manusia akhirnya berbelok ke dalam bad faith atau good faith. Rasa
takut penulis rasa cukup memungkinkan untuk menjelaskan penyebab dari berbeloknya
manusia ke dalam bad faith ini. Akan tetapi rasa takut tidak terlalu mendalam dibahas oleh
Sartre di dalam pemikirannya. Padahal rasa takut sendiri sudah ada dan muncul sejak manusia
kecil dan terus membayangi manusia dalam melakukan pilihan-pilihannya.
Dari sini kemudian timbul pertanyaan tentang bagaimanakah sebenarnya pengaruh
rasa takut yang hadir setelah rasa cemas ketika seseorang hendak melakukan pilihan bebasnya
dapat mempengaruhi eksistensi seorang subjek dalam melakukan pilihan-pilihannya? Dari
pertanyaan itulah penulis akan mencoba membuktikan bahwa rasa cemas menghadirkan rasa
takut sebagai proses melihat konsekuensi dalam pilihannya yang menempatkannya pada
kondisi bad faith atau good faith. dan Mendapatkan pemahaman yang lebih mengenai
bagaimana rasa takut mempengaruhi pilihan eksistensial yang diambil oleh seorang subjek
dalam perspektif eksistensialisme Jean Paul Sartre.
Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013
2. Metode Penelitian
Metodologi yang akan penulis gunakan dalam penelitian kali ini adalah metode
penelitian kajian pustaka. Penulis akan melakukan pembacaan utama yang berasal dari buku
Sartre yang berjudul Being and Nothingness (Ada dan Kekosongan) 1943. Kemudian,
berbagai macam karya Jean Paul Sartre seperti: Nausea (Kemuakkan) 1938, No Exit (Tidak
Ada Jalan Keluar) 1944, Existensialism as Humanism (Eksistensialisme Sebagai Humanisme)
1946, Words (Kata-kata) 1964 akan digunakan pula sebagai pendukung. Selain itu penulis
juga akan menggunakan buku-buku dari penulis lain yang juga membahas mengenai Sartre
sebagai sumber pendukung lainnya. Penelitian kali ini juga akan disertai dengan pendekatan
analisa kritis yang akan digunakan untuk mendapatkan suatu pandangan baru dari apa yang
sudah didapat dari pembacaan mengenai pemikiran eksistensialisme Jean Paul Sartre.
3. Hasil dari Pembahasan
Sartre adalah seorang filsuf besar yang berasal dari Perancis. Ia terkenal dengan
pemikirannya mengenai eksistensialisme. Eksistensialisme sendiri pada dasarnya adalah
cabang pemikiran yang mempercayai bahwa manusia harus menjadi diri yang otentik.
Maksudnya adalah, manusia harus memilih sesuai apa yang dirinya kehendaki sendiri secara
kesadarannya, bukan hanya ikut dengan piihan masyarakat saja. Eksistensialisme Sartre
memiliki tesis besar yang berbunyi “eksistensi mendahuli esensi”. Bagi Sartre manusia
mengada dengan kesadarannya.
Sartre membedakan kesadaran manusia dalam dua kategori. Kesadaran pra-reflektif,
kesadaran yang diartikan sebagai kesadaran langsung terarah pada objeknya, tanpa usaha
untuk merefleksikan tindak kesadaran tersebut (Adian, 2010:73). Kesadaran pra-reflektif ini
seperti ketika subjek melakukan sesuatu sang subjek hanya melakukannya begitu saja. Sartre
menyebut kesadaran pra-reflektif ini sebagai kesadaran yang tidak disadari. Kesadaran
reflektif adalah kesadaran yang telah menyadari si kesadaran itu sendiri dan merefleksi
tentang kesadarannya sendiri. Dapat dikatakan, dalam kesadaran pra-reflektif ego tidaklah
mengarahkan kesadaran kepada tindakan-tindakan sendiri, melainkan pada objek yang sedang
dikerjakan. (Adian, 2010:73-74)
Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013
Sartre membuat dualisme mengenai being. Dia memperkenalkan kepada kita istilah
Being-In-It-Self atau dikenal juga dengan etre en soi, dan juga Being-for-it-self atau etre pour
soi. Etre en soi dijelaskan oleh Sartre sebagai tipe eksistensi benda-benda yang tak
berkesadaran, padat, dan tanpa celah. Kepadatan yang tanpa celah ini menyebabkan Being
tersebut dapat dikatakan sudah final. Ia tidak memiliki celah untuk melakukan proses
Becoming (menjadi). Sedangkan berbeda dari etre en soi, etre pour soi didefinisikan sebagai
tipe kesadaran yang kosong melompong dan selalu kekurangan. (Adian, 2010:78) Pembedaan
antara kedua being tersebut dapat dijelaskan juga sebagai berikut.
I define being-in-itself simply as being as it is, what it is , simply being-like the chestnut
root in the park. But being-for-itself I define in terms of negation, as nothing-or to use
one of my favorite paradoxes, it is what it is not, and it is not whatever it is. Being-for-
itself, unlike beings-in-themselves, is not yet anything at all. Being-for-itself has the
power of transcendence. (Solomon, 1981: 17-18).
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan juga bahwa being-for-itself memiliki
kekhususan. Dia berbeda dari being-in-it-self yang secara simple dicontohkan seperti akar
pohon kastanye di taman. Being-for-it-self dijelaskan oleh Sartre dengan paradoks “dia adalah
apa yang bukan. Lubang kosong yang dimiliki oleh being-for-it-self membuat ia tidaklah
padat seperti being-in-it-self. Kekosongan tersebut membuat being-for-it-self dapat terus
menerus berproses. Ia tidak mengenal kata usai, karena ia akan selalu merasa kosong. Dirinya
akan selalu berproses dan terus berproses. Ia akan selalu dalam tahap becoming. Dapat
dikatakan juga bagi Sartre being-for-it-self memiliki kemampuan untuk bertransenden.
“What i mean by transcendence is the ability to imagine alternative possibilities,
to plan ahead,to formulate projects and ambitions, to create one self.”
(Solomon, 1981: 18).
Dari sanalah subjek mampu untuk membuat dirinya dengan berbuat atau melakukan sesuatu,
dengan merubah dunia. Dapat dikatakan juga being yang mampu masuk ke dalam kriteria
being-for-it-self hanyalah manusia, karena untuk mencapai tahap transendensi tersebut being
membutuhkan kesadaran di dalamnya.
Manusia berbeda dengan mahkluk-mahkluk atau benda-benda lain yang tidak
memiliki kesadaran. “Man is nothing else but he makes himself” atau manusia tidak lain
Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013
adalah apa yang ia buat bagi dirinya. (Sartre, 1946:15). Bagi Sartre manusia bukanlah sesuatu
yang diatur oleh orang lain, manusia adalah mahkluk berkesadaran yang mengatur dirinya
sendiri. Manusia lahir tidak dengan esensi dulu selayaknya benda-benda lain. Manusia lahir
dengan kebebasan, Kebebasan adalah eksistensi, dan di dalamnya eksistensi mendahului
esensi.
Freedom is existence, and in it existence precedes essence. (Sartre, 1953: 568).
Tesis Sartre ini jelas pandangan yang berbeda dari pandangan Plato yang mengatakan bahwa
segala sesuatu di dunia ini tentunya termasuk manusia telah ada esensinya terlebih dahulu
sebelum bereksistensi di dunia material. Sartre meyakini bahwa manusia terlebih dahulu
termatrealisasi di dunia. Ia terlempar kedunia bersama kebasannya. Dengan kebebasan itulah
nantinya manusia melakukan proses becoming dalam kehidupannya. Ia sendirilah yang
menentukan akan menjadi siapa dirinya, bukan orang lain.
Man is nothing else but his plan; he exist only to the extent that he fulfills himself; he is
therefore nothing, than the ensamble of his acts, nothing else than his life. (Sartre, 1946:
32)
Manusia adalah apa yang ia rencanakan, dia mengada hanyalah untuk mengisi dirinya, dia
adalah kumpulan dari apa yang ia lakukan. Seseorang yang dalam hidupnya sering menulis
lagu tentunya akan dikenal sebagai seorang komposer, sedangkan seseorang yang dalam
hidupnya rajin menulis buku maka ia akan dikenal sebagai seorang penulis.
Manusia adalah mahkluk yang terus mengalami proses becoming. Manusia memiliki
kemampuan untuk bertransendensi. Ia bukanlah seperti benda-benda yang esensinya sudah
final. Manusia tidak memiliki esensi. Ia terus berubah, eksistensi manusia membawa manusia
terus berproses. Untuk benda, kita dapat memberi definisi mati kepadanya. Misalkan, bangku
adalah alat yang diciptakan manusia untuk dipakai duduk. Bangku yang tidak memiliki
kesadaran ini jelas tidak dapat berkutik terhadap definisi tadi.
What do we mean here by "existence precedes essence"? We mean that man first exists:
he materializes in the world, encounters himself, and only afterward defines himself.
(Sartre, 1996: 22)
Esensi bangku sudah jelas dan ia tidak mengalami proses menjadi dikarenakan ia tidak
dapat bertransendensi. Sedangkan manusia berbeda. Hari ini saya adalah seorang mahasiswa
Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013
Universitas Indonesia jurusan Ilmu Filsafat. Akan tetapi itu bukanlah definisi mati terhadap
diri saya. Saya mampu dan memiliki kuasa untuk mengajukan surat pengunduran diri esok
hari dan definisi bahwa saya adalah mahasiswa tadi pun akan langsung berubah. Setiap hari
dan setiap waktu manusia terus dalam proses menjadi. Selama manusia masih memiliki
kesadaran hal itu akan terus berlanjut. Dapat juga dikatakan manusia akan menemukan esensi
diri mereka barulah saat mereka mati. Karena disaat sudah mati, manusia hanyalah seperti
benda-benda. Ia tidak lagi memiliki kesadaran dan sudah tidak lagi dapat berproses menjadi.
Manusia itu berkesadaran, Dengan adanya kesadaran itulah manusia memiliki
kebebasannya. Kebebasan ini membawa manusia ke dalam pilihan-pilihan dalam hidupnya,
dan pilihan itu tentunya diambil untuk melakukan suatu act, yang mana manusia membetuk
dirinya melalui apa yang ia pilih dan lakukan dalam hidupnya itu. Kebebasan bagi Sartre
adalah suatu fakta yang tidak dapat kita hindari. “To be free, is to be condemned to be free.”
(Sartre, 1953:129). Manusia dikutuk untuk bebas. Mau atau tidak mau manusia lahir dan
terlempar kedunia ini disertai dengan kebebasan. Bahkan untuk memilih hidup yang tidak
bebas, manusia dapat memilihnya karena manusuia mempunyai kebebasan. Kebebasan adalah
suatu fakta yang tidak dapat dihindari. Kebebasan dalam memilih diiringi dengan sesuatu
yang besar dibaliknya, hal itu adalah tanggung jawab. Tanggung jawab ini adalah suatu hal
yang berat pastinya. Hal inilah yang kemudian membuat manusia merasakan bahwa
kebebasan adalah suatu kutukan. Kebebasan yang tak berbatas mengandung di dalamnya
tanggung jawab yang tak berbatas pula, tanggung jawab inilah yang menjadi beban
eksistensial yang berat untuk ditanggung. (Hassan, 2005:132).
I find myself suddenly alone and without help, engaged in a world for which I bear the
whole responsibility without being able, whatever I do, to tear myself away from this
responsibility for an instant. (Sartre, 1953:555-556)
Dalam memilih, manusia mendapatkan kesempatan untuk menentukan apa yang baik
ataupun tidak baik bagi dirinya. Setiap konsekuensi itu harus dipertanggungjawabkan sendiri.
Ia tidak dapat menyalahkan orang lain, ataupun bergantung terhadap Tuhan. (Hassan,
2005:124). Tanggung jawab dari pilihan seperti contoh di atas saja bukanlah hal yang mudah.
Akan tetapi beban tanggung jawab tidak habis sampai di sana saja. Beban tanggung jawab
yang dipikul oleh seorang manusia jauh lebih berat dibanding tanggung jawab terhadap diri
sendiri saja.
Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013
“Thus our responsibility is much greater that we might have supposed, because it
involves all mankind.” (Shipka & Minton, 1996:231)
Dalam melakukan suatu pilihan, manusia pasti akan memilih pilihan yang dia anggap
paling baik bagi dirinya. Dari sana kita dapat melihat bahwa sesungguhnya ketika manusia
melakukan suatu pilihan tertentu manusia tidak hanya sedang memilih untuk dirinya sendiri,
tetapi dia juga membentuk suatu image yang baik tentang manusia menurut dirinya.
“in creating the man that we want to be, there is not a singel one of our acts which does
not at the same time create an image of a man as we think he ought to be.” (Sartre,
1948:17).
Walaupun pilihan yang subjek lakukan bersifat pribadi, tetapi pada dasarnya tindakan
memilih itu terkait pula dengan image manusia pada umumnya sebagai pribadi yang subjek
cita-citakan. (Hassan, 2005:124). Hal inilah yang semakin menambah beban tanggung jawab
pada diri manusia. Dalam menentukan segala pilihan bebasnya, kini manusia bukan hanya
diharuskan untuk bertanggung jawab pada dirinya sendiri saja, melainkan kepada seluruh
manusia. Hal inilah yang membuat manusia mengkhayati kecemasannya. Segala pilihan
manusia tidak pernah diiringi dengan kepastian padahal tanggung jawab yang harus dipikul
sangatlah besar. Inilah mengapa eksistensi dijalani dengan serba kecemasan dan kemuakan.
(Hassan, 2005:126).
“I’am responsible for myself and for everyone else. I’am creating a certain
image of man of my own choosing. In choosing myself, i chose man.” (Sartre,
1948:17)
Konsep kebebasan pada Jean Paul Sartre sangat terkait erat dengan permasalahan
transendensi. Seorang manusia dapat dengan bebas memproyeksikan dirinya. Manusia tidak
lagi berada dalam tekanan masyarakat, keluarga, norma, bahkan juga takdir dalam
menentukan kehidupan. Kebebasan dalam eksistensialisme bukanlah diartikan dalam bentuk
kehendak yang bebas, melainkan lebih condong kepada kekuatan untuk memilih sebuah
pilihan dan memanefestasikannya ke dalam suatu tindakan. Kebebasan bertindak dengan
berani mengambil tanggung jawab terhadap segala pilihannya adalah ciri manusia yang eksis.
(Mendrofa, 2011:24)
Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013
Kebebasan mutlak dalam pemikiran Jean Paul Sartre, pada akhirnya harus bertemu
dengan kenyataan-kenyataan yang membuat penghayatan terhadap kebebasan tersebut
berkurang. Hal tersebut adalah faktisitas atau ke-fakta-an. Faktisitas sendiri bukan suatu term
original yang dimunculkan oleh Sartre. Faktisitas, terlebih dalam hubungannya dengan
eksistensialisme, adalah term yang sebelumnya sudah dipergunakan oleh seorang filsuf yaitu
Martin Heidegger.
Dalam pandangan Martin Heidegger, faktisitas adalah kondisi seorang manusia di
masa lampau. Lebih jauh Heidegger mengatakan bahwa permasalahan faktisitas adalah
permasalahan mengenai keterlemparan (Throwness).. Faktisitas dalam pandangan Heidegger
adalah kenyataan bahwa manusia manusia terlempar ke dunia dengan kondisi dan situasi
tertentu. Dasein terlempar ke dalam dunia. Dasein lahir ke dunia bukan atas keinginannya
sendiri. Tanpa ada kompromi di awal, ia tidak dapat mengelak bahwa ia terlampar ke dalam
dunia.
“Dasein is something that has been thrown. It has been brought into it’s there
but not of it’s own accord” (Heidegger, 1962:329).
Dalam pandangan mengenai faktisitas, Sartre mengembangkan pandangan mengenai
faktisitas yang dikeluarkan oleh Heidegger. Faktisitas adalah suatu fakta tentang Being yang
tak dapat dihilangkan. Hal ini juga hampir serupa dengan pandangan keterlemparan
Heidegger. Siapa orang tua kita, di mana tempat kita dilahirkan juga termasuk ke dalam ke-
fakta-an yang tidak dapat dielakkan dari diri kita. Hal tersebut tidak mungkin ditiadakan
dalam diri kita, dan tidak dapat dielakkan keberadaannya. Kiranya begitulah faktisitas, suatu
fakta yang tidak dapat ditiadakan keberadaannya. Mungkin terkadang manusia dapat
melupakannya atau menghindarinya, namun tetap tidak mungkin untuk dielakkan
keberadaannya.
Faktisitas adalah suatu yang penting bagi individu untuk memulai eksistensinya.
Faktisitas dan transendensi adalah dua hal yang saling melengkapi dalam individu yang eksis.
Menyangkal faktisitas, bagi Sartre merupakan hal yang sama dengan penyangkalan seseorang
terhadap kemampuan bertransendensinya. Saat manusia hanya mementingkan
transendensinya tetapi tidak mau mengakui faktisitas yang ada dalam dirinya maka hal itu
Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013
sama saja dengan manusia yang tidak berani memproyeksikan kesadaran transendensinya
untuk melampaui faktistasnya dan mengubah dunianya (Mendrofa, 2011:29-30)
Kesadaran manusia membuatnya mampu merefleksi tentang dirinya sendiri.
Kesadaran itu akhirnya membuka celah kosong yang membuat being dari manusia bukanlah
being yang keras dan padat, tetapi being yang lentur dan bercelah. Celah itu sendiri, tercipta
karena manusia yang mempunyai kemampuan untuk menegasi. Then between this possibility
and my consciousness I cause a nothingness of being to arise (Sartre, 1953:41). Penegasian
inilah yang kemudian menjadi hal penting dalam eksistensi manusia. Negasi memberikan
penolakan terhadap definisi mati yang sebelumnya terberi kepada suatu individu. Negasi
membuka ruang kosong kepada manusia untuk menjadi sesuatu yang bukan dari dirinya.
Negasi ini membuat manusia dapat terus membuat dirinya dalam proses menjadi.
Dalam permasalah orang lain, Sartre lagi-lagi memiliki pandangan yang cukup unik.
Dalam sebuah karyanya yang berjudul No Exit ia menuliskan kalimat ini dibagian akhir
dialog: "So this is hell. I'd never have believed it. You remember all we were told about the
torture-chambers, the fire and brimstone, the "burning marl." Old wives' tales! There’s no
need for red-hot pokers. HELL IS--OTHER PEOPLE! " (Sartre – 1989:45). Neraka adalah
orang lain bagi Sartre. Hal ini jelas suatu pandangan yang cukup unik tentang permasalahan
sosial yang dikeluarkan oleh Sartre. Sebelum mendapatkan alasan dari Sartre mengangap
orang lain sebagai neraka, kita akan mencoba melihat suatu pandangan lain dari Sartre tentang
relasi manusia terlebih dahulu.
“And this falling to pieces of my monopolized world is precisely the apparation of the
Other in the Universe.” (Sartre, 1953:256)
Dalam hal hubungan dengan orang lain ini, Sartre memperkenalkan suatu masalah
tentang “tatapan”. Keberadaan orang lain itu merusak dunia saya, objek yang tadinya hadir
untuk diri kita kini bukan lagi milik kita seorang. Objek tersebut sudah tidak lagi milik kita
pribadi. Monopoli kita akan dunia pada saat itu pun berkurang karena kemudian kita harus
berbagi dengan orang lain di sana. Dari sana pun kita kemudian tersadar bahwa ternyata dunia
ini bukan hanya milik saya sendiri.
Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013
Inilah yang kemudian menjadi landasan bagi Sartre untuk menyatakan bahwa relasi
antara manusia sesungguhnya adalah relasi konflik. Kita tidak akan pernah berhenti
berkonflik dengan manusia lain. Konflik ini adalah semacam pertarungan saling objek-
mengobjekkan dan menjadikan diri sendiri subjek yang lebih dibanding orang lain. Tidak ada
alternatif lain dalam hubungan manusia. Karena usaha mendamaikan konflik ini pada
akhirnya pasti mengorbakan manusia yang satu atau manusia yang lain (Abidin, 2003:196).
Usaha mengobjektifikasi seorang manusia sesungguhnya sudah terjadi sejak manusia
baru lahir ke dalam dunia. Dalam pembahasan psikoanalisa, kita dapat melihat bahwa ada
suatu penanaman struktur tertentu ke dalam diri manusia sejak ia masih kecil. Sudah menjadi
kebiasaan untuk seorang manusia ketika ia memiliki seorang anak, maka anak tersebut akan
diajarkan aturan-aturan yang berlaku di masyarakat atau aturan-aturan yang dianggap benar
oleh sang orang tua. Orang tua, khususnya ayah, di dalam psikoanalisa menjadi super ego.
Super ego sendiri ialah ego yang berasal dari luar subjek. Ego yang memiliki peran merepresi
hasrat id atau ego yang sesungguhnya (dalam bahasan Freud sendiri hasrat asali manusia
adalah hasrat seks. Si anak yang mempunyai keinginan untuk menguasai sang ibu pada
akhirnya harus berhadapan dengan fakta bahwa sang ibu adalah milik sang ayah. Inilah yang
kemudian menjadi represi ego pertama yang terjadi pada manusia.) Super ego merepresi id
dan membuat ia diatur oleh ketidaksadaran.
Hidup tanpa refleksi terhadap kesadaran kita, sebenarnya sering sekali terjadi bagi
manusia. Saya rasa tidak sedikit orang diluar sana yang tidak pernah memikirkan kenapa
manusia harus mencium tangan orang tua ketika bertemu dengan mereka? Mengapa seorang
laki-laki dianggap sebagai kepala rumah tangga dan diharuskan bekerja untuk membiayai
rumah tangga? Mengapa seorang perempuan harus dapat memasak? Mengapa membunuh
seseorang dapat dijadikan suatu kewajiban ketika orang tersebut dianggap kafir oleh suatu
ajaran tertentu?
Keadaan seperti ini adalah suatu kesadaran pra-reflektif, di mana kita hanya sadar
melakukan suatu hal tetapi tidak pernah mencoba untuk merefleksikan. Keadaan pra-reflektif
ini bukanlah suatu keadaan yang menetap terus di dalam diri manusia. Akan ada suatu masa
di mana manusia mulai merasakan kejenuhan dengan apa yang sebelumnya ia lakukan begitu
saja tanpa ia refleksikan. Rasa itu dikemudian dapat menjadi suatu pemicu yang kemudian
Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013
membuat pandangan seseorang terhadap dunia berubah. Hal ini seperti gambaran yang
diberikan oleh Sartre dalam sebuah novelnya tentang kemuakkan yaitu Nausea.
Rasa jenuh dan muak yang teramat akan rutinitas yang seseorang jalani tersebut
akhirnya membawa ia kepada pilihan apakah ia berani untuk merubah rutinitas yang biasa ia
jalani ini atau tidak. Disinlah kemuakkan akhirnya membawa manusia pada persimpangan
pilihan apakah manusia berani hidup sebagai for-itself, ataukah akan bertahan dengan
kehidupan sebelumnya sebagai in-itself. Kemuakkan menjadi pemicu bagi kesadaran pra-
reflektif untuk merefleksikan dirinya. Dari perefleksian tersebut kita dapat menyadari
kebebasan kita sebagai seorang subjek.
Kecemasan adalah suatu tema penting yang dikeluarkan oleh Sartre dalam pandangan
mengenai eksistensialismenya. Selain Sartre, filsuf eksistensialis yang juga membicarakan
mengenai kecemasan adalah Martin Heidegger. Dalam pemikiran Heidegger, kecemasan
(Angst atau Anxiety) adalah kondisi mencekam di mana manusia berhadapan dengan
ketiadaan (Nicht, No-Thing, Non-being). (Abidin, 2003:164). Heidegger membedakan
kecemasan dan ketakutan. Bagi Heidegger ketakutan memiliki objek yang jelas, misalnya,
saya takut akan tikus, atau saya takut akan gelap. Tikus dan gelap merupakan suatu objek
yang jelas dan dapat kita lihat keberadaannya. Berbeda dengan ketakutan, kecemasan sendiri
tidaklah memiliki objek yang jelas.
Jean Paul Sartre. Sartre membedakkan antara Fear (Rasa Takut) dan Anxiety (Rasa
Cemas). Fear memiliki objek yang jelas. Contohnya rasa takut terhadap ketinggian, atau rasa
takut terhadap orang tua. Sedangkan untuk kecemasan, dalam pandangannya, Sartre
memberikan pandangan yang lebih praktis dibandingkan pandangan Heidegger. Sartre
mengaitkan kecemasan dengan kebebasan dan tanggung jawab. (Abidin, 2003:187).
Kecemasan bagi Sartre lebih menyangkut kepada diri sendiri, di mana masa depan saya akan
bergantung terhadap diri saya sendiri dan bukanlah orang lain. Ketakutan lebih karena objek.
Sedangkan kecemasan lebih mengenai si subjek di mana dia memiliki kebebasan untuk
memilih dan segala pilihannya adalah tanggung jawabnya pribadi. Manusia tidak punya
tempat bergantung, segala pilihannya harus dipertanggungjawabkannya sendiri. Bukan Tuhan
yang harus menanggungnya, bukan masyarakat, bukan pula orang tua, ataupun teman. Apa
yang kita pilih sepenuhnya menjadi tanggung jawab kita. Beban ini makin terasa berat karena
Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013
setiap manusia memilih, manusia seolah memberikan gambaran bagaimana manusia yang
baik menurut subjektifitas dirinya. Oleh karenanya segala pilihan yang diambil tanggung
jawabnya bukanlah hanya pada diri si subjek sendiri, tetapi juga harus bertanggung jawab
kepada seluruh manusia di dunia. Beban tanggung jawab ini jelas terasa semakin berat. Oleh
karena itulah eksistensi manusia dijalani dengan kecemasan di dalamnya. Rasa kecemasan ini
terkadang membuat manusia lari dan berusaha untuk menghilangkannya. Manusia dapat
berpura-pura tidak mengakui, menutupi atau melarikan diri dari kecemasan dengan
menyangkal kebebasan dirinya. Manusia pada akhirnya banyak yang berusaha menyangkal
adanya kebebasan dirinya dan berusaha untuk menghindar dari beban tanggung jawab berat
yang harus dipikulnya. Ia kemudian menggantungkan diri pada sesuatu yang lain, hal itu
dapat berupa keluarga, negara, atau mungkin Tuhan. Keadaan penyangkalan akan kebebasan
ini yang kemudian oleh Sartre disebut sebagai Bad Faith atau Malafide.
Sartre memiliki istilah tersendiri untuk memisahkan mereka yang siap bertanggung
jawab dan yang tidak. Istilah itu kita kenal dengan Good Faith (Iman yang baik) dan Bad
Faith (Iman yang buruk). Good Faith adalah keadaan di mana subjek berani untuk menjalani
kebebasannya. Ia mengakui bahwa dirinya bebas dan siap bertanggung jawab terhadap segala
pilihan yang ia pilih. Keadaan good faith ini adalah keadaan yang terbaik yang seharusnya
dipilih oleh manusia dalam pemikiran Sartre. Karena dengan begitu manusia sebagai subjek
benar-benar telah menghayati eksistensinya. Ia tidaklah sama dengan benda-benda. Good
faith mengantarkan kita menjadi being yang terus bertransendesi terus dalam proses menjadi.
Memilih good faith jelas bukan perkara mudah. Beban tanggung jawab yang diberikan
oleh kebebasan dan selalu melekat dalam diri itu, banyak membuat manusia akhirnya
menampikkan kebebasan itu sendiri. Istilah kedua yang dipakai oleh Sartre untuk
menggambarkan keadaan ini adalah Bad Faith atau Malafide. Gejala penolakan terhadap
kebebasan ini sesungguhnya juga merupakan bukti tersendiri bahwa kita memiliki kesadaran
akan kebebasan dan kecemasan. Hanya saja dalam gejala bad faith ini hal itu tidak diakui atau
ditutup-tutupi. Dalam gejala ini guna menutupi kecemasannya, manusia pun menyangkal
kebebasannya. (Abidin, 2003:188).
Jika dalam good faith manusia telah benar-benar menjadi subjek seutuhnya yang
berkesadaran bebas dan mampu bertransendensi (etre-pour-soi); Maka di dalam bad faith
manusia malah menyamakan diri mereka dengan benda-benda dan mematikan eksistensi
Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013
mereka. Mereka menjadikan dirinya tak ubahnya bongkahan kayu saja. Tidak lagi mau
membuka celah untuk bertransendensi dan membekukan eksistensi mereka sendiri. Manusia
yang memilih untuk bad faith, melepaskan tanggung jawab yang dipikulnya dengan bersandar
pada sesuatu yang lain dari dirinya. Ia tidak menyatakan apa yang ia lakukan sebagai murni
pilihan dirinya. Ia akan mengatasnamakan orang lain, pemerintahan (negara), atau Tuhan
guna melepaskan diri dari tanggung jawab yang seharusnya ia pikul dari pilihannya itu.
Dari semua penjelasan diatas tentu kita dapat melihat bagaimana jalan pikiran dari
Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Akan tetapi di sana belum jelas tentang bagaimana posisi
rasa takut sesunguhnya berada dalam diri subjek dan apa pengaruhnya pada pilihan yang akan
diambil oleh seorang subjek. Ketakutan adalah suatu bentuk emosi dasar yang hampir dimiliki
oleh semua manusia. Rasa takut muncul menjadi sebuah bentuk pertahanan diri bagi manusia
terhadap ancaman. Orang yang mengalami rasa takut pada suatu hal biasanya lebih berusaha
untuk menghindari hal yang ia takuti tersebut. Misalnya orang yang takut terhadap film seram
maka ketika diajak untuk menyaksikan film horor pasti akan menolak ajakan tersebut. Hampir
dapat dikatakan bahwa setiap manusia pasti memiliki rasa takut, walaupun rasa takut yang
dimiliki atau dialami oleh tiap individu tersebut berbeda-beda. Penyebab timbulnya rasa takut
ini pun berbeda-beda. Ada beberapa orang yang tidak mengetahui penyebab ia takut terhadap
suatu hal tertentu. Contohnya orang yang takut akan gelap terkadang tidak mengerti kenapa ia
dapat memiliki rasa takut tersebut, karena rasa takut itu sudah ada sejak dahulu di dalam
dirinya. Ada juga mereka yang menakuti sesuatu karena traumatis. Contoh untuk kasus ini
adalah seseorang yang akhirnya menjadi takut terhadap anjing setelah dirinya pernah digigit
oleh anjing di masa lalu. Rasa takut juga dapat muncul sebagai bentuk antisipasi tersendiri
agar manusia terlepas atau tidak berkenaan dengan masalah yang tidak ingin atau tidak berani
ia hadapi.
Rasa takut berbeda dengan rasa cemas ataupun rasa muak. Rasa muak tidak selalu
diderita oleh manusia, ia ada kalanya tiba-tiba muncul dalam kehidupan seseorang.
Sedangkan rasa cemas adalah ketika manusia menyadari eksistensinya yang bebas dan harus
bertanggung jawab akan segala pilihan-pilihannya. Rasa takut dapat dikatakan jauh lebih
mendasar di dalam emosi manusia dibandingkan kemuakkan atau kecemasan. Rasa takut
hampir membayangi individu disetiap kegiatannya. Untuk lebih jelasnya dapat saya
gambarkan ke dalam tabel berikut:
Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013
Kesadaran Pra-
Reflektif
Kondisi Muak
(Pemicu Berubahnya
Kesadaran Pra-
Reflektif Menjadi
Kesadaran Reflektif)
Kesadaran
Reflektif
Muak X X
Cemas X X
Takut
= Ada „rasa‟ tersebut di dalam „kondisi‟ yang ditunjuk.
X = Tidak ada „rasa‟ tersebut di dalam kondisi yang ditunjuk.
Tabel 1.1: Kondisi-Kondisi Dalam Diri Manusia Serta Rasa Yang Muncul Pada Kondisi Tersebut
Dari tabel yang saya buat, kita dapat melihat bahwa sesungguhnya rasa takut selalu
membayangi disetiap keadaan yang kita alami. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Sartre
membedakan kesadaran ke dalam dua jenis kesadaran, yaitu kesadaran pra-reflektif dan
kesadaran reflektif. Dalam kondisi kesadaran pra-reflektif, rasa muak dan rasa cemas belum
dirasakan oleh subjek. Akan tetapi rasa takut sudah ada di dalam diri subjek. Dalam
mengambil pilihan, sebuah pilihan yang dilakukan oleh seorang subjek dalam kondisi pra-
reflektif ini bukan merupakan pilihan yang didasari kesadaran yang reflektif. Ia mengambil
suatu pilihan tanpa penghayatan. Pilihan yang diambil dalam kondisi ini jelaskan bukan suatu
pilihan-pilihan yang eksistensial karena dilakukan tidak berdasarkan kesadaran-reflektif.
Akan tetapi ketakutan sudah memberi pengaruh pada pilihan-pilihan yang kemudian akan
diambil oleh seorang individu pada kondisi ini. Keadaan selanjutnya adalah kondisi
kemuakkan. Dalam kondisi ini kemuakkan sudah muncul tapi belum untuk kecemasan.
Sedangkan ketakutan tetap ada di dalam kondisi ini. Di dalam kondisi kemuakkan, jelas rasa
muak mulai terasa kehadirannya. Rasa muak atau kejenuhan yang teramat membuat manusia
mulai mengubah cara pandangnya terhadap dunia. Sebagaimana sudah dicontohkan dalam
sub bab sebelumnya, ini adalah saat di mana seorang manusia merasa jenuh akan
kehidupannya. Di sinilah manusia mulai mengubah kesadarannya yang sebelumnya pra-
Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013
reflektif menjadi kesadaran yang reflektif. Di sini rasa takut juga ada. Akan tetapi, ia tidak
mempengaruhi hal apapun dalam perpindahan kesadaran ini.
Keadaan selanjutnya adalah keadaan reflektif. Keadaan ini jelas membuat manusia
kemudian bertemu dengan kecemasan. Kemuakkan tidak lagi ditemui dalam perasaan sang
subjek. Ia mulai menyadari kebebasan eksistensinya di sinilah timbul kecemasan akan setiap
pilihan yang hendak ia lakukan. Ia sadar bahwa pilihan yang akan ia ambil akan menentukan
eksistensi dirinya kedepannya. Hal itu merupakan sesuatu yang teramat penting, namun
sayangnya tidak pernah diiringi dengan hasil yang pasti. Ketidakjelasan akan hasil ini diiring
pula dengan beban bahwa segala pilihan itu adalah tanggung jawab yang harus kita pikul
pribadi. Dalam kesadaran reflektif ini, subjek juga akan menyadari tentang ketakutan yang
membayangi dirinya dalam melakukan pilihan. Ketika dihadapkan dengan ketidakpastian di
masa depan akan hasil dari pilihannya, seorang subjek pasti akan melihat berbagai
konsekuensi yang mungkin terjadi dari setiap pilihan. Dari sana akan terlihat pilihan mana
yang dapat dikatakan paling banyak mengandung beban dan mana yang paling sedikit
mengandung beban di dalamnya. Di sini manusia akhirnya dapat jatuh untuk memilih ke
dalam pilihan yang ia rasa lebih aman untuk dirinya ketimbang pilihan yang terbaik bagi
dirinya. Pilihan ini dapat dikatakan telah diarahkan oleh rasa takutnya akan beban-beban yang
mungkin lebih membuatnya merasa sulit. Hal ini merupakan sebuah pelarian awal dari
seorang individu dari tanggung jawabnya. Ia memang melakukan pilihan berdasarkan
kesadaran tetapi ia dikendalikan oleh rasa takutnya dalam memilih. Pilihannya bukan murni
berdasarkan hati nuraninya tentang apa yang terbaik tetapi apa yang teraman untuk ia jalani.
Rasa takut sesungguhnya tidak lantas membawa kita ke dalam bad faith. Permasalahannya
adalah sanggup atau tidakkah kita untuk melangkah keluar dari ketakutan itu dan memilih
sesuai dengan pilihan yang terbaik.
Bagan 2.1: Letak Ketakutan dan Pengaruhnya Dalam Proses Pilihan Eksistesialis Subjek.
Bad Faith Pra-Reflektif
Takut Kemuakkan Kesadaran
Good Faith Cemas Kesadaran
Reflektif
Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013
Bagan 2.1 yang saya buat ini, menggambarkan dengan jelas dimana letak ketakutan di
dalam mempengaruhi pilihan subjek. Kemuakkan mengatarkan manusia menuju kesadaran
reflektif. Kesadaran reflektif membuat manusia ingat bahwa ia bebas, dan kebebasan punya
beban tanggung jawab. Hal ini membuat manusia menjadi cemas. Kecemasan akan
ketidakpastian dari hasil pilihan membuat manusia mencoba melihat konsekuensi yang
mungkin terjadi dari pilihan-pilihan yang ia ambil. Bayangan akan konsekuensi itu
memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan baik dan buruk yang mungkin terjadi. Dari Sana
kemudian ketakutan muncul sebagai bentuk usaha memilih pilihan dengan konsekuensi buruk
yang lebih sedikit atau lebih tidak merugikan. Jika ia memilih sesuatu karena di dorong oleh
rasa takutnya ia sudah tergolong bad faith. Akan tetapi, jika ia memilih tetap apa yang terbaik
baginya dan siap apapun konsekuensi kedepannya walaupun itu mungkin menghilangkan rasa
nyamannya, ia tergolong masuk ke dalam good faith.
Subjek selalu dikelilingi oleh kemungkinan-kemungkinan yang mungkin dapat terjadi
dari pilihannya dan dari beberapa kemungkinan yang terjadi ada beberapa kemungkinan yang
merupakan rasa takut dari si subjek itu sendiri dan mengancam kenyamanan dirinya. Pada
akhirnya, jika ia lebih memilih pilihan yang dirasa lebih aman ketimbang pilihan yang dirasa
benar baginya, hal itu merupakan bentuk ketidaksiappan terhadap tanggung jawab yang
seharusnya ia pikul. Belum lagi jika sumber ketakutan adalah orang lain seperti keluarga atau
masyarakat. Pada dasarnya kita sama saja sudah diobjekkan oleh mereka. Kita tidak berani
menjadi subjek yang otentik karena takut dengan pandangan masyarakat dan memilih jalan
aman yaitu ikut tenggelam dan membekukan eksistensi diri di dalam masyarakat.
Menerima ketakutan kita, artinya kesadaran kita tidak bekerja untuk menegasi.
Menegasi adalah suatu hal penting di dalam eksistensi seorang manusia di mana negasi adalah
cara bagi individu untuk membuka celah transendensi. Ketika kesadaran tidak bertindak
sebagai usaha bertransendensi artinya di sana eksistensi seorang manusia telah dibekukan. Di
sini ketakutanlah yang telah membekukan eksistensi individu tersebut. Eksistensi yang
sifatnya lentur dan banyak celah menjadi keras dan padat. Akhirnya manusia pun hanya
bagaikan benda-benda saja setelah menutup celah kemungkinan untuk becoming. Ia tidak bisa
menjadi diri yang baru dengan melepaskan rasa takut yang menghantui diri tersebut. Jika
seorang individu tetap memilih dan mengatasi rasa takutnya itu, barulah dia di sana adalah
individu yang eksis dan telah mengubah dunianya.
Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013
4. Kesimpulan
Eksitensialisme Sartre berdasar pada tesisnya mengenai “Eksistensi mendahului
Esensi” yang mana hal ini menjelaskan bahwa manusia ada terlebih dahulu di dunia baru
kemudian memberikan makna pada eksistensinya. Manusia tidaklah memiliki suatu esensi
tertentu, manusia adalah being-for-it-self, being yang terus dalam tahap becoming. Ia bukan
seperti benda-benda yang esensinya sudah tertutup dan padat. Being-for-it-self lebih bersifat
kosong, ia memiliki kelebihan untuk dapat bertransendensi. Transendensi ini sendiri ada
karena manusia memiliki suatu kespesialan yang tidak dimiliki oleh being lain, yaitu memiliki
kesadaran.
Kesadaran membawa manusia pada kenyataan bahwa sesungguhnya dirinya memiliki
kebebasan mutlak untuk menentukan bagaimana ia ingin membentuk dirinya. Kesadaran itu
membuat manusia menyadari bahwa ia tidak memiliki karena esensi dasar manusia adalah
bebas oleh karenanya ia tidak memiliki esensi. Hal itu dikarenakan ia bisa menegasi dan
negasi itulah yang memberi celah kosong terhadap manusia untuk bertransendensi dan
memproses dirinya kedalam tahap menjadi. Akan tetapi kebebasan bukan menjadi berita
membahagiakan. Karena sesunggunhya ia membawa beban berat yaitu tanggung jawab yang
membuat eksistensi manusia dilanda serba kecemasan dan kemuakkan.
Kebebasan mutlak harus berhadapan suatu fakta yang tidak dapat dielakkan dari
kehidupan manusia yaitu faktisitas. Contoh kefaktaan itu ialah masa lalu, lingkungan,
ketubuhan, bahasa,orang lain, dan juga kematian. Faktisitas dan transendensi menjadi dua hal
penting dalam eksistensi manusia. Salah satu faktisitas yaitu “orang lain” mendapat suatu
perhatian khusus. Berbeda dengan yang lainnya orang lain bukan hanya objek, tapi ia juga
subjek yang dapat menatap kita dan mengobjektifikasikan diri kita. Inilah yang menyebabkan
relasi antar manusia selalu berada dalam keadan konflik.
Rasa Takut adalah rasa yang hampir dimiliki oleh semua manusia. Rasa takut sendiri adalah
suatu rasa yang sangat mendasar bagi manusia. Rasa takut berbeda dengan kemuakkan juga
kecemasan. Kemuakkan dan kecemasan lebih kemunculannya ada di fase-fase tertentu. Muak
baru muncul ketika ada kejenuhan di dalam hidup. Sedangkan kecemasan muncul karena
adanya beban tanggung jawab dari kebebasan. Rasa takut sendiri sesungguhnya sudah
terstruktur lebih dahulu dari dalam diri manusia karena berbagai macam hal. Rasa takut pada
akhirnya menjadi suatu bentuk antisipasi manusia dari sebuah ancaman.
Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013
Rasa takut akan sangat mempengaruhi dalam pengambilan keputusan seorang subjek.
Sejak dalam tahap pra-kesadaran saja rasa takut sudah ada dan dapat mempengaruhi subjek
dalam mengambil pilihannya. Ketika masa kesadaran reflektiflah baru manusia menyadari
rasa takutnya itu sendiri menganggu eksistensi si subjek. Akan tetapi, menyadari keberadaan
rasa takut bukan berarti dengan itu manusia mampu secara mudah menghilangkannya. Rasa
takut yang muncul ini pada akhirnya sangat memungkinkan subjek untuk menjadikannya
alasan untuk memilih suatu pilihan yang dirasa aman bagi dirinya. Konsekuensi yang muncul
setelah rasa cemas akhirnya menimbulkan rasa takut yang kemudian mendorong manusia
untuk menghindari pilihan yang dirasa akan menjadikan dirinya tidak nyaman. Penerimaan
terhadap ketakutan itu hanyalah bentuk bad faith. Seharusnya manusia mampu menegasi
dirinya dan tidak terdefinisi mati oleh ketakutan itu. Dari sana manusia lalu harus berusaha
melampaui rasa takutnya itu, bukan tenggelam dalam ketakutannya.
5 Daftar Pustaka
Abidin, Zainal. (2003). Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung:
Remaja Rosadakarya.
Achmadi, Asmoro. (2010). Filsafat Umum. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Adian, Donny Gahral. (2006). Pengantar Fenomenologi. Jakarta: Koekoesan.
Hassan, Fuad. (2005). Berkenalan Dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.
Heidegger, Martin. (2008). Being and Time, terjemahan. John Macquarrie & Edward
Robinson. New York: Harper & Row.
Mendrofa, James Farlow. (2011). Eksistensialisme Naturalistik: Kajian Perspektif
Naturalistik Terhadap Konsep Eksistensialisme Mengenai Kebebasan dan Faktisitas.
Depok: FIB Press.
Sartre, Jean Paul. (1953). Being and Nothingness, terjemahan. Hazel Barnes, New York:
Philosophical Library.
_____________. (1948). Existensialism & Human Emotions, terjemahan. Bernard
Frechtman, New York: Philosophical Library.
_____________. (2007). Existensialism Is a Humanism, terjemahan. Carol
Macomber. New Heaven: Yale University Press.
Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013
Sartre, Jean Paul. (2009). Kata-Kata, terjemahan. Jean Couteau. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
_____________. (1964). Nausea. terjemahan. Lloyd Alexander. New York: A New
Directions Publishing Corporation
_____________. (1989). No Exit and Three Other Plays. New York: Vintage International.
Shipka. Thomas A, Minton, Arthur J. (1996). Philosophy: Paradox and Discovery. United
States America: McGraw-Hill
Solomon, Robert C. (1981). Introducing The Existensialists: Imaginary Interviews with
Sartre, Heidegger, and Camus. Indianapolis: Hackett Publishing Company.
Zizek, Slavoj. 2007. How to Read Lacan. New York: W. W. Norton & Company.
Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013