Referat Tension Pneumothoraks - Elvira
-
Upload
marcela-benita-ilham -
Category
Documents
-
view
79 -
download
8
description
Transcript of Referat Tension Pneumothoraks - Elvira
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam senantiasa
junjungkan ke hadirat Nabi Muhammad SAW, semoga rahmat dan hidayahnya selalu
tercurah kepada kita selaku umatnya.
Saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh pengajar di SMF Bedah
khususnya kepada dr. Rugun Maria Elizabeth Tobing, Sp.BTKV atas bimbingannya
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Sebagai manusia saya menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi saya yang
sedang menempuh pendidikan dan bagi kelompok-kelompok selanjutnya.
Jakarta, 10 Agustus 2010
Penyusun
DAFTAR ISI
1
KATA PENGANTAR........................................................................................................1
DAFTAR ISI.....................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................4
II.1. ANATOMI RONGGA DADA..................................................................................4
II.2. TENSION PNEUMOTORAKS...............................................................................8
II.2.1. DEFINISI.........................................................................................................8
II.2.2. PATOFISIOLOGI............................................................................................8
II.2.3. MANIFESTASI KLINIS....................................................................................9
II.2.4. PENYEBAB.....................................................................................................9
II.2.5. DIAGNOSIS..................................................................................................10
II.2.6. PENATALAKSANAAN..................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................18
2
BAB I
PENDAHULUAN
Pneumothoraks adalah suatu keadaan dimana terdapat akumulasi udara bebas
dalam cavum pleura yang menyebabkan kolapsnya paru pada sisi yang terkena.
Pneumothoraks yang terjadi pada orang sehat tanpa adanya penyakit paru disebut
sebagai pneumothoraks primer. Sedangkan pneumothoraks yang disebabkan oleh
penyakit paru disebut sebagai pneumothoraks sekunder. (Jeffrey Glenn, 2010)
Insidensi tahunan untuk pneumothoraks primer adalah 18-28/100000 populasi
untuk laki-laki dan 1.2-6/100000 populasi untuk perempuan. Sedangkan insiden
tahunan untuk pneumothoraks sekunder adalah 6.3/100000 populasi untuk laki-laki dan
2.0/100000 populasi untuk perempuan. Angka perawatan rumah sakit untuk kedua jenis
pneumothoraks ini dilaporkan sebanyak 5.9/100000 orang per tahun untuk perempuan
dan 16.7/100000 orang per tahun untuk laki-laki. Sedangkan angka kematian pada
tahun 1991 dan 1995 mencapai 0.62/juta orang per tahun untuk wanita dan 1.26/juta
orang per tahun untuk laki-laki.
Pneumothoraks merupakan suatu kondisi yang mengancam nyawa, karena
tekanan dalam rongga intrapleural meningkat, jantung dan struktur mediastinum
terdorong ke sisi kontralateral dan mengganggu fungsi kardiopulmonal, sehingga
memerlukan observasi maksimal dan penatalaksanaan yang tergantung pada jenis dan
beratnya pneumothoraks yang terjadi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. ANATOMI RONGGA DADA
Kerangka rongga thoraks, meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut
terdiri dari sternum, 12 vertebra torakalis, 10 pasang iga yang berakhir di anterior dalam
segmen tulang rawan dan 2 pasang yang melayang. Kartilago dari 6 iga memisahkan
artikulasio dari sternum, kartilago ketujuh sampai sepuluh berfungsi membentuk tepi
kostal sebelum menyambung pada tepi bawah sternum. Perluasan rongga pleura di
atas klavicula dan di atas organ dalam abdomen penting untuk dievaluasi pada luka
tusuk. (Warko Karnadihardja, 2005)
Muskulus pektoralis mayor dan minor merupakan muskulus utama dinding
anterior toraks. Muskulus latisimus dorsi, trapezius, rhomboideus, dan muskulus gelang
bahu lainnya membentuk lapisan muskulus posterior dinding posterior toraks. Tepi
bawah muskulus pektoralis mayor membentuk lipatan/plika aksilaris posterior. (Warko
Karnadihardja, 2005)
Gambar 2.1. Anatomi Rongga Dada
4
Terdapat otot-otot yang menempel pada rangka dada yang berfungsi penting
sebagai otot pernafasan. Otot-otot yang berfungsi dalam bernafas adalah sebagai
berikut :
- interkostalis eksterrnus (antar iga luar) yang mengangkat masing-masing iga.
- sternokleidomastoid yang mengangkat sternum (tulang dada).
- skalenus yang mengangkat 2 iga teratas.
- interkostalis internus (antar iga dalam) yang menurunkan iga-iga.
- otot perut yang menarik iga ke bawah sekaligus membuat isi perut mendorong
diafragma ke atas.
- otot dalam diafragma yang dapat menurunkan diafragma.
Gambar 2.2. Otot-Otot Pernapasan
Dada berisi organ vital paru dan jantung, pernapasan berlangsung dengan
bantuan gerak dinding dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernapasan yaitu
muskulus interkostalis dan diafragma, yang menyebabkan rongga dada membesar
sehingga udara akan terhisap melalui trakea dan bronkus. (Warko Karnadihardja, 2005)
Pleura adalah membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan limfatik.
Rongga pleura terlihat antara minggu ke-4 sampai ke-7 kehamilan dan dibatasi oleh
splanknopleura dan somatopleura, yang kemudian membentuk pleura viseral dan
5
parietal. Rongga pleura adalah sebuah rongga potensial yang melapisi dinding rongga
dada. Dalam keadaan normal, rongga pleura hanya berisi sedikit cairan pleura.
(Jose Acosta, 2007)
Pleura parietalis dibagi menjadi empat area. Pleura servikal atau cupula,
menutupi bagian apeks hemithorax dan meluas di atas iga pertama untuk bergabung
dengan jaringan ikat yang dikenal sebagai fasia Sibson. Pleura kostal membatasi
permukaan dalam sternum, iga, vertebra dan melekat pada dinding dada melalui fasia
endotorasik, suatu lapisan jaringan ikat longgar. Pleura mediastinal meliputi perikardium
dan struktur mediastinum lainnya. Pleura diafragmatika yang membatasi diafragma, di
mana pleura ini terikat kuat pada tendon diafragma dan membentuk lantai dari rongga
pleura. (Jose Acosta, 2007)
Pleura viseral berlanjut sampai ke hilus dan mediastinum bersama – sama
dengan pleura parietalis, yang melapisi dinding dalam toraks dan diafragma. Pleura
sedikit melebihi tepi paru pada setiap arah dan sepenuhnya terisi dengan ekspansi paru
– paru normal, hanya ruang potensial yang ada. Dalam kondisi normal, membran pleura
viseral dan parietal dipisahkan oleh sebuah lapisan tipis cairan, yang berfungsi sebagai
pelumas. Cairan ini dibentuk sebagai ultrafiltrat plasma tetapi mengandung molekul
yang disekresikan oleh sel mesotelial pleura yang memiliki sifat seperti surfaktan.
Pasokan darah arteri pleura parietalis berasal dari arteri sistemik, termasuk interkostal
posterior, mammaria interna, mediastinal anterior, dan arteri frenikus superior. Pasokan
darah pleura viseral berasal dari sistemik dan pulmonal. Biasanya, kapiler paru
membentuk jaringan subpleural dari pleura viseral. Fibrosis dan inflamasi meningkatkan
kontribusi cabang-cabang dari arteri bronkial untuk pasokan arteri pleura viseral.
Drainase limfatik pleura parietalis adalah ke kelenjar getah bening regional, termasuk
interkostal, mediastinal, dan kelenjar getah bening frenikus. Pleura viseral limfatik
membentuk pleksus subpleural ketika mereka mesh dengan limfatik paru superfisial.
Subpleural pleksus ini kemudian mengalir ke kelenjar getah bening mediastinum.
Pleura parietalis kaya dengan innervated oleh saraf interkostal, kecuali pleurae
mediastinum dan pusat parietal diafragma, yang innervated oleh saraf frenikus. Pleura
6
viseral tidak sensitif dan innervated oleh cabang vagal dan sistem simpatik.
(Jose Acosta, 2007)
Gambar 2.3. Pleura
Diafragma bagian muskular perifer berasal dari bagian bawah iga keenam
kartilago kosta, dari vertebra lumbalis, dan dari lengkung lumbokostal, bagian muskuler
melengkung membentuk tendo sentral. Nervus frenikus mempersarafi motorik dari
interkostal bawah mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik setinggi putting susu,
turut berperan dalam ventilasi paru – paru selama respirasi biasa atau tenang sekitar
75%. (Warko Karnadihardja, 2005)
7
II.2. TENSION PNEUMOTORAKS
II.2.1. DEFINISI
Tension pneumotoraks adalah keadaan dimana terdapat akumulasi udara bebas
dalam cavum pleura. Bila udara hanya dapat masuk ke rongga pleura pada inspirasi
dan tidak dapat keluar saat ekspirasi. Pada pneumotoraks ventil ini udara yang
terperangkap dalam rongga pleura bertambah dengan cepat yang menyebabkan
rongga pleura tersebut makin membesar, sehingga mendesak mediastinum serta
pembuluh-pembuluh darah di situ dengan akibat gangguan sirkulasi. (David Sutton,
2008)
II.2.2. PATOFISIOLOGI
Tension pneumorothorax berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena
ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk
ke dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang
masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural
akan meningkat, paru-paru menjadi kolaps dan terdesak ke sisi kontralateral sehingga
menyebabkan hipoksia karena mengganggu pertukaran gas efektif, mediastinum
terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung
(venous return). Hipoksia dan penurunan aliran balik vena ini disebabkan oleh kompresi
dinding atrium yang mengganggu fungsi jantung. Tension pneumotoraks dapat
menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Penurunan cardiac output jantung menyebabkan
hipotensi dan pada akhirnya kematian kepada pasien, jika tidak diobati. (Jeffrey Glenn
Bowman, 2010)
Banyak peneliti masih memperdebatkan mekanisme pasti dari kolapsnya sistem
kardiovaskuler, tapi umumnya, mereka percaya bahwa kondisi ini terjadi akibat
perpaduan antara efek mekanik dan hipoksia. Efek mekanik bermanifestasi akibat
kompresi vena cava superior dan inferior karena pergeseran mediastinum dan
peningkatan tekanan intratorakal. Hipoksia menyebabkan resistensi pembuluh darah
pulmonal meningkat melalui vasokonstriksi. Selain itu, penurunan cardiac output dan
8
asidosis metabolik yang memburuk menyebabkan penurunan suplai oksigen ke
jaringan perifer, dan kemudian menginduksi metabolism anaerob. Jika hal ini tidak
dapat ditangani dengan cepat, hipoksemia, asidosis metabolik, dan penurunan cardiac
output menyebabkan cardiac arrest dan kematian. (H Scott Bjerke, 2009)
II.2.3. MANIFESTASI KLINIS
Interpretasi klinik dari adanya tanda dan gejala tension pneumotoraks penting
untuk mendiagnosis dan penatalaksanaannya. (H Scott Bjerke, 2009)
Manifestasi awal
o Nyeri dada (90%)
o Dyspnea (80%)
o Ansietas
o Takipnea
o Takikardia
o Perkusi hipersonor pada sisi yang terkena
o Penurunan suara napas pada sisi yang terkena
Manifestasi lanjut
o Penurunan kesadaran
o Pergeseran trakea ke sisi kontralateral
o Hipotensi
o Distensi vena jugularis (tidak terjadi pada hipotensi berat)
o Sianosis
(H Scott Bjerke, 2009)
9
II.2.4. PENYEBAB
Penyebab tersering dari tension pneumotoraks adalah komplikasi penggunaan
ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita dengan
kerusakan pada pleura viseral. Tension pneumotoraks dapat timbul sebagai komplikasi
dari penumotoraks sederhana akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan
perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau setelah salah arah pada pemasangan
kateter subklavia atau vena jugularis interna. Kadangkala defek atau perlukaan pada
dinding dada juga dapat menyebabkan tension pneumotoraks, jika salah cara menutup
defek atau luka tersebut dengan pembalut (occhusive dressings) yang kemudian akan
menimbulkan mekanisme flap-valve. Tension pneumotoraks juga dapat terjadi pada
fraktur tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine
fractures).(McPherson JJ, 2006)
Beberapa tindakan yang dilakukan di RS dapat menyebabkan pneumotoraks
iatrogenik atau tension pneumotoraks. Misalnya insersi selang ke dalam dada yang
tidak benar, terapi ventilasi mekanik, kanulasi vena sentral, resusitasi kardiopulmonal,
terapi oksigen hiperbarik, biopsy paru transbronkial atau transtorakal; biopsi atau
pembedahan hepar. (McPherson JJ, 2006)
Tension pneumotoraks sekunder atau spontan mungkin dapat terjadi pada
beberapa kondisi medis seperti asma, PPOK, pneumonia (khususnya Staphylococcus,
Klebsiella, Pseudomonas, and Pneumocystis), pertusis, tuberculosis, abses paru, dan
fibrosis kistik. Pada gangguan paru seperti asma dan emfisema, hiperekspansi merusak
alveoli. Peningkatan tekanan pulmonal akibat batuk dengan sekresi mukus bronkus
atau phlegm juga memegang peranan. Marfan syndrome berkaitan dengan peningkatan
risiko pneumotoraks. (McPherson JJ, 2006)
II.2.5. DIAGNOSIS
Diagnosis tension pneumothoraks ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan
tetapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radkologi. Penemuan
klasik seperti distress pernapasan, hipotensi, suara napas melemah pada satu 10
hemithorax, hipersonor saat perkusi, distensi vena jugularis, deviasi trakea menjauh
dari sisi yang terkena dan pergeseran struktur mediastinum ke sisi yang tidak terkena.
Ketika sebuah selang tidak dapat dimasukkan secara langsung ke dalam dada,
misalnya sebelum tiba di rumah sakit, rongga pleura dapat didekompresi dengan jarum
kaliber besar. Sayangnya, tidak semua manifestasi klinis tension pneumotoraks dapat
terlihat pada pemeriksaan fisik. Hipersonor saat perkusi mungkin sulit dideteksi pada
daerah yang bising. Distensi vena jugularis mungkin tidak ditemukan pada pasien
hipovolemik. Deviasi trakea adalah penemuan yang terakhir dan sering tidak jelas pada
pemeriksaan klinis. Secara singkat, tiga gejala klinis yang cukup untuk membuat
diagnosis tension pneumotoraks adalah distress pernapasan atau hipotensi, penurunan
suara napas, dan hipersonor saat perkusi dada. Penemuan foto rontgen dada yang
mungkin tervisualisasi adalah pergeseran struktur mediastinal, depresi hemidiafragma,
dan radiolusen dengan gambaran kolapsnya paru. (F. Charles Brunicardi, 2010)
Tanda Klasik
Trakea
Ekspansi ↑
Perkusi ↑
Suara napas ↓
Vena leher ↑
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi : Dapat terjadi pencembungan, dinding dada sisi yang sakit
tertinggal saat pergerakan nafas.
Palpasi : Sela iga pada sisi yang sakit dapat normal atau melebar,
iktus cordis terdorong kesisi thoraks yang sehat dan vokal fremitus
melemah atau menghilang.
Perkusi :Hipersonor sampai timpani, batas jantung terdorong ke
thoraks yang sehat, apabila tekanannya tinggi.
11
Auskultasi: Suara nafas melemah sampai menghilang, nafas dapat
amforik apabila terdapat fistel yang cukup besar.
Disamping keluhan-keluhan dan gejala-gejala klinis diatas, diagnosis pasti
dengan pemeriksaan foto rontgen dada.
Gambaran Radiologis
Bayangan udara dalam rongga pleura memberikan bayangan radiolusen tanpa
struktur jaringan paru (avascular pattern) dengan batas paru berupa garis radioopak
tipis yang berasal dari pleura viseral. (Kahar Kusumawidjaja, 2000) Pada foto terlihat
bayangan udara dari pneumothoraks yang berbentuk cembung, yang memisahkan
pleura parietalis dengan pleura viseralis. Bila pneumothoraksnya tidak begitu besar,
foto dengan pernapasan dalam (inspirasi maksimal) pun tidak akan menunjukkan
kelainan yang jelas. Dalam hal ini dianjurkan membuat foto dada dengan inspirasi dan
ekspirasi maksimal. Selama ekspirasi maksimal udara dalam rongga pleura lebih
terdorong ke apeks, sehingga rongga intrapleura di apeks jadi lebih besar. Selain itu
terdapat perbedaan densitas antara jaringan paru dan udara intrapleura sehingga
memudahkan dalam melihat pneumothoraks, yakni terdapatnya kenaikan densitas
jaringan paru selama ekspirasi tapi tidak menaikkan densitas pneumothoraks. (Asril
Bahar, 2005)
Foto lateral decubitus pada sisi yang sehat dapat membantu dalam
membedakan pneumothoraks dengan kista atau bulla. Pada pneumothoraks udara
bebas dalam rongga pleura lebih cenderung berkumpul pada bagian atas sisi lateral.
(Asril Bahar, 2005)
Jika pneumothoraks luas, akan menekan jaringan paru kearah hilus atau paru
menjadi kuncup/kolaps di daerah hilus dan mendorong mediastinum ke arah
kontralateral. Selain itu sela iga menjadi lebih lebar. (Kahar Kusumawidjaja, 2000)
Udara dalam cavum pleura jadi lebih radiolusen dibandingkan paru-paru yang
bersebelahan dengan pneumothoraks tersebut, terutama sekali jika paru-paru
berkurang volumenya, dimampatkan atau terkena penyakit yang meningkatkan
kepadatan paru. (Joten H.J., Andrew B.C., 1993)
12
Hasil diagnosa mungkin tidak dapat terlihat dalam foto polos. Oleh karena itu, CT
dapat digunakan jika informasi mengenai ada atau tidak adanya pneumothoraks adalah
hal yang sangat penting, karena pneumothoraks relatif lebih mudah dideteksi pada CT
sesuai potongan aksis. (Joten H.J., Andrew B.C., 1993)
Gambar 2.4. Tension pneumotoraks pada sisi kiri dengan tanda klasik
Gambar 2.5. CT-scan Tension Pneumotoraks
II.2.6. PENATALAKSANAAN
Tindakan darurat yang perlu dilakukan ialah pembebasan jalan napas (A),
pemberian napas buatan dan ventilasi paru (B), dan pemantauan aktivitas jantung dan
peredaran darah (C). Tindakan darurat pada tension pneumotoraks juga mencakup
membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal dengan cepat berupa
13
insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga kedua linea midklavikula pada
hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension
pneumotoraks menjadi pneumotoraks sederhana (catatan : kemungkinan terjadi
pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan.
Tetapi definitif selalu dibutuhkan dengan pemasangan selang dada (chest tube) pada
sela iga ke 5 (sejajar garis putting susu) di linea axillaris anterior. (F. Charles Brunicardi,
2010)
Gambar 2.6. Torakostomi
Metode Penggunaan Water Seal Drainage (WSD)
Penggunaan WSD dengan selang dada pertama kali dikenalkan pada tahun
1875, dan penggunaan missal pertama adalah pada tahun 1917 ketika terjadi epidemik
influenza. Selang drainase interkostal atau WSD dalam bentuk modern telah digunakan
sejak tahun 1916 ketika Kenyon menggambarkan sebuah “Siphon” metode untuk terapi
hemothoraks akibat trauma. Walaupun alat ini sangat efektif dalam pengobatan, akan
tetapi kelemahan alat ini berkisar antara trauma pada dada dan abdominal bagian
viscera dari trocars yang tajam di tangan operator yang belum ahli. Kelemahan yang
lain dari pemasangan selang ini adalah terbentuknya fissura pada dinding dada. Selang
drainase yang masih mengeluarkan gelembung udara sangat berbahaya untuk di klem,
karena hal tersebut dapat mengubah pneumotoraks yang awalnya minimal menjadi
tension pneumotoraks. Keberhasilan akan dicapai bila paru-paru mengembang dengan
sempurna paling kurang selama 24 jam sebelum selang drainase boleh dicabut. Cara
yang efisien untuk mendeteksi sisa udara dalam paru adalah dengan meng-klem selang
drainase tersebut selama beberapa jam dan kemudian dilakukan foto thorak, kebocoran 14
udara sedikit atau sedang yang masih ada dapat dideteksi dengan cara ini sehingga
dapat dihindarkan penggunaan selang drainase yang berulang. Penggunaan analgetik
dalam selang drainase ini masih kurang di teliti. Injeksi anestesi lokal pada intrapleura
(20-25 ml = 200-250mg, 1% lignocaine) secara bolus dengan interval 8 jam dapat
dengan aman mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi gas darah. (M Henry, T
Arnold. 2003)
Water Seal Drainage (WSD) adalah suatu sistem drainage yang menggunakan
water seal untuk mengalirkan udara atau cairan dari cavum pleura (rongga pleura).
Dalam keadaan normal rongga pleura memiliki tekanan negatif dan hanya terisi sedikit
cairan pleura atau lubrican.
Tujuan
Mengalirkan atau drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk
mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut.
Perubahan Tekanan Rongga Pleura
Tekanan Istirahat Inspirasi Ekspirasi
Atmosfir 760 760 760
Intrapulmoner 760 757 763
Intrapleural 756 750 756
Indikasi Pemasangan WSD :
• Hemotoraks, efusi pleura
• Pneumotoraks ( > 25 % )
• Profilaksis pada pasien trauma dada yang akan dirujuk
• Flail chest yang membutuhkan pemasangan ventilator
Kontraindikasi Pemasangan WSD :
• Infeksi pada tempat pemasangan
• Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol.
15
Cara Pemasangan WSD :
1. Tentukan tempat pemasangan, biasanya pada sela iga ke IV dan V, di linea
aksillaris anterior dan media.
2. Lakukan analgesia / anestesia pada tempat yang telah ditentukan.
3. Buat insisi kulit dan sub kutis searah dengan pinggir iga, perdalam sampai
muskulus interkostalis.
4. Masukkan Kelly klemp melalui pleura parietalis kemudian dilebarkan. Masukkan
jari melalui lubang tersebut untuk memastikan sudah sampai rongga pleura /
menyentuh paru.
5. Masukkan selang ( chest tube ) melalui lubang yang telah dibuat dengan
menggunakan Kelly forceps
6. Selang ( Chest tube ) yang telah terpasang, difiksasi dengan jahitan ke dinding
dada
7. Selang ( chest tube ) disambung ke WSD yang telah disiapkan.
8. Foto X- rays dada untuk menilai posisi selang yang telah dimasukkan.
Komplikasi dari pemasangan selang drainase interkostal ini adalah penetrasi
pada organ mayor seperti paru-paru, perut, limpa, hati, jantung, dan pembuluh darah
besar sehingga akan berakibat fata l. Kejadian ini akan terjadi bila trocar besi yang
dimasukkan secara tidak benar dalam prosedur pemasangan. Infeksi pleura merupakan
komplikasi lain dari pemasangan selang drainase ini, sehingga pemberian antibiotik
profilaksis harus dipertimbangkan dan teknik aseptik harus diterapkan pada segala
teknik pemasangan serta manipulasi dari sistem selang dada ini. Komplikasi lain yang
paling banyak terjadi adalah emfisema, walaupun ini hanya mengganggu dalam hal
kosmetik selama beberapa hari. Emfisema ini terjadi karena terbentuknya rongga berisi
udara pada jaringan subkutan. Hal ini dapat terjadi bila selang dada yang dipasang
16
malposisi atau bergulung atau selang yang di klem. Emfisema juga dapat timbul bila
selang yang digunakan berukuran lebih kecil dari daerah bocor. Penanganan dari
emfisema ini biasanya secara konservatif, akan tetapi bila dalam kondisi menyebabkan
bahaya pada nyawa pasien maka dapat dilakukan trakeostomi, dekompresi insisi kulit,
dan pemasangan selang pada daerah subkutan. (M Henry, T Arnold. 2003)
Gambar 2.7. Pemasangan WSD
17
DAFTAR PUSTAKA
Asril Bahar, 2005, Penyakit-penyakit Pleura, Buku Ajar Penyakit Dalam, Jilid II, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta.
David Sutton, 2008, A Textbook of Radiology and Imaging, Ed. 5, Churchill Livingstone,
Edinburgh, london, Melbourne and New York.
F. Charles Brunicardi, dkk. In : Schwartz's Principles of Surgery. Edisi ke-9. New York:
The McGraw Hill Companies; 2010. hal 214.
Givens ML, Ayotte K, Manifold C. Needle thoracostomy: implications of computed
tomography chest wall thickness. Acad Emerg Med. Feb 2004;11(2):211-3.
Harcke HT, Pearse LA, Levy AD, Getz JM, Robinson SR. Chest wall thickness in
military personnel: implications for needle thoracentesis in tension
pneumothorax. Mil Med. Dec 2007;172(12):1260-3.
Jose Acosta, dkk. In : Sabiston Textbook of Surgery. Edisi ke-18. New York: Elsevier
Inc. 2007.
Joten H.J., Andrew B.C., 1993, Essentials of Radiologic Imaging, Ed. 6, Paul and Juhl,
Clippincott-Raven, Philadelphia.
Kahar Kusumawidjaja, 2000, Pleura dan Mediastinum, Radiologi diagnositik, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta.
M Henry, T Arnold. 2003. BTS guidelines for the management of pneumothorax.
Thorax. Diunduh dari www.thorax.bmj.com
McPherson JJ, Feigin DS, Bellamy RF. Prevalence of tension pneumothorax in fatally
wounded combat casualties. J Trauma. Mar 2006;60(3):573-8
Noppen M, De Keukeleire T. Pneumothorax. Respiration. 2008;76(2):121-7.
18
Warko Karnadihardja. Dinding Toraks dan Pleura. Dalam : Sjamsuhidajat R, dkk,
(editor). Buku Ajar Ilmu Bedah. Buku II, Edisi kedua. Jakarta: EGC ; 2005. hal :
404 – 410.
Zengerink I, Brink PR, Laupland KB, Raber EL, Zygun D, Kortbeek JB. Needle
thoracostomy in the treatment of a tension pneumothorax in trauma
patients. Jan 2008;64(1):111-4.
19