Rehabilitasi Medik Pada Afasia

44
BAB I PENDAHULUAN Afasia merupakan kelainan neurologis fokal yang didapat (contohnya, kerusakan otak akibat stroke) yang menyebabkan kerusakan pada pengolahan bahasa reseptif (pemahaman membaca dan mendengar) atau bahasa ekspresif (ekspresi berbicara, intonasi, gerak tubuh, dan ekspresi tertulis) atau keduanya. 1 Karakteristik afasia muncul jika terdapat lesi pada hemisfer dominan, di mana hemisfer dominan dari 95% individu terletak pada hemisfer kiri. 2 Saat ini di Amerika Serikat, lebih dari 1 juta orang menderita afasia, dan dilaporkan terdapat 80.000 pasien baru dengan afasia setiap tahunnya. 3 Afasia masih merupakan pengertian yang cukup asing. Seringkali afasia timbul secara mendadak, tanpa tanda peringatan. Hal ini mengakibatkan bahwa pasien dan lingkungan sekitarnya sering tidak memahami apa itu afasia. Wulf (1979) menyatakan afasia yang ia alami sendiri merupakan “suatu gangguan yang menyeramkan” karena meskipun kemampuan bicaranya terganggu, kemampuannya untuk memahami, berpikir dan mengingat masih tetap utuh. 4 Perhatian terhadap afasia berkembang pesat pada masa perang dunia kedua dan sesudahnya di mana begitu 1

description

Semoga bermanfaat,,,

Transcript of Rehabilitasi Medik Pada Afasia

BAB I

PENDAHULUAN

Afasia merupakan kelainan neurologis fokal yang didapat (contohnya,

kerusakan otak akibat stroke) yang menyebabkan kerusakan pada pengolahan

bahasa reseptif (pemahaman membaca dan mendengar) atau bahasa ekspresif

(ekspresi berbicara, intonasi, gerak tubuh, dan ekspresi tertulis) atau keduanya.1

Karakteristik afasia muncul jika terdapat lesi pada hemisfer dominan, di

mana hemisfer dominan dari 95% individu terletak pada hemisfer kiri.2 Saat ini di

Amerika Serikat, lebih dari 1 juta orang menderita afasia, dan dilaporkan terdapat

80.000 pasien baru dengan afasia setiap tahunnya.3

Afasia masih merupakan pengertian yang cukup asing. Seringkali afasia

timbul secara mendadak, tanpa tanda peringatan. Hal ini mengakibatkan bahwa

pasien dan lingkungan sekitarnya sering tidak memahami apa itu afasia. Wulf

(1979) menyatakan afasia yang ia alami sendiri merupakan “suatu gangguan yang

menyeramkan” karena meskipun kemampuan bicaranya terganggu,

kemampuannya untuk memahami, berpikir dan mengingat masih tetap utuh.4

Perhatian terhadap afasia berkembang pesat pada masa perang dunia kedua

dan sesudahnya di mana begitu banyak anak muda yang terkena afasia akibat

cedera otak sehingga memacu para ahli untuk mengintroduksikan terapi afasia.

Penelitian di bidang afasia dalam waktu dua puluh tahun terakhir ini masih terus

berkembang. Pengalaman para ahli dalam menangani para pasien afasia semakin

diperhatikan secara keseluruhan.4

Penanganan afasia harus dilakukan secara cepat dan benar, karena selain

dapat menyebabkan kecacatan yang lama juga sangat memengaruhi performa

penderita dalam melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari. Adanya gangguan

dalam komunikasi menyebabkan penderita merasa malu dan kadang menarik diri

dari lingkungan sosialnya.

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Afasia pada orang dewasa terjadi sebagai akibat dari kerusakan otak pada

hemisfer dominan, biasanya sebelah kiri, dan menimbulkan gejala neurofisiologis

yang sama dengan konsekuensi stroke lainnya.3 Afasia merupakan kelainan

neurologis fokal yang didapat yang menyebabkan kerusakan pada pengolahan

bahasa reseptif atau bahasa ekspresif atau keduanya.1

Menurut Chapey dan Hallowell, afasia merupakan gangguan komunikasi

yang didapat akibat kerusakan otak, ditandai dengan kerusakan pada modalitas

berbahasa: berbicara, mendengarkan, membaca, dan menulis yang bukan

disebabkan oleh defisit sensorik, defisit intelektual umum, atau gangguan

kejiwaan.3 Saat ini di Amerika Serikat, lebih dari 1 juta orang yang hidup dengan

afasia, dan 80.000 pasien baru dengan afasia dilaporkan setiap tahunnya.3

Pada fase akut, afasia mungkin sulit dibedakan dengan gangguan lain yang

juga berkaitan dengan komunikasi sehingga diferensiasi yang akurat sangat

diperlukan karena masing-masing gangguan komunikasi memerlukan terapi dan

pendekatan yang berbeda.5 Berikut adalah beberapa gangguan komunikasi dan

harus dibedakan dengan afasia.

1. Agnosia5

Agnosia adalah ketidakmampuan untuk menginterpretasikan informasi di

mana fungsi organnya masih utuh. Sebagai contoh, seorang pasien dengan

agnosia auditori akan memiliki ambang pendengaran normal, tetapi tidak dapat

menafsirkan sinyal suara pada level kortikal. Oleh karena itu, pemahaman

auditori akan terganggu. Pasien dengan agnosia dapat dibedakan dari orang-

orang dengan afasia karena mereka hanya terganggu dalam satu modalitas.

Sebagai contoh, pasien dengan agnosia auditori yang memiliki defisit

pemahaman yang berat dapat membaca kata-kata yang sama melalui modalitas

visual yang utuh.

2

2. Apraksia

Apraksia adalah gangguan gerakan motorik sekuensial dan terampil yang

didapat dan bukan disebabkan oleh adanya gangguan kekuatan, koordinasi,

sensasi, atau kurangnya pemahaman atau perhatian. Apraksia bukanlah

gangguan motor pada tingkat rendah tetapi adanya defisit pada perencanaan

motorik yang melibatkan langkah-langkah integratif yang mencetuskan

gerakan terampil atau tangkas. Apraksia lebih sering terjadi sebagai akibat

adanya lesi pada hemisfer kiri. Karena pemahaman verbal yang adekuat

merupakan prasyarat untuk pengujian praksis yang valid (integrasi motorik

diperlukan untuk pelaksanaan gerakan terampil yang kompleks), penting untuk

ahli patologis wicara-bahasa diajak berkonsultasi mengenai kemampuan

pemahaman auditori saat diduga terdapat masalah pada perencanaan motorik.

Tabel 1. Evaluasi Apraksia Ideamotor

3

3. Demensia3

Demensia adalah sindrom penurunan kognitif progresif yang memberikan

pengaruh negatif terhadap kemampuan untuk berkomunikasi. Meskipun

gangguan bahasa ekspresif dan reseptif spesifik dapat hadir sebagai bagian dari

proses penyakit yang mendasari, pasien afasik tidak menunjukkan bukti adanya

defisit kognitif seperti orientasi, penilaian, perawatan diri, dan keterampilan

persepsi-visual. Perbedaan antara pasien-pasien dengan defisit bahasa sekunder

dengan afasia serta pasien-pasien dengan penyakit difus adalah sangat relevan

dalam rehabilitasi karena prognosis untuk pelatihan keterampilan khusus dan

mengembangkan kemandirian lebih menguntungkan bagi pasien dengan afasia

saja.

KARAKTERISTIK BAHASA5

Karakteristik ekspresif verbal afasia termasuk anomia,

agrammatisme, paragrammatism, atau paraphasia atau jargon,

stereotipik, atau pola bahasa ekolalik. Meskipun sebagian afasik

menunjukkan pengurangan secara keseluruhan dalam kelas-

kelas kata yang tersedia untuk diucapkan, mereka menunjukkan

defisit tertentu dalam pemilihan kata benda (yaitu, anomia).

Karena kata benda membawa sebagian besar makna dalam

suatu pesan yang akan disampaikan, bahasa pasien anomik

digambarkan sebagai "kosong" karena kalimatnya sering

kekurangan subjek.

Sedangkan karakteristik pemahaman auditori afasia

termasuk defisit persepsi auditori dan retensi auditori.

Mispersepsi auditori ditandai dengan kecenderungan mengalami

konfusi terhadap kata-kata yang mirip baik dalam makna

maupun suara. Konfusi ini membuat pesan terdistorsi dan

mengakibatkan kesalahan pemahaman. Secara umum,

kecepatan input auditori, dikombinasikan dengan peningkatan

panjang kalimat, menyebabkan kesalahan dalam retensi auditori.

4

Tabel 2. Ringkasan Terminologi Gangguan Ekspresif pada Afasia

ANATOMI DAN FISIOLOGI 2,6

Bahasa merupakan bentuk kompleks komunikasi yang ditulis atau

diucapkan melalui kata-kata yang melambangkan obyek dan bertujuan untuk

menyampaikan ide-ide. Ada dua aspek komunikasi: pertama, aspek sensorik

(input bahasa), yang melibatkan telinga dan mata, dan, kedua, aspek motorik

(output bahasa), yang melibatkan vokalisasi dan pengendaliannya. Area primer

dari kortikal yang fungsinya khusus untuk berbahasa adalah area Broca dan area

Wernicke.

5

Area Broca, yang mengontrol kemampuan berbicara, terletak di regio fasial

premotor dan prefrontal dari korteks serebral - sekitar 95 persen dari individu

terletak di hemisfer kiri (Gambar 1) yang berhubungan erat dengan area motorik

dari korteks yang mengontrol otot-otot yang diperlukan untuk artikulasi. Lesi

pada area Broca menyebabkan afasia motorik. Kadang-kadang seseorang mampu

memutuskan apa yang dia ingin katakan tetapi tidak dapat membuat sistem vokal

mengeluarkan kata-kata. Oleh karena itu, pola motorik terampil untuk

mengendalikan laring, bibir, mulut, sistem pernapasan, dan otot-otot aksesoris

lainnya untuk berbicara, semuanya dimulai dari daerah ini.

Gambar 1. Pemetaan area fungsional spesifik pada korteks serebral, memperlihatkan area

Wernicke dan area Broca untuk pemahaman berbahasa dan produksi berbicara, di mana pada 95%

individu terletak pada hemisfer kiri.

Area Wernicke, terletak pada korteks kiri di bagian posterior dari lobus

temporal superior pada daerah pertemuan dari lobus parietal, temporal, dan

oksipital (Gambar 2), berfungsi untuk mengatur pemahaman berbahasa. Hal ini

memainkan peran penting dalam memahami suatu pesan, baik itu pesan lisan

maupun tulisan. Lebih jauh lagi, area ini bertanggung jawab untuk merumuskan

6

pola koheren berbicara yang ditransfer melalui serabut saraf ke area Broca, yang

nantinya akan mengontrol artikulasi pada saat berbicara.

Gambar 2. Organisasi dari area asosiasi visual dan auditori somatik menjadi mekanisme umum

untuk interpretasi dari pengalaman sensori. Semua pengalaman sensori ini juga mengarah ke area

Wernicke yang terletak di lobus temporal pada bagian postero-superior. Perhatikan juga area

prefrontal dan area wicara Broca pada lobus frontal.

Area Wernicke menerima input dari korteks visual pada lobus oksipital,

suatu jalur yang penting dalam memahami bacaan dan mendeskripsikan obyek

yang dilihat, serta menerima input dari korteks pendengaran pada lobus temporal,

suatu jalur penting untuk memahami kata-kata yang diucapkan. Area Wernicke

juga menerima input dari korteks somatosensori, yaitu suatu jalur yang penting

untuk kemampuan membaca Braille. Jalur interkoneksi yang tepat antara area-

area kortikal lokal ini berperan dalam berbagai aspek berbicara (Gambar 3).

Jika terdapat kerusakan berat di area Wernicke, seseorang mungkin masih

dapat mendengar dengan baik dan bahkan mengenali berbagai kata tetapi tidak

mampu menyusun kata-kata ini ke dalam pemikiran yang koheren. Demikian

juga, orang tersebut masih dapat membaca kata-kata dari halaman yang dicetak

tetapi tidak dapat menyampaikan maksud dari kata-kata tersebut.

7

Gambar 3. Jalur kortikal untuk mengucapkan kata yang dilihat atau didengar.

1a. Untuk berbicara tentang sesuatu yang dilihat, otak mengirimkan informasi visual dari

korteks visual primer menuju girus angularis pada korteks asosiasi parieto-temporo-

oksipital, yang mengintegrasikan input-input seperti penglihatan, suara, dan sentuhan.

1b. Untuk berbicara tentang sesuatu yang didengar, otak mengirimkan informasi

pendengaran dari korteks auditori primer menuju girus angularis.

2. Informasi ini ditransfer ke area Wernicke, dimana pemilihan dan urutan kata-kata

yang akan diucapkan akan diformulasikan.

3. Perintah berbahasa ini kemudian ditransmisikan ke area Broca, yang menerjemahkan

pesan ini ke dalam suatu pola suara terprogram.

4. Program suara ini disampaikan ke area-area yang tepat dari korteks motor primer yang

kemudian mengaktifkan otot-otot wajah dan lidah yang sesuai untuk menghasilkan

kata-kata yang ingin diucapkan.

Girus angularis merupakan bagian yang paling inferior dari lobus parietal

posterior, berada tepat di belakang area Wernicke dan di bagian posteriornya

menyatu dengan area visual dari lobus oksipital. Jika regio ini rusak, sementara

area Wernicke di lobus temporal masih utuh, orang itu masih bisa menafsirkan

pengalaman auditori seperti biasa, tetapi aliran pengalaman visual yang melewati

ke area Wernicke dari korteks visual akan terhambat. Oleh karena itu, orang

tersebut mampu melihat dan mengidentifikasi kata-kata tetapi tidak dapat

menafsirkan maknanya. Kondisi ini disebut disleksia, atau word blindness.

8

KLASIFIKASI 3,5,7

Sejak jaman Broca, afasia mungkin telah menjadi gangguan komunikasi

neurogenik yang paling banyak dipelajari. Klasifikasi afasia dapat bermacam-

macam, secara sederhana sindrom afasia dapat dibagi dalam afasia motorik dan

sensorik atau afasia ekspresif dan reseptif. Karena sifat cedera dan area asosiasi

bahasa pada hemisfer kiri, (Gambar 1), afasia telah diklasifikasikan berdasarkan

karakteristik defisit linguistik dan lokasi lesi.

Gambar 4. Area terkait bahasa pada otak. Penampang lateral sederhana dari otak kiri menunjukkan

area bahasa primer pada otak. Sulkus sentralis secara kasar membagi otak menjadi regio anterior

dan posterior. Area Broca berdekatan dengan girus presentralis yang mengontrol gerakan ekspresi

wajah, artikulasi, dan fonasi. Area Wernicke di bagian posterior dari girus temporalis superior

berdekatan dengan korteks auditori primer. Fasikulus arkuatus adalah jalur yang menghubungkan

area Broca dengan area Wernicke.

Sistem klasifikasi afasia tradisional, didasarkan pada kelompok gejala

bahasa dan karakteristik output verbal, pemahaman auditori, dan kemampuan

repetisi (Tabel 3). Kerangka ini merupakan dasar untuk dua penilaian formal yang

paling sering digunakan digunakan oleh ahli patologi wicara: Boston Diagnostik

Aphasia Exam dan Western Aphasia Battery.3

Tabel 3. Afasia: Perbedaan Ouput Verbal, Repetisi, Pemahaman Auditori, Gejala Penyerta,

dan Regio yang Terkena

9

Tabel 4. Algoritme untuk Skrining dan Klasifikasi Menggunakan Klasifikasi Boston

Fluensi Buruk

10

Afasia transkortikal campuran: Lesinya pada zona perbatasan dari area

frontal, parietal, dan temporal. Sangat jarang ditemui dan kemungkinan

diakibatkan kerusakan yang besar. Hampir menyerupai afasia global namun

kemampuan repetisi / meniru ucapan masih intak.

Fluensi Baik

11

Tabel 5. Ringkasan dari Sistem Klasifikasi Boston untuk Afasia

ETIOLOGI4

Afasia didefinsikan sebagai gangguan bahasa yang disebabkan oleh cedera

otak. Gangguan peredaran darah otak (GPDO) merupakan yang paling sering

menjadi penyebab terjadinya afasia. GPDO dapat disebabkan bermacam-macam

yaitu emboli, trombosis, perdarahan. Selain GPDO penyebab lain dari afasia yang

mungkin terjadi adalah: tumor otak, trauma, infeksi. Pada infeksi (meningitis atau

ensefalitis) dapat menyebabkan kerusakan otak sampai kehilangan daya ingat

sehingga seringkali menutupi adanya afasia.

12

Ada bentuk lain dari afasia yang dinamakan afasia progresif, dimana gejala

pertama yang timbul adalah kesulitan menemukan kata, dan karena itu dalam

pemakaian bahasa akan menjadi ragu-ragu atau berbelit-belit yang makin lama

makin parah dalam beberapa tahun. Pada pemeriksaan CT scan, awalnya tidak

ditemukan kelainan namun selang beberapa lama mulailah nampak kerusakan

pada hemisfer kiri.

13

BAB III

ASPEK REHABILITASI PADA AFASIA

Rehabilitasi medik (WHO 1981) adalah segala upaya yang bertujuan untuk

mengurangi dampak dari semua keadaan yang dapat menimbulkan disabilitas dan

handikap serta memungkinkan penderita cacat berpartisipasi secara aktif dalam

lingkungan keluarga dan masyarakat.

Tujuan rehabilitasi adalah:

Meniadakan keadaan cacat bila mungkin

Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin

Melatih orang dengan sisa kecacatannya untuk dapat hidup dan bekerja

dengan apa yang ada pada dirinya.

Tujuan umum terapi afasia adalah:1

1. Menstimulasi proses yang kacau dan untuk mendorong reorganisasi fungsional

2. Mengajarkan penggunaan kemampuan yang tersisa sebagai strategi

kompensasi untuk komunikasi

3. Menyediakan edukasi dan konseling dan mendorong penyesuaian pasien dan

keluarganya

4. Mengeliminasi “kebiasaan buruk” yang mengganggu keberhasilan komunikasi

5. Mendorong terciptanya lingkungan komunikasi yang layak

6. Menyediakan support psikologis dan memperbaiki tingkah laku pasien, moral,

dan faktor sosial lainnya yang signifikan.

7.Memajukan ke arah keberhasilan komunikasi “kehidupan sesungguhnya”

PEMERIKSAAN DAN PENILAIAN1,4,5

Sebelum merencanakan strategi penanganan pada afasia, sangatlah penting

untuk melakukan pemeriksaan pada pasien afasia agar program dan bentuk

penanganan yang diberikan sesuai.

Ada banyak alat/metode pemeriksaan yang sudah dikenal selama ini. Semua

bentuk pemeriksaan afasia merupakan penilaian pada afasia yang dapat digunakan

sebagai evaluasi untuk mengukur kemajuan dari suatu terapi. Penilaian afasia

14

dapat juga digunakan untuk menentukan berat ringannya afasia, klasifikasi afasia,

perencanaan strategi penanganan, mengamati perkembangan pasien serta

menentukan prognosis.

Berikut merupakan metoda pemeriksaan yang sering digunakan:

1. BDAE : Boston Diagnostic Aphasia Examination (Goodglass, Kaplan,

1983)

Tujuan : Untuk mendiagnosis afasia dan sindrom-sindrom afasia sehingga

memberi kesimpulan tentang lokalisasi serebral. Dapat juga digunakan

sebagai pedoman serta penilaian perkembangan terapi.

Metode : Terdiri dari 27 subtes yang dikelompokkan dalam 5 bagian, yaitu:

(bicara spontan, pemahaman auditif, ekspresi lisan, membaca dengan

pemahaman, menulis).

Waktu pelaksanaan tes cukup lama antara 1-3 jam dan merupakan tes

pemeriksaan bahasa yang cukup luas. Penilaian dilakukan dengan buku skor

yang mencakup skor-skor mengenai aspek kelancaran, pemahaman auditif dan

meniru ucapan sehingga dapat dibedakan 8 sindrom afasia menurut klasifikasi

Boston.

2. WAB : Western Aphasia Battery

Merupakan modifikasi dari BDAE dengan sedikit perluasan pengukuran

kemampuan bahasa oral (fluensi dan informasi bicara spontan, komprehensi,

repetisi dan penamaan).

Tujuan : Sama dengan BDAE, dapat berguna pula untuk klasifikasi pasien

pada subtipe-subtipe afasia (berdasarkan klasifikasi Boston) .

Metode : Tes ini terdiri dari pertanyaan-pertanyaan afasia (Aphasia Question /

AQ) untuk pengukuran auditori dan ekspresi dengan nilai dibawah 93.8

mengarah ke afasia.

Waktu pelaksanaan tes lebih cepat hanya membutuhkan 1-2 jam dan banyak

digunakan untuk pemeriksaan klinik dan bahan penelitian.

3. MTDDA : Minnesota Test for Differential Diagnosis of Aphasia (Schuell,

1965)

15

Tujuan : Pemeriksaan ini berguna untuk diagnosis banding afasia ya / tidak

dan membedakannya dengan gangguan lain misal apraksia, disartria, dan

gangguan persepsi. Dapat juga untuk perencanaan penanganan dan prognosa.

Metode : Tes terdiri dari 46 subtes dalam 5 bagian (gangguan auditif,

gangguan visual dan membaca, gangguan bicara dan bahasa, gangguan visual

motoris dan menulis, gangguan berhitung). Bahan yang digunakan terdapat 2

pak kartu stimulus visual dan buku skor.

Waktu pelaksanaan tes + 3-6 jam. Pemeriksaan ini tidak membedakan

sindrom afasianya tetapi dikategorikan berdasarkan afasia ringan, sedang,

berat, sangat berat dll sehingga memberikan prognosis tersendiri pada tiap

kategorinya. Namun skornya dengan sistem + dan - sehingga kadang tidak

tampak kemajuan.

4. PICA : Porch Index of Communicative Ability (Porch, 1969)

Tujuan : Melakukan pemeriksaan afasia yang peka terhadap perubahan

minimal dalam prestasi, menentukan kemajuan terapi dan prognosis. Baik

dipakai untuk kepentingan penelitian.

Metode : Terdiri dari 18 subtes dan 10 benda, setiap tes masing-masing

mengandung 10 unsur benda tadi (pena, sikat gigi, kunci dll). 18 subtes terdiri

3 bagian yaitu: verbal (4), gerak isyarat (8), tertulis (6). Tugas-tugas yang

dilakukan berhubungan dengan benda-benda tersebut di atas yang telah

diberikan informasi sebelumnya pada awal pemeriksaan.

Waktu pelaksanaan tes rata-rata 1 jam. Pemberian skor pada pemeriksaan ini

sangat ketat dengan skala skor 1-16 pada tiap bagian yang diperiksa yang

kemudian dipindahkan ke dalam tabel. PICA merupakan pemeriksaan fungsi

bahasa dan bukan pemeriksaan komunikatif.

5. TT : Token Test (DeRenzi, Vignolo, 1962)

Tujuan : Untuk mengukur pemahaman bahasa auditif tanpa mengandalkan

daya ingat atau intelegensi pasien.

Metode : Alat yang digunakan menggunakan 20 token yang terbagi menjadi:

־ 10 token kotak (5 besar & 5 kecil)

16

Masing-masing dengan 5 warna yang berbeda

־ 10 token bulat (5 besar & 5 kecil)

Pemeriksaannya dengan diberikan tugas-tugas yang menuntut pemahaman

auditif sehingga gangguan pemahaman bahasa yang ringan pun dapat

ditelusuri.

Waktu yang diperlukan sekitar 20-30 menit. Tes ini sangat peka, juga untuk

melacak orang yang terkena afasia yang ringan sekalipun.

TADIR4,8

TADIR (Tes Afasia untuk Diagnosis, Informasi, Rehabilitasi) merupakan

tes afasia berbahasa Indonesia yang dikembangkan pada sebuah akademi terapi

wicara di Jakarta. Tes ini dikembangkan berdasarkan pengetahuan dan

pengalaman pengarang yang mendalam mengenai bahasa/komunikasi dan afasia,

baik dari segi ilmiah maupun penanganan pada pasien-pasien afasia.

Tujuan-tujuan TADIR adalah:

1. Membuat diagnosis afasia/bukan afasia

2. Membuat diagnosis sindrom afasia yang mana

3. Memberi informasi kepada pasien, lingkungannya dan orang ketiga yang lain.

4. Menjadi titik tolak untuk penanganan wicara (rehabilitasi)

Jika ingin mencapai tujuan 3 & 4 harus melakukan seluruh tes yang

memakan waktu kira-kira 1 jam. Membuat diagnosis afasia dan sindrom afasia

(klasifikasi Boston - Goodglass, Kaplan 1983), dapat dilakukan dengan cepat dan

efisien karena hanya beberapa subtes yang dilakukan.

Pemeriksaan TADIR meliputi setiap modalitas bahasa - bicara, pemahaman

bahasa lisan, pemahaman bahasa tulis dan menulis - mengandung beberapa

subtes:

Dalam setiap subtes yang ada dicantumkan cara pemberian skor kasar yang

kemudian diubah dalam skor norma dengan skala 5 poin dengan ketentuan yang

berbeda pada masing-masing subtes namun secara umum memberi gambaran

sebagai berikut:

Semua skor norma yang diperoleh kemudian dicantumkan dalam “Profil Norma”

dimana memberikan pandangan umum mengenai skor norma.

17

Hal penting lain adalah membuat pengamatan terhadap sikap pasien dan aspek

komunikasi lain yang tidak langsung dites namun memengaruhi kefasihan pasien

berkomunikasi. Aspek-aspek komunikasi ini adalah :

Data-data yang diperoleh dari “Profil Norma” dicantumkan dalam laporan

pemeriksaan secara jelas. Laporan pemeriksaan ini pertama-tama berguna sebagai

data bagi para dokter, pemeriksa maupun ahli lainnya yang mana berhubungan

dengan terapi penanganan pasien itu sendiri. Lainnya sebagaimana merupakan

tujuan penting dari TADIR, adalah untuk melaporkan secara jelas kepada pasien,

lingkungan maupun pihak ketiga (instansi yang menganjurkan, dll).

MANAJEMEN AFASIA1,3,4

Semua afasia berkembang dari waktu ke waktu, sehingga kemungkinan

prognosis harus dibuat berdasarkan penilaian awal (3 sampai 4 minggu setelah

onset). Misalnya, kondisi pasien yang awalnya dengan afasia nonfluent berat

(global) dengan pemberian terapi wicara-bahasa yang adekuat cenderung

berkembang menjadi afasia tipe Broca kronis. Kondisi pasien yang awalnya

dengan afasia fluent berat (Wernicke) dengan pemberian terapi yang adekuat

memiliki kemungkinan untuk berkembang menjadi afasia konduksi atau anomia.

Perawatan oleh ahli patologi wicara-bahasa didasarkan pada penilaian

seksama terhadap semua modalitas komunikasi: berbicara, mendengarkan,

membaca, dan menulis. Fokus terapi wicara-bahasa selama periode pemulihan

akut dan subakut adalah pemulihan dan kemampuan wicara dan bahasa, dan

pengobatan bersifat individual. Pendidikan dan konseling dengan keluarga juga

sangat penting.

Beberapa terapi pendekatan spesifik tersedia untuk pasien dengan afasia dan

telah terbukti efektif. Studi metaanalisis menunjukkan bahwa hasil terapi untuk

afasia telah menunjukkan bahwa terapi wicara-bahasa untuk afasia memiliki

dampak positif yang signifikan pada pemulihan dalam fase akut dan fase kronis,

18

־ Konsentrasi־ Kewaspadaan־ Rasa percaya diri־ Kesadaran mengenai penyakitnya־ Sikap mendengar־ Jika kurang mengerti tidak segan minta pengulangan

dan durasi terapi wicara-bahasa merupakan faktor penting untuk memberikan

pemulihan yang efektif dan bertahan lama. Terapi afasia intensif (rata-rata 98 jam)

tampaknya menjadi persyaratan untuk hasil yang positif, dan durasi terapi yang

lebih singkat (rata-rata 44 jam atau kurang) ternyata kurang efektif.

Sesudah terjadi afasia, ahli logopedi harus secepatnya menciptakan kontak

dengan pasien. Biasanya hal ini dilakukan pada tahap awal di rumah sakit,

seringkali di tempat tidur pasien. Sesudah memperkenalkan diri dan mengajukan

beberapa pertanyaan, mungkin sudah dapat diperoleh kesan tentang gangguannya.

Sejak awal terutama harus dijaga agar jangan sampai pasien menjadi putus asa

karena merasa tidak dipahami lingkungannya.

Sesudah pemeriksaan, diharapkan kita sudah memiliki data tentang

gangguannya dan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada pasien untuk

berkomunikasi. Dari sejak awal, lingkungan perlu diberi kesadaran bahwa

sebenarnya bukan bahasa yang menjadi sasaran, melainkan komunikasi dan

bahwa komunikasi adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan orang lain

sehingga komunikasi itu merupakan tanggung jawab kedua belah pihak.

Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk membantu pasien memahami

dan memberitahukan sesuatu:

Bicara dengan tenang dan jelas serta menggunakan kalimat yang singkat.

Tekankan kata-kata yang penting dalam kalimat. Selalu gunakan kalimat

dengan satu pesan dan tunggu reaksi pasien untuk melihat bagaimana reaksi

pasien untuk melihat apakah ia memahaminya. Kalau perlu ulangi lagi.

Bicaralah dengan pasien tentang hal-hal sekelilingnya yang menarik

perhatiannya.

Sediakan buku catatan dan pena untuk menuliskan kata-kata pokok suatu cerita

Jika pasien mengalami kesulitan memahami, jelaskanlah dengan gerak-isyarat

atau gambar

Kalau pasien mengalami kesulitan menjawab suatu pertanyaan, ajukan

pertanyaan yang memungkinkan jawaban: ya atau tidak.

Tunjukkan bahwa proses komunikasi dengan jalan apapun telah berjalan baik.

Hal itu akan mendorong pasien untuk mencobanya lagi pada kesempatan lain.

Faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi yang turut diperhitungkan:

19

Usahakan agar pasien jangan terlalu letih.

Coba bercakap-cakap dalam lingkungan yang tenang agar perhatian tidak

teralihkan.

Jangan membicarakan pasien atau penyakitnya di depan pasien itu sendiri.

Ciptakan suasana kebersamaan yang tidak harus melalui percakapan,

komunikasi dapat dilakukan dengan kegiatan seperti nonton TV bersama,

bermain catur, kartu dll.

Cobalah membuat pasien tertawa dan dapat menciptakan suasana santai untuk

komunikasi.

Libatkan lingkungan sebanyak mungkin ke dalam proses penanganan seperti

keluarga, perawat dan orang lain di sekitarnya.

TERAPI WICARA1,4

Ada dua tahapan pemulihan bahasa: (1) penyembuhan awal yang spontan

yang dimulai dalam beberapa hari dari onset dan berakhir sekitar 1 bulan

(mungkin lebih) setelah onset; dan (2) pemulihan jangka panjang, yang

berlangsung berbulan-bulan atau bahkan tahunan. Idealnya, terapi intensif afasia

harus dimulai dan dipertahankan secepat-cepatnya saat pasien dinyatakan stabil

secara medis dan neurologis (meskipun dengan penundaan sampai 6 bulan post

onset, terapi masih menunjukkan manfaat). Terapi wicara harus ditujukan kepada

pasien dan keluarga pasien atau pihak lain yang terkait. Terapi biasa diberikan 3-5

kali perminggu untuk 2-3 bulan, selama itu pasien direevaluasi pada bulan

pertama dan setelah bulan kedua atau ketiga. Saat kemajuan terapi mencapai hasil

yang tinggi, maka pemberian terapi secara bertahap dihentikan (penghentian

mendadak akan membahayakan secara psikologis) dengan mengurangi terapi 1-2

kali perminggu, kemudian tiap 1 sampai 2 bulan dengan reevaluasi pada bulan

keenam dan kesepuluh.

Terapi wicara (individu atau grup) untuk afasia pada umumnya dilaporkan

bermanfaat dan tidak merugikan pada pasien dengan etiologi nonprogresif (stroke

dan tumor otak yang sudah dikeluarkan). Terdapat kepercayaan tradisional yang

menyatakan pemulihan spontan yang bermakna selesai dalam waktu 3-6 bulan

post onset. Akan tetapi, studi terbaru pada evolusi afasia berat dalam 2 tahun

20

pertama postonset dengan catatan perbaikan signifikan dalam fungsi komunikasi

sampai 18 bulan, dengan perbaikan terbesar terjadi pada 6 bulan pertama.

Adanya bermacam-macam tipe dari afasia mungkin memerlukan

pendekatan terapi serta cara komunikasi yang berbeda:

1) Afasia Global → lebih ditekankan pada peningkatan kemampuan anggota

keluarga untuk komunikasi dengan penderita dari pada peningkatan

kemampuan bahasa dari penderita. Tehnik yang digunakan:

־ Menggunakan suara dan ekspresi wajah.

־ Menunjuk benda-benda tertentu di lingkungannya untuk memberi

masukan visual

־ Menggunakan gerak-isyarat yang sederhana untuk suatu ide (misalnya:

menganggukkan kepala untuk “ya”, menggelengkan kepala untuk

“tidak”).

־ Gunakan tata bahasa yang sederhana, bicara pelan-pelan, jangan

mengubah topik terlalu cepat.

2) Afasia Broca → penanganan ditekankan kepada pengembangan kemampuan

mengeluarkan suara (“sesukanya”) sebagai alat untuk mengekspresikan

maksudnya (dapat dengan bantuan gambar-gambar, foto-foto maupun

cermin).

3) Afasia Wernicke

־ Pada permulaan ditekankan kepada peningkatan komprehensi pendengaran

dan umpan baliknya.

־ Mengembangkan kesadaran bahwa ada gangguan komunikasi.

־ Memperbaiki kualitas keluaran.

4) Afasia Konduksi → ciri utamanya repetisi kata-kata yang berat gangguannya.

Penanganannya dengan tehnik mengurangi kecepatan bicara, memperpanjang

durasi fonem, belajar mengawali bicara dengan mudah. Pasien dengan afasia

konduksi sadar akan kekeliruannya dan berusaha membetulkannya.

5) Afasia Anomik → penanganannya ditekankan pada membangun kembali

asosiasi di antara kata-kata dengan cara :

־ Mengindividualkan kata-kata yang menjadi target.

־ Latihan memvisualkan kata-kata target.

21

־ Melatih memikirkan ciri-ciri fisik dari kata-kata target.

־ Melatih mencari sinonim kata dan definisi kata-kata target.

Ada bermacam-macam metode terapi wicara pada pasien afasia, antara lain:

1. Tehnik Stimulasi (Schuell, 1964)

Pada tehnik ini tidak dibeda-bedakan sindrom-sindrom afasia, pendekatan

dilakukan dengan pemberian stimulasi berupa auditori, bahasa tertulis maupun

gambar-gambar. Dengan adanya stimulus diharapkan timbul respon dari

penderita. Dalam memancing respon dapat lebih dari satu modalitas, misalnya

dengan meminta pasien menyebutkan nama gambar, menyuruh mengulangi

kata tersebut, menuliskan kata tersebut serta mengucapkannya kembali.

Modalitas yang gangguannya paling ringan diterapkan lebih dahulu kemudian

yang berat sehingga diharapkan fungsi yang satu memudahkan dan

merangsang fungsi yang lain.

2. MIT : Melodic Intonation Therapy (Sparks, Holland, 1976)

Telah diamati, pasien yang tidak atau hampir tidak dapat bicara biasanya

dapat menyanyi, juga menyanyikan kata-katanya. Rupanya kata-kata itu turut

tertarik oleh lagunya, suatu fungsi hemisfer kanan yang pada afasia tidak

terganggu. Metode ini terdiri dari 4 tingkat:

Tk I : Pasien diajarkan untuk mengambil alih lagu-lagu, didukung oleh ketukan irama dan aksen lagu.

Tk II : Pasien diajarkan menyanyikan kalimat-kalimat pada melodi → dengan turut menyanyi, meniru lalu menggunakan kalimat sebagai jawaban dari pertanyaan.

Tk III : Masih dengan lagu, dilatih kalimat-kalimat yang lebih panjangTk IV : Tidak ada nyanyian, tetapi latihan dilakukan dengan intonasi

yang berlebihan.Terakhir : Tahap antara menyanyi dan bicara normal

Metode ini cocok diberikan pada pasien afasia Broca berat dengan

pemahaman yang baik namun fluensinya kurang. Menurut Sparks, pasien

dengan afasia Wernicke dan transkortikal jelas bukan calon yang baik untuk

terapi ini, sedangkan pasien afasia konduksi mungkin calon yang baik.

3. VAT : Visual Action Therapy (Helm, Benson, 1978)

22

Terapi kegiatan visual menggunakan lambang-lambang abstrak, penggunaan

gerak-isyarat dengan pemakaian simbolisasi dengan gambar-gambar atau

lukisan. Metode ini ternyata dapat digunakan pada pasien dengan afasia global

dengan bahan yang digunakan terdiri dari gambar-gambar benda yang dapat

digerakkan dengan satu tangan dan gambar situasi setiap gerak-isyarat (misal:

orang sedang memaku dll). Petunjuk diberikan ahli terapi dengan gerak-

isyarat dan mimik muka.

4. PACE : Promoting Aphasics Communicative Effectiveness (Davis,

Wilcox, 1981)

Metode ini didasarkan atas 4 prinsip:

1) Ada pertukaran informasi baru antara ahli terapi dan pasien.

2) Pasien dapat bebas memilih jalur komunikasi yang dapat ia gunakan untuk

menyampaikan informasi baru.

3) Ahli terapi dan pasien mempunyai porsi yang sama besarnya dalam

mengirim dan menerima pesan.

4) Umpan balik diberikan oleh ahli terapi sebagai tanggapan terhadap

keberhasilan pasien dalam menyampaikan pesan.

Penanganannya sebanyak mungkin mendekati komunikasi dalam kehidupan

sehari-hari. Pasien boleh menunjuk, menggunakan gerak-isyarat, menulis,

menggambar, asal pesannya tersampaikan. Umpan balik bertujuan

merangsang pasien agar menggunakan strategi yang efektif. Latihan ini dapat

bertujuan untuk membimbing dan mengajarkan pasien dengan gangguan berat

dalam hal menemukan kata agar dapat menggunakan panggambaran-

penggambaran untuk menyampaikan maksudnya. Sebaliknya, saat tiba giliran

terapis memberikan gambaran, pasien tidak perlu menebak dengan kata-kata

tetapi dapat juga dengan menunjuk atau menggambar.

Selain metode-metode di atas, untuk mempermudah terapi wicara dan

komunikasi pada pasien-pasien afasia kadang diperlukan “alat-alat bantu

komunikasi”. Seseorang dengan afasia ringan sekalipun kadang mengalami

kesulitan dalam menemukan kata atau nama yang tepat, sekalipun menyangkut

hal-hal sehari-hari yang sederhana.

23

Pada tahun-tahun terakhir ini telah dikembangkan sejumlah alat khusus

untuk komunikasi oleh dan dengan pasien afasia. Di antaranya adalah:

Buku saku bahasa

Merupakan alat komunikasi untuk pasien-pasien dengan afasia berat. Terdiri

dari sebuah map dengan sampul-sampul plastik yang bisa dimasukkan,

dimana disusun kata-kata dan gambar-gambar dalam kategori seperti makan,

minum, kendaraan. Pada saat terapi, pasien diajari menggunakan buku ini

sehingga pasien belajar bahwa dia, kalau perlu dengan pertolongan keluarga,

dengan menunjuk bisa menjelaskan apa yang hendak dikatakannya.

Buku percakapan

Dibuat untuk pasien dengan afasia berat yang tidak dapat berbicara atau

menulis, agar dapat “berbicara” mengenai hal-hal yang tidak dapat ditunjuk di

lingkungannya. Buku ini dibagi menjadi kelompok-kelompok pertanyaan

“siapa-apa-dimana-bilamana-bagaimana” yang ditandai dengan halaman

penanda. Syaratnya adalah pasien dapat mengerti bahasa tulis tingkat kata.

Cara penggunaan buku percakapan membutuhkan latihan sebelumnya

sehingga seorang pasien dengan afasia dapat menggunakannya sebagai alat

komunikasi dengan lingkungannya. Diharapkan dengan menggunakan buku

percakapan secara intensif kemudian makin lancar membaca, mengucapkan

kata-kata dan menulis kata-kata.

Buku kategori

Buku tulis saku kecil pribadi pasien yang dibuat sendiri oleh pasien dan

terapis yang mudah dibawa-bawa. Di mana tiap halaman dicatat oleh pasien

afasia dengan beberapa kata dari kategori tertentu. Misalnya: halaman pertama

“identitas pribadi pasien”, halaman kedua “nama-nama anggota keluarga”,

berikutnya “nama-nama teman”, dll. Syaratnya, pasien harus mengerti bahasa

tulis tingkat kata.

Orgenaiser Elektronik

Bisa digunakan seperti “buku kategori” dan keuntungannya pasien dianggap

lebih inteligen dan belajar menggunakannya biasanya tidak sulit.

PSIKOSOSIAL1,4

24

Apabila seseorang terkena afasia, hal itu hampir selalu terjadi secara

mendadak. Tiba-tiba saja, seseorang mempunyai kesulitan besar atau kecil dalam

penggunaan bahasanya, bahkan mungkin pula disertai dengan hemiplegia,

apraksia, agnosia dll. Hal ini membawa goncangan besar bagi seseorang yang

tidak siap menghadapinya dan tidak tahu apa yang terjadi padanya. Berikut

problema psikososial yang sering terjadi pada pasien afasia :

1. Karena lamanya masa pemulihan pada kasus-kasus tertentu seringkali

seseorang dengan afasia mempunyai masalah dengan pekerjaannya bahkan

mungkin kehilangan mata pencahariannya sehingga disini diperlukan

keterlibatan petugas sosial medik.

2. Keterbatasan dana dan biaya dari perawatan yang cukup lama dapat menjadi

masalah yang memerlukan bantuan dan keterlibatan petugas sosial medik.

3. Rasa malu, tertekan, menarik diri akan menjatuhkan mental pasien, lamanya

perjalanan pemulihan juga memperburuk kemauan dan kinerja pasien untuk

latihan. Untuk itu diperlukan pendekatan psikologi dalam upaya memberi

dukungan mental bahkan kalau perlu psikoterapi terhadap pasien maupun

keluarganya.

4. Ketidaksiapan dan keterbatasan keluarga untuk menerima keadaan pasien

sehingga diperlukan pemberian pengertian keluarga untuk mendukung

kegiatan di rumah.

5. Konflik dalam keluarga.

6. Kehidupan sosial pasien yang terganggu.

Masalah-masalah psikososial yang bervariasi ini dapat mempersulit

kondisi serta proses terapi pada pasien. Di sinilah perlunya petugas sosial maupun

psikolog dimana dapat menjadi jembatan antara dokter, terapis maupun keluarga

dan lingkungan terhadap pasien itu sendiri.

PROGNOSIS 1

Pemulihan bicara pada pasien afasia mungkin ditentukan dengan

menggunakan satu dari banyak tes pemahaman bahasa (WAB, PICA atau

MTDDA). Pada umumnya, afasia dengan karakteristik berikut ini cenderung

memiliki prognosis yang buruk: defisit pemahaman auditori yang berat, adanya

25

perseverasi, ketidakmampuan untuk memasangkan objek, jawaban ya atau tidak

yang tak dapat dipercaya, penggunaan jargon, pembicaraan kosong tanpa adanya

koreksi. Di antara empat tipe variabel prognosis yang tertera di bawah ini,

variabel medis serta variabel bahasa dan bicara adalah yang paling potensial.

a. Variabel medis

1) Faktor etiologi. Afasia dengan etiologi vaskuler memiliki prognosis yang

lebih buruk dibandingkan dengan afasia karena trauma. Afasia yang

disebabkan tumor memilki prognosis yang bervariasi (tetapi seringkali

buruk).

2) Lokasi lesi dan luasnya lesi. Pada umumnya, semakin luas lesi pada

hemisfer dominan, semakin buruk prognosisnya; lesi yang kecil tetapi jika

multipel akan menghasilkan keluaran yang buruk; lesi pada sisi kiri

memiliki prognosis lebih buruk daripada lesi pada sisi kanan; dan lesi

bilateral meskipun kecil memiliki prognosis yang buruk. Meskipun

prognosis buruk dikarenakan oleh letak dan luasnya lesi, ada beberapa kasus

yang hasil penyembuhannya baik. Paling tidak, program terapi bicara harus

dipertimbangkan.

b. Variabel bahasa dan bicara

1) Tingkat keparahan dari gangguan. Defisit arteri serebral media seringkali

berakhir dengan afasia berat. Pasien dengan kelemahan dalam memulai

bicara atau dengan impairment yang berat dalam pengenalan auditori dan

pemahaman memiliki prognosis yang buruk. Demikian pula semakin lama

waktu dirawat inap di rumah sakit, semakin buruk hasilnya (mungkin karena

adanya problem media lainnya yang menambah berat impairment).

2) Proses auditori. Pasien dengan kehilangan pendengaran perifer atau

gangguan proses auditori sentral memiliki prognosis buruk.

3) Klasifikasi dan tipe dari gangguan. Afasia Broca dan Wernicke memiliki

prognosis yang sama, sedangkan afasia global memilki prognosis yang

buruk. Afasia konduksi memiliki hasil yang baik. Prognosis untuk afasia

TCM atau TCS pada umumnya baik. Pada afasia transkortikal campuran,

prognosisnya relatif baik tetapi lebih buruk dibandingkan dengan afasia

TCM atau TCS.

26

4) Defek kognitif non bahasa, contoh, defek perseptif mayor, visual atau

auditori, defisit memori dan atensi (jika satu dari semua ini ada,

prognosisnya buruk); adanya impairment komunikasi sebelumnya, misalnya

apraksia (jika ada, keberhasilan terapi menjadi terbatas).

c. Variabel pasien

1) Usia saat onset. Semakin muda umurnya kemungkinan hasilnya lebih baik

(kontroversi)

2) Pendidikan, intelektual sebelumnya dan keterampilan komunikasi.

Pasien kreatif dengan kosakata yang banyak umumnya memiliki hasil yang

lebih baik.

3) Pemakaian tangan. Pernyataan bahwa pasien dengan pemakaian tangan

kiri hasilnya lebih baik adalah kontroversi (studi tampaknya

mengindikasikan pemakaian tangan tidak berhubungan dengan hemisfer

dominan, sebagai contoh banyak orang dengan tangan kiri adalah dominan

otak kiri dengan representasi bahasa sisi kiri).

4) Multibahasa (polyglots). Kedua aturan Ribot dan hukum Pitre tidak

menunjukkan kebenaran yang konsisten. Hukum Ribot mengatakan bahwa

pada afasia multibahasa, penyembuhan terbaik bahasanya seperti lidah ibu;

akan tetapi hukum Pitre menyatakan bahwa bahasa pada afasia multibahasa

yang dipakai konsisten pada saat onset dari afasia akan menjadi yang

pertama kali pulih kembali meskipun bahasa tersebut bukan yang pertama

kali dipelajari. Saat ini tidak ada aturan yang jelas mengenai pemulihan

kembali bahasa yang dapat diaplikasikan secara konsisten pada afasia

multibahasa. Adanya laporan yang mengindikasikan kemungkinan bahasa

lingkungan sekitar selama pemulihan menentukan bahasa pertama yang

pulih kembali.

5) Jenis kelamin mungkin tidak berhubungan dengan prognosis. Data

penyembuhan pada kedua jenis kelamin telah dilaporkan.

d. Variabel lainnya

1) Bulan sesudah onset. Semakin lama melampaui batas waktu, prognosisnya

semakin buruk.

2) Motivasi. Motivasi pasien kurang, hasil akhirnya juga kurang baik.

27

3) Lingkungan dan tingkah laku dari sistem pendukung. Dukungan dari

keluarga pasien atau dari orang terdekat pasien akan menghasilkan outcome

yang lebih baik.

BAB IV

KESIMPULAN

Afasia merupakan kelainan neurologis fokal yang didapat (contohnya,

kerusakan otak akibat stroke) yang menyebabkan kerusakan pada pengolahan

bahasa reseptif (pemahaman membaca dan mendengar) atau bahasa ekspresif

(ekspresi berbicara, intonasi, gerak tubuh, dan ekspresi tertulis) atau keduanya.

28

Secara sederhana afasia dibagi menjadi 2 yaitu: afasia motorik (Broca) dan

sensorik (Wernicke) atau afasia ekspresif dan reseptif. Boston mengelompokkan

afasia ke dalam 8 tipe berdasarkan fluensi, pemahaman, dan repetisi.

Sebelum merencanakan strategi penanganan pada afasia, sangatlah penting

untuk melakukan pemeriksaan pada pasien afasia agar program dan bentuk

penanganan yang diberikan sesuai. Pemeriksaan yang dikembangkan di Indonesia

sekarang ini dinamakan “TADIR” dimana selain bertujuan sebagai titik tolak

dalam penanganan rehabilitasi juga dapat memberikan informasi kepada pasien

maupun keluarga.

Hal utama dalam terapi pada afasia adalah menciptakan komunikasi dengan

pasien, dapat dilakukan dengan berbagai cara yang sesuai dengan kehendak

pasien. Setelah itu kita dapat melakukan pendekatan terapi sesuai dengan kelainan

yang dideritanya. Terapi wicara harus dilakukan secepat mungkin dengan metoda

yang tepat. Harus diperhatikan juga sisi psikologis penderita serta hubungan sosial

ekonomi yang dapat menunjang kemajuan terapi. Untuk itu, sangat diperlukan

pendekatan interdisipliner antara sesama profesional maupun non-profesional

yang saling membantu dalam menangani pasien afasia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tan JC. Practical Manual of Physical Medicine and Rehabilitation. St. Louis (Missouri): Mosby; 1998.

2. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2006.

3. Batson DW, Avent J. Adult Neurogenic Communication Disorders. In: Braddom RL. Physical Medicine and Rehabilitation. 4th ed. Philadelphia: Saunders; 2011. p. 54-57

29

4. Dharmaperwira-Prins R, Maas W. Afasia Deskripsi Pemeriksaan Penanganan. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2002.

5. Solomon B, Brewer C, Brodsky MB, Palmer JB, Ryder J. Speech, Language, Swallowing, and Auditory Rehabilitation. In: Frontera WR, DeLisa JA, editors. DeLisa’s Physical Medicine & Rehabilitation Principles and Practice. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer Business; 2010. p. 420-422

6. Sherwood L. Human Physiology From Cells to Systems. 7th ed. Belmont (USA): Brooks/Cole, Cengage Learning; 2010.

7. Cuccurullo SJ. Physical Medicine and Rehabilitation Board Review. Park Avenue South (NY): Demos Medical Publishing; 2004.

8. Dharmaperwira-Prins R. TADIR Tes Afasia Untuk Diagnosis Informasi Rehabilitasi. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 1996.

30