Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum

download Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum

of 16

Transcript of Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum

  • 8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum

    1/16

    RESUME MATA KULIAH ANTROPOLOGI HUKUM

    BAB III

    BUDAYA HUKUM DAN MASYARAKAT

    1. Pengertian Budaya HukumHal-hal yang merupakan milik bersama itu dalam Antropologi Budaya di namakan

    Kebudayaan. Budaya hukum adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu

    terhadap gejala-gejala hukum. Jadi suatu budaya hukum menunjukan tentang pola prilaku

    individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama

    terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan.

    Ketika membicarakan budaya hukum tidak terlepas dari keadaan masyarakat, sistem

    dan susunan masyarakat yang mengandung budaya hukum itu. Misalnya bagaimana tentang

    sikap prilaku dan tanggapan masyarakat tertentu terhadap sikap prilaku dan pandangan

    masyarakat yang lain.tanggapan yang sama itu dapat bersifat menerima atau bersisaf menolak

    budaya hukum yang lain.

    Masyarakat indonesia tidak akan dapat menerima adat suku indian yanomano dari

    perbatasan venezuela brazil yang menganjurkan kepada anak anak yang marah kepada

    bapaknya agar memukul bapaknya.memukul bapak bagi suku yanomano merupakan

    perbuatan yang terpuji.

    Maksud pembahasan budaya hukum adalah agar dapat mengenal ciri ciri (atribut)

    yang asasi untuk mengkaji proses yang berlanjut maupun yang berubah atau yang seirama

    dengan perkembangan masyarakat dikarenakan sipat kontrol sosial itu tidak selamanya tetap.

    Dikarenakan pemahaman (persepsi) budaya hukum.berkaitan dengan peradaban dan

    teknologi,makatidak salahnya budaya hukum itu juga di sebut peradaban hukum.budaya

    hukum itu meliputi orientasi pribadi yang berlatar belakang pada pengetahuan dan

    pengalaman seseorang yang menyebabkan adanya penilaian,adanya penilaian itu lebih dekat

    pada pengertian peradaban dari pada kebudayaan.

    Dengan demikian budaya hukum itu merupakan tangapan yang bersipat penerima atau

    penolakan terhadap suatu peristiwa hukum.sistem hukum merupakan hubungan yang kait

    mengait di antara manusia,masyarakat,kekuasaan dan aturan aturan,maka titik perhatian

    antropologihukum pada perilaku manusiayang terlibat dalam peristiwa hukum.kaitan antara

    perilaku hukum manusia dengan budaya hukumnya terletak pada tanggapannya terhadap

    hukum yang ideologis dan hukum yang praktis dengan sudut pandangan yang eklektika.

    Tercapainya kesepakatan dalam penyelesaian suatu perselisihan hokum dalam

    mayarakat, yang merupakan pencerminan budaya hokum, yaitu pencerminan dari nilai-nilai

  • 8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum

    2/16

    budaya mengenai hokum dan keadilan yang dirasakan masyarakat, yang dikehendaki dab

    dibenarkan oleh masyarakat bersangkutan.

    Kepustakaan antriopologi budaya hokum adat di Indonesia begitu pula bahan-bahan

    tertulis dan tercatat , seperti cerita rakyat, prosa dan puisi pedesaan, pepatah dan pribahasa

    setempat yang telah terkumpul maupun yang masih berbeda di lingkungan masyarakat,

    merupakan sumber bahan untuk mengenal budaya hokum masyarakat pedesaan Indonesia.

    2. Tipe Budaya HukumPada masyarakat yang parokikal (picik) tanggapannya terhadap hokum hanya terbatas

    dalam lingkungannya sendiri. Masyarakat demikian masih kuat bertahan pada tradisi

    hukumnya sendiri, kaidah-kaidah hokum yang telah di gariskan dari zaman leluhur

    merupakan azimat yang pantang di ubah. Pemimpinnya sebagai kepala suku dan sekaligus

    sebagai kepala adat ataupun sebagai kepala agama. Ia bertindak sebagai kepala polisi, jaksa

    penuntut serrta sebagai hakim dan memutuskan perselisihan warga adatnya. Jika

    pemimpinnya bersifat egosentris, maka ia lebih mementingkan dirinya sendiri dan sulit

    untuk berurusan dengan orang lain. Jika sifatnya altruis, maka warga masyarakatnya

    mendapat perhatian. Namun pada umumnya masyarakat yang sederhana sifat budaya

    hukumnya, etnosentris, lebih mengutamakan dan membanggakan bidaya hokum sendiri.

    Dalam masyarakat budaya parochial, penilaian terhadap sejarah dan penerapan hukum

    setempat lebih banyak didasarkan pada ingatan dan kesemuanya di kembalikan kepada

    sesepuh adat. Semua aturan yang merupakan keluaran (output) dari pemimpin jarang di

    bantah atau takut di bantah, takut pada adanya sanksi gaib dan sebagainya. Sehingga diri

    pribadi demikian tidak berkembang dan tidak mudah menerima budaya hokum yang baru.

    Orientasi pandangan mereka terhadap aspek hokum yang baru sudah ada, sudah ada sikap

    menerima atau menolak, walaupun cara pengungkapannya bersifat pasif, tidak terang-

    terangan atau masih tersembunyi, dikarenakan sifat prilakunya prilaku takluk, ikut saja pada

    apa yang di atur penguasa baik langsung atau tidak langsung.

    Warga masyarakat yang bersifat menaklukan diri ini, menganggap dirinya tidak

    berdaya mempengaruhi apalagi akan berusaha mengubah system hokum, konsepsi hokum,

    keputusan hokum, norma hokum, yang dihadapinya, walaupun apa yang Nampak di sajikan

    kepadanya dirasakan bertentangan dengan kepentingan ribadi dan masyarakat.

    Dalam masyarakat budaya partisipan (berperan serta) cara berfikir dan berprilaku para

    anggota masyarakatnya berbeda-beda, ada yang masih berbudaya takluk, namun sudah

    banyak yang merasa berhak dan berkewajiban berperan serta, karena ia merasa sebagai

    bagian dari kehidupan hokum yang umum. Disini seseorang sudah merasa mempunyai

  • 8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum

    3/16

    kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hokum dan pemerintahan, ia tidak mau

    dikucilkan dari kegiatan tanggapan terhadap masukan dan keluaran hokum, ia ikut menilai

    setiap peristiwa hokum dan peradilan, ia merasa terlibat dalam kehidupan hokum baik yang

    menyangkut kepentingan umum maupun kepentingan keluarga dan dirinya sendiri.

    Di daerah lampung misalnya jauh sejak masa sebelum kemerdekaan cara berfikir, dan

    berprilaku masyarakat tulang bawang berbeda dari masyarakat abung, walaupun antara

    keduanya termasuk dalam ruang lingkup adat yang sama, yaitu beradat pepadun. Masyarakat

    Tulangbawang asal-usul keturunan warga adatnyacampur aduk, tempat kediamannya dekat

    pantai, sejak dahulu sudah terbuka sebagai pelabuhan sungai, maka sifat prilakunya yang

    primordial mudah berubah. Orang-orang tulang bawang sejak masa sebelum kemerdekaan

    sudah banyak bergaul dan mengenal dunia luar dan banyak merantau keluar daerah, disana

    sudah banyak terdapat berbagai macam perkuympulan organisasi social, keagamaan dan

    politik yang bersifat vertical. Sehingga struktur masyarakat adat dan pengaruh pada pemuka

    adatnya sudah lama lemah, bahkan setelah kemerdekaan dapat dikatakan sudah tidak berarti

    lagi peranannya.

    Budaya hukum sebagaimana di uraikan di atas hanya merupakan sebagian dari sikap

    dan perilaku yang mempengaruhi sistem dan konsepsi hukum dan masyarakat

    setempat.masih ada faktor faktor lain yang juga tidak kecil pengaruhnya terhadap budaya

    hukum,seperti sistem dan kemasyarakatan,kekerabatan,keagamaan,ekonomi dan politik serta

    letak tempat kediaman,lingkungan hidup dan cara kehidupan (ecologi),di samping sifat watak

    pribadi seseorang,yang kesemuanya saling bertautan.

    3. Seni HukumDalam bahasa hukum yang diungkapkan adalah tentang pola prilaku individu dan

    orientasinya terhadap kehidupan hukum yang di hayati oleh para anggota dari masyarakat.

    Seni hukum orang barat yang di dunia hukum sekarang ini besar pengaruhnya bersikap tegas

    dan nyata, sedangkan seni hukum timur,seperti halnya seni hukum adat di Indonesia bersifat

    samar samar dan adakalanya sukar di mengerti tanpa memperhatikan penafsiranya yang

    umum.hal mana tidak saja seringkali di jumpai dalam peradilan adat (desa) tetapi juga

    adakalanya menjelma di hadapan peradilan Negara.

    Pada masyarakat sederhana seni hukum dalam bentuk lambang atau peribahasa lebih

    besar perananya dari pada masyarakat modern ,pada masyarakat modern seni hukum

    merupakan latar belakang pengertian hukum ,sedangkan pada masyarakat sederhana ia

    merupakan latar depan.dikarenakan pada masyarakat modern system hukumnya

    tertulis,sedangkan pada masyarakat sederhana tidak tertulis.

  • 8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum

    4/16

    Pandangan mengenai tugas hakm; untuk mengetahui ajaran hukum atau untuk

    menentukan hukum dalam arti ilmu pengetahuan hukum yang dogmatis dan sistematis;

    begitu pula untuk mengetahui pengertian-pengertian hukum begitu juga kekhayalan hukum

    (Apeldoorn, 1954:318-345).sedangkan seni hukum dalam masyarakat sederhana di gunakan

    untuk memahami apa yang di wujudkan dalam bentuk perlambang atau ungkapan kata

    pribahasa baik yang tertulis maupun tidak tertulis,yang di sampaikan dengan lisan. Dengan di

    pahaminya maksud perlambang atau pribahasa itu,maka dapat di perkirakan bagaimana

    budaya hukum masyarakat bersangkutan.

    Apeldoorn melanjutkan bahwa perkembangan hukum dalam menyerahkan tanah di

    zaman dahulu di lambangkan dengan menyerahkan segumpal tanah. Kemudian di Jerman

    tongkat berperanan penting sebagai perlambang hukum. Di masa sekarang pun penyerahan

    tongkat belarti penyerahan jabatan; begitu pula dilakukan pemasangan tanda jabatan bagi

    seorang pejabat yang baru,atau juga dengan memasang atribut kebesaran lainya,seperti

    mahkota dalam pegangkatan raja atau penyerahan bendera bagi pergantian jabatan

    pasukan,dan sebagainya.

    Seni hukum dalam perundangan dapat di lihat dari egi politik hukum, apa yang

    menjadi alas an tujuan isi dari suatu peraturan begitu pula dapat di lihat dari segi teknik, cara

    merumus peraturan tersebut, sehingga dapat di fahami maksud dari pembuat undang-

    undangnya. Untuk itu dapat dapat di lakukan dengan study dokumentasi dan kepustakaan. Di

    daerah-daerah ada yang masih berlaku dengan pemberian tanda pada sebatang pohon dengan

    mengeratkan ranting atau bilah bamboo dengan rotan, perbuatan seperti itu disebut mebeli

    atau ngubali , itu di maksudkan bahwa daeerah hutan itu ia akan membuka lading atau

    dalam hukum adat ia telah mendapat hak utama atau hak wenang pilih atas bidang tanah itu

    untuk di bukanya menjadi lading. Dan sebagai tanda larangan juga untuk membuka tanah itu,

    apabila ada pelanggaran maka di ajukan pada peradilan adat yang jadi penengahnya ialah

    kepala desa, dihukum dengan diselesaikan meminta maaf dan member tanda seperti member

    ayam atau juwadah serambi. Kalau di amerika pemberian ganti rugi di gunakan selembar

    kulit yang disebut moccasin, di Indonesia dengan upacara selamatan, dengan memotong

    ayam atau kambing.

    Perlambang dan tanda-tanda prilaku itu mempunyai arti dan membawa akibat hukum

    dalam susunan masyarakat bersangkutan. Dari tanda-tanda itu dapat di perkirakan bagaimana

    system hukum dan konsepsi hukum masyarakat tertentu.

    Jadi hukum adat masyarakat yang satu berbeda dari masyarakat yang lain, menurut penelitian

    para ahli hukum adat ia mempunyai corak-corak umum yang sama,asa-asa hukum material

  • 8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum

    5/16

    yang sama,sebagaimana di uraikan soepono ,hukum adat itu mempunyai sifat kebersamaan

    (communal) , magischreligieus,serba kontret dan sangat visual (soepono, 1972;107) yang

    oleh Van Dijk di tambahkan dengan bentuk yang tidak dikodifikasi, tradisional, dapat

    berubah dan mampu menyesuaikan diri.

    Sehubungan dengan hal tersebut maka peribahasa minangkabau menyatakan :

    using-usang diperbaharui, lapuk-lapuk dikajangi,nan elok dipakai,nan buruk di buang ,kok

    minta diulas,panjang minta di kerat, rumpang hararap di sisit. (nasroen,1971: 25).

    Yang penting bagi hukum masyarakat sederhana itu adalah persatuan dan kesatuan

    masyarakat, kerukunan dan keseimbangan, dengan pimpinan yang bijaksana. Sebagaimana

    peribasa melayu menyatakan:

    bulat air oleh pembuluh,bulat kata oleh sepakat.

    Bulat air karena penyalur,seia sekata karena sepakat.

    Masih banyak pepatah peribahasa dari berbagai masyarakat di daerah-daerah yang

    mengandung seni hukum pemerintahan (ketatanegaraan), keperdataan dan sebagainya,yang

    sudah di tulis dalam kepustakaan dan masih banyak pula tersimpan dan hidup dalam alam

    pikiran dan ungkapan masyarakat yang dapat di gali di lapangan.

    Seni hukum itu adalah rasa keindahan hukum yang timbul dari pikiran dan dinyatakan dalam

    bentuk tanda-tanda dan kata-kata yang bersifat penjelmaan rasa astetika (Herbert

    Read,1959: 16; S. Gazalba,1963: 50),khasusnya rasa estetika tentang hukum dalam

    masyarakat.

    4. System dan Konsepsi HukumSuatu sistem adalah suatu keasatuan atau kebulatan dari beberapa unsur yang

    fungsional yang saling bertautan antara yang satu dan ang lain. Dalam system ilmu

    pengetahuan hukum yang umum terbagi atas dogmatic hukum, sejarah hukum, ilmu hukum

    perbandingan, politik hukum,sosiologi hukum dan ilmu hukum yang umum, termasuk pula

    antropologi hukum. Antara setiap unsure itu saling bertautan, sehingga merupakan kebulatan

    pengertian. Pengertian system di masud tidak akan di ketemukan jika akan membahas system

    hukum local yang sifatnya sederhana dan kebanyakan hukumnya tidak tertulis.

    Apabila kita kaitkan dengan ilmu hayat seperti yang disebut system peredaran darah,

    ma ak yang di maksud dengan system adalah suatu cara yang mekanismenya mempunyai

    pola yang tetap dan bersifat otomatis. System hukum dalam antropologi yaitu sitem hukum

    local atau system hukum pedesaan. System hukum local ini menunjukan mekanusme dari

    seperangkat fungsi dan peranan yang saling bertautan dalam proses hukum yang

    berkesinambungan dari suatu masyarakat. Jadi system hukum ini terikat pada pola idealnya.

  • 8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum

    6/16

    Pola ideal yang di maksud adalah pola budaya hukum yang di kehendaki berlaku oleh

    masyarakat tertentu, dan merupakan pola dasar yang tercermin dalam berbagai bentuk

    konsepsi, sebagai pandangan hidup, cita hidup, cita hukum, norma hukum dan prilaku,

    dimana antara yang satu dengan yang lain secara fungsional saling bertautan sebagai suatu

    system hukum. Misalnya pola ideal bangsa Indonesia adalah pancasila, maka pandangan

    hidup, cita hukum, norma hukum, prilaku konsepsinya berporos pada pancasila, sehingga

    pandangan hidup dan tujuan hidup nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat pancasila ,

    dan untuk itu maka system hukumnya adalah system huku,m pancasila.

    Oleh karena system hukum adalah juga merupakan intraksi dari sejumlah prilaku

    warga masyarakat yang berpegang pada pola ideal tertentu, maka secara teoritis jika

    masyarakat berubah karena system politil (kekuasaan) berubah hukumnya akan berubah pula.

    Sebagai warga Negara ia tunduk pada pola ideal Negara, sebagai warga agama ia tunduk

    pada pola ideal agama, sebagai warga adat ia tunduk pada pola ideal adat.

    Di lingkngan masyarakat adat yang masih sederhana, yang tipe budayanya parochial-

    subjek, maka system hukumnya tetap dan sedikit sekali mengalami perubahan, pola idealnya

    sempit dan terbatas. Warga masyarakat lebih banyak bersifat paternal (kebapaan) atau

    patriomanial (mewarisi kebapaaan), sehingga system hukunya bersifat turun temurun, dimana

    para pemuka adat berfungsi dan berperan.

    Dalam system hukum adat local yang tradisional berlaku konspsi kelembagaan hukum

    yang tradisional, hukum adat yang berlaku turun temurun dari zaman nenek moyang masih

    Nampak dipertahankan. Namun semua konsep hukum adat kebanyakan tidak tertulis dengan

    sistematik dan tidak di kodifikasi.

    Konsep hukum adat yang bercorak keagamaan Nampak dari lembaga dan prilaku

    warga masyarakatnya yang berlatar belakang pada adanya pengaruh kekuasaan Tuhan Yang

    Maha Esa. Masih percaya pada adanya kekuatan Ghaib,adanya roh-roh leluhur yang di

    anggap selalu memperhatikan prilaku anak cucu yang masih hidup. Konsepsi hukum adat

    yang bercorak kebersamaan (komunal) Nampak dari lembaga dan prilaku warga masyarakat

    yang berlatar belakang pada pola ideal yang tradisional, yaitu asas kekeluargaan, tolong-

    menolong, dimana kehidupan manusia itu beersifat altruis yang tidak semata-mata

    mementingkan diri sendiri tetapu juga memperhatikan kepentingan orang lain. Konsepsi adat

    yang bersifat konkrit dan visual Nampak dari lembaga dan prilaku warga masyarakat yang

    sederhana, yang menginginkan apa yang di hadapinya berlaku dengan terang dan tunai tidak

    tersembunyi. Konsepsi hukum adat yang sifatnya terbua dan sederhana, terbuka artinya tidak

    tertutup kemungkinan untuk menyesuaikan hukum yang ideal dengan keadaan waktu dan

  • 8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum

    7/16

    tempat, tidak tertutup kemungkinan untuk menerima perubahan karena pengaruh dari luar,

    asal saja tidak bertentangab dengan hal-hal yang asasi. Sederhana artinya bahwa perubahan

    prilaku hukum itu tidak memerlukan banyak tata cara yang di jadikan persyaratan, asal saja

    segala sesuatunya di selesaikan dengan baik, dengan musyawarah dan mufakat, bukan karena

    paksaan.

    Dengan demikian konsepsi hukum adat local itu dapat berubah dan di ubah, isalnya

    dengan mengubah struktur masyarakat yang tradisional dengan struktur masyarakat yang

    modern. Pada kenyataannnya konsepsi hukum yang bersifat nasional mudah di terima oleh

    masyarakat dalam hal-hal yang menyangkut kebutuhan social ekonomi, tetapi yang

    menyangkut social budaya dan agama, terutama dalam bidang hukum kekeluargaan dan

    prilaku keagamaan merupakan soal yang peka terhadap masyarakat.

    Pada akhirnya dalam kita membicarakan tentang system hukum dan konsepsi hukum

    ini hendaknya tidak menerimanya sebagai suatu kebenaran, oleh kareana pada hakikatnya

    setiap system atau konsepsi itu sifatnya tertutup, karena bentuk dan pengertiannya sudah di

    tentukan lebih dahulu menurut asas-asas tertentu.

    5. Masyarakat AdatMenurut pengertian Antropologi masyarakat adalah suatu kesatuan hidup manusia

    yang berinteraksi satu sama lain menurut system adat tertentu, yang sifatnya teruus menerus

    dan terikat dengan rasa identitas bersama. Kesatuan hidup manusia itu ada yang ikatannya

    bersifat tradisional dan ada yangikatannya sudah maju (modern) dalam bentuk organisasi

    perkumpulan yang teratur. Susunan masyarakat itu menunjukan rangkaian hubungan antara

    komponen yang mewujudakan susunannya. Komponen-komponen itu terdiri dari

    keanggotaan masyarakat adat bersangkutan yang taut menaut berpangkal tolak dari pola ideal

    masyarakatnya yang primordial atau yang baru. Kesatuan-kesatuan masyarakat itu

    mempunyai nama atau sebuatan , seperti kerabat atau suku, amrga, desa, daerah atau menurut

    golongannya. Adanya kesatuan-kestuan itu karena manusia cenderung hidup berkelompok.

    Kcenderungan mngelompok Nampak lebih kuat berlaku di kalangan masyarakat adat

    berdasarkan ikatan kekerabatan dari pada masyarakat adat berdasarkan ikatan ketetanggan

    atau kedaerahan. Perubahan kecenderungan itu dapat di perhatikan prilaku manusianya yang

    dalam sosiologi di sebut pergaulan.

    Perkembangan masyarakat, pergaulan hidup yang kian meluas menimbulkan

    penghayatan-penghayatan baru dan penilaian-penilaian yang baru dan meluas. Marbangumn

    menyatakan bahwa penghayatan budaya jawa sudah mulai tampak tererosi oleh selera-selera

    baru. Akibatnya maka anggota masyarakat adat yang lama cenderung pula memasuki

  • 8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum

    8/16

    pengelompokan cara hidup yang baru. Dalam kehidupan masyarakat terdapat berbagai unsure

    pranata kedudukan kemasyarkatan dan peranannya yang merupakan suattu kerangka yang

    saling berkaitan dan menunjukan bagaimana susunannya.

    Menurut Ter Haar susunan masyarakat hukum adat dapat dilihat dari dua dasar ikatan,

    yaitu yang berdasarkan keturunan (genealogis) dan yang berdasarkan tempat kediaman

    (territorial) Ter Haar/Soebekti Poesponoto. Dalam perkembangannya di karenakan

    masyarakat pergaulannya kian meluas, maka ada juga yang mengelompok ke dalam ikatan

    yang berdasarkan kekayaan.

    Manusia dewasa ini telah di pengaruhi oleh tiga macam prilaku, yaitu prilaku

    kekerabatan, ketetanggaan dan kekaryaan. Pada masyarakat kekerabatan tidak dikenal batas

    ruang lingkup tempat kediaman. Batasannya hanya dapatdi ukur dari akrab tidaknya

    hubungan yang berlaku di antara warga adat yang satu dengan warga adat yang lain.

    Prilaku ketetanggaan dapat di lihat dari sikap tindak warga masyarakat ketetanggan,

    menurut tempat kediaman di pedukuhan, kampong dan desa atau kesatuan dari beberapa

    kampong yang dahulu di sebut mukim, kuria, nagari, marga, negorei dan sebagainya.

    Masyarakat ketetanggan ini terbatas ruang lingkup hubungan kewargaannya pada tempat

    kediaman yang dalam istilah jawa di sebut tetangga tepara, yang berdekatan rumah.

    Ketetanggan di desa-desa di pedalaman lebih akrab dari ketetanggan di desa-desa yang telah

    di pengaruhi kehidupan kota, kehidupan tolong-menolong atau gotong royong tenaga lebih

    Nampak di giatkan di desa dari pada di kota. Di karenakan warga kota bersifat heterogen,

    bercampur baur antara golongan masyarakat yang berlainan kedudukannya.

    Kelanggenagan hubungan du antara tetangga tergantung pada lama tidaknya

    seseorang atau keluarga menetap di tempat kediaman itu. Sejauh mana kekuatan ikatan

    ketetanggan itu tergantung pada rasa persaudaraan, ia bersifat perseoangan oleh karena tidak

    ada tali pengikat yang lain seperti dalam masyarakat kekerabatan.

    Prilaku kekaryaan dapat di lihat dari sikap tinadak warga masyarakat kekaryaan,

    menurut bidang karyanya, kegiatan usahanya, dan kepentingannya, serta perhatiannya

    misalnya dalam ikatan organisasi perkumpulan, ikatan pekerjaan yang sama, di mesjid di

    pengajian dan sebagainya termasuk kedalamnya dalam kegiatan-kegiatan politik dan lainnya.

    Kesemuanya yang bersifat tetap dan terus-menerus. Baatas ruang lingkup hubungan

    keanggotaannya hanya pada adanya kekaryaan itu, misalnya karena kegiatan koprasi dan

    lain-lain. Apabila anggota meninggalkan kekaryaannya itu maka lunturlah hubungan

    kekaryaannya.

  • 8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum

    9/16

    Jika ada perselisihan dalam sengketa mengenai urusan keluarga penyelesaiannya

    dengan para anggota kerabat, kepala kerabat atau kepala adat. Jika ia berselisih semngketa

    mengenai urusan tetangga makapenyelesaian damainya dengan kerabat dan tetangga atau

    minta bantuan kepada kepala kampong, kepala desa atau lurah. Jiaka ia berselisih sengketa

    mengenai urusan kekaryaan, maka jalan penyelesaiannya dengan perantaraan teman sekerja

    atau meminta bantuan kepala kantornya. jika Ia berselisih sengketa mengenai organisasi

    perkumpulan atau keagamaan, maka jalan penyelesaian damai dengan perantaraan teman

    sekarya, seorganisasi, seagama, dan sebagainya.

    BAB IV

    PRILAKU DALAM BEBERAPA MASYARAKAT DI SUMATERA

    Lapangan penelitian antropologi hukum ditujukan pada garis prilaku manusia yang

    terus-menerus terjadi, pola ulang prilaku manusia yang selalu ama dan sering berlaku, itulah

    yang merupakan norma, dan apabila norma itu mempunyai akibat hukum, yang menimbulkan

    hak dan kewajiban, yang mempunyai sanksi, maka norma itu merupakan norma hukum. Oleh

    karena hukum itu dapat terjadi karena danya hubungan kepentingan seseorang, sebagaimana

    dianut perundangan bahwa semua persetujuan yang dibuat sah berlaku sebagai undang-

    undang bagi mereka yang membuatnya (pasal 1338 KUH Perdata).

    Berbagai prilaku manusia dalam beberapa lingkungan masyarakat adat di sumatera :

    1. Prilaku Orang AcehSemua orang yang berasal dari daerah istimewa aceh adalah orang aceh. Kecuali

    orang-orang Gayo dan Alas yang sistem kemasyarakatannya berdasarkan kekerabatan, maka

    seluruh masyarakat aceh merupakan masyarakat teritorial keagamaan. Walaupun masih

    nampak adanya pengaruh keturunan bangsawan dengan gelat teuku bagi keturunan pria dan

    gelar cut bagi keturunan wanita yang demikian banyaknya, orang-orang aceh tidak mengenal

    sistem klen. Kehidupan yang bersifat parental atau bilateral mendiami tempat kediaman yang

    disebut mukim, gampong atau meunasah, yang dipakai oleh kepala mukim, keucik

    (kepala kampung) dan teuku kepala meunasah (pusat pengajian kampung), disamping orang-

    orang tua selaku pemuka masyarakat setempat, merekalah yang berprilaku sebagai kepala

    adat dan berperan menjadi penengah atau jurudamai dalam menyelesaikan perselisihan adat

    setempat.

    Orang aceh tidak biasa dalam pertemuan warga masyarakat menanyakan hubungan

    kekerabatan, mengusut-usut pertalian daerah atau pertalian perkawinan seperti orang batak

  • 8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum

    10/16

    atau orang lampung. Bagi mereka hubungan persaudaraan atau kekerabatan cukup dengan

    pertalian keagamaan islam, dengan mengucapkan salam assalamualaikim sudah merupakan

    langkah terbuka untuk menjain pembicaraan selanjutnya.

    Bagi orang aceh agama islam merupakan hal yang sangat sensitif, ia memandang

    dirinya identik dengan islam. Baginya yang dikatakan hukum adalah hukum islam yang

    berjalan bersama dengan adat, oleh karenanya adat harus sesuai dengan hukum islam, adat itu

    mempunyai sanksi dan tidak bisa dipisah dengan hukum islam, ia merupakan mata putih

    dengan mata hitam. Pepatah aceh mengatakan hukom ngon adat lagee zat ngon sipheuet,

    hukum dengan adat itu seperti zat dengan sifat. Adat dalam arti kebiasaan yang tradisional

    menurut bahasa Aceh disebut reusam, dari kata arab rasam yang artinya kebiasaan, cara,

    adat istiadat.

    Prilaku hukum dalam kekeluargaan Aceh dapat dilihat dari cara pembentukan

    keluarganya melalui cara perkawinan, yang diadakan dengan cara pelamaran dari orang tua

    pihak pria kepada orang tua pihak wanita. Menurut adat lama dapat terjadi kawin gantung,

    tetapiyang kebanyakan terjadi adalah perkawinan anak sudah dewasa, terutama diantara pria

    dan wanita yang sekampung atau semukim. Perkawinan dengan luar kampung, luar daerah,

    luar negeri kebanyakan terjadi dikalangan orang-orang bangsawan, hartawan, ulama atau para

    terpelajar yang pergaulannya sudah luas.

    Lamaran untuk perkawinan dimulai dari pihak pria kepada orang tua pihak wanita,

    oleh karena kata orang aceh, kon mon mita tima yang maksudnya bukanlah sumur mencari

    timba, apabila orang tua bujang telah setuju untuk melamar seorang gadis maka ia mencari

    orang yang semartabat dengan dia untuk dijadikan seulangke, yang akan berfungsi dan

    berperan mewakili orang tua bujang guna melaksanakan pertemuan dengan orang tua gadis,

    didalam pelaksanaan tugas-tugas terhormat tersebut seulangke akan mendapat balas jasa dari

    pihak bujang.

    Menurut adat aceh tidak di kenal pergaulan bujang gadis secara langsung, anak-anak

    muda dilarang mendatangi rumah gadis, apalagi masuk-mamsuk ke bawah rumah gadis,

    berbicara di dapur atau di luar dinding rumah seperti di lampung. Jika mereka sudah keluar

    dari kampung halaman menjadi pelajar, mahasiswa, karyawan, dan sebagainya, tentu saja

    perkenalan antara muda-mudi sudah bebas, sudah nampak pemuda-pemudi berpesiar ke

    pantai-pantai laut saling mengadu kasih cinta. Hal mana berlaku diluar pengetahuan orang

    tuanya, tetapi jika pergaulan mereka akan meningkat ke jenjanng perkawinan, maka harus

    dilakukan dengan lamaran.

  • 8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum

    11/16

    Apabila seulangke berhasil menjumpai orang tua gadis dan lamaran terhadap anak

    gadisnya diterima, maka untuk selanjutnya seulangke bersama ayah si pemuda menghadap

    keuchiq dan teungku meunasah di kampung pihak gadis, untuk melaporkan maksud

    pelamaran dan menentukan hari baik guna menyerahkan tanda pertunangan (peukong

    haba/narit). Pada hari yang telah ditentukan bersama, orang tua pria yang didampingi

    seulangke, keunchiq, Teungku/imeum munasah dan beberapa kerabat pria berkunjung

    ketempat wanita dengan membawa tanda pertunangan (konghaba/narit), tanda pertunangan itu

    disertai sirih yang terssusun (ranub dong) dan perhiasan emas, dalam penyerahan tanda

    pertunangan itu kedua pihak berbicara sahut menyahut dengan kata-kata adat yang berirama

    penuh sopan dan hormat. Penyampaian hadiah pertunangan tersebut akan dibalas pula oleh

    pihak wanita (dara baro) dengan 2-3 talam bahan makanan (halwa meuseukat) disertai pula

    sirih tersusun (ranub gapu) untuk pihak pemuda (linto).

    Selama masa pertunangan di sekitar waktu satu bulan atau sampai masa panen

    berikutnya, llinto dilarang berkunjung ke rumah dara baro, ia dilarang berbicara dengan dara

    baro atau calon mertuanya, kecuali dalam keadaan luar biasa misalnya ada musibah di tempat

    dara baro. Tetapi dimasa sekarang adat ini sudah dilanggar, oleh karena sudah ada calon

    mertua yang berbicara dengan linto mengenai rencana perkawinan dengan anaknya.

    Andaikata selama waktu pertunangan terjadi putus pertunangan dikarenakan kesalahan

    linto misalnya linto kawin dengan gadis lai, maka semua hadiah perkawinan menjadi milik

    dara baro. Sebaliknya jika pertunangan putus karena salah dara baro, misalnya dara baro

    berbuat tidak baik dengan pemuda lain, maka hadiah pertunangan dikembalikan semua

    kepada pihak linto. Jika putus pertunangan itu dikarenakan salah orang tua gadis, misalnya

    secara diam-diam telah menerima lamaran pemuda lain, maka hadiah pertunangan harus

    dikembalikan ayah gadis dua kali lipat dari jumlah semula kepada pihak bujang.

    Untuk mempersiapkan upacara perkawinan kedua pihak meminta bantuan dan

    menyerahkan pengaturannya kepada Keunchiq dan Teungku Meunasahnya masing-masing

    beserta dengan orang-orang tua. Dalam rangka persiapan perkawinan tersebut maka para

    anggota kerabat terdekat memberikan sumbangan (teumeunteuk) berupa bahan makanan,

    sayur mayur, ternak ayam atau kambing dan sebagainya. Beberapa hari menjelang waktu

    upacara perkawinan mempelai wanita (dara baro) dilakukan penginayan (bohgaca), sekurang-

    kurangnya menghias kuku-kuku jarinya.

    Untuk pelaksanaan akad nikah pihak dara baro menyediakan tikar perkawinan, wadah

    air (mudam) untuk linto berkumur agar lancar berbicara menerima penyerahan wali.

    Sedangkan maskawin (jeunamee) disediakan pihak linto. Besarnya mas kawin menurut adat

  • 8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum

    12/16

    lama yaitu 25 ringgit aceh untuk orang biasa, 50 ringgit untuk keluarga Keuchiq atau Teungku

    Meunasah, 100 ringgit untuk keluarga raja (Cut Meurah) atau Uleebalang dan 500 ringgit

    untuk Teungku-Raja. Sedangkan biaya akad nokah menurut adat lama untuk Keuchiq

    ringgit, untuk Teungku Meunasah 1 ringgit, dan untuk para saksi ringgit.

    Setelah akad nikah selesai maka linto di antar ke tempat dara baro (antat linto), sampai

    di rumah dara baro para tamu dipersilakan lebih dahulu mengambil tempat, baru kemudian

    linto baro dibawa menuju ke kamar dan baro yang telah menunggu di dalamnya (juree).

    Selesai acara pesta perkawinan itu linto kembali ke rumah orang tuanya, dan keesokan

    malamnya barulah ia ke rumah isterinya lagi dengan ditemani oleh beberapa anggota

    kerabatnya pria dan wanita. Ia hanya berkenalan denngan tetangga dan kerabat isterinya,

    setelah itu ia kembali lagi ke rumah orang tuanya, setelah enam bulan berlalu barulah linto

    dapat menetap ditempat istrinya untuk seterusnya. Isteri aceh menurut adat memang menetap

    dikampungnya dan di rumah pemberian ayahnya padanya (rumah peunulang). Ia tidak boleh

    dibawa pergi dari kampungnya maka menjadi kewajiban suami untuk membuatkan rumah

    untuk menjadi miliknya. Setelah suami menetap di rumah isterinya, maka setelah beberapa

    tahun, ibu dari suami dengan beberapa anggota kerabat datang menjenguk (saweue) anak dan

    mantunya serta untuk menjemput mantunya itu (Tueng dara baro) untuk bermalam dirumah

    orang tua suami dan mengakrabkan hubungan dengan para anggota kerabat suami.

    Sudah menjadi adat tradisional bagi orang tua aceh terutama di Aceh Besar dan aceh

    Pidie menyediakan rumah bagi anak-anak wanita. Oleh karenanya maka kecenderungan

    perkawinan di Aceh bersifat materilokal dan orang tua isteri menetap dengan anak wanita dan

    cucu-cucunya, walaupun ia akan memilih tempat tidur di ruang belakang atau di bagian dapur

    dalam rumah anak wanitanya. Selain pemberian rumah kepada anak-anak wanita sudah

    menjasi adat Aceh bahwa orang tua akan memisahkan sebagian harta tetap atau harta

    bergeraknya kepada anak-anaknya yang menjelang dewasa atau akan berumah tangga, asal

    saja pemisahan harta itu tidak melebihi 1/3 dari semua harta yang akan ditinggalkannya.

    Setiap anak yang mendapat bagian harta yang dipisah dari orang tua wajib mengurus dan

    memelihara harta itu dengan baik, apabila kelak anak-anaknya tidak dapat mengurusnya

    dengan baik bahkan akan menghabiskannya maka orang tua dapat menarik harta itu kembali

    dalam kekeuasaannya. Jika kesalahan dalam pengurusan harta itu disebabkan perbuatan dari

    mantunya, misalnya karena tidak bisa memelihara dan hidup boros, ada kemungkinan menjadi

    alaan untuk anaknya bererai dari suaminya.

    Apabila terjadinya putus perkawinan karena suami wafat, jika isteri masih dalam masa

    belum mendapat harta pemisahan dari orang tuanya, maka isteri akan mendapatkan dari

  • 8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum

    13/16

    maskawinnya. Kemudian menjadi kewajiban mertuanya atau pihak suaminya mencarikan

    ganti suami baginya baik dari anggota kerabat suami maupun orang lain yang disetujui

    kerabat suami, jika orang tua suaminya orang beada ia mungkin pula akan mendapat bagian

    dari harta peninggalan mertuanya. Tentang harta yang diperoleh bersama suami isteri selama

    dalam ikatan perkawinan, apabila suami wafat, maka isteri akan mendapat bagian menurut

    adat setempat, atau isteri mewarisi harta pencarian itu untuk mengurus kehidupan rumah

    tangga dan anak-anaknya.

    Jika putus perkawinan karena isteri wafat, apalagi jika keluarga itu baru mempunyai

    satu dua anak dimana suami sepenuhnya membiayai keluarganya, karena keluarga masih

    menjadi tanggungan orang tua isteri (masa goh pumeukleh), maka suami hanya mempunyai

    hak untuk mendapatkan kembali (hak balee) setengah dai mas kawin yang diberikan kepada

    isterinya. Putus perkawinan di Aceh yang bukan karena kematian adalah dikarenakan

    perceraian yang berlaku menurut hukum Islam, yaitu cerai talak (taleuk), cerai fasakh dan

    cerai khulu. Cerai talak terjadi karena disebabkan suami melepas ikatan perkawinan atau

    memutuskan hubungan suami isteri dengan alasan atau tanpa alasan, cerai fasakh dilakukan

    dengan keputusan hakim atas dasar pengaduan isteri dengan alasan misalnya karena suami

    gila, berpenyakit kusta, lemah syahwat, miskin dan sebagainya. Tetapi pada kenyataannya

    yang banyak terjadi di Aceh adalah cerai fasakh. Cerai khulu akan berlaku apabila isteri

    bersedia membayar iwadl (pengganti) kepada suami. Biasanya pembayaran iwadl yang

    berlaku adalah mengembalikan nilai mahar atau baranng-barang lainnya menurut jumlah

    tertentu yang disetujui suami atau menurut keputusan hakim agama.

    Dalam penelitian yang telah dilakukan terhadap maslah perceraian di Aceh, antara lain

    pada Tahun 1972 oleh pusat penelitian ilmu-ilmu sosial Aceh di kevamatan Mutiara

    Kabupaten Pidie terhadap 154 kasus perceraian, nampak bahwa terjadinya perceraian itu

    adalah disebabkan alasan-alasan yang bersifat ekonomi, tingkah laku, biologis dan campur

    tangan pihak lain. Dari tabel yang dikemukakan dari hasil penelitian tersebut menunjukan

    perceraian lebih banyak terjadi dikarenakan perminntaan isteri daripada yang dilakukan

    suami. Alasan-alasan ekonomi mengapa isteri meminta cerai di kecamatan mutiara adalah

    dikarenakan suami kurang memberi nafkah, suami dikatakan tidak bertanggung jawab, suami

    meninggalkan isteri tidak pulang dan suami malas. Sedangkan alasan suami menceraikan

    isterinya adalah dikarenakan isteri terlalu boros. Alasan-alasan tingkah laku mengapa istri

    meminta cerai adalah dikarenakan tindakan suami kejam dan tidak patuh. Sedangkan

    mengapa suami menceraikan isterinya dengan alasan tingkah laku karena isteri tidak patuh

    (setia) dan suka pergi keluar rumah. Alasan-alasan yang bersifat biologis mengapa istri

  • 8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum

    14/16

    meminta cerai dikarenakan dimadu, suami mempunyai isteri lain. Sedangkan mengapa suami

    menceraikan isterinya karena alasan biologis, kebanyakan karena isteri melakukan perbuatan

    serong atau tidak punya keturunan. Alasan-alasan yang menjadi sebab perceraian karena ada

    pihak lain yang campur tangan, dari pihak isteri mengapa meminta cerai karena campur

    tangan orang tua, sedangkan mengapa suami menceraikan istrinya karena isteri dibujuk rayu

    orang lain.

    Menurut adat jika isteri dicerai suami maka sebaliknya sebelum suami meninggalkan

    rumah isteri, ia memperbaiki kerusakan-kerusakan rumah, misalnya memperbaiki atap

    dinding lantai tangga rumah, pagar pekarangan, dinding (keupalang) sumur dan diberinya

    pula pakaian untuk istrinya. Selama masa idah suami mengirimkan nafkah pada isterinya, jika

    ada anak-anak, maka semua anak tinggal pada isterinya, dan kewajiban suami memberi

    nafkah untuk anaknya dan sewaktu-waktu suami datang menjenguk anak-anaknya. Apabila

    istri tidak mengurus anak-anaknya dengan baik maka suami dapat mengambil anak-anaknya

    itu, jika terjadi perselisihan mengenai anak-anak, maka penelesaiannya dilakukan dihadapan

    Keuchiq dan Teungku Meunasah dengan rukun dan damai, biasanya anak yang masih

    menyusu tetap dipelihara ibunya dengan bantuan biaya suaminya sedangakan yang sudah

    agak besar dapat ikut suami, dan apabila sudah besar boleh memilih ikut ayah atau ibunya.

    Jika terjadi perceraian maka areuta peunulang tetap tinggal pada isteri menjadi areuta

    tuha untuk diberikan dan dibagikan kepada anak-anaknya dikemudian hari. Sedangkan

    mengenai areuta sihareukat dapat dibagi berimbang banyaknya antara suami dan istri atau

    sepertiga bagian bagi istri dan dua pertiga bagian bagi suami sebaliknya menurut keadaan

    setempat dan sejauh mana istri ikut berperan dalam pengumpulan harta pencarian itu. Dengan

    demikian dalam keluarga Aceh yang hidup rukun sampai umur tua, ada kemungkinan

    mempunyai tiga macam harta yang akan menjadi harta warisan bagi para waris dari pewaris

    yang wafat, yaitu areuta tuha, areuta peunulang dan areuta sihareukat. Areuta Tuha adalah

    harta yang menjadi milik suami istri (ayah-ibu) masing-masing yang berasal dari hibah,

    wasiat atau warisan orang tua masing-masing. Areta Peunulang adalah harta yang dimiliki

    istri (ibu) berasal dari pemberian orang tua atau mertua ketika berpisah hidup berumah tangga

    sendiri (dipeungkleh).

    Menurut hasil penelitian Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas

    Syiah Kuala tahun 1980/1981 di daerah tingkat II Aceh Besar, apabila pewaris wafat, maka

    yang berhak menjadi waris adalah semua anak pria dan wanita, semua cucu dari anak laki-

    laki, ayah dan ibu kakek dan nenek, sudara laki-laki, paman, anak-anak paman, janda dan atau

    duda yang mamsih hidup. Jika pewaris tersebut semuanya ada maka yang diutamakan

  • 8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum

    15/16

    mendapat bagian warisan adalah ayah dan ibu mendapat 1/6 bagian, janda 1/8 bagian, duda

    bagian, kemudian anak laki-laki dan perempuan dengan perbandingan anak laki-laki

    mendapat satu bagian, sedangkan anak perempuan setengah bagian.

    Pelaksanaan pembagian warisan (peurae atau weuk-pusaka) dilakukan dengan

    berpedoman pada hukum islam dan memperhatikan hukum adat, artinya tidak mutlak

    berpegang pada hukum Islam melainkan juga diperhatikan adat yang tradisional yaitu

    kepentingan anak-anak wanita yang diutamakan dari anak-anak laki-laki. Dalam praktek

    pelaksanaan pembagian warisan dilakukan dalam tenggang waktu paling cepat tujuh hari, atau

    44 hari atau 100 hari sejak wafatnya pewaris, maksud tenggang waktu tersebut adalah untuk

    memberi kesempatan bagi para penagih utang atau pembayar yang menyelesaikan utang

    piutang pada waris. Tenggang waktu tersebut juga tidak mutlak, masih diperhatikan jika para

    waris masih ada yang masih anak-anak. Jika demikian pembagian warisan ditangguhkan

    pelaksanaannya sampai anak-anak dewasa, dan warisan dikuasai dalam keadaan tidak terbagi-

    bagi di tangan ayah atau ibu yang masih hidup.

    Menurut hasil penelitian Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas

    Syiah Kuala tahun 1980/1981 di daerah tingkat II Aceh Besar pelaksanaan hibah dapat

    berlaku tidak saja terhadap bangunan rumah atau tanah kepada anak-anak wanita, tetapi juga

    mungkin perhiasan dan ternak yang bukan saja diberikan bagi keperluan anak melainkan juga

    keperluan orang lain. Biasanya penghibahan itu dilakukan orang tua dihadapan keuchiq,

    Teungku Meunasah dan orang-orang tua (Tuha Peuet) serta para ahli waris. Apabila ketika

    hidupnya orang tua belum menghibahkan harta kepada anak-anaknya, maka sebelum ia

    meninggal ia dapa berwasiat (wasiet), meninggalkan pesan tentang harta kekayaan yang akan

    ditinggakannya, baik dengan lisan maupun dalam bentuk tulisan, wasiat itu dikemukakannya

    dengan diketahui oleh Keuchiq, Teungku Meunasah dan Tuha Peuet serta ahli waris. Jumlah

    harta yang diwasiatkan itu juga tidak boleh lebih dari 1/3 bagian harta kekayaannya, baik

    wasiat untuk para ahli waris maupun kepada orang-orang yang berjasa kepada pewaris atau

    untuk maksud tertentu. Jika wasiat melebihi 1/3 bagian dari harta peninggalan maka para ahli

    waris berhak menuntut pembatalannya.

    Anak-anak sebagai ahli waris dibedakan yang pria dan yang wanita, yang pria akan

    mendapat dua bagian sedangkan anak wanita sebagian, sedangkan anak yang lahir di luar

    perkawinan yang sah hanya mewaris dari ibu biologisnya, dan anak tiri hanya mewaris dari

    orang tua yang melahirkannya. Pewarisan itu tidak menimbulkan masalah jika warisnya

    tunggal, jika ahli waris anak laki-laki tunggal maka semua harta peninggalan orang tuanya

    diwarisinya sendiri, ialah yang berkuasa mengaturnya, tetapi jika waris tunggal anak wanita

  • 8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum

    16/16

    maka ia hanyamendapat seperduanya dan jika anak wanita ada dua orang, maka mereka

    berhak atas 2/3 bagian dari harta warisan.

    2. Prilaku Orang BatakOrang-orang batak terdiri beberapa kesatuan masyarakat yang disebut Batak Toba,

    Batak Karo, Batak Simalungun, Pardembanan (Asahan), Batak Pak-Pak (Dairi), Batak

    Angkola, Batak Mandaling. Daerah kediaman asal mereka ialah di daerah pegunungan sampai

    pantai barat dalam Provinsi Sumatra Utara. Budaya hukum orang Batak dipengaruhi ajaran

    kepercayaan asli perbegu, pemujaan roh kerabat yang telah meninggal (Masri Singarimbun-

    Koentjaraningrat, 1964-42), atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Tinggi yang disebut

    Ompu Tuan Mula Djadi na Bolon atau singkatnya Debata, selanjutnya ia mempunyai nama

    lain sebagaimana dikemukakan PH.O.L.Tobing.

    As the god of the upperworld he is not only called Mula Djadi na Bolon, but also

    Tuan Budi na Bolon; as the God of the middleworld he has the same names, but also

    the name of Ompu Silaon na Bolon (=Radja Pinangkabo); as the God of the

    underworld, of the sea and the lightning he is not only called Mula Djadi na Bolon,

    but also Tuan Pane na Bolon (PH.O.L.Tobing, 1963 : 35)

    Jadi menurut kepercayaan asli Batak (Toba) ada Dewata penguasa dunia atas, Dewata

    penguasa dunia tengah dan Dewata penguasa dunia bawah, selain itu orang batak juga

    dipengaruhi ajaran Hindu Jawa (Budha Tantrik) dalam abad ke-13. Namun kemudian

    orangBatak dipengaruhi ajaran Islam, terutama didaerah Angkola dan Mandailing dan ajaran

    Kristen di daerah Toba dan lainnya. Hal mana tidak berarti tidak ada orang batak Toba, Karo

    yang beragama Islam atau sebaliknya beragama Kristen. Bahkan adakalanya dalam satu

    keluarga Batak suami beragama Islam istri beragama Kristen atau orang tua beragama Islam

    anak beragama Kristen. Apalagi orang-orang Batak sudah banyak yang merantau dan terjadi

    perkawinan antar suku dan atau perkawinan dengan orang asing.

    Hubungan kekerabatan orang Batak didasarkan pada adanya pertalian darah yang

    ditarik menurut garis keturunan ayah (genea-logis patrilineal) dan pertalian perkawinan antara

    pihak pemberi dara (Toba:Hula-Hula, Karo: Kalimbubu) dengan pihak penerima dara (Toba:

    Boru, Karo: Anak Beru). Jadi setiap anak pria atau wanita Batak akan menarik garis

    keturunannya melalui garis ayah, dengan memakai nama marga ayah.