Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum
-
Upload
wahid-abdulrahman -
Category
Documents
-
view
229 -
download
0
Transcript of Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum
-
8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum
1/16
RESUME MATA KULIAH ANTROPOLOGI HUKUM
BAB III
BUDAYA HUKUM DAN MASYARAKAT
1. Pengertian Budaya HukumHal-hal yang merupakan milik bersama itu dalam Antropologi Budaya di namakan
Kebudayaan. Budaya hukum adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu
terhadap gejala-gejala hukum. Jadi suatu budaya hukum menunjukan tentang pola prilaku
individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama
terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan.
Ketika membicarakan budaya hukum tidak terlepas dari keadaan masyarakat, sistem
dan susunan masyarakat yang mengandung budaya hukum itu. Misalnya bagaimana tentang
sikap prilaku dan tanggapan masyarakat tertentu terhadap sikap prilaku dan pandangan
masyarakat yang lain.tanggapan yang sama itu dapat bersifat menerima atau bersisaf menolak
budaya hukum yang lain.
Masyarakat indonesia tidak akan dapat menerima adat suku indian yanomano dari
perbatasan venezuela brazil yang menganjurkan kepada anak anak yang marah kepada
bapaknya agar memukul bapaknya.memukul bapak bagi suku yanomano merupakan
perbuatan yang terpuji.
Maksud pembahasan budaya hukum adalah agar dapat mengenal ciri ciri (atribut)
yang asasi untuk mengkaji proses yang berlanjut maupun yang berubah atau yang seirama
dengan perkembangan masyarakat dikarenakan sipat kontrol sosial itu tidak selamanya tetap.
Dikarenakan pemahaman (persepsi) budaya hukum.berkaitan dengan peradaban dan
teknologi,makatidak salahnya budaya hukum itu juga di sebut peradaban hukum.budaya
hukum itu meliputi orientasi pribadi yang berlatar belakang pada pengetahuan dan
pengalaman seseorang yang menyebabkan adanya penilaian,adanya penilaian itu lebih dekat
pada pengertian peradaban dari pada kebudayaan.
Dengan demikian budaya hukum itu merupakan tangapan yang bersipat penerima atau
penolakan terhadap suatu peristiwa hukum.sistem hukum merupakan hubungan yang kait
mengait di antara manusia,masyarakat,kekuasaan dan aturan aturan,maka titik perhatian
antropologihukum pada perilaku manusiayang terlibat dalam peristiwa hukum.kaitan antara
perilaku hukum manusia dengan budaya hukumnya terletak pada tanggapannya terhadap
hukum yang ideologis dan hukum yang praktis dengan sudut pandangan yang eklektika.
Tercapainya kesepakatan dalam penyelesaian suatu perselisihan hokum dalam
mayarakat, yang merupakan pencerminan budaya hokum, yaitu pencerminan dari nilai-nilai
-
8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum
2/16
budaya mengenai hokum dan keadilan yang dirasakan masyarakat, yang dikehendaki dab
dibenarkan oleh masyarakat bersangkutan.
Kepustakaan antriopologi budaya hokum adat di Indonesia begitu pula bahan-bahan
tertulis dan tercatat , seperti cerita rakyat, prosa dan puisi pedesaan, pepatah dan pribahasa
setempat yang telah terkumpul maupun yang masih berbeda di lingkungan masyarakat,
merupakan sumber bahan untuk mengenal budaya hokum masyarakat pedesaan Indonesia.
2. Tipe Budaya HukumPada masyarakat yang parokikal (picik) tanggapannya terhadap hokum hanya terbatas
dalam lingkungannya sendiri. Masyarakat demikian masih kuat bertahan pada tradisi
hukumnya sendiri, kaidah-kaidah hokum yang telah di gariskan dari zaman leluhur
merupakan azimat yang pantang di ubah. Pemimpinnya sebagai kepala suku dan sekaligus
sebagai kepala adat ataupun sebagai kepala agama. Ia bertindak sebagai kepala polisi, jaksa
penuntut serrta sebagai hakim dan memutuskan perselisihan warga adatnya. Jika
pemimpinnya bersifat egosentris, maka ia lebih mementingkan dirinya sendiri dan sulit
untuk berurusan dengan orang lain. Jika sifatnya altruis, maka warga masyarakatnya
mendapat perhatian. Namun pada umumnya masyarakat yang sederhana sifat budaya
hukumnya, etnosentris, lebih mengutamakan dan membanggakan bidaya hokum sendiri.
Dalam masyarakat budaya parochial, penilaian terhadap sejarah dan penerapan hukum
setempat lebih banyak didasarkan pada ingatan dan kesemuanya di kembalikan kepada
sesepuh adat. Semua aturan yang merupakan keluaran (output) dari pemimpin jarang di
bantah atau takut di bantah, takut pada adanya sanksi gaib dan sebagainya. Sehingga diri
pribadi demikian tidak berkembang dan tidak mudah menerima budaya hokum yang baru.
Orientasi pandangan mereka terhadap aspek hokum yang baru sudah ada, sudah ada sikap
menerima atau menolak, walaupun cara pengungkapannya bersifat pasif, tidak terang-
terangan atau masih tersembunyi, dikarenakan sifat prilakunya prilaku takluk, ikut saja pada
apa yang di atur penguasa baik langsung atau tidak langsung.
Warga masyarakat yang bersifat menaklukan diri ini, menganggap dirinya tidak
berdaya mempengaruhi apalagi akan berusaha mengubah system hokum, konsepsi hokum,
keputusan hokum, norma hokum, yang dihadapinya, walaupun apa yang Nampak di sajikan
kepadanya dirasakan bertentangan dengan kepentingan ribadi dan masyarakat.
Dalam masyarakat budaya partisipan (berperan serta) cara berfikir dan berprilaku para
anggota masyarakatnya berbeda-beda, ada yang masih berbudaya takluk, namun sudah
banyak yang merasa berhak dan berkewajiban berperan serta, karena ia merasa sebagai
bagian dari kehidupan hokum yang umum. Disini seseorang sudah merasa mempunyai
-
8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum
3/16
kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hokum dan pemerintahan, ia tidak mau
dikucilkan dari kegiatan tanggapan terhadap masukan dan keluaran hokum, ia ikut menilai
setiap peristiwa hokum dan peradilan, ia merasa terlibat dalam kehidupan hokum baik yang
menyangkut kepentingan umum maupun kepentingan keluarga dan dirinya sendiri.
Di daerah lampung misalnya jauh sejak masa sebelum kemerdekaan cara berfikir, dan
berprilaku masyarakat tulang bawang berbeda dari masyarakat abung, walaupun antara
keduanya termasuk dalam ruang lingkup adat yang sama, yaitu beradat pepadun. Masyarakat
Tulangbawang asal-usul keturunan warga adatnyacampur aduk, tempat kediamannya dekat
pantai, sejak dahulu sudah terbuka sebagai pelabuhan sungai, maka sifat prilakunya yang
primordial mudah berubah. Orang-orang tulang bawang sejak masa sebelum kemerdekaan
sudah banyak bergaul dan mengenal dunia luar dan banyak merantau keluar daerah, disana
sudah banyak terdapat berbagai macam perkuympulan organisasi social, keagamaan dan
politik yang bersifat vertical. Sehingga struktur masyarakat adat dan pengaruh pada pemuka
adatnya sudah lama lemah, bahkan setelah kemerdekaan dapat dikatakan sudah tidak berarti
lagi peranannya.
Budaya hukum sebagaimana di uraikan di atas hanya merupakan sebagian dari sikap
dan perilaku yang mempengaruhi sistem dan konsepsi hukum dan masyarakat
setempat.masih ada faktor faktor lain yang juga tidak kecil pengaruhnya terhadap budaya
hukum,seperti sistem dan kemasyarakatan,kekerabatan,keagamaan,ekonomi dan politik serta
letak tempat kediaman,lingkungan hidup dan cara kehidupan (ecologi),di samping sifat watak
pribadi seseorang,yang kesemuanya saling bertautan.
3. Seni HukumDalam bahasa hukum yang diungkapkan adalah tentang pola prilaku individu dan
orientasinya terhadap kehidupan hukum yang di hayati oleh para anggota dari masyarakat.
Seni hukum orang barat yang di dunia hukum sekarang ini besar pengaruhnya bersikap tegas
dan nyata, sedangkan seni hukum timur,seperti halnya seni hukum adat di Indonesia bersifat
samar samar dan adakalanya sukar di mengerti tanpa memperhatikan penafsiranya yang
umum.hal mana tidak saja seringkali di jumpai dalam peradilan adat (desa) tetapi juga
adakalanya menjelma di hadapan peradilan Negara.
Pada masyarakat sederhana seni hukum dalam bentuk lambang atau peribahasa lebih
besar perananya dari pada masyarakat modern ,pada masyarakat modern seni hukum
merupakan latar belakang pengertian hukum ,sedangkan pada masyarakat sederhana ia
merupakan latar depan.dikarenakan pada masyarakat modern system hukumnya
tertulis,sedangkan pada masyarakat sederhana tidak tertulis.
-
8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum
4/16
Pandangan mengenai tugas hakm; untuk mengetahui ajaran hukum atau untuk
menentukan hukum dalam arti ilmu pengetahuan hukum yang dogmatis dan sistematis;
begitu pula untuk mengetahui pengertian-pengertian hukum begitu juga kekhayalan hukum
(Apeldoorn, 1954:318-345).sedangkan seni hukum dalam masyarakat sederhana di gunakan
untuk memahami apa yang di wujudkan dalam bentuk perlambang atau ungkapan kata
pribahasa baik yang tertulis maupun tidak tertulis,yang di sampaikan dengan lisan. Dengan di
pahaminya maksud perlambang atau pribahasa itu,maka dapat di perkirakan bagaimana
budaya hukum masyarakat bersangkutan.
Apeldoorn melanjutkan bahwa perkembangan hukum dalam menyerahkan tanah di
zaman dahulu di lambangkan dengan menyerahkan segumpal tanah. Kemudian di Jerman
tongkat berperanan penting sebagai perlambang hukum. Di masa sekarang pun penyerahan
tongkat belarti penyerahan jabatan; begitu pula dilakukan pemasangan tanda jabatan bagi
seorang pejabat yang baru,atau juga dengan memasang atribut kebesaran lainya,seperti
mahkota dalam pegangkatan raja atau penyerahan bendera bagi pergantian jabatan
pasukan,dan sebagainya.
Seni hukum dalam perundangan dapat di lihat dari egi politik hukum, apa yang
menjadi alas an tujuan isi dari suatu peraturan begitu pula dapat di lihat dari segi teknik, cara
merumus peraturan tersebut, sehingga dapat di fahami maksud dari pembuat undang-
undangnya. Untuk itu dapat dapat di lakukan dengan study dokumentasi dan kepustakaan. Di
daerah-daerah ada yang masih berlaku dengan pemberian tanda pada sebatang pohon dengan
mengeratkan ranting atau bilah bamboo dengan rotan, perbuatan seperti itu disebut mebeli
atau ngubali , itu di maksudkan bahwa daeerah hutan itu ia akan membuka lading atau
dalam hukum adat ia telah mendapat hak utama atau hak wenang pilih atas bidang tanah itu
untuk di bukanya menjadi lading. Dan sebagai tanda larangan juga untuk membuka tanah itu,
apabila ada pelanggaran maka di ajukan pada peradilan adat yang jadi penengahnya ialah
kepala desa, dihukum dengan diselesaikan meminta maaf dan member tanda seperti member
ayam atau juwadah serambi. Kalau di amerika pemberian ganti rugi di gunakan selembar
kulit yang disebut moccasin, di Indonesia dengan upacara selamatan, dengan memotong
ayam atau kambing.
Perlambang dan tanda-tanda prilaku itu mempunyai arti dan membawa akibat hukum
dalam susunan masyarakat bersangkutan. Dari tanda-tanda itu dapat di perkirakan bagaimana
system hukum dan konsepsi hukum masyarakat tertentu.
Jadi hukum adat masyarakat yang satu berbeda dari masyarakat yang lain, menurut penelitian
para ahli hukum adat ia mempunyai corak-corak umum yang sama,asa-asa hukum material
-
8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum
5/16
yang sama,sebagaimana di uraikan soepono ,hukum adat itu mempunyai sifat kebersamaan
(communal) , magischreligieus,serba kontret dan sangat visual (soepono, 1972;107) yang
oleh Van Dijk di tambahkan dengan bentuk yang tidak dikodifikasi, tradisional, dapat
berubah dan mampu menyesuaikan diri.
Sehubungan dengan hal tersebut maka peribahasa minangkabau menyatakan :
using-usang diperbaharui, lapuk-lapuk dikajangi,nan elok dipakai,nan buruk di buang ,kok
minta diulas,panjang minta di kerat, rumpang hararap di sisit. (nasroen,1971: 25).
Yang penting bagi hukum masyarakat sederhana itu adalah persatuan dan kesatuan
masyarakat, kerukunan dan keseimbangan, dengan pimpinan yang bijaksana. Sebagaimana
peribasa melayu menyatakan:
bulat air oleh pembuluh,bulat kata oleh sepakat.
Bulat air karena penyalur,seia sekata karena sepakat.
Masih banyak pepatah peribahasa dari berbagai masyarakat di daerah-daerah yang
mengandung seni hukum pemerintahan (ketatanegaraan), keperdataan dan sebagainya,yang
sudah di tulis dalam kepustakaan dan masih banyak pula tersimpan dan hidup dalam alam
pikiran dan ungkapan masyarakat yang dapat di gali di lapangan.
Seni hukum itu adalah rasa keindahan hukum yang timbul dari pikiran dan dinyatakan dalam
bentuk tanda-tanda dan kata-kata yang bersifat penjelmaan rasa astetika (Herbert
Read,1959: 16; S. Gazalba,1963: 50),khasusnya rasa estetika tentang hukum dalam
masyarakat.
4. System dan Konsepsi HukumSuatu sistem adalah suatu keasatuan atau kebulatan dari beberapa unsur yang
fungsional yang saling bertautan antara yang satu dan ang lain. Dalam system ilmu
pengetahuan hukum yang umum terbagi atas dogmatic hukum, sejarah hukum, ilmu hukum
perbandingan, politik hukum,sosiologi hukum dan ilmu hukum yang umum, termasuk pula
antropologi hukum. Antara setiap unsure itu saling bertautan, sehingga merupakan kebulatan
pengertian. Pengertian system di masud tidak akan di ketemukan jika akan membahas system
hukum local yang sifatnya sederhana dan kebanyakan hukumnya tidak tertulis.
Apabila kita kaitkan dengan ilmu hayat seperti yang disebut system peredaran darah,
ma ak yang di maksud dengan system adalah suatu cara yang mekanismenya mempunyai
pola yang tetap dan bersifat otomatis. System hukum dalam antropologi yaitu sitem hukum
local atau system hukum pedesaan. System hukum local ini menunjukan mekanusme dari
seperangkat fungsi dan peranan yang saling bertautan dalam proses hukum yang
berkesinambungan dari suatu masyarakat. Jadi system hukum ini terikat pada pola idealnya.
-
8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum
6/16
Pola ideal yang di maksud adalah pola budaya hukum yang di kehendaki berlaku oleh
masyarakat tertentu, dan merupakan pola dasar yang tercermin dalam berbagai bentuk
konsepsi, sebagai pandangan hidup, cita hidup, cita hukum, norma hukum dan prilaku,
dimana antara yang satu dengan yang lain secara fungsional saling bertautan sebagai suatu
system hukum. Misalnya pola ideal bangsa Indonesia adalah pancasila, maka pandangan
hidup, cita hukum, norma hukum, prilaku konsepsinya berporos pada pancasila, sehingga
pandangan hidup dan tujuan hidup nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat pancasila ,
dan untuk itu maka system hukumnya adalah system huku,m pancasila.
Oleh karena system hukum adalah juga merupakan intraksi dari sejumlah prilaku
warga masyarakat yang berpegang pada pola ideal tertentu, maka secara teoritis jika
masyarakat berubah karena system politil (kekuasaan) berubah hukumnya akan berubah pula.
Sebagai warga Negara ia tunduk pada pola ideal Negara, sebagai warga agama ia tunduk
pada pola ideal agama, sebagai warga adat ia tunduk pada pola ideal adat.
Di lingkngan masyarakat adat yang masih sederhana, yang tipe budayanya parochial-
subjek, maka system hukumnya tetap dan sedikit sekali mengalami perubahan, pola idealnya
sempit dan terbatas. Warga masyarakat lebih banyak bersifat paternal (kebapaan) atau
patriomanial (mewarisi kebapaaan), sehingga system hukunya bersifat turun temurun, dimana
para pemuka adat berfungsi dan berperan.
Dalam system hukum adat local yang tradisional berlaku konspsi kelembagaan hukum
yang tradisional, hukum adat yang berlaku turun temurun dari zaman nenek moyang masih
Nampak dipertahankan. Namun semua konsep hukum adat kebanyakan tidak tertulis dengan
sistematik dan tidak di kodifikasi.
Konsep hukum adat yang bercorak keagamaan Nampak dari lembaga dan prilaku
warga masyarakatnya yang berlatar belakang pada adanya pengaruh kekuasaan Tuhan Yang
Maha Esa. Masih percaya pada adanya kekuatan Ghaib,adanya roh-roh leluhur yang di
anggap selalu memperhatikan prilaku anak cucu yang masih hidup. Konsepsi hukum adat
yang bercorak kebersamaan (komunal) Nampak dari lembaga dan prilaku warga masyarakat
yang berlatar belakang pada pola ideal yang tradisional, yaitu asas kekeluargaan, tolong-
menolong, dimana kehidupan manusia itu beersifat altruis yang tidak semata-mata
mementingkan diri sendiri tetapu juga memperhatikan kepentingan orang lain. Konsepsi adat
yang bersifat konkrit dan visual Nampak dari lembaga dan prilaku warga masyarakat yang
sederhana, yang menginginkan apa yang di hadapinya berlaku dengan terang dan tunai tidak
tersembunyi. Konsepsi hukum adat yang sifatnya terbua dan sederhana, terbuka artinya tidak
tertutup kemungkinan untuk menyesuaikan hukum yang ideal dengan keadaan waktu dan
-
8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum
7/16
tempat, tidak tertutup kemungkinan untuk menerima perubahan karena pengaruh dari luar,
asal saja tidak bertentangab dengan hal-hal yang asasi. Sederhana artinya bahwa perubahan
prilaku hukum itu tidak memerlukan banyak tata cara yang di jadikan persyaratan, asal saja
segala sesuatunya di selesaikan dengan baik, dengan musyawarah dan mufakat, bukan karena
paksaan.
Dengan demikian konsepsi hukum adat local itu dapat berubah dan di ubah, isalnya
dengan mengubah struktur masyarakat yang tradisional dengan struktur masyarakat yang
modern. Pada kenyataannnya konsepsi hukum yang bersifat nasional mudah di terima oleh
masyarakat dalam hal-hal yang menyangkut kebutuhan social ekonomi, tetapi yang
menyangkut social budaya dan agama, terutama dalam bidang hukum kekeluargaan dan
prilaku keagamaan merupakan soal yang peka terhadap masyarakat.
Pada akhirnya dalam kita membicarakan tentang system hukum dan konsepsi hukum
ini hendaknya tidak menerimanya sebagai suatu kebenaran, oleh kareana pada hakikatnya
setiap system atau konsepsi itu sifatnya tertutup, karena bentuk dan pengertiannya sudah di
tentukan lebih dahulu menurut asas-asas tertentu.
5. Masyarakat AdatMenurut pengertian Antropologi masyarakat adalah suatu kesatuan hidup manusia
yang berinteraksi satu sama lain menurut system adat tertentu, yang sifatnya teruus menerus
dan terikat dengan rasa identitas bersama. Kesatuan hidup manusia itu ada yang ikatannya
bersifat tradisional dan ada yangikatannya sudah maju (modern) dalam bentuk organisasi
perkumpulan yang teratur. Susunan masyarakat itu menunjukan rangkaian hubungan antara
komponen yang mewujudakan susunannya. Komponen-komponen itu terdiri dari
keanggotaan masyarakat adat bersangkutan yang taut menaut berpangkal tolak dari pola ideal
masyarakatnya yang primordial atau yang baru. Kesatuan-kesatuan masyarakat itu
mempunyai nama atau sebuatan , seperti kerabat atau suku, amrga, desa, daerah atau menurut
golongannya. Adanya kesatuan-kestuan itu karena manusia cenderung hidup berkelompok.
Kcenderungan mngelompok Nampak lebih kuat berlaku di kalangan masyarakat adat
berdasarkan ikatan kekerabatan dari pada masyarakat adat berdasarkan ikatan ketetanggan
atau kedaerahan. Perubahan kecenderungan itu dapat di perhatikan prilaku manusianya yang
dalam sosiologi di sebut pergaulan.
Perkembangan masyarakat, pergaulan hidup yang kian meluas menimbulkan
penghayatan-penghayatan baru dan penilaian-penilaian yang baru dan meluas. Marbangumn
menyatakan bahwa penghayatan budaya jawa sudah mulai tampak tererosi oleh selera-selera
baru. Akibatnya maka anggota masyarakat adat yang lama cenderung pula memasuki
-
8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum
8/16
pengelompokan cara hidup yang baru. Dalam kehidupan masyarakat terdapat berbagai unsure
pranata kedudukan kemasyarkatan dan peranannya yang merupakan suattu kerangka yang
saling berkaitan dan menunjukan bagaimana susunannya.
Menurut Ter Haar susunan masyarakat hukum adat dapat dilihat dari dua dasar ikatan,
yaitu yang berdasarkan keturunan (genealogis) dan yang berdasarkan tempat kediaman
(territorial) Ter Haar/Soebekti Poesponoto. Dalam perkembangannya di karenakan
masyarakat pergaulannya kian meluas, maka ada juga yang mengelompok ke dalam ikatan
yang berdasarkan kekayaan.
Manusia dewasa ini telah di pengaruhi oleh tiga macam prilaku, yaitu prilaku
kekerabatan, ketetanggaan dan kekaryaan. Pada masyarakat kekerabatan tidak dikenal batas
ruang lingkup tempat kediaman. Batasannya hanya dapatdi ukur dari akrab tidaknya
hubungan yang berlaku di antara warga adat yang satu dengan warga adat yang lain.
Prilaku ketetanggaan dapat di lihat dari sikap tindak warga masyarakat ketetanggan,
menurut tempat kediaman di pedukuhan, kampong dan desa atau kesatuan dari beberapa
kampong yang dahulu di sebut mukim, kuria, nagari, marga, negorei dan sebagainya.
Masyarakat ketetanggan ini terbatas ruang lingkup hubungan kewargaannya pada tempat
kediaman yang dalam istilah jawa di sebut tetangga tepara, yang berdekatan rumah.
Ketetanggan di desa-desa di pedalaman lebih akrab dari ketetanggan di desa-desa yang telah
di pengaruhi kehidupan kota, kehidupan tolong-menolong atau gotong royong tenaga lebih
Nampak di giatkan di desa dari pada di kota. Di karenakan warga kota bersifat heterogen,
bercampur baur antara golongan masyarakat yang berlainan kedudukannya.
Kelanggenagan hubungan du antara tetangga tergantung pada lama tidaknya
seseorang atau keluarga menetap di tempat kediaman itu. Sejauh mana kekuatan ikatan
ketetanggan itu tergantung pada rasa persaudaraan, ia bersifat perseoangan oleh karena tidak
ada tali pengikat yang lain seperti dalam masyarakat kekerabatan.
Prilaku kekaryaan dapat di lihat dari sikap tinadak warga masyarakat kekaryaan,
menurut bidang karyanya, kegiatan usahanya, dan kepentingannya, serta perhatiannya
misalnya dalam ikatan organisasi perkumpulan, ikatan pekerjaan yang sama, di mesjid di
pengajian dan sebagainya termasuk kedalamnya dalam kegiatan-kegiatan politik dan lainnya.
Kesemuanya yang bersifat tetap dan terus-menerus. Baatas ruang lingkup hubungan
keanggotaannya hanya pada adanya kekaryaan itu, misalnya karena kegiatan koprasi dan
lain-lain. Apabila anggota meninggalkan kekaryaannya itu maka lunturlah hubungan
kekaryaannya.
-
8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum
9/16
Jika ada perselisihan dalam sengketa mengenai urusan keluarga penyelesaiannya
dengan para anggota kerabat, kepala kerabat atau kepala adat. Jika ia berselisih semngketa
mengenai urusan tetangga makapenyelesaian damainya dengan kerabat dan tetangga atau
minta bantuan kepada kepala kampong, kepala desa atau lurah. Jiaka ia berselisih sengketa
mengenai urusan kekaryaan, maka jalan penyelesaiannya dengan perantaraan teman sekerja
atau meminta bantuan kepala kantornya. jika Ia berselisih sengketa mengenai organisasi
perkumpulan atau keagamaan, maka jalan penyelesaian damai dengan perantaraan teman
sekarya, seorganisasi, seagama, dan sebagainya.
BAB IV
PRILAKU DALAM BEBERAPA MASYARAKAT DI SUMATERA
Lapangan penelitian antropologi hukum ditujukan pada garis prilaku manusia yang
terus-menerus terjadi, pola ulang prilaku manusia yang selalu ama dan sering berlaku, itulah
yang merupakan norma, dan apabila norma itu mempunyai akibat hukum, yang menimbulkan
hak dan kewajiban, yang mempunyai sanksi, maka norma itu merupakan norma hukum. Oleh
karena hukum itu dapat terjadi karena danya hubungan kepentingan seseorang, sebagaimana
dianut perundangan bahwa semua persetujuan yang dibuat sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya (pasal 1338 KUH Perdata).
Berbagai prilaku manusia dalam beberapa lingkungan masyarakat adat di sumatera :
1. Prilaku Orang AcehSemua orang yang berasal dari daerah istimewa aceh adalah orang aceh. Kecuali
orang-orang Gayo dan Alas yang sistem kemasyarakatannya berdasarkan kekerabatan, maka
seluruh masyarakat aceh merupakan masyarakat teritorial keagamaan. Walaupun masih
nampak adanya pengaruh keturunan bangsawan dengan gelat teuku bagi keturunan pria dan
gelar cut bagi keturunan wanita yang demikian banyaknya, orang-orang aceh tidak mengenal
sistem klen. Kehidupan yang bersifat parental atau bilateral mendiami tempat kediaman yang
disebut mukim, gampong atau meunasah, yang dipakai oleh kepala mukim, keucik
(kepala kampung) dan teuku kepala meunasah (pusat pengajian kampung), disamping orang-
orang tua selaku pemuka masyarakat setempat, merekalah yang berprilaku sebagai kepala
adat dan berperan menjadi penengah atau jurudamai dalam menyelesaikan perselisihan adat
setempat.
Orang aceh tidak biasa dalam pertemuan warga masyarakat menanyakan hubungan
kekerabatan, mengusut-usut pertalian daerah atau pertalian perkawinan seperti orang batak
-
8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum
10/16
atau orang lampung. Bagi mereka hubungan persaudaraan atau kekerabatan cukup dengan
pertalian keagamaan islam, dengan mengucapkan salam assalamualaikim sudah merupakan
langkah terbuka untuk menjain pembicaraan selanjutnya.
Bagi orang aceh agama islam merupakan hal yang sangat sensitif, ia memandang
dirinya identik dengan islam. Baginya yang dikatakan hukum adalah hukum islam yang
berjalan bersama dengan adat, oleh karenanya adat harus sesuai dengan hukum islam, adat itu
mempunyai sanksi dan tidak bisa dipisah dengan hukum islam, ia merupakan mata putih
dengan mata hitam. Pepatah aceh mengatakan hukom ngon adat lagee zat ngon sipheuet,
hukum dengan adat itu seperti zat dengan sifat. Adat dalam arti kebiasaan yang tradisional
menurut bahasa Aceh disebut reusam, dari kata arab rasam yang artinya kebiasaan, cara,
adat istiadat.
Prilaku hukum dalam kekeluargaan Aceh dapat dilihat dari cara pembentukan
keluarganya melalui cara perkawinan, yang diadakan dengan cara pelamaran dari orang tua
pihak pria kepada orang tua pihak wanita. Menurut adat lama dapat terjadi kawin gantung,
tetapiyang kebanyakan terjadi adalah perkawinan anak sudah dewasa, terutama diantara pria
dan wanita yang sekampung atau semukim. Perkawinan dengan luar kampung, luar daerah,
luar negeri kebanyakan terjadi dikalangan orang-orang bangsawan, hartawan, ulama atau para
terpelajar yang pergaulannya sudah luas.
Lamaran untuk perkawinan dimulai dari pihak pria kepada orang tua pihak wanita,
oleh karena kata orang aceh, kon mon mita tima yang maksudnya bukanlah sumur mencari
timba, apabila orang tua bujang telah setuju untuk melamar seorang gadis maka ia mencari
orang yang semartabat dengan dia untuk dijadikan seulangke, yang akan berfungsi dan
berperan mewakili orang tua bujang guna melaksanakan pertemuan dengan orang tua gadis,
didalam pelaksanaan tugas-tugas terhormat tersebut seulangke akan mendapat balas jasa dari
pihak bujang.
Menurut adat aceh tidak di kenal pergaulan bujang gadis secara langsung, anak-anak
muda dilarang mendatangi rumah gadis, apalagi masuk-mamsuk ke bawah rumah gadis,
berbicara di dapur atau di luar dinding rumah seperti di lampung. Jika mereka sudah keluar
dari kampung halaman menjadi pelajar, mahasiswa, karyawan, dan sebagainya, tentu saja
perkenalan antara muda-mudi sudah bebas, sudah nampak pemuda-pemudi berpesiar ke
pantai-pantai laut saling mengadu kasih cinta. Hal mana berlaku diluar pengetahuan orang
tuanya, tetapi jika pergaulan mereka akan meningkat ke jenjanng perkawinan, maka harus
dilakukan dengan lamaran.
-
8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum
11/16
Apabila seulangke berhasil menjumpai orang tua gadis dan lamaran terhadap anak
gadisnya diterima, maka untuk selanjutnya seulangke bersama ayah si pemuda menghadap
keuchiq dan teungku meunasah di kampung pihak gadis, untuk melaporkan maksud
pelamaran dan menentukan hari baik guna menyerahkan tanda pertunangan (peukong
haba/narit). Pada hari yang telah ditentukan bersama, orang tua pria yang didampingi
seulangke, keunchiq, Teungku/imeum munasah dan beberapa kerabat pria berkunjung
ketempat wanita dengan membawa tanda pertunangan (konghaba/narit), tanda pertunangan itu
disertai sirih yang terssusun (ranub dong) dan perhiasan emas, dalam penyerahan tanda
pertunangan itu kedua pihak berbicara sahut menyahut dengan kata-kata adat yang berirama
penuh sopan dan hormat. Penyampaian hadiah pertunangan tersebut akan dibalas pula oleh
pihak wanita (dara baro) dengan 2-3 talam bahan makanan (halwa meuseukat) disertai pula
sirih tersusun (ranub gapu) untuk pihak pemuda (linto).
Selama masa pertunangan di sekitar waktu satu bulan atau sampai masa panen
berikutnya, llinto dilarang berkunjung ke rumah dara baro, ia dilarang berbicara dengan dara
baro atau calon mertuanya, kecuali dalam keadaan luar biasa misalnya ada musibah di tempat
dara baro. Tetapi dimasa sekarang adat ini sudah dilanggar, oleh karena sudah ada calon
mertua yang berbicara dengan linto mengenai rencana perkawinan dengan anaknya.
Andaikata selama waktu pertunangan terjadi putus pertunangan dikarenakan kesalahan
linto misalnya linto kawin dengan gadis lai, maka semua hadiah perkawinan menjadi milik
dara baro. Sebaliknya jika pertunangan putus karena salah dara baro, misalnya dara baro
berbuat tidak baik dengan pemuda lain, maka hadiah pertunangan dikembalikan semua
kepada pihak linto. Jika putus pertunangan itu dikarenakan salah orang tua gadis, misalnya
secara diam-diam telah menerima lamaran pemuda lain, maka hadiah pertunangan harus
dikembalikan ayah gadis dua kali lipat dari jumlah semula kepada pihak bujang.
Untuk mempersiapkan upacara perkawinan kedua pihak meminta bantuan dan
menyerahkan pengaturannya kepada Keunchiq dan Teungku Meunasahnya masing-masing
beserta dengan orang-orang tua. Dalam rangka persiapan perkawinan tersebut maka para
anggota kerabat terdekat memberikan sumbangan (teumeunteuk) berupa bahan makanan,
sayur mayur, ternak ayam atau kambing dan sebagainya. Beberapa hari menjelang waktu
upacara perkawinan mempelai wanita (dara baro) dilakukan penginayan (bohgaca), sekurang-
kurangnya menghias kuku-kuku jarinya.
Untuk pelaksanaan akad nikah pihak dara baro menyediakan tikar perkawinan, wadah
air (mudam) untuk linto berkumur agar lancar berbicara menerima penyerahan wali.
Sedangkan maskawin (jeunamee) disediakan pihak linto. Besarnya mas kawin menurut adat
-
8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum
12/16
lama yaitu 25 ringgit aceh untuk orang biasa, 50 ringgit untuk keluarga Keuchiq atau Teungku
Meunasah, 100 ringgit untuk keluarga raja (Cut Meurah) atau Uleebalang dan 500 ringgit
untuk Teungku-Raja. Sedangkan biaya akad nokah menurut adat lama untuk Keuchiq
ringgit, untuk Teungku Meunasah 1 ringgit, dan untuk para saksi ringgit.
Setelah akad nikah selesai maka linto di antar ke tempat dara baro (antat linto), sampai
di rumah dara baro para tamu dipersilakan lebih dahulu mengambil tempat, baru kemudian
linto baro dibawa menuju ke kamar dan baro yang telah menunggu di dalamnya (juree).
Selesai acara pesta perkawinan itu linto kembali ke rumah orang tuanya, dan keesokan
malamnya barulah ia ke rumah isterinya lagi dengan ditemani oleh beberapa anggota
kerabatnya pria dan wanita. Ia hanya berkenalan denngan tetangga dan kerabat isterinya,
setelah itu ia kembali lagi ke rumah orang tuanya, setelah enam bulan berlalu barulah linto
dapat menetap ditempat istrinya untuk seterusnya. Isteri aceh menurut adat memang menetap
dikampungnya dan di rumah pemberian ayahnya padanya (rumah peunulang). Ia tidak boleh
dibawa pergi dari kampungnya maka menjadi kewajiban suami untuk membuatkan rumah
untuk menjadi miliknya. Setelah suami menetap di rumah isterinya, maka setelah beberapa
tahun, ibu dari suami dengan beberapa anggota kerabat datang menjenguk (saweue) anak dan
mantunya serta untuk menjemput mantunya itu (Tueng dara baro) untuk bermalam dirumah
orang tua suami dan mengakrabkan hubungan dengan para anggota kerabat suami.
Sudah menjadi adat tradisional bagi orang tua aceh terutama di Aceh Besar dan aceh
Pidie menyediakan rumah bagi anak-anak wanita. Oleh karenanya maka kecenderungan
perkawinan di Aceh bersifat materilokal dan orang tua isteri menetap dengan anak wanita dan
cucu-cucunya, walaupun ia akan memilih tempat tidur di ruang belakang atau di bagian dapur
dalam rumah anak wanitanya. Selain pemberian rumah kepada anak-anak wanita sudah
menjasi adat Aceh bahwa orang tua akan memisahkan sebagian harta tetap atau harta
bergeraknya kepada anak-anaknya yang menjelang dewasa atau akan berumah tangga, asal
saja pemisahan harta itu tidak melebihi 1/3 dari semua harta yang akan ditinggalkannya.
Setiap anak yang mendapat bagian harta yang dipisah dari orang tua wajib mengurus dan
memelihara harta itu dengan baik, apabila kelak anak-anaknya tidak dapat mengurusnya
dengan baik bahkan akan menghabiskannya maka orang tua dapat menarik harta itu kembali
dalam kekeuasaannya. Jika kesalahan dalam pengurusan harta itu disebabkan perbuatan dari
mantunya, misalnya karena tidak bisa memelihara dan hidup boros, ada kemungkinan menjadi
alaan untuk anaknya bererai dari suaminya.
Apabila terjadinya putus perkawinan karena suami wafat, jika isteri masih dalam masa
belum mendapat harta pemisahan dari orang tuanya, maka isteri akan mendapatkan dari
-
8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum
13/16
maskawinnya. Kemudian menjadi kewajiban mertuanya atau pihak suaminya mencarikan
ganti suami baginya baik dari anggota kerabat suami maupun orang lain yang disetujui
kerabat suami, jika orang tua suaminya orang beada ia mungkin pula akan mendapat bagian
dari harta peninggalan mertuanya. Tentang harta yang diperoleh bersama suami isteri selama
dalam ikatan perkawinan, apabila suami wafat, maka isteri akan mendapat bagian menurut
adat setempat, atau isteri mewarisi harta pencarian itu untuk mengurus kehidupan rumah
tangga dan anak-anaknya.
Jika putus perkawinan karena isteri wafat, apalagi jika keluarga itu baru mempunyai
satu dua anak dimana suami sepenuhnya membiayai keluarganya, karena keluarga masih
menjadi tanggungan orang tua isteri (masa goh pumeukleh), maka suami hanya mempunyai
hak untuk mendapatkan kembali (hak balee) setengah dai mas kawin yang diberikan kepada
isterinya. Putus perkawinan di Aceh yang bukan karena kematian adalah dikarenakan
perceraian yang berlaku menurut hukum Islam, yaitu cerai talak (taleuk), cerai fasakh dan
cerai khulu. Cerai talak terjadi karena disebabkan suami melepas ikatan perkawinan atau
memutuskan hubungan suami isteri dengan alasan atau tanpa alasan, cerai fasakh dilakukan
dengan keputusan hakim atas dasar pengaduan isteri dengan alasan misalnya karena suami
gila, berpenyakit kusta, lemah syahwat, miskin dan sebagainya. Tetapi pada kenyataannya
yang banyak terjadi di Aceh adalah cerai fasakh. Cerai khulu akan berlaku apabila isteri
bersedia membayar iwadl (pengganti) kepada suami. Biasanya pembayaran iwadl yang
berlaku adalah mengembalikan nilai mahar atau baranng-barang lainnya menurut jumlah
tertentu yang disetujui suami atau menurut keputusan hakim agama.
Dalam penelitian yang telah dilakukan terhadap maslah perceraian di Aceh, antara lain
pada Tahun 1972 oleh pusat penelitian ilmu-ilmu sosial Aceh di kevamatan Mutiara
Kabupaten Pidie terhadap 154 kasus perceraian, nampak bahwa terjadinya perceraian itu
adalah disebabkan alasan-alasan yang bersifat ekonomi, tingkah laku, biologis dan campur
tangan pihak lain. Dari tabel yang dikemukakan dari hasil penelitian tersebut menunjukan
perceraian lebih banyak terjadi dikarenakan perminntaan isteri daripada yang dilakukan
suami. Alasan-alasan ekonomi mengapa isteri meminta cerai di kecamatan mutiara adalah
dikarenakan suami kurang memberi nafkah, suami dikatakan tidak bertanggung jawab, suami
meninggalkan isteri tidak pulang dan suami malas. Sedangkan alasan suami menceraikan
isterinya adalah dikarenakan isteri terlalu boros. Alasan-alasan tingkah laku mengapa istri
meminta cerai adalah dikarenakan tindakan suami kejam dan tidak patuh. Sedangkan
mengapa suami menceraikan isterinya dengan alasan tingkah laku karena isteri tidak patuh
(setia) dan suka pergi keluar rumah. Alasan-alasan yang bersifat biologis mengapa istri
-
8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum
14/16
meminta cerai dikarenakan dimadu, suami mempunyai isteri lain. Sedangkan mengapa suami
menceraikan isterinya karena alasan biologis, kebanyakan karena isteri melakukan perbuatan
serong atau tidak punya keturunan. Alasan-alasan yang menjadi sebab perceraian karena ada
pihak lain yang campur tangan, dari pihak isteri mengapa meminta cerai karena campur
tangan orang tua, sedangkan mengapa suami menceraikan istrinya karena isteri dibujuk rayu
orang lain.
Menurut adat jika isteri dicerai suami maka sebaliknya sebelum suami meninggalkan
rumah isteri, ia memperbaiki kerusakan-kerusakan rumah, misalnya memperbaiki atap
dinding lantai tangga rumah, pagar pekarangan, dinding (keupalang) sumur dan diberinya
pula pakaian untuk istrinya. Selama masa idah suami mengirimkan nafkah pada isterinya, jika
ada anak-anak, maka semua anak tinggal pada isterinya, dan kewajiban suami memberi
nafkah untuk anaknya dan sewaktu-waktu suami datang menjenguk anak-anaknya. Apabila
istri tidak mengurus anak-anaknya dengan baik maka suami dapat mengambil anak-anaknya
itu, jika terjadi perselisihan mengenai anak-anak, maka penelesaiannya dilakukan dihadapan
Keuchiq dan Teungku Meunasah dengan rukun dan damai, biasanya anak yang masih
menyusu tetap dipelihara ibunya dengan bantuan biaya suaminya sedangakan yang sudah
agak besar dapat ikut suami, dan apabila sudah besar boleh memilih ikut ayah atau ibunya.
Jika terjadi perceraian maka areuta peunulang tetap tinggal pada isteri menjadi areuta
tuha untuk diberikan dan dibagikan kepada anak-anaknya dikemudian hari. Sedangkan
mengenai areuta sihareukat dapat dibagi berimbang banyaknya antara suami dan istri atau
sepertiga bagian bagi istri dan dua pertiga bagian bagi suami sebaliknya menurut keadaan
setempat dan sejauh mana istri ikut berperan dalam pengumpulan harta pencarian itu. Dengan
demikian dalam keluarga Aceh yang hidup rukun sampai umur tua, ada kemungkinan
mempunyai tiga macam harta yang akan menjadi harta warisan bagi para waris dari pewaris
yang wafat, yaitu areuta tuha, areuta peunulang dan areuta sihareukat. Areuta Tuha adalah
harta yang menjadi milik suami istri (ayah-ibu) masing-masing yang berasal dari hibah,
wasiat atau warisan orang tua masing-masing. Areta Peunulang adalah harta yang dimiliki
istri (ibu) berasal dari pemberian orang tua atau mertua ketika berpisah hidup berumah tangga
sendiri (dipeungkleh).
Menurut hasil penelitian Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas
Syiah Kuala tahun 1980/1981 di daerah tingkat II Aceh Besar, apabila pewaris wafat, maka
yang berhak menjadi waris adalah semua anak pria dan wanita, semua cucu dari anak laki-
laki, ayah dan ibu kakek dan nenek, sudara laki-laki, paman, anak-anak paman, janda dan atau
duda yang mamsih hidup. Jika pewaris tersebut semuanya ada maka yang diutamakan
-
8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum
15/16
mendapat bagian warisan adalah ayah dan ibu mendapat 1/6 bagian, janda 1/8 bagian, duda
bagian, kemudian anak laki-laki dan perempuan dengan perbandingan anak laki-laki
mendapat satu bagian, sedangkan anak perempuan setengah bagian.
Pelaksanaan pembagian warisan (peurae atau weuk-pusaka) dilakukan dengan
berpedoman pada hukum islam dan memperhatikan hukum adat, artinya tidak mutlak
berpegang pada hukum Islam melainkan juga diperhatikan adat yang tradisional yaitu
kepentingan anak-anak wanita yang diutamakan dari anak-anak laki-laki. Dalam praktek
pelaksanaan pembagian warisan dilakukan dalam tenggang waktu paling cepat tujuh hari, atau
44 hari atau 100 hari sejak wafatnya pewaris, maksud tenggang waktu tersebut adalah untuk
memberi kesempatan bagi para penagih utang atau pembayar yang menyelesaikan utang
piutang pada waris. Tenggang waktu tersebut juga tidak mutlak, masih diperhatikan jika para
waris masih ada yang masih anak-anak. Jika demikian pembagian warisan ditangguhkan
pelaksanaannya sampai anak-anak dewasa, dan warisan dikuasai dalam keadaan tidak terbagi-
bagi di tangan ayah atau ibu yang masih hidup.
Menurut hasil penelitian Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas
Syiah Kuala tahun 1980/1981 di daerah tingkat II Aceh Besar pelaksanaan hibah dapat
berlaku tidak saja terhadap bangunan rumah atau tanah kepada anak-anak wanita, tetapi juga
mungkin perhiasan dan ternak yang bukan saja diberikan bagi keperluan anak melainkan juga
keperluan orang lain. Biasanya penghibahan itu dilakukan orang tua dihadapan keuchiq,
Teungku Meunasah dan orang-orang tua (Tuha Peuet) serta para ahli waris. Apabila ketika
hidupnya orang tua belum menghibahkan harta kepada anak-anaknya, maka sebelum ia
meninggal ia dapa berwasiat (wasiet), meninggalkan pesan tentang harta kekayaan yang akan
ditinggakannya, baik dengan lisan maupun dalam bentuk tulisan, wasiat itu dikemukakannya
dengan diketahui oleh Keuchiq, Teungku Meunasah dan Tuha Peuet serta ahli waris. Jumlah
harta yang diwasiatkan itu juga tidak boleh lebih dari 1/3 bagian harta kekayaannya, baik
wasiat untuk para ahli waris maupun kepada orang-orang yang berjasa kepada pewaris atau
untuk maksud tertentu. Jika wasiat melebihi 1/3 bagian dari harta peninggalan maka para ahli
waris berhak menuntut pembatalannya.
Anak-anak sebagai ahli waris dibedakan yang pria dan yang wanita, yang pria akan
mendapat dua bagian sedangkan anak wanita sebagian, sedangkan anak yang lahir di luar
perkawinan yang sah hanya mewaris dari ibu biologisnya, dan anak tiri hanya mewaris dari
orang tua yang melahirkannya. Pewarisan itu tidak menimbulkan masalah jika warisnya
tunggal, jika ahli waris anak laki-laki tunggal maka semua harta peninggalan orang tuanya
diwarisinya sendiri, ialah yang berkuasa mengaturnya, tetapi jika waris tunggal anak wanita
-
8/2/2019 Resume Mata Kuliah Antropologi Hukum
16/16
maka ia hanyamendapat seperduanya dan jika anak wanita ada dua orang, maka mereka
berhak atas 2/3 bagian dari harta warisan.
2. Prilaku Orang BatakOrang-orang batak terdiri beberapa kesatuan masyarakat yang disebut Batak Toba,
Batak Karo, Batak Simalungun, Pardembanan (Asahan), Batak Pak-Pak (Dairi), Batak
Angkola, Batak Mandaling. Daerah kediaman asal mereka ialah di daerah pegunungan sampai
pantai barat dalam Provinsi Sumatra Utara. Budaya hukum orang Batak dipengaruhi ajaran
kepercayaan asli perbegu, pemujaan roh kerabat yang telah meninggal (Masri Singarimbun-
Koentjaraningrat, 1964-42), atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Tinggi yang disebut
Ompu Tuan Mula Djadi na Bolon atau singkatnya Debata, selanjutnya ia mempunyai nama
lain sebagaimana dikemukakan PH.O.L.Tobing.
As the god of the upperworld he is not only called Mula Djadi na Bolon, but also
Tuan Budi na Bolon; as the God of the middleworld he has the same names, but also
the name of Ompu Silaon na Bolon (=Radja Pinangkabo); as the God of the
underworld, of the sea and the lightning he is not only called Mula Djadi na Bolon,
but also Tuan Pane na Bolon (PH.O.L.Tobing, 1963 : 35)
Jadi menurut kepercayaan asli Batak (Toba) ada Dewata penguasa dunia atas, Dewata
penguasa dunia tengah dan Dewata penguasa dunia bawah, selain itu orang batak juga
dipengaruhi ajaran Hindu Jawa (Budha Tantrik) dalam abad ke-13. Namun kemudian
orangBatak dipengaruhi ajaran Islam, terutama didaerah Angkola dan Mandailing dan ajaran
Kristen di daerah Toba dan lainnya. Hal mana tidak berarti tidak ada orang batak Toba, Karo
yang beragama Islam atau sebaliknya beragama Kristen. Bahkan adakalanya dalam satu
keluarga Batak suami beragama Islam istri beragama Kristen atau orang tua beragama Islam
anak beragama Kristen. Apalagi orang-orang Batak sudah banyak yang merantau dan terjadi
perkawinan antar suku dan atau perkawinan dengan orang asing.
Hubungan kekerabatan orang Batak didasarkan pada adanya pertalian darah yang
ditarik menurut garis keturunan ayah (genea-logis patrilineal) dan pertalian perkawinan antara
pihak pemberi dara (Toba:Hula-Hula, Karo: Kalimbubu) dengan pihak penerima dara (Toba:
Boru, Karo: Anak Beru). Jadi setiap anak pria atau wanita Batak akan menarik garis
keturunannya melalui garis ayah, dengan memakai nama marga ayah.