SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019...

83

Transcript of SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019...

Page 1: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang
Page 2: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

JILID 17

OLEH

PaneMbahan Mandaraka

Gambar sampul & Gambar dalam

Ki Adi Suta

Tahun 2019

Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas

i

Page 3: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Cerita ini ditulis

Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa

Yang telah menggali cerita

Dari bumi yang tercinta

Walaupun yang disajikan ini jauh dari

sempurna Tak ada maksud untuk meniru Sang

Pujangga Hanyalah kecintaan akan sebuah

karya Untuk dilestarikan sepanjang masa

Sekar keluwih, November 2019

Terima kasih atas dukungan: Istri dan anak-anak tercinta

Serta handai taulan semua

ii

Page 4: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Dengan jantung yang semakin berdebaran Glagah Putih melalui

ketajaman pendengarannya terus mengikuti gerak yang sangat

lembut itu. Dan kini Glagah Putih dapat menduga bahwa orang

atau apapun itu pasti sekarang sudah berada di halaman belakang

banjar, beberapa tombak di belakangnya.

Menyadari orang yang berada beberapa tombak di belakangnya

bisa saja setiap saat berlaku curang, Glagah Putih pun akhirnya

memutuskan untuk menghentikan pekerjaannya. Setelah

menambatkan tali senggot itu pada pathok di sebelah perigi,

Glagah Putih pun segera membalikkan badannya.

Dengan langkah satu-satu, anak laki-laki Ki Widura itupun

kemudian mendekati pohon-pohon serta gerumbul perdu yang

banyak tumbuh bertebaran di dekat dinding belakang banjar.

Ketika jaraknya kira-kira tinggal empat tombak dari dinding

belakang banjar, langkah Glagah Putih pun terhenti. Sejenak

dipandanginya gerumbul perdu dan batang-batang pohon yang

tampak masih remang-remang di ujung pagi. Sambil

mengetrapkan aji sapta pandulu setinggi-tingginya, pandangan

mata Glagah Putih pun segera menangkap sebuah bayangan yang

tampak hampir melekat pada sebatang pohon.

“Sudahlah Ki Sanak, tidak usah bermain petak umpet,” berkata

Glagah Putih kemudian sambil bergeser beberapa langkah

mendekat, “Kita bukan kanak-kanak lagi. Segera tunjukkan

dirimu dan sampaikan apa kepentingan Ki Sanak di pagi-pagi

begini memasuki banjar dengan cara yang tidak sewajaranya.”

Tidak terdengar jawaban sama sekali. Hanya terdengar kicau

burung yang bersahut-sahutan menyambut datangnya Matahari

pagi.

1

Page 5: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Kembali Glagah Putih menajamkan penglihatannya. Namun

alangkah terkejutnya adik sepupu Ki Rangga Agung Sedayu itu.

Ternyata bayangan yang terlihat beberapa saat tadi melekat pada

sebatang pohon beberapa tombak di hadapannya, kini sudah tidak

tampak lagi. Dengan jantung yang berdebaran Glagah Putih pun

berusaha untuk mengerahkan kemampuan aji sapta pandulu.

Diedarkan pandangan matanya ke sekeliling, namun usahanya

terlihat sia-sia.

“Gila!” geram Glagah Putih dalam hati dengan jantung yang

semakin berdebaran, “Begitu cepatnya dia berpindah tempat

tanpa sepengetahuanku. Agaknya orang ini memang sengaja

mempermainkan aku.”

Berpikir sampai disitu, Glagah Putih bermaksud untuk mencari

tempat yang lebih lapang. Jika terjadi sesuatu yang tidak

diinginkan, dia harus siap untuk menghadapinya.

Dengan bergegas Glagah Putih segera membalikkan badan dan

kemudian berjalan ke tempat yang lebih lapang di belakang dapur.

Namun baru saja dia melangkah selangkah dua langkah, tiba-tiba

pendengaran Glagah Putih telah dikejutkan oleh suara tawa

perlahan dari arah belakangnya. Suara tawa itu terdengar sangat

perlahan-lahan namun bagi Glagah Putih yang mempunyai

pendengaran sangat tajam, segera dapat mengenalinya dengan

sangat jelas.

Dengan cepat Glagah Putih segera berbalik dengan kesiap-siagaan

yang tinggi. Namun terasa dadanya terguncang ketika melihat

sesosok bayangan yang muncul justru dari balik pohon tempatnya

semula bersembunyi.

2

Page 6: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

“Hem!” desah Glagah Putih kemudian dalam hati sambil

memandang tajam ke arah bayangan yang bergerak mendekat,

“Aku tadi memang tidak melihat dia berpindah tempat dari pohon

itu ke tempat lain. Agaknya dia hanya bergeser dengan sangat

cepatnya ke belakang pohon sehingga pandangan mataku telah

tertipu. Sebuah permainan petak umpat yang lumayan bagus.”

Namun Glagah Putih tidak sempat berangan-angan lebih jauh

karena bayangan itu telah semakin dekat.

“Anak muda yang luar biasa!” terdengar bayangan itu berdesis

perlahan sambil melangkah mendekat.

Glagah Putih yang melihat bayangan itu semakin dekat segera

dapat melihat seraut wajah yang belum dikenalnya sama sekali.

Sebuah wajah yang terlihat belum seberapa tua dengan kumis

tipis dan tanpa jenggot sama sekali.

Ketika orang yang umurnya terlihat sudah melewati setengah

abad itu tinggal lima langkah saja dari Glagah Putih, dia segera

menghentikan langkahnya dan kemudian berdiri tegak dengan

kedua kaki yang renggang sambil menyilangkan kedua tangannya

di depan dada. Sebuah sikap yang sangat mendebarkan.

“Maafkan aku, Kiai,” Glagah Putihlah yang mendahului membuka

percakapan begitu dilihatnya orang tua itu hanya berdiri diam,

“Sepertinya kita belum pernah bertemu?”

“Memang,” jawab orang itu serta merta dengan suara yang datar,

“Kita berjumpa baru kali ini namun aku mengakui, engkau adalah

seorang anak muda yang lain dari pada yang lain,” orang itu

berhenti sebentar. Lalu, “Orang lain belum tentu dapat

mengetahui kehadiranku di belakang banjar padukuhan ini.

Namun engkau yang terhitung masih muda sudah dapat

3

Page 7: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

menangkap getaran akan kehadiranku. Benar-benar seorang anak

muda yang luar biasa.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dugaannya tenyata

benar. Di ujung pagi ini ternyata ada seseorang yang telah

mencoba memasuki banjar padukuhan induk Matesih itu dengan

cara yang tidak sewajarnya, entah untuk tujuan apa.

“Kiai,” berkata Glagah Putih kemudian, “Aku memang dapat

mendengar langkah-langkah Kiai memasuki halaman belakang

banjar padukuhan ini. Itu mungkin bukan karena kemampuan

pendengaranku yang tajam, namun aku kira Kiai yang terlalu

ceroboh sehingga langkah-langkah Kiai dapat terdengar oleh

orang kebanyakan seperti aku ini.”

“Omong kosong!” terdengar orang itu menggeram, “Jangan

mencoba meremehkan pengamatanku. Engkau mencoba

mengelabuhi aku dengan cerita ngayawara itu. Aku tahu, engkau

pasti mempunyai kepercayaan diri yang tinggi sehingga sampai

saat ini engkau masih berani berdiri di hadapanku tanpa berteriak

memanggil pengawal yang sedang bertugas jaga untuk meminta

pertolongan.”

Glagah Putih hanya dapat menarik nafas dalam-dalam mendengar

ucapan orang itu. Sementara Matahari belum benar-benar terbit.

Masih ada beberapa saat untuk benar-benar Matahari

memancarkan sinarnya ke muka bumi.

“Kiai,” berkata Glagah Putih kemudian, “Aku sampai saat ini

masih berdiri di sini bukan berarti aku merasa orang yang berilmu

tinggi, namun sebagai seorang tamu yang telah diberi tempat

berteduh oleh Ki Gede, aku berkewajiban ikut menjaga keamanan

di banjar ini.”

4

Page 8: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

“He? Apa katamu?” seru orang itu dengan wajah keheranan,

“Engkau hanya salah seorang tamu di sini?”

“Benar, Kiai,” jawab Glagah Putih cepat, “Kami rombongan

berlima memang telah menjadi tamu Ki Gede dan dipersilahkan

untuk menginap di banjar ini.”

Untuk sejenak tampak kerut-merut di kening orang. Namun

kemudian justru tawanya yang terdengar berkepanjangan.

Katanya kemudian setelah tawanya reda, “Alangkah bodohnya,

aku. Ternyata engkau adalah salah satu rombongan Ki Rangga

Agung Sedayu yang telah berhasil membantu Ki Gede Matesih dan

pasukan pengawalnya menghancurkan padepokan Sapta

Dhahana. Pantas engkau memiliki kepercayaan diri yang begitu

tinggi.”

Sekarang giliran kening Glagah Putih yang berkerut-merut. Bertanya Glagah Putih kemudian, “Maafkan aku Kiai. Dari mana Kiai mengetahui kalau rombongan Ki Rangga bermalam di sini?”

“Ah, semua orang di perdikan Matesih ini mengetahuinya!”

potong orang itu cepat, “Hampir setiap mulut di perdikan Matesih

ini dengan bangganya membicarakan pahlawan-pahlawan mereka

yang telah berhasil menghancurkan padepokan Sapta Dhahana,

dan mereka juga mengetahui bahwa kalian sedang bermalam di

banjar ini.”

Kembali Glagah Putih menarik nafas panjang. Orang ini agaknya

memang dengan sengaja telah mendatangi banjar padukuhan

induk untuk menjumpai rombongan Ki Rangga, entah untuk

tujuan apa.

“Nah, anak muda. Jika memang benar engkau adalah bagian dari

rombongan Ki Rangga, sebut namamu dan juga peranmu dalam

5

Page 9: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

rombongan itu. Sebagai juru dang atau justru hanya sebagai

seorang pekatik yang mengurusi kuda,” berkata orang itu

kemudian dengan nada yang setengah mengejek.

Seleret warna merah menghiasi wajah Glagah Putih, namun hanya

sebentar. Jawab Glagah Putih kemudian, “Memang aku bekerja

serabutan dalam rombongan Ki Rangga ini. Kadang mengurusi

makanan, kadang juga memandikan kuda dan sekalian

merumput,” Glagah Putih berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian,

“Namun yang jelas, aku menjadi bagian dari rombongan Ki

Rangga karena Ki Rangga memang mengajak aku untuk ikut

serta.”

“He? Ki Rangga mengajakmu?” kembali orang itu bertanya

dengan nada heran. Lanjutnya kemudian, “Memangnya ada

hubungan apa engkau dengan Ki Rangga?”

Glagah Putih menarik nafas panjang sebelum menjawab. Ada

sedikit kejengkelan yang mulai merayapi hatinya menghadapi

sikap orang itu. Maka katanya kemudian dengan suara perlahan

namun cukup jelas di telinga orang itu, “Namaku Glagah Putih.

Aku adalah adik sepupunya dan sekaligus muridnya.”

“He?” untuk kesekian kalinya orang itu terkejut. Namun dengan

cepat dia kembali tertawa sambil menggeleng-gelengkan

kepalanya. Katanya kemudian, “Luar biasa. Ternyata engkau

adalah adik sepupu sekaligus murid Ki Rangga,” orang itu

berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Baiklah Glagah Putih.

Tadi aku sudah melihat sendiri kemampuanmu dalam

mengetrapkan panca indera mencari tempat persembunyianku.

Nah, sekarang aku ingin menguji kekuatan batinmu. Aku akan

melepaskan ilmuku untuk menguji katahanan jiwamu. Bersiaplah

jika tidak ingin engkau terkapar di atas tanah tanpa arti.”

6

Page 10: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Selesai berkata demikian orang itu segera menundukkan

kepalanya dengan kedua tangan tetap bersilang di dada. Hanya

sekejap dan orang itu sudah kembali ke sikapnya semula.

Glagah Putih sempat terheran-heran melihat sikap orang yang

bediri beberapa langkah saja di hadapannya itu. Dia belum dapat

merasakan akibat ilmu yang telah dilepaskan oleh orang itu.

Namun Glagah Putih tidak sempat berpikir lebih jauh ketika tiba-

tiba saja telinganya tidak mampu lagi dengan jelas mendengar

kicau burung yang ramai bersahut-sahutan menyambut sinar

Matahari pagi. Sementara rasa kantuk yang luar biasa dahsyat

telah menyergapnya dan hampir menghilangkan separo dari

kesadarannya.

“Gila!” tanpa sadar Glagah Putih berteriak sedikit keras sambil

menggoyang-goyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan untuk

mengusir rasa kantuk yang sedang mencengkeram otaknya, “Ilmu

sirep! Ini pasti ilmu sirep!”

Terdengar orang itu tertawa terkekeh kekeh. Katanya kemudian,

“Memang mirip dengan ilmu sirep. Pengaruh ilmu sirep akan

pudar sejalan dengan sinar Matahari yang pertama menyentuh

bumi, namun ilmuku ini tidak. Kapan saja aku menghendaki, aku

dapat melepaskannya untuk lawan-lawanku sehingga mereka

akan terkapar tanpa aku harus susah payah menundukkannya.”

Diam-diam Glagah Putih mengeluh dalam hati. Perasaan kantuk

itu memang terasa bagaikan melumpuhkan kesadarannya. Namun

dengan berbekal segala ilmu olah kanuragan jaya kawijayan yang

telah dipelajarinya dari aliran Ki Sadewa melalui kakak sepupunya

serta ilmu yang diperoleh dari gurunya Ki Jayaraga, Glagah Putih

masih mampu mempertahankan kesadarannya, walaupun tidak

sepenuhnya.

7

Page 11: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

“Gila!” kembali Glagah Putih menggeram dalam hati, “Rasa-

rasanya angin yang bertiup lembut ini mulai menutup segenap

panca inderaku dan melumpuhkan syaraf kesadaranku.”

Namun Glagah Putih tetap bertahan. Dengan cepat dia berusaha

bergerak, bergeser dari tempatnya semula agar aliran darahnya

tidak membeku.

Melihat apa yang dilakukan oleh Glagah Putih, orang itu tertawa

pendek sambil berkata, “Sebuah usaha yang bagus untuk

memperlancar peredaran darahmu. Tapi tidak akan bertahan

lama, engkau segera terkapar tak sadarkan diri di halaman

belakang banjar ini.”

Namun Glagah Putih tidak menyerah mendapat serangan dahsyat

yang dapat merampas kesadarannya itu. Segera dipusatkan

segenap nalar dan budi untuk mengungkapkan tenaga cadangan

agar dapat melindungi seluruh panca indera dan kesadarannya.

Agaknya Glagah Putih mulai berhasil namun tidak sepenuhnya.

Pusat semacam ilmu sirep itu hanya beberapa langkah saja di

hadapannya sehingga kekuatan yang membelenggu kesadaran

Glagah Putih benar benar ngedab-edabi.

“Menyerahlah anak muda,” berkata orang itu kemudian sambil

tertawa terkekeh kekeh, “Aku tidak akan membunuhmu.

Percayalah, aku tidak akan membunuhmu, karena engkau adik

sepupu dan sekaligus murid Ki Rangga. Aku akan mebawamu ke

padepokanku di laut selatan dan akan kujadikan dirimu sebagai

barang taruhan.”

“Barang taruhan?!” ulang Glagah Putih dengan suara yang hampir

tenggelam. Namun Glagah Putih tidak putus asa. Sambil terus

berusaha meningkatkan tenaga cadangan untuk melawan

8

Page 12: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

pengaruh rasa kantuk yang mencengkeram kesadarannya, Glagah

Putih terus memutar otak untuk mengatasi ilmu lawan yang tidak

kasat mata itu.

“Ya,” jawab orang itu kemudian sambil tertawa terkekeh-kekeh,

“Engkau akan kujadikan barang taruhan untuk memancing Ki

Rangga mendatangi goa Langse di laut selatan.”

Untuk sejenak wajah Glagah Putih menunjukkan keheranan.

Sambil tetap mengerahkan kemampuannnya bertahan dari rasa

kantuk yang rasa-rasanya semakin tak tertahannkan, dia bertanya

dengan suara yang terdengar sayup-sayup, “Untuk apa Kiai

mengharap Ki Rangga datang ke goa Langse?”

Kembali terdengar orang itu tertawa, kali ini lebih keras dan lebih

panjang. Jawabnya kemudian, “Untuk menggali liang kuburnya

sendiri. Karena aku akan membunuhnya.”

Gemetar sekujur tubuh Glagah Putih menahan kemarahan yang

tiada taranya. Tiba-tiba terbesit sebuah akal untuk memusnahkan

pengaruh sirep dari orang yang berdiri hanya beberapa langkah

saja di hadapannya. Tidak ada cara lain untuk memusnahkan

pengaruh sirep itu selain memadamkan sumbernya.

Berpikir sampai disitu, dengan sisa-sisa kesadarannya, segera saja

ditrapkan ilmu yang disadapnya dari Ki Jayaraga. Ilmu yang dapat

digunakan untuk menyerang pada jarak tertentu yang

berlandaskan pada inti kekuatan bumi, air, udara dan api.

Sejenak kemudian, tanpa ancang-ancang Glagah Putih segera

menghentakkan kekuatan ilmunya melalui kedua telapak tangan

yang terbuka dan terjulur ke depan. Namun karena kesadaran

Glagah Putih tinggal hampir separohnya saja, maka pemusatan

9

Page 13: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

nalar dan budi Glagah Putih pun terganggu sehingga serangan

Glagah Putih pun tidak sampai ke puncak.

Sejenak kemudian, dari kedua telapak tangan Glagah Putih yang

terbuka, meluncur seleret sinar kemerahan bagaikan tatit yang

meloncat di udara menerjang ke arah orang yang berdiri di

hadapannya.

Akan tetapi Glagah Putih tidak bermaksud curang. Dia hanya

mengarahkan serangannya itu ke arah tanah yang hanya sejengkal

di hadapan orang itu berdiri.

Orang itu terkejut bukan alang kepalang begitu mata batinnya

melihat selerat cahaya yang keluar dari kedua telapak tangan

Glagah Putih. Tanpa ancang-ancang tubuh orang itu seakan akan

berpidah begitu saja ke tempat yang lain. Sedangkan serangan

jarak jauh Glagah Putih yang menimpa tanah telah meledak

dengan dahsyatnya menyemburkan api bercampur tanah dan

kerikil serta uap panas.

“Iblis!” umpat orang itu sambil kembali meloncat mengambil

jarak. Sejenak pemusatan nalar dan budinya pun agak terganggu

sehingga Glagah Putih pun bagaikan telah keluar dari sebuah

himpitan yang mencengkeram otaknya.

“Benar-benar anak iblis!” geram orang itu kemudian. Bersamaan

dengan itu, cahaya Matahari yang pertama pun mulai menyentuh

bumi.

“Engkau berhasil anak muda,” berkata orang itu kemudian sambil

mengangguk-anggukkan kepalanya. Lanjutnya kemudian,

“Ternyata aku telah salah menilai. Engkau cukup pantas mengaku

sebagai murid Ki Rangga yang namanya kawentar kajala driya dari

ujung ke ujung tanah ini. Namun jangan harap aku silau melihat

10

Page 14: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

ilmu serangan jarak jauhmu yang tidak seberapa itu. Aku

meloncat bukan karena aku takut terkena ilmumu, namun aku

meloncat karena gerak naluriah saja yang terkejut karena aku

sama sekali tidak menduga engkau masih mampu menyerang,”

orang itu berhenti sejenak. Lalu, “Jika engkau ingin menyerangku

sekali lagi dengan ilmumu itu, aku akan menyediakan diri untuk

tidak menghindar sama sekali. Namun aku tidak bertanggung

jawab jika ilmu kebanggaanmu itu justru nantinya akan berbalik

memukulmu sehingga engkau akan terluka parah atau justru mati

karena pokalmu sendiri.”

Berdesir dada Glagah Putih. Jika orang itu tidak punya bekal yang

lebih dari cukup untuk membetengi diri dari terjangan ilmunya,

tentu dia tidak akan berani mati menyombongkan diri. Namun

Glagah Putih membiarkan saja orang itu mendapatkan gambaran

yang salah tentang kekuatan ilmunya.

“Nah, Matahari sudah terbit,” berkata orang itu kemudian,

“Waktuku sangat sempit, aku akan segera kembali ke goa Langse.

Namun aku akan tetap menangkapmu dan membawamu ke goa

Langse untuk memancing Ki Rangga.”

“Kiai,” sela Glagah Putih kemudian dengan serta merta, “Rasa-

rasanya kita belum pernah berselisih jalan. Demikian juga dengan

kakak sepupuku. Aku masih berharap Kiai mengurungkan niat

Kiai untuk membuat persoalan di antara kita.”

“Jangan merajuk!” bentak orang itu sambil menggeleng gelengkan

kepalanya, “Sebagai saudara sepupu dan sekaligus murid Ki

Rangga, tunjukkan kemampuanmu. Jangan merengek seperti

kanak-kanak ditinggal biyungnya. Namun sekali lagi perlu aku

katakan, aku sama sekali tidak silau dengan ilmu kalian. Aku

mempunyai segudang ilmu serta berjenis-jenis ilmu yang kalian

11

Page 15: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

belum pernah mengalaminya bahkan membayangkan pun belum

pernah.”

Kembali Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun tanyanya

kemudian, “Kiai, apakah Kiai sudah pernah mengenal Ki Rangga?”

Orang itu tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Itu tidak perlu.

Aku sudah mendengar agul-agulnya Mataram itu mengalahkan

lawan-lawannya dengan berbagai macam ilmu yang mereka

punya. Namun sekali lagi aku katakan, aku sama sekali tidak silau

dan siap kapan saja untuk membunuh kakak sepupumu dan

sekaligus gurumu itu.”

“Apakah itu memang perlu, Ki Sanak?” tiba-tiba terdengar sebuah

suara yang berat dan mantap dari arah samping dapur. Belum

hilang terkejutnya Glagah Putih dan orang itu, dari samping dapur

muncul Ki Rangga dan Ki Waskita.

Sejenak orang itu membeku di tempatnya. Matanya yang tajam

bagaikan burung hantu itu tidak berkedip mengawasi langkah Ki

Rangga dan Ki Waskita yang berjalan mendekat.

Glagah Putih yang melihat kemunculan Ki Waskita dan kakak

sepupunya itu telah menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam

hati anak muda itu terlintas sedikit rasa kecewa. Dia

sesungguhnya ingin menyelesaikan masalah itu tanpa campur

tangan Ki Rangga.

“Jika kakang Agung Sedayu mengijinkan, aku akan menghadapi

orang ini dalam sebuah perang tanding,” berkata Glagah Putih

dalam hati sambil bergeser beberapa langkah untuk memberi

tempat Ki Rangga dan Ki Waskita.

Dalam pada itu, orang yang mengaku dari goa Langse itu sejenak

termangu-mangu. Menilik kehadiran kedua orang itu yang tidak

12

Page 16: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

mampu diketahuinya, tentu kemampuan ilmu keduanya tidak

dapat dipandang sebelah mata.

“Ki Sanak,” berkata Ki Rangga kemudian setelah keduanya berdiri

di samping Glagah Putih, “Akulah yang Ki Sanak cari. Ada

keperluan apakah Ki Sanak mencari aku sehingga Ki Sanak jauh-

jauh dari pesisir laut selatan telah datang ke perdikan Matesih

ini?”

Tampak orang itu terdiam beberapa saat. Terlihat dia sedang

mencoba menimbang-nimbang kekuatan yang tersimpan di dalam

diri orang yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu itu .

“Ki Sanak, apakah Ki Sanak mendengar pertanyaanku?” terdengar

Ki Rangga mengulangi pertanyaannya.

Tiba-tiba orang itu justru telah tertawa berkepanjangan sambil

menggeleng-gelengkan kepala. Katanya kemudian seolah-olah

ditujukan kepada dirinya sendiri, “Sulit dipercaya, ternyata agul

agulnya Mataram yang namanya kondang kawentar kajaladriya

dari ujung ke ujung tanah ini tidak sebagaimana yang telah aku

bayangkan selama ini. Aku menjadi tidak yakin dengan

pengamatanku sendiri, ataukah memang nama besar Ki Rangga

itu terlalu dibesar-besarkan sehingga telah membuat orang-orang

salah menilai.”

Untuk sejenak Ki Rangga dan Ki Waskita saling berpandangan.

Namun hanya sesaat. Berkata Ki Rangga kemudian, “Ki Sanak,

aku sama sekali tidak memperdulikan nama besar. Apa yang telah

aku lakukan selama ini hanyalah menetapi kewajiban selaku

prajurit Mataram, tidak lebih dan tidak kurang. Jika keluarga atau

kerabat bahkan perguruan dari orang-orang yang telah aku

kalahkan dalam sebuah peperangan itu kemudian menjadi tidak

terima dan menarik setiap persoalan yang seharusnya berhenti di

13

Page 17: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

medan peperangan menjadi sebuah persoalan pribadi, aku hanya

pasrah kepada Yang Maha Pemberi Hidup. KepadaNya lah aku

menyembah dan hanya kepadaNya lah aku memohon

perlindungan.”

“Omong kosong!” bentak orang itu dengan suara menggelegar

sehingga telah mengejutkan para pengawal yang sedang berjaga di

regol. Bahkan perempuan-perempuan yang baru saja datang dari

arah regol pun ikut terkejut dan menjadi ketakutan.

Dalam pada itu, pemimpin pengawal jaga yang kebetulan baru

saja keluar dari gandhok kanan telah berlari ke depan gardu

penjagaan.

“Salah satu dari kalian ikut aku!” berkata pemimpin pengawal jaga

itu kemudian sambil melangkah kembali menuju ke longkangan,

“Kita lihat halaman belakang banjar. Mungkin ada sesuatu yang

perlu mendapat perhatian.”

Pengawal yang mengikutinya tidak menjawab. Diikuti saja

langkah pemimpinnya itu menuju longkangan.

Dalam pada itu, tiga orang perempuan yang baru saja memasuki

regol dengan menjinjing beberapa barang belanjaan telah terhenti

di gardu. Sambil menahan rasa takut yang mulai menjalari hati

mereka, salah satu yang rambutnya sudah ubanan segera

bertanya, “Ada apakah, ngger? Apakah ada keributan di halaman

belakang banjar?”

Sejenak para pengawal yang ada di gardu itu saling pandang.

Namun salah seorang segera menjawab, “Kami belum tahu, mbok.

Kita tadi telah sama-sama mendengar seseorang membentak

dengan suara yang sangat keras sehingga suaranya sampai

terdengar ke tempat ini. Menilik arah suaranya memang dari arah

14

Page 18: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

belakang banjar. Namun kami belum tahu pasti apa sebenarnya

yang sedang terjadi.”

“Jadi kami harus bagaimana?” bertanya perempuan satunya yang

terlihat masih cukup muda dan berparas cukup cantik dan manis.

Sejenak para pengawal yang berada di gardu itu kembali saling

pandang. Mereka terlihat agak ragu-ragu untuk memutuskan.

Bahkan seorang pengawal yang berbadan agak gemuk justru tak

henti-hentinya memandangi wajah perempuan itu yang memang

terlihat masih cukup muda dan manis.

Segera saja perempuan muda itu menundukkan wajahnya yang

menjadi kemerah-merahan seperti udang di rebus. Dia menjadi

sedikit salah tingkah. Pengawal yang bertubuh agak gemuk itu

baru menyadari perbuatannya ketika pengawal di sebelahnya

menggamit lambungnya.

“Begini saja,” akhirnya pengawal tadi menjawab, “Kalian ke dapur

lewat pintu depan saja. Kalian jangan lewat longkangan dan

kemudian langsung ke dapur. Sebaiknya kalian ke ruang tengah

melalui pringgitan sehingga jika terjadi hal-hal yang diluar

kendali. Kalian tetap di ruang tengah saja.”

“Bagaimana jika hal yang diluar kendali itu justru sedang terjadi

di dalam banjar, di ruang tengah banjar maksudku?” potong

perempuan yang sudah ubanan itu dengan serta-merta.

Kembali para pengawal itu saling pandang. Namun akhirnya salah

satu pengawal telah turun dari gardu dan melangkah sambil

berkata, “Aku antar kalian ke ruang tengah melalui pintu depan.”

Ketiga perempuan itu pun akhirnya menarik nafas dalam dalam

sambil mengikuti langkah pengawal itu.

15

Page 19: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

“Apakah itu memang perlu, Ki Sanak?” tiba-tiba terdengar sebuah

suara yang berat dan mantap dari arah samping dapur.

16

Page 20: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Ketika mereka kemudian telah sampai di pringgitan, tiba-tiba

perempuan yang rambutnya sudah ubanan itu menjadi ragu-ragu

sehingga telah menghentikan langkahnya.

“Ada apa, mbok?” bertanya perempuan yang masih muda sambil

ikut menghentikan langkahnya. Akhirnya yang lain pun ikut

berhenti.

“Bukankah di ruang tengah ada beberapa tamu Ki Gede yang

sedang menginap?” bertanya perempuan tua itu kemudian begitu

melihat kawan-kawannya ikut berhenti.

“Ya,” jawab pengawal yang mengantar itu dengan serta merta,

“Mereka adalah orang-orang linuwih yang telah membantu Ki

Gede menghancurkan padepokan Sapta Dhahana.”

“Ah, aku jadi segan jika harus ke dapur melalui ruang tengah,”

berkata perempuan itu kemudian sambil menggelengkan

kepalanya.

“Jadi bagaimana? Kita lewat pintu butulan samping saja?”

perempuan yang lain menyahut.

Perempuan tua itu sejenak ragu-ragu. Namun terlihat dia

menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali.

“Aku takut,” katanya kemudian dengan wajah yang pucat, “Lebih

baik kita duduk saja di dalam pringgitan ini.”

Pengawal yang mengantar ketiga perempuan itu menjadi heran.

Maka tanyanya kemudian, “Mbok, tidak ada yang perlu

ditakutkan. Aku akan mengantar kalian sampai ke dapur melalui

ruang tengah.”

17

Page 21: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

“Tapi, bagaimana jika orang-orang yang sedang bertengkar itu

tiba-tiba memasuki dapur?”

“Kalian dapat menyelarak pintu dapur dengan kuat,” sahut

pengawal itu, “Selebihnya kalian memang harus memasak untuk

para tamu dan juga pengawal yang jaga.”

Untuk sejenak ketiga perempuan itu saling pandang. Berbagai

pertimbangan sedang bergolak di dalam dada mereka. Memang

mereka mempunyai kewajiban untuk memasak bagi para tamu

yang sedang menginap di banjar selain para pengawal jaga yang

memang setiap hari mendapat jatah makan.

“Bagaimana, mbok?” bertanya pengawal itu dengan nada tidak

sabar.

“Bagaimana, nduk?” perempuan tua itu tidak menjawab

pertanyaan pengawal justru malah balik bertanya kepada

perempuan yang masih muda.

“Aku juga takut, mbok!” bisik perempuan yang terlihat masih

muda itu sambil bergeser merapatkan tubuhnya kepada kawan di

sebelahnya.

“Ah, kalian memang penakut!” gerutu pengawal itu kemudian,

“Aku tidak bertanggung jawab jika Ki Gede mengetahui para

tamu-tamunya sepagi ini belum mendapat minuman hangat,

apalagi sarapan!”

“Ah, macam kau!” sela perempuan tua itu dengan nada kesal,

“Kami ini perempuan memang mempunyai keterbatasan. Jika Ki

Gede mengetahui kejadian yang sebenarnya, beliau pasti tidak

akan marah.”

18

Page 22: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

“Tapi kami yang akan menjadi korban,” sahut pengawal itu

kembali dengan serta-merta, “Nanti sampai Matahari sepenggalah

pasti kami belum mendapat sarapan. Padahal saat Matahari

sepenggalah, pengawal lain akan datang untuk menggantikan

kami jaga.”

“Itu urursan kalian,” kembali perempuan tua itu menyela dengan

suara ketus, “Kalian dapat makan di rumah masing-masing.

Sementara setelah keributan ini selesai, baru kami akan memasak

untuk makan siang.”

“He?” pengawal itu berseru dengan suara sedikit keras, “Jadi kami

benar-benar tidak akan mendapat sarapan pagi?”

Perempuan tua itu baru akan menyahut ketika kembali terdengar

suara bentakan menggelagar dari arah belakang banjar. Kali ini

bahkan lebih keras.

“O,” para perempuan itu pun segera menjatuhkan diri berhimpit

himpitan di lantai pringgitan sambil saling berpelukan. Lutut

mereka rasa-rasanya menjadi lemas tak bertenaga sehingga tidak

mampu lagi untuk menyangga tubuh mereka.

Pengawal yang mengantarkan itu pun menjadi terkejut dan

berdebar-debar. Suara bentakan yang dilambari dengan ilmu yang

tinggi itu pun telah menciutkan nyalinya. Maka katanya kemudian

setengah berbisik, “Baiklah mbok, kalian tinggal di sini saja.

Lupakan masalah sarapan pagi. Aku akan kembali ke gardu

depan.”

“He! Jangan tinggalkan kami!” perempuan tua itu berusaha

berteriak untuk mencegah pengawal itu meninggalkan pringgitan.

Namun suaranya tersangkut di tenggorokan sehingga yang

terdengar hanya sebuah desahan memelas saja.

19

Page 23: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Pengawal itu tidak menghiraukan ketiga perempuan itu lagi.

Segera saja dia melangkah meninggalkan pringgitan untuk

kembali ke gardu depan.

Dalam pada itu di halaman belakang banjar padukuhan induk, Ki

Rangga segera bergeser selangkah kedepan. Katanya kemudian,

“Ki Sanak, sebaiknya kita saling mengenal jati diri kita terlebih

dahulu. Aku adalah Ki Rangga Agung Sedayu, sedangkan yang di

sebelahku ini adalah Ki Waskita, orang yang sangat aku hormati

dan sekaligus aku anggap sebagai guruku sepeninggal Kiai

Gringsing.”

Ki Rangga sengaja menyebut nama Ki Waskita sebagai orang yang

sangat dihormatinya agar orang itu berpikir seribu kali jika ingin

membuat onar di halaman belakang banjar padukuhan.

Setidaknya dia harus memperhitungkan kehadiran orang tua itu.

“Aku tidak peduli!” geram orang itu kemudian. Seolah-olah sama

sekali tidak terpengaruh dengan ucapan Ki Rangga. Lanjutnya

kemudian, “Aku, Pertapa dari goa Langse sama sekali tidak takut

dengan orang-orang macam kalian. Tujuanku ke sini hanya satu.

Aku ingin menjajagi nama besar Ki Rangga Agung Sedayu!”

Semua orang yang hadir di halaman belakang banjar itu telah

mengerutkan kening mereka dalam-dalam. Bahkan diam-diam

Glagah Putih mulai muak dengan kesombongan orang itu.

Namun selagi mereka yang berada di halaman belakang banjar itu

terdiam, tiba tiba terdengar suara orang terbatuk-batuk kecil.

Ketika mereka kemudian berpaling ke arah suara itu berasal,

tampak Ki Jayaraga muncul dari pintu dapur yang terbuka.

“Maaf aku mengganggu perbincangan kalian,” berkata Ki Jayaraga

kemudian sambil melangkah mendekat, “Sebenarnyalah aku

20

Page 24: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

menjadi penasaran dengan pengakuan Ki Sanak ini. Seingatku

orang yang disebut Pertapa dari goa Langse itu sudah sangat

sepuh ketika aku pernah lewat di pantai selatan berpuluh tahun

yang lalu. Aku sangat menghormati sang Pertapa itu yang

menurut pengamatanku tidak pernah meninggalkan Pertapaannya

dan sudah menjauhi segala urusan tetek bengek kehidupan.”

Tampak semburat warna merah menghiasi wajah orang yang

menyebut dirinya Pertapa goa Langse itu. Namun hanya sekejab.

Sejenak kemudian orang itu justru telah tertawa pendek sambil

bertolak pinggang. Katanya kemudian, “Memang guruku dan

sekaligus ayahku sudah terlalu tua dan sudah tidak mengurusi

urusan dunia lagi. Sekarang akulah penggantinya. Kalian tidak

akan menemukan sedikitpun perbedaan antara ayahku dan aku,

baik secara ilmu jaya kawijayan maupun guna kasantikan.”

“Aku percaya Ki Sanak,” sahut Ki Rangga dengan serta merta,

“Namun Ki Sanak lupa, ada perbedaan mendasar antara kalian

berdua yang dapat aku tangkap walaupun hanya sekilas.”

“Maksudmu?” geram Pertapa goa Langse itu dengan kerut merut

menghiasi keningnya.

Ki Rangga tersenyum. Jawabnya kemudian, “Pandangan hidup.

Mungkin itulah perbedaan kalian.”

“Persetan!” geram Pertapa goa Langse itu kemudian sambil maju

selangkah. Jari telunjuknya pun kemudian mengarah kepada Ki

Rangga, “Nah, aku tantang agul-agulnya Mataram ini untuk

berperang tanding secara jujur. Perang tanding ini nantinya tidak

akan dapat dikatakan selesai sampai salah satu terbujur membeku

di atas tanah.”

21

Page 25: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Hampir bersamaan orang-orang yang hadir di halaman belakang

banjar itu menarik nafas dalam-dalam. Kembali sebuah persoalan

yang tanpa ujung pangkal membelit Ki Rangga.

“Ki Sanak yang mengaku sebagai Pertapa goa Langse,” berkata Ki

Rangga kemudian, “Aku tidak akan melayani sebuah perang

tanding yang tidak ada alasan yang jelas dan dapat dipertanggung

jawabkan, baik di kehidupan bebarayan agung ini maupun di

kehidupan abadi kelak. Kubur dalam-dalam keinginan Ki Sanak

untuk menantang aku. Lebih baik kita sudahi saja permasalahan

yang tidak jelas ujung pangkalnnya ini.”

“Pengecut!” bentak Pertapa goa Langse itu kemudian sambil

kembali maju selangkah, “Aku akan menghitung sampai tiga kali,

bersiap ataupun tidak bersiap, aku akan melancarkan seranganku

pada hitungan ketiga!”

Terkejut orang-orang yang hadir di tempat itu. Agaknya orang

yang mengaku Pertapa dari goa Langse itu sangat keras hati. Jika

dia mempunyai kemauan, pantang untuk melangkah mundur.

“Ki Sanak,” kali ini Ki Jayaraga yang berbicara sambil menjajari Ki

Rangga, “Ki Sanak bagiku sangatlah aneh. Aku tidak yakin jika Ki

Sanak ini murid perguruan goa Langse. Aku mengenal betul

Pertapa goa Langse itu semasa mudaku. Dan lebih dari itu, saat

aku berkunjung ke goa Langse di pesisir laut selatan beberapa

puluh tahun yang lalu, Pertapa itu hidup sendirian, tidak ada

seorang pun yang menemaninya. Bagaimana mungkin tiba-tiba Ki

Sanak mengaku sebagai murid dan sekaligus anak dari Pertapa

goa Langse itu?”

“Tutup mulutmu! Itu bukan urusanmu!” kembali Pertapa goa

Langse itu membentak dengan suara yang menggelegar, “Yang

aku tantang berperang tanding adalah Ki Rangga, yang lain tidak

22

Page 26: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

usah ikut campur. Jika memang yang lain sudah bosan hidup,

nanti akan tiba giliran kalian satu persatu aku bunuh setelah aku

menghancurkan nama besar agul-agulnya Mataram ini.”

“Tunggu dulu Ki Sanak,” sekarang Ki Waskita yang menyela,

“Sejauh pengetahuanku, goa Langse juga menjadi Pertapaan atau

katakanlah sebagai pilihan bagi para Wali untuk mencari

kesunyian diri. Aku mendengar Kanjeng Sunan Kali pernah

menggunakan goa Langse untuk tempat menggembleng

Panembahan Senapati ketika masih muda yang bercita-cita ingin

menyatukan negeri ini di bawah panji panji kebesaran Mataram.

Demikian juga konon kabarnya Syeh Lemah Abang pernah

mencari jati dirinya di goa Langse itu.”

“Ya, aku juga pernah mendengar cerita itu,” sahut Ki Jayaraga

dengan serta merta, “Dari cerita Pertapa goa Langse itulah aku

mendengar sebagian cerita itu. Namun cerita tentang Ki Sanak

yang sekarang berdiri di hadapan kita ini sama sekali belum

pernah aku dengar.”

“Apa perduliku!” geram orang yang mengaku Pertapa goa Langse

itu sambil menghentakkan salah satu kakinya ke tanah. Tanahpun

rasa-rasanya bergoncang dengan dahsyat. Berkata Pertapa goa

Langse itu selanjutnya, “Siapapun aku menurut kalian, tidak ada

masalah bagiku. Namun yang jelas aku menantang Ki Rangga

untuk berperang tanding. Ketahuilah, kedatanganku ke perdikan

Matesih ini adalah untuk bergabung dengan padepokan Sapta

Dhahana. Namun aku mendengar bahwa padepokan itu telah

kalian hancurkan dan Kiai Damar Sasangka telah terbunuh. Aku

yakin, jika tidak ada kecurangan, mustahil bagi Ki Rangga untuk

mengalahkan Kiai Damar Sasangka,” orang itu berhenti sejenak

untuk sekedar menarik nafas. Lanjutnya kemudian, “Nah,

sekarang akan menjadi ajang pembuktian bagi Ki Rangga, apakah

dalam perang tanding dengan Kiai Damar Sasangka saat itu dia

23

Page 27: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

berlaku jujur atau tidak, namun itu jika Ki Rangga masih

mempunyai keberanian untuk membuktikan!”

Ki Rangga dan kedua orang tua yang mendampinginya hanya

dapat saling pandang sambil menarik nafas setelah mengetahui

duduk permasalahan yang sebenarnya. Ternyata semua itu masih

terkait dengan jatuhnya padepokan Sapta Dhahana dan tewasnya

Kiai Damar Sasangka. Namun Glagah Putih yang masih berdarah

panas menjadi tidak sabar dan dengan segera dia meloncat dua

langkah ke depan.

Berkata Glagah Putih kemudian dengan suara yang tak kalah

menggelegarnya, “Kiai, siapapun Kiai dan alasan apapun yang Kiai

gunakan untuk menantang Ki Rangga, aku tidak peduli. Namun

yang jelas Kiai telah menyinggung harga diri kami, terutama aku

sebagai murid Ki Rangga. Apa yang telah terjadi semua itu adalah

dalam sebuah pertempuran dan sudah menjadi tanggung jawab

serta kesadaran pribadi bagi setiap orang yang terlibat dalam

pertempuran itu, membunuh atau dibunuh. Nah, jika Kiai tetap

bersikeras untuk menantang Ki Rangga berperang tanding apapun

alasannya, sebelum Kiai menyentuh guruku, hadapi dulu aku

sebagai muridnya!”

Ki Rangga terkejut bukan alang kepalang mendengar ucapan

Glagah Putih itu. Namun baru saja Ki Rangga akan mencegah, Ki

Jayaraga yang berdiri di sebelahnya telah menggamit sambil

berbisik, “Biarlah Glagah Putih menambah pengalamannya. Aku

tidak yakin jika orang ini benar-benar murid Pertapa goa Langse.”

Ki Rangga hanya dapat menarik nafas panjang mendengar bisikan

Ki Jayaraga. Betapapun, Glagah Putih adalah murid Ki Jayaraga

juga, sehingga pertimbangan orang tua itu harus menjadi

pertimbangannya pula.

24

Page 28: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Dalam pada itu, Pertapa dari goa Langse itu ternyata menjadi

heran begitu melihat Glagah Putih meloncat ke depan dan

menantangnya untuk menggantikan Ki Rangga Agung Sedayu.

Untuk beberapa saat Pertapa goa Langse itu justru telah berdiri

termangu-mangu di tempatnya. Tidak tahu harus berbuata apa.

“Nah, apakah Kiai menjadi ketakutan untuk melawan aku,”

berkata Glagah Putih kemudian sambil tersenyum mengejek,

“Tadi Kiai telah mencoba menyerangku dengan ilmu sirep yang

hanya dapat menidurkan kanak kanak di gendongan biyungnya.

Sekarang yang akan engkau hadapi adalah Glagah Putih

seutuhnya, adik sepupu Ki Rangga dan sekaligus muridnya.”

Namun Pertapa goa Langse itu ternyata telah menyadari

keadaannya sehingga telah tertawa terbahak-bahak. Katanya

kemudian, “Alangkah sombongnya engkau, anak muda! Aku tadi

hanya mengujimu dengan ilmuku yang sangat rendah dengan

pengerahan kemampuan tidak ada sepertiganya, dan kini engkau

telah berani mati menyombongkan diri untuk melawanku. Aku

benar-benar harus meminta maaf kepada gurumu jika hari ini

akan menjadi hari terakhirmu!”

Orang-orang yang hadir di tempat itu menjadi berdebar-debar

mendengar sesumbar orang yang menyebut dirinya Pertapa dari

goa Langse itu, namun Glagah Putih ternyata tidak.

Dengan mengangguk-anggukkan kepalanya Glagah Putih segera

menimpali ucapan calon lawannya itu, “Terima kasih atas

kebaikan Kiai untuk memberi aku nasehat. Namun aku saranku,

Kiai supaya lebih berhati hati. Tidak menutup kemungkinan justru

hari ini adalah hari terakhir bagi Kiai. Jika memang Kiai

mempunyai pesan-pesan terakhir, segera saja disampaikan

kepada kami agar kami dapat menyampaikan pesan itu kepada

keluarga Kiai.”

25

Page 29: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

“Tutup mulutmu!” bentak Pertapa goa Langse itu dengan suara

menggelegar, lebih dahsyat dari suara sebelumnya. Namun ke

empat orang yang berada di halaman belakang banjar itu sama

sekali tidak terpengaruh.

Dalam pada itu pemimpin pengawal dan kawannya yang telah

sampai di longkangan justru telah menghentikan langkah mereka

sambil terbungkuk bungkuk memegangi dada mereka yang serasa

mau pecah.

“Gila!” geram pemimpin pengawal itu. Ketika dirasa sakit dalam

dadanya telah berkurang, dia mencoba maju beberapa langkah

untuk mengintip dari longkangan ke arah halaman belakang.

Betapa hatinya bagaikan tersiram banyu sewindu ketika dia

melihat bayangan Ki Rangga Agung Sedayu ada di halaman

belakang banjar itu.

“Sudah ada Ki Rangga Agung Sedayu,” desis pemimpin pengawal

itu sambil melangkah mundur. Kawannya yang masih kesulitan

bernafas itu hanya dapat mengangguk-angguk sambil mencoba

melonggarkan dadanya dengan menghirup udara pagi sedalam-

dalamnya.

Demikianlah akhirnya kedua orang itu segera bergeser menjauh

dan kembali ke regol depan.

Dalam pada itu, Glagah Putih agaknya sudah bertekad untuk

menghadapi tantangan Pertapa dari goa Langse. Ketika dia

sempat berpaling ke arah kakak sepupunya itu, sekilas dia melihat

Ki Rangga menganggukkan kepalanya.

“Kakang Agung Sedayu tidak keberatan,” berkata Glagah Putih

dalam hati sambil melemparkan pandangan matanya ke arah Ki

26

Page 30: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Jayaraga. Ternyata Ki Jayaraga pun telah menggangguk dan

mengacungkan ibu jari tangan kanannya.

“Guru tentu mempunyai pertimbangan yang matang sehingga

mengijinkan aku menghadapi orang ini,” berkata Glagah Putih

kembali dalam hati, “Guru tentu mempunyai pengalaman dengan

Pertapa goa Langse yang sebenarnya sehingga tidak begitu

mengkhawatirkan keselamatanku.”

Berpikir sampai disitu Glagah Putih segera bergeser ke tempat

yang agak lebih lapang sambil berkata, “Marilah Kiai, kita tidak

usah berpanjang kata. Tadi engkau telah sempat menjajagi

kekuatan batinku. Sekarang marilah kita uji kekerasan tulang dan

keliatan kulit kita masing-masing!”

Pertapa goa Langse itu mengeram sambil mengikuti langkah

Glagah Putih. Jawabnya kemudian, “Agaknya aku harus

membunuhmu terlebih dahulu untuk meyakinkan Ki Rangga

bahwa ilmuku sudah pantas untuk berperang tanding

dengannya!”

“Bukan begitu Ki Sanak,” sahut Ki Rangga cepat sambil mengikuti

langkah kedua orang itu ke tempat yang lebih terbuka, “Aku

memang menolak setiap pertikaian yang tidak berujung pangkal.

Nah, barangkali Ki Sanak dapat mempertimbangkan kembali

keputusan Ki Sanak. Sapta Dhahana telah hancur dan para

pengikut Trah Sekar Seda Lepen telah tercerai berai. Tidak ada

gunanya lagi bagi Ki Sanak untuk membelanya.”

Untuk kesekian kalinya orang itu tertawa. Jawabnya kemudian,

“Sudah aku katakan, nama besarmulah yang membuat aku ingin

membuktikan kedahsyatan ilmumu. Persetan dengan Trah Sekar

Seda Lepen dan cita-citanya untuk membangun negeri ini.”

27

Page 31: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

“Itu tidak menjelaskan persoalan yang sebenarnya, Ki Sanak,” sela

Ki Rangga dengan serta merta, “Jika hanya nama besar saja yang

menjadi persoalan, Ki Sanak dapat menggunakan nama atau gelar

apa saja untuk membuat orang ketakutan.”

Namun orang itu justru telah tersenyum masam. Katanya

kemudian, “Nama atau gelar yang aneh-aneh atau nggegirisi

hanya dapat menakuti kanak-kanak. Nama Ki Rangga Agung

Sedayu menjadi sangat terkenal di tanah ini dari ujung ke ujung

bukan karena nama atau gelar. Namun apa yang telah Ki Rangga

perbuat itulah yang menyebabkan hampir setiap orang di tanah

ini menyebut agul agulnya Mataram. Dan itu yang akan aku raih

pagi ini, di halaman belakang banjar ini.”

“O, tentu tentu, Kiai,” Glagah Putih yang sedikit banyak

terpengaruh sifat Ki Jayaraga itu menyahut cepat, “Setelah perang

tanding ini selesai, kami akan memberimu gelar yang akan

dikenang oleh seluruh kawula perdikan Matesih, Sekar Seda Ing

Banjar.”

“Bocah edaaan..!” bentak Pertapa goa Langse dengan serta merta.

Tanpa terlihat dia melakukan ancang-ancang tubuhnya demikian

saja meluncur menerjang Glagah Putih.

Namun Glagah Putih adalah bukan anak muda kebanyakan. Dia

sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Demikian

serangan bagaikan kilat yang meloncat di udara itu meluncur ke

arahnya, anak laki-laki Ki Widura itu hanya bergeser selangkah ke

samping. Dengan mengerahkan tenaga cadangannya, justru

tangan kanannya deras menghantam kaki lawannya yang terjulur

lurus itu.

Pertapa itu ternyata tidak menarik kakinya. Dengan mengayunkan

kakinya yang lain ke arah yang berlawanan, kaki yang terjulur

28

Page 32: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

lurus itu sekarang justru terayun deras menyambar wajah Glagah

Putih.

Glagah Putih sedikit terkejut melihat tandang lawannya. Dengan

cepat salah satu kakinya bergeser ke belakang. Ketika ayunan kaki

lawannya dengan deras menyambar wajah, Glagah Putih telah

menyilangkan kedua tangan di depan wajahnya.

Sebuah benturan keras pun terjadi. Tubuh Glagah Putih terdorong

beberapa langkah surut namun tidak sampai menjatuhkannya.

Sedang pertaopa goa Langse itu telah meloncat beberapa langkah

ke belakang.

“Hem!” geram Pertapa goa Langse sambil memandang tajam ke

arah Glagah Putih. Dia tidak mengira bahwa anak muda yang

mengaku saudara sepupu dan sekaligus murid Ki Rangga itu

mampu menandingi kekuatannya.

“Jangan terlalu berbangga diri dulu anak muda,” berkata Pertapa

goa Langse kemudian sambil bergeser selangkah ke depan, “Aku

belum benar-benar sampai ke puncak ilmuku. Aku hanya ingin

menjajagi kekuatanmu. Nah sekarang aku akan bersungguh-

sungguh, engkau harus bersiap jika tidak ingin terkapar tanpa

arti.”

Selesai berkata demikian tanpa menunggu jawaban lawannya,

kembali tubuh Pertapa goa Langse itu melesat ke depan dengan

kecepatan yang hampir tidak kasat mata. Namun di dalam diri

Glagah Putih mengalir dua aliran ilmu yang berbeda, dari aliran

Ki Sadewa dan Ki Jayaraga. Selain itu pengalamannya bergaul

dengan Raden Rangga serta warisan ilmu yang didapatkan dari

Kiai Namaskara telah menjadikannya seorang anak muda yang

jarang ada tandingannya.

29

Page 33: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Demikianlah akhirnya kedua orang yang terpaut umur cukup jauh

itu segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Silih ungkih

Singa lena.

Dalam pada itu Matahari benar-benar telah terbit. Sinarnya yang

kuning keemasan jatuh di pucuk-pucuk pepohonan memberikan

warna garis-garis indah di setiap daunnya. Sedangkan burung-

burung liar telah berkicau dengan merdunya di dahan dahan

rendah sambil sesekali mengejar ulat-ulat yang terlambat bangun

dan sedang bersembunyi di bawah lindungan dedaunan dan

ranting-ranting pepohonan.

Di kediaman Ki Kamituwa, beberapa rumah dari banjar

padukuhan induk, Nyi Selasih tampak sedang melongok keluar

melalui pintu pringgitan yang terbuka sejengkal. Dipandanginya

langit sebelah timur yang sudah cerah, secerah wajahnya pagi ini

walaupun masih tersisa sedikit kegelisahan.

“Nyi Gede,” tiba-tiba terdengar suara lembut menyapanya dari

arah belakang.

Nyi Gede terkejut. Dengan cepat dia berpaling ke belakang.

Tampak beberapa langkah di belakanganya Nyi Kamituwa berdiri

termangu-mangu dengan sebuah senyum tersungging di bibirnya.

“O,” desis Nyi Gede sambil memutar tubuhnya, “Aku hanya ingin

melihat apakah Matahari sudah benar-benar terbit?”

Nyi Kamituwa tersenyum sambil mengangguk kecil. Katanya

kemudian, “Benar Nyi Gede, Matahari memang sudah terbit.

Namun aku rasa masih memerlukan waktu sejenak untuk

menunggu sampai Matahari benar-benar sepenggalah, sesuai

dengan janji Ki Gede semalam.”

30

Page 34: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

“Silahkan Nyi Gede,” berkata Nyi Kamituwa kemudian

mempersilahkan. Kemudian kepada suaminya dia berkata, “Silahkan

diminum , Kakang. Mumpung masih hangat.”

31

Page 35: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Tampak Nyi Gede menarik nafas dalam-dalam. Sejenak

dilemparkan pandangan matanya ke kejauhan melalui sela-sela

pintu pringgitan yang terbuka sejengkal. Tatapan mata yang

tampak sedikit meragu, ke arah titik-titik di kejauhan yang terlihat

masih sedikit remang di bawah siraman sinar Matahari pagi

bercampur kabut tipis yang mulai menghilang.

“Marilah Nyi Gede,” berkata Nyi Kamituwa kemudian

mempersilahkan Nyi Gede untuk duduk di pringgitan, “Biarlah

para pelayan menyiapkan minuman hangat serta beberapa potong

makanan.”

“Ah, sudahlah, Nyi,” sahut Nyi Gede cepat, “Jangan terlalu

merepotkan diri. Sejak kedatanganku di tempat ini, para

penghuninya menjadi kerepotan dan aku benar-benar merasa

ewuh pekewuh.”

“Ah,” Nyi Kamituwa berdesah sambil tertawa kecil. Katanya

kemudian, “Memang sudah sewajarnya jika kami seisi rumah ini

menjadi repot karena sedang menerima tamu agung. Tapi bagi

kami ini adalah sebuah kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri

bisa menjamu keluarga Ki Gede Matesih yang merupakan

pemimpin tertinggi di perdikan ini.”

“Ah, aku hanya orang kebanyakan, Nyi,” sahut Nyi Gede dengan

serta merta, “Aku hanyalah seorang janda beranak satu yang

kebetulan berkenan di hati Ki Gede Matesih dan diambil menjadi

pendamping hidupnya.”

Nyi Kamituwa kembali tersenyum simpul namun tidak

mengucapkan sepatah katapun. Dia segera mempersilahkan Nyi

Gede untuk duduk. Setelah Nyi Gede duduk di atas tikar pandan

yang putih bersih yang dibentangkan di tengah tengah ruangan,

barulah Nyi Kamituwa kemudian mengikuti duduk.

32

Page 36: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Sejenak suasana menjadi sunyi. Keduanya sedang tenggelam

dalam lamunan masing-masing yang mengasyikkan.

Ketika keduanya sedang dibuai lamunan, tiba-tiba pintu yang

menghubungkan pringgitan dan ruang dalam terdengar berderit

perlahan. Ketika keduanya kemudian berpaling, tampak Ki

Kamituwa sedang berdiri termangu-mangu di antara daun pintu

yang setengah terbuka.

“Ki Kamituwa,” sapa Nyi Gede sambil berusaha bangkit berdiri,

namun dengan cepat Ki Kamituwa memberi isyarat untuk

mencegahnya.

“Silahkan Nyi Gede,” berkata Ki Kamituwa kemudian sambil

melangkah mendekat. Sesampainya di samping istrinya, dia

segera ikut duduk.

“Masih cukup waktu sampai Matahari sepenggalah,” berkata Ki

Kamituwa selanjutnya sambil membenahi letak kain panjangnya,

“Tidak usah tergesa-gesa, Nyi Gede. Kita ikuti saja apa yang telah

diatur oleh Ki Gede. Semoga permasalahan yang sedang membelit

keluarga Nyi Gede segera berakhir.”

Tampak kepala kedua perempuan itu terangguk-angguk. Namun

sesungguhnya jauh di lubuk hati Nyi Gede, terasa pedih bagaikan

tertusuk sembilu. Jurang yang memisahkan antara dirinya dengan

anak tirinya bukannya semakin dekat, justru dirasakannya

semakin menjauh.

“Ratri benar-benar tidak mau melihat mukaku sama sekali,”

perempuan yang belum ada setengah abad itu merintih dalam

hati, “Sebenarnya tidak ada niat sebiji sawi pun dalam hatiku

untuk merebut perhatian ayahnya. Apa yang aku lakukan ini

justru untuk memberikan kebahagiaan kepada Ki Gede.

33

Page 37: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Kebahagiaan Ki Gede tentu saja seharusnya juga menjadi

kebahagiaannya, jika dia memang merasa sebagai anak yang

berbakti.”

Namun keluh kesah itu sama sekali tidak pernah diungkapkan.

Yang ada dalam kesehariannya adalah pasrah dan nrimo ing

pandum, menjalani sisa-sisa hidupnya ini dalam kepasrahan

kepada jantraning ngaurip yang telah digariskan oleh Yang Maha

Agung.

“Di manakah putera Nyi Gede?” tiba-tiba Ki Kamituwa

mengajukan sebuah pertanyaan yang memecah keheningan.

Nyi Gede tersenyum sebelum menjawab. Jawabnya kemudian

sambil tetap tersenyum, “Tentu saja anak itu masih terlelap.

Biarlah nanti menjelang Matahari sepenggalah dia aku

bangunkan.”

Tampak kepala Ki Kamituwa terangguk-angguk. Tiba-tiba pintu

tengah kembali berderit dan dua orang pelayan perempuan

muncul sambil masing-masing membawa sebuah nampan yang

berisi makanan dan minuman. Sesampainya kedua orang itu di

samping Nyi Kamituwa, keduanya segera berjongkok bertumpu

pada kedua lutut mereka.

“Ah, merepotkan saja,” desis Nyi Gede sambil menarik nafas

dalam-dalam.

Nyi Kamituwa tidak menyahut. Dengan cekatan diturunkan

makanan dan minuman yang dibawa oleh dua orang pelayan

perempuan itu. Setelah semuanya selesai barulah kedua pelayan

itu mengundurkan diri.

34

Page 38: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

“Silahkan Nyi Gede,” berkata Nyi Kamituwa kemudian

mempersilahkan. Kemudian kepada suaminya dia berkata,

“Silahkan diminum , Kakang. Mumpung masih hangat.”

Ki Kamituwa tersenyum sambil memandang penuh rasa kasih

sayang dan terima kasih kepada istrinya. Diraihnya cangkir berisi

minuman hangat itu dan kemudian diteguknya beberapa kali.

Semua gerak gerik suami istri itu tidak luput dari perhatian Nyi

Gede. Betapa jantung Nyi Gede terasa kembali pedih bagaikan

ditusuk duri kemarung. Suasana seperti itulah yang sudah lama

didambakan, namun tak kunjung tiba.

“Semoga hari ini menjadi awal kebahagiaan rumah tanggaku,”

membatin Nyi Gede sambil menjatuhkan pandangan matanya

menekuni garis-garis anyaman tikar pandan yang rumit dan

njlimet, “Biarlah Ratri menyingkir sementara ke Menoreh, itu

adalah atas kehendaknya sendiri, bukan aku yang mengusirnya.

Semoga di tanah perdikan Menoreh dia dapat mengendapkan

hatinya yang masih muda dan bergejolak itu sehingga pada

akhirnya dengan hati yang ikhlas akan menerima kehadiranku.”

“Silahkan Nyi Gede, mumpung masih hangat,” tiba-tiba terdengar

kembali suara Nyi Kamituwa membuyarkan lamunannya.

“O, terima kasih,” sahut Nyi Gede dengan suara sedikit tergagap.

Diambilnya cangkir berisi minumn hangat itu dan kemudian

diteguknya sedikit.

“Nyi Gede, di manakah Ki Prana dan Gandhung? Sebaiknya

mereka bergabung dengan kita menikmati minuman hangat dan

beberapa potong ketela rebus,” tiba–tiba Ki Kamituwa

menyeluthuk sambil tangannya mengambil sepotong ketela rebus

yang tampak masih mengepul hangat.

35

Page 39: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

“Mereka tidur di gandhok kanan, Kakang, “ Nyi Kamituwa lah

yang menjawab, “Mungkin mereka sekarang ini masih tidur atau

bahkan sudah berjalan-jalan mengelilingi perdikan Matesih.”

“Ah, tentu tidak,” sahut Nyi Gede cepat, “Jika mencari Gandhung

di pagi-pagi begini, tentu dia ada di perigi sedang menimba air

mengisi pakiwan.”

“Ah,” sepasang suami istri itu tertawa. Bertanya Ki Kamituwa

kemudian, “Bagaimana dengan Ki Prana? Apakah Ki Prana juga

berada di halaman belakang?”

Nyi Selasih tersenyum. Jawabnya kemudian, “Ayah biasanya

selepas menunaikan kewajiban di pagi hari, meneruskan tidurnya

sampai Matahari terbit, bahkan kadang kadang sampai tengah

hari baru bangun.”

“He? Mengapa demikian?” sahut Ki Kamituwa keheranan,

“Apakah Ki Prana setiap malam jarang tidur dan sebagai gantinya

dia tidur di pagi hari sampai siang?”

“Ya, begitulah kira-kira, Ki,” jawab Nyi Gede sambil tersenyum,

“Ayah memang di malam hari jarang tidur. Beliau sering duduk-

duduk di teritisan sampai fajar. Entah apa saja yang

dilakukannya.”

“O, aku tahu,” sahut Ki Kamituwa cepat sambil mengangguk-

anggukkan kepalanya, “Ki Prana mungkin sedang menjalani

sebuah laku. Jika seseorang mempunyai gegayuhan, biasanya dia

akan menjalani sebuah laku. Salah satunya adalah tidak tidur di

malam hari dan tidak masuk ke dalam rumah. Aku lupa apa nama

laku itu. Namun yang jelas, sebagai orang tua satu-satunya Nyi

Gede, Ki Prana tentu mempunyai gegayuhan ingin melihat anak

dan cucunya nggayuh kamukten di suatu hari nanti.”

36

Page 40: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

“Dan agaknya permohonan Ki Prana sudah mulai terwujud,” sahut

Nyi Kamituwa sambil tersenyum dan menatap Nyi Selasih.

Perempuan yang terlihat masih muda itu tampak menundukkan

wajahnya. Tiba-tiba saja kedua pelupuk matanya menjadi panas.

Dengan sekuat tenaga ditahannya air mata yang hampir saja jatuh

berderai membasahi pipinya.

Sepasang suami istri itu menjadi terharu melihat perubahan

wajah Nyi Selasih. Mereka berdua menyadari betapa selama ini

Nyi Selasih sangat sabar dan nrima ing pandum atas nasib yang

menimpa dirinya.

“Nah, aku akan ke halaman belakang sebentar” berkata Ki

Kamituwa kemudian setelah sejenak mereka terdiam. Kemudian

sambil beringsut setapak dia melanjutkan, “Kemarin aku

menyuruh beberapa tukang batu untuk memperbaiki dinding

belakang yang terlihat agak miring. Jika dibiarkan, semakin lama

keadaannya akan semakin parah dan dapat membahayakan.”

“Silahkan Ki Kamituwa,” berkata Nyi Gede sambil tersenyum dan

mengangguk. Sejenak kemudian Ki Kamituwa pun segera berdiri

dan berjalan hilang di balik pintu ruang tengah.

Sepeninggal Ki Kamituwa, Nyi Gede pun kemudian berbincang-

bincang dengan Nyi Kamituwa sambil menunggu Matahari naik

sepenggalah.

Tiba-tiba dari arah ruang tengah terdengar tangisan seorang anak

kecil. Agaknya putera Nyi Gede telah terbangun dan sedang

mencari biyungnya.

“Ah, si kecil sudah bangun,” desis Nyi Gede sambil bangkit berdiri,

“Sebentar Nyi Kamituwa, aku akan memandikannya dan

37

Page 41: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

kemudian akan aku ajak kemari sekalian menunggu waktu untuk

berangkat.”

“Silahkan, Nyi Gede,” sahut Nyi Kamituwa sambil ikut bangkit

berdiri, “Aku akan melihat dapur. Aku tadi sedang menanak nasi

dan ditunggui anak perempuanku yang besar.”

Nyi Gede tidak menjawab hanya tersenyum. Kedua perempuan itu

pun kemudian berjalan beriringan memasuki ruang dalam.

Dalam pada itu di kediaman Ki Gede Matesih, tampak Ki Bango

Lamatan sedang duduk terkantuk-kantuk di pendapa. Secangkir

minuman hangat dan beberapa potong penganan tampak

menemaninya.

Mataharai sudah mulai menampakkan sinarnya. Cahayanya yang

masih lemah namun berkilauan itu menimpa pucuk-pucuk

dedaunan dan embun-embun pagi yang masih bergelayutan

manja di ujung-ujung daun. Sementara embun-embun yang

bertebaran di atas rerumputan berkilauan bagaikan butiran

permata yang berserakan tertimpa sinar Matahari pagi.

Tiba-tiba tedengar pintu pringgitan berderit perlahan. Ketika Ki

Bango Lamatan kemudian berpaling, tampak seraut wajah muncul

sambil tersenyum.

“Apakah Ki Bango Lamatan berkenan sarapan pagi terlebih

dahulu?” bertanya Ki Gede yang kemudian melangkah keluar

menuju pendapa.

Ki Bango Lamatan tersenyum sambil berdiri menyambut

kedatangan Ki Gede. Jawabnya kemudian, “Terima kasih Ki Gede,

aku tidak terbiasa makan terlalu pagi. Bahkan kadang-kadang

sehari aku makan hanya sekali dan itu waktunya tidak menentu,

tergantung keinginan dan seleraku.”

38

Page 42: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Ki Gede yang sudah sampai di hadapan Ki Bango Lamatan

tersenyum. Sambil mempersilahkan Ki Bango Lamatan duduk

kembali, Ki Gede pun kemudian ikut duduk bersila di atas

hamparan tikar pandan yang putih bersih bergaris-garis hijau dan

merah.

“Kadangkala aku juga berbuat demikian, Ki,” berkata Ki Gede

selanjutnya, “Kesibukan di perdikan ini seringkali menyita

perhatian dan memerlukan penangannan sesegera mungkin

sehingga aku pun lupa untuk memenuhi panggilan alami ini.”

Ki Bango Lamatan pun ikut tersenyum mendengar ucapan Ki

Gede. Selama hidupnya dia memang tidak begitu memperhatikan

kebutuhan tubuhnya baik berupa makanan maupun istirahat.

Orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya

Warastra itu memang sudah terbiasa laku tirakat seumur

hidupnya.

“Ki Gede,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian setelah sejenak

keduanya terdiam, “Sampai sejauh ini, apa yang kita khawatirkan

ternyata tidak terjadi. Matahari telah terbit dan aku tidak yakin

jika sisa-sisa cantrik padepokan Sapta Dhahana akan menyerang

perdikan Matesih di siang hari.”

“Aku juga berpendapat demikian,” sahut Ki Gede dengan serta

merta, “Namun kita tidak boleh lengah. Aku telah berpesan

kepada masing-masing pemimpin kelompok pengawal Matesih

untuk tetap menjaga kewaspadaan.”

“Ki Gede benar, setiap saat sisa-sisa laskar cantrik padepokan

Sapta Dhahana dapat menyergap Matesih,” menambahkan Ki

Bango Lamatan kemudian.

39

Page 43: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Sejenak suasana kembali menjadi sunyi, yang terdengar hanya

suara burung-burung yang bernyanyi dengan riang gembira

menyambut datangnya pagi.

“Ki Bango Lamatan,” berkata Ki Gede kemudian setelah sejenak

mereka terdiam, “Jika memang Ki Bango Lamatan tidak berkenan

makan pagi terlebih dahulu, bagaimana jika kita segera ke banjar

padukuhan induk untuk mendengar berita terakhir dari kawan-

kawan di banjar? Terutama keberadaan Ki Wiyaga dan

pasukannya?”

“Baik, Ki Gede,” jawab Ki Bango Lamatan sambil mengangkat

cangkir dan menghabiskan sisa minuman di dalamnya. Setelah

meletakkan cangkir yang kosong itu kembali ke tempatnya, Ki

Bango Lamatan melanjutkan, “Semakin cepat semakin baik.

Mungkin Ki Rangga mempunyai rencana berikutnya untuk

menyikapi keadaan yang sedang berkembang ini.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil menegakkan

punggungnya, Ki Gede kemudian berkata, “Namun ada satu hal

yang sedang membebani hatiku. Aku mohon maaf sebesar-

besarnya jika di saat seperti ini aku telah mencampur adukkan

kepentingan perdikan Matesih ini dengan kepentingan pribadiku.”

Ki Bango Lamatan mengerutkan keningnya. Dipandanginya raut

wajah orang tua itu yang tiba-tiba saja menjadi buram, seburam

langit di musim penghujan.

Bertanya Ki Bango Lamatan kemudian, “Maaf Ki Gede, jika aku

diperbolehkan mengetahui, kepentingan pribadi manakah yang Ki

Gede maksud?”

40

Page 44: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Untuk beberapa saat Ki Gede termenung. Ingatannya segera

melayang kepada permintaan Ratri, anak perempuan satu-satunya

untuk mengantarkannya ke tanah perdikan Menoreh.

“Ki Gede?” desis Ki Bango Lamatanan kemudian membangunkan

pemimpin tanah perdikan Matesih itu.

“Ki Bango Lamatan,” berkata Ki Gede kemudian sambil menarik

nafas dalam-dalam. Seolah olah ingin melonggarkan dadanya

yang terasa pepat, “Mungkin aku ini tidak bisa menjadi seorang

ayah yang baik, aku tidak dapat mengendalikan anak

perempuanku yang sedang tumbuh menjelang dewasa.”

Ki Bango Lamatan menjadi berdebar-debar. Walaupun tidak

mengetahui secara keseluruhan permasalahan anak perempuan Ki

Gede yang bernama Ratri itu, namun beberapa saat yang lalu,

bersama dengan Glagah Putih dan Ki Jayaraga dia melihat sendiri

Ratri sedang menemui kekasihnya, Raden Mas Surengpati di

sebuah pategalan kosong.

“Tapi bukankah Sapta Dhahana sudah jatuh?” bertanya Ki Bango

Lamatan dalam hati, “Dan seharusnya Ratri menyadari sejak

peristiwa di pategalan itu, laki-laki adik Trah Sekar Seda Lepen itu

bukanlah seorang lelaki yang dapat diharapkan akan menjadi

suaminya kelak.”

Namun Ki Bango Lamatan tidak berani menduga-duga lebih jauh.

Dia hanya berdiam diri saja menunggu Ki Gede melanjutkan

ucapannya.

Dalam pada itu Ki Gede yang melihat Ki Bango Lamatan hanya

berdiam diri segera melanjutkan kata-katanya, “Sejak Sapta

Dhahana jatuh ke tangan kita, dia kelihatannya sudah menyadari

akan kesalahannya berhubungan dengan adik Trah Sekar Seda

41

Page 45: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Lepen itu. Namun yang kemudian menjadikan aku pusing tujuh

keliling adalah permintaannya untuk mempelajari olah

kanuragan.”

“Ah,” tanpa sadar Ki Bango Lamatan berdesah sambil menarik

nafas dalam-dalam. Jika persoalananya hanya menyangkut

keinginan Ratri untuk belajar olah kanuragan, bukankah Ki Gede

seorang yang mumpuni dalam olah kanuragan?

“Ki Gede,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian setelah berpikir

sejenak, “Aku kira permintaan puteri Ki Gede itu adalah wajar.

Ditengah ketidak pastian dan mungkin pengalaman yang telah

dialaminya sendiri barangkali, tidaklah aneh jika puteri Ki Gede

ingin mempelajari olah kanuragan selangkah dua langkah. Justru

itu menunjukkan bahwa dirinya ingin mandiri, tidak tergantung

oleh orang lain,” Ki Bango Lamatann berhenti sejenak. Lanjutnya

kemudian, “Selain itu, saat ini sudah tidak asing ataupun aneh

bagi perempuan untuk belajar olah kanuragan.”

“Persoalannya tidak sesederhana itu, Ki,” sahut Ki Gede

kemudian, “Yang menjadi persoalan adalah, Ratri ingin berguru

kepada Nyi Sekar Mirah, istri Ki Rangga Agung Sedayu.”

Sejenak kening Ki Bango Lamatan terlihat berkerut merut, namun

itu hanya sekejap. Segera saja tampak sebuah senyum tersungging

di bibirnya. Berkata Ki Bango Lamatan kemudian, “Ki Gede, aku

kira keinginan puteri Ki Gede itu tidaklah terlalu sulit. Nanti

setelah Ki Gede bertemu dengan Ki Rangga Agung Sedayu di

banjar padukuhan induk, Ki Gede dapat menyampaikan keinginan

puteri Ki Gede itu.”

Namun wajah Ki Gede tetap terlihat buram, seolah olah untuk

menyampaikan hal itu kepada Ki Rangga adalah suatu

permasalahan yang sangat berat.

42

Page 46: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Ki Bango Lamatan yang melihat raut wajah Ki Gede tetap

menunjukkan kegalauan hatinya menjadi heran. Namun untuk

bertanya lebih jauh dia merasa sedikit segan, justru karena

persoalan itu menyangkut keluarga Ki Gede.

Dalam pada itu selagi kedua orang yang duduk di pendapa itu

terdiam beberapa saat, tiba–tiba pendengaran mereka yang tajam

telah mendengar langkah-langkah dari samping rumah induk.

Sepertinya langkah seekor kuda yang sedang dituntun oleh

penunggangnya.

Namun mereka berdua tidak perlu menunggu lama. Tiba-tiba dari

halaman samping di sebelah gandhok kanan, muncul seekor kuda

yang terlihat cukup tegar dengan seorang pemuda yang sangat

tampan memegang kendalinya.

Ki Bango Lamatan terkejut melihat kuda dan penuntunnya itu

langsung menuju ke depan pendapa. Ada perasaan aneh yang

menyelinap di sudut hati Ki Bango Lamatan begitu

memperhatikan anak muda yang wajahnya terlalu tampan dan

halus untuk ukuran seorang laki-laki.

Namun Ki Gede sama sekali tidak terkejut. Dia justru telah

menarik nafas dalam-dalam sambil berdiri. Melihat Ki Gede

berdiri, Ki Bango Lamatan pun kemudian mengikutinya.

“Apakah engkau sudah benar-benar siap untuk berangkat pagi ini,

Ratri?” bertanya Ki Gede kemudian sambil melangkahkan

kakinya.

Ki Bango Lamatan yang mendengar Ki Gede menyebut nama Ratri

segera menarik nafas dalam-dalam. Ternyata pemuda yang sangat

tampan itu adalah Ratri, putri Ki Gede yang mengenakan pakaian

kebanyakan kaum laki-laki.

43

Page 47: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Tiba-tiba dari halaman samping di sebelah gandhok kanan, muncul

seekor kuda yang terlihat cukup tegar dengan seorang pemuda yang..

44

Page 48: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

“Aku benar-benar tidak mampu mengenalinya,” berkata Ki Bango

Lamatan dalam hati sambil mengikuti langkah Ki Gede menuruni

tlundak pendapa, “Tetapi untuk apa dia berpakaian seperti itu?

Dan akan berangkat kemanakah Ratri?”

Pertanyaan itu berputar putar dalam benak Ki Bango Lamatan.

Namun ternyata dia segera mendapat jawabannya ketika Ratri

kemudian telah menghentikan kudanya tepat di depan pendapa.

Berkata Ratri kemudian, “Ayah, bukankah ayah telah berjanji

kepadaku untuk mengantarkan aku ke Menoreh pagi ini? Aku

sudah siap dan paman Pekatik telah memberiku kuda yang pernah

aku gunakan untuk belajar berkuda beberapa saat yang lalu.

Ternyata kuda ini masih ingat kepadaku dan sangat penurut

ketika aku mencoba di halaman belakang tadi.”

Hampir bersamaan Ki Gede dan Ki Bango Lamatan menarik nafas

panjang. Tanpa sadar Ki Gede berpaling ke arah orang yang

pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya Warastro itu.

Dan agaknya Ki Bango Lamatan pun segera tanggap persoalan

yang sebenarnya tentang keinginan Ratri untuk berguru kepada

Nyi Sekar Mirah, istri Ki Rangga Agung Sedayu.

”Akan tetapi mengapa begitu tergesa-gesa?” bertanya Ki Bango

Lamatan dalam hati tak habis pikir, “Bukankah keadaan perdikan

Matesih belum menentu dan setiap saat dapat saja sisa-sisa laskar

cantrik padepokan Sapta Dhahana menyerbu Matesih.”

Namun pertanyaan itu hanya disimpan dalam hati. Ki Bango

Lamatan hanya dapat menunggu apa yang selanjutnya akan

dilakukan oleh Ki Gede untuk memenuhi permintaan putri satu-

satunya itu.

45

Page 49: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

“Jangan khawatir, Ratri,” sahut Ki Gede kemudian dengan suara

yang berat dan tenang, “Ayahmu pasti menepati janji. Namun

perjalanan ke Menoreh cukup jauh dan aku akan meninggalkan

Matesih barang dua atau tiga hari. Sehingga aku harus yakin

bahwa selama aku tinggal Matesih dalam keadaan baik-baik saja.”

“Terima kasih ayah,” berkata Ratri kemudian sambil memandang

ke arah ayahnya yang masih berdiri di tlundak pendapa, “Nah,

bagaimana dengan ayah sendiri? Apakah sudah siap? Tadi aku

melihat ada empat pengawal yang sedang mempersiapkan kuda-

kuda mereka di halaman belakang. Apakah mereka akan ikut

serta?”

“Engkau benar Ratri,” jawab ayahnya kemudian sambil turun dari

tlundak dan kemudian mendekati kuda yang kendalinya sedang

dipegang anak perempuan satu-satunya itu. Lanjut Ki Gede

sesampainya dia di hadapan Ratri, “Kita perlu pengawal agar

segala sesuatunya berjalan sesuai dengan rencana kita.”

Ki Bango Lamatan yang melihat Ki Gede turun dari pendapa

segera mengikutinya dari belakang. Tanpa sadar dia mengamat-

amati kuda Ratri yang cukup tegar walaupun tidak begitu besar.

Namun ukuran kuda itu memang cukup sesuai untuk seorang

penunggang perempuan.

“Kuda yang cukup bagus,” tiba-tiba tanpa sadar Ki Bango Lamatan

memuji sambil mengelus-elus suri kuda itu. Kuda itu pun tampak

senang sehingga telah mengangguk-anggukkan kepalanya.

Ki Gede yang melihat apa yang dilakukan Ki Bango Lamatan itu

ikut mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya kemudian,

“Baiklah. Aku akan berkemas. Akan tetapi sebelum kita

meninggalkan Matesih, kita akan mampir sebentar di banjar

padukuhan induk.”

46

Page 50: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Tampak wajah Ratri diliputi keheranan mendengar ucapan

ayahnya. Tanpa sadar sebuah pertanyaan terlontar begitu saja dari

birinya yang mungil, “Untuk apa ayah?”

Ki Gede menarik nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan

putrinya. Tanpa sadar kepala tanah perdikan Matesih itu

berpaling sekilas ke arah Ki Bango Lamatan. Namun orang yang

pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu

tidak sedang memandang ke arahnya.

“Ratri,” jawab Ki Gede kemudian dengan suara sesareh mungkin,

“Kita akan meninggalkan Matesih barang dua atau tiga hari.

Selama itu aku harus yakin bahwa Matesih dalam keadaan baik-

baik saja. Untuk itulah aku akan meminta bantuan Ki Rangga dan

kawan-kawannya untuk menjaga perdikan ini selama aku tinggal.”

“Bukankah ada para bebahu dan para pengawal Matesih?” sahut

Ratri dengan serta merta sambil memandang tajam ke arah

ayahnya.

“Ratri, tadi malam hampir semalam suntuk aku telah mengelilingi

perdikan Matesih ditemani Ki Bango Lamatan. Para bebahu dan

pemimpin kelompok pengawal telah aku beri pesan dan arahan

yang jelas,” Ki Gede berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian,

“Namun para bebahu dan pengawal Matesih saja tidak cukup. Aku

akan meminta Ki Rangga dan kawan-kawannya untuk tinggal

barang dua atau tiga hari sambil menunggu kepulanganku dari

Menoreh.”

Ratri yang belum banyak berpengalaman dalam dunia olah

kanuragan itu tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Bagi

dirinya, jumlah pengawal yang cukup banyak serta para bebahu

perdikan Matesih sudah lebih dari cukup untuk menjaga

keamanan perdikan Matesih selama ayahnya tidak ada di tempat.

47

Page 51: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Ki Gede yang melihat kerut merut di dahi putrinya itu justru telah

mengajukan pertanyaan kepada Ki Bango Lamatan, “Bagaimana

Ki Bango Lamatan? Bukankah memang sebaiknya aku meminta

pertolongan kepada Ki Rangga?”

Ki Bango Lamatan yang tidak menyangka akan mendapat

pertanyaan seperti itu sejenak justru membeku. Namun dengan

cepat dia segera dapat menyesuaikan diri. Jawabnya kemudian,

“Ki Gede benar. Memang seharusnya demikian, dan aku kira Ki

Rangga tidak akan keberatan. Keadaan perdikan Matesih belum

dapat dikatakan benar-benar aman. Ancaman balas dendam dari

para cantrik padepokan Sapta Dhahana masih menghantui para

kawula Matesih.”

Tampak Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya

kemudian sambil berpaling kearah putrinya, “Nah, engkau dengar

sendiri betapa keadaan di Matesih benar-benar belum dapat

dikatakan aman,” Ki Gede berhenti sebentar. Lanjutnya

kemudian, “Sebaiknya kuda ini engkau tambatkan dulu di patok di

sebelah pendapa. Kita masih perlu menyiapkan bekal selama

perjalanan dan bekalmu tentu lebih banyak karena sesuai rencana

engkau akan tinggal di Menoreh cukup lama.”

Tampak wajah Ratri terlihat masih diliputi keragu-raguan. Ketika

dia kemudian berusaha memandang wajah ayahnya, tampak

betapa wajah yang terlihat sangat letih itu berusaha tersenyum

sareh. Hati Ratri yang paling dalam pun bagaikan terkethuk.

“Ya, ayah,” jawab Ratri pada akhirnya sambil menghela nafas

panjang. Sebenarnyalah bagi Ratri semakin cepat meninggalkan

Matesih semakin baik. Hatinya benar-benar belum siap untuk

bertemu dengan ibu tirinya itu.

48

Page 52: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Demikianlah akhirnya, sambil menundukkan wajahnya Ratri pun

kemudian menghela kudanya menuju ke samping pendapa.

Sementara Ki Bango Lamatan dan Ki Gede kembali ke pendapa.

“Silahkan jika Ki Gede ingin berbenah terlebih dahulu,” berkata Ki

Bango Lamatan kemudian sesampainya mereka berdua di

pendapa.

Sejenak Ki Gede memandang ke arah Ratri yang sudah hilang di

balik pintu pringgitan. Katanya kemudian sambil mempersilahkan

tamunya, “Silahkan menunggu sebentar Ki Bango Lamatan. Jika

memang tidak berkenan sarapan pagi, aku akan memberitahu

para pelayan untuk menambah minuman hangat lagi dan

beberapa penganan yang mungkin dapat untuk sekedar

mengganjal perut.”

“O, terima kasih, Ki Gede. Yang ini saja belum habis. Aku kira

tidak usah ditambah lagi,” sahut Ki Bango Lamatan cepat sambil

kembali duduk di atas tikar yang dibentangkan di tengah-tengah

pendapa.

Ki Gede tersenyum. Katanya kemudian, “Baiklah, Ki. Aku akan

berbenah. Apakah Ki Bango Lamatan berkenan ikut ke Menoreh?”

“Aku kira tidak, Ki Gede,” jawab Ki Bango Lamatan dengan serta

merta, “Masih banyak tugas yang harus diselesaikan. Tapi jika Ki

Rangga yang memerintahkan untuk menemani Ki Gede, aku tidak

akan berkeberatan.”

“Syukurlah. Kami akan senang sekali mempunyai teman

seperjalanan seperti Ki Bango Lamatan,” sahut Ki Gede kemudian.

“Namun Ki Gede harus menyiapkan bekal dua kali lipat,” berkata

Ki Bango Lamatan kemudian, “Aku memang jarang makan,

49

Page 53: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

namun jika sudah lapar, satu jodang makanan pun aku mampu

menghabiskannya.”

“Ah,” Ki Gede tertawa pendek. Dia tahu Ki Bango Lamatan hanya

bercanda. Maka lanjutnya kemudian, “Sudahlah Ki, aku akan

berkemas.”

Ki Bango Lamatan tidak menjawab. Hanya tampak anggukan

kepalanya serta isyarat tangannya untuk mempersilahkan Ki

Gede. Semetara Ki Gede dengan bergegas segera melangkah

menuju pintu pringgitan.

Dalam pada itu Putut Acarya yang sedang menyusul gurunya

berjalan dengan tergesa-gesa di ujung pagi. Matahari baru saja

menampakkan sinarnya. Sepanjang jalan tak henti-hentinya putut

Acarya berpikir keras.

“Apa maksud guru sebenarnya ke perdikan Matesih?” berkata

dalam hati putut tertua peguruan goa Langse itu sambil

mengayunkan langkahnya, “Jika hanya ingin mencoba

kedahsyatan ilmu agul-agulnya Mataram itu, bukankah saat ini

bukan waktu yang tepat? Sapta Dhahana telah jatuh dan

keberadaan sisa-sisa laskar itu belum diketahui. Menurut

pemikiranku, lebih baik mencari dan sekaligus bergabung dengan

mereka dari pada menantang perang tanding dengan Ki Rangga

Agung Sedayu.”

Tanpa terasa langkahnya telah mendekati banjar padukuhan

induk Matesih. Sejenak langkahnya menjadi ragu-ragu. Dia belum

dapat memutuskan lewat di depan banjar ataukah justru

mengambil jalan belakang dan kemudian memasuki banjar dari

arah belakang.

50

Page 54: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

“Aku akan melewati banjar dari arah depan terlebih dahulu,”

membatin putut Acarya sambil melangkah terus, “Aku akan

mencoba membaca keadaan di banjar terlebih dahulu sebelum

memutuskan untuk memasukinya dari arah manapun.”

Berpikir sampai disitu, putut Acarya pun kemudian membulatkan

tekatnya untuk lewat banjar dari arah depan.

Ketika langkahnya tinggal dua tombak saja dari regol banjar

padukuhan induk Matesih, tiba-tiba saja putut Acarya dikejutkan

oleh suara tawa yang menggelegar merobek udara pagi.

“Guru?” tanpa sadar putut Acarya berdesis perlahan dengan

jantung yang berdebaran. Langkahnya pun semakin dipercepat.

Ketika Putut Acarya sudah benar-benar di depan regol banjar,

sejenak dia menjadi ragu-ragu. Memang ada keinginan memasuki

banjar untuk melihat langsung apa yang sedang terjadi. Namun

beberapa orang pengawal yang sedang berjaga dengan senjata

terhunus di sebelah menyebelah regol telah membuatnya berpikir

seribu kali.

“Aku adalah murid pertama padepokan goa Langse,” tiba-tiba

sudut hatinya menggeram, “Mengapa aku harus takut dengan

pengawal-pengawal dungu itu? Mereka hanya mengerti selangkah

dua langkah ilmu kanuragan, sedangkan aku sudah menimba ilmu

goa Langse bertahun-tahun.”

Namun sudut hatinya yang lain menjawab, “Apa yang akan

engkau andalkan Acarya? Ilmu loncat-loncatan atau sekedar ilmu

memukul gedebok pisang itu? Engkau akan menjadi pengewan-

ewan oleh para pengawal perdikan Matesih yang sudah terbukti

berhasil menghancurkan padepokan Sapta Dhahana.”

51

Page 55: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Hati putut Acarya yang sudah mengembang itu tiba-tiba menciut

kembali menjadi sebesar menir. Dengan jantung berdebaran

diamat-amatinya regol banjar padukuhan Matesih dengan

pandangan yang nanar.

Namun justru sikapnya yang mencurigakan itulah yang telah

menarik perhatian beberapa pengawal penjaga regol.

Seorang pengawal yang berkumis tipis tampak mengerutkan

keningnya sambil berbisik ke arah kawan di sebelahnya, “He!

Lihat! Orang itu sedari tadi mengamat-amati tempat ini!”

“Ya, aku juga sedang memperhatikan dia,” bisik kawan di

sebelahnya tanpa berpaling. Pandangan matanya tajam lurus-

lurus ke arah putut Acarya yang sedang berdiri termangu mangu

beberapa langkah dari regol.

Agaknya pengawal yang berkumis tipis itu tidak dapat menahan

diri lagi. Maka katanya kemudian sambil melangkah, “Akan aku

tanya apa maksud orang itu mengawasi tempat ini.”

Kawan di sebelahnya tampak hanya menganggukkan kepala tanpa

menjawab. Namun pandangan matanya tetap tidak lepas dari

putut Acarya.

Dalam pada itu putut Acarya yang melihat salah satu pengawal

berjalan mendekatinya menjadi terkejut bagaikan disengat

kalajengking. Dengan cepat dia berusaha untuk menghilangkan

kesan. Segera diayunkan langkahnya kembali sambil

menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Namun pengawal berkumis tipis itu tidak dapat dikelabuhi begitu

saja. Dengan mempercepat langkahnya dia segera menyusul putut

Acarya dan kemudian memotong langkah murid perguruan goa

Langse itu.

52

Page 56: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

“Sebentar Ki Sanak!” berkata pengawal itu kemudian sambil

berhenti menghadang beberapa langkah di hadapan putut Acarya,

“Apakah Ki Sanak tidak berkeberatan jika aku mengajukan satu

dua pertanyaan kepada Ki Sanak?”

Putut Acarya yang mendapat perlakuan seperti itu jantungnya

menjadi berdegub semakin kencang. Namun dicobanya untuk

tetap tenang menghadapi keadaan yang sama sekali diluar

perhitungannya itu.

Sambil menghentikan langkah dan tersenyum, putut Acarya pun

kemudian balik bertanya, “O, ada kepentingan apakah Ki Sanak?

Aku sangat tergesa-gesa dan tidak mempunyai banyak waktu

untuk menjawab pertanyaan Ki Sanak.”

Pengawal yang sudah banyak pengalaman itu tidak begitu

mudahnya dikecoh oleh putut Acarya. Maka katanya kemudian,

“Baiklah Ki Sanak. Aku tidak akan banyak bertanya kepada Ki

Sanak. Yang ingin aku ketahui hanyalah sedikit jati diri Ki Sanak,”

pengawal berkumis tipis itu berhenti sejenak. Lanjutnya

kemudian, “Di manakah Ki Sanak tinggal? Di perdikan Matesih ini

ataukah Ki Sanak berasal dari luar Matesih?”

“Ah pertanyaan Ki Sanak terlampau banyak,” jawab putut Acarya

sambil tersenyum kembali untuk menutupi kegugupannya.

Lanjutnya kemudian, “Aku tinggal di dukuh Klangon. Nah, aku

kira keteranganku sudah cukup dan aku akan meneruskan

perjalananku.”

Namun pengawal berkumis tipis itu ternyata tidak juga beranjak

dari tempatnya. Sambil menampakkan wajah ramah dia

menganggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Aku banyak

mempunyai kenalan di dukuh Klangon. Bahkan salah satu

saudaraku ada yang tinggal di dukuh Klangon,” pengawal itu

53

Page 57: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

berhenti sebentar untuk sekedar mengamat-amati wajah putut

Acarya, namun wajah itu tampak datar-datar saja. Lanjutnya

kemudian, “Ki Sanak ini memang asli penduduk dukuh Klangon

ataukah hanya kebetulan sedang berkunjung ke dukuh Klangon,

ke sanak saudara barangkali?”

Putut Acarya mulai merasa sedikit jengkel menghadapi pengawal

itu. Maka jawabnya kemudian, “Ki Sanak terlalu mencampuri

urusan pribadiku. Tapi baiklah, sekali ini aku jelaskan. Aku

sedang mengunjungi saudaraku yang sedang sakit di dukuh

Klangon. Nah, aku kira tidak ada lagi yang perlu aku jelaskan, dan

sekarang menepilah, aku akan melanjutkan perjalananku.”

Pengawal berkumis tipis itu tampak masih akan menahan putut

Acarya, namun tiba-tiba kepala pengawal jaga yang sedari tadi

memperhatikan kedua orang itu segera berkata cukup keras

sambil melangkah mendekat, “Sudahlah Darta, biarkan Ki Sanak

itu melanjutkan perjalanannya. Engkau sama sekali tidak punya

hak untuk mengganggunya.”

Putut Acarya tanpa sadar berpaling ke arah pemimpin pengawal

jaga yang melangkah mendekat.

“Terima kasih,” berkata putut Acarya kemudian sambil

menggerakkan kakinya untuk melangkah ketika dilihatnya

pengawal yang bernama Darta itu menepi.

Namun baru saja dia maju selangkah, tiba-tiba pemimpin

pengawal jaga itu berdesis perlahan, “Maaf Ki Sanak, jika aku

tidak salah, aku pernah melihat Ki Sanak di depan pasar Klangon

beberapa hari yang lalu. Apakah saudara Ki Sanak itu saudagar

kaya raya yang tinggal di depan pasar Klangon, Ki Windardi?”

54

Page 58: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Putut Acarya yang sama sekali belum mengenal dukuh Klangon

sejenak tertegun. Namun tiba-tiba terbersit niat di dalam hatinya

untuk membuat pengawal yang bernama Darta itu menjadi segan

dan malu jika dia mengaku sebagai saudara Ki Windardi, saudagar

kaya raya seperti yang dimaksud pemimpin pengawal itu. Maka

jawabnya kemudian sambil tersenyum dan mengangguk, “Ya Ki

Sanak. Memang benar Ki Windardi dengan aku masih terhitung

sepupu.”

Namun tanggapan pemimpin pengawal jaga itu justru diluar

dugaan. Sambil menggeram dia membentak, “Bohong!

Mengakulah bahwa Ki Sanak sedang mematai-matai banjar

padukuhan ini. Ki Sanak sama sekali tidak mengenal Ki Windardi,

karena nama Ki Windardi itu hanya karanganku saja. Nah!

Sekarang mengakulah sejujurnya, siapa sebenarnya Ki Sanak dan

untuk apa Ki Sanak menyelidiki banjar padukuhan induk

Matesih.”

Selesai berkata demikian, pemimpin pengawal itu segera bertepuk

tangan dua kali. Tanpa menunggu waktu, dua orang pengawal

yang bediri di sebelah menyebelah regol segera meloncat

mendekat setelah menyarungkan senjata mereka terlebih dahulu.

Berdesir dada putut Acarya. Dia sama sekali tidak mengira jika

pertanyaan bernada sangat ramah dan bersahabat itu ternyata

hanyalah sebuah jebakan. Melihat gelagat yang tidak

menguntungkan itu, putut Acarya segera meloncat ke depan untuk

melarikan diri dari tempat itu.

Namun ternyata Darta sama sekali tidak lengah. Dengan sangat

cerdiknya salah satu kakinya segera dikaitkan ke arah salah satu

kaki putut Acarya yang sedang berlari.

55

Page 59: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Akibatnya sangat menyakitkan. Tubuh Acarya terpelanting ke

depan dan kemudian jatuh tersungkur. Namun murid perguruan

goa Langse itu dengan sangat cekatan segera melenting berdiri.,

Namun alangkah terkejutnya putut Acarya, begitu dia berdiri

tegak di atas kedua kakinya yang renggang, empat orang pengawal

telah mengurungnya.

“Jangan lari pengecut!” geram Darta sambil melangkah mendekat

dengan pandangan tajam, setajam ujung belati yang dapat

merobek jantung, “Kami tidak akan berlaku kasar jika Ki Sanak

bersedia dengan suka rela mengaku jati diri Ki Sanak serta untuk

tujuan apa Ki Sanak mengamat-amati banjar ini.”

Putut Acarya tidak menjawab. Pandangan matanya menyapu

keempat pengawal yang kini dengan langkah satu-satu

merapatkan kepungan mereka.

“Tidak ada cara lain selain jalan kekerasan,” geram putut Acarya

dalam hati. Dia mulai menilai di antara keempat pengawal itu,

siapakah yang paling lemah sehingga dapat dijadikan jalan untuk

lolos dari tempat terkutuk itu.

Ketika keempat pengawal itu semakin dekat, tiba-tiba saja putut

Acarya berteriak nyaring sambil menerjang ke salah satu pengawal

yang bertubuh paling kecil.

Namun pengawal yang bertubuh kecil itu sama sekali tidak

terkejut. Dia sudah menduga jika putut Acarya pasti akan

menggunakan jalan kekerasan untuk l;olos dari tempat itu.

Dengan tenangnya serangan putut Acarya itu disambut dengan

kaki yang terjulur ke depan serta tangan yang menyilang di depan

dada.

56

Page 60: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Putut Acarya terkejut melihat cara lawan memyambut

serangannya. Namun murid goa Langse itu tidak menjadi

bingung. Sambil memiringkan tubuhnya yang sedang meluncur

itu, kaki lawannya lewat hanya setebal ibu jari dari perutnya.

Sementara tangannya tetap deras menghantam wajah.

Ketika kepalan tangan putut Acarya hampir menyentuh hidung

pengawal yang bertubuh kecil itu, tiba-tiba dari arah samping

terasa sesuatu menghantam lambungnya sehingga tubuhnya

terputar ke kiri. Belum sempat dia memperbaiki kedudukannya,

sebuah hantaman yang cukup keras melanda dagunya.

Putut Acarya mengumpat keras sambil berusaha meloncat ke

belakang sejauh-jauhnya. Namun kembali sebuah tendangan

terasa menyentuh punggungnya. Ternyata keempat pengawal

yang mengeroyoknya itu dapat bekerja sama dengan sangat baik,

sehingga hampir tidak ada celah baginya untuk melakukan

serangan balasan.

“Pengecut!” geram putut Acarya sambil terhuyung ke depan.

Dengan cepat dia segera memperbaiki kedudukannya. Sementara

keempat lawannya agaknya membiarkan saja dirinya untuk

berdiri tegak.

“Nah, menyerahlah Ki Sanak,” berkata pemimpin pengawal itu

dengan nada yang dalam, “Kami dapat berbuat lebih dari yang

engkau bayangkan, namun kami para pengawal perdikan Matesih

tetap menjunjung tinggi paugeran. Kami tidak akan berbuat

sewenang-wenang sebelum mengetahui duduk permasalahan

yang sebenarnya.”

“Kalian memang hanya segerombolan pengecut!” geram putut

Acarya sambil memasang kuda-kuda. Kini dia menyadari bahwa

57

Page 61: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

untuk lolos dari tempat itu dia harus mengerahkan segala

kemampuan ilmunya.

“Ternyata para pengawal ini memiliki sedikit kemampuan olah

kanuragan,” membatin putut Acarya kemudian sambil menggeser

kuda-kudanya selangkah ke depan, “Aku tidak akan gegabah lagi

menyerang mereka.”

“Menyerahlah, Ki Sanak!” seru pemimpin pengawal itu sambil

memberi isyarat kawan-kawannya untuk semakin merapatkan

kepungan. Namun sekarang putut Acarya sudah menemukan jati

dirinya sebagai murid goa Langse.

“Jika kalian memang jantan, ayo lawan aku dalam perang tanding

yang jujur! Belajarlah menjadi seekor elang, jangan hanya bangga

karena menjadi seekor ayam!” teriak putut Acarya berusaha

memancing kemarahan serta harga diri keempat pengawal itu.

Namun pemimpin pengawal itu ternyata sama sekali tidak

tersinggung. Dengan langkah yang mantap dia maju selangkah.

Jawabnya kemudian tak kalah kerasnya, “Ki Sanak, buka mata

dan telingamu lebar-lebar. Kami adalah pengawal perdikan

Matesih yang sedang menjalankan tugas. Apa yang sedang kami

kerjakan ini adalah sesuai dengan petunjuk Ki Wiyaga, kepala

pengawal perdikan Matesih serta telah mendapat restu Ki Gede

selaku pemimpin tertinggi di tanah perdikan ini,” pemimpin

pengawal itu berhenti sejenak lanjutnya kemudian, “Dalam

menjalankan tugas tidak ada istilah jantan atau tidak jantan.

Keamanan dan ketertiban di tanah pedikan ini adalah taruhannya.

Nah, suka atau tidak suka, Ki Sanak akan kami tangkap dan kami

serahkan kepada Ki Wiyaga untuk mendapat keputusan. Namun

jika Ki Sanak dengan suka rela menyerahkan diri, kami akan

perlakukan Ki Sanak sesuai paugeran.”

58

Page 62: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Putut Acarya sejenak tertegun namun hanya sekejap. Yang

terdengar kemudian adalah sebuah tawa berkepanjangan yang

terdengar sangat memuakkan.

“Diam!” tiba-tiba Darta membentak keras sehingga membuat

Putut Acarya terdiam seketika.

“Jangan berlagak gila di hadapan para pengawal Matesih!” geram

Darta selanjutnya, “Kami sudah kenyang dengan segala polah

tingkah orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang berusaha

mengelabuhi kami. Sekarang ikutlah ke gardu. Ki Sanak harus

menjawab beberapa pertanyaan sebelum kami yakin bahwa Ki

Sanak tidak bersalah.”

Namun putut Acarya yang sudah merasa bahwa dirinya tidak

mungkin lolos dengan cara baik-baik telah membulatkan

tekadnya. Dia tidak akan mengulangi kesalahannya lagi. Kini dia

telah siap bertempur berlandaskan ilmu goa Langse.

“Baiklah,” jawab Putut Acarya kemudian sambil menegakkan dan

membusungkan dadanya, “Kita tidak usah berpanjang kata. Terus

terang aku menolak untuk kalian tangkap. Aku akan melawan

dengan sekuat tenaga. Jika kalian akan mengeroyok,

mengeroyoklah. Panggil semua pengawal yang ada di regol untuk

membantu kalian menangkapku.”

Merah padam wajah keempat pengawal itu mendengar

kesombongan putut Acarya. Tanpa menunggu waktu, keempatnya

segera bergerak mengepung putut Acarya dari segala penjuru.

Putut Acarya yang menyadari bahwa para pengawal itu ternyata

telah dibekali dengan ilmu olah kanuragan kini tidak lagi bergerak

dengan gegabah. Dipusatkan segala nalar dan budinya untuk

menghadapi keempat pengawal itu.

59

Page 63: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Demikianlah akhirnya, ketika keempat pengawal itu bergerak

perlahan memutari putut Acarya, murid pertama goa Langse itu

secepat kilat meloncat ke arah pengawal yang berdiri paling dekat.

Kakinya terjulur mengancam lambung.

Melihat Putut Acarya menyerang salah satu pengawal, kawan-

kawannya serentak bergerak menyerang Putut Acarya dari segala

arah.

Namun putut Acarya kali ini tidak menjadi gugup dan bingung.

Serangan pertamanya tadi hanyalah sebuah pancingan. Dengan

cepat dia segera mengurungkan serangannya dengan menarik

tangannya sejajar lambung. Kakinya yang terjulur telah

ditahannya dengan cara ditekuk kemudian kaki lainnya digunakan

sebagai tumpuan untuk berputar. Sejenak kemudian kaki yang

ditekuk itupun terjulur kembali dan berputar menebas serangan

lawan-lawannya.

Dua orang pengawal memang sempat mengurungkan serangannya

dan meloncat mundur, namun salah seorang pengawal tidak

sempat menghindar. Tidak ada jalan lain baginya selain

menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Sejenak kemudian sebuah benturan yang cukup keras terjadi.

Putut Acarya yang sudah memutuskan lolos dari tempat itu

dengan jalan kekerasan tidak mengekang diri lagi. Dengan

segenap kekuatan kakinya membentur tangan yang bersilang itu.

Akibatnya ternyata telah membuat pengawal yang lain terkejut.

Tubuh kawan mereka terlempar ke belakang bagaikan layang-

layang putus sebelum akhirnya terbanting ke tanah dengan cukup

keras. Sejenak pengawal itu mengumpat keras-keras sambil

menggeliat memegangi punggungnya yang rasa rasanya mau

60

Page 64: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

patah. Untuk beberapa saat dia mengalami kesulitan untuk

bangkit berdiri.

Ketiga pengawal yang melihat salah satu kawannya telah

dijatuhkan oleh orang asing itu menjadi marah. Serentak

ketiganya segera meloncat menyerang.

Demikianlah pertempuran di depan regol banjar padukuhan

induk itu semakin lama menjadi semakin seru. Beberapa

pengawal yang berada di regol telah mendekat dan mengurung

tempat itu walaupun sejauh itu mereka belum melibatkan diri.

Sementara pengawal yang terjatuh beberapa saat tadi dengan

tertatih-tatih segera dipapah oleh salah seorang pengawal dibawa

memasuki gardu yang terletak di belakang regol.

“Orang itu kekuatannya ngedab-edabi,” geram pengawal yang

terjatuh itu sambil memegangi punggung dengan salah satu

tangannya, “Sebaiknya kalian segera mengepungnya agar dia tidak

dapat lolos. Jika dia sempat lolos, kita semua akan dipermalukan

dan tidak tahu harus menjawab apa jika Ki Wiyaga bertanya.”

Pengawal yang memapahnya tidak menanggapi, hanya saja ketika

dia sempat berpaling, dia melihat pengawal yang bertubuh kurus

itu yang sekarang terpelanting jatuh, namun masih bisa bangkit

kembali.

“Gila!” geram pengawal yang memapah kawannya itu.

“Ada apa?” bertanya pengawal yang terjatuh itu tanpa berpaling.

“Si Suta terjatuh, tapi masih mampu bangkit lagi.”

“Kalian harus menambah jumlah pengawal, jika hanya bertiga aku

tidak yakin orang itu dapat dilumpuhkan.”

61

Page 65: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Namun ternyata pemimpin pengawal yang sedang bertempur

dengan dua pengawal yang lain itu sudah memikirkan akibat yang

akan ditanggung jika mereka hanya bertiga. Maka ketika keadaan

keseimbangan pertempuran itu sudah semakin buruk, dia segera

bersuit nyaring. Dua orang pengawal muda yang menonton di

pinggir arena itu pun segera meloncat ke dalam arena

pertempuran.

Semakin lama pertempuran itu menjadi semakin seru dan kisruh.

Dua pengawal yang masih muda itu agaknya kurang dapat

menempatkan diri selaras dengan kawan-kawannya. Pengalaman

yang masih sedikit serta bekal yang dikuasainya juga masih

sedikit, justru telah membuat kawan-kawannya bingung sendiri.

Melihat kekisruhan dalam pertempuran yang sedang berlangsung

itu, pemimpin pengawal segera meloncat mundur sambil berteriak

nyaring, “Semua pengawal yang ada di gardu! Kepung orang ini!”

Serentak pengawal yang tersisa sekitar empat orang segera

bergerak maju. Sekarang yang mengeroyok putut Acarya menjadi

sembilan orang.

Menyadari pengeroyoknya semakin banyak, putut Acarya sudah

tidak mampu menahan diri lagi. Segera saja sebilah golok yang

besar tergenggam di tangan kanannya.

Terkejut para pengawal yang sedang mengepungnya. Serentak

mereka segera melangkah mundur sambil tangan kanan mereka

meraba hulu senjata masing-masing.

“Ki Sanak,” berkata pemimpin pengawal itu kemudian sambil

memberi isyarat kawan-kawannya untuk tidak mencabut senjata

terlebih dahulu, “Aku tidak ingin permasalahan ini berujung pada

raja pati. Kami semua pengawal hanya menjalankan tugas.

62

Page 66: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Menyerahlah, kami tidak akan keluar dari paugeran yang berlaku.

Jika Ki Sanak memang tidak bersalah dan tidak mempunyai niat

apapun untuk menyelidiki banjar ini, kami dengan senang hati

akan melepaskan Ki Sanak. Namun Ki Sanak kami minta jujur

memberikan keterangan tentang jati diri Ki Sanak.”

“Omong kosong!” geram putut Acarya sambil memutar

senjatanya. Bilah senjata di tangannya berkilat-kilat tertimpa

sinar Matahari pagi, “Sudah aku katakan sebelumnya bahwa aku

sedang mengunjungi sanak keluargaku yang ada di dukuh

Klangon, akan tetapi kalian tidak percaya dan memaksa aku untuk

berkata lain dan sengaja ingin mencari perkara!”

“Ki Sanak,” potong pemimpin pengawal itu cepat, “Bukan maksud

kami mencari perkara, namun keterangan Ki Sanak yang tidak

sesuai kenyataan telah membuat kami bercuriga,” pemimpin

pengawal itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Nah, kami

akan melepas Ki Sanak namun dengan syarat, Ki Sanak harus

berkata jujur. Sebutkan siapa kerabat Ki Sanak di dukuh Klangon

yang sedang Ki Sanak kunjungi.”

Putut Acarya benar-benar telah dibuat waringuten dengan para

pengawal itu. Namun sebelum dia menjawab, tiba-tiba tanah

bagaikan bergetar disertai suara tawa yang menggelegar

memekakkan telinga dari arah belakang banjar.

Orang-orang yang sedang berada di depan regol banjar itu terkejut

bukan alang kepalang. Namun putut Acarya justru telah tertawa

sambil bertolak pinggang. Maka katanya kemudian dengan

lantang, “Dengarlah! Itu adalah suara kedahsyatan ilmu guruku,

Pertapa dari goa Langse. Kami berlima datang tengah malam tadi

mengantar putera Ki Dukuh Klangon yang menjadi salah satu

murid goa Langse. Ketahuilah kalian orang-orang bodoh, guruku

sekarang sedang bertempur dengan Ki Rangga Agung Sedayu di

63

Page 67: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

belakang banjar. Sebentar lagi kalian akan dimusnahkan dengan

ilmunya yang tinggi, setelah guruku menghancurkan nama besar

Ki Rangga Agung Sedayu!”

Bergetar jantung para pengawal itu. Agaknya orang ini ada

hubungannya dengan kedatangan seseorang di penghujung pagi

tadi di halaman belakang banjar. Dan kini agaknya pertempuran

sedang berlangsung dengan dahsyatnya.

“Apakah Ki Rangga mampu mengatasi orang yang disebut Pertapa

goa Langse itu?” pertanyaan itu berputar-putar di dalam benak

setiap pengawal. Mereka tidak mengetahui perkembangan

keadaan di belakang banjar dan mengira Ki Rangga sendiri yang

menghadapi orang yang disebut Pertapa goa Langse itu.

“Nah, sekarang kalianlah yang harus menyerah kepadaku,”

berkata putut Acarya kemudian dengan nada suara sedikit

mengejek, “Atau kalian akan aku babat habis seperti membabat

rumput ilalang dengan sebilah pedang yang tajam. Tubuh-tubuh

kalian yang bersimbah darah akan tumpang tindih di depan regol

ini.”

Para pengawal menjadi berdebar debar mendengar sesumbar

orang yang mengaku murid goa Langse itu. Untuk beberapa saat

mereka hanya diam termangu tanpa mengetahui harus berbuat

apa.

Di tengah–tengah keragu-raguan itu, tiba tiba telinga mereka yang

berada di depan regol banjar padukuhan induk itu lamat-lamat

mendengar suara derap kaki-kaki kuda yang sedang dipacu

menuju ke tempat itu. Semakin lama suara derap kaki-kaki kuda

itu pun semakin jelas.

64

Page 68: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Dalam pada itu di depan regol banjar padukuhan induk, Ki Gede

Matesih sama sekali tidak mengalami kesulitan…………….

65

Page 69: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Ketika derap kaki-kaki kuda itu terdengar semakin keras, sejenak

kemudian dari kelokan jalan muncul tujuh penunggang kuda yang

dipacu tidak seberapa kencang.

“Ki Gede Matesih!” hampir bersamaan para pengawal yang berada

di depan regol itu berseru.

Putut Acarya terkejut mendengar seruan para pengawal itu. Jika

yang datang adalah Ki Gede Matesih sendiri, dia menjadi ragu-

ragu untuk meloloskan diri dari tempat itu hanya dengan berbekal

kemampuannya. Apalagi Ki Gede datang tidak sendiri, ada enam

orang yang mengiringinya.

Dalam pada itu Ki Gede yang berkuda paling depan berjajar

dengan Ratri terkejut bukan alang kepalang melihat

pemandangan di depan regol. Menilik tanah yang bagai di bajak

serta sisa sisa debu yang mengepul menandakan bahwa di tempat

itu baru saja terjadi sebuah pertempuan.

Segera saja orang-orang berkuda itu menarik tali kekang masing-

masing. Dengan tangkasnya orang-orang berkuda itu kemudian

meloncat turun kecuali Ratri, dia tetap duduk di atas punggung

kudanya. Sementara Ki Bango Lamatan yang berwajah tegang

tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam sambil mengangkat

kepalanya memandang jauh ke arah belakang banjar.

“Ada sesuatu yang sedang terjadi di belakang banjar,” berkata Ki

Bango Lamatan dalam hati sambil mengerahkan aji sapta

pangrungu, “Sepertinya dua orang berilmu tinggi sedang

berperang tanding.”

Dalam pada itu Ki Gede sambil menuntun kudanya dengan

langkah tergesa gesa segera mendekat. Sementara beberapa

pengawal justru tertarik memandangi wajah Ratri dalam pakaian

66

Page 70: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

laki-laki. Wajah itu terlihat sangat tampan, bahkan terlalu tampan

dan halus untuk ukuran seorang laki-laki.

“Siapakah pemuda tampan yang bersama Ki Gede itu?” hampir

setiap orang yang ada di depan regol banjar padukuhan induk itu

telah bertanya-tanya dalam hati.

Namun perhatian para pengawal itu pun segera beralih ketika Ki

Gede telah semakin dekat.

“Apa yang terjadi?” bertanya Ki Gede kemudian sesampainya dia

beberapa langkah dari pengawal yang terdekat. Pengawal itu tidak

menjawab pertanyaan Ki Gede. Justru dengan tergopoh gopoh dia

segera menyambut tali kendali kuda Ki Gede.

Tanpa meninggalkan kewaspadaan, pemimpin pengawal jaga pada

hari itu segera maju beberapa langkah menyambut Ki Gede.

Setelah mengangguk hormat terlebih dahulu, barulah dia

menyampaikan laporannya.

“Ki Gede, kami mencurigai seseorang sedang mengawasi banjar

padukuhan induk ini,” pemimpin pengawal jaga itu memulai

laporannya, “Kami berusaha menangkapnya namun dia melawan.

Kemampuan ilmunya cukup tinggi sehingga kami belum berhasil

menangkapnya.”

Kerut merut tampak di kening Ki Gede. Dengan sekali pandang

saja Ki Gede segera mengetahui siapa orang yang dimaksud oleh

pemimpin pengawal itu. Seseorang yang berdiri di tengah tengah

kepungan pengawal sambil memegang sebilah senjata yang cukup

mendebarkan.

“Aku akan berbicara dengan orang itu,” berkata Ki Gede pada

akhirnya sambil melangkah. Para pengawal pun segera menyibak

memberikan jalan.

67

Page 71: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Sesampainya di hadapan Putut Acarya, Ki Gede segera

menghentikan langkahnya. Sambil menganggukkan kepala, Ki

Gede pun segera mengajukan sebuah pertanyaan yang jelas dan

tegas, “Ki Sanak, sebut namamu dan asal usulmu!”

Berdesir dada Putut Acarya. Orang yang disebut Ki Gede Matesih

itu di matanya terasa sangat berbeda dengan para pengawal.

Betapa wibawa yang besar terpancar dari sepasang mata itu.

Namun putut Acarya berusaha menekan perasaannya. Katanya

kemudian dengan suara lantang, “Aku adalah Putut Acarya, murid

tertua dari goa Langse. Aku datang bersama guruku. Sekarang

guru sedang berperang tanding dengan Ki Rangga Agung Sedayu

di belakang banjar. Nah! Segeralah kalian meminta ampun kepada

guruku agar guruku tidak bertambah marah sehingga setelah

membunuh Ki Rangga, kalian akan di sapunya seperti angin

puting beliung yang menyapu daun-daun kering!”

Terkejut Ki Gede mendengar pengakuan putut Acarya. Tanpa

sadar dia segera berpaling ke belakang ke arah Ki Bango Lamatan.

Ki Bango Lamatan yang berdiri beberapa langkah di belakang Ki

Gede itu pun terkejut. Dengan segera diserahkannya kendali

kudanya kepada seorang pengawal di dekatnya.

“Aku akan melihatnya Ki Gede,” berkata Ki Bango Lamatan

kemudian sambil melangkah tergesa-gesa meninggalkan tempat

itu.

“Aku ikut paman!” tiba –tiba terdengar suara merdu mengejutkan

mereka yang berkerumun di depan regol banjar padukuhan induk

itu.

“Ternyata dia seorang perempuan!” para pengawal itu pun

akhirnya menyadari siapa sebenarnya pemuda tampan itu.

68

Page 72: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

“Ratri,” bisik pengawal yang berkumis tipis itu kepada pengawal di

sebelahnya.

Kawannya tidak menyahut. Hanya tampak kepalanya saja yang

terangguk-angguk. Sementara itu, semua pandangan mata para

pengawal pun tertuju ke arah Ratri yang sedang berusaha turun

dari kudanya.

Begitu turun dari kudanya, tanpa memperhatikan pandangan para

pengawal di sekitarnya, Ratri segera bergegas menyusul Ki Bango

Lamatan yang tampak berdiri menunggunya.

“Hati-hatilah, nduk,” pesan ayahnya begitu Ratri berjalan

melewati Ki Gede.

“Ya ayah,” jawab Ratri pendek tanpa berpaling. Langkahnya yang

kecil-kecil namun trengginas itu benar-benar mempesona. Bahkan

Putut Acarya yang nasibnya sedang di ujung tanduk itu pun

sejenak lupa akan segalanya. Keindahan langkah dan gemulainya

tubuh ramping Ratri yang sedang berjalan melintas beberapa

langkah di hadapannya seolah telah membawanya ke alam mimpi

yang sangat indah.

“Nah, Ki Sanak! Lebih baik engkau sarungkan terlebih dahulu

senjatamu!” tiba-tiba suara Ki Gede yang berat dan dalam telah

membangunkan mimpinya.

Putut Acarya terkejut. Namun dengan gerak naluriah, senjatanya

justru telah diangkatnya tinggi-tinggi. Katanya kemudian dengan

suara menggelegar, “Senjataku telah keluar dari sarungnya. Dia

tidak akan kembali ke tempatnya sebelum meminum darah. Nah,

silahkan siapa yang akan menjadi korbanku yang pertama.”

Ki Gede mengerutkan keningnya dalam-dalam. Agaknya orang

yang mengaku murid Pertapa goa Langse ini tidak dapat diajak

69

Page 73: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

berbicara lagi. Maka Ki Gede pun segera memberi isyarat kepada

salah satu pengawal yang mengiringinya.

Pengawal itu ternyata tanggap. Dengan cepat dia segera

mengambil sebuah tombak bermata tiga yang disangkutkan di

pelana kuda Ki Gede.

“Kiai Singkir Geni,” desis para pengawal yang berada di depan

regol itu dengan jantung yang berdebaran. Agaknya Ki Gede akan

melumpuhkan murid Pertapa goa Langse itu dengan senjata

kebanggaan perdikan Matesih.

Putut Acarya yang mendengar desis para pengawal itu pun

menjadi berdebar-debar. Jika Ki Gede akan turun tangan sendiri

untuk menangkapnya, tentu kesempatan lolos dari tempat itu

semakin kecil.

Ketika tombak bermata tiga itu telah berada di tangan Ki Gede,

sejenak ayah Ratri itu menimang-nimang senjata pusakanya

beberapa saat. Seolah olah Ki Gede ingin mengetahui letak

keseimbangan senjata pusakanya itu.

“Nah, Ki Sanak,” berkata Ki Gede kemudian sambil menyilangkan

senjatanya di depan dada, “Kita akan segera mulai. Sekali lagi ini

bukan sebuah perang tanding, namun adalah sebuah kehormatan

bagiku untuk menjajagi ilmu murid goa Langse. Sementara guru

Ki Sanak sekarang mungkin sedang bertempur dengan Ki

Rangga.”

“Guru tidak akan memerlukan waktu lebih dari sepenginang

sirih,” sahut Putut Acarya cepat, “Sudah menjadi kebiasaan

guruku untuk menuntaskan setiap persoalan tanpa pandang bulu,

tanpa menunda-nuda apalagi berbelas kasihan.”

70

Page 74: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

“Terima kasih atas penjelasan Ki Sanak,” berkata Ki Gede

kemudian sambil mulai memutar senjatanya, “Aku harap Ki Sanak

sebagai murid goa Langse mempunyai sikap yang tidak jauh

berbeda dengan gurumu, apalagi kemampuan ilmunya.”

“Engkau akan segera melihatnya!” geram putut Acarya sambil

bergeser setapak demi setapak. Diputarnya senjata itu sekali di

atas kepalanya, kemudian dengan cepat dijulurkan lurus-lurus ke

depan, seakan ingin mematuk dada Ki Gede.

Demikianlah akhirnya, sejenak kemudian dengan didahului

sebuah bentakan nyaring, tubuh Putut Acarya bagaikan terbang

menerjang ke depan. Senjatanya dengan deras membabat leher

lawannya.

Ki Gede mengerutkan keningnya mendengar suara desir senjata

lawan yang meluncur ke arahnya. Dengan melangkah setapak Ki

Gede kemudian menyambut babatan senjata lawan itu dengan

ujung tombaknya yang bermata tiga. Agaknya Ki Gede bermaksud

menangkap senjata itu dengan ujung trisulanya dan kemudian

memutarnya agar terlepas dari genggaman lawan.

Namun Putut Acarya bukanlah anak kemarin sore yang baru

belajar loncat-loncatan dalam dunia olah kanuragan. Walaupun

gurunya terlalu pelit untuk menurunkan ilmu, namun berbekal

ilmu yang telah dikuasainya, Putut Acarya berusaha

mengembangkan sendiri gerak dan langkah yang telah

dipelajarinya.

Senjata yang meluncur menebas leher itu tiba-tiba berbelok dan

sekarang mengarah ke pinggang. Sebenarnya serangan ke arah

leher tadi hanyalah sebuah pancingan. Kini serangan yang

sebenarnya meluncur deras mengancam lambung.

71

Page 75: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Menyadari arah serangan lawan telah berubah, Ki Gede tidak

menjadi kaget. Dengan tenangnya serangan itu disambut dengan

ayunan landeyan tombaknya.

Benturan pun tidak dapat dielakkan lagi. Terdengar suara

dentingan bilah pedang yang beradu dengan landeyan tombak

yang terbuat dari kayu berlian. Putut Acarya pun merasakan

kekuatan yang besar menghantam senjatanya sehingga hampir

saja hulu senjatanya terlepas dari genggaman.

Sedangkan Ki Gede merasakan tenaga yang besar telah

mendorong landeyan tombaknya. Namun Ki Gede yang

merupakan anak murid perguruan Pandan Alas dari cabang

gunung kidul itu sama sekali tidak terpengaruh.

Denag cepat Putut Acarya meloncat ke belakang. Dengan sangat

teliti diperiksa senjatanya kalau-kalau terjadi kerusakan ketika

berbenturan dengan senjata lawan.

Namun Putut Acarya segera bernafas lega. Senjatanya sama sekali

tidak mengalami kerusakan. Namun ketika putut Acarya

kemudian memandang ke depan, tampak Ki Gede dengan tombak

bersilang di dada tetap tegak di tempatnya sambil tersenyum ke

arahnya.

Mendidih darah murid goa Langse itu melihat senyum Ki Gede.

Seolah-olah Ki Gede ingin mengatakan bahwa kekuatan murid goa

Langse itu belum sampai menggetarkan bulu-bulu di kulitnya.

“Baiklah Ki Gede,” geram Putut Acarya kemudian sambil bersiap

menyerang kembali, “Jangan berbangga dulu. Aku belum

mengerahkan segenap kemampuanku. Sekarang aku tidak akan

bermain-main lagi. Bersiaplah, Ki Gede!”

72

Page 76: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Dengan tetap tersenyum Ki Gede pun menjawab, “Aku sudah siap

sedari tadi, menunggu serangan Ki Sanak yang paling dahsyat

sekali pun.”

Putut Acarya tidak menjawab. Dipusatkan segala nalar dan

budinya untuk menyerang lawannya kembali.

Dalam pada itu, Ki Bango Lamatan yang berjalan dengan tergesa-

gesa ke belakang banjar terpaksa sesekali harus menunggu Ratri

yang mengikutinya dengan langkah-langkah kecil. Ki Bango

Lamatan tidak sampai hati jika harus memaksa Ratri untuk

berlari-lari.

Ketika mereka berdua kemudian sampai di longkangan, suara

deru angin serta benturan ilmu itu terdengar semakin jelas. Ratri

yang belum terbiasa melihat sebuah pertempuran yang

sebenarnya hatinya menjadi kecut, sehingga langkahnya pun telah

terhenti.

“Paman..!” seru Ratri kemudian dengan suara tercekat di

tenggorokan.

Ki Bango Lamatan yang berada dua langkah di depannya

berpaling. Betapa terkejutnya orang yang pernah menjadi

kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu begitu melihat

wajah Ratri yang sedikit pucat.

“Apa ada, Ratri?” bertanya Ki Bango Lamatan kemudian sambil

berhenti dan kemudian memutar tubuhnya.

Unuk sejenak Ratri tertegun. Ada rasa segan untuk mengatakan

suasana hatinya yang sebenarnya. Namun suara perkelahian itu

terdengar begitu dahsyatnya.

73

Page 77: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

“Baiklah,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian, “Kita tidak usah

mendekat. Kita mengintip dari pintu longkangan ini saja.”

Mendengar itu hati Ratri menjadi agak tenang. Ketika Ki Bango

Lamatan kemudian bergeser ke dekat pintu longkangan dan

membukanya beberapa jengkal, Ratri pun kemudian ikut

mengintip jalannya pertempuran.

Dalam pada itu, Ki Rangga dan kedua orang tua yang sedang

memperhatikan perang tanding itu sejenak berpaling.

Pendengaran mereka yang sangat tajam segera mendengar

langkah-langkah di longkangan dan kemudian suara derit pintu

longkangan yang dibuka.

Ketika ketiga orang itu kemudian menajamkan pandangan mata

mereka, segera saja mereka mengenali seraut wajah yang sudah

tidak asing bagi mereka, Ki Bango Lamatan.

Namun ketika Ratri kemudian ikut mendekat dan melihat

jalannya perang tanding dari samping Ki Bango Lamatan, ketiga

orang itu hampir bersamaan telah mengerutkan kening.

“Siapakah anak muda yang bersama Ki Bango Lamatan itu,

ngger?” bisik Ki Waskita kemudian kepada Ki Rangga. Sementara

Ki Jayaraga juga ikut menduga-duga walaupun tidak mempunyai

gambaran tentang anak muda itu sama sekali.

“Sepertinya dia seorang gadis dalam pakaian laki-laki, Ki

Waskita,” sahut Ki Rangga kemudian tak kalah lirihnya. Ki

Jayaraga pun akhirnya menyadari bahwa yang di belakang Ki

Bango Lamatan itu adalah seorang gadis yang sedang beranjak

dewasa.

“Sudahlah, biarlah itu nanti menjadi urusan Ki Bango Lamatan,”

berkata Ki Jayaraga kemudian sambil mengalihkan perhatian ke

74

Page 78: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

arena perang tanding, “Glagah Putih harus berhati-hati dengan

ilmu Pertapa goa Langse itu.”

Hampir bersamaan Ki Rangga dan Ki Waskita berpaling ke arah

Ki Jayaraga. Mereka berdua belum tahu maksud ucapan Ki

Jayaraga itu.

Ki Jayaraga yang menyadari Ki Rangga dan Ki Waskita sedang

menunggu keterangannya lebih lanjut segera berkata, “Jika benar

orang ini ada hubungannya dengan Pertapa goa Langse yang

sebenarnya, ada sebuah ilmu nggegirisi yang dikuasai oleh

perguruan itu. Sebuah ilmu yang mampu membuat telapak tangan

mereka menempel layaknya seekor cicak di dinding. Tidak hanya

menempel lekat, namun juga dapat menghisap tenaga lawan

sampai habis. Bahkan darah akan keluar dari pori-pori lawan

sehingga lawan akan mati kehabisan darah.”

Berdesir dada Ki Rangga. Tanpa sadar dia berpaling ke arah Ki

Waskita. Orang tua yang telah dianggap sebagai pengganti

gurunya sepeninggal Kiai Grinsing itu pun menampakkan wajah

tegang.

“Tidak perlu dirisaukan,” berkata Ki Jayaraga melanjutkan

keterangannya begitu menyadari kedua orang itu menjadi gelisah,

“Asalkan Glagah Putih pandai menjaga jarak dan tidak terpancing

untuk membenturkan kekuatannya, tentu lawannya tidak akan

mampu mengetrapkan ilmunya yang aneh dan langka itu.”

Hampir bersamaan Ki Rangga dan Ki Jayaraga menarik nafas

panjang. Ketika kedua orang itu kemudian melemparkan

pandangan ke medan perang tanding, tampak betapa Pertapa goa

Langse itu berusaha bertempur pada jarak dekat dengan kedua

telapak tangan yang terbuka lebar.

75

Page 79: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

“Semoga Glagah Putih menyadari jebakan lawannya yang selalu

berusaha bertempur dengan jarak pendek,” membatin Ki Rangga

sambil terus mengawasi medan pertempuran.

“Ki Jayaraga,” tiba-tiba terdengar Ki Waskita bertanya dengan

suara rendah, “Apakah ada cara untuk melepaskan diri jika

telapak tangan lawan sudah terlanjur melekat di bagian tubuh

kita?”

Untuk sejenak Ki Jayaraga berpikir. Namun orang yang telah

malang melintang di dunia hitam maupun putih itu pun kemudian

menjawab, “Semua tergantung dari kekuatan tenaga cadangan

yang kita miliki. Jika tenaga cadangan kita lebih kuat, kita dapat

menggunakan tenaga cadangan itu untuk melepaskan diri. Namun

jika tenaga cadangan kita lebih lemah atau seimbang, sangatlah

sukar untuk melawan ilmu itu.”

Ki Rangga dan Ki Waskita menjadi berdebar-debar mendengar

keterangan Ki Jayaraga. Pandangan mata kedua orang itu pun tak

pernah lepas dari medan pertempuran.

Dalam pada itu di depan regol banjar padukuhan induk, Ki Gede

Matesih sama sekali tidak mengalami kesulitan yang cukup berarti

untuk menjinakkan lawannya. Beberapa kali Putut Acarya harus

berloncatan surut setiap kali senjata Ki Gede mematuk-matuk dan

menyambar-nyambar. Putut Acarya benar-benar telah

mengeluarkan segenap kemampuannya namun tetap tidak

mampu mengimbangi permainan Ki Gede.

“Menyerahlah!” berkata Ki Gede kemudian ketika ujung

senjatanya menggores lengan lawannya. Goresan itu memang

tidak terlalu dalam namun darah sudah mulai menitik.

76

Page 80: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

“Persetan!” geram Putut Acarya sambil memutar senjatanya.

Dihentakkan segenap kekuatannya untuk menyerang lawan,

namun sebagai murid perguruan Pandan Alas, Ki Gede tidak

mengalami banyak kesulitan menghindari serangan lawannya.

Sebenarnyalah jika Ki Gede ingin melumpuhkan lawannya dengan

cepat, dia mampu. Namun Ki Gede tidak ingin melukai terlalu

parah atau pun bahkan sampai membunuhnya. Ki Gede

memerlukan keterangan tentang tujuan orang-orang dari goa

Langse itu mendatangi Matesih.

“Mungkinkah ada hubungannya dengan Trah Sekar Seda Lepen?”

pertanyaan itu berputar putar dalam benak Ki Gede. Sambil terus

bertemppur Ki Gede berusaha memeras tenaga lawannya sehingga

murid goa Langse itu akan kehabisan tenaganya dan dapat

dilumpuhkan tanpa mencederainya.

Demikianlah Ki Gede pun kemudian menyerang dengan lebih

dahsyat. Tombak bermata tiga di tangannya berputar putar

mengerikan. Kadang menebas mendatar, kadang menukik dan

kemudian mematuk dari segala arah. Semua serangan itu

membuat putut Acarya harus bekerja keras menghindarinya.

Ketika segores luka kembali menghiasi tubuh Putut Acarya,

terdengar murid goa Langse itu mengumpat keras. Tenaganya

benar-benar sudah terperas. Tubuhnya sudah basah kuyup oleh

keringat dan darah yang mengalir dari luka-lukanya.

“Iblis laknat jahanam! Kubunuh kau!” teriak Putut Acarya sambil

mengayun-ayunkan senjatanya tak tentu arah. Tenaganya benar

benar sudah habis, namun semangatnya masih membara dalam

dada.

77

Page 81: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Tidak ada jalan lain bagi Ki Gede untuk melumpuhkan lawannya.

Namun Ki Gede tidak sampai hati untuk melukainya terlalu parah.

Maka Ki Gede pun telah menyerang lawannya dengan cara yang

tidak sewajarnya, cara yang tidak pernah dipakai dalam

pertempuran yang sebenarnya.

Ketika Putut Acarya yang sudah berputus asa itu meloncat dengan

sisa-sisa tenaganya menyerang Ki Gede, pemimpin tanah perdikan

Matesih itu dengan mudahnya bergeser ke samping. Ketika tubuh

lawan yang terhuyung-huyung itu lewat sedepa di sampingnya,

dengan menggunakan landeyan tombak, Ki Gede memukul

tengkuk lawannya.

Pukulan landeyan tombak itu tidak begitu keras karena Ki Gede

takut akan mematahkan tulang lehernya. Namun sentuhan di

tengkuk itu ternyata cukup untuk membuat Putut Acarya

kehilangan keseimbangan dan akhirnya jatuh tersungkur.

Senjatanya pun terlepas dari tangannya dan terlempar beberapa

langkah di depannya.

Terdengar umpatan yang sangat kotor dari mulut Putut Acarya.

Dengan kemarahan yang membakar jantung dia berusaha bangkit

berdiri, namun tidak berhsil. Tubuhnya justru telah tersungkur

kembali.

Dua orang pengawal yang terdekat segera tanggap. Keduanya

dengan cekatan telah meloncat maju dan kemudian menubruk

Putut Acarya yang tengkurap. Salah seorang segera melepas ikat

kepala putut Acarya sedangkan yang lain menelikung kedua

tangannya ke belakang punggung.

“Gila! Lepaskan! Jika tidak kalian lepaskan, akan aku bunuh

kalian!” teriak Putut Acarya kemudian sambil meronta-ronta

namun tenaganya sudah sangat lemah sehingga dengan mudah

78

Page 82: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

kedua pengawal itu kemudian meringkusnya. Dengan

menggunakan ikat kepala Putut Acarya, salah seorang pengawal

segera mengikat kedua tangan murid goa Langse itu.

Ketika kedua kaki Putut Acarya yang masih bebas itu kemudian

berusaha menendang kesana kemari membabi buta, pengawal

yang lain segera melepas kain panjangnya dan kemudian

digunakan untuk mengikat kedua kakinya.

Putut Acarya benar benar merasa terhina diperlakukan seperti itu.

Harga dirinya sebagai murid perguran goa Langse bagaikan

diinjak-injak. Namun bagaimanapun juga tenaganya benar-benar

sudah habis.

“Persetan! Aku bunuh kalian! Aku bunuh kalian!” teriaknya

berkali kali, namun perlawanannya hanyalah sia sia belaka.

“Angkat dan bawa ke gandhok kiri!” perintah Ki Gede kemudian,

“Masukkan ke dalam salah satu bilik dan ikat yang kuat pada salah

satu tiang yang ada. Tutup bilik itu dan selarak dari luar kuat-

kuat. Dua atau tiga pengawal menjaga secara bergiliran. Aku akan

menengok pertempuran di belakang banjar.”

Selesai berkata demikian sambil menjinjing tombak Kiai Singkir

Geni, Ki Gede bergegas menuju belakang banjar. Sementara

empat pengawal segera menjunjung tubuh Putut Acarya yang

masih saja berusaha meronta-ronta sambil mengumpat umpat.

“Sumbat saja mulutnya dengan ikat kepala,” perintah pemimpin

pengawal itu sambil melepas ikat kepalanya sendiri.

Pengawal yang berdiri di sampingnya segera menerimanya dan

kemudian mengikat mulut Putut Acarya yang sudah diangkat itu.

79

Page 83: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH - Gagakseta-2 · Gambar sampul & Gambar dalam Ki Adi Suta Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas i . ... namun cukup jelas di telinga orang

Dalam pada itu, perang tanding di belakang banjar padukuhan

induk semakin lama menjadi semakin dahsyat. Keduanya

bergerak dengan kecepatan yang hapir tidak kasat mata. Debu

berhamburan dan tanah tempat keduanya bertempur luluh lantak

bagaikan telah dibajak berpuluh-puluh ekor kerbau.

“Ki Jayaraga,” bisik Ki Rangga sambil pandangan matanya tetap

ke arah medan perang tanding, “Bagaimana jika serangan Glagah

Putih yang justru mengenai bagian tubuh dari lawannya? Apakah

ilmu yang menghisap tenaga lawan itu akan mempengaruhinya?”

“Tentu tidak,” jawab Ki Jayaraga cepat, “Ilmu dari perguruan goa

Langse yang nggegirisi itu hanya terpusat pada kedua telapak

tangannya, bagian tubuh yang lain tidak. Maka yang harus

dihindari oleh Glagah Putih adalah benturan dengan kedua

telapak tangan yang selalu terbuka itu.”

Tampak kepala Ki Rangga terangguk-angguk. Berbagai macam

ilmu memang pernah didengarnya baik dari gurunya Kiai

Gringsing maupun yang pernah dialaminya sendiri. Namun ilmu

yang mampu menghisap tenaga lawan ini benar-benar baru

didengarnya.

-------------------------0O0-------------------------

Bersambung ke jilid 18

80