SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya...

83

Transcript of SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya...

Page 1: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin
Page 2: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

JILID 19

OLEH

PaneMbahan Mandaraka

Gambar sampul & Gambar dalam

Ki Adi Suta

Tahun 2019

Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas

(i)

Page 3: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita Dari bumi yang tercinta Walaupun yang disajikan ini jauh dari sempurna Tak ada maksud untuk meniru Sang Pujangga Hanyalah kecintaan akan sebuah karya Untuk dilestarikan sepanjang masa Sekar keluwih, Februari 2020

Terima kasih atas dukungan: Istri dan anak-anak tercinta

Serta handai taulan semua

(ii)

Page 4: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Untuk kesekian kalinya Ki

Rangga harus berurusan dengan dendam yang tak berujung

pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari

namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh

telatah Mataram.

“Mungkin jika aku sudah purna tugas, tidak ada lagi yang akan

mencariku dan aku bisa hidup dengan tenang di padepokan,”

membatin Ki Rangga dalam hati. Namun sepercik keragu-raguan

muncul dari dasar hatinya yang paling dalam.

“Apakah Sekar Mirah dengan senang hati akan mendukung

pilihanku ini setelah purna tugas?” sebuah pertanyaan yang cukup

pelik telah menghujam jantungnya.

“Ngger,” tiba-tiba suara Ki Waskita membangunkan Ki Rangga

dari lamunan, “Menilik kedahsyatan murid goa Langse itu dalam

mengetrapkan ilmu penghisap tenaga, tidak menutup

kemungkinan kemampuan gurunya jauh berlipat ganda di atas

kemampuan muridnya. Angger Sedayu harus mewaspadainya.”

Wajah-wajah yang tegang di dalam bilik itu pun semua berpaling

ke arah agul agulnya Mataram itu. Sementara Ki Rangga justru

telah menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Aku mengenal sedikit ilmu penghisap tenaga itu,” berkata Ki

Jayaraga memecah keheningan dan telah mengejutkan mereka

yang berada di dalam bilik itu, “Pernah suatu saat ketika aku lewat

di pantai selatan dan berjumpa dengan Pertapa tua itu, dia begitu

baik dan ramah telah mempersilahkan aku mampir di goa Langse,

tempat tinggalnya selama itu.”

1

Page 5: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Ki Jayaraga sempat menjajal ilmunya?” Ki Waskita tiba-tiba

menyeluthuk.

“Ah, tentu saja tidak, Ki Waskita,” sahut Ki Jayaraga sambil

tertawa pendek, “Aku tidak ada keberanian sebiji sawi pun untuk

mencoba ilmunya, tapi justru Pertapa tua itulah yang telah

membuat pengeram-eram di hadapanku.”

Mereka yang hadir di dalam bilik itu sejenak saling pandang.

Namun tidak ada yang bertanya. Mereka menunggu penjelasan

selanjutnya dari Ki Jayaraga.

Melihat orang-orang itu hanya diam saja, Ki Jayaraga pun segera

melanjutkan ceritanya, “Pertapa tua itu pernah mengajakku

mencari ikan di pantai yang airnya cukup dalam, setinggi

pinggang.”

“Mencari ikan?” ulang Ki Bango Lamatan dengan nada

keheranan, “Memancing, maksud Ki Jayaraga?”

“O, tidak, tidak,” jawab Ki Jayaraga cepat, “Dia tidak memancing

atau pun menjaring karena memang aku lihat pada saat itu dia

tidak membawa satu alatpun yang dapat digunakan untuk

menangkap ikan.”

“Jadi, bagaimana cara Pertapa tua itu menangkap ikan?” bertanya

Ki Bango Lamatan selanjutnya dengan nada penasaran.

Ki Jayaraga tersenyum. Jawabnya kemudian, “Dengan kedua

tangannya.”

“He?!” hampir bersamaan orang-orang yang hadir di dalam bilik

itu berseru setengah terkejut. Mereka tidak dapat membayangkan

bagaimana menangkap ikan di laut dengan hanya mengandalkan

kedua tangan?

2

Page 6: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Melihat kawan-kawannya sedikit kebingungan, Ki Jayaraga pun

kembali tersenyum. Kemudian sambil menjulurkan kedua

lengannya dia berkata, “Ketika aku mendekat, aku melihat Pertapa

tua itu menjulurkan kedua lengannya dan kemudian dimasukkan

ke dalam air laut yang berombak. Air laut sangat jernih di tempat

itu sehingga aku dengan sangat jelas dapat melihat ikan-ikan yang

berseliweran di sekitar kami. Tiba-tiba Pertapa tua itu tampak

menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian aku melihat dua

ekor ikan sebesar betis orang dewasa bagaikan tersedot oleh kedua

tangan Pertapa tua itu. Kedua ekor ikan itupun akhirnya

menggelepar-gelepar dalam genggamannya.”

Wajah-wajah itu pun menjadi semakin tegang. Berkata Ki Waskita

kemudian, “Pertapa tua itu mampu mengerahkan tenaga

cadangan di dalam tubuhnya untuk menarik benda apa saja yang

ada di sekitarnya.”

“Padahal selama ini yang kita ketahui dan kita pelajari, tenaga

cadangan di dalam diri kita hanya digunakan untuk mendorong,

menolak atau memukul,” sahut Ki Bango Lamatan cepat.

“Ki Bango Lamatan benar,” Ki Rangga ikut menimpali, “Agaknya

Pertapa tua itu telah mampu mengendalikan tenaga cadangannya

sedemikian rupa sehingga dapat digerakkan sesuai dengan

kemauannya.”

“Itulah sebenarnya yang ingin ditunjukkan Pertapa tua itu

kepadaku,” sela Ki Jayaraga dengan serta merta, “Entah mengapa

Pertapa tua itu kelihatannya menaruh perhatian kepadaku dan

memberiku sedikit petunjuk untuk mengolah tenaga cadangan

seperti itu.”

“Jadi? Ki Jayaraga pernah mempelajari ilmu itu?” bertanya Ki

Waskita dengan serta merta.

3

Page 7: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“O, tidak tidak, Ki Waskita,” jawab Ki Jayaraga kemudian sambil

tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya, “Aku tidak mau mencampur adukkan ilmu yang aneh itu dengan ilmu

perguruanku, sehingga apa yang ditunjukkan Pertapa tua itu sama

sekali tidak menarik bagiku.”

Hampir bersamaan mereka yang berada di dalam bilik itu telah

menarik nafas dalam-dalam. Sungguh sangat disayangkan

kesempatan itu ternyata telah dibuang percuma oleh Ki Jayaraga

muda saat itu.

“Sayang,” desis Ki Waskita kemudian sambil menggeleng-

gelengkan kepalanya.

Ki Jayaraga yang menyadari kekeliruan di masa mudanya segera

meneruskan kata-katanya, “Bukannya aku merasa ilmuku sudah

tiada bandingannya saat itu. Namun perjalananku menyisir pantai

Selatan pada saat itu adalah juga dalam rangka mendalami sebuah

laku, sehingga aku telah mengabaikan petunjuk yang

diberikannya.”

Semua kepala pun tampak terangguk-angguk. Agaknya saat itu Ki

Jayaraga muda sedang menjalani sebuah laku sehingga tidak ada

waktu atau bahkan mengesampingkan hal hal lain yang dapat

mengganggu tujuan utamanya dalam menjalani laku.

“Nah, sekarang apa rencana Ki Rangga selanjutnya?” bertanya Ki

Bango Lamatan kemudian setelah sejenak mereka terdiam.

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu sebelum

menjawab pertanyaan orang yang pernah menjadi kepercayaan

Panembahan Cahya Warastra itu. Jawab Ki Rangga kemudian,

“Aku berencana untuk mengantar Ki Gede Matesih ke Menoreh

4

Page 8: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

besuk pagi. Sekalian aku akan menghadap Ki Patih di Mataram

untuk melaporkan tugas yang telah dibebankan kepada kita.”

“Ya, ngger,” Ki Waskita menambahkan, “Sekalian angger dapat

membawa bukti paser beracun yang telah digunakan oleh

pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu untuk mencederai angger

beberapa saat yang lalu.”

“Dan sekaligus melaporkan pergerakan pasukan sisa-sisa cantrik

Sapta Dhahana dan Trah Sekar Seda Lepen yang bergerak ke arah

Timur, ke lembah antara Merapi dan Merbabu,” Ki Jayaraga tak

mau kalah ikut menimpali.

“Trah Sekar Seda Lepen harus dihukum!” Ki Bango Lamatan pun

ikut memberikan pendapatnya, “Kalau perlu Mataram harus

mengerahkan pasukan segelar sepapan untuk membumi

hanguskan padepokan Panembahan Agung.”

“Tidak semudah itu,” sahut Ki Rangga cepat, “Mataram harus

berhitung cermat sebelum mengirim pasukan ke lembah antara

Merapi dan Merbabu. Kita semua tahu, Ki Patih Mandaraka

adalah seorang pemikir ulung yang selalu mengedepankan

perhitungan yang matang sebelum mengambil langkah. Tentu

laporan kita nanti akan dijadikan salah satu pertimbangan

sebelum memutuskan untuk menghukum Trah Sekar Seda Lepen

beserta pengikutnya.”

Kembali mereka yang hadir di tempat itu terangguk angguk.

Terbayang dalam ingatan mereka, sudah berapa kali sejak

pertikaian antara Pajang dengan Jipang Panolan dan kemudian

berganti Pajang melawan Mataram, Ki Juru Mertani pada saat itu

berperan sangat penting dalam memenangkan pertempuran.

5

Page 9: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Di saat Madiun bergolak pun, Ki Patih Mandaraka juga yang

berhasil mengatasi keadaan,” berkata Ki Waskita dalam hati

berangan angan, “Sesungguhnya pasukan Mataram pada saat itu

menurut perhitungan kalah jumlah dengan pasukan Madiun.

Namun dengan kecerdikannya Ki Patih Mandaraka berhasil

memecah belah persekutuan para Adipati yang mendukung

Panembahan Madiun sehingga Mataram berhasil menguasai kota

Madiun.”

Namun ada satu ganjalan yang tersisa sampai saat ini di antara

para prajurit dan Sentana Dalem Mataram begitu Panembahan

Senapati memutuskan untuk mengawini Retna Dumilah, putri

Panembahan Madiun yang tidak ikut meloloskan diri.

“Di manakah Panembahan Madiun sekarang ini?” kembali Ki

Waskita berangan angan, “Mungkin Panembahan Madiun dan

keluarganya telah menyatu dengan kawula alit dan hidup dalam

kekurangan namun jauh dari pertikaian yang tak pernah reda di

atas tanah ini. Itu lebih baik dari pada hidup dalam pengasingan

dan pengawasan Mataram.”

“Ki Rangga,” tiba tiba Ki Jayaraga berkata setelah beberapa saat

mereka terdiam, “Berita terakhir yang kita terima dari prajurit

sandi mengatakan bahwa sekarang ini sedang terjadi perpecahan

di dalam keluarga istana. Pihak dari keluarga Ratu Tulung Ayu

tetap menuntut Raden Mas Wuryah diangkat menggantikan

ayahandanya yang telah wafat. Mungkin saat ini bukan waktu

yang tepat bagi Ki Rangga untuk menghadap Ki Patih.”

“Tetapi berita yang akan disampaikan Ki Rangga juga sangat

penting, terutama menyangkut Trah Sekar Seda Lepen dan para

pengikutnya,” sela Ki Bango Lamatana dengan serta merta.

6

Page 10: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Ki Bango Lamatan ada benarnya,” Ki Waskita kemudian

memberikan tanggapannya, “Jika tidak segera diambil langkah

langkah untuk memadamkan gerakan Trah Sekar Seda Lepen itu,

di masa mendatang akan dapat menyulitkan Mataram. Apalagi

Mataram sekarang sedang goyah. Telah terjadi perebutan

kekuasaan sepeninggal Sinuhun Hanyakrawati walaupun

perpecahan itu belum sampai menimbulkan perang saudara.”

Tampak Ki Rangga mengangguk anggukkan kepalanya. Berbagai

pertimbangan pun sedang hilir mudik di dalam benaknya.

“Engkau harus mencari waktu yang tepat ngger,” berkata Ki

Waskita kemudian menambahkan, “Mataram saat ini mungkin

sedang sibuk untuk memilih Raja yang baru sepeninggal Sinuhun

Panembahan Hanyakrawati, namun berita yang akan angger

laporkan juga tak kalah pentingnya.”

“Apakah sudah ada berita telah diangkatnya Raja baru di

Mataram?” tiba tiba Ki Bango Lamatan menyela.

Tampak semua kepala menggeleng. Ki Rangga lah yang menyahut,

“Jika memang sudah ada pengangkatan Raja baru, pasti salah satu

prajurit sandi akan memberitahukan kepada kita.”

“Dan itu berarti petualangan Ki Bango Lamatan bersama kita akan

berakhir sampai di sini,” tiba-tiba Ki Jayaraga menyeluthuk yang

membuat orang orang di dalam bilik itu terkejut.

“Maksud Ki Jayaraga?” Ki Rangga yang tidak dapat menahan diri

segera menyela. Sementara Ki Bango Lamatan hanya memandang

ke arah guru Glagah Putih itu dengan kening yang berkerut merut.

Ki Jayaraga tersenyum sebelum menjawab. Jawabnya kemudian

sambil mengacungkan ibu jarinya ke arah Ki Bango Lamatan,

“Kita semua tahu bahwa Ki Bango Lamatan telah diangkat

7

Page 11: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

menjadi pengawal pribadi Pangeran Pati. Tidak menutup

kemungkinan jika Pangeran Pati telah diwisuda menjadi Raja

Mataram menggantikan ayahandanya, Ki Bango Lamatan harus

selalu berada di dekat Sinuhun Prabu sebagi pengawal pribadi

yang terpercaya.”

“Bagaimana dengan tuntutan Ratu Tulung Ayu?” sela Ki Waskita,

“Ratu Tulung Ayu menuntut janji Sinuhun Prabu semasa masih

menjadi Adipati Anom.”

“Aku mempunyai panggraita jika kebanyakan Sentana Dalem

nantinya akan menolak tuntutan itu,” kembali Ki Jayaraga

mengajukan pendapatnya, “Selain janji itu terjadi ketika Sinuhun

masih menjabat Adipati Anom, keadaan Raden Mas Wuryah

sendiri juga tidak memenuhi persyaratan untuk menjadikan

dirinya seorang Raja.”

Untuk beberapa saat bilik itu menjadi hening. Semua kawula

Mataram telah mengetahui bahwa Raden Mas Wuryah terlahir

dalam keadaan tuna grahita, sehingga tidak selayaknya lah jika

Mataram yang besar itu dipimpin oleh seorang penyandang tuna

grahita.

“Mungkin Ratu Tulung Ayu hanya ingin memenuhi janji Sinuhun

Prabu agar di alam kelanggengan sana, tidak ada tuntutan yang

akan memberatkan perjalanan Sinuhun Prabu dalam menghadap

Sang Pencipta,” membatin Ki Waskita kemudian sambil

mengangguk-angguk kecil.

“Jadi, aku cenderung Raden Mas Rangsang lah yang pada

akhirnya akan menduduki tahta,” berkata Ki Jayaraga kemudian

sambil tersenyum dan memandang ke arah Ki Bango Lamatan.

8

Page 12: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Semua kepala pun tampak terangguk angguk kecuali Ki Bango

Lamatan. Tampak kepalanya tertunduk dengan kening yang

berkerut merut. Agaknya dia sedang memikirkan sesuatu.

“Sebenarnya tempat yang tepat bagiku adalah di hutan rimba,

gunung, lembah dan ngarai,” tiba tiba Ki Bango Lamatan

mengutarakan isi hatinya, “Rasa rasanya akan sangat sulit bagiku

untuk menyesuaikan diri, tinggal di istana yang mewah, kerjanya

hanya duduk terkantuk kantuk sambil menunggu perintah.”

“Ah,” mereka yang hadir di dalam bilik itu pun tertawa pendek. Ki

Rangga lah yang kemudian menyahut, “Keadaan seperti itu

mungkin hanya sepekan dua pekan Ki Bango Lamatan rasakan.

Setelah itu aku yakin, selanjutnya Ki Bango Lamatan akan

menjadi terbiasa dan kerasan.”

“Terbiasa dengan makanan yang enak-enak, tempat tidur yang

empuk dan lunak, serta putri putri keraton yang cantik dengan

emban emban yang galak,” sela Ki Jayaraga yang membuat

mereka yang hadir di tempat itu tergelak.

Sejenak kemudian suasana menjadi sunyi. Masing masing sedang

membayangkan kehidupan baru yang mungkin akan terasa sangat

asing bagi Ki Bango Lamatan.

“Jika demikian,” berkata Ki Rangga kemudin memecah kesunyian,

“Besuk pagi sebaiknya Ki Bango Lamatan ikut aku saja ke

Mataram mengawal perjalanan Ki Gede dan Ratri.”

Kini semua mata tampak sedang mengarah kepada Ki Bango

Lamatan yang masih menundukkan kepalanya.

“Ki Rangga,” berkata Ki Bango Lamatan kemudina sambil

mengangkat wajahnya, “Aku adalah petualang sejati yang telah

berjalan dari ujung tanah ini ke ujung yang lain. Memang kadang

9

Page 13: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

aku tertahan dan bergabung dengan sekelompok orang yang

mempunyai tujuan dan haluan yang sama, Panembahan Cahya

Warastra misalnya,” Ki Bango Lamatan berhenti sejenak untuk

sekedar mengambil nafas. Lanjutnya kemudian, “Namun aku

tidak pernah berdiam di suatu tempat untuk waktu yang lama.

Aku selalu berpindah dan menikmati kehidupanku yang bebas

bagaikan burung yang terbang di udara.”

Untuk beberapa saat orang orang yang berada di dalam bilik itu

terdiam, tidak ada satu pun yang menanggapi ucapan Ki Bango

Lamatan. Mereka menunggu saja apa yang akan disampaikan oleh

orang yang telah mendapat pencerahan dari Kanjeng Sunan Muria

melalui Ki Ajar Mintaraga itu.

“Namun Ki Bango Lamatan yang dulu sudah mati,” lanjut Ki

Bango Lamatan kemudian begitu menyadari Ki Rangga dan

kawan-kawan tampak hanya menunggu, “Bango Lamatan yang

baru telah lahir berkat bimbingan dan petunjuk Kanjeng Sunan

melalui murid dan sekaligus sahabatnya, Ki Ajar Mintaraga.”

“Jadi? Apa rencana Ki Bango Lamatan selanjutnya?” bertanya Ki

Rangga kemudian dengan nada sedikit kurang sabar.

Ki Bango Lamatan tidak segera menjawab. Sebuah senyum

tampak tersungging di bibirnya. Setelah menarik nafas panjang

barulah dia menjawab, “Di dalam rombongan ini Ki Rangga telah

ditunjuk sebagai pemimpinnya. Aku akan tunduk dan mengikuti

setiap perintah dari Ki Rangga.”

Tampak setiap kepala terangguk angguk sambil menghela nafas

panjang. Ki Rangga pun segera berkata, “Syukurlah! Dengan

demikian aku putuskan besuk pagi aku dan Ki Bango Lamatan

akan kembali ke Mataram.”

10

Page 14: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Bagaimana dengan Glagah Putih, Ki Rangga?” tiba-tiba Ki

Jayaraga menyahut dengan serta merta.

Sejenak Ki Rangga tampak merenungi tubuh Glagah Putih yang

terbujur diam dengan nafas yang mengalir teratur.

“Ki Jayaraga,” jawab Agul Agulnya Mataram itu kemudian, “Aku

akan meninggalkan obat dan beberapa reramuan yang cukup

untuk Glagah Putih selama aku tinggal. Sebenarnya keadaan

Glagah Putih sudah tidak mengkhawatirkan lagi. Dia hanya

membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengembalikan

kebugarannya serta yang paling penting adalah meraih kembali

puncak dari tenaga cadangannya yang telah hilang.”

“Ki Rangga benar,” sahut Ki Waskita cepat, “Menilik keadaan

Glagah Putih ini, paling cepat sepekan dia mungkin sudah mampu

untuk berjalan dan melakukan kegiatan sehari hari. Namun untuk

meraih puncak ilmunya yang berlandaskan tenaga cadangannya,

dia memerlukan waktu mungkin sebulan sampai dua bulan.”

Mereka yang hadir di bilik itu pun tampak mengerutkan kening

dalam-dalam. Sebulan atau bahkan sampai dua bulan adalah

waktu yang cukup panjang bagi rombongan yang dipimpin Ki

Rangga itu. Sehingga tidak menutup kemungkinan Glagah Putih

tidak dapat bergabung kembali.

“Apakah memang demikian?” bertanya Ki Bango Lamatan

kemudian dengan jantung yang berdebaran.

Tanpa sadar Ki Jayaraga berpaling ke arah Ki Rangga. Ki Rangga

pun tanggap dan segera menjawab, “Seperti itulah perkiraanku.

Aku tidak dapat memastikan berapa lama Glagah Putih akan pulih

seperti sedia kala. Namun setelah kesehatan dan kebugarannya

pulih kembali, aku kira dia tidak akan memerlukan waktu sampai

11

Page 15: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

berbulan bulan untuk mengembalikan puncak ilmunya. Mungkin

hanya sekitar satu bulan lebih.”

Tampak Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan mengangguk angguk.

Namun Ki Jayaraga justru telah menggeleng gelengkan kepalanya

sambil berdesis perlahan, “Dengan demikian Glagah Putih tidak

akan ikut dalam rombongan Ki Rangga berikutnya, demikian juga

aku.”

“He?” hampir bersamaan orang orang di dalam bilik itu telah

terkejut. Sedangkan Ki Rangga segera menyadari bahwa

rombongannya akan banyak berkurang setelah Ki Bango Lamatan

yang mungkin akan di tarik ke istana dan juga Glagah Putih yang

masih sakit.

“Baiklah,” berkata Ki Rangga kemudian sambil menggeser

dingklik kayunya sejengkal mundur, “Aku akan memohon

petunjuk Ki Patih Mandaraka sehubungan dengan rombongan

kecil kita ini. Jika nantinya Ki Bango Lamatan harus kembali ke

istana, kemudian Glagah Putih masih harus mengembalikan

kekuatannya, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah,

mengapa Ki Jayaraga juga mengundurkan diri dari rombongan

ni?”

Untuk sejenak Ki Jayaraga terpekur. Orang-orang yang berada di

dalam bilik tu pun tidak ada yang berani mengganggu. Mungkin

Ki Jayaraga sedang mempertimbangkan sesuatu yang sangat

pelik.

“Ki Rangga,” jawab Ki Jayaraga kemudian tanpa berpaling, “Aku

mempunyai firasat bahwa Pertapa tua itu suatu saat pasti akan

kembali ke banjar ini. Bagiku tidak mungkin meninggalkan

Glagah Putih dalam keadaan seperti ini. Apapun yang terjadi, aku

harus melindungi Glagah Putih. Yang aku khawatirkan jika

12

Page 16: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Pertapa tua itu kemudian berubah pikiran dan melampiaskan

dendamnya kepada Glagah Putih,” orang tua itu berhenti sejenak.

Lanjutnya kemudian, “Selain itu sebagai salah satu gurunya, aku

akan membantu Glagah Putih untuk mengembalikan kekuatan

puncak ilmunya.”

Terdengar mereka yang hadir dalam ruangan itu menarik nafas

dalam dalam sambil mengangguk angguk.

Tiba tiba terdengar Glagah Putih berdesah sambil menggerak

gerakan kepalanya. Ketika dengan sangat perlahan kedua kelopak

matanya kemudian terbuka, sejenak dia berusaha mengerjap

kerjapkan sepasang matanya agar penglihatannya menjadi

semakin jelas.

Ketika pandangan matanya sudah dapat mengenali keadaan di

sekelilingnya, tampak wajah Glagah Putih sedikit terkejut dan

berusaha untuk mengangkat kepalanya. Namun usahanya gagal

dan kepalanya pun jatuh terkulai kembali.

“Tenangkanlah dirimu Glagah Putih,” bisik Ki Rangga kemudian

sambil menggeser tempat duduknya mendekati amben,

“Bersyukurlah! Yang Maha Agung masih berkenan melindungimu.

Tenaga wadagmu memang masih sangat lemah, namun aliran

darahmu serta pernafasanmu sudah mulai lancar. Engkau tinggal

mengembalikan kekuatan wadagmu terlebih dahulu, sebelum

merambah kepada pengembalian kekuatan ilmumu.”

Tampak wajah Glagah Putih yang masih pucat menegang.

Tanyanya kemudian sambil berpaling ke arah kakak sepupunya

itu, “Apa maksud kakang? Apa yang telah terjadi dengan kekuatan

ilmuku?”

13

Page 17: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Engkau harus mencari waktu yang tepat ngger,” berkata Ki Waskita

kemudian menambahkan, “Mataram saat ini……………………..

14

Page 18: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Glagah Putih,” Ki Jayaraga lah yang menyahut sambil

mendekatkan tempat duduknya, “Kekuatan ilmu lawanmu

memang diluar nalar. Aku ternyata telah salah hitung. Aku sama

sekali tidak menyangka jika lawanmu yang menyebut dirinya

sebagai Pertapa goa Langse itu benar benar telah mewarisi ilmu

ciri khas goa Langse. Aku benar benar menyesal telah

membiarkan dirimu menghadapinya.”

Sejenak Glagah Putih menarik nafas panjang sambil pandangan

matanya menerawang ke langit-langit bilik. Terbayang kembali

peristiwa perang tanding antara hidup dan mati beberapa saat

yang lalu. Untunglah dia dapat mengatasi ilmu lawannya yang

aneh itu dengan aji pacar wutah puspa rinonce.

“Terima kasih Ki dan Nyi Citra Jati,” membatin Glagah Putih

dalam hati. Namun terlihat betapa kegelisahan masih tergambar

di wajahnya.

“Jangan khawatir Glagah Putih,” berkata Ki Rangga kemudian

begitu melihat kekecewaan terbayang di wajah adik sepupunya itu,

“Engkau memang telah kehilangan tenaga cadangan di dalam

tubuhmu, namun dengan latihan yang sungguh sungguh dalam

tempo tidak lebih dari sebulan engkau akan kembali ke puncak

ilmumu.”

Kata kata Ki Rangga itu agaknya sedikit banyak telah menghibur

Glagah Putih, sehingga wajahnya tidak tampak terlalu kecewa.

“Aku akan menemanimu,” sahut Ki Jayaraga kemudian, “Aku

akan menyediakan waktu siang dan malam untuk membantumu

meraih kembali kemampuan puncakmu.”

“Terima kasih guru,” berkata Glagah Putih kemudian sambil

menarik nafas dalam-dalam.

15

Page 19: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Nah,” berkata Ki Rangga kemudian, “Aku akan membuatkan

bubur khusus untukmu agar kekuatan wadagmu segera pulih.

Setelah wadagmu benar benar pulih, giliran Ki Jayaraga yang akan

membantumu.”

“Akan pergi kemanakah kakang?” tiba tiba sebuah pertanyaan

terloncat begitu saja dari bibir Glagah Putih.

Sejenak Ki Rangga menegakkan punggungnya sambil

mengedarkan pandangan matanya ke arah orang orang yang hadir

di dalam bilik itu. Ketika terlihat olehnya sebuah anggukan dari Ki

Waskita, Ki Rangga pun akhirnya menjawab pertanyaan adik

sepupunya itu.

Jawab Ki Rangga kemudian, “Glagah Putih, aku dan Ki Bango

Lamatan akan kembali ke Mataram untuk membuat laporan

kepada Ki Patih Mandaraka. Banyak yang harus dibicarakan

sehubungan dengan bergeraknya para pengikut Trah Sekar Seda

Lepen itu ke lembah antara Merapi dan Merbabu.”

Tampak kepala Glagah Putih terangguk angguk kecil. Ki Rangga

sengaja tidak menyebut Ki Gede dan Ratri yang akan pergi ke

Menoreh bersama sama dengan dirinya dan Ki Bango Lamatan. Ki

Rangga menganggap hal itu tidak ada hubungannya dengan

rencana Ki Rangga melaporkan tugasnya kepada Ki Patih

Mandaraka.

“Kapan kakang akan berangkat?” bertanya Glagah Putih

selanjutnya.

“Besuk pagi.”

“He?! Besuk pagi? Begitu cepat?”

16

Page 20: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Ya, Glagah Putih,” jawab Ki Rangga kemudian sambil

mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling, “Banyak

pertimbangan yang mengharuskan aku segera ke Mataram. Salah

satunya adalah keadaan Mataram yang sampai saat ini belum

terbetik berita telah diangkatnya Raja baru menggantikan

Sinuhun Hanyakrawati.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Agaknya Ki Rangga

tanggap bahwa adik sepupunya itu belum begitu mengerti alasan

yang dikemukakan. Maka lanjut Ki Rangga kemudian,

“Sebagaimana engkau juga telah mendengar berita dari prajurit

sandi beberapa saat yang lalu. Pergantian pucuk pimpinan di

Mataram agaknya telah menimbulkan perselisihan paham antara

kerabat istana sendiri.”

Tampak Glagah Putih menarik nafas dalam dalam namun tidak

ada tanggapan sama sekali yang keluar dari bibirnya. Maka Ki

Rangga pun melanjutkan, “Mataram dalam keadaan seperti

sekarang ini akan sangat rapuh jika terjadi pemberontakan dari

orang orang yang tidak bertanggung jawab, Trah Sekar Seda

Lepen salah satunya. Sehingga kekuatan yang sekarang mungkin

sedang berkumpul di lembah antara Merapi dan Merbabu segera

harus ditindak lanjuti, sebelum mereka mengetahui keadaan

Mataram yang masih belum menentu ini.”

Kembali tampak kepala Glagah Putih terangguk angguk. Orang

orang yang hadir di dalam bilik itu pun telah ikut mengangguk

anggukkan kepala mereka.

“Nah engkau akan ditemani oleh Ki Waskita dan Ki Jayaraga,”

berkata Ki Rangga selanjutnya. Ki Waskita pun tersenyum ke arah

Glagah Putih yang memandangnya.

17

Page 21: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Aku akan disini saja, ngger,” berkata Ki Waskita kemudian begitu

melihat Glagah Putih tanpa berkedip telah memandangnya,

“Walaupun ancaman sisa sisa laskar cantrik Sapta Dhahana

kemungkinannya sangat kecil, namun perdikan Matesih ini belum

dapat dikatakan aman. Dengan senang hati aku akan mengawani

Ki Jayaraga.”

Kembali terlihat setiap kepala terangguk angguk. Sejenak suasana

menjadi sunyi. Masing masing sedang tenggelam dalam lamunan

yang mengasyikkan.

“Apa rencana kakang setelah menghadap Ki Patih,” tiba-tiba

pertanyaan Glagah Putih kembali membuat mereka terbangun

dari lamunan mereka, “Apakah aku masih diperkenankan untuk

ikut dalam rombongan ini?”

Untuk sejenak mereka yang berada di dalam bilik itu pun saling

pandang. Namun Ki Rangga segera menjawab agar adik

sepupunya itu tidak berteka teki di kemudian hari.

“Glagah Putih,” jawab Ki Rangga kemudian sambil memandang ke

arah anak laki laki Ki Widura itu, “Aku akan mohon petunjuk

kepada Ki Patih sehubungan dengan keberadaan kelompok kecil

kita ini. Tugas yang dibebankan kepada kita masih sangat panjang

dan tidak menutup kemungkinan akan bertambah jumlahnya atau

bahkan berkurang,” Ki Rangga berhenti sejenak untuk sekedar

mengambil nafas. Lanjutnya kemudian, “Selain itu perkembangan

keadaan dan keamanan juga mempengaruhi keputusan yang akan

diambil oleh Ki Patih pada saatnya nanti. Semua itu tergantung

tanggapan dari Ki Patih atas laporan yang akan aku sampaikan

nanti.”

“Jadi? Aku tidak akan diperkenankan ikut dalam rombongan

kakang lagi?” sela Glagah Putih dengan serta merta.

18

Page 22: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Bukan begitu maksudku, Glagah Putih,” jawab Ki Rangga cepat, “

Dalam waktu dekat ini, aku kira tugas kita ke gunung

Penanggungan akan ditangguhkan beberapa saat. Aku kira untuk

sementara perhatian Ki Patih akan dicurahkan kepada Trah Sekar

Seda Lepen terlebih dahulu.”

“Angger Sedayu benar,” sela Ki Waskita ikut menanggapi,

“Sebelum pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu menjadi besar dan

dapat membakar Mataram, sedini mungkin Mataram harus

mengambil langkah langkah untuk memadamkannya.”

Terlihat Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ada kesan

kekecewaan sekilas yang tertangkap oleh Ki Rangga. Maka berkata

Ki Rangga kemudian, “Engkau tidak usah merisaukan peperangan

yang mungkin akan terjadi di lembah antara Merapi dan Merbabu

itu. Kesehatanmu lebih penting dari semua itu. Jika engkau

bersungguh sungguh dalam usaha untuk mengembalikan

kemampuanmu, aku kira tidak akan lebih dari sebulan engkau

sudah dapat bertugas dalam dinas keprajuritan lagi.”

Sekarang tampak wajah Glagah Putih menjadi sedikit cerah.

Sambil mengangguk anggukan kepalanya dia pun kemudian

berkata, “Terima kasih kakang. Aku akan bersungguh sungguh

untuk memulihkan kemampuanku. Aku yakin dibawah bimbingan

Ki Jayaraga dan petunjuk Ki Waskita, sekembalinya kakang dari

Mataram mungkin aku sudah dapat meraih kembali

kemampuanku walaupun baru selangkah dua langkah.”

“Ah,” orang orang pun tertawa mendengar kelakar Glagah Putih.

Tapi mereka yakin, Glagah Putih mempunyai niat yang sangat

kuat untuk segera mendapatkan kemampuannya kembali.

“Kakang,” berkata Glagah Putih kemudian setelah sejenak mereka

terdiam, “Jika kekuatan wadagku sudah pulih kembali, apakah

19

Page 23: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

aku diperkenankan untuk kembali ke Menoreh? Rasa rasanya

lebih tenang untuk meraih puncak kemampuanku di Menoreh

dari pada di rumah orang yang tentu saja akan sangat merepotkan

Ki Gede Matesih.”

Untuk beberapa saat mereka tampak saling pandang. Namun

segera saja pandangan mereka beralih kepada Ki Rangga sebagai

pemimpin rombongan kecil itu.

“Aku juga berpikir demikian, Glagah Putih,” sahut Ki Rangga yang

membuat mereka yang hadir di dalam bilik itu mengangguk

angguk, “Namun dalam menyampaikan hal ini kepada Ki Gede

Matesih harus dengan sangat hati hati, jangan sampai kepala

perdikan Matesih itu tersinggung.”

“Angger benar,” sela Ki Waskita kemudian, “Kita harus menjaga

hubungan yang sudah terjalin dengan sangat baik ini. Jangan

sampai memberikan kesan seolah olah kita sudah tidak

memerlukan Matesih lagi setelah Sapta Dhahana jatuh.”

Kembali setiap kepala terlihat terangguk angguk.

“Dan yang lebih penting lagi,” sahut Ki Jayaraga sambil sedikit

menahan senyum, “Berlatih olah kanuragan ditunggui oleh

seorang istri tercinta akan lebih mengasyikkan dari pada

ditunggui orang tua bangka seperti aku ini.”

“Ah,” gelak tawa pun kembali mengumandang di dalam bilik itu.

Sementara Glagah Putih hanya dapat tersenyum masam sambil

menyeringai.

“Nah, aku rasa pertemuan kita kali ini sudah cukup,” berkata Ki

Rangga kemudian sambil mengedarkan pandangan matanya ke

sekeliling, “Aku akan ke dapur untuk meramu obat yang akan aku

20

Page 24: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

campurkan ke dalam bubur cair untuk makan malam Glagah

Putih.”

Selesai berkata demikian Ki Rangga segera bangkit berdiri.

Namun tampaknya Ki Jayaraga masih tetap duduk di tempatnya

sambil berkata, “Aku di sini saja. Jika makan malam sudah siap,

tolong antarkan ke bilik ini.”

Ki Bango Lamatan yang telah berdiri bersama Ki Rangga segera

menyahut, “Ki Jayaraga berkenan bubur cair?”

“O,” jawab Ki Jayaraga sambil menegakkan punggungnya, “Aku

senang sekali dengan bubur cair. Tolong bawakan dua mangkuk

penuh sekaligus!”

Ki Bango Lamatan yang sudah hampir melangkah itu menjadi

heran. Tanyanya kemudian, “Ki Jayaraga mampu menghabiskan

dua mangkuk bubur sekaligus?”

Ki Jayaraga tersenyum. Jawabnya kemudian sambil tetap

tersenyum dan menggeleng, “Ah, tentu saja tidak. Maksudku dua

mangkuk penuh bubur cair itu yang satu untukku dan yang

satunya untuk Ki Bango Lamatan.”

“Ah,” mereka pun tergelak mendengar gurauan Ki Jayaraga itu.

Demikianlah, sejenak kemudian, satu persatu mereka telah

meninggalkan bilik kecuali Ki Jayaraga yang lebih senang

menunggui Glagah Putih.

Dalam pada itu di salah satu bilik di gandhok kiri, tampak Ki

Wiyaga dan Ki Gede sedang berusaha membujuk putut Acarya

untuk berbicara.

21

Page 25: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Katakan saja apa yang engkau ketahui,” berkata Ki Gede dengan

nada berat dan dalam, “Apa hubunganmu dengan orang yang

mengaku sebagai Pertapa goa Langse itu dan di mana kalian

tinggal selama ini,”

Putut Acarya yang duduk di lantai dengan kedua tangan terikat di

belakang sebuah tiang yang kuat, tampak hanya menundukkan

wajahnya. Mulutnya terkatup rapat rapat serta sorot matanya

menampakkan kemarahan yang membakar jantung.

“Kami bukanlah sekelompok orang yang suka berbuat sewenang

wenang,” berkata Ki Gede selanjutnya begitu melihat putut Acarya

hanya membisu, “Namun disaat saat kami kehilangan kesabaran,

kadang kadang sifat yang demikian itu bisa muncul.”

Putut Acarya masih tetap membisu. Wajahnya yang merah

membara itu tetap tertunduk dalam dalam.

“Ki Wiyaga,” berkata Ki Gede pada akhirnya memberi isyarat

kepada kepala pengawal Matesih itu, “Mendekatlah!”

Ki Wiyaga segera melangkah mendekati Ki Gede. Sejenak

kemudian kedua orang itu tampak berbisik bisik dengan suara

yang sangat perlahan sehingga tidak mampu didengar oleh putut

Acarya.

“Gila!” geram putut Acarya dalam hati, “Apa yang akan mereka

perbuat, he?!”

Namun murid pertama goa Langse itu menjdi berdebar debar

ketika melihat Ki Wiyaga kemudian melangkah keluar bilik.

“Aku sebelumnya minta maaf, Ki Sanak,” berkata Ki Gede

kemudian dengan suara yang dibuat seramah mungkin, “Semua

ini akan kami lakukan demi keselamatan dan keamanan perdikan

22

Page 26: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Matesih. Apapun akan kami lakukan walaupun itu sedikit

melanggar paugeran ataupun hubungan bebrayan sesama

manusia. Percayalah, Ki Sanak akan dapat bertahan karena Ki

Sanak adalah murid perguruan goa Langse.”

“Omong kosong!” umpat putut Acarya kemudian dengan suara

keras sehingga para pengawal jaga yang berada di luar bilik dapat

mendengar dengan jelas.

Serentak kedua pengawal jaga itu pun segera bangkit berdiri

sambil meraba hulu senjata masing masing. Namun ketika kedua

pengawal itu kemudian mendengar tawa Ki Gede, mereka pun

segera duduk kembali sambil menarik nafas dalam dalam.

“Nah,” berkata Ki Gede kemudian sambil berjalan perlahan

memutari bilik yang sempit itu, “Aku tidak menuntut apa apa dari

Ki Sanak, aku hanya meminta Ki Sanak berbicara jujur.”

“Apa peduliku!” geram Acarya kembali sambil meludah.

“O, baiklah,” jawab Ki Gede kemudian menanggapi kekerasan hati

murid goa Langse itu, “Kami mempunyai atau katakanlah kami

telah menciptakan sebuah alat yang sangat aneh. Alat itu sangat

berguna untuk membuat seseorang berbicara,” Ki Gede berhenti

sejenak sambil sudut matanya memandang ke arah putut Acarya.

Namun orang itu tampaknya tetap acuh tak acuh saja. Lanjut Ki

Gede kemudian, “Alat itu sebenarnya sangat sederhana dan

memang bertujuan membantu seseorang yang tadinya tidak mau

berbicara akan berubah pikiran dan memutuskan untuk berbicara.

Namun ternyata orang yang membuat alat itu terlalu tergesa gesa

dan kurang sempurna sehingga telah membuat seseorang tidak

hanya berbicara, tetapi berteriak sekeras kerasnya.”

23

Page 27: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Berdesir dada putut Acarya. Bagaimanapun kerasnya hati murid

goa Langse itu, namun apa yang diutarakan Ki Gede itu tak urung

telah membuat bulu kuduknya berdiri.

“Kalian memang segerombolan manusia terkutuk yang tidak

punya belas kasihan!” geram putut Acarya sambil kembali

meludah, “Kalian akan menerima akibatnya jika guruku

mengetahui perbuatan kalian terhadap muridnya!”

“He?!” Ki Gede pun terkejut bukan alang kepalang. Dia baru

menyadari jika murid goa Langse itu belum diberi tahu jika

gurunya telah tewas.

“Baiklah, Ki Sanak,” berkata Ki Gede kemudian sambil berjongkok

beberapa langkah di depan putut Acarya, “Aku lupa

memberitahukan kepadamu, dan aku mengucapkan turut berduka

cita atas musibah yang telah menimpa perguruan kalian.”

Kata kata Ki Gede yang diucapkan dengan tekanan dan terlihat

bersungguh sungguh itu telah menyita perhatian putut Acarya.

Untuk beberapa saat murid goa Langse itu justru telah terdiam

dengan pandangan yang tidak berkedip menatap wajah Ki Gede.

“Ki Sanak,” berkata Ki Gede selanjutnya sambil menarik nafas

dalam dalam, “Hidup mati manusia ada di tangan Yang Maha

Agung. Kita manusia tidak diberi kewenangan sedikitpun untuk

mengungap rahasia kehidupan itu. Maka bersabarlah atas apa

yang telah menimpa gurumu.”

“Persetan dengan sesorahmu!” bentak putut Acarya kemudian

dengan suara menggelegar. Kembali dua orang pengawal yang

berjaga di luar bilik terkejut. Namun keduanya hanya berdiam diri

saja sambil menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka

percaya penuh terhadap kemampuan pemimpin mereka itu.

24

Page 28: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Ki Sanak,” berkata Ki Gede tetap dengan nada yang sareh tanpa

terpengaruh gejolak dalam dada putut Acarya, “Dalam perang

tanding tadi pagi, gurumu yang mengaku sebagai Pertapa dari goa

Langse itu ternyata telah dikalahkan dan tewas.”

“Bohong!!” bentak putut Acarya seketika. Namun suaranya

terdengar meragu ketika mengucapkan kata kata berikutnya,

“Kalian telah berusaha melemahkan hatiku! Kalian berusaha

menipu aku dengan cerita ngaya wara yang sama sekali tidak

berdasar. Guru adalah orang yang maha sakti dan tidak ada

tandingannya di muka bumi ini, Ki Rangga pun tidak!”

“Ki Sanak,” berkata Ki Gede kemudian sambil bangkit berdiri dan

maju selangkah. Ditepuk tepuknya pundak putut Acarya beberapa

kali sambil berdesis perlahan, “Kuatkan hatimu menerima cobaan

ini. Aku tahu gurumu adalah satu satunya tempat bergantung

bagimu. Namun nasib telah menentukan lain. Gurumu telah tewas

dalam perang tanding bukan dengan Ki Rangga, tapi dengan adik

sepupu Ki Rangga yang bernama Glagah Putih.”

Jika saja ada petir yang menyambar dan meledak sejengkal di atas

kepala putut Acarya, dia tidak akan seterkejut itu mendengar

berita yang baru saja disampaikan oleh Ki Gede.

“Bohong! Pendusta!” teriak putut Acarya kemudian bagaikan

orang yang kalap, “Aku tidak percaya jika guru mampu dikalahkan

oleh orang yang bukan Ki Rangga. Aku yakin itu!! Ki Rangga pun

tidak akan mampu mengalahkannya!!”

“Tapi kenyataan berbicara lain Ki Sanak,” sela Ki Gede dengan

serta merta, “Aku tidak tahu lagi bagaimana harus meyakinkan Ki

Sanak. Namun aku hanya berbicara berdasarkan kenyataan yang

telah terjadi. Gurumu telah tewas dan Ki Sanak sekarang menjadi

tawanan kami.”

25

Page 29: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Putut Acarya masih berusaha menyangkal kenyataan yang mulai

menyusup ke dasar hatinya. Bagaimana pun juga berita tewasnya

orang yang sangat diagung agungkannya itu benar benar sangat

mengejutkan dan telah mengkoyak koyak jantungnya.

“Kepada siapa lagi aku akan bergantung?” keluh putut Acarya

dalam hati sambil menundukkan kepalanya dalam dalam, “Adi

Brajayekti telah mati terlebih dahulu, dan sekarang guru. Aku

tidak tahu lagi bagaimana nasib adi Panengah. Jika aku mengaku

telah diberi tempat oleh Ki Dukuh Klangon, dan putra laki laki Ki

Dukuh Klangon telah menjadi purid goa Langse, tentu padukuhan

Klangon akan diratakan dengan tanah oleh Matesih.”

Berbagai pertimbangan pun hilir mudik dalam benak putut

Acarya. Namun dari semua pertimbangan itu semuanya menemui

jalan buntu dan berakhir pada ujung yang mengerikan, kematian.

“Nah, aku harap berita yang baru saja aku sampaikan ini akan

menjadi bahan renungan Ki Sanak,” berkata Ki Gede selanjutnya

sambil berjalan mengelilingi bilik yang sempit itu kembali, “Aku

yakin nalar Ki Sanak masih utuh. Panca indera Ki Sanak juga

masih lengkap. Pergunakanlah semua itu untuk kebaikan Ki

Sanak di masa mendatang.”

Kali ini kepala putut Acarya terlihat semakin tunduk. Sorot

matanya tidak lagi membara penuh dengan dendam kebencian.

Namun sorot mata itu telah menjadi redup bagaikan sinar lampu

dlupak di ujung pagi yang telah kehabisan minyak. Wajahnya

pucat pasi serta bibirnya tampak gemetar menahan gejolak

dadanya yang tak tertahankan.

Diam diam Ki Gede merasa kasihan melihat perubahan orang

yang mengaku murid goa Langse itu. Maka katanya kemudian,

“Sudahlah Ki Sanak. Jika Ki Sanak mau menyadari kesalahan Ki

26

Page 30: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Sanak dan memperbaiki jalan hidup Ki Sanak, kami akan

mempertimbangkan untuk memberikan pengampunan.”

Telihat kepala putut Acarya sedikit terangkat, namun terkulai

kembali. Yang terdengar kemudian hanyalah desah nafasnya yang

sedikit memburu.

Tiba-tiba terdengar derit pintu bilik. Sejenak kemudian Ki Wiyaga

terlihat memasuki bilik sambil menjinjing sebuah bungkusan kain

hitam. Kain hitam itu tidak membungkus seluruh benda yang

berada di dalamnya sehingga terlihat kedua ujung benda itu yang

ternyata terbuat dari besi dan sebuah rantai tampak menjuntai

keluar.

Berdesir jantung putut Acarya melihat alat yang cukup

mengerikan itu. Maka katanya kemudian, “Ki Gede,

sebenarnyalah aku tidak tahu menahu urusan guruku yang telah

mengajak kami murid muridnya ke perdikan Matesih ini.”

Hampir bersamaan Ki Gede dan Ki Wiyaga menarik nafas

panjang. Dengan sebuah isyarat Ki Gede segera memerintahkan Ki

Wiyaga untuk membawa alat yang cukup mengerikan itu keluar

bilik. Ki Wiyaga pun segera melangkah keluar bilik kembali.

“Nah, berceritalah,” berkata Ki Gede kemudian sambil duduk

bersila beberapa langkah di hadapan putut Acarya.

Untuk beberapa saat tampak wajah murid goa Langse itu gelisah.

Namun agaknya dia telah membulatkan tekad untuk berterus

terang karena sudah tidak ada gunanya lagi mengharapkan

pertolongan dari guru dan saudara saudara seperguruannya.

“Ki Gede,” berkata putut Acarya kemudian sambil menegakkan

kepalanya, “Guru telah mengajak kami semua murid muridnya

27

Page 31: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

untuk mengantar putera Ki Dukuh Klangon pulang ke kampung

halamannya.”

Sebuah kerut tampak di dahi Ki Gede. Bertanya Ki Gede

kemudian, “Mengantar putera Ki Dukuh Klangon? Apakah putera

Ki Dukuh itu juga murid goa Langse?”

“Benar, Ki Gede. Jaka Purwana putera Ki Dukuh Klangon itu

terhitung saudara paling muda dalam perguruan goa Langse.”

“Dan dia diantar pulang karena sudah selesai berguru?”

“O, tidak. Ki Gede,” sahut putut Acarya cepat, “Kami mengantar

Jaka Purwana karena dia memang ingin menengok keluarganya.”

Tampak kepala Ki Gede terangguk-angguk. Namun sebelum Ki

Gede melanjutkan, kembali terdengar pintu bilik berderit dan Ki

Wiyaga melangkah masuk.

Ki Gede segera memberi isyarat Ki Wiyaga untuk duduk di

sebelahnya. Sejenak kemudian Ki Wiyaga pun kemudian telah

duduk bersila di sebelah kiri Ki Gede.

“Nah, Putut Acarya,” Ki Gede berhenti sejenak. Lanjutnya

kemudian, “Bukankah nama Ki Sanak adalah putut Acarya?”

“Panggil saja aku Acarya, Ki Gede,” desis Acarya kemudian hampir

tak terdengar, “Aku sudah bukan seorang putut di padepokan goa

Langse lagi. Padepokan itu sudah tidak ada lagi. Guru sudah

tewas, demikian juga adi Brajayekti. Sedangkan adi Panengah

entah sedang berada di mana sekarang ini.”

“Jadi kalian bertiga?” sela Ki Wiyaga kemudian.

28

Page 32: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Katakan saja apa yang engkau ketahui,” berkata Ki Gede dengan

nada berat dan dalam, “Apa hubunganmu dengan……….

29

Page 33: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Acarya memandang ke arah Ki Wiyaga sejenak. Ketika pandangan

matanya bertemu dengan pemimpin pengawal perdikan Matesih

itu, segera saja ditundukkan pandangan matanya dalam-dalam.

“Kami memang bertiga pada awalnya,” berkata Acarya kemudian,

“Namun dalam perjalanan waktu, guru menerima murid lagi Jaka

Purwana, putera Ki Dukuh Klangon.”

Tampak kepala kedua orang itu terangguk angguk. Bertanya Ki

Gede kemudian, “Bagaimana ceritanya sehingga Jaka Purwana

putera Ki Dukuh Klangon bisa menjadi murid goa Langse?

Bukankah goa Langse terletak jauh di pesisir laut Selatan?”

“Benar Ki Gede,” jawab Acarya sambil sedikit menggeliat. Agaknya

kedua tangannya yang terikat ke belakang tiang di tengah tengah

bilik itu cukup menyiksanya.

Segera saja Ki Gede memberi isyarat kepada Ki Wiyaga. Pada

awalnya kepala pengawal itu tampak ragu-ragu sejenak. Namun

ketika dia sekali lagi memandang Ki Gede dan Ki Gede telah

menganggukkan kepalanya, Ki Wiyaga pun segera bangkit berdiri

dan kemudian berjalan ke belakang Acarya.

Sejenak kemudian Acarya pun telah terbebas kedua tangannya

sehingga dia pun kemudian segera duduk bersila di hadapan Ki

Gede.

“Terima kasih Ki Gede,” desis Acarya lirih nyaris tak terdengar.

“Tidak masalah Acarya,” sahut Ki Gede cepat, “Sekarang

ceritakanlah kejadian yang sebenarnya secara berurutan sehingga

akan dapat kami jadikan sebagai pertimbangan untuk

meringankan hukumanmu.”

30

Page 34: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Untuk beberapa saat Acarya menarik nafas dalam dalam sebelum

memulai ceritanya.

“Kami bertiga sebelum kedatangan Jaka Purwana telah tinggal di

goa Langse cukup lama,” demikian Acarya memulai kisahnya,

“Kami bertiga pada awalnya hanya dijadikan pelayan oleh Ki

Anggara, karena kami memang tidak ada niat berguru kepadanya.

Kami masing masing dipungut dari tempat yang berbeda dan

dalam keadaan yang berbeda pula.”

Tampak kepala Ki Gede dan Ki Wiyaga terangguk angguk.

bertanya Ki Gede kemudian, “Jadi gurumu yang bergelar Pertapa

goa Langse itu nama sebenarnya adalah Ki Anggara?” “Benar, Ki Gede,” jawab Acarya sambil mengangguk.

Berkata Acarya kemudian melanjutkan ceritanya, “Pada awalnya

kami memang sering ditinggal pergi oleh Ki Anggara. Lama

kelamaan Ki Anggara berpikir bahwa selama beliau pergi, yang

tinggal hanyalah kami bertiga sehingga keselamatan goa Langse

berada di tangan kami bertiga. Atas pertimbanagn itulah Ki

Anggara kemudian menurunkan ilmunya selangkah dua langkah

kepada kami.”

“Bagaimana Jaka Purwana kemudian bisa bergabung dengan

kalian bertiga?” bertanya Ki Wiyaga dengan nada yang sedikit

tidak sabar.

Sejenak Acarya menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian,

“Suatu saat ketika Ki Anggara pulang dari bepergian, beliau

membawa seorang pemuda yang diperkenalkan kepada kami

sebagai Jaka Purwana putera Ki Dukuh Klangon.”

31

Page 35: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Bagaimana mungkin Ki Anggara mengambil Jaka Purwana

sebagai murid, padahal mereka mungkin tidak kenal satu sama

lainnya,” sela Ki Gede kemudian

Acarya menganggukkan kepalanya sebelum menjawab pertanyaan

Ki Gede. Jawabnya kemudian, “Ki Anggara sedang menjalin

hubungan dengan Trah Sekar Seda Lepen yang berada di

padepokan Sapta Dhahana. Ki Dukuh Klangon, ayah Jaka

Purwana adalah salah satu pendukung Trah Sekar Seda Lepen.

Demikianlah agaknya mereka berdua telah bertemu dan Ki Dukuh

ingin menjadikan anak laki laki harapan masa depannya menjadi

cantrik di goa Langse.”

Kembali kepala kedua orang itu terangguk angguk. Mereka

sekarang telah mengerti duduk permasalahan yang sebenarnya.

Dengan demikian Acarya dapat dikatakan tidak terlibat langsung

dengan kegiatan di padepokan Sapta Dhahana.

“Apakah engkau sudah pernah diajak ke padepokan Sapta

Dhahana?” tiba tiba Ki Wiyaga mengajukan sebuah pertanyaan

yang membuat Acarya terkejut.

Namun dengan cepat dia menggelengkan kepalanya. Jawabnya

kemudian, “Tidak, kami bertiga tidak pernah diajak ke gunung

Tidar. Pertama kali kami diajak adalah mengantarkan Jaka

Purwana pulang dan rencananya sekaligus kami akan diajak

bergabung dengan Sapta Dhahana.”

“Jadi, engkau sekali pun belum pernah bertemu dengan orang

yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu?” bertanya Ki

Gede kemudian untuk menegaskan keterlibatan Acarya.

Kembali Acarya menggeleng. Jawabnya kemudian, “Kami bertiga

hanya mengetahui diajak kerumah Ki Dukuh untuk mengantar

32

Page 36: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Jaka Purwana. Namun dari Ki Dukuh kami mendengar bahwa

Sapta Dhahana telah jatuh dan Kiai Damar Sasangka telah tewas

ditangan Ki Rangga.”

“Itulah agaknya gurumu merasa penasaran dan ingin mencoba

kesaktian Ki Rangga,” sela Ki Gede kemudian dengan serta merta.

“Ki Gede benar,” jawab Acarya sambil mengangguk, “Pada

awalnya hanya aku yang diajak untuk mencari Ki Rangga di

perdikan Matesih.”

“Bagaimana dengan kedua saudaramu yang lain,” desak Ki Wiyaga

kemudian.

Sejenak Acarya menarik nafas dalam dalam. Namun dia merasa

sudah tidak ada gunanya lagi bersembunyi. Dia sama sekali sudah

tidak mempunyai sandaran yang kuat. Maka jawabnya kemudian,

“Pada saat kami datang di rumah Ki Dukuh menjelang tengah

malam, ada seseorang yang berusaha menyadap pembicaraan

kami sehingga guru telah memerintahkan adi Brajayekti dan adi

Panengah untuk melacak keberadaan orang itu dan sekaligus

menghabisinya.”

Berdesir dada kedua orang itu mendengar penjelasan Acarya. Ki

Gede lah yang kemudian bertanya, “Siapakah yang engkau

maksud dengan seseorang itu?”

Kembali Acarya menarik nafas dalam terlebih dahulu sebelum

menjawab. Kejadian malam itu memang telah menyisakan

penyesalan yang dalam dengan terbunuhnya Brajayekti.

“Yang mencoba menyadap pembicaraan kami adalah Jagabaya

dukuh Klangon,” jawab Acarya yang membuat Ki Gede dan Ki

Wiyaga terkejut.

33

Page 37: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Jagabaya dukuh Klangon?” hampir bersamaan kedua orang itu

mengulang dengan wajah yang menegang.

“Ya, tetapi dia berhasil lolos bahkan telah membunuh adi

Brajayekti,” lanjut Acarya kemudian tanpa menghiraukan kedua

orang itu yang menjadi tegang, “Namun aku yakin, Jagabaya itu

pun akhirnya akan mati juga. Dia melarikan diri dengan luka

arang kranjang di sekujur tubuhnya.”

Ki Gede dan Ki Wiyaga menjadi sedikit gelisah. Ki Jagabaya

dukuh Klangon adalah salah satu orang di padukuhan Klangon

yang menentang pengaruh Trah Sekar Seda Lepen dan

berseberangan dengan atasannya, Ki Dukuh Klangon.

“Dimanakah sekarang Ki Jagabaya dukuh Klangon?” desis Ki

Wiyaga kemudian tanpa sadar.

“Mungkin dia telah mati kehabisan darah di pategalan dekat

rumah Ki Dukuh,” jawab Acarya sambil lalu yang membuat wajah

Ki Wiyaga memerah. Namun Ki Wiyaga segera menyadari jika apa

yang disampaikan Acarya itu mungkin saja bisa terjadi.

“Baiklah Acarya,” berkata Ki Gede kemudian, “Kami akan

mempertimbangkan peranmu dalam peristiwa yang baru saja

terjadi di banjar padukuhan tadi pagi. Percayalah, kami tidak akan

menghukum orang yang tidak bersalah dan hanya ikut ikutan saja.

Untuk sementara engkau akan kami pindahkan ke Griya

Dharmamesti sambil menunggu keputusan.”

Acarya tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang tertunduk

dalam-dalam. Berbagai penyesalan pun merajam dadanya.

Namun dia hanya dapat pasrah terhadap jantraning ngaurip yang

akan membawanya entah ke mana.

34

Page 38: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Ki Wiyaga,” berkata Ki Gede kemudian kepada kepala pengawal

Matesih itu, “Sore ini Acarya segera dipindah ke Griya

Dharmamesti. Beberapa saat yang lalu Ki Jagabaya Matesih juga

telah dipindahkan ke sana.”

“Ki Jagabaya Matesih?” bertanya Ki Wiyaga dengan suara sedikit

meragu sambil pandangan matanya menatap Ki Gede.

Ki Gede menarik nafas dalam sambil berdesis perlahan,

“Pengaruh Trah Sekar Seda Lepen itu memang telah banyak

menimbulkan korban, salah satunya adalah Ki Jagabaya Matesih

yang secara terang terangan ingin menculik Ratri. Untunglah ada

murid Ki Ajar Mintaraga yang telah berhasil menggagalkannya.”

Tampak kepala Ki Wiyaga terangguk anguuk. Dalam hati

pemimpin pengawal Matesih itu pun berkata, “Pantas selama ini

Ki Jagabaya selalu berseberangan pendapat denganku dan dengan

para bebahu Matesih yang lain.”

Namun Ki Wiyaga hanya membatin dalam hati. Tidak sampai

mengungkapkannya di hadapan Ki Gede.

Demikianlah, setelah Ki Wiyaga mengikat kedua tangan Acarya

kembali kebelakang tiang di tengah bilik itu, kedua orang itu pun

kemudian meninggalkan bilik.

“Selaraklah yang kuat dari luar bilik dan awasi jangan sampai

tawanan ini meloloskan diri!” perintah Ki Gede kemudian kepada

kedua pengawal yang berjaga sebelum meninggalkan tempat.

“Siap Ki Gede!” jawab kedua pengawal itu hampir bersamaan

sambil mengangguk hormat.

Dalam pada itu Matahari telah semakin condong ke arah barat.

Sinarnya yang kekuning kuningan telah menimpa pucuk pucuk

35

Page 39: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

dedaunan serta lereng lerang bukit sehingga alam terlihat

bertabur warna kuning keemasan indah mempesona.

Dalam pada itu, para pengawal yang sedang bertugas jaga di

banjar padukuhan ternyata telah diganti dengan pengawal yang

baru. Para pengawal yang bertugas jaga semenjak pagi, menjelang

Matahari terbenam telah digantikan oleh pengawal baru yang

bertugas jaga malam.

Ketika Matahari kemudian benar benar telah terbenam dan langit

Matesih telah diliputi oleh kegelapan. Beberapa orang tampak

sedang berkumpul di ruang pringgitan.

Ki Rangga dan kawan kawan kecuali Glagah Putih yang sedang

sakit telah selesai menunaikan kewajiban mereka selaku hamba

kepada Sang Pencipta. Setelah makan malam di ruang tengah

bersama Ki Gede dan Ratri, mereka pun kemudian berkumpul di

ruang pringgitan.

“Apakah Ki Kamituwa perlu kita tunggu, Ki Gede?” bertanya Ki

Rangga kemudian begitu melihat Ki Gede yang terlihat sedikit

gelisah.

“Sebaiknya memang demikian, Ki Rangga,” jawab Ki Gede sambil

melemparkan pandangan matanya ke arah pintu pringgitan yang

terbuka sejengkal, “Sebelum selesai pemakaman tadi aku sudah

memberitahu Ki Kamituwa untuk hadir di banjar selepas Matahari

terbenam.”

Orang orang yang hadir di tempat itu pun tampak mengangguk

anggukkan kepala.

Namun ternyata mereka tidak harus menunggu lama. Sejenak

kemudian terdengar langkah langkah yang sedikit bergegas

menyeberangi pendapa. Ketika pintu pringgitan yang sudah

36

Page 40: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

terbuka sejengkal itu terdengar berderit, seraut wajah pun muncul

dari balik pintu.

“Apakah aku sudah terlambat?” bertanya Ki Kamituwa yang

kemudian membuka pintu pringgitan dan melangkah masuk.

“O, tidak tidak,” jawab Ki Gede sambil sedikit beringsut memberi

tempat duduk kepada babahunya itu, “Duduklah Ki Kamituwa.”

“Terima kasih Ki Gede,” sahut Ki Kamituwa kemudian sambil

mengangguk dan tersenyum ke arah orang orang yang terlebih

dahulu sudah hadir di ruangan itu.

“Silahkan Ki Kamituwa,” Ki Rangga dan Ki Waskita pun hampir

bersamaan telah mempersilahkan.

Setelah Ki Kamituwa mengambil tempat duduk di sebelah Ki

Gede, barulah Ki Gede memulai pertemuan itu.

“Ki Rangga,” berkata Ki Gede kemudian membuka pertemuan,

“Sebelumnya tidak bosan bosannya aku mewakili seluruh kawula

Matesih untuk mengucapkan ribuan terima kasih atas bantuan Ki

Rangga dan kawan kawan. Perdikan Matesih sampai saat ini

masih berdiri kokoh tidak kurang suatu apapun adalah berkat

pertolongan Ki Rangga dan kawan kawan.”

“Ah, semua itu sudah menjadi kewajiban kami Ki Gede,” sahut Ki

Rangga dengan serta merta, “Namun apa yang kita raih sampai

saat ini tentu tidak terlepas dari pertolongan dan rahmat dari

Yang Maha Agung.”

“Apa yang sampaikan oleh Ki Rangga benar adanya,” sahut Ki

Waskita sambil mengangguk anggukkan kepalanya, “Kadangkala

dalam kehidupan keseharian, kita terlalu percaya dengan

kemampuan dan kekuatan sendiri sehingga telah lupa akan kuasa

37

Page 41: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Yang Maha Agung yang menentukan mobah mosiking jagad kang

gumelar ini.”

Orang-orang yang hadir di tempat itupun tampak mengangguk

anggukkan kepala mereka. Sejenak suasana menjadi sunyi.

Sesekali lamat lamat terdengar gelak tawa para penjaga regol

depan banjar padukuhan induk.

“Ki Rangga,” berkata Ki Gede kemudian memecah kesepian, “Jika

memang keadaan memungkinkan, rencananya besuk pagi pagi

sekali aku beserta Ratri dan beberapa pengawal akan berangkat ke

Menoreh.”

Sejenak Ki Rangga tampak mengedarkan pandangan matanya ke

arah sekelilingnya. Agaknya dia mencoba melihat kesan yang

tersirat di wajah orang orang tua itu. Namun baik Ki Jayaraga

maupun Ki Waskita tampak tenang tenang saja. Apalagi Ki Bango

Lamatan. Orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan

Cahya Warastra itu justru telah menundukkan wajahnya.

Bagaimanapun juga dia merasa enggan jika harus kembali ke

nDalem Kapangeranan, duduk terkantuk-kantuk sambil

menunggu perintah.

“Ki Gede,” berkata Ki Rangga pada akhirnya, “Aku memang

mempunyai kepentingan untuk menghadap Ki Patih secepatnya.

Selain untuk memberikan laporan terkait telah jatuhnya

padepokan Sapta Dhahana, aku juga akan melaporkan tentang

gerakan Trah Sekar Seda Lepen yang menuju lembah antara

Merapi dan Merbabu. Sebelum gerakan Trah Sekar Seda Lepen itu

menjadi kuat, Mataram harus segera mengambil sikap.”

“Jadi, Ki Rangga akan menemani kami ke Menoreh?” bertanya Ki

Gede dengan nada sedikit meragu.

38

Page 42: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Ki Rangga mengangguk. Jawabnya kemudian, “Benar Ki Gede,

aku dan Ki Bango Lamatan akan menemani perjalanan Ki Gede.

Aku sarankan tidak usah membawa pengawal terlalu banyak agar

perjalanan rombongan kita nantinya tidak terlalu menarik

perhatian.”

“Mungkin dua atau tiga pengawal cukup,” sahut Ki Gede

kemudian, “Mereka yang nantinya akan menemani aku kembali ke

Matesih.”

“Ayah langsung kembali ke Matesih?” tiba tiba terdengar desis

lirih dari balik punggung Ki Gede. Orang orang yang hadir di

ruangan itupun maklum, tentu Ratri yang bertanya kepada

ayahnya.

“Nduk, aku tidak dapat berlama lama meninggalkan perdikan

Matesih,” jawab Ki Gede tak kalah lirihnya sambil berpaling ke

belakang, “Setelah engkau diterima menjadi murid Nyi Sekar

Mirah, sebaiknya memang aku segera kembali ke Matesih.”

“Tentu bukan urusan perdikan Matesih yang memberati hati ayah,

tapi janda beranak satu itu yang membuat ayah ingin segera

pulang,” membatin Ratri dalam hati sambil menundukkan

wajahnya dalam dalam agar ayahnya tidak dapat menangkap

kesan di wajahnya.

“Engkau sudah bukan kanak kanak lagi,” kembali ayahnya

berdesis pelahan sambil menengok sekilas, ”Ayah tidak harus

menungguimu siang dan malam di Menoreh.”

“Tentu saja ayah lebih senang menunggui janda beranak satu itu

dari pada menunggui aku,” kata kata itu hampir saja terlontar dari

mulutnya. Namun kesadarannya segera mencegahnya sehingga

Ratri pun menjadi sedikit tersedak.

39

Page 43: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Ki Rangga,” berkata Ki Gede kemudian sambil mengarahkan

pandangan matanya ke Senapati pasukan khusus Mataram yang

berkedudukan di Menoreh itu, “Selama perdikan Matesih aku

tinggal, aku mohon Ki Jayaraga dan Ki Waskita membantu Ki

Kamituwa untuk mengawasi keadaan dan sekaligus membantu

jika timbul permasalahan yang di luar dugaan.”

“O, dengan senang hati Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga dengan serta

merta, “Sudah lama aku merindukan menjadi bebahu sebuah

kademangan atau perdikan. Setidaknya tenaga tuaku ini masih

dibutuhkan dari pada hanya duduk terkantuk kantuk menunggu

burung di sawah.”

“Ah,” semua yang mendengar kelakar Ki Jayaraga tertawa. Ki

Bango Lamatanlah yang kemudian menyahut, “Salah Ki Jayaraga

sendiri, mengapa burung burung yang berada di sawah itu di

tunggu? Jika Ki Jayaraga takut mereka akan mencuri padi, usir

saja mereka jauh jauh. Nah, setelah semua burung pergi, Ki

Jayaraga dapat tidur pulas di dalam gubuk.”

“Ah,” Ki Jayaragatertawa pendek. Jawabnya kemudian, “mengusir

burung burung di sawah adalah pekerjaan yang sangat sulit. Jika

aku mengusir yang berada di selatan, yang di utara akan datang

menyerbu. Demikian aku ganti mengusir yang datang dari arah

utara, yang dari arah lain berdatangan. Benar benar melelahkan.”

“Bukankah Ki Jayaraga dapat membuat orang orangan di sawah?”

sela Ki Waskita sambil tersenyum.

“Orang orangan di sawah itu tidak banyak membantu,” jawab Ki

Jayaraga setengah menggerutu, “Mereka hanya takut sekejap dan

kemudian kembali lagi.”

Orang orang yang di ruangan itu pun kembali tertawa.

40

Page 44: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Sudahlah,” berkata Ki Rangga kemudian, “Agaknya di perdikan

Matesih ini Ki Jayaraga dapat melamar pekerjaan sebagai bebahu

perdikan Matesih,” Ki Rangga berhenti sebentar. Kemudian

sambil berpaling ke arah Ki Gede, dia melanjutkan, “Bukankah

begitu Ki Gede?”

“O, tentu tentu,” sahut Ki Gede cepat, “Kami akan sangat

bersenang hati mendapat tenaga baru sebagai tambahan bebahu

di perdikan Matesih ini.”

Tiba-tiba Ki Jayaraga memandang dengan sungguh sungguh ke

arah Ki Gede sambil bertanya, “Jabatan apakah kira kira yang

akan Ki Gede berikan kepadaku?”

Untuk sejenak Ki Gede berpikir. Jawabnya kemudian sambil

tersenyum, “Ki Jayaraga akan aku beri jabatan sebagai Jagatirta.”

“Ah,” desah Ki Jayaraga kemudian sambil tersenyum kecut, “Itu

sama saja. Ujung ujungnya aku harus tetap mengurusi sawah dan

burung burung pencuri padi itu.”

Kembali orang orang yang di ruangan itu tergelak.

Tiba-tiba terdengar pintu ruang tengah berderit. Sejenak

kemudian tiga orang perempuan muncul dengan masing masing

membawa nampan yang berisi makanan dan minuman.

Setelah ketiga perempuan tadi selesai meletakkan makanan dan

minuman, ketiganya pun kemudian segera mengundurkan diri.

“Ki Rangga,” berkata Ki Gede kemudian begitu bayangan ketiga

perempuan itu hilang di balik pintu, “Aku akan melaporkan

perkembangan terakhir yang terjadi di perdikan Matesih. Jika Ki

Rangga dan kawan kawan tidak berkeberatan, sudilah kiranya

memberikan pertimbangan.”

41

Page 45: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“O, tentu saja Ki Gede. Kami dengan senang hati akan

membantu,” sahut Ki Rangga cepat. Kawan kawan Ki Rangga yang

lain pun tampak mengangguk anggukkan kepala mereka.

Untuk sejenak Ki Gede tampak menegakkan punggungnya sambil

menarik nafas dalam dalam. Katanya kemudian, “Kami telah

menawan salah seorang murid goa Langse yang bernama putut

Acarya,” Ki Gede berhenti sejenak untuk melihat tanggapan orang

orang yang hadir di pringgitan itu. Ketika mereka tampak hanya

menunggu, Ki Gede pun melanjutkan, “Pagi tadi ketika aku dan

rombongan termasuk Ki Bango Lamatan datang di bajar ini, para

penjaga regol depan sedang kesulitan menghadapi seorang

pengacau yang mengaku sebagi murid goa Langse. Setelah orang

itu berhasil dilumpuhkan, dia kemudian kami tawan dan sore tadi

telah dipindah ke Griya Darmamesti.”

Ki Rangga dan kawan kawan tampak mengerutkan keningnya. Ki

Bango Lamatan yang ikut rombongan Ki Gede tadi pagi pun juga

telah melupakan peristiwa di depan regol itu karena perhatiannya

tercurah pada pertempuran yang dahsyat di belakang banjar.

“Bagaimana keadaan tawanan itu sekarang Ki Gede?” bertanya Ki

Rangga kemudian setelah sejenak mereka terdiam.

“Tawanan itu baik baik saja Ki Rangga,” jawab Ki Gede kemudian

sambil beringsut sejengkal, “Namun dari hasil penyelidikan,

ternyata Pertapa goa Langse dan murid-muridnya itu ada

hubungannya dengan Trah Sekar Seda Lepen.”

“He?!” hampir semua orang terkejut kecuali Ratri. Gadis puteri

Matesih itu sama sekali tidak mengikuti arah pembicaraan

ayahnya. Pikirannya sedang terbuai dengan rencana

keberangkatannya ke perdikan Menoreh besuk pagi.

42

Page 46: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Alangkah senangnya melakukan perjalanan di antara sawah dan

ladang serta bulak bulak panjang di daerah daerah yang belum

pernah aku kunjungi,” membatin Ratri sambil menundukkan

wajahnya dalam dalam. Tampak bibirnya yang bak manggis

karengat itu tak henti hentinya tersenyum-senyum.

“Benar Ki Rangga,” berkata Ki Gede selanjutnya, “Lebih tepatnya

lagi, kedatangan mereka jauh jauh dari pantai Selatan adalah

untuk bergabung dengan padepokan Sapta Dhahana.”

“Dan ternyata mereka mendengar Sapta Dhahana telah jatuh,”

sahut Ki Rangga cepat.

“Benar Ki Rangga,” kembali Ki Gede melanjutkan keterangannya,

“Menurut pengakuan tawanan itu, mereka mengetahui keadaan

Sapta Dhahana dari Ki Dukuh Klangon.”

“Ki Dukuh Klangon?” Ki Rangga dan kawan kawannya pun

terperanjat. Mereka memang mempunyai kenangan yang sangat

pahit ketika bermalam di banjar padukuhan Klangon.

“Ki Dukuh Klangon dan beberapa bebahu padukuhan adalah

korban janji janji dari Trah Sekar Seda Lepen,” berkata Ki Gede

kemudian yang membuat mereka yang hadir di pringgitan itu

terangguk angguk, “Kecuali Ki Jagabaya dukuh Klangon yang

telah membantu menghubungkan aku dengan Ki Rangga dan

kawan kawan saat itu.”

Ki Rangga dan orang orang tua itu pun segera teringat pertemuan

mereka pertama kali dengan Ki Gede karena jasa dari Ki Jagabaya

dukuh Klangon.

“Menurut cerita putut Acarya, ternyata Ki Jagabaya dukuh

Klangon semalam telah bertempur dengan kedua murid goa

43

Page 47: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Langse itu dan terluka cukup parah,” sambung Ki Gede kemudian

yang membuat mereka yang hadir di tempat itu terkejut.

“Bagaimana itu bisa terjadi?” bertanya Ki Bango Lamatan

kemudian sambil tangannya meraih minuman dan mereguknya.

Ki Gede pun kemudian segera menceritakan apa yang telah

disampaikan oleh Acarya.

“Kasihan Ki Jagabaya dukuh Klangon,” tanpa sadar Ki Jayaraga

berdesis perlahan, “Dimanakah kira kira Ki Jagabaya dukuh

Klangon sekarang?”

Sejenak mereka yang berada di dalam pringgitan itu saling

berpandangan. Namun Ki Waskita lah yang kemudian

menemukan jawaban yang tepat, “Semoga Yang Maha Agung

selalu memberikan perlindungan kepada Ki Jagabaya.”

Segera saja terdengar tarikan nafas yang dalam dari mereka yang

hadir di tempat itu.

“Ki Gede,” berkata Ki Rangga kemudian setelah sejenak mereka

terdiam, “Langkah apakah yang akan Ki Gede ambil terhadap

padukuhan Klangon selanjutnya?”

Ki Gede menggeleng sambil berdesis, ”Padukuhan Klangon tidak

termasuk dalam wilayah perdikan Matesih sehingga aku tidak

berhak mencampuri urusan mereka.”

“Jadi padukuhan Klangon tidak di bawah Matesih?” bertanya Ki

Jayaraga kemudian menegaskan.

“Tidak Ki Jayaraga, padukuhan Klangon dan Salam serta beberapa

padukuhan kecil yang tersebar di sebelah utara kali Krasak adalah

di bawah kademangan Salam,” jawab Ki Gede kemudian yang

44

Page 48: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

disambut dengan anggukan kepala oleh mereka yang hadir di

pringgitan itu.

“Justru Ki Rangga dan kawan kawanlah yang mungkin

mempunyai kewajiban untuk menghukum atau setidaknya

menegur padukuhan Klangon,” berkata Ki Gede kemudian, “Atas

nama Mataram dan tugas yang Ki Rangga emban beserta kawan

kawan, Ki Rangga dapat memberikan teguran kepada Ki Dukuh

Klangon.”

Tampak semua mata tertuju kepada Ki Rangga. Ki Rangga pun

tanggap, maka katanya kemudian sambil menggeleng, “Sebaiknya

kita tidak usah mampir ke padukuhan Klangon dalam perjalanan

besuk pagi. Dengan jatuhnya Padepokan Sapta Dhahana dan telah

menyingkirnya Trah Sekar Seda Lepen berserta sisa-sisa cantrik

padepokan Sapta Dhahana dari gunung Tidar, Ki Dukuh sudah

tidak mempunyai kekuatan sama sekali.”

“Aku setuju Ki Rangga, biarlah persoalan Ki Dukuh Klangon

menjadi perhatian kademangan Salam” sahut Ki Waskita dengan

serta merta.

Semua kepala terlihat terangguk angguk kecuali Ratri. Dengan

kening berkerut dia mencoba mengangkat wajahnya untuk

memandang orang yang bernama Ki Rangga itu. Namun dengan

cepat dia segera membuang wajahnya begitu Ki Rangga tanpa

sengaja juga sedang memandangnya.

“Ah,” membantin Ratri kemudian, “Untung Ki Rangga tidak

setuju. Jika masih harus mampir di padukuhan Klangon, kapan

sampainya di Menoreh? Ayah ini ada ada saja.”

Namun puteri Matesih yang menginjak dewasa dengan segala

kelebihannya itu hanya dapat menggerutu dalam hati.

45

Page 49: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Nah, apakah masih ada masalah yang ingin kita bicarakan lagi?”

bertanya Ki Rangga kemudian sambil berpaling ke arah Ki Gede.

Ki Gede yang mendapat pertanyaan itu justru telah berpaling ke

arah Ki Kamituwa.

Ki Kamituwa yang tanggap segera beringsut setapak ke depan.

Setelah membenahi letak kain panjangnya, Ki Kamituwa pun

kemudian menganggukkan kepalanya terlebih dahulu sebelum

menjawab.

“Ki Rangga,” jawab Ki Kamituwa kemudian, “Aku mempunyai

saran. Keberangkatan rombongan ke Mataram besuk pagi

sebaiknya tidak usah banyak yang mengetahuinya. Aku khawatir

ada pihak pihak yang akan memanfaatkan kekosongan perdikan

Matesih ini. Bukan berarti aku meragukan bantuan dari Ki

Waskita dan Ki Jayaraga yang tinggal di Matesih ini. Namun

dengan kepergian Ki Gede beserta rombongan meninggalkan

Matesih untuk beberapa lama, mungkin akan ada pihak pihak

tertentu yang akan memanfaatkan kekosongan Matesih, terutama

kepergian Ki Rangga.”

“Ki Kamituwa benar,” Ki Gede lah yang dengan serta merta

menyahut, “Kepergian rombongan ini besuk pagi harus kita

usahakan tidak banyak yang mengetahuinya. Kita dapat berangkat

pagi pagi sekali sebelum Matahari benar benar terbit sehingga

ketika sudah benar benar terang tanah, rombongan sudah sampai

di luar perdikan Matesih.”

Tampak semua kepala terangguk angguk. Diam diam Ki Rangga

memuji ketelitian dan kejelian orang tua itu dalam membaca

keadaan di Matesih. Memang kemungkinan itu ada walaupun

dapat dikatakan sangat kecil. Namun jika berita kepergiannya dari

perdikan Matesih itu sampai ke telinga Trah Sekar Seda Lepen,

tidak menutup kemungkinan pasukan cantrik Sapta Dhahana

46

Page 50: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

yang sudah meninggalkan gunung Tidar akan memutar haluan

dan memutuskan untuk menyerang Matesih. Jika hal itu benar

benar terjadi, Matesih tentu akan dilanda banjir bandang dan

tumpes tapis warata bumi.

“Baiklah,” berkata Ki Rangga kemudian setelah sejenak mereka

terdiam, “Pertimbangan seperti itu memang perlu. Namun aku

kira itu tidak perlu Ki Gede. Menurut perhitunganku, pasukan

cantrik Sapta Dhahana dan Trah Sekar Seda Lepen itu sekarang

ini pasti sudah jauh meninggalkan gunung Tidar. Mereka tidak

mungkin atau kecil kemungkinannya meninggalkan seorang

pengawas atau petugas sandi untuk mengamati keadaan perdikan

Matesih. Mereka sudah tidak mempunyai kepentingan lagi dengan

perdikan Matesih. Mereka sudah memutuskan untuk bergabung

dengan padepokan Panembahan Agung di lembah antara Merapi

dan Merbabu,” Ki Rangga berhenti sejenak untuk sekedar

mengambil nafas. Lanjutnya kemudian, “Namun tidak ada

jeleknya langkah langkah pengamanan tetap kita ambil.”

“Aku setuju,” sahut Ki Waskita dengan serta merta, “Memang

menurut perhitungan, semua itu dapat saja terjadi. Namun aku

yakin sebagaimana angger juga telah yakin bahwa pasukan cantrik

Sapta Dhahana itu pasti sudah jauh meninggalkan gunung Tidar.

Jika mereka mendengar berita kepergian angger dari Matesih ini

dan ingin berbalik untuk menyerang Matesih, mereka tentu

memerlukan waktu dan aku bersama Ki Jayaraga masih ada

waktu untuk menyusun rencana.”

“Ki Waskita benar,” sahut Ki Rangga kemudian sambil

mengangguk angguk, “Kita juga dapat menempatkan beberapa

pengawal yang bertindak sebagai petugas sandi di sekitar gunung

Tidar untuk memantau jika pasukan cantrik Sapta Dhahana itu

memutuskan untuk kembali.”

47

Page 51: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Aku sangat setuju, Ki Rangga,” Ki Kamituwa ternyata juga ikut

memberikan pendapatnya, “Aku kira itu adalah jalan yang terbaik.

Aku akan memerintahkan Ki Wiyaga untuk menempatkan

beberapa pengawas di sekitar gunung Tidar dengan membawa

perlengkapan panah sendaren dan panah api, agar apa yang

mereka lihat dapat segera disampaikan ke Matesih.”

Untuk sejenak orang orang yang hadir di ruangan itu terlihat

terangguk-angguk. Mereka sekarang menjadi yakin seandainya

berita kepergian Ki Gede dan Ki Rangga itu tercium oleh Trah

Sekar Seda Lepen, perdikan Matesih masih cukup waktu untuk

mempersiapkan diri.

Untuk sejenak suasana menjadi sepi. Masing masing sedang

terbuai oleh lamunan tentang kemungkinan kemungkinan yang

dapat terjadi di perdikan Matesih beberapa hari ke depan.

“Di manakah Ki Wiyaga?” tiba-tiba pertanyaan Ki Waskita

membangunkan lamunan mereka.

“Ki Wiyaga dan pasukan pengawal yang baru datang tadi pagi

mendapat istirahat barang dua hari,” jawab Ki Gede kemudian

sambil berpaling ke arah Ki Waskita, “Mungkin baru lusa Ki

Wiyaga akan bertugas kembali.”

Ki Waskita pun mengangguk-angguk. Demikian juga orang orang

yang hadir di ruangan itu.

“Ki Gede,” berkata Ki Rangga kemudian setelah sejenak mereka

berdiam diri, “Besuk pagi kita dapat meninggalkan perdikan

matesih dengan tenang,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya

kemudian, “Selain itu, aku yakin dengan keberadaan Ki Waskita

dan Ki Jayaraga di perdikan ini, akan dapat mrantasi segala

permasalahan yang mungkin timbul.”

48

Page 52: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Ah,” hampir bersamaan Ki Waskita dan Ki Jayaraga tertawa

masam. Ki Jayaraga lah yang kemudian menyahut, “Itu

tergantung masalah apa yang timbul kemudian? Jika masalah

pengairan di sawah serta burung burung yang banyak mencuri

bulir bulir padi, mohon dimaafkan aku sudah lama

mengundurkan diri.”

Segera saja gelak tawa kembali memenuhi ruangan itu.

“Ah, sudahlah,” berkata Ki Rangga kemudian sambil memandang

ke sekitarnya, “Aku rasa pertemuan malam ini sudah cukup.

Besuk pagi pagi sekali sebelum Matahari terbit, aku harap yang

telah kita sepakati bersama malam ini dapat dilaksanakan.”

Terlihat setiap kepala pun terangguk angguk.

“Setiap pribadi mempunyai tanggung jawab sendiri sendiri. Aku

berharap rencana yang sudah kita susun bersama ini, dapat

terlaksana dan berjalan dengan ridho dan seijin Yang Maha

Agung,” lanjut Ki Rangga kemudian.

Sekali lagi mereka yang hadir di ruang itupun terangguk-angguk.

Demikianlah pertemuan itu segera bubar. Ki Gede dan Ratri

memilih tidur di gandhok kanan. Sementara Ki Jayaraga dan Ki

Bango Lamatan segera kembali ke bilik Glagah Putih. Sedangkan

Ki Rangga dan Ki Waskita masih tampak berbincang bincang

dengan Ki Kamituwa.

“Ki Rangga,” berkata Ki Kamituwa kemudian sambil menegakkan

punggungnya, “Aku rasa sudah cukup. Besuk pagi-pagi aku akan

mengutus salah satu pengawal untuk menghubungi Ki Wiyaga

walaupun dia masih mendapat istirahat setelah bertugas di

gunung Tidar. Namun penempatan beberapa pengawal sebagai

49

Page 53: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

pengawas atau petugas sandi di gunung Tidar itu harus sesegera

mungkin.”

“Benar Ki Kamituwa,” sahut Ki Rangga dengan serta merta,

“Sebaiknya besuk pagi pagi sekali sudah harus ada pengawal yang

diberangkatkan.”

“Baik Ki Rangga,” Ki Kamituwa berhenti sejenak. Lanjutnya

kemudian, “Berhubung malam sudah cukup larut, aku akan

mohon pamit.”

“O, silahkan silahkan,” jawab Ki Rangga dan Ki Waskita hampir

bersamaan.

“Kami juga akan beristirahat,” lanjut Ki Rangga kemudian.

Ketika Ki Kamituwa bangkit berdiri, kedua orang itu pun

kemudian ikut bengkit berdiri.

Demikianlah setelah Ki Kamituwa hilang di balik pintu pringgitan,

kedua orang itu pun kemudian segera melangkah meninggalkan

pringgitan menuju ke bilik di ruang tengah untuk beristirahat.

Dalam pada itu, malam semakin dalam menuju ke puncaknya.

Beberapa pengawal yang sedang bertugas jaga tampak berjalan

mondar mandir di depan pintu gerbang untuk menghilangkan

kantuk. Sementara pemimpin jaga malam itu telah mengajak dua

orang pengawal untuk mengadakan ronda keliling banjar.

Ki Rangga yang sudah terlelap sejenak terbangun ketika dia

mendapatkan Ki Waskita tidak ada di amben sebelahnya. Dengan

perlahan Ki Rangga bangkit dan kemudian duduk di bibir

pembaringan. Udara malam itu memang terasa cukup panas

sehingga kemungkinannya Ki Waskita telah keluar bilik untuk

sekedar mencari angin.

50

Page 54: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Dengan perlahan Ki Rangga pun kemudian bangkit berdiri dan

berjalan ke arah pintu bilik yang terlihat tidak diselarak dari

dalam.

“Kemanakah Ki Waskita?” bertanya Ki Rangga dalam hati sambil

membuka pintu. Terlihat ruang dalam banjar yang sepi dan

remang. Sebuah dlupak yang nyalanya redup tampak di atas ajug

ajug di pojok ruangan.

Ki Ranggapun kemudian meneruskan langkahnya menyeberangi

ruang dalam untuk memasuki pringgitan. Namun panggraita Ki

Rangga segera terusik ketika dia mendengar suara orang terbatuk

batuk kecil dari arah longkangan.

“Ki Waskita agaknya,” gumam Ki Rangga dalam hati sambil

berbelok tidak jadi memasuki pringgitan. Begitu melihat pintu

butulan yang tembus ke longkangan itu terlihat tidak diselarak, Ki

Rangga pun maklum bahwa Ki Waskita beberapa saat yang lalu

mungkin keluar ke longkangan lewat pintu itu.

Dengan setengah bergegas Ki Rangga segera menghampiri pintu

butulan. Ketika dia kemudian mendorong pintu itu, terdengar

derit perlahan dan suara seseorang yang bergumam di luar sana.

“Aku di sini, ngger,” tiba-tiba terdengar suara perlahan di sebelah

kiri pintu butulan ketika Ki Rangga menjengukkan kepalanya. Ki

Rangga pun tersenyum sambil melangkah keluar.

Setelah menutup pintu butulan terlebih dahulu, Ki Rangga pun

kemudian ikut duduk di amben besar yang berada di longkangan

itu.

“Udara terlalu panas,” desis Ki Waskita kemudian, “Aku melihat

angger yang tertidur lelap sehingga aku tidak sampai hati untuk

mengganggu.”

51

Page 55: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Ya, ngger,” sahut Ki Waskita cepat, “Memang di dalam kitab Empu

Pahari itu tertulis laku terakhir dari aji pengangen-angen….

52

Page 56: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Ah,” Ki Rangga berdesah perlahan. Sahutnya kemudian, “Aku

memang menyempatkan untuk beristirahat sejenak Ki Waskita.

Besuk perjalanan kami cukup jauh walaupun sebenarnya jika

kami berpacu kencang di atas kuda-kuda pilihan, waktunya tidak

sampai menjelang sore sudah memasuki tlatah kota Raja. Namun

aku harus memikirkan Ratri, dia mungkin belum terbiasa berpacu

kencang di atas punggung kuda.”

“Ya ngger,” berkata Ki Waskita menambahi, “Angger Sedayu tidak

usah tergesa-gesa melakukan perjalanan besuk pagi. Aku yakin

tidak sampai waktu sirep bocah, angger beserta rombongan sudah

sampai di istana Kepatihan.”

Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayang

perjalanan yang sangat lambat. Namun dia harus bisa

menyesuaikan dengan putri satu satunya Ki Gede Matesih itu.

Bahkan tidak menutup kemungkinan mereka nantinya harus

beristirahat beberapa kali sebelum memasuki Mataram.

“Sebaiknya rombongan beristirahat di tepian kali Krasak,” berkata

Ki Rangga dalam hati sambil mengangguk-anggukkan kepalanya,

“Semoga dengan telah jatuhnya padepokan Sapta Dhahana, tidak

ada lagi orang orang yang mengatas-namakan pengikut Trah

Sekar Seda Lepen untuk mencari derma dan bantuan kepada

orang-orang yang lewat.”

“Ngger,” tiba tiba suara Ki Waskita membangunkan Ki Rangga

dari lamunannya, “Sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku

bicarakan sehubungan dengan peringatan yang telah disampaikan

oleh Pertapa tua itu melalui Ki Jayaraga.”

Untuk sejenak Ki Rangga termenung. Berbagai persoalan pun hilir

mudik di dalam benaknya.

53

Page 57: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga pada akhirnya, “Sebenarnya jauh

di dasar hatiku, sudah lelah dan jenuh dengan urusan dendam

yang tidak berkesudahan ini. Aku ingin hidup sewajarnya dalam

bingkai sebuah rumah tangga yang sederhana dan damai.”

Tampak kening ayah Rudita itu berkerut merut. Katanya

kemudian menanggapi, “Semua orang mempunyai keinginan

hidup damai. Namun sebagaimana angger ketahui sendiri,

keadaan di negeri ini tidak pernah damai. Perang silih berganti.

Perebutan kekuasaan selalu mewarnai pergantian pemimpin di

negeri ini,” Ki Waskita berhenti sejenak untuk sekedar menarik

nafas. Lanjutnya kemudian, “Angger Sedayu telah menetapkan

langkah dan membulatkan tekad untuk ikut mengambil peran

dalam setiap jejak sejarah di negeri ini. Sejak Panembahan

Senapati sampai sekarang, angger Sedayu telah menjadi bagian

dari prajurit Mataram yang harus menerima akibat yang timbul

dari setiap perintah dan kebijakan yang diambil oleh Mataram.”

Kembali Ki Rangga termenung. Ingatan Ki Rangga pun segera

terlempar ke masa lalu ketika dia oleh kakak laki laki satu-satunya

dengan perintah yang keras untuk segera meninggalkan Sangkal

Putung, dan pilihan akhirnya jatuh pada padepokan Jati Anom.

Betapa dia dan gurunya dibantu oleh paman dan adik sepupunya

telah bahu membahu membangun padepokan Jati Anom yang

nantinya diharapkan akan menjadi masa depannya.

“Pada awalnya aku dan guru sudah mantap untuk menetap di

padepokan kecil itu,” angan angan Ki Rangga pun melayang ke

masa-masa awal berdirinya padepokan Jati Anom, “Namun Sekar

Mirah sama sekali tidak menunjukkan ketertarikannya, bahkan

seolah mencemooh usaha yang telah aku rintis demi merajut masa

depan bersama puteri Ki Demang Sangkal Putung itu.”

54

Page 58: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Kembali sebuah tarikan nafas panjang dan dalam dari Ki Rangga

terdengar. Sementara Ki Waskita yang duduk di sebelahnya

agaknya maklum dengan apa yang sedang bergolak di dalam dada

Senapati pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di

Menoreh itu.

“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian setelah sejenak

keduanya terdiam, “Sebenarnya aku ingin mengajukan purna

tugas dari keprajuritan lebih awal, mungkin setelah lawatan kita

ke perguruan Jalatunda di gunung Penanggungan.”

“Ngger,” sela Ki Waskita dengan serta merta, “Yang menjadi

prajurit adalah angger, namun semua kehidupan angger tidak

hanya terkait dengan dunia keprajuritan. Ingat, keluarga juga

perlu diajak berbicara dengan rencana angger ini. Sekar Mirah

harus tahu dengan rencana angger. Dan juga yang lebih penting

lagi angger Sedayu harus dapat menjelaskan alasan alasan yang

masuk akal serta semua itu demi kepentingan kebahagiaan angger

sekeluarga.”

Tampak kepala Ki Rangga terangguk-angguk. Di setiap waktu

luangnya, Ki Rangga memang selalu mencoba menimbang untung

ruginya untuk mengambil waktu purna tugas lebih cepat. Bukan

berarti dia menghindari tugas yang memang dirasakan semakin

hari semakin berat serta semakin banyak saja orang-orang yang

mendendamnya. Namun lebih dari itu, sebenarnya Ki Rangga

mulai tersentuh untuk menerima tawaran Kanjeng Sunan

beberapa saat yang lalu, untuk mengunjungi pesantren di gunung

Muria dan lebih memperdalam ilmu kasampurnaning ngaurip

sebagai bekal menuju alam kelanggengan.

“Ngger,” suara Ki Waskita yang terdengar perlahan dan sareh itu

telah membangunkan Ki Rangga dari lamunannya, “Jika memang

angger Sedayu mempunyai rencana seperti itu, aku hanya dapat

55

Page 59: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

mendoakan yang terbaik bagi keluarga angger. Namun yang ingin

aku bicarakan sekarang ini adalah persiapan angger untuk

sewaktu waktu menghadapi Pertapa tua itu.”

Sejenak Ki Rangga mendongakkan wajahnya. Dipandanginya atap

yang menghubungkan gandhok dengan banjar induk. Ketika Ki

Waskita kemudian terdengar bergumam perlahan, barulah Ki

Rangga menyadari bahwa orang tua itu sedang menunggu

jawabannya.

“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian, “Aku teringat akan

laku terakhir dari rangkaian aji pengangen angen yang telah aku

dalami. Jika ada waktu yang cukup panjang, sebenarnya aku ingin

menuntaskan laku terakhir itu.”

“Ya, ngger,” sahut Ki Waskita cepat, “Memang di dalam kitab

Empu Pahari itu tertulis laku terakhir dari aji pengangen angen.

Namun sejauh pengetahuanku, belum ada satu pun dari

perguruanku, termasuk guruku sendiri yang mampu menjalani

laku terakhir itu.”

Kembali Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam mendengar

keterangan Ki Waskita. Laku yang tertulis dalam kitab itu dan

telah terpahat di dinding hatinya memang sangatlah berat serta

memerlukan waktu yang panjang. Namun Ki Rangga yakin pasti

ada yang pernah mencoba menjalani laku itu walaupun mungkin

pada akhinya gagal di tengah jalan.

“Laku itu memang terlalu berat dan memakan waktu yang cukup

lama, sedangkan aku masih mengemban tugas yang cukup

banyak,” tanpa sadar Ki Rangga berdesis perlahan sambil

pandangan matanya menerawang ke kejauhan.

56

Page 60: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Ya, ngger,” berkata Ki Waskita menanggapi. Lanjutnya

kemudian, Tiga hari tiga malam tapa ngalong, kemudian

diteruskan dengan tapa kungkum dan yang terakhir pati geni. Jika

di jumlahkan semuanya menjadi sembilan hari sembilan malam

tanpa makan tanpa minum dan disertai lelaku yang sangat berat.”

Tampak wajah Ki Rangga yang berkerut merut. Sepertinya dia

sedang mengingat ingat sesuatu. Katanya kemudian sambil

tesenyum, “Ki Waskita, aku mempunyai jawabannya. Apakah Ki

Waskita masih ingat dengan Panembahan Senapati ketika masih

bernama Raden Sutawijaya?”

Ki Waskita mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Tentu

saja aku masih ingat, ngger. Semua orang di tanah ini akan selalu

mengingat Raden Sutawijaya yang kemudian bergelar

Panembahan Senapati ketika kemudian naik tahta.”

Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian

melanjutkan, “Ki Waskita mungkin masih ingat ketika aku pernah

menceritakan sebuah laku Raden Sutawijaya yang luar biasa di

hutan Gendari. Tepatnya di sendang telu.”

Untuk sejenak wajah tua itu tampak berkerut merut. Ki Waskita

berusaha mengumpulkan ingatannya di masa lalu ketika

Panembahan Senapati masih berusia muda.

“Rasa-rasanya memang aku ingat, ngger,” jawab Ki Waskita

kemudian sambil beringsut setapak, “Kalau aku tidak salah, pada

waktu itu angger Sedayu sendiri yang telah bercerita kepada kami,

maksudku aku, gurumu dan Ki Widura di padepokan Jati Anom.”

“Ki Waskita benar,” sahut Ki Rangga cepat dengan wajah yang

tersenyum cerah, “Aku masih ingat pada waktu itu. Betapa laku

57

Page 61: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

yang telah aku jalani yang waktunya hampir bersamaan dengan

laku Raden Sutawijaya ternyata sangat jauh berbeda, baik dalam

tingkat kesulitan maupun jenis laku itu sendiri.”

“Namun setiap laku yang kita jalani untuk tujuan tertentu tidak

dapat diperbandingkan, ngger,” sela Ki Waskita kemudian,

“Semua itu tergantung dari jenis ilmu yang kita pelajari dan kita

dalami. Laku Pati geni tiga hari tiga malam memang terdengar

lebih dasyat dari pada yang hanya sehari semalam. Namun semua

itu dikembalikan kepada niat dan tujuannya serta sejauh mana

diri kita ini bisa pasrah kepada Yang Maha Hidup, sumber dari

segala sumber kehidupan di alam semesta ini.”

Tampak kepala Ki Rangga terangguk angguk. Sebelum Ki Rangga

menanggapi, ternyata Ki Waskita telah melanjutkan kata katanya,

“Ngger, apa yang dilakukan oleh Raden Sutawijaya pada saat itu

sangatlah berbahaya. Apalagi dia seorang diri saja di hutan

Gendari itu. Tidak ada seorang pun yang menunggu atau paling

tidak mengawasinya.”

Tampak kerut merut di kening Ki Rangga. Bertanya Ki Rangga

kemudian, “Mengapa Ki Waskita berpendapat demikian?”

“Ngger,” jawab Ki Waskita kemudian dengan suara yang sareh,

“Tiga hari tiga malam bergantung pada sebuah cabang pohon yang

menjorok di salah satu sendang telu dan sekalian berendam, tentu

akan membawa akibat yang sangat berbahaya. Sendang itu tak

terukur dalamnya. Mungkin hanya sebatas dedek pengawe atau

mungkin bahkan lebih. Sehingga jika pada saat itu Raden

Sutawijaya kehilangan keseimbangan karena wadagnya sudah

tidak mendukung lagi, dia dapat terjatuh ke dalam sendang dan

tenggelam,” Ki Waskita berhenti sejenak untuk mengambil nafas.

Lanjutnya kemudian, “Dalam keadaan wajar, jatuh ke dalam

sebuah sendang seberapapun dalamnya mungkin tidak akan

58

Page 62: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

banyak mendapatkan kesulitan jika mampu berenang. Namun

ketika kekuatan wadag sudah tidak mendukung lagi, maka yang

dapat terjadi adalah sangat mengerikan, dia dapat mati lemas

karena tenggelam.”

Kali ini wajah Ki Rangga tampak sedikit menegang dengan kerut

merut di kening yang semakin dalam. Memang apa yang

diutarakan Ki Waskita itu ada benarnya, dan kekuatan wadag

Raden Sutawijaya pada sasat itu memang sangat luar biasa.

“Bahkan hanya dengan istirahat sehari saja dan minum air

sendang serta makan daun daunan dan umbi umbian, Raden

Sutawijaya sudah mampu berjalan kaki kembali ke Mataram

malam itu juga,” membatin Ki Rangga dalam hati dengan

kekaguman yang tak habis habisnya, “Hanya dengan berjalan

kaki, benar benar luar biasa.”

Tiba-tiba Ki Rangga teringat sesuatu. Katanya kemudian dalam

hati, “Ah, aku tidak yakin jika saat itu Raden Sutawijaya benar

benar hanya mengandalkan kekuatan wadag saja untuk berjalan

kaki kembali ke Mataram. Bukankah salah satu guru Raden

Sutawijaya adalah Kanjeng Sunan Kali? Tidak menutup

kemungkinan Kanjeng Sunan Kali pun juga telah mengajarkan

doa untuk mempercepat perjalanan sebagaimana yang telah aku

terima dari Kanjeng Sunan Muria.”

Berpikir sampai disitu Ki Rangga hatinya menjadi sedikit tenang.

Dia dapat menggunakan doa itu sebagai sarana untuk

mempercepat perjalanannya ke sendang telu sehingga wadagnya

masih cukup kuat untuk memulai laku setibanya di alas Gendari

nantinya.

“Ngger,” tiba-tiba terdengar suara Ki Waskita yang membuyarkan

lamunannya, “Aku sarankan angger Sedayu menjalani laku itu

59

Page 63: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

tidak sekaligus namun berurutan. Angger Sedayu dapat

mengambil istirahat sehari atau dua hari kemudian baru

menjalankan laku berikutnya. Demikian sampai tiga laku itu

selesai semuanya.”

“Namun waktunya akan sangat panjang, Ki Waskita,” sela Ki

Rangga dengan serta merta, “Dan aku tidak mempunyai waktu

sepanjang itu. Jika rencananya besuk aku ke Mataram, mungkin

aku dan rombongan harus menginap semalam di Kepatihan. Baru

esoknya pagi pagi sekali kami akan bernagkat ke Menoreh. Jika

tidak ada hambatan apapun, mungkin menjelang sirep uwong

baru sampai di Menoreh.”

“Dan angger tidak bisa langsung menuju Jati Anom,” potong Ki

Waskita cepat.

“Ki Waskita benar,” sahut Ki Rangga kemudian, “Aku harus

menunggu sampai keesokan harinya untuk meneruskan

perjalananku menuju ke Jati Anom.”

Untuk beberapa saat Ki Waskita termenung. Diam diam orang tua

itu ikut menghitung berapa hari yang diperlukan Ki Rangga dari

Matesih sampai ke Jati Anom jika perjalanan itu dilakukan terus

menerus tanpa henti.

“Tetapi itu tidak mungkin,” berkata Ki Waskita dalam hati,

“Tujuan perjalanan ini adalah untuk melaporkan peristiwa

jatuhnya padepokan Sapta Dhahana secara keseluruhan kepada Ki

Patih serta mengantar Ki Gede dan putrinya ke Menoreh.”

“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian setelah sejenak

keduanya terdiam, “Nanti pada saat menghadap Ki Patih, selain

melaporkan tentang jatuhnya padepokan Sapta Dhahana, aku juga

akan melaporkan tentang paser beracun itu. Jika Ki Patih

60

Page 64: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

nantinya membuat perhitungan perhitungan dan kesimpulan

untuk memburu Trah Sekar Seda Lepen ke lembah antara Merapi

dan Merbabu, tentu diperlukan persiapan yang matang,

maksudku, Ki Patih pasti menunggu laporan yang matang dari

para prajurit sandi yang akan di sebar sampai ke lembah antara

Merapi dan Merbabu itu untuk mengetahui kekuatan yang

sebenarnya atau paling tidak mendekati gambaran yang

sebenarnya. Dengan demikian Ki Patih akan mempunyai dasar

dan landasan untuk membentuk pasukan gabungan segelar

sepapan.”

“Dan itu akan memerlukan waktu,” sahut Ki Waskita dengan

cepat, “Mungkin di saat itulah angger Sedayu dapat minta ijin

kepada Ki Patih untuk melaksanakan rencana angger.”

Ki Rangga tampak mengangguk anggukkan kepalanya. Katanya

kemudian, “Tentu Ki Patih juga akan memerintahkan kepadaku

untuk menyiapkan pasukan khusus di Menoreh.”

“Tentu saja ngger,” Ki Waskita menimpali dengan cepat, “Namun

menyiapkan pasukan khusus tentu tidaklah sesulit dan serumit

menyiapkan pengawal Kademangan Kademangan atau tanah

perdikan. Pasukan khusus memang telah disiapkan untuk

bertempur setiap saat.”

Tampak kepala Ki Rangga terangguk angguk. Persiapan pasukan

gabungan segelar sepapan yang akan mengejar Trah Sekar Seda

Lepen sampai ke lembah antara Merapi dan Merbabu itu tentu

memerlukan waktu hampir dua pekan.

“Aku akan menyempatkan waktu dan menggunakan sebaik

baiknya,” berkata Ki Rangga dalam hati kemudian sambil

memandang ke arah kelamnya malam di kejauhan, “Tiga hari tiga

malam untuk menjalani laku terakhir itu, sedangkan untuk

61

Page 65: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

perjalanannya aku akan menggunakan doa dari Kanjeng Sunan

agar perjalananku dipermudah dan dipersingkat. Semoga Yang

Maha Agung meridhoinya.”

“Ngger,” bertanya Ki Waskita kemudian menyadarkan Ki Rangga

dari lamunan, “Apakah angger telah memutuskan untuk

membawa kawan dalam menjalani laku itu?”

Ki Rangga berpikir sejenak. Namun sambil menggelengkan

kepalanya Ki Rangga pun akhirnya mejawab, “Tidak Ki Waskita.

Aku akan menjalani laku ini sendirian. Rasa-rasanya terlalu manja

jika dalam menjalani laku aku harus dilayani dan diawasi seperti

anak yang baru belajar berjalan.”

“Ah,” Ki Waskita berdesah perlahan sambil tersenyum masam.

Namun ingatan ayah rudita itu segera melayang kepada Raden

Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senapati.

“Mungkin kekuatan batin serta kewadagan angger Sedayu saat ini

sudah dapat disejajarkan dengan Panembahan Senapati,

walaupun tidak seutuhnya” membatin Ki Waskita sambil

merenung, “Semoga saja Pertapa tua itu belum tergesa geesa

untuk melaksanakan ancamannya, sehingga angger Sedayu masih

mempunyai kesempatan untuk menyempurnakan ilmunya.”

Namun Ki Waskita sadar, tidak ada ilmu yang sempurna di muka

bumi ini. Namun setidaknya dengan menjalani laku terakhir dari

aji pengangen angen, Ki Rangga diharapkan telah siap

menghadapi ilmu Pertapa dari goa Langse yang ngedab edabi itu.

“Ngger,” berkata Ki Waskita kemudian setelah sejenak keduanya

terdiam, “Jika memang angger Sedayu memerlukan bantuan

dalam menjalani laku itu, aku akan menyediakan diri untuk

membantu. Jangan terlalu ewuh pekewuh atau merasa seperti

62

Page 66: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

anak kecil yang selalu di awasi. Sepeninggal Kiai Gringsing, aku ini

dapat dikatakan sebagai gurumu, atau bahkan saudara tua

seperguruanmu dari jalur perguruan Empu Pahari. Jadi sudah

selayaknya jika aku akan mengawasi laku yang sangat berbahaya

ini.”

Namun keputusan dalam hati Ki Rangga sudah bulat. Keberadaan

Ki Waskita bersamanya nanti justru akan merepotkan. Bukan

dalam arti yang sebenarnya dalam menjalani laku itu sendiri,

namun Ki Rangga telah memutuskan untuk tetap merahasiakan

ilmu pangrupak jagad itu kepada siapapun, walaupun Glagah

Putih pernah mengalaminya. Namun sampai sejauh ini Ki Rangga

tidak pernah menjelaskannya kepada adik sepupunya itu.

“Maafkan aku Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian, “Tadi

sore Ki Gede telah memohon pertolongan kepada Ki Waskita dan

Ki Jayaraga untuk bersama sama membatu Ki Kamituwa dan Ki

Wiyaga mengawasi perdikan Matesih selama ditinggal Ki Gede.

Selain itu aku memang telah memutuskan untuk menjalani laku

itu sendirian.”

Tampak kepala orang tua itu terangguk angguk. Tidak tampak

kekecewaan pada wajahnya walaupun sekilas. Orang tua itu telah

percaya penuh kepada agul agulnya Mataram itu bahwa dia pasti

telah memperhitungkan dengan masak setiap langkah yang akan

diambilnya.

Sejenak suasana menjadi sunyi. Hanya terdengar suara jeritan

binatang malam dalam irama yang ajeg. Sesekali terdengar

keluhan burung kedasih jauh di atas pohon besar di kelokan jalan.

Sementara angin malam yang bertiup lembut telah menyegarkan

tubuh kedua orang itu.

63

Page 67: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Ketika terdengar suara kentongan dalam tabuh tiga, kedua orang

itu pun telah menggeliat dan kemudian bangkit dari duduknya.

“Marilah ngger,” berkata Ki Waskita kemudian, “Masih cukup

waktu untuk beristirahat sebelum Matahari benar benar terbit.”

“Ya Ki Waskita, aku juga akan meneruskan mimpiku,” sahut Ki

Rangga kemudian sambil berjalan nmengikuti langkah ayah

Rudita itu menuju pintu butulan.

Demikianlah akhirnya kedua orang itu kembali ke dalam bilik

mereka. Masih terdengar keduanya bergeremang sebelum masing

masing kemudian merebahkan diri di pembaringan.

Dalam pada itu malam pun telah semakin mendekati gagat rahina.

Beberapa pengawal yang berjaga di regol banjar tampak duduk

terkantuk-kantuk di gardu sebelah regol. Seorang pengawal yang

berbadan kurus tampak mencoba menghilangkan kantuk dengan

cara berjalan mondar-mandir di depan pintu regol yang terbuka.

Ketika lamat lamat terdengar suara panggilan untuk menunaikan

kewajiban kepada Sang Pencipta alam semesta telah terdengar

dari surau yang letaknya di sebelah kiri dari banjar padukuhan

induk, mereka yang berada di banjar itu pun telah terbangun dan

kemudian secara bergantian pergi ke pakiwan.

Setelah selesai menunaikan kewajiban, orang orang yang akan

pergi ke Menoreh itupun segera bersiap.

Demikianlah ketika Matahari masih belum menampakkan

sinarnya, tampak enam ekor kuda yang cukup tegar telah siap di

halaman banjar. Begitu pintu pringgitan berderit terbuka, yang

pertama keluar adalah Ki Gede dan Ratri, barulah kemudian Ki

Rangga dan Ki Waskita berjalan mengikuti di belakang.

64

Page 68: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Untuk beberapa saat Ki Rangga dan Ki Gede serta Ratri terlihat

segera menghampiri kuda masing-masing. Setelah membenahi

letak pelana serta bekal yang diikatkan pada pelana kuda masing-

masing, ketiga orang itu pun segera naik ke punggung kuda

masing-masing. Sementara kedua pengawal yang akan mengikuti

ke Menoreh tampak sudah siap sedari tadi.

Dalam pada itu, Ratri yang berpakaian laki-laki itu memang

terlihat sangat menarik perhatian. Sebagai seorang laki-laki muda,

wajahnya terlihat terlalu halus dan tampan. Demikian juga jari

jemarinya terlihat lentik dan berkulit halus mulus. Setiap orang

yang berpapasan pasti akan tertarik untuk memperhatikan lebih

jauh.

Agaknya Ki Rangga tanggap akan hal itu, maka katanya kemudian,

“Ki Gede, sebaiknya Ratri menggunakan sebuah caping untuk

sekedar menutupi wajahnya.”

Ratri yang mendengar kata-kata Ki Rangga itu mejadi sedikit

jengah sehinga tampaklah warna pipinya yang ranum kemerah-

merahan.

Ki Gede tertawa pendek mendengar usul Ki Rangga itu. Maka

jawabnya kemudian, “Sebaiknya memang demikian.”

Kemudian sambil berpaling ke salah seorang pengawal yang

berdidiri termangu-mangu dekat tlundak pendapa, Ki Gede

berkata, “Carilah sebuah caping di dapur. Memang sebaiknya

sejauh mungkin kita menghindari persoalan dalam perjalanan.”

Tampak semua kepala terangguk-angguk. Sementara pengawal itu

pun segera bergegas lewat longkangan menuju dapur.

65

Page 69: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Sejenak kemudian pengawal itu telah kembali dengan sebuah

caping yang sangat sederhana dan tidak begitu lebar.

“Pakailah!” berkata Ki Gede kemudian kepada anak perempuan

satu satunya itu begitu melihat Ratri sedikit ragu-ragu menerima

caping itu.

Memang tidak ada pilihan lain. Ratri pun kemudian segera

menerima caping itu dan memakainya di atas kepalanya. Caping

itu memang tidak terlalu lebar sehingga wajah Ratri masih tampak

mengintip dari balik caping.

Namun tiba-tiba dengan segera Ratri melepaskan caping itu.

“Ada apa nduk?” bertanya Ki Gede kemudian dengan wajah penuh

keheranan, “Apakah caping itu terlalu kecil untukmu?”

Ratri menggeleng sambil menyangkutkan caping itu di pelana

kudanya, “Aku akan memakainya nanti setelah sinarnya Matahari

cukup menyengat. Hari masih terlalu pagi sehingga akan terlihat

aneh jika aku memakai caping.”

Yang mendengar alasan Ratri itu pun kemudian tampak

tersenyum sambil mengangguk anggukkan kepala.

Tiba-tiba pintu pringgitan kembali terbuka. Tampak Ki Bango

Lamatan dan Ki Jayaraga yang muncul.

Sejenak Ki Bango Lamatan tertegun. Ternyata Ki Gede dan yang

lainnya sudah di atas punggung kuda masing-masing. Namun

dengan cepat Ki Jayaraga segera menggamitnya dan berkata,

“Marilah! Kasihan kuda Ki Bango Lamatan sudah cukup lama

menunggu. Kuda kuda yang lain sudah dinaiki penunggangnya

tinggal kuda Ki Bango Lamatan saja yang masih kosong.”

66

Page 70: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Ki Bango Lamatan tidak menjawab hanya langkah kakinya saja

yang bergegas mendekati kudanya.

Untuk beberapa saat Ki Bango Lamatan masih mempersiapkan

diri sambil duduk di atas pelana kudanya. Ketika semua persiapan

sudah selesai, dia segera memberi isyarat kepada Ki Rangga.

Namun baru saja Ki Rangga akan memberi isyarat kepada semua

orang dalam rombongan, tiba-tiba terdengar langkah-langkah

yang setengah berlari dan kemudian menerobos pintu gerbang

banjar yang terbuka lebar.

“Ki Kamituwa,” hampir semua orang berdesis menyebui nama

orang yang baru saja datang itu.

“Apakah aku terlambat?” bertanya Ki Kamituwa kemudian sambil

tersenyum dan melangkah mendekat.

“O, belum, Ki,“ jawab Ki Gede sambil tertawa pendek,

“Sebenarnyalah kami tidak ingin merepotkan Ki Kamituwa untuk

datang pagi pagi sekali ke banjar ini.”

“Tidak masalah Ki Gede,” jawab Ki Kamituwa kemudian sambil

mendekat kepada Ki Gede dan menyalaminya.

“Semoga perjalanan Ki Gede dan rombongan menyenangkan,”

lanjut Ki Kamituwa kemudian sambil bergeser dan menyalami Ki

Rangga dan Ki Bango Lamatan. Kepada Ratri dan kedua pengawal

yang berada di belakang, Ki Kamituwa hanya menganggukkan

kepala dan memberi isyarat dengan merangkapkan kedua

tangannya di depan dada.

“Apakah kehadiranku justru telah menghambat perjalanan

rombongan ini?” bertanya Ki Kamituwa selanjutnya sambil

menebar senyum ke seluruh orang yang ada di halaman banjar itu.

67

Page 71: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Ketika dilihatnya Ki Jayaraga dan Ki Waskita yang berdiri di dekat

tlundak pendapa, dengan tergopoh gopoh bebahu perdikan

Matesih itu segera melangkah mendekat.

“Ma’af, ma’af,” berkata Ki Kamituwa kemudian sambil menyalami

kedua orang tua itu, “Aku tidak melihat Ki Waskita dan Ki

Jayaraga yang berdiri sedari tadi di sini.”

“Ah, tidak menjadi masalah Ki Kamituwa,” sahut Ki Jayaraga

sambil menerima uluran tangan Ki Kamituwa, demikian juga

dengan Ki Waskita.

Dalam pada itu keenam orang yang akan berangkat ke Menoreh

itu ternyata telah siap di atas punggung kuda masing-asing.

Sejenak Ki Gede masih membetulkan letak tombak Kiai Singkir

Geni yang di sangkutkan di pelana kudanya. Katanya kemudian,

“Nah kami mohon pamit. Atas nama seluruh kawula Matesih aku

titipkan perdikan ini kepada Ki Kamituwa yang akan dibantu oleh

Ki Jayaraga dan Ki Waskita.”

Ki Jayaraga segera maju selangkah sambil berkata, “Selamat jalan

semoga selamat sampai tujuan. Dan jangan lupa sampaikan salam

hormat kami kepada Ki Patih Mandaraka.”

“Tentu, tentu,” Ki Rangga lah yang menjawab.

“Selamat jalan Ki Bango Lamatan,” berkata Ki Jayaraga kemudian

sambil tersenyum menggoda ke arah Ki Bango Lamatan yang

sudah duduk di atas kudanya, “Sampai bertemu kembali di lain

waktu. Semoga Ki Bango Lamatan kerasan dengan tugas yang

baru.”

Ki Bango Lamatan tampak tersenyum, betapapun hambarnya.

Jawabnya kemudian, “Terima kasih Ki Jayaraga. Kapan kapan jika

lewat kotaraja, sudilah kiranya Ki Jayaraga mampir. Dengan

68

Page 72: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

senang hati Ki Jayaraga akan aku jamu dengan makanan yang

enak enak, tidur di pembaringan yang empuk dan lunak serta

bercanda ria dengan para emban yang ramah dan semanak.”

Segera saja gelak tawa memenuhi halaman banjar itu. Beberapa

pengawal yang berada di regol dan tidak mendengar dengan jelas

kata kata Ki Bango Lamatan itu hanya berpaling sekilas sambil

mengerutkan kening mereka.

Ki Gede yang berada di depan bersama Ki Rangga ternyata telah

melambaikan tangannya ke arah Ki Kamituwa. Dengan segera Ki

Kamituwa pun melangkah mendekat.

Sejenak Ki Gede tampak mencondongkan tubuhnya dan berbicara

beberapa patah kata kepada bebahu kepercayaannya itu. Tidak

ada seorang pun yang mampu mendengar isi pembicaraan itu

kecuali Ki Rangga yang berada di dekatnya.

Ki Rangga yang mendengar dengan jelas setiap pesan yang

diucapkan Ki Gede kepada Ki Kamituwa itu telah menarik nafas

panjang sambil menundukkan kepalanya. Secara tidak langsung

Ki Rangga pun segera mengetahui permasalahan rumah tangga Ki

Gede yang sebenarnya.

Setelah selesai memberikan pesan kepada Ki Kamituwa, Ki Gede

segera duduk tegak kembali dan berpaling ke arah Ki Rangga.

Katanya kemudian, “Ki Rangga, aku kira persiapan sudah selesai.

Waktunya kita untuk berangkat.”

Ki Rangga tidak menjawab, hanya tersenyum sambil mengangguk.

Demikianlah setelah sekali lagi berpamitan, rombongan berkuda

itu segera keluar dari regol banjar padukuhan induk untuk

kemudian berpacu perlahan di jalan yang berbatu batu. Mereka

69

Page 73: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

tidak dapat berpacu dengan kencang mengingat Ratri yang masih

harus menyesuakan diri setelah lama tidak berkuda.

Sepeninggal Ki Gede dan rombongan, Ki Kamituwa segera

menghampiri gardu yang berada di dekat regol banjar. Kepala

pengawal jaga yang bertugas pagi itupun segera menyongsongnya.

“Ada perintah untuk kami, Ki Kamituwa?” bertanya kepala

pengawal itu kemudian setibanya di depan Ki Kamituwa.

“Tentu saja ada,” jawab Ki Kamituwa dengan suara perlahan

sehingga hanya mereka berdua yang mendengar, “Yang pertama,

kepergian Ki Gede beserta rombongan ini tidak usah disampaikan

kepada setiap orang di perdikan ini. Jika para kawula Matesih

mengetahui kepergian rombongan ini, biarlah mereka mengetahui

dari sumber yang lain, bukan dari kita.”

Tampak kepala pengawal itu terangguk-angguk sambil berdiri

ngapurancang di hadapan Ki Kamituwa.

“Yang kedua,” lanjut Ki Kamituwa kemudian, “Perintahkan salah

satu pengawal yang bertugas jaga hari ini untuk pergi ke rumah Ki

Wiyaga. Beritahukan kepada Ki Wiyaga aku menunggunya di

banjar pagi ini. Ada hal penting yang akan aku sampaikan.”

“Tapi, Ki Kamituwa. Ki Wiyaga…?”

“Aku tahu,” sahut Ki Kamituwa cepat memotong pertanyaan

pemimpin pengawal itu, “Ki Wiyaga memang sedang mendapat

libur dua hari setelah bertugas di gunung Tidar. Namun ini

menyangkut keamanan perdikan Matesih yang menjadi tugasnya.

Tidak ada salahnya jika aku memanggilnya.”

Pemimpin pengawal itu hanya dapat mengangguk-anggukkan

kepalanya.

70

Page 74: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Nah, menunggu apa lagi?”

Pertanyaan Ki Kamituwa itu telah menyadarkan pemimpin

pengawal itu. Jawabnya kemudian dengan sedikit tergagap, “O,

baik Ki Kamituwa. Akan segera aku laksanakan perintah itu.”

Selesai berkata demikian, pemimpin pengawal itu segera memutar

tubuhnya dan melangkah kembali ke gardu dekat regol banjar

padukuhan induk.

Dalam pada itu, rombongan Ki Gede sedang menyusuri jalan yang

masih lengang dan berkabut. Agaknya semalam telah turun hujan

di lereng gunung Tidar sehingga pagi ini perdikan Matesih

diselimuti kabut tipis.

Ratri yang berkuda di belakang ayahnya dan berjajar dengan Ki

Bango Lamatan tampak sangat riang gembira. Kuda yang

ditungganginya berderap dengan tenang menyesuaikan dengan

derap kaki-kaki kuda yang lain. Sementara kedua pengawal yang

ikut mendampingi, berkuda agak jauh beberapa tombak di

belakang.

“Apakah Ki Gede akan mampir ke kediaman terlebih dahulu?” tiba

tiba Ki Rangga yang berkuda di depan berjajar dengan Ki Gede

bertanya.

“Aku kira tidak perlu Ki Rangga,” jawab Ki Gede sambil berpaling

ke belakang sekilas. Ketika dilihat Ratri tidak sedang

memperhatikannya, maka Ki Gede pun melanjutkan, “Sudah tidak

ada lagi yang perlu kami bawa. Ratri pun agaknya sudah

membawa bekal secukupnya untuk tinggal di Menoreh.”

Ki Rangga mengangguk angguk sambil melemparkan pandangan

matanya jauh ke depan, menembus kabut tipis yang masih

menyelimuti sepanjang jalan.

71

Page 75: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Namun pandangan mata Ki Rangga yang sangat tajam melebihi

orang kebanyakan telah menangkap sesuatu yang mendebarkan..

72

Page 76: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Masih sepi,” desis Ki Gede kemudian, “Namun biasanya ada

pedati yang memuat hasil bumi melewati jalan ini hampir setiap

pagi.”

“Kemana hasil bumi itu dibawa, Ki Gede?” bertanya Ki Rangga

kemudian tanpa berpaling.

“Tergantung hari pasaran,” jawab Ki Gede kemudian, “Pasar pasar

di kademangan dan padukuhan padukuhan sekitar perdikan

Matesih biasanya hanya buka pada hari pasaran tertentu.”

Ki Rangga tampak mengangguk anggukkan kepalanya. Demikian

juga Ki Bango Lamatan yang berkuda di belakang Ki Rangga.

Bertanya Ki Bango Lamatan kemudian, “Bagaimana dengan pasar

di Matesih, Ki Gede? Apakah pasar di Matesih buka setiap hari?”

“Benar, Ki ,” jawab Ki Gede sambil berpaling sekilas, “Namun

untuk pasar yang menjual ternak tidak buka setiap hari. Pasar

ternak buka juga menurut hari pasaran.”

Kembali Ki Rangga dan Ki Bango Lamatan mengangguk angguk.

Pasar ternak memang tidak seramai sebagaimana pasar yang

menjual hasil bumi.

Dengan perlahan rombongan itu terus berjalan dengan derap yang

ajeg. Beberapa rumah yang mereka lalui sepanjang jalan memang

regolnya masih banyak yang tertutup rapat. Namun sudah

terdengar derit senggot serta suara sapu lidi yang terdengar

teratur hampir di setiap halaman.

Ki Gede dan rombongan menjadi sedikit berdebar debar ketika

sebuah regol yang mereka lewati tiba tiba saja terbuka. Seorang

yang rambutnya sudah ubanan tampak menjengukkan kepalanya

di antara pintu regol yang terbuka beberapa jengkal. Agaknya

73

Page 77: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

penghuni rumah itu menjadi penasaran mendengar derap kaki

kaki kuda di hari yang masih sangat pagi itu.

“Ki Gede?” desis orang yang sudah ubanan itu sambil

mengernyitkan alisnya, “Pergi kemana Ki Gede sepagi ini?”

Untuk beberapa saat orang yang rambutnya sudah ubanan itu

termangu-mangu di regol halaman rumahnya. Berbagai

tanggapan pun melintas dalam benaknya.

Namun rombongan itu berjalan terus. Mereka tetap berderap

dalam irama yang tetap agar tidak menimbulkan pertanyaan dan

kegelisahan para penghuni padukuhan induk.

Ketika rombongan itu kemudian menjumpai sebuah pertigaan,

ternyata Ki Gede telah memilih jalan lurus.

Tiba tiba dada Ki Rangga berdesir. Jalan lurus itu akan membawa

mereka ke padukuhan Klangon.

“Ki Gede,” bertanya Ki Rangga kemudian sambil sedikit

mengekang kudanya, “Apakah tidak sebaiknya kita mengambil

jalan ke kiri? Walaupun agak jauh, namun aku rasa jika kita lewat

padukuhan Salam tidak akan banyak menimbulkan masalah.”

“Tidak Ki Rangga. Kita lewat Klangon saja,” jawab Ki Gede

kemudian sambil terus menghentak perut kudanya, “Walaupun

menurut pengakuan tawanan kita, putut Acarya, Ki Dukuh

Klangon terlibat menjadi pengikut Trah Sekar Seda Lepen, aku

justru ingin melihat keadaan yang sebenarnya di padukuhan

Klangon.”

“Ayah?” tiba tiba Ratri berseru sedikit keras di belakang ayahnya,

“Bukankah sudah menjadi kesepakatan semalam untuk tidak

mencampuri urusan padukuhan Klangon?”

74

Page 78: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Kita hanya lewat saja, nduk,” jawab ayahnya sambil berpaling

dan tersenyum sekilas.

“Bagaimana dengan Ki Dukuh?” Ki Bango Lamatan yang berkuda

di belakang Ki Rangga ikut bertanya.

Ki Gede tersenyum sambil berpaling. Jawabnya kemudian, “Tidak

sejauh itu Ki Bango Lamatan. Aku hanya ingin melihat kehidupan

di padukuhan Klangon setelah jatuhnya padepokan Sapta

Dhahana. Apakah ada perubahan yang mencolok, ataukah tetap

berjalan sebagaimana biasa.”

“Atau barangkali Ki Rangga ingin mampir ke banjar padukuhan

Klangon lagi?” bertanya Ki Bango Lamatan yang membuat kedua

orang yang berkuda di depannya tertawa pendek.

“Aku khawatir jika mampir di banjar dukuh Klangon, kita akan

dipersilahkan untuk bermalam lagi,” sahut Ki Rangga yang

disambut gelak tawa oleh Ki Gede dan Ki Bango Lamatan.

“Dimanakah sekarang ini Ki Jagabaya dukuh Klangon?” tiba tiba

tanpa sadar Ki Gede berdesis perlahan yang membuat kedua

orang itu terhenyak.

Ki Rangga yang berkuda di sebelah Ki Gede hanya menarik nafas

panjang untuk meredakan jantungnya yang tiba tiba saja melonjak

lonjak. Namun Senapati pasukan khusus Mataram yang

berkedudukan di Menoreh itu tidak mampu mengabaikan isyarat

yang diterimanya.

“Ada apakah di padukuhan Klangon?” bertanya Ki Rangga dalam

hati kemudian dengan jantung yang berdebaran.

Tiba tiba ingatan Ki Rangga segera melayang kepada seseorang

yang sedang mununggunya untuk sebuah urusan yang khusus.

75

Page 79: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Urusan seorang murid biarlah menjadi urusan sesama murid,

sedangkan urusan seorang guru, tentu saja menjadi urusan

dengan sesama guru,” membatin Ki Rangga menirukan pesan

Pertapa tua yang disampaikan melalui Ki Jayaraga.

“Apapun yang akan terjadi, seandainya Pertapa tua itu meminta

tanggung jawabku sebagai salah satu guru Glagah Putih, aku tidak

akan menghindar,” membatin Ki Rangga sambil terus memacu

kudanya.

Ketika pintu gerbang perdikan Matesih sebelah selatan yang

berbatasan dengan padukuhan Klangon sudah terlihat, Ki Gede

menjadi berbedar debar. Tidak tampak seorang pengawal pun

yang sedang berjaga. Biasanya satu atau dua orang tampak

berjalan mondar mandir sambil menjinjing tombak di depan pintu

gerbang yang terbuka lebar itu.

Ketika rombongan itu telah semakin dekat, Ki Gede dan Ki

Rangga yang berkuda di depan segera melihat gardu di sebelah

pintu gerbang itu. Dalam gardu itu terliaht dua orang yang sedang

meringkut berselimutkan kain panjang di atas sebuah amben

besar. Senjata senjata mereka tampak digeletakkan begitu saja di

lantai gardu.

Dengan segera Ki Gede memberi isyarat kepada rombongan itu

untuk berhenti tepat di depan gardu.

Sejenak Ki Gede ragu ragu untuk turun, namun dia tidak tahu

harus bagaimana caranya membangunkan kedua pengawal itu

tanpa turun dari kudanya.

Ki Bango Lamatan agaknya tanggap atas keinginan Ki Gede.

Segera saja orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan

Cahya Warastra itu memasukkan dua jarinya ke dalam mulut.

76

Page 80: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Sejenak kemudian terdengar sebuah lengkingan nyaring

membelah udara di pagi yang tenang.

Ternyata suitan nyaring Ki Bango Lamatan itu terlalu keras

sehingga Ratri yang berkuda beberapa langkah di sebelahnya telah

memekik kecil sambil menutupi kedua telinganya dengan kedua

tangannya.

“O, maaf,” desis Ki Bango Lamatan sambil berpaling sekilas dan

tersenyum. Namun akibat suitan nyaring Ki Bango Lamatan itu

ternyata telah membangunkan kedua pengawal yang sedang

tertidur lelap itu.

Dengan tangkasnya kedua pengawal itu segera meloncat bangun.

Dengan mata yang masih setengah terpejam, keduanya segera

meraba raba senjata mereka yang diletakkan di lantai gardu.

“Kalian berdua, kemarilah!” teriak Ki Gede kemudian cukup keras

sehingga telah mengejutkan kedua pengawal yang belum sadar

sepenuhnya itu.

Namun begitu pandangan mata mereka telah jernih dan melihat

siapa yang berada di depan gardu itu, serentak keduanya segera

meloncat berlari sambil berseru, “Ki Gede!”

“Nah!” berkata Ki Gede kemudian sesampainya kedua pengawal

itu di hadapannya, “Mengapa kalian tertidur di saat sedang

bertugas jaga? Dan mengapa hanya dua orang saja yang bertugas

jaga? Bukankah biasanya enam bahkan sampai lebih ditambah

dengan anak anak muda?”

Sejenak kedua pengawal itu saling pandang. Namun yang terlihat

lebih tua segera menjawab, “Ampun Ki Gede, sebenarnya

menjelang tengah malam tadi gardu ini hampir penuh. Namun

entah dari mana asalnya, terbetik berita bahwa sisa sisa laskar

77

Page 81: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

cantrik Sapta Dhahana telah meninggalkan gunung Tidar dan

bergerak ke arah Timur.”

Hampir bersamaan orang orang dalam rombongan Ki Gede itu

telah mengerutkan keningnya. Bertanya Ki Gede kemudian,

“Siapakah yang membawa berita seperti itu?”

Kembali kedua pengawal itu saling pandang, namun akhirnya

keduanya pun menggelengkan kepalanya.

“Kami tidak tahu Ki Gede,” jawab pengawal yang lebih tua

kemudian.

“Nah, dengan demikian alangkah mudahnya kalian terkecoh!”

berkata Ki Gede selanjutnya sambil menggeleng gelengkan

kepalanya, “Seandainya berita itu memang sengaja dihembuskan

oleh lawan dalam usaha melemahkan pertahanan kita, apa kira

kira yang akan terjadi sekarang ini? Bagaimana jika yang datang

ke gardu pagi ini bukan rombongan Ki Gede Matesih? Akan tetapi

sisa sisa laskar padepokan Sapta Dhahana yang ganas dan liar

serta penuh dengan dendam kesumat?”

Diam diam kedua pengawal itu bergidik ngeri. Mereka berdua

benar benar ngeri membayangkan yang akan terjadi kemudian.

“Nah jadikanlah semua ini sebagai pelajaran,” berkata Ki Gede

selanjutnya, “Jangan percaya berita yang tidak jelas asal usulnya.

Percayalah kepada berita dan perintah dari pemimpin Matesih ini

melalui saluran yang telah ditentukan. Para pengawal Matesih

harus mencari sumber berita dari Ki Wiyaga selaku pemimin

pengawal, dan Ki Wiyaga pun akan bertanya kepadaku selaku

pemimpin tertinggi di Matesih.”

Tampak kepala kedua pengawal itu semakin tunduk.

78

Page 82: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

“Memang kedatangan Ki Wiyaga dan para pengawal yang selama

ini menjaga padepokan Sapta Dhahana pagi tadi telah melaporkan

melihat pergerakan laskar sisa-sisa cantrik Sapta Dhahana itu

bergerak ke Timur meninggalkan gunung Tidar,” Ki Gede berhenti

sebentar. Lanjutnya kemudian, “Namun apakah tidak menutup

kemungkinan bahwa pergerakan mereka itu memang disengaja

untuk mengelabuhi kita? Untuk itulah aku tidak pernah

memerintahkan untuk mengendorkan kewaspadaan. Segala

sesuatunya masih mungkin terjadi dan kesiap siagaan itu harus

tetap kita jaga.”

Kedua pemngawal itu sekarang benar-benar telah berubah

menjadi patung batu. Tidak ada keberanian sebiji sawipun untuk

mengangkat wajah mereka.

“Sudahlah, aku dan rombongan akan meneruskan perjalanan,

tidak usah bertanya kemana kami akan pergi. Jika ingin bertanya,

bertanyalah kepada Ki Wiyaga,” berkata Ki Gede pada akhirnya

sambil menggerakkan kendali kudanya. Dengan cepat kedua

pengawal itu segera membungkuk hormat tanpa berani

mengucapkan sepatah kata pun.

Rombongan berkuda itu pun kemudian bergerak kembali

melewati pintu gerbang perdikan Matesih yang terbuka lebar.

“Itulah gambaran para pengawal perdikan Matesih,” desis Ki Gede

kemudian sambil berpaling ke arah Ki Rangga, “Dengan sangat

mudahnya mereka percaya berita yang belum jelas sumbernya.

Aku benar-benar prihatin.”

Ki Rangga tidak menanggapi. Hanya tampak kepalanya yang

terangguk-angguk sambil menarik nafas dalam-dalam.

79

Page 83: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh telatah Mataram. “Mungkin

Matahari masih belum menampakkan sinarnya. Langit di sebelah

Timur sudah terlihat sedikit terang namun belum mampu

mengusir bulir bulir embun pagi yang bergelayutan di pucuk

pucuk dedaunan dan butir butir embun yang berserakan di

rerumpun sepanjang tanggul serta kabut yang menutupi bulak

panjang itu. Sepanjang jalan masih terlihat sangat sepi. Belum

tampak seorang petani pun yang sedang menggarap sawahnya.

Namun pandangan mata Ki Rangga yang sangat tajam melebihi

orang kebanyakan telah menangkap sesuatu yang mendebarkan.

Memang masih cukup jauh, namun dalam pandangan Ki Rangga

yang sangat tajam, samar samar dalam kabut pagi, tampak

seseorang sedang berdiri di sisi tanggul sebelah kanan bulak di

bawah sebatang pohon. Sepertinya orang itu memang dengan

sengaja sedang menunggu rombongan itu lewat.

-------------------0O0-------------------

- Bersambung ke jilid 20

80