SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI...
Transcript of SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI...
EPISTEMOLOGI PENAFSIRAN SUFISTIK
‘ABD AL-S{AMAD AL-FALIMBA<NI<
Tesis
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama Bidang Humaniora
(MA.Hum) pada Konsentrasi Tafsir Interdisiplin
Pembimbing Tesis:
Dr. Yusuf Rahman, MA
Disusun Oleh:
Muhammad Julkarnain
13.2.00.1.40.01.0024
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
ii
juga Terimakasih saya ucapkan kepada para dosen-dosen pengajar, penguji SPs UIN
Jakarta, mulai dari awal perkuliahan hingga akhir perkuliahan, di antara mereka yang
terhormat adalah: Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Suwito, MA, Prof. Dr.
Said Agil Husin Al-Munawar, MA, Prof. Dr. M. Atho Mudzhar, MSPD, Prof. Dr.
Salman Harun, MA, Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA,
Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, Prof. Dr. Zainun Kamal, MA, Prof. Dr. H. M. Yunan
Yusuf, MA, Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA, Dr. Muchlis Hanafi, MA, Dr. Usman
Syihab, MA, Suparto, M.Ed, Ph.D, Dr. Fuad Jabali, MA. Semoga Pengajaran dan
pengalaman belajar menjadi bekal penting dan teladan bagi penulis dalam
mengembangkan keilmuan keislaman yang memberikan manfaat bagi masyarakat
luas.
Ketiga, ucapan terimakasih pula sedalam-dalamnya kepada Ayahanda tercinta
H. Mursani dan Ibunda Hj. Noordiana (Alm.) dan orang tua penulis Nur Jannah yang
selalu memberikan inspirasi dan motivasi untuk terus belajar, bekerja keras, hingga
akhirnya penelitian ini dapat diselesaikan, atas doa dan dukungan merekalah penulis
mampu untuk menyelesaikan kuliah sambil bekerja di Jakarta. Selain itu,
terimakasih pula kepada Kakanda M. Fitriadi dan Keluarga dan Dua Adikku
tersayang Nur Sholehah dan Nurul Hidayah yang selalu bertanya-tanya tentang
kepulangan saya. Semoga mereka semua sehat, tumbuh dewasa sesuai dengan
namanya, menjadi cahaya kesalehan dan cahaya petunjuk. Tidak lupa saya ucapkan
terimakasih kepada Heni Fatmawati yang telah memberikan dukungan moril kepada
penulis. Terakhir, saya haturkan terimakasih yang sebesarnya kepada keluarga besar
penulis yang berada di Samarinda dan Banjarmasin. Semoga kelak saya bisa
membanggakan kalian semua.
Keempat, ungkapan terimakasih saya sampaikan kepada keluarga besar
pesantren Pondok Pesantren Ribathul Khail Timbau, Tenggarong, Kutai
Kertanegara baik pimpinan dan seluruh jajarannya, di antaranya adalah KH. Abu
Bakar Hasyim (Alm.), KH. Sobri Ismail (Alm.), KH. Abdus Shamad. Terimakasih
pula saya ucapkan kepada keluarga besar Pondok Pesantren Al-Mujahidin
Samarinda, Kepada KH. Hakim, KH. Muhammad Rasyid, Drs. Masyrukin, M.Pd.I
beserta seluruh jajarannya. Kemudian, sudah sepatutnya saya sampaikan ucapan
terimakasih kepada keluarga besar Pondok Pesantren Al-Muhsin, Krapyak, Bantul,
Yogyakarta, terkhusus kepada KH. Muhadi Zainuddin, M.Ag. Tidak lupa saya,
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga besar Pondok Pendawa, Parung,
Bogor, kepada Pendiri Pesantren keluarga besar Dr. H. Imam Syafe’i, M.Pd yang
telah bersedia menjadi orang tua dalam perantauan di Jakarta dan juga keluarga besar
Kyai Jauhari, Lc selaku Direktur Pondok Pendawa atas bantuannya memberikan
arahan dan bimbingan yang amat sangat bermanfaat bagi penulis.
Kelima, ucapan terimakasih sudah sepatutnya penulis haturkan bagi keluarga
besar Drs. H.M. Nasir, M.Pd yang telah penulis anggap sebagai orang tua angkat
atas bantuan, arahan dan bimbingan bagi penulis. Dengan tulus dan suasana hati
yang amat bersahabat, penulis haturkan kepada sahabat-sahabat Ikatan Keluarga
iii
Alumni Pondok Pesantren Al-Mujahidin Samarinda (IKA PPM Samarinda) dan
IKAMUJA (Ikatan Keluarga Alumni Pesantren Mujahidin di Jawa): Zoan, Asdar,
Rifai, Yati, Lia, Sinta, Husna dan Ika yang senantiasa siap menjadi sahabat berbagi
di tanah rantau ini. Begitu juga Alumni PBSB (Program Beasiswa Santri
Berprestasi) angkatan 20017 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang senantiasa selalu
siap merawat idealisme bersama-sama, sahabat Lembaga Pemberdayaan dan
Pengembangan Alumni Program Beasiswa Santri Berprestasi Kementerian Agama
RI (LP2A), Sahabat-sahabat Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta (2013-2015) yang
terlibat aktif dalam diskusi-diskusi ilmiah yang amat sangat membantu dalam
penyelesaian karya ilmiah ini, begitu juga sahabat santri-santri Lembaga Bina Santri
Mandiri (LBSM) yang senantiasa bersama-sama belajar dan mengajar, terimakasih
pula buat adik-adikku Mahasiswa Thailand di STAINU Jakarta, juga terimakasih
kepada rekan-rekan di perusahaan T-Shirt Production and Printing, terakhir kepada
semua sahabat-sahabat penulis di lintas negara, daerah dan agama yang terlibat aktif
dalam aktivitas-aktivitas sosial-kemasyarakatan dan semua pihak yang telah
berproses bersama penulis langsung atau tidak langsung. Sungguh tidak mudah bagi
saya untuk menyebutkan nama-nama penting tersebut satu persatu. Atas
pengalaman, pelajaran dan bantuan moril ataupun materil, saya sangat
berterimakasih sekali, semoga tumpukan ilmu dan pengalaman tersebut mampu
menjadi bekal saya dalam mengkonstruksi ide, gagasan dan cita-cita ideal. Semoga
silaturahim kita semakin intens dan produktif.
Pada akhirnya, inilah, sebuah karya yang saya persembahkan buat Kyai, Guru
Sahabat dan siapapun juga. Semoga karya ini bernilai ibadah dan mampu
memberikan manfaat bagi pembaca dalam usaha mengembangkan studi tafsir Al-
Qur’an di Indonesia. Amin, Wassalam.
Bogor, 3 September 2015
Muhammad Julkarnain
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Muhammad Julkarnain
NIM : 13.2.00.1.40.01.0024
Jenjang Pendidikan : Program Magister (S2)
Konsentrasi : Tafsir Interdisiplin
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang berjudul
“Epistemologi Penafsiran Sufistik ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni>” adalah
hasil karya saya, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya.
Apabila di dalamnya terdapat kesalahan dan kekeliruan, maka sepenuhnya
menjadi tanggung jawab saya. Selain itu, apabila di dalamnya terdapat
plagiasi, maka saya siap dikenakan sanksi yang berlaku.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Jakarta, 26 Oktober 2015
Yang membuat pernyataan,
Muhammad Julkarnain
v
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Tesis yang berjudul “Epistemologi Penafsiran Sufistik ‘Abd al-
S{amad Falimba>ni>” yang ditulis oleh:
Nama : Muhammad Julkarnain
NIM : 13.2.00.1.40.01.0024
Jenjang Pendidikan : Program Magister (S2)
Konsentrasi : Tafsir Interdisiplin
Bahwa tesis ini telah melalui Ujian Proposal, Work In Progress
(WIP) Tesis 1, 2, Ujian Komprehensif dan Ujian Pendahuluan Tesis dan
telah diperbaiki sesuai saran sebagaimana mestinya. Dengan ini, saya
menyetujui untuk diajukan pada Ujian Promosi Tesis.
Jakarta, 27 Oktober 2015
Yang membuat pernyataan,
Dr. Yusuf Rahman, MA
vi
PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Muhammad Julkarnain
NIM : 13.2.00.1.40.01.0024
Judul Tesis : Epistemologi Penafsiran Sufistik ‘Abd
al-S{amad al-Falimba>ni>
Menyatakan bahwa Tesis ini telah diverifikasi oleh Prof. Dr.
Didin Saepudin, MA pada tanggal 28 Oktober 2015.
Tesis ini telah diperbaiki sesuai saran verifikasi meliputi :
1. Buku referensi yang digunakan dan jumlahnya.
2. Pemilihan referensi dan jumlahnya.
Demikian surat pernyataan ini dibuat agar dapat dijadikan
pertimbangan untuk menempuh Ujian Promosi Tesis.
Jakarta, 28 Oktober 2015
Saya yang membuat pernyataan,
Muhammad Julkarnain
vii
PERSETUJUAN PENGUJI
Tesis dengan Judul “Epistemologi Penafsiran Sufistik ‘Abd al-S{amad al-
Falimba>ni>” yang disusun oleh Muhammad Julkarnain, NIM:
13.2.00.1.40.01.0024 dinyatakan LULUS dalam Ujian Pendahuluan Tesis pada
tanggal 21 September 2015 dan telah selesai diperbaiki sesuai dengan saran dan
rekomendasi dari Tim Penguji Pendahuluan Tesis, serta disetujui untuk diajukan
pada Ujian Promosi Magister.
TIM PENGUJI
No Nama Penguji Keterangan/Tandatangan
1
Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA
(Ketua sidang/merangkap Penguji)
................/10/2015
2
Prof. Dr.H.M. Yunan Yusuf, MA
(Penguji )
................/10/2015
3
Prof. Dr. Yunasril Ali, MA
(Penguji )
.............../10/2015
4
Dr. Yusuf Rahman, MA
(Pembimbing/merangkap Penguji)
.............../10/2015
viii
ABSTRAK
Penelitian ini menyimpulkan bahwa penafsiran ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni>
merupakan penafsiran al-Qur‘a>n sufistik yang tidak menggunakan pendekatan
tunggal (atomistik) berupa pengalaman batin. Penafsiran sufistik ‘Abd al-S{amad al-
Falimba>ni> memiliki konstruksi epistemologi dengan metode tematik berdasarkan
sumber-sumber tekstual, syair, intuisi sufistik dan akal rasional dengan ukuran
kebenaran dan implikasi penafsiran yang berorientasi religius, etis, dan sosio-politis.
Penelitian ini mempertegas pendapat A.H. Johns (2006) dan Ignaz Goldziher
(1955) yang menilai bahwa penafsiran disertai dalil-dalil al-Qur‘a>n yang dilakukan
oleh al-Falimba>ni> merupakan model tafsir pada masa itu. Di sisi lain, penafsiran-
penafsiran sufistik yang ditulis dalam karya-karya tasawuf bertujuan untuk
menghindari konfrontasi dengan ulama-ulama formalistik (fuqaha>’). Oleh karena itu,
maka penafsiran sufistik ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni> adalah persambungan historis
periodisasi tafsir al-Qur‘a>n di Nusantara.
Penelitian ini tidak sependapat dengan kesimpulan Izza Rohman Nahrowi
(2002) dan Petter Riddell (1989) tentang dominasi epistemologi ‘Irfa>ni> (gnostik)
yang berhubungan dengan pengalaman otentik telah menjauhkan ulama dalam
kajian teks dan penafsiran terhadap al-Qur‘a>n yang menyebabkan miskinnya karya
tafsir al-Qur‘a>n di Nusantara. Selain itu, pandangan bahwa penafsiran-penafsiran al-
Qur‘a>n di masa awal belum memberikan gambaran yang mendalam dengan hanya
menyadur karya-karya berbahasa Arab menggunakan bahasa-bahasa lokal setempat
yang berorientasi pada keluasan persebaran tafsir.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode pendekatan
historis-filosofis model strukturalisme genetik yang akan diarahkan pada intrinsik
teks, pengarang, dan kondisi historisnya. Sedangkan pendekatan filosofis akan
digunakan untuk membaca struktur dasar epistemologi penafsiran sufistik ‘Abd al-
S{amad al-Falimba>ni>. Sumber utama penelitian ini adalah karya-karya tasawuf ‘Abd
al-S{amad al-Falimba>ni>, yaitu Ani>s al-Muttaqi>n, Nas}i>hat al-Muslimi>n wa Tadhkirat al-Mu’mini>n fi> Fad}a>’il al-Jiha>d fi Sabi>l Alla>h wa Kara>mat al-Muja>hidi>n fi Sabi>l Alla>h, Hida>yat al-Sa>liki>n fi> Sulu>k Maslak al-Muttaqi>n dan Siyar al-S{a>liki>n Ila> ‘Iba>dat Rabb al-’A<<<<<<<<lami>n. Sedangkan data-data sekunder yang akan menjadi data
pendukung adalah literatur berupa jurnal, tesis dan disertasi yang berkaitan dengan
disiplin ilmu tafsir,‘ulu>m al-Qur‘a>n dan tasawwuf.
Kata Kunci: Epistemologi Tafsir Sufistik, ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni>, Kitab-kitab
Tasawuf.
ix
ملخص البحث
هو التفسري لفلمباينا يخ عبد الصمدالشأن التفسري الصويف الذي قدمه اإل ستنتاج الرئيسي يف هذه الرسالةريقة املوضوعي ري املعريف مع طولكن لديه بناء النظ ،فحسب الصويف الذي ال يستخدم هنجاواحدا بتجربة روحية
جتماعيإلا صحة و أاثره األخالقي الديين وب يالصويف والعقل احلدسو ةو الشعري ةاساس املراجع النصي ىعل السياسي.
ين ج القرأن لعبد الصمد الفلمباحبالذي يعترب أن التفسري (2006) هذه الرسالة رأي أ.ح. جونز أيدتاملكتوبة يف كتب التفسريات الذي يقول أن (1995)جينز غولذيهر إ و رأي بنوسانتارا منوذج للتفسري املاضي
يف متابعة ةن التفسري لعبد الصمد الفلمباين صلة اترخييإف ،. و لذاتجنب املواجهة من الفقهاءلالتصوف هتدف بنوسانتارا. يةالتطورات التفسري
عد بتابستيمولوجيا العرفاين إأن هيمنة الذي يقول (2002)هذا البحث خيالف رأي عزا رمحان حنراوي سالم لإلأن تفسري القرأن يف العصر األول ىالذي ير (1989)و بيرت ريدل ج التفسري القرأينا نتإيف العلماء
تساع التوزيع. إبنوسانتارا تكيف للتفسريات العربية بلغات حملية بقصد البنيوي الوراثي اليت ستهدف – الفلسفي هذا البحث يستخدم طريقة البحث النوعي بطريقة املنه التارخيي
إىلنية األساسية البستخدام املنه الفلسفي لقراءة إ. يتم ةلف و االوضاع التارخييؤ امل أحوال و جوهر النصي إىلمنني ؤ لمني و تذكرة املنصيحة املس ،أنيس املتقني يو ه ،ةاالبتدائيدر البياانت امصو تفسري عبد الصمد الفلمباين.
املتقني و سري هداية السالكني يف سلوك مسلك ،يف سبيل هللايف فضائل اجلهاد يف سبيل هللا و كرامة اجملاهدين األطروحات الصحف و وابإلضافة إىل ذلك أن مصادر البياانت الثانوية هي عبادة رب العاملني. إىلالسالكني القرأن و التصوف. ماملتعلقة بعلوم التفسري و علو واملقاالت
.كتب التصوف ،عبد الصمد الفلمباين ،بستيمولوجيا التفسري الصويفإ :الكلمة الرئيسية
x
ABSTRACT
The study concludes that the ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni>’s interpretation
does not use a single or atomistic approach with only esoteric experience on
interperting the Qur‘a>n. ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni>’s Qur‘anic exegesis has
epistemology structure by using a thematic method based on textual, poetic,
intuition and rational sources. It is also validated by truth and implications are
oriented to ethico-religious and socio-political spirit.
This study agrees with A.H. John (2006) and Ignaz Goldziher (1955) that the
interpretation with Qur‘anic argument which is written by ‘Abd al-S{amad al-
Falimba>ni> is a model of Qur‘anic exegesis at the time. On the other hand, sufi
exegesis in tasawwuf work is aimed to avoid jurists confrontations. It indicates that
sufi exegesis written by ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni> is a part of historical
periodization of Qur‘anic interpretation in Nusantara.
This research does not agree with Izza Rohman Nahrowi (2002) and Petter
Riddel (1989) that the domination of gnostic (‘Irfa>ni>) caused the lack of Qur‘anic
interpretation works, other than the conclusion that Qur‘anic exegeses are a
language transmutation from Arabic works into local language in purpose of its
widespread orientations.
The study is a qualitative research method by using historical-philosophical
approach are oriented to intrinsic of the text, authorial and historical conditions. The
philosophical approach will be used to analyze the basic structure of ‘Abd al-S{amad
al-Falimba>ni>’s exegesis. The primary data of this research are: Ani>s al-Muttaqi>n,
Nas}i>hat al-Muslimi>n wa Tadhkirat al-Mu’mini>n fi> Fad}a>’il al-Jiha>d fi> Sabi>l Alla>h wa
Kara>mat al-Muja>hidi>n fi> Sabi>l Alla>h, Hida>yat al-Sa>liki>n fi> Sulu>k Maslak al-
Muttaqi>n and Siyar al-S{a>liki>n Ila ‘Iba>dat Rabb al-<<<’A<<<<<<<<lami>n. The secondary data are
journals, thesis and dissertation that related to the Qur‘anic sciences, exegesis and
sufism.
Keywords: Sufi Qur‘anic Exegesis Epistemology, ‘Abd al-S{amad al-Falimba>>ni>,
Tas}awwuf Works.
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini
adalah ALA-LC ROMANIZATION tables yaitu sebagai berikut:
A. Konsonan
Initial Romanization Initial Romanization
}D ض A ا
Ţ ط B ب
}Z ظ T ت
‘ ع Th ث
Gh غ J ج
F ف }H ح
Q ق Kh خ
K ك D د
L ل Dh ذ
M م R ر
N ن Z ز
H ه،ة S س
W و Sh ش
Y ي }S ص
B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fatḥah A A
Kasrah I I
Ḑammah U U
xii
2. Vokal Rangkap
Tanda Nama Gabungan
Huruf Nama
ي ... Fatḥah dan ya Ai A dan I
... و Fatḥah dan wau Au A da U
Contoh:
H{awl :حول H{usayn : حسني
3. Vokal Panjang
Tanda Nama Gabungan
Huruf Nama
Fatḥah dan alif a> a dan garis di atas ــا
ي Kasrah dan ya ī I dan garis di atas ــ
Ḑamah dan wau ū u dan garis di atas ــ و
C. Ta’ Marbūţah
Transliterasi ta’ marbūţah (ة) di akhir kata, bila dimatikan ditulis h.
Contoh:
Madrasah :مدرسة Mar’ah : مرأة
(ketentuan ini tidak digunakan terhadap kata-kata Arab yang sudah diserap
ke dalam bahasa Indonesia seperti shalat, zakat dan sebagainya, kecuali
dikehendaki lafadz aslinya)
D. Shiddah
Shiddah/Tashdīd di transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
huruf yang sama dengan huruf bershaddah itu.
Contoh:
Shawwa>l :شوال <Rabbana : ربنا
E. Kata Sandang Alif + La>m
Apabila diikuti dengan huruf qamariyah, ditulis al.
Contoh:
لقلما : al-Qalam
xiii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI iv
PERSETUJUAN PEMBIMBING v
PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI vi
PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN vii
ABSTRAK viii
PEDOMAN TRANSLITERASI x
DAFTAR ISI xii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah
B. Permasalahan
1. Identifikasi masalah
2. Pembatasan Masalah
3. Perumusan Masalah
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan
D. Tujuan Penelitian
E. Signifikansi Penelitian
F. Metodologi Penelitian
1. Definisi Operasional
2. Jenis Penelitian
3. Sumber Data
4. Teknik Pengumpulan Data
5. Teknik Analisis Data
6. Pendekatan
G. Sistematika Penulisan
1
10
10
11
11
11
18
18
18
18
19
19
19
19
20
21
BAB II HISTORISITAS PENAFSIRAN SUFISTIK DI NUSANTARA:
PERDEBATAN EPISTEMOLOGIS
22
A. Sketsa Epistemologi Tafsir Sufistik: Struktur Dasar
1. Sumber Penafsiran
2. Metode Penafsiran
3. Validitas dan Implikasi Penafsiran
B. Tafsir Sufistik Nusantara
1. Tafsir al-Qur’a>n dan Sufisme di Nusantara
a. Sumber Rujukan Utama Doktrin Tasawuf
b. Legitimasi Doktrin dan Ajaran Tasawuf
c. Otoritas Sufi Nusantara terhadap Tafsir al-Qur’a>n
2. Tafsir Sufistik Nusantara: Analisis Heremeneutik
3. Tafsir Sufistik Nusantara: Penilaian Peneliti-peneliti
Terdahulu
C. Tafsir Sufistik dalam Karya-karya Tasawuf Nusantara:
Rekonstruksi Periodisasi Tafsir al-Qur’a>n di Nusantara
1. Eksistensi Tafsir Sufistik dalam Kitab-kitab Tasawuf
2. Kritik Periodisasi Sejarah Tafsir al-Qur’a>n di Indonesia
26
26
27
30
31
31
31
32
34
35
38
39
39
42
xiv
D. Tafsir Sufistik di Nusantara: Contoh dan Kategorisasi Tafsir
Sufi Nusantara
1. Tafsir Sufi Fase Formasi Tasawuf Nusantara
a. H{amzah al-Fans}u>ri> (w. 1600 M)
b. Nu>r al-Di>n al-Ra>ni>ri> (w. 1068 H/1658 M)
c. ‘Abd al-Rau>f al-Sinkili> (1024-1105 H/1615-93 M)
d. Shams al-Di>n al-Sumat}ra>ni> (w. 1040/1630)
2. Tafsir Sufi Fase Rekonsiliasi Tasawuf Nusantara
a. Yu>suf al-Maka>sa>ri> (1037–1111 H/1627–99 M)
b. ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni> (w. 1203 H)
c. Muh}ammad Nafi>s al-Banjari> (w. 1812 H)
d. Muh}ammad Aydaru>s al-But{u>ni> (w. 1851 M)
43
43
43
44
45
46
47
47
48
49
51
BAB III KONSTRUKSI EPISTEMOLOGI PENAFSIRAN SUFISTIK
‘ABD Al- S{AMAD AL-FALIMBANI<: ANALISIS FRAGMEN-
FRAGMEN TAFSIR
53
A. Hakikat Interpretasi Teks al-Qur’a>n Perspektif ‘Abd al-S{amad
al-Falimba>ni>
1. Terjemahan adalah Penafsiran
2. Hubungan antar Ayat sebagai Penafsiran
3. Tafsir Sufistik: Ayat-ayat al-Qur’a>n Bersifat Serba Meliputi
Makna
B. Prinsip-prinsip Interpretasi Sufistik ‘Abd al-S{amad al-
Falimba>ni>
1. Prinsip Perumpamaan
2. Prinsip Persuasif
3. Prinsip Komparatif
4. Prinsip Terminologi Sufistik
5. Prinsip Integrasi Tema-tema Sufistik
C. Sumber-sumber Penafsiran ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni>
1. Sumber-sumber Tekstual
a. Al-Qur’a>n
b. Hadis Nabi
c. Riwayat Sahabat
2. Syair
3. Intuisi Sufistik
4. Akal Rasional
D. Metode Tafsir Sufistik ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni>
54
54
58
60
61
61
63
65
67
69
73
74
74
76
80
83
86
93
100
BAB IV VALIDITAS DAN IMPLIKASI PENAFSIRAN SUFISTIK ‘ABD
AL-S{AMAD AL-FALIMBA<NI<
A. Validitas Tafsir
1. Koherensi Penafsiran
2. Korespondensi Penafsiran
3. Pragmatisme Penafsiran
B. Implikasi Tafsir
1. Paradigma Tafsir Tematik-Sufistik
2. Paradigma Tafsir Etis-Religius
111
112
112
117
120
126
127
128
xv
3. Paradigma Tafsir Sosio-Politis 134
BAB V PENUTUP 140
A. Kesimpulan
B. Rekomendasi
140
142
DAFTAR PUSTAKA 143
GLOSARIUM 155
INDEKS 166
LAMPIRAN 175
BIODATA PENULIS 190
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
‘Abd al-S}amad al-Falimba>ni> hidup pada fase penting dan krusial dalam
perspektif sejarah perkembangan tafsir Nusantara. Hal ini disebabkan beberapa hal,
yaitu: dominasi diskursus tasawuf-teologis dalam perdebatan-perdebatan
kontroversial dan cenderung melahirkan konflik antar aliran tasawuf dibandingkan
dengan diskursus penafsiran atau pemahaman al-Qur‘a>n sebagai basis
epistemologis konsep-konsep tasawuf kaum sufi. Pada masa ini pula diskursus
tafsir dalam periodisasi yang dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya1
menunjukkan bahwa perkembangan tafsir pada abad XVIII mengalami stagnansi2
setelah sebelumnya ‘Shaykh ‘Abd al-Rau>f al-Sinkili> berhasil memproduksi karya
tafsirTarjuma>n al-Mustafi>d, yang merupakan pionir tafsir utuh 30 juz di
Nusantara.3 Masalah lain yang juga terjadi pada abad ini adalah tentang faktor-
faktor penting pemunculan konsepsi tafsir sufistik yang belum jujur diakui oleh
peneliti-peneliti disiplin ilmu ini, hal ini kemudian, bagi peneliti merupakan
pertanyaan-pertanyaan yang secara akademis harus dijawab, khususnya relasi
ulama sufi dan ulama formal. Secara metodologis, sebagian ulama formalistik
(fuqaha>) melakukan kritik bahkan menolak bentuk tafsir sufistik yang secara
metodologis dianggap bertentangan dengan nalar burha>ni> maupun baya>ni>. Oleh
karena itu, peneliti merasa berkepentingan untuk meneliti kasus relasional
tasawuf-tafsir, metodologi, ukuran keabsahan konstruksi tafsir yang juga harus
1Howard M. Federspiel dan Islah Gusmian dalam mukadimahnya tidak nampak
menjelaskan tentang model-model penafsiran Abad XVIII. Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika Hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2002). Bandingkan dengan
Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur’an di Indonesia: Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1996).
2Meskipun tidak secara eksplisit, Mamat S. Burhanuddin nampaknya berupaya
melakukan periodisasi terhadap hermeneutika Tafsir di Nusantara. Tarjuma>n al-Mustafi>d karya Shaykh ‘Abd al-Ra’u>f Singkel dalam kategorinya merupakan tafsir yang menjadi
pionir atau perintis dan melewatkan abad XVIII sebagai periode penting tafsir Nusantara,
sedang Mara>h} Labi>d Karya Shaykh Nawawi al-Banta>ni merupakan Tafsir Perintis sebelum
periode modern yang ditulis pada abad XVIII. Lihat: Mamat S. Burhanuddin,
Hermeneutika Al-Qur’an ala Pesantren: Analisis Terhadap Tafsir Marah} Labi>d Karya K.H. Nawawi Banten (Yogyakarta: UII Press, 2006), 105-110.
3Tradisi penulisan kitab tafsir Nusantara telah dimulai pada pertengahan abad ke-17
ditandai dengan produk tafsir pertama yang tidak hanya berkembang secara lisan akan
tetapi berbentuk tafsir yang utuh dan dibukukan. Adalah ‘Abdurrauf Singkel yang menulis
tafsir Tarjuma>n al-Mustafi>d dalam bahasa Melayu, meskipun setelah periode ‘Abdurrauf
terjadi kevakuman dalam khazanan tafsir Indonesia, hingga akhirnya pada abad ke-19
muncullah Shaykh Nawawi> al-Banta>ni> dengan karya yang fenomenal Tafsi>r Mara>h} Labi>d.
lihat: Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), 27-28
2
ditunjukkan dengan pengujian validitas,4 implikasi dan relevansi penafsiran dalam
lokus tertentu, dalam hal ini adalah tafsir sufistik Nusantara.
Dalam kesejarahan Nusantara pemahaman tasawuf berada dalam perdebatan
yang pelik antar sufi. Sebagai contoh, diskusi mengenai konsepsi wuju>diyyah yang
telah melahirkan konflik mendalam antara elit ulama Sumatera. Konflik tersebut
memiliki hubungan yang saling memengaruhi, tidak hanya pada aspek teologis,
akan tetapi juga pada kebijakan politis kerajaan dan kesultanan saat itu. Konflik
pemikiran yang menunjukkan fakta tersebut adalah usaha Nu>r al-Di>n al-Ra>ni>ri>
dalam upayanya membasmi ajaran wuju>diyyah yang dikembangkan oleh H{amzah
Fans}u>ri> dan Shams al-Di>n al-Sumat}ra>ni>.5 Dalam usaha ini Nu>r al-Di>n al-Ra>ni>ri>
gencar menulis dan berdebat melawan penganut ajaran wuju>diyyah, menurutnya
konsepsi ini sangat bertentangan pada al-Qur‘a>n dan Sunnah serta meminta
penganutnya untuk bertaubat dan kembali ke ajaran yang benar. Penganut-
penganut yang tidak bertaubat dihukumi kafir dan halal dibunuh, selain itu
karangan-karangan H{amzah Fans}u>ri> dan Shams al-Di>n al-Sumat}ra>ni> dikumpulkan
dan kemudian dibakar di halaman Masjid Baiturrahman.6 Meskipun demikian,
penelitian-penelitian pada perdebatan ini belum menunjukkan tanda-tanda adanya
upaya melibatkan diskursus penafsiran sufistik al-Qur‘a>n antar sufi sebagai
bangunan epistemologinya.
Secara genealogis, perkembangan tasawuf Nusantara sangat dipengaruhi oleh
ulama-ulama penting di kawasan ini. Beberapa nama dan karya cukup mampu
merepresentasikan masifitas dinamika tasawuf di Nusantara, diantaranya adalah
warisan naskah-naskah sufi klasik Nusantara. Dalam hal ini, al-Falimba>ni> adalah
nama penting yang cukup produktif menulis karya tasawuf, banyak karya-karya
tasawuf ini dipengaruhi oleh ulama-ulama yang berada di episentrum peradaban
Islam dunia, Timur Tengah pada saat itu. Satu nama penting yang sangat
berpengaruh di Nusantara adalah Abu> H{a>mid al-Ghaz>ali> yang merupakan
rekonsiliator sufistik dengan usahanya untuk menjelaskan konsep-konsep moderat
tasawuf‘amali> yang dapat diterima dikalangan para fuqaha>’ (w. 1111 M). Namun
demikian, tidak dipungkiri bahwa masa awal perkembangan tasawuf Nusantara
juga sangat dipengaruhi oleh Ibn ‘Arabi> yang karyanya sangat memengaruhi
banyak sufi yang muncul belakangan, seperti Shaykh ‘Abd al-Qadi>r al-Ji>la>ni>, yang
4Dalam terminologi al-Fara>bi>, kondisi benar diukur melalui korespondensi antara
statemen dengan pengaruh-pengaruh eksternal yang kemudian karya dimunculkan untuk
memberikan penilaian yang bersifat negatif atau afirmatif. Deborah L. Black, “ Knowledge
(‘Ilm) and Certitude (Yaqi>n) in Al-Fa>ra>bi>’s Epistemology,” Arabic Sciences and Philosophy 16 (2006) : 17, http://journals.cambridge.org/action/displayFulltext?type=1&fid=405081&jid=ASP&volu
meId=16&issueId=01&aid=405080&bodyId=&membershipNumber=&societyETOCSessio
n= (diakses 14 Januari 2014). 5Perdebatan tentang wuju>diyyah. Lihat: Shams al-Di>n al-Sumat}ra>ni>, Jawhar al-
Haqa>iq, di-tahqi>q oleh Toto Idarmo (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia,
2009), 64. 6Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara : Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta:
Kencana, 2006), 91-92.
3
ajarannya menjadi dasar bagi tarekat Qadi>riyyah (w.1166 M); dan Abu> al-Naji>b al-
Suhrawardi>, yang darinya muncul aliran tarekat Suhrawardiyyah (w. 1167 M);
serta Najm al-Di>n al-Kubra> (w. 1221 M), seorang sufi Asia Tengah yang produktif
yang merupakan pendiri tarekat Kubrawiyyah dan sangat berpengaruh terhadap
tarekat Naqshabandiyyah pada masa belakangan, Abu al-H{asan al-Sha>dhili> (w.
1258 M), seorang sufi Afrika Utara yang mendirikan tarekat Sha>dhiliyyah.7 Pada
gilirannya, ulama-ulama tersebut berhasil menginspirasi ulama-ulama Nusantara
sebagai sufi-sufi besar tanah air, antara lain: Shaykh H{amzah al-Fansu>ri>, Shaykh
Shams al-Din al-Sumat}ra>ni>, Shaykh Nu>r al-Di>n al-Ra>ni>ri>, Shaykh ‘Abd al-Rau>f al-
Sinkili>, Shaykh Muh}ammad Nafi>s al-Banjari>, Shaykh ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni>,
Shaykh Da>wu>d al-Fat}t}a>ni> dan Shaykh Yu>suf al-Maka>sa>ri>.8 Dalam ketersambungan
pengajaran atau hanya inspirasi melalui kitab-kitab dari guru-guru besar tasawuf9
inilah kemungkinan-kemungkinan ide atau konsep-konsep sufi dikembangkan oleh
ulama-ulama Nusantara, sayangnya kajian metodologis dalam kerangka tafsir
sufistik mengenai hal ini belum dikaji secara proporsional.
Berdasarkan data-data yang ada, kajian sufistik di Nusantara, dalam banyak
diskursus hanya dikaji melalui konsepsi tokoh sufi, belum sampai kepada pola
interpretasi sufistik yang dikembangkannya, atau keterpengaruhan historis
penafsiran, yang dalam banyak kasus melahirkan tindakan dan pengaruh-pengaruh
langsung terhadap ide dan gagasan. Di luar wujud konsepsi-konsepsi pemikiran
tentang tasawuf, sebenarnya pemahaman dan penafsiran terhadap al-Qur‘a>n
menjadi obyek forma penting dalam tasawuf begitu juga teologi, yaitu
permasalahan ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait dengan-Nya.10 Oleh
karena itulah, upaya memahami yang dilakukan sufi sangat penting untuk diteliti,
sebagai bagian dari pertimbangan atas gagasa-gagasan sufi yang muncul kemudian.
Dalam posisi ini al-Qur‘a>n hendaknya dilihat sebagai basis tradisi tasawuf yang
merupakan fondasi pertama konstruksi sufistik.11 Namun demikian, dalam
perkembangannya tafsir yang menjadi basis teori sufistik tidak muncul sebagai
7Zainul Milal Bizawie, “ Dialektika Tradisi Kultural: Pijakan Historis dan
Antropologis Pribumisasi Islam” Tashwirul Afkar: Jurnal Refleksi pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan 14 (2003) : 48-49.
8Mohd Syukri Yeoh Abdullah,“ Kosmologi dalam weltanshcauung Ulama Sufi
Melayu,”Akademika 67(2006):7, Mohd Syukri Yeoh Abdullah, “ Kosmologi dalam
weltanshcauung Ulama Sufi Melayu” Akademika 67 (2006) : 7,
http://www.ukm.my/penerbit/akademika/AcrobatAcademika67/akademika67[01].pdf,(diak
ses tanggal 14 Januari 2014). 9Relasi guru-murid dalam tradisi tasawuf ditunjukkan dengan cara memberikan
syarah-syarah terhadap karya-karya ulama besar tasawuf. Di Nusantara, ‘Abd al-S{amad al-
Falimba>ni> menunjukkan konsentrasinya terhadap karya-karya al-Ghaza>li>. Lihat: H.M. Bibit
Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah perjuangan 157 Ulama Nusantara (Jakarta: GMI, 2009), 128-129.
10Abdul Razak, Makalah disampaikan dalam Call for Papers bagi Dosen Senior PTAI Annual Conference on Islamic Studies IX Tahun 2009 di Surakarta, 2-5 November.
11Carl W. Ernst, The Shambala Guide to Sufism: An Essential Introduction to the Philosophy and Practice of the Mystical Tradition of Islam (Boston and London: Shambala,
1997), 32.
4
proses yang menunjukkan upaya sufi dalam pengambilan kesimpulan dan gagasan
tasawufnya. Tesis-tesis terdahulu menunjukkan adanya gerakan perkembangan
tasawuf Nusantara tidak sepenuhnya melibatkan tafsir dalam diskursus yang amat
penting dalam perkembangan Islam di Nusantara, khususnya abad XVIII,12 begitu
pula kajian-kajian mengenai periodisasi tafsir al-Qur‘a>n di Nusantara oleh peneliti
sebelumnya, belum mampu memberikan gambaran-gambaran tentang relasi tafsir
dan tasawuf di Nusantara.13
Urgensitas penelitian epistemologi tafsir pada abad tersebut dengan
menunjukkan interpretasi-interpretasi sufistik al-Falimba>ni>, memiliki dasar-dasar
argumentatif, salah satu terma penting dalam hal ini adalah proses istimda>d atau
perujukan konsepsi tasawuf terhadap al-Qur‘a>n14 yang merupakan arti penting
dalam penafsiran yang dilakukan oleh sufi. Pada posisi inilah, seharusnya karya-
karya sufi Nusantara tidak dinilai hanya sebagai karya tasawuf, tetapi juga sebagai
karya tafsir. Mengenai urgensitas karya tafsir sufistik, sesungguhnya telah terlebih
dahulu dikemukakan oleh Goldziher (dalam konteks) memberikan penilaian
terhadap karya-karya Ibn ‘Arabi>, menurutnya disiplin tasawuf tidak ditulis sebagai
tafsir dilakukan dalam rangka memperkuat pengaruh sufistiknya, selain itu agar
tidak terbatasinya makna al-Qur‘a>n yang hanya terpaku pada metode penjelasan
dengan anotasi (sharh). Selain itu hal ini merupakan bagian dari upaya untuk
menghindari konfrontasi dengan ulama-ulama konvensional yang berbeda pandang
dengan konsepsi tasawuf para sufi.15 Dalam kasus Nusantara, maka akan banyak
pula dijumpai karangan-karangan ulama sufistik Nusantara yang mengurai makna-
makna al-Qur‘a>n namun tidak menamainya sebagai sebuah tafsir, meskipun
apresiasinya terhadap al-Qur‘a>n layak untuk digolongkan sebagai seorang sufi
sekaligus mufassir.
Metodologi tafsir sufistik secara historis mendapat pertentangan dari ulama
formalistik fuqa>ha’ yang memiliki nalar baya>ni>/tekstual16 yang berkutat hanya
12Abad XVIII merupakan fase penting kemunculan dan pengaruh dari karya-karya
al-Falimba>ni>. Oleh karena itu, paradigma penelitian ini berusaha untuk merepresentasikan
karya al-Falimba>ni> sebagai bagian dari karya-karya yang memuat fragmen-fragmen
penafsiran abad XVIII. 13Penjelasan tentang minimnya karya tafsir abad XVIII oleh Howard M. Federspiel
tidak dijelaskan dengan alasan-alasan-alasan yang mampu menggambarkan hubungan tafsir
dan sufisme di Nusantara. kolonialisme Belanda pada kisaran 1600-1942 di Indonesia
menyebabkan minimnya produksi tafsir, meskipun ia juga tidak menyangkal bahwa pada
masa yang sama banyak ditemukan tulisan-tulisan yang berfokus pada aturan-aturan
tingkah laku perbuatan baik melalui kisah-kisah, balada, cerita-cerita petualangan
menggunakan ciri-ciri, istilah-istilah dan simbol-simbol. Lihat: Howard M. Federspiel,
Kajian Al-Qur’an di Indonesia: Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab (Bandung:
Mizan, 1996), 2. 14 Muh}ammad al-Sayyid Jibri>l, Madkhal Ila> Mana>hij al-Mufassiri>n (Kairo: al-
Risa>lah, 1987), 207. 15 Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern (Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2006), 269-270. 16 ‘A<bid al-Ja>biri>, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi> (Beirut: Markaz Dira>sa>t al-Wah}dah al-
‘Arabiyyah, 2002), 320.
5
pada makna lahiriah semata.17 Hal ini berbeda dengan tradisi penafsiran sufi yang
merupakan upaya ahl al-fahm dalam memberikan makna z}a>hir dan makna ba>t}in
dari al-Qur‘a>n, sunnah, hikmah-hikmah, khabar-khabar Rasulullah, yang
dianugerahkan Allah bagi orang-orang suci yang mampu menyingkap makna-
makna.18 Kontroversi tafsir sufistik, dimulai dari penolakan terhadap tradisi tafsir
sufi yang dianggap tidak mampu berfikir rasional dalam memproduksi makna-
makna metaforis dari ayat-ayat al-Qur‘a>n.19 Selain itu, prinsip-prinsip penafsiran
sufistik yang bersumber pada pengalaman batin dan ilmu penyingkapan (‘ilm al-muka>shafah) melahirkan pembatasan-pembatasan dalam penafsiran yang memiliki
banyak kemungkinan-kemungkinan makna di dalamnya.20 Tingkatan pemahaman
penafsir sufi juga semakin menambah rancu batasan-batasan penafsiran, karena
perbedaan pengalaman, pendidikan, waktu, dan konteks yang dihadapi oleh
penafsir.21 Di sisi lain, tafsir sufistik juga memiliki tingkat pemahaman yang tinggi
sehingga model tafsir ini tidak sepenuhnya bisa dipahami oleh pembaca awam
karena banyak makna-makna batin dari ayat-ayat yang ditafsirkan.22
Kontroversialitas inilah yang rentan menimbulkan konflik pemahaman antar elit
ulama yang cenderung memunculkan penolakan-penolakan terhadap model
penafsiran ini.
Dalam kasus Indonesia, arti penting karya-karya yang memuat penafsiran
terhdap ayat al-Qur‘a>n pula ditunjukkan oleh Shaykh ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni>,
seorang tokoh penting, penganjur agama yang mengupayakan rekonsiliasi antara
perdebatan-perdebatan tasawuf yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Respon
teologis, aktivitas dan karya yang diciptakan oleh al-Falimba>ni> ini dalam istilah
Jens Kreinath merupakan ide sekaligus tindakan terhadap konsepsi realitas yang
transtemporal.23 Selain itu penafsiran-penafsiran yang dilakukan oleh al-Falimba>ni>
juga bisa dinilai sebagai meaningful sense/ “makna yang berarti” daripada sekedar
makna literal.24 Secara Hermeneutik karya-karya tasawuf al-Falimba>ni> diposisikan
sebagai notion of the text yang memiliki sejarah, metode, dan lawan bicara atau
interlocutors yang saling memberikan pengaruh antara penulis dan pembaca.
17 Aik Iksan Anshori, Tafsir Isha>ri: Pendekatan Hermeneutik Sufistik Tafsir Shaikh
‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> (Ciputat: Referensi, 2012), 1. 18Kha>lid ‘Abd al-Rahman al-‘Ak, Us}u>l al-Tafsi>r wa Qawa>’iduhu (Beirut:Da>r al-
Nafa>is, 1986), 210. 19Nicholas Heer, Abu> H{a>mid al-Gha>za>li>’s Esoteric Exegesis of The Koran” dalam
The Heritage of Sufism: Classical Persian Sufism from its Origins to Rumi (700-1300), Ed.
Leonard Lewisohn, (Oxford: Berne Convention, 1999), 242. 20Nicholas Heer, Abu> H{a>mid al-Gha>za>li>’s Esoteric Exegesis of The Koran,”245-247. 21Nicholas Heer, Abu> H{a>mid al-Gha>za>li>’s Esoteric Exegesis of The Koran,” 252. 22Nicholas Heer, Abu> H{a>mid al-Gha>za>li>’s Esoteric Exegesis of The Koran,” 253-
255. 23Jens Kreinath (Ed), “ Islam Observed: Religious Development in Morocco and
Indonesia” dalam The Antropology of Islam Reader (New York: Routledge, 2012), 67. 24M. Nur Kholis Setiawan, Akar-akar Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur’an
(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008 ), 73.
6
Keterlibatan konteks dalam pengolahan dan pemindahan pesan inilah yang dapat
dianggap sebagai aktivitas interpretasi.25
Meskipun karya-karya penafsiran sufi, dihadapkan pada pertentangan-
pertentangan oleh sebagian ulama yang merasa khawatir terhadap pemaknaan sufi
dan menganggapnya tidak berdasar pada aturan-aturan keilmuan, petunjuk dan
cenderung tidak didukung pada ilmu-ilmu yang terukur. Namun demikian,
sebagian ulama bersikap afirmatif26terhadap tafsir model ini dengan memberikan
batasan-batasan yang jelas dalam proses tafsir sufistik, beberapa diantara
persyaratan tafsir sufistik adalah: tidak memosisikan makna-makna tasawuf secara
tunggal pada makna esoteriknya saja; tidak bertentangan secara syari’at dan
alasan-alasan rasional; serta memiliki batasan-batasan syari’at.27
Di luar pembatasan dan pensyaratan yang dilakukan oleh ulama, tafsir sufi
juga dapat diukur melalui usaha mufassir sufi untuk menghubungkan antara teks
dan konteks al-Qur‘a>n dalam tujuan dan makna secara fundamental yang secara
tidak langsung melahirkan code of conduct yang berfungsi memberikan imbalan
bagi yang beramal, hukuman bagi yang melanggar aturan-aturan.28 Dalam
perkembangannya tafsir sufi di Nusantara juga turut andil memberikan respon
terhadap perubahan-perubahan, dengan memberikan perhatian kepada masalah-
masalah moral-religius.29 Hal demikian, menandai resepsi mufassir-sufi terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi dengan mengkorelasikannya melalui teks-teks
al-Qur‘a>n. Dengan demikian al-Qur‘a>n dan tafsir kaum sufi sangat bernilai bagi
kehidupan di tengah-tengah masyarakat.30 Berkaitan dengan kontribusi tafsir
sufistik pada masyarakat Nusantara, dapat dijumpai melalui legitimasi
interpretatif yang memberikan pengaruh kuat, khusunya pada aspek-aspek teologis,
akhlak, ibadah31 dan eskatologis.
25John B. Thompson (Ed. Trans.), Paul Ricouer Hermeneutics and the Human
Sciences (Cambridge: University Press, 2005), 43-44. 26Ulama yang melakukan afirmasi terhadap tafsir isha>ri> adalah Ibn al-Qayyim al-
Jawziyyah. Lihat: Manna’ al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Surabaya: al-Hida>yah),
357-358. 27Kha>lid ‘Abd al-Rahman al-‘Ak, Us}u>l al-Tafsi>r wa Qawa>’iduhu (Beirut:Da>r al-
Nafa>is, 1986), 208. 28Ismail K. Poonawala, “Muhammad ‘Izzat Darwaza’s Principles of Modern
Exegesis: A Contribution Toward Qur’anic Hermeneutic” dalam Approaches to the Qur’a>n,
G.R. Hawting and Abdul-Kader A. Shareef, Ed. (London dan New York: Routledge, 1993 ),
230. 29Sebagai contoh lihat: ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni>, Ani>s al-Muttaqi>n, di-tahqi>q
oleh Ahmad Lutfi (Jakarta: Direktorat Pendidikan Agama Islam, 2009), 32. 30Aziz al-Azmeh, Islams and Modernities (New York : Verso, 1996), 101. 31 Teks al-Qur’a>n merupakan elemen utama atau dengan istilah lain sebagai
(Expository Epistemology), dalam pada ini al-Qur’a>n yang esensial merupakan bagian yang
memiliki relasi dengan identitas spesifik yang juga dikonstruksi atas gagasan-gagasan.
Terma al-Qur’a>n sebagai expository epistemology yang mengandung tujuan-tujuan. Dalam
kerangka teologis, al-Qur’a>n memiliki tugas untuk menjelaskan elemen-elemen yang
disebut sebagai teks suci, tradisi, konsensus dan analogi. Ilyas Altuner,“ Methodological
Discussions between Expository and Demonstrative Epistemologies in Islamic
7
Berdasarkan penilaian penulis, meskipun tidak banyak data yang
menunjukkan tentang dialektika penafsiran sufi di Nusantara, namun gerakan
tafsir-tafsir sufistik melalui karya-karya tasawuf pasca perdebatan-perdebatan dan
konflik pemahaman filosofis antar sufi di Nusantara menunjukkan adanya
pergeseran paradigmatik (paradigm shifting). Hal ini bisa dilihat melalui
pembahasan sufi yang tidak hanya sebagai sumber perdebatan pelik, melainkan
reformulasi ideal-moral yang penting dan berkontribusi bagi pembentukan fondasi
moral. Selain itu penafsiran-penafsiran sufi pula menunjukkan kekhawatiran dan
kegelisahan tentang krisis moral. Hal tersebut dalam diskursus Hermeneutika
disebut sebagai “ originary ethos” yang merupakan respon terhadap historis (truth of being) yang akan melahirkan nilai-nilai etis. Premis-premis etik inilah yang
ditansformasikan melalui karya setelah menghadapi konstelasi seni, ilmu, dan
konstruksi politik pada saat premis-premis tersebut diciptakan.32 Fakta-fakta yang
mendukung pandangan ini adalah munculnya karya-karya tasawuf yang memuat
penafsiran-penafsiran teologis-etis. Pengamatan penulis menunjukkan bahwa
dalam disiplin ilmu kalam karya-karya sufi ini menyinggung banyak hal tentang
asas-asas Islam berikut landasan-landasan teologisnya berdasarkan al-Qur‘a>n,33
akidah-akidah tauhid,34 iman kepada hal-hal gaib, namun demikian, dijelaskan pula
aturan-aturan etis sultan-sultan.35 Di luar itu, hal-hal etis juga menjadi kajian sufi
Nusantara, beberapa diantaranya adalah pembahasan tentang etika anak kepada
kedua orang tua36 dan penyucian hati dari sifat-sifat tercela.37
Dalam posisi sebagai sufi-mufassir, ‘Abd al-S}amad al-Falimba>ni> memiliki
keistimewaan dikarenakan pengaruhannya yang begitu besar di Nusantara abad
XVIII. Selain itu konsentrasinya terhadap tasawuf memiliki relasi kuat dengan
penafsiran-penafsiran ayat al-Qur‘a>n. Analisis Anthony H. John menunjukkan
fakta menarik tentang al-Falimba>ni>, tesisnya berkesimpulan bahwa penerjemahan
dan penafsiran yang dilakukannya merupakan bagian penting dari historisitas tafsir
al-Qur‘a>n di Indonesia-Melayu. Aktivitas ini menunjukkan pola tafsir yang
masyhur pada masa itu. Dalam posisinya sebagai penafsir, al-Falimba>ni> juga tidak
Thought”International Journal of Human Sciences8, 2(2011): 198,
http://www.jhumansciences.com/ojs/index.php/IJHS/article/view/1712/767 (diakses 14
Januari 2014). 32John D. Caputo, Radical Hermeneutics: Repetition, Deconstruction, and the
Hermeneutic Project (Indianapolis: Indiana University Press, 1987), 236. 33Isma>’i>l Minangkabau, Kifa>yat al-Ghula>m (Indonesia: Al-H{aramayn, tt), 1. 34Da>wu>d al-Fat}t{a>ni>, Al-Dur al-Thami>n (Singapura: Al-Haramayn, tt), 1. 35Qa>’im al-Di>n al-But}u>ni>, Tanqiyat al-Qulu>b Fi> Ma’rifat ‘Alla>m al-Ghuyu>b di-
tahqiq oleh ‘Abd Alla>h Adi>b Masru>ha>n (Jakarta: kementerian Agama RI, 2009), 37. 36Qa>’im al-Di>n al-But}u>ni>, Tah{si>n al-Awla>d Fi> T{a>’at Rabb al-‘Iba>d di-tahqi>q
Muh}ammad ‘Isha>m al-Saha> (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2009), 28. 37Qa>’im al-Di>n al-But}u>ni>, Dhiya>’ al-Anwa>r Fi> Tas}fiyat al-Akda>r di-tahqi>q (Jakarta:
Kementerian Agama RI, 2009), 20.
8
lupa menunjukkan perhatiannya dalam bidang politik yang berkaitan erat dengan
kolonialisme.38
Secara teologis, al-Falimba>ni> dalam menciptakan karyanya, berada pada
masa perdebatan teologis dari kalangan tasawuf falsafi pada masa-masa
sebelumnya. Kemunculan atau respon terhadap perdebatan tersebut memberikan
pengaruh munculnya penafsiran-penafsiran atas pertimbangan teologis. Hal ini
memiliki relevansi historisnya, misalnya tafsir Mafa>tih} al-Ghayb karya al-Ra>zi>
yang merupakan interpretasi teks yang berangkat dari pertimbangan-pertimbangan
teologis dan filosofis yang di antara ayatnya melibatkan beragam isu-sub isu,
argumen-sub argumen dan kritik atas argumen yang kemudian dibuktikan melalui
pernyataan yang diskursif melalui evaluasi, penolakan bahkan pengajuan. Sehingga
tafsir model sufi ini, melibatkan pertimbangan makna-makna dasar teks selain
perujukan kepada nabi dengan otoritas-otoritasnya.39 Dalam posisi ini maka
penting untuk melihat tafsir sebagai ajaran-ajaran etis bagi kehidupan sehari-hari.40
Dalam kerangka reformasi intelektual, tafsir dihadapkan pada resolusi keumatan
modern. Dalam posisi ini, tafsir harus mampu berelasi dengan krisis-krisis yang
terjadi dimana mufassir hidup. Koordinasi antar disiplin dalam melihat tokoh akan
memunculkan produk solutif yang merespon krisis sosial.41 Dalam posisi ini, al-
Falimba>ni> memiliki kontribusi untuk melakukan respon sosial.
Pada aspek historis, studi tentang tafsir al-Falimba>ni> dalam kerangka historis
akan menunjukkan nilai membimbing/ guide untuk mengatasi masalah krisis moral
dan memiliki relevansi kuat terhadap sosial dan politik.42 Studi terhadap tafsir
sufistik al-Falimba>ni>, berpretensi untuk mengembangkan sistem etis yang
berlangsung pada masa itu ditengah diskursus tentang kontroversialitas sufistik.
Hal ini sejalan dengan posisi al-Qur‘a>n dalam tradisi tafsir sufistik ‘amali> yang
memiliki relasi kuat dengan konstruksi sosial kemasyarakatan, hal ini merupakan
sifat alamiah manusia yang menjunjung tinggi etika yang menginisiasi lahirnya
sikap moderat, adil, dan menunjukkan aturan-aturan etis yang lurus.43 Rekonsiliasi
antara tradisi sufi falsafi dengan sufi ‘amali> terlihat dalam upayanya melakukan
penyeimbangan antara nilai-nilai ketuhanan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam
38Anthony H. Johns, “Tafsir al-Qur’an di Dunia Indonesia Melayu: Sebuah
Penelitian Awal,” Jurnal Studi Al-Qur’an 1 (2006) : 472. 39Feras Hamza dan Sajjad Rizvi (Ed.), An Anthology of Qur’anic Commentaries
(London: Oxford University Press, 2010), 37-38. 40Abdullah Saeed, The Qur’an An Introduction (New York: Routledge, 2008), 171-
172. 41T}a>ha> J. al ‘Alwa>ni>, “ Missing Dimesions in Contemporary Islamic Movements”
The American Journal of Islamic Sciences 12, 2, (tt). 42Abdullahi Hassan Zaroug, “ Ethics from an Islamic Perspective: Basic Issues” The
American Journal of Islamic Social Sciences 16, 13, (tt) : 55,
http://iepistemology.net/attachments/639_V16N3%20FALL%2099%20%20Zaroug%20%2
0Ethics%20from%20an%20Islamic%20Perspective.pdf (diakses 14 Januari 2014). 43Ah}mad al-Sharba>s}i>, Mausu>’ah Akhla>q al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Ra>’id al-‘Arabi>,
1981), VII.
9
mukadimahnya tema-tema akhlak, keseimbangan dunia dan akhirat dijelaskan
dengan menghubungkannya pada aspek-aspek ketuhanan yang mulia.44
Dalam kasus lainnya, terlihat pula sikap penafsiran al-Falimba>ni> terhadap
kondisi politis. Dalam masalah ini, al-Falimba>ni> memosisikan tafsirnya sebagai
ideologi perlawanan terhadap penjajahan yang sedang terjadi di Nusantara. Al-
Falimba>ni> memberikan dukungan anti kolonial pada tahun 1770, dengan
menyerukan jihad melawan penjajah kepada mangkunegara yang merupakan raja
Solo. Selain itu karyanya tersebut jugalah yang menjadi inspirasi perang sabil di
Aceh.45 Dari sini terlihat karakter sufistik al-Falimba>ni>. Aktivismenya merupakan
konsepsi penganut materialisme historis dalam konteks sejarah yang memosisikan
manusia sebagai insan sejarah. Hal ini dimaksudkan, bahwa manusia sebagai
pelaku dan pencipta sejarah, yang dapat membuat sejarah baik berskala besar atau
kecil.46
Dengan fakta-fakta itu, maka tafsir sufistik di Nusantara menunjukkan
perkembangan yang berarti, khususnya dalam diseminasi ide-ide etis-teologis.
Namun hal demikian tidak didukung dengan upaya teorisasi atau pembakuan
metodologis penafsiran sufi di Nusantara. Dengan merepresentasikan Shaykh ‘Abd
al-S{amad al-Falimba>ni> dan karya-karyanya, antara lain: Hida>yat al-Sa>liki>n fi> Sulu>k Maslak al-Muttaqi>n,47 Sayr al-S{a>liki>n Ila> ‘Iba>dah Rabb al-<<<’A<lami>n,48 Ani>s al-
44Abd al-S{amad al-Falimba>ni>, Ani>s al-Muttaqi>n, 32. 45Michael Francis Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma
below the Winds (London and New York: Routledge Curzon, 2003), 27. Lihat juga: Iik A.
Mansurnoor, “Muslims in Modern Southeast Asia: Radicalism in Historical
Perspectives,”Taiwan Journal of Southeast Asian Studies 2, 2 (2005) : 18,
http://www.cseas.ncnu.edu.tw/journal/v02_no2/pp3-54.pdf (diakses 14 Januari 2014). 46Misri A. Muchsin, Filsafat Islam dalam Sejarah (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press
Khazanah Pustaka Indonesia, 2002), 51. 47Hida>yat al-Sa>liki>n fi> Sulu>k Maslak al-Muttaqi>n, Sebuah kitab berbahasa Melayu
yang selesai ditulis oleh al-Falimba>ni> pada 5 Muh}arram tahun 1192 H/ 1778 M. Menurut
Zulfikri, Karya ini bukanlah karya terjemahan dari Bidayat al-Hida>yah, akan tetapi al-
Falimba>ni> berusaha membahasakan beberapa masalah yang terdapat kitab al-Ghaza>li>
dengan bahasa Melayu dan menambahkan beberapa Nufah masalah. Dalam karya ini juga
dikemukan ajaran-ajaran sufi dari sumber-sumber lain, seperti: ‘Abd al-Wahha>b Sha’ra>ni>
(al-Yawa>qi>t wa al-Jawa>hir), ‘Abd Alla>h al-‘Aydaru>s (al-Durr al-Thami>n), Ah}mad
Qusahashi (Busata>n al-‘A<rifi>n) dan Muh}ammad Samma>n al-Madani> (al- }a>t al-Ila>hiyyah).
Dalam karya ini pula dijelaskan mengenai maqa>ma>t yang haryus dilalui oleh sufi (sa>lik), hal
ini belum diceritakan dalam Bida>yat al-Hida>yah. Dengan demikian karya ini bukan karya
terjemahan, lebih tepat disebut sebagai sebuah karangan. Lihat: Zulfikri, “ Dimensi Ajaran
Tasawuf Al-Palimbani dalam Sair as-Sa>liki>n dan Hida>yah as-Sa>liki>n” dalam JURNAL LEKTUR, 4, No. 1, (2006): 34.
48Sayr al-Sa>liki>n ila> ‘Iba>dah Rabb al-‘A<lami>n, meskipun dikatakannya karya ini
merupakan terjemahan dari kitab Luba>b Ihya> ‘Ulu>m al-Di>n karya al-Ghazali>, namun
demikian terdapat pula sumber-sumber dari karya ‘Abd al-Qadi>r al-‘Aydaru>s, Mus}t}afa> al-
Bakri>, ‘Abd Alla>h al-H{adda>d, ‘Abd al-Qadi>r al-Ji>la>ni>. Sehingga karya ini lebih tepat dinilai
sebagai sebuah karangan. Lihat: Zulfikri, “ Dimensi Ajaran Tasawuf Al-Palimbani dalam
Sair as-Sa>liki>n dan Hida>yah as-Sa>liki>n,” 35.
10
Muttaqi>n dan Nas}i>hat al-Muslimi>n wa Tadhkirat al-Mu’mini>n fi Fad}a>’il al-Jiha>d fi Sabi>l Alla>h wa Kara>mat al-Muja>hidi>n fi Sabi>l Alla>h yang merupakan karya-karya
al-Falimba>ni> yang memuat banyak ayat-ayat al-Qur‘a>n, oleh Anthony H. Johns
model-model penafsiran ini dikategorikan sebagai tafsir.49 Dari argumentasi-
argumentasi tersebut di atas, tesis ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan
menguji proses-proses, metodologis, validitas, implikasi dan relevansi yang terjadi
dalam kerangka produksi pemahaman dan penafsiran (subject epistemic). Selain
itu, interaksi-interaksi al-Falimba>ni> dengan sarjana-sarjana pada masanya,
merupakan hal-hal penting dan berpengaruh dalam aksi dan analisis sosial. Analisis
sosial inilah yang menginspirasi karya, statemen, sensitivitas antropologis, dan
sejarah keilmuan yang dibangun50dalam dirinya. Dengan demikian, pembacaan
multidimensional tentang tafsir sufistik Shaykh ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni>
merupakan bagian penting tentang fase historis tafsir sufistik di Nusantara.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
a. Kontroversialitas tafsir sufistik di Nusantara tidak dilihat dalam
kerangka penafsiran sufistik tokoh dan hanya terpaku pada konsepsi
pemikiran, sebagai basis argumentasinya, penafsiran al-Qur‘a>n
seharusnya berada pada posisi penting yang menjadi objek kajian inti
yang belum banyak diteliti.
b. Secara metodis, belum ada teorisasi tentang corak tafsir sufi yang
diproduksi oleh ulama Nusantara, khususnya pada abad XVIII yang selalu
dianggap fase miskinnya karya tafsir.
c. Uji validitas tafsir sufistik penting dilakukan untuk melihat faktor-faktor
penting tentang munculnya penafsiran dengan melihat posisi pengarang,
untuk apa penafsiran ditulis, dalam konteks apa penafsiran ditulis dan
bagaimana argumentasi dalam penafsiran disampaikan.
d. ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni> dan keterlibatannya dengan aliran tarekat
memungkinkan dalam pembentukan karakteristik tersendiri pada level
penafsiran sufistik di Nusantara. Kekhususan ini akan menunjukkan
aspek lokalitas penafsiran dimulai dari pembacaan konteks yang dihadapi
oleh al-Falimba>ni>.
e. Pandangan-pandangan sufistik dan perujukan referensial yang
mendukung dalam penafsiran Shaykh ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni> akan
menunjukkan akar geneaologis tafsir sufistik Nusantara. Siapa-siapa
sajakah yang banyak memengaruhinya?.
49Anthony H. Johns, “Tafsir al-Qur’an di Dunia Indonesia Melayu: Penilitian Awal,”
472. 50 Koichiro Misawa, “A Critical Analysis of the Educational Impact of Analytic
Social Epistemology, ” Journal of Studies in Education 2, 3, (2012), School of Education,
Japan, Tokyo University of Social Welfare, ,
http://www.macrothink.org/journal/index.php/jse/article/viewFile/1729/1614, (diakses 9
Desember 2013).
11
f. Pembahasan mengenai validasi dan implikasi akan sangat memengaruhi
model-model penafsiran sufi selanjutnya. Apa-apa saja yang menjadi
tolok ukur al-Falimba>ni> dan bagaimana implikasinya terhadap
perkembangan metodologi tafsir sufi?.
2. Pembatasan masalah
Dalam memberikan pembatasan masalah, peneliti akan memfokuskan
pembahasan pada materi kajian epistemologi tafsir sufistik, adapun karya yang
akan menjadi objek penelitian adalah kitab-kitab sufistik karya ‘Abd al-S{amad al-
Falimba>ni>, yaitu: Ani>s al-Muttaqi>n dan Nas}i>hat al-Muslimi>n wa Tadhkirat al-Mu’mini>n fi Fad}a>’il al-Jiha>d fi Sabi>l Alla>h wa Kara>mat al-Muja>hidi>n fi Sabi>l Alla>h, Hida>yat al-Sa>liki>n fi> Sulu>k Maslak al-Muttaqi>n, Siyar al-S{a>liki>n Ila> ‘Iba>dat Rabb al-‘A<lami>n.51 Karya-karya tersebut melalui fragmen-fragmen penafsirannya
terhadap ayat-ayat al-Qur‘a>n dilihat sebagai sebuah bentuk penafsiran yang
dilakukan oleh al-Falimba>ni>.
Berdasarkan data-data tersebut maka “Epistemologi Penafsiran Sufistik
‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni>” adalah penelitian yang berupaya menelusuri basis
epistemologis: hakikat tafsir, metode tafsir, validitas dan implikasi penafsiran
Shaykh ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni>. Jadi permasalahan utama dalam penelitian ini
adalah produksi makna, sumber makna dan validitas pemaknaan. Kalaupun
ada penjelasan-penjelasan tambahan di luar kajian epistemologis adalah untuk
memperkuat argumen dalam penelitian ini.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang sudah dijelaskan di atas, secara
operasional penelitian ini akan menjawab beberapa pertanyaan berikut:
a. Apa hakikat, prinsip, dan sumber penafsiran sufistik ‘Abd al-S{amad al-
Falimba>ni>?
b. Bagaimana metodologi penafsiran sufistik ‘Abd al-S}amad al-Falimba>ni>?
c. Bagaimana validitas dan implikasi penafsiran ‘Abd al-S{amad al-
Falimba>ni>?
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Berdasarkan penelusuran penulis, relatif sulit menemukan literatur yang
memberikan penjelasan utuh tentang tafsir sufistik, khususnya yang berkenaan
dengan perkembangannya di Nusantara. Namun di luar itu, ada beberapa karya
menunjukkan fokusnya pada tafsir sufistik meskipun dengan objek, dimensi ruang
dan waktu yang berbeda. Diantara penelitian terdahulu yang membahas tentang
pola tafsir sufi, antara lain adalah sebagai berikut:
51Berkenaan dengan Kitab Sayr al-Sa>liki>n, penulis menggunakan karya yang telah
disunting oleh Muh}ammad Fari>d Muh}ammad dan diterbitkan oleh Al-H{aramayn
(Singapura, Jedah dan Indonesia) pada tahun 1953 M (1372 H) dengan versi Judul Kitab
Siyar al-Sa>liki>n fi> T{ari>qat al-Sa>da>t al-S{u>fiyyah.
12
Kristin Zahra Sands menulis S{u>fi> Commentaries On The Qur’a>n In Classical Islam, memiliki beberapa tujuan penting dalam analisa terhadap sufisme dan al-
Qur‘a>n. Kristin berangkat dengan menggunakan analisis hermeneutis memulai
tulisannya dengan perdebatan sarjana-sarjana terhadap al-Qur‘a>n dan sufisme.
Beberapa nama, yang muncul dalam catatannya adalah Goldziher, Paul Nwyia,
Hamid Dabashi. Dari sekian perdebatan dalam diskursus relasional sufi dan al-
Qur‘a>n nampaknya Kristin tidak puas dengan analisis-analisis peneliti terdahulu
yang penjelasan mengenai relasi keduanya, meskipun peneliti sebelumnya
menunjukkan fokus penelitiannya pada signifikansi bahasa. Terma alegoris dalam
al-Qur‘a>n yang digunakan oleh Goldziher, menurut Kristin belum mampu
menunjukkan gambaran utuh tentang bahasa-bahasa metaforis dalam al-Qur‘a>n.
Dengan mengajukan beberapa nama peneliti yang sependapat dengannya, seperti:
Louis Massignon, Henry Corbin, Toshihiko Izutsu dan William Chittick, Kristin
hendak meneguhkan pandangannya bahwa hal-hal simbolik, bahasa metaforis dan
konsep imaginasi (musha>hadah) pada posisi mufassir-sufi bukanlah hal yang
bersifat fantasi, melainkan upaya sufi dalam mencapai tujuan-tujuan realitas,
pemikiran dan kosmos. Berdasarkan pada teori ini, posisi Kristin amat penting dan
mencoba memberikan alternatif pemahaman dalam memaknai hubungan relasional
sufisme dan tafsir al-Qur‘a>n. Dengan analisis melalui Hermeneutika, ia
berpendapat bahwa kajian-kajian al-Qur‘a>n dan tafsir sufistik akan membuka pintu
masuk bagi disiplin-disiplin ilmu lainnya, karena penafsiran adalah hal yang tiada
pernah berakhir. Dengan pendekatan ini maka penafsiran sufistik akan terlihat
berkesan dan mampu memberikan pernyatan-pernyatan penjelasan.52 Dalam
kerangka memperkuat argumennya, Kristin menunjukkan beberapa penafsir yang
memiliki susunan-susunan berbeda dalam penafsiran ayat-ayat sufistik tentang
kisah nabi Mu>sa> dan Khidir, begitu pula Maryam, di antara beberapa penafsir
tersebut adalah al-Tustari> (w. 896 M), al-Sulami> (w. 1021 M), al-Qushayri> (w.
1074 M), Abu> H{a>mid al-Ghaza>li\> (w. 1111 M), Rashi>d al-Di>n al-Maybudi> (w. 1135
M), Ru>zbiha>n al-Baqli> (w. 1209 M), al-Ka>sha>ni> (w. 1329 M) dan al-Nisa>bu>ri>.53
Temuan Kristin Zahra Sands dalam karyanya ini memiliki arti penting bagi
penelitian penulis, khusunya dalam upaya merumuskan basis epistemologis tafsir
sufi dalam kesejarahan tafsir sufistik di Nusantara yang direpresentasikan oleh
Shaykh ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni> dengan polarisasinya yang khusus dan
tersendiri. Namun demikian, pandangan Kristin Zahra Sands yang berkonsentrasi
pada aspek linguistik dan hermeneutik, belum sepenuhnya mampu memberikan
gambaran utuh tentang dialektika teks dan konteks. Melalui tesis ini, penulis akan
berusaha untuk menjelaskan hubungan-hubungan yang memengaruhi al-Falimba>ni>
dalam upaya memproduksi penafsiran terhadap ayat al-Qur‘a>n.
Aik Iksan Anshori, menulis tesis dengan judul “Tafsir Isha>ri>: Pendekatan
Hermeneutika Sufistik Shaikh ‘Abd al-Qadi>r al-Ji>la>ni>,” sebagaimana disampaikan
52Kristin Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur‘a>n in Islamic Classical Islam
(London and New York: Routledge, 2006), 2-3. 53Kristin Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur‘a>n in Islamic Classical Islam,
67-78.
13
penulisnya, penelitian ini mengupayakan pembakuan konstruksi hermeneutika
sufistik karya al-Ji>la>ni> secara teoritis-metodologis.54Temuan dalam penelitian ini,
berdasarkan pengamatan penulis bersifat normatif, dalam kesimpulan penulis
penelitian ini mendapati dan mengungkapkan simpulan tentang moderasi
penafsiran sufistik dengan mengkombinasikan tafsir dengan pemaknaan z}ahi>r dan
ba>t}in. Namun demikian, sikap etis dalam menafsirkan berdasarkan penelusurannya
terhadap tafsir al-Ji>la>ni> memiliki makna yang penting, meskipun hal demikian
sesungguhnya sudah dibahas pada kitab-kitab ‘Ulum al-Qur‘a>n.55 Selain itu,
penelitian ini kurang begitu menonjolkan aspek relasi teks dan konteks tentang
mengapa metode penafsiran atau tafsir dimunculkan. Hal ini tentu menandai
inkonsistensi penggunaan term hermeneutika yang salah satu fungsi utamanya
adalah mengungkap historisitas penafsiran.
Gerhard BÖwering melalui tulisannya “The Light Verse: Qur‘anic Text and Su>fi> Interpretation” secara metodis berusaha untuk memberikan penafsiran
terhadap ayat-ayat tentang Nu>r (Light Verse)/ surah Nu>r, 24: 35. Ia memulai
dengan melakukan analisis dengan beberapa tahapan. Pertama, menjelaskan al-
Qur‘a>n dengan al-Qur‘a>n. BÖwering berusaha mengkomparasikan ayat-ayat terkait
secara metodis dan paralel dengan menonjolkan bukti inner-Qur‘anic yang di-set untuk merespon kebudayaan Arab dimana Nabi Muh}ammad hidup. Kedua,
tafsiran-tafsiran sufi juga digunakan oleh BÖwering untuk memberikan gambaran-
gambaran untuk merefleksikan kebudayaan dan latar belakang keagamaan pada
abad 9-12 M dalam konteks kesejarahan Iraq, Iran, Bagdad yang merupakan pusat
kekuasaan Abbasiyah, dan Khurasan.56
Dalam simpulannya, BÖwering terlihat ingin menunjukkan bagaimana al-
Qur‘a>n dalam penafsiran sufistiknya harus dilihat dengan tamsil yang berlapis-lapis
(multilayer imagery),57 penafsiran sufi pada sisi lain merupakan respon perlawanan
terhadap kondisi kultural dan latar belakang keagamaan yang begitu luas, hal
demikian memberikan inspirasi bagi kaum sufi untuk membuat tamsil-tamsil
dalam sebuah penafsiran.
Tulisan ini memiliki arti penting tentang pemaknaan sufistik yang multi
penafsiran. Hal ini menegasikan tentang tafsir sebagai respon terhadap berbagai
kondisi, lalu kemudian diterjemahkan kedalam tamsil-tamsil, sya’ir-sya’ir dalam
sebuah penafsiran terhadap teks. Dalam kasus ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni>, tesis
penulis tidak hanya memberikan gambaran tentang lapisan makna ayat-ayat al-
Qur‘a>n, tetapi juga akan menjeaskan aspek implikatif penafsiran yang akan
menggambarkan aktivisme historis penafsir, begitu juga keterlibatan langsung
tokoh dalam gerakan-gerakan politik keagamaan.
54Aik Iksan Anshori, Tafsir Isha>ri: Pendekatan Hermeneutik Sufistik Tafsir Shaikh
‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, 11. 55Manna’ al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur‘a>n, 331-332. 56Gerhard BÖwering, “ The Light Verse: Qur‘anic Text and Su>fi> Interpretation,”
Oriens 36 (2001) : 113-114, www.jstor.org/stable/1580478. (diakses tanggal 15 Januari
2014). 57Gerhard BÖwering, “ The Light Verse: Qur‘anic Text and Su>fi> Interpretation,” 144.
14
Omaima Abu> Bakr menulis “The Symbolic Function of Methapor in Medieval Sufi Poetry: The Case of Shustari>.” Dari tulisan ini terlihat upaya penulis
untuk mendemonstrasikan makna metaforis dalam literatur-literatur, termasuk al-
Qur’a>n begitu juga puisi-puisi sufistik. Penting dicatat dalam temuannya bahwa
penafsiran simbolis yang dilakukan oleh sufi bukanlah makna alternatif atau
makna substitusi terhadap al-Qur‘a>n akan tetapi makna yang berada satu tingkat
setelah melakukan pemahaman terhadap makna-makna literal. Sedang karakter
simbolis dalam pemaknaan sufi adalah manifestasi tentang level makna terhadap
wahyu Tuhan yang turun dengan proses yang secara seimbang akan melahirkan
kategori-kategori atau level pemahaman. Lebih jauh, Omaima menegaskan bahwa
pemaknaan terhadap makna esoterik /inner-tamthi>l yang abstrak, meaning al-
Qur‘a>n memiliki simbol-simbol yang memiliki banyak pemaknaan. Selain itu,
menurutnya secara relatif bahasa bersifat primordial dan sintetis, yang seringkali
berangkat dari hal-hal konkret ke arah yang lebih universal.58 Beberapa pemaknaan
yang dilakukan oleh sufi, menandai apa yang disebutnya sebagai mekanisme puitis
dalam penafsiran. Pergerakan dari teks kepada makna, dari tamsil konkret ke
abstrak yang menandai pengalaman sufi dari z{a>hir menjadi ba>t}in, dari pengalaman
sufi kepada kebenaran.59 Dilihat dari kesimpulannya, Omaima Abu> Bakr
memfokuskan penelitiannya pada aspek sastrawi tafsir al-Qur‘a>n. Berbeda dengan
karya ini, penulis akan menitikberatkan pada kerangka metodologis dan aspek
implikatif penafsirannya dalam konteks Nusantara.
James Winston Morris dalam “Ibn ʿArabi and His Interpreters Part II:
Influences and Interpretations” mencoba untuk mendiskusikan keterpengaruhan
Ibn ‘Arabi>. Dalam kategorinya, pembaca ide dan pemikiran Ibn ‘Arabi>
menunjukkan kepengikutannya terhadap Shaykh dengan beberapa hal, antara lain:
batasan-batasan sufistik dan konstruksinya, istilah-istilah teknis dan konsep-
konsep metafisik, pemahaman, argumen dan penolakan argumen, karya-karya Ibn
‘Arabi>. Aspek ini juga menjadi titik kritik bagi penafsir-penafsir Ibn Arabi>,
beberapa kritiknya diarahkan pada pengabaian pada aspek-aspek penting dan
ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi> selain menunjukkan akar-akar geneaologis pemikirannya.60
Karya ini terlihat memfokuskan pembacaan pada hal-hal yang memengaruhi
pemikiran Ibn ‘Arabi>, namun demikian tidak memberikan gambaran tentang
kondisi historis yang dihadapi oleh Ibn ‘Arabi> yang berperan penting dalam
pemaknaan ayat-ayat al-Qur‘a>n, karya ini lebih umum membaca konsep-konsep
58Omaima Abu> Bakr, “The Symbolic Function of Methapor in Medieval Sufi Poetry:
The Case of Shustari>” Alif: Journal of Comparative Poetics, 12, Metaphor and Allegory in
the MiddleAges, Department of English and Comparative Literature, American University
in Cairo and American University in Cairo Press, (1992) : 42-43,
http://www.jstor.org/stable/521635, (diakses 15 januari 2014).. 59Omaima Abu> Bakr, “The Symbolic Function of Methapor in Medieval Sufi Poetry:
The Case of Shustari>,”51. 60James Winston Morris, “Ibn ʿArabi and His Interpreters Part II: Influences and
Interpretations,” Journal of the American Oriental Society 106, 4 (Oct. - Dec.,
1986),733,http://www.jstor.org/discover/10.2307/603535?uid=3737496&uid=2&uid=4&sid
=21103239936681 (diakses 14 Januari 2014)
15
sufistik Ibn ‘Arabi>. Namun demikian, tulisan ini memiliki relevansi dengan
penelitian penulis, setidaknya pada wilayah penelusuran akar geneaologis,
keterpengaruhan sufi-sufi Arab, Persia terhadap ulama-ulama di Nusantara, secara
khusus tafsir dan konsepsi sufistik Shaykh ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni>.
Sebagaimana diketahui bahwa Ibn ‘Arabi> banyak menginspirasi sufi-sufi Nusantara
pada masa-masa awal sufisme Nusantara. Dalam periodisasi sejarah tafsir sufistik
Nusantara, tesis ini akan banyak membahas aspek kesejarahan tafsir Nusantara, hal
ini tentu akan memberikan gambaran awal tentang bagaimana al-Qur‘a>n dijelaskan
dengan pandangan tasawuf berikut proses-proses menafsirkan yang distingtif
karena dilihat dalam lokus kenusantaraan.
Muh{ammad ‘A<bid al-Ja>biri> dalam karyanya Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi> menerangkan tentang esensi ta‘wi>l yang memiliki persyaratan khusus dalam
kerangka untuk menarik makna yang berdiri atas epistem burha>ni> (rasional). Dalam
hal ta’wi>l, al-Ja>biri> tetap menggunakan penafsiran interteks dengan memunculkan
ayat-ayat lain sebagai basis rasionalitas yang digunakan untuk mendukung makna-
makna yang bersifat hakikat.61Secara metodologis, karya al-Ja>biri> merupakan
penemuan penting yang berfungsi menjembatani kajian sufisme dengan konteks
kemoderenan atau relevansinya dengan masalah-masalah kekinian. Sayangnya,
pembahasan mengenai tafsir interteks bukanlah menjadi fokus utama dalam
karyanya, sehingga tidak menjangkau banyak hal tentang tafsir-tafsir sufistik
dalam khazanah tafsir dalam tradisi Arab.
Azyumardi Azra dalam karyanya The Origins of Islamic reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘ulama>’ in the seventeenth and eighteenth centuries. Karya ini berkaitan dengan tesis penulis dan
memiliki arti penting dalam dua hal. Pertama, kutipan Azra tentang mukadimah al-
Kura>ni> dalam Ith{a>f al-Dhaki>, tentang latar belakang penulisan kitabnya. Bisa
disimpulkan dalam catatannya itu tentang komunitas Ja>wiyyi>n yang telah
melakukan persebaran karya-karya sufi tentang ilmu hakikat, pengetahuan gnostik
(‘ulu>m al-asra>r) yang memiliki pijakan dalam al-Qur‘a>n dan Sunnah, ketaatan yang
tulus secara z{a>hir dan ba>t{in. namun demikian, masih tidak terlepas dengan
penyimpangan-penyimpangan.62Kedua, penjelasan mengenai konsentrasi keilmuan
yang dimilikinya, meskipun memiliki dominasi sufistik namun al-Falimba>ni> juga
belajar tafsi>r, fiqh, shari>’ah, kala>m, tas{awwuf.63 Dari data ini tidak mengherankan
jika tulisan al-Falimba>ni, meskipun bergenre tasawuf namun kental dengan
muatan-muatan tafsir dan penjelasan-penjelasan dari hadis Nabi. Meskipun telah
menjelaskan bahwa al-Falimba>ni> pernah mempelajari ilmu tafsir, namun karya ini
belum menjelaskan secara spesifik mengenai interpretasi sufistik yang
61‘A<bid al-Ja>biri>, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi>, 321. 62Azyumardi Azra, The Origins of Islamic reformism in Southeast Asia: Networks of
Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘ulama>’ in the seventeenth and eighteenth centuries
(Nort America: University of Hawai’i Press, 2004), 41. 63Azyumardi Azra, The Origins of Islamic reformism in Southeast Asia: Networks of
Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘ulama>’ in the seventeenth and eighteenth centuries, 116.
16
dikembangkan oleh al-Falimba>ni>. Penelitian penulis akan menjelaskan sisi lain al-
Falimba>ni>, selain sebagai sufi, ia juga merupakan seorang penafsir al-Qur‘a>n.
Berkenaan dengan ‘Abd al-S{amd al-Falimba>ni>, Zulkarnain Yani menulis
penelitian berjudul “Al-‘Urwah al-Wuthqa> Karya Al-Falimba>ni>: Tradisi dan Ritual
Tarekat Sammaniyah di Palembang,” Zulkarnain Yani menyimpulkan bahwa karya
al-Falimba>ni> “Al-‘Urwah al-Wuthqa> merupakan sebuah karya penting dan menjadi
rujukan utama komunitas tarekat Sammaniyah di Palembang, karya ini pula
mengandung pedoman tentang dzikir, wirid dan ra>tib samma>n. Muatan-muatan
praktik spiritual ini kemudian memberikan pengaruh-pengaruh terhadap tradisi
masyarakat Palembang.64 Karya ini mampu memberikan deskripsi penting tentang
pengaruh al-Falimba>ni> dan pengaruhnya dalam tarekat Sammaniyah, namun belum
memberikan penjelasan yang utuh mengenai sumber-sumber penafsiran dalam
forma tasawuf yang dikembangkan oleh al-Falimba>ni>. Berbeda dengan penelitian
ini, maka penelitian penulis berada pada usaha untuk memberikan penjelasan untuh
mengenai model penafsiran Al-Qur‘a>n al-Falimba>ni>, arti penting penelitian penulis
akan memunculkan aspek metodologis penafsirannya yang menjadi basis pemikiran
sufistiknya.
A.H. Johns menulis “Tafsir al-Qur’an di Dunia Indonesia Melayu: Sebuah
Penelitian Awal,” dari penelitian ini didapati informasi mengenai analisanya
tentang dinamika yang menunjukkan akar-akar tradisi tafsir dengan menunjukkan
kecenderungan religius yang memiliki karakter kesusasteraan yang sangat besar,
selain itu Johns juga mengindikasikan adanya tafsir-tafsir sufi anak didik H{amzah
Fans{u>ri>, Sham al-Di>n al-Sumat}ra>ni> yang dalam karya sufistiknya bertaburan ayat-
ayat dengan frase-frase dari al-Qur‘a>n yang dibubuhi dengan bahasan tasawuf yang
kemudian diterjemahkan dalam bahasa Melayu. Selain itu, Johns juga
menunjukkan bahwa pergolakan sufisme yang terjadi telah mengakibatkan karya-
karya H{amzah Fans{u>ri>, Sham al-Di>n al-Sumat}ra>ni yang dibakar termasuk karya
tafsir. Penjelasan tambahan yang dilakukannya mengenai tradisi tafsir di
Nusantara, adalah karya al-Falimba>ni>, yang melakukan penerjemahan dan
penafsiran yang memuat dalil-dalil yang menunjukkan model karya tafsir pada saat
itu dan model yang mengikuti ‘Abd al-Rau>f sebagai seorang guru yang
berdedikasi.65 Karya ini penting bagi penulisan tesis ini, utamanya sebagai pijakan
historis awal tentang tradisi tafsir di Nusantara yang direpresentasikan oleh ulama-
ulama sufi Nusantara. Namun demikian, karya ini belum menjelaskan secara detail
bagaimana metodologi penafsiran yang dikembangkan oleh ‘Abd al-S{amad al-
Falimba>ni>. Melengkapi hasil temuan awal ini, penulis melalui tesis ini akan
berusaha untuk menjelaskan kerangka epistemologis penafsiran ‘Abd al-S{amad al-
Falimba>ni>.
64 Zulkarnain Yani, “Al-‘Urwah al-Wuthqa> Karya Al-Falimba>ni>: Tradisi dan Ritual
Tarekat Sammaniyah di Palembang,” Tesis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Ciputat: SPs
UIN Jakarta, 2011), 144-145. 65A.H. Johns, “Tafsir al-Qur’an di Dunia Indonesia Melayu: Sebuah Penelitian
Awal,” Jurnal Studi Al-Qur’an 1 (2006) : 464-472.
17
Izza Rohman Nahrowi, “Profil Kajian Islam di Nusantara Sebelum abad Kedua Puluh” menerangkan tentang dominasi nalar gnostik (‘Irfa>ni>) yang tidak
memiliki relasi kuat dengan teks, termasuk al-Qur‘a>n. Berangkat dari asumsi ini, ia
berpandangan bahwa hal ini pulalah yang memengaruhi minimnya karya yang
berkaitan dengan al-Qur‘a>n.66 Berbeda dengan penelitian penulis, simpulan ini
seolah-olah mempersepsikan tradisi sufisme yang berangkat dari pengalaman batin
terlepas dengan al-Qur‘a>n dan penafsiran. Dalam pandangan penulis, pada posisi
yang bersamaan sebenarnya dominasi tasawuf, khususnya abad XVIII memiliki
relasi yang kuat dengan tradisi penafsiran al-Qur‘a>n yang menjadi forma utama
tasawuf di Nusantara. Hal ini ditunjukkan dengan geliat ulama-ulama Nusantara
selain menerjemahkan karya-karya, juga menafsirkan ayat-ayat sufistik sebagai
sebuah pandangan hidup dan aturan-aturan etis.
Terkait dengan tafsir-tafsir awal Nusantara Petter Riddell dalam “Earliest Quranic Exegetical Activity in the Malay-Speaking States” mengemukakan
tentang stilistika atau gaya bahasa tafsir Tarjuma>n al-Mustafi>d yang menurutnya
merupakan saduran dari tafsir Jala>layn. Selain itu yang ditujukan untuk pembaca
awam dan berorientasi pada luasnya persebaran karya. Selain itu dialektika
pemikiran dan penafsiran pada masa-masa ini menandai periode pertentangan antar
ulama-ulama yang direpresentasikan dalam karya-karya penafsiran.67
Dalam tulisan ini, nampaknya Riddell tidak memberikan penggambaran
yang jelas tentang proses rekonsiliasi perdebatan-perdebatan yang masuk ke
wilayah penafsiran-penafsiran sufi antara ‘Abd al-Rau>f Singkel, H{amzah Fans{u>ri>-
Shams al-Di>n al-Sumat{ra>ni>, dan al-Ra>ni>ri>. Di luar nama-nama itu, pada masa-masa
selanjutnya ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni> menunjukkan penafsiran-penafsiran sufi
yang bersifat etis dan menunjukkan upaya rekonsiliasi dari perdebatan-perdebatan
pelik antar ulama Aceh pada saat itu. Hal ini jelas membantah tentang eksistensi
tafsir sufi yang menyebabkan perdebatan-perdebatan antar ulama-ulama tasawuf di
Nusantara.
Distingsi “Epistemologi Penafsiran Sufistik ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni>”
dengan penelitian-penelitian sebelumnya ada pada peletakan dasar-dasar penafsiran
sufistik yang berkembang pada abad XVIII dengan mengajukan basis epistem
ulama tasawuf Nusantara yang direpresentasikan oleh Shaykh ‘Abd al-S{amad al-
Falimba>ni>. Penelitian-penelitian di atas, meskipun mampu memberikan gambaran-
gambaran metodis tentang tafsir dan sufisme, namun belum mampu
menggambarkan bagaimana polarisasi penafsiran sufistik yang berkait erat dengan
dimensi ruang, waktu, kepentingan-kepentingan, ideologi, relasi kuasa dan
pandangan hidup mufassir-sufi dan masyarakatnya yang menjadi esensi mendasar
dalam aspek tasawuf dalam kesejarahan perkembangan tasawuf di Nusantara.
66Izza Rohman Nahrowi, “ Profil Kajian Islam di Nusantara” Al-Huda 2, 6 (2002):
18. 67Peter Riddell, “Earliest Quranic Exegetical Activity in the Malay-Speaking
Statesn“Archipel 38 (1989) : 122-123,
http://www.persee.fr/web/revues/home/prescript/article/arch_00448613_1989_num_38_1_
2591 (diakses 14 Januari 2014)
18
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, identifikasi masalah dan pembatasan
masalah, penelitian ini memiliki tujuan-tujuan akademis dalam studi tafsir sufistik
di Nusantara, beberapa diantara tujuan tersebut adalah:
1. Melakukan pembuktian tentang formulasi metodologis, prinsip-prinsip tafsir
sufistik di Nusantara oleh ulama tasawuf sebagaimana direpresentasikan
oleh ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni>.
2. Menguji validitas atau penilaian keabsahan tafsir sufistik yang dilakukan
oleh Shaykh ‘Abd al-S<{amad al-Falimba>ni>
3. Mengetahui Implikasi penafsiran sufistik Shaykh ‘Abd al-S{amad al-
Falimba>ni>.
E. Signifikansi Penelitian
Penelitian ini secara kategoris memiliki beberapa signifikansi secara teoritis
dan praktis:
1. Secara teoritis, penelitian ini berkontribusi merumuskan basis epistemologis
tafsir sufistik Shaykh ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni> yang memiliki
karakteristik khusus pada level metodologis, implikasi dan signifikansi yang
akan merepresentasikan model tafsir sufistik dalam kesejarahan khazanah
tafsir di Indonesia. Secara eksplisit, munculnya penelitian akan memberikan
pertimbangan bagi para peneliti studi al-Qur’a>n di Indonesia tentang
rekonstruksi periodisasi tafsir di Nusantara yang belum memosisikan sufi
sebagai mufassir terhadap ayat-ayat sufistik, khususnya abad ke-18 yang
merupakan masa hidup Shaykh ‘Abd al-S<{amad al-Falimba>ni>.
2. Secara praktis, penelitian ini akan memberikan informasi mengenai metode
penafsiran Shaykh ‘Abd al-S<{amad al-Falimba>ni> terhadap ayat-ayat sufistik.
Secara umum penelitian ini juga akan memberikan inspirasi tentang posisi
ulama tasawuf yang tidak hanya sebagai sufi, namun juga sebagai mufassir
ayat-ayat sufistik. Dalam disiplin ilmu tafsir, penelitian ini menjadi tawaran
metodologis bagi penafsiran sufistik terhadap ayat-ayat al-Qur‘a>n.
F. Metodologi Penelitian
1. Definisi Operasional
Judul yang diangkat dalam penelitian ini adalah “ Epistemologi Penafsiran
Sufistik ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni>.” Term Epistemologi dalam penelitian ini
ditujukan untuk melacak basis teori yang dimiliki oleh Shaykh ‘Abd al-S{amad al-
Falimba>ni> meliputi hakikat tafsir, sumber penafsiran, metode penafsiran, validitas
dan implikasi penafsiran sufistik ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni>. Sedang penafsiran
dalam penelitian ini akan didefinisikan sebagai aktivitas yang berarti upaya
menerjemahkan, menjelaskan, menyingkapkan dan menampakkan makna atau
pengertian yang tersembunyi pada ayat-ayat al-Qur‘a>n, meskipun tidak ditafsirkan
secara keseluruhan.68 Hal ini dilakukan mengingat model penafsiran yang termuat
68Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKis Group,
2012), 11.
19
dalam karya-karya tasawuf merupakan hal dominan yang dapat dijumpai pada abad
XVIII.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kepustakaan (library research). Riset ini berupaya menggali data-data yang berkaitan dengan basis
epistemologis dalam penafsiran sufistik Shaykh ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni>.
3. Sumber Data
Sumber penelitian ini akan difokuskan pada data-data primer yang
merupakan karya Shaykh ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni>, yaitu: Ani>s al-Muttaqi>n,
Nas}i>hat al-Muslimi>n wa Tadhkirat al-Mu’mini>n fi Fad}a>’il al-Jiha>d fi Sabi>l Alla>h wa Kara>mat al-Muja>hidi>n fi Sabi>l Alla>h, Hida>yat al-Sa>liki>n fi> Sulu>k Maslak al-Muttaqi>n, Sayr al-S{a>liki>n Ila ‘Iba>dat Rabb al-<<<’A<<<<<<<<lami>n. Sedangkan data-data
sekunder yang akan menjadi data pendukung adalah literatur yang berkaitan
dengan disiplin ilmu tasawuf, tafsir, ‘ulu>m al-Qur‘a>n.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
metode dokumentasi69dengan cara menelusuri literatur-literatur, membuat catatan-
catatan terhadap pemikiran tokoh yang tertuang dalam karya-karya ‘Abd al-S{amad
al-Falimba>ni>, yaitu: Ani>s al-Muttaqi>n, Nas}i>hat al-Muslimi>n wa Tadhkirat al-Mu’mini>n fi Fad}a>’il al-Jiha>d fi Sabi>l Alla>h wa Kara>mat al-Muja>hidi>n fi Sabi>l Alla>h, Hida>yat al-Sa>liki>n fi> Sulu>k Maslak al-Muttaqi>n dan Sayr al-S{a>liki>n Ila ‘Iba>dat Rabb al-<<<’A<<<<<<<<lami>n, selain karya-karya sekunder yang berkaitan dengan tema
pembahasan.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses organisasi dan mengumpulkan data-data tersebut
ke dalam sebuah pola, kategori, dan deskripsi sebagai dasar-dasar untuk
menemukan tema-tema penting dari pemikiran tokoh. Selain itu peneliti akan
melakukan hipotesa yang didukung oleh data-data.70 Dalam mengakumulasikan
data-data tersebut ke dalam teknik penelitian kualitatif, analisis akan memuat hal-
hal berikut:
a. Historical continuity, yaitu metode analisis data yang digunakan peneliti
untuk menjelaskan sejarah hidup tokoh yang menjadi objek kajian,
meliputi latar belakang pendidikan, perkembangan ide dan pemikiran,
pengaruh-pengaruh yang diterimanya, situasi sosio-politik yang telah
memberikan pengalaman bagi tokoh yang dikaji akan dibahas lebih awal.71
69 Arief Furchan and Agus Maimun, Studi Tokoh Metode Penelitian Mengenai
Tokoh (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 54. 70Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002), 103. 71Anton Bakker dan Achmad Chairiz Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat
(Yogyakarta: Kanisius, 1990), 64.
20
Pada bagian ini ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni> akan dilihat pula peta
pemikirannya dengan melakukan analisis kemunculan karya dan
konsentrasinya terhadap penafsiran al-Qur‘a>n dengan memosisikan
konteks kesejarahannya.
b. Taxonomic analysis, yaitu analisis yang dipusatkan kepada tema-tema
spesifik yang tema tersebut bisa menunjukkan permasalahan-
permasalahan dalam objek studi, yang kemudian menelusurinya dan
menjelaskannya secara mendalam.72 Bagian ini merupakan bagian penting
dalam membaca kerangka epistemologi penafsiran sufistik ‘Abd al-S{amad
al-Falimba>ni> dengan memerhatikan tentang bagaimana teks ditafsirkan
oleh ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni>. Dari sini akan terlihat metode,
verifikasi penafsiran yang dilakukan oleh ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni>. c. Interpretation, yaitu metode yang digunakan peneliti untuk memahami
karakter dan pemikiran tokoh yang menjadi objek penelitian.73 Dengan
analisis ini, peneliti akan menangkap ide-ide utama ‘Abd al-S{amad al-
Falimba>ni> yang kemudian dikaji secara komprehensif berdasarkan terma-
terma studi tafsir al-Qur‘a>n. d. Comparison, tokoh dan objek kajiannya akan dikomparasikan secara
proporsional dalam kerangka memperkuat argumen atau membaca sisi-sisi
perbedaannya dengan karya-karya yang muncul pada zamannya.
Penafsiran sufistik ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni> akan dilihat dalam
kerangka perkembangan penafsiran tema-tema sufistik oleh tokoh-tokoh
sezamannya.
6. Pendekatan
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan pendekatan historis-
filosofis model strukturalisme genetic74dan pendekatan filosofis. Pendekatan ini
akan diarahkan pada tiga unsur kajian: (1) intrinsik teks, (2) akar-akar historis
secara kritis dengan menelusuri latar belakang tokoh, dan (3) kondisi sosio-historis
yang melingkupinya. Dengan pendekatan ini, akan nampak kerangka keragaman
(diversity), perubahan (change)75dan kesinambungan (continuity). Sedangkan
pendekatan filosofis akan digunakan untuk membaca struktur dasar dari
epistemologi tafsir sufistik ‘Abd al-S}amad al-Falimba>ni>.
72Arif Furchan dan Agus Maimun, Studi Tokoh, Metode Penelitian Mengenai Tokoh
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 65-67. 73Anton Bakker dan Achmad Chairiz Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, 63. 74Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Reka Sarasin,
1996), 164-165. 75Secara metodologi perubahan dapat dilihat melalui analisa terhadap konteks dan
historisitas dimana isu revolusioner ditujukan, kapan dan dimana itu terjadi dengan
masalah-masalah yang ditemui. Lihat: Anne Marie Moulin, “ How to Write the History of
Modern Surgery in the Arab and Muslim World?: Methodological problems and
Epistemological Issues,” Majalleh-ye Ta>ri>kh-e ‘Elm 5, 1385, (2011):
11,http://jihs.ut.ac.ir/?_action=showPDF&article=17441&_ob=b8119ac31a6e8c32c7d834f
ed1bff9a9&fileName=full_text.pdf, (diakses 14 Januari 2014).
21
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan penggambaran yang utuh tentang langkah-langkah
penelitian, maka penelitian ini disusun secara sistematis dalam lima bab, yang akan
dijelaskan sebagai berikut:
Bab Pertama, menjelaskan pendahuluan dan urgensi latar belakang masalah,
penelitian terdahulu yang relevan, tujuan penelitian, signifikansi penelitian,
metodologi dan sistematika penelitian.
Bab Kedua, membahas historisitas perdebatan akademik tafsir sufistik yang
terjadi di Nusantara meliputi urgensitas, eksistensi tafsir sufistik dalam kitab-kitab
tasawuf di Nusantara, contoh dan kategorisasi tafsir. Hal ini dimunculkan untuk
menggambarkan bahwa sufi Nusantara melakukan penafsiran-penafsiran dalam
karya-karya tasawuf di Nusantara.
Bab Ketiga, bagian ini membahas penafsiran ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni>
meliputi: hakikat, prinsip, metode dan sumber penafsiran. Dalam bab ini akan
dilihat pula kemungkinan-kemungkinan historis yang memengaruhi dalam
produksi penafsirannya.
Bab Keempat, bagian ini membahas tentang validitas dan implikasi
penafsiran sufistik yang dilakukan oleh Shaykh ‘Abd al-S}amad al-Falimba>ni>.
Validitas dan implikasi penafsiran yang akan diukur dengan teori koherensi,
korespondensi dan pragmatisme. Selanjutnya, implikasi penafsirannya dilihat
berdasarkan orientasi penafsiran ‘Abd al-S{amad al-Falimba>ni> dalam melakukan
upaya rekonstruksi-rekonstruksi berdasarkan signifikansi tafsir sufistiknya.
Bab Kelima, memuat kesimpulan dari hasil-hasil penelitian yang ditemui
oleh peneliti yang berguna untuk menjawab rumusan-rumusan masalah secara
sistematis dalam penelitian ini. Selain itu pada bagian ini juga memuat
rekomendasi bagi pengembangan penelitian-penelitian selanjutnya tentang tafsir
sufistik di Nusantara.