Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id
Transcript of Dilema Hukum - repository.uinjkt.ac.id
i
Dilema Hukum
Studi atas Pembunuhan Ghulām oleh Nabi Khidir
Dalam Surah al-Kahfi
Khairul Anam
Sakha_Press
ii
Dilema Hukum
(Studi atas Pembunuhan Ghulam oleh Nabi Khidirdalam
Surah al-Kahfi)
Penulis : Khairul Anam
ISBN : 978-602-72728-8-0
Editor : Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA
Penyunting : Ibnu Sanie
Cover : Khazin
Penerbit : Sakha Press
Redaksi : Jl. Gg. I Laok Lorong Lebbek Pakong
Pamekasan 69352
Email : [email protected]
Cetakan pertama, November 2020
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang
memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan
cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا B Be ب
T Te ت
ṡ es dengan titik atas ث
J Je ج
ḥ ha dengan titik bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Ż zet dengan titik atas ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
ṣ es dengan titik bawah ص
ḍ de dengan titik bawah ض
ṭ te dengan titik bawah ط
ẓ zet dengan titik bawah ظ
vi
‘ عKoma terbalik di atas hadap
kanan
Gh ge dan ha غ
F Ef ؼ
Q Qi ؽ
K Ka ؾ
L El ؿ
M Em ـ
N En ف
W We ك
H Ha ق
Apostrof ’ ء
Y Ye م
2. Vokal
Vokal terdiri dari dua bagian, yaitu vokal tunggal dan
vokal rangkap. Berikut ketentuan alih aksara vokal tunggal:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal
Latin Keterangan
A Fatḥah ـ
I Kasrah ـ
U Ḍammah ـ
vii
Adapun vokal rangkap ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal
Latin Keterangan
مـ Ai a dan i
كـ Au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang dalam bahasa
Arab dilambangakan dengan harkat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal
Latin Keterangan
Ā ى a dengan topi di
atas
Ī i dengan topi di atas
Ū ػي u dengan topi di
atas
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara Arab
dilambangkan dengan huruf اؿ dialih aksarakan menjadi huruf
‘l’ baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf qamariyah.
Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl.
5. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd yang dalam system tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda (ـ), dalam alih aksara ini
viii
dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan
huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak
setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.
Misalnya, kata الضركرة tidak ditulis ad-ḍarūrah tapi al-ḍarūrah.
6. Tā’ Marbūṭah
Kata Arab Alih Aksara Keterangan
Ṭarīqah Berdiri sendiri طريقة
-Al-jāmi‘ah al الجامعة الإسلامية
islāmiyyah
Diikuti oleh kata
sifat
waḥdat al-wujūd كحدة ال ج دDiikuti oleh kata
benda
ix
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................... v
DAFTAR ISI ...................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN .................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................. 1
B. Permasalahan .............................................................. 14
C. Tujuan Penelitian ....................................................... 16
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian .......................... 17
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ........................... 17
F. Metodologi Penelitian ................................................ 27
G. Sistematika Penulisan ................................................ 29
BAB II: DISKURSUS KISAH DAN POLA
PEMGAMBILAN HUKUM DALAM AL-QUR’AN ....... 33
A. Kisah dalam al-Qur’an ............................................... 33
1. Kisah dalam al-Qur’an adalah Peristiwa
yang Nyata........................................................... 34
2. Kisah dalam al-Qur’an Sebagai Simbol .............. 34
3. Macam-Macam Kisah dalam al-Qur’an............... 39
4. Sistematika Kisah dalam al-Qur’an ..................... 40
B. Pola Pengambilan Hukum dalam al-Qur’an ............... 44
1. Metode Bayāni ..................................................... 45
2. Metode Qiyāsī ..................................................... 48
3. Metode Maqāṣidī ................................................. 53
4. Metode Kompromistis antar Dalil
yang Bertentangan ............................................... 54
BAB III: PROFIL TAFSIR DAN KLASIFIKASI KISAH
NABI MUSA...................................................................... 56
A. Profil Tafsir ................................................................ 56
1. Tafsir Corak Sufi ................................................. 56
x
2. Tafsir Corak Falsafi ............................................. 65
3. Tafsir Corak Adāb al-Ijtimāī .............................. 72
4. Tafsir Corak Aḥkām ............................................ 81
B. Klasifikasi Kisah Musa dalam al-Qur’an ................... 91
1. Kisah Musa terdiri dari Enam Episode ................ 91
2. Latar Belakang Perbedaan Pandangan Musa
dengan Khidir ....................................................... 92
BAB IV: ARGUMENTASI MUFASIR ATAS AYAT-AYAT
PEMBUNUHAN ................................................................ 93
A. Pola Penafsiran Kisah Nabi Musa dan Khidir ............ 93
1. Pengelompokan Ayat dalam Penafsiran Kisah
nabi Musa dan Khidir .......................................... 95
2. Penggunaan Ayat dan Hadis Sebagai Penjelas .... 133
3. Kecenderungan Fokus Bahasan ........................... 137
B. Hukum Pembunuhan Khidir terhadap Ghulām
dalam Surah al-Kahfi.................................................. 147
1. Kriteria Ayat-Ayat Pembunuhan ....................... 153
2. Tafsir atas Ayat-ayat Pembunuhan .................... 158
C. Pola Penafsiran terhadap Ayat-ayat Pembunuhan ..... 159
1. Penggunaan Ayat dan Hadis Sebagai Penjelas .... 159
2. Kecenderungan Fokus Bahasan ........................... 160
D. Interpretasi Atas Kemaksuman Nabi dalam
Kisah Pembunuhan Ghulām ....................................... 163
BAB V PENUTUP ............................................................. 183
A. Kesimpulan ................................................................. 183
B. Saran dan Kritik ......................................................... 185
DAFTAR PUSTAKA ........................................................ 186
BIODATA .......................................................................... 193
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kitab petunjuk (QS. Al-Isrā’/17:9),
tidak hanya bagi orang-orang yang beriman (QS. Al-
Baqarah/2:2 atau QS. al-Naml/27:2-3), tapi juga petunjuk
bagi seluruh umat manusia (QS. Al-Baqarah/2:185). Ajaran
yang terkandung di dalamnya mencakup segala aspek
kehidupan manusia, meliputi dimensi akidah, akhlak maupun
hukum amali.1 Selain itu, al-Qur’an juga menjelaskan sejarah
umat-umat terdahulu. Bahkan tidak hanya persoalan dunia
yang dibahas, persoalan yang menyangkut kehidupan pasca
kehidupan di dunia, seperti maḥsyar, hari kiamat, surga dan
neraka semuanya dibahas dalam al-Qur’an.2 Sebagai kitab
suci yang diwahyukan kepada nabi Muhammad Saw, melalui
perantara Jibril, al-Qur’an diyakini oleh umat Islam sebagai
kitab yang universal berlaku untuk seluruh umat manusia
sepanjang zaman.3 Hal ini sebagaimana dilansir dalam firman
Allah Swt. QS. Al-An’ām/6:38.
Al-Qur’an tidak hanya mengajarkan kepada umat
manusia agar menjadi orang yang bertakwa (QS. Al-
1 Lajnah Pentashihihan Mushaf al-Qur’an Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama, Tafsir al-Qur’an Tematik: Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia, seri 5, cet. I (Jakarta: Lajnah
Mushaf al-Qur’an, 2010), 2. 2 Ayat yang berkaitan dengan hari kebangkitan dijelaskan
dalan al-Qur’an, QS. Al-Zalzalah. 99: 1-6. Yang berkaitan dengan
surga misalnya terdapat dalam QS. Al-Nabā’/78 :21-22. Tentang
neraka QS. Āli ‘Imrān/3 :131. 3 M. Syakur Chudlori, ‚Tafsir Ahkam dan Kontekstualisasi
Hukum Islam‛ al-Maslahah Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam,
115. Lihat juga: Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an: Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur’an, cet. III (Jakarta:
Penamadani, 2005), 334.
2
Baqarah/2:2). Ia tidak hanya menyajikan tuntunan ritual,
dalam rangka hubungan kedekatan antar manusia dengan
Tuhan (QS. Al-Dzāriyāt/51:56), tapi ia juga memberi
pengarahan dalam hubungan antar manusia bahkan hubungan
manusia dengan alam dan lingkungan (QS.Al-Ḥujurāt/49:13).4
Secara garis besar ulama membagi kandungan al-
Qur’an pada tiga bagian, yaitu Aqidah, Akhlak dan Syari’ah.
Aqidah adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan dasar-
dasar keimanan, akhlak adalah segala sesuatu yang berkaitan
dengan etika, sementara Syari’ah adalah yang berkaitan
dengan segala aspek hukum yang muncul dari perkataan
(aqwāl) dan perbuatan (af’āl).5 Syari’ah dalam sistematika hukum Islam dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu ibadah (ḥabl min Allāh)
dan mu’amalah (ḥabl min al-nās).6
Pembahasan tentang
4
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan, jilid 2 (Ciputat: Lentera
Hati, 2006), 35. 5 Syari’ah adalah aturan/hukum yang ditetapkan Allah Swt.
Kepada hambaNya, berupa agama, atau agama yang diperintahkan
Allah Swt. untuk dilaksanakan yang terdiri dari ibadat, seperti
puasa, salat, haji, zakat dan amala kebaikan lainnya (mu’āmalāt) dalam keberlangsungan hidup sehari-hari. Seperti jual-beli, aturan
perkawinan dan lain sebagainya. Lihat: Yusuf al-Qaraḍawī, Dirāsāt fī Fiqh al-Maqāṣid al-Syar’iyah bayn al-Maqāṣid al-Kulliyah qa al-Nuṣūṣ al-Jauziyah (Kairo: Dār al-Syurūq, 2006), 16. Lihat juga:
Muḥammad Syalṭūṭ, Al-Islām ‘Aqīdah wa al-Syarī’ah (Beirut: Dār
al-Fikr al-‘Arabī, 1958), 27. 6 Abdul Wahab Khallaf, Ilm Uṣūl Fiqh (Kairo: Dār al-
Kuwaitiyah, 1978), 32. Namun menurut Abd Moqsith Ghazali,
kategorisasi ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an paling tidak dibagi
menjadi empat tema pokok. Pertama, ayat-ayat ibadah, seperti
shalat, puasa, haji dan wudhu’. Kedua, ayat-ayat aḥwāl al-syahsyiah (hukum keluarga) atau hukum munakaḥāt. Seperti nikah, talak,
‘iddah, rujū’ dan nafkah. Ketiga, ayat-ayat yang berkaitan dengan
akad keperdataan secara umum. Seperti jual-beli, sewa-menyewa,
3
syari’ah dalam al-Qur’an merupakan salah satu komponen
besar. Hal ini karena begitu banyaknya ayat-ayat al-Qur’an
yang berkaitan dengan hukum (Ayat-ayat aḥkām).7 Selain itu,
menjelaskan aspek hukum merupakan salah satu tujuan
diturunkannya al-Qur’an,8 oleh karena hukum mengatur hal-
hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia untuk
tercapainya kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.9
Perhatian ulama terhadap ayat-ayat Aḥkām
sebenarnya telah berkembang sejak awal abad Hijriyah.
Misalnya pada aba ke IV Hijriyah, yaitu masa kodifikasi kitab
tafsir, telah hadir sebuah kitab tafsir yang dikenal dengan
tafsir Fiqh yang paling masyhur, apalagi di kalangan
Hanafiyah. Yaitu tafsir Aḥkām al-Qur’ān karya monumental
Abū Bakr Aḥmad ibn ‘Alī al-Rāzī yang populer dengan
panggilan al-Jaṣṣaṣ (305-370 H). Ia adalah salah seorang
tokoh madzhab Hanafi yang mempunyai perhatian penuh
gadai, syuf’ah, muḍārabah dan piutang. Keempat, ayat-ayat yang
berkaitan dengan soal pidana (jināyat). Lihat: Lilik Ummi Klastum
dan Abd Moqsith Ghazali, Tafsir Ahkam, cet. I (Ciputat: UIN Press,
2015), 22-23. 7 Terdapat perbedaan ulama mengenai berapa jumlah ayat-
ayat hukum dalam al-Qur’an. Menurut Abdul Wahab Khallaf ada
368 ayat hukum (ayat yang berkaitan dengan hukum) dalam al-
Qur’an dengan kalsifikasi sebagai berikut: 40 ayat berkaitan dengan
ibadah, 70 ayat aḥwāl al-Syakhṣiyah: kawin, talak, waris dan
wasiat, 70 ayat mu’amalah, 30 ayat kriminal (Jināyah), 13 ayat
peradilan, 10 ayat hubungan antara orang kaya dan miskin, 10 ayat
tentang kenegaraan, dan 25 ayat tentang relasi dengan non muslim.
Lihat: Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Uṣūl Fiqh (Al-Qāhirah: Dār al-
Ḥadīts, 2003), 29. 8 QS. Al-Ra’d/23:38. QS. Al-Naḥl /16:44
9 Syafruddin, ‚Penafsiran Ayat Aḥkām al-Zuhailī dalam al-
Tafsīr al-Munīr‛ (Disertasi , Sekolah pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008), 3.
4
terhadap tafsir Aḥkām.10
Pada abad berikutnya lahir kitab
tafsir ahkam yaitu Aḥkām al-Qur’ān karya Abū Bakr
Muḥammad ibn ‘Abd Allāh Ibn al-‘Arabī (468-543 H), dan
seterusnya.
Perhatian ulama terhadap tafsir ahkam paling tidak
didasarkan pada enam alasan penting. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Muhammad Amin Suma dalam bukunya.
Pertama, Allah Swt. menurunkan al-Qur’an sebagai
(pedoman) hukum (al-Ra’d/13:37). Kedua, ayat mengenai
hukum merupakan ayat yang terpanjang dalam al-Qur’an,
yaitu ayat yang mengurai hutang-piutang (al-Baqarah/2:282).
Ketiga, banyaknya ayat al-Qur’an yang menyeru dalam
bentuk perintah untuk berbuat adil, jumlahnya ratusan ayat.
Keempat, hampir semua surah-surah panjang dalam al-Qur’an
mengandung aspek hukum. Kelima, banyaknya ayat al-Qur’an
yang mengandung aspek hukum. Keenam, dalam banyak ayat,
Allah Swt. Mengancam orang-orang yang melanggar hukum-
Nya.11
Adanya ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an
memberikan rasa aman dan memberikan perlindungan
terhadap hak-hak manusia. Penegakan hukum secara adil akan
melahirkan masyarakat yang sejahtera. Larangan membunuh,
perintah membayar zakat terhadap orang yang membutuhkan
akan membantu pemenuhan kebutuhan mereka, serta
pengharaman riba dalam mu’amalah adalah salah satu bentuk
kepedulian atas hak-hak manusia.12
Terkait jumlah ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an,
pendapat ulama terbelah menjadi dua. Pertama, bahwa ayat-
10
Syafruddin, ‚Penafsiran Ayat Aḥkām al-Zuhailī dalam
al-Tafsīr al-Munīr,‛, 5. 11
Muhammad Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), 3-12.
12 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an:
Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan, 69.
5
ayat hukum dalam al-Qur’an hanya terbatas pada beberapa
ayat saja. Hal ini bisa dilihat sebagai sebuah fakta bahwa
tidak semua ayat dalam al-Qur’an dapat dijadikan dalil
hukum fiqh. Pendapat ini dianut oleh mayoritas ulama.
Kedua, bahwa ayat-ayat hukum tidak terbatas pada ayat
tertentu, artinya bahwa seluruh ayat al-Qur’an (secara
implisit) mengandung hukum dan dapat dijadikan sumber
utama hukum fiqh. Pendapat ini dianut oleh sebagian ulama,
seperti Najmuddin al-Ṭūfi, Ibn Daqīq al-‘Īd, al-Ṣan’anī dan al-
Syaukanī.13
Selain ayat aḥkām, al-Qur’an juga banyak memuat
kisah-kisah umat terdahulu sebagai pola komunikasi yang
dinilai efektif untuk menyampaikan nilai-nilai kebenaran
kepada manusia. Menurut sebagian tokoh, penyampaian
kisah-kisah tersebut dapat merangsang pembaca untuk
mencerna peristiwa yang terjadi di dalamnya. Doktrin-doktrin
yang terkandung di dalamnya akan mudah dipahami dan
dicontoh, karena secara tidak sadar ia akan masuk pada jiwa
si pembaca pada saat membacanya. Peristiwa yang terjadi
pada umat terdahulu yang disampaikan lewat kisah, dapat
dipahami oleh berbagai kalangan, baik orang biasa (awam)
atau orang terpelajar, sehingga nilai-nilai ajaran al-Qur’an
dapat berlaku untuk semua manusia.14
Kisah-kisah yang terdapat di dalam al-Qur’an secara
umum dapat dibagi menjadi tiga jenis. Pertama, kisah para
nabi (qaṣaṣu al-anbiyā’). Kedua, kisah para tokoh, secara
individu atau kelompok. Baik tokoh protagonis dan bijak
maupun antagonis dan ingkar. Ketiga, kisah yang berkaitan
dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Rasul
13
Isnan Ansory, Mengenal Tafsir Ahkam (Jakarta: Rumah
Fiqih Publishing, 2018), 6 dan 9. 14
Muhammad Alghiffary, ‚Makna Simeosis Kisah Nabi
Nuh dalam al-Qur’an: Kajian Semiotika Umberto Eco‛ (Tesis,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006), 2.
6
Saw.15
Salah satu kisah yang terdapat dalam al-Qur’an yang
termasuk jenis yang pertama adalah kisah nabi Musa As dan
Khidir.16
Kisah tentang pengembaraan nabi Musa merupakan
salah satu kisah yang paling banyak dimuat di dalam al-
Qur’an. Tercatat lebih dari tiga puluh surah dalam al-Qur’an
yang memuat kisah nabi Musa. Kisah ini dinilai kental
dengan pelajaran dan hikmah serta pengalaman ruḥāniyah
karena menyuguhkan nilai-nilai teologis dan moralitas sosial
yang menjadi pesan utama yang akan disampaikan dalam
kisah ini.17
Kisah nabi Musa dan Khidir adalah kisah yang
mengandung sajian kontroversial. Beberapa tindakan yang
15
Rukimin, ‚Kisah Dzulqarnain dalam al-Qur’an Surah al-
Kahfi: 83-101 Pendekatan Hermeneutika‛ (Jurnal Studi Islam, Vol.
15, No. 2, Desember 2014: 138-159), 139. 16
Para ulama berbeda pandangan, apakah Khidir adalah
seorang nabi atau bukan? sebagian berpendapat bahwa Khidir
adalah hamba Allah Swt, yang shalih. Namun menurut Abī Hafs
‘Umar Ibn ‘Alī dalam tafsirnya menyebutkan bahwa menurut
mayoritas ulama Khidir adalah seorang nabi. Ada banyak dalil yang
dikemukakan atas kenabian Khidir. Antara lain adalah pertama, karena ia diberikan ‚rahmah‛ oleh Allah al-Rahmah adalah al-Nubuwah, al-Zukhruf: 23. Kedua, dianugerahi ilm ladunni, ini
menunjukkan bahwa ia dianugerahi ilmu tanpa perantara. Karena
dalam pandangan mereka bahwa siapapun yang dianugerahi ilmu
tanpa perantara manusia ia adalah seorang nabi, tapi pendapat ini
dianggap lemah. Ketiga, pernyataan musa yang memutuskan hendak
ikut kepada Khidir, karena seorang nabi tidak mungkin belajar
kepada selain nabi, dan lain sebagainya. Lihat: Abi Hafṣ ‘Umar Ibn
‘Alī, al-Lubāb fī ‘Ulūm al-Kitāb, juz 12 (Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Alamiyah, tt), 529. Lihat juga: ‘Abd al-Wahhāb al-Najjār, Qiṣaṣ al-Anbiyā’, cet. I (Mesir: Dār al-Hadits, 2002), 343.
17 M. Faisol, ‚Interpretasi Kisah Nabi Musa Perspektif
Naratologi al-Qur’an‛ (Islamica: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 11,
No. 2, Maret 2017), 2.
7
dilakukan oleh Khidir selama perjalanan menjadikan mereka
tak terhindarkan dari perdebatan, walaupun sebelumnya
Khidir telah mengingatkan Musa untuk tidak bertanya jika
terjadi sesuatu di tengah perjalanan. Namun beberapa
peristiwa yang tidak bisa dipahami dan dinalar berdasarkan
akal dan penglihatan nabi Musa, membuatnya tak
terhindarkan dari pertanyaan, bahkan protes. Misalnya,
perusakan kapal yang mereka tumpangi tanpa izin sang
pemilik, pembunuhan terhadap anak kecil yang mereka
jumpai, dan restorasi dinding roboh di sebuah kota yang
penduduknya tidak ramah dan tidak bersahabat dengan
mereka.18
Bahkan dalam beberapa tafsir disebutkan bahwa
penduduk kota tersebut sangat kikir.19
Terjadinya perdebatan antara nabi Musa dengan
Khidir dilatar belakangi oleh perbedaan sudut pandang dalam
melihat sesuatu. Nabi Musa memandang salah atas tindakan
yang dilakukan oleh Khidir lantaran bertolak dengan norma-
norma yang berlaku, sementara Khidir mempunyai alasan
tersendiri yang tidak dapat dijangkau oleh akal nabi Musa dan
manusia pada umumnya. Dari sini dapat dipahami bahwa
Musa merupakan representasi manusia secara umum,
sementara Khidir merupakan representasi dari Tuhan. Musa
menafsirkan segala sesuatu dengan menitikberatkan pada
nalar bayāni dan burhāni. 20 Sementara Khidir dapat
18
Djohan Effendi, Pesan-Pesan al-Qur’an: Mencoba Mengerti Intisari Kitab Suci, cet. I (Jakarta: Serambi Ilmu
Nusantara, 2012), 145. 19
Fakr al-Dīn al-Rāzi, Mafātiḥ al-Ghaib (Maktab al-
Syāmilah), 487. Aḥmad Musṭafā al-Marāghī (Maktab al-Syamilah) 20
Nalar bayāni biasanya terdapat dalam kajian ilmu
kebahasaan, seperti naḥwu, fiqh, teologi dan ilmu balaghah. Nalar
bayāni bekerja dengan menggunakan mekanisme yang sama
berangkat dari dikotomi antara lafadz/al-makna, al-aṣl/al-far’ dan al-jauhar. Sementara nalar burhāni adalah cara berfikir masyarakat
Arab yang bertumpu pada kekuatan natural manusia, yaitu
8
menjangkau segala sesuatu yang akan terjadi dikemudian hari,
karena ia dianugerahi ilmu laduni.21 Namun, pembunuhan dan
penganiayaan adalah perbuatan yang dilarang dalam Islam,
pelakunya diancam dengan hukuman Kisas,22
yaitu hukuman
yang telah ditetapkan secara tegas dalam al-Qur’an dan hadis.
Hukuman ini adalah bentuk perlindungan yang diberikan
kepada setiap individu agar terjamin keselamatan jiwa dan
kesempurnaan anggota tubuhnya. Ini menunjukkan bahwa
hukum Islam yang termuat dalam ayat-ayat al-Qur’an sangat
adil.23
Ini sekaligus mamatahkan sebagian pandangan bahwa
hukum pidana Islam adalah kejam, keras bertentangan dengan
HAM (Hak Asasi Manusia).24
berdasarkan pengalaman empiric dan penilaian akal dalam
mendapatkan pengetahuan tentang segala sesuatu, atau pengetahuan
yang bertumpu pada hukum sebab akibat. Lihat: M. Faisol.
‚Struktur Nalar Arab-Islam Menurut ‘Abid al-Jābiri‛ (Jurnal Tsaqafah, Vol. 6, No. 2, Oktober 2010), 339 dan 355.
21 Muhamad Agus Mushodiq, ‚Perilaku Patalogis pada
Kisah Nabi Musa dan ‘Abd dalam al-Qur’an: Telaah Epistimologi
al-Jābirī dan Semiotika Peirce‛ (Jurnal Ulul Albab, Vol. 19, No. 1,
2018), 71. 22
Qiṣaṣ secara etimologis berati mengikuti; menelusuri
jejak atau langkah. Sementara secara terminologi sebagaimana
dikemukakan oleh M. Nurul Irfan dalam bukunya dengan mengutib
beberapa pendapat ulama. Antara lain adalah pendapat al-Jurjanī,
yaitu mengenakan sebuah tindakan (sanksi hukum) kepada pelaku
persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut
(terhadap korban). Qiṣaṣ bisa karena melakukan jarīmah pembunuhan dan bisa juga karena melakukan jarimah penganiayaan.
Lihat: M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, cet. I (Jakarta:
Amzah, 2013), 4-5. 23
Abdurrahman Madjrie, Qisas: Pembalasan yang Hak (Jakarta: Khairul Bayan, 2003), 20.
24 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam:
Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda (Jakarta: Gema
Insani, 2003), VIII.
9
Dalam hukum Islam, tidak ada suatu perbuatan baik
secara aktif (komisi) maupun pasif (omisi) kecuali telah
ditentukan hukumnya dalam al-Qur’an maupun hadis nabi.
Syari’at Islam telah menetapkan perbuatan tertentu sebagai
sebuah kejahatan dan sekaligus menetapkan hukumannya
dengan tujuan untuk melindungi kepentingan secara kolektif
dan sistem kehidupan bermasyarakat. Salah satu bentuk
kejahatan (jināyat) yang pelakunya mendapat kecaman
langsung melalui al-Qur’an dan hadis adalah kejahatan yang
menyebabkan hilangnya nyawa dan atau hilangnya sebagian
anggota tubuh manusia. Seperti pembunuhan, melukai orang,
kekerasan fisik atau aborsi dengan sengaja.25
Jarīmah atas kejahatan tersebut di atas adalah kisas,
hal ini sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an QS. Al-
Baqarah/2:178.26
Dengan merujuk pada QS. Al-Baqarah 178,
ulama sepakat bahwa pembunuhan dengan cara disengaja
pelakunya wajib dijatuhi hukuman kisas. Tetapi mereka
berbeda pendapat terkait definisi pembunuhan sengaja.
Perbedaan tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Moqsith
Ghazali dalam bukunya, dilatarbelakangi oleh cara pandang
mereka dalam memahami kata ‚sengaja‛. Sebagian ulama
memahami pembunuhan sengaja tersebut ditentukan oleh
adanya niat, sementara sebagian yang lain mengatakan bahwa
kesengajaan tersebut ditentukan oleh alat yang digunakan,
yaitu benda yang dapat mematikan, baik benda tajam maupun
lainnya, baik secara langsung maupun tidak.27
25
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda, 21.
26 Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. 27
Lilik Ummi Kalstum dan Abd Moqsith Ghazali, Tafsir Ahkam, 115-116. Lihat juga: Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, cet. I (Jakarta: Amzah, 2013), 6.
10
Secara eksplisit, tindakan Khidir terhadap anak
remaja yang belum dewasa yang tidak bersalah adalah
melanggar prinsip-prinsip Islam.28
Sebab, tujuan
diturunkannya syariat Islam adalah untuk menjamin
kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Untuk tercapainya tujuan syariat Islam tersebut, maka harus
ada jaminan atas hak-hak dasar manusia, termasuk di
dalamnya hak anak. Paling tidak ada lima dasar pokok yang
harus dijamin dan dijaga dari manusia (al-ḍarūriyah al-khamsah), yaitu agama, jiwa, keterunan, harta dan akal.
29
Di bandingkan dengan hak-hak lainnya, baik yang
bersifat ḍarūriyah, seperti hak beragama, memelihara jiwa,
28
Tentu secara kasat mata ini bertentangan dengan prinsip
ajaran Islam, bahwa setiap bayi yang lahir ke dunia dalam keadaan
suci, maka orang tua dan lingkunganlah yang akan membentuk
karakternya. Lihat: Imran Siswadi, ‚Perlindungan Anak dalam
Perspektif Hukum Islam dan HAM‛, (Jurnal al-Mawarid, Vol. XI,
No. 2, September-Januari, 2011), 226. Lihat juga hadis yang
diriwayatkan oleh Imām al-Bukharī: Hadits diriwayatkan dari Adam, dari Ibni Abī Dzi’bin, dari Abī Salamah bin ‘Abd al-Rahmān, dari Abī Hurairah r.a. bahwa Nabi Saw bersabda: ‚setiap anak dilahirkan dalam keadaan fiṭrah, maka orang tuanyalah yang mnjadikannya Yahudī, atau Naṣranī, atau Majusī. Seperti seekor ternak yang melahirkan anaknya, apakah engkau melihat cacat padanya?‛ (H.R. al-Bukharī).
29 Hak-hak tersebut merupakan sesuatu yang sangat
mendasar bagi kehidupan manusia dan ia bersifat kodrati yang
melekat pada diri manusia sejak lahir. Setiap individu membawa
hak-hak asasi tertentu sejak lahir dan tidak boleh
dilanggar/dihilangkan oleh siapapun. Lihat: David Weissbrodf,
‚Hak-hak Asasi Manusia: Tinjauan dari Perspektif Kesejarahan‛
dalam Peter Davies, Hak-hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia diterjemahkan dari Human Rights, 1991), 2. Lihat
juga: Azhariah Fatia, ‚Hak dan Perlindungan Anak dalam
Perspektif Hadis‛ (Tesis, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2007), 46-47.
11
akal, harta dan harga diri, bersifat ḥājiyyāt, seperti mengatur
pola hubungan antarmanusia, atau taḥsiniyāt, yang berupa
akhlak dan tradisi mulia, maka hak yang paling mendasar bagi
manusia adalah hak hidup.30
Dalam Islam, tidak dibenarkan
bagi siapapun membunuh orang lain tanpa alasan yang
dibenarkan oleh syara’. Sebab satu pembunuhan terhadap
seseorang seolah-olah membunuh seluruh manusia.31
Pembunuhan terhadap anak remaja yang dilakukan
Khidir tentu saja bukan tanpa alasan. Selain alasan normatif
yang telah dijelaskan oleh Khidir kepada nabi Musa sebelum
keduanya berpisah sebagaimana yang terdapat dalam al-
Qur’an. Sebagai nabi, Khidir ‚tidak mungkin‛ melakukan
sesuatu sesuka hatinya apalagi tindakan kriminal, kalau tanpa
perintah dari Tuhan. Tetapi, protes yang disampaikan nabi
Musa kepada Khidir juga tidak sepenuhnya salah, sebab
tindakan Khidir tentu saja bertentangan dengan ajaran nabi
Musa yang dibawa dari Tuhan untuk disampaikan kepada
umatnya.
Ayat-ayat al-Qur’an yang digunakan sebagai landasan
hukum atas pembunuhan yang sering kali penulis jumpai
dalam beberapa buku atau penelitian adalah sebagai berikut:
QS. Al-Baqarah/2:178-179, QS. Al-Nisā’/4: 92-93, QS. Al-
Māidah/5: 32 dan 45, QS. Al-An’ām/6: 151, QS. Al-Isrā’/17:
33, dan QS. Al-Furqān/2:68 dan 70.
Sejauh pelacakan penulis atas beberapa kita tafsir
ahkam, Mereka sepakat dalam menjadikan ayat-ayat tersebut
30
Shalahuddin Hamid, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam (Jakarta: Amissco, 2000), 36.
31 Maka barang siapa yang membunuh satu manusia tanpa
kesalahan, maka ia seperti membunuh manusia seluruhnya, dan barang siapa yang menghidupkannya maka ia seperti menghidupkan seluruh manusia. (QS. Al-Māidah/5:32). Lihat juga: QS. Al-
An’ām/6:151. QS. Al-Isrā’/17:31 dan 33. QS. Al-Māidah/5:45. QS.
Al-Baqarah/2:178.
12
di atas sebagai dalil hukum pembunuhan dalam al-Qur’an.
Tapi tidak banyak dari mereka yang mencantumkan surah al-
Kahfi, ayat 74 yang mengisahkan pembunuhan yang
dilakukan oleh Khidir terhadap seorang anak (ghulām) yang
dijumpainya di perjalanan bersama nabi Musa, dalam
tafsirnya.
Berikut ini adalah hasil pelacakan penulis terhadap
beberapa kitab tafsir ahkam. Pertama, tafsir Rawā’i al-Bayān Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur’ān. Dalam tafsir ini Alī al-
Ṣābunī hanya mencantumkan QS. Al-Baqarah/2:178-179
dalam bab Fī al-Qiṣāṣi ḥayātu al-Nufūs dan QS. Al-
Nisā’/4:92-93 dalam bab Jarīmah Al-Qatl. 32 Kedua, tafsir
Taisīr al-Bayān li Aḥkām al-Qur’ān. Imām al-Mauzi’ī
mencantumkan QS. Al-Baqarah/2:178-179, QS. Al-
Māidah/5:45, dan QS. Al-Isrā’/17:33 dalam bab Min Aḥkām al-Qiṣāṣ, dan QS. Al-Nisā’/4:92-93 dalam bab Min Aḥkām al-Qiṣāṣ wa al-Diyāt.33
Ketiga, Tafsir Kanzu al-‘Irfān fī Fiqh al-Qur’an. Miqdād ibn ‘Abd Allāh ibn Muḥammad ibn al-Hasan
ibn Muḥammad al-Syayurī, menyebutkan QS. Al-
Baqarah/2:178-179, QS. Al-Nisā’/4:92-93, QS. Al-
Māidah/5:32 dan 45, dan QS. Al-Isrā’/17:33 dalam satu bab,
yaitu Kitāb al-Jināyāt.34 Keempat, tafsir Aḥkām al-Qur’an Lī Ibn al-‘Arabī. Ibn al-‘Arabī sama seperti mufasir yang
lainnya, ia juga mencantumkan ayat-ayat tersebut di atas
dalam kitab tafsirnya.
Peneliti berasumsi bahwa mereka sepakat dalam
menjadikan ayat-ayat tersebut sebagai dalil hukum atas
32
Muḥammad ‘Alī al-Ṣābunī, Rawā’i al-Bayān Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur’ān, juz II (Beirut: Maktab al-Ghazālī, tt), 168.
33 Al-Mauzi’ī atau Ibn Nuri al-Dīn, Taisīr al-Bayān Lī
Aḥkām al-Qur’ān (Libnan: Dār al-Nawādir, 2012 M), 217 dan 457. 34
Miqdād ibn ‘Abd Allāh ibn Muḥammad ibn al-Ḥasan ibn
Muḥammad al-Syayurī, Kanzu al-‘Irfān fī Fiqh al-Qur’ān (al-
Maktab al-Murtadiyah, Tt), 354-358.
13
tindakan pembunuhan. Tapi tidak satu pun dari mereka
menjadikan ayat yang mengisahkan pembunuhan yang
dilakukan oleh Khidir sebagai dalil hukum, atau contoh
pembunuhan secara sengaja yang berdampak pada hukum
kisas, bahkan mereka tidak mencantumkan ayat tersebut
dalam kitab tafsirnya. Padahal kejadian tersebut, terjadi pada
masa nabi Musa di mana hukum kisas pertama kali
diterapkan. Hal ini bisa dilihat dari QS. Al-Māidah/5:32.35
Oleh sebab itu, peneliti perlu merujuk pada beberapa
tafsir lainnya yang lebih komprehensif, yang memuat seluruh
ayat al-Qur’an, dari surah al-Fātihah sampai surah al-Nās,
seperti tafsir al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān karya al-Qurṭubī
(untuk tafsir Ahkam). Untuk mengetahui bagaimana
penafsiran yang dilakukan oleh mereka terhadap ayat yang
mengandung diksi pembunuhan, terutama pembunuhan yang
dilakukan oleh Khidir kepada anak kecil yang dilakukan di
depan nabi Musa, sebagaimana diurai dalam surah al-Kahfi.
Akankah pembunuhan yang terdapat dalam kisah dijadikan
argumentasi hukum oleh para mufasir, terutama mufasir
ahkam. Karena tidak satupun dari tindakan manusia yang
terlepas dari hukum. Apalagi tindakan yang menyebabkan
hilangnya nyawa seseorang. Hukum yang diturunkan Allah
Swt, tentu saja tidak pandang bulu, secara tegas Islam
memandang sama manusia di hadapan hukum. Tetapi, jika
bertentangan antara penegakan hukum dengan keadilan,
seperti yang terjadi pada masa pemerintahan ‘Umar ibn
Khaṭṭāb, seorang pencuri yang tidak dikenai hukum potong
tangan dengan alasan kelaparan karena hidup di masa
paceklik. Tujuan adanya ḥudūd dalam Islam adalah untuk
35
Lihat: al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, juz VII (Beirut: Muassasah al-Risālah, 2006), 428.
14
memberikan rasa takut pada orang lain. Penerapannya akan
mencegah orang lain untuk melakukan perbuatan serupa.36
Penelitian ini dipandang perlu untuk dilakukan,
karena sejauh penelusuran peneliti tampaknya belum ada yang
melakukannya dari sudut pandang hukum. Beberapa
penelitian seperti jurnal yang penulis temukan, membahas
kisah nabi Musa dan Khidir dari sudut pandang sejarah,
hermeneutika, epistimologi dan lain sebagainya. Seperti
jurnal yang ditulis oleh Muhamad Agus Mushadiq dengan
judul ‚Kisah Nabi Musa dan ‘Abd dalam al-Qur’an: Telaah Epistimologi al-Jābirī dan Semiotika Peirce‛ atau ‚Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Kisah nabi Musa dan nabi Khidir‛
dan ‚Pendidikan Karakter Guru dan Murid dalam Kisah nabi Musa dan nabi Khidir dalam Surah al-Kahfi Ayat 60-82‛ yang
ditulis oleh Jamal Abd Natsir, dan tesis Muhammad
Mushodiq dengan judul ‚Kisah Nabi Musa dan ‘Abd di dalam al-Qur’an: Studi Analisis Semiotika, Patologi Sosial dan Epistemologi ‘Ābid al-Jābiri ‛ dan lain sebagainya.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa
masalah yang dapat diidentifikasi sebagai beriku:
a. Pembunuhan yang dilakukan oleh nabi Khidir
terhadap anak kecil bertentangan dengan syari’at
yang dibawa oleh nabi Musa.
b. Khidir sebagai nabi, tidak ‚mungkin‛ melakukan
tindakan ‚kriminal‛ tanpa ada perintah dari Allah
Swt.
c. Nabi Musa memprotes tindakan nabi Khidir lantara
bertentangan dengan norma dan ajaran yang
dibawanya secara kasat mata.
36
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda, XIV.
15
d. Agama melindungi Hak Asasi Manusia (HAM),
terutama hak untuk hidup, maka segala bentuk
pembunuhan terhadap orang yang tidak bersalah tentu
saja tidak dibenarkan oleh agama.
e. Membunuh satu orang yang tidak bersalah, maka
seperti membunuh seluruh manusia. Jika hukuman
terhadap pembunuh tidak ditegakkan, makan
pembunuhan tidak akan berkesudahan.
2. Perumusan Masalah
Dilihat dari kacamata hukum, pembunuhan secara
sengaja terhadap orang yang tidak bersalah, maka pelakunya
dijatuhi hukuman kisas (al-Baqarah. 2:178). Bertolak dari
pokok permasalahan tersebut di atas, sebagaimana diuraikan
dalam latar belakang masalah, makan ada beberapa masalah
yang akan menjadi pokok pembahsan dalam penelitian ini
yang dapat peneliti rumuskan sebagai berikut:
Pertama, Bagaimana pemaknaan mufassir aḥkam
terhadap surah al-Kahfi ayat 71-77 dalam kaitannya dengan
tindakan dan pembunuhan yang dilakukan oleh nabi Khidir
terhadap ghulām (yang masih suci)?
Kedua, Apakah ayat-ayat kisah yang mengandung
diksi hukum dijadikan sebagai argumentasi/dalil hukum oleh
para fuqahā sama seperti ayat-ayat hukum murni?
3. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah
yang telah peneliti paparkan di atas, maka untuk lebih
memfokuskan dan mengarahkan penulisan tesis ini pada tema
yang dibahas, perlu peneliti berikan batasan dari masalah
yang akan diteliti. Permasalahan yang akan dibahas dalam
tesis ini adalah pemaknaan para mufasir terhadap
pembunuhan yang dilakukan oleh Khidir terhadap seorang
anak yang tidak melakukan tindakan yang menyebabkannya
dikenai hukuman mati/kisas sebagaimana terdapat dalam
16
surah al-Kahfi. Akankah hukum tetap menyatakan bersalah
atas pembunuhan yang dilakukan Khidir terhadap seorang
anak yang tidak berdosa itu. Pembahasan terkait hal tersebut
peneliti batasi pada surah al-Kahfi/18:71-77 dengan merujuk
pada beberapa kitab tafsir, kemudian menyebutkan ayat-ayat
hukum murni.37
Peneliti tidak hanya membatasi pada tafsir
ahkam, karena beberapa tafsir ahkam tidak membahas ayat
tersebut di atas, tetapi peneliti juga merujuk pada beberapa
kitab tafsir lainnya, untuk mengetahui pemaknaan mereka
terhadap ayat tersebut. Selain itu, peneliti juga menganalisa
ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil pembunuhan di
beberapa kitab tafsir ahkam.
Adapun kitab-kitab tafsir tersebut adalah: Tafsīr al-Jīlānī karya Abd al-Qādir Jailānī, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Adzīm karya al-Tustārī, Laṭāif al-Isyārāt karya al-Qusyairī, Ḥaqāiq al-Tafsīr karya al-Sulāmī, al-Mizān karya al-Ṭabāṭabāī,
Mafātiḥ al-Ghaib karya al-Rāzī, Tafsīr al-Marāghī karya
Aḥmad Muṣṭafā al-Marāghī, Fī Dzilāl al-Qur’ān karya Sayyid
Quṭb, Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab, Tafsir al-Azhar karya Hamka, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān karya al-
Qurṭūbī, Aḥkām al-Qur’ān karya Ibn ‘Arabī, al-Tafsīr wa al-Bayān karya ‘Abd ‘Azīz Marzūq al-Ṭarīfī, al-Kasysyāf karya
al-Zamakhsyarī, dan Aḥkām al-Qur’ān karya al-Jaṣṣaṣ.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, penulis
berasumsi bahwa kisah pembunuhan yang dilakukan nabi
Khidir terhadap anak kecil dalam pengembaraan nabi Musa
dilihat dari sisi tafsir ahkam layak untuk dikaji, tidak hanya
37
Yang dimaksud dengan ayat hukum murni di sini adalah
ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan pembunuhan
yang digunakan sebagai argumentasi atas pembunuhan oleh para
ulama fikih dan para mufasir. Antara lain adalah QS. Al-
Baqarah//2:178-179 dan QS. Al-Māidah/5:45
17
bertujuan untuk menemukan hikmah dibalik kisah tersebut,
tapi untuk menemukan kepastian hukum. Maka, secara
khusus penulis bertujuan untuk:
1. Mengetahui pemaknaan mufasir aḥkām terhadap
surah al-Kahfi ayat 71-77 dalam kaitannya dengan
tindakan dan pembunuhan yang dilakukan oleh nabi
Khidir terhadap ghulām (yang masih suci)?
2. Mengetahui ayat-ayat kisah yang mengandung diksi
hukum dijadikan sebagai argumentasi/dalil hukum
oleh para fuqahā sama seperti ayat-ayat hukum
murni?
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian
Dengan memperhatikan permasalahan sebagaimana
diurai dalam latar belakang di atas, penulis berasumsi bahwa
pembahasan tentang pembunuhan anak kecil yang terdapat
dalam surah al-Kahfi sangat layak untuk dibahas dari sisi
hukum. Karena sejauh penelusuran penulis, belum ada yang
melakukannya dari kacamata hukum. Yang banyak penulis
temukan adalah pembahasan kisah nabi Musa dan nabi Khidir
dari sisi sejarah dan hikmah, baik menggunakan pendekatan
hermenuitika atau pendekatan yang lainnya.
Adapun manfaat dari penelitian ini secara umum,
menjadi kontribusi penulis dalam memperkaya wacana kajian
hukum Islam, khususnya dalam bidang tafsir. Secara khusus
penelitian ini diharapkan mampu menguraikan sisi hukum
dari kejadian dalam kisah nabi Musa dan nabi Khidir dalam
surah al-Kahfi. Untuk mengetahui apakah ayat-ayat yang
berkaitan dengan kisah tersebut apakah dijadikan landasan
hukum oleh para mufassir ahkam, mengingat bahwa al-Qur’an
adalah pedoman umat manusia dalam segala aspek
kehidupannya. Untuk mengetahui, jika ayat-ayat tersebut
tidak dijadikan landasan hukum, lalu dijadikan apa oleh para
mufassir ahkam. Bahwa penelitian ini akan berguna bagi para
pengkaji hukum Islam, terutama dalam bidang tafsir ahkam.
18
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian yang mengkaji tentang kisah nabi Musa
dan nabi Khidir telah dilakukan oleh banyak peneliti. Akan
tetapi kajian yang peneliti lakukan baik judul maupun
permasalahannya berbeda dengan penelitian-penelitian
terdahulu. Berikut akan diuraikan penelitian-penelitian
terdahulu yang berkaitan dengan tema yang peneliti bahas.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembahsan tentang
kisah nabi Musa dan Khidir menarik perhatian para peneliti,
hal ini bisa dilihat dari jumlah penelitian yang terkait tema
tersebut, baik berupa disertasi, tesis, jurnal dan skripsi.
Demikian juga yang berkaitan dengan ayat-ayat hukum,
dalam kaitannya dengan pembunuhan dalam al-Qur’an, telah
banyak dibahas oleh para peneliti. Pada bagian ini peneliti
akan mengemukakan dua jenis tema besar yang tentunya ada
kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan oleh
peneliti dalam bentuk tesis ini. Pertama, tema yang berkaitan
dengan permasalahan hukum pembunuhan atau ayat-ayat
hukum dalam al-Qur’an. Kedua, tentang kisah nabi Musa dan
Khidir dalam al-Qur’an dari berbagai perspektif. Namun, dari
sekian banyak penelitian tersebut, peneliti akan
mencantumkan sebagiannya saja. Hal ini dilakukan untuk
membuktikan bahwa permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini sama sekali tidak sama dengan permasalahan
yang dibahas pada penelitian-penelitian sebelumnya.
Di antara penelitian yang berkaitan dengan tema
tersebut di atas adalah: Lilik Ummi Kaltsum dan Moqsith
Ghazali, dalam bukunya ‚Tafsir Ayat-ayat Ahkam‛ mereka
menguraikan ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an, meliputi
ayat-ayat peperangan, jihad, ayat-ayat yang berkaitan dengan
pernikahan, ayat-ayat yang berkaitan dengan perceraian dan
ayat-ayat yang berkaitan dengan pembunuhan beserta jarīmah
atas pembunuhan baik disengaja atau tidak disengaja.
Sepanjang pembacaan penulis terhadap buku tersebut, tidak
ditemukan sub tema yang membahas tentang kasus
19
pembunuhan yang dilakukan oleh nabi Khidir dalam kisah
pengembaraan nabi Musa. Pada sub tema Tafsir atas ayat-ayat pembunuhan, buku ini menitikberatkan pembahasannya
pada ruang lingkup pembunuhan disengaja atau tidak
disengaja, dan beberapa ayat yang dikutip terkait
pembunuhan, tidak ditemukan ayat yang berkaitan dengan
pembunuhan yang dilakukan nabi Khidir sebagaimana tertera
dalam surah al-Kahfi. Sudah barang tentu buku ini tidak sama
dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis.
Disertasi yang ditulis oleh Achyar Zein dengan judul
‚Kriteria Tindak Pidana dalam al-Qur’an‛ pada Pascasarjana
IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh. Disertasi ini untuk
menjawab beberapa permasalahan pokok terkait tindakan
pembunuhan dan sanksinya dalam al-Qur’an. Yaitu tentang
gambaran tindak pidana dalam al-Qur’an, penafsiran para
ulama terhadap ayat-ayat pidana (secara umum), pola
penalaran ayat-ayat pidana, dan alasan sebagian ulama
memberlakukan hukuman ta’zir terhadap ibadah.
Berdasarkan fokus pembahasan tersebut di atas, maka
disertasi ini lebih banyak mengurai tentang tindak pidana
dengan mengurai kriteria perbuatan-perbuatan yang
ditetapkan dalam al-Qur’an sebagai tindak pidana. Melalui
kriteria ini maka perbuatan-perbuatan yang tidak disebutkan
dalam al-Qur’an dapat dimasukkan ke dalam tindak pidana
jika sesuai dengan kriteria yang ada. Dengan kata lain,
tawaran-tawaran disertasi ini dalam rangka memperluas
tindak pidana bersifat ‚bebas terkendali‛.
H.A. Wardi Muchlis dalam jurnal yang berjudul
‚Ayat-ayat Pidana dalam al-Qur’an‛ penelitian ini tidak
hanya fokus membahas tentang hukum pembunuhan, tetapi
tindak pidana secara umum. Seperti berzina, mencuri dan lain
sebagainya. Karena ayat-ayat pidana itu adalah bagian dari
ayat-ayat hukum, maka, Wardi Muchlis membatasi
pembahasannya pada tafsir ahkam, khususnya Aḥkām al-Qur’an karya Ibn ‘Arabī, Tafsīr Ayāt al-Aḥkām karya
20
Muḥammad ‘Alī Al-Says, dan Rawā’i al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Aḥkām karya ‘Alī al-Ṣābunī.
Di sini Muchlis mengemukakan perbedaan tiga
pendapat ulama di atas tentang jumlah atau batasan ayat-ayat
hukum dan pidana dalam al-Qur’an. Pertama, menurut Ibn
‘Arabī, jumlah ayat ahkam dalam al-Qur’an sebanyak 891
ayat, sementara ayat pidana sebanyak 71 ayat. Kedua, Ali al-
Says, menurutnya jumlah ayat ahkam sebanyak 314 dan ayat
pidana sebanyak 55 ayat. Ketiga, ‘Alī al-Ṣābunī, jumlah ayat
ahkam adalah 255 ayat dan ayat pidana sebanyak 41 ayat.
Ada sejumlah ayat yang disepakati oleh mereka bertiga
sebagai ayat ahkam dan ayat pidana, tetapi ada juga yang
menurut sebagian dimasukkan dalam kelompok ayat ahkan
dan pidana, sementara oleh yang lainnya tidak dimasukkan.
Dari fokus pembahasan dan pembatasan pada kitab
tafsir yang dikaji dalam penelitian ini, jelaslah bahwa terdapat
perbedaan yang mencolok dengan apa yang dilakukan oleh
peneliti dalam pembahasan tesis ini.
Jurnal yang ditulis oleh Bunyamin dengan judul
‚Qisas dalam al-Qur’an: Kajian Fiqh Jinayah dalam Kasus Pembunuhan Disengaja.‛ Penelitian ini berupaya mengkaji
ayat-ayat al-Qur’an yang bermuatan sanksi pembunuhan
dengan cara sengaja. Dilihat dari sudut pandang fikih jinayat,
sanksi pembunuhan sengaja termasuk bagian dari kisas, yaitu
pembalasan setimpal terhadap korban.
Eksistensi kisas dalam al-Qur’an adalah untuk
menciptakan keadilan sosial, sekaligus melindungi dan
menjaga hak hidup masyarakat dari kejahatan yang terkadang
dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Jelaslah bahwa fokus bahasan penelitian ini berbeda dengan
fokus bahasan penelitian yang dilakukan oleh peneliti.
Tesis yang ditulis oleh Agus Mushodiq dengan judul
‚Kisah Nabi Musa dan ‘Abd dalam al-Qur’an: Studi Analisis Semiotika, Patologi Sosial, dan Epistemologi ‘Ābid al-Jābiri‛
penelitian ini dalam pembahasannya lebih menitikberatkan
21
pada analisa tanda yang terdapat dalam kisah nabi Musa dan
nabi Khidir secara khusus yang terdapat dalam surah al-Kahfi
dengan menggunakan pendekatan semiotika Charles Sanders
Peirce, sehingga temuan dari penelitian ini bukan bertumpu
pada hukum atas pembunuhan yang terdapat dalam kisah
tersebut, melainkan pada hikmah, dan tujuan disajikannya
kisah tersebut yang memiliki makna tersendiri, yaitu sebagai
ẓikrā (pengingat) bagi nabi Musa ketika ia diperintahkan
menemui nabi Khidir, lantaran pengakuannya bahwa tidak
ada manusia paling pandai di dunia, dan sebagai rusyda
(petunjuk) bagi manusia agar bersabar dengan ketetapan yang
telah Allah Swt, gariskan.
Sarjana lain yang menulis tentang kisah nabi Musa
dan nabi Khidir adalah Jamal Abd Nasir dalam jurnal dengan
judul ‚Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Guru dan Murid dalam Perspektif Kisah Musa dan Khidir dalam Surah al-Kahfi ayat 71-77‛. Penelitian ini fokus pada analisa nilai-nilai dan
hikmah yang terdapat dalam sajian kisah nabi Musa dan nabi
Khidir, yaitu tentang sikap seorang murid pada gurunya.
Kesimpulannya atau hasil temuannya adalah bahwa setiap
murid dituntut untuk selalu hormat pada gurunya dan jika
terjadi khilaf, segeralah meminta maaf. Kedua, bahwa
mencari ilmu itu tidak mengenal usia. Ketiga, bahwa jarak
yang jauh bukanlah sebuah alasan untuk tidak menimba ilmu
yang lebih luas. Meski ayat yang dianalisa mencakup semua
kisah perjalanan nabi Musa hingga bertemu nabi Khidir,
Jamal Abd Nasir tidak sedikitpun menyinggung tentang
implikasi hukum dari beberapa kejadian dalam kisah tersebut.
Ini sama sekali berbeda dengan apa yang ingin penulis
lakukan.
Islamica: Jurnal Studi Keislaman dengan judul
‚Interpretasi Kisah Nabi Musa Perspektif Naratologi al-Qur’an‛ yang ditulis oleh M. Faisol. Sebagaimana tergambar
dalam judulnya, penelitian ini fokus membahas kisah Nabi
Musa dengan pendekatan naratologi yaitu dengan mengkaji
22
struktur kisah nabi Musa dalam al-Qur’an. Bahwa sajian kisah
nabi Musa dalam al-Qur’an hadir dalam bentuk fragmentatif,
tidak diulas secara utuh dari awal hingga akhir, tetapi dibagi
kedalam bagian-bagian kecil. Penelitian ini tidak fokus pada
ayat atau surah tententu yang mengandung kisah nabi Musa,
tetapi seluruh ayat atau surah yang mengisahkan nabi Musa
dibahas dalam penelitian ini.
Sepintas, penelitian ini juga menyinggung kisah nabi
Musa yang terdapat dalam surah al-Kahfi, dimulai dari 63-64
yaitu awal pertemuan nabi Musa dengan Khidir yang ditandai
dengan hilangnya ikan di suatu tempat tertentu, hingga akhir
perjalanannya dengan Khidir. Menurut M. Faisol, kisah ini
disajikan dengan sangat singkat dan padat. Sebagai
konsekuensi dari sajian kisah yang singkat adalah tidak
kurang menampilkan gambaran atau adegan-adegan yang
penyituasian yang berkepanjangan.
Dilihat dari fokus bahasan dalam penelitian ini,
sebagaimana telah disebutkan, tentu saja berbeda dengan
fokus penelitian yang dilakukan peneliti. Tidak ditemukan
titik persamaan fokus antara penelitian yang telah dilakukan
oleh M. Faisol dengan apa yang dilakukan peneliti saat ini.
Anita Fauziah dan Ahmad Syamsu Rizal dalam jurnal
dengan judul ‚Implikasi Edukasi Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam QS. Al-Kahfi/18:60-82: Studi Literatur terhadap 5 Tafsir Mu’tabarah‛ fokus kajian dalam penelitian
ini adalah mengkaji kisah nabi Musa dan Khidir dalam QS.
Al-Kahfi/18:60-82 serta implikasinya terhadap pendidikan
Islam, dengan merujuk pada lima kitab tafsir yang dipandang
Mu’tabarah, yaitu Tafsir al-Misbah, Tafsir Fī Dzilāl al-Qur’ān, Tafsir Ibn Katsīr, Tafsīr al-Marāghī dan Tafsir Aisar. Hasil temuan dari penelitian ini adalah bahwa implikasi
edukatif kisah nabi Musa dan nabi Khidir yang terdapat
dalam surah al-Kahfi meliputi komponen-komponen
pendidikan Islam, yakni 1. Tujuan pendidikan: pembinnan
akhlak 2. Karakter pendidik: sabar, bijaksana, ikhlas,
23
mengenal kompetensi murid, berpengetahuan luas, menguasai
materi dengan baik, pemaaf dan tegas. 3. Karakter peserta
didik: sabar, patuh, mempunyai tekad yang kuat, sopan dan
rendah diri terhadap guru. 4. Materi: akidah dan akhlak. 5.
Metode: uswah hasanah dan tajribi, dan 6. Media: sikap dan
strategi guru.
Berdasarkan hasil temuan di atas, maka penelitian ini
berbeda dengan fokus bahasan penelitian yang dilakukan oleh
peneliti yang melihat kisah nabi Musa dan Khidir dari sudut
pandang hukum, yang menitik beratkan pada kasus
pembunuhan yang dilakukan oleh Khidir terhadap seorang
anak yang dalam pandangan nabi Musa tidak bersalah
sehingga tidak pantas untuk dibunuh.
Sri Haryanto dalam jurnal dengan judul ‚The Story of Phrpohet Khidir in Suluk Literature: Reception and Transformation‛ yang telah dipresentasikan pada kegiatan
Seminar Hasil Penelitian Kebahasaan dan Kesastraan, 07-09
Oktober 2015 di Baalai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penelitian ini mencoba melihat kisah Khidir dalam
sastra Jawa, khususnya sastra suluk, dengan menggunakan
teori resepsi dan transformasi. Adapun hasil temuan dari
penelitian ini adalah bahwa tokoh nabi Musa (sebagaimana
disebutkan dalam al-Qur’an) diganti dengan tokoh syekh
Malaya (dalam sastra suluk), inti ajaran ilmu ladunni yang
dimiliki oleh Khidir ditransformasikan dalam inti ajaran
kejawen manunggaling kaula-Gusti dalam sastra suluk. Oleh
karena itu, dalam sastra suluk, ajaran-ajaran yang
disampaikan oleh Khidir kepada Syekh Malaya dapat diterima
secara sempurna. Temuan ini sama sekali berbeda dengan apa
yang menjadi konsen pembahasan dalam pembahasan yang
akan diuraikan oleh peneliti pada tesis ini.
Tesis dengan judul ‚Kisah Nabi Musa dalam al-Qur’an: Analisis Kepribadian Nabi Musa Tinjauan Teori Kepribadia‛ yang ditulis oleh Ahmad Ashabul Kahfi Magister
24
Aqidah Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran
Islam UIN Sunan Kalijaga.
Dalam tesis ini, Ashabul Kahfi membahas tiga
pertanyaan pokok, yaitu tentang struktur kisah nabi Musa
dalam al-Qur’an, gambaran kepribadian nabi Musa dalam
kisah yang terdapan dalam al-Qur’an, dan gambaran nabi
Musa ditinjau dari sisi kematangan beragama.
Dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra,
maka tesis ini menghasilkan: alur kisah nabi Musa adalah alur
maju, latar kisah nabi Musa adalah terdiri dari tempat, yaitu
Mesir, Madyan. Latar waktu, yaitu sore, malam, pagi, 10
tahun dan 40 tahun. Tokoh dalam kisah nabi Musa adalah
terdiri dari; tokoh utama yaitu nabi Musa, tokoh pendukung
yaitu Allah, nabi Harun, Putri nabi Syu’aib, nabi Syu’aib,
Fir’aun dan Samiri. Amanat yang terdapat dalam kisah nabi
Musa yaitu kesungguhan dan kesabaran dalam menghadapi
setiap permasalahan yang mendatangkan kesuksesan. Nabi
Musa adalah pribadi yang matang berdasarkan enam kriteria,
yaitu perluasan perasaan diri, hubungan diri yang hangat
dengan orang lain, keamanan emosional, memiliki persepsi
realitas, memiliki pemahaman diri, dan filsafat hidup yang
mempersatukan. Nabi Musa memiliki kematangan beragama.
Dengan fokus pembahasan seperti disebutkan di atas,
maka jelaslah perbedaan antara tesis ini dengan penelitian
yang akan dibahas oleh peneliti dengan tema kisah dan hukum
dalam al-Qur’an.
Selanjutnya, penelitian Mursalim dalam jurnal
dengan judul ‚Gaya Bahasa Pengulangan Kisah Nabi Musa a.s dalam al-Qur’an: Suatu Kajian Stilistika‛. Dalam penelitian
ini, Mursalim mencoba menganalisa gaya bahasa pengulangan
kisah nabi Musa yang terdapat dalam al-Qur’an mengingat
banyaknya ayat al-Qur’an yang menjelaskan kisah nabi Musa,
serta adanya banyak kesamaan dakwa secara setting social antara Musa dengan Muhammad. Sehingga, penelitian ini
25
tidak sedikitpun menyinggung hukum fiqh yang terdapat
dalam kisah tersebut.
Berdasarkan kajian terdahulu yang relevan dengan
tema yang penulis tetapkan, sebagaimana diuraikan di atas,
penulis belum menemukan sebuah karya ilmiah yang
membahas kisah nabi Musa dan Khidir dari sudut pandang
hukum fiqh. Oleh karena itu, dengan penulisan tesis ini,
diharapkan dapat melengkapi kajian tentang kisah-kisah
dalam al-Qur’an, dan secara khusus kisah nabi Musa dan
Khidir dalam al-Qur’an.
F. Metodologi Penelitian
Merujuk pada pendapat Abuddin Nata dalam salah
satu bukunya, bahwa penguasaan materi keilmuan perlu
diimbangi dengan kemampuan dalam metodologi, sehingga
pengetahuan tersebut dapat dikembangkan. Oleh karena itu,
metodologi dalam sebuah penelitian merupakan sesuatu yang
sangat urgent.38
Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini secara umum mencakup empat hal penting.
Yaitu, jenis penelitian, sumber data peneitian, metode
pengumpulan data, dan metode analisis data.
1. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian
kepustakaan (library research), yaitu penelitian dengan
mengumpulkan data-data dan menelaah buku-buku atau
literatur-literatur perpustakaan yang berkaitan dengan
pembahasan.39
Data yang akan dikaji adalah penafsiran yang
dilakukan oleh para ulama, terutama tafsir yang bercorak
ahkam yang berkaitan dengan penafsiran surah al-Kahfi yang
38
Abuddin Nata, Metodologo Studi Islam (Jakarta:
Rajawali Press, 2007), 148-149. 39
Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisiplinir (Yogyakarta: Paradigma, 2010), 134.
26
mengandung kisah nabi Musa dan Khidir. Mengingat
penelitian ini bersifat teoritis, maka metode yang digunakan
adalah metode kualitatif, yaitu metode yang secara umum
dapat dimaknai sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata yang tertulis atau
perilaku yang diamati.40
2. Sumber Data
Sesuai dengan objek penelitian ini, maka teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah penelaahan dan
pengkajian terhadap bahan-bahan pustaka (book survey).
Untuk keperluan tersebut digunakan sumber data primer dan
sumber data sekunder.
a. Sumber Data primer yaitu, penafsiran para mufasir
terhadap surah al-Kahfi ayat 71-77 yang tertuang
dalam beberapa kitab tafsir. Yaitu sebagaimana
disebutkan dalam pembatasan masalah di atas, yang
meliputi empat jenis corak penafsiran, sufi, falsafi,
adāb al-Ijtimā’ī dan tafsir corak ahkam.
b. Sumber Data Sekunder yaitu, sumber yang berfungsi
sebagai penguat, pelengkap dan penyeimbanga data
untuk memecahkan masalah. Yaitu kitab-kitab tafsir
ahkam selain yang disebutkan di atas (kitab-kitab
tafsir Ahkam yang hanya memuat ayat-ayat al-Qur’an
yang berkaitan dengan hukum/tematik) yang
dipandang dapat mempertajam analisa. Sperti tafsir
40
Penelitian Kualitatif adalah sebuah penelitian yang
berlandaskan filsafat Pospositivisme, digunakan untuk meneliti
pada kondisi objek alamiah (sebagai lawannya eksperimen) di mana
peneliti adalah sebagai instrument kunci dengan hasil penelitian
yang lebih menekankan makna dari generalisasi. Lihat: Sugiono,
Metode Penelitian Kaualitatif (Bandung: Alfabeta, 2011), 9. Lihat
juga: Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2013), 4.
27
Aḥkām al-Qur’ān karya Ibn al-Faras al-Andalusī (w
599), Al-Qaul al-Wajiz fī Aḥkām al-Kitāb al-‘Azīz, Ahmad bin Yusuf al-Halabi (w 756 H), dan Tafsir Ayat al-Ahkam, karya Ali al-Sayis (w. 1396 H/1976
M), dan semua buku, artikel atau jurnal yang
berkaitan dengan tema yang peneliti bahas.
3. Metode Pengumpulan Data
Karena penelitian ini merupakan library research,
maka pengumpulan data dilakukan dengan melacak literatur-
literatur yang berupa kitab-kitab tafsir dan dikumpulkan
menjadi sebuah dokumen41
untuk dianalisa. Penelitian ini
berusaha mengkaji ayat-ayat yang telah ditetapkan di atas
dengan merujuk pada beberapa kitab tafsir.
Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
a. Melacak dan mengumpulkan tafsir-tafsir yang
bercorak hukum, sufi, falsafi, dan adāb al-Ijtimā’ī. b. Menentukan dan menafsirkan ayat-ayat yang
berkaitan dengan tema pembahasan, yaitu ayat-ayat
yang bekaitan dengan pembunuhan yang dilakukan
oleh Khidir pada anak kecil dan ayat-ayat tentang
pembunuhan secara umum
c. Menganalisa penafsiran para mufasir ahkam terkait
ayat-ayat tersebut di atas dengan melihat dari sudut
pandang fiqh.
41
Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atar karya-
karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan
contohnya catatan harian, sejarah kehidupan, cerita, biografi,
peraturan dan kebijakan. Lihat: Sugiono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R&D (Bnadung: Alfabeta, 2008), 240.
28
4. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah bersifat interpretatif. Metode
interpretatif (interpretative approach) berarti menyilami
pemikiran seorang yang tertuang dalam karya-karyanya untuk
mengungkap makna, penafsiran dan atau pengertian yang
dimaksud secara khas sehingga tercapai sebuah pemahaman
yang diinginkan.42
Objek material dari penelitian ini adalah
ayat-ayat al-Qur’an yang secara khusus membahas kisah nabi
Musa dan nabi Khidir yang terdapat dalam surah al-Kahfi
ayat 71-77. Hal ini penulis lakukan guna meneliti lebih dalam
penafsiran para mufassir aḥkām terkait pembunuhan yang
dilakukan oleh nabi Khidir terhadap anak kecil yang tidak
berdosa. Setelah data-data yang terkait dikumpulkan, data
tersebut akan dianalisa dengan sudut pandang hukum fiqh.
G. Sistematika Penulisan
Sajian pembahasan dalam penelitian ini akan disusun
secara sistematik. Oleh karena itu penulis akan melakukan
pemetaan dalam bentuk urutan pembahasan menjadi enam
bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi dan
manfaat penelitian, penelitian terdahulu yang relevan,
metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab ini
bertujuan untuk memberikan gambaran dari keseluruhan
42
Metode content analysis adalah menganalisa data
melalui isinya melalui sumber primer, data tersebut dianalisa secara
kritis dari sudut pandang historis, sosial budaya. Lihat: Imam
Suprayogi dan Thobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama, cet.
I (Bandung: Remaja Rosyda Karya, 2001), 71-73. Lihat juga:
Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisiplinir, 169-
173.
29
permasalahan yang akan dibahas secara rinci pada bab-bab
berikutnya.
Bab kedua berisi tentang diskursus kisah dalam al-
Qur’an dan pengambilan/istinbāṭ hukum dalam al-Qur’an,
meliputi perdebatan para sarjana tentang kisah dalam al-
Qur’an antara nyata/fakta atau hanya sebagai simbol saja,
macam-macam kisah dalam al-Qur’an, sistematika kisah
dalam al-Qur’an, dan pola pengambilan hukum dalam al-
Qur’an, seperti metode istimbāṭ hukum dan contoh
pengaplikasian istimbāṭ hukum. Pembahasan ini penulis
letakkan pada bab kedua agar pembaca terlebih dahulu dapat
mengetahui pendapat para sarjana tentang kisah dalam al-
Qur’an, dan cara beristimbāṭ hukum dari suatu ayat al-
Qur’an.
Bab ketiga berisi tentang profil tafsir dan klasifikasi
kisah nabi Musa dan Khidir dalam al-Qur’an, meliputi profil
beberapa tafsir yang dijadikan pembanding dalam membahas
kisah nabi Musa dan Khidir, serta paparan kisah dari awal
perjumpaan nabi Musa dengan Khidir sampai ketidak sabaran
nabi Musa dalam melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi
selama perjalanan bersama Khidir. pembahasan ini sengaja
penulis uraikan pada ban ketiga, agar pembaca dapar
mengetahui berbagai pandangan mufasir, baik dari kalangan
mufasir ahkam, sufi, falsafi dan adabul ijtima’i. Sehingga
akan lebih mudah dalam menganalisa pada bab berikutnya.
Bab keempat berisi argumentasi para mufasir atas
ayat-ayat pembunuhan serta pola penafsirannya atas kisah
nabi Musa dan Khidir. Meliputi pengelompokan ayat tentang
kisah nabi Musa dan Khidir, penggunaan ayat dan hadis
sebagai penjelas dalam uraian mufasir, serta kecenderungan
fokus bahasan masing-masing mufasir. Kemudian tentang
kriteria ayat-ayat pembunuhan, dasar hukum pembunuhan dan
klasifikasi pembunuhan, pola penafsiran ulama atas ayat-ayat
pembunuhan, penggunaan hadis sebagai penjelas dan fokus
bahasan. Hal ini dimaksudkan .untuk mengurai dan
30
menganalisa penafsiran ulama atas kisah nabi Musa dan
Khidir serta kasus pembunuhan secara umum yang telah
dibatasi pada ayat tertentu, guna untuk mendapatkan jawaban
dari rumusan masalah pada bab pertama.
Bab kelima berisi kesimpulan dan saran. Bab ini
diletakkan pada bagian akhir karena berisi jawaban dari
rumusan masalah yang telah ditetapkan pada bab pertama,
serta berisi saran untuk para pembaca yang budiman, dan
tentu saja penulis mengharapkan kritik konstruktif terhadap
hasil penelitian ini.
31
BAB II
DISKURSUS KISAH DAN POLA PENGAMBILAN
HUKUM DALAM AL-QUR’AN
Al-Qur’an sebagai pedoman utama bagi umat Islam
yang bermuara pada kemaslahatan hidup di dunia dan di
akhirat. Al-Qur’an tidak hanya memuat tentang aqidah dan
syariat, namun juga tentang kisah-kisah yang terjadi baik
pada masa nabi Muhammad maupun sebelumnya. Secara garis
besar kisah di dalam al-Qur’an terdiri dari tiga kelompok,
yaitu; pertama, kisah tentang pribadi Rasulullah Saw, dan
dakwah islamiyah. Kedua, kisah tentang sebelum masa
Rasulullah Saw. Ketiga, kisah secara umum.1
Sedangkan menurut Muḥammad Quṭb bahwa di
dalam al-Qur’an terdapat tiga macam kisah. Pertama, kisah
yang ditunjukkan tempatnya, tokohnya, dan gambaran
kisahnya.2 Kedua, kisah yang menunjukkan peristiwa atau
keadaan tertentu dari pelaku sejarah tanpa menyebutkan
namanya dan tempat kejadiannya. Ketiga, kisah dalam bentuk
dialog.3
1 Jamal Abd. Nasir, ‚Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Guru
dan Murid dalam Perspektif Kisah Musah dan Khidir dalam Surat
al-Kahfi Ayat 60-82‛ (Jurnal Nuansa, 2018), 174. 2 Cerita pertama menggambarkan cerita nabi-nabi serta
akibat mereka yang mendustakan, dalam cerita ini baik nama,
tempat dan tokoh pelaku dari ceritanya disebutkan, cerita kedua
kisah tentang kedua putra nabi Adamyang mengadakan qurban, dari
beberapa qurban tersebut satu ditolak oleh Tuhan dan yang lainnya
diterima. Cerita ketiga adalah tentang kisah orang yang mempunyai
dua teman sebagimana dilukiskan di dalam surah al-Kahfi ayat 32-
43. 3 Rahmat Syafie, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka
Setia, 2012), 130.
32
Tentu saja kisah-kisah yang tersurat di dalam al-
Qur’an mengandung makna dan hikmah yang sangat besar
yang perlu digali dan diaplikasikan dalam kehidupan umat
Islam.4
Kisah-kisah dalam al-Qur’an bertujuan untuk:
Pertama, mengokohkan legalitas kerasulan nabi Muhammad
dan sesungguhnya al-Qur’an merupakan wahyu Allah Swt.
Kedua, sebagai pemberitahuan bahwa Allah Swt, akan selalu
menolong rasul-Nya dan menghancurkan kaum kafir yang
selalu melawan terhadap nabi-Nya. Ketiga, berisi nilai agama
sekaligus pemantapan dasar-dasar ajaran agama.5
Menurut Sayyid Quṭb bahwa pengungkapan kisah-
kisah dalam al-Qur’an merupakan sebuah metode untuk
menyampaikan pesan-pesan yang ada di dalamnya, sehingga
dengan adanya kisah-kisah bukan berarti bahwa al-Qur’an
termasuk sebagian dari buku-buku sejarah dan meskipun di
dalamnya terdapat bahasa6 yang sangat indah bukan berarti
bahwa al-Qur’an termasuk dari salah satu buku sastra.7
4 Rukimin, Kisah Dzulqarnain dalam al-Quran Surat al-
Kahfi:83-101 (Jurnal Studi Islam, Univrsitas Muhammadiyah
Mataram, 2015), 141. 5 Jamal Abd. Nasir, ‚Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Guru
dan Murid dalam Perspektif Kisah Musa dan Khidir dalam Surat al-
Kahfi Ayat 60-82,‛. 174. 6
Rosihon Anwar, sebagai mana ia mengikutip hanafi
dalam Bukunya ‚Segi-segi Kesusastraan pada Kisah-Kisah al-
Qur’an‛ menjelaskan bahwa secara global, kisah-kisah dalam al-
Qur’an mengandung tiga unsur pokok, Yaitu‛ Pelaku (Al-Syakhsiyyah), Peristiwa (Ahdas), dan Dialog (Al-Hiwar) hampir
semua kisah dalam al-Qur’an terdapat ketiga unsur pokok tersebut,
hanya saja peran ketiga tidak sama, karena terkadang salah satu
ketiga unsur hilang. Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, 73. 7 Ira Puspita Jati, ‚Kisah-Kisah dalam al-Quran Perspektif
Pendidikan,‛ (Jurnal Didaktika Islamika, Universitas Wahid
Hasyim, 2014),77.
33
A. Kisah dalam al-Qur’an.
Tidak sedikit para sarjana yang berkomentar tentang
tersuratnya kisah-kisah dalam al-Qur’an, baik dari kisah
sebelum kerasulan nabi Muhammad Saw, pada saat nabi
Muhammad Saw, jadi rasul atau setelahnya. Para mufasir
Indonesia memiliki kriteria khusus tentang metode yang
digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang
berkenaan dengan kisah-kisah tersebut.
Pemikir Yahudi dan Kristen secara khusus mencari
seberapa pengaruh Yahudi-Keristen dalam al-Qur’an,8
di
antara yang diteliti adalah tentang kisah-kisah nabi yang
terdapat di dalam al-Qur’an. Menurutnya kisah-kisah mereka
merupakan sebuah jiplakan yang diambil Nabi Muhammad
Saw, dari ajaran atau tradisi Keristen-Yahudi.9
Sebagaimana yang telah dijelakan Malik bin Nabi
bahwa ia menolak pandangan yang mengatakan bahwa agama
Yahudi dan Keristen telah menyusup ke dalam kebudayaan
8 Alasan dalam penelitiannya, berpijak pada dua alasan.
Pertama karena orang-orang Yahudi dan Keristen telah lama tinggal
di Mekkah dan Madinah, mereka semua tidak hanya sebatas tinggal,
namun ada sebagian yang menjadi pengajar agama, pedagang, dan
pemukim tetap. Menurutnya mereka yang membawa cerita-cerita
lama dan diadopsi atau diambil alih cerita tersebut oleh nabi
Muhammad. Kedua, karena nabi Muhammad tinggal dilingkungan
kaum Yahudi dan Keristen maka sedikit banyak keseharian nabi
Muhammad terpengaruh dari kehidupan mereka. Atas dasar
pemikiran inilah yang menjadi dasar dari keinginan mereka untuk
mencari tahu seberapa besar kontribusi Yahudi Keristen terhadap
Islam. Lihat di Macdonal, J. Joseph, In The Quran, Art. Dalam Muslim World no 46 (London: T.p, 1955), 113-131. Namun semua
pandangan mereka yang mengatakan bahwa kisah-kisah dalam
Quran telah diketahui oleh orang Arab Jahiliyah dan oleh nabi
sendiri sebelum mendapat wahyu, tidak mempunyai alasan yang
bersumber pada bukti sejarah yang dapat dipercaya. 9 Rahmat Syafie, Pengantar Ilmu Tafsir, 131.
34
Arab, ia mengatakan seperti itu karena tidak adanya al-
Qur’an yang berbahasa arab, bahkan menurutnya tidak ada
bukti yang mengarah bahwa lingkungan nabi Muhammad
Saw, dipengaruhi oleh Yahudi Keristen.
Para cendikiawan seperti Quraish Shihab
menguraikan dalam bukunya, Kaidah Tafsir bahwa terdapat
dua pandangan mengenai kisah itu sendiri. Pertama, memahami bahwa semua kisah yang terdapat dalam al-Qur’an
memang benar-benar ada dan nyata telah terjadi di dunia.
Kedua, memahami bahwa kisah-kisah yang terdapat dalam al-
Qur’an hanyalah sebagai simbolik yang digunakan untuk
berdakwah, sehingga diyakini bahwa semua kisah-kisah
tersebut tidak pernah terjadi di dunia nyata.10
1. Kisah dalam al-Qur’an adalah Peristiwa yang Nyata.
Memahami bahwa kedudukan kisah-kisah yang
tercantum di dalam al-Qur’an sebagai suatu hal yang benar-
benar terjadi di dunia nyata. Seorang Muslim yang benar
adalah yang iman bahwa al-Qur’an merupakan kalām Allāh
yang suci dari penggambaran seni yang tidak peduli dengan
realitas sejarah. Semua kisah yang terkandung dalam al-
Qur’an merupakan sebuah kisah yang nyata yang dilukiskan
dengan indah dan menarik.11
2. Kisah dalam al-Qur’an hanya Simbol.
Ada beberapa cendikiawan muslim yang berpendapat
bahwa kisah-kisah di dalam al-Qur’an hanyalah simbolik dan
tidak pernah terjadi di dunia nyata,12
di antaranya:
10
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Ciputat: Lentera Hati,
2013), 326. 11
Mannā’ al-Qaṭṭān, Pengantar Studi Ilmu al-Quran, terj
(Jakarta: Pusataka al-Kaustar, 2006), 391. 12
Begitu juga para orientalis, mereka berpendapat bahwa
kisah-kisah dalam al-Quran merupakan sebuah cuplikan dari
35
Abdullah Saeed adalah seorang profesor dalam bidang
Islamic Studies di Melbourne University, ia merupakan salah
satu pemikir kontemporer dalam bidang keislaman. Mengenai
kisah, Abdullah Saeed menyatakan bahwa kisah-kisah dalam
al-Qur’an lebih memiliki aspek psikologis daripada
faktualitas. Pernyataan tersebut berdasarkan pada hasil
penelitiannya yang berkesimpulan bahwa; ayat yang
menjelaskan tentang kisah tidak disertai dengan keterangan
sejarah secara detail, pengulangan satu tema kisah pada
berbagai tempat tidak secara berurutan.13
Dalam menafsirkan ayat-ayat tentang kisah, ia
berpendapat bahwa ada sebagian mufasir yang enggan
menguji kebenaran historis dengan sumber-sumber di luar al-
Qur’an dan hadis, mereka beranggapan bahwa jika al-Qur’an
diuji dengan beberapa sumber di luar al-Qur’an dan hadis
maka secara tidak langsung akan merubah pada sakralitas al-
Qur’an, kecuali jika sumber yang digunakan berdasarkan pada
tradisi-tradisi yang ada di dalam Islam.14
Namun, ia
menyatakan bahwa kurangnya informasi mengenai sejarah
bukanlah hal yang sangat krusial bagi Islam kedepan, karena
al-Qur’an diturunkan bukan untuk catatan sebuah sejarah,
penjanjian lama, namun perlu digarisbahawi bahwa memang antara
al-Quran dan perjanjian lama memiliki persamaan dalam beberapa
kisah dan juga terdapat perbedaan antara keduanya. Persamaaan
antara keduanya bukanlah bukti bahwa yang datang kemudian
menjiplak dari yang sebelumnya, karena persamaan adalah akibat
persamaan sumber atau rujukan. Demikian juga antara al-Quran dan
Taurat, keduanya berasal dari sumber yang sama, pemberi informasi
tentang kisahnya sama, yakni Allah Swt. Lihat: Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 330.
13 Abdullah Saeed, Interpreting the Quran: Toward a
contemporary Approach (New York: Routledge, 2006), 94. 14
Abdullah Saeed, Interpreting the Quran: Toward a contemporary Approach, 94.
36
melainkan pesan moral yang sangat penting untuk diambil
dan dipelajari.15
Muhammad Arkoun merupakan cendikiawan muslim
yang memahami al-Qur’an melalui pendekatan sejarah, karena
ia yakin bahwa al-Qur’an tidak bisa dipahami tanpa
mengaitkannya dengan sejarah.16
Baginya, sakralitas al-
Qur’an itu bukan sesuatu yang asli, melainkan sesuatu yang
diada-adakan untuk kepentingan lain seperti kepentingan
intelektual-politik.
Arkoun sebagai ilmuan yang memahami al-Qur’an
dari aspek sejarah menolak atas faktualitas al-Qur’an dalam
kisah-kisah al-Qur’an. Menurutnya, kisah-kisah yang
terkandung dalam al-Qur’an hanyalah simbolik untuk
menjustifikasi hukum-hukum yang hendak dipaksakan kepada
umat manusia. Kisah-kisah dalam al-Qur’an merupakan
peristiwa besar yang telah membentuk adu argumentasi hanya
untuk memantapkan sistem hukum yang ingin ditetapkan
kepada manusia melalui tokoh-tokoh simbolik.17
15
Muhammad Ridwan, ‚Studi Perbandingan Pemikirian
Muhammad Ahmad Kahallafullah dan Muhammad Abid al-Jabiri
tentang Kisah dalam al-Quran‛ (Tesis, Program Magister, Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), 48. 16
Mohammad Arkoun, Rethinking Islam Today, in Mappaing Isamic Studies, Genealogy, Continuity and Change
(Berlin: Mouton de Gruyter, 1997), 36-37 17
Arkoun mengatakan, sebenarnya kisah dalam al-Qur’an,
hadis Nabi, dan sirah selalu diketengahkan dalam bentuk
argumentasi rasional, padahal semua cerita sangat berutang kepada
imajinasi sosial yang mengkristalkan mitologi yang khas dalam
setiap kelompok. Sehingga al-Qur’an dijadikan sebagai sebuah
referensi utama yang menikmati efek canggih dalam tingkat
imajinasi sosial, namun tak bernilai apapun dalam penguatan
imajinasi sejarah. Lihat: Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal (Jakarta: Perpektif, 2012), 386.
37
Kisah-kisah al-Qur’an secara umum dan kisah para
nabi secara khusus, memberikan kepada pembaca susunan dan
relasi aktansial yang menjadi plot dasar yang mampu
menggerakkan manusia terhadap kebenaran hakiki. Arkoum
juga berpendapat bahwa kisah-kisah para nabi dalam al-
Qur’an menuntut adanya analisis naratif untuk menunjukkan
bagaimana al-Qur’an membangun suatu bentuk makna yang
mempunyai cara kerja khusus dalam bahasa Arab.18
Muhammad Abduh dalam tafsir al-Mannar
menyatakan bahwa kisah-kisah yang terdapat dalam al-
Qur’an bertujuan untuk sebuah nasihat dan pelajaran, bukan
untuk perincian aspek sejarah. Abduh berpandangan seperti
itu karena menurutnya al-Qur’an mengisahkan yang haq dan
yang bathil, yang jujur dan yang dusta, dan yang bermanfaat
dan mudharat baik dari aqidah maupun tradisi umat-umat
terdahulu.19
Abduh memberikan contoh tentang pemahamannya
terhadap kisah Nabi Adam As, yang terdapat dalam surah al-
Baqarah/2:30 sebagai kisah simbolik. Menurutnya:
Pemberitaan Allah Swt, kepada malaikat tentang rencana-
Nya menetapkan khalifah berarti: bumi dan seisinya dengan
segala hukum alam yang menjadi ruh telah disiapkan oleh
Allah Swt, untuk dihuni oleh manusia yang diyakini bisa dan
mampu mengelolanya sehingga hubungan antara manusia dan
makhluk lainnya bisa terjalin dengan sempurna. Begitu juga
tentang pernyataan malaikat mengenai sifat khalifah yang
dapat menimbulkan kerusakan dan menumpahkan darah
adalah deskripsi tentang adanya potensi dalam diri sang
18
M. Faisol, ‚Interpretasi Kisah Nabi Musa Perspektif
Natorologi al-Qur’an‛ (Artikel: UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang, 2017), 367. 19
Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal, 367.
38
khalifah untuk melakukan hal tersebut walaupun tidak
betentangan dengan kekhalifahan yang disandangnya.
Abduh mengakui bahwa al-Qur’an dalam
menyampaikan pesan-pesannya menggunakan gaya bahasa
dan tatacara yang berlaku pada sastra,20
sehingga tidak jarang
ditemukan unsur-unsur mitos dan khurafat sebagai alat
pengungkap gaya bahasa.21
Sementara Afif Abdul Fattah Tabbarah, menyatakan
bahwa kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an merupakan
kisah keagamaan.22
Menurutnya kisah tersebut hanya agar
para pendengar maupun pembaca bisa terpengaruh lalu
bergerak untuk menerima dan taat terhadap kehendak tuhan.
Allah mencantumkan kisah-kisah dalam al-Qur’an untuk
menjelaskan sebuah prinsip, mengajak kepada sebuah
pemikiran atau ide, menyeru kepada kebaikan dan
meninggalkan hal-hal yang dilarang.23
20
Sebagaimana Ibn Katsir ketika menganalisa lafaz al-Zikr dan al-Hazf dalam al-Qur’an selalu menganalisanya dengan
menggunakan gaya bahasa sastra yang jelas. Lihat: Muhammad
Ahmad Khalafullah, al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah, Seni, Sastra Dan Moralitas dalam Kisah-Kisah al-Quran (Jakarta: Paramadina
Pers, 2002), 109. 21
‘Abduh meyakini bahwa semua yang terkandung dalam
al-Qur’an, baik berupa kisah, hukum ataupun yang lainnya adalah
benar adanya. Unsur-unsur mitos dan Khurafat itu lahir dari
pemahaman atas gaya bahasa yang digunakan dalam al-Qur’an,
bukan berita yang terkandung di dalam al-Qur’an yang berupa
mitos. Khalafullah, al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah‛ Seni, Sastra Dan Moralitas dalam Kisah-Kisah al-Qur’an, 139.
22 Afif Abdul Fattah Tabbarah, Ruh al-Din al-Islami, 47.
23 Bakri Syaikh Amin, al-Ta’bir al-Fanni fī al-Qur’ān al-
Karīm (Bairut: Dār al-Ilmi li al-Malayin, 1993), 226-227.
39
3. Macam-macam Kisah dalam al-Qur’an.
Dalam kitab Mannā’ al-Qaṭṭān dijelaskan bahwa
kisah-kisah dalam al-Qur’an terbagi menjadi tiga bagian:24
a. Kisah para nabi. Al-Qur’an memuat kisah tentang
perjalanan dakwah nabi dalam menyampaikan wahyu,
Mukjizat-mukjizat para rasul dan sikap umat yang
menentangnya, tahapan-tahapan dakwah dan
perkembangannya, serta akibat-akibat yang diterima
oleh mereka yang mempercayai dan mendustakannya,
seperti kisah nabi Nuh As, Ibrahim As, Musa As,
Harun As, dan Muhammad Saw.
b. Kisah-kisah yang berhubungan dengan masa lalu dan
tidak ddipastikan kenabiannya. Misalnya kisah Ṭālut
dan Jalāt, kisah Ashabul Kahfi, kisah dua putra
Adam, Dzulqarnain, Qarun, Maryam, kisah pasukan
gajah, dan lain-lain.
c. Kisah-kisah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw,
seperti perang Badar, perang Uhud yang tercantum
dalam surat Āli ‘Imrān, perang Ahzāb yang dijelaskan
dalam surah al-Ahzāb, perang Hunain dan perang
Tabuk yang dijelaskan dalam surah al-Taubat,
peristiwa hijrah, peristiwa Isrā’ dan Mi’rāj, dan lain-
lain.
Berbeda dengan al-Qaṭṭān, Rosihon Anwar membagi
kisah-kisah dalam al-Qur’an berdasarkan Panjang pendeknya
kisah yang dijelaskan dalam al-Qur’an. Menurutnya kisah
dalam al-Qur’an terbagi menjadi tiga bagian, di antaranya:25
a. Kisah Panjang. Contoh kisah nabi Yusuf dalam
surah Yūsuf, hampir seluruh ayat dalam surah
tersebut menceritakan tentang nabi Yusuf, mulai
dari masa kanak-kanak, dewasa, hingga saat ia
24
Mannā’ al-Qaṭṭān, Pengantar Studi Ilmu al-Quran, 387-
388. 25
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, 73.
40
memiliki kekuasaan. Contoh lainnya adalah kisah
nabi Nuh dalam surat Nūh dan kaumnya.
b. Kisah yang lebih pendek daripada yang pertama.
Seperti kisah Aṣhāb al-Kahfi dalam surah al-
Kahfi, kisah nabi Adam dalam surah al-Baqarah,
kisah Maryam dalam surah Maryam.
c. Kisah pendek. Kisah yang jumlahnya kurang dari
sepuluh ayat, seperti kisah nabi Hud dan nabi Luṭ
dalam surat al-A’rāf, kisah nabi Shaleh dalam
surat Hūd, dan lain sebagainya.
4. Sistematika al-Qur’an dalam Menyampaikan Kisah.
Kisah merupakan salah satu cara yang digunakan al-
Qur’an untuk menyampaikan pesan-pesan yang terkandung di
dalamnya,26
biasanya al-Qur’an lebih dahulu menyebutkan
kandungan suatu kisah secara umum, setelah itu barulah al-
26
Al-Qaṭṭān menjelaskan dalam buku Pengantar Studi Ilmu
al-Qur’an tentang faidah kisah-kisah dalam al-Qur’an di antaranya;
Pertama menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah dan
menjelaskan pokok-pokok syariat yang dibawa oleh para nabi.
Kedua meneguhkan hati Rasullah dan hati umat nabi Muhammad
atas agama Allah, memperkuat kepercayaan umat mu’min tentang
menangnya kebenaran dan para pendukungnya serta hancurnya
kebatilan dan para pembelanya. Ketiga membenarkan para nabi
terdahulu, menghidupkan kenangan terhadap mereka serta
mengabadikan jejak dan peninggalannya. Keempat menampilkan
kebenaran nabi Muhammad dalam dakwahnya dengan apa yang
diberitakannya tentang hal ikhwal orang-orang terdahulu di
sepanjang gurun dan generasi. Kelima menyingkap kebohongan ahli
kitab dengan cara membeberkan keterangan yang semula mereka
sembunyikan, kemudian menantang dengan menggunakan ajaran
kitab mereka sendiri yang masih asli, yaitu sebelum kitab itu
dirubah dan diganti. Keenam kisah termasuk salah satu bentuk
sastra yang menarik perhatian pendengar mempengaruhi jiwa.
Mannā’ al-Qaṭṭān, Pengantar Studi Ilmu al-Quran, 387-389.
41
Qur’an menguraikan secara luas. Sementara itu, jika al-
Qur’an hendak menyampaikan pesan-pesan dalam sebuah
kisah, cara yang digunakan untuk mengemukakannya dengan
pernyataan yang tegas secara berkala, baik berisi penolakan
maupun pengukuhan isi kisah.
Al-Qur’an diketahui bukan buku sejarah dan bukan
pula buku sastra. Al-Qur’an menyampaikan kisah-kisahnya
dengan cara yang memesona dan langgam bahasa yang
menarik. Sebagaimana yang diungkapkan Muhammad Quṭb,
bahwa al-Qur’an memiliki cara tersendiri untuk menjelaskan
kisah-kisah yang terdapat di dalamnya, di antaranya: Pertama,
al-Qur’an mengungkapkan dengan memulai dari akhir kisah
dan akibat yang dialami oleh tokoh-tokohnya, kemudian
meneruskannya ke awal cerita dan menjelaskan cerita-
ceritanya secara detail, seperti yang telah terjadi pada kisah
nabi Musa dan Fir’un.27
Kedua, al-Qur’an menyampaikan
rangkuman dari kisah-kisah, kemudaian menyampaikan kisah-
kisahnya secara terperinci dari awal hingga akhir cerita,
seperti pada kisah Ashab al-Kahfi. 28 Ketiga, al-Qur’an
menuturkan inti kisah secara langsung tanpa didahului oleh
muqaddimah atau rangkumannya, seperti kisah pada Nabi
Isa.29
Keempat, al-Qur’an mengubah kisah menjadi drama.
Al-Qur’an memulai cerita dengan beberapa kata, kemudian
membiarkan tokoh-tokohnya berbicara tentang diri mereka
sendiri, seperti pada kisa nabi Ibrahim dan Ismail ketika
27
Lihat: QS. Yūnus/10:83-89 dan QS. Al-Syu’arā’/26:52-
63. 28
Lihat: QS. Al-Kahfi/18:9-26. 29
Lihat: QS. Maryam/19:23-33.
42
membangun Ka’bah.30
masih ada banyak cara al-Qur’an
menyampaikan kisah-kisah yang terkandung di dalamnya.31
Abdurrahman Dahlan dalam buku kaidah-kaidah
penafsiran al-Qur’an meringkas sistematika penyampaian al-
Qur’an terhadap kisah-kisah ke dalam beberapa metode.
Ketika al-Qur’an mengisahkan tentang Ashāb al-Kahfi, maka al-Qur’an terlebih dahulu menyebutkan ‚Apakah kamu mengira orang-orang yang mendiami gua dan raqim itu merupakan tanda-tanda kekuasaan kami yang mengherankan? (Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu mencari tempat perlindungan ke dalam gua, maka mereka berdoa: ‚Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, dan sempurnakanlah untuk kami petunjuk yang lurus dalam masalah ini.‛ (QS. Al-Kahfi/18:9-10) baru setelah itu, al-
Qur’an menguraikan kisah tersebut sampai selesai, yang
diawali dengan kalimat: ‚Kami ceritakan kisah kami kepadamu dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada tuhan mereka,
30
Muhaammad Quthb, Manhaj al-Tarbiyyat al-Islamiyyat (T.t, T.p, 1967), 149-150.
31 Cara khas lain yang dipakai al-Qur’an ketika ingin
menyampaikan kisah-kisah di dalamnya yaitu Pertama al-Qur’an
menyembunyikan satu rahasia baik kepada pembaca maupun pada
tokohnya, kemudia rahasia itu diungkapakan secara mendadak baik
bagi tokoh maupun pembaca, seperti kisah nabi Musa dengan
hamba Allah dalam surah al-Kahfi. Kedua, al-Qur’an
mengungkapkan satu rahasia kepada pembaca, tetapi tokoh dalam
cerita itu sendiri tidak tahu rahasia apa yang akan disampaikan oleh
al-Qur’an. Ketiga al-Qur’an mengungkapkan sebagian rahasia al-
Qur’an kepada pembaca, tetapi rahasia itu tetap disembunyikan
kepada tokohnya. Sedangkan sebagian cerita lagi disembunyikan
pada keduanya, akan tetapi secara mendadak rahasia itu
diungkapkan kepada mereka, seperti kisah ratu Bilqis dengan nabi
Sulaiman. Mannā’ al-Qaṭṭān, Pengantar Studi Ilmu al-Quran, 389-
391.
43
dan kami tambahkan petunjuk kepada mereka.‛(QS. Al-
Kahfi/18:13)
Ketika al-Qur’an mengisahkan tentang Nabi Yusuf,
maka al-Qur’an memulainya dengan ayat, ‚Kami menceritakan kepada kisah yang paling baik, dengan mewahyukan al-Qur’an ini kepadamu.‛ (QS. Yūsuf/12:03)
setelah mengukukuhkan kebaikan kisah yang hendak
dikemukakan dan menceritakannya secara singkat tentang
bagaimana kisah nabi Yusuf sebenarnya, kemudian al-Qur’an
menegaskan bahwa, ‚ Sesungguhnya terdapat beberapa tanda kekuasaan Allah pada Yusuf dan saudara-saudaranya, bagi orang yang bertanya.‛ (QS. Yusuf/12:07) kemudian, barulah
setelah itu al-Qur’an menguraikannya secara deskriptif
sampai selesai.32
Dalam mengungkapkan kisah-kisah, al-Qur’an tidak
menggunakan sistematika yang lazim dalam
menyampaikannya, seperti rangkain peristiwa yang disusun
rapi, dijelaskan urutan dan susunan periodenya, tetapi sering
kali tempat dan palaku dalam kisah tersebut tidak dijelaskan
secara detail. Ketika al-Qur’an mengisahkan seorang tokoh
biasanya al-Qur’an tidak mengungkapkan kisah tokoh
tersebut secara utuh dari awal hingga akhir kehidupannya
dalam satu tempat kecuali nabi Yusuf, sedangkan kisah-kisah
nabi seperti nabi Ibrahim yang diungkapkan di 20 tempat
terpisah, kisah nabi Sulaiman dalam 3 tempat, sedangkan
kisah Isa di 8 tempat.33
Dalam pengulangan cerita seorang tokoh dalam
sebuah kisah yang terkandung di dalam al-Quranselalu
berkaitan dengan fungsi sejarah menurut al-Qur’an,
sedangkan tokoh yang menjadi pemeran utama dalam kisah
32
Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah penafsiran al-Quran (Bandung: Mizan, 1997), 188.
33 Rahmat Syafie, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung:
Pustaka Setia, 2012), 134.
44
yang terkandung dalam al-Qur’an adalah para nabi, namun
ada sebagian tokoh yang bukan nabi seperti Luqman Hakim.34
B. Pola Pengambilan/Istinbāṭ Hukum dalam al-Qur’an.
Dalam pengambilan hukum-hukum syariah dari
sumber aslinya, diperlukan beberapa metode untuk menggali
hukum-hukum agar bisa dipahami oleh semua kalangan.
Menurut Ali Hasaballah bahwa terdapat dua cara pendekatan
yang dilakukan oleh para pakar istinbāṭ,35 Pertama, melalui
kaidah-kaidah kebahasaan. Kedua, melalui pengenalan
maksud syari’ah.36
Kata istinbāṭ diderivasi bahasa Arab yang artinya
adalah menarik atau mengeluarkan. Secara terminologi,
istinbāṭ dapat diartikan sebagai upaya melahirkan hukum dari
naṣ. Namun juga dapat diartikan sebagai ijtihad, yaitu sebuah
proses dan upaya melahirkan sebuah hukum dari dalil-dalil
tertentu dengan menggunakan metodologi istinbāṭ yang
dirumuskan dalam ilmu Ushul Fiqh.37
Dari pengertian istinbāṭ tersebut dapat tarik
kesimpulan bahwa, istinbāṭ’ adalah suatu upaya menemukan
hukum-hukum syara’ dari naṣ al-Qur’an dan al-Sunnah yang
dilakukan dengan cara mencurahkan kemampuan nalar dan
34
Rahmat Syafie, Pengantar Ilmu Tafsir, 135. 35
Kata istinbāṭ ketika dihubungkan dengan hukum maka
bisa menjadi suatu upaya penarikan hukum dari al-Qur’an dan
Sunah melalui jalan ijtihad. Sedangkan menurut istilah Istinbāṭ merupakan upaya mengeluarkan makna-makna dari naṣ-naṣ yang
terkandung di dalamnya dengan cara mengarahkan kemampuan dari
potensi naluriyah, sehingga dari nash-nash tersebut bisa
menghasilkan dua macam istinbath yang berbentuk lafziyah dan
maknawiyah. 36
Syafie H. Rahmat, Fiqih Mualamat (Bandung: Pustaka
Setia, 2001), 185. 37
Muchtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Cet. I
(Palembang: Universitas Sriwidjaya, 2001), 528.
45
pikiran. Secara sepintas memang terdapat persamaan antara
pengertian istinbāṭ dan ijtihad. Namun pada hakekatnya
antara istinbāṭ dan ijtihad terdapat perbedaan. Ijtihad
mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan
istinbāṭ, karena istinbāṭ’ merupakan kerangka kerja dari
ijtihad. Fokus istinbāṭ adalah naṣ al-Qur’an dan al-Sunnah.
Oleh karena itu, usaha pemahaman, penggalian dan
perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut
istinbāṭ. Sedangkan pemahaman, penggalian dan perumusan
hukum yang dilakukan melalui metode qiyās, istiṣhāb, dan
istiṣlāh dan dalil rasional lainnya disebut ijtihad.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami
bahwa maksud dari istinbāṭ hukum adalah proses penalaran
atas ayat al-Qur’an dan Sunah sebagai sumber hukum Islam,
yang dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah tertentu. Proses ini
kemudian disebut dengan metode pengambilan/istinbāṭ hukum. Dalam melakukan penggalian hukum, para pakar
istinbath menggunakan empat metode. Yaitu metode bayāni, metode qiyāsi atau ta’līlī, metode iṣtiṣlāḥ/maqāsidī dan
metode kompromistis antar dalil yang bertentangan.38
1. Metode Bayānī Metode Bayani adalah melakukan proses
penggalian hukum syari’ah dari al-Qur’an dan sunnah
melalui konsep-konsep analisis teks wahyu atau suatu
upaya penemuan-penemuan hukum syar’i melalui
interpretasi kebahasaan atas teks wahyu.39
Istilah lain
dari metode ini adalah Mahāj Istinbāṭ al-Aḥkām min al-Nuṣūṣ.
38
‘Aṭa’ al-Raḥmān al-Nadwī, al-Ijtihād wa Dauruhu fī Tajdīd al-Fiqh al-Islāmī, Jilid. III (Dirāsāt al-Islamiyah al-
‘Alamiyah, 2006), 82. Lihat juga: Isnan Ansory, Mengenal Tafsir
Ayat Ahkam (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing), 26. 39
Al-Nadwī, al-Ijtihād wa Dauruhu fī Tajdīd al-Fiqh al-Islāmī, Jilid. III, 82
46
Para ahli ushul fiqh telah mampu menciptakan
kaidah-kaidah kebahasaan untuk menggali hukum yang
dikandung dalam al-Qur’an dan sunnah. Bahkan mereka
mampu menciptakan konsep analisis teks, lebih maju
dari apa yang dilakukan oleh ahli bahasa.40
Istinbāṭ hukum dengan metode bayānī ini dapat
ditempuh dengan beberapa langkah, sebagai berikut:
pertama, mengkaji asbāb al-Nuzul baik makro maupun
mikro.41
Kedua, mengkaji teks al-Qur’an atau Sunah dari
sudut pandang kaidah kebahasaan (al-Qawāid al-Uṣūliyah al-Lughawiyah). Kajian ini meliputi tiga hal
pokok, yaitu analisis kata (al-Taḥlīl al-Ladẓī),42 analisis
makna (al-Taḥlīl al-Ma’nā),43
dan analisis dalil (al-Taḥlīl al-Dalālah).
44
40
Abdul Aziz ar-Rabiah, Ilmu Ushul Fiqh: Haqiqatuhu, Makanatuhu, Tarikhuhu, Maddatuhu (Riyadh, Maktabah al-Malik
Fahd, 1996), 292 41
Yang dimaksud dengan asbāb al-Nuzul/wurud makro
adalah sebab umum yang menjadi konteks sosial-politik, sosial-
budaya dan sosial-ekonomi. Sedangkan asbāb al-Nuzul/wurud mikro
adalah sebab khusus yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat
atau hadis. 42
Analisis lafaẓ ini bertumpu pada hal-hal berikut: 1.
Antara lafaẓ ‘Ām dan Khāṣ, 2. Haqīqah dan Majaz, 3. Muhkam, Mujmal dan Mutasyābih, 4. Ẓahir dan naṣ, 5. Musytarah dan
Mutarādif, 6. Amar dan Nahi. Lihat: Rahmawati, ‚Metode Istinbāṭ
Hukum: Telaah Pemikiran Teungku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy‛ (Diesertasi. Program Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Alauddin Makassar, 2014), 37-48. 43
Kajian makna dimaksudkan untuk bisa memastikan,
apakah: a) lafal dimaksud dimaknai secara haqiqi ataukah
dipalingkan pada makna majaz-nya? b) Lafal ẓahir dimaksud tetap
pada makna rajih-nya ataukah dipalingkan pada makna marjuh-nya?
c) Makna dimaksud adalah makna lughawi, syar’i, ataukah ‘urfi? d)
Yang manakah di antara makna-makna lafal musytarak yang
diambil atau semuanya diambil? e) Lafal dimaksud, di
47
Ketiga, mengaitkan naṣ yang sedang dikaji
dengan naṣ lain yang mempunyai keterkaitan.45
keempat, mengaitkan naṣ yang sedang dikaji dengan Maqāṣid al-Syarī’ah (tujuan-tujuan Syariah). Maqāsid al-Syarī’ah
samping memiliki makna lughawi, apakah memiliki
makna syar’i atau ‘urfi dan makna manakah yang dipakai?
f) Shighat al-amr dimaksud tetap pada makna primernya ( و و وب ) ataukah dipalingkan pada makna sekunder (selain و و وب )? g) Shighat
an-nahi dimaksud tetap pada makna primernya ( تح ر ب ) ataukah
dipalingkan pada makna sekundernya (selain تح ر ب )? 44
Kajian ini menyangkut ketentuan hukum yang dapat
ditarik dari nash. Dalam hal ini terdapat dua
metode: pertama, metode Jumhur al_Ushuliyyin. Menurut Jumhur al-Ushuliyyin makna (hukum) suatu nash di samping bisa
diambil dari manthuqnya terkadang bisa diambil
dari mafhumnya. Manthuq sendiri ada dua: 1) sharih, dan 2) ghairu sharih. Sedangkan manthuq ghairu sharih itu sendiri ada tiga:
1) isyarah, 2) iqtidha’, dan 3) ima’. Sementara mafhum itu ada dua:
1) mafhum muwafaqah, dan 2) mafhum mukhalafah. Kedua, metode
Hanafiyyah. Menurut Hanafiyyah, makna (hukum) nash dapat
diambil dari empat pendekatan: 1) ‘ibarah al-nash, 2) isyarah an-nash, 3) iqtidha an-nash, dan 4) dalalah al-nash (mafhum muwafaqah dalam istilah Jumhur). Lihat: Abdul Wahab
Khallaf, ‘IlmUṣūl al-Fiqh (Kairo: Maktabah Da’wah al-Islam, 2002),143-152. Lihat juga: Muhammad wafa, Dalalah al-Khitab al-Syar’i bi Hukm al-Mantiq wa al-Mafhum (t.t, Dar al-Thiba’ah al-
Muhammadiyah, 1984), 5. 45
Nash-nash Syari’ah (al-Nuṣūṣ al-Syarī’ah) yakni al-
Qur’an dan Sunah merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. Suatu ayat ada keterkaitan dengan ayat yang lainnya,
demikian juga hadis antara satu dengan yang lainnya ada
keterkaitan. Suatu dalil/naṣ dapat berfungsi sebagai taukid, bayān al-Mujmal, Taqyīd al-Muṭlaq, Takhṣīṣ al-‘Am, dan Tauḍīh al-Musykīl bagi naṣ yang lain.
48
lahir dengan mengacu pada naṣ-naṣ syariah.46
Artinya
bahwa syariah Islam lahir untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi manusia di dunia dan akhirat,
sehingga perumusan hukum hendaknya mengacu pada
kemaslahatan manusia secara umum.
2. Metode Qiyāsī/Ta’līlī Metode qiyasi adalah ijtihad melalui
pendekatan qiyas atau metode qiyasi juga dapat diartikan
sebagai sebuah metode yang digunakan untuk
menemukan sebuah illat disyariatkannya suatu hukum.
Secara garis besar, tujuan utama dalam metode ini adalah
untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat dan
secara khusus setiap apa yang disyariatkan oleh Allah
mempunyai alasan secara logis dan tujuan masing-masing.
Ada beberapa tujuan yang diebutkan secara jelas, ada
yang hanya disebutkan hanya isyaratnya saja, dan ada
pula yang diketahui dengan merenung. Lalu ada alasan
yang bisa dijakangkau oleh manusia dan ada pula yang
tidak. Dan yang digunakan sebagai alat dalam metode
istinbath ini hanya alasan yang logis.47
a. Pengertian Qiyas.
Qiyas dapat didefinisikan sebagai berikut:
menyamakan kasus yang tidak memiliki
acuan nash dengan kasus yang memiliki acuan dalam
hal ketentuan hukumnya, ketika keduanya
memiliki ‘illat yang sama.48
Sebagai contoh,
minum khamr adalah kasus yang memiliki
acuan nash tentang hukumnya yaitu haram,
46
Al-Jizanī, Manhāj al-Salaf fī al-Jāmi’ bayn al-Nuṣūṣ wa al-Maqāṣid wa Taṭbīquhā al-Mu’āṣirah (Riyadh: al-Mamlakah al-
‘Arabiyah al-Su’udiyah , 2010), 42-43. 47
Isnan Ansory, Mengenal Tafsir Ayat Ahkam, 30 48
Abdul Wahab Khallaf, IlmUshul al-Fiqh, 52.
49
sedangkan mengkonsumsi narkoba adalah kasus lain
yang tidak memiliki acuan nash tentang hukumnya.
Berhubung khamr dan narkoba memiliki ‘illat yang
sama yaitu memabukkan, maka mengkonsumsi
disamakan dengan minum khamr dalam hukumnya,
yaitu haram.
b. Rukun Qiyas
Rukun qiyas terdiri dari empat unsur, yaitu:
pertama, al-Aṣl, yaitu kasus yang memiliki ketentuan
hukum berdasarkan naṣ. al-Aṣl disebut sebagai al-Maqīs (yang diqiyasi) atau disebut juga al-Musyābah bih (yang diserupai). Dalam contoh di atas khamar sebagai al-Aṣl. kedua, al-Far’u, yaitu suatu kasus
yang tidak memiliki ketentuan hukum berdasarkan
naṣ. al-Far’u disebut sebagai al-Maqīs (yang
diqiyaskan) atau al-Musyābah (yang diserupakan)
semisal minumam keras atau narkoba dalam kasus di
atas. Ketiga, hukum aṣl (hukum asli) yaitu hukum
yang ditetapkan dalam naṣ. Misalnya keharaman
khamar yang ditetapkan dalam al-Qur’an. Keempat, ilat, yaitu sifat yang menjadi titik persamaan (al-jāmi’) antara al-Aṣl dengan al-Far’u, seperti sifat
memabukkan yang terdapat pada khamer dan narkoba
dalam kasus di atas. Keempat rukun ini adalah hal
yang paling mendasar dalam metode qiyas. Sebab,
dengan adanya kesamaan illat inilah, kasus-kasus
yang tidak ada hukumnya dalam Naṣ dapat diketahui
kepastian hukumnya.49
c. Syarat-Syarat Qiyas
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa rukun
qiyas ada empat, dan masing-masing rukun memiliki
49
Abdul Wahab Khallaf, IlmUshul al-Fiqh, 60.
50
syarat. Adapun syarat-syaratnya adalah sebagai
berikut: pertama, al-Aṣl harus memiliki ketentuan
hukum berdasarkan naṣ. kedua, a-lFar’u tidak boleh
memiliki ketentuan hukum berdasarkan naṣ. Ketiga, hukm al-Aṣl harus memenuhi beberapa syarat; 1)
berupa hukum syar’i ‘amalī yang ditetapkan
berdasarkan naṣ, 2) berupa hukum yang ma’qūl al-Ma’nā atau ta’aqquli, 3)berupa hukum yang tidak
hanya berlaku pada Aṣl.50
d. Macam-Macam Qiyas
‘Illat sebagai unsur terpenting dalam mekanisme qiyas ada dua: manṣūḥah (diketahui
melalui naṣ) dan mustanbaṭah (diketahui melalui
upaya penggalian). ‘illat manṣūḥah lebih jelas dari
pada ‘illat mustanbaṭah. Dilihat dari sisi ini, qiyās
dibagi menjadi: qiyas jalī dan qiyās khāfī. Qiyās jalī adalah qiyas yang didasarkan pada ‘illat yang
manṣūḥah (jelas karena ada naṣ-nya). Misalnya meng-
qiyas-kan nifas dengan haid dalam hal pelarangannya
untuk digauli oleh suaminya, dengan ‘illat azda, atau
didasarkan pada ‘illat mustanbaṭah, tetapi antara al-Aṣl dan al-Far’u dipastikan tidak adanya fāriq (sesuatu yang membedakan), atau terdapat fāriq tapi
tidak signifikan.51
Adapun contoh qiyās jalī pertama, yaitu meng-qiyas-kan memukul orang tua pada berkata uff dengan ‘illat al-adza’ (menyakiti). Maka, dengan ‘illat ini segala sesuatu yang dapat menyakiti orang tua baik berupa perkataan atau tindakan, hukumnya sama dengan berkata uff. Contoh qiyās jalī yang
50
Abdul Wahab Khallaf, IlmUshul al-Fiqh, 60-61. 51
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, juz. I (Dimasyqa: Dar al-Fikr, 1986), 703.
51
kedua adalah meng-qiyas-kan budak perempuan kepada budak laki-laki dalam hal al-Sirāyah (menjalarnya kemerdekaan sebagian pada seluruhnya). Perbedaan jenis kelamin secara syara’ tidak memiliki pengaruh dalam aḥkām al-‘Itq (pembebasan/pemerdekaan).
Sedangkan qiyas khafī adalah qiyas yang didasarkan pada ‘illat yang msutanbaṭah (‘illat yang digali dari al-Aṣl) jika antara al-Aṣl dan al-Far’u terdapat farīq yang signifikan.52 Seperti meng-qiyas-kan pembunuhan menggunakan benda tumpul pada pembunuhan menggunakan benda tajam dalam kewajiban adanya kisas dengan ‘illat al-qatl al-‘amd al’udwān (pembunuhan sengaja dengan melanggar hukum). Sangat mungkin perbedaan antara al-aṣl dan al-far’ memiliki pengaruh. Sebab itu, menurut
Abu Hanifah, pembunuhan dengan benda tumpul
tidak dikenakan kisas. Qiyas khafi semakna
dengan al-qiyas al-adnā.
e. Mekanisme Qiyas
Qiyas merupakan salah satu sumber hukum
yang paling subur untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan yang ketentuan hukumnya tidak termaktub
secara eksplisit dalam al-Qur’an dan Sunah tetapi
memiliki al-ashl (induk) di dalam nash dan
atau ijma’. Contohnya yaitu pemberian kepada
pejabat adalah kasus yang sudah ada ketentuan
hukumnya yaitu haram berdasarkan nash hadits.
52
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, Juz. I (Dimasyqa: Dar al-Fikr, 1986), 704.
52
ايتح ال عومالر حتح تحامب كولهتحا هتحدتح53
‚seluruh hadiah atau pemberian terhadap pejabat adalah haram‛
Keharaman ini didasarkan pada ‘illat (alasan
hukum), yaitu khauf al-mail (tidak fair, pemberian
tersebut dapat mempengaruhi penerima untuk
memberikan perlakuan khusus terhadap pemberi,
mengikuti keinginan pemberi, dan memberikan
kebijakan yang tidak adil). ‘Illat khauf al-mail itu
tentu tak hanya ada pada hadaya al-‘ummal melainkan juga pada kasus-kasus lain.
Dengan demikian, membawa ‘illat khauf al-mail pada
kasus baru, maka banyak hal yang bisa ditangani.
Money politic adalah kasus baru (al-far’) yang
tidak ditemukan ketentuan hukumnya secara eksplisit
dalam naṣ atau ijma’. Akan tetapi, kasus ini dapat
disamakan dengan hadaya al-‘ummal karena
keduanya memiliki ‘illat yang sama, yaitu khauf al-mail (dikhawatirkan terjadi kecenderungan pada salah
satu pihak). Dengan demikian, hukum money politic adalah haram. Terlebih dalam negara
demokrasi yang menerapkan sistem pemilihan
pemimpin secara langsung, setiap warga negara yang
punya hak pilih memiliki kedudukan yang sangat
strategis (as-siyadah fi yad al-sya’bi), tidak kalah
strategisnya dengan pejabat negara atau hakim dalam
menentukan putusan hukum.
Qiyas dinilai benar secara metodologis bila
memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat
sebagaimana tersebut di atas. Qiyas yang tidak
53
Al-Munawi, Faidh al-Qadir, juz. VI (Bairut: Dar al-
Ma’rifah, tt), Juz VI, 353.
53
memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut
adalah sebuah kekeliruan. Mekanismen inilah yang
membedakan antara qiyas dengan dalil-dalil sekunder
lainnya.
3. Metode Istishlahi/Maqāṣidī Metode Istishlahi merupakan sebuah metode
dalam penetapan sebuah hukum berdasarkan asas
kemashlahatan yang diperoleh dari hasil deduktif atas
hukum-hukum syariah, illat dan hikmahnya, serta kaidah-
kaidahnya yang umum dan universal. Metode ini dibagi
menjadi tiga bagian
1. Mashlahat daruriyyat merupakan hal-hal yang
menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia yang
harus ada demi kemashlahatan mereka.54
Apabila
mashlahat ini tidak direalisasikan maka akan
berdampak negatif pada kekacauan dan tidak
tercapainya kebahagiaan dunia akhirat.
2. Mashlahat hajiyyat merupakan hal-hal yang sangat
dibutuhkan dalam kehidupan manusia untuk
menghilangkan beberapa kesulkitan yang dialami,
namun tidak sampai merusak jika tidak
terealisasikan.
Mashlahat tahsiniyyat merupakan hal-hal yag menjadi
pelengkap, memperindah, dan merupakan sebuah kepatutan
dalam adat istiadat. Semua itu dilakukan dengan
meninggalkan hal-hal yang tidak pantas untuk dilakukan dan
melakukan terhadap hal-hal yang berimplikasi pada keindahan
yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.
54
Maṣalaḥah ini kemudian diklasifikaskan menjadi lima
jenis hifẓ al-dīn (penjagaan atas agama), hifẓ al-nafs (penjagaan atas
jiwa), hifẓ al-‘aqli (penjagaan atas akal), hifẓ al-nasl wa al-‘Iradh
(penjagaan atas keturunan dan kehormatan), hifẓ al-māl (penjagaan
atas harta).
54
4. Metode Kompromistis antar Dalil yang
Bertentangan.55
Pada nyatanya, jumhur ulama mengatakan bahwa
tidak mungkin terjadinya pertentangan antar dalil-dalil
syariah khususnya al-Qur’an, karena al-Qur’an sudah
menjelaskan terkait masalah tersebut yang terdapat dalam
surah al-Nisā’: 82
افلا يتدبركف القراف كل كاف من عند غن الله ل جدكا فيو (82:النسأ)اختلافا كثنا
Tetapi dalam proses pengembangan dan
penggalian hukum dari dalil-dalil syariat tersebut secara
fakta memang sangat memungkinkan akan terjadinya
kontradiksi pada tingkat pemahaman. Jumhur ulam
mengatakan kontradiksi dengan istilah Ta’āruḍ ẓahiri.56
55
Isnan Ansory, Mengenal Tafsir Ayat Ahkam (Jakarta:
Rumah Fiqih Publishing), 32-35. 56
Berdasarkan inilah, terdapat empat metode yang
dikonsep oleh para ulama untuk mengkompromikan dalil-dalil yang
terkesan kontradiktif, di antaranya: pertama, al-jam’u wa al-taufiq
merupakan metode yang digunakan untuk mengkompromikan dua
dalil yang kontrakdiktif agar kedua dalil tersebut bisa digunakan
dan diamalkan. Kedua, metideal-Nasakh merupakan metode dalam
mengamalkan salah satu dalil yang kontradiktif, jika dapat
ditelusuri keberadaan dua dalil dari waktu persyariatannya dan tidak
mungkin untuk diamalkan semuanya di mana dalil yang datang
belakangan dinilai sebagai dalil yang menghapus hukum dalil yang
datang terlebih dahulu. Jika metode al-Jam’u tidak bisa digunakan
dan tidak dapat pula ditelusuri waktu persyariatannya, otomatis
tidak bisa menggunakan metode nasakh, sehingga ada metode lain
yang bisa digunakan yaitu, Ketiga, metode al-tarjīh yaitu,
melakukan penalaran dengan melihat indikator-indikator eksternal,
dalam rangka mengamalkan satu dalil di antara dua dalil yang
kontradiktif, jika metode ketiga juga tidak bisa digunakan, maka
metode keempat yang akan menjadi jalan keluarnya. Metode al-
55
Tawaqquf yaitu, mendiamkan kedua dalil yang kontradiktif
tersebut untuk tidak diamalkan semuanya.
56
BAB III
PROFIL TAFSIR DAN KLASIFIKASI KISAH NABI MUSA
Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa corak tafsir
yang secara umum digunakan oleh mufasir dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an. Adapun corak tafsir yang akan diuraikan
meliputi corak sufi, falsafi, adab al-ijtimā‘ī, dan ahkam.
Beberapa corak penafsiran yang akan dibahas,
dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum tentang
pemaknaan kisah nabi Musa dan nabi Khidir dalam al-Qur’an
dari berbagai perspektif (sufi, filsafat, sastra dan hukum) serta
gambaran umum tentang pembunuhan dalam al-Qur’an.
Tetapi penjelasan lebih detail terkait hal tersebut akan diulas
pada bab berikutnya. Pada bagian ini peneliti hanya akan
memperkenalkan beberapa profil tafsir yang menjadi bagian
dari penelitian ini serta klasifikasi kisah nabi Musa dalam al-
Qur’am. Adapun beberapa tafsir tersebut adalah sebagai
berikut:
A. PROFIL TAFSIR
1. Tafsir Corak Sufi
a. Tafsīr al-Jailānī Karya ‘Abd al-Qādir al-Jailānī
Judul lenāgkapnya adalah Tafsīr al-Jailānī: Al-Ghauts al-Rabbānī wa al-Imām al-Samdānī. Berjumlah lima juz,
tafsir ini konon pernah hilang selama 800 tahun, sebelum
kemudian ditemukan di perpustakaan Vatikan dan ditulis oleh
Syekh Fāḍil al-Jailānī al-Ḥasanī al-Jimazraq, cucu ke-25
Syaikh ‘Abd al-Qādir, serta di-taḥqīq oleh Abū al-Ḥasan wa
al-Husein Aḥmad Farīd al-Mazīdī al-Hasanī. Menurut Al-
Mazīdī dalam mukadimahnya sebagai muḥaqqīq, Tafsīr al-Jailānī merupakan literatur baru dalam turats tafsir isyārī, tafsir bercorak sufi. Kata ‘al-Jailani’ sendiri adalah nama
nisbat. Sementara ulama mengatakan, Jilan, Kilan, atau Kil adalah suatu daerah di Tabaristan. Sebagian lainnya
57
mengatakan bahwa Jailani dinisbatkan kepada kakeknya.
Nama lengkap Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī sendiri ialah
Syaikh Muḥyi al-Dīn Abū Muḥammad ‘Abd al-Qādir ibn Abī
Ṣāliḥ Mūsā ibn ‘Abd Allāh ibn Yaḥyā al-Zāhid ibn
Muḥammad ibn Dāwud ibn Mūsā ibn ‘Abd Allāh ibn Mūsā al-
Jawn ibn ‘Abd Allāh al-Muhīd yang dinisbatkan kepada al-
Maḥallī ibn Ḥasan al-Matsnā ibn Ḥasan ibn Abī Ṭālib.1
Al-Jailānī dikenal sebagai rajanya para wali dan diberi
gelar Al-Ghawts al-A‘ẓam. Sebelum masuk ke uraian
penafsiran ayat al-Qur’an, dalam muqaddimah kitab ini
terlebih dahulu mengulas tentang profil, sifat, keutamaan
Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī, dan argumentasi interuptif
terhadap mereka yang menentangnya. Sumber penafsiran
Tafsīr al-Jailānī adalah riwayat dan isyarat sufistik dari Syekh
‘Abd al-Qādir sendiri yang berupa nasihat. Karena singkat,
maka metode yang dipakai berarti metode ijmālī, dan karena
sesuai urutan surah seperti di mushaf maka teknik
penafsirannya tergolong taḥlīlī. Dalam pengantarnya, Syaikh
‘Abd al-Qādir mewanti-wanti agar pembaca tidak
menyalahkan dirinya atas apa yang disuguhkan dalam tafsir
ini. Sebab, ini merupakan upaya untuk menampakkan apa
yang samar dan mengkonkretkan apa yang masih abstraktif.
Ia juga mengatakan, hendaknya pembaca tidak melihat
kecuali dengan maksud mengambil pelajaran (‘ibrah) bukan
sekadar mengandalkan pikiran. Merasakan, menghayati, tidak
sekadar berargumentasi. Menggunakan kasyf, tidak hanya
perkiraan semu.2
Contoh corak sufi dalam tafsir ini bisa dilihat dalam
penafsiran basmalah. Lafaz بسم الله, ditafsirkan sebagai ‘Yang
1 Muh}y al-Di>n ‘Abd al-Qa>dir al-Jaila>ni>, Tafsi>r al-Jaila>ni>:
Al-Ghawts al-Rabba>ni> wa al-Ima>m al-S{amda>ni>, juz 1, (Pakistan: Al-
Maktabah al-Ma‘ru>fiyah, 2010), 5. 2 Muh}y al-Di>n ‘Abd al-Qa>dir al-Jaila>ni>, Tafsi>r al-Jaila>ni>,
51.
58
Maha Membuka rasa ikhlas hamba-Nya menuju pintu-pintu
makrifat dan keyakinan’. Lafaz الزحمه ditafsirkan dengan
‘Yang Maha Pengasih memberikan akal yang memberi
petunjuk terhadap jalan yang lurus ṣirāṭ al-mustaqīm. Lafaz
ditafsirkan sebagai ‚Yang Maha Penyayang menjadikan الزحيم
seorang hamba berikrar pada tauhid sehingga mendapat rida-
keselamatan dalam surga-Nya‛.3 Ketika menafsirkan surah al-
Fatḥ/48, yang turun mengabarkan perihal penaklukan Mekah
ke tangan umat Islam, Syaikh ‘Abd al-Qādir menafsirkan
bahwa salah satu kemenangan ialah tersingkapnya rahasia-
rahasia tauhid, tersingkap dengan rahasia ketuhanan.
Karenanya, Allah Swt, memberikan nikmat kepada Rasulullah
melalui kemenangan (al-fatḥ) yang nyata melalui
pengilhaman kepadanya, memberikan jalan keluar dari
kesusahan, memudahkan naiknya derajat dari kebodohan-
kesesatan menuju puncak ilmu dan sampai kepada-Nya.4
Tafsīr al-Jailānī ini ditutup dengan nasihat sufistik.
Syekh ‘Abd al-Qādir mengatakan, ‚Takutlah, takutlah, wahai
pencari kebenaran-keikhlasan, dari mengikuti hawa nafsu dan
menuruti syahwat. Sesungguhnya manusia jika mengikuti
tuntutan nafsu, hatinya menjadi sarang setan. Tetapi jika ia
memerangi hawa nafsu dan menundukkannya, hatinya
menjadi tempat para malaikat‛.5 Tafsir ini merupakan tafsir
yang cukup unik dan menarik, karena bersumber dari mata
batin seorang sulṭān al-auīliyā’. Namun ia bukan literatur
pertama dalam tafsir sufi, tafsir isyārī. Secara periodik,
dibandingkan dengan tafsir karya Syaikkh ‘Abd al-Qādir al-
Jailānī, masih lebih awal tafsir sufi karya al-Tustarī.
3 Muh}y al-Di>n ‘Abd al-Qa>dir al-Jaila>ni>, Tafsi>r al-Jaila>ni>,
juz 5, 3. 4 Muh}y al-Di>n ‘Abd al-Qa>dir al-Jaila>ni>, Tafsi>r al-Jaila>ni>,
juz 5, 7. 5 Muh}y al-Di>n ‘Abd al-Qa>dir al-Jaila>ni>, Tafsi>r al-Jaila>ni>:,
juz 5, 502.
59
b. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm Karya al-Tustarī
Tafsir ini memang diproyeksikan memakai pendekatan
sufistik. Hal itu sebagaimana dikemukakan dalam
muqaddimah kitab ini. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm yang ditulis
oleh Abū Muḥammad Sahl ibn ‘Abd Allāh ibn Yūnus ibn ‘Īsā
ibn ‘Abd Allāh ibn Rafī’ al-Tustarī (w. 283 H/896 M) adalah
berdasarkan turats sufi. Oleh karena pendekatan yang
digunakan adalah sufistik, maka tujuan penafsirannya seirama
dengan tujuan tasawuf itu sendiri, yaitu meningkatkan
menuju kesempurnaan insani dan derajat keberuntungan
sesuai kadar kemampuan manusia.6
Menarik dicatat, al-
Tustarī mengatakan, pendekatan tasawuf yang ia gunakan
dalam menafsirkan al-Qur’an tidaklah untuk melangkahi
makna zahir ayat, seperti corak bahasa, dan makna-makna
zahir lainnya. Corak sufi, menurutnya, adalah sebagaimana
perkataan al-Suyūṭī yang dinukil dari Ibn ‘Aṭāillāh al-
Sakandarī. Pengarang Syarḥ al-Ḥikam tersebut mengatakan:
‚Ketahuilah bahwa tafsir sufistik ini bukanlah pengasingan makna terhadap kalam Allah dan Rasul, bukan melangkahi makna zahir dari ayat zahirnya. Akan tetapi, ayat zahir tersebut dipahami sebagaimana seharusnya, melalui pemahaman-pemahaman batin oleh mereka yang telah Allah bukakan hatinya. Ada hadis berbunyi: ‘Setiap ayat memiliki makna zahir dan batin’. Jangan sampai engkau menghalangi diri menemukan makna-makna (batin) tersebut dengan berkata interuptif: ‘ini (tafsir sufi) telah melangkahi kalam Allah dan Rasul’. Jelas itu bukan melangkahi. Jika bermaksud melangkahi, maka mufasir akan berkata: ‘Hanya begini maknanya’. Tetapi mereka tidak berkata demikian. Mereka mengakui makna zahir dari ayat
6 Abu> Muh}ammad Sahl al-Tustari>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-
‘Az}i>m, cet. ke-1 (Kairo: Da>r al-Haram li al-Tura>ts, 2004), 7.
60
zahirnya, tetapi memahaminya sebagaimana Allah ilhamkan kepada mereka.‛7
Tafsir karya al-Tustarī ini bercorak analitis (taḥlīlī), menafsirkan sesuai urutan surah tetapi tidak menafsirkan
keseluruhan ayat pada masing-masing surah. Tafsir ini sangat
ringkas, hanya terdiri dari satu jilid, karena yang ditafsirkan
hanya sebagian ayat saja. Imam al-Qusyairī mengomentari
karya al-Tustarī ini dengan menguraikan keutamaan al-
Tustarī sendiri. Salah satu keutamaan tersebut ialah karomah
al-Tustarī yang punya kebiasaan berucap, ketika sedang
sendirian: ‚Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah
menyaksikanku‛. Kebiasaan tersebut yang kemudian
mengantarkannya berada di derajat kesufian. Tafsir ini adalah
bentuk konkret dari keistimewaan tersebut. Contoh corak sufi
dalam tafsir ini dapat dilihat: misalnya, ketika al-Tustarī
menafsirkan surah al-Taubah.
Surah al-Taubah/9:2, pada ayat فسيحىا ف الأرض, al-
Tustarī menafsirkannya dengan ‚berjalan di bumi dalam
rangka mengambil pelajaran sembari berikrar kepada Allah‛.
Pada ayat 111, ان الله اشخزي مه المؤمىيه أوفسهم و امىالهم بأن لهم الجىت,
al-Tustarī menafsirkan bahwa membeli diri dan harta yang
dimaksud adalah membelinya dari syahwat dunia dan dari
segala amal yang membuatnya selalu mengingat Allah Swt,
sehingga diri kita menjadi hamba yang ikhlas. Sementara itu
jika tidak menjual kehidupan dan syahwat tersebut kepada
Allah Swt, bagaimana mungkin ia bisa hidup bersama Allah
Swt, bagaimana mungkin mendapat kehidupan yang baik.
Nuansa sufistik sangat menonjol juga ketika al-Tustarī
menafsirkan kata taubah itu sendiri, pada ayat berikutnya,
Ia mengatakan, taubat adalah tidak pernah .الخبئبىن العببدون ,112
lupa dengan dosa yang diperbuat. Ia adalah tuntutan pertama
yang wajib ditempuh bagi yang ingin memperbaiki diri.
7 Abu> Muh}ammad Sahl al-Tustari>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-
‘Az}i>m, 45.
61
Taubat tidak mungkin dilakukan, kecuali dengan menahan
diri, lalu berkhalwat, menyepi. Khalwat tidak terjadi kecuali
makan yang halal dan menunaikan kewajiban kepada-Nya.
Menegakkan kebenaran tidak tercapai kecuali dengan
menjaga jiwa-raga. Dan semua itu bergantung dengan
pertolongan Allah Swt.8
c. Laṭāif al-Isyārāt Karya al-Qusyairī
Dari penamaan tafsir ini, dapat dipahami bahwa tafsir
yang terdiri dari tiga juz ini menggunakan pendekatan isyārī, dalam menguraikan kandungan ayat-ayat al-Qur’n, atau
bercorak sufi. Nama lengkap penulisnya adalah Abū al-Qāsim
‘Abd al-Karīm ibn Ḥawāzin ibn ‘Abd al-Mālik ibn Ṭalḥah ibn
Muḥammad al-Istiwā’ī al-Qusyairī al-Naisābūrī al-Syāfi‘ī. Ia
dikenal sebagai sufi ahli hadis. Lahir pada 376 Hijriah, al-
Qusyairī yatim sejak kecil. Tetapi semangat keilmuannya
tampak sejak ia masih kecil. Belajar sastra Arab, lalu menjadi
santri Abī ‘Alī al-Daqqāq, keikhlasan, ketakwaan, dan cahaya
yang tampak di wajahnya diketahui oleh gurunya. Dalam
mukadimah, al-Qusyairī menjelaskan, tafsir Laṭāif al-Isyārāt adalah dalam rangka menguraikan sisi-sisi isyarat al-Qur’an
berdasarkan lisan ahli makrifat, baik melalui makna kata zahir
maupun konteksnya. Dengan tetap memohon kepada Allah
Swt, agar senantiasa dalam kebenaran dan bebas dari
penyimpangan, dijaga dari kekeliruan, serta tetap bersalawat
kepada Nabi agar mendapat syafaatnya. Permulaan penulisan
tafsir ini ialah tahun 434 Hijriah.9
Sebagaimana lumrahnya tafsir sufistik, Lat}a>if al-Isya>ra>t menguraikan makna ayat berdasar riwayat, tetapi tidak
8 Abu> Muh}ammad Sahl al-Tustari>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-
‘Az}i>m, 159-160. 9 Abu> al-Qa>sim ‘Abd al-Kari>m ibn H{awa>zin al-Qusyairi>,
Tafsi>r al-Qusyairi> al-Musamma> Lat}a>if al-Isya>ra>t, juz 1, (Beirut: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007), 5.
62
berhenti dalam periwayan an sich. Lebih jauh pengalaman
batin mufasir juga menjelma sebagai penafsiran. Karenanya
apa yang teruraikan dalam tafsir ini adalah refleksi mufasir,
isyarat yang diserap dari batin al-Qur’an. Tafsir isya>ri> bukan
berarti sama sekali lepas dari nalar (bi al-ra’y) maupun
riwayat (bi al-ma’tsu>r). Lat}a>if al-Isya>ra>t menggunakan
metode tah}li>li>, analitis sesuai urutan surah dalam mushaf.
Menarik jika melihat uraian sufistik/isya>ri> al-Qusyairi> tentang
lafaz بسم الله pada basmalah. Al-Qusyairi> menjelaskan sebagai
berikut:
‚Suatu kaum ketika mendengar بسم, mereka mengartikan ba’ sebagai kebaikan Allah terhadap kekasih-Nya, sin sebagai rahasia-Nya untuk para sufi, dan mim sebagai nikmat-Nya kepada para wali. Dengan kebaikan Allah mereka mengetahui rahasia-Nya, dengan nikmat-Nya mereka menjaga perintah, dan dengan Allah Swt. mereka mengenal kekuasaan-Nya. Sementara kaum lainnya ketika mendengar lafaz بسم الله, menafsirkan ba’ sebagai bebasnya Allah dari segala keburukan, sin sebagai terhindarnya Allah dari segala aib, dan mim sebagai terpujinya Allah sebab sifat agungnya. Pendapat lain lagi menafsirkan ba’ sebagai kemuliaan Allah, sin sebagai keagungan-Nya, dan mim sebagai kekuasaan-Nya.‛10
Misalnya lagi ketika menafsirkan surah al-A’rāf/7:20,
tentang kisah Adam, Hawa, dan Iblis di surga. Setelah Allah
Swt, memerintahkan Adam berdiam di surga dan menjauhi
pohon khuld, Iblis menggoda Adam dan Hawa dengan
mengatakan: ك قاؿ ما نهاكما ربكما عن ىذه الشجرة الا اف تك نا ملكن اك تك نا من Menurut al-Qusyairī, keterpengaruhan Adam terhadap .الخلدين
10
Abū al-Qāsim ‘Abd al-Karīm ibn H{awāzin al-Qusyairī,
Tafsīr al-Qusyairī, juz 1, 9.
63
godaan-hasutan Iblis bukan karena malaikat lebih mulia
daripada manusia sehingga Adam berhasrat menjadi malaikat.
Tidak. Adam dan Hawa memakan khuld disebabkan hawa
nafsu yang ada dalam mereka berdua. Potensi nafsu ini yang
menjerumuskan mereka. Ketamakan membuat mereka berdua
terkena balā’ dan ketakutan. Jadi, akar segala penderitaan
adalah tamak.11
Lat}āif al-Isyārāt menampilkan sisi esoteris
ayat yang jarang dijumpai dalam tafsir-tafsir bercorak
kebahasaan. Al-Qusyairi> berhasil menguraikan isyarat
tersembunyi dalam al-Qur’an.
d. H{aqāiq al-Tafsīr Karya al-Sulamī
Nama lengkap al-Sulami> yaitu Abū ‘Abd al-Rah}mān
Muh}ammad ibn al-Husein ibn Mūsā al-Azdi al-Silamī. Karya
tafsir sufinya, H{aqāiq al-Tafsī: Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz, di-
tah}qīq oleh Sayyid ‘Umrān.12
Al-Silamī adalah seorang ulama
sufi dari Khurasan yang lahir pada 330 Hijriah dan wafat pada
tahun 412 Hijriah. Dalam tafsirnya ini, al-Silami> tidak sama
sekali mengabaikan makna zahir, ia hanya cenderung
menghimpun pendapat para ahli hakikat satu sama lain, lalu
himpunan tersebut ia beri nama H{aqāiq al-Tafsīr. Ulama sufi
yang sering dikutip al-Silamī yaitu Ja‘far ibn Muh}ammad al-
S{ādiq, Ibn ‘Atā’ al-Sakandarī, al-Junaid, Fud}ail ibn Iya>d, dan
Sahl ibn ‘Abd Allāh al-Tustarī. Sungguhpun demikian,
beberapa ulama mengkritik keras tafsir ini.
Jalāl al-Dīn al-Suyūt}ī dalam kitabnya, T{abaqāt al-Mufassirīn, menganggap al-Silamī sebagai mufasir ahli bid’ah
dan penafsirannya buruk sekali. Abū al-H{asan al-Wāh}idī
bahkan lebih keras mengkritik, ia mengatakan bahwa kafir
11
Abū al-Qāsim ‘Abd al-Karīm ibn H{awāzin al-Qusyairī,
Tafsīr al-Qusyairī, juz 1, 327. 12
Abū ‘Abd al-Rah}mān Muh}ammad ibn al-H{usein al-
Silamī, H{aqāiq al-Tafsīr: Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz, cet. ke-1,
(Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001). 55.
64
jika sampai kita meyakini H{aqāiq al-Tafsīr sebagai tafsir.
Demikian karena, sebagaimana dituturkan Ibn Taimiyyah,
pengutipan dalam H{aqāiq al-Tafsīr adalah manipulatif.
Namun kemudian kritik-kritik tersebut ditanggapi oleh
muh}aqqiq. Kritik al-Suyūṭī dianggapnya berlebihan,
sementara pada kritik al-Wāh}idī, perlu digarisbawahi bahwa
al-Silamī tidak beriktikad karyanya sebagai tafsir. Ia
meyakininya sebagai isyarat samar yang perlu untuk
dijabarkan, dijelaskan.13
Corak sufi dalam H{aqāiq al-Tafsīr oleh al-Silamī
diproyeksikan sebagai label penafsiran tertinggi. Ia mengutip
riwayat Ja‘far ibn Muh}ammad bahwa al-Qur’an dibagi
menjadi empat aspek: ‘ibādah, isyārah, lat}āif, dan h}aqāiq.
‘Ibādah untuk orang awam, isyārah untuk orang-orang alim,
lat}āif untuk para wali, dan h}aqāiq untuk para nabi. Ia juga
mengutip riwayat Sayyidinā ‘Alī ibn Abī T{ālib yang membagi
makna al-Qur’an menjadi tujuh. Salah satunya ialah makna
hakikat (h}aqāiq).14
Dimensi h}aqāiq berada di atas lat}āif. Karenanya bisa kita lihat ketika al-Silamī menafsirkan
basmalah, penafsirannya lebih sufi daripada penafsiran al-
Qusyairī tentang basmalah dalam Lat}āif al-Isyārāt yang telah
diuraikan di atas. Tetapi semua pendapat adalah kutipan dari
satu mufasir, ditambah mufasir lain, dikumpulkan. Ini
barangkali yang menjadi ruang kritik terhadap H{aqāiq al-Tafsīr. Secara teknik, tafsir ini adalah ijmālī-tah}līlī, ringkas
dan sesuai urutan surah dalam mushaf.
Dalam menafsirkan بسم الله الرحمن الرحيم, corak sufi al-Silamī
mengemuka dengan jelas. Ia mengatakan:
‚Dikisahkan dari ‘Abbās ibn ‘At}ā’: ba’ dalam basmalah adalah kebaikan (al-birr) Allah terhadap
13
Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Muh}ammad ibn al-H{usein al-
Silamī, H{aqāiq al-Tafsīr, 11. 14
Abū ‘Abd al-Rah}mān Muh}ammad ibn al-H{usein al-
Silamī, H{aqāiq al-Tafsīr, 22.
65
para nabi melalui pengilhaman risalah kenabian, sin adalah rahasia (sirr) Allah untuk ahli makrifat melalui pengilhaman kedekatan dengan-Nya. Sementara mim adalah nikmat (minnah) Allah terhadap para hamba saleh melalui rahmat dari-Nya. Al-Junaid mengatakan: lafaz بسم الله adalah Kemahaluhuran-Nya. Dalam lafaz الزحمه ada pertolongan-Nya, dan dalam الزحيم adalah kasih-sayang dan cinta-Nya.‛15
2. Tafsir Corak Falsafi
a. Al-Kasysyāf Karya al-Zamakhsyarī
Kitab Al-Kasysyāf: H{aqāiq Ghawāmid} al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al-Ta’wīl adalah karya fenomenal
Abū al-Qāsim Mah}mūd ibn ‘Umar ibn Muh}ammad ibn ‘Umar
al-Khawārizmi Jār Allāh al-Zamakhsyarī, cendekiawan
Muslim berdarah Iran yang lahir pada tahun 467 Hijriah/1075
Masehi. Al-Zamakhsyarī merupakan nama yang dinisbatkan
pada tanah kelahirannya, Zamakhsyar, salah satu daerah di
Khwarezmia. Semasa hidup, ia merupakan santri kelana. Pergi
ke Bukhara, Khurasan, Isfahan, Baghdad, lalu ke Mekah
untuk mengembara ilmu. Kelana intelektualnya menjadikan
al-Zamakhsyarī seorang penulis prolifik utamanya dalam
kebahasaan-kesusastraan. Secara akidah, ia menganut
Muktazilah, dan Al-Kasysyāf-nya juga banyak mengajarkan
ideologi yang dianutnya. Al-Zamakhsyarī wafat di
Khwarezmia pada tahun 538 Hijriah/1144 Masehi dalam usia
69 tahun.16
Tafsir setebal enam juz ini ditulis al-Zamakhsyarī
saat berkelana ke Mekah. Ia juga memiliki karya lain di
antaranya Asās al-Balāghah, Al-Fāiq fī Gharīb al-H{adīts, Al-
15
Abū ‘Abd al-Rah}mān Muh}ammad ibn al-H{usein al-
Silamī, H{aqāiq al-Tafsīr, 24. 16
Musā‘ad Muslim ‘Alī Ja‘far dan Muh}yī Hilāl al-Sarhān,
Manāhij al-Mufassirīn, (Tanpa Kota: Dār al-Ma‘rifah, 1980), 213.
66
Mufas}s}al, Al-Maqāmāt, Rabī‘ al-Abrār wa Nus}ūs} al-Akhbār, dan Al-Ah}ājī al-Nah}wiyyah.
17
Tafsir Al-Kasysyāf tergolong literatur tafsir yang
sesuai ideologi Muktazilah, sehingga penafsirannya juga
seirama dengan konstruksi ideologi tersebut. Al-Zamakhsyarī
bertolak dari beberapa langkah metodis. Pertama,
menekankan penafsirannya dengan dua bidang keilmuan,
yaitu ‘ilm al-ma‘ānī dan ‘ilm al-bayān. Kedua, setiap
menafsirkan, ia memulainya dengan menyebut nama surah
dan jumlah ayat, terkadang juga menyebut sebab turunnya
ayat, menerangkannya satu per satu mulai dari aspek
gramatikal, susunan ayat, lalu persoalan-persoalan fikih dalam
pendapat ulama. Al-Zamakhsyarī juga mengulas qiraat demi
menemukan makna yang jelas, mengutip riwayat selama tidak
bertentangan dengan mazhabnya, dan banyak mengutip dari
ulama Muktazilah. Ketiga, sarat epistemologi Muktazilah.
Mengutamakan akal/nalar daripada hadis, ijmak dan qiyas,
menyucikan Allah dari kejisiman sehingga setiap ayat yang
memiripkan sifat Allah dengan sifat hamba selalu ditakwil.
Misalkan ayat tentang bersemayam (istawa>), tangan (yad) dan
wajah (wajh), maka ditakwil dengan kekuasaan, nikmat, dan
dzat-Nya. Keempat, memiliki perhatian yang lebih terhadap
aspek nahwu-kebahasaan. Al-Zamakhsyarī dikenal sebagai
ahli nahwu dan ahli bahasa. Ia banyak menulis dan mensyarah
kitab tentang diskursus tersebut. Kelima, tidak menafsirkan
dengan kisah-kisah isrāiliyyāt.18
Tafsir yang menggunakan teknik tah}līlī ini banyak
menuai kritik lantaran kelekatannya dengan doktrin-doktrin
Mu’tazilah bahkan mengajaknya. Ulama yang paling keras
17
Fahd ibn ‘Abd al-Rah}mān ibn Sulaimān al-Rūmī, Buh}ūts fī Us}ūl al-Tafsīr wa Manāhijuhū, (Riyadh: Maktabah al-Taubah,
1419 H), 153. 18
‘Alī Ja‘far dan Muh}yī Hilāl al-Sarh}ān, Manāhij al-Mufassirīn, 214-216.
67
mengkritik yaitu Ah}mad ibn al-Munīr al-Iskandarī al-Mālikī,
dengan mengarang kitab ‚Al-Intis}āf min al-Kasysyāf‛ yang
isinya interupsi keras terhadap penafsiran al-Zamakhsyarī,
kejelakannya, kebid’ahannya, dan kebenciannya terhadap
golongan Sunni. Sementara itu, Imam Tāj al-Subkī
mengapresiasi Al-Kasysyāf sebagai tafsir agung yang ditulis
cendekiawan hebat, namun juga mengkritiknya karena al-
Zamakhsyarī termasuk ahli bid’ah yang terang-terangan akan
kebid’ahannya, juga karena keburukan pekertinya dengan
menjelek-jelekkan Sunni. Jalāl al-Dīn al-Suyūtī} bahkan
mengatakan: ‚Salah satu penafsiran yang tidak dapat diterima
yaitu Al-Kasysyāf-nya al-Zamakhsyarī. Di dalamnya banyak
menafsirkan ayat keluar rel, menuju ideologi yang rusak. Juga
banyak sekali berisi adab yang buruk kepada Nabi, para
sahabat, dan ahl al-sunnah. Al-Dzahābī benar ketika
mengatakan, ‘hati-hati dengan tafsir Al-Kasysyāf-nya al-
Zamakhsyarī.‛19
Kendati demikian, beberapa ulama mengapresiasi
ketinggian ilmunya dalam bidang linguistik. Al-Quft}ī menukil
Imam Abū al-Yaman Zaid ibn al-H{asan al-Kindī yang
mengatakan bahwa al-Zamakhsyarī adalah ulama paling non-
Arab alim tentang bahasa Arab di zamannya, juga memiliki
kepribadian wara’, saleh, dan banyak menelaah kitab maupun
menuliskannya. Banyak karya tentang sastra, gramatikal, dan
linguistik dihasilkan, termasuk juga dalam bidang tafsir dan
hadis-hadis bermasalah (ghari>b), serta banyak berkelana
memperkaya intelektualitasnya.20
Corak falsafi dalam tafsir
Al-Kasysyāf terletak dalam fondasi filosofis teologi
19
Jār Allāh Abū al-Qāsim Mah}mūd ibn ‘Umar al-
Zamakhsyarī, Al-Kasysyāf: H{aqāiq Ghawāmid} al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al-Ta’wīl, juz 1, (Riyadh: Maktabah al-‘Abikan,
1998), 26-29. 20
Jār Allāh Abū al-Qāsim Mah}mūd ibn ‘Umar al-
Zamakhsyarī, Al-Kasysyāf, juz 1, 17-18.
68
Muktazilah yang ia anut. Misalnya ketika ia menafsirkan
surah al-Anbiya>’/21:30, tentang penciptaan langit dan bumi
yang awalnya bersatu padu. Kemudian Allah memisahkannya,
dan menciptakan segala yang hidup di dalamnya dengan air.
Menurut al-Zamakhsyarī, ayat tersebut di samping
menunjukkan kemukjizatan al-Qur’an, juga menunjukkan ke-
Mahakuasaan-Nya. Mencipta dari ketiadaan pun adalah
mungkin, apalagi hanya mematahkan sesuatu yang sudah ada.
Dan kita harus memosisikan diri sebagai orang yang
menyaksikan akan kebanarannya (maqām al-mar’iy al-masyāhid).
21 Ini mirip pendapat filsafat tentang teori
penciptaan alam semesta, yaitu ex nihilio dan teori big bang.
b. Mafātih} al-Ghaib Karya al-Rāzī
Nama lengkap penulisnya adalah Muh}ammad ibn
‘Umar ibn H{usein ibn H{asan ibn ‘Alī al-Taimī al-Bakrī.
Karena kealimannya, ia memiliki nama julukan Fakhr al-Dīn,
al-Rāzī, dan Syaikh al-Islām. Melihat rekam jejaknya, al-Rāzī
adalah cendekiawan yang konsen di pelbagai bidang
keilmuan. Ia dikenal sebagai ahli fikih, ahli ushul, teolog,
sekaligus juga dikenal sebagai filsuf. Sebagai ulama
bermazhab Sunni Asy‘ariyah, konsentrasinya dalam ilmu
teologi/kalam lebih mendalam ketimbang konsentrasinya
dalam ilmu ushul dan fikih. Sementaradi bidang filsafat
melahirkan beberapa karya, di antaranya ialah Syahr al-Isyārāt, Lubāb al-Isyārāt, dan Al-Mulkhis fī al-Falsafah.
22 Al-
Rāzī merupakan sosok cendekia interdisipliner. Karya-karya
lainnya juga tentang kedokteran, maka dari itu ia juga dikenal
sebagai dokter (tabīb).
21
Jār Allāh Abū al-Qāsim Mah}mūd ibn ‘Umar al-
Zamakhsyarī, Al-Kasysyāf, juz 4, 141. 22
Muh}ammad al-Rāzī Fakhr al-Dīn, Tafsīr al-Fakhr al-Rāzī al-Musytahir bi al-Tafsīr al-Kabīr wa Mafātīh} al-Ghaib, juz 1
(Beirut: Dār al-Fikr, 1981), 6.
69
Dari karya-karya yang dilahirkan, Al-Tafsīr al-Kabīr atau yang familiar sebagai Mafātīh} al-Ghaib adalah karya
paling monumental dari al-Rāzī. Tafsir ini menjadi muara dari
keilmuan-keilmuan yang ia konsen di dalamnya. Saking
lengkapnya lanskap penafsiran yang dipakai al-Rāzī,
sementara ulama sampai menganggap Al-Tafsīr al-Kabīr bukan lagi kitab tafsir, karena memuat juga hal-hal lain yang
seringkali jauh lingkupnya dari ayat yang ditafsirkan. Salah
satu yang berkomentar demikian ialah al-Sādāfī dalam
kitabnya, Al-Wāfī bi al-Wāfiyāt.23 Memang faktanya al-Rāzī
menjejali tafsirnya dengan pendapat para filosof, dan
menguraikan satu pendapat dengan pendapat lainnya hingga
pembaca memahami cakrawala pemahaman yang luas. Ibarat
pedagang, ia berdagang semua kebutuhan, dan memberikan
kebebasan kepada pembeli untuk mengambil barang mana
yang dibutuhkan.
Mafātīh} al-Ghaib karya al-Rāzī ini terdiri dari 32 juz.
‘Alī Muh}ammad H{asan al-‘Imāriz setelah melakukan riset
mendalam tentang kitab tafsir al-Rāzī menyimpulkan bahwa
dalam lanskap pembahasan seluas itu, dalam jilid sebanyak
itu, tafsir ini telah tuntas. Memuat pelbagai pendapat mufasir,
seperti Ibn ‘Abbās, Ibn al-Kalbiy, Mujāhid, Qatādah, al-Sadī,
Sa‘īd ibn Jubair, Abū ‘Ubaidah, al-Farrā’, Muqātil ibn
Sulaimān, Qādī ‘Abd al-Jabbār, dan al-Zamakhsyarī.24
Pendapat Muktazilah yang dikutip oleh al-Rāzī dari al-
Zamakhsyarī adalah dalam rangka menolak dan mematahkan
argumennya. Dengan demikian, dari segi sumber, Mafātīh} al-
Ghaib tergolong kolaboratif antara berdasar riwayat (bi al-ma’tsūr) dan berdasar nalar (bi al-ra’y). Adapun teknik
penafsiran yang dipakai al-Rāzī ialah analitis (tah}līlī),
23
Muh}ammad al-Rāzī Fakhr al-Dīn, Tafsīr al-Fakhr al-Rāzī, 8.
24 Muh}ammad al-Rāzī Fakhr al-Dīn, Tafsīr al-Fakhr al-
Rāzī, 9.
70
menguraikan secara runtun dari awal surah hingga akhir
dengan uraian analisis yang detail. Dan yang menonjol dari
analisisnya ialah kecenderungannya terhadap rasional-
filosofis.
Salah satu bukti bahwa Mafātīh} al-Ghaib adalah tafsir
bercorak falsafi dapat ditelisik ketika al-Rāzī menafsirkan
surah al-Anbiyā’/2:33, pada lafaz مل في فلل يسبحىن, tentang
peredaran tata surya. Redaksi yang digunakan al-Rāzī
biasanya ‘ ‘ atau ,’قبل جمهىر الفلاسفت lalu uraian ,’فقبلج الفلاسفت
filsafat disuguhkan. Dalam konteks aat tersebut, ia mengutip
pendapat filsuf yang menyanggah tesis pergerakan garis edar
dan diamnya planet. Yang bergerak bukanlah garus edarnya,
melainkan planet-planet yang melintasinya.25
Penafsiran
falsafi dalam Mafātīh} al-Ghaib biasanya mengiringi ayat-ayat
saintis dan ayat teologis. Meskipun juga berisi interupsi
terhadap pendapat para filosof secara detail, tafsir ini cukup
memberikan argumen kepada kita tentang corak baru dalam
penafsiran al-Qur’an ketika itu. Kendati sebagaimana
maklum, beberapa ulama mempermasalahkan tafsir ini justru
karena unsur falsafi itu sendiri.
c. Al-Mīzān Karya al-T{abāt}abā’ī
Pada abad ke-20, lahir juga tafsir bercorak falsafi.
Tafsir berjudul lengkap Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān ini
merupakan masterpiece Sayyid Muh}ammad H{usein ibn
Sayyid Muh}ammad yang nasabnya bersambung ke Syaikh al-
Islām al-T{abāt}abā’ī al-Tibrīzī hingga H{asan ibn ‘Alī ibn Abī
T{ālib. Al-T{abāt}abā’ī yang lahir pada 29 Dzulhāijjah 1321
Hijriah/1903 Masehi di kota Tibriz merupakan mufasir
kontemporer berhaluan Syiah dua belas imam. Seperti al-
Zamakhsyarī, al-T{abāt}abā’ī juga seorang pengelana ilmu,
mulai dari kota kelahirannya, Tibriz, hijrah ke Najaf di Irak
25
Muh}ammad al-Rāzī Fakhr al-Dīn, Tafsīr al-Fakhr al-Rāzī, juz 22, 168.
71
dan menetap selama sepuluh tahun, lalu hijrah lagi ke Qom di
Iran dan menetap di sana hingga wafat pada 18 Muharram
1402 Hijriah. Konsennya dalam bidang filsafat menghasilkan
banyak karya selain tafsir Al-Mīzān, di antaranya yaitu Us}ūl al-Falsafah fī Khamsah Ajzā’, Bidāyah al-H{ikmah, ‘Alī wa al-Falsafah al-Ilāhiyyah, dan Al-Qur’ān fī al-Islām, Nihāyah al-H{ikmah.
26 Al-T{abāt}abā’ī belajar fikih dan ushul kepada Syekh
Muh}ammad H{usein al-Nā’inī dan Syekh Muh}ammad H{usein
al-Kambamī, belajar filsafat kepada Sayyid H{usein al -
Badkubī, tasawuf kepada Abū al-Qāsim al-Khunsarī, dan
belajar akhlak kepada H{āj Mirzā ‘Alī al-Qād}ī. Terhadap
diskursus filsafat dan tafsir, al-T{abāṭabā’ī mempelajarinya di
Qom, sejak tahun 1364 Hijriah.27
Tafsir setebal dua puluh jilid
ini adalah bukti ketekunan al-T{abāt}abā’ī dalam dua disiplin
ilmu tersebut. Ia menafsirkan al-Qur’an dari sudut pandang
f i l s a f a t .
Al-Mīzān merupakan salah satu tafsir penting di abad
modern, sekaligus tafsir utama dalam Syiah, setelah tafsir
Majma‘ al-Bayān-nya al-T{abrīsī. Namun demikian, Fahd al-
Rūmī mengatakan, tafsir ini tidak diperuntukkan kalangan
awam, melainkan kalangan ulama, karena pembahasannya
yang rumit. Sebagaimana Al-Kasysyāf yang dianggap tafsir
terbaik kecuali karena berisi doktrin Mu’tazilah, Al-Mīzān
juga tafsir terbaik di zaman modern andai di dalamnya tidak
berisi doktrin Syiah. Keistimewaan dimaksud ialah
pembahasannya yang ekstensif dan mengutip banyak literatur
tafsir sebelumnya. Dalam menafsirkan surah al-Māidah/5:116,
misalnya, al-T{abāt}abā’ī mengutip beberapa kitab tafsir seperti
26
Muh}ammad ‘Ali> Aya>zi>, Al-Mufassiru>n: H{aya>tuhum wa Manhajuhum, (Teheran: Wiza>rat al-Tsaqa>fah wa al-Irsya>d al-Isla>mi>,
1414 H), 704. 27
Sayyid Muh}ammad H{usein al-T{aba>t}aba>’i>, Al-Mi>za>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, juz 1, (Beirut: Muassasah al-Isla>mi> li al-Mat}bu>‘a>t,
1997), ii-iii.
72
Jāmi‘ al-Bayān-nya al-T {abar ī , Al-Kasysyāf-nya al-
Zamakhsyarī, Majma‘ al-Bayān-nya al-T{abrīsī, Mafātīh} al-Ghaib-nya al-Rāzī, Anwār al-Tanzīl-nya al-Baid}āwī, dan Rūh} al-ma’ānī-nya al-Alūsī. Dalam mukadimah, al-T{abāt}abā’ī
mengulas tentang mazhab tafsir, perbedaan mufasir
berdasarkan coraknya, baik teologi, falsafi, sufi, ‘ilmi,
kemudian menerangkan manhaj mana yang mesti diikuti.
Teknik penafsiran Al-Mīzān ialah tah}līlī, komprehensif dan
sesuai urutan surah dalam mushaf. Pada setiap surah yang
hendak ditafsirkan, secara sistematis, al -T {abāt }abā’ī
menjelaskan kategori ayat, Makkiyah atau Madaniyah, tujuan
pokoknya, menyertakan satu atau beberapa ayat, menguraikan
makna per katanya, mengulas aspek kebahasaan, kemudian
melakukan kontekstualisasi dalam menjelaskan makna.28
Sama sekali tidak sulit mencari corak falsafi dalam tafsir ini.
Sendi-sendi penafsiran Al-Mīzān senantiasa menyelaraskan
antara penjelasan secara Qur’ani, etis, dan filosofis. Maka
setiap satu topik penafsiran ayat, di keseluruhan kitab, pasti
dijumpai subbab bah}ts Qur’ānī dan bah}ts falsafī, juga bah}ts a k h l ā q ī , b a h } t s ‘ i l m ī d a n b a h } t s i j t i m ā ‘ ī .
3. Tafsir Corak Adab al-Ijtimā‘ī
a. Tafsīr al-Maraāghī Karya Mus}t}afā al-Marāghī
Ketika al-Qur’an diturunkan, masyarakat Arab pra-
Islam berada dalam tradisi jahiliah. Mereka menyembah
berhala, mengubur anak perempuan hidup-hidup demi
menjaga wibawa, juga khawatir kelaparan, suka berperang
antarsuku, serta tidak ada relasi keagamaan maupun politik.
Al-Qur’an turun dalam keadaan sosial seperti itu. Ia datang
membawa agama, mempererat persaudaraan, menguatkan
relasi. Dalam al-Qur’an ada spirit memperbaiki kondisi sosial-
politik masyarakat. Karena itu kemudian para mufasir juga
28
‘Ali> Aya>zi>, Al-Mufassiru>n: H{aya>tuhum wa Manhajuhum,
705-708.
73
mengorientasikan penafsirannya untuk memperbaiki sosial-
masyarakatnya. Mufasir memosisikan diri sebagai dokter
terhadap lingkungan sekitarnya. Dari sini muncullah corak
baru dalam tafsir, yakni untuk memperbaiki sosial-
masyarakat (al-is}lāh al-ijtimā‘ī).29 Seperti itulah corak Tafsīr
al-Marāghī. Tafsir tersebut mencakup jawaban terhadap
persoalan di masanya. Al-Marāghī menuturkan bahwa
penulisannya dilatarbelakangi beberapa pertanyaan
masyarakat tentang tafsir mana yang lebih mudah untuk
diambil, diterapkan dalam kehidupan. Ia sekaligus
mengafirmasi bahwa penafsirannya berkaitan erat dengan
konteks masyarakat ketika itu.30
Sebelum menafsirkan, al-Marāghī memberikan
mukadimah seputar fungsi al-Qur’an bagi umat Islam,
tingkatan para mufasir, teknik penulisan al-Qur’an, pendapat
ulama tentang rasm Utsmānī, metodologi yang digunakan,
serta sumber penafsirannya. Tafsir yang dijadikan rujukan
pegangan oleh al-Marāghī yaitu tafsir al-T{abarī, al-Kasysyaf-nya al-Zamakhsyarī, Anwār al-Tanzīl-nya al-Baid}āwī,
Gharāib al-Qur’ān-nya al-Naisyābūrī, tafsir Ibnu Katsīr, Al-Bah}r al-Muh}īt} karya Abū H{ayyān, Rūh} al-Ma‘ānī-nya al-
Alūsī, dan Tafsīr al-Manār karya Muh}ammad ‘Abduh dan
Rasyīd Rid}ā. Tafsir sebanyak 10 jilid ini secara teknik
penafsiran adalah tah}līlī, sesuai urutan surah dalam mushaf.
Sistematika penulisannya yaitu menyebut nama surah, jumlah
ayat, tempat turun, urutan turunnya ayat, serta munasabah
ayat. Al-Marāghī menjelaskannya secara ringkas, disertai
tujuan surah dan asbāb al-nuzūl. Ia jarang mengutip riwayat,
kecuali jika mengharuskan sandaran periwayatan, tidak
mendominasi tafsir mainstream, serta tidak menguraikan
29
Fahd al-Ru>mi>, Buh}u>ts fi> Us}u>l al-Tafsi>r wa Mana>hijuhu>, 104-105.
30 ‘Ali> Aya>zi>, Al-Mufassiru>n: H{aya>tuhum wa Manhajuhum,
359.
74
aspek gramatikal. Semua itu bagi al-Marāghī kurang krusial
karena memberi kesan seakan tafsir dikhususkan kepada
mereka yang paham ilmu-ilmu alat. Masyarakat di masanya
butuh tafsir instan yang bisa diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari, yang sesuai konteks penfsiran tersebut
dilakukan.31
Al-Marāghī benar-benar menjadikan kisah penentuan
khilafah di bumi, bersujudnya para malaikat, maksiatnya Iblis,
dan penciptaan H{awa>’ sebagai medan penafsirannya,32
yang
membuat kita dengan mudah membaca orientasi ijtimā‘ī yang
ia usung. Ketika menafsirkan surah al-Baqarah/2:35-37, ada
satu persoalan yang menarik, yang ia ulas, yaitu tentang
penciptaan H{awā’. Al-Marāghī menentang pendapat yang
mengatakan bahwa H{awā’ diciptakan dari tulang rusuk
A<dam. Ia mengatakan, apa yang tertulis dalam surah al-Nisā’
[4]: 1 dan al-A‘rāf/7:189, atau yang diriwayatkan Nabi
melalui Abū Hurairah bahwa H{awā’ diciptakan dari tulang
rusuk yang bengkok (d}al‘ a‘waj), tidak bermaksud
menganggap H{awā’ benar-benar dari tulang rusuk. Pada ayat
di situ adalah ‘dari jenisnya’. Ini seperti مه kata ,مه وفس واحدة
yang tertera dalam surah al-Ru>m/30:21. Artinya, pasangan
kita bukan diciptakan ‘dari diri’ kita, melainkan ‘dari jenis’
kita, yaitu sama-sama manusia. Sementara itu, hadis Nabi
tadi tidak bisa dipahami secara harfiah. Bukan perempuan
yang diciptakan dari tulang rusuk, justru hadis tersebut
sekadar perumpamaan bahwa watak/karakter perempuan itu
seperti tulang rusuk yang bengkok—mudah patah. Bukan
orangnya, melainkan sifatnya.33
31
‘Ali> Aya>zi>, Al-Mufassiru>n, 360. 32
‘Abd al-Qa>dir Muh}ammad S{alih}, Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n fi al-‘As}r al-H{adi>ts, (Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, 2003),
328. 33
Ah}mad Mus}t}afa> al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi>, juz 1,
(Mesir: Maktabah wa Matba‘ah Must}afa> Alba>ni>, 1946), 89-90.
75
b. Fī Z{ilāl al-Qur’ān Karya Sayyid Qut}b
Ditulis saat dipenjara, tafsir Fī Z{ilāl al-Qur’ān adalah
karya Sayyid Qut}b yang terkenal. Kitab tersebut jadi rujukan
terutama bagi para jihadis dan kalangan Muslim puritan.
Sayyid Qut}b sendiri disebut sebagai ulama ortodoks yang
mengajarkan konsep takfīrī. Ia memiliki pergerakan (h}arakah)
konfrontatif mirip pergerakan Khawarij di masa lalu. Baginya
dunia tengah ada dalam masa jahiliah dan diselimuti
kekafiran. Tafsir Fī Z{ilāl al-Qur’ān juga disinyalir mampu
memantik semangat puritanisme Islam. Usāmah Sayyid
Mah}mūd mengatakan, suatu ketika Abū Muh}ammad al-
‘Adnānī, Wakil Ketua ISIS, gemar membaca tafsir karya
Sayyid Qut}b tersebut bahkan mendalaminya selama dua puluh
tahun. Tidak berselang lama bagi al-‘Adnānī, setelah
mengetahui landasan konstitusi Suriah, untuk berkata:
‚Seluruh hukum yang kita gunakan adalah hukum kafir!‛34
Tafsir Fī Z{ilāl al-Qur’ān ada enam jilid. Bercorak adab al-ijtimā‘ī karena orientasi penafsiran Sayyid Qut}b adalah
memperbaiki tatanan masyarakat ketika itu. Motif
penafsirannya berusaha mengembalikan masyarakat kepada
Allah, dalam naungan-Nya. Bagi Qut}b, tidak ada kedamaian
di bumi, tidak ada ketenangan bagi masyarakat, tidak ada
keberkahan dan kesucian kecuali kembali kepada Allah swt.
Untuk kembali kepada Allah, hanya ada satu jalan, yaitu
menyeluruhkan hidup kepada Allah sesuai yang dituntun al-
Qur’an. Menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup,
penuntun langkah. Jika tidak, maka yang terjadi adalah
kerusakan di bumi (al-fasād fī al-ard}). Qut}b juga bersikukuh
menyampaikan, dalam mukadimahnya, tanpa berada di bawah
34
Usa>mah Sayyid Mah}mu>d, Al-H{aqq al-Mubi>n fi al-Radd ‘ala> Man Tala>‘aba bi al-Di>n (Abu Dhabi: Da>r al-Faqi>h, 2015), 18-
19.
76
naungan al-Qur’an, maka sejatinya orang tersebut terjerumus
ke dalam penyembahan hawa nafsu, jauh dari Allah swt.35
Karena itu bisa dipahami bahwa Fī Z{ilāl al-Qur’ān
adalah tafsir purifikasi, pemurnian, meskipun dalam
penerapannya bertendensi ideologis. Ia menjadi identik
dengan ideologi Wahabi, atau identik dengan ideologi radikal
Khawarij. Dari segi sumber, Qut}b memang cenderung
mengutamakan riwayat (bi al-ma’tsūr) daripada rasionalitas
(bi al-ra’y). Kemiripan Qut}b dengan Khawarij tidak dalam
segi keyakinan melainkan semangat pergerakannya. Artinya,
Qut}b memiliki semangat rekonstruksi masyarakat ke arah
yang lebih murni, di bawah lindungan al-Qur’an, dan keluar
dari belenggu kejahiliahan. Sebagai contoh dari corak adab al-ijtimā‘ī yang diusung tafsir Fī Z{ilāl al-Qur’ān dapat dilihat
melalui penafsiran surah al-Māidah [5]: 44-47 tentang
memutuskan/mengambil hukum (tah}kim). Menurut Qut}b,
duduk perkara tiga ayat berurutan yang membahas tentang
tahkim itu adalah tentang keimanan dan kekufuran, Islam dan
jahiliah, syariat atau hawa nafsu. Tidak ada tengah-tengah.
Orang-orang mukmin adalah mereka yang berhukum dengan
apa yang telah ditentukan Allah, tidak menambah apalagi
mengganti, sedikit pun.36
Sementara itu, orang-orang kafir, fasik, dan zalim ialah
mereka yang tidak berhukum dengan ketentuan-Nya. Baik ia
menerapkan hukum Allah secara sempurna sehingga
dikatakan beriman, atau justru menerapkan hukum lain yang
tidak diizinkan oleh-Nya sehingga kafir. Seseorang yang
menerima putusan hakim yang berhukum sesuai ketentuan
Allah, maka ia berhak dianggap mukmin. Begitupun
sebaliknya. Tidak ada jalan tengah dari dualitas tersebut.
Tidak juga perlu diperdebatkan. Allah Swt. Mahamengetahui
35
Sayyid Qut}b, Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n, Juz 1 (Kairo: Da>r al-
Syuru>q, 2003), 15. 36
Sayyid Qut}b, Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n, juz 2, 888.
77
apa yang benar-benar baik untuk hamba-Nya. Tidak juga
boleh berkata, jalan tengah diambil demi kemaslahatan
manusia, demi hak asasi kemanusiaan. Jika sampai berkata
demikian, maka orang tersebut telah keluar dari keimanan,
tak lagi laik disebut mukmin.37
Dengan teknik analitis
(tah}līlī), Qut}b melalui Fī Z{ilāl al-Qur’ān berusaha
memperbaiki tatanan masyarakat yang ketika itu menerapkan
hukum-hukum jahiliah, seperti demokrasi dan lain
sebagainya. Di sinilah corak adab al-ijtimā‘ī mengemuka.
Qut}b tak menekankan aspek fikih maupun aspek filsafat,
sehingga tak dibahas dalam tafsirnya. Ia berusaha menafsir
untuk mengkritik pemerintah dan tatanan masyarakat dan
negaranya ketika itu.
c. Tafsir Al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab
Tafsir setebal lima belas jilid ini merupakan
masterpiece Quraish Shihab, satu-satunya mufasir dari
Indonesia yang pemikirannya menjadi rujukan masyarakat
Indonesia. Ditulis di Kairo, saat ia menjadi Duta Besar RI
untuk Mesir, Tafsir Al-Mishbah ditulis dalam bahasa
Indonesia, mirip dengan Tafsir Al-Azhar karya Hamka yang
akan diulas di bagian selanjutnya. Quraish Shihab memang
memproyeksikan tafsirnya ini dapat menjadi tuntunan bagi
masyarakat, utamanya masyarakat Indonesia. Demikian
karena menurutnya, ‚keberadaan seseorang pada lingkungan
budaya atau kondisi sosial, dan perkembangan ilmu, juga
mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam menangkap
pesan-pesan al-Qur’an. Keagungan firman Allah dapat
menampung segala kemampuan, tingkat, kecenderungan, dan
kondisi yang berbeda-beda itu.‛38
37
Sayyid Qut}b, Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n, juz 2, 888. 38
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, volume 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2007), xvii.
78
Selain itu, Quraish Shihab juga mengafirmasi bahwa
setiap upaya penafsiran, akan selalu dipengaruhi oleh latar
belakang mufasir itu sendiri. Mulai dari konstruksi sosial,
budaya, keagamaan, bahkan latar keilmuan, menjadi sarana
dari corak-corak penafsiran. Kecenderungan mufasir yang
beragam tersebut memantik ragam hidangan tentang pesan-
pesan Ilahi. ‚Jika Fulan memiliki kecenderungan hukum,
tafsirnya banyak berbicara tentang hukum. Kalau
kecenderungan si Anti adalah filsafat, maka tafsir yang
dihidangkannya bernuansa filosofis. Kalau studi yang
diminatinya bahasa, maka tafsirnya banyak berbicara tentang
aspek-aspek kebahasaan. Demikian seterusnya.‛39
Artinya,
menyadari hal tersebut, lahirnya tafsir baru merupakan suatu
keniscayaan. Quraish Shihab yang dari Indonesia tentu
memiliki konstruksi sosio-kultural yang berbeda dari,
misalnya, al-T{abari>, Sayyid Qut}b, atau Fakhr al-Dīn al-Rāzī.
Masyarakat Indonesia membutuhkan hidangan baru,
yang tidak mengambil dari produk tafsir ulama tadi, atau
mengambil secara komparatif untuk menemukan pemahaman
kontekstual sesuai konstruksi sosio-kultural masyarakat
Indonesia sendiri. Quraish Shihab tergolong bagian terakhir,
memadukan ragam pendapat mufasir, seperti Sayyid Qut}b
melalui Fī Z{ilāl al-Qur’ān dan Sayyid Muh}ammad Husein al-
T{abāt}abā’ī melalui Al-Mīzān. Kendati dua ulama tadi
kontroversial, yang satu dianggap ortodok-radikal, yang satu
karena berasal dari Syiah, yang kelak berimplikasi terhadap
kritik atas Tafsir Al-Mishbah sendiri, namun ada satu garis
besar kesamaan antara para rujukan Quraish Shihab, yaitu
tentang kesatupaduan al-Qur’an, tentang keterkaitan
antarsurah, tidak tercerai-berai sebagaimana yang dituduhkan
orientalis seperti Richard Bell yang mengkritik tajam
sistematika urutan ayat dan surah, sembari menyalahkan para
penulis wahyu.
39
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, xvii.
79
Karena itu di akhir mukadimah, Quraish Shihab
menegaskan ‚Dalam buku (Al-Mishbah, pen.) ini, pembaca
akan menemukan uraian-uraian para ulama itu, yang penulis
sadur dan persembahkan, semoga dapat membantu menampik
pandangan-pandangan keliru serta memperjelas apa makna
dan hubungan serasi antarayat dan surah-surah al-Qur’an.‛40
Teknik Tafsir Al-Mishbah adah analitis tematik (tah}līlī-mawd}ū‘ī), yaitu menguraikan makna ayat sesuai urutan surah
tetapi setiap ayat terkelompokkan sesuai tema-tema.
Misalnya dalam surah al-Fātih}ah. Quraish Shihab membagi
surah tersebut menjadi dua: kelompok I ayat 1-4, dan
kelompok II ayat 5-7. Corak adab al-ijtimā‘ī dapat dibaca
misalnya dalam penafsiran tentang auat pertama al-Fātih}ah,
lafaz بسم, penyebutan atas nama setiap melakukan sesuatu.
Quraish Shihab mengutip al-Zamakhsyari> bahwa orang-orang
Arab, sebelum Islam, menyebut tuhan mereka, بسم اللاث atau
,ketika hendak memulai pekerjaan. Menurutnya ,بسم العش
tradisi tersebut masih ada hingga kini, menyebut ‘Atas nama
Allah dan atas nama rakyat’ dengan tujuan mendapat rahmat
Tuhan dan demi kepentingan rakyat. Artinya pekerjaan
tersebut dilakukan atas perintah dan demi Allah, bukan
dorongan hawa nafsu.41
d. Tafsir Al-Azhar Karya Hamka
Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau disingkat
Hamka, adalah seorang kiai, sastrawan, cendekiawan
Muhammadiyah, sekaligus mufasir. Ulama kelahiran Tanah
Sirah, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, 16
Februari 1908 memiliki karya dalam pelbagai bidang, dan
pernah mendapatkan penghargaan Doctor Honoris Causa (Dr.
HC) dari Universitas Al-Azhar, Mesir. Menariknya, Hamka
mendalami banyak ilmu; filsafat, tasawuf, sastra, sejarah,
40
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, xxviii. 41
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, juz 1, 13
80
sosiologi dan politik, secara autodidak. Sejak kecil, ia belajar
agama kepada ayahnya, hingga pindah ke Padang Panjang
pada usia 6 tahun. Usia 7 tahun sempat sekolah, tetapi
dilekuarkan karena kenakalannya. Sang ayah kemudian
mendirikan Sumatra Tawalib, dan di sanalah Hamka belajar
bahasa Arab.42
Sekitar 79 karya lahir darinya, di antara
bukunya yaitu Layla Majnun, Di Bawah Lindungan Ka’bah,
Tasawuf Modern, Islam dan Demokrasi, Di Tepi Sungai Dajlah, Falsafah Ideologi Islam, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Muhammadiyah di Minangkabau, dan
Tafsir Al-Azhar. Tafsir setebal 15 jilid ini dinamai Al-Azhar
untuk menyerupakan dengan asal tafsir disusun, yaitu kuliah
Subuh di Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta.
Syekh Mah}mu>d Syalt}ut, Rektor Universitas Al-Azhar Mesir
ketika itu, yang memberikan nama masjid tersebut.43
Tafsir Al-Azhar ditulis saat Hamka dipenjara oleh
rezim orde lama selama dua tahun. Sistematikanya, Hamka
menjelaskan asbāb al-nuzu>l ayat yang hendak ditafsirkan,
memberikan mukadimah surah, dan setiap akhir bahasan juz
dicantumkan bibliografi yang dijadikan rujukan penafsiran.
Teknik penafsiran yang digunakan Hamka adalah tah}līlī, analitis, sesuai urutan surah dalam mushaf. Hamka
menghindari tafsir per kata (mufradāt), dan lebih menafsirkan
ayat secara menyeluruh. Jika Quraish Shihab, sebagaimana
diungkap sebelumnya, mengatakan bahwa setiap produk tafsir
selalu mencerminkan identitas keilmuan mufasir, maka
Hamka juga demikian. Kekagumannya terhadap pembaharu
Mesir, Muh}ammad ‘Abduh dan Rasyīd Rid}ā, membuat Tafsir Al-Azhar terpengaruh pemikiran ‘Abduh dalam Tafsīr Al-
42
Muhammad Hasbi Maulidi, ‚Konstrusi Perempuan dalam
Tafsir Al-Azhar Karya Buya Hamka,‛ Tesis Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, 2019, 59.
43 Avif Alviyah, ‚Metode Penafsiran Buya Hamka dalam
tafsir Al-Azhar,‛ Ilmu Ushuluddin, (Januari 2016), 27-28.
81
Manār.44 Karena itu bisa dibaca coraknya, bahwa Tafsir Al-
Azhar juga diorientasikan untuk memperbaiki tatanan sosial-
kemasyarakatan (adab al-ijtimā‘ī), dan contohnya dapat
dilihat setip sendi-sendi penafsiran. Corak ini
memperlihatkan, misalnya, lokalitas Tafsir Al-Azhar. Kendatipun demikian, Hamka menegaskan, ia tidak
tendensius satu paham, ‚melainkan sedaya upaya mendekati
maksud ayat, menguraikan makna dan lafaz bahasa Arab ke
dalam bahasa Indonesia dan memberi kesempatan orang buat
berpikir.‛45
Maksudnya, ia menguraikan penafsiran, dan
kontekstualisasi terhadap sosial masyarakat partikular
dipersilakan.
4. Tafsir Corak Ahkam
a. Al-Jāmi’ li Ah}kām al-Qur’ān Karya al-Qurt}ubī
Kalaulah ada tafsir terbaik, lengkap, kritis, dan autentik
tentang hukum-hukum fikih, maka tafsir itu adalah Al-Jāmi’ li Ah}kām al-Qur’ān karya al-Qurt}ubī. Ulama bernama
lengkap Abū ‘Abd Allāh Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Abū
Bakr ibn Farh} al-Ans}ārī al-Khazrajī al-Andalūsī al-Qurt}ubī
lahir di Cordoba, Andalusia, Spanyol sekarang. Ia kemudian
pindah ke Mesir dan menetap di sana hingga wafat pada 9
Syawal 671 Hijriah. Al-Dzahābī mengatakan, ‚Al-Qurt}ubī
adalah ulama interdisipliner yang sangat luas ilmunya,
memiliki karya yang merepresentasikan konsentrasinya
terhadap pengetahuan.‛ Andalusia, tempat ia dilahirkan,
ketika itu, merupakan negara dengan banyak kitab dan
penulis. Di Cordoba, kitab banyak sekali dan ilmu-ilmu
keagamaan sedang dalam kejayaan, seperti fikih, hadis, tafsir,
qiraat, nahwu, sejarah, dan sastra. Iklim sarat akademis ini
yang turut membentuk intelektualitas al-Qurt}ūbī. Ia adalah
44
Maulidi, ‚Konstrusi Perempuan dalam Tafsir Al-Azhar
Karya Buya Hamka,‛ h. 77. 45
Maulidi, ‚Konstrusi Perempuan...‛, 81.
82
murid dari, di antaranya, Ibn Rawāj, Ibn al-Jummaizī, Abu> al-
‘Abbas Ah}mad ibn ‘Umar ibn Ibrāhim al-Mālikī al-Qurt}ubī,
dan H{asan al-Bakrī. Al-Qurt}ubī memiliki kepribadian zuhud,
konsisten, dan menghabiskan sebagian besar usianya untuk
ibadah dan berkarya. Masterpiece-nya ialah Al-Jāmi’ li Ah}kām al-Qur’ān sebanyak 10 jilid ini.
46
Menurut ‘Alī Ayāzī, tafsir al-Qurt}ubī adalah tafsir
paling lengkap tentang hukum-hukum fikih yang mengulas
pelbagai perbedaan mazhab, di samping i’rāb, balāghah,
qirāat, us}ūl, nāsikh-mansūkh, dan lainnya. Meskipun dirinya
pengikut mazhab Mālikī, al-Qurt}ubī juga menguraikan
mazhab lain. Ia memulai tafsirnya ini dengan mukadimah
yang sangat panjang, mulai dari mengulas keutamaan al-
Qur’an, cara tilawah, mewanti ahli al-Qur’an dari penyakit
riya’, tingkatan yang wajib ditempuh pengkaji al-Qur’an,
keutamaan tafsir al-Qur’an, cara belajar-memahami al-
Qur’an, makna sab‘atu ah}ruf, urutan surah dan ayat al-Qur’an,
makna surah dan ayat, kemukjizatan al-Qur’an, dan
argumentasi terhadap pengkritik al-Qur’an. Metodologi tafsir
ini yaitu dengan menguraikan ayat, i‘rāb-nya, ragam qirāat, kemudian penafsiran dan pendapat-pendapat tentangnya.
Kemudian al-Qurt}ubī menjelaskan aspek hukum fikih secara
rinci. Ulama sunni Asy’ariyah itu membela mazhab ahl al-sunnah. Tidak saja menyerang Muktazilah, bahkan juga
golongan politik-keagamaan.47
Corak hukum tafsir al-Qurt}uī
bisa dilihat, misalnya, bab haji dan umrah.
Dalam surah al-Baqarah/2:196, menurut al-Qurt}ubī, ada
silang pendapat tentang maksud و أحمى الحج و العمزة لله. Apakah
yang dimaksud menyempurnakan haji ialah menyatukan niat
46
Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Ah}mad al-Ans}a>ri> al-
Qurt}ubi>, Al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, juz 1, (Kairo: Da>r al-H{adi>ts,
1994), 6. 47
‘Ali> Aya>zi>, Al-Mufassiru>n: H{aya>tuhum wa Manhajuhum,
410-411.
83
berhaji tanpa ada tujuan berdagang, misalnya, atau
menghindari sesuatu yang dilarang saat berhaji, atau yang
lainnya. Lalu al-Qurt}ubī mulai menguraikannya secara luas,
mulai dari mengutip hadis-hadis Nabi, imam pendapat imam
mazhab. Misalnya al-Qurt}ubī menjelaskan bahwa ayat
tersebut menunjukkan kebolehan ihram sebelum miqat, atau
ihram dari tempat miqat yang berbeda-beda. Dalam suatu
riwayat, Nabi Saw. me-mīqat-kan penduduk Madinah dari
Dzul Hulaifah, penduduk Syam dari Juhfah, penduduk Najed
dari Qarn, dan penduduk Yaman dari Yalamlam. Atau, al-
Qurt}ubi> juga menguraikan, bahwa ayat tersebut merupakan
dalil atas wajibnya umrah jika kata al-‘umrah dibaca fathah,
berposisi na’at pada al-h}ajj. Tetapi jika dibaca dhammah,
berposisi mubtada’, maka umrah menjadi tidak wajib.48
Tidak
sulit untuk menemukan, bahwa hukum fikih menjadi corak,
menjadi orientasi utama penafsiran al-Qurt}ubi>.
b. Ah}kām al-Qur’ān Karya Ibn al-‘Arabī
Salah satu karakter tafsir bercorak hukum ialah
kecenderungannya untuk menampilkan mazhab tertentu. Hal
ini bisa ditelisik melalui karya-karya tafsir yang dinisbatkan
pada mazhab mufasirnya. Setiap ahli fikih (fuqahā’) sudah
tentu adalah seorang yang ahli al-Qur’an dan hadis, tetapi
belum tentu mereka menulis kitab tafsir. Sementara itu, tidak
semua ahli tafsir adalah ahli fikih, karena tafsir sendiri
idealnya tidak selalu bersinggungan dengan corak fikih.
Karenanya, adalah tidak mengherankan jika kemudian lahir
tafsir yang mengikuti mazhab fikih tertentu. Al-Qurt}ubī, yang
telah diulas sebelumnya, melalui tafsir Al-Jāmi’ li Ah}kām al-Qur’ān, merupakan representasi mazhab Mālikī, sekalipun
keluasan tafsirnya juga mengulas mazhab-mazhab lainnya.
Dari kalangan H{anafī, lahir tafsir Ah}kām al-Qur’ān yang
48
Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Ah}mad al-Ans}a>ri> al-
Qurt}ubi>, Al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, juz 1, 733-736.
84
ditulis oleh Abū Bakr al-Rāzī alias al-Jas}s}ās}. Judul yang sama,
Ah}kām al-Qur’ān, juga ditulis oleh Abū al-H{asan al-T{abari>
alias al-Kiyāhirasī yang bermazhab Syāfi‘ī. Yang hendak
diulas ini, Ah}kām al-Qur’ān karya Abū Bakr Ibn al-‘Arabī
adalah representasi mazhab al-Mālikī, semazhab dengan tafsir
al-Qurt}ubī. Kitab setebal empat juz ini di-tah}qīq oleh
Muh}ammad ‘Abd al-Khāliq ‘Abd al-Qādir.
Ibn al-‘Arabī bernama lengkap Abū Bakr Muh}ammad
ibn ‘Abd Allāh ibn Ah}mad al-Ma‘āfirī al-Andalūsī al-Isybilī.
Ulama yang lahir pada tahun 468 Hijriah atau 1076 Masehi
ini merupakan ulama terakhir Andalusia, juga anak dari
seorang ahli fikih di masanya. Kelana keilmuannya dimulai di
daerah kelahirannya, lalu rihlah ke Mesir, Syam, Baghdad,
dan Mekah. Ibn al-‘Arabī berguru kepada ulama setiap tempat
yang ia singgahi, hingga ia menjadi ahli fikih, ushul, hadis,
teologi, tafsir, sastra-syair, lalu kembali lagi ke daerah
asalnya, Isybili. Belum ada ulama interdisipliner yang alim
seperti beliau di daerahnya ketika itu.49
Tafsirnya ini, Ah}kām al-Qur’ān, merupakan tafsir pertama tentang yurisprudensi,
Ibn al-‘Arabī-lah yang memulai, kemudian disusul oleh tafsir
ah}kām lain seperti tafsir ah}kām-nya al-Jas}s}ās}.50
Dari segi
sumber, tafsir Ibn al-‘Arabī ini tergolong tafsir bi al-ma’tsūr, karena mufasir menguraikan penafsiran dengan mengutip
hadis, atsar, dan pendapat imam mazhab. Juga tergolong
tah}līlī karena sesuai urutan surah dalam mushaf.
Sistematikanya ialah, Ibn al-‘Arabī membagi satu per satu
ayat dari surah yang ditafsirkan, lalu potongan-potongan ayat
tersebut diulas dari pelbagai riwayat dan pendapat. Hukum
apa yang bisa diambil dari ayat tersebut juga teruraikan, yang
pendapatnya berkiblat kepada mazhab Mālikī. Agar tidak
49
Abu> Bakr Muh}ammad ibn ‘Abd Alla>h ibn al-‘Arabi>, juz
1, Ah}ka>m al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), viii. 50
Muh}ammad S{alih}, Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n fi al-‘As}r al-H{adi>ts, 371.
85
mengambang, bisa dilihat ketika Ibn al-‘Arabī menafsirkan
surah al-Ma>idah/5:3, tentang sesuatu yang diharamkan. Allah
Swt, berfirman:
مي الخنزير كىمىا أيىل لغىن الل بو يـ كىلى تىةي كىالد يػ حيرمىت عىلىيكيمي المىنقىةي كىالمى قي ذىةي كىالميتػىرىديىةي كىالنطيحىةي كىمىا أىكىلى السبيعي إلا كىالمينخى
ـ تيم كىمىا ذيبحى عىلىى النصيب كىأىف تىستػىقسمي ا بلىزلاى يػ مىا ذىكلكيم فىلاى دينكيم من كىفىريكا الذينى يى ى اليػى ىـ فس ه ذى
متي كىأىبى دينىكيم لىكيم أىكمىلتي اليػى ىـ كىاخشى ف ىشى ىيم ىـ ديننا سلاى اضطير فىمىن عىلىيكيم نعمىت كىرىضيتي لىكيمي الإ
رىحيمه غىفي ره اللى فى ف لإ و ميتىجىان و غىيػرى ىمىصىةو
Menurut Ibn al-‘Arabī, ayat tersebut memuat 21
persoalan. Ia pun memaparkan keseluruhan persoalan tersebut
satu per satu. Ia juga mengutip Ima>m al-Sya>fi‘i> yang
mengatakan, ayat tersebut mengajarkan umat Islam bahwa
meskipun sembelihan itu sama-sama sekadar menumpahkan
darah hewan yang disembelih, namun di dalamnya harus ada
rasa penghambaan (ta‘abbud) dan niat mendekatkan diri
kepada Allah Swt. Tradisi jahiliah juga demikian, bertumbal
untuk berhalanya, menumpahkan darah tidak dengan nama-
Nya. Adapun dalam hal teknik penyembelihan, al-Syāfi‘ī
mengatakannya sah bilamana kerongkongan terputus.51
Pengutipan al-Syāfi‘ī lebih sering karena ia murid Imām
Mālik yang dalam beberapa hal, pendapatnya tidak memiliki
perbedaan yang berarti. Kecenderungan tafsir ini terhadap
mazhab fikih tertentu dapat dilihat dari diksi yang dipakai Ibn
al-‘Arabī tentang suatu hukum yang sedang ditafsirkan, yaitu
.yakni ‘ulama kami’, yakni Imām Mālik ,علمبءوب
51
Abu> Bakr Muh}ammad ibn ‘Abd Alla>h ibn al-‘Arabi>,
Ah}ka>m al-Qur’a>n, juz 2, 22-29.
86
c. Al-Tafsīr wa al-Bayān Karya ‘Abd al-‘Azīz al-T{arīfī
Kitab tafsir ini, penulisannya, mirip dengan Tafsir Al-Azhar karya Hamka. Hamka menulis tafsirnya berdasarkan
kajian yang ia ampu secara rutin, begitupun dengan al-T{arīfī.
Baik Hamka maupun al-T{arīfī juga merupakan ulama
kontemporer yang hidup di tengah rezim otoriter. Bedanya,
Hamka menulis tafsirnya ketika ia dipenjara oleh rezim,
sementara al-T{arīfī justru dipenjara setelah penulisan
tafsirnya selesai. Murid al-T{arīfī, ‘Abd al-Majīd ibn Khālid al-
Mubārak mengatakan, tafsir ini dijelaskan al-T{arīfī ketika
mengisi kajian kepada para santrinya, dimulai pada Ramadan
1532 Hijriah dan rampung lebih dari 120 kali pertemuan.52
Dilansir Wikipedia, ‘Abd al-‘Azīz al-T{arīfī merupakan ulama
kelahiran Kuwait, 29 November 1976 yang menempuh
pendidikan di Fakultas Syariah Universitas Islam Muhammad
bin Saud. Ulama aliran salafi ini bermazhab fikih Hanbali.53
Ulama yang November nanti genap 44 tahun kini berada di
balik jeruji besi Kerajaan Arab Saudi. Al-T{arīfī ditangkap
pada 23 April 2016. Sudah empat tahun mufasir ini
mendekam di penjara. Penahanan Al-T{arīfī tentu dikritik
banyak aktivis, karena dianggap tidak memiliki alasan yang
jelas, meski ada rumor dikarenakan sering mengkritik
penguasa. Selain tafsir ini, beberapa karya al-T{arīfī antara lain
yaitu Al-Fas}l bayn al-Nafs wa al-‘Aql, Al-‘Ulamā al-Mītsāq,
dan Al-‘Aqliyyah al-Libirāliyyah fī Was}f al-‘Aql wa Was}f al-Naql.54
52
‘Abd al-‘Azi>z Marzu>q al-T{ari>fi>, Tafsi>r wa al-Baya>n li Ah}ka>m al-Qur’a>n, juz 1, (Riyadh: Maktabah Da>r al-Minhaj, 1436
H), 6. 53
Wikipedia, ‚Abdulaziz al
Tarefe,‛en.m.wikipedia.org/wiki/Abdulaziz_al_Tarefe (diakses pada
14 April 2020) 54
Munaji Habibullah, ‚Syaikh Abdul ‘Aziz At-Tharifi,
Sosok Alim Rabbani yang Berakhir di Balik Jeruji Besi,‛ safinah.id
(diakses pada 14 April 2020).
87
Dalam mukadimah, al-T{arīfī mengatakan, salah satu
tujuan utama yang wajib digapai umat dari al-Qur’an ialah
mengetahui perintah, larangan, dan hukum-hukumnya. Siapa
pun yang memahami hukum-hukum Allah dalam al-Qur’an,
mengetahui maqās}id-nya, hatinya akan bertambah keimanan,
ketundukan, dan takzim kepada-Nya. Tetapi hukum yang ada
dalam al-Qur’an sifatnya global, tak terperinci. Ulama salaf
konsen mentadaburi al-Qur’an untuk mengambil ajarannya,
terutama perihal yurisprudensi. Jika sebagian orang
mengatakan, dalil hukum bersifat kontekstual-elastis, itu
keliru. Yang kontekstual adalah hukum keagamaannya,
sehingga ia tidak bisa diperbarui sekalipun pewahyuan sudah
final. Al-T{arīfī juga menguraikan bagaimana mazhab Syāfi‘ī,
Mālikī, H{anafī, dan Ah}mad ibn H{anbal memiliki keutamaan
masing-masing. Pendapat yang mereka kemukakan tidak
ditujukan untuk membuat kita pusing untuk memilih. Abū
H{anīfah berkata pada Abū Yūsuf, Syāfi‘ī kepada Rabī’,
Ah}mad kepada ‘Abdullāh anaknya, dan Mālik kepada Ibn al-
Qāsim: ‚Jika sudah jelas ada hadis sahih, ambillah, dan
tinggalkan pendapat/perkataanku.‛55
Pada intinya, al-T{arīfī, dalam tafsir ini, akan mengulas
tafsir ayat-ayat hukum, dengan diperkuat oleh riwayat hadis,
pendapat imam mazhab, dan secara spesifik mazhab Ah}mad
ibn H{anbal. Yang terakhir ini dipilih karena, menurut al-
T{arīfī, Ah}mad ibn H{anbal paling banyak meriwayatkan hadis,
mengulas ayat hukum, dan secara periode lebih akhir dari tiga
pendahulunya, yang artinya pendapatnya lebih komprehensif
karena Ah}mad mengetahui juga pendapat tiga mazhab
sebelumnya serta apa yang seharusnya diperbarui atau
dikembangkan.
Teknik tafsir al-T{arīfī adalah tah}līlī, yakni menafsirkan
ayat sesuai uutan surah dalam mushaf. Secara sistematis,
55
‘Abd al-‘Azi>z Marzu>q al-T{ari>fi>, Tafsi>r wa al-Baya>n li Ah}ka>m al-Qur’a>n, juz 1, 19.
88
ketika menafsirkan ayat, al-T{arīfī membuat topik utama dari
ayat tersebut, lalu menguraikan ayat-ayat lain yang
berhubungan dengannya. Kemudian ia memaparkan beberapa
ketentuan hukum yang dimuat ayat tersebut. Misalnya ketika
al-T{ari>fi> menafsirkan surah al-Baqarah/2:43. Allah berfirman:
ك اقيم ا الصل ة ك ءات ا الزك ة ك اركع ا مع الراكعن ‚Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang yang rukuk.‛
Topik utama ayat tersebut dalam tafsir al-T{arīfī adalah
‘salat berjemaah’. Allah memerintahkan penunaian salat dan
zakat, tetapi salatnya harus berjemaah, tidak sendirian.
Demikian pemahaman harfiahnya. Ayat tersebut berkaitan
erat dengan surah al-Baqarah/2:83, 110, al-Nisā’/4:77,
Ibrāhīm/14:3, dan Maryam/19:55. Banyak ayat lain juga yang
berisi perintah sejenis. Jika diuraikan, maka ayat di atas
membuat beberapa hukum, yaitu: kewajiban salat dan zakat,
wajibnya salat berdiri bagi yang mampu, perintah merapatkan
dan meluruskan shaf salat, serta isyarat akan keutamaan
rukuk. Khitab yang terakhir ini sebagai nasakh atas salatnya
orang Yahudi yang tanpa rukuk. Allah bermaksud mencegat
mereka dari potensi menuduh Nabi Muhammad meniru cara
peribadatan mereka. Hukum lain yang dapat diambil ialah,
ayat tersebut menunjukkan keutamaan sujud daripada rukuk,
keutamaan juga kewajiban salat secara berjemaah, tidak salat
sendiri di rumah maupun di pasar. Keutamaan ini juga
didukung banyak riwayat hadis.56
Al-T{arīfī menguraikan
hukum-hukum yang bisa diambil dengan sangat lengkap.
Begitulah seterusnya. Tafsir ini memang diorientasikan untuk
menyaring hukum-hukum yang ada dalam ayat-ayat al-
Qur’an.
56
‘Abd al-‘Azi>z Marzu>q al-T{ari>fi>, Tafsi>r wa al-Baya>n li Ah}ka>m al-Qur’a>n, juz 1, 47-55.
89
d. Ah}kām al-Qur’ān Karya al-Jas}s}ās}
Nama lengkapnya ialah Ah}mad ibn Abū Bakr al-Rāzī,
tetapi lebih familiar dengan panggilan al-Jas}s}ās}. Ia lahir di
Baghdad, tahun 305 Hijriah. Al-Jas}s}ās} merupakan santri dari
beberapa ulama terkemuka, yakni Abu> Sahl al-Zuja>j, Abu>
H{asan al-Karkhī, Abī Sa‘īd al-Barda‘ī, dan Mūsā ibn Nās}ir al-
Rāzī. Ia pergi ke Ahwaz, Iran, kemudian kembali lagi ke
Baghdad. Pergi lagi menuju Naisabur berdasarkan saran
gurunya, Abū H{asan al-Karkhī. Al-Karkhī kemudian
meninggal ketika al-Jas}s}ās} berada di Naisabur. Ia pun kembali
ke Baghdad pada tahun 344 dan menetap di sana untuk
mengajar. Beberapa karya lahir dari pengabdian intelektual al-
Jassas, seperti Syarh} Mukhtas}ar al-Karkhī, Syarh Mukhtas}ar al-T{ahāwī, Syahr al-Jāmi’ li Muh}ammad ibn al-H{asan, Syarh al-Asmā’ al-H{usnā, Kitāb fī Adab al-Qad}ā’, Us}ūl al-Fiqh al-Musammā bi al-Fus}ūl fī al-Us}ūl, serta Ah}kām al-Qur’ān yang
akan diulas di sini. Al-Jas}s}ās} juga menjadi rujukan dari
beberapa persoalan yang diajukan kepadanya.57
Kitab tafsir
tersebut di-tah}qīq oleh Muh}ammad al-S{ādiq Qamh}āwī.
Dalam mukadimahnya, al-Jas}s}ās} mengatakan, ilmu
yang paling utama untuk dipelajari adalah tauhid, pengesaan
terhadap Allah, dan mengetahui hukum-hukum yang
diajarkan dalam kitab-Nya.58
Menurut ‘Alī Ayāzī, tafsir ini
merupakan literatur fikih paling pokok terutama dalam
mazhab H{anafī. Al-Jas}s}ās} bertolak dari keseluruhan ayat al-
Qur’an, tetapi tidak mengulas kecuali yang berhubungan
dengan hukum fikih an sich. Sekalipun disusun sesuai urutan
dalam mushaf, namun kitab ini dibuat secara per bab,
sebagaimana bab-bab dalam kitab fikih. Namun demikian,
pendapat mazhab H{anafī begitu kentara di dalamnya, hingga
57
Abu> Bakr Ah}mad ibn ‘Ali> al-Ra>zi> al-Jas}s}a>s}, Ah}ka>m al-Qur’a>n, juz 1, (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>ts al-Isla>mi>, 1992), 4.
58 Abu> Bakr Ah}mad ibn ‘Ali> al-Ra>zi> al-Jas}s}a>s}, Ah}ka>m al-
Qur’a>n, 5.
90
tidak sedikit dijumpai kritik keras terhadap mazhab yang
berbeda. Al-Jas}s}ās} mebafsirkan ayat berdasarkan hadis Nabi
dan atsar, pendapat para pengikut H{anafi> juga mazhab lainnya
tanpa memaparkan sumbernya. Ulasannya lekap dan luas.
Tidak berhenti pada penyebutan hukum yang bisa diistinbat,
al-Jas}s}ās} juga menguraikan silang pendapat ulama. Sampai-
sampai kitab ini mirip fikih perbandingan (muqāran). Banyak
ulasan fikih yang tidak berhubungan dengan ayat yang tengah
ditafsirkan, kecuali di ayat-ayat berikutnya.59
Misalnya ketika al-Jas}s}ās} menafsirkan ayat tentang
suluh}, surah al-Nisā’/4:128. Menurut al-Jas}s}ās}, makna nusyūz
di situ ialah sikap keras (taraffu’) suami terhadap istri,
sedangkan i‘rād} adalah bersikap tidak acuh. Allah
mempersilakan keduanya untuk berdamai (sulh}). Ibn ‘Abbās
meriwayatkan, bahwa keduanya juga dipersilakan berdamai
dengan cara pemotongan sebagian hak atau harinya. Atau,
dalam riwayat ‘Umar, apa pun yang menyebabkan keduanya
bisa damai maka itu diperbolehkan. Al-Jas}s}ās} mengutip
riwayat tentang asbāb al-nuzūl ayat tersebut, apakah itu
tentang kisah Saudah yang meminta Nabi untuk tidak
menceraikannya dengan cara memberikan harinya untuk
‘Aisyah, atau tentang suami yang bermaksud mentalak
istrinya karena berniat menikah lagi. Penjelasan kemudian
melebar terhadap bagaimana perihal nafkahnya, maharnya,
dan sebagainya.60
Corak ah}kām dalam tafsir ini sangat mudah
untuk ditemui, karena tidak sama dengan tafsir al-Qur’an
biasanya yang memaparkan penafsiran untuk mengurai makna
secara umum. Al-Jas}s}ās} memang mengorientasikan
penafsirannya hanya untuk menguraikan hukum-hukum yang
ada dalam al-Qur’an.
59
‘Ali> Aya>zi>, Al-Mufassiru>n: H{aya>tuhum wa Manhajuhum,
110-112. 60
Abu> Bakr Ah}mad ibn ‘Ali> al-Ra>zi> al-Jas}s}a>s}, Ah}ka>m al-Qur’a>n, juz 1, 269-270.
91
B. Klasifikasi Kisah Musa dalam al-Qur’an
1. Kisah Musa Terdiri dari Enam Episode
Kisah Musa dalam al-Qur’an tidak semuanya
diuraikan secara detail. Al-Qur’an menarasikannya dalam
bentuk fragmentatif. Tidak disebutkan secara utuh tetapi
terbagi ke dalam bagian-bagian kecil. Dalam pandangan M.
Faisol, kisah Musa dalam al-Qur’an dapat diklasifikasikan ke
dalam enam episode. Episode I, tentang kelahiran dan
kehidupan Musa di Istana raja Fir’aun di Mesir. Episode ini
hanya disebutkan satu kali dalam al-Qur’an. Episode II, tentang pembunuhan Musa terhadap salah seorang penduduk
dan melarikan diri menuju kota Madyan. Episode III, tentang
kembalinya Musa ke Mesir dan diutus menjadi rasul untuk
melawan dan membebaskan Bani Israil dari kezaliman
Fir’aun. Episode IV, Musa meninggalkan Mesir menuju
Palestina. Episode V, Musa bertemu dengan Tuhan untuk
kedua kalinya. Episode ini disebut empat kali dalam al-
Qur’an, dan Episode VI, tentang pertemuan Musa dengan
Khidir, episode ini disebutkan dalam surah al-Kahfi.61
Adapun surah-surah yang mengandung kisah Musa
antara lain adalah: surah Ṭāha/20, surah al-A’rāf/7, surah al-
Qaṣaṣ/28, surah al-Naml/27, surah al-Kahfi/18, dan surah al-
Syu’arā’/26. Surah al-Qaṣaṣ memuat episode yang paling
lengkap dari kisah Musa di antara surah-surah yang ada.
Hal yang sama juga terdapat dalam surah Ṭāha, al-A‘rāf,
al-Qaṣaṣ dan al-Shu‘arā’. Surah al-Naml memiliki narasi
yang lebih rinci dalam mendeskripsikan penggalan episode
III dari kisah Musa, sedangkan surah al-Kahf secara lebih
spesifik mendeskripsikan cerita Musa dengan Nabi Khidir.
61
M. Faisol, ‚Interpretasi Kisah Nabi Musa Perspektif
Naratologi al-Qur’an‛ (Jurnal Studi Keislaman, Vol. 11, Mo. 2,
Maret 2017), 369.
92
2. Latar Belakang Perbedaan Pandangan Musa dengan
Khidir
Perjumpaan Musa dengan Khidir sebagaimana telah
terekam dalam surah al-Kahfi adalah berawal dari sikap Musa
yang merasa dirinya paling pintar. Allhah Swt, menegur Musa
dan memberi tahu bahwa lain yang ilmunya lebih tinggi
daripada dirinya.62
Ia adalah Khidir. Sebab itu, Musa
memohon kepada Allah agar dapat berguru kepada Khidir,
kemudian Allah ijabah permohonannya. Tetapi pertemuan
keduanya tidak berlangsung lama lantaran perbedaan
pandangan dalam beberapa kasus yang terjadi saat sedang
dalam perjalanan.
Perbedaan tersebut di latarbelakangi oleh perbedaan
ilmu yang dimiliki keduanya. Musa melihat sesuatu dengan
sudut pandang syari’at yang termuat dalam kitabnya (Taurat),
sementara Khidir melihat sesuatu dari sudut pandang yang
berbeda, yaitu petunjuk langsung dari Allah dengan hikmah
dan ma’rifat. Dalam bukunya yang berjudul Mystycal Dimensions of Islam, Annemarie Schimmel menyebutkah
bahwa Khidir adalah salah satu dari empat nabi yang diyakini
sebagai sosok yang akan tetap hidup lantaran telah minum air
kehidupan. Tiga di antaranya adalah Idris, Ilyas, dan Isa.63
62
Sri Haryanto, ‚Kisah Nabi Khidir dalam Sastra Suluk:
Resepsi dan Transformasi‛ (Widyaparwa, Vil. 43, No. 2, Desember
2015), 184. 63
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 202.
93
BAB IV
ARGUMENTASI MUFASIR ATAS KISAH NABI MUSA
DAN KHIDIR DAN AYAT-AYAT PEMBUNUHAN
Dalam uraian sebelumnya (pada bab II) telah
disinggung mengenai diskursus kisah dalam al-Qur’an, yaitu
mulai dari definisi, macam-macamnya, hingga perdebatan
para sarjana tentang kisah dalam al-Qur’an. Kemudian
dilanjutkan dengan pembahasan kisah nabi Musa dan Khidir
secara umum (pada bab III), perjumpaan hingga
perpisahannya.
Selanjutnya, pada bab IV akan menganalisis kisah
nabi Musa dan Khidir dalam al-Qur’an dengan melakukan
penelusuran atas beberapa kitab tafsir dengan memperhatikan
beberapa hal terkait, di antaranya: pola penafsiran atas kisah
nabi Musa dan Khidir, pengelompokan ayat-ayat yang
berkaitan dengan kisah nabi Musa dan Khidir oleh para
mufasir, penggunaan ayat dan hadis dalam menafsirkan kisah
hingga kecenderungan fokus pembahasan masing-masing
mufasir. Kemudian dilanjutkan dengan menganalisa ayat-ayat
pembunuhan, mencari relasi hukum pembunuhan secara
umum dengan pembunuhan yang dilakukan oleh Khidir
sebagaimana tercantum dalam kisah.
A. Pola Penafsiran Kisah Nabi Musa dan Khidir
Kisah nabi Musa dan Khidir hanya disebutkan satu
kali dalam al-Qur’an, yaitu dalam surah al-Kahfi, meskipun
demikian, tidak seluruh ayat-ayat dalam surah al-Kahfi
bercerita tentang kisah keduanya. Hanya ada beberapa ayat
saja yang mengisahkan nabi Musa dan Khidir, mulai dari
perjumpaan keduanya di sebuah tempat yang secara eksplisit
94
disebutkan dalam al-Qur’an (ma’jma’ al-Bahrain) hingga
perpisahannya lantaran nabi Musa tidak konsisten dengan
perjanjian yang telah disepakatinya. Al-Qur’an secara khusus
menceritakan keduanya dalam surah al-Kahfi, spesifik pada
ayat 60 sampai 82.1
Terdapat banyak ragam penafsiran di kalangan para
ulama atas kisah nabi Musa dan Khidir dalam al-Qur’an.
Namun, sebagai akademisi, penulis tidak bisa menyikapi
kisah ini dengan penerimaan mutlak tanpa sikap kritis, karena
yang demikian itu akan membawa seseorang pada sikap
apologi.
Jika kisah ini dilihat dari sudut pandang agama,
sebagaimana dilakukan oleh Sayyid Quṭb, maka kesimpulan
dari hasil penafsirannya cenderung memojokkan nabi Musa
yang dianggap tidak memiliki kesabaran dalam melihat
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam perjalanan. Hal ini
berbeda dengan apa yang dilakukan oleh M. Ali dalam
mengkaji kisah ini dengan menggunakan pendekatan tasawuf
yang sangat memistikkan Khidir.
Perbedaan pendekatan dalam mengkaji kisah ini akan
melahirkan kesimpulan yang berbeda. Di sini peneliti akan
melihat kisah nabi Musa dan Khidir dari berbagai kitab tafsir
dengan corak yang berbeda, sehingga dalam kasus ini bisa
dilihat bagaimana tanggapan mufasir ketika menggunakan
corak penafsiran yang berbeda, apakah memiliki pandangan
yang sama atau bahkan berbeda.
Pada bagian ini, peneliti secara khusus, akan
menguraikan pola penafsiran para ulama terhadap kisah nabi
1 M. Faisol, ‚Struktur Naratif Cerita nabi Khidir dalam al-
Qur’an‛ (Adabiyyāt, Vol. X, No. 2 Desember, 2011), 10.
95
Musa dan Khidir. Mulai dari pengelompokan ayat al-Qur’an
yang mengisahkan nabi Musa dan Khidir dan penggunaan
ayat dan hadis sebagai penjelas penafsiran. Uraian ini akan
dikemukakan pada poin-poin tertentu, sebagaimana berikut:
1. Pengelompokan Ayat dalam penafsiran Kisah
nabi Musa dan Khidir
Uraian tentang pemaparan para mufasir atas kisah
nabi Musa dan Khidir akan peneliti bahas pada bagian ini.
Uraian tersebut akan dimulai dari cara pengelompokan surah
al-Kahfi (ayat 71 sampai 78) ke dalam beberapa bagian dari
masing-masing para mufasir, yang dibatasi pada empat corak
tafsir. Yaitu tafsir corak sufi,2 tafsir corak falsafi,
3 tafsir corak
adāb al-Ijtimā’ī4 dan tafsir corak Aḥkām.5
2 Pengertian tafsir Sufi sangatlah beragam. Menurut al-
Dzahabī ialah menafsirkan al-Qur’an dari dua arah, yaitu naẓari dan
‘amalī. Lihat: al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Kairo:
Maktabah Wahbah, 2003). Menurut ‘Alī al-Ṣābunī, ialah
mentakwilkan al-Qur’an berbeda dengan zahirnya tentang isyarat-
isyarat tersembunyi yang hanya bisa diketahui oleh orang yang
dikaruniai ilmu ladunni, atau orang-orang arif bi Allāh seperti para
ahli suluk yang bermujahadah dengan menundukkan hawa nafsunya
untuk memperoleh cahata Allah Swt, sehingga bisa menembus
rahasia yang terdapat dalam al-Qur’an. Lihat: ‘Ali al-Ṣābunī, al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Mekkah: Dār al-Kutb al-Islāmiyyah,
2003), 191. Dalam pandangan al-Zarqānī, tafsir sufi adalah sebuah
upaya memahami al-Qur’an tidak dari makna zahirnya, tetapi upaya
untuk mengungkap makna batin atau isyarat-isyarat yang
tersembunyi yang hanya bisa diketahui oleh para ahli suluk dan ahli
tasawuf, serta memungkinkan adanya penggabungan antara makna
zahir dan makna batin. Lihat: al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirūt: Dār Ihyā al-Turats al-‘Arabī, 1995), 67.
Sedangkan menurut Subhi Ṣālih, upaya mentakwilkan ayat-ayat al-
Qur’an berbeda dengan makna zahirnya serta memalingkan seluruh
96
a. Tafsir Corak Sufi
1. Tafsir al-Jailānī
Tafsir al-Jailānī adalah sebuah kitab tafsir yang
menyuguhkan nuansa sufistik. Hal ini karena penulis kitab
tafsir ini sangat menggemari ilmu tasawuf. Tafsir ini
mengulas semua ayat al-Qur’an. Ia menafsirkan seluruh ayat
makna di antara yang zahir dan yang tersembunyi. Lihat: Ṣubḥi al-
Ṣālih, Mabāḥits fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirūt: Dār al-‘Ilmi li al-
Malāyīn, tt), 29. 3
Tafsir Falsafi adalah tafsir yang menggunakan
pendekatan ilmu filsafat dalam menguraikan makna-makna al-
Qur’an. Sebagian ulama berpendapat bahwa tafsir yang bercorak
kajian ilmu kalam merupakan bagian dari tafsir falsafi. Tafsir
dengan corak ini muncul karena banyaknya kitab-kitab filsafat yang
diterjemahkan sehingga memberikan pengaruh tersendiri pada para
penafsir al-Qur’an. Lihat: M. Abdurrahman Wahid, ‚Corak dan
Metodologi Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur Karya Hasbi al-
Shiddieqi‛ (Jurnal Rausyan Fikr Vol. 14, No. 2 Desember 2018),
408. 4 Tafsir Adāb al-Ijtimā’ī dalam pengertian terminologi
sebagaimana dikemukakan oleh al-Farmawi adalah sebuah
penafsiran yang melihat dari aspek keindahan redaksi al-Qur’an,
kemudian menyusun penjelasan atas ayat-ayat al-Qur’an dalam
suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan aspek hidayah al-
Qur’an bagi kehidupan masyarakat, dan menghubungkan makna-
makna al-Qur’an dengan hukum/tradisi kemasyarakatan tanpa
menggunakan istilah-istilah keilmuan yang rumit. Lihat: Abd al-
Ḥay al-Farmawī, al-Bidāyah fī Tafsīr al-Mauḍū’ī (Kairo: al-Haḍārah
al-‘Arabiyah, 1977), 23. Lihat juga: Quraish Shihab, Metode Penyusunan Tafsir yang Berorientasi pada Sastra, Budaya dan Masyarakat‛ Makalah, 1984, 1.
5 Tafsir corak hukum adalah salah satu corak dari berbagai
corak tafsir yang lebih menitik fokuskan pada penafsiran ayat-ayat
tentang hukum yang berpotensi menjadi dasar hukum fikih. Lihat di
Ibn Juzai al-Kalbi, al-Tashīl li Ulum al-tanzil (Bairut: Dār al-Fikr,
T.th), 7.
97
al-Qur’an, termasuk ayat yang sedang peneliti kaji, yaitu QS.
al-Kahfi/18:71-77.
Dalam menafsirkan surah al-Kahfi ayat 71-78, al-
Jilāni membagi menjadi empat bagian. Sebagian ayatnya
digabungkan dengan ayat sebelumnya, yaitu penafsiran ayat
71 dan 72 digabungkan kedalam penafsiran ayat 70.
Sementara ayat berikutnya, penguraiannya tidak digabungkan
dengan ayat lain. Adapun bentuk penguraiannya adalah
sebagai berikut:
Pertama, ayat 70-72
Pada bagian ini al-Jailānī menuturkan awal kisah
perjalanan nabi Musa dan Khidir yang hendak menyebrangi
lautan untuk sampai pada kota yang dituju, namun demikian,
al-Jailānī tidak menuturkan kota mana yang dituju oleh
keduanya. Sesampainya di tepi pantai, keduanya mendapati
sebuah perahu dan sekaligus menjadi tumpangannya dan tidak
dipungut biaya.
Al-Jailānī tidak secara panjang lebar menguraikan
kisah ini, dia hanya mempertegas apa yang terdapat dalam
teks ayat. Misalnya ketika Khidir mulai beraksi untuk
melubangi perahu dengan alat seadanya. Dalam pandangan al-
Jailānī, Khidir melubangi perahu tersebut dengan kapak untuk
mengambil satu atau dua papan yang menyebabkan bocornya
perahu yang ia tumpangi. Melihat perbuatan Khidir yang bisa
membahayakan semua penumpangnya, Musa pun seketika
memprotes Khidir atas perbuatannya.
Kedua, ayat 73-74
Pada bagian ini, setibanya di sebuah kota, Musa dan
Khidir bertemu seorang anak kecil (yang belum balig), pada
teks ayatnya Allah Swt, menyebut dengan kata gulām, sedang
98
bermain dengan sekawanannya. Tanpa menjelaskan alasannya
terlebih dahulu kepada Musa sebagai orang yang menemani
perjalanannya, Khidir seketika membunuh anak tersebut.
Padahal dalam pandangan Musa, anak tersebut tidak berdosa
(tidak melakukan tindakan pembunuhan sebelumnya atau
tindakan kejahatan lainnya). Dipegangi kepala anak tersebut
lalu dibenturkan ke tembok sampai ia tidak bernyawa.6
Musa mulai kebingungan melihat anak yang tidak
berdosa (dalam pandangannya), tidak melakukan tindakan
yang menyebabkannya dijatuhi hukum qisas dibunuh dengan
sengaja. Padahal, sekalipun anak tersebut melakukan
pembunuhan sebelumnya, tetapi bukan wilayah Khidir untuk
membunuh anak tersebut sebagai hukuman kisas yang
diterimanya.7
6 Jika melihat dari hukum perlindungan anak, maka Hidir
tidak ada hak untuk mencabut nyawa siapapun termasuk nyawa
anak-anak yang berkeliaran sedang bermain dengan alasan apapun.
Setiap manusia mempunyai hak untuk hidup tidak ada satupun yang
berhak untuk mengambil hak tersebut kecuali yang Mahakuasa. Jika
hidup di masa sekarang bahwa setiap pembunuhan pasti ada
balasannya dan dalam hal itu hanya bisa dilakukan oleh pihak yang
berwajib. Lihat: Shalahuddin Hamid, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam ( Jakarta: Amissco, 2000), 139Seperti yang telah
dijelaskan dalam al-Quran ‚ Dan janganlah kamu membunuh yang diharamkan Allah membunuhnya melainkan dengan suatu alas an yang benar ‚ (Q.S. Al-Isra: 33)
7 Menurutnya walaupun dia memiliki salah tidak
seharusnya dibunuh, apalagi pada saat itu anak kecil tak berdosa itu
dibunuh pada saat sedang bermain, seketika kepalanya dibenturkan
ke tembok sampai meninggal, namun karena Hidir adalah seorang
guru seperti yang diinginkan nabi Musa sebelum melanjutkan
perjalanan awal dan nabi Musa sudah melanggar yang ketiga kalinya
99
Dalam pandangan al-Jailānī, puncak kemungkaran itu
adalah pembunuhan, karena pembunuhan yang tidak
dibenarkan syara’ merupakan dosa yang paling besar, terlebih
membunuh jiwa yang suci dari segala kemaksiatan.
Ketiga, ayat 75-76
Setelah Khidir mendengar protes/ingkar yang
dikemukakan nabi Musa kepadanya, Khidir mengingatkan
kembali kepada Musa, bahwa ia tidak akan sanggup
membersamainya. Dalam pandangan al-Jailānī tidak ada
kecocokan di antara keduanya, karena terdapat perbedaan
level atau porsi keilmuan antara keduanya.
Keempat, ayat 77
Ayat 77-78 mengisahkan nabi Musa dan Khidir tiba
di sebuah kota yang penduduknya kikir dan tidak memuliakan
tamu. Pada kelompok ayat ini al-Jailānī menafsirkannya per
kata atau per kalimat, tidak menguraikan kisah secara utuh.
2. Tafsir al-Qur’ān al-‘Adzīm al-Tustarī.
Sahl al-Tustarī adalah salah satu ulama yang
menafsirkan al-Qur’an dengan corak sufistik. Ia adalah salah
seorang sufi yang hidup di abad ke 3 H.8 Dalam menafsirkan
al-Qur’an ia menitikberatkan pada petunjuk isyārī yaitu
isyarat-isyarat baṭiniyyah, dengan tetap mempertimbangkan
penafsiran yang bersumber pada al-Qur’an dan hadis nabi
maka tidak salah jika Khidir memutuskan silaturrahmi bersama nabi
Musa sehingga nabi Musa tidak bisa membersamainya. 8 Umar abidin, ‚Ta’wīl Terhadap Ayat al-Qur’an Menurut
al-Tustari‛ (Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, vol. 15,
No. 2. Juli 2014), 220.
100
serta yang memuat pendapat para tabi’in.9
Dengan latar
belakang kehidupannya yang seringkali diperlihatkan dengan
pengalaman dan pengamalan sufistik, terutama pamannya,
yaitu Muḥammad ibn Sawwār yang seringkali dijumpai
melakukan praktik dzikrullah. Dari kehidupan pamannya, ia
banyak mengambil pelajaran tentang pentingnya mengingat
Allah Swt, dengan selalu menyebut nama-Nya dalam hati.
Oleh karenanya, pem ikirannya yang dituangkan dalam kitab
tafsirnya syarat dengan nilai-nilai sufistik.10
Tafsir al-Qur’ān al-‘Aḍīm yang merupakan salah satu
karyanya, tidak menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara utuh.
Ia hanya menafsirkan sebagian ayat-ayat al-Qur’an. Bahkan,
menurut al-Dzahabī, al-Tustarī tidak menuliskan sendiri karya
tafsirnya tersebut, akan tetapi perkataan-perkataannya yang
menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang terpisah-pisah
dikumpulkan oleh Abu Bakar Muhammad ibn Ahmad al-
Baladi.11
Antara lain, ia tidak menafsirkan surah al-Kahfi ayat
71-77.
9 Ahmad Zaerozi, ‚Epistimologi Tafsir al-Tustari: Studi
atas QS. Al-Fajr‛ (Tesis, Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2017), 103. 10
Sahl ibn Abdullah al-Tustarī, Tafsīr al-Tustarī by Sahl ibn Abdullah al-Tustarī, Great Commentaries on the Holy Qur’an, terj. Annabel Keeler and Ali Keeler, (Yordania: Royal Aal al-Bayt
Institute for Islamic Thought, 2011), xv. Lihat juga: Al-Tustarī,
Tafsīr al-Tustarī, Muhaqqiq: Ṭāha Abd al-Razzāq Sa’ad dan Sa’ad
Hasan Muhammad ‘Ali (Kairo: Darul Muharram li al-Turats, 2004),
67. 11
Muḥammad Husein Al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, juz. II (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), 282.
101
3. Laṭāif al-Isyārāt.
Al-Qusyairī adalah salah satu tokoh sufi, dikenal
zāhid, dan ramah terhadap masyarakat di mana ia tinggal.12
Selain dikenal dengan ke sufiannya, ia juga dikenal menguasai
ilmu tafsir, hadis, uṣūl, dan adab.13
Sepeninggal gurunya, Abū
‘Alī bin al-Husain, ia banyak bergaul dengan para ulama di
Naisabur. Ada dua ulama yang dikenal dekat dengan al-
Qusyairi yang mempengaruhi pemikirannya, yaitu Abū Abd
Raḥmān al-Sulamī (salah seorang tokoh sufi) dan Abū Ma’ali
al-Juwaini dikenal dengan ahli fikih dan ilmu kalam
terkemuka pada usia 20 tahun.14
Al-Qusyairī termasuk ulama
yang produktif yang menghasilkan banyak karya dari berbagai
cabang ilmu.15
Terutama dalam bidang tasawuf, sampai-
sampai ia disebut sebagai ulama pembela tasawuf.
12
Ahmad bin Muḥammad al-Adnarwi, Ṭabaqāt al-Mufassirīn, juz. I (Madinah: Maktabah al-‘Ulūm wa al-Hukm, 1997
M), 125. 13
Abū al-‘Abbās Syamsuddin, Wafāyah al-‘Ayan, juz. III
(Beirūt: Dār al-Ṣadr, 1990 M),205. 14
Tasya Kubra Zadah, Miftah al-Sa’adah wa Misbah al-ziyādah (Haidarabat: Da’irah al-Ma’rifāt al-Nizamiyah, tt), 189-
190. 15
Tidak kurang dari 29 karya monumental yang telah
diterbitkan. Di antara buku-buku yang telah diterbitkan adalah
Aḥkām al-Syar’ī, Adab al-Ṣūfiyyah, al-Arba’in fi al-Ḥadīṡ, Istifaḍah
al-Murādāt, Balagat al-Maqāṣid fi at-Taṣawwuf, Tartīb al-Sulūk fī
Ṭarīqillāh Ta’ālā, al-Tauḥīd al-Nabawī, al-Taisīr fī ‘Ilm al-Tafsīr
(buku ini dikomentari oleh tiga ulama besar dengan apresiasi
keilmuan yang sangat tinggi, yaitu Ibn Khaldūn, Tājuddīn al-Subki,
dan Jalāluddīn al-Suyūṭī, dan menurut mereka merupakan kitab ilmu
tafsir yang paling bagus dan jelas), al-Jawāhir, Ḥayāt al-Arwāḥ, al-
Dalīl ilā Ṭarīq al-Ṣalāḥ, Dīwān al-Syi’rī, al-Żikr wa al-Żakīr, al-
Risālah al-Qusyairiyyah fī ‘Ilm al-Tasawwuf (disusun tahun 438
H/1046), Sīrah al-Masyāyikh, Syarḥ al-Asmā’ al-Ḥusnā, Syikayat
102
Laṭāif al-Tafsir adalah salah satu karya al-Qusyairī
dalam bidang tafsir, kitab ini disusun dengan pendekatan
tasawuf. Dalam tafsir ini, ia memcoba memadukan potensi
kalbu dan akal, sehingga kitab ini mudah dipahami oleh para
pembaca karena redaksi-redaksi yang digunakan sangat
sederhana, ringkas dan jelas.16
Demikian halnya tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya al-
Tustarī, Laṭāif al-Isyārāt juga tidak menjadikan surah al-Kahfi
71-77 bagian dari ayat yang harus diuraikan penafsirannya.
Sehingga peneliti tidak dapat menjelaskan makna ayat
tersebut dalam pandangan al-Qusyairī. Dua tafsir ini penulis
cantumkan dalam pembahasan ini, untuk menunjukkan bahwa
tidak semua tafsir sufi menjadikan kisah nabi Musa dan
Khidir sebagaimana terurai dalam ayat di atas sebagai bagian
dari peristiwa yang bernuansa sufistik. Hal serupa juga dapat
ditemukan bahwa tafsir ahkam pun banyak yang tidak
mencantumkan ayat tersebut dalam tafsirnya.
4. Ḥaqāiq al-Tafsīr.
Ḥaqāiq al-Tafsīr atau yang lebih dikenal dengan tafsir
al-Sulamī merupakan kitab tafsir yang bercorak sufi. Kitab ini
merupakan kitab yang sulit dipahami dikalangan publik.17
Ahl as-Sunnah bi Ḥikāyat Mā Nālahum min al-Ḥikmah, ‘Uyūn al-
Ajwibah, Laṭāif al-Isyārāt (penyusunannya setelah tahun 410 H/
1019 M). Dan masih banyak karya lainnya. Lihat: Pendahuluan al-
Qusyairī, Risālah al-Qusyairiyyah, terj. A. Ma’ruf Asrori (Jakarta:
Pustaka Amani, 2007), 10. 16
Muhammad Ali Iyazi, al-Mufassirūn wa Manhājuhum (Teheran: al-Tsaqafah al-Irsyād al-Islāmī, 1212 H), 604.
17 Pro kontra terhadap tafsir ini banyak dilontarkan oleh
para ulama terdahulu karena rujukan-rujukan yang dimuat banyak
mengacu pada Ja’far al-Shadiq, Dhun al-Nun Misri Junayd, Sahl al-
103
Kitab tafsir ini tidak menafsirkan semua ayat yang
terdapat di dalam al-Qur’an, melainkan hanya sebagian ayat
saja yang ditafsirkan, surat al-Kahfi ayat 71-78 juga termasuk
pada ayat yang tidak ditafsirkan oleh al-Sulami, sehingga
penulis tidak menemukan pandangan-pandangan beliau
mengenai tema penelitian ini.
b. Tafsir Corak Falsafi
Dalam pembahasan ini, penulis mengambil empat
kitab tafsir yang memiliki corak falsafi agar bisa mengetahui
bagaimana pandangan ulama tafsir yang memiliki corak
falsafi berkomentar mengenai ayat 71-78 surah al-Kahfi.
Adapun kitab-kitab yang penulis ambil sebagai berikut:
1. Mafātiḥ al-Ghaib al-Rāzī.
Mafātiḥ al-Ghaib adalah salah satu tafsir falsafi yang
menguraikan ayat-ayat al-Qur’an secara utuh, dari surah al-
Fātiḥaḥ hingga surah al-Nās. Termasuk di dalamnya adalah
surah al-Kahfi, meskipun surah ini (dalam pandangan peneliti)
secara kasat mata tidak mengandung nilai-nilai atau dalil-
dalil filsafat.
Tusturi, Ibn Atha al-Baghdadi, Abū Bakar al-Wasīthī, dan yang
paling kontroversi ketika al-Sulami memuat pandangan Abu Mansur
al-Hallaj, seorang sufi martir yang digantung karena pemikirannya
tentang Wahdat al-Syuhud. Pada dasarnya kritikan pedas yang
dilakukan oleh al-Wahdidi dan Ibn Shalah tidak ditujukan pada
penafsiran sufi yang dikarang oleh al-Sulami tetapi lebih kepada
para pengikut mazhab Syafi’e untuk tidak memasukkan karya pada
kategori kitab tafsir jika hal yang ditulis sudah mengalami
penyempitan makna. Lihat: Kenneth honerkamp, Abu Abdul Rahman al-Sulami, On Sama Ectasy and Dance (Jurnal of The
History of Sufisme, 2003),7.
104
Al-Rāzi sebagaimana mufasir lainnya, menafsirkan
kisah nabi Musa dan Khidir yang terdapat dalam surah al-
Kahfi dengan corak tafsir falsafi. Sejauh pelacakan peneliti
terhadap kitab tafsir tersebut, al-Rāzi membagi pembahasan
surah al-Kahfi ayat 71-78 menjadi tiga bagian, sebagai
berikut:
Pertama, ayat 71-73
Pada bagian ini, selain mengisahkan perjalanan nabi
Musa dan Khidir hingga mendapatkan tumpangan perahu
untuk menyeberang ke sebuah kota, al-Rāzi mengemukakan
dua pembahasan penting terkait pertanyaan nabi Musa ‚a
kharaqtahā li tughriqa ahlahā‛. Pertama, al-Rāzi
mengemukakan perbedaan penggunaan huruf ya dan huruf ta’
pada kata ليغزق/ -jika menggunakan ya maka isnād al لخغزق
gharqnya kepada pemilik kapal dan penumpangnya. Dan jika
menggunakan ta maka mukhāṭabnya adalah Khidir, artinya
adalah untuk menenggelamkan penumpangnya engkau wahai
Khidir.18
18
Ketika al-Razi memandang seperti itu, berbeda arah
ketika dipandang dari kajian semiotik, mengarahnya bukan lagi
pada siapa yang melubangi tetapi bahwa ketika Khidir melubangi
perahu apakah beliau melubangi perahu sudah atas persetujuan
terlebih dahulu dari pemilik kapal?, Bukankah apa yang telah
dilakukan oleh Khidir akan menimbulkan ketegangan hak milik,
solidaritas kekeluargaan karena dalam ayat tersebut tidak dijelaskan
secara detail apakah Khidir sudah memiliki izin atas perbuatannya.
Hal tersebut dijelaskan dalam al-Quran dengan menggunakan
jumlah syartiyah ‚idhā rakibā fī al-safīnat kharaqahā‛ (maka ketika
mereka menaiki kapal Khidir melubanginya) tanpa huruf Adawāt al-Rabt, beda halnya dengan ayat yang sesudahnya yaitu ‚idzā laqiyā ghulāman fa qatalahū‛ (ketika mereka berdua menjumpai seorang
anak, maka Khidir membunuhnya).
105
Kedua, ketika nabi Musa melihat perkara yang secara
kasat mata adalah perbuatan mungkar (bertentangan dengan
agama), yaitu pelubangan perahu yang dilakukan oleh Khidir,
ia lupa dengan komitmen yang telah disepakati sebelumnya,
dan ini menurut pendapat yang setuju dengan penafsiran ini.
Sementara kelompok yang menolak kemaksuman
nabi menjadikan ayat ini sebagai argumentasi dari dua aspek.
Pertama, orang ‘alim yang dimaksud dalam ayat tersebut
(Khidir) adalah seorang nabi. Seandainya perkataan nabi
Musa ‚a kharaqtahā li tughriqa ahlahā‛ adalah benar, maka
Khidir telah melakukan dosa besar, dan jika yang dikatakan
nabi Musa salah, berarti dia telah berbohong. Kedua, sebelum
peristiwa itu terjadi, sudah ada kesepakatan dengan nabi
Musa untuk tidak menentang apapun yang dilakukan Khidir,
dan kesepakatan/janji tersebut berlaku dan mengikat.
Ketidakkonsistenan nabi Musa terhadap perjanjian yang telah
disepakati merupakan perbuatan dosa. Khidir merasa kecewa
atas apa yang dilakukan nabi Musa lalu mengakhiri
pertemanan mereka karena Nabi Musa telah melanggar
janjinya. Selama perjalanan nabi Musa sudah melanggar
janjinya untuk tidak bertanya mengenai hal yang akan terjadi
di antara keduanya.19
Kedua, ayat 74-76
Pada penafsiran ayat ini, al-Rāzi menjelaskan kosa
kata ghulām, zakiyyah dan nukrā. Pertama, tentang makna
kata ghulām, yang terkadang dimaknai pemuda yang sudah
baligh dengan dalil bahwa pendapat seorang guru lebih baik
19
Nurul Azizeh, Mukjizat Naratologis: Studi Andragogi
atas Kisah Musa Khidr dalam Surah Al-Kahfi 60-82 (Jurnal:
Universitas Nurul Jadid Paiton, 27 Juni 2019), 39.
106
dari pada pandangan anak muda. Terkadang juga digunakan
untuk anak kecil, maka ini sudah jelas.
Al-Qur’an tidak menjelaskan tentang bagaimana cara
nabi Musa dan Khidir bertemu dengan gulām tersebut. apakah
ia sedang bermain dengan anak lainnya atau dia sedang
sendirian? Apakah dia muslim atau kafir? Apakah sudah balig
atau belum? Tapi jika dilihat dari redaksi ayatnya lebih cocok
digunakan untuk anak kecil. Karena anak kecil sekalipun
melakukan tindak pembunuhan, maka ia tidak dikenakan
hukum kisas sehingga tidak boleh dibunuh juga.20
Kedua, tentang penafsiran potongan ayat a qatalta
nafsan zakiyyatan bi ghairi nafsin. Dalam penafsiran ayat ini,
20
Dari beberapa hasil penelitian yang sudah ada, Penulis
berpikir bahwa pandangan hati lebih tajam daripada pandangan
mata, ketika nabi Musa hanya melihat kejadian pembunuhan yang
dilakukan oleh Khidir kepada seorang anak merupakan bentuk dari
salah satu hal yang dilarang oleh agama, sangat beda ketika Khidir
memandanganya dari sudut hakikatnya, karena Khidir mendapatkan
perintah langsung dari Allah dan sudah mengetahui apa yang akan
terjadi kedepannnya. Hukum yang dikeluarkan oleh nabi Musa
tetaplah tidak boleh karena nabi Musa berpandangan bahwa
diperbolehkannya dibunuh dalam agamanya ketika terjadi
pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang, apabila orang tersebut
tidak melakukan apa-apa maka hukum membunuhnya adalah dosa
besar, sekalipun akan terjadi pembunuhan apabila yang membunuh
adalah anak kecil maka tidak terjadi kisas pada anak tersebut,
karena seorang anak yang melakukakn pembunuhan tidak dikenakan
hukum. Menurut Anita Fauziah dalam penelitiannya bahwa iman
pada ketentuan Allah hukumnya wajib walaupun pada Dzahirnya
mendatangkan kemudaratan tapi pada hakikatnya kemaslahatan
yang datang. Lihat: Anita Fauziah, Implikasi Edukatif Kisah Nabi
Musa Dan Nabi Khidir Dalam Qs. Al-Kahfi/18: 60-82: Studi
Literatur Terhadap 5 Tafsir Mu’tabarah (Jurnal Tarbawi,
Universitas Pendidikan Indonesia, 2019),38.
107
terdapat beberapa pembahasan. Pertama, tentang makna kata
zakiyyah. Terdapat perbedaan pendapat ulama dalam bacaan
dan makna kata zakiyyah. Imam Nāfi’, Ibn Katsīr dan Abū
‘Umr membaca ساميت dengan tambahan alif, selain mereka
membaca سميت tanpa tambahan alif. Kedua lafadz tersebut
mempunyai arti yang sama, yaitu suci. Sedangkan menurut
Abū ‘Umr kata الشاميت artinya adalah orang yang tidak pernah
berbuat dosa, sedangkan الشميت tanpa alif artinya adalah orang
yang pernah berbuat dosa kemudian bertaubat. Kedua, dzahir
ayat ini menunjukkan bahwa nabi Musa mendiskualifikasi
pembunuhan kecuali dengan alasan yang dibenarkan syara’,
seperti kisas. Itulah alasan yang paling kuat.
Ketiga, kata nukrā lebih buruk artinya daripada kata
imrā. Ini sekaligus menjadi dalil bahwa membunuh jiwa yang
tidak bersalah lebih buruk (lebih dibenci) dari pada melubangi
perahu, sebab melubangi perahu belum tentu menyebabkan
kematian, mungkin saja perahunya tidak tenggelam. Tetapi
apa yang telah dilakukan oleh Khidir merupakan hal yang
tidak masuk akal menurut nabi Musa karena harus membunuh
anak yang tidak bersalah.
Ketiga, 77-78
Ayat ini menceritakan nabi Musa dan Khidir yang
tiba di sebuah kota. Menurut al-Rāzi, kota itu bernama kota
Anṭākiyyah ada juga yang menyebutnya kota Aylah. Di kota
ini terdapat beberapa tradisi yang berbeda dengan kota-kota
lainnya. Pertama, memberi makan tamu bukanlah cara mereka
menghormati setiap tamu yang datang. Itulah sebabnya Musa
mengadu kepada Khidir, karena dalam tradisi nabi Musa tidak
demikian. Padahal, memberi makan orang yang sedang
kelaparan adalah perkara mubah, kecuali jika dikhawatirkan
108
mati karena kelaparan. Kedua, kenapa Allah Swt, berkata حتحتلتحها تتحط عتحما أتحه لتح ق تح يتحة اس هو seharusnya menggunakan إرذا أتحتتحيا أتحه ا ر تتحط عتحمتح ,اس
jawabannya adalah untuk menta’kid. Ketiga, memberi makan
tamu adalah perkara sunah. Jika tidak dilakukan, berarti
hanya meninggalkan perkara sunah, dan meninggalkan yang
sunah bukanlah suatu kemungkaran.
Kenapa nabi Musa melakukan hal yang demikian
(protes karena tidak diberi makan), sampai-sampai melanggar
perjanjian yang telah disepakatinya, padahal ia adalah seorang
nabi yang mendapat julukan kalīmu Allāh. Sama sekali tidak
pantas melakukan hal yang demikian. Al-Rāzi kemudian
mengemukakan jawaban atas pertanyaan tersebut. Memang,
memberi makan tamu itu terkadang hukumnya sunah, tapi
kadang juga bisa wajib jika sudah sangat kelaparan yang
mengancam nyawa.21
21
Jika melihat pandangan al-Zamakhsyari dalam kitab
tafsir al-Kasysyaf bahwa memang dalam hak bertamu merupakan
hal yang sangat dianjurkan oleh nabi karena bisa menyambung tali
silaturrahmi bahkan meminta bertamu kepada seseorang hukumnya
sunah, tetapi dalam hal suguhan akan dikembalikan kepada pemilik
rumah walaupun pada dasarnya hukum asal emberikan suguhan
kepada tamu hukumnya mubah atau boleh dan tidak menuntut
pemilik rumah agar memberikan suguhan. Rasulullah bersabda:
من كاف يؤمن بلله كالي ـ الاخر فليقل خنا اك : عن ابي ىريرة رضي الله عنه اف رس ؿ الله صلى الله عليه وسلم قاؿركاه بخارم )كمن كاف يؤمن بلله كالي ـ الاخرفليكرـ ضيفو .كمن كاف يؤمن بلله كالي ـ الاخرفليكرـ جاره.ليصمت
(كمسلم Dari Abū Hurairah r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Barangsiapa yang iman kepada Allah dan hari akhir maka
berbicaralah dengan baik atau diam, dan : Barangsiapa yang iman
kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetanggamu, dan :
Barangsiapa yang iman kepada Allah dan hari akhir maka
hormatilah tamunya. (H.R Bukhari Muslim)
109
Selanjutnya tentang firman Allah Swt, فأبىا أن يضيفىهمب
terdapat dua pembahasan: pertama, sebuah hadis dari nabi
Muhammad Saw, mereka adalah penduduk kota yang kikir.
Kedua, dalam beberapa kitab Hikāyāt ditemukan bahwa
mereka, penduduk kota tersebut merasa malu ketika ayat ini
turun, lalu mereka datang kepada Rasulullah dengan
membawa emas. Seraya berkata: wahai Rasulullah, kami akan
membayar dengan emas ini asal kamu mengganti huruf bā’
menjadi tā’, sehingga bacaannya menjadi فأحىا أن يضيفىهمب,
bukan فأبىا أن يضيفىهمب. Lalu Rasulullah menjawab:
sesungguhnya merubah huruf dalam firman Allah Swt, itu
sama saja memasukkan kebohongan dalam firmanNya.
2. Tafsir al-Mizān al-Ṭabāṭaba’ī
Tafsir al-Mizān adalah salah satu kitab tafsir yang
bercorak falsafi, yang tidak menafsirkan seluruh ayat al-
Qur’an. Surah al-Kahfi ayat 71-78 adalah termasuk ayat al-
Qur’an yang tidak dicantumkan dalam tafsir tersebut. Ini
menjadi salah satu bukti bahwa ulama yang beraliran filosofis
tidak semuanya mengkaji kisah tersebut dari sisi filsafat. Hal
ini sebagaimana tafsir sufi dan tafsir ahkam, banyak juga di
antara mereka yang tidak menafsir ayat tersebut.
3. Al-Kasysyāf al-Zamakhsyari.
Tafsir al-Kasysyaf adalah kitab yang dikarang oleh al-
Zamakhsyari pada masa keemasan Islam (Periode
Pertengahan). Kitab ini termasuk kitab yang sangat
monumental yang menggunakan metode bi al-Ra’yi yang
mendapatkan pujian dan pengakuan dari ulama terkemuka.
Sebagaimana para mufasir lainya, dalam penafsiran al-Qur’an
selalu dipengaruhi oleh aliran keagamaan dan keahlian
110
mufasir.22
Dalam kitab al-Kasysyaf, al-Zamakhsyari
dipengaruhi oleh pemikiran rasionakitas paham mu’tazilah.23
Al-Zamakhsyari dalam menafsirkan kitabnya
menggunakan corak falsafi yang mengutamakan pada
pemikiran rasionalnya. Sejauh dari hasil pelacakan penulis
bahwa al-Zamakhsyari membagi pembahasan surat al-Kahfi
ayat 71-78 menjadi enam bagian, sebagai berikut:
Pertama, 71-72
Pada ayat ini selain mengisahkan perjalanan nabi
Musa dan Khidir hingga mendapatkan tumpangan perahu
untuk menyeberang ke sebuah kota, namun juga mengisahkan
bagaimana awal nabi Musa dan Khidir masuk ke dalam
perahu, yang mana mereka yang berada di dalam perahu
mengiranya para pencuri yang masuk dan ingin
menumpanginya, sehingga mereka sempat mengusirnya.
Namun sedikit ada teguran dari yang punya perahu Kemudian
si pemilik kapal bilang ‚aku melihat wajah para nabi‛ ada
yang mengatakan bahwa mereka (penumpang kapal) sudah
mengenalnya lalu membawanya tanpa biaya. Di pertengahan
22
Dara Humaira dan Khairun Nisa, Unsur I’tizali Dalam
Tafsir Al-Kasysyaf, Kajian Kritis Metodologi Al-Zamakhsyari
(Jurnal: Ilmu al-Qur’an wa Tafsir (IAT) UIN Sunan Kalijaga,
2016), 31. 23
Aliran paham keagamaan yang mempengaruhi kitab al-
Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari membuat para ulama yang lain
tidak enggan untuk berkomentar, pro kontra terhadap kitab tersebut
tidak sedikit dilontarkan. Di sisi lain, beliau juga menggunakan
corak teologis yang mengedepankan paham aliran dalam penafsiran,
sehingga dalam hal ini beliau mendapat tanggapan negatif dari
ulama tafsir ahlu sunah wa al-jamaah atas keberpihakannya
terhadap mu’tazilah.
111
perjalanan Khidir melubangi perahu dengan pisau, dengan
mengambil satu atau papan dari kapal tersebut, lalu musa
menyumbatnya dengan bajunya sambil protes.24
Kedua, ayat 73
Pada ayat ini terdapat tiga penjelasan mengenai
perkataan nabi musa tentang lafadz بمب وسيج. Pertama sebagai
alasan bahwa nabi Musa bukan berniat untuk melanggar
wasiat Hidir melainkan karena lupa terhadap wasiatnya,
sehingga nabi Musa tidak pantas menerima celaan atau
hukuman hanya karena lupa. Kedua sebagai penjelasan
kepada Hidir bahwa nabi Musa tidak ingin bohong terhadap
perjanjian tetapi karena lupa. Ketiga untuk meninggalkan
wasiatnya, bahwa nabi Musa ada kesengajaan untuk
meninggalkan wasiatnya, bukan karena sebagai alasan untuk
melanggar janji.25
Ketiga, ayat 74-75
Mengenai lafadz Faqatalahu al-Zamakhsyari memiliki
beragam penafsiran terkait cara membunuh anak tersebut.
Ada yang mengatakan dengan membelit lehernya. Ada juga
yang mengatakan membenturkan kepalanya ke tembok. Dan
ada juga yang mengatakan disembelih dengan pisau.26
24
Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf (Beirut: Dār al-
Ma’rifah, 2009), 626. 25
Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf (Beirut: Dār al-
Ma’rifah, 2009), 626. 26
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa walaupun perahu
yang ditumpanginya sudah diambil salah satu papannya, namun
tidak tenggelam, sehingga mereka tiba di pantai dengan selamat,
tetapi setibanya di darat Khidir melihat anak-anak yang sedang
dalam perjalanan dan membunuhnya. Ada yang mengatakan
dibunuh dengan cara dicekik ada pulan yang mengatakan dibunuh
112
Keempat, ayat 76
Ayat ini menjelsakan tentang bagaimana tanggapan
Hidir setelah peristiwa-peristwa yang terjadi antara Nabi
Musa dan Hidir, sehingga Hidir mengatakan bahwa jika nanti
kamu masih bertanya, maka kamu tidak boleh menjadi teman
saya lagi walaupun kamu mau minta untuk ditemanin.
Ada satu Qiraah bahwa lafadz فلاحصبحبىي dibaca
yang artinya tidak menjadi temannya. Sedangkan فلاحصحبىي
pada lafadz لدوي ada yang membaca dengan tanpa tasydid pada
Nun dan adapula yang membaca dengan sukun pada huruf
Dal. Hadist nabi Muhammad SAW ‚Semoga Allah
memberikan rahmat kepada Nabi Musa‛ dan nabi juga
bersabda ‚semoga Allah mencurahkan rahmatnya kepada nabi
Musa dan kita semua.
Kelima, ayat 77
Dalam ayat ini al-Zamakhsyari menjelaskan tentang
ilmu gramatikal pada ke 74-75, yaitu fa jawab li al-Syarthi.
Pada kata kharaqah tidak menggunakan fa jawab sementara
pada kata fa qatala menggunakannya, pada sama-sama ada
adat al-syarthi di depan yaitu idza. Karena kata qatalahu ini
termasuk jumlah syarthiyah yang di ma’thufkan pada kalimat
sebelumnya.
Kata zakiyah dimaknai yang suci dari dosa. Baik dosa
besar, karena tidak pernah terlihat melakukannya ataupun
dosa kecil karena belum baligh. Kata bighairi nafsin, tidak
pernah melakukan pembunuhan yang menyebabkan ia harus
di qisas. Kata nukran. Dimaknai dengan ingkar. Kata nukran
itu tingkat kemungkarannya lebih rendah dari kata imra.
dengan cara dipenggal lehernya, namun secara detail al-Quran tidak
menjelaskan bagaimana Khidir membunuh anak tersebut.
113
Sebab, membunuh satu orang anak itu lebih kecil dari pada
menenggelamkan perahu yang di dalamnya banyak
penumpangnya.27
Keenam, ayat 78
Pada ayat yang ke 78 ini, al-Zamakhsyari menjelaskan
tentang gambaran perpisahan antara Hidir dan nabi Musa.
Nabi Hidir memberikan isyarat terhadap perpisahan tersebut.
Pada lafadz هذا ,هذا merupakan mubtada’ dan
khobarnya adalah lafadz فزاق yang artinya perpisahan, seperti
pada lafadz هذا اخىك maka lafadz هذا bukan isyarat terhadap
seseorang yang bukan saudara, dan lafadz هذا juga boleh
dijadikan isyarat untuk pertanyaan yang ketiga. Maksudnya
ketika dimunasabahkan dengan kajian ini adalah penentangan
ini penyebab terjadiya perpisahan.28
Sedangkan lafadz هذا فزاق بيىي وبيىل dibaca pertama kali
oleh imam abi abalah yang mana masdar lafadz فزاق
diidhofahkan pada dzarf seperti halnya masdar diidhofahka
pada maf’ul bih.
27
Qatadah berkata ‚Sungguh bahagia kedua orang tua yang
anaknya terlahir di dunia dan sungguh bersedih orang tua ketika
anaknya terbunuh. Dan seandainya anak tersebut tetap hidup tapi
membawa kemurkaan kepada orang tuanya. Maka dari itu
seseorang harus senang dan gembira atas keputusan Allah, karena
keputusannya bagi orang mukmin merupakan sebuah hikmah
baginya baik keputusannya membawa kebahagiaan ataupun
keputusan yang tidak disukainya. 28
Menurut al-Jalaini bahwa ketika Hidir mendengar
kembali protes Nabi Musa kepadanya, beliau langsung
mengingatkan kembali bahwa nabi Musa tidak akan sanggup
membersamainya, karena adanya banyak perbedaan di antara
keduanya, baik dari level keilmuan maupun kecocokan.
114
c. Tafsir Corak Adāb al-Ijtimā’ī
1. Tafsir al-Marāghī,
Muṣṭafā al-Marāghī membagi menjadi dua kelompok
ayat. Tetapi ayat 71-74 digabungkan dengan sebelas ayat
sebelumnya, yaitu dari ayat ke 60-74. Yang kedua adalah
terdiri dari ayat 75-78.
Pertama, ayat 71-74
Menjelaskan perjalanan Musa dan Khidir. ‚Keduanya
berjalan ketepi pantai mencari perahu, salah satu di antara
penumpang perahu ada yang mengenali Khidir, kemudian
dibawalah mereka berdua tanpa dipungut biaya. Sesampainya
di tengah laut, Khidir berupaya menenggelamkan perahunya
dengan melubangi perahu tersebut, diambilnya satu atau dua
papan (dari bagian perahu) dengan pisaunya. Musa berkata
padanya, engkau telah berbuat kemungkaran yang amat besar.
Lalu ia mengambil bajunya untuk menutup lobang yang
dibuat Khidir.‛29
Engkau tidak akan mampu bersabar atas hal-hal yang
aku lakukan, Musa. Jangan engkau hukum aku karena
kelupaanku untuk berserah pada engkau, dan jangan persulit
aku untuk tetap mengikutimu.
Seturunnya dari perahu dan selamat dari tenggelam.
Keduanya berjalan ke tepi pantai. Lalu Khidir melihat
seorang anak bermain dan ia membunuhnya. Menurut al-
Maraghi, al-Qur’an tidak menjelaskan bagaimana Khidir
membunuh anak tersebut. memotong kepalanya atau
membenturkannya ke tembok atau dengan cara yang lain.
29
Ahmad al-Musthafa al-Maraghī, Tafsir al-Marāghī, Juz
15 (Mesir: Musthāfā al-Bābī al-Halbī, 1946),179.
115
Kita tidak perlu memikirkannya, sebab, andai itu baik buat
kita, niscaya Allah menjelaskannya.
: قاؿ م سى عليو السلاـ للخضرأتقتل نفسا طاىرة من الذن ب بغن قتل نف محرمة؟ كخص ىذا من بن
مبيحات القتل كالكفر بعد الإيماف، كالزنا بعد الإحصاف، لنو أقرب إلى ال ق ع نظرا إلى حاؿ الغلاـ
Engkau telah melakukan sesuatu yang ditolak oleh akal dan
jiwa.
Kedua, ayat 75-78
Ada tiga langkah yang dilakukan oleh Muṣṭafā al-
Marāghī dalam menafsirkan ayat tersebut. yaitu, tafsīr al-
Mufradāt (makna perkata), maknā al-ijmālī (makna universal)
dan al-Īdhāh (penjelasan).30
لا يزاؿ الكلاـ متصلا فى قصص م سى كالخضر عليهما السلاـ، كلكن ل حظ فى تقسيم القرآف الكريم إلى أجزائو الثلاثن جانب اللفظ لا جانب المعنى، كلذا تجد نهاية جزء كبداءة آخر حيث لا يزاؿ الكلاـ فى معنى كاحد لم يتم بعد كما
ىنا
30
Ahmad al-Musthafa al-Maraghī, Tafsir al-Marāghī, Juz
15 (Mesir: Musthāfā al-Bābī al-Halbī, 1946),179.
116
2. Fī Dzilāl al-Qur’ān Sayyid Qutb.
Ayat 71-77 surah al-Kahfi dalam tafsir Fī Dzilāl al-
Qur’ān, penjelasannya digabungkan dengan ayat lainnya,
yaitu ayat sebelum dan sesudahnya, dari ayat 60-82. Tetapi di
sini peneliti hanya akan mencantumkan penafsiran Sayyid
Qutb atas ayat 71-77 surah al-Kahfi.
Pola penafsiran yang dilakukan oleh Sayyid Qutb
adalah: Pertama, menguraikan tentang kisah yang terkandung
dalam ayat tersebut secara umum. Bahwa tidak ada
penyebutan tempat dan waktu kejadian, nama sesungguhnya
Khidir dan statusnya, apakah sebagai nabi, rasul atau hamba
yang shaleh? Semua ini tidak dijelaskan secara detail dalam
al-Qur’an. Kedua, setelah menguraikan secara umum, Ia
menafsirkan ayat per ayat. Di sini penulis akan langsung
melompat pada penafsiran ayat 71-77.
Ayat 71-77 ini dibagi menjadi tiga episode
Episode pertama, (Perusakan Perahu) ayat 71-73
Setelah keduanya bersepakat dan Musa menyetujui
persyaratan yang diajukan oleh Khidir, mereka pun berangkat
dan menaiki perahu bersama penumpang lainnya.
Sesampainya di tengah laut, Khidir mulai menunjukkan
perbuatan yang tidak mungkin Musa bersabar melihatnya,
yaitu melobangi perahu yang ditumpanginya. Dan betul, ia
pun mengingkarinya.31
Memang benar, tabiat nabi Musa adalah tabiat yang
responsif, refleks, dan peka yang menyala-nyala, sebagaimana
31
Sayyid Qutb, Fī dzilāl al-Qur’an, Juz IIIVX (Beirut, Dār
al-Syuruq, 1992), 31.
117
terlihat jelas dari prilakunya dalam fase-fase kehidupannya.32
Pernah dia memukul roboh seorang Mesir yang dilihatnya
sedang berkelahi melawan seorang dari bani Israel, kemudian
dia (Musa) dengan salah satu gerakan refleksnya. Lalu ia
bertaubat memohon ampunan pada Tuhan. Pada hari kedua,
ketika melihat seorang bani Israel berkelahi dengan seorang
Mesir lainnya, Musa pun ingin memukul orang mesir itu
sekali lagi.
Tabiatnya memang begitu. Oleh karenanya, dia tidak
bisa menahan kesabarannya untuk tidak mengingkari perilaku
Khidir dan tidak mampu memenuhi janjinya ketika
dihadapkan dengan keanehan dan penyimpangan. Dengan
penuh kesabaran dan kelembutan, hamba shaleh itu
mengingatkan Musa akan komitmennya, dan Musa sesegera
mungkin meminta agar dimaafkan atas kealpaannya.
Episode kedua (Pembunuhan) 74-76
Dalam uraianya, Sayyid Qutb menjelaskan bahwa
pada episode kedua ini adalah pembunuhan yang benar-benar
terjadi. Pembunuhan yang disengaja, bukan hanya ancaman
32
Hal ini dapat dilihat ketika Khidir melubangi perahu dan
nabi Musa melihatnya, seketika itu nabi Musa langsung menegurnya
‚Jangan kamu lubangi perahu itu! Apakah kamu berniat untuk
menenggelamkan semua penumpang yang ada di dalamnya?‛
setelah nabi Musa menegurnya, beliau ingat pada janji yang pertama
kali dibuat oleh keduanya, bahwa nabi Musa tidak boleh menegur
apa yang dilakukan oleh Khidir. Setelah kejadian itu nabi Musa
minta maaf dan berkata ‚Janganlah engkau menghukumku karena
kelupaanku dan janganlah engkau bebabi dengan suatu kesulitan
dalam kehidupanku‛. Lihat: Sri Haryatmo, kisah nabi khidir dalam
sastra suluk: resepsi dan transformasi (Yogyakarta: Jurnal
Widyaparwa, 2015), 180.
118
dalam bentuk angan-angan. Ini merupakan perbuatan keji
yang besar di mana Musa tidak mampu menahan
kesabarannya untuk tidak menegurnya, walaupun pada saat
yang bersamaan ia sadar akan janjinya.33
Pada saat ini Musa tidak dalam kondisi lupa ataupun
lalai, tapi ia benar-benar sengaja melakukannya karena
dianggap perbuatan yang sangat keji. Karena anak kecil yang
dibunuh tersebut dalam pandangan Musa adalah tidak
bersalah dan tidak berdosa sedikitpun. Anak kecil itu tidak
melakukan sesuatu yang mengharuskannya dibunuh. Bahkan
ia belum baligh, seharusnya ia tidak bertanggungjawab dan
tidak dihukum atas segala perilakunya.
33
Kegelisahan nabi Musa menggelora ketika Khidir
menunjukkan pelajarannya yang kedua kepada nabi Musa yaitu
pembunuhan terhadap anak kecil, ilmunya yang tidak sepadan
dengan Khidir membuat nabi Musa melanggar pada janjinya. Ada
yang berpendapat bahwa nabi Musa bertanya karena refleks atas
kepribadiannya yang tanggap jika menemukan hal yang tidak
sepemikiran dengan agamanya, ada juga yang berpendapat bahwa
nabi Musa bertanya karena lupa, lupa apda janjinya yang elah
disepakati berdua sebelum Khidir menyetujuinya menjadi muridnya.
Maksud dari pembunuhan seorang anak adalah misi penyelamatan
kedua orang tua anak tersebut dari kesesatan dan kekafiran.
Perbuatan yang akan dilakukan oleh seorang anak masuk dalam
kategori patologis. Mengingat bahwa perbuatan tersebut secara
teologis merugikan orang lain. Adapun misi yang dilakukan oleh
Khidir dilandaskan pada pengetahuan di masa depan atau sering
disebut dengan ilmu laduni. Dengan demikian, peneliti yakin bahwa
apa yang dilakukan Khidir juga dilandaskan pada penalaran ‘irfānī murni. Lihat: Muhamad Agus Mushodiq, Perilaku Patologis Pada
Kisah Nabi Musa Dan Khidir Dalam al-Quran: Telaah
Epistemologi āl-Jābirī Dan Semiotika Peirce (Jurnal: Institut Agama
Islam Ma’arif Metro, 2018), 77
119
Episode ketiga (Dinding yang hampir runtuh dan
akhir dari petualangan) ayat 77-78
Keduanya tiba di sebuah kota yang penduduknya
sangat bakhil. Mereka tidak menjamu tamu yang lapar, tidak
pula menghormatinya sebagai tamu. Kemudian Khidir
menemukan dinding yang hampir runtuh. Allah Swt,
menggunakan kata yurīdu an yanqadda, seolah-olah dinding
tersebut memiliki kemauan dan kehidupan. Lalu Khidir
membetulkannya hiangga tegak kembali tanpa meminta upah
sedikitpun. Padahal keduanya sedang keadaan lapar. Wajar
saja kalau Musa protes dan mempertanyakan, kenapa tidak
minta upah?
3. Tafsir al-Mishbah Quraish Shihab.
Al-Misbah adalah salah satu tafsir kontemporer yang
menguraikan ayat-ayat al-Qur’an secara utuh, dari surah al-
Fātiḥah hingga surah al-Nās, termasuk surah al-Kahfi
diuraikan secara tuntas. Namun dalam membahasnya, Quraish
Shihab mengelompokkan ayat-ayat tersebut, artinya ia tidak
langsung menguraikan penafsirannya per ayat. Surah al-Kahfi
misalnya dibagi kedalam beberapa kelompok ayat. Namun, di
sini peneliti akan memfokuskan pada uraian ayat 71-78.
Dalam menafsirkan ayat ini, Quraish Shihab menjadikan tiga
kelompok ayat. Yaitu, 71-73, 74-75, dan 76-77.
Pertama, ayat 71-73
Sama seperti mufasir lainnya, sebelum menguraikan
secara detail makna ayat, ia mengemukakan makna secara
umum atau menerjemahkan makna teks al-Qur’an. Yaitu
tentang awal perjalanan nabi Musa dan Khidir menaiki perahu
120
hingga kejadian pelubangan bagian tertentu dari perahu
tersebut oleh Khidir dan seterusnya.
Dalam ayat ini, Qurasih Shihab juga menjelaskan
makna kata inṭalaqā bahwa ia diambil dari kata iṭlāq yang
artinya adalah melepaskan ikatan. Itu artinya bahwa
perjalanan yang dilakukan oleh keduanya penuh semangat.
Sementara penggunaan kata dual/mutsannā dalam ayat ini
berarti dalam perjalanan tersebut, nabi Musa tidak lagi
mengikutkan pembantunya, ia hanya berdua dengan hamba
Allah yang shaleh itu. Ini agaknya karena perbedaan maqam
atau derajat pembantunya belum sampai pada tingkat
makrifat.34
Pelubangan atas perahu itu dilakukan karena hamba
Allah itu telah mengetahui sebelumnya apa yang akan terjadi.
Kemudian ia juga menjelaskan makna kata imrā kata
tarhaqunī, kata ‘usrā. Menurutnya, Al-Qur’an menggunakan
kata tersebut untuk menggambarkan kesulitan atau krisis
yang memuncak, seperti keadaan hari Kiamat yang akan
dialami oleh orang-orang kafir. Lalu mengutip surah al-
Furqān/25:26.
Permintaan nabi Musa dengan mengatakan: Janganlah
engkau menghukum aku dengan karena kelupaan ku, dan
34
Ketika kisah antara nabi Musa dan Khidir diperhatikan
dengan lebih seksama bahwa akan ditemukan perpebdeaan yang
sangat menonjol di Antara keduanya, bahwa nabi Musa merupakan
sebagai representasi dari manusia yang menafsirkan segala hal yang
terjadi dengan pengalaman yang pernah beliau alami secara empiris
yang menitikberatkan pada nalar Bayānī dan Burhānī, sedangkan
Khidir merupakan representasi dari Allah yang diberi mukjizat bisa
mengetahui masa depan yang oleh para cendikiawan biasa disebut
dengan ‚Ilmu laduni‛
121
janganlah engkau bebani aku dalam urusanku dengan
kesulitan. Menurutnya, penggunaan dua kata ini menunjukkan
betapa beratnya beban yang dia pikul jika ternyata hamba
Allah Swt, (Khidir) tidak memafkannya atau tidak
mengizinkannya untuk belajar dan mengikutinya.
Kedua, ayat 74-75
Setelah permohonan maaf nabi Musa dikabulkan,
mereka meneruskan perjalanan dan meninggalkan perahu
yang ditumpanginya dalam keadaan selamat, lalu keduanya
berjumpa dengan seorang anak remaja yang belum dewasa,
maka segera dan serta merta dibunuhnya oleh Hamba Allah
yang Shaleh itu, dan Musa kembali menegurnya dan ia tidak
sedang dalam keadaan lupa. Karena pembunuhan itu
dipandang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, bukan
karena anak remaja itu melakukan pembunuhan sebelumnya.
Di sini Quraish Shihab menyoroti penggunaan kata
imrā dan kata nukrā. Kalau pada ayat sebelumnya nabi Musa
menggunakan kata imrā saat melihat Khidir melubangi
perahu, maka di sini ia menggunakan kata nikrā untuk
pembunuhan yang dilakukan Khidir. Kalau kata imrā
diterjemahkan dengan kata kesalahan yang besar maka, kata
nukrā di sini diterjemahkan dengan kemungkaran yang besar.
Hal ini karena pada kasus pertama tidak sampai menyebabkan
hilangnya suatu nyawa, sementara pada kasus yang kedua,
pembunuhan itu sudah benar-benar terjadi.
Selain itu, Quraish Shihab juga menyoroti kata
ghulām dan kata zakiyyah. Menurutnya, kata ghulām dapat
diterjemahkan dengan kata remaja, bisa juga menunjuk
kepada seorang pria. Jika diterjemahkan dengan remaja yang
belum dewasa, maka makna kata zakiyyah (kalimat
122
setelahnya) adalah suci karena belum dewasa dan belum
dibebani tanggungjawab keagamaan, sehingga kesalahannya
tidak dinilai dosa.
Ketiga, ayat 76-77
Pada bagian ini nabi Musa sudah menyadari bahwa ia
telah melakukan dua kesalahan , tapi tekadnya yang kuat
untuk meraih ma’rifat, mendorongnya untuk memohon agar
diberi kesempatan sekali lagi dan berjanji ‚jika aku masih
bertanya lagi kepadamu tentang sesuatu setelah ini, maka
janganlah engkau menjadikan aku sebagai temanmu‛. Tetapi
tampaknya Musa benar-benar tidak sanggup untuk menahan
diri untuk tidak menanyakan sesuatu yang bertolak dari
nalarnya, padahal sebenarnya dalam hal ini, Musa tidak tidak
secara tegas bertanya, tetapi hanya memberikan saran saja,
dan saran itu lahir karena ia melihat kenyataan yang bertolak
belakang. Penduduk negeri itu enggan menjamu tamu yang
sedang membutuhkan makan, walaupun hamba Allah/Khidir
memperbaiki salah satu dinding di negeri itu.
Menurutnya, ayat ini menunjukkan betapa buruk
perlakuan penduduk negeri tersebut. Isyarat ini bisa dilihat
dari penyebutan secara tegas kata-kata ‚penduduk negeri‛,
padahal dalam banyak ayat, al-Qur’an hanya menggunakan
kata negeri/qariah untuk menunjuk penduduknya. Misalnya
QS.Yusūf/12:82.
لىصىادقي ف كىإنا كىاسأىؿ القىريىةى الت كينا فيهىا كىالعنى الت أىقػبػىلنىا فيهىا
123
‚Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di
situ, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar".
Ketika kisah antara nabi Musa dan Khidir
diperhatikan dengan lebih seksama bahwa akan ditemukan
perbedeaan yang sangat menonjol di antara keduanya, bahwa
nabi Musa merupakan sebagai representasi dari manusia yang
menafsirkan segala hal yang terjadi dengan pengalaman yang
pernah beliau alami secara empiris yang menitikberatkan pada
nalar Bayānī dan Burhānī, sedangkan Khidir merupakan
representasi dari Allah yang diberi mukjizat bisa mengetahui
masa depan yang oleh para cendikiawan biasa disebut dengan
‚Ilmu laduni‛ sehingga Hidir melakukan semua perbuatannya
di depan nabi Musa atas dasar intuisi dari tuhan bukan dari
hasil pengalaman empiris yang pernah dialaminya.35
4. Tafsir al-Azhar Hamka
Hamka dalam tafsirnya al-Azhar menjadikan surah al-
kahfi pada beberapa kelompok kemudian diuraikan dalam
bentuk penafsiran. Untuk ayat 71-78 dijadikan dua kelompok
pembahasan. Ayat 71-73 pembahasannya digabungkan
dengan ayat sebelimnya, yaitu ayat 66-73. Kemudian
kelompok berikutnya dari ayat 74-78.
Pertama, 66-73
Meski di sini ayat 71-73 dikelompokkan dengan ayat
sebelumnya, penulis akan tetap fokus pada penafsiran ayat
71-73.
35
Muhammad Agus Mushadiq, Perilaku Patologis terhadap
kisah nabi Musa dan Abd (Jurnal Ulul albab: Institut Agama Islam
Ma’arif Mitro, 2018),71.
124
Keduanya hendak menyeberang laut, lalu menumpang
pada sebuah perahu, tetapi sebelum sampai ke tempat yang
dituju, dibuatnya satu lobang pada perahu itusehingga air bisa
saja masuk dan akan menyebabkan perahunya keram. Melihat
kejadian tersebut, lupalah Musa akan janji yang telah ia
sepakati, dan nampaklah karakter aslinya (karakter responsif).
Bukankah dengan pelobangan itu berarti engkau hendak
menyebabkan penumpangnya tenggelam semua? Termasuk
engkau dan aku?
Apa yang dialami Musa di alami juga oleh
kebanyakan manusia. Seorang yang telah berjanji baik kepada
sesama manusia atau dengan Tuhan, terkadang ia lupa akan
janjinya jika ditimpa musibah. Misalnya kita memberi fatwa
kepada orang lain untuk sabar tatkala ditimpa musibah.
Namun, ketika ia kehilangan orang yang sangat dicintai, bisa
jadi ia juga harus diingatkan untuk bersabar.
Kedua, ayat 74-78
Hamka mengutip hadis nabi yang diriwayatkan oleh
Ibn Abbas. Dalam kutipannya ia berkata ‚Maka tersebutlah
dalam riwayat Ibn Abbas bahwa perjalanan itu mereka
teruskan, sehingga berjumpa dengan anak muda-muda
bermain-main. Di antara anak muda yang sedang banyak
bermain bersuka ria itu, kelihatan oleh Guru itu seorang di
antara mereka: ‚sehingga apabila keduanya bertemu seorang
anak muda, maka dibunuhnya lah (anak muda) itu.
Hamka juga mengomentari kata ghulām dalam ayat
tersebut. ia memaknainya dengan anak muda bisa juga
diterjemahkan dengan anak kecil.
Saat Khidir membunuh anak tersebut, Musa
tercengang dan meluaplah hatinya karena dianggapnya
125
perbuatan Khidir tersebut sudah di luar garis, lalu bertanya
‚adakah patut engkau membunuh jiwa yang bersih‛ suatu
perbuatan yang bengis yang tidak akan dapat diterima oleh
siapapun yang ada rsa keadilan dan kebenaran. ndan
seterusnya.
d. Tafsir Corak Hukum
1. Al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān
Al-Qurṭubī dalam penguraian surah al-Kahfi dibagi
memnjadi beberapa bagian. Untuk ayat 71-77 dibagi menjadi
tiga kelompok pembahasan.
Pertama, ayat 71-73
Dalam uraian ayat ini paling tidak ada dua masalah
besar yang dibahas oleh al-Qurtubi dalam tafsirnya, yaitu:36
1. Permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Misalnya
tentang kisah perjalanan nabi Musa dan Khidir hingga
naik perahu, dan perahunya dilubangi oleh Khidir
yang menjadi sebab terjadinya perdebatan dengan
nabi Musa.
Tentang perbandingan ilmu Musa dan Khidir dengan
ilmu Tuhan. Khidir berkata ‚ilmuku dan ilmumu
kalau dibandingkan dengan Ilmu Tuhan, seperti air
laut yang melekat di kaki burung perbandingannya
dengan air laut.
2. Tentang perusakan kapal. Perusakan kapal ini adalah
dalil bahwa bagi seorang wali atau penguasa, boleh
36
Abī Abdillah Muhammad, Tafsir Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, juz 13 (Beirut: al-Resalah Publisher, 2006), 327
126
mengurangi sebagian harta anak yatim untuk
menyelamatkan yang lebih banyak. Misalnya dalam
perjalanan laut, boleh membuang sebagiannya pada
kondisi darurat, untuk menyelamatkan yang lainnya
supaya tidak tenggelam.37
Kedua, ayat 74-76
Tentang pembunuhan seorang anak. Pertama, terkait
kata al-Ghulām, al-Qurṭubi mengemukakan perbedaan ulama
dalam menjelaskata kata ghulām di sini. Apakah yang
dimaksud dengannya adalah remaja yang sudah bāligh atau
belum? Pertama, menurut al-Kilabi, ghulām adalah seorang
anak yang sudah memasuki usia bāligh, ia menjadi tukang
begal (mencegat jalan) yang menghubungkan antar dua desa.
Sedangkan orang tuanya adalah merupakan salah seorang
37
Disebut dalam sebuah kitab tafsir lainnya, dari Aliyah
bahwa pada saat Khidir mau melubangi perahu tidak ada
penumpang yang bisa melihat padanya kecuali nabi Musa karena
seorang hamba tidak bisa melihat orang lain tanpa seidzin Allah,
sehingga hanya nabi Musa yang bisa melihat Khidir saat melubangi
perahu, seandainya para penumpang bisa melihat Khidir saat mau
melubangi perahu pastinya semua penumpang akan mencegah
terhadap Khidir saat mau melubanginya, ada yang berpendapat
bahwa Khidir melubangi perahu di saat perahunya sudah dipinggir
dan semua penumpang sudah turun dari perahu. Ibn Abbās
berpendapat bahwa pada saat khidir mau melubangi perahu nabi
Musa berfikir dan berkata di dalam hatinya ‚saya tidak diciptakan
untuk menemani Khidir tapi untuk menemani Bani Israil setiap
hari‛ pada saat itu Khidir berkata ‚apakah kamu kira saya tidak
paham apa yang kamu katakan di dalam hatinya‛, lalu nabi Musa
berkata ‚menurut kamu apa yang saya pikirkan‛ nabi Khidir
menjawab ‚kamu tadi berkata bahwa kamu tidak diciptakan untuk
menemaniku tapi untuk menemani bani Israil‛. Lihat di kitab al-
‘arāis karangan imam al-Tsa’labī.
127
tokoh di salah satu desa tersebut. namanya (anak tersebut)
adalah Syam’ūn, dan menurut al-Daḥḥāk adalah Haisūn.
Kedua, menurut Jumhūr ulama kata ghulām digunakan untuk
laki-laki yang belum bāligh sama halnya denga kata jāriyah
untuk anak perempuan yang belum bāligh. Kedua, terkait kata
zakiyyatan. Jumhur Ulama membaca zakiyyatan (tanpa alif)
sementara ulama Kūfā membaca zākiyyatan (dengan alif),
dikatakan maknanya adalah sama, meski menurut sebagian
yang lainnya berbeda, zākiyyah adalah anak yang tidak
pernah berbuat dosa sama sekali sementara zakiyyah adalah
pernah berbuat dosa lalu bertaubat.
Adapun pembunuhan anak tersebut oleh Khidir
dengan tiga cara, yaitu dicekik, dipukul dengan dan dicabut
lehernya. Menurut al-Qurṭubī, alasan Khidir membunuh anak
tersebut sangat kuat, ia menemukan dalam tulang bahunya
tulisan ‚dia adalah orang kafir yang tidak akan pernah
beriman kepada Allah selamanya‛.
Ketiga, ayat 77-78
Dalam urain dua ayat ini, al-Qurṭubi mengemukakan
tiga belas masalah yang berkaitan dengan ayat tersebut.
Pertama, Protes Nabi Musa karena tidak diperlakukan
sebagai tamu oleh penduduk setempat, padahal sudah
membantu membangun kembali tembok mereka yang hampir
roboh. Tampaknya nabi Musa sudah tidak sabar menghadapi
sikap Khidir dengan mengulang-ulang pertanyaan atau
protesnya padanya. Maka nabi Muhammad Saw, berkata
‚Semoga Allah merahmati/mengasihi Musa, aku lebih senang
seandainya dia mampu bersabar sehingga diceritakan secara
utuh tentang kisah keduanya (Musa dan Khidir) kepada kami.
128
Kedua, ulama berbeda pendapat tentang Desa yang
dikunjungi oleh nabi Musa dan Khidir. Menurut Muhammad
ibn Sīrīn, ia adalah Desa terpelit dan paling jauh dari langit.
Ada yang menyebutnya berada di Romawi, Andalus dan lain
sebagainya.
Ketiga, dikatakan, bahwa perjalanan ini adalah
pendidikan buat nabi Musa, wajar kalau ia dihadapkan dengan
kesulitan-kesulitan. Seperti kelaparan. Dan ini adalah bentuk
hijrah nabi Musa yang akan mendapatka pertolongan dan
kekuatan.
Keempat, ayat ini sekaligus menjadi dalil bahwa
barang siapa yang merasakan lapar (sangat) wajib baginya
meminta sesuatu untuk sekedar menghilangkan rasa laparnya.
Maka menjadi sebuah kewajiban bagi tuan rumah untuk
memberi hidangan kepada tamunya yang sedang kelaparan.
Nabi Musa dan Khidir hanya meminta haknya sebagai tamu.
Kelima, tentang makna Jidār/tembok. Dalam hadis
dikatakan ‚Hatta yablugha al-Mā’u al-Jadra‛ air itu sampai
setembok.
Keenam, tentang tembok yang hampir jatuh/roboh.
Ini adalah majaz dan ini menunjukkan adanya majaz dalam al-
Qur’an meski sebagian yang lain mencegah penggunaan
majaz dalam al-Qur’an, antara lain adalah Abū Ishāq dan Abū
Bakr Muhammad al-Aṣbahānī.
Ketujuh, tentang firman Allah فأقبمه. Musa berkata
pada Khidir ‚jika engkau mau, niscaya engkau minta imbalan
untuk itu‛ karena itu sebuah pekerjaan yang pantas
mendapatkan upah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan
dari Ibn ‘Abbās dari Abū Bakr dari Rasulullah Saw. dijelaskan
bahwa dia (Musa dan Khidir) menemukan tembok yang
129
hampir roboh, lalu mereka robohkan, kemudian dibangunnya
kembali. Bahwa apa yang dilakukan Khidir dalam hal ini
adalah perkara-perkara diluar kebiasaan, dan ini sekaligus
menjadi tanda karomah kewaliannya.
Kedelapan, tidak diperbolehkan bagi seseorang duduk
di tembok/dinding yang hampir roboh.
Kesembilan, dalil tentang kekaromahan para wali
sudah ditetapkan, baik ayat-ayat al-Qur’an atau hadis nabi.
Tidak ada yang mengingkarinya, kecuali ahli bid’ah dan
orang-orang fasik. Adapun di antara ke karamahan yang
ditampakkan Allah Swt, kepada hambanya adalah seperti
yang terjadi kepada Maryam, tumbuh suburnya buah-buahan
pada musim kemarau, dan apa yang tampak juga kepada
Khidir, seperti melubangi perahu. Namun, keanehan-keanehan
yang dilakukan oleh Khidir, seperti pelobangan perahu,
membunuh seorang anak dan membangun dinding bukanlah
tanda kenabiannya. Sebab, kenabian itu tidak bisa ditetapkan
hanya dengan hadis ahad. Karena ulama sepakat bahwa tidak
ada nabi lagi setelah nabi Muhammad.
Kesepuluh, boleh atau tidak seorang wali
mengumumkan kewaliannya? Ada dua pendapat. Pertama,
tidak boleh. Kedua, boleh bagi seorang wali menampakkan
kewaliannya, hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Nabi
Saw.
Kesebelas, tidak dapat dipungkiri bahwa seorang wali
juga dapat memiliki harta dan tempat tinggal yang dpat
menjaga keluarganya. Banyak para Shahabat nabi yang punya
banyak harta padahal ia sekaligus menjabat sebagai
pemerintah.
130
Keduabelas, tentang firman Allah Swt, لاححذ ث عليه اجزا
ayat ini sekaligus menjadi dalil diperbolehkannya minta upah,
dan ini adalah sunnah para nabi dan auliyā. Penjelasannya
akan diurai pada surah al-Qaṣaṣ.
Ketigabelas, tentang firman Allah Swt, سأوبئل. Bahwa
Khidir akan menjelaskan pada musa kenapa ia berbuat apa
yang telah ia perbuat.
Kitab tafsir Ahkām al-Qur’an Ibn ‘Arabī adalah kitab
tafsir yang dikarang oleh Ibn Arabi yang memiliki corak
hukum dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.38
Dalam
kepribadiannya beliau seorang yang memiliki budi pekerti
38
Dalam muqaddimahnya Ibn Arabī menjelaskan tentang
metode yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran
memulai pembahasannya dengan menyebutkan ayat, lalu
mengikutinya dengan kata-kata bahkan perhurufnya, kemudian
mulai mencari tahu kata tunggalnya, dan menyusunnya secara
idhafah dengan tidak meninggalkan sisi balaghahnya, setelah itu
masuk pada hukum-hukum yang bertentangan tanpa meninggalkan
aspek kebahasaan, kemudian membandingkan dengan apa yang ada
pada sunah dan shahih dan terakhir mencari jalan untuk
mengkompromikannya. Dalam kitab Manahij al-Mufassirin
karangan Mani’ Abdul Halim Mahmud dijelaskan bahwa metode
yang ditempuh oleh oleh Ibn Arabī dalam menulis tafsirnya adalah
dengan menyebutkan satu surat lalu menyebutkan sejumlah hukum
yang terdapat di dalamya, kemudian mensyarahkan secara
terperinci. Lihat di Mani’ Abdul Halim Mahmud, Manahij al-
Mufassirin, terj (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2006), 246
131
yang baik, perangai yang baik, penyabar, dermawan, menepati
janjo dan kasih sayang terhadap orang lain.39
Dalam kitab Ibn Arabī pada surah al-Kahfi dari ayat
71-78 hanya membahas ayat 73, 76, dan 77 yang mana Ibn
Arabi membagi menjadi lima masalah.
Masalah pertama, ayat 73
Dalam masalah pertama ini Ibn Arabī menjelaskan
bahwa lupa itu tidak menjadi sebab adanya sangsi atau hukum
dalam hal ini seperti yang telah dijelaskan di ayat sebelumnya
bahwa lupa tidak termasuk ke dalam koridor taklif sehingga
apabila ada sebuah kewajiban yaang masuk pada taklif namun
suatu ketika lupa, maka dalam kasus tersebut tidak ada
hukum bagi orang tersebut.40
Seperti dalam masalah talaq,
ketika yang mengucapkan tersebut berada pada posisi lupa
maka hukum talaknya tidak terjadi.
Masalah kedua, ayat 76
Dalam ayat ini Ibn Arabī menjelaskan tentang syarat
atau kesepakatan yang mana syarat atau kesepakatan itu
sifatnya mengikat. Ibn Arabī menambahkan sebuah kaidah
yaitu المسلمىن عىد شزوطهم artinya orang Islam itu harus
menunaikan sebuah kesepakatan yang sudah dibuat.
Sedangkan kesepakatan yang paling pantas ditunaikan atau
dilaksanakan adalah kesepakatan yang dibuat oleh para nabi.
Pembahasan syarat yang dimaksud dalam ayat adalah
merupakan landasan atau pendapat yang berhubungan dengan
39
Ibn Arabī, Ahkām al-Qur’an, juz 1 (Beirut: Dār al-
Kutub al-Ilmiyah, 2003), 1-2. 40
Ibn Arabī, Ahkām al-Qur’an, juz 3 (Beirut: Dār al-
Kutub al-Ilmiyah, 2003), 241.
132
syarat dan hukum-hukum yang berhubungan dengan syarat
serta sebagai dalil dalam iman, shuffah dan lain-lain.41
Masalah kelima ayat 76
Dalam ayat ini Ibn Arabī menjelaskan mengenai سؤال
(proses meminta) yang mana dalam kontek ayat ini lebih
mengarah kepada bagaimana cara menyambut tamu dan
menjamunya. Dari pemaparan tersebut timbul pertanyaan
apakah penghormatan terhadap tamu hukumnya wajib atau
sunah? Kalau hukum dalam سؤال الضيبف adalah boleh.
2. Al-Tafsīr wa al-Bayān Marzūq al-Ṭarifī
Kitab al-Tafsīr wa al-Bayān al-Ta’rifī merupaka
salah satu kitab tafsir yang bercorak Ahkam yang dikarang
oleh Abd. Aziz al-Marzuq, dalam kitab tafsir ini hampir
semua ayat dibahas di dalamnya, namun Abd. Aziz tidak
membahas surat al-Kahfi ayat 70-78 .
2. Penggunaan Ayat dan Hadis Sebagai Penjelas
Dalam menafsirkan kisah nabi Musa dan Khidir yang
terdapat dalam surah al-Kahfi ayat 71-77, terdapat ragam cara
penguraian dari para mufasir. Beberapa di antara mereka ada
yang menggunakan ayat al-Qur’an dan hadis nabi untuk
menjelaskan ayat yang ditafsirkan, ada yang menggunakan
pendapat sahabat hingga para tabiin. Tetapi ada juga yang
hanya memaparkan kisah tersebut tanpa merujuk/mengutip
ayat atau hadis sebagai penjelas. Bahkan ada juga ulama yang
tidak menafsirkan sama sekali ayat tersebut di atas.
41
Ibn Arabī, Ahkām al-Qur’an, juz 3 (Beirut: Dār al-
Kutub al-Ilmiyah, 2003), 241
133
Adapun rincian penjelasannya akan peneliti paparkan
sebagaimana berikut:
a. Menggunakan Penjelas Ayat
Berdasarkan penelusuran peneliti terhadap berbagai
kitab tafsir sebagai mana disebutkan di atas, hanya ada dua
kitab tafsir yang menggunakan penjelas ayat dalam
menafsirkan kisah nabi Musa dan Khidir yang terdapat dalam
surah al-Kahfi 71-77. Dua kitab tafsir itu adalah tafsir al-
Misbah dan tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān.
Pertama, Quraish Shihab mengutip QS. al-
Furqān/25:26, ayat ini dikutip ketika Quraish Shihab
menjelaskan makna ‘usra yang terdapat pada ke 73, untuk
membandingkan makna kata ‘usrā yang terdapat pada ayat
tersebut dengan makna kata ‘usrā atau ‘asīrā yang terdapat
pada QS. Al-Furqān. Sehingga kesimpulan makna yang
dihasilkan adalah bahwa kata ‘ursā artinya adalah bukanlah
kesulitan biasa, tetapi kesulitan yang sangat tinggi, sampai
pada puncaknya, sebagaimana yang dialami orang-orang kafir
pada hari kiamat. Penggabungan dua makna kata yang sama
dari ayat yang berbeda memberikan kesan bahwa situasi yang
dihadapi nabi Musa ketika melanggar perjanjian yang telah
disepakatinya bersama Khidir adalah situasi yang amat sulit.
Karena ia benar-benar dalam keadaan lupa.42
Pada penafsiran ayat ke 76, tentang penduduk sebuah
kota, Quraish Shihab mengutip QS. Yūsuf/12:82, di mana
Allah Swt, pada ayat ini juga menyebutkan tentang penduduk
42
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Juz. VIII, Cet. I (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
103.
134
sebuah kota. Perbedaannya adalah pada surah al-Kahfi Allah
Swt, menyebut penduduk kota tersebut dengan ahl qariah
sementara pada surah Yūsuf Allah Swt, hanya menggunakan
kata qariah untuk menyebut penduduknya. Dalam pandangan
Qurasih Shihab penyebutan ahl qariah yang terdapat pada
surah al-Kahfi tersebut untuk menunjukkan betapa buruknya
perlakuan penduduk tersebut.
Kedua, tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān, berbeda dengan M.
Quraish Shihab, Sayyid Qutb mengutip ayat berbeda dalam
menjelaskan sikap spontanitas nabi Musa ketika melakukan
protes pertama pada Khidir saat melubangi perahu yang
tumpanginya. Dalam menggambarkan karakter nabi Musa,
Sayyid Qutb merujuk pada QS. Al-Qaṣaṣ/28:15, yaitu bahwa
karakter nabi Musa adalah responsif, refleks dan punya
kepekaan yang tinggi. Hal ini dapa dilihat pada fase-fase
kehidupannya, ia pernah memukul seorang Mesir yang
dilihatnya sedang berkelahi melawan seorang dari bani Israel,
kemudian ia membunuhnya dalam satu gerakan refleksnya.43
Karakter yang demikian ini sebagaimana tergambar dalam
surah al-Qaṣaṣ di atas.
b. Menggunakan Penjelas Hadis
Sebagian ulama dalam menafsirkan suatu ayat
tertentu mereka perlu merujuk pada beberapa hadis nabi.
Dalam kaitannya dengan ayat yang sedang dikaji dalam
penelitian ini, yakni surah al-Kahfi ayat 71-77, dengan jumlah
kitab tafsir yang telah ditentukan sebagaimana di atas, maka
yang hanya menggunakan hadis dalam mempertegas
penafsirannya hanya beberapa tafsir saja. Yaitu Tafsir al-
43
H, 331
135
Jailānī, Tafsir al-Marāghī, Tafsir al-Azhar dan Tafsir al-
Kasysyāf.
Pertama, tafsir al-Jailānī, dari ayat 71-77 surah al-
Kahfi, al-Jailānī hanya mengutip satu hadis, yaitu pada
penafsiran ayat ke 75-76, di mana Khidir menyatakan kembali
pada Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya,
meski akhirnya Musa berjanji untuk tidak bertanya lagi untuk
kesekian kalinya. Hadis yang dikutip berkaitan dengan
tindakan nabi Musa yang melanggar kesepakatan untuk tidak
menanyakan sesuatu apapun yang akan dilihatnya.44
Kedua, Tafsir al-Marāghī, sama dengan tafsir al-
Jailāni, tafsir al-Marāghi juga mengutip hadis yang sama
dalam merespon sikap nabi Musa yang kelihatan tidak sabar
dalam menghadapi Khidir.45
Sepanjang pengamatan peneliti,
al-Marāghi hanya menyebutkan hadis ini dalam menafsirkan
ayat 71-77 surah al-Kahfi.
Ketiga, tafsir al-Azhar. Sebagaimana mufasir lainnya,
Hamka juga mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Ibn ‘Abbās dalam menjelaskan perjalanan nabi Musa dengan
44
Abd Qodir al-Jailānī, Tafsir al-Jailānī, Juz. III, cet. II
(Beirūt: Libanon Maktabah al-Istambulī, 2006), 218.
Adapun bunyi hadisnya adalah:
عن رس ؿ الله ص أنو قاؿ رحم الله أخ م سى استحى فقاؿ ذلك ل لبث مع صاحبو لبصر عن ابن عب عن ابي بن كعب قاؿ كاف رس ؿ الله صلى الله عليه وسلم اذاذكر احدا من النبياء بدأ بنفسو . أعجب العاجيب
الله علينا كعل م سى ل صبر مع صاحبو لرأالعجب العاجيب كلكنو قاؿ اف سألتك كانو قاؿ ذات ي ـ رحمة عن شيئ بعدىا فلا تصاحبني
45
رحمة الله علينا كعلى م سى، ل »: ركل فى الصحيح عن النبي صلى الله عليو كسلم أنو قاؿ صبر على صاحبو لرأل العجب، لكن أخذتو من صاحبو ذمامة
136
Khidir hingga bertemu seorang anak remaja, kemudian Khidir
membunuh anak tersebut.46
Keempat, tafsir al-Kasysyāf. Al-Zamakhsyari
mengutip hadis yang sama dengan Ahmad Musṭafā al-
Marāghi dan al-Jailāni, yaitu hadis tentang sebuah keajaiban-
keajaiban yang akan diperlihatkan kepada umat Muhammad
Saw, seandainya nabi Musa bersabar dalam menghadapi sikap
Khidir selama ia berguru padanya.47
3. Kecenderungan Fokus Bahasan
a. Sosok nabi Musa
Nabi Musa48
merupakan Nabi yang paling banyak
dikisahkan di dalam al-Qur’an daripada nabi-nabi yang lain.
46
Dalam kutipannya ia berkata ‚Maka tersebutlah dalam
riwayat Ibn Abbas bahwa perjalanan itu mereka teruskan, sehingga
berjumpa dengan anak muda-muda bermain-main. Di antara anak
muda yang sedang banyak bermain bersuka ria itu, kelihatan oleh
Guru itu seorang di antara mereka: ‚sehingga apabila keduanya
bertemu seorang anak muda, maka dibunuhnya lah (anak muda) itu.
Lihat: Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz. XV (Jakarta: PT Pustaka
Panjimas), 236.
أخرجو ابن مردكيو من ركاية داكد بن أبى ىند عن عبد الله بن عمن عن سعيد بن جبن عن 47
فقاؿ إف سىأىلتيكى عىن شى ءو . رحمة الله علينا كعلى م سى استحيا عند ذلك»كفيها . ابن عباس فذكر القصةىا فىلا تيصاحبني بػىعدى
Lihat: Mustafā al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī 48
Musa as memiliki nama lengkap Musa Ibn Imran Nabi
dan rasul Bani Israil, Di dalam al-Quran tidak disebut mengenai
nama Musa kecuali yang diberi kitab Taurat, menurut ahli kitab
Musa yang diceritakan di dalam surat al-Kahfi bukan Musa Ibn
Imran tetapi Musa Ibn Misya Ibn Yusuf Ibn Ya’qub yaitu Nabi
sebelum Nabi Musa ibn Imran, namun banyak ulama yang
berpendapat bahwa yang benar adalah Musa ibn Imran Nabi dan
Rasul Bani Israil.
137
Dari berbagai peristiwa yang dialami oleh nabi Musa yang
dicantumkan di dalam al-Qur’an tetapi peristiwa yang sangat
ditekankan peristiwa mengenai aqidah ketauhidannya, dan
itu menjadi bukti bahwa nabi Musa tidak pernah mengajarkan
umatnya untuk menyembah patung, melainkan menyembah
Allah SWT.49
Dalam kisah nabi Musa al-Qur’an
menyuguhkan beberapa pesan Teologis dan sosial, sehingga
nilai-nilai inilah yang bisa dipetik dari kisah-kisah nabi Musa
bagi pembacanya.50
Dari 30 kisah nabi Musa yang dijelaskan di dalam al-
Qur’an, tidak semua ayat menjelaskannya secara detail.
Sebagian ayat hanya menjelaskannya hanya untuk diambil
hikmahnya bagi pembacanya. Dan sebagian besar
menjelaskannya secara eksplisit, namun narasi kisahnya
dijelaskan secara fragmentatif , tidak secara utuh mulai dari
awal hingga akhir kisah.51
Selain itu, nabi Musa adalah sosok yang sangat
dikagumi oleh umatnya lebih dari itu, bahkan jumlah umat
yang menyembahnya semakin meningkat, walaupun nabi
Musa sudah melarang umatnya menyembahnya namun
mereka tidak pernah menghiraukan. Beliau mulai terkenal
dikalangan umatnyan sejak abad ke 13 SM. Di masa
hidupnya, seperti yang dijelaskan dalam buku Exodus bahwa
49
Adrika Fithrotul Aini, Keberagaman Nabi Musa dalam
al-Quran (Skripsi: UIN Sunan Kalijaga, 2014),95. 50
Muhammad Ahmad Khalaf Allāh, al-Fann al-Qasasī fī al-Qur’an al-Karīm (Kairo: Maktabat al-Nahdah al-Misrīyah, 1951),
98-112. 51
M. faisol, Interpretasi Kisah Nabi Musa Perspektif
Naratologi al-Qur’an (Jurnal Islamica: UIN Malik Ibrahim, 2017),
368
138
ada beberapa kelompok orang Yahudi yang suka
menentangnya. Namun, nabi Musa mampu merubahnya.
Beliau diagung-agungkan oleh orang-orang Yahudi.52
Di samping ketenarannya, tidak sedikit info mengenai
nabi Musa yang bisa dipercayai, bahkan ada spekulasi yang
mengatakan bahwa nabi Musa berasal dari mesir. Karena
melihat namanya yang berbau mesir. Semenjak menjadi nabi,
ada tiga hal besar yang dihubungkan dengan perbuatan nabi
Musa, Pertama: beliau disebut tokoh politik yang sangat
berpengaruh karena berhasil memindahkan yahudi secara
besar-besaran dari Mesir. Kedua, dia berhasil sebagai penulis
pertama dari panca jilid Injil yang sering dikaitkan dengan
‚Lima Buku Musa‛ serta karangannya Torat Yahudi. Ketiga,
banyak orang yang mengatakan bahwa Nabi Musa adalah
pendiri Monoteisme Yahudi, dan itulah yang menjadi alasan
kuat yang bisa menunjang hal itu.53
b. Pertemuan Musa dengan Khidir
Kisah awal mula pertemuan nabi Musa dan Khidir
ketika nabi Musa memberikan khutbah kepada umatnya yaitu
bani Israiel, kemudian di antara mereka ada yang bertanya
kepada nabi Musa perihal siapakah orang yang paling pintar
dan nabi Musa menjawab ‚Aku‛. Dan berawal dari itulah
kemurkaan Allah kepadanya, kemudian Allah memerintahkan
nabi Musa untuk menemui seorang hamba yang lebih pintar
52
Adrika Fithrotul Aini, Keberagaman Nabi Musa dalam
al-Quran (Skripsi: UIN Sunan Kalijaga, 2014),95. 53
Moch Hafidz Fitratullah, Implementasi Manajemen
Konflik dalam Menemukan Solusi Perbedaan Pendapat: Belajar dari
Kisah Nabi Musa dan Khidir dalam Surat al-Kahfi Ayat 60-82
(Tesis: UIN Malik Ibrahim, 2014),104
139
darimu, dia tinggal di antara pertemuan dua lautan, kemudian
nabi Musa bertanya kepada Allah, ‚Bagaimana aku bisa
bertemu dengannya wahai Tuhanku‛ kemudian Allah
menjawab, ‚Bawalah seekor ikan dan apabila nanti kamu
kehilangan ikan itu maka itulah petunjuknya.54
Usaha nabi Musa untuk bertemu dengan Khidir
memakan waktu yang sangat lama, yaitu bertahun-tahun.
Sebuah perjalanan yang sungguh menyita waktu yang lama
dan tenaga.55
Dalam perjalannya tersebut nabi Musa tidak
sendirian, yaitu ditemani seorang muridnya yang sangat setia.
Setibanya di tempat tersebut (tempat di mana ikan yang
dijadikan petunjuk hilang seketika, nabi Musa mencarinya
dan akhirnya berhasil menemukannya, setelah itu malanjutkan
perjalanan hingga akhirnya bertemu dengan Khidir.56
Setelah nabi Musa menemukan orang yang dimaksud
di tempat yang telah ditentukan oleh Allah sesuai dengan
karakteristiknya (Khidir),57
nabi Musa langsung menyapa dan
berkenalan dengannya.58
Lalu nabi Musa menyampaikan
54
Mohd Faeez Ilias, Ibrah Kisah Nabi Khidir Dalam Surah
Al-Kahfi Terhadap Pengajaran Dan Pembelajaran Alaf Baru (Jurnal:
Kolej Universiti Islam Antarabangsa Selangor, 2016),4 55
Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang
ingin mencari ilmu itu memang harus membutuhkan waktu yang
lama, tenaga yang kuat, dan ini berlaku secara sistematik. Apalagi
ilmu yang akan dicari adalah ilmu baru yang memerlukan waktu
yang panjang untuk bisa menguasainya 56
M. Faisol, Struktur Naratif Cerita Nabi Khidir Dalam
Al-Qur’an (Jurnal: UIN Malik Ibrahim, 2011), 242 57
Alī ibn Ahmad, Fath al-Bārī Sharh Sahīh al-Bukhārī, Vol. 6 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1989), 53
58 Untuk mempertegas keseriusannya dalam berguru, Nabi
Musa menampakkan kerendahan dan keseriusan dirinya dalam
140
hasratnya untuk menuntut ilmu dan menjadikannya guru
dengan perkatan yang sopan dan santun.59
c. Musa Mendaulat Khidir Sebagai Gurunya.
Setelah nabi Musa bertemu dengan Khidir, nabi Musa
langsung memintanya untuk menjadi gurunya. Nabi Musa
memohon agar diajarin ilmu yang paling tinggi, namun Khidir
tidak langsung menerimanya sebagai murid, beliau
memastikan apakah nabi Musa mampu atau tidak berguru
padanya. Mendapat respon tidak baik dari Khidir, nabi Musa
pun memaksanya. Berbagai bentuk negosiasi dilakukan oleh
nabi Musa untuk menjadi murid Khidir. Selang beberapa
waktu, akhirnya Khidir menerima nabi Musa menjadi
muridnya dengan syarat harus sabar dan tunduk kepadanya. 60
d. Khidir Memberi Pelajaran kepada Musa.
Setelah nabi Musa membaiat dirinya sebagai murid
dari nabi Khidir dan beliau menerimanya. Khidir akhirnya
memberikan beberapa pelajaran kepada nabi Musa.61
menimba ilmu dan berjanji untuk tidak melakukan kesalahan
terhadap peraturan yang dibuatnya. Minat saja tidak cukup bagi
seseorang yang ingin menuntut ilmu tanpa dibarengi dengan
keseriusan dan ketekunan. Jika melihat ulama-ulama terdahulu
mereka sangat rajin dan serius dalam mencari ilmu, sehingga
outputnya menjadi ulama-ulama besar yang terkenal dengan
kearifannya. 59
Jamal Abd. Nasir, Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Guru
Dan Murid Dalam Perspektif Kisah Musa dan Khidir dalam Surat
Al-Kahfi Ayat 60-82 (Jurnal: IAIN Madura, 2018), 181. 60
M. Faisol, Struktur Naratif Cerita Nabi Khidir Dalam
Al-Qur’an (Jurnal: UIN Malik Ibrahim, 2011), 243. 61
M. Faisol, Struktur Naratif Cerita Nabi Khidir Dalam
Al-Qur’an, 343.
141
Keseriusan nabi Musa dalam berguru ditunjukkan dengan
kelakuannya yang mengikuti jejak guru kemana pun gurunya
pergi. Tentunya, perjalanan yang ditempuhnya menempuh
jarak yang cukup panjang dan melelahkan.62
Pelajaran
pertama Khidir merusak sebagian papan perahu hingga
berlubang. Secara spontan nabi Musa menegur perbuatan
gurunya dengan argumentasi yang logis berdasarkan ilmu
yang dimiliki oleh nabi Musa, karena perbuatan gurunya telah
dianggap menyalahi ajaran agama yang dipahami oleh nabi
Musa. Dalam hal ini, Khidir memberikan peringatan kepada
nabi Musa atas ketidaksabarannya, akhirnya nabi Musa minta
maaf dan memohon agar tetap menjadi muridnya. Kemudia
khidir menerima atas permintaan nabi Musa.63
Kemudian Khidir mengajaknya melanjutkan
perjalanan, tiba dipertengahan jalan mereka bertemu dengan
anak kecil yang sedang bermain, lantas Khidir membunuh
anak itu dengan membenturkan kepalanya ke tembok. Nabi
Musa merasa terkejut dan menegurnya, karena perbuatan
yang dilakukan oleh Khidir terhadap anak yang tidak berdosa
sangat bertentangan dengan agama, kemudian Khidir pun
menegurnya kembali, khidir memberikan satu kesenpatan
lagi, namun jika nabi Musa tidak mampu atas pelajaran yang
diberikan Khidir, maka Khidir tidak mau memberikannya
pelajaran lagi.64
62
Jamal Abd. Nasir, Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Guru
dan Murid dalam Perspektif Kisah Musa dan Khidir Dalam Surat
Al-Kahfi Ayat 60-82, 182. 63
M. Faisol, Struktur Naratif Cerita Nabi Khidir Dalam
Al-Qur’an (Jurnal: UIN Malik Ibrahim, 2011), 242. 64
M. Faisol, Struktur Naratif Cerita Nabi Khidir Dalam
Al-Qur’an, 243.
142
Pada kesempatan ketiga, Khidir mengajak nabi Musa
berjalan lagi, setibanya di suatu daerah beliau menemukan
dinding bangunan yang hampir roboh, kemudian Khidir
menegakkannya kembali. Melihat kejadian aneh itu, nabi
Musa menegurnya kembali atas tindakannya tersebut.65
Dari
ketiga pelajaran terebut nabi Musa tidak berhasil
melanjutkan ke pelajaran berikutnya dan Khidir memintanya
untuk tidak menjadi muridnya lagi.
e. Khidir Memutuskan Berpisah dengan Musa
Setelah beberapa kejadian tersebut akhirnya Khidir
memutuskan untuk berpisah dengan nabi Musa dan nabi Musa
tidak boleh mengikutinya lagi. Namun sebelum berpisah
Khidir berkata ‚saya akan menjelaskan kepadamu perbuatan
yang engkau tidak mampu bersabar‛ Pertama tentang perahu
yang dilubangi itu adalah milik orang miskin yang bekerja di
laut, aku sengaja merusaknya karena di depan ada raja yang
berusaha merampas hasil kerja mereka. kedua, mengenai anak
yang sedang bermain lalu aku bunuh adalah dia dilahirkan
dari orang tua yang mukmin, aku khawatir anaknya akan
orang tuanya pada kesesatan, semoga tuhan memberikan anak
yang memiliki hati yang lebih baik dan lebih sayang kepada
orang tuanya. Ketiga, tentang tembok yang ditegakkan
kembali bahwa itu milik anak yatim yang mana di bawahnya
terdapat harta yang sengaja dikubur oleh orang tuanya untuk
mereka berdua, orang tuanya adalah seorang yang shaleh,
Khidir berharap tuhan menghendaki agar keduanya bisa hidup
sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya
65
M. Faisol, Struktur Naratif Cerita Nabi Khidir Dalam
Al-Qur’an, 244.
143
sebagai rahmat. Setelah itu, Khidir berkata apa yang aku
perbuat bukan semerta-merta dari aku sendiri, namun itu
semua dari Tuhan.66
Akhirnya nabi Musa sadar ada banyak hikmah yang
terkandung di setiap apa yang dilakukan oleh Khidir, dan
beliau paham dan merasa bersukur karena telah dipertemukan
dengan hamba Allah yang sangat Shalih yang mampu
memberikan beberapa wejangan ilmu yang tidak dapat
diperoleh dari siapapun.67
f. Subjek Kisah
Dari kisah di atas, berbagai macam pokok
permasalahan yang terjadi dalam kisah Khidir dan nabi Musa
bisa kita ambil manfaatanya, di antaranya pertama Nilai
pendidikan. Dalam watak seseorang pastinya tidak lepas dari
sifat rasa ingin mengetahui terhadap sesuatu dan sifat itu
yang menjadi modal nabi Musa selalu bertanya terhadap
pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh Khidir,68
baik ketika
66
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV Darus Sunah, 2011), 302-
303. 67
Jamal Abd. Nasir, Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Guru
dan Murid dalam Perspektif Kisah Musa dan Khidir Dalam Surat
Al-Kahfi Ayat 60-82, 186. 68
Dalam posisinya, nabi Musa sebagai murid sedangkan
Khidir sebagai Guru. Dalam kisah bertemunya kedua insan tersebut,
diartikan dengan bertemunya dua pengetahuan yang berbeda. Nabi
Musa berfikir menurut pandangan Syariatnya sedangankan Khidir
berfikir menurut pandangan hakikatnya. Ahmad al-Syawi
menyebutkan bahwa ilmu yang dimiliki oleh nabi Musa adalah ilmu
Dzahir, sedangkan ilmu yang dimiliki oleh Khidir adalah ilmu
kasyfi. Dalam kisah di atas bahwa manusia perlu melakukan
tambahan pembelajaran tidak cukup hanya dengan ilmu yang
144
terjadi dialog tentang perahu yang dilubangi oleh Khidir
dengan sifat spontannya nabi Musa menanyakan hal itu
karena apa yang telah dilakukan oleh Khidir bertolak
belakang dengan apa yang nabi Musa ketahui melalui
agamanya.69
Terdapat nilai-nilai yang sangat penting dari kisah
nabi Musa dan Khidir yang bisa diambil, nilai-nilai tersebut
perlu dimiliki oleh seorang guru dan murid saat
berlangsungnya proses belajar mengajar. Dialog yang terjadi
di antara keduanya mengandung nilai-nilai edukatif, yaitu
proses transformasinya ilmu dari Khidir ke nabi Musa. Di
mana nabi Musa mampu memahami apa yang disampaikan
oleh Khidir walaupun sering terjadi perdebatan di antara
keduanya karena beda dasar pengetahuannya.70
Kedua Tawadhu’, ketika nabi Musa berkhotbah dan
ditanya oleh salah seorang umatnya ‚adakah orang yang lebih
pintar darimu?‛ dan nabi Musa menjawab ‚tidak‛, bermula
dari itu Allah memperingatkannya, bahwa ada hambanya
dimiliki karena dalam setiap harinya ilmu akan selalu berkembang
mengikuti zaman, ketika hanya terpaku pada ilmu yang dimiliki
maka pengetahuannya hanya berdiam dan tidak ada perkembangan.
Lihat: Lukmanul Hakim, Pendidikan Karakter Rasa Ingin Tahu
Melalui Pembelajaran Konstruktif Dalam Kisah Musa Dan Khidir
(Jurnal Tarbawi: Uinversitas Muhammadiyah Tangerang, 2019),
139. 69
Lukmanul Hakim, Pendidikan Karakter Rasa Ingin Tahu
Melalui Pembelajaran Konstruktif Dalam Kisah Musa Dan Khidir
(Jurnal Tarbawi: Uinversitas Muhammadiyah Tangerang, 2019),
147. 70
Muh. Luqman Arifin, Nilai-Nilai Edukasi dalam Kisah
nabi Musa-Khidir dalam al-Quran (Jurnal Dialektika: Universitas
Peradaban, 2018), 32.
145
yang lebih pintar darinya. Seketika itu nabi Musa mencarinya
uutk menjadikannya guru. Banyak pelajaran yang tidak
mampu dipahami oleh nabi Musa, mulai dari kenapa Khidir
melubangi perahu, Membunuh anak kecil, dan menegakkan
dinding rumah yang hampir roboh. Semua yang tidak
dipahami ditanya oleh nabi Musa ke gurunya. Ketika Khidir
menjelaskannya dan nabi Musa paham apa yang dijelaskan
baru nabi Musa sadar bahwa ilmu Allah luas cakupannya dan
apa yang diketahui oleh nabi Musa masih belum seberapa. 71
Sikap tawadhu yang dimiliki oleh nabi Musa untuk
belajar kepada Khidir seharusnya tertanam dalam diri
manusia, sehingga apa yang disampaikan oleh gurunya bisa
dipahami secara mendalam. Tawadhu sikap seseorangyang
tidak memandang bahwa dirinya lebih pintar dari orang lain.
Selain itu, tindakan nabi Musa memohon kepada Khidir untuk
menjadi gurunya merupakan sebuah etika seorang murid pada
gurunya, sehingga nabi Musa lebih terlihat rendah hati dan
tawadhu.72
Ketiga Sabar, berawal ketika Allah memerintahkan
nabi Musa bertemu seorang hambanya yang lebih pandai dari
nabi Musa. Dengan perjalanan yang sangat lama dan jauh,
nabi Musa ditemani umatnya yang sangat patuh padanya.
Dibekali seekor ikan sebagai petunjuk agar bisa berjumpa
dengan Khidir. Ketika bertemu dengan Khidir, nabi Musa
masih diuji kesabaran mengenai kesediaan Khidir menjadi
71
Muh. Luqman Arifin, Nilai-Nilai Edukasi dalam Kisah
nabi Musa-Khidir dalam al-Quran (Jurnal Dialektika: Universitas
Peradaban, 2018), 33. 72
Muh. Luqman Arifin, Nilai-Nilai Edukasi dalam Kisah
nabi Musa-Khidir dalam al-Quran, 34.
146
gurunya. Negosiasi yang dilakukan nabi Musa merupakan
keinginannya untuk menjadi murid dari Khidir. Akhirnya
Khidir menerimanya dengan syarat harus sabar dan tidak boeh
banyak bertanya. Dalam hal ini, kesabaran nabi Musa
ditunjukkan ketika beliau harus menempuh perjalanan yang
sangat jauh dan memakan waktu yang lama.73
Dalam kisah ini, Khidir mengajak nabi Musa untuk
memanfaatkan semua alat inderanya agar bisa mencermati
semua pelajaran yang diterimanya. Bahkan nabi Musa diajak
untuk melibatkan hati dan pikirannya sehingga karakter
aslinya muncul secara spontan. Dari sanalah Khidir
mendidikanya, mengingatkan semua kesalahannya sehingga
akhirnya tercapailah kesabaran dari diri nabi Musa melalui
pembinaan akhlak.
B. Hukum Pembunuhan Nabi Khidir terhadap Ghulam
dalam Surat al-Kahfi
Ayat ahkam secara umum sebagaimana dikemukakan
oleh Ali bin Sulaiman al-Ubaid adalah ayat-ayat al-Qur’an
yang menjelaskan hukum- hukum fiqh (hukum-hukum
syari’ah yang bersifat praktis dan ‘amaliyah) dan menjadi
dalil atas hukum-hukumnya baik secara naṣ atau secara
istinbāṭ.74 Namun, menurut Moqsith Ghazali tidak ada ulama
yang mendefinisikan ayat-ayat ahkam ini secara serius, hal ini
karena sudah cukup jelas pengertian yang diambil dari kata
73
Anita Fauziah, Implikasi Edukatif Kisah Nabi Musa Dan
Nabi Khidir Dalam Qs. Al-Kahfi/18: 60-82: Studi Literatur
Terhadap 5 Tafsir Mu’tabarah ( Jurnal Tarbawi, Universitas
Pendidikan Indonesia, 2019), 40. 74
‘Alī ibn Sulaimān al-‘Ubaid, Tafsīr Ayāt al-Aḥkām wa Manhājuhā (Riyāḍ: Dār al-Tadmuriyah, 2010), 125.
147
‚ayat hukum‛ itu sendiri. Dari sini dapat dipahami bahwa
ayat hukum adalah ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan
dengan perbuatan manusia (mukallaf).75
Di kalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat
mengenai batasan ayat hukum dalam al-Qur’an. Beberapa
ulama berpendapat bahwa ayat hukum dalam al-Qur’an tidak
terbatas pada ayat-ayat tertentu. Mereka antara lain adalah
Najmu al-Dīn al-Ṭufī, Ibn Daqīq al-‘Īd, al-Ṣan’ānī dan al-
Syaukānī.76
Bagi mereka, seluruh ayat al-Qur’an mengandung
hukum, meski hanya terselip secara implisit dan tidak semua
orang mengetahuinya. Menurut al-Qarafi tidak satu ayat pun
dalam al-Qur’an kecuali di dalamnya terkandung suatu
hukum.77
Bertolak dari pendapat di atas, dalam pandangan
jumhur ulama, tidak semua ayat al-Qur’an dapat dijadikan
75
Lilik Ummi Kaltsum dan Abd Moqsith Ghazali, Tafsir Ahkam, cet. I (Ciputat: UIN Press, 2015), 11. Istilah ayat-ayat
hukum adalah untuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan
masalah-masalah hukum. Hal ini sama dengan penyebutan ayat-ayat
yang berisikan teologi disebut ayat-ayat kalam, ayat-ayat yang
berisi tentang etika disebut sebagai ayat akhlak, ayat-ayat yang
berisi tentang kisah disebut ayat al-Qaṣaṣ, demikian juga ayat-
tentang pendidikan disebut dengan ayat tarbawi, dan ayat yang
berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi disebut dengan
ayat al-Kauniyah. Lihat: Muhammad Amin Suma, Pengantar Tafsir (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 118.
76 Najm al-Dīn al-Ṭufī, Syarah Mukhtaṣar al-Raudah,577-
578. Badr al-Dīn Muḥammad bin ‘Abd Allāh bin Bihār Al-Zarkasyī,
al-Buhr al-Muhīṭ fī Uṣūl Fiqh, juz. VII, Cet. I (Libanon: Dār al-
Kutub al-‘Alamiyah Beirūt, 2000 M) h. 230. Al-Ṣan’ānī, Ijābah al-Sāil Syarh Bugyah al-Āmil, 384. Al-Syaukānī, Irsyād al-Fuhūl, 2/206.
77 Syihabuddīn al-Qarafī, Syarh al-Tanqīn, 1/437
148
sebagai dalil hukum fiqh. Hal ini didasarkan pada fakta atas
keberadaan ayat-ayat hukum yang terbatas. Namun mengenai
kepastian jumlahnya, para fuqahā berbeda pendapat, sebagai
berikut. Ibn al-Mubārak (w. 181 H) 900 ayat, Abū Yusūf (w.
183 H) 1.100 ayat, Ibn Qudamah (w. 290 H) 500 ayat, Imām
al-Ghazālī (w. 505 H) 500 ayat, al-Rāzī (w. 639 H) 500 ayat,
Ibn Jazzāri al-Kalbī 500 ayat, Ibn al’Arabī (w. 543 H) 400
ayat, Ṭanṭawī Jauhārī (w. 1862 M) 150 ayat, Aḥmad Amīn (w.
1954 M)200 ayat, dan ‘Abd Wahhāb Khallāf (w. 1956 M) 228
ayat.78
Perbedaan tersebut paling tidak dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Antara lain adalah perbedaan persepsi dalam
menentukan kriteria ayat-ayat hukum, ada ayat-ayat al-
Qur’an jika dilihat dari sisi tertentu ia mencerminkan ayat
hukum, tetapi pada sisi lain ia mengisyaratkan kelompok ayat
lain. Misalnya QS. Hūd/11:84.79
Tindak pidana pembunuhan merupakan perbuatan
yang melanggar hukum atau aturan yang telah ditetapkan
dalam al-Qur’an dan pelakunya diancam dengan sanksi
78
Asep Sulhandi, ‚Mengenal Ayat-ayat Hukum dalam al-
Qur’an‛ (Jurnal Samawat, Vol. 1, No. 1, 2017), 4.
79
بنا ن لىكيم مىا اللى اعبيديكا قػى ـ ى قىاؿى إلىى مىديىنى أىخىاىيم شيعىيػ تىنقيصي ا كىلاى غىيػريهي إلى وو مييو أى كىإ بخىنو أىرىاكيم إ كىالميزىافى المكيىاؿى خىاؼي عىلىيكيم عىذىابى يػى وـ مح
Ayat di atas, sekilas lebih menonjol aspek sejarah dan
teologinya. Sebab, kandungannya berupa perintah nabi Syu’aib
kepada kaumnya untuk menyembah Allah Swt, semata. Tetapi, bila
dicermati dari aspek lainnya, maka ayat tersebut dapat juga
diklasifikasikan ke dalam kelompok ayat-ayat hukum, dalam hal ini
larangan berbuat curang dalam bentuk apapun, termasuk
mengurangi takaran atau timbangan (sebagaimana disebutkan dalam
teks ayatnya). Lihat: Muhammad Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, 32.
149
pidana.80
Al-Qur’an dengan jelas mengisyaratkan bahwa
setiap individu memiliki hak hidup. Oleh karenanya, dalam
beberapa ayat, al-Qur’an melarang membunuh manusia
sekaligus memerintahkan untuk memelihara kehidupan.81
Ayat yang berkenaan dengan pembunuhan yang
pertama kali turun adalah QS. Al-Isrā’/17:33. Dalam
pandangan al-Qurṭubī, kandungan pokok ayat tersebut adalah
larangan membunuh seseorang tanpa alasan yang dibenarkan
syara’. 82 Kebolehan membunuh seseorang harus didasarkan
pada hakim dalam suatu pengadilan yang berkompeten.83
80
Kata Tindak Pidana berasal dari Istilah yang dikenal
dalam pidana Belanda, yaitu Strafbaar feit dan terkadang
menggunakan kata delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah,
2011), 23. Lihat juga: Suharto, Hukum Pidana Materiil: Unsur-Unsur Objektif sebagai Dasar Dakwaan, cet. I (Jakarta: Sinar
Grafika, 2002), 28. 81
Ahmad, ‚Konsep Hak-Hak Asasi Manusia dalam al-
Qur’an‛ (Disertasi, Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2005), 185 82
Abū ‘Abd Allāh muḥammad ibn Aḥmad al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, jilid. 7 (Mesir: Dār al-Kātib al-‘Arabī,
1967), 133. QS. Al-Isrā’ di atas sekaligus memberikan pengecualian
bahwa membunuh itu diperbolehkan dengan alasan yang sah atau
dibenarkan syara’, seperti kisas. Lihat: ’Alī ibn Aḥmad al-Wāḥidī,
al-Wajīz fī tafsīr al-Kitāb al-‘Azziz, Jilid. 2, cet. 1 (Damaskus: Dār
al-Qalam, 1415 H), 634. 83
Almaudūdi membedakan antara membunuh dengan
menghukum mati. Dalam pandangannya, hukuman mati itu adalah
menghilangkan satu nyawa demi menyelamatkan banyak nyawa,
dan berhak mengeksekusi adalah pengadilan yang telah ditunjuk
secara resmi oleh negara/pemerintah. Lihat: al-Maudūdi, Human Right in Islam (London: The Islamic Pondation, 1976), 22.
150
Dalam konteks hubungan manusia dengan manusia,
dilihat dari sisi sejarah, praktik kezaliman dan tindakan
diskriminatif terhadap umat manusia sudah berlangsung sejak
adanya kehidupan manusia itu sendiri. Yaitu sejak terjadi
konflik dua anak Nabi Adam, Qabil dan Habil yang berakhir
dengan pembunuhan.84
Inilah awal mula terjadinya
pembunuhan dan berlangsung hingga saat ini.85
Ulama sepakat bahwa pembunuhan merupakan
perbuatan yang haram dilakukan dan memiliki implikasi di
dunia dan akhirat. Di akhirat pelaku pembunuhan (sengaja)
mendapatkan balasan sebagaimana disebutkan dalam surat
an-Nisā’/4:93, yaitu dimasukkan ke dalam neraka Jahanam,
dimurkai serta dikutuk oleh Allah Swt.86
Bahkan sebagaimana
disebutkan oleh Ibn Katsīr, membunuh seseorang dengan
sengaja merupakan dosa besar yang dalam beberapa ayat al-
Qur'an disejajarkan dengan dosa syirik. Namun demikian,
masih banyak orang yang menganggap hal tersebut hanya
sebagai tulisan tanpa memandang isi teksnya sehingga tidak
84
…dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya
kepada mereka tentang kisah kedua puta Adam, ketika keduanya
mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari
mereka berdua (Habil) diterima dari yang lain (Qabil) tidak
diterima. Dia (Qabil) berkata, ‚sungguh, aku pasti membunuhnmu!‛
dia (Habil) berkata, ‚sesungguhnya Allah Swt, hanya menerima
(amal) dari orang-orang yang bertakwa‛. QS. Al-Māidah/5:27. 85
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI, Tafsir al-Qur’an Tematik: Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Lajnah
Pestashih Mushaf al-Qur’an, 2010), 299. 86
Ahmad Bahiej, ‚Memahami Keadilan Hukum Tuhan
dalam Qisas dan Diyat‛ (Jurnal as-Syi’rah, Vol. 39, N0. I, 2015), 4.
151
sedikit orang masih melakukan tindakan pembunuhan kepada
orang lain.
Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang digunakan sebagai
landasan hukum atas pembunuhan yang sering kali peneliti
jumpai dalam beberapa kitab tafsir, buku dan literatur lainnya
adalah sebagai berikut: QS. Al-Baqarah/2:178-179,87
QS. Al-
Nisā’/4:92-93,88
QS. Al-Māidah/5:32 dan 45,89
QS. Al-
87
لىى كىالينػثىى بلعىبد كىالعىبدي بلير الير ى أىيػهىا الذينى آمىني ا كيتبى عىلىيكيمي القصىاصي القىتػعريكؼ فىاتبىاعه شى ءه أىخيو من لىوي عيف ى فىمىن بلينػثىى لكى حسىافو إلىيو كىأىدىاءه بلمى في ه من رىبكيم تى ذى لكى بػىعدى اعتىدىل فىمىن كىرىحمىةه تػىتػقي ف لىعىلكيم الىلبىاب أيكو ى حىيىاةه القصىاص كىلىكيم ( 178 )أىليمه عىذىابه فػىلىوي ذى
(179) 88
كىما كافى لميؤمنو أىف يػىقتيلى ميؤمنان إلا خىطىأن كىمىن قػىتىلى ميؤمنان خىطىأن فػىتىحريري رىقػىبىةو ميؤمنىةو كىديىةه ميسىلمىةه قي ا فى ف كافى من قػى وـ عىديكو لىكيم كىىي ى ميؤمنه فػىتىحريري رىقػىبىةو ميؤمنىةو كىإف كافى من قػى وـ بػىيػنىكيم إلى أىىلو إلا أىف يىصد
يـ شىهرىين ميتىتابعىن تػى بىةن منى الل كىكافى اللي د فىصيا نػىهيم ميثاؽه فىديىةه ميسىلمىةه إلى أىىلو كىتىريري رىقػىبىةو ميؤمنىةو فىمىن لمى يى كىبػىيػدان فىجىزاؤيهي جىهىنمي خالدان فيها كىغىضبى اللي عىلىيو كىلىعىنىوي كىأىعىد لىوي عىذابن (92)عىليمان حىكيمان كىمىن يػىقتيل ميؤمنان ميتػىعىم
(93)عىظيمان 89
لكى نىا من اىجل ذ تػىبػ ءيلى بىني عىل ى كى فى فىسىادو اىك نػىف و بغىن نػىفسنا قػىتىلى مىن اىنو اسرىاا
عنا الناسى قػىتىلى فىكىاىنىا الاىرض يػ عنا الناسى اىحيىا اىىا فىكىاىنىااىح ى كىمىن جى يػ ءىتػهيم كىلىقىد جىاا اف ي بلبػىين ت ريسيلينىا جى
ثيػرنا نػهيم كى لكى بػىعدى م نىا( 32 )لىميسرفػي فى الاىرض فى ذ تػىبػ كىالىن ى بلعىن كىالعىنى بلنػف النػف ى أىف فيهىا عىلىيهم كىكىن كىالجيريكحى قصىاصه ن بلس أىنػزىؿى بىا ىكيم لمى كىمىن لىوي كىفارىةه فػىهي ى بو تىصىدؽى فىمىن بلىن كىاليذيفى بليذيف كىالس
(45 )الظالمي فى ىيمي فىأيكلى كى اللي
152
An’ām/6:151,90
QS. Al-Isrā’/17:31 dan 33,91
QS. Al-
Furqān/25:68.92
1. Kriteria Ayat-Ayat Pembunuhan (Pidana)
Sebelum menguraikan kriteria ayat-ayat pembunuhan,
terlebih dahulu penulis akan mengemukakan beberapa
pengantar tentang pembunuhan. Definisi pembunuhan adalah
bagian yang akan dibahas pada sub-bab ini. Hal ini untuk
mengetahui beberapa pandangan ulama tentang makna
pembunuhan, agar menjadi landasan atau rujukan dalam
menganalisa masala-masalah berikutnya.
Secara etimologi, pembunuhan atau al-Qatl
merupakan bentuk ketiga dari kata qatala-yaqtulu-qatlan yang
diartikan sebagai ‚pembunuhan‛ oleh Munawwir dalam
kamusnya.93
Berbeda dengan Munawwir, kata qatal dalam
pandangan Ibn Faris memiliki dua makna, yaitu idzlāl yang
berarti merendahkan, menghinakan dan melecehkan. Kedua,
imāṭah yang artinya adalah membunuh atau mematikan.94
90
ؽو دىكيم من إملاى ىيم نػىرزيقيكيم ىني كىلاى تػىقتػيلي ا أىكلاى كىمىا منػهىا ىهىرى مىا الفى ىاح ى تػىقرىبي ا كىلاى كىإ ىـ الت النػف ى تػىقتػيلي ا كىلاى بىطىنى لكيم بلى إلا اللي حىر تػىعقلي فى لىعىلكيم بو كىصاكيم ذى
ؽو 91 دىكيم خىشيىةى إملاى كيم نػىرزيقػيهيم ىني كىلاى تػىقتػيلي ا أىكلاى لىهيم إف كىإ ( 31 )كىبننا خط نا كىافى قػىتػىـ اللي إلا بلى عىلنىا فػىقىد مىظلي منا قيتلى كىمىن كىلاى تػىقتػيلي ا النػف ى الت حىر سرؼ القىتل مي فىلاى سيلطىانان ل ىليو جى
(33 )مىنصي رنا كىافى إنوي 92
ىـ اللي إلا بلى كىلاى يػىزني فى كىمىن كىالذينى لاى يىدعي فى مىعى الل إلى نا آخىرى كىلاى يػىقتػيلي فى النػف ى الت حىرلكى يػىفعىل منا يػىل ى ذى أىثى
93 Ahmad Warson Munawwir dan Muhammad Fayruz, Al-
Munawwir Kamus Indonesia-Arab, cet. I (Surabaya: Pustaka
Progresif, 2007), 164. 94
Abī al-Husain Aḥmad Ibn Fāris Ibn Zakariyā, Mu’jam Maqāyis al-Lughah, (tt, Dār al-Fikr, tt), 715.
153
Sementara menurut al-Rāghib al-Asfahānī kata al-Qatl
bermakna menghilangkan roh dari jasad.95
Adapun secara terminologi sebagaimana
dikemukakan oleh Waḥbah al-Zuḥailī dalam bukunya al-Fiqh
al-Islāmī wa Adillatuh adalah suatu perbuatan yang
mematikan atau perbuatan yang dapat menghancurkan
bangunan kemanusiaan.96
Abdul Qadir Audah mendefinisikan
pembunuhan sebagai suatu tindakan yang dapat
menghilangkan nyawa, ruh atau jiwa orang.97
Hal senada juga
dikemukakan oleh al-Jurjānī dalam Mu’jām al-Ta’rīfāt bahwa
pembunuhan adalah perbuatan yang menyebabkan hilangnya
nyawa seseorang,98
dan jika merujuk pada Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) maka, kata pembunuhan dapat
diartikan dengan proses, cara dan perbuatan membunuh.99
Meskipun banyak mengandung ayat-ayat tentang
hukum, al-Qur’an tidak dapat dikatakan sebagai kitab
hukum.100
Melainkan sebuah pedoman hidup yang utuh dan
95
Al-Rāghib al-Asfahānī, Mu’jam Mufradāt al-Fāẓ al-Qur’ān, (Damsik: Dār al-Qalām, 229), 655.
96 Wahbah al-Zuhailī, Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillātuh, jilid,
VI (Damaskus: Dār al-Fikr, 1989), 217. 97
Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jinai al-Islamī, Jilid. II, (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī), 6.
98 ‘Alī Ibn Muḥammad al-Sayyid al-Syarīf al-Jurjānī,
Mu’jām al-Ta’rīfāt, (Beirūt: Dār al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1983), 172. 99
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 13.
100 Al-Qur’an bukan kitab undang-undang hukum, tetapi ia
adalah kitab petunjuk. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan hukum
yang terdapat di dalam al-Qur’an tidak bersifat rinci sebagaimana
dalam buku-buku hukum, tetapi hanya berupa kaidah-kaidah atau
petunjuk umum. Dari kaidah umum inilah kemudian dikembangkan
oleh para ulama untuk menjawab persoalan-persoalan yang tidak
154
komplet, yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia.
Seperti Akidah (al-A’rāf/7:54), Ibadah (al-Dzurriyāt/51:56),
Akhlak (al-Ahzāb/33:21), Hukum (al-Ra’d/13:37), dan Kisah
(Yusūf/12:3).101
Semua ketetapannya didasarkan pada prinsip-
prinsip umum, karena itulah tidak ada bab-bab atau bagian-
bagian yang baku di dalam al-Qur’an. Itulah sebabnya
penafsiran atas al-Qur’an terus berkembang sesuai situasi dan
kondisi.102
Untuk mengetahui ciri-ciri ayat al-Qur’an yang
seringkali dijadikan dalil hukum atas pembunuhan oleh para
ulama, maka peneliti telah melakukan penelusuran dan
pelacakan terhadap beberapa kitab fikih dan tafsir-tafsir
Ahkam, khususnya pada bab Kisas atau pembunuhan,
mengumpulakan sejumlah ayat-ayat al-Qur’an yang dikutip
oleh para mufasir dan fuqaha kemudian dianalisa.
Berikut ini adalah beberapa hasil pelacakan peneliti
terhadap beberapa kitab tafsir Ahkam, hal ini sebagaimana
yang telah dikemukakan pada bab I, namun pada bab ini akan
ditambah sejumlah tafsir lainnya untuk memperkaya data
yang akan dianalisa.
terdapat hukumnya dalam al-Qur’an tetapi mempunyai kesamaan
‘illat. Lihat: Achyar Zain, ‚Kriteria Tindak Pidana dalam al-
Qur’an‛ (Disertasi, Pascasarjana IAIN Al-Raniry Darussalam Banda
Aceh, 2009), 49. 101
H.A. Wardi Muslich, ‚Ayat-ayat Pidana dalam al-
Qur’an‛ (Jurnal al-Qalam, Vol. XVIII, No, 90-91), 50. Lihat juga:
Ahmad Izzan, Ulum al-Qur’an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas al-Qur’an, cet. 5 (Bandung: Tafakur Kelompok
Humaniora, 2013), 159. 102
Abd al-Hamid Mutawallī, Mabādī’ Nizām al-ḥukm fī al-Islām Ma’a al-Muqāranah bi al-Mubādi’ al-Dustūriyah al-Hadīthash, (Iskandariyah: Mansya’ah al-Ma’arif, 1978), 239.
155
Ayat-ayat tersebut di atas dapat ditemukan di dalam
beberapa kitab tafsir ahkam pada pembahasan atau bab yang
berbeda. Pertama, tafsir Rawā’i al-Bayān karya ‘Alī al-Ṣābunī
(L. 1930 M), QS. Al-Baqarah/2:178-179 disebutkan dalam
bab al-Qiṣāṣ fī Ḥayāt al-Nufūs. QS. Al-Nisā’/4:92-93
disebutkan dalam bab Jarīmah al-Qatl. 103 Kedua,tafsir al-
Bayān li Aḥkām al-Qur’ān karya al-Muzi’ī (w. 825 H), QS.
Al-Baqarah/2:178-179, QS. Al-Māidah/5:45 dan QS. Al-
Isrā’/17:33 disebutkan dalam bab Min Aḥkām al-Qiṣāṣ,QS.
Al-Nisā’/4:92-93 disebutkan dalam bab Aḥkām al-Qiṣāṣ wa
al-Diyāt.104 Ketiga, tafsir Kanzu al-Irfān fī Fiqh al-Qur’ān
karya Jamāl al-Dīn al-Miqdād ‘Abdillāh al-Sayūri (w. 826 H),
QS. Al-Baqarah/2:178-179, QS. Al-Nisā’/4:92-93, QS. Al-
Māidah/5:32 dan 45, dan QS. Al-Isrā’/17:33, disebutkan
dalam bab Kitāb al-Jināyāt. 105 Keempat,tafsir Aḥkām al-
Qur’ān karya Ibn al-‘Arabī (468-543 H), QS. Al-
Baqara/2:178-179, QS. Al-Maidah/5:45, QS. Al-Isrā’/17:33,
kesemuanya disebutkan dalam bab Qisas.106
Kelima, tafsir
Aḥkām al-Qur’ān karya al-Kiyā al-Harrāsī (w. 504 H), QS.
Al-Baqarah/2:178-179, QS. Al-nisā’/4: 29, QS. Al-
103
Muḥammad ‘Alī al-Ṣābunī, Rawā’i al-Bayān Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur’ān, juz II (Beirut: Maktab al-Ghazālī,
tt), 168. 104
Al-Mauzi’ī atau Ibn Nuri al-Dīn, Taisīr al-Bayān Lī Aḥkām al-Qur’ān (Libnan: Dār al-Nawādir, 2012 M), 217 dan 457.
105 Jamāl al-Dīn al-Miqdād ‘Abdillāh al-Sayūri, Kanzu al-
‘Irfān fī Fiqh al-Qur’ān (al-Maktab al-Murtadiyah, 1373 H), 354-
358. 106
Abū Bakr Muḥammad bin ‘Abdillāh Ibn al-‘Arabī, Aḥkām al-Qur’ān, Juz. I (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Alamiyah, tt),
89.
156
Māidah/5:32 dan 45 dan QS. Al-Isrā’/17:33.107
Keenam, tafsir
Aḥkām al-Qur’ān karya Ismā’īl bin Isḥāq (w. 282 H), QS. Al-
Baqarah/2:178-179, QS. Al-Māidah/5:45 dan QS. Al-
Isrā’/17:33.108
Ketujuh,tafsir al-Tafsīr wa al-Bayān li Aḥkām
al-Qur’ān karya ‘Abd al-‘Azīz bin Marzūq al-Ṭarīfī, QS. Al-
Baqarah/2:178179 (juz I), QS. Al-Nisā’/4:92-93 (Juz II), QS,
al-Māidah/5:45 (Juz III), QS. Al-An’ām/6:151 (Juz III), dan
QS. Al-Isrā’/17:31 dan 33 (Juz IV).109
Kedelapan, tafsir
Aḥkām al-Qur’ān karya Abū Bakr Aḥmad ‘Alī al-Rāzī al-
Jaṣṣāṣ (w. 370 H), QS. Al-Baqarah/2:178-179, QS. Al-
Māidah/5:45, QS. Al-Isrā’/17:33, disebutkan dalam bāb al-
Qiṣaṣ dan Kayfiyah al-Qiṣāṣ.110
Berdasarkan data-data berupa ayat-ayat al-Qur’an
yang berkaitan dengan pembunuhan, sebagaimana dipaparkan
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kriteria ayat
pembunuhan adalah sebagai berikut:
Pertama, di dalamnya terdapat kata qatala
(membunuh), baik dalam bentuk fi’il māḍi (قخل), fi’il muḍāri’
mufrad (يقخل) dan fi’il muḍāri’ jama’ ( حقخلىا, يقخلىن ) atau dalam
bentuk masdar ( قخل- القخل )
Kedua, di dalamnya terdapat kata qiṣaṣ disandingkan
dengan pembunuhan, kehidupan melukai bagian tubuh.
107
‘Imād al-Dīn Muḥammad al-Ṭabarī al-Kiyā al-Harrāsī (Beirūt: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 1983), 45.
108 Al-Qāḍī Abī Isḥāq Ismā’īl bin Isḥāq, Aḥkām al-Qur’ān,
Cet. I (Beirut: Dār Ibn Ḥazm, 2005 M), 65. 109
‘Abd al-‘Azīz bin Marzūq al-Ṭarīfī, al-Tafsīr wa al-Bayān li Aḥkām al-Qur’ān, Cet. I (Riyāḍ: Maktabah Dār al-Manhāj,
1438 H) 110
Abū Bakr Aḥmad bin ‚Alī al-Rāzī al-Jaṣṣāṣ, Aḥkām al-Qur’ān, Juz. I (Beirūt: Dār iḥyā’ al-‘Arabī, 1992 M), 171.
157
2. Tafsir atas Ayat-ayat Pembunuhan
Sebelum menguraikan penafsiran ayat-ayat
pembunuhan, terlebih dahulu telah peneliti kemukakan
tentang ayat-ayat pembunuhan dalam al-Qur’an serta
kriterianya. Ayat-ayat pembunuhan sebagaimana
dikemukakan di atas, akan dilihat dari sejumlah kitab tafsir
ahkam pada sub bab ini.
Penjelasan ini penting dikemukakan untuk dijadikan
acuan/dalil terhadap pembunuhan yang memiliki motif yang
sama dengan uraian yang terdapat dalam penjelasan beberapa
ayat pembunuhan yang akan peneliti paparkan. Namun, pada
bagian ini peneliti membatasi pada sebagian ayat saja. Yaitu:
QS. Al-Baqarah/2:178-179, QS. Al-Maidah/5:32 dan 45 dan
QS. Al-Isrā’/17:33.
Adapun tafsir Ahkam yang fokus kajian peneliti
adalah:
1. Al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān al-Qurṭubī
Dalam al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān uraian tentang
QS. Al-Baqarah/2:178-179 terdapat dalam juz 3, QS. Al-
Māidah/5:32 terdapat dalam juz 7, QS. Al-Māidah:45 pada
juz 8, sedangkan QS. Al-Isrā’/17:33 terdapat dalam juz 13.
2. Aḥkām al-Qur’ān Ibn ‘Arabī
Dalam Aḥkām al-Qur’ān Ibn ‘Arabī, QS. Al-
Baqarah/2:178 terdapat dalam juz 1, QS. Al-Māidah/5:32
terdapat dalam juz 2. Tetapi penafsiran ayat 32 digabungkan
dengan penafsiran ayat sebelumnya, yaitu ayat 31-32.
Sementara al-Māidah/5:45 terdapat pada juz 2,
penafsiran ayat ini juga digabungkan dengan penafsiran ayat
158
sebelumnya, yaitu 41-44. Dan QS. Al-Isrā’/17:33 terdapat
pada juz 4.
3. Al-Tafsir wa al-Bayān Abd Aziz Marzūq al-Ṭarifī
Dalam kitab al-Tafsīr wa al-Bayān Abd. Aziz Marzuq
al-Ta’rīfī, kitab yang dikarang langsung oleh Muhammad ibn
‘Alī ibn Abdillah tidak membahas atau menafsirkan semua
surat yang terdapat dalam al-Quran termasuk surat al-Kahfi.
4. Aḥkām al-Qur’ān al-Jaṣṣaṣ
Dalam Aḥkām al-Qur’ān al-Jaṣṣaṣ, al-Baqarah/2:178
terdapat pada juz 1, QS. Al-Māidah/5:32 dan 45 terdapat
dalam juz 4. Namun, penjelasan al-Māidah 32 dikutip ketika
menjelaskan ayat ke 31.
Dari sejumlah tafsir ahkam yang peneliti sebutkan di
atas, tidak satupun ditemukan dalam pembahasan atau
penafsiran ayat-ayat pembunuhan, kasus pembunuhan yang
dilakukan oleh nabi Khidir terhadap ghulām. Begitu juga
ketika peneliti menganalisa ayat yang mengisahkan
pembunuhan nabi Khidir dalam beberapa tafsir tersebut, tidak
ditemukan salah satu di antara mereka yang menjadikan
pembunuhan nabi Khidir ini sebagai pembunuhan yang
berimplikasi pada hukum kisas.
C. Pola Penafsiran terhadap Ayat-ayat Pembunuhan
1. Penggunaan Ayat Hadis sebagai Penjelas
Dalam penafsiran suatu ayat dalam al-Quran, tidak
sedikit para mufasir yang menggunakan rujukan atau kutipan
sebuah hadis. Seperti yang dikutip oleh Ibn Arābī dalam kitab
tafsir Ahkām al-Qur’an pada surat al-Baqarah/02:179 dia
159
mengutip salah satu hadits111
nabi untuk menjelaskan tentang
hukum qisas.112
Begitu pula al-Qurtubi dalam kitab Al-Jāmi’
li Aḥkām al-Qur’ān, beberapa hadits yang dia kutip untuk
menjelaskan bagaimana hukum qisas pada surat surat al-
Baqarah/02:179 seperti yang dikutip pada kitab shahih
Bukhārī,113
selain al-Bukhārī, al-Qurtubi juga mengutip hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
2. Kecenderungan Fokus Pembahasan
Dalam menafsirkan ayat al-Quran, mufasir tidak
hanya mencantumkan bagaimana pendapatnya tentang sebuah
peristiwa yang terjadi, tetapi mereka juga mencantumkan
ayat al-Quran, beberapa hadits yang berkaitan bahkan
pendapat-pendapat para tabi’īn dan ulama yang ikut
menyumbangkan pendapatnya mengenai hukum tersebut.
a. Al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān al-Qurṭubī
Dalam kitab al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān al-Qurṭubī,
penulis membatasi ayat-ayat pembunuhan dalam tiga surat.
YAitu surat al-Baqarah/02: 178-179, Al-Isrā’/17:33, dan Al-
Māidah/5:32.
111
عن السن عن سمرة قاؿ رس ؿ الله صلى الله عليه وسلم من قتل عبده قتلناه 112
Ibn Arabī, Ahkām al-Qur’an, juz 2 (Beirut: Dār al-
Kutub al-Ilmiyah, 2003), 92 113
: كاف بني اسرائيل القصاص، كلم تكن فيو الدية، فقاؿ الله لذه الامة: عن ابن عباس قاؿ لىى ) ( شى ءه أىخيو من لىوي عيف ى فىمىن بلينػثىى كىالينػثىى بلعىبد كىالعىبدي بلير الير كيتبى عىلىيكيمي القصىاصي القىتػ
عريكؼ كىأىدىاءه إلىيو حسىافو )فالعف ، اف يقبل الدية فى العمد لكى )يتبع بلمعركؼ كيؤدم بحساف (فىاتبىاعه بلمى ذى لكى بػىعدى اعتىدىل فىمىن )قبلكم كاف من على كتب مما( ىفي ه من رىبكيم كىرىحمىةه ؿ قب قتل( أىليمه عىذىابه فػىلىوي ذى
.قب ؿ الدية
160
Pertama, al-Baqarah/02: 178-179.
Al-Qurṭubī menjelaskan bahwa dalam surat al-
Baqarah/02: 178-179 terdapat tujuh belas permasalahan
mengenai hukum dalam pembunuhan.
a. Dalam masalah yang pertama bahwa al-Qurtubi
mengutip hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, al-
Nasāī, dan al-Dāraquṭniyyu114
yang menyatakan bahwa
pada masa Bani Isrāīl terlah terjadi qisas namun tidak
ada denda terhadap orang yang diqasas, sehingga
turunlah surat al-Baqarah/02: 178-179. Untuk
menjelaskan bagaimana hukum dari qisas tersebut, selain
mengutip dari al-Bukhārī, al-Qurṭubī juga mengutip dari
al-Sya’biyyu mengenai ayat al-ḥurru bi al-ḥurri wa al-
Abdu bi al-al-Abdi wa al-untsa bi al-untsa bahwa ayat
ini turun pada dua golongan arab yang saling membunuh,
dan mereka berkata maka kami membunuh hamba kami
fulān ibn fulān.
b. Dalam masalah kedua tentang ayat Kutiba alaikum al-
Qisās menurut al-Qurṭubī bahwa lafadz Kutiba memiliki
makna furiḍa artinya diwajibkan atau tetap. Pada
masalah yang kedua al-Qutubi mengutip perkataan Umar
ibn Abī Rabi’ah115
bahwa ‚Diwajibkan pembunuhan dan
membunuh kepada kami dan atas orang yang
terpandang‛.
114
: كاف بني اسرائيل القصاص، كلم تكن فيو الدية، فقاؿ الله لذه الامة: عن ابن عباس قاؿ لىى ) (مءه شى أىخيو من لىوي عيف ى فىمىن بلينػثىى كىالينػثىى بلعىبد كىالعىبدي بلير الير كيتبى عىلىيكيمي القصىاصي القىتػ
عريكؼ كىأىدىاءه إلىيو حسىافو )فالعف ، اف يقبل الدية فى العمد لكى )يتبع بلمعركؼ كيؤدم بحساف (فىاتبىاعه بلمى ذى لكى بػىعدى اعتىدىل فىمىن )قبلكم كاف من على كتب مما( ىفي ه من رىبكيم كىرىحمىةه قتل قبل (أىليمه عىذىابه فػىلىوي ذى
.قب ؿ الدية115
كتب القتل كالقتاؿ علينا كعلى الغانيات جر الذي ؿ
161
c. Masalah ketiga al-Qurṭubi menjelaskan bahwa qisas
terjadi ketika wali pembunuh menginginkan untuk
dibunuh karena mengikuti perintah tuhan.
d. Masalah keempat bahwa tidak ada perbedaan tentang
qisas dalam pembunuhan, bahwa qisas hanya dilaksnakan
oleh pemerintah. Diwajibkan bagi pemerintah
menegakkan qisas dan melaksakan cambuk. Menurut al-
Qurtubi bahwa hukum Qisas adalah tidak lazim, karena
apabila hukum Qisas adalah lazim maka tidak bisa
diganti dengan yang lain selamanya, karena ketika wali
yang dibunuh merelakan tidak diqisas dan diganti dengan
denda atau bahkan dimaafkan maka hukumnya boleh
e. Masalah kelima mengenai ayat al-ḥurru bi al-ḥurri wa al-
Abdu bi al-al-Abdi wa al-untsā bi al-untsā. Terjadi
perbedaan dalam menakwilkan ayat tersebut, ada yang
mengatakan bahwa ayat tersebut turun untuk
menjelaskan macam hukum dalam pembunuhan, ayat
tersebut menjalaskan hukum orang merdeka ketika
membunuh orang merdeka, budak membunuh budak,
perempuan membunuh perempuan dan hukum qisas tidak
terjadi ketika pembunuhan dilakukan oleh beda jenis
contoh budak dibunuh oleh orang merdeka, maka yang
membunuh tidak dikenakan hukum qisas. Dalam
menjelaskan ayat ini, al-Qurṭubi mengutip ayat lain yaitu
surah al-Maidah/05: 45 dan mengutip dari hadis nabi
yang diriwayatkan oleh Ahmad bahwa nabi membunuh
orang yahudi sebab membunuh perempuan, dan
dikatakan dari Ibn ‘Abbās bahwa ayat al-ḥurru bi al-ḥurri
wa al-Abdu bi al-al-Abdi wa al-untsā bi al-untsā dihapus
oleh surat al-Māidah/05: 45
f. Masalah keenam bahwa orang kufah dan tsauri bahwa
qisas juga terjadi pada orang merdeka yang membunuh
162
budak, atau muslim membunuh dzimmi dengan mengutip
pada surat al-Māidah/05:45, mereka berkata ‚ada
kesamaan antara Muslim dengan kafir Dzimmi dari segi
kehormatan yang hanya dicukupkan dengan qisas.
g. Masalah ketujuh mengenai tentang pendapat jumhur
ulama bahwa orang muslim tidak diqisas sebab
membunuh orang kafir, mengenai pendapat ini, al-
Qurtubi mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhārī116
bahwa orang muslim tidak dibunuh karena
membunuh orang kafir. Dalam pendapatnya bahwa
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari adalah hadits
shahih yang mengkhususkan ayat yang umum.
h. Masalah yang kedelapan, Al-Qurṭubi mengutip hadis
yang diriwayatkan oleh Alī ibn Abī Ṭālib bahwa ada ayat
di atas turun untuk menjelaskan hukum ketika terjadi
perbedaan antara yang dibunuh dan yang membunuh.117
D. Interpretasi Atas Kemaksuman Nabi dalam Kisah
Pembunuhan Ghulām
Kisah dalam surah al-Kahfi/18 ayat 74 yang
mengisahkan fenomena menarik yang melibatkan dialog
antara Khidir dan Musa apabila dilihat sebagai perbuatan
menusiawi yang dapat berimplikasi pada hukum jinayah maka
akan bertentangan dengan konsep kesucian profetik yang ada
dalam doktrin Islam.118
Implikasi dari adanya pandangan yang
kontradiksi dalam kisah pembunuhan anak kecil (gulām)
116
قاؿ النبي ص ؿ، لايقتل مسلم بكافر، اخرجو البخارل عن عل ابن ابي طالب 117
Maksud adanya perbedaan adalah ketika seorang
merdeka membunuh budak, laki-laki membunuh perempuan,
perempuan membunuh laki-laki. 118
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’ (Qum: Kutubi
al-Najafi, t.tn.), 14.
163
dengan konsep ‘iṣmat al-anbiyā’ maka kiasan tersebut harus
dipandang bukan sebagai perbuatan tercela atau pidana. Ada
alasan mengapa kisah tersebut tidak dapat diterapkan dengan
dalih ‘iṣmat al-anbiyā’. Sehingga kisah pembunuhan ghulām
dapat dipahami dalam beberapa aspek.
Pertama, nabi Khidir dan nabi Musa merupakan nabi
yang telah dipilih oleh Allah sebagai kekasih-Nya. Orang
yang dipilih Allah sebagai seorang nabi tidak mungkin
melakukan perbuatan dosa karena perbuatan ini merupakan
salah satu dari perbuatan setan. Setan selalu menyeru manusia
kepada jalan kesesatan sedangkan nabi selalu menyeru
manusia ke arah kebenaran. Antara kesesatan dan kebenaran
tidak dapat dipersatukan dan saling menegasikan. Sehingga
perbuatan nabi tidak dapat disamakan dengan perbuatan
setan. Perbuatan nabi selalu dibimbing oleh Allah dan
mengajak manusia untuk mengesakan-Nya.119
Perbuatan nabi selalu dihubungkan dengan konsep
kesucian profetik (‘iṣmat al-anbiyā’). Konsep ini menyatakan
bahwa seorang nabi yang telah dipilih oleh Allah
mengharuskan dia terbebas dari segala perbuatan yang dapat
mengakibatkan melakukan dosa atau melakukan suatu
kehinaan.120
Kesucian para nabi dari melakukan perbuatan
maksiat atau melakukan suatu perbuatan tercela disebabkan
setiap tingkah lakunya dibimbing oleh Allah Swt. (al-
Najm/53:3-4). Dengan demikian para nabi selalu dijaga oleh
Allah untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Sifat tercela
atau maksiat yang dimaksud dapat mencakup perbuatan atau
perkataan dari seorang nabi. Contoh dari perbuatan yang
tidak baik adalah nabi tidak pernah mencuri, berzina, dan
119
Ibn Taymi>yah, Al-Furqa>n Bayn Awliya>’ al-Rah}ma>n wa Awliya>’ al-Shayt}a>n (Damaskus: Maktabah Da>r al-Baya>n, 1985), 7.
120 Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 16.
164
membunuh tanpa alasan yang jelas (bāṭil).121 Justeru seorang
nabi selalu melakukan perbuatan baik seperti memberi kasih
sayang kepada semua orang, memberi makan orang yang
butuh, menyantuni fakir miskin, dan melakukan perang yang
sesuai dengan perintah Allah. Sedangkan sebagian dari
perkataan yang buruk dan tidak mungkin dilakukan oleh para
nabi seperti berdusta, menyakiti hati orang lain, menyela
orang lain, dan berkata yang tidak baik, sebaliknya nabi selalu
berkata baik seperti menyampaikan firman Allah secara jujur,
berkata baik dan benar, dan selalu mengajak orang untuk
mengesakan Allah.122
Salah satu faktor yang menyebabkan seorang nabi
‚berdosa‛ adalah melakukan perbuatan tercela seperti
membunuh. Membunuh adalah suatu perbuatan
menghilangkan nyawa manusia tanpa ada asalan yang jelas
yang dapat membenarkan perbuatan membunuh tersebut
seperti orang yang zina muḥṣān atau dalam keadaan
berperang melawan orang kafir.123
Pada dua contoh terakhir
perbuatan membunuh dapat dibenarkan karena ada tuntunan
dari syariat (Allah). Namun sebaliknya apabila tidak ada
tuntunan dari syariat, siapa pun tidak dapat dibenarkan
membunuh seseorang tanpa hak.
Dalam kasus surah al-Kahfi/18:74 yang melibatkan
dialog antara Khidir dan Musa bertemu dengan seorang
ghulām, terlihat peristiwa yang sangat nyata, jelas dan tegas
yaitu terjadi pembunuhan terhadap ghulām oleh Khidir
dengan menggunakan redaksi qatala.124
Redaksi tersebut
121
Ibn Kathi>r, Qis}as} al-Anbiya>’ (Kairo: Dar al-Ta’li>f,
1968), 67. 122
Ibn Kathi>r, Qis}as} al-Anbiya>’, 68. 123
Abu> Bakr bin Muh}ammad al-H{usayni>, Kifa>yat al-Akhya>r (Surabaya: Dar al-‘Ilm, t.tn), 160, 169.
124 Ibn Manz}u>r, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar Sadir, t.tn),
10/49.
165
merupakan kata yang lebih khusus dari kata jaraḥa yang
berarti melukai.125
Apabila kata jaraḥa merupakan tindakan
yang dapat menyakiti bagian tubuh seseorang namun sifat
merusak yang terdapat pada kata tersebut tidak fatal, namun
pada kata qatala unsur melukai sampai pada tindakan yang
fatal yaitu sampai terenggutnya nyawa seseorang. Penjelasan
secara leksikal terhadap kata qatala merupakan fakta historis
bahwa khidir telah membunuh seseorang di depan mata Musa.
Bagaimana fenomena pembunuhan Khidir terhadap
ghulām dapat dijelaskan menyangkut masalah ‘iṣmat al-anbiyā’. Apakah kisah pembunuhan Khidir terhadap ghulām
hanya merupakan kisah fiktif belaka yang sengaja direkam
dalam al-Qur’an sebagai pelajaran bagi umat Islam? Atau
apakah membunuh seorang ghulām oleh Khidir merupakan
bentuk perintah dari Allah sehingga dapat dikatakan bahwa
peristiwa pembunuhan tersebut didasarkan pada hukum
Allah? Atau bisa jadi perilaku membunuh merupakan sesuatu
yang dapat ditolerir pada zaman Musa khususnya terhadap
orang yang mempunyai kesalahan khusus seperti orang yang
membangkang, durhaka, atau melakukan hal tercela lainnya.
Segala kemungkinan yang penulis jelaskan memiliki
probabilitas pembahasan yang dapat menunjukan bahwa
peristiwa pembunuhan oleh Khidir merupakan sesuatu yang
tidak salah. Mengapa dapat dikatakan demikian karena
menyangkut bahwa Khidir adalah nabi Allah yang terbebas
dari perbuatan dosa dan maksiat. Argumen yang dapat
diajukan di sini terkait dengan membunuh ghulām oleh Khidir
adalah bahwa kisah pembunuhan merupakan kisah fiktif yang
sengaja dibuat Al-Qur’an sebagai suatu permisalan atau
sebagai contoh (‘ibrah).
Muhammad A. Khalafullah dalam al-Fann al-Qaṣaṣ fī al-Qur’ān mengingatkan bahwa narasi kisah dalam al-Qur’an
hendaknya tidak dipahami sebagai fakta yang benar-benar
125
Ibn Manz}u>r, Lisan al-‘Arab, 2/422.
166
terjadi pada kehidupan nyata.126
Karena hal tersebut akan
menjerumuskan kita pada pemahaman bahwa al-Qur’an
adalah kitab sejarah yang merekam setiap peristiwa historis
secara mendetail. Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad tentu bukan kitab sejarah yang menyajikan fakta-
fakta sejarah dan dapat dijadikan referensi dalam kajian
sejarah umat manusia. Namun harus dipahami bahwa gaya
bahasa al-Qur’an merupakan gaya bahasa pilihan yang
menjadikan al-Qur’an sebagai mu’jizat dalam agama Islam.
Unsur sastra lebih ditonjolkan dalam al-Qur’an daripada
menyajikan unsur sejarah.127
Unsur sastra ini pula yang
menjadikan interpretasi atas ayat al-Qur’an tidak akan habis
dan tidak akan usang dimakan zaman.
Dalam kisah pembunuhan terhadap ghulām oleh
Khidir tidak harus dimengerti bahwa hal tersebut benar-benar
terjadi pada kehidupan lampau, namun dapat dipahami
sebagai kisah simbolik.128
Kisah simbolik sangat berguna
dalam menarasikan berbagai kisah-kisah tentang keagamaan.
Afif ‘Abd al-Fattāh Tabbarah mengatakan bahwa kisah dalam
al-Qur’an dibuat hanya untuk mempengaruhi pendengar atau
pembaca untuk tergerak hatinya dan menerima kisah tersebut
sebagai bagian kisah yang dinarasikan oleh Allah dalam al-
Qur’an.129
Apabila pendekatan sebagaimana ditawarkan oleh
Thabbarah diterapkan dalam kisah Khidir maka akan
menghasilkan suatu rangkaian narasi bahwa kisah
pembunuhan Khidir merupakan aspek simbolis keagamaan
126
Muhammad A. Khalafullah, Al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah (Jakarta: Paramadina, 2002), 159.
127 Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar
(Yogyakarta: eLSAQ, 2005), 25. 128
Muhamad Agus Mushodiq, ‚Perilaku Patalogis pada
Kisah Nabi Musa dan ‘Abd dalam al-Qur’an: Telaah Epistimologi
al-Jābirī dan Semiotika Peirce‛ Jurnal Ulul Albab, Vol. 19, No. 1,
(2018), 71. 129
Afif ‘Abd al-Fattah Tabbarah, Ruh al-Din al-Islami, 47.
167
yang bertujuan untuk mempengaruhi pembaca atau pendengar
kisah al-Qur’an terhadap kedigdayaan Khidir atas Musa.130
Khidir sebagai orang yang lebih dihormati dan diakui
kehebatannya oleh Musa memerankan tokoh yang memiliki
ilmu pengetahuan yang sangat luas. Sedangkan Musa, harus
menerima pengajaran ilmu dari Khidir. Efeknya adalah Musa
harus mengikuti apa yang akan diajarkan Khidir tanpa harus
ada protes dan pertanyaan yang menyangkal dari pengajaran
Khidir. Ketika Khidir melakukan pembunuhan sesungguhknya
ia sedang memberi pengajaran kepada Musa tentang suatu
pengetahuan yang tidak diketahui oleh Musa.131
Anak yang
dibunuh Khidir pada hakikatnya bukan merupakan anak yang
disangka suci oleh Musa, namun anak yang penuh dengan
dosa dan dikhawatirkan akan menyebabkan kesengsaraan
kepada orang tuanya, sehingga Khidir membunuh anak
tersebut dengan melalui perintah Allah.132
Musa tidak dapat
menyangkal pengajaran tersebut karena sudah ada perjanjian
dari awal untuk tidak melakukan protes dalam proses belajar
mengajar. Maka dari segi sastra, sebenarnya yang hendak
diungkapkan dalam al-Qur’an adalah suatu simbol
keagamaan, bukan dalam pengertian fakta sejarah yang benar-
benar terjadi pada masa lampau.133
Simbolisme dalam kisah Khidir dan Musa dapat
memberi pelajaran tentang bagaimana seharusnya hubungan
130
M. Faisol, ‚Struktur Naratif Cerita nabi Khidir dalam
al-Qur’an‛, Adabiyyāt, Vol. X, No. 2 (Desember, 2011), 10. 131
Muhamad Agus Mushodiq, ‚Perilaku Patologis Pada
Kisah Nabi Musa dan Khidir Dalam al-Quran: Telaah Epistemologi
āl-Jābirī Dan Semiotika Peirce‛, Jurnal Institut Agama Islam
Ma’arif Metro, 2018, 77. 132
Fakh al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghayb (Beirut: Dar al-
Fikr, 1981), 21/155-6., Ahmad bin Mustafa al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi> (Kairo: Mustafa al-Babi> al-Halabi>, 1946), 15/179.
133 Muhammad A. Khalafullah, Al-Qur’an Bukan Kitab
Sejarah, 160.
168
antara guru dan murid dalam proses pedagogik. Pengajaran
yang ditransfer dari guru ke murid bisa meniru pelajaran dari
kisah dua nabi Allah ini. Pelajaran yang baik seharusnya
menempatkan guru pada posisi yang dihormati dan sang
murid harus menuruti semua yang dikatakan oleh guru. Murid
hendaknya jangan terlalu banyak memprotes pelajaran yang
diajarkan oleh guru, karena sikap protes berasal dari sikap
tergesah-gesah seorang murid dalam menerima suatu ilmu.
Selain itu, pengajaran ilmu yang baik hendaknya dilakukan
dengan cara praktek supaya murid dapat langsung
mempraktekan ilmu yang diajarkan oleh sang guru.134
Simbolisme kisah Khidir dan Musa dapat pula
bermakna ilmu lahir dan batin. Ilmu lahir merupakan ilmu
perolehan yang didapat dari proses kognitif, sedangkan ilmu
batin merupakan pengajaran yang diberikan Allah kepada
orang yang dikehendakinya, bahkan tanpa melalui usaha
sekalipun.135
Pada umumnya manusia hanya mengenal ilmu
lahir dalam menghukumi suatu kasus. Namun dalam kisah
Khidir dan Musa dapat dilihat bagaimana Khidir mengajarkan
ilmu batin kepada Musa tentang sesuatu yang tidak diketahui
Musa melalui pancaindra atau bukti empiris. Musa hanya
menjustifikasi suatu yang tampak di matanya bahwa ghulām
yang dibunuh Khidir merupakan seorang yang bersih dari
dosa (zakiyah), namun pengetahuan Khidir tentang ghulām
lebih mendalam daripada Musa, karena pengamatan Khidir
lebih baik daripada Musa.136
134
Nurul Azizeh, ‚Mukjizat Naratologis: Studi Andragogi
atas Kisah Musa Khidr dalam Surah Al-Kahfi 60-82‛, Jurnal Universitas Nurul Jadid Paiton, (Juni 2019), 39.
135 Ahmad bin Mustafa al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi>,
15/173. 136
‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni> (Karachi: al-
Maktabah al-Ma’rufah, 2010), 90., Ahmad bin Mustafa al-Mara>ghi>,
Tafsi>r al-Mara>ghi>, 15/175.
169
Kemungkinan selanjutnya yang dapat diungkapkan di
sini melalui kisah pembunuhan ghulām oleh Khidir adalah
bahwa pembunuhan tersebut merupakan bentuk perintah
langsung dari Allah, sehingga ketika Khidir membunuh
ghulām tidak dapat dipersalahkan apalagi dikenakan hukum
qiṣaṣ. Argumen ini bisa digunakan dengan merujuk pada
indikasi pada surat al-Kahfi/18:82. Pada ayat ini dijelaskan
bahwa Khidir tidak melakukan hal demikian berdasarkan
kemauannya sendiri (wa-mā fa‘altuhu ‘an amrī). Dengan
demikian maka sesungguhnya ada Zat yang menyuruh Khidir
melakukan pembunuhan, yaitu Allah. Allah memerintahkan
Khidir untuk membunuh ghulām dengan alasan bahwa anak
tersebut telah melakukan tindakan kesesatan (ṭughyānan) dan
kekafiran (kufran). Tindakan ghulām ini dikhawatirkan akan
menyeret kedua orang tuanya ke dalam hal yang sama yaitu
kesesatan dan kekafiran. Pembunuhan terhadap ghulām
dimaksudkan untuk menyelamatkan nyawa orang banyak
(bapak, ibu dan mungkin keluarga lainnya) dari perbuatan
tercela.137
Pemaknaan terhadap simbolisme pembunuhan
dalam ayat ini menunjukan pemilihan terhadap sesuatu yang
lebih bermanfaat dan mencegah kemudharatan.
Pertanyaan yang bisa diajukan di sini adalah apakah
boleh membunuh seseorang dengan alasan khawatir atau
takut seseorang tersebut berbuat kerusakan yang besar?
Pertanyaan ini sebenarnya problematis, satu sisi jawaban
spontan adalah membunuh orang hanya karena khawatir atau
takut, tidak diperbolehkan sama sekali. Namun di sini lain,
kenyataannya Khidir membunuh seseorang karena alasan
khawatir dan takut. Maka pertanyaan di atas dapat dijawab
dengan melalui pengakuan Khidir sendiri bahwa ia
mengklaim perbuatan membunuh terhadap ghulām tidak sama
sekali didasarkan pada kemauan dirinya sendiri, melainkan
137
Sayyid Qutb, Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n (Beirut: Dar al-Shuruq,
1412 H.), 4/2280.
170
kemauan Allah. Seandainya dalam al-Qur’an tidak ada kata
wa-mā fa‘altuhu ‘an amrī maka dapat dipastikan bahwa status
hukum Khidir adalah sebagai tersangka pembunuhan dan
harus dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku di masa
Musa. Namun mengingat membunuh ghulām merupakan
suatu perintah (amr) dari Allah maka mau tidak mau Musa
tidak dapat memprotesnya dan melayangkan suatu hukuman
terhadap Khidir karena ada perintah dari Allah.138
Dalam
kaitan dengan konsep ‘iṣmat al-anbiyā’ maka sesungguhnya
perbuatan Khidir tidak dapat digolongkan sebagai suatu
pembunuhan atau pembangkangan terhadap aturan hukum.
Perintah Allah merupakan hal mutlak yang harus dilakukan
bagi setiap utusan-Nya, dan tidak ada kesempatan bagi
utusan-Nya untuk tidak melakukan perintah Allah. Jadi pada
dasarnya pembunuhan yang dilakukan Khidir terhadap
ghulām atas dasar khawatir dan takut didasarkan pada
perintah Allah, apabila tidak demikian maka Khidir tidak
akan membunuh ghulām tersebut.139
Dari argumentasi di atas
menunjukan Khidir walaupun melakukan tindakan
pembunuhan tidak mengotori kemaksuman seorang nabi.
Khidir masih berstatus sebagai seorang nabi Allah yang suci
dari tindakan tercela dan terhindar dari perbuatan maksiat.
Ada satu argumentasi yang dilontarkan kepada Fakhr
al-Dīn al-Rāzī untuk menyebut bahwa seorang nabi juga dapat
berdosa atau melakukan tindakan maksiat. Pertanyaan
tersebut berasal dari diksi yang digunakan dalam al-Qur’an
yang menyebut kata imrā (kesalahan yang besar), pada surah
al-Kahfi/18:71 dan nukrā (melakukan perbuatan munkar),
pada surah al-Kahfi/18:74.140
Kedua kata tersebut
mengindikasikan bahwa ada suatu kesalahan atau dosa yang
138
Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 83. 139
Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 83. 140
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati,
2010), 7/315.
171
dilakukan Khidir seperti yang disangkakan Musa. Pertanyaan
di atas dijawab al-Rāzī dalam buku ‘Iṣmat al-Anbiyā’ sebagai
berikut:
Al-Rāzī terlebih dahulu memberikan tafsiran terhadap
firman Allah ‚sesuatu kesalahan yang besar (nukrā)‛. Al-Rāzī
berpendapat arti firman tersebut adalah sesuatu yang
mencengangkan. Ada pula yang mengartikan dengan sesuatu
kemung-karan. Tidak ada masalah kalau kita menafsirkannya
dengan makna yang pertama. Akan tetapi kalau ditafsirkan
dengan makna yang kedua, maka jawaban dari kalimat imrā
dan nukrā, memiliki beberapa segi pemaknaan.141
Pertama, tampilan luar dari perbuatan tersebut adalah
mungkar dan diingkari oleh orang yang menyaksikannya,
sebelum ia mengetahui sebabnya. Dengan kata lain ketika
Musa menuduh Khidir telah melakukan imra atau nukra sesungguhnya perkataannya tersebut sebelum mengetahui
hakikat yang sebenarnya dari status ghulām yang dibunuh
oleh Khidir.142
Musa memandang bahwa ghulām merupakan
orang yang dapat dikategorikan sebagai orang yang tidak
berdosa (zakiyah). Maka wajar apabila seketika dan dengan
responsif Musa menjawab tindakan Khidir sebagai imra dan
nukra.143
Kedua, huruf syarat dari kalimat di atas dibuang,
sehingga seakan-akan Musa mengatakan, ‚kalau kamu
(Khidir) membunuh ghulām karena kezaliman, maka kamu
telah melakukan sesuatu yang mungkar‛.144
Interpretasi yang
dilakukan al-Rāzī dalam hal ini memungkinkan adanya huruf
yang dibuang dalam al-Qur’an berupa jawab dari syarat ‚fa-qatalahu‛, yaitu ucapan yang tidak terangkum dalam teks al-
Qur’an. Teks yang tidak tampak tersebut menyebutkan bahwa
141
Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 84. 142
Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 84. 143
Ahmad bin Mustafa al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi>, 15/173., Sayyid Qutb, Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n, 4/2280.
144 Fakh al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghayb, 21/156.
172
Musa mengatakan bahwa apabila tindakan pembunuhan
tersebut dilakukan Khidir karena ia telah berbuat kezaliman
terhadap ghulām maka dapat dipastikan bahwa Khidir telah
melakukan suatu perbuatan yang mungkar. Ketiga, ucapan
nukrā bermakna sesuatu yang mencengangkan. Sebab, orang
akan mengatakan kalimat ‚innahu nukran wa mungkaran‛
untuk sesuatu yang dianggap aneh atau kejadian yang luar
biasa mengejutkan.145
Konteks yang menyelimuti Khidir dan
Musa dengan sikap responsif Musa terhadap tindakan Khidir
membunuh ghulām menjadikan batin Musa terguncang dan
membuatnya bersikap kaget dan tercengang karena melihat
sesuatu yang aneh luar biasa. Dengan demikian perkataan
nukra oleh Musa tidak menunjukan bahwa benar-benar Khidir
telah melakukan suatu kesalahan.
Pandangan al-Rāzī di atas merupakan pembelaannya
terhadap beberapa diksi al-Qur’an yang disalahartikan oleh
sebagian orang dan sangat bisa ayat tersebut ditafsirkan
dengan cara yang salah untuk melegitimasi bahwa seorang
nabi dapat berbuat salah dan melakukan suatu kemaksiatan.
Pembelaan al-Rāzī menguatkan argumentasi tentang
kemaksuman para nabi, bahkan untuk kasus pembunuhan
yang dilakukan Khidir terhadap seorang ghulām.146
Al-Rāzī
sangat menekankan sikap kemaksuman para nabi dalam
rangka untuk menunjukan bahwa semua yang dilakukan oleh
nabi merupakan berasal dari Allah dan berdasarkan petunjuk
dari-Nya. Kesucian para nabi ini juga pada akhirnya akan
berimplikasi pada sifat nabi yang lain seperti jujur (ṣidiq),
cerdas (faṭanah), dapat dipercaya (amanah) dan penyampai
wahyu Tuhan yang kredibel (tablīgh).147
Ayat tentang pembunuhan dalam surat al-Kahfi/18:74
dapat pula diartikan sebagai suatu tindakan yang dapat
145
Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 84. 146
Ibn Kathi>r, Qis}as} al-Anbiya>’, 3/175. 147
Fazlurahman, Islam (Jakarta: Bina Aksara, 1987), 15.
173
ditolerir pada zaman Musa khususnya terhadap orang yang
mempunyai kesalahan khusus seperti orang kafir terhadap
hukum Allah atau orang yang membangkang, durhaka, atau
melakukan hal tercela lainnya. Orang dengan kriteria yang
disebutkan tersebut dalam pandangan hukum Musa adalah
diperbolehkan untuk dibunuh dengan catatan mendapatkan
legitimasi (pembenaran) dari Allah.
Hukum asal dari mumbunuh orang yang tidak berdosa
pada hukum Musa adalah tidak boleh (haram). Status hukum
ini dapat dilihat dari wahyu yang diturunkan Allah kepada
Musa ketika berada di gunung Ṭūr al-Sīnā, di mana Musa
mendapatkan sepuluh perintah Tuhan (the Ten Commandment). Sepuluh perintah Tuhan yang dimaksud
meliputi beribadah hanya kepada Allah, menghormati orang
tua, memelihara hari Tuhan, larangan terhadap berbuat zina,
membunuh, menghujat, mencuri, berbuat tidak jujur, hasrat
akan hal-hal yang dilarang dan larangan terhadap
pemberhalaan.148
Salah satu hukum Musa yang sangat berkaitan dengan
fenomena dalam surat al-Kahfi [18] ayat 74 adalah ‚dilarang
membunuh‛. Orang yang membunuh jiwa yang tidak berdosa
atau membunuh tanpa hak akan dikenakan sanksi pidana dan
akan menerima hukum yang setimpal. Jadi dalam klausul
pernyataan di atas menyiratkan boleh membunuh dengan
kategori tertentu yaitu membunuh dengan cara yang tidak
batil atau membunuh yang dapat dibenarkan. Apakah ada
membunuh yang dapat dibenarkan dalam hukum Musa, jika
demikian apakah hal tersebut akan bertentangan dengan
sepuluh perintah Tuhan. Singkatnya, membunuh adalah suatu
perbuatan yang dilarang dan akan dihukum dengan setimpal,
namun ada beberapa pengecualian di mana membunuh tidak
148
Perjanjian Lama, Kitab Keluaran 20:2-17., Ulangan 5:6-
21.
174
dapat dijatuhi hukuman kepada orang yang membunuh.149
Hal
ini karena orang yang membunuh berdasarkan atas prinsip-
prinsip dasar yang ada pada zaman tersebut yaitu terdapat
pengecualian bagi orang yang kafir dan melakukan dosa besar
boleh dibunuh.150
Statemen di atas mendapatkan bukti penguat dari
kasus pembunuhan yang dilakukan Musa terhadap orang
Koptik seperti yang tercantum dalam surat al-Qaṣaṣ/28:15
‚Fawakazahū Mūsā fa-qaḍā ‘alayh‛ (lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu). Pada ayat ini jelas disebutkan
bahwa Musa membunuh seorang Koptik yang sedang
berkelahi dengan pengikutnya (dari Bani Israil). Ketika itu,
seorang dari Bani Israil meminta bantuan Musa untuk
mengalahkan salah satu dari orang Koptik yang sangat
tangguh. Kemudian Musa membantu pengikutnya tersebut
dan dengan seketika Musa meninju orang Koptik sampai
meninggal.151
Dalam kasus ini, Musa akan menjadi pendosa
lantaran membunuh seorang Koptik, salah satu pengikut
Fir’aun, apabila memang orang tersebut tidak pantas untuk
dibunuh. Berbeda perkara apabila Musa membunuh orang
Koptik karena memang orang tersebut pantas untuk dibunuh,
lantaran sebab kekafirannya atau berbuat salah dan tindakan
membunuh tersebut berdasarkan perintah Allah. Maka dalam
kasus kedua, tindakan membunuh yang dilakukan Musa tidak
dapat dianggap salah.
Dari dua alasan pembunuhan yang dilakukan Musa
terhadap orang Koptik, manakah yang kuat dan dapat
dipertanggungjawabkan, apakah Musa membunuh seorang
149
Muhammad ‘Ali al-Sha>bu>ni>, Rawa>’i‘ al-Baya>n fi> Tafsi>r A<ya>t al-Ah}ka>m (Beirut: Maktabah al-Ghaza>li>, 1980), 1/492.
150 Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 83.
151 Kisah pemukulan Musa kepada orang Koptik dapat
dibaca dalam Muhammad Jari>r al-T{abari>, Ja>mi‘ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’an (Kairo: Mu’assasah al-Risalah, 2000), 19/536-8.
175
yang pantas untuk dibunuh ataukah Musa membunuh orang
yang tidak pantas untuk dibunuh. Kedua alasan tersebut
menimbulkan konsekuensi yang berbeda dilihat dari sudut
pandang Musa sebagai seorang nabi yang memiliki sifat
terbebas dari kesalahan (ma’ṣūm).152
Kita akan mulai melihat
dari pandangan pertama bahwa Musa memukul mati orang
Koptik karena ada alasan yang kuat untuk membunuh
sehingga pantas bagi Musa tidak melakukan hal yang berdosa
atas perbuatan membunuh. Namun demikian masalah lain
muncul ketika dihubungkan dengan ayat selanjutnya di mana
dikatakan bahwa ‚hādzā min ‘amal al-syaiṭān‛ (ini adalah perbuatan setan) (al-Qaṣaṣ/28:15) dan ‚qāla rabbī innī ẓalamtu nafsī‛ (Musa berkata: Ya Tuhanku, aku telah berbuat zalim terhadap diriku sendiri). 153
Musa mengakui bahwa
dirinya telah melakukan suatu perbuatan dosa. Apakah
pengakuan Musa ini dapat dianggap bahwa sebenarnya
pembunuhan yang dilakukan Musa berimbas pada Musa telah
berdosa dan oleh karena itu Musa mengatakan bahwa dia
talah berbuat zalim.
Al-Rāzī dalam ‘Iṣmat al-Anbiyā’ memberikan
beberapa komentar atas kasus di atas. Menurut al-Rāzī,
seorang Koptik yang dibunuh Musa memang secara hukum
Musa pantas untuk dibunuh karena dianggap orang kafir dan
melakukan pembangkangan terhadap Musa.154
Apabila
demikian adanya, maka sesungguhnya tindakan Musa tersebut
tidak dianggap sebagai suatu kesalahan. Berbeda dengan
persepsi bahwa orang Koptik tersebut tidak kafir atau
membangkang Musa. Dalam hal ini al-Rāzī mengatakan
bahwa ketika terjadi percekcokan antara pengikutnya (Bani
Israil) dan orang Koptik (pengikut Fir’aun), Musa berusaha
152
Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 83. 153
Al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghayb, 24/233-4., Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 84.
154 Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 84.
176
melerai keduanya dan berusaha menolong dan membela
pengikutnya. Namun dalam usaha itu, Musa emosi dan naik
pitam sehingga kemarahannya memuncak sampai tidak dapat
mengontrol sikapnya. Dalam keadaan tidak dapat mengontrol
tersebut tanpa sengaja Musa melayangkan tangan ke arah
orang Koptik sampai terbunuh.155
Dengan demikian Musa
membunuh orang Koptik karena khilaf dan dapat dianggap
sebagai pembunuhan tidak disengaja.
Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa
seorang nabi pun boleh melakukan dosa kecil. Perbuatan
membunuh terhadap orang Koptik oleh Musa dilakukan
dengan tanpa sengaja, sehingga tidak dianggap sebagai bagian
dari dosa besar. Orang yang telah melakukan dosa kecil,
bukan dosa besar seperti membunuh dengan sengaja dan
menyekutukan Tuhan, dapat diampuni dengan cara perbanyak
melakukan istighfar kepada Allah dan segera bertaubat
meminta kepada Allah dengan sungguh-sungguh tidak akan
melakukan hal tersebut kembali.156
Kemudian Musa langsung
meminta ampun kepada Allah dan Alllah langsung
mengampuni perbuatan Musa (faghafara lahu). Dengan
demikian perbuatan membunuh yang dilakukan Musa tidak
dianggap sebagai dosa besar dan sudah diampuni oleh Allah.
Sedangkan orang yang tidak menyetujui pendapat
bahwa para nabi dapat berbuat dosa kecil, tidak menafsirkan
tindakan berdosa kepada Musa, karena ia membunuh seorang
Koptik tanpa disengaja.157
Argumentasi tersebut diperkuat
dengan satu penafsiran atas ayat ‚ini adalah perbuatan setan‛.
Ayat ini mengandung beberapa segi pemaknaan. Pertama,
Allah menganjurkan Musa untuk menangguhkan pembunuhan
terhadap orang-orang kafir sehingga datangnya kondisi
155
Al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghayb, 24/233-4., Ahmad bin
Mustafa al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi>, 20/44. 156
Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 84. 157
Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 84.
177
tertentu yang memungkinkan. Kemudian ketika Musa
membunuhnya maka ia telah meninggalkan anjuran dari
Allah. Dengan demikian firman Allah ‚ini adalah perbuatan setan‛ bermakna bahwa kelancangan Musa untuk
meninggalkan anjuran merupakan perbuatan setan.158
Kedua,
bisa juga maksudnya bahwa perbuatan orang yang terbunuh
itu adalah perbuatan setan. Artinya penjelasan bahwa orang
yang menyimpang dari perintah Allah pantas untuk dibunuh
dan firmannya hādzā (ini)-dari kalimat hādzā min ‘amal al-syaiṭān—merupakan isyarat kepada orang yang terbunuh.
Artinya orang yang terbunuh itu adalah pengikut dan tentara
setan.159
Sebagaimana dikatakan, si fulan [melakukan]
perbuatan setan, artinya dia menjadi pengikutnya.160
Sedangkan firman Allah ‚qāla rabbī innī ẓalamtu nafsī faghfirlī‛ (Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku) (al-Qaṣaṣ/28:16),
senada dengan ucapan Adam, ‚ẓalamnā anfsanā‛ (Kami telah menganiaya diri kami sendiri) (QS. al-A’rāf/7:23). Ayat di
atas dapat memiliki dua pemahaman. Pertama, kata ẓalamtu nafsī diartikan sebagai usaha sunggung-sungguh yang ada
dalam diri Musa untuk memutuskan segala sesuatu yang
berbau keduniawian dan akan mencurahkan segalanya hanya
untuk beribadah kepada Allah. Kedua, ayat tersebut juga
diartikan sebagai bentuk pengakuan atas kelalaian yang
dilakukan Musa dalam menunaikan hak-hak-Nya-walaupun
sama sekali tidak ada dosa atau dirinya tidak mendapatkan
pahala atas perbuatan yang dianjurkan. Sementara maksud
firman Allah ‚karena itu ampunilah aku‛ ialah berikan aku
158
Ahmad bin Mustafa al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi>, 20/44.
159 Sayyid Qutb, Fi> Z{ilal al-Qur’a>n, 5/2682.
160 Ibn Manzu>r, Lisa>n al-‘Arab, 5/209.
178
ketaatan sehingga aku dapat mencurahkan ibadah kepada-
Mu.161
Kembali pada permasalahan kemaksuman Khidir atas
pembunuhan ghulām dalam surah al-Kahfi/18:74. Apa yang
tertera dalam diksi al-Qur’an yang menyatakan bahwa Khidir
‚faqatalahu‛ (membunuh ghulām) tidak dapat dianggap
sebagai suatu tindak pidana yang dapat mengakibatkan Khidir
mendapat hukuman qisas.162
Pembunuhan ghulām oleh Khidir
diinterpretasikan sebagai suatu peristiwa yang mendapatkan
pembenaran dari Allah sebagai pembuat syariat. Khidir sadar
bahwa segala tindakan yang dilakukannya tidak semata
berdasarkan kemauan dan hawa nafsunya, tapi semuanya
berdasarkan pada perintah, kuasa dan kehendak Allah. Hal ini
yang menyebabkan Khidir bersikap pasrah dengan keputusan
Allah dan ia mengatakan ‚wamā fa‘altuhū ‘an amrī‛ (saya tidak melakukan hal tersebut berdasarkan keinginanku sendiri). Khidir menyadari dan tahu bahwa tindakan
pembunuhan terhadap ghulām tidak akan menyebabkan
dirinya terperangkan hukum Musa yang tidak
memperbolehkan membunuh seseorang.163
Hukum Musa
menyebut membunuh seseorang sama sekali tidak
diperbolehkan bahkan termasuk dosa yang besar, namun
mendapat pengecualian pada kasus-kasus tertentu. Kasus
tertentu yang dapat dilihat dari tindakan Khidir adalah ia
membunuh ghulām yang dalam pandangan Musa sebagai
161
Al-Ra>zi>, ‘Ishmat al-Anbiya>’, 84. 162
Hal ini dilihat dari tidak tercantumnya kasus
pembunuhan ghula>m oleh Khidir sebagai kasus pembunuhan yang
dapat berimplikasi hukum qisas oleh para mufasir ayat ahkam, Al-
Qurt}ubi>, al-Ja>mi‘ Li-Ah}ka>m al-Qur’a>n (Riyad: Dar ‘Alam al-Kutub,
2003), 11/19-22. 163
Perjanjian Lama, Kitab Keluaran 20:2-17., Ulangan 5:6-
21
179
seorang yang tidak berdosa (zakiyah).164
Apakah memang
demikian adanya? Atau dalam pandangan Khidir ghulām tersebut tidaklah seorang yang tanpa dosa, bahkan ia
memiliki dosa yang besar sehingga boleh dibunuh.
Perbedaan pandangan tentang kebolehan membunuh
orang dalam kisah Khidir dan Musa berpangkal pada status
ghulām, apakah ia tidak berdosa ataukah berdosa. Dalam
pandangan Musa, ghulām tersebut tidak mempunyai dosa
atau paling tidak ghulām tidak melakukan tindakan kejahatan
sebelumnya. Musa membahasakan keadaan ghulām yang
tidak berdosa dengan sebutan zakiyah. Al-Rāzī dalam
tafsirnya menyatakan bahwa ghulām merupakan orang yang
pernah berbuat dosa namun ia sudah bertaubat. Musa
memandang apabila ghulām berstatus zakiyah, maka
seharusnya Khidir tidak boleh melakukan qisas kepadanya.
Namun sebaliknya, Khidir melihat ghulām tidak termasuk
dalam kategori zakiyah seperti yang dinyatakan Musa, dan ia
telah melakukan perbuatan tercela yang memungkinkan ia
untuk di-qisas.165
Al-Qurṭubī dalam Tafsirnya lebih
mengartikan kata zakiyah sebagai orang yang suci dari dosa,
baik dosa besar maupun kecil karena statusnya belum
baligh.166
Di sini lah letak ketidaksepahaman antara Khidir
dan Musa dalam memandang status ghulām.
Apakah menjadi salah apabila Musa memprotes
tindakan Khidir karena telah membunuh ghulām. Lalu
mengapa Musa masih terus menemani Khidir setelah banyak
kejanggalan yang terdapat pada diri Khidir? dan apakah
Khidir dapat dianggap berdosa karena membunuh ghulām?
bagaimana akhir kisah yang terjadi antara Khidir dan Musa?
dan apakah Khidir dapat dikenakan hukum qisas oleh Musa?
164
Al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghayb, 21/156., Ahmad bin
Mustafa al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi>, 15/173. 165
Al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghayb, 21/156. 166
Al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi‘ Li-Ah}ka>m al-Qur’a>n, 11/19-20.
180
Semua pertanyaan di atas akan dijawab dalam perspektif
bahwa seorang nabi adalah orang pilihan yang tidak mungkin
berbuat buruk dan maksiat, apalagi membunuh tanpa hak,
karena status kenabian telah dijaga kema‘ṣūmannya oleh
Allah.
Protes yang dilayangkan Musa kepada Khidir,
walaupun sebelumnya Khidir telah memberikan wanti-wanti
kepada Musa supaya tidak memprotes segala sesuatu yang
akan terjadi diperjalanan, diakibatkan ia tidak dapat
menerima tindakan Khidir yang dinilai tidak sesuai dengan
hukum Allah yaitu membunuh. Terlebih membunuh orang
yang tidak mempunyai dosa (zakiyah) dan orang tersebut
tidak pernah membunuh orang lain sehingga boleh untuk
diqisas (bi-ghayr nafs). Ada dua alasan mengapa Musa
memprotes Khidir ketika membunuh ghulām, yaitu sifat dari
ghulām yang zakiyah dan bi-ghayr nafs. Wajar kiranya Musa
memprotes sesuatu yang dianggap janggal baginya yang
menghukumi sesuatu dilihat dari sudut pandang lahir suatu
fenomena. Lalu yang menjadi aneh adalah kenapa Musa masih
saja mengikuti Khidir ketika sudah mengetahui ada
kejanggalan?. Al-Qur’an menarasikan bahwa Allah menyuruh
Musa menemui dan mengikuti hambanya yang saleh, yaitu
Khidir, yang telah diberikan ilmu pengetahuan dari Allah.
Musa mengikuti Khidir untuk kiranya diberi pengajaran yang
telah diberikan Allah kepada Khidir (QS. Al-Kahfi/18:66).
Alasan ini yang menyebabkan Musa terus mengikuti Khidir
sampai waktu perpisahan bahkan ketika Khidir melakukan
banyak sesuatu yang janggal dalam hati Musa.
Khidir membunuh ghulām dan dengan seketika Musa
memprotesnya. Sikap Musa menandakan, dalam pandangan
Musa, Khidir telah melakukan suatu kesalahan yang fatal
yaitu membunuh seseorang yang tidak pantas untuk dibunuh.
Tindakan Khidir dilihat dari sudut pandang hukum Musa
adalah berdosa. Allah dalam perintah kepada Musa melarang
untuk membunuh. Orang yang melakukan pembunuhan
181
terhadap orang lain, maka akan dihukum qisas yaitu hukum
dibunuh juga. Dalam perjalanan dengan Khidir, Musa banyak
menemukan pelanggaran hukum oleh Khidir, yang seharusnya
hukuman setimpal dapat diterapkan kepada Khidir.
Pada akhir perjalanan antara dua nabi Allah tersebut,
Musa akhirnya tidak bisa menghukum Khidir. Teks yang
dinarasikan dalam al-Qur’an tidak menyinggung sama sekali
sesuatu yang dapat menjadi bukti bahwa Khidir telah
melakukan suatu kesalahan bahkan justeru keterangan
panjang lebar yang dipaparkan Khidir terkait dengan beberapa
peristiwa yang membuat janggal Musa dapat membuat Musa
terpana oleh retorika dan ilmu yang dimiliki Khidir. Pada
akhir dialog Khidir menyebut ketika ia membunuh ghulām
sesungguhnya bukan berasal dari kemaunnya sendiri, namun
Allah lah yang menyuruhnya untuk membunuh ghulām.
Sampai di sini dialog antara Khidir dan Musa terputus dalam
narasi al-Qur’an. Al-Qur’an tidak menjelaskan bagaimana
sikap Musa kepada Khidir selanjutnya, apakah Musa
memberikan hukuman qisas pada Khidir atau tidak sama
sekali.167
Hal ini juga menyangkut sifat legenda Khidir yang
datang dengan tiba-tiba dan dapat menghilang dengan tanpa
ketahuan orang. Misteri Khidir banyak disinggung dalam
perjalanan para Nabi.168
Namun titik tekan yang hendak
167
Keterputusan kisan antara Khidir dan Musa ini yang
menyebabkan dalam tafsir Ahkam tidak dijelaskan status hukum
kepada Khidir. Dalam tafsir Ahkam tidak disebutkan status hukum
Khidir juga dapat diartikan sebagai tafsiran ulama atas kisah ini
tidak berdampak pada menjadikan sumber hukum bagi
pemberlakukan qisas. Tafsiran ulama berkonklusi bahwa Khidir
tidak bersalah dan tidak dapat diqisas karena mendapatkan perintah
langsung dari Allah untuk melakukan pembunuhan kepada ghula>m.
Al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi‘ Li-Ah}ka>m al-Qur’a>n, 11/19-22., al-Sha>bu>ni>,
Rawa>’i‘ al-Baya>n fi> Tafsi>r A<ya>t al-Ah}ka>m, 1/492. 168
Abu Isha>q al-H{uwayni>, Qis}s}at al-Mu>sa> wa Khidr (Beirut: Dar al-Fikr, t.tn.).
182
dibuktikan dalam al-Qur’an adalah bahwa Khidir tidak
melakukan kesalahan yang menyebabkan ia harus dihukum,
karena semua yang terjadi adalah berdasarkan perintah dan
kemauan dari Allah (wa-mā fa‘altuhu ‘an amrī). Keadaan ini
yang memaksa Musa mengambil sikap menerima alasan dari
Khidir dan tidak menghukumnya.
Interpretasi atas tindakan Khidir yang membunuh
ghulām dan berbagai tindakan lain yang mengarahkan pada
persepsi bahwa Khidir melakukan tindakan berdosa dilakukan
oleh para mufasir seperti al-Rāzī, al-Zamakhsyarī, al-Marāghī,
Sayyid Qutb dilakukan dalam rangka menjaga kemaksuman
para nabi. Khidir merupakan salah satu dari nabi pilihan Allah
dan dengan demikian dijaga dari melakukan tindakan tercela
dan maksiat. Adapun teks al-Qur’an yang secara diksi atau
bahasa menyebutkan perkataan membunuh (qatala) tidak
dapat dipahami secara tekstual bahwa nabi telah melakukan
perbuatan dosa. Pembunuhan terhadap ghulām dalam kasus
Khidir dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa ghulām yang dibunuh bukan seseorang yang zakiyah dan bukan dalam
kategori bi-ghayr nafs sehingga boleh untuk dilakukan
tindakan qisas. Selain itu tindakan Khidir tersebut semata
bukan merupakan kemauannya sendiri tapi berasal dari perintah Allah Swt.
183
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemaknaan terhadap peristiwa yang terjadi antara
Khidir dan Musa seperti digambarkan dalam surah al-
Kahfi/18:71-7 yang dilakukan oleh mufasir aḥkām
menunjukan bahwa tidak terdapat mufasir yang memahami
tindakan pembunuhan yang dilakukan Khidir terhadap
ghulām sebagai suatu tindakan yang dapat berimplikasi pada
qisas. Mufasir aḥkām memberi makna terhadap ayat tersebut
sebagai suatu tindakan yang tidak dapat dipermasalahkan
sebagai tindak pidana. Kata qatala yang berarti membunuh
seperti yang disebut dalam teks al-Qur’an tidak langsung
dihukumi oleh mufasir sebagai sebuah kesalahan mutlak
Khidir. Namun kata tersebut dan juga serangkaian peristiwa
dalam surat al-Kahfi di atas dilakukan beberapa ta’wil supaya
menunjukan bahwa Khidir pada akhirnya tidak dapat disalah-
kan dengan hukum Musa. Ta’wilan yang dimaksud adalah
mufasir melakukan pembelaan terhadap status ghulām yang
dibunuh oleh Khidir. Walaupun dalam sudut pandang Musa,
perbuatan tersebut adalah salah, namun Musa tidak langsung
menghukum Khidir, bahkan terus menemani Khidir sampai
akhir perjalanan. Musa tidak dapat menghukum Khidir karena
pada hakikatnya ia melakukan tindakan membunuh ghulām
bukan berasal dari kemauannya sendiri tapi berdasarkan
perintah Allah.
Pemaknaan mufasir terhadap tindakan pembunuhan
Khidir kepada ghulām digiring pada status kemaksuman para
nabi (‘ishmat al-anbiyā’). Khidir merupakan salah satu dari
184
nabi pilihan Allah yang diutus untuk memberikan pengajaran
kepada Musa. Dalam surat al-Kahfi, bentuk pengajaran Khidir
menemukan problem hukum yang dilakukan Khidir. yaitu ia
membunuh seorang ghulām. Membunuh merupakan tindakan
keji dan mungkar bahkan termasuk dalam dosa besar. Satu
dari sepuluh perintah Tuhan (ten commandment) yang
diturunkan kepada Musa adalah larangan untuk membunuh.
Seseorang yang membunuh orang lain tanpa hak maka akan
dibalas dengan balasan yang setimpal yaitu qisas. Namun
dalam hukum Musa, ada beberapa kasus pembunuhan yang
dapat dibenarkan karena mendapatkan legitimasi dari Allah,
yaitu membunuh orang yang kafir, membangkang para
perintah Allah dan melakukan perbuatan zina bagi orang yang
menikah (muḥṣan). Kasus pembunuhan ghulām oleh Khidir
dipahami sebagai suatu tindakan yang dapat dibenarkan
karena, seperti yang dikatakan al-Rāzī, bisa jadi ghulām tadi
dicap sebagai orang pendosa atau karena Allah
memerintahkan untuk membunuhnya. Dua alasan tersebut
menunjukan bahwa status kemaksuman Khidir masih terjaga
dan oleh karena itu ia tidak mendapat hukuman qisas dari
Musa.
Peristiwa pembunuhan ghulām oleh Khidir tidak
dijadikan sebagai dalil hukum untuk melakukan qisas oleh
para ulama karena menyangkut peristiwa umat terdahulu.
Status hukum yang diterapkan pada masa Nabi Musa tidak
dapat diterapkan pada masa Nabi Muhammad kecuali ada
penetapan dari Nabi sendiri dalam ajaran agamanya. Tindakan
membunuh merupakan tindakan yang mutlak tidak
diperbolehkan pada masa Nabi Musa dan Nabi Muhammad.
Hukuman orang yang melakukan pembunuhan juga sama
185
yaitu diqisas, karena nyawa harus dibayar dengan nyawa. Para
mufasir tidak pernah menjadikan kasus pembunuhan ghulām
oleh Khidir seperti tercantum dalam surah al-Kahfi/18:74
sebagai argumentasi qisas dalam Islam. Hal ini dikarenakan
Pembunuhan Khidir tidak dilakukan dengan sengaja atau
berdasarkan kemauannya sendiri. Dengan kata lain Khidir
melakukan pembunuhan dengan cara hak dan alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, yaitu bahwa
status ghulām yang dibunuh tidak dalam status zakiyah dan
bi-ghayr nafs seperti dalam persepsi Musa.
B. Saran-saran
Penelitian ini hanya dapat melihat satu aspek dari
sederet peristiwa pembunuhan yang ada dalam al-Qur’an yang
tidak dianggap sebagai dalil atau argumentasi qisas dalam
hukum Islam. Masih banyak aspek atau ayat lain yang belum
diekspos dalam penelitian ini. Ada banyak redaksi yang
mengambil terma qatala (membunuh) dalam al-Qur’an tetapi
tidak dijadikan landasan hukum oleh mufasir aḥkām.
Penelitian lanjutan tentang tema dan pembahasan seperti ini
masih memungkinkan untuk dibahas secara lebih
komprehensif.
186
Daftar Pustaka
Al-Qur’an dan Tarjamah
Ali, M. Rahasia Makrifat Nabi Khidir as. Bandung: Oase
Publishing House, 2011.
Ansory, Insan. Mengenal Tafsir Ahkam. Jakarta: Rumah Fiqih
Publishing, 2018.
Anwar, Syamsul. Studi Hukum Islam Kontemporer. Jakarta:
R.M Books, 2007.
‘Audah Jāser. Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah. Terj. Rosidin dan Ali Abd Mun’im.
Bandung: Mizan, 2015.
Al-Baghāwī, Abū Muḥammad al-Husein ibn Mas’ūd. Ma’ālim al-Tanzīl fī Tafsīr al-Qur’ān. Tanpa Tenpat: Dār
Ṭayyibah, 1997.
Bidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, tt.
Danesi, Louise. Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Effendi, Djohan. Pesan-Pesan al-Qur’an: Mencoba Mengerti Intisari Kitab Suci. Jakarta: Serambi Ilmu
Nusantara, 2012.
Al-Farmawi, ‘Abd al-Ḥay. Al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mauḍū’ī. Mesir: Maktabah Jumhuriyah, 1997.
Al-Husairi, Ahmad Muhammad. Tafsir Ayat-Ayat Ahkam: Telaah Ayat-ayat Hukum Seputar Ibadah,
187
Muamalah, Pidana dan Perdata. Abdurrahman Kadi
(trj). Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014.
Hamid, Shalahuddin. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam. Jakarta: Amissco, 2000.
Hamka. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
Ibn al-‘Arabī, Aḥkām al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Alamiyah, 2003 M.
Ibrahim, Duksi. Metode Penetapan Hukum Islam: Membongkar Konsep Istiqra’ Ma’nawi Asy-Syatibi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2013.
Ikhwan. Hak Asasi Manusia dalam Islam. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu. Cet. I, 2004.
Irfan, Nurul dan Musyarofah. Fiqih Jinayah. Jakarta: Amzah,
2013.
Irfan, Nurul. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta:
Amzah, 2011.
Izzan, Ahmad. Ulumul Qur’an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas al-Qur’an. Bnadung: Tafakur:
Kelompok Humaniora, 2013.
Al-Jābiri, Muḥammad ‘Ābid. Formasi Nalar Arab. Imam
Khoiri (terj). Yogyakarta: IRCiSoD, 2014.
Kalstum, Lilik Ummu dan Ghazali, Abd Moqsith. Tafsir Ayat-Ayat Ahkam. Ciputat: UIN Press, 2015.
Khalaf, Abdul Wahab. Ilm Uṣūl Fiqh. Kairo: Dār al-
Kuwaitiyah, 1978.
188
Khalafullah, Muhammad Aḥmad. Al-Fann al-Qaṣaṣī fī al-Qur’ān al-Karīm, al-Qur’an Kitab Sejarah. Zuhairi Misrawi dan Aris Maftukhin (terj).
Jakarta:Paramadina, 2002.
Al-Khālidi, Ṣalāh. Kisah-kisah al-Qur’an Pelajaran dari Orang-orang terdahulu. Jakarta: Gema Insani Press,
1996.
Al-Qurṭubī. Al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān. Muassasah al-
Risālah, 2006 M.
Al-Qaraḍāwi, Yūsuf. Dirāsah fi Fiqh Maqāṣid al-Syarī’ah Bayn al-Maqāṣid al-Kulliyah wa al-Nuṣūs al-Juz’iyah. Kairo: Dār al-Syurūq, 2008
Al-Qaṭṭān, Mannā’. Mabāhist fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut:
Maktabah Wahbah, 2000.
Rafsanjani. Keadilan Sosial: Pandangan Islam tentang HAM, Hegemoni Barat dan Solusi Dunia Modern. Bandung: Yayasan Nuansa Cendikia, 2001.
Raya, Ahmad Thib. Rasionalitas Bahasa al-Qur’an: Upaya Menafasirkan al-Qur’an dengan Pendekatan Kebahasaan. Jakarta Selatan: Fikra Publishing. Cet.
I, 2006.
Al-Ṣabuni, Muḥammd ‘Alī. Rawā’i al-Bayān: Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur’ān. Damaskus: Maktabah al-
Ghazālī, 1980.
Santoso, Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana Agenda. Jakarta:
Gema Insani, 2003.
189
Shihab, M Quraish. Membumikan al-Qur’an: Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan. Ciputat: Lentera Hati,
2006.
Suma, Muhammad Amin. Pengantar Tafsir Ahkam. Jakarta:
Rajawali Press, 2001.
Syahidin. Metode Pendidikan Qur’ani: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Misaka Galiza, 1999.
Al-Tarifī, ‘Abd al-‘Azīz ibn Marzūq. Al-Tafsīr wa al-Bayān li Aḥkām al-Qur’an. Saudi: Maktabah Dār al-Manhāj,
1438 H.
Zahrah, Muḥammad Abū. Al-Jarīmah wa al-‘Uqūbah fī al-Fiqh al-Islāmī. Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1997.
Zaydān, ‘Ābd al-Karīm. Al-Mustafād min Qaṣaṣ al-Qur’ān. Lebanon: Mu’assasah al-Risālah Nasyirūn, 2009.
Artikel Jurnal
Abdillah, Junaidi. ‚Radikalisme Agama: Dekonstruksi Tafsir
Ayat-Ayat Kekerasan dalam al-Qur’an‛. Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam. Vol. 8.
No. 2. (Desember, 2014).
Anisah, Siti. ‚Penerapan Hukum Qisas untuk Menegakkan
Keadilan‛. Jurnal Syariah. (Juli, 2016).
Asnawi, Habib Shulton. ‚Hak Asasi Manusia dan Barat: Studi
Kritik Hukum Pidana Islam dan Hukuman Mati‛.
Supermasi Hukum. Vol. 1. No. 1. (Juni, 2012).
Arfan, Abbas. ‚Maqāṣid al-Syarī’ah Sebagai Sumber Hukum
Islam: Analisis Terhadap Pemikiran Jasseer Auda‛.
190
Al-Manāhij: Jurnal Kajian Hukum Islam. Vol. VII.
No. 2. (Juli, 2019).
Bahiej, Ahmad. ‚Memahami Keadilan Tuhan dalam Qisas dan
Diyat‛. Asy-Syi’rah. Vol. 39. No. I, 2005.
Bunyamin. ‚Qisas dalam al-Qur’an: Kajian Fiqh Jinayah
dalam Kasus Pembunuhan Disengaja‛. Jurnal al-‘Adl. Vol. 7. No. 2. (Juli, 2014)
Darussamin, Zikri. ‚Qisas dalam Islam dan Relevansinya
dengan Masa Kini‛. Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum. Vol. 48. No. I. (Juni, 2014).
Faisol, M. ‚Interpretasi Kisah Nabi Musa Perspektif
Naratologi al-Qur’an‛, Islamica: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 11. No. 2. (Maret, 2017).
----------. ‚Struktur Naratif Cerita Nabi Khidir dalam al-
Qur’an‛. Adabiyyāt. Vol. X. No. 2. (Desember,
2011).
Fahruddin, M. Mukhlis. ‚Konsep Pendidikan Humanis dalam
Perspektif al-Qur’an‛. Tesis. Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga. 2008
Fauzi, Ahmad. ‚Pengembangan Human Relation Perspektif
Nilai-Nilai al-Qur’an‛. Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis. Vol. I. No. 2. (Desember, 2011).
Harahap, Zul Anwar Ajim. ‚Konsep Maqasid al-Syari’ah
Sebagai Dasar Penetapan dan Penerapannya dalam
Hukum Islam Menurut ‘Izzuddin bin ‘Abd al-
Salam‛. Tazkir. Vol. 9. (Juli-Desember, 2014).
Kholiq, M. Abdul. ‚Kontroversi Hukuman Mati dan
Kebijakan Regulasinya dalam RUU KUHP: Studi
191
Komparatif Menurut Hukum Islam‛. Jurnal Hukum. Vol. 14. No. 2. (April, 2007).
Mushodiq, Muhammad Agus. ‚Perilaku Patologis pada Kisah
Nabi Musa dan ‘Abd dalam al-Qur’an: Telaah
Epistemologi al-Jābirī dan Semiotika Peirce‛. Ulul Albab. Vol. 19. No. I. 2018.
Muslich, Wardi. H.A. ‚Ayat-Ayat Pidana dalam al-Qur’an‛.
Al-Qalam. Vol. XVIII. No. 90-91. Tt.
Mursalim. ‚Gaya Bahasa Pengulangan Kisah Nabi Musa a.s.
dalam al-Qur’an: Suatu kajian Stilistika‛, Lentera, Vol. I. No. I, (Juni, 2017).
Nasir, Jamal Abd. ‚Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Guru dan
Murid dalam Perspektif Kisah Musa dan Khidir
dalam Surah al-Kahfi Ayat 60-82‛. Nuansa. Vol. 15.
No. I. (Januari, 2018).
Rodin, Dede. ‚Islam dan Radikalisme: Telaah Ayat-ayat
Kekerasan dalam al-Qur’an‛. Addin. Vol. 10. No. 1.
(Februari, 2016).
Rukimin. ‚Kisah Dzulqarnain dalam al-Qur’an Surah al-
Kahfi: 83-101‛, Profetika: Jurnal Studi Islam. Vol.
15. No. 2. (Desember, 2014).
Siswandi, Imran. ‚Perlindungan Anak dalam Perspektif
Hukum Islam dan HAM‛. Al-Mawarid. Vol. XI. No.
2. (September-Januari, 2011).
Syafrul. ‚Paradigma Tafsir Ahkam Kontemporer: Studi Kitab
Rawai’u al-Bayan Karya ‘Ali al-Ṣabunī‛. Jurnal Syahadah. Vol. V. No. 1. (April, 2017).
192
Sumardi, Dedy. ‚Hudūd dan HAM: Artikulasi Penggolongan
Hudūd Abdullahi Ahmed an-Na’im‛. Miqot. Vol.
XXXV. No. 2. (Juli-Desember, 2011).
Tauhid, Ahmad Zainut. ‚Hukuman Mati Terhadap Pelaku
Tindak Pidana Terorisme Perspektif Fikih Jiayah‛.
Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia. Vol. I. No. 2.
(Mei, 2012).
Yusuf, Imaning. ‚Pembunuhan dalam Perspektif Hukum
Islam‛. Jurnal Nurani. Vol. 13. No. 2. (Desember,
2013).
193
BIOGRAFI SINGKAT
Khairul Anam lahir di Sumenep Madura pada tanggal
23 Mei 1990. Pendidikan Formalnya dimulai dari Madrasah
Ibtidaiyah Nurul Hikmah Kolo-Kolo III, di Kampung
halaman, Kangean Sumenep, dan lulus pada tahun 2004.
Kemudian nyantri di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-
Bata Pamekasan Madura, sekaligus melanjutkan pendidikan
jenjang Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah
(MA) 2004-2009. Alumni S1 jurusan Tafsir Hadis Universitas
Islam (UIN) Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekarang
sedang menempuh studi S2 di Sekolah Pascasarjana UIN
Jakarta pada jurusan Pemikiran Islam.
Setelah lulus MA Mambaul Ulum Bata-Bata, sempat
mengabdi di Masyarakat selama satu tahun, yaitu dengan
mengajar di pesantren dan mengisi ceramah di Masjid baik di
dalam atau di luar pesantren.
Selama di pesantren aktif di berbagai organisasi intra
maupun ekstra. Menjadi wakil ketua OSIS MA Mambaul
Ulum Bata-Bata (2008-2009), Ketua Kajian Aktif
Musyawarah Santri (KAMUS) PP. Mamabaul Ulum Bata-
Bata (2007-2009), Anggota Lembaga Pengembangan Bahasa
Arab (2007), dan menjadi ketua perhimpunan santri dari
berbagai pesantren di Kolo-Kolo Kangean-Ketua Ikatan
Santri dan Masyarakat (IKSAMA) (2008-2012).
Adapun karya tulis yang sudah terpublikasikan berupa
buku berstandar Nasional adalah ‚Kajian Tafsir dan Hadis
Kontemporer: Otentisitas, Kisah dan Metodologi. Buku ini
merupakan kompilasi dari berbagai tema kajian tafsir dan
hadir yang ditulis oleh sekelompok orang.