Tamadun Melayu Lingga - magisterseniusu.com · Pahang (1761-1812). Setelah menang besar melawan...

193

Transcript of Tamadun Melayu Lingga - magisterseniusu.com · Pahang (1761-1812). Setelah menang besar melawan...

Tamadun Melayu Lingga

i

TAMADUN MELAYU LINGGA

Tamadun Melayu Lingga

ii

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, tentang Hak Cipta

PASAL 2(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta

untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku.

PASAL 72(1) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000.00 (Satu Juta Rupiah), atau paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (Lima Miliar Rupiah).

(2) Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pads ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).

Tamadun Melayu Lingga

iii

TAMADUN MELAYU LINGGA

Editor:Prof. Dr. Firdaus L.N., M.Si

Dr. Elmustian, MADrs. Ridwan Melay, M.Hum

PenerbitDinas Kebudayaan Kabupaten Lingga

2018

Tamadun Melayu Lingga

iv

TAMADUN MELAYU LINGGA Kumpulan Makalah “Seminar Memuliakan Tamadun Melayu”

Editor:Prof. Dr. Firdaus L.N., M.Si

Dr. Elmustian, MADrs. Ridwan Melay, M.Hum

Sampul dan perwajahan: DasukiFoto Cover : Dokumen Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga

Diterbitkan, Nopember 2018

Diterbitkan oleh:Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga

Daik Lingga, 21 November 2017

Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

Isi di luar tanggung jawab percetakanCetakan pertama: 2018

ISBN 978-602-53286-0-2

Tamadun Melayu Lingga

v

SAMBUTAN GUBERNUR KEPULAUAN RIAU

DR. H. NURDIN BASIRUN, S.Sos, M.Si.

BismillahirahmanirrahimAssalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, wasyukurillah, puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, yang telah memberikan rahmad dan ridha-Nya kepada kita semua, sehingga pada saat ini kita dalam keadaan sehat walafiat. Salawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, dan keluarga beserta para sahabat-sahabatnya yang telah mewariskan Al-Quran sebagai petunjuk dan pedoman hidup bagi kita semua.

Provinsi Kepulauan Riau yang juga dikenal dengan nama Bunda Tanah Melayu dan Kabupaten Lingga sebagai sentranya merupakan suatu kebanggaan bagi masyarakat di Negeri ini.

Perhelatan ini merupakan ajang yang tepat untuk kita memuliakan Tamadun Bunda Tanah Melayu. Kita dapat meningkatkan nilai-nilai Tamadun Melayu, kita berupaya memupuk hubungan silaturahim sesama penggiat budaya umumnya, khususnya penikmat yang telah beranak pinak di Negeri ini.

Tamadun Melayu Lingga

vi

Helat ini menjadi cita-cita Gubernur Kepulauan Riau dalam visinya ‘Terwujudnya Kepulauan Riau sebagai Bunda Tanah Melayu yang Sejahtera, Berakhlak Mulia, dan Ramah Lingkungan’.

Saya mengharapkan agar helat ini dapat meningkatkan persaudaraan, persatuan dan kesatuan antar sesama. Saya mengajak kita semua agar mendukung Perhelatan ini, moga sukses.

Akhirnya, kepada Allah SWT kita berserah diri dan berdoa semoga penyelenggaraan Tamadun Melayu Antarbangsa ini sukses dan berjalan lancar. Amin Yaa Rabbal AlaminWassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Sirih Puan sirih junjunganSile dimakan Datuk MenteriKasih tuan sepanjang zamanMenjadi kenangan hingge ke mati***

Tamadun Melayu Lingga

vii

SAMBUTAN BUPATI LINGGA

H. ALIAS WELLO, S.IP.

BismillahirahmanirrahimAssalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT memberikan kesehatan dan kekuatan kepada kita semua sehingga kita senantiasa dalam kemudahan dan kebahagiaan. Salawat dan salam tercurah bagi junjungan alam Nabi Besar Muhammad SAW.

Saya atas nama Pemerintah dan Masyarakat Kabupaten Lingga mengucapkan syabas dan taniah atas terbitnya buku ini untuk memajukan tamadun Melayu keperingkat antara bangsa. Kesultanan Melayu, Kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga yang berpindah Pusat Pemerintahan dari Kota Lama di Tanjungpinang ke Daik (24 Juli 1787) merupakan keputusan Sultan Mahmud Riayat Syah.

Setelah Pusat Pemerintahan pindah dari Riau ke Pulau Lingga (sekarang Kabupaten Lingga) terjadi perubahan nama (Kerajaan Kesultanan Melayu Kerajaan Riau). Sultan Mahmud Riayat Syah telah membangun Ibu Kota Kesultanan Melayu Lingga-Riau. Baginda Sultan berhasil meletakkan sandaran untuk kelanjutan

Tamadun Melayu Lingga

viii

pemerintahan berikutnya.Perhelatan ini merupakan kegiatan yang menampung dan

ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Bangsa/Etnik Melayu mempunyai Tamadun yang perlu dilestarikan dan harus mendapat perhatian, sokongan, dan kerja nyata dari semua pihak.

Kepada pembaca buku ini terutama kaum cendekia, tokoh-tokoh dunia untuk dapat memupuk solidaritas dan soliditas Komunitas Melayu dan memperkenalkan Tamadun Melayu adalah peradaban yang mempunyai nilai yang paling tinggi dalam sejarah peradaban dunia.

Berbagai pihak yang telah bekerja, merencana, merangkai, meramu dan berbuat kerja nyata kami ucapkan terima kasih. Moga tungkus lumus berbagai pihak mengandung arti dan merupakan amal, Allah akan meredhoi.

Semua pihak yang telah menyukseskan penerbitan buku ini, terima kasih saya ucapkan.

Kerja kita belum selesai baru sebatas ini.

Sultan Lingga bertahta di SinggasanaPusaka Melayu Takkan pernah layuMari kita muliakan Tamadun Melayu AntarbangsaDi negeri bertuah, Lingga Bunda Tanah Melayu.***

Tamadun Melayu Lingga

ix

SAMBUTAN KEPALA DINAS KEBUDAYAAN KABUPATEN LINGGA

Ir. H. MUHAMMAD ISHAK, M.M

Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga, Ketua Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau Kabupaten Lingga Sekaligus Ketua Umum

Perhelatan Memuliakan Tamadun Melayu Antarbangsa

Pernah menjadi pusat Pusat Kerajaan Melayu, yakni Pusat Kerajaan Melayu Kesultanan Riau Lingga, Johor dan Pahang sejak pindahnya Sultan Mahmud Riayat Syah dari Hulu Riau ke Lingga Tahun 1787 dan Pusat Kesultanan Lingga Riau selama lebih kurang 114 tahun, Daik Lingga Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia sudah barang tentu banyak memiliki warisan ragawi dan nonragawi yang kesemua itu tentu menjadi Tamadun Melayu yang tak ternilaikan. Adanya berbagai bukti sejarah dan budaya yang masih melekat dan bersebati serta dukungan alam yang semula jadi menjadikan bekas Pusat Kerajaan Melayu yang konon ceritanya berasal kata baik dan gigi naga ini selain dijuluki sebagai Bunda Tanah Melayu, Kota Bersejarah, Kota Seribu Meriam juga disebut Darul Birri Waddarul Salam, negeri yang baik dan penuh kerahmatan.

Tamadun Melayu Lingga

x

Raihan kemasyhuran dan kejayaan Kesultanan Melayu masa lalu yang didapat melalui tekanan penjajah dan pertelingkahan politik mestinya harus menjadi pengobar semangat dan acuan bagi masyarakat Melayu masa kini dan akan datang untuk lebih bangkit, berperan dan berjaya lagi dari masa lalu, karena era kini tidak ada lagi sekat-sekat untuk tidak mampu berkarya, menjalin kebersamaan, memanfaatkan peluang dan kesempatan serta saling dukung mendukung membangun negeri-negeri rumpun Melayu. Merajut kembali, membangun silaturahmi dan kerjasama secara terus menerus dengan tetap menjaga dan menerapkan nilai-nilai budaya Melayu agaknya harus menjadi kata kunci yang mesti menjadi kesepakatan yang kuat agar negeri-negeri rumpun Melayu terus menjadi negeri yang bertamadun, maju dansenantiasa melahirkan karya-karya intelektual dengan tetap menjunjung tinggi adat dan budayanya.

Dari hati yang paling dalam tentu kita semua tidak hendak, seperti dibanyak perhelatan dan kegiatan lain yang pada saat dihelat nuansanya kental dengan budaya Melayu, riuh rendah bersimbah peluh membincangkan Melayu dan dipuji berbagai pihak. Tapi setelah itu tak berbekas, tidak berkelanjutan dan tak bermanfaat, bak pepatah seperti ‘melempar batu ke laut, atau hilang ditelan bumi’. Ataupun yang lebih diperparah lagi paska helat muncul hujat dan sumpah seranah karena yang dihelat tak sesuai harapan dan belum berjaya memuliakan tamadun Melayu itu sendiri.

Pastilah yang kita impikan terus bertunas, berbatang, berdahan, beranting, berpucuk, berdaun hingga berbunga yang harum mewangi dan berbuah yang sedap.

Sempitnya rentang waktu persiapan, kurangnya pengalaman, kecilnya pembelanjaan, dukungan sarana prasarana yang belum memadai dan lain-lain tidak boleh selamanya menjadi alasan yang minta diaminkan. Tetapi itu semua juga tak dipungkiri sedikit banyak akan mempengaruhi jayanya suatu hajatan. Umpama ungkapan: Apabila hidup berterus terang, sangkaan buruk sama dibuang. Kusut selesai, sengketa hilang. Saran dan masukan tentu menjadi ‘guru’ yang terbaik. Jayalah.***

Tamadun Melayu Lingga

xi

PENGANTARBUDAYAWAN MELAYU SERUMPUN

DATO’ SATRIA MAHKOTA Dr. Drs. H. ABDUL MALIK, M.Pd.

Kewujudan Lingga, khususnya Daik, sebagai Bunda Tanah Melayu tak dapat dipisahkan dari jasa dan perjuangan yang luar biasa Sultan Mahmud Riayat Syah, Sultan Lingga-Riau-Johor-Pahang (1761-1812). Setelah menang besar melawan Belanda di Tanjungpinang dalam Perang Riau II pada 13 Mei 1787, Baginda berhijrah dan memindahkan pusat pemerintahan kesultanan ke Daik, Lingga, pada 24 Juli 1787. Semenjak itu, Daik menjadi pusat Kesultanan Lingga – Riau – Johor - Pahang menggantikan Kota Lama di Tanjungpinang. Peranan Daik sebagai pusat pemerintahan negara Melayu berterusan sampai 1900, lebih kurang 113 tahun.

Selain berjuang menentang intervensi asing (sejak 1782—1812) demi menegakkan kedaulatan negeri dan mempertahan marwah bangsa Melayu, Sultan Mahmud Riayat Syah juga terus melakukan pengekalan, pengembangan, dan pembinaan adat-

Tamadun Melayu Lingga

xii

istiadat, budaya, dan tamadun Melayu di wilayah Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang dan seluruh daerah takluknya. Upaya itu dilakukan oleh Baginda untuk memastikan pengekalan ideologi, pandangan hidup, dan kearifan Melayu-Islam yang berakar pada nilai-nilai agama Islam, sejarah, dan kebudayaan Melayu yang terala dan luhur di dalam kerajaan Baginda. Ketika Baginda memangku jabatan Sultan, budaya Melayu yang bernafaskan Islam semakin dikuatkan.

Sistem nilai budaya Melayu yang bercirikan (1) beragama Islam, (2) beradat-istiadat Melayu, dan (3) berbahasa Melayu menjadi peneguh jati diri Melayu sekaligus menjadi daya tolak terhadap pengaruh budaya asing yang tak sesuai dengan karakter bangsa Melayu. Ketiga aspek itu tecermin dalam sistem budaya masyarakat Melayu meliputi tujuh unsur: religi, kemasyakarakatan, teknologi, pengetahuan, ekonomi, kesenian, dan bahasa.

Ajaran agama Islam dan kebudayaan Melayu dijadikan pondasi sekaligus teras untuk mewujudkan tamadun Melayu yang ranggi di seluruh wilayah Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang, yang sejak 1787 menjadikan Daik, Lingga, sebagai pusat persebarannya. Upaya tersebut dilakukan oleh Sultan Mahmud Riayat Syah dengan memanfaatkan potensi budaya Melayu dan ajaran agama Islam untuk menjadi pegangan dasar kehidupan masyarakatnya. Kenyataan itu dapat ditemukan di dalam unsur-unsur budaya yang berkembang di Kepulauan Riau sampai setakat ini. Capaian yang gemilang itu tak terlepas dari peranan Daik (Lingga), juga Pulau Penyengat Indera Sakti (di seberang Tanjungpinang), yang dikembangkan oleh Baginda Sultan sebagai pusat pengekalan, pengembangan, dan pembinaan agama Islam dan tamadun Melayu. Oleh sebab itu, Daik, Lingga, sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Melayu yang besar, memainkan peran yang sangat penting sebagai pusat tamadun Melayu yang menyebarkan budaya dan nilai-nilai terala tamadun Melayu ke seluruh kawasan Melayu di rantau ini.

Selain tempat-tempat dan tinggalan bersejarah (cagar budaya) dalam bentuk warisan benda (tangible heritage), tinggalan bernilai

Tamadun Melayu Lingga

xiii

tinggi dalam bentuk warisan takbenda (intangible heritage) juga sangat banyak diwariskan oleh Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang. Di dalam kehidupan masyarakat Melayu di Daik, Lingga, khususnya, dan Kepulauan Riau, umumnya, terhimpun pengetahuan dan ekspresi budaya tradisional yang kesemuanya memancarkan kearifan (wisdom) tradisional yang kuat melekat dalam kehidupan masyarakat Melayu setempat. Apresiasi dan kesetiaan masyarakat yang tinggi terhadap Sultan Mahmud Riayat Syah dan pemimpin Melayu sebelum dan sesudah Baginda diperingati melalui Upacara Haul Jamak, misalnya. Intinya, cukup banyak budaya tradisional masyarakat setempat yang lestari sampai saat ini yang diwariskan oleh kerajaan pada masa lampau. Generasi bangsa, khususnya bangsa Melayu, yang hidup pada masa kini sudah sepatutnyalah memberikan apresiasi terhadap Allahyarham Sultan Mahmud Riayat Syah dan para sultan yang meneruskan kepemimpinan Melayu di kawasan ini.

Perjuangan dan sistem pemerintahan berotonomi luas yang Baginda terapkan terbukti mampu memakmurkan negeri dan menyejahterakan rakyat. Lebih daripada itu, dengan sistem pemerintahan itu pulalah, pihak Kolonial Belanda tak berhasil mengalahkan, bahkan harus mengakui kedaulatan Sultan Mahmud Riayat Syah pada 1795 sehingga Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang tetap merdeka, hanya kurang dari delapan tahun setelah pusat pemerintahannya dipindahkan ke Daik, Lingga.

Kesemuanya itu dimulai oleh Baginda dari Bumi Daik, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau, Republik Indonesia sekarang. Daik memang terbukti sangat bertuah sebagai tujuan berhijrah. Selanjutnya, Sultan Mahmud Riayat Syah juga berjasa besar memberi ruang dalam pengabdian mengukuhkan kebudayaan dan tamadun yang menjadi identitas kehidupan masyarakat Melayu turun-temurun. Kesemuanya itu masih dapat dijumpai di Kepulauan Riau dan kawasan-kawasan Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang dan daerah takluknya sampai setakat ini (sekarang).

Tamadun Melayu Lingga

xiv

Kepeloporan dan ketauladanan Sultan Mahmud Riayat Syah dalam perjuangan fisik melawan Belanda dengan perang gerilya laut dan kegigihan serta kecekalan hati Baginda dalam mengekalkan, mengembangkan, dan membina tamadun Melayu yang bertapak di Lingga telah mengukuhkan Daik sebagai Bunda Tanah Melayu. Perhelatan Tamadun Melayu ini sesungguhnya dilaksanakan untuk meneruskan kearifan dan kebijaksanaan Sultan Melayu yang paling cerdas yang pernah dimiliki oleh Dunia Melayu selama ini, intaha.***

Tamadun Melayu Lingga

xv

DAFTAR ISI

Sambutan Gubernur Kepulauan Riau DR. H. Nurdin Basirun, S.Sos, M.Si. ........................................... v

Sambutan Bupati LinggaH. Alias Wello, S.IP. ........................................................................ vii

Sambutan Kadis Kebudayaan LinggaIr. H. Muhammad Ishak, M.M ..................................................... ix

Pengantar Budayawan Melayu SerumpunDato’ Satria Mahkota Dr. Drs. H. Abdul Malik, M.Pd. ............. xi

PROLOG

1. SYAIR SULTAN MAHMUD Said Barakbah Ali .................................................................... 7

2. MENAPAK ALAM LINGGA BUNDA TANAH MELAYU (Kilas Balik Bunda Tanah Melayu Dalam Percakapan) Said Barakbah Ali danMuhammad Ishak ............................ 13

3. LINGGA, JEJAK DAN WARISANNYA DALAM TAMADUN MELAYU Rida K. Liamsi ......................................................................... 19

4. SANG PEMIKIR TAMADUN MELAYU Nyat Kadir ................................................................................ 21

5. PERCAKAPAN DI LINGGA Husnizar Hood ........................................................................ 25

6. JASA TIMAH SINGKEP DALAM TAMADUN MELAYU LINGGA M. Fadlillah .............................................................................. 29

Tamadun Melayu Lingga

xvi

7. BERHUTANG PADA PERSEBATIAN MELAYU BUGIS Datuk Seri Lela Budaya Rida K Liamsi ............................... 35

8. RUMPUN MELAYU DAN KESULTANAN RIAU-LINGGA SEBAGAI PENERUS KESULTANAN MELAKA DALAM PENGEMBANGAN TAMADUN MELAYU Tan Sri Prof. Datuk Wira Dr Abdul Latif Abu Bakar ........ 42

9. PERJUANGAN SULTAN MAHMUD RIAYAT SYAH DALAM MEMAJUKAN PEREKONOMIAN KESULTANAN LINGGA-RIAU-JOHOR-PAHANG H. Abdul Malik H. Abdul Kadir Ibrahim ......................................................... 50

10. SULTAN MAHMUD RIAYAT SYAH & STRATEGI PERLAWANAN GERILYA LAUT TERAKHIR KESULTANAN MELAYU Susanto Zuhdi ......................................................................... 82

11. MUSIK MELAYU SEBAGAI PEREKAT KESERUMPUNAN TAMADUN: TINJAUAN HISTORIS DAN STRUKTURAL Muhammad Takari bin Jilin Syahrial .................................. 96

12. DARI BUKIT SIGUNTANG KE RIAU—LINGGA: PENGEMBANGAN TAMADUN MELAYU RIAU Latifah Ratnawati .................................................................... 134

13. GERILYA LAUT SULTAN MAHMUD RIAYAT SYAH 1787-1795 Didik Pradjoko ....................................................................... 141

14. RIWAYAT SINGKAT RAJA-RAJA KESULTANAN MELAYU RIAU-LINGGA-JOHOR-PAHANG(1787-1913) H. Alias Wello dan Said Barakbah Ali .................................. 153

Tamadun Melayu Lingga

xvii

EPILOG ........................................................................................... 160

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 162

WARKAH KUMPULAN BUAH PIKIR DAN PESERTA ......... 170

INDEKS PENULIS ......................................................................... 173

Tamadun Melayu Lingga

xviii

Tamadun Melayu Lingga

1

PROLOG

Semua lindab dalam arus waktu. Yang ada adalah budi dalam kenangan dan ingatan dalam keabadian. Scripta manent, verba volant, segala sesuatu yang dituliskan akan kekal dan apa-apa yang diucapkan akan hilang melayang. Dua sejoli yakni si pencerita dan si penikmat akan terus datang dan menghilang, hiruk-pikuk dan sunyi-senyap, silih berganti dengan suara-suaranya yang terkadang terdengar merdu atau sumbang, sayup-sayup terdengar dan terkadang suara keras membahana mengganggu pendengaran. Dan, terkadang sering pula diingatkan: ketika karya lahir maka pengarangnya mati, seperti adagium yang difikirkan strukturalisme Roland Barthes (dalam Routledge, 1977).

Diawali oleh Sulalatu’l-Salatin sebuah teks sejarah Melayu yang paling tua dan memiliki banyak penyanjung dan pemerotes. Dari masa ke masa memiliki pembacaan yang beragam. Lalu, muncullah Tuhfat al-Nafis yang melakukan pemikiran ulang terhadap lebuh raya (mainstream) tentang alur sejarah Melayu. Dan beberapa abad kemudian, kita tidak mendengar lagi ada karya besar dalam penulisan sejarah, selain transmisi dan transformasi teks. Para sarjana berikutnya seperti berdiri di barisan belakang dari pengelana terdahulu.

Di sudut di suatu masa di suatu tempat yang paling riuh, seorang pengelana Jerman, Hans Overbeck pada tahun 1925 dalam obituari ringkasnya mendendangkan dengan penuh keyakinannya bahwa sastra Melayu yang menjadi rajawali kebudayaan Melayu sudah malap dan mati: Die Malaiische Literatur ist tot, dahingewelkt seit der Glanz der malaiishen Reiche verging), seperti yang dikisahkan G.L. Koster untuk sastra Melayu (dalam Roaming Through Seductive Gardens: reading in Malay narrative. Diterbitkan: KITLV Press Leiden 1997).

Dan, hampir satu abad berikutnya kemudian hadir pula pembelaan dari pengelana lainnya bahwa mustahil akan mati,

Tamadun Melayu Lingga

2

namun hanya wujud dalam transmutasi budaya tradisional oral-aural Melayu ke dalam budaya cetak modern menguatkan pendapat Sweeney (1987) dalam A full hearing; Orality and literacy in the Malay world. Berkeley, dst.: University of California Press.

Saat hampir bersamaan seorang pengelana Rusia V.I. Braginsky dengan penuh keyakinannya mengatakan bahwa teks-teks inti kebudayaan Melayu itu sebagai sesuatu yang indah, memberi hiburan kepada anak zamannya, memiliki faedah, dan kamal. (dalam kitab Yang Indah Berfaedah dan Kamal: Sastra Melayu dalam Abad 7-19, 1998). Tidak ketinggalan, seorang sarjana bagaikan pendekat Melayu Muhammad Haji Salleh mengorak corak teks-teks Melayu dalam Puitika Sastera Melayu (Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur, 2006).

Di singgasananya, kebudayaan Melayu tetap sebagai mendedahkan dirinya sebagai suatu teks yang bebas terbuka, seperti melaungkan jati dirinya yang sejati:

Pulau Angsa jauh ke tengahGunung Daik bercabang tigaMeski badan di kandung tanahBudi baik dikenang juga

Begitulah keadaan kita. Komentar, penilaian, evaluasi, harapan, dan mungkin doa, silih berganti, menghujat atau menyanjung dan seterusnya. Kita mungkin dapat menjadi bingung dengan hujah-hujah itu atau dapat pula menikmatinya sebagai panta rei sejarah belaka. Vivienne Wee dengan tingkat kesabaran dan pengalaman empiris dan akademiknya yang panjang justru berdiri pada sudut lain dan berpesan dalam bahasa lisannya, kita mesti bersuara dengan kepakaran kita, dengan potensi kita, dengan keyakinan kita. Kita mesti menulis dan memperdengarkannya kepada dunia. Maka beberapa kitab warisan budaya di Kepulauan Riau dan Riau terpublikasikan dengan baik, yang merupakan suara-suara yang terpendam dan terendam dalam khasanah bangsa Melayu di bekas Kerajaan Riau

Tamadun Melayu Lingga

3

Lingga. Setelah Daik Lingga mengabur dalam pentas sejarah, dua pusat

dinamika kebudayaan yang merupakan sempadan Indonesia dan Malaysia ini tumbuh menjadi dua negeri yang berbeda. Penyengat masih dengan lenggang lenggoknya yang eksotis romantis-historis, sementara Daik Lingga tumbuh menjadi negeri yang magis, masif, dan misteri, sukar sekali kita memaknai bahasa tubuh yang dilenggangkannya, yang jika didekati lebih dekat, sebenarnya memancarkan kesantunan yang memesona hati, sukar dilupakan.

Daik sebagai bunda tanah Melayu memang beralasan. Tidak hanya diartikan bahwa tanah ini bagian inti dari satu sumber erupsi dahsyat dari sebuah gunung yang memisahkan Benua Asia dengan pulau-pulau lainnya di selatan, tetapi juga dapat mengukuhkan penemuan ahli genetika, Sangkot Marzuki, direktur Lembaga Eijman yang menyebutkan secara genetika gen Melayu lebih tua dari ras Chinotis-Belan, sebuah ras yang kemudian dikenal berbahasa China/Mandarin. Aura mother land sebagai segala sifat keibuan berhulu di kampung ini. Sifat orang Melayu Daik yang tegar nan hebat, penyayang tidak bermuara, lebih halus dan peka, tempat semua beban diluahkan, tempat keluh kesah dilaungkan, kesabaran yang tidak berujung, dan diharibaannya terasa hangat, tempat doa-doa dikumandangkan ke langit dan direbahkan ke bumi.

Lalu, apakah tidak tergarit hati kita melihat ranumnya sejarah untuk menciptakan pencapaian peradaban berikutnya setelah ditinggalkan oleh kerajaan Riau Lingga. Tidakkah kita tertarik untuk melanjutkan meluaskan “taman” Riau School atau mazhab sastra Riau? Lalu dengan cara bagaimanakah harapan dan nyali kita bisa bangkit kembali dan perkasa seperti rombongan Demang Lebar Daun yang dengan semangat membangun negeri ini dari selatan ke utara.

Tulisan yang dimuat pada buku ini memang tidak sistematis, Tulisan-tulisan itu memberikan gambaran betapa kuat dan kokohnya tanah Lingga menjadi bunda tanah Melayu dan efisentrum dinamika kebudayaan di belahan bumi bernama nusantara. Kekokohannya

Tamadun Melayu Lingga

4

tidaklah datang dengan tiba-tiba dan tidak muncul dengan sendirinya. Rida K Liamsi memberikan gambaran yang indah bagaimana pengaruh Bugis dalam tamadun Melayu beberapa abad yang lalu dan memahaminya sebagai jasa yang menjadi sebuah budi baik yang mesti dikenang.

Imperium Melayu jalin berjalin, dan menjadi seperti lazimnya batang (sajara), memiliki ikatan yang kuat antara hulu dan hilir, atas dan bawah, dulu dan kini seperti yang dilukiskan oleh Tan Sri Prof. Datuk Wira Dr. Abdul Latif Abu Bakar: “Rumpun Melayu dan Kesultanan Riau-Lingga sebagai Penerus Kesultanan Melaka dalam Pengembangan Tamadun Melayu.”

Datuk Dr. H. Abdul Malik, M.Pd., Drs H. Abdul Kadir Ibrahim, M.T. mengeratkan buhul sejarah bahwa Kepulauan Riau tidak hanya ongkang-ongkang kaki untuk dapat menikmati kemerdekaan ini, seperti yang dituangkannya dalam makalah yang berjudul: “Perjuangan Sultan Mahmud Riayat Syah dalam Memajukan Perekonomian Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang.” Demikian pula Prof. Susanto Zuhdi mengikatkan ingatan sejarah Melayu dalam makalahnya “Sultan Mahmud Riayat Syah dan Strategi Perlawanan Gerilya Laut Terakhir Kesultanan Melayu.” Latifah Ratnawati, dengan judul tulisannya “Dari Bukit Seguntang ke Riau-Lingga: Pengembangan Tamadun Melayu Riau,” dan Dr. Didik Pradjoko dengan judul tulisannya Gerilya Laut Sultan Mahmud Riayat Syah 1787-1795.”

Menarik sekali yang diketengahkan oleh Muhammad Takari bin Jilil Syahrial mengorak corak musik Melayu yang menjadi bahasa kosmopolitan semua bangsa, dalam makalahnya “Musik Melayu sebagai Perekat Keserumpunan Tamadun: Tinjauan Historis dan Struktural,” oleh. Tulisan ini dapat menjadi sumber untuk kerja-kerja kreatif, komodifikasi, preservasi, revitalisasi, dan restorasi. Manfaat praktis ini dapat pula wujud dalam bentuk menstimulasi budaya (khasnya heritage) sebagai suatu metode rehabilitasi dan pelestarian kebudayaan Melayu Riau. Sebagai kabupaten yang berkomitmen menjadikan Daik sebagai Bunda Tanah Melayu, agenda kebudayaan

Tamadun Melayu Lingga

5

yang strategis memang mutlak dilakukan. Buku ini diselipkan sebuah video dokumenter yang bertajuk “Sejarah Bugis Makasar di Tanah Melayu,” video film dokumenter.

Pengantar buku ini ingin mengingatkan kepada sidang pembaca, bahwa maksud kehadiran buku ini tidaklah hanya sekedar memberi pengingat kepada kita, bahwa Daik pernah ada dan berkilauan dalam sejarah masa lalu kita, tetapi bagaimana Daik hendak dijadikan apa, diciptakan bagaimana, untuk apa, dan mengapa demikian. Tidak hanya sekedar begitu “karya lahir maka pengarangnya mati”, tetapi ingin bersama-sama memperhitung bagaimana peran, perancang, apa yang dirancangnya dan bagaimana wacana teks itu diarahkan untuk siapa. Penikmatnya tidak hanya jongkok di sudut ruangan, tetapi mengambil manfaat dari apa yang dinikmati dari hidangan itu. Bukankah manusia dapat menjadi rahmatan lil alamin bagi seluruh alam semesta.***

Daik, 30 Oktober 2018Tim Penyunting

Tamadun Melayu Lingga

6

Tamadun Melayu Lingga

7

SYAIR SULTAN MAHMUD

SAID BARAKBAH ALITenaga Ahli Pemerintah Kabupaten Lingga

Bidang Kelembagaan Adat dan Budaya

Syair Sultan Mahmud Muzafar Syah di Lingga merupakan syair yang terlahir dari pandangan dan ide-ide pengarangnya yang tertuang di dalam 171 halaman. Setiap halaman rata-rata berjumlah 19 baris. Jumlah syair 1097 bait.

Masa penulisan syair Sultan Mahmud dinyatakan sangat singkat, hanya sepuluh hari saja. Isi ceritanya cukup luas, diungkapkan dalam satu bait syair :

Tiada lagi dipanjangkan madah Dalam sepuluh hari lengkaplah sudah Kepada delapan hari bulan zulkaedah Memulai pekerjaan terlalu indah

Syair ini secara keseluruhan memuji keindahan tingkah laku Sultan Mahmud dan mengagungkan kemansyuran kerajaan Riau Lingga ; pengungkapan terhadap kebudayaan Melayu Riau Lingga.

Syair ini memuat Pembangunan Istana Kota Batu. Pembangunan istana dimulai dengan penetapan lokasinya disuatu bukit (bukit berduri) yang di bawahnya mengalir sungai. Letaknya sangat strategis dan dari istana pemandangan nampak pemandangan yang sangat indah. Bahan bangunan istana terbuat dari batu bata yang dibuat di wilayah kerajaan, dan bahan pualam, mika didatangkan dari Singapura. Arsitek bangunan istana dari Eropah. Dalam pembangunan istana telah ditetapkan jabatan tukang yaitu seorang Kapten, Kepala tukang dan tukang lainnya. Para tukang terdiri dari orang Cina, orang Melayu bertugas untuk pembersihan

Tamadun Melayu Lingga

8

lahan, pencarian kayu. Para pekerja diberi upah sekitar 40 dan 20 ringgit. Jam kerja tukang dari pagi sampai pukul lima sore.

Seni bangunan dan daya cipta bangunan di Riau Lingga mempunyai ciri khas tersendiri sebelum masuknya budaya arsitektur asing. Selembayung ada bagian atas bangunan atas gedung istana dan rumah merupakan ciri khas Melayu Riau. Istana Sultan Mahmud tidak lagi mendirikan bangunan khas Melayu Riau setelah melihat pembangunan istana yang dibuat di negeri Eropa. Pengaruh istana dan arsitektur Belandamenambah daya kreasi dan daya cipta Sultan untuk membuat istananya di Kota Batu Lingga. Sultan mahmud seorang berpikir maju, memiliki selera tinggi dalam seni bangunan dan pembangunan agama.

Syair Sultan mahmud dapat dicontohan dalam beberapa hal yang berhubungan dengan :1. Sistem Pemerintahan2. Hubungan Sosial3. Masalah Ekonomi4. Unsur-Unsur Agama Islam5. Kesenian dan Kesusastraan6. Sistem Pemerintahan

(591) Orang bekerja sehari-hari Diperintah oleh keempat Menteri Panji dibangun di tengah negeri Bertentang dengan Balairung Negeri

(468) Itupun tiada diindahkannya Pura-pura tiada didengarnya Marahlah Datuk Penghulu Istana Diri sekalian apalah kata

(608) Penghulu Istana orang yang bahari Ia berteriak ke sana kemari

Tamadun Melayu Lingga

9

Ayuhai anakku sekalian kemari Kerjakan perintah ke bawah duli

7. Hubungan Sosial

(83) Jikalau izin serta diberi Bermohonlah patik ke Singapuri Peta Istana di sanalah dicari Sebab negeri tempat yang bahari

(85) Wazir menyembah derjah berseri Baiklah Tuanku, Mahkota Negeri Naik pergi ke Singapuri Habis lamanya dua puluh hari

(86) Setelah sudah putus bicara Menteri bermohon pergilah segera Bertitah pula Sultan Mupandara Janganlah sina di Singapura

(276) Berjenis permainan di luar kota Sorak dan tampik gegap gempita Sorak India bersulap mata Wayang orang di atas kota

(278) Bermain banyak berbagai warna Juga Keling berwayang Cina Berhimpunlah orang hina dan dina Laksana kayangan batada kasana

Tamadun Melayu Lingga

10

1. Masalah Ekonomi

(90) Segeralah Cina menjawab kata. Kepada Menteri Paduka Nata. Di dalam gedung beratap bata. Di situlah tukang banyak melata.

(91) Marilah engku Patik tanyakan. Sementara pagi belum berjalan. Di situlah Tukang berhimpun sekalian Ada yang makan ada yang dimarahkan.

(93) Serta sampaike gedung batu. Berjumpalah cina berbagai laku. Ada memasak ada yang memaku. Ada memahat ada yang membelah kayu.

2. Unsur-Unsur Agama Islam

(110) Kata orang yang empunya cerita. Indahnya Istana seperti di peta. Kepada hari Jum’at didirikan nyata. Orang pun ramai gegap gempita.

(287) Orang kaya, Tumangung, Menteri, berbangsa. Menanggung pekerjaan sudah biasa. Dihimpunkan rakyat seisi desa. Ke bawah duli berbuat jasa.

(357) Diamlah tuan jiwa bangsawan. Jangan menangis berpanjangan. Bejana moleh ayahanda gerangan. Apakah pula artinya tunangan.

Tamadun Melayu Lingga

11

(364) Kepada pikiran bota sendiri. Jika di izinkan Mahkota Bahari. Malam Jum’at kepada empat belas hari. Kita kawinkanlah Paduka Bestari.

3. Kesenian dan Kesusastraan

(23) Pantas manis berkata-kata. Bibirnya seperti dicarik pita. Lemah lembut budi anggota Memberi heran di dalam kita

(24) Hidungnya seperti kuntum melur. Bersambut dengan surinya kencur. Laksana bunga di jambangan nilur. Tubuhnya halus sepertinya telur.

(25) Bintang timur kedua matanya. Bagai di mempelas rupa keningnya. Seperti di sipat anak rambutnya. Berpatutan dengan usul tubuhnya.

(27) Akan kata sahabat hikayat. Rambutnya panjang terlalu lebat. Serta hitam berkilat-kilat.

Ajaib heran segala yang melihat.

Syair ini merupakan satu di antara naskah kuno dari ribuan naskah melayu yang tersebar di seluruh dunia. Syair ini ditulis tanpa nama pengarag (anonim). Berdasarkan isi syair secara keseluruhan, diperkirakan naskah ini ditulis oleh seorang bangsawan istana yang dekat dengan Sultan. Apa-apa yang terjadi disekitar istana dapat disyairkan dengan baik.

Tamadun Melayu Lingga

12

Syair Sultan Mahmud mempunyai makna yang dalam dan khas. Aspek kebudayaan rakyat menonjol. Sudah layak Syair ini dimasyarakatkan dan disebarluaskan terutama dalam dunia pendidikan.***

Tamadun Melayu Lingga

13

MENAPAK ALAM LINGGA BUNDA TANAH MELAYU

(KILAS BALIK BUNDA TANAH MELAYU DALAM PERCAKAPAN)

SAID BARAKBAH ALI1 DAN MUHAMMAD ISHAK2

1) Tenaga Ahli Pemerintah Kabupaten Lingga Bidang Kelembagaan Adat dan Budaya. 2) Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga

Kata Tamadun dalam bahasa Arab berasal dari kata Maddana. Maddana berarti membangun suatu kota atau seseorang (masyarakat) yang mempunyai peradaban. Tamadan dapat diartikan keadaan hidup bermasyarakat yang bertambah maju.

Tamadun sebagai kebudayaan (civilization) adalah norma-norma kebudayaan yang maju, tinggi dan halus yang dimiliki oleh masyarakat melalui proses pendidikan dan penjajahan yang luas dan mendalam.

Menurut KUBI Tamadun berarti peradaban, kemajuan, kebudayaan, bertamadun berarti beradab, berkemajuan.

Tamadun yang berarti peradabana adalah jumlah kesatuan dari nada perbendaharaan yang bersifat moral dan material yang dapat membawa sebuah masyarakat dan memberikan setiap individu dalam masyarakat tersebut dengan segala bentuk keperluan sosial untuk kemajuan.

Menggemanya pernyataan Lingga Bunda Tanah Melayu bermula dari kegiatan “Perkampungan Penulis Melayu Serumpun” di Daik Lingga, 4 s.d 8 Juli 1999. Prakasanya Dr. Yusman Yusuf. Peserta yang hadir dari Indonesia, Malaysia,Brunei, Thailand, Singapura dan Korea Selatan.

Muhammad Ishak, Senin, 16 April 2012 merangkum kegiatan tersebut dalam tulisannya “DAIK LINGGA BUNDA TANAH

Tamadun Melayu Lingga

14

MELAYU” sebagai berikut:1. Daik merupakan Negeri yang bertamadun, memiliki taji sejarah

yang tajam dan panjang, penuturan bahasa yang halus, lentik dan indah bergetah dalam percakapan sehari-hari. Daik Benteng Lidah Melayu sekaligus benteng Tamadun (Yusmar Yusuf dalam REJAB.F Daik Bonda Tanah Melayu)

2. Setelah menengok sejarah Daik masa lalu yang begitu agung dan berjaya, tak salah terucap kata oleh penyelenggara Perkampungan Penulis Melayu Serumpun dan sepakat bahwa Daikdi juluki sebagai Bunda Tanah Melayu (Marie Ibni Zahari, Percetakan Daik Lingga abad XIV Menerbitkan Karya Raja Ali Haji, dalam Buku Daik Lingga Bonda Tanah Melayu).

3. Sebagai Bunda Tanah Melayu, Daik memiliki nilai sejarah, seni dan riligi yang tinggi. Ditanah melayu inilah pernah bertahta beberapa orang Raja yang memimpin Kesultanan Riau-Lingga. Disini pernah pula berkembang kerajinan kuningan, membatikdan perak dengan ukiran kelas tinggi. Dari segi religi, Daik memegang tinggi nilai-nilai kesopanan sehingga melahirkan bahasa yang halus. Melayu memang dekat dengan islam, tidaklah mengherankan jika Teluk Belanga, pakaian Khas Melayu mengidentikkan keislaman seseorang. Di Daik baju Khas ini selalu dikenakan pada setiap acara keagamaan dan kebudayaan. (Yuslenita Muda, catatan Perjalanan Perkampungan Penulis Melayu Serumpun dalam Daik Lingga Bonda Tanah Melayu)

4. Daik hanyalah sebuah nama yang manshurdalam sejarah. Sewaktu-waktu ia adalah pusat Pemerinthan Johor Pahang-Riau Lingga. Daik menjadi Bonda Tanah Melayu karena segala kekuasaan melayu, baik Politik maupun Ekonomi berpusat di Daik(A.F Yassin, Orang Daik itu orang Melayu dalam Daik Bonda Tanah Melayu)

5. Keindahan Alam Pulau Lingga, kekayaan sejarah dan budaya yang dimilikinuya serta prestasinya dimasa lalu sebagai pusat

Tamadun Melayu Lingga

15

kerajaan melayu Riau Lingga, pantaslah ia disebut sebagai Bunda Tanah Melayu (Evy. R. Syamsir. Daik Lingga: (Pengalan sejarah Melayu yang Terlupakan dalam Daik Bonda Tanah Melayu).

Kemudian didalam tulisan R. Hamzah Yunus : Daik Lingga

Bunda Tanah Melayu dalam Warisan Kerajaan Lingga-Riau Bunda Tanah Melayu. Peninggalan pysik dan budaya pikir (Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu Riau Pulau Penyengat-Tanjungpinang 1999), juga menyebutkan beberapa alasan mengapaTanah Daik Linggamenjadi Bunda Tanah Melayu :1. Daik Lingga tempat bersemayam Sultan-Sultan Melayu kurang

lebih 120 tahun. Mulai dari Sultan Mahmud Riayat Syah (1761-1812), Sultan Abdul Rahman Syah (1812-1832), Sultan Muhammad Syah (1832-1841), Sultan Mahmud Muzafar Syah (1841-1857), Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah (1857-1883) dan Sultan Abdul Rahman Muazam Syah (1883-1911). Daik Lingga sebagai tempat kedudukan Sultan-Sultan Melayu yang menerajui pemerintahan, adat istiadat, agama islam dan kebudayaan melayu islam. Masing-masing Sultan yang memerintah telah memberi warrna dan corak kemelayuan yang pekat menjadi Daik Lingg Bunda Tanah Melayu yang serba cemerlang.

2. Menjadi pusat, sumber, orientasi adat istiadat Melayu di Negeri Melayu Serantau seperti Johor, Pahang dan Terengganu.

3. Menjadi tempat pembinaan adat istiadat dan budaya melayu yang merupakan salah satu puncak budaya Melayu, seperti bagaimana yang disebut adat istiadat menghadap balai, berlati, berarak raja, berarak pengantin, berbahasa dan lain-lain,

4. Adat istiadat melyau ditata, disusunm dilaksanakan dan disebarluaskan dari Daik lebih tertuju kepada nilai agama yang menyatu dengan syariat, antara lain berlandaskan adat bersendi Syariah dan Syarah bersendikan Al Qur’anulkarim.

5. Dari Daik, bahasa melayu dibina dan dikembangkan, terutama bahasa lisan yang dipakai dikalangan istana, yang merupakan

Tamadun Melayu Lingga

16

puncak bahasa percakapan orang melayu pada masa itu. Bahasa lisan yang halus penuh sopan santun dan berdasarkan kelas masyarakat itu dipakai secara meluas oleh masyarakat umum Daik yang sebagaimana masih dapat didengar saat ini.

Kemudian pada tulisan yang lain yang berisikan harapan terhadap Bunda Tanah Melayu sebagai berikut:1. Wahyu Hidayat (Kalimantan Barat, catatan kebudayaan :

“BELALIK” dalam perjalanan menuju kerumah Bunda Tanah Melayu, 2011).

- Di Daik Lingga sebagai Rumah Bunda Tanah Melayu selain harus dapar meraih semangat dalam merangkai sebuah ruang silaturahmi seluruh masyarakat melayu dimanapun berada sebagai tanah yang selalu dirindukan , tanah yang mengajarkan kasih sayang melalui kemolekkan ekologi dan budaya serta menjadi pusat rujukan pengkajian/penelitian bagi seluruh masyarakat melayu dalam menemukan jati dirinya, salah satunya dengan semangat belalik, dengan rencana-rencana :

a. Percepatan pembangunan sarana prasarana pendidikan berbasis khasanah kebudayaan lokal

b. Membangun balai kajian sejarah dan budaya melayu alam menggali dan membentuk ruang-ruang intelektual bagi kemajuan peradaban.

c. Percepatan pembangunan infrastruktur berbasis wisata budaya maritim.

Merangkai usaha menjadikan Daik Lingga sebagai pusat agenda seremonial seni budaya maritim dunia

Selanjutnya Restu Gunawan : Lingga menemukan kembali peradaban yang hilang, 2011.

- Keberhasilan pengungkapan Bunda Tanah Melayu merupakan hasil yang cukup baik. Tugas seterusnya adalaah bagaimana menempatan Bunda Tanah Melayu dalam tataran yang lebih tinggi. Sebagai ikon Daik Lingga, Ikon tersebut

Tamadun Melayu Lingga

17

digunakan dalam tataran yang lebih tinggi tentu lebih membanggakan. Guna memperkuat bahwa Lingga pantas sebagai Bunda Tanah Melayu perlu melakukan rekonstruksi bekas kerajaan, maupun pembangunan museum yang tidak hanya menyimpan artifak, tetapi juga naskah-naskah kuno. Begitu juga penggalian kembali Ikon-Ikon lainnya, misalnya adalah Tokoh Lingga yang diperjuangkan sebagai Pahlawan Nasional.

Gayungpun bersambut, Masyarakat Melayu serumpun diwakili 5 (lima) negara (Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura dan Thailand mengadakan pertemuan di Daik Lingga, 5 s.d 10 Desember 2011. Perhimpunan ini menghasilkan “WARKAH LINGGA BUNDA TANAH MELAYU”

Dalam sejarah panjang pengembangan dan kejayaan Kesultanan Lingga dengan segala sumber daya yang dimilii dan diwarisnya dengan ini kami menyataan :

MENETAPKAN :PERTAMA : LINGGA SEBAGAI BUNDA MELAYUKEDUA : Hal ini ditetapkan bahwa LINGGA SEBAGAI

BUNDA TANAH MELAYU merupakan Cogan Kebudayaan Melayu yang ikut mempengaruhi segala aspek masyarakkat Melayu Serumpun.

A. Menjunjung tinggi Resam dan Adat Melayu B. Mata Air Kebudayaan Melayu adalah sumber

segala perbuatann dengan menjadikan Cogan dalam berfikir, dan berkehidupan dalam mengisi kekinian dan masa depan.

KETIGA : Kami berhimpun dan mengamanahkan kepada Pemerintah Kabupaten Lingga bersama DPRD

Tamadun Melayu Lingga

18

Kabupaten Lingga agar dapat menetapkan LINGGA SEBAGAI BUNDA TANAH MELAYU ke dalam Peraturan Daerah dan mengupayakan penetapan selanjutnya ke dalam surat keputusan Presiden Republik Indonesia.

KEEMPAT : Semua ini akan : A. Membangkitkan nilai-nilai kebudayaan Melayu

dari LINGGA SEBAGAI BUNDA TANAH MELAYU.

B. Mmbudayakan nilai-nilai kebudayaan Melayu menuju masyarakat dunia yang adil, makmur dan sejahtera serta beradap dalam ridho Allah Yang Maha Kuasa.***

Daik Lingga, 10 Desember 2011

Tamadun Melayu Lingga

19

LINGGA, JEJAK DAN WARISANNYA DALAM TAMADUN MELAYU

RIDA K. LIAMSIDato’ Seri Lela Budaya

Sastrawan dan Budayawan

Jejak Lingga dalam pergulatan sejarah dan perkembangan Tamadun Melayu sangat jauh dan besar, serta sudah ujud sejak masa kemharajaan Melayu Melaka (1349-1511). Lingga adalah satu negeri yang berada dibawah kekuasaan Melaka meskipun Lingga mempunyai penguasa sendiri, seorang Raja yang takluk ke Melaka. Dalam buku Salatus Salatin (Sejarah Melayu) karya Tun Seri Lanang diceritakan bahwa ketika Sultan Melaka Mansyursyah (1456-1477) berkunjung ke Mojopahit dia membawa sejumlah raja-raja daerah taklukannya termasuk Raja Lingga.

Diera Kerajaan Johor (1528-1722) sebagai penerus Melaka, Lingga juga merupakan Negeri yang sangat penting dan strategis. Lingga pernah menjadi pusat Pemerintahan sementara Sultan Johor Abdullah Muayatsyah (1615-1623) Johor diserang oleh Aceh, 1617. Sekitar 5 tahun Sultan Abdullah Muayatsyah didampingi Laksamana Tun Abdul Jamil berkerajaan di Lingga, sebelum berpindah lagi ke Pulau Tambelan di Laut Cina Selatan. Bahkan Ahmad Dahlan dalam bukunya Sejarah Melayu, menyebutkan buku Salalatus Salatin itu selesai ditulis di Lingga, 1612, jauh sebelum Aceh menyerang Johor.

Peran dan sumbangan Lingga terhadap perkembangan Tamadun Melayu makin besar di masa Kerajaan Riau-Lingga (1722-1912), penerus Kerajaan Johor, di era persebatian Melayu-Bugis. Terlebih setelah Sultan Riau Lingga, Mahmud Riayat Syah (1671-1812), pada 1787, memindahkan ibukota Kerajaan Riau Lingga ini ke Pulau Lingga. Di masa inilah perkembangan Tamadun Melayu menjadi semarak. Dari Lingga lah berbagai tradisi literasi,

Tamadun Melayu Lingga

20

adat istiadat, Islam dan keunggulan tradisi lainnya muncul dan berkembang yang kemudian menjadi warisan peradaban yang tak ternilai. Ekonomi dan perdagangan juga berkembang pesat, terutama setelah ditemukan timah di Pulau Singkep dan tanaman sagu di Pulau Lingga yang menjadi sumber penghidupan dan ekonomi Kerajaan dan masyarakatnya. Sultan Mahmud Riayat Syah bukan saja mampumempertahankan Kerajaan Riau Lingga dari cengkraman penjajah Belanda, tetapi juga telah membangun sebuah Kerajaan yang bertamadun tinggi, tamadun yang beteraskan budaya melayu dan Islam. Dari sinilah tradisi literasi seperti bahasa melayu yang dibawa dari Johor, dibesarkan, dan kemudian dibawa ke Pulau Penyengat dan disempurnakan sehingga menjadi bahasa baku yang kemudian menjadi asal usul bahasa kebangsaan yaitu Bahasa Indonesia. Dari Lingga lah bermula tradisi percetakan, tradisi tenun songket, pengobatan, dan lain-lain.

Persebatian Melayu Bugis dalam meneraju Pemerintahan Kerajaan Riau Lingga ini telah mewariskan jejak sejarah dan tamadun melayu yang panjang, unggul dan sampai saat ini masih bisa dilacak dan dirasakan roh dan semangatnya di Lingga, dan karenanya mereka dengan bangga menyatakan bahwa Lingga adalah BUNDA TANAH MELAYU. Dari sinilah tradisi besar budaya melayu di rawat dan dibesarkan, dan kemudian menjadi warisan yang memperkaya Kebudayaan Nasional Indonesia.

Perhelatan Tamadun Melayu yang dilakukan ini adalah upaya positif untuk memuliakan warisan peradaban yang ada dan terus hidup agar tetap terus memberikan sumbangannya bagi kebesaran peradaban melayu di masa depan. ***

Tamadun Melayu Lingga

21

SANG PEMIKIR TAMADUN MELAYU

NYAT KADIRDato’ Sri Setia Amanah

Anggota DPR RI

Memperbincangkan tentang tamadun Melayu di Lingga yang kini disebut Bunda Tanah Melayu sangatlah tepat. Alasannya seorang pemimpin besar yang sulit dicari tandingannya pada masa itu, yakni Sltan Mahmud Riasyat III memegang pemerintahan di Lingga mula tahun 1789 s/d 1812 dengan cakupan wilayah pemerintahan meliputi Lingga, Riau, Johor, dan Pahang. Dari Linggalah Sang Sultan meneruskan perjuangan mengusir penjajahan Belanda dari bumi Imperium Melayu Lingga, Riau, Johor, Pahang, dan meneruskan membangun budaya Melayu sehingga mencapai peradaban atau lebih sedap kita sebut dengan Tamadun Melayu.

Terbentuknya tamadun Melayu memakan waktu yang panjang semenjak 3000 tahun sebelum masehi. Sekarang saja kita berada pada 2000 Masehi, ini bermakna tamadun Melayu yang tercatat sudah berumur lebih kurang 5000 tahun. Pada penggalan 3000 SM seorang putera raja Byzantium telah berlayar ke benua Asia untuk berkunjung ke negeri China. Beliau terdampar ke daratan negeri Kedah dan menjumpai orang-orang tempatan yang berbadan tegap, kuat, dan bagus. Masyarakat disini sudah mempunyai tamadun yang tinggi dilihat dari aktivitas pertanian, pertukangan dan pembuatan peralatan dari besi. Imperium Melayu yang tercatat gemilang dalam sejarah adalah kerajaan Sriwijaya yang menguasai Siam, sebagian Sumatera dan Jawa, lebih kurang 700 tahun lamanya (abad ke -7 sampai abad ke -13).

Orang Melayu pada saat itu mengembara sampai ke China dan India dengan menggunakan kapal layar yang besar dengan keahlian Ilmu Maritim yang tinggi. Sejarah terus bergulir, imperium Melayu

Tamadun Melayu Lingga

22

yang gemilang berlanjut dari abad ke- 13 yakni Kerajaan Bukit Siguntang, Bintan, Singapura, Melaka, Johor, Pahang, Riau, Lingga, dan berakhir pada abad ke -19 (runtuhnya kesultanan Melayu Riau Lingga tahun1912). Pada masa Imperium Melayu abad ke -13 sampai dengan abad ke -19, dipengaruhi kedatangan bangsa Eropa (Portugis, Belanda, dan Inggris), Imperium Melayu perlahan–lahan mencapai puncak tamadun Melayu pada era pusat pemerintahan kesultanan berada di Lingga dan Yang Dipertuan Muda berada di Penyengat.

Kestabilan pemerintahan Kerajaan Riau Lingga, Johor, Pahang dijadikan momentum oleh Sultan Mahmud untuk membangun pusat tamadun Melayu di kerajaan Riau Lingga, Johor, Pahang,. Pusat pemerintahan dan bandar yang tadinya telah dibangun di Sungai Carang, Riau Bintan (sudah mulai dibuka olehTun Abdul Jamal pada tahun 1673 sebagai pangkalan pelabuhan bebas), kemudian juga mulai dibangun baru dipulau Lingga, Johor, dan Pahang dengan melengkapi fasilitas bagi kepentingan sultan dan rakyat seperti istana, masjid, pasar, jalan raya, dll. Beliu juga membangun pusat pemerintahan dan bandar bagi Yang Dipertuan Muda di Penyengat Indera Sakti tahun 1803.

Tak ketinggalan beliau membangun mental spiritual atau keagamaan yang dijadikan prioritas karena Melayu berbasiskan Islam dengan mendatangkan Tuan Sahid dari Tanah Arab dan Lebai dari tanah Jawa. Sehingga penuhlah masjid, rumah wakaf, surau oleh orang-orang besar dan orang-orang kaya juga rakyat biasa untuk menuntut ilmu agama, setiap malam jumat ramailah orang-orang datang ke masjid untuk memberikan sedekah kepada fakir miskin dan anak yatim.

Pada masa duet Sultan Mahmud dan Raja Haji tercapailah puncak kemakmuran bagi Kerajaan Riau Lingga johor pahang. Hasil bumi seperti gambir, lada hitam, sagu, dan karet dan buah-buahan merupakan handalan perekonomian masyarakat. Sultan Mahmud juga membuka tambang timah di Dabo Singkep. Perdagangan berkembang maju ditopang adanya pelabuhan besar di Sei Carang sehinga mampu menyaingi Melaka. Cukai bandar perdagangan

Tamadun Melayu Lingga

23

merupakan pemasukan besar khas kerajaan. Kapal-kapal dagang dari dalam dan luar negeri datang membawa hasil bumi dan laut rakyat ataupun membawa kebutuhan sehari-hari untuk dijual kepada rakyat, seperti beras, gula, pakaian dan sebagainya.

Sultan Mahmud juga menggesa lahirnya tradisi menulis, sehingga lahirlah penulis-penulis handal seperti Raja Ahmad dengan karya Tuhfat Al Nafis yang kemudian diteruskan oleh anak

beliau, Raja Ali Haji. Tradisi menulis sangat berkembang di pulau Penyengat. Pembangunan pusat tamadun Melayu oleh Sultan Mahmud sangat visioner ini menghasilkan karya-karya besar setelah beliau wafat diataranya lahir seorang sastrawan dan budayawan besar sepanjang abad yakni Raja Ali Haji yang melahirkan karya-karya besar di antara Tuhfat Al Nafis, Bustanul Katibin, Kitab Pengetahuan Bahasa, Gurindam 12 dan lain-lainnya.

Karya kawan-kawan sezaman Raja Ali Haji ada 16 buah di antaranya Hikayat Negeri Johor, Syair Sultan Mahmud di Linggadan lain-lain. Penulis handal sangat banyak di zaman itu, di antaranya Raja Ahmad (ayahanda Raja Ali Haji), Raja Ali Haji,

Raja Haji Daud, Raja Saliha, Raja Safiah, Raja Kalsum, Raja Hasan, Raja Ali Kelana serta Raja Haji Muhammad Tahir.

Karya-karya keluarga Raja Ali Haji sesudah Raja Ali Haji wafat tidak kurang 15 buah. Suasana keilmuan melahirkan organisasi “Rusydiah Kelab”, tempat para cendikiawan mengembangkan ilmu, tradisi menulis, juga mendirikan sekolah,. Di pusat pemerintahan Daik Lingga penulis seperti Yarham Tengku Saleh, yang menulis buku agama Nur Shalat, Sejata Sulit dan lain-lain.

Di Daik Lingga masa Yang Dipertuan Muda Muhammad Yusuf al-Ahmadi, beliau membina Tarekat Naksyabandiah dengan tempat belajar “Istana Kota Baru”. Pada masa Sultan Mahmud Syah juga tumbuh kerajinan batik, kain songket, kerajinan, tembaga, perak dan emas.

Adat Istiadat Melayu yang bersendikan Islam dibina dan dikembangkan serta dipelihara sehingga menjadi sikap orang Melayu keseharian yang lembut berbudi pekerti, sederhana, tidak suka

Tamadun Melayu Lingga

24

konflik dan terbuka. Sudah tentu dimulai dengan ajaran Islam yang sebati dan contoh dari Nabi Muhammad SAW. Seni Melayu yang berdasarkan Islam seperti pantun, syair, dan gurindam berkembang pesat sehingga ikut membentuk sikap orang Melayu yang halus Bahasa dan budi pekertinya.

Bahasa menunjukkan bangsa. Dalam masa pemerintahan Sultan Mahmud, Bahasa Melayu dibina dan dikembangkan. Rakyat diwajibkan berbahasa melayu yang tinggi. Bahasa ini diterima sebagai Bahasa persatuan pada konggres Pemuda Indonesia pada tahun 1928.

Tercapainya puncak tamadun Melayu sudah tentu berasal dari kepemimpinan yang stabil, kuat, dan disegani. Beliau adalah Sultan Mahmud Riayat Syah yang memimpin imperium Melayu lebih dari setengah abad. Kepemimpinan Sultan Mahmud juga memberikan dampak kepada kesultanan Melayu Riau Lingga berikutnya sejak beliau meninggal tetap dapat bertahan lebih kurang 100 tahun yang diperintah oleh 5 sultan berikutnya yakni Sultan Abdurahman Muazzam Syah I, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, Sultan Muhammad Syah, Sultan Mahmud Muzaffar Syah, dan Sultan Abdurrahman Muazzam Syah II. Karena Sultan yang memerintah di Lingga mengukuhkan Lingga sebagai asal dan pusat Tamadun Melayu, sehingga tepatlah Lingga disebut bunda tanah Melayu.

Dengan memperbincangkan Tamadun Melayu di Bunda tanah Melayu ini diharapkan semakin bertambah luaslah alam pemikiran melayu dengan semakin memperkuat jati dari melayu baik dikalangan nasional maupun pergaulan antar bangsa.***

Tamadun Melayu Lingga

25

PERCAKAPAN DI LINGGA

HUSNIZAR HOODWakil Ketua DPRD Provinsi Kepri

Ketua Dewan Kesenian Provinsi Kepri

Tak bersultanDi gunungmu kau bertitahKe cabang ke tahta ke taklukMengigau hulu balangLemparkan lembing ke sampanDan dikaupun dikaramkan zaman

Dari Mepar di musim sungai menangisAdakah 44 bilikmu bagai labirinKau bergulat di senyapDan meriam tua itu meletupBerdentam berdentum di kalbu

Bagai titah badan Terus menderakBagai tiang-tiang pelantarMenangkis ombakHingga tiba di musim laut mencumbuDarahmu tersemahPercakapan panjang terus bertaluTapi tak sekalipun lagiOrang ingin berucap“Ampun Tuanku!”

Puisi itu sudah berusia 18 tahun, saya tulis ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di Daik Lingga untuk sebuah perhelatan

Tamadun Melayu Lingga

26

bernama “Perkampungan Penulis, Daik Bunda Tanah Melayu”, begitu tajuk yang diberikan oleh penggagas acara waktu itu, dialah ; Prof. DR. Yusmar Yusuf seorang Budayawan juga Dosen di Universitas Riau.

Konon dengan bangganya saya waktu itu ditunjuk sebagai ketua panitia lokal, mengurus segala sesuatu yang berada di lapangan, maklumlah negeri ini masih bernaung dibawah Provinsi Riau dan Daik Lingga hanyalah sebuah kecamatan saja. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau waktu itu agak kurang merestui dengan alasan kurang koordinasi untung camatnya dengan sigap tetap menyatakan siap walaupun agak tergagap-tergagap.

Kami tinggal di rumah-rumah masyarakat yang di atur oleh kepala desanya dengan baik, panggung di depan kantor camat itu hingar bingar dikemas oleh seniman Lingga secara bersama-sama dengan kunjungan penonton yang tumpah ruah ketika malam tiba, Ah, Daik waktu itu sungguh bercahaya.

Keesokan harinya pada sebuah diskusi dengan pembicara dari berbagai belahan negeri dan Negara juga dihadiri seniman dan juga budayawan, semua setuju bahwa Daik Lingga sememangnyalah “Bunda Tanah Melayu”. Bukan tanpa sebab mereka mengakuinya karena sejarah panjang telah mencatat pengaruh Lingga-Riau terhadap rantau Melayu hingga semenanjung negeri ini.

Dalam masa 18 tahun itu ada banyak yang berubah, kini Lingga menjadi sebuah kabupaten dan sudah pernah berganti pemimpin, saya dikabarkan ada sebuah perhelatan bernama “Tamadun Bunda Tanah Melayu antar Bangsa” yang akan dilaksanakan disana, saya riang-riangkan hati ini tentulah dengan kenangan waktu itu, berpanas-panas di kapal, sekedar mencari makan di warung yang sulit membangun sebuah panggung terpaksa lintang pukang dan meminjam sekolah untuk tempat berdiskusi dan pulang dari Daik saya demam.

Tapi sebenarnya bukan karena fasilitas dan tempat saya meriang-riangkan hati ini tapi Lingga yang pada suatu waktu dulu adalah sebuah emperium agung kesultanan Melayu kini seperti

Tamadun Melayu Lingga

27

menggeliat bangkit dengan segala dayanya, tanda-tanda itu ada, disaat orang bicara maritim Lingga kini memulai dengan agraris bercocok tanam padi sebagai sumber makanan utama, disaat orang bicara ekonomi Lingga menyeruak dengan budayanya. Disaat orang sibuk teriak-teriak berorasi, Lingga malah bicara dengan puisi.

Sedang apakah Lingga kini? Sedang apakah Bunda di dalam sunyi? Saya pikir dia sedang membangun Tamadun itu karena tamadun itu lebih dari hanya sebuah budaya, dia adalah sebuah peradaban, sebuah pencapaian yang dihasilkan anak-anaknya yang menjadi penentu masa depan negeri itu. Masa depan yang kelak akan bertanya, apakah Tamadun kita? Dan dengan lantang mereka menjawab tamadun kita adalah budaya dengan kekuatan aksara, akal budi Melayu yang ranggi.

Saya ingin datang dan tentu berharap mampu menulis puisi, tidak seperti itu lagi, meskipun pada waktu itu saya sudah melompat jauh, berimajinasi ;

SulaimanDengar akuTerus teleponmu borderingHingga ke alaf iniAku mencari kabarIstana Damnah dan bayangmu menariLalu Riaupun menari

SulaimanMuazam teleh ke PenyengatPulau emas yang menjadi suasaDi Bentan aku mendengarkan isaknyaIa menangis di depan TVMenyaksikan Tumasik lalu Johor dan Malaka di suatu pagi

SulaimanDengarkah kau?

Tamadun Melayu Lingga

28

Berdering juga hati iniKabar kita bernyanyi-nyanyiBertandak dengan lanunKita mengucap salamDi Riau Lingga yang sunyi

SulaimanKenapa mesin penjawab teleponmuBerteriak “sia-sia!”Damnah yang bermimpiBudi dan baik terus berlagaAkupun bertanyaKenapa gunung diri bercabang tiga?

Selamat Datang di Lingga, Bunda Tanah Melayu, Insya Allah saya akan datang juga dan menulis puisi yang membuat Bunda bahagia.***

Tanjungpinang, 14 Oktober 2017

Tamadun Melayu Lingga

29

JASA TIMAH SINGKEP DALAM TAMADUN MELAYU LINGGA

M. FADLILLAHPemerhati Sejarah

Di zaman Kerajaan Johor, Pahang, Lingga, Riau hingga ke Lingga-Riau,salah satu daerah yang paling penting di Lingga sebagai sumber ekonomi istana adalah Pulau Singkep. Pulau di sebelah selatan Lingga yang dipisahkan oleh selat pulau Lima ini mempunyai peran besar dalam pemasukan keuangan Istana. Boleh dikatakan Pulau Singkep pernah menjadi tulang punggung ekonomi karena memiliki pertambangan timah. Di tahun 1787 selepas memerintahkan orang Lanun dari Tempasuk meranapkan pasukan VOC Belanda di Tg Pinang, Sultan Mahmud Syah III terpaksa berundur ke Lingga. Di Lingga sultan membuka pertambangan timah di pulau Singkep. Kapal-kapal dagang Inggris telah datang ke pulau itu untuk membeli timah. Mereka menjual senjata api juga amunisi kepada pihak pasukan kerajaan atau pun kelompok bersenjata yang mendukung Sultan. Pasukan-pasukan kerajaan bertambah kuat dengan senjata-senjata yang dibeli dari pedagang-pedagang Inggris. Untuk mengganggu jalur perdagangan VOC Belanda pasukan Sultan Mahmud Syah III melancarkan serangan-serangan sampai ke Bangka dan Jawa. Hasil-hasil timah yang dijual kepada pedagang Inggris telah memberikan keuntungan kepada Sultan Mahmud Syah III. Walaupun Riau telah lepas dari genggaman Sultan, namun pulau Singkep telah menjadi tulang punggung baru dalam bidang ekonomi dan perlawan terhadap VOC Belanda.

VOC Belanda tidak melakukan serangan balasan ke Lingga dan tidak juga coba untuk menguasai Singkep yang menjadi sumber ekonomi Sultan. VOC Belanda bertahan di Riau dan mencoba kembali untuk meramaikan daerah itu. Di tahun 1795 suasana

Tamadun Melayu Lingga

30

kembali damai dan tenang. Pihak Kompeni Inggris menyerahkan Riau dan Kerajaan kembali ke tangan Sultan Mahmud Syah III, pihak VOC Belanda juga melakukan hal yang sama. Riau ditinggalkan VOC dan kembali di kuasai Sultan Mahmud Syah III, namun dia tidak kembali menetap di sana. Usaha timah nampaknya terus berkembang maju. Dalam Tuhfat al-Nafisversi Winstedt, Raja Ali Haji bercerita, “Syahdan apabila sudah selesai dari pada menetapkan negeri Riau itu, maka baginda pun berangkatlah ke negeri Lingga membetulkan negeri Lingga pula serta mengeluarkan hasil-hasil di sana dari pada timah-timah di Pulau Singkep, diaturkan bahagian makanan-makanan orang besar-besar dan orang baik-baik yang di dalam negeri Lingga. Maka ramailah negeri Lingga masuklah perahu dagang dari Jawa dan wangkang-wangkang dari negeri Cina dan Siam dan lainnya”.

Dimasa Sultan Abdurrahman Syah (1812-1832) usaha pertambangan timah terus menjadi hasil utama pihak Istana di bidang pembangunan kerajaan dan militer. Di dalam Tuhfat al-Nafis sekali lagi Raja Ali Haji bercerita tentang hasil timah di pulau Singkep, Dia menyatakan “Maka amanlah negeri Lingga itu serta mendapat makanan dari pada tanah Singkep dan adalah membaikkan negeri dari pada kota paritnya dan perdalaman Baginda Sultan Abdurrahman serta kelengkapan penjajab perang, serta menyediakan baris senapang itu yaitu Encik Kaluk, ialah kepala segala yang tersebut itu”. Sultan selanjutnya terus menikmati hasil Timah Singkep dan saat Belanda menjajah kembali kerajaan, urusan pertambangan timah tidak sepenuhnya berada dalam kuasa Sultan.

Tahun 1857 atas persetujuan Belanda, Tengku Sulaiman anak Sultan Abdurrahman Syah marhum kedaton naik tahta dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah. Dia menggantikan anak saudaranya Sultan Mahmud Muzzafar Syah yang dipecat Belanda. Belanda telah memperbaharui lagi perjanjian dengan Kerajaan Lingga-Riau. Perjanjian disepakati Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah dan Yang Dipertuan Muda Raja Abdullah di Penyengat pada 1 Desember 1857. Pada 9 Februari 1858 perjanjian ini disepakati

Tamadun Melayu Lingga

31

oleh Gubernur Jenderal Belanda. Dalam perjanjian ini dinyatakan karena dikalahkan oleh Belanda, kerajaan Lingga-Riau menjadi bagian dari wilayah Hindia Belanda dan berada dibawah kekuasaan Belanda. Kerajaan Lingga-Riau pun dianggap sebagai pinjaman Sultan dari Belanda. Perjanjian ini menambah kuatnya kekuasaan Belanda di Lingga-Riau. Perjanjian ini menjadikan juga Belanda berhasil menguasai dan mengendalikan usaha pertambangan timah di Singkep. Dalam perjanjian ini, yang menyangkut pertambangan berbunyi

Fasal yang kesebelasMaka berjanjilah Paduka Sri Sultan dan menteri2nja tiada dia

melepaskan haknya akan menggali didalam tanah serta beroleh hasil daripada penggaliannya itu kepada orang yang bukan anak buminya jika tiada dengan mufakat dan sebicara dengan wakil Paduka Sri Yang Dipertuan Besar Gubernur Jenderal di Riau supaya penggalian itu diaturkan dengan dicahari seboleh2nja untung Paduka Sri Sultan dan menteri2nja dan dengan tiada diambil oleh gubernemen sebahagian daripada untung itu hanyalah dengan menilik kepada pergunaan tanah Hindia Nederland jang sejati serta dengan serta keputusan Baginda Sri Maharaja Nederland jang terputus pada 24 hari bulan Oktober tahun 1850 dengan angka 45 seperti tersebut di dalam angka 45 seperti tersebut di dalam angka yang keenam dari statblad tanah Hindia Nederland tahun 1851 sebagaimana bunyinya pada waktu ini atau sebagaimana barangkali diubahkannya oleh Baginda Sri Maharaja Nederland ada pun jika jadi diubahkannya maka lalu diberi tahu kepada Paduka Sri Sultan oleh Paduka Tuan Residen Riau maka suatu salinan bahasa Melayu daripada keputusan itu terletaklah pada surat perjanjian ini”. (Surat-surat Perjanjian antara Kesultanan Riau Dengan Pemerintah2 V.O.C Dan Hindia-Belanda 1784-1909. 1970:93)

Untuk menguasai urusan pertambangan timah sesuai dengan perjanjian, Belanda menggunakan peraturan yang diputuskan Raja Belanda Willem ke-3 yang terbit 24 Oktober 1850. Dengan adanya

Tamadun Melayu Lingga

32

perjanjian 1 Desember 1857 dan Peraturan yang diputuskan Raja Belanda 24 Oktober 1850, urusan pertambangan Timah telah pun dapat dikendalikan Belanda. Pihak Sultan dan Raja Muda hanya bisa mengikuti segala peraturan yang telah dibuat itu, sehingga mengakibatkan kerajaan sangat bergantung kepada kebijakan Belanda. Kerajaan tidak bisa sebebasnya mengurusi pertambangan timah sebagaimana yang dilakukan kerajaan-kerajaan yang mardeka. Walau pun Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah tidak sepenuhnya bebas dalam membuat kebijakan yang berkenaan dengan pertambangan timah, namun baginda terus menggalakkan usaha ini tanpa berkonflik dengan pihak Belanda. Usaha-usaha pertambangan timah terus dijalankan Sultan untuk memakmurkan kerajaan.

Pada masa Abdurrahman Mu‘azzam Syah Sultan Lingga-Riau terakhir, Belanda mengadakan lagi beberapa perjanjian. Pada 26 Januari 1888 di Penyengat Sultan Abdurrahman Mu‘azzam Syah bersama Yang Dipertuan Muda Raja Muhammad Yusuf menyetujui perjanjian tambahan dengan Residen Riau Ernes Ochus yang telah mendapatkan kuasa dari pihak pemerintah Hindia Belanda. Perjanjian ini seterusnya disepakati Gubernur Jenderal Belanda padan 7 Maret 1888. Dalam perjanjian itu terdapat tambahan baru di perjanjian 1 Desember 1857 pasal kesebelas. Tambahan baru itu, Sultan diwajibkan menyetujui jika pihak pemerintah Hindia Belanda sekiranya ingin membuka usaha pertambangan timah atau pun menyerahkan usaha itu kepada pihak yang lain.

Perjanjian tambahan ini berbunyi “...Syahdan lagi jikalau sekiranya gubernemen Hindia Nederland berhajat hendak membuka penggalian yang di dalam bumi yang di bawah kerajaan Riau dan Lingga dengan segala takluknya yaitu baik dengan jalan hendak di coba penggalian itu atau hendak diteruskan sekali maka tak boleh tiada dengan segala suka hati Paduka Sri Sultan serta mentri2nya menyampaikan hajat dan maksud gubernemen Hindia Nederland itu yaitu baik Gubernemen Hindia Nederland sendiri yang hendak mengerjakan atau hendak diserahkan pekerjaan itu kepada orang yang lain yaitu orang preman akan tetapi jikalau sekiranya

Tamadun Melayu Lingga

33

gubernemen Hindia Nederland ada berhajat dan bermaksud yang demikian itu yaitu ia boleh tiada tiap2 yang hendak dilakukan itu nanti Gubernemen Hindia Nederland perbuat satu perjanjian dan peraturan kepada Sri Sultan dengan segala menteri2nya hal itu nanti ditambang mana2 yang dan berpatutan di atas antara keduanya pihak dari pekerjaan yang tersebut itu maka di dalam hal itu apa bila telah bersekutuan antara keduanya maka Paduka Sri Sultan dengan segala menteri2nya yang di dalam kerajaan Lingga dan Riau dengan segala takluknya maka berjanjilah juga menolong dengan seboleh2 di dalam kerajaan itu dengan menjalankan keadilan semuanya.” (Surat-surat Perjanjian antara Kesultanan Riau Dengan Pemerintah2 V.O.C Dan Hindia-Belanda 1784-1909. 1970:205-206)

Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pertambangan timah pihak Belanda memberikan izin perusahaan swasta Belanda NV Singkep Tin Exploitatie Maatschappij (NV SITEM) membuka usaha pertambangan timah di Singkep. Perusahaan ini yang menjadi pemain utama dalam pertambangan timah kala itu. Usaha pertambangan timah semakin maju di Singkep sehingga terus menarik perhatian para pencari kerja dari luar daerah. Dabo sebagai bandar utama di Singkep dibangun berbagai fasilitas penunjang pertambangan timah. Karena dikuasai oleh perusahaan swasta Belanda, keuntungan dari pertambangan timah sebagian besar tidak masuk ke kerajaan Lingga-Riau. Belanda memetik keuntungan dari pertambangan Timah Singkep dengan terlebih dahulu memangkas dan mengibiri kekuasaan Sultan dan Raja Muda Lingga-Riau. Timah yang awalnya menjadi sumber ekonomi kerajaan kini terpaksa berbagi belah dengan Belanda. Hasilnya Kerajaan Lingga-Riau mendapatkan keuntungan yang lebih sedikit berbanding Belanda.

Tahun 1953-1958 seluruh perusahaan timah yang dikuasai Belanda diambil alih pemerintah Indonesia. Tahun 1959 NV Singkep Tin Exploitatie Maatschappij di ambil alih pemerintah Indonesia dan berganti naman menjadi PN Tambang Timah Singkep (Pertis). Usaha Pertambangan timah memasuki babak baru dikuasai negara Indonesia. Bangunan-bangunan seperti perkantoran dan rumah-

Tamadun Melayu Lingga

34

rumah tempat tinggal peninggalan Belanda yang menunjang usaha pertambangan timah kemudian di tempati para pegawai Indonesia. Timah Singkep yang dikelola perusahaan milik negara itu masih tetap mempunyai daya tarik bagi para pencari kerja yang ingin mengubah nasib.

Perjalanan pertambangan timah Singkep yang sangat berpengaruh bagi perekonomian dan politik kepulauan Lingga-Riau akhirnya terhenti di awal tahun 90an. Unit pertambangan Timah Singkep tutup tahun 1992 yang mengakibatkan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran. Bangunan-bangunan bekas sarana penunjang usaha pertambangan sebagian di tinggalkan kosong tidak terurus. Pemerintah Orde lama dan baru telah terlena dengan keuntungan sesaat. Sekiranya pemerintah waktu itu memperkuat perekonomian rakyat dengan usaha perikanan, pertanian dan berbagai usaha lainnya maka kebangkrutan pertambangan timah di Singkep bukan suatu keterpurukan besar bagi perekonomian wilayah Lingga. Dari pengalaman sejarah itu, Kabupaten Lingga akan berupaya terus bangkit dan dan berjaya di alam Melayu.***

Penulis M Fadlillah, selesai ditulis Rabu 18 Oktober 2017, Jam 19:33 WIB

Tamadun Melayu Lingga

35

BERHUTANG PADA PERSEBATIAN MELAYU BUGIS

DATUK SERI LELA BUDAYA RIDA K LIAMSI

Rumpun   Melayu yang sekarang berada di rantau Asia Tenggara, terutama yang ada di Selatan jazirah Melaka ini, seperti Kepulauan Riau, berhutang pada persebatian Melayu  Bugis. Karena persebatian ini yang paling tidak muncul sejak 300 tahun lalu (1722) telah mengubah   dan mempengaruhi seluruh tatanan tradisi dan perilaku kehidupan, baik politik,ekonomi dan juga sosial   budaya masyarakat Melayu di kawasan ini. 

Semua yang kita katakan  sebagai Tamadun Melayu, apa  yang kita muliakan pada   hari ini pada   hakekatnya adalah Tamadun Melayu hasil dari persebatian Melayu Bugis yang terjadi di kawasan ini. Sebuah peristiwa sejarah yang mempunyai dampak yang sangat jauh dan luas, dan sudah berproses ratusan tahun. 

Sumpah  Setia Melayu BugisSumpah   Setia Melayu Bugis yang diikrarkan di Ulu

Riau   antara   Sulaiman Badrul Alamsyah I, Yang Dipertuan Besar (Sultan)   Riau Lingga Johor dan Pahang dengan Daeng Marewa, Yang Dipertuan Muda   (Raja Muda),Tahun 1722, pada mulanya hanya merupakan peristiwa kesepakatan pembahagian kekuasaan politik (kontrak politik) antara pihak keturunan Melayu yang direpresentasikan oleh Sulaiman Badrul Alam Syah dengan Daeng Marewa yang mewakili pihak Bugis, ternyata kemudian   telah menjadi jejak awal dari lahirnya Persebatian Melayu Bugis dalam semua aspek.

Persebatian ini tidak hanya terbatas pada tatanan dan tradisi politik, tetapi juga pada semua sistim dan sisi kehidupan yang

Tamadun Melayu Lingga

36

lain, terutama dari aspek kultural. Karena pada saat yang hampir bersamaan dengan ikrar itu, telah terjadi perkawinan politik yang bersejarah antara pihak Melayu dan Bugis.Tiga perkawinan yang sangat menentukan jalannya   sejarah kerajaan ini adalah perkawinan antara   Tengku Tengah saudara perempuan Sulaiman Badrul Alamsyah I dengan Daeng Perani, saudara tertua Upu/upu Bugis lima bersaudara, yaitu putera Daeng Rilaka, Bangsawan  Bugis Luwu/Gowa (Daeng Perani, Daeng Marewa, Daeng Celak, Daeng Manambun dan Daeng Kemasi). Pernikahan Tun   Cik Ayu bibi Sulaiman dengan Daeng Marewa, dan perkawinan Tengku Mandak dengan Daeng Celak. Tiga   perkawinan ini kelak melahirkan para calon YDM. Bahkan kelak, seratus tahun kemudian   setelah perkawinan itu, keturunan Daeng Celak menjadi Yang Dipertuan Besar (Sultan) suatu   jabatan yang sebenarnya menurut sumpah setia Melayu Bugis menjadi haknya keturunan Melayu. Sultan Abdurrahman Muazzam Syah, Sultan Riau Lingga terakhir  (1858-1912) adalah  sultan keturunan  Bugis Melayu.

Ranjang pengantin di Ulu Riau itu, ditambah dengan berbagai perkawinan lainnya antara kedua puak kemudian   termasuk perkawinan politik Sultan Mahmud Riayat Syah dengan Raja Hamidah puteri Raja Haji Fisabilillah, menjadi kekuatan yang memudahkan terjadinya perbancuhan kultur dan tradisi politik, sosial budaya dan sosial ekonomi, yang kemudian membentuk tamadun Melayu Baru, setelah tamadun Melayu Melaka dan penerusnya  kerajaan Johor Lama runtuh tahun 1722. 

Sejarah panjang kerajaan Riau Lingga Johor dan Pahang ini (1722-1912) adalah  sejarah panjang persebatian Melayu Bugis yang dipertahankan dengan segala upaya dalam menghadapi   berbagai halang   rintangnya, jatuh bangun dan penuh   konflik dan intrik. Persebatian ini yang diperjuangkan menjadi kekuatan yang mengubah semua    sistim politik, ekonomi dan budaya masyarakat Melayu yang ada di jazirah  dan kawasan  sekitarnya  yang dianggap sebagai rantau Melayu  ini.

Tamadun Melayu Lingga

37

Persebatian kultural   Tantangan -tantangan ini pada awalnya muncul terutama

karena terdapat perbedaan yang  sangat mendasar  antara sistim dan tradisi Melayu yang  tertutup dan eksklusif dengan tradisi dan sistim budaya Bugis yang terbuka dan egaliter  meski kedua kultur ini diikat oleh perekat  yang bernama Islam. Kedua kultur yang bersebati ini membangun sistim   dan tradisi baru dengan menjadikan Islam sebagai perekat dan pelurus jalan jika dalam proses persebatian  itu terjadi benturan-benturan kepentingan. 

Persebatian   ini meski pada awalnya   terasa sulit dan penuh konflik karena perbedaan latar budaya dan karakter kedua   suku bangsa itu, tetapi karena sikap   dan gaya politik   kedua suku tersebut, terutama   pihak Bugis yang lebih   dinamis dan praktis maka persebatian ini   pada akhirnya   menjadi lebih cair dan bersebati karena pihak bugis yang datang ke   rantau Melayu   itu pada hakekatnya adalah  Bugis yang sudah dipengaruhi oleh  darah Melayu. Ini yang disebut oleh Pakar sejarah  Mukhlis Paene sebagai arus balik Melayu-Bugis-Melayu. Persebatian kultural   

Para Bugis perantau dari Luwu,   Gowa, Bone dan Makassar itu adalah Bugis yang sudah bercampur dengan darah Melayu yang dahulunya datang ke   kawasan itu pada awal kecemerlangan Melaka dan melakukan persebatian  disana (ingat tentang masuknya Islam ke Sulawesi dan karya klasik  Surel I Lagaligo yang terkenal yang dikatakan sastra besar pihak Bugis, tetapi yang menulisnya adalah  orang Bugis keturunan  Melayu  anak syahbandar Makasar Enchik Ali)

Memang terjadi benturan keras yang menyebabkan persebatian  Melayu Bugis itu sempat goyah dan sempat mengancam eksistensi kerajaan ini terutama pada awal persebatian, terlebih pada masa   YDM III Daeng Kamboja karena   eksklusivitas kultur Melayu bertembung dengan gaya kultur Bugis yang keras dan terbuka. Terjadi beberapa   kali perang saudara (perang Perak dan perang   Linggi).Tetapi kemudian Persebatian ini menjadi lebih teduh dan damai di era  Raja Haji Fisabilillah, YDM IV karena  dia

Tamadun Melayu Lingga

38

adalah   tokoh Bugis Melayu yang secara kultural lebih memahami dan serap dengan kultur Melayu. Hasil perkawinan politik Melayu Bugis melalui keturunan Daeng Celak (YDM II) dengan keturunan YDB Sulaiman Badrul Alamsyah dan berhasil membangun kultur baru yang lebih kompromistis.

Ranjang Pengantin Melayu Bugis ini menjadi   alur kultur yang lebih akur terutama karena  Raja Haji Fisabililah adalah YDM berusia lebih tua dan berposisi sebagai ayah bagi Sultan Mahmud Riayat Syah yang masih muda dan perlu perlindungan. Persebatian yg teduh itu sampai ke era Sultan Riau Lingga  Abdurrahman Syah (1812-1832). Sedikit bergolak di era Mahmud MuzaffarSyah (1841-1857). Kemudian kembali cair meski bagai api dalam sekam sampai ke akhir kerajaan ini sebelum ditelan habis oleh Belanda. Tahun tahun setelah ini adalah tahun tahun keturunan Bugis Melayu membangun harmonisasi persebatian sebagai orang orang yang memang memerlukan solidaritas untuk menghadapi keserakahan Belanda. 

Perkawinan Politik   Memang  dalam persebatian ini pihak Melayu terkesan lebih

dirugikan. Bukan hanya dalam masalah politik dimana posisi  dan kekuasaan YDM tampak lebih   kuat dan   berkuasa. Juga dalam politik perebutan posisi dalam nikahul siasah. Pihak Bugis lebih jeli dalam merancang strategi perkawinan di pusat pusat kekuasaan. Misalnya   menerapkan filosofi: jangan mau berbapak kepada pihak Melayu. Artinya, semua perkawinan politik harus memberi posisi   pihak Bugis lebih tinggi dan terhormat. Lihat perkawinan politik Mahmud Riayat Syah dengan Raja Hamidah (1803). Stategi perkawinan politik yang demikian ini menyebabkan dominasi pihak bugis  lebih kuat dan posisi kekuasaan YDM lebih nyata dan berwibawa.

Realitas pergeseran  sistim dalam  politik pemerintahan, adat istiadat dan tatanan ekonomi di kerajaan yang kemudian menjadi salah satu kerajaan besar di kawasan semenanjung tanah Melayu

Tamadun Melayu Lingga

39

itu memang melalui proses panjang. Di bidang politik misalnya, struktur kepemimpinan di kerajaan ini yang ditawarkan pihak Bugis dengan memperkenalkan jabatan Yang Dipertuan Muda (JDM) telah mengubah pola   dan tradisi politik yang sudah   ada sejak masa  kerajaan melayu Melaka. 

Jabatan YDM demikian besar kuasanya dan mencakup juga jabatan Panglima perang dan hubungan luar negeri. Sedangkan pihak melayu  dengan jabatan Yang Dipertuan Besar (JDB) hanya mengurus urusan adat istiadat, agama dan hukum, serta keamanan  di dalam negeri. Lebih mendekati jabatan simbolik dan kehormatan yang berdaulat.  Dalam bahasa politik ketika itu YDB dan pihak Melayu menjadi perempuan (isteri) yang duduk manis di istana, sementara pihak YDM menjadi lelaki (suami) yang bertanggung jawab sebagai kepala keluarga yang mencari makan dan berperang. 

Pengenalan sistim   pemerintahan yang terkesan dipaksakan ini memang menjadi benih konflik yang berkepanjangan antara kedua puak tersebut, meskipun selalu ada cara mendamaikan dan meluruskannya kembali sebagaimana makna sumpah setia itu. Bahkan mereka memerlukan beberapa kali  upaya melakukan pengulangan komitmen persebatian ini dengan mengucapkan kembali sumpah setia tersebut karena mengancam keutuhan persebatian itu. Seperti konflik politik antara YDB Mahmud Muzaffar Syah dengsn YDM Raja Abdul Rahman.

Kesenjangan Ekonomi, Sosial, dan BudayaDi bidang ekonomi juga terjadi apa yang disebut pembagian

permakanan antara pihak Melayu dan Bugis dengan membagi wilayah kekuasaan  kerajaan itu menjadi wilayah permakanan pihak Melayu seperti pulau Lingga, Singkep, Bintan, Bulang, Johor dan Pahang dan lainnya serta wilayah permakanan pihak bugis seperti Penyengat, Batam, Karimun dan sampai ke Pulau Tujuh (Natuna) .

Pemisahan wilayah ekonomi inilah kemudian menjadikan punca disparitas kemajuan kehidupan sosial antara kedua puak, termasuk pendidikan dan budaya. Wilayah pihak Bugis

Tamadun Melayu Lingga

40

terkesan   lebih maju dan berkembang. Tradisi literasi misalnya menunjukkan pihak Bugis lebih maju dengan pulau Penyengat sebagai sentrumnya, sementara pihak Melayu   lebih unggul dalam bentuk kesenian, seperti musik,teater, tari dan adat istiadat   lama yang tetap berpengaruh.

Namun bahasa tampaknya kedua rumpun berbagi peran secara signifikan. Pihak Bugis dengan pengaruh Islam, persis dan juga Belanda mencoba mengembang kebahasaan secara lebih moderen, seperti membuat kamus bahasa, dll. Sementara pihak Melayu yang mewarisi Bahasa Melayu Johor mempertahankan adat dan tradisi dengan Bahasa Melayu Lama dan menyimpannya dalam produk kesenian mereka, seperti Bangsawan, Majyong, Mendu, Joget, dll

Pesebatian Melayu Bugis ini juga kemudian mewariskan tradisi yang   khas di kawasan ini, terutama dalan simbol-simbol, dimana tradisi melayu dan bugis berbaur dan membangun karakternya. Warna sebagai simbol misalnya bisa dilihat sebagai contoh persebatian itu. Pihak Melayu membawa warna kuning, hijau dan hitam sebagai simbol. Sementara bugis membawa warna merah. Perbancuhan tradisi warna itu dapat dilihat dalam peristiwa perkawinan dan upacara adat dll. Karena itu tradisi  agama, persuratan, seni budaya, ekonomi danpolitik yang kemudian   lebur   dan menjadi warisan sampai saat ini, adalah nilai nilai kultural yang lahir dari persebatian itu. Bukan cuma di Kepulauan  Riau sekarang, tetapi juga bisa dilihat dan dirasakan di Kerajaan Johor yang baru, Pahang yang baru dan Terengganu yang dahulunya merupakan wilayah Kerajaan Johor yang lama.  Masyarakat Melayu sekarang ini memang berhutang pada persebatian  Melayu Bugis itu. 

MethahistoriaTapi tiap jejak sejarah selalu meninggalkan methahistoria bagi

anak cucunya, kita para pewarisnya kini. Andaikata tidak ada sumpah setia Melayu Bugis itu, maka jejak jejak peradaban Melayu yang ada di Kepri akan jauh berbeda. Mungkin akan seperti Terengganu yang jejak  Bugis nya tidak terlalu kuat. Atau Negeri Sembilan yang jejak

Tamadun Melayu Lingga

41

Minangkabau nya lebih kuat. Atau Selangor yang jejak bugisnya sangat kuat. 

Di Kepri jejak Melayu dan Bugis berbancuh secara berimbang. Saling memberi dan saling mewarnai dan dalam persebatian itu kedua pihak tetap sepakat dari Lingga lah semuanya bermula dan Linggalah yang menjadi ibu dari persebatian itu. Daulat Melayu itu ada dan dibesarkan di Lingga. Begitu Lingga ditinggalkan, maka daulat itu pudar dan tanpa kekuatan. 

Meskipun   hanya andaikata, tapi methahistoria ini perlu direnungkan   dan dikaji: andaikata pusat pemerintahan Kerajaan   Riau Lingga tetap di Lingga dan tidak dipindahkan ke Pulau Penyengat, akan kah Riau Lingga begitu mudah jatuh ke tangan Belanda? Andaikata Yang Dipertuan Besar Kerajaan Riau Lingga tetap berdarah Melayu, akankah kerajaan ini kehilangan tuahnya? Bukankah daulat itu akhir nya ujud di Johor yang baru? Itulah mengapa sejarah Kerajaan Riau Lingga ini menarik dipelajari karena disinilah persebatian Melayu Bugis itu meninggalkan jejaknya yang  lebih dan juga jejak yang  kurang .

Inilah   misalnya yang menyebabkan Tamadun Melayu Kepri berbeda dengan Melayu Siak, Johor dan juga Pahang. Meskipun sebagai rumpun bangsa yang satu, roh Melayu itu tetap kukuh dan kental. Jika kita menegaskan tentang ujudnya tamadun Melayu antara bangsa itu, penegasan itu bukan hal yang diada-adakan. Rumpun bangsa ini tetap  disatukan oleh warisan  sejarah persebatian itu yang mewariskan Bahasa Melayu sebagai sarana berkumunikasi   dan mempertahankan persaudaraan. ***

Tamadun Melayu Lingga

42

RUMPUN MELAYU DAN KESULTANAN RIAU-LINGGA SEBAGAI PENERUS

KESULTANAN MELAKA DALAM PENGEMBANGAN TAMADUN MELAYU

TAN SRI PROF. DATUK WIRA DR. ABDUL LATIFF ABU BAKARKetua Sekolah Pengajian Warisan dan Peradaban,

Universiti Islam Malaysia, Cyberjaya

Dalam Bahasa Melayu, perkataan ‘tamadun’ atau ‘peradaban’ (civilization) adalah pinjaman daripada perkataan Arab iaitu umran, hadharah, madinah, madaniyyah dan tamadun. Dalam masyarakat Melayu, tamadun digunakan bagi menjelaskan tentang kebudayaan, kemajuan, pembangunan, peradaban dan kemakmuran yang dicapai oleh sesuatu bangsa.Manakala peradaban pula berasal daripada perkataan Arab yang merujuk tingkah laku, tutur kata yang halus dan bersopan.Ia dikaitkan dengan istilah beradab yang menjelaskan tentang kemajuan kehidupan yang bersopan dari aspek jasmani dan rohani. Istilah civilization pula berasal dari perkataan Latin, iaitu civitas yang bermakna bandar ataupun kota. Oleh itu, tamadun atau peradaban bermaksud kehalusan budi dan adat yang murni. Manusia yang hidup di kota atau bandar memiliki sistem yang teratur untuk menghasilkan kemakmuran, keamanan, dan keselamatan serta mencipta kejayaan dalam bidang sains dan teknologi. Ini bermakna tamadun atau peradaban adalah satu usaha dan gagasan bagi mencapai kejayaan gemilang sesuatu bangsa dari aspek kerohanian dan kebendaan yang berpusat di bandar atau kota dalam pelbagai bidang kehidupan.

Kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga telah wujud sejak 1528.Ia diasaskan oleh Sultan Alauddin Riayat Shah, anak kepada Sultan Mahmud sebagai Sultan Melaka yang terakhir yang mangkat di Pekan Tua, Pelalawan, Riau pada 1528. Takhta baginda diwarisi oleh

Tamadun Melayu Lingga

43

anakanda (beristerikan Tun Fatimah) yang diterima menjadi Sultan di Empayar bagi meneruskan kepimpinan Empayar Kesultanan Melayu Melaka.

Keturunan Kesultanan Melayu Melaka yang bermula pada 1400 telah diasaskan oleh Parameswara. Baginda kemudiannya telah memeluk Islam dengan nama Sultan Iskandar Shah dan mewariskan sebuah empayar Kesultanan Melayu Melaka yang mempunyai jajahan takluk dan pengaruh yang luas di Tanah Semenanjung Melayu sehingga ke Sumatera dan Kepulauan Borneo.

Sebagai sebuah empayar Kesultanan Melayu yang luas dan berpengaruh di Kepulauan dan Alam Melayu pada abad ke-15, empayar Melaka menjadi lambang dan kekuatan sebagai sebuah negara yang mempunyai wilayah yang dikenali oleh ilmuan dan pemimpin barat dengan pelbagai nama seperti gugusan Kepulauan Melayu, Malay Archipelago dan Golden Chersonese. Dalam konteks yang lebih luas lagi, ilmuan dan pemimpin Barat menggelar Rumpun Melayu dengan pelbagai sebutan seperti Melayu-Melanesia, Melayu Polinesia dan Melayu-Austronesia.

Gugusan Kepulauan Melayu, Alam Melayu dan Tanah Melayu menjadi sebutan dikalangan penghuni di rantau ini sebagai mewakili satu golongan bangsa yang dikenali sebagai bangsa Melayu yang mempunyai ratusan suku bangsa. Kejadian ini selaras dengan firman Allah S.W.T. dalam surah Al-Hujurat, ayat 13 bahawa Allah menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku dan hendaklah mereka saling mengenali dan hormat-menghormati.

Bangsa Melayu yang mempunyai ratusan suku bangsa berkembang di satu wilayah dan sebuah benua yang kita kenali sebagai Rumpun Melayu.Dari segi pemikiran sosio-budaya, wilayah dan benua Rumpun Melayu diiktiraf sebagai satu stok bangsa yang besar dengan anggaran 350 juta manusia dan bahasa induknya adalah Bahasa Melayu yang digunakan di seluruh Rumpun Melayu dengan pelbagai dialek dan pelbagai ragam serta sebutan yang berbeza-beza, berdasarkan bahasa suku bangsa. Namun ia tetap sebagai Bahasa Melayu yang diiktiraf oleh UNESCO sebagai bahasa

Tamadun Melayu Lingga

44

utama di Rumpun Melayu, yang dikenali juga sebagai Dunia Melayu. Dari segi geo-politik pula, Bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa rasmi negara. Di Indonesia,ia dinamakan sebagai bahasa Indonesia, manakala Bahasa Melayu tetap dijadikan bahasa rasmi dan kebangsaan di Malaysia, Brunei dan Singapura. Pewaris bangsa Melayu lainseperti di Thailand, Filipina, Burma, Kemboja, Laos dan Vietnam tetap menggunakan bahasa Melayu dan bahasa sukuan dalam pertuturan harian mereka.

Wilayah Kesultanan Melayu di Rumpun Melayu menjadi penerus Empayar Kesultanan Melayu Melaka yang berasal dari Bukit Siguntang.Umumnya, wilayah Rumpun Melayu (sebahagian besar wilayah ASEAN) mengamalkan sistem Monarki berdasarkan warisan Kesultanan Melayu.Sejak dari abad ke-13, pemerintahan yang dipimpin oleh Sultan/ Raja Melayu diwarisi sehingga sekarang.

Riau-Lingga merupakan wilayah yang mempunyai sistem pemerintahan berteraskan dan mewarisi sistem pemerintahan beraja yang berasal dari Empayar Kesultanan Melayu Melaka. Pulau Daik yang terletak di Kabupaten Lingga pernah menjadi ibukota Kesultanan Melayu Riau-Lingga pada abad ke-18 di bawah kepimpinan Sultan Mahmud pada 1760 - 1812(selama 113 tahun). Kerajaan Kesultanan Melayu Riau-Lingga merupakan salah satu kerajaan Melayu yang berpengaruh yang berpusat di Daik, Lingga pada abad ke 18-19.Kesultanan Melayu Riau-Lingga mempunyai jajahan yang luas meliputi Johor dan Pahang dan Kepulauan Riau-Lingga.

Berdasarkan cerita rakyat dan kenyataan Haji Raja Ruslan bin Haji Raja Usman, Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM), Kabupaten Lingga terkenal sebagai pusat kerajaan Kesultanan Melayu yang bergelar “Darul Birri Wa Darussalam” yang membawa maksud “Negeri Penuh Kebaikan dan Keselamatan”. Kerajaan Kesultanan Melayu ini mempunyai hubungan pemerintahan dan kasih sayang dikalangan negeri-negeri Melayu di Rumpun Melayu yang dikenali sebagai Nusantara Raya atau Melayu Raya. Berdasarkan Empayar Kesultanan Melayu Melaka sejak abad ke-15 lagi, warisan sejarah dan

Tamadun Melayu Lingga

45

seni budaya Melayu yang berteraskan ajaran Islam dan Bahasa Melayu menjadi penghubung kemesraan dan kasih sayang dikalangan umat Melayu Islam bagi mewarisi sebuah peradaban yang dinamakan sebagai peradaban Melayu yang setaraf dengan peradaban dunia.

Empayar Kesultanan Melayu Melaka yang luas jajahan takluknya sehingga ke Pulau Sumatera dan Borneo terkenal sebagai Empayar Kesultanan Melayu dan berpengaruh di sekitar Selat Melaka sejak abad ke-13.Ia mewarisi peradaban Melayu yang dipimpin oleh seorang Maharaja dan bapa kepada negeri-negeri di Alam Melayu dan boleh dikenali sebagai Ayahanda Tanah dan Bumi Melayu. Kerajaan Melayu Islam ini terus berkembang maju di Acheh, Johor, Sulawesi, Jawa dan Brunei.Pada abad ke-18 pula, Kesultanan Melayu Riau-Lingga yang berpusat di Daik, Lingga yang memerintah Johor, Pahang dan Singapura diberi pula jolokan sebagai “Bunda Tanah Melayu” (lihat Ahmad Dahlan, Sejarah Melayu, hal. 4).

Sebagai ibu yang mewarisi kesinambungan warisan dan peradaban Melayu di Rumpun Melayu, pemikir Melayu telah mengungkapkan sebuah pantun yang menjadi buah mulut bagi memaparkan perasaan kemesraan dan kasih sayang di jiwa dan hati sanubari setiap anak Melayu sehingga sekarang.Diungkapkan dengan sebuah pantun serumpun bagi mengenang jasa dan mewarisi kehalusan budi orang Melayu berdasarkan pembayang berlatarbelakangkan Daik sebagai Bunda Tanah Melayu yang mewarisi kehalusan budi orang Melayu.

Pulau Pandan jauh ketengah,Gunung Daik bercabang tiga,Hancur badan dikandung tanah,Budi yang baik dikenang juga.

Gagasan Menghadapi CabaranWarisan Peradaban Melayu yang berpusat dan dikembangkan

oleh Empayar Kesultanan Melayu Melaka tetap unggul dan Kepulauan Riau-Lingga menjadi penerus bagi mewarisi peradaban Melayu dari

Tamadun Melayu Lingga

46

Melaka. Kekuatan Empayar Kesultanan Melayu Riau-Lingga yang menguasai Pahang, Johor, Singapura dan Kepulauan Riau-Lingga menjadi medan utama kekuatan Melayu dalam lingkungan wilayah selatan Tanah Melayu (Malaysia), Singapura dan Kepulauan Riau. Di samping itu, warisan peradaban Melayu tetap berkembang maju di Jawa, Brunei, Sulawesi, Acheh, Minangkabau, Mindanao, Pattani (Thailand), Kemboja dan lain-lain.Itulah warisan peradaban Melayu yang beraras tinggi yang tetap berkembang sehingga sekarang.Bagi mengingati, meneruskan serta memartabatkan warisan peradaban Melayu di Rumpun Melayu, kita wajar menyusun barisan bagi meneruskan silaturrahim dan menjadi pewaris yang melahirkan bangsa yang bermaruah dan menghargai sejarah serta budaya sebagai tiang seri Peradaban Melayu di Rumpun Melayu.Pendekatan geo-politik pula perlu diteruskan di setiap negara ASEAN, khususnya Rumpun Melayu atau Nusantara Raya mengikut dasar dan pemerintahan negara masing-masing seperti di Indonesia, Brunei, Malaysia dan lain-lain. Bagi mencapai matlamat yang murni dalam melahirkan negara-negara di ASEAN yang bertamadun, kita di Rumpun Melayu wajar menyusun dan merancang strategi untuk mengingatkan generasi muda dan pewaris bangsa dengan program yang berteraskan warisan sejarah dan sosio-budaya yang menjadi teras dan tiang seri peradaban Melayu di Rumpun Melayu seperti berikut:1. Sistem pendidikan hendaklah didedahkan tentang warisan

peradaban Melayu atau negara-negara di Rumpun Melayu/ ASEAN.

2. Kerjasama ASEAN bagi memartabatkan warisan peradaban Melayu hendaklah diperkasakan.

3. Program Jejak Warisan Peradaban Melayu hendaklah dijayakan, terutamanya yang dipelopori oleh negara Malaysia, Indonesia dan Brunei.

4. Program Jejak Warisan Peradaban Melayu untuk mengenang kembali peranan Institusi Raja Melayu hendaklah diadakan seperti Jejak Warisan Empayar Kesultanan Melayu Melaka,

Tamadun Melayu Lingga

47

Brunei, Indonesia, Filipina dan Thailand.5. Program Naik Kapal dari Melaka ke Kepri hendaklah diadakan

dan diikuti dengan wilayah Rumpun Melayu yang lain seperti Jawa, Brunei, Sulawesi dan Sumatera.

Kekuatan Memartabatkan Warisan Peradaban MelayuSemangat dan kekuatan Melaka sebagai pusat dan pewaris

peradaban Melayu (sejak abad ke-15)yang terkenal sebagai Empayar Kesultanan Melayu hendaklah dimartabatkan sebagai mewarisi Peradaban di Rumpun Melayu.Biarpun Melaka jatuh di tangan Portugis pada 1511, namun warisan dan keturunan bangsa Melayu diteruskan di Perak, Johor dan Pahang dan berkembang di Kepulauan Riau-Lingga amnya di Sumatera, Jawa, Filipina dan Brunei.

Warisan institusi Kesultanan Melayu Melaka telah menjadi teras pembinaan peradaban di Rumpun Melayu dan terus diwarisi dibeberapa negeri di Rumpun Melayu, di sebahagian besar wilayah ASEAN atas dasar berikut:1. Institusi Raja Melayu tetap kukuh dan menjadi tiang seri dan

teras kepada sistem pemerintahan di Malaysia dan Brunei.2. Warisan Institusi Raja Melayu tetap dipertahankan sebagai

Warisan Negara seperti di Indonesia, Singapura, Thailand, Filipina dan sebagainya.

3. Bahasa Melayu dan agama Islam menjadi teras utama dan berkembang maju dalam sistem pemerintahan yang berteraskan Institusi Raja-Raja Melayu sebagai Raja yang berdaulat.

4. Warisan Institusi Raja Melayu terus digunapakai di sebahagian besar Institusi Raja Melayu yang berdaulat dan mewarisi institusi Raja (yang tidak berdaulat) di bawah sistem pemerintahan demokrasi. Warisan Institusi Raja Melayu tetap digunapakai bagi mewariskan Institusi Raja Melayu seperti status dan pangkat dan masih dihormati. Istilah Bendahara, Penghulu, Temenggung, Laksamana, Orang Kaya, Biduanda, Permaisuri terus digunakan sehingga sekarang. Begitu juga bermacam nama anugerah dan gelaran yang digunakan di Rumpun Melayu.

Tamadun Melayu Lingga

48

5. Warisan ekonomi, terutama perdagangan, perkapalan dan urusniaga di Rumpun Melayu dengan negara luar.

6. Sistem pendidikan berteraskan sekolah agama berkembang maju dan melahirkan para pemimpin dan ulama yang berwibawa di Rumpun Melayu.

7. Sistem pendidikan dan ajaran Islam serta sekular dapat melahirkan intelektual dan profesional Melayu dalam pelbagai bidang seperti ekonomi, sains dan teknologi untuk menghadapi cabaran semasa.

8. Peradaban Melayu tetap kukuh dan berkembang maju di Rumpun Melayuberteraskan warisan sukuan seperti di Melaka, Jawa, Acheh, Sulawesi, Kalimantan, Brunei, Singapura, Riau, Minangkabau di Sumatera dan lain-lain.

9. Peradaban Melayu yang berkembang di Melaka sejak abad ke-15 terus bersambung dan berkembang maju di negeri-negeri Melayu, khusus di Kepulauan Riau-Lingga sejak abad ke-17 sehingga sekarang. Pulau Bintan berpusat di Tanjung Pinang dan Pulau Penyengat terus mewarisi peradaban Melayu dengan lahirnya tokoh dan ilmuan seperti Raja Ali Haji dan pemimpin yang berwibawa menentang penjajah seperti Sultan Mahmud Shah di Daik-Lingga.

10. Warga Rumpun Melayu wajar menghayati dan mempunyai perasaan kasih sayang terhadap warisan peradaban Melayu bagi melahirkan kesatuan dan perpaduan umat Melayu dan Islam seperti pantun di bawah ini.

Indahnya Warisan Melayu kitaWarisan Peradaban Melayu SerumpunKita sepakat memartabatkan bangsaMelayu dijulang sentiasa berhimpun.

Dari Palembang ke Pulau BintanSinggah di Temasik bersama sekeluarga

Tamadun Melayu Lingga

49

Membuka Melaka membina watanTerlahir Empayar Kesultanan Melayu Melaka.

Melaka maju memartabatkan bangsaWarisan Melayu tetap dipeliharaMembina peradaban Melayu kitaMenjulang maju dipersada dunia.

Bahasa Melayu bahasa peradaban kitaBahasa rasmi di Rumpun MelayuAyuh! Bangun bersatulah kitaMelayu bersatu demi negara.

Bahasa Melayu kebanggaan serumpunMarilah amalkan setiap masaMewarisi peradaban beratus tahunJangan korbankan maruah bangsa.

Biarpun badan dikandung tanahBudi yang baik sentiasa di hatiDari jauh kami memegang amanahMenyambung silaturahim sehingga mati.Kapal dagang dari DaikPenuh dengan khazanah bangsaKita bersatu sebagai warga terbaikDemi peradaban tiang seri Negara.

Sekian, terima kasih.***

Tamadun Melayu Lingga

50

PERJUANGAN SULTAN MAHMUD RIAYAT SYAH DALAM MEMAJUKAN PEREKONOMIAN

KESULTANAN LINGGA-RIAU-JOHOR-PAHANG

H. ABDUL MALIK1

H. ABDUL KADIR IBRAHIM2

1)Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang, Kepulauan Riau. 2) Sekretaris Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau.

1. PendahuluanPemerintah Belanda—melalui Vereenigde Oost-Indische

Compagnie (VOC)—sangat bernafsu untuk menguasai kawasan-kawasan strategis atau bandar-bandar perdagangan dunia, terutama di nusantara secara monopoli dan menggunakan peralatan atau kelengkapan perang. Kesultanan Melaka dan kemudian Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang merupakan kerajaan nusantara yang menjadi incaran Belanda tersebut. Untuk itu, Belanda menyiapkan angkatan perang dan jurus-jurus jitu untuk melakukan penaklukan atau penjajahan. Sejalan dengan itu, cara lain yang mereka lakukan adalah mengadu-domba pelbagai kekuatan di dalam sesebuah kerajaan yang berdaulat atau antara kerajaan yang satu dan kerajaan lainnya. Di Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang, misalnya, mereka menerapkan politik adu-domba dengan harapan Melayu dengan Bugis atau Bugis dengan Bugis dapat berperang dan akhirnya hancur sehingga dengan mudah mereka dapat menguasainya. Sayangnya, politik semacam itu tak mempan di kerajaan terbesar di kawasan nusantara atau Asia Tenggara itu.

Belanda memang tak main-main untuk memonopoli perdagangan dan ekonomi di nusantara. Dengan modal besar dan kekuatan perang, mereka melengkapi ikhtiar yang akan dilakukan sebagai penjajah. Menurut Hasan Junus, Belanda membentuk sebuah perusahaan atau serikat dagang, yakni VOC (Vereenigde Oost-

Tamadun Melayu Lingga

51

Indische Compagnie), yang resminya berdiri pada 20 Maret 1602. Kala itu Belanda merupakan Republik Nederland Serikat (Republik van Vereenigde Nederlanden). Pada pasal 35 akte pendirian, serikat dagang itu diberi hak oleh parlemen Republik Nederland Serikat untuk membuat surat-surat perjanjian atau kontrak politik dengan para penguasa pribumi dan daerah-daerah di seluruh nusantara untuk membangun kota-kota (terutama pelabuhan), mengangkat para gubernur, dan membentuk tentera (bayaran).

Mula-mula VOC menempatkan seorang Gubernur Jenderal di Maluku. Baru pada 1619 kedudukan itu dipindahkan ke Batavia. VOC berhasil mengambil alih Melaka dari tangan Portugis pada 1641 dan mengangkat seorang gubernur di situ. Selanjutnya, Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieters Zoen Coen, mengatakan bahwa VOC tak akan dapat menjalankan perdagangan tanpa perang dan perang tak dapat dijalankan tanpa perdagangan. Gubernur Jenderal berikutnya, Antonio van Diemen, mengatakan bahwa perdagangan VOC di Asia tak dapat dilanjutkan tanpa perluasan wilayah.

Jadi, menurut Hasan Junus, dapat dilihat dengan jelas bahwa VOC bukanlah sebuah serikat dagang biasa, melainkan serikat dagang yang menyertakan seperangkat mesin perang atau jari-jari gurita raksasa kolonialisme yang sengaja didirikan untuk beroperasi di wilayah nusantara dan sekitarnya. Beberapa penulis sejarah Belanda mengatakan bahwa para pengelola puncak serikat dagang itu berkelakuan lebih sebagai seorang raja merdeka di kawasan Timur dunia dan bukan sebagai pegawai.3

Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang adalah sebuah kerajaan besar di nusantara sebagai kelanjutan Kerajaan Bintan (1150—1158), Kerajaan Bintan-Temasik (yang berpusat di Singapura) (1159—1384), Kerajaan Melaka (1384—1511), berlanjut lagi ke Bintan, lalu ke Kampar dan di Johor (1511—1678). Pada 1673, Kerajaan Melayu itu berpusat di Hulu Sungai Carang, Pulau Bintan, yang dikenal kemudian sebagai Hulu Sungai Riau. Di situ berdiri sebagai sebuah

3 Hasan Junus, Raja Haji Fisabilillah Hannibal dari Riau (2000:5—6).

Tamadun Melayu Lingga

52

kerajaan besar dengan wilayahnya yang luas pula. Setiap sultan kerajaan ini bukan hanya berkewajiban memajukan kerajaan dan segala bidang kehidupan, tetapi juga terus berupaya dengan segenap kekuatan untuk merebut dan menguasai kembali Melaka! Karena apa? Melaka—termasuk selatnya—adalah suatu bandar perdagangan yang menghubungkan pelbagai jalur lalu lintas perdagangan dunia. Juga, tentu, sebagai simbol kejayaan Melayu.

Semenjak berdirinya Kesultanan Johor-Riau-Lingga-Pahang semangat dan ikhtiar hendak mengembalikan Melaka ke dalam pangkuan Kerajaan Melayu tak pernah padam. Tekad dan upaya ke arah itu mulai dinampakkan sejak 1673, ketika Laksemana Tun Abdul Jamil mulai membangun Riau sebagai sebuah pelabuhan bebas bertempat di Sungai Carang di Pulau Bintan. Dalam banyak hal Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang seperti hendak mengemban kebesaran Melaka pada masa lampau. Bukankah di masa lampau, sebagaimana dinyatakan oleh Tome Pires dalam karyanya Summa Oriental, siapa yang menguasai Melaka, maka dapat menentukan hidup matinya Venesia.4

Setelah menguasai Maluku, VOC—Belanda selanjutnya menjadikan Batavia (Jakarta, sekarang) sebagai pusat pemerintahan Belanda di nusantara. Selepas itu, mereka menguasai Melaka. Pada akhirnya, mereka menjadi paham bahwa kekuatan Melaka sebagai tempat penting dalam perdagangan dunia masih tak sepenuhnya dapat diwujudkan karena ada Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang yang berpengaruh luas, termasuk terhadap Melaka. Jalur lalu-lintas pelayaran dan perdagangan dunia, yang ternyata bertumpu pula di bandar-bandar Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang dan kerajaan ini ikut menentukan lancar atau tidaknya lalu-lintas di Selat Malaka. Tentu, pada gilirannya, Kesultanan Riau-Lingga dianggap oleh Belanda sebagai penghalang terbesar bagi ambisi atau birahi monopoli penjajah itu untuk menguasai perdagangan di jalur Selat Malaka dengan leluasa.

4 Ibid. hlm. 6—7.

Tamadun Melayu Lingga

53

Tak heranlah Belanda setelah menduduki Melaka berupaya untuk menaklukkan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Nyatanya, hal itu tak pernah sekali pun terwujud dalam perjalanan sejarah. Bahkan, Belanda mendapat tekanan dari Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang sehingga mereka harus mengakui Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang sebagai sebuah kerajaan besar yang merdeka dan berdaulat. Ini dapat dipahami secara jelas dari adanya beberapa kali peperangan dan perjanjian antara Belanda dan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Dan, nyatanya pula perjanjian yang dibuat pada akhirnya bukan bekerja sama yang saling menguntungkan yang terjadi, melainkan berbuah dengan perperangan, yang kedua belah pihak pernah mengalami kemenangan dan kekalahan.

2. Perdagangan dan Ekonomi Menuju KegemilanganKesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang dengan Yang

Dipertuan Besarnya, Sultan Sulaiman Badr al-Alamsyah, yang dibantu oleh Yang Dipertuan Muda III, Daing Kamboja, dan Kelana (calon Yang Dipertuan Muda), Raja Haji, pada akhirnya berhasil membentuk persekutuan kerajaan-kerajaan Melayu dan menyerang Belanda di Melaka. Pada Agustus 1722 para pembesar Kesultanan Riau merencanakan suatu penyerangan terhadap kota Melaka. Namun, penyerangan baru benar-benar terjadi pada 1756, yang dipimpin oleh Daing Kamboja dan dibantu oleh Raja Haji. Beberapa kota sekitar Melaka pun berhasil ditaklukkan oleh Kesultanan Riau. Pada 29 April 1756 pasukan gabungan yang dipimpin oleh Daing Kamboja berhasil menyerang kota Melaka. Mereka masuk ke kota dan membakarnya. Pada 2 Juli 1756 Belanda menawarkan perjanjian damai, tetapi tak membuahkan hasil. Pada 27 Juli 1756 Kesultanan Riau menyurati Gubernur Melaka, yang menyatakan permusuhan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang beserta kerajaan-kerajaan dalam persekutuan Melayu dengan Belanda. Pada Oktober 1756 pasukan gabungan Kerajaan Melayu sampai di pinggir Kota Melaka. Maka, pada 4 Februari 1757 Kesultanan Riau beserta kerajaan-kerajaan dalam gabungan persekutuan Melayu tersebut membakar

Tamadun Melayu Lingga

54

pingir Kota Melaka. Peperangan berlanjut di Linggi (1756—1757) sehingga kemudian terjadilah perjanjian damai antara Belanda dan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang beserta sekutunya pada 1 Januari 1758 di Filipina, terutama menyangkut perdagangan timah.5

Permusuhan Belanda dengan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang, yang pemicu utamanya adalah perdagangan dan kepentingan ekonomi, ternyata tak semakin mengendur, tetapi tambah memburuk. Perseteruan itu disebabkan oleh Belanda hendak memonopoli sentral-sentral perdangan serta pusat-pusat ekonomi yang dimiliki dan dikuasai oleh Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Pelbagai upaya dilakukan leh Belanda, yang antara lain hendak memecah-belah Melayu dengan Bugis. Bahkan, jauh sebelumnya Belanda juga berupaya memecah-belah Bugis dengan Bugis, yakni antara pihak Raja Haji dan Daing Kamboja. Akan tetapi, pihak Melayu dan pihak Bugis serta Daing Kamboja dan Raja Haji tak terpangaruh dengan adu-domba dan fitnah yang dilakukan oleh pihak Belanda sehingga sumpah-setia tetap terjaga dan berkekalan.

Upaya Belanda untuk melenyapkan Sumpah-Setia Melayu-Bugis, memutus sendi-sendi persaudaraan dan kebersamaan serta persatuan, nescaya tak pernah berhasil karena Melayu-Bugis, terutama yang menduduki puncak kekuasaan, Yang Dipertuan Besar/Sultan dan Yang Dipertuan Muda sama-sama sudah mengalir darah Melayu-Bugis. Mereka bersaudara-mara. Hal ini disebabkan oleh, yang antara lain, Raja Haji bersaudara kandung dengan ibunda Sultan Mahmud Riayat Syah sehingga Sultan Mahmud Riayat Syah yang diharapkan oleh Belanda sebagai pihak Melayu dan Raja Haji sebagai pihak Bugis, antara satu dengan lainnya dapat berperang, tak pernah terlaksana. Pasalnya, Raja Haji adalah ayah saudara (paman) Sultan Mahmud atau dengan kata lain, Sultan Mahmud adalah anak saudara (keponakan) Raja Haji. Dan, Sultan Mahmud dengan Raja Ali adalah bersaudara sepupu. Jadi, rencana pecah-belah yang dibuat oleh Belanda tak pernah berhasil. Sebaliknya, persaudaraan mereka semakin mengukuhkan pluralistik di dalam kerajaan itu, yang semakin mengukuhkan pula 5 Ibid., hlm.17—28.

Tamadun Melayu Lingga

55

lancarnya perdagangan, kemajuan ekonomi, dan meningkatnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat kerajaan.

Belanda sepertinya tak mau tahu tentang perhubungan budaya dan darah antara Melayu dan Bugis sudah sejak lama terjadi, terbina, dan menyatu. Pada awalnya, orang-orang Melayu ke Negeri Bugis, yang antara lain Makasar, dan kali berikutnya orang-orang Bugis ke Negeri Melayu, yang suatu masa dilanjutkan oleh Daing Marewah dan saudara-saudaranya membantu Tengku Sulaiman dalam menegakkan kedaulatan negeri Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang beserta daerah takluknya (1722). Perhubungan Bugis-Melayu, disebutkan oleh Mukhlis PaEni sebagai hubungan arus-balik. Dalam tulisannya, Melayu-Bugis-Melayu dalam Arus Balik Sejarah (2004), Mukhlis PaEni menegaskan, arus balik ini sangat penting untuk diketahui sebagai sebuah dasar pemahaman bagi peran timbal-balik orang-orang Melayu di negeri-negeri Bugis-Makassar dan peran orang-orang Bugis-Makassar di negeri-negeri Melayu. Peran orang-orang Melayu di negeri-negeri Bugis-Makassar sebagai benang merah dari sebuah perjalanan sejarah yang amat penting dan terbukti adanya.

Menurut Mukhlis PaEni lagi, pada 1542 seorang Portugis bernama Antonio de Paiva mendarat di Siang, sebuah kerajaan tua di pesisir Selatan Makassar. De Paiva adalah orang Eropa pertama yang tinggal di Sulawesi. Dalam laporannya yang tertulis dalam Coto Decades p.78, de Paiva menyebutkan bahwa ketika dia mendarat di Pulau Celebes (Sulawesi), dia telah bertemu dengan orang-orang Melayu di Siang. Mereka mendiami perkampungan Melayu dengan susunan masyarakat yang teratur dan sudah berada di Siang sejak 1490. Dalam pada itu, Manoel Pinto, juga seorang Portugis yang mengunjungi Siang pada 1545, mengatakan bahwa ketika itu orang Melayu di Siang berjumlah sekitar 40.000 jiwa, jumlah yang sangat banyak untuk ukuran kala itu.6

6 Tulisan tersebut disampaikan Mukhlis PaEni dalam Seminar Filosofi Dunia Melayu: Pluralistik dan Kebangkitan Sastra sempena acara Revitalisasi Budaya Melayu Internasional, Kota Tanjungpinang, 29 Juli s.d. 1 Agustus 2004, yang diterbitkan dalam buku Revitalisasi Budaya Melayu: Filosofi Dunia Melayu Pluralistik Budaya dan Kebangkitan Sastra (Abdul Malik dkk (Eds.), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang (2010:153—155).

Tamadun Melayu Lingga

56

Mengikuti keterangan Mukhlis PaEne, pada akhirnya orang Melayu mendapatkan jabatan dalam pemerintahan kerajaan di Makassar. Dalam wilayah Kerajaan Makassar, bahasa resmi yang digunakan dalam perhubungan dengan bangsa asing, antara lain Belanda, adalah bahasa Portugis dan Melayu. Perang Makassar berakhir pada 1667 dan memaksa Sultan Hasanuddin Raja Gowa XVI menandatangani perjanjian Bongaya antara Gowa dan Belanda. Akibat dari perjanjian itu, terjadilah arus-balik pengaruh Melayu di nusantara. Pada saat itulah orang-orang Melayu-Bugis/Makassar yang menduduki jabatan-jabatan penting di Kerajaan Gowa bersama bangsawan tinggi kerajaan yang tak menyetujui Perjanjian Bongaya meninggalkan Kerajaan Gowa Sulawesi Selatan secara besar-besaran. Peristiwa ini sangat penting karena arus balik itu terjadi setelah hampir 177 tahun sejak berdirinya permukiman Melayu di Siang (sekitar 1490) atau sekitar 146 tahun sejak kedatangan orang-orang Melayu dan bermukim di Manggallekana pada 1521.7 Dapat diyakini bahwa dari keturunan mereka inilah, yang kemudian bergabung dengan pihak Kesultanan Melayu-Riau-Lingga-Johor-Pahang pada 1722. Pada akhirnya, di Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang ada jabatan setingkat di bawah sultan, yang bergelar Yang Dipertuan Besar (Raja), yakni Yang Dipertuan Muda Riau, yang dimulai oleh Daing Marewah.

Jelaslah perhubungan yang erat dan rapat antara Melayu-Bugis, yang sejatinya tak mungkin akan dapat diceraikan oleh VOC-Belanda. Pembesar Kerajaan Melayu kemudian mengikat perjanjian dengan orang Bugis, yang dikenal dengan Sumpah-Setia Melayu-Bugis. Tujuan utamanya adalah membangun kejayaan kerajaan dan kemakmuran masyarakat. Untuk itu, bidang pertahanan dan perdagangan (ekonomi) mesti dikuatkan. Maka, tak mengherankan pada akhirnya kerajaan ini mencapai puncaknya dalam kekuatan perang dan kemakmuran dengan menguasai perdagangan timah dan jalur lalu-lintas perdagangan Selat Melaka.

7 Ibid., hlm.165—166.

Tamadun Melayu Lingga

57

Di kerajaan ini terdapat bandar-bandar perdagangan yang wujud sebagai bandar perdagangan dunia. Hal itu jelaslah membuat Belanda yang menguasai Melaka menjadi tak nyaman dan merasa terancam kedudukan dan perannya. Dengan melihat semakin kuat dan majunya Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang, pihak VOC-Belanda berupaya, antara lain, mengadu-domba Melayu dengan Bugis di dalam Kesultanan Riau-Lingga. Akan tetapi, Belanda agaknya lupa bahwa perhubungan erat dan rapat antara Melayu-Bugis, yang sejatinya memang tak mungkin akan dapat mereka pisahkan. Di sisi lain, perjanjian antara Belanda dan Kesultanan Riau-Lingga8 adalah perjanjian kerja sama, terutama menyangkut perdagangan, tujuan ekonomi, dan bukan berarti hilangnya kemerdekaan, kedaulatan kerajaan, dan hapusnya kekuasaan Sultan. Tentu, bagi Kesultanan Riau-Lingga sendiri, dimaklumkannya perjanjian kerja sama itu bukan tanda menyerah, melainkan lebih sebagai upaya untuk memajukan perdagangan dan siasat di masa hadapan untuk kembali memerangi dan mengusir Belanda dari Melaka.

8 Tengku Lukman Sinar mengatakan bahwa perjanjian formal ditandatangani oleh pihak Sultan Mahmud Riayat Syah yang diwakili oleh orang-orang Besar Kerajaan Riau, pada 10 November 1784, adalah dalam keadaan terpaksa. Perjanjian itu dirasakan oleh Sultan Mahmud sebagai penghinaan yang luar biasa bagi bangsa dan negerinya. Bagaimana tidak? Setelah Raja Haji tewas di Teluk Ketapang, dan peperangan itu sebenarnya atas nama Sultan Mahmud Riayat Syah, maka Belanda antara lain meminta Sultan Mahmud membayar ongkos perang Belanda (1782—1784) sebesar $60,000,00 kepada Van Braam Cs. Harta-harta rampasan dari rakyat Riau dijual lelang oleh Belanda di Batavia menghasilkan $60,670,00 lalu dibagi-bagi mereka. Dua puluh dua helai panji-panji dan petaka dari pasukan Kerajaan Riau di bawah pimpinan tertinggi Sultan Mahmud Riayat Syah dan pimpinan perang Raja Haji, yang direbut dalam peperangan dibawa oleh Van Braam ke Hoalland pada 1785 untuk ditempatkan di museum Bronbeek. Sultan Mahmud tak pernah menepati satu pun dari pasal-pasal perjanjian dan tak sama sekali membayar utang perang yang dibuat sepihak oleh Belanda. Sebaliknya, Sultan Mahmud dengan Imperium Melayu yang gagah itu—atas penghinaan dan syarat-syarat kapitulasi yang diletakkan Belanda—menjadi berapi-api semangatnya menuju kemerdekaan Imperium Melayu Riau-Johor kembali dan lepas dari tangan Belanda pada 1795 kelak. Untuk lebih lengkap dapat dilihat, L.Y. Andaya, The Kingdom of Johore, KL, 1975; H. Buyong bin Adil, Sejarah Selangor, DBP, 1971; dan R.O. Winstedt, A History of Johore (1365—1895), JMBRAS, 1979. (Rustam S. Abrus, dkk. (Penyunting), Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah dalam Perang Riau Melawan Belanda (1782—1784 ), 1989:144—146.

Tamadun Melayu Lingga

58

Sampailah suatu masa, pada 1761, Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang dipimpin oleh Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Riayat Syah, dengan Yang Dipertuan Muda Daing Kamboja, berlanjut kepada Raja Haji. Pada bagian ini kita menekankan peran Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang di bawah Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah dalam perdagangan atau ekonomi. Dalam upaya memperkuat kerajaan dan menjayakannya, Sultan Mahmud Riayat Syah telah membangun Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang sejak 1761 sampai 1812, yang bermula di Hulu Riau, Sungai Carang, Pulau Bintan (1761—1787) dan kemudian selama 25 tahun berlanjut di Lingga dan Pulau Penyengat (1787—1812). Beliau telah membenahi Lingga menjadi sebuah kota dan begitu pula Pulau Penyengat yang lengkap dengan segala fasilitasnya. Meskipun ada masa dalam situasi sulit dan berperang dengan Belanda9, tetapi beliau telah berhasil melaluinya dengan cemerlang dan gemilang, dengan tanpa menggadaikan marwah negeri kepada penjajah10

9 Dalam peperangan di perairan Tanjungpinang pada 1782—1784, pihak Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang di bawah tanggungjawab Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah III), dan yang memimpin perang di lapangan Yang Dipertuan Muda IV Riau, Raja Haji, berhasil meraih kemenangan. Dalam peperangan, yang puncaknya terjadi pada 6 Januari 1784, yang dikenal dengan Perang Riau, pihak Belanda betul-betul kalah telak sehingga pasukan yang tersisa melarikan diri ke Malaka. Peperangan itu adalah peperangan babak ketiga antara Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang dan Belanda setelah Perang di Malaka dan Linggi sebagaimana dijelaskan di atas. Peperangan “babak” keempat pun terjadi di Teluk Ketapang, Malaka, Raja Haji gugur sebagai syuhada’. Maka, meletuslah peperangan “babak” kelima, di perairan Tanjungpinang, yang dipimpin oleh Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Riayat Syah, yang diperkuat dengan pasukan lanun. Dalam peperangan yang berakhir 13 Mei 1787 itu, lagi-lagi Belanda kalah dan pasukan yang tersisa menyelamatkan diri ke Malaka.

10 Dalam buku Tanjungpinang Kota Bestari, yang ditulis oleh Rida K. Liamsi, dijelaskan bahwa peperangan itu terjadi pada 10 Mei 1787, yang Sultan Mahmud Riayat Syah mengomandoi peperangan, yang dibantu oleh Yang Dipertuan Muda V Riau, Raja Ali, dan pasukan bajak laut dari Tempasok, Kalimantan Barat. Benteng Belanda yang dijaga satu garnizun berkekuatan hampir 200 orang digempur dan hancur. Residen David Ruhde dan serdadunya dipaksa menyerah dan diancam dalam tempo 3 hari harus segera kembali ke Malaka. Akhirnya, dengan hanya berpakaian sehelai sepinggang David Ruhde lari ke Melaka dan

Tamadun Melayu Lingga

59

sehingga sukses pula dalam meletakkan landasan untuk kelanjutan pemerintahan berikutnya.11 Pemindahan pusat Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang yang dilakukan oleh Sultan Mahmud Riayat Syah, di samping untuk menjaga kemerdekaan, tegaknya marwah dan kedaulatan kerajaan, serta untuk menghindari serangan balik pihak Belanda; sekaligus sebagai upaya menyusun strategi baru dalam upaya memerangi dan mengusir Belanda dari Riau dan Melaka.12 Hal yang tak kalah penting, dan sekali lagi demi negeri dan rakyat seluruhnya, kemajuan ekonomi mesti dicapai dan kemakmuran penduduk kerajaan harus terwujud. Untuk itulah, berbagai kawasan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang, terutama di pusat

melaporkan kejadian itu kepada Gubernur Malaka. Pasukan Kesultanan Riau-Lingga itu kemudian menghancurkan seluruh benteng-benteng dan pertahanan Belanda di Tanjungpinang, Pulau Bayan. Orang Belanda menegaskan bahwa Sultan Mahmud Riayat Syah dan Raja Ali yang berada di Kalimantan Barat sebagai dalang serangan tersebut (1989:13).

11 Lihat Anastasia Wiwik Swastiwi, “Kerajaan Johor-Riau-Lingga pada Masa Pemerintahan Sultan Mahmud Syah III” dalam Naskah Kuno: Sumber Ilmu yang Terabaikan (Telaah Terhadap Beberapa Naskah Kuno). Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Tanjungpinang, 2002

12 Rida K. Liamsi dalam buku Tanjungpinang Kota Bestari menjelaskan bahwa melihat situasi yang kurang menguntungkan itu, selepas memerangi Belanda sehingga Belanda kalah lalu berundur ke Melaka, dan khawatir serangan balas dari kompeni Belanda, maka Sultan Mahmud Riayat Syah akhirnya memindahkan pusat kerajaan dari Hulu Riau ke Pulau Lingga, jauh di selatan Pulau Bintan. Eksodus pertengahan 1787 itu cukup besar. Sultan Mahmud berangkat dalam satu rombongan tak kurang dari 200 perahu ke Lingga, sedangkan 150 perahu lainnya dipimpin Temenggung Abdul Jamal pindah ke Pulau Bulang (sekitar Batam) dan menetap di sana. Ditambah lagi yang pindah ke berbagai kawasan takluk Kerajaan Riau-Lingga, dan kerajaan Melayu lainnya.

Belanda sangat marah atas tindakan penyerangan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang di bawah pimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah. Maka, pada Agustus 1787 Belanda kembali mengirim satu eskader yang dipimpin oleh Jacob Pieter van Bram, dengan tugas menghukum Sultan Mahmud dan membangun kembali benteng Tanjungpinang yang hancur. Ketika Belanda tiba di Tanjungpinang, ternyata Sultan Mahmud sudah tak ada lagi karena sudah berada di Lingga. Maka, Jacob Pieter van Bram tak lagi dapat melaksanakan perintah pihak Belanda, yakni menghukum Sultan Mahmud (1989:13-14).

Tamadun Melayu Lingga

60

pemerintahan baru, yakni Lingga dan Pulau Penyengat, dibangun sedemikian rupa sehingga menampakkan hasil pembangunan ekonomi, yang sekaligus sebagai wujud kebudayaan dan peradaban, yang disebut sebagai tamadun Melayu. Kesultanan Lingga-Riau- Johor-Pahang berhasil membangun dan memfungsikan pelabuhan-pelabuhan perdagangan dan menjadi bandar penting perdagangan dunia.

3. Capaian Puncak Kemajuan EkonomiPenataan dalam bidang ekonomi yang telah dilakukan sejak

1722 mencapai kemajuan yang pesat pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Riayat Syah dengan dibantu pengusahaannya oleh Yang Dipertuan Muda III Daing Kamboja dan berlanjut kepada Yang Dipertuan Muda Riau IV Raja Haji. Pada masa ini Kesultanan Riau-Johor merupakan sebuah kerajaan merdeka yang bersikap terbuka terhadap perdagangan dunia karena sandaran ekonominya terletak pada sektor perdagangan. Pelabuhan kesultanan ini sangat terbuka untuk segala bangsa, bahkan menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan transito antara Timur dan Barat karena letaknya yang strategis di jalur dagang Selat Malaka.13 Bandar-bandarnya menerima tiap-tiap pedagang yang datang dari mana saja. Oleh karena itu, pada masa ini Kesultanan Riau-Johor tumbuh dan berkembang dengan pesat.

13 A.B. Lapian, dalam tulisannya berjudul Riau dan Pelayaran di Perairan Selat Malaka pada Abad XVIII dalam buku Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah dalam Perang Riau Melawan Belanda (1782—1784), menjelaskan bahwa pentingnya Selat Malaka sebagai tempat pertemuan kapal di persimpangan alur pelayaran dari barat, timur, selatan, dan utara telah dikenal berabad-abad lamanya. Faktor penting pada waktu itu adalah bahwa tempat persimpangan ini merupakan pula pertemuan dari dua sistem angin yang menguasai iklim di kawasan Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan. Irama angin ini menentukan saat kapal-kapal tiba dan berangkat di daerah Selat Malaka ini dan memengaruhi pelayaran sampai pada abad XIX ketika tenaga uap mulai digunakan (1989:199).

Tamadun Melayu Lingga

61

Komoditas perdagangan di Kesultanan Riau-Johor berupa rempah-rempah, barang pecah belah, gambir14, beras, gula, garam, damar, kemenyan, pinang, rotan, dan lain-lain. Kemajuan dalam bidang ekonomi pada masa itu ditulis dalam kitab Tuhfat al-Nafis, yang menjelaskan bahwa “Bertambah-tambah ramainya negeri Riau serta makmurnya dan orang pun banyaklah yang kaya-kaya dan beberapa pula saudagar-saudagar Cina dan Bugis dan beberapa pula kapal dan kici dan wangkang-wangkang berpuluh-puluh buah berlabuh di dalam negeri dan pulang pergi berniaga di Riau”.15

Raja Ahmad Engku Haji Tua dan Raja Ali Haji di dalam Tuhfat al-Nafis melanjutkannya sebagai berikut ini.

“Shahadan kata sahibu’l-hikayat pada masa inilah negeri Riau itu ramai serta ma’amornya, dan segala dagang pun banyaklah datang dari negeri Jawa, dan kapal dari Benggala membawa apium dan lain-lain dagangan, dan segala perahu dagang di kuala Riau pun penohlah daripada kapal, dan kici dan selob, dan santi, dan wangkang, dan tob Siam. Dan apalagi di dalam sungai Riau; segala perahu-perahu rantau berchucok ikatlah bersambong dan berpendarat, demikianlah halnya (…) Maka tatkala itu banyaklah orang-orang negeri kaya-kaya, kelengkapan perang banyak yang sedia. Maka hal inilah dibahasakan oleh orang tua-tua; ‘baik’ (keadaan di Riau pada masa itu).16

14 Lihat Lucas Partanda Koestoro. Dapur Gambir di Kebun Lama Cina, Jejak Kegiatan Perekonomian Masa Lalu sebagai Potensi Sumber Daya Arkeologi Pulau Lingga. Balai Arkeologi Medan. Tt. Adalah kejelian pihak penguasa Kerajaan Melayu masa itu yang melihat peluang pasar gambir dalam perdagangan di bandar-bandar yang berada di bawah pengaruhnya. Upaya memperbesar produk gambir yang pangsa pasarnya cukup besar dilakukan dengan menyiapkan tenaga yang terampil di lahan-lahan yang diketahui memang subur untuk tanaman gambir. Teknologi pembuatan gambir itu pun dikenalkan kepada calon-calon pekerja dimaksud. Pilihan untuk mempekerjakan migran-migran Cina itu kelak terlihat tepat karena menjadi salah satu faktor yang menyebabkan semakin besarnya produk komoditas dimaksud.

15 Virginia Matheson Hooker (Ed.), 1991: 24. 16 Ibid.

Tamadun Melayu Lingga

62

Berkenaan dengan macam-jenis barang dagangan yang menjadi andalan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang dijelaskan panjang lebar pula oleh Teuku Ibrahim Alfian dalam buku Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa Indonesia. Antara lain diterangkannya bahwa sesungguhnya arti dan peran Riau secara ekonomik dan perdagangan bukan hanya karena faktor lokasi geografisnya, melainkan Riau sangat kaya dengan berbagai jenis hasil laut lainnya, sedang di daratan terdapat sungai-sungai dan hutan yang kaya dengan sumber daya alam berbagai jenis. Sungai-sungai besar dan utama di Riau bermuara ke Selat Melaka. Maka, terutama melalui Melaka diperdagangkanlah komoditi-komoditi dari berbagai negara mulai dari bahan pakaian dan pecah-belah dari Mediterania, candu, indigo, perak dari Asia Barat, katun dari Gujarat, sutera dan porselen dari Cina, besi dan logam mulia dari Malaya, serta rempah-rempah termasuk lada, pala, cengkeh, kayu, serta komoditi aromatik dari nusantara. Dari Riau sendiri barang dagangan utama adalah rotan, getah, kelapa, beras, sagu, ikan, gambir, lada, kayu, teripang, dan lain-lain. Kombinasi saling melengkapi dan saling menguntungkan dari berbagai faktor: letak geografis yang menempatkan Riau di titik pusat pertemuan pelayaran dan perdagangan regional dan internasional, sumber daya alam yang lengkap dan sangat diperlukan. Maka, sebagian atau keseluruhan determinan itu telah memikat kedatangan pihak luar, antara lain Belanda, ke Riau.17

Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Riayat Syah perekonomian yang sudah tertata menjadi semakin membaik. Digambarkan dalam Tuhfat al-Nafis, banyak saudagar kaya yang tinggal di Riau. Umumnya mereka adalah saudagar Cina dan Bugis. Saudagar Cina membawa barang dagangan berupa mangkuk, piring, dan pinggan, sedangkan saudagar Bugis membawa barang dagangan berupa kain. Selain saudagar, pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Riayat Syah juga banyak berdatangan Syed dari Arab, yang berdampak tempat-tempat seperti masjid dan surau sering didatangi oleh para saudagar Cina, Bugis, dan para Syed. 17 Hasan Junus dkk. (2004:241—242).

Tamadun Melayu Lingga

63

Sultan Mahmud Riayat Syah, bahkan, berhasil membangun kawasan perairan Selat Melaka sebagai jalur perdagangan internasional. Sebagai konsekuensinya, Kesultanan Riau-Lingga menjadi salah satu pusat perdagangan yang penting dan menentukan di Asia Tenggara pada masa itu. Selain kejayaan dalam bidang perdagangan, pemasukan khas kerajaan diperoleh dari pertama, hasil cukai pemasukan dan pengeluaran barang-barang untuk ekspor dan impor. Kedua, cukai penimbunan barang-barang dan bahan-bahan di pelabuhan. Akan tetapi, penarikan cukai tersebut tak memberatkan pemakai jasa pelabuhan, sebaliknya memberi kemakmuran kepada rakyat. Selanjutnya, dana-dana tersebut digunakan untuk membiayai pembangunan gedung seperti balai pertemuan, surau-surau sebagai tempat ibadah, pusat pendidikan Islam, armada perdagangan, dan sebagainya. Di dekat pusat pemerintahan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang, Hulu Riau, Sugai Carang, ada sebuah pulau yang bernama Pulau Biram Dewa. Di pulau itu dibangun istana untuk Yang Dipertuan Muda IV Riau, Raja Haji, yang dikenal sebagai Istana Kota Piring, yang diperindah dengan hiasan porselin dari Cina dan dihiasi akar bahar yang dicampur dengan tembaga. Dalam Tuhfat al-Nafis, digambarkan sebagai berikut.

Syahdan kata sahib al-hikayat adalah pada masa Yang Dipertuan Muda Raja Haji (menjadi Yang Dipertuan Muda) itu, mangkin ramai (dan bertambah ramainya negeri) Riau, serta (dengan ) makmurnya serta (dengan) orang-orang (yang didalam) Riau (itu banyaklah yang) kaya-kaya, (sperti Syed Husain Aidid adalah ia diam di Sungai Timun cukup dengan gedungnya serta dengan perahu-perahu tiang sambungnya pulang pergi ke tanah Jawa berniaga, dan beberapa pula saudagar-saudagar Cina dan Bugis dan beberapa pula kapal dan keci dan wangkang kepala-kepala merah dan kepala hijau, berpuluh-pulh buah//demikian lagi kapal dan keci demikian juga banyaknya//yang berlabuh di dalam negeri Riau ((dan pulang pergi berniaga di dalam negeri Riau itu)) apalagi perahu-perahu Bugis dan (perahu-perahu—Jawa dan tob Siam berates-ratuslah yang berlabuh di dalam negeri Riau itu, istimewalah perahu-perahu rantau ((jangan dikata

Tamadun Melayu Lingga

64

lagi)) bercucuk ikanlah daripada kuala hingga sampai ke Kampung Cina. Syahadan (maka) baginda Yang Dipertuan Besar serta Yang Dipertuan Muda (serta raja-raja Bugis dan Melayu) pun banyaklah mendapat hasil-hasil dan cukai-cukai (dan antara-antaranya Cina Wangkang itu dan tob Siam seperti segala mangkuk pinggan dan piring yang halus-halus dan yang kasar-kasar beberapa gedung. Apalagi seperti kain perbuatan Cina seperti dewangga dan kimka dan belakang parang dan sitin beratus-ratus gulung dapatnya di dalam setahun angin. Dan segala tuan-tuan syed pun banyaklah datang dari tanah Arab apalagi lebai Jawa hingga penuh tempatlah di rumah wakaf dan masijd dan segenap surau orang besar-besar dan orang kaya kaya itu. Apalagi malam Jumaat berkumpullah ke dalam semuanya maulud nabi.18

Perekonomian Kesultanan Riau-Johor yang mencapai puncaknya pada masa Sultan Mahmud Riayat Syah diimbangi dengan kehidupan berkesenian seperti joget dan wayang. Bahkan, Yang Dipertuan Muda pun digambarkan menaiki perahu bersama dengan rombongan kumpulan joget berlayar dari Pulau Bayan, Terkulai, dan Senggarang. Raja Ali Haji memerikan hal itu dengan jelas.

“Maka selesai daripada maulud member sedekah, ada yang kena jekketun, ada yang dapat ringgit, ada yang dapat rupiah. Dan lainnya daripada Jumaat itu beberapa pula permainan yang bermain seperti joget dan wayang. Dan beberapa pula penjajab perang yang sudah sedia di pelabuhan serta cukup (dengan) ubat pelurunya serta (dengan ) panglima-panglimanya (dua) tuga puluh turun (dua) tiga puluh naik ke darat. (Adapun segala meriamnya pun digantunglah apabila datang sesuatu hajat baginya maka didekatkannya sahajalah penjajab-penjajab itu. Maka diturunkannya meriamnya, Dan Yang Dipertuan Muda pun selalulah bermain-main dan berkayuh-kayuh serta bergonggong dan biduan bersama-sama, iaitu ke Pulau Bayan ((dan)) ke Terkulai dan bersiran ke Senggarang dan lainnya adanya.19

18 Ibid., hlm. 386.19 Ibid., 386.

Tamadun Melayu Lingga

65

Kesultanan Riau-Johor digambarkan sebagai sebuah negeri yang aman dan makmur. Sandang pangan sangat murah. Pedagang pun selalu untung bila berniaga di Riau. Gambir sebagai komoditas utama masa itu digambarkan dapat dibeli dengan harga murah di Riau yang kemudian dapat dijual lagi ke Jawa dengan harga berlipat ganda. Dalam Tuhfat al- Nafis hal itu dijelaskan pula sebagai berikut.

((syahadan)) demikianlah di dalam beberapa tahun bersuka-sukaan ((kerana)) negeri (pun) aman lagi makmur, makan-makanan pun murah dan segala orang-orang berniaga pun banyak untung (seperti gambir dibeli dua jekketun didalam Riau dijual ((di tanah Jawa berganda-ganda untungnya sampai dijual)) delapan jekketun sepikul, terkadang sampai sepuluh jekketun. Dan beras Jawa dapat tiga rupiah Benggal sepikul. Dan apalagi makanan yang lainnya seperti gula batu dan gula pasir dan bawang dan lainnya daripada makan makanan sebab itulah menjadi makmur negeri.

Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis lebih lanjut menambahkan penjelasannya sebagai berikut ini.

Demikian lagi sutera berharga lima suku sekati dan embalau harga tiga rial sepikul dan kain sutera tenun Siantan harga lapan ringgit sehelai, dan seluar harga lima rial sehelai, demikian yang tersebut kaul siarah Haji Podi. Dan beras Siam sepuluh ringgit sekoyan. Syahadan tersebut di dalam tawarikh Tok Ngah adalah banyaknya orang di dalam sungai negeri Riau iaitu sembilan laksa. Kata setengah kaul lima laksa orang Melayu yang kecil besarnya jantan betina, dan luar rakyat di laut-laut ((dan)) empat laksa Bugis jati, serta peranakan kecil besar jantan betina lapan ribu Bugis di Sungai Timun, dan dua ribu di Pulau Biram Dewa dan Pangkalan Rama dan di Sungai Baru dan lain-lainnya tempat dan enam ratus anak raja-raja delapan puluh orang kaya-kaya dan saudagar-saudagar Bugis dan tuan-tuan dan lain Cina-Cina dan Keling-Keling. Syahdan adalah jenis-jenis makan-makanan semuanya murah di dalam negeri Riau melainkan jenis-jenis daripada kain cita-cita Eropah dan sakhlat dan kain putih dan kain antelas dan sapu tangan batik dan

Tamadun Melayu Lingga

66

kain batik iaitu khabar orang terlalu mahalnya.20 Kehidupan masyarakat Kesultanan Riau-Johor yang aman dan

makmur mulai terganggu saat kedatangan Kompeni Belanda yang berlabuh di Pulau Bayan.21 Kedatangan Belanda ke Pulau Bayan dan membawa kapal rampasan dari perompak Inggris dari Riau ke Melaka22 adalah sebagai pelanggaran kedaulatan atas Riau.23 Hal itu membuat Sultan Mahmud Riayat Syah dan Raja Haji merasa sudah diinjak-injak marwahnya dan mereka merasakan marwah kerajaan perlu ditegakkan dan mesti memberi protes keras terhadap Belanda.

Di dalam Tuhfat al-Nafis peristiwa itu dijelaskan lagi sebagai berikut ini.

Syahdan (kata sahib al-hikayat) adalah permulaan sebab kegeruhan negeri Riau itu** (dan sebab kerosakannya), maka iaitu atas dua kaul. Sebermula adalah kaul yang pertama yang aku dapat

20 Ibid., hlm. 387.21 Sebenarnya, yang menjadi penyebab utama terjadinya peperangan antara

Belanda dan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang adalah menyangkut perdagangan, ekonomi di Selat Malaka dan Kota Malaka sendiri. Pasalnya, Kesultanan Riau ikut menjadi pihak yang menentukan dan berperan secara internasional. Sejarah mencatat, antara Belanda dan Kesultanan Riau, yang diwakili oleh Raja Haji selaku Yang Dipertuan Muda atas nama Sultan Mahmud Riayat Syah, ada perjanjian tentang pembagian harta dari kapal rampasan. Menurut Rida K Liamsi, dalam bukunya Tanjungpinang Kota Bestari, pada 1782 terjadi sengketa antara Riau dengan Belanda karena Belanda melanggar kedaulatan Riau dalam kasus kapal “Betsy” dan 1.154 peti candu sebagai rampasan dari kapal perompak Francis. Pihak Riau meminta haknya, tetapi tak dihiraukan oleh Belanda. Dan, akhirnya meletuslah perang antara Belanda dan Riau pada 1782—1784 (1989:8). Oleh karena itu, peperangan Belanda dengan Riau berlanjut sampai 1787.

22 Lihat Hasan Junus, Raja Haji Fisabilillah Hannibal dari Riau (2000:32—37).

23 Lihat A. Rasyid Asba dalam makalahnya “Merajut Untaian Permata Singapura dengan Makassar”, yang disampaikan dalam Konferensi Nasional Sejarah IX, yang ditaja oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia, di Jakarta, 5—7 Juli 2011. Menurutnya, peperangan yang terjadi antara Belanda dan Riau akibat kapal tersebut, yang tak lain tak bukan adalah menyangkut perdagangan atau ekonomi.

Tamadun Melayu Lingga

67

didalam syejarah (dan siarah pihak Siak dan) Selangor sebab yang zahirnya (serta) aku periksa (khabar-khabar yang menceterakan oleh orang tua-tua yang semasanya dan yang mengiringi akan dia). Iaitu adalah Yang Dipertuan Muda Raja Haji ada perjanjian konon dengan kompeni Holanda, musuh (kompeni) Holanda musuh Raja Hajji. Adapaun jika ada pekerjaan tangkap-menangkap rampas-merampas musuh-nya itu ada bahagian/nya/ Di dalam itu (antara keduanya jika Raja Haji pun pekerjaan konon). Kemudian datanglah satu kapal musuh Holanda itu masuk ke dalam Riau berlabuh di Pulau Bayan.24

Setelah kedatangan Kompeni Belanda, dan berlanjut dengan peperangan antara Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang dan Belanda rentang masa 1782—1784, banyak saudagar Cina yang mengalami kerugian. Demikian juga dengan perdagangan beras dari Jawa dan Bali terpaksa dihentikan karena mengalami kerugian. Bahkan, tak hanya beras, tetapi juga komoditas perdagangan gambir, agar-agar, dan gamat terhenti. Negeri yang dulu aman dan makmur, setelah kedatangan Kompeni Belanda mengalami kemerosotan ekonomi. Berikut kutipan dalam Tuhfat al-Nafis yang menyebutkan pernyataan tersebut.

Demikianlah lagi di dalam Negeri Riau selama-lama Kompeni Holanda membuka pekerjaan perang dengan Raja Riau, maka beberapa kerugian daripada keuntungan orang-orang yang berniaga, dan saudagar-saudagar di dalam Negeri Siam dan Cina dan Koci sebab kerana segala mereka itu membawa ((dagangan)) ke sebelah ((tanah)) Johor juga yang kebanyakan. Dan demikian lagi beras dari Jawa dan Bali semuanya dibawa ke pihak Riau dan Johor juga berpalu sama dagangan gambir dan lainnya, demikian lagi wangkang-wangkang Cina berpalu dagangannya dengan dagangan orang kulit hitam seperti tiang wangkang dan agar-agar dan gamat lainnya daripada dagangan wangkang. Apakala sudah Kompeni Holanda membuat perang itu semuanya itu terhentilah pekerjaan beberapa kerugian atas orang yang mencari kehidupan. Apalagi orang yang berlayar-layar sepanjang laut di dalam kesusahan ketakutan di dalam 24 Virginia Matheson Hooker (Ed.), op. cit., hlm. 399.

Tamadun Melayu Lingga

68

berterik beruntun dengan kapal perang dan penjajab terkadang hilang dengan nyawa. Maka adalah pekerjaan yang tersebut itu nyatalah hendak merosakkan dunia yang Allah Taala suruh hidupkan dunia ini dengan jalan yang adil dan makmurnya. Syahadan demikian dakwa segala mereka itu konon kepada gubernur Melaka.25

Ternyata peperangan yang berkecamuk di Teluk Ketapang, yang hampir saja berhasil mengusir Belanda dari Melaka, kemudian Raja Haji gugur sebagai syuhada, belum memuaskan nafsu menjajah Kolonial Belanda. Mereka pun dengan kekuatan bertambah-tambah datang lagi menyerang pusat Kesultanan Riau-Lingga di Tanjungpinang. Namun, penyerangan itu dapat dipatahkan oleh Sultan Mahmud Riayat Syah dengan pasukannya. Setelah menghabisi satu garnizun Belanda di Tanjungpinang yang menyebabkan pihak musuh itu melarikan diri ke Melaka, demi tetap berdaulat dan mencapai kemajuan, Sultan Mahmud Riayat Syah mengambil keputusan memindahkan ibukota Kesultanan Riau-Johor ke Lingga. Keputusan itu sudah dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan Raja Indera Bungsu dan Datuk Bendahara. Perpindahan Sultan Mahmud Riayat Syah ke Lingga didampingi oleh Raja Indra Bungsu. Bersamaan dengan itu, Bendahara mengungsi ke Pahang dan sebagian penduduk lainnya ke Terengganu. Penduduk yang menetap di Riau adalah orang-orang Cina yang menjadi buruh kebun gambir dan lada milik orang Melayu. Dalam Tuhfat al-Nafis peristiwa itu diperikan sebagai berikut.

Kemudian maka musyawarahlah baginda dengan Raja Indera Bongsu dan Datuk Bendahara sekalian (maka) ((titah baginda)) “Tiada(lah) terhemat (duduk) di dalam negeri Riau sebab Holanda-Holanda itu tentu datang semula ia melanggar Riau ((padahal didalam negeri) kekuatannya sudah tiada lagi. Jikalau begitu baik kita pindah ke Lingga. Maka sembah segala orang besar(besarnya), “Mana-mana titah sahaja(lah) (adanya). Syahadan baginda pun (bersiaplah beberapa kelengkapan) berangkat (berlayar) ke Lingga

25 Ibid., hlm. 428.

Tamadun Melayu Lingga

69

bersama(sama) Raja Indra Bongsu serta segala orang Melayu/peranakan Bugis kira-kira lebih dua ratus buah perahu (yang di dalam Riau itu besar kecil yang) mengiringkan baginda (berangkat) pindah ke Lingga itu. Syahadan adapun suku-suku (Melayu/pihak Datuk) Bendahara (itu) berlayarlah (ia) ke Pahang kira-kira tengah dua ratus perahu-perahu (besar kecil dan setengah suku-suku ke Trengganu.

Raja Ali Haji menjelaskan hal itu di dalam buku beliau tersebut lebih lanjut sebagai berikut ini.

Maka berpecahlah segala anak-anak raja dan orang baik-baik dan orang/kaya-kaya dan orang/kebanyakan membawa dirinya masing-masing haluannya, dan tiadalah (yang tinggal) lagi di dalam (negeri) Riau melainkan Cina-Cina yang di dalam hutan sahaja yang tinggal yang mengambil kuli (kuli) kepada orang-orang Melayu dan kepada (orang-orang) Bugis yang berkebun-kebun gambir dan lada hitam. Adapun Cina-Cina menjadi kuli-kulinya itu demikianlah mula-mulanya sebab kerana itulah banyak Cina-Cina yang tinggal tiada pindah ke sana ke mari. Syahdan rosaklah negeri Riau.26

Pada awal perpindahan Sultan Mahmud Riayat Syah ke Lingga, mau tak mau, beliau harus berhadapan dengan masalah. Ini dapat dipahami karena penduduk Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang sudah bertebaran ke Terengganu, Pahang, dan Kelantan. Tuhfat al-Nafis menjelaskan situasi yang tak mudah, yang mesti diatasi oleh Sultan Mahmud Riayat Syah.

Alkisah maka tersebut(lah) perkataan ((Baginda)) Sultan Mahmud. Apabila baginda (itu) sudah tetap di dalam negri/Lingga maka tiap-tiap hari di dalam kesusahan juga, kerana segala anak raja Melayu dan Bugis sudah bertaburan ke sana ke mari. (Ada yang ke Trengganu, ada yang ke Pahang, ada yang ke Kelantan, ada yang berbuat tempat di Selat Bulang) mencari rezekinya pun tiada berketentuan, melainkan kebanyakan merompak jugalah yang/betul yang/boleh lekas mendapat rezeki. Maka di dalam hal itu (maka) baginda pun (hendak) berangkat ke Trengganu (akan) 26 Ibid., 428.

Tamadun Melayu Lingga

70

hendak minta/tolong/bicarakan kepada Yang Dipertuan Trangganu memperbaikkan negeri Johor dan Riau yang sudah dirosakkan oleh Kompeni Holanda (itu) pada zahirnya. Dan pada batinnya semuanya fitnah itu daripada Yang Dipertuan Terengganu juga datangnya seperti (yang telah) tersebut pada Perang Linggi dan Perang Riau.27

Sultan Mahmud Riayat Syah kembali berusaha memperbaiki perekonomian yang mengalami kemerosotan tajam dengan membangun Lingga menjadi sebuah kota lengkap dengan istana dan kota paritnya.28 Lucas Partanda Koestoro (t.t.) menyebutkan bahwa tinggalan yang terdapat di Daik mengindikasikan adanya pembagian lokasi permukiman seperti istana, pejabat istana, masyarakat biasa, dan orang asing. Istana ditempatkan terpisah dari perkampungan masyarakat lainnya, istana terletak di Damnah yang lokasinya di sebelah barat kota kerajaan, lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Kampung para pedagang atau pendatang lainnya umumnya terletak di tepi Sungai Daik yang berada di sebelah timur kota kerajaan karena sungai berperan sebagai sarana transportasi pedagang yang membawa barang-barang dagangan. Permukiman bagi pejabat dan masyarakat biasa tersebar di antara kedua tempat tersebut. Permukiman para pejabat terletak di tempat yang sesuai dengan profesi masing-masing seperti rumah bagi pejabat pabean yang berada di Pabean sekarang ataupun rumah keturunan Abdul Rahman yang berpangkat letnan di kerajaan terletak di Kampung Cina, berdekatan dengan pintu keluar-masuk kerajaan. Letnan Abdul Rahman tersebut kemungkinan adalah komandan pasukan penjaga di kerajaan yang mengawasi pintu masuk ke Kerajaan Lingga melalui

27 Ibid., 428. 28 Lihat Lucas Partanda Koestoro, Dapur Gambir di Kebun Lama Cina, Jejak

Kegiatan Perekonomian Masa Lalu Sebagai Potensi Sumber Daya Arkeologi Pulau Lingga. Balai Arkeologi Medan, (Tt.). Hubungan perdagangan Kerajaan Riau-Lingga dengan bangsa lain tak hanya memperkuat perekonomian bagi kerajaan, tetapi juga menghasilkan keragaman budaya. Keragaman itu memperkaya bentuk fisik kebudayaan di Lingga, seperti masjid dengan penggunaan lantai marmer dan keramik Cina pada bagian mustakanya, atau nisan-nisan makam masyarakat Bugis yang masih mencirikan bentuk benda budaya daerah asalnya.

Tamadun Melayu Lingga

71

Sungai Daik. Catatan berusia ratusan tahun di dalam Tuhfat al-Nafis

menjelaskan pula tentang hal itu. “Syahdan kata sahib al-hikayat adalah pekerjaan rompak-merompak itu mana-mana (wangkang) dagang yang hendak masuk ke negeri Lingga tiadalah dirompaknya (konon). Syahdan duduklah baginda di dalam negeri Lingga membuat istana di hulu serta (dengan) kota paritnya.”29

Dalam kaitan ini, dapat ditegaskan bahwa jika pun terjadi tindakan perompakan yang dilakukan oleh pihak Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang, itu terjadi terutama di perairan Selat Melaka. Yang dirompak pun bukanlah kapal-kapal rakyat biasa sebagai pedagang, melainkan kapal-kapal asing yang membawa barang dagangan dan hasil tambang, terutama yang berhubungan dengan Belanda di Melaka. Tujuan perompakan bukan sekadar mendapatkan hasilnya untuk kepentingan pribadi orang-orang yang merompak, melainkan untuk kembali menopang bangkitnya ekonomi Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang. Tujuan yang paling utama adalah untuk mengarau, mengganggu, dan melumpuhkan perdagangan Belanda dengan berbagai pihak asing sehingga lambat laun Kota Melaka sebagai basis Belanda kala itu semakin sepi dan lumpuh. Sejarah mencatat upaya tersebut membuahkan hasil. Belanda semakin terdesak sehingga suatu waktu Melaka jatuh ke tangan Inggris pada 1795. Sempena itu, Sultan Mahmud Riayat Syah pun kembali dapat melaksanakan sepenuhnya kekuasaan dan kewenangan atau tanggung jawabnya sebagai Yang Dipertuan Besar, Sultan Kerajaan Lingga-Riau-Johor-Pahang serta daerah-daerah takluknya sehingga kemajuan pembangunan semakin nyata diperbuat dan kemajuan ekonomi bertambah-tambah membaik. Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat negeri menjadi kenyataan lagi. Puncaknya, jadilah pusat kota di Lingga dan Pulau Penyengat sebagai taman kebudayaan dan tamadun Melayu. Sultan Mahmud juga telah mewariskan sifat dan sikap pantang menyerah terhadap

29 Virginia Matheson Hooker (Ed.), op. cit., hlm. 428.

Tamadun Melayu Lingga

72

musuh (penjajah) dan jiwa kesatria, pejuang, dan pahlawan sepanjang hayat. Sikap dan sifat itu diwariskan kepada zuriat-zuriat diraja, baik keturunan Melayu maupun Bugis di dalam Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang. Alhasil, kelak sepeninggal Baginda, di kawsasan Kesultanan Melayu yang besar dan luas itu, lahirlah cendikia-cendikia yang berjiwa patriot, pejuang sejati, si sabilillah bagi bangsa sebagaimana dibuktikan oleh Raja Ali Haji, Haji Ibrahim, Raja Ali Kelana, Raja Khalid Hitam, Aisyah Sulaiman Riau, dan masih banyak lagi nama lainnya. Dan, jiwa perjuangan itu, terus berkobar sampai perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. 30

4. Membangun Kembali Perdagangan dan Membuka Pertambangan Timah

Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang sebenarnyalah mengukuhkan diri sebagai kelanjutan Kesultanan Melayu Melaka. Berhubung dengan itu, bidang perdagangan dan kemajuan ekonomi harus dicapai dan diwujudkan sampai ke puncak. Kemakmuran rakyat negeri, kejayaan kerajaan, dan marwahnya mesti pula terjaga dan wujud di antara bangsa-bangsa di dunia, termasuk di mata negara-negara asing. Untuk benar-benar mewujudkan kemajuan melalui jalan perdagangan dan ekonomi tersebut, Selat Melaka dan Kota Melaka harus dikuasai. Oleh karena itu, bagi Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang, tiada akan pernah terjadi kesepakatan kerja sama yang berwujud nyata (terealisasi di lapangan, melainkan hanya di atas kertas) dan kekal dengan pihak Belanda. Lihatlah keperkasaan Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang terhadap Belanda dalam memainkan perannya bagi perdagangan dan ekonomi di Selat Malaka. Hal itu sangat merasahkan Belanda di Melaka sehingga Belanda sangat bernafsu untuk mengenyahkan Sultan Mahmud Riayat Syah dan Raja Haji sampai kawasan kerajaan besar itu dapat dikuasai mereka. Akan tetapi, Belanda tak berhasil mewujudkannya

30 Lihat A.R. Kemalawati dalam buku Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah dalam Perang Riau Melawan Belanda (1782—1784) (1989:250—251).

Tamadun Melayu Lingga

73

karena perlawanan tiada henti dilakukan. Geliat perdagangan dan ekonomi terus dibangun pula. Selepas Raja Haji gugur sebagai syuhada di Teluk Ketapang pada 18 Juni 1784, Belanda menyangka sudah tamatlah riwayat Sultan Mahmud Riayat Syah dan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Ternyata, sebaliknya Kesultanan Melayu itu semakin kukuh. Perlawanan terhadap Belanda terus berkobar, terutama di kawasan Riau, Lingga, dan Selat Melaka, bahkan sampai ke Laut Jawa. Menurut Taufik Abdullah, dominasi Belanda sewaktu-waktu dilawan. Sultan Mahmud—bersama-sama dengan para “perompak lanun”—berhasil menghancurkan benteng Belanda di Riau (1787). 31

Sultan Mahmud Riayat Syah berusaha membangun kembali jaringan perdagangan yang sudah terbentuk. Salah satunya perdagangan beras dari Jawa, sedangkan perkebunan gambir32 tetap dijalankan oleh orang-orang Cina. Sultan Mahmud sudah paham

31 Ibid., hlm.178.32 Lihat Lucas Partanda Koestoro, Dapur Gambir di Kebun Lama Cina, Jejak

Kegiatan Perekonomian Masa Lalu Sebagai Potensi Sumber Daya Arkeologi Pulau Lingga, Balai Arkeologi Medan, (Tt). Jauh dari keramaian kota pesisir, kelompok masyarakat Cina itu menyiapkan lahan di tengah hutan. Mereka mendirikan tempat tinggal di sekitar kebun dan dapur gambir. Rumah panggung, di Kebun Cina Lama ditandai oleh umpak batu yang menjadi dasar tiang-tiang rumah, memungkinkan mereka untuk bertempat tinggal dengan nyaman. Kayu dan bambu serta atap ilalang/daun nipah di peroleh di lingkungan sekitarnya. Air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta proses pembuatan gambir dengan mudah didapat oleh adanya sungai yang mengalir sepanjang tahun dengan kualitas air yang baik di dekat tempat tinggal dan dapur gambir. Sementara itu, berbagai jenis wadah yang dibutuhkan dapat dipenuhi dengan mendatangkan berbagai produk keramik dan tembikar dari berbagai tempat, terutama dari Cina. Bahan makanan utama juga diperoleh lewat jalur perdagangan, yang merupakan salah satu bentuk kontak sosial, yang berlangsung secara rutin di pesisir pantai. Beras, sagu, dan ikan diperoleh dengan mudah dari para pedagang yang menjajakannya di pusat-pusat keramaian.

Pusat keramaian yang ada di Pulau Lingga sekaligus menjadi tempat orang menjajakan gambir yang dihasilkan. Selain kelompok pedagang Melayu bawahan penguasa Melayu, peran orang Cina juga cukup besar dalam memperdagangkan gambir. Mereka memiliki hubungan yang erat juga dengan pedagang lain di berbagai tempat yang memerlukan produk tersebut.

Tamadun Melayu Lingga

74

betul perjalanan sejarah Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang, yang merupakan keterusan Kerajaan Bintan, Melaka, dan Johor, yang pasang-surut, turun-naik, jatuh-bangun oleh karena konflik dalam kerajaan sendiri ataupun karena berhadapan dengan Portugis dan Belanda. Baginya, kedudukan kawasan Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang yang strategis, terutama dalam jalur perdagangan dunia, sebagai potensi dan modal besar untuk kembali menjayakan kerajaan. Oleh karena itu, Selat Malaka mesti ikut ambil bagian dalam peran lalu-lintas pelayaran dan perdagangan. Menurut Tanu Suherly dalam Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah dalam Perang Riau Melawan Belanda (1782—1784), kedudukan geografis Kerajaan Melayu Riau terletak pada pelayaran antara Selat Melaka dan Laut Cina Selatan serta antara Selat Melaka dan Laut Jawa. Kedudukan tersebut memiliki nilai strategis dalam jalur perniagaan, tetapi juga memiliki kerawanan dalam bidang keamanan. Oleh karena itu, keberhasilan pemimpin kerajaan itu (dapat disebutkan namanya ialah Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah yang dibantu oleh Yang Dipertuan Muda III Riau, Daing Kamboja, berlanjut ke Yang Dipertuan Muda IV Riau, Raja Haji, lalu Yang Dipertuan Muda V Riau, Raja Ali, dan sehingga Yang Dipertuan Muda Riau VI Raja Jaafar, pen.) membangun negerinya adalah merupakan sukses besar, mengingat besarnya ancaman dari Kompeni Belanda yang sedang berusaha ingin menguasai wilayah nusantara. Dan, nyatalah pada waktu kerajaan itu lahir, jalur pelayaran Melaka—Jakarta (Batavia) sudah berada di bawah kontrol Kompeni Belanda. Mereka hendak memonopoli perdagangan dan mengukuhkan keududukannya di Jakarta pada 1619 dan memberi nama Jakarta sebagai Batavia.33

Di dalam Tuhfat al-Nafis disebutkan pula oleh Raja Ali Haji ibni Raja Ahmad Engku Haji Tua sebagai berikut.

“Syahdan (kata sahib al-hikayat) apabila kompeni Holanda mendengar khabar/orang-orang Cina itu (telah difikirkannya), maka tiadalah diusirnya segala orang Melayu (yang lari-lari) itu, dan Piter Jakub pun baliklah ke Malaka ditinggalkannya satu fetus 33 Rustam S. Abrus, dkk. (Peny.), op.cit., hlm.187.

Tamadun Melayu Lingga

75

serta satu kapal (perang serta beberapa jaga-jaga) bersama-sama. ((Maka)) diperbuatnyalah loji di Tanjungpinang itu (itu) dan Cina-Cina itu pun disuruhnyalah mengerjakan, kebun-kebun gambir (orang) Melayu yang tinggal(tinggal) itu dan perahu-perahu Jawa pun disuruhnyalah datang berniaga membawa beras ke dalam Riau berpalu-palu dengan gambir-gambir). Akan tetapi berapa-berapa kesusahan atas segala orang yang berniaga karena perompak sepergti anak hayam umpamanya/daripada kebanyakan. Maka tiada berhenti Kompeni Holanda payar memayar keruhlah lautan itu. Syahadan adapun Kompeni Inggris juga membawakan, ubat bedil dan meriam dan senapang berjual beli didalam negeri Melayu berpalu dengan dagangan negeri(negeri) Melayu, demikianlah halnya sehari-hari ((adanya)).34

Selain komoditas beras dan gambir seperti tersebut di atas, perdagangan timah, apiun, obat bedil, peluru, dan meriam senapang kembali mewarnai perekonomian Kesultanan Riau-Johor. Sebagai diterangkan dalam Tuhfat al-Nafis, yang menyebutkan sebagai berikut.

Adalah kata riwayat orang tua-tua ada konon satu orang putih kapitan kapal sahabat Yang Dipertuan Muda itu, memang/memang/pada masa di Linggi Yang Dipertuan Muda berniaga-niaga timah-timah dengan dia, jadi bersahabatlah tolong-menolong dengan Yang Dipertuan Muda itu pada pekerjaan berniaga-niaga itu. Maka apabila Yang Dipertuan Muda sudah pulang ke Riau semula, maka datanglah ia mendapatkan Yang Dipertuan itu ke Riau padahal kapalnya itu ada membawa apiun beribu-ribu peti. Maka tatkala ia berlayar ke China, maka ditinggalkankannya setengah kepadaYang Dipertuan Muda minta jualkan di dalam Riau. Nanti apabila ia balik dari negeri China, jika habis laku diambil wangnya, dan adalah pula keuntungan Yang Dipertuan Muda di dalam itu. Syahadan maka apiun itulah diserahkan oleh Yang Dipetuan Muda kepada segala perahu-perahu Bugis dan perahu-perahu dagang mana-mana orang yang sahabat

34 Virginia Matheson Hooker (Ed.), op. cit., hlm. 428.

Tamadun Melayu Lingga

76

handai Yang Dipertuan Muda itu. Maka habislah apiun itu konon, maka cukuplah akan pembayar hutang marhum.35

Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Riayat Syah, juga membuka penambangan timah di Singkep. Selain dikerjakan oleh orang Melayu dan Bugis, Sultan Mahmud Riayat Syah juga mendatangkan orang-orang dari Bangka untuk penambangan timah tersebut. Dengan demikian, perekonomian berhasil dibangun kembali. Bahkan, masyarakat Kesultanan Riau-Johor kembali ramai dan didatangi penduduk dari berbagai kawasan di nusantara. Tuhfat al-Nafis kembali mengisahkan hal itu.

Alkisah maka tersebut(lah) perkataan Baginda Sultan Mahmud di dalam Negeri Pahang. Maka apabila dinantikan bicara Yang Dipertuan Terengganu perbaikan-perbaikan dia dengan Kompeni Holanda, (maka) tiada juga juga datang suruhnya atau khabar(nya), maka Baginda (Sultan Mahmud) pun berangkatlah balik ke Negeri Lingga. Maka apabila sampai ke (negeri) Lingga tetaplah ia di dalam Lingga serta orang-orang Melayu dan peranakan Bugis sehari-hari jua memikirkan pencarian (segala) orang-orangnya (sama ada sebelah suku-suku Melayu atau sebelah Bugis). Maka dengan takdir Allah Taala maka terbuka ((tanah)) Singkep, maka Baginda (Sultan Mahmud) pun menyuruhlah orang-orang Melayu dan peranakan Bugis mengerjakan timah-timah di situ serta (diaturkannya) masing-masing (dan masing-masing) bahagian (dan) datanglah kapal-kapal Inggris ke situ meninggalkan beberapa wang cengkeramnya timah pulang pergi. Maka dapatlah sedikit-sedikit rezeki dan kehidupan orang-orangnya. Dan perahu-perahu dari (negeri) timur (timur) pun datang (juga) membawa beras ke Lingga (dan beras-beras dari dari rantau-rantau pun datang juga), dan wangkang-wangkang (dari) China pun datang juga. Maka di dalam hal itu perompak-perompak pun banyak juga karena baginda (Sultan Mahmud) belum (tetap lagi) berdamai dengan Kompeni Holanda, dan Kompeni Inggris pun selalu juga membawakan ubat bedil dan peluru dan meriam senapang/dan/

35 Ibid., hlm. 316.

Tamadun Melayu Lingga

77

berpalu dengan (dagangan) timah-timah dan lainnya. Maka besarlah perompak pada seketika itu. Adalah kepalanya/perompakitu/Panglima Raman namanya, hingga merompak ia ke tanah Bangka (hingga) lalu(lah) ke Jawa. Maka banyaklah orang Bangka dan (orang) Jawa ditawannya dibawanya ke Lingga dijadikannya isi negeri Lingga. Lama-lama sukalah orang-orang Bangka itu diam di Lingga membuat kebun dan dusun tiadalah ia mau balik ke Bangka lagi. Terkadang datang sanak-sanak saudaranya dari Bangka dengan suka hatinya (tiadalah dengan rompak) memperhambakan dirinya di bawah perintah baginda Sultan Mahmud. (Maka) jadilah ramai (di dalam) negeri Lingga.36

Meskipun Belanda sangat bernafsu hendak menguasai usaha perdagangan timah, tetapi mereka tak dapat menaklukkan Sultan Mahmud. Dan, nyatalah bahwa Sultan Mahmud tak sudi melakukan perhubungan dagang dengan Belanda. Malahan pada bagian lain, Sultan Mahmud menetapkan penambangan timah dilakukan sendiri oleh Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang. Penjualannya dilakukan kepada Inggris. Timah di Pulau Singkep yang berhasil dirintis oleh Sultan Mahmud Riayat Syah ini dalam perkembangannya dikenal sebagai salah satu tambang timah terbesar di Indonesia selain Bangka di Bangka-Belitung.37

36 Ibid., hlm. 447. 37 Penambangan timah di wilayah Kesultanan Lingga-Riau semakin memberikan hasil

yang jelas pada masa Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah. Penjelasan ini dapat diikuti dan dipahami dari tulisan Sutedjo Sujitno dalam bukunya Sejarah Penambangan Timah di Indonesia bahwa Ir. Hovec yang melakukan penelitian timah di Kepulauan Riau pada 1963 berpendapat, “Penggalian timah untuk pertama kali dilakukan oleh orang-orang pribumi di Pulau Singkep telah terjadi sejak dahulu kala, dan adalah lebih tua umurnya daripada di Bangka….”. Atas dasar pendapat tersebut, penambangan timah di Singkep telah dilakukan sebelum 1709. Timah sudah dihasilkan dari Pulau Singkep atau setidak-ptidaknya dari kawasan Kepulauan Riau (Kesultanan Riau-Johor-Lingga-Pahang) semasa Sultan Mahmud Riayat Syah. Pada 1787 Sultan Mahmud Riayat Syah memindahkan pusat pemerintahan ke Pulau Lingga dan mengutip pajak penjualan timah. Pada 1792 keluarga Abang Tawi, Bangsawan Mentok (Bangka) yang pindah ke Singkep, diterima oleh Sultan Lingga dan diberi hak untuk menambang timah di pulau itu. Pada 1812 Sultan mulai mengusahakan timah di Sungai Buluh, yang dilengkapi dengan kincir air untuk memompa kolong. Tidak kurang dari 70 orang Cina bekerja di tambang Sungai Buluh itu dan selanjutnya Sultan mewajibkan para penambang untuk menjual hasil timah kepadanya yang akan dibayar dengan harga tetap (2007:18).

Tamadun Melayu Lingga

78

Menurut buku Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah dalam Perang Riau melawan Belanda (1782—1784), Kesultanan Riau-Lingga menjadi pusat perdagangan atau pelabuhan transito antara Timur dan Barat. Hal ini disebabkan oleh sangat strategisnya letak Riau dalam jalur perdagangan itu, juga sebagai akibat dari berkembangnya arus perdagangan ke Riau pada masa itu. Pedagang-pedagang India, Sri Langka, Arab, dan negara Barat: Belanda, Inggris, Perancis, dan Portugis telah bertarung memperebutkan Riau-Lingga. Inggris berusaha mendekati Kerajaan Riau-Lingga (Sultan Mahmud dan Raja Haji) agar dapat secara bersama-sama menghadapi Belanda. Akan tetapi, Sultan Mahmud tak mau bekerja sama semacam itu, hanya sebatas kerja sama dalam perdagangan saja, utamanya timah.38 Menurut A.B. Lapian, keramaian dan kemakmuran Riau-Lingga menunjukkan bahwa pada waktu itu (pertengahan abad XVIII) pusat pelayaran dan perdagangan di kawasan perairan Selat Melaka telah berpindah ke Riau yang meneruskan kekuasaan Johor—pusat pelayaran dan perdagangan di kawasan ini pada abad XVII—setelah mengalami kemelut sepeninggal Sultan Mahmud (maksudnya adalah Sultan Mahmud Syah II, Sultan Johor ke-8, pen.) pada akhir Juli atau Agustus 1699.39

5. PenutupSultan Mahmud Riayat Syah berperan luar biasa dalam

pelbagai aspek kehidupan, termasuk aspek ekonomi. Di samping itu, jasa Baginda juga luar biasa dalam pembangunan Kota Daik pada saat Lingga dijadikan pusat pemerintahan Kesultanan dan pelbagai kota di daerah takluk Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang.***

38 Disusun oleh Tim Penyunting, H. Rustam S. Abrus, dkk., (1988:22).39 Ibid., hlm.198-199.

Tamadun Melayu Lingga

79

Sepanjang perjalanan sejarah Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang, Sultan Mahmud Riayat Syah telah menjadi perintis bagi kemajuan ekonomi. Di antaranya, Baginda membangun Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang dengan pusat pemerintahan dan perekonomian di Hulu Riau, Sungai Carang, selanjutnya membangun Lingga dan Pulau Penyengat sebagai kota yang lengkap dengan infrastukturnya sehingga menjadi pusat perdagangan dan kemajuan ekonomi, kebudayaan, dan tamadun Melayu.

Selain itu, Baginda juga membuka pertambangan timah di Pulau Singkep yang dalam perkembangannya dikenal sebagai salah satu tambang timah tertua dan terbesar di Indonesia. Sultan Mahmud Syah III juga melanjutkan perkebunan gambir di Lingga yang sebelumnya sempat merosot di Riau.

Dari perian di atas dapatlah disimpulkan bahwa dalam situasi sulit dan selalu mendapat tekanan Belanda, Sultan Mahmud Riayat Syah tetap berjaya dan telah berhasil meletakkan landasan untuk kelanjutan pemerintahan berikutnya. Alhasil, wilayah Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang itu, setelah Indonesia dan Malaysia merdeka, menjadi beberapa negara bagian di Malaysia dan beberapa provinsi di Indonesia, bahkan menjadi sebuah negara, yakni Singapura. Terbentuknya kota-kota dan pemerintahan daerah dan negera bagian (kerajaan negeri) di Malaysia, dan Negara Singapura tersebut tak terlepas dari jasa besar, agung, dan fisabilillah yang sudah dicurahkan sepanjang hidup Sultan Mahmud Riayat Syah sepanjang kekuasaan Baginda sebagai Yang Dipertuan Besar atau Sultan Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang (1761—1812).

Kesungguhan, kegigihan, dan kepiawaian Baginda membela bangsa dan tanah airnya, yang antara lain menjadikan kerajaannya sebagai pusat perdagangan dunia dan tak kenal takut dari upaya penjajahan yang dilakukan oleh pihak Belanda telah membuktikan bahwa di dalam diri Baginda memang mengalir darah pemimpin besar dan pahlawan sejati. Jasa Baginda dalam memajukan perdagangan dan ekonomi di kawasan ini ternyata semakin berwujud setelah berdiri tiga negara: Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Tamadun Melayu Lingga

80

Dengan kata lain, kemajuan di bidang perdagangan dan ekonomi yang berlangsung dan diperankan oleh Indonesia, Malaysia, dan Singapura hingga dewasa ini dan masa-masa mendatang masih berantai dan berkait-erat atau bersambung langsung dengan perdagangan dan kemajuan ekonomi yang pernah dibuat dan dicapai puncaknya oleh Sultan Mahmud Riayat Syah atau Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa Sultan Mahmud Riayat Syah adalah juga Pahlawan Perdagangan dan Kemajuan Ekonomi di Asia Tenggara pada masanya, selain gelar yang disandang oleh Baginda sejak 9 November 2017, yakni Pahlawan Nasional Gerilya Laut Republik Indonesia. Oleh sebab itu, Sultan Mahmud Riayat Syah sejatinya memang seorang Pahlawan Besar yang pernah dimiliki oleh bangsa Melayu. ***

DAFTAR PUSTAKAA. Samad Ahmad. (1985). Kerajaan Johor-Riau. Kuala Lumpur:

Dewan Bahasa dan Pustaka. Kementerian Pelajaran Malaysia. Abdul Malik, ddk. (Peny.). (2010). Revitalisasi Budaya Melayu:

Filosofi Dunia Melayu Pluralistik Budaya dan Kebangkitan Sastra. Tanjungpinang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang.

Ahmad Yusuf, dkk. (1993). Dari Kesultanan Melayu Johor-Riau ke Kesultanan Melayu

Anastasia Wiwik Swastiwi. (2002). “Kerajaan Johor Riau-Lingga pada Masa Pemerintahan Sultan Mahmud Syah III” dalam Naskah Kuno: Sumber Ilmu yang Terabaikan (Telaah terhadap Beberapa Naskah Kuno). Tanjungpinang: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.

Anastasia Wiwik Swastiwi. 2004. Jaringan Perdagangan di Sungai Carang Pulau Bintan 1777—1787. Tanjungpinang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.

Andaya B.W. (1987). Kerajaan Johor 1641—1728: Pembangunan Ekonomi dan Politik. Terj. Shamsuddin Jaafar. Kuala Lumpur:

Tamadun Melayu Lingga

81

Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia.Andaya B.W. (1997). “Recreating a Vision, Daratan and Kepulauan in

Historical Context”, Bijdragen tot de Taal,- Land-en Volkenkunde, Vol. 153, hlm. 483—508.

Buletin Cagar Budaya. (1999). Edisi pertama Vol. II No. 2, September 1999.

Hasan Junus. (2000). Raja Haji Fisabilillah Hannibal dari Riau. Tanjungpinang: Pemerintah Daerah Kepulauan Riau.

Hooker, Virginia Matheson. (Ed.) (1991). Tuhfat Al-Nafis Sejarah Melayu-Islam. Penterjemah Pengenalan Ahmad Fauzi Basri. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia.

Koestoro, Lucas Partanda. (Tt.). Dapur Gambir di Kebun Lama Cina: Jejak Kegiatan Perekonomian Masa Lalu sebagai Potensi Sumber Daya Arkeologi Pulau Lingga. Medan: Balai Arkeologi Medan.

Marsis Sutopo, dkk. (2006). Studi Master Plan Kawasan Kepurbakalaan Daik Lingga. Batu Sangkar: Laporan BP3 Batusangkar.

Repelita Wahyu Oetomo. (?). Benteng Tanah di Pulau Lingga. Medan: Balar Medan.

Rida K Liamsi. (1989). Tanjungpinang Kota Bestari. Tanjungpinang: Pemerintah Kotif Tanjungpinang dan Lembaga Studi Sosial Budaya Tanjungpinang.

Rustam S. Abrus dkk. (Peny.). (1988). Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah dalam Perang Riau Melawan Belanda (1782—1784). Pekanbaru: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Riau.

Sindu Galba, dkk. (2001). Asal-Usul Nama Tempat Bersejarah di Bintan, Daik Lingga, dan Singkep. Tanjungpinang: Bappeda Kabupaten Kepulauan Riau dengan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.

Sindu Galba, dkk. (2001). Pelabuhan Riau: Hubungan dan Peranannya dengan Daerah Hinterland 1700—1973. Tanjungpinang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.

Tamadun Melayu Lingga

82

SULTAN MAHMUD RIAYAT SYAH& STRATEGI PERLAWANAN GERILYA LAUT

TERAKHIR KESULTANAN MELAYU

PROF. DR. SUSANTO ZUHDIGuru Besar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

Universitas Indonesia

Hampir saja menjadi kenyataan sewaktu masyarakat Kepulauan Riau mengusulkan Sultan Mahmud Riayat Syah (SMR) kepada pemerintah Malaysia untuk dijadikan “Pahlawan Nasional”.Persoalan masa itu muncul karena pengusulan SMR ditolak oleh Tim Pengkaji dan Penilai Gelar Pusat (TP2GP) yang dibentuk Kementerian Sosial R.I. pada tahun 2015.Dalam peraturan perundangan suatu pengusulan calon pahlawan hanya diperbolehkan sebanyak dua kali.Oleh karena itu maka pada kali yang kedua, suatu pengusulan “tidak boleh” gagal.Perjalanan untuk mempersiapkan naskah akademik yang semula ditolak itu dilakukan dengan segenap upaya Tim yang dibentuk kemudian terdiri atas anggota dari daerah Kepulauan Riau dan dari Jakarta.

Pengantar ini dianggap perlu karena di dalam serangkaian rapat dan seminar lebih dari lima kali dalam dua tahun itulah kemudian ditetapkan apa tema perjuangan yang paling menonjol yang diperankan SMR. Mengambil pelajaran dari tema usulan sebelumnya yang tidak fokus maka lebih baik agak lama persiapannya asalkan memperoleh hasil yang prima.Di dalam salah satu forum diskusi intensif dalam persiapan itu, diangkatlah tema perlawanan strategi laut yang dilakukan SMR dalam menghadapi VOC/Belanda. Selain memang betul bahwa SMR berperan dalam bidang perjuangan ini, alasan kuat mengapa tema ini dipilih karena pemerintah Jokowi (2014—2019) mempunyai visi-misi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maritim dan mengembalikan bangsa jaya di laut.

Tamadun Melayu Lingga

83

Makalah ini sebagai bahan “Perbincangan Tamadun Melayu” untuk memperlihatkan inilah Sultan Melayu terakhir melawan VOC/Belanda—dalam makna sebelum traktat London 1824—yang menjadi sempadan antara Indonesia dan Malaysia oleh karena kolonialisme Eropa.

MENERUSKAN PERLAWANAN RAJA HAJI FI SABILILAH vs VOC/BELANDA

Kesultanan Johor-Riau semakin berkembang karena ramainya perdagangan lada dan timah. Dengan adanya konflik antara Belanda dan Inggris sejak 1780, pihak Johor-Riau bekerjasama dengan Belanda untuk menghadapi Inggris, namun mereka berselisih paham tentang pembagian harta rampasan dari kapal dagang Inggris yang berhasil ditangkap kapal VOC. Merasa tidak diberikan jatah pampasan dari kapal Inggris membuat Sultan dan Yang dipertuan Muda Raja Haji melakukan serangan terhadap kapal-kapal VOC tahun 1783, bulan Januari 1784, kapal utama VOC berhasil dihancurkan oleh armada laut Johor-Riau. Namun pada Mei 1784 armada bantuan dari Belanda yang dipimpin Jacob van Braam datang dan berhasil menghancurkan armada laut Johor-Riau di teluk Ketapang di dekat Malaka, dengan menewaskan Raja Haji dan panglima-panglima militer Kesultanan Johor-Riau. Untuk selanjutnya armada Belanda terus bergerak dengan menaklukkan Sultan Selangor pada bulan Agustus 1784, sedangkan pada bulan Oktober, Belanda berhasil menguasai kekuatan Bugis di Riau dan memaksa Sultan Mahmud untuk menandatangi penyerahan dan perjanjian dengan Belanda. (Ricklefs, 2005: 161; Hall, 1988: 320-322)

Sikap bermusuhan Raja Haji ini disikapi oleh VOC dengan keputusannya untuk menyerang Riau yang menjadi pusat kekuatan Bugis.VOC berharap sebagaian penguasa Melayu seperti Sultan Trengganu dan Siak bersedia membantu VOC melawan kekuatan Johor-Riau.Pengiriman pasukan dilakukan dari Batavia dipimpin oleh Kapten Toger Abo dengan kekuatan enam kapal yang membawa 910 pasukan untuk melakukan blokade terhadap Riau.Komandan

Tamadun Melayu Lingga

84

tertinggi VOC dipimpin Arnoldus Lemker dari benteng Malaka.Serangan pertama ke Riau dilakukan 6 Januari 1784, namun terjadi insiden di mana kapal perang Welvarren meledak.Setelah sebulan melakukan blokade, pasukan Belanda ditarik mundur ke Malaka karena berbagai sebab karena komandan sipil Lemker dianggap lemah, kekurangan peralatan, suplai makanan dan penyakit disentri yang menyerang pasukan. Raja Haji tidak menunda kesempatan ini, dengan mendaratkan pasukannya pada 13 Februari 1784 di Teluk Ketapang yang berjarak hanya 5 mil selatan kota Malaka. Sebelumnya Raja Haji menempatkan Sultan Mahmud Riayat Syah yang masih belia di suatu tempat di Muar, sebelah selatan Teluk Ketapang.Pasukan Raja haji membangun dua benteng di Teluk Ketapang yang diperkuat dengan ribuan prajurit. Sultan Ibrahim Selangor, sekutu Raja Haji bersiap menyerang Malaka dari Tanjung Kling, Rembau dan Pedas. Pada bulan maret serangan-serangan Raja Haji dan sekutunya dilakukan terhadap perbentengan Belanda di Semabok, Bunga Raya, Bandar Hilir dan Bukit Cina.Bantuan dari Siak datang membantu Belanda di Malaka, namun pihak VOC kewalahan. Untunglah pada tanggal 4 Maret 1784, armada enam kapal perang yang dipersenjatai 326 meriam dan 2130 pasukan mendarat di Malaka dari Batavia, armada Belanda ini dipimpin oleh Jacob Pieter van Braam. Pada tanggal 1 Juni 1784, armada mengepung Teluk Ketapang, malam hari 18 Juni, pasukan Belanda mendarat di Teluk Ketapang dengan kekuatan 734 prajurit bersenapan bayonet, dengan bantuan tembakan meriam mengarah kepada armada laut Bugis dan parajurit yang ada di darat. Sepanjang hari 19 Juni 1784, pertempuran berlangsung hebat, Raja Haji tertembak dan dilarikan oleh pasukannya. Laporan dari tawanan Bugis yang tertangkap 21 Juni 1784 menginformasikan bahwa jenazah Raja Haji diangkut penghulu Padang dan seorang Budak dengan tikar bersama beberapa perempuan dan diletakkan di semak belukar. Jenazah Raja Haji berhasil diidentifikasi dan dibawa ke Bukit Hilir dan kemudian dimakamkan pada 25 juni 1784 di kaki Bukit St Paul. (Winstedt, 1932:63)

Tamadun Melayu Lingga

85

Selanjutnya armada VOC dan Siak menyerang Selangor dan berhasil mendudukinya, Sultan Ibrahim Selangor mengungsi ke Pahang dengan membawa barang kekayaan dan keluarga, serta 1100 sampai 1200 pengikut. Belanda kemudian mendirikan benteng di Selangor yaitu Altingburg dan Utrecht.Sultan Muhammad Ali dari Siak diangkat sebagai penguasa Selangor. Dengan catatan pedagang Cina dan Inggris dilarang masuk Selangor, semua produk timah harus dijual kepada VOC. Setelah menyelesaikan tugasnya di Selangor dan Riau, armada VOC pimpinan van Braam kembali ke Malaka. Van Braam menerima surat dari Raja Ali, penguasa Bugis, pengganti Raja Haji untuk mengadakan perdamaian dengan VOC. Namun VOC tidak menanggapinya, karena rencana VOC adalah membebaskan Sultan Johor-Riau, Mahmud Riayat Syah dari pengaruh Bugis.

Sisa-sisa armada Bugis meninggalkan Teluk Ketapang dan membawa Sultan Mahmud dari Muar untuk dibawa ke Riau.Sebagai pengganti Raja Haji, diangkatlah Raja Ali anak Daeng Kemboja sebagai Yang Dipertuan Muda V bergelar Sultan Alauddin Syah. Bulan Agustus 1784, dua kapal perang VOC tiba di Riau, disusul dengan armada besar VOC yang dipimpin van Brram tiba 10 Oktober 1784. Pieter van Braam berusaha memisahkan Sultan Mahmud dari pengaruh Bugis, van Braam juga mengultimatum pasukan Bugis untuk meninggalkan Riau dan jabatan Yang Dipertuan Muda akan dihapus di Kerajaan Johor-Riau. Pada tanggal 31 Oktober 1784, sejumlah besar armada laut Bugis meninggalkan Riau dimalam hari. Pada tanggal 1 November 1784, Raja Tua, Raja Bendahara, dan Tumenggung, menandatangani penyerahan Riau kepada VOC. Selanjutnya perjanjian dilakukan pada tanggal 10 November 1784, Riau Telah diambil alih Belanda. (63)

Terkait penandatangan penyerahan Riau kepada VOC, Sultan Mahmud menulis surat kepada van Braam bahwa dia tidak berniat datang ke kapal Utrecht karena harga dirinya sebagai Sultan, bahwa seorang Raja Melayu yang datang untuk menyerahkan kehormatannya kepada penguasa yang lain, secara terbuka mengirimkannya kepada penguasa lainnya, tidak membuat Johor lebih rendah kedudukannya

Tamadun Melayu Lingga

86

dari VOC.Semua kontrak dengan penguasa Bugis dibatalkan, bagi

Sultan Mahmud yang dianggap masih muda tidak dapat mengambil keputusannya sendiri, melainkan diharuskan berkonsultasi dengan Raja Tua, Raja Bendahara, Raja Tumenggung dan Raja Bongsu. Kerajaan Johor-Riau adalah sekutu VOC untuk saling melindungi.Kapal-kapal Belanda bebas berdagang di wilayah Johor-Riau dan menopoli perdagangan timah, lada dan komoditas lainnya.Belanda membangun benteng di Riau berkekuatan 254 prajurit dan sejumlah meriam untuk melindungi Riau dari serangan kekuatan Bugis dan Inggris. (64-5)

Sebenar Sultan Mahmud tidak menghendaki sekutu Bugisnya dihapuskan oleh VOC dalam dunia perpolitikan di Kerajaan Johor-Riau.Beberapa sumber menyebutkan bahwa Sultan Mahmud tidak merasa senang terhadap sikap VOC yang mengusir Raja Ali dan pengikutnya orang-orang Bugis keluar dari Riau. Meski akhirnya Sultan Mahmud mengomentari surat dari Raja Ali yang menginginkan dirinya sebagai Raja yang asli, Sultan Mahmud menyebut dia hanya Raja Muda sedangkan dirinyalah Raja Riau yang sesungguhnya, tentu saja hal ini dimanfaatkan oleh van Braam untuk menjalankan politik VOC untuk mengeluarkan kekuatan Bugis dari wilayah Riau. Sultan Mahmud dalam suratnya juga menambahkan agar penduduk peranakan Bugis dibiarkan menetap di Riau karena mereka sudah menjadi penduduk asli Kerajaan Johor-Riau.

Strategi Gerilya Laut Sultan Mahmud Pada bulan Juni 1785, Resident David Ruhde memulai

menjabat di kantornya di Pulau Bayan dekat Tanjung Pinang, yang diperkuat dengan perbentengan.Meski berada dalam penguasaan Belanda, namun Sultan Mahmud dan para pembesarnya yang masih menjalankan administrasi kerajaan. Dalam bulan Desember 1786, pada saat Sultan Mahmud bersama Raja Bendahara, Raja Tumenggung dan raja Indrabongsu berkunjung ke Malaka, pada saat yang sama Sultan Mahmud mengirim utusannya untuk memohon

Tamadun Melayu Lingga

87

dengan sangat (entreat) kepada Raja Tempasok dan para bajak laut Ilanun pengikutnya untuk membantunya membebaskan dirinya dari cengkeraman Belanda. Dalam kunjungan ke Malaka, Sultan harus menandatangani perjanjian yang baru dengan VOC, 7 Februari 1787.Dalam perjanjian tersebut Belanda memaksa sultan untuk meminta pertimbangan residen Belanda untuk memutuskan masalah-masalah yang dianggap penting, baik sosial, hukum maupun ekonomi.Sultan harus membayar kewajiban atau pajak kepada Belanda atas perdagangan timah dan lada. (66)

Pada tanggal 2 Mei 1787, sebuah armada terdiri dari 40-55 kapal yang membawa 1500 hingga 2100 prajurit berlabuh di dekat Tanjung Pinang. Dalam beberapa saat jumlah kapal yang berlabuh mencapai 90 kapal dan membawa tidak kurang 7000 pasukan.Armada tersebut bukan berasal dari orang Melayu atau Bugis, melainkan para bajak laut orang Ilanun, yang berasal dari Kepulauan Sulu yang terletak antara Kalimantan Utara dengan Filipina.Sultan Mahmud nampak pura-pura tidak tahu tentang kemunculan armada bajak laut yang dipimpin oleh seorang pangeran dari Kalimantan.Laporan kepada sultan menyebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang berasal dari Solok, terbawa angin akibat badai, mereka sangat membutuhkan beras dan memperbaiki kapalnya yang rusak. Mereka kemudian diberikan bantuan beras dan perbekalan lainnya dan akan kembali ke Kalimantan pada musim angin berikutnya. Kemunculan armada bajak laut Ilanun tersebut merupakan permohonan khusus dari Sultan Mahmud, Raja Tua dan pembesar kerajaan lainnya untuk mengirimkan armadanya. Menurut pimpinan Ilanun mereka diijinkan untuk menjarah benteng VOC di Riau. Sultan Mahmud segera mengirimkan pemandu untuk menuju Pulau Bayan dan mengepung selat didekat Tanjung Pinang. (Vos, 1993: 182-183)

Laporan prajurit Belanda di benteng Tanjung Pinang menyebutkan bahwa malam hari 10 Mei 1787, beberapa meriam ditembakkan ke arah benteng. Pada 13 Mei 1787, terjadi pertempuran selama 9 jam dan para penyerang membakar dan menjarah pemukiman di sekitar benteng Tanjung Pinang. Serangan-serangan berikutnya

Tamadun Melayu Lingga

88

memaksa Residen Ruhde dan pasukan Belanda meninggalkan benteng Tanjung Pinang menaiki kapal Bangka mengungsi ke Malaka. Dalam penyerangan tersebut tercatat 20 serdadu Belanda yang tewas dan beberapa orang ditangkap dan dijadikan budak oleh orang Ilanun. Pihak Belanda di Malaka menuduh Sultan Mahmud dan YDM Raja Ali terlibat dalam penyerangan benteng belanda di Tanjung Pinang. Sumber Melayu Hikayat Negeri Johor danTuhfat al nafis keduanya mengakui bahwa sultan terlibat dalam serangan tersebut. (Winstedt, 1932:66-67, ARA dalam Vos, 1932: 183)

Pada hari Jumat setelah penyerangan benteng Tanjung Pinang dan berhasil mengusir pasukan Belanda dari Riau. Sultan Mahmud dan pemimpin bajak laut Ilanun melakukan upacara selamatan di Masjid yang diikuti juga oleh para penduduk. Menurut laporan saksi mata bersumber dari ARA Den Haag, dilaporkan bahwa Sultan Mahmud mengirimkan sejumlah meriam dan amunisi dari Riau ke daratan Johor untuk dijadikan hadiah bagi pasukan lanun atau bajak laut Ilanun. Selanjutnya tercatat keinginan Sultan Mahmud meminta kepada Raja Alam pemimpin Ilanun untuk menyerang Malaka, namun Raja Alam tidak bersedia karena armadanya terlalu kecil untuk menyerang benteng Belanda di Malaka. Para bajak laut Ilanun juga tidak ingin berdiam lama di Riau, mereka hanya menginginkan barang rampasan.Pada pertengahan Juni 1787, armada Ilanun berlayar kembali ke Kalimantan. (sumber ARA Juli, September 1787, dalam Vos, 1993: 184)

Beberapa hari setelah kembalinya armada bajak laut Ilanun ke Kalimantan, Sultan Mahmud, para pembesar Melayu dan Bugis juga meninggalkan Riau.Sultan Mahmud mencari pemukiman yang aman sebagai strategi menghadapi serangan balik dari VOC. Dalam situasi yang tidak menentu Sultan Mahmud dan para bangsawannya berlayar ke selatan ke Kepulauan Lingga menggunakan 200 buah kapal, dalam rombongan Sultan mahmud ikut bergabung orang Bugis dan 200 orang Cina kaya, sedangkan Raja Bendahara berlayar menuju Pahang menggunakan 150 kapal dan sebagian kapal berlayar ke Bulang. Begitu juga dengan Raja Tua, dan Raja Indrabongsu

Tamadun Melayu Lingga

89

ikut berlayar menuju Pahang dan Trengganu. Sementara Raja Tumenggung mengambil tempat di Pulau Bulang sebagai bajak laut. Sementara itu pemukiman mereka di Riau dibumi hanguskan, yang tersisa dari penduduk Riau hanyalah 3000 orang Cina petani lada dan gambir. (Vos, 1993: 184)

Belanda bereaksi terhadap kehancuran bentengnya di Tanjung Pinang dengan mengirimkan armada kapal perang yang dipimpin Silvester dan berhasil menguasai Riau kembali pada Desember 1787. Meski demikian kekuasaan Belanda di Riau tidak berarti, dalam Tuhfat al Nafisdiceritakan ketika Komandan van Braam (seharusnya Silvester) bertanya kepada petani Cina disana, dimana orang Melayu dan Bugis, disini sudah tidak ada penduduk kecuali kami, mereka semua menyebar ke Lingga, Pahang dan Trengganu. Sekarang sangat sulit mengejar para pangeran Melayu karena menyebar ke mana mana.Kami pun juga tidak betah tinggal disini, kami takut dengan bajak laut dan disini bahan makanan harus diimpor dari luar. (Vos, 184:185)

Strategi yang dilakukan oleh Sultan Mahmud tidak berhenti ketika dia memindahkan pusat kekuasaannya ke Lingga.Dia masih terus menjajaki pentingnya bersekutu dengan kekuatan Eropa lainnya yaitu Inggris. Sultan Mahmud juga meminta saudara sekaligus pemimpin Pahang dan Trengganu untuk membantunya berkomunikasi dengan pihak Inggris di Pulau Penang untuk membantunya, pada saat itu Inggris tidak mau terlibat terlalu dalam masalah konflik di Riau, karena akan banyak berurusan dengan VOC. Inggris bahkan memberikan masukan kepada Sultan Mahmud untuk menerima pertuanan Belanda.(Vos, 1993:1991-1992)

Sultan tidak memperdulikan nasihat Inggris tersebut, dalam Tuhfat Al Nafis’ diceritakan bahwa Sultan Mahmud lebih memikirkan kehidupan rakyatnya baik penduduk Melayu maupun peranakan Bugis. Sultan bersyukur kepada Allah SWT karena di Pulau Singkep banyak ditemukan timah.Yang Mulia Sultan Mahmud kemudian mengirimkan tenaga kerja terdiri atas orang Melayu dan Bugis untuk menambang timah. Kapal-kapal Inggris, Cina dan pedagang

Tamadun Melayu Lingga

90

lainnya berdatangan ke sana membawa uang, beras, senjata api (meriam dan senapan), mesiu untuk dipertukarkan dengan timah. Pihak Inggris yang lebih bersemangat berdagang dengan Sultan Mahmud di Singkep.Tuhfat juga mencatat bahwa bajak laut ramai beroperasi di Riau dan Lingga.Bajak laut yang dipimpin Panglima Raman menjarah Pulau Bangka, dan membawa penduduknya ke Lingga.Keramaian perdagangan timah dan kehadiran penduduk yang dibawa oleh armada bajak laut, menjadikan penduduk Lingga semakin bertambah. (Vos: 192-193)

Banyak sumber menyebutkan bahwa selama berdiam dan membangun Lingga, Sultan Mahmud bekerjasama dengan sejumlah kelompok perompak laut.Perompak laut tersebut adalah orang-orang dari Siak yang dipimpin oleh Sayid Ali, orang laut yang berdiam disekitar Lingga, dan orang-orang Ilanun. Menurut laporan Inggris, Scott, 1794, melaporkan bahwa setelah direbutnya Riau oleh Belanda tahun 1785, ternyata Raja Melayu, Mahmud Riayat Syah tetap menguasai wilayah kepulauan yang luas antara Semenanjung Melayu, Bangka dan Sumatra. Sultan berkoalisi dengan para bajak laut untuk merompak kapal-kapal Belanda dan pulau-pulau yang dikuasai Belanda.Mahmud memiliki kemampuan untuk menarik kekuatan para bajak laut untuk melayaninya, para bajak laut sangat menghormatinya, bahkan banyak dari mereka rela menjadi martir bagi Raja Melayu tersebut.Surat pejabat Inggris dari Penang ke Calcutta, India melaporkan bahwa Sultan Mahmud adalah penguasa terbesar dan jenius dari kalangan Melayu. (Surat dari Penang ke Calcutta, 10-1-1788, koleksi IOH London dalam Vos, 192-193)

Salah satu pimpinan bajak laut terbesar adalah Panglima Raman, dia adalah anak didik Raja Melayu Engku Muda yang melakukan banyak serangan bajak laut yang beroperasi di Riau-Lingga selama beberapa tahun. Raja Engku Muda masih bersaudara dengan Sultan Mahmud, sama-sama keturunan dari kakeknya Sultan Sulaiman.Sultan Mahmud juga mampu mengendalikan bajak laut dari Siak pimpinan Sayid Ali dan juga para pimpinan orang laut.Antara tahun 1788-1790, terjadi banyak penjarahan uyang dilakukan oleh

Tamadun Melayu Lingga

91

para bajak laut dari Siak yang menyerang wilayah penghasil timah Kelabat dan Merawang di Bangka. Serangan juga dilakukan oleh bajak laut Ilanun di Bangka dan menjarah ribuan pikul timah dari wilayah Kelabat dan Merawang tahun 1789, terakhir tercatat orang laut yang berasal dari Lingga dan Johor juga melakukan serangan ke Bangka untuk menjarah timah di sana. Penggunaan kekerasan melalui serangan bajak laut dan penyelundupan semakin marak di Riau pasca penaklukkan Riau oleh Belanda.Menurut Reinout Vos bahkan dikatakan inilah serangan-serangan dari belakang atas kekuasaan Kompeni di Riau yang dilakukan dari Lingga.Kerjasama yang dilakukan oleh Sultan untuk mendapatkan kekuatan dari para bajak laut sangat mengkhawatirkan VOC. Perang bajak laut melawan Belanda ini dilakukan tidak semata-mata membalas dendam atas kekalahannya di Riau, dan keinginannya membangun imperium dari Lingga, tetapi juga dipengaruhi persaingan dalam perdagangan timah. Kekhawatiran ini betul betul dirasakan oleh Guber Malaka de Bruijn, bahwa kekuatan armada laut Belanda pimpinan Silvester di Malaka yang terdiri atas 19 kapal, dibandingkan kekuatan armada bajak laut Siak, tidak ada apa-apanya ketika harus berhadap-hadapan. Sementara itu operasi-operasi militer menghadapi para bajak laut di Kepulauan Lingga juga tidak terbayangkan, banyaknya pulau yang tidak terhitung, banyaknya beting pantai, batu karang, anak sungai dan sungai menjadikan Lingga seperti sebuah belantara lautan. Terlebih lagi Sultan Mahmud memiliki ribuan pasukan di sana.(sumber koleksi IOH London, Surat dari Penang ke Calcutta, 10-1-1788, dalam Vos: 198-199)

Kekuatan kapal perang VOC semakin berkurang, bahkan ketika Kesultanan Palembang meminta bantuan VOC untuk mengamankan Selat Bangka dari perompak, Belanda tidak mampu membantu. (ARA Den Haag, General Missiven, 31-1-1793 dalam Vos: 199)

Tahun 1788, Sultan Mahmud berlayar ke Pahang, dan mengirimkan Raja Indrabongsu ke Solok untuk meminta bantuan bajak laut Ilanun untuk menyerang Malaka. Selain itu strategi yang

Tamadun Melayu Lingga

92

dijalankan oleh Sultan Mahmud adalah meminta Inggris (Surat Sultan Mahmud kepada Kapten Francis Light di Penang, 1788, koleksi Arsip Penang 1788) menjadi sekutunya, dan pada saat yang bersamaan dia meminta kepada Sultan Trengganu, Sultan Mansur untuk membantu membujuk Belanda agar mengakui kembali kekuasaannya di Riau.(68)

Terkait Raja Ali YDM V yang diusir dari Riau tahun 1784 dan Sukadana 1786, terakhir bermarkas di Siantan (kepulauan Natuna) Kalimantan dan memiliki pengikut bajak laut, diyakini sangat membenci Belanda. Pada Februari 1785, Raja Ali telah berusaha meminta bantuan kepada Inggris untuk menghadapi Belanda yang terus menyerangnya di Sukadana, Kalimantan Barat, dengan mengirim surat kepada kantor Indian Kompeni Inggris di Bengal. Pada bulan Juni 1785, sekutu Sultan Mahmud, Sultan Ibrahim dari Selangor (mengungsi di Pahang) meminta bantuan kapten armada India Kompeni Inggris Francis Light, untuk membebaskan Selangor dari kekuasaan Belanda. (67) Pada saat itu dengan kekuatan 1000-2000 pasukan Sultan Ibrahim (keponakan Raja Haji) berhasil merebut kembali Selangor dan berhasil mengusir pasukan kecil VOC di sana. Keberhasilan Sultan Ibrahim ini tidak dapat dilepaskan bantuan pasukan Pahang, yang merupakan daerah kekuasaan Raja Bendahara.Beberapa sumber menyebutkan bahwa putra tertua Raja Tua dan Raja Tumenggung telah berangkat ke Pahang untuk bertemu dengan Sultan Ibrahim. Namun demikian perang telah memporakporandakan Selangor yang terpuruk secara ekonomi, bahkan penduduknya pun berkurang dalam jumlah besar, tersisa hanya 1000-1500 penduduk menurut laporan Kapten Glass April 1787.(Vos, 1993: 176-178)Hal ini menunjukkan adanya upaya penguasa Johor-Riau untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan VOC.

Menurut Tuhfat al Nafis diterangkan bahwa peperangan yang dilakukan oleh VOC terhadap Kesultanan Johor-Riau mengakibatkan para pedagang dari Siam, Cina, Cochin Cina menderita kerugiaan karena tidak mendapat komoditas dari Riau.Beras dari Jawa dan

Tamadun Melayu Lingga

93

Bali juga sukar diperoleh, bahkan produk yang laris seperti sarang burung, tripang, rumput laut juga sulit diperoleh.Mereka takut berdagang di Riau karena situasi perang yang berlangsung.Perang telah menghancurkan kehidupan ekonomi di Riau dan Selangor. (Vos, 1993: 179)

Penguasaan kembali Riau membutuhkan biaya yang tidak sedikit, pengerahan sembilan kapal perang dengan 400 awaknya membutuhkan biaya hampir 1,5 juta gulden sampai tahun 1787. Selain itu VOC juga harus menghadapi para bajak laut dan penyelundup yang menjadikan Kepulauan Riau sebagai pusat operasinya, termasuk yang berada di kawasan Kalimantan Barat.

Pada tahun 1788, Raja Ali, YDM VI, yang terusir dari Riau sejak 1784, berlayar menuju Lingga bertemu dengan Sultan Mahmud untuk menyelesaikan permasalahan hubungan antara Melayu dan Bugis. Namun masih banyak bangsawan Melayu yang menolak mengakui kembali kekuasaan Bugis di Riau. Raja Ali kemudian meminta bantuan saudara sepupunya Sultan Ibrahim Selangor untuk menyurati Malaka, bahwa Selangor yang kaya akan timah lebih suka menjualnya ke Penang (Inggris) dari pada ke Belanda, jika Belanda tidak menjawab permintaan Selangor untuk berdamai. Raja Ali mendukung perjanjian antara VOC dengan Sultan Selangor.Selanjutnya Raja Ali bersama keluarganya berdiam di Muar.Kedudukannya sebagai YDM sangat tergantung pemulihan kekuasaan Sultan Mahmud kembali ke Riau.Sementara itu dari pihak Sultan Mahmud melalui penasehatnya yaitu Raja Indrabongsu yang menawarkan $ 60.000 kepada VOC untuk mengembalikan kekuasaan Sultan Mahmud di Riau seperti kakeknya Sultan Sulaiman. Surat Gubernur Jenderal tertanggal 29 Mei 1795 menerima tawaran dari pihak Sultan Mahmud, meskipun pada saat itu Inggris telah menguasai Malaka. Surat yang menyatakan penyerahan Riau kepada Sultan Mahmud, Sultan atas Johor, Pahang ditandatangani oleh Gubernur Couperus atas nama Gubernur Jenderal VOC dan Henry Newcome dan A. Brown sebagai perwakilan kantor pusat Angkatan Perang Kerajaan Inggris di Malaka. Pada tanggal 9 September 1795,

Tamadun Melayu Lingga

94

Komandan Newcome berlayar ke Riau dan memindahkan residen dan pasukan Belanda dan mengembalikan pulau tersebut kembali kepada Sultan mahmud yang saat itu masih berdiam di Lingga. Menurut Netscher bahwa tanggal 3 mei 1796, Sultan Mahmud berterima kasih kepada Gubernur Jenderal VOC di Batavia atas pemulihan dia sebagai penguasa Johor, Pahang dan daerah taklukkan lainnya, meski hanya Riau yang direstorasi, namun paling tidak kedaulatannya dikembalikan seperti sebelum perjanjian 10 Nopember 1784 yang menahan kedaulatannya sejak 1784. (Winstedt: 69-70).

Pasca serangan bajak laut Ilanun terhadap benteng Tanjung Pinang, Belanda mulai membangun kembali bentengnya.Riau telah ditinggalkan oleh orang Melayu yang bahkan banyak yang menjadi bajak laut, orang Bugis berpindah ke Selangor, Siantan dan Kalimantan.Riau hanya ditinggali desa orang Cina petani gambir dan prajurit Belanda sebanyak 312 orang. Pada tanggal 22 Oktober 1790, pemerintah pusat VOC di Batavia menerima usulan Gubernur Malaka untuk membuat perdamaian dengan Sultan Mahmud, dengan harapan akan dapat meningkatkan kesejahteraan di Riau. (68). Arsip Penang tertanggal 20 Juni 1790 mencatat adanya armada koalisi yang terdiri atas 400 kapal besar dan kecil yang diperlengkapi dengan 120 meriam, berawak 8000 orang prajurit laut dan 20.000 prajurit darat. Terjadi ketegangan antara armada dari Siak melawan fregat-fregat VOC. Sementara tercatat armada Ilanun merajalela di kawasan tersebut. (Winstedt:69). Kenyataan ini yang membuat VOC/Belanda mengakui bahwa SMR merupakan musuh yang berbahaya.

PENUTUPSerangan VOC ke Bintan dihadapi SMR dengan segenap

kekuatannya termasuk bantuan dari Tempasuk, meskipun kemudian mengalami kekalahan di pihak sultan. SMR meninggalkan Bintan menuju Lingga yang merupakan wilayah kepulauan.Sikap yang diambil ini jangan dilihat sebagai kekalahan tetapi merupakan langkah awal untuk suatu strategi gerilya laut untuk melanjutkan perlawanan terhadap VOC. Mengapa memilih mundur dari Bintan ke Lingga

Tamadun Melayu Lingga

95

merupakan pertanyaan yang relevan dikaitkan dengan strategi tsb. Pertama, dengan perhitungan pada faktor geografis Lingga di bagian selatan dengan posisi sejumlah pulau yang secara alamiah telah “ditakdirkan” berfungsi melindungi pusat pemerintahan Sultan di Daik. Letak pulau-pulau antara lain Bukit Cening, Cempa, Mepar sudah seperti benteng-benteng penjagaan terhadap serangan VOC yang sewaktu-waktu datang dari arah utara. Memang di atas pulau-pulau itulah kemudian dibangun benteng-benteng dalam arti sesungguhnya.Masih terdapat situs dan tinggalan persenjataan berupa meriam di pulau-pulau tsb.Kedua faktor logistik.Perang di laut dengan strategi gerilya dalam waktu lama,diperlukan dukungan pangan yang memadai.Di Pulau Lingga terdapat tanaman sagu yang cukup menjadi sumber dan bahan makanan dalam jumlah besar dan berjangka panjang.Ketiga, faktor dukungan armada lanun yang telah lama beroperasi di kepulauan Lingga.

Tampak bahwa dengan cermat SMR memilih ke Lingga (Daik) bukan sebagai bentuk kekalahan justru sebagai langkah “maju” karena dari sinilah suatu strategi perlawanan laut amouh dijalankan menghadapi VOC. Memang strategi gerilya tidak dapat “mengalahkan” musuh tetapi untuk membuat musuh “lelah”. Begitulah pada akhirnya pada tahun 1795 Sultan Mahmud memperoleh kembali “kedaulatan” Melayu sebagai kesultanan yang bermarwah.Sejarah terus berjalan hingga terjadilah sempadan antara kedua-dua bangsa Indonesia dan Malaysia ke dalam entitas politik berupa negara-bangsa “baru”. Sejarah (politik) boleh berpisah tetapi ingatan akan masa lalu (tradisi-budaya) tetaplah terpelihara, hendaknya. ***

Tamadun Melayu Lingga

96

MUSIK MELAYU SEBAGAI PEREKAT KESERUMPUNAN TAMADUN:

TINJAUAN HISTORIS DAN STRUKTURAL

MUHAMMAD TAKARI BIN JILIN SYAHRIALProdi Etnomusikologi dan Penciptaan dan Pengkajian Seni FIB

USU serta Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Pengantar Dalam konteks kebudayaan di seluruh dunia, seni musik yang

hidup dan berkembang di dalam masyarakat tertentu, menjadi identitas kebudayaan mereka secara umum. Musik memegang peranan penting dalam konteks kontinuitas dan perubahan kebudayaan. Musik mengandung aspek-aspek struktural, estetika, fungsional, kontekstual, yang biasa juga berhubung erat dengan berbagai cabang seni lain seperti tari, sastra, teater, rupa, bahkan media. Musik menjadi bahagian dari kehidupan sehari-hari, atau juga adat-istiadat, ritual, rahasiakelompok, dan lain-lainnya.

Dalan konteks kebudayaan, musik adalah salah satu cabang kesenian. Di sisi lain, kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan. Kadangkala istilah kesenian selalu diidentikkan dengan kebudayaan. Bahkan banyak orang mengartikan kesenian sinonim dengan kebudayaan. Namun menurut kajian ilmu-ilmu budaya, kesenian hanya salah satu bagian dari kebudayaan yang sangat luas. Kesenian ini dapat berwujud ide, kegiatan, atau benda-benda. Di antara benda- benda seni musik, adalah alat-alat musik. Demikian pula yang terdapat dalam kebudayaan musik Melayu.1

Pada prinsipnya, musik terdiri dari wujud gagasan, seperti konsep tentang ruang: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, interval, frekuensi nada, sebaran nada-nada, kontur, formula melodi, dan lain-lainnya. Dimensi ruang dalam musik ini

Tamadun Melayu Lingga

97

merupakan organisasi suara. Sementara, di sisi lain, musik juga dibangun oleh dimensi waktu, yang terdiri dari: metrum atau birama, nilai not (panjang pendeknya durasi not), kecepatan (seperti lambat, sedang, cepat, sangat cepat), dan lainnya. Kedua dimensi pendukung musik ini, kadang juga berhubungan dengan seni tari yang diiringinya. Dalam konteks budaya Melayu sendiri, integrasi antara musik dengan tari terwujud dalam konsep begitu musik begitu pula tarinya. Dengan demikian, budaya musik menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan kebudayaan Melayu pada umumnya.

Secara fungsional, pertunjukan musik tradisional mengikuti aturan-aturan tradisional.

Pertunjukan ini, selalu berkaitan dengan penguasa alam, mantera (jampi) yang tujuan menjauhkan bencana, mengusir hantu, atau setan. Musik tradisi Melayu berkembang secara improvisasi, berdasarkan transmisi tradisi lisan. Setiap musik mempunyai nama tertentu dan alat-alat musik mempunyai legenda asal-usulnya. Pertunjukan musik mengikuti aturan dan menjaga etika permainan. Di lain sisi, terdapat pula berbagai jenis musik selain yang sifatnya tradisi di dalam budaya Melayu, seperti musik populer Melayu, musik akulturatif modern, dan lain-lainnya.

Musik didalam kebudayaan Melayu mengekspresikan kebersamaan daalam keserumpunan dan sekaligus juga ciri-ciri tempatan. Beberapa jenis musik memperlihatkan sebaran yang merata di seluruh dunia Melayu, seperti rentak: asli atau senandung,

1 Keadaan budaya musik Melayu di Semenanjung Malaysia, sebagai wilayah budaya yang sama dengan masyarakat Melayu Sumatera Utara, menurut seorang pengamat seni dari Malaysia, Hamzah (1988), perkembangan musik Melayu di Malaysia dapat diklasifikasikan kepada sembilan bentuk, yaitu: (1) musik tradisional Melayu; (2) musik pengaruh Ind ia, Persia, dan Thailand atau Siam, seperti: nobat, menhora, makyong, dan rodat; (3) musik pengaruh Arab seperti: gambus, kasidah, ghazal, zapin, dan hadrah; (4) nyanyian anak-anak; (5) musik vokal (lagu) yang berirama lembut seperti Tudung Periuk, Damak, Dondang Sayang, dan ronggeng atau joget; (6) keroncong dan stambul yang tumbuh dan berkembang awalnya di Indonesia; (7) lagu-lagu langgam; (8) lagu-lagu patriotik tentang tanah air, kegagahan, dan keberanian; (9) lagu-lagu ultramodern yang kuat dipengaruhi budaya Barat.

Tamadun Melayu Lingga

98

inang, kagu dua atau joget, zapin, masri, dan lain-lain. Namun setiap daerah di dalam tamadun Melayu yang luas ini, memiliki seni musik yang berciri daerah setempat. Misalnya di dalam kebudayaan Melayu Asahan terdapat sinandong dan gubang. Di daerah lain seperti Perlis dan sebahagaian Malaysia bahagian Utara terdapat musik ulit mayang. Di Labuhanbatu Sumatera Utara terdapat senandung Kualuh, di Langkat terdapat Dedeng Siti Fatimah, dan masih banyak contoh yang lainnya.

Melalui makalah ini, penulis akan meninjau fenomena musik Melayu di Dunia Melayu berdasarkan dua aspek. Yang pertama adalah tinjauan historis, yang memperlihatkan bahwa musik Melayu merupakan unsur perekat keserumpunan peradaban Dunia Melayu. Yang kedua adalah tinjauan setruktural yang juga membuktikan akar budaya yang sama namun diperkaya dengan kekuatan-kekuatan kutural lolak dalam konteks Dunia Melayu.

Tinjauan HistorisMengharungi Ruang dan Waktu: Animisme, Hindu-Budha, Islam, dan Globalisasi

Sebelum datangnya pengaruh seni pertunjukan Hindu, Islam, dan Barat, sebenarnya etnik Melayu telah memiliki konsep-konsep tersendiri tentang tangga nada atau ritme. Berdasarkan penelitian yang penulis lakuan, etnik Melayu memiliki konsep musik, baik yang diteruskan dari tradisinya, yang disebut bunyi-bunyian atau yang diambil dari Barat.

Sebelum datangnya agama Hindu dan Islam ini, dapat dilihat dari kajian sistem msik Melayu yang menggunakan suara dengan sebutan seperti mersik, garau, garau alang, dan pekak. Sebuah ide yang mencakup pengertian nada dengan karakteristik tertentu. Termasuk unsur pelarasan alat musik, yang dalam hal ini biasanya dihubungkan dengan biola dan rebab, serta sistem modus.

Para pemusik dan pencipta lagu Melayu masa dahulu kala juga telah mengenal konsep-konsep improvisasi, baik melodi atau ritme. Dalam improvisasi dikenal istilah-istilah: (1) cengkok yang

Tamadun Melayu Lingga

99

berarti suatu ide improvisasi dengan teknik mengayunkan nada-nada, yang dalam musik Barat seperti teknik sliding pitch, dengan contoh seperti berikut.

Notasi 1: Contoh Cengkok

(2) gerenek, yang berarti satu ide improvisasi dengan menggunakan nada-nada yang berdensitas rapat, mendekati konsep tremolo di dalam musik Barat, dengan contoh sebagai berikut.

Notasi 2: Contoh Gerenek

(3) patah lagu, yang berarti suatu ide improvisasi melodi dengan memerikan tekanan-tekanan (aksentuasi) pada nada-nada tertentu, terutama pada nada down beat, dengan contoh sebagai berikut.

Notasi 3: Contoh Patah Lagu

Konsep tentang ritme, pada masa sebelum Hindu dan Islam, seacra umum disebut rentak, yang mengandung pengertian pola-pola ritme, durasi, onomatopeik/tiruan bunyi oleh suara manusia pada berbagai tipe gendang, ostnato, dan lainnya, yang juga dapat dikaitkan dengan konsep-konsep hitungan, atau gerak tari yang diiringi rentak ini. Umumnya struktur tari mempunyai kesinkronan dengan konsep-konsep rentak musik. Di Pesisir

\luas ini, memiliki seni musik yang berciri daerah setempat. Misalnya di dalam kebudayaan Melayu Asahan terdapat sinandong dan gubang. Di daerah lain seperti Perlis dan sebahagaian Malaysia bahagian Utara terdapat musik ulit mayang. Di Labuhanbatu Sumatera Utara terdapat senandung Kualuh, di Langkat terdapat Dedeng Siti Fatimah, dan masih banyak contoh yang lainnya.

Melalui makalah ini, penulis akan meninjau fenomena musik Melayu di Dunia Melayu berdasarkan dua aspek. Yang pertama adalah tinjauan historis, yang memperlihatkan bahwa musik Melayu merupakan unsur perekat keserumpunan peradaban Dunia Melayu. Yang kedua adalah tinjauan setruktural yang juga membuktikan akar budaya yang sama namun diperkaya dengan kekuatan-kekuatan kutural lolak dalam konteks Dunia Melayu.

Tinjauan Historis Mengharungi Ruang dan Waktu: Animisme, Hindu-Budha, Islam, dan Globalisasi

Sebelum datangnya pengaruh seni pertunjukan Hindu, Islam, dan Barat, sebenarnya etnik Melayu telah memiliki konsep-konsep tersendiri tentang tangga nada atau ritme. Berdasarkan penelitian yang penulis lakuan, etnik Melayu memiliki konsep musik, baik yang diteruskan dari tradisinya, yang disebut bunyi-bunyian atau yang diambil dari Barat.

Sebelum datangnya agama Hindu dan Islam ini, dapat dilihat dari kajian sistem msik Melayu yang menggunakan suara dengan sebutan seperti mersik, garau, garau alang, dan pekak. Sebuah ide yang mencakup pengertian nada dengan karakteristik tertentu. Termasuk unsur pelarasan alat musik, yang dalam hal ini biasanya dihubungkan dengan biola dan rebab, serta sistem modus.

Para pemusik dan pencipta lagu Melayu masa dahulu kala juga telah mengenalkonsep- konsep improvisasi, baik melodi atau ritme. Dalam improvisasi dikenal istilah-istilah: (1) cengkok yang berarti suatu ide improvisasi dengan teknik mengayunkan nada-nada, yang dalam musik Barat seperti teknik sliding pitch, dengan contoh seperti berikut.

Notasi 1: Contoh Cengkok

(2) gerenek, yang berarti satu ide improvisasi dengan menggunakan nada-nada yang berdensitas rapat, mendekati konsep tremolo di dalam musik Barat, dengan contoh sebagai berikut.

Notasi 2: Contoh Gerenek

(3) patah lagu, yang berarti suatu ide improvisasi melodi dengan memerikan tekanan-tekanan (aksentuasi) pada nada-nada tertentu, terutama pada nada down beat, dengan contoh sebagai berikut.

Notasi 3: Contoh Patah Lagu

Konsep tentang ritme, pada masa sebelum Hindu dan Islam, seacra umum disebut rentak, yang mengandung pengertian pola-pola ritme, durasi, onomatopeik/tiruan bunyi oleh suara manusia pada berbagai tipe gendang, ostnato, dan lainnya, yang juga dapat dikaitkan dengan konsep-konsep hitungan, atau gerak tari yang diiringi rentak ini. Umumnya struktur tari mempunyai kesinkronan dengan konsep-konsep rentak musik. Di Pesisir Timur Sumatera

\luas ini, memiliki seni musik yang berciri daerah setempat. Misalnya di dalam kebudayaan Melayu Asahan terdapat sinandong dan gubang. Di daerah lain seperti Perlis dan sebahagaian Malaysia bahagian Utara terdapat musik ulit mayang. Di Labuhanbatu Sumatera Utara terdapat senandung Kualuh, di Langkat terdapat Dedeng Siti Fatimah, dan masih banyak contoh yang lainnya.

Melalui makalah ini, penulis akan meninjau fenomena musik Melayu di Dunia Melayu berdasarkan dua aspek. Yang pertama adalah tinjauan historis, yang memperlihatkan bahwa musik Melayu merupakan unsur perekat keserumpunan peradaban Dunia Melayu. Yang kedua adalah tinjauan setruktural yang juga membuktikan akar budaya yang sama namun diperkaya dengan kekuatan-kekuatan kutural lolak dalam konteks Dunia Melayu.

Tinjauan Historis Mengharungi Ruang dan Waktu: Animisme, Hindu-Budha, Islam, dan Globalisasi

Sebelum datangnya pengaruh seni pertunjukan Hindu, Islam, dan Barat, sebenarnya etnik Melayu telah memiliki konsep-konsep tersendiri tentang tangga nada atau ritme. Berdasarkan penelitian yang penulis lakuan, etnik Melayu memiliki konsep musik, baik yang diteruskan dari tradisinya, yang disebut bunyi-bunyian atau yang diambil dari Barat.

Sebelum datangnya agama Hindu dan Islam ini, dapat dilihat dari kajian sistem msik Melayu yang menggunakan suara dengan sebutan seperti mersik, garau, garau alang, dan pekak. Sebuah ide yang mencakup pengertian nada dengan karakteristik tertentu. Termasuk unsur pelarasan alat musik, yang dalam hal ini biasanya dihubungkan dengan biola dan rebab, serta sistem modus.

Para pemusik dan pencipta lagu Melayu masa dahulu kala juga telah mengenalkonsep- konsep improvisasi, baik melodi atau ritme. Dalam improvisasi dikenal istilah-istilah: (1) cengkok yang berarti suatu ide improvisasi dengan teknik mengayunkan nada-nada, yang dalam musik Barat seperti teknik sliding pitch, dengan contoh seperti berikut.

Notasi 1: Contoh Cengkok

(2) gerenek, yang berarti satu ide improvisasi dengan menggunakan nada-nada yang berdensitas rapat, mendekati konsep tremolo di dalam musik Barat, dengan contoh sebagai berikut.

Notasi 2: Contoh Gerenek

(3) patah lagu, yang berarti suatu ide improvisasi melodi dengan memerikan tekanan-tekanan (aksentuasi) pada nada-nada tertentu, terutama pada nada down beat, dengan contoh sebagai berikut.

Notasi 3: Contoh Patah Lagu

Konsep tentang ritme, pada masa sebelum Hindu dan Islam, seacra umum disebut rentak, yang mengandung pengertian pola-pola ritme, durasi, onomatopeik/tiruan bunyi oleh suara manusia pada berbagai tipe gendang, ostnato, dan lainnya, yang juga dapat dikaitkan dengan konsep-konsep hitungan, atau gerak tari yang diiringi rentak ini. Umumnya struktur tari mempunyai kesinkronan dengan konsep-konsep rentak musik. Di Pesisir Timur Sumatera

\luas ini, memiliki seni musik yang berciri daerah setempat. Misalnya di dalam kebudayaan Melayu Asahan terdapat sinandong dan gubang. Di daerah lain seperti Perlis dan sebahagaian Malaysia bahagian Utara terdapat musik ulit mayang. Di Labuhanbatu Sumatera Utara terdapat senandung Kualuh, di Langkat terdapat Dedeng Siti Fatimah, dan masih banyak contoh yang lainnya.

Melalui makalah ini, penulis akan meninjau fenomena musik Melayu di Dunia Melayu berdasarkan dua aspek. Yang pertama adalah tinjauan historis, yang memperlihatkan bahwa musik Melayu merupakan unsur perekat keserumpunan peradaban Dunia Melayu. Yang kedua adalah tinjauan setruktural yang juga membuktikan akar budaya yang sama namun diperkaya dengan kekuatan-kekuatan kutural lolak dalam konteks Dunia Melayu.

Tinjauan Historis Mengharungi Ruang dan Waktu: Animisme, Hindu-Budha, Islam, dan Globalisasi

Sebelum datangnya pengaruh seni pertunjukan Hindu, Islam, dan Barat, sebenarnya etnik Melayu telah memiliki konsep-konsep tersendiri tentang tangga nada atau ritme. Berdasarkan penelitian yang penulis lakuan, etnik Melayu memiliki konsep musik, baik yang diteruskan dari tradisinya, yang disebut bunyi-bunyian atau yang diambil dari Barat.

Sebelum datangnya agama Hindu dan Islam ini, dapat dilihat dari kajian sistem msik Melayu yang menggunakan suara dengan sebutan seperti mersik, garau, garau alang, dan pekak. Sebuah ide yang mencakup pengertian nada dengan karakteristik tertentu. Termasuk unsur pelarasan alat musik, yang dalam hal ini biasanya dihubungkan dengan biola dan rebab, serta sistem modus.

Para pemusik dan pencipta lagu Melayu masa dahulu kala juga telah mengenalkonsep- konsep improvisasi, baik melodi atau ritme. Dalam improvisasi dikenal istilah-istilah: (1) cengkok yang berarti suatu ide improvisasi dengan teknik mengayunkan nada-nada, yang dalam musik Barat seperti teknik sliding pitch, dengan contoh seperti berikut.

Notasi 1: Contoh Cengkok

(2) gerenek, yang berarti satu ide improvisasi dengan menggunakan nada-nada yang berdensitas rapat, mendekati konsep tremolo di dalam musik Barat, dengan contoh sebagai berikut.

Notasi 2: Contoh Gerenek

(3) patah lagu, yang berarti suatu ide improvisasi melodi dengan memerikan tekanan-tekanan (aksentuasi) pada nada-nada tertentu, terutama pada nada down beat, dengan contoh sebagai berikut.

Notasi 3: Contoh Patah Lagu

Konsep tentang ritme, pada masa sebelum Hindu dan Islam, seacra umum disebut rentak, yang mengandung pengertian pola-pola ritme, durasi, onomatopeik/tiruan bunyi oleh suara manusia pada berbagai tipe gendang, ostnato, dan lainnya, yang juga dapat dikaitkan dengan konsep-konsep hitungan, atau gerak tari yang diiringi rentak ini. Umumnya struktur tari mempunyai kesinkronan dengan konsep-konsep rentak musik. Di Pesisir Timur Sumatera

Tamadun Melayu Lingga

100

Timur Sumatera Utara, pada umumnya hitungan pertama ritme bukan pada jatuhnya pukulan gong/tetawak, tetapigong/tetawak dianggap sebagai akhir dari rangkaian siklus musik dan tarinya.

Menurut Nasuruddin (1977:162) musik etnik Melayu awalnya berasal dari musik masyarakat primitif yang memiliki religi animisme. Goldsworthy (1979:42-43) mengklasifikasikan musik ini kepada musik pra-Islam. Lebih lanjut, menurut Nasuruddin, musik yang berasal dari masa animisme ini, dipergunakn untuk mengiringi teater-teater tradisional Melayu, di antaranya untuk teater wayang kulit, makyong, menhora, mendu, bangsawan, dan lainnya.

Unsur-unsur religi animisme yang terkandung dalam kebudayaan musikal etnik Melayu antara lain dapat dipantau dari penggunaannya pada masyarakat, seperti musik dalam wayang kulit, dimainkan seusai menuai padi, sebagai rasa terima kasih etnik Melayu kepada kuasa- kuasa ghaib, yang telah mengaruniai hasil padi yang melimpah-ruah. Alat-alat musik pada teater ini, sebelum dipergunakn terlebih dahulu diberi jampi (mantera) yang berciri animisme. Begitu juga repertoar lagu, seperti Lagu Bertabuh, bertujuan untuk menyatakan rasa perdamaian dengan kuasa ghaib, seperti: hantu, jembalang tanah, jembalang laut, jin, puaka, mambang, dan lain-lain (Nasaruddin 1977:162). Sebenarnya pernyataan yang dikemukakan Nasuruddin ini, tidak semuanya benar, karena pada teater wayang kulit, instrumentasi atau materi wayang, dan cerita yang disajikan, terdapat pula pengaruh-pengaruh kebudayaan Hindu, bukan animisme.

Pada era animisme masyarakat Melayu umumnya menumpukan perhatian kepeda keperluan hidup sehari-hari. Mereka meyakini bahwa di alam ini semua benda dikuasai oleh kekuatan-kekuatan ghaib. Kemudian mereka melakukan berbagai ritus kepada kekuatan ghaib tersebut. Selanjutnya, mereka melakukan enkulturasi budayanya dengan menggunakan berbagai mitos dan legenda. Melalui ritual ini, mereka juga telah beraktivitas tari dan teatrikal. Mereka selalu mengadakan upacara pada siklus

Tamadun Melayu Lingga

101

musim tertentu. Unsur-unsur religi animisme yang terkandung dalam kebudayaan Melayu dapat dipantau dalam penggunaannya dalam masyarakat, seperti pada pesta panen padi, sebagai rasa terima kasih kepada kuasa-kuasa ghaib, yang telah mengkaruniai hasil yang melimpah ruah.

Menurut Nasaruddin (2000) ritual animisme atau primitif terdapat pada masyarakat Melayu lama, terutama di kalangan orang asli di Malaysia, seperti pada kelompok masyarakat Temiar, Senoi, Semai, Jakun, Iban, Dayak, dan Mahameri. Umumnya ritual yang mereka lakukan adalah untuk memahami alam sekitar dan memuja roh-roh. Salah satu contoh ritual tersebut adalah Tari Balai Raya pada masyarakat Mahameri yang merupakan bagian perayaan dari hari nenek moyang, yaitu hari ulang tahun roh-roh. Pada tarian ini, topeng mewakili berbagai moyang atau roh dan sekali gus berfungsi untuk menghormati roh-roh ini. Di Pesisir Timur Sumatera Utara tarian yang mengandungi unsur animisme ini misalnya pada tari meghadap rebab pada pertunjukan makyong, yang mengindikasikan pemujaan terhadap penguasa tanah (jembalang tanah)--namun telah diislamisasi dengan kata-kata seperti: “berkat La Ilaha Ilallah”. Begitu juga dengan Tari Gebuk, yaitu tari pengobatan penyakit yang dianggap sebagai penyakit keturunan di daerah Serdang.

Unsur peradaban Hindu yang masuk ke dalam kehidupan masyarakat Melayu adalah secara kesejarahan, sejak akhir abad ke-2 Masehi, yang dibawa oleh orang-orang India dan Asia Tenggara. Yang paling utama membawa agama Hindu (Budha) ialah masyarakat Funan, yang terdapat di Sungai Mekong (sekarang di Kamboja) mengadakan perdagangan secara maritim dengan kerajaan di Sumatera pada abad ke-3 Masehi. Selanjutnya pada abad ke-5 dan ke-6 terdapat tulisan tentang kerajaan-kerajaan di Sumatera dan Jawa yang dijumpai di China (Hall 1968:12).

Referensi tentang kerajaan-keajaan Melayu, Langkasuka, dan Ligor, terdapat pula dalam catatan-catatan berbahasa China. Pada abad pertama Masehi, ekonomi dan kebudayaan Melayu berkembang

Tamadun Melayu Lingga

102

di kawasan Utara yang disebut dengan daerah Semenanjung Malaysia. Mereka telah mencapai tinkat peradaban yang tinggi. Kerajaan Langkasuka ditaklukkan dan dikuasai oleh Rajendra Chola dari Coromandel India sekitar tahun 1025 (Sheppard 1972:9).

India dengan agama Hindu masuk ke dalam kehidupan etnik Melayu pada abad pertama dan kedua Masehi, yang dibawa oleh para penyiar agamanya atau pedagangnya. Selanjutnya pada bada ke-18, ketika Penang menjadi basis koloni Inggris di Semenanjung Malaya, daerah ini tunduk ke Madras di India Selatan. Sehingga banyak pegawai dan serdadu Sepahi India yang bekerja pada pemerintah Inggris bertugas di Penang dan Singapura (Luckman Sinar 1986:17).

Selain itu, terdapat pula lagu dan tari yang diolah dari budaya Hindu. India dengan agama Hindu masuk ke dalam kehidupan etnik Melayu pada abad pertama dan kedua Masehi, yang dibawa oleh para penyiar agamanya atau pedagang. Selanjutnya pada abad kedelapan belas, ketika Penang menjadi basis koloni Inggeris di Semenanjung Melaka, daerah ini tunduk ke Madras di India Selatan, sehingga banyak pegawai dan serdadu sepahi keturunan India yang bekerja pada kerajaan Inggris yang bertugas di Penang dan Singapura (Sinar 1986:17).

Menurut Hall (1968:12) hubungan antara orang-orang India dengan orang-orang Asia Tenggara telah lama terjadi, sejak zaman prasejarah. Daerah Asia Tenggara merupakan bagian yang penting dari route perdagangan antara India dan China. Sumber-sumber kesejarahan dari China menyebutkan bahwa masyarakat Melayu juga memainkan peran yang penting dan menjadi pionir dalam hubungan perdagangan ini. Pelabuhan-pelabuhan di Asia Tenggara merupakan pelabuhan yang baik untuk perdagangan antara India dan China dan sebagai tempat persinggahan. Para pedagang atau pelayar dari Asia Tenggara selalu berkunjung ke India, Srilangka, dan China untuk berdagang langsung.

Salah satu contoh genre musik dari budaya Hindu yang diserap etnik Melayu adalah musik chalti, yaitu ensambel yang menggunakan harmonium, biola, dan tabla. Rentak chalti selalu

Tamadun Melayu Lingga

103

dibawakan olehorkesorkes Melayu sejak dasawarsa lima puluhan dipelopori oleh seniman serba bisa Tan Sri P. Ramlee,2 dengan filmnya Juwita (1952) dan di Jakarta penyanyi Said Effendi3 dalam filmnya Serodja (1955). Selanjutnya pada dasawarsa enam dan ujuh puluhan abad ke-20, musik ini dikembangkan oleh A. Chalik, Husin Bawafie, Hasnah Tahar, dan Elya Alwi Khadam, dan kemudian diikuti oleh Rhoma Irama dan Elvi Sukaesih, dan lainnya yang membawakan lagu Melayu rentak dangdut, yang berakar dari musik chalti.

Pada kesenian hadrah yang memakai konsep musik Islam, pengaruh India terdapat pada penggunaan teksnya, yang memakai bahasa Hindustani, seperti yang dideskripsikan oleh Nasuruddin di Perlis Semananjung Malaysia. Kesenian ini dalam beberapa lagu memakai bahasa India seperti pada lagu Pari Melayang, Cempa

2 P. Ramlee bernama Teuku Nyak Puteh saat lahir. Ayahnya seorang suku Aceh yang merantau ke Penang, Malaysia. P. Ramlee berbakat dalam musik dan film. Dia belajar piano, biola, dan ukulele dengan seroang guru yang berkebangsaan Jepang, selama pendudukan Jepang di Malaysia. Setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua, P. Ramlee bermain drama keliling di Penang. Tahun 1948, P. Ramlee ditawari oleh B.S. Rajhan, seorang sutradara keturunan India dari Singapura, untuk bernyanyi dalam produksi sebuah film. Judul lagunya adalah Azizah (yang dipercayai masyarakat ramai sebagai nama kekasihnya), yang kemdian mengangkat pupularitasnya sebagai seniman. Dari dasawarsa 1950-an sampai 1960-an, P. Ramlee menjadi penulis lagu dan komposer paling terkenal di Malaysia. Setelah P. Ramlee wafat, pemerintah Malaysia mendirikan P. Ramlee Memorial untuk mengenang jasa-jasanya di bidang seni (khususnya musik dan film). P. Ramlee juga dianugerahi gelar kehormatan Tan Sri. P. Ramlee juga mendukung para pelatih dan pengarah tari Melayu untuk menemukan motif-motif tari tradisi Melayu dan motif- motif tari baru, untuk dipergunakan pada produksi film-film Melayu. Dia dan kawan-kawanya sering mengunjungi kabaret untuk menari. P. Ramlee percaya bahwa beberapa motif tari zapin yang dijumpai pada tari zapin nasional Malaysia, dihasilkan para pengarah dari studio filmnya. Lebih jauh lihat Mohd Anis Md Nor (1990:168).

3 Said Effendi adalah putera Melayu (keturunan Arab) dari Sumatera Utara, yang berhasil membina karirnya sebagai pencipta lagu dan penyanyi lagu-lagu popular Melayu. Lagu-lagu ciptaannya antara lain adalah: Bunga Serodja, Bunga Tanjung, dan Hanya Nyanyian. Lagu-lagu ciptaannya ini sekarang dinyanyikan oleh penyanyi-penyanyi muda seperti: Edi Silitonga, Betharia Sonata, Iis Dahlia, Iyeth Bustami, dan lain-lainnya.

Tamadun Melayu Lingga

104

Vella, dan Kutum Marogi. Dari keberadaan ini, dapat dilaak bahwa kesenian Islam sebahagian datang melalui orang-orang India juga.

Unsur yang diadun lainnya adalah dari budaya Budha. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara telah mengadakan kontak dengan masyarakat Budha sekitar akhir abad kedua Masehi (Hall 1968:24 dan Sheppard 1972:56). Perdagangan melalui laut terjadi pada abad ketiga Masehi. Kemudian pada abad kelima dan keenam deskripsi tentang kerajaan-kerajaan di Sumatera dan Jawa telah dijumpai pada tulisan-tulisan di China (Hall 1968:38, 40).

Adanya hubungan antara orang-orang Budha dengan orang Melayu dapat dilihat dari tulisan penulis China yang beragama Budha I-Tsing, yang berkunjung dan menulis tentang Sumatera tahun 671, 685, dan 689 Masehi (Blagden 1899:211-213 dan Hall 1968:42). Dalam tulisannya, I-Tsing membicarakan tentang suatu negeri yang disebut dengan Mo-Lo-Yeu. Ia tinggal di negeri ini selama dua bulan dalam perjalanannya dari India ke kerajaan Sriwijaya, yaitu kerajaan nasional pertama letaknya di Sumatera Selatan. Kata Mo-Lo-Yeu dalam tulisan ini dapat diidentifikasikan sebagai Melayu, yaitu suatu kerajaan yang berada di Jambi, di tepian sungai Batanghari (Hall 1968:42).

Selanjutnya Sriwijaya merupakan negeri resmi yang memeluk agama Budha. Pada akhir abad kesebelas kepemimpinan Sriwijaya berada di Palembang sampai Jambi (Melayu). Pada akhir abad ketiga belas Melayu merupakan suatu negeri di Sumatera yang berdiri sendiri. Pada saat kepemimpinan Adityawarman (raja kerajaan Pagaruyung Minangkabau), kerajaan Melayu disatukan pada pertengahan abad keempat belas.

Bagian utara pantai Sumatera Timur dibagi kepada beberapa kerajaan yang bertipe Hindu

dan Budha, termasuk Panai (Tapanuli Selatan) dan Aru di Besitang (Sinar 1971:19). Kebanyakan kerajaan di sini merupakan bagian dari kerajaan Sriwijaya, pada awal perkembangan Budha di

Tamadun Melayu Lingga

105

Sumatera. Kerajaan Aru dijumpai pada sumber-sumber sejarah berbahasa China sejak tahun 1225.

Berbagai unsur Budha wujud pula dalam seni persembahan Melayu. Misalnya teater menhora yang diperkirakan berasal dari Thailand, pada berbagai tarinya mengekspresikan budaya Budha. Di Sumatera Timur, tari dan musik seperti Senandung China atau Inang China juga mengadopsi unsur-unsur budaya Budha ini. Dalam musik unsur Budha (Asia Tenggara) ini dapat dilihat dari penggunaan alat musik ching (simbal kecil dari Thailand). Begitu juga tangga nada anhemitonik pentatonik (lima nada tanpa jarak setengah laras), atau lagu-lagu Melayu yang bertangga nada pentatonik kreatif seperti pada lagu Senandung China, Inang China, Mas Merah, Tudung Periuk, dan lainnya—namun dengan mengalami penyesuasian-penyesuaian dengan cita rasa musik Melayu. Contoh penggunaan tangga nada penatonik dari dataran Asia dan Asia Tenggara adalah pada cotoh berikut ini.

Notasi 4: Contoh Tangga Nada Pentatonik dalam Kebudayaan Musik Melayu

Di Pesisir Timur Sumatera Utara, unsur-unsur musik Budha ini dapat dilihat dari materi tangga yang dipergunakan pada serunai dengan menggunakan langkah-langkah ekuadistan tujuh nada seperti pada umumnya musik di wilayah Asia Tenggara. Seperti musik yang dipergunakan pada seni silat dan inai.

Dari semua pengaruh yang bertapak kuat dalam budaya Melayu adalah peradaban Islam.

Islam sendiri merupakan ajaran dalam bentuk wahyu Ilahi. Dalam keadaan sedemikian, ia bukan budaya tetapi wahyu. Dalam bentuk aktivitas masyarakat Islam ia akan lahir sebagai sebuah tamadun Islam, termasuk dalam budaya Melayu.

\tinggal di negeri ini selama dua bulan dalam perjalanannya dari India ke kerajaan Sriwijaya, yaitu kerajaan nasional pertama letaknya di Sumatera Selatan. Kata Mo-Lo-Yeu dalam tulisan ini dapat diidentifikasikan sebagai Melayu, yaitu suatu kerajaan yang berada di Jambi, di tepian sungai Batanghari (Hall 1968:42).

Selanjutnya Sriwijaya merupakan negeri resmi yang memeluk agama Budha. Pada akhir abad kesebelas kepemimpinan Sriwijaya berada di Palembang sampai Jambi (Melayu). Pada akhir abad ketiga belas Melayu merupakan suatu negeri di Sumatera yang berdiri sendiri. Pada saat kepemimpinan Adityawarman (raja kerajaan Pagaruyung Minangkabau), kerajaan Melayu disatukan pada pertengahan abad keempat belas.

Bagian utara pantai Sumatera Timur dibagi kepada beberapa kerajaan yang bertipe Hindu dan Budha, termasuk Panai (Tapanuli Selatan) dan Aru di Besitang (Sinar 1971:19). Kebanyakan kerajaan di sini merupakan bagian dari kerajaan Sriwijaya, pada awal perkembangan Budha di Sumatera. Kerajaan Aru dijumpai pada sumber-sumber sejarah berbahasa China sejak tahun 1225.

Berbagai unsur Budha wujud pula dalam seni persembahan Melayu. Misalnya teater menhora yang diperkirakan berasal dari Thailand, pada berbagai tarinya mengekspresikan budaya Budha. Di Sumatera Timur, tari dan musik seperti Senandung China atau Inang China juga mengadopsi unsur-unsur budaya Budha ini. Dalam musik unsur Budha (Asia Tenggara) ini dapat dilihat dari penggunaan alat musik ching (simbal kecil dari Thailand). Begitu juga tangga nada anhemitonik pentatonik (lima nada tanpa jarak setengah laras), atau lagu-lagu Melayu yang bertangga nada pentatonik kreatif seperti pada lagu Senandung China, Inang China, Mas Merah, Tudung Periuk, dan lainnya—namun dengan mengalami penyesuasian-penyesuaian dengan cita rasa musik Melayu. Contoh penggunaan tangga nada penatonik dari dataran Asia dan Asia Tenggara adalah pada cotoh berikut ini.

Notasi 4: Contoh Tangga Nada Pentatonik dalam Kebudayaan Musik Melayu

Di Pesisir Timur Sumatera Utara, unsur-unsur musik Budha ini dapat dilihat dari materi tangga yang dipergunakan pada serunai dengan menggunakan langkah-langkah ekuadistan tujuh nada seperti pada umumnya musik di wilayah Asia Tenggara. Seperti musik yang dipergunakan pada seni silat dan inai.

Dari semua pengaruh yang bertapak kuat dalam budaya Melayu adalah peradaban Islam. Islam sendiri merupakan ajaran dalam bentuk wahyu Ilahi. Dalam keadaan sedemikian, ia bukan budaya tetapi wahyu. Dalam bentuk aktivitas masyarakat Islam ia akan lahir sebagai sebuah tamadun Islam, termasuk dalam budaya Melayu.

Para pedagang Arab telah aktif mengadakan hubungan perdagangan dengan orang-orang di kepulauan Nusantara sejak belum lahir dan turunnya agama Islam (Legge 1964:44) dan juga mungkin para nelayan Melayu telah mengadakan hubungan persahabatan dengan orang- orang Arab sebelum datangnya agama Islam. Setelah lahirnya agama Islam di Timur Tengah, agama ini menyebar secara luas di dunia, termasuk ke Gujarat dan daerah Barat Laut India.

Islam yang masuk ke Asia Tenggara diperkirakan melalui baik langsung dari orang-orang Arab atau dari India. Masuknya Islam yang berdensitas padat ke Asia Tenggara yang tercatat dalam sejarah adalah pada abad ketiga belas. Marco Polo mencatat bahwa tahun 1292 di Sumatera Utara telah berdiri kerajaan Islam yang bernama Perlak (Hill 1963:8). Dalam abad- abad ini Islam menyebar ke daerah lainnya. Pada awal abad kelima belas, kerajaan Aru di pesisir timur Sumatera Utara merupakan suatu kerajaan yang rakyatnya sebagian besar beragama Islam (Coedes 1968:235), sehingga Islam berpengaruh kuat sejak saat ini.

Bandar Melaka menjadi pusat perdagangan maritim, sekali gus sebagai pusat persebaran agama Islam ke seluruh kepulauan di kawasan ini. Melaka merupakan bandar yang letaknya

5

Tamadun Melayu Lingga

106

Para pedagang Arab telah aktif mengadakan hubungan perdagangan dengan orang-orang di kepulauan Nusantara sejak belum lahir dan turunnya agama Islam (Legge 1964:44) dan juga mungkin para nelayan Melayu telah mengadakan hubungan persahabatan dengan orang- orang Arab sebelum datangnya agama Islam. Setelah lahirnya agama Islam di Timur Tengah, agama ini menyebar secara luas di dunia, termasuk ke Gujarat dan daerah Barat Laut India.

Islam yang masuk ke Asia Tenggara diperkirakan melalui baik langsung dari orang-orang Arab atau dari India. Masuknya Islam yang berdensitas padat ke Asia Tenggara yang tercatat dalam sejarah adalah pada abad ketiga belas. Marco Polo mencatat bahwa tahun 1292 di Sumatera Utara telah berdiri kerajaan Islam yang bernama Perlak (Hill 1963:8). Dalam abad- abad ini Islam menyebar ke daerah lainnya. Pada awal abad kelima belas, kerajaan Aru di pesisir timur Sumatera Utara merupakan suatu kerajaan yang rakyatnya sebagian besar beragama Islam (Coedes 1968:235), sehingga Islam berpengaruh kuat sejak saat ini.

Bandar Melaka menjadi pusat perdagangan maritim, sekali gus sebagai pusat persebaran agama Islam ke seluruh kepulauan di kawasan ini. Melaka merupakan bandar yang letaknya strategis dan tidak memiliki saingan sehingga begitu maju (Sheppard 1972:14). Penguasa Melaka menganut Islam pada awal dasawarsa abad kelima belas; sejak abad ini Melaka menjadi pusat dan persebaran Islam ke seluruh Asia Tenggara (Hill 1963:213-214).

Di Pesisir Timur Sumatera Utara pada abad ke-15 dan ke-16 terdapat tiga kesultanan Islam yang besar, yaitu: Langkat, Deli, dan Serdang—yang berada di kawasan bekas Kerajaan Aru pada masa sebelumnya. Kesultanan ini merupakan kerajaan Islam yang penting di Sumatera. Pada abad ke-16 dan ke-17, Aru menjadi rebutan antara Aceh dan Johor. Kerajaan Aru berada di Deli Tua, berdiri abad ke-16. Sesudah tahun 1612, kerajaan ini lebih dikenal sebagai Kerajaan Deli. Kemudian Serdang memisahkan diri dari Kesultanan Deli tahun 1720 (Sinar 1986:67).

Tamadun Melayu Lingga

107

Pada masa sekarang ini, mantera-mantera yang berciri khas animisme, yang dapat dilihat melalui teksnya seperti memuja kayu, sungai, laut, atau hewan, telah diubah dengan teks yang berciri kebudayaan Islam seperti menggunakan kata pembukaan Bismillahirrahmanirrahiim. Selain itu, kata-kata yang mengandung unsur animisme itu dan sejenisnya, diganti dengan sebutan Allah, Nabi Muhammad, Nabi Khaidir, Nabi Sulaiman, dan lainnya sesuai dengan ajaran-ajaran dalam agama Islam.

Dengan keadaan seperti ini, dapatdikatakan telah terjadi penyesuaian budaya era animisme dengan era Islam. Selanjutnya menjadi spesifikasi peralihan budaya Islam pada umumnya di Nusantara.

Unsur-unsur kesenian Islam yang terdapat di dalam kebudayan Melayu Sumatera Utara, antara lain adalah: zikir, bazanji, marhaban, rodat, ratib, hadrah, nasyid, irama padang pasir, dan lainnya. Dalam kebudayaan musik, dapat dilihat dengan dipergunakannya alat-alat musik khas budaya Islam, seperti: rebab, biola (melalui budaya Barat), gendang nobat, nafiri, serunai, gambus, ‘ud, dan lain-lainnya.

Konsep musik Islam juga turut diserap oleh etnik Melayu di kawasan ini. Apalagi kosep adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah turut mengabsahkan proses ini. Di kawasan Islam di Timur Tengah dan sekitarnya, konsep-konsep dimensi ruang (modus) dalam musik, dikenal dengan istilah maqam di Turki, datsgah di Persia, naghmah di Mesir, dan taba di Afrika Utara. Sedangkan ide ritme dikenal denagn iqaat di Arab Timur, durub di Mesir, usul di Turki, dan mazim di Maghribi.

Kita juga dapat melihat penyerapan unsur musik Islam dalam bentuk gaya-gaya ritmik yang tak terikat ke dalam metrum, terutama dalam melodi-melodi pembuka musik Islam seperti pada zapin dan nasyid. Di dalam musik Islam teknik demikian dikenal dengan sebutan avaz.

Setiap negeri Islam memunyai sejumlah pola ritme dalam teori dan praktik—tetapi pada umumnya dari beberapa ketukan

Tamadun Melayu Lingga

108

dasar (beat) sampai 50 ketukan dasar dalam satu siklusnya. Dalam musik Islam, pola-pola ritme secara umum selalu ditulis dan dihubungkan dengan gendang tamburin, dengan mempergunakan mnemonik atau onomatopeik dalam proses belajarnya.

Seni membaca Al-Qur’an sendiri mengandung unsur-unsur musikal, walau pada prinsipnya kegiatan membaca Al-Qur’an (termasuk azan dan iqamat), tidak dapat disamakan dengan musik, dalam pemahaman Islam ia “lebih” dari pengertian musik secara konvensional.

Di Pesisir Timur Sumatera Utara konsep-konsep musik Islam dalam teori dan praktiknya mereka serap dari budaya Islam lainnya. Hal ini merupakan penerapan dari konsep bahwa sesama muslim di seluruh dunia adalah saudara.

Dari hasil penelitian yang dilakukan, dapat dilihat beberapa maqam yang mereka serap sebagai dasar pengembangan melodi musik-musik Islam, seperti: rast, bayai, husaini, hijaz, yaman hijaz, sikahira, ushaq, sama’ani, nilwan, nahawan, dan lain-lain. Maqam-maqam inilah yang menjadi dasar pengembangan melodi musik-musik Islam, seperti: nasyid, hadrah, marhaban, barzanji, qasidah, dan sejenisnya. Teks lagu-lagunya umumnya berdasar kepada Kitab Al-Barzanji dan karya-karya seniman Melayu di kawasan ini. Dalam setiap festival (pesta) budaya Melayu berbagai seni musik Islam ini selalu dipertunjukkan.

Dalam konteks seni tari, Islam memberikan kontribusi ke dalam berbagai jenis tari, seperti pada tari zapin. Dengan berbagai normanya seperti adanya gerak sembah atau salam, gerak ragam-ragam (langkah belakang, siku keluang), anak ayam, anak ikan, buang anak, lompat kecil, lompat tiung, pisau belanak, pecah, tahto, tahtim, dan lain-lainnya. Begitu juga dengan genre hadrah, yang menggunakan gerak-gerak selepoh, senandung, ayun, sembah dan lainnya. Berbagai unsur tari sufisme juga muncul dalam kebudayaan Melayu. Gerak-gerak simbolik seperti alif, mim, ba, merupakan bagian dari tradisi sufi di kawasan ini. Dengan demikian, kontinuiti dan perubahan tari Melayu

Tamadun Melayu Lingga

109

menuruti perubahan internal dalam budaya Melayu sendiri atau perubahan eksternal dari luar.

Notasi 5: Sistem Maqam (Tangga Nada) dan Ritme dari Budaya Islam di Timur Tengah

\hadrah, yang menggunakan gerak-gerak selepoh, senandung, ayun, sembah dan lainnya. Berbagai unsur tari sufisme juga muncul dalam kebudayaan Melayu. Gerak-gerak simbolik seperti alif, mim, ba, merupakan bagian dari tradisi sufi di kawasan ini. Dengan demikian, kontinuiti dan perubahan tari Melayu menuruti perubahan internal dalam budaya Melayu sendiri atau perubahan eksternal dari luar.

Notasi 5: Sistem Maqam (Tangga Nada) dan Ritme dari Budaya Islam di Timur Tengah

Budaya Barat masuk ke dalam kehidupan etnik Melayu dengan densitas padat sejak Portugis menaklukkan Melak tahun 1511. Sejak saat itu masyarakat Melayu mengadopsi berbagai unsur kebudayaan Barat, seperti alat-alat musik: akordion, saksofon, drum trap set, gitar akustik, ukulele, juga alat musik elektronik (keyboard, piano elektrik, gitar elektrik, biola elektrik, dan lainnya). Budaya Barat ini, pada masa sekarang menjadi begitu kuat pengaruhnya di seluruh dunia, terutama di bidang sains dan teknologi. Oleh karena itu, menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat rumpun Melayu untuk menuntut ilmu dan teknologi Barat bagi kemajuan budayanya.

Dengan uraian sedemikian rupa menjelaskan kepada kita bahwa tamadun musik Melayu adalah hasil dari proses kesejarahan yang mendunia, artinya musik Melayu mengikuti perkembangan zaman. Hal ini sesuai dengan konsep kontinuitas dan perubahan pada adat melayu yakni adat yang teradat, bahwa adat Melayu mestilah mengikuti perkembangan zaman, namu harus pula meneruskan secara tekal hal-hal yang asas dalam kebudayaan. Sejarah musikal ini juga merupakan perekat keserumpunan masyarakat Melayu. Bahwa sebagai warga Melayu kita memiliki sejunmlah besar persamaan dalam hal kebudayaan, termasuk pula kebudayaan musik yang kita warisi dari zaman ke zaman, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam mencapai kontinuitas dan perubahan yang semula jadi (alamiah) dalam budaya musik ini, yang perlu diperhatikan adalah bahwa kita perlu mempertahankan identitas musik Melayu, seperti ide-ide musik dan kosmologis, musik dengan ruang, estetika cara Melayu, pengkategorian musik dan seni lainnya secara etnoklasifikasi, dan lain-lainnya.

7

Budaya Barat masuk ke dalam kehidupan etnik Melayu dengan densitas padat sejak Portugis menaklukkan Melak tahun 1511. Sejak saat itu masyarakat Melayu mengadopsi berbagai unsur kebudayaan Barat, seperti alat-alat musik: akordion, saksofon, drum trap set, gitar akustik, ukulele, juga alat musik elektronik (keyboard, piano elektrik, gitar elektrik, biola elektrik, dan lainnya). Budaya Barat ini, pada masa sekarang menjadi begitu kuat pengaruhnya di seluruh dunia, terutama di bidang sains dan

Tamadun Melayu Lingga

110

teknologi. Oleh karena itu, menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat rumpun Melayu untuk menuntut ilmu dan teknologi Barat bagi kemajuan budayanya.

Dengan uraian sedemikian rupa menjelaskan kepada kita bahwa tamadun musik Melayu adalah hasil dari proses kesejarahan yang mendunia, artinya musik Melayu mengikuti perkembangan zaman. Hal ini sesuai dengan konsep kontinuitas dan perubahan pada adat melayu yakni adat yang teradat, bahwa adat Melayu mestilah mengikuti perkembangan zaman, namun harus pula meneruskan secara tekal hal-hal yang asas dalam kebudayaan. Sejarah musikal ini juga merupakan perekat keserumpunan masyarakat Melayu. Bahwa sebagai warga Melayu kita memiliki sejunmlah besar persamaan dalam hal kebudayaan, termasuk pula kebudayaan musik yang kita warisi dari zaman ke zaman, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam mencapai kontinuitas dan perubahan yang semula jadi (alamiah) dalam budaya musik ini, yang perlu diperhatikan adalah bahwa kita perlu mempertahankan identitas musik Melayu, seperti ide-ide musik dan kosmologis, musik dengan ruang, estetika cara Melayu, pengkategorian musik dan seni lainnya secara etnoklasifikasi, dan lain-lainnya.

Tinjauan StrukturalAlat-alat Musik Melayu

Salah satu unsur struktur musikal yang paling kasat mata dan cepat dapat diurai adalah apa yang disebut alat-alat musik. Alat-alat musik sebagai aretfak juga memberikan data bagaimana kebudayaan musik itu dibangun oleh sebuah tamadun.

Berdasarkan sistem klasifikasi yang ditawarkan oleh Curt Sachs dan Eric M. Von Hornbostel (1914), maka keseluruhan alat-alat musik Melayu Sumatera Utara dapat dikelompokkan ke dalam klasifikasi: (1) idiofon, penggetar utamanya badannya sendiri; (2) membranofon, penggetar utamanya membran; (3) kordofon, penggetar utamanya senar; dan (4) aerofon, penggetar utamanya kolom udara (Hornbostel dan Sachs 1914).

Tamadun Melayu Lingga

111

Sebagai contoh, alam kebudayaan musik Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara, alat-alat musik yang termasuk ke dalam klasifikasi idiofon adalah: tetawak, gong, canang, calempong, ceracap (kesi), dan gambang. Alat-alat musik yang termasuk ke dalam klasifikasi membranofon adalah: gendangd ronggeng,4 gendang rebana (hadrah, taar), kompang, gendang silat (gendang dua muka), gedombak, tabla, dan baya. Alat-alat musik kordofon di antaranya adalah: ‘ud, gambus, biola, dan rebab. Alat-alat musik aerofon di antaranya asalah: akordion, bangsi, seruling, nafiri, dan puput batang padi.

Bagan 1Klasifikasi Alat-alat Musik Melayu

Berdasarkan Sistem Klasifikasi Hornbostel dan Sachs

\Tinjauan Struktural Alat-alat Musik Melayu

Salah satu unsur struktur musikal yang paling kasat mata dan cepat dapat diurai adalah apa yang disebut alat-alat musik. Alat-alat musik sebagai aretfak juga memberikan data bagaimana kebudayaan musik itu dibangun oleh sebuah tamadun.

Berdasarkan sistem klasifikasi yang ditawarkan oleh Curt Sachs dan Eric M. Von Hornbostel (1914), maka keseluruhan alat-alat musik Melayu Sumatera Utara dapat dikelompokkan ke dalam klasifikasi: (1) idiofon, penggetar utamanya badannya sendiri; (2) membranofon, penggetar utamanya membran; (3) kordofon, penggetar utamanya senar; dan (4) aerofon, penggetar utamanya kolom udara (Hornbostel dan Sachs 1914).

Sebagai contoh, alam kebudayaan musik Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara, alat-alat musik yang termasuk ke dalam klasifikasi idiofon adalah: tetawak, gong, canang, calempong, ceracap (kesi), dan gambang. Alat-alat musik yang termasuk ke dalam klasifikasi membranofon adalah: gendangd ronggeng,4 gendang rebana (hadrah, taar), kompang, gendang silat (gendang dua muka), gedombak, tabla, dan baya. Alat-alat musik kordofon di antaranya adalah: ‘ud, gambus, biola, dan rebab. Alat-alat musik aerofon di antaranya asalah: akordion, bangsi, seruling, nafiri, dan puput batang padi.

Bagan 1 Klasifikasi Alat-alat Musik Melayu

Berdasarkan Sistem Klasifikasi Hornbostel dan Sachs

Dari keberadaan alat-alat musik yang dipergunakan, kita dapat melihat bahwa etnik Melayu mempunyai alat-alat musik yang berciri khas dari alur utama kebudayannya dan juga menyerap musik luar dengan tapisan budaya. Transformasi yang terjadi adalah untuk pengkayaan khasanah. Keberadaan alat-alat musik tersebut juga mengalami proses kesejarahan. Misalnya alat musik pra-Islam contohnya adalah gong, tetawak, dan gendang ronggeng. Kemudian selepas masuknya Islam mereka juga menyerap alat-alat musik khas Islam seperti ‘ud dan gedombak (darabuka). Kemudian dengan masuknya Portugis, Inggris, dan Belanda, mereka menyerap alat musik akordion dan biola.5 Kemudian diteruskan dengan mengambil alat musik

4Dalam konteks Dunia Melayu, alat musik gendang ronggeng ini memiliki penyebutan yang berbeda-beda. DiRiau, Jambi, dan Palembang, alat musik ini disebut dengan gendang Medan, karena mereka banyak membeli gendangini dari Medan, buatan Yusuf Wibisono, Ahmad Setia, Syahrial Felani, Retno Ayumi, dan lainnya. Sementera diSemenanjung Malaysia, alat musik gendang ronggeng ini lazim disebut dengan rebana. Dari semua tempat dikawasan Dunia Melayu, gendang ronggeng buatan orang-orang dari Medan dianggap memiliki kualitas yang relatifbaik, dan disertai dengan ornamentasi yang khas pula.

5Para penganut teori difusi di dalam etnomusikologi meyakini bahwa alat musik biola Barat berasal dari alatmusik spike fiddle muslim, yang secara umum disebut rebab. Kemudian menjadi bowed lute Eropa pada abadpertengahan, yang disebut rebec sampai kemudian berkembang menjadi biola modern (violin). Kemudian kedua

Tamadun Melayu Lingga

112

Dari keberadaan alat-alat musik yang dipergunakan, kita dapat melihat bahwa etnik Melayu mempunyai alat-alat musik yang berciri khas dari alur utama kebudayannya dan juga menyerap musik luar dengan tapisan budaya. Transformasi yang terjadi adalah untuk pengkayaan khasanah. Keberadaan alat-alat musik tersebut juga mengalami proses kesejarahan. Misalnya alat musik pra-Islam contohnya adalah gong, tetawak, dan gendang ronggeng. Kemudian selepas masuknya Islam mereka juga menyerap alat-alat musik khas Islam seperti ‘ud dan gedombak (darabuka). Kemudian dengan masuknya Portugis, Inggris, dan Belanda, mereka menyerap alat musik akordion dan biola.5 Kemudian diteruskan dengan mengambil alat musik Kemudian kedua saksofon, klarinet, trumpet, drum trap set, gitar akustik, gitar elektronik, dan yang terkini adalah keyboard.

Walaupun mempergunakan alat musik dari budaya luar, namun struktur musiknya khas garapan Melayu. Selain itu, musik dari luar ini dianggap menjadi bagian dari musik tradisi Melayu. Dari keadaan ini tampaklah bahwa proses transformasi sosiobudaya musik mengikuti sejarah budaya seperti yang telah diuraikan di atas.

Dengan bergulirnya waktu, maka teknologi elektronika dunia turut pula diserap oleh etnik Melayu. Pada masa kini ensambel musik

4 Dalam konteks Dunia Melayu, alat musik gendang ronggeng ini memiliki penyebutan yang berbeda-beda. Di Riau, Jambi, dan Palembang, alat musik ini disebut dengan gendang Medan, karena mereka banyak membeli gendang ini dari Medan, buatan Yusuf Wibisono, Ahmad Setia, Syahrial Felani, Retno Ayumi, dan lainnya. Sementera di Semenanjung Malaysia, alat musik gendang ronggeng ini lazim disebut dengan rebana. Dari semua tempat di kawasan Dunia Melayu, gendang ronggeng buatan orang-orang dari Medan dianggap memiliki kualitas yang relatif baik, dan disertai dengan ornamentasi yang khas pula.

5 Para penganut teori difusi di dalam etnomusikologi meyakini bahwa alat musik biola Barat berasal dari alat musik spike fiddle muslim, yang secara umum disebut rebab. Kemudian menjadi bowed lute Eropa pada abad pertengahan, yang disebut rebec sampai kemudian berkembang menjadi biola modern (violin). Kemudian kedua jenis alat musik yang memiliki asal-usul sama ini, sampai juga ke Dunia Melayu (Nusantara), tetapi melalui dua peradaban yang berbeda—biola dari Eropa dan rebab dari Timur Tengah. Lebih jauh lihat Albert Seay (1975:75).

Tamadun Melayu Lingga

113

ronggeng, peranan musikalnya sering pula diganti dalam bentuk band (orkes) dan kombo Melayu, dengan menggunakan alat-alat musik yang berasal dari Barat. Pada pesta-pesta pernikahan, kalau pada mulanya disajikan musik dan tari inai, silat, hadrah, marhaban, dan joget, kini telah digantikan secara “efektif ” dengan keyboard buatan Jepang, dengan berbagai merek (seperti KN Technic 1000, 2000, 6000). Alat musik ini dapat menghasilkan berbagai jenis suara alat musik, membutuhkan hanya seorang pemain alat musik. Berbagai lagu bisa diprogram dalam alat musik ini, melalui sistem MIDI atau sejenisnya.

\saksofon, klarinet, trumpet, drum trap set, gitar akustik, gitar elektronik, dan yang terkini adalah keyboard.

Walaupun mempergunakan alat musik dari budaya luar, namun struktur musiknya khas garapan Melayu. Selain itu, musik dari luar ini dianggap menjadi bagian dari musik tradisi Melayu. Dari keadaan ini tampaklah bahwa proses transformasi sosiobudaya musik mengikuti sejarah budaya seperti yang telah diuraikan di atas.

Dengan bergulirnya waktu, maka teknologi elektronika dunia turut pula diserap oleh etnik Melayu. Pada masa kini ensambel musik ronggeng, peranan musikalnya sering pula diganti dalam bentuk band (orkes) dan kombo Melayu, dengan menggunakan alat-alat musik yang berasal dari Barat. Pada pesta-pesta pernikahan, kalau pada mulanya disajikan musik dan tari inai, silat, hadrah, marhaban, dan joget, kini telah digantikan secara “efektif” dengan keyboard buatan Jepang, dengan berbagai merek (seperti KN Technic 1000, 2000, 6000). Alat musik ini dapat menghasilkan berbagai jenis suara alat musik, membutuhkan hanya seorang pemain alat musik. Berbagai lagu bisa diprogram dalam alat musik ini, melalui sistem MIDI atau sejenisnya.

Gambar 1: Rebab Melayu Gambar 2: Gendang Ronggeng

jenis alat musik yang memiliki asal-usul sama ini, sampai juga ke Dunia Melayu (Nusantara), tetapi melalui duaperadaban yang berbeda—biola dari Eropa dan rebab dari Timur Tengah. Lebih jauh lihat Albert Seay (1975:75).

Tamadun Melayu Lingga

114

Genre Budaya Musik MelayuDari tabel yang dibuat secara “ketat” oleh Goldsworthy

(1979) ragam atau genre budaya musikal etnik Melayu pesisir timur Sumatera Utara dikelompokkan ke dalam tiga masa, yaitu: Pra-Islam, Islam, dan Pasca-Portugis. Jika dilihat secara seksama, klasifikasi ragam ini memiliki beberapa kelemahan, misalnya: satu genre musik tidak sepenuhnya mencerminkan gaya masa Pra-Islam, Islam, atau Pasca-Portugis. Bisa saja dua atau ketiganya berpadu dalam sebuah genre musik tertentu. Misalnya pada lagu Pulau Sari, yaitu satu lagu yang dipergunakan untuk mengiringi tari serampang dua belas dari Serdang, struktur musiknya memperlihatkan masa-masa tersebut. Melodinya berciri pra-Islam dengan nada-nada mikrotonal dan tak terikat pada modus tertentu, namun dalam penyajiannya dengan akordeon terdapat pula unsur nada-nada akord yang lazim dipergunakan dalam musik Barat, namun harmoninya tidak disusun sebagaimana layaknya peraturan harmoni musik Barat.

Selain itu kebudayaan musik ini tidak bersifat statis, yaitu sama dalam kurun waktu tertentu. Tentu saja ia mengalami perkembangan-perkembangan sehinga tidak mungkin bagi kita

\

Genre Budaya Musik Melayu Dari tabel yang dibuat secara “ketat” oleh Goldsworthy (1979) ragam atau genre budaya

musikal etnik Melayu pesisir timur Sumatera Utara dikelompokkan ke dalam tiga masa, yaitu: Pra-Islam, Islam, dan Pasca-Portugis. Jika dilihat secara seksama, klasifikasi ragam ini memiliki beberapa kelemahan, misalnya: satu genre musik tidak sepenuhnya mencerminkan gaya masa Pra-Islam, Islam, atau Pasca-Portugis. Bisa saja dua atau ketiganya berpadu dalam sebuah genre musik tertentu. Misalnya pada lagu Pulau Sari, yaitu satu lagu yang dipergunakan untuk mengiringi tari serampang dua belas dari Serdang, struktur musiknya memperlihatkan masa-masa tersebut. Melodinya berciri pra-Islam dengan nada-nada mikrotonal dan tak terikat pada modus tertentu, namun dalam penyajiannya dengan akordeon terdapat pula unsur nada-nada akord yang lazim dipergunakan dalam musik Barat, namun harmoninya tidak disusun sebagaimana layaknya peraturan harmoni musik Barat.

Selain itu kebudayaan musik ini tidak bersifat statis, yaitu sama dalam kurun waktu tertentu. Tentu saja ia mengalami perkembangan-perkembangan sehinga tidak mungkin bagi kita mengkalasifikasikan secara statis. Misalnya apakah ronggeng (joget) berasal dari masa Portugis? Tentu kita dapat menjawabnya tidak statis pada masa Portugis ini timbulnya ragam seni ronggeng atau joget Melayu, tetapi lagu-lagu yang dipergunakan seperti Gunung Sayang, Pulau Sari, Jalak Lenteng, dan lainnya pada kesenian ini, berasal dari masa sebelum Portugis. Ragam-ragam seni musik yang ada di kawasan Sumatera Utara adalah seperti yang diuraikan berikut ini.

Adapun genre-genre musik yang terdapat dalam kebudayaan Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara, berdasarkan penelitian yang kami lakukan adalah seperti yang dideskripsikan berikut ini. Dalam kebudayaan Melayu di Sumatera Utara terdapat genre lagu yang berkaitan dengan anak. Di antaranya adalah Lagu Membuai Anak, yaitu nanyian yang dipergunakan untuk menidurkan anak. Selain itu dikenal pula lagu Dodoi Sidodoi atau Dodoi Didodoi, yaitu lagu yang juga untuk menidurkan anak. Di kawasan Asahan terdapat lagu Si La Lau Le yaitu lagu yang digunakan untuk membuaikan anak. Kemudian ada juga lagu Timang yaitu lagu yang

Tamadun Melayu Lingga

115

mengkalasifikasikan secara statis. Misalnya apakah ronggeng (joget) berasal dari masa Portugis? Tentu kita dapat menjawabnya tidak statis pada masa Portugis ini timbulnya ragam seni ronggeng atau joget Melayu, tetapi lagu-lagu yang dipergunakan seperti Gunung Sayang, Pulau Sari, Jalak Lenteng, dan lainnya pada kesenian ini, berasal dari masa sebelum Portugis. Ragam-ragam seni musik yang ada di kawasan Sumatera Utara adalah seperti yang diuraikan berikut ini.

Adapun genre-genre musik yang terdapat dalam kebudayaan Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara, berdasarkan penelitian yang kami lakukan adalah seperti yang dideskripsikan berikut ini. Dalam kebudayaan Melayu di Sumatera Utara terdapat genre lagu yang berkaitan dengan anak. Di antaranya adalah Lagu Membuai Anak, yaitu nanyian yang dipergunakan untuk menidurkan anak. Selain itu dikenal pula lagu Dodoi Sidodoi atau Dodoi Didodoi, yaitu lagu yang juga untuk menidurkan anak. Di kawasan Asahan terdapat lagu Si La Lau Le yaitu lagu yang digunakan untuk membuaikan anak. Kemudian ada juga lagu Timang yaitu lagu yang digunakan untuk membuaikan anak. Seterusnya ada satu lagu lagu yang bertajuk Tamtambuku yang digunakan untuk permainan anak.

Musik yang berkaitan dengan mengerjakan ladang. Musik ini contohnya adalah: Lagu Dedeng Mulaka Ngerbah, yaitu nyanyian yang disajikan pada saat awal kali menebang hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Kemudian ada pula lagu yang bertajuk Dedeng Mulaka Nukal, yaitu nyanyian yang disajikan pada saat menukal (melubangi dan mengisi lubang tanah dengan padi), sebagai proses penanamn. Kedua jenis lagu tersebut secara umum dikenal pula dengan istilah Dedeng Padang Rebah. Lagu-lagu ini terdapat di bahagian utara Pesisir Timur Sumatera Utara, seperti di Langkat dan Deli.

Nyanyian hiburan sambil kerja (working song) atau dalam konteks bekerja juga terdapat dalam kebudayaan Melayu. Musik seperti ini biasanya dilakukan dalam rangka bercocok tanam, bekerja menyiangi gulma, menuai benih, mengirik padi, menumbuk

Tamadun Melayu Lingga

116

padi, sampai menumbuk emping. Begitu juga dengan nyanyian sambil bekerja di laut, yang dikenal dengan Sinandung Nelayan atau Sinandung Si Air yang dijumpai di kawasan Asahan dan Labuhanbatu.

Musik yang berhubungan dengan memanen padi. Ragam ini terdiri dari Lagu Mengirik Padi atau Ahoi, yaitu lagu dan tarian memanen padi—melepaskan gabah padi atau bertih padi dari tangkainya dengan cara menginjak-injaknya. Posisi para penari biasanya membentuk lingkaran.6 Kemudian ada pula Lagu Menumbuk Padi yaitu lagu yang disajikan pada saat menumbuk padi—melepaskan kulit padi menjadi beras. Seterusnya adalah Lagu Menumbuk Emping yaitu lagu yang dinanyikan pada saat memipihkan beras menjadi emping.

Musik yang memperlihatkan ekspresi masa animisme. Adapun contoh lagunya adalah Dendang Ambil Madu Lebah yaitu lagu yang dipergunakan untuk mengambil madu lebah yang dilakukan seorang pawang madu lebah. Contoh lainnya adalah Lagu Memanggil Angin atau Sinandong Nelayan kadang disebut pula Senandung atau Nandung saja, yaitu lagu yang dinyanyikan oleh nelayan untuk memanggil angin agar menghembus layar perahu (sampannya). Lagu ini yang terkenal adalah Senandung Asahan, senandung Bilah, Senandung Panai, dan Senandung Kualuh. Contoh genre ini adalah Lagu Lukah Menari, yaitu lagu untuk mengiringi nelayan menjala ikan. Berikutnya adalah Lagu Puaka, yaitu lagu yang dinyanyikan pada upacara yang bersifat animistik, memuja roh-roh ghaib. Bagaimanapun lagu ini dilarang oleh alim-ulama Islam, sehingga lagu ini saat sekarang tinggal tersisa bagi mereka-mereka yang mengamalkannya saja.

Nyanyian naratif, yaitu nyanyian yang sifatnya bercerita. Contohnya adalah Lagu Hikayat, yaitu nyanyian tentang cerita

6 Di Semenanjung Malaysia, seperti di Kedah dan Perlis, tari sejenis Ahoi ini disebut dengan Tari Lerai Padi, yang tujuan dan struktur persembahannya mendekati seni Ahoi dari Sumatera Utara ini. Di Sumatera Utara, tarian ini dijumpai di kawasan utara budaya Melayu, terutama wilayah budaya Langkat.

Tamadun Melayu Lingga

117

rakyat, sejarah, dan mite. Contoh lainnya adalah Syair dengan berbagai judul, yang terkenal adalah Syair Puteri Hijau tulisan A. Rahman tahun 1959.

Musik hiburan, yang terdiri dari Lagu Dedeng yaitu lagu solo tanpa iringan alat musik untuk hiburan pdaa pesta perkawinan atau panen. Kemudian adalah Lagu Gambang, yang dibawakan secara solo oleh pemain gambang (xilofon) yang terbuat dari kayu. Lagu lainnya adalah Musik Tari Pencak Silat yaitu musik yang dipergunakan untuk mengiringi tari pencak silat, yang gerakannya diambil dari pencak silat, gerakan-gerakan mempertahankan diri dari serangan musuh. Kemudian lagu pendukung genre ini adalah Musik Tari Piring atau Musik Tari Lilin atau Musik Tari Inai, yaitu musik yang dipakai untuk mengiringi Tari Piring, Tari Lilin, atau Tari Inai.

Genre musik lainnya adalah yang kuat mengekspresikan ajaran-ajaran Islam, yang dapat dirinci lagi sebagai berikut. Yang khusus merupakan kegiatan keagamaan Islam dan dipandang lebih dari sekedar musik adalah azan, yaitu merupakan seruan untuk sembahyang. Kemudian takbir, yaitu nyanyian pujian kepada Allah pada hari raya Idul Fitri atau Idul Adha. Ada juga lagu dan musik rakyat Islam, di antaranya adalah qasidah, yaitu nyanyian solo tanpa iringan musik, menggunakan teks-teks agama seperti dari Kitab Al-Barzanji. Ada pula marhaban, yaitu nyanyian paduan suara yang menggunakan teks-teks keagamaan seperti dari Kitab Al-Barzanji. Kemudian ada pula lagu Kur Semangat yaitu nyanyian yang bersifat religius tanpa diiringi oleh alat musik. Selanjutnya ada barodah yaitu nyanyian yang menggunakan teks keagaman dan umumnya diiringi oleh alat musik. Selain itu ada hadrah, yaitu nyanyian sekelompok pria yang disajikan dengan teknik responsorial atau antifonal, mempergunakan teks-teks religius dengan iringan alat musik rebana berbentuk frame disertai dengan tarian. Selanjutnya ada genre gambus atau zapin adalah nyanyian dan tarian tentang moral atau religius yang disajikan secara solo, diiringi oleh suatu ensambel gendang marwas dan alat musik gambus disertai oleh tarian yang mengutamakan gerakan kaki. Genre lainnya kelompok ini adalah

Tamadun Melayu Lingga

118

dabus, yaitu nyanyian tarian trance (seluk) untuk memperlihatkan kekebalan tubuh terhadap benda tajam seperti dari besi karena ridha Allah. Diiringi oleh gendang berbentuk frame dan penyanyi solo atau berkelompok.

Hubungan antara rakyat yang diperintah dan golongan yang memerintah juga terekspresi dalam seni musik. Nobat adalah musik yang menjadi lambang kebesaran negara, dan ada hubungannya dengan struktur sosial. Secara etnomusikologis, nobat diperkirakan berasal daripada Persia. Perkataan nobat berasal dari akar kata naba (pertabalan), naubat bererti sembilan alat musik. Kata ini kemudian diserap menjadi salah satu upacara penobatan raja-raja Melayu. Nobat yang dipercayai berdaulat telah diinstitusikan sejak zaman Kesultanan Melayu Melaka pada abad kelima belas. Ensambel musik ini dapat memainkan berbagai jenis lagu dan orang yang memainkannya dihidupi oleh kerajaan dan disebut dengan orang kalur (kalau). Alat-alat musik nobat dipercayai mempunyai daya magis tertentu, dan tak semua orang dapat menyentuhnya. Nobat menjadi musik istiadat di istana-istana Pattani, Melaka, Kedah, Perak, Johor, Selangor, Terengganu, Deli, dan Serdang Sumatera Utara. Alat-alat musik nobat yang menjadi asas adalah: gendang, nafiri, dan gong. Namun, serunai, nobat besar dan kecil, dan gendang nekara juga dipergunakan.

Pada masa sekarang ini, sebahagaian warga etnik Melayu menyadari perlunya mengembangkan musik-musik Islam sebagai salah satu jati dirinya. Upaya-upaya pemeliharaan dan pengembangan musik Islam di Sumatrera Utara dilakukan oleh setiap warga muslim yang secara organisasi tergabung dalam Perhimpunan Seni Budaya Islam (PSBI). Medan sendiri banyak melahirkan pemusik-pemusik Islam. Di antaranya adalah: Ahmad Baqi, Mukhlis, A. Chalik, Said Effendi, Ahmad C.B., Umar Asseran, Husin Bawafie, dan Hajjah Nurasiah Jamil. Musik mereka ini selanjutnya meluas secara nasional, bahkan sampai ke negeri-negeri jiran seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Ciri khas musik Melayu turut mewarnai musik-musik Islam, seperti penggunaan sajak, puisi,

Tamadun Melayu Lingga

119

bahasa Melayu, rentak musik dan tari Melayu, dan lainnya—yang digabungkan dengan ide-ide musik Timur Tengah, India, dan Barat dengan sintesis yang baik sekali. Akulturasi terjadi secara alami. Dengan demikian tata cara, norma, dan sistem estetika Melayu tetap diperunakan dalam proses pembentukan musik Islam di Sumatera Utara.

Selain itu, di dalam budaya Melayu Sumatera Utara dikenal pula ensambel makyong yang mengiringi teater makyong. Alat-alat musik yang dipergunakan adalah rebab, gendang anak, gendang ibu, gong ibu, gong anak, dan serunai. Dalam persembahannya, makyong mempergunakan unsur-unsur ritual. Teater ini memiliki lebih dari 100 cerita dan 64 jenis alat musik, dan 20 lagu. Di antara lagu-lagu makyong yang terkenal adalah Pak Yong Muda, Kijang Mas, Sedayung, Buluh Seruan, Cagok Manis, Pandan Wangi dan lainnya.

Pada genre hadrah, marhaban, zikir, tampak pengaruh yang diserap dari Timur Tengah. Pada genre-genre ini aspek ajaran-ajaran agama Islam muncul. Biasanya alat musik yang menjalani asasnya adalah jenis rebana. Genre musik seperti ini memainkan peran penting dalam berbagai aktivitas sosial seperti upacara perkawinan dan khitanan, dan khatam Al-Quran.

Genre musik lainnya adalah ronggeng atau joget. Musik ini adalah hasil akulturasi antara musik Portugis dengan musik Melayu. Musik ronggeng terdapat di kawasan yang luas di Dunia Melayu. Genre musik dan tari ronggeng adalah seni pertunjukan hiburan yang melibatkan penonton yang menari bersama ronggeng yang dibayar melalui kupon atau tiket dengan harga tertentu. Tari dan musik ronggeng termasuk ke dalam tari sosial yang lebih banyak melibatkan perkenalan antara berbagai bangsa. Di dalam seni ronggeng juga terdapat unsur berbagai budaya menjadi satu. Hingga sekarang seni ini tumbuh dan berkembang dengan dukungan yang kuat oleh masyarakat Melayu, walau awalnya dipandang rendah.

Tamadun Melayu Lingga

120

Musik Barat populer sejak etnik Melayu dengan budaya Barat sejak awal abad keenam belas. Etnik Melayu menyerap genre-genre musik dan tari seperti: fokstrot, rumba, tanggo, mambo, samba, beguin, hawaian, wals, suing, blues, bolero, dan sebagainya. Rentak jazz dan swing juga sangat populer dalam lagu-lagu Melayu.

Notasi 6: Lagu Bismillah Mula-Mula dari Genre Hadrah

\Musik Barat populer sejak etnik Melayu dengan budaya Barat sejak awal abad keenam

belas. Etnik Melayu menyerap genre-genre musik dan tari seperti: fokstrot, rumba, tanggo, mambo, samba, beguin, hawaian, wals, suing, blues, bolero, dan sebagainya. Rentak jazz dan swing juga sangat populer dalam lagu-lagu Melayu.

Notasi 6: Lagu Bismillah Mula-Mula dari Genre Hadrah

Dikaji dari aspek historis, maka musik Melayu Sumatera Utara dapat diklasifikasikan kepada masa-masa: Pra Islam; Islam, dan Globalisasi. Untuk masa Pra-Islam terdiri dari masa: animisme, Hindu, dan Budha. Masa Pra-Islam yang terdiri dari lagu anak-anak: lagu membuai anak atau Dodo Sidodoi; Si La Lau Le; dan lagu Timang. Lagu permainan anak yang terkenal Tamtambuku. Musik yang berhubungan dengan mengerjakan ladang terdiri dari: Dedeng Mulaka Ngerbah, Dedeng Mulaka Nukal dan Dedeng Padang Rebah. Musik yang berhubungan dengan memanen padi; lagu Mengirik Padi atau Ahoi, Lagu Menumbuk Padi, dan Lagu Menumbuk Emping. Musik yang bersifat animisme terdiri dari: Dedeng Ambil Madu Lebah (nyanyian pawang mengambil madu lebah secara ritual), Lagu Memanggil Angin atau Sinandong Nelayan (nyanyian nelayan ketika mengalami mati angin di tengah lautan), Lagu Lukah Menari (mengiringi nelayan menjala ikan), dan Lagu Puaka (lagu memuja penguasa ghaib tetapi pada masa sekarang telah diislamisasi). Selain itu dijumpai juga lagu-lagu hikayat, yang umum disebut syair. Terdapat juga musik hiburan: dedeng, gambang, musik pengiring silat, musik tari piring/lilin/inai.

Pada masa Islam, “musik-musik” pada masa ini di antaranya adalah azan (seruan untuk shalat), takbir (nyanyian keagamaan yang dipertunjukkan pada saat Idul Fitri dan idhul Adha), qasidah (musik pujian kepada Nabi), marhaban dan barzanji (musik yang teksnya berdasar kepada Kitab Al-Barzanji karangan Syekh Ahmad Al-Barzanji abad kelima belas). Di samping itu

Dikaji dari aspek historis, maka musik Melayu Sumatera Utara dapat diklasifikasikan kepada masa-masa: Pra Islam; Islam, dan Globalisasi. Untuk masa Pra-Islam terdiri dari masa: animisme,

Tamadun Melayu Lingga

121

Hindu, dan Budha. Masa Pra-Islam yang terdiri dari lagu anak-anak: lagu membuai anak atau Dodo Sidodoi; Si La Lau Le; dan lagu Timang. Lagu permainan anak yang terkenal Tamtambuku. Musik yang berhubungan dengan mengerjakan ladang terdiri dari: Dedeng Mulaka Ngerbah, Dedeng Mulaka Nukal dan Dedeng Padang Rebah. Musik yang berhubungan dengan memanen padi; lagu Mengirik Padi atau Ahoi, Lagu Menumbuk Padi, dan Lagu Menumbuk Emping. Musik yang bersifat animisme terdiri dari: Dedeng Ambil Madu Lebah (nyanyian pawang mengambil madu lebah secara ritual), Lagu Memanggil Angin atau Sinandong Nelayan (nyanyian nelayan ketika mengalami mati angin di tengah lautan), Lagu Lukah Menari (mengiringi nelayan menjala ikan), dan Lagu Puaka (lagu memuja penguasa ghaib tetapi pada masa sekarang telah diislamisasi). Selain itu dijumpai juga lagu-lagu hikayat, yang umum disebut syair. Terdapat juga musik hiburan: dedeng, gambang, musik pengiring silat, musik tari piring/lilin/inai.

Pada masa Islam, “musik-musik” pada masa ini di antaranya adalah azan (seruan untuk shalat), takbir (nyanyian keagamaan yang dipertunjukkan pada saat Idul Fitri dan idhul Adha), qasidah (musik pujian kepada Nabi), marhaban dan barzanji (musik yang teksnya berdasar kepada Kitab Al-Barzanji karangan Syekh Ahmad Al-Barzanji abad kelima belas). Di samping itu dijumpai pula barodah (seni nyanyian diiringi gendang rebana dalam bentuk pujian kepada Nabi), hadrah (seni musik dan tari sebagai salah satu seni dakwah Islam, awalnya adalah seni kaum sufi), gambus/zapin (musik dan tari dalam irama zapin yang selalu dipergunakan dalam acara perkawinan), dabus (musik dan tari yang memperlihatkan kekebalan penari atau pemain dabus terhadap benda-benda tajam atas ridha Allah), dan sya’ir (nyanyian yang berdasar kepada konsep syair yaitu teks puisi keagamaan) dan lain-lain.

Tamadun Melayu Lingga

122

Notasi 7: Lagu Bunga Tanjung dengan Rentak Senandung

\dijumpai pula barodah (seni nyanyian diiringi gendang rebana dalam bentuk pujian kepada Nabi), hadrah (seni musik dan tari sebagai salah satu seni dakwah Islam, awalnya adalah seni kaum sufi), gambus/zapin (musik dan tari dalam irama zapin yang selalu dipergunakan dalam acara perkawinan), dabus (musik dan tari yang memperlihatkan kekebalan penari atau pemain dabus terhadap benda-benda tajam atas ridha Allah), dan sya'ir (nyanyian yang berdasar kepada konsep syair yaitu teks puisi keagamaan) dan lain-lain.

Notasi 7: Lagu Bunga Tanjung dengan Rentak Senandung

Pada masa pengaruh Barat terdapat musik dondang sayang (musik dalam tempo asli, biramanya 8, iramanya lambat yang awalnya adalah untuk menidurkan anak, dan kemudian menjadi satu genre yang terkenal terutama di Melaka), ronggeng dan joget (tari dan musik sosial yang mengadopsi berbagai unsur tari dan musik dunia, dengan rentak inang, joget, dan asli), pop Melayu (yaitu lagu-lagu Melayu yang digarap berdasarkan gaya musik kontemporer Barat). Pengaruh Barat ini dapat dilihat dengan dibentuknya kumpulan-kumpulan kombo atau band yang terkenal di antaranya band Serdang dan Langkat di Sumatera Timur.

Dengan demikian, genre musik Melayu sebenarnya adalah mencerminkan aspek-aspek inovasi seniman dan masyarakat Melayu ditambah dengan akulturasi secara kreatif dengan budaya-budaya yang datang dari luar. Masyarakat Melayu sangat menghargai aspek-aspek universal (seperti yang dianjurkan dalam Islam), dalam mengisi kehidupannya. Demikian sekilas budaya lagu dan musik Melayu Sumatera Utara dan selanjutnya kita lihat bagaimana budaya tari Melayu di kawasan tersebut.

Pada masa pengaruh Barat terdapat musik dondang sayang (musik dalam tempo asli, biramanya 8, iramanya lambat yang awalnya adalah untuk menidurkan anak, dan kemudian menjadi satu genre yang terkenal terutama di Melaka), ronggeng dan joget (tari dan musik sosial yang mengadopsi berbagai unsur tari dan musik dunia, dengan rentak inang, joget, dan asli), pop Melayu (yaitu lagu-lagu Melayu yang digarap berdasarkan gaya musik kontemporer Barat). Pengaruh Barat ini dapat dilihat dengan dibentuknya

Tamadun Melayu Lingga

123

kumpulan-kumpulan kombo atau band yang terkenal di antaranya band Serdang dan Langkat di Sumatera Timur.

Dengan demikian, genre musik Melayu sebenarnya adalah mencerminkan aspek-aspek inovasi seniman dan masyarakat Melayu ditambah dengan akulturasi secara kreatif dengan budaya-budaya yang datang dari luar. Masyarakat Melayu sangat menghargai aspek-aspek universal (seperti yang dianjurkan dalam Islam), dalam mengisi kehidupannya. Demikian sekilas budaya lagu dan musik Melayu Sumatera Utara dan selanjutnya kita lihat bagaimana budaya tari Melayu di kawasan tersebut.

Notasi 8: Lagu Membuai Anak dengan Meter Bebas

\

Notasi 8: Lagu Membuai Anak dengan Meter Bebas

Rentak Salah satu aspek komunikasi bukan lisan dalam seni pertunjukan Melayu adalah dengan

menggunakan rentak-rentak, yaitu jalinan not dengan durasi sedemikian rupa dan membentuk pola ritme. Adapun rentak-rentak dalam seni pertunjukan Melayu di antaranya ialah: asli, inang, lagu dua (joget), zapin, ghazal, hadrah, dan lainnya. Rentak ini juga berkaitan erat dengan ekspresi emosi, misalnya rasa gembira diekspresikan oleh rentak joget atau lagu dua. Rasa sedih diekspresikan menerusi rentak asli atau senandung. Selain itu, selari dengan perkembangan zaman, masyarakat Melayu juga mengadopsi secara akulturatif berbagai rentak musik dunia, namun dengan pertimbangan matang dan sistem tapisan yang baik, agar budaya rentak musik dunia itu sesuai dan sepadan dengan budaya Melayu. Contoh rentak yang mereka adopsi adalah chacha, rumba, beguin, wals, reggae dan lainnya dari budaya tari dan musik Barat. Berikut ini adalah beberapa contoh rentak dalam musik dan tari Melayu yang lazim digunakan.

Notasi 9: Siklus (Perputaran) Pola Ritme Rentak Senandung

Tamadun Melayu Lingga

124

RentakSalah satu aspek komunikasi bukan lisan dalam seni

pertunjukan Melayu adalah dengan menggunakan rentak-rentak, yaitu jalinan not dengan durasi sedemikian rupa dan membentuk pola ritme. Adapun rentak-rentak dalam seni pertunjukan Melayu di antaranya ialah: asli, inang, lagu dua (joget), zapin, ghazal, hadrah, dan lainnya. Rentak ini juga berkaitan erat dengan ekspresi emosi, misalnya rasa gembira diekspresikan oleh rentak joget atau lagu dua. Rasa sedih diekspresikan menerusi rentak asli atau senandung. Selain itu, selari dengan perkembangan zaman, masyarakat Melayu juga mengadopsi secara akulturatif berbagai rentak musik dunia, namun dengan pertimbangan matang dan sistem tapisan yang baik, agar budaya rentak musik dunia itu sesuai dan sepadan dengan budaya Melayu. Contoh rentak yang mereka adopsi adalah chacha, rumba, beguin, wals, reggae dan lainnya dari budaya tari dan musik Barat. Berikut ini adalah beberapa contoh rentak dalam musik dan tari Melayu yang lazim digunakan.

Notasi 9: Siklus (Perputaran) Pola Ritme Rentak Senandung

\

Notasi 8: Lagu Membuai Anak dengan Meter Bebas

Rentak Salah satu aspek komunikasi bukan lisan dalam seni pertunjukan Melayu adalah dengan

menggunakan rentak-rentak, yaitu jalinan not dengan durasi sedemikian rupa dan membentuk pola ritme. Adapun rentak-rentak dalam seni pertunjukan Melayu di antaranya ialah: asli, inang, lagu dua (joget), zapin, ghazal, hadrah, dan lainnya. Rentak ini juga berkaitan erat dengan ekspresi emosi, misalnya rasa gembira diekspresikan oleh rentak joget atau lagu dua. Rasa sedih diekspresikan menerusi rentak asli atau senandung. Selain itu, selari dengan perkembangan zaman, masyarakat Melayu juga mengadopsi secara akulturatif berbagai rentak musik dunia, namun dengan pertimbangan matang dan sistem tapisan yang baik, agar budaya rentak musik dunia itu sesuai dan sepadan dengan budaya Melayu. Contoh rentak yang mereka adopsi adalah chacha, rumba, beguin, wals, reggae dan lainnya dari budaya tari dan musik Barat. Berikut ini adalah beberapa contoh rentak dalam musik dan tari Melayu yang lazim digunakan.

Notasi 9: Siklus (Perputaran) Pola Ritme Rentak Senandung

\Bagan 2: Meter Pola Ritme Rentak Senandung

Notasi 10: Pola Dasar Ritme Rentak Mak Inang

Notasi 11: Kombinasi Tangan Kiri dan Tangan Kananpada Pola Rentak Mak Inang

Keterangan:kn: kanan (tangan kanan)kr: kiri (tangan kiri)

Tabel 1: Kombinasi Onomatopeik dalam Pola RitmeRentak Lagu Dua

Tamadun Melayu Lingga

125

Keterangan:kn: kanan (tangan kanan)kr: kiri (tangan kiri)

Tabel 1: Kombinasi Onomatopeik dalam Pola RitmeRentak Lagu Dua

\Bagan 2: Meter Pola Ritme Rentak Senandung

Notasi 10: Pola Dasar Ritme Rentak Mak Inang

Notasi 11: Kombinasi Tangan Kiri dan Tangan Kananpada Pola Rentak Mak Inang

Keterangan:kn: kanan (tangan kanan)kr: kiri (tangan kiri)

Tabel 1: Kombinasi Onomatopeik dalam Pola RitmeRentak Lagu Dua

\Bagan 2: Meter Pola Ritme Rentak Senandung

Notasi 10: Pola Dasar Ritme Rentak Mak Inang

Notasi 11: Kombinasi Tangan Kiri dan Tangan Kananpada Pola Rentak Mak Inang

Keterangan:kn: kanan (tangan kanan)kr: kiri (tangan kiri)

Tabel 1: Kombinasi Onomatopeik dalam Pola RitmeRentak Lagu Dua

Tamadun Melayu Lingga

126

Kesimpulan Dari uraian di tas tergambar dengan jelas bahwa musik

Melayu di Alam Melayu memikliki sejarah yang sama, yakni mulai di era animisme dan dinamisme yakni sejak adanya manusia Melayu di kawasan ini sampai datangnya kebudayaan Hindu dan Budha abad pertame Masehi. Kemudian Hindu dan Budha ini eksis dari abad pertama samapi ke-13, yang dintandai dengan artefak-artefak khas Asia Selatan dan Daratan Asia. Di dalam struktur musiknya juga terdapat konsep-konsep raga dan tala serta pentatonik khas Assia.

Dari semua pengaruh luar Islam emmainkan peran paling utama dalam budaya musik Melayu. Peran ini dimulai dari sisi ideologis Islam, yakni semuanya dalam rangka mentauhidkan Allah yang Ahad. Kosmologi dalam musik juga mengekspresikan hal ini, seperti yang terdapat dalam konsep lembut menyahdu, patah, lagu, cengkok, gerenek, mersik, dan lain- lainnya. Secara kuantitatif unsur Islam dalam Melayu juga memegang peranan utama. Sebahagian besar musik Melayu pada masa sekarang ini adalah mengnadung roh dan intikad Islam. Semua kegiatan musik sedapat mungkin dimuatkan nilai-nilai Islam ke dalamnya. Pengaruh budaya Barat terutama dalam budaya populer dan global masuk juga ke dalam kehidupan musik Melayu, tetapi tetap diubahsuai dengan gaya akulturasi masyarakat Dunia Melayu.

Dari sisi struktural memperlihatkan pula bahwa proses yang terjadi adalah mengkuti berbagai kebijaksanaan umat Melayu. Antaranya aadalah: (a) mempertahankan struktur dan estetika tradisinya, (b) melakukan pengelolaan akulturasi secara bijaksana, (c) menetapklan musik dalam konteksnya secara fungsional, (d) memiliki aturan-aturan baku dalam pertunjukabnnya, (e) struktur mengungkapkan makna dan kearifan masyarakatnya.***

Tamadun Melayu Lingga

127

Daftar Pustaka untuk Memperdalam Kajian Anderson, John, 1971. Mission to the East Coast of Sumatra in 1823.

Singapura: Oxford University Press. A. Rahim Noor dan Salin A.Z.,1984. Sembilan Wajib Tari Melayu. (t.p.)

Beg, M.A.J., 1980. Islamic and the Western Concept of Civilization. Kuala Lumpur: Universiti Malaya Press. Blagden, C.O., 1899. “The Name Melayu”, Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society.

Blink, 1918. Sumatra’s Oostkust: In Here Opkomst en Ontwikkelings Als Economisch Gewest. S’Gravenhage: Mouton & Co.

Broersma, R., 1919. De Ontlinking van Deli, Deel I, Batavia: De Javasche Boekhandel & Drukkerij.

Castles, Lance. 1972. The Political Life of A Sumatra Resiency: Tapanuli 1915-1940. Yale: Yale University (Disertasi Doktoral).

Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society. Crawfurd, J. 1820. History of the Indian Archipelago. Edinburg: Archibald Constable and Co.

Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.), 1995. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, London, dan New Delhi: Sage Publications.

Elvy Syahrani. 2007. 9 Wajib Tari Melayu: Tinjauan dari Sisi Kesejarahan. Medan: Universitas Negeri Medan (Skripsi dalam Meraih Gelar Sarjana Pendidikan).

Encyclopedia Brittanica (versi elektronik). 2007. London: Encyclopedia Brittanica.

Fadlin, 1988. Studi Deskriptif Konstruksi dan Dasar-dasar Pola Ritem Gendang Melayu Sumatera Timur. Medan: Jurusan Etnomusikologi (Skripsi Sarjana).

Garraghan, Gilbert J., S.J., 1957. A Guide o Historical Method. New York: Fordam University Press.

Goldsworthy, David J., 1979. Melayu Music of North Sumatra: Continuities and Changes. Sydney: Monash University (Disertasi Doktoral).

Tamadun Melayu Lingga

128

Gullick, J.M., 1972. Sistem Politik Bumi Putera Tanah Melayu Barat. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Guru Sauti, t.t., “Tari Melayu (Dari Daerah Sumaera Timur).” Medan.Guru Sauti, 1956. “Tari Pergaulan” dalam Buku Kenang-kenangan

Kongres II Lembaga Kebudayaan Melayu di Medan, 4 Februari. Medan: Hasmar.

Halewijn, M., t.t., “Borneo, Eenige Reizen in de Binnenlanden van Dit Eiland, Door Eenen Ambtenaar an Het

Goverment, in Het Jaar 1894,” Tijdschrift voor Nederlands Indië, Le Jaargang.

Hall, D.G.E., 1968, A History of South-East Asia, St. Martin’s Press, New York. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia, D.G.E. Hall, 1988. Sejarah Asia Tenggara (diterjemahkan oleh I.P. Soewasha dan terjemahan disunting oleh M. Habib Mustopo). Surabaya: Usaha Nasional.

Hamzah Daud. 1974. “Perkembangan Musik Pop Hingga Sekarang.” Kertas kerja Seminar Muzik Nasional, 3 November.

Hamzah Ismail . 1975/76. Tinjauan Beberapa Aspek tentang Permainan Silat Melayu di Kelantan. Kuala Lumpur: Latihan

Ilmiah LBKM, Universiti Kebangsaan Malaysia.Hariyanto, 1992. Lagu Pulau Sari dalam Konteks Tari Serampang Dua

Belas: Analisis Penyajian Gaya Melodi Tiga Pemusik Akordion di Deli Serdang. Medan: (Skripsi Sarjana Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara).

Harun Mat Piah, 1989. Puisi Melayu Tradisional: Suatu Pembicaraan Genre dan Fungsi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka

Hasan A. 1962. Al-Furqan (Tafsir Qur’an). Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.

Hasan M. Hambari, 1980. “Peranan Beberapa Bandar Utama di Sumatera Abad Ke-7 sampai 16 M dalam Jalur

Darat Melalui Lautan,” dalam Saraswati. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Hawkes, Terence, 1977. Structuralism and Semiotics. Berkeley and Los Angeles: University of California Press.

Tamadun Melayu Lingga

129

Hill, A.H., 1963. “The Coming of Islam to North Sumatra,” Journal of Southeast Asian History, 4(1). Holt, Claire, 1967. Art in Indonesia: Continuities amd Changes. New York: Cornell University Press. Howell, W., 1923. The Pacific Islanders. London: Weidenfeld and Nicolson.

Hutington, Samuel P.,1996. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York: Simon & Schuster. Holt, Claire, 1967. Art in Indonesia: Continuities and Changes. Ne York: Cornell University Press.

Ibrahim Alfian, 1993. “Tentang Metodologi Sejarah” dalam Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Jose Rizal Firdaus, 2006. “Teknik Tari Serampang 12 Karya Guru Sauti. Makalah pada Seminar Internasional Tari

Serampang Dua Belas di Medan, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Medan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Balai Pustaka.Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) [versi elektronik]. Disebut

juga KUBI Luring (Luar Jaringan). Jakarta.Ku Zam Zam, 1980. Muzik Tradisional Melayu Kedah Utara:

Ensembel-ensembel Wayang Kulit, Mek Mulung dan GendangKeling dengan Tumpuan kepada Alat-alat, Pemuzik-pemuzik dan

Fungsi. Kuala Lumpur: Jabatan Pengajian Melayu, Universiti Malaya (Skripsi Sarjana).

Langenberg, Michael van, 1976. National Revolution in North Sumatra: Sumatra Timur and Tapanuli 1942-1950. Sydney: University of Sidney (Disertasi Doktor Filsafat).

Legge, J.D., 1964. Indonesia. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.

Lomax, 1968. Folksong Styles and Culture. New Brunswick, New Jersey: Transaction Book.

Malm, William P., 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs; serta terJemahannya dalam bahasa Indonesia, William P. Malm,

Tamadun Melayu Lingga

130

1993. Kebudayaan Musik Pasiflk, Timur Tengah, dan Asia, dialihbahasakan oleh Muhammad Takari, Medan: Universitas Sumatera Utara Press.

Matusky, Patricia An dan Tan Soi Beng, 2004. The Music of Malysia: The Classical, Folk, and Syncretic Traditions. Kuala Lumpur.

Merriam, Alan P., 1964. The Anthropology of Music. Chicago: North Western University Press.

Mohd Anis Md Nor, 1990. The Zafin Melayu Dance of Johor: From Village to A National Performance Tradition. disertasi doctoral. Michigan: The University of Michigan.

Mohd Anis Md Nor, 1994. “Continuity and Change: Malay Folk Dances of the Pre-Second World War Period.” Sarjana. Kuala Lumpur: University Malaya.

Mohd Anis Md Nor, 1995. “Lenggang dan Liuk dalam Tari Pergaulan Melayu,” Tirai Panggung, jilid 1, nombor 1. Mohd. Ghouse Nasuruddin, 1977. Musik Melayu Tradisi. Selangor, Malavsia: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka. Mohd. Ghouse Nasaruddin, 1994. Tarian Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Mohd. Ghouse Nasaruddin, 2000. Teater Tradisional Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Mohd. Zain Hj. Hamzah, 1961 Pengolahan Muzik dan Tari Melayu. Singapura: Dewan Bahasa dan Kebudayaan Kebangsaan.

Muhammad Suhaimi bin Haji Ismail Awae, 2007. “Peradaban Islam dalam Konteks Masyarakat Thai: Satu Analisis

Berasaskan YAKIS.” Makalah pada Seminar Kebudayaan Wahana Keamanan, di C.S. Pattani Hotel.

Muhammad Takari, 1998. Ronggeng Melayu Sumatera Utara: Sejarah, Fungsi dan Strukturnya. tesis S-2. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.Muhammad Takari dan Heristina Dewi, 2008, Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara. Medan: Universitas Sumatera Utara Press.

Muhammad Takari dan Fadlin, 2009. Sastra Melayu Sumatera Utara. Medan: Bartong Jaya.

Tamadun Melayu Lingga

131

Muhammad Said, 1973. “What was the ‘Social Revolution’ of 1946 in East Sumatra?” terjemahan Benedict Anderson dan T. Siagian. Indonesia. nomor 15, Cornell Modern Indonesia Project.

Nurwani. 2003. Serampang Dua Belas: Tari Kreasi yang Mentradisi pada Masyarakat Melayu Pesisir Sumatera Timur.

Yogyakarta: Universitas Gajah Mada (Tesis untuk Mencapai Gelar Magister dalam Bidang Pengkajian Seni Pertunjukan).

Orang Kaya Zubaidi, 2006. “Serampang Dua Belas: Sejarah Tari Serampang Dua Belas Ciptaan O.K. Adram pada

Tahun 1941.” Medan: Makalah pada Seminar Internasional Tari Serampang Dua Belas yang Diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Medan.

Pelzer, Karl J., 1978. Planters and Peasant Colonial Policy and the Agrarian Struggle in East Sumatra 1863-1847.

s’Gravenhage: Martinus Nijhoff. Juga terjemahannya dalam bahasa Indonesia, Karl J. Pelzer, 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria 1863-1947. Terjemahan J. Rumbo. Jakarta: Sinar Harapan.

Rahmad Martuah, 2003. Himpunan Seni dan Budaya Sri Indera Ratu: Sebuah Kajain mengenai Kontinuitas dan Perubahan dalam Keorganisasian dan Pertunjukan. Medan: Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara (Skripsi Sarjana Seni).

Ratna, 1990. Birokrasi Kerajaan Melayu Sumatera Timur di Abad XIX. Tesis S-2. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Reid, Anthony (ed.), 2010. Sumatera Tempo Doeloe, dari Marco Polo sampai Tan Malaka. Jakarta: Komunitas Bambu. Royce, Anya Paterson, 2002. The Anthropology of Dance. Bloomington: Princeton Book Co Pub.

Sachs, Curt dan Eric M. von Hornbostel, 1914. “Systematik der Musikinstrumente.” Zeitschrift für Ethnologie. Berlin:

Jahr. Juga terjemahannya dalam bahasa Inggeris, Curt Sachs dan Eric M. von Hornbostel, 1992. “Classification of Musical Instruments.” Terjemahan Anthony Baines dan Klaus P.

Tamadun Melayu Lingga

132

Wachsmann. Ethnomusicology: An Inroduction. Helen Myers (ed.). New York: The Macmillan Press.

Sachs, Curt, 1963. World History of the Dance. California: University of California.

Sachs, Curt. 1993. World History of The Dance. New York: The Norton Library.

Sauti, Guru, 1956. “Tari Pergaulan.” Buku Kenang-kenangan Kongres II Lembaga Kebudayaan Melayu di Medan. 4 Februari. Medan: Hasmar.

Sheppard, Mubin, 1972. Taman Indera: Malay Decorative Arts and Pastimes. Singapura: Oxford University Press. Som Said. 2011. Step By Step To Malay Dance. Singapore: Sri Warisan.

Tenas Effendy, 2000. Pemimpin dalam Ungkapan Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Tenas Effendy, 2004. Tunjuk Ajar Melayu: Butir-butir Budaya Melayu Riau. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu dan Penerbit Adicita.

Tengku Haji Abdul Hayat, 1937. Perajaan Oelang Tahoen Keradjaan Deli. Medan: Kesultanan Deli.

Tengku Lah Husni, 1975. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Pesisir Sumatera Timur 1612-1950. Medan: B.P. Lah Husni.

Tengku Lah Husni, 1985. “Keserasian Sosial dalam Kearifan Tradisional Masyarakat Melayu.” Makalah Seminar

Keserasian Sosial dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan, di Medan.

Tengku Lah Husni, 1986. Butir-butir Adat Budaya Melayu Pesisir Sumatera Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tengku Luckman Sinar, 1971. Sari Sejarah Serdang. Medan: t.p.Tengku Luckman Sinar, 1985. “Keserasian Sosial dalam Kearifan

Tradisional Masyarakat Melayu.” MakalahSeminar Keserasian Sosial dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan,

Medan.

Tamadun Melayu Lingga

133

Tengku Luckman Sinar, 1986a. “Perkembangan Sejarah Musik dan Tari Melayu dan Usaha Pelestariannya.” Makalah dalam Seminar Budaya Melayu Indonesia, di Stabat, Langkat, 1986.

Tengku Lukman Sinar, 1986b. “Sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur”, dalam Masyarakat Melayu Riau dan kebudayaannya, Budi Santoso et.al (eds). Pekanbaru: Pemerintah Propinsi Riau.

Tengku Luckman Sinar, 1988. Sejarah Deli Serdang. Lubuk Pakam: Badan Penerbit Pemerintah Daerah Tingkat II Deli Serdang.

Tengku Luckman Sinar, 1990. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu. Medan: Perwira.

Tengku Luckman Sinar, 1991. Sejarah Medan Tempo Doeloe. Medan: Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia. Tengku Luckman Sinar, 1994. Jatidiri Melayu. Medan: Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia.

Volker, T., 1928. Van Oerbosch tot Culturgebied. Medan: De Deli Planters Vereeniging.

Wan Abdul Kadir, 1988. Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu Bandaran. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Wee, Vivienne, 1985. Melayu: Heirarchies of Being in Riau. Disertasi doktor falsafah. Canberra: The Australian National University.

Zainal Abidin Borhan, 2004. “Pandangan dan Visi Pertubuhan Bukan Kerajaan terhadap Permasalahan Bangsa dan

Kebudayaan Melayu Mutakhir.” 10-13 September, sempena Kongres Kebudayaan Melayu di Johor Bahru. Zaleha Abu Hasan, 1996. Mak Yong sebagai Wahana Komunikasi Melayu: Satu Analisis Pesan. Tesis sarjana Fakulti Sains

Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur.

Tamadun Melayu Lingga

134

DARI BUKIT SIGUNTANG KE RIAU-LINGGA: PENGEMBANGAN TAMADUN

MELAYU RIAU1

LATIFAH RATNAWATIFakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya

1. PendahuluanTopik makalah yang disediakan panitia Perhelatan Memuliakan

Tamadun Melayu Antarbangsa (PMTMA) 2017 ini bagi saya menarik sekali dan mengingatkan saya pada sebuah karya sastra klasik Melayu berjudulSejarah Melayu. Pada bagian kedua buku ini (Shellabear, 1981:16—26) dikisahkan di Bukit Siguntang, Palembang ada dua bersaudara, yaitu Wan Empuk dan Wan Malini berhuma. Pada suatu malam lahan persawahan mereka mendadak terang benderang yang menimbulkan keheranan dan ketakutan bagi kedua gadis ini. Keesokan harinya ternya mereka menyaksikan bulir-bulis padi yang mereka taman menjadi emas, daunnya menjadi perak, dan batangnya menjadi tembaga. Tanah di sekitar Bukit Siguntang itu pun berubah seperti warna emas. Kejadian ini disebabkan oleh tiga orang pemuda muda lagi tampan dan sopan, keturunan Iskandar Zulkarnain.

Dua di antara ketiga pemuda itu dinikahkan oleh Bat (Sang Sapurba Taramberi Teribuana). Nila Pahlawan dinikahkan dengan Wan Empuk dan Kerisyna Pandita dinikahkan dengan Wan Malini. Sang Sapurba mendapat persembahan putri Demang Lebar Daun bernama Wan Sendari yang cantik jelita untuk dijadikan istri. Dari pasangan inilah bermula kerajaan-kerajaan yang ada di tanah Melayu ini karena keempat putra mereka, yaitu Putri Seri Dewi, Putri Candera Dewi, Sang Maniaka, dan Sang Nila Utama. Putri Seri Dewi menikah dengan Pangeran Cina dan dibawa ke negeri Cina. Keturunan merekalah yang akhirnya menjadi raja-raja di Cina. Putri Candera Dewi dinikahkan dengan Pangeran dari Majapahit

Tamadun Melayu Lingga

135

dan dibawa ke Jawa dan dibawa ke Kerajaan Majapahit. Keturunan mereka akhirnya menjadi raja secara turun-temurun. Sang Nila Utama menikah dengan Wan Seri Beni putri Permaisuri Iskandar Syah dari Pulau Bentan (Gunung Lingga). Sang Nila Utama lalu dinobatkan sebagai raja dan keturunan-keturunannya juga menjadi raja di Lingga. Sang Sapurba sendiri melanjutkan perjalanan hingga sampai ke Minangkabau dan menjadi raja di Pagaruyung setelah berhasil mengalahkan ular yang sedang mengganas di sana.

Penggalan Sejarah Melayu di atas memperlihatkan hubungan kekerabatan antara Palembang (Bukit Siguntang) dengan Lingga (Riau) dan beberapa kerajaan lain seperti Cina, Majapahit, dan Pagaruyung. Akan tetapi tulisan ini tidak akan membicarakan kelanjutan hubungan itu, melainkan membicarakan pengembangan tamadun Melayu Riau, dalam hal ini dibatasi pada sastranya saja.

2. Susastra di Riau dan Persoalan yang Dihadapinya Sejak lama, Riau, khususnya Pulau Penyengat dipandang

sebagai wilayah yang kaya akan susastra, baik susastra lisan maupun susastra tulis. Raja Jakfar Yang Dipertuan Muda (1805—1831) dipandang raja yang amat berjasa dalam hal ini karena memajukan tamadun Melayu dan agama Islam sekaligus (Sham, 1993:6—7). Bentuk sastra lisan, sebagaimana susastra Melayu yang lain, ada yang berbentuk puisi dan ada juga yang berbentuk prosa fiksi, dan seni pertunjukan.

Yang berbentuk puisi, misalnya saja ada yang berbetuk syair syair, pantun, gurindam (hanya ada di Riau), bahasa berirama, bahasa kias, dan lain-lain. Bentuk prosa fiksi, seperti hikayat, nyanyian panjang, dongeng, cerita rakyat, dan lain-lain. Bentuk seni pertunjukan seperti, makyong, bangsawan. Ada jugawayang cecak (Setiawan, 2017).

Sastra tulis klasik Riau amat terkenal di dunia dan susastra bukan saja di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Yang menariknya adalah para penulisnya adalah keturunan raja dan pemuka agama yang berkuasa di sini. Sebut saja misalnya Bilal Abu, Raja Ali Haji,

Tamadun Melayu Lingga

136

YDP Muda Raja Jaafar, Raja Ali bin Raja Jaafar, Raja Abdullah, Raja Zaleha. Penulis yang amat unik dan istimewa, dan multi talenta adalah Raja Ali Haji (Sham, 1993: 17—19). Oleh sebab itu, karya sastra yang mereka tulis pastilah memiliki kemanfaatan bagi kehidupan masyarakat pembacanya.

Karya sastra tulis pengarang Pulau Penyengat dapat dilihat dari tabel berikut.

DAFTAR NAMA SASTRAWAN MELAYU RIAUDAN KARYA-KARYANYA

Pengarang Judul KaryaKeter.Inilah Ikat-Ikatan Dua Belas PujiGurindam Dua BelasSyair Hukum FaraidSyair Suluh PegawaiSyair Siti SianahSyair Sinar Gemala Mestika AlamSyair Sultan Abdul MulukTuhfat al-NafisSalasilah Melayu dan Bugis

Raja Ali Haji

Raja Zaleha Syair Sultan Abdul Muluk1

Raja Syafiah Syair Kumbang MengindraRaja Kalzoum Syair Saudagar BodohRaja Aisyah Syair Khadamuddin Salamah binti Ambar Syair Nilam PermataEncik Abdullah ibn Sapuk

Syair Kawin Tan Tik Tjoe

Tengku Abdul Kadir Syair MuhibatuzzamanSyair Dandan SetiaSyair Siti Zubaidah

Tamadun Melayu Lingga

137

Tuan Bilal Abu Syair Siti ZawiyahSyair Haris Fadhilah

H. Jaafar b. Abu Bakar Lingga

Ringkasan Hukum Faraid

Pada masa kesusastraan baru modern penyair dari Riau yang berasal dari keluarga raja juga amat populer. Penyair tersebut adalah Amir Hamzah. Bahkan, H.B. Jassin (1962) menyebutnya sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Sebagaimana pendahulunya, Amir Hamzah juga banyak menulis puisi yang relegius. Penyair lain dari Riau yang juga terkenal pada masa kini, yaitu Sutardji Calzoum Bachri yang terkenal dengan kredo puisinya.

Sebagaimana karya sastra Melayu di derah lain di Indonesia, karya sastra Melayu di Lingga ini bukan tanpan masalah. Masalah yang dihadapi itu antara lain berupa karya itu tidakdikenal lagioleh generasi muda, terancam punah karena teksnya rusak atau penuturnya/senimannya meninggal sehingga sastra lama inisemakin tergeser. Kemajuan teknologi informasi, sistem budaya, sistem sosial, dan sistem politik yang ada saat ini, membuat sastra lisan semakin ditinggalkan. Pada sisi lain, dengan mengglobalnya budaya, generasi muda semakin rentan terhadap dekadensi moral dan etika. Dampak yang paling jelas dari perubahan yang terjadi adalah peniruan budaya asing yang tidak sesuai dengan kesantunan budaya timur. Hal ini berdampak buruk pada kehidupan, khususnya dalam ranah pendidikan sebagai pilar pembentukan karakter bangsa (Nurhayati, 2014:7).

3. Relevansi Pengembangan Sastra Melayu RiauKarya sastra memiliki fungsi tersendiri di dalam kehidupan

manusia. Fungsi tersebut adalah sebagai alat untuk menyampaikan pendidikan/nasihat dan menghibur.Secara umum, Horace menge-mukakan bahwa fungsi sastra adalah dulce et utille(Wellek dan War-

* Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa penulis syair ini adalah Raja Ali Haji.

Tamadun Melayu Lingga

138

en, 1989:228). Artinya, karya sastra itu berfungsi menyenangkan sekaligus memberikan kemanfaatan. Bahkan,Kuntowijoyo (Hadi, W. M. 1999:59—60) , seorang cendekiawan muslimmerumuskan bahwa peran sastrawan adalah melakukan humanisasi. Tugas humanisasi ini tersirat dalam amanah amar makruf, liberasi (pembebasan, khu-susnya dari segala bentuk kezaliman), dan transendensi, yaitu penja-baran dari amanah nahi munkar dan beriman kepada Allah.

Dalam hal manfaat sastra, Sibarani (2012:132—133) menga-takan bahwa di dalam sastra lisan, termasuk sastra Melayu Riau, terdapat berbagai nilai dan norma budaya sebagai dengan warisan leluhur yang berfungsimenata kehidupan masyarakatnya. Sibarani menyebutnya sebagai sebagai kearifan lokal. Kearifanlokalmenjadi-isuutamadalamteorikontemporerglobalisasi, baratisasi di satupihak, dominasiOrdeBaruselamatigadasawarsadenganintesitashomogeni-sasi di pihaklain,dianggapsebagaipemicuutamabangkitnyakearifan-lokal. Ratna (2011:94) mengemukakan bahwa kearifanlokalmerupa-kan semen pengikatberbagaibentukkebudayaan yang sudahadaseh-inggadisadarikeberadaannya.Olehkarenaialahirmelaluidanhidup di dalamkesemestaan yang bersangkutan. Dengandemikian, kearifan-lokaldiharapkandapatdipeliharadandikembangkansecara optimal.

Mengingat posisi dan peranan sastra Melayu Riau, baik tulis maupun lisan yang cukup penting, perlu dilakukan pengembalian jati diri dengan melestarikan sastra lokal tersebut.Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam hal ini, misalnya:1. Menampilkan sastra lisan di berbagai acara, seperti festival seni,

acara di radio dan televisi, dan ditampilkan pada hari-hari besar dan bersejarah.

2. Mendokumentasikan sastra lisan dalam bentuk tulis dan pertunjukan sastra lisan baik dalam bentuk audio maupun visual.

3. Melakukan penelitian terhadap sastra lisan, baik dalam hal penerapan teori sastra, maupun pengembangan bahan ajar.

4. Mempromosikan Sastra Lisan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

5. Kerja sama dengan Berbagai Pihak, misalnya Dewan Kesenian, Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan, dan Balai Bahasa, kelompok

Tamadun Melayu Lingga

139

seniman sebagai pelaku seni juga turun membantu dalam mempertahankan kesenian tersebut (Nurhayati, 2014).

Selain keempat gagasan yang dikemukakan di atas, Teeuw (1996:16) mengemukakan bahwa sastra lama bukanlah untuk dielus-elus dan dikramatkan, melainkan dapat dijadikan dasar bagi penciptaan sastra Indonesia modern. Oleh sebab itu, upaya lain yang dapat dilakukan adalah transformasi teks (Riffaterre dikutip Pradotokusumo, 1990:61—65) ekranisasi. Dalam hal ini diperlukan sinergi yang solid antara pemerintah daerah, seniman, dan akademisi.

4. PenutupUraian di atas memperlihatkan bahwa sastra Melayu Riau

sudah melampaui perjalanan sejarah yang sangat panjang. Dalam perjalanan yang panjang itu, telah lahir beberapa sastrawan Melayu yang sebagian besar merupakan keluarga kerajaan Melayu sekaligus merangkap sebagai seorang ulama. Oleh sebab itu, dari tangan mereka lahir karya sastra yang tidak saja menghibur tetapi juga memiliki kemanfaatan bagi kehidupan pembacanya.

Pengkajian, pentransformasian, dan pengembangan karya sastra Melayu Riau ini amat perlu dilakukan untuk penguatan konten lokal dalam upaya menghadapi pengaruh buruk arus globalisasi. Pelibatan generasi muda dan pelajar melalui dunia pendidikan sangat efektif dalam upaya resosialisasi, revitalisasi, dan pengembangan sastra Melayu Riau ini sehingga pewarisannya berjalan secara alami dan berkelanjutan. ***

Tamadun Melayu Lingga

140

DAFTAR PUSTAKA

Hadi W. M. , Abdul Hadi. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Jassin, H. B. 1962. Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru. Jakarta: Gunung Agung.

Nurhayati.2014. Revitalisasi Seni Pertunjukan Dulmuluk: Upaya Pemertahanan dan Implikasinya Dalam Pembelajaran Sastra. Palembang: Unsri.

Nurhayati, Subadiyono, dan DidiSuhendi. 2013 Revitalisasi Seni Pertunjukan Dulmuluk. Yogyakarta: Leutika Prio.

Pradotokusumo, P. S. Kakawin Gajah Mada Sebuah karya Sastra Kakawin Abad ke-20: Suatu Suntingan Naskah serta Telaah Struktur Tokoh dan Hubungan antar-Teks. Bandung: Bina Cipta.

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Setiawan, Fery. 2017. “Sastra Lisan Wayang Cecak, Kesenian Asli Pulau Penyengat yang hampir Punah” Ditulis kembali dari Kompas.com tersedia secara daring. Diakses 17 November 2017.

Sham, Abu Hassan. 1993. Puisi-Puisi Raja Ali Haji. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.

Shellabear, W. G. 1981. Sejarah Melayu. Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti SDN. BHD.

Wellek, Rene dan Austin Waren. 1989.Teori Kesusastraan, diter-jemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tamadun Melayu Lingga

141

GERILYA LAUT SULTAN MAHMUD RIAYAT SYAH 1787-1795

DIDIK PRAJOKODepartemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

Universitas Indonesia Depok

Tulisan ini berupaya mengungkapkan dinamika politik Kesultanan Johor-Riau-Lingga dalam mempertahankan ”kedaulatannya” menghadapi Ekspansi politik Belanda VOC (Vereenigde Oost-Indishe Compagnie) di kawasan Kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya Melalui Perang Gerilya Laut Pada Masa Kekuasaan Sultan Mahmud Riayat Syah II 1784-1795

Bagaimana upaya Kesultanan Johor-Riau-Lingga untuk mempertahankan kedaulatannya dalam menghadapi terutama kebijakan politik dan Militer Belanda (VOC)dengan Perang Gerilya Laut sejak 1784-1795?

Kerangka hubungan antara ”pertuanan” (overlord) dengan daerah taklukkan (vassal) yang tidak stabil. Kasus pola hubungan sekutu dan seteru antara Kesultanan Buton menghadapi Kesultanan Gowa, Kesultanan Ternate dan pihak Belanda (VOC) (Susanto Zuhdi, 2010)

Soesanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana, Jakarta, Rajawali Pers-Yayasan Kebudayaan Masyarakat Buton, 2010

Hubungan Kesultanan Tidore dengan para bangsawan lokal (bobato) di Halmahera Timur terkait migrasi besar-besaran penduduk Halmahera Timur ke Seram pada awal abad ke-19 (R.Z. Leirissa, 1996)

R.Z. Leirissa, Halmahera Timur dan Raja Jailolo: Pergolakan Sekitar Laut Seram Awal Abad ke-19, Jakarta, Balai Pustaka, 1996

Kasus perlawanan Nuku (Sultan Syaifuddin) dalam merebut kekuasaannya di Kesultanan Tidore dan melawan dominasi

Tamadun Melayu Lingga

142

Belanda dengan menjalin aliansi dengan berbagai kekuatan lokal di Halmahera, Seram, Papua, serta kekuatan Inggris, pada akhirnya dapat membangun kedaulatannya di Kesultanan Tidore 1780-1797 (Muridan Widjojo, 2009)

Muridan S. Widjojo, The Revolt of Prince Nuku: Cross-cultural Alliance-making in Maluku c. 1780-1810, Leiden, Brill, 2009

Pangeran Nuku bersama sekutu lokalnya mulai mengobarkan perlawanan terhadap Belanda pada tahun 1780. Keputusan Nuku bersekutu dengan Inggris merupakan pilihan yang tepat, karena pada tahun 1796, Inggris merebut Ambon dan Banda dari kekuasaan VOC (Belanda) yang mulai melemah. Pada tahun 1796, Inggris memutuskan memberikan bantuan senjata api dan amunisi kepada pasukan Nuku, sehingga kekuatan pasukan Nuku semakin kuat.

Pada tahun 1797 bersama sekutunya, Nuku berhasil menaklukkan Kesultanan Tidore dan Bacan dan juga melancarkan serangannya terhadap kekuatan VOC di Ternate, Ambon dan Banda. Nuku dibantu sekutunya Inggris, pada tahun 1801, berhasil mengalahkan VOC dan sekutunya Kesultanan Ternate. Muridan melihat keberhasilan Nuku adalah menjalin persekutuan dan dukungan yang besar dari kekuatan berbagai suku di Maluku, juga orang-orang Papua dan Inggris.

Kunci kemenangan Nuku juga didukung oleh faktor peralihan kekuasaan di Hindia Timur, di mana kekuatan Inggris di India juga berusaha menguasai wilayah-wilayah yang bersekutu dengan musuhnya yaitu, Perancis selama terjadinya Revolusi Perancis (1789-1814).

Perebutan Hegemoni Perdagangan antara Kerajaan lokal (Kasus di kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya) dengan para pedagang Eropa sejak abad ke-16 hingga abad ke-18 (Portugis, Belanda dan Inggris)

Perubahan kebijakan politik kolonial Belanda akibat pengaruh internasional dan dinamika lokal, Belanda semakin ekspansif dan bersikap tegas terhadap pembangkangan raja-raja lokal yang

Tamadun Melayu Lingga

143

telah mengikat kontrak dengan Belanda. (E. Locher-Scholten, 1994, 2008)

Elsbeth Locher-Scholten, ”Dutch Expansion in the Indonesian Archipelago around 1900 and the Imperialisme Debate”, Singapore, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 25, No. 1 (Mar., 1994), Departement of History, National University of Singapore.

Elsbeth Locher-Scholten, Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Modern, Jakarta, Banana-KITLV-Jakarta, 2008

Kesultanan Johor-Riau yang berkuasa atas wilayah Pahang, Johor, Kepulauan Riau-Lingga merupakan kerajaan/kesultanan pewaris Kesultanan Malaka yang ditaklukkan Portugis tahun 1511.

Kesultanan Johor-Riau bersekutu dengan Belanda (VOC) tahun 1606 untuk merebut Malaka dari kekuasaan Portugis

Untuk menghindari serangan-serangan Aceh atas wilayah-wilayah timur Sumatra, Semenanjung Malaya dan Kepulauan Riau, antara 1613-1620, Kesultanan Johor-Riau bersekutu dengan Aceh

Winstedt, R.O., A History of Johore 1365-1895 A.D., Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, Vol. 10, No.3 (115), December 1932, p. 27

Namun eksploitasi Aceh atas penduduk kawasan tersebut membuat Kesultanan Johor-Riau berubah strategi, dengan beraliansi dengan penguasa Patani dan bekas musuhnya, Portugis, melawan Aceh dan berhasil menghancurkan armada Aceh di dekat Malaka pada tahun 1629

Sejak pertengahan abad ke-17, pada saat kemerosotan Kesultanan Aceh Kesultanan Johor-Riau berhasil memperkuat kekuasaannya di Sumatera bagian Timur, Semenanjung Melayu (Pahang, Johor) dan Kepulauan Riau-Lingga, terutama pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim Syah 1677-1685 (Hall, 1988: 311-317)

Penaklukkan Belanda/VOC atas Malaka-Portugis tahun 1641, merupakan strategi Belanda untuk merebut hegemoni perdagangan lada dan timah dikawasan tersebut, target mereka

Tamadun Melayu Lingga

144

adalah menguasai Kesultanan Johor-Riau.Pembunuhan Sultan Mahmud Syah II (1685-1699), pada tahun

1699, di Kota Tinggi Johor, memicu konflik internal di kesultanan Johor-Riau

Naik tahtanya bendahara Abdul Jalil Riayat Syah menjadi Sultan tahun 1699, memicu pemberontakan penguasa Siak, Raja Kecil yang menyerang Johor tahun 1718, dalam serangan tahun 1719, sultan terbunuh

Anak Sultan Abdul Jalil Riayat Syah, Sulaiman menyusun kekuatan merebut kekuasan dari Raja Kecil dengan meminta bantuan ”Lima Bugis Bersaudara” yang memiliki kekuatan bersenjata yang kuat di wilayah Klang dan Selangor, tahun 1721

Mereka adalah Daeng Marewah, Daeng Chelak, Daeng Perani, Daeng Manambun dan Daeng Kemasi, mereka adalah anak-anak Opu Daeng Rilaka yang merupakan keturunan Raja Luwuk di Sulawesi Selatan

Dengan bantuan pasukan dari ”Lima Bersaudara Bugis”, Pangeran Sulaiman dapat merebut kembali tahtanya pada tahun 1722 dan berkuasa sampai tahun 1760 bergelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I. Namun demikian Sultan Sulaiman telah mengikat perjanjian sebelumnya dengan memberikan jabatan Yang Dipertuan Muda (YDM) bagi kelima Bugis bersaudara dan anak keturunannya.

Perjanjian sumpah setia antara Sultan Sulaiman dengan Daeng Chelak sebagai YDM pertama berlangsung tahun 1722, mereka berdua mengaku sebagai dua bersaudara yang saling setia. Bahkan dalam perjalanannya sejarah selanjutnya kekuatan keluarga Bugis semakin kuat karena sultan yang baru akan dilantik oleh YDM, sebaliknya YDM yang baru akan dilantik oleh sultan. (Zuriadi,2012 109-111; Ricklefs, 2005: 158-159)

Pada pertengahan abad ke-18, gejolak persaingan muncul diantara raja-raja di Semenanjung, Kepulauan riau dan Riau-Sumatera. Terjadi persaingan antara raja-raja keturunan Melayu,

Tamadun Melayu Lingga

145

Minangkabau dan Bugis. Kekuasaan Bugis semakin menguat sedangkan kekuatan raja-raja keturunan Minagkabau semakin melemah. Selangor dan Perak berhasil ditundukkan oleh Sultan Sulaiman yang didukung Daeng Marewah dan Daeng Celak.

Kekuatan militer dan ekonomi para penguasa Johor-Riau keturunan Bugis yang menjadi YDM membuat khawatir Belanda yang kemudian mendirikan pos-pos militer di Kepulauan Riau-Lingga. Bahkan VOC mengikat perjanjian dengan Sultan Sulaiman untuk membantu Sultan menghadapi tekanan YDM Riau, dengan imbalan Belanda mendapatkan konsesi perdagangan timah di Perak dan mendapatkan pijakan di Siak.

Pertempuran pertama antara Belanda dengan kekuatan Kerajaan Johor-Riau dari unsur Bugis. Tahun 1756, kekuatan Bugis menyerang benteng Malaka, namun berhasil dikalahkan Belanda. Sultan Sulaiman kemudian menjadi penengah dengan menandatangani perdamaian dengan Belanda. Pada tahun 1759/1760, Sultan Sulaiman wafat, penggantinya cucunya Sultan Mahmud Riayat Syah masih 5 tahun (Ayahnya Sultan Abdul Jalil Muadzam Syah meninggal 1761), dengan segera Raja Haji menyatakan diri sebagai wali Sultan dan menunjuk sepupunya Daeng Kemboja, anak Daeng Parani sebagai YDM III.

Di bawah pemerintahan YDM III Daeng Kemboja dan Raja Haji, Kesultanan Johor-Riau menjadi sangat kuat, bahkan waktu itu dapat menaklukkan Jambi, Indragiri, Perak dan Kedah, dengan Raja Haji menjadi panglima militer yang disegani oleh lawan-lawannya. Meninggalnya YDM III Daeng Kemboja tahun 1777, menaikkan posisi Raja Haji anak Daeng Celak menjadi YDM IV Riau, meski diakui oleh Belanda sebagai pengganti sepupunya namun Raja Haji dan Belanda kemudian mulai berselisih.(Hall, 1988: 318-321)

Dengan adanya konflik antara Belanda dan Inggris sejak 1780, pihak Johor-Riau bekerjasama dengan Belanda untuk menghadapi Inggris, namun mereka berselisih paham tentang pembagian

Tamadun Melayu Lingga

146

harta rampasan dari kapal dagang Inggris yang berhasil ditangkap kapal VOC. Merasa tidak diberikan jatah pampasan dari kapal Inggris membuat Sultan dan Yang dipertuan Muda Raja Haji melakukan serangan terhadap kapal-kapal VOC tahun 1783, bulan Januari 1784, kapal utama VOC berhasil dihancurkan oleh armada laut Johor-Riau.

Namun pada Mei 1784 armada bantuan dari Belanda yang dipimpin Jacob van Braam datang dan berhasil menghancurkan armada laut Johor-Riau di teluk Ketapang didekat Malaka, dengan menewaskan Raja Haji dan panglima-panglima militer Kesultanan Johor-Riau. Untuk selanjutnya armada Belanda terus bergerak dengan menaklukkan Sultan Selangor pada bulan Agustus 1784, sedangkan pada bulan Oktober, Belanda berhasil menguasai kekuatan Bugis di Riau dan memaksa Pihak Kerajaan Riau-Johor untuk menandatangi penyerahan dan perjanjian dengan Belanda. (Ricklefs, 2005: 161; Hall, 1988: 320-322)

Sultan Mahmud yang kecewa dengan Belanda pada tahun 1785 mengundang penguasa bajak laut Ilanun dari Kalimantan. Serbuan pasukan bajak laut ini sangat merepotkan Belanda. Pada akhirnya Belanda memenangkan pertarungan tersebut dan dapat menggusur kekuatan Bugis yang kemudian bergeser ke Kalimantan Barat, sementara itu Sultan Mamud meminta kepada rakyat dan pasukannya untuk terus melawan Belanda. Pengaruh dari peristiwa Revolusi Perancis terjadi juga di kawasan Kepulauan Riau-Lingga dan Semenanjung Melayu.

Terutama setelah didudukinya negeri Belanda oleh Perancis, sehingga Inggris sebagai musuh Perancis pada akhirnya menganggap Belanda adalah musuhnya, pada tahun 1795, Inggris merebut Malaka dari tangan Belanda. Kekuatan Inggris yang semakin dominan kemudian mulai menduduki sebagaian wilayah Kerajaan Johor-Riau, Sultan Mahmud ditetapkan oleh Inggris sebagai sultan kembali, sekaligus mengembalikan kekuasaan keturunan Raja Haji, Yaitu Raja Ali sebagai YDM Riau selanjutnya.

Tamadun Melayu Lingga

147

Perjanjian 1784, 10 November 1784 antara VOC dan Kesultanan Johor-Riau

Bahwa kerajaan dan pelabuhan menjadi hak Belanda, menghilangkan perjanjian antara penguasa Johor dengan Bugis, Kesultanan Johor-Riau adalah kawan VOC dan akan saling melindungi, tidak ada lagi jabatan Yang Dipertuan Muda orang Bugis, VOC bebas berdagang di wilayah Johor-Riau, kapal-kapal dari Johor, pahang yang akan ke Malaka harus memiliki surat pass dari VOC, Johor-Riau harus membantu VOC menumpas Bajak laut, larangan bagi kapal-kapal Cina yang membawa rempah-rempah dan timah dari Palembang masuk ke Johor-Riau, dll

Bahwa kerajaan dan pelabuhan menjadi hak Belanda, menghilangkan perjanjian antara penguasa Johor dengan Bugis, Kesultanan Johor-Riau adalah kawan VOC dan akan saling melindungi, tidak ada lagi jabatan Yang Dipertuan Muda orang Bugis, VOC bebas berdagang di wilayah Johor-Riau, kapal-kapal dari Johor, pahang yang akan ke Malaka harus memiliki surat pass dari VOC, Johor-Riau harus membantu VOC menumpas Bajak laut, larangan bagi kapal-kapal Cina yang membawa rempah-rempah dan timah dari Palembang masuk ke Johor-Riau, dll

Belanda membangun bentengnya di Pulau Bayan dan menempatkan Residen David Ruhde, Juni 1785

Sultan Mahmud Riayat Syah mengirim utusan ke Tempasuk untuk membantunya membebaskan Riau dari cengkeraman Belanda, 1786

Surat Sultan Mahmud dibawa oleh utusan sultan kepada penguasa (raja) bajak laut di Tempasuk, wilayah Sabah, Kalimantan Utara. Dalam Tuhfah al Nafis dikisahkan sebagai berikut:

Sumber: Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, (Virginia Matheson.ed.), Op. Cit., hlm. 220-221

Belanda membangun bentengnya di Pulau Bayan dan menempatkan Residen David Ruhde, Juni 1785

Sultan Mahmud Riayat Syah mengirim utusan ke Tempasuk

Tamadun Melayu Lingga

148

untuk membantunya membebaskan Riau dari cengkeraman Belanda, 1786

Surat Sultan Mahmud dibawa oleh utusan sultan kepada penguasa (raja) bajak laut di Tempasuk, wilayah Sabah, Kalimantan Utara. Dalam Tuhfah al Nafis dikisahkan sebagai berikut:

Syahdan kata sahibul hikayat adalah kira-kira tiga tahun di dalam hal yang demikian itu maka dukacitalah baginda Sultan Mahmud serta Raja Indera Bungsu. Maka jadilah dukacitanya dan susahnya seumpama api maka memakanlah akan sabarnya. Maka jadi melakukan dan mengikutkan hawa nafsunya sebab kerana hendak melepaskan piciknya dan susahnya. Maka tiadalah memikirkan yang dibelakangnya.

Maka menyuruhlah ia satu utusan ke Tempasuk membawa surat kepada Raja Tempasuk minta pertolongan pada mengamuk Holanda di dalam Riau. Maka Raja Tempasuk pun menyuruh anaknya tiga orang, pertama Raja Tembak, kedua Raja Alam, ketiga Raja muda beserta Raja Ismail menjadi Panglima Besarnya. Maka berlayarlah mereka itu ke Riau.

Pada tanggal 2 Mei 1787, dalam catatan arsip VOC, sebuah armada terdiri dari 40-55 kapal yang membawa 1.500 hingga 2.100 prajurit berlabuh di dekat Tanjung Pinang. Dalam beberapa saat jumlah kapal yang berlabuh mencapai 90 kapal dan membawa tidak kurang 7000 pasukan. Armada tersebut bukan berasal dari orang Melayu atau Bugis, melainkan para bajak laut orang Ilanun, yang berasal dari Kepulauan Sulu yang terletak antara Kalimantan Utara dengan Filipina. Sultan Mahmud nampak pura-pura tidak tahu tentang kemunculan armada bajak laut yang dipimpin oleh seorang pangeran dari Kalimantan.

Laporan kepada sultan menyebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang berasal dari Solok, terbawa angin akibat badai, mereka sangat membutuhkan beras dan memperbaiki kapalnya yang rusak. Mereka kemudian diberikan bantuan beras dan perbekalan lainnya dan akan kembali ke Kalimantan pada musim angin berikutnya.

Tamadun Melayu Lingga

149

Lihat arsip VOC, ANRI, Arsip Hooge Regering No. 4008, hlm. 1-14, lihat juga Reinout Vos, Op. Cit., hlm 182-183, ARA, Account of three Malays, 29-5-1787? VOC 3812, lihat juga Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, (Virginia Matheson.ed.), Op. Cit., hlm. 220-221

Berdasarkan laporan Arsip Riauw No. 70/Ia. Yang ditulis oleh Residen Riau, David Ruhde diatas kapal perang Banka pada tanggal 21 Mei 1787 menceritakan:

Pada tanggal 6 Mei ditemukan Raja Ali yang terdampar setelah 5 hari sebelumnya terlihat di Tanjung pinang . Perahu tersebut dipimpin oleh Pangeran Solok, Raja Alam, Raja Muda... Sultan mahmud berniat meminta bantuan secara diam-diam untuk mengusir Belanda dari Riau kepada orang Bugis yang tinggal di Riau bernama Daing Teppa...pada tanggal 13 Mei 1787 Sultan Mahmud pergi ke selatan terusan Riau melalui Penyengat dan Senggarang dengan dibantu oleh penduduk dan mendekati pencalang untuk menggempur pasukan Belanda. Pertempuran tidak terelakkan dan kemudian pasukan Sultan Mahmud mendekati Selat Singapura, menghancurkan satu garnisun Belanda di Tanjung Pinang dan Residen Belanda di tanjung Pinang David Ruhde meninggalkan Tanjung Pinang dengan kapal Banka menuju Malaka

Anak buah Kompeni yang berada di Kapal Johanna yang tetap tinggal di Riau ditawan oleh Sultan Mahmud. Sultan Mahmud memindahkan pusat pemerintahannya ke Daik, Lingga dengan menggunakan perahu. Ada juga rakyatnya yang pindah ke pahang, Bulang dan Trengganu. Sementara Belanda tidak dapat mengejar pasukan Sultan Mahmud karena Belanda merasa kesulitan.

“Laporan Rahasia tanggal 21 mei 1787 diringkas oleh Residen Riau David Ruhde yang datang menggunakan pancalang Banka” koleksi Arsip Riouw No. 70/Ia. lihat juga ANRI, cerita dari 3 orang Melayu, 29 Mei 1787, Arsip Riouw No. 70/4 berdasarkan laporan 19 Juli 1787

Tamadun Melayu Lingga

150

Sultan Mahmud memindahkan pusat kekuasaannya ke Lingga sebagai strategi untuk mempersulit pihak Belanda menyerang balik kekuatan Sultan, namun panglima lautnya Raja Tumenggung (Tommogong) masih bertahan di Selat Sekiela untuk menghadang ekspansi armada Belanda (VOC)

1. Alam geografis ”belantara laut” kepulauan Lingga adalah pertahanan alam bagi kekuatan sultan, 2. dukungan logistik karena banyak terdapat hutan sagu, penghasil tepung sagu sebagai kebutuhan bahan makanan pokok, 3. KepulauanLingga markas bajak laut (baik Ilanun, Orang Laut, Melayu) yang mengabdi kepada sultan

Diplomasi dengan Inggris untuk mendapatkan senjata dan mesiu yang ditukar dengan lada dan timah

Pasukan gabungan tersebut banyak menyerang dan membajak daerah-daerah yang dikuasai Belanda di Bangka dan Sumatera Selatan

Desember 1787, Belanda melakukan serangan balik ke Riau dipimpin oleh Silvester, namun hanya Bintan yang dikuasai, namun kesulitan menghadapi kekuatan laut Sultan Mahmud Riayat Syah

Gubernur Malaka de Bruijn mengatakan armada VOC yang berkekuatan 19 kapal perang sangat kecil dibandingkan kekuatan gabungan armada laut Sultan Mahmud Riayat Syah dan sekutu bajak lautnya, sangat sulit mengalahkan armada laut Sultan Mahmud di Belantara laut Kepulauan Lingga

Fenomena maraknya bajak laut pada sepertiga akhir abad ke-18 disebabkan 1. intervensi bangsa Eropa (Belanda), 2. Monopoli perdagangan yang dipaksakan kepada penguasa pribumi, kerakusan dan ketamakan Belanda telah menggusur peran ekonomi pedagang lokal, 3. perlawanan Sultan Mahmud Riayat Syah melawan dominasi Belanda (VOC), menentang dan melawan intervensi Belanda di Riau sejak 1784

Perang Riau dan upaya Belanda menguasai wilayah tersebut membutuhkan pembiayaan yang sangat besar

Tamadun Melayu Lingga

151

Sampai tahun 1790-1793 aktifitas perlawanan dan perdagangan gelap oleh para bajak laut sangat merepotkan kompeni Belanda

”Keberadaan Sultan Mahmud yang memutuskan untuk tinggal di Lingga dianggap membahayakan (gevaerlijk). Alasan Sultan Mahmud memindahkan pemerintahannya ke Lingga adalah untuk menjaga keselamatan rakyatnya. Adanya bajak laut yang mencukupi kebutuhannya dari penyelundupan sangat merugikan pemerintah Belanda”, (Arsip VOC Hooge Regering No. 3998, Malaka, 1790)

Surat penyerahan kedaulatan atas Riau kepada Sultan Mahmud Riayat Syah tersebut dibuat di kastil Melaka pada tanggal 23 Agustus 1795 atau tanggal 10 Safar tahun 1210 H.

”Deze brief, gerigt aan Sulthan Mahmoed Rajat Sjah, koning van Djohor en Pahang, komt van Abrahamus Couperus, van wege de Nederlandsche Oost-Indische Compagnie, Gouverneur van Malakka...

“Surat ini ditujukan kepada Sultan Mahmud Rayat Syah, Raja Johor dan Pahang, dari Abrahamus Couperus, atas nama Perusahaan dagang Hindia Timur-Belanda (VOC) Belanda, Gubernur Melaka dan Henri New Come atas nama Raja Inggris, sebagai protektor dan sahabat O.I.C Belanda sekarang sebagai Kepala Angkatan Laut dan Militer Kerajaan Inggris, hadir di sini sebagai pelindung... Mengingat bahwa Yang Mulia Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia telah bersetuju untuk mendudukkan Sri Paduka kebali ke tampuk negeri ini,

yang selama ini telah diduduki oleh nenek moyang Sri Paduka, maka kami menganggap bahwa menjadi kewajiban kamilah untuk memberikan bantuan sepenuhnya, untuk mempercepat terlaksananya hal yang penting ini; oleh karena itulah maka kami, untuk memenuhi keinginan yang mulia beserta Dewan Hindia, memaklumkan kepada Sri Paduka, bahwa dua kapal kerajaan kami pergi ke Riau untuk mengambil semua kekuatan militer dan pertahanan dari sana dan mengosongkan tempat tersebut untuk kepentingan Sri Paduka sebagaimana yang Sri Paduka harapkan.

Tamadun Melayu Lingga

152

Kami meminta Sri Paduka untuk sesegera mungkin kembali ke sana dan menjadikan milik Sri Paduka Kembali.

Gubernur Couperus kemudian tanggal 26 Agustus 1795 mengirimkan surat kepada Gubernur Jenderal VOC di Batavia bahwa penyerahan Riau kepada Sultan Mahmud adalah keputusan yang tepat. Dasar pemikiran Couperus antara lain menyebutkan bahwa untuk mengatasi para bajak laut di kepulauan Riau mau tidak mau harus menyinggung Sultan Mahmud, karena para lanun yang menakutkan tersebut berada dalam perlindungan Sultan Mahmud. Bahkan aktifitas bajak laut tersebut juga terjadi sampai di perairan Jawa.

Pada tanggal 9 September 1795, Komandan Newcome (Inggris) berlayar ke Riau dan memindahkan Residen dan pasukan Belanda dan mengembalikan pulau tersebut kembali kepada Sultan Mahmud yang saat itu masih berdiam di Lingga.

Namun Abraham Couperus sangat kecewa dengan tindakan perwira Inggris yang tidak menghiraukan keinginan Gubernur Belanda di Melaka. Couperus berharap dia dan pasukan Belanda beserta prajurit Sepahi diperbolehkan tinggal di Tanjung Pinang sampai kedatangan Sultan Mahmud dan juga mengurus masalah pajak dan keuangan di Riau. Tetapi setelah kedatangan kapal perang dan kapal dagang Belanda ke Riau tanggal 9 September 1795, justru Newcome memerintahkan pembongkaran Benteng Belanda di Riau dan kemudian membawanya bersama pasukan Sepahi ke Melaka.***

Tamadun Melayu Lingga

153

RIWAYAT SINGKAT RAJA-RAJA KESULTANAN MELAYU RIAU-LINGGA-

JOHOR-PAHANG (1787-1913)

H. ALIAS WELLO,1DAN SAID BARAKBAH ALI2

1)Bupati Lingga Periode 2016-20212) Tenaga Ahli Pemerintah Kabupaten Lingga

I. Sultan Mahmud Syah III (1761-1812) Menggantikan Sultan Ahmad Riayat Syah adalah Tengku Mahmud, adiknya dengan gelar Sultan Mahmud Syah III atau Sultan Mahmud Riayat Syah. Beberapa hal penting terjadi pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah III :1. Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Muda III Riau) wafat

tahuun 1777, digantikan Raja Haji (Yang Dipertuan Muda IV

2. Riau) pada mmasa pemerintahan Sultan Mahmud Riayat Syah dan Raja Haji terjadi perang laut yang paling besar dalam sejarah perjuangan orang-orang Melayu menentang dan mengusir musuh-musuhnya. Beberapa kali Raja Haji bersama armada dan pasukannya menyerang Belanda. (bertarung lebih kurang 5 bulan di Malaka ) Raja Hajii wafat 18 Juni 1784 di Teluk Ketapang. Beliau di beri gelar Marhum Teluk Ketapang, di makamkan di Pulau Penyengat. “Shahadan kata kaul yang mutawatir, sebab itu-lah di-gelar oleh Holanda –Holanda yang dahulu dengan nama “Raja Api” (Tuhfat al-Nafis, 1965:208).

3. Pengganti Raja Haji adalah Raja Ali (Yang Dipertuan Muda IV Riau)

4. Belanda pertama kali mendirikan keresidenan Riau yang berpusat di Tanjungpinang, 19 Juni 1785. Residen pertama adalah David Ruhde yang bertempat tinggal di Pulau Bayan

Tamadun Melayu Lingga

154

(Haji Buyong Adil, 1980:162)5. Sultan meminta bantuan dengan Raja Ismail (di sebut juga

Raja Lanun-Lanun atau Raja Tempasok) daerah oprasinya di sekitar Suluh Luzon. Permintaan Sultan Mendapat tanggapan positif Raja

6. Tempasok dan mengirim 40 kapal layar besar ke Riau. Belanda diserang pada 1 Mei 1787, dan residennya dipaksa mennggalkan Riau

7. Sultan Khawatir, belanda dengan kekuatan serdadunya yang besar akan membalas kekalahannya terhadap angkatan laut Tempasok. Sultan bermusyawarah dengan para pembesar kerajaan untuk pindah ke Daik Lingga.

“kemudian maka mushuarat-lah Baginda dengan Raja Indra Bungsu dan Dato’ bendahara sekalian. Maka titah Baginda : “Tiadalah saya terhemat dudok di-dalam negeri Riau. Sebab Holanda Itu tentu datang semula ia melanggar negeri ini, padahal di dalam negeri kekuatan-nya sudah tiada lagi, jikalau Begitu baik saya pindah ke-Lingga”. Maka sembah orang-orang besarnya, “Mana-mana titah sahaja-lah”. Adanya

8. Sultan memilih Daik, dikarnakan Daik terletak jauh dari darat di Pulau Lingga, lebih kurang 2 km dari laut. Sungai Daik dilayari sampai ke Hulu dan terlindung dari kejaran Belanda. Sungai Daik sangat di tentukan oleh keadaan air pasang naik dan surut. Saat ”Kojoh” sungai tidak dapat dilayari, karena arus sangat deras. Sungai Daik Banyak kelokannya.

9. Di Daik sudah ada suku bangsa dari keturunan Megat Merah, berasal dari Tanjung Jabung Jambi. Siultan Mahmud diterima dan disambut suku-suku (Mantang, Suak, Tambus, Nyenyah).

10. Pusat pemerintahan pindah dari Riau ke Lingga terjadi perubahan nama kerajaan kesultanan Melayu Johor. Riau menjadi kesultanan Melayu Lingga-Riau. Perubahan nama

Tamadun Melayu Lingga

155

tidak mengurangi wilayah kekuasaan yang meliputi Lingga, Riau, Johor, Singapura, Pahang, dan wilayah timur Sumatera bagian tengah dan pulau-pulau sekitarnya. Diperkirakan keberangkatan ke Lingga dalam tahun 1987.

11. Ikatan persaudaraan antara orang-orang Melayu dan orang-orang Bugis semakin erat. Pada Februari 1802 Bendahara Abdul Majid berhasil membujuk Raja Ali dan Engku Muda Muhammad yan pernah berselisih. Sultan Mahmud melantik kembali Raja Ali menjadi yang Dipertuan Muda IV Riau (1803). Sultan Mahmud kahwin dengan Rja Hamidah (Engku Puteri) anak Raja Haji. Tengku Husin (Tengku Long) putera sulung Sultan kahwin dengan anak Engku Muda Muhammad, Che’ Puan Bulung.

12. Sultan Mahmud menenukan hak milik anak-anak dan istrinya serta keturunan Sultan. Raja Hamidah mendapatkan Pulau Penyengat. Tengku Abdurrahman (Si Komeng) Putera Sultanmendapat hak Pulau Lingga. Temenggung mendapat kekuasaan Johor, Singapura, dan daerah sekitarnya.Bendahara mendapat daerah kekuasaan Pahang

13. Engku Muda Muhammad diangkat menjadi Temenggung, karena abangnya Temenggung Abdul Hamid meninggal. Engku Muda Muhammad menolak.

14. Abdul Rahman Putera Temenggung Sri Maharaja dan tinggal di Bulang, yang menjadi bendahara adalah Tun Ali bergelar bergelar Bendahara Seri Wak Raja.

15. Yang Dipertuan Muda V Riau, Raja Ali meninggal (1806), dan penggantilnya adalah Raja Ja’far putera Raja Haji bergelar Yang Dipertuan Muda VI Riau.

16. Sultan Mahmud mempunyai empat orang istri. Istri pertama bernama Engku Puan anak Bendahara Pahang (tidak mempunyai keturunan). Intri kedua bernama Encik Mokoh binti Encik Ja’bar Daeng Matarang, punya anak bernama Tengku Long (Tengku Husin). Istri ketiga bernama Encik Maryam binti Datuk Bendahara Hasan, punya anak

Tamadun Melayu Lingga

156

bernama Tengku Abdul Rahman. Istri keempat bernama Raja Hamidah (disebut juga Engku Puteri) anak dari Raja Haji, tidak mempunyai keturunan.

17. Sultan Mahmud mangkat di Lingga pada 12 Januari 1812. Dimakamkan di Lingga, diberi gelar Marhum Masjid (makamnya di belakang Masjid Lingga).

18. Sultan Mahmud III telah membangun Lingga selama 25 tahun. Baginda telah membenahi ibu kota kesultanan Melayu Lingga-Riau. Dia telah berhasil meletakkan sandaran untuk kelanjutan pemerintahan berikutnya.

II. Sultan Abdurrahman (1812-1832)1. Tengku Abdurrahman diangkat menjadi Sultan

menggantikan ayahndanya Sultan Mahmud Syah III.2. Tengku Husin dilantik menjadi Sultan Johor-Singapura (6

Februari 1819).3. Traktat London (1824) telah memecahkan kesatuan Melayu

Riau. Daerah kesultanan yang sebelumnya meliputi Riau, Lingga, Johor, Pahang, Terengganu, Singapura dibagi dua menurut kesepakatan Belanda dan Inggris. Bagian utara yang meliputi Johor, Singapura, Terengganu, dan Pahang menjadi wilayah Kesultanan Melayu Johor-Singapura. Bagian Selatan yang meliputi pulau-pulau Lingga-Singkep dan Riau menjadi wilayah Kesultanan Melayu Lingga-Riau.

III. Sultan Muhammad Syah (1832-1841)Sultan Abdurrahman wafat pada 12 Rabiul Awal 1284 H

(1832 M0, dimakamkan di Bukit Cengkil Daik, disebut Marhum Bukit Cengkil. Penggantinya adalah puteranya Tengku Besar Muhammad bergelar Sultan Muhammad Syah.

1. Pada masa pemerintahannya Sultan telah menunjuk penggantinya. Hal ini tidak pernah terjadi pada masa pemerintahan Sultan-Sultan sebelumnya. Sultan

Tamadun Melayu Lingga

157

mempunyai dua orang putera (Tengku Mahmud dan Tengku Usman). Tengku Mahmud, putera sulung ditunjuk sebagai pengganti Sultan.

2. Sultan Muhammad Syah mangkat (1841), dimakamkan di Bukit Cengkeh, diberi gelar Marhum Keraton (karena pada masa hidupnya Sultan tertarik kepada seni bangunan Keratin Jogjakarta). Makam Sultan diberi qubah yang terbuat dari beton bersegi delapan, berdampingan dengan makan Sultan Abdurrahman.

3. Qubah yang dibangun pada 29 Rajab 1261 H (1845 M) dikelilingi 27 tembok beton, berpintukan besi dibuat oleh Sultan Mahmud Muzaffar Syah (sebagai penghormatan terhadap ayahndanya Sultan Muhammad Syah).

IV. Sultan Mahmud Muzafar Syah (1841-1857)1. Sultan ini besar pengaruhnya terhadap orang-orang

Melayu Lingga-Riau.2. Belanda tidak senang terhadap kepemimpinan Sultan.

Sehubungan dengan itu, Sultan dimakzulkan dari jabatannya oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 23 September 1857.

V. Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (1857-1883)1. Pengganti Sultan Mahmud Muzaffar Syah adalah Tengku

Sulaiman (paman Sultan Mahmud Muzaffar Syah). Gelar yang melekat adalah Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (dilantik pada 10 Oktober 1857).

2. Raja Abdullah dilantik menjadi Yang Dipertuan Muda ke-9 Riau, menggantikan Raja Ali Yang Dipertuan Muda ke-8 Riau.

3. Sultan mangkat pada 17 September 1883, makam di Bukit Cengkil.

Tamadun Melayu Lingga

158

VI. Sultan Abdurrahman Muazam Syah (1883-1913).1. Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah tidak mempunyai

keturunan. Penggantinya adalah Fatimah, puteri Sultan Mahmud Muzafar Syah. Fatimah adalah istri Raja Muhammad Yusuf (Yang Dipertuan Muda X Riau). Fatimah menyerahkan kekuasaan kepada puteranya Raja Abdurrahman dengan gelar Sultan Abdurrahman Muazam Syah (1883).

2. Sultan membangun Istana Damnah di Kmapung Damnah.3. Belanda menempatkan wakil residen di Tanjung Buton

Lingga.4. Lahirnya organisasi rusyidiah Club oleh para cendikiawan

di Penyengat. Organisasi ini tempat berhimpun tokoh politik, budaya, dan tokoh masyarakat kerajaan antara lain Raja Ali Kelana, Raja Hitam Khalid, Raja Haji Abdullah.

5. Sultan pindah ke Riau (Penyengat) 1903.6. Pasa saat Sultan berada di Daik, Belanda ke Penyengat

untuk menyampaikan pengumuman pemberhentian Sultan dan Tengku Besar Umar.

7. Sultan dan Tengku Besar diberhentikan dan kekuasaan dipegang Belanda pada 10 Februari 1911.

8. Kesultanan Melayu Lingga-Riau dihapus (1913) pembesar-pembesar kerajaan dan para cerdik pandai pindah ke Singapura dan tetap melakukan kegiatan di Riau. Raja Hitam Khalid, tokoh masyarakat pernah melakukan kunjungan ke Jepang untuk minta bantuan senjata, dan meninggal di sana (1915.

9. Sultan dengan beberapa orang pengikutnya meninggalkan Penyengat menuju Singapura dengan kapal kerajaan yang disebut kapal “Samarda” atau disebut juga kapal “Sri Daik” (T.A. Abubakar; 44). Ada versi lain yang menyebut kapal “Sri Penyengat”. Nakhodanya bernama NINGGAL (1911).

10. Pada tahun 1883 s.d. 1885 Tengku Embung Fatimah Bunda

Tamadun Melayu Lingga

159

dari Sultan Abdurrahman Muazam Syah memangku sementara roda Pemerintahan sambil menunggu pelantikan Sultan Abdurrahman Muazam Syah.

11. Sultan tidak mau tunduk kepada pemerintahan Hindia Belanda.

Pulau Pandan jauh ke tengahGunung Daik bercabang tigaHancur badan dikandung tanahBudi baik dikenang juga.***

Tamadun Melayu Lingga

160

EPILOG

Kabupaten Lingga kini adalah bagian dari tapak kawasan luas Kerajaan Lingga-Riau dan atau Riau-Lingga yang pernah masyhur abad pertengahan lalu. Riau Lingga atau Lingga Riau suatu sebutan bergantung kepada di mana yang dipertuan besar berdomisili dan keinginan rakyatnya. Kawasan ini suatu saat dulu pernah menyatu dengan Johor, bahkan Johor dan Pahang. Pusat-pusat kerajaan itu disebut oleh masyarakat Melayu serumpun dalam suatu helaan nafas sejak berabad-abad yang lalu. Kini Riau Lingga dan Lingga Riau yang gagah perkasa dulu sebagai bagian dari kawasan yang luas itu.

Kerajaan Riau Lingga menjadi bagian penting dari berlangsungnya peristiwa-peristiwa besar sejarah, antara lain disebutkan dalam Sulalatis Salatin, sebuah peristiwa bagaimana Lemang Daun melewati Pulau Lingga melihatnya dalam nuansa surealisme purba sebagai sebuah kepala naga yang menyembul dari perut bumi sebagai simbol kelak akan menguasai seluruh dunia. Kenyataan kemudian pandangan Demang Lebar Daun itu diusahakan pada peristiwa yang berkenaan dengan tokoh Raja Haji Fisabilillah menjadi ladang pengetahuan (field of knowledge) bagi budayawan, sastrawan, sejarawan, ilmuwan, dan lain-lain. Dalam banyak hal, wilayah Kerajaan Riau Lingga seperti hendak memikul beban sejarah kebesaran Melaka pada masa lampau, yang bagaikan menegaskan pernyataan Tome Pires dalam karyanya Summa Oriental, menguasai Melaka sama halnya dengan wilayah lainnya di selatan maka akan dapat menentukan hidup matinya Fenesia. Begitulah gagah perkasanya Lingga di masa lampau.

Membahas masa lalu bukanlah sikap post power syndrome seseorang atau bangsa seperti dipahami sebagian orang yang sinis terhadap masa lalu. Seorang atau bangsa yang merawat masa lalu seperti yang dibuktikan bangsa Jepang adalah juga menginginkan dan mementingkan pencapaian masa depan yang cemerlang dan unggul. Membahas masa lalu karena memang masa lalu bagi

Tamadun Melayu Lingga

161

bangsa ini adalah sebuah kecemerlangan, adalah sebuah keriangan, kemeriahan, dan keunggulan. Suatu saat dulu kawasan ini menurun memang wajar, karena memang kecuaian akibat perbalahan politik kontemporer yang senantiasa dipelihara oleh kepentingan kolonialis Inggeris dan Belanda. Dan, perlu dicatat juga, perkembangan Lingga berikutnya pernah pula amat pesat dan menjadi kekuatan baru dalam diskursus lain yang sebahagian besar dihala kepada kegiatan intelektual. Dicatat dalam sejarah bagaimana percetakan dan penerbitan awal didirikan di Daik yang diberi nama Rumah Cap Kerajaan Lingga. Percetakan ini kemudian dipindahkan ke Pulau Penyengat yang dikenal dengan dua nama yaitu Mathba’at Al-Riawiyah dan Mathba’at Al-Ahmadiyah. Maka mulailah gemuruh diskursus tradisi keberaksaraan di Kepulauan Nusantara melewati batas geografis dan waktu. Dimulai dari Tuan Bilal Abu, Raja Ali Haji, Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau, hingga nama-nama berikutnya seperti Aisyah Sulaiman Riau.

Begitulah sejarah, hendak kita sambungkan dengan masa depan yang cemerlang gemilang di Lingga.***

Tamadun Melayu Lingga

162

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, John, 1971. Mission to the East Coast of Sumatra in 1823. Singapura: Oxford University Press. A. Rahim Noor dan Salin A.Z.,1984. Sembilan Wajib Tari Melayu. (t.p.)

Beg, M.A.J., 1980. Islamic and the Western Concept of Civilization. Kuala Lumpur: Universiti Malaya Press. Blagden, C.O., 1899. “The Name Melayu”, Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society.

Blink, 1918. Sumatra’s Oostkust: In Here Opkomst en Ontwikkelings Als Economisch Gewest. S’Gravenhage: Mouton & Co.

Broersma, R., 1919. De Ontlinking van Deli, Deel I, Batavia: De Javasche Boekhandel & Drukkerij.

Castles, Lance. 1972. The Political Life of A Sumatra Resiency: Tapanuli 1915-1940. Yale: Yale University (Disertasi Doktoral).

Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society. Crawfurd, J. 1820. History of the Indian Archipelago. Edinburg: Archibald Constable and Co.

Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.), 1995. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, London, dan New Delhi: Sage Publications.

Elvy Syahrani. 2007. 9 Wajib Tari Melayu: Tinjauan dari Sisi Kesejarahan. Medan: Universitas Negeri Medan (Skripsi dalam Meraih Gelar Sarjana Pendidikan).

Encyclopedia Brittanica (versi elektronik). 2007. London: Encyclopedia Brittanica.

Fadlin, 1988. Studi Deskriptif Konstruksi dan Dasar-dasar Pola Ritem Gendang Melayu Sumatera Timur. Medan: Jurusan Etnomusikologi (Skripsi Sarjana).

Garraghan, Gilbert J., S.J., 1957. A Guide o Historical Method. New York: Fordam University Press.

Tamadun Melayu Lingga

163

Goldsworthy, David J., 1979. Melayu Music of North Sumatra: Continuities and Changes. Sydney: Monash University (Disertasi Doktoral).

Gullick, J.M., 1972. Sistem Politik Bumi Putera Tanah Melayu Barat. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Guru Sauti, t.t., “Tari Melayu (Dari Daerah Sumaera Timur).” Medan.Guru Sauti, 1956. “Tari Pergaulan” dalam Buku Kenang-kenangan

Kongres II Lembaga Kebudayaan Melayu di Medan, 4 Februari. Medan: Hasmar.

Halewijn, M., t.t., “Borneo, Eenige Reizen in de Binnenlanden van Dit Eiland, Door Eenen Ambtenaar an Het

Goverment, in Het Jaar 1894,” Tijdschrift voor Nederlands Indië, Le Jaargang.

Hall, D.G.E., 1968, A History of South-East Asia, St. Martin’s Press, New York. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia, D.G.E. Hall, 1988. Sejarah Asia Tenggara (diterjemahkan oleh I.P. Soewasha dan terjemahan disunting oleh M. Habib Mustopo). Surabaya: Usaha Nasional.

Hamzah Daud. 1974. “Perkembangan Musik Pop Hingga Sekarang.” Kertas kerja Seminar Muzik Nasional, 3 November.

Hamzah Ismail . 1975/76. Tinjauan Beberapa Aspek tentang Permainan Silat Melayu di Kelantan. Kuala Lumpur: Latihan

Ilmiah LBKM, Universiti Kebangsaan Malaysia.Hariyanto, 1992. Lagu Pulau Sari dalam Konteks Tari Serampang Dua

Belas: Analisis Penyajian Gaya Melodi Tiga Pemusik Akordion di Deli Serdang. Medan: (Skripsi Sarjana Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara).

Harun Mat Piah, 1989. Puisi Melayu Tradisional: Suatu Pembicaraan Genre dan Fungsi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka

Hasan A. 1962. Al-Furqan (Tafsir Qur’an). Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.

Hasan M. Hambari, 1980. “Peranan Beberapa Bandar Utama di Sumatera Abad Ke-7 sampai 16 M dalam Jalur

Tamadun Melayu Lingga

164

Hadi W. M. , Abdul Hadi. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Darat Melalui Lautan,” dalam Saraswati. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Hawkes, Terence, 1977. Structuralism and Semiotics. Berkeley and Los Angeles: University of California Press.

Hill, A.H., 1963. “The Coming of Islam to North Sumatra,” Journal of Southeast Asian History, 4(1). Holt, Claire, 1967. Art in Indonesia: Continuities amd Changes. New York: Cornell University Press. Howell, W., 1923. The Pacific Islanders. London: Weidenfeld and Nicolson.

Hutington, Samuel P.,1996. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York: Simon & Schuster. Holt, Claire, 1967. Art in Indonesia: Continuities and Changes. Ne York: Cornell University Press.

Ibrahim Alfian, 1993. “Tentang Metodologi Sejarah” dalam Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Jassin, H. B. 1962. Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru. Jakarta: Gunung Agung.

Jose Rizal Firdaus, 2006. “Teknik Tari Serampang 12 Karya Guru Sauti. Makalah pada Seminar Internasional Tari

Serampang Dua Belas di Medan, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Medan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Balai Pustaka.Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) [versi elektronik]. Disebut

juga KUBI Luring (Luar Jaringan). Jakarta.Ku Zam Zam, 1980. Muzik Tradisional Melayu Kedah Utara:

Ensembel-ensembel Wayang Kulit, Mek Mulung dan GendangKeling dengan Tumpuan kepada Alat-alat, Pemuzik-pemuzik dan

Fungsi. Kuala Lumpur: Jabatan Pengajian Melayu, Universiti Malaya (Skripsi Sarjana).

Tamadun Melayu Lingga

165

Langenberg, Michael van, 1976. National Revolution in North Sumatra: Sumatra Timur and Tapanuli 1942-1950. Sydney: University of Sidney (Disertasi Doktor Filsafat).

Legge, J.D., 1964. Indonesia. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.

Lomax, 1968. Folksong Styles and Culture. New Brunswick, New Jersey: Transaction Book.

Malm, William P., 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs; serta terJemahannya dalam bahasa Indonesia, William P. Malm, 1993. Kebudayaan Musik Pasiflk, Timur Tengah, dan Asia, dialihbahasakan oleh Muhammad Takari, Medan: Universitas Sumatera Utara Press.

Matusky, Patricia An dan Tan Soi Beng, 2004. The Music of Malysia: The Classical, Folk, and Syncretic Traditions. Kuala Lumpur.

Merriam, Alan P., 1964. The Anthropology of Music. Chicago: North Western University Press.

Mohd Anis Md Nor, 1990. The Zafin Melayu Dance of Johor: From Village to A National Performance Tradition. disertasi doctoral. Michigan: The University of Michigan.

Mohd Anis Md Nor, 1994. “Continuity and Change: Malay Folk Dances of the Pre-Second World War Period.” Sarjana. Kuala Lumpur: University Malaya.

Mohd Anis Md Nor, 1995. “Lenggang dan Liuk dalam Tari Pergaulan Melayu,” Tirai Panggung, jilid 1, nombor 1. Mohd. Ghouse Nasuruddin, 1977. Musik Melayu Tradisi. Selangor, Malavsia: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka. Mohd. Ghouse Nasaruddin, 1994. Tarian Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Mohd. Ghouse Nasaruddin, 2000. Teater Tradisional Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Mohd. Zain Hj. Hamzah, 1961 Pengolahan Muzik dan Tari Melayu. Singapura: Dewan Bahasa dan Kebudayaan Kebangsaan.

Tamadun Melayu Lingga

166

Muhammad Suhaimi bin Haji Ismail Awae, 2007. “Peradaban Islam dalam Konteks Masyarakat Thai: Satu Analisis

Berasaskan YAKIS.” Makalah pada Seminar Kebudayaan Wahana Keamanan, di C.S. Pattani Hotel.

Muhammad Takari, 1998. Ronggeng Melayu Sumatera Utara: Sejarah, Fungsi dan Strukturnya. tesis S-2. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.Muhammad Takari dan Heristina Dewi, 2008, Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara. Medan: Universitas Sumatera Utara Press.

Muhammad Takari dan Fadlin, 2009. Sastra Melayu Sumatera Utara. Medan: Bartong Jaya.

Muhammad Said, 1973. “What was the ‘Social Revolution’ of 1946 in East Sumatra?” terjemahan Benedict Anderson dan T. Siagian. Indonesia. nomor 15, Cornell Modern Indonesia Project.

Nurwani. 2003. Serampang Dua Belas: Tari Kreasi yang Mentradisi pada Masyarakat Melayu Pesisir Sumatera Timur.

Nurhayati.2014. Revitalisasi Seni Pertunjukan Dulmuluk: Upaya Pemertahanan dan Implikasinya Dalam Pembelajaran Sastra. Palembang: Unsri.

Nurhayati, Subadiyono, dan DidiSuhendi. 2013 Revitalisasi Seni Pertunjukan Dulmuluk. Yogyakarta: Leutika Prio.

Yogyakarta: Universitas Gajah Mada (Tesis untuk Mencapai Gelar Magister dalam Bidang Pengkajian Seni Pertunjukan).

Orang Kaya Zubaidi, 2006. “Serampang Dua Belas: Sejarah Tari Serampang Dua Belas Ciptaan O.K. Adram pada

Tahun 1941.” Medan: Makalah pada Seminar Internasional Tari Serampang Dua Belas yang Diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Medan.

Pelzer, Karl J., 1978. Planters and Peasant Colonial Policy and the Agrarian Struggle in East Sumatra 1863-1847.

s’Gravenhage: Martinus Nijhoff. Juga terjemahannya dalam bahasa Indonesia, Karl J. Pelzer, 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria 1863-1947. Terjemahan J. Rumbo. Jakarta: Sinar Harapan.

Tamadun Melayu Lingga

167

Pradotokusumo, P. S. Kakawin Gajah Mada Sebuah karya Sastra Kakawin Abad ke-20: Suatu Suntingan Naskah serta Telaah Struktur Tokoh dan Hubungan antar-Teks. Bandung: Bina Cipta.

Rahmad Martuah, 2003. Himpunan Seni dan Budaya Sri Indera Ratu: Sebuah Kajain mengenai Kontinuitas dan Perubahan dalam Keorganisasian dan Pertunjukan. Medan: Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara (Skripsi Sarjana Seni).

Ratna, 1990. Birokrasi Kerajaan Melayu Sumatera Timur di Abad XIX. Tesis S-2. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Reid, Anthony (ed.), 2010. Sumatera Tempo Doeloe, dari Marco Polo sampai Tan Malaka. Jakarta: Komunitas Bambu. Royce, Anya Paterson, 2002. The Anthropology of Dance. Bloomington: Princeton Book Co Pub.

Sachs, Curt dan Eric M. von Hornbostel, 1914. “Systematik der Musikinstrumente.” Zeitschrift für Ethnologie. Berlin:

Jahr. Juga terjemahannya dalam bahasa Inggeris, Curt Sachs dan Eric M. von Hornbostel, 1992. “Classification of Musical Instruments.” Terjemahan Anthony Baines dan Klaus P. Wachsmann. Ethnomusicology: An Inroduction. Helen Myers (ed.). New York: The Macmillan Press.

Sachs, Curt, 1963. World History of the Dance. California: University of California.

Sachs, Curt. 1993. World History of The Dance. New York: The Norton Library.

Sauti, Guru, 1956. “Tari Pergaulan.” Buku Kenang-kenangan Kongres II Lembaga Kebudayaan Melayu di Medan. 4 Februari. Medan: Hasmar.

Sheppard, Mubin, 1972. Taman Indera: Malay Decorative Arts and Pastimes. Singapura: Oxford University Press. Som Said. 2011. Step By Step To Malay Dance. Singapore: Sri Warisan.

Tamadun Melayu Lingga

168

Setiawan, Fery. 2017. “Sastra Lisan Wayang Cecak, Kesenian Asli Pulau Penyengat yang hampir Punah” Ditulis kembali dari Kompas.com tersedia secara daring. Diakses 17 November 2017.

Sham, Abu Hassan. 1993. Puisi-Puisi Raja Ali Haji. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.

Shellabear, W. G. 1981. Sejarah Melayu. Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti SDN. BHD.

Tenas Effendy, 2000. Pemimpin dalam Ungkapan Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Tenas Effendy, 2004. Tunjuk Ajar Melayu: Butir-butir Budaya Melayu Riau. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu dan Penerbit Adicita.

Tengku Haji Abdul Hayat, 1937. Perajaan Oelang Tahoen Keradjaan Deli. Medan: Kesultanan Deli.

Tengku Lah Husni, 1975. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Pesisir Sumatera Timur 1612-1950. Medan: B.P. Lah Husni.

Tengku Lah Husni, 1985. “Keserasian Sosial dalam Kearifan Tradisional Masyarakat Melayu.” Makalah Seminar

Keserasian Sosial dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan, di Medan.

Tengku Lah Husni, 1986. Butir-butir Adat Budaya Melayu Pesisir Sumatera Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tengku Luckman Sinar, 1971. Sari Sejarah Serdang. Medan: t.p.Tengku Luckman Sinar, 1985. “Keserasian Sosial dalam Kearifan

Tradisional Masyarakat Melayu.” MakalahSeminar Keserasian Sosial dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan,

Medan.Tengku Luckman Sinar, 1986a. “Perkembangan Sejarah Musik

dan Tari Melayu dan Usaha Pelestariannya.” Makalah dalam Seminar Budaya Melayu Indonesia, di Stabat, Langkat, 1986.

Tamadun Melayu Lingga

169

Tengku Lukman Sinar, 1986b. “Sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur”, dalam Masyarakat Melayu Riau dan kebudayaannya, Budi Santoso et.al (eds). Pekanbaru: Pemerintah Propinsi Riau.

Tengku Luckman Sinar, 1988. Sejarah Deli Serdang. Lubuk Pakam: Badan Penerbit Pemerintah Daerah Tingkat II Deli Serdang.

Tengku Luckman Sinar, 1990. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu. Medan: Perwira.

Tengku Luckman Sinar, 1991. Sejarah Medan Tempo Doeloe. Medan: Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia. Tengku Luckman Sinar, 1994. Jatidiri Melayu. Medan: Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia.

Volker, T., 1928. Van Oerbosch tot Culturgebied. Medan: De Deli Planters Vereeniging.

Wan Abdul Kadir, 1988. Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu Bandaran. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Wee, Vivienne, 1985. Melayu: Heirarchies of Being in Riau. Disertasi doktor falsafah. Canberra: The Australian National University.

Wellek, Rene dan Austin Waren. 1989.Teori Kesusastraan, diter-jemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta: Pustaka Jaya.

Zainal Abidin Borhan, 2004. “Pandangan dan Visi Pertubuhan Bukan Kerajaan terhadap Permasalahan Bangsa dan

Kebudayaan Melayu Mutakhir.” 10-13 September, sempena Kongres Kebudayaan Melayu di Johor Bahru. Zaleha Abu Hasan, 1996. Mak Yong sebagai Wahana Komunikasi Melayu: Satu Analisis Pesan. Tesis sarjana Fakulti Sains Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur.

Tamadun Melayu Lingga

170

Tamadun Melayu Lingga

171

Tamadun Melayu Lingga

172

Tamadun Melayu Lingga

173

INDEKS PENULIS

Said Barakbah Ali, 7, 13, 153

Muhammad Ishak, 13

Rida K Liamsi, 19,35

Nyat Kadir, 21

Husnizar Hood, 25

M. Fadillah, 29

Tan Sri Prof. Datuk Wira Dr Abdul Latif Abu Bakar, 42

Abdul Malik, 50

Abdul Kadir Ibrahim, 50

Muhammad Takari bin Jilin Syahrial, 96

Latifah Ratnawati, 134

Didik Pradjoko, 141

Alias Wello, 153