Teori Dasar NRECA
-
Upload
zulkifli1220 -
Category
Documents
-
view
355 -
download
34
Transcript of Teori Dasar NRECA
KURSUS KESETIMBANGAN AIR (METODE NRECA)
Untuk mengetahui potensi sumber daya air pada suatu wilayah
perlu dilakukan analisis ketersediaan debit. Analisis ini pada
prinsipnya adalah untuk mendapatkan data turut waktu (time
series) yang andal yang cukup panjang pada setiap simpul aliran
(pada sub-DPS yang terletak dibagian hulu). Permasalahannya
terletak pada data debit yang sangat terbatas jumlah
ketersediaannya, sehingga perlu dilakukan analisis pembangkitan
data debit atas dasar data-data hujan dan iklim. Sebagai ilustrasi
dapat dilihat pada Gambar 1.
Data hujan
Areal Rain fall
Model Rainfall-Runof f
Data Iklim
Evapotranspirasi
Data Debit
Ketersedian air:tim e series runoffuntuk setiap SW S/Sub-SW S
Klasifikasi & Verifikas i
Gambar 1 Skema pembangkitan debit aliran sintesis dalam bentuk
time-series.
Secara garis besar langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah:
1. Analisis data hujan dan iklim,
2. Analisis data debit aliran
3. Pembangkitan data debit,dan
4. Analisis frekwensi mengenai debit aliran rendah.
1
Model rainfall-runoff merupakan model hidrologi analisis hubungan
curah hujan dan debit aliran sungai yang dikembangkan sesuai
dengan kebutuhan yang bersifat hidrologis.
Model yang dipakai pada studi ini adalah model parametrik atau
model yang mencoba mensimulasikan kondisi fisik dengan
deskripsi matematik yang deterministik yang mengikut-sertakan
sebanyak mungkin perkiraan hukum fisika yang berkaitan dengan
hidrologi permukaan. Interprestasi fisik diekspresikan dalam
bentuk parameter dari model.
Dalam model ini tidak dilakukan simulasi stokastik yang
menggambarkan rekaman hidrologi dalam cara statistik dan
menggunakan deskripsi statistik untuk membentuk rekaman
sintentik yang hampir mirip. Setiap model punya kelebihan dan
kekurangan dalam mencapai suatu kepentingan tertentu.
Kumpulan parameter yang mewakili prilaku hidrologi di daerah
aliran sungai haruslah diturunkan dari data. Data yang diperlukan
untuk model parametrik adalah curah hujan, debit dan data
hidrologi lainnya. Bila ada data lain yang dapat memperjelas
informasi data aliran debit disungai atau aerah pengaliran sungai,
hal ini sangat mebantu mempercepat pengumpulan data dalam
usaha mencapai tingkat ketetapan perkiraan yang tinggi.
Model-model curah hujan-debit aliran menggunakan anggapan dari
runtut waktu yang stasioner, untuk periode kalibrasi. Dengan
demikian , parameter model tidak berubah karena waktu.
Anggapan lain yang digunakan adalah, bila terjadi perubahan
parameter, perubahan tersebut dapat dikaitkan dengan terjadinya
perubahan fisik di DPS, yang terjadi oleh adanya kegiatan manusia.
1. INVENTARISASI DATA HIDROLOGI
2
Adapun lingkup pekerjaan inventarisasi pekerjaan hidrologi adalah
sebagai berikut :
1. Pengumpulan data curah hujan
2. Pengumpulan data iklim, yang meliputi :
Data mengenai temperatur / suhu
Data mengenai kelembaban udara
Data mengenai lama penyinaran matahari
Data mengenai kecepatan angin
1.1 Pengumpulan Data Curah Hujan
Pekerjaan pengumpulan data curah hujan adalah untuk
mendapatkan data curah hujan, minimal untuk 10 tahun
pengamatan agar analisa dengan prosedur yang benar ataupun
mendekati kebenaran dapat dilakukan.
Untuk data curah hujan yang kurang lengkap, yang mungkin
disebabkan oleh berbagai hal seperti kerusakan alat ataupun hal
lainnya akan dilengkapi dengan menggunakan metode rata-rata
aljabar (rasio normal).
1.2 Pengumpulan Data Iklim
Untuk inventarisasi atau pengumpulan data iklim tidak disyaratkan
jumlah minimal dari data iklim yang dibutuhkan. Selanjutnya dari
Badan Meteorologi dan Geofisika didapat data iklim dari wilayah
yang dianggap mewakili wilayah yang ditinjau. Data iklim tersebut
dapat dilihat pada perhitungan debit andalan dengan
menggunakan model NRECA.
2 ANALISA DATA HIDROLOGI
2.1 Analisa Curah Hujan Rencana
Berdasarkan data hidrologi yang dikumpulkan, dilakukan analisa
data curah hujan untuk mendapatkan debit rencana. Data hujan
yang dikumpulkan adalah data hujan harian maksimum (RH max).
Dari data hujan harian maksimum tersebut dilakukan analisa curah
3
hujan rencana, dimana curah hujan rencana diambil untuk periode
ulang 5, 10, 25, 50 dan 100 tahun. Perhitungan atau analisa curah
hujan harian maksimum ini dapat dilakukan dengan berbagai
macam analisa frekuensi. Untuk analisa ini digunakan Metode
Gumbel.
Menurut Gumbel, curah hujan untuk suatu periode tertentu dapat
diperoleh dari persamaan berikut :
XT = X + KT SX
SX =
KT = ( YT – Yn ) / Sn
Dimana :
XT : Curah hujan rencana dalam periode T tahun
X : Curah hujan rata-rata
KT : Faktor frekuensi Gumbel
SX : Standar deviasi
T : Periode ulang
N : Jumlah tahun pengamatan
YT : Reduced variated ( tabel )
Yn : Reduced mean ( tabel )
Sn : Reduced standard deviation ( tabel )
Tabel 3 Koefisien Faktor Frekwensi.
4
Perhitungan untuk mendapatkan hujan rencana dengan
menggunakan metode Gumbel dilakukan dalam bentuk tabel, yaitu
sebagai berikut :
Curah Hujan Rata-rata
5
Kedalaman hujan rata-rata pada daerah tertentu, ditinjau
berdasarkan satu kali hujan musiman atau tahunan yang
dibutuhkan dalam berbagai jenis masalah hidrologi. Bila suatu
daerah tangkapan memiliki stasiun pengamatan hujan lebih dari
satu, maka akan terdapat hujan maksimum tahunan yang juga
lebih dari satu.
Metode Aritmatik
Metode yang paling sederhana untuk memperoleh kedalaman rata-
rata adalah dengan menghitung rata-rata jumlah yang terukur
dalam daerah tersebut secara aritmatik. Metode ini menghasilkan
perkiraan yang baik di daerah datar, bila alat-alat ukurnya
ditempatkan tersebar merata dan masing-masing tangkapannya
tidak bervariasi banyak dari nilai rata-ratanya. Kendala ini dapat
diatasi bila pengaruh-pengaruh topografi dan derajat keterwakilan
daerahnya dipertimbangkan pada waktu pemilihan lokasi-lokasi
alat ukur. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
di mana
d = Tinggi curah hujan rata-rata areal
dI = Tinggi curah hujan pada pos penakar.
Kelemahannya dari metode ini adalah bila dalam suatu luasan, pos
perhitungan tidak menyebar secara merata.
Metode Thiessen
Cara ini dibuat untuk mengimbangi tidak meratanya distribusi alat
ukur dengan menyediakan faktor pembobot bagi masing-masing
stasiun. Stasiun-stasiunnya diplot pada suatu peta dan garis-garis
yang menghubungkannya digambar. Garis-garis bagi tegak lurus
dari garis-garis penghubung ini membentuk poligon-poligon di
6
sekitar masing-masing stasiun. Sisi-sisi setiap poligon merupakan
batas luas efektif yang diasumsikan untuk stasiun terserbut.
Curah hujan rata-rata untuk seluruh luas dihitung dengan
mengalikan hujan pada masing-masing stasiun dengan presentasi
luas yang ada dan kemudian menjumlahkannya. Metode ini
menganggap variasi hujan adalah linier antar stasiun-stasiun dan
menyerahkan masing-masing segmen pada segmen terdekat. Hasil
perhitungan dengan metode ini lebih teliti dibandingkan dengan
menggunakan metode aritmatik.
Rumusnya adalah sebagai berikut
dimana :
AI = Luas areal ke-i
i = 1,2,3,...,n
d = Tinggi curah hujan rata-rata areal
dI = Tinggi curah hujan dipos ke-i
2.2 Analisa Debit Banjir Rencana
Dari hasil yang didapat melalui analisa curah hujan, kemudian
dilanjutkan dengan menganalisa atau menghitung debit banjir
rencana. Metode yang akan digunakan adalah metode Weduwen
(untuk luas daerah pengaliran yang kurang dari 100 km2), metode
Haspers dan metode Hidrograf Satuan (untuk luas daerah
pengaliran yang tidak ditentukan. Ketiga metode tersebut
memungkinkan jika digunakan untuk luas DAS dari daerah yang
ditinjau lebih kecil dari 100 km2.
2.2.1 Metode Hidrograf Satuan
Metode ini dapat dipakai untuk luas daerah pengaliran sembarang.
Hidrograf satuan yang akan dipergunakan dalam perhitungan
7
adalah Hidrograf Satuan Sintetik Snyder. Unsur-unsur yang
dipergunakan dalam hidrograf ini antara lain :
A = Luas daerah pengaliran ( km2 )
L = Panjang aliran utama ( km )
Lc = Panjang antara titik berat daerah pengaliran dengan outlet
Koefisien-koefisien Ct dan Cp sebenarnya harus ditentukan secara
empirik karena besarnya berubah-ubah antara daerah yang satu
dengan daerah yang lainnya. Dalam satuan metrik besar Ct antara
0.75 dan 3.00 sedangkan Cp berada antara 0.9 hingga 1.4.
Belakangan banyak digunakan rumus Snyder yang telah diubah.
Perubahan rumus Snyder yang telah banyak digunakan di
Indonesia adalah sebagai berikut :
- tp = Ct*( L*Lc )0,3
- tc = tp/5,5 ; tr = 1 jam
Jika :
tc > tr, maka : t'p = tp + 0,25 ( tr - tc ) sehingga ;
Tp = t'p + 0,5
tc < tr, maka : Tp = t'p + 0,5
- qp = 0,278 ( Cp / Tp )
- Qp = qp*A untuk hujan 1 mm/jam
Dimana :
qp = Puncak hidrograf
Qp = Debit puncak ( m3/s/mm )
tp = Waktu antara titik berat curah hujan hingga puncak
(time lag) dalam jam
Tp = Waktu yang diperlukan antara permulaan hujan hingga
puncak hidrograf.
Selanjutnya perhitungan dilakukan secara tabelaris sehingga
didapatkan besarnya debit banjir rencana ( Qn ) untuk beberapa
periode ulang, yaitu sebagai berikut :
8
2.2.2 Metode Der Weduwen
Untuk metode Der Weduwen rumus yang akan digunakan adalah :
Qn = mn . a. b .A . q . ( R70 / 240 )
Dimana :
Qn = Debit maksimum untuk periode ulang n tahun
mn = Koefisien yang tergantung pada periode ulang yang
ditetapkan
A = Luas DAS dalam km2
a = Koefisien aliran
b = Koefisien reduksi
q = Intensitas hujan maksimum untuk periode ulang
tertentu
periode
ulang
2 5 10 25 50 100
Mn
0.49
2
0.602 0.705 0.845 0.940 1.050
Selanjutnya perhitungan dilakukan secara tabelaris sehingga
didapatkan besarnya debit banjir rencana ( Qn ) untuk beberapa
periode ulang
2.2.3 Metode Haspers
Untuk cara Haspers rumus yang digunakan adalah :
Qn = a.b.q. A
9
a = ( 1 + 0,012 A 0,7 ) / ( 1 + 0,075 A 0,7 )
t = 0,1 L 0,8 I –0,3
Untuk t < 2 jam, maka :
Untuk 2 jam < t < 19 jam, maka :
Untuk 19 jam < t < 30 hari, maka :
q = r / 3,6 t ---------------- untuk t dalam jam
q = r / 86,4 t --------------- untuk t dalam hari
Dimana :
Qn = Debit maksimum untuk periode ulang n tahun
mn = Koefisien yang tergantung pada periode ulang yang
ditetapkan
A = Luas DAS dalam km2
a = Koefisien aliran
b = Koefisien reduksi
q = Intensitas hujan maksimum untuk periode ulang
tertentu
Selanjutnya perhitungan dilakukan secara tabelaris sehingga
didapatkan besarnya debit banjir rencana ( Qn ) untuk beberapa
periode ulang
10
2.2.4 Metode Rasional
Metode ini adalah tertua untuk menghitung debit banjir dari curah
hujan. Rumus ini banyak digunakan untuk perencanaan drainase
daerah pengaliran yang relatif sempit. Metode rasional hanya
digunakan untuk menentukan banjir maksimum bagi saluran-
saluran kecil, kira-kira 100 – 200 acres atau 40 – 80 hektar.
Metode ini pertama kali digunakan di Irlandia oleh Mulvaney pada
tahun 1847. Bentuk umum rumus yang digunakan adalah sebagai
berikut :
Q = 0,278 . C . I . A
Dimana :
Q = Debit banjir maksimum, m3 / dtk
C = Koefisien pengaliran
I = Intensitas curah hujan, mm / jam
A = Luas DAS, km2
3. KETERSEDIAAN AIR
Untuk mengetahui potensi air pada suatu daerah aliran sungai baik
untuk tujuan khusus seperti untuk pembuatan bendungan untuk
keperluan pembangkit listrik atau untuk keperluan irigasi maupun
untuk tujuan yang lebih umum seperti pembuatan master plan
konservasi sumber daya air, perkiraan tentang ketersediaan air
adalah penting. Tujuan tersebut tidak akan pernah terwujud jika air
yang diperlukan tidak tersedia ataupun tidak mencukupi.
Oleh karena itu masalah siklus hidrologi , dimana air berada pada
suatu mata rantai yang terus berputar tanpa henti harus dipahami
terlebih dahulu. Perputaran yang terus-menerus ini mengakibatkan
air di bumi secara kuantitas tidak berubah. Berkurang atau
11
bertambahnya komponen-komponen yang mempengaruhi siklus
akan mengakibatkan terganggunya kesetimbangan yang ada.
3.1 Siklus Hidrologi
Panas matahari akan menyebabkan terjadinya evapotranspirasi.
Uap air hasil dari penguapan ini pada ketinggian tertentu akan
berubah menjadi awan, yang kemudian akan mengalami proses
kondensasi yang akhirnya akan menjadi presipitasi. Adapun
presipitasi di Indonesia hanya dalam bentuk embun atau air hujan.
Sebagian air hujan yang sampai ke permukaan tanah dikenal
dengan water surplus akan wasuk ke dalam tanah atau mengalami
proses infiltrasi. Bagian yang lain merupakan kelebihan dan kan
mengisi lekuk-lekuk permukaan tanah, mengalir ke daerah yang
lebih rendah, masuk ke sungai dan akhirnya akan menuju ke laut.
Air ini dikenal sebagai surfase run water (direct run off) .
Tidak semua butir air yang mengalir di permukaan tanah akan
sampai di laut, dalam perjalanannya sebagian akan menguap
kembali ke atmosfir. Sebagian air yang masuk ke dalam tanah akan
mengalir ke sungai yang disebut dengan aliran intra (interflow)
atau sering juga disebut base flow. Namun sebagian besar akan
tersimpan sebagai air tanah . Air tanah ini juga menyumbang base
flow, tetapi karena letaknya yang dalam, air tanah ini hanya akan
keluar di daerah rendah seperti pantai dan akhirnya ke laut dan di
laut terjadi juga proses penguapan. Begitu seterusnya dan siklus
kembali berputar.
3.2 Model NRECA
Salah satu model yang dipakai dalam menghitung ketersediaan air
adalah model NRECA. Model NRECA menstimulasikan
kesetimbangan air bulanan pada suatu daerah tangkapan yang
ditujukan untuk menghitung total run off dari nilai curah hujan
12
bulanan, evapotranspirasi, kelembaban tanah dan tersediaan air
tanah. Model kesetimbangan air dari NRECA ini didasarkan pada
proses kesetimbangan air yang telah umum yaitu hujan yang jatuh
di atas permukaan tanah dan tumbuhan penutup lahan sebagian
akan menguap, sebagian akan menjadi aliran permukaan dan
sebagian lagi akan meresap masuk ke dalam tanah. Infiltrasi air
akan menjenuhkan tanah permukaan dan kemudian air merambat
menjadi perkolasi dan keluar menuju sungai sebagai aliran dasar.
Perbedaan model NRECA dengan model kesetimbangan air yang
lain hanyalah pada jumlah parameter yang diambil.
3.2.1 Data Masukan
Data masukan yang diperlukan untuk model NRECA ini antara
lain ;
Hujan bulanan
Evapotranspirasi
Temperatur rata-rata bulanan
Sinar matahari
Kelembaban relatif
Kecepatan angin
Kondisi awal kadar kelembapan tanah
Tampungan awal air tanah
Index soil moisture storage capacity pada daerah
tangkapan
Persentase run off yang mengalir pada jalur subsurface
Persentase air yang masuk menjadi aliran air tanah
3.2.2 Hujan Bulanan
Hujan bulanan yang dipakai dalam perhitungan NRECA adalah
hujan bulanan hasil pengukuran.Berdasarkan curah hujan yang
turun, bulan hujan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu :
13
Kelompok bulan kering : Jumlah curah hujan kurang dari
60 mm setiap bulannya.
Kelompok bulan lembab : Jumlah curah hujan antara 60-
100 mm setiap bulannya.
Kelompok bulan basah : Jumlah curah hujan lebih dari
100 mm setiap bulannya.
3.2.3 Evapotranspirasi
Faktor penentu yang lain pada tersedianya air permukaan setelah
hujan adalah evapotranspirasi. Evapotranspirasi merupakan
banyaknya air yang dilepaskan ke udara dalam bentuk uap air yang
dihasilkan dari proses evaporasi dan transpirasi. Evaporasi /
penguapan adalah suatu proses perubahan dari molekul air dalam
wujud cair ke dalam wujud gas. Evaporasi terjadi apabila terdapat
perbedaan tekanan uap air antara permukaan dan udara di
atasnya. Evaporasi terjadi pada permukaan badan-badan air,
misalnya danau, sungai dan genangan air.
Transpirasi adalah suatu proses ketika air di dalam tumbuhan
dilimpahkan ke atmosfir dalam wujud uap air. Pada saat transpirasi
berlangsung, tanah tempat tumbuhan berada juga mengalami
kehilangan kelembaban akibat evaporasi. Transpirasi dapat terjadi
jika tekanan uap air di dalam sel daun lebih tinggi daripada
tekanan uap air di udara. Dalam beberapa penerapan hidrologi,
proses evaporasi dan transpirasi dapat dianggap sebagai satu
kesatuan sebagai evapotranspirasi.
Besarnya limpasan atau run off dapat diperkirakan dari selisih
antara hujan evapotranspirasi. Cara ini memberikan pendekatan
yang lebih memuaskan dari pada pemakaian koefisien run off
terutama untuk daerah tropis seperti Indonesia, dimana daerah
tersebut mempunyai curah hujan dan kelembaban dalam tanah
14
sehingga air tidak membatasi evapotranspirasi sepanjang tahun
kecuali untuk beberapa wilayah di Indonesia.
Pada kondisi atmosfir tertentu evapotranspirasi tergantung pada
keberadaan air. Jika kandungan air dalam tanah selalu dapat
memenuhi kelembaban yang dibutuhkan oleh tanaman, digunakan
istilah evapotranspirasi potensial. Evapotranspirasi yang
sebenarnya terjadi pada kondisi spesifik tertentu, dan disebut
evapotranspirasi aktual. Faktor-faktor yang mempengaruhi
evapotranspirasi antara lain adalah temperatur, kecepatan angin,
kelembapan udara dan penyinaran matahari.
Temperatur
Jika faktor lain dibiarkan konstan, tingkat evaporasi meningkat
seiring dengan peningkatan temperatur air. Walaupun secara
umum terdapat peningkatan evaporasi seiring dengan peningkatan
temperatur udara, ternyata tidak terdapat korelasi yang tinggi
antara tingkat evaporasi dengan temperatur udara.
Kecepatan angin
Angin berperan dalam proses pemindahan lapisan udara jenuh dan
menggantikannya dengan lapisan udara lain sehingga evaporasi
dapat berjalan terus. Jika kecepatan angin cukup tinggi untuk
memindahkan seluruh udara jenuh, peningkatan kecepatan angin
lebih lanjut tidak berpengaruh terhadap evaporasi. Maka tingkat
evaporasi meningkat seiring dengan kecepatan angin hingga suatu
kecepatan kritis, dimana kecepatan angin tidak lagi mempengaruhi
tingkat evaporasi.
Kelembaban udara
Jika kelembaban naik, kemampuannya untuk menyerap uap air
akan berkurang sehingga laju evaporasi akan menurun.
Penggantian lapisan udara pada batas tanah dan udara dengan
15
udara yang sama kelembaban relatifnya tidak akan menolong untuk
memperbesar laju evaporasi.
Penyinaran matahari
Evporasi merupakan konversi air ke dalam uap air. Proses ini
terjadi hampir tanpa berhenti di siang hari dan kadangkala di
malam hari. Perubahan dari keadaan cair menjadi gas ini
memerlukan input energi yaitu berupa panas untuk evaporasi.
Proses tersebut akan sangat aktif jika ada penyinaran langsung dai
matahari. Awan merupakan penghalang radiasi matahari dan akan
mengurangi input energi.
Banyak metode telah dikembangkan untuk memperkirakan
besarnya evapotranpirasi dengan menggunakan data klimatologi.
Hal ini disebabkan karena kurangnya data lapangan dan sulitnya
untuk mendapatkan data evapotranspirasi yang akurat.
Ada beberapa metode dalam penentuan evapotranspirasi potensial
diantaranya yaitu metode Thornwaite, Blaney Criddle dan Penman
modifikasi. Ketiga metode tersebut berbeda dalam macam data
yang digunakan untuk perhitungan. Metode Thornwaite
memerlukan data temperatur dan letak geografis. Metode Blaney
Criddle memerlukan data temperatur dan data prosentase
penyinaran matahari. Metode Penman modifikasi memerlukan data
temperatur, kelembaban udara, prosentase penyinaran matahari
dan kecepatan angin.
Pemilihan metode tergantung dari data yang tersedia. Di lapangan
biasanya digunakan lysimeter untuk mempercepat dan
mempermudah perhitungan. Untuk perhitungan di atas kertas,
lebih baik menggunakan metode Penman modifikasi, sebab
menghasilkan perhitungan yang lebih akurat. Selain itu, metode
Penman modifikasi ini mempunyai cakupan data meteorologi yang
16
digunakan adalah yang paling lengkap di antara metode-metode
yang lain.
3.2.4 Persamaan Penman
Perhitungan evapotranspirasi dengan metode Penman Modifikasi
memasukkan faktor-faktor sebagai berikut ;
Temperatur udara
Penyinaran matahari
Kelembaban udara
Kecepatan angin
Persamaan yang digunakan untuk menghitung besarnya
evapotranspirasi metode ini adalah:
E = C *(W*Rn + (1-W)*f(u)*(ea-ed))
dimana:
E = evapotransprasi potensial harian (mm/hari)
C = faktor pengatur
W = faktor pemberat (weigting factor)
Rn= Radiasi netto
= Rnl- Rns dimana :
Rns = Radiasi gelombang pendek yang diserap
(mm/hhari)
Rns = (1 – w)*Rs
Rs = Radiasi gelombang pendek yang diterima
(mm/hari)
Rs = (0,25 + N
u)*Ra
Ra = Extra terestrial radiation
Rnl = Radiasi gelombang pendek yang
dipancarkan(mm/hhari)
= f(T)*f(n/N)*f(ed)
17
f(T) = TK4
= konstanta Stefan-Boltzman = 2.01 x 10-9
mm/hari
TK = temperatur (Kelvin)
f(n/N) = 0,1 + 0,9(n/N)
n/N = perbandingan penyinaran matahari aktual dan
maksimal
f(ed) = 0,34 – 0,044 ed
Dengan
f(u) = Fungsi dari kecepatan angin
= 0,27 (100
1 u) dimana u = kecepatan angin (km/hari)
ea = Tekanan uap jenuh
ed = Tekanan uap aktual
= ea *100
Rh
Penyinaran Matahari
Temperatur Udara
Data Kecepatan Angin
Data Kelembaban Udara
3.2.5 Perhitungan evaporasi
Besarnya evaporasi dihitung menggunakan Formula Meyer.
Persamaan yang digunakan adalah :
dimana:
u9 = rata-rata kecepatan angin bulanan 9 m dari permukaan
tanah (km/hari)
18
KM = koefisien, besarnya berkisar antara 0,36 – 0,50 ( K.
Subramanya, 1989)
3.2.6 Perhitungan ketersediaan air dengan Model NRECA
Metode perhitungan yang dilakukan untuk ketersediaan air ini
menggunakan data hujan bulanan dan evapotranspirasi untuk
menghitung debit bulanan yang terjadi. Persamaan dasar
keseimbangan air yang digunakan :
RO = P – AE + S
dimana :
P = presipitasi
AE = penguapan aktual
S = perubahan tampungan
RO = aliran permukaan
Beberapa parameter karakteristik daerah tangkapan yang
digunakan dalam model hujan limpasan ini diuraikan sebagai
berikut :
* NOMINAL
Index soil moisture storage capacity pada daerah tangkapan.
* PSUB
Persentase runoff yang mengalir pada jalur subsurface.
* GWF
Persentase air yang masuk menjadi aliran air tanah
Karakteristik-karakteristik tersebut dapat diperkirakan dengan
cara sebagaimana berikut:
* NOMINAL
100 +C*( hujan tahunan rata-rata), dimana
C = 0.2, untuk daerah dengan hujan sepanjang tahun, dan
C < 0.2, untuk daerah dengan hujan musiman.
19
Harga NOMINAL dapat dikurangi hingga 25% untuk daerah
dengan tetumbuhan terbatas dan penutup tanah yang tipis.
* PSUB
PSUB = 0.5 untuk daerah tangkapan hujan yang normal / biasa,
0.5 < PSUB 0.9 untuk daerah dengan akuifer permeabel yang
besar
0.3 PSUB < 0.5 untuk daerah dengan akuifer terbatas dan
lapisan tanah yang tipis.
* GWF
GWF = 0.5 untuk daerah tangkapan hujan yang normal / biasa,
0.5 < GWF 0.8 untuk daerah yang memiliki aliran menerus
yang kecil,
0.2 GWF < 0.5 untuk daerah yang memiliki aliran menerus
yang dapat diandalkan.
Contoh tampilan model NRECA yang telah dimodifikasi dapat
dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Contoh Tampilan Model NRECA
20
2 3 4 5 6 7 8 9
Precip PET MOISTR STOR PRECIP/ AET/PET AET WATERSTORAGE RATIO PET BALANCE
yyyy-mm days (mm) (mm) (mm) Nominal: (mm) (mm)
443
1993-01 31 225 63 768 1.77 3.58 1.00 62.9 1621993-02 28 153 57 772 1.77 2.69 0.95 56.8 961993-03 31 188 63 774 1.71 2.99 1.00 62.9 1251993-04 30 176 61 777 1.72 2.89 1.00 60.9 1151993-05 31 204 63 780 1.72 3.24 1.00 62.9 1411993-06 30 140 61 783 1.72 2.30 1.00 60.9 791993-07 31 83 63 784 1.73 1.32 1.00 62.9 201993-08 31 36 63 784 1.74 0.57 1.00 59.8 -241993-09 30 81 61 761 1.75 1.33 1.00 60.9 201993-10 31 103 63 761 1.77 1.64 1.00 62.9 401993-11 30 149 61 762 1.77 2.45 1.00 60.9 881993-12 31 180 63 765 1.77 2.86 1.00 62.9 117
1
DATE
Keterangan :
KOLOM KETERANGAN
1 Tanggal dan jumlah hari data yang bersangkutan
2 Presipitasi (mm)
3 Evapotranspirasi potensial (PET) (mm)
4 Penyimpanan kadar kelembaban tanah (moisture
storage) (mm). Harga kadar kelembaban tanah
ditetapkan sebagai kondisi awal dan digunakan untuk
perhitungan selanjutnya.
Moisture Storage (i) = Moisture Storage (i-1) + Delta
Storage (i-1)
5 Rasio peyimpanan (Storage Ratio)
Storage Ratio (I) =
6 Presipitasi / Evapotranspirasi potensial
7 Evapotranspirasi aktual (AET) / Evapotranpirasi
potensial (PET). Harga ini didapatkan dengan bantuan
grafik pada Gambar 5.3.
8 Evapotranspirasi aktual (AET). Harga ini didapatkan
dengan mengalikan kolom (3) dengan kolom (7).
21
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
EXCESS EXCESS DELTA RECHG BEGIN END GW DIRECT Observed TotalMOIST MOIST STORAGE TO GW STOR STOR FLOW FLOW DISCRATIO GW GW
(mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm)
PSUB : GWF :0.6 0.7
0.97 158 4 95 26 121 85 63 139 1480.98 94 2 56 36 93 65 38 95 1020.98 122 3 73 28 101 71 49 113 1200.98 113 2 68 30 98 69 45 121 1140.98 138 3 83 29 112 79 55 136 1340.98 78 2 47 34 80 56 31 84 870.98 20 0 12 24 36 25 8 75 330.00 0 -24 0 11 11 8 0 14 80.97 20 1 12 3 15 10 8 20 180.97 39 1 23 4 28 19 16 26 350.97 86 2 51 8 60 42 34 82 760.97 114 3 68 18 86 60 46 106 106
AET (i) = PET(i) x [AET(i)/PET(i)]
9 Kesetimbangan air (water balance). Harga
kesetimbangan air didapatkan dari pengurangan
antara kolom (2) dengan kolom (8)
Water Balance (i) = Presipitasi (i) – AET (i)
10 Rasio kelebihan kelembaban tanah (excess moisture
ratio). Jika harga kesetimbangan air pada kolom (9)
positif maka harga rasio kelebihan kelembaban tanah
didapatkan menggunakan bantuan grafik pada
gambar 5.10. Jika harga kesetimbangan air pada
kolom (9) negatif maka harga rasio kelebihan
kelembaban tanah sama dengan nol.
11 Kelebihan kelembaban tanah (excess moisture). Harga
ini didapatkan dengan mengalikan harga kolom (10)
dengan kolom (9)
Excess Moisture (i) = Excess Moisture Ratio (i) x
Water Balance (i)
12 Perubahan tampungan (delta storage). Harga
perubahan tampungan didapatkan dari kolom (9)
dikurangi dengan kolom (11)
Delta Storage (i) = Water Balance (i) – Excess
Moisture (i)
13 Pengisian air tanah (recharge to groundwater). Harga
pengisian air tanah didapatkan dengan mengalikan
PSUB dengan kolom (11)
Rech. to GW (i) = PSUB x Excess Moisture (I)
14 Tampungan awal air tanah (begin storage GW). Harga
tampungan awal air tanah ditetapkan sebagai kondisi
awal dan digunakan pada perhitungan selanjutnya.
Begin Storage (i) = [End Storage (i – 1)] – [ Ground
Waterflow (I – 1)]
15 Tampungan akhir air tanah (end storage GW). Harga
22
tampungan akhir air tanah didaparkan dari
penjumlahan antara kolom (13) dan kolom (14)
End Storage GW (i) = Rech. to GW (i) + Begin Storage
GW (i)
16 Aliran air tanah (GW flow). Harga aliran air tanah
didapatkan dari perkalian antara GWF dengan kolom
(15)
GW Flow (i) = GWF x End Storage (i)
17 Direct Flow. Harga direct flow didapatkan dari
pengurangan antara kolom (11) dengan kolom (13)
Direct Flow (i) = Excess Moisture (i) – Rech. to GW (i)
18 Debit total (total discharge). Harga debit total
didapatkan dari penjumlahan antara kolom (16) dan
kolom (17)
Total (i) = GW Flow (i) + Direct Flow (i)
19 Debit pengamatan (observed discharge). Harga debit
pengamatan digunakan untuk proses kalibrasi model.
Gambar 2 Grafik Rasio AET/PET (Crawford)
3.2.7 Kalibrasi model
23
0
1
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6
Precip/PET
AE
T/P
ET
Dari hasil pemodelan dengan model NRECA maka diperoleh
karakteristik DPS yang akan digunakan dalam pemodelan hujan-
limpasan sebagai berikut:
* NOMINAL : 443
* PSUB : 0.60
* GWF : 0.70
Nilai nominal didapatkan dari pendekatan :
Nominal = 100+C*(hujan tahunan rata-rata)
Dengan C = 0,2 dan hujan tahunan rata-rata = 1718
mm/tahun
Nominal = 100+0,2(1718) = 443 mm
Nilai PSUB dan GWF didapatkan dengan cara coba-coba sampai
didapatkan nilai debit total hasil NRECA yang mendekati nilai debit
hasil pengukuran. Nilai PSUB yang digunakan adalah 0,6
sedangkan GWF adalah 0,7. Perbandingan beberapa parameter
statistik antara data pengamatan dan hasil pemodelan NRECA
dapat dilihat pada grafik antara data pengamatan dan hasil
pemodelan pada Gambar 2.
Dari hasil kalibrasi model ini selanjutnya dilakukan simulasi untuk
data hujan bulanan dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2000 dan
data evapotranspirasi potensial bulanan rata-rata. Pembangunan
yang pesat dalam beberapa tahun terakhir memungkinan
terjadinya perubahan tata guna dan vegetasi penutup lahan.
Sebagai implikasi perubahan tata guna lahan tersebut parameter
model pun dapat mengalami perubahan. Mengingat kalibrasi model
menggunakan data tahun 1993 maka untuk simulasi berikutnya
parameter Nominal hasil kalibrasi dikurangi sebanyak 15% untuk
mengantisipasi perubahan tata guna lahan yang terjadi. Nilai
parameter nominal yang digunakan dalam simulasi adalah 377 mm.
3.2.8 Debit masuk total
24
Daerah tangkapan situ terdiri dari daratan dan muka air situ itu
sendiri. Debit total yang masuk ke situ adalah penjumlahan dari
debit yang berasal dari daratan dan debit yang berasal dari air
hujan yang langsung jatuh ke permukaan situ. Debit yang berasal
dari daratan telah dihitung menggunakan model NRECA
sedangkan debit yang berasal dari air hujan yang jatuh langsung ke
permukaan air situ dihitung menggunakan persamaan yang lebih
sederhana sebagai berikut:
dimana:
Q = debit bulanan (m3/det)
R = curah hujan bulanan (mm)
E = evaporasi bulanan rata-rata (mm)
t = jumlah hari dalam satu bulan (hari)
A = luas muka air situ rata-rata (km2)
k = faktor konversi satuan = 1/86,4
Pemisahan ini dilakukan karena terdapat perbedaan karakteristik
antara air hujan yang jatuh di permukaan tanah dan di permukaan
air situ. Air yang jatuh di permukaan tanah akan mengalami
proses-proses seperti infiltrasi, pengisian kelembaban tanah,
pergerakan air baik di sebagai aliran permukaan maupun air tanah.
Air yang jatuh di permukaan tanah memerlukan selang waktu
tertentu sebelum akhirnya masuk ke dalam tampungan situ. Selain
itu jika permukaan tanah tertutup oleh vegetasi maka akan terjadi
evapotraspirasi. Sedangkan air hujan yang jatuh di permukaan situ
langsung mengisi tampungan tanpa memerlukan selang waktu
tertentu.
25
Air yang terdapat dalam tampungan situ akan mengalami
evaporasi. Jika pada suatu waktu jumlah curah hujan yang turun
lebih kecil daripada besarnya evaporasi air situ maka debit yang
dihitung menggunakan persamaan di atas akan berharga negatif.
Seandainya debit yang berasal dari daratan di sekitar situ lebih
kecil daripada harga mutlak debit negatif yang berasal dari air
hujan yang jatuh langsung ke permukaan air situ maka debit masuk
total ke situ pun akan berharga negatif. Jika dari hasil simulasi data
didapatkan beberapa debit yang bernilai negatif, maka dalam
perhitungan peramalan debit yang akan dilakukan, debit negatif
diasumsikan berharga nol. Hal ini dilakukan karena dalam
peramalan debit tidak diperkenankan terdapat hasil perhitungan
debit yang berharga negatif.
3.2.9 Debit Andalan Ketersediaan Air
Untuk mencari debit andalan dilakukan dengan mengurutkan data
debit ketersediaan air dari kecil ke terbesar. Selanjutnya untuk
perencanaan digunakan Q80 dengan kemungkinan tidak terpenuhi
sebesar 20%. Q80 adalah merupakan data ke-M, dimana :
M = (N/5) + 1
Dengan : N = jumlah data.
Maka M = ( 6 / 5 ) + 1 = 2,1 2
26