Tic Refrat
-
Upload
rizky-huryamin -
Category
Documents
-
view
72 -
download
6
description
Transcript of Tic Refrat
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gerakan yang dianggap orang awam sebagai gerakan abnormal, ialah
gerakan yang timbul tidak sesuai dengan kemauan, tidak dikehendaki dan
tidak bertujuan. Oleh karena itu gerakan tersebut dikenal juga sebagai gerakan
involunter.
Gangguan gerak adalah kondisi neurologis yang mempengaruhi
kecepatan, kelancaran, kualitas, dan kemudahan gerakan. Gangguan ini
diklasifikasikan sebagai gerakan abnormal seperti dyskinesia, bradikinesia
atau akinesia, dan ataksia. Salah satu tipe dyskinesia yang sering dijumpai
yaitu tic facialis.
Tic facialis adalah gerakan yang involunter, mendadak, cepat, berulang,
tidak ritmis atau vokalisasi yang stereotip yang lokasinya pada daerah wajah.
Tic facialis sering menyerang hingga 24% dari anak-anak usia sekolah. Salah
satu studi di swedia melaporkan angka prevalensi 6,6% untuk gangguan tic
pada anak usia 7-15 tahun. Tic motorik kronis 0,8%, tic fokal kronis pada
0,5% dan transient tic 4,8%. Prevalensi tersebut diperkirakan 1-10/ 1000 anak
dan remaja, dengan perbandingan laki-laki : perempuan yaitu 3:1, dan usia
rata-rata onset 6-7tahun (BMJ Evident Center, 2013).
Kelainan gerakan ini masih belum diketahui penyebabnya dengan pasti.
Namun sering dihubungkan dengan tingkat stress yang tinggi, termasuk
kecemasan, gelisah, serta beban aktivitas yang tinggi dari individu tersebut.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka pencegahan dan pengobatan yang
tepat pada penderita tic facialis merupakan hal yang sangat penting, dan
pengetahuan tetang patofisiologi tic facialis sangat berguna untuk menentukan
pencegahan dan pengobatan tersebut agar dapat menurunkan angka kesakitan
dan kecacatan.
Melihat fakta-fakta mengenai tic facialis tersebut, maka penulis akan
memberikan gambaran tentang tic facialis melalui penulisan tinjauan pustaka
ini.
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengenal lebih jauh
tentang tic, terutama tic fasialis sehingga diharapkan dapat dilakukan
penatalaksanaan pada pasien secara benar dan akurat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi (Sidharta, 2009)
‘Tik’ merupakan istilah perancis yang sudah mempunyai status internasional.
Dengan istilah tersebut diartikan gerakan involuntar yang berupa kontraksi otot
setempat, sejenak, namun berkali-kali dan adakalanya selalu serupa atau berbentuk
majemuk.
Definisi etiologi tic telah diberikan oleh Leo Kanner (1935), yaitu kejang
kebiasaan (jelek) yang timbul tiba-tiba, cepat, involuntary dan sebagai letupan
kontraksi sekelompok otot. tic dapat timbul dalam bentuk gerakan involuntary apa
saja, misalnya gerakan pita suara sehingga timbul ‘tic’ yang berupa ‘suara
menggeram-geram’ atau suatu letupan kata-kata, sehingga dinamakannya juga
sebagai eyakulasio kata-kata. otot-otot leher dan bahu dapat juga berkontraksi
sebagai manifestasi tic.
Tic merupakan gerakan yang involunter, mendadak, cepat, berulang,
tidak ritmis atau vokalisasi yang stereotip. Gerakan involuntar yang sifatnya
berulang, cepat, singkat, stereotipik, kompulsif, dan tak berirama, dapat
merupakan bagian dari kepribadian normal.
B. Anatomi (baehr & frotscher, 2010; sidarta, 2009)
Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi
otot- otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis
ke kelenjar ludah dan air mata dank ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung,
dan juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi
pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral umum dari kelenjar
ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif dari otot yang
disarafinya.
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar
sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf
intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion
genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan daru
2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda timpani dan kemudian
ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi ekteroseptif
mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada akar
desenden dan inti akar decenden dari saraf trigeminus (N.V). hubungan sentralnya
identik dengan saraf trigeminus.
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan
keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral
pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius
dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis
bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan
dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari
tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi
otot- otot wajah.
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator
palpebrae (n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah).
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual
dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa
raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus
trigeminus.
C. Epidemiologi
Tic paling sering terjadi pada anak-anak usia 9-11 tahun, tetapi dalam beberapa
kasus, tic dapat menetap sampai usia dewasa. Tic terjadi 3-4 kali lebih sering pada
anak laki-laki daripada perempuan.
D. Etiologi
1. Idiopatik (belum diketahui)
2. Herediter/diwariskan (inherited)
a. Distonia torsi
b. Neuroakantosis
c. Penyakit Huntington
d. Penyakit Wilson
3. Didapat/diperoleh (acquired)
a. Infeksi (ensefalitis)
b. Obat-obatan (Stimulan, Levodopa, Antikonvulsi, Neuroleptik)
c. Pertumbuhan/perkembangan
d. Stroke
e. Toksin (karbon monoksida)
f. Trauma kepala
E. Patofisiologi
Gerakan involuntar pada tic timbul akibat lesi difus pada putamen dan globus
palidus; disebabkan oleh terganggunya kendali atas refleks-refleks dan rangsang
yang masuk, yang dalam keadaan normal ikut memengaruhi putamen dan globus
palidus. Ini disebut release phenomenon, yang berarti hilangnya aktivitas inhibisi
yang normal.
F. Manifestasi Klinis
Terjadi gerakan involunter otot yang berulang dan cepat, seperti gerakan
menutup mata secara cepat dan berlebihan, gerakan mengerutkan hidung, gerakan
sudut bibir dan lain-lain. Tic facialis dapat diperburuk oleh keadaan stres, cemas,
dan kelelahan. Tik dapat terjadi ketika penderita sedang tidur dengan intensitas
yang ringan. Namun ada beberapa pendapat yang mengatakan tik tidak terjadi
ketika penderita tidur.
G. Klasifikasi
Tik motor sederhana
Sinonim: tik motor ringan, tik motor simpel.
Merupakan gangguan sementara, berlangsung < 12 bulan.-
Ciri khasnya:
1. Hanya meliputi satu grup otot.
2. Involunter.
3. Tidak memiliki arti.
4. Mendadak.
5. Cepat, kurang dari satu detik.
6. Berulang.
7. Tidak ritmis.
8. Stereotipik.- Contoh gerakannya: 1. Mengedip. 2. Menyeringai. 3. erakan
ulut. 4. Mengangkat bahu. 5. Gerak sentakan kepala atau tangan dan kaki.
* Tik motor kronis
- Sinonim: tik motor kronik.- Berlangsung > 12 bulan, bahkan bertahun-tahun.
- Ciri khasnya: 1. Gerakannya kompleks. 2. Urutan gerakannya jelas. 3.
Muncul secara spontan atau tiba-tiba. 4. Gerakannya lebih lama dibandingkan
tik motor sederhana. 5. Gerakannya seperti bertujuan, meskipun sebenarnya
tidak bertujuan.- Contoh gerakannya: 1. Mendehem. 2. Gerakan wajah. 3.
Tubuh menjadi melengkung. 4. Menggeleng-gelengkan kepala. 5.
Menyentuh, memukul, mencium, melompat.
* Tik vokal- Muncul lebih lambat.- Berupa: 1. Batuk. 2. Bersin. 3.
Menyalak. 4. Ekolalia (mengulang apa yang didengar). 5. Koprolalia
(memaki dengan kata-kata kotor dan jorok)
H. Pemeriksaan
Menegakkan diagnosis tic facialis dapat dengan pemeriksaan fisik saja, tidak
ada pemeriksaan penunjang khusus yang diperlukan. Namun pada keadaan khusus
diperlukan EEG untuk mengetahui kemungkinan adanya kejang yang menjadi
sebab dari timbulnya tic .
I. Diagnosis banding
- tourette sindrom : Sinonim sindrom Gilles de la Tourette, tics konvulsif, tics
herediter multipleks. Definisi: tik motor kronis disertai tik vokal dengan syarat
tertentu, misalnya: multipel, sering berubah, terjadi beberapa kali dalam sehari,
usia < 18 tahun, tidak disebabkan oleh obat-obatan (seperti stimulan), tidak ada
penyakit yang memicu. - Gejala telah ada selama > 1 tahun.- Gejalanya
berupa: 1. Gerakan involuntar kompleks, misalnya: a. Echolalia (suka
meniru/mengulangi suara yang didengar) b. Menggerutu, batuk-batuk. c.
Suara menggonggong/bersiul. 2. Perubahan kepribadian: suka
marah/mengomel. 3. Coprolalia berkata kotor, jorok, cabul).
- hemifasial spasme (penyakit neuromuscular yang ditandai dengan gerakan
yang tidak teratur kontraksi otot involunter di satu sisi wajah)
J. Diagnosis
Diagnosis tic facialis sering dibuat hanya berdasarkan anamnesis dan dapat
dikonfirmasi dengan pemeriksaan fisik :
1. Anamnesis
Melalui penganalisaan secara interogratif dan anamnestik dapat
diketahui adanya keluhan, lokasi, saat, durasi, sejak kapan, dan gejala
penyerta.
2. Pemeriksaan fisik : Inspeksi terdapat gerakan involunter diwajah
3. Pemeriksaan penunjang : EEG
K. Terapi
Tic pada anak tidak perlu diberikan pengobatan. Prinsip terapi pada penderita
tik Tik motor ringan tidak memerlukan terapi, akan hilang dalam 12 bulan.
Namun, apabila tic tersebut menyebabkan berkurangnya quality of live dari
seseorang maka obat-obatan seperti clonidine atau Risperdal atau risperidone atau
Benzodiazepin (untuk pasien tic sederhana) atau Haloperidol (0,5-40 mg/hari atau
3 dd 1-2 mg) dapat diberikan untuk pasien-pasien tic facialis.
Penderita sindrom Tourette yang tidak mengalami gangguan psikososial atau
fisik belum memerlukan terapi. Penderita tik tanpa sindrom Tourette harus diobati
bila: rasa percaya diri berkurang dan sulit berpartisipasi dalam kehidupan sosial.
1. Terapi yang diusulkan Singer (2001)
Lini pertama: klonidin, guanfasin, baklofen, dan klonazepam.
Lini kedua:
a. Neuroleptik tipikal: pimozid, flufenazin, haloperidol, trifluoperazin.
b. Neuroleptik atipikal: risperidon, olanzapin, ziprasidon.
Obat lainnya: tetrabernazin, pergolid, nikotin, mekamylamin, donepezil, delta-
9-tetrahydrocannabinol, botulinum toxin.
2. Terapi yang diusulkan Higgins (2003)
a. Dopaminergik
1) Antagonis, misalnya:
a) Haloperidol Dosis inisiasi: 0,25 mg. Dosis maintenance: 5-15
mg/hari.
b) imozid Dosis inisiasi: 1 mg. Dosis maintenance: 5-10 mg/hari.
c) Olanzapin Dosis inisiasi: 2,5 mg. Dosis maintenance: 5-10
mg/hari.
d) Ziprasidon Dosis inisiasi: 5 mg. Dosis maintenance: 20-40
mg/hari.
2) Agonis, misalnya: - Pergolid Dosis inisiasi: 0,025 mg. Dosis
maintenance: 0,15-0,30 g/hari.
3) Yang lainnya, misalnya: - Selegilin Dosis inisiasi: 5 mg. Dosis
aintenance: mg/hari.
b. Kolinergik
1) Agonis, misalnya: - Patch (dosis inisiasi: 7 mg)
2) Antagonis, misalnya: -Mekamilamin Dosis inisiasi: 2,5 mg. Dosis
maintenance: 2,50-6,25 mg/hari.
3. Rekomendasi PERDOSSI (2006)
untuk dopamine-receptors blockers dan starting dose:
a. Fluphenazine (1 mg/hari).
b. Pimozide (2 mg/hari).
c. Haloperidol (0,5 mg/hari).
d. Risperidone (0,5 mg/hari).
e. Ziprasidone (20 mg/hari).
f. Trifluperazine (1 mg/hari).
g. Molindone (1 mg/hari).
Prinsip Farmakoterapi
1. Mulai dari dosis kecil, naikkan perlahan-lahan.
2. Evaluasi fektivitas dan efek samping.
3. Gunakan monoterapi.
4. Gunakan obat lini pertama terlebih dahulu.
5. Tak ada patokan kapan harus menghentikan obat. Bila akan menghentikan obat,
hentikan perlahan-lahan.
Perhatian Khusus
1. Mengobati anak dengan tik berarti menasihati orang tuanya untuk mendidik
anak secara bijaksana. Jangan banyak melarang anak, banyaklah memberi
contoh yang baik. Jangan banyak marah atau memarahi anak, banyaklah
bergaul dengan anak.
2. Banyak anak dengan tik memiliki orang tua yang:
a. Perfeksionis (ingin segalanya sempurna).
b. Sangat keras mendidik anaknya. c. Sering/suka marah-marah, ngomel, bawel,
atau cerewet.
Tik yang dialami anak sebenarnya merupakan "bahasa isyarat" untuk memprotes
orangtuanya.
3. Terapi obat tidak dapat menghilangkan semua gejala. Terapi obat bertujuan
untuk mengurangi gejala tik tanpa efek samping obat yang berat.
L. Prognosis
Tics pada anak akan hilang dengan sendirinya dalam hitungan bulan. Tics yang
kronis mungkin akan terus untuk jangka waktu yang lama. Terapi obat tidak dapat
menghilangkan semua gejala karena terapi obat bertujuan untuk mengurangi gejala
tik tanpa efek samping obat yang berat . Prognosis tik fasialis ini adalah baik
(Dubia ad bonam).
M. Komplikasi
Dalam kebanyakan kasus, tidak didapatkan adanya komplikasi.
BAB III
KESIMPULAN
Tic facialis adalah gerakan yang involunter, mendadak, cepat, berulang,
tidak ritmis atau vokalisasi yang stereotip yang lokasinya pada daerah wajah.
banyak kasus yang belum diketahui penyebab pastinya. tingkat stress yang
tinggi, termasuk kecemasan, gelisah, serta beban aktivitas yang tinggi dari
individu tersebut berpengaruh terhadap terjadinya tic facialis.
Penderita tic fasialis sering mengeluhkan gerakan-gerakan involunter
seprti dimulut, hidung, mata. Gerakan yang dirasakan timbul setiap waktu
dan tidak berkurang saat istirahat, pemeriksaan fisik dapat digunakan
sebagai penentu diagnosis namun pemeriksaan penunjang seperti EEG perlu
dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat gelombang abnormal yang
mencetuskan tik fasialis. Penatalaksanaan dengan terapi konservatif
medikamentosa dan non medikamentosa.
DAFTAR PUSTAKA
Fauci AS, Kasper DL, Braunwald E, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J.
Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th Edition. The McGraw-Hill
Companies, Inc. USA. 2008. Part 16. Chapter 367.
Harsono (Ed.). Buku Ajar Neurologi Klinis. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia-Gadjah Mada University Press. 2005:220-222.
Lumbantobing SM. Gangguan Gerak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
(FK UI). Jakarta. 2005:3-18.
Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. PT Dian Rakyat. Jakarta.
2003:162-163.
Perdossi (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia). Buku Pedoman Standar
Pelayanan Medis (SPM) & Standar Prosedur Operasional (SPO) Neurologi Koreksi
Tahun 1999 & 2005. Perdossi. 2006:144-145.
Pusponegoro HD. Tic dan Sindrom Tourette. Dalam: Pediatric Neurology and
Neuroemergency in Daily Practice. Pusponegoro HD, Handryastuti S, Kurniati N
(Ed.). Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak (PKB IKA) XLIX
FKUI-RSCM. 2006:103-108.
Sidharta P. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. PT Dian Rakyat. Jakarta.
1979:379-380.
Singer HS. The Treatment of Tic. Curr Neurol Neurosci 2001;1(25)195-202.
Watts R, Koller W (eds): Movement Disorders: Neurologic Principles and Practice,
2d ed. New York, McGraw-Hill, 2004.
http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/970/basics/epidemiology.html
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000745.htm
www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001410.htm