TIM PENYUSUN LAPORAN - LandSpatial | Direktorat TIM PENYUSUN LAPORAN 1. Dr. Ir. Arifin Rudiyanto,...
-
Upload
nguyenkhue -
Category
Documents
-
view
238 -
download
0
Transcript of TIM PENYUSUN LAPORAN - LandSpatial | Direktorat TIM PENYUSUN LAPORAN 1. Dr. Ir. Arifin Rudiyanto,...
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
i
TIM PENYUSUN LAPORAN
1. Dr. Ir. Arifin Rudiyanto, M.Sc
2. Drs. Oktorialdi, MA, Ph.D
3. Uke Mohammad Hussein, S.Si, MPP
4. Ir. Rinella Tambunan, MPA
5. Ir. Nana Apriyana, MT
6. Mia Amalia, ST, M.Si, Ph.D
7. Santi Yulianti, S.IP, MM
8. Hernydawaty, SE, ME
9. Aswicaksana, ST, MT, M.Sc
10. Raffli Noor, S.Si
11. Elmy Yasinta Ciptadi, ST, MT
12. Zaenal Arifin, ST, MPIA
13. Ir. Hernawati, M.Si
14. Gita Nurrahmi, ST
15. Fadiah Adlina Ulfah, S.Si
16. Edi Setiawan, S.Si
17. Mustanir Afif, ST
18. Sylvia Krisnawati
19. Cecep Saryanto
20. Ujang Supriatna
21. Pratiwi Khoiriyah
22. Widodo
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
iii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala hidayah-Nya
Kegiatan Tim Koordinasi Reforma Agraria Nasional Tahun 2016 telah selesai dilaksanakan
dengan baik. Laporan ini memuat berbagai capaian pelaksanaan kegiatan yang dilakukan
oleh Tim Koordinasi.
Inisiasi pelaksanaan Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional telah
dimulai sejak tahun 2013 dan telah dilanjutkan setiap tahun sampai dengan saat ini. Pada
tahun 2016, pelaksanaan kegiatan tersebut dilakukan sesuai dengan Surat Keputusan
Sekretaris Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Sekretaris Utama Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor Kep.90/SES/HK/05/2016 tentang
Pembentukan Tim Koordinasi Reforma Agraria Nasional. Tim Koordinasi tersebut
beranggotakan perwakilan dari beberapa Kementerian/Lembaga terkait yaitu: Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional; Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan; Kementerian Pertanian; Kementerian Kelautan dan Perikanan; Kementerian
Dalam Negeri; Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi;
Kementerian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah; dan Kementerian Perencanaan
Pembangunan/Bappenas. Kegiatan koordinasi ini dilakukan sebagai upaya untuk
melaksanakan kebijakan-kebijakan bidang pertanahan sebagaimana tertuang dalam White
Paper Kebijakan Pertanahan Nasional yang meliputi: Kebijakan Pendaftaran Tanah Sistem
Publikasi Positif (Stelsel Positif), Kebijakan Redistribusi tanah dan access reform, Kebijakan
Penyediaan Tanah untuk Kepentingan Umum, dan Kebijakan Sumberdaya Manusia bidang
Pertanahan, serta kegiatan-kegiatan koordinasi lintas sektor dan daerah.
Secara umum, capaian pelaksanaan kegiatan tersebut pada Tahun 2016 telah sesuai
dengan rencana kerja yang telah ditetapkan. Namun demikian terdapat beberapa kegiatan
yang harus dilanjutkan pada tahun-tahun mendatang. Laporan ini memuat informasi
mengenai gambaran mengenai kemajuan pelaksanaan kebijakan pengelolaan pertanahan
nasional dan capaian pelaksanaan kegiatan tim koordinasi reforma agraria nasional pada
tahun 2016. Dengan demikian sektor-sektor terkait dapat memperhatikan capaian
pelaksanaan yang tertuang, terutama dalam menyusun kebijakan operasional terkait bidang
pertanahan di masing-masing sektor tersebut.
Disadari bahwa pelaksanaan kegiatan Koordinasi Reforma Agraria Nasional ini
mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak antara lain Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Kanwil BPN Provinsi Jawa Timur, Kanwil BPN Provinsi Jawa Timur, Bappeda Provinsi
Kalimantan Timur, serta berbagai pihak lainnya. Untuk itu pada kesempatan ini kami
menyampaikan terima kasih dan apresiasi atas segala partisipasi dan bantuan yang
diberikan.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
iv
Demikian, semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak dan
terima kasih.
Jakarta, Desember 2016
Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/Bappenas
selaku Ketua Pelaksana Tim Koordinasi Reforma Agraria Nasional
Uke Mohammad Hussein, S.Si, MPP
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
v
DAFTAR ISI
TIM PENYUSUN LAPORAN ............................................................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ v
DAFTAR TABEL ................................................................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................................... vii
DAFTAR ISTILAH ............................................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................. 1
BAB II TUJUAN DAN SASARAN KOORDINASI REFORMA AGRARIA .............................................. 3
BAB III RUANG LINGKUP KOORDINASI REFORMA AGRARIA ........................................................ 5
BAB IV CAPAIAN KERJA KOORDINASI REFORMA AGRARIA .......................................................... 9
4.1 Rencana Kebijakan .................................................................................................. 9
4.1.1 Kebijakan Pendaftaran Tanah Stelsel Positif .............................................. 9
4.1.2 Kebijakan Redistribusi Tanah dan Akses Reform ...................................... 22
4.1.3 Kebijakan Penyediaan Tanah Bagi Pembangunan Kepentingan Umum... 31
4.1.4 Kebijakan Sumber Daya Manusia Bidang Pertanahan .............................. 32
4.2 Koordinasi Lintas Sektor dan Daerah .................................................................... 34
4.2.1 Sertipikasi Tanah Transmigrasi ................................................................. 35
4.2.2 Koordinasi PRODA di Provinsi Kalimantan Timur ..................................... 38
4.3 Publikasi dan Sosialisasi ........................................................................................ 40
4.3.1 Media CD ................................................................................................... 41
4.3.2 Media Online ............................................................................................. 41
BAB V PENUTUP ......................................................................................................................... 43
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Target Kegiatan Tim Koordinasi RAN Tahun 2016 atau
Target Kegiatan terkait Kebijakan Pendaftaran Tanah Stelsel Positif ....................... 10
Tabel 4.2 Perbandingan Rekapitulasi Cakupan Peta Dasar Pertanahan Tahun 2014,
2015 dan 2016 ........................................................................................................... 12
Tabel 4.3 Capaian Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Luar Kawasan Hutan
Tahun 2016 ................................................................................................................ 12
Tabel 4.4 Perbandingan Rekapitulasi Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat Tahun 2014,
2015, dan 2016 .......................................................................................................... 16
Tabel 4.5 Rekapitulasi Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat Yang Terdigitasi
Tahun 2016 ................................................................................................................ 18
Tabel 4.6 Target dan Indikator Kegiatan Terkait Kebijakan Redistribusi Tanah dan
Access Reform ............................................................................................................ 24
Tabel 4.7 Target dan Indikator Kegiatan terkait Kebijakan SDM Bidang Pertanahan ............... 33
Tabel 4.8 Target Pelaksanaan PRODA Provinsi Kalimantan Utara Tahun
Anggaran 2016 ........................................................................................................... 40
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Luas Wilayah Nasional Indonesia ........................................................................ 11
Gambar 4.2 Cakupan Peta Dasar Pertanahan Di Luar Kawasan Hutan .................................. 14
Gambar 4.3 Peta Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat Yang Telah Terdigitasi
Tahun 2016 .......................................................................................................... 17
Gambar 4.4 CD Publikasi terkait Kebijakan dan Peraturan Perundangan di Bidang
Pertanahan .......................................................................................................... 41
Gambar 4.5 Tampilan Media Online terkait kegiatan RAN 2016 ............................................ 42
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
viii
DAFTAR ISTILAH
1. Tim Koordinasi Reforma Agraria Nasional adalah Tim Koordinasi yang dibentuk oleh
Sekretaris Kementerian PPN/Sekretaris Utama Bappenas yang bertugas untuk
memperbaiki kebijakan bidang pertanahan nasional.
2. Pertanahan adalah hal-hal yang berhubungan dengan pendaftaran, penyediaan,
peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaan tanah, serta perbuatan
mengenai tanah, yang diatur dengan hukum tanah.
3. Tanah adalah permukaan bumi baik berupa daratan maupun yang tertutup air dalam
batas tertentu sepanjang penggunaan dan pemanfaatannya terkait langsung dengan
permukaan bumi termasuk ruang di atas dan di dalam tubuh bumi.
4. Tanah Negara adalah Tanah yang tidak dipunyai dengan suatu Hak Atas Tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria dan/atau tidak merupakan tanah ulayat Masyarakat Hukum
Adat.
5. Reforma Agraria adalah penataan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan Tanah yang lebih berkeadilan disertai dengan akses reform.
6. Akses Reform (access reform) adalah pemberian akses bagi penerima tanah obyek
reforma agraria untuk menggunakan dan memanfaatkan tanahnya secara optimal baik
untuk bidang pertanian maupun nonpertanian.
7. Tanah Obyek Reforma Agraria yang selanjutnya disingkat TORA adalah Tanah yang
dikuasai oleh negara untuk didistribusikan atau diredistribusikan dalam rangka Reforma
Agraria.
8. Penerima TORA adalah orang yang memenuhi persyaratan dan ditetapkan untuk
menerima TORA.
9. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
10. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
11. PRONA (singkatan dari Proyek Operasi Nasional Agraria) adalah salah satu bentuk
kegiatan legalisasi asset dan pada hakekatnya merupakan proses administrasi
pertanahan yang meliputi; adjudikasi, pendaftaran tanah sampai dengan penerbitan
sertipikat/tanda bukti hak atas tanah dan diselenggarakan secara massal.
12. PRODA (singkatan dari Proyek Operasi Nasional Agraria Daerah) adalah salah satu
bentuk kegiatan legalisasi asset pada suatu daerah yang dibiayai oleh pemerintah
daerah, dan pada hakekatnya merupakan proses administrasi pertanahan yang meliputi;
adjudikasi, pendaftaran tanah sampai dengan penerbitan sertipikat/tanda bukti hak atas
tanah dan diselenggarakan secara massal.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
ix
13. Sertifikasi tanah lintas K/L adalah salah satu bentuk kegiatan legalisasi asset yang
dibiayai pemerintah untuk beberapa target sektor seperti: petani, nelayan, transmigrasi,
UKM, dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pelaksanaan reforma agraria merupakan komitmen pemerintah Indonesia dalam
melaksanakan amanat TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam, yang menetapkan prinsip-prinsip dan arah kebijakan pembaruan agraria
dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkeadilan dan berkelanjutan. Ketetapan
tersebut memberikan mandat kepada Pemerintah untuk melakukan berbagai hal baik
menyangkut upaya penataan peraturan dan perundang-undangan maupun penataan
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) yang kesemuanya
diletakkan dalam kerangka membangun kesejahteraan rakyat yang berkelanjutan, serta
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari ancaman disintegrasi
bangsa baik ancaman dari dalam maupun dari luar.
Sedangkan secara konseptual, reforma agraria dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
pengertian, sebagai berikut:
a. Reforma Agraria (land reform) dalam pengertian redistribusi tanah, yaitu pembagian
tanah untuk petani yang tidak memiliki tanah (landless farmer); dan
b. Reforma Agraria dalam pengertian perombakan sistem pertanahan dan pengelolaan
pertanahan nasional.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilaksanakan program reforma agraria secara
menyeluruh dimulai dari perombakan sistem pertanahan dan pengelolaan pertanahan
nasional sehingga dapat memberikan arah dan masa depan yang lebih baik bagi sistem
pertanahan nasional dimasa yang akan datang. Pelaksanaan reforma agraria secara
menyeluruh tentu membutuhkan kerjasama dari berbagai stakeholder yang memiliki
kepentingan dan keterkaitan dengan permasalahan lahan dan pertanahan sehingga
diharapkan dapat dilakukan koordinasi yang lebih intensif dalam mewujudkan pelaksanaan
program tersebut.
Sesuai dengan Nawacita Visi Misi Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla
dan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019,
reforma agraria merupakan salah satu prioritas pembangunan secara nasional. Berikut isu
strategis bidang pertanahan yang tertuang dalam RPJMN 2015-2019 bidang pertanahan,
yaitu: (i) Jaminan Kepastian Hukum Hak Atas Tanah; (ii) Ketimpangan Pemilikan,
Penguasaan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (P4T) serta Kesejahteraan Masyarakat;
(iii) Ketersediaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; dan (iv) Kinerja
Pelayanan Pertanahan. Berdasarkan isu strategis tersebut, maka disusun arah kebijakan
pembangunan bidang pertanahan tahun 2015-2019 sebagai berikut: (i) Membangun sistem
pendaftaran tanah publikasi positif; (ii) Reforma Agraria melalui redistribusi tanah,
pemberian tanah dan bantuan pemberdayaan masyarakat; (iii) Pencadangan tanah bagi
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
2
pembangunan untuk kepentingan umum; dan (iv) Pencapaian proporsi kompetensi SDM
ideal bidang pertanahan untuk mencapai kebutuhan minimum juru ukur. Selain itu, pada
tahun 2013 Kementerian PPN/Bappenas telah menerbitkan White Paper Kebijakan
Pengelolaan Pertanahan Nasional. Dokumen tersebut yang disusun tersebut, menjadi acuan
dalam upaya perbaikan sistem pengelolaan pertanahan.
Dalam rangka pelaksanaan amanat peraturan perundangan di atas dan mengingat
strategisnya pelaksanaan reforma agraria diperlukan koordinasi lintas sektor. Koordinasi
intensif dari berbagai pemangku kepentingan terkait (Kementerian/Lembaga, Pemerintah
Daerah, serta Organisasi non-Pemerintah) untuk mewujudkan sistem pengelolaan
pertanahan yang berkeadilan. Kementerian PPN/Bappenas sebagai instansi yang memiliki
kewenangan untuk menyelenggarakan fungsi koordinasi dan sinkronisasi kebijakan
pembangunan nasional, sejak tahun 2013 hingga saat ini membentuk dibentuk Tim
Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional. dalam kurun waktu tersebut, Tim Koordinasi
Strategis Reforma Agraria telah mampu memberikan masukan dalam penyusunan kebijakan
di bidang pertanahan nasional.
Pada tahun 2016 pembentukan tim koordinasi dilakukan melalui Surat Keputusan
Sekretaris Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Sekretaris Utama Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor Kep.90/SES/HK/05/2016 tentang
Pembentukan Tim Koordinasi Reforma Agraria Nasional. Beberapa Kementerian/Lembaga
yang turut menjadi anggota tim tersebut yaitu: (i) Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional; (ii) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; (iii)
Kementerian Pertanian; (iv) Kementerian Kelautan dan Perikanan; (v) Kementerian Dalam
Negeri; (vi) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; (vii)
Kementerian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah; dan (viii) Kementerian Perencanaan
Pembangunan/Bappenas. Sedangkan dalam membantu pelaksanaan kegiatan, Tim
Koordinasi akan dibantu oleh Sekretariat Reforma Agraria Nasional dan Pihak ketiga dalam
pelaksanaan kegiatan yang membutuhkan keahlian khusus dengan latar belakang
pendidikan dan tingkat pengalaman tertentu.
Untuk menggambarkan berbagai capaian kegiatan Tim Koordinasi Reforma Agraria
Nasional sampai dengan Desember 2016 telah disusun Laporan Akhir (Final Report)
Pelaksanaan Kegiatan. Penyusunan laporan akhir dilakukan melalui rangkaian serangkaian
rapat anggota tim, kunjungan lapangan dan lokakarya yang melibatkan berbagai stakeholder
terkait untuk mendapatkan pemahaman yang sama mengenai reforma agraria (perbaikan
sistem pengelolaan pertanahan). Secara umum laporan ini memuat tujuan dan sasaran
kegiatan, ruang lingkup kegiatan, rencana kebijakan, dan capaian kerja.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
3
BAB II
TUJUAN DAN SASARAN KOORDINASI REFORMA AGRARIA
Kegiatan Tim Koordinasi Reforma Agraria Nasional bertujuan untuk melakukan
perbaikan– perbaikan terhadap sistem pengelolaan pertanahan nasional dengan tujuan
khusus, yaitu:
a. Melaksanakan pengkajian, perumusan dan pengembangan kebijakan pertanahan
nasional yang mendukung pelaksanaan reforma agraria;
b. Melaksanakan koordinasi penyusunan rencana, program dan kegiatan (RPK) terkait
reforma agraria nasional serta pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan RPK
tersebut; dan
c. Melaksanakan diseminasi dan sosialisasi kebijakan pertanahan, membangun
konsensus, dan mendapatkan dukungan komitmen dari institusi dan pelaku terkait
pelaksanaan reforma agraria nasional.
Pada tahun anggaran 2016, terdapat beberapa pelaksanaan kebijakan yang akan
diselenggarakan oleh Tim Koordinasi Reforma Agraria Nasional, yang merupakan
tindaklanjut dari intervensi kebijakan yang telah disusun sebelumnya, yaitu:
a. Kebijakan Pendaftaran Tanah Stelsel Positif;
b. Kebijakan Asset dan Access Reform;
c. Kebijakan Penyediaan Tanah bagi Pembangunan Kepentingan Umum; dan
d. Kebijakan Sumber Daya Manusia Bidang Pertanahan.
Sasaran yang ingin dicapai dari pelaksanaan kebijakan di atas adalah terlaksananya
kebijakan-kebijakan pengelolaan pertanahan sesuai dengan rencana dan indikator kegiatan,
sebagaimana tertuang dalam dokumen White Paper Kebijakan Pengelolaan Pertanahan di
Indonesia.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
5
BAB III
RUANG LINGKUP KOORDINASI REFORMA AGRARIA
Pelaksanaan program reforma agraria secara menyeluruh, memerlukan koordinasi
antar Kementerian/Lembaga (K/L) terkait, baik di tingkat pusat maupun daerah serta
organisasi non pemerintah. Terkait dengan fungsi koordinasi yang strategis dan penting
dalam penyusunan kebijakan pelaksanaan reforma agraria tersebut, maka Kementerian
PPN/Bappenas berinisiatif untuk melakukan koordinasi, khususnya dalam konteks
perumusan dan sinkronisasi rencana kebijakan pelaksanaan reforma agraria nasional. Selain
itu, Kementerian PPN/Bappenas juga perlu melakukan pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan reforma agraria nasional yang sedang berjalan. Dengan demikian, dalam upaya
mencapai tujuan dari koordinasi reforma agraria nasional, beberapa lingkup kegiatan yang
akan diselesaikan dalam satu tahun anggaran 2016 adalah sebagai berikut:
Rapat Koordinasi Kebijakan
Fasilitasi pelaksanaan koordinasi dalam rapat-rapat Tim Koordinasi RAN untuk
membangun kesepahaman antar sektor terkait serta menentukan arah kebijakan
pelaksanaan reforma agraria nasional. Selain itu, rapat ini juga dapat ditujukan untuk
melakukan review terhadap berbagai kebijakan pertanahan eksisting dan memberikan
masukan dalam penyusunan kebijakan terkait reforma agraria.
Rapat Koordinasi Teknis
Rapat teknis ini dilakukan di tingkat tim pelaksana dan kesekretariatan yang
melibatkan sektor-sektor terkait dengan pelaksanaan kegiatan, baik didalam Kementerian
PPN/Bappenas, maupun bersama dengan K/L dan Pemerintah Daerah. Rapat koordinasi ini
diperlukan untuk membangun kesepahaman antar sektor dalam melaksanakan reforma
agraria nasional.
Kunjungan Lapangan
Kegiatan kunjungan lapangan ke beberapa daerah ini bertujuan untuk mengumpulkan
data dan informasi yang diperlukan dalam melakukan pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan reforma agraria nasional maupun dalam rangka menyusun studi kebijakan di
bidang pertanahan. Instansi yang akan dikunjungi, antara lain: Kantor Wilayah BPN, Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan
Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) di tingkat Provinsi maupun di tingkat
Kabupaten/Kota. Selain instansi pemerintah, kunjungan lapangan juga akan dilakukan ke
para penerima manfaat program reforma agraria nasional, tokokh-tokoh masyarakat dan
aparatur pemerintah di tingkat kecamatan dan desa. Adapun daerah-daerah yang
teridentifikasi yang direncanakan untuk dijadikan tujuan kunjungan lapangan tahun 2016
meliputi:
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
6
‒ Kalimantan Timur, terkait keberlanjutan pelaksanaan PRODA (Program Agraria
Daerah) sehingga dapat mempercepat pelaksanaan sertipikasi tanah di daerah;
‒ Jawa Tengah, terkait pelaksanaan pilot project reforma agraria di Kabupaten
Magelang;
‒ Daerah Istimewa Yogyakarta, terkait dengan pelaksanaan reforma agraria di
Kabupaten Gunung Kidul;
‒ Bangka Belitung, terkait dengan pelaksanaan pilot project reforma agraria di
Kabupaten Bangka Selatan;
‒ Kalimantan Tengah, terkait potensi pelaksanaan pilot project pelaksanaan tata batas
kawasan hutan; dan
‒ Denpasar, terkait potensi pelaksanaan pilot project pelaksanaan tata batasa kawasan
hutan.
Namun demikian, kegiatan kunjungan lapangan pada daerah-daerah di atas tidak
semuanya dilakukan karena adanya pemotongan anggaran (self blocking) di Kementerian
PPN/Bappenas pada tahun 2016. Hal ini berpengaruh terhadap pencapaian keseluruhan
kegiatan pada tahun 2016.
Konsinyering dan FGD
Kegiatan ini dilakukan untuk melakukan diskusi antar sektor dalam rangka
pematangan dan finalisasi konsep kebijakan yang terkait dengan pelaksanaan reforma
agraria nasional.
Lokakarya dan Seminar
Kegiatan lokakarya menghadirkan pakar yang kompeten, terkait dengan kebijakan
tersebut dan mengundang berbagai sektor terkait di tingkat pusat dan daerah, serta
organisasi non pemerintah. Sedangkan kegiatan seminar, berfungsi sebagai media sosialisasi
kebijakan, khususnya dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
reforma agraria nasional. Dalam pelaksanaannya, seminar juga akan menghadirkan
narasumber yang kompeten, mengundang berbagai sektor terkait, baik dari instansi
pemerintah maupun organisasi non-pemerintah.
Publikasi
Kegiatan ini mencakup penyusunan hingga pencetakan media publikasi yang meliputi
campact disk/CD, pengembangan situs web (website) terkait kegiatan Koordinasi RAN tahun
2016.
Database
Kegiatan ini mencakup penyusunan database stakeholder, program di bidang
pertanahan, dokumen perencanaan dan peta.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
7
Operasional dan Administrasi Kesekretariatan
Kegiatan ini meliputi pengalokasian honorarium, pengadaan Alat Tulis Kantor (ATK),
sewa dan pemeliharaan gedung kantor, sewa dan operasional kendaraan, penyediaan
furnitur dan pembelian buku/referensi, penyediaan keperluan operasional rumah tangga
kantor, pemeliharaan komputer, langganan internet dan sewa mesin foto copy.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
9
BAB IV
CAPAIAN KERJA KOORDINASI REFORMA AGRARIA
4.1 Rencana Kebijakan
4.1.1 Kebijakan Pendaftaran Tanah Stelsel Positif
Sistem pendaftaran tanah yang dianut oleh Indonesia adalah sistem pendaftaran
tanah publikasi negatif. Sistem ini memiliki dampak bahwa negara tidak mampu
memberikan kepastian hukum hak atas tanah bagi pemiliki sertipikat, karena masih ada
kesempatan bagi pihak lain yang merasa memiliki untuk mengajukan gugatan ke pengadilan.
Dengan demikian negara tidak mampu memberikan informasi dan kepastian hukum yang
sebenarnya mengenai subyek dan obyek tanah hingga informasi tersebut dianggap benar
sampai terbukti sebaliknya.
Sistem pendaftaran tanah yang dianut Indonesia terbukti tidak bisa memberikan
kepastian hukum hak atas tanah bagi pemiliknya, sehingga untuk memberikan jaminan
kepastian hukum hak atas tanah, Indonesia harus merubah sistem pendaftaran tanah yang
dianut sekarang dari sistem publikasi negatif menjadi pendaftaran tanah sistem publikasi
positif. Pendaftaran tanah sistem publikasi positif memiliki makna bahwa negara
memberikan jaminan sepenuhnya atas setiap informasi pertanahan yang dikeluarkan oleh
badan pertanahan suatu negara, dan apabila ada sengketa karena kesalahan negara atas
sertipikat dan informasi hak atas tanah yang dikeluarkan sehingga berakibat kerugian bagi
masyarakat tersebut maka negara wajib untuk memberikan ganti rugi yang layak atas
kesalahan tersebut. Perubahan sistem pendaftaran tanah tersebut memerlukan validasi dan
akurasi data pertanahan, baik subyek maupun obyek dan informasi apapun yang tertera
dalam sertipikat tanah. Hal ini untuk menjaga agar keuangan negara tetap stabil apabila
terjadi kesalahan sertipikat tanah, sehingga negara harus memberikan ganti rugi atas
kesalahan tersebut. Untuk melakukan perubahan sistem pendaftaran tanah menjadi
publikasi positif dibutuhkan beberapa prasyarat kondisi antara lain adalah, cakupan peta
dasar pertanahan di luar kawasan hutan, cakupan bidang tanah bersertipikat, dan Tata
Batas Kawasan Hutan.
Perubahan sistem pendaftaran tanah publikasi positif dapat dilaksanakan apabila
prasyarat kondisi telah terpenuhi antara lain adalah ketersedian Cakupan Peta Dasar
Pertanahan di Luar Kawasan Hutan dan Cakupan Wilayah yang Bersertifikat telah mencapai
80% dari luas wilayah Indonesia di luar kawasan hutan. Diperlukan juga upaya untuk
menyusun dan mengidentifikasi sebaran daerah yang memiliki cakupan peta dasar
pertanahan dan peta cakupan bidang tanah bersertipikat yang terdigitasi. Bebeberapa
langkah yang diperlukan untuk mencapai pre-requisite condition perubahan pendaftaran
tanah menjadi sistem publikasi positif meliputi: (i) Percepatan Sertipikasi Tanah; dan (ii)
Percepatan Penyediaan Peta Dasar Pertanahan. Konsekuensi logis dari memberikan
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
10
kepastian hukum hak atas tanah dan kebenaran informasi batas bidang tanah, perlu
dilakukan upaya memastikan batas kawasan hutan dengan kawasan non hutan. Publikasi
batas kawasan hutan dan non hutan harus dilakukan pada skala yang sama dengan skala
pendaftaran tanah (skala kadastral dengan skala 1:2.500) dan terintegrasi dalam sistem
pendaftaran tanah nasional. Sesuai dengan amanat UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
dasar pokok-pokok agraria yang dalam salah satu pasal mengamanatkan tentang pengakuan
dan perlindungan atas masyarakat adat. Masyarakat adat dalam tatanan masyarakat
modern memang harus diberikan perlindungan dan pengakuan. Salah satu upaya untuk
melindungi masyarakat adat adalah dengan memberikan kepastian hukum atas wilayah
hukum adat dan masyarakat adat tersebut. Pada dasarnya aturan-aturan yang ada sudah
mengakomodir dan memberikan perlindungan atas masyarakat adat, dengan menerbitkan
sertipikat atas tanah adat namun hak tersebut tidak diberikan kepada masyarakat per
individu. Namun nampaknya berbagai peraturan tersebut belum dapat berjalan dengan
maksimal karena dari sekian banyak masyarakat adat, hanya tanah adat/ulayat yang dimiliki
masyarakat adat Baduy yang sudah ditetapkan menjadi peraturan daerah.
A. Rencana
Berdasarkan uraian di atas terkait perubahan pendaftaran tanah menuju sistem
publikasi positif, Tim Koordinasi Reforma Agraria pada tahun anggaran 2016 telah
menetapkan beberapa target kegiatan pada tabel 4.1 berikut.
Tabel 4.1
Target Kegiatan Tim Koordinasi RAN Tahun 2016
NO KEGIATAN TARGET
1. Pemantauan Perkembangan Cakupan
Peta Dasar Pertanahan dan Cakupan
Bidang Tanah Bersertipikat
Teridentifikasinya informasi cakupan
peta dasar pertanahan dan cakupan
bidang tanah bersertipikat tahun
2016
2. a. Koordinasi pelaksanaan Pilot Project
publikasi tata batas kawasan hutan
Terlaksananya pilot project publikasi
batas kawasan hutan
b. Dilaksanakannya pilot project
publikasi tata batas kawasan hutan
3. Penyusunan pedoman pelaksanaan tata
batas kawasan hutan
Tersusunnya pedoman pelaksanaan
tata batas kawasan hutan
4. Harmonisasi Peraturan Perundangan
Terkait Tanah Adat/Ulayat
Terlaksananya koordinasi harmonisasi
peraturan perundangan terkait tanah
adat/ulayat
5. a. Tersusunnya materi pelaksanaan
sosialisasi
Terlaksananya sosialisasi peraturan
perundangan tanah adat/ulayat
b. Pelaksanaan sosialisasi peraturan
perundangan tanah adat/ulayat
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
11
B. Capaian
Pelaksanaan kegiatan koordinasi yang telah dilakukan selama satu tahun
menghasilkan beberapa pencapaian sebagai berikut:
(i) Pembaharuan Informasi Spasial Cakupan Peta Dasar Pertanahan
Informasi mengenai capaian cakupan peta dasar pertanahan digunakan untuk
mengevaluasi kesiapan negara sebelum mengubah sistem pendaftaran tanah menuju
pendaftaran tanah sistem publikasi positif. Semakin besar ketersediaan cakupan peta dasar
pertanahan maka diasumsikan bahwa akan semakin baik kualitas peta bidang tanah
bersertipikat. Hal tersebut dikarenakan peta dasar pertanahan merupakan acuan dalam
pembuatan peta bidang tanah bersertipikat. Dengan demikian kebenaran informasi akan
menjadi lebih terjamin sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya kewajiban mengganti
kerugian akibat kesalahan informasi yang dilakukan oleh negara.
Proses pengolahan data cakupan peta dasar pertanahan dilakukan secara spasial
dengan menghitung luas cakupan peta pada lembar-lembar Peta Dasar Pertanahan yang
didapatkan dari Direktorat Pemetaan Dasar – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN.
Pada pengolahan data spasial Tahun 2013 diperoleh capaian Cakupan Peta Dasar
Pertanahan seluas 25,44 juta hektar atau 13,31 % dari luas Wilayah Nasional Indonesia yang
seluas 191,09 juta hektar.
Dengan ditetapkannya data luas wilayah nasional, wilayah hutan, dan wilayah non
hutan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), maka pada tahun 2014 dilakukan peningkatan
kualitas informasi cakupan peta dasar pertanahan dengan melakukan perbaikan nilai
variabel perhitungan. Dari tahun 2013 yang menggunakan nilai variabel pembagi luas
wilayah nasional, diubah menjadi luas wilayah nasional di luar kawasan hutan pada tahun
2014, 2015, dan 2016.
Gambar 4.1
Luas Wilayah Nasional Indonesia
LUAS WILAYAH NASIONAL 189.073.900 Ha
TERPETAKAN MENJADI PETA DASAR PERTANAHAN 37.686.995 Ha
LUAS WILAYAH NON HUTAN 64.324.754 Ha
Terpetakan menjadi Peta Dasar Pertanahan
29.379.816 Ha
LUAS WILAYAH HUTAN 124.749.146 Ha
Terpetakan menjadi Peta Dasar Pertanahan
10.782.193 Ha
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
12
Dengan demikian pada tahun 2014, berdasarkan hasil analisis data secara spasial, dari
luas wilayah nasional di luar kawasan hutan seluas 64.324.754 Ha terdapat seluas
14.962.428,14 Ha yang telah dipetakan dalam peta dasar pertanahan, ditambah dengan
kegiatan pembuatan peta dasar pertanahan pada tahun 2015 sehingga cakupan peta dasar
pertanahan di luar kawasan hutan sampai dengan tahun 2015 sebesar 41,83% (26,9 juta
hektar). Pada tahun 2016 Kemen. ATR/BPN melakukan kegiatan pembuatan peta dasar
pertanahan untuk skala 1:1000 dan 1:2500, sehingga pada tahun 2016 luas cakupan peta
dasar pertanahan menjadi 29,37 Juta Ha (45,67% bila dibandingkan luas kawasan budidaya).
Cakupan peta dasar pertanahan tahun 2016 mengalami peningkatan yang cukup signifikan
apabila dibandingkan dengan cakupan peta dasar pertanahan pada tahun 2014. Berikut
tabel perbandingan rekapitulasi cakupan peta dasar pertanahan Tahun 2014, 2015 dan
Tahun 2016.
Tabel 4.2
Perbandingan Rekapitulasi Cakupan Peta Dasar Pertanahan
Tahun 2014, 2015 dan 2016
Tahun 2014 Tahun 2015 Tahun 2016
Luas Wilayah Nasional 189,07 juta Ha 189,07 juta Ha 189,07 juta Ha
Luas Kawasan Budidaya
Nasional 64,32 juta Ha 64,32 juta Ha 64,32 juta Ha
Cakupan Peta Dasar Pertanahan
di Kawasan Budidaya
14,96 juta Ha
(23,26%)
26,9 Juta Ha
(41,83%)
29,37 Juta Ha
(45,67)
Sumber: Badan Informasi Geospasial (2014); Direktorat Pengukuran dan Pemetaan Dasar –
Kementerian ATR/BPN (2014-2016)
Perhitungan dilakukan dengan memperhatikan beberapa aspek teknis berikut; (1)
Data spasial cakupan peta dasar pertanahan Kemen. ATR/BPN perlu diolah agar tidak
terdapat area yang bertampalan; (2) Pada wilayah yang saling bertampalan, perlu dilakukan
penggabungan menjadi satu area gabungan, sehingga tidak terjadi double counting daerah
cakupan pada area yang sama; (3) Wilayah laut dan wilayah kawasan hutan yang masuk
dalam lembar peta dasar pertanahan, tidak dimasukkan dalam perhitungan cakupan peta
dasar pertanahan; (4) Sesuai arahan BIG, perhitungan luas menggunakan proyeksi Lambert
Cylindrical Equal-area Projection.
Tabel 4.3
Capaian Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Luar Kawasan Hutan Tahun 2016
PROVINSI Luas Wilayah di Luar Kawasan Hutan (Ha)
Cakupan Peta Dasar di Luar Kawasan
Hutan (Ha) Persentase (%)
Aceh 2.293.894,50 2.063.641,48 89,96
Bali 430.782,66 429.446,49 99,69
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
13
PROVINSI Luas Wilayah di Luar Kawasan Hutan (Ha)
Cakupan Peta Dasar di Luar Kawasan
Hutan (Ha) Persentase (%)
Banten 732.307,14 200.324,92 27,36
Bengkulu 1.081.984,64 321.447,66 29,71
DI Yogyakarta 298.332,38 298.283,28 99,98
DKI Jakarta 64.623,82 6.020,78 9,32
Gorontalo 420.247,38 387.613,71 92,23
Jambi 2.769.107,17 292.425,99 10,56
Jawa Barat 2.875.796,22 2.217.196,24 77,10
Jawa Tengah 2.788.249,39 2.140.041,70 76,75
Jawa Timur 3.439.007,49 738.480,14 21,47
Kalimantan Barat 6.420.377,40 1.759.603,67 27,41
Kalimantan Selatan 1.965.240,50 1.705.717,84 86,79
Kalimantan Tengah 2.602.813,50 687.623,88 26,42
Kalimantan Timur 4.258.575,96 844.009,84 19,82
Kalimantan Utara 1.326.458,49 481.278,50 36,28
Kep. Bangka Belitung 1.008.077,41 336.507,08 33,38
Kep. Riau 229.819,83 130.887,69 56,95
Lampung 2.417.687,64 1.793.422,41 74,18
Maluku 720.481,21 268.411,83 37,25
Maluku utara 629.517,46 200.501,07 31,85
Nusa Tenggara Barat 928.105,55 690.956,60 74,45
Nusa Tenggara Timur 3.030.839,11 2.861.901,68 94,43
Papua 1.746.190,12 94.027,58 5,38
Papua Barat 521.870,51 58.681,93 11,24
Riau 1.805.133,04 89.339,35 4,95
Sulawesi Barat 570.776,65 348.803,57 61,11
Sulawesi Selatan 2.375.862,88 1.002.286,08 42,19
Sulawesi Tengah 2.078.666,53 678.831,82 32,66
Sulawesi Tenggara 1.273.329,97 940.751,47 73,88
Sulawesi Utara 750.253,17 617.578,58 82,32
Sumatera Barat 1.848.089,33 1.421.821,43 76,93
Sumatera Selatan 5.195.630,61 1.884.607,97 36,27
Sumatera Utara 3.426.624,65 1.387.342,56 40,49
Indonesia 64.324.754,31 29.379.816,84 45,67
Sumber: Direktorat Pengukuran dan Pemetaan Dasar, Kementerian ATR/BPN diolah
Bappenas, 2016
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
14
Gambar 4.2
Peta Cakupan Peta Dasar Pertanahan Di Luar Kawasan Hutan
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
15
Kementerian ATR/BPN pada tahun 2016 melakukan kegiatan pembuatan Peta Dasar
Pertanahan untuk skala 1:1000 dan skala 1:2500. Data cakupan peta dasar pertanahan di
luar kawasan hutan tahun 2016 yang diperoleh dari Kemen. ATR/BPN merupakan data AOI
(Area Of Interest). Data AOI sebenarnya adalah rencana awal kegiatan yang akan dilakukan
oleh Kemen. ATR/BPN, dan setelah dilakukan konfirmasi dapat dipastikan bahwa rencana
AOI tidak ada perubahan dengan hasil akhir, dengan demikian AOI juga merupakan hasil
akhir kegiatan pembuatan Peta Dasar Pertanahan. Cakupan Peta Dasar Pertanahan hingga
tahun 2016 berdasarkan data dari Direktorat Pengukuran dan Pemetaan Dasar Kemen.
ATR/BPN sebesar 29,37 Juta Ha (45,67 % dari luas kawasan budidaya). Bila dibandingkan
dengan tahun 2015 terjadi peningkatan luas cakupan peta dasar pertanahan pada tahun
2016 sekitar 2,4 Juta Ha. Pada tahun 2016 pembuatan peta dasar pertanahan untuk skala
1:2500 dilakukan di beberapa provinsi antara lain, Banten, Jawa Barat, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Sedangkan untuk skala 1:1000 kegiatan
pembuatan peta dasar pertanahan dilakukan di beberapa provinsi antara lain, Bali, Jawa
Barat dan Kota Semarang. Dengan demikian Kemen. ATR/BPN melakukan kegiatan
pendetailan cakupan peta dasar pertanahan yang juga sudah pernah dilakukan untuk
beberapa lokasi.
Pembuatan peta dasar pertanahan dengan skala 1:1.000 dan skala 1:2.500 disamping
memberikan peningkatan luas cakupan yang cukup besar, juga ada beberapaa lokasi yang
dilakukan pembuatan peta dasar pertanahan dengan skala yang lebih besar, hal ini memang
sesuai dengan kebutuhan untuk mendapatkan informasi seakurat mungkin dan salah
satunya dengan pembuatan peta dasar dengan skala yang lebih besar. Cakupan peta dasar
pertanahan sampai dengan tahun 2016, terdapat beberapa provinsi yang memiliki cakupan
peta dasar pertanahan diatas 80% antara lain adalah, adalah Provinsi Aceh, Provinsi
Provinsi Bali, Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi Gorontalo, Provinsi Kalimantan Selatan,
Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan Provinsi Sulawesi Utara.
Selain provinsi yang memiliki cakupan peta dasar pertanahan diatas 80% yang semakin
bertambah, kegiatan pembuatan cakupan peta dasar pertanahan tahun 2016 juga dapat
menambah cakupan peta dasar pertanahan secara keseluruhan, hingga pada tahun 2016
masih terdapat beberapa provinsi yang memiliki cakupan peta dasar pertanahan di bawah
10% yaitu adalah Provinsi Papua, Provinsi Riau, dan Provinsi DKI Jakarta. Perlu menjadi
catatan bersama khusus untuk DKI Jakarta sedikit mengherankan ketika peta dasar
pertanahan masih dibawah 10%. Dengan capaian Peta Dasar Pertanahan sebesar itu
diharapkan dapat membantu Kantor Wilayah BPN yang ada di Kabupaten/Kota dalam
menghasilkan data sertipikasi bidang tanah yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Data cakupan peta dasar pertanahan untuk kegiatan tahun 2016 bersumber dari kegiatan
dari DIPA Kemen. ATR/BPN atau anggaran pusat dan belum menghitung kegiatan swakelola
yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
16
(ii) Pembaharuan informasi spasial cakupan peta bidang tanah bersertipikat yang
terdigitasi
Sebaran spasial peta cakupan wilayah bersertipikat yang terdigitasi oleh sistem
informasi geografis (SIG) diperlukan untuk melakukan perhitungan persentase cakupan
wilayah bidang tanah bersertipikat secara nasional. Hal tersebut dilakukan untuk
mengevaluasi kesiapan negara sebelum mengubah sistem pendaftaran tanah menuju sistem
pendaftaran tanah stelsel positif. Semakin besar cakupan bidang tanah bersertipikat maka
diasumsikan bahwa akan semakin baik kualitas kepastian hukum hak atas tanah.
Untuk tahun 2015, diperoleh data spasial bidang tanah bersertipikat yang terdigitasi
sejumlah 21 juta bidang. Namun dari jumlah tersebut sekitar 20 juta bidang cukup
berkualitas untuk dapat dipetakan (seluas 8.142.317 Ha). Sedangkan sisanya sebanyak
hampir 1 juta bidang memiliki kualitas yang tidak baik sehingga tidak dapat dipetakan.
Dengan luas kawasan budidaya Indonesia seluas 64.324.754 Ha dan kawasan enclave seluas
1.012.454 Ha diperoleh persentase cakupan bidang tanah bersertipikat yang terdigitasi
sebesar 12,46%.
Beberapa permasalahan yang menyebabkan sekitar 1 juta data bidang tanah tidak
valid untuk dipetakan, yaitu antara lain: (i) kesalahan sistem proyeksi; dan (ii) bidang yang
berpotongan dengan batas administrasi versi BIG;. Berikut hasil sandingan capaian data
rekapitulasi dari hasil pengolahan bidang tanah bersertipikat pada tahun 2014 dengan tahun
2015.
Tabel 4.4
Perbandingan Rekapitulasi Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat
Tahun 2014, 2015, dan 2016
Tahun 2014 Tahun 2015 Tahun 2016
Luas Wilayah Nasional 189,07 juta Ha 189,07 juta Ha 189,07 juta Ha
Luas Kawasan Budidaya
Nasional (dengan Luas Enclave)
64.324.754 Ha
(65.521.314 Ha)
64.324.754 Ha
(65.337.208 Ha)
64.324.754 Ha
(65.210.543 Ha)
Jumlah Bidang Tanah yang
Diolah
16,8 juta bidang 20 juta bidang 22,9 Juta bidang
Luas Bidang Tanah
Bersertipikat yang Terdigitasi
9.242.028 Ha
(14,11%)
8.142.317 Ha
(12,46%)
7.896.944 Ha
(12,11%)
Sumber: Badan Informasi Geospasial (2014), Pusat Data dan Informasi Pertanahan, Tata
Ruang dan LP2B, Kementerian ATR/BPN (2014 – 2016).
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
17
Gambar 4.3
Peta Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat Yang Telah Terdigitasi Tahun 2016
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
18
Berdasarkan hasil pengolahan cakupan bidang tanah bersertipikat yang terdigitasi,
diketahui bahwa sebanyak 30 provinsi memiliki persentase cakupan bidang tanah sertipikat
terdigitasi yang masih rendah, yaitu berada dibawah 20% dari luas budidaya dan enclave.
Kemudian 2 provinsi yaitu provinsi Bali, dan Kalimantan Tengah memiliki persentase
cakupan bidang tanah sertipikat terdigitasi pada rentang 20% sampai 40%, dan 2 provinsi
yaitu provinsi Riau dan DKI Jakarta memiliki persentase cakupan bidang tanah sertipikat
terdigitasi yang paling tinggi di banding provinsi lain, dengan besar cakupan berada pada
rentang 40% sampai 60%. Berikut gambaran persentase cakupan bidang tanah bersertipikat
yang terdigitasi per provinsi.
Tabel 4.5
Rekapitulasi Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat Yang Terdigitasi Tahun 2016
Provinsi Luas budidaya
(Ha) Luas budidaya (Ha) + enclave
Luas sertipikat terdigitasi (Ha)
Persentase (%)
Aceh 2.293.894,50 2.300.363,37 173.359,08 7,54%
Bali 430.782,66 432.620,13 131.441,61 30,38%
Banten 732.307,14 736.663,57 130.473,10 17,71%
Bengkulu 1.081.984,64 1.083.489,01 159.969,94 14,76%
DI Yogyakarta 298.332,38 298.524,34 55.906,52 18,73%
DKI Jakarta 64.623,82 64.722,65 32.510,34 50,23%
Gorontalo 420.247,38 429.259,79 49.911,20 11,63%
Jambi 2.769.107,17 2.778.691,76 200.142,60 7,20%
Jawa Barat 2.875.796,22 2.876.072,31 431.276,69 15,00%
Jawa Tengah 2.788.249,39 2.801.575,02 522.342,72 18,64%
Jawa Timur 3.439.007,49 3.447.495,59 408.603,20 11,85%
Kalimantan Barat 6.420.377,40 6.443.343,75 920.404,79 14,28%
Kalimantan
Selatan
1.965.240,50 1.990.843,95 319.453,59 16,05%
Kalimantan
Tengah
2.602.813,50 2.878.259,09 634.600,44 22,05%
Kalimantan Timur 4.258.575,96 4.270.017,80 597.498,18 13,99%
Kalimantan Utara 1.326.458,49 1.348.093,69 180.226,71 13,37%
Kep. Bangka
Belitung
1.008.077,41 1.020.238,92 102.816,92 10,08%
Kep. Riau 229.819,83 240.781,23 41.240,83 17,13%
Lampung 2.417.687,64 2.420.111,71 258.067,84 10,66%
Maluku 720.481,21 725.378,29 11.586,15 1,60%
Maluku Utara 629.517,46 636.402,16 18.154,18 2,85%
Nusa Tenggara
Barat
928.105,55 933.086,94 45.854,89 4,91%
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
19
Nusa Tenggara
Timur
3.030.839,11 3.033.550,37 26.346,13 0,87%
Papua 1.746.190,12 1.749.730,61 71.246,45 4,07%
Papua Barat 521.870,51 530.288,76 44.878,32 8,46%
Riau 1.805.133,04 2.091.491,86 969.649,53 46,36%
Sulawesi Barat 570.776,65 574.650,37 64.833,14 11,28%
Sulawesi Selatan 2.375.862,88 2.390.341,03 108.792,87 4,55%
Sulawesi Tengah 2.078.666,53 2.089.734,58 100.156,91 4,79%
Sulawesi Tenggara 1.273.329,97 1.274.007,33 25.418,89 2,00%
Sulawesi Utara 750.253,17 750.403,34 6.182,33 0,82%
Sumatera Barat 1.848.089,33 1.860.147,83 212.053,72 11,40%
Sumatera Selatan 5.195.630,61 5.222.270,11 278.514,79 5,33%
Sumatera Utara 3.426.624,65 3.487.892,22 563.030,37 16,14%
INDONESIA 64.324.754,31 65.210.543,48 7.896.944,97 12,11%
Sumber: Pusdatin Pertanahan, Tata Ruang dan LP2B, Kementerian ATR/BPN, diolah
Bappenas (2016)
Cakupan bidang tanah bersertifikat yang terdigitasi pada tahun 2016 mengalami
penurunan apabila dibandingkan tahun 2015. Cakupan bidang tanah bersertifikat yang
terdigitasi pada tahun 2016 sebesar 7,89 Juta Ha (12,11 Juta Ha bila dibandingkan luas
budidaya ditambah enclave). Metode pengolahan data yang dipakai adalah dengan
menggabungkan bidang-bidang tanah tersebut, hal ini untuk menghindari data yang saling
tumpang tindih dan dapat menghindari perhitungan ganda. Metode penggabungan bidang-
bidang tanah dilakukan karena masih ada beberapa data yang saling tumpang tindih.
Apabila data dari Kemen. ATR/BPN dalam kondisi baik, artinya tidak ada data yang tumpang
tindih maka perhitungan dengan menggunakan software pemetaan dapat dilakukan
langsung tanpa perlu untuk menggabungkan data yang tumpang tindih tersebut.
Berdasarkan hasil pengolahan data, memang masih banyak provinsi yang memiliki
persentase cakupan bidang tanah bersertifikat yang terdigitasi dibawah 20%.
Secara umum apabila dibandingkan tahun 2015, pada tahun 2016 terjadi peningkatan
jumlah bidang tanah yang dapat diolah. Meningkatnya bidang tanah tersebut dapat terjadi
karena faktor pemecahan dari 1 bidang besar yang dimiliki oleh kepala keluarga menjadi
sertipikat yang lebih kecil, selain itu juga karena ada permohonan baru. Akan tetapi masih
juga terdapat beberapa bidang tanah yang hilang pada tahun 2016, hal ini berakibat
langsung pada luas capaian bidang tanah bersertipikat yang terdigitasi pada tahun 2016.
Sama seperti pada tahun 2015, pada tahun 2016 cakupan bidang tanah bersertipikat
yang terdigitasi untuk Provinsi Jawa Timur tidak semuanya dihitung, terdapat 2 kabupaten
yaitu kabupaten Ponorogo dan Madiun yang memiliki data yang rusak. Kerusakan data dasar
hasil dari Geo-KKP, Kementerian ATR/BPN teridentifikasi berupa data-data bidang tanah
yang saling tumpang tindih dan tersebar tidak teratur yang sangat tidak identik dengan
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
20
bidang-bidang tanah pada umumnya, sehingga atas usulan dan arahan dari Pusdatin
Pertanahan, Tata Ruang dan LP2B, Kementerian ATR/BPN agar kedua kabupaten tersebut
untuk dikeluarkan dari perhitungan, dan data akan coba untuk diperbaiki oleh Pusdatin
Pertanahan, Tata Ruang dan LP2B Kemen. ATR/BPN dengan terlebih dahulu berkonsultasi
dengan Kantor Pertanahan Kabupaten Madiun dan Ponogoro.
(iii) Penyusunan Pedoman dan Pelaksanaan Pilot Project Tata Batas Kawasan Hutan
Perubahan sistem pendafataran tanah menjadi stelsel positif hanya dapat
dilaksanakan apabila seluruh persyaratan untu perubahan sistem pendaftaran tanah positif
tersebut terpenuhi sehingga tidak menimbulkan kekacauan dan kerugian negara. Salah satu
persyaratan dari pelaksaan perubahan sistem pendaftaran tanah tersebut adalah kebenaran
informasi (kepastian hukum) tidak hanya terkait batas bidang-bidang tanah pada kawasan
budidaya tetapi perlu juga diperlukan kebenaran informasi terkait batas kawasan hutan dan
non hutan (antara budidaya dan lindung) melalui kegiatan publikasi tata batas kawasan
hutan.
Selama ini teridentifikasi bahwa salah satu penyebab ketidakpastian batas antara
kawasan hutan dan non hutan adalah karena terdapat perbedaan skala peta yang digunakan
oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yaitu peta skala 1:250.000 – 1:100.000
atau dengan tingkat ketelitian paling rinci skala 1:50.000, sedangkan Kementerian ATR/BPN
menggunakan peta dengan skala 1:1.000 s.d 1:10.000. Perbedaan skala tersebut perlu
disamakan melalui kegiatan publikasi tata batas kawasan hutan dengan melakukan
pemetaan koridor batas kawasan hutan pada skala 1:2500. Dengan demikian diharapkan
kepastian hukum hak atas tanah dapat ditingkatkan kualitas secara signifikan dengan
mengintegrasikan hasil pemetaan koridor (garis batas) kedalam sistem pendaftaran tanah
nasional pada skala 1:2.500.
Untuk itu pada tahun 2016 kegiatan Publikasi Tata Batas Kawasan Hutan direncanakan
terdiri dari 2 kegiatan diantaranya adalah pelaksanaan pilot project tata batas kawasan
hutan dan penyusunan pedoman pelaksanaan tata batas kawasan hutan. Namun untuk
tahun 2016 kegiatan publikasi tata batas kawasan hutan tidak mendapatkan alokasi
anggaran dikarenakan kesepakatan pelaksanaan kegiatan ini baru dicapai di akhir tahun
2015 sementara kesepakatan penganggaran K/L untuk tahun 2016 telah selesai sebelum
kesepakatan tersebut terbentuk. Berdasakan hasil rapat di tahun 2015 disepakati bahwa
kegiatan publikasi tata batas kawasan hutan yang dilakukan oleh Kementerian Agraria dan
Tata Ruang, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehuatanan akan dilaksanakan melalui
anggaran Kementerian ATR/BPN. Dengan dialokasikannya kegiatan tersebut maka
keseluruhan kegiatan tidak dapat dilaksanakan. Selain itu terdapat pemotongan anggaran
yang cukup besar di tahun 2016 untuk kegiatan Koordinasi Reforma Agraria di Kementerian
PPN/Bappenas sehingga kegiatan koordinasi publikasi tata batas kawasan hutan tidak dapat
dilaksanakan.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
21
Namun demikian pada tahun 2016 Kementerian Agaria dan Tata Ruang/BPN
melakukan upaya persiapan pelaksanaan publikasi tata batas kawasan hutan dengan
melakukan rapat koordinasi pada tanggal 14 November 2016. Dalam rapat tersebut
didapatkan beberapa informasi sebagai berikut:
1. Sesuai dengan hasil koordinasi yang dilakukan pada tahun tahun sebelumnya lokasi
pilot project publikasi tata batas kawasan hutan diagendakan dilakukan di 3 lokasi
yaitu (i) Hutan Pantai Rebo, Bangka Belitung, (ii) Hutan Gunung Mangkol, Bangka
Belitung; dan (iii) Hutan Yeh Ayeh, Bali. Ke 3 lokasi tersebut telah memiliki SK
penetapan kawasan hutan (tahun 1997) dari Kementerian LHK sehingga sudah
memiliki kejelasan batas di skala 1:25.000 yang pengukurannya dilakukan
Kementerian LHK. Berdasarkan juknis tata batas kawasan hutan di bawah tahun
2003 pengukuran tata batas kawasan hutan dilakukan dengan menyematkan patok
beton pada setiap 1 KM, dan tugu pada setiap 5 KM, selain itu dilakukan pula
pemberian patok kayu pada setiap 100m di keliling batas kawasan hutan yang
dilakukan tata batas.
2. Sesuai dengan kesepakatan pada koordinasi sebelumnya, pelaksanaan publikasi tata
batas kawasan hutan yang dilakukan bersama oleh Kementerian ATR, Kementerian
LHK, dan Pemerintah Daerah adalah perapatan batas kawasan hutan dengan
kawasan budaya, pemetaan batas dalam skala kadastral yang akan diintegrasikan
dengan sistem geo-kkp setempat, serta pemetaan situasi sejauh 50m kedalam
kawasan hutan dan kawasan budidaya dari batas yang disepakati bersama.
3. Dalam rapat dilakukan diskusi terkait beberapa kemungkinan peletakan patok untuk
perapatan batas kawasan hutan sebagai berikut:
(a) Peletakan patok beton ukuran 40 x 30 pada setiap 1 Km yang diletakan diantara
patok beton kehutanan yang dipasang setiap 1Km sehingga pada setiap 500 m
akan ditemukan patok beton (kehutanan-ATR-kehutanan-ATR) disepanjang
keliling batas hutan.
(b) Peletakan patok batas (ukuran dan jenis belum ditentukan) pada setiap 100/200
m menggantikan patok kayu kehutanan yang kemungkinan besar telah hilang.
Hal ini juga sekaligus memanfaatkan ketersediaan dana 10 M yang dirasa terlalu
besar untuk melakukan tata batas hanya pada 3 lokasi kawasan hutan.
4. Penyusunan peta batas kawasan hutan berdasarkan hasil pengukuran tata batas
akan disupervisi oleh BIG sesuai dengan kesepakatan dalam rapat koordinasi
sebelumnya. Supervisi ini diperlukan untuk memastikan kesesuaian georeferensi
pada peta yang disusun sehingga dapat diintegrasikan dengan peta peta lainnya
apabila dibutuhkan.
Pelaksanaan pilot project tata batas kawasan hutan yang akan dilakukan diharapkan
akan menjadi pelajaran dalam penyusunan NSPK tata batas kawasan hutan yang akan
menjadi dasar pelaksanaan tata batas kawasan hutan secara nasional di tahun tahun
berikutnya.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
22
(iv) Sosialisasi Peraturan Perundangan Tanah Adat/Ulayat
Salah satu aspek dalam pelaksanaan sistem pendaftaran tanah publikasi positif adalah
konsep tanah adat/ulayat dalam peraturan perundang-undangan harus dipahami secara
baik oleh pemda maupun masyarakat adat tersebut. Kegiatan sosialisasi peraturan
perundangan tanah adat/ulayat dilakukan karena diterbitkannya Permen ATR/Ka. BPN No.
9/2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan
Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu dan telah direvisi dengan Permen
ATR/Ka. BPN No. 10/2016. Permen ATR/Kepala BPN tersebut menyatakan mencabut
Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5/1999. Pencabutan Permen 5/1999 tersebut
menyebabkan ketidakjelasan mengenai pengertian Hak Ulayat, unsur-unsur adanya Hak
Ulayat, dan penentuan masih ada atau tidaknya Hak Ulayat, serta ketentuan pengaturan
tanah adat/ulayat. Dengan demikian pelaksanaan sosialisasi peraturan perundangan terkait
tanah adat/ulayat ditunda karena belum adanya konsep yang jelas terkait tanah
adat/ulayat. Selain itu, pelaksanaan sosialisasi juga terkendala karena adanya self blocking
(pemotongan anggaran) kegiatan di Kementerian PPN/Bappenas pada tahun 2016. Dengan
demikian pelaksanaan sosialisai peraturan perundangan tanah adat/ulayat ditunda hingga
harmonisasi tersebut selesai dilakukan.
4.1.2 Kebijakan Redistribusi Tanah dan Akses Reform
Salah satu permasalahan dan isu strategis dibidang pertanahan adalah ketimpangan
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (P4T). Hal ini terlihat dari luas
wilayah darat nasional di luar kawasan hutan yakni sebesar 65 juta Ha, hanya sekitar 39,6
juta Ha yang dikuasai oleh petani. Sensus pertanian 2013 menunjukkan, 26,14 juta rumah
tangga tani hanya menguasai lahan rata-rata 0,89 hektar (Ha) dan 14,25 juta rumah tangga
tani hanya mengusai lahan kurang dari 0,5 Ha per keluarga. Meskipun secara menerus telah
diupayakan redistribusi tanah dari berbagai sumber tanah, namun disadari bahwa sumber
tanah untuk kegiatan redistribusi hanya tinggal berasal dari tanah terlantar dan pelepasan
tanah hutan. Selain itu, beberapa indikator pembangunan menunjukkan bahwa angka gini
rasio yang terus meningkat sejak beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data dari BPS, pada
tahun 2013 gini rasio mencapai 0,413 meningkat dibandingkan tahun 2008 sebesar 0,35.
Semakin tinggi gini rasio maka terjadi ketimpangan yang besar antara penduduk yang kaya
dan miskin. Selain itu, jumlah penduduk miskin juga masih relatif besar yakni mencapai
28,55 juta orang yang sebagian besar (62,77 persen) diantaranya berada di perdesaan (BPS,
2013).
Sesuai dengan Nawacita (9 Agenda Prioritas) Presiden dan Wakil Presiden 2015-2019,
Agenda 5: Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia, yang menyatakan “….
Peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program “Indonesia Kerja” dan “ Indonesia
Sejahtera” dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 Juta
Hektar; program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi serta
jaminan sosial untuk seluruh rakyat di Tahun 2019…”. Selain itu, salah satu arah kebijakan
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
23
bidang pertanahan dalam RPJMN 2015-2019 juga mengamanatkan pelaksanaan reforma
agraria melalui redistribusi tanah dan bantuan pemberdayaan masyarakat. Selain itu, dalam
RPJMN 2015-2019, salah satu arah kebijakan nasional di bidang pertanahan adalah Reforma
agraria melalui redistribusi tanah dan bantuan pemberdayaan masyarakat.
Pelaksanaan reforma agraria juga merupakan amanat dari beberapa peraturan
perundangan lainnya antara lain UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria atau dikenal dengan UUPA yang mendasarkan pada UUD 1945, Pasal 33
bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya digunakan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sesuai dengan UUPA, pengaturan bidang pertanahan
bertujuan untuk mencapai kemakmuran, keadilan, dan kepastian hukum dalam kepemilikan
tanah. Selain itu, TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam juga memberikan amanat mengenai prinsip-prinsip dan arah kebijakan
pembaruan agraria dan pemanfaatan sumber daya alam yang berkeadilan dan
berkelanjutan. Pengaturan tersebut menjadi dasar pelaksanaan kebijakan reforma agraria
dalam artian redistribusi tanah yang bertujuan untuk mengatasi ketimpangan penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Pelaksanaan redistribusi tanah sebagai bagian dari reforma agraria masih terkendala
beberapa permasalahan, antara lain: (i) kelangkaan sumber tanah obyek reforma agraria
(TORA) dimana sebagian besar berasal dari tanah kawasan hutan yang dapat dikonversi dan
tanah terlantar; (ii) Data subjek penerima redistribusi tanah belum tersedia dengan baik; (iii)
Ketentuan tentang tata cara pengaturan (delivery mechanism) pelaksanaan redistribusi
tanah belum jelas secara operasional; dan (iv) Pengukuran kadastral dan identifikasi
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (P4T) yang belum mencakup
seluruh wilayah nasional. Selama ini pelaksanaan redistribusi tanah belum disertai dengan
pemberian akses sumber daya yang cukup kepada masyarakat. Sehingga program
redistribusi tanah sebagai bagian dari reforma agraria belum dapat meningkatkan
kesejahteraan dan keadilan masyarakat atas tanah yang dimiliki sebagaimana tujuan awal.
Pada tahun anggaran 2016 kegiatan yang dilakukan terkait dengan kebijakan
redistribusi tanah dan access reform difokuskan pada pelaksanaan koordinasi
pengembangan teknologi pangan dan pertanian untuk selanjutnya akan disusun sebagai
bahan pedoman dalam pelaksanaan reforma agraria.
A. Rencana
Adapun target dan indikator kegiatan Tim Koordinasi Reforma Agraria Nasional pada
Tahun 2016 terkait dengan kebijakan redistribusi tanah dan access reform (Tabel 4.6).
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
24
Tabel 4.6
Target dan Indikator Kegiatan Terkait Kebijakan Redistribusi Tanah dan Access Reform
NO KEGIATAN TARGET
1. a. Tersusunnya materi pelaksanaan
sosialisasi
Terlaksananya sosialisasi pelaksanaan reforma
agraria
b. Pelaksanaan sosialisasi reforma
agraria
2. a. Pelaksanaan kegiatan monitoring
dan evaluasi Pilot Project
Reforma Agraria
Terlaksananya monitoring dan evaluasi
pelaksanaan reforma agraria pada lokasi pilot
project
b. Tersusunnya laporan monitoring
dan evaluasi pelaksanaan Pilot
Project Reforma Agraria
3. Penyelenggaraan koordinasi
pelepasan kawasan hutan untuk
kegiatan Reforma Agraria
Teridentifikasinya kawasan hutan yang
dilepaskan untuk kegiatan Reforma Agraria,
minimal seluas 3,4 juta Ha
4. Penyelenggaraan koordinasi
pelaksanaan penyusunan pedoman
reforma agraria meliputi Rapat dan
FGD
Tersusunnya draft pedoman pelaksanaan asset
reform dan access reform pada tahap
pengembangan teknologi pangan dan pertanian
5. Koordinasi penyusunan Perpres
reforma agraria
Terlaksananya koordinasi dalam penyusunan
Perpres reforma agraria
B. Capaian Tahun 2016
Pencapaian kegiatan terkait dengan kebijakan redistribusi tanah dan access reform
pada tahun 2016 tidak sepenuh dapat tercapai karena adanya self blocking (pemotongan
anggaran). Beberapa kegiatan yang tidak dapat dilaksanakan antara lain monitoring dan
evaluasi pelaksaan pilot project reforma agraria di daerah. Namun demikian beberapa
kegiatan yang koordinasi masih dapat dilaksanakan. Beberapa pencapaian kegiatan pada
tahun 2016 adalah sebagai berikut.
i. Terlaksananya Sosialisasi Pelaksanaan Reforma Agraria
Reforma agraria merupakan salah satu prioritas nasional yang tercantum dalam
Nawacita dan RPJMN 2015-2019 dengan target sebesar 9 juta hektar. Reforma Agraria
awalnya merupakan bagian dari prioritas nasional Kedaulatan Pangan. Namun setelah
melihat pentingnya reforma agraria yang juga merupakan salah satu Agenda Nawacita maka
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
25
reforma agraria dinaikkan statusnya menjadi salah satu prioritas nasional pada RKP 2017.
Pelaksanaan reforma agraria meliputi asset reform dan access reform. Asset reform
dilakukan melalui kegiatan redistribusi tanah dan legalisasi (sertipikasi) aset. Pelaksanaan
access reform dilakukan oleh K/L terkait dan pemerintah daerah melalui kegiatan
pemberdayaan masyarakat.
Dalam pelaksanaan reforma agraria tidak hanya sekedar kegiatan bagi-bagi tanah
(redistribusi tanah), namun dilengkapi dengan beberapa komponen penting lainnya. Sesuai
dengan pendekatan perencanaan pembangunan yang saat ini diterapkan holistik-tematik,
terintegrasi, spasial, maka dalam prioritas nasional reforma agraria dibagi menjadi enam
program prioritas (level 1), yaitu (i) Kepastian hukum hak atas tanah; (ii) Indentifikasi dan
penyiapan tanah objek reforma agraria (TORA); (iii) Penyerahan tanah objek reforma agraria
(TORA); (iv) Pemberdayaan masyarakat; (v) Perbaikan proporsi juru ukur pertanahan; dan
(vi) Pembentukan lembaga penyediaan tanah bagi pembangunan kepentingan umum.
Selanjutnya masing-masing program prioritas tersebut dibagi lagi menjadi kegiatan-
kegiatan prioritas (level 2). Berikut dijelaskan masing-masing kegiatan prioritas dari program
prioritas tersebut.
1. Penguatan Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik Agraria
a. Reviu Peraturan Perundangan Untuk Mendukung Pelaksanaan Reforma Agraria
b. Mengidentifikasi dan Memverifikasi Kasus-kasus Konflik Agraria Struktural di
Berbagai Sektor Strategis
c. Menganalisa dan Menyusun Pendapat Hukum serta Merekomendasikan
Penyelesaian Kasus Konflik Agraria
d. Melakukan Review terhadap Hak/Ijin Usaha serta Merubah Tata Batas Kawasan
Hutan untuk Rakyat
e. Koordinasi dan Supervisi dengan K/L dalam Menjalankan Rekomendasi
Penyelesaian Kasus-kasus Konflik Agraria
f. Mediasi dan ADR Lainnya untuk Mempercepat Penyelesaian Konflik Agraria di
Semua Sektor Strategis
2. Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Obyek Reforma Agraria
a. Inventarisasi P4T dan Identifikasi tanah obyek reforma agraria
b. Identifikasi Kawasan Hutan yang akan Dilepaskan
c. Identifikasi dan Redistribusi HGU habis dan tanah terlantar
d. Identifikasi tanah milik untuk legalisasi aset masyarakat miskin
e. Identifikasi dan pengembangan kelembagaan subyek penerima manfaat reforma
agraria
3. Kepastian Hukum dan Legalisasi Hak atas Tanah Obyek Reforma Agraria
a. Perbaikan proporsi petugas ukur dan pemetaan serta petugas reforma agraria di
Kab/Kota
b. Peningkatan cakupan peta dasar pertanahan
c. Peningkatan cakupan bidang tanah bersertipikat melalui legalisasi aset (PRONA,
sertipikasi lintas sektor) terutama bagi rakyat miskin
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
26
d. Publikasi tata batas kawasan hutan
e. Legalisasi untuk penguatan hak bersama atas TORA hasil redistribusi
f. Legalisasi untuk tanah transmigrasi
g. Sosialisasi peraturan terkait adat/ulayat dan legalisasi pengakuan wilayah adat
4. Pemberdayaan Masyarakat dalam Penggunaan, Pemanfaatan dan Produksi atas
TORA
a. Koordinasi lokasi dan target pemberdayaan serta perencanaan tata guna pada
TORA
b. Penyediaan, dan pengembangan teknologi sarana-prasarana dalam produksi dan
pengolaan hasil pertanian, peternakan dan perkebunan
c. Penyediaan bantuan permodalan dan pengembangan kelembagaan petani untuk
akses modal usaha
d. Penyediaan bantuan pendampingan dan pembangunan infrastruktur untuk
perbaikan ekosistem dan produksi pada TORA
e. Interkoneksi dengan dunia usaha dan pemasaran hasil produksi
f. Sekolah lapang petani subyek penerima manfaat reforma agraria untuk
perbaikan tata guna tanah dan produksi.
5. Kelembagaan Pelaksana Reforma Agraria Pusat dan Daerah
a. Penyediaan Pedoman teknis dalam kerangka RA
b. Pembentukan dan operasionalisasi gugus tugas pelaksanaan Reforma Agraria di
Tk. Pusat
c. Pembentukan dan operasionalisasi gugus tugas pelaksanaan RA di Tk. Daerah
d. Penyusunan Perpres Lembaga Penyediaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan umum
e. Menyusun Prioritas Lokasi Bagi Penyediaan Tanah untuk Kepentingan umum.
Sebagai salah satu prioritas nasional, reforma agraria perlu disosialisasikan kepada
stakeholder terkait baik di pusat maupun di daerah, seperti: Bappeda Provinsi, Kanwil BPN
Provinsi, SKPD dan Dinas Terkait di Provinsi, dan sebagainya. Pada tahun 2016, Tim
Koordinasi Reforma Agraria Nasional telah menyusun bahan sosialisasi reforma agraria.
Bahan sosialisasi tersebut diintegrasikan dengan sosialisasi Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
2017.
Secara umum sosialisasi reforma agraria bertujuan untuk memberikan pemahaman
kepada stakeholder mengenai prioritas nasional reforma agraria serta upaya-upaya
koordinasi agar pelaksaannya dapat terlaksana dengan baik. Muatan materi sosialisasi
reforma agraria antara lain: program prioritas dan masing-masing kegiatan prioritasnya;
konsep reforma agraria; skema pembagian target reforma agraria; skema koordinasi lokasi
pelaksanaan reforma agraria (aset mengikuti akses atau akses mengikuti aset); tabel kendali
skema pelaksanaan kegiatan; pembagian peran masing-masing pihak dalam pelaksanaan
reforma agraria; tabel kendali capaian pelaksanaan kegiatan.
Pelaksanaan sosialisasi idealnya dilakukan pada semua provinsi dan kabupaten/kota
sehingga semua pihak memahami peran masing-masing, namun mengingat keterbatasan
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
27
alokasi anggaran maka pelaksanaan sosialisasi hanya dilakukan di Provinsi Jawa Timur pada
23 September 2016. Provinsi tersebut secara khusus mengusulkan pada forum
Musrenbangnas agar dilaksanakan sosisalisasi. Beberapa SKPD yang hadir pada kegiatan
sosialisasi tersebut, antara lain: BPN Provinsi Jawa Timur; Bappeda Provinsi Jawa Timur;
Dinas Perikanan dan Kelautan; Dinas Perhubungan dan LLAJ; Dinas Energi dan Sumber Daya
Mineral; Dinas Pekerjaan Umum; Dinas Perindustrian dan Perdagangan; Dinas Peternakan;
Dinas Koperasi dan UMKM. Selain itu, sosialisasi juga dilakukan pada direktorat yang ada di
lingkup Kedeputian Bidang Pengembangan Regional, Bappenas, serta forum-forum diskusi
yang terkait dengan pelaksanaan reforma agrari.
Beberapa hal yang menjadi catatan dalam pelaksanaan sosialisasi reforma agraria di
Provinsi Jawa Timur, antara lain: BPN perlu membuat kriteria clean and clear secara jelas
dan di sosialisasikan kepada masyarakat, sehingga proses penerbitan sertipikat tidak
membutuhkan waktu yang terlalu panjang/lama; untuk mendukung pelaksanaan LP2B jika
sudah memiliki data yang jelas untuk dilakukan sertipikasi sebaiknya langsung disampaikan
kepada BPN; Pelaksanaan reforma agraria di Jawa Timur belum menjadi suatu organisasi
yang jelas. Pembentukan gugus tugas pelaksana reforma agraria di daerah penting adanya
untuk memperlancar pelaksanaan kegiatan reforma agraria; Gugus tugas pelaksanaan
reforma agraria di daerah dapat disatukan dengan BKPRD dan LP2B sehingga perlu
dilakukan penganggaran yang jelas dalam pelaksanaan kegiatan dan sistem pelaporan yang
jelas.
ii. Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Pilot Project Reforma Agraria
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pilot projet reforma agraria yang dilaksanakan di
lokasi pilot project awalnya direncanakan di Provinsi Jawa Tengah dan Bangka Belitung.
Namun kegiatan ini tidak dapat dilaksanakan karena adanya self blocking (pemotongan
anggaran) masing-masing kegiatan di Bappenas. Kegiatan monitoring dan evaluasi
seharusnya dilakukan untuk mengetahui capaian pelaksanaan reforma agraria dan
megidentifikasi kendala-kendala dalam pelaksanaan kegiatan. Selain itu, untuk
mendapatkan pembelajaran dalam pelaksanaan koordinasi pelaksanaan reforma agraria
sehingga dapat diperluas ke provinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia.
iii. Teridentifikasinya Kawasan Hutan yang Dilepaskan untuk Kegiatan Reforma Agraria.
Berdasarkan RPJMN 2015-2019 pelepasan kawasan hutan yang akan dijadikan sebagai
tanah obyek reforma agraria (TORA) mencapai seluas 4,1 juta hektar. Skema pelepasan
kawasan hutan menjadi sebagai TORA diusulkan melalui identifikasi dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang kemudian dilakukan analisis kesesuaian lokasi
untuk kegiatan usaha tani.
Secara umum skema pelepasan kawasan hutan untuk TORA dapat dilakukan melalui
usulan dari Kementerian ATR/BPN yang kemudian ditetapkan dan dilakukan proses
redistribusi tanah. Pada skema ini, prores pelepasan kawasan hutan dapat dilakukan seperti
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
28
permohonan pelepasan kawasan yang dilakukan oleh perusahaan swasta untuk HGU
perkebunan. Namun untuk mencapai target TORA, pelepasan kawasan hutan dapat
dilakukan lebih cepat dan secara parsial. Skema lainnya yang dapat dilakukan adalah, lokasi-
lokasi yang sudah teridentifikasi oleh KLHK sendiri sebagaimana rencana pelepasan kawasan
untuk berbagai peruntukan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan oleh KLHK. Hasil
pelepasan tersebut dikoordinasikan dengan Kementerian ATR/BPN untuk selanjutnya
ditetapkan sebagai lokasi TORA.
Berdasarkan hasil rapat koordinasi diketahui bahwa sejak awal masa pemerintahan
Orde Baru hingga tahun 2016, Kementerian LHK telah melepaskan kawasan hutan untuk
tanah transmigrasi seluas 894.000 Ha. Dari total tersebut, 400.000 Ha yang tersebar di 104
lokasi sudah diselesaikan proses pelepasannya. Sedangkan sisanya, sedang dilakukan proses
penyelesaiannya, seperti perubahan dari HPK menjadi HPL, penegasan batas seluas 97.900
Ha di 103 lokasi tanah transmigrasi dan sisanya masih menunggu konfirmasi dari KLHK
terkait kepastian status terakhir dari tanah tersebut.
Pada tahun 2015, KLHK telah melepaskan Kawasan Hutan seluas 22.790 Ha dari total
target pelepasan kawasan hutan seluas 227.293 Ha yang diperuntukkan sebagai tanah
transmigrasi. Namun KLHK perlu menyampaikan lokasi detail pelepasan kawasan hutan
tersebut dan dilengkapi dengan data spasial. Data tersebut perlu disampaikan kepada K/L
terkait untuk di persiapkan proses legalisasi asset-nya oleh Kementerian ATR/BPN.
Pelaksanaan pelepasan kawasan hutan yang dilakukan oleh KLHK selama ini dilakukan
pada kawasan yang secara eksisting sudah ada penghuninya seperti: desa definitif, kawasan
transmigrasi bukan konversi kawasan hutan baru yang diperuntukan sebagai lahan
pertanian baru sebagai bagian dari pelaksanaan redistribusi tanah.
Terkait dengan kawasan hutan yang telah dilepaskan oleh KLHK selama ini yang
diperuntukan sebagai lokasi transmigrasi. Kementerian Desa dan PDTT telah
mengkonfirmasi bahwa dari 22.790 Ha kawasan hutan yang telah dilepaskan tersebut sudah
dilakukan penegasan berupa penerbitan sertipikat dan akan menunggu proses pemberian
pemberdayaan masyarakat oleh K/L terkait.
iv. Tersusunnya draft pedoman pelaksanaan asset reform dan access reform pada
tahap pengembangan teknologi pangan dan pertanian
Pedoman pelaksanaan reforma agraria diperlukan agar pelaksanaan asset reform dan
access reform dapat dilakukan dengan baik. Pada tahun 2016 ditargetkan untuk menyusun
pedoman untuk pengembangan teknologi pangan dan pertanian. Namun penyusunan
pedoman tidak dapat dilaksanakan karena belum diterbitkannya Peraturan Presiden tentang
Reforma Agraria. Selain itu, berdasarkan diskusi dengan Kementerian ATR/BPN tidak
diperlukan menyusun pedoman masing-masing karena direncanakan akan agar semua
pengaturan dicantumkan dalam Perpres Reforma Agraria.
Pedoman lebih rinci ini dimaksudkan sebagai acuan bagi berbagai pihak untuk
pelaksanaan reforma agraria terkait pengembangan teknologi pangan dan pertanian.
Pengembangan teknologi pertanian dan pengolahan pangan, dilaksanakan setelah
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
29
dilakukannya koordinasi lokasi, karena saat lahan pertanian telah mendapat jaminan status
tanah (telah disertipikasi) dan saat kegiatan pertanian mulai dilakukan pada bidang tanah
yang telah disertipikasi. Dengan demikian diharapkan masyarakat penerima manfaat telah
dapat memergunakan teknologi pertanian pangan tersebut untuk meningkatkan produksi
pertanian baik secara kualitas maupun kuantitas. Sedangkan teknologi pengolahan pangan
diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah (value added) produk pertanian sehingga nilai
jual produk pertanian terkait dapat meningkat dengan signifikan.
Bantuan pada tahap pengembangan teknologi pangan, bisa dalam bentuk (i)
penyediaan bibit unggul (termasuk bibit ternak) dan/atau pupuk; (ii) penyediaan teknologi
dan/atau alat produksi; dan (iii) pelatihan-pelatihan terkait teknologi pertanian dan
teknologi pangan. Selain itu, untuk meningkatkan kesejahteraan petani diperlukan
transformasi dari sekedar hanya menghasilkan produk mentah pertanian menjadi
pengusaha bidang pertanian dengan mengolah produk yang dihasilkan menjadi komoditas
yang memiliki nilai tambah. Transformasi tersebut hanya dapat dilakukan dengan
meningkatkan kapasitas usaha pertanian melalui penyediaan permodalan mikro. Upaya
penyediaan permodalan mikro tersebut diantaranya dilakukan melalui kegiatan dana
bergulir dan/atau koperasi simpan pinjam.
v. Koordinasi Penyusunan Perpres Reforma Agraria
Pengaturan pelaksanaan reforma agraria direncana dilakukan berdasarkan Peraturan
Presiden. Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria yang didalamnya memuat waktu
pelaksanaan Reforma Agraria, dengan tahapan-tahapan yang telah dirumuskan termasuk
memuat peran serta lembaga yang terlibat dalam Reforma Agraria. Penyusunan Peraturan
Presiden ini sesuai dengan program Quick Wins pemerintah seharusnya sudah dilakukan
pada tahun 2015, namun baru dapat dimulai disusun pada tahun 2016. Arahan substansi
yang harus diatur di dalam Peraturan Presiden tersebut antara lain dimulainya program
Reforma Agraria dan kerangka waktu pelaksanaan serta tahapan program landreform.
Sesuai dengan Nawacita, pelaksanaan reforma agraria memerlukan kerangka regulasi
berupa Peraturan Presiden (Perpres). Perpres tersebut perlu mengatur mengenai (a)
Dimulainya program Reforma Agraria; (b) Kerangka waktu pelaksanaan dan tahapan
program Landreform. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pelaksanaan reforma agraria
meliputi asset reform dan access reform. Asset reform dilakukan melalui kegiatan
redistribusi tanah dan legalisasi (sertipikasi) aset. Pelaksanaan access reform dilakukan oleh
K/L terkait dan pemerintah daerah melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat.
Koordinasi penyusunan draf Perpres tentang reforma agraria telah dilakukan beberapa
kali dalam bentuk rapat dan FGD. Beberapa hal yang disampaikan dalam FGD ini adalah (1)
Pengembangan Kelembagaan Reforma Agraria; dan (2) Penguatan Akses Reforma Agraria
yang dijadikan bahan masukan terkait penyusunan rancangan peraturan presiden mengenai
Reforma Agraria. Adapun beberapa masukan terkait penyusunan rancangan peraturan
presiden mengenai reforma agraria, sebagai berikut:
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
30
a) Ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam memperkuat rancangan Perpres RA
antara lain:
‒ Penguatan kelompok tani atau masyarakat
‒ Penyediaan informasi pekerjaan normatif
‒ Penyadaran hak dan kewajiban masing-masing stakeholder dimana pelibatan
ini tidak hanya dalam bentuk “volunteer” namun dalam bentuk leader. Di
rancangan ini sudah dimasukkan mengenai hak dan kewajiban tiap
stakeholder terkait, namun masukan ini lebih kepada apa yang akan
dilakukan tiap-tiap stakeholder tadi sehingga dapat lebih jelas secara
operasional.
b) RA merupakan kerja kolaboratif antar stakeholder terkait dan diharapkan
pemerintah daerah dapat lebih berperan lebih kuat (menjadi Leading Sector)
dalam operasionalisasi Reforma Agraria (tahap pemberdayaan asset).
c) Harus adanya harmonisasi antara Rancangan Perpres Mengenai RA ini dengan UU
Desa karena adanya hubungan beberapa pasal yang terdapat dalam rancangan
perpres ini dengan tenaga pendamping.
d) Rancangan Perpres RA ini harus mampu merekam dan mengatur Business Process
yang dituang kedalam pasal-pasal. Dapat dimulai dari urutan asset dan access
atau dimulai dalam skala besar (perencanaan, pelaksanaan,
monitoring/kelembagaan). Selain itu, harus mengatur tugas dan kewenangan
masing-masing pihak terkait menjadi jelas (siapa dan berbuat apa). Selain itu,
tindakan masing-masing pihak dalam pelaksanaan RA dilindungi oleh Perpres
terutama apabila berhubungan dengan pihak lain;
e) RPerpres Reforma Agraria harus disesuaikan dengan kerangka kebijakan reforma
agraria agar dapat mendukung pelaksanaan Perpres 2/2015 tentang RPJMN 2015-
2019 dan pelaksanaan Rencana Kerja Pemerintah (RKP);
f) Sesuai dengan RPJMN 2015-2019 pelaksanaan RA diamanatkan kepada
Kementerian ATR/BPN, untuk itu RPerpres RA harus memuat kewenangan bagi
Kementerian ATR/BPN dalam melaksanakan RA, baik berupa penataan asset
maupun penataan akses;
g) Pelaksanaan Redistribusi tanah berbeda dengan Legalisasi aset (Prona, Lintas
Sektor), namun dalam RPerpres hampir tidak ada perbedaan antara redistribusi
tanah dengan legalisasi aset.
h) RPerpres Reforma Agraria hanya mendefinisikan Penataan asset dan akses,
sedangkan dalam RKP 2017, RA juga mengamanatkan penyelesaian konflik
pertanahan, yang tidak diatur secara jelas dalam Rperpres Reforma Agraria.
Koordinasi penyusunan RPERPRES RA telah dilakukan beberapa kali yang melibatkan
berbagai K/L terkait. Masukan terhadap penyempurnaan draf RPerpres RA dilakukan dalam
berbagai forum rapat koordinasi.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
31
vi. Sosialisasi Peraturan Perundangan Tanah Adat/Ulayat
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, konsep terkait Tanah Adat/Ulayat menjadi
salah satu aspek dalam pelaksanaan kebijakan peningkatan kepastian hukum hak atas
tanah. Konsep tersebut harus dipahami secara baik oleh Pemda maupun masyarakat hukum
ada. Diterbitkannya Permen ATR/Ka. BPN No. 9 Tahun 2015 terkait hak komunal telah
menyalahi kaidah hak masyarakat adat, karena salah satu pasalnya mengatakan untuk
mencabut Permen Agraria/Ka BPN no. 5/1999 sehingga menghilangkan pengertian Hak
Adat/Ulayat dan pengaturan-pengaturan yang ada di atasnya. Dengan demikian, perlu
adanya harmonisasi terkait peraturan mengenai tanah adat/ulayat terlebih dahulu sebelum
melakukan sosialisasi peraturan perundangan tanah adat/ulayat. Namun karena kegiatan
harmonisasi peraturan perundangan terkait tanah adat/ulayat belum dapat dilaksanakan
dengan maksimal karena adanya pemotongan anggaran yang cukup signifikan, maka
sosialisai peraturan perundangan tanah adat/ulayat ditunda hingga harmonisasi tersebut
selesai dilakukan.
4.1.3 Kebijakan Penyediaan Tanah Bagi Pembangunan Kepentingan Umum
Amanat Quickwins Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2015 mengharuskan untuk
disusunnya Peraturan Perundangan dalam bentuk Peraturan Presiden terkait Lembaga
Penyediaan Tanah (Bank Tanah). Lembaga Bank Tanah dirasa penting untuk segera dibentuk
karena banyaknya program-program pembangunan pemerintah yang terkendala proses
pembebasan tanah, harga tanah yang meningkat dengan sangat cepat dan adanya
ketimpangan kepemilikan lahan oleh masyarakat. Maka dari itu, di tahun 2016, Kementerian
ATR/BPN menyusun Perpres terkait Lembaga Penyediaan Tanah (Bank Tanah) dengan
melibatkan K/L terkait, seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
(PUPR), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, KPPIP, Kementerian PPN/Bappenas
dan K/L lainnya. Kementerian PPN/Bappenas melalui Sekretariat Reforrma Agraria Nasional
turut mengawal penyusunan perpres ini dengan menghadiri dan memberikan masukan
terhadap draft perpres yang disusun. Perpres mengenai Lembaga Penyediaan Tanah Untuk
Pembangunan Bagi Kepentingan Umum (Bank Tanah) yang merupakan salah satu Quickwins
seharusnya penyusunannya dapat selesai tahun 2016 ini dan dapat diimplementasikan di
tahun 2017. Namun, karena adanya beberapa kendala, draft Perpres tersebut belum dapat
diselesaikan hingga akhir tahun anggaran 2016 dan akan dilanjutkan di tahun anggaran
2017. Berikut beberapa substansi yang dibahas dalam proses perancangan Perpres Bank
Tanah hingga akhir tahun 2016.
Pembentukan Bank Tanah ini bertujuan untuk (1) Mewujudkan ketersediaan lahan untuk
pembangunan bagi kepentingan umum; (2) Mengendalikan penguasaan lahan dan harga
tanah; dan (3) Dapat menjadi cadangan strategis pemerintah dan untuk pemanfaatan
lahan di waktu yang akan datang.
Bank Tanah yang akan dibentuk menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan
Umum (BLU) yang berada di bawah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dan
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
32
bertanggung jawab kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Ka BPN dan Direktorat
Pembinaan Pengelolaan Keuangan BLU, Kementerian Keuangan sesuai dengan
ketenetuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sumber tanah yang dapat menjadi obyek perolehan untuk Bank tanah antara lain: tanah
negara, tanah hak pengelolaan, tanah aset pemerintah, tanah adat, tanah dengan dasar
penguasaan, tanah terlantar, tanah HGU, tanah sengketa dan tanah hasil kontribusi dari
kegiatan konsolidasi tanah.
Diperlukan beberapa peraturan pendukung pelaksanaan rencana Bank Tanah, antara
lain (1) rancangan Permen ATR/Ka. BPN tentang permohonan pemotongan luas HGU
sebesar 20% pada luas tanah yang dimohon permohonan kedua dan candangan tersebut
rencana nya akan digunakan sebagai salah satu sumber Bank Tanah; (2) rancangan
Permen ATR/Ka. BPN mengenai Konsolidasi Tanah; dan (3) penguatan atas peraturan
yang sudah ada untuk memperkuat legal standing dari Kementerian ATR/BPN seperti PP
No. 11 tahun 2010 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, sebagai
salah satu sumber Bank Tanah yang akan dimaksimalkan.
Hingga pertemuan terakhir, tanggal 8 Desember 2016, belum didapatnya kesepakatan
akhir terkait draft perpres yang sudah ada, seperti belum ditentukan hak apa yang akan
dilekatkan atas tanah yang telah dibebaskan oleh Bank Tanah, dan lain sebagainya,
sehingga draft yang ada belum dapat di setujui.
Kementerian PPN/Bappenas melalui Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan memberikan
masukan bahwa Draf Peraturan Presiden mengenai Bank Tanah sehingga seharusnya
sudah selesai pada tahun ini (2016). Diharapkan Kementerian ATR/BPN dapat
menyelesaikan rancangan perpres terkait bank tanah ini secepatnya.
4.1.4 Kebijakan Sumber Daya Manusia Bidang Pertanahan
Ketersediaan SDM Bidang Pertanahan menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam
rangka perbaikan sistem pengelolaan pertanahan nasional, untuk dapat mengakomodasi
dan implementasi kebijakan yang telah disusun sebelumnya. Tugas dan fungsi pokok
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dalam melakukan penataan dan pengelolaan
bidang pertanahan, dan melaksanakan seluruh program/kebijakan pertanahan, baik di
tingkat pusat, kantah maupun kanwil, memerlukan SDM yang berkualitas, dan kuantitas
yang seimbang. Namun, jumlah/proporsi SDM bidang pertanahan saat ini masih jauh dari
ideal, yaitu hanya 13% (13:87) dari total pegawai BPN. Idealnya, untuk melaksanakan tugas
bidang pertanahan (pengukuran atas tanah), perbandingan antara SDM Juru Ukur dan Non-
Juru Ukur yaitu sebesar 40:60, dan harus ditempatkan secara merata di tiap-tiap kantor
pertanahan dan kantor wilayah BPN Kab/Kota.
A. Rencana
Adapun target dan indikator kegiatan Tim Koordinasi Reforma Agraria Nasional pada
tahun 2016 terkait dengan Kebijakan Sumber Daya Manusia Bidang Pertanahan (Tabel 4.7).
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
33
Tabel 4.7
Target dan Indikator Kegiatan terkait Kebijakan SDM Bidang Pertanahan
No. Indikator Target
1 a. Identifikasi kesiapan penerimaan SDM
Bidang Pertanahan
Terlaksananya penerimaan SDM
Bidang Pertanahan Tahun 2016
b. Identifikasi pelaksanaan penerimaan
SDM Bidang Pertanahan
2 a. Koordinasi pembahasan pelaksanaan
penerimaan SDM Bidang Pertanahan
tahun 2016
Terlaksananya monitoring dan
evaluasi penerimaan SDM bidang
pertanahan.
b. Koordinasi pembahasan pelaksanaan
penerimaan SDM Bidang Pertanahan
pada tahun berikutnya
B. Capaian Tahun 2016
Berdasarkan kesepakatan sebelumnya, SDM Bidang Pertanahan, khususnya juru ukur,
masuk kedalam pengecualian moratorium penerimaan Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN)
dan dapat di lakukan penerimaan di tahun 2016. Pengecualian ini dikarenakan SDM Juru
Ukur merupakan tenaga teknis pendukung program Nawacita (Reforma Agraria 9 Juta Ha),
sehingga dikecualikan dalam kebijakan moratorium penerimaan PNS. Di tahun 2016,
Kementerian ATR/BPN telah melakukan perhitungan analisa jabatan dengan
mempertimbangkan beban kerja khusus juru ukur, dimana dari perhitungan tersebut,
kekurangan juru ukur mencapai 3.895 orang yang tersebar di seluruh Indonesia untuk
ditempatkan di tiap-tiap kantah kabupaten/kota.
Pada pertengahan tahun 2016, Kementerian PAN-RB memberikan izin prinsip untuk
penerimaan ASN di tiap-tiap K/L yang dirasa perlu untuk mendukung kinerja pemerintah
dan mempercepat implementasi Nawacita dan RPJMN 2015-2019. Dari hasil koordinasi
antara Kementerian ATR/BPN dengan Kementerian PPN/Bappenas terkait penerimaan SDM
bidang Pertanahan tahun 2016, didapat beberapa informasi sebagai berikut:
- Kementerian ATR/BPN mendapatkan izin prinsip dari Kementerian PAN-RB untuk
melakukan penerimaan pegawai aparatur sipil negara (ASN), dengan alokasi formasi
sebesar 900 orang. Dari total formasi 900 orang tersebut, 600 orang di alokasikan untuk
petugas ukur dan 300 orang untuk alokasi tenaga teknis lainnya, menyesuaikan dengan
izin prinsip yang diberikan untuk dipecah kedalam 7 posisi/jabatan yang berbeda
(termasuk petugas ukur).
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
34
- Namun, dari 600 orang yang akan dialokasikan tersebut, dikurangi menjadi hanya 250
orang, karena adanya arahan Menteri ATR/BPN bahwa petugas ukur ini akan dipihak
ketigakan, menjadi petugas ukur berlisensi yang berasal dari swasta.
- Kementerian ATR/BPN perlu menyampaikan alasan terpisah terkait pengurangan alokasi
untuk petugas ukur yang semula 600 orang menjadi 250 orang, kepada Kementerian
PAN-RB untuk dikaji kembali.
- Selain melalui PNS, penerimaan petugas ukur dapat melalui pengangkatan lulusan D1
Pengukuran menjadi P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Keduanya (PNS
dan P3K), memiliki akuntabilitas yang sama, namun ada beberapa unit yang tidak dapat
diisi oleh P3K seperti bagian keuangan. Namun, hingga saat ini, rancangan PP terkait
P3K, belum ada, sehingga tidak ada penerimaan untuk formasi tersebut dalam waktu
dekat.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan menyampaikan beberapa masukan sebagai
berikut:
- Berdasarkan hasil Monev Bappenas di beberapa provinsi, target capaian Reforma
Agraria yang tinggi, terkendala pada ketersediaan petugas ukur di daerah yang minim.
- Petugas ukur diharapkan adalah seorang ASN (PNS) karena beberapa pertimbangan
sebagai berikut:
o Juru ukur berlisensi yang diajukan oleh Menteri ATR/BPN (non-PNS) belum tentu
bersedia untuk melakukan pekerjaan pengukuran tanah di daerah terpencil.
Provinsi DKI Jakarta dan Kota Tanggerang Selatan memiliki jumlah petugas ukur
yang sedikit, demikian halnya Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan yang
berada di daerah terpencil. Tentu ini tidak dapat menyelesaikan keterlambatan
yang terjadi.
o Pada aspek hukum, pentingnya petugas ukur PNS adalah menjamin
pertanggungjawaban atas hasil pengukuran yang mungkin akan bermasalah di
tahun-tahun mendatang, sehingga akan dengan mudah dapat ditelusuri petugas
ukur yang bertanggungjawab apabila terdaftar sebagai ASN.
- Menteri ATR/BPN tetap dapat melakukan penerimaan juru ukur berlisensi tersebut,
namun pelaksanaannya terpisah dari formasi penerimaan petugas ukur yang telah
dialokasikan oleh Kemen PAN-RB (600 orang), dan dapat berkoordinasi lebih lanjut.
Dari koordinasi yang telah dilakukan, hingga akhir tahun 2016, rencana penerimaan
ASN Petugas Ukur tersebut belum dilakukan, dan masih menunggu arahan Presiden lebih
lanjut.
4.2 Koordinasi Lintas Sektor dan Daerah
Dalam mendukung kegiatan rencana kebijakan untuk perbaikan sistem pengelolaan
pertanahan di Indonesia, dilaksanakan beberapa kegiatan koordinasi lintas sektor dan
daerah di tahun 2016 ini sebagai berikut:
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
35
4.2.1 Sertipikasi Tanah Transmigrasi
Pada tahun 2016 program sertipikasi transmigrasi menjadi salah satu program penting
yang perlu diwujudkan dalam rangka perubahan sistem pendaftaran tanah menjadi sistem
positif. Sertipikasi tanah transmigrasi merupakan salah satu kegiatan dalam pelaksanaan
program nasional Reforma Agraria dengan target 600.000 Ha juga menjadi sorotan di
beberapa kementerian lembaga yang terlibat khususnya Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/BPN serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
(Kemen. Desa dan PDTT).
Pelaksanaan kegiatan sertipikasi tanah transmigrasi selama ini belum dapat terlaksana
dengan baik dikarenakan beberapa hal diantaranya adalah (i) ketidaktersediaan data yang
lengkap untuk identifikasi tanah transmigrasi, (ii) peraturan perundangan yang kurang
mendukung untuk dilakukan percepatan sertipikasi tanah transmigrasi, dan (iii) kawasan
transmigrasi yang ada di dalam kawasan hutan. Kendala tersebut mengakibatkan
pelaksanaan sertipikasi tanah transmigrasi belum dapat terlaksana dengan baik sesuai
dengan target yang diharapkan
A. Rencana
Pada tahun 2016 Tim Koordinasi Reforma Agraria merancang beberapa target terkait
dengan pelaksanaan percepatan sertipikasi tanah transmigrasi meliputi:
Koordinasi pelaksanaan pelepasan kawasan hutan untuk tanah transmigrasi
Pelaksanaan legalisasi tanah yang dilepaskan untuk kawasan transmigrasi
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan sertipikasi tanah transmigrasi.
B. Capaian Tahun 2016
Dalam rangka melakukan percepatan sertipikasi tanah transmigrasi pada taun 2016
dilakukan rapat koordinasi dengan melibatkan beberapa stakeholder utama diantaranya
adalah Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Kementerian PDTT, dan kementerian dalam negeri. Dalam rapat tersebut teridentifikasi
beberapa catatan penting meliputi:
‒ Pada tahun 2015, Kementerian LHK telah melepaskan 22.790 Ha Kawasan Hutan
dari 227.293 Ha target pelepasan kawasan hutan untuk tanah transmigrasi. Perlu
adanya penunjukan lokasi detail pelepasan kawasan hutan tersebut oleh KLHK dan
disampaikan kepada K/L terkait untuk di persiapkan proses legalisasi asset nya.
‒ Sejak awal masa pemerintahan Orde Baru hingga tahun 2016, Kementerian LHK
telah melepaskan 894.000 Ha untuk tanah transmigrasi. Dari total tersebut,
400.000 Ha yang tersebar di 104 lokasi sudah diselesaikan proses nya. Sedangkan
sisanya, sedang dilakukan proses penyelesaiannya, seperti perubahan dari HPK
menjadi HPL, penegasan batas 97.900 Ha di 103 lokasi tanah transmigrasi dan
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
36
sisanya masih menunggu konfirmasi dari KLHK terkait kepastian status terakhir dari
tanah tersebut.
‒ Kementerian Desa dan PDTT telah mengkonfirmasi bahwa dari 22.790 Ha kawasan
hutan yang telah dilepaskan tersebut, sudah dilakukan penegasan berupa
penerbitan sertipikat dan akan menunggu proses pemberian pemberdayaan
masyarakat oleh K/L terkait.
‒ Selain tanah yang menjadi lokasi objek transmigrasi, harus dipertimbangikan
apakah para transmigran telah siap untuk melakukan transmigrasi ke kawasan
hutan yang dilepaskan tersebut, karena telah terjadi pemotongan anggaran
beberapa kali terkait pelaksanaan kegiatan transmigrasi.
‒ Legalisasi Asset tanah transmigrasi yang belum bersertipikat menjadi fokus
kegiatan yang akan di lakukan oleh Menteri Desa PDTT terkait Reforma Agraria.
Kementerian Desa dan PDTT akan mengundang 2 (dua) dirjen, untuk membahas
tanah transmigrasi terkait reforma agraria lebih lanjut, sebagai bahan
‒ Mengenai Legalisasi asset tanah transmigrasi 0,6 Juta Ha yang masuk kedalam
target Reforma Agraria, Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Desa, PDTT akan
melakukan identifikasi lokasi target legalisasi asset tanah transmigrasi yang akan di
kukuhkan hak milik atas tanahnya.
Berdasarkan rapat tersebut disepakati bahwa KLHK akan melakukan cross-check lebih
lanjut terkait luasan kawasan hutan yang akan dilepaskan sebagai objek TORA. Data yang
disebutkan KLHK terkait luas pelepasan kawasan hutan untuk tanah transmigrasi sebesar 4,4
juta Ha, Luasan ini berbeda dengan arahan RPJMN 2015-2019 dan Nawacita terkait Reforma
Agraria yang menyebutkan luasan pelepasan kawasan hutan untuk tanah transmigrasi
sebesar 4,1 juta Ha. Kementerian ATR/BPN akan kembali mengundang rapat teknis bersama
dengan K/L terkait untuk membahas lokasi transmigrasi secara spasial dan tindak lanjut
rencana kegiatan legalisasi asset tanah transmigrasi seluas 0,6 juta Ha. Kementerian
ATR/BPN dan Kementerian Desa PDTT akan melakukan koordinasi dan identifikasi lokasi
tanah-tanah transmigrasi yang belum bersertipikat, yang akan menjadi target legalisasi asset
tanah transmigrasi 0,6 juta Ha.
Permasalahan dalam pelaksanaan sertipikasi tanah transmigrasi selama ini salah
satunya adalah terkendala perubahan status hak tanah dari APL (Area Penggunaan Lain)
yang merupakan status setelah dilakukan pelepasan kawasan hutan menjadi HPL (Hak
Pengelolaan) yang merupakan hak transisi yang diberikan kepada Kementerian PDTT
sebelum diberikan Hak Milik kepada masyarakat penerima transmigrasi dengan persyaratan
tertentu. Untuk menanggulangi hal tersebut Kementerian Agraria dan Tata Ruang pada
bulan September melakukan koordibnasi dalam rangka penyelesaian masalah tersebut.
Adapun beberapa point penting yang menjadi catatan adalah:
1. Status tanah transmigrasi dengan target 600.000 Ha berdasarkan data dari
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, sebagai
berikut:
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
37
a. Belum terbit Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) sejumlah 68 lokasi
dengan luas 29.446.75 ha
b. Belum terbit SK HPL seluas 286.491 Ha.
c. Belum terbit Sertipikat Hak Milik samapi Juni 2016 seluas 221.703 Ha
2. Terdapat beban tugas pengurusan pelepasan kawasan hutan sebanyak 379 lokasi
(478.723 Ha), dengan rinciian 311 lokasi (449.276,25 Ha) telah terbit IPPKH, dan
68 lokasi (29.446,75 Ha) yang belum diterbitkan IPPKH. Sementara itu jumlah peta
kawasan transmigrai baru mencapai 207 peta dari keseluruhan wilayah
transmigrasi.
3. Dalam rangka percepatan pelaksanaan transmigrasi sebagai salah satu target
reforma agraria 9 Juta Ha, diharapkan proses penerbitan sertipikat transmigrasi
seluas 600.000 Ha tidak dilakukan dengan menggunakan peralihan menjadi HPL
terlebih dahulu melainkan langsung kedalam Hak Milik. Adapun sertipikasi tanah
transmigrasi kedalam hak milik secara langsung, diberikan klausul yang
menyatakan bahwa tanah tersebut tidak boleh dialihkan baik fungsi maupun
kepemilikan dalam kurun waktu 10 Tahun, untuk menghidari pemindah tanganan
asset oleh masyarakat.
4. Pemberian sertipikat hak milik tanpa melalui mekanisme HPL terlebih dahulu akan
difokuskan pada lokasi transmigrasi yang telah menjadi desa definitif yaitu
sebanyak 264.509 bidang di 26 provinsi.
5. Kementerian Desa tidak memiliki data peta yang lengkap untuk syarat pengajuan
pelepasan kawasan hutan untuk transmigrasi, sehingga disepakati akan dilakukan
deliniasi lokasi transmigrasi (IP4T) oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN
yang kemudian hasilnya diberikan kepada Kementerian Kehutanan untuk
disinkronkan dengan data kehutanan sehingga dapat menjadi dasar pelaksanaan
pelepasan kawasan hutan. Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Desa akan
bersurat kepada Kementerian Kehutanan terkait mekanisme deliniasi tersebut,
sehingga proses sertipikasi tanah dapat berjalan lebih cepat.
6. Dalam rapat Bappenas menyampaikan bahwa untuk mekanisme sertipikasi
transmigrasi tanpa melalui HPL perlu dilakukan kajian/analisa hukum agar dapat
disesuaikan dan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang ada.
7. Kegiatan sertipikasi transmigrasi merupakan salah satu kegiatan prioritas dalam
PN reforma agraria, yang pelaksanaannya melibatkan stakeholder pada setiap
tingkat pemerintahan. Untuk itu perlu dibuat kelembagaan berupa gugus tugas
yang menangani permasalahan reforma agraria termasuk transmigrasi di tingkat
pusat hingga kabupaten kota. Gugus tugas tersebut berfungsi sebagai lembaga
yang mengkoordinasikan dan memastikan pelaksanaan reforma agraria berjalan
di setiap tingkatan.
8. Terkait dengan pembentukan kelembagaan tersebut dibutuhkan pendanaan
tambahan sehingga Kementerian ATR/BPN diharapkan dapat melakukan
perubahan dalam RKA – K/L untuk pendanaan kegiatan tersebut.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
38
9. Terkait dengan kegiatan reforma agraria, Kementerian ATR akan fokus pada
pelaksanaan asset reform yang sesuai dengan tugas dan kewenangan ATR,
sementara untuk pelaksanaan access reform akan diberikan kepada K/L lain untuk
mengkoordinir.
10. Adapun beberapa hal yang menjadi tindak lanjut dalam pelaksanaan rapat
tersebut meliputi:
a. Proses sertipikasi tanah transmigrasi untuk menyelesaikan target 600.000 Ha
dilakukan tanpa melalui mekanisme HPL.
b. Menteri ATR dan Menteri Desa akan bersurat kepada Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan dan ditembuskan kepada Presiden Republik Indonesia
terkait hasil rapat yang menyepakati mekanisme sertipikasi transmigrasi tanpa
HPL.
c. Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup diharapkan bersurat kepada
Kementerian ATR dan Kementerian Desa perihal kesiapan pelepasan kawasan
hutan untuk transmigrasi.
d. Untuk lokasi transmigrasi yang telah memiliki IPPHK sejumlah 311 lokasi
(449.276,25 Ha) harus dilepaskan dari kawasan hutan dan disertipikatkan
dalam waktu 1 minggu, sedangkan untuk lokasi transmigrasi yang belum IPPHK
sejumlah 68 lokasi (29.446,75 Ha) ditargetkan selesai dalam waktu 1 bulan.
Hingga saat ini belum ada informasi terkait rencana penyepakatan mekanisme
sertipikasi tanah transmigrasi tanpa HPL, selain itu belum dapat dilakukan koordinasi secara
formal dikarenakan terdapat pemotongan anggaran yang menyebabkan tidak dapat
dilakukan rapat koordinasi lanjutan karena keterbatasan anggaran.
4.2.2 Koordinasi PRODA di Provinsi Kalimantan Timur
Program Agraria Daerah (PRODA) di Provinsi Kalimantan Timur merupakan program
bantuan pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Timur berupa legalisasi aset bidang tanah
yang belum bersertipikat, program ini diperuntukan bagi masyarakat berpenghasilan
rendah/masyarakat miskin. Pelaksanaan koordinasi Proda di Kalimantan Timur bersama
dengan Kementerian PPN/Bappenas telah dilakukan sejak tahun 2013 yang dipacu oleh
terhentinya pelaksanaan Proda akibat beberapa hambatan permasalahan terkait dengan
pelaksanaan koordinasi antara Pemerintah Daerah dengan Kanwil BPN Kalimantan Timur.
Hingga tahun 2015 pelaksanaan koordinasi program agrarian daerah provinsi Kalimantan
Timur telah mencapai beberapa target diantanya meliputi:
1. Dicapainya kesepakatan terkait pembiayaan pelaksanaan Proda di Kalimantan
Timur;
2. Disepakatinya target pelaksanaan Proda Tahun 2014;
3. Terlaksananya proses prasertipikasi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Dengan
tercapainya beberapa hal di atas diharapkan pelaksanaan Proda Kalimantan
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
39
Timur dapat terus berjalan dan dapat membantu capaian bidang tanah
bersertipikat secara nasional.
4. Terlaksananya sosialisasi mekanisme pelaksanaan Program Agraria Daerah
kepada seluruh Kepala Bappeda Provinsi dan Kepala Kantor Wilayah Pertanahan
di Indonesia.
Pelaksanaan Koordinasi Program Agraria Daerah sangat berpotensi untuk
meningkatkan cakupan bidang tanah bersertipkat secara nasional khususnya bagi
pemerintah provinsi yang memiliki dana APBD yang mencukupi untuk pelaksanaan
sertipikasi gratis bagi masyarakat kurang mampu. Dengan berjalannya pelasanaan sertipikasi
Proda Kalimantan Timur yang sebelumnya terkendala permasalahan koordinasi dengan BPN
diharapkan juga dapat menjadi contoh bagi pelaksanaan Proda di Provinsi lainnya di seluruh
wilayah Indonesia.
A. Rencana
Pada tahun 2016 Koordinasi Pelaksanaan Program Agraria Daerah memiliki beberapa
target pelaksanaan meliputi:
1. Koordinasi penyiapan kegiatan pra sertipikasi program agrarian daerah provinsi
Kalimantan timur TA. 2017
2. Koordinasi Pelaksanaan Sertipikasi Program Agraria daerah Provinsi Kalimantan
Timur TA. 2016
3. Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Sertipikasi Proda Prov.
Kalimantan Timur Tahun 2016
4. Koordinasi Pelaksanaan PRODA pada Provinsi-Provinsi di Pulau Kalimantan.
B. Capaian Tahun 2016
Pada tahun anggaran 2016 terdapat pemotongan anggaran kegiatan Koordinasi
Reforma Agraria yang cukup signifikan sehingga beberapa kegiatan yang membutuhkan
koordinasi intensif disertai kujungan lapangan tidak dapat terlaksana dan akan direncanakan
kembali pada tahun anggaran berikutnya. Pemotongan anggaran tersebut salah satunya
berdampak pada pelaksanaan koordinasi Program Agraria Daerah Provinsi Kalimantan
Timur. Namun untuk tetap menjalankan peran monitoring dan evaluasi pada kegiatan
tersebut dilakukan permohonan data tertulis terkait penyelenggaraan PRODA tahun 2016.
Berdasarkan data yang dikirimkan oleh Bappeda Provinsi Kalimantan Timur target
pelaksanaan kegiatan Proda pada tahun 2016 ditargetkan dilaksanakan di 6 Kabupaten Kota
dengan jumlah keseluruhan 637 bidang dengan luas 341 Ha. Namun hingga akhir November
2016 baru dapat tercapai 53 bidang dengan luas 40 Ha di kabupaten paser penajam utara.
Beberapa hal yang menyebabkan sertipikasi proda tidak terlaksana dengan baik meliputi:
1. Bukti alas Hak Atas Tanah yang dimiliki masyarakat kurang mendukung sehingga
tidak dapat dilakukan proses sertipikasi;
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
40
2. Daftar nama pemohon untuk kegiatan proda yang disampaikan kepada BPN
tidak disampaikan pada dinas pertanian sehingga tidak dapat dilakukan kegiatan
prasertipikasi;
3. Mayoritas lahan pertanian yang diajukan statusnya tumpang tindih dengan
lokasi ijin perkebunan / pertambangan
4. Terdapat pemotongan anggaran yang menyebabkan pelaksanaan kegiatan Proda
tidak dapat terlaksana dengan baik.
Tabel 4.8
Target Pelaksanaan PRODA Provinsi Kalimantan Utara Tahun Anggaran 2016
No Kab/Kota Kecamatan Desa Jumlah
(Bidang) Luas (Ha)
Capaian (Bidang)
1. Paser Penajam
Utara
Waru Waru 63 42 53
Babulu Gunung Intan 85 72 0
Rintik 38 31 0
Babulu Laut 12 19 0
Labangka 15 20 0
2. Berau Sambaliung Kampung
Bebanir
70 50 0
Gunung Tabur Kamp.
Merangcang Ilir
20 Na 0
Biatan Biatan Ilir 20 Na 0
3. Kutai Timur Kaubun Cipta Graha 50 58 0
4. Kutai Barat Barong Tongok Geleo Baru 104 Na 0
5. Mahakam Ulu Laham Laham 100 27.9 0
Long Hubung Datah Bilang Ilir 21.6 0
6. Kutai
Kartanegara
Tenggarong
Seberang
Perjiwa 30 Na 0
Sebulu Sebulu Modern 30 Na 0
Jumlah 637 341 53
Sumber: BAPPEDA Provinsi Kalimantan Timut, 2016
4.3 Publikasi dan Sosialisasi
Dalam rangka penerapan kebijakan di bidang pertanahan, dibutuhkan media
sosialisasi dan publikasi yang dapat mempermudah penyampaian program dan kegiatan
yang sedang dilaksanakan oleh Tim Koordinasi Reforma Agraria kepada para stakeholder
terkait maupun kepada masyarakat secara umum. Beberapa media publikasi dan sosialisasi
yang disusun meliputi media CD dan media online.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
41
4.3.1 Media CD
Salah satu media publikasi dan sosialisasi yang dilakukan oleh Sekretariat RAN di tahun
2016 ini adalah melakukan pembaharuan kompilasi kebijakan dan peraturan perundang-
undangan di bidang pertanahan, agar stakeholder terkait dapat mengetahui peraturan
terbaru di bidang pertanahan dan memudahkan dalam penyusunan serta pelaksanaan
kebijakan di bidang pertanahan.
Gambar 4.4
CD Publikasi terkait Kebijakan dan Peraturan Perundangan di Bidang Pertanahan
4.3.2 Media Online
Publikasi melalui media online dilakukan dengan menginduk pada situs Direktorat Tata
Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/Bappenas (http://www.trp.or.id), pada sub-
bagian “RAN” (Reforma Agraria Nasional). Konten yang dipublikasikan adalah terkait
kegiatan-kegiatan koordinasi reforma agraria Nasional, baik di pusat maupun kegiatan RAN
yang dilaksanakan di daerah sepanjang tahun 2016.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
42
Sumber: trp.or.id
Gambar 4.5
Tampilan Media Online terkait kegiatan RAN 2016
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
43
BAB V
PENUTUP
Secara umum dapat disimpulkan bahwa Kegiatan Koordinasi Reforma Agraria Nasional
Tahun 2016 dapat tercapai sesuai dengan rencana kegiatan yang telah ditetapkan. Berikut
beberapa capaian dari masing-masing pokok kegiatan yang ditetapkan pada tahun 2016,
meliputi:
1. Kebijakan sistem pendaftaran tanah publikasi positif, meliputi:
i. Pembaruan Cakupan Peta Dasar Pertanahan di luar kawasan hutan mencapai 45,67
% atau sekitar 29.379.816 Ha dari luas wilayah Indonesia di luar kawasan hutan
seluas 64.324.754,31 Ha;
ii. Pembaruan cakupan bidang tanah bersertipikat terdigitasi mencapai 12,11% atau
seluas 7.896.944 Ha dari total luas wilayah budidaya (ditambah dengan wilayah
enclave) seluas 65.210.543 Ha;
iii. Kegiatan Publikasi Tata Batas Kawasan Hutan, telah dilakukan rapat koordinasi
persiapan pelaksanaan kegiatan pilot project publikasi tata batas kawasan hutan.
Sedangkan pelaksanaan kegiatan pilot project direncanakan pada tahun 2017 di
Kawasan Hutan Pantai Rebo, Gunung Mangkol (Prov. Bangka-Belitung) dan Yeh
Ayeh (Prov. Bali); dan
iv. Sosialisasi Peraturan Perundangan terkait tata batas kawasan hutan, kegiatan ini
tidak dapat dilaksanakan karena adanya self-blocking (pemotongan anggaran)
kegiatan pada tahun 2016.
2. Kebijakan redistribusi tanah dan access reform.
i. Sosialisasi Pelaksanaan Reforma Agraria dilakukan bersamaan dengan sosialisasi
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2017 PN Reforma Agraria telah dilakukan di
Provinsi Jawa Timur.
ii. Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Pilot Project Reforma Agraria ke beberapa
lokasi pilot project tidak dapat dilakukan karena adanya self-blocking (pemotongan
anggaran).
iii. Penyusunan draft pedoman pelaksanaan reforma agraria belum dapat dilakukan
mengingat penyusunan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Reforma Agraria
sedang dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN dengan melibatkan K/L terkait.
iv. Koordinasi Penyusunan Perpres Reforma Agraria. Koordinasi penyusunan draf
Perpres tentang reforma agraria telah dilakukan beberapa kali dalam bentuk rapat
dan FGD yang melibatkan K/L terkait dan Kantor Staf Presiden. Beberapa masukan
yang disampaikan dalam penyusunan RPerpres RA antara lain perlunya sinkronisasi
dengan RKP terkait PN RA, Pengembangan Kelembagaan Reforma Agraria;
Penguatan Akses Reforma Agraria.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
44
3. Kebijakan Penyediaan Tanah Bagi Pembangunan Kepentingan Umum. Telah
dilaksanakan rapat koordinasi dan workshop untuk menyiapkan rancangan Perpres
Bank Tanah (Lembaga Penyediaan Tanah) yang melibatkan K/L terkait. Tim koordinasi
telah memberikan masukan antara lain mengenai strategisnya keberadaan lembaga
tersebut dalam manajemen pertanahan dan tujuan pembentukannya.
4. Kebijakan sumberdaya manusia bidang pertanahan. Sesuai kesepakatan tahun
sebelumnya mengenai mekanisme penerimaan SDM bidang pertanahan, Kementerian
PAN-RB juga telah memberikan izin prinsip kepada Kementerian ATR/BPN untuk
penerimaan PNS dan dikecualikan dari moratorium penerimaan Pegawai Aparatur Sipil
Negara (ASN). Namun demikian, penerimaan SDM petugas ukur belum dapat dilakukan
pada tahun 2016 karena tidak ada pengadaan PNS secara nasional.
5. Koordinasi Lintas Sektor dan Daerah. Telah dilakukan rapat koordinasi dengan
melibatkan K/L terkait, dengan beberapa catatan, yaitu (i) Dari target 600.000 Ha
sertipikasi tanah transmigrasi yang masuk kedalam target 9 Juta Ha Reforma Agraria, (a)
29.446,75 Ha (68 Lokasi) belum terbit ijin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH); (b)
286.491 Ha belum terbit SK HPL; dan (c) 221.703 Ha belum terbit Sertipikat Hak Milik
hingga Juni 2016. (ii) Perlu adanya koordinasi terkait penyelesaian beberapa target
tersebut di tahun 2017. Untuk kegiatan PRODA di Kalimantan Utara, di tahun 2016 tidak
dapat terlaksana dengan baik karena ada nya pemotongan anggaran di K/L yang
berdampak pada pelaksanaan kegiatan di Daerah. Pada tahun 2016, kegiatan Proda
akan di laksanakan di 6 Kabupaten/Kota dengan jumlah keseluruhan 637 bidang dengan
luas 341 Ha. Namun, karena adanya pemotongan anggaran tersebut, hingga akhir
November 2016, baru dapat mencapai 53 bidang dengan luas 40 Ha yang dilaksanakan
di Kabupaten Paser Penajam Utara.