Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

29
TINJAUAN PUSTAKA Batasan Pemotongan dan Pengeprasan Tebu Pemotongan didefinisikan sebagai proses pemisahan secara mekanik dari sebuah benda padat sepanjang garis pemotongan menggunakan alat pemotong berupa mata pisau (Persson 1987). Ditinjau dari jenis alat potong (cutting device) yang digunakan dalam pemotongan atau prosedur pemotongannya terdapat beberapa istilah lain untuk pemotongan. Istilah tersebut antara lain adalah mencacah (chopping), memangkas (mowing), menggergaji (sawing), membelah (splitting), mengiris, (slicing), dan chipping. Pengeprasan tebu merupakan pemotongan sisa-sisa tunggul tebu setelah penebangan yang dilakukan pada posisi tepat atau lebih rendah dari permukaan guludan (Koswara 1989). Pengeprasan tersebut dapat dilakukan secara manual maupun mekanis. Alat potong yang digunakan dalam pengeprasan manual umumnya berupa cangkul, sedangkan untuk pengeprasan mekanis digunakan alat potong jenis rotari (stubble shaver) yang digerakkan oleh traktor. Tanaman keprasan merupakan tanaman tebu yang tumbuh kembali dari jaringan batang yang masih tertinggal di dalam tanah setelah tebu ditebang (Barnes 1964). Pengeprasan tebu bertujuan (1) mengkondisikan agar tunas tanaman keprasan tumbuh dari mata tunas batang tebu yang terdapat di bawah permukaan tanah, (2) membersihkan gulma yang tumbuh pada guludan, (3) meratakan dan merapikan permukaan guludan, dan (4) mempersiapkan agar tanaman tebu keprasan dapat tumbuh dengan baik (Humbert 1968). Metode Pemotongan Bahan Pertanian Terdapat empat metode pemotongan yang umum digunakan untuk bahan- bahan pertanian (Sitkei 1986). Pertama, counter moving blade (kedua bilah pisau potong bergerak berlawanan arah). Metode pemotongan tersebut sama halnya dengan menggunting (Gambar 2a), sehingga hasil potongannya memiliki permukaan yang lebih rata dan halus. Metode tersebut lebih cocok digunakan untuk pemotongan material yang memiliki ketebalan relatif rendah, misalnya untuk pemangkasan rumput. Kedua, resting and moving blade (satu bilah pisau diam dan satu bilah pisau yang lain bergerak). Material yang dipotong didukung

Transcript of Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

Page 1: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

8

TINJAUAN PUSTAKA

Batasan Pemotongan dan Pengeprasan Tebu

Pemotongan didefinisikan sebagai proses pemisahan secara mekanik dari

sebuah benda padat sepanjang garis pemotongan menggunakan alat pemotong

berupa mata pisau (Persson 1987). Ditinjau dari jenis alat potong (cutting device)

yang digunakan dalam pemotongan atau prosedur pemotongannya terdapat

beberapa istilah lain untuk pemotongan. Istilah tersebut antara lain adalah

mencacah (chopping), memangkas (mowing), menggergaji (sawing), membelah

(splitting), mengiris, (slicing), dan chipping.

Pengeprasan tebu merupakan pemotongan sisa-sisa tunggul tebu setelah

penebangan yang dilakukan pada posisi tepat atau lebih rendah dari permukaan

guludan (Koswara 1989). Pengeprasan tersebut dapat dilakukan secara manual

maupun mekanis. Alat potong yang digunakan dalam pengeprasan manual

umumnya berupa cangkul, sedangkan untuk pengeprasan mekanis digunakan alat

potong jenis rotari (stubble shaver) yang digerakkan oleh traktor. Tanaman

keprasan merupakan tanaman tebu yang tumbuh kembali dari jaringan batang

yang masih tertinggal di dalam tanah setelah tebu ditebang (Barnes 1964).

Pengeprasan tebu bertujuan (1) mengkondisikan agar tunas tanaman keprasan

tumbuh dari mata tunas batang tebu yang terdapat di bawah permukaan tanah, (2)

membersihkan gulma yang tumbuh pada guludan, (3) meratakan dan merapikan

permukaan guludan, dan (4) mempersiapkan agar tanaman tebu keprasan dapat

tumbuh dengan baik (Humbert 1968).

Metode Pemotongan Bahan Pertanian

Terdapat empat metode pemotongan yang umum digunakan untuk bahan-

bahan pertanian (Sitkei 1986). Pertama, counter moving blade (kedua bilah pisau

potong bergerak berlawanan arah). Metode pemotongan tersebut sama halnya

dengan menggunting (Gambar 2a), sehingga hasil potongannya memiliki

permukaan yang lebih rata dan halus. Metode tersebut lebih cocok digunakan

untuk pemotongan material yang memiliki ketebalan relatif rendah, misalnya

untuk pemangkasan rumput. Kedua, resting and moving blade (satu bilah pisau

diam dan satu bilah pisau yang lain bergerak). Material yang dipotong didukung

Page 2: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

9

(supported) oleh bilah pisau yang diam, sedangkan bilah pisau yang satunya

bergerak untuk melakukan penetrasi pada material yang dipotong (Gambar 2b).

Pemotongan yang mengikuti metode tersebut adalah pemotongan rumput

menggunakan alat potong tipe reel dan pemanen padi menggunakan cutterbar.

Ketiga, Pemotongan tipis atau mengiris (Gambar 2c). Metode tersebut umumnya

digunakan untuk memotong sebagian kecil atau lapisan tipis dari permukaan

sebuah material, misalnya: pemotongan pada bagian atas sugar beet, pengupasan

buah, dan perajangan tembakau. Keempat, free cutting (pemotongan secara

impak). Pemotongan dilakukan menggunakan gaya pukul yang tinggi sehingga

kecepatan pisau merupakan parameter yang sangat penting. Metode pemotongan

tersebut (Gambar 2d) umumnya digunakan untuk pemotongan rumput dengan

menggunakan alat potong tipe rotari. Pemotongan dengan cara impak tersebut

cenderung memberikan hasil potongan yang pecah, terlebih apabila pisau yang

digunakan memiliki ketajaman yang rendah.

(b) (c) (d) (a)

Gambar 2 Beberapa metode pemotongan bahan pertanian (Sitkei 1986).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gaya, Energi, dan Daya Pemotongan

Gaya pemotongan merupakan gaya luar yang harus diberikan oleh pisau

kepada material agar bahan tersebut dapat terpotong (Persson 1987). Selanjutnya,

gaya pemotongan juga didefinisikan sebagai hasil perkalian antara tegangan

(stresses) yang terjadi pada material saat mata pisau melakukan pemotongan dan

luas pada bagian atau lokasi tegangan tersebut terjadi, sedangkan gaya pemo-

tongan spesifik merupakan gaya pemotongan aktual per lebar atau luas material

yang dipotong. Gaya pemotongan tersebut mencakup (1) gaya yang diperlukan

Page 3: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

10

untuk menggerakkan pisau, (2) gaya gesek antara material dan pisau, dan (3) gaya

untuk mengatasi tahanan potong dari material.

Pengukuran gaya pemotongan dari alat potong yang bergerak putar sangat

sulit dilakukan, sehingga pengukuran dilakukan terhadap torsi pemotongan pada

poros pisau (Lisyanto 2002). Torsi pemotongan merupakan hasil kali antara gaya

yang diperlukan oleh mata pisau untuk melakukan pemotongan dan jari-jari atau

radius putaran mata pisau. Selanjutnya, parameter torsi pemotongan tersebut dapat

digunakan untuk menentukan besarnya gaya dan daya pemotongan. Suharyatun

(2002) mengungkapkan bahwa besarnya torsi untuk pemotongan rumput menggu-

nakan pisau jenis rotari dipengaruhi oleh jari-jari pemotongan, kecepatan maju,

kecepatan putar, jumlah pisau, sudut pemasangan pisau, diameter batang rumput,

dan gaya spesififik pemotongan rumput. Suastawa et al. (2003) menyimpulkan

bahwa, torsi terendah untuk pemotongan rumput menggunakan pisau jenis rotari

sebesar 0.073 N m yang terjadi pada selang kecepatan putar 2800 rpm dengan

model pisau bercoak pada kemiringan 15o.

Menurut Persson (1987) beberapa faktor yang mempengaruhi gaya, energi,

dan daya pemotongan meliputi (1) faktor utama yakni kecepatan maju alat dan

kapasitas pemotongan, (2) faktor tanaman yaitu kadar air, umur tanaman atau

tingkat kematangan, dan spesies tanaman, (3) metode pengoperasian terdiri atas

ketebalan pemotongan, penetrasi awal pisau (precompression), dan kecepatan

potong pisau, (4) faktor perancangan yang meliputi lebar pemotongan, sudut mata

pisau, ketajaman pisau, jenis mata pisau, sudut kemiringan pisau, sudut potong

pisau, sudut kelonggaran, dan pisau penahan (countershear), dan (5) interaksi

antara ke empat faktor tersebut.

Efek Kecepatan Maju dan Kapasitas Pemotongan

Salah satu faktor penting yang sangat mempengaruhi daya total pemotongan

pada alat pemotong rumput jenis rotari (rotary mower) adalah kecepatan maju

pada saat pemotongaan (VLF). Gambar 3 menunjukkan bahwa daya total

pemotongan (POD) tersebut ditentukan dari beberapa pubah yang berpengaruh

terhadap daya pemotongan yakni (1) daya spesifik untuk mengatasi pergerakan

udara dalam rotor dan gesekan internal yang terjadi pada rotor (POLS 1,1), (2)

daya untuk mengatasi gesekan antara rotor dan stubble atau sisa-sisa pemotongan

Page 4: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

11

(POLS 1,2), dan (3) daya untuk pemotongan (POC) dibagi dengan efisiensi dalam

pemotongan (EFC). Gambar 3 juga dapat ditafsirkan bahwa daya total

pemotongan (POD) untuk mesin pemotong rumput tipe rotari (rotary mower)

semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kecepatan maju pada saat

pemotongan (VLF).

Gambar 3 Plot hubungan antara daya total pemotongan (POD) dan kecepatan

maju pemotongan (VLF) untuk rotary mower (Persson 1987). Tuck (1976, 1977, 1978) diacu dalam Persson (1987) menyatakan ekspresi

matematis yang menghubungkan sejumlah parameter untuk menentukan POD

pada rotary mower sebagai berikut:

( )( )[ ]VLFEFCENCSAEPOLSPOLSLWDPOD /2,11,1/ ++= (1)

POD = daya total pemotongan untuk alat pemotong rumput tipe rotari (kW)

LWD = lebar dari alat potong (m)

POLS1,1 = daya untuk mengatasi pergerakan udara dalam rotor dan gesekan internal yang terjadi pada rotor (kW m-1)

POLS1,2 = daya untuk mengatasi gesekan antara rotor dan stubble atau sisa-sisa pemotongan (kW m-1)

ENCSAE = energi pemotongan spesifik per unit area (kJ m-2)

EFC = efisiensi pemotongan

VLF = kecepatan maju pemotongan (m s-1)

Pada alat pemanen pakan ternak (forage harvester) faktor utama yang

mempengaruhi daya total pemotongan (POD) adalah kapasitas pemotongan

(MAT). Gambar 4 memperlihatkan sebaran daya (power distribution) untuk alat

pemanen pakan ternak (forage harvester) yang memiliki pola peningkatan

cenderung linier seiring dengan meningkatnya kapasistas pemotongan.

Page 5: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

12

E = daya total pemottongan dari forageharvester termasuk untuk mengangkutdan mekanismenya.

D = daya tambahan untuk melawan per-gerakan udara dalam harvester

C = daya tambahan untuk mengatasi ge-sekan bahan yang dicacah dandudukannya

B = daya tambahan untuk mendorong ataumemindahkan material

A = daya untuk pemotongan Keterangan:

Gambar 4 Distribusi daya pemotongan (PO) pada alat pemanen pakan ternak versus kapasitas pemotongan untuk alfalfa dengan kadar air 74%, jenis pisau flywheel, dan kecepatan pisau 34.6 m s-1 (Persson 1987).

Kurva E yang menyatakan daya total pemotongan untuk forage harvester

(Gambar 4) secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:

( )( )[ MATWETENCSWPOLPOD += 1 ] (2)

POD = daya total pemotongan untuk forage harvester (kW)

POL1 = konstanta daya untuk flywheel harvester sebesar 3 kW

MATWET = kapasitas pemotongan dalam bobot basah (kg s-1)

ENCSW = energi pemotongan spesifik berdasarkan bobot basah material yakni sebesar 3.6 kJ kg-1.

Efek Kadar Air dan Umur Tanaman

Percobaan laboratorium yang dilakukan Chancellor (1957) diacu dalam

Persson (1987) memperlihatkan bahwa pada pemotongan batang timothy, kadar

air (MC) tidak berpengaruh secara linier terhadap gaya pemotongan spesifik

maksimum (FOCSMX). Pada kadar air hampir mencapai 40%, gaya pemotongan

spesifik justru mengalami sedikit penurunan seiring dengan semakin tingginya

kadar air dalam material (Gambar 5 garis a). Energi pemotongan spesifik per unit

beban material (ENCSM) yang dihitung pada basis bobot kering cenderung

mengalami sedikit peningkatan seiring dengan semakin meningkatnya kadar air

pada saat pemotongan (Gambar 5 garis b). Sebaliknya, energi pemotongan

spesifik per unit beban material (ENCSM) yang dihitung pada basis bobot basah

memiliki pola penurunan yang cenderung linier seiring dengan semakin tingginya

kadar air saat pemotongan (Gambar 5 garis c).

Page 6: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

13

c

b

a

Keterangan: a = gaya pemotongan spesifik

maksimum (FOCSMX ) b = energi pemotongan spesifik

per unit beban material (ENCSM) dihitung pada basis bobot kering

c = energi pemotongan spesifik per unit beban material (ENCSM) dihitung pada basis bobot basah

MC= kadar air pada basis basah

Gambar 5 Gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) dan energi pemotongan spesifik per unit beban material (ENCSM) versus kadar air (Chancellor 1957, diacu dalam Persson 1987).

Besarnya energi pemotongan untuk bahan pertanian juga dipengaruhi oleh

umur atau tingkat ketuaan tanaman. Tanaman yang lebih tua membutuhkan energi

pemotongan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang lebih muda.

Prince et al. (1958) melaporkan bahwa energi yang diperlukan untuk memotong

batang alfalfa berdiameter 3.2 mm pada umur 28 hari mencapai 0.013 J, umur 36

hari sebesar 0.027 J, dan berumur 55 hari sebesar 0.034 J.

Efek Kecepatan Potong Pisau

Berge (1951) mengungkapkan bahwa energi pemotongan meningkat secara

linier pada selang kecepatan potong pisau antara 20 dan 50 m s-1. Pada kisaran

kecepatan potong yang rendah, peningkatan kecepatan potong pisau tidak memi-

liki efek yang signifikan terhadap peningkatan energi pemotongan. Chancellor

(1957) diacu dalam Persson (1987) mengungkapkan bahwa peningkatan kece-

patan potong pada mower dengan kisaran kecepatan antara 1.75 dan 5.2 m s-1

hanya memiliki efek yang relatif kecil terhadap peningkatan energi pemotongan

untuk pemotongan batang timothy berkadar air 54%. Penelitian yang dilakukan

oleh Blevins dan Hansen (1956) juga mengungkapkan bahwa kecepatan potong

pisau yang relatif rendah hampir tidak memiliki efek terhadap energi pemotongan

untuk alat pemanen pakan ternak (forage harvester).

Page 7: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

14

Efek Sudut Mata Pisau dan Ketajaman Pisau

Ketajaman (sharpness) dan keruncingan (fineness) merupakan dua sifat

yang berbeda pada sebuah mata pisau. Pisau dikatakan tajam (sharp) apabila pisau

tersebut memiliki radius dan ketebalan mata pisau yang kecil, sedangkan

dikatakan runcing (fine) apabila pisau tersebut memiliki sudut mata pisau yang

kecil (Gambar 6). Kebalikan dari ketajaman adalah ketumpulan (dullness),

sedangkan kebalikan dari keruncingan disebut tidak runcing (bluntness).

(a) (b) Gambar 6 Mata pisau yang tajam dan tumpul (a) runcing dan tidak runcing (b).

Sudut mata pisau memiliki efek yang signifikan terhadap gaya pemotongan

spesifik maksimum. Pisau yang memiliki sudut mata pisau yang kecil (fine)

membutuhkan gaya pemotongan spesifik maksimum yang relatif rendah.

Penelitian Chancellor (1957) diacu dalam Persson (1987) pada pemotongan

timothy dengan kadar air 20%, lebar pemotongan 7.9 mm, dan mata pisau yang

digunakan bersifat tajam, sedangkan mata bilah pisau penahan (countershear)

tidak runcing (blunt) menunjukkan bahwa gaya pemotongan spesifik maksimum

(FOCSMX) cenderung meningkat seiring dengan semakin besarnya sudut mata

pisau (ANE). Gaya pemotongan spesifik maksimum memiliki nilai yang relatif

rendah pada sudut mata pisau antara 20o dan 30o (Gambar 7). Diduga hal tersebut

disebabkan oleh faktor sudut mata pisau yang berpengaruh terhadap luas

permukaan kontak antara penampang mata pisau dan material yang dipotong.

Sudut mata pisau yang kecil (fine) menghasilkan penampang mata pisau yang

kecil sehingga gaya yang diperlukan untuk penetrasi pisau ke material yang

dipotong juga relatif rendah.

Ketajaman pisau merupakan salah satu faktor penting dalam pemotongan

material. Ketajaman memiliki efek yang signifikan terhadap gaya pemotongan,

semakin tajam pisau yang digunakan maka gaya pemotongan yang diperlukan

tajam (sharp) runcing (fine)

tumpul (dull)

ketebalan radius sudut mata pisau

tidak runcing (blunt)

Page 8: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

15

juga semakin rendah. Penelitian Chancellor (1957) diacu dalam Persson (1987)

mengenai efek ketebalan mata pisau (ketajaman) terhadap gaya pemotongan

spesifik maksimum untuk pemotongan timothy pada kadar air 54% menggunakan

mower dengan kisaran kecepatan potong antara 1.75 dan 5.2 m s-1 menunjukkan

bahwa gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) terendah terjadi pada

ketebalan mata pisau (LTE) mencapai 0.15 mm, sedangkan pada LTE yang

melebihi 0.15 mm gaya pemotongan terus meningkat (Gambar 8).

0

10

20

30

40

50

60

0 10 20 30 40 50 60 70 80ANE (derajad)

FOCS

MX

(N/m

m) MAAE = 4.86 mg mm-2

LTS = 3.40 mm

MAAE = 2.43 mg mm-2

LTS = 1.70 mm

MAAE = bobot material per unit luas countershear (mg mm-2) LTS = ketebalan lapisan solid material yang terletak antara pisau dan countershear (mm)

Gambar 7 Efek sudut mata pisau (ANE) terhadap gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) pada dua ketebalan potong yang berbeda (Chancellor 1957, diacu dalam Persson 1987).

Garis 400 MPa merupakanyield stress material baja.

Sudut kemiringan pisau(ANO) = 0o

Lebar pemotongan (LWC)material sebesar 7.9 mm.

Keterangan:

Sudut mata pisau (ANE)yang digunakan sebesar 25o.

Gambar 8 Efek ketebalan mata pisau (LTE) atau ketajaman terhadap gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) pada dua ketebalan potong yang berbeda (Chancellor 1957, diacu dalam Persson 1987).

Page 9: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

16

Efek Sudut Kemiringan Pisau

Terdapat dua metode pemotongan yang umum digunakan ditinjau dari

posisi garis mata pisau terhadap arah gerak maju pisau saat pemotongan, yakni

pemotongan lurus dan pemotongan miring (Gambar 9). Disebut pemotongan lurus

karena pemotongan dilakukan dengan cara memposisikan garis mata pisau tegak

lurus terhadap arah gerak maju atau sering disebut dengan pemotongan tanpa

sudut kemiringan pisau (Gambar 9a), sedangkan dikatakan pemotongan miring

karena pemotongan dilakukan dengan cara memposisikan garis mata pisau tidak

tegak lurus (membentuk sudut kemiringan) terhadap arah gerak maju pisau

(Gambar 9b).

Y Y

mat

eria

l

pisa

u

SLK

LTC

X

(a) (b)

FOC

LWC

FOC

dY

Y

LWC

ANO

X

SLK = posisi atau koordinat garis mata pisau saat pisau bergerak maju dalam pemotongan LTC = ketebalan aktual dari material yang dipotong (mm) LWC = lebar pemotongan (mm) ANO = sudut kemiringan pisau (derajad)

Gambar 9 Pemotongan lurus (a) dan pemotongan miring (b).

Apabila referensi sudut kemiringan pisau (ANO) mengikuti Gambar 9b,

yakni sudut 0o dimulai dari sumbu Y, maka salah satu upaya untuk menurunkan

gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) dapat dilakukan dengan cara

memperbesar sudut kemiringan pisau (ANO). Hal tersebut disebabkan semakin

besar ANO maka lebar pemotongannya semakin kecil, sehingga gaya pemotongan

yang dibutuhkan relatif rendah. Gambar 10 memperlihatkan bahwa pada

pemotongan timothy berkadar air rata-rata 43%, lebar pemotongan rata-rata 11.1

mm, dan tingkat ketebalan lapisan solid material (LTS) yang berbeda, FOCSMX

yang relatif rendah terjadi pada ANO sebesar 45o (Persson 1987).

Page 10: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

17

0

50

100

150

200

0 10 20 30 40 50

ANO (derajad)

FOC

SM

X (N

/mm

)

MDS = densitas material solid = 1.45 mg mm-3

MAL= bobot material kering per unit panjang lapisan (g mm-1)

c : MAL = 0.0096 g mm-1 kemiringan (slope) garis regresi = –1.43 N/derajad

LTS = 1000 (MAL/LWC)/MDS

b : MAL = 0.0193 g mm-1 kemiringan (slope) garis regresi = –1.22 N/derajad

Keterangan: a : MAL = 0.0289 g mm-1

kemiringan (slope) garis regresi = –1.44 N/derajad

c

a

b

Gambar 10 Efek sudut kemiringan pisau (ANO) terhadap gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) pada tiga ketebalan lapisan solid (LTS) yang berbeda (Persson 1987).

Ahmad et al. (2000) mengungkapkan bahwa jenis pisau, sudut pemotongan,

dan tingkat kematangan memiliki pengaruh nyata terhadap gaya pemotongan

spesifik pelepah sawit. Gaya pemotongan spesifik terendah pada percobaan yang

menggunakan dua jenis pisau (claw cutter dan sickle cutter) tersebut tejadi pada

sudut potong 45o (S1), yakni 7.7 kg cm-2 pada sickle cutter dan 7.98 kg cm-2 untuk

claw cutter. Gambar 11 menunjukkan bahwa pada pelepah yang lebih muda (F3)

dan sudut pemotongan yang lebih kecil (S1=45o), kedua jenis pisau tersebut

menghasilkan gaya pemotongan spesifik yang relatif rendah. Gaya pemotongan

spesifik rata-rata yang dibutuhkan oleh kedua jenis pisau tersebut sebesar 9.36 kg

cm-2 untuk sickle cutter dan 14.4 kg cm-2 untuk claw cutter.

SPECIFIC CUTTING FORCE, FOSCA(CLAW)

0

5

10

15

20

25

F1 F2 F3

Frond Maturity

FOSC

A (k

g/cm

2 )

S3=90 S2=60 S1=45

(b)

SPECIFIC CUTTING FORCE, FOSCA (SICKLE)

02468

101214

F1 F2 F3

Frond Maturity

FOSC

A (k

g/cm

2 )

S3=90 S2=60 S1=45

(a)

Gambar 11 Gaya pemotongan spesifik dari pisau jenis sickle cutter (a) dan claw cutter (b) pada beberapa sudut pemotongan dan kematangan pelepah sawit (Ahmad et al. 2000).

Page 11: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

18

Bajak Piring (Disk Plow)

Ditinjau dari posisi dudukannya, bajak piring dapat diklasifikasikan menjadi

dua jenis yakni (1) bajak piring standar dan (2) bajak piring vertikal. Bajak piring

standar terdiri atas beberapa piringan yang masing-masing piringan dipasang pada

satu dudukan yang didukung oleh bantalan kerucut dengan sudut kemiringan

piringan terhadap sumbu vertikal (tilt angle) dapat diatur dari 15o sampai 25o

melalui tilt adjustment yang terdapat pada batang pengikat piring (Gambar 12).

Menurut Kepner et al. (1972) bajak piring tersebut umumnya memiliki 3-6

piringan dengan spasi pemotongan antara 7 dan 12 inci, disk angle dari 42o

sampai 45o, dan diameter piringan antara 24 dan 28 inci. Pada saat beroperasi,

bajak piring tersebut dapat berputar akibat terjadi interaksi antara piringan dan

permukaan tanah. Berputarnya bajak piring tersebut diharapkan dapat mengurangi

besarnya gaya tarik (draft) dalam pengolahan tanah. Bajak piring umumnya di-

lengkapi dengan pengeruk (scraper) yang berfungsi untuk membantu dalam mem-

balikkan potongan tanah dan membersihkan tanah yang lengket pada piringan.

Gambar 12 Bajak piring standar dan bagian yang penting.

Piringan Baut pengikat

Mata bajak piring

Rangka bajak piring

Kepner et al. (1972) menyatakan bahwa bajak piring vertikal dapat disebut

juga dengan istilah one way disk (bajak piring satu jalur), disk tiller (pengolah

tanah tipe piring), harrow (garu), dan wheatland plow (bajak tanah perladangan).

Bajak piring tersebut terdiri atas sejumlah piringan yang dipasang pada sebuah po-

ros horisontal tanpa tilt angle. Disk angle dapat diperoleh dengan cara menggeser

poros tersebut terhadap arah gerak maju alat yang besarnya dari 35o sampai 55o,

akan tetapi umumnya digunakan antara 40o dan 45o (Gambar 13).

Page 12: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

19

Arah gerak maju

DA

Gambar 13 Pandangan atas bajak piring vertikal dengan disk angle (DA).

Bentuk Bajak Piring dan Mata Piring

Cooper (1971) mengemukakan bahwa umumnya bajak piring memiliki

bentuk concave atau cekung (Gambar 14a), namun demikian ada juga bajak piring

yang berbentuk cone atau kerucut (Gambar 14b), sedangkan bentuk lain yang

relatif baru adalah bentuk convex center atau cembung di pusat (Gambar 14c).

Dari ketiga bentuk bajak piring tersebut, yang paling banyak digunakan untuk

pengolahan tanah adalah bajak piring bentuk cekung (concave). Hal tersebut

dikarenakan bajak piring bentuk cekung memiliki massa yang lebih besar

sehingga kemampuan untuk melakukan penetrasi ke dalam tanah juga lebih tinggi.

(a) (b)

(c)

Gambar 14 Bajak piring bentuk cekung (a), bentuk kerucut (b) dan bentuk

cembung di pusat (c) (Cooper 1971).

Page 13: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

20

Ditinjau dari bentuk mata atau bagian tepinya, piring pengolah tanah dapat

dibedakan menjadi dua jenis, yakni piring pengolah tanah dengan mata bentuk

rata (disk blade-plain) yang disebut dengan bajak piring (Gambar 15a) dan piring

pengolah tanah dengan mata bentuk coak (disk blade-notched) yang disebut

dengan garu piring (Gambar 15b). Bajak piring biasanya digunakan untuk

pengolahan tanah pertama, sedangkan garu piring untuk pengolahan tanah kedua.

(a) (b)

Gambar 15 Mata piring bentuk rata (a) dan bentuk bercoak (b).

Kinematika Bajak Piring yang Diputar

Gerakan bajak piring yang diputar pada prinsipnya hampir sama dengan

gerakan pisau dari mesin rotari yang memiliki pola gerakan yang komplek.

Gerakan tersebut terdiri atas gerakan putar pisau relatif terhadap poros dengan

kecepatan putar (Vn) dan kecepatan maju alat (Vt). Rasio kecepatan putar terhadap

kecepatan maju (λ) tersebut dapat dituliskan:

t

n

VV

=λ (3)

Pada nilai λ yang berbeda maka akan menghasilkan kurva gerakan yang

berbeda. Gambar 16 mengilustrasikan jika sebuah pisau berbentuk piringan

diputar pada kecepatan sudut (ω) dengan kecepatan maju (Vt), maka sebuah titik A

pada ujung mata pisau akan bergerak sepanjang kurva yang memiliki bentuk

trochoidal. Berikutnya apabila titik O yang merupakan pusat piringan dianggap

sebagai titik referensi, kemudian garis OO1 sebagai panjang jalur gerakan dari

pusat piringan dalam selang waktu (t) maka hal tersebut dapat dinyatakan dengan

Vtt. Selanjutnya pada periode yang sama mata pisau juga berputar sebesar ω,

panjang jalur gerakan melingkarnya dapat dituliskan dengan ωt sehingga titik A

berubah posisinya menjadi A1.

Page 14: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

21

Gambar 16 Skema dalam menentukan jalur gerakan dari sebuah titik pada mata pisau rotari (Yatsuk et al. 1981).

Yatsuk et al. (1981) memberikan persamaan parametrik untuk koordinat

titik A1 sebagai berikut:

tRVtx ωcos+= dan tRy ωsin= (4)

Eleminasi waktu (t) pada persamaan (4) dapat digunakan untuk memperoleh

persamaan gerakan untuk titik A, yakni:

221sin yRRyV

x t −+= −

ω dengan R adalah jari-jari. sehingga persamaan

gerakan untuk sembarang titik pada mata pisau dapat dituliskan:

221sin iii

it yrryV

x −+= −

ω (5)

Rasio kecepatan putar terhadap kecepatan maju ( λ ) untuk sembarang titik

pada mata pisau tersebut adalah t

ii V

rωλ = , irω = kecepatan tangensial titik i,

sehingga λ

ωRVt = , λωω

λRri

i = atau i

irRλλ

= . Oleh karena itu apabila 1=iλ maka

ti Vr =ω dan rRri ==λ

yang merupakan radius dari centrode yang bergerak dan

memiliki jalur gerakan berbentuk sikloid.

Pemotongan miring mengunakan bajak piring yang diputar memiliki jalur

gerakan yang lebih komplek dibandingkan dengan pemotongan lurus sebagaimana

diuraikan di atas. Dalam hal ini akan ditinjau gerakan sebuah titik M yang terdapat

pada mata bajak piring yang memiliki sudut kemiringan yang terbentuk antara

Page 15: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

22

poros bajak piring dan jalur gerakan liniernya (βy) dalam sebuah sistem spasial

dari koordinat XYZ (Gambar 17a). Pada awalnya titik M terletak pada sumbu Y,

kemudian setelah piringan tersebut diputar beberapa saat titik M tersebut berubah

posisinya menjadi M1.

Gambar 17 Bajak piring dalam sistem koordinat tiga dimensi (a), bidang XOY (b),

dan bidang YOZ (c) (Yatsuk et al. 1981). Koordinat titik M1 dapat ditentukan menggunakan penampang elips yang

merupakan tampak atas (bidang XOY) dari bajak piring (Gambar 17b). Sudut

kemiringan bajak piring (βy) terbentuk antara poros dan arah gerakan linier (OZ),

sehingga koordinat titik M1 pada segitiga OMM1 secara matematis dapat

dituliskan sebagai brikut:

ϕcosRy = (6)

Absis x dapat ditentukan menggunakan persamaan kurva elips bidang XOY, yakni:

12

2

2

2

=+by

ax (7)

x dan y = koordinat titik M1

a = sumbu minor elips b = sumbu mayor elips

ϕ = sudut gerakan dari sebuah titik acuan pada mata bajak piring.

Dalam hal ini, a = R cos βy dan b = R, sehingga substitusi a, b, dan y ke

persamaan (7) menghasilkan persamaan sebagai berikut:

1)cos()cos( 2

2

2

2

=+R

RR

x

y

ϕβ

Page 16: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

23

2

2

2

2 )cos(1)cos( R

RR

x

y

ϕβ

−=

ϕβ

22

2

cos1)cos(

−=yR

x

ϕβ

22

2

sin)cos(

=yR

x

222 )cos(sin yRx βϕ=

ϕβ sincos yRx = (8)

Pada bidang ZOY titik M1 bergerak sepanjang elips (Gambar 17c), sehingga

persamaan elips untuk bidang tersebut adalah:

12

21

2

2

=+cz

by (9)

y dan z1 = koordinat titik M1

c = sumbu minor elips b = sumbu mayor elips Dalam kasus ini dan Rb = yRc βsin= , sehingga substitusi b, c, dan y ke

persamaan (9) menghasilkan persamaan sebagai berikut:

1)sin(

)()cos(2

21

2

2

=+yR

zR

ϕ

2

22

2

21 cos1

)sin()(

RR

Rz

y

ϕβ

−=

ϕβ

22

21 cos1

)sin(−=

yRz

ϕβ

22

21 sin

)sin(=

yRz

2221 )sin(sin yRz βϕ=

ϕβ sinsin1 yRz = (10)

Gerak translasi bajak piring ke arah z adalah z2 = Vt t. Jadi total koordinat z

untuk M1 adalah sebagai berikut:

tVRzzz ty +=+= ϕβ sinsin21 (11)

Page 17: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

24

Persamaan gerakan titik M1 pada mata bajak piring dalam sistem koordinat

tiga dimensi adalah:

ϕβ sincos yRx =

ϕcosRy = (12)

tVRz ty += ϕβ sinsin

Eleminasi waktu (t) pada persamaan (12) digunakan untuk menggambarkan kurva

gerakan sebuah titik pada mata bajak piring yang diputar dengan lintasan

berbentuk helicoid. Proses eliminasi t tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

tVRz ty += ϕβ sinsin ; tωϕ = , sehingga ωϕ

=t

602 nπω = ;

πω

260

=n

π2

60R

V

nr

= ; π2160

RVn r=

DVn r

π60

=

DV

Vn

Vn

VVtVr

ttttt

ππ

ϕπ

ϕπϕ

ωϕ

602

602

60

602 ====

r

t

r

tt V

RVV

DVtV ϕπ

ϕπ==

60260

t

r

VV

=λ ; λ

rt

VV =

r

r

t V

RV

tV λϕ

= ; r

rt V

RVtV 1λϕ

=

λϕ RtV t =

Akhirnya, persamaan koordinat untuk gerakan titik M dinyatakan sebagai

berikut:

ϕβ sincos yRx =

ϕcosRy = (13)

λϕϕβ RRz y += sinsin

Page 18: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

25

Gambar 18 mengilustrasikan jalur gerakan dari sebuah titik yang terdapat

pada mata bajak piring yang diputar dengan hanya melibatkan satu sudut

kemiringan menggunakan persamaan (13). Pola jalur gerakan tersebut identik

dengan bentuk helik atau spiral sehingga proses pemotongannya dapat dikatakan

sebagai pemotongan spiral.

Gambar 18 Pola jalur gerakan dari sebuah titik pada mata bajak piring yang diputar atau disebut dengan pemotongan spiral (Yatsuk et al. 1981).

Sudut Gerakan Pisau

Umumnya mata pisau terdiri atas sisi depan (face) dan sisi belakang (back).

Sisi depan merupakan permukaan yang paling banyak bersentuhan dengan

material pada saat proses pemotongan, sedangkan sisi belakang merupakan sisi

yang membentuk clearance angle (ANC) atau sudut kelonggaran. Rake angle

(ANR) atau sudut pemotongan merupakan sudut pada bidang XZ, yang terbentuk

antara sisi depan mata pisau dan arah normal dari gerakan pisau (aksis Z). Sudut

kelonggaran (ANC) merupakan sudut pada bidang XZ, yang terbentuk antara sisi

belakang mata pisau dan arah negatif gerak maju pisau (aksis X negatif). Chip

angle (ANP) atau sudut pembentuk potongan merupakan sudut pada bidang XZ

yang terbentuk antara sisi depan mata pisau dan arah negatif gerakan pisau. Sudut

mata pisau (ANE) merupakan sudut yang terbentuk antara sisi depan dan sisi

belakang mata pisau. Gambar 19 memperlihatkan posisi dari keempat sudut

tersebut pada bidang XZ.

Page 19: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

26

Gambar 19 Sudut gerakan pisau pada saat pemotongan dalam bidang XZ.

ANR

ANC

Z

X

ANEANP

Bajak piring memiliki sudut pergerakan terhadap bidang XZ yang disebut tilt

angle (TA) yakni sudut kemiringan bajak terhadap aksis Z (Gambar 20a) dan sudut

kemiringan terhadap bidang XY atau disk angle (DA) yang merupakan sudut

kemiringan bajak piring terhadap arah gerak maju pemotongan (Gambar 20b).

Y

X

DA

Arah gerak maju

(b)

TA

Z

X

Ground (a)

Gambar 20 Tilt angle (TA) dari bajak piring pada bidang XZ (a) dan disk angle

(DA) bajak piring pada bidang XY (b).

Gaya pada Bajak Piring untuk Pengolahan Tanah

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengilustrasikan efek

resultan gaya pada bajak piring untuk pengolahan tanah adalah dengan

menyatakan komponen gaya longitudenal (L), lateral (S), vertikal (V), dan resultan

dari gaya gaya tersebut (Kepner et al. 1972). Gambar 21 menunjukkan komponen

gaya L dan S yang dikombinasikan menjadi resultan gaya horisontal (Rh),

sedangkan thrust (T) mempunyai arah paralel terhadap aksis bajak piring. Bajak

piring yang digunakan untuk mengilustrasikan gaya-gaya tersebut adalah bajak

Page 20: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

27

piring vertikal dengan diameter 24 in, kedalaman potong 8 in, lebar potong 6.75

in, kecepatan maju 3 mph, dan jenis tanah silt loam (lempung berdebu). Gaya-

gaya tersebut dinyatakan dalam satuan Pounds (lb).

Gambar 21 Resultan gaya horisontal (Rh), trust (T), dan V pada bajak piring (Kepner et al. 1972).

Gordon (1941) diacu dalam Kepner et al. (1972) mengungkapkan bahwa

disk angle dan tilt angle memiliki efek yang signifikan terhadap gaya longitudenal

atau draft (L), gaya vertikal (V), dan gaya lateral (S). Efek disk angle terhadap L

dan S untuk dua jenis tanah pada kecepatan maju 2.2 mph (mile per jam), tilt

angle 0o, lebar potong 7 in, dan kedalaman potong 6 in, menunjukkan bahwa pada

disk angle yang lebih besar, draft (L) cenderung meningkat dan draft minimum

terjadi pada disk angle 45o. Pada kondisi tersebut, gaya lateral (S) meningkat

hampir linier seiring dengan makin besarnya disk angle, terutama untuk jenis

tanah fine sandy loam (lempung berpasir halus), sedangkan untuk jenis tanah clay

loam (lempung liat) gaya lateral (S) hampir tidak mengalami kenaikan (Gambar

22a). Berikutnya pada kecepatan maju 3.6 mph dan tilt angle 15o, draft minimum

juga terjadi pada disk angle 45o namun untuk tanah clay loam nilai draft hampir

60% lebih tinggi dibandingkan dengan hasil uji pada kecepatan maju 2.2 mph dan

tilt angle 0o (Gambar 22b). Draft mengalami peningkatan pada disk angle yang

lebih besar dikarenakan gaya yang diperlukan untuk membalikkan atau melempar-

kan tanah juga lebih besar. Draft yang tinggi juga terjadi pada disk angle yang

lebih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh semakin besarnya luas permukaan

kontak antara dinding alur pembajakan (furrow wall) dan sisi belakang bajak

Page 21: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

28

piring. Selanjutnya pada kecepatan maju 3.6 mph, disk angle 45o, lebar potong 9

in, dan pada kisaran tilt angle dari 15o sampai 25o, draft (L) dan gaya vertikal (V)

mengalami peningkatan seiring dengan semakin besarnya tilt angle, sedangkan

gaya lateral (S) mengalami penurunan secara perlahan-lahan (Gambar 22c).

Gambar 22 Reaksi tanah versus disk angle dan tilt angle pada bajak piring

diameter 26 in dan radius bola 22.4 in (Gordon 1941, diacu dalam Kepner et al. 1972).

Budidaya Tebu Lahan Kering

Budidaya tebu dapat dilakukan pada dua jenis lahan, yakni lahan sawah atau

bekas sawah (sistem reynoso) dan lahan kering atau tegalan (rain fed system).

Terdapat beberapa perbedaan yang mendasar antara kedua cara budidaya tebu

tersebut. Pertama, pada cara reynoso, penyiapan lahan dimulai dengan penggalian

saluran-saluran, yakni setelah jerami bekas tanaman padi dibabat atau dibersihkan,

segera dimulai dengan memasang ajir-ajir untuk membuat saluran-saluran air

yang terdiri atas got keliling, got mujur, dan got malang (Lampiran 1). Alur tanam

(cemplongan) dengan kedalaman 40 cm dibuat di antara got-got malang tersebut.

Pada budidaya tebu lahan kering, alur tanam dikerjakan setelah tanah atau lahan

diolah terlebih dahulu dengan bajak. Dapat dikemukakan bahwa, pada cara

reynoso tanah yang digarap hanya di sekitar tempat yang akan ditanami tebu saja

yakni dalam cemplongan, sedangkan pada budidaya tebu lahan kering tanah

diolah secara keseluruhan. Kedua, penanaman bibit tebu cara reynoso dilakukan

Page 22: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

29

dalam paliran dengan kedalaman 5-7 cm yang dibuat di tengah-tengah

cemplongan. Selanjutnya, dalam paliran tersebut setek-setek tebu diletakkan

dengan jarak 35-50 cm bergantung pada kesuburan tanah dan varietas tebunya,

sedangkan di lahan kering penanaman tebu dilakukan di dalam coklak (juringan)

pada alur tanam, sehingga cara reynoso memiliki alur tanam yang lebih dalam

dibandingkan dengan cara di lahan kering (Gambar 23). Ketiga, budidaya tebu

sistem reynoso tidak banyak melibatkan mesin-mesin pertanian, hal tersebut

disebabkan pada sistem reynoso umumnya memiliki struktur tanah yang berat

karena bekas sawah, lahan yang sempit, dan banyak got malang sehingga lalu

lintas traktor sebagai sumber tenaga tarik pertanian banyak mengalami hambatan,

sebaliknya dengan struktur tanah yang lebih ringan, lahan yang lebih luas, dan

tidak terdapat got malang, maka penerapan alat dan mesin pertanian dapat dilaku-

kan secara penuh (fully mechanization) di lahan kering. Keempat, relevansinya

dengan produksi, cara reynoso memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan

dengan sistem budidaya tebu lahan kering. Hal tersebut dapat terlihat dari varietas

Ps 58 yang memiliki sifat bobot batang 0.51-0.53 kg per meter, banyak batang 66

000-83 000 per hektar, dan diameter batang 2.5-3.0 cm memberikan hasil tebu

sebesar 83.4-133.9 ton per ha, rendemen 9.20-11.78%, dan hasil hablur sebesar

7.70-15.80 ton per ha pada lahan sawah (cara reynoso), sedangkan pada lahan

kering, hasil tebunya hanya 57.6-87.2 ton per ha, rendemen 7.5-12.03%, dan hasil

hablurnya hanya mencapai 5.6-8.10 ton per ha (Rajagukguk 1994). Cara reynoso

memberikan hasil tebu yang lebih baik dikarenakan pada cara budidaya tersebut

kebutuhan air untuk tanaman tebu dapat terpenuhi, di samping hal tersebut lahan

sawah di Indonesia cenderung memiliki tingkat kesuburan yang lebih baik jika

dibandingkan dengan lahan tegalan atau lahan kering.

(a) (b)

Paliran

Coklak

CemplonganGuludan

Guludan

Gambar 23 Potongan melintang untuk alur tanam cara reynoso (a) dan alur tanam untuk lahan kering (b).

Page 23: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

30

Kegiatan budidaya tebu lahan kering secara umum meliputi pengolahan

tanah, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pengeprasan.

Pengolahan tanah merupakan bagian dari rangkaian kegiatan budidaya tebu

yang bertujuan menciptakan kondisi tanah yang baik sebagai media tumbuh

tanaman tebu. Kepner et al. (1972) mengemukakan bahwa pengolahan tanah me-

rupakan tindakan manipulasi mekanis terhadap tanah untuk memperbaiki struktur

tanah yang diinginkan bagi pertumbuhan tanaman. Menurut Bakker (1999)

pengolahan tanah untuk budidaya tebu lahan kering meliputi (1) pengolahan tanah

dalam (subsoiling) dengan kedalaman olah sebesar 30-50 cm, (2) pembajakan

(plowing) yang bertujuan untuk menghancurkan bongkahan tanah, memindahkan

sisa-sisa tanaman, dan meratakan tanah, (3) Penggaruan (harrowing) untuk

mencampur dan melonggarkan tanah pada kedalaman olah sekitar 20 cm, dan (4)

pembuatan alur tanam (furrowing) sebagai tempat potongan bibit tebu yang akan

ditanam dengan jarak antar alur antara 90 dan 150 cm.

Penanaman bibit tebu di lahan kering dilakukan di dalam coklak atau

juringan pada alur tanam. Fauconnier (1993) mengemukakan bahwa penanaman

tebu dapat dilakukan dengan cara meletakkan secara horisontal batang tebu yang

memiliki mata atau pucuk tunas yang sehat di atas permukaan tanah kemudian

ditutup dengan tanah (Lampiran 2). Siklus pertumbuhan tebu yang dimulai dari

pertunasan atau perkecambahan (sprouting or germination), perkembangan

anakan tunas (tillering), pertumbuhan batang tebu (plant growth), pembungaan

(flowering), pemasakan dan lewat masak (crop maturity and over maturity),

pemanenan (harvesting), dan pertumbuhan kembali (regrowth).

Pemeliharaan tanaman tebu meliputi kegiatan penyulaman, pengairan,

penyiangan, pembumbunan, pemupukan, pembuangan daun yang sudah tua, dan

pemberantasan hama dan penyakit (Adisewojo 1989). Ketersediaan air bagi

tanaman tebu lahan kering sangat bergantung pada curah hujan, sehingga iklim

setempat terutama jumlah dan sebaran hujan sangat besar pengaruhnya terhadap

produktivitas tebu yang dihasilkan. Sehubungan dengan kondisi tersebut, masalah

penting yang perlu diperhatikan dalam budidaya tebu di lahan kering adalah

ketepatan dalam penentuan jadwal tanam (Ismail et al. 1990).

Pemanenan atau penebangan tebu merupakan kegiatan yang dilakukan

untuk memungut hasil melalui pemotongan batang tebu pada bagian pangkalnya.

Page 24: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

31

Penebangan umumnya dilakukan secara manual menggunakan alat potong berupa

sabit atau golok. Daun-daun yang kering atau klaras yang terdapat pada batang

tebu dibersihkan terlebih dahulu, kemudian batang tebu tersebut dipotong pada

bagian pangkalnya. Selanjutnya pucuk batang tebu tersebut dipotong, kemudian

batang tebu yang telah dibersihkan tersebut ditumpuk pada satu barisan.

Pengeprasan merupakan pemotongan sisa-sisa tunggul tebu setelah pe-

nebangan dengan tinggi pemotongan pada posisi rata atau lebih rendah terhadap

permukaan guludan. Saat ini pengeprasan tebu masih dilakukan secara manual

menggunakan peralatan yang cukup sederhana berupa cangkul. Masalah yang

timbul berkaitan dengan pengeprasan secara manual adalah ketersediaan tenaga

kerja baik dari aspek kuantitas maupun kualitasnya. Sutjahjo dan Kuntohartono

(1994) mengemukakan bahwa tenaga kerja yang tersedia untuk mengelola lahan

tebu hanya tinggal sepertiga dari jumlah tenaga kerja pada masa sebelum tahun

1975. Hal lain yang perlu dipikirkan dalam kaitannya dengan pengeprasan manual

adalah masalah kualitas hasil keprasan. Pengeprasan yang baik seharusnya

menghasilkan tunggul tebu yang tidak pecah, sistem perakaran tebu tidak tercabut

dari tanah, dan memiliki kedalaman potong yang seragam sehingga tunas tebu

keprasan dapat tumbuh dengan baik.

Sistem Pertunasan Tebu

Umumnya, tebu berkembang biak secara vegetatif, yakni dengan cara per-

tunasan. Pertumbuhan dimulai dari perkembangan akar pada bagian pita akar

(root band) yang terdapat pada potongan batang atau bibit tebu (original cuting)

yang telah ditanam. Selanjutnya, tunas pertama (primary shoot) yang diikuti

dengan tunas kedua (secondary shoot) tumbuh dari mata tunas (eye or bud) yang

terdapat pada bibit tebu tersebut, sedangkan akar-akar tunas berkembang pada

bagian pita akar yang terdapat pada tunas pertama dan tunas kedua (Gambar 24).

Cadangan makanan untuk tunas-tunas baru tersebut pada awalnya disuplai oleh

sistem perakaran bibit tebu, sehingga pertunasan tebu bergantung pada sistem

perakaran dari bibit tersebut selama 3-6 minggu atau sampai seberapa lama akar-

akar baru pada tunas dapat mencukupi kebutuhan air, oksigen, dan nutrisi yang

diperlukan (Humbert 1968).

Page 25: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

32

Root band

Shoot roots

Secondary shoot

Root from original cutting

Secondary shoot

Primary shoot

Original cutting

Gambar 24 Tunas tebu yang tumbuh dari mata tunas bibit tebu dan akar tunas baru berkembang dari pita akar (Humbert 1968).

Pangkal dari batang tebu yang terdapat di bawah permukaan tanah (ground

level) memiliki ruas batang yang semakin pendek dan meruncing dengan cepat

(Gambar 25). Mata tunas yang terdapat pada pangkal batang pertama (primary

stalk) tumbuh menjadi batang kedua (secondary stalk) dan mata tunas pada

pangkal batang kedua berkembang menjadi batang ketiga (tertiary stalk).

Pertumbuhan tersebut berlangsung secara berurutan, terus-menerus, dan memiliki

posisi selang-seling sesuai dengan posisi mata tunas pada pangkal batang tebu.

Gambar 25 Urutan pertumbuhan batang tebu dari potongan tebu yang terdapat di bawah permukaan tanah (Humbert 1968).

Point of attachement to original cutting

Ground level Tertiary stalk

Secondary stalk

Primary stalk

Batang tebu yang masih tersisa di bawah permukaan tanah setelah

penebangan dapat tumbuh kembali sebagai tebu keprasan. Cadangan makanan

untuk tunas-tunas baru dari tebu keprasan tersebut pada awalnya disuplai oleh

Page 26: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

33

sistem perakaran tebu sebelumya. Setelah tunas-tunas tersebut tumbuh menjadi

batang tebu yang memiliki sistem perakaran sendiri, maka fungsi akar lama

diambil alih oleh sistem perakaran tebu yang baru. Akar-akar lama tersebut

kemudian berubah warnanya menjadi gelap (kehitam-hitaman) dan tidak efektif

lagi dalam melakukan suplai makanan, sehingga akar-akar tersebut akhirnya mati

dan terurai dalam tanah.

Struktur dan Kekerasan Batang Tebu

Batang tebu memiliki bentuk silindris dan terdiri atas beberapa bagian

(Gambar 26). Bagian-bagian tersebut diantaranya adalah mata tunas (eye or bud),

buku (node), ruas tebu (internode), pita lilin (wax band), dan pita akar (root

band). Pita akar merupakan bagian yang paling keras dari satu ruas tebu yang

masak, sedangkan bagian pertengahan ruas memiliki tingkat kekerasan yang

kedua (Hutasoit 1978). Pada tebu jenis Uba (tebu keras), semakin kecil diameter

tebu maka tebu tersebut semakin keras, sedangkan kekerasan tebu yang ditanam

di kebun tanpa irigasi naik sekitar 20.39% dibandingkan dengan tebu yang

ditanam di kebun yang beririgasi (Hutasoit 1978). Kerasnya batang tebu yang

ditanam di lahan yang tidak beririgasi disebabkan oleh kurangnya suplai air untuk

proses pertumbuhan tebu, hal tersebut mengakibatkan struktur sel pada batang

tebu tersebut memiliki sifat yang lebih keras jika dibandingkan dengan struktur sel

batang tebu yang kebutuhan airnya dapat terpenuhi dengan baik.

Gambar 26 Bentuk dan bagian-bagian batang tebu (Humbert 1968).

Page 27: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

34

Pemotongan sebuah batang tanaman dapat menghasilkan permukaan potong

berbentuk penampang batang sesuai dengan arah pemotongan. Struktur batang

dapat dilihat melalui analisis penampang batang tersebut. Menurut Persson (1987)

untuk penyederhanaan karakterisasi dari sebuah pemotongan atau penentuan

kekuatan, terdapat empat komponen utama dalam penampang batang tanaman

yang harus diperhatikan yakni serat (fibers), kulit (skin), sel-sel halus (soft cells),

dan rongga (cavity). Gambar 27 memperlihatkan skema dari penampang batang

timothy beserta bagian-bagian utama yang terdapat pada penampang batang

tanaman tersebut.

collenchyma

Gambar 27 Skema dari penampang batang tanaman (Persson 1987).

Terdapat tiga jenis dasar sel dalam batang tanaman, yakni parenkim

(parenchyma cells), colenkim (collenchyma cells), dan sklerenkim (sclerenchyma

cells). Parenkim merupakan sel dengan protoplasma aktif (sel hidup) untuk

fotosintesis atau penyimpanan yang memiliki sifat berdinding tipis. Colenkim

merupakan sel dengan protoplasma aktif dan berfungsi mendukung sel parenkim.

Sel tersebut memiliki dinding yang lebih kuat dibandingkan dengan parenkim,

tetapi bersifat elastis dan tidak keras. Sklerenkim merupakan sel tanpa

protoplasma tetapi lebih kuat, berdinding kaku, dan berserat.

Penampang melintang dari berkas pembuluh batang tebu (Gambar 28)

mengilustrasikan bahwa nira yang banyak mengandung gula terdapat dalam

bagian vacuole (S) yakni merupakan kandungan utama dari parenkim (P) yang

berdinding tipis atau sebagai jaringan dasar yang paling banyak mengandung air

dalam tebu. Ikatan pembuluh kayu (D) merupakan saluran air dari tanah yang

hampir tidak mengandung gula (Hutasoit 1978).

Page 28: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

35

Keterangan: P = parenchyma, S = vacuole, D = xylem (pembuluh kayu), T = phloem (pembuluh tapis)

Gambar 28 Penampang melintang dari berkas pembuluh pengangkutan batang tebu yang diperbesar (Hutasoit 1978).

Bagian yang sejajar dengan saluran air tersebut adalah saluran pembuluh

tapis (T) yang berbentuk seperti saringan dan berfungsi untuk menyalurkan

fotosintat dari daun ke batang tebu. Hutasoit (1978) mengemukakan bahwa

dinding sel parenkim dan ikatan pembuluh kayu memiliki kandungan selulosa

sekitar 50% dan lignin sebesar 25%.

Buzacott (1940) diacu dalam Hutasoit (1978) mengemukakan bahwa

kekerasan tebu dipengaruhi oleh dua faktor, yakni banyaknya ikatan pembuluh

kayu dalam batang tebu dan banyaknya sklerenkim yang mengelilingi pembuluh

pengangkutan. Gambar 29 memperlihatkan bahwa tebu yang keras (jenis Q-2)

memiliki sklerenkim dan parenkim dengan dinding yang lebih tebal dibandingkan

dengan tebu lunak (jenis Badila). Dinding yang tebal pada sel tersebut

mengakibatkan kandungan lignin sebagai pengikat serat semakin meningkat,

sehingga ikatan dinding sel semakin kuat. Sehubungan dengan hal tersebut jenis

dan varietas tebu berpengaruh terhadap kekerasan batang tebu, sehingga besarnya

gaya pemotongan yang dibutuhkan juga tidak sama.

Page 29: Tinjauan Pustaka_2007lis1-3

36

(a) Badila (b) Q-2

DC

A

C

D

A

BB

Keterangan: A = epidermis, B = sclerenchyma, C = parenchyma, D= vascular bundle (ikatan pembuluh pengangkutan)

Gambar 29 Penampang melintang batang tebu bagian tepi untuk jenis lunak (a) dan jenis keras (b) yang dibesarkan 70 kali (Hutasoit 1978).

Penelitian Hutasoit (1978) menunjukkan bahwa varietas Bz 134 memiliki

kekerasan yang relatif tinggi dibandingkan dengan lima varietas uji lainnya yakni

Ps 41, Ps 30, POJ 3016, POJ 3067, dan Bz 62. Varietas Bz 134 tersebut memiliki

kekerasan 6.9 kg cm-2 atau setara dengan 676 200 N m-2.