Tinjauan Pustaka_2007lis1-3
-
Upload
laily-mutmainnah -
Category
Documents
-
view
39 -
download
2
Transcript of Tinjauan Pustaka_2007lis1-3
8
TINJAUAN PUSTAKA
Batasan Pemotongan dan Pengeprasan Tebu
Pemotongan didefinisikan sebagai proses pemisahan secara mekanik dari
sebuah benda padat sepanjang garis pemotongan menggunakan alat pemotong
berupa mata pisau (Persson 1987). Ditinjau dari jenis alat potong (cutting device)
yang digunakan dalam pemotongan atau prosedur pemotongannya terdapat
beberapa istilah lain untuk pemotongan. Istilah tersebut antara lain adalah
mencacah (chopping), memangkas (mowing), menggergaji (sawing), membelah
(splitting), mengiris, (slicing), dan chipping.
Pengeprasan tebu merupakan pemotongan sisa-sisa tunggul tebu setelah
penebangan yang dilakukan pada posisi tepat atau lebih rendah dari permukaan
guludan (Koswara 1989). Pengeprasan tersebut dapat dilakukan secara manual
maupun mekanis. Alat potong yang digunakan dalam pengeprasan manual
umumnya berupa cangkul, sedangkan untuk pengeprasan mekanis digunakan alat
potong jenis rotari (stubble shaver) yang digerakkan oleh traktor. Tanaman
keprasan merupakan tanaman tebu yang tumbuh kembali dari jaringan batang
yang masih tertinggal di dalam tanah setelah tebu ditebang (Barnes 1964).
Pengeprasan tebu bertujuan (1) mengkondisikan agar tunas tanaman keprasan
tumbuh dari mata tunas batang tebu yang terdapat di bawah permukaan tanah, (2)
membersihkan gulma yang tumbuh pada guludan, (3) meratakan dan merapikan
permukaan guludan, dan (4) mempersiapkan agar tanaman tebu keprasan dapat
tumbuh dengan baik (Humbert 1968).
Metode Pemotongan Bahan Pertanian
Terdapat empat metode pemotongan yang umum digunakan untuk bahan-
bahan pertanian (Sitkei 1986). Pertama, counter moving blade (kedua bilah pisau
potong bergerak berlawanan arah). Metode pemotongan tersebut sama halnya
dengan menggunting (Gambar 2a), sehingga hasil potongannya memiliki
permukaan yang lebih rata dan halus. Metode tersebut lebih cocok digunakan
untuk pemotongan material yang memiliki ketebalan relatif rendah, misalnya
untuk pemangkasan rumput. Kedua, resting and moving blade (satu bilah pisau
diam dan satu bilah pisau yang lain bergerak). Material yang dipotong didukung
9
(supported) oleh bilah pisau yang diam, sedangkan bilah pisau yang satunya
bergerak untuk melakukan penetrasi pada material yang dipotong (Gambar 2b).
Pemotongan yang mengikuti metode tersebut adalah pemotongan rumput
menggunakan alat potong tipe reel dan pemanen padi menggunakan cutterbar.
Ketiga, Pemotongan tipis atau mengiris (Gambar 2c). Metode tersebut umumnya
digunakan untuk memotong sebagian kecil atau lapisan tipis dari permukaan
sebuah material, misalnya: pemotongan pada bagian atas sugar beet, pengupasan
buah, dan perajangan tembakau. Keempat, free cutting (pemotongan secara
impak). Pemotongan dilakukan menggunakan gaya pukul yang tinggi sehingga
kecepatan pisau merupakan parameter yang sangat penting. Metode pemotongan
tersebut (Gambar 2d) umumnya digunakan untuk pemotongan rumput dengan
menggunakan alat potong tipe rotari. Pemotongan dengan cara impak tersebut
cenderung memberikan hasil potongan yang pecah, terlebih apabila pisau yang
digunakan memiliki ketajaman yang rendah.
(b) (c) (d) (a)
Gambar 2 Beberapa metode pemotongan bahan pertanian (Sitkei 1986).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gaya, Energi, dan Daya Pemotongan
Gaya pemotongan merupakan gaya luar yang harus diberikan oleh pisau
kepada material agar bahan tersebut dapat terpotong (Persson 1987). Selanjutnya,
gaya pemotongan juga didefinisikan sebagai hasil perkalian antara tegangan
(stresses) yang terjadi pada material saat mata pisau melakukan pemotongan dan
luas pada bagian atau lokasi tegangan tersebut terjadi, sedangkan gaya pemo-
tongan spesifik merupakan gaya pemotongan aktual per lebar atau luas material
yang dipotong. Gaya pemotongan tersebut mencakup (1) gaya yang diperlukan
10
untuk menggerakkan pisau, (2) gaya gesek antara material dan pisau, dan (3) gaya
untuk mengatasi tahanan potong dari material.
Pengukuran gaya pemotongan dari alat potong yang bergerak putar sangat
sulit dilakukan, sehingga pengukuran dilakukan terhadap torsi pemotongan pada
poros pisau (Lisyanto 2002). Torsi pemotongan merupakan hasil kali antara gaya
yang diperlukan oleh mata pisau untuk melakukan pemotongan dan jari-jari atau
radius putaran mata pisau. Selanjutnya, parameter torsi pemotongan tersebut dapat
digunakan untuk menentukan besarnya gaya dan daya pemotongan. Suharyatun
(2002) mengungkapkan bahwa besarnya torsi untuk pemotongan rumput menggu-
nakan pisau jenis rotari dipengaruhi oleh jari-jari pemotongan, kecepatan maju,
kecepatan putar, jumlah pisau, sudut pemasangan pisau, diameter batang rumput,
dan gaya spesififik pemotongan rumput. Suastawa et al. (2003) menyimpulkan
bahwa, torsi terendah untuk pemotongan rumput menggunakan pisau jenis rotari
sebesar 0.073 N m yang terjadi pada selang kecepatan putar 2800 rpm dengan
model pisau bercoak pada kemiringan 15o.
Menurut Persson (1987) beberapa faktor yang mempengaruhi gaya, energi,
dan daya pemotongan meliputi (1) faktor utama yakni kecepatan maju alat dan
kapasitas pemotongan, (2) faktor tanaman yaitu kadar air, umur tanaman atau
tingkat kematangan, dan spesies tanaman, (3) metode pengoperasian terdiri atas
ketebalan pemotongan, penetrasi awal pisau (precompression), dan kecepatan
potong pisau, (4) faktor perancangan yang meliputi lebar pemotongan, sudut mata
pisau, ketajaman pisau, jenis mata pisau, sudut kemiringan pisau, sudut potong
pisau, sudut kelonggaran, dan pisau penahan (countershear), dan (5) interaksi
antara ke empat faktor tersebut.
Efek Kecepatan Maju dan Kapasitas Pemotongan
Salah satu faktor penting yang sangat mempengaruhi daya total pemotongan
pada alat pemotong rumput jenis rotari (rotary mower) adalah kecepatan maju
pada saat pemotongaan (VLF). Gambar 3 menunjukkan bahwa daya total
pemotongan (POD) tersebut ditentukan dari beberapa pubah yang berpengaruh
terhadap daya pemotongan yakni (1) daya spesifik untuk mengatasi pergerakan
udara dalam rotor dan gesekan internal yang terjadi pada rotor (POLS 1,1), (2)
daya untuk mengatasi gesekan antara rotor dan stubble atau sisa-sisa pemotongan
11
(POLS 1,2), dan (3) daya untuk pemotongan (POC) dibagi dengan efisiensi dalam
pemotongan (EFC). Gambar 3 juga dapat ditafsirkan bahwa daya total
pemotongan (POD) untuk mesin pemotong rumput tipe rotari (rotary mower)
semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kecepatan maju pada saat
pemotongan (VLF).
Gambar 3 Plot hubungan antara daya total pemotongan (POD) dan kecepatan
maju pemotongan (VLF) untuk rotary mower (Persson 1987). Tuck (1976, 1977, 1978) diacu dalam Persson (1987) menyatakan ekspresi
matematis yang menghubungkan sejumlah parameter untuk menentukan POD
pada rotary mower sebagai berikut:
( )( )[ ]VLFEFCENCSAEPOLSPOLSLWDPOD /2,11,1/ ++= (1)
POD = daya total pemotongan untuk alat pemotong rumput tipe rotari (kW)
LWD = lebar dari alat potong (m)
POLS1,1 = daya untuk mengatasi pergerakan udara dalam rotor dan gesekan internal yang terjadi pada rotor (kW m-1)
POLS1,2 = daya untuk mengatasi gesekan antara rotor dan stubble atau sisa-sisa pemotongan (kW m-1)
ENCSAE = energi pemotongan spesifik per unit area (kJ m-2)
EFC = efisiensi pemotongan
VLF = kecepatan maju pemotongan (m s-1)
Pada alat pemanen pakan ternak (forage harvester) faktor utama yang
mempengaruhi daya total pemotongan (POD) adalah kapasitas pemotongan
(MAT). Gambar 4 memperlihatkan sebaran daya (power distribution) untuk alat
pemanen pakan ternak (forage harvester) yang memiliki pola peningkatan
cenderung linier seiring dengan meningkatnya kapasistas pemotongan.
12
E = daya total pemottongan dari forageharvester termasuk untuk mengangkutdan mekanismenya.
D = daya tambahan untuk melawan per-gerakan udara dalam harvester
C = daya tambahan untuk mengatasi ge-sekan bahan yang dicacah dandudukannya
B = daya tambahan untuk mendorong ataumemindahkan material
A = daya untuk pemotongan Keterangan:
Gambar 4 Distribusi daya pemotongan (PO) pada alat pemanen pakan ternak versus kapasitas pemotongan untuk alfalfa dengan kadar air 74%, jenis pisau flywheel, dan kecepatan pisau 34.6 m s-1 (Persson 1987).
Kurva E yang menyatakan daya total pemotongan untuk forage harvester
(Gambar 4) secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
( )( )[ MATWETENCSWPOLPOD += 1 ] (2)
POD = daya total pemotongan untuk forage harvester (kW)
POL1 = konstanta daya untuk flywheel harvester sebesar 3 kW
MATWET = kapasitas pemotongan dalam bobot basah (kg s-1)
ENCSW = energi pemotongan spesifik berdasarkan bobot basah material yakni sebesar 3.6 kJ kg-1.
Efek Kadar Air dan Umur Tanaman
Percobaan laboratorium yang dilakukan Chancellor (1957) diacu dalam
Persson (1987) memperlihatkan bahwa pada pemotongan batang timothy, kadar
air (MC) tidak berpengaruh secara linier terhadap gaya pemotongan spesifik
maksimum (FOCSMX). Pada kadar air hampir mencapai 40%, gaya pemotongan
spesifik justru mengalami sedikit penurunan seiring dengan semakin tingginya
kadar air dalam material (Gambar 5 garis a). Energi pemotongan spesifik per unit
beban material (ENCSM) yang dihitung pada basis bobot kering cenderung
mengalami sedikit peningkatan seiring dengan semakin meningkatnya kadar air
pada saat pemotongan (Gambar 5 garis b). Sebaliknya, energi pemotongan
spesifik per unit beban material (ENCSM) yang dihitung pada basis bobot basah
memiliki pola penurunan yang cenderung linier seiring dengan semakin tingginya
kadar air saat pemotongan (Gambar 5 garis c).
13
c
b
a
Keterangan: a = gaya pemotongan spesifik
maksimum (FOCSMX ) b = energi pemotongan spesifik
per unit beban material (ENCSM) dihitung pada basis bobot kering
c = energi pemotongan spesifik per unit beban material (ENCSM) dihitung pada basis bobot basah
MC= kadar air pada basis basah
Gambar 5 Gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) dan energi pemotongan spesifik per unit beban material (ENCSM) versus kadar air (Chancellor 1957, diacu dalam Persson 1987).
Besarnya energi pemotongan untuk bahan pertanian juga dipengaruhi oleh
umur atau tingkat ketuaan tanaman. Tanaman yang lebih tua membutuhkan energi
pemotongan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang lebih muda.
Prince et al. (1958) melaporkan bahwa energi yang diperlukan untuk memotong
batang alfalfa berdiameter 3.2 mm pada umur 28 hari mencapai 0.013 J, umur 36
hari sebesar 0.027 J, dan berumur 55 hari sebesar 0.034 J.
Efek Kecepatan Potong Pisau
Berge (1951) mengungkapkan bahwa energi pemotongan meningkat secara
linier pada selang kecepatan potong pisau antara 20 dan 50 m s-1. Pada kisaran
kecepatan potong yang rendah, peningkatan kecepatan potong pisau tidak memi-
liki efek yang signifikan terhadap peningkatan energi pemotongan. Chancellor
(1957) diacu dalam Persson (1987) mengungkapkan bahwa peningkatan kece-
patan potong pada mower dengan kisaran kecepatan antara 1.75 dan 5.2 m s-1
hanya memiliki efek yang relatif kecil terhadap peningkatan energi pemotongan
untuk pemotongan batang timothy berkadar air 54%. Penelitian yang dilakukan
oleh Blevins dan Hansen (1956) juga mengungkapkan bahwa kecepatan potong
pisau yang relatif rendah hampir tidak memiliki efek terhadap energi pemotongan
untuk alat pemanen pakan ternak (forage harvester).
14
Efek Sudut Mata Pisau dan Ketajaman Pisau
Ketajaman (sharpness) dan keruncingan (fineness) merupakan dua sifat
yang berbeda pada sebuah mata pisau. Pisau dikatakan tajam (sharp) apabila pisau
tersebut memiliki radius dan ketebalan mata pisau yang kecil, sedangkan
dikatakan runcing (fine) apabila pisau tersebut memiliki sudut mata pisau yang
kecil (Gambar 6). Kebalikan dari ketajaman adalah ketumpulan (dullness),
sedangkan kebalikan dari keruncingan disebut tidak runcing (bluntness).
(a) (b) Gambar 6 Mata pisau yang tajam dan tumpul (a) runcing dan tidak runcing (b).
Sudut mata pisau memiliki efek yang signifikan terhadap gaya pemotongan
spesifik maksimum. Pisau yang memiliki sudut mata pisau yang kecil (fine)
membutuhkan gaya pemotongan spesifik maksimum yang relatif rendah.
Penelitian Chancellor (1957) diacu dalam Persson (1987) pada pemotongan
timothy dengan kadar air 20%, lebar pemotongan 7.9 mm, dan mata pisau yang
digunakan bersifat tajam, sedangkan mata bilah pisau penahan (countershear)
tidak runcing (blunt) menunjukkan bahwa gaya pemotongan spesifik maksimum
(FOCSMX) cenderung meningkat seiring dengan semakin besarnya sudut mata
pisau (ANE). Gaya pemotongan spesifik maksimum memiliki nilai yang relatif
rendah pada sudut mata pisau antara 20o dan 30o (Gambar 7). Diduga hal tersebut
disebabkan oleh faktor sudut mata pisau yang berpengaruh terhadap luas
permukaan kontak antara penampang mata pisau dan material yang dipotong.
Sudut mata pisau yang kecil (fine) menghasilkan penampang mata pisau yang
kecil sehingga gaya yang diperlukan untuk penetrasi pisau ke material yang
dipotong juga relatif rendah.
Ketajaman pisau merupakan salah satu faktor penting dalam pemotongan
material. Ketajaman memiliki efek yang signifikan terhadap gaya pemotongan,
semakin tajam pisau yang digunakan maka gaya pemotongan yang diperlukan
tajam (sharp) runcing (fine)
tumpul (dull)
ketebalan radius sudut mata pisau
tidak runcing (blunt)
15
juga semakin rendah. Penelitian Chancellor (1957) diacu dalam Persson (1987)
mengenai efek ketebalan mata pisau (ketajaman) terhadap gaya pemotongan
spesifik maksimum untuk pemotongan timothy pada kadar air 54% menggunakan
mower dengan kisaran kecepatan potong antara 1.75 dan 5.2 m s-1 menunjukkan
bahwa gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) terendah terjadi pada
ketebalan mata pisau (LTE) mencapai 0.15 mm, sedangkan pada LTE yang
melebihi 0.15 mm gaya pemotongan terus meningkat (Gambar 8).
0
10
20
30
40
50
60
0 10 20 30 40 50 60 70 80ANE (derajad)
FOCS
MX
(N/m
m) MAAE = 4.86 mg mm-2
LTS = 3.40 mm
MAAE = 2.43 mg mm-2
LTS = 1.70 mm
MAAE = bobot material per unit luas countershear (mg mm-2) LTS = ketebalan lapisan solid material yang terletak antara pisau dan countershear (mm)
Gambar 7 Efek sudut mata pisau (ANE) terhadap gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) pada dua ketebalan potong yang berbeda (Chancellor 1957, diacu dalam Persson 1987).
Garis 400 MPa merupakanyield stress material baja.
Sudut kemiringan pisau(ANO) = 0o
Lebar pemotongan (LWC)material sebesar 7.9 mm.
Keterangan:
Sudut mata pisau (ANE)yang digunakan sebesar 25o.
Gambar 8 Efek ketebalan mata pisau (LTE) atau ketajaman terhadap gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) pada dua ketebalan potong yang berbeda (Chancellor 1957, diacu dalam Persson 1987).
16
Efek Sudut Kemiringan Pisau
Terdapat dua metode pemotongan yang umum digunakan ditinjau dari
posisi garis mata pisau terhadap arah gerak maju pisau saat pemotongan, yakni
pemotongan lurus dan pemotongan miring (Gambar 9). Disebut pemotongan lurus
karena pemotongan dilakukan dengan cara memposisikan garis mata pisau tegak
lurus terhadap arah gerak maju atau sering disebut dengan pemotongan tanpa
sudut kemiringan pisau (Gambar 9a), sedangkan dikatakan pemotongan miring
karena pemotongan dilakukan dengan cara memposisikan garis mata pisau tidak
tegak lurus (membentuk sudut kemiringan) terhadap arah gerak maju pisau
(Gambar 9b).
Y Y
mat
eria
l
pisa
u
SLK
LTC
X
(a) (b)
FOC
LWC
FOC
dY
Y
LWC
ANO
X
SLK = posisi atau koordinat garis mata pisau saat pisau bergerak maju dalam pemotongan LTC = ketebalan aktual dari material yang dipotong (mm) LWC = lebar pemotongan (mm) ANO = sudut kemiringan pisau (derajad)
Gambar 9 Pemotongan lurus (a) dan pemotongan miring (b).
Apabila referensi sudut kemiringan pisau (ANO) mengikuti Gambar 9b,
yakni sudut 0o dimulai dari sumbu Y, maka salah satu upaya untuk menurunkan
gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) dapat dilakukan dengan cara
memperbesar sudut kemiringan pisau (ANO). Hal tersebut disebabkan semakin
besar ANO maka lebar pemotongannya semakin kecil, sehingga gaya pemotongan
yang dibutuhkan relatif rendah. Gambar 10 memperlihatkan bahwa pada
pemotongan timothy berkadar air rata-rata 43%, lebar pemotongan rata-rata 11.1
mm, dan tingkat ketebalan lapisan solid material (LTS) yang berbeda, FOCSMX
yang relatif rendah terjadi pada ANO sebesar 45o (Persson 1987).
17
0
50
100
150
200
0 10 20 30 40 50
ANO (derajad)
FOC
SM
X (N
/mm
)
MDS = densitas material solid = 1.45 mg mm-3
MAL= bobot material kering per unit panjang lapisan (g mm-1)
c : MAL = 0.0096 g mm-1 kemiringan (slope) garis regresi = –1.43 N/derajad
LTS = 1000 (MAL/LWC)/MDS
b : MAL = 0.0193 g mm-1 kemiringan (slope) garis regresi = –1.22 N/derajad
Keterangan: a : MAL = 0.0289 g mm-1
kemiringan (slope) garis regresi = –1.44 N/derajad
c
a
b
Gambar 10 Efek sudut kemiringan pisau (ANO) terhadap gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) pada tiga ketebalan lapisan solid (LTS) yang berbeda (Persson 1987).
Ahmad et al. (2000) mengungkapkan bahwa jenis pisau, sudut pemotongan,
dan tingkat kematangan memiliki pengaruh nyata terhadap gaya pemotongan
spesifik pelepah sawit. Gaya pemotongan spesifik terendah pada percobaan yang
menggunakan dua jenis pisau (claw cutter dan sickle cutter) tersebut tejadi pada
sudut potong 45o (S1), yakni 7.7 kg cm-2 pada sickle cutter dan 7.98 kg cm-2 untuk
claw cutter. Gambar 11 menunjukkan bahwa pada pelepah yang lebih muda (F3)
dan sudut pemotongan yang lebih kecil (S1=45o), kedua jenis pisau tersebut
menghasilkan gaya pemotongan spesifik yang relatif rendah. Gaya pemotongan
spesifik rata-rata yang dibutuhkan oleh kedua jenis pisau tersebut sebesar 9.36 kg
cm-2 untuk sickle cutter dan 14.4 kg cm-2 untuk claw cutter.
SPECIFIC CUTTING FORCE, FOSCA(CLAW)
0
5
10
15
20
25
F1 F2 F3
Frond Maturity
FOSC
A (k
g/cm
2 )
S3=90 S2=60 S1=45
(b)
SPECIFIC CUTTING FORCE, FOSCA (SICKLE)
02468
101214
F1 F2 F3
Frond Maturity
FOSC
A (k
g/cm
2 )
S3=90 S2=60 S1=45
(a)
Gambar 11 Gaya pemotongan spesifik dari pisau jenis sickle cutter (a) dan claw cutter (b) pada beberapa sudut pemotongan dan kematangan pelepah sawit (Ahmad et al. 2000).
18
Bajak Piring (Disk Plow)
Ditinjau dari posisi dudukannya, bajak piring dapat diklasifikasikan menjadi
dua jenis yakni (1) bajak piring standar dan (2) bajak piring vertikal. Bajak piring
standar terdiri atas beberapa piringan yang masing-masing piringan dipasang pada
satu dudukan yang didukung oleh bantalan kerucut dengan sudut kemiringan
piringan terhadap sumbu vertikal (tilt angle) dapat diatur dari 15o sampai 25o
melalui tilt adjustment yang terdapat pada batang pengikat piring (Gambar 12).
Menurut Kepner et al. (1972) bajak piring tersebut umumnya memiliki 3-6
piringan dengan spasi pemotongan antara 7 dan 12 inci, disk angle dari 42o
sampai 45o, dan diameter piringan antara 24 dan 28 inci. Pada saat beroperasi,
bajak piring tersebut dapat berputar akibat terjadi interaksi antara piringan dan
permukaan tanah. Berputarnya bajak piring tersebut diharapkan dapat mengurangi
besarnya gaya tarik (draft) dalam pengolahan tanah. Bajak piring umumnya di-
lengkapi dengan pengeruk (scraper) yang berfungsi untuk membantu dalam mem-
balikkan potongan tanah dan membersihkan tanah yang lengket pada piringan.
Gambar 12 Bajak piring standar dan bagian yang penting.
Piringan Baut pengikat
Mata bajak piring
Rangka bajak piring
Kepner et al. (1972) menyatakan bahwa bajak piring vertikal dapat disebut
juga dengan istilah one way disk (bajak piring satu jalur), disk tiller (pengolah
tanah tipe piring), harrow (garu), dan wheatland plow (bajak tanah perladangan).
Bajak piring tersebut terdiri atas sejumlah piringan yang dipasang pada sebuah po-
ros horisontal tanpa tilt angle. Disk angle dapat diperoleh dengan cara menggeser
poros tersebut terhadap arah gerak maju alat yang besarnya dari 35o sampai 55o,
akan tetapi umumnya digunakan antara 40o dan 45o (Gambar 13).
19
Arah gerak maju
DA
Gambar 13 Pandangan atas bajak piring vertikal dengan disk angle (DA).
Bentuk Bajak Piring dan Mata Piring
Cooper (1971) mengemukakan bahwa umumnya bajak piring memiliki
bentuk concave atau cekung (Gambar 14a), namun demikian ada juga bajak piring
yang berbentuk cone atau kerucut (Gambar 14b), sedangkan bentuk lain yang
relatif baru adalah bentuk convex center atau cembung di pusat (Gambar 14c).
Dari ketiga bentuk bajak piring tersebut, yang paling banyak digunakan untuk
pengolahan tanah adalah bajak piring bentuk cekung (concave). Hal tersebut
dikarenakan bajak piring bentuk cekung memiliki massa yang lebih besar
sehingga kemampuan untuk melakukan penetrasi ke dalam tanah juga lebih tinggi.
(a) (b)
(c)
Gambar 14 Bajak piring bentuk cekung (a), bentuk kerucut (b) dan bentuk
cembung di pusat (c) (Cooper 1971).
20
Ditinjau dari bentuk mata atau bagian tepinya, piring pengolah tanah dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yakni piring pengolah tanah dengan mata bentuk
rata (disk blade-plain) yang disebut dengan bajak piring (Gambar 15a) dan piring
pengolah tanah dengan mata bentuk coak (disk blade-notched) yang disebut
dengan garu piring (Gambar 15b). Bajak piring biasanya digunakan untuk
pengolahan tanah pertama, sedangkan garu piring untuk pengolahan tanah kedua.
(a) (b)
Gambar 15 Mata piring bentuk rata (a) dan bentuk bercoak (b).
Kinematika Bajak Piring yang Diputar
Gerakan bajak piring yang diputar pada prinsipnya hampir sama dengan
gerakan pisau dari mesin rotari yang memiliki pola gerakan yang komplek.
Gerakan tersebut terdiri atas gerakan putar pisau relatif terhadap poros dengan
kecepatan putar (Vn) dan kecepatan maju alat (Vt). Rasio kecepatan putar terhadap
kecepatan maju (λ) tersebut dapat dituliskan:
t
n
VV
=λ (3)
Pada nilai λ yang berbeda maka akan menghasilkan kurva gerakan yang
berbeda. Gambar 16 mengilustrasikan jika sebuah pisau berbentuk piringan
diputar pada kecepatan sudut (ω) dengan kecepatan maju (Vt), maka sebuah titik A
pada ujung mata pisau akan bergerak sepanjang kurva yang memiliki bentuk
trochoidal. Berikutnya apabila titik O yang merupakan pusat piringan dianggap
sebagai titik referensi, kemudian garis OO1 sebagai panjang jalur gerakan dari
pusat piringan dalam selang waktu (t) maka hal tersebut dapat dinyatakan dengan
Vtt. Selanjutnya pada periode yang sama mata pisau juga berputar sebesar ω,
panjang jalur gerakan melingkarnya dapat dituliskan dengan ωt sehingga titik A
berubah posisinya menjadi A1.
21
Gambar 16 Skema dalam menentukan jalur gerakan dari sebuah titik pada mata pisau rotari (Yatsuk et al. 1981).
Yatsuk et al. (1981) memberikan persamaan parametrik untuk koordinat
titik A1 sebagai berikut:
tRVtx ωcos+= dan tRy ωsin= (4)
Eleminasi waktu (t) pada persamaan (4) dapat digunakan untuk memperoleh
persamaan gerakan untuk titik A, yakni:
221sin yRRyV
x t −+= −
ω dengan R adalah jari-jari. sehingga persamaan
gerakan untuk sembarang titik pada mata pisau dapat dituliskan:
221sin iii
it yrryV
x −+= −
ω (5)
Rasio kecepatan putar terhadap kecepatan maju ( λ ) untuk sembarang titik
pada mata pisau tersebut adalah t
ii V
rωλ = , irω = kecepatan tangensial titik i,
sehingga λ
ωRVt = , λωω
λRri
i = atau i
irRλλ
= . Oleh karena itu apabila 1=iλ maka
ti Vr =ω dan rRri ==λ
yang merupakan radius dari centrode yang bergerak dan
memiliki jalur gerakan berbentuk sikloid.
Pemotongan miring mengunakan bajak piring yang diputar memiliki jalur
gerakan yang lebih komplek dibandingkan dengan pemotongan lurus sebagaimana
diuraikan di atas. Dalam hal ini akan ditinjau gerakan sebuah titik M yang terdapat
pada mata bajak piring yang memiliki sudut kemiringan yang terbentuk antara
22
poros bajak piring dan jalur gerakan liniernya (βy) dalam sebuah sistem spasial
dari koordinat XYZ (Gambar 17a). Pada awalnya titik M terletak pada sumbu Y,
kemudian setelah piringan tersebut diputar beberapa saat titik M tersebut berubah
posisinya menjadi M1.
Gambar 17 Bajak piring dalam sistem koordinat tiga dimensi (a), bidang XOY (b),
dan bidang YOZ (c) (Yatsuk et al. 1981). Koordinat titik M1 dapat ditentukan menggunakan penampang elips yang
merupakan tampak atas (bidang XOY) dari bajak piring (Gambar 17b). Sudut
kemiringan bajak piring (βy) terbentuk antara poros dan arah gerakan linier (OZ),
sehingga koordinat titik M1 pada segitiga OMM1 secara matematis dapat
dituliskan sebagai brikut:
ϕcosRy = (6)
Absis x dapat ditentukan menggunakan persamaan kurva elips bidang XOY, yakni:
12
2
2
2
=+by
ax (7)
x dan y = koordinat titik M1
a = sumbu minor elips b = sumbu mayor elips
ϕ = sudut gerakan dari sebuah titik acuan pada mata bajak piring.
Dalam hal ini, a = R cos βy dan b = R, sehingga substitusi a, b, dan y ke
persamaan (7) menghasilkan persamaan sebagai berikut:
1)cos()cos( 2
2
2
2
=+R
RR
x
y
ϕβ
23
2
2
2
2 )cos(1)cos( R
RR
x
y
ϕβ
−=
ϕβ
22
2
cos1)cos(
−=yR
x
ϕβ
22
2
sin)cos(
=yR
x
222 )cos(sin yRx βϕ=
ϕβ sincos yRx = (8)
Pada bidang ZOY titik M1 bergerak sepanjang elips (Gambar 17c), sehingga
persamaan elips untuk bidang tersebut adalah:
12
21
2
2
=+cz
by (9)
y dan z1 = koordinat titik M1
c = sumbu minor elips b = sumbu mayor elips Dalam kasus ini dan Rb = yRc βsin= , sehingga substitusi b, c, dan y ke
persamaan (9) menghasilkan persamaan sebagai berikut:
1)sin(
)()cos(2
21
2
2
=+yR
zR
Rβ
ϕ
2
22
2
21 cos1
)sin()(
RR
Rz
y
ϕβ
−=
ϕβ
22
21 cos1
)sin(−=
yRz
ϕβ
22
21 sin
)sin(=
yRz
2221 )sin(sin yRz βϕ=
ϕβ sinsin1 yRz = (10)
Gerak translasi bajak piring ke arah z adalah z2 = Vt t. Jadi total koordinat z
untuk M1 adalah sebagai berikut:
tVRzzz ty +=+= ϕβ sinsin21 (11)
24
Persamaan gerakan titik M1 pada mata bajak piring dalam sistem koordinat
tiga dimensi adalah:
ϕβ sincos yRx =
ϕcosRy = (12)
tVRz ty += ϕβ sinsin
Eleminasi waktu (t) pada persamaan (12) digunakan untuk menggambarkan kurva
gerakan sebuah titik pada mata bajak piring yang diputar dengan lintasan
berbentuk helicoid. Proses eliminasi t tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
tVRz ty += ϕβ sinsin ; tωϕ = , sehingga ωϕ
=t
602 nπω = ;
πω
260
=n
π2
60R
V
nr
= ; π2160
RVn r=
DVn r
π60
=
DV
Vn
Vn
VVtVr
ttttt
ππ
ϕπ
ϕπϕ
ωϕ
602
602
60
602 ====
r
t
r
tt V
RVV
DVtV ϕπ
ϕπ==
60260
t
r
VV
=λ ; λ
rt
VV =
r
r
t V
RV
tV λϕ
= ; r
rt V
RVtV 1λϕ
=
λϕ RtV t =
Akhirnya, persamaan koordinat untuk gerakan titik M dinyatakan sebagai
berikut:
ϕβ sincos yRx =
ϕcosRy = (13)
λϕϕβ RRz y += sinsin
25
Gambar 18 mengilustrasikan jalur gerakan dari sebuah titik yang terdapat
pada mata bajak piring yang diputar dengan hanya melibatkan satu sudut
kemiringan menggunakan persamaan (13). Pola jalur gerakan tersebut identik
dengan bentuk helik atau spiral sehingga proses pemotongannya dapat dikatakan
sebagai pemotongan spiral.
Gambar 18 Pola jalur gerakan dari sebuah titik pada mata bajak piring yang diputar atau disebut dengan pemotongan spiral (Yatsuk et al. 1981).
Sudut Gerakan Pisau
Umumnya mata pisau terdiri atas sisi depan (face) dan sisi belakang (back).
Sisi depan merupakan permukaan yang paling banyak bersentuhan dengan
material pada saat proses pemotongan, sedangkan sisi belakang merupakan sisi
yang membentuk clearance angle (ANC) atau sudut kelonggaran. Rake angle
(ANR) atau sudut pemotongan merupakan sudut pada bidang XZ, yang terbentuk
antara sisi depan mata pisau dan arah normal dari gerakan pisau (aksis Z). Sudut
kelonggaran (ANC) merupakan sudut pada bidang XZ, yang terbentuk antara sisi
belakang mata pisau dan arah negatif gerak maju pisau (aksis X negatif). Chip
angle (ANP) atau sudut pembentuk potongan merupakan sudut pada bidang XZ
yang terbentuk antara sisi depan mata pisau dan arah negatif gerakan pisau. Sudut
mata pisau (ANE) merupakan sudut yang terbentuk antara sisi depan dan sisi
belakang mata pisau. Gambar 19 memperlihatkan posisi dari keempat sudut
tersebut pada bidang XZ.
26
Gambar 19 Sudut gerakan pisau pada saat pemotongan dalam bidang XZ.
ANR
ANC
Z
X
ANEANP
Bajak piring memiliki sudut pergerakan terhadap bidang XZ yang disebut tilt
angle (TA) yakni sudut kemiringan bajak terhadap aksis Z (Gambar 20a) dan sudut
kemiringan terhadap bidang XY atau disk angle (DA) yang merupakan sudut
kemiringan bajak piring terhadap arah gerak maju pemotongan (Gambar 20b).
Y
X
DA
Arah gerak maju
(b)
TA
Z
X
Ground (a)
Gambar 20 Tilt angle (TA) dari bajak piring pada bidang XZ (a) dan disk angle
(DA) bajak piring pada bidang XY (b).
Gaya pada Bajak Piring untuk Pengolahan Tanah
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengilustrasikan efek
resultan gaya pada bajak piring untuk pengolahan tanah adalah dengan
menyatakan komponen gaya longitudenal (L), lateral (S), vertikal (V), dan resultan
dari gaya gaya tersebut (Kepner et al. 1972). Gambar 21 menunjukkan komponen
gaya L dan S yang dikombinasikan menjadi resultan gaya horisontal (Rh),
sedangkan thrust (T) mempunyai arah paralel terhadap aksis bajak piring. Bajak
piring yang digunakan untuk mengilustrasikan gaya-gaya tersebut adalah bajak
27
piring vertikal dengan diameter 24 in, kedalaman potong 8 in, lebar potong 6.75
in, kecepatan maju 3 mph, dan jenis tanah silt loam (lempung berdebu). Gaya-
gaya tersebut dinyatakan dalam satuan Pounds (lb).
Gambar 21 Resultan gaya horisontal (Rh), trust (T), dan V pada bajak piring (Kepner et al. 1972).
Gordon (1941) diacu dalam Kepner et al. (1972) mengungkapkan bahwa
disk angle dan tilt angle memiliki efek yang signifikan terhadap gaya longitudenal
atau draft (L), gaya vertikal (V), dan gaya lateral (S). Efek disk angle terhadap L
dan S untuk dua jenis tanah pada kecepatan maju 2.2 mph (mile per jam), tilt
angle 0o, lebar potong 7 in, dan kedalaman potong 6 in, menunjukkan bahwa pada
disk angle yang lebih besar, draft (L) cenderung meningkat dan draft minimum
terjadi pada disk angle 45o. Pada kondisi tersebut, gaya lateral (S) meningkat
hampir linier seiring dengan makin besarnya disk angle, terutama untuk jenis
tanah fine sandy loam (lempung berpasir halus), sedangkan untuk jenis tanah clay
loam (lempung liat) gaya lateral (S) hampir tidak mengalami kenaikan (Gambar
22a). Berikutnya pada kecepatan maju 3.6 mph dan tilt angle 15o, draft minimum
juga terjadi pada disk angle 45o namun untuk tanah clay loam nilai draft hampir
60% lebih tinggi dibandingkan dengan hasil uji pada kecepatan maju 2.2 mph dan
tilt angle 0o (Gambar 22b). Draft mengalami peningkatan pada disk angle yang
lebih besar dikarenakan gaya yang diperlukan untuk membalikkan atau melempar-
kan tanah juga lebih besar. Draft yang tinggi juga terjadi pada disk angle yang
lebih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh semakin besarnya luas permukaan
kontak antara dinding alur pembajakan (furrow wall) dan sisi belakang bajak
28
piring. Selanjutnya pada kecepatan maju 3.6 mph, disk angle 45o, lebar potong 9
in, dan pada kisaran tilt angle dari 15o sampai 25o, draft (L) dan gaya vertikal (V)
mengalami peningkatan seiring dengan semakin besarnya tilt angle, sedangkan
gaya lateral (S) mengalami penurunan secara perlahan-lahan (Gambar 22c).
Gambar 22 Reaksi tanah versus disk angle dan tilt angle pada bajak piring
diameter 26 in dan radius bola 22.4 in (Gordon 1941, diacu dalam Kepner et al. 1972).
Budidaya Tebu Lahan Kering
Budidaya tebu dapat dilakukan pada dua jenis lahan, yakni lahan sawah atau
bekas sawah (sistem reynoso) dan lahan kering atau tegalan (rain fed system).
Terdapat beberapa perbedaan yang mendasar antara kedua cara budidaya tebu
tersebut. Pertama, pada cara reynoso, penyiapan lahan dimulai dengan penggalian
saluran-saluran, yakni setelah jerami bekas tanaman padi dibabat atau dibersihkan,
segera dimulai dengan memasang ajir-ajir untuk membuat saluran-saluran air
yang terdiri atas got keliling, got mujur, dan got malang (Lampiran 1). Alur tanam
(cemplongan) dengan kedalaman 40 cm dibuat di antara got-got malang tersebut.
Pada budidaya tebu lahan kering, alur tanam dikerjakan setelah tanah atau lahan
diolah terlebih dahulu dengan bajak. Dapat dikemukakan bahwa, pada cara
reynoso tanah yang digarap hanya di sekitar tempat yang akan ditanami tebu saja
yakni dalam cemplongan, sedangkan pada budidaya tebu lahan kering tanah
diolah secara keseluruhan. Kedua, penanaman bibit tebu cara reynoso dilakukan
29
dalam paliran dengan kedalaman 5-7 cm yang dibuat di tengah-tengah
cemplongan. Selanjutnya, dalam paliran tersebut setek-setek tebu diletakkan
dengan jarak 35-50 cm bergantung pada kesuburan tanah dan varietas tebunya,
sedangkan di lahan kering penanaman tebu dilakukan di dalam coklak (juringan)
pada alur tanam, sehingga cara reynoso memiliki alur tanam yang lebih dalam
dibandingkan dengan cara di lahan kering (Gambar 23). Ketiga, budidaya tebu
sistem reynoso tidak banyak melibatkan mesin-mesin pertanian, hal tersebut
disebabkan pada sistem reynoso umumnya memiliki struktur tanah yang berat
karena bekas sawah, lahan yang sempit, dan banyak got malang sehingga lalu
lintas traktor sebagai sumber tenaga tarik pertanian banyak mengalami hambatan,
sebaliknya dengan struktur tanah yang lebih ringan, lahan yang lebih luas, dan
tidak terdapat got malang, maka penerapan alat dan mesin pertanian dapat dilaku-
kan secara penuh (fully mechanization) di lahan kering. Keempat, relevansinya
dengan produksi, cara reynoso memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan
dengan sistem budidaya tebu lahan kering. Hal tersebut dapat terlihat dari varietas
Ps 58 yang memiliki sifat bobot batang 0.51-0.53 kg per meter, banyak batang 66
000-83 000 per hektar, dan diameter batang 2.5-3.0 cm memberikan hasil tebu
sebesar 83.4-133.9 ton per ha, rendemen 9.20-11.78%, dan hasil hablur sebesar
7.70-15.80 ton per ha pada lahan sawah (cara reynoso), sedangkan pada lahan
kering, hasil tebunya hanya 57.6-87.2 ton per ha, rendemen 7.5-12.03%, dan hasil
hablurnya hanya mencapai 5.6-8.10 ton per ha (Rajagukguk 1994). Cara reynoso
memberikan hasil tebu yang lebih baik dikarenakan pada cara budidaya tersebut
kebutuhan air untuk tanaman tebu dapat terpenuhi, di samping hal tersebut lahan
sawah di Indonesia cenderung memiliki tingkat kesuburan yang lebih baik jika
dibandingkan dengan lahan tegalan atau lahan kering.
(a) (b)
Paliran
Coklak
CemplonganGuludan
Guludan
Gambar 23 Potongan melintang untuk alur tanam cara reynoso (a) dan alur tanam untuk lahan kering (b).
30
Kegiatan budidaya tebu lahan kering secara umum meliputi pengolahan
tanah, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pengeprasan.
Pengolahan tanah merupakan bagian dari rangkaian kegiatan budidaya tebu
yang bertujuan menciptakan kondisi tanah yang baik sebagai media tumbuh
tanaman tebu. Kepner et al. (1972) mengemukakan bahwa pengolahan tanah me-
rupakan tindakan manipulasi mekanis terhadap tanah untuk memperbaiki struktur
tanah yang diinginkan bagi pertumbuhan tanaman. Menurut Bakker (1999)
pengolahan tanah untuk budidaya tebu lahan kering meliputi (1) pengolahan tanah
dalam (subsoiling) dengan kedalaman olah sebesar 30-50 cm, (2) pembajakan
(plowing) yang bertujuan untuk menghancurkan bongkahan tanah, memindahkan
sisa-sisa tanaman, dan meratakan tanah, (3) Penggaruan (harrowing) untuk
mencampur dan melonggarkan tanah pada kedalaman olah sekitar 20 cm, dan (4)
pembuatan alur tanam (furrowing) sebagai tempat potongan bibit tebu yang akan
ditanam dengan jarak antar alur antara 90 dan 150 cm.
Penanaman bibit tebu di lahan kering dilakukan di dalam coklak atau
juringan pada alur tanam. Fauconnier (1993) mengemukakan bahwa penanaman
tebu dapat dilakukan dengan cara meletakkan secara horisontal batang tebu yang
memiliki mata atau pucuk tunas yang sehat di atas permukaan tanah kemudian
ditutup dengan tanah (Lampiran 2). Siklus pertumbuhan tebu yang dimulai dari
pertunasan atau perkecambahan (sprouting or germination), perkembangan
anakan tunas (tillering), pertumbuhan batang tebu (plant growth), pembungaan
(flowering), pemasakan dan lewat masak (crop maturity and over maturity),
pemanenan (harvesting), dan pertumbuhan kembali (regrowth).
Pemeliharaan tanaman tebu meliputi kegiatan penyulaman, pengairan,
penyiangan, pembumbunan, pemupukan, pembuangan daun yang sudah tua, dan
pemberantasan hama dan penyakit (Adisewojo 1989). Ketersediaan air bagi
tanaman tebu lahan kering sangat bergantung pada curah hujan, sehingga iklim
setempat terutama jumlah dan sebaran hujan sangat besar pengaruhnya terhadap
produktivitas tebu yang dihasilkan. Sehubungan dengan kondisi tersebut, masalah
penting yang perlu diperhatikan dalam budidaya tebu di lahan kering adalah
ketepatan dalam penentuan jadwal tanam (Ismail et al. 1990).
Pemanenan atau penebangan tebu merupakan kegiatan yang dilakukan
untuk memungut hasil melalui pemotongan batang tebu pada bagian pangkalnya.
31
Penebangan umumnya dilakukan secara manual menggunakan alat potong berupa
sabit atau golok. Daun-daun yang kering atau klaras yang terdapat pada batang
tebu dibersihkan terlebih dahulu, kemudian batang tebu tersebut dipotong pada
bagian pangkalnya. Selanjutnya pucuk batang tebu tersebut dipotong, kemudian
batang tebu yang telah dibersihkan tersebut ditumpuk pada satu barisan.
Pengeprasan merupakan pemotongan sisa-sisa tunggul tebu setelah pe-
nebangan dengan tinggi pemotongan pada posisi rata atau lebih rendah terhadap
permukaan guludan. Saat ini pengeprasan tebu masih dilakukan secara manual
menggunakan peralatan yang cukup sederhana berupa cangkul. Masalah yang
timbul berkaitan dengan pengeprasan secara manual adalah ketersediaan tenaga
kerja baik dari aspek kuantitas maupun kualitasnya. Sutjahjo dan Kuntohartono
(1994) mengemukakan bahwa tenaga kerja yang tersedia untuk mengelola lahan
tebu hanya tinggal sepertiga dari jumlah tenaga kerja pada masa sebelum tahun
1975. Hal lain yang perlu dipikirkan dalam kaitannya dengan pengeprasan manual
adalah masalah kualitas hasil keprasan. Pengeprasan yang baik seharusnya
menghasilkan tunggul tebu yang tidak pecah, sistem perakaran tebu tidak tercabut
dari tanah, dan memiliki kedalaman potong yang seragam sehingga tunas tebu
keprasan dapat tumbuh dengan baik.
Sistem Pertunasan Tebu
Umumnya, tebu berkembang biak secara vegetatif, yakni dengan cara per-
tunasan. Pertumbuhan dimulai dari perkembangan akar pada bagian pita akar
(root band) yang terdapat pada potongan batang atau bibit tebu (original cuting)
yang telah ditanam. Selanjutnya, tunas pertama (primary shoot) yang diikuti
dengan tunas kedua (secondary shoot) tumbuh dari mata tunas (eye or bud) yang
terdapat pada bibit tebu tersebut, sedangkan akar-akar tunas berkembang pada
bagian pita akar yang terdapat pada tunas pertama dan tunas kedua (Gambar 24).
Cadangan makanan untuk tunas-tunas baru tersebut pada awalnya disuplai oleh
sistem perakaran bibit tebu, sehingga pertunasan tebu bergantung pada sistem
perakaran dari bibit tersebut selama 3-6 minggu atau sampai seberapa lama akar-
akar baru pada tunas dapat mencukupi kebutuhan air, oksigen, dan nutrisi yang
diperlukan (Humbert 1968).
32
Root band
Shoot roots
Secondary shoot
Root from original cutting
Secondary shoot
Primary shoot
Original cutting
Gambar 24 Tunas tebu yang tumbuh dari mata tunas bibit tebu dan akar tunas baru berkembang dari pita akar (Humbert 1968).
Pangkal dari batang tebu yang terdapat di bawah permukaan tanah (ground
level) memiliki ruas batang yang semakin pendek dan meruncing dengan cepat
(Gambar 25). Mata tunas yang terdapat pada pangkal batang pertama (primary
stalk) tumbuh menjadi batang kedua (secondary stalk) dan mata tunas pada
pangkal batang kedua berkembang menjadi batang ketiga (tertiary stalk).
Pertumbuhan tersebut berlangsung secara berurutan, terus-menerus, dan memiliki
posisi selang-seling sesuai dengan posisi mata tunas pada pangkal batang tebu.
Gambar 25 Urutan pertumbuhan batang tebu dari potongan tebu yang terdapat di bawah permukaan tanah (Humbert 1968).
Point of attachement to original cutting
Ground level Tertiary stalk
Secondary stalk
Primary stalk
Batang tebu yang masih tersisa di bawah permukaan tanah setelah
penebangan dapat tumbuh kembali sebagai tebu keprasan. Cadangan makanan
untuk tunas-tunas baru dari tebu keprasan tersebut pada awalnya disuplai oleh
33
sistem perakaran tebu sebelumya. Setelah tunas-tunas tersebut tumbuh menjadi
batang tebu yang memiliki sistem perakaran sendiri, maka fungsi akar lama
diambil alih oleh sistem perakaran tebu yang baru. Akar-akar lama tersebut
kemudian berubah warnanya menjadi gelap (kehitam-hitaman) dan tidak efektif
lagi dalam melakukan suplai makanan, sehingga akar-akar tersebut akhirnya mati
dan terurai dalam tanah.
Struktur dan Kekerasan Batang Tebu
Batang tebu memiliki bentuk silindris dan terdiri atas beberapa bagian
(Gambar 26). Bagian-bagian tersebut diantaranya adalah mata tunas (eye or bud),
buku (node), ruas tebu (internode), pita lilin (wax band), dan pita akar (root
band). Pita akar merupakan bagian yang paling keras dari satu ruas tebu yang
masak, sedangkan bagian pertengahan ruas memiliki tingkat kekerasan yang
kedua (Hutasoit 1978). Pada tebu jenis Uba (tebu keras), semakin kecil diameter
tebu maka tebu tersebut semakin keras, sedangkan kekerasan tebu yang ditanam
di kebun tanpa irigasi naik sekitar 20.39% dibandingkan dengan tebu yang
ditanam di kebun yang beririgasi (Hutasoit 1978). Kerasnya batang tebu yang
ditanam di lahan yang tidak beririgasi disebabkan oleh kurangnya suplai air untuk
proses pertumbuhan tebu, hal tersebut mengakibatkan struktur sel pada batang
tebu tersebut memiliki sifat yang lebih keras jika dibandingkan dengan struktur sel
batang tebu yang kebutuhan airnya dapat terpenuhi dengan baik.
Gambar 26 Bentuk dan bagian-bagian batang tebu (Humbert 1968).
34
Pemotongan sebuah batang tanaman dapat menghasilkan permukaan potong
berbentuk penampang batang sesuai dengan arah pemotongan. Struktur batang
dapat dilihat melalui analisis penampang batang tersebut. Menurut Persson (1987)
untuk penyederhanaan karakterisasi dari sebuah pemotongan atau penentuan
kekuatan, terdapat empat komponen utama dalam penampang batang tanaman
yang harus diperhatikan yakni serat (fibers), kulit (skin), sel-sel halus (soft cells),
dan rongga (cavity). Gambar 27 memperlihatkan skema dari penampang batang
timothy beserta bagian-bagian utama yang terdapat pada penampang batang
tanaman tersebut.
collenchyma
Gambar 27 Skema dari penampang batang tanaman (Persson 1987).
Terdapat tiga jenis dasar sel dalam batang tanaman, yakni parenkim
(parenchyma cells), colenkim (collenchyma cells), dan sklerenkim (sclerenchyma
cells). Parenkim merupakan sel dengan protoplasma aktif (sel hidup) untuk
fotosintesis atau penyimpanan yang memiliki sifat berdinding tipis. Colenkim
merupakan sel dengan protoplasma aktif dan berfungsi mendukung sel parenkim.
Sel tersebut memiliki dinding yang lebih kuat dibandingkan dengan parenkim,
tetapi bersifat elastis dan tidak keras. Sklerenkim merupakan sel tanpa
protoplasma tetapi lebih kuat, berdinding kaku, dan berserat.
Penampang melintang dari berkas pembuluh batang tebu (Gambar 28)
mengilustrasikan bahwa nira yang banyak mengandung gula terdapat dalam
bagian vacuole (S) yakni merupakan kandungan utama dari parenkim (P) yang
berdinding tipis atau sebagai jaringan dasar yang paling banyak mengandung air
dalam tebu. Ikatan pembuluh kayu (D) merupakan saluran air dari tanah yang
hampir tidak mengandung gula (Hutasoit 1978).
35
Keterangan: P = parenchyma, S = vacuole, D = xylem (pembuluh kayu), T = phloem (pembuluh tapis)
Gambar 28 Penampang melintang dari berkas pembuluh pengangkutan batang tebu yang diperbesar (Hutasoit 1978).
Bagian yang sejajar dengan saluran air tersebut adalah saluran pembuluh
tapis (T) yang berbentuk seperti saringan dan berfungsi untuk menyalurkan
fotosintat dari daun ke batang tebu. Hutasoit (1978) mengemukakan bahwa
dinding sel parenkim dan ikatan pembuluh kayu memiliki kandungan selulosa
sekitar 50% dan lignin sebesar 25%.
Buzacott (1940) diacu dalam Hutasoit (1978) mengemukakan bahwa
kekerasan tebu dipengaruhi oleh dua faktor, yakni banyaknya ikatan pembuluh
kayu dalam batang tebu dan banyaknya sklerenkim yang mengelilingi pembuluh
pengangkutan. Gambar 29 memperlihatkan bahwa tebu yang keras (jenis Q-2)
memiliki sklerenkim dan parenkim dengan dinding yang lebih tebal dibandingkan
dengan tebu lunak (jenis Badila). Dinding yang tebal pada sel tersebut
mengakibatkan kandungan lignin sebagai pengikat serat semakin meningkat,
sehingga ikatan dinding sel semakin kuat. Sehubungan dengan hal tersebut jenis
dan varietas tebu berpengaruh terhadap kekerasan batang tebu, sehingga besarnya
gaya pemotongan yang dibutuhkan juga tidak sama.
36
(a) Badila (b) Q-2
DC
A
C
D
A
BB
Keterangan: A = epidermis, B = sclerenchyma, C = parenchyma, D= vascular bundle (ikatan pembuluh pengangkutan)
Gambar 29 Penampang melintang batang tebu bagian tepi untuk jenis lunak (a) dan jenis keras (b) yang dibesarkan 70 kali (Hutasoit 1978).
Penelitian Hutasoit (1978) menunjukkan bahwa varietas Bz 134 memiliki
kekerasan yang relatif tinggi dibandingkan dengan lima varietas uji lainnya yakni
Ps 41, Ps 30, POJ 3016, POJ 3067, dan Bz 62. Varietas Bz 134 tersebut memiliki
kekerasan 6.9 kg cm-2 atau setara dengan 676 200 N m-2.