TRANSFORMASI LAPLACE DARI MASALAH NILAI BATAS PADA ...
Transcript of TRANSFORMASI LAPLACE DARI MASALAH NILAI BATAS PADA ...
TRANSFORMASI LAPLACE DARI MASALAH NILAI BATAS
PADA PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL
SKRIPSI
Diajukan dalam Rangka Penyelesaian Studi Strata I
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Sains
Oleh:
Nama : Meyriska Aulia Harini
NIM : 4150401028
Jurusan : Matematika
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2005
ABSTRAK
Transformasi Laplace merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persamaan diferensial parsial. Dengan mentransformasikan persamaan diferensial parsial menjadi persamaan diferensial biasa kemudian mentransformasikan balik akan memperoleh penyelesaian dari persamaan diferensial parsial tersebut. Permasalahan yang muncul adalah “Bagaimana menyelesaikan bentuk transformasi Laplace dari masalah nilai batas pada persamaan diferensial parsial?”. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui bentuk transformasi Laplace dari masalah nilai batas pada persamaan diferensial parsial.
Metode penulisan yang digunakan adalah pemilihan masalah, merumuskan masalah, studi pustaka, memecahkan masalah, dan menarik kesimpulan.
Pemodelan matematika untuk masalah konduksi panas menghasilkan persamaan konduksi panas ttt kuu = . Penyelesaian bentuk transformasi Laplace dari masalah nilai batas pada persamaan konduksi panas dimensi satu untuk interval tak terbatas pada kasus parabolik adalah
L=),( txu 1
⎪⎪⎩
⎪⎪⎨
⎧
+⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛− ∫
−−dxexfe
ksk
ecx
ksx
ksx
ks
)(2
12
⎪⎪⎭
⎪⎪⎬
⎫
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛∫
−dxexfe
ksk
xksx
ks
)(2
1
sedangkan penyelesaian bentuk transformasi Laplace dari masalah nilai batas pada persamaan konduksi panas dimensi satu untuk interval terbatas pada kasus
parabolik adalah L=),( txu -1
⎪⎪⎩
⎪⎪⎨
⎧
⎟⎟⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜⎜⎜
⎝
⎛
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛+−− ∫
−x
ksdxeexf
ksk
cx
ksx
ks
cosh)(2
11
⎪⎪⎭
⎪⎪⎬
⎫
⎟⎟⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜⎜⎜
⎝
⎛
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛+−+ ∫
−x
ksdxeexf
ksk
cx
ksx
ks
sinh)(2
12 .
Saran yang dapat disampaikan adalah perlunya penelitian lebih lanjut dalam hal yang sama pada kasus-kasus lain dengan menggunakan metode yang sama maupun dengan metode lainnya.
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Telah dipertahankan di hadapan Sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan
Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri
Semarang, pada:
Hari : Senin
Tanggal : 24 Oktober 2005
Panitia Ujian
Ketua Sekretaris
Drs. Kasmadi Imam S., M.S. Drs. Supriyono, M.Si. NIP. 130781011 NIP. 130815345
Pembimbing I Anggota Penguji Drs. M. Chotim, M.S. 1. Drs. Khaerun, M.Si NIP. 130781008 NIP. 131813671 Pembimbing II
2. Drs. M. Chotim, M.S. NIP. 130781008 Dr. St. Budi Waluya NIP. 132046848
3. Dr. St. Budi Waluya NIP. 132046848
iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto : “Seseorang dengan tujuan yang jelas akan membuat kemajuan walaupun
melewati jalan yang sulit. Seseorang yang tanpa tujuan, tidak akan
membuat kemajuan walaupun ia berada di jalan yang lurus.” Thomas
Carlyle
Persembahan :
1. Alloh Sesembahanku
2. Mama tercinta dan Alm. Papa tersayang
3. Mas Novi, Mas Roni, Mbak Acik, Daru
4. ‘Seroja’ yang selalu memberi motivasi,
mendukung, mendampingi, mendoakan, dan
menyayangi
5. Sahabat-sahabat yang selalu mendukung,
mendoakan, dan menyayangi
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah
SWT, yang telah memberikan berkah, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: “Transformasi Laplace dari Masalah
Nilai Batas pada Persamaan Diferensial Parsial”.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai
pihak sehingga penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada.
1. Drs. H.A.T. Soegito, SH.,MM., Rektor Universitas Negeri Semarang.
2. Drs. Kasmadi Imam S., M.S., Dekan FMIPA UNNES.
3. Drs. Supriyono, M.Si., Ketua Jurusan Matematika FMIPA UNNES.
4. Drs. M. Chotim, M.S., Dosen Pembimbing I.
5. Dr. St. Budi Waluya, Dosen Pembimbing II.
6. Alm. Ayah, Ibu, kakak-kakak, dan adikku yang selalu mendoakan,
mendukung, dan menyayangi.
7. Rina, Woro, Dwi, Lidia, Puput, Nanny, Eli, Taufik, Sigit, Bowo, Ardi, dan
teman-teman Math’01 yang selalu mendukung dan membantu.
8. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena
keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu
semua kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan
skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Semarang, Oktober 2005
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman Judul ………………………………………………………………… i
Abstrak ………………………………………………………………………... ii
Halaman Pengesahan …………………………………………………………. iii
Motto dan Persembahan ………………………………………………………. iv
Kata Pengantar ………………………………………………………………… v
Daftar Isi ………………………………………………………………………. vi
Daftar Lampiran ……………………………………………………………….. viii
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang ………………………………………………………... 1
B. Permasalahan …………………………………………………………. 4
C. Batasan Masalah …………………………………………………….... 4
D. Tujuan Penelitian ……………………………………………………... 4
E. Manfaat Penelitian ……………………………………………………. 5
F. Sistematika Penulisan Skripsi ………………………………………… 5
BAB II Landasan Teori
A. Persamaan Diferensial Biasa …………………………………………. 7
B. Persamaan Diferensial Parsial ………………………………………... 14
C. Transformasi Laplace ……………………………………………….... 17
D. Maple …………………………………………………………………. 20
BAB III Metode Penelitian ………………………………………………….... 22
BAB IV Pembahasan
vi
A. Pemodelan Persamaan Konduksi Panas Dimensi Satu ………………. 24
B. Penyelesaian Persamaan Diferensial Parsial dengan
Transformasi Laplace ………………………………………..………. 28
C. Penyelesaian Umum …………………………………………………. 30
D. Pemrograman Komputer Persamaan Konduksi Panas Dimensi Satu .. 38
BAB V Penutup
A. Simpulan …………………………………………………………….. 53
B. Saran ………………………………………………………………… 54
Daftar Pustaka ………………………………………………………………. 56
Lampiran ......................................................................................................... 57
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Tabel 1. Sifat-sifat Umum Transformasi Laplace
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan suatu ilmu pengetahuan banyak memegang peranan
penting dalam perkembangan suatu teknologi. Tanpa ilmu pengetahuan,
teknologi akan sulit bisa berkembang dengan cepat.
Matematika sebagai bahasa simbol yang bersifat universal sangat
erat hubungannya dengan kehidupan nyata. Kenyataan membuktikan bahwa
untuk menyelesaikan masalah-masalah kehidupan nyata dibutuhkan metode-
metode matematika.
Matematika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang
mempunyai ciri berbeda dengan disiplin yang dimiliki oleh ilmu pengetahuan
lain. Hal-hal yang dipelajari dalam matematika terdiri atas beberapa kelompok
ilmu, seperti: aljabar, geometri, analisis, dan matematika terapan. Persamaan
diferensial merupakan salah satu cabang matematika yang termasuk dalam
kelompok analisis.
Di dalam dunia nyata kadang terdapat masalah-masalah yang sukar
diselesaikan dalam sistemnya. Untuk menyelesaikan masalah tersebut perlu
disusun suatu pemodelan matematika yang mirip dengan keadaan sistemnya.
Masalah nyata harus dikenali terlebih dahulu melalui beberapa tahapan.
Pertama, mengidentifikasi semua besaran yang terlibat. Kedua, memberi
lambang pada setiap besaran yang teridentifikasi. Ketiga, menentukan satuan
1
2
setiap lambang yang ada dengan menganut suatu sistem satuan. Keempat,
memilah-milah dari setiap lambang tersebut, mana yang konstanta dan mana
yang variabel. Dan kelima, menentukan hukum yang mengendalikan pada
masalah nyata tersebut. Dengan hukum yang mengendalikan masalah nyata
tersebut menentukan hubungan antara variabel dan konstanta, yang disebut
dengan model matematika. Model matematika dapat berupa persamaan,
pertidaksamaan, persamaan diferensial, dan sebagainya. Kemudian dengan
memanfaatkan teori-teori dalam matematika diperoleh solusi model. Dengan
menginterpretasikan solusi model ditentukan solusi masalah. Pada proses ini
satuan muncul kembali.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan di gambar 1.
Identifikasi besaran Lambang Satuan Pilah variabel/konstanta
penerjemahan
? teori matematika
MASALAH NYATA
HUKUM YANG MENGENDALIKAN
MODEL MATEMATIKA
interpretasi
SOLUSI MODEL
SOLUSI MASALAH
NYATA
Gambar 1. Langkah-langkah mencari solusi masalah
Persamaan Diferensial dibedakan menjadi dua yaitu Persamaan
Diferensial Biasa (ordinary differential equation) dan Persamaan Diferensial
3
Parsial (partial differential equation). Persamaan Diferensial Biasa
didefinisikan sebagai suatu persamaan yang mengandung satu atau lebih
turunan biasa suatu fungsi yang tidak diketahui dengan dua atau lebih peubah
bebas. Sedangkan Persamaan Diferensial Parsial didefinisikan sebagai suatu
persamaan yang mengandung satu atau lebih turunan parsial suatu fungsi yang
tidak diketahui dengan dua atau lebih peubah bebas.
Setelah suatu model matematika diubah dalam bentuk persamaan
diferensial, langkah selanjutnya adalah menyelesaikan persamaan diferensial
tersebut dengan menentukan solusinya. Solusi persamaan diferensial adalah
suatu fungsi yang memenuhi persamaan diferensial tersebut. Artinya, jika
fungsi itu dan turunan-turunannya disubtitusikan ke dalam persamaan
diferensial tersebut, diperoleh suatu pernyataan yang benar. Dikatakan solusi
umum jika persamaan fungsi masih memuat konstanta, dan disebut solusi
khusus jika tidak terdapat konstanta yang didapatkan dengan menggantikan
nilai-nilai awal dan syarat batas yang diketahui.
Metode Transformasi Laplace (Laplace Transformation)
merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
persamaan diferensial parsial. Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh
Pierre Simon Marquas De Laplace seorang matematikawan Perancis dan
seorang guru besar di Paris. Bentuk umum Transformasi Laplace dapat
dituliskan dalam bentuk:
F(s)=L{f} , ∫∞
−=0
)( dttfe st
4
dimana f(t) adalah suatu fungsi yang terdefinisi untuk ∞<≤ t0 .
Dalam penulisan ini akan dibahas solusi persamaan diferensial
parsial dengan menggunakan metode transformasi Laplace. Transformasi
Laplace adalah operasi matematika yang dapat mentransformasikan
persamaan diferensial parsial menjadi persamaan diferensial biasa. Kemudian
mentransformasikan balik untuk memperoleh penyelesaian dari persamaan
diferensial parsial tersebut.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang timbul adalah
“Bagaimana menentukan bentuk transformasi Laplace dari masalah nilai batas
pada persamaan diferensial parsial?”
C. Batasan Masalah
Untuk membatasi ruang lingkup penulisan skripsi ini, diberikan
batasan-batasan, yaitu menyelesaikan masalah nilai batas pada persamaan
diferensial parsial linear orde dua dengan kasus parabolik pada persamaan
konduksi panas dimensi satu.
D. Tujuan
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bentuk
transformasi Laplace dari masalah nilai batas pada persamaan diferensial
parsial.
5
E. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dalam penulisan skripsi ini adalah:
(1) setelah mengetahui metode transformasi Laplace diharapkan pembaca
dapat menyelesaikan persamaan diferensial parsial dengan menggunakan
transformasi Laplace;
(2) pembaca diharapkan dapat menentukan bentuk transformasi Laplace dari
setiap masalah nilai batas pada persamaan diferensial parsial yang
diberikan.
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Penulisan sistematika dimaksudkan untuk memberikan arah yang
lebih jelas dan lebih memudahkan dalam mempelajari dan memahami isi
skripsi.
Adapun sistematika penulisan skripsi yang penulis susun ini terdiri
dari 3 (tiga) bagian besar yang merupakan rangkaian dari bab-bab. Dan setiap
bab terdiri dari sub bab-sub bab sebagai berikut.
I. Bagian Awal Skripsi
1. Halaman Sampul
2. Halaman Judul
3. Abstraksi
4. Lembar Pengesahan
5. Motto dan Persembahan
6. Kata Pengantar
6
7. Daftar Isi
8. Daftar Lambang
9. Daftar Gambar
II. Bagian Isi Skripsi
BAB I : Pendahuluan
1. Latar Belakang
2. Permasalahan
3. Tujuan
4. Batasan Masalah
5. Sistematika Skripsi
BAB II : Landasan Teori
BAB III : Metode Penelitian
BAB IV : Pembahasan
BAB V : Simpulan dan Saran
III. Bagian Akhir Skripsi
1. Daftar Pustaka
2. Lampiran-lampiran
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Persamaan Diferensial Biasa
Persamaan diferensial adalah persamaan yang mengandung
turunan-turunan dari suatu fungsi yang tidak diketahui, yang dinamakan
dan yang akan ditentukan persamaan tersebut (Hutahean, 1993).
)(xy
Sebagai contoh, jika laju pertumbuhan suatu populasi (manusia,
hewan, bakteri, dan sebagainya) dxdyy =' ( =x waktu) sama dengan populasi
, maka model populasi tersebut adalah )(xy yy =' , yaitu persamaan
diferensial.
Persamaan diferensial biasa diartikan sebagai suatu persamaan
yang melibatkan turunan pertama atau lebih dari fungsi sembarang y terhadap
peubah x; persamaan ini dapat pula melibatkan y itu sendiri, fungsi x yang
diberikan dan konstanta.
Contoh:
1. , xy cos'=
2. , 04'' =+ yy
3. . 222 )2(''2''" yxyeyyx x +=+
Persamaan diferensial biasa dibagi menjadi dua bagian, yakni
persamaan diferensial linear orde satu dan persamaan diferensial linear orde
7
8
dua. Persamaan diferensial banyak sekali dikembangkan dalam matematika
teknik.
1. Persamaan Diferensial Linear Orde Satu
Definisi 1.
Persamaan Diferensial Orde Satu secara umum dinyatakan
sebagai 0)',,( =yyxF . Jika dxdyy =' , maka dapat ditulis 0)',,( =yyxF
0),,( =dxdyyxF . (1)
Persamaan (1) merupakan persamaan dari persamaan diferensial yang
dinyatakan secara implisit. Persamaan (1) dapat dinyatakan secara
eksplisit sebagai
),( yxfdxdy
= . (2)
Contoh:
Persamaan diferensial implisit: . 02' =−+ xeyy
Persamaan diferensial eksplisit: xdxdyy = .
2. Solusi Persamaan Diferensial Linear Orde Satu
Suatu fungsi )(xyy = dinyatakan solusi persamaan diferensial
apabila 0)',,( =yyxF )(xyy = atau turunannya yakni memenuhi
persamaan diferensial tersebut.
'y
Contoh:
9
12 += xy adalah solusi persamaan diferensial xy 2'= .
Demikian pula untuk c adalah konstanta, merupakan solusi
persamaan diferensial
cxy += 2
xy 2'= . Solusi disebut solusi khusus
dan disebut solusi umum.
12 += xy
cxy += 2
3. Persamaan Diferensial Linear Orde Dua
Definisi 2.
Persamaan diferensial berbentuk disebut
persamaan diferensial orde dua, dimana
0)",',,( =yyyxf
dxdyy =' dan 2
2
"dx
ydy =
(Hutahean, 1993).
Contoh:
1. merupakan persamaan diferensial orde
dua,
0sintan'")1( 2 =−++ xyxyyx
2. 02sin'"'" =++−+ xyxyxyxy bukan merupakan persamaan diferensial
orde dua.
Definisi 3.
Bila 0)",',,( =yyyxf linear dalam y, y’, dan y” maka
persamaan diferensial 0)",',,( =yyyxf disebut persamaan diferensial
linear orde dua. Secara umum persamaan diferensial orde dua berbentuk:
)()(')(")( xgyxcyxbyxa =++ ; (3)
10
dimana koefisien-koefisien dan fungsi merupakan
fungsi-fungsi yang kontinu di dalam selang
),(xa ),(xb ),(xc )(xg
bxa ≤≤ dengan di
dalam selang ini (Hutahean, 1993).
0)( ≠xa
Definisi 4.
Persamaan diferensial linear orde dua (3) disebut homogen
apabila dan disebut tidak homogen apabila 0)( =xg 0)( ≠xg
(Hutahean, 1993).
Contoh:
1. Persamaan diferensial 03sin'" =++ yxyxy adalah persamaan
diferensial linear orde dua homogen karena 0)( =xg .
2. Persamaan diferensial adalah persamaan
diferensial linear orde dua tak homogen karena .
xyyxxy sin4'" 2 =++
0)( ≠xg
4. Solusi Persamaan Diferensial Linear Orde Dua
Fungsi )(xϕ dikatakan solusi persamaan diferensial (3) pada
selang I, apabila )(xϕ mempunyai turunan kedua dan memenuhi
hubungan (3) pada selang I, yakni
)()()()(')()(")( xgxxcxxbxxa =++ ϕϕϕ untuk setiap . Ix∈
Sekarang perhatikan persamaan diferensial linear orde dua
homogen
0)(')(")( =++ yxcyxbyxa . (4)
11
Teorema 1.
Misalkan )(xϕ solusi persamaan diferensial (4) pada selang I maka
)(xαϕ juga merupakan solusi persamaan diferensial (4) untuk setiap
ℜ∈α .
Bukti:
Tulis )(xy αϕ= dimana α suatu konstanta.
Jelas )('' xy αϕ= dan )("" xy αϕ= .
Jelas ))()(())(')(())(")(( xxcxxbxxa αϕαϕαϕ ++ .
Jelas 0)0())]()(())(')(())(")([( ==++ αϕϕϕα xxcxxbxxa .
Jadi )(xαϕ juga solusi persamaan diferensial (4).
5. Persamaan Diferensial Linear Orde Dua Homogen dengan Koefisien
Konstanta
Perhatikan persamaan diferensial yang berbentuk
0'" =++ qypyy , (5)
dimana p dan q konstanta-konstanta. Intuisi merupakan solusi
persamaan diferensial (5) dengan m memenuhi persamaan tersebut.
Untuk itu akan dicari m agar merupakan solusi persamaan
diferensial (5). Dari diperoleh dan
sehingga jika dan disubstitusikan ke persamaan (5) didapat
persamaan .
mxey =
mxey =
mxey = mxmey =' mxemy 2"=
,y ,'y "y
0)(0 22 =++⇔=++ mxmxmxmx eqpmmqempeem
12
Dengan demikian dikatakan suatu solusi dari persamaan
diferensial (5), jika m merupakan penyelesaian dari persamaan kuadrat
. Dan karena , untuk setiap m dan x, maka
. (6)
mxey =
02 =++ qpmm 0≠mxe
02 =++ qpmm
Persamaan disebut persamaan karakteristik dari
persamaan diferensial (5) dan akar-akarnya disebut akar-akar
karakteristik. Akar-akarnya adalah
02 =++ qpmm
)4(21 2
1 baam −+−= dan
)4(21 2
2 baam −−−= .
Dari perhitungan di atas jelas bahwa dan
merupakan solusi dari persamaan diferensial
xmey 11 =
xmey 22 =
0'" =++ qypyy .
Dari aljabar matematika dapat diketahui bahwa, karena a dan b
merupakan bilangan real, maka akar-akar dari persamaan karakteristik
terbagi dalam tiga kasus, yaitu: dua akar berbeda, dua
akar sama, dan dua akar kompleks.
02 =++ qpmm
1. Akar real berlainan berbeda
Bila m1 dan m2 dua akar real berbeda maka dan adalah
solusi yang bebas linear sehingga merupakan
solusi umum persamaan diferensial (5).
xme 1 xme 2
xmxm BeAey 21 +=
Contoh:
Perhatikan persamaan diferensial 02'3" =+− yyy . Persamaan
karakteristiknya adalah dan akar-akarnya 0232 =+− mm
13
0)1)(2( =−− mm . Jadi 11 =m dan 22 =m merupakan akar real
berbeda maka solusi umumnya adalah . xx BeAey 2+=
2. Kedua akar sama
Misalkan kedua akar persamaan sama, yakni
, maka adalah salah satu solusi persamaan
diferensial (5). Bila
02 =++ qpmm
amm == 21axex =)(1φ
)()()( 12 xxWx φφ = solusi lainnya, maka
dxee
xWpxdx
ax∫⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡ ∫⎟⎠⎞
⎜⎝⎛=
−21)(
∫ ⎟⎠⎞
⎜⎝⎛= − dxe
epx
ax2
1 .
Karena amm == 21 adalah akar persamaan , maka 02 =++ qpmm
pamm −==+ 221 .
Jadi ∫ ∫ ==⎟⎠⎞
⎜⎝⎛= xdxdxe
exW ax
ax2
2
1)( .
Hal tersebut memberikan dimana axxexxxx =⇒= )()()( 212 φφφ 1φ
dan 2φ bebas linear. Jadi solusi umum persamaan diferensial
adalah . 0'" =++ qypyy axaxax eBxABxeAey )( +=+=
Contoh:
Misalkan persamaan diferensial 04'4" =+− yyy .
Tentukan solusi persamaan diferensial di atas.
Penyelesaian:
Jelas merupakan persamaan karakteristik. 0442 =+− mm
14
Jelas . 0)2( =−m
Jelas 221 == mm .
Jadi suatu solusi umum persamaan diferensial
.
xeBxAy 2)( +=
04'4" =+− yyy
3. Akar kompleks
Misalkan salah satu akar persamaan adalah 02 =++ qpmm
βα +=1m i, maka akar yang lain yakni βα −=1m i, sehingga
dan adalah solusi basis
untuk persamaan diferensial
xixm eex )(1
1)( βαφ +== xixm eex )(2
2)( βαφ −==
0'" =++ qypyy . Jadi solusi umum
persamaan diferensial tersebut adalah:
xixi ececy )(2
)(1
βαβα −+ +=
xixxix eeceec βαβα −+= 21
)sin(cos)sin(cos 21 xixecxixec xx ββββ αα −++=
. }sin)(cos){( 2121 xiccxcce x ββα −++=
Dengan mengambil Acc =+ 21 dan Bcci =− )( 21 maka solusi
umum persamaan diferensial tersebut adalah
. }sincos{ xBxAey x ββα +=
15
B. Persamaan Diferensial Parsial
Persamaan diferensial parsial adalah suatu persamaan yang
mengandung satu atau lebih turunan parsial suatu fungsi (yang tidak
diketahui) dengan dua atau lebih peubah bebas.
Tingkat (order) persamaan diferensial parsial adalah pangkat
tertinggi dari turunan yang termuat dalam persamaan diferensial parsial. Dan
derajat (degree) persamaan diferensial parsial adalah pangkat tertinggi dari
turunan tingkat tertinggi yang termuat dalam persamaan diferensial parsial.
Persamaan diferensial parsial linier adalah suatu bentuk persamaan
diferensial parsial yang berderajat satu dalam peubah tak bebasnya dan
turunan parsialnya (Hutahean, 1993).
Beberapa persamaan diferensial parsial linier orde-2 yang penting.
2
22
2
2
xu
ctu
∂∂
=∂∂
, disebut persamaan gelombang dimensi satu; (7)
2
22
xu
ctu
∂∂
=∂∂
, disebut persamaan konduksi panas dimensi satu; (8)
02
2
2
2
=∂∂
+∂∂
yu
xu
, disebut persamaan laplace dimensi satu; (9)
),(2
2
2
2
yxfyu
xu
=∂∂
+∂∂
, disebut persamaan poisson dimensi satu; (10)
02
2
2
2
2
2
=∂∂
+∂∂
+∂∂
zu
yu
xu
,disebut persamaan laplace dimensi tiga. (11)
16
Dalam hal ini c adalah konstanta, t adalah waktu dan zyx ,, adalah
peubah bebas. Untuk memudahkan notasi maka digunakan indeks untuk
menotasikan turunan parsial, seperti xu
ux ∂∂
= , 2
2
xu
uxx ∂∂
= dan sebagainya.
Adapun bentuk umum persamaan diferensial parsial linier orde-2 diberikan
dengan
GFuEuDuCuBuAu yxyyxyxx =+++++ , (12)
dimana A, B, C, D,E, F, dan G adalah fungsi-fungsi yang bergantung pada x
dan y.
Terdapat 3 jenis persamaan diferensial parsial linier yang penting,
yaitu parabolik, hiperbolik dan elliptik. Persamaan diferensial parsial orde
dua dalam persamaan (12);
jika , disebut persamaan parabolik, 042 =− ACB
jika , disebut persamaan hiperbolik, 042 >− ACB
jika , disebut persamaan elliptik (Pinsky, 1998). 042 <− ACB
Sedangkan persamaan (8) merupakan persamaan parabolik, persamaan (7)
merupakan persamaan hiperbolik dan persamaan (9) merupakan persamaan
elliptik.
Syarat Batas
Syarat batas adalah syarat-syarat tertentu atau kondisi-kondisi
tertentu yang terlibat dalam persamaan diferensial parsial untuk membantu
mencari solusi persamaan diferensial parsial tersebut. Ada tiga kemungkinan,
17
yaitu interval terbatas, interval setengah terbatas, dan interval tak terbatas.
Untuk interval terbatas, besarnya interval I adalah sehingga
mempunyai dua syarat batas yaitu pada
Lx <<0
0=x dan Lx = . Untuk interval
setengah tak terbatas, besarnya I adalah ∞<< x0 biasa ditulis , syarat
batasnya hanya pada
0>x
0=x . Dan untuk interval tak terbatas, besarnya interval
I adalah ∞<<∞− x sehingga tidak punya syarat batas.
Bentuk persamaan syarat batas diberikan dengan
)(xfnu
u =⎥⎦⎤
⎢⎣⎡
∂∂
+ βα , (13)
dimana βα , adalah suatu konstanta dan nu∂∂
didefinisikan sebagai
grad nxu
xu
nun
.,...,.1
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛
∂∂
∂∂
= . Terdapat tiga jenis syarat batas yaitu:
(a) persamaan (13) disebut dengan kondisi Dirichlet jika 0≠α dan
0=β ;
(b) persamaan (13) disebut dengan kondisi Neumann jika 0=α dan
0≠β ;
(c) persamaan (13) disebut dengan kondisi campuran jika 0≠α dan
0≠β (Pinsky, 1998).
18
C. Transformasi Laplace
Definisi 5.
Misalkan adalah suatu fungsi yang terdefinisi pada interval
[0,∞). Transformasi Laplace dari f adalah suatu fungsi F(s) yang
didefinisikan dengan integral
)(tf
∫∞
−=0
)()( dttfesF st , (14)
dengan daerah asal F adalah semua nilai dari s sedemikian hingga integral
dari (14) ada. Fungsi asal dinyatakan dengan huruf kecil dan transformasi
Laplacenya dengan huruf yang sama tetapi huruf besar. Transformasi Laplace
dari f dinotasikan dengan F atau L{f}. Selanjutnya fungsi asal f(t) adalah
invers dari F(s) dan dinotasikan dengan =)(tf L-1{F(s)} (Hutahean, 1993).
Jika L{f}=F(s) maka f(t) disebut invers transformasi Laplace dari F(s) dan
secara simbolis ditulis:
f(t)= L-1{F(s)},
dengan L-1 disebut operator invers transformasi Laplace.
Definisi 6.
Suatu fungsi f(t) dikatakan kontinu bagian demi bagian pada suatu
selang jika f kontinu di sejumlah hingga titik pada selang tersebut
(Hutahean, 1993).
Dari pengertian tersebut berarti selang yang dimaksud dapat dibagi
menjadi sejumlah hingga sub selang sehingga f kontinu pada setiap sub
19
selang yang terjadi, jadi suatu fungsi f(t) kontinu pada [0,∞) jika f kontinu
pada selang [0,N) untuk semua . 0>N
Definisi 7.
Suatu fungsi f(t) dikatakan berorde eksponensial jika
terdapat konstanta tak negatif M dan T sehingga
∞→t
tMetf α≤)( untuk semua
(Hutahean, 1993). Tt ≥
Teorema 2.
Diketahui f1 dan f2 suatu fungsi-fungsi. Jika transformasi Laplace dari f1 dan
f2 ada dan c merupakan suatu konstanta maka:
(i) L =+ }{ 21 ff L +}{ 1f L ; }{ 2f
(ii) L L . ccf =}{ 1 }{ 1f
Bukti:
(i) Jelas L . =+ }{ 21 ff ∫∞
− +0
21 ))(( dttffe st
L ⇔ =+ }{ 21 ff ∫∞
−− +0
21 ))()(( dtetfetf stst
L ⇔ =+ }{ 21 ff ∫ ∫∞ ∞
−− +0 0
21 )()( dtetfdtetf stst
L L⇔ =+ }{ 21 ff +}{ 1f L . }{ 2f
(ii) Jelas L . ∫∞
−=0
11 ))((}{ dttcfecf st
L ⇔ ∫∞
−=0
11 ))((}{ dttfcecf st
20
L ⇔ ∫∞
−=0
11 ))((}{ dttfeccf st
L L . ⇔ ccf =}{ 1 }{ 1f
Akibatnya, invers transformasi Laplace jika ada adalah linier.
Bukti:
Tulis L=)(1 tf -1 )}({ 1 sF dan =)(2 tf L-1 . )}({ 2 sF
(a) Jelas L-1 )()()}()({ 2121 tftfsFsF +=+ .
L⇔ -1 =+ )}()({ 21 sFsF L-1 )}({ 1 sF + L-1 )}({ 2 sF .
(b) Jelas L-1 )}({ 1 scF )(1 tcf= .
L⇔ -1 )}({ 1 scF c= L-1 )}({ 1 sF .
Jadi L-1 adalah linier.
D. Maple
Maple merupakan salah satu perangkat lunak yang dikembangkan
oleh Waterloo Inc. Kanada untuk keperluan Computer Algebraic System
(CAS). Maple sering digunakan untuk keperluan penyelesaian permasalahan
persamaan diferensial dan visualisasinya, karena mudah untuk digunakan.
Maple memiliki kemampuan menyederhanakan persamaan, hingga suatu
solusi persamaan diferensial dapat dipahami dengan baik. Keunggulan dari
Maple untuk aplikasi persamaan diferensial adalah kemampuan melakukan
gerakan/animasi grafik dari suatu fenomena yang dimodelkan ke dalam
21
persamaan diferensial yang memiliki nilai awal dan syarat batas (Kartono,
2001).
Untuk memulai Maple pada Windows, cukup dengan klik pada
icon Maple yang akan langsung memberikan respon dengan menampilkan
worksheet “>”. Menu-menu yang terdapat pada tampilan Maple terdiri dari
File, Edit, View, Insert, Format, Spreadsheet, Option, Windows, dan Help.
Sebagian besar menu di atas merupakan menu standar yang dikembangkan
untuk program aplikasi pada sistem operasi Windows. Bahasa yang
digunakan pada Maple merupakan bahasa pemrograman yang sekaligus
sebagai bahasa aplikasi, sebab pernyataan atau statement yang merupakan
input (masukan) pada Maple berupa deklarasi pada bahasa program dan
command (perintah) yang sering digunakan pada aplikasi. Simbol “>” ini
otomatis dan sebagai tanda bahwa Maple telah siap untuk dioperasikan.
Perintah ke komputer diberikan dengan mengetikkan pada papan ketik
setelah simbol “>”. Perintah ini dicetak dalam warna merah, sedangkan
hasilnya dicetak dalam warna biru. Setiap perintah Maple jika ingin
ditampilkan harus diakhiri dengan simbol titik koma (;) dan simbol titik dua
(:) jika respon tidak ingin ditampilkan.
BAB III
METODE PENELITIAN
Peranan metode penelitian dalam suatu penelitian sangat penting.
Sehingga dengan metode penelitian dapat mencapai tujuan penelitian yang telah
ditetapkan dan agar penelitian yang telah dilakukan berjalan dengan lancar.
Melalui metode penelitian, masalah yang dihadapi dapat diatasi dan dipecahkan
dari perolehan data yang telah dikumpulkan.
Langkah-langkah yang dilakukan pada penelitian ini meliputi beberapa hal yaitu.
A. Pemilihan Masalah
Dalam perkuliahan yang diperoleh penulis, banyak masalah yang perlu dikaji
lebih lanjut. Dari beberapa masalah tersebut dihadapkan pada persoalan
untuk memilih masalah yang kemudian dijadikan bahan dasar untuk
melakukan penelitian lebih lanjut.
B. Merumuskan Masalah
Perumusan masalah diperlukan untuk membatasi permasalahan sehingga
diperoleh bahan kajian yang jelas. Sehingga akan lebih mudah untuk
menentukan langkah dalam memecahkan masalah tersebut.
C. Studi Pustaka
Setelah diperoleh masalah untuk diteliti, peneliti mengadakan studi pustaka.
Studi pustaka adalah penelaahan sumber pustaka yang relevan, digunakan
untuk mengumpulkan data informasi yang diperlukan dalam penelitian. Studi
pustaka diawali dengan mengumpulkan sumber pustaka yang berupa buku
22
23
atau literatur, jurnal, skripsi dan sebagainya. Setelah pustaka terkumpul
dilanjutkan dengan pemahaman isi sumber pustaka tersebut yang pada
akhirnya sumber pustaka ini dijadikan landasan untuk menganalisis
permasalahan.
D. Memecahkan Masalah
Setelah permasalahan dirumuskan dan sumber pustaka terkumpul, langkah
selanjutnya adalah pemecahan masalah melalui pengkajian secara teoritis
yang selanjutnya disususn secara rinci dalam bentuk pembahasan.
Dalam pembahasan masalah dilakukan beberapa langkah pokok yaitu:
1. memberikan masalah nilai batas pada persamaan diferensial parsial;
2. mentransformasikan masalah nilai batas pada persamaan diferensial
parsial dengan menggunakan metode transformasi Laplace;
3. menyelesaikan masalah nilai batas pada persamaan diferensial parsial
yang telah ditransformasikan dengan metode transformasi Laplace
dengan menggunakan invers transformasi Laplace.
E. Menarik Kesimpulan
Langkah terakhir dalam kegiatan penelitian ini adalah menarik kesimpulan
dari keseluruhan permasalahan yang telah dirumuskan dengan berdasarkan
pada landasan teori dan hasil pemecahan masalah.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pemodelan Persamaan Konduksi Panas Dimensi Satu
Perhatikan suatu batang kawat tipis dengan ukuran panjang hingga
yang diisolasi dengan irisan melintangnya diasumsikan konstan dan terbuat
dari bahan homogen serta terletak pada sumbu X. Didefinisikan adalah
suhu pada titik x dan waktu t dalam batang kawat tersebut. Ujung-ujung kawat
dan (lihat gambar 1).
),( txu
0x 1x
u(x,t)
isolator
xo x1 X
t
Gambar 1. Sketsa Batang Kawat pada Sumbu X
1. Identifikasi Besaran yang Terlibat
Identifikasi besaran yang terlibat pada pemodelan di atas dapat
dilihat dalam tabel 1.
24
25
Tabel 1. Identifikasi Besaran yang Terlibat
Besaran yang terlibat Lambang Satuan Var/Kons
Waktu
Panjang kawat
Suhu kawat
Aliran panas
Energi masuk
Energi keluar
Energi yang diserap
t
x
),( txu
q(x,t)
q(x,t).Δt
q(x+Δx,t+Δt)Δt
k[u(x+Δx,t+Δt)-u(x,t)]Δx
det
m
oC
Kg.m.s-3
Kg.m.s-2
Kg.m.s-2
2.. −smKg
Var
Var
Var
Var
Var
Var
Var
2. Hukum yang Mengendalikan
Persamaan konduksi panas sederhana dikarakterisasikan oleh
hukum di bawah ini.
1. Panas mengalir dari tempat yang lebih panas ke tempat yang lebih
dingin.
2. Energi yang masuk sama dengan energi keluar ditambah dengan
energi yang diserap.
3. Energi berbanding lurus dengan laju perubahan suhu persatuan
panjang (Hukum Fourier pada hantaran panas).
3. Model Matematika
Jelas energi masuk: ttxq Δ),( ;
energi keluar: tttxxq ΔΔ+Δ+ ),( ;
26
energi yang diserap: xtxuttxxuk Δ−Δ+Δ+ )],(),([ .
Jadi ttxq Δ),( tttxxq ΔΔ+Δ+= ),( xtxuttxxuk Δ−Δ+Δ++ )],(),([
−⇔ ),(( txq tttxxq ΔΔ+Δ+ )),( xtxuttxxuk Δ−Δ+Δ+= )],(),([1
t
txuttxxukx
ttxxqtxqΔ
−Δ+Δ+=
ΔΔ+Δ+−
⇔)],(),([),(),( 1
t
txuttxxukx
ttxxqtxqtx Δ
−Δ+Δ+=
ΔΔ+Δ+−
⇔→Δ→Δ
)],(),([lim),(),(lim 1
00
tuk
xq
∂∂
=∂∂
−⇔ 1 .
Sesuai dengan hukum Fourier yang menyatakan bahwa energi berbanding
lurus dengan laju perubahan panas terhadap x, maka diperoleh
xutxq
∂∂
−= α),( , 0>α
tanda negatif pada hukum Fourier menunjukkan bahwa panas mengalir
dari tempat yang lebih panas ke tempat yang lebih dingin.
Jadi tuk
xu
x ∂∂
=⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
∂∂
−∂∂
− 1α
tuk
xu
∂∂
=∂∂
⇔ 12
2
α
tuk
xu
∂∂
=∂∂
⇔α
12
2
2
2
xuk
tu
∂∂
=∂∂
⇔ , kk
=1
α
2
22
xuc
tu
∂∂
=∂∂
⇔ , . (1) 2ck =
27
Persamaan ini disebut dengan persamaan konduksi panas dimensi satu.
Konstanta k dinamakan difusitas yang sama dengan σρK dengan
konduktifitas termal K, panas jenis σ, dan kerapatan ρ diandaikan konstan.
Distribusi temperatur pada saat awal, yaitu saat , 0=t
)()0,( xfxu = , Ix ∈
Syarat batas dapat ditentukan pada kedua ujung batang kawat
yaitu dan . Misalnya temperatur pada ujung-ujungnya adalah ,
diperoleh syarat batas Dirichlet:
0=x lx = )(tf
⎩⎨⎧
>=>=
0),(),(0),(),0(
ttftluttftu
.
Jika ujung batang kawat diisolasi, maka 0),(=
∂∂
xtxu . Dan jika
panas yang mengalir proporsional terhadap pergantian temperatur pada
ujung batang kawat
),( txq
xtxu
∂∂ ),( , maka menurut hukum Fourier konduksi panas
dimensi satu x
txuktxq∂
∂−=
),(),( , sehingga diperoleh syarat batas Neumann:
⎪⎪⎩
⎪⎪⎨
⎧
>−=∂
∂
>−=∂
∂
0,),(),(
0),0(),0(
tk
tlqx
tlu
tk
tqx
tu
.
Jika pergantian temperatur pada ujung batang kawat x
txu∂
∂ ),(
proporsional terhadap temperatur , maka diperoleh syarat batas
Campuran:
),( txu
28
⎪⎪⎩
⎪⎪⎨
⎧
>=+∂
∂
>=+∂
∂
0),(),(),(
0),(),0(),0(
2
1
txftlux
tlu
txftux
tu
β
α,
dimana α, β adalah suatu konstanta yang diberikan.
B. Penyelesaian Persamaan Diferensial Parsial dengan Transformasi
Laplace
Interval setengah tak terbatas pada kasus parabolik
Diketahui persamaan konduksi panas 2
22
xuc
tu
∂∂
=∂∂ .
Pada kondisi awal )()0,( xfxu = , diketahui syarat batasnya adalah: 0>x
)(),0(),0( tgx
tutu =∂
∂+ βα ; 0>t
dengan α,β suatu konstanta yang diberikan.
Diketahui 2
22
xuc
tu
∂∂
=∂∂
⇔ L =⎭⎬⎫
⎩⎨⎧
∂∂ ),( tx
tu
L⎭⎬⎫
⎩⎨⎧
∂∂ ),(2
22 tx
xuc , kc =2
⇔ L =⎭⎬⎫
⎩⎨⎧
∂∂ ),( tx
tu kL
⎭⎬⎫
⎩⎨⎧
∂∂ ),(2
2
txxu
⇔ 2
2 ),(~)0,(),(~
dxsxudkxusxus =−
⇔kxusxu
ks
dxsxud )0,(),(~),(~
2
2
−=− . (2)
Substitusikan kondisi awal ke persamaan (2), sehingga diperoleh:
29
kxfsxu
ks
dxsxud )(),(~),(~
2
2
−=− , (3)
dengan syarat batas:
)(),0(),0( tgx
tutu =∂
∂+ βα
⇔ L =⎭⎬⎫
⎩⎨⎧
∂∂
+x
tutu ),0(),0( βα L{ })(tg
⇔ L{ }+),0( tuα L =⎭⎬⎫
⎩⎨⎧
∂∂
xtu ),0(β L{ })(tg
⇔ αL{ }+),0( tu βL =⎭⎬⎫
⎩⎨⎧
∂∂
xtu ),0(
L{ })(tg
⇔ )(~),0(~),0(~ sg
dxsudsu =+ βα . (4)
Interval terbatas pada kasus parabolik
Persamaan konduksi panas dimensi satu:
),(),( 2
2
txxuktx
tu
∂∂
=∂∂ , lx <<0 , (5) 0>t
pada kondisi awal )()0,( xfxu = , lx <<0 diketahui syarat batasnya adalah:
)(),0(),0( 1 tgx
tutu =∂
∂+ βα ; ; α,β konstanta, (6) 0>t
)(),(),( 2 tgx
tlutlu =∂
∂+ βα ; ; α,β konstanta. (7) 0>t
Dengan mentransformasi persamaan (5) diperoleh persamaan yang sama
dengan persamaan (2). Dan dengan substitusi dari kondisi awal ke persamaan
30
(2) diperoleh persamaan yang sama dengan persamaan (3), dengan syarat
batas:
)(),0(),0( 1 tgx
tutu =∂
∂+ βα
⇔ L =⎭⎬⎫
⎩⎨⎧
∂∂
+x
tutu ),0(),0( βα L{ })(1 tg
⇔ L{ }+),0( tuα L =⎭⎬⎫
⎩⎨⎧
∂∂
xtu ),0(β L{ })(1 tg
⇔ αL{ }+),0( tu βL =⎭⎬⎫
⎩⎨⎧
∂∂
xtu ),0(
L{ })(1 tg
⇔ )(~),0(~),0(~
1 sgdx
sudsu =+ βα , dan (8)
)(),(),( 2 tgx
tlutlu =∂
∂+ βα
⇔ L =⎭⎬⎫
⎩⎨⎧
∂∂
+x
tlutlu ),(),( βα L{ })(2 tg
⇔ L{ }+),( tluα L =⎭⎬⎫
⎩⎨⎧
∂∂
xtlu ),(β L{ })(2 tg
⇔ αL{ }+),( tlu βL =⎭⎬⎫
⎩⎨⎧
∂∂
xtlu ),(
L{ })(2 tg
⇔ )(~),(~),(~
2 sgdx
sludslu =+ βα . (9)
C. Penyelesaian Umum
Dengan menggunakan transformasi Laplace (terhadap t atau x)
dalam masalah nilai batas pada persamaan diferensial parsial, maka
31
persamaan-persamaan diferensial parsial tersebut dapat ditransformasikan
menjadi persamaan diferensial biasa berbentuk:
)('' xfyy =+ . (10)
Sebagai contoh perhatikan persamaan diferensial 0'' =+ yy .
Tulis dan suatu selesaian. )(1 xy )(2 xy
Jadi . ⎩⎨⎧
=+=+
)()(')(')(')('0)()(')()('
21
21
xfxyxBxyxAxyxBxyxA
Dengan menyelesaikan A’(x) dan B’(x), diperoleh A(x) dan B(x) maka
penyelesaian persamaan (10) di atas adalah:
)()()()()( 21 xyxBxyxAxy += .
Jika pada persamaan (10) tersebut berbentuk eksponensial, polinomial
dan trigonometri (terbatas pada
)(xf
αsin dan αcos ), maka A(x) dan B(x) berupa
suatu konstanta.
Interval setengah tak terbatas pada kasus parabolik
Diasumsikan bahwa solusi umum dari persamaan (10) adalah:
xmxm exBexAxy 21 )()()( += . (11)
Dengan mengambil persamaan:
0)(')(' 21 =+ xmxm exBexA dan (12)
)()(')(' 2121 xfexBtexAt xmxm =+ , (13)
diperoleh:
xmexfmm
xA 1)(1)('12
−
−−=
32
112
1)(1)( cdxexfmm
xA xm +−
−=⇔ −∫ , dan (14)
xmexfmm
xB 2)(1)('12
−
−=
212
2)(1)( cdxexfmm
xB xm +−
=⇔ −∫ . (15)
Jika A(x) dan B(x) dari (14) dan (15) disubstitusikan ke persamaan (11),
diperoleh:
xmxmxmxm edxexfmm
cedxexfmm
cxy 2212 )(1)(1)(12
212
1⎭⎬⎫
⎩⎨⎧
−++
⎭⎬⎫
⎩⎨⎧
−−= ∫∫ −− .
Dari persamaan (3), akar-akar karakteristik dari persamaan
0),(~),(~2
2
=− sxuks
dxsxud adalah
kst =1 ;
kst −=2 .
Diasumsikan bahwa solusi umum dari persamaan (3) tersebut adalah:
xksx
ks
exBexAsxu−
+= )()(),(~ . (16)
Dengan mengambil persamaan:
0)`()`( =+− x
ksx
ks
exBexA dan
kxfexB
ksexA
ks x
ksx
ks )()`()`( −=−
−.
Diperoleh:
xks
e
ksk
xfxA−
−=2
)()`(
33
1)(2
1)( cdxexf
ksk
xAx
ks
+−=⇔ ∫−
. (17)
xks
e
ksk
xfxB2
)()`( =
2)(2
1)( cdxexf
ksk
xBx
ks
+=⇔ ∫ . (18)
Jika A(x) dan B(x) dari (17) dan (18) disubstitusikan ke persamaan (16)
sehingga diperoleh:
xks
xksx
ksx
ks
edxexf
ksk
cedxexf
ksk
csxu−−
⎪⎪⎩
⎪⎪⎨
⎧
⎪⎪⎭
⎪⎪⎬
⎫
++
⎪⎪⎩
⎪⎪⎨
⎧
⎪⎪⎭
⎪⎪⎬
⎫
−= ∫∫ )(2
1)(2
1),(~21
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛+⎟
⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−+= ∫∫
−−−dxexfe
ksk
dxexfe
ksk
ecec ks
xks
xksx
ks
xks
xks
)(2
1)(2
121
karena haruslah terbatas bila ),( txu ∞→x maka L harus
pula terbatas bila
=),(~ sxu }{ ),( txu
∞→x , maka harus diperoleh 01 =c , sehingga
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛+
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛−= ∫∫
−−−dxexfe
ksk
dxexfe
ksk
ecsxux
ksx
ksx
ksx
ksx
ks
)(2
1)(2
1),(~2 .
Untuk mendapatkan penyelesaian persamaan di atas dengan invers
transformasi Laplace, sehingga diperoleh:
34
=),( txu L-1
⎪⎪⎩
⎪⎪⎨
⎧
+⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛− ∫
−−dxexfe
ksk
ecx
ksx
ksx
ks
)(2
12
⎪⎪⎭
⎪⎪⎬
⎫
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛∫
−dxexfe
ksk
xksx
ks
)(2
1 . (19)
Interval terbatas pada kasus parabolik
Diasumsikan bahwa solusi umum dari persamaan (10) tersebut adalah:
xxBxxAxy sinh)(cosh)()( += . (20)
Dengan mengambil persamaan:
0sinh)`(cosh)`( =+ xxBxxA dan
)(cosh)`(sinh)`( xfxxBxxA =+ ,
diperoleh:
xxfxA sinh)()`( −=
x
x
eexfxA )1))(((
21)`(
2 −−=⇔
∫ ++−=⇔ −1))((
21)( cdxeexfxA xx (21)
xxfB cosh)(=̀
x
x
eexfB )1))(((
21`
2 +=⇔
∫ ++=⇔ −2))((
21)( cdxeexfxB xx (22)
35
Jika A(x) dan B(x) dari (21) dan (22) disubstitusikan ke persamaan (20),
diperoleh:
⎩⎨⎧
⎩⎨⎧
⎭⎬⎫+++
⎭⎬⎫++−= ∫∫ −− xcdxeexfxcdxeexfxy xxxx sinh))((
21cosh))((
21)( 21 .
Diasumsikan bahwa solusi umum dari persamaan (3) adalah :
xks
xBxks
xAsxu sinh)(cosh)(),(~ += . (23)
Dengan mengambil persamaan:
0sinh)`(cosh)`( =+ xks
xBxks
xA dan
k
xfx
ks
xBks
xks
xAks )(
cosh)`(sinh)`( −=+ ,
sehingga diperoleh:
xks
ksk
xfxA sinh)()`( =
xks
xks
eksk
exf
xA
2
1)(
)`(
2
⎟⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜⎜
⎝
⎛−
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛
=⇔
∫ +⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛+−−=⇔
−
1)(2
1)( cdxeexf
ksk
xAx
ksx
ks
. (24)
xks
ksk
xfxB cosh)()`( −=
36
xks
xks
eksk
exf
xB
2
1)(
)`(
2
⎟⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜⎜
⎝
⎛+
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛
−=⇔
2)(2
1)( cdxeexf
ksk
xBx
ks
xks
+⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛+−=⇔ ∫
−. (25)
Jika A(x) dan B(x) dari (24) dan (25) disubstitusikan ke persamaan (23),
diperoleh:
xksdxeexf
ksk
csxux
ksx
ks
cosh)(2
1),(~1
⎟⎟⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜⎜⎜
⎝
⎛
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛+−−= ∫
−
xksdxeexf
ksk
cx
ksx
ks
sinh)(2
12
⎟⎟⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜⎜⎜
⎝
⎛
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛+−+ ∫
−.
Untuk mendapatkan penyelesaian persamaan di atas dengan invers
transformasi Laplace, sehingga diperoleh:
=),( txu L-1
⎪⎪⎩
⎪⎪⎨
⎧
⎟⎟⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜⎜⎜
⎝
⎛
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛+−− ∫
−x
ksdxeexf
ksk
cx
ksx
ks
cosh)(2
11
⎪⎪⎭
⎪⎪⎬
⎫
⎟⎟⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜⎜⎜
⎝
⎛
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛+−+ ∫
−x
ksdxeexf
ksk
cx
ksx
ks
sinh)(2
12 . (26)
37
Contoh 1.
Selesaikan masalah nilai batas persamaan konduksi panas pada suatu batang
kawat tipis semi infinite dengan temperatur awal dan ujung kawat pada
mempunyai temperatur konstan .
Co0
0=x ot
Penyelesaian:
Diketahui 2
22
xuc
tu
∂∂
=∂∂ , , . 0>x 0>t
Dipunyai , . 0)0,( =xu 0>x
Jelas kxusxu
ks
dxsxud )0,(),(~),(~
2
2
−=−
0),(~),(~2
2
=−⇔ sxuks
dxsxud .
Dipunyai . ottu =),0( , 0>t
Jelas L L =)},0({ tu }{ ot
st
su o=⇔ ),0(~ .
Jadi x
ks
xks
ececsxu−
+= 21),(~ .
Tulis . 01 =c
Jelas x
ks
ecsxu−
= 2),(~ .
Jadi st
su o=),0(~
02),0(~ ecsu =⇔
38
st
c o=⇔ 2 .
Jadi x
ks
o est
sxu−
=),(~ .
Jadi L=),( txu -1 )},(~{ sxu
=⇔ ),( txu L-1⎪⎭
⎪⎬⎫
⎪⎩
⎪⎨⎧ − x
ks
o est
ottxu =⇔ ),( L-1⎪⎭
⎪⎬⎫
⎪⎩
⎪⎨⎧ − x
ks
es1
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=⇔
ktxerfcttxu o 2
),( .
Jadi ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=
ktxerfcttxu o 2
),( .
D. Pemrograman Komputer Persamaan Konduksi Panas Dimensi Satu
Berikut ini adalah pemrograman Maple untuk persamaan konduksi
panas dimensi satu.
Interval setengah tak terbatas pada kasus parabolik
> restart;with(PDEtools):
> p1:=(D@@2)(y)(x)+y(x)=f(x);
:= p1 = + ( )( )( )D( )2
y x ( )y x ( )f x
> p2:=y(x)=A(x)*exp(m[1]*x)+B(x)*exp(m[2]*x);
:= p2 = ( )y x + ( )A x e( )m
1x
( )B x e( )m
2x
39
> s1:=D(A)(x)*exp(m[1]*x)+D(B)(x)*exp(m[2]*x)=0;
:= s1 = + ( )( )D A x e( )m
1x
( )( )D B x e( )m
2x
0
>s2:=m[1]*D(A)(x)*exp(m[1]*x)+m[2]*D(B)(x)*exp(m[2]*
x)=f(x);
:= s2 = + m1 ( )( )D A x e( )m
1x
m2 ( )( )D B x e( )m
2x
( )f x
> sol1:=solve({s1,s2},{D(A)(x),D(B)(x)});
:= sol1 ⎧
⎩
⎪⎪⎪⎪⎪⎨
⎫
⎭
⎪⎪⎪⎪⎪⎬
, = ( )( )D A x( )f x
e( )m
1x
( )− + m2 m1
= ( )( )D B x −( )f x
e( )m
2x
( )− + m2 m1
> sol2:=sol1[1];
:= sol2 = ( )( )D A x( )f x
e( )m
1x
( )− + m2 m1
> sol3:=sol1[2];
:= sol3 = ( )( )D B x −( )f x
e( )m
2x
( )− + m2 m1
> solu1:=dsolve({sol2},A(x));
:= solu1 = ( )A x + d⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮
e( )−m
1x
( )f x− + m2 m1
x _C1
> solu2:=dsolve({sol3},B(x));
:= solu2 = ( )B x + d⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮−
( )f x e( )−m
2x
− + m2 m1x _C1
> solu3:=subs(_C1=_C2,solu2);
40
:= solu3 = ( )B x + d⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮−
( )f x e( )−m
2x
− + m2 m1x _C2
> pers1:=subs(solu1,solu3,p2);
:= pers1 = ( )y x + ⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜⎜⎜⎜
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟⎟⎟⎟ + d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮
e( )−m
1x
( )f x− + m2 m1
x _C1 e( )m
1x ⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜⎜⎜⎜
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟⎟⎟⎟ + d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮−
( )f x e( )−m
2x
− + m2 m1x _C2 e
( )m2
x
> simplify(pers1);
( )y x e( )m
1x
d⌠
⌡⎮⎮⎮
e( )−m
1x
( )f x x e( )m
1x
_C1 m2 e( )m
1x
_C1 m1 e( )m
2x
d⌠
⌡⎮⎮⎮
( )f x e( )−m
2x
x − + − ⎛
⎝⎜⎜⎜
=
e( )m
2x
_C2 m2 e( )m
2x
_C2 m1 − + − + m2 m1
⎞
⎠⎟⎟⎟
( )
> restart;with(inttrans):
> p:=diff(u(x,s),x$2)-s/k*(u(x,s))=0;
:= p = − ⎛
⎝⎜⎜⎜
⎞
⎠⎟⎟⎟∂
∂2
x2 ( )u ,x s s ( )u ,x sk 0
> p1:=dsolve(p,u(x,s));
:= p1 = ( )u ,x s + ( )_F1 s e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
s k xk
( )_F2 s e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk
> p2:=subs(_F1(s)=A(x),_F2(s)=B(x),p1);
:= p2 = ( )u ,x s + ( )A x e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
s k xk
( )B x e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk
> s1:=D(A)(x)*exp(sqrt(s/k)*x)+D(B)(x)*exp(-
sqrt(s/k)*x)=0;
:= s1 = + ( )( )D A x e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
( )( )D B x e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
sk
x
0
41
> s2:=sqrt(s/k)*D(A)(x)*exp(sqrt(s/k)*x)-
sqrt(s/k)*D(B)(x)*exp(-sqrt(s/k)*x)=-f(x)/k;
:= s2 = − sk ( )( )D A x e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x sk ( )( )D B x e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
sk
x
−( )f xk
> s3:=solve({s1,s2},{D(A)(x),D(B)(x)});
:= s3
⎧
⎩
⎪⎪⎪⎪⎪⎪⎪⎪⎪
⎨
⎫
⎭
⎪⎪⎪⎪⎪⎪⎪⎪⎪
⎬, = ( )( )D A x −12
( )f x
sk e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
k
= ( )( )D B x12
( )f x e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
sk k
> sol1:=s3[1];
:= sol1 = ( )( )D A x −12
( )f x
sk e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
k
> sol2:=s3[2];
:= sol2 = ( )( )D B x12
( )f x e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
sk k
> so1:=dsolve({sol1},A(x));
:= so1 = ( )A x + d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮
−12
( )f x e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
sk
x
sk k
x _C1
> so2:=dsolve({sol2},B(x));
42
:= so2 = ( )B x + d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮
12
( )f x e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
sk k
x _C1
> so3:=subs(_C1=_C2,so2);
:= so3 = ( )B x + d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮
12
( )f x e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
sk k
x _C2
> pers1:=subs(so1,so3,p2);
pers1 ( )u ,x s = :=
+
⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜⎜⎜⎜⎜⎜⎜
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟⎟⎟⎟⎟⎟⎟
+ d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮
−12
( )f x e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
sk
x
sk k
x _C1 e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
s k xk
⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜⎜⎜⎜⎜⎜⎜
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟⎟⎟⎟⎟⎟⎟
+ d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮
12
( )f x e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
sk k
x _C2 e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk
> pers2:=simplify(pers1);
pers2 ( )u ,x s12 e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
s k xk
d⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮( )f x e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
sk
x
x 2 e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
s k xk
_C1sk k− +
⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜⎜ = :=
e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk
d⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮( )f x e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
x 2 e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk
_C2sk k + +
sk k
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟⎟
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
> per1:=subs(_C1=0,pers2);
per1 ( )u ,x s = :=
12
− + + e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
s k xk
d⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮( )f x e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
sk
x
x e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk
d⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮( )f x e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
x 2 e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk
_C2sk k
sk k
> invlaplace(per1,x,s);
43
( )invlaplace , ,( )u ,x s x s12
⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜⎜
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟⎟invlaplace , ,e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
s k xk
d⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮( )f x e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
sk
x
x x s−⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜⎜ =
⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜⎜
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟⎟invlaplace , ,e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk
d⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮( )f x e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
x x s 2 _C2sk k ⎛
⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟Dirac − s
s kk + +
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟⎟
sk k⎛
⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
Interval terbatas pada kasus parabolik
> restart;with(PDEtools):
> (D@@2)(y)(x)+y(x)=f(x);
= + ( )( )( )D( )2
y x ( )y x ( )f x
> p:=A(x)*cosh(x)+B(x)*sinh(x);
:= p + ( )A x ( )cosh x ( )B x ( )sinh x
> p1:=D(A)(x)*cosh(x)+D(B)(x)*sinh(x)=0;
:= p1 = + ( )( )D A x ( )cosh x ( )( )D B x ( )sinh x 0
> p2:=D(A)(x)*sinh(x)+D(B)(x)*cosh(x)=f(x);
:= p2 = + ( )( )D A x ( )sinh x ( )( )D B x ( )cosh x ( )f x
> p3:=solve({p1,p2},{D(A)(x),D(B)(x)});
:= p3⎧
⎩
⎪⎪⎪⎪⎨⎫
⎭
⎪⎪⎪⎪⎬, = ( )( )D A x −12
( )f x ( ) − ( )e x2
1e x = ( )( )D B x
12
( ) + ( )e x2
1 ( )f xe x
> s1:=p3[1];
:= s1 = ( )( )D A x −12
( )f x ( ) − ( )e x2
1e x
> s2:=p3[2];
44
:= s2 = ( )( )D B x12
( ) + ( )e x2
1 ( )f xe x
> sol1:=dsolve({s1},A(x));
:= sol1 = ( )A x + d⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮
12 ( )f x ( )− + e x e
( )−xx _C1
> sol2:=dsolve({s2},B(x));
:= sol2 = ( )B x + d⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮
12 ( )f x ( ) + ex e
( )−xx _C1
> sol3:=subs(_C1=_C2,sol2);
:= sol3 = ( )B x + d⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮
12 ( )f x ( ) + ex e
( )−xx _C2
> pers1:=subs(sol1,sol3,p);
pers1 :=
+ ⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟ + d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮
12 ( )f x ( )− + ex e
( )−xx _C1 ( )cosh x
⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟ + d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮
12 ( )f x ( ) + e x e
( )−xx _C2 ( )sinh x
> pers2:=simplify(pers1);
pers212 ( )cosh x d⌠
⌡⎮⎮ ( )f x ( )− + e x e
( )−xx ( )cosh x _C1
12 ( )sinh x d⌠
⌡⎮⎮ ( )f x ( ) + e x e
( )−xx + + :=
( )sinh x _C2 +
> restart;with(PDEtools):with(inttrans):
> p:=diff(u(x,s),x$2)-s/k*(u(x,s))=-f(x)/k;
:= p = − ⎛
⎝⎜⎜⎜
⎞
⎠⎟⎟⎟∂
∂2
x2 ( )u ,x ss ( )u ,x s
k −( )f xk
> p1:=dsolve(p,u(x,s));
45
p1 ( )u ,x s d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮
−12
e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk
( )f xs k
x e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
s k xk
d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮
12
e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
s k xk
( )f xs k
x e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk
+ = :=
( )_F1 s e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
s k xk
( )_F2 s e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk
+ +
> pp1:=subs(_F1=A(x),_F2=B(x),p1);
pp1 ( )u ,x s d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮
−12
e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk
( )f xs k
x e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
s k xk
d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮
12
e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
s k xk
( )f xs k
x e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk
+ = :=
( )( )A x s e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
s k xk
( )( )B x s e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk
+ +
>p2:=D(A)(x)*cosh((sqrt(s/k))*x)+D(B)(x)*sinh((sqrt(
s/k))*x)=0;
:= p2 = + ( )( )D A x ⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟cosh
sk x ( )( )D B x ⎛
⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟sinh
sk x 0
>p3:=sqrt(s/k)*D(A)(x)*sinh((sqrt(s/k))*x)+sqrt(s/k)
*D(B)(x)*cosh((sqrt(s/k))*x)=-f(x)/k;
:= p3 = + sk ( )( )D A x ⎛
⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟sinh
sk x
sk ( )( )D B x ⎛
⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟cosh
sk x −
( )f xk
> s1:=solve({p2,p3},{D(A)(x),D(B)(x)});
:= s1
⎧
⎩
⎪⎪⎪⎪⎪⎪⎪⎪⎪⎪
⎨
⎫
⎭
⎪⎪⎪⎪⎪⎪⎪⎪⎪⎪
⎬, = ( )( )D A x 12
( )f x
⎛
⎝⎜⎜⎜
⎞
⎠⎟⎟⎟ −
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x2
1
sk k e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x = ( )( )D B x −
12
( )f x
⎛
⎝⎜⎜⎜
⎞
⎠⎟⎟⎟ +
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x2
1
sk k e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
> s2:=s1[1];
:= s2 = ( )( )D A x12
( )f x
⎛
⎝⎜⎜⎜
⎞
⎠⎟⎟⎟ −
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x2
1
sk k e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
46
> s3:=s1[2];
:= s3 = ( )( )D B x −12
( )f x
⎛
⎝⎜⎜⎜
⎞
⎠⎟⎟⎟ +
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x2
1
sk k e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
> sol1:=dsolve(s2,A(x));
:= sol1 = ( )A x + d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮
−12
( )f x⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟− + e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
sk
x
sk k
x _C1
> sol2:=dsolve(s3,B(x));
:= sol2 = ( )B x + d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮
−12
( )f x⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟ + e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
sk
x
sk k
x _C1
> sol3:=subs(_C1=_C2,sol2);
:= sol3 = ( )B x + d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮
−12
( )f x⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟ + e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
sk
x
sk k
x _C2
> solu1:=subs(sol1,sol3,pp1);
47
solu1 ( )u ,x s d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮
−12
e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk
( )f xs k
x e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
s k xk
d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮
12
e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
s k xk
( )f xs k
x e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk
+ = :=
( )
⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜⎜⎜⎜⎜⎜⎜
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟⎟⎟⎟⎟⎟⎟
+ d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮
−12
( )f x⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟− + e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
sk
x
sk k
x _C1 s e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
s k xk
+
( )
⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜⎜⎜⎜⎜⎜⎜
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟⎟⎟⎟⎟⎟⎟
+ d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮⎮
−12
( )f x⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟ + e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
sk
x
sk k
x _C2 s e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk
+
> solu2:=simplify(solu1);
solu2 ( )u ,x s12 d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk
( )f x x e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
s k xk ( )s s
( )k s ( )k s−⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜⎜ = :=
d⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
s k xk
( )f x x e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk ( )s s
( )k s ( )k s +
s k e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
s k xk
( )⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜⎜
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟⎟d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮( )f x
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟− + e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
sk
x
x s −
2 s k e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
s k xk
( )_C1 s( )s s( )k s ( )k s +
e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk
s k ( )⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜⎜
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟⎟d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮( )f x
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟ + e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
sk
x
x s −
2 e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk
s k ( )_C2 s( )s s( )k s ( )k s + s k
( )s s( )k s ( )k s
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟⎟
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
> solu3:=invlaplace(solu2,x,s);
48
solu3 ( )invlaplace , ,( )u ,x s x s12
⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜⎜ = :=
( )s s( )k s ( )k s
⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜⎜
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟⎟invlaplace , ,d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk
( )f x x e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
s k xk
x s−
( )s s( )k s ( )k s
⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜⎜
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟⎟invlaplace , ,d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
s k xk
( )f x x e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk
x s +
s k ( )⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜⎜
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟⎟d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮( )f x
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟− + e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
sk
x
x s ⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟Dirac + s
s kk −
2 s k ( )_C1 s( )s s( )k s ( )k s ⎛
⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟Dirac + s
s kk +
s k ( )⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜⎜
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟⎟d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮( )f x
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟ + e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
sk
x
x s ⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟Dirac − + s
s kk −
2 s k ( )_C2 s( )s s( )k s ( )k s ⎛
⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟Dirac − + s
s kk + s k
( )s s( )k s ( )k s
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟⎟
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
> simplify(solu3);
( )invlaplace , ,( )u ,x s x s12
( )s s( )k s ( )k s
⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜⎜
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟⎟invlaplace , ,d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk
( )f x x e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
s k xk
x s⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜⎜− =
( )s s( )k s ( )k s
⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜⎜
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟⎟invlaplace , ,d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
s k xk
( )f x x e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
s k xk
x s −
s k ( )⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜⎜
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟⎟d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮( )f x
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟− + e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
sk
x
x s ⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟Dirac
+ s k s kk +
2 s k ( )_C1 s( )s s( )k s ( )k s ⎛
⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟Dirac
+ s k s kk −
s k ( )⎛
⎝
⎜⎜⎜⎜⎜
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟⎟d
⌠
⌡
⎮⎮⎮⎮( )f x
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟ + e
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
sk
x
e⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟−
sk
x
x s ⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟Dirac
− + s k s kk +
2 s k ( )_C2 s( )s s( )k s ( )k s ⎛
⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟Dirac
− + s k s kk − s k
( )s s( )k s ( )k s
⎞
⎠
⎟⎟⎟⎟⎟
⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟
Contoh 2.
49
Gambarlah u pada contoh 1 sebagai sebuah permukaan dalam ruang yang
mempuyai temperatur dan persamaan konduksi panasnya Ct oo 27=
2
2
2xu
tu
∂∂
=∂∂ untuk 20 ≤≤ t dengan panjang Lx ≤≤0 , 2,0=L .
Penyelesaian:
> with(plots):
Warning, the name changecoords has been redefined
> u1:=u(x,t)=gamma*erf(x/(2*sqrt(k*t)));
:= u1 = ( )u ,x t γ ⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟erf
12
xk t
> u2:=subs(gamma=27,k=2,u1);
:= u2 = ( )u ,x t 27 ⎛
⎝⎜⎜⎜
⎞
⎠⎟⎟⎟erf
14
x 2t
>plot3d(rhs(u2),x=0..0.4,t=0..2,style=hidden,orienta
tion=[25,30],title="Gambar 2");
Contoh 3.
50
Gambarlah u pada contoh 1 sebagai sebuah permukaan dalam ruang yang
mempuyai temperatur dan persamaan konduksi panasnya Ct oo 35=
2
2
8xu
tu
∂∂
=∂∂ untuk 8,00 ≤≤ t dengan panjang Lx ≤≤0 , 1=L .
Penyelesaian:
> with(plots):
Warning, the name changecoords has been redefined
> p1:=u(x,t)=gamma*erf(x/(2*sqrt(k*t)));
:= p1 = ( )u ,x t γ ⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟erf
12
xk t
> p2:=subs(gamma=35,k=8,p1);
:= p2 = ( )u ,x t 35 ⎛
⎝⎜⎜⎜
⎞
⎠⎟⎟⎟erf
116
x 8t
>plot3d(rhs(p2),x=0..1,t=0..0.8,style=hidden,orienta
tion=[35,40],title="Gambar 3");
Contoh 4.
51
Gambarlah u pada contoh 1 sebagai sebuah permukaan dalam ruang yang
mempuyai temperatur dan pada persamaan konduksi
panas
Ct oo 37= Ct o
o 38=
2
2
8xu
tu
∂∂
=∂∂ untuk 8,00 ≤≤ t dengan panjang Lx ≤≤0 , 1=L .
Penyelesaian:
> with(plots):
Warning, the name changecoords has been redefined
> p:=u(x,t)=gamma*erf(x/(2*sqrt(k*t)));
:= p = ( )u ,x t γ ⎛⎝⎜⎜
⎞⎠⎟⎟erf
12
xk t
> p1:=subs(gamma=37,k=8,p);
:= p1 = ( )u ,x t 37 ⎛
⎝⎜⎜⎜
⎞
⎠⎟⎟⎟erf
116
x 8t
> p1:=subs(gamma=38,k=8,p);
:= p1 = ( )u ,x t 38 ⎛
⎝⎜⎜⎜
⎞
⎠⎟⎟⎟erf
116
x 8t
>plot3d({rhs(p1),rhs(p2)},x=0..1,t=0..0.8,style=hidd
en,orientation=[35,40],axes=FRAMED,title="Gambar
4");
52
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Pemodelan persamaan konduksi panas dimensi satu adalah
, dimana k adalah konstan. Bentuk transformasi Laplace dari masalah
nilai batas pada persamaan konduksi panas dimensi satu adalah.
ttt kuu =
1. Interval setengah tak terbatas pada kasus parabolik
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛+
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛−= ∫∫
−−−dxexfe
ksk
dxexfe
ksk
ecsxux
ksx
ksx
ksx
ksx
ks
)(2
1)(2
1),(~2
dengan syarat batas:
)(~),0(~),0(~ sg
dxsudsu =+ βα .
2. Interval terbatas pada kasus parabolik
xksdxeexf
ksk
csxux
ksx
ks
cosh)(2
1),(~1
⎟⎟⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜⎜⎜
⎝
⎛
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛+−−= ∫
−
xksdxeexf
ksk
cx
ksx
ks
sinh)(2
12
⎟⎟⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜⎜⎜
⎝
⎛
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛+−+ ∫
−,
dengan syarat batas:
)(~),0(~),0(~
1 sgdx
sudsu =+ βα , dan
53
54
)(~),(~),(~
2 sgdx
sludslu =+ βα .
Sedangkan penyelesaian bentuk transformasi Laplace dari masalah
nilai batas pada persamaan konduksi panas dimensi satu adalah.
1. Interval setengah tak terbatas pada kasus parabolik
=),( txu L-1
⎪⎪⎩
⎪⎪⎨
⎧
+⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛− ∫
−−dxexfe
ksk
ecx
ksx
ksx
ks
)(2
12
⎪⎪⎭
⎪⎪⎬
⎫
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛∫
−dxexfe
ksk
xksx
ks
)(2
1
2. Interval terbatas pada kasus parabolik
=),( txu L-1
⎪⎪⎩
⎪⎪⎨
⎧
⎟⎟⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜⎜⎜
⎝
⎛
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛+−− ∫
−x
ksdxeexf
ksk
cx
ksx
ks
cosh)(2
11
⎪⎪⎭
⎪⎪⎬
⎫
⎟⎟⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜⎜⎜
⎝
⎛
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛+−+ ∫
−x
ksdxeexf
ksk
cx
ksx
ks
sinh)(2
12
B. Saran
Pada penulisan skripsi ini, permasalahan hanya dibatasi
penyelesaian masalah nilai batas pada persamaan diferensial parsial linear
orde dua dengan kasus parabolik pada persamaan konduksi panas dimensi satu
55
dengan transformasi Laplace. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih
lanjut dalam hal yang sama pada kasus-kasus lain dengan menggunakan
metode yang sama maupun dengan metode lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hutahean, E. 1993. Matematika Teknik Lanjutan. Jakarta: Erlangga.
Kartono. 2001. Maple untuk Persamaan Diferensial. Yogyakarta: J&J Learning.
Pinsky, M. A. 1998. Partial Differential Equations and Boundary-Value Problems with Applications, Third Edition. Singapore: McGraw-Hill Inc.
Pipes, L. A. 1988. Matematika Terapan: untuk Para Insinyur dan Fisikawan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Strauss, W. A. 1992. Partial Differential Equations an Introduction. New York: John Wiley & Sons Inc.
56
LAMPIRAN Tabel 1. Sifat-sifat Umum Transformasi Laplace
f(s) F(t)
s1 1
2
1s
t
ns1 ,...3,2,1=n
)!1(
1
−
−
nt n
, 1!0 =
ns1 0>n
)(
1
nt n
Γ
−
as −1 ate
22
1as +
a
atsin
22 ass+
atcos
22
1as −
a
atsinh
22 ass−
atcosh
se sa−
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛t
aerf2
)0,(),(~ xusxus − ),( txtu∂∂
2
2 ),(~
dxsxud ),(2
2
txxu
∂∂
57