Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

82
SKRIPSI WANPRESTASI AKIBAT PEMUTUSAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SECARA SEPIHAK Oleh : BAGUS GEDE MAS WIDIPRADNYANA ARJAYA NIM. 030911017 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA 2013

description

Hukum Pemutusan Perjanjian (RePublish dari Bagus Univ Airlangga 2013)

Transcript of Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

Page 1: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

SKRIPSI

WANPRESTASI AKIBAT PEMUTUSAN PERJANJIAN

PENGIKATAN JUAL BELI SECARA SEPIHAK

Oleh :

BAGUS GEDE MAS WIDIPRADNYANA ARJAYA

NIM. 030911017

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2013

Page 2: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

WANPRESTASI AKIBAT PEMUTUSAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI

SECARA SEPIHAK

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum

OLEH :

BAGUS GEDE MAS WIDIPRADNYANA ARJAYA

NIM. 030911017

DOSEN PEMBIMBING PENYUSUN

PROF. Dr. AGUS YUDHA HERNOKO, S.H., M.H. BAGUS GEDE M. W. A

NIP. 196504191990021001 NIM. 030911017

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2013

Page 3: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

Skripsi ini telah diuji dan dipertahankan

di hadapan Tim Penguji pada tanggal 9 Juli 2013

Tim Penguji Skripsi :

Ketua : Bambang Sugeng Ariadi Subagyo, S.H., M.H. ………………………

NIP. 196812291993031004

Anggota : 1. Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H., M.H. ………………………

NIP. 196504191990021001

2. Erni Agustin, S.H., LL.M. ………………………

NIP. 198308102006042001

3. Faizal Kurniawan, S.H., M.H., LL.M. ………………………

NIP. 198402172006041001

Page 4: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

iv

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala anugrah

dan restu-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang berjudul “WANPRESTASI

AKIBAT PEMUTUSAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI”.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Sarjana (S1)

pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya. Penulis

menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari dukungan bantuan, dan

bimbingan dari berbagai pihak, Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan

hati penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Kedua Orang tua yang penulis cintai dan hormati, Ayah I Made Arjaya, S.H., M.H dan

ibu Ni Wayan Arniti, S.E., M.Kes., yang tak henti-hentinya memberi dukungan , doa dan

semangat kepada penulis dari seberang pulau selama menuntut ilmu di Surabaya.

2. Bapak Prof. Dr Muchammad Zaidun, S.H., M.Si. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Airlangga Surabaya.

3. Bapak Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing yang sudi

meluangkan waktu dan tenaga untuk membimbing dan memotivasi penulis untuk

menyelesaikan penulisan skripsi di tengah kesibukan beliau sebagai Ketua Program Studi

Magister Hukum Universitas Airlangga.

4. Ibu Dr. Sri Winarsi, S.H.,M.H. selaku dosen wali yang telah membantu dan mengarahkan

penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Page 5: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

v

5. Segenap Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, terima kasih atas curahan ilmu

pengetahuan yang merupakan bekal bagi penulis menjalani kehidupan setelah

menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum.

6. Adik satu-satunya Bendesa Gede Mas I.A., semoga suatu hari nanti dapat mengukir

prestasi melebihi penulis.

7. I Gusti Ayu Vedadhyanti W.R, tempat penulis bercerita, berkeluh kesah dan sumber

motivasi penulis selama masa penulisan skripsi.

8. Keluarga Besar I Gusti Ganda Kusuma, Bu Man, serta kedua saudari saya yang cantik

ning Prasavita, S.H., dan Gek Ria, terima kasih telah memberikan perhatian dan bantuan

selama penulis menjalani perkuliahan. Terutama saudari Prasavita yang melalui kata

pengantar skripsinya menyadarkan penulis untuk segera menyelesaikan kewajiban

penulisan skripsi.

9. Saudara-saudara satu atap Asrama Mahasiswa Bali Tirtha Gangga, baik senior, satu

angkatan maupun adik-adik angkatan yang mengisi dinamika kehidupan penulis selama

empat tahun di Surabaya.

10. Kawan-kawan keluarga besar UKMKHD Unair yang mengisi waktu luang penulis di luar

jam perkuliahan dengan kegiatan yang positif baik keagamaan maupun minat bakat.

11. Saudara-saudari satu kelompok KKN-BBM Tematik Kelurahan Jagir 2011-2012, dari

satu bulan yang singkat penulis mendapat kenangan dan pelajaran yang tak terhitung

jumlahnya.

12. Sahabat-Sahabat ACAK dan sahabat-sahabat sejak di kelompok Ospek Budi Susetyo,

Mas Gondrong dan Mas Jairon, terima kasih atas semua kenangan di kampus merah

tercinta.

Page 6: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

vi

13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis

mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun demi kebaikan pada masa yang akan

datang. Akhirnya, penulis berhadap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Om Shanti Shanti Shanti Om.

Surabaya, Juni 2013

Penulis

Bagus Gede M. W. A

Page 7: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

viii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………… i

HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………………...... ii

HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………………… iii

KATA PENGANTAR……………………………………………………………....... iv

MOTTO………………………………………………………………………………. vii

DAFTAR ISI………………………………………………………………………….. viii

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang……………………………………………………. 1

2. Rumusan Masalah………………………………………………… 9

3. Tujuan Penelitian…………………………………………………. 10

4. Metode Penelitian…………………………………………………. 10

BAB II KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL

BELI YANG MENCANTUMKAN KLAUSUL PEMUTUSAN

PERJANJIAN SECARA SEPIHAK

1. Hubungan Hukum Para Pihak……………………………………. 13

2. Klausul- Klausul dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual

Beli…………………………………………………………………. 24

Page 8: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

ix

3. Pemutusan Perjanjian Pengikatan Jual Beli oleh Penjual dengan

Memberlakukan Syarat Putus…………………………………….. 39

BAB III GUGATAN WANPRESTASI OLEH PEMBELI AKIBAT

PENJUAL MEMUTUSKAN PERJANJIAN BERDASARKAN SYARAT

PUTUS

1. Akibat Hukum Pemberlakuan Suatu Syarat Putus Terhadap

Perjanjian……...................................................................................... 43

2. Keberadaan Pernyataan Lalai dalam Pemberlakuan Syarat Putus 50

3. Gugatan Wanprestasi akibat Pemutusan Perjanjian yang

Dilakukan oleh Para Tergugat ………………………....................... 53

4. Keberadaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Setelah Penjual

Dinyatakan Wanprestasi dalam Putusan Pengadilan……………. 66

BAB IV PENUTUP

1. Kesimpulan………………………………………………………… 71

2. Saran……………………………………………………………….. 72

DAFTAR BACAAN

LAMPIRAN

Salinan Akta Pengikatan Jual Beli Tanggal 10 Mei Nomor 15

Salinan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.787/Pdt.G/2011/ PN.Dps

Page 9: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Perjanjian atau dalam bahasa sehari-hari kita kenal dengan nama kontrak merupakan salah

satu aspek penting dalam hukum, terutama hukum perdata. Terhadap penggunaan istilah

perjanjian atau kontrak terdapat perbedaan pendapat dari para sarjana yang membedakan atau

menyamakan kedua peristilahan ini. salah satu pendapat sarjana yang menyamakan peristilahan

perjanjian dan kontrak adalah Agus Yudha Hernoko yang dalam bukunya menyatakan :

Terhadap penggunaan istilah kontrak dan perjanjian saya sependapat dengan beberapa

sarjana yang memberikan pengertian sama antara kontrak dan perjanjian. Hal ini

disebabkan fokus kajiannya saya berlandaskan pada perspektif Burgerlijk Wetboek

(BW), dimana antara perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) mempunyai pengertian

yang sama dengan kontrak (contract).1

Salah seorang sarjana yang berpendapat bahwa kontrak dan perjanjian memiliki pengertian

yang berbeda adalah Subekti. Menurut Subekti suatu perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana

1 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana,

Jakarta, 2011, h. 15.

Page 10: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

2

dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dan dari peristiwa ini, timbullah

suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.”2 “Sedangkan

perkataan kontrak lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang

tertulis.”3 Wirjono Prodjodikoro mengartikan perjanjian sebagai suatu perhubungan hukum

mengenai harta benda antar dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji

melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak

menuntut pelaksanaan janji itu.4 Dalam kehidupan sehari-hari beragam jenis perjanjian yang

melahirkan suatu perikatan antara para pihak yang membuatnya sebagai suatu hubungan hukum

terjadi di sekitar kita. Keberadaan perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat kita

temukan pengaturannya pada pasal 1233 BW yang menyatakan bahwa : “ Tiap-tiap perikatan

dilahirkan, baik karena perjanjian, baik karena undang-undang.” Selain pasal 1233 BW tersebut

terdapat pula pasal 1313 BW yang menegaskan ketentuan pasal 1233 yang rumusan

ketentuannya menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang

atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.”

Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam perjanjian

yaitu unsur esenselia, unsur naturalia dan unsur accidentalia. Pada hakikatnya ketiga macam

unsur dalam perjanjian tersebut merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak yang

diatur dalam pasal 1320 BW dan pasal 1339 BW.5 Unsur esensialia adalah unsur yang menjadi

2 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002 (selanjutnya disebut Subekti I), h. 1.

3 Ibid.

4 Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, h. 4.

5 Lihat Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, RajaGrafindo Persada,

Jakarta, 2003, h.84.

Page 11: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

3

pembeda antara satu perjanjian dengan perjanjian lainnya, tanpa adanya unsur esensialia maka

perjanjian yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi

beda, dan karenanya menjadi tidak sejalan sesuai dengan kehendak para pihak. Unsur naturalia

adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya diketahui

secara pasti. Dan unsur accidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang

merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai

dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara

bersama-sama oleh para pihak.

Suatu perjanjian bermula dari persamaan kehendak para pihak yang membuatnya dengan

tetap memperhatikan syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1320

BW. Syarat ini adalah dasar dari segara perjanjian sebagai suatu hubungan hukum antara para

pihak yang membuatnya. BW telah mengakomodasi kebutuhan masyarakat akan dasar hukum

suatu perjanjian sebagai pegangan atas keabsahan perjanjian-perjanjian yang dibuat masyarakat

dalam kehidupan sehari hari. Jenis-jenis perjanjian yang pengaturannya telah terdapat di dalam

peraturan perundang-undangan ini kemudian dikenal sebagai perjanjian bernama. Dikatakan

perjanjian bernama karena perjanjian-perjanjian ini diatur secara khusus dalam suatu perundang-

undangan contohnya antara lain perjanjian jual-beli, sewa menyewa dan tukar menukar, yang

pengaturan mengenai nama bentuk dan penyelenggaraannya telah diatur dalam BW.

Namun seiring berjalannya waktu muncul jenis-jenis perjanjian baru yang pengaturan-

pengaturan mengenai bentuk dan pelaksanaannya tidak ditemukan dalam BW dan atau peraturan

perundang-undangan lainnya. Bentuk-bentuk perjanjian baru ini muncul akibat perkembangan

zaman yang menimbulkan munculnya format-format perjanjian baru yang menyesuaikan dengan

kebutuhan manusia dan nuansa hukum yang terjadi saat itu.

Page 12: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

4

Salah satu perjanjian tak bernama yang kini kerap dijumpai adalah perjanjian pengikatan

jual beli, perjanjian ini biasanya muncul pada rezim hukum agraria terutama dalam kasus jual

beli tanah atau rumah. Pengikatan jual beli menurut R. Subekti6 adalah “perjanjian antar para

pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-

unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat belum ada karena

masih dalam proses, belum terjadinya pelunasan harga”, dan menurut Herlien Budiono,

perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian

pendahuluan yang bentuknya bebas7. Dari pendapat kedua sarjana ini dapat diambil kesimpulan

bahwa perjanjian pengikatan jual beli adalah suatu perjanjian pendahuluan yang dibuat sebelum

perjanjian pokok atau perjanjian utamanya dilaksanakan.

Perjanjian ini pada mulanya muncul akibat rumitnya pemenuhan atas persyaratan-

persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian jual beli di hadapan notaris, utamanya

praktik jual beli tanah atau jual beli rumah. Maka mengingat asas kebebasan berkontrak dari

buku III BW yang membebaskan subjek hukum untuk seluas-luasnya mengadakan perjanjian

yang isi dan bentuknya merupakan kesepakatan para pihak yang menyusunnya, selama tidak

melanggar peraturan perundang-undangan ketertiban umum dan kesusilaan para pihak yang

berkepentingan ini kemudian membentuk suatu perjanjian yang kini kita kenal sebagai perjanjian

pengikatan jual beli. Karena perjanjian ini lahir karena kebutuhan dan tidak diatur tegas dalam

bentuk peraturan perundang-undangan maka perjanjian pengikatan jual beli ini tidak memiliki

bentuk tertentu. Sejalan dengan pendapat Herlien Budiono bahwa perjanjian pengikatan jual beli

6 Subekti I, Op. Cit., h.75.

7 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2012 (selanjutnya disebut Herlien Budiono I), h.270.

Page 13: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

5

adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.

Akan tetapi dalam dalam praktik sehari-hari biasanya oleh para pihak perjanjian ini dituangkan

dalam suatu akta otentik yang dibuat di hadapan notaris sehingga memiliki kekuatan pembuktian

yang sempurna dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang membuatnya.8

Dalam praktiknya di masyarakat perjanjian pengikatan jual beli biasanya dipilih oleh para

pihak yang mengikatkan diri kepadanya karena :

a. Harga yang telah disepakati untuk pembayaran belum dibayar lunas oleh pembeli atau

pembayaran dilakukan secara angsuran.

b. Penjual membutuhkan uang hasil penjualan untuk keperluan mendesak dan tidak dapat

menunggu proses balik nama menjadi atas nama pembeli selesai.

c. Permohonan sertipikat tanah atas nama pembeli sedang diproses di Badan Pertanahan

Nasional tetapi pembeli tersebut memiliki kebutuhan yang mendesak sehingga terpaksa

menjual tanah tersebut tanpa menunggu sertipikat tanahnya selesai.

Perjanjian pengikatan jual beli dalam tulisan ini terjadi antara I Made Mudra dan I Wayan

Sandi sebagai pihak pertama, dan I Nyoman Mirna sebagai pihak kedua. Pihak Pertama adalah

pemilik dari tiga bidang tanah hak milik terletak di Banjar Kauh, Desa Ungasan, Kecamatan

Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali yang akan dijual kepada pihak kedua. Akan tetapi karena

harga jual beli dari tanah belum dilunasi, dan Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) belum dibayar maka para pihak sepakat untuk membuat

suatu perjanjian pendahuluan yang dituangkan dalam suatu Akta Pengikatan Jual Beli pada

8R. Soeroso, Perjanjian di Bawah Tangan : Pedoman praktis pembuatan dan Aplikasi Hukum, Sinar

Grafika, Jakarta, 2011, h. 7.

Page 14: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

6

Notaris I Made Pria Dharsana pada hari Jumat tanggal sepuluh Mei tahun dua ribu dua, dengan

Nomor akta 15. Berdasarkan perjanjian pengikatan jual beli tersebut disepakati beberapa poin

yang dituangkan dalam pasal demi pasal dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli, antara lain

poin pembayaran sebagaimana berikut :

- Harga penjualan atau pembelian dari tanah adalah sebesar Rp 4.884.000.000,00 (empat

milyar delapan ratus delapan puluh empat juta rupiah).

- Sebesar Rp 450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah) akan dibayar oleh Pihak

Kedua pada Pihak Pertama pada saat akta ditandatangani, dan akta ini dinyatakan sebagai

kwitansi pembayaran yang sah.

- Sisanya sebesar Rp 4.434.000.000,00 (empat milyar empat ratus tiga puluh empat juta

rupiah akan dibayar oleh pihak kedua kepada pihak pertama selambat-lambatnya setelah

hak atas tanah tersebut bersertipikat.

Perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana perjanjian pada umumnya mengandung hak

dan kewajiban dari para pihak yang tunduk kepada perjanjian tersebut. Dengan keberadaan hak

dan kewajiban ini seringkali muncul perselisihan-perselisihan yang timbul karena salah satu

pihak mengingkari janji atau wanprestasi dengan tidak melakukan pemenuhan kewajiban atau

prestasi dari perjanjian yang telah mereka sepakati sebelumnya. Wanprestasi (kelalaian atau

kealpaan) dapat berupa empat macam yaitu tidak melakukan apa yang disanggupi akan

dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikan,

melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat, melakukan sesuatu yang menurut perjanjian

tidak boleh dilakukannya.9 Untuk mengantisipasi terjadinya wanprestasi ini para pihak telah

9 Subekti I, Op.Cit., h. 45.

Page 15: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

7

merumuskan suatu syarat batal yang dituangkan dalam pasal 6 Akta Perjanjian Pengikatan Jual

Beli antara para pihak yang telah disebutkan diatas :

Pasal 6

- Dalam hal PIHAK KEDUA oleh karena sebab apapun juga tidak dapat melakukan

kewajibannya untuk membayar sisa harga jual beli atas TANAH seperti tersebut dalam

pasal 3 akta ini, maka PIHAK KEDUA diberikan tenggang waktu 6 (enam) bulan dan

jika selama tenggang waktu 6 (enam) bulan PIHAK KEDUA belum juga membayar sisa

harga jual beli atas TANAH tersebut diatas, maka jumlah uang yang telah dibayarkan

oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA tidak akan dikembalikan kepada

PIHAK KEDUA, tetapi PIHAK KEDUA akan memperoleh tanah sesuai dengan jumlah

uang yang telah dibayarkan atau maksimal seluas 10.000 (sepuluh ribu) meter persegi

dengan diberikan kepastian lokasi.

- Apabila PIHAK PERTAMA membatalkan perjanjian ini, maka PIHAK PERTAMA

harus membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada PIHAK KEDUA.

Untuk mengantisipasi wanprestasi yang mungkin terjadi setelah disepakatinya perjanjian,

dalam praktiknya suatu perjanjian pengikatan jual beli menyertakan klausula pembatalan

perjanjian secara sepihak atau atas kesepakatan kedua belah pihak. Walaupun dalam kontrak

terdapat syarat batal, akan tetapi istilah yang lebih tepat untuk digunakan adalah pemutusan

kontrak. Mengenai penggunaan istilah hukum ini Agus Yudha Hernoko10

berpendapat :

10

Agus Yuda Hernoko, Op. Cit., h. 296.

Page 16: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

8

Perbedaan penting terhadap pemahaman antara pembatalan kontrak dengan pemutusan

kontrak, adalah terletak pada fase hubungan kontraktualnya. Pada pembatalan kontrak

senantiasa dikaitkan dengan tidak dipenuhinya syarat pembentukannya (fase

pembentukan kontrak), sedangkan pemutusan kontrak pada dasarnya mengakui

keabsahan kontrak yang bersangkutan serta mengikatnya kewajiban-kewajiban para

pihak, namun karena dalam pelaksanaannya bermasalah sehingga mengakibatkan

kontrak tersebut diputus (fase pelaksanaan kontrak).

Setelah akta pengikatan jual beli dinyatakan sah dan mengikat para pihak yang

membuatnya, dalam pelaksanaanya pihak kedua mendalilkan bahwa pihak pertama wanprestasi

karena pihak pertama tidak pernah memberitahukan kepada pihak kedua bahwa tanah obyek

pengikatan telah bersertipikat, dan ketika pihak kedua mendatangi pihak pertama untuk

melanjutkan pembayaran pihak pertama menyatakan tidak jadi menjual tanahnya. Atas dalil

wanprestasi ini kemudian pihak kedua mendaftarkan gugatan kepada Kepaniteraan Pengadilan

Negeri Denpasar dengan nomor register perkara 787/ Pdt. G/ 2011/ PN. Dps pada tanggal dua

puluh delapan Desember dua ribu sebelas.

Dalam gugatannya penggugat mendalilkan para tergugat telah wanprestasi karena tidak

adanya itikad baik dari para tergugat untuk memenuhi isi dari Akta Pengikatan Jual Beli tanggal

sepuluh Mei dua ribu dua, Nomor 15 dan Akta Kuasa tanggal sepuluh Mei dua ribu dua, nomor

:16. Penggugat dalam beberapa poin gugatannya menuntut para tergugat agar dihukum untuk

membayar ganti kerugian secara tunai dan seketika terhitung sejak putusan mempunyai kekuatan

Page 17: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

9

hukum tetap sebesar Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dengan perincian kerugian

materiil sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan kerugian immaterial sebesar Rp

5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), dan menghukum Para Tergugat membayar uang paksa

kepada penggugat sebesae 1.000.000,00 (satu juta rupiah) setiap hari lalai melaksanakan isi

putusan terhitung sejak putusan diucapkan sampai dilaksanakan oleh Tergugat.

Pihak pertama selaku para tergugat dalam jawaban atas gugatan dalam salah satu poin

konpensi menolak dalil wanprestasi dari pihak kedua selaku penggugat, karena para tergugat

menyatakan tindakan para tergugat masih dalam koridor Akta Pengikatan Jual Beli Nomor 15

khususnya pasal enam paragraf kedua, dan dalil Penggugat untuk menuntut ganti kerugian

sebesar Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) merupakan dalil tanpa dasar hukum dan

bertentangan dengan Akta Pengikatan Jual Beli Nomor 15 khususnya pasal enam paragraf kedua.

Gugatan wanprestasi ini diputus oleh majelis hakim pada tanggal lima belas Oktober dua

ribu dua belas yang dalam pokok perkaranya antara lain menyatakan mengabulkan sebagian

gugatan penggugat, menyatakan bahwa pihak pertama selaku tergugat telah melakukan

wanprestasi dan menghukum para tergugat untuk melanjutkan proses jual beli tanah dihadapan

PPAT atau pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dan diatur dalam Akta Pengikatan

Jual Beli tanggal 10 Mei 2002 Nomor 15. dan juga menghukum Para Tergugat untuk membayar

uang paksa kepada Penggugat sebesar 1.000.000,00 (satu juta rupiah) setiap hari, setiap Para

Tergugat lalai melaksanakan putusan terhitung sejak putusan ini memiliki kekuatan hukum tetap.

2. Rumusan Masalah

Adapun berdasar latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang diangkat

dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

Page 18: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

10

a. Apakah Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang berisi klausula pemutusan sepihak memiliki

kekuatan mengikat?

b. Apakah pemutusan pengikatan jual beli tanpa persetujuan pihak lain dapat dijadikan dasar

gugatan wanprestasi?

3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan oleh pemutusan perjanjian pengikatan

jual beli oleh salah satu pihak.

2. Untuk mengetahui Apakah akta pengikatan jual beli mempunyai nilai akta jual beli.

3. Untuk mengetahui Apakah pemutusan akta pengikatan jual beli oleh penjual yang klausula

pemutusannya telah diatur dalam akta pengikatan jual beli dapat dikategorikan

wanprestasi.

4. Untuk mengetahui Apakah Hakim yang menyatakan pihak penjual/Tergugat Wanprestasi

dapat menyimpangi ketentuan dalam akta pengikatan jual beli yang telah disepakati oleh

para pihak atau Hakim semestinya memutuskan memerintahkan kepada para pihak untuk

mengikuti ketentuan dalam akta pengikatan.

4. Metode Penelitian

a. Tipe penelitian

Skripsi ini menggunakan tipe penulisan normatif, dengan melakukan penelitian terhadap

norma yang tertuang dalam aturan, yang berangkat dari kekaburan norma, konflik norma atau

kekosongan norma.

Page 19: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

11

b. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan perundang-undangan

(statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case

approach).

Pendekatan undang-undang (statute approach) 11

adalah suatu pendekatan yang dilakukan

dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan regulasi yang berkaitan dengan isu hukum

yang sedang ditangani.

Pendekatan konseptual menurut Peter Mahmud Marzuki adalah pendekatan yang “...

beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.

Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti

akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum,

dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.”12

Pendekatan kasus (case approach) merupakan suatu pendekatan dengan cara menelaah

kasus-kasus yang memiliki keterkaitan dengan isu yang dihadapi melalui suatu putusan

pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.13

c. Sumber Bahan Hukum

1. Bahan Hukum Primer yang digunakan sebagai sumber penulisan skripsi ini adalah

Burgerlijk Wetboek Staatsblad 1847 Nomor 23, Herzien Inlandsch Reglement /

11

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2011, h. 93.

12Ibid, h. 95.

13Ibid, h. 94.

Page 20: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

12

Reglemen Indonesia Yang Dibaharui Staatsblad 1848 No. 16 jo. 57 dan Staatsblad 1941

No. 31, 32 dan 44, Putusan Pengadilan Pengadilan Negeri Denpasar No

787/Pdt.G/2011/PN.DPS, dan Akta Notaris Nomor 15 tanggal 10 Mei 2002.

2. Bahan Hukum Sekunder yang menjadi sumber bahan penunjang penulisan skripsi ini

berupa kepustakaan yang terdiri dari buku-buku hukum.

Page 21: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

13

BAB II

KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI

YANG MENCANTUMKAN KLAUSUL PEMUTUSAN PERJANJIAN

SECARA SEPIHAK

1. Hubungan Hukum Para Pihak dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Perjanjian pengikatan jual beli merupakan suatu perjanjian pendahuluan yang berbentuk

bebas, fungsi dan tujuan dari perjanjian pengikatan jual beli ini ialah untuk mempersiapkan,

menegaskan memperkuat, mengatur, mengubah, atau menyelesaikan suatu hubungan hukum

yang terjadi dalam perjanjian pokoknya, perjanjian pokok dalam perjanjian pengikatan jual beli

adalah perjanjian jual beli14

. Perjanjian pendahuluan (pactum de contrahendo)15

merupakan

suatu perjanjian bantuan yang memiliki pengertian suatu perjanjian di mana para pihak saling

mengikatkan diri untuk terjadinya suatu perjanjian baru/pokok yang merupakan tujuan dari para

pihak. Perjanjian bantuan yang dibuat untuk memperkuat perjanjian pokok dapat dilihat pada

perjanjian pembebanan hak tanggungan, gadai, borgtoch, dan fidusia.

Suatu perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian pendahuluan dari perjanjian

jual beli maka syarat-syarat perjanjian pengikatan jual beli hampir serupa dengan perjanjian jual

beli. Persamaan syarat ini dapat dilihat dari subyek dalam perjanjian pengikatan jual beli. dalam

perjanjian pengikatan jual beli subyeknya sama dengan dengan subyek perjanjian jual beli yang

diatur dalam pasal 1457 BW yaitu adanya pembeli yang menyerahkan suatu kebendaan dan

14

Lihat Herlien Budiono I, Op.Cit., h.269. 15

Ibid

Page 22: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

14

penjual yang membayar harga yang telah dijanjikan. Dalam tulisan ini I Made Mudra sebagai

salah seorang ahli waris dari almarhum I Sanek; dan juga berdasarkan surat kuasa di bawah

tangan tertanggal dua puluh dua april tahun dua ribu dua bertindak untuk dan atas nama I Made

Sanik, I Ketut Kanti, Ni Nyoman Samprug, I Ketut Gendra, I Wayan Merta dan Ni Made

Sugiani; serta I Wayan Sandi bersepakat dengan I Nyoman Mirna untuk mengikatkan diri kepada

suatu perjanjian pengikatan jual beli antara para pihak yang aktanya dibuat di hadapan Notaris I

Made Pria Dharsana pada hari jumat, tanggal sepuluh mei tahun dua ribu dua (10-05-2002).

Dalam perjanjian pengikatan jual beli ini I Made Mudra dan I Wayan Sandi bertindak sebagai

penjual atau pihak pertama dan I Nyoman Mirna selaku pembeli atau pihak kedua.

Selain para pihak atau subyek hukum dalam perjanjian pengikatan jual beli yang memiliki

kesamaan dengan subyek hukum dalam perjanjian jual beli, barang dan harga sebagai unsur

esensialia dari perjanjian jual beli yang pengaturannya dapat ditemukan dalam pasal 1458 BW

juga ditemukan dalam perjanjian pengikatan jual beli, akan tetapi dalam perjanjian pengikatan

jual beli juga terdapat suatu syarat-syarat yang belum terpenuhi yang menjembatani keberadaan

perjanjian pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan dan perjanjian jual beli sebagai

perjanjian pokok.

Adapun yang menjadi obyek dari perjanjian pengikatan jual beli ini ialah 3 (tiga) bidang

tanah dengan rincian sebagai berikut :

1) Sebidang tanah milik seluas lebih kurang 22.650 (dua puluh dua ribu enam ratus lima

puluh) meter persegi, sebagaimana ternyata dari Surat Pemberitahuan Pajak Terutang

(SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan tertanggal satu Pebruari tahun dua ribu (01-02-2000),

Nomor 51.03.010.002.049-003.0, Kelas A36;

Page 23: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

15

2) Sebidang tanah milik seluas lebih kurang 600 (enam ratus) meter persegi, sebagaimana

ternyata dari Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan

tertanggal satu pebruari tahun dua ribu (01-02-2000), Nomor 51.03.010.002.049-004.0,

Kelas A36;

3) Sebidang tanah milik seluas lebih kurang 21.150 (dua puluh satu ribu seratus lima puluh)

meter persegi, sebagaimana ternyata dari Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)

Pajak Bumi dan Bangunan tertanggal satu Pebruari tahun dua ribu (01-02-2000), Nomor

51.03.010.002.048-002.0, Kelas A36;

4) Ketiga obyek tanah tersebut diatas terletak di Banjar Kauh, Desa Ungasan, Kecamatan

Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali.

Mengenai harga yang merupakan salah satu unsur esensialia disepakati oleh para pihak bahwa

harga dari obyek disepakati oleh pihak penjual dan pembeli sebesar Rp 4.884.000.000,00 (empat

milyar delapan ratus delapan puluh empat juta rupiah) yang pembayarannya disepakati sebagai

berikut :

a) Sebesar Rp 450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah) akan dibayarkan oleh

pembeli atau pihak kedua kepada penjual atau pihak pertama pada saat Akta Perjanjian

Pengikatan Jual Beli ditandatangani, sehingga akta ini oleh pihak pertama dan pihak kedua

dinyatakan sebagai kwitansi yang sah.

b) Sisanya sebesar Rp 4.434.000.000,00 (empat milyar empat ratus tiga puluh empat juta

rupiah) akan dibayar oleh pembeli atau pihak kedua kepada penjual atau pihak pertama

selambat-lambatnya setelah tanah tersebut bersertipikat.

Page 24: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

16

Syarat-syarat yang belum terpenuhi yang menjelaskan kedudukan dari perjanjian

pengikatan jual beli yang merupakan perjanjian pendahuluan (pactum de contrahendo)16

yang

mempersiapkan perjanjian jual beli sebagai perjanjian pokok dapat dilihat pada rumusan pasal 1

Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang garis besarnya menerangkan bahwa perjanjian jual

beli antara para pihak baru akan terjadi atau bergantung pada peristiwa yang masih akan datang,

yaitu pelunasan harga jual tanah oleh pembeli kepada penjual, dan juga pembayaran pajak

penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) belum

dibayarkan oleh penjual.

Para pihak sepakat untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian pengikatan jual beli,

tidak langsung melaksanakan perjanjian jual beli atas tanah diantara para pihak dikarenakan

beberapa alasan, yaitu antara lain karena harga jual beli yang telah disepakati antara penjual dan

pembeli belum dibayar lunas oleh pembeli, dan Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) juga belum dibayarkan. Mengenai hubungan hukum berupa

perjanjian pengikatan jual beli ini Herlien Budiono mendefinisikan bahwa perjanjian pengikatan

jual beli adalah “Perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan dan

bentuknya bebas.”17

. Suatu perjanjian bantuan berfungsi dan mempunyai tujuan untuk

mempersiapkan, menegaskan memperkuat, mengatur, mengubah, atau menyelesaikan suatu

hubungan hukum.

Perjanjian pengikatan jual beli sebenarnya tidak memiliki perbedaan dengan perjanjian

pada umumnya. Perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian yang lahir akibat adanya

sifat terbuka dari Buku III BW yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subyek

16

Herlien Budiono I, Op.Cit., h.269. 17

Ibid, h.270.

Page 25: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

17

hukum untuk mengadakan perjanjian dengan bentuk dan isi berdasarkan persetujuan para pihak,

asal tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.

Sifat terbuka suatu perjanjian yang mengandung asas kebebasan berkontrak dapat dilihat

dalam Pasal 1338 ayat (1) BW bahwa „semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya‟. Dengan penekanan pada perkataan semua,

maka Pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa

diperbolehkan untuk membuat suatu perjanjian dengan isi dan bentuk yang disetujui para pihak

pembuat, dan perjanjian tersebut mengikat mereka yang membuatnya selayaknya undang-

undang. Atau dengan kata lain kita diperbolehkan untuk membuat undang-undang bagi kita

sendiri, Pasal-Pasal dari hukum perjanjian hanya berlaku apabila kita tidak membuat aturan-

aturan tersendiri yang ada dalam suatu hukum perjanjian namun tidak tercantum dalam

perjanjian yang disepakati.18

Asas terbuka (open system) memberi kebebasan kepada setiap orang dalam mengadakan

perjanjian, walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-undang. Kebebasan berkontrak itu

dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan

kesusilaan atau kepentingan umum. Para pihak dalam perjanjian pengikatan jual beli diberi

kebebasan dalam membuat perjanjian asalkan tidak dilarang oleh undang-undang, bertentangan

dengan ketertiban umum maupun kesusilaan.

Perjanjian pengikatan jual beli merupakan suatu perjanjian timbal balik (bilateral

contract), perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban

18

Lihat Subekti I, Op.Cit., h.13,14.

Page 26: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

18

kepada kedua belah pihak19

. Mengenai hak dan kewajiban dari para pihak dapat dilihat dalam

rumusan akta pengikatan jual beli nomor 15 tanggal 10 Mei 2002.

Perjanjian pengikatan jual beli juga merupakan suatu perjanjian tidak bernama

(onbenoemde overeenkomst) yaitu suatu perjanjian yang tidak diatur dalam BW, tetapi terdapat

di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan

kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerja sama, perjanjian

pemasaran, perjanjian pengelolaan, dan juga perjanjian pengikatan jual beli seperti dalam tulisan

ini. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak,

mengadakan perjanjian atau partij otonomi.20

Pada dasarnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli merupakan hasil inisiatif dari kalangan

Notaris untuk dibuatkan akta notariil-nya, walaupun ada kemungkinan Perjanjian Pengikatan

Jual Beli dibuat dengan akta di bawah tangan. Peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak

ada yang mengatur secara spesifik mengenai Perjanjian Pengikatan Jual Beli, akan tetapi para

Notaris berinisiatif untuk membuatnya dengan maksud untuk memecahkan permasalahan yang

muncul dalam transaksi jual beli hak atas tanah yang tidak dilakukan secara tunai. Pembuatan

Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dilakukan oleh Notaris merupakan upaya untuk

memecahkan rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak sebelum melakukan jual

beli hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak atas

tanah, dimana semua persyaratan tersebut tidak selamanya dapat dipenuhi dalam sekali waktu

oleh para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas tanah

19

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, h.86.

20 Mariam Darus Badrulzaman, et al.,Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011,

h.67.

Page 27: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

19

Para pihak dalam tulisan ini sepakat untuk membuat suatu pengikatan jual dengan

beberapa alasan, yaitu antara lain harga jual beli dari tanah belum dilunasi oleh pihak kedua atau

pembeli, dan Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB) belum dibayar. Maka daripada itu pihak pertama dan pihak kedua sepakat untuk

membuat suatu perjanjian pendahuluan berupa suatu perjanjian pengikatan jual beli sebelum

dilangsungkannya perjanjian jual beli dari tanah tersebut di hadapan Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPHAT) yang berwenang.

Kesepakatan para pihak untuk menghadap Notaris guna menuangkan isi perjanjian

pengikatan jual beli dalam bentuk tertulis melahirkan suatu akta pengikatan jual beli yang

berbentuk akta otentik. Akta otentik21

merupakan salah satu alat bukti tulisan di dalam bentuk

yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat atau pegawai umum

yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. Dikenal adanya dua macam akta,

yang pertama bentuk akta yang dibuat untuk bukti yang memuat keterangan yang diberikan oleh

(para) penghadap kepada Notaris dinamakan akta pihak (partij-akten) dengan (para) penghadap

menandatangani akta itu. Akta berikutnya ialah akta berita acara (relaas-akten), yaitu suatu

bentuk akta yang dibuat untuk bukti oleh (para) penghadap dari perbuatan atau kenyataan yang

terjadi di hadapan Notaris. Akta yang disebut belakangan tidak memberikan bukti mengenai

keterangan yang diberikan oleh (para) penghadap dengan menandatangani akta tersebut, tetapi

untuk bukti mengenai perbuatan dan kenyataan yang disaksikan oleh Notaris di dalam

menjalankan tugasnya di hadapan para saksi. Akta berita acara (relaas-akten) tidak perlu

ditandatangani oleh para penghadap.

21

Lihat Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan Buku Kedua, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2010, (selanjutnya disingkat Herlien Budiono II) h. 267.

Page 28: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

20

Perjanjian pengikatan jual beli dalam tulisan ini dituangkan ke dalam suatu akta otentik

yang dibuat oleh Notaris I Made Pria Dharsana pada tanggal 10 Mei 2002 dengan nomor akta 15.

Akta Notaris ini merupakan suatu akta pihak (partij-akten) dapat dilihat pada penutup akta yang

menyatakan bahwa akta ini ditandatangani oleh para pihak, yang merupakan syarat dari suatu

akta pihak, yang dapat dilihat pada bagian “…. maka akta ini ditandatangani oleh para

penghadap, saksi-saksi dan saya, Notaris.”

Dituangkannya perjanjian antara para pihak dalam akta pengikatan jual beli Nomor 15

tanggal 10 Mei 2002 menimbulkan akibat perjanjian tersebut memiliki kekuatan pembuktian

yang lebih tinggi daripada perjanjian tersebut dituangkan hanya ke dalam suatu akta di bawah

tangan. Perbedaan kekuatan pembuktian tersebut antara lain suatu akta di bawah tangan tidak

mempunyai kekuatan pembuktian lahiriah (uit wendige bewijskracht), sebab yang mendasari

adalah bahwa tanda tangan dalam akta dibawah tangan tersebut kemungkinan masih dapat

dipungkiri. Ketentuan Pasal 1876 BW menyatakan bahwa “Barangsiapa yang terhadapnya

dimajukan suatu tulisan di bawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui atau memungkiri

tanda tangannya…”, ketentuan Pasal 1877 BW lebih lanjut menerangkan apabila tanda tangan

tersebut di pungkiri maka hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari tulisan atau tanda

tangan tersebut di periksa di muka pengadilan.

Selain yang telah disebutkan diatas, adapun kekuatan pembuktian dari akta pengikatan jual

beli yang dituangkan dalam suatu akta otentik ialah22

:

1. Lahiriah (Uitwendige Bewijskracht)

22

Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011, h19,20,21.

Page 29: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

21

Kemampuan lahiriah akta Notaris, merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk

membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik (acta publica probant sese ipsa). Jika dilihat

dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan

mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai terbukti

sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara

lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkalkan keotentikan akta

Notaris. Parameter untuk menentukan Akta Notaris sebagai akta otentik, yaitu tanda tangan dari

Notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada Minuta dan Salinan dan adanya awal akta (mulai

dari judul) sampai dengan akhir akta.

Nilai pembuktian akta Notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus dilihat apa adanya,

bukan dilihat ada apa. Secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan dengan alat bukti yang

lainnya. Jika ada yang menilai bahwa suatu akta Notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta,

maka yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta

otentik.

Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta Notaris sebagai akta otentik

adalah bukan akta otentik memerlukan pmbuktian yang didasarkan kepada syarat-syarat akta

Notaris sebagai akta otentik. Pembuktian semacam ini harus dilakukan melalui upaya gugatan ke

pengadilan. Penggugat harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta yang menjadi obyek

gugatan bukan merupakan suatu akta Notaris.

2. Formal (Formele Bewijskracht)

Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam

akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada

Page 30: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

22

saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan

akta. Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan,

tahun, pukul (waktu) menghadap, dan para pihak yang menghadap, paraf, dan tanda tangan para

pihak/ penghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar

oleh Notaris (pada akta pejabat/ berita acara), dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para

pihak/ penghadap (pada akta pihak).

Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan dari formalitas

dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan,tahun dan pukul

menghadap, membuktikan ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan

ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan dan didengar oleh Notaris, juga harus dapat

membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan atau

disampaikan di hadapan Notaris, dan ketidakbenaran tandatangan para pihak, saksi dan Notaris

ataupun ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan. Dengan kata lain pihak yang

mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek

formal dari akta Notaris. Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta

tersebut harus diterima oleh siapapun.

Tidak dilarang siapapun untuk melakukan pengingkaran atau penyangkalan atas aspek

formal akta Notaris, jika yang bersangkutan merasa dirugikan atas akta yang dibuat di hadapan

atau oleh Notaris. Pengingkaran atau penyangkalan tersebut harus dilakukan dengan suatu

gugatan ke pengadilan umum, dan penggugat harus dapat membuktikan bahwa ada aspek formal

yang dilanggar atau tidak sesuai dalam akta yang bersangkutan, misalnya, bahwa yang

bersangkutan tidak pernah merasa menghadap Notaris pada hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul

yang tersebut dalam awal akta, atau merasa tanda tangan yang tersebut dalam akta bukan tanda

Page 31: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

23

tangan dirinya. Jika hal ini terjadi maka yang bersangkutan atau penghadap tersebut

diperbolehkan untuk menggugat Notaris, dan penggugat harus dapat membuktikan

ketidakbenaran aspek formal tersebut.

3. Materiil (Materiele Bewijskracht)

Merupakan kepastian tentang materi suatu akta, bahwa apa yang tersebut dalam akta

merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang

mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs).

Keterangan atau pernyataan yang dituangkan atau dimuat dalam akta pejabat (atau berita acara),

atau keterangan para pihak yang diberikan atau disampaikan di hadapan Notaris (akta pihak) dan

para pihak harus dinilai benar berkata yang kemudian dituangkan atau dimuat dalam akta berlaku

sebagai yang benar atau setiap orang yang datang menghadap Notaris yang kemudian

keterangannya dimuat atau dituangkan dalam akta harus dinilai telah benar berkata. Jika ternyata

pernyataan atau keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar berkata, maka hal

tersebut tanggung jawab para pihak sendiri, Notaris terlepas dari hal semacam itu.dengan

demikian isi akta Notaris mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang

sah untuk atau di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka.

Jika harus membuktikan aspek materiil dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat

membuktikan, bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta

(akta pejabat), atau para pihak yang telah benar berkata (di hadapan Notaris) menjadi tidak benar

berkata, dan harus dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materiil dari akta

Notaris.

Page 32: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

24

Ketiga aspek tersebut di atas merupakan kesempurnaan akta Notaris sebagai akta otentik

dan siapa pun terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan

pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya

mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut

didegradasikan kekuatan pembuktiannya sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian

sebagai akta di bawah tangan.

2. Klausul-Klausul dalam Akta Pengikatan Jual Beli

Terkait isi kontrak, kepustakaan hukum kontrak membaginya ke dalam beberapa unsur23

,

yaitu unsur esensialia, unsur naturalia dan unsur accidentia.

a. Unsur esensialia, merupakan unsur yang mutlak harus ada dalam suatu kontrak. Unsur

esensialia dari suatu pengikatan jual beli hampir serupa dengan unsur esensialia

perjanjian jual beli yaitu barang dan harga24

. Namun dalam perjanjian pengikatan jual

beli yang merupakan perjanjian pendahuluan dari perjanjian jual beli disertakan suatu

syarat yang belum terpenuhi yang menjembatani keberadaan perjanjian pengikatan jual

beli sebagai perjanjian pendahuluan dan perjanjian jual beli sebagai perjanjian pokok.

b. Unsur naturalia, merupakan unsur yang ditentukan oleh undang-undang sebagai peraturan-

peraturan yang bersifat mengatur, namun demikian dapat disimpangi para pihak. Unsur

naturalia adalah perwujudan dari ketentuan Pasal 1339 BW yang menjabarkan bahwa suatu

perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya,

tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan,

23

Lihat Agus Yudha Hernoko, Op.Cit.,h.225,226 dikutip dari Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan,

Binacipta, Jakarta,1987, h. 50.

24 Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1985 (selanjutnya disebut Subekti II), h.2

Page 33: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

25

kebiasaan atau undang-undang. Secara tertulis salah satu unsur naturalia yang termuat

dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 4 yang

memuat syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang lazim dibuat untuk perjanjian yang

serupa.

c. Unsur accidentalia, merupakan unsur yang ditambahkan oleh para pihak dalam hal

undang-undang tidak mengaturnya. Dalam perjanjian pengikatan jual beli ini unsur

accidentalia dapat dilihat antara lain dalam klausul mengenai cara pembayaran, klausul

pemberlakuan syarat putus, klausul ganti rugi akibat pembatalan secara sepihak, dan

klausul domisili.

Perjanjian pengikatan jual beli dalam tulisan ini dibuat oleh para pihak berdasarkan

kesepakatan antar mereka yang membuatnya dan juga menurut kebiasaaan, kepatutan dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun isi dari perjanjian pengikatan jual beli

yang dituangkan ke dalam suatu akta Notaris nomor 15 tanggal 10 Mei 2002 ini secara garis

besar dimuat dalam klausul-klausul berikut :

1. Klausul Barang atau Obyek Perjanjian

Obyek dari perjanjian pengikatan jual beli ini ialah 3 (tiga) bidang tanah yang terletak di

Banjar Kauh, Desa Ungasan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali dengan rincian

sebagai berikut :

- Sebidang tanah milik seluas lebih kurang 22.650 (dua puluh dua ribu enam ratus lima

puluh) meter persegi, sebagaimana ternyata dari Surat Pemberitahuan Pajak Terutang

(SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan tertanggal satu Pebruari tahun dua ribu (01-02-2000),

Nomor 51.03.010.002.049-003.0, Kelas A36;

Page 34: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

26

- Sebidang tanah milik seluas lebih kurang 600 (enam ratus) meter persegi, sebagaimana

ternyata dari Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan

tertanggal satu pebruari tahun dua ribu (01-02-2000), Nomor 51.03.010.002.049-004.0,

Kelas A36;

- Sebidang tanah milik seluas lebih kurang 21.150 (dua puluh satu ribu seratus lima puluh)

meter persegi, sebagaimana ternyata dari Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)

Pajak Bumi dan Bangunan tertanggal satu Pebruari tahun dua ribu (01-02-2000), Nomor

51.03.010.002.048-002.0, Kelas A36.

Klausul obyek merupakan unsur esensialia dari perjanjian, yang menunjukkan benda yang

harus diserahkan dari penjual kepada pembeli di kemudian hari sebagai tanda telah terjadinya

jual-beli sebagai perjanjian pokok. Obyek dalam perjanjian pengikatan jual beli ini baru beralih

apabila harga jual beli yang diperjanjikan telah dibayar lunas oleh pihak kedua, dan biaya-biaya

lainnya sebagai syarat dapat dikeluarkannya akta jual beli telah dibayarkan oleh para pihak.

2. Klausul Harga Dan Biaya

Harga dari obyek tersebut diatas disepakati oleh pihak penjual dan pembeli sebesar Rp

4.884.000.000,00 (empat milyar delapan ratus delapan puluh empat juta rupiah) yang

pembayarannya disepakati sebagai berikut :

c) Sebesar Rp 450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah) akan dibayarkan oleh

pembeli atau pihak kedua kepada penjual atau pihak pertama pada saat Akta Perjanjian

Pengikatan Jual Beli ditandatangani, sehingga akta ini oleh pihak pertama dan pihak kedua

dinyatakan sebagai kwitansi yang sah.

Page 35: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

27

d) Sisanya sebesar Rp 4.434.000.000,00 (empat milyar empat ratus tiga puluh empat juta

rupiah) akan dibayar oleh pembeli atau pihak kedua kepada penjual atau pihak pertama

selambat-lambatnya setelah tanah tersebut bersertipikat.

Klausul harga merupakan klausul yang memuat harga dari obyek perjanjian yang besarnya

telah disepakati para pihak pada saat perumusan kontrak, klausul harga ini menerangkan berapa

pembayaran yang harus dilakukan oleh pihak kedua sebagai kewajibannya agar mendapatkan

hak memperoleh tanah yang merupakan obyek perjanjian. Pembayaran dari harga jual beli atas

obyek perjanjian yang tidak serta merta dilakukan pelunasannya adalah salah satu alasan

perjanjian ini dituangkan dalam suatu perjanjian pengikatan jual beli. Selain harga dari obyek

perjanjian yang telah disepakati nilainya oleh para pihak, pihak pertama dan pihak kedua juga

merumuskan kesepakatan mengenai biaya-biaya lainnya yang dapat dilihat dalam redaksi Pasal 9

Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli, yaitu :

a) Biaya akta pengikatan jual beli yang dibayar oleh pihak kedua.

b) Biaya akta jual beli serta biaya pendaftaran hak atas tanah (balik nama) ke atas nama pihak

kedua dibayar oleh pihak kedua.

c) Biaya Pajak Bumi Bangunan hingga tahun 2002 (dua ribu dua) yang dibayar oleh pihak

pertama.

d) Pajak-pajak yang timbul sehubungan dengan dibuatnya Akta Perjanjian Pengikatan Jual

Beli termasuk Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB) dibayar oleh pihak kedua.

Klausul mengenai biaya menitikberatkan pada biaya-biaya yang harus dibayar kedua belah

pihak di luar biaya pembayaran harga tanah yang merupakan obyek perjanjian. Pembayaran

Page 36: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

28

mengenai biaya-biaya seperti biaya Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan salah satu klausul penting dalam

perjanjian pengikatan jual beli antara para pihak, karena pembayaran biaya-biaya tersebut adalah

syarat agar dapat diterbitkannya akta jual beli oleh PPAT sehingga hak atas tanah yang menjadi

obyek perjanjian dapat beralih kepada pihak kedua.

Dengan dilunasinya harga jual beli atas tanah dan biaya-biaya yang tersebut di atas, maka

tujuan dari perjanjian pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan telah terpenuhi,

sehingga para pihak dapat melanjutkan pada perjanjian pokok, yaitu perjanjian jual beli atas

tanah yang menjadi obyek perikatan.

3. Klausul Syarat-Syarat yang Belum Terpenuhi

Keberadaan klausul syarat-syarat yang belum terpenuhi ini berpangkal pada sistem terbuka

buku III BW, mengenai sistem terbuka buku III BW ini Agus Yudha Hernoko25

berpendapat :

Buku III BW menganut sistem terbuka, artinya hukum (i.c. Buku III BW) memberi

keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukumnya. Apa

yang diatur dalam Buku III BW sekedar mengatur dan melengkapi (regelend recht -

aanvullendrecht). Berbeda dengan pengaturan Buku II BW yang menganut sistem tertutup

atau bersifat memaksa (dwingend recht), di mana para pihak dilarang menyimpangi

atauran-aturan yang ada di dalam Buku III BW tersebut.

25

Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., h.109.

Page 37: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

29

Keleluasaan yang dimiliki pihak yang membuat suatu perjanjian untuk mengatur sendiri pola

hukumnya menimbulkan suatu asas kebebasan berkontrak yang dapat dilihat pengaturannya pada

pasal 1338 ayat (1) BW. Menurut Sutan Remy Sjahdeini26

asas kebebasan berkontrak menurut

hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut :

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.

b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.

c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya.

d. Kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian.

e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.

f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat

opsional (aanvullend, optional).

Kebebasan berkontrak, terutama kebebasa untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian

yang akan dibuat membuat para pihak dalam perjanjian pengikatan jual beli dalam tulisan ini

dapat mencantumkan klausul syarat-syarat yang belum terpenuhi dalam akta perjanjian

pengikatan jual beli. Subekti27

berpendapat “yang dimaksud dengan sebab atau kausa dari suatu

perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri”, jadi para pihak memiliki keleluasaan untuk

menentukan isi dari perjanjian, termasuk untuk memasukkan klausul syarat-syarat yang belum

terpenuhi tersebut.

Syarat-syarat yang belum terpenuhi dalam perjanjian pengikatan jual beli dalam tulisan ini

dapat dilihat pada Pasal 1 yang merumuskan bahwa :

26

Ibid., h. 110, dikutip dari Sutan Remi Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang

Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, h.

47 27

Subekti I, Op.Cit, h.20

Page 38: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

30

- pihak pertama berjanji dan mengikatkan diri sekarang ini untuk pada waktunya di

kemudian hari segera setelah :

a. harga jual dari tanah tersebut di atas dilunasi

b. pajak penghasilan (PPh) dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB)

tersebut di atas dibayar

- untuk menjual kepada pihak kedua yang dengan ini berjanji dan mengikatkan diri untuk

membeli tanah tersebut dari pihak pertama.

Dari rumusan Pasal 1 di atas dapat dilihat bahwa perjanjian jual beli antara para pihak baru

akan terjadi atau bergantung pada peristiwa yang masih akan datang, yaitu pelunasan harga jual

tanah oleh pembeli kepada penjual, dan juga pembayaran pajak penghasilan (PPh) dan Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) belum dibayarkan oleh penjual.

Keberadaan kedua peristiwa yang masih akan datang ini menyebabkan para pihak tidak

dapat melakukan jual beli atas tanah dikarenakan masih terdapat syarat-syarat yang belum

dilakukan pemenuhannya oleh para pihak. Keberadaan syarat-syarat yang belum terpenuhi ini

memiliki pengaruh pada pemenuhan jual-beli tanah sebagai perjanjian pokoknya, dan mengenai

perjanjian pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan tetap memiliki kekuatan mengikat

sejak perjanjian pengikatan jual beli tersebut disepakati para pihak sebagaimana salah satu syarat

sahnya perjanjian dalam pasal 1320 BW.

4. Klausul Mengenai Ketentuan-Ketentuan Yang Lazim Dibuat Untuk Perjanjian Yang

Serupa

Page 39: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

31

Dalam perjanjian ini dapat dilihat dalam rumusan Pasal 4 klausul yang mengatur mengenai

ketentuan-ketentuan yang lazim dibuat untuk perjanjian yang serupa, antara lain :

a) Pihak pertama menjamin pihak kedua bahwa pihak kedua tidak akan mendapat tuntutan

dari pihak lain yang menyatakan mempunyai hak terlebih dahulu atau turut mempunyai

hak atas tanah tersebut.

b) Pihak pertama menjamin pihak kedua bahwa tanah tersebut tidak dikenakan suatu sitaan,

bebas dari sengketa dan beban-beban yang bersifat apapun.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas pihak pertama membebaskan pihak kedua dari

segala tuntutan dan atau tagihan dari pihak lain yang didasarkan atas hal-hal tersebut.

Klausul ini merupakan pencerminan dari Pasal 1339 BW bahwa suatu perjanjian tidak

hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala

sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-

undang. Kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat mengenai perjanjian-perjanjian yang serupa

dengan perjanjian pengikatan jual beli dalam tulisan ini dituangkan oleh para pihak dalam suatu

ketentuan yang termuat dalam redaksi Pasal 4 perjanjian pengikatan jual beli.

5. Klausul Syarat Putus

Dalam suatu perjanjian yang mengikat para pihak yang membuatnya, biasanya dimasukkan

suatu syarat yang isinya mengatur apabila dikemudian hari setelah perjanjian tersebut sah dan

mengikat bagi para pihak yang membuatnya kemudian salah satu pihak bermasalah dalam

pemenuhan isi kontrak atau berprestasi, maka pihak yang merasa dirugikan dapat memutus

kontrak yang telah disepakati. Syarat ini oleh para sarjana ada yang menyebut syarat batal dan

Page 40: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

32

ada pula yang menyebutnya dengan syarat putus, walaupun secara terminologi para ahli

menggunakan penamaan yang berbeda, secara substansial isi dari syarat tersebut adalah sama.

Menurut Agus Yudha Hernoko28

penggunaan istilah syarat batal dalam Pasal 1266 BW

sebagai terjemahan istilah ontbindende voorwaarde tidak tepat. Istilah „ontbindende

voorwaarde‟ lebih tepat diterjemahkan „syarat putus‟ dengan argumentasi :

a. Apabila konsisten dengan makna „verbintenis‟ atau perikatan, berarti dengan dipenuhinya

syarat-syarat sahnya kontrak maka akan melahirkan perikatan yang mempunyai daya

mengikat (binden-binding) bagi para pihak;

b. „ontbinding‟ (berasal dari kata „binden‟ – mengikat) berarti „tidak mengikat‟ atau lebih

tepat diartikan „putus-pemutusan‟, artinya memutuskan daya mengikatnya kontrak yang

telah disepakati para pihak. Putusnya ikatan ini terkait dengan pelanggaran pelaksanaan

kewajiban kontraktual yang telah disepakati. Bukankah apabila perikatan tersebut telah

diputus, berarti kehilangan daya mengikatnya;

c. Istilah „pembatalan‟ lebih relevan digunakan dalam hubungannya dengan batal demi

hukum (nietig van rechswenge) dan dapat dibatalkan (vernietigbaar) yang terkait dengan

proses lahirnya kontrak (fase pembentukan kontrak), yaitu dalam hal tidak dipenuhinya

syarat-syarat sahnya kontrak;

d. Istilah „pemutusan‟ lebih tepat digunakan apabila terkait dengan pelaksanaan kontrak yang

karena sesuatu hal harus diputuskan daya mengikatnya (fase pelaksanaan kontrak);

28

Lihat Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., h. 298, 299, 300.

Page 41: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

33

e. Pengadilan telah beberapa kali memutuskan perkara dengan substansi pengesampingan

Pasal 1266 BW (antara lain Putusan Hoge Raad tanggal 7 Februari 1902 W. 7720, Hoetink,

No. 70)29

;

f. Oleh karena itu, istilah „syarat batal‟ dalam terjemahan Pasal 1266 BW, seyogianya dibaca

„syarat putus‟.

Syarat putus dalam perjanjian pengikatan jual beli dalam kasus ini dapat dilihat dalam

ketentuan Pasal 6 yang redaksinya menyatakan :

Dalam hal PIHAK KEDUA karena sebab apapun juga tiadak dapat melakukan

kewajibannya untuk membayar sisa harga jual beli atas TANAH seperti tersebut dalam

Pasal 3 akta ini, maka PIHAK KEDUA diberikan tenggang waktu 6 (enam) bulan dan

jika selama tenggang waktu 6 (enam) bulan PIHAK KEDUA belum juga membayar sisa

harga jual beli atas TANAH tersebut diatas, maka jumlah uang yang telah dibayarkan

oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA tidak akan dikembalikan kepada

PIHAK KEDUA, tetapi PIHAK KEDUA akan memperoleh tanah sesuai dengan jumlah

uang yang telah dibayarkan atau maksimal seluas 10.000 (sepuluh ribu) meter persegi

dengan diberikan kepastian lokasi.

Apabila PIHAK PERTAMA membatalkan perjanjian ini, maka PIHAK PERTAMA

harus membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada PIHAK KEDUA.

29

Ibid, h 300 dikutip dari Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata- Hukum Perutangan Bagian

A, Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1980, h. 37-38.

Page 42: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

34

Pencantuman syarat putus dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli ini bertujuan untuk

memberikan perlindungan apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi dalam pemenuhan

perjanjian. Apabila wanprestasi dilakukan oleh pihak kedua dalam hal pembayaran yang tidak

tepat waktu atau tidak dilakukan pembayaran sama sekali sampai lewat tenggat waktu yang

diperjanjikan maka pihak pertama berhak untuk memutus perjanjian dengan tidak

mengembalikan uang yang telah dibayarkan oleh pihak kedua, sebagai kompensasi pihak kedua

akan memperoleh tanah sesuai dengan jumlah uang yang telah dibayarkan atau maksimal seluas

10.000 (sepuluh ribu) meter persegi dengan diberikan kepastian lokasi. Di lain pihak apabila

pihak pertama yang melakukan wanprestasi dalam hal memutuskan perjanjian secara sepihak

maka pihak pertama memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi dua kali dari uang muka

kepada pihak kedua.

Menurut Abdulkadir Muhammad30

perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-

pihak. Perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau diputuskan secara sepihak saja. Jika

ingin menarik kembali atau memutus itu harus memperoleh persetujuan pihak lainnya, jadi

diperjanjikan lagi. Hal ini sejalan dengan redaksi pasal 1338 ayat (2) BW yang menyatakan

bahwa suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau

karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Pemutusan secara sepihak dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli jika merujuk kepada

rumusan pasal 1338 ayat (2) BW yang menyatakan “suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali

…karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”. Berdasarkan

ketentuan pasal ini pemutusan secara sepihak oleh pihak pertama diperbolehkan, karena

mengingat ketentuan pasal 1338 ayat (1) BW semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

30

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., h 97

Page 43: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

35

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, jadi ketentuan dapat diputuskannya

secara sepihak dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli dapat diterapkan karena Akta

Perjanjian Pengikatan Jual Beli merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya,

dan pasal 6 ayat (2) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli adalah alasan yang oleh undang-

undang dianggap cukup untuk memutus perjanjian sebagaimana rumusan Pasal 1338 ayat (2)

BW.

Pemutusan secara sepihak dapat dilakukan oleh pihak pertama, namun dengan konsekuensi

yuridis berupa ganti rugi dua kali dari uang muka kepada pihak kedua. Ganti rugi ini merupakan

bentuk tanggung gugat pihak pertama yang telah memutus perjanjian secara sepihak dimana jika

diteliti rumusan pemutusan sepihak dalam pasal 6 ayat (2) ini adalah suatu bentuk wanprestasi

yang dalam pembagian wanprestasi menurut Subekti31

adalah wanprestasi untuk tidak

melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

Keberadaan konsekuensi yuridis berupa ganti rugi yang diberikan dengan berlakunya

pemutusan kontrak merupakan suatu bentuk dari adanya persetujuan timbal balik antara para

pihak yang mana menurut ketentuan pasal 1266 BW persetujuan timbal balik para pihak

merupakan salah satu syarat32

untuk berhasilnya pemenuhan pemutusan kontrak disamping

keberadaan wanprestasi dalam pemenuhan perjanjian, dan adanya putusan hakim.

6. Klausul Ganti Rugi Akibat Pemutusan Secara Sepihak

Mengenai klausul ganti rugi akibat Pemutusan secara sepihak oleh pihak pertama atau

penjual dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) yang rumusannya : “Apabila PIHAK

31

Subekti I, Op.Cit., h 45 32

Lihat Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., H 301

Page 44: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

36

PERTAMA membatalkan perjanjian ini, maka PIHAK PERTAMA harus membayar ganti rugi

dua kali dari uang muka kepada PIHAK KEDUA”

Klausul ganti rugi akibat pemutusan secara sepihak ini merupakan bagian dari syarat putus

yang disepakati oleh para pihak. Pihak pertama memiliki kewajiban untuk memberikan pihak

kedua ganti rugi apabila dirinya memutuskan perjanjian secara sepihak tanpa persetujuan pihak

kedua. Klausul ini dalam pembagian jenis-jenis wanprestasi menurut Subekti33

merupakan

wanprestasi atau kelalaian debitur yang wanprestasi untuk tidak melakukan apa yang disanggupi

akan dilakukannya. Berdasarkan ketentuan dalam perjanjian pengikatan jual beli yang disepakati

para pihak pemutusan sepihak oleh pihak penjual atau pihak pertama bertentangan dengan apa

yang disanggupi akan dilakukan oleh pihak pertama yaitu untuk menjual kepada pihak kedua

tanah yang menjadi obyek perjanjian setelah syarat-syarat yang dituangkan oleh para pihak

dalam pasal 1 akta perjanjian pengikata jual beli terpenuh. Wanprestasi dari pihak pertama ini

memiliki konsekuensi pihak pertama wajib untuk pemberian ganti kerugian dua kali dari uang

muka kepada pihak kedua.

Menurut Agus Yudha Hernoko34

:

Ganti rugi merupakan upaya untuk memulihkan kerugian yang prestasinya bersifat

subsidair. Artinya apabila pemenuhan prestasi tidak lagi dimungkinkan atau sudah tidak

diharapkan lagi maka ganti rugi merupakan alternative yang dapat dipilih oleh kreditor.

Sesuai dengan ketentuan pasal 1243 BW, ganti rugi meliputi : biaya (konsten) yaitu

33

Subekti I, Op.Cit., h.45.

34 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit.,h.263,264

Page 45: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

37

pengeluaran nyata yang telah dikeluarkan sebagai akibat wanprestasinya debitur, rugi

(schaden) adalah berkurangnya harta benda kreditor sebagai akibat wanprestasinya

debitor, dan bunga (interessen) adalah keuntungan yang seharusnya diperoleh kreditor

seandainya tidak terjadi wanprestasi.

Selain ganti rugi yang diperjanjikan secara tegas dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual

Beli, hukuman dari debitur yang lalai lainnya antara lain dapat berupa pembatalan perjanjian atau

juga dinamakan pemecahan perjanjian, peralihan resiko, membayar biaya perkara apabila sampai

diperkarakan di depan hakim.35

7. Klausul Pewarisan Perjanjian Karena Kematian

Klausul ini menjabarkan bahwa perjanjian tidak akan berakhir karena meninggalnya salah

satu pihak, tetapi akan berlaku dan mengikat para ahli waris/ pengganti haknya yang sah menurut

hukum. Klausul ini terkandung dalam redaksi Pasal 8 Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang

rumusannya sebagai berikut “Perjanjian ini tidak akan berakhir karena meninggalnya salah satu

pihak, tetapi akan berlaku dan mengikat para ahli waris/pengganti haknya yang sah menurut

hukum”.

Perumusan klausul pewarisan ini merupakan perwujudan ketentuan pasal 1261 ayat 2 BW

yang menyatakan “jika si berpiutang meninggal sebelum terpenuhinya syarat, maka hak-haknya

karena itu berpindah kepada ahli waris-ahli warisnya.” Pewarisan terhadap perjanjian apabila

salah satu pihak meninggal merupakan suatu bentuk jaminan bagi salah satu pihak apabila pihak

35

Subekti I, Loc. Cit.

Page 46: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

38

lawan di kemudian hari meninggal sebelum prestasi terpenuh, maka pemenuhan prestasi dari

pihak yang meninggal tersebut dialihkan kepada ahli warisnya, begitu pula dalam hal pemenuhan

hak. Pihak yang terlebih dahulu meninggal sebelum perjanjian terpenuhi oleh Akta Perjanjian

Pengikatan Jual Beli dijamin pemenuhan haknya yang diterima oleh ahli waris demi hukum

berhak mewaris atau yang ditunjuk sebelumnya oleh pihak yang meninggal tersebut.

8. Klausul Penyerahan Tanah

Klausul penyerahan tanah mengatur mengenai kapan hak atas tanah beralih dari pihak

pertama kepada pihak kedua, klausul ini terkandung dalam redaksi Pasal 10 Akta Perjanjian

Pengikatan Jual Beli yang menyatakan bahwa pihak pertama akan menyerahkan tanah kepada

pihak kedua pada saat harga tanah tersebut telah dilunasi. Klausul penyerahan tanah ini

merupakan bentuk peralihan dari perjanjian pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan

kepada perjanjian jual beli sebagai perjanjian pokok yang dapat dilihat dari telah terjadinya

penyerahan (levering) sebagai penanda telah terjadi perpindahan kepemilikan sebagaimana

terumus dalam pengertian jual beli menurut Pasal 1457 BW.

Klausul ini baru dapat terlaksana apabila klausul mengenai harga dan biaya-biaya serta

klausul syarat tangguh telah terpenuhi, yang menandakan telah terpenuhinya perjanjian

9. Klausul Domisili

Klausul ini mengatur mengenai tempat kediaman hukum (domisili) para pihak saat

perjanjian berlangsung. Para pihak memilih tempat kediaman hukum (domisili) yang umum dan

tetap di Kantor Panitera Pengadilan Negeri Denpasar di Denpasar sebagaimana diatur dalam

Pasal 11 Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli.

Page 47: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

39

Klausul domisili ini sebagaimana diatur dalam redaksi pasal 118 ayat (4) HIR memiliki

tujuan menentukan pengadilan mana yang memiliki kompetensi relatif apabila terjadi sengketa di

kemudian hari antara para pihak yang berujung pada gugatan keperdataan, dan juga menjadi

alamat bagi salah satu pihak dalam kegiatan surat menyurat apabila alamat dalam identitas tidak

ditemukan.

3. Pemutusan Perjanjian Pengikatan Jual Beli oleh Penjual dengan Memberlakukan

Syarat Putus

Terdapat perbedaan penting terhadap pemahaman antara terminologi pembatalan kontrak

dengan pemutusan kontrak, perbedaan tersebut terletak pada fase hubungan kontraktualnya, pada

pembatalan kontrak senantiasa dikaitkan dengan tidak dipenuhinya syarat pembentukannya (fase

pembentukan kontrak), sedang pemutusan kontrak pada dasarnya mengakui keabsahan kontrak

yang bersangkutan serta mengikatnya kewajiban-kewajiban para pihak, namun karena dalam

pelaksanaannya bermasalah sehingga mengakibatkan kontrak tersebut diputus (fase pelaksanaan

kontrak)36

.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, mengenai syarat putus dari perjanjian

pengikatan jual beli ini dapat ditemukan pengaturannya dalam Pasal 6 Akta Perjanjian

Pengikatan Jual Beli yang redaksinya sebagai berikut :

- Dalam hal PIHAK KEDUA oleh karena sebab apapun juga tidak dapat melakukan

kewajibannya untuk membayar sisa harga jual beli atas TANAH seperti tersebut dalam

36

Agus Yudha Hernoko, Op.Cit.,h.296.

Page 48: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

40

Pasal 3 akta ini, maka PIHAK KEDUA diberikan tenggang waktu 6 (enam) bulan dan

jika selama tenggang waktu 6 (enam) bulan PIHAK KEDUA belum juga membayar sisa

harga jual beli atas TANAH tersebut di atas, maka jumlah uang yang telah dibayarkan

oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA tidak akan dikembalikan kepada

PIHAK KEDUA, tetapi PIHAK KEDUA akan memperoleh tanah sesuai dengan jumlah

uang yang telah dibayarkan atau maksimal seluas 10.000 (sepuluh ribu) meter persegi

dengan diberikan kepastian lokasi.

- Apabila PIHAK PERTAMA membatalkan perjanjian ini, maka PIHAK PERTAMA

harus membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada PIHAK KEDUA

Berdasarkan kutipan Pasal 6 ayat (1) di atas, Syarat putus akibat lalainya pembeli baru

berlaku apabila setelah tenggang waktu 6 (enam) bulan yang disepakati untuk pihak kedua

memenuhi kewajibannya terlewati. pihak kedua belum juga memenuhi kewajibannya membayar

sisa tanah sebesar Rp 4.434.000.000,00 (empat milyar empat ratus tiga puluh empat juta rupiah).

Tidak sanggupnya pembeli untuk melunasi sisa kewajiban pembayarannya setelah tenggang

waktu yang ditentukan usai termasuk dalam kriteria kelalaian atau wanprestasi, maka perjanjian

memberikan hak kepada pihak pertama untuk memutus perjanjian atau melakukan pemecahan

perjanjian sebagai hukuman terhadap wanprestasi pihak kedua.

Wanprestasi yang dilakukan oleh pihak pembeli atau pihak kedua yang dapat mengaktifkan

syarat putus ini termasuk golongan wanprestasi untuk tidak melakukan apa yang disanggupi akan

dilakukannya37

. Pihak kedua telah menyanggupi atas biaya dan cara pembayaran yang

37

Subekti I, Op.Cit., h.45.

Page 49: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

41

diperjanjikan, akan tetapi karena sebab tertentu pihak kedua belum juga melunasi sisa

pembayaran hingga berlalunya tenggang waktu 6 (enam) bulan berakhir.

Pemberlakuan syarat putus akibat pemutusan sepihak dari pihak pertama yang dirumuskan

dalam pasal 6 ayat (2) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli terjadi apabila pihak pertama

membatalkan perjanjian secara sepihak, dan atas perbuatannya pihak pertama harus membayar

ganti rugi dua kali dari uang muka kepada pihak kedua. Wanprestasi oleh pihak pertama ini

dalam pembagian jenis-jenis wanprestasi menurut Subekti38

merupakan wanprestasi atau

kelalaian debitur dalam hal tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

Jika dicermati baik ketentuan pasal 6 ayat (1) maupun pasal 6 ayat (2) Akta Perjanjian

Pengikatan Jual Beli pemberlakuan syarat putus lebih dominan dilakukan oleh pihak pertama

atau penjual. Dalam pasal 6 ayat (1) pihak pertama dapat mengaktifkan syarat putus apabila

pihak kedua tidak melanjutkan pembayaran sampai lewat tenggang waktu 6 bulan yang telah

disepakati, dan ketentuan pasal 6 ayat (2) dapat memutuskan perjanjian dengan konsekuensi

yuridis harus membayar ganti rugi sebesar dua kali dari uang muka kepada pihak kedua. Namun

jika dilihat substansinya walaupun kedua syarat putus ini lebih dominan dilakukan oleh pihak

pertama, alasan pemutusan perjanjian pengikatan jual beli tersebut memiliki substansi yang

berbeda. Dalam Pasal 6 ayat (1) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli alasan diputuskannya

perjanjian ialah pihak kedua tidak beritikad baik untuk melanjutkan pembayaran setelah lewat

tenggang waktu yang diperjanjikan. Itikad baik39

disini adalah itikad baik menurut pasal 1338

ayat (3) BW yang menjelaskan bahwa pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan

mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Kepatutan yang dilanggar di sini adalah

38

Ibid.

39 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., h.99

Page 50: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

42

keharusan pihak kedua untuk melanjutkan pembayaran sisa uang jual beli yang telah disepakati

dalam pasal 3 Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli.

Pengaturan mengenai syarat putus yang dapat menyebabkan putusnya perjanjian dapat kita

temukan dalam Pasal 1265 BW yang rumusannya menyatakan bahwa apabila suatu syarat putus

dipenuhi maka akan mengakibatkan penghentian perikatan, dan membawa sesuatu kembali

kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat putus ini tidak

menangguhkan pemenuhan perikatan, hanya mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang

diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi. Syarat putus ini menurut Herlien

Budiono dikatakan sebagai syarat putus yang “normal”40

. Menyimpang dari syarat putus yang

“normal”, pemutusan karena wanprestasi tidak berlaku demi hukum, tetapi harus dituntutkan

pembatalannya menurut Pasal 1266 ayat (2) BW. Jadi apabila pihak pertama atau penjual ingin

memutus perjanjian ini berdasarkan syarat putus maka Ia haruslah terlebih dahulu memohon

pemutusan pada hakim dengan dasar wanprestasi dari pihak kedua agar pemutusannya memiliki

kekuatan hukum atau ia juga dapat memohon pemutusan kepada hakim dengan kesanggupan

untuk membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada pihak kedua. Mengenai perbuatan

hukum yang terakhir ini dapat juga dilakukan oleh pihak kedua apabila setelah pemutusan secara

sepihak oleh pihak pertama tersebut pihak kedua juga lebih memilih untuk memutus perjanjian

dan menerima ganti kerugian yang diberikan oleh pihak pertama.

40

Herlien Budiono II, Op.Cit., h.238.

Page 51: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

43

BAB III

GUGATAN WANPRESTASI OLEH PEMBELI AKIBAT PENJUAL

MEMUTUSKAN PERJANJIAN DENGAN SYARAT PUTUS

1. Akibat Hukum Pemberlakuan Suatu Syarat Putus Terhadap Perjanjian

Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, dalam perjanjian pengikatan jual beli

antara para pihak, terdapat klausul yang menyatakan perjanjian tersebut dapat putus dengan

berlakunya suatu syarat putus yang termuat dalam redaksi pasal 6 ayat (1) Akta Perjanjian

Pengikatan Jual Beli untuk pemutusan akibat wanprestasi pihak kedua, dan pasal 6 ayat (2) Akta

Perjanjian Pengikatan Jual Beli untuk pemutusan akibat pemutusan perjanjian secara sepihak

oleh pihak pertama yang menyebabkan pihak pertama wanprestasi. Ketentuan mengenai

berlakunya syarat putus ini dapat dilihat pengaturannya dalam pasal 1266 ayat (2) BW

menyatakan bahwa “dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi

pemutusan harus dimintakan kepada Hakim.” Redaksi pasal 1266 ayat (3) BW menambahkan

“permintaan itu harus dilakukan, meskipun syarat putus mengenai tidak dipenuhinya kewajiban

dinyatakan dalam perjanjian.”

Apabila diterapkan ke dalam perjanjian pengikatan jual beli dalam tulisan ini, kedua pasal

dalam BW tersebut menyatakan bahwa suatu perjanjian yang menyertakan syarat putus secara

tertulis di dalamnya tidak dapat secara langsung menyatakan bahwa perjanjian tersebut batal

demi hukum setelah salah satu pihak melakukan wanprestasi. Pihak penjual jika ingin memutus

perjanjian harus meminta pemutusan terlebih dahulu kepada hakim setelah pembeli atau pihak

Page 52: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

44

kedua tidak memenuhi kewajibannya melunasi pembayaran atas tanah setelah lewat 6 (enam)

bulan dari waktu yang ditentukan, yaitu setelah hak atas tanah yang menjadi obyek perjanjian

bersertipikat sebagaimana diatur dalam pasal 3 huruf (b) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli.

Begitu pula dengan wanprestasi dari pihak penjual, salah satu pihak harus memintakan

pemutusan perjanjian terlebih dahulu kepada hakim karena pemutusan tidak bersifat batal demi

hukum.

Permohonan pemutusan dapat dimintakan baik oleh pihak pertama maupun oleh pihak

kedua, karena ketentuan dalam pasal 1266 ayat (2) BW tidak menerangkan pihak mana yang

harus mengajukan permohonan kepada hakim untuk memutus suatu perjanjian. Secara logika

pihak yang mengajukan permohonan pemutusan perjanjian kepada hakim biasanya adalah pihak

yang merasa dirugikan oleh wanprestasi pihak lawannya, karena pemutusan oleh hakim ini akan

menjadi dasar hukum oleh pihak yang memohon pemutusan dalam menuntut hak-haknya dari

perjanjian yang telah putus.

Dalam praktik para pihak sering mencantumkan suatu klausula dalam perjanjian bahwa

mereka sepakat untuk melepaskan atau mengesampingkan ketentuan pasal 1266 ayat (2) BW.

Akibat hukumnya jika terjadi wanprestasi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Ada

beberapa alasan yang mendukung pencantuman klausula ini, misalnya berdasarkan pasal 1338

ayat (1) BW, setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi para

pihak yang membuatnya, sehingga pencantuman klausula yang melepaskan ketentuan pasal 1266

ayat (2) BW, harus ditaati oleh para pihak. Selain itu jalan yang ditempuh melalui pengadilan

Page 53: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

45

akan membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama sehingga hal ini tidak efisien bagi

pelaku bisnis.41

Di lain sisi terdapat ahli-ahli hukum maupun praktisi hukum yang berpendapat bahwa

wanprestasi tidak secara otomatis mengakibatkan putusnya perjanjian, tetapi harus dimintakan

kepada hakim. Hal ini didukung oleh alasan bahwa jika pihak debitur wanprestasi, maka kreditur

masih berhak mengajukan gugatan agar pihak debitur memenuhi perjanjian, sedangkan apabila

wanprestasi dianggap sebagai suatu syarat putusnya perjanjian, maka kreditur hanya dapat

menuntut ganti rugi. Selain itu, berdasarkan ketentuan pasal 1266 ayat (4) BW, hakim

berwenang untuk memberikan kesempatan kepada debitur dalam jangka waktu paling lama satu

bulan untuk memenuhi perjanjian meskipun sebenarnya debitur sudah wanprestasi atau cidera

janji. Dalam hal ini hakim mempunya diskresi untuk menimbang berat ringannya kelalaian

debitur dibandingkan kerugian yang diderita jika perjanjian diputus.

Dari ketentuan pasal 1266 dan 1267 BW dapat disimpulkan hal sebagai berikut42

:

1. Kedua pasal tersebut hanya berlaku untuk perjanjian timbal balik, bukan perjanjian

sepihak.

2. Wanprestasi merupakan syarat telah dipenuhinya syarat putus dalam perjanjian timbal

balik, dan wanprestasi tersebut terjadi bukan karena keadaan memaksa atau keadaan di

luar kekuasaan (force majeure atau overmacht), tetapi karena kelalaian pihak tergugat.

3. Akibat wanprestasi tersebut Penggugat dapat menuntut pemutusan perjanjian di depan

hakim, dengan demikian perjanjian tersebut tidak batal demi hukum.

41

Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta, 2004, h.63,64. 42

Elly Herawati, Herlien Budiono, Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian, Nasional Legal Reform

Program, Jakarta, 2010, h.26,27.

Page 54: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

46

Pasal 1266 dan 1267 BW yang menempatkan wanprestasi sebagai syarat putus,

sebagaimana pengertian syarat putus dalam pasal 1253 BW, dianggap tidak tepat. Alasannya

adalah kepatutan dan logika, yakni tidak akan selalu adil menghukum debitur yang wanprestasi

karena kelalaiannya dengan pemutusan perjanjian. Terhadap kritik ini Subekti justru

menjelaskan bahwa ketentuan kedua pasal tersebut sebenarnya tidak salah.43

Sebab sekalipun

wanprestasi dianggap sebagai syarat putus sehingga menyebabkan perjanjian berakhir,

berakhirnya perjanjian tersebut bukan karena demi hukum, melainkan harus melalui pernyataan

pembatalan oleh hakim. Hal ini terlihat jelas dari pasal 1266 ayat (2) BW : “dalam hal demikian

persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pemutusan harus dimintakan kepada pengadilan.”

Bahkan ayat (3) pasal ini juga menegaskan bahwa perjanjian itu tetap bukan batal demi hukum,

melainkan dapat dibatalkan, sekalipun di dalam perjanjian itu dicantumkan soal wanprestasi

sebagai syarat putus. Kemudian, ayat (4) menambahkan bila wanprestasi sebagai syarat putus

tidak dicantumkan dalam perjanjian, hakim memiliki kebijaksanaan berdasarkan pertimbangan

keadaan memberi jangka waktu maksimum 1 (satu) bulan bagi pihak yang wanprestasi untuk

memenuhi kewajibannya. Dalam konteks terakhir ini, bahkan menurut Subekti44

, hakim berhak

pula untuk mempertimbangkan dan menilai besar kecilnya kelalaian debitur yang wanprestasi itu

dibandingkan dengan akibat pemutusan perjanjian yang akan menimpa debitur itu. Dengan kata

lain, ketika hakim harus memutuskan gugatan pembatalan perjanjian karena wanprestasi sebagai

syarat batal, ia harus memperhatikan berbagai asas hukum perjanjian yang lazim, salah satunya

adalah asas itikad baik.

43

Ibid, h.27 dikutip dari Subekti I,Op.Cit., h.48. 44

Ibid, Dikutip dari Subekti I, Op.Cit., h.49.

Page 55: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

47

Pendapat Subekti di atas tampaknya kini justru dikesampingkan oleh para sarjana maupun

ahli-ahli hukum, menurut Herlien Budiono45

misalnya, pasal 1266 dan 1267 BW bukan

ketentuan hukum yang bersifat memaksa sehingga dapat disimpangi oleh para pihak yang

membuat perjanjian, namun penyimpangan itu tampaknya hanya untuk soal “perantaraan

putusan hakim‟, bukan tentang soal wanprestasi sebagai syarat putusnya perjanjian. Artinya para

pihak dengan tegas dapat mengesampingkan pasal 1266 ayat (2) hingga ayat (4) sehingga

pemutusan perjanjian akibat terjadinya wanprestasi dari salah satu pihak tidak perlu dimintakan

kepada hakim, akibatnya perjanjian seperti itu akan otomatis batal demi hukum.

Pengesampingan pasal 1266 ayat (2) hingga ayat (4) yang berakibat pelepasan hak para pihak

untuk menuntut pemutusan perjanjian di depan hakim, secara tegas harus dicantumkan di dalam

akta perjanjian yang bersangkutan.

Dasar berpikir praktis dari tindakan pengesampingan pasal 1266 BW tersebut pada

umumnya berasal dari kekhawatiran dalam masyarakat, dimana bila pemutusan melalui

pengadilan merupakan syarat formal yang mutlak yang harus dipenuhi, maka selain akan

menimbulkan ketidakpastian dalam hukum bisnis di Indonesia, syarat tersebut juga akan

menimbulkan konsekuensi biaya tinggi serta inefisiensi waktu.46

Walaupun dalam suatu kontrak telah secara tegas disepakati pengesampingan dari

kewenangan pengadilan dalam memutuskan apakah tindakan wanprestasi terjadi atau tidak, serta

juga kewenangan pengadilan untuk memutuskan kontrak sebagai akibat dari tindakan

wanprestasi tersebut, apabila ternyata dalam penerapannya pihak yang dinyatakan wanprestasi

menolak tuduhan tersebut dan tidak dapat menerima tindakan pemutusan sepihak yang dilakukan

45

Herlien Budiono I, Op.Cit., h.199,200. 46

Ricardo Simanjuntak, Hukum Kontrak Teknik Perancangan Kontrak Bisnis,Kontan Publishing,

Jakarta,2011, h 233.

Page 56: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

48

oleh mitra berkontraknya, maka pengesampingan pasal 1266 BW dalam kontrak yang disepakati

tersebut demi hukum menjadi tidak berlaku. Artinya Pengadilan Negeri akan tetap berwenang

untuk memeriksa dan memutuskan setiap sengketa yang timbul dalam kontrak, karena

berdasarkan undang-undang kekuasaan kehakiman, kewenangan hakim adalah untuk memeriksa

dan memutuskan perkara, bukan untuk sekedar menegaskan isi perikatan dari para pihak

berkontrak.47

Hak untuk mengesampingkan kewenangan pengadilan dalam mengadili apakah suatu

kontrak dapat diputus atau tidak secara logis akan juga meliputi pengesampingan kewenangan

pengadilan dalam memutuskan jumlah ganti rugi (damages) yang harus dibayarkan oleh pihak

yang wanprestasi (debitur) sebagai akibat wanprestasi tersebut.48

Jika diasumsikan pengadilan dapat menerima pengesampingan pasal 1266 BW maka

pengadilan sebagai konsekuensinya akan menolak setiap permasalahan yang terjadi akibat dari

langkah pembatalan sepihak tersebut dengan pertimbangan hukum Niet Ontvankelijk Weklaard.

Ricardo Simanjuntak berpendapat bahwa kewenangan dari pengadilan untuk menyatakan telah

terjadi atau tidaknya wanprestasi serta juga kewenangan untuk memutus suatu kontrak dan

memutuskan pembayaran ganti rugi, biaya dan bunga seperti yang dimaksudkan oleh pasal 1266

dan 1267 BW, adalah kewenangan yang demi hukum tidak dapat dikesampingkan oleh

kebebasan berkontrak, kecuali bila pihak-pihak berkontrak tersebut secara sukarela bersedia

mematuhinya.49

Apabila diterapkan pada perjanjian pengikatan jual beli yang mengikat para pihak, pihak

penjual tidak dapat secara langsung memutus perjanjian pengikatan jual beli dengan syarat putus

47

Ibid., h 234,235. 48

Ibid., h 240. 49

Ibid, h241.

Page 57: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

49

karena klausul mengenai pengesampingan ketentuan pasal 1266 ayat 2 BW mengenai tidak batal

demi hukumnya pemutusan akibat berlakunya syarat putus tidak disepakati sebelumnya oleh

para pihak saat membuat Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli, maka jika pihak penjual ingin

memutus perjanjian pengikatan jual beli tersebut dengan berdasar kepada syarat putus yang

terpenuhi dengan wanprestasi dari pihak pembeli pihak penjual harus mengajukan permintaan

pemutusan kepada hakim terlebih dahulu.

Langkah penjual untuk meminta pemutusan terlebih dahulu kepada hakim ini harus

dilakukan selain karena diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan dalam hal ini BW, juga

dimaksudkan agar upaya hukum pemutusan yang dilakukan oleh penjual memiliki kekuatan

hukum untuk dilakukan. Akibat hukum dari tidak dimintakannya pemutusan perjanjian

pengikatan jual beli ini kepada hakim ialah dapat dikenakannya ketentuan pasal 6 ayat 2 Akta

Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang menyatakan bahwa apabila pihak pertama membatalkan

perjanjian tersebut, maka pihak pertama harus membayar ganti rugi dua kali dari uang muka

kepada pihak kedua. Akibat hukum ini terjadi karena suatu perjanjian dengan syarat putus tidak

berakhir dengan sendirinya atau batal demi hukum tetapi memerlukan pembatalan yang

dimintakan kepada hakim sebagaimana dapat dilihat dalam redaksi pasal 1266 ayat 2 BW.

Apabila pada perjanjian timbal balik dengan syarat putus itu hakim mengabulkan gugatan

kreditur untuk memutuskan perikatan karena terjadinya wanprestasi, timbul persoalan tentang

sifat dari keputusan hakim tersebut. Dalam hal ini ada dua pendapat50

, yaitu :

50

Mariam Darus Badrulzaman et al, Op.Cit., h.44.

Page 58: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

50

1. Pendapat yang menyatakan bahwa sifat dari keputusan hakim itu adalah declaratoir.

Dalam hal ini berarti putusnya perikatan itu adalah disebabkan karena adanya

wanprestasi itu sendiri.

2. Pendapat yang menyatakan bahwa sifat dari keputusan hakim itu adalah konstitutif,

artinya ialah bahwa putusannya bukan karena adanya wanprestasi, tetapi karena adanya

putusan hakim.

2. Keberadaan Pernyataan Lalai dalam Pemberlakuan Syarat Putus

Pemenuhan prestasi merupakan esensi dari suatu perikatan, apabila tenggang waktu

pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan dalam perjanjian, debitur perlu diperingatkan

secara tertulis dengan suatu surat perintah atau akta sejenis itu (bevel of soortgelijke akte)51

dalam surat perintah atau akta mana ditentukan bahwa debitur segera atau pada waktu tertentu

yang disebutkan memenuhi prestasinya; jika tidak dipenuhi ia telah dinyatakan lalai atau

wanprestasi (pasal 1238 BW). Ketentuan pasal ini dapat juga diikuti oleh perikatan untuk berbuat

sesuatu, yang dimaksud dengan peringatan tertulis dalam pasal ini adalah surat peringatan resmi

dari pengadilan. Biasanya peringatan (sommatie) itu dilakukan oleh seorang jurusita dari

pengadilan yang membuat proses verbal tentang pekerjaannya itu. Selain itu juga dapat

berbentuk suatu surat peringatan (akta) biasa yang disampaikan oleh kreditur kepada debitur

yang disebut juga dengan istilah ingebreke stelling.

Namun jika dalam kontrak dengan tegas diperjanjikan tata cara terjadinya wanprestasi bagi

para pihak, maka ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar-dasar terjadinya wanprestasi yang

telah disepakatilah yang menjadi dasar pembuktian telah terjadi atau tidaknya wanprestasi.

Terhadap fakta, secara umum kreditur tidak lagi perlu harus membuktikan pembangunan status

51

Lihat Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., h.21,22,23.

Page 59: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

51

kelalaian melalui somasi, akan tetapi dapat langsung mengambil langkah hukum terhadap debitur

apabila walaupun telah diberitahukan tentang kelalaiannya debitur masih gagal atau tidak

mampu untuk menyelesaikannya.52

Pendapat hukum diatas dapat dilihat pengaturannya pada pasal 1238 BW : “Si berutang

adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan

lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus

dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”. Ketentuan pasal 1238 BW ini apabila

dikaitkan dengan pengikatan jual beli antara para pihak maka frasa “… atau demi perikatannya

sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya

waktu yang ditentukan.” dapat diterapkan sehubungan dengan isi pasal 6 ayat (1) Akta Perjanjian

Pengikatan Jual Beli yang mengatur mengenai syarat batal yang ditetapkan mulai berlaku apabila

pihak pembeli tidak membayar sisa harga jual beli atas tanah hingga tenggang waktu 6 (enam)

bulan sejak hak atas tanah tersebut bersertipikat.

Mengenai kewajiban somasi ini terdapat suatu yurisprudensi, yaitu putusan MA tanggal 1

Juli 1959 No.186 K/Sip/1959 yang menyatakan bahwa apabila dalam perjanjian ditentukan

dengan tegas kapan pihak yang bersangkutan harus melaksanakan sesuatu dan setelah lampau

waktu yang ditentukan ia belum juga melaksanakannya, ia menurut hukum belum dapat

dikatakan alpa memenuhi kewajiban perjanjian selama hal tersebut belum dinyatakan kepadanya

secara tertulis oleh pihak lain (in gebreke gesteld).

Akan tetapi mencari dukungan pada yurisprudensi tidak berarti bahwa hakim terikat atau

harus mengikuti putusan mengenai perkara sejenis yang pernah dijatuhkan oleh MA, PT atau

52

Ricardo Simanjuntak, Op.Cit., h 367,368.

Page 60: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

52

yang telah pernah diputuskannya sendiri saja, karena pada asasnya tidak menganut asas the

binding force of precedent53

.

Perjanjian pengikatan jual beli antara para pihak yang dituangkan dalam Akta Perjanjian

Pengikatan Jual Beli telah mengatur mengenai kapan terjadinya wanprestasi, baik dari pihak

pertama maupun pihak kedua. Kriteria wanprestasi ini terkandung dalam syarat putus dalam

ketentuan pasal 6 Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli, wanprestasi dari pihak kedua diatur

dalam pasal 6 ayat (1) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli dimana pihak kedua dikatakan

wanprestasi apabila setelah lewat tenggang waktu 6 (enam) bulan pihak kedua belum membayar

sisa harga jual beli atas tanah, maka pihak pertama dapat memutuskan perjanjian pengikatan jual

beli dengan memberikan kompensasi tanah sesuai dengan jumlah uang yang telah dibayarkan

pihak kedua atau maksimal seluas 10.000 (sepuluh ribu) meter persegi dengan kepastian lokasi.

Wanprestasi dari pihak pertama dalam pasal 6 ayat (2) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli

terjadi apabila pihak pertama memutus perjanjian secara sepihak, dan sebagai tanggung gugatnya

pihak pertama harus membayar ganti rugi dua kali uang muka kepada pihak kedua.

Secara khusus apabila para pihak dengan tegas menyatakan dalam kontrak bahwa dengan

telah terbuktinya terpenuhi tata cara untuk dapat dinyatakan wanprestasi seperti yang telah

disepakati dalam “klausul wanprestasi” atau “klausul peristiwa-peristiwa wanprestasi” dan

membuat pihak kreditur berhak untuk segera melakukan langkah hukum tanpa harus perlu

terlebih dahulu mensomasi, maka tidak ada kewajiban dari kreditur untuk terlebih dahulu

mensomasi debitur sebelum mengajukan gugatan ke pengadilan. Artinya, segera setelah “lalai”

atau “in default”, kreditur dapat langsung menggugat debiturnya, dan bila debitur berniat untuk

53

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ketujuh, Liberty, Yogyakarta,2006, h.15.

Page 61: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

53

segera menyelesaikannya maka debitur dapat menyelesaikannya sebelum persidangan dimulai,

dimana pada tahap kreditur masih dapat melakukan pencabutan terhadap gugatannya.54

Sebaliknya, walaupun peristiwa-peristiwa yang menjadi ukuran terjadinya wanprestasi

(events of default) yang telah disepakati para pihak dalam kontrak telah dipenuhi, akan tetapi

disepakati pula bahwa sebelum melakukan langkah hukum terhadap fakta “in default” kreditur

harus terlebih dahulu mengirimkan peringatan kepada debitur, maka berdasarkan kontrak,

kreditur tidak dapat menggugat debitur di Pengadilan Negeri, sebelum terlebih dahulu

melakukan somasi terhadap debiturnya. Tentang ketentuan berapa kali sebenarnya somasi harus

dilakukan terhadap debitur, tidak ada ketentuan yang mengaturnya, kecuali secara tegas

disepakati dalam perjanjian, peringatan umumnya dilakukan tiga kali. Artinya tidak menutup

kemungkinan bila pihak kreditur hanya berkeinginan mensomasi hanya sekali sebelum

memutuskan untuk mengambil langkah hukum ke Pengadilan Negeri, ataupun arbitrase sesuai

dengan pilihan jurisdikasi atau pilihan forum yang disepakati dalam kontrak.55

Tidak adanya somasi atau peringatan pernyataan lalai terhadap pihak kedua atau debitur

tidak berarti pihak penjual dapat menyatakan perjanjian pengikatan jual beli tersebut batal demi

hukum, akan tetapi penjual tetap harus meminta pemutusan kepada hakim sebagaimana

dirumuskan dalam pasal 1266 ayat (2) BW, karena dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli

yang mengikat para pihak tidak terdapat pengesampingan secara khusus mengenai keberadaan

pasal 1266 ayat (2) BW.

54

Ricardo Simanjuntak, Op.Cit., h.368. 55

Ibid., h.368,369.

Page 62: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

54

3. Gugatan Wanprestasi akibat Pemutusan Perjanjian yang dilakukan oleh Para

Tergugat

Gugatan wanprestasi diajukan oleh pihak kedua yang selanjutnya akan disebut Penggugat

terhadap pihak pertama yang selanjutnya disebut Para Tergugat pada tanggal 28 Desember 2011

kepada Ketua Pengadilan Negeri Denpasar melalui kuasa hukumnya dengan dalil bahwa tergugat

telah melakukan wanprestasi karena batal menjual tanah obyek perjanjian pengikatan jual beli.

Untuk mendukung gugatannya Penggugat juga mendalilkan bahwa setelah terbit sertipikat

terhadap tanah sengketa Para Tergugat tidak pernah memberitahukan kepada Penggugat dan

setelah Penggugat mengetahui sendiri bahwa terhadap tanah sengketa telah terbit sertipikat,

Penggugat langsung mendatangi Para Tergugat dengan tujuan untuk melanjutkan sisa

pembayaran, sehingga proses jual beli dapat dilakukan, akan tetapi Penggugat malah menyatakan

tidak jadi menjual tanahnya. Atas perbuatan Para Tergugat tersebut, Penggugat tidak dapat

mengalihkan tanah sengketa kepada Penggugat atau kepada pihak lain sebagaimana diuraikan

dalam Akta Kuasa tanggal 10 Mei 2002 nomor 16.

Mengacu kepada kriteria penggolongan wanprestasi menurut Subekti56

, berdasarkan dalil-

dalil yang diutarakan oleh Penggugat dalam posita gugatannya perbuatan Para Tergugat ini

termasuk ke dalam wanprestasi dalam hal melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak

boleh dilakukan. Dalam pasal 6 ayat (2) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli terkandung

ketentuan yang menyatakan bahwa penjual berkewajiban membayar dua kali lipat sebagai ganti

kerugian apabila pihak pertama membatalkan perjanjian tersebut. Jika ditafsirkan redaksi pasal

ini menyatakan bahwa kedua belah pihak sepakat bahwa pihak penjual atau pihak pertama tidak

56

Subekti I, Op.Cit., h.45.

Page 63: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

55

diperbolehkan membatalkan perjanjian, dan apabila kesepakatan ini dilanggar maka sebagai

konsekuensinya pihak pertama wajib membayar ganti rugi sebesar dua kali uang muka kepada

pihak pembeli.

Penggugat sebagai pihak yang mengajukan perkara ke depan sidang guna menunjuk pada

suatu peristiwa (wanprestasi) memiliki kewajiban untuk membuktikan adanya peristiwa tersebut.

Kewajiban untuk melakukan suatu pembuktian ini diatur dalam pasal 1865 BW. Suatu

pembuktian ini dapat dilakukan dengan memajukan alat-alat bukti dalam perkara. Menurut pasal

1866 BW atau pasal 164 RIB (pasal 283 RDS) alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri atas :

a. Bukti tulisan;

b. Bukti dengan saksi-saksi;

c. Persangkaan-persangkaan;

d. Pengakuan; dan

e. Sumpah.

Dari apa yang telah disebutkan diatas, dapat dilihat bahwa dalam suatu perkara perdata alat

bukti (alat pembuktian) yang utama adalah tulisan. Tulisan merupakan alat bukti yang utama

karena dalam lau lintas keperdataan, yaitu dalam jual beli, sewa-menyewa dan lain sebagainya,

alat-alat bukti memang sengaja dibuat berhubungan dengan kemungkinan diperlukannya bukti-

bukti tersebut di kemudian hari, dan lazimnya bukti-bukti ini dituangkan dalam suatu hitam

diatas putih atau berupa tulisan57

. Bukti tulisan atau bukti surat yang diajukan oleh Penggugat

adalah fotocopy salinan Akta Pengikatan Jual Beli No.15 tanggal 10 Mei 2002 serta fotocopy

salinan Akta Kuasa No.16 tanggal 10 Mei 2002.

57

Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985 (selanjutnya disebut Subekti III), h. 22.

Page 64: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

56

Selain bukti tulisan atau bukti surat Penggugat juga mengajukan bukti dengan saksi-saksi.

Menurut Subekti58

seorang saksi akan menerangkan tentang apa yang dilihat dan dialaminya

sendiri, dan lagi tiap kesaksian itu harus disertai dengan alasan-alasan bagaimana diketahuinya

hal-hal yang diterangkan itu. Pendapat maupun perkiraan-perkiraan yang diperoleh dengan jalan

pikiran bukanlah suatu kesaksian. Dalam mempertimbangkan nilai suatu kesaksian, hakim harus

memberikan perhatian khusus pada persamaan kesaksian-kesaksian satu sama lain59

; pada

persamaan antara kesaksian-kesaksian itu dengan apa yang diketahui dari sumber lain tentang hal

yang menjadi perkara, pada alasan-alasan yang kiranya telah mendorong seorang saksi untuk

mengutarakan perkaranya, pada cara hidup, kesusilaan dan kedudukan para saksi, dan pada

umumnya pada segala apa yang mungkin ada pengaruhnya terhadap lebih atau kurang dapat

dipercayainya para saksi itu.

Penggugat mengajukan dua orang saksi, yaitu I Made Rangkep yang merupakan

penghubung atau makelar dalam transaksi jual beli tanah yang terjadi antara Penggugat dan

tergugat, serta I Wayan Sutarga yang berprofesi sebagai sopir Penggugat.

Menurut keterangan saksi I Made Rangkep setelah sertipikat selesai Para Tergugat

mengatakan tidak jadi menjual tanahnya tersebut dan terhadap uang muka Penggugat akan

diberikan tanah pengganti seluas 40 (empat puluh) are yaitu di depan 20 (dua puluh) are dan di

belakang 20 (dua puluh) are.

Jika dirujuk pada kesaksian di atas pembeli atau dalam perkara ini tergugat telah beritikad

baik memenuhi isi Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli pasal 6 ayat (1) yang menyatakan

apabila tenggang waktu enam bulan dari selesainya sertipikat pihak kedua belum juga memenuhi

58

Ibid, h. 40. 59

Ibid, h.40,41.

Page 65: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

57

kewajibannya untuk melanjutkan pembayaran dari harga jual beli tanah, maka jumlah uang yang

telah dibayarkan oleh pihak kedua tidak akan dikembalikan oleh pihak pertama kepada pihak

kedua akan tetapi pihak kedua akan memperoleh tanah sesuai jumlah uang yang telah dibayarkan

atau maksimal seluas 10.000 (sepuluh ribu) meter persegi.

Dalam kesimpulan dari kuasa hukum tergugat, sampai sertipikat selesai yang diketahui

oleh pembeli setelah diberitahu oleh saksi I Made Rangkep yaitu sekitar tahun 2003 dan setelah

Penggugat mendatangi dan menanyakan langsung kepada Para Tergugat yang diantar oleh saksi I

Wayan Sutanta sekitar tahun 2008, Penggugat tidak melunasi sisa pembayaran sebesar Rp

4.434.000.000,00 (empat milyar empat ratus tiga puluh empat juta rupiah) yang seharusnya

sudah dibayar oleh pihak kedua atau dalam perkara ini sebagai Penggugat kepada pihak pertama

atau Para Tergugat selambat-lambatnya setelah hak atas tanah tersebut bersertipikat, sesuai

ketentuan pasal 3 huruf b Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli.

Oleh karena Penggugat tidak memenuhi kewajibannya untuk melunasi sisa pembayaran

setelah sertipikat selesai sesuai ketentuan pasal 3 huruf b Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli,

maka Para Tergugat memutus kesepakatan yang dimungkinkan oleh ketentuan pasal 6 ayat (2)

Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang menentukan “apabila pihak pertama membatalkan

perjanjian ini, maka pihak pertama harus membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada

pihak kedua.” Tetapi ketika Para Tergugat hendak mengembalikan dua kali dari uang muka yang

telah dibayarkan oleh Penggugat kepada Para Tergugat, Penggugat tidak mau menerima

pengembalian uang muka tersebut dan tetap bersikeras untuk melanjutkan jual beli atau meminta

ganti rugi sebesar Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).

Page 66: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

58

Jika poin dari kesimpulan ini sesuai dengan fakta hukum yang sebenarnya terjadi maka

Para Tergugat dalam menghadapi gugatan dari Penggugat dapat mengajukan pembelaan berupa

exceptio non adimpleti contractus. Mengenai Exceptio non adimpleti contractus ini Subekti60

berpendapat :

Dengan pembelaan ini si debitur yang dituduh lalai dan dituntut membayar ganti rugi itu

mengajukan di depan hakim bahwa kreditur sendiri juga tidak menepati janjinya. Dalam

setiap perjanjian timbal balik, dianggap ada suatu asas bahwa kedua pihak harus sama-

sama melakukan kewajibannya. Masing-masing pihak dapat mengatakan kepada pihak

lawannya, „Jangan menganggap saya lalai, kalau kamu sendiri juga sudah melalaikan

kewajibanmu!‟.

Selain pembelaan exceptio non adimpleti contractus Para Tergugat juga dapat mengajukan

gugatan dengan dasar Penggugat tidak beritikad baik dalam memenuhi perjanjian. Menurut

Subekti61

pelaksanaan suatu perjanjian dengan itikad baik harus berjalan dengan mengindahkan

norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi ukuran obyektiflah yang digunakan untuk menilai

pelaksanaan tadi. Pengaturan mengenai itikad baik dalam analisis obyektif ini dapat dilihat pada

ketentuan pasal 1338 ayat (3) BW. Ketentuan pasal ini harus dipandang sebagai suatu tuntutan

keadilan. Tujuan dari hukum adalah dua, yaitu menjamin kepastian (ketertiban) dan memenuhi

tuntutan keadilan. Kepastian hukum menghendaki supaya apa yang dijanjikan harus dipenuhi.

Namun dalam pemenuan tuntutan perjanjian tersebut, norma-norma keadilan atau kepatutan

60

Subekti I, Op.Cit., h. 57,58. 61

Lihat Ibid, h.41, 42

Page 67: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

59

sebaiknya tidak ditinggalkan, dan sebaiknya para pihak dapat berlaku adil dalam pemenuhan

perjanjian tersebut.

Perbuatan Penggugat yang tidak patut jika melihat kesaksian dari kedua saksi yaitu saksi I

Made Rangkep yang telah memberitahu Penggugat bahwa sertipikat telah selesai sekitar tahun

2003 dan setelah Saksi I Wayan Sutanta yang mengantar Penggugat mendatangi Para Tergugat

sekitar tahun 2008 dengan kondisi telah mengetahui sertipikat telah terbit. Dari keterangan kedua

orang saksi tersebut dapat dilihat rentang waktu kurang lebih lima tahun sejak Penggugat

mengetahui sertipikat telah terbit dan tidak melanjutkan sisa pembayaran, hal ini berlawanan

dengan norma-norma kepatutan, dimana seharusnya setelah sertipikat terbit Penggugat memiliki

tenggang waktu enam bulan untuk melunasi pembayaran harga yang telah disepakati.

Lebih jauh mengenai itikad baik Agus Yudha Hernoko62

berpendapat :

Sebagaimana dipahami bahwa pemahaman substansi itikad baik dalam Pasal 1338 (3)

BW tidak harus diinpretasikan secara gramatikal, bahwa itikad baik hanya muncul

sebatas pada tahap pelaksanaan kontrak. Itikad baik harus dimaknai dalam keseluruhan

proses kontraktual, artinya itikad baik harus melandasi hubungan para pihak pada tahap

pra kontraktual, kontraktual, dan pelaksanaan kontraktual. Dengan demikian, fungsi

itikad baik dalam pasal 1338 ayat (3) BW mempunyai sifat dinamis melingkupi

keseluruhan proses kontraktual tersebut.

62

Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., H, 139

Page 68: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

60

Gugatan wanprestasi dari Penggugat terjadi karena Para Tergugat lebih memilih

membatalkan perjanjiannya secara sepihak dengan konsekuensi membayar ganti kerugian dua

kali dari uang muka yang telah dibayarkan oleh Penggugat daripada menggunakan ketentuan

syarat putus yang terkandung dalam pasal 6 ayat (1) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli

sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. Syarat untuk berlakunya syarat putus

seagusbenarnya telah terpenuh saat Penggugat tidak berhasil memenuhi prestasinya untuk

membayar sisa harga jual beli dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan setelah sertipikat selesai,

pemenuhan syarat putus ini kurun waktu 5 (lima) tahun Penggugat tidak melanjutkan

pembayaran harga atas tanahnya yang dapat dilihat dari kesaksian saksi I Made Rangkep yang

telah memberi tahu Penggugat bahwa sertipikat telah selesai yaitu sekitar tahun 2003 dan setelah

Penggugat mendatangi dan menanyakan langsung kepada Para Tergugat yang diantar oleh saksi I

Wayan Sutanta sekitar tahun 2008.

Apabila poin kesimpulan tersebut di atas sesuai dengan fakta hukum yang sebenarnya

maka seharusnya Para Tergugat dapat meminta pemutusan perjanjian seperti yang diatur dalam

pasal 1266 ayat (2) BW setelah Penggugat tidak memenuhi kewajiban berprestasinya untuk

membayar sisa harga jual beli dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak sertipikat selesai

sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (1) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Apabila langkah

permintaan pemutusan perjanjian ini yang dimintakan kepada hakim oleh Para Tergugat maka

Para Tergugat tidak perlu untuk membatalkan perjanjian dan membayar ganti rugi dua kali dari

uang muka kepada pihak Penggugat karena pemutusan perjanjian tersebut terjadi karena

wanprestasi oleh Penggugat dan akta perjanjian jual beli yang berlaku selayaknya undang-

undang bagi para pihak menyatakan sah langkah pemutusan tersebut.

Page 69: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

61

Walaupun dalam hukum dikenal adanya adagium Rechtfictie yang apabila diterjemahkan

secara bebas memiliki arti bahwa setiap orang dianggap tahu hukumnya, sebaiknya penuangan

perjanjian pengikatan jual beli dalam suatu akta pengikatan jual beli tersebut lebih merinci

substansi dari perjanjian agar para pihak dapat lebih jelas mengetahui apa saja hak dan kewajiban

mereka yang harus dipenuhi menurut perjanjian yang mengikat mereka selaku pembuat

selayaknya undang-undang dan upaya-upaya hukum apa saja yang dapat dilakukan apabila

terjadi kelalaian dalam pemenuhan prestasi dari pihak lawan. Pengetahuan para pihak yang

minim tentang hukum membuat mereka bertindak hanya berdasar kepada pasal-pasal yang

terkandung dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanpa mengetahui terdapat pengaturan

yang lebih khusus terhadap tindakan hukum yang dapat diambil menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Para Tergugat untuk mendukung dalilnya mengajukan bukti surat berupa foto copy salinan

akta pengikatan jual beli, dan juga mengajukan dua orang ahli yaitu I Wayan Wiryawan dan I

Ketut Westra. Mengenai keterangan ahli ini Sudikno Mertokusumo63

berpendapat bahwa

“Keterangan ahli ialah keterangan pihak ketiga yang obyektif dan bertujuan untuk membantu

hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri.”.

Namun dari keterangan ahli-ahli yang dihadirkan ke dalam persidangan tersebut terdapat

beberapa keterangan yang tidak sesuai dengan teori-teori atau norma hukum yang berlaku. Ahli

Wayan Westra memberi keterangan bahwa perikatan tidak sama dengan pengikatan. Perikatan

adalah istilah hukum yang mempunyai konsekuensi yuridis atau saksi, sedangkan pengikatan

tidak. Pengikatan merupakan istilah yang lahir dari pergaulan sehari-hari dan perikatan adanya

konotasi hak dan kewajiban sedangakan pengikatan hanya merupakan norma.

63

Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., H.195

Page 70: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

62

C. Asser64

berpendapat bahwa ciri utama perikatan adalah hubungan hukum para pihak,

dimana dengan hubungan itu terdapat hak (prestasi) dan kewajiban (kontra prestasi) yang saling

dipertukarkan para pihak. Apabila dibandingkan dengan pendapat ahli I Wayan Wiryawan yang

menyatakan bahwa perikatan tidak sama dengan pengikatan, keterangan ahli tersebut kurang

tepat, karena suatu pengikatan jual beli merupakan suatu perjanjian dimana dalamnya terdapat

hubungan hukum berupa hak dan kewajiban para pihak yang saling dipertukarkan para pihak

yang tunduk di dalamnya. Selain itu pasal 1233 BW menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan

dilahirkan baik karena perjanjian maupun karena undang-undang, dengan memperhatikan

ketentuan pasal tersebut pengikatan jual beli yang dituangkan dalam suatu perjanjian

menerangkan kedudukan perjanjian pengikatan jual beli sebagai suatu perjanjian yang

melahirkan perikatan.

Ahli kedua yang dihadirkan oleh Para Tergugat adalah I Ketut Westra, Ahli kedua

berpendapat bahwa apabila perjanjian tersebut mengandung klausula waktu dan setelah lampau

waktu tersebut perjanjian belum dilaksanakan maka perjanjian tersebut gugur dan karena

perjanjian tersebut gugur, maka tidak ada wanprestasi.

Klausula waktu dalam perjanjian pengikatan jual beli ini dapat ditemukan pada klausul

syarat putus yang terkandung dalam pasal 6 Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Merujuk pada

ketentuan pasal 1266 ayat (2) BW yang menyatakan bahwa suatu syarat putus tidak batal demi

hukum, tetapi harus dimintakan pembatalannya kepada hakim. Kemudian dalam ketentuan pasal

1266 ayat (3) BW juga diatur bahwa permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat putus

mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam perjanjian. Jika berpedoman pada

64

Agus Yudha Hernoko, Op.Cit. h 21, dikutip dari C. Asser, Pengajian Hukum Perdata Belanda, Jakarta,

Dian Rakyat, 1991, h. 5

Page 71: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

63

ketentuan pasal 1266 ayat (3) BW pendapat dari ahli kedua tersebut kurang tepat karena

perjanijan tidak gugur dengan sendirinya (batal demi hukum) apabila syarat lampaunya waktu

dalam syarat putus terpenuh, suatu perjanjian dengan syarat putus tetap memerlukan pemutusan

dari hakim.

Mengenai pendapat atau keterangan kedua ahli yang tidak sesuai dengan ajaran hukum

atau norma-norma yang berlaku, majelis hakim bebas untuk mendengar atau tidak pendapat ahli

tersebut. Sebagaimana pendapat Sudikno Mertokusumo65

“Hakim terikat untuk mendengar saksi

yang akan memberikan keterangan tentang peristiwa yang relevan, sedangkan mengenai ahli,

hakim bebas untuk mendengar atau tidak.”

Akibat dari wanprestasi Para Tergugat yang dirasa merugikan Penggugat dalam dalil-dalil

gugatannya, maka Penggugat dalam petitumnya menuntut Para Tergugat agar dihukum untuk

membayar ganti kerugian secara tunai dan seketika terhitung sejak putusan mempunyai kekuatan

hukum tetap kepada Penggugat sebesar Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyat rupiah) dengan

perincian:

1. Kerugian materiil sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

2. Kerugian immateriil sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Mengenai ganti kerugian menurut Abdulkadir Muhammad66

ialah “ganti kerugian yang

timbul karena debitur melakukan wanprestasi karena lalai”. Ganti kerugian itu terdiri dari tiga

unsur yaitu (pasal 1246 BW)

a) Ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan (cost).

65

Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., H.197 66

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., h.39,40.

Page 72: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

64

b) Kerugian karena kerusakan, kehilangan atas barang kepunyaan kreditur akibat kelalaian

debitur (damages). Kerugian di sini adalah yang sungguh-sungguh diderita.

c) uang atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena debitur lalai, kreditur kehilangan

keuntungan yang diharapkannya.

Ketiga unsur diatas tidak harus selalu ada dalam ganti kerugian. Minimal ganti kerugian itu

adalah kerugian yang sesungguhnya diderita oleh kreditur (unsur b).

Walaupun debitur yang telah melakukan wanprestasi (lalai) diharuskan membayar ganti

kerugian kepada kreditur, namun undang-undang masih memberikan pembatasan-pembatasan

yaitu ; dalam hal ganti kerugian yang bagaimana seharusnya dibayar oleh debitur atas tuntutan

kreditur. Pembatasan-pembatasan itu sifatnya sebagai perlindungan undang-undang terhadap

debitur dari perbuatan sewenang-wenang pihak kreditur. Pembatasan-pembatasan tersebut dapat

dibaca dalam ketentuan pasal 1247 dan 1248 BW.

Pasal 1247 BW menyatakan bahwa Debitur hanya diwajibkan membayar ganti kerugian

yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal

tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan oleh tipu daya yang dilakukan olehnya, dan Pasal

1248 BW menyatakan jika tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan oleh tipu daya debitur,

pembayaran ganti kerugian sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh kreditur dan

keuntungan yang hilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari

tidak dipenuhinya perikatan.

Dari ketentuan dua pasal ini dapat diketahui bahwa ada dua pembatasan kerugian :

a. kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan.

b. Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi (lalai).

Page 73: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

65

Dua macam kerugian inilah yang harus dibayar oleh debitur kepada kreditur akibat dari

wanprestasi.

Dengan pembatasan kriteria kerugian ini maka gugatan wanprestasi Penggugat yang dalam

petitumnya menuntut Para Tergugat agar dihukum untuk membayar ganti kerugian secara tunai

dan seketika terhitung sejak putusan mempunyai kekuatan hukum tetap kepada Penggugat

sebesar Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyat rupiah) dengan perincian kerugian materiil

sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), dan Kerugian immateriil sebesar Rp

5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) tidak dapat diterima karena kerugian tersebut bukanlah

merupakan akibat langsung dari wanprestasi.

Selain ganti kerugian Penggugat dalam petitumnya juga memohon kepada majelis hakim

agar Para Tergugat dihukum membayar uang paksa kepada Penggugat sebesar Rp 1.000.000,00

(satu juta rupiah) sehari, setiap lalai melaksanakan isi putusan terhitung sejak putusan diucapkan

sampai dilaksanakan oleh Para Tergugat.

Terhadap uang paksa (dwangsom) Pasal 606a Rv menentukan : “Sepanjang suatu

keputusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain dari pada pembayar sejumlah

uang, maka dapat ditentukan, bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi

hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam

keputusan hakim, dan uang tersebut dinamakan uang paksa.”. Berdasarkan ketentuan tersebut

Para Tergugat baru dapat dikenakan dwangsom apabila telah majelis hakim dalam amarnya

menyetujui petitum gugatan Penggugat dan menghukum Para Tergugat untuk membayar

dwangsom atau uang paksa tersebut.

Page 74: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

66

4. Keberadaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Setelah Penjual Dinyatakan

Wanprestasi dalam Putusan Pengadilan

Setelah melalui tahapan-tahapan pemeriksaan di pengadilan, majelis hakim yang

memeriksa dan mengadili perkara dengan nomor register 787/Pdt.G/2011/PN.Dps melalui rapat

musyawarah majelis yang dilakukan pada hari Senin, 15 Oktober 2012 telah menghasilkan suatu

produk hukum berupa putusan Pengadilan Negeri yang diucapkan dalam persidangan yang

terbuka untuk umum pada Senin tanggal 22 Oktober 2012.

Menurut Sudikno Mertokusumo67

putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh

hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan

bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa para pihak. Putusan

yang diucapkan oleh majelis hakim ini merupakan suatu putusan akhir, yaitu putusan yang

mengakhiri perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu. Suatu putusan akhir ada yang

bersifat menghukum (condemnatoir), ada yang bersifat menciptakan (constitutif) dan ada pula

yang bersifat menerangkan (declaratoir)68

.

Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan

untuk memenuhi prestasi. Di dalam putusan condemnatoir diakui hak Penggugat atas prestasi

yang dituntutnya. Hukuman semacam itu hanya terjadi berhubung dengan perikatan yang

bersumber pada persetujuan atau undang-undang. yang prestasinya dapat terdiri dari memberi,

berbuat atau tidak berbuat. Pada umumnya putusan condemnatoir berisi hukuman untuk

membayar sejumlah uang. Karena dengan putusan condemnatoir tergugat diwajibkan untuk

memenuhi prestasi, maka hak dari Penggugat yang telah ditetapkan itu dapat dilaksanakan

67

Sudikno Mertokusumo, Op.Cit.,h.210. 68

Ibid, h.229.

Page 75: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

67

dengan paksa (execution force). Jadi putusan condemnatoir kecuali mempunyai kekuatan

mengikat juga memberi alas hak eksekutorial kepada Penggugat yang berarti memberi hak

kepada Penggugat untuk menjalankan putusan secara paksa melalui pengadilan.

Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu keadaan

hukum, misalnya pemutusan perkawinan, pengangkatan wali, pemberian pengampuan,

pernyataan pailit, pemutusan perjanjian (pasal 1266, 1267 BW) dan sebagainya. Putusan

constitutif ini pada umumnya tidak dapat dilaksanakan dalam arti kata seperti tersebut di atas,

karena tidak menetapkan hak atas suatu prestasi tertentu, maka akibat hukumnya atau

pelaksanaannya tidak tergantung pada bantuan dari pihak lawan yang dikalahkan. Perubahan

keadaan atau hubungan hukum itu sekaligus terjadi pada saat putusan itu diucapkan tanpa

memerlukan upaya pemaksa. Pengampuan dan kepailitan itu misalnya terjadi pada saat putusan

yang dijatuhkan.

Putusan declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa

yang sah, misalnya bahwa anak yang menjadi sengketa adalah anak yang dilahirkan dari

perkawinan yang sah, juga tiap putusan yang bersifat menolak gugatan merupakan putusan

declaratoir. Di sini dinyatakan sebagai hukum, bahwa keadaan hukum tertentu yang dituntut oleh

Penggugat atau pemohon ada atau tidak ada, tanpa mengakui adanya hak atas suatu prestasi.

Putusan declaratoir murni tidak mempunyai atau memerlukan upaya memaksa karena sudah

mempunyai akibat hukum tanpa bantuan dari pihak lawan yang dikalahkan untuk

melaksanakannya, sehingga hanyalah mempunyai kekuatan mengikat saja. Pada hakikatnya

semua putusan baik yang condemnatoir maupun yang constitutif bersifat declaratoir.

Page 76: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

68

Pada putusan constitutif keadaan hukum yang baru dimulai pada saat putusan itu

memperoleh kekuatan hukum yang pasti, sedangkan putusan condemnatoir dapat dilaksanakan

sebelum mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Selain itu hanyalah putusan condemnatoir

yang dapat dilaksanakan secara paksa.

Putusan Majelis Hakim terhadap perkara dengan nomor register 787/PDT.G/2011/PN.DPS

ini tergolong dalam putusan condemnatoir, dimana putusan ini bersifat menghukum pihak yang

dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Majelis hakim yang memutus perkara antara para pihak

dengan nomor register perkara 787/PDT.G/2011/PN.DPS dalam amar putusannya menyatakan

bahwa Para Tergugat telah melakukan wanprestasi serta menghukum Para Tergugat untuk

melanjutkan proses jual beli tanah sengketa di hadapan PPAT atau Pejabat yang berwenang

sebagaimana diatur dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli.

Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan69

yang dijadikan dasar

untuk mengadili (pasal 25 UU no.4 tahun 2004, 184 ayat 1, 319 HIR, 195, 618 Rbg). Alasan-

alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggung jawaban hakim atas putusannya

terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga oleh

karenanya mempunyai nilai obyektif. Karena adanya alasan-alasan itulah maka putusan

mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang menjatuhkannya.

Menilik alasan dan amar dalam putusan ini, putusan majelis hakim yang pada bagian

menimbang menyatakan bahwa Para Tergugat dihukum untuk melanjutkan pelaksanaan akta

pengikatan jual beli no.15 tanggal 10 mei 2002 bertentangan dengan amar putusan yang

69

Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h.15.

Page 77: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

69

menghukum Para Tergugat untuk melanjutkan proses jual beli tanah sengketa di hadapan PPAT

atau Pejabat yang berwenang sebagaimana diatur dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli.

Pemenuhan atau dilanjutkannya perjanjian apabila salah satu pihak wanprestasi merupakan

salah satu pilihan yang dapat diambil oleh Penggugat sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal

1267 BW yang menyatakan “Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih

apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi

perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian

dan bunga. Akan tetapi majelis hakim perlu memperhatikan juga Pasal 1338 BW menyatakan

bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya.

Apabila majelis hakim dalam pertimbangannya menghukum Para Tergugat untuk

melanjutkan pelaksanaan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli no 15 tanggal 10 mei 2002 maka

seharusnya amar putusan tersebut bukanlah melanjutkan proses jual beli tanah sengketa di

hadapan PPAT atau Pejabat yang berwenang, melainkan menghukum Para Tergugat untuk

membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada Penggugat, sebagaimana dirumuskan

dalam pasal 6 ayat 2 Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang menyatakan pihak pertama atau

dalam gugatan ini bertindak sebagai Para Tergugat diwajibkan untuk membayar ganti rugi dua

kali dari uang muka kepada pihak kedua atau dalam perkara ini adalah Penggugat apabila

memutus perjanjian yang dirumuskan dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli berdasarkan

asas pacta sunt servanda yang terkandung dalam pasal 1338 BW.

Perjanjian pengikatan jual beli yang mengikat para pihak selayaknya undang-undang

sebagaimana diatur dalam redaksi pasal 1338 BW memberikan opsi kepada pihak pertama atau

Page 78: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

70

Para Tergugat dalam perkara ini untuk memutus perjanjian, dengan konsekuensi yuridis Para

Tergugat harus membayar ganti kerugian dua kali dari uang muka kepada pihak Penggugat. Jadi

apabila pada bagian menimbang dari putusan majelis hakim ingin menghukum Para Tergugat

untuk melanjutkan pelaksanaan akta pengikatan jual beli maka amar putusannya seharusnya

menghukum Para Tergugat untuk membayar ganti kerugian dua kali dari uang muka kepada

Penggugat.

Amar dari Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar dengan nomor register

perkara 787/Pdt.G/2011/PN.Dps menyatakan mengabulkan gugatan Penggugat sebagian, dari

petitum gugatan Penggugat selain menyatakan Para Tergugat wanprestasi dan menghukum Para

Tergugat untuk melanjutkan proses jual beli, gugatan Penggugat lainnya yang dikabulkan oleh

majelis hakim adalah menghukum Para Tergugat untuk membayar uang paksa kepada Penggugat

sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) setiap hari setiap Para Tergugat lalai melaksanakan

putusan terhitung sejak putusan mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan mengenai

dwangsom ini diberlakukan karena dalam amar putusan hakim Para Tergugat dihukum tidak

untuk membayar sejumlah uang, tetapi untuk melakukan sesuatu hal, yaitu melanjutkan

perjanjian pengikatan jual beli. sebagaimana diatur Pasal 606a Rv suatu keputusan hakim yang

mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain dari pada pembayar sejumlah uang maka dapat

ditentukan bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut,

olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan hakim, dan

uang tersebut dinamakan uang paksa.

Page 79: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

71

BAB IV

PENUTUP

1. Kesimpulan

a. Suatu perjanjian pengikatan jual beli dapat diputus oleh salah satu pihak apabila pemutusan

tersebut disepakati para pihak dengan bentuk berupa syarat putus dalam akta pengikatan

jual beli yang dibuat oleh atau di hadapan notaris. Syarat putus ini biasanya dimuat

berkaitan dengan wanprestasi salah satu pihak dalam pemenuhan perjanjian pengikatan

jual beli. Pemutusan perjanjian pengikatan jual beli dengan suatu syarat putus tidak

mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum, tetapi pemutusannya harus

dimohonkan terlebih dahulu kepada hakim. Dalam praktiknya keberadaan permohonan

pemutusan kepada hakim ini sering disimpangi oleh para pembuat kontrak dengan alasan

efisiensi waktu dan mengurangi beban perkara di pengadilan.

b. Suatu gugatan wanprestasi dapat diajukan kepada pengadilan dengan dasar pemutusan

suatu perjanjian pengikatan jual beli yang dilakukan tanpa persetujuan pihak lain.

Pemutusan yang dapat dijadikan dasar gugatan wanprestasi adalah pemutusan perjanjian

pengikatan jual yang dilakukan oleh salah satu pihak yang tidak berkaitan dengan syarat

putus yang disepakati para pihak dan diperjanjikan dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual

Beli atau pemutusan yang dilakukan salah satu pihak dengan memberlakukan syarat putus

yang terumus dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli, namun pemutusan tersebut tidak

dimohonkan terlebih dahulu kepada hakim sebagaimana diatur dalam pasal 1266 ayat (2)

BW. Apabila majelis hakim mengabulkan gugatan tersebut, maka amar putusannya

Page 80: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

72

seharusnya mewajibkan tergugat untuk memenuhi ketentuan ganti kerugian dalam

pemberlakuan syarat putus bukan memerintahkan para pihak melanjutkan proses jual-beli.

2. Saran

a. Suatu perjanjian yang berisi syarat putus sebaiknya mencantumkan ketentuan mengenai

tidak batal demi hukumnya perjanjian apabila unsur-unsur syarat putus telah terpenuhi.

Apabila para pihak sepakat untuk menyimpangi ketentuan tidak batal demi hukumnya

perjanjian akibat telah lewatnya waktu yang diperjanjikan dalam syarat putus maka

sebaiknya ketentuan tersebut juga diuraikan dalam akta agar tidak terjadi perbedaan tafsir

antar para pihak yang dapat berujung kepada gugatan keperdataan.

b. Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara hendaknya tetap mempertimbangkan

ketentuan-ketentuan yang disepakati para pihak dalam perjanjian pengikatan jual beli

selain menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena selama perjanjian

pengikatan jual beli tersebut tidak melanggar syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320

BW dan juga mengingat pasal 1338 BW bahwa perjanjian yang dibuat secara sah

mengikat para pihak yang membuat selayaknya undang-undang, jadi hakim dalam

memutus perkara yang diajukan kepadanya tetap wajib mempertimbangkan keberadaan

Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai dasar hukum dari perjanjian yang disepakati

para pihak.

Page 81: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

DAFTAR BACAAN

1. Buku :

Adjie, Habib, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011.

Badrulzaman, Mariam Daruz, et al.,Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung,

2011.

Budiono, Herlien, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2012.

---------- , Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan Buku Kedua, Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2010.

Herawati, Elly, Herlien Budiono, Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian, Nasional

Legal Reform Program, Jakarta, 2010.

Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial,

Kencana, Jakarta, 2011.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2011.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ketujuh, Liberty,

Yogyakarta,2006.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982.

Muljadi, Kartini, Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2003.

Prodjodikoro, Wirjono, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000.

Page 82: Wanprestasi Akibat Pemutusan Perjanjian

Simanjuntak, Ricardo, Hukum Kontrak Teknik Perancangan Kontrak Bisnis,Kontan Publishing,

Jakarta,2011.

Subekti , Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1985.

---------- , Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985.

----------, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002.

Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta, 2004.

Soeroso, R, Perjanjian di Bawah Tangan : Pedomoan praktis pembuatan dan Aplikasi Hukum,

Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

2. Peraturan Perundang-Undangan :

Burgerlijk Wetboek Staatsblad 1847 Nomor 23.

Herzien Inlandsch Reglement / Reglemen Indonesia Yang Dibaharui Staatsblad 1848 No. 16 jo.

57 dan Staatsblad 1941 No. 31, 32 dan 44.