repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48354/1/MOHAMMAD... ·...
Transcript of repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48354/1/MOHAMMAD... ·...
iv
ABSTRAK
Mohammad Syarifuddin Amarullah. NIM 11150440000086. PEMBAGIAN WARIS
BAGI ANAK KANDUNG NON MUSLIM (STUDI KOMPARASI PERKARA NO.
4/Pdt.P/2013/PA.Bdg DENGAN NO. 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg. Program Studi Hukum
Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441H/2019M, vii + 82 halaman dan lampiran
Studi ini bertujuan untuk mengetahui: a. Bagaimana kedudukan ahli waris non
muslim dalam perspektif hukum kewarisan Islam yang berlaku di Indonesia, b. Apa
yang menjadi pertimbangann hakim menetapkan wasiat wajibah bagi anak kandung
non muslim dalam perkara No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. dan tidak menerima anak
kandung non muslim sebagai ahli waris dalam perkara No. 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg,
dan c. Bagaimana penetapan hakim yang berbeda dalam dua perkara ahli waris non
muslim tersebut ditinjau dari Hukum Kewarisan Islam di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan
pendekatan normatif doktriner yang merupakan pendekatan yang menggunakan
rumusan-rumusan berdasarkan hukum kewarisan Islam di Indonesia, yang kemudian
dikaitkan dengan penetapan Pengadilan No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg dan No.
13/Pdt.P/2014/PA.Bdg.
Hasil Penelitian menjelaskan tentang: a. Kedudukan ahli waris non muslim
dalam perspektif hukum kewarisan Islam di Indonesia tidak ada yang menyebutkan
secara eksplisit harus seperti apa, hanya saja terdapat yurisprudensi MARI yang
memberikan bagian harta waris kepada ahli waris non muslim, b. Hakim pada perkara
no. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg memberikan bagian lewat jalur wasiat wajibah kepada ahli
waris (anak kandung) non muslim hanya berdasarkan kemaslahatan dan yurisprudensi
MARI, sedangkan Hakim pada perkara no. 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg tidak memberikan
bagian warisan kepada ahli waris (anak kandung) non muslim melalui jalur apapun,
dan c. Pertimbangan Hakim pada perkara no. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg yang memberikan
bagian waris kepada ahli waris (anak kandung) non muslim melalui jalur wasiat
wajibah dinilai kurang tepat, karena dalil-dalil yang digunakan tidak argumentatif
karena sangat kurang literasi, yang hanya bersandar pada yurisprudensi MARI saja
tetapi bertentangan dengan nash, dan juga bertentangan dengan pendapat para ulama
baik ulama-ulama klasik maupun ulama-ulama kontemporer. Sedangkan
pertimbangan Hakim pada perkara no. 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg dinilai sudah tepat
karena sudah memberikan dalil-dalil yang cukup kuat sumbernya juga argumentatif
dalam memberikan rujukan hukum yang sesuai dengan nash dan pendapat para ulama
dalam hal hukum kewarisan Islam.
Kata Kunci: Anak Kandung, Waris Non Muslim, Wasiat Wajibah, Waris Islam
Pembimbing : Dr. Mesraini, S.H., M.Ag.
Daftar Pustaka : 1952 s.d 2019
v
KATA PENGANTAR
Segala puja serta puji syukur bagi Allah subhanahu wata‟ala. Tuhan
semesta alam, yang telah melimpahkan segala limpahan rahmat, taufiq, dan
hidayah-Nya di dunia ini, terkhusus kepada penulis. Dan dengan izin dan ridho-
Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul: Pembagian Waris
Bagi Anak Kandung Non Muslim (Studi Komparasi Perkara No.
4/Pdt.P/2013/PA.Bdg dengan No. 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg sebagai salah satu
syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Hukum Keluarga
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat beserta salam
semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu „alaihi wasallam,
keluarga, sahabat dan seluruh umatnya.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis mendapat banyak sekali
bantuan dan motivasi dari berbagai pihak sehingga segala kesulitan dan
hambatan dapat diatasi dan tentunya dengan izin Allah subhanahu wata‟ala. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
tiada terhingga untuk semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril
maupun materil sehingga terselesaikan skripsi ini, khususnya kepada:
1. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Mesraini, S.H., M.Ag. dan Ahmad Chairul Hadi, M.A. selaku
Ketua dan Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga.
vi
3. Dra. Azizah, M.A. Dosen Penasehat Akademik yang selalu bersedia
meluangkan waktunya untuk memberikan masukan dan saran bagi
penulis hingga terselesaikan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik
dan memberikan ilmu yang berharga kepada penulis beserta seluruh
staf dan karyawan yang telah memberikan pelayanan terpadu selama
kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Kepada yang teristimewa kedua orang tua penulis, Ibunda dan
Ayahanda (Hodijah, S.Pd.I. dan Madsuri, M.A), yang telah begitu
banyak mencurahkan do‟a, perhatian, pengorbanan serta kasih
sayangnya yang tiada bandingannya di dunia ini.
6. Kanda-Kanda panutan Andy Asyraf, Ricky Ahmad Faisal, Nur Alim
Amalkhan, Satria Erlangga, Rifqi Akbari, Amir Khuzaifi, Riyad
Asomady, Ilham Ramadhan, Muhammad Siddik, bang Kumis, Bang
Oday, yang selalu memberikan semangat dan warna kepada penulis.
Semoga Allah selalu meridhai persahabatan kita. Terima kasih untuk
segala kenangan yang telah terukir, semoga persahabatan kita tak
berhenti sampai disini.
7. Teman-teman seperjuangan Helmi, Ei, Kisai, Maulvi, Lutfi Zakaria,
Salam, Ilham R, Husen, Imam, Kite, Amir, Arkay, Windi, Suci, Isti,
Ila, Wiwi, Sarah terimakasih atas kebersamaannya selama ini.
vii
8. Keluarga besar HMI Hukum Keluarga serta HMI KOMFAKSY yang
telah memberikan banyak kesan dan pengalaman berharga dalam
berorganisasi selama kuliah.
9. Keluarga besar Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam (LAPENMI)
HMI Cab. Ciputat yang telah banyak memberikan pelajaran berharga
selama berkiprah di LAPENMI.
10. Mereka yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah membantu
dan memberikan doa, semangat serta motivasi kepada penulis.
Penulis menyadari penulisan skripsi ini masih banyak sekali kekurangan.
Oleh karena itu, kritik dan saran akan penulis perhatikan dengan baik. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan setiap pembaca dan
umumnya serta dicatat menjadi amal baik di sisi Allah subhanahu wata‟ala.
Amin.
Ciputat, 21Oktober 2019
Penulis
Mohammad Syarifuddin Amarullah
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN .............................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iii
ABSTRAK .......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................ v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang ..................................................................................... 1
Identifikasi Masalah ............................................................................ 4
Batasan & Rumusan Masalah .............................................................. 4
Tujuan & Kegunaan Penelitian ............................................................ 5
Metode Penelitian ................................................................................ 6
Sistematika Penulisan .......................................................................... 7
BAB II KETENTUAN WARIS DI INDONESIA
Pengertian Waris .................................................................................. 9
Sebab-Sebab Mewarisi ........................................................................ 11
Halangan Mewarisi .............................................................................. 14
Pembagian Ahli Waris & Bagiannya .................................................. 27
Wasiat Wajibah .................................................................................... 34
Studi Terdahulu ................................................................................... 44
BAB III DESKRIPSI SINGKATPENETAPAN PA BADUNG TENTANG
HAK WARIS ANAK KANDUNG NON MUSLIM
Penetapan No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg ................................................... 45
Penetapan No. 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg ................................................ 54
BAB IV TINJAUAN HUKUM KEWARISAN ISLAM DI
INDONESIATERHADAP PENETAPAN HAKIM YANG BERBEDA
DALAM PEMBAGIAN WARIS ANAK KANDUNG NON MUSLIM Analisis Perkara No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg ........................................ 60
Analisis Perkara No. 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg ...................................... 72
BAB V PENUTUP
Kesimpulan .......................................................................................... 77
Saran .................................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum dalam Islam mencangkup hampir seluruh segi kehidupan
manusia, baik untuk mewujudkan kemaslahatan di dunia maupun di akhirat
nanti. Di antara hukum islam itu ada yang tidak memberikan sanksi, yaitu
kewajiban untuk patuh dan ada juga yang memberikan sanksi yang dapat
dirasakan di dunia seperti sanksi hukum pada umumnya, ada juga sanksi yang
tidak dirasakan di dunia akan tetapi ditimpakan di akhirat nanti dalam bentuk
dosa dan ganjaran atas dosa tersebut.1
Di antara hukum yang mengatur terkait hubungan antar sesama manusia
yang telah ditetapkan oleh Allah adalah hukum terkait harta warisan, yaitu harta
dan kepemilikan yang timbul sebagai efek dari terjadinya kematian. Harta yang
ditinggalkan oleh orang yang sudah wafat itu sangat diperlukan pengaturan
tentang siapa yang berhak menerima harta tersebut, berapa jumlahnya, dan
bagaimana cara mendapatkan harta tersebut.2
Sementara itu di dalam hukum Islam sudah dijelaskan pula tentang
golongan-golongan yang tidak berhak mendapatkan harta waris karena beberapa
alasan3, yaitu :
1. Seorang pembunuh tidak berhak mendapat warisan dari pewaris yang
dibunuhnya. Secara jelas tentang seorang pembunuh yang membunuh
pewaris terhalang mendapatkan harta warisan ini telah diatur dalam Pasal
173 Kompilasi Hukum Islam, “Seorang terhalang menjadi ahli waris
apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, dihukum karena:
1 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, Sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h., 1 2 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), h., 3
3 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 2015), h., 30
2
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pewawris;
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan
hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.”
2. Orang kafir (non muslim) tidak berhak menerima harta warisan dari
keluarganya yang muslim. Dalam KHI pasal 171 dikatakan bahwa yang
bisa saling mewarisi hanyalah mereka yang sama-sama beragama Islam.
Sedangkan yang bisa mewarisi harta peninggalan seorang non-muslim
hanyalah ahli waris yang sama-sama non-muslim (sekalipun di antara
mereka berbeda agama seperti Protestan dan Katolik, Budha dan Hindu,
atau Budha dan Katolik). Bagi orang murtad (keluar dari Agama Islam),
para ulama dengan tegas mengatakan bahwa harta warisan mereka tidak
bisa diwarisi oleh siapapun, termasuk ahli warisnya yang sama-sama
murtad. Harta peninggalannya (waris) mernjadi harta fa‟I yang harus
diberikan ke bait al-mal untuk kepentingan umum. Hal ini dikarenakan
orang yang murtad telah memutuskan silah syari‟ah kepada ahli
warisnya.4
Dengan berbagai macam hukum di atas kita bisa memahami bahwa ada
beberapa golongan yang tidak berhak atas harta warisan salah satunya adalah
orang murtad atau non-muslim, tetapi ada sebuah kasus di daerah Badung, Kuta,
Bali. Dalam kasus tersebut ada sebuah keluarga pasangan suami istri yang sama-
sama beragama Islam tetapi pada saat meninggal dunia, sang istri dalam keadaan
pindah agama (murtad) dari agama Islam ke agama Hindu dan selama
pernikahannya dikaruniai empat orang anak, dua anaknya beragama Islam dan
dua anak lainnya beragama Hindu. Anak pertama beragama Hindu, anak kedua
4 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), h., 145
3
beragama Islam, anak ketiga beragama Hindu, dan anak keempat beragama
Islam.
Ketika bapak dan ibunya meninggal anak kedua yang beragama Islam
mengajukan permohonan penetapan ahli waris ke Pengadilan Agama Badung,
kemudia dalam penetapan no. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg hakim menetapkan
pemohon I dan pemohon II (anak kedua dan keempat yang beragama Islam)
sebagai ahli waris dari almarhum bapaknya dan almarhumah ibunya, dan anak
ketiga itu sebagai penerima wasiat wajibah sedangkan anak pertama yang
beragama hindu sudah meninggal dunia terlebih dahulu.5
Sedangkan pada perkara lain yang serupa seperti perkara yang di atas
hakim menetapkan berbeda. Terdapat sebuah keluarga ahli warisnya ada dua,
anak yang satu beragama Hindu dan anak yang satunya beragama Islam. PA
Badung dalam penetapan nomor 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg menyatakan hanya
mengabulkan hak kedudukan sebagai ahli waris kepada anak yang muslim saja
sedangkan yang beragama Hindu dinyatakan bukan ahli waris.6
Penemuan hukum atas wasiat wajibah yang diberikan pada penerima
wasiat wajibah yang bukan beragama Islam dengan alasan menafsirkan keadaan
sosial diawali dengan pemahaman bahwa peraturan mengenai hukum kewarisan
Islam merupakan lex specialis dari hukum Islam dan hukum Islam adalah lex
generalis. Berdasarkan alasan tersebut ketika kemudian hakim tidak menemukan
ketentuan tentang wasiat wajibah bagi ahli waris yang terhalang karena tidak
beragama Islam di dalam hukum kewarisan Islam sebagai lex specialis oleh
karena itu hakim melakukan penemuan hukum dengan mengembalikan
permasalahan pada lex generalis, yaitu ketentuan hukum Islam secara universal.7
Begitu banyak permasalahan yang penulis temukan dalam kedua kasus di
atas, misalnya apakah itu sudah sesuai dengan pendapat para fuqaha, atau KHI,
5 Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.
6 Penetapan Nomor 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg.
7 Destri Budi Nugraheni, Haniah Ilham, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: Gajah Mada University, 2014), h.,. 67
4
hakim dalam kasus pertama maupun kasus kedua sangat jelas terlihat perbedaan
penetapan, padahal kasus tersebut bisa dibilang serupa.
Latar belakang tersebut yang mendasari penulis untuk melakukan
penelitian ini agar lebih memahami dan mengetahui lebih dalam tentang apa
yang sebenarnya menjadi bahan pertimbangan hakim Pengadilan Agama Badung
tentang Penetapan wasiat wajibah karena dalam perkara tersebut seorang yang
bukan beragama Islam ditetapkan sebagai penerima wasiat wajibah dan di
kemudian hari Pengadilan Agama Badung juga memberikan penetapan kepada
keluarga yang non muslim bukan sebagai ahli waris.
“PERUNTUKAN HARTA WARIS BAGI ANAK KANDUNG NON
MUSLIM (STUDI KOMPARASI PERKARA NO:4/Pdt.P/2013/PA.Bdg
DENGAN NO: 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg”
B. Identifikasi Masalah
1. Penetapan hakim yang tidak sesuai aturan Islam tentang ahli waris non
muslim..
2. Tempat dan pengadilan yang sama tetapi menghasilkan penetapan yang
berbeda.
3. Kasus yang serupa tetapi menghasilkan penetapan yang berbeda.
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Dengan melihat latar belakang masalah, bahwa dalam sistem keluarga banyak
sekali permasalahan seperti Pernikahan, talak, Rujuk, Hadhonah, dan lainnya.
namun didalam pembahasan ini hanya membatasi sistem Waris kaitannya dengan
hubungan anak kadung yang muslim dan yang non muslim dalam perspektif Fiqh,
KHI dan Hukum Perdata di Indonesia, juga dengan pembatasan wilayah yaitu
hanya di Pengadilan Agama Badung serta membatasi permasalahan hanya terpait
perkara No. 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg. dan No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.
5
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana kedudukan ahli waris non muslim dalam perspektif hukum
kewarisan Islam yang berlaku di Indonesia?
b. Apa yang menjadi pertimbangann hakim menetapkan wasiat wajibah
bagi anak kandung non muslim dalam perkara No.
4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. dan tidak menerima anak kandung non muslim
sebagai ahli waris dalam perkara No. 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg.?
c. Bagaimana penetapan hakim yang berbeda dalam dua perkara ahli
waris non muslim tersebut ditinjau dari Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia?
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Peneliti bertujuan untuk mengkaji lebih dalam tetang bagaimana sistem wasiat
wajibah bagi non-muslim. Tujuan tersebut dapat di paparkan berikut ini:
a. Untuk mengetahui kedudukan ahli waris non muslim dalam perspektif
Hukum Kewarisan Islam yang berlaku di Indonesia.
b. Untuk mengetahui bagaimana alasan hakim memberikan hak wasiat
wajibah bagi anak non muslim dalam perkara No.
4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. serta alasan menolak memberikan penetpan ahli
waris bagi anak non muslim dalam perkara No.
13/Pdt.P/2014/PA.Bdg.
c. Untuk mengetahui perspektif Hukum Kewarisan Islam di Indonesia
terhadap dua perkara ahli waris non muslim.
Apabila tujuan-tujuan penelitian telah dapat dicapai, penelitian ini diharapkan
dapat berguna untuk:
6
a. Memberikan kontribusi serta masukan terhadap dunia akademik
tentang kedudukan ahli waris non muslim.
b. Agar bisa menjadi referensi dalam prakteknya di lapangan atau di
kehidupan bermasyarakat.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang penulis paparkan, penulis menggunakan
pendekatan normative doktriner, yaitu pendekatan yang memakai rumusan-rumusan
berdasarkan hukum kewarisan Islam di Indonesia yang selanjutnya dikaitkan dengan
perkara nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg dan no. 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu jenis penelitian terkait riset
yang menghasilkan data yang bersifat deskriptif, Juga berupa kata-kata tertulis dari
sumber yang diamati.8
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini dapat diklasifikasikan menjadi sumber
premier, sekunder dan tersier. Adapun sumber data primer yaitu KHI, Hukum
Perdata, Penetapan No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg., Penetapan No.
13/Pdt.P/2014/PA.Bdg. Sedangkan untuk data sekunder terdiri dari buku, jurnal,
makalah, serta karya ilmiah yang ada kaitannya tengan penelitian ini. Lalu untuk data
tersier adalah kamus hukum, ensiklopedia, dan sejenisnya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam menghimpun
seluruh data dan fakta yang menunjang permasalahan adalah dengan melakukan
library research atau studi kepustakaan. Studi kepustakaan dimaksudkan untuk
memperoleh landasan teoritis berupa konsep dari beberapa literatur yang terkait
dengan materi pokok permasalahan yang akan penulis bahas, baik dari buku-buku
8 Lexy Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
2004), h., 1
7
karangan ilmiah, undang-undang, peraturan pemerintah, kompilasi hukum Islam serta
peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang di bahas dan tentu
Salinan Penetapan Pengadilan Agama nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg juga nomor
13/Pdt.P/2014/PA.Bdg, yang diperoleh dengan cara mendownload dari website
direktori Mahkamah Agung.
5. Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan metode content
analysis dan selanjutnya dilakukan juga analisis komparatif (perbandingan) terhadap
ijtihad hakim pada Penetapan Pengadilan Agama Badung No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.,
dan No. 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg. sehingga didapatkan suatu kesimpulan yang objektif,
logis, konsisten, dan sistematis, sesuai dengan tujuan yang dikehendaki penulis.
6. Teknik Penulisan
Dalam penyusunan metode penulisan, semua berpedoman pada prinsip-
prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017.
F. Sistematika Penulisan
Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi; latar belakang
masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab kedua berisi kewarisan menurut hukum Islam dan hukum positif
di Indonesia meliputi; pengertian waris dan harta waris, pengertian wasiat
wajibah, pengertian pewaris dan ahli waris, sumber hukum kewarisan,
klasifikasi golongan ahli waris, sebab-Sebab dan penghalang waris.
Bab ketiga berisi deskripsi penetapan perkara nomor
4/Pdt.pP/2013/PA.Bdg. dan Perkara Nomor 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg.
8
Bab keempat berisi Penetapan Perkara Nomor 4/Pdt.pP/2013/PA.Bdg.
dan Perkara Nomor 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg. yang ditinjau dalam perspektif
hukum kewarisan Islam di Indonesia
Bab kelima berisi Penutup meliputi; kesimpulan, kritik serta saran
penulis, dan daftar pustaka.
9
BAB II
KETENTUAN WARIS DI INDONESIA
A. Pengertian Waris, Harta Waris, Pewaris, dan Ahli waris
Di Indonesia tentu sudah tidak asing lagi dengan istilah waris, karena
waris merupakan salah satu hal yang paling krusial dalam perkara duniawi.
Apabila dirasa salah atau tidak adil dalam prakteknya biasanya akan
menimbulkan pertikaian antar pihak atau kelompok yang terkait pada masalah
tersebut.
Kata “waris” itu sendiri berasal dari bahasa Arab ورث yang berarti ahli
waris1. Waris atau mawaris merupakan bentuk jamak dari kata Mirats. Secara
bahasa memiliki arti perpindahan sesuatu dari satu orang kepada orang yang
lainnya atau perpindahan sesuatu dari satu kaum kepada kaum yang lainnya.2
Adapun Mirats, begitu pula dengan irts, wirts, wiratsah dan turats, yang
mempunyai makna harta yang ditinggalkan oleh orang yang telah meninggal
dunia dan diwarisi kepada para ahli warisnya.3
Rasulullah SAW bersabda:
ث نا عبد ث نا أحد بن صالح وخملد بن خالد وىذا حديث خملد وىو الشبع قال حد الرزاق حد
عل ث نا معمر عن ابن طاوس عن أبيو عن ابن عباس قال قال رسول الل صلى الل يو وسلم حد
فرائض على كتاب الل اقسم المال ب ي أىل ال 4فما ت ركت الفرائض فلول ذكر
1 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), Cet. 8, h., 496
2 Kama Rusdiana, dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2007), h., 45
3 T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqhul Mawaris, Hukum Hukum Warisan Dalam Syari‟at Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h., 17. 4 Sunan Abi Dawud, Bab Fi Mirotsil Ashobah, Jilid 3, (Ttp: Dar Ar-Rayyan, 1988)
10
Artinya: Telah menceritakan kepada kami (Ahmad bin Shalih), dan (Makhlad
bin Khalid), dan ini adalah hadits Makhlad dan hadits tersebut lebih bagus
(patut diterima). Mereka berdua mengatakan; telah menceritakan kepada kami
(Abdurrazzaq), telah menceritakan kepada kami (Ma'mar) dari (Ibnu Thawus)
dari (ayahnya) dari (Ibnu Abbas), ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam berkata: "Bagikan harta diantara para pemilik faraidl (bagian harta
waris) berdasarkan Kitab Allah. Maka bagian harta yang tersisa setelah
pembagian tersebut, lebih utama diberikan kepada (ahli waris) laki-laki (H.r.
Abu Daud)
Pengertian dari harta waris bisa kita ambil dari makna kedua katanya,
yaitu “harta” dan “waris”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
harta memiliki arti barang (uang dan sebagainya) yang bisa menjadi
kekayaan; barang milik seseorang atau kekayaan berwujud dan tidak
berwujud yang mempunyai nilai serta yang menurut hukum yang berlaku itu
dimiliki oleh orang atau perusahaan.1
Dalam Kompilasi Hukum Islam (yang selanjutnya diistilahkan KHI)
Buku II BAB I Pasal 171 Huruf e, yang dimaksud dengan harta warisan
adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan
untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusa
jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.2 Jadi bisa
dikatakan bahwa harta warisan adalah harta hasil bersih setelah diambil
seluruh biaya perawatan pewaris dari sejak sakit hingga biaya pengurusan
kematiannya, termasuk hutang dan tanggungan lainnya.
Pewaris dalam KHI Buku II Pasal 171 Huruf b, bahwa “pewaris
adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal
berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris
dan harta peninggalan”.3 Jika seseorang telah dinyatakan oleh Pengadilan
1 KBBI Daring, kbbi.kemdikbud.go.id/entri/harta.
2 Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, h., 56.
3 Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, h., 56.
11
bahwa dia telah meninggal dunia, dan memiliki harta warisan serta adanya
ahli waris, maka orang itu bisa dikatakan sebagai pewaris.
Ahli waris menurut KHI Buku II Pasal 171 Huruf c, “ahli waris adalah
orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum untuk menjadi ahli waris”4. Dengan begitu, apabila seseorang
memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris pada saat pewaris
meninggal dunia, maka orang tersebut merupakan ahli waris dari pewarisnya.
B. Sebab-sebab Mewarisi
Ketika seseorang telah meninggal, maka harta yang ditinggalkan oleh
orang tersebut akan beralih kepada orang hidup yang memiliki hubungan
dengan orang yang telah meninggal dunia. Dalam fiqih, dinyatakan ada 4
(empat) hubungan yang menyebabkan seseorang menerima harta warisan dari
seseorang yang telah meninggal, diantaranya adalah hubungan kerabat,
hubungan perkawinan, hubungan wala‟ dan hubungan sesama Islam.5 Adapun
penjelasannya sebagai berikut:
1. Hubungan Kerabat
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang
mewariskan dengan yang mewarisi, dapat digolongkan dalam tiga
golongan, yaitu sebagai berikut:
a. Furu‟, yaitu anak turun (cabang) dari si mati
b. Ushul, yaitu leluhur (pokok atau asal) yang menyebabkan adanya
si mati
c. Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si meninggal
dunia melalui garis menyamping, seperti saudara, paman, bibi dan
4 Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, h., 56
5 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cet. 2, (Jakarta: Kencana, 2005), h., 179
12
anak turunannya dengan tidak membeda-bedakan laki-laki atau
perempuan.6
2. Hubungan Perkawinan
Hubungan perkawinan (persemendaan) dengan artian suami
menjadi ahli waris bagi istrinya yang meninggal dan istri menjadi ahli
waris bagi suaminya yang meninggal.7 Perkawinan yang menjadi sebab
timbulnya hubungan kewarisan antara suami istri didasarkan pada dua
syarat berikut:
a. Perkawinan itu sah
Menurut hukum Islam apabila syarat dan rukun perkawinan
terpenuhi, atau antara keduanya telah berlangsung akad nikah
yang sah, yaitu nikah yang telah memenuhi rukun dan syarat
pernikahan serta lepas dari semua halangan pernikahan walaupun
belum berkumpul (hubungan kelamin). Menurut UU No. 1 Tahun
1974 mengatakan bahwa perkawinan dikatakan sah, apabila
dilakukan sesuai dengan ketentuan agama orang yang menikah itu.
Artinya Negara ikut menguatkan ketentuan-ketentuan dalam
pernikahan yang diberlakukan dalam agama.
b. Perkawinan masih utuh
Artinya, suami istri masih terikat dalam tali perkawinan saat
salah satu pihak meninggal dunia.8 Termasuk dalam ketentuan ini,
apabila salah satu pihak meninggal dunia, sedangkan ikatan
perkawinan telah putus dalam bentuk talak raj‟i dan perempuan
masih dalam masa iddah. Seorang perempuan yang sedang
menjalani iddah talak raj‟i masih berstatus sebagai istri dengan
segala akibat hukumnya, kecuali hubungan kelamin (menurut
6 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al- Ma‟arif, 1975), h., 116
7 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h., 188
8 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan , h., 191
13
jumhur ulama) karena halalnya hubungan kelamin telah berakhir
dengan adanya perceraian.9
3. Wala’
Wala‟ adalah wala‟-nya seorang budak yang dimerdekakan yaitu
ikatan antara dirinya dengan orang yang memerdekakannya, jadi apabila
seseorang memerdekakan budak maka orang tersebut berhak mendapat
waris dari budak yang dimerdekakannya tersebut baik memerdekakan
secara sukarela atau karena wajib seperti karena nadzar atau zakat atau
kafarah.10
Rasulullah SAW bersabda:
ث نا أبو اليمان أخب رن شعيب عن الزىري قال عروة بن الزب ي قالت عائشة رضي ا حد لل
عليو وسلم فذكرت لو ف قال رسول الل صلى الل ها دخل علي رسول الل صلى الل عن
عليو ا الولء لمن أعتق ث قام النب صلى الل وسلم من عليو وسلم اشتي وأعتقي فإن
س ف كتاب العشي فأث ن على الل با ىو أىلو ث قال ما بل أنس يشتطون شروطا لي
الل من اشت رط شرطا ليس ف كتاب الل ف هو بطل وإن اشت رط مائة شرط شرط الل أحق
11وأوثق
Artinya: Telah menceritakan kepada kami (Abu Al Yaman) telah
mengabarkan kepada kami (Syu'aib) dari (Az Zuhriy), berkata, ('Urwah
bin Az Zubair) telah berkata, ('Aisyah radliallahu 'anha): Rasulullah
9 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia, h.,74 10
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Ilmu Mawaris: Metode Praktis
Menghitung Warisan Dalam Syariat Islam, Penerjemah Abu Najiyah Muhaimin, (Tegal Jateng: Ash-
Shaf media: 2007), h., 27 11
Abu „Abd Allah Muḥammad ibn Isma‟il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah al-
Ju„fi al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Kairo: Dar Ibnu Hazm, tth), h., 278
14
shallallahu 'alaihi wasallam datang menemuiku lalu aku ceritakan bahwa
aku telah membeli budak, hanya keluarganya mensyaratkan bahwa wala
tetap milik mereka. Kontan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda Belilah, dan merdekakanlah, dan hak wala bagi yang
memerdekakannya. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berdiri
menegakkan ibadah malam hari lalu memuji Allah sebagaimana menjadi
hakNya kemudian berkata: Bagaimana bisa orang-orang membuat syarat-
syarat yang tidak ada dalam Kitab Allah. Siapa yang membuat syarat
yang tidak ada pada Ktab Allah maka merupakan syarat yang batal
sekalipun dia membuat seratus syarat. Karena syarat yang dibuat Allah
lebih hak dan lebih kokoh. (H.r. Bukhari)
4. Hubungan Sesama Islam
Seorang muslim yang meninggal dunia, dan ia tidak ada
meninggalkan ahli waris sama sekali (punah), maka harta warisnya
diserahkan kepada Baitul Maal, dan lebih lanjut akan dipergunakan
untuk kepentingan kaum muslimin.
C. Halangan Mewarisi
Halangan mewarisi adalah tindakan atau hal-hal yang dapat
menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi karena adanya sebab atau syarat
mewarisi. Namun, karena sesuatu maka mereka tidak dapat menerima hak
waris.12
Hal-hal yang menyebabkan ahli waris kehilangan hak mewarisi atau
terhalang mewarisi adalah sebagai berikut:
1. Pembunuhan
Jika seorang ahli waris membunuh si pewaris, maka ahli waris tersebut
tidak berhak atas harta waris dari si pewaris. Karena Rasulullah SAW.
bersabda13
: (رواه التمذى) عن أيب ىريرة أن رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص قال: القاتل ليرث
12
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h., 83 13
Abu Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi
Juz 5, (Kairo: Daarul Hadits, 2001), h., 529
15
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Rasulullah SAW. bahwa
Nabi SAW. bersabda: Seorang pembunuh tidak berhak menjadi ahli waris
(H.r. Tirmidzi)
Apabila penerima waris membunuh pemberi waris, maka ia tidak
boleh mewarisi hartanya. Para ulama berbeda pendapat tentang warisan
seorang pembunuh menjadi empat pendapat:
a. Sekelompok ulama berpendapat bahwa pembunuh tidak mendapatkan
warisan sama sekali dari orang yang dibunuhnya.
b. Sekelompok ulama yang lain berpendapat bahwa seorang pembunuh
mendapatkan warisan. Mereka merupakan sekelompok minoritas
ulama.
c. Sekelompok ulama membedakan antara pembunuh bersalah dan
pembunuh sengaja. Pada pembunuhan sengaja tidak mendapatkan
warisan sedikitpun dan pada pembunuhan bersalah mendapatkan
warisan kecuali yang berasal dari diyat. Ini adalah pendapat Imam
Malik dan para pengikutnya.
d. Sekelompok ulama juga membedakan antara pembunuhan sengaja
yang dilakukan karena perintah yang wajib atau bukan perintah yang
wajib, seperti orang yang menegakkan hukuman had. Secara garis
besar, perbedaan antara orang yang tertuduh dan orang yang tidak
tertuduh.14
Dalam KHI Pasal 173 disebutkan bahwa seseorang terhalang menjadi
ahli waris apabila dengan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, dihukum karena:
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada pewaris.
14
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, Juz II (Semarang: Thoha Putra,
2004), h., 270
16
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan
hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.15
2. Berlainan Agama
Berlainan Agama adalah adanya perbedaan Agama yang menjadi
kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan.
Dasar hukum berlainan Agama sebagai mawani‟ ul irsi.
Para ahli hukum Islam (jumhur ulama) sepakat bahwa orang non-Islam
(kafir) tidak dapat mewarisi harta orang Islam lantaran status orang non-Islam
(kafir) lebih rendah. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa‟
(4): 141:
رين نصيب الذين ي ت ربصون بكم فإن كان لكم ف تح من الل قالوا أل نكن معكم وإن كان للكاف
نكم ي وم الق يكم ب ي قالوا أل نستحوذ عليكم ونن عكم من المؤمني فالل يامة ولن يعل الل
اللكافرين على المؤمني سبيل
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan
terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu
kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang)
beserta kamu?" Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan
(kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan
membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi
keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan
memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang
yang beriman”.
Juga dalam Hadits: 16ل يرث املسلم الكافر و ل الكافر املسلم )روه اجلماعة(
15
Tim Redaksi, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h., 57
17
Artinya: Tidak boleh seorang muslim mewarisi orang kafir dan tidak pula
seorang kafir mewarisi seorang muslim (H.r. Jama‟ah).
Apabila seorang ahli waris yang berbeda Agama beberapa saat
sesudah meninggalnya pewaris lalu masuk Islam, sedangkan peninggalan
belum dibagi-bagikan maka seorang ahli waris yang baru masuk Islam itu
tetap terhalang untuk mewarisi, sebab timbulnya hak mewarisi tersebut sejak
adanya kematian orang yang mewariskan, bukan saat kapan dimulainya
pembagian harta peninggalan. Padahal pada saat kematian si pewaris, ia masih
dalam keadaan non-Islam (kafir). Jadi, mereka dalam keadaan berlainan
agama.17
Para Ulama telah bersepakat bahwa seorang yang murtad itu termasuk
dalam perbedaan agama, oleh sebab itu orang yang murtad tidak bisa
mewarisi orang muslim.18
Faktor persaudaraan dalam Islam adalah faktor
paling kuat di antara umat muslim.19
Sudah bisa ditegaskan bahwa pendapat ulama telah sepakat terkait
larangan kafir yang mewarisi muslim. Tetapi ketika larangan tersebut berlaku
sebaliknya, yaitu seorang muslim tidak boleh menerima harta waris dari
kerabat atau orang tuanya yang non muslim, maka justru kemadharatan yang
akan didapat pada seorang muslim tersebut. Secara logika saja kemadharatan
ini sudah sangat jelas. Sementara dalam hukum waris Islam yang sudah ada
saat ini terkait masalah ini mayoritas ulama melarangnya. Contohnya seperti
16
Hafidz al Mundziri, Mukhtasar Sunan Abu Daud, (Kairo: Maktabah al Fikrah, t.th), hadits
nomor 2789, h., 563. Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, dan Tarmidzi 17
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h., 98 18
Riana Kesuma Ayu, Penghalang Mewarisi. Lihat https://websiteayu.com/penghalang-
mewarisi/. Diakses pada 17 September 2019, pukul 11.30 19
Ali Ahmad al-Jarwi, Indahnya Syariat Islam, cet.1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), h.,
724.
18
ulama empat madzhab sepakat bahwa hal-hal yang menghalangi waris adalah
perbedaan agama, pembunuhan dan perbudakan.20
Ulama salaf lainnya yang sependapat dengan larangan tersebut Asy
Syaukani21
dan Ibnu Qudamah,22
sedangkan dari kalangan ulama kontemporer
yang sependapat ialah Ali Ash Shabuni,23
Musthafa as Salabiy,24
dan Sayid
Sabiq.25
Pendapat ulama yang melarang seorang muslim mewarisi dari kafir
oleh ulama empat madzhab, yaitu Imam Syafi‟i, Imam Hanafi, Imam Hambali
dan Imam Maliki.26
Alasan yang diberikan adalah seperti yang dikemukakan
oleh Imam Syafi‟i yang tidak menerima makna kata “kafir dzimmi” dengan
kata “kafir harbi” karena menurut pendapat Imam Syafi‟i keduanya itu sama-
sama menyembah berhala, maka dari itu seorang muslim tidak boleh
menerima waris darinya karena keduanya adalah kafir. Kemudian alasan lain
yaitu tidak nash yang mentakhshish kata kafir di dalam hadits yang tidak
membolehkan saling mewarisi antara muslim dan kafir.27
Pendapat Asy Syaukani juga sejalan dengan pedapat Imam Syafi‟i
bahwa tidak ada pembedaan tentang makna kafir kecuali ada dalil yang
menegaskannya.28
Sedangkan Ibnu Qudamah berpendapat riwayat hadits dari Muaz,
Umar, dan Muawiyah yang memperbolehkan seorang muslim menerima waris
20
Chamim Tohari, “Rekonstruksi Hukum Kewarisan Beda Agama Ditinjau dari al Ushul al
Khamsah”, Mazahib, XVI, 1 (Juni, 2017), h., 3 21
Muhammad al Syaukani, Nailul Authar, (Kairo: Maktabah al Salafiyah, 1374H), h., 2085 22
Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah, Al Mugni, Jilid I, (Beirut: Dar Al
Fikr, 1404H), h., 166 23
Muhammad Ali al Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
2001), h., 42 24
Ahmad Musthafa al Salabiy, Ahkam al Mawarist, (Beirut: Dar al Nadhah al Arabiyah,
1978), h., 87-92 25
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid I, (Kairo; Dar al Fath, 2004), h., 486 26
Muhammad Jawwad Mughniyah, Al Fiqh „ala Madzhab Al Khamsah, (Kairo: Maktabah al
Fikrah, 1414H), h., 281 27
Muhammad bin Idris al Syafi‟i, Al Umm, (Beirut: Dar al Fikr, 1403 H), h., 76-77 28
Muhammad al Syaukani, Nailul Authar, (Kairo: Maktabah al Salafiyah, 1374H), h., 2085
19
dari pewaris non muslim merupakan riwayat yang tidak bisa dipercaya
begitusaja dari mereka, sebab Imam Ahmad berpendapat bahwa tidak terdapat
perbedaan pendapat bahwa seorang muslim tidak bisa mewarisi dan
mewariskan harta dari orang kafir. Yang diaplikasikan oleh mayoritas ulama
adalah perbedaan agama antara Islam dan kafir bisa menghalangi waris dari
keduanya. Dan juga mereka sependapat bahwa kafir yang seagama bisa saling
mewarisi diantara mereka apabila berada dalam satu negara. Lalu seorang
murtad yang kembali ke agama Islam sebelum harta waris dibagikan maka dia
bisa mendapat bagian waris. Pada intinya Ibnu Qudamah berpendapat bahwa
haruslah mendahulukan hadits shahih dari pada riwayat yang keshahihannya
belum disepakati.29
Dari kalangan ulama kontemporer yang sependapat untuk melarang
saling mewarisi antara muslim dengan kafir salah satunya adalah Musthafa as
Salabiy yang berpendapat bahwa nash hukum yang qath‟i dan jelas adalah
pendapat yang mengatakan tidak diperbolehkan untuk saling mewarisi antara
seorang muslim dengan kafir maupun sebaliknya.30
Kemudian Ali al Shobuni berpendapat untuk memasukkan perbedaan
agama sebagai salah satu penghalang dalam kewarisan.31
Pendapat ini sejalan
dengan pendapatnya Sayyid Sabiq.32
Terdapat larangan lain juga dari fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang beralasan bahwa dalam kewarisan Islam
tidak diperbolehkan untuk saling mewarisi antar orang yang berbeda agama.
Tetapi pemberian terkait harta antara orang yang beda agama hanya bisa
melalui jalan hibah, hadiah dan wasiat.33
29
Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah, Al Mugni, Jilid I, (Beirut: Dar Al
Fikr, 1404H), h., 166 30
Ahmad Musthafa al Salabiy, Ahkam al Mawarist, (Beirut: Dar al Nadhah al Arabiyah,
1978), h., 87-92 31
Muhammad Ali al Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
2001), h., 42 32
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid I, (Kairo; Dar al Fath, 2004), h., 486 33
Munas VII MUI 2005, Keputusan Fatwa MUI No. 5/Munas VII/MUI/9/2005.
20
Majelis Ulama Indonesia juga telah memfatwakan pada tanggal 28 Juli
2005 bahwa ahli waris yang berbeda agama tidak bisa mendapatkan harta
warisan. Ada dua poin dalam penetapannya, yaitu:34
1. Hukum Waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antar
orang-orang yang berbeda agama;
2. Pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat
dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.
Tetapi ada pendapat lain yang memperbolehkan seorang muslim
mewarisi non muslim yaitu Ibnu Qayyim al Jauziyah yang berpendapat bahwa
dibolehkan bagi seorang muslim mewarisi non muslim, hal ini sebenarnya
bisa memberikan kemaslahatan yang besar bagi umat muslim serta agama
Islam. Kewarisan itu bisa berlaku dikarenakan adanya semangat untuk tolong
menolong. Pendapat ini sejalan dengan Syeikh Yusuf al Qardhawi, menurut
beliau, illat pada masalah waris adalah semangat untuk tolong menolong,
bukan karena perbedaan agama.35
Pendapat serupa juga dikeluarkan oleh Ibnu Taimiyah, menurut beliau
hadits yang mengatakan “orang muslim tidak diperbolehkan untuk menerima
waris dari kafir, dan tidak diperbolehkan juga orang kafir menerima waris
daris orang muslim” bisa di ta‟wilkan dengan memakai ta‟wilan ulama
madzhab Hanafiyah pada hadits “seorang muslim tidak boleh dibunuh karena
sebab membunuh orang kafir” dan kafir yang dimaksud dalam hadits itu
adalah kafir harbi karena kafir harbi memusuhi umat Islam, sebab hal tersebut
bisa memutuskan hubungan di antara kedua pihak tersebut.36
Andai kata syarat mendapatkan hak mewarisi baru dimulai pada saat
pembagian harta peninggalan, tentu terdapat perbedaan hukum tentang
34
MUI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Sejak 1975, (Jakarta; Erlangga, 2001), h., 485 35
Chamim Tohari, “Rekonstruksi Hukum Kewarisan Beda Agama Ditinjau dari al Ushul al
Khamsah”, Mazahib, XVI, 1 (Juni, 2017), h., 7 36
Yusuf al Qardhawi, Fiqh Maqashid Syar‟i, (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2007), h., 305
21
mendahulukan dan mengakhirkan pembagian harta peninggalan, dan tentu hak
yang demikian itu dapat disalahgunakan oleh ahli waris yang masuk Islam
hanya untuk memperoleh harta peninggalan saja dan kemudian murtad
kembali setelah tercapai maksudnya.37
2. Perbudakan
Perbudakan adalah suatu sifat yang menjadikan seseorang dimiliki
oleh yang lain, dia dapat dijual dan diberikan, diwarisi dan diatur, dan tidak
dapat mengatur perkaranya dengan pengaturan yang bebas. Sebagian ulama
memberikan defenisi bahwa perbudakan adalah kelemahan diri seseorang
secara hukum disebabkan kekufuran. Perbudakan menghalangi warisan karena
Allah telah menyandarkan warisan kepada orang yang berhak dengan
memakai huruf “lam” yang menunjukkan makna pemilikan, maka harta
warisan menjadi milik ahli waris sedangkan budak tidak memiliki.38
ثن مالك عن عبد الل د بن عمرو بن حزم عن عبد الملك بن أيب بكر حد بن أيب بكر بن حم
رك بني بن عبد الرحن بن الارث بن ىشام عن أبيو أنو أخب ره أن العاصي بن ىشام ىلك وت
و اث نان لم ورجل لعلة ف هلك أحد اللذين لم وت رك مال وموال ف ورثو أخوه لب لو ثلثة يو وأم
لبيو ف قال اب نو قد مالو وولءه مواليو ث ىلك الذي ورث المال وولء الموال وت رك اب نو وأخاه
ا أحرزت ا لمال أحرزت ما كان أيب أحرز من المال وولء الموال وقال أخوه ليس كذلك إن
37
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia, h.,78 38
Asy- Syaikh Muhammad, Ilmu Waris, h., 40
22
ا ولء الموال فل أرأيت لو ىلك أخي الي وم ألست أرثو ان وأم أن فاختصما إل عثمان بن عف
39ف قضى لخيو بولء الموال
Artiya: Telah menceritakan kepadaku Malik dari (Abdullah bin Abu Bakar bin
Muhammad bin 'Amru bin Hazm) dari (Abdul Malik bin Abu Bakar bin
Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam) dari (Bapaknya) bahwa ia
mengabarkan kepadanya, bahwa Al 'Ashi bin Hisyam wafat dan
meninggalkan tiga orang anak, dua anak seibu dan seorang anak tiri.
Kemudian salah satu dari dua saudara seibu tersebut wafat dengan
meninggalkan harta dan beberapa budak. Lalu saudara sebapak dan seibu
mewarisi harta dan perwalian budak-budaknya. Kemudian orang yang
mewarisi harta dan perwalian budak-budak tersebut wafat dengan
meninggalkan seorang anak dan saudaranya sebapak. Sang anak lalu berkata,
Saya memperoleh harta dan perwalian budak-budak yang ditinggalkan oleh
bapakku. Dan saudaranya seayah berkata, Bukan begitu, kamu hanya berhak
mendapatkan harta, adapun perwalian budak-budak tersebut bukan menjadi
hakmu. Tidakkah kamu tahu, jika saudaraku wafat hari ini maka akulah yang
akan mewarisinya? keduanya lalu menghadap kepada Utsman mencari
putusan hukum, (Utsman) lalu memutuskan bahwa hak perwalian budak
tersebut diberikan kepada saudaranya (H.r. Imam Malik).
Baik keadaan budak itu qinna (budak murni) atau mudabbar (yaitu
budak yang dimana tuannya telah menyatakan kepadanya: ”Kamu bebas
merdeka sesudah kematianku”, atau mukatabah (yaitu budak yang diwajibkan
oleh tuannya untuk memenuhi sejumlah harta, kemudian dikatakan
kepadanya, misalnya: “jika kamu memberikan kepadaku seratus juta, maka
kamu bebas, merdeka”).
Atau budak yang untuk kemerdekaaanya dikaitkan dengan suatu sifat.
Seperti tuannya mengatakan: “Jika istriku melahirkan anak laki-laki maka
kamu bebas. Dan demikian juga akan segala macam budak tidak boleh
39
Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik Ibn Abi 'Amir Ibn 'Amr Ibnul-Harith Ibn Ghaiman
Ibn Khuthail Ibn 'Amr Ibnul-Haarith, Al-Muwatta Malik, (Darul Hadits, 2005), h., 542
23
mewarisi. Sebagaimana budak tidak boleh mewarisi, maka ia juga tidak boleh
diwarisi, karena ia tidak mempunyai harta.40
D. Hijab (Penghalang Hak Waris)
Ditinjau dari segi bahasa, kata hijab larangan atau halangan. Dalam
bahasa Arab, penjaga pintu disebut hajib karena ia melarang orang masuk
keruang para pemimpin tanpa izin. Bentuk isim fa‟ilnya adalah hajib dan
bentuk isim maf‟ulnya adalah mahjub. Dengan demikian, orang yang
menghalangi orang lain memperoleh hak warisnya disebut hajib, sedangkan
orang yang terhalangi untuk memperoleh hak warisnya disebut mahjub.41
Sedangkan menurut istilah, hijab adalah mencegah ahli waris dari hak
warisnya, baik seluruhnya maupun sebagian karena adanya orang yang lebih
berhak daripada dia untuk memperoleh warisan.42
1. Macam-macam hijab
Hilangnya hak mewarisi ini mungkin secara keseluruhan atau
mungkin hanya hilang sebagian, yaitu bergeser dari bagian yang besar
menjadi bagian yang kecil. Karena itu hijab ini dibedakan atas 2
macam, yaitu sebagai berikut:43
a. Hijab Hirman, yaitu terhalangnya seseorang untuk
memperoleh seluruh bagian harta warisan, padahal seharusnya
ia berhak mendapatkannya. Seperti terhalangnya kakek oleh
ayah, saudara laki-laki sebapak oleh saudara laki-laki kandung,
nenek oleh ibu dan sebagainya.
40
Muhammad Ali Ash-Shabuni, al-Mawaris fi al-Syari‟ah al-Islamiyah fi Dhau‟i al-Kitab wa
al-Sunnah, (Kairo: Daarul Hadits), h., 42 41
Muhammad Ali Al-Sabouni, Hukum Kewarisan Islam Menurut al-Qur‟an dan Sunnah ,
(Jakarta: Dar al-Kutub Al- Islamiyah,2005), Cet 1, h.,106 42
Ali Al-Sabouni, Hukum Kewarisan, h., 106-107 43
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h.,80
24
b. Hijab Nuqshan, yaitu berkurangnya bagian seorang ahli waris
dari yang semestinya. Ia terima karena adanya orang lain.
Dengan demikian, hijab nuqhsan tidak menghalangi sama
sekali orang yang berhak mendapatkan warisan, namun
mengurangi bagiannya sehingga ia tidak dapat memperoleh
bagian yang maksimal (banyak). Seperti, terkuranginya bagian
istri seperempat (1/4) menjadi seperdelapan (1/8) karena
adanya anak yang menjadi ahli waris.44
2. Para Ahli Waris yang tidak akan Mahjub
Diantara para ahli waris, terdapat orang-orang yang sama
sekali tidak dapat terhalang (mahjub) oleh hijab al-hirman sehingga
selamanya dapat memperoleh bagian warisan, berjumlah enam orang,
yaitu:
a. Anak laki-laki kandung
b. Anak perempuan kandung
c. Ayah
d. Ibu
e. Suami
f. Istri
Atau dengan istilah lain yang lebih simpel sebagaimana
diungkapkan oleh para pakar ilmu faraidh; dua jenis anak, dua orang
tua, dan suami istri, jika salah seorang diantara mereka menjadi ahli
waris, maka dapat dipastikan memperoleh bagian karena mereka tidak
dapat terhalang oleh hijab al-hirman.45
3. Para Ahli Waris yang Mahjub
Adapun para ahli waris laki-laki yang mahjub (terhalang) ialah:
44
Ali Al-Sabouni, Hukum Kewarisan, h., 107 45
Ali Al-Sabouni, Hukum Kewarisan, h., 108
25
a. Kakek yang shahih terhalang oleh ayah, dan kakek yang
jauh terhalang oleh kakek yang dekat dan seterusnya.
b. Saudara laki-laki sekandung terhalang oleh ayah, anak laki-
laki, dan cucu laki-laki dari anak laki-laki dan keturunanya.
c. Saudara laki-laki seayah terhalang oleh ahli waris yang
menghalangi saudara laki-laki sekandung, dan oleh saudara
perempuan sekandung yang menjadi „ashabah ma‟al ghair.
Karena, dalam kondisi seperti itu ia mempunyai posisi
sekuat saudara laki-laki sekandung, baik dalam
memperoleh bagian warisan maupun dalam memahjubkan.
d. Saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan terhalang
oleh orangtua laki-laki pewaris dan oleh anak-anak pewaris
baik laki-laki maupun perempuan dan seterusnya.
e. Cucu laki-laki dari anak laki-laki terhalang oleh anak laki-
laki dari anak laki-laki yang dekat dan seterusnya.
f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki (keponakan)
sekandung terhalang oleh ayah, kakek, anak laki-laki, cucu
laki-laki dari anak laki-laki, saudara laki-laki sekandung
dan saudara laki-laki sebapak.
g. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah terhalang oleh
ahli waris yang menghalangi anak laki-laki dari saudara
laki-laki sekandung, dan juga oleh anak laki-laki dari
saudara laki-laki sekandung.
h. Paman sekandung terhalang oleh anak laki-laki saudara
laki-laki seayah dan oleh ahli waris yang menghalangi anak
laki-laki saudara laki-laki seayah.
i. Paman seayah terhalang oleh paman sekandung dan oleh
ahli waris yang menghalangi paman sekandung.
26
j. Anak laki-laki dari paman sekandung terhalang oleh paman
seayah dan oleh ahli waris yang menghalangi paman
seayah.
k. Anak laki-laki paman seayah terhalang oleh anak laki-laki
paman sekandung, dan oleh orang-orang yang menghalangi
anak laki-laki paman sekandung.
Dan para ahli waris perempuan yang mahjub ialah:
a. Nenek, baik ibunya maupun ibunya ayah terhalang oleh ibu
dalam semua keadaan.
b. Cucu perempuan dari anak laki-laki, baik seorang maupun
lebih, terhalang oleh anak laki-laki dan oleh dua orang atau
lebih anak perempuan kecuali jika ia mempunyai saudara
laki-laki mu‟ashib (yang menjadikannya memperoleh
bagian ashabah) sebagaimana akan dijelaskan nanti.
c. Saudara perempuan sekandung terhalang oleh ayah dan
oleh anak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki pewaris
terus ke bawah.
d. Saudara perempuan seayah terhalang oleh saudara
perempuan sekandung yang menjadi „ashabah ma‟al ghair,
oleh ayah, anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-
laki, dan oleh dua orang saudara perempuan sekandung
yang memperoleh bagian seperenam untuk menggenapkan
bagian dua pertiga, kecuali jika saudara perempuan seayah
tersebut mempunyai saudara laki-laki mu‟ashib.
e. Saudara perempuan seibu terhalang oleh ayah atau kakek
dan seterusnya keatas, dan juga oleh anak-anak, baik laki-
laki maupun perempuan dan seterusnya kebawah.46
46
Ali Al-Sabouni, Hukum Kewarisan, h., 107-110
27
E. Pembagian Ahli Waris dan Bagiannya
Ahli waris dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian, yakni:
Ashabul Furudh, Ashabah dan Dzawil Arham.47
1. Ashhabul Furudh
Ashhabul furudh ialah waris-waris yang mempunyai bagian yang
telah ditentukan pada harta peninggalan dengan nash atau dengan ijma.
Mereka semuanya ada dua belas orang: empat orang lelaki, delapan
wanita. Ashhabul furudh dari lelaki ialah: suami, ayah, kakek sejati dan
saudara seibu. Ashabul furudh dari wanita, ialah: isteri, ibu, nenek sejati,
anak perempuan sekandung, cucu perempuan dari anak lelaki, saudara
perempuan sekandung, saudara perempuan seayah dan saudara
perempuan seibu.
a. Ashhabul Furudh yang berhak menerima 1/2/ (nishf) harta:
1) Suami, apabila isteri meninggalkan anak, baik anak si suami itu
sendiri ataupun anak dari suami lain.
2) Seseorang anak perempuan kandung, apabila tidak ada orang yang
menjadi ashabahnya.
3) Cucu perempuan, jika si mayit tidak meninggalkan anak kandung
laki-laki.
4) Saudara perempuan sekandung, bila dia seorang diri, dengan
syarat tidak ada orang yang menjadi ashabahnya dan tidak pula
bersamanya anak perempuan kandung.
5) Saudara perempuan seayah, dengan syarat yang telah
dikemukakan pada saudara-saudara perempuan sekadung dan
dengan syarat tidak pula bersamanya saudara perempuan
sekandung.
47
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam , h., 63
28
b. Ashhabul Furudh yang berhak menerima 1/4 (rubu‟) harta:
1) Suami, jika isteri yang wafat meninggalkan anak. Baik anak dari
suami itu sendiri, atau pun anak dari suami yang lain.
2) Isteri, apabila suami tidak meninggalkan anak.
c. Ashhabul Furudh yang berhak menerima 1/8 (tsumun) harta:
1) Isteri, jika suami wafat meninggalkan anak.
d. Ashhabul Furudh yang berhak menerima 2/3 harta (tsulutsani) harta:
1) Dua anak perempuan kandung
2) Cucu-cucu perempuan dari anak lelaki
3) Saudara-saudara perempuan sekandung
4) Saudara-saudara perempuan seayah, dengan syarat-syarat yang
telah diterangkan tentang berhaknya mereka menerima nishfu
diwaktu bersendiri.
e. Ashhabul Furudh yang menerima 1/3 (tsuluts) harta:
1) Ibu, dengan syarat orang yang meninggal itu tidak meninggalkan
anak dan tidak pula meninggalkan beberapa saudara baik seibu
bapak, atau sebapak atau seibu.
2) Dua orang atau lebih saudara seibu, baik lelaki maupun
perempuan baik mereka semuanya lelaki, ataupun semuanya
perempuan ataupun ada yang lelaki dan ada yang perempuan. Dua
orang saudara dan seterusnya seibu mendapat 1/3 harta.
f. Ashhabul Furudh yang berhak menerima 1/6 (sudus) harta:
1) Ayah, ketika yang meninggal itu mempunyai anak.
2) Kakek sejati, diwaktu yang meninggal itu meninggalkan anak,
tidak meninggalkan ayah.
3) Ibu, apabila yang meninggal itu meninggalkan anak, atau dua
orang dan seterusnya dari saudara-saudara lelaki dan saudara
perempuan, baik seibu bapak atau sebapak atau seibu.
29
4) Nenek sejati, diwaktu tak ada ibu.
5) Cucu perempuan dari anak lelaki, seorang saja atau lebih bersama
seorang anak perempuan kandung.
6) Saudara perempuan seayah, seorang ataupun lebih bersama
seorang saudara perempuan sekandung.
7) Seorang anak seibu (saudara seibu), baik lelaki ataupun
perempuan.48
Di dalam al-Quran dan Hadits Nabi disebutkan bagian-bagian
tertentu dan disebutkan pula ahli-ahli waris dengan bagian tertentu itu.
Bagian tertentu itu dalam al-Quran yang disebut dengan furudh adalah
dalam bentuk angka pecahan yaitu 1/2, 1/4. 1/8, 2/3, 1/3 dan 1/6. Para ahli
waris yang mendapat menurut angka-angka tersebut dinamai ahli waris
ashhabul furudh.49
2. Ashabah
kata ashabah secara bahasa (etimologi) adalah pembela,
penolong, pelindung atau kerabat dari jurusan ayah. Menurut istilah
faradhiyun adalah ahli waris yang dalam penerimaannya tidak ada
ketentuan bagian yang pasti, bisa menerima sisa atau tidak dapat sama
sekali. Dengan kata lain, ahli waris ashabah adalah ahli waris yang
bagiannya tidak ditetapkan, tetapi bisa mendapat semua harta atau sisa
harta setelah dibagi kepada ahli waris.
48 T.M Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris: Hukum-hukum Warisan dalam Syariat Islam,
h., 74-77 49
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cet. 2, h., 225
30
Rasulullah SAW bersabda:
ثن ورقاء عن أيب الزند عن العرج عن ث نا شبابة قال حد د بن رافع حد ثن حم أيب حد
د بيده إن على الرض عليو وسلم قال والذي ن فس حم من ىري رة عن النب صلى الل
مال فإل مؤمن إل أن أول الناس بو فأيكم ما ت رك دي نا أو ضياعا فأن موله وأيكم ت رك
50العصبة من كان
Artinya: Telah menceritakan kepadaku (Muhammad bin Rafi') telah
menceritakan kepada kami (Syababah) dia berkata, telah menceritakan
kepadaku (Warqa') dari (Abu Az Zinad) dari (Al A'raj) dari (Abu
Hurairah) dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: Demi
dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak ada seorang
mukmin di muka bumi ini, kecuali akulah orang yang berhak atas diri
mereka dari diri mereka sendiri, maka siapa saja yang mati meninggalkan
hutang atau anak yang butuh santunan maka akulah walinya. Dan siapa
saja dari kalian yang meninggalkan harta, maka (harta tersebut) untuk ahli
waris yang tersisa (H.r. Muslim).
Ahli waris ashabah akan mendapatkan bagian harta peninggalan,
tetapi tidak ada ketentuan bagian yang pasti. Baginya berlaku:
a. Jika tidak ada kelompok ahli waris yang lain, maka semua harta waris
untuk ahli waris ashabah;
b. Jika ada ahli waris ashabul furudh maka ahli waris ashabul furudh
menerima sisa dari ashabul furudh tersebut.
c. Jika harta waris telah dibagi habis oleh ahli waris ashabul furudh maka
ahli waris ashabah tidak mendapatkan apa-apa.51
50
Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(T.tp: Muassasah Mukhtar, 2010), h., 681 51
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h., 64-65
31
Ahli waris ashabah ini terdiri dari orang-orang yang mempunyai
hubungan darah dari garis keturunan laki-laki, seperti anak laki-laki,
ayah, saudara laki-laki, kakek.52
Dalam keadaan tertentu anak perempuan
juga mendapat ashabah apabila ia didampingi atau bersama saudaranya
laki-laki. Kelompok ashabah ini menerima pembagian harta waris setelah
selesai pembagian untuk ashabul furudh.
Yang termasuk ahli waris ashabah, yakni sebagai berikut:
a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki walaupun sampai ke bawah
c. Bapak
d. Kakek
e. Saudara laki-laki kandung
f. Saudara laki-laki sebapak
g. Anak laki-laki saudara laki-laki kandung (Keponakan)
h. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak (keponakan)
i. Paman kandung
j. Paman sebapak
k. Anak laki-laki paman sekandung
l. Anak laki-laki paman sebapak
Ahli waris ashabah dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan sebagai
berikut:
a. Ashabah Binnafsihi
Ashabah Binafsihi adalah kerabat laki-laki yang dipertalikan
dengan simpati, tanpa diselingi oleh ahli waris perempuan. Atau ahli
waris yang langsung menjadi ashabah dengan sendirinya tanpa
disebabkan oleh orang lain. Misalnya, anak laki-laki, cucu laki-laki
dari anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki sekandung. Mereka itu
52
Sayid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Beirut: Darul Fikry, 1983), h., 437
32
dengan sendirinya boleh menghabiskan harta, setelah harta
peninggalan tersebut dibagikan kepada ashabul furudh.
b. Ashabah Bilghairi (bersama orang lain)
Ashabah Bilghairi adalah orang perempuan yang menjadi
ashabah beserta laki-laki yang sederajat dengannya (setiap
perempuan yang memerlukan orang lain dalam hal ini laki-laki untuk
menjadikan ashabah dan secara bersama-sama menerima ashabah).
Kalau orang lain itu tidak ada, ini tidak menjadi ashabah, melainkan
menjadi ashabul furudh biasa.
c. Ashabah Ma‟al ghairi (karena orang lain).
Ashabah Ma‟al ghairi adalah orang yang menjadi ashabah
disebabkan ada orang lain yang bukan ashabah. (Setiap perempuan
yang memerlukan orang lain untuk menjadikan ashabah, tetapi orang
lain tersebut tidak berserikat menerima ashabah). Orang lain tersebut
tidak ikut menajadi ashabah. Akan tetapi, kalau orang lain tersebut
tidak ada maka ia menjadi ashabul furudh biasa.
Contohnya seperti berikut ini:
1) Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih), bersama
dengan anak perempuan (seorang atau lebih atau bersama
dengan cucu perempuan (seorang atau lebih).
2) Saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih) bersama
dengan anak perempuan (seorang atau lebih) atau bersama
dengan cucu perempuan (seorang atau lebih). 53
53
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h., 65-66
33
3. Dzawil Arham
Dzawil arham adalah setiap kerabat yang bukan ashabul furudh
dan bukan pula ashabah.54
Mereka dianggap kerabat yang jauh pertalian
nasabnya, yaitu sebagai berikut:
a. Cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan
b. Anak laki-laki dan anak perempuan dari cucu perempuan
c. Kakek pihak ibu (bapak dari ibu)
d. Nenek dari pihak kakek (ibu kakek)
e. Anak perempuan dari saudara laki-laki (yang sekandung sebapak
maupun seibu)
f. Anak laki-laki dan saudara laki-laki seibu
g. Anak (laki-laki dan perempuan) saudara perempuan (sekandung
sebapak atau seibu)
h. Bibi (saudara perempuan dari bapak) dan saudara perempuan dari
kakek
i. Paman yang seibu dengan dan saudara laki-laki yang seibu dengan
kakek
j. Saudara laki-laki dan saudara perempuan dari ibu
k. Anak perempuan dari paman
l. Bibi pihak ibu (saudara perempuan dari ibu).55
Kemungkinan untuk mendapatkan dzawil arham di sebagian
ulama sudah tidak berlaku lagi ketika ada Rad. Menurut Imam Malik,
Imam Syafi‟i dan para fuqaha Amshar, demikian pula Zaid bin Tsabit r.a.
dari kalangan sahabat, berpendapat bahwa orang-orang tersebut (dzawul
54
Sayid Sabiq, Fiqhus Sunnah, h., 446 55
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h., 66
34
arham) tidak mewarisi.56
Hal ini sudah diatur didalam KHI Pasal 192
yang menyebutkan bahwa:
“Apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli
warisnya Dzawil furudh menunjukkan bahwa angka pembilang lebih
besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan
angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisannya dibagi secara
Aul menurut angka pembilang.”
Pasal 193 yang menyebutkan bahwa:
“Apabila dalam pemberian harta warisan di antara para ahli
warisnya Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil
dari angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris ashabah, maka
pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara Rad, yaitu sesuai
dengan hak masing-masing ahli waris sedang sisanya dibagi berimbang
diantara mereka”.
F. Wasiat Wajibah
1. Pengertian Wasiat Wajibah
Wasiat wajibah adalah wasiat yang wajib dilakukan oleh
Pengadilan Agama meskipun orang yang sudah meninggal (pewaris) tidak
berwasiat. Di Indonesia konsep wasiat wajibah biasa dipakai dalam
permasalahan anak angkat,57
Dalam KHI, wasiat wajibah disebutkan
dalam Pasal 209 ayat 1 dan 2, yang berbunyi:
a. Harta peninggalan untuk anak angkat dibagi berdasarkan pasal 176
sampai pasal 179, dan untuk orang tua angkat yang tidak dapat wasiat
56
Al-Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid Analisa Para Mujtahid, Penerjemah Imam Ghazali dan Ahmad Ma‟ruf Asrori, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2007), h., 381 57
Al-Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid Analisa Para Mujtahid, Penerjemah Imam Ghazali dan Ahmad Ma‟ruf Asrori, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2007), h., 369-370
35
bisa diberikan wasiat wajibah tidak lebih dari 1/3 dari warisan
anaknya.
b. Untuk anak angkat yang tidak mendapatkan wasiat bisa diberi wasiat
wajibah dengan tidak melibihi dari 1/3 dari harta warisan orang
tuanya.
Berdasarkan KHI Pasal 209 ayat 1 dan 2, bisa kita pahami bahwa
wasiat wajibah menurut KHI yaitu wasiat yang diharuskan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang dikhususkan untuk anak angkat atau
orang tua angkat yang tidak mendapatkan wasiat dengan jumlah tidak
lebih dari 1/3.58
Menurut etimologi, wasiat mempunyai beberapa makna yaitu
menjadikan, menaruh kasih saying, menyuruh dan menghubungkan
sesuatu dengan suatu lainnya59
Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa kata الىصية pada praktiknya
sering dipakai untuk menyebut suatu hak yang ketetapannya didasarkan
atas waktu tertentu, orang yang melakukannya bisa dalam keadaan hidup
atau setelah orang itu mati. Kemudian pernyataan ini juga dikhususkan
untuk menyebut suatu hak yang ketetapannya didasarkan pada waktu
setelah kematiannya itu jadi analisa bahasa, maka waasiat bisa diartikan
membuat pesan atau wasiat atau diperaktikan untuk sebutan atas suatu hal
yang diwasiatkan atau diperankan.60
2. Dasar Hukum Wasiat
Dalam mencari hukum wasiat wajibah para jumhur ulama berbeda
pendapat. Jumhur ulama juga ulama empat mazhab berpendapat bahwa
58
Andi Syamsu, dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam. (Jakarta: Pena,
2008), h., 80-81 59
Muhammad Syatha, Al Dianah Al Thalibin, (Surabaya: Hidayah, t.th), h., 198 60
Wahbah Zuhaili, Fiqh al Islam wa „Adillatuh, Cet. 3, (Damsyiq: Dar al Fikr, 1979), Juz 7,
h., 8
36
wasiat wajibah hanya dianjurkan saja, bukan diwajibkan, karena bertujuan
untuk meringankan orang yang bersangkutan untuk menghadapi kesulitan
hidup. Tetapi ada pula sebagian ulama seperti Ibnu Hazm, Imam Abu
Ja‟far Muhammad bin Jarir at Tabari dan Abu Bakr bin Abdul Aziz
memiliki pendapat bahwa wasiat wajibah itu wajib dengan berdasar pada
Surah al Baqarah ayat 180 yang menurut pendapat mereka, perintah
berwasiat dalam ayat tersebut adalah dikhususkan kepada para ahli waris
yang terhalang untuk mendapatkan harta waris.61
a. Al-Quran Dalam Q.s. Al Maidah (5): 106:
ي أي ها الذين آمنوا شهادة ب ينكم إذا حضر أحدكم الموت حي الوصية اث نان ذوا
عدل منكم أو آخران من غيكم إن أن تم ضرب تم ف الرض فأصاب تكم مصيبة
تم ل نشتي بو ثنا الموت تبسون ه ما من ب عد الصلة ف ي قسمان بلل إن ارت ب
ول نكتم شهادة الل إن إذا لمن الثي ولو كان ذا ق رب
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang
kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka
hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di
antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu,
jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa
bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah
sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah
dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami
tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk
kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak
(pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya
kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang
berdosa"”.
61
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. VI, h., 1930
37
Kemudian dalam Q.s Al Baqarah (1): 180:
را ال وصية للوالدين والق ربي كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ت رك خي
ا على المتقي بلمعروف حق
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.
Lalu dalam Q.s An Nisa‟ (4): 11:
ف أولدكم للذكر مثل حظ الن ث ي ي فإن كن نساء ف وق اث ن ت ي يوصيكم الل
هما ف لهن ث ل ثا ما ت رك وإن كانت واحدة ف لها النصف ولب ويو لكل واحد من
و الث لث دس ما ت رك إن كان لو ولد فإن ل يكن لو ولد وورثو أب واه فلم فإن الس
دس من ب عد وصية يوصي با أو دين آبؤكم وأب ناؤكم كان لو إخوة ف و الس لم
إن الل كان عليما حكيما ل تدرون أي هم أق رب لكم ن فعا فريضة من الل
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama
dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua
orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-
bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
38
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
b. As-Sunnah
ث نا سفيان عن علقمة بن ث نا عبد الرحن بن مهدي حد ار حد د بن بش ث نا حم حد
عليو وسلم إذا مرثد عن سليمان بن ب ريدة عن أبيو قال كان رسول الل صلى الل
يا على جيش أوصاه ف خاصة ن فسو بت قوى الل ومن معو من المسلمي ب عث أم
را ف قال اغزوا بسم الل وف سبيل الل قاتلوا من كفر اغزوا ول ت غلوا ول ت غدروا خي
لوا وليدا وف الديث قصة قال وف الباب عن عبد الل بن ول تثلوا ول ت قت
اد بن أوس وعمران بن حصي وأنس وسرة والمغية وي على بن مرة مسعود وشد
حديث حسن صحيح وكره أىل العلم وأيب أيوب قال أبو عيسى حديث ب ريدة
62)روه التميذ( المث لة
Artinya: Telah menceritakan kepada kami (Muhammad bin
Basysyar), telah menceritakan kepada kami (Abdurrahman bin
Mahdi) telah menceritakan kepada kami (Sufyan) dari ('Alqamah
bin Martsad) dari (Sulaiman bin Buraidah) dari (ayahnya) ia
berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam jika mengutus
62
Muhammad bin „Isa bin Saurah bin Musa as-Sulami at-Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, (Kairo:
Syirkatul Quds, 2009), Jilid I, h., 574
39
pimpinan pasukan, beliau memberi wasiat khusus untuk dirinya
untuk bertaqwa kepada Allah dan wasiat kebaikan kepada kaum
muslimin yang bersamanya. Beliau bersabda: Berperanglah
dengan nama Allah dan di Jalan Allah, perangilah orang yang
kafir, berperanglah dan janganlah melampaui batas, berkhianat,
memutilasi dan janganlah membunuh anak-anak. Dalam hadits ini
terdapat kisah. Ia mengatakan; Dalam hal ini ada hadits serupa dari
Abdullah bin Mas'ud, Syaddad bin Aus, Imran bin Hushain, Anas,
Samurah, Al Mughirah, Ya'la bin Murrah dan Abu Ayyub. Abu
'Isa berkata; Hadits Buraidah adalah hadits hasan shahih. Para
ulama memakruhkan Al Mutslah (H.r. Tirmidzi).
3. Wasiat Wajibah dan Problematikanya
Tidak ada definisi secara formal mengenai wasiat wajibah dalam
sistem hukum Islam di Indonesia. Namun demikian Bismar siregar
mengungkapkan bahwa wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang
diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh
bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan
syara‟.63
Eman Suparman dalam bukunya berkomentar bahwa wasiat
wajibah adalah sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi
atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal
dunia.64
Wasiat wajibah secara tersirat mengandung unsur-unsur yang
dinyatakan dalam pasal 209 dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
a. Subjek hukumnya adalah anak angkat terhadap orang tua angkat atau
sebaliknya, orang tua angkat terhadap anak angkat.
b. Tidak diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada penerima wasiat
akan tetapi dilakukan oleh Negara.
c. Bagian penerima wasiat adalah sebanyak-banyaknya atau tidak boleh
melebihi satu pertiga dari harta peninggalan pewaris.
63
Bismar Siregar, Perkawinan, Hibah dan Wasiat dalam Pandangan Hukum Bangsa
(Yogyakarta: Fakultas Hukum UI, 1985), h., 60 64
Eman Suparman, Inti Sari Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,1991), h., 37
40
Wasiat wajibah dalam pasal 209 dalam Kompilasi Hukum Islam
timbul untuk menyelesaikan permasalahan antara pewaris dengan anak
angkatnya dan sebaliknya anak angkat selaku pewaris dengan orang tua
angkatnya. Di negara Islam di daerah Afrika seperti Mesir, Tunisia,
Maroko dan Suriah, lembaga wasiat wajibah dipergunakan untuk
menyelesaikan permasalahan kewarisan antara pewaris dengan cucu/cucu-
cucunya dari anak/anak-anak pewaris yang meninggal terlebih dahulu
dibanding pewaris. Lembaga wasiat wajibah di daerah tersebut digunakan
oleh negara untuk mengakomodir lembaga mawali atau pergantian
tempat.65
Sajuti Thalib sedikit menjelaskan,66
awalnya wasiat wajibah
dilakukan karena terdapat cucu/cucu-cucu dari anak/anak-anak pewaris
yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris. Atas fenomena ini, Abu
Muslim Al-Ashfahany berpendapat bahwa wasiat diwajibkan untuk
golongan-golongan yang tidak mendapatkan harta pusaka.
Ditambahkan oleh Ibnu Hazm, bahwa apabila tidak dilakukan
wasiat oleh pewaris kepada kerabatyang tidak mendapatkan harta pusaka,
maka hakim harus bertindak sebagai pewaris yang memberikan bagian
dari harta peninggalan pewaris kepada kerabat yang tidak mendapatkan
harta pusaka, dalam bentuk wasiat yang wajib.
Konsep 1/3 (satu pertiga) harta peninggalan didasarkan pada hadis
Sa‟ad bin Abi Waqash, seorang sahabat Nabi. Sa‟ad bin Abi Waqash
sewaktu sakit dikunjungi oleh Rasulullah, bertanya, “Saya mempunyai
harta banyak akan tetapi hanya memiliki seorang perempuan yang
mewaris. Saya sedekahkan saja dua pertiga dari harta saya ini.”
Rasulullah menjawab “Jangan.” “Seperdua?” tanya Sa‟ad lagi.
Dijawab Rasulullah lagi dengan “Jangan.” “Bagaimana jika
65
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Ttp : PT. Bina Aksara, 1981), h., 17 66
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, h., 17-19
41
sepertiga?”tanya Sa‟ad kembali. Dijawab Rasulullah “Besar jumlah
sepertiga itu sesungguhnya jika engkau tinggalkan anakmu dalam keadaan
berkecukupan adalah lebih baik.”
Hadis ini menjadi acuan bagi Mesir yang pertama mengundangkan
tentang wasiat wajibah dalam Undang-undang Nomor 71 Tahun 1946.
Sejak 01 Agustus 1946, orang Mesir yang tidak membuat wasiat sebelum
meninggalnya, maka kepada keturunannya dari anak pewaris yang telah
meninggal terlebih dahulu daripada pewaris diberikan wasiat wajib tidak
boleh melebihi 1/3 (satu pertiga) dari harta peninggalan pewaris.
Dalam undang-undang wasiat Mesir, wasiat wajibah diberikan
terbatas kepada cucu pewaris yang orang tuanya telah meninggal dunia
lebih dahulu dan mereka tidak mendapatkan bagian harta warisan
disebabkannya sebagai zawil arham atau terhijab oleh ahli waris
lain.13Peraturan inilah yang diadopsi oleh Indonesia dalam pasal 209
dalam Kompilasi Hukum Islam.
Dalam sistem hukum di Indonesia, lembaga wasiat termasuk
wasiat wajibah menjadi kompetensi absolut dari pengadilan agama
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan
Agama berhubungan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Pengadilan Agama. Hakim yang dimaksud Ibnu Hazmin dalam kewarisan
Islam di Indonesia dilaksanakan oleh hakim-hakim dalam lingkup
pengadilan agama dalam tingkat pertama sesuai dengan kompetensi
absolut sebagaimana diperintahkan undang-undang.
Dalam menentukan wasiat wajibah, secara yuridis formil, para
hakim Pengadilan Agama menggunakan ketentuan Kompilasi Hukum
Islam sebagaimana dinyatakan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
1991.Secara yuridis formil ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam
42
khususnya pasal 209 memahami bahwa wasiat wajibahnya diperuntukan
bagi anak angkat dan orang tua angkat.67
Kompleksitas masyarakat Indonesia membuat hakim harus keluar
dari yuridis formil yang ada yaitu dengan menggunakan fungsi
rechtsvinding yang dibenarkan oleh hukum positif apabila tidakada hukum
yang mengatur. Kewenangan tersebut diberikan dalam pasal 5 Undang-
undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Selain itu
Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 229 juga memberikan kewenangan
hakim untuk menyelesaikan perkara dengan memperhatikan dengan
sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga
memberikan putusan yang sesuai dengn rasa keadilan. Pada prinsipnya
hakim memiliki kewenangan menggunakan fungsinya sebagai
rechtsvinding atau dalam hukum Islam disebut ijtihad sebagai alternatif.68
Dalam hal wasiat wajibah yang sempit pada anak angkat dan orang
tua angkat maka hakim wajib menggunakan kewenangan fungsi
rechtsvinding atau ijtihad-nya. Akan menjadi sulit untuk menjalankan
yuridis formil dalam Kompilasi Hukum Islam terhadap orang-orang dekat
pewaris di luar anak angkat dan orang tua angkat.
Justru apabila hakim tidak melakukan rechtvinding karena tidak
ada hukum yang mengatur (iuscoria novit) maka hakim dapat diberikan
sanksi (pasal 22 Algemen Bepallingen van Wetgeving Voor). Terdapat
beberapa rechtsvinding atau ijtihad mengenai wasiat wajibah dalam
yurisprudensi yang telah berkekuatan hukum tetap. Misalnya dalam
putusan No. 368 K/AG/1995 dan putusan 51K/AG/1999.
Dalam perkara yang diputus dengan putusan 368 K/AG/1995,
Mahkamah Agung memutuskan sengketa waris dari pasangan suami isteri
67
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam 68
Destri Budi Nugraheni dkk, Pengaturan dan Implementasi Wasiat wajibah di Indonesia,
Mimbar Hukum Volume 22 Nomor 2, Juni 2010, h., 10
43
yang memiliki 6 (enam) orang anak. Salah satu anak perempuan mereka
telah berpindah agama ketika orang tuanya meninggal dunia. Sengketa
ahli waris dimintakan salah satu anak laki-laki dari pewaris atas harta yang
dimiliki oleh pewaris. Dalam tingkat pertama, salah satu anak perempuan
tersebut terhijab untuk mendapatkan harta peninggalan pewaris. Tingkat
Banding mementahkan putusan tingkat pertama dengan memberikan
wasiat wajibah sebesar 1/3 (sepertiga) bagian anak perempuan kepada
anak perempuan yang berpindah agama. Tingkat Kasasi menambahkan
hak anak yang berpindah agama dengan wasiat wajibah sebesar anak
perempuan lainnya atau kedudukan anak yang berpindah agama tersebut
sama dengan anak perempuan lainnya.
Dalam putusan Mahkamah Agung No. 51K/AG/1999 tertanggal 29
September 1999 menyatakan bahwa ahli waris yang bukan beragama
Islam tetap dapat mewaris dari harta peninggalan pewaris yang beragama
Islam. Pewarisan dilakukan menggunakan lembaga wasiat wajibah,
dimana bagian anak perempuan yang bukan beragama Islam mendapat
bagian yang sama dengan bagian anak perempuan sebagai ahli waris.
Selain itu terdapat juga putusan Mahkamah Agung No. 16
K/AG/2010 memberikan kedudukan isteri yang bukan beragama Islam
dalam harta peninggalan pewaris yang beragama Islam. Isteri yang bukan
beragama Islam mendapatkan warisan dari pewaris melalui lembaga
wasiat wajibahyang besarnya sama dengan kedudukan yang sama dengan
isteri yang beragama Islam ditambah dengan harta bersama.
Atas dasar asas keadilan dan keseimbangan juga kedudukan anak
angkat dan orang tua angkat tidak selamanya maksimal mendapatkan 1/3
(satu pertiga) bagian dari harta peninggalan pewaris. Atas kewenangan
hakim juga anak angkat dan orang tua angkat dapat mendapatkan lebih
dari yang dinyatakan dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam.Sifat dari
44
ijtihadyang dilakukan hakim tidak bersifat imperatifakan tetapi fakultatif.
Penggunaan putusan-putusan tersebut apabila terjadi sengketa dan
sebaliknya apabila tidak terjadi sengketa maka tetap menerapkan hukum
Islam.69
G. Review Studi Terdahulu
Tinjauan Pustaka ini bertujuan untuk menetakan penelitian yang sudah ada serta
dapat menjadi inspirasi dan mendasari dilakukannya penelitian. Ada beberapa
penelitian yang mempunyai tema yang hampir sama namun objeknya berbeda.
Diantaranya sebagai berikut:
1. Fabian Hutamaswara Susilo (11140440000017), skripsi mahasiswa
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam
penelitian skripsinya berjudul: Pembagian Warisan Pada Keluarga
Beda Agama di Jakarta. Skripsi ini menganalisa praktik pembagian
waris pada keluarga yang didalamnya terdapat perbedaan agama tetapi
mendapat bagian sama rata. Skripsi ini menggunakan jenis kualitatif
dengan pendekatan empiris dan hasil penelitiannya yaitu menyatakan
penetapan pengadilan bertentangan dengan hukum Islam.
2. Rian Wahyu Utomo (1111044200004), skripsi Fakultas Syari‟ah dan
Hukum UIN Syarif Hudayatullah Jakarta. Dalam skripsinya yang
berjudul: Hak Waris Anak Murtad. Skripsi ini menggunakan metode
yang mengumpulkan data dari pustaka dan lapangan, serta interview.
Dari hasil penelitiannya disimpulkan bahwa anak yang murtad bisa
mendapatkan bagian waris.
69
Andi Syamsu, dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam. (Jakarta: Pena,
2008), h., 80-81
45
BAB III
DESKRIPSI SINGKAT PENETAPAN PA BADUNG TENTANG HAK WARIS
ANAK KANDUNG NON MUSLIM
A. Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.
1. Kronologi
Perkara ini merupakan perkara yang didaftarkan pada Pengadilan
Agama1 atau dalam kata lain disebut Pengadilan tingkat pertama
2. Perkara
ini adalah adalah permohonan penetapan ahli waris para pemohon yang
identitasnya sebagai berikut:
Pemohon pertama berusia 44 tahun, beragama Islam,
kewarganegaraaan Indonesia, bertempat tinggal di Kuta, Kabupaten
Badung.
Pemohon kedua berusia 40 tahun, beragama Islam,
kewarganegaraan Indonesia, bertempat tinggal di Sukoharjo, Kabupaten
Sragen, Jawa Tengah, tetapi sekarang ini sedang tinggal di Kalimantan,
yang memberikan kuasa khusus3 kepada para advokat yang berkantor di
Denpasar sesuai dengan surat kuasa khusus pada bulan Februari 2013.
1 Peradilan Agama diberikan kewenangan untuk menerima, memeriksa, mengadili, dan
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu saja antara orang-orang yang beragama Islam
demi tegaknya hukum dan keadilan. Lihat Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara
Peradilan Agama di Indonesia (Lengkap dengan Sejarah dan Kontribusi Sistem Hukum terhadap
Perkembangan Lembaga Peradilan Agama di Indonesia), (Bandung: Pustaka Setia, 2017), h., 115 2 Yang termasuk Pengadilan Tingkat pertama adalah Pengadilan Agama, Kerapatan Qadi, dan
Mahkamah Syar‟iyah. Lihat Anwar Sitompul, Kewenangan dan Tata Cara Berperkara di Peradilan
Agama, (Bandung: Armico, 1984), h., 3 3 Kuasa khusus hanya memberikan kewenangan yang terbatas atas suatu masalah. Lihat
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana,
2005), h., 88.
46
Perkara ini sudah sesuai dengan perkara yang didaftarkan di
kepaniteraan Pengadilan Agama Badung dengan nomor
4/Pdt.P/2013/PA.Bdg pada bulan Februari 2013.1
Pada perkara dengan nomor registrasi 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. yang
didaftarkan oleh para pemohon dengan melalui kuasa hukumnya,
mengajukan permohonan untuk menetapkan status ahli waris2 dari Bapak
dan Ibu Pemohon I dan II. Ayah Pemohon lahir di Cilacap tahun 1937
yang kemudia menikah dengan ibu Pemohon yang lahir di Singaraja tahun
1947.
Setelah menikah mereka dikaruniai 4 (empat) orang anak, pertama
perempuan yaitu Saudara pertama para Pemohon lahir pada tahun 1963
beragama hindu dan sudah meninggal dunia. Anak kedua laki-laki yaitu
Pemohon I lahir pada tahun 1968 beragama Islam dan bertempat tinggal di
Badung. Anak ketiga laki-laki yaitu Saudara ketiga Para Pemohon lahir
pada tahun 1970 beragama hindu dan bertempat tinggal di Badung.
Kemudian terakhir laki-laki yaitu Pemohon II sebagai anak keempat lahir
tahun 1972 beragama Islam dan bertempat tinggal di Kalimantan.
Saudara pertama Para Pemohon telah menikah dengan suaminya
dan dikaruniai 3 orang anak. Anak pertamanya perempuan lahir tahun
1986 beragama Hindu, anak keduanya laki-laki lahir tahun 1996 beragama
hindu, dan anak ketiganya perempuan lahir tahun 2004 juga beragama
Hindu.
Pemohon I menikah dengan istrinya kemudian dikaruniai 5 orang
anak. Anak pertama perempuan beragama Islam, anak kedua laki-laki
1 Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, h., 1
2 Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, h., 1
47
beragama Islam, anak ketiga perempuan beragama Islam, anak keempat
perempuan beragama Islam dan anak kelima laki-laki beragama Islam.
Saudara ketiga Para Pemohon menikah dengan istrinya yang
dikaruniai 3 orang anak. Anak pertama perempuan berumur 17 tahun,
anak keduanya laki-laki berumur 15 tahun, dan anak ketiganya juga laki-
laki yang berumur 8 tahun. Pemohon II menikah dengan Istrinya
kemudian memiliki 2 orang anak. Anak pertamanya adalah laki-laki yang
beragama Islam serta anak keduanya pun laki-laki beragama Islam pula.
Kedua orang tua Para Pemohon telah meninggal dunia, Ibu Para
Pemohon lebih dahulu meninggal pada Mei 2004 karena sakit berdasarkan
surat keterangan tahun 2012 yang dibuktikan dalam persidangan. Lalu
bapak kandung Para Pemohon meninggal dunia pada Ferbruari 2010 juga
berdasarkan pembuktian surat keterangan tahun 2012 dari Kelurahan Kuta
Utara.
Ayah dan Ibu Para Pemohon semasa hidupnya tidak pernah
membuat surat wasiat.3 Dan kedua orang tua Para Pemohon memiliki 2
bidang tanah yang kini disebut sebagai tanah/harta waris, yang berupa
tanah seluas 250 meter persegi yang terletak di Kuta, Badung atas nama
Ibu Para Pemohon. Serta tanah seluas 350 meter persegi yang juga
terletak di Kuta, Badung atas nama Bapak Pemohon.
Saudara pertama Para Pemohon telah berpindah agama ke agama
Hindu karena mengikuti suaminya, demikian juga dengan Saudara ketiga
Para Pemohon menyatakan dengan tegas telah berpindah agama ke agama
Hindu.
3 Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, h., 3
48
Para Pemohon tidak ada permasalahan mengenai pembagian harta
waris dan para pemohon telah sepakat untuk membagikan harta warisan
secara adil dan merata. Para Pemohon ingin membagikan tanah warisan
tersebut, sehingga untuk proses serta pengurusan atas pembagian dua
bidang tanah tersebut harus terpenuhi syarat-syaratnya salah satunya yaitu
adanya penetapan ahli waris dari Pengadilan Agama
2. Putusan Hakim dan Pertimbangannya
Pada Amar Putusannya4 majelis hakim menetapkan tiga
penetapan5, yakni pertama mengabulkan seluruh permohonan yang
diajukan, kemudian yang kedua menetapkan ahli waris dari ibu dan bapak
tersebut adalah hanya anak-anak kandung yang muslim saja, dan yang
terakhir adalah membebankan biaya perkara tersebut kepada pihak yang
mengajukan permohonan
Dari hasil Putusan yang telah dideskripsikan di atas, inti dari
permohonan ini sebenarnya diajukan 3 permohonan, yaitu:
a. Permohonan penetapan ahli waris dari ibu pihak yang mengajukan
permohonan.
b. Permohonan penetapan ahli waris dari bapak pihak yang mengajukan
permohonan.
c. Penetapan ini akan dijadikan dasar hukum untuk mengurus harta
warisan si pewaris yang berupa dua bidang tanah.
Oleh karena anak kedua dan keempat beragama Islam, begitu pula
dengan Bapak Para Pemohon beragama Islam meskipun si Ibu beragama
Hindu, Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara ini adalah kewenangan
4 Putusan merupakan sebuah kesimpulan akhir yang dijatuhakn oleh Majelis Hakim dalam
mengakhiri suatu perkara antara semua pihak yang berperkara dan harus diucapkan dalam seidang
yang terbuka untuk umum. Lihat Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2005), h., 306 5 Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, h., 13
49
absolut Pengadilan Agama sebagaimana yang diatur dalam Pasal 49 ayat 1
huruf (b) dan ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan
Pasal 49 huruf (b) UU No. 3 Tahun 2006 dan Perubahan kedua UU No. 50
Tahun 2009 terkait Pengadilan Agama.
Anak kandung kedua selaku pihak yang mengajukan perkara ini
berdomisili di Kabupaten Badung. Maka menurut Majelis Hakim perkara
ini secara relatif menjadi kewenangan Pengadilan Agama Badung.
Berhubung perkara ini adalah menetapkan ahli waris maka perlu
dibuktikan apakah pewaris benar telah meninggal dunia dan apakah
pewaris meninggalkan ahli waris yang tidak terhalang secara syar‟i untuk
mendapatkan status sebagai ahli waris.
Selanjutnya untuk memperkuat dalil dari permohonan ini, sang
anak selaku pihak yang mengajukan permohonan telah menunjukan bukti-
bukti berupa6:
a. Bukti tertulis P1-P13 yaitu Fotokopi bermaterai sesuai dengan yang
aslinya.
b. Saksi-saksi yang dihadirkan dalam persidangan yang merupakan
kerabat semenda dari anak kandung si pewaris.
Berdasarkan dalil permohonan yang dikuatkan lagi oleh
keterangan para saksi di bawah sumpahnya, yang memberi keterangan
mengetahui dan melihat perkawinan Ibu dan Bapak dari anak-anak
kandung yang mengajukan permohonan tersebut dilakukan secara Islam di
KUA Denpasar dan keduanya tidak pernah bercerai, maka Majelis Hakim
menilai bahwa sampai keduanya meninggal itu masih terikat dalam
perkawinan.
6 Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. h.,5-6
50
Permohonan ini juga diperkuat oleh keterangan dua orang saksi
disertai bukti P4, P5, dan P9, didapat fakta hukum bahwasanya selama
pernikahan pewaris ini dikarunian empat orang anak. Dari keterangan
saksi-saksi juga didapatkan bukti P1, P2, P3, P4, dan P5 diperoleh fakta
hukum bahwa anak pertama dan anak ketiga dari pewaris itu beragama
Hindu sedangkan Pemohon I dan II beragama Islam.7
Dari dalil permohonan ini, yaitu bukti P6 dan keterangan para
saksi, diketahui bahwa pewaris (ibu dari pihak yang mengajukan
permohonan) sudah meninggal dunia dalam keadaan beragama Hindu
walaupun sebelumnya pernah beragama Islam. Hal tersebut jika menurut
KHI Pasal 171 huruf b dan dihubungkan dengan KHI Pasal 171 huruf c,
KHI memakai sistem persamaan agama, yaitu agama Islam agar bisa
saling mewarisi. Tetapi KHI tidak mengatur bagaimana jika pewaris itu
murtad apakah hartanya bisa diwarisi kepada ahli waris muslim atau
tidak.8
Kemudian Majelis Hakim mempunyai beberapa argument, yaitu9:
a. Sistem kewarisan Islam menganut sistem kekerabatan, baik secara
nasabiyah maupun hukmiyah. Sistem kekerabatan ini dianggap lebih
utama oleh Majelis Hakim apabila dibandingkan dengan perbedaan
agama sebagai penghalang dalam mewarisi. Karena menurut Majelis
Hakim selain ada unsur ibadah dalam mewarisi juga lebih banyak
mengandung nilai muamalah. Meskipun terdapat perbedaan agama,
kekerabatan antara satu orang dengan orang lainnya tidak akan
terputus, sekalipun ibunya berbeda agama, seorang anak pasti tetap
mengakui ibunya. Dalam islam tidak diajarkan untuk bermusuhan
7 Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, h., 7
8 Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, h., 10
9 Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, h., 10-11
51
dengan memutus hubungan keluarga dengan non muslim apalagi
terdapat pertalian darah.
b. Majelis Hakim berpendapat bahwa kita haruslah cermat memandang
perbedaan agama sebagai penghalang dalam kewarisan. Perbedaan
agama itu ditujukan hanya kepada ahli waris. Seseorang tidak boleh
berbeda agama dengan pewarisnya yang beragama Islam jika ingin
mendapatkan harta warisannya. Kerabat yang berbeda agama tidak
bisa menuntut agar dirinya bisa menjadi ahli waris serta mendapatkan
harta waris dari pewaris menurut hukum Islam.
c. Pewaris (ibu dari pihak yang mengajukan permohonan) yang
sebelumnya pernah beragama Islam, kemudian dia keluar dari agama
Islam dan meninggal dunia dalam keadaan beragama Hindu sedangkan
kerabat dekatnya tetap beragama Islam, oleh karena itu kerabat yang
tetap beragama Islam itu menjadi ahli waris, dalam hal ini Majelis
Hakim memakai pendapat Mu‟adz bin Jabal, Mu‟awiyah, Al Hasan,
Ibnul Hanafiyah, Muhammad bin Ali dan Al Masruq yang berdasar
pada hadits )اإلسالم يعلى و ال يعل عليو )رواه الدارقطني و البيهقي (Wahbah
Zuhaili, A- Fiqhul Islamy wa adillatuhu juz 8 hal.263), juga Majelis
Hakim memakai pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan
bahwa seluruh peninggalan perempuan yang keluar dari agama Islam
(murtadah) diwarisi oleh ahli warisnya yang beragama Islam (Wahbah
Zuhaili, A- Fiqhul Islamy wa adillatuhu juz 8 hal.265).
d. Majelis Hakim beranggapan tidak menyalahi aturan KHI Pasal 171
huruf b dan c tersebut, hanya saja Majelis Hakim berpendapat bahwa
aturan-aturan KHI tersebut untuk aturan umum dalam kasus-kasus
ideal, sedangkan kasus pada perkara ini merupakan kasus insidental.
Maka dari itu jika perkara dalam kasus-kasus ideal Majelis Hakim
akan merujuk pada peraturan dalam KHI tersebut, tetapi jika perkara
52
pewarisnya keluar dari agama Islam Majelis Hakim merujuk pada
pendapat yang telah diuraikan di atas.
Kemudian dari keterangan para saksi serta bukti P6 dapat
diperoleh fakta hukum, yaitu10
:
a. Pewaris (ibu dari pihak yang mengajukan perkara) yang keluar dari
agama Islam telah meninggal dunia dalam keadaan beragama Hindu
pada tahun 2004
b. Pewaris (ibu dari pihak yang mengajukan perkara) meninggalkan
seorang suami yang beragama Islam, dan juga meninggalkan empat
orang anak, anak pertama dan ketiga beragama Hindu, serta anak
kedua dan keempat beragama Islam.
Dari uraian argumen hukum di atas, Majelis Hakim berkesimpulan
bahwa ahli waris dari pewaris (ibu dari pihak yang mengajukan
permohonan) hanyalah suami serta dua anak kandungnya yang beragama
Islam.
Diperkuat oleh keterangan para saksi serta bukti P7,11
didapat fakta
hukum bahwasanya bapak dari pihak yang mengajukan permohonan juga
telah meninggal dunia karena sakit pada bulan februari tahun 2010 dan
dalam keadaan beragama Islam.
Menimbang pula berdasarkan permohonan ini dan diperkuat lagi
dengan bukti P9 serta keterangan para saksi yang mengatakan bahwa tidak
ada istri lain setelah pernikahannya yang pertama serta tidak mempunyai
anak angkat. Karena kedua orang tuanya telah meninggal dunia terlebih
dahulu, maka didapat fakta hukum bahwa pewaris bapak dari pihak yang
10
Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, h., 11 11
Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, h., 11
53
mengajukan permohonan ketika meninggal dunia hanya meninggalkan
empat orang anak.
Untuk kasus ini, Majelis hakim berpendapat kasus ini adalah kasus
ideal sehinnga kembali bersandar pada aturan umum yang ada pada KHI
Pasal 171 huruf b dan c.
Berdasarkan argumentasi hukum di atas, Majelis Hakim
berpendapat bahwa ahli waris dari pewaris (bapak dari pihak yang
mengajukan permohonan) hanyalah anak kandungnya yang beragama
Islam. Kemudian berdasarkan uraian argumentasi hukum di atas pula,
diperoleh fakta hukum yakni ahli waris dari pewaris (ibu dan bapak pihak
yang mengajukan permohonan) hanyalah anak-anak kandungnya yang
beragama Islam.
Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut, Majelis Hakim menilai
permohonan perkara ini harus dikatakan terbukti dan patut untuk
dikabulkan.
Walaupun demikian hukum kewarisan Islam di Indonesia memiliki
asas egaliter, dengan begitu apabila ada kerabat yang beragama selain
Islam yang mempunya pertalian darah dengan pewaris, dalam perkara a
quo yaitu anak si pewaris yang pertama dan ketiga, juga berhak
mendapatkan bagian dari harta waris dengan jalur wasiat wajibah12
dengan
tidak melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengannya (berdasarkan
Yurisprudensi MARI dan Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Peradilan Agama, Dirjen Badilag Mahkamah Agung RI
Tahun 2011).
12
Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, h., 12
54
Dalil permohonan ini juga diperkuat oleh bukti P11 dan P12, maka
didapat fakta hukum bahwa ibu dan bapak dari pihan yang mengajukan
permohonan meninggalkan harta waris sebagaimana yang dimuat dalam
bukti P11 dan P12 tersebut.
Keterangan anak kandung kedua si pewaris di persidangan dan
diperkuat oleh keterangan para saksi bahwa anak-anak kandung dari
pewaris memerlukan Penetapan Ahli Waris dari Pengadilan Agama untuk
proses penjualan harta waris dari ibu dan bapaknya. Dan dengan
dikabulkannya permohonan ini, maka Penetapan ini bisa digunakan untuk
mengurus harta waris tersebut. Dan berhubung pihak yang mengajukan
permohonan ini adalah Para Pemohon secara voluntair maka seluruh biaya
yang timbul dibebankan kepada pihak yang mengajukan perkara.13
B. Penetapan Nomor 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg
1. Kronologi
Perkara ini juga merupakan perkara yang didaftarkan pada
Pengadilan Agama atau dalam kata lain Pengadilan tingkat pertama.
Perkara ini adalah permohonan yang juga meminta penetapan ahli waris
pemohon yang identitasnya sebagai berikut14
:
Pemohon berusia 26 tahun, beragama Islam, berstatus sebagai
mahasiswa, dan beralamat tinggal di Kabupaten Badung. Perkara ini
sudah sesuai dengan perkara yang didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan
Agama Badung dengan nomor 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg pada bulan Juli
2014.
13
Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, h., 13 14
Penetapan Nomor 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg, h., 1
55
Dari permohonan Pemohon tentang duduk perkaranya, yaitu15
bahwa Almarhum Bapak Pemohon sudah menikah dengan Almarhumah
Ibu Pemohon di KUA Kabupaten Banyuwangi. Dan selama pernikahan
dikaruniai dua orang anak yakni, Saudara Pemohon yang beragama Hindu
dan Pemohon yang beragama Islam, Saudara Pemohon telah keluar dari
agama Islam dan memeluk agama Hindu.
Kedua orang tua dari Bapak Pemohon pun telah meninggal dunia,
kemudian pada bulan Desember tahun 2000 Almarhumah Ibu Pemohon
telah meninggal dunia dikarenakan sakit berdasarkan akta catatan sipil
tahun 2001.
Almarhum Bapak Pemohon meninggalkan harta peninggalan
berupa tanah yang terletak di Kabupaten Badung seluas 6450 meter
persegi, tanah di Kabupaten Banyuwangi seluas 440 meter persegi,
Kendaraan berupa mobil, kendaraan berupa motor, tabungan, giro dan
deposit atas nama Bapak Pemohon.
Pemohon sangat memerlukan Penetapan Pengadilan karena
sebagai syarat formil dalam pengurusan harta waris tersebut. Selain nama-
nama yang disebutkan di atas, tidak ada lagi ahli waris lainnya, Pemohon
meminta ditetapkan terkait warisnya dengan berdasarkan Hukum Islam.
2. Putusan Hakim dan Pertimbangannya
Pada Amar Putusannya16
pertama Majelis Hakim menerima dan
mengabulkan Permohonan Pemohon, yang kedua menyatakan bahwa
benar Bapak Pemohon telah meninggal dunia pada bulan Mei 2014, dan
menetapkan ahli waris dari pewaris (bapak dari pihak yang mengajukan
15
Penetapan Nomor 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg, h., 1-3 16
Penetapan Nomor 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg, h., 11
56
permohonan) hanyalah anak kandungnya yang beragama Islam, serta
membebankan sejumlah biaya perkara kepada pihak yang mengajukan
permohonan.
Maksud dan tujuan dari permohonan ini yaitu sebagai permohonan
anak kandung muslim untuk ditetapkan sebagai ahli waris dari bapaknya
untuk keperluan pengurusan harta warisan Bapak Pemohon.
Pada Pasal 49 huruf (b) UU No.7 Tahun 1989 yang sudah diubah
dengan UU No.3 Tahun 2006 dan UU No.50 Tahun 2009 beserta
penjelasannya, mengatakan bahwa penetapan ahli waris merupakan
kewenangan absolut17
Pengadilan Agama. Dan berdasarkan bukti P1
tempat tinggal pemohon di Kabupaten Badung menjadi dasar bahwa
perkara ini menjadi kewenangan relatif18
Pengadilan Agama Badung.
Dari beberapa bukti yang diajukan dalam persidangan, Majelis
Hakim menilai:19
a. Bukti P2 berupa kutipan akta nikah maka harus dinyatakan terbukti
bahwa ibu dan bapak dari pihak yang mengajukan permohonan terikat
dalam pernikahan yang sah dan sesuai dengan KHI Pasal 7 ayat (1).
Lalu dalam KHI Pasal 99 dikatakan bahwa anak yang sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau akibat pernikahan yang sah, maka
berdasarkan bukti P3 berupa kutipan akta kelahiran, anak tersebut
17
Kewenangan absolut merupakan kewenangan pengadilan dalam menangani sebuah perkara
yang berdasarkan jenis perkara, jenis pengadilan atau jenis tingkatan pengadilan tertentu. Lihat Yahya
Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h.,
138. 18
Kewenangan relative merupakan kewenangan yang didasarkan dan berkaitan dengan
wilayah hukum pengadilan tersebut. Lihat Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, sebagaimana mengutip
Muchinum, Kompetensi Peradilan Agama Relatif dan Absolut dalam Kapita Selekta Hukum Perdata
Agama dan Penerapannya, (Bogor: Pusdiklat Teknis Balitbang Diklat Kumdil MARI, 2008), h., 127. 19
Penetapan Nomor 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg, h., 8-9
57
dinyatakan terbukti sebagai anak sah dari hasil pernikahan orang
tuanya.
b. Dari bukti P4 berupa KTP sudah dinyatakan bahwa anak pertama dari
pewaris telah keluar dari agama Islam dan memeluk agama Hindu.
c. Bukti P5 berupa Kutipan Akta Kematian terbukti bahwa ibu dari pihak
yang mengajukan permohonan telah meninggal dunia pada Desember
Tahun 2000.
d. Bukti P6 yang juga berupa Kutipan Kematian menunjukan bahwa
bapak dari pihak yang mengajukan permohonan telah meninggal dunia
pada Mei 2014.
e. Serta dari bukti P7 dan P8 Majelis Hakim menilai bukti tersebut cukup
untuk dijadikan data pendukung untuk mengeluarkan penetepan ahli
waris oleh Pengadilan Agama Badung.
Kemudian dua orang saksi yang telah diajukan masing-masing
sudah memberikan keterangan di bawah sumpah dalam persidangan
berdasarkan pengetahuan dan pengelihatannya sendiri, keterangan saksi-
saksi tersebut juga tidak ada yang saling bertentangan dan sesuai juga
dengan dalil dari pihak yang mengajukan permohonan. Oleh karena itu
keterangan tersebut telah memenuhi syarat formil dan materil
sebagaimana ketentuan dalam Pasal 171 ayat (1), 308, dan 309 R.Bg.20
Berdasarkan bukti-bukti yang telah diajukan juga dihubungkan
dengan dalil-dalil Pemohon dalam persidangan, Majelis Hakim
mendapatkan beberapa fakta hukum yaitu21
:
a. Bapak dari pihak yang mengajukan permohonan merupakan pewaris
yang telah meninggal dunia.
20
Penetapan Nomor 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg, h., 9 21
Penetapan Nomor 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg, h., 9-10
58
b. Istri pewaris juga telah meninggal dunia.
c. Pewaris mempunyai dua anak, anak pertama yang beragama Hindu
dan anak kedua yang beragama Islam.
d. Kedua orang tua dari pewaris telah meninggal lebih dahulu.
e. Pewaris meninggalkan harta waris berupa dua bidang tanah,
kendaraan, dan tabungan di Bank.
f. Pewaris tidak mempunyai istri lebih dari satu.
g. Alasan diajukannya permohonan ini adalah untuk mengurus harta
waris tersebut.
h. Ketujuh tidak ada sengketa atas harta waris tersebut.
Dari fakta-fakta di atas, bisa ditetapkan bahwa Ibu Pemohon sudah
meninggal dunia pada bulan Desember tahun 2000 dan kemudian Bapak
Pemohon juga sudah meninggal dunia pada bulan Mei 2014.22
Sesuai dengan KHI Pasal 171 huruf (f) bahwa pewaris adalah
orang yang pada saat meninggalnya telah dinyatakan meninggal
berdasarkan putusan pengadilan dalam keadaan beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan, oleh karena itu almarhum
bapak dari pihak yang mengajukan permohonan yang sudah meninggal
dunia dalam keadaan beragama Islam bisa disebut sebagai Pewaris.23
Pada dasarnya semua anak kandung dari pewaris adalah ahli waris,
tetapi berhubung anak kandung pertama si pewaris sudah berpindah
agama semenjak dia menikah kurang lebih 6 tahun yang lalu, Majelis
Hakim berpendapat24
bahwa anak kandung pertama si pewaris tidak
berhak atas warisan dari kedua orang tuanya, ijtihad tersebut berdasarkan
KHI Pasal 171 huruf (c) dan KHI Pasal 172.
22
Penetapan Nomor 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg, h., 10 23
Penetapan Nomor 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg, h., 10 24
Penetapan Nomor 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg, h., 10-11
59
Majelis Hakim berpendapat25
tidak boleh saling mewarisi antara
muslim dan orang kafir, dengan dasar hadits Usamah bin Zaid yang
dikonfirmasi oleh Bukhari dan Muslim yang berbunyi:
ال يرث المسلن الكافر و ال الكافر المسلن )روه البخاري(
Artinya: Tidak boleh seorang muslim mewarisi orang kafir dan tidak pula
seorang kafir mewarisi seorang muslim (H.r. Bukhari).
Kemudian dari fakta-fakta di dalam persidangan dan juga
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Majelis Hakim
berijtihad bahwa ahli waris dari orang tua pihak yang mengajukan
permohonan hanyalah anak kandung pewaris yang beragama Islam dan
oleh sebab itu permohonan ini patut untuk dikabulkan.
25
Penetapan Nomor 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg, h., 11
60
BAB IV
TINJAUAN HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA TERHADAP
PENETAPAN HAKIM YANG BERBEDA DALAM PEMBAGIAN WARIS
ANAK KANDUNG NON MUSLIM
A. Analisis Atas Pertimbangan Hakim Memberikan Wasiat Wajibah Bagi
Anak Kandung Non Muslim Dalam Perkara No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg
Pada hakikatnya kedudukan Hakim di Indonesia sangatlah penting
karena memiliki kekuasaan yang diberikan oleh negara dalam memberikan
keadilan. Oleh karena itu sangat penting bagi seorang Hakim untuk
memberikan rasa keadilan yang seadil-adilnya kepada setiap individu yang
mempercayakan penyelesaian masalahnya kepada Majelis Hakim, dan sudah
semestinya seorang hakim menjaga marwahnya untuk bersikap adil serta
terbebas dari segalam macam intervensi yang mencoba untuk mengusik
keadilan tersebut.
Perkara ini merupakan permohonan untuk menetapkan status ahli
waris dari si pewaris yang berstatus sebagai orang tua dari orang yang
mengajukan permohonan ini. Berdasarkan peraturan Pasal 49 huruf b
Undang-undang No. 3 Tahun 2006 serta perubahan kedua Undang-undang
No. 50 Tahun 2009 perkara ini adalah kewenangan absolut Pengadilan
Agama. Pada pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim menetapkan status ahli
waris bagi anak kandung non muslim berdasarkan konsep kewarisan Islam,
karena semua ahli waris baik muslim maupun non muslim sama-sama
memilih untuk tunduk dalam hukum kewarisan Islam.
Pada perkara no. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg ini, salah satu ahli waris yang
berstatus sebagai anak kandung dari pewaris, merupakan seorang non muslim
dengan kata lain berbeda agama. Yang dimaksud dengan perbedaan agama
61
yaitu perbedaan keimanan antara seorang pewaris dengan ahli warisnya.1
Tetapi pada pertimbangannya, Majelis Hakim memberikan bagian waris
terhadap anak kandung non muslim tersebut dengan jalur wasiat wajibah.2
Dengan tuntutan zaman yang semakin kompleks dalam kehidupan
manusia sekarang ini, bisa memungkinkan ahli waris yang berbeda agama
bisa mendapatkan keadilan dalam perihal harta waris dari pewaris yang
beragama Islam. Dalam kasus yang seperti ini seorang hakim yang menjadi
ulul amri dan mewakili negara memiliki kewenangan untuk berijtihad sesuai
dengan nash serta dengan mempertimbangkan implikasinya terhadap keadaan
sosial masyarakat dan keluarga.3
Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang sudah penulis uraikan
pada bab sebelumnya, dalam Pasal 171 huruf (c) yang mengatakan bahwa ahli
waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan
darah atau hubungan perkawian dengan pewaris, beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Pada pasal ini menjelaskan
bahwa ahli waris haruslah beragama Islam pada waktu pewaris meninggal
dunia sehingga berdampak bahwa apabila bukan beragama Islam pada saat
kematian si pewaris, maka tidak masuk dalam kategori ahli waris.
Kemudian dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 172 dijelaskan
bahwa ahli waris dikatakan beragama Islam jika diketahui dari kartu identitas
atau pengakuan atau amalan atau kesaksian sedangkan bagi bayi atau anak
yang belum dewasa dianggap mengikuti agama orang tuanya.
Perlindungan hukum yang bisa ditetapkan pada ahli waris yang
berbeda agama denga pewaris adalah dengan memberikan hibah, wasiat dari
pewaris, atau dengan wasiat wajibah melalui penetapan Pengadilan
1 Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al Ma‟arif, 1994), h., 95
2 Penetapan No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, h., 12
3 Achmad Arief Budiman, “Penemuan Hukum Dalam Putusan Mahkamah Agung dan
Relevansinya Bagi Pengembangan Hukum Islam di Indonesia”, Pemikiran Hukum Islam, XXIV, 1
(April, 2014), h., 6
62
sebagaimana yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 51K/AG/1999 pada
tanggal 29 September 1999 yang mengatakan bahwa anak kandung non
muslim mendapatkan wasiat wajibah.4
Berdasarkan yurisprudensi MARI dan Buku Pedoman Pelaksanaan
Tugas dan Administrasi Peradilan Agama inilah Hakim memberikan
pertimbangan bahwa anak kandung non muslim dari pewaris bisa
mendapatkan harta warisan dengan jalur wasiat wajibah.
Dalam permasalahan ini perlu dikaitkan bahwa seorang Hakim
mempunyai kewenangan untuk mengesampingkan ketentuan-ketentuan
hukum positif yang sudah ada untuk mewujudkan keadilan serta kemaslahatan
di tengah lingkungan masyarakat. Dalam kasus tersebut yang dijadikan
sebagai dasar pembaruan hukum kewarisan Islam adalah wasiat wajibah yang
menurut sebagian tokoh Islam ahli waris non muslim bisa mendapat bagian
waris dengan melalui jalur wasiat wajibah. Tetapi tidak ada disebutkan dalam
pertimbangan Hakim bahwa seorang non muslim mendapat bagian dengan
status ahli waris, hanya sebatas jalur wasiat wajibah saja.5
Pada pelaksanaannya, wasiat wajibah bagi ahli waris beda agama
merupakan ijtihad baru yang telah dilakukan oleh Hakim Mahkamah Agung
dengan memakai cara yang merujuk dari pendapat Ibn Hazm yang
berpendapat bahwa Islam merupakan agama yang rahmatan lil „alamin, Islam
bukanlah agama yang diskriminatif. Tetapi Islam adalah agama yang harus
mengayomi serta merangkul seluruh umat yang ada di dunia ini.6
4 Hukum Online, Putusan MA: Saudara Beda Agama Boleh Mendapatkan Harta Warisan.
Lihat https://m.hukumonline.com/berita/baca/hol13857/putusan-ma-saudara-beda-agama-boleh-
mendapatkan-harta-warisan/. Diakses pada tanggal 17 September 2019, pukul 12.52. 5 Muhammad Muhibbuddin, “Pembaruan Hukum Waris Islam di Indonesia”, Ahkam, III, 2
(November, 2015), h., 195 6 Shariani, “Pembagian Harta Warisan Orang yang Berbeda Agama Dalam Perspektif Hukum
Islam (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 K/AG/1999)”, (Pascasarjana: Tesis
Universitas Sumatera Utara, 2009), h., 96, t.d.
63
Menurut Ahmad Rofiq, Wasiat Wajibah merupakan tindakan yang
diberikan dari negara atau Hakim selaku aparat yang berwenang untuk
menuntut atau memberi putusan terhadap orang yang telah meninggal dunia
yang kemudian diberikan kepada pihak tertentu dan juga dalam keadaan
tertentu.7 Oleh karena itu Hakim memberikan hak wasiat wajibah terhadap
ahli waris yang berbeda agama.
Ditetapkannya wasiat wajibah bagi ahli waris yang berbeda agama
dalam perkara no. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg ini merupakan bentuk implementasi
untuk menciptakan kemaslahatan dan kedamaian, terutama dalam ruang
lingkup sebuah keluarga. Sejalan dengan ungkapan kaidah hukum yang
mengatakan bahwa kebijakan pemimpin pada rakyatnya harus diorientasikan
untuk kemaslahatan.8
Pertimbangan Hakim dalam menetapkan wasiat wajibah pada perkara
no. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdgn terhadap ahli waris yang berbeda agama bisa
dilihat dari kedekatannya selama pewaris hidup, kualitas hubungannya dengan
pewaris maupun dengan kerabat lainnya, keadaan ekonomi ahli waris yang
berbeda agama tersebut, serta fakta-fakta keadaan yang terjadi di lapangan.9
Pada dasarnya suatu penetapan hukum dituntut untuk memberikan
suatu keadilan, dan oleh karena itu seorang Hakim melakukan analisis
peristiwa dan fakta-fakta. Hal ini bisa dilakukan melalui pembuktian,
pengklasifikasian antara yang harus dan tidak, dan mempertanyakan lagi
kepada para pihak yang bersangkutan mengenai keterangan para saksi dan
bukti-bukti yang ada. Maka dalam penetapan Hakim, yang penting untuk
7 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali pers, 2013), h., 345
8 Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kementrian
Agama RI, 2011), h., 230 9 Zulfia Hanum dan Alfi Syahr, “Wasiat Wajibah Sebagai Wujud Penyelesaian Perkara Waris
Beda Agama Dalam Perkembangan Sosial Masyarakat”, Holistik, I, 2, h., 128
64
diperhatikan adalah pertimbangan hukumnya, sehingga dapat dilihat apakah
penetapan tersebut sudah cukup objektif atau tidak.10
Tetapi menurut penulis, dengan memakai yurisprudensi MARI dan
Buku Pedoman pada perkara no. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg tersebut itu berarti
Hakim telah mengabaikan hukum kewarisan Islam yang seharusnya tampil
menunjukkan jati dirinya karena memang hukum-hukum kewarisan tersebut
juga menggunakan dalil-dalil primer seperti Al Quran dan Hadits yang
semestinya berada di atas ra‟yu atau ijtihad, mungkin jika hukum tersebut
bersifat furu‟ bisa saja hakim mengambil ijtihad tetapi tetap dengan
berkoridor pada nash. Sedangkan perkara orang yang murtad dalam status ahli
waris, sudah jelas hukumnya seperti yang telah diuraikan dalam bab
sebelumnya. Dalam Q.s. An Nisa‟ (4): 141:
رين الذين ي ت ربصون بكم فإن كان لكم ف تح من الل قالوا أل نكن معكم وإن كان للكاف
نكم ي وم القيامة ولن نصيب قالوا أل نستحوذ عليكم ونن عكم من المؤمني ف يكم ب ي الل
للكافرين على المؤمني سبيل ايعل الل
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan
terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu
kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang)
beserta kamu?" Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan
(kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan
membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi
keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan
memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang
yang beriman”.
Lalu dari hadits Nabi saw:
11ل يرث املسلم الكافر و ل الكافر املسلم )روه اجلماعة(
10
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, cet. VI, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h., 79
65
Artinya: Tidak boleh seorang muslim mewarisi orang kafir dan tidak pula
seorang kafir mewarisi seorang muslim (H.r. Jama‟ah)
Kemudian jika perkara no. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg ditinjau dari
pendapat ulama fiqh, ada seorang sahabat Nabi bernama Muaz bin Jabal yang
memperbolehkan seorang muslim mendapat waris dari non muslim.
Pandangannya ini berbeda dengan kebanyakan ulama. Dalam suatu masalah,
Muaz membagi warisan dari pewaris yang berstatus non muslim kepada dua
ahli warisnya yang satu seorang muslim dan yang satunya lagi non muslim.
Ijtihad ini bermula ketika ada dua orang saudara laki-laki muslim dan non
muslim yang mengadu permasalahan warisan orang tuanya yang meninggal
dalam keadaan kafir, lalu Muaz mengambil keputusan untuk membagikan
harta warisan tersebut kepada seluruh ahli waris baik muslim maupun non
muslim. Keputusa Muaz ini juga didasarkan pada kemaslahatan, yaitu supaya
ahli waris non muslim tidak menjadi miskin.12
Permasalahan Muaz di atas bisa kita analogikan pada perkara no.
4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, pewaris yang pertama kali meninggal yaitu sang ibu
meninggal dalam keadaan murtad dan telah memeluk agama Hindu. Majelis Hakim
menetapkan seluruh harta warisan dari wanita yang murtad diwariskan oleh ahli
warisnya yang muslim, dengan berdasar pada Imam Abu Hanifah dalam kitab Fiqhul
Islam wa Adillatuhu karangan Wahbah Zuhaili, Juz 8 halaman 265.13
Menurut pendapat mayoritas ulama, orang kafir boleh-boleh saja
untuk saling mewarisi di antara kalangan mereka seperti yang sudah biasanya
berlaku. Tidak ada lagi yang memberikan pendapat berdasaarkan keumuman
hadits selain al Auza‟i yang mengatakan bahwa orang Yahudi tidak bisa
mewarisi orang Nasrani begitupun sebaliknya. Begitu pula untuk semua
penganut agama. Tetapi menurut Mu‟az, Mu‟awiyah. Ibnu al Musayyab dan
11
Hafidz al Mundziri, Mukhtasar Sunan Abu Daud, hadits nomor 2789, h., 563 12
Riyanta, “Kewarisan Beda Agama (Studi Pandangan Muaz bin Jabal)”, Asy-Syir‟ah,
XXXXVI, 1 (Januari-Juni, 2012), h., 167 13
Penetapan No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, h., 11
66
al Nakha‟iy bahwa perbedaan agama, tidak berlaku bagi seorang muslim
untuk mewarisi harta warisan dari pewarisnya yang berbeda agama.14
Para Ulama telah bersepakat bahwa seorang yang murtad itu termasuk
dalam perbedaan agama, oleh sebab itu orang yang murtad tidak bisa
mewarisi orang muslim.15
Faktor persaudaraan dalam Islam adalah faktor
paling kuat di antara umat muslim.16
Sudah bisa ditegaskan bahwa pendapat ulama telah sepakat terkait
larangan kafir yang mewarisi muslim. Tetapi ketika larangan tersebut berlaku
sebaliknya, yaitu seorang muslim tidak boleh menerima harta waris dari
kerabat atau orang tuanya yang non muslim, maka justru kemadharatan yang
akan didapat pada seorang muslim tersebut. Secara logika saja kemadharatan
ini sudah sangat jelas. Sementara dalam hukum waris Islam yang sudah ada
saat ini terkait masalah ini mayoritas ulama melarangnya. Contohnya seperti
ulama empat madzhab sepakat bahwa hal-hal yang menghalangi waris adalah
perbedaan agama, pembunuhan dan perbudakan.17
Ulama salaf lainnya yang sependapat dengan larangan tersebut Asy
Syaukani18
dan Ibnu Qudamah,19
sedangkan dari kalangan ulama kontemporer
yang sependapat ialah Ali Ash Shabuni,20
Musthafa as Salabiy,21
dan Sayid
Sabiq.22
Pendapat ulama yang melarang seorang muslim mewarisi dari kafir
oleh ulama empat madzhab, yaitu Imam Syafi‟i, Imam Hanafi, Imam Hambali
14
Darmawan, “Mawani‟ al Irtsi Sebagai Penghalang Mewaris”, h., 12 15
Riana Kesuma Ayu, Penghalang Mewarisi. Lihat https://websiteayu.com/penghalang-
mewarisi/. Diakses pada 17 September 2019, pukul 11.30 16
Ali Ahmad al-Jarwi, Indahnya Syariat Islam, cet.1, h., 724. 17
Chamim Tohari, “Rekonstruksi Hukum Kewarisan Beda Agama Ditinjau dari al Ushul al
Khamsah”, h., 3 18
Muhammad al Syaukani, Nailul Authar, h., 2085 19
Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah, Al Mugni, Jilid I, h., 166 20
Muhammad Ali al Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, h., 42 21
Ahmad Musthafa al Salabiy, Ahkam al Mawarist, h., 87-92 22
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid I, h., 486
67
dan Imam Maliki.23
Alasan yang diberikan adalah seperti yang dikemukakan
oleh Imam Syafi‟i yang tidak menerima makna kata “kafir dzimmi” dengan
kata “kafir harbi” karena menurut pendapat Imam Syafi‟i keduanya itu sama-
sama menyembah berhala, maka dari itu seorang muslim tidak boleh
menerima waris darinya karena keduanya adalah kafir. Kemudian alasan lain
yaitu tidak nash yang mentakhshish kata kafir di dalam hadits yang tidak
membolehkan saling mewarisi antara muslim dan kafir.24
Pendapat Asy Syaukani juga sejalan dengan pedapat Imam Syafi‟i
bahwa tidak ada pembedaan tentang makna kafir kecuali ada dalil yang
menegaskannya.25
Sedangkan Ibnu Qudamah berpendapat riwayat hadits dari Muaz,
Umar, dan Muawiyah yang memperbolehkan seorang muslim menerima waris
dari pewaris non muslim merupakan riwayat yang tidak bisa dipercaya
begitusaja dari mereka, sebab Imam Ahmad berpendapat bahwa tidak terdapat
perbedaan pendapat bahwa seorang muslim tidak bisa mewarisi dan
mewariskan harta dari orang kafir. Yang diaplikasikan oleh mayoritas ulama
adalah perbedaan agama antara Islam dan kafir bisa menghalangi waris dari
keduanya. Dan juga mereka sependapat bahwa kafir yang seagama bisa saling
mewarisi diantara mereka apabila berada dalam satu negara. Lalu seorang
murtad yang kembali ke agama Islam sebelum harta waris dibagikan maka dia
bisa mendapat bagian waris. Pada intinya Ibnu Qudamah berpendapat bahwa
haruslah mendahulukan hadits shahih dari pada riwayat yang keshahihannya
belum disepakati.26
Dari kalangan ulama kontemporer yang sependapat untuk melarang
saling mewarisi antara muslim dengan kafir salah satunya adalah Musthafa as
Salabiy yang berpendapat bahwa nash hukum yang qath‟i dan jelas adalah
23
Muhammad Jawwad Mughniyah, Al Fiqh „ala Madzhab Al Khamsah, h., 281 24
Muhammad bin Idris al Syafi‟i, Al Umm, h., 76-77 25
Muhammad al Syaukani, Nailul Authar, h., 2085 26
Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah, Al Mugni, Jilid I, h., 166
68
pendapat yang mengatakan tidak diperbolehkan untuk saling mewarisi antara
seorang muslim dengan kafir maupun sebaliknya.27
Kemudian Ali al Shobuni berpendapat untuk memasukkan perbedaan
agama sebagai salah satu penghalang dalam kewarisan.28
Pendapat ini sejalan
dengan pendapatnya Sayyid Sabiq.29
Terdapat larangan lain juga dari fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang beralasan bahwa dalam kewarisan Islam
tidak diperbolehkan untuk saling mewarisi antar orang yang berbeda agama.
Tetapi pemberian terkait harta antara orang yang beda agama hanya bisa
melalui jalan hibah, hadiah dan wasiat.30
Majelis Ulama Indonesia juga telah memfatwakan pada tanggal 28 Juli
2005 bahwa ahli waris yang berbeda agama tidak bisa mendapatkan harta
warisan. Ada dua poin dalam penetapannya, yaitu:31
3. Hukum Waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antar
orang-orang yang berbeda agama;
4. Pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat
dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.
Tetapi ada pendapat lain yang memperbolehkan seorang muslim
mewarisi non muslim yaitu Ibnu Qayyim al Jauziyah yang berpendapat bahwa
dibolehkan bagi seorang muslim mewarisi non muslim, hal ini sebenarnya
bisa memberikan kemaslahatan yang besar bagi umat muslim serta agama
Islam. Kewarisan itu bisa berlaku dikarenakan adanya semangat untuk tolong
menolong. Pendapat ini sejalan dengan Syeikh Yusuf al Qardhawi, menurut
beliau, illat pada masalah waris adalah semangat untuk tolong menolong,
bukan karena perbedaan agama.32
27
Ahmad Musthafa al Salabiy, Ahkam al Mawarist, h., 87-92 28
Muhammad Ali al Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, h., 42 29
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid I, h., 486 30
Munas VII MUI 2005, Keputusan Fatwa MUI No. 5/Munas VII/MUI/9/2005. 31
MUI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Sejak 1975, (Jakarta; Erlangga, 2001), h., 485 32
Chamim Tohari, “Rekonstruksi Hukum Kewarisan Beda Agama Ditinjau dari al Ushul al
Khamsah”, h., 7
69
Pendapat serupa juga dikeluarkan oleh Ibnu Taimiyah, menurut beliau
hadits yang mengatakan “orang muslim tidak diperbolehkan untuk menerima
waris dari kafir, dan tidak diperbolehkan juga orang kafir menerima waris
daris orang muslim” bisa di ta‟wilkan dengan memakai ta‟wilan ulama
madzhab Hanafiyah pada hadits “seorang muslim tidak boleh dibunuh karena
sebab membunuh orang kafir” dan kafir yang dimaksud dalam hadits itu
adalah kafir harbi karena kafir harbi memusuhi umat Islam, sebab hal tersebut
bisa memutuskan hubungan di antara kedua pihak tersebut.33
Jika berdasarkan pada apa yag telah diuraikan di atas bisa dikatakan
bahwa penetapan ahli waris pada perkara no. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg ini
terdapat perbedaan pendapat dengan ketentuan hukum kewarisan Islam
terutama para ulama baik ulama salaf maupun ulama kontemporer yang
semuanya berpendapat bahwa orang kafir tidak bisa menerima waris dari
orang muslim, yang terdapat perbedaan pendapat hanya pada hal orang
muslim menerima waris dari orang non muslim, juga dengan hadits,
Rasulullah SAW. bersabda: “orang muslim tidak bisa mewarisi orang kafir
dan orang kafir tidak bisa mewarisi orang muslim” (HR. Bukhari).
Lalu dari hadits al Islamu ya‟lu wala yu‟la alaih diperkuat lagi
bahwasanya Islam itu sesuatu yang utama, sesuatu yang unggul, tetapi jika
menyangkut-pautkan pada asas egaliter maka akan terjadi kontradiksi yang
kuat, tetntu sangat bertolak belakang antara keduanya. Sudah seharusnya
seorang Hakim yang beragama Islam dan menggunakan hukum-hukum Islam
untuk berijtihad dengan mementingkan sesuatu yang berdasar pada nash di
atas yang lainnya bukan justru memberikan sesuatu yang sebenarnya semu
dalam mendasari konsep berijtihadnya.
33
Yusuf al Qardhawi, Fiqh Maqashid Syar‟i, h., 305
70
Kaidah fiqh juga mengatakan:
درء املفاسد اول على جلب املصاحل
Artinya: mencegah kemadharatan lebih utama daripada mengambil maslahat.
Sehingga menurut penulis seharusnya apabila kita kaitkan perkara no.
4/Pdt.P/2013/PA.Bdg dengan kaidah fiqh tersebut kepada daruratul khamsah
tentu dengan tidak memberikan bagian waris kepada ahli waris yang berbeda
agama merupakan bentuk menjaga harta (hifzhul mal) dan menjaga agama
(hifzhu din) karena untuk menjaga generasi selanjutnya dari ahli waris muslim
agar bisa meneruskan menjadi generasi muslim yang diharapkan bisa
memberi maslahat terutama dalam internal umat Islam, lalu menjaga agama
dari manipulasi syari‟ah yang bisa menghalalkan yang haram atau sebaliknya,
sungguh kemadharatan inilah yang lebih utama untuk dicegah daripada
mengambil maslahat yang hanya berlaku pada sebatas individu. Karena
putusan Hakim di Indonesia tidak hanya berlaku sekali saja pada orang yang
berperkara saat itu, tetapi bisa menjadi acuan atau yurisprudensi bagi Hakim
lain ke depannya.
Kemudian jika dikatakan asas egaliter dalam pertimbangan status ahli
waris murtad pada perkara no. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg menurut penulis ini
keliru, karena jika hukum kewarisan Islam tidak membeda-bedakan orang,
seharusnya tidak ada hadits yang melarang umat Islam untuk saling mewarisi
dengan orang kafir. Tetapi kenyataannya hadits tersebut ada dan menjadi
salah satu dasar hukum kewarisan Islam.
Selain itu juga menurut penulis apabila Majelis Hakim
mengedepankan asas egaliter, penulis rasa hal itu kurang tepat jika dijadikan
dalil pada perkara no. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. Ya, memang asas egaliter itu
sangat penting akan tetapi Majelis Hakim juga tidak boleh lupa akan asas
personalitas keislaman. Dari perspektif maqasid al syariah serta Ketuhanan
Yang Maha Esa, asas ini ditujukan untuk melindungi agama حفظ الدين bagi
71
setiap warga negara mengamalkan agamanya secara baik. Dengan demikian
setiap warga negara itu berlaku hukum agama yang dianutnya tersebut. Asas
ini memberikan konsekuensi bagi seorang muslim harus berijtihad menurut
hukum syariah Islam atau melalui peradilan yang sesuai dengan prinsip
syariah.34
Dari seluruh uraian di atas terkait perkara no. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg,
penulis berpendapat bahwa pertimbangan hakim dalam memberikan harta
waris melalui jalur wasiat wajibah dirasa kurang tepat, walaupun Majelis
Hakim berpendapat untuk memberikan keadilan bagi para pihak, penulis
menilai kita tidak bisa menilai dengan standarisasi atau perspektif yang
berbeda antara para pihak, sebab jika adil perspektif non muslim tentu berbeda
dengan pe1rspektif adil seorang muslim. Hal ini bisa dilihat dari segi filosofis
dalam keislaman yang menjadi salah satu asas bagi peradilan agama. Seorang
kafir, terhadap Allah saja dia tidak adil, lalu bagaimana mungkin kita
memberikan timbal balik atas dasar keadilan kepada seorang yang tidak adil
kepada Allah Subhanahu Wata‟ala.
Kelebihan dari pertimbangan Hakim dalam perkara no.
4/Pdt.P/2013/PA.Bdg yaitu Hakim mampu memberikan pendapat hukum
berdasarkan yurisprudensi MARI yang berarti Hakim tersebut berani untuk
memberika trobosan baru dalam perkembangan hukum kewarisan dalam
Islam dengan mengedepankan rasa keadilan dan kemaslahatan bagi para pihak
yang notabennya berada dalam ruang lingkup sebuah negara yang memiliki
banyak golongan, suku, ras, dan agama yang berbeda.
Tetapi dibalik itu, kekurangan dari pertimbangan Hakim pada perkara
no. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg ialah terlalu berani menyetujui ijtihad baru yang
pada realitanya seluruh ulama fiqh baik salaf maupun kontemporer
bertentangan dengan pendapat tersebut. Sehingga marwah dan jati diri Islam
34
A. Mukti Arto, Penemuan Hukum Islam Demi Mewujudkan Keadilan, (Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2018), h., 280.
72
dalam menegakkan hukum Allah swt. seolah-olah dikesampingkan demi
kepentingan salah satu golongan, padahal sebagai seorang muslim haruslah
menjaga wibawa dan jati diri Islam dalam menegakkan hukum Allah.
B. Analisis Atas Pertimbangan Hakim Yang Tidak Menerima Anak
Kandung Non Muslim Sebagai Ahli waris Dalam Perkara No.
13/Pdt.P/2014/PA.Bdg
Pada perkara nomor 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg., pertama-tama hakim
memeriksa keabsahan pernikahan dan status anak sah dari pewaris dengan
melihat lampiran berupa akta nikah dan juga akta kelahiran,35
Keabsahan ini
sudah berbanding lurus dengan KHI Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi
“Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh
pegawai pencatat nikah”. Dan juga pada KHI Pasal 99 yang mengatakan
bahwa anak sah adalah :
1. Anak yang ketika dilahirkan berada dalam keadaan atau diakibatkan
oleh perkawinan yang sah;
2. Hasil perlakuan suami istri yang sah dan di luar Rahim kemudian
dilahirkan oleh sang istri.
Kemudian anak pertama dari pewaris telah keluar dari agama Islam,
sesuai dengan bukti KTP yang menunjukkan telah memeluk agama Hindu,
Serta bukti bahwa pewaris telah meninggal dunia ditunjukkan dengan bukti
surat kematian pada bulan Mei 2014.36
Untuk pembuktian status keagamaan kita bisa mengacu pada
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 172 bahwa ahli waris bisa dikatakan
beragama Islam jika dibuktikan dengan kartu identitas (KTP),pengakuan,
pengamalan, atau kesaksian, sedangkan untuk bayi yang baru lahir ataupun
35
Penetapan Nomor 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg, h., 8 36
Penetapan Nomor 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg, h., 8
73
anak yang belum dewasa dianggap beragama sesuai dengan orangtua atau
lingkungannya.
Pada dasarnya untuk memeriksa suatu perkara setelah jawab
berjawab/bantah membantah (replik dan duplik) selesai Majelis Hakim
sebenarnya sudah bisa menimbang apakah gugatan bisa diterima untuk
diputus apabila seluruh dalil-dalil dalam gugatan sudah jelas, tidak dibantah
atau diakui oleh para pihak. Tetapi apabila dalil-dalil tersebut masih kurang
jelas, maka Majelis Hakim membutuhkan bukti tambahan.37
Alat bukti lain pada perkara no. 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg yaitu dua
orang saksi yang hadir dalam persidangan, seluruh keterangan para saksi tidak
ada yang saling bertentangan juga berdasarkan apa yang diketahui dan
dilihatnya sendiri.38
Kedudukan saksi terkadang diposisikan sebagai syarat hukum dan juga
terkadang diposisikan sebagai alat bukti, bahkan terkadang ada pula yang
memposisikan saksi dalam dua status yaitu sebagai syarat hukum sekaligus
termasuk syarat pembuktian. Pada keadaan penggabungan posisi atau status
tersebut kita harus memposisikan saksi di sini sebagai syarat hukum, karena
syarat pembuktian sudah otomatis masuk dalam cangkupan syarat hukum,
atau mudahnya apabila saksi sudah memenuhi syarat hukum, maka otomatis
dia juga sudah memenuhi syarat pembuktian.39
Dari fakta-fakta hukum yang sudah diuraikan sebelumnya, menurut
penulis, Majelis Hakim pada perkara no. 13/Pdt.P/2013/PA.Bdg sudah sejalan
dan sesuai, jika Majelis Hakim melandaskan konsep pewaris sebagaimana
yang dikatakan oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 171 huruf (f)
bahwa pewaris adalah “orang yang pada saat meninggalnya telah dinyatakan
37
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2012), h., 54. 38
Penetapan Nomor 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg, h., 9 39
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2003),
h., 153.
74
meninggal berdasarkan putusan Pengadilan dalam keadaan beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.”
Hakim pada perkara no. 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg juga mengatakan
bahwa sebenarnya pada dasarnya seluruh anak kandung merupakan ahli waris,
tetapi mengingat pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 171 huruc (c)
yang mengatakan bahwa ahli waris merupakan orang yang memiliki pertalian
darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, serta tidak
terhalang karena suatu hukum untuk menjadi ahli waris ketika pewaris
meninggal dunia.
Pada argumentasi Hakim yang terakhir40
juga mengacu pada hadits:
ل يرث املسلم الكافر و ل الكافر املسلم )روه البخارى(
Artinya: Tidak boleh seorang muslim mewarisi orang kafir dan tidak pula
seorang kafir mewarisi seorang muslim (H.r. Bukhari).
Menurut penulis sudah sangat tepat ketika Hakim menjadikan hadits
sebagai dasar hokum pada perkara no. 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg. Karena dengan
begitu, jati diri hukum Islam menjadi lebih kokoh dan kuat, bukan
mengesampingkan syariah dan membungkusnya dengan konsep-konsep yang
dianggap sebagai sebuah keadilan yang diciptakan oleh manusia, tidak ada
jaminan akan benar-benar adil. Tetapi apabila kita memaknai syariah sebagai
sumber hukum, tentu tidak mungkin jika Tuhan sengaja menurunkan hukum
hanya untuk menghardik manusia, dan sebagai seorang muslim sudah sangat
wajar apabila menganggap apa yang Allah swt. tetapkan, maka itulah sesuatu
yang terbaik bagi hamba-Nya.
Kekurangan dari pertimbangan Hakim dalam perkara no.
13/Pdt.P/2014/PA.Bdg adalah cara hakim dalam menganalisis kasus ini terlalu
40
Penetapan Nomor 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg, h., 11
75
tekstual sehingga berkesan bahwa hukum kewarisan Islam itu bersifat statis
dan stagnan.
Tetapi kelebihan dari pertimbangan hakim dalam perkara no.
13/Pdt.P/2014/PA.Bdg ini adalah Hakim memegang teguh sumber-sumber
hukum yang kuat berdasarkan dalil yang kuat pula sehingga menurut penulis
justru di sinilah keteguhan iman seorang muslim yang mampu mendahulukan
hukum berdasarkan keadilan yang berkeislaman.
Selain itu menurut penulis, perbedaan antara perkara no.
4/Pdt.P/2013/PA.Bdg dengan no. 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg adalah jika perkara
no. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg Hakim lebih memilih dasar hukum dari
yurisprudensi MARI walaupun tidak sesuai dengan para fuqaha sedangkan
pada perkara no. 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg Hakim sebenarnya bisa saja
melakukan hal yang sama yaitu dengan mengikuti yurisprudensi MARI, tetapi
Hakim lebih memilih untuk mengambil pendapat para fuqaha.
Kemudian dibalik perbedaan tersebut persamaannya adalah Hakim
dari kedua perkara tersebut sudah sama-sama benar dalam beracara di dalam
persidangan dan sama-sama dianggap sah karena keduanya sudah sesuai
dengan peraturan dan perdoman yang berlaku dan juga sama-sama
berpendapat bahwa semua yang ditetapkan sudah dipikirkan dengan seadil-
adilnya.
Berdasarkan dua perkara tersebut dengan pisau indikator hukum
kewarisan Islam menurut para fuqaha dan juga hukum kewarisan Islam yang
berlaku di Indonesia, menurut penulis perkara no. 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg
memiliki dalil-dalil yang jauh lebih argumentatif karena dalil-dalil yang
digunakan lebih kuat literasinya dibandingkan denga perkara no.
4/Pdt.P/2013/PA.Bdg yang dalil-dalil Hakimnya mengambil pendapat yang
literasinya lemah dan tidak didasari pada nash serta para fuqaha.
76
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari seluruh uraian yang telah penulis paparkan
sebelumnya, maka penulis dapat memberikan beberapa kesimpulan, yaitu
sebagai berikut:
1. Kedudukan ahli waris non muslim dalam perspektif hukum kewarisan
Islam di Indonesia tidak ada yang menyebutkan secara eksplisit harus
seperti apa, hanya saja terdapat yurisprudensi MARI yang memberikan
bagian harta waris kepada ahli waris non muslim. Sehingga masih terjadi
kekosongan hukum terkait dengan ahli waris non muslim entah itu
berbeda agama sejak awal ataupun murtad, adapun di dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) wasiat wajibah disebutkan pada Pasal 209 yang
hanya mengatakan bahwa wasiat wajibah diperuntukan bagi anak angkat
atau orang tua angkat, dilakukan oleh lembaga yang berwenang, dan tidak
melebihi 1/3 dari harta warisan.
2. Hakim pada perkara no. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg memberikan bagian lewat
jalur wasiat wajibah kepada ahli waris (anak kandung) non muslim hanya
berdasarkan kemaslahatan dan yurisprudensi MARI, sedangkan Hakim
pada perkara no. 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg tidak memberikan bagian warisan
kepada ahli waris (anak kandung) non muslim melalui jalur apapun. Para
ulama berpendapat bahwa untuk status ahli waris bagi non muslim, dasar
hukum yang digunakan adalah hadits Rasulullah saw, yang artinya yaitu
“orang muslim tidak boleh mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak
boleh mewarisi orang muslim” (HR. Bukhari). Jadi, penghalang waris
karena sebab berlainan agama adalah hasil kesepakatan seluruh ulama
78
baik ulama salaf maupun ulama kontemporer, oleh karena itu orang yang
berbeda agama mestilah tidak dijadikan sebagai ahli waris. Perbedaan
pendapat hanya ada pada masalah jika muslim menerima waris dari non
muslim, pendapat yang tidak memperbolehkan yaitu Imam Syafi‟i, Imam
Maliki, Imam Hanafi, Imam Hambali, Asy Syaukani, Ibnu Qudamah,
Musthafa as Salabiy, Ali al Shobuni, Sayyid Sabiq, serta Majelis Ulama
Indonesia juga melarang seorang muslim menerima waris dari non
muslim. Sedangkan pendapat yang membolehkan seorang muslim
menerima waris dari non muslim berasal dari Ibnu Qayyim al Jauziyah,
Yusuf al Qardhawi, dan Ibnu Taimiyah. Dan perlu ditegaskan lagi
perbedaan pendapat hanya terjadi pada masalah ketika muslim menerima
waris dari non muslim, tetapi untuk perihal non muslim menerima waris
dari muslim seluruh ulama sepakat untuk melarangnya.
3. Pertimbangan Hakim pada perkara no. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg yang
memberikan bagian waris kepada ahli waris (anak kandung) non muslim
melalui jalur wasiat wajibah dinilai kurang tepat, karena dalil-dalil yang
digunakan tidak argumentatif karena sangat kurang literasi, yang hanya
bersandar pada yurisprudensi MARI saja tetapi bertentangan dengan nash,
dan juga bertentangan dengan pendapat para ulama baik ulama-ulama
klasik maupun ulama-ulama kontemporer. Sedangkan pertimbangan
Hakim pada perkara no. 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg dinilai sudah tepat karena
sudah memberikan dalil-dalil yang cukup kuat sumbernya juga
argumentatif dalam memberikan rujukan hukum yang sesuai dengan nash
dan pendapat para ulama dalam hal hukum kewarisan Islam
79
B. Saran
Dari kesimpulan-kesimpulan yang sudah penulis paparkan di atas,
penulis ingin memberikan beberapa saran untuk disampaikan, yaitu:
1. Dalam berijtihad terkait hal-hal yang fundamental Hakim seharusnya lebih
berpegang kepada hukum-hukum yang memang sudah jelas keshahihan
dan qath‟i-nya. Tentu hal seperti ini sudah menjadi dasar dalam
metodologi atau cara berijtihad dalam Islam khususnya dalam fiqh
maupun ushul fiqh. Bukan malah mengambil pendapat yang bahkan
seluruh fuqaha melarangnya. Karena itu bisa menimbulkan kemungkinan
untuk memanipulasi syari‟ah, menghalalkan yang haram, mengharamkan
yang halal, memakruhkan yang mubah, dan sebagainya, tentu hal-hal yang
dapat menimbulkan kerusakan haruslah untuk dihindari.
2. Perlu diadakannya kajian mendalam jika ingin diadakan rekonstruksi
hukum kewarisan Islam yang apabila memang dianggap sudah tidak
relevan dengan kemaslahatan yang harus diberikan dalam kondisi negara
yang memiliki banyak golongan, suku, ras, dan agama agar hukum yang
berlaku tidak berkesan hanya sebatas manipulasi logika dalam pencarian
hukum. Tetapi hukum yang benar-benar memberikan kejelasan, keadilan,
dan kemaslahatan terutama bagi umat Islam dan rahmatan lil „alamin
umumnya, dengan tidak mengesampingkan etik dan estetik dalam status
menghamba kepada Allah subhanahu wata‟ala sehingga keadilan dan
kemaslahatan tidak lagi menjadi sesuatu yang mengarah kepada delusi
subyektif seorang individu atau sekelompok saja.
80
DAFTAR PUSTAKA
A, Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada,2003)
Abdullah, Abu Malik ibn Anas ibn Malik Ibn Abi 'Amir Ibn 'Amr Ibnul-Harith Ibn
Ghaiman Ibn Khuthail Ibn 'Amr Ibnul-Haarith, Al-Muwatta Malik, (Darul
Hadits, 2005)
Abddullah, Abu Muḥammad ibn Isma‟il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah
al-Ju„fī al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Dar Ibnu Hazm, Kairo)
Abu Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri, Tuhfatul
Ahwadzi Juz 5, (Kairo: Daarul Hadits, 2001)
Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah, Al Mugni, Jilid I, (Beirut: Dar
Al Fikr, 1404H)
Ahmad, Ali al-Jarwi, Indahnya Syariat Islam, cet.1, (Jakarta: Gema Insani Press,
2006)
Ahmad Musthafa al Salabiy, Ahkam al Mawarist, (Beirut: Dar al Nadhah al
Arabiyah, 1978)
Al Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd,
Bidayatul Mujtahid Analisa Para Mujtahid, Penerjemah Imam Ghazali dan
Ahmad Ma‟ruf Asrori, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007)
Ali, Muhammad Al-Shabuni, al-Mawaris fi al-Syari‟ah al-Islamiyah fi Dhau‟i al-
Kitab wa al-Sunnah, (Kairo: Daarul Hadits)
Ali, Muhammad Al-Shabuni, Hukum Kewarisan Islam Menurut al-Qur‟an dan
Sunnah, (Jakarta: Dar al-Kutub Al- Islamiyah,2005)
Ali, Muhammad Al Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001)
Aziz, Abdul Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. VI
Bintania, Aris, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012)
81
Budi, Desti Nugraheni, Haniah Ilham, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, (Gajah Mada University: Yogyakarta, 2014)
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kementrian Agama RI, 2011)
Hafidz al Mundziri, Mukhtasar Sunan Abu Daud, (Kairo: Maktabah al Fikrah)
Hajar, Ibnu Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari Juz 12, (Kairo: Darul
Hadits, 2004)
Harahap, Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2007)
Hasbi, T.M Ash Shiddieqy, Fiqhul Mawaris, Hukum Hukum Warisan Dalam Syari‟at
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)
Husain, Abu Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Muassasah Mukhtar, 2010)
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2005)
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Rajawali, Jakarta, 2015)
Moloeng, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosda
Karya, 2004)
Muchinum, Kompetensi Peradilan Agama Relatif dan Absolut dalam Kapita Selekta
Hukum
Muhammad al Syaukani, Nailul Authar, (Kairo: Maktabah al Salafiyah, 1374H)
Muhammad bin Idris al Syafi‟i, Al Umm, (Beirut: Dar al Fikr, 1403 H)
Muhammad bin „Isa bin Saurah bin Musa as-Sulami at-Tirmidzi, Sunan Tirmidzi,
(Syirkatul Quds Jilid 1, 2009)
Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Ilmu Mawaris: Metode Praktis Menghitung
Warisan Dalam Syariat Islam, Penerjemah Abu Najiyah Muhaimin, (Tegal
Jateng: Ash-Shaf media: 2007)
82
Muhammad Jawwad Mughniyah, Al Fiqh „ala Madzhab Al Khamsah, (Kairo:
Maktabah al Fikrah, 1414H)
Muhibbin, Moh dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia, (Sinar Grafika, Jakarta, 2011)
MUI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Sejak 1975, (Jakarta; Erlangga, 2001)
Mukti, A Arto, Penemuan Hukum Islam Demi Mewujudkan Keadilan, (Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2018)
Muri, A yusuf, Mpd., Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian
Gabungan, (Jakarta:Kencana,Prenadamedia group,2014)
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, (Bandung: Al- Ma‟arif, 1975)
Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, (RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995)
Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali pers, 2013)
Rusdiana, Kama dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2007)
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, Juz II (Semarang: Thoha
Putra)
Sabiq, Sayyid, Fiqhus Sunnah, (Beirut: Darul Fikry, 1983)
Siregar, Bismar, Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan Kumpuluan Catatan Hukum
dan Peradilan di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995)
Siregar, Bismar, Perkawanin, Hibah dan Wasiat dalam Pandangan Hukum Bangsa,
(Yogyakarta: Fakultas Hukum UI, 1985)
Sitompul, Anwar, Kewenangan dan Tata Cara Berperkara di Peradilan Agama,
(Bandung: Armico, 1984)
Soeroso, R, Praktik Hukum Acara Perdata, cet. VI, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004)
Sunan Abi Dawud, Bab Fi Mirotsil Ashobah, Jilid 3, (Dar Ar-Rayyan, 1988)
Suparman, Eman, Inti Sari Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,1991)
83
Syamsul, Andi dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam.
(Jakarta: Pena, 2008)
Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, (Kencana, Jakarta, 2004)
Syatha, Muhammad, Al Dianah Al Thalibin, (Surabaya: Hidayah), t.th.
Thalib, Sajuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia(Ttp : PT. Bina Aksara, 1981)
Tim Redaksi, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Fokusmedia, 2007)
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990)
Yusuf al Qardhawi, Fiqh Maqashid Syar‟i, (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2007)
Zuhaili, Wahbah, Fiqh al Islam wa „Adillatuh, Cet. 3, (Damsyiq: Dar al Fikr, 1979)
Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia
(Lengkap dengan Sejarah dan Kontribusi Sistem Hukum terhadap
Perkembangan Lembaga Peradilan Agama di Indonesia), (Bandung: Pustaka
Setia, 2017)
Peraturan Perundang-Undangan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum
Islam.
Munas VII MUI 2005, Keputusan Fatwa MUI No. 5/Munas VII/MUI/9/2005
Penetapan Nomor 13/Pdt.P/2014/PA.Bdg
Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009
Jurnal
Achmad Arief Budiman, “Penemuan Hukum Dalam Putusan Mahkamah Agung dan
Relevansinya Bagi Pengembangan Hukum Islam di Indonesia”, Pemikiran
Hukum Islam, XXIV, 1 (April, 2014)
Budi, Destri Nugraheni dkk, Pengaturan dan Implementasi Wasiat wajibah di
Indonesia, Mimbar Hukum Volume 22 Nomor 2, (Juni 2010)
84
Chamim Tohari, “Rekonstruksi Hukum Kewarisan Beda Agama Ditinjau dari al
Ushul al Khamsah”, Mazahib, XVI, 1 (Juni, 2017)
Darmawan, “Mawani‟ al Irtsi Sebagai Penghalang Mewaris”
Muhammad Muhibbuddin, “Pembaruan Hukum Waris Islam di Indonesia”, Ahkam,
III, 2 (November, 2015)
Riyanta, “Kewarisan Beda Agama (Studi Pandangan Muaz bin Jabal)”, Asy-Syir‟ah,
XXXXVI, 1 (Januari-Juni, 2012)
Shariani, “Pembagian Harta Warisan Orang yang Berbeda Agama Dalam Perspektif
Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51
K/AG/1999)”, (Pascasarjana: Tesis Universitas Sumatera Utara, 2009)
Zulfia Hanum dan Alfi Syahr, “Wasiat Wajibah Sebagai Wujud Penyelesaian Perkara
Waris Beda Agama Dalam Perkembangan Sosial Masyarakat”, Holistik, I, 2
Internet
Hukum Online, Putusan MA: Saudara Beda Agama Boleh Mendapatkan Harta
Warisan. Lihat https://m.hukumonline.com/berita/baca/hol13857/putusan-ma-
saudara-beda-agama-boleh-mendapatkan-harta-warisan/. Diakses pada tanggal 17
September 2019, pukul 12.52
KBBI Daring, kbbi.kemdikbud.go.id/entri/harta. Diakses pada tanggal 17 September
2019, pukul 12.00
Riana Kesuma Ayu, Penghalang Mewarisi. Lihat
https://websiteayu.com/penghalang-mewarisi/. Diakses pada 17 September 2019,
pukul 11.30