WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

40
WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi Analisis Pasal 209 Ayat (2) KHI Tentang Wasiat Wajibah Terhadap Anak Angkat) TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Agama (MA) Dalam Bidang Ilmu Agama Islam Oleh : Rahmi Maulidiyah NIM. 211610118 KONSENTRASI ILMU SYARIAH PROGRAM PASCA SARJANA (S2) INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA 1436 H/2015 M

Transcript of WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

Page 1: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN

FUQAHȂ’ (Studi Analisis Pasal 209 Ayat (2) KHI Tentang

Wasiat Wajibah Terhadap Anak Angkat)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Magister Agama (MA) Dalam Bidang Ilmu Agama Islam

Oleh :

Rahmi Maulidiyah

NIM. 211610118

KONSENTRASI ILMU SYARIAH

PROGRAM PASCA SARJANA (S2)

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA

1436 H/2015 M

Page 2: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul “Wasiat Wajibah dalam Pandangan Fuqahâ’ (Studi

Analisis Pasal 209 Ayat (2) KHI tentang Wasiat Wajibah Terhadap Anak

Angkat)” yang disusun oleh Rahmi Maulidiyah dengan Nomor Induk

Mahasiswa 211610118 telah melalui proses bimbingan dengan baik dan

dinilai telah memenuhi syarat ilmiah untuk diajukan di sidang munaqasyah.

Pembimbing I

(Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA)

Pembimbing II

(Dr. KH. Ahmad Munif Suratmaputra, MA)

Page 3: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

iii

LEMBAR PENGESAHAN TESIS

Tesis dengan judul “Wasiat Wajibah dalam Pandangan Fuqahâ (Studi

Analisis Pasal 209 Ayat (2) KHI tentang Wasiat Wajibah Terhadap Anak

Angkat)” yang disusun oleh Rahmi Maulidiyah dengan Nomor Induk

Mahasiswa 211610118 telah diujikan di sidang munaqasyah Program

Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta pada tanggal 26 Agustus

2015 M/11 Dzulqaidah 1436 H. Tesis tersebut telah diterima sebagai salah

satu syarat memperoleh gelar Magister Agama (MA) dalam bidang Ilmu

Agama Islam.

Direktur Program

Dr. KH. Ahmad Munif Suratmaputra, MA

Panitia Sidang

Dr. KH. Ahmad Munif Suratmaputra, MA ( ............................. )

Ketua Sidang Desember 2015

Dr. KH. Ahmad Fudhaili, MA ( .............................)

Sekretaris Sidang Desember 2015

Prof. Dr. H. Abd. Wahab Muhaimin, Lc, MA ( .............................)

Anggota (Penguji I) Desember 2015

Dr. KH. Ahmad Fudhaili, MA ( .............................)

Anggota (Penguji II) Desember 2015

Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA ( ............................. )

Pembimbing I Desember 2015

Dr. KH. Ahmad Munif Suratmaputra, MA ( ............................. )

Pembimbing II Desember 2015

Page 4: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

iv

PERNYATAAN PENULIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Tesis ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 2 di Institut Ilmu Al-

Qur‟an (IIQ) Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di IIQ Jakarta

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi dicabutnya gelar yang diperoleh karenanya, yang

berlaku di IIQ Jakarta

Jakarta, 20 Agustus 2015

Rahmi Maulidiyah

Page 5: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

v

بسم الله الرحمن الرحيمKATA PENGANTAR

Puji dan syukur terhaturkan kepada Allah SWT yang telah

memberikan Rahmat dan karunia-Nya, petunjuk dan bimbingan-Nya serta

izin-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini

dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister

Agama (MA) dalam Bidang Ilmu Agama Islam Konsentrasi Ilmu Syariah

Program Pasca Sarjana (S2) Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta.

Tak terlepas shalawat beriring salam senantiasa terhaturkan kepada

junjungan kita, suri tauladan kita, Rasulullah SAW dan juga pada

keluarganya, para sahabatnya, para syuhada‟ dan para pengikutnya yang

selalu berusaha dan istiqamah mengikuti jejak langkahnya hingga yaumil

qiyamah. Semoga kita termasuk dalam golongan yang diberikan syafa‟at

olehnya di hari nanti. Amin.

Penyelesaian tesis ini, membutuhkan perjuangan yang tidak sedikit,

banyak kendala yang penulis hadapi, baik kendala teknis dari luar maupun

kendala dari diri penulis sendiri. Namun berkat bantuan, semangat dan

motivasi dari berbagai pihak, Alhamdulillah kendala-kendala tersebut bisa

teratasi dan tesis inipun dapat penulis selesaikan.

Melalui kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati, penulis

persembahkan untaian kata manis dan sederhana untuk mereka yang dicintai

Allah. Terimaksih tak terhingga kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA., Rektor Institut Ilmu

Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta sekaligus pembimbing tesis, yang telah

memberikan kesempatan belajar dan menimba ilmu di perguruan tinggi

ini. Serta atas bimbingan dan motivasinya.

2. Bapak Dr. KH. Ahmad Munif Suratmaputra, MA., Direktur Program

Pasca Sarjana (S2) Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta sekaligus

pembimbing tesis, atas bimbingan, motivasi dan ilmu yang telah

diberikan.

3. Segenap staf pengajar konsentrasi Ilmu Syariah Program Pasca Sarjana

(S2) Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta atas bimbingan dan

pengetahuan yang diberikan kepada penulis selama perkuliahan.

4. Seluruh staf dan pimpinan di sekretariat Program Pasca Sarjana (S2)

Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta yang telah banyak membantu di

bidang administrasi serta informasi dalam masa perkuliahan hingga

proses penyelesaian tesis ini.

Page 6: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

vi

5. Pimpinan dan staf Perpustakaan Nasional, Perpustakaan IIQ Jakarta,

Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Sekolah

Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Universitas

Indonesia, Perpustakaan IAIN Sunan Ampel Surabaya, Perpustakaan

Universitas Muhammadiyah Malang, Perpustakaan Umum Islam Iman

Jama, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mencari

literatur bacaan dan bahan yang diperlukan dalam penulisan tesis ini.

6. Suami tercinta Gaguks Supriyanto dan ananda terkasih Reyhan Syaddad

Ar-Rayyan, amanat yang Allah SWT karuniakan kepada kami, atas

dukungan moril maupun materil, atas do‟a, pengertian, dan semangat

yang diberikan kepada penulis.

7. Bapak H.Sutrisno dan Ibu Hj. Siti Anisah, Abah dan ibunda tersayang

atas do‟a dan kasih sayang yang selalu menyertai langkah perjalan hidup

penulis.

8. Mas Yayad dan Mbak Zia, Dik Rahma, Mas Asa, Mas Rajif, Kakak Una,

kakak, adik dan keponakan-keponakan tersayang atas do‟a dan pompaan

semangatnya.

9. Teman-teman seperjuangan di kelas konsentrasi Ilmu Syariah Program

Pasca Sarjana (S2) Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta yang telah

banyak membantu dan memberikan semangat kepada penulis dalam

penyelesain tesis ini.

10. Serta semua pihak yang turut mendo‟akan

Akhirnya, besar harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat bagi

para pembaca umumnya, dan khusunya bagi penulis pribadi. Jazakumullah

ahsanal jaza atas kesungguhan semua pihak yang telah tulus ikhlas membantu

penulis. Amin

Jakarta, 06 Dzulqaidah 1436 H

20 Agustus 2015 M

Penulis

Page 7: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

vii

ABSTRAK

Dalam Hukum Islam Klasik, istilah wasiat wajibah sebelumnya tidak

pernah dikenal namun kemudian diberlakukan di beberapa negara Islam

untuk kepentingan para cucu pancar perempuan baik laki-laki atau

perempuan yang dalam hukum waris Islam tidak mempunyai hak waris.

Sedangkan di Indonesia, wasiat wajibah ditujukan untuk anak angkat

sebagaimana dijelaskan dalam pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.

Pasal ini terlahir karena didasarkan pada upaya pemberian hak harta kepada

anak angkat yang selama ini tidak memperoleh hak warisan dari orang tua

angkatnya, sementara anak angkat di Indonesia telah melembaga dalam

masyarakat bagaikan anak sendiri. Anak angkat tidak memiliki tempat dalam

hukum Islam untuk memperoleh hak warisan, dan dengan pemberlakuan

pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI), anak angkat

berkemungkinan secara litigasi pengadilan agama memperoleh bagian

warisan.

Penelitian tentang wasiat wajibah sebelumnya sudah pernah dibahas

oleh beberapa mahasiswa dari perguruan tinggi-pergurruan tinggi di

Indonesia, tetapi kebanyakan membahas tentang wasiat wajibah untuk ahli

waris non muslim, sedang dalam tesis ini fokus penelitian adalah mengenai

wasiat wajibah untuk anak angkat.

Penelitian ini bersifat deskriptif yang data-datanya diperoleh

berdasarkan studi kepustakaan (library research) yang dilakukan dengan

penelaahan buku-buku berkenaan dengan masalah yang dibahas. Setiap data

yang terkumpul akan diklasifikasi berdasarkan masalah yang dibahas,

kemudian data diidentifikasi dan dianalisis secara kualitatif. Kemudian data

dibahas dengan pendekatan yuridis normatif dengan cara comparative yaitu

membandingkan data yang diperoleh dengan teori-teori dan ketentuan yang

ada kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kedudukan

anak angkat tidak merubah status anak tersebut, anak angkat tidak bernasab

dan bukan sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya, namun ia memperoleh

wasiat wajibah dengan ketentuan tidak melebihi 1/3 dari harta peninggalan

sebagaimana telah diatur dalam KHI pasal 209 ayat (2). Dan apabila anak

angkat telah menerima hibah dari orang tua angkatnya maka penghibahan

tersebut hendaknya diperhitungkan sebagai bagian dari wasiat wajibah. KHI

mewajibkan berwasiat kepada anak angkat atau orang tua angkat adalah

berdasarkan kemaslahatan atau untuk menghindari kemadharatan, meskipun

di dalam nash tidak dijelaskan tentang kewajiban berwasiat kepadanya.

Page 8: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Konsonan

B. Vokal

Vokal Tunggal Vokal Panjang Vokal Rangkap

Fathah: a ا : â ي... : ai

Kasrah: i ي: î و... : au

Dhammah: u و : û

q ق z ز a ا

k ك s س b ب

l ل sy ش t ت

m م sh ص ts ث

n ن dh ض j ج

w و th ط h ح

h ه zh ظ kh خ

, ء „ ع d د

y ي gh غ dz ذ

f ف r ر

Page 9: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

ix

C. Kata Sandang

1. Kata Sandang yang Diikuti al-Qamariyah

Kata sandang yang diikuti oleh al-qamariyah ditranliterasikan

sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf l (el) diganti dengan huruf yang

sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang itu.

Contoh:

البقرة : al-Baqarah

المدينة : al-Madînah

2. Kata Sandang yang Diikuti al-Syamsiyah

Kata sandang yang diikuti oleh al-syamsiyah ditransliterasikan

sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan

bunyinya.

Contoh:

الرجل : ar-rajul

السيدة : as-sayyidah

الشمس : asy-syamsu

الدارمي : ad-dârimî

Page 10: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

x

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................ii

LEMBAR PENGESAHAN TESIS.................................................................iii

PERNYATAAN PENULIS.............................................................................iv

KATA PENGANTAR......................................................................................v

ABSTRAK.....................................................................................................vii

PEDOMAN TRANSLITERASI...................................................................viii

DAFTAR ISI....................................................................................................x

BAB I : PENDAHULUAN........................................................................1

A. Latar Belakang Masalah...........................................................1

B. Permasalahan..........................................................................12

1. Identifikasi Masalah.......................................................... 12

2. Pembatasan Masalah..........................................................13

3. Perumusan Masalah............................................................13

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...............................................13

D. Studi Pustaka...........................................................................14

E. Metodologi Penelitian.............................................................15

1. Jenis Penelitian...................................................................15

2. Pendekatan Penelitian........................................................15

3. Teknik Pengumpulan Data.................................................16

4. Teknik Analisa Data...........................................................16

5. Teknik Penulisan Penellitian..............................................16

F. Sistematika Penulisan.............................................................16

BAB II : PARADIGMA WASIAT WAJIBAH DALAM

HUKUM KEWARISAN...............................................................19

A. Tinjaun Umum tentang Hukum Kewarisan Islam.................19

1. Pengertian Hukum Kewarisan Islam.................................19

2. Sumber Hukum Kewarisan Islam......................................21

a. Al-Qur’an......................................................................21

b. Hadits............................................................................31

c. Ijtihad............................................................................35

3. Unsur-Unsur Kewarisan.....................................................36

4. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam...................................39

B. Pembagian Harta Peninggalan melalui Wasiat wajibah.........42

1. Pengertian dan Dasar Hukum Wasiat.................................42

2. Rukun, Syarat dan Kadar Wasiat.......................................53

3. Pengertian Wasiat Wajibah................................................59

4. Wasiat Wajibah dalam Pandangan Fuqahâ’......................63

5. Penerima Wasiat Wajibah dan Besar Bagiannya...............66

Page 11: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

xi

BAB III : ANAK ANGKAT DALAM HUKUM KEWARISAN..................69

A. Tinjauan Umum Pengangkatan Anak.....................................69

1. Pengertian dan Dasar Hukum Pengangkatan Anak............69

2. Hak-Hak dan Kewajiban Anak Angkat..............................76

3. Perlindungan terhadap Anak-Anak Angkat.......................79

4. Alasan Pengangkatan Anak di Indonesia...........................83

5. Macam-Macam Pengangkatan Anak.................................89

B. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam...........................91

1. Ketentuan Hukum Islam tentang Pengangkatan Anak.......91

2. Dasar Hukum Pengangkatan Anak menurut Hukum

Islam...................................................................................99

a. Al-Qur’an......................................................................99

b. Hadits...........................................................................100

c. Ijtihad...........................................................................102

3. Penerapan Hukum Islam dalam Pegangkatan Anak

di Indonesia......................................................................103

C. Anak Angkat Menurut Hukum Adat dan Yurisprudensi......105

D. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak di indonesia...................108

E. Akibat Hukum Pengangkatan Anak terhadap Kedudukan

dan Hak-Hak Anak Angkat...................................................112

BAB IV : PENERAPAN HUKUM WASIAT WAJIBAH TERHADAP

ANAK ANGKAT YANG BERLAKU DALAM HUKUM

ISLAM DI INDONESIA...........................................................117

A. Legitimasi Hukum Islam terhadap Anak Angkat

di Indonesia...........................................................................117

B. Wasiat wajibah dalam Peraturan Perundang-Undangan

Di Negara-Negara Muslim....................................................123

1. Wasiat Wajibah Dalam Peraturan

Perundang-Undangan Mesir.............................................123

2. Wasiat Wajibah dalam Peraturan

Perundang-Undangan Syiria............................................125

3. Wasiat Wajibah dalam Peraturan

Perundang-Undangan Tunisia..........................................126

4. Wasiat Wajibah dalam Peraturan

Perundang-Undangan Maroko........................................ 127

C. Analisis Wasiat wajibah terhadap Anak Angkat dalam

Pasal 209 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia...128

1. Pengertian KHI.................................................................128

2. Latar Belakang Perumusan KHI......................................129

3. Proses Penyusunan KHI...................................................131

4. Tujuan Pembentukan KHI...............................................133

Page 12: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

xii

5. Lahirnya Pasal 209 KHI tentang Wasiat Wajibah bagi

Anak Angkat atau Orang Tua Angkat..............................135

6. Dasar Ketetapan Pasal 209 KHI.......................................137

7. Ketentuan Pasal 209 ayat (2) KHI tentang

Wasiat Wajibah bagi Anak Angkat..................................140

D. Analisis Putusan tentang Wasiat Wajibah untuk

Anak Angkat.........................................................................147

1. Kasus Posisi......................................................................147

2. Penerapan Hukum............................................................148

3. Analisis Hukum................................................................153

BAB V : PENUTUP....................................................................................155

A. Kesimpulan...........................................................................155

B. Saran.....................................................................................157

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................159

Page 13: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang sangat sempurna untuk dijadikan pedoman

hidup, kesempurnaan Islam boleh diketahui dalam ajarannya yang termaktub

dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah di mana secara umum telah diatur perkara-

perkara tentang hubungan Allah SWT dengan manusia, hubungan manusia

dengan manusia, manusia dengan binatang dan juga manusia dengan tumbuh-

tumbuhan.

Perkara-perkara hubungan manusia dengan manusia ialah suatu yang

penting karena berhubungan langsung bagi kehidupan manusia sehari-hari

dalam menjalani kehidupan ini. Ketentuan-ketentuan atau hukum yang

mengatur perkara hubungan manusia dengan manusia (makhluk) disebut

dengan Ahkâm al-Mu‟âmalât di mana di dalamnya membahas beberapa

hukum, seperti hukum orang dan keluarga (Ahkâm al-Ahwâl asy-

Syahshiyyah), hukum pidana Islam (al-Ahkâm al-Jinâyah), hukum acara ( al-

Ahkâm al- Qadhâ wa al-Murâfa‟ât) dan hukum benda (Ahkâm al-

Madaniyyat) yaitu hukum-hukum yang mengatur masalah yang berkaitan

dengan benda, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam,

penyelesaian perkara waris, perkara wakaf dan hukum-hukum wasiat.

Islam adalah agama yang memuat aturan-aturan yang mengikat

pemeluknya untuk mencapai sebuah kemaslahatan yang dibenarkan. Hukum

Islam telah diterapkan di Indonesia jauh sebelum terbentuknya Negara

Kesatuan Republik Indonesia, sudah ada sejak munculnya kerajaan-kerajaan

di bumi nusantara ini. Hal ini dapat dimengerti berhubungan dengan

penyelenggaraan kepentingan umum dan terjaminnya hak-hak perorangan.1

Di antara hak-hak perorangan adalah memiliki harta benda. Harta

adalah salah satu benda berharga yang dimiliki manusia. Karena harta itu,

manusia dapat memperoleh apapun yang dikehendakinya. Harta dapat

berwujud benda bergerak atau benda tidak bergerak. Cara memperoleh

hartapun beragam dan Islam telah menggambarkan jalan yang suci dan lurus

bagi umatnya guna memperoleh harta yang halal dan baik, di antaranya

adalah:2

1. Memiliki benda yang boleh dimiliki, Benda atau barang bukanlah benda

yang menjadi hak orang lain dan tidak ada larangan hukum agama untuk

diambil sebagai milik.

1 Afdol, Landasan Hukum Positif Pemberlakuan Hukum Islam dan Permasalahan

Implementasi Hukum Kewarisan Islam, (Surabaya: Airlangga University Press, 2003), h. 19. 2 Nurul Huda & Mohammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis

dan Praktis, cet. Ke-1, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), h. 11.

Page 14: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

2

2. Al-Uqûd, yaitu melalui transaksi (akad), seperti transaksi jual beli.

3. Harta yang didapat melalui peninggalan seseorang, seperti menerima harta

warisan maupun wasiat.

4. Tawallud min Mamluk (beranak pinak), harta yang berasal dari harta yang

dimiliki, seperti buah dari kebun yang dimiliki, hasil dari saham

perusahaan.

5. Harta pemberian negara kepada rakyatnya.

6. Harta yang diperoleh tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun,

seperti hubungan pribadi (hibah atau hadiah), pemilihan harta sebagai

ganti rugi, mahar, luqathah (barang temuan), dan santunan.

Agama mengatur penggunaan harta mulai dari cara memperolehnya

sampai dengan penggunaan harta tersebut. Umat Islam dilarang mencari dan

mentasharrufkan hartanya bertentangan dengan syari‟at. Setelah ia wafat pun

harta yang menjadi tinggalannya harus dibagikan kepada yang berhak sesuai

dengan aturan hukum Islam.

Kematian adalah suatu peristiwa hukum yang dapat menimbulkan

akibat hukum berupa kewarisan yang melahirkan hak dan kewajiban antara

pewaris dan ahli waris. Pewaris yang meninggal dunia tidak secara langsung

menghapuskan seluruh kewajiban yang ditinggalkannya. Dalam sistem

kewarisan Islam, terdapat utang dan zakat yang wajib dilaksanakan oleh ahli

waris setelah meninggalnya pewaris. Setelah kewajiban semasa hidupnya,

pewaris juga memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu pembagian

dan/atau peralihan harta peninggalannya kepada ahli waris.3

Dalam literatur fiqh Islam, kewarisan (al-muwârits kata tunggalnya

al-mîrâts ) lazim juga disebut dengan farâ‟idh, yaitu jamak dari kata faridhah

diambil dari kata fardh yang bermakna ketentuan atau takdir. Al-fardh dalam

terminology syar‟i ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris.4

Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu

yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta kekayaan

seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.5

Dalam Hukum Kewarisan Islam, peralihan harta seseorang yang

meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut

ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli

warisnya. Unsur “memaksa” (ijbari) ini terlihat, terutama dari kewajiban ahli

waris untuk menerima perpindahan harta peninggalan pewaris kepadanya

sesuai dengan jumlah yang ditentukan oleh Allah di luar kehendaknya

3 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (tt.p.:PT. Bina Aksara, 1981),

h. 97 4 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, edisi revisi,

(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 109. 5 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2002), ed.1, cet.ke-2, h. 120.

Page 15: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

3

sendiri. Oleh karena itu, calon pewaris yaitu orang yang akan meninggal

dunia pada suatu ketika, tidak perlu merencanakan penggunaan hartanya

setelah ia meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya, secara

otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan perolehan yang

sudah dipastikan.6

Hal yang berkaitan erat dengan kewarisan adalah wasiat. Wasiat juga

merupakan salah satu cara peralihan harta dari satu orang ke orang lain.

Sistem wasiat ini berjalan sejak zaman dulu, bukan hanya agama Islam saja

yang mengatur, tapi setiap komunitas memiliki pemahaman tentang wasiat.

Sistem-sistem wasiat tersebut memiliki perbedaan dalam melaksanakannya.

Semuanya memiliki ketentuan masing-masing bagaimana sah-nya

pelaksanaan wasiat tersebut. Begitupula di Indonesia, sama mempunyai

aturan sendiri tentang wasiat ini. Di antaranya di atur dalam BW7 untuk non

muslim atau kaum adat, sedangkan untuk umat Islam diatur dalam Kompilasi

Hukum Islam.

Wasiat ditunaikan sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris

beserta hutang-hutang bagi orang yang meninggal. Hal ini sebagaimana

dijelaskan dalam Al-Qur`an surat An-Nisa‟ ayat 11:

...

Artinya: “... (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah

dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya

...” (QS. An-Nisa‟ [04]: 11)

Dalam ayat tersebut Allah mewajibkan umat Islam untuk

mempusakakan harta peninggalannya kepada ahli warisnya dan mewajibkan

untuk mendahulukan pelaksanaan wasiat dan pembayaran hutang-hutang

daripada mempusakakan harta peninggalannya.8

Pada dasarnya memberikan wasiat itu adalah suatu tindakan

ikhtiyariyah, yakni suatu tindakan yang dilakukan atas dorongan kemauan

sendiri, dalam keadaan bagaimanapun juga penguasa maupun hakim tidak

dapat memaksa seseorang untuk memberikan wasiat9

Hukum Melaksanakan Wasiat bisa wajib, sunnah, makruh, boleh

bahkan haram tergantung dari sesuatu yang menjadi objek wasiat yang akan

6 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 281-282.

7 Singkatan dari Burgerlijk Wetboek, yaitu kitab Undang-Undang Hukum perdata

yang aslinya berbahasa belanda. Sebagian materi BW sudah dicabut berlakunya dan sudah

diganti dengan Undang-Undang RI misalnya UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU

Kepailitan. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia. 8 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Alma‟rif Bandung, 1975), h. 52.

9 Fatchur Rahman, Fiqih Waris, (Bandung: PT. Alma‟rif Bandung, 1975), h. 62.

Page 16: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

4

diwasiatkan dan melihat keadaan dari pemberi wasiat dan penerima wasiat

tersebut karena hal-hal tersebut dapat menentukan hukum yang akan timbul

dari melaksanakan wasiat tersebut. Beberapa macam hukum wasiat di

antaranya adalah:10

1. Wajib, yaitu dalam keadaan jika seseorang menanggung kewajiban syar‟i

yang dikhawatirkan akan tersia-siakan jika tidak diwasiatkan, seperti

adanya titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia,

kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau haji yang belum

dilaksanakan, atau amanat yang harus disampaikan.

2. Sunnah, apabila diperuntukkan bagi kepentingan ibadah dan kebajikan,

karib kerabat, orang-orang fakir dan orang-orang saleh.

3. Haram, Wasiat itu diharamkan jika merugikan ahli waris. Abu Hurairah

meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

عن معمر، عن أشعث بن عبد اللو، عن شهر بن حوشب، عن أب إن الرجل ل يعمل »: ا وا اللو ل اا عل و ل : ىر ير ا

بعمل الي بعين نة، فإذا أ ح ف ف تو في خت لو بسوء عملو في دخل الن ، إن الرجل ل يعمل بعمل الشر بعين نة في يعدا ف

11( اه عبدالرزاق) « تو في خت لو ي عملو في دخل اانة Artinya: “Sesungguhnya seorang laki-laki benar-benar mengerjakan

amal ahli kebaikan selama tujuh puluh tahun. Lalu ketika berwasiat,

dia berbuat dzalim dalam wasiatnya. Hidupnyapun ditutup dengan

amalnya yang paling buruk sehingga dia masuk neraka. Dan

sesungguhnya seorang laki-laki benar-benar mengerjakan amal ahli

kejahatan selama tujuh puluh tahun. Lalu dia berlaku adil dalam

wasiatnya. Hidupnyapun ditutup dengan amalannya yang paling baik

sehingga dia masuk surga.”

Wasiat yang maksudnya merugikan ahli waris seperti ini adalah batil,

sekalipun wasiat itu mencapai sepertiga harta. Diharamkan juga

mewasiatkan khamar, membangun gereja, atau tempat hiburan.

4. Makruh, yaitu jika orang yang berwasiat sedikit harta, sedang dia

mempunyai seorang atau banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya.

Demikian pula dimakruhkan wasiat kepada orang yang fasik jika orang

10

Sayyid Sâbiq, Fiqh As-Sunnah, Jilid IV, terj. Mujahidin Muhayan, Lc., (Jakarta:

PT Pena Pundi Aksara, 2009), Cet.ke-1, h. 527-528. 11

Abdur Razzâq, Al-Mushannaf, Jilid IX, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, tt ), h.88

Page 17: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

5

yang berwasiat mengetahui atau meyakini bahwa mereka akan

menggunakannya dalam kefasikan dan kemaksiatan.

5. Mubah, Wasiat diperbolehkan bila ditujukan kepada orang yang kaya,

baik orang yang diwasiati itu kerabat maupun orang jauh (bukan kerabat).

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum wasiat, akan

tetapi menurut mayoritas ulama, hukum wasiat adalah bukan fardhu „ain

(kewajiban individual). Berdeda dengan mayoritas ulama, Abu Daud, Ibn

Hazm dan ulama salaf berpendapat bahwa wasiat hukumnya fardhu „ain.12

Menurut Jumhur Ulama pada dasarnya hukum wasiat adalah sunnah.

Namun kewajiban wasiat tetap ada terhadap kewajiban-kewajiban yang

belum ditunaikan seperti utang, zakat yang belum dikeluarkan atau kafarat

yang belum dibayar. Sedangkan Ibn Hazm berpendapat bahwa hukum wasiat

itu wajib „ain bagi setiap orang yang akan meninggal dunia dan

meninggalkan harta. Orang yang meninggal dan belum meninggalkan wasiat

maka fardhu hukumnya untuk menshadaqahkan sebagian hartanya karena

hukum daripada wasiat adalah wajib.13

Begitu pula Abu Dawud, Masruq,

Thawus, Iyas, Qatadah dan Ibnu Jarir juga menyatakan bahwa wasiat itu

hukumnya wajib bagi kedua orangtua dan kerabat yang karena suatu sebab

tidak mendapat bagian waris.14

Apabila pendapat Ibn Hazm ini dibandingkan dengan jumhur, maka

akan terlihat perbedaan sebagai berikut: Pertama, Kewajiban wasiat menurut

Ibn Hazm bersifat qadha‟i, dalam arti ahli waris yang ada akan bertindak

melakukan wasiat atas nama orang yang telah meninggal sekiranya dia tidak

berwasiat. Sedangkan menurut jumhur, kewajiban tersebut bersifat ta‟abbudi,

artinya, seseorang akan berdosa sekiranya tidak memberikan wasiat, namun

tidak ada keharusan bagi ahli waris untuk bertindak atas nama orang yang

telah meninggal itu. Kedua, Menurut Ibn Hazm, wasiat wajib tersebut

berkenaan dengan anggota kerabat yang tidak berhak mewarisi, baik karena

terhijab maupun karena terhalang. Sedang jumhur, wasiat wajib tersebut

berkenaan dengan kewajiban yang belum ditunaikan seperti utang, kafarat,

zakat, dan kewajiban keibadatan lainnya.15

Wahbah Al-Zuhaili juga menyatakan bahwa sebagian ulama, seperti

Ibn Hazm, Adh-Dhahir, Ath-Thabari, Abû Bakr ibn „Abdul „Azîz dari ulama

Hanabilah berpendapat bahwa wasiat itu wajib, baik dhanatan maupun

qadha‟an, bagi orang tua dan kerabat yang tidak menerima bagian warisan,

12

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1997), h. 447. 13

Abû Muhammad „Alî Ibn Hazm, Al-Muhalla bi Al-Asar, Jilid VIII, (Beirut: Dâr

Al-Kutub Al-„Alamiyah, 2003), h. 349. 14

Fathur Rahman, Ilmu Waris, Cet.ke-2, (Bandung: Al-Ma‟arif: 1998), h. 52-54. 15

El Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan

terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Madzhab, (Jakarta: INIS, 1998), h. 193.

Page 18: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

6

baik karena terhijab sebagai ahli waris atau adanya penghalang yang

menghalangi pewarisan, misalnya karena perbedaan agama. Jika pewaris

semasa hidupnya tidak memberikan wasiat untuk kedua orang tua atau para

kerabat, maka wajiblah bagi para ahli warisnya untuk memberikan sebagian

dari harta peninggalan pewaris kepada orang tua atau kerabat yang tidak

menjadi ahli waris tersebut.

Kewajiban wasiat bagi seseorang sebagaimana menurut para ulama,

disebabkan ketelodaran seseorang dalam memenuhi hak-hak Allah SWT.

Seperti tidak menunaikan haji, enggan membayar zakat, melanggar larangan-

larangan berpuasa, dan sebagainya yang telah diwajibkan syariat sendiri,

bukan oleh penguasa atau hakim.16

Namun demikian, penguasa atau hakim sebagai aparat negara

tertinggi mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi putusan wajib

wasiat (yang mana hal ini terkenal dengan istilah Wasiat wajibah) kepada

orang tertentu dalam keadaan tertentu ketika orang yang meninggal lupa

dalam memberikan wasiat kepada orang yang seharusnya menerima harta

wasiat darinya.17

Oleh karena hukum wasiat itu wajib, sedangkan kewajiban itu

berhubungan dengan pihak lain, yaitu kedua orang tua dan para kerabat,

maka sekalipun wasiat itu dalam kenyataannya tidak ada atau tidak diberikan

oleh yang meninggal dunia, maka demi hukum harus dianggap ada dan harus

dilaksanakan dalam pembagian harta peninggalan yang bersangkutan.

Konstruksi wasiat yang demikian itulah yang disebut Wasiat wajibah . jadi

Wasiat wajibah itu ada semata-mata karena anggapan hukum.

Wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi

atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal

dunia. Wasiat ini tetap harus dilaksanakan, baik diucapkan atau tidak

diucapkan, baik dikehendaki maupun tidak dikehendaki oleh si yang

meninggal dunia.18

Dikatakan wasiat wajib, disebabkan karena dua hal:19

1. Hilangnya unsur ikhtiyari bagi si pemberi wasiat dan muncul unsur

kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa

tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan si penerima

wasiat.

2. Ada kemiripan dengan ketentuan-ketentuan pembagian harta pusaka

dalam hal penerimaan laki-laki 2 (dua) kali lipat bagian perempuan.

16

Fatchur Rahman, Fiqih Waris, h. 62. 17

Fatchur Rahman, Fiqih Waris, h. 63. 18

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan

Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h. 163. 19

Fathur Rahman, Ilmu Waris, Cet.ke-2, h. 63.

Page 19: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

7

Ketentuan Wasiat wajibah merupakan hasil ijtihad para ulama dalam

menafsirkan QS: Al-Baqarah :180.

Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu

kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang

banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara

ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”

(QS. Al-Baqarah [02]: 180)

Sebagian ulama, dalam menafsirkan ayat 180 surat al-Baqarah di atas,

berpendapat bahwa wasiat (kepada ibu-bapak dan kerabat) yang asalnya

wajib, sampai sekarang pun kewajiban tersebut masih tetap dan diberlakukan,

sehingga pemberian Wasiat wajibah kepada walidain dan aqrabin yang

mendapatkan bagian (penerimaan) dapat diterapkan dan dilaksanakan.

Sedang sebagian lain berpendapat karena ketetapan hukum mengenai wasiat

dalam ayat tersebut telah dinasakh, baik oleh Al-Qur‟an maupun al-Hadits.

Menurut beberapa ulama` madzhab seperti Imâm Mâlik, bahwa

wajibnya wasiat kepada ahli waris sebagaimana penjelasan ayat 180 QS. Al-

Baqarah di atas adalah sudah dihapus hukumnya dengan datangnya ayat

mawaris dan juga Hadis Nabi:20

, أ د بن مد الم رجس ي حد ين , بن إبيراى بن ع س حد ين عل ي إس ع ل بن مسل حد ين , ز ا بن عبد اللو حد ين , عمر بن ز ا حد ين

ا وا اللو ل اا عل و : ا , عن عمر بن خ جة , عن ااسن , 21( اه الدا طني)« ة لوا إ أن ي الو ة »: ل

Artinya: “Tidak ada hak menerima wasiat bagi ahli waris yang

menerima warisan kecuali apabila ahli waris lain membolehkan.”

(HR. Ad-Dâraquthnî)

20

Mâlik ibn Anas ibn Mâlik ibn „Ȃmir Al-Ashbahî Al-Madanî, Al-Muwaththa‟,

(Beirut: Dâr Ihya‟ At-Turas, 1985), h. 765. 21

Abû al-Hasan „Alî ibn „Umar ibn Mahdî, Sunan ad-Dâruqutnî, Jilid V, (Bairut,

Muassisah ar-Risâlah, 2004), h. 267.

Page 20: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

8

Pendapat Imâm Mâlik ini sama dengan pendapat Hanafiyah, yang

menyatakan bahwa ayat 180 dari QS. Al-Baqarah tersebut di atas sudah

dihapus, tapi para ulama berbeda pendapat dalam cara penghapusannya.

Menurut sebagian ulama bahwa ayat tersebut dihapus dengan Hadis Nabi di

atas saja, karena menurutnya terkadang Al-Qur‟an bisa dihapus dengan Hadis

Mutawatir. Dan sebagian lainnya berpendapat penghapusan ayat tersebut

adalah dengan ayat mawaris dan Hadis Nabi SAW tersebut di atas.22

Imâm asy-Syâfi‟i menjelaskan bahwa dalam ayat 180 QS. Al-

Baqarah, menurut para ahli ilmu Qur‟an, kefardhuan wasiat kepada orang tua

atau kerabat dalam ayat tersebut adalah sudah dinasakh, sedangkan mereka

berbeda pendapat bagi kerabat yang tidak mendapatkan harta warisan. Dalam

hal ini Imâm asy-Syâfi‟i berpegang terhadap para ahli ilmu yang berpendapat

hukum wasiat pada ayat tersebut sudah dihapus dengan ayat mawaris dan

Hadis Nabi di atas. Penghapusan ayat tersebut menunjukkan bahwa wasiat

tidak diperbolehkan bagi ahli waris yang mendapatkan warisan tapi wasiat

diperbolehkan untuk selain kerabat. Wasiat kepada orang tua atau orang yang

bisa mewarisi dalam setiap keadaan adalah boleh dengan catatan mereka

tidak mendapat harta warisan karena suatu sebab.23

Menurut Ibn Hazm, bahwa kerabat yang tidak mendapatkan harta

waris sebab budak atau kafir atau mereka yang terhalang baginya

mendapatkan harta warisan maka wajib untuknya diberi wasiat. Oleh karena

itu diharuskan berwasiat untuk mereka dengan sesuatu yang bisa

menyenangkannya. Begitu juga bagi kedua orang tuanya atau salah satu dari

keduanya seorang kafir atau budak maka wajib memberinya wasiat. Dan

apabila sampai meninggal anaknya tidak berwasiat kepadanya maka tetap

wajib memberi mereka berdua atau salah satu dari mereka atas harta anaknya.

Setelah wasiat diberikan kepada mereka (orang tua atau kerabat yang tidak

mendapat harta waris) dilaksanakan, baru bagi si mayit bisa meninggalkan

wasiat kepada yang lain sekehendaknya.24

Ibn Hazm dalam menjelaskan ayat 180 QS. Al-Baqarah, wasiat wajib

dikecualikan bagi orang tua dan kerabat yang sudah menerima harta waris.

Bagi mereka (orang tua dan kerabat) yang tidak menerima harta waris maka

tetap wajib hukumnya memberi wasiat karena itu adalah hak mereka, jika

tidak memberinya wasiat (wajibah) maka ia telah mendhaliminya.25

22

Alaudin Abû Bakr, Badai‟ As-Sanai, Juz VII, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Aroby,

1974), h. 330-331. 23

Muhammad bin Idris Asy-Syafi‟i, Al-Umm, Juz IV, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1983),

h. 103-104. 24

Abû Muhammad Alî Ibn Hazm, Al-Muhalla bi Al-Asar, Jilid VIII, h. 353. 25

Abû Muhammad Alî Ibn Hazm, Al-Muhalla bi Al-Asar, Jilid VIII, h. 354.

Page 21: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

9

Dasar hukum penentuan wasiat wajibah adalah kompromi dari

pendapat ulama salaf dan khalaf, sebagaimana penjelasan Fatchur Rahman:26

1. Tentang kewajiban berwasiat kepada kerabat-kerabat yang tidak menerima

pusaka ialah diambil dari pendapat-pendapat Fuqahâ` dan ahli hadis, di

antaranya yaitu Said Ibn al Musayyah, Hasan al Basry, Tawus, Ahmad,

Ishaq Ibn Rahawaih dan Ibn Hazm.

2. Pemberian sebagian harta peninggalan si mati kepada kerabat-kerabatnya

yang tidak menerima pusaka yang berfungsi sebagai Wasiat wajibah, bila

si mati tidak berwasiat adalah diambil dari pendapat Ibn Hazm yang

dinukilkan dari Fuqaha Tabi‟in dan pendapat Imâm Ahmad.

3. Pengkhususan kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka kepada

cucu-cucu dan pembatasan penerimaan sebesar sepertiga peninggalan

adalah didasarkan pendapat Ibn Hazm dan kaidah syari‟ah yang

mengatakan bahwa pemegang kekuasaan mempunyai wewenang

memerintahkan perkara yang diperbolehkan karena ia berpendapat bahwa

hal itu akan membawa kemashlahatan umum, bila penguasa menetapkan

demikian maka wajib ditaati.

Pada zaman sekarang, pendapat tentang wasiat wajib ini dijadikan

dasar perundang-undangan Mesir untuk memberikan hak kewarisan kepada

cucu yang ditinggal mati oleh ayahnya, yang terhijab oleh anak pewaris.

Wasiat ini secara resmi disebut dengan istilah al-washiyyah al-wâjibah..

Undang-undang Wasiat Mesir No. 7 Tahun 1946 Pasal 76-79 telah

memberlakukan Wasiat wajibah untuk memberi bagian kepada cucu-cucu

yang terhalangi oleh pamannya karena orang tuanya meninggal sebelum atau

bersama-sama dengan kakek atau neneknya. Ketentuan demikian juga diikuti

oleh Syiria, Tunisia dan Maroko.

Ketentuan tersebut kemudian dikembangkan dalam bentuk Wasiat

wajibah yang diintrodusir di beberapa negara muslim termasuk Indonesia,

meski yang terakhir ini mengalami perubahan makna dan nuansa, yaitu hanya

diberikan kepada anak atau orang tua angkat,27

hal ini merupakan suatu

ketentuan yang sebelumnya tidak dikenal dalam hukum Islam.

Wasiat merupakan salah satu kewenangan absolut pengadilan agama

menurut undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama yang

telah diubah dengan undang-undang No. 50 Tahun 2009.28

Namun dalam

kenyataannya, belum ada hukum materiil dalam bentuk Undang-Undang

26

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung : Pustaka Al Ma‟arif, 1985), h. 64-65. 27

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 447. 28

Wasiat yang menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama adalah wasiat yang

dibuat oleh orang yang beragama islam berdasarkan asas personalitas keislaman, kecuali

secara tegas pewasiat menyatakan wasiatnya dibuat berdasarkan hukum Eropa atau hukum

adat. Lihat M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2001), h. 148.

Page 22: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

10

yang mengaturnya. Satu-satunya peraturan yang mengatur wasiat adalah

Kompilasi Hukum Islam (KHI), termuat dalam instrumen hukum berupa

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Kompilasi Hukum Islam yang

mengatur wasiat dalam pasal 194-209 dipandang sebagai hukum materiil dan

diberlakukan di peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama.29

Selain mengatur wasiat biasa, KHI juga mengatur dan mengintrodusir

hal baru dalam hazanah Islam di Indonesia yaitu wasiat wajibah. Secara teori

Wasiat wajibah didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan penguasa atau

hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib

wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia yang diberikan kepada orang

tertentu dalam keadaan tertentu.30

KHI mempunyai ketentuan tersendiri tentang wasiat wajibah dan

berbeda dalam pengaturannya dari negara-negara Muslim yang lain seperti

Mesir, Suriah, Maroko dan Tunisia yang melembagakan wasiat wajibah

untuk mengatasi persoalan cucu yang orang tuanya meninggal lebih dahulu

daripada kakek atau neneknya. Sementara konsep KHI adalah memberikan

Wasiat wajibah terbatas pada anak angkat dan orang tua angkat.31

Pengangkatan anak yang diperbolehkan hukum Islam tidak

berpengaruh dalam hukum kewarisan, karena prinsip dasar mewaris dan

prinsip pokok dalam kewarisan adalah hubungan darah.32

Dengan demikian

Islam tidak menjadikan anak adopsi sebagai sebab terjadinya hak waris-

mewariskan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, namun dalam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan produk manusia dari

berbagai madzhab dan dijadikan sebagai salah satu sumber hukum di negara

kita telah memperluas penerapan wasiat wajibah dan memberikan ketentuan

bahwa anak angkat berhak menerima bagian warisan dengan jalan wasiat

wajibah, sebagaimana diatur dalam pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) Kompilasi

Hukum Islam (KHI), sebagai berikut:

(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal

176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap

orang tua angkat yang tidak menerima waisat diberi Wasiat

29

Hartini dan Yulkarnain Harahap, “Pengaruh Kompilasi Hukum Islam dalam

Penyelesaian Perkara Kewarisan pada Pengadilan Agama di Daerah Istimewa Yogyakarta”,

dalam Mimbar Hukum, Nomor 35, V, 2000, h. 143. 30

Abdul Manan, “Beberapa Masalah Hukum tentang Wasiat dan Permasalahannya

dalam Konteks Kewenangan Peradilan Agama,” dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum

Islam, Nomor 38, IX, 1998, h. 23. 31

Roihan A Rasyid, “Pengganti Ahli Waris dan Wasiat wajibah”, dalam Cik Hasan

Bisri, (eds.), Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional,

(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 88-89. 32

Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), h.

42.

Page 23: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

11

wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak

angkatnya.

(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi Wasiat

wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua

angkatnya.33

Dengan demikian terdapat perbedaan yang prinsip antara wasiat

wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam dengan wasiat wajibah yang dikenal

di kalangan para ulama selama ini. Dalam Kompilasi Hukum Islam, wasiat

wajibah dipergunakan untuk memberikan bagian dari harta peninggalan

orang tua angkat kepada anak angkatnya, atau sebaliknya, yang antara

keduanya oleh Islam dinyatakan tidak mempunyai hubungan kewarisan.

Sedang Wasiat wajibah di kalangan para ulama dipergunakan untuk

memberikan bagian kepada ahli waris atau kerabat yang terhalang atau

terhijab dalam menerima warisan.

Dalam banyak kasus, posisi anak angkat di luar jajaran ahli waris

dapat menimbulkan permasalahan keadilan.34

Status anak angkat di Indonesia

memiliki kriteria tersendiri sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 171

huruf (h) KHI yaitu anak yang dalam pemeliharaan hidupnya sehari-hari,

biaya pendidikan dan sebagainnya beralih tanggung jawab dari orang tua asal

kepada orang tua angkatnya berdasarkan keputusan pengadilan.35

Hubungan yang akrab antara anak angkat dengan orang tua angkat

yang diikat oleh rasa kasih sayang murni, pengabdian dan jasa anak angkat

terhadap orang tua angkat, asas keadilan yang dijunjung tinggi oleh Islam,

menjadi beberapa pertimbangan sehingga secara moral orang tua angkat

dituntut memberi hibah atau wasiat sebagian hartanya untuk kesejahteraan

anak angkatnya.36

Wasiat wajibah pada dasarnya berada di antara “wasiat” dan

“warisan”. Dikatakan demikian karena “pewaris” tidak pernah secara

eksplisit mewasiatkan kepada siapa sebagian dari harta warisnya harus

diserahkan akan tetapi ada pihak tertentu-sebut saja (dalam kasus ini anak

angkat) mendapat bagian dari harta peninggalan sekalipun ia bukan sebagai

ahli waris.

Pranata ini pada dasarnya tidak pernah ditemukan dalam kitab-kitab

fiqih klasik dan baru muncul dalam kitab-kitab fiqih kontemporer setelah

munculnya pengaturan mengenai hal ini dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdasata Mesir (Qânûn al-Madânî) yang menetapkan adanya Wasiat

33

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademi Presindo,

1995), h. 164. 34

Afdol, Landasan Hukum Positif Pemberlakuan Hukum Islam, h. 91. 35

Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, h. 54. 36

Syukri Abubakar, “Aplikasi „Urf dalam Kompilasi hukum Islam”, istinbath

(Jurnal Hukum dan Ekonomi), No. 1 Vol. I (Juli-Desember, 2003), h. 90.

Page 24: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

12

wajibah terhadap cucu dari anak perempuan yang tidak berhak mendapatkan

harta warisan melalui proses hukum waris.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia memasukkan adanya

wasiat wajibah tetapi bukan untuk cucu dari anak perempuan seperti yang

berlaku di Mesir karena hal itu sudah tercakup dalam pengaturan tentang

waris pengganti, melainkan ditujukan pada anak angkat sebagai persoalan

yang muncul dalam banyak kasus di dalam hukum keluarga di Indonesia.

Dari persoalan yang mendasar di atas penulis ingin mengkaji

persoalan dalam hal ini mengenai wasiat wajibah dan pengangkatatan anak

dalam Hukum Islam. Dalam rangka terciptanya suatu tuntunan Hukum yang

berlaku bagi Umat Islam khususnya yang ada di Indonesia dan sekaligus agar

pelaksanaan dari suatu wasiat tetap berpegang pada ajaran-ajaran yang telah

di informasikan dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadits mengenai pembagian harta

yang dimilikinya. Maka penulis tertarik untuk membahas dalam tesis degan

judul “Wasiat Wajibah dalam Pandangan Fuqahâ`” (Studi Analisis Pasal

209 Ayat (2) KHI tentang Wasiat wajibah terhadap Anak Angkat)

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

a. Istilah Wasiat wajibah dalam hukum Islam klasik tidak pernah dikenal

kemudian diberlakukan di beberapa negara Islam untuk kepentingan

para cucu dari garis perempuan baik laki-laki maupun perempuan yang

dalam hukum waris Islam tidak memperoleh hak waris.

b. Wasiat wajibah di Indonesia seperti yang diberlakukan dalam pasal

2009 ayat (2) KHI adalah bukan terhadap para cucu dari garis

perempuan tetapi terhadap anak angkat dari orang tua angkatnya.

c. Wasiat wajibah merupakan produk ijtihad ulama di Indonesia yang

secara substansi menurut pendapat ulama di Timur Tengah yang

memberlakukan Wasiat wajibah. Di Indonesia ditujukan untuk anak

angkat sedangkan di dunia Islam ditujukan untuk para cucu dari garis

perempuan.

d. Anak angkat selama ini tidak memiliki tempat dalam hukum Islam

untuk memperoleh hak warisan, dan dengan pemberlakuan pasal 209

ayat (2) KHI, anak angkat menjadi berkemungkinan secara ligitasi

pengadilan agama memperoleh bagian warisan.

e. Pemberlakuan Wasiat wajibah mempengeruhi peralihan nilai hak

warisan dari ahli waris yang lain.

f. Konsep dan dasar hukum Wasiat wajibah terhadap anak angkat atas

orang tua angkatnya menurut hukum Islam dan Kompilasi Hukum

Islam.

g. Kedudukan anak angkat dalam hukum Islam dan dalam sistem hukum

Indonesia khususnya hukum kewarisan.

Page 25: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

13

2. Pembatasan Masalah

Dari beberapa identifikasi masalah di atas, maka penulisan tesis ini

akan dibatasi pada tiga hal saja yakni:

a. Konsep dan dasar hukum Wasiat wajibah terhadap anak angkat dalam

hukum kewarisan Islam.

b. Kedudukan anak angkat menurut hukum Islam, hukum positif dan

hukum adat di Indonesia.

c. Wasiat wajibah terhadap anak angkat atas orang tua angkatnya menurut

Kompilasi Hukum Islam.

d. Kesesuaian pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam tentang wasiat

wajibah terhadap anak angkat dengan hukum Islam.

3. Perumusan Masalah

Dari batasan masalah di atas, penulisan tesis ini akan difokuskan pada

perumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana konsep dan dasar hukum Wasiat wajibah terhadap anak

angkat dalam hukum kewarisan Islam?

b. Bagaimana kedudukan anak angkat menurut hukum Islam, hukum

positif dan hukum adat di Indonesia?

c. Bagaimana Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang Wasiat wajibah

anak angkat atas orang tua angkatnya?

d. Apakah pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam tentang wasiat

wajibah terhadap anak angkat sudah sesuai dengan hukum Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Untuk menjelaskan konsep dan dasar hukum Wasiat wajibah terhadap

anak angkat menurut hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur‟an, Hadist

dan pendapat para ulama‟fiqih.

2. Untuk menjelaskan kedudukan anak angkat dalam hukum Islam, hukum

positif dan hukum adat di Indonesia.

3. Untuk menjelaskan ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam

mengenai Wasiat wajibah atas anak angkat.

4. Untuk menjelaskan kesesuaian pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam

tentang wasiat wajibah terhadap anak angkat dengan hukum Islam.

Sebagaimana tujuan penelitian, maka penelitian ini diharapkan dapat

bermanfaat bagi peneliti, civitas akademika, dan masyarakat luas.

Bagi penulis, dengan penelitian ini akan semakin memperkaya dan

memperdalam wawasan dan pengetahuan penulis tentang sistem kewarisan

dalam hukum Islam khususnya yang berkaitan dengan Wasiat wajibah.

Page 26: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

14

Bagi mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta, khususnya

mahasiswa pascasarjana konsentrasi syariah untuk mengkaji lebih dalam

tentang hukum pengangkatan anak serta akibat-akibat hukumnya dalam

pembagian waris dan juga tentang penerapan Wasiat wajibah pada anak

angkat menurut hukum Islam.

Bagi pemerintah dan masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat

berguna dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum Islam khususnya

pelaksanaan hukum Waris Islam dan hukum waris adat, juga diharapkan

dapat digunakan sebagai bahan kajian maupun bimbingan masyarakat, dan

pada tingkat akhir diharapkan dapat berguna bagi pembangunan Hukum

Nasional khususnya pengaturan masalah pewarisan.

D. Studi Pustaka

Berdasarkan telaah sementara yang telah dilakukan dari sumber

kepustakaan, penulis mendapatkan beberapa karya ilmiah baik dalam bentuk

skripsi, Tesis dan Disertasi ataupun buku-buku yang sedikit bersinggungan

dengan tema yang akan diteliti. Beberapa di antaranya adalah:

1. Tesis yang ditulis oleh Spa Ichtiyatun (NIM. 6502001326) mahasiswi

sekolah pasca sarjana Universitas Indonesia Fakultas Hukum dengan judul

Kajian Wasiat wajibah dalam Sistem Tata Hukum Kewarisan Islam. Tesis

ini membahas masalah Wasiat wajibah sebagaimana diatur dalam

Kompilasi Hukum Islam dan juga hak waris bagi pewaris non muslim.

Disimpulkan juga bahwa Wasiat wajibah dapat diperuntukan bagi pewaris

non muslim dengan pertimbangan rasa keadilan dan kemanusiaan. Wasiat

wajibah dinilai sebagai terobosan yang cerdas dalam menciptakan harmoni

antara hukum Islam dengan hukum adat di Indonesia sehingga dapat

menciptakan kerukunan antar umat beragama.

2. Tesis dengan judul Wasiat wajibah sebagai Bentuk Penerobosan

Kewarisan Ahli Waris Non Muslim yang disusun oleh Dorry Elvana Sarie

(Nim. 002085), mahasiswi sekolah pasca sarjana magister kenotariatan

Universitas Diponegoro Semarang. Dalam tesis ini disimpulkan bahwa

keberadaan lembaga Wasiat wajibah adalah sejalan dengan pandangan

Islam sebagai agama yang bertujuan untuk merealisasikan suatu

perwujudan dari prinsip keadilan serta kasih sayang yang terdapat dalam

ajaran Islam itu sendiri. Perasaan kasih yang terjalin dalam suatu keluarga

dapat diwujudkan dengan pemberian bagian melalui wasiat sebagai bentuk

kasih sayang antar manusia. Semua itu dimaksudkan untuk menghindari

konflik akibat perasaan ketidak adilan akibat dominasi penganut agama

lain.

Page 27: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

15

3. Tesis yang disusun oleh mahasiswa sekolah pasca sarjana magister

kenotariatan fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang bernama

Muhammad Hekki Mikhail (Nim. 107011107) dengan judul Analisis

Hukum Islam tentang Penetapan Hak Wasiat wajibah terhadap Ahli Waris

Non Muslim (Studi Putusan N0. 0141/PDT.P/2012/PA.SBY). kesimpulan

hasil dalam penelitian ini adalah bahwa dalam pandangan Islam, ahli waris

non muslim tidak dapat mewarisi dan juga tidak mendapatkan warisan dari

keluarganya yang muslim. Hal ini sesuai dengan ketentuan Al-Qur‟an dan

Hadis yang menyatakan bahwa muslim tidak bisa saling mewarisi dengan

non muslim.

Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang lebih banyak

menitikberatkan pada kajian Wasiat wajibah terhadap ahli waris non muslim.

Dalam penelitian ini penulis lebih memfokuskan kepada kajian mengenai

konsep dan dasar hukum Wasiat wajibah terhadap anak angkat.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Untuk mencapai tujuan penelitian ini, maka penulis menggunakan

penelitian Studi Kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan atau

Library Research ini digunakan untuk mencari data teraktual yang bersifat

teoritis dengan cara mengumpulkan, membaca, mempelajari serta menelaah

buku-buku bacaan, artikel, brosur serta sumber-sumber pustaka lainnya yang

berkaitan dengan materi tesis ini baik yang berada di perpustakaan dan juga

media elektronik.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan tipe penelitian analisis yuridis normatif

yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji dan menganalisis mengenai

konsep dan dasar hukum Wasiat wajibah. Pendekatan dalam penelitian ini

adalah adalah menggunakan pendekatan penelitian comparative atau kajian

perbandingan, yaitu untuk menemukan persamaan dan perbedaan antara

berbagai konsep atau pendapat mengenai hukum kewarisan Islam. Dengan

metode case approach (pendekatan kasus) yang bertujuan untuk mempelajari

penerapan Wasiat wajibah terhadap angkat dalam pelaksanaanya menurut

hukum Islam maupun hukum positif di Indonesia.

Page 28: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

16

3. Tehnik Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini akan diperoleh melalui

studi pustaka/dokumen (library research) dan melalui wawancara dengan

tokoh-tokoh ahli. Melalui studi pustaka dan wawancara ini diharapkan akan

diperoleh data-data yang terkait dengan kerangka teori penelitian dan

beberapa data lain yang berkaitan dengan hukum warisan dan wasiat.

4. Tehnik Analisa Data

Data yang terkumpul akan dianalisis secara kualitatif, yaitu akan

dideskripsikan dan ditafsirkan melalui tahapan-tahapan berikut ini:

a. Reduksi Data

Data yang diperoleh melalui studi pustaka (library research) dan

wawancara, akan dicek kelengkapannya dan kemudian dipilah-pilah

berdasarkan satuan konsep, kategori, atau tema tertentu. Dalam hal ini

data yang tidak diperlukan disisihkan sehingga hanya yang diperlukan saja

yang akan dipakai.

b. Display Data

Mengingat banyaknya data yang harus dianalisis dan untuk mengurangi

tingkat kesulitan dalam pemaparan dan penegasan kesimpulan, maka perlu

dibuat sketsa, matrik, atau grafik sehingga keseluruhan data dan bagian-

bagian rinciannya dapat dipetakan secara jelas.

c. Kesimpulan

Data yang telah dipolakan dan disusun secara sistematik, baik melalui

penentuan tema maupun yang telah dibuat sketsa dan matriknya akan

diambil kesimpulan sehingga makna data dapat ditemukan.

5. Teknik Penulisan Penelitian

Teknik penulisan dalam penelitian ini akan merujuk pada Pedoman

Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta

tahun 2011. Sebagaimana adanya yang kemudian dianalisis dan diambil

kesimpulan yang ditunjang oleh data-data lain yang terkait.

F. Sistematika Penulisan

Tesis ini terdiri dari lima bab yang masing-masing berisi:

BAB I Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang

masalah, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitan, serta sistematika

penulisan.

Page 29: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

17

BAB II Paradigma Wasiat wajibah dalam Hukum Waris. Bab ini

membahas tentang hukum kewarisan Islam, tinjauan umum tentang Wasiat

dan Wasiat wajibah, Wasiat wajibah menurut Pendapat ulama‟ fiqih, serta

membahas tentang siapa saja orang-orang yang berhak mendapatkan wasiat

wajibah dan besar bagiannya.

BAB III Anak Angkat dalam Hukum Kewarisan. Dalam bab ini

disampaikan uraian mengenai pengertian anak angkat dan pengangkatan

anak, Alasan pengangkatan anak, kedudukan anak angkat dalam hukum

Islam, hukum positif dan hukum adat di Indonesia, serta akbiat hukum

pengangkatan anak.

BAB IV Analisis Penerapan Hukum Wasiat wajibah terhadap Anak

Angkat yang Berlaku dalam Hukum Islam di Indonesia. Bab ini membahas

tentang Legitimasi Hukum Islam terhadap anak angkat di Indonesia,

Perbedaan Wasiat wajibah di negara Timur Tengah dan Indonesia, dan

analisis Wasiat wajibah terhadap anak angkat dalam pasal 209 ayat (2) KHI

di Indonesia, serta membahas tentang Aplikasi Kompilasi Hukum Islam

dalam Putusan Pengadilan Agama/Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah

Agung RI.

BAB V Penutup. Yang terdiri dari kesimpulan pembahasan yang ada

pada bab-bab sebelumnya serta saran/rekomendasi.

Page 30: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

155

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam hukum Islam, hal pokok dalam kewarisan adalah adanya hubungan

darah atau nasab. Karenanya anak angkat tidak bisa saling mewaris

dengan orang tua angkatnya, namun anak angkat mendapat hak dengan

jalan wasiat wajibah sesuai dengan ketentuan pasal 209 ayat (2) Kompilasi

Hukum Islam (KHI). Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh

penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa, atau memberi

putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal yang diberikan

kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Adapun disebut wasiat

wajibah karena hilangnya unsur ikhtiar bagi pemberi wasiat dan

munculnya kewajiban melalui peraturan perundang-undangan atau

putusan pengadilan tanpa bergantung pada kerelaan orang yang berwasiat

dan persetujuan penerima wasiat. KHI menentukan kewajiban orang tua

angkat untuk memberikan wasiat wajibah kepada anak angkatnya untuk

kemaslahatan anak angkat sebagaimana orang tua angkat telah dibebani

tanggungjawab untuk mengurus segala kebutuhannya.

2. Pengangkatan anak menurut hukum perdata mempunyai akibat hukum

anak angkat mempunyai kedudukan seperti anak kandung dari orang tua

ankatnya dan memperoleh bagian warisan dari orang tua angkatnya.

Dalam hukum adat adat, pengangkatan anak mempunyai akibat hukum

yang berbeda-beda baik mengenai kedudukan maupun kewarisannya, hal

ini tergantung pada kelembagaan pengangkatan anak (sistem hukum) yang

hidup dan berkembang di daerah masing-masing. Sedangkan dalam

hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal

hubungan darah, hubungan wali-mewali, dan waris-mewaris dengan orang

tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orag tua kandungnya dan anak

tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya, hubungan mereka

adalah seperti hubungan antara orang lain kecuali keterikatan oleh kasih

sayang dan bantuan sosial dari orang tua angkat terhadap anak angkatnya

untuk mendidik, mengasihi dan membiayai untuk berbagai keperluan.

3. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pengaturan mengenai wasiat

wajibah terhadap anak angkat dimuat dalam Pasal 209 ayat (2), Pasal ini

menjelaskan bahwa anak angkat yang orang tua angkatnya meninggal,

maka baginya wasiat wajibah dengan batasan harta yang diwasiatkan

Page 31: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

156

adalah tidak boleh lebih dari 1/3 dari harta peninggalan. KHI mewajibkan

berwasiat kepada anak angkat atau orang tua angkat adalah berdasarkan

kemaslahatan atau untuk menghindari kemadharatan, meskipun di dalam

nash tidak dijelaskan tentang kewajiban berwasiat kepadanya. Demi

menegakkan keadilan dan menjaga ketentraman masyarakat, Undang-

undang melalui keputusan ulil amri atau pemimpin mewajibkan wasiat

kepada anak angkat dengan batasan maksimal 1/3. Adapun orang yang

meninggal dan lupa memberikan wasiat kepada anak angkat atau orang tua

angkatnya, pemerintah dalam hal ini diwakili Pengadilan Agama dapat

melaksanakan wasiat wajibah tersebut. Ketetapan KHI mengenai aturan

tentang wasiat wajibah ini juga mengacu kepada pendapat Ibn Hazm,

sementara dalam kitab-kitab fiqih tradisional tidak dikenal adanya wasiat

wajibah namun berbeda mengenai penetapan siapa yang berhak

mendapatkan wasiat wajibah. Jika Ibn Hazm menetapkan bahwa yang

berhak menerima wasiat wajibah adalah karib kerabat yang mempunyai

hubungan darah dalam hubungan nasab, baik dari pihak ayah ataupun ibu.

Sedangkan dalam KHI yang berhak menerima wasiat wajibah adalah anak

angkat.

4. Ketentuan dalam pasal 209 ayat (2) KHI tentang wasiat wajibah untuk

anak angkat dengan batasan harta yang diwasiatkan adalah tidak boleh

lebih dari 1/3 dari harta peninggalan merupakan suatu gagasan baru yang

didasarkan kepada suatu kenyataan kondisi masyarakat Indonesia. Pasal

ini disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam

Indonesia dengan mengakomodasi ketentuan hukum adat dengan berbagai

koreksi sehingga tidak bertentangan dengan hukum Islam, hal ini pada

dasarnya merupakan upaya untuk mengaktualisasikan hukum Islam agar

sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, serta memenuhi asas

kemanfaatan dan asas keadilan, yang dalam hukum islam disebut asas

maslahah dan asas ‘adalah. Kemaslahatan yang diperoleh ketika anak

angkat atau orang tua angkat diberi wasiat wajibah adalah menjaga

keadilan dan ketentraman dalam keluarga. Meskipun anak angkat bukan

anak kandung, kewajiban orang tua angkat terhadap anak angkatnya

adalah seperti anak kandung. Dengan demikian, menurut penulis,

ketentuan dalam pasal 209 ayat (2) KHI sudah sesuai dengan hukum Islam

karena sesuai dengan asas maslahah dan asas ‘adalah yang merupakan

prinsip utama dalam hukum Islam.

Page 32: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

157

B. Saran

1. Kepada para hakim agama di lingkungan peradilan agama agar dengan

tegas menerapkan adanya wasiat wajibah terhadap anak angkat dalam

pasal 209 dengan pemahaman bahwa jumlah 1/3 harta adalah jumlah

maksimal dan itupun hanya diberlakukan saat tidak ada anak-anak

langsung maupun ahli waris pengganti. Pada saat mereka masih ada, maka

diharapkan para hakim bisa memberikan putusan yang seadil-adilnya

dalam menentukan besarnya bagian masing-masing, baik yang berupa

wasiat wajibah maupun warisan.

2. Pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam perlu ditafsirkan dengan

cermat dalam penerapannya sehingga harus dipandang bukan barang jadi

namun masih perlu penjelasan, kiranya hasil tesis ini dapat dijadikan

representasi terhadap bagaimana cara menerapkan hukum wasiat wajibah

dalam persoalan harta peninggalan.

Page 33: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

159

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur‟an dan terjemahannnya, Jakarta: Departeman Agama RI, 2005.

Abdul Aziz, Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar baru Van

Hoeve, 1997.

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademi

Presindo, 2010.

Abu Bakar, Alaudin, Badai’ As-Sanai, Juz VII, Beirut: Dar Al-Kitab Al-

Aroby, 1974.

Abu Bakar, El Yasa, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan

terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Madzhab, Jakarta:

INIS, 1998.

Abu Bakar, Sayyid, I’anah Ath-Tholibin, Jilid III, Surabaya: al-Hidayah, tt.

Abu Bakar, Syukri, “Aplikasi „Urf dalam Kompilasi hukum Islam”, istinbath

(Jurnal Hukum dan Ekonomi), No. 1 Vol. I, 2003.

Abu Daud, Sunan Abi Dâud, Juz III, Beirut: Al-Maktabah Al-„Ishriyah, tt.

Afdol, Landasan Hukum Positif Pemberlakuan Hukum Islam dan

Permasalahan Implementasi Hukum Kewarisan Islam, Surabaya:

Airlangga University prees, 2003.

Alam, Andi Syamsu dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif

Islam, ed-1, Jakarta: Kencana, 2008.

Ali, Abu al-Hasan bin Umar bin Mahdy, Sunan ad-Daruqutny Jilid V, Bairut,

Muassisah ar-Risalah, 2004.

Ali, A. Yusuf, The Holy Qur`an: Tex, Translation and Commentary, Myland:

Amana Corp B rentwood, 1983.

Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, ed.1, cet.ke-2,

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas

Pemikiran Fazlur Rahman, Cet.ke-IV, Bandung: Mizan, 1993.

Amin Suma, Muhammad, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan

Teks dan Konteks, Ed. 1, Cet.ke-1, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Page 34: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

160

Azhary, H.M. Thahir, Bunga Rampai Hukum Islam, Jakarta: Ind-Hild-Co,

1992.

Badran, Badrun Abu Al-Ainaini, Ahkam al-Washaya wa al-Auqaf,

Iskandariyah: Muassarah Syabab al-Jami‟ah, 1982.

Basyir, Ahmad Azhar, Kawin Campur Adopsi Wasiat menurut Hukum Islam,

Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1972.

Bisri, Cik Hasan, Kompilasi hukum Islam dan Peradilan Agama dalam

Sistem Hukum Nasional, Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1999.

Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau dari Segi Hukum, Jakarta: Akademika

Presindo, 1985.

Budiono, Rahmad, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,

Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 1999.

Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid 2, Bairut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah,

1971.

Daud Ali, Mohammad, Asas-asas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan

Tata Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1990.

Echlas, Jhon M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta:

Gramedia, 1981.

Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid I, Jakarta: PT. Cipta Adi Pusaka, 1988.

Fatchurrahman, Wasiat Ikhtiyariyah dan Wasiat Wajibah, Yogyakarta:

UNISIA, 1979.

Al-Fatni, Abdul Malik, Khulashah al-Faraid, Mesir: Musthafa al-Baby al-

Halaby, 1949.

Hadikusumah, Hilman, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Alumni, 1983.

Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Cet. VII, Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti, 2003.

Al-Hâkim, Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahîhain, Jilid IV, Beirut: Dâr al-Kutub

al-„Ilmiyyah, 1990

Hamidi, Muhammad Kamal, Al-Mawaris wa al-Hibah wa al-Wasiyyat,

Iskandariyah: Dar al-Matbu`ah al-Jami`ah, tt.

Page 35: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

161

Harahap, M. Yahya, Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat dalam

Hukum Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.

Hartini dan Yulkarnain Harahap, “Pengaruh Kompilasi Hukum Islam dalam

Penyelesaian Perkara Kewarisan pada Pengadilan Agama di Daerah

Istimewa Yogyakarta”, Mimbar Hukum, Nomor 35, V, 2000.

Hasim, Moh. E., Kamus Istilah Islam, Bandung : Pustaka, 1987.

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur`an dan Hadith, Jakarta:

Tintamas, 1990.

Huda, Nurul & Mohammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan

Teoritis dan Praktis, cet. Ke-1, Jakarta: Kencana Prenada Media,

2010.

Husain, Ahmad Farraj, Nizham Al-Irtsi fi At-Tasyri’ Al-Islami, Beirut-

Lubnan: Al-Mu‟assasah Al-Jami‟ah, 1996.

Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz IX, Beirut: Dar Al-Alaq, tt.

Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid 2, Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, tt.

Ibn Manzur, Lisan Al-‘Arab, Mesir: Dar Al-Misriyah li At-Ta‟lif wa At-

Tarjamah, tt.

Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid II, terj. Abu Usamah Fakhtur Rohman,

Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.

I Doi, Abdurrahman, Shari`ah: The Islamic Law, London: Delux Press, 1984.

Idris, Ahmad, Fiqih Syafi’i, Jakarta: Widjaja Djakarta, 1969.

Al-Jazairy, Abdur Rahman, Fiqh ‘ala Madzahibi al-Arba’ah, Jilid III,

Libanon Bairut: Dar al-Kitab al-„Alamiyyah, 1990.

Jauhari, Iman, Hak-hak Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Bangsa,

2003.

Kamil, Ahmad dan M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan

Anak di Indonesia, cet.ke-2, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Khudary, Ahmad Kamil, Al-Mawaris al Islamiyah, Kairo: al-Majlis a`la

lissyu`uni Islamiyah, 1966

Page 36: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

162

Makhluf, Husnain Muhammad, Al-Mawaris fi As-Syari`at al-Islamiyah,

Qahirah: Matabi` al-Ahram at-Tijariyah, 1971.

Mahkamah Agung RI, Himpunan Kaedah Hukum Putusan Mahkamah Agung

RI Tahun 1969-1991, Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1993.

Mahmood, Tahir, Family Law Reform in the Muslim World, Bombay:

Tripathi Ltd, 1972.

Malik, Imam bin Anas al-Ashbahi, Mudawanah, Juz IV, Bairut: ad-Dar al-

Kutub al-Alamiyah, 1994.

Malik bin Anas, Muwaththo’ Al-Imam Malik, Beirut: Dar Ihya‟ At-Turas,

1985.

Ma‟luf, Louis, Al-Munjid, Beirut: Dar Al-Masyriq, 1986.

Martosedono, Amir, Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya,

Semarang: Dahara Prize, 1990.

MD, Moh Mahfudz, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam

Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 1993.

Meliala, Djaja , Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, Bandung:

Tarsito, 1982.

Mufiq Ad-Din, Abu Muhammad, Al-Mughni, Jilid VI, Beirut: Dar Al-Fikr,

1985.

Muhammad, Syamsuddin, Mughni al-Muhtaj, Jilid III, Bairut: Dar al-Fikr,

1997.

Muhibbin, Moh., dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai

Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, Cet.I, Jakarta: Sinar

Grafika, 2009.

Muhtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan

Bintang, 1974.

Mujieb, M. Abdul, dkk, Kamus Istilah Fikih, Cet. I, Jakarta : Pustaka Firdaus,

1994.

Muslim, Shahih Muslim, Juz III, Beirut: Dâr Ihya at-Turâts al-„arabi, tt.

Musthofa Sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Ed. 1,

cet.ke-1, Jakarta: Kencana, 2008.

Page 37: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

163

Muzdhar M. Atho‟ dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia

Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern

dan Kitab-Kitab Fikih, Jakarta: Ciputat Press, 2003.

Nur ad-Din Muhammad, Abu al-Hasan, Shahih al-Bukhari, Jilid 2, Bairut:

Dar al-Kutub al-„Alamiyyah, 1971.

Pandika, Rusli, Hukum Pengangkatan Anak, Cet.ke-1, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2012.

Perangin, Effendi, Hukum Waris, Cet. 12, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Powers, David Steven, The Formation of The Islamic Law of Inheritance,

America: International Microfilms University Press, 1986.

Al-Qalyubi, Syihabuddin Ahmad dan Syihabuddin Ahmad Al-Umairah,

Hasyiyatani Al-Qalyubi wa Ai-Umairah, Kairo: Al-MaktabahAt-

Taufiqiyah, 2008.

Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung: PT. Alma‟rif Bandung, 1975.

Rasyid, Roihan, “Pengganti Ahli Waris dan Wasiat wajibah”, dalam Cik

Hasan Bisri, (eds.), Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama

dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Razzâq, Abdur, Al-Mushannaf, Jilid IX, Beirut: Al-Maktab Al-Islami, tt.

Ritonga, A. Rahman, Ensiklopedi Hukum islam, Jakarta: tp, 1997.

Robert, The Social Laws of the Qoran, Delhi: Kalam Mahal Darya Ganj,

1977.

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

1997.

Sabiq, Sayyid, Fiqih As-Sunnah, Jilid III, Kairo: Dar al-Fath li i‟lami al-

„Araby, 1989.

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, terj. Mujahidin Muhayan, Lc., Jilid IV, Cet.ke-

1, Jakarta: PT Pena Pundi Aksara, 2009.

Sadjali, Munawir, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, di

dalam:Peradilan Agama dan Komplikasi Hukum Islamdalam tata

hukum Indonesia, Yogyakarta: UII Prees, 1993.

Page 38: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

164

Salabi, Muhammad Mustafa, Ahkam al-Mawaris Bainal Fiqhi wa al-Qanun,

Beirut: Dar an-Nadafat at-Tarbiyah, 1978.

Sarmadi, Sukris, Dekonstruksi Hukum Progresif Ahli Waris Pengganti dalam

Kompilasi Hukum Islam, Cet. 2, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012.

Ash-Shabuni, Ali, Al- Mawaris fi syariat al Islamiyyah `ala Dhau'i Kitabi wa

as-Sunah, Arab Saudi: Dar al Qalam, 1979.

Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Hukum Waris dalam Syariat Islam, terj. M.

Samhuji Yahya, Bandung: Diponegoro, tt.

Ash-Shiddiqy, Hasbi, Fiqh Mawaris, Jakarta: Pustaka Rizki Putra, 2001.

Sidik, Abdullah, HukumWaris Islam dan Perkembangannya di Seluruh

Dunia Islam, Jakarta: Wijaya, 1984.

Siraj, Muhammad, Hukum Keluarga di Mesir dan Pakistan, dalam Johannes

dan Hayer dab Syamsul Anwar (red), Islam, Negara dan Hukum,

Jakarta : Nis, 1993.

Sitompul, Anwar, Fara’id, Hukum Waris dalam Islam dan Masalah

Masalahnya, (Surabaya: Al ikhlas, 1984.

Soejati, Zarkowi, Sejrah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam, di

dalam:Peradilan Agama dan Komplikasi Hukum Islam dalam Tata

Hukum Indonesia, Yogyakarta: UII Prees, 1993.

Soekanto, Soerjono dan Soleman B. Takeko, Hukum Adat Indonesia, Jakarta:

Rajawali Perss, 1983.

Soemitro, Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi

Aksara, 1990.

Soimin, Soedaryo, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta: Sinar Grafika,

1992.

Sulaiman, Abu Dawud Ibn al-Asy`as as-Sajistan, Al-Sunan Abu Dawud, Jilid

2, Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952.

Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, edisi

revisi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.

Summa, Muhammad Amin, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan

Teks dan Konteks, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Page 39: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

165

Sya‟ban, Zaki al-Din, Ushûl Al-Fiqh Al-Islâm, Mesir: Dar At-Ta‟lif, 1965.

Asy-Syafi‟i, Al-Umm, Juz IV, Beirut: Dar Al-Fikr, 1983.

Syaltout, Mahmud , Al-Fatawa, Kairo: Dar Al-Kalam, tt.

Syarifuddin, Amir, Pelaksana Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan

Adat Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984.

Syukrie, Erna Sofwan, Penyempurnaan Pembina Kesejahteaan Anak Melalui

Pengangkatan Anak, Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1995.

Tafal, B. Bastian, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-

Akibat Hukumnya di Kemudian Hari, Jakarta: C.V. Rajawali Press,

1983.

Thanthawi, Ali, Fatwa-Fatwa Populer Ali Thanthawi, Solo: Era Intermedia,

1998.

Thaib, H. M. Hasballah, 21 Masalah Aktual dalam Perkembangan Fiqih

Islam, Medan: Fakultas Tarbiyah Universitas Medan, 1995.

Thalib, Sajuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Bina

Aksara, 1981.

At-Tirmidzî, Sunan Tirmidzî, Juz III, Beirut: Dâr al-Gharb al-Islami, 1998.

Usman, Rachmadi, Hukum Kewarisan Islam dalam Dimensi Kompilasi

Hukum Islam, Bandung: Mandar Maju, 2009.

Usman, Suparman dan Yusuf Somawinata, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta:

Gaya Media Pratama, 1997.

Utomo, Setiawan Budi, Fiqih Aktual: Jawaban Tuntas Masalah

Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.

Zahrah, M. Abû, Al Tirkah wa al-Mîrâts, Cairo: Dar Al- Fikr, 1975.

Zaeni, Muderis, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Cet.ke-5,

Jakarta: Bina Aksara, 1985.

Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Islâm Wa Adillatuhu, cet. III, Damaskus: Dâr Al-

Fikr, 1989.

Page 40: WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN FUQAHȂ’ (Studi …

166