1
ANALISIS PEMBUBARAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM
PERSPEKTIF NEGARA HUKUM
Analysis Of Dissemination Of Community Organizations
In The Perspective Of Legal Countries
NABIH AMER
Mahasiswa Program Magister Hukum Pascasarjana Universitas Negeri Gorontalo Jl. Jend. Soedirman No. 6, Kota Gorontalo. Kode Pos 96128
e-mail: [email protected]
Abstrak
Pembubaran organisasi kemasyarakatan yang merupakan kewenangan mutlak Pemerintah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 belum mencerminkan prinsip dasar dari sebuah negara hukum
yang menghendaki adanya perlindungan hak asasi manusia dan pembagian kekuasaan. Semestinya
pembubaran organisasi kemasyarakatan melibatkan pengadilan untuk mengadili berkaitan pelanggaran
yang dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan yang tujuannya untuk menghindari adanya keputusan
subjektif yang dilakukan oleh pemerintah.
Artikel ini berjudul Analisis Pembubaran Organisasi Kemasyarakatan Dalam Perspektif Negara Hukum
Kajian ini akan menjawab 2 (dua) pertanyaan sebagai rumusan masalah yaitu pertama, bagaimana
pengaturan pembubaran organisasi kemasyarakatan di indonesia? dan Kedua, bagaimana mekanisme
pembubaran organisasi kemasyarakatan yang ideal dalam perspektif negara hukum?. Kedua rumusan
masalah akan dijawab secara metodeologis dengan menggunakan penelitian hukum normatif, karena
penulis menggunakan penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif (normative legal
research) dikarenakan fokusnya adalah mengkaji studi literatur, peraturan perundang-undangan dan
putusan-putusan pengadilan yang berhubungan dengan objek penelitian.
Berdasarkan hasil kajian artikel ini menyimpulkan bahwa UUD NRI Tahun 1945 menekankan pentingnya
sistem check and balances (pengawasan dan keseimbangan) yang mana perlu ada pembagian kekuasaan
yang jelas antara fungsi eksekutif dan yudikatif. Artinya dalam permasalahan pembubaran organisasi
kemasyarakatan sangat penting untuk melibatkan pengadilan untuk memutus vonis pembubaran
organisasi kemasyarakatan di Indonesia dengan cara melakukan penataan penyelesaian sengketa di
pengadilan dengan menggunakan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan sehingga proses
penyelesaian sengketa pembubaran organisasi kemasyarakatan bisa dilaksanakan secara efektif dan
efisien.
Kata Kunci: Organisasi Kemasyarakatan; Negara Hukum; Pengadilan.
2
Abstract
Dissolution of social organizations which is the absolute authority of the Government based on Law Number 16 of
2017 does not yet reflect the basic principles of a rule of law that requires the protection of human rights and the
distribution of power. Dissolution of social organizations should involve the court to adjudicate related violations
committed by social organizations whose purpose is to avoid subjective decisions made by the government.
This article is entitled Analysis of the Dissolution of Community Organizations in the Rule of Law Perspective This
study will answer two questions as a formulation of the problem namely first, how are the arrangements for
dissolution of social organizations in Indonesia? and Second, what is the ideal mechanism for the dissolution of
social organization in the perspective of the rule of law ?. Both problem formulations will be answered
methodologically using normative legal research, because the author uses this legal research as normative legal
research because the focus is on studying literature studies, statutory regulations and court decisions relating to
the object of research.
Based on the results of the study this article concludes that the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia
emphasizes the importance of a system of checks and balances in which there needs to be a clear division of power
between the executive and judicial functions. This means that in the case of the dissolution of social organizations
it is very important to involve the court in deciding the dissolution of the social organization in Indonesia by
structuring dispute resolution in the courts using the principle of quick, simple and low cost justice so that the
process of dispute resolution of the social organization can be carried out effectively and efficiently.
Keywords: Social Organization; Rule of Law; Court.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Organisasi kemasyarakatan yang
selanjutnya disingkat (ormas) merupakan
peran serta masyarakat dalam melaksanakan
pembangunan untuk memajukan kehidupan
yang berkeadilan dan kemakmuran.
Keberadaan organisasi kemasyarakatan di
Indonesia sebenarnya sudah terbentuk
semenjak awal abad ini dan mempunyai
kedudukan paling strategis bagi proses
kebangsaan Indonesia. Bahkan sebagian dari
organisasi kemasyarakatan tersebut akhirnya
menjadi partai politik yang mempelopori
gerakan kebangsaan.
Dinamika perkembangan organisasi
kemasyarakatan dan perubahan sistem
pemerintahan membawa paradigma baru
dalam tata kelola organisasi kemasyarakatan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Pertumbuhan jumlah
organisasi kemasyarakatan, sebaran dan jenis
kegiatan organisasi kemasyarakatan dalam
kehidupan demokrasi makin menuntut peran,
fungsi dan tanggung jawab organisasi
kemasyarakatan untuk berpartisipasi dalam
upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa
3
Indonesia, serta menjaga dan memelihara
keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Peningkatan peran dan
fungsi organisasi kemasyarakatan dalam
pembangunan memberi konsekuensi
pentingnya membangun sistem pengelolaan
organisasi kemasyarakatan yang memenuhi
kaidah organisasi kemasyarakatan yang sehat
sebagai organisasi nirlaba yang demokratis,
profesional, mandiri, transparan, dan
akuntabel. Oleh karena itu, dinamika
organisasi kemasyarakatan dengan segala
kompleksitasnya menuntut pengelolaan dan
pengaturan hukum yang lebih komprehensif
melalui undang-undang.
Kebebasan berserikat dan berkumpul
merupakan salah satu hak kunci (key right)
dalam HAM, karena dengan kebebasan
tersebut manusia dapat menikmati hak dan
kebebasan lainnya yang ditetapkan oleh
hukum. Meskipun demikian, kebebasan
tersebut bukan merupakan hak yang absolut,
artinya kebebasan tersebut tunduk kepada
sejumlah pembatasan yang juga harus
ditetapkan dalam undang-undang. Hal ini
bukan saja merupakan cerminan, melainkan
prasyarat dalam sebuah negara demokrasi.
Pembatasan tersebut diperlukan apabila
adanya kepentingan untuk melindungi
keamanan nasional atau keselamatan publik
(national security or public safety), ketertiban
umum (public order), perlindungan kesehatan
dan moralitas publik (public health or morals),
dan perlindungan terhadap hak dan
kebebasan pihak lain.1
Menurut Hans Kelsen bahwa salah
satu esensi demokrasi terletak pada ada
tidaknya sebuah kompromi yang
menyatukan perbedaan pendapat untuk
menentukan sebuah tatanan bagi landasan
sebuah negara. Kompromi menjadi sebuah
syarat utama dalam penentuan apakah
sebuah negara menganut prinsip demokrasi
1 Latipulhayat, Atip. (2017). Due Process of Law, Jurnal
Ilmu Hukum Padjajaran, 4 (2), hlm (i).
ataukah tidak sama sekali. Ada sebuah
pegangan dalam memahahi negara dengan
bercirikan prinsip demokras antara lain:
1) Adanya kehendak mayoritas dan kehendak minoritas.
2) Kehendak mayoritas tidak bisa menjadi dominasi absolut.
3) Adanya kompromi di antara kehendak mayoritas dengan kehendak minoritas dalam menyikapi sebuah permasalahan dan dalam pembentukan sebuah tatatan.
4) Tidak ada pemaksaan dalam beragama dan berkeyakinan.
5) Terdapat kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan pendapat untuk mengemukakan pendapat dijamin keberadaannya, baik melalui konstitusi ataupun melalui kesepakatan adat yang terjadi di sebuah negara.
6) Kompromi yang sehat menjadikan tidak diketemukannya perbenturan kepentingan antara kehendak mayoritas dan kehendak minoritas yang akan biasanya akan berbuah pada anarki.2
Pasca Reformasi, posisi dan peran
organisasi kemasyarakatan tampak bergeser.
Euforia Reformasi dan demokratisasi Pasca
Reformasi membuat organisasi
kemasyarakatan kembali terpolarisasi dalam
arus ideologi dan politik. Pasca Reformasi
juga ditandai dengan menjamurnya ribuan
organisasi kemasyarakatan baru. Kategori
dan definisi organisasi kemasyarakatan pada
era ini juga semakin berkembang luas
dengan beragam persilangan arus
kepentingan politik dan ideologi baik dalam
skala nasional dan internasional. Keberadaan
Negara/Pemerintah Pasca Reformasi
seringkali terjebak dalam posisi yang saling
behadap-hadapan karena dua faktor utama.
Pertama, rendahnya kepercayaan sebagian
pemimpin Ormas tertentu pada
Negara/Pemerintah. Kedua, masih dijumpai
2 Thalhah, HM. (2009). Teori Demokrasi dalam Wacana Ketatanegaraan Perspektif Pemikiran Hans Kelsen, Jurnal Hukum, 3 (16). hlm 416-418.
4
adanya kesalahpahaman atas peran
Negara/Pemerintah dihadapan para
pendukung Ormas.3
Selain fenomena tersebut, Pasca
Reformasi juga ditandai adanya tindakan
kekerasan dan anarkisme yang dilakukan
Ormas tertentu. Obyek anarkisme ini tidak
lagi semata-mata pada sejumlah kantor
Pemerintahan. Aksi anarkisme Ormas juga
ditujukan pada institusi media massa. Tidak
hanya itu aksi anarkisme dan kekerasan juga
terjadi antar para pendukung Ormas. Akar
penyebab adanya tindakan anarkisme dan
kekerasan ini adakalanya tidak hanya sebatas
pada kepentingan politik yang bersifat jangka
pendek. Lebih dari itu, konflik antar Ormas
seringkali bersumber dari akar konflik yang
bersifat laten, yaitu adanya pertentangan
landasan ideologi yang mereka yakini.Pasca
Reformasi, tampak masih terbuka potensi
besar dimana perbedaan landasan ideologi
yang dianut oleh masing-masing Ormas justru
kian mendegradasi imaji ke-Indonesia-an.
Anarkisme yang dilakukan oleh Ormas
tertentu ini tentu sangat kontras dengan
keberadaan Ormas masa Pra Kemerdekaan
dimana mereka secara kolektif menyemaikan
benih Nasionalisme dan ke-Indonesia-an.
Dinamika Ormas yang demikian tentu jauh
dari yang diharapkan.4
Eksistensi organisasi kemasyarakatan
pada masa kini harus mampu membawa dan
memperjuangkan aspirasi dan kehendak
masyarakat sebagai medium untuk
melaksanakan kegiatan yang edukatif dan
bernilai sehingga bermanfaat demi
kepentingan bersama yang sejalan dengan
amanat Pancasila. Walaupun kodrat sebuah
organisasi memiliki pasang-surut dalam
menjalankan roda organisasinya, namun
semua itu merupakan dinamika yang terus
mewarnai kehidupan organisasi
kemasyarakatan untuk terus berbuat dan
3 Fauzi, Gamawan. (2015). Urgensi UU Ormas Dalam
Memperkokoh NKRI, Jurnal Kementerian Sekretariat Negara RI, 29, hlm 60.
bertindak atas nama kehendak rakyat dan
UUD NRI Tahun 1945.
Indonesia yang telah meneguhkan
diri menjadi negara hukum yang demokratis
merupakan hal yang wajar apabila tiap tahun
bermunculan banyak organisasi-organisasi
baru, karena konsekuensi logis dari sebuah
negara hukum demokratis menghendaki
adanya kebebasan dalam mengeluarkan
pendapat, berserikat, dan berkumpul
sehingga semakin banyak masyarakat yang
ingin mendirikan organisasi sebagai wadah
untuk mengembangkan potensi kekuatan
yang mereka miliki dalam rangka turut serta
membangun peradaban bangsa.
Meningkatnya jumlah organisasi
kemasyarakatan yang ada paling tidak
selaras dengan prinsip-prinsip saling
menghormati dan menghargai kebebasan
orang lain sepanjang kebebasan tersebut
tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan. Hal ini sangat penting
guna menyuburkan kesadaran terhadap
pentingnya perjuangan melalui lembaga
sehingga masyarakat akan semakin selektif
dalam memilih dan berafiliasi dengan
organisasi yang memiliki kesamaan ideologi.
Permasalahannya adalah belakangan
ini munculnya gerakan-gerakan beberapa
organisasi kemasyarakatan yang bertindak
dengan kekerasan dan anarkis. Tindakan
kekerasan ini seringkali dipicu oleh ego
sentris kelompok dengan dalih bahwa
hukum sudah tidak berjalan secara mekanis
lagi, sehingga dengan mandeknya
mekanisme hukum itu banyak dari mereka
mengambil jalan sendiri dengan melakukan
penindakan non-hukum yang secara jelas
melanggar norma hukum. Justru tanpa
disadari sesungguhnya tindakan tersebut
merupakan perbuatan melawan hukum dan
bertentangan dengan Pancasila.
Organisasi kemasyarakatan
merupakan entitas dari kebebasan
4 Ibid., hlm 61
5
berserikat, berkumpul dan berpendapat yang
dijamin dalam Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Jaminan yang diberikan oleh konstitusi
tersebut semestinya menjadi instrumen
untuk melaksanakan hak dan kewajibannya
secara konstitusional dengan
memperhatikan kondisi sosial yang aman
dalam mengekspresikan kebebasannya
dihadapan publik. Patut disadari bahwa
ternyata kebebasan tersebut seringkali
digunakan tanpa kendali dan tanpa batas
yang mana prinsip-prinsip saling menghargai
dan menghormati kebebasan orang lain tidak
lagi dipatuhi sehingga menimbulkan
ketidakstabilan sosial dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Celakanya,
tindakan anarkis seolah-seolah dilegitimasi
atas nama negara dan agama yang
seyogyanya tidak patut dilakukan karena
tidak sejalan dengan nafas hidup negara
hukum yang demokratis.
Melihat kondisi rill tersebut, justru
sangat merugikan dan tidak baik
dipertontonkan kepada publik. Apalagi
organisasi kemasyarakatan yang tidak
pernah berhenti melakukan tindakan-
tindakan kekerasan dan anarkis
menimbulkan ketidakpercayaan publik
terhadap eksistensi organisasi
kemasyarakatan dalam memperjuangkan
aspirasi masyarakat. Keadaan inilah yang
mendorong pemerintah untuk bertindak
sesuai prosedur hukum yang berlaku guna
memastikan keamanan masyarakat berjalan
dengan baik.
Ketentuan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2017 memberikan kewenangan
kepada pemerintah untuk memberikan
sanksi tegas kepada organisasi
kemasyarakatan. hukuman yang paling berat
diterima oleh organisasi kemasyarakatan
yang bermasalah adalah pencabutan
legalisasi dari negara yang secara otomatis
5 https://mastel.id/mastel-anggota-jokowi-sudah-tandatangani-pembubaran-6-ormas-radikal
organisasi kemasyarakatan bubar dengan
sendirinya.
Problematika pembubaran organisasi
kemasyarakatan ini ada dikarenakan
maraknya paham anti Pancasila dan
radikalisme yang justru berkembang bebas
di Indonesia. Tercatat bahwa dalam
Pemerintah Republik Indonesia sebelumnya
telah terdapat beberapa Organisasi
Kemasyarakatan yang dipandang telah
melanggar spirit dan nilai-nilai Pancasila dan
Konstitusi Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
diantaranya:5
1) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI): HTI merupakan organisasi Islam yang mendukung berdirinya Khilafah Islamiyah. Dengan ini, HTI tidak mengakui keberadaan Pancasila.
2) Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS): Aliansi ini dibentuk atas dasar kebencian kepada madzhab Syiah yang menurut mereka adalah aliran yang berbahaya. Padahal Syiah sendiri merupakan madzhab yang diakui oleh Islam di dunia, salah satunya oleh Universitas Islam terkemuka, Al-Azhar. Namun Organisasi Kemasyarakatan ini justru mengkafir-kafirkan madzhab Syiah sehingga timbul kebencian antar umat.ANNAS merupakan Organisasi Kemasyarakatan yang jelas bertentangan dengan UUD 45 yang secara eksplisit menyebutkan bahwa hak beribadah warga negara dilindungi oleh negara.
3) Jamaah Ansarut Tauhid (JAT): Organisasi ini secara nyata mendukung ISIS dan menjadi motor pergerakan ISIS di Indonesia. Bahrun Naim, seorang teroris yang diduga otak bom Thamrin, merupakan anggota JAT. Abu Bakar Ba’asyir sendiri merupakan salah satu pemimpin dari organisasi radikal ini.
4) Majelis Mujahidin Indonesia (MMI): Organisasi ini tidak jauh berbeda dari JAT, organisasi ini juga pimpinan Abu Bakar Ba’asyir. Bahkan teroris yang
berdasarkan-perppu-2-2017-2/. diakses pada tanggal 19 Februari 2020.
6
mati bunuh diri dalam bom Thamrin, Afif, merupakan anggota MMI. Sama seperti JAT, MMI pun juga telah mendeklarasikan diri sebagai pendukung ISIS.
5) Forum Umat Islam (FUI): FUI ini pun tak kalah radikalnya. Dalam perayaan Maulid Nabi dan Natal tahun lalu, FUI dikabarkan mengirimkan ancaman akan membubarkan acara tersebut (Jakarta Post). Ancaman ini ditebar dengan mengatasnamakan agama. Akibatnya penyelanggara acara harus mencari tempat lain agar tidak terkena dampak ancaman FUI.
6) Front Pembela Islam (FPI): Organisasi pimpinan Rizieq Shihab ini memang sudah terkenal dengan aksi provokasi dan kekerasan. Dalam sejumlah demo, FPI sering melecehkan perorangan, agama, budaya, dan masih banyak lagi. Pada tahun 2014, FPI juga mengeluarkan maklumat mengenai ISIS yang mana pada poin 5 menyatakan bahwa Al-Qaeda dan ISIS harus bersatu untuk meneruskan perjuangan.
Walaupun kegiatan ataupun
pergerakan organisasi kemasyarakatan
tersebut terdapat hal-hal yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip kehidupan yang
diamanatkan oleh Pancasila dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, bukan
berarti proses pembubaran yang dilakukan
oleh pemerintah dapat diamini begitu saja.
Sebab kewenangan yang dimiliki pemerintah
berpotensi menimbulkan keputusan yang
parsial tanpa mempertimbangkan aspek
keadilan dan kemanfaatan.
Wajar untuk dipahami apabila
pembubaran tersebut didasarkan pada fakta
bahwa organisasi kemasyarakatan tersebut
tidak menjunjung tinggi prinsip saling
menghargai dan menghormati sehingga
Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan
HAM mencabut status badan hukum
6 Asshiddiqie, Jimly. (2010). Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Setjen Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, hlm 122.
organisasi kemasyarakatan yang dianggap
telah melanggar ketentuan yang berlaku.
Namun, harus disadari bahwa indonesia
adalah negara hukum didasarkan pada Pasal
1 ayat (3) UUD 1945 yang telah menegaskan
bahwa, “Negara Indonesia adalah negara
hukum”. Negara hukum sebagaimana disebut
A.V. Dicey sebagai “The Rule of Law” memiliki
karakteristik, yaitu: Supremacy of Law,
Equality Before the Law dan Due Process of
Law.6
Menurut Atif Latipulhayat bahwa
pembatasan kebebasan berserikat dan
berkumpul dan juga pembubaran
organisasinya mensyaratkan adanya
pengadilan yang mandiri dan imparsial.
Dengan perkataan lain harus dilakukan
dengan proses yang adil atau due process of
law. Due process of law bukan konsepsi teknis
yang hanya menyangkut teknis dan
mekanisme peradilan semata, akan tetapi ia
adalah suatu proses dan perlakuan yang adil
(just and fair treatment) yang memberikan
tempat dan kesempatan kepada mereka yang
hak dan kebebasannya terancam untuk
membela hak-haknya.7
Penulis perlu menegaskan bahwa
peran pengadilan menjadi sangat penting
dalam rangka meneguhkan negara hukum
yang dianut oleh indonesia. keterlibatan
pengadilan dalam memutus sengketa
pembubaran partai politik akan lebih
mencerminkan tujuan hukum untuk
mendapatkan kepastian hukum, keadilan dan
kemanfaatan. dengan kata lain perlu didesain
sebuah proses peradilan yang cepat,
sederhana dan biaya ringan dalam rangka
mendukung proses hukum yang akan
diputus oleh pengadilan. dengan adanya
penerapan asas peradilan yang cepat,
sederhana dan biaya ringan yang telah
diamanatkan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
pada Pasal 2 ayat (4) dapat mempercepat
7 Latipulhayat, Atif Op.Cit hlm (ii).
7
proses penilaian terhadap suatu organisasi
kemasyarakatan yang diduga menyalahi
peraturan perundang-undangan. Artikel ini
berjudul “Analisis Pembubaran Organisasi
Kemasyarakatan Dalam Perspektif Negara
Hukum” yang output kajiannya
menghasilkan penataan sengketa
pembubaran organisasi kemasyarakatan di
indonesia.
Rumusan Masalah
Kajian ini akan menjawab 2 (dua)
pertanyaan sebagai rumusan masalah yaitu
pertama, bagaimana pengaturan pembubaran
organisasi kemasyarakatan di indonesia? dan
Kedua, bagaimana mekanisme pembubaran
organisasi kemasyarakatan yang ideal dalam
perspektif negara hukum ?
Metode Penelitian
Kedua rumusan masalah akan dijawab
secara metodeologis dengan menggunakan
penelitian hukum normatif, karena penulis
menggunakan penelitian hukum ini
merupakan penelitian hukum normatif
(normative legal research) dikarenakan
fokusnya adalah mengkaji studi literatur,
peraturan perundang-undangan dan putusan-
putusan pengadilan yang berhubungan
dengan objek penelitian.
PEMBAHASAN
1. Pengaturan Pembubaran Organisasi
Kemasyarakatan di Indonesia
a. Pembubaran Organisasi
Kemasyarakatan Menurut UU Nomor
17 Tahun 2013
Asas organisasi kemasyarakatan yaitu
tidak bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Kemudian organisasi
kemasyarakatan dapat mencantumkan ciri
tertentu yang mencerminkan kehendak dan
cita-cita organisasi kemasyarakatan yang
8 Lihat Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 Undang Undang
Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan. Republik Indonesia, 2013.
tidak bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Sedangkan dilihat dari
sifatnya bahwa organisasi kemasyarakatan
bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, dan
demokratis.8
Pasal tersebut bermakna bahwa dalam
menjalankan ekspresi dan kebebasan sebuah
organisasi kemasyarakatan harus berada
pada jalur yang konstitusional berdasarkan
cita-cita dan kehendak Pancasila dan Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Memang harus disadari bahwa
organisasi kemasyarakatan memiliki tujuan
dan fungsi yang variatif, tetapi undang-
undang memberikan batasan kepada
organisasi kemasyarakatan untuk bisa
menjalankan tugasnya sebagai wadah
perhimpunan yang memiliki nilai dan manfaat
kepada masyarakat. begitupun dengan
larangan-larangan yang diatur oleh UU sudah
sangat jelas sebagai peringatan kepada
organisasi kemasyarakatan agar tidak
membuat pelanggaran yang berakibat pada
pemberian sanksi kepada organisasi
kemasyarakatan tersebut. Dengan demikian
organisasi kemasyarakatan tidak dapat
bertindak sewenang-wenang maupun
melakukan kekerasan/ perbuatan anarkis
dengan mengatasnamakan kebenaran parsial
yang dapat merugikan organisasi
kemasyarakatan yang bersangkutan guna
menjaga ketertiban serta ketentraman
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sanksi yang paling berat diberikan
kepada organisasi kemasyarakatan yaitu
pencabutan status hukum atau izin
aktivitasnya sehingga dengan demikian
organisasi kemasyarakatan dinyatakan bubar
secara sendirinya. Tata cara pembubaran
Organisasi Kemasyarakatan berdasarkan
ketentuan sebelumnya dalam Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan:9
9 Lihat Pasal 70 sampai Pasal 72 Undang Undang No 17
Tahun 2013. Republik Indonesia, 2013.
8
1) Permohonan pembubaran Organisasi Kemasyarakatan berbadan hukum, sebagaimana disebutkan dalam pasal 68 ayat 1, diajukan ke pengadilan negeri oleh kejaksaan hanya atas permintaan tertulis dari Menteri Hukum dan HAM;
2) Permohonan tersebut diajukan kepada ketua pengadilan negeri sesuai tempat domisili hukum Organisasi Kemasyarakatan dengan disertai bukti penjatuhan sanksi administratif oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
3) Dalam hal permohonan tidak disertai bukti penjatuhan sanksi administratif oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, permohonan pembubaran Organisasi Kemasyarakatan berbadan hukum tidak dapat diterima;
4) Setelahnya di ajukan permohonan, pengadilan negeri menetapkan hari sidang dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal pendaftaran permohonan;
5) Surat pemanggilan sidang pemeriksaan pertama harus sudah diterima secara patut oleh para pihak paling lambat 3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan sidang;
6) Dalam sidang pemeriksaan Organisasi Kemasyarakatan sebagai pihak termohon diberi hak untuk membela diri dengan memberikan keterangan dan bukti di persidangan;
7) Permohonan pembubaran Organisasi Kemasyarakatan harus diputus oleh pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lama 60 hari terhitung sejak tanggal permohonan dicatat dan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Jangka waktu ini dapat diperpanjang paling lama 20 hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung;
8) Pengadilan Negeri menyampaikan salinan putusan pembubaran Organisasi Kemasyarakatan kepada pemohon, termohon, dan Menteri Hukum dan HAM dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung
10 Lihat Pasal 1 angka (1) UU Nomor 16 Tahun 2017.
Republik Indonesia, 2017.
sejak tanggal putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Penjatuhan sanksi administrasi
pembubaran Organisasi Kemasyaraktan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan dapat dilihat bahwa
penjatuhan sanksi administrasi dilakukan
melalui putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, setelah
itu baru pemerintah dapat menjatuhkan
sanksi pencabutan status badan hukum.
b. Pembubaran Organisasi
Kemasyarakatan Menurut UU Nomor
16 Tahun 2017
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan,
Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya
disebut Organisasi Kemasyarakatan adalah
organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh
masyarakat secara sukarela berdasarkan
kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan,
kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan demi
tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.10
Ketentuan dalam UU a quo, dijelaskan
juga berkaitan dengan ajaran atau paham
yang bertentangan dengan Pancasila antara
lain ajaran ateisme, komunisme/marxisme-
leninisme, atau paham lain yang bertujuan
mengganti/mengubah Pancasila dan
UndangUndang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.11
Undang-Undang a quo, larangan-
larangan Organisasi Kemasyarakatan
11 Lihat penjelasan atas UU Nomor 16 Tahun 2017 Pasal
59 ayat 4 dan Pasal 59 ayat 4 huruf (c). Republik
Indonesia, 2017.
9
sebagaimana diatur pada Pasal 59
menjelaskan sebagai berikut:
1) Menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pernerintahan;
2) Menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera negara lain atau lembaga/badan internasional menjadi nama, lambang, atau bendera Organisasi Kemasyarakatan; dan/atau
3) Menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar Organisasi Kemasyarakatan lain atau partai politik.
4) Menerima dari atau memberikan kepada pihak manapun sumbangan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/ atau
5) Mengumpulkan dana untuk partai politik.
6) Melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan;
7) Melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia;
8) Melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; dan/atau
9) Melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
10) Menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamarn pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang;
11) Melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
12 Lihat Undang Undang No 16 Tahun 2017 tentang
Organisasi Kemasyarakatan pasal 62 dan 80A. Republik
Indonesia, 2017.
12) Menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Mekanisme pembubaran Organisasi
Kemasyarakatan berdasarkan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan menjadi Undang-Undang
diatur pada Pasal 62 yang menjelaskan
bahwa:12
1) Terhadap Organisasi Kemasyarakatan
yang melakukan pelanggaran diberikan
peringatan tertulis 1 kali dalam waktu 7
hari kerja sejak tanggal yang diterbitkan
peringatan.
2) Dalam hal Organisasi Kemasyarakatan
tidak mematuhi peringatan tertulis
dengan jangka waktu yang telah di
tentukan makan Menteri dan Menteri
yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dibidang hukum dan HAM sesuai dengan kewenangannya
menjatuhkan sanksi penghentian
kegiatan.
3) Dalam hal Organisasi Kemasyarakatan
tidak mengindahkan sanksi penghentian
kegiatan, Menteri dan Menteri yang
menyelenggarakan urusan
pemerintahan dibidang hukum dan HAM
sesuai kewenangannya melakukan
pencabutan surat keterangan terdaftar
atau pencabutan status badan hukum.
Selanjutnya pada Pasal 80A menegaskan
bahwa pencabutan status badan hukum
Organisasi Kemasyarakatan dinyatakan bubar
berdasarkan Undang-Undang ini.
Berdasarkan Pasal 62 dan Pasal 80A tersebut,
Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai
dengan lingkup tugas dan kewenangannya
masih tetap menjatuhkan sanksi
administratif, namun dalam hal ini tidak
10
terdapat putusan pengadilan yang memiliki
kekuatan hukum tetap guna memberikan
legalitas dalam hal pembubaran organisasi
kemasyarakatan. Dengan demikian, aturan
diatas menegasikan kewenangan pengadilan
untuk memutus sengketa pembubaran
organisasi kemasyarakatan sehingga
berkaitan dengan segala bentuk pemberian
sanksi sampai pada pembubaran organisasi
kemasyarakatan menjadi kewenangan penuh
pemerintah.
Substansi materi yang mengatur tentang
pembubaran organisasi kemasyarakatan
sebagaimana dijelaskan dalam UU Nomor 17
Tahun 2013 maupun UU Nomor 16 Tahun
2017 perlu dielaborasi dengan prinsip-
prinsip dasar di dalam konstitusi Republik
Indonesia, yaitu Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
yang merupakan pengukuhan dari prinsip
yang dituangkan dalam Penjelasan Umum
UUD 1945 yaitu Negara Indonesia berdasar
atas hukum tidak berdasar atas kekuasaan
belaka.
Penjelasan UUD 1945 pada masa lalu,
secara resmi disebutkan bahwa indonesia
menganut rectsstaat, akan tetapi semenjak
amandemen UUD peniadaan istilah
rechtsstaat dicoret dan subtansinya
dituangkan kedalam pasal 1 ayat (3) menjadi
indonesia adalah negara hukum. Maksud tidak
dicantumkan istilah rechtsstaat supaya
indonesia bisa menggunakan rechtsstaat, bisa
juga menggunakan the rule of law. Dengan
demikian indonesia bisa menganut paham
legisme dimana kebenaran itu ada di undang-
undang, tapi juga menganut paham the rule of
law bahwa hakim bisa mencari keadilan
sendiri tanpa tersandera Undang-undang.
Dengan demikian hakim lebih fleksibel dalam
membuat putusan-putusannya.13
13 Tuakia, Adhelano. Indonesia di Persimpangan
Rechtsstaat dan The Rule Of Law, Lihat:
https://www.kompasiana.com/adhelanotuakia/54f961e1
a3331178178b4c1b/indonesia-dipersimpangan-
Selain itu, perlu diperhatikan pula
prinsip konstitusi yang menekankan
pentingnya sistem ‘check and balances’
(pengawasan dan keseimbangan). Hal ini
terejawantahkan, antara lain, di dalam
jaminan adanya kekuasaan kehakiman yang
merdeka menurut Pasal 24 UUD 1945.
Jaminan adanya kekuasaan kehakiman yang
merdeka akan berpengaruh juga pada
terpenuhinya jaminan akses warga negara
pada peradilan yang merdeka dalam usaha
mereka mempertahankan haknya.
Bagaimanapun juga, konstitusi telah
mengatur hak untuk mendapatkan
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum Pasal 28D ayat (1) UUD
1945 yang di dalam sebuah negara hukum
terwujud dengan adanya mekanisme kontrol
atas penggunaan kewenangan yang
dijalankan oleh suatu kekuasaan kehakiman
yang merdeka Pasal 1 ayat (3) juncto Pasal 24
UUD 1945.
2. Mekanisme Pembubaran Organisasi
Kemasyarakatan Yang Ideal Dalam
Perspektif Negara Hukum
Suatu negara dapat dikatakan sebagai
negara hukum apabila memenuhi unsur-
unsur negara hukum. Friedrich Julius Stahl
sebagaimana dikutip oleh Achmad Irwan
Hamzani, mengemukakan ciri-ciri suatu
negara hukum sebagai berikut:
a. Adanya pengakuan atas hak-hak dasar
manusia.
b. Adanya pembagian kekuasaan.
c. Pemerintahan berdasarkan peraturan
d. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara.14
Sementara dalam tradisi Anglo Saxon,
seperti diungkapkan oleh A.V. Dicey
sebagaimana dikutip oleh Wahyudi Djafar
menjelaskan bahwa suatu negara hukum
rechtsstaat-the-rule-of-law, diakses pada tanggal 10
Maret 2020. 14 Hamzani, Achmad Irwan. (2014). Menggagas Indonesia
Sebagai Negara Hukum Yang Membahagiakan
Rakyatnya, Jurnal Yustisia, 90. hlm. 137.
11
dalam pengertian the rule of law setidaknya
harus memiliki tiga karakteristik, yaitu:
tegaknya supremasi hukum (supremacy of
law), persamaan di depan hukum (equality
before the law), dan adanya jaminan serta
mekanisme perlindungan diri atas hak (due
process of law). Supremasi hukum berarti
warganegara diatur oleh hukum, dan dengan
hukum itu sendiri seseorang dapat dihukum
karena melanggar hukum, bukan dihukum
karena sesuatau alasan yang lain. Tentang
persamaan di depan hukum, Dicey
menerangkan, semua kelompok masyarakat
memiliki ketertundukan yang sama di mata
hukum umum negara, yang dijalankan oleh
peradilan umum. The Rule of law tidak
mengenal adanya pengecualian bagi pejabat
pemerintah atau orang-orang tertentu
terhadap hukum yang mengatur warganegara
secara keseluruhan, seperti halnya pada
pengadilan administratif (droit administratif).
Kaitannya dengan due process of law, Dicey
menjelaskan bahwa jaminan atas hak-hak
pribadi adalah hasil dari keputusan
pengadilan, dan parlemen sebagai simbolisasi
raja dan demos (warga), khusus mengenai
mekanisme pelaksanaan kekuasaan. Jadi
konstitusi yang berisikan jaminan hak-hak
pribadi warganegara merupakan hasil dari
hukum umum negara.15
Secara nasional perlindungan terhadap
hak-hak terkait dengan kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat
diatur dalam UUD 1945 dan UU No. 39 tahun
1999 tentang HAM. Undang-Undang Dasar
1945 telah menjamin tiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul dan
berpendapat sebagaimana diatur dalam pasal
28E ayat (3) yang menyatakan bahwa setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Ketentuan UUD 1945 tersebut kemudian
15 Djafar, Wahyudi. (2010). Menegaskan Kembali
Komitmen Negara Hukum: Sebuah Catatan Atas
Kecenderungan Defisit Negara Hukum di Indonesia,
Jurnal Konstitusi, 7, 5, hlm 153.
ditegaskan kembali di dalam Pasal 24 UU No.
39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
yang menyatakan bahwa setiap orang berhak
untuk berkumpul, berapat, dan berserikat
untuk maksud-maksud damai.
Penegasan Indonesia sebagai negara
hukum telah di atur dalam Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
pada Pasal 1 ayat 3 yang menjelaskan bahwa
Negara Indonesia adalah Negara Hukum.
Menurut Tahir Azhary bahwa istilah negara
hukum adalah suatu genus begrip yang terdiri
dari lima konsep, yaitu konsep negara hukum
menurut Al-Quran dan Sunnah yang di
istilahkannya dengan nomokrasi Islam,
negara hukum dalam konsep Eropa
Kontinental yang disebut rechsstaats, konsep
rule of law di negara-negara yang common law,
konsep socialist leglity di negara ekskomunis
serta konsep negara hukum Pancasila.16
Indonesia sebagai negara hukum
memang mengatur pembatasan mengenai hak
setiap warga negara, hal ini sebagaimana
dalam Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 J Ayat 2
dimana dijelaksan bahwa dalam menjalankan
hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang telah
ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.17
16 Tahir, Azhary Muhammad. (2012). Beberapa Aspek
Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, dan Hukum
Islam. Jakarta: Pernada Media Group , hlm 48. 17 Lihat Pasal 28 J Ayat 2 Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
12
Berdasarkan unsur-unsur yang berlaku
umum bagi setiap negara hukum, yakni
sebagai berikut:18
1) Adanya suatu sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat.
2) Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan.
3) Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga negara).
4) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
5) Adanya pengawasan dari badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas, mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada dibawah pengaruh eksekutif.
6) Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara. untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelakasanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah.
7) Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata.
8) Sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
Dalam pandangan Zippelius, seperti
dikemukakan oleh Hamid S. Attamimi,
menyebutkan bahwa prinsip negara hukum
adalah untuk membatasi perluasan dan
penggunaan kekuasaan secara totaliter dan
sewenang-wenang. Prinsip-prinsip yang
harus ditegakkan meliputi jaminan terhadap
perlindungan hak asasi manusia, adanya
pembagian kekuasaan secara pasti dan jelas,
penyelenggaraan pemerintahan yang
berdasar pada undang-undang, dan adanya
pengawasan judicial terhadap
penyelenggaraan pemerintahan.19
18 Triwulan, Titik. Widodo, Ismu Gunadi. “Hukum Tata
Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara Indonesia”, Jakarta: Prenadamedia Group,
2011, hlm 270. 19 Attamimi, A. Hamid S. (1990). Peranan Keputusan
Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Konsekuensi indonesia sebagai negara
hukum yaitu penegakan hukum dan keadilan
dalam rangka menjamin pelaksanaan hak-hak
asasi manusia merupakan bagian dari
penyelenggaraan peradilan dalam bingkai
kekuasaan kehakiman yang merdeka,
diwujudkan dan dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung beserta badan peradilan
yang berada di bawahnya, yaitu lingkungan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi, sebagaimana
amanat ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24
ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28I ayat (5)
UUD 1945. Dengan kata lain, fungsi kekuasaan
kehakiman menjadi penting untuk
menyeimbangi kekuatan dari pemerintah
dalam menjalankan kewenangannya. Hal ini
sangat krusial dalam bangunan negara hukum
indonesia sebagai bentuk komitmen dan
konsistensi penyelenggara negara agar tidak
terjebak pada pemusatan kekuasaan yang
mutlak.
Menurut Atip bahwa due process tidak
bisa dilepaskan dan melepaskan diri dari HAM.
Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa
due process of law adalah HAM itu sendiri.
Dalam konteks ini, due process of law
mensyaratkan bukan hanya adanya due
process dalam pengertian terpenuhinya hak-
hak prosedural dasar (basic procedural
rights), tapi juga terlindunginya hak-hak
substantif dasar (basic substantive rights).
Hak substantif adalah hak-hak umum yang
dimiliki oleh seseorang untuk melakukan
sesuatu atau untuk memiliki sesuatu,
meskipun pemerintah berkeinginan yang
sebaliknya, misalnya, kebebasan untuk
berbicara dan kebebasan untuk berserikat
dan berkumpul. Hak prosedural adalah hak
yang dimiliki seseorang untuk memperoleh
Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai
Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan
dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV, Jakarta:
Disertasi Doktoral Universitas Indonesia. hlm 213.
13
layanan dari pemerintah secara adil.
Meskipun pemerintah dengan alasan tertentu
dapat mengurangi atau membatasi hak
substantif yang dimiliki oleh seseorang, hal
tersebut harus dilakukan dengan alasan yang
dibenarkan dan dengan cara yang adil.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa due
process of law adalah bagian integral dalam
perlindungan dan pemenuhan hak-hak
subtantif seperti hak untuk berserikat dan
berkumpul.
Lebih lanjut Atip menegaskan bahwa
esensi dan substansi prinsip due process of
law, sejatinya ia bukan formalitas
terselenggaranya suatu proses peradilan,
akan tetapi esensi dari peradilan tersebut
yaitu harus dilakukan secara reasonable, just,
dan proper. Dengan demikian, adanya
pengadilan tidak dengan sendirinya
merupakan due process of law, apabila tidak
dilakukan dengan reasonable, just, dan proper.
Misalnya, pengadilan dilakukan setelah
pemerintah mencabut hak-hak warga untuk
berserikat dan berkumpul dalam hal
pembubaran Ormas. Proses seperti ini jelas
merupakan proses yang undue (tidak patut),
karena kerugian sudah terjadi (the damage has
been done) tanpa ada ruang dan kesempatan
membela diri. Bukan suatu pembelaan apabila
luka dan kerugian sudah diderita.20
Kondisi inilah yang menghendaki
penerapan hukum sebaiknya diutamakan
melalui pengadilan. Selain itu pula dapat
menjaga konsistensi negara hukum yang salah
satu indikatornya adalah pembagian
kekuasaan yang jelas antara fungsi eksekutif
dan yudikatif sehingga hukum yang abstrak
dapat diterapkan kepada individu melalui
putusan hakim sekaligus dapat mengontrol
kekuasaan eksekutif untuk menjatuhi sanksi
pembubaran kepada organisasi
kemasyarakatan yang bermasalah. Mesti
diakui bahwa peradilan memiliki fungsi yang
kuat dalam menyeimbangkan dan mengawasi
20 Latipulhayat, Atip Op.Cit.,hlm (iii)
kinerja eksekutif dan legislatif khususnya
berbicara mengenai penerapan hukum yang
menyangkut orang banyak. Sebab
permasalahan ini berbicara mengenai
kebebasan berserikat dan berkumpul yang
merupakan muatan dari Hak Asasi Manusia
sebagai pilar dalam negara hukum. Olehnya,
tidak bisa secara sepihak untuk mengeluarkan
keputusan tanpa melalui uji kelayakan dari
pengadilan berkaitan penerapan hukum yang
dilakukan oleh eksekutif dan legislatif.
Apapun kebijakan yang ditelurkan oleh
pemerintah harus diuji di pengadilan yang
independen dan imparsial dalam rangka
memberikan kepastian hukum dan keadilan
kepada organisasi kemasyarakatan yang
bermasalah.
Penulis berpendapat bahwa peran
pengadilan menjadi sangat penting digunakan
sebagai alat negara dalam mengadili
organisasi kemasyarakatan yang melanggar
aturan-aturan negara berkaitan dengan
kebebasan berserikat dan berkumpul. Hakim
memiliki parameter yang jelas dalam
mengukur telah terjadinya suatu pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh organisasi
kemasyarakatan. Dengan kata lain, parameter
yang dijadikan patokan oleh hakim mampu
diterima oleh para pihak karena telah melalui
proses penilaian terdahulu oleh pemerintah
berupa pemberian sanksi administratif yang
telah diberikan kepada organisasi
kemasyarakatan yang melanggar aturan,
sehingga hakim sebagai penilai akhir menguji
secara formil maupun materil apakah sanksi
yang sudah diberikan itu sudah sejalan
dengan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku atau dengan
penemuan hukum baru hakim dapat
menganulir sanksi yang telah dijatuhkan oleh
pemerintah kepada organisasi
kemasyarakatan yang bermasalah. Hanya
saja, berbicara mengenai proses penyelesaian
di pengadilan memakan waktu yang cukup
lama sehingga sulit untuk mengantisipasi
14
aktivitas organisasi kemasyarakatan
bermasalah yang bisa saja berpotensi akan
melakukan hal yang sangat membahayakan
untuk negara. Untuk mengatasi hal ini, perlu
dilakukan penataan penyelesaian sengketa di
pengadilan dengan menggunakan asas
peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan
yang bisa menengahi proses penyelesaian
sengketa yang ruwet.
Merujuk pada Pasal 2 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman berbunyi bahwa
peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat,
dan biaya ringan, yang dapat dijadikan
sebagai ius constituendum dan dijadikan
model untuk penyelesaian sengketa
pembubaran organisasi kemasyarakatan.
Konsep ini sangat penting untuk menata
kembali pembubaran ormas yang dilakukan
saat ini.
PENUTUP
Kesimpulan
Substansi materi yang mengatur tentang
pembubaran organisasi kemasyarakatan
sebagaimana dijelaskan dalam UU Nomor 17
Tahun 2013 maupun UU Nomor 16 Tahun
2017 perlu dielaborasi dengan prinsip-
prinsip dasar di dalam konstitusi Republik
Indonesia, yaitu Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
yang merupakan pengukuhan dari prinsip
yang dituangkan dalam Penjelasan Umum
UUD 1945 yaitu Negara Indonesia berdasar
atas hukum, tidak berdasar atas kekuasaan
belaka. UUD NRI Tahun 1945 menekankan
pentingnya sistem ‘check and balances’
(pengawasan dan keseimbangan) yang mana
perlu ada pembagian kekuasaan yang jelas
antara fungsi eksekutif dan yudikatif. Artinya
dalam permasalahan pembubaran organisasi
kemasyarakatan sangat penting untuk
melibatkan pengadilan untuk memutus vonis
pembubaran organisasi kemasyarakatan di
Indonesia dengan cara melakukan penataan
penyelesaian sengketa di pengadilan dengan
menggunakan asas peradilan cepat,
sederhana dan biaya ringan sehingga proses
penyelesaian sengketa pembubaran
organisasi kemasyarakatan bisa dilaksanakan
secara efektif dan efisien.
Saran
Adapun yang menjadi saran pada kajian ini
yaitu:
1. Diperlukan revisi UU Ormas yang
berlaku saat ini dengan memasukan
kewenangan pengadilan dalam
memutus sengketa pembubaran
organisasi kemasyarakatan yang
didukung dengan penerapan asas
peradilan cepat, sederhana dan
biaya ringan.
2. Diperlukan political good will dari
pemerintah untuk memperhatikan
kebebasan berserikat dan
berkumpul untuk selektif dan teliti
sejak awal pendaftaran dalam
menilai kelayakan sebuah
organisasi kemasyarakatan yang
ingin meminta legalisasi dari
pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Asshiddiqie, Jimly. (2010). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Setjen Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Attamimi, A. Hamid S. (1990). Peranan
Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV, Jakarta: Disertasi Doktoral Universitas Indonesia.
Tahir, Azhary Muhammad. (2012). Beberapa
Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Islam. Jakarta: Pernada Media Group.
15
Triwulan, Titik. Widodo, Ismu Gunadi. Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Jakarta: Prenadamedia Group, 2011.
Jurnal Djafar, Wahyudi. (2010). Menegaskan Kembali Komitmen Negara Hukum: Sebuah Catatan Atas Kecenderungan Defisit Negara Hukum di Indonesia, Jurnal Konstitusi, 7, 5. Fauzi, Gamawan. (2015). Urgensi UU Ormas Dalam Memperkokoh NKRI, Jurnal Kementerian Sekretariat Negara RI, 29. Hamzani, Achmad Irwan. (2014). Menggagas Indonesia Sebagai Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Jurnal Yustisia, 90. Latipulhayat, Atip. (2017). Due Process of Law, Jurnal Ilmu Hukum Padjajaran, 4 (2). Thalhah, HM. (2009). Teori Demokrasi dalam Wacana Ketatanegaraan Perspektif Pemikiran Hans Kelsen, Jurnal Hukum, 3 (16). Peraturan Perundang-undangan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Undang Undang No 17 Tahun 2013. Republik
Indonesia, 2013. Undang Undang Nomor 16 Tahun 2017. Republik Indonesia, 2017. Website https://mastel.id/mastel-anggota-jokowi-sudah-tandatangani-pembubaran-6-ormas-radikal berdasarkan-perppu-2-2017-2/. diakses pada tanggal 19 Februari 2020. Tuakia, Adhelano. Indonesia di Persimpangan Rechtsstaat dan The Rule Of Law, Lihat: https://www.kompasiana.com/adhelanotuakia/54f961e1a3331178178b4c1b/indonesia-dipersimpangan-rechtsstaat-the-rule-of-law, diakses pada tanggal 10 Maret 2020.
Top Related