28
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT, KREDIT
MACET, DAN SURAT KEPUTUSAN PENGANGKATAN PEGAWAI
NEGERI SIPIL
2.1 Perjanjian Kredit
2.1.1 Pengertian Perjanjian Kredit
Perjanjian merupakan kesepakatan antara dua orang atau dua pihak atau
lebih, mengenai hal-hal pokok yang menjadi objek dari perjanjian, kesepakatan itu
timbul karena adanya kepentingan dari masing-masing pihak yang saling
membutuhkan. Perjanjian juga disebut sebagai persetujuan, karena dua pihak
tersebut setuju untuk melakukan sesuatu. Istilah perjanjian terdapat dalam KUH
Perdata Buku III mengenai perikatan pada umumnya, Pasal 1313 KUH Perdata
berbunyi “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih”, jadi dalam suatu perjanjian
paling sedikit harus ada dua pihak sebagai subjek hukum, dimana masing-masing
pihak sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam suatu hal tertentu yang berupa
berbuat sesuatu, maupun tidak berbuat sesuatu. Perjanjian juga didefinisikan
sebagai suatu hubungan antar dasar hukum kekayaan antara dua pihak atau lebih
dimana pihak yang satu berkewajiban memberi suatu prestasi atas nama pihak
yang lain yang mempunyai hak terhadap prestasi itu.
Dalam bahasa sehari-hari kata kredit sering diartikan memperoleh barang
dengan membayar cicilan atau angsuran di kemudian hari atau memperoleh
29
pinjaman uang yang pembayarannya dilakukan dikemudian hari dengan cicilan
atau angsuran sesuai dengan perjanjian. Artinya kredit dapat berbentuk barang
atau berbentuk uang. Baik kredit berbentuk barang maupun kredit berbentuk uang
dalam hal pembayarannya dengan metode angsuran atau cicilan.16
Dalam masyarakat umum istilah kredit sudah tidak asing lagi dan bahkan
dapat dikatakan populer dan merakyat, sehingga dalam bahasa sehari-hari sudah
dicampurbaurkan begitu saja dengan istilah utang. Bahkan dalam dunia
pendidikan dengan sistem kredit semester yang baru, istilah kredit sudah memiliki
konotasi khusus tersendiri dibanding asalnya. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia kata kredit antara lain diartikan pertama pinjaman uang dengan
pembayaran pengembalian secara mengangsur, dan kedua pinjaman sampai batas
jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain. Adapun kata utang,
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia antara lain diartikan sebagai uang yang
dipinjam dari orang lain, jadi istilah lain dari kredit adalah pinjaman uang atau
utang.
Secara yuridis Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan menggunakan 2
(dua) istilah yang berbeda, namun mengandung makna yang sama untuk
pengertian kredit. Kedua istilah itu yaitu pertama, kata kredit istilah yang
digunakan pada bank konvensional dalam menjalankan kegiatan usahanya, dan
kedua kata pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, istilah yang digunakan pada
bank syariah. Penggunaan kedua istilah tersebut tergantung kepada kegiatan usaha
16 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.cit, hal. 263.
30
yang dijalankan oleh bank, apakah bank dalam menjalankan kegiatan usahanya
secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah.
Istilah kredit banyak dipakai dalam sistem perbankan konvensional yang
berbasis pasar bunga (interest based), sedangkan dalam hukum perbankan syariah
lebih dikenal dengan istilah pembiayaan (financing) yang berbasis pada
keuntungan riil yang dikehendaki (margin) ataupun bagi hasil (profit sharing).17
Pengertian kredit disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka (11) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 Tentang Perbankan, berbunyi :
”Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga”.
Sementara itu pengertian pembiayaan disebutkan dalam ketentuan Pasal 1
angka (12) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, berbunyi :
“Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang
dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka
waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”.
17 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.cit, hal. 264.
31
Kemudian pengertian pembiayaan tersebut lebih diperjelas lagi dalam
ketentuan Pasal 1 angka (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 yang
berbunyi sebagai berikut :
Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan/piutang yang dapat
dipersamakan dengan itu dalam : 18
a. Transaksi investasi yang didasarkan antara lain atas akad mudharabah
dan/atau musyarakah;
b. Transaksi sewa yang didasarkan anatara lain atas akad ijarah atau akad
ijarah dengan opsi pemindahan hak milik (ijarah muntahiyah bin
tamlik);
c. Transaksi jual beli yang didasarkan antara lain atas akad murabaha,
salam, dan istishna;
d. Transaksi pinjaman yang didasarkan atas lain akad qardh; dan
e. Transaksi multijasa yang didasarkan antara lain atas akad ijarah atau
kafalah.
Pengertian yang sama kembali juga dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1
angka (25) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,
berbunyi :
Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan
dengan itu berupa : 19
18 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.cit, hal. 265.
19 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.cit, hal. 266.
32
a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
b. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam
bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang muraba, salam, dan istishna;
d. Transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
e. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa.
Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan pihak
lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana
untuk mengembalikan dana tersebuut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
Dari rumusan kedua istilah kredit dan pembiayaan tersebut, dapat
ditemukan perbedaannya terletak pada bentuk kontraprestasi yang akan diberikan
nasabah peminjam dana (debitur) kepada bank (kreditur) atas pemberian kredit
atau pembiayaan. Pada bank konvensional kontraprestasinya adalah berupa bunga
sebagai keuntungan, sedangkan pada bank syariah kontraprestasinya dapat berupa
imbalan ujrah, bagi hasil, atau bahkan tanpa imbalan sesuai dengan persetujuan
dan kesepakatan bersama bank syariah dengan debiturnya. Baik kredit maupun
pembiayaan, sama-sama merupakan penyediaan dana atau tagihan/piutang yang
nilainya diukur dengan uang. Kemudian adanya persetujuan atau kesepakatan
bersama antara pihak bank (kreditur) dan pihak nasabah peminjam dana (debitur)
dengan perjanjian yang telah dibuatnya, dalam perjanjian kredit itu mencakup
kewajiban nasabah peminjam dana atau pihak yang dibiayai melunasi utangnya
33
atau mengembalikan pinjamannya beserta dengan bunga, imbalan, atau bagi hasil
dalam tenggang waktu yang disepakati bersama.
Dalam perbankan konvensional penyaluran dana kepada nasabah selalu
dalam bentuk uang yang kemudian terserah bagi nasabah debitur untuk
memakainya, artinya uang yang dikucurkan oleh bank dapat dipakai untuk
kegiatan produktif maupun konsumtif tanpa menghiraukan jenis transaksi tersebut
dibenarkan secara agama maupun tidak. Batasan hanya mengacu pada ketentuan
hukum positif yang berlaku, sedangkan dalam perbankan syariah biasanya bank
menyediaan pembiayaan dalam bentuk barang nyata (asset), baik yang didasarkan
pada konsep jual beli, sewa-menyewa, ataupun bagi hasil. Dengan demikian,
transaksi-transaksi yang terjadi di dalam perbankan syariah adalah transaksi yang
bebas dari riba atau bunga karena selalu terdapat transaksi pengganti atau
penyeimbang (underlying transaction), yaitu transaksi bisnis atau komersial yang
melegitimasi suatu penambahan harta kekayaan secara adil.20
Dari segi yuridis, kredit dan pembiayaan sebagaimana disebutkan dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan, diketahui bahwa pemberian kredit atau
pembiayaan oleh bank didasarkan kesepakatan atau perjanjian pinjam-meminjam
uang yang dilakukan antara bank dengan pihak lain nasabah peminjam dana.
Perjanjian pinjam-meminjam uang itu dibuat atas dasar kepercayaan bahwa
nasabah peminjam dana dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, akan
melunasi atau mengembalikan pinjaman uang atau tagihan itu kepada bank
20 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.cit, hal. 267.
34
disertai dengan pembayaran sejumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil
keuntungan sebagai imbal jasanya.
Pada umumnya, dalam perjanjian pinjam-meminjam uang itu akan
ditekankan kewajiban nasabah peminjam dana untuk memenuhi kewajibannya
melunasi atau mengembalikan dengan cara mengangsur atau mencicil utang
pokoknya, ditambah dengan bunga, imbalan, atau bagi hasil keuntungannya sesuai
dengan waktu yang ditentukan bersama. Apabila ditelusuri pengertian kredit itu
lebih lanjut, maka dapat ditemukan unsur-unsur yang terkandung dalam makna
kredit tersebut, yaitu:21
1. Kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dari pihak bank atas prestasi
yang diberikannya kepada nasabah peminjam dana yang akan
dilunasinya sesuai dengan diperjanjikan pada waktu tertentu.
2. Waktu, yaitu adanya jangka waktu tertentu antara pemberian dan
pelunasan kreditnya, jangka waktu tersebut sebelumnya terlebih
dahulu disetujui atau disepakati bersama antara pihak bank dan
nasabah peminjam dana;
3. Prestasi dan kontraprestasi, yaitu adanya obyek tertentu berupa prestasi
dan kontraprestasi pada saat tercapainya persetujuan atau kesepakatan
pemberian kredit yang dituangkan dalam perjanjian kredit antara bank
dan nasabah peminjam dana, yaitu berupa uang atau tagihan yang
diukur dengan uang dan bunga atau imbalan, atau bahkan tanpa
imbalan bagi bank syariah;
21 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.cit, hal. 268.
35
4. Risiko, yaitu adanya risiko yang mungkin akan terjadi selama jangka
waktu antara pemberian dan pelunasan kredit tersebut, sehingga untuk
mengamankan pemberian kredit dan menutup kemungkinan terjadinya
wanprestasi dari nasabah peminjam dana, diadakanlah pengikatan
jaminan (agunan).
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya salah satu fungsi perbankan
adalah sebagai penyalur dana masyarakat dengan cara memberikan kredit,
sehingga melahirkan hubungan hukum antara bank (kreditur) dan nasabah
peminjam dana (debitur). Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, yang
dimaksud dengan nasabah debitur adalah “nasabah yang memperoleh fasilitas
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan
dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan”.
Perjanjian kredit merupakan perikatan antara dua pihak atau lebih yang
menggunakan uang sebagai obyek dari perjanjian, jadi dalam perjanjian kredit ini
titik beratnya adalah pemenuhan prestasi antara pihak yang menggunakan uang
sebagai obyek atau sesuatu yang dipersamakan dengan uang. Kemudian adanya
kesepakatan antara bank dengan nasabah penerima kredit bahwa mereka sepakat
sesuai dengan perjanjian yang telah dibuatnya.
Perjanjian kredit adalah hubungan hukum kontaktual antara bank dan
pihak lain berdasarkan atas sepakat, dimana bank menyerahkan uang atau tagihan
yang dipersamakan dengan itu dan mewajibkan pihak lain mengembalikannya
dengan jangka waktu tertentu disertai pemberian bunga, imbalan atau pembagian
36
hasil keuntungan. Perjanjian kredit bank adalah perjanjian yang isinya telah
disusun oleh bank secara sepihak dalam bentuk baku mengenai kredit yang
memuat hubungan hukum antara bank dengan nasabah debitur.
Dapat diketahui, bahwa perjanjian kredit bank itu merupakan suatu
perjanjian antara bank dengan pihak peminjam (nasabah debitur), perjanjian kredit
lahir berdasarkan kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan peminjam
dana. Dalam praktik perbankan, perjanjian yang demikian dinamakan dengan
perjanjian kredit bank. R. Subekti, menyatakan dalam bentuk apapun juga
pemberian kredit itu diadakan, dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu
pada hakikatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam
sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769.
Pasal 1754 KUH Perdata terjemahan R. Subekti berbunyi: “Perjanjian pinjam-
meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada
pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena
pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan
sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.
Kemudian Marhaenis Abdul Hay mengemukakan pendapat yang sama,
yaitu bahwa perjanjian kredit adalah identik dengan perjanjian pinjam-meminjam
dan dikuasai oleh ketentuan Bab XIII Tentang pinjam-meminjam dalam Buku III
tentang Perikatan KUH Perdata. Pendapat yang senada dikemukakan pula oleh
Mariam Darus Badrulzaman yang menyatakan bahwa dari rumusan yang terdapat
di dalam Undang-Undang Perbankan mengenai pengertian kredit, dapat
37
disimpulkan dasar perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam di dalam
Pasal 1754 KUH Perdata.
Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam ini, pihak penerima pinjaman
menjadi pemilik yang dipinjam dan kemudian harus dikembalikan dengan jenis
yang sama kepada pihak yang meminjamkan. Karenanya perjanjian kredit ini
merupakan perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit
ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah. Namun sebelum
beliau berpendapat bahwa karena berdasarkan kenyataan perjanjian kredit itu
memiliki identitas sendiri yang berbeda dengan perjanjian pinjam uang, atau
pinjam-meminjam.
Di dalam KUH Perdata tidak ada ketentuan tentang bagaimana seharusnya
bentuk suatu perjanjian, artinya perjanjian dapat dituangkan dalam bentuk
perjanjian tertulis dan perjanjian tidak tertulis. Di dalam perjanjian kredit juga
tidak ada ketentuan bahwa perjanjian kredit harus dalam bentuk tertentu. Praktik
perbankan biasanya mendasarkan perjanjian kredit ini kepada Buku II KUH
Perdata (mengenai jaminan kredit bank) dan Buku III KUH Perdata. KUH Perdata
hanya menentukan pedoman umum bahwa perjanjian harus dibuat dengan kata
sepakat kedua belah pihak. Kata sepakat tersebut dapat berbentuk isyarat, lisan,
dan tertulis. Dalam bentuk tertulis, perjanjian dapat dilakukan dengan akta
dibawah tangan dan akta autentik. Dalam praktik bank, bentuk perjanjian kredit
dapat dibuat dengan akta dibawah tangan dan akta autentik (notaris).
Dalam praktik perbankan, perjanjian kredit pada umumnya dibuat dengan
cara tertulis, karena perjanjian kredit secara tertulis lebih aman bagi para pihak
38
dibandingkan dalam bentuk lisan. Dengan bentuk tertulis para pihak tidak dapat
mengingkari apa yang telah diperjanjikan, perjanjian bentuk tertulis juga
merupakan bukti yang sempurna ketika terjadi masalah hukum pada kredit yang
diperjanjikan bagi para pihak.
2.1.2 Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Kredit
Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang
telah ditentukan oleh Undang-Undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat. Adapun syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecapakan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Berikut penulis uraikan lebih lanjut mengenai syarat sahnya perjanjian :
1. Adanya sepakat mereka yang mengikatkan diri
Sepakat yaitu kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak yang disetujui
antara pihak-pihak. Jadi sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah
sepakat atau ada penyesuaian kehendak atau persetujuan masing-masing
pihak, yang dilahirkan oleh para pihak dan tanpa adanya unsure paksaan,
kekeliruan, maupun penipuan. Persetujuan yang mana dapat dinyatakan
secara tegas maupun diam-diam.22
39
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Menurut ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata yang dikatakan tidak cakap
membuat perjanjian adalah :
1. Orang yang belum dewasa;
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang
telah dilarang membuat suatu perjanjian.
Pada umumnya orang yang cakap melakukan perbuatan hukum apabila
dapat dikatan sudah dewasa, artinya umur 21 tahun atau sudah kawin
walaupun belum 21 tahun. Ketentuan mengenai seorang perempuan
bersuami tidak boleh melakukan perbuatan hukum tertentu tanpa ijin dari
suaminya, hal demikian diatur dalam Pasal 108 dan 110 KUH Perdata,
namun kedua Pasal tersebut menurut Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahun 1963 yang diperkuat dengan Pasal 31 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, sudah tidak berlaku lagi.
3. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu disini berbicara tentang objek perjanjian. Objek
perjanjian yang dapat dikategorikan dalam Pasal 1333 KUH Perdata
sampai dengan Pasal 1334 KUH Perdata. Berdaskan Pasal 1333 ayat (1)
KUH Perdata, berbunyi bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai
pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya, dan dalam
Pasal 1333 ayat (2) berbunyi bahwa tidaklah menjadi halangan bahwa
22 Ridwan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-Asas hukum Perdata, Alumni, Bandung, hal.
214.
40
jumlah barang tidak ditentukan asal saja jumlah itu kemudian dapat
ditentukan atau dihitung. Selanjutnya di dalam Pasal 1334 KUH Perdata
berbunyi bahwa barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari yaitu
yang pertama obyek yang akan ada (kecuali warisan), asalkan dapat
ditentukan jenis dan dapat dihitung. Yang kedua adalah obyek yang dapat
diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan
umum tidak dapat menjadi objek perjanjian).
4. Suatu sebab yang halal
Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, suatu sebab yang halal bukanlah
sebab dalam arti yang menyebabkan atau mendorong membuat perjanjian
melainkan sebab dalam arti “isi pejanjian itu sendiri” yang
menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak, apakah
bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak. Akibat
hukum perjanjian yang berisi causa yang tidak halal adalah “batal”, seperti
yang tercantum dalam Pasal 1335 KUH Perdata yang berbunyi “suatu
perjanjian tanpa sebab, atau yang dibuat karena sesuatu sebab yang palsu
atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum”. Sehingga tidak
mempunyai dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian dimuka hakim.
Syarat-syarat sahnya perjanjian itu menyangkut dua hal yaitu mengenai
subyeknya (yang membuat perjanjian) dan kedua mengenai obyeknya yaitu apa
yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Apabila tidak dipenuhinya syarat
subyektifnya maka dapat dimintakan pembatalan perjanjian kepada hakim,
41
sedangkan jika syarat obyektifnya tidak dipenuhi maka dapat batal demi hukum
(tanpa dimintakan pembatalan kepada hakim).
2.2 Kredit Macet
2.2.1 Pengertian Kredit Macet
Hidup matinya suatu usaha perbankan sangatlah dipengaruhi oleh jumlah
kredit yang disalurkan dalam suatu periode.23 Artinya makin banyak kredit yang
disalurkan, makin besar pula perolehan laba bank dari bidang ini sehingga mampu
mempertahankan kelangsungan hidup dan sekaligus memperbesar usaha yang
sudah ada. Dewasa ini, hampir semua bank masih mengandalkan penghasilan
utamanya dari jumlah penyaluran kreditnya (spread based) di samping dari
penghasilan yang diperoleh dan biaya-biaya atas jasa-jasa bank lainnya yang
dibebankan kepada nasabah (fee based).24
Dalam praktiknya, banyaknya jumlah kredit yang disalurkan juga harus
diikuti oleh kualitas kredit tersebut. Artinya, makin berkualitas kredit yang
diberikan atau memang layak untuk disalurkan, akan memperkecil risiko terhadap
kemungkinan kredit tersebut bermasalah bahkan macet. Perbankan dihadapkan
kepada prinsip kehati-hatian bank dalam menyalurkan kredit, artinya keputusan
pemberian suatu kredit perlu memperhatikan kualitas kredit. Bukan tidak mungkin
kredit yang jumlahnya cukup banyak akan mengakibatkan kerugian apabila kredit
23 Kasmir, 2010, Manajemen Perbankan, RajaGrafindo Persada, Cetakan 9, Jakarta, hal.
102.
24 Ibid.
42
yang disalurkan tersebut ternyata tidak berkualitas dan mengakibatkan kredit
tersebut bermasalah bahkan menjadi kredit macet.
Untuk menentukan berkualitas tidaknya suatu kredit perlu diberikan
ukuran-ukuran tertentu. Bank Indonesia menggolongkan kualitas kredit menurut
ketentuan sebagai berikut :25
1. Lancar (pas)
Kriteria atau ukuran suatu kredit dapat dikatakan lancar apabila :
a. Pembayaran angsuran dan/atau bunga tepat waktu ;
b. Memiliki mutasi rekening yang aktif ;
c. Bagian dari kredit yang dijamin dengan agunan tunai (cash collateral).
2. Dalam perhatian khusus (special mention)
Artinya suatu kredit dikatakan dalam perhatian khusus apabila memenuhi
kriteria antara lain :
a. Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga yang
belum melampaui 90 hari;
b. Kadang-kadang terjadi cerukan;
c. Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan;
d. Mutasi rekening relatif aktif;
e. Didukung dengan pinjaman baru.
3. Kurang lancar (substandard)
Suatu kredit dikatakan kurang lancar apabila memenuhi kriteria antara
lain :
25 Ibid., hal.106.
43
a. Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga yang
telah melampaui 90 hari;
b. Sering terjadi cerukan;
c. Terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan lebih dari 90
hari;
d. Frekuensi mutasi rekening relatif rendah;
e. Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur;
f. Dokumen pinjaman yang lemah.
4. Diragukan (doubtful)
Dikatakan diragukan apabila memenuhi kriteria berikut antara lain :
a. Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga yang
telah melampaui 180 hari;
b. Terjadi cerukan yang bersifat permanen;
c. Terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari;
d. Terjadi kapitalisasi bunga; dan
e. Dokumen hukum yang lemah baik untuk perjanjian kredit maupun
pengikatan jaminan.
5. Macet (loss)
Kualitas kredit dikatakan macet apabila memenuhi kriteria berikut :
a. Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga yang
melampaui 270 hari;
b. Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru;
44
c. Dari segi hukum dan kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada
nilai yang wajar.
Jadi dari ulasan diatas dapat dikatakan bahwa kredit macet adalah kredit
yang dklasifikasikan pembayarannya tidak lancar dilakukan oleh debitur
bersangkutan.26
2.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kredit Macet
Hampir setiap bank mengalami kredit macet alias nasabah tidak mampu
lagi untuk melunasi kreditnya. Kemacetan suatu fasilitas kredit disebabkan oleh
dua faktor yaitu faktor dari pihak bank sendiri dan faktor dari nasabah debitur.
Sumber-sumber penyebab terjadinya kredit macet dapat dikemukakan sebagai
berikut :
1. Faktor penyebab terjadinya kredit macet dari pihak perbankan, yaitu:27
a. Self Dealing
Self dealing terjadi karena adanya interest tertentu dari pejabat
pemberi kredit terhadap permohonan yang diajukan nasabah,
berupa pemberian kredit yang tidak layak atas dasar yang kurang
sehat terhadap nasabahnya dengan harapan mendapatkan
kompensasi berupa pemberian imbalan dari nasabah.
26 H. Malayu S.P Hasibuan, 2001, Dasar-Dasar Perbankan, Bumi Aksara, Jakarta, hal.
115.
27 Zainal Asikin, 2015, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 194.
45
b. Anxiety for Income
Pendapatan yang diperoleh melalui kegiatan perkreditan
merupakan sumber pendapatan utama sebagian besar bank
sehingga ambisi ataupun nafsu yang berlebihan untuk memperoleh
laba bank melalui penerimaan bunga kredit sering menimbulkan
pertimbangan yang tidak sehat dalam pemberian kredit.
c. Compromise of Credit Principles
Pelanggaran prinsip-prinsip kredit oleh pimpinan bank yang
metujui pemberian kredit yang mengandung risiko yang potensial
menjadi kredit yang bermasalah.
d. Incomplete Credit Information
Terbatasnya informasi seperti data keuangan dan laporan usaha, di
sampping informasi lainnya seperti penggunaan kredit,
perencanaan, ataupun keterangan mengenai sumber pelunasan
kembali kredit.
e. Failure to Obtain Enfore Liquidation Agreements
Sikap ragu-ragu dalam menentukan tindakan terhadap suatu
kewajiban yang telah diperjanjikan, meskipun nasabah mampu dan
wajib membayarnya, juga merupakan penyebab timbulnya kredit-
kredit yang tidak sehat dan mengakibatkan kredit bermasalah bagi
bank.
46
f. Complacenci
Sikap memudahkan suatu masalah dalam proses kredit akan
mengakibatkan terjadinya kegagalan atas pelunasan kembali kredit
yang diberikan.
g. Lack of Supervising
Karena kurangnya pengawasan yang efektif dan berkesinambungan
setelah pemberian kredit, kondisi kredit berkembang menjadi
kerugian karena nasabah tidak memenuhi kewajibannya dengan
baik.
h. Technical Incompetence
Tidak adanya kemampuan teknis dalam menganalisis permohonan
kredit dari aspek keuangan maupun aspek lainnya akan berakibat
kegagalan dalam operasi perkreditan suatu bank. Para pejabat
kredit harus senantiasa meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan yang berkaitan dengan tugasnya dan jangan
memberikan kredit kepada usaha atau sector yang tidak dikenal
dengan baik.
i. Poor Selection Risk
Risiko tersebut dapat dijelaskan dibawah ini :
- Pejabat kredit mampu mendeteksi kemampuan nasabah dalam
membiayai usahanya, selain yang diperoleh dari bank;
- Pejabat kredit harus mampu menghitung berapa kebutuhan
nasabah yang sesungguhnya;
47
- Pejabat kredit harus mampu menghitung nilai taksasi jaminan
yang mencover kredit yang diberikan;
- Pejabat kredit harus mampu memperhitungkan kemungkinan
risiko yang dihadapi dengan pemberian kredit dan mengetahui
sumber pelunasan;
- Pejabat kredit harus mampu mendeteksi risiko pemberian
kredit yang mungkin secara kemampuan cukup baik, tetapi dari
sisi moral kurang menguntungkan bagi bank;
- Pejabat kredit harus mampu mendeteksi kualitas jaminan yang
akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
j. Overlending
Overlending adalah pemberian kredit yang besarnya melampaui
batas kemampuan pelunasan kredit oleh bank.
k. Competition
Competition merupakan risiko persaingan yang kurang sehat antar
bank yang memperebutkan nasabah yang berakibat pemberian
kredit yang tidak sehat.
2. Faktor penyebab terjadinya kredit macet dari pihak nasabah debitur :28
Kemacetan kredit yang disebabkan oleh nasabah disebabkan dua hal
berikut, yaitu :
28 Kasmir, Op.cit., hal. 109.
48
a. Adanya unsur kesengajaan. Artinya nasabah sengaja tidak mau
membayar kewajibannya kepada bank sehingga kredit yang
diberikan dengan sendiri macet.
b. Adanya unsur tidak sengaja. Artinya nasabah memiliki kemauan
untuk membayar, tetapi tidak mampu dikarenakan usaha dibiayai
terkena musibah misalnya kebanjiran atau kebakaran.
2.3 Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil
2.3.1 Pengertian Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara
memberikan pengertian tentang Pegawai Negeri Sipil, di dalam Pasal 1 Ayat (3)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara disebutkan
bahwa “Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah Warga
Negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai
Aparatur Sipil Negara secara tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian untuk
menduduki jabatan pemerintahan. Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dilakukan
oleh Pejabat yang berwenang yang mempunyai kewenangan mengangkat,
memindahkan, dan memberhentikan Pegawai Negeri Sipil.
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 Tentang
Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri
Sipil dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan Pejabat yang berwenang adalah
Pejabat Pembina Kepegawaian. Pejabat Pembina Kepegawaian ada 3 (tiga) yaitu
Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat, Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah
Propinsi, dan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota.
49
Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil mempunyai
pengertian yaitu surat ketetapan yang dibuat oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang
telah dipertimbangkan berdasarkan Undang-Undang, menetapkan seseorang
menjadi Pegawai Negeri Sipil beserta hak dan kewajiban yang melekat
kepadanya. Dalam formilnya hanya ada satu pengangkatan, akan tetapi dalam
materiilnya terjadi dua pengangkatan yaitu pengangkatan sebagai Pegawai Negeri
Sipil dan Pengangkatan Sebagai Pejabat.29
Di dalam Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil tercantum
pangkat dan golongan ruang, dimana pangkat merupakan kedudukan yang
menunjukkan tingkat seseorang Pegawai Negeri Sipil berdasarkan jabatannya
dalam rangkaian susunan kepegawaian dan digunakan sebagai dasar penggajian.
Golongan ruang yaitu golongan gaji pokok sebagaimana diatur dalam ketentuan
perundang-undangan yang berlaku tentang gaji Pegawai Negeri Sipil. Pangkat dan
golongan ruang Pegawai Negeri Sipil menjadi dasar perhitungan bank ketika akan
memberikan kredit kepada Pegawai Negeri Sipil karena menentukan jumlah gaji
pokok dan tunjangan yang diterima oleh Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dikeluarkan sebagai
bentuk legalitas seseorang diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Dalam Surat
Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil selalu dicantumkan bahwa orang
yang namanya tercantum dalam surat pengangkatan itu telah diangkat menjadi
Pegawai Negeri Sipil dengan gaji pokok sekian dan dengan pangkat.30 Pegawai
29 CST. Kansil dan Christine S.T Kansil, 2005, Modul Hukum Administrasi Negara,
Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 203.
50
Negeri Sipil mendapatkan hak, hak ini dibagi dalam dua jenis yaitu hak materiil
dan hak non materiil, hak materiil Pegawai Negeri Sipil antara lain yaitu berupa
uang atau gaji, jaminan hari tua atau uang pensiun, pakaian dinas, perawatan
tunjangan cacat, dan uang duka. Sedangkan hak non materiil Pegawai Negeri Sipil
adalah pangkat, jabatan, pendidikan tambahan, dan naik banding dalam hal
mendapatkan hukuman.31
2.3.2 Jenis-Jenis Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang
Pengangkatan, Pemindahan, Dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, Pegawai
Negeri Sipil dibagi menjadi dua yaitu Pegawai Negeri Sipil Pusat yang mana
gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara dan Pegawai
Negeri Sipil Daerah yang gajinya dibebankan Pada Anggaran Pendapatan Dan
Belanja Daerah dan bekerja pada Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota
atau dipekerjakan diluar instansi induknya.
Menurut keterangan Bapak Ida Bagus Putra Adnyana S.STP., M.AP (Staf
pada Sub Bidang Formasi Dan Pengadaan Badan Kepegawaian Daerah Provinsi
Bali), mengatakan bahwa terdapat dua jenis surat yang dikeluarkan oleh Pejabat
Pembina Kepegawaian, yang pertama adalah Surat Keputusan Pengangkatan
Calon Pegawai Negeri Sipil atau yang sering disebut SK 80%, yaitu merupakan
surat yang menetapkan bagi yang lulus tes masuk kedalam Calon Pegawai Negeri
Sipil, alasan lain sehingga Surat Keputusan Pengangkatan Calon Pegawai Negeri
30 Ibid., hal. 202.
31 Djoko Prakoso, 1996, Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil Di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 37.
51
Sipil dikatakan SK 80 % adalah karena gaji yang diberikan kepada Calon Pegawai
Negeri Sipil adalah sebesar 80% dari gaji pokok. (Wawancara tanggal 4 Mei
2015).
Dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1976 Tentang
Pengadaan Pegawai Negeri Sipil disebutkan “pengangkatan pertama menjadi
pegawai ditetapkan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil sebagai masa percobaan”.
Apabila telah memenuhi syarat-syarat menurut Peraturan Perundang-Undangan
yang berlaku baru kemudian dapat diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil.32
Selanjutnya dalam Pasal 16 Ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1976
tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil ditegaskan bahwa Calon Pegawai Negeri
Sipil setelah melalui masa percobaan sekurang-kurangnya satu tahun dan selama-
lamanya dua tahun.33
Apabila Calon Pegawai Negeri Sipil tersebut lulus dalam masa percobaan
maka yang bersangkutan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil oleh Pejabat
Pembina Kepegawaian, kemudian diberikan Surat Keputusan Pengangakatan
Pegawai Negeri Sipil atau sering disebut dengan SK 100%. Yang mana dengan
dikeluarkannya SK 100%, maka diberikan pula gaji pokok seluruhnya kepada
Pegawai Negeri Sipil tersebut.
2.3.3 Fungsi Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil
32 Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hal.
96.
33 Ibid.
52
Fungsi atau kegunaan dari Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri
Sipil bagi Pegawai Negeri Sipil, Menurut Bapak Ida Bagus Putra Adnyana
S.STP., M.AP (Staf pada Sub Bidang Formasi Dan Pengadaan Badan
Kepegawaian Daerah Provinsi Bali, berdasarkan hasil wawancara tanggal 4 Mei
2015) adalah :
a. Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil digunakan dalam
rangka melengkapi berkas untuk kenaikan pangkat, karena dalam setiap
kenaikan pangkat dibutuhkan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai
Negeri Sipil ; dan
b. Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil digunakan untuk
kelengkapan syarat pensiun, karena salah satu syarat mendapatkan hak
pensiun adalah adanya Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri
Sipil.
Top Related