1
BAB I
PENDAHULUAN
Perubahan gaya hidup orang Indonesia sekarang yang lebih banyak gemar
makan makanan siap santap yang banyak mengandung protein, lemak, gula, garam
dan sedikit mengandung serat membuat penyakit degeneratif semakin meningkat,
contohnya penyakit diabetes melitus yang semakin meningkat insidensnya.
Di samping itu gaya hidup yang sangat sibuk dengan pekerjaan dari pagi
sampai sore bahkan kadang-kadang sampai malam hari duduk di belakang meja
menyebabkan tidak adanya kesempatan untuk berekreasi atau berolahraga. Sehingga
hal ini menyebabkan tingginya insidens penyakit degeneratif (diabetes melitus,
hipertensi, penyakit jantung koroner dan dislipidemia).
Diabetes melitus adalah penyakit degeneratif yang dapat dicegah dengan pola
dan perilaku hidup sehat. Diabetes melitus merupakan penyakit yang dapat
mengganggu fungsi sistem tubuh yang lain (kardiovaskuler, ginjal, saraf dan mata).
Diabetes melitus menyebabkan tingginya morbiditas dan mortalitas.
Menurut penelitian epidemiologi Indonesia menduduki peringkat keempat
jumlah penyandang diabetes terbanyak setelah Amerika Serikat, China dan India.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi kenaikan jumlah penyandang
diabetes mellitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta
pada tahun 2030.
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Diabetes Melitus
2.1.1. Definisi diabetes melitus
Diabetes melitus merupakan penyakit sindrom metabolik yang ditandai
dengan hiperglikemia. Hiperglikemia terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-keduanya.1,2,3,4
2.1.2. Epidemiologi
Indonesia kini telah menduduki rangking keempat jumlah penyandang
diabetes terbanyak setelah Amerika Serikat, China dan India. Berdasarkan data dari
Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penyadang diabetes pada tahun 2003 sebanyak
13,7 juta orang dan berdasarkan pola pertambahan penduduk diperkirakan pada 2030
akan ada 20,1 juta penyandang diabetes dengan tingkat prevalensi 14,7 persen untuk
daerah urban dan 7,2 persen di rural.5,6
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi kenaikan jumlah
penyandang diabetes mellitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Sedangkan Badan Federasi Diabetes Internasional
(IDF) pada tahun 2009 memperkirakan kenaikan jumlah penyandang diabetes
mellitus dari 7,0 juta tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Penderita DM di
Indonesia tidak hanya orang tua, namun remaja dan dewasa muda pun juga terkena
DM.5,6
2.1.3. Etiologi diabetes melitus
Diabetes melitus terjadi karena sekresi atau kerja hormon insulin atau
keduanya terganggu. Hormon insulin dihasilkan oleh sel beta pancreas. Sel beta
pancreas jika mengalami kerusakan karena berbagai penyebab, maka sekresi atau
kerja hormon insulin atau keduanya akan terganggu.7 etiologi berdasarkan klasifikasi
diabetes melitus sebagai berikut:
3
Jenis DM Etiologi
DM tipe 1Dekstruksi sel-β pancreas (penyakit
autoimun)
DM tipe 2 Resistensi insulin
DM tipe lain
Gangguan fungsi sel-β karena mutasi
genetik (HNF-4α(MODY1), kelainan
eksokrine (pancreas), kelainan endokrine,
infeksi, obat, penyakit syndrome genetik
(syndrome down) dan sebagainya.
DM gestasi Resistensi insulin dengan disfungsi sel- β
2.1.4. Patofisiologi
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan
oleh sel beta pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta,
insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh
untuk keperluan regulasi glukosa darah.8
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon
insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. dengan bantuan enzim peptidase,
preproinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian
dihimpun dalam gelembung-gelembung (secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di
sini, sekali lagi dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin, diurai menjadi insulin
dan peptida-C yang keduanya sudah siap untuk disekresikan secara bersamaan
melalui membran sel.8
Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan tubuh
normal oleh sel beta dalam dua fase, sehingga sekresinya berbentuk biphasic. Sekresi
biphasic akan terjadi setelah adanya rangsangan seperti glukosa dari makanan atau
minuman.8
Sekresi fase 1 (acute insulin secretion response = AIR) adalah sekresi insulin
yang terjadi segera setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat dan
4
berakhir juga cepat. Sekresi fase 1 biasanya mempunyai puncak yang relatif tinggi
untuk mengantipasi kadar glukosa darah yang biasanya meningkat tajam, segera
setelah makan.AIR yang berlangsung normal, bermanfaat dalam mencegah terjadinya
hiperglikemia akut setelah makan atau lonjakan glukosa darah posprandial.8
Selanjutnya, sekresi fase 2 (sustained phase, latent phase) terjadi setelah
sekresi fase 1 berakhir. Sekresi fase 2 berlangsung relatif lebih lama, kadar
puncaknya ditentukan oleh seberapa besar glukosa darah di akhir fase 1, disamping
faktor resitensi insulin. Apabila sekresi fase 1 tidak adekuat, maka akan terjadi
kompensasi pada fase 2, yaitu sekresi insulin meningkat pada fase 2 agar kadar
glukosa (postprandial) tetap dalam batas normal di dalam tubuh.8
Insulin berfungsi mengatur regulasi glukosa darah agar selalu dalam batas-
batas fisiologi, baik saat puasa maupun setelah mendapat beban. Pada saat mendapat
beban/makanan, hormon insulin akan disekresikan untuk mengatur glukosa darah
dengan cara bekerja di jaringan adiposa (uptake glukosa meningkat, lipogenesis
meningkat dan lipolisis berkurang), otot (uptake glukosa meningkat, sintesis glikogen
dan sintesis protein meningkat) dan di hati (sintesis glikogen dan lipogenesis
meningkat dan proses glukoneogenesis berkurang). tetapi pada saat puasa, hormon
insulin tidak disekresikan, sehingga jaringan adiposa, otot dan hati akan merespon
untuk menghasilkan glukosa, agar kadar glukosa tetap dalam batas normal dalam
tubuh melalui proses glikogenesis (mengubah glikogen menjadi glukosa dengan
bantuan hormon glukagon) dan proses glukoneogenesis (lemak dan protein dipecah
menjadi glukosa).7,8
5
Gambar 1. Aksi metabolik insulin7
Defisiensi insulin atau resistensi insulin atau keduanya menyebabkan uptake
glukosa ke sel otot menurun, sehingga tubuh akan lemah karena tidak ada glukosa
yang dimetabolisme untuk menjadi energi. Jika hal ini terjadi. Maka, tubuh akan
merespon (hati dan jaringan lemak) dengan memecah lemak dan protein untuk
menghasilkan glukosa, sehingga terjadi proses glikogenolisis dan glukoneogenesis
yang meningkat untuk memenuhi kebutuhan glukosa tubuh. Meskipun, glukosa
banyak dibentuk tetapi terjadi defisiensi/resistensi insulin, maka glukosa tetap tidak
bisa digunakan oleh sel otot sebagai energi. Akibatnya, glukosa dalam darah menjadi
meningkat atau terjadi hiperglikemia.7,9 (gambar 2)
6
Gambar 2. Patofisiologi DM9
2.1.5. Manifestasi klinik
Manifestasi klinik diabetes melitus sebagai berikut:3,4,7,8,10
1. Poliuria: banyak kencing. Hal ini disebabkan karena pada pasien DM terjadi
hiperglikemia, sehingga ginjal tidak mampu untuk mengabsorbsi glukosa.
Akibatnya, terjadi glukosuria yang mengakibatkan diuresis osmotik yang
meningkatkan pengeluaran urin (poliuria). (gambar 3 dan 4)
2. Polidipsia: banyak minum. Hal ini terjadi karena pada pasien DM terjadi
poliuria. Maka, tubuh akan merespon tubuh kekurangan cairan (dehidrasi).
Sehingga, kompensasi tubuh adalah timbul rasa haus (polidipsia). (gambar 3
dan 4)
3. Polifagia: banyak makan. Hal ini terjadi karena glukosa keluar bersama urin,
maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif, sehingga tubuh akan
merasa lapar yang semakin besar. (gambar 3 dan 4)
7
4. Berat badan menurun karena glukosuria (kalori keluar bersama urin) dan
uptake glukosa ke sel-sel otot berkurang/tidak ada, maka akan terjadi proses
lipolisis (pemecahan lemak menjadi glukosa). (gambar 3)
5. Lemas dan mudah cape karena uptake glukosa ke sel otot berkurang/tidak ada,
sehingga tidak ada energi.
6. Mudah mengantuk
7. Kesemutan; kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal di
kulit dan kram.
8. Luka sulit sembuh
9. Gatal
10. Mata kabur
11. Disfungsi ereksi pada pria
12. Keputihan (flouralbus) pada wanita
8
Gambar 3. Patofisiologi manifestasi klinik DM4
2.1.6. Diagnosis
Diagnosis dari Diabetes Melitus harus didasarkan atas pemeriksaan kadar
glukosa darah. Penegakan diagnosis Diabetes Melitus harus memperhatikan asal
bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Penegakan diagnosis
berdasarkan pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara
enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole
blood), vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-
9
angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO, sedangkan
untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler.5
Tabel 1. Interpretasi Tes Glukosa Darah5
Tes SampelBukan DM Belum Pasti DM DM
mg/dL mmol/L mg/dL mmol/L mg/dL mmol/L
GDS Plasma
vena
Darah
kapiler
< 110
< 90
< 6,1
< 5,0
110–199
90–199
6,1–11,0
5,0–11,0
> 200
> 200
> 11,1
> 11,1
GDP Plasma
vena
Darah
kapiler
< 110
< 90
< 6,1
< 5,0
110–125
90–109
6,1–7,0
5,0–6,1
> 126
> 110
> 7,0
> 6,1
GD2
PP
Plasma
vena
Darah
kapiler
< 140
< 120
< 7,8
< 6,7
140–200
120–200
7,8–11,1
6,7–11,1
> 200
> 200
> 11,1
> 11,1
Tabel 2. Interpretasi TTGO (WHO)5
Kriteri
a
GDP
0 jam 2 jam
(mg/dL) (mmol/L) (mg/dL) (mmol/L)
GDPT > 110 serta < 126 6,1 > serta < 7,0 < 140 < 7,8
TGT < 126 < 7,0 > 140 serta <
200
7,8 > serta <
11,1
DM > 126 > 7,0 > 200 > 11,1
10
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien diabetes. Kecurigaan adanya
Diabetes Melitus perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik Diabetes Melitus
seperti tersebut di bawah ini:5
1. Keluhan klasik DiabetesMelitus berupa : poliuria, polidipsi, polifagia dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis Diabetes Melitus dapat ditegakkan melalui tiga cara, yaitu:
1. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma >
200mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus.
2. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan,
mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan
untuk diagnosis Diabetes Melitus.
3. Ketiga dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan beban 75 gram, glukosa lebih
sensitif dan spesifik di banding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa,
namun memiliki keterbatasan sendiri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
gambar berikut.
11
Gambar 4. Langkah-langkah diagnostik DM dan TGT
2.7. Penatalaksanaan
a. Non farmakologis
Penatalaksanaan non farmakologis meliputi:
1. Edukasi5,8
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi karena pola gaya hidup dan perilaku yang
tidak sehat (kurang aktivitas dan pola makan yang tidak seimbang). Edukasi
pada pasien diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan
masyarakat dan tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,
dibutuhkan edukasi.
2. Terapi gizi medis
12
Terapi gizi medis sangat direkomendasikan pada pasien DM. terapi
gizi medis prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang
didasarkan pada status gizi pasien dan melakukan modifikasi diet
berdasarkan kebutuhan individual. 5,8
Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara
lain: 1) menurunkan berat badan; 20 menurunkan tekanan darah sistolik dan
diastolik; 3) menurunkan kadar glukosa darah; 4) memperbaiki profil lipid;
5) meningkatkan sensitivitas reseptor insulin; 6) memperbaiki sistem
koagulasi darah. 5,8
Menurut penelitian, bahwa penurunan 5% berat badan dapat
mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% dan setiap kilogram penurunan
berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup.
Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian di luar negeri bahwa diet tinggi
karbohidrat bentuk kompleks (bukan disakarida atau monoakarida) dan dalam
dosis terbagi dapat meningkatkan atau memperbaiki pembakaran glukosa di
jaringan perifer dan memperbaiki kepekaan sel beta di pankreas.11
Tujuan terapi gizi medis adalah untuk mencapai dan
mempertahankan: 5,8
1) Kadar glukosa darah mendekati normal (GDP berkisar 90-130 mg/dl,
GD2PP < 180 mg/dl, kadar A1c < 7%)
2) Tekanan darah <130/80 mmHg
3) Profil lipid (LDL < 100 mg/dl, HDL > 40 mg/dl, Trigliserid < 150 mg/dl)
4) Berat badan senormal mungkin
Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan
perubahan pola makan pasien diabetes antara lain: tinggi badan, berat badan,
status gizi, status kesehatan, aktivitas fisik dan usia. Selain itu juga terdapat
beberap faktor fisiologisn seperti masa kehamilan, pertumbuhan, gangguan
pencernaan pada masa tua. Masalah lain yang perlu diperhatikan juga adalah
status ekonomi, kebiasaan/tradisi serta kemampuan tenaga kesehatan. 5,8
13
Komposisi bahan makanan terdiri dari makronutrien (karbohidrat,
protein dan lemak) dan mikronutrien (vitamin dan mineral). Komposisi
makanan yang direkomendasikan untuk pasien DM adalah karbohidrat 60-
70%, protein sekitar 10-15% dan lemak 20-25% dari total kebutuhan
energi/hari. 5,8
Perhitungan jumlah kalori ditentukan oleh status gizi, umur, ada
tidaknya stres akut, dan kegiatan jasmani. Penentuan status gizi bisa
menggunakan indeks massa tubuh (IMT) atau rumus brocca. 5,8
1) Penentuan status gizi berdasarkan IMT5,8
Status gizi: BB (kg)/TB2 (m)
Tabel 3. Interpretasi status gizi berdasarkan IMT
IMT Status Gizi
< 18,5 Kurang
18,5 -22,9 Normal
23 - 24,9 Overweight
25 - 29,9 Obes 1
> 30 Obes 2
2) Penentuan status gizi berdasarkanrmus Brocca8
Berat badan ideal (BBI): (TB (cm) -100) x 90%
Tabel 4. Interpretasi status gizi berdasarkan rumus Brocca
BBI Status Gizi
< 90% BB Kurang
14
90-110% BB Normal
110-120% BB lebih
>120% Gemuk
Untuk kebutuhan praktis dalam praktek di lapangan, digunakan rumus
Brocca. Setelah menentukan kebutuhan kalori per hari (tabel 5). Makanan
tersebut dibagi dalam porsi ringan dan 3 porsi besar sebagai berikut:
a. Porsi ringan : 10-15% di antara makan besar
b. Makan pagi : 20%
c. Makan siang : 30%
d. Makan malam :25%
Tabel 5. Penentuan kebutuhan kalori per hari8
Kebutuhan basal:
Laki-laki: BBI x 30 kalori/kg = … kalori
Perempuan: BBI x 25 kalori/kg = … kalori
Koreksi penyesuaian:
Umur > 40 thn : -5% x kalori basal = - … kalori
Aktivitas:
Ringan (duduk-duduk,
nonton TV dll)
: + 10% x kalori basal = + … kalori
Sedang (kerja kantoran,
IRT, perawat, dokter dll)
: + 20% x kalori basal = + … kalori
Berat (olahragawan,
tukang becak dll)
: + 30% x kalori basal = + … kalori
Berat badan:
BB gemuk :- 20% x kalori basal = - … kalori
BB lebih : -10% x kalori basal = - … kalori
BB kurang :+ 20% x kalori basal = + … kalori
15
Stres metabolik (infeksi,
stroke, operasi dll)
:+ (10-30%) x kalori basal = + … kalori
Hamil trimester I & II: = + 300 kalori
Hamil trimester III dan laktasi: = + 500 kalori
Total kebutuhan = … kalori
3. Latihan jasmani5,8
Latihan jasmani dapat menurunkan berat badan, memberikan respon
baik pada lemak tubuh, tekanan darah arteriil, sensitivitas barorefleks,
vasodilatasi pembuluh yang endothelium-dependent, aliran darah pada kulit
dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah.
Prinsip latihan jasmani bagi penderita DM, persis sama dengan latihan
jasmani secara umum, yaitu memenuhi beberapa hal, seperti:
a) Frekuensi: 3-5 kali/minggu secara teratur
b) Intensitas: ringan dan sedang (60-70% Maximum Heart Rate (MHR)).
Rumus MHR: 220-umur. Setelah MHR didapatkan, dapat ditentukan
Target Heart Rate (THR). Contoh: seorang pasien DM berumur 50 tahun
disasarkan sebesar 75%, maka THR: 75% x (220-50) = 120. Jadi, sasaran
denyut jantung 120x/menit.
c) Durasi: 30-60 menit
d) Jenis: Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang
bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan
berenang.
Untuk melakukan latihan jasmani, perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
16
a) Pemanasan (warm-up): tujuannya untuk mempersiapkan berbagai sistem
tubuh, meningkatkan denyut jantung dan menghindari cedera. Pemanasan
cukup dilakukan 5-10 menit.
b) Latihan inti (conditioning): pada tahap ini, diusahakan denyut nadi
mencapai THR, agar mendapatkan manfaat latihan. Jika, denyut jantung
melebihi THR, mungkin malah bisa mendapatkan risiko yang tidak
diinginkan.
c) Pendinginan (cooling-down): untuk mencegah penimbunan asam laktat.
d) Peregangan (stretching): untuk melemaskan dan melenturkan otot-otot
yang masih tegang dan menjadikan lebih elastis. Tahapan ini lebih
bermanfaat pada mereka yang berusia lanjut.
b. Farmakologis
Pengobatan diabetes secara menyeluruh mencakup diet yang
benar,olah raga yang teratur, dan obat - obatan yang diminum atau suntikan
insulin. Indikasi penggunaan obat hiperglikemia oral (OHO) dan suntikan
insulin sebagai berikut.
a) Indikasi obat hiperglikemia oral (OHO)
1) DM tipe 2
2) Usia > 40 tahun
3) BB normal/gemuk
4) Menderita DM < 5 tahun
5) Belum pernah mendapat insulin atau pernah tapi < 40 UI
b) Indikasi suntikan insulin
1) DM tipe 1
2) Pasien kurus
17
3) Penurunan BB secara drastis tanpa diketahui penyebabnya
4) Hiperglikemia disertai asidosis
5) Ketoasidosis diabetik
6) Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
7) Hiperglikemia dengan asidosis laktat
8) Gagal dengan kombinasi OHO yang dosisnya hampir maksimal
9) Stres berat (infeksi sistemik, operasi, IMA, dan stroke)
10) Kehamilan dengan DM gestasi yang tidak terkendali dengan diet
11) Gangguan fungsi hati dan ginjal yang berat
12) Infeksi akut (kaki diabetik)
Obat hiperglikemia oral terdiri dari beberapa golongan sebagai
berikut:
1) Golongan Biguanid8,12
Farmakodinamik dan farmakokinetik adalah metformin terdapat dalam
konsentrasi yang tinggi didalam usus dan hati, tidak dimetabolisme tetapi
secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Metformin mencapai kadar tinggi
dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh
dengan waktu paruh 2 jam. Dosis maksimal metformin 3 gram dan dibagi
dalam 2 atau 3 kali pemberian.
Mekanisme kerja metformin adalah menurunkan produksi glukosa di
hati, meningkatkan sensitivitas reseptor insulin di oto dan adiposa, dan
menghambat absorpsi glukosa di usus.
Metformin dapat digunakan sebagai terapi monoterapi atau kombinasi
dengan sulfonylurea atau kombinasi dengan insulin (SU). Pada
pemakaian monoterapi dapat menurunkan kadar glukosa plasma sampai
20% dan HbA1c 1-2%. Metformin yang dikombinasi dengan SU dapat
18
menurunkan HbA1c 3-5%. Kombinasi dengan insulin dipertimbangkan
pada pasien gemuk dengan glikemia yang sukar dikendalikan.
Efek samping metformin adalah mual, muntah, diare, dan kecap logam
(metalic taste) pada 20% pasien. Keluhan-keluhan tersebut segera hilang
jika dosis dikurangi. Metformin juga dapat mengganggu absorpsi vitamin
B12.
Kontraindikasi metformin adalah pada pasien gangguan hati, ginjal,
kehamilan, infeksi berat, dan gangguan jantung yang memerlukan terapi.
2) Golongan Sulfonilurea (SU)
Farmakokinetik dan farmakodinamik. Berbagai SU mempunyai sifat
kinetik yang berbeda. Tetapi absorbsi di saluran cerna sangat efektif.
Makanan dan keadaan hiperglikemia dapat mengurangi absorpsi.
Sehingga, SU baik diberikan 30 menit sebelum makan. Masa paruh SU
singkat (glibenklamid 4 jam pada pemakaian akut, tetapi pemakaian lama
> 12 minggu, masa paruhnya mencapai 12 jam atau bahkan sampai > 20
jam pada pemakaian kronik dengan dosis maksimal). Semua jenis SU
dimetabolisme di hepar dan diekskresi melalui ginjal. 8,12
Mekanisme kerja SU adalah merangsang sel beta ppancreas untuk
menghasilkan insulin, sehingga obat ini tidak dapat digunakan untuk DM
tipe 1. SU disebut juga sebagai sekretagonik insulin.8,12
Memilih SU yang tepat untuk terapi harus berdasarkan umur pasien
pada saat menderita DM. pada umumnya hasil baik akan diperoleh pada
pasien yang menderita DM > 40 tahun. Dosis awal SU tergantung kadar
glukosa darah. Bila, GDP < 200 mg/dl, sebaiknya berikan dosis kecil dan
dititrasi secara bertahap setelah 1-2 minggu sehingga tercapai GDP 90-130
mg/dl. Bila, GDP > 200 mg/dl dapat diberikan dosis awal yang besar
dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa hari sudah dapt diperoleh
efek klinis yang jelas dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan kadar
19
glukosa darah yang cukup bermakna. Segeralah periksa kadar glukosa
darah dan sesuaikan dosisnya.8
Efek samping SU adalah terjadi hipoglikemia, bahkan sampai koma.
Reaksi ini sering terjadi pada pasien usia lanjut dan gangguan fungsi hati
dan ginjal. Efek samping lain yang jarang terjadi adalah reaksi alergi,
mual, muntah, diare, gejala hematologik, SSP, mata, dan sebagainya.8,12
Kontraindikasi SU adalah pada pasien DM tipe 1, gangguan fungsi
hati dan ginjal, hipersensitif terhadap sulfa, hamil dan menyusui.8
3) Golongan Thiazolidinediones
Golongan ini merupakan agonist peroxime proliferator-activated
receptor gamma yang sangat selektif dan poten. Reseptor ini terdapat di
jaringan terget insulin seperti jaringan otot, hati, dan adiposa. Glitazon
menurunkan produksi glukosa di hepar, menurunkan asam lemak bebas di
plasma dan remodeling jaringan adiposa.giltazon juga dapat menurunkan
sedikit TD, meningkatkan fibrinolisis dan memperbaiki fungsi endotel.8,12
Absorpsi Glitazone tidak dipengaruhi oleh makanan, berlangsung
+ 2 jam. Glitazone di absorpsi di hepar dan disekresi di ginjal.
Glitazon digunakan untuk DM tipe 2 yang tidak memberi respon
dengan diet dan latihan fisik, sebagai monoterapi atau kombinasi dengan
metformin atau SU atau insulin.12
Efek sampingnya adalah peningkatan berat badan, menambah volume
plasma, memperburuk gagal jantung kengestif, ISPA (16%), sakit kepala
(7,1%), anemia dilusional (penurunan Hb sekitar 1 gr/dl). Edema sering
terjaid pada penggunaanya bersama insulin. Kontraindikasi pada
penyakit hepar.8,12
4) Penghambat alfa glukosidase
Farmakodinamik dan farmokokinetik acarbose hampir tidak diabsorbsi
dan bekerja lokal pada saluran cerna. Acarbose mengalami metabolisme
terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas enzim
20
pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma kira-kira 2 jam pada orang
sehat dan sebagian besar dieksresi melalui feses. Obat ini bekerja secara
kompentatif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di dalam saluran
cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa
dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen
usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan tidak berpengaruh terhadap
kadar insulin.12
Mekanisme kerja acarbose adalah memperlambat pemecahan dan
penyerapan karbohidrat kompleks dengan menghambat enzim alpha
glukosidase yang terdapat pada dinding enterosit yang terletak pada
bagian proksimal usus.8
Efek sampingnya adalah meteorismus, flatulence dan diare.
Kontraindikasi pada pasien Inflamasi bowel syndrome, obstruksi saluran
cerna, sirosis hati dan gangguan fungsi ginjal.8
Selain OHO, terapi farmakologis adalah dengan suntikan insulin.
Insulin dapat diberikan secara intravena, intramuskular, atau subcutan. Pada
umumya, untuk jangka panjang sering diberikan secara subcutan. Preparat
insulin dapat dibedakan berdasarkan lama kerja (kerja cepat, sedang, dan
panjang) seperti pada tabel 6 atau dibedakan berdasarkan spesiesnya (human
dan porcine). Human insulin merupakan hasil teknologi rekombinasi DNA,
dalam larutan yang cair lebih larut dari porcine insulin. Efek samping insulin
adalah hipoglikemia dan reaksi alergi.8,12
Tabel 6. Sifat berbagai sedian insulin8
Jenis sedian BuferMula
kerjaPuncak
Masa
kerja
Kombinasi
dengan
kerja cepat
reguler soluble - 0.1-0.7 1.5-4 5-8 semua jenis
lispro fosfat 0.25 0.5-1.5 2-5 lente
21
kerja sedang
HPH (isophan) fosfat 1-2 6-12 18-24 reguler
lente asetat 1-2 6-12 18-24 semilente
kerja panjang
protamin zinc fosfat
asetat4-6 14-20 24-36 reguler
ultralente - 4-6 16-18 20-36
glargin 2-5 5-24 18-24
Awal intervensi
22
Gambar 5. Algoritma penatalaksanaan DM tipe 211
Edukasi/nutrisi/olahraga
23
Gambar 6. Pengelolaan DM di Indonesia13
2.8. Komplikasi
Kondisi kadar gula darah tetap tinggi akan timbul berbagai komplikasi.
Komplikasi pada Diabetes Melitus dibagi menjadi dua yaitu:
1. Komplikasi akut meliputi ketoasidosis diabetik, hiperosmolar non ketotik,
dan hipoglikemia. (gambar 7)
2. komplikasi kronik adalah makroangiopati dan mikroangiopati. (tabel 7 dan
gambar 8)
24
Tabel 7. Komplikasi kronik DM beserta tanda patologisnya
komplikasi sistem tubuh tanda patologis
Mikroangiopati
Neuropati neurologi baal, nyeri parah
Nefropati ginjal gagal ginjal
Retinopati mata penglihatan kabut
Makroangiopati
kardiovaskuler infark miokard
vaskuler periferluka sukar
sembuh, gangrene
25
Gambar 7. Mekanisme ketoacidosis diabetik2
26
Gambar 8. Komplikasi kronik DM2
27
2.9. Pencegahan diabetes melitus
Menurut WHO, upaya pencegahan pada diabetes melitus ada tiga jenis atau
tiga tahap, yaitu:
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer ditujukan pada orang-orang yang belum sakit atau
belum menderita DM. Semua pihak harus bertanggung jawab (petugas
kesehatan, pemerintahan dan masyarakat) untuk mempromosikan pola hidup
sehat dan menghindari hidup yang berisiko.8
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder adalah menemukan penderita DM sedini
mungkin dengan melakukan tes skrining pada kelompok yang berisiko.
Sehingga, dapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun
sudah ada komplikasi reversibel.8 Kelompok yang berisiko terhadap DM
tipe 2 sebagai berikut:5
a. Tidak mempunyai aktivitas fisik
b. Keturunan dari ras yang mempunyai risiko tinggi seperti Afrika
c. Amerika, Latin, Asia Amerika
d. Berat badan lebih : BB > 120% BB idaman atau IMT ≥ 25 kg/m2
e. Hipertensi ( ≥140/90 mmHg)
f. Riwayat Diabetes Melitus dalam garis keturunan
g. Riwayat Diabetes dalam kehamilan, riwayat abortus berulang,
h. melahirkan bayi cacat atau berat badan lahir bayi > 4000 gram
i. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
j. A1C ≥ 5,7 % atau Riwayat gangguan toleransi glukosa
k. Riwayat atau penderita PJK.
l. Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥200 mg/dl
3. Pencegahan tersier
Semua upaya yang dilakukan untuk mencegah komplikasi atau
kecacatan akibat komplikasi itu. Usaha ini meliputi:8
28
a. Mencegah timbulnya komplikasi
b. Mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak menjadi
kegagalan organ
c. Mencegah kecacatan tubuh
2.2. Kaki Diabetik
2.2.1 Definisi kaki diabetik
Kaki diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik dari diabetes
melitus yang ditandai dengan infeksi, ulkus, dan atau kerusakan pada
jaringan yang berhubungan dengan gangguan pada saraf dan aliran darah
pada kaki. Gangguan pada saraf dan aliran darah ini disebabkan karena
hiperglikemia.8,14
2.2.2. Tanda dan Gejala Kaki Diabetik
Tanda dan gejala kaki diabetik yaitu sering kesemutan, nyeri kaki saat
istirahat, rasa terbakar, sensasi rasa berkurang, kerusakan jaringan
(nekrosis), penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea,
kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal, kulit kering.5, 14
2.2.3. Patofisiologi kaki diabetik
29
Kaki diabetik terjadi karena gangguan pada saraf dan pembuluh darah
yang disebabkan oleh hiperglikemia.
1. Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik adalah komplikasi kronis yang paling sering
ditemukan pada pasien diabetes melitus. Neuropati diabetik adalah
gangguan metabolisme syaraf sebagai akibat dari hiperglikemia kronis
(Smeltzer et al, 2008). Angka kejadian neuropati ini meningkat
bersamaan dengan lamanya menderita penyakit Diabetes Melitus dan
bertambahnya usia penderita.
Ada tiga tipe neuropati yaitu neuropati sensorik, neuropati
motorik dan neuropati otonom. Kondisi pada neuropati sensorik yang
terjadi adalah kerusakan saraf sensoris pertama kali mengenai serabut
akson yang paling panjang, yang menyebabkan distribusi stocking dan
gloves.
Kerusakan pada serabut saraf tipe A akan menyebabkan
kelainan propiseptif, sensasi pada sentuhan ringan, tekanan, vibrasi dan
persarafan motorik pada otot. Secara klinis akan timbul gejala seperti
kejang dan kelemahan otot kaki.
Serabut saraf tipe C berperan dalamn analisis sensari nyeri dan
suhu. Kerusakan pada saraf ini akan menyebabkan kehilangan sensasi
protektif. Ambang nyeri akan meningkat dan menyebabkan trauma
berulang pada kaki. Neuropati perifer dapat dideteksi dengan hilagnya
sensasi terhadap 10 g nylon monofilament pada 2-3 tempat pada kaki.
Selain dengan 10 g nylon monofilament, dapat juga menggunakan
biothesiometer dan Tunning Fork untuk mengukur getaran.
Neuropati motorik terjadi karena demyelinisasi serabut saraf dan
kerusakan motor end plate. Serabut saraf motorik bagian distal yang
paling sering terkena dan menimbulkan atropi dan otot-otot intrinsik
kaki. Atropi dari otot intraosseus menyebabkan kolaps dari arcus kaki.
30
Metatarsal-phalangeal joint kehilangan stabilitas saat melangkah. Hal
ini menyebabkan gangguan distribusi tekanan kaki saat melangkah dan
dapat menyebabkan kallus pada bagian-bagian kaki dengan tekanan
terbesar. Jaringan di bawah kallus akan mengalami iskemia dan
nekrosis yang selanjutnya akan menyebabkan ulkus. Neuropati motorik
menyebabkan kelainan anatomi kaki berupa claw toe, hammer toe, dan
lesi pada nervus peroneus lateral yang menyebabkan foot drop.
Neuropati motorik ini dapat diukur dengan menggunakan pressure Mat
atau Platform untuk mengukur tekanan pada plantar kaki.
Neuropati otonom menyebabkan keringat berkurang
sehinggakaki menjadi kering. Kaki yang kering sangat beresiko untuk
pecah dan terbentuk fisura pada kallus. Neuropati otonom juga
menyebabkan gangguan pada saraf-saraf yang mengontrol distribusi
arteri-vena sehingga menimbulkan arteriolar-venular shunting. Hal ini
menyebabkan distribusi darah ke kaki menurun sehingga terjadi iskemi
pada kaki. Keadaan ini mudah dikenali dengan terlihatnya distensi vena-
vena pada kaki.
2. Kelainan vaskular
Penyakit arteri perifer (PAP) adalah salah satu komplikasi
makrovaskular dari Diabetes Melitus. Penyakit arteri perifer ini
disebabkan karena dinding arteri banyak menumpuk plaque yang terdiri
dari deposit platelet, sel-sel otot polos, lemak, kolesterol dan kalsium.
PAP pada penderita diabetes berbeda dari yang bukan Diabetes Melitus.
PAP pada pasien Diabetes Melitus terjadi lebih dini dan cepat
mengalami perburukan. Pembuluh darah yang sering terkena adalah
arteri Tibialis dan Arteri Peroneus serta percabangannya. Resiko untuk
terjadinya kelainan vaskuler pada penderita diabetes adalah usia, lama
menderita diabetes, genetik, merokok, hipertensi, dislipidemia,
hiperglikemia, obesitas.
31
Pasien Diabetes Melitus yang mengalami penyempitan
pembuluh darah biasanya ada gejala, tetapi kadang juga tanpa gejala.
Sebagian lain dengan gejala iskemik, yaitu :
a. Intermitten Caudication adalah nyeri dan kram pada betis yang
timbul saat berjalan dan hilang dengan berhenti berjalan, tanpa harus
duduk. Gejala ini muncul jika Ankle-Brankhial Index < 0,75.
b. Kaki dingin
c. Nyeri : terjadi karena iskemi dari serabut saraf, diperberat dengan
panas, aktivitas, dan elevasi tungkai dan berkurang dengan berdiri
atau kaki menggantung
d. Nyeri iskemia nokturnal : terjadi malam hari karena perfusi ke
tungkai bawah berkurang sehingga terjadi neuritis iskemik
e. Pulsasi arteri tidak teraba
f. Pengisian vena yang terlambat setelah elevasi tungkai dan capillary
refilling time (CRT) yang memanjang
g. Atropi jaringan subkutan
h. Kulit terlihat licin dan berkilat
i. Rambut di kaki dan ibu jari menghilang
j. Kuku menebal, rapuh, sering dengan infeksi jamur
Untuk memastikan adanya iskemia pada kaki diabetik perlu
dilakukan beberapa pemeriksaan lanjutan, terutama jika diperlukan
rekonstruksi vaskuler. Pemeriksaan penunjang lanjutan yang noninvasif
antara lain:
a. Palpasi dari denyut perifer. Apabila denyut kaki bisa di palpasi, maka
PAP tidak ada. Jika denyut dorsalis pedis dan tibial posterial tidak
teraba maka dibutuhkan pemeriksaan yang lebih lanjut.
b. Doppler flowmeter : dapat mengukur derajat stenosis secara kualitatif
dan semikuantitatif melalui analisis gelombang Doppler. Frekuensi
32
sistolik dopler distal dari arteri yang mengalami oklusi menjadi
rendah dan gelombangnya menjadi monofasik.
c. Ankle-branchial index (ABI) : tekanan diukur di beberapa tempat di
ekstremitas menggunakan manset pneumatik dan flow sensor,
biasanya Doppler ultrasound sensor. Tekanan sistolik akan
meningkat dari sentral ke perifer dan sebaliknya tekanan diastolik
akan turun. Karena itu, tekanan sistolik pada pergelangan kaki lebih
tinggi dibanding A. Brachium. Jika terjadi penyumbatan, tekanan
sistolik akan turun walaupun penyumbatan masih minimal. Rasio
antara tekanan sistolik di pergelangan kaki dengan tekanan sistolik di
arteri brachialis (ankle-branchial index) merupakan indikator sensitif
untuk menentukan adanya penyumbatan atau tidak.
Tabel 8. Interpretasi ankle-brachial index
Nilai Interpretasi
>90 normal
0.71 – 0.90 iskemia ringan
0.41 – 0.70 iskemia sedang
0.00 – 0.40 iskemia berat
d. Transcutaneous Oxymetri (tCPO2) : berhubungan dengan saturasi
O2 pada arteri yang mengalami oklusi sangat rendah. Pengukuran ini
sering digunakan untuk mengukur kesembuhan ulkus maupun luka
amputasi.
e. Magnetic Resonance Angiography (MRA) : merupakan teknik yang
baru, menggunakan magnetic resonance, lebih sensitif dibanding
33
angiografi standar. Arteriografi dengan kontras adalah pemeriksaan
yang invasif, merupakan standar baku emas sebelum rekonstruksi
arteri. Namun, pasien-pasien diabetes memiliki resiko yang tinggi
untuk terjadinya gagal ginjal akut akibat kontras meskipun kadar
kreatinin normal.
Top Related