Jokowi di Antara Dua Karang
Editor: Arif Rahman
Rabu, 8 April 2015 | 21:55
551 Views
Oleh: Hendrajit *)
Mendapatkan seratus kemenangan dari seratus pertempuran bukanlah puncak
kecakapan. Menaklukkan musuh tanpa bertempur adalah sebenarnya puncak
kecakapan. Ahli Strategi militer Tiongkok Sun Tzu.
Sebenarnya kalau pemerintahan Jokowi-JK punya visi yang strategis dan punya
kebijakan politik luar negeri yang terintegrasi dengan kebijakan strategis bidang
ekonomi, berpaling ke Tiongkok sesungguhnya merupakan pertimbangan yang
cukup strategis. Jurnalis Australia Geoff Hiscock dalam bukunya yang cukup
menarik dan menggugah bertajuk Earth Wars: Pertempuran Memperebutkan
Sumber Daya Global, mengabarkan, Tiongkok saat ini punya cadangan devisa 3
triliun dolar AS. Dan 1 triliun dolar AS di antaranya akan diinvestasikan dalam bentuk
aset di luar negeri.
Jika rencana ini benar-benar dilakukan, berarti Indonesia termasuk salah satu
negara yang dialokasikan untuk jadi sasaran investasi dalam 5 sampai 10 tahun
mendatang. Masalahnya adalah, apakah pemerintahan Jokowi-JK cukup memahami
konstalasi global sehingga memahami betul nilai strategis Tiongkok di abad 21 ini,
dan bagaimana membangun kerjasama strategis yang setara dan saling
menguntungkan.
Saat ini sebagai salah satu negara pengguna energi/migas terbesar di dunia,
Tiongkok amat mencemaskan keamanan jalur pasokan laut mereka di Selat Malaka,
yang membentang 800 km (500 mil) di antara pulau Sumatera Indonesia dan
Semenanjung Melayu dan menyempit hanya 2,4 km (1,5 mil) lebarnya di Selat
Singapura, yang mengarah ke Laut Tiongkok Selatan.
Tiongkok seperti halnya juga dengan Amerika Serikat (AS), Rusia, Jepang dan India,
menyadari betul bahwa saat ini sekitar 70 persen dari perdagangan dunia bergerak
melintasi Samudera Hindia antara Timur Tengah dan Asia Pasifik. Dan seperempat
perdagangan minyak mentah dunia melewati Selat Malaka.
Melalui gambaran ini saja, pemerintahan Jokowi-JK seharusnya sudah bisa
membuat semacam roadmap dan skenario yang cukup strategis sebagai panduan
untuk membangun kerjasama strategis dengan Tiongkok. Betapa Tiongkok
menyadari betul nilai strategis beberapa wilayah territorial Indonesia yang melewati
jalur Selat Malaka dan Laut Tiongkok Selatan.
Apalagi tren global saat ini mengindikasikan betapa ambisi teritorial dan sengketa
perbatasan antar negara seperti yang sudah terbukti melalui serangkaian sengketa
perbatasan antara Tiongkok versus beberapa negara ASEAN, nampaknya dalam
beberapa tahun ke depan bakal semakin intensif, menyusul semakin intensifnya
kekuatan-kekuatan besar memperebutkan cadangan migas potensial di zona lepas
pantai.
Menurut riset yang diolah oleh tim Aktual, pertumbuhan rata-rata Pendapatan
Domestik Bruto (PDB) Tiongkok selama 7 tahun dari 2004 hingga 2010 adalah 11,0
persen. Yang berarti, ukuran ekonominya berlipat dua selama kurun waktu itu.
Nah, sebagai konsekuensi dari pertumbuhan yang cepat selama dua dekade
terakhir itulah, maka Tiongkok sekarang mengomsumsi lebih banyak energi, menjual
lebih banyak mobil, dan menghasilkan lebih banyak baja daripada AS. Tiongkok
menggunakan lebih banyak bijih besi, tembaga, timah, seng, alumunium, kromium,
tungsten, titanium, dan unsur tanah langka dibandingkan bangsa lain manapun.
Dalam proyeksi tim riset Aktual, pada 2020 diprediksi jaringan rel kereta api
berkecepatan tinggi, bahkan setelah kemunduran pada pertengahan 2011, mungkin
akan mencapai 16.000 km (10.000 mil), melesatkan orang dan barang yang bernilai
tinggi pada kecepatan 320 km/jam di antara setiap kota besar Tiongkok.
Pembangunan jaringan raksasa itu dan kereta yang berjalan di atasnya
membutuhkan sejumlah besar bahan baku, termasuk baja.
Bisa dimengerti jika kemajuan pesat Tiongkok yang dimulai sejak era Deng Xioping
pada 1979, mulai mengundang ketakutan dari negara-negara Barat. Pada 2011,
bank berskala global HSBC yang kita tahu berada dalam kendali Inggris dari
belakang layar, dan merupakan merger dua cabang bank yang berbasis di
Hongkong dan Shanghai, mengeluarkan laporan berjudul The World in 2050. Melalui
laporan tersebut disimpulkan bahwa pada 2050 negara-negara berkembang-
termasuk Tiongkok dan India, akan melipatgandakan outputnya lima kali dan akan
lebih besar daripada output negara-negara maju.
19 dari 30 negara dengan produk domestik bruto terbesar adalah negara yang saat
ini disebut sebagai negara berkembang. Tiongkok dan India akan menjadi negara
terbesar di bidang ekonomi, bahkan ketiga terbesar, disusul oleh Amerika di nomor
2, Jepang, yang kemudian diikuti oleh Inggris, Brazil, Meksiko, Perancis, dan
Kanada di 10 besar.
Prediksi ini, meski dalam lingkup geopolitik, sempat dikumandangkan oleh pakar
politik Amerika Dr Samuel Huntington, dalam bukunya The Clash of Civilization.
Meski secara rinci tidak tergambar secara ekonomi, namun pada intinya
memandang Tiongkok bakal muncul sebagai kekuatan adidaya baru mengimbangi
AS dan beberapa negara maju di Eropa Barat.
Senada dengan prediksi Huntington yang bukunya pertama kali dirilis pada 1994,
laporan HSBC juga memperkirakan bahwa “kemajuan substansial” negara-negara
berkembang tersebut akan disusul oleh sejumlah negara berkembang lainnya
seperti Indonesia, Turki, Mesir, Malaysia, Thailand, Kolombia, dan Venezuela.
Kembali ke soal Tiongkok. Dengan cadangan devisa yang diduga mencapai 3 triliun
dollar AS berdasarkan data 2011, maka Tiongkok saat ini punya uang untuk
membeli hampir apapun yang mereka mau.
Pertaruhan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan
Tak pelak lagi, di tengah perekonomian Tiongkok yang semakin digdaya saat ini,
Laut Tiongkok Selatan dipandang Beijing sebagai jalur perairan terpenting secara
strategis di dunia, terutama untuk tanker minyak dan bulk carrier khusus yang
membawa sumberdaya energi dan bahan baku lainnya ke Tiongkok. Apalagi
Tiongkok menyadari betul bahwa sepertiga minyak mentah yang diperdagangkan di
dunia melewati perairan Laut Tiongkok Selatan. Maka itu tak heran jika Tiongkok
saat ini terlibat sejumlah sengketa perbatasan terutama Spartly (Nansha) dan
Paracel (Xisha), dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Brunei. Adapun di
kawasan utara, di Laut Tiongkok Timur, Tiongkok bersengketa dengan Jepang atas
Kepulauan Senkaku (yang di Tiongkok dikenal sebagai Diaoyutai).
Sengketa perbatasan Tiongkok dengan Vietnam, bisa jadi merupakan salah satu
faktor pemantik (triggering factor) berkobarnya perang terbuka antara Tiongkok dan
AS dalam beberapa waktu ke depan. Mengingat fakta bahwa saat ini Vietnam
secara aspiratif berbagi ketakutan yang sama dengan beberapa negara ASEAN
yang merupakan sekutu tradisional AS seperti Filipina, Malaysia dan Brunei.
Sebuah editorial koran Tiongkok Global Times edisi 21 Juni 2011 kiranya perlu
disimak secara seksama:
“Vietnam telah melakukan tindakan beresiko di Laut Tiongkok Selatan untuk sekian
lama. Mereka telah menduduki 29 pulau Tiongkok. Mereka telah mendapatkan
manfaat terbanyak dari eksploitasi gas alam dan minyak bawah laut. Mereka juga
yang paling agresif menghadapi Tiongkok. Tiongkok telah mengirimkan pesan yang
jelas bahwa kami akan mengambil tindakan apapun yang diperlukan untuk
melindungi kepentingan-kepentingan kami di Laut Tiongkok Selatan. Jika Vietnam
terus memprovokasi Tiongkok di wilayah ini, Tiongkok pertama akan
menghadapinya dengan kekuatan polisi laut, dan jika perlu, menyerang balik
dengan kekuatan angkatan laut. “
Jika prediksi harian Tiongkok Global Times ini kelak terbukti benar, nampaknya
estimasi yang pernah dilontarkan Samuel Huntington, bahwa konflik bersenjata
antara Tiongkok dan Vietnam, bakal mengobarkan perang berskala global antara
negara-negara yang yang bersekutu dengan AS versus negara-negara yang
bersekutu dengan Tiongkok, kiranya cukup beralasan.
Sebab pada 1979, Tiongkok pernah menginvasi Vietnam menyusul tergusurnya
rezim Khemer Merah pimpinan Pol Pot yang didukung Tiongkok. Meski invasi
Tiongkok ke Vietnam hanya sebulan, namun telah menghancurkan secara signifikan
sendi infrastruktur di Vietnam bagian utara. Namun sejatinya, sasaran
sesungguhnya Tiongkok waktu itu adalah penguasaan Pulau Paracel yang terletak
di sebelah timur Vietnam dan selatan Pulau Hainan. Singkat cerita, sengketa
perbatasan Tiongkok dengan Vietnam atas Spratly dan Paracel tetap berlanjut.
Pertaruhan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan nampaknya memang cukup besar.
Terbukti pada 2011, Tiongkok telah mengumumkan akan meningkatkan secara
substansial pasukan paramiliter pemantau lautnya yang berpatroli di perairan Laut
Tiongkok Selatan. Bahkan dalam proyeksi di 2020, Tiongkok berencana akan
memiliki lebih dari 500 kapal dan 15.000 personel petugas-jauh lebih banyak
daripada AS, yang saat ini juga semakin memperkuat kehadiran militernya di
Darwin, Australia, untuk mengontrol perairan Laut Tiongkok Selatan dan Selat
Malaka.
Pentingnya Tiongkok Kuasai Pelabuhan-pelabuhan di Asia-Pasifik
Mengapa menguasai pelabuhan begitu penting bagi Tiongkok, sehingga negeri Tirai
Bambu itu begitu terobsesi untuk menguasai wilayah-wilayah yang punya akses ke
pelabuhan di beberapa negara Asia Pasifik, termasuk Indonesia?
Hal ini bisa ditelusuri kembali melalui cerita seputar meletusnya Perang Candu
pertama antara Inggris dan Tiongkok pada 1839-1842. Semua itu bermula ketika
komisioner perdagangan luar negeri kekaisaran Tiongkok Lin Zexu memutuskan
untuk mengakhiri perdagangan dengan diplomasi dan kemudian secara paksa,
menyita dan menghancurkan 20 ribu peti opium yang ditemukan di gudang-gudang
pedagang asing di Guangzhou pada Juni 1839.
Rupanya, tindakan otoritas politik kekaisaran Tiongkok itu mengundang kemarahan
Inggris, sehingga meletuslah Perang Candu pertama. Akibatnya, pasukan Inggris
kemudian menduduki Shanghai dan mengepung Guangzhou dan pelabuhan
Tiongkok lainnya.
Berdasarkan ketentuan penyerahan Tiongkok, lima pelabuhan dibuka untuk
perdagangan internasional dan pulau Hongkong diserahkan kepada Inggris. Perang
Candu kedua (1856-1860), Tiongkok kembali menderita kekalahan, sehingga Inggris
mendapat tanah tambahan di Semenanjung Kowloon ke koloni Inggris di Hongkong.
Saat ini, kapal-kapal kontainer raksasa yang menyusuri Sungai Mutiara menuju
Guangzhou, Terminal Nansha-nya yang baru, dan pelabuhan kontainer terkait
Shenzhen mungkin masih membawa narkoba, namun ada jauh lebih banyak uang di
dalam lalu-lintas perdagangan internasional harian. Berbagai macam bahan mentah
dan setengah jadi mengalir ke Tiongkok Selatan dari seluruh dunia, untuk dijadikan
barang jadi, dikemas, dan dikirim kembali ke palanggan luar negeri dan dalam
negeri.
Sedemikian pentingnya pelabuhan bagi Tiongkok, tergambar melalui fakta bahwa
enam dari sepuluh pelabuhan kontainer tersibuk di dunia ada di Tiongkok, yang
dipimpin oleh Shanghai dengan 29,1 juta TEU (satuan unit setara 20 kaki) pada
2010; Shenzhen dan Guangzhou bersama-sama menangani 45 juta setahun.
Hongkong yang berdekatan menangani 23 juta TEU. Bahkan Singapore yang
pernah memimpin perekonomian dunia (28 juta pada 2010) sekarang berada di
peringkat kedua dalam alur distribusi dan keluaran kontainer tetapi tetap merupakan
pelabuhan tersibuk di dunia dalam total tonase pengiriman.
Bahkan Jepang pun sudah tergeser oleh Tiongkok. Pada 1989, pelabuhan Kobe
Jepang berada di peringkat kelima pelabuhan container top dunia dan Yokohama
dan Tokyo berada di top 20. Pada 2010, tidak ada satupun pelabuhan Jepang di
antara top 20.
Maka tak heran jika Tiongkok memandang amat penting untuk menjaga jalur laut ke
Hongkong, Shenzhen, Guangzhou, dan pelabuhan Tiongkok lainnya agar tetap
terbuka dan bebas dari segi keamanan laut. Hal ini selaras dengan doktrin String of
Pearly Tiongkok yang gagasan dasarnya adalah sebagai doktrin penguasaan
maritim kawasan Asia Tenggara, khususnya wilayah-wilayah yang melewati Laut
Tiongkok Selatan.
Maka Laut Tiongkok Selatan menjadi penting dan vital bagi Tiongkok, utamanya
sebagai jalur perairan terpenting secara strategis di dunia, khususnya untuk tanker
minyak dan bulk carrier khusus yang membawa sumberdaya energi dan bahan baku
lainnya ke Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
Saat ini sebagai salah satu negara pengguna energi/migas terbesar di dunia,
Tiongkok amat mencemaskan keamanan jalur pasokan laut mereka di Selat Malaka,
yang membentang 800 km (500 mil) di antara Pulau Sumatera dan Semenanjung
Melayu dan menyempit hanya 2,4 km (1,5 mil) lebarnya di Selat Singapura, yang
mengarah ke Laut Tiongkok Selatan.
Tiongkok seperti halnya juga dengan AS, Rusia, Jepang dan India, menyadari betul
bahwa saat ini sekitar 70 persen dari perdagangan dunia bergerak melintasi
Samudera Hindia antara Timur Tengah dan Asia Pasifik. Dan seperempat
perdagangan minyak mentah dunia melewati Selat Malaka.
Dengan demikian, di tengah perekonomian Tiongkok yang semakin digdaya saat ini,
Laut Tiongkok Selatan dipandang Beijing sebagai jalur perairan terpenting secara
strategis di dunia, terutama untuk tanker minyak dan bulk carrier khusus yang
membawa sumberdaya energi dan bahan baku lainnya ke Tiongkok. Apalagi
Tiongkok menyadari betul bahwa sepertiga minyak mentah yang diperdagangkan di
dunia melewati perairan Laut Tiongkok Selatan.
Maka itu tak heran jika Tiongkok saat ini terlibat sejumlah sengketa perbatasan
terutama Spartly (Nansha) dan Paracel (Xisha), dengan Vietnam, Filipina, Malaysia,
Taiwan, dan Brunei. Adapun di kawasan utara, di Laut Tiongkok Timur, Tiongkok
bersengketa dengan Jepang atas Kepulauan Senkaku (yang di Tiongkok dikenal
sebagai Diaoyutai).
Informasi yang berhasil dihimpun oleh tim riset Global Future Institute, dalam
pertemuan tersebut Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi sempat menyinggung
tentang Silk Road Economic Belt (SERB) in Asia dan Maritime Silk Road Point
(MSRP).
Bayangkan jika Indonesia begitu saja menerima skema kerjasama pembangunan
infrastruktur kemaritiman berdasarkan skema SERB dan MSRP, maka Tiongkok
akan membantu pembangunan infrastruktur di pulau-pulau besar di Indonesia.
Sehingga sebagai imbalannya, Tiongkok sebagai investor pada perkembangannya
ke depan akan menguasai akses pelabuhan-pelabuhan dan galangan kapal di
Indonesia.
Berdasarkan pada tawaran kerjasama Tiongkok berdasarkan skema SERB dan
MSRP, apakah kerjasama tersebut bersifat saling menguntungkan antara Indonesia
dan Tiongkok?
Ini penting mengingat kenyataan bahwa Tiongkok memang mempunyai sasaran
strategis menguasai wilayah-wilayah yang berada di jalur Laut Tiongkok Selatan,
yang merupakan Jalur Sutra Maritim. Untuk menguasai Jalur Sutra Maritim,
Tiongkok punya doktrin kemaritiman yang dikenal dengan String of Pearl.
Jika tawaran Tiongkok berdasarkan skema SERB dan MSRP tersebut disetujui
mentah-mentah oleh Presiden Jokowi, maka pembangunan dan pengembangan
infrastruktur maritim tersebut justru kontra produktif dari tujuan strategis kita untuk
meningkatkan pertahanan dan keamanan maritim Indonesia.
Sengketa perbatasan Tiongkok dengan Vietnam, bisa jadi merupakan salah satu
faktor pemantik (triggering factor) berkobarnya perang terbuka antara Tiongkok dan
AS dalam beberapa waktu ke depan. Mengingat kenyataan bahwa saat ini Vietnam
secara aspiratif berbagi ketakutan yang sama dengan beberapa negara ASEAN
yang merupakan sekutu tradisional AS seperti Filipina, Malaysia dan Brunei.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka rencana Tiongkok untuk membangun
kerjasama ekonomi dengan Indonesia dengan menanam investasi di Bitung,
Sulawesi Utara, kiranya patut diwaspadai. Seusai pertemuan antara Menko
Perekonomian Chairul Tanjung dan Duta Besar Tiongkok H.E. liu Jianchao,
Tiongkok akan menetapkan Indonesia sebagai wilayah target investasinya. Bahkan
bukan itu saja. Tiongkok ingin masuk dalam satu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
di Indonesia.
Dan sasaran Tiongkok untuk diintegrasikan melalui skema KEK adalah Bitung. Di
Bitung, Tiongkok akan membangun kawasan perindustrian secara menyeluruh,
berikut infrastrukturnya seperti pelabuhan dan bandara, dalam satu kompleks. Jika
kita tidak berhasil mengetahui agenda-agenda tersembunyi Tiongkok, maka bisa
dipastikan akan menjadi bencana geopolitik bagi Indonesia.
Prakiraan akan bercokolnya kepentingan strategis militer Tiongkok di balik skema
KEK, terlihat dari beberapa indikasi. Antara lain adalah:
Pertama, ambisi Tiongkok membangun sendiri infrastrukturnya terutama bandara
udara dan pelabuhan laut. Pola ini hampir mirip saat Tiongkok membangun
pelabuhan-pelabuhan laut pada beberapa negara pesisir (tepian) di Kawasan Jalur
Sutera (laut) sebagai implementasi string of pearl, strategi handalnya untuk
mengamankan energy security (ketahanan energi)-nya.
Kedua, secara kultur, agama dan ras (maaf), langkah Tiongkok membangun KEK di
Bitung kemungkinan tidak bakal ada penolakan secara signifikan dari masyarakat
sekitarnya, bahkan cenderung diterima dengan tangan terbuka karena dinilai justru
bisa meningkatkan perekonomian wilayah timur.
Ketiga, letak Bitung di antara dua Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II dan ALKI
III, di mana secara geoposisi cukup strategis, karena selain Sulawesi Utara
dianggap pintu gerbang Indonesia (dari Timur) menuju Asia Pasifik, ia juga dapat
mengendalikan dua ALKI sekaligus;
Keempat, pembangunan KEK di Bitung, kemungkinan selaras dengan welcome-nya
Timor Leste terhadap militer Tiongkok, sebagaiman dikatakan oleh Xanana Gusmao.
Artinya kelak akan ada interaksi secara masif antara Bitung dan Timor Leste melalui
ALKI III-A.
Kelima, inilah kontra-strategi Tiongkok dalam rangka membendung gerak laju
Amerika (AS) di Asia Pasifik, kendati “aura” Paman Sam sebenarnya lebih dulu
menebar di Indonesia Timur baik via pangkalan militer di Filipina, dan lain-lain,
maupun melalui World Ocean Conference (WOC) 2009 di Manado. Itulah jawaban
(sementara), “Kenapa Tiongkok memilih Bitung?”
Dari kajian geopolitik, sepertinya Sulawesi cq Bitung hendak dijadikan semacam
proxy war antara Tiongkok versus AS. Keduanya hendak saling berebut pengaruh
sebagaimana terjadi di banyak negara Afrika, Tiongkok via “Pendekatan Panda”,
sedang Paman Sam —seperti biasa—melalui penyebaran (pangkalan) militernya.
Pertanyaannya kini, “Bagaimana takdir geopolitik Indonesia nantinya?”
Manado-Bitung Sasaran ‘Proxy War’ AS-Tiongkok Sejak 1998
Berdasarkan berbagai informasi yang berhasil dihimpun oleh tim riset Global Future
Institute, Bitung memang sudah menjadi sasaran Proxy War antara AS versus
Tiongkok sejak 1998.
Perlunya mewaspadai kemungkinan Bitung sebagai wilayah yang dijadikan target
investasi Tiongkok di Indonesia, dengan meminta diikutsertakan dalam skema Zona
Ekonomi Khusus. Jika Indonesia setuju dengan permintaan Tiongkok itu, berarti
Indonesia telah membuka pintu lebar-lebar bagi para Taipan Pesisir Tiongkok
Selatan untuk melakukan invasi ekonomi ke beberapa wilayah yang punya nilai
strategis secara geopolitik di Indonesia.
Betapa tidak. Di Bitung, Tiongkok akan membangun kawasan perindustrian secara
menyeluruh, berikut infrastrukturnya seperti pelabuhan dan bandara, dalam satu
kompleks. Jika kita tidak berhasil mengetahui agenda-agenda tersembunyi
Tiongkok, maka bisa dipastikan akan menjadi bencana geopolitik bagi Indonesia.
Sebab bisa-bisa lapangan udara maupun pelabuhan-pelabuhan vital kita, secara
hankam akan sepenuhnya berada dalam kekuasaan negara asing. Apalagi Sulawesi
Utara secara geostrategi dipandang sebagai pintu masuk Indonesia ke kawasan
Asia Pasifik. Terutama ke Filipina yang merupakan sekutu tradisional AS di kawasan
Asia Tenggara.
Namun masuknya investasi Tiongkok ke Indonesia yang dipandu oleh Skema
Kawasan Ekonomi Khusus, nampaknya jauh lebih berbahaya di balik rencana
investasi besar-besaran Tiongkok ke Indonesia.
Namun, Tiongkok nampaknya bukan satu-satunya yang diuntungkan dengan
adanya skema Zona Ekonomi Khusus ini.
Kapet Manado-Bitung Sebagai Pintu Masuk AS ke Indonesia Timur
Untuk memahami betapa rawannya Bitung-Manado sebagai sasaran Proxy War
antara AS versus Tiongkok di Indonesia, sudah terlihat sejak 1998, tak lama setelah
pemerintahan Soeharto tumbang, dan digantikan oleh Presiden BJ Habibie.
Dengan dalih untuk mendorong kesejahteraan wilayah Sulawesi Utara, pemerintah
pusat di bawah pimpinan BJ Habibie kemudian menetapkan kawasan tersebut
sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) yang tercantum dalam
Keppres No 14 Th 1998. Kapet Manado-Bitung kemudian menjalin kerjasama
regional antara negara ASEAN yang tergabung dalam BIMP-EAGA (Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, East ASEAN Growth Area).
Lembaga ini merupakan bentuk kerjasama bilateral negara-negara ASEAN untuk
wilayah bagian timur. Kapet Manado-Bitung meliputi kawasan Manado, Bitung serta
sebagian wilayah Kabupaten Minahasa dengan cakupan wilayah seluas 251.138
hektar.
Bahkan pada 2004, untuk merealisasikan Keppres tersebut, pada 2004 Kapet
Manado-Bitung membangun kawasan industri seluas 60 hektar yang berlokasi di
Kabupaten Minahasa Utara. Dan menariknya lagi, pengembangan kawasan industri
tersebut dilakukan oleh pihak swasta.
Secara normatif penanggung jawab dan pemegang otoritas tertinggi Kapet adalah
Presiden. Kemudian Presiden membentuk tim pengarah yang diketuai oleh Menteri
Riset dan Teknologi di mana salah satu anggota dari tim ini adalah gubernur yang
wilayahnya menjadi Kapet.
Pada 2000 berdasarkan Keppres No 150 tahun 2000, struktur penanganan Kapet
berubah. Pada level nasional dibentuk apa yang disebut Badan Pengembangan
Kapet yang diketuai oleh Menko Perekonomian. Di bawahnya terdapat tim teknis
Badan Pengembangan Kapet diketuai oleh Menteri Pemukiman dan Prasarana
Wilayah. Pengelolaan di bawahnya, sebagai badan pengelola Kapet diketuai oleh
gubernur.
Di sinilah skema sesungguhnya di balik kebijakan ini mulai terungkap. Melalui
Keppres ini, jabatan wakil ataupun pelaksana harian yang semula ditetapkan dengan
Kepres, dapat diangkat cukup dengan SK Gubernur.
Begitu pula halnya dengan para direktur dan para anggota Badan Pelaksana Kapet
dalam lingkungan manajemen Kapet diangkat lewat SK Gubernur.
Dengan demikian, berdasarkan Keppres 150/2000, Menteri Pemukiman dan
Pengembangan Wilayah ditunjuk sebagai tim teknis badan pengembangan Kapet.
Sehingga berpotensi untuk membawa Kapet lebih cenderung ke arah
pengembangan fisik daripada pengembangan wilayah.
Padahal untuk mempercepat pembangunan perlu pendekatan khusus yang mampu
mendorong semua sumberdaya dan potensi wilayah menjadi “kekuatan tawar”
terhadap swasta baik dalam negeri maupun asing. Jadi, perlu wawasan geopolitik
para elit pimpinan daerah untuk pengembangan visi pembangunan secara lebih
strategis.
Selain itu, skema Kapet Manado-Bitung menerapkan perdagangan bebas sehingga
sistem ini merugikan rakyat kecil. Bila dicermati secara lebih teliti, terlihat bahwa
sasaran utama perdagangan bebas pada dasarnya adalah berupa pembukaan
batas-batas kedaulatan negara bagi berlangsungnya suatu pergerakan modal,
barang, jasa, serta penyeragaman ketentuan dan prosedur dalam melaksanakan
perdagangan antar negara.
Konsep perdagangan bebas mengabaikan sama sekali perbedaan kepentingan
ekonomi antara berbagai lapisan sosial yang terdapat dalam masyarakat. Konsep ini
cenderung melihat persoalan hanya dari segi kepentingan kaum kapitalis asing.
Seraya mengabaikan kepentingan kaum buruh, kaum tani, dan kelompok
masyarakat bawah lainnya.
Bukan itu saja. Dari segi hankam dan intelijen, juga tak kalah rawan. Dalam kasus
Kapet Manado-Bitung, dipandang sebagai kawasan strategis pihak asing untuk
melakukan infiltrasi ke wilayah Indonesia bagian Timur.
Sekadar informasi, kawasan tersebut sangat dekat dengan Filipina yang telah
menjalin persekutuan strategis dengan AS. Indikasi adanya pengiriman barang
secara langsung ke Singapura membuktikan adanya upaya negeri Paman Lee
tersebut untuk bermain menguasai kawasan timur Indonesia.
Apalagi, sejak awal Mei 2004, Singapura secara resmi mendesak AS untuk
memainkan peran militernya di Selat Malaka. Bahkan sebelumnya, Singapura juga
pernah menekan Indonesia agar mengizinkan kehadiran militer AS membantu
meningkatkan patroli keamanan di Selat Malaka. Dalih yang digunakan Singapura,
karena meningkatnya aktivitas terorisme.
Menguasai Selat Malaka, yang tentunya termasuk kawasan Indonesia bagian timur
yang berdekatan dengan wilayah laut Filipina, memang sudah dirancang sejak 2001.
September 2001, misalnya, Kongres AS membentuk US Commision on Ocean
Policy. Yang mana komisi ini telah merekomendasikan bahwa AS harus menjadi
pimpinan dalam berbagai kegiatan ang menyangkut kelautan dan pesisir pantai.
Bayangkan, Presiden Jokowi yang sejak kampanye Pilpres sudah mencanangkan
konsepsi Poros Maritim, hingga kini belum mengeluarkan Ocean Policy yang
mengisyaratkan adanya sebuah kebijakan terintegrasi di matra laut.
Bahkan lebih jauh dari itu, AS juga membentuk Regional Maritime Security Iniative
(RMSI), kerangka kerjasama multilateral yang bertujuan meningkatkan keamanan di
Selat Malaka.
Aspek geopolitik inilah yang kiranya harus diwaspadai oleh seluruh pemangku
kepentingan kebijakan luar negeri dan pertahananan nasional kita terkait skema
pembangunan KEK di Manado-Bitung, baik dengan mengikutsertakan Tiongkok
maupun AS. Karena keduanya sama-sama berpotensi untuk membahayakan
kedaulatan nasional Indonesia.
Kepentingan Nasional Harus Jadi Panduan Politik Luar Negeri RI
Pada tataran ini, meski “perang dingin” tak terkait langsung soal kerjasama ekonomi
Indonesia-Tiongkok, namun aspek ini baiknya dicermati betul oleh pemerintahan
Jokowi-JK. Sebab kalau tidak, Indonesia bisa masuk perangkap Tiongkok lewat
skenario kerjasama ekonomi. Dalam doktrin Alfred Mahan, ditegaskan barang siapa
menguasai Lautan Hindia, maka maka akan menjadi kunci dalam percaturan dunia.
Agaknya, doktrin sea power ini dihayati betul maknanya oleh para perancang
kebijakan strategis pertahanan nasional Tiongkok. Terbukti melalui paparan
sebelumnya maupun perkembangan terkini, Tiongkok semakin meningkatkan
kapasitas angkatan lautnya, dibandingkan matra-matra laut lainnya.
Saat ini saja, The People’s Liberation Army Navy (PLAN) —-sebutan AL Tiongkok—
relatif dapat diandalkan. Berdasarkan penelusuran pustaka oleh penulis, terungkap
PLAN punya 250.000 tentara terdiri atas 35.000 orang pada Coastal Defense Force
(Pasukan Pertahanan Lepas Pantai), sedangkan infantri marinir berjumlah 56.000
personel. Belum lagi 56.000 personel Aviation Naval Air (Pasukan Unit Udara
Angkatan Laut), dan lain-lain. Bukan itu saja. Kepemilikan kapal selam oleh PLAN
pun cukup fantastis. Ia telah memiliki 100 unit kapal selam dimana sebelumnya
hanya 35 unit. Sedang kapal pembawa rudal juga meningkat dari 20 menjadi 100
buah. Luar biasa. Pengembangkan postur angkatan laut Tiongkok memang tidak
main-main.
Sekitar dekade 2008-an lalu, anggaran pertahanan sebesar 60 miliar USD dan
diprakirakan banyak pihak, bahwa enam – tujuh tahun ke depan akan meningkat
dua kali lipat. Sehingga era 2015-an mendatang, Tiongkok diyakini memiliki
anggaran militer sekitar 120 miliar USD atau bahkan lebih. Sudah barang tentu,
fakta-fakta ini mencemaskan Barat terutama AS dan sekutu, apalagi kelompok
negara dan beberapa anasir pemain global yang mempercayai ramalan The Clash
of Civilizations and the Remaking of World Order-nya Samuel P Huntington, bahwa
akan meletus perang terbuka AS versus Tiongkok dan melibatkan polarisasi baru
antara AS + Uni Eropa melawan Tiongkok + Kelompok Negara Islam.
Ketika perayaan ulang tahun PLAN ke-60 yang lalu, ia sengaja pamer kekuatan
(show fo force) kepada publik global atas kekuatan AL-nya. Tiongkok mengeluarkan
berbagai jenis kapal, seperti kapal selam misalnya, atau kapal penghancur, frigate,
dan lain-lain, termasuk kapal yang memiliki fasilitas rumah sakit. Hal ini merupakan
bukti bahwa transformasi sea power di Tiongkok berjalan gemilang. Bahkan Negeri
Tirai Bambu sudah mulai menitikberatkan modernisasi angkatan lautnya di bidang
teknologi dan informasi.
Pengembangan dan pembesaran PLAN kemungkinan besar dilatarbelakangi selain
kian memanasnya suhu politik di Laut Tiongkok antara Paman Mao sendiri melawan
beberapa negara di sekitar perairannya dengan tajuk ‘sengketa perbatasan’ — akan
tetapi yang utama ialah penguatan String of Pearls. Inilah strategi handal Tiongkok
di perairan Laut Tiongkok Selatan dalam rangka mengamankan energy security
(ketahanan dan jaminan pasokan energi) termasuk mengawal hilir mudik ekspor-
impornya di berbagai negara melalui perairan.
Sudahkah geostrategi Indonesia mengantisipasi tren politik global di perairan
tersebut? Menurut penulis, sebelum berurusan soal Poros Maritim dan Tol Laut,
kenali dulu agenda strategis Tiongkok abad 21.
Poros Maritim Dunia (Tol Laut) sejatinya merupakan implementasi sea power dalam
lingkup terbatas, ia akan menjadi program super dahsyat di kawasan Asia Pasifik
bila bangsa ini telah meraih dan menggenggam dulu TRISAKTI-nya Bung Karno
(berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan bermartabat dalam
berkebudayaan), atau paling minimal —bila ‘mendesak’ di bangun Tol Laut—
terlebih dulu Indonesia harus memiliki pola pengamanan (dan pengawasan) yang
handal, profesional, sinergis, dan canggih terhadap titik-titik strategis di wilayah
perairan.
Jika kita gali lebih dalam, Tol Laut cenderung bahkan mungkin berpotensi
menimbulkan ‘bencana geopolitik’ bagi negara ini jika pembangunan infrastruktur,
sistem keamanan laut, dll diserahkan kepada asing sebagaimana usul Menteri
Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti. Bila semua dilimpahkan ke asing, niscaya
sistem dan mekanisme di pelabuhan-pelabuhan dalam kendali mereka. Kapal-kapal
kita akan menjadi tamu di negeri sendiri. Kapan boleh merapat atau tidak,
tergantung si pemegang sistem. Ketika Bu Susi hendak memberi kewenangan
pemberantasan illegal fishing kepada Paman Sam, bukankah itu bermakna bahwa
prosedur dan mekanisme pengamanan laut pun di bawah kontrol asing?
Lengkaplah sudah, jika pembangunan infrastruktur (dan otomatis sistemnya)
diserahkan kepada asing termasuk proses penegakan hukumnya, maka tinggal
menunggu waktu kapan perairan NKRI yang kaya sumberdaya ini diakuisisi.
Sebagaimana isyarat di prolog tulisan ini, bahwa program dan kebijakan yang
berdimensi strategis, namun tidak dibarengi pengetahuan tentang anatomi
permasalahan, tanpa basis mendalam soal geopolitik, motif-motif terselubung suatu
negara seperti Tiongkok yang kebetulan saat ini jadi target utama pemerintahan
Jokowi-JK untuk menjalin kerjasama ekonomi, dan tidak ada kajian tentang mana
kebutuhan (agenda) prioritas bangsa, pada perkembangannya kebijakan tadi malah
menimbulkan masalah baru yang lebih besar dan kompleks. Pada akhirnya
pemerintah justru menjadi bagian dari masalah, bukan bagian solusi bangsanya.
Jokowi di Antara Dua Karang
13 November 2014 5:44 AM
BAGIKAN
Pasangan Jokowi - JK (Foto: Aktual.co/Tino Oktaviano)
Jakarta, Aktual.co — Sepanjang November ini, Presiden Jokowi untuk pertama
kalinya akan memulai debut internasionalnya di tiga forum internasional yang cukup
penting dan strategis. Pada 10-11 November, Jokowi akan berada di Beijing, Cina,
menghadiri KTT Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). 12-13 November, ke
Nay Pyi Daw, Myanmar, untuk menghadiri KTT Association of Southeast Asian
Nations (ASEAN) ke-25, dan terakhir pada 15-16 November ke Brisbane, Australia,
untuk mengikuti KTT G-20.
Ketiga KTT tersebut tak pelak lagi merupakan forum diplomasi berskala
internasional yang mana pertaruhan kepentingan nasional ekonomi Indonesia
sangatlah besar, mengingat APEC dan G-20 praktis dikuasai oleh persekutuan
strategis Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa yang tergabung dalam blok
ekonomi G-7. Begitupula halnya dengan G-20, meskipun ada Rusia sebagai
kekuatan penyeimbang, namun tetap saja didominasi oleh pengaruh kuat Amerika
dan Uni Eropa.
Sayang sekali, terkesan Presiden Jokowi beserta tim kabinetnya, seperti Menteri
Luar Negeri dan Menteri perekonomian, tidak terlalu siap untuk menampilkan debut
pertamanya di forum internasional dengan mengajukan isu-isu strategis untuk
dilemparkan forum APEC, G20 maupun KTT ASEAN. Visi Ekonomi Jokowi 5 tahun
ke depan hanya menyoroti pentingnya integrasi dan konektivitas ekonomi.
Sedangkan di KTT ASEAN, Indonesia akan mengangkat 6 isu seperti kesehatan
terkait Ebola, konflik Laut Cina Selatan, dan ASEAN Community Building 2015.
Konflik Laut Cina Selatan, sepertinya dipandang secara spesifik sebagai sengketa
kelautan antar bebeberapa negara yang melibatkan Cina, tapi sayangnya tidak
dilihat dalam lingkup yang lebih strategi, yaitu trend untuk menjadikan Laut Cina
Selatan sebagai Medan Peperangan antara dua negara adidaya : Amerika versus
Cina di kawasan Asia Tenggara. Akan menjadi blunder ketika masalah konflik Laut
Cina Selatan semata dipandang sebagai persengketaan di wilayah laut antar
beberapa negara.
Masalah Kesehatan terkait penyebaran virus Ebola, jelas tidak bisa dipandang
semata-mata sebagai isu kesehatan, melainkan harus dilihat dalam perspektif
Amerika dan sekutu-sekutu baratnya untuk memanfaatkan momentum mewabahnya
virus Ebola untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan strategisnya di bidang
ekonomi, politik dan bahkan kemiliteran, di negara-negara yang sedang dilanda
wabah Ebola.
Dan yang paling krusial terkait KTT ASEAN, yaitu kesiapan Indonesia menyongong
ASEAN Economic Community 2015, yang agenda tersembunyinya adalah, adanya
rencana strategis dari negara-negara asing untuk menguasai sektor-sektor strategis
bidang ekonomi di negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, melalui
diterapkannya Free Trade Agreement di kawasan ASEAN. Di sinilah aspek paling
krusial dari ASEAN Economic Community berdasarkan skema AFTA (ASEAN Free
Trade Agreement).
Berdasarkan amatan terhadap beberapa isu yang akan diangkat pemerintahan
Jokowi-JK di tiga KTT berskala internasional tersebut, ada satu benang merah yang
bisa ditarik, yaitu betapa paham ekonomi neoliberalisme sedang mengepung secara
besar-besaran kawasan Asia Tenggara, yang berarti juga Indonesa termasuk
negara yang telah ditetapkan sebagai sasaran penguasaan ekonomi.
Karena itu, Indonesia harus mengajukan prakarsa ekonomi yang jauh lebih strategis
daripada sekadar mengangkat tema integrasi dan konektivitas ekonomi yang tidak
terlalu jelas tujuan dan sasaran strategisnya. Apalagi ketika pemerintahan Jokowi-JK
sedang dalam kepungan dan telikungan kekuatan-kekuatan kapitalis global yang
dimainkan melalui Skema Ekonomi Neoliberalisme.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka pemerintahan Jokowi-JK harus mempunyai
pemetaan yang jelas mengenai akar masalah perekonomian Indonesia saat ini,
sehingga mempunyai referensi dan landasan yang kuat untuk melakukan perang
diplomasi di tiga forum internasional tersebut: KTT ASEAN, KTT APEC dan KTT
G20.
Maka itu, dalam keikutsertaan Indonesia dalam ketiga forum internasional tersebut,
harus dipandu oleh penjabaran kembali secara imajinatif Politik Luar Negeri
Indonesia yang bebas dan aktif sesuai dengan konstalasi global saat ini, sehingga
tidak terjebak untuk beralih dari satelit Amerika Serikat dan Uni Eropa, lantas
kemudian berpindah masuk orbit pengaruh Cina.
Politik Luar Negeri yang bebas dan aktif, berarti harus mengondisikan Indonesia dan
negara-negara berkembang yang satu visi dan misi, untuk menjadi suatu kekuatan
ketiga. Sebagaimana dipertunjukkan oleh pemerintahan Bung Karno melalui
prakarsa terbentuknya Konferensi Asia-Afrika pada 1955, maupun solidaritas lintas
kawasan yang menjadi dasar terbentuknya Gerakan Negara-Negara non blok.
Harus Kritis Tanggapi Tawaran Bantuan Cina Untuk Pembangunan Infrastruktur
Maritim
Menyusul pertemuan Presiden Jokowi dengan Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi
Senin 3 November, Jokowi terkesan akan mendorong Cina membantu
pembangunan infrastruktur, khususnya pengembangan bidang kemaritiman. Pada
tataran ini, pemerintah Indonesia harus hati-hati dan pandai-pandai untuk bermain.
Apalagi ketika persaingan global antara Amerika Serikat dan Cina di sepanjang jalur
sutra, yang mana termasuk di dalamnya Laut Cina Selatan dan Selat Malaka,
semakin meningkat skala dan intensitasnya dalam beberapa waktu belakangan ini.
Informasi yang berhasil dihimpun oleh tim riset Global Future Institute, dalam
pertemuan tersebut Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi sempat menyinggung
tentang Silk Road Economic Belt (SERB) in Asia dan Maritime Silk Road Point
(MSRP).
Bayangkan jika Indonesia begitu saja menerima skema kerjasama pembangunan
infrastruktur kemaritiman berdasarkan skema SERB dan MSRP, maka Cina akan
membantu pembangunan infrastruktur di pulau-pulau besar di Indonesia. Sebagai
investor, Cina pada perkembangannya ke depan akan menguasai akses pelabuhan-
pelabuhan dan galangan kapal di Indonesia.
Berdasarkan pada tawaran kerjasama Cina berdasarkan skema SERB dan MSRP,
apakah kerjasama tersebut bersifat saling menguntungkan antara Indonesia dan
Cina? Ini penting mengingat kenyataan bahwa Cina memang mempunyai sasaran
strategis menguasai wilayah-wilayah yang berada di jalur Laut Cina Selatan, yang
merupakan Jalur Sutra Maritim. Untuk menguasai Jalur Sutra Maritim, Cina punya
doktrin kemaritiman yang dikenal dengan String of Pearl.
Jika tawaran Cina berdasarkan skema SERB dan MSRP tersebut disetujui mentah-
mentah oleh Presiden Jokowi, maka pembangunan dan pengembangan infrastruktur
maritim tersebut justru kontra produktif dari tujuan strategis kita untuk meningkatkan
pertahanan dan keamanan maritim Indonesia.
Tentu saja perlu analisis dan penilaian yang kritis terkait permintaan Cina untuk
mengaitkan rencana Poros Maritim pemerintahan Jokowi-JK dan Jalur Sutra Maritim
Cina.
Ketika sasaran strategis Jalur Maritim Cina bertumpu pada strategi String of Pearl
yang tujuan strategisnya adalah penguasaan wilayah-wilayah yang punya nilai
strategis secara geopolitik di kawasan Asia Tenggara, Poros Maritim dan
Pembangunan Tol Laut semata-mata didasarkan pada gagasan pembangunan
ekonomi dan proyek pembangunan infrastruktur bidang kemaritiman.
Dalam hal pembangunan tol laut misalnya, tujuan sesungguhnya hanya sebatas
untuk meningkatkan jalur armada angkut kargo laut antar pelabuhan. Jika skema
kerjasama Indonesia-Cina seperti ini, maka Indonesia di masa depan akan berada
pada pihak yang dirugikan. Karena melalui skema SERB dan MSRP, secara
geopolitik Cina akan menguasai Indonesia secara bertahap melalui matra ekonomi.
Akibatnya, di tengah persaingan global yang semakin menajam antara Amerika dan
Cina di matra politik, militer dan ekonomi di kawasan Asia Tenggara, posisi tawar
Indonesia justru malah semakin melemah. Dan akan menjadi sasaran perebutan
pengaruh antara kedua negara adidaya tersebut.
Bagi negara-negara asing, kerjasama strategis dengan Indonesia di sektor maritim
memang punya nilai strategis. Sekadar ilustrasi, potensi industri berbasis maritim
bernilai 1,2 Triliun dollar Amerika Serikat per tahun.
Wajar jika beberapa negara adidaya, berebut pengaruh untuk menguasai sektor
maritim Indonesa dengan memanfaatkan program penguatan sektor maritim
sebagaimana dicanangkan oleh Presiden Jokowi.
Adapun penguatan sektor maritim memang sudah dicanangkan oleh Menteri
Koordinasi Kemaritiman Indroyono Susilo kepada pers beberapa waktu lalu. Konsep
penguatan sektor maritim bertumpu pada ketersediaan kapal-kapal besar yang rutin
hilir mudik dengan frekuensi tinggi dari ujung barat di Aceh sampai ujung timur di
Papua, atau dari ujung utara sampai ujung selatan Indonesia. Melalui penerapan
konsep ini, diharapkan ada peningkatan frekuensi perdagangan antarpulau dan
antardaerah.
Selain itu, Menko Kemaritiman Indroyono juga mencanangkan perlunya
pembangunan infrastruktur yang mendahului pembangunan Tol Laut sebagaimana
yang menjadi program unggulan Jokowi. Seperti misalnya dengan memperkuat jalur
utama pelayaran. Untuk itu, Menko Indroyono menekankan ada empat pelabuhan
yang perlu segera dibangun di empat titik jalur utama pelayaran dari barat hingga
timur Indonesia, yaitu Belawan, Jakarta, Makasar, dan Sorong.
Yang tak kalah penting terkait program pembangunan sektor maritim adalah
kesiapan industri nasional kita. Maka dari itu, pembangunan memperkuat sektor
maritim harus bersinergi dengan kementerian-kementerian lain khususnya ekonomi.
Karena pada perkembangannya kemudian, hal ini menjadi tantangan untuk
mengembangkan ekonomi kelautan.
Berarti, seluruh kegiatan ekonomi akan dipusatkan di beberapa wilayah pesisir dan
di lautan. Sehingga mau tidak mau, para pemangku kepentingan ekonomi kelautan
akan memusatkan perhatiannnya pada beberapa sektor seperti perikanan, industri
pengolahan, bahari, dan sebagainya.
Mengingat luasnya lingkup pembangunan sektor maritim dan kelauatan, nampaknya
terlalu riskan jika pemerintah Indonesia hanya mengandalkan pada ajakan bantuan
kerjasama dari Pemerintah Cina. Bisa-bisa, maksud awalnya adalah untuk
menciptakan keseimbangan baru menghadapi dominasi AS dan Uni Eropa, pada
perkembangannya malah berpindah dari Mulut Macan, ke mulut Buaya.
Oleh: Hendrajit, Redaktur Senior Aktual.co
Dengan perkembangannya yang demikian pesat, kejahatan lintas negara (transnational crimes) dewasa ini telah menjadi salah satu ancaman serius terhadap keamanan global. Pada lingkup multilateral, konsep yang dipakai adalah Transnational Organized Crimes (TOC) yang disesuaikan dengan instrumen hukum internasional yang telah disepakati tahun 2000 yaitu Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir (United Nations Convention on Transnational Organized Crime-UNTOC).
UNTOC menyebutkan bahwa transnational organized crime (TOC) atau kejahatan lintas negara terorganisir adalah kejahatan lintas negara yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, terdiri atas tiga orang atau lebih, dalam kurun waktu tertentu dan dilakukan secara terorganisir dengan tujuan untuk melakukan satu atau lebih kejahatan serius sebagaimana yang dimaksud di dalam Konvensi dalam rangka memperoleh,
secara langsung maupun tak langsung, keuntungan finansial atau material lainnya.
Kejahatan lintas negara memiliki karakteristik yang sangat kompleks. Beberapa faktor yang menunjang kompleksitas perkembangan kejahatan lintas batas negara antara lain adalah globalisasi, migrasi atau pergerakan manusia, serta perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang pesat. Keadaan ekonomi dan politik global
yang tidak stabil juga berperan menambah kompleksitas tersebut.
Pada Pertemuan Tingkat Tinggi yang diselenggarakan di Majelis Umum PBB tanggal 17 Juni 2010, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-Moon menyebutkan bahwa di satu sisi ancaman kejahatan lintas negara semakin meningkat namun di sisi lain kemampuan negara untuk mengatasinya masih terbatas. Untuk itu, sangat penting bagi negara-negara untuk meningkatkan kerjasama internasional untuk secara kolektif menanggulangi meningkatnya ancaman kejahatan lintas negara tersebut.
UNTOC yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No. 5/2009 menyebutkan sejumlah kejahatan yang termasuk dalam kategori kejahatan lintas negara terorganisir, yaitu pencucian uang, korupsi, perdagangan gelap tanaman dan satwa liar yang dilindungi,
kejahatan terhadap benda seni budaya (cultural property), perdagangan manusia, penyelundupan migran serta produksi dan perdagangan gelap senjata api. Konvensi juga mengakui keterkaitan yang erat antara kejahatan lintas negara terorganisir dengan
kejahatan terorisme, meskipun karakteristiknya sangat berbeda. Meskipun kejahatan perdagangan gelap narkoba tidak dirujuk dalam Konvensi, kejahatan ini masuk kategori kejahatan lintas negara terorganisir dan bahkan sudah diatur jauh lebih lengkap dalam tiga Konvensi terkait narkoba sebelum disepakatinya UNTOC yaitu Single Convention on Narcotic Drugsi, Convention on Psychotropic Substances 1971 melalui UU No.8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971, Convention
against the Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988.
Seiring perkembangan jaman, terdapat berbagai kejahatan lintas negara lainnya yang perlu ditangani secara bersama dalam kerangka multilateral, seperti kejahatan pencurian dan penyelundupan obyek-obyek budaya, perdagangan organ tubuh manusia, environmental crime (seperti illegal logging dan illegal fishing), cyber crime dan identity’s-related crime.
Meskipun belum terdapat kesepakatan mengenai konsep dan definisi atas beberapa kejahatan tersebut, secara umum kejahatan ini merujuk secara luas kepada non-violent crime yang pada umumnya mengakibatkan
kerugian finansial .