LAPORAN PBL 4
BLOK DIGESTIVE SYSTEM
Sakitnya Perutku.....
Kelompok 14
Tutor : dr. Yeni Nila Fristiani
Anggota :
Mutia Milidiah G1A011003
Irma Nuraeni Hidayat G1A011005
Isnila F Kelilauw G1A011007
Lannida G1A011008
Desvia Ira Restiana G1A011012
Halimah Chairunnisa G1A011013
Stefanus Ariyanto W G1A011015
Rizak Tiara Yusan G1A011016
Wedha Jati Tyas U G1A007092
Arya Yunan Permaidi G1A009113
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
2013
I. PENDAHULUAN
Informasi 1
Sdr. H 19 th datang ke IGD RSMS dengan keluhan nyeri perut
diseluruh bagian. Nyeri dirasakan sejak 1 hari yang lalu. Nyeri dirasakan
seperti ditusuk-tusuk dan menetap dan semakin berat jika pasien bergerak
atau batuk. Pada awalnya nyeri dirasakan di perut bagian kanan bawah,
kemudian menjalar keseluruh bagian perut. Pasien juga mengeluh demam
sejak beberapa jam yang lalu. Sudah 1 hari ini pasien tidak BAB dan flatus
sehingga perutnya terasa kembung. Pasien juga mengeluhkan mual dan
muntah. Pasien mengaku 1 hari yang lalu mengalami kecelakaan lalu-lintas
dan perut kanan bawahnya terbentur stang sepeda motor.
Informasi 2
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : tampak kesakitan
Kesadaran : compos mentis
Vital sign :
Tekanan darah : 100/60 mmHg rendah
Denyut nadi : 100x/menit, isi dan tegangan cukup normal
Frekuensi napas : 32x/menit takipneu
Suhu aksila : 38,2oC meningkat
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
normal
Thoraks :
Paru : dalam batas normal
Jantung : dalam batas normal
Abdomen :
Inspeksi : dinding perut tegang, tidak tampak bekas oprasi,
tampak jejas di region lumbal dekstra, venektasi (-),
darm contour (-), darm steifung (-)
Auskultasi : bising usus (-)/menurun, metallic sound (-),
borborigmi (-)
Perkusi : hipertimpani di seluruh lapang abdomen, pekak hati
menghilang, pekak alih (-)
Palpasi : defans muscular (+), nyeri tekan di seluruh lapang
abdomen (+), nyeri tekan lepas (rebourn tenderness) (+)
Extremitas : superior : edema -/-, akral dingin -/- ; inferior :
edema -/-, akral dingin -/-
Informasi 3
Pemeriksaan Rectal Toucher (RT) : Tonus spincter ani lemah, ampula
recti kolaps, mukosa rectum licin, terdapat nyeri pada seluruh arah jam,
tidak teraba benjolan, prostat tidak membesar, STLD (-), feses (-).
Informasi 4
Pemeriksaan darah
Hb : 13,8 g/Dl normal (N : 13-16 g/dl)
Ht : 43% normal (N: 40-48 %)
Eritrosit : 5,9 jt/ μl meningkat sedikit (N: 4,5-5,5juta)
Leukosit : 18.000/ μl meningkat (N: 5000-10.000)
Trombosit: 185.000/ μl normal ( 150.000- 400.000)
LED : 41 mm/jam meningkat
Hitung jenis : eosinofil 2, basofil 0, batang 2, segmen 72, limfosit 20,
monosit 4 normal (N: eosinofil: 1-3, basofil: 0-1, batang: 2-6,
segmen: 50-70, limfosit: 20-40, monosit : 2-8)
Pemeriksaan urin :
Warna : tidak berwarna, jernih normal
Bau : khas normal
Berat jenis : 1,010
Leukosit : negative
pH : 6,5
Bakteri : (-)
Foto abdomen :
LLD: didapatkan free air intra peritoneal pada daerah perut yang paling
tinggi
Informasi 5
Diagnosis : Suspect Peritonitis e.c Perforasi Colon
Intial assessment :
Pasien dipuasakan
IVFD RL
Pasang NGT (Dekompresi)
Pasang DC (Monitoring Output)
Konsul Sp.B Pro Laparotomi eksplorasi cito
Inj. Ceftriaxon 2x1 gr iv
Inf. Metrinodazol 3x500 mg
Inj. Ketorolac 2x30 mg
II. ISI
A. Klarifikasi Istilah
1. Flatus
2. Darm contour
3. Darm steifung
B. Batasan Masalah
1. Identitas
a. Nama : Sdr H
b. Usia : 19 tahun
2. RPS
a. Keluhan Utama : Nyeri perut di seluruh bagian
b. Onset : 1 hari yang lalu
c. Progresivitas : Semakin berat, awal nyeri perut bagian kanan
saja kemudian menjalar sampai nyeri seluruh lapang
d. Kualitas : Mengganggu aktivitas, nyeri seperti ditusuk-
tusuk
e. Kuantitas : Terus menerus/ menetap
f. Faktor perberat : Bergerak dan batuk
g. Faktor peringan : (-) / tidak ada keterangan
h. Gejala penyerta : Demam, perut kembung karena tidak BAB
dan flatus, mual dan muntah.
3. RPD
Sehari yang lalu mengalami kecelakaan
4. RPK
(-) / tidak ada keterangan
5. RSE
(-) / tidak ada keterangan
C. Analisis Masalah
1. Kandungan flatus apa? Dan bagaimana efeknya jika tidak
dikeluarkan terhadap tubuh ?
Komposisi gas flatus tergantung dari apa yang dikonsumsi
dan banyak konsumsinya. NH3, CO2, H2S, dan Ch4 berasal dari
pembusukan bakteri di kolon terhadap sisa zat makanan. H2 dan CO2
dihasilkan dari karbohidrat yang tidak dicerna dalam pencernaan atas
(“upper digestine tract”) tetapi difermentasi oleh bakteri usus (“colon
bacteria”) (Sukardi et al., 2012). Konsumsi kacang-kacangan dapat
berdampak pada flatus, yaitu memperbanyak jumlah flatus yang
dihasilkan oleh bakteri (Rochsitasari, 2011).
2. Apa saja faktor yang menyebabkan tidak bisa flatus?
3. Mekanisme flatus
4. Klarifikasi nyeri abdomen
Pada dasarnya, nyeri abdomen terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Nyeri viseral
Nyeri ini terjadi jika ada rangsangan di organ atau struktur
yang ada di dalam rongga abdomen, misalnya akibat inflamasi,
trauma, dll yang diinervasi oleh saraf otonom. Nyeri ini tidak
timbul akibat adanya rabaan maupun pemotongan pada organ
maupun struktur di rongga abdomen, melainkan timbul akibat
adanya tarikan, regangan, maupun kontraksi yang berlebihan pada
organ terkait. Jika pasien mengalami nyeri ini, ia tidak mampu
menunjukkan secara spesifik (melokalisasi) pusat nyeri dengan
jari tangan, melainkan hanya mampu menunjukkan dengan
seluruh permukaan telapak tangan di daerah yang nyeri. Pasien
yang mengalami nyeri ini tidak akan bertambah hebat rasa
nyerinya ketika bergerak karena pada nyeri ini tidak disertai
rangsangan pada peritoneum (Jong, 2005).
b. Nyeri somatik
Nyeri ini timbul jika terdapat rangsangan pada bagian yang
diinervasi oleh saraf tepi. Rangsangan tersebut dapat berupa
rabaan, tekanan, rangsang kimiawi, maupun inflamasi. Pasien
yang mengalami nyeri ini akan merasa seperti ditusuk atau disayat
dan pasien dapat secara jelas menunjukkan lokasi nyeri dengan
menggunakan jari tangan. Pasien yang mengalami nyeri ini akan
bertambah parah rasa nyerinya jika bergerak, bernapas yang
dalam, ataupun batuk sehingga biasanya pasien yang mengalami
nyeri ini akan lebih banyak diam, bernapas secara dangkal, dan
menahan batuk (Jong, 2005).
5. Bagaiman keterkaitan/ hubungan antara mual muntah dengan nyeri
abdomen?
Pada nyeri visceralis, yang berperan sebagai reseptor adalah
peritoneum visceralis. Semakin luas inflamasi yang terjadi, maka
akan semakin meningkatkan rangsangan saraf otonom yang akan
menginterpretasikan nyeri tersebut. Semakin hebat rangsangan pada
saraf otonom akan mengakibatkan aktifnya beberapa lingkar perut.
Jika pada peristatik dapat membuat peristaltic menurun bahkan
sampai menghilang, sedangkan pada pusat muntah, akan terjadi mual
dan muntah (Sander, 2011).
6. Kenapa pada kasus diawali nyeri bagian kanan perut kemudian
menjalar ke seluruh lapang abdomen?
D. Sasaran Belajar
1. Kenapa terjadi tegang pada peritonitis ?
2. Kandungan flatus dan keterkaitan muntah,mual
3. Gambaran foto abdomen LLD
4. Gambaran free air
5. Definisi peritonitis
6. Etiologi
7. Epidemiologi
8. Faktor risiko
9. Gejala klinis
10. Patogenesis
11. Patofisiologi
12. Penatalaksanaan
13. Komplikasi
14. Prognosis
E. Prognosis Belajar Mandiri
Sudah dilakukan
F. Pembahasan sasaran belajar
1. PERUT TEGANG
Reseptor tegang di abdomen (peritonium parietal)
↓
Rangsangan sensoris (nyeri)
↓
Ambang rangsang berkurang pada peritonitis
↓
Tegang abdomen menetap
↓
Distensi abdomen
2. Kandungan flatus
Komposisi gas flatus tergantung dari apa yang dikonsumsi
dan banyak konsumsinya. NH3, CO2, H2S, dan Ch4 berasal dari
pembusukan bakteri di kolon terhadap sisa zat makanan. H2 dan
CO2 dihasilkan dari karbohidrat yang tidak dicerna dalam
pencernaan atas (“upper digestine tract”) tetapi difermentasi oleh
bakteri usus (“colon bacteria”) (Sukardi et al., 2012). Konsumsi
kacang-kacangan dapat berdampak pada flatus, yaitu
memperbanyak jumlah flatus yang dihasilkan oleh bakteri
(Rochsitasari, 2011).
keterkaitan mual, muntah dengan nyeri
Pada nyeri visceralis, yang berperan sebagai reseptor adalah
peritoneum visceralis. Semakin luas inflamasi yang terjadi, maka
akan semakin meningkatkan rangsangan saraf otonom yang akan
menginterpretasikan nyeri tersebut. Semakin hebat rangsangan
pada saraf otonom akan mengakibatkan aktifnya beberapa lingkar
perut. Jika pada peristatik dapat membuat peristaltic menurun
bahkan sampai menghilang, sedangkan pada pusat muntah, akan
terjadi mual dan muntah (Sander, 2011).
3. Proyeksi pemeriksaan LLD (Patel, 2005) :
a. Persiapan pasien : Pasien tetap posisi miring (LLD) selama 10
atau 20 menit sebelum dilakukan eksposi untuk memberikan
kesempatan udara bebas agar naik hingga daerah permukaan atas
rongga peritoneum.
PP (Posisi Pasien) : Pasien berbaring miring dengan sisi kiri
tubuh menempel pada meja pemeriksaan. kedua lengan ditekuk
dengan lutut diletakkan agak ke depan bidang anterior abdomen.
b. PO (Posisi objek) :Kaset dan grid dengan ukuran sesuai
kebutuhan dipasang dibelakang punggung secara vertikal dan
diganjal agar posisinya terfiksasi. Pertengahan kaset berada pada
garis yang menghubungkan kedua Crista iliaca. Bidang median
sagital (MSP) berada sejajar dengan meja pemeriksaan dan tegak
lurus kaset. Kaset harus mencakup diafragma
a. Ukuran kaset :30x40 cm Horizontal
b. CR : Tegak lurus Horizontal
c. CP : Pada Umbilikus (Pusar) atau 3jari di atas
Krista iliaca
d. FFD : 100cm
e. Marker : L Orientasi AP
Gambar 1.x
c. Kriteria gambaran : Vertebrae Lumbal, Diafragma, Krista
iliaca, T11 dan T12
Gambar 2.x
d. Kriteria Evaluasi
a. Diafragma dan Abdomen bawah terlihat
b. Batas air dan udara (air-fluid level) di abdomen dengan
detail soft tissue tampak di anterior abdomen
4. Gambaran Free Air
Free air atau udara bebas atau pneumoperitoneum
merupakan udara atau gas yang terperangkap di dalam cavum
peritoneum namun di luar dari lumen usus. Hal ini dapat terjadi
akibat adanya perforasi usus atau akibat insuflasi gas (CO2 atau
gas) selama laparoskopi. Dari kedua penyebab ini memiliki
gambaran radiologis yang serupa, namun manifestasi klinisnya
berbeda (Lloyd, 2010).
Pasien yang menunjukkan gejala akut abdomen harus
diperiksa terlebih dahulu dengan foto thoraks posisi ereksi
(tegak) ataupun foto abdomen posisi supinasi. Pasien harus
diposisikan duduk tegak selama 10 – 20 menit dengan tujuan
agar udara bebas intra abdomen naik ke atas dan membentuk
gambaran sabit di dekat diafragma. Berikut ini beberapa contoh
gambaran udara bebas dari foto thoraks dan abdomen (Lloyd,
2010):
1. Udara di bawah diafragma
Terdapat udara dalam volume yang besar di bawah diafragma
dengan gambaran seperti bulan sabit. Pasien ini memiliki ulkus
duodenum disertai perforasi (Lloyd, 2010).
2. Rigler’s / double wall sign
Normalnya hanya dinding sebelah dalam dari usus yang
terlihat, namun pada kasus penumoperitoneum terlihat kedua sisi dari
dinding usus, baik sebelah dalam maupun sebelah luar dinding
terlihat (Lloyd, 2010).
3. Football sign
Pada gambar ini terlihat udara bebas dalam volume yang besar naik
ke bagian depan cavum peritoneum yang mengakibatkan adanya area
hitam bulat yang besar seperti bola (Lloyd, 2010).
4. Chilaiditi’s phenomenon
Terlihat udara di dekat bentukan sabit di bawah hemidiafragma
dekstra. Udara dapat terlihat berada di dalam usus. Selain itu, terlihat
juga gambaran hiperekspansi paru akibat emfisema (Lloyd, 2010).
7. Epidemiologi
Sindrom dari peritonitis bakterial spontan umumnya terjadi
pada peritonitis akut pada pasien dengan dasar sirosis. Sirosis
mempengaruhi 3,6 dari 1000 orang dewasa di Amerika Serikat
dan bertanggungjawab terhadap 26000 kematian per tahun.
Perdarahan variseal akut dan peritonitis bakterial spontan
merupakan beberapa komplikasi dari sirosis yang mengancam
jiwa. Kondisi yang berkaitan yang menyebabkan abnormalitas
yang signifikan mencakup ascites dan enselofati hepatik. Sekitar
50% pasien dengan sirosis yang menimbulkan ascites meninggal
dalam 2 tahun setelah diagnosis (Peralta, 2006)
8 . Etiologi
Etiologi(Molmenti,2004).
1. Mikroorganisme pada penyakit gastrointestinal
2. Apendisisitis yang meradang dan perforasi
3. Tukak pepetik ( lambung dan duodenum)
4. Tukak typoid
5. Tukak disentrie amoeba
6. Tukak pada tumor
7. Salphingitis
8. Divertikulosis
9. Operasi yang tidak stabil
10. Trauma pada kecelakaan
11. Secara hematogen
Penyebab yang paling serius dari peritonitis adalah terjadinya
suatu hubungan (viskus) ke dalam rongga peritoneal dari organ-
organ intraabdominal (esofagus, lambung, duodenum, intestinal,
colon, rektum, kandung empedu, apendiks, dan saluran kemih),
yang dapat disebabkan oleh trauma, darah yang menginfeksi
peritoneal, benda asing, obstruksi dari usus yang mengalami
strangulasi, pankreatitis, PID (Pelvic Inflammatory Disease) dan
bencana vaskular (trombosis dari mesenterium/emboli)
9. Gejala Klinis
Gejala klinis yang menonjol dari invaginasi adalah suatu trias gejala
yang terdiri : ( Alfa, 2008).
1. Nyeri perut yang datangnya secara tiba – tiba, nyeri bersifat serang
–serangan., nyeri menghilang selama 10 – 20 menit, kemudian
timbul lagi serangan baru.
2. Teraba massa tumor di perut bentuk bujur pada bagian kanan atas,
kanan bawah, atas tengah, kiri bawah atau kiri atas.
3. Buang air besar campur darah dan lendir
10. Patogenesis Peritonitis(Schrock, 2000)
Trauma Colon
Perforasi
Bakteri dari Colon keluar
Penetrasi ke organ sekitar, karena trauma di
ventral, maka kuman juga akan berpenetrasi ke
arah ventral, yaitu peritonium
Peritonium bereaksi, karena terkena bakteri yang
bukan tempatnya di peritonium
Reaksi inflamasi
Terbentuk eksudat
Sebagai respons tubuh, disekeliling eksudat terbentuk
jaringan fibros untuk mencegak reaksi inflamasi
menyebar dan eksudat menjadi luas
Keadaan ini yang disebut peritonitis
(Schrock, 2000)
peritonitis generalisata, aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang.
Cairan dan elektrolit ke dalam lumen usus, menyebabkan terjadinya
dehidrasi, gangguan sirkulasi oligouria dan mungkin syok.
Perlekatan antara lekukan usus mengganggu motilitas usus dan
menyebabkan terjadinya obstruksi usus.
12.Tata Laksana Farmakologis
1. Terapi Kausatif
Penngobatan kausatif dilakukan dengan berupa pemberian
obat antibiotik karena peritonitis disebabkan oleh infeksi bakteri.
Obat antibiotik yang diberikan umumnya adalah golongan
sefalosporin. Obat – obat tersebut diantaranya adalah (Caruntu,
2006):
a. Cefotaxime
1) Bekerja dengan menghambat sintesis mukopeptida pada
dinding sel bakteri
2) Bersifat bakterisidal
3) Merupakan antibiotik spektrum luas
4) Efek Samping : Inflamasi pada tempat injeksi, demam,
urtikaria, anafilaksis, diare, mual, muntah, colitis.
5) Dosis : 2 gr i.v tiap 8 jam selama 5 hari
6) Dosis maksimum : 12 gr dalam 24 jam
b. Ceftriaxone
1) Bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri
2) Bersifat bakterisidal
3) Efek Samping : Urtikaria, pruritus, ruam, anafilaksis,
diare, konvulsi, ensefalopati, hipoprotrombinemia.
4) Dosis : 2 gr i.v tiap 24 jam selama 5 hari
5) Dosis maksimum : 4 gr tiap 24 jam
c. Amoxicillin + Calvulanic Acid
1) Bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri
2) Bersifat bakterisidal
3) Efek Samping : Diare, mual, muntah, kandidiasis,
urtikaria, ruam eritema, anafilaksis, angioedema.
4) Dosis : 1,2 gr tiap 6 – 8 jam selama 2 hari
2. Terapi Adjuvant
Pengobatan pendukung dapat dilakukan dengan memberikan
obat – obat jenis lain, diantaranya adalah (Caruntu, 2006):
a. Prokinetik
1) Bekerja dengan menurunkan waktu transit intestinal
sehingga diharapkan dapat mengurangi pertumbuhan
berlebihan bakteri intestinal dan menurunkan risiko
terjadinya translokasi bakteri ke peritoneum (Caruntu,
2006).
2) Contoh obat : Agonis reseptor 5 HT 4
b. Probiotik
Diberikan dengan tujuan agar dapat terjadi
keseimbangan dari jumlah flora normal di intestinal dan
peningkatan jumlah bakteri anaerob yang bersifat protektif
(Caruntu, 2006).
c. Bakterioterapi dengan Lactobacillus
Ini dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki
kondisi pertumbuhan berlebihan dari bakteri intestinal,
menstabilkan fungsi barrier mukosa, dan menstimulasi
mekanisme pertahanan lokal (Caruntu, 2006).
13.Komplikasi
a.Komplikasi dini
1) Septikemia dan syok septik
2) Syok hipovolemik
3) Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol
dengan kegagalan multi sistem
4) Abses residual intraperitoneal
5) Portal Pyemia (misal abses hepar)
b. Komplikasi lanjut
1) Adhesi
1) Obstruksi intestinal rekuren
c.Komplikasi terapi dengan Laparotomi
1) trauma peritoneum
2) fistula enterokutan
3) kematian di meja operasi
4) peritonitis berulang.
d. pasca laparotomi
1) perawatan lama dapat menyebabkan pneumonia
2) sepsis
3) kegagalan reanimasi
14.Prognosis
Dubia at malam
Peritonitis mempunyai tingkat mortalitas sekitar 40 %. Faktor
yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain
tipepenyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ
multipel sebelum pengobatan serta usia dan kondisi kesehatan pasien
DAFTAR PUSTAKA
Caruntu, Florin Alexandru, Loredana Benea. 2006. Spontaneus Bacterial
Peritonitis : Pathogenesis, Diagnosis, Treatment. Journal of
Gastrointestinal Liver Disease Vol. 15 No. 1.
Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current surgical Diagnosis &
Treatment 12ed. USA ; The McGraw-Hill Companies
Jong, Wim de, R. Sjamsuhidajat. 2005. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:
EGC.
Rochsitasari, Noverita. 2011. Perbedaan Frekuensi Defekasi dan
Konsistensi Tinja Bayi Sehat Usia 0-4 Bulan yang Mendapat ASI
Eksklusif, Non Ekskusif dan Susu Formula. Semarang : Universitas
Diponegoro.
Sukardi., Hindun, M., Hidayat, Nur. 2012. Optimasi Penurunan Kandungan
Oligosakarida pada Pembuatan Tepung Ubijalar Dengan Cara
Fermentasi. Malang : Universitas Brawijaya.
Sander, Mochammad Aleq. 2011. Apendisitis akut : bagaimana sebenarnya
dokter umum dan perawat dapat mengenali tanda dan gejala lebih
dini pada penyakit ini. Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Malang. Vol 2(1) : 15-20.
Patel, R. Pradip. 2005. Lecture Notes : Radiology. Jakarta : Penerbit
Erlangga.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC.
Rochsitasari, Noverita. 2011. Perbedaan Frekuensi Defekasi dan
Konsistensi Tinja Bayi Sehat Usia 0-4 Bulan yang Mendapat ASI
Eksklusif, Non Ekskusif dan Susu Formula. Semarang : Universitas
Diponegoro.
Sukardi., Hindun, M., Hidayat, Nur. 2012. Optimasi Penurunan Kandungan
Oligosakarida pada Pembuatan Tepung Ubijalar Dengan Cara
Fermentasi. Malang : Universitas Brawijaya.
Sander, Mochammad Aleq. 2011. Apendisitis akut : bagaimana sebenarnya
dokter umum dan perawat dapat mengenali tanda dan gejala lebih
dini pada penyakit ini. Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Malang. Vol 2(1) : 15-20.
Molmenti, Hebe, 2004. Peritonitis. Medical Encyclopedia. Medline Plus
sorces: http://sanirachman.blogspot.com/2009/10/penatalaksanaan-
peritonitis.html#ixzz2Vfa7sLx5 Under Creative Commons
License: Attribution Non-Commercial
Sjamsuhidajat R., Wim deJong, 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 2.
Jakarta: ECG
Brunicardi FC. 2009. Schwartzs’s Principle of Surgery 5th edition. New
York: Mc-Graw-Hill Professional
Yung S. Chan TM. 2012. Pathophysiological Changes to the Peritoneal
Membrane during PD-Related Peritonitis: The Role of Mesothelial
Cells. Mediators of Inflammation. Hindawi Publishing Corporation