PENGARUH IKLIM TERHADAP PEMBENTUKAN TANAH
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Geografi Tanah yang
dibimbing oleh bapak Drs. Dwiyono Hari Utomo, MPd.,MS.i
Disusun oleh:
1. Agus Setya Rachmad (100721403510)
2. Febri Eka Setyawan (100721403513)
3. Imroatus Sani (100721403516)
4. Mason Raihan (100721404414)
5. Rahmawati (100721404479)
Offering B
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN GEOGRAFI
Februari 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Pengaruh Iklim Terhadap Pembentukan Tanah”.
Penulisan makalah ini disusun berdasarkan tugas yang diberikan oleh Bapak
Dwiyono selaku dosen pembimbing mata kuliah “Geografi Tanah”.
Pada makalah ini kami mengkaji pengaruh iklim terhadap pembentukan
tanah. Kami menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan
guna menyempurnakan tulisan ini dalam kesempatan berikutnya.
Semoga penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan dan jika ada kesalahan dalam penyusunan, kami mohon maaf
yang sebesar-besarnya.
Malang, February 2012
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses pembentukan tanah diawali dari pelapukan batuan, baik pelapukan
fisik maupun pelapukan kimia. Dari proses pelapukan ini, batuan akan menjadi
lunak dan berubah komposisinya. Pada tahap ini batuan yang lapuk belum
dikatakan sebagai tanah, tetapi sebagai bahan tanah (regolith) karena masih
menunjukkan struktur batuan induk. Proses pelapukan terus berlangsung hingga
akhirnya bahan induk tanah berubah menjadi tanah.
Melapuknya batuan sangat dipengaruhi oleh cuaca. Tanpa cuaca tak akan
terbentuk tanah. Iklim adalah rata – rata cuaca. Semua energy untuk membentuk
tanah datang dari matahari berupa penyinaran secara radio aktif yang
menghasilkan gaya dan panas. Cuaca merubah energy matahari menjadi energy
mekanik dan energy panas, sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam atmosfer
dari hari ke hari dan dari musim ke musim. Energy matahari menyebabkan
fotosintesis (asimilasi) pada tumbuhan dan gerakan angin menyebabkan transfirasi
dan evaporasi. Akibat langsung dari gerakan angin terhadap pembentukan tanah
ialah erosi angin dan secara tidak langsung berupa pemindahan panas.
Iklim merupakan salah satu factor yang mempengaruhi kecepatan
pembentukan tanah. Terdapat dua unsur iklim terpenting yang mempengaruhi
pembentukan tanah yaitu curah hujan dan suhu, yang berpengaruh besar terhadap
kecepatan proses kimia dan fisika, yaitu proses yang mempengaruhi
perkembangan profil.
Suhu mempunyai peranan yang besar terhadap pembentukan tanah,
terutama variasi antara suhu tanah dan suhu atmosfir. Atmosfir memancarkan
energy panas melalui udara tetapi menyerap sebagian besar gelombang pendek
matahari. Sebagian radiasi yang mencapai permukaan bumi dirubah menjadi
panas, sedangkan sebagian lainnya dipantulkan kembali. Energy panas inilah yang
menyebabkan suhu memainkan peranan pentik terhadap kecepatan reaksi yang
terjadi di dalam tanah. Telah diketahui bahwa untuk setiap kenaikan suhu sekitar
10 derajat celcius, kecepatan reaksi dalam tanah meningkat dua sampai tiga kali
lipat.
Iklim juga mempunyai pengaruh yang nyata terhadap kedalaman tanah dan
tekstur tanah. Pengaruh bersama dari curah hujan yang besar dan suhu tinggi,
seperti yang terjadi di daerah tropic menghasilkan suatu keadaan optimum bagi
pembentukan tanah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh iklim terhadap pembentukan tanah?
2. Unsur-unsur iklim apa yang mempengaruhi pembentukan tanah?
3. Bagaimana jenis tanah berdasarkan iklim yang mempengaruhinya?
4. Apa dampak perubahan iklim pada pembentukan tanah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengaruh iklim terhadap pembentukan tanah.
2. Untuk mengetahui unsur-unsur iklim yang mempengaruhi pembentukan
tanah.
3. Untuk mengetahui jenis tanah berdasarkan iklim yang mempengaruhinya.
4. Untuk mengetahui dampak perubahan iklim pada pembentukan tanah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. IKLIM
Iklim merupakan rata-rata cuaca pada jangka panjang, minimal per musim
atau per periode atau per tahun, dan seterusnya, sedangkan cuaca adalah kondisi
iklim pada suatu waktu berjangka pendek, misalnya harian, mingguan, bulanan
dan maksimal semusim atau seperiode.
Semua energi untuk membentuk tanah datang dari matahari berupa
penghancuran secara radio aktif yang menghasilkan gaya dan panas. Energi
matahari menyebabkan terjadinya fotosintesis (asimilasi) pada tumbuhan dan
gerakan angin menyebabkan transfirasi dan evaforasi. Akibat langsung dari
gerakan angin terhadap pembentukan tanah yaitu berupa erosi angin dan secara
tidak langsung berupa pemindahan panas. Di antara komponen iklim, yang paling
berperan dalam pembentukan tanah adalah curah hujan (presipitasi) dan
temperature.
Iklim Mikro Dan Genesis Tanah
Iklim mikro dapat dinyatakan sebagai iklim diatas permukaan tanah. Iklim
mikro sangat mempengaruhi relief, warna tanah dan vegetasi. Daerah-daerah di
sebelah utara khatulistiwa, lereng yang menghadap ke selatan biasanya lebih
panas dan lebih kering dari pada lereng yang menghadap ke utara, karena
mendapat sinar matahari lebih lama dan langsung hal sebaliknya terjadi di sebelah
selatan khatulistiwa. Kecuali lereng yang menghadap kebarat biasanya lebih panas
dari pada lereng yang menghadap ke timur, karena sinar matahari yang datang
pada pagi hari banyak digunakan untuk menguapkan embun di atmosfer,
sedangkan atmosfer di siang hari lebih kering sehingga lebih banyak sinar
matahari yang langsung sampai ke lereng yang menghadap ke barat.
Banyaknya kandungan air tanah sangat menentukan suhu tanah.
Banyaknya energi yang digunakan untuk menaikan suhu air lebih besar dari pada
untuk menaikan suhu tanah kering. Tetapi begitu tanah kering menjadi tanah
basah, maka diperlukan waktu lebih lama untuk menjadi dingin dibandingkan
tanah kering. Oleh karena itu tanah pasir yang mengandung 15% air pada
kapasitas lapang akan menjadi lebih panas dan menjadi lebih dingin dengan cepat
dari pada tanah liat dengan kandungan 30% air.
Klimosekuen
Klimosekuen menunjukkan perubahan sifat-sifat tanah akibat pengaruh
iklim. Contoh klimosekuen umumnya terdapat di daerah pegunungan. Dimana
suhu darah turun 6° C pada seiap ketinggian 1000m, sedangkan curah hujan
berbandung lurus dengan ketinggian. Karena itu makin meningkat ketinggian
maka kandungan bahan organik dan C/N rasio meningkat, sedang PH, Ca, Mg dan
K berkurang.
Iklim Purba (paleoclimate)
Iklim dapat berubah pada suatu waktu. Walaupun tidak ada pengukuran
meteorologik pada masa lampau tetapi banyak bukti geologi dan botani yang
menunjukkan bahwa iklim dapat berubah. Contohnya yaitu, horison argilik di
daerah arid mungkin terbebtuk oleh iklim purba yang lebih rumit, bukan iklim
arid yang ada seperti saat ini.
Iklim Rata-rata VS Iklim Ekstrim
Menghubungkan sifat-sifat tanah dengan iklim tidak dapat hanya
berdasarkan pada iklim rata-rata. Iklim yang ekstrim banyak juga menentukan
sifat-sifat tanah. Contoh, curah hujan tinggi yang terjadi satu kali dalam sepuluh
tahun di daerah arid dapat mencuci garam-garam yang telah terakumulasi
bertahun-tahun.
Iklim dan Iklim Tanah
Disamping mempelajari iklim sebagai faktor pembentuk tanah, ahli
pedologi mulai memahami iklim tanah sebagai salah satu sifat tanah. Oleh karena
itu baik suhu tanah rata-rata maupun fluktuasi suhu tanah tahunan digunakan
sebagai kriteria dalam klasifikasi tanah.
Penggunaan iklim tanah sebagai sifat tanah adalah sejalan dengan
penggunaan tekstur tanah. Apabila iklim tanah sangat dipengaruhi oleh iklim
atmosfer disekitarnya, maka demikian pula tekstur tanah sangat dipengaruhi oleh
tekstur bahan induknya.
B. UNSUR-UNSUR IKLIM YANG MEMPENGARUHI PEMBENTUKAN
TANAH
a. Pengaruh Curah Hujan Terhadap Pembentukan Tanah
Curah hujan ini merupakan besarnya kapasitas hujan yang turun ke
permukaan yang berwujud air. Curah hujan akan berpengaruh terhadap
kekuatan erosi dan pencucian tanah, sedangkan pencucian tanah yang cepat
menyebabkan tanah menjadi asam (pH tanah menjadi rendah). Pada umumnya
makin banyak curah hujan maka keasaman tanah makin tinggi atau pH tanah
makin rendah, karena banyak unsur-unsur logam alkali tanah yang terlindi
misalnya, Na, Ca, Mg, dan K, dan sebaliknya makin rendah curah hujan maka
makin rendah tingkat keasaman tanah dan makin tinggi pH tanah. Makin
lembab suatu tanah maka makin jelek aerasinya dan juga sebaliknya, hal ini
desebabkan karena adanya pergantian antara air dan udara dalam tanah.
Adapun hubungan curah hujan dengan pelapukan, jika hujan lebih besar
dari penguapan maka yang terjadi adalah penghancuran yang terus menerus
dan memakan waktu yang cukup lama untuk mengalami proses pelapukan
tersebut. Sebaliknya jika penguapan lebih besar dari pada hujan maka
terjadilah pencucian, pengkristalan garam, pengeringan tanah tidak memakan
waktu yang lama. Oleh sebab itu hubungan antara curah hujan dan penguapan
itu dalam kenyataannya memang dapat menghasilkan macam –macam tanah,
bentuk mineral, akumulasi garam. Sebagai contoh bahwa tanah alkali dan
danau-danau yang mengandung garam itu terjadi apabila penguapan lebih
besar dari pada curah hujan.
Adapun pengaruh curah hujan itu sendiri terhadap sifat tanah tampak jelas
sekali pada analisa yang dilakukan oleh Jenny di USA pada tahun 1941 seperti
di bawah ini:
1. Pelindian unsur-unsur K dan Na yang oleh Jenny digambarkan dalam tabel
dibawah ini dengan menggunakan istilah Leaching value
2,0
1,0
Daerah Jenis Tanah Jumlah Profil Leaching Value
Semi arid to
semi humid
Semi humid,
north Dakota
Humid
Chestnut dan
chernozemlike
soils
Chernozemlike
soil
Podzolized soil
15
29
12
0,981 ± 0,059
0,901±0,028
0,719±0,053
Leaching value = horizon terlindih
Horizon bahan induk
= K2O + Na2O + CaO
Al 2O3
= K2O + Na2O + CaO
Al 2O3
2. Pelindihan CaCO3 (kapur) dalam profil tanah
→7° CaCO3
Desert soil
Chernozem soil
Chestnut soil
3. Pelindihan C dan N dalam tanah
% C 75°F
hutan
pertanian
40” 80” 120” P
Pengaruh iklim terhadap
pencucian CaCo3
Pengaruh curah hujan
terhadap kadar C
dalam tanah
0,20
0,10
% N N= 0,00655
P= 0,023
Rumus umum yang dijabarkan dari
kumpulan analisa di USA
20” 40” 60” P
Grafik umum pengaruh curah hujan terhadap kadar N dalam tanah
Hubungan faktor pelapukan Ramann dengan zone iklim dalam
mempengaruhi jenis tanah
Daerah Rata-rata Suhu ºC Dissosiasi
relatif H2O
Jumlah hari
pelapukan
Faktor
Pelapukan
Sub Arctic 10 1,7 100 170
Temperate 18 2,4 200 430
Tropical 34 4,5 360 1620
Proses disintegrasi ini terjadi jika temperature mencapai titik beku sdang
batuan mengandung air. Jadi sebenarnya proses ini disebabkan membekunya air.
Seperti kita ketahui berat jenis air yang terbesar terdapat pada temperature 4,0˚C.
jika temperature turun di bawah 4,0˚C atau naik di atasnya, maka volumenya
naik.menurut Lang (1926; dalam Lutz & Chandler, 1959) volume 1 gram air pada
0˚C ialah 1,00013cc, sedang 1gram es pada 0˚C=1,0983cc. pada proses
pembekuan air akan memulai kira-kira 9%. Pada umumnya batuan yang
retakannya terisi air tidak kuat untuk menahan perubahan volume ini, sehingga
akan pecah berantakan. Expansi maximum tercepat pada temperature 22˚C dan
tekanan 250 atmosfer per cm2.
Syarat berlangsungnya proses desintegrasi semacam ini adanya retakan-
retakan dalam batuan yang dapat mengabsorbsi air, berupa kesarangan yang sudah
ada semula atau sebagai tekanan tektonik. Proses pelapukan desintegrasi ini
merupakan ciri khas bagi daerah kutub dan daerah pegunungan tinggi di atas garis
salju.
b. Pengaruh Temperatur Terhadap Pembentukan Tanah
Perbedaan temperature merupakan cerminan energy panas matahari yang
sampai ke suatu wilayah, sehingga berfungsi sebagai pemicu:
1. Proses fisik dalam pembentukan liat dari mineral-mineral bahan induk tanah, dengan mekanisme identik proses pelapukan bebatuan
2. Keanekaragaman hayati yang aktif, karena masing-masing kelompok terutama mikrobia mempunyai temperature optimumspesifik, sehingga perbedaan temperature akan menghasilkan jenis dan populasi mikrobia yang berbeda pula. Umumnya makin rendah tau makin tinggi temperature dari titik optimalnya akan diikuti oleh jenis dan populasi mikrobia yang makin sedikit.
3. Kesempurnaan proses dekomposisi biomass tanah hingga ke mineralisasinya.
Sebagai hasil dari fungsi no 2 dan 3, maka kadar biomass tanah-tanah akan
bervariasi. Tanah yang terbentuk pada temperature rendah (daerah kutub) akan
cenderung berkadar biomass rendah lagi mentah (fibrik), akibat tetanaman yang
tumbuh umumnya berbatang kecil dan lambat berkembang dan sedikitnya
populasi dan jenis mikroba heterotroph yang aktif. Tanah yang terbentuk pada
temperature tinggi (daerah arid) juga berkadar biomass rendah tetapi matang
(saprik) karena cepatnya proses mineralisasi kimiawi terhadap sisa-sisa tanaman.
Tanah-tanah yang terbentuk pada daerah humid (temperature sedang) akan
mempunyai jenis dan populasi mikroba yang ideal, maka aktivitas biologisnya
dalam dekomposisi biomass juga akan ideal. Sumber biomassnya berlimpah
karena semua jenis tanaman akan tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga
kadar biomass tanah dan derajat kematangannya akan semakin baik (hemik),
karena laju proses humufikasi biomass seimbang dengan laju proses
mineralisasinya. Humufikasi adalah proses dekomposisi bahan organic tanah yang
menghasilkan senyawa-senyawa organic sederhana (seperti mina dari protein dan
monosakarida dari karbohidrat) dan humus, sedangkan mineralisasi adalah proses
dekomposisi senyawa-senyawa organic sederhana menjadi senyawa-senyawa atau
ion-ion anorganic (seperti ammonium dan nitrat).
Temperatur mempengaruhi pembentukan tanah menurut dua cara, ialah:
(1) Memperbesar evapotranspirasi sehingga mempengaruhi pula gerakan air
dalam tanah, dan
(2) Mempercepat reaksi kimia dalam tanah.
Cara mempercepat reaksi kimia dinyatakan dengan:
(a) Dalil Van’t Hoff ialah bahwa kenaikan temperature tiap 10˚C
mempercepat reaksi kimia 2-3 kali lipat;
(b) Factor pelapukan Ramann: berdasarkan atas pendapat bahwa disosiasi
H2OH++OH- sangat tergantu ng pada tempeartur.
Secara umum untuk waktu yang lama para ahli tanah menganggap bahwa
pengaruh iklim terhadap pembentukan tanah dapat dirumuskan dengan nilai
pecahan:
Presipitasi
evapotranspirais
Kalau diperhatikan lebih lanjut maka sebenarnya yang berpengaruh
terhadap pembentukan tanah ialah jumlah air yang dikandung tanah pada saat itu.
Hal ini tak mungkin dinyatakan dengan suatu angka pecahan, tetapi lebih masuk
akal sebagai presipitasi-evapotranspirasi.
Desintegrasi Akibat Temperatur
Batuan yang bertekstur kasar lebih mudah mengalami desintegrasi dari
pada yang bertekstur halus, sedang mineral yang berwarna kelam lebih banyak
menyerap panas dari pada yang berwarna cerah. Karena batuan tersusun atas
berbagai mineral yang mempunyai koefisien ekspansi dan kontraksi yang
berlainan, maka fluktuasi temperature menyebabkan pecahnya batuan. Menjadi
butir-butir mineral tunggal dan temperature yang menentukan adalah tinggi
temperature mutlak dan frekuensi temperature.
Desitegrasi batuan juga tergantung pada daya hantar (conductivity) panas
batuan. Daya hantar panas batuan berbeda tak hanya karena perbedaan jenis
batuan, tetapi juga karena perbedaan tempat kedudukan batuan.
Batuan yang mempunyai daya hantar panas lemah menyebabkan
perbedaan temperature diantara lapisan permukaan dan lapisan sedikit lebih dalam
sehingga batuan terkelupas kulitnya (exfoliasi).
c. Pengaruh Angin Terhadap Pembentukan Tanah
Pengaruh angin serupa dengan pengaruh aliran air. Aliran angin selain
disebabkan bentuk permukaan bumi juga disebabkan perbedaan temperature
tempat-tempat tertentu. Angin dengan kecepatan besar mampu mengangkut
batuan dan selanjutnya bahan yang diangkutnya sanggup pula mengikis dan
memecahkan batuan. Karena secara tak langsung proses disintegrasi ini
merupakan akibat perbdaan temperature, maka proses ini banyak terjadi di daerah
kering seperti gurun pasir.
C. JENIS TANAH BERDASARKAN PENGARUH IKLIM
Berdasarkan nisbah antara P {presipitasi (hujan+salju+embun)}: Et
(evapotranspirasi), Walther Penck membagi tanah dunia menjadi dua wilayah,
yaitu:
a. Daerah Humid (basah) apabila nisbah P : Et lebih besar dari 0,7 dan
b. Daerah Arid (kering) apabila bernisbah kurang dari 0,7.
Lang membagi wilayah bumi berdasarkan nisbah R {curah hujan rerata
tahunan (mm)} : T {temperature rerata tahunan(°C)} menjadi 4 wilayah yaitu:
a. Daerah Arid (kering) apabila nisbah R : T kurang dari 40, yaitu kawasan
yang berevapotranspirasi lebih besar ketimbang curah hujan, sehingga air
tanah naik ke permukaan. Tanah kawasan ini berciri-khas adanya kerak-
kerak garam di permukaan.
b. Daerah Humid (lembab) apabila bernisbah antara 40-160, yaitu kawasan
yang bercurah hujan lebih besarketimbang evapotranspirasi, sehingga
proses mineralisasi lebih lambat ketimbang humifikasi. Oleh karena itu,
humus makin banyak terbentuk dengan makin banyaknya hujan dan proses
humifikasi optimum pada nisbah 120. Tanah-tanah dwilayah ini terbagi
menjadi:
1. Tanah-tanah Kuning atau merah, dengan nisbah 40-60
2. Tanah-tanah coklat, dengan nisbah 60-100, dan
3. Tanah-tanah hitam dengan nisbah 100-160
c. Daerah Perhumid (sangat lembab), yaitu wilayah bernisbah lebih besar
dari 160.
d. Daerah Nival (basah, yaitu wilayah tanpa penguapan sama sekali, seperti
disebagian Eropa, Palestina dan Amerika Serikat.
Dua istilah yang sering juga dipergunakan adalah daerah pegunungan dan
daerah tropika. Daerah pegunungan menurut Mayer adalah dataran tinggi yang
mempunyai nisbah N (jumlah hujan setahun) : S (deficit kejenuhan = beda
tekanan uap air maksimum pada temperature tertentu dan tekanan 76 cm Hg
dengan kelembapan mutlak udara) untuk semua bulan lebih dari 30 atau
lembab lebih dari 128. Indeks E-T (Efisiensi Temperatur) adlah jumlah
nisbah {temperature bulan (°F)-32} : 4 selama setahun (cit.
Darmawijaya,1990).
Mohr (1922) menyusun suatu klasifikasi tanah untuk Pulau Jawa dan
Sumatera didasarkan pada sifat genese tanah berupa temperatur dan
kelembaban udara. Dalam susunan ini Mohr membedakan atas:
1) Tanah lixivium bagi tanah-tanah bertemperatur tinggi dan curah hujan
melebihi evaporasi, terutama yang berwarna kuning dan coklat.
2) Tanah merah atau lixivium merah bagi tanah-tanah di temperatur tinggi
dengan musim hujan berseling musim kemarau (intermitterend)
3) Tanah pucat (bleekaarden) dengan temperatur rendah dan curah hujan
melebihi evaporasi.
4) Tanah hitam (zwartaarden) dengan temperatur tinggi dan hujan berseling
musim kemarau.
5) Tanah kristal garam temperatur tinggi, evaporasi melebihi curah hujan.
6) Tanah kelabu muda temperatur tinggi dan tanah selalu tergenang air.
7) Tanah hitam alkali temperatur tinggi, musim hujan dan musim kemarau
seimbang.
Vilenskii (1925) memilah tanah menjadi empat golongan berdasarkan
faktor-faktor yang terutama menguasai pembentukannya.
1) Tanah Thermogenik
Tanah ini terbentuk dan berkembang dalam iklim subtropis dengan faktor
pembentuk tanah, terutama temperatur tinggi menyebabkan dekomposisi
yang cepat terhadap mineral silikat dan mineralisasi yang cepat terhadap
bahan organik dengan menghasilkan CO2, sehingga terbentuk tanah geluh
berwarna merah kuning, serta tanah laterit yang kurang mengandung
bahan organik.
2) Tanah Lithogenik
Tanah ini terutama terbentuk dan berkembang dalam iklim sedang lembab
dengan faktor utama vegetasi, sehingga mendorong tertimbunnya bahan
organik dan pelapukan mineral silikat yang intensif, dengan membentuk
tanah-tanah chernozem, chestnut, chernozem yang mengalami degradasi
dan podzol.
3) Tanah Hidrogenik
Tanah ini terutama terbentuk dan berkembang dalam iklim dingin seperti
daerah tundra hutan, sehingga genese tanah berlangsung dalam keadaan
jenuh air, berakibat terbentuknya gambut humus. Sedangkan dalam
horison subhidrat (selalu di bawah air) terdapat senyawa-senyawa ferro
seperti pirit, markasit dan sinderit atau FeCO3. Tanah-tanah yang terbentuk
adalah tanah tundra, podzol bergambut dan wiesenboden.
4) Tanah Halogenik
Tanah yang berkembang dengan adanya garam natrium, meliputi macam-
macam tanah solonchak, solonetz dan soloth.
Pada tahun 1927 Valenskii kembali mengklasifikasikan tanah seperti pada
tabel berikut.
Daerah Kering
(arid)
Agak kering
(semi arid)
Sedang
(temperated)
Agak basah
(subhumid)
Basah
(humid)
Kutub Tundra Tanah
setengah
gambut
Tanah
gambut dan
rumput
- Tanah
gambut dan
rumput
Dingin Tanah - Tanah Tanah Tanah
gambut
kering
rumput hitam rumput
degradasi
podzol
Sedang Tanah
kelabu
Tanah
chestnut
Tanah
chernozem
Tanah hutan
kelabu
Tanah
podzol
Subtropik - Tanah
kuning
steppe kering
Tanah
kuning
Tanah
kuning
degradasi
Tanah
kuning
terpodzolis
asi
Tropik Tanah
merah
setengah
gurun
Tanah merah Tanah laterit Tanah merah
degradasi
Tanah
merah
terpodzolis
asi
Contoh persebaran jenis tanah berdasarkan iklim
1. Tanah Latosol
Latosol tersebar di daerah beriklim basah, curah hujan lebih dari 300 mm/tahun, dan
ketinggian tempat berkisar 300–1.000 meter. Tanah ini terbentuk dari batuan gunung
api kemudian mengalami proses pelapukan lanjut.
2. Tanah Grumusol
Jenis ini berasal dari batu kapur, batuan lempung, tersebar di daerah iklim subhumid
atau subarid, dan curah hujan kurang dari 2.500 mm/tahun.
3. Tanah Podsolik
Tanah ini berasal dari batuan pasir kuarsa, tersebar di daerah beriklim basah tanpa
bulan kering, curah hujan lebih 2.500 mm/ tahun. Tekstur lempung hingga berpasir,
kesuburan rendah hingga sedang, warna merah, dan kering.
4. Tanah Podsol
Jenis tanah ini berasal dari batuan induk pasir. Penyebaran di daerah beriklim
basah, topografi pegunungan, misalnya di daerah Kalimantan Tengah, Sumatra
Utara, dan Papua Barat. Kesuburan tanah rendah
5. Tanah Andosol
Tanah jenis ini berasal dari bahan induk abu vulkan. Penyebaran di daerah
beriklim sedang dengan curah hujan di atas 2.500 mm/ tahun tanpa bulan
kering. Umumnya dijumpai di daerah lereng atas kerucut vulkan pada
ketinggian di atas 800 meter. Warna tanah jenis ini umumnya cokelat, abu-abu
hingga hitam.
6. Tanah Mediteran Merah Kuning
Tanah jenis ini berasal dari batuan kapur keras (limestone). Penyebaran di
daerah beriklim subhumid, topografi karst dan lereng vulkan dengan ketinggian
di bawah 400 m. Warna tanah cokelat hingga merah. Khusus tanah mediteran
merah kuning di daerah topografi karst disebut ”Terra Rossa”.
D. DAMPAK PERUBAHAN IKLIM PADA PEMBENTUKAN TANAH
Iklim di wilayah satu berbeda dengan iklim di wilayah lainnya, karena
itulah proses pembentukan tanah yang terjadi berbeda-beda pula. Dampak
nyatanya adalah adanya perbedaan jenis tanah antar wilayah. Indonesia yang pada
dasarnya beriklim tropis di mana musim panas dan musim hujan datang setiap
enam bulan sekali memiliki tanah yang lebih subur daripada tanah di negara-
negara Eropa ataupun negara-negara Afrika. Akan tetapi, perlu diingat pula bahwa
waktu juga menjadi salah satu faktor pembentukan tanah. Dan selama waktu
berjalan manusia akan terus melakukan berbagai aktivitas di mana sebagian besar
aktivitas tersebut seringkali berdampak pada alam; misalnya overexploitation
sumber daya alam, membuang sampah sembarangan dan reklamasi pantai.
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa iklim dapat berubah, salah satunya
karena aktivitas manusia. Karena itulah semakin tidak terkontrol perlakuan
manusia terhadap alam, semakin cepat terjadinya perubahan iklim. Akibat
perubahan iklim, lapisan salju melebur dan tanah akan lebih banyak menyerap
panas matahari. Umpan balik dari peleburan lapisan salju tersebut akan
meningkatkan pemanasan global (global warming). Kenaikkan temperatur akan
mempengaruhi pasokan air yang berasal dari pencairan salju. Pada musim dingin
air disimpan dalam bentuk salju dan secara bertahap dilepaskan pada saat meleleh
pada musim semi dan musim panas. Pada bagian bumi yang lebih panas, curah
hujan meningkat pesat. Sungai-sungai di daerah ini menjadi sangat kering saat
musim panas dan meluap pada waktu musim hujan (Wibowo, 1996).
Komposisi ekosistem alami dapat rusak akibat perubahan iklim ketika
dampak perubahan iklim tersebut tidak dapat ditolerir oleh komponen pendukung
ekosistem. Karena tanah merupakan salah satu komponen ekosistem alami
(komponen abiotik) maka perubahan iklim akan merubah sifat-sifat tanah. Dengan
begitu tanah di Indonesia yang pada umumnya bersifat subur bisa saja berubah
menjadi tandus akibat perubahan iklim yang tengah terjadi saat ini.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Iklim merupakan faktor yang mempengaruhi kecepatan pembentukan tanah.
Terdapat dua unsur iklim terpenting yang mempengaruhi pembentukan tanah yaitu curah
hujan dan suhu
Daftar Pustaka
Hari Utomo, Dwiyono,MPd.,MSi.2010.Bahan Ajar Geografi Tanah.Fakultas Ilmu
Sosial Universitas Negeri Malang: Malang.
Hanafiah, Kemas Ali. 2004. DASAR-DASAR ILMU TANAH. Jakarta: RajawaliPress.
Darmawijaya, M. Isa. 1990. KLASIFIKASI TANAH. Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press.
Sarwono, Hardjowigeno. 1993. KLASIFIKASI TANAH DAN PEDOGENESIS. Jakarta: Akademika Pressindo
Foth, D.H. 1984. DASAR-DASAR ILMU TANAH. Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press.
Top Related