i
PENGARUH PERENDAMAN Eucheuma spinosum J. Agardh
DALAM LARUTAN PUPUK PROVASOLI’S ENRICH SEAWATER
TERHADAP LAJU PERTUMBUHAN
SECARA IN VITRO
Oleh :
YULIANA
H411 09 012
Skripsi ini dibuat untuk melengkapi Tugas Akhir dan memenuhi syarat untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Sains pada
Jurusan Biologi
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
ii
LEMBAR PENGESAHAN
PENGARUH PERENDAMAN Eucheuma spinosum J. Agardh
DALAM LARUTAN PUPUK PROVASOLI’S ENRICH SEAWATER
TERHADAP LAJU PERTUMBUHAN
SECARA IN VITRO
Disetujui Oleh :
Pembimbing Utama
Drs. Muhtadin Asnady S, M.Si
NIP. 19621207 198803 1 003
Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua
Dr. Elis Tambaru, M.Si Dr. Irma Andriani, M.Si
NIP. 19630102 199002 2 001 NIP. 19710809 199902 2 002
Makassar, 14 Agustus 2013
iii
KATA PENGANTAR
Tiada kata dan kalimat yang pantas terucap selain dari Alhamdulillah
Rabbil Alamin, kalimat yang mampu mengungkapkan rasa syukur penulis Kepada
Sang Pencipta atas segala karunia yang dilimpahkan kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh Perendaman
Eucheuma Spinosum J. Agardh Dalam Larutan Pupuk Provasoli’s Enrich
Seawater (PES) Terhadap Laju Pertumbuhan Secara In vitro”.
Skripsi ini dapat terselesaikan dengan bantuan semua pihak yang telah
memberikan partisipasi, semangat dan dorongan kepada penulis. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih
kepada :
- Bapak Rektor Universitas Hasanuddin dan seluruh Staf di kampus merah.
- Bapak Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Hasanuddin, beserta seluruh Staf akademik yang telah
memberikan kemudahan dalam pengurusan berkas selama penulis
menempuh pendidikan di kampus.
- Bapak Dr. Eddy Soekandarsi, M.Sc selaku Ketua Jurusan Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin, dan
selaku Penasehat Akademik penulis, yang senantiasa membimbing dan
memberikan motivasi kepada penulis selama menjalani pendidikan di
Jurusan Biologi.
iv
- Bapak Sugeng Raharjho, A.Pi. selaku Kepala Balai yang telah
mengizinkan dan menfasilitasi penulis untuk melakukan penelitian di
Balai Budidaya Air Payau Takalar.
- Kepada Bapak Drs. Muhtadin Asnady Salam, M.Si selaku pembimbing
utama, dan Ibu Dr. Elis Tambaru, M.Si selaku pembimbing pertama. Serta
Ibu Dr. Irma Andriani, M.Si selaku pembimbing kedua. Kepada Bapak
Dr. Lideman, S.Pi, M.Sc selaku pembimbing lapangan, yang selama ini
telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis
dalam melakukan penelitian di Balai Budidaya Air Payau Takalar.
- Kepada Dosen Tim Penguji, Bapak Dr. Fahruddin, M.Si selaku ketua
penguji, Ibu Dr. Rosana Agus, M.Si selaku Sekretaris penguji, serta Bapak
Drs. Munif S. Hassan, MS, Ibu Dr. Syahribulan, M.Si selaku anggota dari
tim penguji.
- Seluruh Dosen di Jurusan Biologi FMIPA UNHAS. Atas segala
pengorbanan waktu, pikiran serta tenaga dalam mendidik dan
membimbing penulis selama menjadi mahasiswa di Jurusan Biologi.
- Kepada kedua orang tuaku, atas segala ketulusan dan pengorbanannya
selama ini.
- Kepada seluruh saudara-saudaraku, di Jurusan Biologi, terspesial untuk
saudara se angkatanku.
- Kakak Syam, Kakak Helman, Bapak Akmal, Bapak Ilham, Bapak Suaib
dan seluruh Staf di Laboratorium Kultur Jaringan Rumput Laut BBAP
v
Takalar, atas segala bantuannya dan rasa kekeluargaan selama penulis
melakukan penelitian.
- Semua pihak yang tidak dapat penulis cantumkan satu persatu, semoga
Allah subuhana wa taala memberikan balasan yang lebih baik dan indah
atas semua keiklasan yang diberikan.
Harapan penulis, skripsi ini dapat bermanfaat sebagai acuan
dimasa yang akan datang. Demikianlah skripsi ini disusun untuk
menambah ilmu pengetahuan dalam bidang Biologi. Semoga Allah SWT
senantiasa menilai aktivitas kita sebagai amalan yang bernilai ibadah.
Amin.
Makassar, Juni 2013
Penulis
vi
ABSTRAK
Penelitian mengenai Pengaruh Perendaman Eucheuma spinosum J. Agardh
dalam Larutan Pupuk Provasoli’s Enrich seawater. Penelitian ini bertujuan untuk
1) mengetahui pengaruh lama waktu perendaman Eucheuma spinosum J. Agardh
dalam larutan pupuk Provasoli’s Enrich Seawater (PES) terhadap laju
pertumbuhan secara In Vitro dan 2) untuk mengetahui perbandingan antara berat
dan panjang thallus Eucheuma spinosum J. Agardh pada waktu perendaman
berbeda. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Rumput Laut,
Balai Budidaya Air Payau Takalar, Kabupaten Takalar. Penelitian dirancang
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan, A (0
jam/kontrol), B (6 jam), C (12 jam), D (18 jam), E (24 jam). Masing-masing
perlakuan diulang sebanyak 4 kali. Variabel yang diamati adalah laju
pertambahan berat eksplan dan laju pertambahan panjang eksplan. Panjang dan
berat eksplan diukur setiap 7 hari untuk menghitung laju pertumbuhan. Data
dianalisis menggunakan analisis satu arah ANOVA dan dilanjutkan dengan Uji
Beda Nyata Terkecil (BNT) untuk mengetahui beda nyata antar perlakuan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perendaman dalam Pupuk Provasoli’s Enrich
seawater (PES) dapat mempengaruhi laju pertumbuhan rumput laut Eucheuma
spinosum J. Agardh, dengan waktu perendaman yang paling baik adalah 24 jam.
Kata kunci : Eucheuma spinosum, Media PES, Perendaman, Laju pertumbuhan
vii
ABSTRACT
The research of the effect of dipping time in Provasoli’s Enrich Seawater
(PES) medium on the in vitro growth of Eucheuma spinosum (E. spinosum)
J. Agardh. The research are aimed to 1) investigate the effect of dipping time in
PES medium on the in vitro growth of E. spinosum J. Agardh and 2) define the
ratio between weight and length of the thallus of E. spinosum J. Agardh under a
variety of dipping time in PES medium. The research had been conducted at
Seaweed Tissue Culture Laboratory, Research Centre of Brackishwater
Aquaculture, Takalar. The research was designed by using a Completely
Randomized Design (CRD) with 5 treatments of dipping time, those were 0 hour
(A,control),6 hours (B), 12 hours (C), 18 hours (D), 24 hours (E). Each treatment
was repeated 4 times. The observed variable was the rate of weight and long
explants. The weight and length of the explant were measured every 7 days in
order to calculate their growth rate. Data were analyzed using a one-way
ANOVA continued with Least Significant Different (LSD) to identify significant
different of the means. The result showed that the dipping time of PES medium
could affect the growth rate of E. spinosum J. Agardh with the optimum dipping
time was 24 hours.
Key words: Euchema spinosum, PES medium, dipping time, Growth rate
.
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iii
ABSTRAK ................................................................................................... vi
ABSTRACT ................................................................................................. vii
DAFTAR ISI ................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
I.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
I.2 Tujuan Penelitian ............................................................................ 3
I.3 Manfaat Penelitian .......................................................................... 3
I.4 Waktu dan Tempat Penelitian.......................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 4
II.1 Biologi Rumput laut Eucheuma spinosum ...................................... 4
II.1.1 Morfologi E. Spinosum ............................................................... 5
II.1.2 Habitat E. Spinosum ................................................................... 6
II.1.3 Reproduksi E. Spinosum ............................................................. 7
II.1.4 Kandungan E. Spinosum .............................................................. 8
II.1.4 Potensi Pemanfaatan Eucheuma spinosum .................................. 8
ix
II.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
E. Spinosum ................................................................................ 9
II.2 Kultur Rumput Laut ...................................................................... 14
II.2.1 Kelebihan dan Kelemahan Perbanyakan Secara
In Vitro ...................................................................................... 15
II.3 Pupuk Provasoli’s Enrich Seawater (PES) .................................... 17
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................ 18
III.1 Bahan dan Alat............................................................................. 18
III.2 Metode Penelitian ........................................................................ 18
III.3 Variable yang diamati .................................................................. 19
III.4 Tahapan Penelitian ....................................................................... 20
III.4.1 Pengambilan Sampel ................................................................. 20
III.4.2 Pemeliharaan untuk adaptasi ..................................................... 21
III.4.3 Persiapan Wadah dan Sterilisasi Alat......................................... 21
III.4.4 Sterilisasi Air Laut .................................................................... 22
III.4.5 Pemotongan dan Sterilisasi Eksplan .......................................... 22
III.4.6 Pembuatan Pupuk Provasoli’s Enrich Seawater (PES)... .......... 22
III.4.7 Perendaman dan Pemeliharaan Eksplan ..................................... 23
III.4.8 Analisis Data ............................................................................. 23
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 25
IV.1 Laju Pertambahan Berat Eksplan.................................................. 25
IV.2 Laju Pertambahan Panjang Eksplan ............................................. 30
x
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN......................................................... 38
V.1 Kesimpulan .................................................................................. 38
V.2 Saran ............................................................................................ 38
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 39
xi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Komposisi kimia rumput laut jenis Eucheuma spinosum ................. 8
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Morfologi Eucheuma spinosum J. Agardh ............................................. 5
2. Lokasi pengambilan sampel Eucheuma spinosum J. Agardh ................. 21
3. Perbandingan laju pertambahan berat eksplan selama 42 hari ................ 25
4. Pertambahan berat mutlak eksplan selama perendaman 42 hari ............. 26
5. Hubungan lama perendaman terhadap laju pertambahan bobot relative
(RGR) ................................................................................................... 28
6. Laju pertambahan panjang eksplan selama 42 hari ................................ 31
7. Pertambahan panjang mutlak eksplan selama 42 hari ........................... 32
8. Hubungan antara lama perendaman dengan laju pertambahan panjang
eksplan perhari (RLR) ........................................................................... 33
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Komposisi pupuk Provaoli’s Enrich Seawater (PES) ........................ 44
2. Laju pertumbuhan berat eksplan ........................................................ 45
3. Laju pertumbuhan panjang eksplan .................................................... 47
4. Denah Penelitian ............................................................................... 49
5. Pengolahan data dengan Program SPSS 16,0 ..................................... 50
6. Dokumentasi Kegiatan Penelitian ...................................................... 52
7. Kualitas air pada media pemeliharaan eksplan Eucheuma spinosum
untuk setiap perlakuan ....................................................................... 53
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki hampir 70 % wilayah berupa lautan, tetapi sampai saat
ini belum banyak dimanfaatkan. Salah satu potensi lautan adalah rumput laut
seperti Eucheuma, Gracilaria, Gelidium, Gelidiopsis, Sargassum dan Hypnea
(Sulistijo et al. 1980). Rumput laut merupakan salah satu sumber devisa negara
dan sumber pendapatan bagi masyarakat pesisir dan merupakan salah satu
komoditi laut yang sangat populer dalam perdagangan dunia. Pemanfaatannya
sangat banyak dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai sumber pangan, obat-
obatan dan bahan baku industri (Indriani dan Sumiarsih, 1992). Salah satu jenis
rumput laut yang dibudidayakan di Sulawesi Selatan adalah Eucheuma spinosum
(E. spinosum). Jenis ini mempunyai nilai ekonomis penting karena sebagai
penghasil karaginan, dalam dunia industri dan perdagangan. Karaginan
mempunyai manfaat yang sama dengan agar-agar dan alginat yaitu karaginan
dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri farmasi, kosmetik dan
makanan (Mubarak, 1978).
Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh di alam terhadap pertumbuhan
E.spinosum adalah cahaya, suhu, salinitas, pergerakan air, dan ketersediaan
nutrien. Faktor-faktor biologi yang berpengaruh meliputi epiphytic, bakteria,
jamur, algae, dan binatang yang menempel (Loban dan Harisson, 1997). Cahaya
diperlukan untuk proses fotosintesis, sedangkan suhu diperlukan untuk proses
2
reaksi biokimia. Pengembangan budidaya E.spinosum dapat dilakukan dengan
cara meneliti faktor-faktor pertumbuhannya. Beberapa studi menunjukkan bahwa
Eucheuma serra memerlukan suhu 24-28 oC untuk pertumbuhan in vitro-nya
(Lideman et al. 2011), dan Kappaphycus sp. (strain sumba) memerlukan suhu
22-23 oC dan intensitas cahaya matahari antara 122-167 µmol photons m
-2 s
-1
(Lideman et al. 2013), sedangkan mikroalga subtropis memerlukan suhu antara
18-28 0C untuk mempertahankan aktifitas fotosintesis yang optimal
(Lideman et al, 2012).
Rumput laut berbeda dengan sebagian tumbuhan darat, rumput laut tidak
memiliki akar untuk menyerap nutrien, sehingga ketersediaan/dosis nutrien yang
yang ada di sekitar thallus akan sangat memengaruhi pertumbuhan. Kekurangan
nutrien biasanya akan menyebabkan rumput laut yang dipelihara akan kerdil,
sehingga upaya-upaya untuk melakukan penambahan nutrien melalui pemupukan
perlu dilakukan. Pupuk yang sudah umum untuk makroalga adalah Provasoli’s
Enrich Seawater (PES).
Budidaya rumput laut dilakukan di laut, sehingga pemupukan di laut
sangat sulit dilakukan, maka salah satu cara yang akan dilakukan adalah melalui
perendaman rumput laut sebelum pemeliharaan. Beberapa penelitian tentang
pengaruh lama perendaman rumput laut telah dilakukan baik dengan
menggunakan pupuk bionik (Silea dan Mashita, 2009), pupuk NPK (Rukmi et al.
2012), fospat (Sari et al. 2012), dan menggunakan berbagai aplikasi pupuk
(Madeali et al. 2012). Penelitian ini akan menggunakan pupuk PES, dimana
pupuk PES ini merupakan pupuk buatan dengan komposisi yang lengkap, yang
3
memiliki sumber fosfat serta nitrogen, sehingga mengurangi aplikasi pupuk yang
digunakan. Adanya permasalahan diatas maka akan dilakukan penelitian berapa
lama waktu perendaman yang baik untuk pertumbuhan E.spinosum dengan
menggunakan larutan pupuk PES. Penelitian ini dilakukan secara In vitro, untuk
menguji kemampuan dari pupuk PES dalam memengaruhi laju pertumbuhan pada
E. spinosum J. Agardh.
I.2 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui pengaruh lama perendaman E. spinosum J. Agardh dalam
larutan pupuk PES terhadap laju pertumbuhan secara In vitro.
2. Untuk mengetahui perbandingan antara berat dan panjang thallus E. spinosum
J. Agardh dari perbedaan perlakuan lama perendaman.
I.3 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru kepada
masyarakat, terutama petani rumput laut tentang pengaruh pupuk PES terhadap
pertumbuhan E. spinosum, khususnya pada kegiatan budidaya rumput laut.
I.4 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Mei 2013. Pengambilan
sampel dilakukan di perairan Desa Punaga, Kecamatan Mangngara Bombang,
Kabupaten Takalar. Perlakukan secara In vitro dan analisis data akan dilakukan di
Laboratorium Kultur Jaringan BBAP Takalar, Desa Mappakalompo, Kecamatan
Galesong Selatan, Kabupaten Takalar.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1 Biologi Rumput Laut Eucheuma spinosum
Rumput laut merupakan bagian terbesar dari tumbuhan laut. Rumput laut
terdiri atas tiga classis yaitu Chlorophyceaea (ganggang hijau), Phaeophyceae
(ganggang coklat), dan Rhodophyceae (ganggang merah). Ketiga kelas ganggang
tersebut merupakan sumber produk bahan alam hayati lautan yang sangat
potensial dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan mentah maupun bahan hasil
olahan (Aslan, 1998).
Eucheuma spinosum merupakan salah satu jenis rumput laut dari kelas
Rhodophyceae (ganggang merah). Klasifikasi rumput laut jenis ini menurut
(Tjitrosoepomo, 1989) adalah sebagai berikut:
Regnum : Plantae
Divisio : Thallophyta
Sub Divisio : Algae
Classis : Rhodophyceae
Ordo : Nemastomales
Familia : Rhodophyllidaceae
Genus : Eucheuma
Species : Eucheuma spinosum J. Agardh
5
Gambar 1. Morfologi Eucheuma spinosum J. Agardh (Sumber : Mubarak, 1978).
II.1.1 Morfologi Eucheuma Spinosum
Rumput laut ini dikenal dengan nama daerah agar-agar. Dalam dunia
perdagangan, rumput laut ini dikenal dengan istilah spinosum yang berarti duri
yang tajam. Rumput laut ini berwarna cokelat tua, hijau cokelat, hijau kuning,
atau merah ungu (Sudradjat, 2008 dalam Alam, 2011).
Ciri-ciri rumput laut jenis E.spinosum yaitu thallus silindris, percabangan
thallus berujung runcing atau tumpul, dan ditumbuhi nodulus (tonjolan-tonjolan)
berupa duri lunak yang tersusun berputar teratur mengelilingi cabang, lebih
banyak dari yang terdapat pada Eucheuma cottonii. Ciri-ciri lainnya mirip seperti
E. cottoni. Jaringan tengah terdiri dari filamen tidak berwarna serta dikelilingi
oleh sel-sel besar, lapisan korteks, dan lapisan epidermis (luar). Pembelahan sel
terjadi pada bagian apikal thallus (Anggadiredja et al. 2006).
6
II.1.2. Habitat Eucheuma spinosum
Eucheuma spinosum tumbuh pada tempat-tempat yang sesuai dengan
persyaratan tumbuhnya, antara lain tumbuh pada perairan yang jernih, dasar
perairannya berpasir atau berlumpur dan hidupnya menempel pada karang yang
mati. Persyaratan hidup lainnya yaitu ada arus atau terkena gerakan air. Kadar
garamnya antara 28-36 %. Dari beberapa persyaratan, yang terpenting adalah
E. spinosum memerlukan sinar matahari untuk dapat melakukan fotosintesis
(Aslan, 1998).
Eucheuma spinosum tumbuh melekat pada rataan terumbu karang, batu
karang, batuan, benda keras, dan cangkang kerang. E. spinosum memerlukan sinar
matahari untuk proses fotosintesis sehingga hanya hidup pada lapisan fotik.
Habitat khas dari Eucheuma adalah daerah yang memperoleh aliran air laut yang
tetap, lebih menyukai variasi suhu harian yang kecil dan substrat batu karang mati
(Aslan, 1998).
Rumput laut tumbuh hampir diseluruh bagian hidrosfir sampai batas
kedalaman 200 meter. Jenis rumput laut ada yang hidup di perairan tropis,
subtropis, dan di perairan dingin. Rumput laut hidup dengan cara menyerap zat
makanan dari perairan dan melakukan fotosintesis. Jadi pertumbuhannya
membutuhkan faktor-faktor fisika dan kimia perairan seperti gerakan air, suhu,
kadar garam, nitrat, dan fosfat serta pencahayaan sinar matahari (Puncomulyo,
dkk, 2006).
Kadi dan Atmaja (1988), menambahkan bahwa pemanenan rumput laut
dapat dilakukan sekitar 1-3 bulan dari saat penanaman. Selanjutnya dikatakan
7
bahwa persyaratan lingkungan yang harus dipenuhi bagi budidaya Eucheuma
adalah:
a. Substrat stabil, terlindung dari ombak yang kuat dan umumnya di daerah
terumbu karang.
b. Tempat dan lingkungan perairan tidak mengalami pencemaran.
c. Kedalaman air pada waktu surut terendah 1- 30 cm.
d. Perairan dilalui arus tetap dari laut lepas sepanjang tahun.
e. Kecepatan arus antara 20 - 40 m/menit.
f. Jauh dari muara sungai.
g. Perairan tidak mengandung lumpur dan airnya jernih.
II.1.3. Reproduksi Eucheuma spinosum
Perkembangbiakan rumput laut pada dasarnya ada dua macam yaitu secara
kawin dan tidak kawin. Pada perkembangbiakan secara kawin, gametofit jantan
melalui pori spermatogonia akan menghasilkan sel jantan yang disebut spermatia.
Spermatia ini akan membuahi sel betina pada cabang carpogonia dari gametofit
betina. Hasil pembuahan ini akan keluar sebagai carpospora. Setelah terjadi
proses germinasi akan tumbuh menjadi tanaman yang tidak beralat kelamin atau
disebut sporofit (Poncomulyo dkk, 2006).
Perkembangbiakan secara tidak kawin terdiri dari penyebaran tetraspora,
vegetatif dan konjugatif. Sporofit dewasa menghasilkan spora yang disebut
tetraspora yang sesudah proses germinasi tumbuh menjadi tanaman beralat
kelamin, yaitu gametofit jantan dan gametofit betina. Perkembangbiakan secara
vegetatif adalah dengan cara setek. Potongan dari seluruh bagian thallus akan
8
membentuk percabangan baru dan tumbuh berkembang menjadi tanaman biasa.
Konjugasi merupakan proses peleburan dinding sel dan percampuran protoplasma
antara dua thally (Poncomulyo dkk, 2006).
II.1.4. Kandungan Eucheuma spinosum
Kandungan kimia dari rumput laut E. spinosum adalah iota keraginan
(65%), protein, karbohidrat, lemak, serat kasar, air, dan abu. Iota keraginan
merupakan polisakarida tersulfatkan dimana kandungan ester sulfatnya adalah
28-35%. Komposisi kimia yang dimiliki rumput laut E. spinosum dapat dilihat
pada Tabel 1 (Mubarak, 1982).
Tabel 1. Komposisi kimia rumput laut jenis Eucheuma spinosum.
Komponen Jumlah
Kadar air (%)
Karbohidrat (%)
Protein (%)
Lemak (%)
Serat kasar (%)
Abu (%)
Mineral : Ca (ppm)
Fe (ppm)
Cu (ppm)
Pb (ppm)
Vitamin B1 (Thiamin) (mg/100 g)
Vitamin B2 (Riboflavin) (mg/100g)
Vitamin C (mg/100 g)
Karaginan (%)
12,90
5,12
0,13
13,38
1,39
14,21
52,820
0,0108
0,768
-
0,21
2,26
43,00
65,75
Sumber : Mubarak, 1982.
II.1.5. Potensi Pemanfaatan Eucheuma spinosum
Pemanfaatan E. spinosum adalah sebagai salah satu jenis rumput laut
penghasil karagenan (carragenophytes). E. spinosum jenis rumput laut penghasil
iota karaginan. Karaginan merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri atas ester
9
kalium, natrium, magnesium, dan kalium sulfat dengan galaktosa
3,6 anhidrogalaktosa kopolimer. (Winarno, 1996).
Karaginan berfungsi sebagai penstabil, pensuspensi, pengikat, protective
(melindungi kolid), film former (mengikat suatu bahan), syneresis inhibitor
(mencegah terjadinya pelepasan air), dan flocculating agent (mengikat bahan-
bahan). Selain itu keraginan juga berperan sebagai stabilizer (penstabil), thickener
(bahan pengentalan), pembentuk gel, dan pengemulsi. Sifat ini banyak
dimanfaatkan dalam indukstri makanan, obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta
gigi, dan industri (Winarno, 1996).
Rumput laut telah digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup
manusia, dan secara ekonomi telah memberikan sumbangan devisa bagi negara
atau meningkatkan pendapatan nasional. Secara ekologis manfaat rumput laut
adalah menyediakan makanan bagi berbagai ikan dan invertebrate, terutama pada
bagian thallus muda rumput laut (Mann, 1982). Penelitian terbaru menemukan
bahwa ekstrak rumput laut K. alvarezii dan E. spinosum menunjukkan daya
antibakteri. Ekstrak metanol E. spinosum memiliki spektrum penghambatan
paling luas yang mana menunjukkan daya antibakteri tehadap Aeromonas
hydrophila dan Vibrio harveyii (Wiyanto, 2010).
II.1.6. Faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan Eucheuma spinosum
Faktor-faktor lingkungan yang memengaruhi pertumbuhan rumput laut
antara lain adalah: suhu, cahaya, salinitas, arus, gerakan air, kekeruhan, pH
perairan, dan Nutrien.
10
1. Suhu
Menurut Mubarak dan Wahyuni (1981) temperatur merupakan faktor
sekunder bagi kehidupan rumput laut. Crebs (1972) dalam Apriyana (2006)
menyatakan, bahwa rumput laut akan dapat tumbuh dengan subur pada daerah
yang sesuai dengan temperatur di laut. Alga laut mempunyai kisaran suhu yang
spesifik karena adanya kandungan enzim pada alga laut. Alga laut akan tumbuh
dengan subur pada daerah yang sesuai dengan suhu pertumbuhannya.
Dawes (1981) menyatakan, bahwa E. isoforme, Eucheuma sp, Gelidium
masing-masing mencapai nilai optimum pada suhu 21-240C dan 21-27
0C yang
berada pada kondisi intensitas cahaya yang sama. Selanjutnya dikatakan pada
kondisi intensitas cahaya yang berbeda, laju fotosintesis dipengaruhi juga oleh
suhu perairan.
Menurut Sulistijo dan Atmadja (1996) kisaran suhu perairan yang baik
untuk rumput laut Eucheuma sp. adalah 27-300C, suhu akan naik dengan
meningkatkan kecepatan fotosintesis sampai pada radiasi tertentu. Rumput laut
hidup dan tumbuh pada perairan dengan kisaran suhu air antara 20–2800C, namun
masih ditemukan tumbuh pada suhu 3100C (Direktorat Jenderal Perikanan, 1990).
2. Salinitas
Makroalgae umumnya hidup di laut dengan salinitas antara 30‰–35‰.
Namun banyak jenis makroalgae mampu hidup pada kisaran salinitas yang
besar. Salinitas yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan menyebabkan
gangguan pada proses fisiologisnya (Luning, 1990).
11
Rumput laut Eucheuma sp. tumbuh berkembang dengan baik pada
salinitas yang tinggi. Penurunan salinitas akibat masuknya air tawar dari sungai
dapat menyebabkan pertumbuhan rumput laut Eucheuma sp. menurun. Menurut
Dawes (1981), kisaran salinitas yang baik bagi pertumbuhan Eucheuma sp. adalah
30-35 ppt. Menurut Zatnika dan Angkasa (1994) menyatakan bahwa salinitas
perairan untuk budidaya rumput laut jenis Eucheuma sp. berkisar antar 28-34 ppt.
Sedangkan menurut Soegiarto et al. (1978), kisaran salinitas yang baik untuk
Eucheuma sp. adalah 32-35 ppt. Apabila salinitas berada dibawah 30 ppt maka
akan merusak rumput laut yang ditandai dengan timbulnya warna putih diujung
tanaman (Collina, 1976 dalam Iksan, 2005).
3. Cahaya Matahari
Cahaya matahari dibutuhkan oleh alga laut untuk proses fotosintesis
dimana hasilnya adalah fiksasi CO2. Selain itu ultraviolet juga dibutuhkan untuk
pertumbuhan thallusnya. Kemampuan cahaya menembus perairan akan berkurang
dengan bertambahnya kedalaman. Zona ini disebut zona photic. Perubahan pada
intensitas dan kualitas cahaya yang menembus perairan dengan bertambahnya
kedalaman menggambarkan kemampuan alga laut untuk tumbuh. Eucheuma sp.
termasuk dalam golongan Rhodophyceae yang dapat hidup pada perairan yang
lebih dalam dari golongan Chlorophyceae maupun Phaeophyceae (Dawes, 1981).
4. Arus
Arus dapat terjadi karena pasang dan angin. Arus pasang lebih mudah
diramalkan dibanding dengan arus karena angin. Arus tidak terlalu banyak
menyebabkan kerusakan pada tanaman dibandingkan dengan ombak, kisaran
12
kecepatan arus yang cukup untuk pertumbuhan rumput laut antara 20–40 cm/detik
(Direktorat Jenderal perikanan, 1990).
Arus merupakan faktor yang harus diutamakan dalam pemilihan lokasi,
karena biasanya arus akan mempengaruhi sedimentasi dalam perairan yang pada
akhirnya akan memengaruhi cahaya (Doty, 1973). Menurut Sidjabat (1973),
proses pertukaran oksigen antara udara yang terjadi pada saat turbelensi karena
adanya arus. Adanya ketersediaan oksigen yang cukup dalam perairan, maka
respirasi rumput laut dapat berlangsung pada malam hari, sehingga pertumbuhan
akan berlangsung secara optimal.
5. Pergerakan Air
Pergerakan air adalah faktor ekologi utama yang mengontrol kondisi
komunitas alga laut. Arus dan gelombang memiliki pengaruh yang besar terhadap
aerasi, transportasi nutrien dan pengadukan air. Pengadukan air berperan untuk
menghindari fluktuasi suhu yang besar (Trono dan Fortes, 1988). Peranan lain
dari arus adalah menghindarkan akumulasi epifit yang melekat pada thallus yang
dapat menghalangi pertumbuhan alga laut. Soegiarto (1978) dalam Sinaga (1999),
mengemukakan bahwa semakin kuat arus suatu perairan maka pertumbuhan alga
laut akan semakin cepat karena difusi nutrien ke dalam sel thallus semakin
banyak, sehingga metabolisme dipercepat.
6. Substrat
Nontji (1993), menyatakan bahwa sedikitnya alga laut yang terdapat pada
perairan dengan dasar pasir atau berlumpur, disebabkan karena terbatasnya benda
keras yang cukup kokoh untuk tempat melekatnya. Susunan kimia dari substrat
13
tidak mempengaruhi kehidupan alga laut, hanya sebagai tempat melekatnya alga
laut pada dasar perairan. Alga laut Eucheuma sp. paling baik pertumbuhannya
adalah pada dasar perairan berkarang.
7. Nutrien
Nitrogen dan fosfat dalam bentuk senyawa organik dimanfaatkan oleh
tumbuhan menjadi protein nabati yang selanjutnya dimanfaatkan oleh organisme
hewani sebagai pakan. Kadar nitrat dan fosfat mempengaruhi stadia reproduksi
alga bila zat tersebut melimpah di perairan. Kadar nitrat dan fosfat di perairan
akan berpengaruh positif terhadap kesuburan gametofit alga cokelat
(Aslan, 1998),
a. Nitrat (NO3)
Nitrat merupakan salah satu senyawa nitrogen yang ada di perairan. Nitrat
(NO3) adalah bentuk senyawa nitrogen yang merupakan sebuah senyawa yang
stabil. Nitrat merupakan salah satu unsur yang penting untuk sintesa protein
tumbuh-tumbuhan dan hewan. Riani (1994) dalam Alam (2011), menjelaskan
bahwa kandungan nitrat dalam kadar yang berbeda dibutuhkan oleh setiap jenis
alga untuk keperluan pertumbuhannya, sedangkan kadar nitrat utnuk mikroalga
dapat tumbuh dan optimal diperlukan kandungan nitrat 0,9-3,5 mg/l. Apabila
kadar nitrat dibawah 0,1 atau diatas 4,5 mg/l, merupakan faktor pembatas. Kisaran
nitrat terendah untuk pertumbuahan alga adalah 0,3-0,9 mg/l, sedangkan untuk
pertumbuhan optimal adalah 0,9-3,5 mg/l (Sulistijo, 2002). Menurut Boyd dan
Lichtkoppler (1982) batas toleransi nitrat terendah untuk pertumbuhan alga adalah
14
0,1 ppm sedangkan batas tertingginya adalah 3 ppm. Apabila kadar nitrat
dibawah 0,1 atau di atas 3 ppm maka nitrat merupakan faktor pembatas.
b. Fosfat (PO4)
Fosfat (PO4) dapat menjadi faktor pembatas baik secara temporal maupun
spasial karena sumber Fosfat yang lebih sedikit di perairan. Kisaran fosfat yang
optimal untuk pertumbuhan rumput laut adalah 0,051-1,00 ppm (Indriani dan
Sumiarsih, 1992). Ernanto (1994) dalam Alam (2011) mengemukakan pembagian
tipe perairan berdasarkan kandungan fosfat di perairan yaitu:
a. Perairan dengan tingkat kesuburan rendah memilki kandungan fosfat kurang
dari 2 ppm.
b. Perairan dengan tingkat kesuburan cukup subur memiliki kandungan fosfat
0,021 sampai 0,05 ppm.
c. Perairan dengan tingkat kesuburan yang baik memiliki kandungan fosfat
0,015 sampai 1,00 ppm.
II.2. Kultur Rumput Laut
Kultur jaringan atau tissue culture berasal dari dua kata yaitu kultur atau
culture dan jaringan atau tissue. Kultur adalah budidaya, sedangkan jaringan
adalah sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama (Nugroho
dan Sugito, 2005). Sehingga kultur jaringan berarti membudidayakan suatu
jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat sama seperti
induknya. Kultur jaringan tanaman yang juga disebut weefsel cultuss atau gewebe
kultur merupakan teknik menumbuh-kembangkan bagian tanaman, baik berupa
sel, jaringan atau organ dalam kondisi aseptik secara in vitro. (Hendaryono dan
15
Wijayani, 1994). Pengertian In vitro secarah harfiah berarti di dalam kaca, di
dalam tabung reaksi, botol, dan sebagainya (Zulkarnain, 2009). Untuk
menghasilkan thalus rumput laut sebagai bibit dalam jumlah besar dengan tetap
mempertahankan kualitasnya serta mencapai produksi yang maksimal dari alga
tersebut, perlu diperhatikan beberapa hal yaitu jenis alga yang bermutu, teknik
budidaya yang intensif, pasca panen yang tepat dan kelancaran hasil produksi.
Salah satu teknik yang optimal dalam produksi tersebut adalah teknik kultur
in-vitro. Kultur in vitro adalah suatu teknik mengisolasi bagian tanaman seperti
protoplas, sel, jaringan dan organ kemudian menumbuhkannya dalam media
buatan dengan kondisi aseptik dan terkendali (Gunawan, l988).
Teknik kultur in vitro pada rumput laut ini dipergunakan untuk untuk
mendapatkan suatu keturunan baru yang mempunyai sifat genetik asli sesuai sifat
induknya yang mempunyai sifat-sifat keunggulan tersendiri, misalnya dapat
menghasilkan kandungan agar-agar atau karaginan yang tinggi. Selain itu teknik
ini juga dapat dimanfaatkan sebagai alternatif penyediaan bibit dalam jumlah yang
besar tanpa memerlukan jumlah induk yang banyak dan bibit yang dihasilkan
bebas patogen (Susanto, 2008).
II.2.1. Kelebihan dan Kelemahan Perbanyakan Secara In Vitro
Kelebihan dari perbanyakan tanaman secara kultur jaringan dibandingkan
dengan perbanyakan tanaman secara konvesional (Yusnita, 2005) adalah sebagai
berikut:
a. Mampu menghasilkan bibit tanaman dalam jumlah lebih banyak dalam waktu
yang relatif singkat sehingga lebih ekonomis.
16
b. Tidak tergantung pada iklim atau cuaca.
c. Bisa menghasilkan tanaman sehat yang bebas cendawan, bakteri, virus, dan
hama penyakit.
d. Mampu mempertahankan sifat baik tanaman induk dan menekan genetic
erosian dan memungkinkan dilakukan manipulasi genetik.
e. Tidak merusak percabangan tanaman yang dipotong karena menggunakan
setek batang.
f. Tidak membutuhkan lahan yang luas untuk pembibitan.
g. Hanya membutuhkan sedikit tenaga kerja.
h. Dapat digunakan untuk memperbanyak tanaman tertentu yang sulit atau
sangat lambat diperbanyak secara konvesional.
Adapun kelemahan dari perbanyakan tanaman secara kultur jaringan
(Yusnita, 2005) adalah:
a. Dibutuhkan biaya awal yang relatif tinggi untuk laboratorium dan bahan
kimia.
b. Dibutuhkan keahlian khusus untuk melaksanakannya.
c. Tanaman yang dihasilkan berukuran kecil, aseptik dan terbiasa hidup di
tempat yang berkelembaban tinggi sehingga memerlukan aklimatisasi ke
lingkungan eksternal. Aklimatisasi planlet merupakan salah satu tahap kritis
yang sering menjadi kendala dalam produksi bibit secara massal.
d. Masih dinilai mahal bagi kalangan peneliti atau pengusaha di Indonesia
karena menggunakan bahan kimia yang sebagian besar di impor.
17
e. Biaya yang dikeluarkan untuk mikropropagasi (penggunaan lampu sebagai
pengganti sinar matahari dan AC untuk mengatur suhu) cukup besar. Namun,
biaya mahal untuk in vitro dapat ditekan dengan cara melakukan propagasi
ex vitro dengan perlakuan bioteknologi.
II.3. Pupuk Provasoli’s Enrich Seawater (PES)
Pupuk Provasoli’s Enrich Seawater (PES), merupakan pupuk makroalga
yang sudah dikembangkan dalam budidaya rumput laut, pupuk PES digunakan
karena banyaknya kandungan nutrien yang dibutuhkan oleh rumput laut dalam
pertumbuhannya. Pemberian pupuk ini, dilakukan sebelum dibudidayakan di
lingkungan alamianya. Pupuk PES memiliki sumber nitrogen dan fosfat yang
merupakan unsur utama yang dibutuhkan oleh rumput laut dalam
pertumbuhannya. Pembuatan stock pupuk PES 20 ml. Enrich Stock Solution
di tambahkan dengan air laut steril hingga volume mencapai 1000 ml
(Nursyam, 2013).
Media PES merupakan media kultur untuk alga yang kaya dengan
senyawa yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrient pada rumput laut.
Beberapa unsur pada media ini dapat melengkapi kekurangan yang ada pada
Serilized Sea Water (SSW). Enrich seawater medium diperkenalkan oleh
provasoli sekitar tahun 1960 an dan telah dilakukan banyak modifikasi tahun-
tahun berikutnya baik oleh media kultur maupun oleh beberapa ahli tentang media
kultur alga (Andersen, 2005).
18
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1 Alat dan Bahan Penelitian
III. 1. 1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah: ruang kultur jaringan, lux
meter, perlengkapan aerasi, akuarium, multiwel chamber, autoclave,
thermometer, timbangan analitik, aerator, selang aerator, silet, pinset, sponge,
keranjang, lap tangan, gayung, cawan petri, sikat pembersih, erlenmeyer, pipet
ukur, karet gelang, pompa vacum, kamera, dan alat tulis.
III.1. 2. Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian adalah: rumput laut E. spinosum, air
laut steril, air tawar, akuades, pupuk PES (Komposisi dapat dilihat pada
lampiran 1), sabun sunlight, betadine 1 %, aluminium foil, kertas saring, tissue,
dan kertas label.
III.2 Metode Penelitian
Penelitian ini digunakan metode eksperimental, desain menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perbedaan lama perendaman
E. spinosum di dalam larutan pupuk PES sebagai perlakuan. Perlakuan yang
digunakan yaitu lima perlakuan perbedaan lama perendaman dalam media PES
(A. Kontrol, B. 6 jam, C. 12 jam, D. 18 jam, E. 24 jam) dan masing-masing
dilakukan 4 (empat) ulangan.
19
III.2.1 Variabel yang diamati
Adapun variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah
1. Pertambahan Berat Eksplan
Pertambahan berat eksplan, dilakukan dengan cara menimbang eksplan
setiap seminggu sekali dengan menggunakan timbangan elektrik 4 digit.
Adapun rumus WG dan RGR (Effendie, 1979) yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu :
WG = [ (W1-Wo) / Wo ] x 100%
RGR = [ (ln W1-ln Wo) / ( t1-to) ] x 100%
Ket:
WG : Weight Gain
RGR : Relative Growth Rate
Wo : berat awal
W1 : berat akhir
t1 : umur penimbangan terakhir
to : umur awal penimbangan
2. Pertambahan Panjang Eksplan
Didalam menghitung pertambahan panjang eksplan, dilakukan pengukuran
setiap seminggu sekali, dengan menggunakan Jangka sorong.
Adapun rumus LG dan RLR (Effendie, 1979) yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu:
LG = [ (L1-Lo) / Lo ] x 100%
RLR = [ (ln L1-ln Lo) / ( t1-to) ] x 100%
Ket:
LG : Lenght Gain
RLR : Relative Lenght Rate
Lo : berat awal
L1 : berat akhir
t1 : umur penimbangan terakhir
to : umur awal penimbangan
III. 3. Tahapan Kerja merujuk pada penelitian Nursyam, (2013).
20
III.3.1 Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel E. Spinosum dilakukan di Perairan Desa Punaga,
Kec. Mangngara Bombang, Kab. Takalar. Jenis E. Spinosum yang digunakan
untuk penelitian ini adalah E. Spinosum yang memiliki kriteria yaitu, memiliki
ukuran yang besar, bersih, segar dan bebas dari penyakit yang menyerang rumput
laut pada umumnya.
Sumber : dicopy dari propil Desa Punaga 2008.
Gambar 4. Peta lokasi pengambilan sampel.
21
III.3.2 Pemeliharaan untuk adaptasi
Pemeliharaan sementara merupakan tahap awal penelitian, dimana sampel
E. Spinosum yang diperoleh dari Perairan Desa Punaga, Kecamatan Mangngara
Bombang, Kabupaten Takalar. dipelihara sementara dalam akuarium yang
dilengkapi dengan aerasi selama ± 2 minggu. Tujuannya sebagai bentuk adaptasi
rumput laut dari lingkuknagn alaminya di lautan dengan lingkungan barunya di
laboratotium dimana akan dilakukan penelitian secara in vitro.
Bibit yang telah tiba di Laboratorium dicuci atau dibersihkan dengan
digunakan air laut sampai kotoran yang melekat pada rumput laut hilang dan
selanjutnya dibilas sampai bersih. Bibit yang telah dibersihkan, dimasukkan
kedalam akuarium dan diberi aerasi. Proses ini berlangsung selama ± 2 minggu.
III.3 3 Persiapan Wadah dan Sterilisasi Alat
Wadah yang digunakan berupa cawan petri, erlenmeyer dan multiwel
chamber. Selanjutnya wadah disterilisasi dengan cara dicuci dengan
menggunakan sabun sunlight dan dibilas dengan air tawar mengalir, wadah yang
sudah bersih dibilas 3x dengan akuades. Kemudian disterilsasi secara basah
dengan menggunakan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit dengan tekanan
20 psi. Setelah itu dimasukkan kedalam ruang kultur dengan suhu 250C.
Sedangkan alat-alat lain yang akan digunakan seperti selang, pipet, pinset dan
batu aerasi dicuci bersih dengan menggunakan sabun kemudian dibilas dengan air
tawar mengalir sampai bersih kemudian dibilas kembali dengan akuades dan
dikeringkan, setelah kering dibungkus dengan aluminium foil dan dimasukkan
kedalam autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit dengan tekanan 20 psi.
22
III.3.4 Sterilisasi Air Laut
Air laut yang digunakan adalah air laut yang telah disaring dengan
menggunakan saringan/filter bag. Air tersebut dimasukkan ke dalam erlenmeyer
dengan ukuran 1 Liter. Kemudian air laut disaring kembali menggunakan pompa
vacum, pompa vacum tersebut dilengkapi dengan erlenmeyer sebagai wadah
penampungan air laut yang steril dan kertas saring dengan ukuran 0.45 µm. Air
laut yang telah disaring dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berukuran 1 Liter
dan ditutup dengan aluminium foil serta diikat dengan karet gelang. Air dalam
erlenmeyer dimasukkan dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit dengan
tekanan 20 psi.
III.3.5 Pemotongan dan Sterilisasi Eksplan
Eksplan dipotong-potong dengan menggunakan silet atau pisau bedah
dengan ukuran ± 2 cm. Kemudian dengan menggunakan pinset, eksplan
dimasukkan ke dalam wadah erlenmeyer yang berisi air laut steril dengan salinitas
30 0/00. Setelah pemotongan selesai, eksplan dibilas dengan betadine 1% dengan
cara mengojok-gojok selama ± 3-5 menit, sampai kotoran yang menempel pada
rumput laut hilang dan dilanjutkan dengan pembilasan menggunakan air laut steril
secara berulang –ulang.
III.3.6 Pembuatan Pupuk Provasoli’s Enrich Seawater (PES) (Andersen,
2005).
Untuk membuat Enrich Stock Solution, masukkan air destilasi (dH2O)
sebanyak 900 ml, tambahkan bahan-bahan Enrich Stock Solution seperti yang
terterah pada lampiran 1, tambahkan air destilasi (dH2O) sehingga volume
menjadi 1000 ml, dan disterilkan melalui proses pasteurisasi. Pupuk PES
23
diperoleh dengan cara menambahkan 20 ml atau dengan konsentrasi 2 % dari
Enrich Stock Solution kedalam 980 ml air laut steril, lalu dipasteurisasi dan
simpan di refrigirator.
III.3.7 Perendaman dan Pemeliharaan Eksplan
Ekplan-eksplan yang telah disterilkan, ditimbang sebagai berat awal.
Kemudian dengan menggunakan pinset, eksplan dimasukkan kedalam wadah
perendaman yaitu wadah multiwel chamber. Perendaman pada media PES
dilakukan selama 0, 6, 12, 18, 24 jam perendaman. Sebagai kontrol adalah
perlakuan 0 jam. Dimana pada perlakuan ini ekplan rumput laut langsung
dipelihara dengan media air laut steril tampa perendaman dengan pupuk PES.
Setelah perendaman selama 0, 6, 12, 18, 24 jam, tiap-tiap eksplan dimasukkan
kedalam wadah perendaman yang berisi air laut yang telah disterilkan. Setelah
perendaman, setiap tujuh hari sekali dilakukan penimbangan eksplan, pengukuran
panjang dan pergantian media pemeliharaan. Waktu yang dibutuhkan untuk
pemeliharaan eksplan yaitu selama 42 hari (6 minggu).
III.3.8 Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini, dilakukan dengan cara mendeskripsikan
data-data yang diperoleh dalam bentuk tabel dan grafik untuk mengetahui
perbandingan berat dan panjang dari eksplan, yang menunjukan laju pertumbuhan
dari perbedaan lama perendaman E. spinosum pada Pupuk PES. Data yang
dimasukkan yaitu lama perendaman (waktu), berat setiap eksplan dan
pertambahan panjang tunas eksplan E. spinosum. Data-data yang diperoleh dalam
penelitian ini akan dianalisis dengan analisis variansi (ANOVA) Gasperz (1991).
24
Jika terdapat perbedaan maka dilakukan uji lanjutan BNT (Beda Nyata Terkecil).
Adapun proses perhitungannya dilakukan dengan bantuan program SPSS 16,0.
25
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
35,00
40,00
0 7 14 21 28 35 42
ber
at
(mg)
Lama Pemeliharaan (Hari)
A=0 jam (kontrol)
B=6 jam
C=12 jam
D=18 jam
E=24 jam
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. 1 Laju Pertambahan Berat Eksplan
Data yang diperoleh dari penimbangan dan pengkuran eksplan setiap
minggu selama 42 hari, diuji dengan menggunakan uji sidik ragam atau ANOVA
untuk mengetahui pengaruh perendaman E. spinosum dalam larutan pupuk PES
terhadap parameter pengamatan laju pertumbuhan berat eksplan. Hasil
pengamatan pada laju pertumbuhan berat eksplan, disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Perbandingan laju pertambahan berat eksplan selama 42 hari.
Berdasarkan Gambar 4, terlihat bahwa terjadi pertumbuhan pada eksplan
pada tiap minggunya, dengan berbagai perlakuan yang diberikan. Data pada
gambar 4, memperlihatkan nilai rata-rata pada pertambahan berat eksplan.
Dimana pertambahan berat rata-rata yang menunjukkan pertumbuhan paling baik
diantara semua perlakuan adalah pada perlakuan B (6 jam), dilanjutkan dengan
perlakuan E (24 jam). Hasil penelitian dari pertambahan berat rata-rata eksplan
26
belum dapat menyimpulkan, bahwa perlakuan B (6 jam) lebih baik dari perlakuan
yang lain. Hasil analisis statistik uji sidik ragam menunjukkan perlakuan
perendaman yang diberikan tidak terdapat perbedaan pengaruh perlakuan terhadap
pertambahan berat, hal ini dikarenakan besarnya nilai signifikansi pada tabel
ANOVA sebesar 0.435 yang berarti lebih besar dari taraf α 0.05. Setiap perlakuan
yang diberikan pada eksplan menunjukkan nilai yang berbeda, untuk lebih
memahami pertambahan berat mutlak, ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Pertambahan berat mutlak eksplan selama perendaman 42 hari.
Hasil penelitian pada Gambar 5 menunjukkan pertambahan presentase
berat mutlak eksplan setiap minggu. Perlakuan yang menunjukkan pertambahan
berat yang paling baik adalah pada perlakuan E (24 jam) dengan nilai 21,59 %.
Sama halnya dengan analisis sidik ragam pada penelitian Nursyam (2013) yang
menunjukkan bahwa lama perendaman eksplan Kappaphycus alvarezii di dalam
media pupuk berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap laju pertumbuhan K. alvarezii.
Penelitian Nursyam (2013) menunjukkan bahwa pada perlakuan B (24 jam
perendaman) memperoleh pertambahan bobot tertinggi sebesar 27,14%, dalam
0 6 12 18 24
WG 16,08 20,88 16,88 16,67 21,59
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
ber
at (%
)
Lama Perendaman (Jam)
27
penelitian ini menghasilkan pertumbuhan terbaik. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang didapatkan pada lama perendaman tersebut, kebutuhan nutrien
dapat tercukupi dengan baik.
Penelitian ini sejalan dengan pendapat Sulistijo (1985) dalam Silea dan
Masitha (2006) di dalam penelitiannya menyatakan, bahwa pertumbuhan rumput
laut pada jenis Gellidium verrucosa, waktu yang efektif untuk penyerapan nutrien
(60 menit perendaman) dengan laju pertumbuhan spesifik 2% per hari selama 35
hari penanaman.
Pertambahan berat pada perlakuan B (24 jam) memperoleh data tertinggi
yang menujukkan, bahwa pada perlakuan perendaman 24 jam terjadi pertumbuhan
eksplan yang optimal dibandingkan dengan perlakuan dengan 0 jam, 6 jam, 12
jam dan 18 jam. Perlakuan E (24 jam) memperoleh hasil tertinggi yaitu 21.59 %.
Nilai terendah pada perlakuan A (0 jam) sebagai kontrol, kemudian nilai terendah
berikutnya pada perlakuan D (18 jam) dengan nilai 18.87 %.
Setiap laju pertumbuhan yang terjadi tidak terlepas dari berbagai faktor,
baik faktor internal maupun faktor eksternal terhadap eksplan yang dipelihara.
Kamla (2006) dalam Nursyam (2013) menyatakan bahwa faktor internal yang
berpengaruh antara lain jenis rumput laut, bagian tubuh (thalus) dan umur rumput
laut, sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh antara lain keadaan fisika dan
kimia perairan. Bird et al. (1997) dalam Ilknur dan Cirik (2004) menyatakan
bahwa faktor fisika dan kimia perairan yang berpengaruh antara lain gerakan
air, suhu, salinitas, nutrient, dan cahaya. Selain itu faktor-faktor parameter
oseonagrafi dari rumput laut pun ikut berpengaruh (Alam, 2011). Selanjutnya,
28
untuk melihat perbandingan laju pertumbuhan berat relatif eksplan selama
pemeliharaan, disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Hubungan lama perendaman terhadap laju pertambahan bobot relative
(RGR).
Berdasarkan Gambar 6, menunjukkan laju pertumbuhan relatif pada setiap
perlakuan. Pada perlakuan A (0 jam) sebagai kontrol, mengalami pertambahan
berat relatif 0,35% per hari, perlakuan B (6 jam) dengan laju pertumbuhan 0,45%,
pada perlakuan C (12 jam) memperoleh laju pertumbuhan 0,37% perhari,
sedangkan pada perlakuan D (18 jam), dengan laju pertumbuhan 0,37% per hari,
dan terakhir pada perlakuan E (24 jam) memperoleh laju pertumbuhan 0,46% per
hari. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa pada laju pertambahan berat relatif,
pada perlakuan E (24 jam) mengalami pertumbuhan terbaik, dengan nilai tertinggi
dibandingkan dengan perlakuan yang lain, dilanjutkan dengan perlakuan
C (6 jam) yang memiliki laju pertumbuhan terbaik selanjutnya. Perlakuan yang
mengalami laju pertumbuhan terendah pada perlakuan A (0 jam) dengan nilai
0,35 % per hari. Pada perlakuan A (0 jam) sebagai kontrol, tidak ada perlakuan
0 6 12 18 24
RGR 0,35 0,45 0,37 0,37 0,46
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
ber
at (%
/har
i)
Lama Perendaman (Jam)
29
perendaman eksplan dalam larutan pupuk PES, sehingga pertumbuhannya rendah
dibandingkan dengan eksplan yang diberikan perlakuan perendaman dalam
larutan pupuk PES.
Pertumbuhan rumput laut memerlukan nutrien untuk pembentukan
jaringan baru atau dalam hal ini pembentukan tunas agar tetap dapat
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Menurut Nursyam (2013), eksplan
yang hidup pada media yang memiliki kandungan nutrien yang cukup akan tetap
memiliki potensi untuk melakukan regenerasi sel pada setiap eksplan, sehingga
membentuk thallus yang utuh (plantlet). Riani (1994) dalam Alam (2011)
menjelaskan bahwa kandungan nitrat dalam kadar yang berbeda dibutuhkan oleh
setiap jenis alga untuk keperluan pertumbuhannya sedangkan kadar nitrat untuk
mikroalga dapat tumbuh dan optimal pada kandungan nitrat 0,9-3,5 mg/l. Jika
kadar nitrat di bawah 0,1 atau diatas 4,5 mg/l, merupakan faktor pembatas
pertumbuhan.
Nutrien yang dibutuhkan oleh rumput laut tidak cukup dari media asalnya,
yaitu air laut. maka perlakuan dengan penambahan pupuk untuk pertumbuhannya
akan memberikan hasil yang baik. Hal ini didukung oleh Aslan (1998) bahwa
salah satu faktor yang memengaruhi pertumbuhan rumput laut adalah nutrien yang
dapat diperoleh dari pupuk. Sejalan dengan pendapat Liao et al. (1983) dalam
Suryati et al. (2010) menyatakan bahwa kelangsungan hidup embrio rumput laut
K. alvarezii yang ditumbuhkan pada media padat yang diperkaya dengan beberapa
macam pupuk memperlihatkan bahwa media padat yang diperkaya dengan pupuk
PES 1/20 dan Conwy tingkat kelangsungan hidup berkisar 45-80%.
30
Media kultur yang diperkaya dengan pupuk PES 1/20 memperlihatkan
pertumbuhan dan pembentukan embrio yang lebih kompak dengan filamen yang
lebih pendek dibandingkan dengan embrio yang dihasilkan dari media Conwy.
Hal ini didukung dengan adanya kebutuhan nutrient dari eksplan dapat dipenuhi
dan dapat memacu pertumbuhan rumput laut tersebut walaupun ditumbuhkan
pada media semi padat (suryati et al. 2010). Oleh karena itu, larutan PES dalam
kegiatan penelitian ini memiliki peranan yang cukup penting dalam proses
pemanjangan tunas eksplan dan pertambahan berat eksplan rumput laut
E. spinosum.
IV. 1. 1 Laju Pertambahan Panjang Eksplan
Laju pertambahan panjang pada eksplan dilakukan dengan mengukur
pertambahan panjang eksplan setiap minggu dengan menggunakan jangka sorong.
Sebelum dilakukan pemeliharaan selama 42 hari, eksplan diukur terlebih dahulu.
Data tersebut adalah data awal. Data awal ini yang akan menjadi acuan untuk
pengukuran selanjutnya. Kemudian data hasil penelitian diuji dengan uji sidik
ragam untuk mengetahui perlakuan perendaman yang diberikan kepada eksplan
E. spinosum berpengaruh nyata terhadap pertambahan panjang eksplan sampai
42 hari perendaman dalam pupuk PES. Laju pertumbuhan panjang rata-rata dapat
dilihat pada Gambar 7.
31
Gambar 7. Laju pertambahan panjang eksplan selama 42 hari.
Berdasarkan hasil analisis variansi pada Lampiran 5, tidak terdapat
perbedaan pengaruh perlakuan terhadap pertambahan panjang, hal ini dikarenakan
besarnya nilai signifikansi pada tabel ANOVA sebesar 0.09 yang berarti lebih
besar dari taraf α 0.05, tidak berpengaruh nyata. Hasil penelitian pada Gambar 7
mununjukkan pertambahan panjang pada setiap perlakuan perendaman dalam
pupuk PES.
Pertambahan panjang eksplan meningkat selama pemeliharaan 42 hari,
untuk membandingkan tingkat pertambahan bobot maka dilakukan penghitungan
laju pertambahan panjang eksplan, untuk mengetahui lebih jelas pertumbuhan
mutlak pada eksplan, dapat dilihat pada Gambar 8.
00,20,40,60,8
11,21,41,61,8
0 7 14 21 28 35 42
Pan
jan
g (c
m)
Lama Pemeliharaan (Hari)
0 jam (kontrol)
6 jam
12 jam
18 jam
24 jam
32
Gambar 8. Pertambahan panjang mutlak eksplan selama 42 hari.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan, bahwa pupuk PES
dan waktu perendaman tidak memberikan pengaruh nyata terhadap laju
pertambahan panjang mutlak. Hasil penelitian pada Gambar 8, menunjukkan
bahwa pada perlakuan E (24 jam) menunjukkan nilai tertinggi yaitu 54,67%,
selanjutnya perlakuan yang menunjukkan nilai tinggi berikunya setelah perlakuan
E (24 jam) yaitu perlakuan B (6 jam), sedangkan perlakuan D (18 jam)
menunjukkan nilai terendah dari semua perlakuan dengan nilai 22,65%. Perlakuan
A (0 jam) dan perlakuan C (12 jam) memiliki nilai yang sama yaitu 24,03%.
Pernyataan ini dikuatkan dengan penelitian Nursyam (2013), menyatakan bahwa
dengan perendaman 24 jam eksplan sangat efektif dalam menyerap nutrisi pada
larutan pupuk, hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pupuk PES dengan lama perendaman 24 jam
dapat memberikan laju pertumbuhan yang terbaik.
Berdasarkan hasil uji statistik terhadap pertambahan panjang mutlak
menunjukkan, bahwa lama perendaman dalam larutan PES tidak berpengaruh
nyata (p>0,05) terhadap pertambahan panjang eksplan (Fhit<Ftab).
0 6 12 18 24
LG 25,48 40,36 24,03 22,65 54,67
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00Le
ngt
h G
ain
(%)
Lama Perendaman (Jam)
33
Gambar 9. Hubungan antara lama perendaman dengan laju pertambahan panjang
eksplan perhari (RLR).
Berdasarkan histogram pada Gambar 9, menunjukkan bahwa panjang
eksplan yang dihasilkan setelah perendaman, berbeda untuk setiap perlakuan.
Laju pertumbuhan tertinggi didapatkan pada perlakuan E (24 jam) dengan
pertambahan panjang relatif 2,73% per hari, sedangkan pada perlakuan D (18 jam)
memiliki nilai pertumbuhan terendah yaitu 0,46% per hari selama 42 hari
pemeliharaan.
Pertambahan panjang eksplan dapat terlihat jelas dari tunas yang mulai
tumbuh pada ujung thallus. Pada penelitian ini, pertumbuhan tunas dapat
mencapai panjang rata-rata 1,03-1,29 cm, nilai rata-rata ini diperoleh dari
perlakuan kontrol, berbeda lagi dengan perlakuan yang lain. Tunas rumput laut,
Eucheuma cotonii dapat mencapai panjang rata-rata 1,80- 6,56 mm selama 2
bulan (Amini dan Parengrengi, 1995).
Efektivitas penggunaan teknik kultur jaringan dalam melakukan seleksi
in vitro tergantung dari tersedianya metode yang efesien untuk menginduksi
terbentuknya kalus serta dapat meregenerasikannya menjadi tanaman lengkap
(planlet) (Mythli et al. 1997 dalam Kadir, 2007). Apa bila dibandingkan dengan
0 6 12 18 24
RLR 0,53 1,13 0,51 0,46 2,73
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00p
anja
ng
(%/h
ari)
Lama Perendaman (Jam)
34
kultur in vitro rumput laut, Gracillaria verrucosa, maka pertumbuhan tunas E.
cotonii lebih panjang dibandingkan G. verrucosa yang hanya dapat mencapai
tunas rata-rata 1,09-2,92 mm selama 2 bulan kultur in vitro di laboratorium
(Amini dan Parengrengi, 1994). Terbentuknya tunas tidak terlepas dari
pembelahan sel. Menurut Wahidah (2011), jaringan tumbuhan pada umumnya
terbentuk karena adanya aktifitas pembelahan sel. Satu sel mengalami proses
pembelahan terus-menerus, dari satu sel kemudian menjadi dua sel
anakan,demikian seterusnya peristiwa tersebut berulang-ulang. Dari proses
tersebut didapatkan sekumpulan sel yang terus membelah yang disebut kallus.
Sel-sel ini apabila kemudian mengalami proses morfogenesis (perubahan bentuk)
dan proses deferensiasi (perubahan bentuk dan fungsi), sehingga diperlukan
penambahan media untuk pertumbuhan rumput laut, berupa pupuk, zat pengatur
tumbuh, ataupun media tumbuh lainnya yang memiliki kandungan nutrient
penting bagi pertumbuhan rumput laut.
Menurut Trigiano (2000), Asam Indol Asetat (IAA) merupakan salah satu
jenis auksin yang secara alami digunakan untuk pembentukan kalus. IAA
memiliki sifat kimia lebih stabil dan mobilitasnya di dalam tanaman rendah. Sifat-
sifat ini yang menyebabkan IAA dapat lebih berhasil karena sifat kimianya yang
stabil dan pengaruhnya yang lebih lama (Hendaryono dan Wijayani 1994).
Komposisi auksin dan sitokinin dalam media kultur in vitro memainkan peranan
penting dalam induksi dan regenerasi kalus menjadi tunas (Zheng et al. 1999;
dalam Kadir, 2007).
35
George dan Sherrington (1984) dalam Aslamyah (2002) menyebutkan
bahwa sitokinin adalah kelompok zat pengatur tumbuh yang sangat penting dalam
pengaturan pertumbuhan dan morfogenesis pada kultur in vitro. Hal ini didukung
oleh pernyataan Wattimena et al. (1992) dalam Wahidah (2011) bahwa sitokinin
menyebabkan peningkatan pembelahan sel.
Penelitian ini dilakukan dengan memberikan perlakuan yang berbeda pada
ekplan E. spinosum terdiri dari Perlakuan A (0 jam), B (6 jam), C (12 jam), D (18
jam) dan perlakuan E (24 jam), setelah eksplan direndam dengan semua
perlakuan, selanjutnya eksplan dipelihara pada media air laut steril. Penggunaan
air laut steril, bertujuan agar tidak ada senyawa atau unsur lain yang
mempengaruhi pertumbuhan eksplan selain dari kandungan yang ada pada pupuk
PES, sehingga akan terlihat jelas pengaruh pupuk PES terhadap laju pertumbuhan
eksplan. Pada perlakuan A (0 jam) sebagai kontrol, hasilnya tidak begitu buruk
meskipun tidak diberikan perlakuan perendaman pada pupuk PES. Eksplan tetap
bisa bertoleransi dengan perlakuan yang diberikan. laju pertumbuhan eksplan
selama 42 hari tidak terlepas dari berbagai faktor eksternal, diantaranya suhu,
salinitas, dan cahaya. Meskipun banyak faktor yang memengaruhi pertumbuhan
rumput laut, seperti arus, kekeruhan, kedalaman dan substrat. Peelitian ini
dilakukan dalam skala laboratorium atau secara in vitro, sehingga faktor yang
sangat berpengaruh yaitu, suhu, salinitas, cahaya, nutrient, dan kualitas air.
Suhu merupakan salah satu faktor yang penting bagi pertumbuhan rumput
laut (Raikar et al. 2001 dalam Nursyam, 2013). Hasil pengukuran suhu selama
penelitian yaitu berkisar antara 26–30ºC. Hal ini didukung oleh Aslan (1998)
36
menyatakan bahwa suhu merupakan faktor penting untuk pertumbuhan dan
reproduksi, suhu yang optimum untuk pertumbuhan antara 20-28ºC. Rumput laut
hidup dan tumbuh pada perairan dengan kisaran suhu air antara 20–280C, namun
masih ditemukan tumbuh pada suhu 310C (Direktorat Jenderal perikanan, 1990).
Salinitas juga memengaruhi penyebaran makroalgae di lautan. Makroalgae
yang mempunyai toleransi besar terhadap salinitas eurihalin akan tersebar lebih
luas dibandingkan dengan makroalgae yang mempunyai toleransi yang kecil
terhadap salinitas stenohalin. Makroalgae umumnya hidup di laut dengan salinitas
antara 30‰–32‰. Jenis makroalgae mampu hidup pada kisaran salinitas yang
besar. Genus Fucus misalnya, mampu hidup pada kisaran salinitas antara
28‰-34‰. Salinitas berperan penting dalam kehidupan makroalgae. Salinitas
yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan menyebabkan gangguan pada proses
fisiologis makroalga (Luning, 1990). Salinitas selama penelitian berkisar antara
30-37 ppt.
Intensitas cahaya dibutuhkan dalam pertumbuhan dan kelangsungan hidup
dari eksplan rumput (Amini dan Parengrengi, 1995), terutama dalam proses
fotosintesis dan induksi thallus sampai membentuk embrio. Hasil pengamatan dari
intensitas cahaya mulai dari 570,5-1.119,5 lux dengan interval 500 lux
memperlihatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang baik.
Suryati et al. (2008), menyatakan bahwa intensitas cahaya yang baik dalam
pertumbuahan dan induksi thallus rumput laut yang baik adalah 1500 lux. Artinya
intensitas cahaya yang didapatkan dari hasil pengamatan penelitian 1500 lux tidak
berbeda dengan yang dikemukakan oleh (Suryati, 2008).
37
Beberapa studi menunjukkan bahwa E. serra memerlukan suhu 24-280C
untuk pertumbuhan invitro-nya (Lideman et al. 2011), sedangkan Kappaphycus
sp. (strain sumba) memerlukan suhu 22-23 oC dan intensitas cahaya matahari
antara 122-167 µmol photons m-2
s-1
(Lideman et al. 2012). Selanjutnya menurut
Prihantini et al.(2007) dalam Fadilah et al. (2010) menyatakan bahwa upaya
untuk meningkatkan pertumbuhan dari produksi biomassa E. spinosum dapat
dilakukan dengan memanipulasi faktor lingkungan seperti cahaya, kadar C02,
suhu, pH, salinitas, bentuk wadah kultur, dan medium.
38
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini yaitu:
1. Perendaman dalam larutan Pupuk Provasoli’s Enrich Seawater (PES)
memengaruhi laju pertumbuhan secara In vitro Eucheuma spinosum
J. Agardh.
2. Ada perbedaan berat dan panjang thallus Eucheuma spinosum J. Agardh
dengan perlakuan lama perendaman. Lama perendaman yang paling
berpengaruh terhadap laju pertumbuhan Eucheuma spinosum J. Agardh
adalah perlakuan E (24 jam) dengan nilai berat mutlak 21,59 % dan berat
relatif 0,46 %, nilai panjang mutlak 0,7 % dan panjang relatif 2,73 %.
V.2 Saran
Sebaiknya dilakukan penelitian selanjutnya dengan menggunakan aplikasi
pupuk baru yang memiliki kandungan lengkap untuk pertumbuhan rumput laut,
dengan menggunakan sampel percobaan dari strain rumput laut yang berbeda.
39
DAFTAR PUSTAKA
Alam, A.A., 2011. Kualitas Keraginan Rumput Laut Euheuma spinosum di
Perairan Desa Punaga Kabupaten Takalar. Skripsi. FIKP. Universitas
Hasanuddin. Makassar. 40 hal.
Amini, S dan A. Parengrengi, 1995. Perbanyakan Budidaya Graccilaria
Verrucosa In Vitro Dengan Perlakuan Pupuk Yang Berbeda. Jurnal
Penelitian Budidaya pantai Maros. 10(2):19-28.
Amini, S dan A. Parengrengi, 1995. Pengaruh Variansi Komposisi Pupuk
Terhadap Pertumbuhan Rumput Laut Eucheuma Cotonii Pada
Kultur In Vitro. Jurnal perikanan Indonesia 1(3). 8 hal.
Anggadiredja, J.T., A. Zatnika, H. Purwoto, dan S. Istini, 2006. Rumput Laut.
Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 40-47.
Andersen, R. A., 2005. Algal Culturing Techniques. Elsevier Academic Press,
Burlington. Hal 501.
Apriyana, D., 2006. Studi Hubungan Karakteristik Habitat Terhadap
Kelayakan Pertumbuhan dan Kandungan Karagenan Alga
Eucheuma spinosum di Perairan Kecamatan Bluto Kabupaten
Sumenep. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Aslamyah, S., 2002. Peranan Hormon Tumbuh dalam Memacu Pertumbuhan
Alga. <URL: http://tumoutou.net/702_05123/siti_aslamyah.htm>. Diakses
pada tanggal 5 Juni 2013. Pukul 09:24:57 WITA.
Aslan, L. M., 1998. Budidaya Rumput Laut. PT. Kanisius. Yogyakarta. 96 Hal.
Boyd, C.E. and Lichtkopper, 1982. Water Quality Management Inpond For
Aquaculture Experiment Station. Auburn University-Alabania.
Dawes, C.J., 1981 Marine Botany. John Wiley and Sons. University of South
Florida. New York.
Direktoral Jendral Perikanan, 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput laut.
Maros.
Doty, M.S., 1973. Eucheuma Farming for Carrageenan. Univ. Hawaii. Sea
Grant Report. Unihi Seagrant. United States of Amerika.
40
Effendie, M.I., 1979. Biologi Perikanan Bagian I. Study Natural Histology,
Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 105 Hal.
Fadilah, S., Rosmiati, E. Suryati, 2010. Perbanyakan Rumput Laut (Gracilaria
verrucosa) dengan Kultur Jaringan Menggunakan Wadah yang
Berbeda. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. Balai Riset
Perikanan Budidaya Air Payau, Maros, Sulawesi Selatan. Hal 611.
Gasperz, V., 1991. Metode Perancangan Percobaan untuk Ilmu Pertanian,
Ilmu Teknik dan Ilmu Biologi. Armico. Bandung
Gunawan, L.W., 1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Bogor:
Laboratrium Kultur Jaringan PAU Bioteknologi, IPB. 253 p.
Hendaryono, D.P. dan A. Wijayani, 1994. Teknik Kultur Jaringan. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta. hal.139.
Iksan, K.H., 2005. Kajian Pertumbuhan Produksi Rumput Laut dan
Kandungan Keraginan Pada Berbagai Bobot Bibit Dan Asal Thallus
di Perairan Desa Guraping, Oba Maluku Utara. Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 45 hal.
Indriani, H. dan E. Sumiarsih, 1992. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran
Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.
Ilknur, A and S. Cirik, 2004. Distribution of Gracilaria verrucosa (Hudson)
Papenfuss (Rhodophyta) in Izmir Bay (Eastern Aegean Sea). Pakistan
Journal of Bological Sciences. 7 (11) : 2022-2023.
Kadi, A. dan A. Wanda, 1988. Rumput Laut (Algae) Jenis, Reproduksi,
Produksi, Budidaya dan Pasca Panen. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
71 hal.
Kadir, A., 2007. Induksi dan Perbanyakan Populasi kalus, Regenerasi
Tanaman serta Uji Respon Kalus Terhadap Konsentrasi PEG dan
Dosis Iradiasi Sinar Gamma. Jurnal-jurnal Ilmu Pertanian Indonesia,
volume 9, No 1.
Kantor Desa Punaga, 2008. Propil Desa Punaga. Takalar.
Lideman, G.N. Nishihara, T. Noro, dan R. Terada, 2011. In Vitro Growth and
Photosynthesis of Three Edible Seaweeds, Betaphycus gelatinus,
Eucheuma serra, and Meristotheca papulosa (Solieriaceae,
Rhodophyta). Aquaculture Sci, Vol. 59 (4): 563-571.
41
, 2012. Effect of
Temperature and Light on the Photosyntetik Performance of Two
Edible Seaweeds: Meristotheca coacta Okamura and Meristotheca
papulosa J.Agardh (Soliareaceae, Rhodophyta). Aquaculture Sci. Vol.
60 (3): 377-388.
, 2013. Effect of
Temperature and Light on the Photosynthesis as Measured by
Chlorophyll Fluorescence of Cultured Eucheuma denticulatum,
Kappaphycus sp.(sumba strain) From Indonesia. Jurnal of Applied
Phycology. Vol 25 (2): 399-406.
Loban, C.S. and P.J Harrison, 1997. Seaweeds Ecology and Physiology.
Cambridge University Press. Cambridge. UK. 384 pp.
Luning, K., 1990. Seaweed Their Environment, Biogeography and
Ecophysiology. John Wiley and Sons. New York. Hal 334.
Madeali, M.I., E. Susiahningsih, dan P. R. Pong-Masak, 2012. Pencegahan
Penyakit Ice-ice pada Budidaya Rumput Laut Kappaphykus alvarezii
Melalui Aplikasi Pupuk dengan Sistem Perendaman. Balai Riset
Perikanan Budidaya Air payau. Maros Sulawesi Selatan. Hal 63.
Mann, K. H., 1982. Ecology of Coastal Water. Blackwell Scientific Publications.
Oxford University. London.
Silea, L. M. J dan L. Maslitha, 2009. Penggunaan Pupuk Bionik Pada
Tanaman Rumput Laut. Fakultas Matematika dan Ilmu Kelautan.
Unidayan. Bau-Bau.hal 31.
Mubarak, H., 1978. Rumput Laut (Algae), Manfaat, Potensi dan Usaha
Budidayanya. Lembaga Oseanologi Nasional – LIPI. Jakarta. 61 hal.
dan I. S. Wahyuni, 1981. Percobaan Budidaya Rumput Laut
Eucheuma spinosum di Perairan Lorok Pacitan dan Kemungkinan
Pengembangannya. Bul. Panel. Perikanan. Badan Litbang Pertanian
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Vol. 1. Hal : 157-166.
,1982. Teknik Budidaya Rumput Laut. Sub Balai Penelitian
Perikanan Laut. Jakarta.
Nontji, A., 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Hal 145.
Nugroho, A. dan H. Sugito, 2005. Teknik Kultur Jaringan. Penebar Swadaya.
Jakarta. Hal.71.
42
Nursyam, 2013. Pengaruh Lama Perendaman Pupuk Provasoli’s enrich
Seawater (PES) Terahadap Laju pertumbuhan In Vitro Kappaphycus
alvarezii. Skripsi. Universitas 45. Makassar. 45 hal.
Poncomulyo, T.,H. Maryani. dan K. Litha, 2006., Budidaya dan Pengolahan
Rumput Laut. Agro Media Pustaka. Jakarta. Hal 5,18.
Rukmi, A.S., Sunaryo, dan A. Djunaedi, 2012. Sistem Budidaya Rumput Laut
Gracilaria verrecosa di Pertambakan dengan Perbedaan Waktu
Perendaman di Dalam Larutan NPK. Journal of Marine Research.
Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan.
Universitas Diponegoro Kampus Tembalang. Semarang. Vol 1. Hal 90.
Sari, A.P., Sunaryo, dan A. Djunaedi, 2012. Pengaruh Lama Perendaman
Pupuk Fosfat Terhadap Pertumbuhan Rumput Laut Gracillaria
verrucosa (Hudson) Papenfuss di Pertambakan Desa Wonorejo,
Kaliwungu-Kendal. Journal of Marine Research, Program Studi Ilmu
Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Pengetahuan, Universitas
Diponegoro Kampus Tembalang, Semarang. Vol 1. Hal 98.
Sidjabat, M. M., 1973. Pengantar Oseanografi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sinaga, T., 1999. Sturuktur Komunitas Rumput Laut di Perairan Rataan
Terumbu Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Skripsi.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hal 11.
Soegiarto, A. W., Sulistijo dan H. Mubarak, 1978. Rumput laut (Algae)
Manfaat. Potensi dan Usaha Budidayanya. Lembaga Oseanologi
Nasional. LIPI. Jakarta. 61 hal.
Sulistijo, A. Nontji dan A. Sugiarto, 1980. Potensi Usaha Pengebangan
Budidaya Perairan diIndonesia. Proyek Penelitian Potensi
Sumberdaya Ekonomi. Lembaga Oseanologi Nasional. LIPI. Jakarta.
dan W. S. Atmadja, 1996. Perkembangan Budidaya Rumput Laut di
Indonesia. Puslitbang Oseanografi LIPI. Jakarta.
, 2002. Penelitian Budidaya Rumput Laut (Algae Makro/Seaweed) di
Indonesia. Pidato Pengukuhan Ahli Penelitian Utama Bidang Akuakultur.
Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Suryati, E, Rosmiati dan A Tenriulo, 2008. Kultur Jaringan Rumput Laut
(Gracillaria sp) dari Sumber Thallus yang Berbeda Sentra. Jurnal
Riset Akuakultur.
43
Suryati, E., A. Tenriolu dan B.R Tampangalo, 2010. Laporan Penelitian.
Pelestarian Plasma Nutfah Rumput Laut Kappaphycus alvarezi (Doty).
Melalui Induksi Kalus dan Embriogenesis Secara In vitro.pdf. Balai
riset perikanan budidaya air payau pusat riset perikanan budidaya
kementrian kelautan dan perikanan. 25 hal.
Susanto, A.B., 2008. Cloning Makroalga. UKM Seaweed, Jurusan Ilmu
Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
UNDIP.<URL:http://www.rumputlaut.org. Diakses pada tanggal 26 Mei
2013. Pukul 12:38:52 WITA.
Tjitrosoepomo, G, 1989. Taksonomi Tumbuhan (Schizophyta, Thallophyta,
Bryophyta, Pteridophyta). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Trigiano, R. N., 2000. Plant Tissue Culture Concepts and Laboratory
Exercises. New York: CRC Press.
Trono, G. C., Ganzon dan F. Fortes, 1988. Philippine Seaweeds. National Book
Store Inc. Philippines.
Wahida, S., 2011. Pengaruh Hormon Kinetin Terhadap Pertumbuhan Kalus
Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Melalui Kultur In Vitro. Jurusan
Budidaya Perikanan, Politeknik Pertanian Negeri Pangkep. Jurnal vokasi.
Vol. 7 no. 2. 192-197..
Winarno, 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor : M-Brio Press.
, 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan.
Jakarta.
Wiyanto, D. B., 2010. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Rumput Laut
Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma denticullatum Terhadap Bakteri
Aeromonas hydrophila dan Vibrio harveyii. Jurnal Kelautan. Vol 3.No. 1.
Universitas Islam Madura.
Yusnita, 2005. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara
Efisien. PT. Agromedia Pustaka. Jakarta. Hal.103.
Zatnika, A. dan W. I. Angkasa, 1994. Teknologi Budidaya Rumput Laut,
Makalah pada Seminar Pekan Akuakultur V. Tim Rumput Laut BPPT.
Jakarta. 12 hal.
Zulkarnain, 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Bumi aksara. Jakarta. Hal 45.
45
Lampiran 1. Tabel komposisi Pupuk Provasoli’s Enrich Seawater (PES)
(Andersen, 2005)
Bahan Satuan
Enrich Stock Solution
1. NaNO3
2. Tris base
3. Na2 β-glicerophospat
4. Thamin (Vitamin B1)
5. Biotin (Vitamin H)
6. Vitamin B12
7. Trace Metal Solution
Na2EDTA 2H2O
FeCl3 6H2O
H3BO3
MnSO4 4H2
CoSO4 7H2O
c. ZnSO4 7H2O
8. Iron-EDTA Solution
Na2 EDTA 2H2O
Fe (NH4)2 (SO4)2, 6H2O
5,0 g
3,0 g
0,5 g
0,500 mg
1 ml
1 ml
25 ml
12,74 g
0,484 g
11,439 g
1,624 g
0,220 g
0,048 g
250 ml
0,841 g
0,702 g
46
Lampiran 2 . Laju Pertambahan Berat Eksplan selama 42 hari
Perlakuan Umur (hari)
WG RGR (Waktu
Perendaman) 0 7 14 21 28 35 42
Bobot Bobot Bobot Bobot Bobot Bobot Bobot
A1
0 Jam
17,60 18,40 18,90 20,20 20,40 20,70 20,80 18,18 0,40
A2 18,90 20,00 20,70 21,10 21,20 21,40 21,80 15,34 0,34
A3 18,80 20,30 20,80 21,70 21,90 21,90 21,90 16,49 0,36
A4 18,20 18,90 19,50 19,60 19,80 20,60 20,80 14,29 0,32
Avearge 18,38 19,40 19,98 20,65 20,83 21,15 21,33 16,08 0,35
Stdv 0,60 0,90 0,93 0,93 0,92 0,61 0,61 1,67 0,03
B1
6 jam
35,00 37,60 39,30 39,90 40,00 40,70 41,10 17,43 0,38
B2 30,90 33,20 34,70 34,90 35,10 35,30 35,50 14,89 0,33
B3 20,40 22,70 24,50 25,40 25,40 26,20 26,30 28,92 0,60
B4 25,60 28,10 29,60 30,10 30,40 31,10 31,30 22,27 0,48
Avearge 27,98 30,40 32,03 32,58 32,73 33,33 33,55 20,88 0,45
Stdv 6,35 6,44 6,39 6,24 6,26 6,16 6,28 6,18 0,12
C1
12
Jam
23,00 24,90 26,10 26,60 26,80 27,50 27,90 21,30 0,46
C2 23,50 24,90 25,50 26,20 26,00 26,20 26,80 14,04 0,31
C3 21,60 23,20 24,20 24,70 24,30 24,90 25,40 17,59 0,39
C4 23,30 24,60 25,20 25,60 25,80 25,90 26,70 14,59 0,32
Avearge 22,85 24,40 25,25 25,78 25,73 26,13 26,70 16,88 0,37
Stdv 0,86 0,81 0,79 0,83 1,04 1,07 1,02 3,34 0,07
D1
18
Jam
18,80 20,80 19,90 21,10 21,10 22,00 21,90 16,49 0,36
D2 19,00 20,40 21,50 22,20 22,20 22,90 23,10 21,58 0,47
D3 27,60 28,90 29,90 30,70 30,60 31,00 32,40 17,39 0,38
D4 21,40 21,90 22,60 23,50 23,20 23,00 23,80 11,21 0,25
Avearge 21,70 23,00 23,48 24,38 24,28 24,73 25,30 16,67 0,37
Stdv 4,11 3,98 4,42 4,33 4,30 4,21 4,80 4,26 0,09
E1
24
Jam
27,10 29,90 31,50 32,50 32,70 33,40 33,90 25,09 0,53
E2 20,50 22,80 23,90 24,40 24,70 25,50 26,90 31,22 0,65
E3 15,80 10,30 17,20 17,30 17,30 17,80 18,30 15,82 0,35
E4 21,10 23,70 25,00 25,90 26,20 26,70 24,10 14,22 0,32
Avearge 21,13 21,68 24,40 25,03 25,23 25,85 25,80 21,59 0,46
Stdv 9,91 10,70 11,07 11,47 11,43 11,66 11,89 7,74 0,17
Keterangan : A = 0 jam, B = 6 jam, C = 12 jam, D = 18 jam, E = 24 jam
WG (Weight Gain) = Berat mutlak
RGR (Relative Growth Rate) = Laju Pertumbuhan Relatif
47
Lampiran 3. Laju Pertambahan Panjang Eksplan Selama 42 hari
Perlakuan Umur (hari)
LG RLR (Lama
Perendaman) 0 7 14 21 28 35 42
Panjang Panjang Panjang Panjang Panjang Panjang Panjang
A1
0
Jam
1,02 1,08 1,12 1,12 1,13 1,34 1,34 31,37 0,65
A2 0,90 1,12 1,15 1,18 1,12 1,26 1,28 42,22 0,84
A3 1,08 1,17 1,19 1,18 1,21 1,28 1,30 20,37 0,44
A4 1,13 1,13 1,15 1,18 1,18 1,21 1,22 7,96 0,18
Average 1,03 1,13 1,15 1,17 1,16 1,27 1,29 25,48 0,53
Stdev 0,10 0,04 0,03 0,03 0,04 0,05 0,05 14,70 0,28
B1
6
Jam
0,82 1,03 1,09 1,18 1,24 1,25 1,36 65,85 1,20
B2 1,01 1,04 1,12 1,24 1,21 1,30 1,32 30,69 0,64
B3 1,16 1,24 1,27 1,29 1,34 1,38 1,40 20,69 0,45
B4 0,95 0,99 1,16 1,36 1,22 1,34 1,37 44,21 0,87
Average 0,99 1,08 1,16 1,27 1,25 1,32 1,36 40,36 0,79
Stdev 0,14 0,11 0,08 0,08 0,06 0,06 0,03 19,54 0,33
C1
12
Jam
1,05 1,19 1,25 1,36 1,36 1,31 1,45 38,10 0,77
C2 1,04 1,13 1,20 1,35 1,21 1,29 1,29 24,04 0,51
C3 1,18 1,22 1,35 1,23 1,25 1,35 1,37 16,10 0,36
C4 0,95 1,01 1,11 1,12 1,16 1,19 1,12 17,89 0,39
Average 1,06 1,14 1,23 1,27 1,25 1,29 1,31 24,03 0,51
Stdev 0,09 0,09 0,10 0,11 0,09 0,07 0,14 9,97 0,19
D1
18
Jam
1,06 1,07 1,08 1,27 1,12 1,12 1,23 16,04 0,35
D2 0,96 0,99 1,16 1,16 1,17 1,16 1,02 6,25 0,14
D3 1,03 1,18 1,27 1,42 1,42 1,59 1,62 57,28 1,08
D4 1,18 1,22 1,24 1,22 1,29 1,38 1,31 11,02 0,25
Average 1,06 1,12 1,19 1,27 1,25 1,31 1,30 22,65 0,46
Stdev 0,09 0,10 0,09 0,11 0,13 0,22 0,25 23,43 0,42
E1
24
Jam
1,12 1,24 1,45 1,50 1,65 1,75 1,73 54,46 1,04
E2 0,81 0,92 1,15 1,28 1,35 1,49 1,51 86,42 1,48
E3 0,94 1,13 1,14 1,15 1,24 1,28 1,29 37,23 0,75
E4 1,06 1,19 1,23 1,31 1,35 1,45 1,49 40,57 0,81
Average 0,98 1,12 1,24 1,31 1,40 1,49 1,51 54,67 1,02
Stdev 0,14 0,14 0,14 0,14 0,18 0,19 0,18 22,44 0,33
Keterangan : A = 0 jam, B = 6 jam, C = 12 jam, D = 18 jam, E = 24 jam
LG (Lenght Gain) = Panjang mutlak
RLR (Relative Lenght Rate) = Laju Pertumbuhan Relatif
48
Lampiran 4. Denah Penelitian
A4 E3 D2 B4 D3 A2 B1
A1 D1 C4 C2 C1 C3 E2
A3 B2 B3 E1 E4 D4
Perlakuan waktu perendaman eksplan E. spinosum Pada
Pupuk PES.
A : 0 jam (kontrol)
B : 6 jam
C : 12 jam
D : 18 jam
E : 24 jam
49
Lampiran 5. Pengolahan data dengan program SPSS 16,0.
Analisis data untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan pengaruh waktu
perandaman dalam larutan pupuk PES terhadap laju pertumbuhan Eucheuma
spinosum J. Agardh, maka akan di analisis dengan menggunakan uji F
(ANOVA), dan jika hasilnya menunjukkan signifikan berbeda maka akan
dilakukan dengan uji lanjutan BNT (LSD). Analisis laju pertumbuhan dilakukan
berdasarkan pertambahan panjang dan pertambahan berat. Dengan masa
pengamatan selama 42 hari, maka analisis laju pertumbuhan dilakukan dengan
cara sebagai berikut :
1. Pertambahan Panjang
Ada tidaknya perbedaan pengaruh perlakuan maka dapat disusun hipotesis
sebagai berikut :
H0 : Tidak terdapat perbedaan pengaruh perlakuan terhadap pertambahan
panjang
H1 : Terdapat perbedaan pengaruh perlakuan terhadap pertambahan panjang
ANOVA
Pertambahan_Panjang
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 6.428 4 1.607 1.467 .261
Within Groups 16.432 15 1.095
Total 22.860 19
50
Adapun kriteria pengujian ialah :
Tolak H0 dan terima H1 jika Sig.F < Sig.α, dan
Tolak H1 dan terima H0 jika Sig.F > Sig.α.
Berdasarkan hasil analisis variansi pada tabel di bawah, maka dapat
disimpulkan untuk menerima H0, yang berarti tidak terdapat perbedaan pengaruh
perlakuan terhadap pertambahan panjang, hal ini dikarenakan besarnya nilai
signifikansi pada tabel ANOVA sebesar 0,261 yang berarti lebih besar dari taraf
alpha 0.05. Karena tidak terdapat perbedaan pengaruh perlakuan, maka tidak perlu
untuk dilakukan uji lanjutan.
2. Pertambahan Berat
Ada tidaknya perbedaan pengaruh perlakuan maka dapat disusun hipotesis
sebagai berikut :
H0 : Tidak terdapat perbedaan pengaruh perlakuan terhadap pertambahan
berat
H1 : Terdapat perbedaan pengaruh perlakuan terhadap pertambahan berat
ANOVA
Pertambahan_Berat
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 10809.965 4 2702.491 2.645 .075
Within Groups 15327.805 15 1021.854
Total 26137.770 19
51
Adapun kriteria pengujian ialah :
Tolak H0 dan terima H1 jika Sig.F < Sig.α, dan
Tolak H1 dan terima H0 jika Sig.F > Sig.α.
Berdasarkan hasil analisis variansi pada table dibawah, maka dapat
disimpulkan untuk menerima H0, yang berarti tidak terdapat perbedaan pengaruh
perlakuan terhadap pertambahan berat, hal ini dikarenakan besarnya nilai
signifikansi pada table ANOVA sebesar 0.075 yang berarti lebih besar dari taraf
alpha 0.05.
52
Lampiran 6. Dokumentasi Kegiatan penelitian
Sebelum perendaman Sesudah perendaman Sesudah perendaman (eksplan
Pada (perlakuan E=24 jam) (umur 6 minggu,ekspalan pada pada perlakuan E=24 jam)
perlakuan B=6 jam )
Ekplan yang telah dipotong Pemilihan eksplan dibantu Sterilisasi eksplan
oleh pembimbing lapangan
z
Eksplan dalam larutan Pemeliharaan eksplan dalam Pengukuran panjang eksplan dengan
betadine 1 % wadah multiwel chember menggunakan jangka sorong.
Top Related