Pemulihan Matapencaharian
1.1. Matapencaharian dalam Pemulihan Pascabencana
Pendekatan matapencaharian/livelihoods approach dalam pemulihan
pascabencana adalah cara berpikir mengenai tujuan, lingkup dan prioritas untuk
pembangunan. Pendekatan ini menempatkan masyarakat dan prioritasnya di
pusat pembangunan dan berfokus kepada intervensi pengentasan
kemiskinan/poverty reduction dengan cara pemberdayaan/empowerment
masyarakat miskin untuk membangun kesempatannya, mendukung akses
mereka terhadap aset/sumber daya, dan mengembangkan suatu kebijakan
pemberdayaan dan lingkungan institusional. Penting untuk memiliki langkah-
langkah intervensi matapencaharian dalam tahapan bantuan/relief dan
pemulihan/recovery untuk menjamin transfer ilmu untuk kesiapsiagaan
menghadapi bencana dan pengurangan risiko. (Nivaran Duryog 2009)
Dukungan matapencaharian adalah kunci utama dalam program
pemulihan awal/early recovery (jennifer Worrell). Seiring respon terhadap
bencana beralih dari satu fase ke fase lainnya, pengalaman di masa lalu
menunjukkan adanya celah/gaps dalam melakukan kegiatan pendampingan
korban bencana. Populasi rentan/vulnerable population mengalami tekanan
terbesar ketika celah ini terjadi. Respon berkelanjutan terhadap bencana
menjaga momentum “building back better” sambil mengadopsikan
ketangguhan/resilience dalam masyarakat yang terdampak bencana.
Pemulihan pascabencana harus dainggap sebagai kesempatan untuk
pembangunan, dengan melakukan revitalisasi ekonomi lokal dan meningkatkan
matapencaharian dan kondisi kehidupan. Modal sosial, yang didefinisikan
sebagai fungsi dari kepercayaan, norma sosial, partisipasi, dan jejaring, bisa
menjalankan peranan penting dalam proses pemulihan (Nakagawa, Shaw 2004)
Referensi Jennifer Worrell, Chief, Early Recovery Team, Bureau of Crisis Prevention and Recovery,
UNDP, http://www.un.org.cn/public/resource/c8316166e92f741ea859bd558fd553c1.pdf. Nakagawa Yuko, , Shaw Rajib. “Social Capital: A missing link to disaster recovery.” ,
International Journal of Mass Emergency and Disaster, Volume 22, no. 1. 2004. 5-34. Nivaran and Practical ActionDuryog. “Disaster Resistant Sustainable Livelihoods-A Framework
for South Asia.” 2005. NIVARANDURYOG. “Disaster Risk and Poverty in South Asia, A Contribution to the 2009 ISDR
Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction, .” DURYOG NIVARAN, 27 March 2009. Briceno Salvano, Director, “Reducing Disaster Risk: A challenge for development. A Global Report.” UNDP, BCPR , 2004.
UNIDSR, http://www.un.org.cn/public/resource/0734b3f8b5627a6a0982f039afd53e68.pdf
Membantu Matapencaharian dalam Pemulihan Pascabencana
1.1. Konsep Pemulihan Matapencaharian
Pendekatan Matapencaharian berkelanjutan
Matapencaharian berkelanjutan/sustainable livelihood dicapai melalui
akses terhadap beragam sumberdaya yang diperlukan matapencaharian (alam,
ekonomi, manusia dan modal sosial) yang dikombinasikan dalam rangka
pencapaian strategi matapencaharian yang berbeda (intensifikasi pertanian,
diversifikasi matapencaharian dan migrasi). Inti dari kerangka kerja ini adalah
analisis mengenai kisaran organisasi formal dan informal serta faktor-faktor
institusional yang mempengaruhi hasil dari pendekatan matapencaharian
berkelanjutan. Landasan dari matapencaharian berkelanjutan yang tahan
bencana terletak pada pengembangan basis aset penting dari setiap kelompok
masyarakat, yaitu sumberdaya keuangan, infrastruktur matapencaharian,
jejaring sosial, sumberdaya alam (tanah, air , dan hutan) dan struktur
pemerintahan untuk mengangkat komunitas keluar dari jerat kemiskinan dan
mengurangi risiko bencana. Pada setiap tahapan, kegiatan untuk menciptakan
masyarakat tangguh bencana selalu mengambil preseden, tujuannya adalah
untuk menjangkau beragam status sosial hingga tingkatan terendah dan
termarjinalkan/berisiko dan memperhatikan isu-isu mengenai gender,
ketidakadilan, dan konflik sosial lainnya. (Duryog Nivaran dan Practical Action
2005)
Pemulihan Perikehidupan yang Berfokus pada Kemiskinan
Pengentasan kemiskinan sebagai alat untuk mengurangi kemiskinan akan
menunjukkan bahwa pemerintah akan mengikutsertakan Pengurangan Risiko
Bencana/PRB dalam berbagai rencana dan kebijakan yang dihasilkan dari
departemen-departemen yang berurusan dengan perencanaan nasional,
keuangan, dan badan perencanaan di tingkat provinsi dan akan mengawasi “
level of mainstreaming” dengan melibatkan indikator-indikator yang relevan. Ini
berarti bahwa pengentasan kemiskinan, pembangunan pedesaan; pembangunan
infrastruktur, dan dokumen-dokumen perencanaan fisik, policy paper, dan
strategi implementasi akan mengikutsertakan PRB didalamnya (termasuk aspek
lingkungan dan ekologi). Pada dasarnya rencana-rencana ini harus tahan
bencana; mengikutsertakan pengurangan risiko merupakan fondasi penting yang
membentuk landasan dari rencana/kebijakan. Rencana-rencana harus
bermaksud mengurangi risiko -secara ekonomi, sosial, dan geografis- lebih
penting lagi tidak menciptakan kondisi-kondisi untuk terbentuknya risiko lain
(Nivaran Duryog, 2009).
1.2. Prinsip-Prinsip Pemulihan Matapencaharian Berkelanjutan
Inti dari pendekatan matapencaharian adalah suatu susunan prinsip-
prinsip yang menggarisbawahi praktik terbaik dalam setiap intervensi
pembangunan. Prinsip-prinsip berikut menggarisbawahi pendekatan
matapencaharian berkelanjutan yang dilakukan oleh Departement For
International Development(DFID) dan lembaga lainnya
(a). Berintikan masyarakat/people centered; fokus kepada prioritas-prioritas
masyarakat miskin, memahami perbedaan antar kelompok masyarakat
dan bekerja bersama mereka dengan suatu cara yang sesuai bagi strategi
matapencaharian mereka, lingkungan sosial dan kemampuan untuk
menyesuaikan diri pada level praktis, ini berarti bahwa pendekatan :
Dimulai dengan analisis mengenai matapencaharian masyarakat
dan bagaimana semua itu berubah seiring waktu;
Melibatkan masyarakat secara penuh dan menghargai pendapat
mereka;
Fokus kepada dampak dari beragam kebijakan dan kesepakatan
institusional mengenai masyarakat/rumahtangga juga terhadap
dimensi-dimensi kemiskinan yang mereka definisikan;
Memberikan penekanan pada pentingnya mempengaruhi
kebijakan dan kesepakatan institusional ini sehingga kebijakan
dan peraturan ini berpikah pada masyarakat miskin (langkah
kuncinya adalah partisipasi politk masyarakat miskin);
Bekerja untuk membantu masyarakat mencapai tujuan
matapencaharian mereka.
(b). Responsif dan partisipatif; mendengarkan dan bertindak terhadap
prioritas-prioritas matapencaharian yang diidentifikasi oleh masyarakat
miskin.
(c). Multi-level; bekerja pada berbagai tingkatan untuk mengurangi
kemiskinan-menjamin realitas di tingkat mikro sampai kepada pembuat
kebijakan-kebijakan dan menciptakan kondisi lingkungan berdaya, juga
struktur di tingkat makro mendukung masyarakat untuk bangkit dengan
kekuatannya sendiri.
(d). Dilaksanakan dalam kerjasama; dengan sektor publik dan swasta.
(e). Berkelanjutan; menyeimbangkan perekonomian, institusional, sosial, dan
kelestarian lingkungan.
(f). Dinamis; mengenali kebiasaan dinamis dari strategi-strategi
matapencaharian dan merespon secara fleksibel terhadap situasi yang
berubah-ubah di masyarakat.
(g). Dibangun atas kekuatan; bekerja untuk membangun kapasitas
masyarakat miskin -kemampuan, pengetahuan, dan sumberdaya-
daripada hanya memperhatikan kebutuhan mereka.
(h). Menyeluruh; memahami realita kompleks dari matapencaharian
masyarakat miskin daripada hanya melakukan pendekatan secara
sektoral atau teknis. Kerangka kerja matapencaharian membantu
mengorganisasi beragam faktor yang membatasi atau mendorong
masyarakat dan menunjukkan bagaimana semua ini berhubungan satu
dengan lainnya. Tidak dimaksudkan untuk sebagai model eksak dari
realitas di dunia, juga tidak berarti menyarankan para pemangku
kepentingan mengadopsi pendekatan sistemik bagi penyelesaian
masalah. Tetapi, mengaspirasi untuk menyiapkan cara berfikir mengenai
matapencaharian yang dapat ditata dan membantu meningkatkan
efektifitas pembangunan.
Tidak sektoral dan bisa diaplikasikan di seluruh wilayah geografis
dan kelompok sosial.
Mengenali beragam pengaruh pada masyarakat, dan berusaha
memahami hubungan antara beragam pengaruh ini dan dampak
kolektifnya terhadap matapencaharian.
Mengenali beragam aktor yang terlibat (mulai dari sektor swasta
hingga menteri di level pusat, dari organisasi berbasis komunitas
hingga pemerintahan otonomi daerah yang baru dibentuk).
Memahami beragam strategi matapencaharian yang diadopsi oleh
masyarakat untuk mengamankan matapencaharian mereka.
Berusaha mencapai hasil matapencaharian yang beragam,
menentukan dan dinegosiasikan oleh masyarakat itu sendiri.
1.3. Kerusakan dan Pengkajian
Penilaian untuk mendukung pemulihan matapencaharian harus
menyertakan empat aspek (China, 2008).
(1) Pengkajian kerusakan; pemulihan berkelanjutan dan rencana-rencana
rekonstruksi juga pendekatan-pendekatan implementasi dalam respon
terhadap bencana dipandu oleh pengetahuan tertentu mengenai
kerusakan, baik yang dapat dihitung maupun yang tidak dapat dihitung.
Hasil estimasi kerusakan memberikan landasan untuk proyeksi kebutuhan
keuangan bagi pembangunan kembali dan menentukan prioritas serta
fokus. Oleh karena itu, pengkajian kerusakan yang akurat dan rencana
tindak yang komprehensif dalam konteks kebutuhan keuangan minimum,
kapasitas yang diperlukan, dan prioritas memiliki korelasi yang kuat.
(2) Pengkajian risiko; partisipasi dari masyarakat terdampak dalam
pengkajian risiko adalah penting. Karena berfungsi sebagai proses
pengajaran bagi komunitas untuk mengetahui bahaya yang mengintai
mereka dan potensi risiko di lingkungan mereka.
(3) Pemetaan kapasitas; pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi
menyempurnakan prosedur-prosedur baru, mengenalkan alat-alat baru,
dan diperlukan untuk bekerja dengan tim multi-disiplin. Efisiensi dan
efektifitas dari operasi-operasi terdahulu tergantung kepada kompetensi
dan kemampuan lembaga-lembaga yang potensial untuk melaksanakan
pekerjaan tersebut. Temuan dari kegiatan pemetaan membantu
menentukan kisaran kebutuhan pelatihan teknis, dan alokasi sumberdaya
yang sesuai untuk capacity building.
(4) Pengkajian kerentanan; biasa dilakukan untuk menciptakan suatu
pemahaman mengenai kerentanan sosial dan ekonomi dalam konteks
siapa, kenapa, apa, dan bagaimana.
Bagaimana memastikan usaha-usaha rekonstruksi mampu mencapai
sasaran sektor sosial dan ekonomi yang paling memerlukan bantuan?
Faktor-faktor sosio-kultural disertakan dalam semua metodologi
pengkajian.
Representasi seimbang dan partisipasi dari komunitas etnis minoritas
dalam perencanaan dan implementasi.
Penggunaan metodologi dan materi yang sensitif terhadap budaya;
bahasa, pendekatan, pilihan materi.
Memastikan semua lembaga sensitif terhadap gender, budaya dan isu-isu
HAM dari komunitas spesifik.
Point-point yang menjadi perhatian penting dalam pengkajian
matapencaharian terhadap korban bencana menurut ALNAP
Analisis baseline penting dilakukan dalam memahami kenapa masyarakat
berada dalam kondisi rentan, risiko yang mereka hadapi dan bagaimana
mereka menanggulanginya.
Pengkajian kebutuhan harus dikoordinasikan, lebih disukai nila multi-
lembaga, dan didasarkan pada metodologi yang tepat dengan
menggunakan bukti-bukti empiris.
Pengkajian harus mempertimbangkan kelompok-kelompok yang memiliki
kebutuhan khusus, dan harus menarik perhatian terhadap mereka.
Dampak dari harga makanan yang melambung tinggi terhadap
matapencaharian masih terus dianggap remeh.
Malnutrisi akut bisa menjadi salah-satu indikator yang dapat diandalkan
mengenai tarap dari suatu krisis, apabila tidak dipahami dengan benar,
bisa memberikan informasi salah kepada bantuan kemanusiaan. (Collins
2001)
Referensi BeckTony. Learning Lessons from Disaster Recovery: The Case of Bangladesh. http://wwwwds.
worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2005/05/05/000012009_200505 05121919/Rendered/PDF/321970HMU0110bangladesh.pdf,: World Bank, 2005.
ChinaPeople's Republic ofBeijing. Workshop Synthesis on International Workshop on Post Earthquake Reconstruction Experiences. United Nation in China and the Ministry of Commerce of People'sRepublic of China, 2008. http://www.un.org.cn/public/resource/1ebcf0e9980429f519eeec9727152b9d.pdf, October 11, 2009 Accessed.
HedlundKerren. “Slow-onset Disasters: Drought and Food and Livelihoods Insecurity – Learning from Previous Relief and Recovery Responses.” 2007. http://irp.onlinesolutionsltd.net/outfile.php?id=317&href=http://irp.onlinesolutionsltd.net/assets/submissions/200909010615_general_drought_livelihood.pdf ,2009 October 10 accessed .
NIVARANDURYOG. “Disaster Risk and Poverty in South Asia, A Contribution to the 2009 ISDR Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction, .” DURYOG NIVARAN, 27 March 2009.
Nivaran and Practical ActionDuryog. “Disaster Resistant Sustainable Livelihoods-A Framework for South Asia.” 2005.
“Reducing Disaster Risk: A challenge for development. A Global Report.” UNDP, BCPR , 2004. “What are livelihoods approaches?” ELDIS. http://www.eldis.org/go/topics/dossiers/livelihoodsconnect/ what-are-livelihoods-approaches October 10, 2009, accessed
Merencanakan Pemulihan Matapencaharian Berkelanjutan
Menurut CONSRN 2006, ada enam elemen strategi pemulihan
matapencaharian yaitu meningkatkan kebijakan dan institusi; menyediakan aset
fisik yang sesuai; memperbaiki lingkungan; menyediakan bantuan keuangan yang
sesuai; meningkatkan kapasitas dalam mendukung matapencaharian komunitas,
pengelolaan pesisir yang bertanggungjawab; membangun kembali aset-aset
sosial (ISDR, 2009).
Meningkatkan Kebijakan dan Institusi
Tujuannnya adalah mengembangkan kebijakan dan institusi yang
responsif dan teratur dengan baik di tingkat nasional dan lokal, yang melibatkan
komunitas dan mengakui kebutuhan tingkat lokal dalam perencanaan,
monitoring, dan regulasi. Kebijakan implementasi yang berkelanjutan dan
penegakannya membutuhkan elemen-elemen sebagai berikut
Respon terhadap isu-isu ysng berkaitan dengan kebijakan yang ada
sebelum terjadi bencana.
Mengatasi praktik-praktik yang tidak berkelanjutan, meningkatkan
keamanan masyarakat miskin dan menurunkan kerusakan terhadap
lingkungan.
Institusi lokal dan nasional yang kuat serta mampu melaksanakan amanat
yang diembannya dengan dukungan penuh dari masyarakat lokal.
Elemen strategis untuk mendukung visi ini adalah
Tentukan tujuan kebijakan dengan jelas, maksudnya adalah untuk
memastikan reformasi kebijakan yang berkaitan dengan pemulihan
dalam matapencaharian didasarkan pada pemahaman isu-isu nasional
dan lokal serta direncanakan dalam kerangka waktu yang realistis.
Termasuk di dalamnya rehabilitasi kebijakan spesifik di tingkat nasional
dan lokal yang dipimpin oleh masyarakat terdampak dan memiliki
partisipasi dari pemangku kepentingan; dan tujuan kebijakan yang jelas.
Perkuatan majemen institusi
Mendorong majemen matapencaharian terintegrasi sebagai proses untuk
fasilitasi diskusi antar pemangku kepentingan.
Dalam rangka mengkaji isu-isu yang muncul dari hubungan kemiskinan-
matapencaharian-risiko, dan menggerakan kebijakan dan kerangka kerja kepada
praktik sebenarnya. Terdapat kebutuhan untuk secara terus-menerus
mempertahankan diskusi pada posisi terdepan. Proses yang sedang dilakukan
harus menghasilkan pengaturan dalam setiap tingkatan termasuk pengurangan
risiko bencana dalam rencana pembangunan, mengalokasikan sumberdaya
untuk implementasi dan memastikan agar semua terlaksana. Beberapa saran
untuk maju ke arah itu adalah
Lobbying dan menyediakan sumberdaya untuk membangun awareness
dan formulasi kebijakan hingga implementasi.
Dibangun diatas praktik-terbaik yang bisa ditemukan dikawasan,
metodologi yang direkomendasikan untuk pendekatan menyeluruh bagi
matapencaharian yang tahan risiko bencana (termasuk diantaranya
adalan pembiayaan mikro, asuransi, dll).
Fasilitasi penelitian mengenai pengembangan indikator dan metodologi
sederhana untuk menyertakan pengurangan risiko bencana ke dalam
perencanaan pembangunan. Ini berarti juga memasukkan cara-cara
bagaimana merencanakan dan melakukan implementasi
matapencaharian yang aman dan berkelanjutan.
Tetap melakukan advokasi pemerintahan terdesentralisasi seakan
tanpanya pengurangan risiko bencana di tingkat lokal tidak akan mungkin
terlaksana (Pengurangan Risiko Bencana/PRB berbasis masyarakat). Sulit
untuk megharapkan bahwa matapencaharian aman akan ada bila
masyarakat lokal tidak diajak berkonsultasi. Meskipun, terdapat bukti-
bukti akan tren ini, masih sulit untuk menemukan yang sedang
dipraktikan dengan benar. Bagi inisiatif yang sedang berjalan, harus
melewati jalan yang panjang untuk melalui proses ini agar benar-benar
efektif. Ini harus diimplementasikan secara benar untuk mainstreaming
matapencaharian. penekanan mengenai tingkat desentralisasi untuk
memasukkan pengurangan risiko dalam rencana pembangunan mereka
akan membutuhkan lobbying dan capacity building dalam konteks
sumberdaya dan pelatihan.
Bangun kapasitas implementasi organisasi, NGO dan CBO mengenai
program-program pengentasan kemiskinan. Lembaga bantuan
kemanusiaan perlu capacity building mengenai program-program
matapencaharian dan matapencaharian tangguh bencana; kapasitas
lembaga-lembaga pembangunan perlu dibangun dengan
mengikutsertakan pengurangan risiko bencana dalam program-program
mereka.
Metodologi-metodologi sederhana dan tools sulit ditemukan saat ini. Tapi
ada best practices yang bisa dijadikan acuan.
Menyediakan Aset Fisik yang Sesuai
Untuk menjamin aset fisik yang sesuai dan tersedia bagi korban dengan
tepat waktu, cara yang adil untuk menggantikan yang hilang sambil memastikan
penggunaan sumberdaya alam yang berkelanjutan di masa depan.
Memperbaiki Lingkungan Alam
Agar memiliki akses yang sama terhadap input dan sumberdaya alam
yang dikelola secara berkelanjutan dimana matapencaharian mereka berada.
Menyediakan Mekanisme Finansial yang Sesuai
Untuk menjamin mekanisme finansial yang sesuai tersedia bagi mereka
yang terkena dampak bencana.
Membangun Kapasitas Manusia
Untuk meningkatkan matapencaharian masyarakat dan pengelolaan
sumberdaya pesisir yang bertanggung jawab agar dikelola dalam cara yang
berkelanjutan supaya menguntungkan seluruh komunitas. Tujuan spesifiknya
harus menyertakan
Meningkatkan dan diversifikasi matapencaharian pengguna sumberdaya
pesisir;
Meningkatkan efisiensi rehabilitasi investasi melalui penjaminan
konservasi natural barriers, yang juga berfungsi sebagai perlindungan;
Untuk mencapai pengelolaan berkelanjutan dari sumberdaya alam
dimana matapencaharian masyarakat bergantung;
Untuk menjamin konflik antar kelompok dapat diselesaikan;
Untuk memastikan dipenuhinya kebutuhan masyarakat miskin, kelompok
marjinal, dan petani kecil.
Bagun Kembali dan Perkuatan Aset Sosial
Sumberdaya dan jaringan dimana masyarakat terdampak memancing dan
komunitas budidaya perikanan menggantungkan tujuan strategi
matapencahariannya dan kondisi psikososial untuk menjamin perkembangan
komunitas dan organisasi berbasis komunitas yang diberdayakan untuk ikut serta
dalam perencanaan pasca tsunami dan kegiatan rehabilitasi :
Pemberdayaan komunitas-komunitas.
Bangun kembali dan perkuatan organisasi berbasis komunitas.
Mendorong konsultasi dan partisipasi dari pemangku kepentingan.
Referensi “Adapted from Rehabilitation of Fisheries and Aquaculture in Tsunami Affected
Countries in Asia.” RAP Publication. 2005. http://irp.onlinesolutionsltd.net/outfile.php?id=451&href=http://irp.onlinesolutionsltd.net/assets/publication/Tsunami%20Reocvery/rehab%20of%20fisheries%20%20FAO%20-%20tsunami.pdf.
BeckTony. Learning Lessons from Disaster Recovery: The Case of Bangladesh. http://wwwwds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2005/05/05/000012009_20050505121919/Rendered/PDF/321970HMU0110bangladesh.pdf,: World Bank, 2005.
NIVARANDURYOG. “Disaster Risk and Poverty in South Asia, A Contribution to the 2009 ISDR Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction, .” DURYOG NIVARAN, 27 March 2009.
“Regional Workshop: One Year Later-The Rehabilitation of Fisheries and Aquaculture in
TsunamiAffected Countries in Asia.” Worldfish. 2008 年August月. http://irp.onlinesolutionsltd.net/assets/publication/Tsunami%20Reocvery/rehab%20of%20fisheries%20-%20FAO%20-%20tsunami2.pdf , October 10, 2009 accessed
Strategi Intervensi Untuk Pemulihan Matapencaharian Berkelanjutan
1.1. Strategi Intervensi
Intervensi harus berdasarkan pada pemahaman menyeluruh mengenai
permasalahan, tujuan program yang jelas dan analisa dari opsi-opsi respon dan
risiko yang menyertainya. Keputusan untuk meyediakan makanan, uang,
kombinasi dari keduanya atau dalam bentuk lain harus didasarkan pada analisis
permasalahan yang obyektif dan tujuan yang jelas. Titik awal untuk intervensi
harus merupakan pemahaman yang lebih jelas mengenai matapencaharian dari
rumah tangga dan bagaimana hal ini bisa didukung. Area yang dekat dengan
matapencaharian masyarakat miskin -seperti upah buruh pertanian, akses
terhadap sumber daya alam dan aset-aset produksi, dan akses terhadap kredit-
kredit non profit- bisa menjadi titik awal yang bermanfaat. Laporan dari Bureau
for Crisis Prevention and Recovery (BCPR) menyatakan bahwa intervensi yang
dapat mengurangi kemiskinan dan kerentanan bencana pada saat bersamaan
adalah
Perkuatan dan diversifikasi matapencaharian.
Mendorong investasi asing yang yang bertanggung jawab dan
menciptakan lapangan pekerjaan.
Pendekatan yang partisipatif dan fleksibel terhadap perencanaan
urban/urban planning.
Membangun keamanan sosial/social security termasuk akses terhadap
kesehatan dan pendidikan.
Membantu menyediakan mekanisme tanggung renteng risiko/risk
spreading mechanism bagi mereka yang diabaikan oleh perusahaan
asuransi.
A. Lapangan Pekerjaan
Suatu keharusan untuk mengembalikan masyarakat pada pekerjaannya
secepat mungkin untuk menghindari kondisi kemiskinan kronis yang ada dan
memburuk di banyak daerah yang terdampak bencana. Sebagai tambahan, kami
juga khawatir akan masa depan dari pengangguran berkepanjangan yang menuju
kepada kemunduran jangka panjang terhadap pembangunan. (Juan Somavia,
Direktur ILO, 2005)
Beragam pengalaman mengenai pemulihan pascabencana di masa lalu
menunjukkan bahwa “build back better” berarti “kembali bekerja”. Bagi
kelompok masyarakat miskin dan rentan, bencana berarti matapencaharian
mereka dirampas, mereka kehilangan pekerjaan, kesempatan mendapat
penghasilan, dan bila mereka bergerak di bidang pertanian berarti kehilangan
tanaman pertanian, panen, peralatan dan hasil. Bagi mereka bekerja bukan
merupakan sekedar pre-eksisting destination tetapi sebagai alat-alat
penghidupan yang harus dipulihkan. Pekerjaan dalam rehabilitasi dan
rekonstruksi adalah multi-dimensi, tantangannya pada berbagai tingkatan baik
secara institusi dan individu. Beragam intervensi diperlukan untuk pekerjaan di
sektor formal dan informal agar dapat mengakomodir berbagai kelompok
pekerja. Bencana sering kali menambah jumlah pekerja rentan yang masuk
kembali ke bursa kerja dan membutuhkan bantuan khusus. Karena alasan ini
intervensi lapangan pekerjaan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi harus
dimasukka dalam penyusunan kebijakan dan perkuatan melalui pemberdayaan
institusi/institutional capacity building dan rancangan program yang peduli.
Inisiatif yang paling umum mengenai kebutuhan khusus yang
berhubungan dengan dunia kerja (Lazarte 2008) :
1. Skema perlindungan sosial untuk kondisi darurat/emergensi
Pemberdayaan pengangguran dan cacat secara reguler.
Skema pekerjaan dalam kondisi darurat temporer.
2. Pemulihan pekerjaan dan matapencaharian
Mengarusutamakan pemulihan pekerjaan dalam investasi
rehabilitasi dan rekonstruksi.
Pusat pelayanan pekerjaan dalam kondisi darurat/emergensi.
Membuka lapangan pekerjaan dalam kegiatan rehabilitasi dan
rekonstruksi melalui kegiatan pelatihan khusus jangka pendek.
Mencanangkan bantuan pemulihan bisnis (konstruksi,
perdagangan, produksi bahan baku, dll) termasuk SIYB,
pembiayaan mikro/micro finance, BDS, dll.
Perbaikan kapasitas institusi bursa kerja.
Cash for Work
Cash for work/CFW merupakan bagian tetap dari pemulihan awal tsunami
di Aceh. Program CFW ikut andil dalam pemulihan komunitas melalui proyek-
proyek pembersihan dan rekonstruksi. CFW menyediakan pendapatan/income
sementara bagi masyarakat untuk memulai ekonomi lokal dan menyediakan
dukungan bagi pasar. CFW menyediakan sumber pendapatan essensial bagi
banyak partisipan program dan rumah tangganya, CFW merupakan satu-satunya
pendapatan pada bulan-bulan pertama setelah tsunami. CFW memberikan
sumber uang tunai bagi korban tsunami dam membantu pemberdayaan populasi
terdampak untuk kembali ke rumahnya masing-masing. Laporan lain
menyatakan bahwa CFW memberikan keuntungan secara psikososial dengan
cara memberikan aktivitas produktif bagi korban tsunami dan memberikan
komunitas kesempatan untuk bekerja secara gotong royong.
Tantangan
Kekurangan tenaga ahli teknis, perlengkapan, dan pengiriman alat dan
bahan yang tidak terjadwal merupakan faktor pembatas dalam suksesnya CFW.
Pengiriman upah yang sesuai jadwal seringkali sulit, terutama dalam beberapa
bulan pertama program CFW ketika mekanisme pendukung masih disiapkan.
Basis pembayaran CFW pada awalnya adalah jam kerja tetap yang
biasanya selama delapan jam per hari, dan tidak ada fleksibilitas dalam sistem
kompensasinya, lebih disebabkan oleh kurangnya personil dan kesulitan yang
diantisipasi dalam mengatur hari kerja dengan jam kerja yang berbeda. Ketika
dilakukan sidak, ternyata banyak pekerja yang datang telat dan pulang awal
sehingga mempengaruhi kemajuan proyek CFW.
B. Bantuan Pangan/Food Aid
Contoh bantuan berlandaskan pangan adalah food for work, food for
training, dll. Unsur-unsur penting dari pendekatan matapencaharian berdasarkan
bantuan pangan
Bantuan pangan bisa menyelamatkan hidup (Steering Committee,
2004;WFP, 2006c; C-SAFE, 2007), umumnya ketika distribusi makanan
secara umum seimbang baik dalam gizi(termasuk nutrisi mikro) maupun
kalori(lebih dari 2000kcal). (Duffel et al, 2004)
Bantuan pangan juga bisa mendukung matapencaharian, pemberian
makanan tambahan di sekolah, food for work, bahkan distribusi makanan
secara gratis, bisa digunakan untuk melindungi atau menciptakan aset-
aset matapencaharian yang bisa diandalkan: pendidikan anak, tanah
subur, jalan aspal dll. Distribusi makanan gratis harus mulai di awal,
bertahan lama, dan bisa diandalkan, dan cukup banyak (seperti bantuan
matapencaharian lainnya) untuk berlaku sebagai pengganti
penghasilan/transfer income selama bencana/krisis pangan. (DFID,
2006a)
Ada kekhawatiran bahwa bantuan pangan bisa memiliki dampak penting
pada pasar, menyebabkan penurunan harga. Salah satu hasilnya
merugikan petani yang menjual hasil panennya dengan harga tinggi.
Sektor swasta juga terpengaruh, tanpa bantuan pangan, impor, proses,
perdagangan dan menjual lebih banyak makanan. Tetapi, tidak cukup
banyak bukti untuk mendukung pendapat ini (Maunder, 2006). Jelas
bahwa sangat penting bagaimana bantuan pangan dirancang dan dimana
bahan pangan itu di beli. Distribusi bantuan makanan harus benar-benar
sesuai target -the right people in the right way- dan memiliki tenggat
waktu yang baik agar tidak bentrok dengan panen raya (Jere, 2007;
Hammond et al, 2002). Pembelian bantuan pangan secara lokal maupun
regional mengurangi ongkos dan waktu pengiriman, juga bisa membantu
petani atau supplier lokal. Koordinasi mengurangi risiko dimana
pembelian besar-besaran akan menaikkan harga bahan pangan. (REDSO,
2004 WFP, 2003a)
Ketika terjadi kelambatan dalam respon matapencaharian dan situasi
memburuk, sistem bantuan kemanusiaan cenderung mengandalkan
bantuan pangan, ini akan berubah apabila bantuan kemanusiaan menjadi
lebih baik dalam melidungi matapencaharian selama kondisi darurat dan
seiring pengalaman dengan bentuk bantuan lain juga meningkat.
C. Dana Bantuan Matapencaharian/Livelihood Relief Fund (LRF)
Pelayanan finansial dalam hal ini pembiayaan mikro membantu
masyarakat miskin korban bencana untuk mempercepat proses membangun
kembali perikehidupan dan matapencaharian mereka. Unsur-unsur penting
dalam pembiayaan mikro/micro-finance menurut UNISDR 2005 :
(1) Melalui dampak jangka panjang dari LRF dalam mengurangi kemiskinan
dan mendukung pembangunan berkelanjutan, pembiayaan mikro
mengurangi kerentanan masyarakat miskin terhadap bencana.
(2) Pembiayaan mikro tidak bisa secara mandiri memberikan perlindungan
terhadap bencana. Sehingga harus menjadi bagian dari strategi yang lebih
besar dalam Pengurangan Risiko Bencana.
(3) Setelah terjadinya bencana, pembiayaan mikro bisa secara cepat
menyediakan bantuan/relief, dan kemudian mendorong pemulihan dan
rehabilitasi yang berkelanjutan. Institusi pembiayaan mikro bisa
membantu komunikasi dan koordinasi pasca bencana melalui jaringan
komunitas yang mereka miliki.
(4) Pembiayaan mikro membutuhkan taraf self-management oleh kliennya
dan biasanya berbasis komunitas, kemudian membantu pemulihan
kepemilikan, martabat dan kohesi dari komunitas pascabencana.
(5) Pembiayaan mikro bisa mengurangi biaya keuangan pemulihan pasca
bencana, sambil mengurangi ketergantungan terhadap bantuan dari luar.
Pada waktu yang sama, ternyata bantuan pasca bencana bisa menggangu
pasar, yang pada akhirnya berpotensi menggangu performa pembiayaan
mikro.
(6) Institusi pembiayaan mikro harus memiliki kesiapsiagaan terhadap
bencana dengan mengembangkan rencana menghadapi bencana yang
menjamin daya tahan institusi pembiayaan mikro dan tetap melanjutkan
pelayanannya. Aktifitas pasca bencana harus secara hati-hati
dipertimbangkan untuk mencegah dampak jangka panjang terhadap
pasar lokal dan institusi pembiayaan mikro itu sendiri.
(7) Untuk megurangi secara signifikan dampak dari bencana terhadap
komunitas, institusi pembiayaan mikro harus menawarkan seperangkat
produk yang fleksibel untuk beradaptasi terhadap kebutuhan dan situasi
khusus.
(8) Jaringan dan/atau kerjasama dengan sektor finansial formal dibutuhkan
dan merangsang likuiditas dan mendukung kapasitas institusional dan
manajerial.
(9) Pembiayaan mikro harus dihubungkan dengan mitigasi bencana,
terutama selama tahap rehabilitasi ketika hubungan antara pemulihan
dan kesiapsiagaan tampak jelas.
(10) Pendidikan mengenai pembiayaan mikro dan mitigasi bencana
diperlukan untuk suksesnya pengentasan kemiskinan dan pengurangan
dampak bencana.
Perluasan efektifitas pembiayaan mikro dan mengembangkan menjadi
produk berkelanjutan dari Pengurangan Risiko Bencana
Pelayanan pembiayaan mikro belum mencapai hingga area perdesaan
terpencil dan rentan. Ada kebutuhan mendesak untuk segera melakukan
replikasi, pengembangan dan pembuatan produk-produk inovatif dan
menyiapkan jaringan yang berfungsi ketika dibutuhkan.
Produk-produk pembiayaan mikro dianggap berkelanjutan dari sudut
pandang Pengurangan Risiko Bencana adalah ketika pembiayaan mikro
dipertimbangkan sebagai investasi transfer risiko dan berpadu dengan
mitigasi mikro juga asuransi mikro agar bisa menapis lebih banyak risiko
dan mengembangkan lebih banyak inisiatif pemulihan.
Mengembangkan dana stabilisasi bagi institusi pembiayaan mikro untuk
membantu mereka tanggap terhadap permintaan pinjaman dan
pelayanan yang membludak segera setelah terjadi bencana juga
mengembangkan pendekatan berbasis permintaan/demand-driven serta
membuat mereka mandiri.
Menghubungkan masyarakat miskin dan institusi pembiayaan mikro
dengan sistem finansial formal.
Program-program pembiayaan mikro harus menggabungkan kebutuhan
pembangunan dan pemulihan masyarakat miskin (Mihir R. Bhatt, ISDR
2005).
Contoh dari respon berbasis uang tunai/cash based responses termasuk
di dalamnya Bantuan Langsung Tunai/BLT, Cash for work/CFW, menyediakan
uang tunai bagi institusi pembiayaan mikro untuk pinjaman dengan bunga
rendah, dan kupon untuk kebutuhan benih atau ternak. Berikut adalah beberapa
temuan dari hasil evaluasi respon-respon berbasis bantuan tunai terutama yang
berhubungan dengan bencana slow onset/perlahan dan rawan pangan/food
insecurity (ALNAP 2007)
Ketika pasar bisa menyediakan cukup pangan, rawan pangan berarti
akibat tidak adanya daya beli.
Selama masa krisis dari kondisi darurat, uang tunai berikut bahan
makanan merupakan kombinasi yang baik.
Bantuan langsung tunai lebih sesuai untuk kelompok tertentu, seperti
kelompok penggembala/pastoralis.
Analisis pasar yang akurat dan monitoring sangat penting untuk
memastikan bahwa uang tunai yang disediakan bisa memenuhi
kebutuhan seperti yang diperuntukkan. (Oxfam, 2006b; World Bank,
2006a)
Harus ada pengkajian yang realisitis mengenai kapasitas untuk distribusi
bantuan tunai, dan dana yang cukup untuk capacity buiding.
Monitoring dampak disitribusi bantuan langsung tunai harus
memasukkan aspek gender.
Pembiayaan Mikro/Micro-finance
Pembiayaan mikro terbukti sebagai solusi anti-kemiskinan yang bisa
membantu masyarakat miskin meningkatkan kondisi sosial ekonominya melalui
kewirausahaan. Merupakan alat yang sangat berguna dalam membantu
masyarakat miskin untuk mandiri setelah bencana. Pada umumnya, disarankan
bahwa dana untuk dipinjamkan kepada nasabah disediakan sebagai pinjaman
kepada institusi pembiayaan mikro, dan dana untuk pelatihan, pemberdayaan,
instalasi perangkat lunak, dan transfer aset disediakan sebagai hibah. “akses
berkelanjutan kepada pembiayaan mikro membantu pengentasan kemiskinan
dengan cara memberikan penghasilan, menciptakan lapangan pekerjaan,
mengijinkan anak-anak untuk bersekolah, membuat keluarga-keluarga mampu
memperoleh perawatan kesehatan, dan memberdayakan masyarakat untuk
membuat pilihan-pilihan sesuai kebutuhannya” (Kofi Annan, Sekretaris jendral
PBB). Pendekatan dasar akan mengikuti panduan sebagai berikut
Implementasi sistem standar asuransi mikro.
Mengarahkan dana awal untuk digunakan mendampingi lembaga yang
dipilih dalam pengembangan sistem dan sumberdaya manusia yang
diperlukan.
Menyimpang dari panduan pembiayaan institusi pembiayaan mikro
secara normal dengan mau menyediakan sebagian pembiayaan bagi LSM
sebagai bantuan.
Menyimpang dari praktik terbaik pembiayaan mikro yang normal dengan
memperbolehkan partner institusi pembiayaan mikro untuk memberikan
bantuan keuangan kepada nasabah yang mengkombinasikan trasfer aset
(bantuan), pinjaman yang disubsidi dan pinjaman dengan bunga pasar
untuk peroide waktu tertentu, selama masih berada dalam rencana
jangka menengah agar bisa berkelanjutan dan mengikuti praktik terbaik
yang diakui secara umum.
Mengkoordinasikan usaha-usaha diantara para partner dan pemangku
kepentingan yang potensial dalam melaksanakan inisiatif (AIDMI
workshop).
Grameen Foundation di Amerika percaya bahwa pembiayaan mikro
memiliki potensi yang sangat besar, dan masih belum dimanfaatkan, untuk
memainkan peranan penting dalam membantu masyarakat dan komunitas pulih
dari bencana tsunami
Nelayan membutuhkan pinjaman untuk membangun kembali kapal dan
perlengkapan mereka yang rusak atau hilang;
Petani membutuhkan dana untuk menggarap kembali lahan yang
terendam banjir dan membeli ternak serta perlengkapan saprotan;
Pemilik kios dan pedagang perlu mengganti barang dagangan yang
hancur; membeli bahan-bahan dagangan;
Perajin memerlukan uang untuk membeli bahan-baku kerajinan dan alat-
alat produksi.
Melalui Strategi Nasional bagi Pembiayaan Mikro dan perangkat hukum
yang menyertainya, apa yang organisasi inti lakukan dalam bidang kredit mikro
ketika kebijakan-kebijakan berikut digulirkan (Chakrabarti, Kull, Mihir R. Bhatt,
2005)
1. Peranan yang lebih besar dari institusi pembiayaan mikro-swasta dalam
pemberian pelayanan keuangan.
2. Kebijakan keuangan dan kredit yang lebih berorientasi pasar.
3. Tidak adanya partisipasi dari jajaran pemerintahan dalam implementasi
program-program kredit.
4. Penciptaan dan pemberdayaan lingkungan kebijakan yang akan
memfasilitasi meningkatnya partisipasi dari sektor swasta dalam
pembiayaan mikro.
D. Model Kelompok Swadaya/Self Help Group(SHG) dan Model Bank
Swadaya/Self Help Bank
Ini merupakan model pembiayaan mikro yang paling banyak digunakan
dan berkembang. SHG adalah grup informal dari masyarakat yang biasanya kaum
perempuan yang memiliki kesamaan nasib atau keahlian yang kemudian
bergabung membentuk kelompok. Dukungan jejaring dan tekanan rekan untuk
membayar hutang adalah keuntungan utama dalam model SHG yang esensial
untuk pembangunan ekonomi lokal dan perkembangan modal sosial. Model
program linkage Bank SHG adalah Bank Pertanian Nasional dan pembangunan
pedesaan model keuangan mikro (UNISDR 2005).
E. Pertanian
Pemulihan sektor pertanian pascabencana nasional adalah perlombaan
melawan seiring musim tanam sudah ditentukan waktunya. Petani harus panen
dan menanam tanaman baru. Tetapi kondisi tanah bisa berubah karena bencana.
Kesulitan-kesulitan berkisar pada memperoleh tenaga ahli yang dibutuhkan
untuk melakukan pengkajian kerusakan, penggantian aset, pengadaan saprotan
dan asistensi teknis bagi petani.
Program pemulhan dini/early recovery secara lokal lokal untuk petani
telah terbukti efisien dalam menangani kebutuhan mereka akan pendapatan dan
segera kembali mengolah lahan pertanian. Petani harus menunggu berbulan-
bulan setelah musim tanam sebelum memperoleh hasil dari panen. Dalam
jangka waktu ini kegiatan pemulihan dini bisa mulai dilakukan (Rajendra Aryal,
FAO).
F. Konseling Matapencaharian
Merupakan salah satu bentuk pelayanan yang dibutuhkan, terutama bagi
kaum perempuan, yang belum tahu bagaimana memutuskan bagaimana mereka
akan bertahan hidup. Ini berarti harus bahu-membahu dengan konseling
psikologi - trauma yang mereka alami tampaknya ikut menambah ketidakjelasan
pilihan matapencaharian.
G. Pengembangan Bisnis Non-Finansial
Pelayanan yang tampaknya diperlukan termasuk asistensi dalam
pengembangan rencana bisnis/business plan (terutama ketika kredit
dibutuhkan), konseling bisnis, masukan teknologi, dan hubungan kepada
penyedia dan pasar. Kelompok kecil yang akan memulai usaha untuk pertama
kali akan mendapatkan keuntungan dari pelatihan keahlian bisnis dan bantuan
untuk mengembangkan rencana bisnis.
1.2. Strategi Keluar/exit strategy dalam Pemulihan Matapencaharian
Tanpa strategi keluar, pergeseran dari krisis ke kegiatan pemulihan lebih
sulit dilakukan. Strategi keluar harus didasarkan pada pemahaman mengenai
kondisi yang berubah-ubah dan bukan merupakan jadwal asl-asalan. Mengetahui
kapan untuk mengakhiri fase tanggap darurat bisa merupakan hal penting
seperti mengetahui kapan unutk memulai respon tanggap darurat (WFP, 2004b).
ini biasanya benar dimana respon pemulihan selesai, tetapi masalah yang
menyebabkan kerentanan tetap ada (DES, 2004). Banyak intervensi tanggap
darurat tidak menyertakan strategi keluar (ECHO, 2004; DFID, 2004).
Poin-poin utama agar strategi keluar berhasil
(a). Dikaitkan dengan berbagai tujuan, apabila pemulihan merupakan tujuan,
penting untuk jelas dari awal mengenai makna pemulihan. Pemulihan
sebanyak 25 kali bisa kembali ke tarap ketahanan pangan atau
matapencaharian yang sama dengan sebelum krisis, atau menuju
kemampuan lebih meningkat menghadapi bencana.
(b). Pilih indikator yang merefleksikan perubahan dalam matapencaharian,
dan menyertakan ini dalam monev, pilihan indikator harus merefleksikan
tujuan program, membutuhkan komitmen jelas bagi baseline studies dan
monitoring.
(c). Mulai pada tahap perencanaan proyek dan melibatkan masyarakat, awal
implementasi yang telat berisiko implementasi yang ceroboh dari strategi
keluar. Melibatkan kelompok masyarakat dalam perencanaan,
implementasi dan monitoring dari strategi membantu mereka memahami
dari awal kondisi untuk keluar. Partisipasi juga mnyumbang pada
pemilihan indikator strategi keluar yang lebih sesuai.
(d). Pemetaan strategi bagi pengembangan kerjasama lokal, untuk
memfasilitasi peralihan ke perencanaan jangka panjang ketika lembaga
bantuan selesai beroperasi (ECHO,2005). C-SAFE Zimbabwe (CARE)
mengembangkan ikatan kuat dengan pemuka suku dan komite aksi untuk
terus mendukung keluarga-keluarga yang terdampak penyakit HIV/AIDS.
Pelayanan pemerintah mengenai ekstensi pertanian melanjutkan
pendampingan teknis mengenai produksi sayur dan buah-buahan,
penyediaan benih dal saprotan setelah kegiatan CARE selesai (C-SAFE,
2005).
(e). Terkoordinasi, selama transisi dari bantuan/relief hingga kegiatan
pemulihan atau bahkan selesai, penting untuk berkoordinasi dengan
lembaga lainnya dan tidak melakukan implementasi strategi keluar dalam
isolas/sendiri. Lembaga-lembaga yang terlibat bisa melakukan analisa
bersama mengenai kegiatan apa yang tidak terlalu penting dilakukan.
1.3 Beberapa Studi Kasus
Pemulihan yang cepat dan efektif dari dampak bencana banjir sangat
tergantung kepada seberapa cepat pemulihan matapencaharian bisa
dilaksanakan. Tidak ada cara tunggal melindungi matapencaharian dalam
konteks pasca banjir. Seringkali layak dan disukai untuk mengkombinasikan
bantuan dan pmulihan pasca banjir karena pemulihan bisa mulai sesaat setelah
banjir surut (WFP, 2000). Tetapi, mengadopsi pendekatan matapencaharian
dalam praktiknya lebih sulit untuk diimplementasikan dimana lembaga-lembaga
yang terlibat memiliki keterbatasan sumberdaya di daerah terdampak bencana
(Oxfam, 1999).
A. Pendampingan Matapencaharian Setelah Bencana Banjir
Diadopsi sesuai keperluan, pendekatan-pendekatan berikut bisa menjadi
model acuan untuk perkuatan matapencaharian tangguh/resilience
Pertanian :
Metode pengeringan dan pengawetan benih bisa membantu
berlanjutnya kegiatan pertanian (ITDG).
Promosi varietas tanaman pangan tahan banjir dan praktik budidaya
serte penyediaan stok benih bisa memperkuat ketangguhan/resilience.
Sistem asuransi tanaman pangan bisa membantu petani melakukan
transfer risiko (Hellmouth, 2007).
Pengadaan fodder, vaksinasi dan deworming bisa menjamin daya tahan
ternak (ITDG).
Perikanan budidaya :
Karamba dan bubu bisa membantu menahan ikan ketika terjadi banjir
(ITDG).
Usaha kecil dan matapencaharian alternatif :
Perbaikan jalan dan infrastruktur lainnya, peningkatan akses terhadap
kredit dan dukungan bagi kegiatan peningkatan keahlian bisa
menyediakan landasan untuk pengembangan kesempatan pemasaran
atau sumber pendapatan alternatif yang kurang terancam bahaya banjir
(World Bank, 2005b).
B. Perlindungan Aset/Asset Protection
Membantu masyarakat untuk melindungi kepemilikan mereka selama
dan setelah bencana banjir bukan saja membuat mereka lebih mudah pulih
tetapi juga mengurangi kerentanan dan kemiskinan di masa akan datang. Tetapi,
menurut laporan evaluasi masyarakat sering terpaksa menjual aset rumah
tangga dan produksi untuk bertahan karena dukungan pasca banjir sering
diabaikan.
Banjir juga menghancurkan aset produktif atau aset matapencaharian.
studi yang dilakukan oleh International Food Policy Research Institute/IFPRI
(2001) pascabencana banjir Bangladesh tahun 1998 menemukan bahwa 55
persen rumah tangga kehilangan aset, setara dengan 16 persen dari total aset
mereka sebelum banjir. Di Mozambique Bank Dunia mencatat bahwa “selama
masa pemulihan aset-aset ini pada umumnya tidak tergantikan sehingga
menyebabkan rumah tangga lebih rentan terhadap bencana susulan” (World
Bank, 2005b). Tetapi praktik terbaik tetap ada, banyak kegiatan lembaga-
lembaga bantuan mempraktikkan perlindungan aset sebagai bagian penting dari
respon terhadap bencana banjir di Asia dan Afrika. Termasuk di dalamnya
penyediaan Fodder ternak, restocking ternak, restrukturisasi aset komunitas dan
rumah tangga juga distribusi saprotan (ActionAid, 2002; DEC, 2000a; DFID,
2001a; WFP,2000; Oxfam, 1999; World Bank, 2005b).
C. Ketahanan Pangan Rumah Tangga/Household Food Security
Bagaimana banjir mempengaruhi ketahanan pangan merupakan masalah
kompleks dimana tidak ada respon langsung yang dapat dilakukan. Banjir
menghancurkan bakal panen. Banjir berkepanjangan sering membatasi
kemampuan masyarakat untuk mendapatkan uang dan melakukan penanaman
ulang segera setelah banjir red,a karena akibat musim tanam telah usai atau
dukungan terhadap pemulihan pertanian tidak ada. Masyarakat rentan harus
diberikan beragam pilihan keuangan dan materi, sehingga mereka bisa memilih
apa yang terbaik bagi mereka. Keputusan untuk menyediakan bantuan makanan,
uang tunai, atau kombinasi dari keduanya atau lainnya harus didasarkan pada
analisis permasalahan secara obyektif dan tujuan yang jelas dan tidak
berdasarkan sumberdaya seadanya, tidak berdasarkan apa yang lembaga
mampu distribusikan atau berdasarkan keinginan donor (ALNAP dan ProVention,
2007).
D. Rehabilitasi Pertanian
Banyak daerah rawan banjir yang juga kaya akan lahan pertanian.
Pendampingan dalam bentuk saprotan sebagai contoh, bisa membantu
masyarakat untuk memulihkan kegiatan pertanian. Tren banjir adalah berubah-
ubah dan banjir yang semakin sering terjadi berdampak terhadap musim tanam,
membuat ketahanan pangan dan matapencaharian terancam. Dalam kasus
semacam ini, respon yang mungkin dilakukan adalah mendistribudikan varietas
benih alternatif yang tahan dan bergizi (DEC, 2000b; Oxfam, 2003).
Referensi Nivaran Duryog and practical action. “Disaster Resistant Sustainable Livelihoods-A Framework for
South Asia.” 2005. “Adapted from Rehabilitation of Fisheries and Aquaculture in Tsunami Affected Countries in
Asia.” RAP Publication. 2005. http://irp.onlinesolutionsltd.net/outfile.php?id=451&href=http://irp.onlinesolutionsltd.net/assets/publication/Tsunami%20Reocvery/rehab%20of%20fisheries%20-%20FAO%20-%20tsunami.pdf.
Aryal Rajendra. FAO. http://www.un.org.cn/public/resource/87a0628665436838243ac649612bf9d6.pdf.
Beck Tony. Learning Lessons from Disaster Recovery: The Case of Bangladesh. http://wwwwds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2005/05/05/000012009_20050505121919/Rendered/PDF/321970HMU0110bangladesh.pdf,: World Bank, 2005.
Chakrabarti Dhar P.G, Kull Daniel, , Mihir R. Bhatt. “Humanitarian Policies: Disaster Mitigation at theInstitutional Level.” International Workshop on Disaster Mitigation: Potential of Micro Finance forTsunami Recovery. 2005. 8.
China People's Republic of. Beijing. Workshop Synthesis on International Workshop on Post-Earthquake Reconstruction Experiences. United Nation in China and the Ministry of Commerce ofPeople's Republic of China, 2008.
Hedlund Kerren. “Slow-onset Disasters: Drought and Food and Livelihoods Insecurity – Learningfrom Previous Relief and Recovery Responses.”2007. http://irp.onlinesolutionsltd.net/outfile.php?id=317&href=http://irp.onlinesolutionsltd.net/assets/submissions/200909010615_general_drought_livelihood.pdf , October 10, 2009 accessed.
Lazarte Alfredo. Post-earthquake Livelihoods Recovery: Employment and SocialProtection Dimensions. July 14, 2008 http://www.un.org.cn/public/resource/786d047e4a7f031929612f12256fff7f.pdf .October 10, 2009 accessed
Nakagawa Yuko, Shaw Rajib. “Social Capital: A missing link to disaster recovery.” International Journal of Mass Emergency and Disaster, Volume 22, no. 1. 2004. 5-34.
Nvaran Duryog. “Disaster Risk and Poverty in South Asia, A Contribution to the 2009 ISDR Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction, .” DURYOG NIVARAN, 27 March 2009.
Padiyar A.P., Phillips J.M., Subasinghe P.R., Raharjoh S., Hasanuddin, Sammut J. “15 Steps for Aquaculture Farm Rehabilitation in Aceh, Indonesia.” FAO and Regional Brackish Water Aquaculture Development Center. 7.
Poverty Reduction and Sustainable Development through Microfinance Special Report. May 26, 2005.http://irp.onlinesolutionsltd.net/assets/publication/Tsunami%20Reocvery/tsunami%20recovery%20and%20microfinance.pdf October 10, 2009 accessed.
“Reducing Disaster Risk: A challenge for development. A Global Report.” UNDP, BCPR , 2004. “Regional Workshop: One Year Later-The Rehabilitation of Fisheries and Aquaculture in Tsunami
Affected Countries in Asia.” Worldfish. 2008 年August 月. http://irp.onlinesolutionsltd.net/assets/publication/Tsunami%20Reocvery/rehab%20of%20fisheries%20-%20FAO%20-%20tsunami2.pdf , October 10, 2009 accessed.
Shannon Doocy, Michael Gabriel, Collins Sean, Courtland Robin, , Stevenson Peter. “The Mercy Corps Cash for Work Program in Post-Tsunami Aceh.” 2005. http://irp.onlinesolutionsltd.net/outfile.php?id=316&href=http://irp.onlinesolutionsltd.net/assets/submissions/200909010620_indonesia_tsunami_livelihood.pdf [October 10, 2009 accessed].
“What are livelihoods approaches?” ELDIS. http://www.eldis.org/go/topics/dossiers/livelihoodsconnect/what-are-livelihoods-approaches [October 10, 2009 accessed].
Worrell Jennifer. “Jennifer Worrell, Chief, Early Recovery Team, Bureau of Crisis Prevention and Recovery, UNDP,.”
The ProVention CRA toolkit includes livelihoods tools. www.proventionconsortium.org/CRA_toolkit
Young, H. et al. (2001). Food Security Assessments in Emergencies: A Livelihoods Approach. www.forcedmigration.org/sphere/pdf/food/odi/food-security-and-livelihoods.pdf
Flood disasters: Learning from previous relief and recovery operations, ProVention and ALNAP; January
Top Related