1
REFRAT
COPD DENGAN KEHAMILAN
DIPRESENTASIKAN OLEH :
CECEP SAEFUL HUDA 1102009061
PEMBIMBING :
Dr. HAMI ZULKIFLI ABBAS, Sp.PD, FINASIM, MH.Kes.
Dr. SIBLI, Sp.PD
Dr. SUNHADI , MM SDM
KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD ARJAWINANGUN
2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
rahmat-Nya dan karunia-Nya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk menyusun tugas kasus yang berjudul “COPD DENGAN KEHAMILAN”.
Penyusunan tugas ini masih jauh dari sempurna baik isi maupun penyajiaannya
sehingga diharapkan saran dan kritik yang membangun agar di kesempatan yang
akan datang penulis dapat membuat karya tulis yang lebih baik lagi.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Hami
Zulkifli Abbas, Sp.PD, MH.Kes, FINASIM; Dr. Sibli Sp.PD dan Dr. Sunhadi,
MM SDM serta berbagai pihak Rumah Sakit Arjawinangun yang telah membantu
menyelesaikan tugas presus ini.
Semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Arjawinangun, 26 februari 2014
Penulis
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………2
DAFTAR ISI………………………………………………………………………...3
Pendahuluan ....………………………………………………………………………4
Definisi…………………………………………………………………………….....9
Etiologi ................……………………………………………………………………9
Klasifikasi........................…………………………………………………………....13
Patogenesis........……………………………………………………………………...16
Diagnosis.............…………………………………………………………………….19
Diagnosis Banding........................................................................................................23
Penilaian Ppok..............................................................................................................24
Pengobatan...................................................................................................................29
Prognosis......................................................................................................................40
Kesimpulan...................................................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..42
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas diseluruh dunia. Kini PPOK menurut paradigma baru
dapat dicegah dan diobati.1 Di Amerika Serikat, PPOK merupakan penyebab
kematian No. 4 dan mempengaruhi lebih dari 16 juta orang. GOLD
memperkirakan pada tahun 2020 PPOK akan meningkat dari No. 6 menjadi No. 3
penyebab kematian tersering diseluruh dunia.2 Menurut laporan terbaru World
Health Organization (WHO) memperkirakan saat ini 64 juta orang mengalami
PPOK dan 3 juta orang meninggal karena PPOK pada tahun 2004. WHO
memprediksi bahwa PPOK akan menjadi penyebab utama ketiga kematian di
seluruh dunia pada tahun 2030. Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga Dep.
Kes. RI tahun 1992, PPOK bersama asma bronchial menduduki peringkat ke
enam.3
PPOK terus menyebabkan kesehatan dan beban ekonomi menjadi berat
baik di Amerika Serikat dan di seluruh dunia. Beberapa faktor risiko PPOK
diketahui termasuk merokok, paparan kerja, polusi udara, respon saluran napas
yang berlebihan, asma, dan variasi genetik tertentu, meskipun banyak pertanyaan,
seperti mengapa <20% dari perokok menimbulkan obstruksi jalan napas yang
menetap secara signifikan. Di sebagian besar dunia, prevalensi PPOK dan
kematian masih meningkat dan kemungkinan akan terus meningkat dalam
menanggapi meningkatnya jumlah perokok, terutama perempuan dan remaja.3
PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya.2,4 PPOK ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan penunjang.2Terapi untuk pasien PPOK dapat diberikan terapi
non farmakologi yaitu berhenti merokok, rehabilitasi, dan aktivitas fisik, serta
farmakologi yaitu bronkodilator, kortikosteroid inhalasi, kortikosteroid oral,
phosphodiesterase-4 inhibitor (PDE-4), dan methylxanthine.5
5
Oleh hal-hal tersebut, maka diperlukan pengenalan dan diagnosis PPOK
lebih lanjut khusunya pada kasus-kasus yang belum menunjukan keluhan
sehingga menekan angka morbiditas dan mortalitas yang tidak diinginkan.
Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada
pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg% didapatkan
penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik
asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic
Obstruction Pulmonary Disease (COPD)
6
1.2 COPD pada kehamilan
Selama kehamilan, terjadi sejumlah adaptasi sistem tubuh salah satunya pernafasan
dan fungsi paru. Secara fisiologis, perubahan ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
oksigen ibu dan untuk tumbuh kembang janin dalam uterus. Namun, bukan karena
kehamilan terjadi gangguan fungsi paru, tetapi perubahan fungsi paru dapat
memperparah efek patofisiologis berbagai penyakit paru akut dan kronik yang dialami
wanita selama hamil. Dengan perawatan dan pengobatan yang teratur, umumnya
kehamilan dapat berjalan dengan lancar,walaupun risiko munculnya sesuatu yang tidak
diinginkan dapat saja terjadi.
Fisiologi Paru
Fungsi utama paru adalah:
1. Pertukaran CO2-O2 sehingga PO2 tetap diatas 60 mmHg
2. Mempertahankan keseimbangan asam-basa darah, melalui buffer kimiawi
sehingga pH darah relatif tetap
3. Bertindak sebagai alat untuk mengeluarkan air, yang berjumlah sekitar 900 cc/ 24
jam
Akibat kebutuhan O2 ibu hamil meningkat khususnya sejak pertengahan
kehamilan, terjadi perubahan asam-basa darah:
1. Kebutuhan O2 ibu hamil sekitar 20-40 ml/ menit
2. PO2 sedikit menurun
3. PCO2 rata-rata 28 mmHg
4. pH plasma alkalis 7,45
5. Buffer bicarbonas menurun menjadi 20 Meq/ Liter
7
Dalam keadaan hamil fungsi paru dan satuan nilai normal paru
mengalami beberapa perubahan, yaitu:
Istilah DefinisiSatuan Nilai Arti klinis
pada hamilTidak hamil Hamil
Kapasitas vital
Jumlah volume udara yang dapat dikeluarkan
oleh paru pada ekspirasi maksimal sesudah inspirasi
maksimal
3200 mlMeningkat
sebesar 100-200 ml
Kapasitas inspirasi
Jumlah volume udara saat menghirup nafas
2500 ml
Meningkat sekitar 300 ml
pada akhir kehamilan
Karena tuntutan
metabolik kedua ibu dan
janin
Kapasitas ekspirasi
Jumlah volume udara saat menghembuskan
nafas1300 ml
Menurun dari total 1300 ml menjadi 1100
ml
Volume residual
Jumlah udara yang masih tetap dalam paru
setelah dikeluarkan maksimal
1500 ml
atau
1000 ml
Menurun menjadi sekitar
1200 mlatau Menurun
sekitar 200-800 ml
Memperbaiki pengalihan
gas yang dari alveoli
menuju darah
Kapasitas fungsional
residual
Jumlah kapasitas ekspirasi dan volume
residual1700 ml
Berkurang sekitar 500 ml
Elevasi diafragama
karena tekanan intra
abdomen
Volume Tidal (Vt)
Jumlah volume udara yang bergerak pada
satu pernafasan normal450 ml
600 ml, bertambah 40%
RR Jumlah Pernafasan 16x/ menit Tidak berubah
8
Ventilasi permenit
Volume udara yang bergerak per menit; hasil dari perkalian
RRxVt
7,5 L atau
7,2 L
10,5 L atau
9,6 L
(bertambah 40% karena Vt-nya bertambah)
Bertambahnya penggunaan
O2 untuk janin
Gambar 1: Perubahan ventilasi menit, pengambilan oksigen, metabolisme basal, dan setara dengan ventilasi untuk oksigen pada interval bulanan selama kehamilan.(Dari Prowse CM, Gaensler EA:.. Perubahan pernapasan dan asam basa selama kehamilan Anestesiologi 26:381, 1965)
Pada ibu hamil sering terjadi dispnea fisiologis yaitu merasakan
perlunya bernafas yang seolah-olah kehabisan nafas. Dilaporkan hal ini terjadi
pada separuh ibu di trimester kedua dan tiga ibu mengeluhkan di usia 31
minggu. Mekanismenya belum diketahui namun diperkirakan karena:
1. Dorongan paru oleh uterus yang makin membesar
2. Menurunnya PCO2
3. Kompensasi hiperventilasi paru
BAB II
9
COPD
2.1 Definisi
PPOK adalah penyakit yang pada umumnya dapat dicegah dan diobati,
ditandai dengan adanya hambatan aliran udara yang terus-menerus biasanya
progresif dan berhubungan dengan meningkatnya respon saluran napas terhadap
inflamasi kronis. PPOK meliputi emfisema adalah kondisi dengan karakteristik
adanya destruksi dan pelebaran alveoli paru, bronkitis kronis kondisi dengan
batuk kronis dan berdahak, dan small airways disease dimana bronkiolus kecil
menyempit. PPOK timbul jika terjadi obstruksi aliran udara yang kronis; bronkitis
kronis tanpa obstruksi aliran udara yang kronis bukan termasuk PPOK.6,7
2.2 Etiologi
2.2.1. Merokok
Pada tahun 1964, the Advisory Committee to the Surgeon General of the
United States telah menyimpulkan bahwa merokok merupakan faktor risiko utama
mortilitas pada bronkitis kronis dan emfisema. Studi longitudinal berikutnya
menunjukkan penurunan FEV1 yang cepat dalam hubungan dose-respons terhadap
intensitas merokok, yang biasanya dinyatakan sebagai jumlah batang pertahun
(rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap per hari dikalikan dengan lamanya
merokok dalam tahun). Hubungan dose-respons ini diantara menurunnya fungsi
paru dan intensitas merokok terhadap tingginya prevalensi PPOK dengan
bertambahnya usia. 2Dikatakan perokok ringan apabila angka yang didapat 0-200,
dikatakan sedang apabila angka yang didapat 200-600 dan dikatakan berat apabila
angkanya >600. 6Semakin besar angkanya, maka semakin tinggi kemungkinan
untuk menderita PPOK. Secara histrois, tingginya perokok di kalangan laki-laki
adalah penjelasan yang paling mungkin untuk prevalensi PPOK yang lebih tinggi
di kalangan laki-laki, namun, prevalensi PPOK di kalangan perempuan meningkat
10
sebagai kesenjangan jenis kelamin dalam angka perokok yang telah berkurang
dalam 50 tahun terakhir. Kelainan struktur jaringan berkaitan erat dengan respons
inflamasi ditimbulkan oleh paparan partikel atau gas beracun, tetapi dinyatakan
faktor utama dan paling dominan ialah asap rokok dibanding yang lain.7
2.2.2. Respon saluran napas dan PPOK
Cenderung meningkatkan bronkokonstriksi sebagai respon terhadap
stimulus eksogen, termasuk metakolin dan histamin, adalah salah satu bentuk
melukiskan tentang asma. Namun, banyak pasien dengan PPOK juga
menunjukkan respon saluran napas yang berlebihan. Diantara orang dengan asma
dan orang dengan PPOK terdapat tumpang tindih dalam respon saluran napas
yang berlebihan, obstruksi aliran udara, dan gejala paru yang menyebabkan
terjadinya rumusan hipotesis Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa asma,
bronkitis kronis, emfisema adalah variasi dari penyakit dasar yang sama, yang
dimodulasi oleh faktor lingkungan dan genetik untuk menghasilkan kesatuan yang
secara patologis berbeda. Hipotesis alternatif British menyatakan bahwa asma dan
PPOK adalah penyakit yang berbeda secara fundamental: Sebagian besar asma
dipandang sebagai fenomena alergi, sedangkan PPOK hasil dari kerusakan dan
inflamasi yang berhubungan dengan merokok. Penentuan validitas antara
hipotesis Belanda dan hipotesis British menunggu identifikasi faktor predisposisi
genetik untuk asma dan / atau PPOK, serta mendalilkan interaksi antara faktor
genetik dan faktor risiko lingkungan.
Studi longitudinal membandingkan respon saluran napas yang berlebihan
pada awal penelitian untuk menurunkan fungsi paru yang telah menunjukkan
bahwa respon saluran napas yang berlebihan jelas merupakan prediktor
menurunkan fungsi paru yan signifikan. Dengan demikian, respon saluran napas
yang berlebihan merupakan faktor risiko untuk PPOK.2
11
2.2.3. Infeksi saluran napas
Ini telah di selidiki sebagai faktor resiko yang potensial terhadap
perkembangan dan kemajuan PPOK pada orang dewasa; infeksi saluran napas
pada anak-anak ditaksirkan sebagai faktor predisposisi yang potensial terhadap
perkembangan PPOK. Pengaruh infeksi saluran napas pada orang dewasa dalam
menurunkan fungsi paru masih kontroversial, tetapi penurunan fungsi paru jangka
panjang secara signifikan tidak mengikuti episode bronkitis atau pneumonia. Efek
infeksi saluran napas pada anak-anak pada perkembangan PPOK sulit ditaksirkan
akibat kurangnya data longitudinal yang adekuat. Kemudian, meskipun infeksi
saluran napas merupakan penyebab terpenting eksaserbasi PPOK, hubungan
keduanya baik infeksi saluran napas dewasa dan anak-anak terhadap
perkembangan dan kemajuan PPOK tetap dibuktikan.2
2.2.4. Terpajan polusi di tempat kerja
Meningkatnya gejala pada saluran napas dan obstrusi aliran udara telah
dinyatakan sebagai hasil dari terpajannya debu di tempat kerja. Beberapa pajanan
di tepat kerja, meliputi tambang batu bara, tambang emas, dan tekstil katun, yang
telah dinyatakan sebagai faktor resiko obstruksi aliran udaran kronis. Namun
meskipun bukan perokok di tempat kerja menimbulkan penurunan FEV1,
terpajannya debu merupakan faktor resiko PPOK, sedangkan ketidaktergantungan
rokok, tidak terjadi. Setiap pekerja yang terpajan cadmium (asap bahan kimia),
FEV1, FEV1/FVC, dan DLCO secara signifikan menurun, konsisten dengan
obstruksi aliran udara dan emfisema. Meskipun beberapa debu dan asap tempat
kerja merupakan faktor resiko PPOK, efek ini secara substansi nampak kurang
penting daripada efek merokok. 2
12
2.2.5. Polusi udara lingkungan
Beberapa peneliti melaporkan meningkatnya gejala saluran napas di kota
dibandingkan di pedesaan, berhubungan dengan meningkatnya polusi di kota.
Namun, hubungan polusi udara dengan obstuksi saluran napas kronis tetap tidak
terbukti. Terpajan rokok terlalu lama yang dihasilkan oleh pembakaran biomass
juga nampak menjadi faktor resiko PPOK dikalangan perempuan di pedesaan.
Namun, kebanyakan populasi, polusi udara lingkungan merupakan faktor resiko
PPOK yang sedikit daripada merokok.2
2.2.6. Terpajan rokok, pasif, atau secara tidak langsung
Anak-anak yang terpajan rokok saat kehamilan secara signifikan
pertumbuhan paru menurun. Terpajan rokok dalam kandungan juga berhubungan
dengan menurunnya fungsi paru setelah kelahiran. Meskipun terpajan rokok pasif
dihubungkan dengan menurunnya fungsi paru, faktor resiko PPOK ini penting
dalam menurunkan fungsi paru tetap tidak jelas.2
2.2.7. Genetik
Meskipun rokok merupakan faktor resiko lingkungan utama terjadinya
COPD, terjadinya obstruksi aliran udara pada perokok sangat bervariasi.
Defisiensi antitripsin α1 (α1AT) berat merupakan faktor risiko genetik yang
terbukti untuk PPOK, ada peningkatan bukti bahwa faktor genetik lainnya juga
ada.2
2.2.7.1 Defisiensi antitripsin α1
Banyak varian dari lokus inhibitor protease (PI atau SERPINA1) yang
mengkodekan α1AT telah dijelaskan. Umumnya alel M dikaitkan dengan α1AT
normal. Alel S, dikaitkan dengan sedikit berkurangnya α1AT, dan Z alel,
dikaitkan dengan nyata mengurangi α1AT, juga terjadi dengan frekuensi> 1%
13
pada sebagian besar populasi Kaukasia. Individu jarang mewarisi alel nol, yang
menyebabkan tidak adanya produksi α1AT melalui mutasi heterogen. Individu
dengan dua alel Z atau satu Z dan satu alel nol disebut sebagai Pi z, yang
merupakan bentuk paling umum dari defisiensi α1AT berat.
Meskipun hanya 1-2% pasien PPOK ditemukan mengalami defisiensi α1AT berat
sebagai penyebab PPOK, pasien ini menunjukkan bahwa faktor genetik memiliki
pengaruh besar terhadap kerentanan terjadinya PPOK. Individu Piz sering menjadi
PPOK onset dini, tapi memastikannya bias dalam mengumumkan individu Piz
yang biasanya termasuk subyek Piz yang diuji terhadap defisiensi α1AT karena
mereka mengalami PPOK berarti bahwa fraksi individu Piz yang akan menjadi
PPOK dan distribusi usia untuk terjadinya PPOK pada subyek Piz tetap tidak
diketahui. Sekitar 1 dari 3000 orang di Amerika Serikat mewarisi defisiensi α1AT
berat, tetapi hanya sebagian kecil dari individu telah mengakuinya. Uji
laboratorium klinis yang paling sering digunakan untuk menampilkan adanya
defisiensi α1AT adalah pengukuran imunologi α1AT dalam serum.
Sebuah persentase yang signifikan dari variabilitas fungsi paru di antara individu
Piz dijelaskan oleh perokok, perokok dengan defisiensi α1AT berat lebih mungkin
untuk menjadi PPOK pada usia dini. Namun, PPOK pada subyek Piz, bahkan di
kalangan perokok saat ini atau bekas perokok, tidak pasti. Di antara Pi z bukan
perokok, variabilitas yang mengesankan telah dicatat dalam terjadinya obstruksi
aliran udara. Faktor genetik dan / atau lingkungan lainnya mungkin berkontribusi
terhadap variabilitas ini.2
2.3 Klasifikasi
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel
parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya.4
14
2.3.1 Bronkitis Kronis
Bronkitis kronis sering terjadi pada perokok dan penduduk di kota-kota
yang dipenuhi oleh kabut-asap; beberapa penelitian menunjukkan bahwa 20%
hingga 25% laki-laki berusia antara 40 hingga 65 tahun mengidap penyakit ini.
Diagnosis bronkitis kronis ditegakkan berdasarkan data klinis; penyakit ini
didefenisikan sebagai batuk produktif persisten selama paling sedikit 3 bulan
berturut-turut pada paling sedikit 2 tahun berturut-turut.8
Terdapat beberapa bentuk dari bronkitis kronis, yaitu:
1) Bronkitis kronis sederhana
Gejala yang mungkin timbul adalah batuk produktif yang akan meningkatkan
sputum mukoid, namun jalan napas tidak terhambat.
2) Bronkitis mukopurulenta kronis
Namun apabila sputum penderita mengandung pus yang mungkin disebabkan
oleh infeksi sekunder, maka pasien dikatakan mengidap bronkitis mukopurulenta
kronis.
3) Bronkitis asmatik kronis
Beberapa pasien dengan bronkitis kronis mungkin memperlihatkan
hiperresponsivitas jalan napas dan episode asma intermiten. Keadaan ini yang
disebut sebagai bronkitis asmatik kronis, dalam hal ini sulit dibedakan dengan
asma atopik.
4) Bronkitis obstruktif kronis
Mereka dikatakan mengidap bronkitis obstruktif kronis apabila suatu
subpopulasi pasien bronkitis kronis mengalami obstruksi aliran keluar udara yang
kronis berdasarkan uji fungsi paru.
Gambaran khas pada bronkitis kronis adalah hipersekresi mucus, yang dimulai
dari jalur napas besar. Berbagai faktor/bahan iritan ini akan memicu hipersekresi
kelenjar mukosa bronkus dan menyebabkan hipertrofi kelenjar mukosa, dan
menyebabkan pembentukan metaplastik sel goblet penghasil mucin di epitel
15
permukaan bronkus. Selain itu, zat tersebut juga menyebabkan peradangan dengan
infiltrasi sel T CD8+, makrofag, dan neutrofil.8
2.3.2 Emfisema
Emfisema ditandai dengan adanya pembesaran permanen rongga udara yang
terletak distal dari bronkiolus terminal disertai destruksi dinding rongga tersebut.
Terdapat beberapa penyakit dengan pembesaran rongga udara yang tidak disertai
desktruksi; hal ini lebih tepat disebut “overinflation”. Contohnya adalah
peregangan rongga udara di paru kontralateral setelah pneumonektomi unilateral.8
Emfisema dibagi menurut bentuk asinus yang terserang. Meskipun beberapa
bentuk morfologik telah diperkenalkan, ada dua bentuk yang paling penting
sehubungan dengan PPOK. Yaitu:
1) Emfisema Sentrilobular (CLE)
Secara spesifik CLE menyerang bagian bronkiolus respiratorius dan duktus
alveolaris. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya
cenderung menjadi satu ruang sewaktu dinding-dinding mengalami integrasi.
2) Emfisema panlobular (PLE)
Bentuk yang penting berikutnya adalah emfisema panlobular (PLE) atau
emifsema panasinar. Merupakan bentuk morfologik yang jarang., alveolus yang
sebelah distal mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata; mengenai
bagian asinus sentral dan perifer.
3) Emfisema Asinar Distal (Paraseptal)
Pada keadaan ini bagian proksimal dari asinus normal, namun bagian
distalnya yang terkena. Emfisema tampak nyata pada daera dekat pleura, di
sepanjang septum jaringan ikat lobules dan tepi lobulus. (Robin Kumar)
Berdasarkan GOLD, PPOK dibagi atas 4 derajat berdasarkan tingkat
keparahannya, yaitu :5
16
Tabel 1. Kriteria GOLD Untuk Tingkat Keparahan PPOKStadium GOLD
Tingkat Keparahan
Gejala Spirometri
0 Beresiko Batuk kronis , produksi sputum
Normal
I Ringan Dengan atau tanpa batuk kronis atau produksi sputum
FEV1/FVC<0.7 dan FEV1≥80% terprediksi
IIA Sedang Dengan atau tanpa batuk kronis atau produksi sputum
FEV1/FVC<0.7 dan 50%≤FEV1<80% terprediksi
III Berat Dengan atau tanpa batuk kronis atau produksi sputum
FEV1/FVC<0.7 dan 30%≤FEV1<50% terprediksi
IV Sangat berat Dengan atau tanpa batuk kronis atau produksi sputum
FEV1/FVC<0.7 dan FEV1<30% terprediksi atau FEV1<50% terprediksi dengan tanda gagal napas atau gagal jantung kanan
Sumber : Fauci, Anthony S, et al. Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition. United States of America: The McGraw-Hill Companies; 2008; Chapter 254
2.4 Patogenesis
Keterbatasan aliran udara, merupakan perubahan fisiologis utama pada
PPOK, hasil dari baik obstruksi saluran napas kecil dan emfisema. Patogenesis
emfisema dapat dibagi menjadi 4 peristiwa yang berhubungan : (1) Terpajan asap
rokok yang lama menyebabkan pengumpulan sel inflamasi dalam paru-paru. (2)
Sel-sel inflamasi melepaskan proteinase yang merusak matriks ekstraseluler paru.
(3) Hilangnya sel matriks menyebabkan terjadinya apoptosis sel-sel paru. (4)
perbaikan elastin yang tidak efektif dan mungkin komponen matriks ekstraseluler
lainnya menyebabkan pembesaran celah udara yang mengidentifikasi emfisema
pulmoner.2
17
Gambar 1. Patogenesis emfisema2
2.4.1 Elastase : Hipotesis antielastase
Elastin, komponen utama serabut elastis, adalah komponen matriks
ekstraseluler yang sangat stabil yang mengintegritas baik saluran napas kecil dan
parenkim paru. Elastase : hipotesis antielastase dikemukakan pada pertengahan
1960 menyatakan bahwa keseimbangan elastin-degrading enzyme dan
inhibitornya menentukan kerentanan untuk terjadinya destruemfisema.ksi paru
yang menyebabkan pembesaran celah udara. Hingga hari ini, elastase : hipotesis
antielastase merupakan mekanisme utama terjadinya emifisema.2
2.4.2 Proteolisis matriks ekstraseluler dan inflamasi
Makrofag beredar di celah udara bawah dalam kondisi normal. Ketika
terpajan oksidan dari asap rokok, histone deacetylase-2 tidak aktif, perubahan
18
keseimbangan kromatin longgar atau asetylated, terpajan nuclear factor kB dan
menghasilkan transkripsi matrix metalloproteinase-9, proinflammatory cytokines
interleukin 8 (IL-8), dan tumor necrosis factor α (TNF α); ini menyebabkan
terkumpulnya neutrofil. CD8+ T cell didapatkan dalam respon terhadap asap
rokok dan melepaskan interferon inducible protein-10 (IP-10, CXCL-7) yang
menyebabkan produksi elastase makrofag (matrix mealloproteinase-12 (MMP-
12)). Matrix mealloproteinase dan serineproteinase, khususnya elastase neutrofil,
bekerja bersama-sama menurunkan inhibitor lainnya, menyebabkan destruksi
paru.
Seiring dengan hilangnya silia pada epitelium saluran napas yang
diinduksi asap rokok memberi kecendrungan terjadinya infeksi bakteri dengan
neutrofilia. Anehnya penyakit paru tahap akhir,setelah penghentian rokok yang
lama masih terdapat respon inflamasi yang banyak, menyatakan bahwa
mekanisme inflamasi yang diinduksi asap rokok yang mengawali terjadinya
penyakit yang berbeda dengan mekanisme pertahanan inflamasi setelah berhenti
merokok.
Kolagen yang beredar di PPOK sangat kompleks. Terdapat 3 kolagen
(MMP-1, MMP-8, dan mMP-13) yang mengawali pembelahan kolagen interstisial
yang diinduksi baik oleh sel inflamasi maupun sel struktural di PPOK. Sementara
kolagen dipecah sebagai unit alveolar yang terobliterasi, secara keseluruhan
jaringan meningkatkan kolagen di paru yang mengalami PPOK, dengan secara
jelah terdapat akumulasi di submukosa.2
2.4.3 Kematian sel
Pembesaran celah udara dengan hilangnya unit alveolar jelas membutuhkan
keduanya matriks ekstraseluler dan sel yang hilang. Teori tradisional
menunjukkan bahwa proteinase sel inflamasi mendegradasi matriks ekstraselular
paru sebagai peristiwa utama, dengan hilangnya sel mengarah ke terjadinya
19
apoptosis. Apakah apoptosis adalah peristiwa primer atau sekunder pada PPOK
masih harus ditentukan.2
2.4.4 Perbaikan tidak efektif
Kemampuan paru-paru orang dewasa untuk memperbaiki kerusakan alveoli
nampaknya terbatas. Apakah proses septation yang bertanggung jawab untuk
alveogenesis selama pengembangan paru-paru dapat diinisiasi kembali tidak jelas.
Pada model hewan, pengobatan dengan asam trans retinoic telah menghasilkan
beberapa perbaikan. Juga, reseksi paru menghasilkan pertumbuhan paru
terkompensasi yang tersisa pada model hewan. Selain memulihkan selularitas
setelah cedera, tampaknya sulit bagi orang dewasa untuk sepenuhnya
mengembalikan matriks ekstraseluler yang sesuai, terutama serabut elastis yang
fungsional.2
2. 5 Diagnosis
2.5.1 Riwayat
Tiga Gejala yang paling utama pada PPOK adalah batuk, produksi sputum,
dan exertional dyspnea. Banyak pasien yang mengalami gejala seperti ini selama
berbulan-bulan atau bertahun-tahun sebelum mencari perhatian medis. Meskipun
proses terjadinya obstruksi aliran udara bertahap, banyak pasien saat timbulnya
penyakit menjadi penyakit akut atau eksaserbasi. Namun, biasanya menunjukkan
adanya gejala sebelum menjadi eksaserbasi akut. Terjadinya exertional dyspnea,
sering digambarkan sebagai peningkatan upaya untuk bernapas, berat, rasa lapar
akan udara, atau terengah-engah, bisa berbahaya. Ini adalah cara terbaik yang
ditimbulkan oleh riwayat yang dipusatkan pada kegiatan fisik yang khas dan
bagaimana kemampuan pasien untuk melakukan itu telah berubah. Kegiatan
tersebut melibatkan kerja lengan yang signifikan, terutama pada atau di atas bahu,
yang sangat sulit terutama bagi pasien dengan PPOK. Sebaliknya, aktivitas yang
20
memungkinkan pasien untuk memperkuat lengan dan menggunakan otot bantu
pernapasan yang ditoleransi lebih baik. Contoh kegiatan tersebut meliputi
mendorong kereta belanja, berjalan di treadmill, atau mendorong kursi roda.
PPOK fase lanjut, ciri utamanya adalah sesak yang memburuk saat aktivitas
dengan meningkatnya gangguan untuk melakukan pekerjaan atau hobi. Pada fase
lanjut, pasien terengah-engah melakukan kegiatan biasa sehari-hari. 2,5
Yang mengiringi memburuknya obstruksi aliran udara adalah peningkatan
frekuensi eksaserbasi. Pasien juga mungkin mengalami hipoksemia saat istirahat
dan memerlukan oksigen tambahan.2,5
2.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pada fase awal PPOK, pasien biasanya mengalami pemeriksaan fisik yang
sepenuhnya normal. Saat ini perokok mungkin memiliki tanda-tanda merokok
aktif, termasuk bau asap rokok atau pewarnaan nikotin pada kuku. Pada pasien
dengan penyakit yang lebih berat, pemeriksaan fisiknya khususnya adalah fase
ekspirasi yang memanjang dan mengi saat ekspirasi. Selain itu, tanda-tanda
hiperinflasi termasuk dada seperti tong dan volume paru-paru membesar dengan
letak diafragma yang rendah yang dinilai dengan perkusi. Pasien dengan obstruksi
aliran udara yang berat mungkin juga menunjukkan penggunaan otot bantu
pernapasan, duduk dalam karakteristik "tripod" posisi untuk memudahkan
menggerakkan sternokleidomastoid, sisi tak sama panjang, dan otot interkostal.
Pasien dapat mengembangkan sianosis, terlihat di bibir dan kuku tempat tidur.
Meskipun pengajaran sebelumnya bahwa pasien dengan emfisema
dominan, disebut "pink puffers," kurus dan tidak sianosis saat istirahat dan
menggunakan otot bantu, dan pasien dengan bronkitis kronis lebih cenderung
menjadi gemuk dan sianosis ("blue bloaters"), saat ini bukti menunjukkan bahwa
sebagian besar pasien memiliki elemen dari keduanya baik bronkitis dan
emfisema dan pemeriksaan fisik tidak dapat dipercaya dapat membedakan dua
kesatuan.
21
Penyakit fase lanjut dapat disertai dengan gejala sisa sistemik, dengan
kehilangan berat badan yang signifikan, gejala sisa bitemporal, dan kehilangan
difus jaringan adiposa subkutan. Sindrom ini telah dikaitkan dengan keduanya
asupan oral yang tidak adekuat dan peningkatan kadar sitokin inflamasi (TNF-α).
Sisa-sisa tersebut merupakan faktor prognosis buruk yang independen pada
PPOK. Beberapa pasien dengan penyakit fase lanjut mengalami gerakan tulang
rusuk ke arah dalam yang paradoksal dengan inspirasi (tanda Hoover), hasil
perubahan vektor dari kontraksi diafragma pada tulang rusuk akibat hiperinflasi
kronis.
Tanda-tanda gagal jantung kanan yang jelas, yang disebut cor pulmonale,
relatif jarang terjadi sejak munculnya terapi oksigen tambahan.
Clubbing finger bukanlah tanda PPOK, dan kehadirannya harus
diwaspadai oleh dokter untuk memulai investigasi penyebab clubbing. Pada
populasi ini, terjadinya kanker paru adalah penjelasan yang paling mungkin untuk
terjadinya clubbing baru-baru ini.2,4,5
2.5.3 Pemeriksaan Laboratorium
Tanda khas PPOK adalah obstruksi aliran udara. Uji fungsi paru
menunjukkan obstruksi aliran udara dengan penurunan FEV1 dan FEV1/FVC.
Dengan memburuknya tingkat keparahan penyakit, volume paru dapat meningkat,
menyebabkan meningkatnya kapasitas total paru, kapasitas residu fungsional, dan
volume residu. Pada pasien dengan emfisema, kapasitas difus menurun,
menggambarkan karakteristik penyakit berupa destruksi parenkim. Derajat
obstruksi aliran udara merupakan faktor prognostik penting pada PPOK dan
merupakan dasar untuk klasifikasi penyakit menurut GOLD. Baru-baru ini telah
menunjukkan bahwa indeks multifaktorial memasukkan obstruksi aliran udara,
latihan, dyspnea, dan indeks massa tubuh sebagai prediktor mortalitas yang lebih
baik daripada fungsi paru saja.
22
Walaupun analisa gas darah dan oksimetri tidak sensitif, mereka dapat
menunjukkan hipoksemia saat istirahat dan aktivitas. Analisa gas darah
memberikan informasi mengenai peredaran alveolus dan asam-basa dengan
mengukur PCO2 dan pH. Perubahan pada pH dengan PCO2 adalah 0,08 unit/10
mmHg akut dan 0,03 unit/10 mmHg kronis. Gagal ventilasi didefinisikan
PCO2>45 mmHg, kondisi akut atau kronis. Analisa gas darah merupakan
komponen penting untuk mengevaluasi gejala eksaserbasi. Peningkatan
hematokrit memberikan kesan adanya hipoksemia kronis, seperti tanda hipertrofi
ventrikel kanan.
Gambaran radiografi membantu dalam mengklasifikasi PPOK. Ternyata,
kurangnya parenkim atau hiperlusen memberi kesan adanya emfisema.
Meningkatnya volume paru dan diafragma datar memberi kesan hiperinflasi tapi
ttidak memberikan informasi mengenai kronisitas. Computed tomography (CT)
scan merupakan uji definitif membuktikan ada atau tidaknya emfisema (gambar
2.).2,4,5
Gambar 2. Computed tomography (CT) scan
23
Tabel 2 . Indikator Utama Mempertimbangkan Diagnosis PPOK
Mempertimbangkan PPOK, dan melakukan spirometri, jika semua indikator ada pada individu >40 tahun. Indikator ini meningkatkan kemungkinan diagnosis PPOK. Spirometri diperlukan untuk menegakkan diagnosis PPOK.
Dispnue : Progresif (memburuk setiap waktu)Secara karakteristik memburuk saat aktivitasPersisten
Batuk kronis : Mungkin intermiten dan mungkin tidak produktifProduksi sputum kronisRiwayat terpajan faktor resiko : Rokok
Asap dari dapur dan gasAsap dan bahan kimia ditempat kerja
Riwayat keluarga dengan PPOKSumber : Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Pocket Guide To COPD Diagnosis, Management, and Prevention; 2013
2.6 Diagnosis Banding 5
Tabel 3. Diagnosis banding PPOK
Diagnosis Bentuk KlinisPPOK Onset paruh baya
Gejala progresif lambatRiwayat merokok atau terpajan asap lainnya
Asma Onset dini (sering pada masa kanak-kanak)Gejala bervariasi dari hari ke hariGejala memburuk pada malam hari/dini hariAlergi, rhinitis, dan/atau ekzema juga adaRiwayat keluarga mengalami asma
Gagal jantung kongestif X-ray dada menunjukkan jantung berdilatasi, edema paruUji fungsi paru mengindikasikan restriksi volume, bukan keterbatasan aliran udara
Bronkiektasis Jumlah sputum purulen banyakPaling sering dihubungkan dengan infeksi bakteriX-ray dada/CT scan menunjukkan dilatasi bronkus atau penebalan dinding bronkus
Tuberkulosis Onset semua umurX-ray dada menunjukkan infiltrat pada paruPrevalensi TB lokal yang tinggiKonfirmasi dengan mikrobiologi
Obliterative bronchiolitis Onset usia muda dan bukan perokokRiwayat rematoid artritis atau terpapar asap
24
Nampak setelah transplantasi paru atau sumsum tulangCT Scan pada saat ekspirasi menunjukkan area hipodens.
Diffuse panbronchiolitis Sebagian besar nampak pada keturunan AsiaBanyak pada laki-laki dan bukan perokokHampir semua yang mengalami sinusitis kronisX-ray dada dan HCT menunjukkan opasitas bernodul kecil difusa di centrilobular dan hiperinflasi
Sumber : Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Pocket Guide To COPD Diagnosis, Management, and Prevention; 2013
2.7 Penilaian PPOK
Tujuan penilaian PPOK adalah untuk menentukan tingkat keparahan
penyakit. Hal ini berpengaruh pada status kesehatan pasien, dan resiko di masa
depan (eksaserbasi, rawat inap, kematian) agar mengendalikan terapi. Secara
terpisah, menilai aspek-aspek penyakit dibawah ini :
2.8.1 Gejala
Kuesioner yang sah seperti COPD Assessment Test (CAT), Modified British
Medical Research Council (MRC) Breathlessness Scale, atau Clinical COPD
Questionnaire (CCQ) yang harus digunakan untuk menilai gejala.5,9,10,11
Tabel 4. Modified British Medical Research Council (MRC) Breathlessness Scale
Skala Derajat Sesak Berkaitan dengan Aktivitas1 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat 2 Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik bukit kecil 3 Berjalan lebih lambat dari kebanyakan orang, berhenti setelah 1 mil,
atau berhenti setelah 15 menit berjalan.4 Berhenti untuk bernapas setelah berjalan sekitar 100 meter atau
setelah beberapa menit 5 Sangat sesak bila meninggalkan rumah atau ketika berpakaian atau
tidak berpakaian. Sumber : Fletcher CM, Elmes PC, Fairbairn MB et al. (1959) The significance of respiratory systems and the diagnosis of chronic bronchitis in a working population. British Medical Journal 2:257-66.
25
Tabel 5. COPD Assessment Test (CAT)Aku tidak pernah batuk
0 1 2 3 4 5 Aku batuk setiap saat
Aku tidak berdahak (mukus) di dada
0 1 2 3 4 5 Di dadaku penuh dahak (mukus)
Dadaku tidak terasa sempit
0 1 2 3 4 5 Dadaku terasa sangat sempit
Ketika aku naik ke sebuah bukit atau tangga 1 tingkat, aku tidak sesak
0 1 2 3 4 5 Ketika aku naik ke sebuah bukit atau tangga 1 tingkat, aku sangat sesak
Aku merasa tidak terbatas dalam melakukan aktivitas di rumah
0 1 2 3 4 5 Aku merasa sangat terbatas dalam melakukan aktivitas di rumah
Aku percaya diri meninggalkan rumahku disamping kondisi paru-paruku
0 1 2 3 4 5 Aku tidak percaya diri meninggalkan rumahku karena kondisi paru-paruku
Aku dapat tidur 0 1 2 3 4 5 Aku tidak dapat tidur karena kondisi paru-paruku
Aku memiliki banyak energi
0 1 2 3 4 5 Aku tidakmemiliki banyak energi
Sumber : P.W. Jones, G. Harding, P. Berry, I. Wiklund, W-H. Chen and N. Kline Leidy. Development and first validation of the COPD Assessment Test. Eur Respir J 2009, 34: 648–654.
Tabel6. Clinical COPD QuestionnaireMinggu yang lalu, berapa sering kamu merasakan:
Tidak pernah
Hampir tidak pernah
Jarang Beberapa menit
Banyak Sangat banyak
Hampir semua waktu
1.Sesak saat istirahat?
0 1 2 3 4 5 6
2.Sesak saat melakukan aktivitas fisik?
0 1 2 3 4 5 6
3.Gelisah karena kedinginan atau napas yang memburuk?
0 1 2 3 4 5 6
4.Murung karena masalah pernapasan?
0 1 2 3 4 5 6
26
5.Minggu yang lalu, berapa kali?
6.Apakah kamu batuk?
0 1 2 3 4 5 6
7.Apakah kamu berdahak?
0 1 2 3 4 5 6
8.Minggu yang lalu, bagaimana keterbatasan kamu dalam melakukan aktivitas ini karena masalah pernapasan kamu:
Tidak terbatas
Sangat sedikit terbatas
Sedikit terbatas
Terbatas sedang
Sangat terbatas
Ekstrim terbatas
Total terbatas
9.Aktivitas fsik berat (naik tangga, jalan tergesa-gesa, olahraga)?
0 1 2 3 4 5 6
10. Aktivitas fisik sedang (jalan, pekerjaan rumah, membawa sesuatu)?
0 1 2 3 4 5 6
11. Aktivitas sehari-hari di rumah (berpakaian, mandi)?
0 1 2 3 4 5 6
12. Aktivitas sosial (bicara, bersama dengan anak, mengunjungi teman/kerabat)?
0 1 2 3 4 5 6
Sumber : Van der Molen T, Juniper EF, Schokker S, ter Steege MDJ, Postma DS .How can wemeasure COPD Symptom Control? The development of a COPD Symptom Control Questionnaire. Am J Resp Crit Care Med 1999; 159:A832.
Pertanyaan Clinical COPD Questionnaire dibagi menjadi 3 domain :
Gejala : 1,2,5, dan 6
Fungsional : 7,8,9, dan 10
Mental : 3 dan 4
27
2.8.2 Derajat keterbatasan aliran udara (menggunakan spirometri)
Tabel 7. Klasifikasi Tingkat Keparahan Keterbatasan Aliran Udara pada PPOK (Berdasarkan FEV1 Post Bronkodilator)
Pada pasien dengan FEV1/FVC<0.70GOLD 1 Ringan FEV1≥80% terprediksiGOLD 2 Sedang 50%≤FEV1<80% terprediksiGOLD 3 Berat 30%≤FEV1<50% terprediksiGOLD 4 Sangat berat FEV1<30% terprediksi Sumber : Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Pocket Guide To COPD Diagnosis, Management, and Prevention; 2013
2.8.3 Resiko eksaserbasi
PPOK eksaserbasi adalah peristiwa akut yang dikarakteristikkan dengan
memburuknya gejala respirasi pasien dimana bervariasi melewati normal dari hari
ke hari dan menyebabkan perubahan terapi. Prediktor terbaik yang seringkali
eksaserbasi (2 atau lebih per tahun) adalah riwayat pengobatan sebelumnya;
resiko eksasebasi juga meningkat selama memburuknya keterbatasan aliran
udara.5
2.8.4 Komorbiditas
Penyakit kardiovaskular, osteoporosis, depresi dan cemas, disfungsi otot
rangka, sindrom metabolik, dan kanker paru diantara penyakit lainnya sering
terjadi pada pasien PPOK. Kondisi komorbiditas ini mempengaruhi mortalitas dan
rawat inap, dan harus diamati secara rutin dan diobati sewajarnya.5
Mengkombinasikan penilaian PPOK gunanya untuk memperbaiki managemen
PPOK,
Gejala
28
Gejalanya sedikit (mMRC 0-1 atau CAT<10) : pasien A atau C
Gejalanya banyak (mMRC≥2 atau CAT≥10) : pasien B atau D
Keterbatasn aliran udara
Resiko rendah (GOLD 1 atau 2) : pasien A atau B
Resiko tinggi (GOLD 3 atau 4) : : pasien C atau D
Eksaserbasi
Resiko rendah (≤1 per tahun) : pasien A atau B
Resiko tinggi (≥2 per tahun) : : pasien C atau D
Tabel 8. Kombinasi Penilaian PPOK
Pasien
KarakteristikKlasifikasi Spirometri
Eksaserbasi per tahun
mMRC CAT
A Resiko rendahGejalanya sedikit
GOLD 1-2 ≤1 0-1 <10
B Resiko rendahGejalanya banyak
GOLD 1-2 ≤1 ≥2 ≥10
C Resiko tinggiGejalanya sedikit
GOLD 3-4 ≥2 0-1 <10
D Resiko tinggiGejalanya banyak
GOLD 3-4 ≥2 ≥2 ≥10
Sumber : Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Pocket Guide To
C D
A B
≥2
1
0
4
3
2
1
mMRC 0-1
CAT <10
mMRC ≥2
CAT ≥10
Gejala
Skor mMRC atau CAT
Res
iko
Kla
sifi
kasi
kee
rbat
asan
ala
ian
u
dar
a
Resik
o
Riw
ayat eksaserbasi
29
COPD Diagnosis, Management, and Prevention; 2013
2.8 Pengobatan
2.8.1 Terapi Non Farmakologi PPOK
Berhenti merokok merupakan jumlah yang paling banyak mempengaruhi
riwayat PPOK. Para ahli kesehatan menganjurkan semua pasien untuk berhenti
merokok.5
Konseling yang disampaikan oleh dokter dan ahli kesehatan lainnya yang
secara signifikan meningkatkan angka penghentian dengan strategi yang lebih
diinisiasi oleh dirinya sendiri. Bahkan keterangan waktu konseling (3 menit)
mendorong perokok untuk berhenti menghasilkan angka berhenti merokok
sebesar 5-10%.
Terapi pengganti nikotin (permen karet nikotin, inhaler, alat semprot hidung,
transdermal patch, obat tablet dibawah lidah, atau obat batuk tablet) seperti
halnya farmakoterapi dengan vareniklin, bupropin, atau nortriptilin dapat
dipercaya meningkatkan angka pemantangan merokok jangka panjang dan
pengobatan ini secara signifikan lebih efektif daripada placebo.
Pencegahan merokok : menganjurkan polisi mengendalikan tembakau secara
komprehensif dan program pemberitahuan tidak merokok harus jelas, konsisten da
berulang kali. Bekerjasama dengan pemerintah dalam memperkenankan undang-
undang untuk mendirikan sekolah, fasilitas umum, dan lingkungan kerja bebas
rokok dan menganjukan pasien untuk menjaga rumah bebas rokok.
Terpajan polusi kerja : menegaskan pencegahan primer, dimana merupakan
pencapaian yang terbaik dengan mengeliminasi atau menurunkan terpajannya
substansi yang bermacam-macam di tempat kerja. Pencegahan sekunder, dicapai
melalui pengawasan dan deteksi dini, juga penting.
30
Polusi udara di dalam dan di luar ruangan: peralatan mengukur gunanya
menurunkan atau mencegah polusi udara di dalam ruangan dari bahan bakar
boimass untuk memasak dan pemanas di tempat tinggal yang berventilasi buruk.
Menyarankan pasien untuk memonitor publik dengan memberitahu kualitas udara
dan, tergantung tingkat keparahan penyakit, mencegah dengan giat latihan di luar
ruangan atau tinggal didalam ruangan selama episode polusi.
Aktivitas fisik : semua pasien PPO memperoleh manfaat dari aktivitas fisik teratur
dan harus berulang kali dianjurkan untuk tetap aktif.
2.8.2 Terapi Farmakologi PPOK5
1) Bronkodilator
Terapi inhalasi yang paling disukai
Pilihannya antara β2 agonis, antikolinergik, teofilin atau terapi kombinasi
tergantung pada tersedianya pengobatan dan setiap respon individu dalam
meringankan gejala dan efek samping.
Bronkodilator diberikan jika diperlukan atau dasarnya untuk mencegah
atau mengurangi gejala.
Bronkodilator inhalasi jangka panjang cocok dan lebih efektif
menringankan gejala daripada bronkodilator jangka pendek.
Bronkodilator inhalasi jangka panjang menurunkan eksaserbasi dan
berkaitan dengan rawat inap dan memperbaiki gejala dan status kesehatan,
tiotropium meningkatkan keefektifan rehabilitasi pulmoner
2) Kortikosteroid inhalasi
Pada PPOK dengan FEV1 <60% terprediksi, pengobatan teratur dengan
kortikosteroid inhalasi memperbaiki gejala, fungsi paru dan kualitas hidup, dan
menurunka frekuensi eksaserbasi. Terapi kortikoseroid inhalasi dihubungkan
31
dengan meningkatnya resiko pneumonia. Penarikan dari pengobatan dengan
kortikosteroid inhalasi menyebabkan eksaserbasi pada beberapa pasien.
Monoterapi jangka panjang dengan kortikosteroid inhalasi tidak
direkomendasikan.
3) Kombinasi kortikosteroid inhalasi/bronkodilator
Kortikosteroid inhalasi dikombinasikan dengan β2 agonis lebih efektif
dalam memperbaiki fungsi paru dan status kesehatan dan mengurangi eksaserbasi
pada PPOK sedang hingga sangat berat. Terapi kombinasi dihubungkan dengan
meningkatnya resiko pneumonia. β2 agonis jangka panjang/glukokortikosteroi
inhalasi ditambah tiotropium nampaknya memberikan manfaat tambahan.
4) Kortikosteroid oral
Pengobatan dengan kortikosteroid oral jangka panjang tidak
direkomendasikan.
5) Phosphodiesterase-4 inhibitor (PDE-4)
Pada GOLD 3 dan 4 dengan riwayat eksaserbasi dan bronkitis kronis,
PDE-4 roflumilast mengurangi eksaserbasi jika diterapi dengan kortikosteroid
oral. Efek ini juga terjadi jika roflumilast ditambahkan bronkodilator jangka
panjang; tidak ada studi yang membandingkan jika di beri dengan kortikosteriod
inhalasi.
6) Methylxanthine
Methylxanthine kurang efektif dan kurang ditoleransi daripada bronkodilator
inhalasi jangka panjang dan tidak direkomendasikan jika obat ini tersedia dan
dihasilkan. Ada bukti mengenai efek sederhana bronkodilator dan beberapa
manfaat simptomatis dari pengobatan ini dibandingkan dengan placebo pada
PPOK stabil. Teofilin ditambah salmeterol menyebabkan meningkatnya FEV1 dan
mengurangi sesak daripada hanya salmeterol saja. Teofilin dosis rendah
mengurangi eksaserbasi tapi tidak memperbaiki fungsi paru post bronkodilator.
32
7) Vaksinasi
Vaksinasi influenza dapat menurunkan penyakit berbahaya dan kematian pada
PPOK. Vaksinasi mengandung virus mati atau hidup, virus yang tidak aktif yang
direkomendasikan, harus diberikan setiap tahun. Pneumococcal polysaccharide
vaccine direkomendasikan untuk pasien PPOK berusia 65 tahun dan menunjukkan
berkurangnya community-acquired pneumonia (CAP) pada pasien berumur
dibawah 65 tahun dengan FEV1<40% terprediksi.
8) α-1 Antitrypsin Augmentation therapy
Tidak direkomendasikan pada pasien PPOK yang tidak dihubungan dengan
defisiensi α-1 Antitrypsin
9) Antibiotik
Tidak direkomendasikan kecuali untuk pengobatan eksaserbasi akibat infeksi
dan infeksi bakteri lainnya.
Tabel 9. Formulasi dan Dosis Pengobatan PPOK
ObatInhalasi (mcg)
Larutan untuk
Nebulizer (mg/ml)
Oral
Vial untuk injeksi (mg)
Lama kerja (jam)
β2 agonisJangka pendek
Fenoterol 100-200 (MDI)
1 0,05% (sirup)
4-6
Levolbuterol 45-90 (MDI)
0,21-0,42 6-8
Salbutamol (abluterol)
100,200 (MDI&DPI)
5 5mg(pil), 0,024% (sirup)
0,1-0,5 4-6
Terbutalin 400,500 (DPI)
0,0 12
Jangka panjangFormoterol 4,5-12
(MDI&DPI)0,01 12
Arfrmoterol 0,0075 12
33
Indacaterol 75-300 (DPI)
24
Salmeterol 25-50 (MDI&DPI)
12
Tulobuterol 2 mg (transdermal)
24
AntikolinergikJangka Pendek
Ipratropium bromide
20,40 (MDI)
0,24-0,5 6-8
Oxitropium bromide
100 (MDI) 1,5 7-9
Jangka PanjangAclidinium bromide
322 (DPI) 12
Glyopyrronnium bromide
44 (DPI) 24
Tiotropium 18 (DPI), 5 (SMI)
24
Kombinasi β2 agonis jangka pendek dan antikolinergik (salah satu inhalasi)Fenoterol/ Ipratropium
200/80 (MDI)
1,25/0,5 6-8
Salbutamol/ Ipratropium
75/15 (MDI)
0,75/0,5 12 6-8
MethylxanthineAminofilin 200-600mg
(Pil)240 Variasi,
hingga 24
Teofilin 100-600 mg (Pil)
Variasi, hingga 24
Kortikosteroid inhalasiBedometason 50-400
(MDI&DPI)0,2-0,4
Budesonide 100,200,400 (DPI)
0,2;0,25; 0,5
Fluticasone 50-500 (MDI&DPI)
Kombinasi β2 agonis jangka panjang dan kortikosteroid (salah satu inhalasi)Formeterol/ Budesonide
4,5/160 (MDI)9/320 (DPI)
Formeterol/ Mometasone
10/200, 10/400
34
(MDI)Salmeterol/ Fluticasone
50/100, 250, 500 (DPI)25/50, 125, 250 (MDI)
Kortikosteroid sistemikPrednison 5-60mg (Pil)Metilprednisolon 4,8,16mg
(Pil)PhosphodiesteraseRoflumilast 500mcg (Pil) 24MDI : metered dose inhaler, DPI :dry powder inhaler, SMI : soft mist inhalerSumber : Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Pocket Guide To COPD Diagnosis, Management, and Prevention; 2013
10) Mukolitik
Mukolitik (contoh carbocysteine) bermanfaat jika diberi pada pasien
dengan sputum yang kental, tapi secara keseluruhan manfaatnya sangat sedikit.
11) Antitusif
Tidak direkomendasikan
12) Vasodilator
Nitric oxide kontraindikasi pada PPOK stabil. Penggunaan endothelium-
modulating agent untuk pengobatan hipertensi pulmoner yag dihubungkan degan
PPOK tidak direkomendasikan.
2.8.3 Pengobatan Lainnya5
1) Rehabilitasi
Program pelatihan aktivitas bermanfaat pada semua tingkatan PPOK,
memperbaiki toleransi terhadap aktivitas dan gejala sesak dan kelelahan. Manfaat
terus menerus terjadi bahkan setelah program rehabilitasi pulmoner pertama.
35
Lama minimum yang efektif dari program rehabilitasi adalah 16 minggu; lebih
lama, terus menerus, hasilnya lebih efektif. Manfaat nyaberkurang setelah
program rehabilitasi berakhir, tapi jika program pelatihan aktivitas dipertahankan
dirumah, status kesehatan masih diatas angka pre-rehabilitasi.
2) Terapi Oksigen
Pemberian oksigen jangka panjang (>15 jam/hari) pada pasien dengan gagal
napas kronis menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup padan pasien
penyakit berat, hipoxemia saat istirahat. Terapi oksigen jangka panjang
diindikasikan untuk pasien yang mengalami :
PaCO2≤7,3 kPa (55mmHg) atau SaO2≤88% dengan atau tanpa hiperkapnia
yang dikonfirmasi 2 kali >3 tahun; atau
PaCO2 antara 7,3 kPa (55mmHg) dan 8 kPa (60mmHg), atau SaO2 88%, jika
ada bukti hipertensi pulmoner, edema perifer yang memberi kesan adanya
gagal jantung kongestif, atau polisitemia (hematokrit >55%)
3) Ventilasi
Kombinasi ventilasi non invasif dengan terapi oksgen jangka panjang
mungkin bermanfaat pada beberapa pasien, terutama pada pasien hiperkapni. Hal
itu mungkin memperbaiki kelangsungan hidup tapi tidak memperbaiki kualitas
hidup.
2.8.4 Managemen PPOK stabil5
PPOK yang pernah terdiagnosis, managemen efektif harus didasarkan pada
penilaian gejala sekarang dan resiko di masa depan :
Mengurangi gejala
Memperbaiki toleransi terhadap aktivitas Mengurangi Gejala
36
Memperbaiki status kesehatan
Mencegah progresifitas penyakit
Mencegah dan mengobati eksaserbasi
Menurunkan mortilitas
2.8.4.1 Mangemen Non Farmakologi PPOK stabil5
Tabel 10. Managemen Non Farmakologi PPOK stabil
Grup Utama RekomendasiTergantung pada Pedoman Lokal
A Berhenti merokok (dapat termasuk terapi farmakologi)
Aktivitas fisik Vaksinasi fluVaksinasi pneumokokus
B,C,D Berhenti merokok (dapat termasuk terapi farmakologi)Rehabilitasi pulmoner
Aktivitas fisik Vaksinasi fluVaksinasi pneumokokus
Sumber : Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Pocket Guide To COPD Diagnosis, Management, and Prevention; 2013
2.8.4.2 Managemen Farmakologi PPOK stabil5
Tabel 11. Managemen Farmakologi PPOK stabilGrou
pPilihan utama yang
direkomendasiPilihan Alternatif
Pengobatan mungkin lainnya
A SA antikolinergik prnAtauSA β2 agonis prn
LA antikolinergikAtauLA β2 agonisAtauSA β2 agonisSA antikolinergik
Therapyline
B LA antikolinergikAtauLA β2 agonis
LA antikolinergik dan LA β2 agonis
SA β2 agonis dan / atau SA antikolinergikTherapyline
C ICS + LA β2 agonis AtauLA antikolinergik
LA antikolinergik dan LA β2 agonisAtauLA antikolinergik dan
SA β2 agonis dan / atau SA antikolinergikTherapyline
Mengurangi resiko
37
PDE-4 inhibitorAtauLA β2 agonis dan PDE-4 inhibitor
D ICS + LA β2 agonis Dan / atauLA antikolinergik
ICS + LA β2 agonis dan LA antikolinergikAtau ICS + LA β2 agonis dan PDE-4 inhibitorAtau LA antikolinergik dan LA β2 agonisAtauLA antikolinergik dan PDE-4 inhibitor
CarbocysteineSA β2 agonis dan / atau SA antikolinergikTherapyline
SA : jangka pendek, LA : jangka panjang, ICS : Kortikosteriod inhalasi, PDE-4 : fosfodiesterase -4, Prn : jika perlu.Sumber : Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Pocket Guide To COPD Diagnosis, Management, and Prevention; 2013
2.8.5 Managemen eksaserbasi
PPOK eksaserbasi adalah adalah peristiwa akut yang dikarakteristikkan
dengan memburuknya gejala respirasi pasien dimana bervariasi melewati normal
dari hari ke hari dan menyebabkan perubahan terapi.5
PPOK dikatakan eksaserbasi atau serangan akut (serangan dadakan) apabila
gejala menununjukkan fase perburukan dimana keluhan sesak napas bertambah
berat walaupun diberi obat yang lazim dipergunakan sehari-hari dapat menolong,
dahak semakin banyak, kekuningan bahkan sampai kehijauan. 4
Penyebab yang paling utama nampaknya adalah infeksi saluran napas (virus
aau bakteri).
Bagaimana menilai tingkat keparahan eksaserbasi :
Analisis gas darah : PaO2<8 kPa (60mmHg) dengan atau tanpa PaCO2>6,7
kPa (50mmHg) mengindikasikan gagal napas
Radiografi dada berguna untuk diagnosis alternatif
38
EKG bertujuan dalam mendiagnosis masalah jantung
Laboratorium lainnya :
Whole blood count dapat mengidentifikasi adanya polisitemia atau perdarahan
Sputum purulen selama eksaserbasi cukup mengindikasikan untuk memulai
pengobatan antibiotik yang empiris.
Kimia darah dapat membantu mendeteksi adanya gangguan elektrolit, diabetes
dan nutrisi yang buruk.
Uji spirometri tidak dapat direkomendasikan selama eksaserbasi karena mereka
sulit dilakukan dan diukur, menunjukkan tidak cukup akurat.
2.8.5.1 Pengobatan lainnya
1) Oksigen
Pemberian oksigen harus dititrasi untuk memperbaiki hipoksemia dengan
target saturasi 88-92%.
2) Bronkodilator
β2-agonis jangka pendek inhalasi dengan atau tanpa antikolinergik jangka
pendek adalah bronkodilator yang lebih disukai untuk pengobata eksaserbasi
3) Kortikosteroid sistemik
Kortikosteroid sistemik memilik waktu pemulihan yang singkat, memperbaiki
fungsi paru (FEV1) dan hipoksemi arterial (PaCO2)dan menurunkan resiko
kambuh lebih awal, pengobatan yang gagal, dan lama tinggal di rumah sakit.
Dosis rekomendasi prednisolon 30-40mg/hari selama 10-14 hari.
4) Antibiotik
Diberikan pada pasien :
39
Dengan 3 gejala kardinal : meningkatnya dispnu, meningkatnya volume
sputum, meningkatnya sputum purulen
Dengan meningkatnya sputum purulen dan gejala kardinal lainnnya
Yang memerlukan ventilasi mekanis
5) Terapi tambahan
Tergantung pada kondisi klinis pasien, balans cairan sebagai perhatian khusus
terhadap pemberian diuretik, antikoagulan, pengobatan komorbiditas, nutrisi
harusdipertimbangkan.
Tabel 12. Indikasi penilaian atau rawat inap di rumah sakit Ditandai dengan meningkatnya intensitas gejala PPOK berat Onset baru Eksaserbasi yang gagal respon terhadap managemen Terdapat komorbiditas yang berbahaya Sering eksaserbasi Usia tua Alat bantu di rumah tidak memadaiSumber : Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Pocket Guide To COPD Diagnosis, Management, and Prevention; 2013
2.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal
napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal
napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg
dan PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas
kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum
bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK
produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini
memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas
tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
40
Adanya kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %,
dan dapat disertai gagal jantung kanan.4
2.10 Prognosis
Beberapa pasien mungkin hidup lebih lama dengan eksaserbasi, namun tetap
dengan bantuan dari ventilasi mekanik sebelum meninggal akibat penyakit ini.
Banyak kematian dari PPOK disebabkan oleh komplikasi sistem pernapasan,
berhubungan dengan kondisi lain yang sebenarnya memiliki angka kematian yang
rendah apabila tidak terjadi bersamaan dengan PPOK.
PPOK sering berdampingan dengan penyakit lain (komorbiditas) yang
mempengaruhi prognosis, seperti halnya osteoporosis dan kecemasan/depresi
merupakan komorbiditas utama PPOK yang dihubungkan dengan status kesehatan
dan prognosis yang buruk. Kanker paru sering namapk pada pasien dengan PPOK
dan ditemukan lebih sering menyebabkan kematian pada PPOK ringan.5
41
BAB III
KESIMPULAN
PPOK adalah penyakit yang pada umumnya dapat dicegah dan diobati,
ditandai dengan adanya hambatan aliran udara yang terus-menerus biasanya
progresif dan berhubungan dengan meningkatnya respon saluran napas terhadap
inflamasi kronis.5 Etiologi PPOK terdiri dari merokok, infeksi saluran napas,
terpajan polusi di tempat kerja, polusi lingkungan, terpajan rokok, pasif, atau
secara tidak langsung serta genetik. Kelainan struktur jaringan berkaitan erat
dengan respons inflamasi ditimbulkan oleh paparan partikel atau gas beracun,
tetapi dinyatakan faktor utama dan paling dominan ialah asap rokok dibanding
yang lain.7 PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya.4 Bronkitis kronis didefenisikan sebagai batuk produktif persisten
selama paling sedikit 3 bulan berturut-turut pada paling sedikit 2 tahun berturut-
turut. Sedangkan emfisema ditandai dengan adanya pembesaran permanen rongga
udara yang terletak distal dari bronkiolus terminal disertai destruksi dinding
rongga tersebut.8 indikator utama mempertimbangkan diagnosis PPOK adalah
dispnue yang progresif (memburuk setiap waktu), memburuk saat aktivitas, dan
persisten, batuk kronis mungkin intermiten dan mungkin tidak produktif, produksi
sputum kronis, riwayat terpajan faktor resiko seperti rokok, asap dari dapur, gas
dan bahan kimia ditempat kerja, serta riwayat keluarga dengan PPOK. Indikator
ini meningkatkan kemungkinan diagnosis PPOK. Spirometri diperlukan untuk
menegakkan diagnosis PPOK. Pasien dengan PPOK dapat diberikan terapi non
farmakologi dan farmakologi. Semua pasien PPOK dengan sesah napas saat
berjalan menunjukkan terdapat manfaat bila di rehabilitasi dan memelihara
aktivitas fisik.Terapi farmakologi dapat menurunkan gejala PPOK, menurunkan
frekuensi dan tingkat keparahan eksaserbasi, da memperbaiki status kesehtan dan
42
toleransi latihan seperti bronkodilator, kotikosteroid inhalasi ,kortikosteroid oral,
phosphodiesterase-4 inhibitor (PDE-4), dan methylxanthine. 5 Beberapa pasien
mungkin hidup lebih lama dengan eksaserbasi, namun tetap dengan bantuan dari
ventilasi mekanik sebelum meninggal akibat penyakit ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Celli, Bartolome R. Update on the Management of COPD. United States of
America: American College of Chest Physicians; 2008; p1451-1462
2. Fauci, Anthony S, et al. Chronic Obstructive Pulmonary Disease in
Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition. United States of
America: The McGraw-Hill Companies; 2008; Chapter 254.
3. Soemantri S, Budiarso RL, Suhardi, Sarimawar, Bachroen C. Survei kesehatan
rumah tangga (SKRT). Jakarta: Depkes RI; 1995.96-125
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). PPOK (Penyakit Paru Obstruksi
Kronik), pedoman praktis diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia; 2003.
5. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Pocket
Guide To COPD Diagnosis, Management, and Prevention; 2013
6. Suradi. Pengaruh Rokok Pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
Tinjauan Patogenesis, Klinis Dan Sosial. Surakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta; 2007
7. Russell Richard E.K., Culpitt Sarah V., DeMatos Carmen., Donnelly Louise.,
Smith Michael., Wiggins John., Barnes Peter J. 2002. Release and Activity of
Matrix Metalloproteinase-9 and Tissue Inhibitor of Metalloproteinase-1 by
Alveolar Macrophages from Patients with Chronic Obtructive Pulmonary
Disease. Am.J.Respir.Cell.Mol.Biol; 26 : 602-609.
8. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi. 7 nd ed. Jakarta : EGC,
2007.
9. Fletcher CM, Elmes PC, Fairbairn MB et al. (1959) The significance of
respiratory systems and the diagnosis of chronic bronchitis in a working
population. British Medical Journal 2:257-66.
43
10. P.W. Jones, G. Harding, P. Berry, I. Wiklund, W-H. Chen and N. Kline Leidy.
Development and first validation of the COPD Assessment Test. Eur Respir J
2009, 34: 648–654.
11. Van der Molen T, Juniper EF, Schokker S, ter Steege MDJ, Postma DS .How
can we measure COPD Symptom Control? The development of a COPD
Symptom Control Questionnaire. Am J Resp Crit Care Med 1999; 159:A832.