8/10/2019 SKENARIO 3 THT
1/51
1
LAPORAN TUTORIAL BLOK THT
SKENARIO 3
KELOMPOK B5
Muhammad Hilmy L G0012136
RosiDwiMulyono G0012194
PurnomoAndimas E G0012166Ariyadi Budi Setyoaji G0012028
FarisBudiyanto G0012074
RisnaAnnisa M G0012188
ItsnaUlinNuha G0012098
DenaliaAurika G0012054
RadenRoroAnindya P G0012170KhilyatUlinNur Z. G0012108
Emillya Sari G0012070
ShintaRetno W. G0012210
Tutor : Murkati dr., M.Kes.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
2/51
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Rongga mulut, rongga hidung, dan tenggorokan merupakan ruangan
dalam tengkorak yang saling terhubung satu sama lain, sehingga dalam
keadaan patologis pada salah satu ruangan pun bisa berhubungan dengan
ruangan yang lainnya serta menimbulkan gejala yang saling berhubungan satu
sama lain. Daerah tenggorokan terbagi menjadi dua bagian, yaitu pharynx dan
larynx. Pharynx sendiri dibagi menjadi tiga bagian, yaitu nasopharynx,
oropharynx, dan laryngopharynx. Penyakit yang terjadi di daerah tenggorokan
biasanya memiliki keluhan dan gejala yang hampir sama. Oleh karena itu,
diagnosis banding penyakit pada daerah tenggorokan merupakan sesuatu yang
vital untuk dibahas. Berikut skenario yang menunjang pembahasan tentang
daerah tenggorokan dan kelainan-kelainannya :
Anakku mengeluh tenggoroknya ser ing sakit
Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun bersama ibunya datang ke
poliklinik THT, dengan keluhan sudah 2 hari tidak mau makan, karena sakit
untuk menelan. Badan demam disertai suara serak. Keluhan yang sama
sering dirasakan sejak usia 3 tahun, dan pasien kalau tidur mengorok, tetapi
riwayat sesak nafas disangkal. Pasien juga mempunyai riwayat sering batuk
pilek.
Pada pemeriksaan pharing didapatkan : Mukosa pharing terdapat
granuloma dan hiperemi, tonsil hipertrofi dan terdapat detritus, plika vokalis
oedema dan hiperemis. Pemeriksaan Laboratorium didapatkan ASTO : (+)
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
3/51
3
B. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah membahas skenario ke ini, diharapkan mahasiswa mampu :
1. Menjelaskan anatomi, histologi, dan fisiologi daerah tenggorokan
2. Menjelaskan fisiologi menelan dan bersuara
3. Menjelaskan patofisiologi dari manifestasi klinis yang diderita pasien pada
skenario ini
4. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit pada daerah
tenggorokan
5. Mengetahui diagnosis banding (differential diagnosis) penyakit pada
daerah tenggorokan
6. Menjelaskan penatalaksanaan (pengobatan, edukasi) penyakit pada organ
daerah tenggorokan
7. Menjelaskan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang
dibutuhkan
.
C. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah anatomi,histologi dan fisiologi daerah tenggorokan
(larynx, pharynx) ?
2. Bagaimana fisiologi menelan dan bersuara?
3. Bagaimana patofisiologi dari manifestasi klinis yang diderita pasien (
sakit menelan, badan demam, suara serak ) ?
4. Bagaimana hubungan riwayat penyakit dahulu (sering batuk pilek)
dengan penyakit yang sekarang?
5. Bagaimana hubungan antara keluhan satu dengan keluhan yang lainnya?
6.
Bagaimana hubungan keluhan dengan usia pasien?
7. Bagaimana interpretasi hasil dari pemeriksaan pharing dan laboratorium
dalam skenario?
8. Apa pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan oleh pasien?
9. Apa saja diagnosis banding penyakit pada skenario ini?
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
4/51
4
10. Bagaimana penatalaksanaan yang harus diberikan kepada pasien pada
skenario ini?
11. Bagaimana prognosis dan komplikasi penyakit dalam skenario?
12. Bagaimana edukasi yang harus diberikan?
D. HIPOTESIS
Berdasarkan skenario tersebut, dapat diambil sebuah hipotesis bahwa
pasien menderita tonsillitis bakterial.
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
5/51
5
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
JUMP I : Klarifikasi Istilah
1. Odinofagia
Merupakan nyeri pada daerah orofaring serta esophagus. Keluhan sering
terjadi karena kehilangan berat badan yang tidak disengaja,
makanan/minuman yang hangat, obat-obatan, ulkus, serta kerusakan
mukosa.
2. Suara serak
Istilah yang menggambarkan gangguan pembentukan suara ketika penderita
berbicara; suara dapat melemah, mendesir, mengaung, dan kualitas suara
dapat berubah.
3. Mengorok
Adalah getaran yang muncul pada organ respiratoria dan plica vocalis
dikarenakan obstruksi aliran udara untuk bernapas ketika tidur, merupakan
tanda-tanda dari obstructive sleep apnea.
4. Mukosa granuloma dan hiperemia
Granuloma merupakan agregasi makrofag pada daerah mukosa sebagai
tanggap dari sistem imun terhadap zat-zat asing yang masuk ke dalam
mukosa (antigen). Sedangkan hiperemia sendiri merupakan peningkatan
aliran darah ke dalam jaringan mukus akibat perubahan metabolit dan/atau
pengaruh tekanan di sekitarnya.
5.
Tonsil hipertrofi
Merupakan peningkatan volume jaringan limfoid (tonsil) dikarenakan
pembesaran komponen organ.
6. Detritus
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
6/51
6
Merupakan kumpulan sel-sel polimorfonuklear, sisa-sisa makanan, serta
bakteri yang telah mati.
7. Oedema plica vocalis
Merupakan pengumpulan cairan tubuh secara abnormal pada interstisium
yang terjadi tepatnya di plica vocalis.
8. ASTO (Antistreptolisin-O)
Adalah tes darah yang berrtujuan untuk mengetahui dan mengukur antibodi
terhadap streptolisin O, zat yang dihasilkan oleh bakteri Streptococcus -
hemolyticus grup A.
JUMP 2 : Mengajukan masalah
1. Mengapa pasien mengeluh sakit saat menelan?
2. Adakah hubungan antara suara serak dengan sakit menelan?
3. Adakah hubungan pasien demam serta keluhan?
4. Mengapa pasien mengorok dengan sangkalan sesak napas?
5. Bagaimanakah hubungan antara batuk dan pilek dengan keluhan (sakit menelan
dan sulit makan)?
6. Mengapa plica vocalis oedema?
7. Bagaimanakah interpretasi pemeriksaan faring dan laboratorium?
8. Bagaimanakah terapi dari keluhan?
9. Bagaimanakah hubungan antara keluhan dengan usia?
10.Apa saja pemeriksaan penunjangnya?
11.Bagaimana diagnosis bandingnya?
12.
Apa saja komplikasinya dan prognosisnya?
13.Apa yang menyebabkan keluhan terus berulang?
14.Bagaimanakah hubungan mengorok dengan sakit menelan?
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
7/51
7
JUMP 3 : Menganalisis Permasalahan dan Membuat Pernyataan
Sementara atas Permasalahan
1. ANATOMI FARING, LARING, SERTA TONSIL
1. Anatomi Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang
besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian anterior
kolum vertebra. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke
esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan
rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui
ismus
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
8/51
8
Gambar 1. Anatomi Faring Atlas of Human Anatomy 4thEdition
fausium, sedangkan laring di sebelah bawah berhubungan melalui aditus laring dan
ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada
orang dewasa kurang lebih 14 cm, bagian ini merupakan bagian dinding faring yang
terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia
faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal
Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur
faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa blanket) dan otot.
Faring terdiri atas :
A.Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah
adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah
vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat
dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding
lateral faring dengan resesus faring yang disebut fossa Rosenmuller, kantong Rathke,
yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu
refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen
jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus dan n.asesorius spinal saraf cranial
dan v.jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara
tuba Eustachius.
B. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole,
batas bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke
belakang adalah vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah
dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan
posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
9/51
9
C. Laringofaring (Hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas
anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra
servikal. Struktur pertama yang tampak di bawah lidah ialah valekula. Bagian ini
merupakan dua cengkungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial
dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga kantong
pil (pill pockets) sebab pada beberapa orang, kadangkadang bila menelan pil akan
tersangkut di situ. Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini
berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang
kadang bentuk infantile (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam
perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya. Epiglotis
berfungsi juga untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus
makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.
Ruang Faringal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinis
mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Ruang
retrofaring ( Retropharyngeal space), dinding anterior ruang ini adalah dinding
belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot otot
faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Ruang ini mulai
dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis.
Serat serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra. Di sebelah
lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila.
Ruang parafaring (Pharyngomaxillary Fossa), ruang ini berbentuk kerucut
dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan
puncaknya pada kornu mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m.
konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asenden mandibula yang
melekat dengan m. pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini
dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan otot yang
melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
10/51
10
dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa
bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. Bagian yang lebih sempit di
bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis interna, v. jugularis interna, n. vagus
yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheath).
Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh sesuatu lapisan fasia yang tipis .
2. Anatomi Laring
Gambar 1. Anatomi Laring Atlas of Human Anatomy 4thEdition
Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan
suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi vertebra
cervicalis IV VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi.
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
11/51
11
Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang
menelan makanan. Lokasi laring dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi
dimana didapatkannya kartilago tiroid yang pada pria dewasa lebih menonjol kedepan
dan disebut Prominensia Laringatau disebut juga Adams apple atau jakun.Batas-
batas laring berupa sebelah kranial terdapat aditus laringeus yang berhubungan
dengan hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior kartilago krikoid dan
berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan dari vertebra cervicalis
oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum laringofaring serta disebelah anterior
ditutupi oleh fascia, jaringan lemak, dan kulit. Sedangkan di sebelah lateral ditutupi
oleh otot-otot sternokleidomastoideus, infrahyoid dan lobus kelenjar tiroid. Laring
berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago tiroid di sebelah atas
dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. os hyoid dihubungkan dengan laring
oleh membrana tiroidea. Tulang ini merupakan tempat melekatnya otot-otot dan
ligamenta serta akan mengalami osifikasi sempurna pada usia 2 tahun.Secara
keseluruhan laring dibentuk oleh sejumlah kartilago, ligamentum dan otot-otot.
A. . KARTILAGO.
Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu :
a. Kelompok kartilago mayor, terdiri dari :
kartilago tiroidea, 1 buah
kartilago krikoidea, 1 buah
kartilago aritenoidea, 2 buah
b. Kartilago minor, terdiri dari :
kartilago kornikulata santorini, 2 buah
kartilago kuneiforme wrisberg, 2 buah
kartilago epiglotis, 1 buah
B. LIGAMENTUM DAN MEMBRANA
Ligamentum dan membran laring terbagi atas 2 grup, yaitu
a. Ligamentum ekstrinsik, terdiri dari :
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
12/51
12
Membran tirohioid
Ligamentum tirohioid
Ligamentum tiroepiglotis
Ligamentum hioepiglotis
Ligamentum krikotrakeal
b. Ligamentum intrinsik, terdiri dari :
Membran quadrangularis
Ligamentum vestibular
Konus elastikus
Ligamentum krikotiroid media
Ligamentum vokalis
Membrana laring dari posterior (Kartilago Ariteoid kanan digeser ke lateral)
C. OTOT - OTOT
Otototot laring terbagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu otot-otot
ekstrinsik dan otot-otot intrinsik yang masing-masing mempunyai fungsi yang
berbeda.
a.
Otot-otot ekstrinsik.
Otot-otot ini menghubungkan laring dengan struktur disekitarnya. Kelompok
otot ini menggerakkan laring secara keseluruhan.
Terbagi atas :
1. Otot-otot suprahioid / otot-otot elevator laring, yaitu :
- M. stilohioideus - M. milohioideus
- M. geniohioideus - M. digastrikus
- M. genioglosus - M. hioglosus2. Otot-otot infrahioid / otot-otot depresor laring, yaitu :
- M. omohioideus
- M. sternokleidomastoideus
- M. tirohioideus
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
13/51
13
Kelompok otot-otot depresor dipersarafi oleh ansa hipoglossus C2 dan C3 dan
penting untuk proses menelan (deglutisi) dan pembentukan suara (fonasi). Muskulus
konstriktor faringeus medius termasuk dalam kelompok ini dan melekat pada linea
oblikus kartilago tiroidea. Otot-otot ini penting pada proses deglutisi.
b. Otot-otot intrinsik
Menghubungkan kartilago satu dengan yang lainnya. Berfungsi
menggerakkan struktur yang ada di dalam laring terutama untuk membentuk suara
dan bernafas. Otot-otot pada kelompok ini berpasangan kecuali m. interaritenoideus
yang serabutnya berjalan transversal dan oblik. Fungsi otot ini dalam proses
pembentukkan suara, proses menelan dan berbafas. Bila m. interaritenoideus
berkontraksi, maka otot ini akan bersatu di garis tengah sehingga menyebabkan
adduksi pita suara. Yang termasuk dalam kelompok otot intrinsik adalah :
1. Otot-otot adduktor :
Mm. interaritenoidei transversales dan oblikui
M. krikotiroideus
M. krikotiroideus lateral.
Berfungsi untuk menutup pita suara.2. Otot-otot abduktor :
M. krikoaritenoideus posterior
Berfungsi untuk membuka pita suara.
3. Otot-otot tensor :
Tensor Internus : M. tiroaritenoideus dan M. vokalis
Tensor Eksternus : M. krikotiroideus
Mempunyai fungsi untuk menegangkan pita suara. Pada orang tua, m. tensor
internus kehilangan sebagian tonusnya sehingga pita suara melengkung ke lateral
mengakibatkan suara menjadi lemah dan serak.
3. Anatomi tonsil
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
14/51
14
Tonsil dan adenoid merupakan bagian terpenting cincin waldeyer dari jaringan
limfoid yang mengelilingi faring. Tonsil terletak dalam sinus tonsilaris diantara pilar
anterior dan posterior faussium. Tonsil faussium terdapat satu buah pada tiap sisi
orofaring adalah jaringan limfoid yang dibungkus oleh kapsul fibrosa yang jelas.
Permukaan sebelah dalam tertutup oleh membran epitel skuamosa berlapis yang
sangat melekat. Epitel ini meluas kedalam kripta yang membuka kepermukaan tonsil.
Kripta pada tonsil berjumlah 8-20, biasa tubular dan hampir selalu memanjang dari
dalam tonsil sampai kekapsul pada permukaan luarnya.Bagian luar tonsil terikat pada
m.konstriktor faringeus superior, sehingga tertekan setiap kali menelan. m.
palatoglusus dan m. palatofaring juga menekan tonsil. Selama masa embrio, tonsil
terbentuk dari kantong pharyngeal kedua sebegai tunas dari sel endodermal.
Singkatnya setelah lahir, tonsil tumbuh secara irregular dan sampai mencapai ukuran
dan bentuk, tergantung dari jumlah adanya jaringan limphoid.
Struktur di sekitar tonsil:
1. Anterior : pada bagian anterior tonsilla palatina terdapat arcus palatoglossus,
dapat meluas dibawahnya untuk jarak pendek.
2. Posterior : di posterior terdapat arcus palatopharyngeus.
3. Superior : di bagian superior terapat palatum molle. Disini tonsilla bergabung
dengan jaringan limfoid pada permukaan bawah palatum molle.
4. Inferior : di inferior merupakan sepertiga posterior lidah. Di sini, tonsilla
palatina menyatu dengan tonsilla lingualis.
5. Medial : di bagian medial merupakan ruang oropharynx.
6. Lateral : di sebelah lateral terdapat capsula yang dipisahkan dari m.constristor
pharyngis superior oleh jaringan areolar longgar.
V. palatina externa berjalan turun dari palatum molle dalam jaringan ikat longgar
ini, untuk bergabung dengan pleksus venosus pharyngeus. Lateral terhadap
m.constrictor pharynges superior terdapat m. styloglossus dan lengkung a.facialis. A.
Carotis interna terletak 2,5 cm di belakang dan lateral tonsilla. Tonsilla palatina
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
15/51
15
mendapat vascularisasi dari : ramus tonsillaris yang merupakan cabang dari arteri
facialis; cabang-cabang a. Lingualis; a. Palatina ascendens; a. Pharyngea ascendens.
Sedangkan innervasinya, diperoleh dari N. Glossopharyngeus dan nervus
palatinus minor. Pembuluh limfe masuk dalam nl. Cervicales profundi. Nodus paling
penting pada kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus, yang terletak di bawah
dan belakangangulus mandibulae.Tonsila disusun oleh jaringan limfoid yang meliputi
epitel skuamosa yang berisi beberapa kripta. Celah di atas tonsila merupakan sisa
darin endodermal muara arkus bronkial kedua, di mana fistula bronkial/ sinus internal
bermuara.. Di dalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kelenjar limfa
yang mengandung banyak kelenjar limfoid dan merupakan pertahanan terhadap
infeksi. Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi epitel respiratory.
Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring
yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual.Tonsil
merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B membentuk
kira-kira 50-60 % dari limfosit tonsilar. Limfosit T pada tonsil 40 % dan 3 % lagi
adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di pusat germinal.
Imunoglobulin G, A, M, D, komplemen-komplemen, interferon, losozim dan sitokin
berakumulasi di jaringan tonsilar.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk differensiasi
dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi yaitu :
menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ utama
produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.
2. HISTOLOGI
Bentuk mukosa faring brevariasi, tergantung pada letaknya (Soepardi, 2014).
Pada nasofaring karena dekat dengan saluran respirasi, maka mukosanya bersilia dan
epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian orofaring dan
laringofaring, epitelnya skuamous kompleks non kornifikasi dan tidak bersilia karena
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
16/51
16
termasuk saluran pencernaan. Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel
jaringan limfoid.
Sedangkan pada laring didapatkan variasi bentuk epitel karena letaknya
(Isdaryanto, 2014). Pada epiglottis pars lingualis, epitelnya skuamous kompleks non
kornifikasi. Pada pars pharingeal yang menyusun adalah epitel respirasi, yaitu
pseudokompleks kolumner. Lalu, terkadang didapatkan epitel kolumner kompleks
pada area transisi antara pars lingualis dan pharingeal. Limfosit dan nodus limfatikus
banyak terdapat pada ventriculus laryngis.
Berbagai kartilago menyusun struktur laring. Cartilago hialin menyusun
cartilago thyroidea, cricoidea, dan arytenoidea. Sedangkan cartilago elastis menyusun
cartilago epiglottica.
3. FISIOLOGI
Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi
disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut :
a. Fungsi Fonasi.
Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara
dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi
antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan
udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi
seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada
dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik
laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nadadengan mengubah bentuk
dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita suara sejati. Ada 2 teori yang
mengemukakan bagaimana suara terbentuk :
Teori MyoelastikAerodinamik:
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
17/51
17
Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak
langsung menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-otot laring
akan memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi) dan
menegangkan plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-otot pernafasan dan
tekanan pasif dari proses pernafasan akan menyebabkan tekanan udara ruang
subglotis meningkat, dan mencapai puncaknya melebihi kekuatan otot sehingga
celah glotis terbuka. Plika vokalis akan membuka dengan arah dari posterior ke
anterior. Secara otomatis bagian posterior dari ruang glotis yang pertama kali
membuka dan yang pertama kali pula kontak kembali pada akhir siklus getaran.
Setelah terjadi pelepasan udara, tekanan udara ruang subglotis akan berkurang
dan plika vokalis akan kembali ke posisi saling mendekat (kekuatan myoelastik
plika vokalis melebihi kekuatan aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah
akibat aliran udara yang melewati celah sempit menyebabkan tekanan negatif
pada dinding celah (efek Bernoulli). Plika vokalis akan kembali ke posisi semula
(adduksi) sampai tekanan udara ruang subglotis meningkat dan proses seperti di
atas akan terulang kembali.
b. Fungsi Proteksi.
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-
otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan,
pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada
pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid
melalui serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan
epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah
proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke
lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.
c. Fungsi Respirasi.
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
18/51
18
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar
rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga
kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh
tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan
menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan
merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring
mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO2
arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial
CO2darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.
d. Fungsi Sirkulasi.
Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan
peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return.
Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi,
kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler
dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta.
Impuls dikirim melalui N. laringeus rekurens dan ramus komunikans N. laringeus
superior. Bila serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi
penurunan denyut jantung.
e. Fungsi Fiksasi.
Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap
tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan.
f. Fungsi Menelan.
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat
berlangsungnya proses menelan, yaitu :
1. Fase oral
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
19/51
19
Terjadi secara volunter makanan yang telah dikunyah dan bercapur
dengan liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini bergerak dari rongga
mulut melalui dorsum lidah. Kontraksi musculus levator veli palatini
mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum lidah diperluas, palatum mole
terangkat dan bagian superior dari dinding posterior faring akan terangkat.
Bolus terdorong ke posterior, dan nasofaring tertutup. Selanjutnya terjadi
kontraksi musculus palatoglossus sehingga isthmus fausium tertutup, lalu
kontraksi musculus palatopharingeus mencegah terjadinya refluks makanan ke
cavum oris.
2.
Fase faringeal
Terjadi secara refeks akibat adanya bolus makanan. Faring dan laring
bergerak ke atas oleh kontraksi musculus sylopharingeus, musculus
salpingopharyngeus, musculus tyrohyoideus dan musculus palatopharyngeus.
Aditus laryngis tertutup oleh epiglottis. Bersamaan dengan ini juga terjadi
penghentian aliran udara ke laring. Selanjutnya bolus makanan meluncur ke
esofagus.
3. Fase esofageal
Terjadi perpindahan bolus makanan dari esofagus ke gaster. Adanya
rangsangan bolus makanan, terjadi relaksasi musculus criocopharyngeus,
sehingga jalan masuk ke esofagus terbuka dan bolus makanan bisa masuk.
Setelah bolus lewat, sphincter superior berkontraksi lebih kuat sehingga bolus
makanan tidak kembali ke faring. Gerak bolus makanan di superior esofagus
dipengaruhi oleh kontraksi musculus constrictor pharyngeus inferior pada
akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus didorong ke arah distal esofagus oleh
gerakan peristaltik. Pada akhir fase ini, sphincter gaster-esophageal akan
terbuka secara refleks.
g. Fungsi Batuk.
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
20/51
20
Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup,
sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak
menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi
benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada
mukosa laring.
h. Fungsi Ekspektorasi.
Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha
mengeluarkan benda asing tersebut.
i. Fungsi Emosi.
Perubahan emosi dapat meneybabkan perubahan fungsi laring, misalnya
pada waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.
3. Adakah hubungan pasien demam serta keluhan?
Hubungan demam dengan tonsilitis pada pasien dalam skenario
Pada kejadian tonsilitis kronik maupun akut, pasien akan mengalami
demam. Hal ini dikarenakan mediator-mediator inflamasi yang dibawa oleh tubuh
untuk merespon adanya bakteri yang masuk dalam tubuh. Zat yang dapat
menyebabkan efek perangsangan terhadap pusat pengaturan suhu sehingga
menyebabkan demam disebut pirogen. Zat pirogen ini dapat berupa protein,
pecahan protein, dan zat lain, terutama toksin polisakarida, yang dilepas oleh
bakteri toksik atau pirogen yang dihasilkan dari degenerasi jaringan tubuh.
Mekanisme demam dimulai dengan timbulnya reaksi tubuh terhadap pirogen
dalam hal ini, pirogen yang dimaksud pada pasien tonsilitis adalah streptococcusbeta hemoliticus. Pada mekanisme ini, bakteri atau pecahan jaringan akan
difagositosis oleh leukosit darah, makrofag jaringan, dan limfosit pembunuh
bergranula besar.
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
21/51
21
Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil pemecahan bakteri dan
melepaskan zat interleukin-1(IL-1) ke dalam cairan tubuh, yang disebut juga zat
pirogen leukosit atau pirogen endogen. Interleukin-1 ketika sampai di hipotalamus
akan menimbulkan demam dengan cara meningkatkan temperature tubuh dalam
waktu 8 10 menit. Sedikitnya sepersepuluh juta gram endoroksin
lipopolisakarida dari bakteri, bekerja dengan cara ini secara bersama-sama dengan
leukosit darah, makrofag jaringan, dan limfosit pembunuh dapat menyebabkan
demam. Jumlah Interleukin-1. Yang di bentuk sebagai respon terhadap
lipopolisakarida untuk menyebabkan demam hanya beberapa
nanogram.Interleukin-1 menyebabkan demam, pertama-tama dengan menginduksi
pembentukan salah satu prostaglandin E2 , atau zat yang mirip dan selanjutnya
bekerja di hipotalamus untuk membangkitkan reaksi demam.
4. Mengapa pasien mengorok dengan sangkalan sesak napas?
Secara umum, anak yang mendengkur dapat diklasifikasikan menjadi 2
kelompok besar yaitu occasionalsnoring (mendengkur sesekali saja) dan habitual
snoring (sering mendengkur). Anak dikategorikan mengalami habitual snoring
apabila mendengkur >3 kali seminggu, sedangkan disebut occasional snoring
apabila mendengkur
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
22/51
22
alergi seperti rinitis alergi, asma dan sinusitis juga seringkali dikatakan berkorelasi
dengan OSAS pada anak. Hipertrofi adenoid dan tonsil merupakan keadaan yang
paling sering menyebabkanOSAS pada anak. Pada pasien dewasa obesitas
merupakan faktor risiko utama OSAS sedangkan pada anak obesitas bukan sebagai
faktor risiko utama.
Anak yang menderita OSAS terutama yang berat akan mengalami gejala
siang dan malam hari. Pada malam hari (night-time symptoms), anak tidur dengan
mulut terbuka, mengorok dan seringkali mengalami henti napas. Akibatnya anak
sering terbangun dari tidurnya karena gelagepan dan mengalami kekurangan
oksigen (hipoksia). Anak dengan OSAS yang berat juga sering mengalami
enuresis. Sebagai akibat dari gejala dan gangguan pada saat tidur malamnya, pada
siang hari timbul gejala yang disebut day-time syndrome, berupa sering tertidur
dalam kelas, kesulitan belajar terutama pada mata pelajaran tertentu seperti
matematika dan sains serta gangguan kognitif lainnya sehingga terjadi penurunan
prestasi akademik. Perubahan perilaku menjadi mudah marah serta adanya gagal
tumbuh juga seringkali dilaporkan berhubungan dengan OSAS. Kondisi hipoksia
yang berlangsung lama pada anak OSASdengan AHI (apneu/hypopnea index)
yang tinggi dapat menyebabkan cor-pulmonale dan hipertensi pulmonal.
Penegakan diagnosis OSAS pada anak merupakan besaran masalah
tersendiri, mengingat diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan
polisomnografi pada saat tidur. Pemeriksaan ini memberikan pengukuran yang
objektif mengenai beratnya penyakit dan dapat digunakan sebagai data dasar untuk
mengevaluasi keadaannya setelah operasi.
Pemeriksaan polisomnografi akan merekam aktivitas anak selama tidur
dengan menilai frekuensi dan lama mendengkur, henti napas, aktivitas listrik
jantung, saturasi oksigen dan aktivitas listrik otak. Tidak tersedianya
polisomnografi dapat diatasi dengan melakukan anamnesis pengisian kuesioner
dan/atau membuat video rekaman anak selama tidur.
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
23/51
23
Mengingat hipertrofi adenoid dan tonsil yang merupakan faktor risiko
tertinggi timbulnya OSAS pada anak, maka tonsiloadenoidektomi merupakan
upaya yang efektif untuk mengatasi masalah OSAS pada anak. Seringkali orangtua
atau kalangan awam mempercayai bahwa tindakan tonsiloadenoidektomi pada
anak-anak dapat meningkatkan performa atau prestasi akademik.
Kemungkinan ini dapat terjadi pada anak dengan OSAS yang mengalami
gangguan belajar. Tindakan tonsiloadenoidektomi pada anak OSAS juga
mempunyai risiko komplikasi yang cukup banyak, mulai dari tindakan anestesi,
serta komplikasi pasca operasi yang kekerapannya lebih tinggi pada anak dengan
OSAS dibandingkan dengan pada anak tanpa OSAS. Komplikasi yang sering
terjadi adalah obstruksi supraglotis, desaturasi, perdarahan, dan lain-lain. Pasien
anak dengan OSAS yang menjalani tonsiloadenoidektomi perlu dirawat inap
minimal satu hari untuk mengobservasi kemungkinan timbulnya komplikasi
tersebut. Namun demikian, pada beberapa kasus ternyata tindakan operatif tidak
bisa mengatasi OSAS. Bila demikian maka diperlukan evaluasi lebih lanjut dan
mendalam mengenai penyulit-penyulit pada kasus tersebut serta pertimbangan
untuk pemasangan CPAP (continuous positive airway pressure). (Kaswandani,
2010).
JUMP 4 : Menginventarisasikan permasalahan-permasalahan secara
sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahan-permasalahan
pada langkah 3.
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
24/51
24
Laki-laki
Usia 5 tahun
Mendengkur ketika tidur
tanpa sesak napas
Keluhan berulang sejak usia 3 tahun Riwayat batuk pilek
Sakit menelan
Suara serak
Demam
Pemeriksaan fisik:
-
Granuloma dan hiperemi pada
mukosa pharynx
- Detritus dan hipertopi pada tonsil
-
Edema dan hiperemi pada plica
vocalis
Imunitas masih dalamtahap perkembangan dan
belum sempurna
Timbulnya granuloma dan
hiperemi pada mukosa
pharynx menyebabkan
sakit ketika menelan
Infeksi pada pernapasan
atas yang menyebabkan
penimbunan bakteri pada
tonsil hingga terjadi
detritus.
Penebalan pada plica
vocalis menyebabkan
suara serak.
Positif terjadi infeksi oleh bakteri
Streptococcus heolitikus tipe A
Diagnosis Differensial:
Tonsilitis, Pharyngitis, Laryngistis, dan Hipertrofi Adenoid
Pemeriksaan Penunjang, Diagnosis, Terapi dan Edukasi, Prognosis,
serta Komplikasi
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
25/51
25
JUMP 5 : Merumuskan Tujuan Pembelajaran
1. Fungsi bangunan penting pada pharynx dan larynx (torus tubarius,
torus levatorius, dll)
2. Patofisiologi sakit saat menelan (odinofagia)
3. Hubungan suara serak dengan sakit saat menelan
4. Hubungan batuk pilek dengan keluhan sakit saat menelan dan suara
serak
5. Patofisiologi oedem pada plica vocalis
6. Mengapa keluhan sakit saat menelan dan suara serak berulang?
7. Hubungan keluhan dengan usia pasien
8. Interpretasi pemeriksaan fisik dan laboratorium
9. Pemeriksaan penunjang, DDx, terapi, komplikasi, dan prognosis.
JUMP 6 : Mengumpulkan Informasi Baru
Pada langkah keenam ini, mahasiswa dapat mencari sumber referensi yang
dipercaya untuk disampaikan dalam pertemuan kedua tutorial. Sumber-sumber
tersebut dapat berasal dari jurnal, konsultasi pakar, buku teks, dan literatur lainnya.
JUMP 7 : Melaporkan, Membahas, dan Menata Informasi-Informasi yang
Sudah Dicari
1. Fungsi bangunan penting pada pharynx dan larynx (torus tubarius, torus
levatorius, dll)
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
26/51
26
1. OstiumPharyngeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva
2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium pharyngeum tuba auditiva yang
disebabkan karena cartilago tuba auditiva, berfungsi membantu menyeimbangkan
tekanan udara luar dengan tekanan di auris media
3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium pharyngeum tuba auditiva yang
disebabkan karena musculus levator veli palatini. Berfungsi dalam menyokong otot-
otot penyusun palatum molle.
4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius
5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan
dari musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium
pharyngeum tuba auditiva terutama ketika menguap atau menelan.
6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat predileksi
Nasopharingeal Carcinoma.
7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid jika
ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis.
8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.
9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dan
oropharing karena musculus sphincter palatopharingeus.
10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raphe pharingei
11. Dinding posterior pharynx, penting karena ikut terlibat pada radang akut atau
radang kronik pharynx, abses retropharynx, serta gangguan otot-otot di bagian
tersebut.
12. Fossa tonsilaris, berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah
memecah ke luar bila terjadi abses.
13. Tonsil, adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dan ditunjang kriptus di dalamnya. Ada 3 macam tonsil, yaitu tonsil
pharynxeal (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil lingual, yang ketiganya membentuk
lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Epitel yang melapisi tonsil adalah epitel
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
27/51
27
skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit,
limfosit, epitel yang terlepas, bakteri, dan sisa makanan.
14. Vallecula epiglottica berfungsi untuk menampung benda-benda tumpul
15. Epiglottis, berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus
makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.
2. Patofisiologi sakit saat menelan (odinofagia)
Odinofagia berawal ketika bolus bergerak dari rongga mulut ke orofaring
akan menyebabkan iritasi saat mengangkat palatum molle karena adanya peradangan
di daerah faring, laring, serta tonsilla palatina. Nyeri menelan dapat disertai dengan
disfagia atau tidak.
3. Hubungan suara serak dengan sakit saat menelan
Dysfonia
Merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang disebabkan
kelainan pada organ-organ fonasi, terutama laring, baik bersifat organik maupun
fungsional, ( Gangguan suara / dysfonia dapat berupa suara parau, suara lemah
(hipofonia), hilang suara (afonia), suarah tegang (spastik), suara yang terdiri dari
beberapa nada (diplofonia), nyeri pada saat bersuara (odinofonia), atau ketidak
mampuan untuk mencapai nada dan intensitas tertentu. Setiap keadaan yang
menimbulan gangguan dalam getaran, gangguan dalam ketegangan serta gangguan
dalam pendekatan (aduksi) kedua pita suara kiri dankanan akan menimbulkan
disfonia. Penyebab disfonia dapat bermacam macam, yang pada prinsipnya
menimpa laring dan sekitarnya. Etiologi ini dapat berupa radang, neoplasma, paralisisotot-otot laring, kelainan laring seperti sikatrik pasca operasi, fiksasi pada sendi
krikoaritenoid, dan lain-lain.
Disfonia pada umumnya merujuk pada gangguan vibrasi plica vocalis, sehingga dpat
menimbulkan efek pada satu atau seluruh subsistem penghasil suara.
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
28/51
28
1). Sistem tekanan udara (Air Pressure System)
Bila paru-paru mengalami kelainan yang menyebabkan sulitnya udara untuk
dikeluarkan dari paru-paru, maka aliran udara yang dihasilkan lemah dan tidak efisien
untuk dapat menggetarkan plica vocalis. Akibatnya sura yang dihasilkan sangat
lemah dan terhambat oleh nafas yang pendek.
Contoh : pada pasien asma, kanker paru dan emfisema.
2). Vibratory System
Gangguan vibrasi pada plica vocalis yang menyebabkan suara terengar serak
(parau)
Contoh: pada pasien yang mengalami kekakuan pada pita suara akibat suatu
pembengkakan yang disebabkan oleh flu .
3)Resonating System / Vocal Tract
Resonating system/Vocal tract terdiri dari faring, rongga mulut, dan rongga
hidung. Fungsi dari resonating system/vocal tract pada proses dihasilkannya suara
ialah sebagai amplifikasi dan modifikasi dari suara dasar yang dihasilkan oleh getaran
plica vocalis, seblum nantinya mengalami artikulasi oleh lidah, palatum mole dan
bibir sehingga terciptanya bunyi kononan dan vokal. Apabila resonating system/vocal
tractmengalami gangguan, maka akan mempengaruhi kualitas suara yang dihasilkan,
Contoh : saluran pernafasan yang bengkak akibat inflamasi selama terjadinya
flu akan menyebabkan gangguan suara.
Jika dihubungkan dengan skenario, suara serak yang dialami pasien
disebabkan oleh adanya gangguan pada vibratory sytem dan resonating system/vocal
tract. Hal tersebut disebabkan oleh adanya peradangan pada tonsil pasien (tonsilitis),
dimana dari hasil pemeriksaan pharing didapatkan tonsil hipertrofi disertai detritus.
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
29/51
29
4. Hubungan batuk pilek dengan keluhan sakit saat menelan dan suara
serak
Pada skenario, dikatakan bahwa pasien mempunyai riwayat sering batuk dan
pilek. Hal ini menunjukkan bahwa tonsil sering terpapar dengan kuman dan bekerja
ekstra untuk melakukan fungsi proteksi. Pada suatu ketika, fungsi tonsil mengalami
penurunan dan tidak lagi mampu melawan infeksi yang terjadi secara berulang.
Akibatnya, akut tonsil berubah menjadi kronis. Tonsil yang tadinya berfungsi sebagai
pertahanan tubuh, berubah menjadi tempat infeksi (fokal infeksi). Sehingga pada saat
keadaan umum tubuh menurun, kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh,
terutama secara limfogen.
5. Patofisiologi oedem pada plica vocalis
Plica vocalis yang edem menyebabkan kekakuan untuk membuka-menutup,
sehingga menganggu siklus vibrasi. Akibatnya, jumlah siklus vibrasi sedikit
(frekuensi suara rendah). Suara yang dihasilkan oleh plica vocalis selanjutnya
mengalami amplifikasi dan modifikasi di vocal tract resonators yang terdiri dari
rongga mulut, faring serta rongga hidung.Peradangan pada tonsil yang menyebabkan
hipertofi tonsil serta gangguan pada faring otomatis menyebabkan ganguan pada
resonating system sehingga menyebabkan suara yang dihasilkan terdengar serak
(hoarseness).
6. Mengapa keluhan sakit saat menelan dan suara serak berulang? (Lihat
Penjelasan nomor 3,4, dan 5)
7. Hubungan keluhan dengan usia pasien
Faringitis lebih sering disebabkan oleh virus (rhinovirus atau
adenovirus) dan bakteri (Streptococcus pyogenes). Puncak insidensinya
adalah pada usia 4-7 tahun dan apabila disebabkan oleh Streptococcusgrup A
jarang terjadi pada usia di bawah 3 tahun (Acerra, 2013).
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
30/51
30
Tonsilitis jarang terjadi pada anak usia kurang dari 2 tahun.
Sedangkan, tonsillitis yang disebabkan Streptococcusbanyak terjadi pada usia
5-15 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh virus lebih sering terjadi pada
anak-anak yang lebih muda (Shah, 2013).
8. Interpretasi pemeriksaan fisik dan laboratorium
Pada pemeriksaan pharing didapatkan mukosa pharing terdapat granuloma
dan hiperemi, tonsil hipertrofi dan terdapat detritus, plika vokalis oedema dan
hiperemis.
Ketika bakteri streptococcus hemolyticus group A masuk ke tubuh, sistem
imun tubuh akan aktif melawan bakteri tersebut. Toksin ekstraseluler yang
dikeluarkan oleh bakteri kemudian akan dilisiskan oleh komplemen C3a tubuh.
Reaksi ini menyebabkan degranulasi pada sel mast sehingga mengundang mediator
inflamasi yang berakibat pada ekstravasi limfosit dan neutrofil disertai dengan sitolin
dan vasodilator. Sel-sel yang terkena radang akan lisis dan menyebabkan cairan sel
keluar membentuk eksudat radang dan proliferasi jaringan, gambaranya hampir sama
dengan jaringan granulasi. Jaringan granulasi yang berlebihan akan membentuk suatu
tonjolan yang disebut granuloma yaitu suatu masa seperti tumor yang tersir atas
jaringan granulasi. Vasodilator yang datang akibat reaksi imun terhadap bakteri
menyebabkan peningkatan vascularisasi pada mukosa sehingga berwarna kemerahan
(hiperemi).
Setiap antigen yang masuk akan ditampung dan dibawa ke tonsil untuk
dilisiskan karena tonsil merupakan alat pertahanan tubuh. Antigen dari bakteri
streptococcus yang banyak menyebabkan tonsil menjadi hipertrofi karena kerjanyasebagai alat pertahanan tubuh menjadi semakin berat, reaksi imun terhadap antigen
bakteri streptococcus menyebabkan keluarnya sel-sel limfosit dan leukosit PMN.
Kumpulan sel-sel leukosit PMN yang memfagosit antigen bakteri menempel di tonsil
membentuk detritus.
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
31/51
31
Infeksi bakteri ini bisa meluas ke daerah di sekitar tonsil yaitu plica vocalis.
Plica vocalis menjadi oedema dan hiperemis akibat reaksi peradangan terhadap
antigen bakteri streptococcus yang menyebabkan degranulasi sel mast dan keluarnya
sitokin-sitokin, vasodilator dan sel-sel leukosit PMN.
PEMERIKSAAN ANTISTREPTOLISIN-O
Penetapan ASTO umumnya hanya memberi petunjuk bahwa telah terjadi
infeksi oleh streptokokus. Streptolisin O bersifat sebagai hemolisin dan pemeriksaan
ASTO umumnya berdasarkan sifat ini (Soetarto & Latu, 1981).
Streptokokus grup A (streptokokus beta hemolitik) dapat menghasilkan
berbagai produk ekstraseluler yang mampu merangsang pembentukan antibodi.
Antibodi itu tidak merusak kuman dan tidak memiliki daya perlindungan, tetapi
adanya antibodi tersebut dalam serum menunjukkan bahwa di dalam tubuh baru saja
terdapat Streptokokus yang aktif. Antibodiyang terbentuk adalah Antistreptolisin O,
Antihialuronidase (AH), antistreptokinase (Anti-SK), anti-desoksiribonuklease B
(AND-B), dan anti nikotinamid adenine dinukleotidase(anti-NADase).Demam
rematik merupakan penyakit vascular kolagen multisystem yang terjadi setelah
infeksi Streptokokus grup A pada individu yang memiliki faktor predisposisi.
Penyakit ini masih merupakan penyebab terpenting penyakit jantung didapat
(acquired heart disease)pada anak dan dewasa muda di banyak negara terutama
Negara berkembang. Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh
adanya inflamasi endokardium dan mmiokardium melalui suatu proses autoimun
yang menyebabkan kerusakan jaringan.Serangan pertama demam reumatik akut
terjadi paling sering antara umur 515 tahun.Demam reumatik jarang menyerang
anak dibawah umur lima tahun. Demam reumatik akut menyertai faringitis
Streptokokus beta hemolitik grup A yang tidak diobati. Pengobatan yang tuntas
terhadap faringitis akut hampir meniadakan risiko terjadinya demam
reumatik.Diperkirakan hanya 3 % dari individu yang belum pernah menderita demam
reumatik akan menderita komplikasi ini setelah menderita faringitis Streptokokus
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
32/51
32
yang tidak diobati.ASTO (anti streptolisin O) merupakan antibodi yang paling
banyak dikenal dan paling sering digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi
Streptokokus. Lebih kurang 80 % penderita demam reumatik menunjukan
peningkatan titer antibodi terhadap streptokokus. Penelitian menunjukkan bahwa
komponen streptokokus yang lain memiliki rekativitas bersama dengan jaringan lain.
Ini meliputi reaksi silang imunologik di antara karbohidrat streptokokus dan
glikoprotein katup, diantaranya membran protoplasma streptokokus dan jaringan
saraf subtalamus serta nuclei kaudatus dan antara hialuronat kapsul dan
kartilagoartikular.
Ada dua prinsip dasar penetuan ASTO, yaitu:
1. Netralisasi/penghambat hemolisis
Streptolisin O dapat menyebabkan hemolisis dari sel darah merah, akan tetapi
bila Streptolisin O tersebut di campur lebih dahulu dengan serum penderita yang
mengandung cukup anti streptolisin O sebelum di tambahkan pada sel darah merah,
maka streptolisin O tersebut akan di netralkan oleh ASO sehingga tidak dapat
menibulkan hemolisis lagi.
Pada tes ini serum penderita di encerkan secara serial dan di tambahkan
sejumlah streptolisin O yang tetap (streptolisin O diawetkan dengan sodium
thioglycolate). Kemudian ditambahkan suspensi sel darah merah 5%. Hemolisis akan
terjadi pada pengenceran serum di mana kadar/titer dari ASO tidak cukup untuk
menghambat hemolisis tidak terjadi pada pengencaran serum yang mengandung titer
ASO yang tinggi.
2. Aglutinasi pasif
Streptolisin O merupakan antigen yang larut. Agar dapatmenyebabkan
aglutinasi dengan ASO. Maka streptolisin O perlu disalutkan pada partikel-partikel
tertentu. Partikel yang sering dipakai yaitu partikel lateks. Sejumlah tertentu
streptolisin O (yang dapat mengikat 200 IU/ml ASO) di tambahkan pada serum
penderita sehingga terjadi ikatan streptolisin Oanti streptolisin O (SOASO).
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
33/51
33
Bila dalam serum penderita terdapat ASO lebih dari 200 IU/ml, maka sisa
ASO yang tidak terikat oleh Streptolisin O akan menyebabkan aglutinasi dari
streptolisin O yang disalurkan pada partikel partikel latex . Bila kadar ASO dalam
serum penderita kurang dari 200 IU / ml , maka tidak ada sisa ASO bebas yang dapat
menyebabkan aglutinasi dengan streptolisin O pada partikelpartikel latex.
Tes hambatan hemolisis mempunyai sensitivitas yang cukup baik , sedangkan
tes aglutinasi latex memiliki sensitivitas yang sedang. Tes aglutinasi latex hanya
dapat mendeteksi ASO dengan titer di atas 200 IU/ml.
Nilai normal ASTO
pada anak 6 bulan
2 tahun = 50 Todd unit/ ml
2-4 tahun = 160 Todd unit/ml
5-12 tahun = 170 Todd unit/ml
Dewasa = 160 Todd unit/ml
Titer ASTO akan meningkat 75-80% pada kasus glumerulonefritis akut pasca
streptokokus.
9. Pemeriksaan penunjang, DDx, terapi, komplikasi, dan prognosis.
FARINGITIS
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh
virus, bakeri, alergi, trauma, toksin, dan lain-lain (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
1. Faringitis Akut
a. Faringitis Viral
Gejala dan Tanda
Demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan. Faring dan
tonsil hiperemis. Virus influenza, coxzachievirus dan cytomegalovirus tidak
menimbulkan eksudat. Coxzachievirus dapat menimbulkan lesi vasikular di orofaring
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
34/51
34
dan lesi kulit berupa maculopapular rash. Adenovirus juga menimbulkan gejala
konjungtivitis terutama pada anak selain faringitis. Epstein Barr Virus (EBV)
menyebabkan faringitis disertai eksudat yang banyak, pembesaran kelenjar limfe,
terutama retroservikal dan hepatosplenomegali (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Faringitis yang disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok,
nyeri menelan, mual dan demam, faring tampak hiperemis, terdapat eksudat,
limfadenopati akut di leher, dan pasien tampak lemah (Rusmardjono & Soepardi,
2007).
Terapi
Istirahat dan minum yang cukup, kumur dengan air hangat, analgetika jika
perlu dan tablet isap. Dapat diberi juga antivirus metisoprinol (Rusmardjono &
Soepardi, 2007).
b. Faringitis Bakterial
Infeksi grup A Streptococcus hemolitikus penyebab faringitis akut pada
dewasa (15%) dan anak (30%) (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Gejala dan Tanda
Nyeri kepala hebat, muntah kadang demam tinggi, jarang disertai batuk.
Tonsil tampak membesar, faring dan tonsil hiperemis terdapat eksudat. Kemudian
timbul petechiae pada palatum dan dasar faring. Kelenjar limfe leher anterior
membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Terapi
Antibiotik penicillin, amoksisilin, atau eritromisin. Kortikosteroid
dexamethason, analgetika, dan kumur dengan air hangat atau antiseptic (Rusmardjono
& Soepardi, 2007).
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
35/51
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
36/51
36
Terapi
Pengobatan ditujukan pada rinitis atrofi dan untuk faringitisnya ditambahkan
obat kumur dan menjaga kebersihan mulut.
LARINGITIS
Laringitis merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai pada daerah
laring. Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi
baik akut maupun kronik.Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung
dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu. Bila gejala telah lebih dari 3 minggu
dinamakan laringitis kronis.
Penyebab dari laringitis akut dan kronis dapat bermacam-macam bisa
disebabkan karena kelelahan yang berhubungan dengan pekerjaan maupun infeksi
virus.
Pita suara adalah suatu susunan yang terdiri dari tulang rawan, otot, dan
membran mukus yang membentuk pintu masuk dari trakea. Biasanya pita suara akan
membuka dan menutup dengan lancar, membentuk suara melalui pergerakan. Bila
terjadi laringitis, makan pita suara akan mengalami proses peradangan, pita suara
tersebut akan membengkak, menyebabkan perubahan suara. Akibatnya suara akan
terdengar lebih serak.
Berdasarkan hasil studi laringitis terutama menyerang pada usia 18-40 tahun
untuk dewasa sedangkan pada anak-anak umumnya terkena pada usia diatas 3 tahun.
Etiologi
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
37/51
37
Hampir setiap orang dapat terkena laringitis baik akut maupun kronis.
Laringitis biasanya berkaitan dengan infeksi virus pada traktus respiratorius bagian
atas.
Patogenesis
Bila jaringan cedera karena terinfeksi oleh kuman, maka pada jaringan ini
akan terjadi rangkaian reaksi yang menyebabkan musnahnya agen yang
membahayakan jaringan atau yang mencegah agen ini menyebar lebih luas. Reaksi-
reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki.
Rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan cedera ini dinamakan
radang.
Laringitis akut merupakan proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring
yang berlangsung kurang dari 3 minggu. Bila etiologi dari laringitis akut disebabkan
oleh adanya suatu infeksi, maka sel darah putih akan bekerja membunuh
mikroorganisme selama proses penyembuhan. Pita suara kemudian akan menjadi
tampak edema, dan proses vibrasi juga umumnya ikut mengalami gangguan. Hal ini
juga dapat memicu timbulnya suara yang parau disebabkan oleh gangguan fonasi.
Membran yang meliputi pita suara juga terlihat berwarna kemerahan dan
membengkak.
Laringitis kronis merupakan suatu proses inflamasi yang menunjukkan adanya
peradangan pada mukosa laring yang berlangsung lama. Pada laringitis kronis proses
peradangan dapat tetap terjadi meskipun faktor penyebabnya sudah tidak ada. Proses
inflamasi akan menyebabkan kerusakan pada epitel bersilia pada laring, terutama
pada dinding belakang laring. Hal ini akan menyebabkan gangguan dalam
pengeluaran sekret dari traktus trakeobronkial. Bila hal ini terjadi, sekret akan berada
tetap pada dinding posterior laring dan sekitar pita suara menimbulkan reaksi
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
38/51
38
timbulnya batuk. Adanya sekret pada daerah pita suara dapat menimbulkan
laringospasme. Perubahan yang berarti juga dapat terjadi pada epitel dari pita suara
berupa hiperkeratosis, diskeratosis, parakeratosis dan akantosis.
Laringitis Akut
Penyalahgunaan suara, inhalasi uap toksik, dan infeksi menimbulkan laringitis akut.
Infeksi biasanya tidak terbatas pada laring, namun merupakan suatu pan-infeksi yang
melibatkan sinus, telinga, laring dan tuba bronkus. Virus influenza, adenovirus dan
streptokokus merupakan organisme penyebab yang tersering. Difteri harus selalu
dicurigai pada laringitis, terutama bila ditemukan suatu membran atau tidak adanya
riwayat imunisasi. Pemeriksaan dengan cermin biasannya memperlihatkan suatu
eritema laring yang difus. Biakan tenggorokan sebaiknya diambil.
Laringitis Kronis
Laringitis kronis adalah inflamasi dari membran mukosa laring yang berlokasi
di saluran nafas atas, bila terjadi kurang dari 3 minggu dinamakan akut dan disebut
kronis bila terjadi lebih dari 3 minggu
Beberapa pasien mungkin telah mengalami serangan laringitis akut berulang, terpapar
debu atau asap iritatif atau menggunakan suara tidak tepat dalam konteks
neuromuskular. Merokok dapat menyebabkan edema dan eritema laring.
Laringitis Kronis Spesifik
Yang termasuk dalam laringitis kronis spesifik ialah laringitis tuberkulosis dan
laringitis luetika
1. Laringitis tuberkulosis
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
39/51
39
Penyakit ini hampir selalu akibat tuberkulosis paru. Biasanya pasca
pengobatan, tuberkulosis paru sembun tetapi laringitis tuberkulosis menetap.
Hal ini terjadi karena struktur mukosa laring yang melekat pada kartilago serta
vaskularisasinya yang tidak sebaik paru sehingga bila infeksi sudah mengenai
kartilago maka tatalaksananya dapat berlangsung lama.
Secara klinis manifestasi laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium yaitu :
Stadium infiltrasi, mukosa laring posterior membengkak dan hiperemis,
dapat mengenai pita suara. Terbentuk tuberkel pada submukosa sehingga
tampak bintik berwarna kebiruan. Tuberkel membesar dan beberapa
tuberkel berdekatan bersatu sehingga mukosa diatasnya meregang
sehingga suatu saat akan pecah dan terbentuk ulkus
Stadium ulserasi, ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi
membesar. Ulkus diangkat, dasarnya ditutupi perkijuan dan dirasakan
sangat nyeri.
Stadium perikondritis, ulkus makin dalam sehingga mengenai kartuilago
laring terutama kartilago aritenoid dan epiglotis sehingga terjadi
kerusakan tulang rawan.
Stadium pembentukan tumor, terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding
posterior, pita suara dan subglotik.
2. Laringitis luetika
Radang menahun ini jarang dijumpai Dalam 4 stadium lues yang paling
berhubungan dengan laringitis kronis ialah lues stadium tersier dimana terjadi
pembentukan gumma yang kadang menyerupai keganasan laring. Apabila
guma pecah akan timbul ulkus yang khas yaitu ulkus sangat dalam, bertepi
dengan dasar keras, merah tua dengan eksudat kekuningan. Ulkus ini tidak
nyeri tetapi menjalar cepat
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
40/51
40
Diagnosis
Diagnosis laringitis akut dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemerinksaan penunjang. Pada anamnesis biasanya didapatkan gejala
demam, malaise,batuk, nyeri telan, ngorok saat tidur, yang dapat berlangsung selama
3 minggu, dan dapat keadaan berat didapatkan sesak nafas, dan anak dapat biru-biru.
Pada pemeriksaan fisik, anak tampak sakit berat, demam, terdapat stridor inspirasi,
sianosis, sesak nafas yang ditandai dengan nafas cuping hidung dan/atau retraksi
dinding dada, frekuensi nafas dapat meningkat, dan adanya takikardi yang tidak
sesuai dengan peningkatan suhu badan merupakan tanda hipoksia1
Pemeriksaan dengan laringoskop direk atau indirek dapat membantu
menegakkan diagnosis. Dari pemeriksaan ini plika vokalis berwarna merah dan
tampak edema terutama dibagian atas dan bawah glotis. Pemeriksaan darah rutin
tidak memberikan hasil yang khas, namun biasanya ditemui leukositosis.
pemeriksaan usapan sekret tenggorok dan kultur dapat dilakukan untuk mengetahui
kuman penyebab, namun pada anak seringkali tidak ditemukan kuman patogen
penyebab1
Proses peradangan pada laring seringkali juga melibatkan seluruh saluran
nafas baik hidung, sinus, faring, trakea dan bronkus, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan foto.1
Pada laringitis kronis diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada gambaran makroskopi nampak permukaan selaput lendir kering dan
berbenjol-benol sedangkan pada mikroskopik terdapat epitel permukaan menebaldan
opaque, serbukan sel radang menahun pada lapisan submukosa.
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
41/51
41
Pemeriksaan laboratorium dilakukan pemeriksaan darah, kultur sputum,
hapusan mukosa laring, serologik marker.
Pada laringitis kronis juga dapat dilakukan foto radiologi untuk melihat
apabila terdepat pembengkakan. CT scanning dan MRI juga dapat digunakan dan
memberikan hasil yang lebih baik.
Pemeriksaan lain yang dapat digunakan berupa uji tes alergi.
Penatalaksanaan
Terapi pada laringitis akut berupa mengistirahatkan pita suara, antibiotik,menambah kelembaban, dan menekan batuk. Obat-obatan dengan efek samping yang
menyebabkan kekeringan harus dihindari. Penyanyi dan para profesional yang
mengandalkan suara perlu dinasihati agar membiarkan proses radang mereda sebelum
melanjutkan karier mereka. Usaha bernyanyi selama proses radang berlangsung dapat
mengakibatkan perdarahan pada laring dan perkembangan nodul korda vokalis
selanjutnya.
Terapi pada laringitis kronis terdiri dari menghilangkan penyebab, koreksi
gangguan yang dapat diatasi, dan latihan kembali kebiasaan menggunakan vokal
dengan terapi bicara. Antibiotik dan terapi singkat steroid dapat mengurangi proses
radang untuk sementara waktu, namun tidak bermanfaat untuk rehabilitasi jangka
panjang. Eliminasi obat-obat dengan efek samping juga dapat membantu.
Pada pasien dengan gastroenteriris refluks dapat diberikan reseptor H2
antagonis, pompa proton inhibitor. Juga diberikan hidrasi, meningkatkan kelembaban,
menghindari polutan.
Terapi pembedahan bila terdapat sekuester dan trakeostomi bila terjadi
sumbatan laring.
Laringitis kronis yang berlangsung lebih dari beberapa minggu dan tidak
berhubungan dengan penyakit sistemik, sebagian besar berhubungan dengan
pemajanan rekuren dari iritan. Asap rokok merupakan iritan inhalasi yang paling
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
42/51
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
43/51
43
Terapi bedah (adenoidektomi) dapat dilakukkan dengan cara curetase memakai
adenotom. Indikasi dilakukan adenoidektomi:
1. Sumbatan
Sumbatan hidung yang menyebabkan pernafasan melalui mulut
Sleep apnea
Gangguan menelan
Gangguan berbicara
Kelainan bentuk wajah
2. Infeksi
Adenoditis berulang
Otitis media efusi berulang atau kronik dan otitis media akut berulang.
3. Kecurigaan neoplasma
Komplikasi
Dapat terjadi pendarahan jika adenoid belum semuanya diangkat. Bila terlalu dalam
saat kuretase dapat menyebabkan kerusakan dinding belakang faring dan bila kuretase terlalu
ke lateral dapat menyebabkan rusaknya torus tubarius dan menyebabkan oklusi tuba eustachii
dan akan timbul tuli konduktif.
TONSILITIS
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer.
Terdapat beberapa jenis tonsilitis yaitu tonsilitis akut, membranosa dan
kronik.
i.
Tonsilis viral
Tonsilitis dimana gejalanya lebih menyerupai commond cold yang
disertai rasa nyeri tenggorok.Penyebab yang paling sering adalah virus
Epstein Barr.Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut
supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
44/51
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
45/51
45
Tonsilitis kronik
Faktor predisposisinya ialah rangsangan menahun dari rokok, beberapa jenis
makanan, cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.
Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-kadang kuman
berubah menjadi kuman golongan Gram negatif.
Patologi
Karena proses peradangan yang berulang maka selain epitel mukosa juga
jaringan limfoid terkikis , sehingga proses penyembuhan jaringan diganti jaringan
parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti
ini diisi oleh detritus. Proses berlanjut hingga kapsul, yang akhirnya menimbulkan
perlekatan di sekitar fossa tonsilaris. Pada anak, proses ini disertai dengan
pembesaran kelenjar limfa submandibula.
Gejala dan Tanda
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tampak
tidak rata, kriptus melebar dan beberapa terisi detritus. Rasa ada yang mengganjal di
tenggorok, dirasa kering dan napas berbau.
Terapi
Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan berkumur atau obat isap.
Komplikasi
Komplikasi ke daerah sekitar berupa rinitis kronik, sinusitis atau otitis media
secara perkontinuitatu. komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dapat
timbul endokarditis, artritis, furunkulosis.
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi berulang, gejala sumbatan serta
kecurigaan neoplasma.
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
46/51
46
Indikasi tonsilektomi
*Relatif:
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil pertahun dengan
terapi antibiotik adekuat.
Halitosis (nafas bau) akibat tonsilitis kronik yang tidak
membaik dengan pemberian terapi medis.
Tonsilitis kronis atau berulang pada linier Streptokokkus yang
tidak membaik dengan pemberian antibiotik
*Mutlak (Absolut)
Pembengkakan tonsil menyebabkan obstruksi saluran napas,
disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmonal.
Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan
medis dan drainase.
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukantempat yang dicurigai limfoma (keganasan)
Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindrom apnea waktu
tidur.
Pada penderita tonsillitis, terlebih dahulu harus diperhatikan
pernafasan dan status nutrisinya.Jika perbesaran tonsil menutupi jalan nafas,
maka perlu dilakukan tonsilektomi, demikian juga jika pembesaran tonsil
menyebabkan kesulitan menelan dan nyeri saat menelan, menyebabkan
penurunan nafsu makan / anoreksia.Pada penderita tonsillitis yang tidak
memerlukan tindakan operatif (tonsilektomi), perlu dilakukan oral hygiene
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
47/51
47
untuk menghindari perluasan infeksi, sedangkan untuk mengubahnya dapat
diberikan antibiotic, obat kumur dan vitamin C dan B.
Pemantauan pada penderita pasca tonsilektomi secara kontinu
diperlukan karena resiko komplikasi hemorraghi.Posisi yang paling
memberikan kenyamanan adalah kepala dipalingkan kesamping untuk
memungkinkan drainage dari mulut dan faring untuk mencegah aspirasi.Jalan
nafas oral tidak dilepaskan sampai pasien menunjukkan reflek menelanya
telah pulih.
Jika pasien memuntahkan banyak darah dengan warna yang berubah
atau berwarna merah terang pada interval yang sering, atau bila frekuensi nadi
dan pernafasan meningkat dan pasien gelisah, segera beritahu dokter
bedah.Perawat harus mempunyai alat yang disiapkan untuk memeriksa temapt
operasi terhadap perdarahan, sumber cahaya, cermin, kasa, nemostat lengkung
dan basin pembuang.Jika perlu dilakukan tugas, maka pasien dibawa ke ruang
operasi, dilakukan anastesi umur untukmenjahit pembuluh yang berdarah.Jika
tidak terjadi perdarahan berlanjut beri pasien air dan sesapan es. Pasien
diinstruksikan untuk menghindari banyak bicara dan bentuk karena hal ini
akan menyebabkan nyeri tengkorak.
Setelah dilakukan tonsilektomi, membilas mulut dengan alkalin dan
larutan normal salin hangat sangat berguna dalam mengatasi lendir yang
kental yang mungkin ada.Diet cairan atau semi cair diberikan selama beberapa
hari serbet dan gelatin adalah makanan yang dapat diberikan.Makanan pedas,
panas, dingin, asam atau mentah harus dihindari.Susu dan produk lunak (es
krim) mungkin dibatasi karena makanan ini cenderung meningkatkan jumlah
mucus.
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
48/51
48
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada skenario ini, pasien mengalami tonsilitis kronis dengan penyebab
utama Streptococcus -hemolyticus grup A yang kadang-kadang berubah
menjadi dominan bakteri Gram negatif. Hal ini dibuktikan dari pemeriksaan
laboratorium yang menunjukkan ASTO (+). Selain itu, tonsil yang meradang
secara kronis akan menimbulkan peradangan di sekitar tonsila palatina,
misalnya faringitis. Kadang-kadang batuk dan pilek juga menyertai tonsilitis
karena fungsi tonsil yang semula sebagai tempat pertahanan tubuh, berubah
menjadi tempat penambatan infeksi dengan petunjuk adanya detritus yang
menempel pada kripte-kripte tonsil yang melemahkan sel-sel limfoid.
Tonsilektomi adalah satu-satunya terapi untuk menanggulangi infeksi yang
terus berulang.
B. SARAN
Pasien setelah proses tonsilektomi perlu menjaga kebersihan tubuh,
terutama daerah rongga mulut dengan membiasakan sikat gigi sehabis makan.
Orang tua pasien sebaiknya menyarankan anaknya untuk menghindari
makanan panas, dingin, pedas, susu, serta berlunak.
Diskusi tutorial skenario 3 blok THT umumnya berjalan baik, namun
kurangnya ketaatan waktu serta ketidaksiapan moderator diskusi menjadi
hambatan bagi jalannya diskusi sendiri. Tutor sudah mengarahkan jalannya
diskusi dengan baik, sehingga mengurangi terhentinya diskusi di tengah jalan.
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
49/51
49
DAFTAR PUSTAKA
1.
Adams, George L; Boies, R. Lawrence; Higler, H. Pieter.1997. BOIES BukuAjar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta : EGC.
2. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In :Diseases of the nose, throat, ear,
head and neck.13th ed.Philadelphia,Lea & Febiger. 1993
3. Graney, D. and Flint, P. Anatomy. In : Cummings C.W. Otolaryngology -
Head and Neck Surgery. Second edition. St Louis : Mosby, 1993.
4. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology, 11th
edition. Singapore:
Elsevier Pte Ltd. 2008.
5.
Hollinshead, W.H. The pharynx and larynx. In :Anatomy for
surgeons.Volume 1 : Head and Neck.A hoeber-harper international edition,
1966 : 425-456 .
6.
Isdaryanto (2014). Slide kuliah histologi cavum nasi, faring, laring. Surakarta:
Laboratorium Histologi FK UNS.
7. Kaswandani, Nastitis. 2010. Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS)
pada Anak. Majalah Kedokteran Indonesia IDI. Vol 60 No 7
8.
Septianto, Teddy (ed) (2010). Buku Panduan Praktikum Anatomi. Surakarta:
Laboratorium Anatomi dan Embriologi Fakultas Kedokteran UNS.
9. Soepardi, Efiaty Arsyad; et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
50/51
50
8/10/2019 SKENARIO 3 THT
51/51