BAB I
PENDAHULUAN
Asma meliputi dua pengertian pertama, untuk merujuk pada asma kardial
yang sesak nafasnya berkaitan dengan kegagalan jantung yang menyebabkan
oedem paru. Kedua, asma bronkial yang sesak nafasnya diakibatkan oleh
penyempitan saluran nafas secara menyeluruh serta didasari oleh kepekaan yang
meningkat (hyperreactivity) dan tanggapan saluran pernafasan yang berlebihan
(hyperresponsiveness) terhadap berbagai macam rangsangan. Obstruksi saluran
nafas ini bersifat reversibel (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien) baik
secara spontan maupun dengan pengobatan. Asma bronkial adalah salah satu
penyakit paru yang termasuk dalam kelompok penyakit paru alergi dan
imunologi.
Di Amerika lebih dari 22 juta jiwa menderita asma, 6 juta diantaranya
adalah anak- anak. Penyakit asma ini bersifat kronik dan dipengaruhi banyak
faktor, seperti jenis kelamin, umur pasien, status atopi, faktor keturunan dan
faktor lingkungan. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5 -7 %, di mana
pada masa anak- anak prevalensi anak laki- laki berbanding anak perempuan 1,5 :
1. Menjelang dewasa, perbandingan tersebut hampir sama, dan pada masa
menopause, perempuan lebih banyak dari pada laki-laki.1,2
Asma adalah kelainan inflamasi kronik dari saluran nafas, dengan gejala
utama berupa sesak nafas, batuk, dan mengi. Gejala-gejala tersebut dikaitkan
dengan obstruksi jalan nafas dalam berbagai tingkat, dan seringkali bersifat
reversibel, baik dengan atau tanpa diberikan pengobatan.1,3
Pengobatan asma bertujuan menghentikan serangan secepat mungkin serta
mencegah serangan berikutnya; kalaupun timbul kembali diharapkan serangan
tersebut tidak berat. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu diberi obat yang
bersifat bronkodilator pada waktu serangan dan obat anti inflamasi untuk
menurunkan hiperaktivitas bronkus sebagai tindakan pencegahan.1,2
1
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Asma
Asma adalah kelainan inflamasi kronis dari saluran nafas, yang dalam
prosesnya, melibatkan berbagai sel (khususnya sel mast, eosinofil, neutrofil,
limfosit T, makrofag, dan sel epitel). Pada individu yang rawan, inflamasi ini
menyebabkan episode berulang dari: (1) batuk berdahak, utamanya pada
malam atau dini hari, (2) mengi, dan (3) sesak nafas yang disertai dada terasa
tertekan. Gejala-gejala tersebut disebabkan oleh obstruksi jalan nafas dalam
berbagai tingkat, dan seringkali bersifat reversibel, baik dengan ataupun tanpa
diberikan pengobatan. 1,2,3
2.2 Faktor Resiko Asma2
1. Faktor Host (penjamu) : yaitu faktor-faktor dari dalam diri seseorang yang
membuatnya lebih mudah atau lebih susah terkena penyakit asma, yaitu:
a. Genetik
b. Riwayat penyakit atopi
c. Hiperaktivitas saluran nafas
d. Jenis kelamin
e. Ras
2. Faktor Lingkungan : yaitu faktor-faktor dari luar yang berpengaruh
terhadap munculnya penyakit asma pada seseorang, ataupun yang
mencetuskan serangan eksaserbasinya, misalnya:
a. Alergen dalam rumah
b. Alergen luar rumah
c. Faktor pekerjaan
d. Asap rokok
e. Polusi udara
f. Infeksi saluran nafas
2
g. Obat-obatan
h. Obesitas
2.3 Patofisiologi Asma
Pandangan tentang patogenesis asma telah mengalami perubahan pada
beberapa dekade terakhir. Dahulu dikatakan bahwa asma terjadi karena
degranulasi sel mast yang terinduksi bahan alergen, menyebabkan pelepasan
beberapa mediator seperti histamin dan leukotrien sehingga terjadi kontraksi
otot polos bronkus.2
Saat ini telah dibuktikan bahwa asma merupakan penyakit inflamasi
kronik saluran napas yang melibatkan beberapa sel, menyebabkan pelepasan
mediator yang dapat mengaktivasi sel target saluran napas sehingga terjadi
bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema, hipersekresi mukus dan
stimulasi refleks saraf.2,4
Gambar 1. Mekanisme Asma1
3
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran napas yang
berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu
episode mengi berulang, sesak napas dan batuk terutama pada malam atau dini
hari. Gejala ini berhubungan dengan luas inflamasi menyebabkan obstruksi
saluran napas yang bervariasi derajatnya dan bersifat reversibel secara spontan
maupun dengan pengobatan4.
Proses inflamasi pada asma khas ditandai dengan peningkatan eosinofil,
sel mast, makrofag serta limfosit-T di lumen dan mukosa saluran napas.
Proses ini dapat terjadi pada asma yang asimtomatik dan bertambah berat
sesuai dengan berat klinis penyakit4,6.
Perubahan akibat inflamasi pada penderita asma merupakan dasar
kelainan faal. Kelainan patologi yang terjadi pada penderita asma adalah
obstruksi saluran napas, hiperesponsivitas saluran napas, kontraksi otot polos
bronkus, hiperesekresi mukus, keterbatasan aliran udara yang ireversibel,
eksaserbasi, dan kelainan analisis gas darah.6
1. Obstruksi Saluran Napas
Bersifat difus dan bervariasi derajatnya, dapat membaik spontan atau
dengan pengobatan. Penyempitan saluran napas ini menyebabkan gejala
batuk, rasa berat di dada, mengi dan hiperesponsivitas bronkus terhadap
berbagai stimuli. Penyebabnya multifaktor, yang utama adalah kontraksi otot
polos bronkus yang diprovokasi oleh mediator yang dilepaskan sel inflamasi.
2. Hiperesponsivitas Saluran Napas
Mekanisme pasti hiperesponsivitas saluran napas belum diketahui jelas,
diduga karena perubahan sifat otot polos saluran napas sekunder terhadap
perubahan fenotip kontraktilitas. Inflamasi dinding saluran napas terutama di
daerah peribronkial dapat menambah penyempitan saluran napas selama
kontraksi otot polos. Hiperesponsivitas saluran napas dapat diukur dengan uji
provokasi bronkus.
3. Konstriksi Otot Polos Bronkus
4
Pada penderita asma terjadi peningkatan pemendekan otot polos bronkus
saat kontraksi isotonik. Perubahan fungsi kontraksi mungkin disebabkan oleh
perubahan aparatus kontraksi.
4. Hipersekresi Mukus
Terjadi hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet pada saluran napas
penderita asma. Penyumbatan saluran napas oleh mukus hampir selalu
didapatkan pada asma yang fatal. Hipersekresi mukus akan mengurangi
gerakan silia, mempengaruhi lama inflamasi dan menyebabkan kerusakan
struktur/fungsi epitel.
5. Analisis gas darah
Asma menyebabkan gangguan pertukaran gas; derajat hipoksemia
berkorelasi dengan penyempitan saluran napas akibat ketidakseimbangan
ventilasi perfusi.
Gambar 2. Patofisiologi Serangan Asma2
2.4 Klasifikasi Asma1,3
5
Klasifikasi derajat asma dibedakan berdasarkan gambaran klinisnya.
Klasifikasi ini dijelaskan dalam Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis
Derajat asma
Gejala Gejala malam
Faal paru
I. Intermiten
Bulanan Gejala < 1x/minggu Tanpa gejala diluar
serangan Serangan singkat
≤ 2x/bulan APE ≥ 80% VEP1 ≥ 80% nilai
prediksi APE ≥ 80% nilai
terbaik Variabilitas APE <
20%II. Persisten
Ringan
Mingguan Gejala > 1x/minggu,
tapi < 1x/hari Serangan dapat
mengganggu aktivitas dan tidur
Membutuhkan bronkodilator setiap hari
> 2x/bulan APE ≥ 80% VEP1 ≥ 80% nilai
prediksi APE ≥ 80% nilai
terbaik Variabilitas APE
20-30%
III. Persisten
Sedang
Harian Gejala setiap hari Serangan
menggangu aktivitas dan tidur
Membutuhkan bronkodilator setiap hari
>1x/minggu APE 60-80% VEP1 60-80% nilai
prediksi
APE 60-80% nilai
terbaik
Variabilitas APE >
30%
IV. Persisten
Berat
Kontinyu Gejala terus menerus Sering kambuh Aktivitas fisik
terbatas
Sering APE ≤ 60% VEP1 ≤ 60% nilai
prediksi APE≤ 60% nilai
terbaik Variabilitas APE >
30%
2.5 Gambaran Klinis
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan
sesak nafas. Batuk, meski pada mulanya tidak mengandung sekret, tetapi pada
6
perkembangannya kemudian pasien akan mengeluarkan sekret, baik yang mukoid,
putih, atau kadang-kadang purulen.1,2
Gejala lainnya dapat berupa rasa berat di dada dan juga pada asma alergik
dapat disertai dengan pilek atau bersin. Gejala tersebut dapat bervariasi menurut
waktu dimana gejala tersebut timbul musiman atau perenial, beratnya, intensitas,
dan juga variasi diurnal.1,2,3
Timbulnya gejala juga sangat dipengaruhi oleh adanya faktor pencetus seperti
paparan terhadap alergen, udara dingin, infeksi saluran nafas, obat-obatan, atau
aktivitas fisik. Faktor sosial juga mempengaruhi munculnya serangan pada pasien
asma, seperti karakteristik rumah, merokok atau tidak, karakteristik tempat
bekerja atau sekolah, tingkat pendidikan penderita, atau pekerjaan.2
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan tanda-tanda obstruksi jalan nafas
sesuai dengan tingkat keparahan serangannya. Ekspirasi memanjang, adanya
mengi yang dapat didengar langsung maupun yang didengar melalui auskultasi
paru, dan hiperinflasi dada adalah tanda-tanda yang bisa kita dapatkan pada
pnderita, Pada obstruksi yang berat dapat ditemukan adanya takipnoe, takikardia,
dan sianosis.1,2,3
2.6 Pemeriksaan Penunjang2
1. Spirometri
Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma
adalah dengan melihat respons pengobatan dengan bronkodilator.
Peningkatan VEP1 sebanyak 20% atau lebih antara sebelum dan sesudah
pemberian bronkodilator menunjukkan diagnosis asma. Namun, peningkatan
yang tidak mencapai 20% belum tentu mengindikasikan bahwa itu bukan
asma. Pemeriksaan spirometri, selain untuk diagnosis, juga penting untuk
menilai beratnya obstruksi, dan juga untuk menilai efek pengobatan.
2. Foto Dada
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain dari obstruksi
saluran nafas, dan juga untuk mengevaluasi adanya proses patologis di paru
ataupun komplikasi-komplikasi asma seperti pneumothoraks.
7
3. Pemeriksaan Sputum
Pada penderita asma, dapat ditemukan adanya eosinofil pada sputum. Pada
kasus-kasus yang didasarkan atopi, juga dapat dilakukan pemeriksaan IgE
total atau IgE spesifik.
4. Pemeriksaan Darah
Pada penderita asma ditemukan peningkatan eosinofil, yang membedakannya
dengan pasien bronkitis kronis. Pada penderita yang mengalami serangan
asma yang berat, dilakukan pula pemeriksaan analisis gas darah (AGD). Pada
fase awal serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Dalam kondisi asma
yang berat, dapat ditemukan adanya hipoksemia, hiperkapnia, dan asidosis
respiratorik.
2.7 Diagnosis Asma
Diagnosis asma dibuat diperoleh dari temuan-temuan penting pada anamnesis,
pemeriksaan, dan pemeriksaan penunjang,
Temuan Kunci Temuan Lain
Anamnesis Batuk
Suara mengi
Sesak nafas
Batuk berdahak sering
pada malam hari
Riwayat alergi, asma
Pemeriksaan Fisik Ekspirasi memanjang
Wheezing pada auskultasi paru
Hiperinflasi dada
Takikardia
Takipneu
Sianosis
Pemeriksaan
Penunjang
PEV1 meningkat 20% antara
sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator.
Eosinofilia
IgE spesifik
Hipoksemia
8
2.8 Diagnosis banding2
1. Bronkitis kronis
Ditandai dengan batuk kronik mengeluarkan sputum 3 bulan dalam
setahun paling sedikit terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai
sputum biasanya terjadi pada penderita > 35 tahun dan perokok berat.
Gejalanya berupa batuk di pagi hari, lama-lama disertai mengi, menurunya
kemampuan kegiatan jasmani pada stadium lanjut ditemukan sianosis dan
tanda-tanda kor pumonal.
2. Emfisema paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi
jarang menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma,
emfisema biasanya tida ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak pada
saat melakukan aktivitas. Pada pemeriksaan fisik di dapat dada seperti
tong, gerakan nafas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, suara
vesikuler sangat lemah. Pada foto dada didapat adanya hiperinflasi.
3. Gagal jantung kiri
Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal sebagai
paroksismal dispneu. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari
karena sesak, tetapi sesak berkurang jika penderita duduk. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan adanya kardiomegali dan udem paru.
2.9 Penatalaksanaan Serangan Asma Akut1,3
Kunci awal dalam penanganan serangan akut adalah penilaian berat serangan.
Penilaian berat serangan asma akut dijelaskan pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Klasifikasi Berat Serangan Asma Akut
Gejala dan
Tanda
Berat Serangan Akut Keadaan Mengan
cam
9
JiwaRingan Sedang Berat
Sesak nafas Berjalan Berbicara Istirahat
Posisi Dapat tidur terlentang
Duduk Duduk membungkuk
Cara berbicara
Satu kalimat Beberapa kata Kata demi kata
Kesadaran Mungkin gelisah Gelisah Gelisah Mengantuk, gelisah, kesadaran menurun
Frekuensi nafas
< 20/menit 20-30/menit > 30 menit
Nadi < 100 100-120 > 120 Bradikardia
Pulsus paradoksus
-
10 mmHg
±
10-20 mmHg
+
> 25 mmHg
-
kelelahan otot
Otot bantu nafas dan retraksi suprasternal
- + + Torakoabdominal paradoksal
Mengi Akhir ekspirasi paksa
Akhir ekspirasi Inspirasi dan ekspirasi
Silent chest
APE > 80% 60-80% < 60%
PaO2 > 80 mmHg 80-60 mmHg < 60 mmHg
PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg
SaO2 > 95% 91-95% < 90%
Setelah dilakukan penilaian beratnya serangan, maka kemudian dilakukan
penangaan sesuai dengan derajat serangan tersebut. Pilihan-pilihan penanganan
asma akut pada masing-masing jenis serangan, dijelaskan pada tabel di bawah ini.
10
Gambar 3. Penatalaksanaan Serangan Asma5
2.10 Penatalaksanaan Terapi Jangka Panjang
Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan.
Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk
mencapai atau mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, terdapat tiga
faktor yang perlu dipertimbangkan:
1. Medikasi (obat-obatan)
2. Tahapan pengobatan
3. Penanganan asma mandiri (pelangi asma)
11
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan
nafas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
A. Pengontrol
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang
termasuk obat pengontrol adalah:
a. Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol
asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi
menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan nafas,
mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan
memperbaiki kualitas hidup. Efek samping adalah efek samping lokal
seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi saluran
nafas atas.
b. Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan
sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat, tetapi
penggunaannya terbatas mengingat risiko efek sistemik. Untuk jangka
panjang, lebih efektif menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral
selang sehari. Jika steroid oral terpaksa harus diberikan, maka dibutuhkan
selama jangka waktu tertentu. Efek samping jangka panjang adalah
osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal pituitari
hipotalamus, katarak, glaukoma, obesitas, penipisan kulit, striae, dan
kelemahan otot.
c. Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Mekanisme yang pasti belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui
merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat pelepasan mediator
dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung pada
dosis dan seleksi serta supresi pada sel inflamasi tertentu (makrofag,
eosinofil, monosit), selain juga kemungkinan menghambat saluran
kalsium pada sel target. Pemberiannya secara inhalasi, digunakan sebagai
12
pengontrol pada asma persisten ringan. Efek samping umumnya minimal
seperti batuk atau rasa tidak enak obat saat melakukan inhalasi.
d. Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner
seperti antiinflamasi. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan
bersama/kombinasi dengan agonis β2 kerja singkat, sebagai alternatif
bronkodilator jika dibutuhkan. Teofilin atau aminofilin lepas lambat
dapat digunakan sebagai obat pengontrol, dimana pemberian jangka
panjang efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Preparat
lepas lambat mempunyai aksi/waktu kerja yang lama sehingga digunakan
untuk mengontrol gejala asma malam dikombinasi dengan antiinflamasi
yang lazim. Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi (≥10
mg/kgBB/hari atau lebih) dengan gejala gastrointestinal seperti nausea,
muntah adalah efek samping yang paling dulu dan sering terjadi. Efek
kardiopulmoner seperti takikardi, aritmia dan kadangkala merangsang
pusat nafas. Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan kejang bahkan
kematian.
e. Agonis β2 kerja lama
Termasuk agonis β2 kerja lama inhalasi adalah salmoterol dan formoterol
yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Agonis β2 memiliki efek
relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan
permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari
sel mast dan basofil. Pada pemberian jangka lama mempunyai efek
antiinflamasi, walau kecil dan mempunyai efek protektif terhadap
rangsang bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis β2 kerja lama
menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik dibandingkan preparat
oral. Karena pengobatan jangka panjang dengan agonis β2 kerja lama
tidak mengubah inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu
dikombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, dimana penambahan
agonis β2 kerja lama inhalasi akan memperbaiki gejala, menurunkan
asma malam, memperbaiki faal paru, menurunkan kebutuhan agonis β2
kerja singkat (pelega) dan menurunkan frekuensi serangan asma.
13
Agonis β2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik
(rangsangan kardiovaskuler, tremor otot rangka dan hipokalemia) yang
lebih sedikit atau jarang daripada pemberian oral.
f.Leukotrienemodifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui
oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga
memblok sintesis semua leukotrien (contohnya zileuton) atau memblok
reseptor-reseptor leukotrien sisteinil pada sel target (contohnya
montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut
menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan
bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain
bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi.
B. Pelega
a. Agonis β2 kerja singkat
Mempunyai waktu mulai kerja singkat (onset) yang cepat. Formoterol
mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara
inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat
dan efek samping minimal/tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana
agonis β2 yaitu relaksasi otot polos saluran nafas, meningkatkan
pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan
memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Efek
sampingnya rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan
hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan
efek samping.
b. Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walaupun efek bronkodilatasinya lebih
lemah dibandingkan agonis β2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat tidak
menambah efek bronkodilatasi agonis β2 kerja singkat dosis adekuat,
tetapi mempunyai manfaat untuk respiratory drive, memperkuat fungsi
otot pernafasan dan mempertahankan respon terhadap agonis β2 kerja
singkat diantara pemberian satu dengan berikutnya.
14
c. Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek
pelepasan asetilkolin dari saraf kolinergik dari jalan nafas. Menimbulkan
bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik,
selain itu juga menghambat refleks bronkokonstriksi yang disebabkan
iritan.. Efek samping berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit.
d. Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila
tidak tersedia agonis β2, atau tidak respon dengan agonis β2 kerja singkat.
C. Pengobatan Berdasarkan Derajat Berat Asma
Tabel 4. Pengobatan Sesuai Berat Asma1,3
Semua tahapan: ditambahkan agonis β2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak > 3-4x/hari
Berat Asma Medikasi Pengontrol Harian
Alternatif/Pilihan Lain Alternatif Lain
Asma Intermiten
Tidak perlu - -
Asma Persisten Ringan
Glukokortikosteroid inhalasi (200-400ug BD/hari atau equivalennya)
Teofilin lepas lambat
Kromolin
Leukotrien modifiers
-
Asma Persisten Sedang
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800ug BD/hari atau equivalennya) dan agonis β2 kerja lama
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800ug BD/hari atau equivalennya) ditambah teofilin lepas lambat, atau
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800ug BD/hari atau equivalennya) ditambah agonis β2 kerja lama oral, atau
Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800ug BD atau equivalennya) atau
Glukokortikosteroid inhalasi (400-800ug BD atau equivalennya) ditambah leukotriene modifiers
Ditambah agonis β2 kerja lama oral, atau
Ditambahkan teofilin lepas lambat
15
Asma Persisten Berat
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (>800ug BD/hari atau equivalennya) dan agonis β2 kerja lama, ditambah ≥1 dibawah ini:
- teofilin lepas lambat
- leukotriene modifiers
- glukokortikosteroid oral
Prednisolon/ metil prednisolon oral selang sehari 10 mg ditambah agonis β2 kerja lama oral, ditambah teofilin lepas lambat
Semua tahapan : bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan, kemudian diturunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi asma tetap
terkontrol
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Schatz, M., Elward, KS., Storms, W. 2007. Guidelines for the Diagnosis
and Management of Asthma. New York: National Institutes of Health
(NIH) Publication.
2. Sundaru, H., Sukamto. 2006. Asma Bronkial, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III edisi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 245-250.
3. O’Byrne, P., Bateman, ED., Bousquet, J., et al. 2006. Pocket Guide for
Asthma Management and Prevention. Canada: Global Initiative for
Asthma.
4. Rahmawati, I., Yunus, F., Wiyono, W.H. 2003. Patogenesis dan
Patofisiologi Asma.Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 141/2003.
Kalbe Farma. Hal 6-11.
5. Eric D, et al. 2009. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention 2009 (update). Canada: Global Initiative for Asthma
17
Top Related