6
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Tinjauan Pustaka
II.1.1. Bawang Putih (Allium sativum, Linn) (Fritsch & Friesen, 2002)
II.1.1.1 Taksonomi Bawang Putih
Kelas : Liliopsida
Subkelas : Liliidae
Superordo : Liliianae
Ordo : Amaryllidales
Familia : Alliaceae
Subfamilia : Allioideae
Suku : Allieae
Genus : Allium
Spesies : Allium sativum, Linn
Gambar 1. Bawang Putih (Pure Earth Organic Farm, 2011)
7
II.1.1.2. Nama lain bawang putih
Di daerah Sumatera ada beberapa nama daerah untuk tanaman ini seperti
lasun (Gayo), Lasuna (Karo dan Toba), dasun putih (Minang), bawang
handuk (Lampung), dan lain-lain. Di daerah Jawa, bawang putih dikenal
dengan nama bawang (Jawa), bawang bodas (Sunda), dan bhabang pote
(Madura) (Suriana, 2011).
Argentina (Ajomast, Alliocaps); Australia (garlix, macro garlic); Austria
(Kwai, Kyolic); Germany (benicur, ilja rogoff forte, kwai, sapec, strongus);
Italy (kwai); Malaysia (Kyolic); Portugal (alho rogoff); UK (garlimega,
kwai, kyolic); USA (Garlipure); Venezuela (kwai) (Barnes, 2007).
II.1.1.3. Morfologi Bawang Putih
Bawang putih merupakan sejenis tanaman seledri yang mempunyai
rasa seperti lobak. Benihnya berlendir dan dapat tumbuh di air. Tanaman
ini dapat tumbuh di seluruh dunia serta memiliki nilai jual tinggi
(Thomson, 2007) (Suriana, 2011).
Tanaman bawang putih juga merupakan tanaman semusim yang
tumbuh tegak dan berumpun. Tanaman ini dapat tumbuh meninggi hingga
mencapai 30-60 cm. Bagian-bagian tanaman ini meliputi akar, cakram
(yang berfungsi sebagai batang tidak sempurna), umbi, dan daun (Suriana,
2011).
Deskripsi
a. Akar
Seperti halnya tanaman bawang merah, tanaman bawang putih
merupakan tanaman monokotil dan berumpun. Sebagai spesies tanaman
monokotil, bawang putih berakar serabut. Sistem perakarannya sangat
dangkal dan berada di permukaan tanah. Oleh karena itu, tanaman ini
sangat rentan dengan cekaman kekeringan (Suriana, 2011).
8
Akar serabut pada tanaman bawang hanya berfungsi untuk
menyerap atau mengisi air dan nutrisi yang ada di sekelilingnya saja. Akar
ini tidak memiliki kemampuan menjelajah lebih dalam untuk mencari
persediaan air dan nutrisi yang cukup bagi pertumbuhan bawang putih
sangat diperlukan agar tanaman ini dapat tumbuh dengan optimal (Suriana,
2011).
b. Batang
Bagian yang berfungsi sebagai batang pada tanaman bawang putih
adalah cakram. Cakram merupakan lingkaran pipih yang terdapat di dasar
umbi bawang serta bertekstur kasar dan padat. Cakram ini berfungsi
sebagai batang pokok tidak sempurna bagi tanaman bawang dan terletak di
dalam tanah. Pada permukaan bawah cakram inilah nantinya tumbuh akar-
akar serabut tanaman bawang putih. Sementara yang tampak sebagai
batang di atas permukaan tanah adalah kelopak daun yang saling
membungkus kelopak daun di bawahnya sehingga terlihat seperti batang.
Bagian ini biasanya disebut dengan batang semu (Suriana, 2011).
c. Umbi
Satu bongkahan umbi bawang putih tersusun atas beberapa siung
yang mengelompok dan duduk pada satu cakram. Setiap siung dibungkus
oleh selaput tipis yang merupakan pangkal pelepah daun. Ukuran umbi
bawang putih sangat bervariasi, bergantung pada varietasnya masing-
masing. Umumnya bawang putih varietas impor memiliki ukuran yang
lebih besar daripada varietas lokal (Suriana, 2011).
Siung bawang putih berbentuk lonjong dan muncul dari setiap
ketiak daun. Hampir pada setiap ketiak daun muncul siung-siung bawang
putih ini, kecuali daun paling luar. Jumlah siung yang dihasilkan tiap
bongkahan umbinya berbeda-beda, bergantung pada varietas dan kondisi
lingkungan pertanamannya. Namun, rata-rata umbi varietas lokal
9
menghasilkan 15-20 siung setiap umbinya. Uniknya, ada juga yang hanya
menghasilkan satu siung bawang putih saja dalam satu umbi. Para petani di
daerah Jawa menyebut umbi tunggal ini dengan sebutan “ bawang lanang“
(Suriana, 2011).
Bawang lanang terbentuk akibat pengaruh lingkungan. Lingkungan
pertanaman yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman bawang
menyebabkan tanaman bawang putih hanya berkembang dalam satu tunas
saja, yaitu tunas utama. Tunas utama ini tumbuh dominan merajai
pertumbuhan tanaman. Ia menekan pertumbuhan tunas-tunas lain yang
merupakan bakal siung-siung lainnya sehingga terbentuk siung tunggal
yang utuh (Suriana, 2011).
Jika bagian punggung siung bawang putih dibelah secara vertikal,
kita bisa melihat pertumbuhan vegetatif bibit bawang ini. Tunas vegetatif
dilindungi oleh daging buah sekaligus berfungsi sebagai cadangan
makanan. Biasanya, tunas ini terletak di bagian tengah daging buah. Pada
pertumbuhannya, tunas vegetatif ini tumbuh menerobos bagian ujung
siung. Kecepatan pertumbuhannya bergantung pada kondisi lingkungan di
sekitarnya (Suriana, 2011).
Oleh karena itu, siung bawang putih juga bisa digunakan sebagai
calon benih untuk pertanaman bawang putih selanjutnya. Sebagai calon
benih, siung bawang putih melewati masa dormansi sekitar 6-8 bulan
(Suriana, 2011).
d. Daun
Tanaman bawang putih mempunyai daun yang sangat menarik.
Helai daun menyerupai pita, tipis, dan bagian pangkalnya membentuk
sudut. Daun berwarna hijau, biasanya terlihat lebih gelap pada sebelah atas
dan lebih cerah pada sisi daun bagian bawah (Suriana, 2011).
Kelopak daun menutupi siung umbi bawang putih hingga pangkal
daun. Kelopak daun ini saling menutupi dan membalut kelopak daun yang
10
lebih muda di bawahnya sehingga kekompakan kelopak ini membentuk
batang semu pada tanaman bawang putih yang posisinya ada persis di atas
umbi bawang (Suriana, 2011).
e. Bunga
Bawang putih biasanya tidak berbunga, namun pada beberapa
varietas ada juga yang menghasilkan bunga. Akan tetapi, bunga pada
tanaman bawang putih ini tidak memiliki nilai ekonomi maupun produksi.
Malah jika dibiarkan tumbuh dan berkembang, kehadiran bunga ini justru
menurunkan produksi umbi. Oleh karena itu, jika bunga muncul pada
tanaman bawang putih, sebaiknya harus segera dibuang dari tanaman
(Suriana, 2011).
Bunga tanaman bawang putih ini berwarna merah muda (pink).
Biasanya bunga ini muncul pada balutan kelopak yang membentuk batang
semu. Kehadiran bakal bunga ditandai oleh membengkaknya bagian batang
semu. Kehadiran bakal bunga ditandai oleh membengkaknya bagian batang
semu (seperti bunting) (Suriana, 2011).
II.1.1.4. Tempat Hidup Bawang Putih
Tanaman bawang putih ini dapat tumbuh di seluruh dunia yang awalnya
dianggap berasal dari Asia Tengah sampai Selatan. Biasanya pada tanah
yang berstektur lempung atau berpasir ringan atau berpasir ringan. Di mana
jenis tanah yang cocok untuk tanaman bawang putih adalah jenis tanah
grumusol (ultisol) (Thomson, 2007) (Suriana, 2011) (Kemper, 2000).
II.1.1.5. Produksi Bawang Putih
Tanaman bawang putih dipanen pada bulan September dan Oktober ketika
daun-daun dan umbinya mengering (Thomson, 2007).
11
II.1.1.6. Ekstrak Bawang Putih
Yang dimaksud dengan ekstrak bawang putih adalah hasil dari ekstraksi
bawang putih yang merupakan dengan penarikan zat pokok yang
diinginkan dari bahan mentah obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan
bawang putih dengan menggunakan pelarut yang dipilih di mana zat yang
diinginkan larut.
II.1.1.7. Metode Ekstraksi
Metode dasar dari ekstraksi obatdari tumbuh-tumbuhan adalah maserasi
(‘‘Proses M‘‘) dan perkolasi (‘‘Proses P‘‘).
7.1. Maserasi
Istilah maceration berasal dari bahasa Latin macerare, yang artinya „merendam“. Merupakan proses paling tepat di mana obat yang sudah
halus memungkinkan untuk direndam dalam pelarut sampai meresap
dan melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut akan
melarut (Ansel, 1989).
7.2. Perkolasi
Istilah perkolasi berasal dari bahasa Latin per yang artinya „melalui“
dan colare yang artinya “merembes“, secara umum dapat dinyatakan
sebagai proses di mana obat yang sudah halus, zat yang larutnya
diekstraksi dalam pelarut yang cocok dengan cara melewatkan
perlahan-lahan melalui obat dalam suatu kolom. Obat yang
dimampatkan dalam alat ekstraksi khusus disebut perkolator, dengan
ekstrak yang telah dikumpulkan disebut perkolat. Kebanyakan
ekstraksi obat dikerjakan cara perkolasi (Ansel, 1989).
II.1.1.8. Kandungan Bawang Putih
Menurut USDA National Nutrient Database for Standard Reference
(2011), tiap 1 gelas atau 136 gram bawang putih mengandung 203 kalori,
8,6 g protein, 45 g karbohidrat, 12,2 IU vitamin A, 42,4 mg vitamin C, 0,1
12
mg vitamin E, 2,3 µg vitamin K, 0,3 mg thiamin, 0,1 mg riboflavin, 1 mg
niacin, 1,7 mg vitamin B6, 4,1µg asam folat, 0,8 mg asam pentotenat, 31,6
mg kolin, 0,7 g lemak, 246 mg kalsium, 2,3 mg besi, 34 mg magnesium,
208 mg fosfor, 545 mg kalium, 23, 1 mg natrium, 1,6 mg seng, 0,4 mg
copper, 2,3 mg mangan, 19,3 mg selenium, 2 g debu, dan 79,7 g air. Pada
tanaman bawang putih juga terkandung zat aktif utama yaitu allicin yang
menghasilkan bau bawang putih (aroma) yang khas dihasilkan ketika
senyawa sulfur dan alisin bereaksi dengan enzim alinase (Evennett, 2006).
Adapun kandungan sulfur lainnya adalah aliin, ajoene, allylpropyl
disulfide, diallyl trisulfide, sallylcysteine, vinyldithiines, S-
allylmercaptocystein, dan lainnya. Selain itu juga tedapat enzim-enzim
antara lain: allinase, peroxides, myrosinase, dan lain-lain (Kemper, 2000).
II.1.1.9. Allicin Bawang Putih
Diallyl thiosulfinate (allicin) adalah zat yang terdapat dalam tanaman
bawang putih di mana zat ini berperan sebagai antimikroba dan antifungi.
Adapun rumus kimia dari allicin ialah:
Gambar 2. Ikatan Rantai Kimia Allicin (Almando, 2011)
Allicin tidak ditemukan secara utuh dalam tanaman bawang putih, akan
tetapi dibentuk oleh kerja enzim alliin alkyl-sulfenate-lyase pada asam
amino nonprotein S-allylcysteine S-oxide (alliin) (Feldberg, 1988).
13
II.1.1.10. Degradasi Allicin
Allicin merupakan senyawa yang sangat tidak stabil, sehingga mudah
terurai. Jika tidak diekstraksi dengan pelarut yang dapat mestabilkan
senyawa tersebut (etanol, minyak, air), allicin akan terurai dalam hitungan
menit dan akan habis dalam waktu kurang dari 2 jam. Sehingga efek yang
kemungkinan dapat ditimbulkannya terhadap lingkungan dan hewan-hewan
lainnya selain larva nyamuk, lebih ringan (Block, 2010).
Gambar 3. Rumus Kimia Allicin (Almando, 2011)
II.1.1.11. Manfaat Bawang Putih
Bawang putih adalah komoditas hortikultura yang kaya akan manfaat.
Kandungan gizi dan senyawa bermanfaat yang terdapat di dalam umbinya,
membuat komoditas ini dikenal dan dimanfaatkan hampir di seluruh dunia.
Secara umum umbi bawang putih dimanfaatkan dalam dua hal, yaitu
sebagai bumbu penyedap dan bahan dasar pembuatan obat-obatan (Suriana,
2011).
a. Bumbu penyedap
Umbi bawang putih diketahui mengandung metil alil disulfida, yaitu
senyawa yang menghasilkan aroma pedas dan harum serta banyak
digunakan sebagai bahan baku makanan olahan dalam berbagai industri
makanan (Suriana, 2011).
14
b. Bahan dasar obat-obatan
Umbi bawang putih diketahui mengandung unsur gizi dan senyawa
bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Senyawa-senyawa yang berkhasiat
bagi penyembuhan dalam umbi bawang putih ini di antaranya adalah
alisin, skordonin, germanium, selenium, dan sejenisnya. Senyawa-
senyawa ini dikenal mengandung zat antibiotik (pembunuh kuman
penyakit) dan merupakan zat yang dapat memberi manfaat bagi
peningkatan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit (Suriana,
2011). Secara tradisional, tanaman bawang putih digunakan untuk
terapi bronkitis kronik, radang pada selaput lendir pernapasan, pilek
yang berulang, batuk rejan, asma bronkitis, influenza, dan bronkitis
kronik. Penggunaan bawang putih secara modern dan olahan bawang
putih difokuskan terhadap efek antihipertensi, anti-atherogenik,
antitrombotik, antimikrobial, fibrinolitik, pencegah kanker, dan
merendahkan lipid (Barnes, 2007).
a. Anti-atherosclerotik dan kolesterol- dan perendah lemak
Ekstrak bawang putih digunakan sebagai antikolesterol dan
sintesis lipid dikarenakan menghambat hydroxymethylglutaryl-CoA
(HMG-CoA) penghambat aktivitas dan enzim-enzim lain seperti
lanosterol-14-demethylase mencakup dalam biosintesis kolesterol. Pada
perendah lemak, bawang putih berperan dalam menghambat sintesis
lipid dan meningkatkan ekskresi sterol yang netral dan asam (Barnes,
2007).
b. Antitrombotik dan fibrinolitik
Bawang putih segar, bubuk bawang putih, minyak bawang putih
berperan sebagai antitrombotik dengan menghambat aggregasi platelet
disebabkan induksi dari Adenosin Diphosphate (ADP), kolagen, asam
araknoid, adrenalin (epinefrin) dan ionophore kalsium (Barnes, 2007).
15
c. Antioksidan
Bawang putih dapat menghambat pembentukan radikal bebas,
mempertinggi enzim antioksida seluler (superoxide dismutase, katalase,
glutathion peroxidase), melindungi Low- Density Lipoprotein (LDL)
dari oksidasi oleh radikal bebas serta menghambat aktivasi oksidan
pendonrong transkripsi faktor nuklear faktor kappa B (NF-ĸB) (Barnes,
2007).
d. Antihipertensi
Bawang putih dilaporkan dapat menurunkan tekanan darah pada
hewan percobaan (anjing, kucing) yang hipertensi (Barnes, 2007).
e. Antikarsinogenik dan antitumorgenik
Allicin, senyawa turunan allicin dan senyawa lainnya yang tidak
berhubungan dengan allicin berkontribusi perannya sebagai antikanker,
Hal ini di karenakan adanya penghambatan karsinogenesis dan melawan
perkembangan tumor misalnya ekstrak bawang putih secara signifikan
menghambat pertumbuhan Sarcoma-180 dan LL/ 2 sel karsinoma paru
yang ditransplantasikan ke tikus-tikus. (Barnes, 2007).
f. Immunomodulatory
Ekstrak bawang putih mempunyai efek mempertinggi immun
seperti menstimulasi proliferasi limfosit dan fagositosis makrofag,
menginduksi makrofag dan menginfiltrasikan limfosit terhadap
transplantasi tumor serta menstimulasi pelepasan interferon-γ. Selain
itu juga dapat meningkatkan aktivitas sel natural killer dan interleukin-
2 (Barnes, 2007).
16
g. Antimikrobial
Allicin memiliki aktivitas antimikrobial (mencakup
antibakterial, antiviral, antifungi, antiprotozoa, dan antiparasit). Secara
in vitro, dilaporkan bahwa bawang putih sensitif terhadap bakteri
antara lain Staphylococcus, Escherichia, Proteus, Salmonella,
Providencia, Citrobacter, Klebsiella, Hafnia, Aeromonas, dan Bacillus.
Namun, allicin sendiri secara signifikan dapat melawan Bacillus
subtilis, Staphylococcus aureus, Staphylococcus faecalis, Escherichia
coli, Proteus mirabilis, Salmonella typhi, dan Vibrio cholerae. Bawang
putih juga dilaporkan mampu menghambat pertumbuhan 30 strains
(termasuk di dalamnya 17 spesies) mikobakteria misalnya
Mycobacterium tuberculosis. Ekstrak bawang putih dengan pelarut air
dan etanol dapat menghambat pertumbuhan strain M. avium komplek
(MAC) yang diisolasi dari pasien dengan atau tanpa Acquired Immune
Deficiency Syndrome (AIDS). Ekstrak bawang putih dengan pelarut air
pada konsentrasi 2-5 mg/mL mampu menghambat pertumbuhan
Helicobacter pylori pada pasien dengan gastritis kronik atau ulkus
duodenum (Barnes, 2007).
Aktivitas spektrum luas pada bawang putih terhadap
perlawanan jamur meliputi Microsporum, Epidermophyton,
Trycophyton, Rhodo Torula, Torulopsis, Trichosporon, Cryptococcus
neoformans, dan Candida termasuk Candida albicans. Ekstrak bawang
putih dilaporkan lebih efektif dibandingkan nistatin dalam kerjanya
melawan jamur patogen, khususnya Candida albicans. Penghambatan
terhadap sintesis lipid merupakan faktor yang penting dalam aktivitas
antikandidal dengan kandungan disulfida seperti allicin yang
merupakan komponen aktif utama. Bawang putih juga ditemukan dapat
menghambat pertumbuhan dan produksi toksin Aspergillus parasiticus
(Barnes, 2007).
17
Allicin diproduksi dari sintesis alliin dengan allinase yang
diisolasi dari potongan bawang putih dapat menghambat destruksi sel
ginjal bayi hamster oleh tropozoit pada protozoa Entamoeba histolytica
in vitro. Allicin juga menghambat aktivitas cystein proteinase tropozoit
E. Histolytica. Selain itu juga, secara in vitro dapat melawan Giardia
intestinalis (Barnes, 2007).
Secara In vitro, ekstrak bawang putih memiliki aktivitas
antiviral melawan parainfluenza tipe 3, herpes simpleks tipe 1 dan
influenza B. Aktivitas ini dihubungkan dengan derivat allicin (Barnes,
2007).
h. Antihepatotoksik
Minyak bawang putih dan komponennya, bernama alliin, S-
allylmercaptocysteine (ASCC) dan S-methylmercaptocysteine (MSSC)
mengurangi carbon tetrachloride (CCl4)- dan galactosamine (pemicu
hepatotoksisitas in vitro. Laporan lain menunjukkan secara in vitro
bahwa S-allylcysteine, S-propylcysteine dan S-allylmercaptocysteine
menetralkan CCl4- pemicu hepatotoksisitas serta S-allylcysteine dan
S-allylmercaptocysteine mencegah kerusakan hati oleh hepatotoksin
pada hepatitis akut di tikus-tikus (Barnes, 2007).
i. Lainnya
Diet yang mengandung 2% ekstrak bawang putih dilaporkan
melindungi kerusakan intestinal yang diinduksi oleh oral methotrexate
dan 5- fluorouracil pada tikus 4-5 hari (Barnes, 2007).
II.1.1.12. Efek Samping dan Kontra Indikasi Bawang Putih
Menurut National Center for Complementary and Alternative Medicine
(2011), tanaman bawang putih cukup aman untuk sebagian besar orang
dewasa. Efek sampingnya berupa bau badan dan bau mulut, heatburn,
18
nyeri perut serta reaksi alergi bila mengkonsumsi bawang putih mentah.
Bawang putih dapat mengencerkan darah dengan cara yang mirip dengan
aspirin, sehingga sebaiknya tidak dikonsumsi ketika akan mengalami
pembedahan ataupun jika ada riwayat gangguan pembekuan darah.
Bawang putih akan berinteraksi dengan saquinavir yang merupakan obat
untuk terapi infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan
menurunkan efektivitasnya dikarenakan dapat mengurangi kadar protease
inhibitor (UMMC, 2011) (NCCAM, 2011). Bawang putih juga dapat
memperberat efek obat-obatan antiagregasi platelet seperti indometasin,
dipiridamol, plavix, dan aspirin serta obat pengencer darah seperti warfarin
(UMMC, 2011). Dan terakhir, bawang putih dianggap memiliki peran
dalam pengguguran dan mempengaruhi siklus menstruasi sehingga hal ini
membuat bawang putih dikontraindikasikan bagi ibu hamil dan menyusui
(Barnes, 2007). Namun, dalam suatu penelitian, Cochrane Database
Review menjelaskan bawang putih efektif dalam penanganan pre-eklamsia
kehamilan (Thomson, 2007).
II.1.2. Mekanisme allicin bawang putih sebagai antifungi
Menurut hasil penelitian dari Fujita-Gakuen University School of
Medical Technological yang diterbitkan dalam artikel yang berjudul
“Evaluation of the In Vitro Antifungal Activity of Allicin”, mekanisme kerja
allicin ialah menghambat perkecambahan spora jamur dan pertumbuhan hifa
dikarenakan hifa merupakan bagian dari jamur yang dengan cepat
menimbulkan struktur reproduksi. Normalnya, pada medium agar sabouraud
dekstrose jamur dapt tumbuh dengan cepat, jamur-jamur tersebut bercabang
panjang tumbuh secara tetap atau teratur dan ujungnya tumbuh dengan normal
(Yamada and Azuma, 1977).
19
II.1.3 . Dermatofitosis
Sinonim: tinea, ringworm, herpes sirsinata, kurap.
Definisi
Dermatofitosis ialah mikosis superfisialis pada jaringan yang
mengandung zat tanduk (keratin) yang disebabkan oleh golongan jamur
dermatofita yang mengeluarkan enzim keratinase sehingga mampu mencerna
keratin pada kuku, rambut, dan stratum korneum pada kulit (Sutanto, et al,
2008).
Epidemiologi
Dermatofitosis cukup banyak ditemukan di Indonesia, baik pada pria
maupun pada wanita. Sumber infeksi diduga berasal dari orang-orang di
sekitar penderita (antropofilik), tanah/debu (geofilik), dan binatang peliharaan
(zoofilik). Kebersihan lingkungan dan pribadi penting untuk mencegah
infeksi. Infeksi oleh jamur antropofilik biasanya relatif tanpa peradangan,
sedangkan dermatofitosis geofilik dan zoofilik seringkali disertai peradangan
(Sutanto, et al, 2008)
Etiologi
Dermatofitosis disebabkan oleh golongan jamur dermatofita.
Dermatofita merupakan golongan jamur yang mempunyai sifat dapat
mencernakan keratin. Berdasarkan sifat morfologi, dermatofita
dikelompokkan dalam tiga genus: Tricophyton, Microsporum, dan
Epidermophyton. Enam spesies penyebab utama dermatofitosis di Indonesia
ialah Tricophyton rubrum, Tricophyton mentagrophytes, Microsporum canis,
Microsporum gypseum, Tricophyton concentrium dan Epidermophyton
floccosum (Sutanto, et al, 2008). Dermatofita digolongkan sebagai geofili,
zoofili, atau antropofili yang bergantung pada habitat lazimnya, yaitu tanah,
hewan, atau manusia (Jawetz, 2008).
20
Gambar 4. Spesies Penyebab Dermatofitosis
Morfologi
Jamur golongan dermatofita membentuk koloni filamen pada biakan
agar Sabouroud. Walaupun semua spesies membentuk koloni filamen, tetapi
masing-masing mempunyai sifat koloni, hifa dan spora yang berbeda. Pada
umumnya, genus Tricophyton membentuk makrokonidia berbentuk panjang
menyerupai pensil dan semua dermatofita dapat membentuk hifa spiral
(Sutanto, et al, 2008). Bentuk vegetatifnya ialah miselium septat. Dicirikan
oleh mikrokonidium berbentuk gada dengan ukuran 4-8 µm x 3-4 µm).
Stadium akomiset yang dikenal mempunyai nama genus Arthroderma.
(Pelczar and Chan. 2005).
Hifa T. rubrum halus. Jamur ini membentuk banyak mikrokonidia.
Mikrokonidianya kecil, berdinding tipis dan berbentuk lonjong. Mikrokonidia
ini terletak pada konidiofora yang pendek, dan tersusun secara satu per satu
21
pada sisi hifa (en thyrse) atau berkelompok (en grappe). Makrokonidia dari T.
rubrum berbentuk sebagai pensil dan terdiri atas beberapa sel.
Mikrokonidia T. mentagrophytes berbentuk bulat dan membentuk
banyak hifa spiral. Makrokonidia T. mentagrophytes ini juga berbentuk pensil.
M. canis mempunyai makrokonidia berbentuk kumparan yang berujung
runcing dan terdiri atas 6 sel atau lebih. Makrokonidia ini berdinding tebal.
Mikrokonidia M. canis berbentuk lonjong dan tidak khas. Makrokonidia M.
gypseum juga berbentuk kumparan terdiri atas 4-6 sel, dan dindingnya lebih
tipis. Mikrokonidia M. gypseum juga berbentuk lonjong dan tidak khas.
Pada E. floccosum, bentuk hifanya lebar. Makrokonidianya berbentuk
ganda, berdinding tebal dan terdiri atas 2-4 sel. Beberapa makrokonidia ini
tersusun pada satu konidiofora. Dan mikrokonidia biasanya tidak ditemukan
(Sutanto, et al, 2008).
Tempat Predileksi
Berdasarkan lokalisasi kelainan pada badan, dermatofitosis dibagi
menjadi. 6 yaitu: tinea kapitis yang disebabkan oleh spesies dari Microsporum
dan Tricophyton yang mengenai kulit kepala dan folikel rambut serta lebih
banyak terdapat pada anak; tinea korporis yang disebabkan oleh spesies dari
Trichophyton, Microsporum dan E. floccosum yang mengenai kulit wajah
yang berminyak (kecuali jenggot), badan, lengan, dan tungkai (termasuk
punggung tangan dan kaki); tinea imbrikata yang disebabkan oleh spesies T.
concentricum yang mengenai seluruh badan kecuali kepala yang berambut,
telapak tangan dan kaki; tinea favosa yang disebabkan oleh spesies T.
Schoenleini, kadang-kadang juga T. violaceum dan M. gypseum yang dapat
mengenai kulit kepala dan dapat menyebar ke tubuh dan kuku menimbulkan
bau yang khas yang khas disebut mousy odor; tinea kruris yang disebabkan
oleh spesies dari Trichophyton, Microsporum, dan E. floccosum yang
mengenai paha atas bagian tengah, kulit di daerah inguinal, pubis dan
perineum; tinea pedis yang disebabkan oleh spesies dari Tricophyton yang
22
mengenai kulit di antara jari-jari kaki, terutama antara jari ke 3 - 4 dan ke 4 –
5, telapak kaki dan bagian lateral kaki; tinea barbae yang disebabkan oleh
spesies dari jamur yang zoofilik, misalnya T. verrucosum yang menyebabkan
kelainan kulit disertai folikulitis (radang pada folikel rambut) terdapat di
daerah dagu dan dapat menyebar; tinea unguium yang disebabkan spesies dari
E. floccosum dan genus Trichophyton serta pernah dilaporkan genus
Microsporum menginfeksi satu kuku atau lebih (Sutanto, et al, 2008).
Tinea
Korporis
Tinea
Unguium
Tinea Kruris
Tinea Pedis
Tinea Kapitis
Tinea Barbae
Gambar 5. Tempat Predileksi Dermatofitosis
23
Pembagian:
1. Tinea kapitis
Sinonim: ringworm of the scalp
Penyakit ini mengenai anak-anak berusia 3-7 tahun, jarang terjadi pada
anak yang telah puber yang disebabkan oleh infeksi Microsporum diduga
karena perubahan kimiawi sebum. Sedangkan infeksi Trichophyton dapat
menyerang kelompok umur remaja dan dewasa dalam bentuk ringan.
Terdapat 3 bentuk klinis:
a. Bentuk kerion: kelainan akut disertai peradangan dan pembentukan
pustul. Rambut yang terinfeksi tidak mengkialt lagi, mudah rontok dan
tidak nyeri bila dicabut sehingga mengakibatkan alopesia (botak).
b. Bentuk grey patch: timbul rasa gatal, alopesia yang bersisik tanpa
peradangan, rambut tidak mengkilat lagi dan patah di atas permukaan
kulit.
c. Bentuk black dot: pada kulit kepala tampak bintik-bintik hitam karena
rambut patah pada folikel.
2. Tinea Korporis
Sinonim: Dermatofitosis of the glabrous skin, ringworm, tinea sirsinata,
tinea glabrosa.
Insidensi penyakit ini lebih banyak di daerah beriklim lembab dan hangat
(tropis). Adapun faktor predisposisi antara lain penyakit sistemik (diabetes
melitus, cushing syndrome, infeksi HIV dan immunokompromis).
Sedangkan faktor risiko lain adalah orang yang sering kontak dengan
binatang, tanah, atau olahragawan.
Kelainan pada tinea korporis biasanya disertai rasa gatal. Adanya lesi
berbentuk plakat anular dengan sisik pada bagian tepi dan bagian tengah
tampak lebih bersih pada stadium akut sedangkan pada stadium menahun
batas sering tidak jelas. Hal ini terjadi apabila infeksi disebabkan oleh
24
spesies dermatofitosis antropofilik. Dan bisa timbul peradangan mulai dari
vesikel dan pustul sampai bula yang disebabkan oleh spesies
dermatofitosis geofilik dan zoofilik.
3. Tinea Imbrikata
Kelaianan berupa sisik kasar yang terbentuk secara konsentris dan sisik itu
terlepas di bagian dalam lingkaran sehingga terlihat seperti susunan
genteng. Pada stadium lanjut banyak timbul pusat-pusat susunan sisik
konsentris sehingga tidak terlihat lagi susunan sisik konsentris, tetapi sisik
kasar yang tidak beraturan melapisi kulit.
4. Tinea Favosa
Kelainan berupa sputula dibentuk oleh sisik-sisik yang tersusun seperti
kerucut. Di bagian kepala dapat menyebabkan pitak yang menetap
(alopesia permanen) bila tidak cepat diobati.
5. Tinea Kruris
Sinonim: eczema marginatum, gym itch, hobie itch, ringworm of the groin,
tinea inguinalis.
Insidensi penyakit ini terutama di daerah beriklim tropis. Infeksi umumnya
terjadi pada laki-laki postpubertal namun demikian perempuan juga dapat
terkena. Penularan lebih mudah terjadi dalam lingkungan yang padat atau
pada tempat dengan pemakaian fasilitas bersama seperti asrama dan di
rumah tahanan. Adapun faktor predisposisinya adalah pemakaian baju
ketat, keringat, dan baju mandi yang lembab dalam kurun waktu yang
lama. Obesitas dan diabetes melitus dapat juga menjadi faktor risiko dari
penyakit ini.
25
6. Tinea Pedis
Sinonim: Athlete’s foot, ringworm pada telapak kaki
Prevalensi pada laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Insidens
meningkat sesuai dengan meningkatnya umur dan umumnya terjadi
pascapubertas.
Faktor predisposisi berupa kaki yang selalu basah, baik oleh air (tukang
cuci), maupun oleh keringat (sepatu tertutup dan memakai kaos kaki).
Sering terjadi maserasi kulit.
7. Tinea Barbae
Kelainan pada penyakit ini dapat menyebabkan semua rambut yang
terinfeksi menjadi rontok disebabkan oleh jamur zoofilik.
8. Tinea Unguium
Penyakit ini menimbulkan gejala permukaan kuku tidak rata. Kuku
menjadi rapuh atau keras, dan kuku yang terkena dapat terkikis.
Patologi dan Gejala Klinis
Jamur golongan dermatofita selain mengeluarkan enzim keratinase
yang mencerna keratin, patogenitasnya juga meningkat karena produksi
mannan yaitu suatu komponen dinding sel yang bersifat immunoinhibitory.
Mannan juga mempunyai kemampuan menghambat eliminasi jamur oleh
hospes dengan menekan kerja cell mediated immunity.
Namun, ada beberapa faktor dalam tubuh hospes yang berperan
dalam menghambat patogenitas seperti progesteron mampu menghambat
pertumbuhan jamur golongan dermatofita, karena itu insidens dermatofitosis
lebih banyak pada laki-laki. Selain itu, dengan adanya unsaturated fatty acid
pada sebum juga mampu menghambat pertumbuhan jamur (Sutanto, et al,
2008).
26
II.I.4. Tricophyton rubrum
1. Taksonomi
Kingdom : Fungi
Divisi : Ascomycota
Kelas : Euascomycetes
Ordo : Onygenales
Familia : Arthrodermataceae
Genus : Trichophyton
Spesies : Trichophyton rubrum (Setu, 2011)
2. Nama Lain T. rubrum
T. purpureum, T. rubidium, T. “B”, T. marginatum, T. plurizoniforme, T.
lanoroseum, T. coccineum, T. spadix, T. multicolor, T. kagawaense, T.
rodhainii, E. rubrum, E. perneti, E. salmoneum, T. fluviomuninese
(Williard, 1974).
3. Identifikasi dan morfologi
Koloni tipikal T. rubrum mempunyai permukaan seperti kapas yang
berwarna putih dan mempunyai pigmen tidak dapat berdifusi berwarna
merah pekat bila dilihat dari sisi koloni sebaliknya (Jawetz, 2008).
Trichophyton spp. Mempunyai makrokonidia berdinding halus berbentuk
silinder. Pembentukan makrokonidia oleh Trichophyton spp. sangat sedikit
bilamana dibiakkan pada agar maltose Sabouraud (Hart and Shears, 1997).
T. rubrum menunjukkan frekuensi terbanyak sebagai agen penyebab
dermatofitosis supefisial. Dermatofita menjadi anggota kelompok khusus
tertinggi yang menyebabkan infeksi pada jaringan keratin (kulit, rambut,
dan kuku) manusia dan binatang yang menyebabkan dermatofitosis, juga
dikenal sebagai penyakit tinea. T. rubrum merupakan spesies dermatofita
terbanyak yang diamati di seluruh dunia yang manifestasi kliniknya
biasanya mengenai antara jari-jari kaki (tinea pedis) (Baran, 2011).
27
Gambar 4. Morfologi T. rubrum (Mikrobiologi Farmasi Indonesia, 2011)
4. Biakan
Identifikasi Dermatofita sp. memerlukan biakan. Spesimen
diinokulasi ke dalam agar kapang inhibitorik atau bagian miring agar
Sabouraud yang mengandung sikloheksimid dan kloramfenikol untuk
menekan pertumbuhan kapang dan bakteri, diinkubasi selama 1-3 minggu
pada suhu ruangan, kemudian diperiksa dalam biakan kaca objek bila
diperlukan. Spesies diidentifikasi berdasarkan morfologi koloni (kecepatan
pertumbuhan, tekstur permukaan, dan pigmentasi), morfologi mikroskopik
(makrokonidia, mikrokonidia), dan pada beberapa kasus, kebutuhan nutrisi.
Gambar 5. Biakan Trichophyton rubrum. T. Rubrum telah dibiakkan pada
agar dekstrosa Sabouraud (Hart and Shears, 1997).
28
5. Patogenesis
Genus Trichophyton dan Microsporum menimbulkan kelainan pada
kulit, rambut, dan kuku. T. rubrum mampu menghinggapi manusia (jamur
antropofilik). Hal ini dikarenakan jamur mengadakan kolonisasi pada kulit,
kuku, atau rambut. Gambaran klinis bervariasi bergantung pada lokasi
kelainan, respon imun selular penderita terhadap penyebab serta jenis
spesies. Jamur antropofilik ini umumnya menyebabkan kelainan yang
tenang tanpa peradangan menahun. Pada umumnya dermatofitosis pada
kulit mempunyai morfologi yang khas, yaitu kelainan berbentuk lingkaran
yang berbatas tegas oleh vesikel-vesikel kecil, dengan dasar kelainan
berwarna kemerahan dan tertutup dengan sisik-sisik. Jamurnya terdapat di
sisik tersebut dan di dinding vesikel. Keluhan penderita ialah gatal
terutama bila berkeringat (Sutanto, et al, 2008).
5. Diagnosis laboratorium
Diagnosis laboratorium dibuat berdasarkan pemeriksaan langsung
kerokan kulit, rambut, kuku dengan KOH 10-20% yang ditambah 5%
gliserol kemudian dipanaskan (51-54°C). KOH akan melisikan sel kulit,
kuku, dan rambut sehingga elemen jamur dapat terlihat jelas.
Penambahan zat warna seperti chlorazole black E atau tinta parker biru-
hitam pada KOH semakin mempermudah terlihatnya elemen jamur. Pada
sediaan KOH dari kulit, rambut, dan kuku, jamur tampak sebagai hifa
berseptum dan bercabang. Hifa-hifa tersebut kemudian dapat membentuk
artrospora yang pada kuku dan rambut terlihat sebagai spora-spora yang
tersusum padat. Pembiakkan dilakukan pada medium agar Sabouraud
yang dibubuhi antibiotik dan disimpan pada suhu kamar. Spesies jamur
ditentukan oleh sifat koloni, hifa dan spora dibentuk (Sutanto, et al,
2008).
29
II.1.5. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan jamur
1. Nutrien
Mikroba akan membutuhkan karbon dalam sejumlah reaksi
biosintesis dan menghasilkan lebih dari cukup untuk memenuhi
kebutuhannya.
2. Aerasi
Berbagai organisme obligat aerob, secara khusus membutuhkan
oksigen sebagai penerima hidrogen, beberapa adalah fakultatif, mampu
hidup secara aerob atau secara anaerob, membutuhkan substansi selain
oksigen sebagai penerima hidrogen dan menjadi peka terhadap
penghambatan oksigen. Hasil alami metabolisme aerob adalah senyawa-
senyawa reaktif hidrogen peroksida (H2O2) dan superosida (O2). Dua
spesies ini menghasilkan radikal hisroksil (OH), yang dapat merusak
setiap makromolekul biologi dengan adanya unsur besi.
3. Konsentrasi ion hidrogen (pH)
Kebanyakan organisme memiliki kisaran pH optimal yang sempit
mendekati pH netral antara 6,5-7,5. Acidophils merupakan mikroba yang
dapat mentoleransi asam memiliki pH optimal serendah 3,0 dan
alkalophiles memiliki pH optimal setinggi 10,5.
4. Temperatur
Spesies mikroba yang berbeda sangat beragam kisaran temperatur
optimalnya untuk tumbuh, berbentuk psychrophilic (mikroorganisme yang
menyukai suhu dingin) tumbuh terbaik pada temperatur rendah 15-200C,
bentuk mesophilic (mikroorganisme yang menyukai suhu sedang) tumbuh
terbaik pada 30-370C dan kebanyakan bentuk thermophilic
(mikroorganisme yang menyukai suhu hangat) tumbuh terbaik pada 50-
600C. Kebanyakan organisme adalah mesophilic, 300C adalah temperatur
30
optimal untuk berbagai bentuk yang hidup bebas, dan temperatur badan
inang adalah optimal untuk tumbuh dengan cepat. Temperatur yang
ekstrim dapat membunuh dan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan
mikroorganisme.
II.1.6. Mekanisme kerja antifungi
Mekanisme kerja antifungi dibagi menjadi dua yaitu:
1. Fungistatik
Bahan antifungi memiliki kemampuan untuk menghambat perkembangbiakan
fungi. Jika bahan antifungi dihilangkan, perkembangbiakan fungi berjalan
kembali (Brunton, 2006).
2. Fungisidal
Bahan antifungi memiliki kemampuan untuk membunuh fungi. Jika bahan
antifungi dihilangkan, perkembangbiakan tidak berjalan kembali (Brunton,
2006).
II.1.7. Jenis obat antifungi
Jenis obat antifungi dibagi menjadi dua yaitu:
1. Antifungi Sistemik
Amfoterisin B, flusitosin, grup azol (ketokonazol,flukonazol, itrakonazol),
griseovulfin, kalium iodide (Brunton, 2006).
2. Antifungi Topikal
Imidazol, tolnaftat, nistatin, kandisidin, asam salisilat, asam undesilinat,
haloprogin, natamisin (Brunton, 2006).
31
II.1.8. Obat antifungi dermatofita
1. Griseofulvin
Asal dan Kimia
Griesofulvin diisolasi dari Penicillium griseovulum dierckx. Pada
tahun 1946, Brian dkk. Menemukan bahan yang menyebabkan susut dan
mengecilnya hifa yang disebut sebagai curling factor kemudian ternyata
diketahui bahwa bahan yang mereka isolasi dari Penicillim janczewski
adalah griseofulvin (Gunawan, 2005).
Aktivitas Antijamur
Griseofulvin in vitro efektif terhadap berbagai jenis jamur
dermatofit seperti Trichophyton, Epidermophyton dan Microsporum.
Terhadap sel muda yang sedang berkembang griseofulvin bersifat
fungisidal. Obat ini tidak efektif terhadap bakteri, jamur lain, dan ragi,
Actinomyces dan Nocardia. Efek fungistatik obat ini belum sepenuhnya
dapat dijelaskan. Ada laporan mengemukakan mekanisme kerja obat ini
mirip dengan kolkisin dan alkaloid vinka. Tetapi seperti telah diutarakan
di atas, obat ini akan menghambat mitosis sel muda dengan mengganggu
sintesis dan polimerasi asam nukleat(Gunawan, 2005).
Farmakokinetik
Griseofulvin kurang baik penyerapannya pada saluran cerna
bagian atas karena obat ini tidak larut dalam air. Dosis oral 0,5 g hanya
akan menghasilkan kadar plasma tertinggi kira-kira 1µg/mL setelah 4 jam.
Preparat dalam bentuk yang kecil (microsized) diserap lebih baik.
Absorbsinya meningkat apabila diberikan bersamaan dengan makanan
berlemak. Obat ini dimetabolisme di hati dan metabolit utamanya adalah
6- metilgriseofulvin. Waktu paruh obat ini kira-kira 24 jam, 50% dari
dosis oral yang diberikan, dikeluarkan bersama urin dalam bentuk
metabolit selama 5 hari. Kulit yang sakit mempunyai afinitas yang tinggi
32
terhadap obat ini. Obat ini akan dihimpun dalam sel pembentuk
keratin,lalu muncul bersama sel yang baru berdiferensiasi, terikat kuat
dengan keratin sehingga sel baru ini akan resisten terhadap serangan
jamur. Keratin yang mengandung jamur akan terkelupas dan diganti oleh
sel yang normal. Antibiotik ini dapat ditemukan dalam lapisan tanduk 4-8
jam setelah pemberian obat oral. Keringat dan hilangnya cairan
transepidermal memegang peranan penting dalam penyebaran obat ini
pada stratum korneum; kadar yang ditemukan dalam cairan dan jaringan
tubuh lainnya sangat kecil sekali (Gunawan, 2005).
Efek Samping
Efek samping yang berat jarang timbul akibat pemakaian
griseofulvin. Leukopenia dan granulosiopenia dapat terjadi pada
pemakaian dosis besar dalam waktu lama; karena itu sebaiknya dilakukan
pemeriksaan darah yang teratur selama pemakaian obat ini. Sakit kepala
merupakan keluhan utama, terjadi kira-kira pada 15 % pasien, yang akan
hilang sendiri sekalipun pemakaian obat dilanjutkan. Efek samping
lainnya seperti artralgia, neuritis perifer, demam, pandangan kabur,
insomnia, berkurangnya fungsi motorik, pusing dan sinkop; pada saluran
cerna dapat terjadi rasa kering mulut, mual, muntah, diare, dan flatulensi.
Mungkin pula ditemukan albuminuria dan silinderuria tenpa kelainan
ginjal. Pada kulit dapat terjadi urtikaria, reaksi fotosensitivitas, eritema
multiforme, vesikula, dan erupsi menyerupai morbili. Pada anak dapat
timbul reaksi menyerupai efek estrogen. Griseofulvin menginduksi enzim
mekrosom sehingga terjadi peningkatan metabolism warfarin. Beberapa
obat kontrasepsi oral juga mengalami keadaan serupa. Sebaliknya
griseofulvin akan dihambat penyerapannya dari saluran cerna oleh
barbiturate (Gunawan, 2005).
33
Indikasi
Griseofulvin memberikan hasil yang baik terhadap penyakit jamur
di kulit, rambut, dan kuku yang disebabkan oleh jamur yang sensitive.
Gejala pada kulit akan berkurang dalam 48-96 jam setelah pengobatan
dengan griseofulvin sedangkan penyembuhan sempurna baru terjadi
setelah beberapa minggu. Biakan jamur menjadi negatif dalam 1-2 minggu
tetapi pengobatan sebaiknya dilanjutkan sampai 3-4 minggu. Infeksi pada
telapak tangan dan telapak kaki lebih lambat bereaksi, biakan di sini baru
negative setelah 2-4 minggu dan pengobatan membutuhkan waktu sekitar
4-8 minggu. Infeksi kuku tangan membutuhkan waktu 4-6 bulan
sedangkan infeksi kuku kaki membutuhkan waktu 6-12 bulam.
Trichophyton rubrum dan Trichophyton mentagrovites membutuhkan
dosis yang lebih tinggi daripada dosis biasa. Pada keadaan yang disertai
hyperkeratosis perlu penambahan zat keratolitik. Kandidiasis maupun
tinea versikolor tidak dapat diobati dengan griseofulvin. Dosis sangat
tinggi bersifat karsinogenik dan teratogenik sehingga dermatofitosis
ringan tidak perlu diberika griseofilvin, cukup dengan pemberian preparat
topikal (Gunawan, 2005).
Posologi
Di Indonesia griseofulvin mikrokristal tersedia dalam bentuk
tablet berisi 125 dan 500 mg dan tablet yang mengandung pertikel
ultramikrokristal tersedia dalam takaran 330 mg. Untuk anak, griseofulvin
diberikan 5-15 mg/kgBB/hari sedangkan untuk dewasa 500-1000 mg/hari
dalam dosis tunggal. Bila dosis tunggal tidak dapat ditoleransi, maka
dibagi dalam beberapa dosis (Gunawan, 2005).
34
2. Imidazol dan Triazol
Antijamur golongan imidazol mempunyai spektrum yang luas.
Karena sifat dan penggunannya praktis dan tidak berbeda, maka hanya
mikonazol dan klotrimazol yang akan dibahas (Gunawan, 2005).
Mikonazol
Asal dan Kimia
Mikonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang relative
stabil, mempunyai spectrum antijamur yang lebar terhadap jamur
darmatofit. Obat ini berbentuk Kristal putih, tidak berwarna, dan tidak
berbau, sebagian kecil larut dalam air tapi lebih larut dalam pelarut
organic (Gunawan, 2005).
Aktivitas antijamur
Mikonazol menghambat aktivitas jamur Trichophyton,
Epidermophyton, Microsporum, Candida dan Malassezia furfur.
Mikonazol in vitro efektif terhadap beberapa kuman gram positif.
Mekanisme kerja obat ini belum diketahui sepenuhnya. Mikonazol masuk
ke dalam sel jamur dan menyebabkan kerusakan dinding sel sehingga
permeabilitas terhadap berabgai zat intrasel meningkat. Mungkin pula
terjadi gangguan sintesis asam nukleat atau penimbunan peroksida dalam
sel jamur yang akan menyebabkan kerusakan. Obat yang sudah menembus
ke dalam lapisan tanduk kulit akan menetap di sana sampai 4 hari.
Mikonazol topical diindikasikan untuk dermatofitosis, tinea versikolor dan
kandidiasis mukokutan. Untuk dermatofitosis sedang atau berat yang
mengenai kulit kepala, telapak, dan kuku sebaiknya dipakai griseofulvin
(Gunawan, 2005).
35
Efek samping
Efek samping berupa iritasi, rasa terbakar dan maserasi
memerlukan penghentian terapi. Sejumlah kecil mikonazol diserap melalui
mukosa vagina tapi belum ada laporan tentang efek samping pada bayi
yang ibunya mendapat mikonazol intravaginal pada waktu hamil, tetapiu
penggunannya pada kehamilan trimester pertama sebaiknya dihindari
(Gunawan, 2005).
Sediaan dan Posologi
Obat ini tersedia dalam bentuk krim 2 % dan bedak tabor yang
dipakai dua kali sehari selama 2-4 minggu. Krim 2 % untuk penggunaan
intravaginal diberikan sekali sehari pada malam hari selama 7 hari. Gel 2
% tersedia untuk kandidiasis oral. Mikonazol tidak boleh dibubuhkan pada
mata (Gunawan, 2005).
Klotrimazol
Klotrimazol berbentuk bubuk tidak berwarna yang praktis tidak
larut dalam air, larut dalam alcohol dan kloroform, sedikit larut dalam eter.
Klotrimazol mempunyai efek antijamur dan antibakteri dengan mekanisme
kerja mirip mikonazol dan secara topical dugunakan untuk pengobatan
tinea pedis, kruris dan korporis yang disebabkan oleh T. rubrum, T.
mentagrophytes, E. floccosum, dan M. canis dan untuk tinea versikolor.
Juga untuk infeksi kulit dan vulvovaginitis yang disebabkan oleh C.
albicans.Obat ini tersedia dalam bentuk krim dan larutan dengan kadar 1
% untuk dioleskan dua kali sehari. Krim vaginal 1% atau tablet vaginal
100 mg digunakan sekali sehari pada malam hari selama 7 hari, atau tablet
vaginal 500 mg, dosis tunggal. Pada pemakaian topical dapet terjadi rasa
terbakar, eritemat, edema, gatal, dan urtikaria (Gunawan, 2005).
36
II.1.9. Uji kepekaan terhadap antifungi in vitro :
1. Metode difusi cakram
Metode difusi cakram ini merupakan metode yang paling banyak
digunakan dan dikenal juga sebagai Kirby-Bauer test. Cakram kertas filter
yang mengandung konsentrasi obat tertentu ditempatkan di atas permukaan
medium padat yang telah diinokulasi pada permukaan dengan organisme
uji. Media tersebut kemudian diinkubasi 370C selama 18-24 jam.
Selanjutnya diamati adanya zona inhibisi dengan ciri area (zona) jernih
sekitar cakram kertas yang menunjukkan tidak adanya pertumbuhan
mikroba (Hudzicki, 2011).
2. Metode dilusi
Metode dilusi ini adalah bahan antimikroba diencerkan
menggunakan satu seri tabung, kemudian ditambahkan jamur penguji. Seri
tabung tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 48 jam dan
diamati kekeruhan pada tabung. Dengan cara ini dapat ditentukan jumlah
terendah yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba secara
in vitro, jumlah terendah ini disebut Kadar Hambat Minimal (KHM).
Selanjutnya biakan dari semua tabung yang jernih diinokulasikan pada
media agar padat kemudian diinkubasikan dan keesokan harinya diamati
ada tidaknya koloni mikroba yang tumbuh. Konsentrasi terendah obat pada
biakan padat yang ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan koloni
mikroba adalah Kadar Bunuh Minimal (KBM) dari obat terhadap mikroba
uji (Hudzicki, 2011).
37
II.2. Kerangka Teori
II.3 Kerangka Konsep
Variael pengganggu
Allicin
Kadar Hambat Minimal Kadar Bunuh Minimal Trichophyton rubrum
Pemberian ekstrak bawang putih konsentrasi 5%, 10%, 20%, 40%, 80%, 100%
Pertumbuhan Trichophyton rubrum
Variabel bebas Variabel tergantung
Ekstrak bawang putih
Menghambat pertumbuhan spora
Pembatasan pertumbuhan radial dari koloni jamur
Penghambatan terlihat perpanjangan longitudinal
hifa
Bagan 1. Kerangka Teori
Bagan 2. Kerangka Konsep
1. Nutrien 2. Aerasi 3. pH 4. Temperatur
1. Suhu inkubasi 2. Waktu inkubasi 3. Kepekatan jamur 4. pH medium
38
II.4. Hipotesis penelitian
1. HO :
o Tidak terdapat perbedaan rata-rata aktivitas antifungi antar konsentrasi
ekstrak bawang putih terhadap pertumbuhan T. rubrum secara in vitro
dengan metode difusi
2. H1:
o Terdapat perbedaan rata-rata aktivitas antifungi antar konsentrasi
ekstrak bawang putih terhadap pertumbuhan T. rubrum secara in vitro
dengan metode difusi
Top Related