Post on 26-Apr-2019
ANALISIS AYAT-AYAT TAWAKAL DALAM AL-QUR’AN
(STUDI KOMPARATIF TAFSIR AL-AZHÂR DAN TASIR FÎ
ZILÂL AL-QUR’ÂN)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
OLEH:
PENIDA NUR APRIANI
NIM: 11140340000014
JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/ 2018 M
v
ABSTRAK
Penida Nur Apriani
“ANALISIS AYAT-AYAT TAWAKAL DALAM AL-QUR’AN (Studi Komparatif
Tafsir Al-Azhâr Dan Tasir Fî Zilâl Al-Qur’ân )”
Adapun yang melatar belakangi penelitian ini adalah diketahui ungkapan
bahasa Al-Qur’an penuh keunikan, semakin digali semakin nampak
kemukjizatannya. Gaya bahasanya yang tinggi dan penempatannya bukanlah
ditempatkan oleh Allah Swt begitu saja. Salah satu keunikannya adalah
penggunaan kata tawakal dari akar kata wakala yang di dalam Al-Qur’an diulang
sebanyak 59 kali pada 25 surah.
Al-Qur’an memerintahkan untuk bersikap dengan sifat tawakal ini dalam
berbagai uslub (gaya bahasa) dan bentuknya yang beragam. Begitu juga dengan
hadis hadis Rasulullah Saw. Sesungguhnya Rasulullah adalah contoh yang paling
baik bagi seorang mukmin yang bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar
tawakal. Sifat dan akhlak rabbani ini adalah salah satu dari sifat yang di dalamnya
terdapat pemahaman yang membingungkan, kekeliruan persepsi, kesalah
pahaman hingga terjadi kerancuan makna antara at-tawakul (tawakal) dengan at-
tawaakul (bergantung) dan sikap menyerahkan segala penyebab terjadinya
sesuatu. Kata tersebut dari segi bahasa berarti lemah. Adapun shighah at-tawakul
berarti menyerahkan atau mewakilkan.
Banyak orang salah dalam memahami tawakal kepada Allah Swt. Mereka
beranggap bahwa tawakal itu semata-mata menyerah kepada Allah tanpa usaha
yang benar. Inilah yang membuat penulis merasa terpanggil untuk menelitinya
lebih mendalam, apakah kata tawakal itu bisa membawa perbedaan dalam maksud
ataupun tujuannya dengan mengambil penafsiran dari Tafsir Al-Azhâr dan Tafsir
Fî Zilâl Al-Qur’ân yaitu dengan menggunakan metode tahlili atau analisis dan
muqarin atau komparatif.
Karena penelitian ini termasuk dalam penelitian perpustakaan (Library
Reseach), maka penulis merujuk kepada Al-Qur’an Al-Karim, hadis-hadis
Rasulullah Saw, Tafsir Al-Azhâr dan Tafsir Fî Zilâl Al-Qur’ân sebagai data
primer. Kemudian didukung oleh data dari literatur yang ada kaitannya dengan
penelitian ini. Data-data tersebut dikumpulkan, seterusnya dianalisis untuk
menemukan tema-tema yang berbeda dan mencari titik persamaan atau perbedaan
kemudian digambarkan data-data tersebut setepat mungkin.
Setelah dilakukan penelitian melalui bab per bab, maka sebagai hasil dari
kajian ini adalah sebagian orang mengira bahwa tawakal itu ialah menyerahkan
segala keputusan kepada Allah tanpa berusaha. Menurut Hamka, tawakal itu
adalah menyerahkan segala keputusan dari usaha dan ikhtiar itu kepada Allah.
Beliau juga menambah bahwa tawakal itu mesti disertai dengan syukur dan sabar,
syukur jika hasilnya baik dan sabar jika hasilnya kurang memuaskan. Quṭb pula
menyebut tawakal itu adalah suatu usaha yang dibarengi berserah kepada Allah
akan keputusannya. Kemudian menambah bahwa tawakal itu menunjukkan
kelemahan manusia di hadapan Allah.
Kata kunci: Tawakal, Tafsir Al-Azhâr dan Tasir Fî Zilâl Al-Qur’ân.
vi
KATA PENGANTAR
من ونفسنا ور أمن شرهللا با ذ نعوه، ونستغفرونستعینه ه ونحمد ،لحمدإن ا
أن شهد وأ ،لهدي اهفال من یضلله، وهللا فال مضل لهه من یهد، عمالنات أسیئا
سولهه ورعبدا سیدنا محمدأن شهد ، وأال شریك لهه حدوال هللا إله إال
Alhamdulillah, puji dan syukur bagi Allah SWT karena dengan rahmat
dan pertolongan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang merupakan syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Agama Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini dengan sebagaimana
mestinya. Salawat dan salam kepada baginda Rasulullah SAW yang berjuang
membawa umat manusia ke jalan yang diridhai Allah SWT.
Sebagaimana yang diketahui bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini,
penulis banyak menghadapi cobaan dan rintangan, namun ini semua tidak
mematahkan semangat penulis untuk terus menyelesaikannya. Penulis juga
menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan yang
tentunya tidak disengaja. Namun berkat bimbingan dari berbagai pihak, maka
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Dalam kesempatan ini, pada tempatnyalah penulis mengucapkan
berbanyak terima kasih yang tidak terhingga kepada mereka yang telah banyak
membantu penulis, baik secara langsung maupun tidak secara langsung. Secara
khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kepada Yth. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Prof. Dr. Dede Rosyada selaku Rektor, Prof. Dr. Masri Mansoer M.A.
selaku dekan Fakutas Ushuluddin dan filsafat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Kepada Yth. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M. A. Selaku ketua jurusan
program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir dan Dra. Banun Binaningrum,
M. Pd. Selaku sekertaris program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Juga
kepada Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan
vii
Tafsir yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan ilmu dan
motivasi selama di bangku kuliah serta dukungannya kepada penulis.
3. Kepada Yth. Drs. H. Ahmad Rifqi Muchtar, MA. selaku pembimbing yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pemikiran untuk berdialog dengan
penulis, serta memeberikan motivasi yang sangat luar biasa dan berharga.
Semoga Allah SWT. Senantiasa menjaga kesehatan beliau, memberikan
keberkahan hidup serta kebahagiaan dunia dan akhirat atas perjuangan
beliau membimbing saya dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
4. Kepada yang disayangi dan dikasihi Ibunda Siti Paridah tercinta dan
Ayahanda Ruslan Ependi. Terima kasih karena telah banyak memberi
penulis nasihat, dorongan suport moril dan materil, membantu penulis
dalam menyelesaikan perkuliahan ini serta mendoakan penulis dengan
setulus hati. Serta adik-adikku sayang Siti Nur Faridah dan Muhammad
Firdaus yang selalu menjadi pelipur lara dan pembangkit semangat
penulis. Serta seluruh keluarga lain yang tak dapat penulis sebutkan satu
persatu. Merekalah yang senantiasa mendoakan dan memotivasi penulis
untuk terus berkreasi dan menuntut ilmu. Kalianlah salah satu alasanku
menggapai cita-cita.
5. Kepada program beasiswa BLU yang telah menghantarkan penulis untuk
dapat Ṭolab al-‘Ilm di kampus tercinta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Terima kasih kepada Bagus Eriyanto atas segala kekuatan, semangat, dan
motivasi serta selalu sabar mengingatkan penulis agar tidak patah
semangat dalam setiap keadaan.
7. Kepada sahabat tercinta Riska Puspita sari dan Fayyadah Al-Mazaya S.Ag
yang selalu menemani dikala suka maupun duka, dan terus memberi
semangat yang luar biasa kepada penulis. Terima kasih juga untuk sahabat
lintas jurusan Syifa Putri Permata Sari, atas nasehat dan Semangat nya.
Juga untuk kawan seperatapan dan sepenanggungan Syifa Dzihni
Hafidzah, terimakasih atas support nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan sebagai mana mestinya. Kepada sahabat-
sahabat, Rifqoh Qudsiah S.Ag., Nur Syafa Rida, yang senantiasa selalu
memotivasi penulis.
viii
8. Kepada kawan-kawan seperjuangan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir A, Iva
Rustiana, Muharrar, Dea Fauziah, Millatie Mustaqiemah, Khanifatur
Rahma, dan seluruhnya yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu,
terimakasih, untuk senantiasa menasehati dan saling memotivasi.
9. Kepada teman-teman KKN Gandum, Syafa, Istiqomah, S.H., Melfie,
Islamiyah, Aina, Afiffah, Neni, Maunah, Bayu, Muharrar, Faisal, Zaid,
Said, Rizki, terimakasih untuk selalu menyemangati.
Semoga kita semua mendapat manfaat dari segala hasil upaya yang baik dan
kehidupan kita senantiasa diberkati dunia dan akhirat. Amin yaa Rabbal ‘Alamin.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................. iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ x
TRANSLITERASI ............................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ...................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 6
D. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 7
E. Metodologi Penelitian .......................................................................... 8
F. Sistematika Penulisan .......................................................................... 10
BAB II KONSEP TAWAKAL DALAM AL-QUR’AN ................................... 11
A. Pengertian Tawakal ............................................................................ 11
B. Klasifikasi Bentuk Tawakal dalam al-Qur’an ...................................... 15
C. Korelasi Tawakal dengan Usaha .......................................................... 16
D. Urgensi Tawakal ................................................................................. 19
E. Pengaruh Tawakal dengan Keimanan .................................................. 23
BAB III BIOGRAFI BUYA HAMKA DAN SAYYID QUṬB ........................ 27
A. Biografi Buya Hamka .......................................................................... 27
1. Kelahiran Buya Hamka .................................................................. 27
2. Dinamika Keilmuan dan Karirnya ................................................... 27
3. Karya-Karya Buya Hamka .............................................................. 30
4. Pendapat Ulama Tentang Buya Hamka .......................................... 31
5. Sekilas Tafsir Al-Azhâr .................................................................. 34
B. Biografi Sayyid Quṭb ........................................................................... 37
1. Kelahiran Sayyid Quṭb ..................................................................... 37
x
2. Dinamika Keilmuan dan Karirnya ................................................... 37
3. Karya-Karya Sayyid Quṭb ............................................................... 39
4. Pendapat Ulama Tentang Sayyid Quṭb ............................................ 40
5. Sekilas Tafsir Fî Zilâl Al-Qur’ân ..................................................... 41
C. Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Al-Azhâr dan Fî Zilâl Al-Qur’ân. 44
BAB IV ANALISIS KOMPARASI TAFSIR AL-AZHÂR DAN FÎ ZILÂL
AL-QUR’ÂN TENTANG AYAT AYAT TAWAKAL ................................... 47
A. Penafsiran Tawakal dalam Tafsir Al-Azhâr dan Fî Zilâl Al-Qur’ân .. 47
1. Surah al-Zumar ayat 38 .................................................................... 47
2. Surah al Taghâbun ayat 13 ............................................................... 50
3. Surah al-Ṯalaq ayat 3 ....................................................................... 51
4. Surah al-Anfâl ayat 49 ..................................................................... 53
5. Surah al-Ahzâb ayat 3 ...................................................................... 56
B. Kisah Hamka dan Quṭb Dalam Mengaplikasikan Tawakal.................. 57
C. Aktualisasi Nilai-Nilai Tasawuf Konsep Tawakal dalam Spiritualitas
Kehidupan ............................................................................................. 60
D. Bentuk-Bentuk Tawakal Para Nabi dan Sahabat .................................. 62
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 69
A. Kesimpulan ........................................................................................... 69
B. Saran ..................................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 71
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin dalam skripsi ini menggunakan pedoman
transliterasi yang sesuai dengan Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Nomor: 507 Tahun 2017 tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
(Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara
latin:
Huruf
Arab
Huruf
Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ث
Ts te dan es ث
J Je ج
Ë h dengan titik bawah ح
Kh ka dan ha ر
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
sy es dan ye ش
Ê es dengan titik di bawah ص
Ý de dengan titik di bawah ض
Ţ te dengan titik di bawah ط
ẓ zet dengan titik di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
gh ge dan ha غ
F Ef ف
xiii
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ى
W We و
H Ha ه
Apostrof ˈ ء
Y Ye ي
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri
dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagian berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fatëah
I Kasrah
U Ýammah
Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي Ai a dan i
و Au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Katerangan
 a dengan topi di atas ى ا
Î i dengan topi di atas ى ي
xiiii
Ù u dengan topi di atas ى ى
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan
dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyah maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-
dìwân bukan ad- dìwân.
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini
dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang
diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang
menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh
huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulisah ad-darùrah
melainkan al-ýarùrah, demikian seterusnya.
6. Ta Marbùţah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbùtah terdapat
pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal ini sama juga berlaku jika
ta marbutah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun,
jika huruf ta marbutah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
Ţarîqah طريقت 1
al-Jâmî’ah al-Islâmiyyah الجاهعت اإلسالهيت 2
waëdat al-Wujùd وددة الىجىد 3
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,
dalam alih aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan
mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI),
antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat,
xiiiii
nama bulan, nama diri, dan lain-lain. jika nama diri didahului oleh kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama
diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abù Hâmid
al-Ghazâlî bukan Abù Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat
diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak
miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu
ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya,
demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin
al-Raniri, tidak Nùr al-Dîn al-Rânîrî.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf
(harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara
atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada
ketentuan-ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
ت اذ dzahaba al-ustâdzu ذ ه ة األس
ر tsabata al-ajru ث ب ج األج
يت ر م ت الع ص al-ëarakah al-‘aêriyyah الذر
د أى ال إ ل ه إ أل هللا ه asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh أش
ال خ ل ل الص ال ن ا ه ى Maulânâ Malik al-Ëâlië ه
م ن هللا ث ر yu’atstsirukum Allâh ي ؤ
al-maẓâhir al-‘aqliyyah الوظ اه ر الع قل يت
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri
mereka. Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak
perlu dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nùr Khâlis
Majîd; Mohamad Roem, bukan Muhammad Rùm; Fazlur Rahman, bukan
Fadl al-Rahmân.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dinamika kehidupan ini terkadang membuat manusia terbuai sehingga
mereka lupa akan bagian dirinya yang tidak tampak, yaitu jiwa, bahwa bagian ini
pun mempunyai andil dalam kehidupan ini, bahwa sebenarnya warna kehidupan
ini berpancar dari hal tersebut. Mereka yang salah kaprah dalam hidupnya adalah
mereka yang tidak tahu atau tidak mau tahu tentang syari’at yang telah ditetapkan
Allah.1
Sering kita dapati orang-orang yang menggantungkan hidup dan
kehidupannya pada usaha. Ada pula yang merasa cukup dengan duduk-duduk dan
bersantai ria, salah dalam mengartikan tawakal. Padahal sangat erat hubungannya
antara tawakal dan usaha.
Jika kita memperhatikan tingkah laku hati yang merupakan dasar
keimanan dan tempat berpancarnya iman, kita akan dapatkan bahwa satu-satunya
landasan universal untuk mengenal hati beserta tingkah lakunya adalah tawakal
kepada Allah, yang merupakan derajat yang mulia dari tingkah laku dan
kedudukan hati, suatu perbuatan hati yang amat dibutuhkan manusia selamanya.2
Dewasa ini sikap manusia terhadap perkara tawakal beraneka ragam, di
antara mereka ada kelompok yang telah takluk dengan kehidupan materi yang
melampaui batas hingga menimbulkan kesengsaraan seperti yang telah terjadi
pada sekarang ini, hal yang amat membawa mereka menggantungkan hidupnya
dengan harta dimana untuk mendapatkannya harus dengan permusuhan dan
tumpah darah. Demi harta manusia rela mengunci akal dan hati yang ada dalam
dirinya. Sikap seperti ini amat jelas pengaruhnya terhadap hati. Membuat hati
seseorang menjadi asing untuk melakukan tawakal kepada Allah. Dan
keterasingan ini mengendalikan manusai untuk tidak mau mensucikan jiwanya
dengan mengingat Allah, mereka hanya mengandalkan akalnya dan merasa
1Muh. Mu’inuddinillah Basri. Indahnya Tawakal: Sebuah Tuntunan Holistik Untuk
Meluruskan Pemaknaan Tawakal. (Jakarta: Indiva Media Kreasi, 2007) h.35.
2Abdullah bin Umar Ad-Dumaji, Rahasia Tawakal Sebab dan Akibat Terj. Drs.
Kamaluddin Sa’diatulharamaini dan Farizal Tarmizi, (Jakarta: Pustaka Imam Azzam, 1999), h. 74.
2
bangga dengan apa yang mereka miliki yang berupa pengetahuan. Mereka hanya
melihat kehidupan dunia yang dengannya mereka mendapatkan ketenangan hidup
dan melupakan Allah Saw.3
Sebaliknya di antara manusia ada yang merasa puas dengan duduk
berdiam diri, senang menunda-nunda pekerjaan, kemalasan dan kebodohan
menyelimuti diri mereka. Walau demikian mereka tetap mencari-cari alasan atau
dalih bahwa mereka bertawakal kepada Allah. Mereka menganggap bahwa
tawakal adalah meninggalkan sarana dan usaha untuk mendatangkan keuntungan
materi atau harta. Singkatnya mereka sudah merasa puas dengan rizki yang
didapat dari orang lain dan dari sedekah-sedekah yang mereka terima. Dan salah
arti dalam mengartikan tawakal.
Dari Annas bin Malik ra. berkata: datanglah seorang sahabat kepada Nabi
Saw dengan untanya, seraya berkata: wahai Rasulullah saya tinggalkan unta
karena saya telah bertawakal? Rasulullah Saw bersabda: “Ikatlah dulu untamu
kemudian bertawakallah.” (HR. At-Tirmidzi)
Diantara contoh yang ditunjukan oleh Nabi Saw dan para sahabatnya
dalam masalah tawakal adalah dilaksanakannya sebab-sebab ketawakallan terlebih
dahulu, padahal mereka itu adalah makhluk yang paling sempurna
ketawakalannya. Dalam menghadapi musuh-musuhnya mereka terlebih dahulu
membentengi dirinya dengan berbagai macam senjata. Rasulullah Saw ketika
menaklukan kota Makah memakai topi baja, padahal Allah telah menurunkan ayat
kepadanya: “Allah memelihara kamu dari gangguan manusia”.4 Di lain
kesempatan apabila Rasulullah dan sahabatnya mengadakan peperangan,
menunaikan ibadah hati, atau melaksanakan umrah, beliau membawa perbekalan
dan ransel, padahal mereka itu adalah orang-orang yang benar-benar bertawakal
dan yang paling sempurna ketawakalannya. Dan begitulah seharusnya
memanifestasikan tawakal dalam kehidupan.5
Tawakal yang merupakan salah satu ajaran pokok dalam Islam, seperti
yang disebutkan dalam QS. al-Anfal [8] : 2
3 Muh. Mu’inuddinillah Basri, “Indahnya Tawakal: Sebuah Tuntunan Holistik Untuk
Meluruskan Pemaknaan Tawakal” (Jakarta: Indiva Media Kreasi, 2005), h.37. 4 Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, QS. Al-Maidah : 67
5 Yusuf Qardhawi, “Ikhlas dan Tawakal, Ilmu Suluk Menurut Al-Qur’an dan Sunnah”
(Jakarta: ISTANBUL, 2012), h. 90.
3
هم آاته شادتهم وجيت قيىبهم وإذا تيت عي إماوا إوما اىمؤمىىن اىره إذا ذمس للا
تىميىن وعيى زبهم
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila
disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya
bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka
bertawakal.6
Tawakal dalam ayat ini, diposisikan sebagai salah satu kriteria pokok bagi
seorang mukmin yang sebenar-benarnya, artinya sebagai salah satu ciri pokok
iman yang benar dan sempurna kepada Allah adalah sikap pasrah, menyerahkan
segala urusan kepada Allah. Hal ini diperkuat dengan sebab turunnya ayat
tersebut, yaitu: Telah terjadi pertikaian antara sahabat Nabi mengenai pembagian
harta rampasan pada perang Badar, lalu mereka mengadukannya kepada
Rasulullah, maka Rasul Saw menjawab, bahwa pembagiannya telah ditentukan
Allah yang harus ditaati dan tidak boleh diperselisihkan.7
Akhirnya para sahabat harus pasrah pada ketentuan Allah, dan inilah sifat
orang yang beriman. Kepasrahan kepada Allah dalam setiap perkara tentunya
setelah seseorang sepenuhnya berusaha dengan segenap kemampuannya,
demikian Mahmud Hijazi menjelaskan. Allah memerintahkan Rasul Saw untuk
tidak gentar dalam menghadapi rintangan dari orang-orang munafik terhadap
dakwahnya, ini disebutkan dalam QS. al-Nisa [4] : 81
نتب وقىىىن طاعة فئذا بسشو س اىري تقىه وللا ا مه عىدك بت طائفة مىهم غ
ومل ومفى بالل ما بتىن فأعسض عىهم وتىمو عيى للا
Artinya : Dan mereka (orang-orang munafik) mengatakan: "(Kewajiban kami
hanyalah) taat". tetapi apabila mereka Telah pergi dari sisimu, sebahagian dari
mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang
Telah mereka katakan tadi. Allah menulis siasat yang mereka atur di malam hari
itu, Maka berpalinglah kamu dari mereka dan tawakallah kepada Allah. cukuplah
Allah menjadi Pelindung.8
6 Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya (Madinah: Majma’ Khadim al-
Haramain, 1412 H), h. 260. 7 Muhammad Mahmud al-Hijazi, al-Tafsir al-Wadhih (Beirut: Dar al-Jail, 1969), h.506.
8 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 132.
4
Perintah tawakal tidak terbatas pada masalah dakwah saja, dalam bidang
politik, ekonomi, strategi perang Rasul Saw juga diperintahkan untuk bertawakal
kepada Allah. Hal ini dapat dilihat dalam QS. Ali Imran [3] : 159
ىىت ىهم وىى مىت فظا غيظ اىقيب لوفضىا مه حىىل فاعف فبما زحمة مه للا
حب عىهم واستغفس ىهم إن للا وشاوزهم ف المس فئذا عصمت فتىمو عيى للا
يه اىمتىم
Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka
bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakal kepadaNya.
Wahbah al-Zuhaili berpendapat bahwa musyawarah yang dilakukan Nabi
Saw. dengan para sahabatnya mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti
masalah strategi perang, masalah politik, ekonomi, pemerintahan dan
kemasyarakatan.9
Dengan demikian perintah tawakal tidak terbatas pada masalah dakwah saja.
Kata tawakal dalam arti menyerahkan urusan kepada Allah, disebutkan dalam al-
Qur’an dalam berbagai bentuk sebanyak 59 kali, dalam 47 ayat dari 25 surat.10
Penyebutan kata ini dalam Alquran memiliki konteks beragam yang mencakup
berbagai aspek kehidupan.
Misalnya dalam masalah dakwah QS. al-Taubah (9) : 12, Ibrahim (14) :120,
menjalankan hukum Allah QS. Yusuf (12): 67, menghadapi bahaya QS, al-
Mujadalah (58) : 10, sebagai sifat orang yang beriman QS. alAnfâl (8) : 2, dalam
urusan yang bersifat umum QS. al-Furqan (25): 58, masalah rezeki dan usaha
mencapai suatu tujuan QS. ath-Thalaq (65): 3.
9 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munîr (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), Juz III., h. 140
10 Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras lî Alfâd al-Qur’ân (Beirut:
Dar al-Fikr, 1994), h. 929-930
5
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pada pembahasan kali ini dalam melakukan penelitian, penulis mengambil
penafsiran Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhâr dan Sayyid Quṭb dalam Tafsir Fî
Zilâl al-Qur’ân . Penulis mengambil Buya Hamka sebagai pemikir umat Muslim
yang memiliki pemikiran berbeda dengan penafsir lainnya dengan titik berat pada
bidang sosial dan humaniora, sedangkan Sayyid Quṭb sebagai mufasir dengan
corak harâki yang memiliki konsep makrifat yang tinggi dalam pemaknaan
tawakal itu sendiri. maka penulis membatasi kajian ini kepada 5 ayat yaitu:
No. Surah Ayat Kata
1 Az-Zumar 38 نلمتوكلوا / یتوكل
2 At-Taghabun 13 فلیتوكل
3 At-Thalaq 3 یتوكل
4 Al-Anfal 49 یتوكل
5 Al-Ahzab 3 كیالو/ توكلو
Ketika kita melihat isi penafsiran Buya Hamka dan Sayyid Quṭb, akan kita
temukan pemaknaan yang sifatnya obyektif dan tidak memihak kepada siapa pun.
Analisis dua tokoh tafsir ini cukup dalam mendeskripsikan makna tawakal.
Perbandingan terhadap dua tokoh ini bertujuan agar menemukan titik temu
seorang pemikir muslim yang humanis dengan pemikir muslim yang hirarkis. Al-
Qur’an.
1. Apa makna dari tawakal dalam al-Qur’an?
2. Sekilas biografi Buya Hamka dan Quṭb
3. Bagaimana pendapat Buya Hamka dan Sayyid Quṭb terhadap makna tawakal?
4. Bagaimana kriteria tawakal dalam al-Qur’an?
5. Apa saja sebab akibat pelaksanaan tawakal?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
6
1. Untuk mengetahui makna tawakal dalam al-Qur’an.
2. Untuk mengetahui biografi Hamka dan Quṭb
3. Untuk mengetahui makna tawakal dengan pendapat ahli tafsir dengan corak
yang berbeda.
4. Untuk mengetahui kriteria tawakal dalam al-Qur’an.
5. Untuk mengetahui sebab akibat pelaksanaan tawakal.
Adapun manfaat signifikansi penelitian ini terlihat dari segi teoritis dan
praktisnya:
1. Dalam Aspek Teoritis
a. Memberikan wawasan tambahan mengenai tokoh Islam yang
penafsirannya beraliran sufi sosialis dan sufi hirarkis.
b. Memberikan wawasan mengenai konsep tawakal di dalam al-Qur’an
c. Membantu masyarakat awam untuk lebih memahami makna tawakal
agar tidak terjadi salah implementasi dalam praktik kehidupan sehari-
hari.
2. Dalam Aspek Praktis
a. Karya ilmiah ini akan berguna bagi mahasiswa yang hendak menambah
keilmuannya dan menjadi referensi dalam memberikan proses belajar-
mengajar di fakultas masing-masing. Penelitian ini dapat memberikan
sedikit pemahaman mengenai konsep tawakal melalui pandangan dua
orang yang berbeda.
b. Sebagai karya ilmiah, tulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan
pengetahuan di bidang pendidikan al-Qur’an dan Tafsir khususnya yang
berkaitan dengan konsep tawakal di dalam al-Qur’an sehingga
mahasiswa-mahasiswa IQTAF dapat menjawab tantangan
permasalahan secara global.
D. Tinjauan Kepustakaan
Kajian tentang tawakal telah banyak terutama dalam bentuk buku-buku.
Akan tetapi, konsep tawakal dalam al-Qur’an belum banyak yang mengkaji. Di
antara buku-buku yang membahas kaitannya dengan tema adalah buku berjudul
7
Rahasia Tawakal Sebab Dan Akibat11
karya Dr Abdullah bin Umar ad-Dumaji.
Buku ini adalah buku terjemah yang berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan
hakikat tawakal dengan terlebih dahulu mengenal Tuhan beserta sifat-sifatnya,
kedudukan tawakal dalam aqidah dengan menjabarkan kedudukan perilaku hati
dalam iman. Urgensi tawakal dan seterusnya baik diulas menurut al-Qur’an
maupun as-Sunnah. Selain itu, buku ini juga mengulas tentang apa saja macam-
macam tawakal itu, buah dari pengamalan tawakal dan gejala-gejala melemahnya
tawakal.
Selain literatur buku, adapula karya berupa skripsi berjudul Konsep
Tawakal Dalam Al-Qur’an (Kajian Komparatif Antara Tafsir As-Sya’rawi dan
Tafsir Al-Azhâr)12
karya Mohd Fathi Yakan bin Zakaria. Skripsi ini
menggunakan metode komparatif (Muqarran) untuk menemukan relasi tawakal
dengan uslub-uslub yang berbeda dalam al-Qur’an yang dijelaskan mulai dari
ayat-ayat yang menjelaskan tentang tawakal, kemudian bagaimana hubungan
antara tawakal dan ihktiar, sampai pada urgensi tawakal menurut dua tokoh
mufasir di atas.
Literatur selanjutnya skripsi berjudul “Konsep Tawakal menurut Al-
Gazali”13
karya MR Salahudin D, yang merupakan Thesis prodi TaSawuf dan
Pisikoterapi UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Karya ini berfokus pada konsep
tawakal yang telah diulas secara umum terlebih dahulu, jalan mencapai tawakal
dan buah dari tawakal, di bab selanjutnya barulah dijelaskan konsep tawakal
menurut al-Gazali. Sedangkan penulis lebih cenderung mengupas konsep tawakal
menurut pandangan para mufasir.
Kemudian, selain buku dan skripsi, adapula karya berupa jurnal berjudul
“Menghadirkan Nilai-Nilai Spiritual TaSawuf Dalam Proses Mendidik” 14
karya
Sodiman. Isi jurnal ini lebih menekankan hakikat pendidikan karakter melaui
11
Abdullah Bin Umar Ad-Dumaji, Rahasia Tawakal Sebab dan Akibat Terj. Kamaluddin
Sa’diatulharamaini dan Farizal Tarmizi (Jakarta: Pustaka Imam Azzam, 2000).
12
Mohd Fathi Yakan Bin Zakaria, “Konsep Tawakkal Dalam Al-Qur’an (Kajian
Komparatif Antara Tafsir As-Sya’rawi Dan Tafsir Al-Azhar)”. Skripsi Fakultas Ushuluddin. Prodi
Tafsir Hadis, UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2013. 13
MR Salahudin D, “Konsep Tawakkal menurut Al-Gazali”. Thesis Fakultas Ushuluddin.
Prodi Tafsir Hadis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2009.
14
Sodiman, “Menghadirkan Nilai-Nilai Spiritual Tasawuf Dalam Proses Mendidik”.
Jurnal Al-Ta’dlib Volume 7 No. 2, edisi Juli\]]]]]]]]]o-Desember 2014.
8
penyadaran nilai-nilai kesialaman yakni nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu
taSawuf. Salah satu point penting dalam penanaman nilai tersebut adalah dengan
konsep Tawakul. Meskipun penulis lebih cenderung fokus terhadap konsep
tawakal dalam al-Qur’an.
Karya selanjutnya dengan judul “Hubungan Tawakal dan Resiliensi pada
Santri Remaja Penghafal Al-Qur’an di Yogyakarta15
”, karya Ardina Shulhah
Qurotul Uyun. Karyanya menjelaskan tentang penelitiannya bahwa terdapat
hubungan positif antara tawakal dengan resiliensi pada santri remaja penghafal al-
Qur’an. Dengan menerapkan konsep-konsep ketawakalan dalam diri santri
tersebut. Jurnal ini lebih membahas tawakal dari sudut penerapannya dalam
praktek kehidupan sehari-hari.
E. Metodologi Penelitian
Agar penelitian ini mendapatkan hasil yang dapat dipertanggung jawabkan
secara ilmiah, maka diperlukan metode yang sesuai dengan objek yang dikaji.
Metode berfungsi sebagai cara mengajarkan sesuatu untuk mendapatkan hasil
yang memuaskan sesuai dengan tujuan tersebut. Di samping itu, metode
merupakan cara bertindak supaya penelitian berjalan terarah, efektif dan bisa
mencapai hasil yang memuaskan. Adapun metode yang dipakai dalam penelitian
ini adalah:
1. Jenis Penelitian
Penelitian skripsi ini termasuk dalam kategori penelitian kepustakaan
(library research) yaitu penelitian yang menitik beratkan pada literature
dengan penelitian baik dari sumber data primer maupun sekunder.
2. Sumber Data
Data primer diperoleh dari kitab suci al-Qur’an dan kitab-kitab tafsir
seputar ayat-ayat tentang berkah, dan data sekunder diperoleh dari kitab,
buku dan rujukan lain yang masih terkait dengan materi yang sedang
dibahas.
3. Metode Pengumpulan Data
15
Ardina Shulhah Qurotul Uyun, “Hubungan Tawakal dan Resiliensi pada Santri Remaja
Penghafal Al-Quran di Yogyakarta”. Jurnal psikologi islam Volume 4, No. 1, 2017.
9
Pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan menggunakan
metode dokumentasi yaitu pengumpulan data dengan cara mencari data
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan tema.
4. Metode Analisis Data
Untuk menggunakan metode yang tepat pada judul “Analisis Ayat-
Ayat Tawakal dalam al-Qur’an” ialah dengan menggunakan metod analisis
(Tahlili) yaitu suatu metode penafsiran yang berusaha menafsirkan ayat-
ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di
dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna
yang tercakup di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam al
Qur’an Mushaf Utsmani dengan keahlian dan kecenderungan mufassir
yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.16
Adapun langkah-langkah dalam metode tafsir tahlili17
adalah:
1. Menerangkan munasabah, atau hubungan ayat yang ditafsirkan dengan
ayat sebelum atau sesudahnya, maupun antara satu surah dengan surah
lainnya.
2. Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat (asbâbun-nuzul),
3. Menganalisis kosakata (mufradât) dari sudut pandang bahasa Arab, yang
terdapat pada setiap ayat yang akan ditafsirkan sebagaimana urutan dalam
al-Qur’an, mulai dari surah al-Fâtihah hingga surah an-Nâs,
4. Menjelaskan makna yang terkandung pada setiap potongan ayat dengan
menggunakan keterangan yang ada pada ayat lain, atau dengan
menggunakan hadith Rasulullah Saw atau dengan menggunakan
penalaran rasional atau berbagai disiplin ilmu sebagai sebuah pendekatan.
5. Menarik kesimpulan dari ayat tersebut yang berkenaan dengan hukum
mengenai suatu masalah, atau lainnya sesuai dengan kandungan ayat
tersebut.18
16
Ahmad Syurbasi, Qissat al-Tafsir, terj. Zufran Rahma, Study Tentang Sejarah
Perkembangan Tafsir al-Qur’an a-lKarim (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 232.
17 Abdul Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah Fi At-Tafsir Al-Maudhu’i: Dirasah Manhajiyyah
Maudhu’iyyah, (Mesir: Maktabah Jumhuriyyah, tk), terj. Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhu’I
dan Cara Penerapannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 51-52 18
Abuddin Nata, Studi Islam Komperhesif, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm.169.
10
Kemudian penulis juga menggunakan metode komparatif. Penulis ingin
menguraikan Penulis ingin menguraikan apa adanya diskusi mengenai konsep
tawakal di dalam tafsir Al-Azhâr dan Fî Zilâl al-Qur’ân dengan mengupayakan
penilaian obyektif dan profesional perihal konstruk pemikirannya dan
penulisannya di dalam karya mereka masing-masing. Untuk itu penulis
mengambil seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang tawakal.
Meskipun metode tafsir tahlili yang menjadi dasar pendekatan dalam studi
ini, namun dalam menganalisis masalah, pendekatan lainpun turut berperan,
seperti yang telah disebut di atas. Semua ilmu bantu yang dapat memperjelas
pembahasan sepanjang pendekatan itu masih relevan dengan masalah yang
dibahas.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika pembahasan merupakan rangkaian pembahasan yang termuat
dalam isi skripsi. Agar pembahasan ini terarah dan tidak mengakar kemana-mana,
maka penulis perlu membatasi sistematika pembahasan dari tema di atas sebagai
berikut:
Bab pertama, berupa pendahuluan, dalam bab ini berisi latar belakang
masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,
tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, berupa tawakal dalam al-Qur’an, dalam bab ini berisi deskripsi
makna tawakal,dan bentuk-bentuk tawakal dalam al-Qur’an.
Bab ketiga, berupa penelusuran biografi tokoh yakni Hamka dan Sayyid
Quṭb untuk mengetahui kecenderungan penafsirannya.
Bab keempat, berupa konsep temuan dari tawakal itu sendiri, dalam bab ini
berisi sajian tafsir dari kedua tokoh terhadap analisi makna tawakal dalam
beberapa ayat, kisah Hamka dan Quṭb dalam mengaplikasikan tawakkal,
aktualisasi nilai-nilai tasawuf konsep tawakkal dalam spiritualitas kehidupan, dan
bentuk-bentuk tawakal para nabi dan sahabat.
Bab kelima, bab terakhir berupa penutup, dalam bab ini berisi kesimpulan
dan saran.
11
BAB II
DESKRIPSI TAWAKAL
Kata tawakal tentunya sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Sering
juga kita dapati praktik orang yang mengamalkan sikap tawakal ini. Sebagian
orang ada yang mengartikan tawakal dengan menggantungkan hidup dan
kehidupannya pada usaha. Ada pula sebagian orang yang merasa cukup dengan
duduk-duduk dan bersantai ria, hanya bergantung pada takdir Allah Swt dalam
mengartikan tawakal.
Jika kita memperhatikan tingkah laku hati yang merupakan dasar keimanan
dan tempat berpancarnya Iman, kita akan dapatkan bahwa satu-satunya landasan
universal untuk mengenal hati beserta tingkah lakunya adalah tawakal kepada
Allah, yang merupakan derajat yang mulia dari tingkah laku dan kedudukan hati,
suatu perbuatan hati yang amat dibutuhkan manusia selamanya.1
A. Pengertian Kata Tawakal
1. Pengertian Secara Bahasa
Kata tawakal dalam bahasa Indonesia berarti berpasrah, namun jika kita
mengartikan tawakal dengan arti demikian tentunya kurang tepat karena arti
berpasrah juga merupakan pengertian dari Islam. Sementara arti sebenarnya dari
tawakal tentunya tidak sama dengan Islam. Dan memahami kata pasrah dengan
tawakal akan berpotensi mengindikasikan hal yang keliru dalam pemaknaannya.
Untuk itu agar tak terjadi kekeliruan penulis memulai pembahasan tawakal dari
akar katanya.
Penegertian kata “Tawakal” secara umum diambil dari bahasa arab. Menurut
kamus Lisanul „Arab bermula dari kata “Wakala” yang berarti menyerahkan2,
“Tawakal tu „ala Allah” berarti aku menyerahkan kepada Allah. Kemudian
dalam kitab Al-Qâmūs al-Muḥîṭ “wakala” berarti meyerahkan lalu meninggalkan3
1 Abdullah bin Umar Ad-Dumaji, Rahasia Tawakal Sebab dan Akibat Terj. Kamaluddin
Sa‟diatulharamaini dan Farizal Tarmizi. ( Jakarta: Pustaka Imam Azzam, 2000), h. 74. 2 Ibn Manzhur, Lisan al 'Arab, (Beirut: Dar al-Shadir, 2000), juz:11., h. 734
3 Fauruz Abadi, Majduddin Muhammad bin Ya‟qub, Al-Qâmûs al-Muḥîṭ, (Dar Al Hadith:
Mesir, 1999), juz: 17., h.105.
12
seperti, “wakala ilaihi al-amr” berarti “menyerahkan lalu meninggalkan kepada-
Nya suatu perkara”.
Pendapat lain mengatakan tawakal berasal dari kata “al-wakîl” yang
merupakan objek dari kata kerjanya yang berarti “yang menjadi sandaran atau
yang diserahkan”. Dalam kitab Tadzhîb Al-Lugah dinamakan al wakîl karena ia
diserahkan oleh yang menyerahkan atau diserahkan kepadanya untuk
dipekerjakan perkaranya, maka al-wakîl adalah dia yang diserahkan kepada
perkara itu.4
Kemudian dalam kamus Al-Mufradât fî gharîb al-Qur'ân kata Al-Wakil itu
lebih luas maknanya. Al-tawakkulu memiliki dua arti yaitu mewakilkan atau
menyerahkan dan memberi hak kuasa kepada yang mewakili terhadap suatu
perkara.5 Taukil artinya engkau bersandar kepada selain engkau dan engkau
menjadikan dia sebagai pengganti dari kamu dan tawakkul artinya menampakkan
kelemahan dan bersandarkan diri daripada selain dirinya.
Tawakal dalam bahasa Arab merupakan turunan dari kata wakil. Wakil
adalah dzat atau orang yang dijadikan pengganti untuk mengurusi atau
menyelesaikan urusan yang mewakilkan. Sehingga tawakal bermakna
menjadikan seseorang sebagai wakilnya, atau menyerahkan urusan kepada
wakilnya. Tawakal kepada Allah adalah menjadikan Allah sebagai wakil dalam
mengurusi segala urusan, dan mengandalkan Allah dalam menyelesaikan segala
urusan.
Demikianlah beberapa arti yang terkandung dalam kata tawakal dan masih
banyak lagi arti-arti lainnya namun menurut penulis selain arti di atas tidak
memiliki hubungan dengan pembahasan pada penelitian ini.
2. Menurut Istilah
Mengenai pengertian tawakal, para ulama terdahulu telah menjelaskan secara
rinci
4 Muhammad ibn Ahmad Al Azhari, Tadzhîb Al-Lugah, Beirut: Dar Ihya Al-Turast Al-
Arabi. 2001, juz 10 h.371. 5 Abu al-Qasim al-Râghib al-Aṣfahânî, Mufradât fî gharîb al-Qur'ân, (Dar Al-Ma`rifah,
Beirut, 2005), h.531.
13
a. Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H)
Tawakal menurut Imam Ahmad bin Hambal merupakan aktivias hati,
artinya tawakal itu merupakan perbuatan yang dilakukan oleh hati, bukan
sesuatu yang diucapkan oleh lisan, bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh
anggota tubuh. Dan tawakal juga bukan merupakan sebuah keilmuan dan
pengetahuan. 6
b. Ibnu Qoyim al-Jauzi (691-751 H)
Tawakal adalah amalan dan ubudiyah hati dengan menyandarkan segala
sesuatu hanya kepada Allah, tsiqah terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya
dan ridha atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah
akan memberikannya segala „kecukupan‟ bagi dirinya, dengan tetap
melaksanakan „sebab-sebab‟ serta usaha keras untuk dapat memperolehnya.7
c. Imam Ghazali (450-505 H)
Tawakal adalah menyerahkan dan menyandarkan diri kepada Allah setelah
melakukan usaha atau ikhtiar serta mengharap pertolongan. Tawakal dalam Islam
bukan suatu pelarian bagi orang–orang yang gagal usahannya, tetapi tawakal itu
ialah tempat kembalinya segala usaha. Tawakal bukan menanti nasib sambil
berpangku tangan, tetapi berusaha sekuat tenaga dan setelah itu baru berserah diri
kepada Allah. Allah lah yang nanti akan menentukan hasilnya.8
d. Abu Zakaria Anshari (122-215 H)
Tawakal adalah "keteguhan hati dalam menyerahkan urusan kepada
orang lain". Sifat yang demikian itu terjadi sesudah timbul rasa percaya kepada
orang yang diserahkan urusan tadi. Artinya, ia benar-benar memiliki sifat amanah
6 Ibnu Qayyim Al-Jauziy, Madarijis Salikin, terj. Kathur Suhardi, (Pustaka Al Kautsar:
Jakarta, 1998). h.239. 7 Ibnu Qayyim Al-Jauziy , Arruh Fî Kalam „Ala Arwahil Amwât wa al- Ahyâ‟ Bidalail
Minal Kitab was Sunnah, 1975 h.254 8 Mastur, Fadli, Tanya Jawab Lengkap Mutiara Ibadah, (Jakarta: Ladang Pustaka &
Intemedia, 2001), h. 33.
14
(tepercaya) terhadap apa yang di manfaatkan dan ia dapat memberikan rasa aman
terhadap orang yang memberikan amanat tersebut.9
Manusia dituntut untuk senantiasa bergerak, berbuat dan beramal karena
usaha merupakan bagian dari eksistensi jiwa, dan tawakal merupakan wujud dari
usaha manusia. Pada satu sisi memang sudah menjadi kewajiban manusia berbuat,
berusaha dan berupaya namun untuk hasil tentunya bukan manusia yang
menentukan melainkan Allah sajalah yang berhak berbicara perkara hasil karena
Dia yang paling mengerti kebutuhan seorang hamba. Tawakal sebagai bentuk
ibadah, karena merupakan buah dari keimanan.
Tawakal kepada Allah adalah menyerahkan segala sesuatu kepadaNya,
bergantung dalam semua keadaan kepada-Nya, dan yakin bahwa segala kekuatan
dan kekuasaan hanyalah milik-Nya. Tawakal merupakan sikap hati, sebagaimana
tampak dalam definisi-definisi di atas. Oleh karena itu, tidak ada pertentangan
antara tawakal kepada Allah dan antara bekerja serta berusaha. Tempat tawakal
adalah hati, sedangkan tempat berusaha dan bekerja adalah badan.10
Tawakal adalah amalan hati, berupa meninggalkan kemauan dan dorongan
hawa nafsu disertai dengan penyerahan daya dan kekuatan hanya kepada Allah
dengan cara memutuskan ketergantungan hati dengan selain Allah. Tawakal
adalah usaha maksimal sambil percaya kepada Allah. Bukan kepasrahan dan
bukan malas berpangku tangan.
Tawakal haruslah ditujukan kepada Dzat yang Maha sempurna, Allah Swt.,
tapi dalam realitanya ada yang meletakkan tawakal kepada selain Allah, seperti
tawakal seseorang kepada kekuatannya, ilmunya atau hartanya, atau kepada
manusia. Tawakal kepada Allah dalam arti menjadikan Allah sebagai wakil,
ditegaskan dalam berbagai ayat. Di antaranya dalam firman Allah:
ل ك ز اخ بت ف إلا ن شة ل إ غ ان ق ش ش سة ان
9 Supriyanto, Tawakal Bukan Pasrah, (Jakarta: Qultum Media, 2010), h. 23.
10 Khalid Syadzi, Yakin Agar Hati Selalu Yakin Dengan Allah, (Jakarta: Amzah, 2012), h.
115.
15
“(Dialah) Pemilik masyrik dan maghrib, tiada Ilah (yang berhak disembah)
melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung.” (QS. al-Muzammil: 9)
ى اد ض ى ف ش بخ ى ف ك عا ن ذ ج بط ل ا انا بط إ ى انا بل ن ل ز ا ان
م ك ى ان ع ب للاا ج س ا ح بن ل ب ب إ
“(yaitu) Orang-orang yang mengatakan kepada mereka, „Sesungguhnya manusia
telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian. Karena itu takutlah
kepada mereka.‟ Maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka
menjawab, „Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik
Pelindung.‟” (QS. Ali-Imran: 173)
Hakikat tawakal adalah penyerahan penyelesaian dan keberhasilan suatu
urusan kepada wakil. Kalau tawakal kepada Allah, berarti menyerahkan urusan
kepada Allah setelah melengkapi syarat-syaratnya. Zubaidi berkata di Taajul
„Aruus, tawakal adalah percaya total dengan apa yang di sisi Allah, dan memutus
harapan apa yang di tangan manusia. Tawakal adalah menyandarkan diri kepada
Allah dan melakukan ikhtiar, dengan meyakini bahwa Allah adalah Dzat yang
Maha Memberi rezeki, Pencipta, Yang Menghidupkan, Yang Mematikan, tidak
ada ilah selain-Nya.11
B. Klasifikasi Tawakal Dalam Al-Qur’an
Allah memerintahkan hambahamba-Nya agar selalu bertawakal dalam segala
kondisi. Sebab tawakal menunjukkan bahwa tidak ada hal yang bisa dilakukan
oleh para hamba kecuali hanya dengan izin dan taufik Allah Swt. Seorang hamba
diperintahkan untuk bertawakal baik dalam perkara yang remeh maupun yang
besar.
Dalam al-Qur„an terdapat macam-macam derefasi dari kata tawakal. Maka
perintah bertawakal dalam al-Qur„an, di dalam kitab Mu‟jam al-Mufahras Li al-
Fadz al-Qur‟an al-Karim, kata „tawakal ‟ dari akar kata dengan bentuk fiil madi
terhitung di dalam al-Qur„an sebanyak 9 ayat, kemudian dalam bentuk fiil
11
Dr. H. Muh. Mu‟inuddinillah Basri, LC., M.A, Indahnya Tawakal cet: 1, (Indiva
Pustaka, Surakarta: 2008), h 15.
16
mudhori terdapat 18 ayat, kemudian menggunakan sigah fiil amr‟ terdapat 11
ayat, dalam sigat isim fa‟il terdapat 4 ayat.12
C. Korelasi Tawakal dengan Usaha
Hubungan antara tawakal dengan usaha adalah bahwa sebelum bertawakal,
maka harus didahului oleh usaha dan ikhtiar. Mengenai hasil yang diperoleh,
maka hal itu sepenuhnya bukan kuasa kita yang menentukan. Manusia hanya bisa
berencana dan berusaha, namun akhirnya Tuhan pulalah yang menentukan hasil
akhirnya.
Bertawakal tidaklah berarti meninggalkan upaya, bertawakal
mengharuskan seseorang meyakini bahwa Allah yang mewujudkan segala
sesuatu, sebagaimana ia harus menjadikan kehendak dan tindakannya sejalan
dengan kehendak dan ketentuan Allah Swt. Seorang muslim dituntut untuk
berusaha tapi di saat yang sama ia dituntut pula berserah diri kepada Allah Swt,
ia dituntut melaksanakan kewajibannya, kemudian menanti hasilnya
sebagaimana kehendak dan ketentuan Allah.13
Perintah tawakal dalam firman Allah yang lain seperti QS. Ali Imran
:122
هى للاا ع ب ن للاا ل ش ف ت ى أ ك ي ب ت ف بئ ت ط ا ر إ
ي ؤ م ان كا ت ه ف
“Ketika dua golongan daripadamu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah
adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendaklah karena Allah
saja orang-orang mu‟min bertawakal .” (Q.S. Ali Imran 3: 122)
Dalam tafsir Al- Misbah dijelskan bahwa, ayat ini masih lanjutan uraian
tentang apa yang diperintahkan oleh ayat sebelumnya untuk direnungkan. Uraian
ayat ini masih berkisar pada peristiwa yang terjadi sebelum berkecamuknya
perang Uhud. Hanya saja, dalam ayat ini mitra bicara ditujukan kepada seluruh
kaum muslimin, berbeda dengan ayat yang lalu yang hanya ditujukan kepada
Nabi Muhammad saw.
12
Muhammad Fu‟ad Abd al-Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfad al-Qur‟an (Beirut:
Dar al-Fikr, 1994), h. 929-930 13
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 488.
17
Ini karena penekanan pada ayat ini lebih banyak menunjukkan aktivitas
dan niat yang menyertai sebagian pasukan kaum muslim yang akan terlibat
dalam peperangan tersebut. Ketika itu, ada dua golongan dari (pasukan) kamu,
yaitu Bani Salamah yang merupakan segolongan dari suku Khazraj dan Bani
Haritsah dari suku Aus, yang terbesik dalam pikirannya untuk menggagalkan
niatnya berperang karena takut mati setelah mengetahui bahwa sepertiga
pasukan yang dipimpin oleh petinggi orang munafik, Abdullah bin Ubay, telah
meninggalkan medan perang, padahal Allah adalah penolong bagi dua golongan
itu, karena keduanya terdiri dari orang-orang yang beriman dan apa yang
terbetik dalam pikiran mereka itu sangat manusiawi sehingga Allah
mentoleransinya. Allah akan menolong siapa saja yang beriman, karena itu
hendaklah kepada Allah Swt. saja orang-orang mukmin bertwakal, tidak kepada
selain-Nya, tidak juga kepada perlengkapan dan personil, apalagi kalau personil
itu terdiridari orang-orang munafik.
Penggalan terakhir ayat ini menurut Al Biqâ‟i, lebih baik dipahami
mengandung pesan bahwa Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu,
karena mereka beriman dan berserah diri kepada-Nya, dan bukannya kehendak
mundur itu bersumber dari tekad mereka. Mereka bahkan menjadikan Allah
sebagai penolong dan berserah diri kepada-Nya, guna mengukuhkan kamu dan
menghindarkan kelemahan atasmu, karena itulah hendaklah semua kaum
mukminin percaya dan berserah diri kepada-Nya agar mereka semua pun
memperoleh pertolongan-Nya.
Ada juga ulama yang memahami firman-Nya: padahal Allah adalah
penolong bagi kedua golongan itu, merupakan kecaman bagi kedua golongan
itu. Mereka dikecam karena bermaksud meninggalkan medan perang, padahal
seharusnya mereka tahu persis bahwa Allah akan membantu orang-orang
mukmin dan tentu saja membantu mereka juga kalau mereka benar-benar
mukmin.14
Kemudian, Allah Swt berfirman dalam Al-Qur‟an, Surah al-Maidah, 5:23.
14
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur‟an Vol.2
(Penerbit Lentera Hati, 2000), h. 190-191
18
ى ه ا ع ه خ ب اد ه ع ى للاا ع أ بف خ ز ا ان ي ل ج بل س ل
ى ت ك ا إ ه كا ت ف هى للاا ع ج بن ى غ اك ئ ف ت ه خ ا د ر ئ بة ف ج ان
ي ؤ ي
Artinya: “Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota), maka bila kamu
memasukinya, niscaya kamu akan menang, dan hanya kepada Allah hendaknya
kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang beriman”.
Ayat ini menjelaskan tentang tentang janji Allah untuk memberikan
kemenangan bagi orang-orang yang bertawakal kepada-Nya dengan keimanan
yang mantap yang telah merasuk kedalam jiwanya.15
Firman Allah Swt. lagi dalam Al-Qur‟an, Surah Ali „Imran, 3:159.
ه ك ت حت ان ا للاا إ هى للاا م ع كا ت ت ف ي ض را ع ئ ف
Artinya: “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal
lah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal
kepada-Nya”.
Faidah orang-orang yang bertawakal kepada Allah Swt. tidak akan merasa
kehilangan akal jika ada sesuatu yang mengecewakan dan tidak akan bersombong
diri dari apa yang direncanakan sesuai dengan taufik Allah. Dengan sabar dan
tawakal maka selalu terbawa untuk memperbaiki diri mana yang kurang dan
menyempurnakan mana yang belum sempurna.16
Dari ayat-ayat di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa cara
bertawakal menurut al-Qur‟an adalah melakukan suatu usaha terlebih dahulu
dengan semampu mungkin, baru kemudian bertawakal atau menyerahkan segala
urusan pada Allah. Jika memang hasil yang didapatkan baik, maka berarti sesuai
dengan usaha serta jerih payah yang telah ditempuh, atau dengan kata lain, sesuai
dengan sunnatullah. Namun jika hasil yang diperoleh bersifat sebaliknya, maka
dalam hal ini terdapat dua kemungkinan:
15
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 66. 16
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz XII, h. 163.
19
1. Pertama, hasil yang diperoleh tidak memuaskan karena usaha yang dilakukan
kurang maksimal.
2. Kedua, usaha telah dilakukan semaksimal mungkin, akan tetapi ketentuan
Allah telah menetapkan demikian. Namun disebalik semua itu, sebenarnya
terkandung hikmah besar yang bisa saja dilihat dengan kasat mata ataupun
sebaliknya.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa sikap tawakal itu
merupakan penyerahan diri kepada Allah setelah sebelumnya di dahului oleh
usaha serta ikhtiar yang keras. Dengan kata lain, tawakal yang tidak disertai
dengan usaha dan ikhtiar bukanlah merupakan sikap tawakal yang sebenarnya.
Tawakal kepada Allah pada sisi lain akan membuka pintu rezeki
sebagaimana Allah mengilhamkan burung yang terbang di pagi hari dengan perut
kosong dan dapat kembali pada waktu petang dengan perut kenyang. Jadi Allah
menginginkan kepada makhluknya agar berusaha semampunya serta berserah diri
kepada-Nya, dan Allah tidak menyukai makhluknya yang bermalas-malasan
dengan kehidupan ini.
Perumpamaan burung yang telah disampaikan Nabi di dalam hadisnya
dijelaskan bahwa burung pergi pada waktu pagi dengan usahanya untuk mencari
makan dengan tawakal akan mendapat rezeki atau dengan kata lain berpegang
dengan ketentuan Allah dan yakin akan mendapat rezeki darinya.17
D. Urgensi Tawakal
Tawakal adalah satu dari sendi iman kepada Allah, fondasi ibadah kepada
Allah, maka tidak heran jika memiliki banyak keutamaan. Di antara
keutamaannya adalah: Pertama, tawakal yang sempurna mengantarkan
seseorang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab, sebagaimana disebutkan
dalam hadits Husain bin „Imran.18
Rasulullah mengabarkan bahwa di antara umat
beliau ada yang masuk surga tanpa hisab, tanpa azab, dan mereka adalah yang
tidak bertathayyur (mengaitkan nasib buruk dengan keberadaan burung atau yang
17
Supriyanto, Tawakal Bukan Pasrah, (Jakarat: Qultum Media, 2010), h. 45 18
Lihat di HR. Bukhari No. 5420
20
lainnya), tidak mengobati dirinya dengan setrika (api)19
dan hanya kepada Allah
mereka bertawakal 20
Kedua, tawakal menyebabkan orang terbebas dari bahaya, sebagaimana
yang Allah ceritakan ketika Abu Sufyan di tengah perjalanan pulang ke Makkah
dari Perang Uhud, berpikir untuk menghabisi Rasulullah saw., maka dia ingin
kembali lagi ke Uhud. Seketika itu Jibril memberi tahu Nabi akan tekad Abu
Sufyan, maka Nabi memerintahkan para shahabat yang ikut perang, untuk
bangkit lagi mengejar Abu Sufyan, padahal mereka dalam kondisi luka-luka.
Walaupun kondisi mereka terluka, tapi semua menyambut perintah Nabi,
dan berangkat mengejar Abu Sufyan. Mendengar Nabi mengejarnya Abu Sufyan
ganti ketakutan, maka dia membayar orang untuk menakuti-nakuti Nabi dan para
shahabatnya. Orang tersebut mengatakan, “Sesungguhnya manusia telah
menyiapkan „hasbunallah wa ni‟mal wakil‟, cukuplah Allah bagi kami, dan Dia
sebaik-baik pelindung.” Akhirnya Abu Sufyan mempercepat langkahnya ke
Makkah dan tidak berpikir untuk kembali, karena dia meyakini tidaklah
Muhammad mengejarnya kecuali karena ada bala bantuan yang besar yang
membantu Nabi. Padahal sebenarnya tidak ada bantuan, melainkan strategi Nabi
yang jitu dalam melakukan manuver militer, dan inilah faidah tawakal .
Ketiga, tawakal menjadi sebab seseorang mendapatkan rezeki dari Allah
Swt. dengan rezeki yang baik. Dalam kisah di atas, Allah berfirman:
للاا ا ض عا س اج ات ى سء س س ى ضم ن ف للاا خ ي ع ا ث ج ه م ب ف
ى ظ ضم ع ف ر للاا
“Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah,
mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah,
dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Ali-Imran: 174)
19
فحسمه الثانية ـ بيده بمشقص، ثم ورمت أكحله فحسمه رسول هللا رمي سعد بن معاذ في “Sa‟ad bin Mu‟adz pernah kena bidikan panah di urat tangannya, kemudian Rasulullah Saw.
membedahnya dengan tombak yang dipanasi dengan api, setelah itu luka-luka itu membengkak,
kemudian dibedahnya lagi.” HR Muslim, no : 4088. 20
Muh. Mu‟inuddinillah Basri, Indahnya Tawakal cet: 1, (Indiva Pustaka, Surakarta:
2008), h 22.
21
Dengan tawakal Nabi dan para shahabat mereka selamat dari gangguan
Abu Sufyan, bahkan mereka bisa berdagang di tengah perjalanan dan
mendapatkan keuntungan. Dalam hadits dikatakan:
انخطابة سض ش ث ع أاكى ع سهاى لبل : ن صهاى هللا عه اناج ع هللا ع
ح بصب ، تش خ ش ، تغذ ب شصق انطا نشصلكى ك ه ك عهى هللا حكا ت ه كا تت
ثطبب
“Kalau kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal ,
pastilah Dia memberi rezeki kepada kalian, seperti memberi rezeki kepada
burung. Berangkat pagi dalam kondisi kosong (temboloknya) dan pulang sore
dalam kondisi penuh.” (HR. Hakim No. 2008, Ahmad No. 205, Turmudzi No.
2344)21
Imam Ahmad berkata sebagaimana dinukil oleh Hafizh Baihaqi:
“Tidak ada dalam hadits ini alasan untuk berhenti dari usaha, bahkan di dalam
hadits ada dalil mencari rezeki. Karena burung jika berangkat pagi, tiada lain
berangkat untuk mencari rezeki, tiada lain yang dimaksud-wallahu a‟lam-
kalaulah mereka tawakal kepada Allah dalam pergi, kedatangan, dan tingkah
laku mereka, dan mereka yakin bahwa kebaikan ada di tangan-Nya dan dari-
Nya, tidaklah mereka pulang kecuali dalam kondisi selamat, mendapatkan
keuntungan. Seperti burung pergi dalam kondisi lapar, pulang dalam kondisi
kenyang, akan tetapi mereka mengandalkan atas kekuatan dan kegesitan mereka,
mereka menipu dan curang serta tidak tulus, dan ini berlawanan dengan tawakal
.”
Keempat, tawakal menjadi penyebab mendapatkan cinta-Nya. Allah
sangat menyukai orang-orang yang beriman dengan-Nya, dengan kekuasaan-Nya,
dengan keluasan ilmu-Nya, dan yakin akan kebaikan segala qadha dan qadarNya.
Allah berfirman:
ه ك ت حت ان ا للاا إ هى للاا م ع كا ت ف
21
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya (I/30, 52); dan oleh at-
Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2344)
22
“Maka bertawakal lah kepada Allah, sesungguhnya Allah mencintai orang-
orang yang bertawakal .” (QS. Ali-Imran: 159)
Kelima, tawakal menyebabkan tercukupinya apa yang diinginkan, karena
Allah sendiri yang menjadi penjaminnya. Allah berfirman:
ا ش س ش ي أ ي م ن ع ج اك للاا ت ي
“Siapa yang bertawakal kepada Allah Dialah yang mencukupinya.” (QS. at-
Thalaq: 4)
Keenam, Allah melindungi orang yang bertawakal kepada-Nya dari apa
yang ditakuti, sebagaimana mencukupi apa yang dinginkan. Orang-orang kafir
selalu menakut-nakuti Nabi dengan tuhan mereka. Maka Allah bertanya dengan
pertanyaan yang argumentatif,
“Tidakkah Allah mencukupi hamba-Nya dan mereka menakut-nakuti dengan
selain-Nya.” (QS. az- Zumar: 38)
Artinya orang yang bertawakal kepada-Nya tidak perlu takut kepada
gangguan orang yang mengganggunya. Karena kalau Allah melindungi-Nya,
tidak ada yang berbahaya baginya, dan kalau Allah menakdirkan ujian baginya,
maka pahala yang besar, dan surga serta derajat syahid telah menantinya. Orang
yang bertawakal kepada Allah, setan tidak bisa mengganggunya. Dalam hadits
dikatakan:
جم خشج إرا انشا ث ي ثسى فمبل ت كاهت للاا عهى ت ل ل للاا ل ح ح ا إلا ل لبل ثبللا
كفت ذت حئز مبل لت ى حا ن فتت ن فمل انشابط طب ف آخش ش ك
ذي لذ ثشجم نك كف ل
Dari Anas bin Malik, sesungguhnya Nabi saw. bersabda, “Jika seorang laki-laki
keluar dari rumahnya membaca, „Bismillah tawakal tu „alallah laa haula wala
quwwata illaa billaah‟, dikatakan ketika itu, „Engkau diberi petunjuk, engkau
dicukupi, engkau dijaga,‟ dan setan minggir darinya. Dan berkata kepadanya
setan yang lainnya, „Bagaimana engkau (bisa menggoda) seorang yang telah
diberi petunjuk, dicukupi dan dijaga?‟” (HR. Abu Dawud No. 4431, Turmudzi
No. 3348 dan berkata hadits hasan shahih)
23
E. Pengaruh Tawakal dalam Keimanan
Tawakal merupakan bentuk inti dari keimanan seorang hamba. Iman yang
kokoh kepada Allah Swt. tentunya lahir dari buah tawakal yang kuat. Dalam ayat
al-Qur„an disebutkan pula bahwa Allah Swt. telah menjadikan tawakal sebagai
salah satu syarat untuk terlaksananya keimanan
Tawakal mempunyai hubungan erat dengan iman bahkan sebagai syarat iman
Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman :
ي ؤ ى ي ت ك ا إ ه كا ت ف هى للاا ع
“…Dan hanya kepada Allâh hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-
benar orang yang beriman.”(Q.S al-Maidah 5:23)
Dalam ayat ini Allah menjadikan tawakal kepada Allah sebagai syarat
keimanan. Maka indikasi lenyapnya keimanan adalah hilangnya tawakal.
Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman :
ى ت ك ا إ ه كا ت ه ع ف بللا ى ث ت ى آي ت ك و إ ب ل ى س بل ي ل
ه س ي
Berkata Musa,”Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allâh, maka bertawakal
lah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri”. (Q.S.
Yunus/10:84)
Dalam ayat ini Allah menegaskan benarnya Islam seorang hamba dengan
sebab adanya tawakal . Maka semakin kuat tawakal seorang hamba, semakin
kuat pula imannya. Demikian juga sebaliknya apabila lemah imannya, lemah pula
tawakal nya. Apabila tawakal nya lemah, sudah pasti keimanannya lemah.22
Allah berfirman :
ى ه ت ع ه ا ت ر إ ى ث ه ت ل ه ج ش للاا ك ا ر ر إ ز ا ان ي ؤ ب ان ا إ
ه كا ت ى ث هى س ع ب ب ى إ ت اد ص بت آ
22
Muh. Mu‟inuddinillah Basri, “Indahnya Tawakal: Sebuah Tuntunan Holistik Untuk
Meluruskan Pemaknaan Tawakal”( Jakarta: Indiva Media Kreasi, 2008) h.69
24
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila
disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada
mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada
Rabblah mereka bertawakal ”. (Q.S. al-Anfal/8:2)
Tawakal merupakan satu dari sendi keimanan dan ketauhidan kepada
Allah Swt, karena tawakal berlandaskan keyakinan bahwa Allah adalah Ilah yang
menguasai segala sesuatu, mengatur segala perkara. Dialah yang menentukan
keberuntungan atau kerugian seseorang, keberhasilan dan kegagalan seseorang.
Manusia adalah makhluk yang harus menyadari bahwa mereka dalam genggaman
Allah, mereka membutuhkan bimbingan dan pertolongan Allah Swt.
Manusia berusaha dan hanya Allah yang menentukan hasil akhirnya.
Keimanan dan ketauhidan dilandasi keyakinan bahwa Allah adalah Pencipta yang
berkuasa, sedang manusia adalah makhluk yang tak berdaya di hadapan-Nya.
Tawakal adalah simbol keimanan bahwa Allah adalah Rabb yang Maha Berkuasa
yang menyayangi hamba-Nya. Manusia adalah makhluk yang sangat
membutuhkan Rabb dan kasih sayang-Nya, manusia berusaha karena
diperintahkan oleh Allah sebagai Rabbnya dan mengembalikan seluruh hasil
usaha hanya kepada Rabb. Mereka juga wajib berhusnuzhan kepadaNya bahwa
Dia menentukan apa yang terbaik untuk makhluk-Nya.
Akidah Islam mengajari bahwa segala sesuatu Allah yang menentukan,
apa yang Allah tentukan terjadi pasti terjadi dan apa yang Allah tentukan tidak
terjadi pasti tidak akan terjadi. Tawakal kepada Allah adalah tanda keimanan
kepada kekuasaan Allah, dan menyerahkan diri kepada ketentuan-Nya, serta
husnuzhan terhadap Allah Swt. Allah telah mengaitkan tawakal dengan iman:
ي ؤ ى ي ت ك ا إ ه كا ت ف هى للاا ع
“Dan kepada Allah lah hendaklah kalian bertawakal jika kalian beriman.” (QS.
al-Maidah: 23)
Sebagaimana juga Dia mengaitkan tawakal dengan Islam:
ى ت ك ا إ ه كا ت ه ع ف بللا ى ث ت ى آي ت ك و إ ب ل ى س بل ي ل
ه س ي
25
“Berkata Musa, „Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka
bertawakal lah kepadaNya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah
diri.” (QS. Yunus: 84)
Ayat di atas menjelaskan, jika kalian yakin dengan kekuasaan Allah dan janji-
Nya yang akan memenangkan kalian, dan kalian benar-benar pasrah diri kepada-
Nya maka bertawakal lah kepada Allah Swt. Tawakal adalah separuh dari din,
karena din terdiri dari ibadah dan isti‟anah (minta pertolongan), dan tawakal
adalah bagian yang tak terpisahkan dari isti‟anah. Sebagaimana tergambar dalam
firman-Nya, “iyyaka na‟budu wa iyyaka nasta‟in”. Hanya kepada-Mu kami
beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.
Tawakal adalah sifat orang-orang yang beriman sejati, sebagaimana Allah
mengatakan,
ى ه ت ع ه ا ت ر إ ى ث ه ت ل ه ج ش للاا ك ا ر ر إ ز ا ان ي ؤ ب ان ا إ
ب ا ي ح ل انصا م ز ا ان ه كا ت ى ث هى س ع ب ب ى إ ت اد ص بت آ
م ف ى ب ل ص س
“...dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakal . Yaitu orang-orang yang
menegakkan shalat, dan dari apa yang Kami rezekikan mereka berinfak,
merekalah orang-orang yang beriman sejati, bagi mereka derajat-derajat di sisi
Rabb mereka, ampunan dan rezeki yang mulia” (QS. al-Anfal: 2-3).
Tawakal merupakan sifat Nabi Ibrahim dan orang-orang pilihan. Allah
mengatakan, “Sungguh pada diri Ibrahim dan orang yang bersamanya terdapat
contoh yang baik.” Di antara sifat mereka adalah tawakal mutlak kepada Allah.
Mereka berdoa:
م ف ى ب ل ص ب س ا ي ح ل انصا م ز ا ان
“Hanya kepada-Mu kami bertawakal , hanya kepada-Mu kami kembali, dan
hanya kepada-Mu tempat kembali.” (QS. Mumtahanah: 5)
27
BAB III
BIOGRAFI BUYA HAMKA DAN SAYYID QUṬB
Untuk memahami lebih dalam pemikiran dan tafsir karya kedua tokoh yang
penulis angkat, maka penulis menghadirkan biografi tokoh untuk lebih lanjut
menganalisa pemikiran Hamka dan Quṭb dari berbagai sudut pandang
kehidupannya masing-masing.
A. Biografi Buya Hamka
Buya Hamka adalah sosok multitalenta yang terpatri dalam ingatan bangsa.
Semasa hidupnya Hamka dikenal sebagai ulama, pejuang, sastrawan dan
pujangga. Buku-buku karyanya diminati khalayak pembaca dari berbagai
kalangan sampai kini. Hamka adalah ulama dan pemimpin di hati masyarakat.
1. Kelahiran Buya Hamka
Buya Hamka yang bernama asli Abdul Malik yang kemudian menjadi Haji
Abdul Malik Karim Amrullah di singkat menjadi HAMKA setelah ia menunaikan
ibadah haji pada 1927, terlahir pada 14 Muharram 1326 H bertepatan dengan
tanggal 17 Februari 1908 di Ranah Minang tepatnya di desa Tabah Sirah, Negari
Sungai Batang, di tepi Sungai Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten
Agam, Sumatra Barat.1
Sosok Hamka adalah putra dari seorang ulama minangkabau yakni DR.
Syaikh Abdul Karim Amrullah seorang tokoh pelopor dari gerakan Islam “kaum
muda” di Minangkabau yang memulai gerakannya pada 1906. Sekaligus pendiri
pondok pesantren “Sumatera Thawalib” di Padang Panjang.2
2. Dinamika Keilmuan dan Karir
Hamka kecil tumbuh di lingkungan yang agamis. Ayahnya Karim Amrullah
atau dikenal sebagai Haji Rasul adalah seorang pelopor gerakan pembaharuan di
1 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, (Cv. Sejahtera Kita: Ciledug, 2013). h.170.
2 Rusydi hamka, Pribadi Dan Martanbat Buya Hamka, (PT Mizan Publika: Bandung,
2016). h. 2.
28
Minangkabau. Selain ayahnya yang merupakan seorang ulama, ibu nya yang
bernama Siti Shofiyyah binti Gelanggar juga seorang yang terkenal dan diberi
gelar Bagindo nan Batuah, yang di kala mudanya Bagindo terkenal sebagai guru
tari, nyanyian dan pencak silat. 3
Hamka sempat bersekolah di sekolah dasar di daerah Maninjau hingga kelas
dua pada tahun 1916 M. Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1918 M
Hamka mempelajari ilmu Agama dan bahasa Arab di Sumatera Thawalib atau
Thawalib School yang didirikan oleh ayahnya di Padang Panjang. Dengan
harapan kelak anaknya menjadi ulama, seperti dia. 4
Selain dengan gemblengan dari ayahnya, Hamka kecil juga gemar mengikuti
pengajaran dan kajian agama baik di masjid maupun di surau-surau. Saat itulah
Hamka mulai mengenal dan belajar dari ulama-ulama seperti Syaikh Ibrahim
Musa dan Syaikh Ahmad Rasyid, meskipun terkadang ia tidak merasa semangat
menimba ilmu di pondok pesantren ayahnya, dikarenakan sistem pelajaran di
pesantren tersebut masih menggunakan corak lama. Namun demikian ia tetap naik
kelas hingga menduduki kelas empat.5
Hamka selain rajin membaca, beliau juga sering bertukar pikiran tentang
permasalahan yang sering dialami kaumnya pada masanya, termasuk tema-tema
seputar keislamaan dan kebangsaan. Hamka yang otodidak senantiasa tidak
pernah puas menggali ilmu diberbagai bidang, seperti filsafat, sastra, sosoilogi
hingga politik.
Kehausan Hamka dalam mencari ilmu memang terlihat sangat besar sekali,
ketidak puasannya dengan metode pendidikan ayahnya membuatnya berusaha
meninggalkan kota Sumatera hingga kemudian pada tahun 1924 dalam usia 16
tahun, Hamka pergi belajar ke Pulau Pawa tepatnya bermula dari kota
Yogyakarta dan banyak mendapat pelajaran tentang organisasi keislaman
Muhammadiyah. dan lewat Ja‟far Amrullah yang merupakan pamannya Hamka
3 Badrut Tamam Ghafsas, Jalan Istiqamah Sang Legenda, (Islamic Book Publisher:
Jakarta, 2003). h. 5. 4 Badrut Tamam Ghafsas, Jalan Istiqamah Sang Legenda, h. 6.
5 Nasir Tamara, Hamka Di Mata Umat, Cet iii, (Sinar Harapan: Jakarta, 1996), h. 58.
29
berkesempatan mengikuti kursus-kursus yang diselenggarakan oleh
Muhammmadiyah dan Syarikat Islam.6
Setahun kemudian ia pulang kembali ke Minangkabau dengan kemampuan
menyusun kata-kata baik dalam berpidato maupun menulis. Sehingga ia sering
diminta untuk bertabligh di tengah-tengah masyarakat Minangkabau. Beliau pun
membuka kursus pidato bagi teman-temannya di Surau Jembatan Besi, yang
kemudian kumpulan pidatonya diterbitkan oleh sebuah majalah yang diberi nama
Khatibul Ummah.
Kiprah Hamka dalam bidang keilmuan memperoleh pengakuan dari beberapa
universitas terkemuka di dunia. Pada tahun 1985 ia dianugrahkan gelar doktor
honoris causa oleh Universitas Al-Azhâr, Mesir, setelah menyampaikan orasi
ilmiah yang berjudul “Pengaruh Muhammad Abduh Di Indonesia”. Gelar doktor
honoris causa juga diperoleh Hamka dari Universitas Kebangsaan Malaysia pada
tahun 1974.7
Hamka menikah dengan Siti Rahma binti Endah Sutan pada 29 April 1929
dalam usia 22 tahun. Kiprah Hamka dalam Organisasi Muhammadiyah:
Pada tahun 1930 mengaktifkan diri sebagai pengurus cabang
Muhammadiyah Padang Panjang
Pada tahun 1931 turut menghadiri Muktamar di Yogya yang setahun
kemudian diutus ke Makasar sebagai Muballigh atas kepercayan pimpinan
pusat Muhammadiyah.
Pada 1934 diangkat menjadi anggota tetap Majelis Konsul
Muhammadiyah Sumatera Tengah
Pada tahun 1936 pindah ke Medan dan menerbitkan majalah Pedoman
Masyarakat.
Jepang mendarat di Medan tahun 1942, dengan tujuan mengharuskan
masyrarakat turut serta memenangkan Perang Asia Timur Raya dengan
memberangus segala bentuk persyarikatan. Sebagai tokoh Muhammadiyah
6 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, (Cv. Sejahtera Kita: Ciledug, 2013). h.172.
7 Yunus Amir Hamzah, Hamka Sebagai Pengarang Roman, (Jakarta: Puspa Sari Indah,
1993), h. 6-7.
30
Hamka diminta pertimbangannya oleh Jepang dalam mengatasi masalah
dari umat Islam.
1945 kembali ke Padang panjang. Setahun kemudian di percaya mengetuai
Kongres Muhammadiyah di Padang Panjang.
Hamka juga beberapa kali melakukan kunjungan ke luar negeri untuk
menghadiri undangan. Seperti menjadi Anggota Misi Kebudayaan ke Munghthai
(1953). Mewakili Depag menghadiri perigatan mengkatnya Budha ke-2500 di
Burma (1954). Menghadiri Konferensi Islam di Lahore sekaligus memperoleh
Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhâr Mesir setelah memberi pidato
“Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia” bersama Abdullah Ahmad dari
Padang, Hamka menjadi orang Indonesia pertama yang memperoleh Doktor
Honoris Causa dari Universitas Al-Azhâr Mesir.
Hamka juga menjabat sebagai Ketua Umum MUI pertama sejak 1975 dan
kemudian mengundurkan diri, dikarenakan masalah “Perayaan Natal” bersama
antara umat Kristen dan agama lain termasuk Islam. MUI yang diketuai oleh
Hamka megeluarkan fatwa keharaman seorang muslim mengikuti perayaan natal.
Dua bulan setelah pengunduran diri sebagai ketua umum MUI Hamka terkena
serangan jantung yang menyebabkan beliau dirawat di RS. Pertamina Pusat
Jakarta hingga akhirnya beliau di panggil oleh Allah swt. pada hari Jum‟at tanggal
24 Juli 1981/ 22 Ramadhan 1401 H dalam usianya 73 tahun.8
3. Karya-Karya Hamka
Hamka adalah seorang ulama dan sastrawan yang produktif. Tulisan-
tulisannya meliputi banyak bidang kajian: politik (Pidato Pembelaan Peristiwa
Tiga Maret, Urat Tunggang Pancasila), sejarah (Sejarah Ummat Islam, Sejarah
Islam di Sumatera), budaya (Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi), akhlak
(Kesepaduan Iman & Amal Salih), dan ilmu-ilmu keislaman (Tashawwuf
Modern).
8 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, (Cv. Sejahtera Kita: Ciledug, 2013). h.177.
31
Kitab Tafsir Al-Azhâr merupakan karya gemilang Buya Hamka. Tafsir al-
Quran 30 juz itu salah satu dari 118 lebih karya yang dihasilkan Buya Hamka
semasa hidupnya. Tafsir tersebut dimulainya tahun 1960.
Daftar karya Hamka diantaranya:
1. Kenang-Kenangan Hidup, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
2. Ayahku (Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan
Perjuangannya), Jakarta: Pustaka Wijaya, 1958.
3. Khatib al-Ummah, 3 Jilid, Padang Panjang, 1925.
4. Islam dan Adat, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
5. Kepentingan Melakukan Tabligh, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
6. Agama dan Perempuan, Medan: Cerdas, 1939.
7. Pedoman Mubaligh Islam, cet. 1, Medan: Bukhandel Islamiah, 1941.
8. Hikmat Isra‟ Mi‟raj, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
9. Negara Islam, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
10. Islam dan Demokrasi, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
Dalam bidang sastra Hamka juga menghasilkan beberapa karya seperti
Merantau Ke Deli, Di Bawah Lindungan Ka‟bah, Di Dalam Lembah Kehidupan,
Tenggelamnya Kapal Van Der Wick, Margaretta Gautheir. dll.9
4. Pendapat Ulama tentang Buya Hamka
Hamka seorang ulama besar yang memiliki kemampuan di atas rata-rata
di bidang sastra dan sebagai pengarang buku agama. Kebanyakan pengarang tidak
punya keahlian berpidato, atau sebaliknya kebanyakan ahli pidato tidak mahir
menulis. Berbeda dengan Hamka. Ia bukan hanya seorang pengarang yang tidak
pernah kering penanya, tapi juga seorang mubaligh yang handal. Mendengar
ceramahnya sama menarik dengan membaca karangannya. Lebih dari itu,
menyatunya antara kata dan perbuatan adalah watak kepribadian Hamka sebagai
ulama panutan umat.
9 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, (Cv. Sejahtera Kita: Ciledug, 2013). h.178.
32
Ahmad Syafii Maarif dalam Kata Pengantar buku Adicerita Hamka karya
terjemahan dari buku James R. Rush mengatakan, “Saya tidak tahu sudah berapa
jumlah tesis dan disertasi yang ditulis para akademisi dalam membedah
pemikiran Hamka. Ada sebuah paradoks di sini. Seorang autodidak tanpa
sertifikat formal yang dimilikinya telah melahirkan begitu banyak peminat untuk
mendalami pemikiran Hamka di ranah agama, filsafat, sastra, tafsir Al-Quran,
tasawuf, dan sejarah. Namanya diabadikan dalam sebuah universitas, yakni
Universitas Prof. Dr. Hamka di Jakarta dan di Padang, dan Pesantren Hamka
sebagai bentuk penghargaan kepada si piawai ini.”10
Dalam buku Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka (1981) karya H.
Rusjdi Hamka, menarik disimak penuturan pengarang biografi yang sekaligus
putra Hamka itu sebagai berikut “Penduduk asli Betawi kurang biasa dengan
masjid yang modern dan imamnya yang orang Padang dan Muhammadiyah.
Sedangkan orang-orang gedongan masih merasa agak segan. Satu dua dari
kalangan gedongan-gedongan yang datang, menghendaki agar masjid ini lebih
modern lagi. Sebuah usul dari seorang Nyonya, minta agar shaf wanita tidak lagi
di belakang. Islam menghormati wanita, kenapa kalau shalat wanita harus di
belakang? Ada lagi usul agar azan itu benar-benar bisa menarik orang ke masjid,
muazinnya agar gantian antara pria dan wanita.” “Soal-soal semacam yang ibu
fikirkan itu, sebaiknya kita turuti saja sunnah Nabi.” jawab Hamka . Semakin hari
jamaah Masjid Agung Al-Azhâr tambah ramai. Dan orang-orang Betawi yang
tadinya curiga melihat orang gedongan dari seberang yang tidak bermazhab dan
sebagainya, mulai biasa bergaul di masjid itu mendengarkan pengajian-pengajian
Hamka. Suasana kekeluargaan antara para jamaah benar-benar terjalin dengan
mesra.”11
Tidak hanya itu, tulis Rusjdi Hamka, “mereka yang kebanyakan bekas-
bekas kuli atau pekerja kasar ketika masjid dibangun, dan menetap di masjid itu
menunggu pekerjaan lain, mendapat perhatian Buya Hamka. „Tolonglah carikan
10
James R. Rush, Adicerita Hamka : Visi Islam Sang Penulis Besar Untuk Indonesia
Modern Penulis, (Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2014). h. 167. 11
Rusydi Hamka, Pribadi Dan Martanbat Buya Hamka, (PT Mizan Publika: Bandung,
2016). h. 63.
33
pekerjaan.‟ ujar Buya pada jamaah-jamaah kalangan gedongan. Pak Anib, Haji
Tohar, Pak Jumanta, Abing, dan banyak lagi, berhasil bekerja di rumah-rumah
jamaah yang lain. Beberapa orang di antara mereka disampaikan niatnya untuk
menunaikan ibadah haji dengan bantuan jamaah dan anjuran Hamka . Tapi masjid
yang besar itu, masih serba kurang. „Masjid kita perlu tikar, biayanya sekian. Saya
sumbangkan sekian.‟, kata Hamka seraya mengeluarkan uang dari sakunya.
Kalau kebetulan di antara jamaah itu ada orang-orang kaya, Hamka memandang
kepadanya. „Ha, itu ada Hasyim Ning, berapa?‟ „Saya borong semua, uang Buya
gunakan saja untuk yang lain.‟ ujar hartawan yang menjadi salah seorang dari
jamaah pertama Masjid Agung Al-Azhâr itu. „Selesai satu pekerjaan, ada lagi
pekerjaan lain yang menunggu. Bagaimana kalau kita beli mimbar yang bagus?‟
„Setuju.‟ jawab jamaah.”
Sisi humanis dari pribadi Hamka yang melekat dalam kenangan banyak
orang, ialah integritas moralnya, sosok sebagai ulama modernis nan karismatik,
kesederhanaan dan jauh dari kecintaan terhadap harta benda. Rumahnya terbuka
bagi siapa saja, tidak membeda-bedakan siapapun tamu yang datang. Hamka
bagaikan “Dokter Rohani” di tengah hiruk pikuk kota metropolitan Jakarta dengan
segala macam problemanya.12
Hamka seorang ulama yang berjiwa besar, kokoh pendirian, namun
menghargai orang lain yang berbeda keyakinan. Dakwahnya memancarkan
kearifan dan membangunkan jiwa umat. Peranan Hamka diakui sebagai figur
sentral yang berhasil ikut mendorong terjadinya mobilitas vertikal Islam di
Indonesia, meminjam istilah Cak Nur (Nurcholish Madjid), dari suatu agama yang
“berharga” hanya untuk kaum sarungan dan pemakai bakiyak di zaman kolonial
menjadi agama yang semakin diterima dan dipeluk dengan sungguh-sungguh oleh
“Kaum Atasan” Indonesia merdeka. Hamka berhasil merubah postur kumal
seorang kiyai atau ulama Islam menjadi postur yang patut menimbulkan rasa
hormat dan respek.
12
Rusydi Hamka, Pribadi Dan Martanbat Buya Hamka, (PT Mizan Publika: Bandung,
2016). h. 78.
34
5. Sekilas Tafsir Al-Azhâr
1) Nao / Jenis
Dalam sumber penafsiran atau yang disebut juga dengan naw‟u (jenis),
ada dua sumber yaitu bi al-ma‟tsur dan bi al-ra‟yi. Meskipun dalam kitab
tafsirnya menggunakan riwayat-riwayat (bi al-ma‟tsur) untuk menjelaskan
suatu ayat, seperti menafsirkan dengan ayat yang lain, dengan hadis, dan qaul
sahabat, akan tetapi sumber penafsiran yang lebih dominan digunakan oleh
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhâr sendiri ialah dengan menggunakan
sumber bi al-ra‟yi karena dalam hal menafsirkan, beliau mengemukakan
pendapat-pendapat beliau tentang tafsir ayat-ayat tersebut.
2) Laun / corak
`Adapun dilihat dari corak penafsiran, tafsir Al-Azhâr mempunyai corak
Adab al-Ijtima‟iy. yaitu corak sastra budaya kemasyarakatan. Sebab, corak
inilah yang paling menonjol dibandingkan dengan corak yang lainnya, seperti
kebahasaan, fiqh, filsafat, ilmi, dan lainnya. Meskipun demikian, corak yang
disebutkan itu tetap ada dalam tafsir Al-Azhâr.
Corak ini menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al-Qur‟an dengan
ungkapan-ungkapan yang teliti, menjelaskan makna-makna yang dimaksud
al-Qur‟an dengan bahasa yang indah dan menarik, tafsir ini berusaha
menghubungkan nash-nash al-Qur‟an yang tengah dikaji dengan kenyataan
sosial dan sistem budaya yang ada. Hamka menggunakan contoh-contoh
yang ada di tengah masyarakat, baik masyarakat kelas atas seperti raja, rakyat
biasa, semua tergambar didalam karyanya. Uraian Hamka yang demikian
menyentuh perasaan manusiawi yang dalam.
Bahkan Hamka sendiri mengakui bahwa Tafsirnya itu sangat dipengaruhi
oleh Tafsir Al-Manâr karya Rasyid Ridha yang juga bercorak al-adabi al-
ijtima‟i. Ketertarikan Hamka terhadap Tafsir Al-Manâr ini sebagaimana
ditulisnya, sebagai berikut:
“Tafsir yang amat menarik hati penafsir buat dijadikan contoh ialah Tafsir
Al-Manar karangan Sayyid Rashid Ridha, berdasar kepada ajaran tafsir
35
gurunya Syaikh Muhammad Abduh. Tafsir beliau ini, selain dari
menguraikan ilmu berkenaan dengan agama, mengenai hadis, fiqh, dan
sejarah dan lain-lain, juga menyesuaikan ayat-ayat itu dengan
perkembangan politik dan kemasyarakatan, yang sesuai dengan zaman di
waktu tafsir itu dikarang”. 13
Dari kutipan di atas, semakin jelas bahwa corak tafsir Al-Azhâr karya
Hamka ini bercorak tafsir al-adabi al-ijtima‟i, yaitu corak tafsir sastra
budaya kemasyarakatan.
3) Thoriqotut Tafsir / Metode
Dalam kitab tafsirnya, Hamka membahas berbagai macam aspek sesuai
dengan kecenderungannya. Meskipun Hamka dalam tasfirnya telah
memberikan judul untuk uraiannya, namun tafsir nya ini belum dapat
dimasukkan dalam kelompok tafsir maudhu‟i. Sebab, ciri-ciri yang ada dalam
tafsir maudhu‟i belum nampak dalam tafsir Al-Azhâr. Demikian juga dengan
metode muqaran, sekalipun dalam bagian-bagian tertentu Hamka membuat
perbandingan, tetapi perbandingan itu bukanlah metode yang dominan
digunakan Hamka . Dan jika kita lihat dari pengurutan suratnya, tafsir Al-
Azhâr ini menggunakan tartib mushafi, yaitu ayat-ayat yang ditafsirkan
sesuai dengan urutan yang terdapat dalam mushaf, yakni dari Surat Al-
Fatihah sampai Surat An-Nas. Dengan demikian, dapat disimpulkankan
bahwa metode tafsir yang digunakan Hamka dalam tafsirnya adalah metode
tahlili.
4) Manhaj Penulisan
Jika dilihat dari teknik penyajianya, kitab tafsir Al-Azhâr ini termasuk
kitab tafsir yang menggunakan Manhaj Muqotho‟ah, yakni manhaj dengan
penyajian mengelompokkan beberapa ayat, disamping ayat-ayat tersebut
terdapat terjemahannya dan tafsirannya berada dibawahnya.
5) Latar Belakang Penulisan dan Penamaan Kitab
Motivasi penulisan Al-Azhâr menurut Hamka, didorong oleh dua hal.
Pertama, bangkitnya minat angkatan muda Islam di tanah air Indonesia dan
13
Hamka, Tafsir al Azhâr, Juz I
36
daerah-daerah yang berbahasa Melayu yang hendak mengetahui isi al-Qur‟an
di zaman sekarang, padahal mereka tidak mempunyai kemampuan
mempelajari bahasa Arab. Kedua, medan dakwah para muballigh yang
memerlukan keterangan agama dengan sumber yang kuat dari al-Qur‟an,
sehingga diharapkan tafsir ini bisa menjadi penolong bagi para muballigh
dalam menghadapi bangsa yang mulai cerdas. 14
Penerbitan pertama tafsir Al-Azhâr diterbitkan oleh penerbit Pembimbing
Masa, pimpinan H. Mahmud. cetakan pertama oleh Pembimbing Masa,
merampungkan penerbitan dari juz pertama sampai juz keempat. Kemudian
diterbitkan pula Juz 30 dan Juz 15 sampai dengan Juz 29 oleh Pustaka Islam
Surabaya. Dan akhirnya Juz 5 sampai dengan Juz 14 diterbitkan oleh Yayasan
Nurul Islam Jakarta.
Hal pertama yang kita ketahui dan menarik perhatian kita dari sebuah
karya tafsir adalah namanya. Mengenai asal-usul nama dari tafsir Al-Azhâr
ada dua alasan15
yang saling berkaitan mengenai pemakaian nama Al-Azhâr
untuk tafsirnya. Pertama, Nama Al-Azhâr diambil dari nama masjid tempat
kuliah-kuliah tafsir yang disampaikan oleh Hamka sendiri, yakni masjid Al-
Azhâr, Kebayoran Baru. Nama masjid Al-Azhâr sendiri adalah pemberian
dari Syaikh Mahmoud Syaltout, syaikh (rektor) Universitas Al-Azhâr, yang
pada bulan Desember 1960 datang ke Indonesia sebagai tamu agung dan
mengadakan lawatan ke masjid tersebut yang waktu itu namanya masih
Masjid Agung Kebayoran Baru.
Kedua, Pengajian tafsir setelah shalat shubuh di masjid Al-Azhâr telah
terdengar di mana-mana, terutama sejak terbitnya majalah Gema Islam.
Majalah ini selalu memuat kuliah tafsir ba‟da shubuh tersebut. Hamka
langsung memberi nama bagi kajian tafsir yang dimuat di majalah itu dengan
Tafsir Al-Azhâr, sebab tafsir itu sebelum dimuat di majalah digelar di dalam
masjid agung Al-Azhâr.
14
Muhammad Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Pustaka Panjimas
Jakarta:1990), h. 54 15
Muhammad Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, hal.57
37
B. Biografi Sayyid Sayyid Quṭb
Sayyid Quṭb merupakan seorang ilmuwan, sastrawan, ahli tafsir sekaligus
pemikir dari Mesir. Quṭb merupakan salah satu ulama besar yang dikenal
masyarakat Mesir. Dia adalah tokoh yang memperjuangkan Mesir untuk bebas
dari pengaruh barat. Selain itu, dia juga seorang pemikir yang melahirkan banyak
karya buku, baik tentang Islam, pendidikan maupun puisi. Karyanya yang paling
terkenal adalah Fi Zilal al-Qur'an atau di bawah naungan Quran. Nama Sayydid
Quṭb begitu akrab dengan gerakan Islam. Memang tokoh ini amat populer amat
populer dalam gerakan Islam di mesir bernama Ikhwanul Muslimin.
1. Kelahiran Quṭb
`Sayyid Quṭb yang bernama lengkap Sayyid Quṭb Ibrahim Husain Syadzilli,
lahir di Mausyah, salah satu provinsi Asyuth, di dataran tinggi Mesir. Ia lahir pada
9 oktober 1906. Ayahnya bernama al haj al Quṭb bin ibrahim seorang petani
terhormat yang relatif berada, dan menjadi anggota komisaris partai nasionalis di
desanya. Karena ayahnya seorang tokoh berpengaruh ia menjadikan rumahnya
sebagai markas bagi kegiatan politik partainya. Maka Quṭb dan saudara
saudaranya sudah tidak asing melihat berbagai kegiatan rapat politik, diskusi para
aktivis partai sedari kecil.16
2. Dinamika keilmuan dan karirnya
Pengetahuannya yang mendalam dan luas tentang al-Qur‟an dalam konteks
pendidikan agama memberi dampak yang kuat pada hidupnya. Pada umur enam
tahun, dia masuk ke sekolah Awwaliyah (Pra Sekolah Dasar) di desanya selama
empat tahun. Di Madrasah tersebut, dia menghafal al-Qur‟an Al-Karim. Pada
tahun 1921 M, dia pindah ke Kairo untuk meneruskan belajarnya. Kemudian dia
melanjutkan ke sekolah persiapan Darul Ulum, 1925. pada tahun 1929 Sayyid
Quṭb melanjutkan pendidikannya ke Universitas Darul Ulum dan lulus dengan
gelar Lisance (Lc) dibidang sastra pada tahun 1933.
16
Nuim Hidayat, Sayyid Quṭb: Biografi Dan Kejernihan Pikirannya, (Gema Insani,
Jakarta, 2010) h. 15-17.
38
Setelah Sayyid Quṭb lulus dari Universitas Darul Ulum, dia bekerja di
Departemen Pendidikan dengan tugas sebagai tenaga pengajar di sekolah-sekolah
milik Departemen Pendidikan selama enam tahun. Setahun di Suwaif, setahun lagi
di Dimyat, dua tahun di Kairo, dan dua tahun di Madrasah Ibtida‟iyah Halwan. Di
daerah pinggiran kota Halwan, yang kemudian menjadi tempat tinggal Quṭb
bersama saudara-saudaranya.17
Setelah menjadi tenaga pengajar, Sayyid Quṭb kemudian berpindah kerja
sebagai pegawai kantor Departemen Pendidikan, sebagai penilik untuk beberapa
waktu lamanya. Kemudian dia pindah tugas lagi ke Lembaga Pengawasan
Pendidikan Umum yang terus berlangsung selama delapan tahun sampai akhirnya
kementerian mengirimnya ke Amerika.
Tahun 1948, ia diutus Departemen Pendidikan ke Amerika untuk mengkaji
kurikulum dan sistem pendidikan Amerika. Di Amerika selama dua tahun, lalu ia
pulang ke Mesir tanggal 20 Agustus 1950 M. Setelah itu ia diangkat sebagai
Asisten Pengawas Riset Kesenian di kantor Mentri Pendidikan. Tanggal 18
Oktober 1952, ia mengajukan permohonan pengunduran diri. Dalam masa
tugasnya di Amerika, ia membagi waktu studinya antara Wilson‟s Theacher‟s
College di Washington, Greeley College do Colorado, dan Stanford University di
California. Hasil studinya dan pengalamannya itu meluaskan pemikirannya
mengenai problema-problema sosial kemasyarakatan yang ditimbulkan oleh
paham materialisme yang gersang akan pahan ketuhanan.
Ketika berada di Departemen pendidikan, Sayyid Quṭb adalah seorang
pegawai yang tekun, pemikir yang berani, serta seorang yang mulia. Sifat-sifat ini
akhirnya banyak menyebabkan Sayyid Quṭb mendapat berbagai kesulitan dan
sesudah itu akhirnya Sayyid Quṭb pun melepaskan pekerjaannya. Sayyid Quṭb
mengajukan surat pengunduran diri dari pekerjaannya sekembalinya dari
17
Didin Saefuddin, Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam: Biografi Intelektual 17
Tokoh, (PT Grasindo: Jakarta, 2003). h.101.
39
Amerika, karena pada tahap ini beliau lebih memfokuskan pikiran beliau untuk
dakwah dan pergerakan serta untuk studi dan mengarang.18
3. Karya-Karya Sayyid Quṭb
Karya-karya Sayyid Quṭb selain beredar di Negara-negara Islam, juga beredar
di kawasan Eropa, Afrika, Asia dan Amerika. Di mana terdapat pengikut-pengikut
Ikhwanul Muslimin, hampir dipastikan di sana terdapat buku-buku Quṭb, karena ia
adalah tokoh ikhwan terkemuka.
Buku-buku hasil torehan tangan Sayyid Quṭb adalah sebagai berikut:19
1. As-Syathi‟ Al-Majhul, kumpulan sajak Quṭb satu-satunya, terbit febuari 1935.
2. Naqd kitab “Mustaqbal Ats-Tsaqafah Di Mishr” li Ad-Duktur Thaha Husain,
terbit tahun 1939.
3. At-Tashwir Al-Fanni Fil-Quran, buku islam Quṭb yang pertama, terbit april
1945.
4. Thifl Min Al-Qaryah, berisi tentang gambaran desanya serta catatan masa
kecilnya di desa, terbit tahun 1946.
5. Al-Madinah Al-Manshurah, sebuah kisah khayalan semisal kisah seribu satu
malam, terbit tahun 1946.
6. Kutub Wa Syakhshiyat, sebuah studi Quṭb terhadap karya-karya pengarang
lain, terbit tahun 1946.
7. Masyahid Al-Qiyamah Fil-Quran, bagian kedua dan serial pustaka baru al-
quran, terbit pada bulan april 1947.
8. Fi zilâl al-Qur‟ân, cetakan pertama juz pertama terbit oktober1952.
9. Dirasat Islamiyah, kumpulan berbagai macam artikel yang dihimpun oleh
Muhibbudin Al-Khatib, terbit 1953.
Sedangkan studinya yang bersifat keislaman harakah yang matang, yang
menyebabkan ia dieksekusi (dihukum penjara) adalah sebagai berikut: Ma‟alim
Fith-Thariq, Fi Zhilalil As-Sirah, Muqawwimat At-Tashawwur Al-Islami, Fi
18
Shalah Abdul Fatah al-Khalidi,“Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân”, Terj:
Salafuddin Abu Sayyid, (Surakarta: Era Intermedia, 2001), h.28-29 19
Nuim Hidayat, Sayyid Quṭb: Biografi Dan Kejernihan Pikirannya, (Gema Insani,
Jakarta, 2010) h. 21
40
Maukib Al-Iman, Nahwu Mujtama‟ Islami, Hadza Al-Qur‟an, Awwaliyat Li Hadza
Ad-Din, Tashwibat Fi Al-Fikri Al-Islami Al-Mu‟ashir .
4. Pendapat Ulama Tentang Sayyid Quṭb
Sebagai pemikir Islam, tentunya telah banyak ulama yang mengomentari
pemikiran Sayyid Quṭb. Diantaranya ialah kesaksian Syaikh Manna‟ Khalil al
Qaththan. Ulama terkenal, pakar Tafsir dan Hadits. Mantan Ketua Mahkamah
Tinggi di Riyadh dan dosen paska sarjana di Universitas Muhammad bin Su‟ud,
Saudi Arabia. Ia berkata, “Gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Asy
Syahid Hasan al Banna dipandang sebagai gerakan keislaman terbesar masa kini
tanpa diragukan. Tidak seorang pun dari lawan-lawannya dapat mengingkari
jasa gerakan ini dalam membangkitkan kesadaran di seluruh dunia Islam. Maka
dengan gerakan ini ditumpahkan segala potensi pemuda Islam untuk berkhidmat
kepada Islam, menjunjung syariatnya, meninggikan kalimahnya, membangun
kejayaannya, dan mengembalikan kekuasaannya. Apa pun yang dikatakan
mengenai peristiwa¬peristiwa yang terjadi atas jamaah ini namun pengaruh
intelektualitasnya tidak dapat diingkari oleh siapa pun juga.”20
Dan kesaksian mantan Mufti Mesir, Syaikh Hasanain Makhluf. Ia berkata,
“Syaikh Hasan al Banna Bahkan ia merupakan pelopor jihad di jalan Allah
dengan jihad yang sesungguhnya. Beliau berdakwah dengan menempuh manhaj
yang benar, meniti jalan yang terang yang diterjemahkannya dari Al Qur‟an,
Sunnah Nabi, dan ruh tasyri‟ Islam. Beliau melaksanakan semua itu dengan
penuh hikmah, hati-hati, dan sabar, dan „azzam yang kuat sehingga dakwah Islam
menyebar ke seluruh penjuru Mesir dan negeri-negeri Islam serta banyak orang
bergabung di bawah bendera dakwahnya.”21
Sebenarnya masih banyak pujian ulama dunia untuknya. Hal itu, merupakan
kebiasaan para ulama sejak dahulu; seorang ulama memberikan pujian sekaligus
kritik terhadap ulama lainnya.
20
Manna‟ Khalil al Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu Al Qur‟an, (Jakarta:Litera Antar Nusa,
2013) h. 506. 21
Badr Abdurrazzaq al- Mash, Manhaj Da‟wah Hasan al Banna, (Jakarta:Gema Insani
Press, 2005) h. 91.
41
5. Sekilas Tafsir Fî Zilalil Qur’an
a. Nao / Jenis
Dalam menafsirkan ayat Quṭb menggunakan dari dua tahapan yakni:
mengambil sumber penafsiran bil ma‟tsur, kemudian baru menafsirkan dengan
pemikiran, pendapat ataupun kutipan pendapat sebagai penjelas dari
argumentasinya.22
Meskipun secara garis besar tafsir beliau termasuk
bersumber pada bil ra‟yi karna muatan pemikiran sosial masyarakat dan sastra
yang cenderung lebih banyak. Selain kedua sumber tersebut, beliau juga
mengambil referensi dari berbagai dsiplin ilmu, yakni sejarah, biografi, fiqh,
bahkan social, ekonomi, psikologi, dan filsafat.
b. Laun / Corak
Penafsiran Sayyid Quṭb memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki tafsir-
tafsir lain, menggunakan gaya prosa lirik dalam penyampaian, karena itu tafsir
ini menjadi enak dibaca dan mudah dipahami. Kitab tafsir ini mengandung
unsur corak adaby ijtima‟i yakni sastra dan sosial kemasyarakatan.
Sifat lain dari tafsir ini adalah pemaparan yang bersemangat sehingga
mudah dicurigai sebagai tafsir provokatif, bahkan tidak jarang orang menamai
tafsirnya dengan corak tafsir haraki, tafsir ini masuk dalam kategori penafsiran
dengan corak baru yang khas dan unik serta langkah baru yang jauh dalam
tafsir serta memuat banyak sekali tema penting dengan menambahkan hal-hal
mendasar yang esensial. Karenanya Tafsir ini dapat dikategorikan sebagai
aliran (faham) khusus dalam Tafsir yang disebut “aliran tafsir pergerakan”. Ini
disebabkan metode pergerakan tidak ada pada kitab tafsir lain selain pada tafsir
Fi Zilâl al-Qur‟ân ini.23
c. Thoriqotut Tafsir / Metode
22
Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân, Penj:
Salafuddin Abu Sayyid, (Surakarta: era Intermedia, 2001), h. 116. 23
Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân, h.
346.
42
Sayyid Quṭb mengambil metode penafsiran dengan tahîlî atau tartib
mushafy. Dapat dicermati dari aspek-aspek metodologisnya, ditemukan bahwa
karya ini menggunakan metode tahlili, yakni metode tafsir yang bermaksud
menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari seluruh aspeknya secara
runtut, sebagaimana yang tersusun dalam mushaf. Dalam tafsirnya, diuraikan
korelasi ayat, serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama
lain. Begitu pula, diuraikan latar belakang turunnya ayat (sabab nuzul), dan
dalil-dalil yang berasal dari al-Quran, Rasul, atau sahabat, dan para tabiin, yang
disertai dengan pemikiran rasional (ra‟yu).
d. Manhaj Penulisan
Dalam sistematika penulisan Tafsirnya, Sayyid Quṭb terlebih dahulu
mengabstraksikan sekumpulan ayat yang akan ditafsirkan. Lalu kemudian
menerangkan ayat-ayat tersebut dan memberinya sub-sub judul.
Pengelompokan ayat-ayat dalam suatu penafsiran ini dikarenakan masih
terdapat munasabah antara ayat sebelum atau sesudahnya. Dalam bahasa Fahd
bin Abdurrahman ar-Rumi Sayyid Quṭb memberikan suatu prolog yang
menjelaskan tema surat dan jawaban persoalan-persoalajnnya juga tujuannya.
Lalu menjabarkan kata perkata dan menomorduakan israiliyat.24
e. Latar Belakang Penulisan Dan Penamaan Kitab
Pada kata pengantarnya, Sayyid Quṭb mengemukakan kesan-kesanya
hidup di bawah naungan Al-Qur‟an adalah nikmat. Nikmat yang tidak
diketahui kecuali oleh yang telah merasakanya. Ia merasa dekat dan mendengar
serta berbicara dengan Allah melalui Al-Qur‟an. Hidup di bawah naungan Al-
Qur‟an, Sayyid Quṭb merasakan keselarasan yang indah antara gerak manusia
sebagaimana kehendak Allah dengan gerak-gerik alam ciptaan-Nya.25
Ia
melihat kebinasaan yang akan menimpa kemanusiaan akibat
pemyimpangannya dari undang-undang alam ini. Ia menyaksikan benturan
24
Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Qur‟an, penj: amirul Hasan an M. Halabi,
(Yogyajarta: Titian Olahi Pres, 1996), h. 215-216. 25
Muhammad Chirzin, Jihad Menurut Saayid Quthb Dalam Tafsir Zilal, (Solo, Era
Intermedia, 2001), h. 136.
43
yang keras antara ajaran-ajaran rusak yang didekatkan padanya dengan
fitrahnya, yang telah ditetapkan Allah SWT.
Kondisi Mesir tatkala itu sedang porak poranda ketika Sayyid Quṭb telah
kembali dari perhelatannya menempuh ilmu di negeri Barat. Saat itu, Mesir
sedang mengalami krisis politik yang mengakibatkan terjadinya kudeta militer
pada bulan juli 1952. Pada saat itulah, Sayyid Quṭb memulai mengembangkan
pemikirannya yang lebih mengedepankan terhadap kritik sosial dan politik.26
Oleh karenanya, kita melihat upaya-upaya yang dilakukan Sayyid Quṭb dalam
tafsirnya lebih cenderung mengangkat terma sosial-kemasyarakatan.
Dalam tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân ini lebih cenderung membahas tentang
logika konsep negara Islam sebagai mana yang didengungkan oleh pengikut
Ikhwan al-Muslimin lainnya seperti halnya Hasan Al Banna, Abu A‟la al
Maududi. Secara singkatnya, sebenarnya Sayyid Quṭb memulai menulis
tafsirnya atas permintaan rekannya yang bernama Dr. Said Ramadhan yang
merupakan redaksi majalah al-Muslimun yang ia terbitkan di Kairo dan
Damaskus. Dia meminta Sayyid Quṭb untuk mengisi rubrik khusus mengenai
penafsiran Al-Qur‟an yang akan diterbitkan satu kali dalam sebulan.
Sayyid Quṭb menyambut baik permintaan rekannya tersebut dan mengisi
rubrik tersebut yang kemudian diberi nama Fî Zilâl al-Qur‟ân. Adapun
mengenai tulisan yang pertama yang dimuat adalah penafsiran surat al-Fâtihah
lantas dilanjutkan dengan surat al-Baqarah. Namun, hanya beberapa edisi saja
tulisan itu berlangsung yang kemudian Sayyid Quṭb berinisiatif menghentikan
kepenulisan itu dengan maksud hendak menyusun satu kitab tafsir sendiri yang
diberi nama Fî Zilâl al-Qur‟ânsama halnya dengan rubrik yang beliau asuh.
Karya beliau tersebut diterbitkan oleh penerbit al-Bâbi al-Halabi. Akan
tetapi kepenulisan tafsir tersebut tidak langsung serta merta dalam bentuk 30
juz. Setiap juz kitab tersebut terbit dalam dua bulan sekali dan ada yang kurang
dalam dua bulan dan sisa-sisa juz itu beliau selesaikan ketika berada dalam
tahanan.27
26
Sayyid Quthb, Tafsir Fî Zilalil Qur‟an, terj. As‟ad Yasin dkk., jild 1, h.407. 27
Bahnasawi, K. Salim, Butir-butir Pemikiran Sayyid Quthb. (Jakarta: Gema Insani
Press. 2003). h. 121.
44
C. Kelebihan dan Kekuragan Al-Azhâr dan Fi Zilâl al-Qur’ân
Meskipun kitab Tafsir AL-Azhâr dan Fi Zilâl al-Qur‟ân merupakan karya yang
sangat populer dan banyak dikaji dan di jadikan rujukan, tentunya kedua kitab ini
memiliki kelebihan dan kekurangan nya masing-masing. Dari analisa penafsiran
ayat-ayat tawakkal dalam Tafsir Al-Azhâr dan Tafsir Fi Zilâl al-Qur‟ân, dapatlah
penulis temukan corak penafsiran kedua tafsir tersebut bercorak al-adab al-
ijtima‟i yaitu salah satu corak penafsiran yang cenderung kepada persoalan sosial
masyarakat melalui gaya bahasa. Ini dapat dilihat ketika mereka menafsirkan ayat-
ayat al-Qur‟an, mereka seringkali memasukkan persoalan dan kisah-kisah yang
berlaku dalam lingkungan kehidupan masyarakat sehari-hari supaya para pembaca
memahami ayat-ayat al-Qur‟an dengan mudah sehingga masuk ke dalam hati dan
akal.
Adapun kelebihan dan kekurangan Tafsir Al-Azhâr dan Tafsir Fi Zilâl al-
Qur‟ân dari perhatian penulis adalah seperti berikut:
1) Tafsir Al-Azhâr
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Howard M. Federspiel, tafsir
yang ditulis oleh Hamka mempunyai kelebihan yaitu diantaranya, tafsir ini
menyajikan pengungkapan kembali teks dan maknanya serta penjelasan
dalam istilah-istilah agama mengenai maksud bagian-bagian tertentu dari
teks. Disamping itu semua, tafsir ini delengkapi materi pendukung lainnya
seperti ringkasan surat, yang membantu pembaca dalam memahami materi
apa yang dibicarakan dalam surat-surat tertentu dari al-Qur‟an.
Dalam tafsir ini juga Hamka berusaha mendemonstrasikan keluasan
pengetahuannya pada hampir semua disiplin bidang-bidang ilmu agama
Islam, ditambah juga dengan pengetahuan-pengetahuan non-keagamaannya
yang begitu kaya dengan informatif. Karakteristik seperti tersebut di atas
sebagaiman diungkapkan oleh Karel Steenbrink bahwa secara umum, Hamka
dalam melakukukan tekhnik penafsirannya “mencontoh” Tafsir al-Manar
karya Rasyid Ridho dan tafsir al-Jawâhir karya Tantawi Jauhari. Dan yang
terakhir Hamka lebih banyak menekankan pada pemahaman ayat secara
45
menyeluruh. Oleh karena itu dalam tafsirnya Hamka lebih banyak mengutip
pendapat para ulama terdahulu. Sikap tersebut diambil oleh Hamka karena
menurutnya menafsirkan al-Qur‟an tanpa melihat terlebih dahulu pada
pendapat para mufassir dikatakan tahajjum atau ceroboh dan bekerja dengan
serampangan.28
Adapun di antara kekurangan dari tafsir Al-Azhâr adalah pada usaha
penterjemahan ayat. Nampaknya Hamka dalam melakukan penterjemahan
menggunakan penterjemahan harfiah. Terjemah seperti itu terkadang
membuat kurang jelas dan sulit ditangkap maksudnya secara langsung.
Misalnya ketika Hamka menterjemahkan QS: Al Syura: 42.
Artinya: “Ada jalan hanyalah terhadap orang-orang yang menganiaya
manusia dan berlaku sewenang-wenang di bumi dengan tidak menurut
hak. Bagi mereka itu adzab yang pedih.”
Kemudian kekurangan yang penulis perhatikan adalah kurang ketatnya
penyeleksian terhadap hadis-hadis ketika menafsirkan ayat ayat al-Qur‟an.
Dalam menyebutkan hadis pula terkadang Hamka tidak menyebutkan
sumbernya. Sebagai contoh adalah sebagai berikut:
“Oleh karena al-Fatihah satu Surat yang menjadi Rukun (tiang) sembahyang,
baik sembahyang fardhu yang lima waktu, ataupun sekalian sembahyang
yang sunnat dan nawafil, maka dalam hal ini tidaklah cukup kalau kita hanya
sekedar menafsirkan arti al-Fatihah, melainkan kita perlengkap lagi dengan
hukum atau ketentuan Syariat berkenaan dengan al-Fatihah. Segala
sembahyang tidak sah , kalau tidak membaca al-Fatihah. tersebut dalam
hadits-hadits: Dan hendaklah dibaca pada tiap- tiap rakaat , karena Hadits :
Daripada Ubadah bin as-Shamit, bahwasannya Nabi Saw. berkata: "Tidaklah
ada sembahyang (tidak sah sembahyang) bagi siapa yang tidak membaca
Fatihatil Kitab. " (Dirawikan oleh al-Jamaah)
28 Howard M. Federspel, Kajian Al-Qur‟an di Indonesia, Terj. Tajul Arifin, (Mizan:
Jakarta, 1996 ) h.76
46
1) Tafsir Fi Zilâl al-Qur‟ân
Tafsir Fi Zilâl al-Qur‟ân merupakan tafsir kontemporer yang
memberikan terapi berbagai persoalan dan menjawab berbagai tuntutan abad
modern ini berdasarkan petunjuk al-Qur‟an. Di antara persoalan dan tuntutan
abad modern yang paling menonjol adalah persoalan seputar pemikiran,
ideologi, konsepsi, pembinaan, hukum, budaya, peradabaan, politik,
psikologi, spritualisme, dakwah dan pergerakan dalam suatu rumusan
kontemporer sesuai dengan tuntutan zaman. Berbagai persoalan ini, di
samping persoalan-persoalan lainnya, menadapatkan perhatian yang memadai
di dalam tafsir ini.
Karena itu tafsir Fi zilâl al-Qur‟ân dapat dikatagorikan sebagai tafsir
corak baru yang khas dan unik. Zhilal juga dapat dikatagorikan sebagai aliran
khusus dalam tafsir, yang dapat disebut sebagai “aliran tafsir pergerakan”.
Sebab metode pergerakan (al-manhaj al-haraki) tidak ada didapati selain
pada Zhilal. Ini adalah bagian dari beberapa keistimewaan Zhilal.
Sedangkan beberapa kelemahan Fi Zilâl al-Qur‟ân adalah terbatasnya
referensi Sayyid Quthub dalam menyusun karyanya ini. Faktor ini kemudian
berakibat banyaknya pendapat-pendapat pribadi yang sangat kental dengan
nuansa pada saat itu. Kemudian munculnya dikotomi hitam-putih, jahiliah
Islam, dalam kehidupan modern. Hal ini dapat dijelaskan bahwa siksaan
dalam penjara, fisik maupun kejiwaan, serta perasaan dikangkangi oleh
kekuasaan lain, membuat pikiran sejumlah penulis lebih radikal. Buku itu
dianggap sebagai titik balik Qutb dari pemikir moderat menjadi pemikir garis
keras. Penjelasannya yang terkadang berbau radikal sehingga dicurigai
sebagai kitab tafsir provokatif.29
29
Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Madkhal Ila Zhilalil Qur‟an, Pengantar Memahami
Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân (Terj.Salafuddin Abu Sayyid, Laweyan: Era Intermedia, 2001), Cet.I,
hal. 243.
47
BAB IV
ANALISIS KOMPARASI TAFSIR AL-AZHÂR DAN FÎ ZILÂL AL-
QUR’ÂN TENTANG AYAT-AYAT TAWAKAL
Sebelum menjelaskan penafsiran Hamka dan Sayyid Quṭb tentang
tawakal. Terlebih dahulu penulis akan menyampaikan ayat-ayat yang berbicara
tentang tawakal di dalam al-Qur‟an. al-Qur‟an
Dalam kitab Mu‟jam Al Mufahras, kata tawakal dalam arti menyerahkan
urusan kepada Allah, disebutkan Alquran dalam berbagai bentuk sebanyak 59
kali, dalam 47 ayat dari 25 surat.1 Penyebutan kata ini dalam al-Qur‟an memiliki
konteks beragam yang mencakup berbagai aspek kehidupan. Mengingat
banyaknya ungkapan kata yang seakar dengan kata tawakal, maka penulis
membatasi kajian ini kepada 5 ayat. Ayat-ayat tersebut adalah seperti berikut:
1. Surah az-Zumâr Ayat 38
2. Surah at-Taghâbun Ayat 13
3. Surah at-Thalaq Ayat 3
4. Surah al-Anfâl, ayat 49
5. Surah al-Ahzâb, ayat 3
Ayat-ayat tersebut dipilih karena kondisi yang berbeda isim dan fi‟il dan
terdapat penafsiran tentang tawakal pada setiap ayat yang dikaji di dalam Tafsir
Al-Azhâr dan Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân agar penulis dapat mencari titik perbedaan
atau persamaan di antara kedua tafsir tersebut.
A. Penafsiran Tawakal dalam Tafsir Al-Azhâr dan Fî Zilâl al-Qur’ân
1. Surat az-Zumar Ayat 38: Hanya Kepada Allah Orang Mukmin
Bertawakal
م ق ه للا ن ق ي ض ن ز ال ات ب م ق انس ه ه خ م م ت ن أ ه س ئ ن
ه م س ثض وي للا اد ز ن أ إ ن للا ه د عن م د ب ت م م ت ي أ س ف أ
1 Muhammad Fu‟ad Abd al-Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras lî Alfâd al-Qur‟an (Beirut: Dar
al-Fikr, 1994), h. 929-930.
48
ت م بت ز ح ك س م ه م م ة م ح س وي ث اد ز أ ي أ س بت ض ف بش ك
ن ه ك ت م م ان ك ت ي ي ه ع جي للا س م ح ق
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah".
Katakanlah: "Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain
Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah
berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah
hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-
Nya?. Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku". Kepada-Nya-lah bertawakal
orang-orang yang berserah diri.
Pada permulaan ayat ini Hamka menjelaskan tentang kondisi hati manusia
itu sesungguhnya meyakini bahwa penguasa alam semesta ialah Allah yang Esa
tiada yang lain selain-Nya. Hamka menerangkan bahwa sekalipun ditanyakan
kepada orang-orang arab dahulu, siapakah pencipta langit dan bumi, mereka tidak
akan menjawab berhala al-Laata, atau „Uzza, atau Manaata yang besar, atau
berhala-berhala lain. Pasti mereka akan menjawab bahwa pencipta semua langit
dan bumi tidak ada lain dari Allah.2
Ketauhidan yang tertanam dari hati manusialah yang melahirkan keimanan
tinggi kepada Allah SWT. Inilah yang Hamka coba jelaskan dalam tafsirnya
bahwa konsep ketuhanan yang diyakini manusia akan dengan mudah
menghantarkannya kepada kesempurnaan iman yakni bertawakal kepada Allah.
Dalam ayat ini, meskipun orang-orang kafir menolak kebenaran bahwa
Allah sajalah yang dapat mendatangkan mudharat kepada seseorang, dan
begitupula mendatangkan rahmat kepada seseorang.3 Sehingga seringkali mereka
menggunakan perantara seperti memuja batu, kuburan, gunung, pohon, jin, dan
beragam hal lainnya yang mereka anggap dapat mengusir kesialan dan
mendatangkan kebaikan, namun bagi orang-orang yang bertawakal maka ia akan
menjawab "Cukuplah Allah bagiku", tak akan ada rasa takut dan kekhawatiran
yang menyelimuti hati orang-orang yang bertawakal. Karena ia percaya jika Allah
yang memberi rahmat maka tak akan ada kebhatilan yang dapat menghalanginya
2 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Pustaka Panji, Mas cet.II, 2000) Juz.XXIV, h. 51
3 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz.XXIV, h. 52
49
dan mencelakainya sebesar apapun, begitupun sebaliknya. Karena kesempurnaan
iman dan tauhid ialah bertawakal, yaitu berserah diri sebulat dan sepenuhnya
hanya kepada Allah saja.
Dalam penjelasan tafsir ayat ini, ia bercerita bahwa pada suatu hari Hamka
melewati suatu kampung yang warganya banyak terserang penyakit muntaber, dan
masyarakatnya diminta oleh dukun kampung menggantungkan daun jiluang atau
daun pandan musang di tiap-tiap atap rumah warga yang berfungsi sebagai
penangkal penyakit agar tidak dapat masuk kerumah. Dan kerap kali Hamka
melihat jika seorang perempuan muda yang sedang mengandung anak pertamanya
di tangga masuk kerumah harus di pakukan terompah besi kuda, yang bertujuan
sebagai penangkal dari gangguan hantu.4 Semuanya ini adalah bekas kepercayaan
zaman jahiliyah, yang apabila Iman, Tauhid dan Tawakal telah memenuhi jiwa
seseorang tidaklah ia akan berbuat demikian. Ia akan berupaya dengan cara yang
rasional menurut ilmu kesehatan, seperti berikhtiar menjaga kebersihan rumah
agar penyakit itu tak menular ke rumahnya.
Begitupun Quṭb, menjelaskan bahwa tidak ada yang dapat memungkiri
penciptaan Allah terhadap langit dan bumi, bahkan akal pun tak dapat membantah
nya, karena manusia telah diciptakan dengan fitrah yang baik. Dan lebih lanjut
Quṭb menjelaskan bahwa jika hati sudah yakin dan mantap dengan kuasa Allah,
bahwa tidak ada yang dapat melenyapkan kemudharatan dan mendatangkan
rahmat kecuali dengan kekuasaan Allah semata, maka selesailah persoalan,
berakhirlah perdebatan, dan sirnalah segala ketakutan, putuslah semua harapan
kecuali harapan kepada Allah SWT. Karena dialah yang mencukupi hambanya.
Dan hanya kepada-Nyalah kita berserah diri.5
Dan hanya dengan keyakinan inilah akan lahir, kepercayaan dan
ketentraman yang tidak mengenal ketakutan, kepercayaan yang tidak mengenal
kegundahan dan keyakinan yang tak mengenal goncangan. Kita akan berjalan
4 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz.XXIV, h. 53
5 Sayyid Qutbh, Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân, Juz XXIV h.84
50
menjalani lorong kehidupan dengan penuh rasa tenang sampai akhir perjalanan
yaitu akhirat kelak.
Dalam menafsirkan ayat ini Hamka dan Quṭb memiliki kesimpulan yang
sama ialah meyakini bahwa dalam konteks ayat ini, tak akan ada rasa takut dan
kekhawatiran yang menyelimuti hati orang-orang yang bertawakal. Karena ia
percaya jika Allah yang memberi rahmat maka tak akan ada kebhatilan yang dapat
menghalanginya dan mencelakainya sebesar apapun, begitupun sebaliknya.
2. Surah at-Taghaabun Ayat 13: Iman Melahirkan Sifat Tawakal
ن ى م ؤ م م ان ك ت ي ه ف هى للا ع إل ن ل إ للا
“(Dialah) Allah tidak ada Tuhan selain Dia. Dan hendaklah orang-
orang mukmin bertawakal kepada Allah saja.”
Pada permulaan ayat ini Hamka menjelaskan bahwa tauhid kepada Allah
merupakan pokok dari keimanan seseorang. Apabila keyakinan ini telah teguh
maka manusia beriman menjadi tahan menderita, kuat menhadapi segala
kesulitan. maka jika kita selalu meneguhkan kepercayaan atas ke-esaan Allah,
segala cita-cita dan segala tujuan, apapun musibah yang akan menimpa diri, asal
sudah ada tawakal, berpasrah dengan bulat, dengan sendirinya pula jiwa menjadi
kuat.6
Dengan tawakal bukan berarti pula manusia berhenti berusaha. Manusia
harus pula mengerahkan segala daya dan upaya sebagai insan, menggunakan
kecerdasan akal dengan sebaik-baiknya, dan diakhir baru menyadari bahwa
kepandaian, ikhtiar dan usahanya sangatlah terbatas. Sebab itu selebihnya hal-hal
yang diluar jangkauan manusia di serahkan kepada Allah. Dengan demikian, jika
maksud belum tercapai atau sesuatu rencana gagal ia tidak akan menyesal dan
mengeluh. Seab ia akan sangat percaya bahwa Allah yang lebih tau dari dia.
Quṭb menjelaskan bahwa hakikat dari tauhid merupakan asas dari segala
pandangan iman. Kepercayaan kepada Allah yang tiada tuhan selain Dia membuat
hati orang beriman akan selalu terpaut dan sadar akan kehendak Allah lebih besar
6 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz.XXVIII, h. 245
51
dari pada kehendak manusia, Dan hal itu menentukan bahwa segala bentuk
tawakal harus ditujukan kepada diri-Nya semata. Inilah salah satu bentuk
pandangan iman yang ada di dalam hati.7
Pada ayat ini, hasil dari sikap tawakal menurut Hamka adalah jiwa yang
kuat dalam menghadapi ujian hidup, serta sikap tidak mudah mengeluh dengan
apapun hasil yang Allah berikan. Sementara Quṭb lebih kepada kesadaran diri
bahwa kehendak Allah lebih besar dari pada kehendak manusia.
3. Surah at-Thalaq Ayat 3: Tawakal Dalam Mencari Rezeki Dan Usaha
Mencapai Suatu Tujuan
ف هى للا م ع ك ت ه ي م ت س ت ح ث ل ي ي ه ح م ق ش س ي
ا ز د ء ق ي م ش ك ن عم للا د ج ي ق س م غ أ بن ث إن للا ج س ح
“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan
barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan
urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
Hamka menerangkan bahwa takwa dapat mendatangkan ketenangan hati,
thuma‟ninah dalam hati akan tumbuh sehingga kita akan bersabar ketika ujian
datang dan akan bersyukur ketika nikmat tiba. Maka ia bertawakal kepada Allah,
menyerahkan dengan sebulat hati dan yakin bahwa Allah tidak akan
mengecewakannya. Ini lah yang menyebabkan manusia tidak akan terputus dari
rahmat Allah. Perbedaan orang yang bertawakal ialah tidak akan pernah dijadikan
kering, ketika dekat akan kering, akan datang saja bantuan baru yang tidak di
sangka-sangka.8
Tidak ada satupun yang dapat menghambat dan menghalangi kehendak
Allah. Apa yang dikehendaki Allah itulah yang pasti berlaku. Demikian juga
halnya dalam rumah tangga ada seribu satu banyaknya ujian didalam ibadah ini.
7 Sayyid Qutbh, Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân, Juz XXVIII, h.300.
8 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz.XXVIII, h. 269
52
Kesukaran bisa datang di awal bisa juga datang di akhir. Dan kita harus ingat
bahwa semuanya itu tuhanlah yang menentukan, bukan mausia. Manusia hanya
berhenti pada tahap berupaya dengan baik. Adapun hasil tetap Allah sajalah yang
menentukan. Rumah tangga panjang atau pendek, dihadirkan keturunan atau
tidak, siapa yang mati di awal dan mati di akhir. Bahkan penentuan jodoh
sekalipun pada hakikatnya Tuhan jualah yang menentukan. Oleh sebab itu takwa
dan tawakal adalah sebab mutlak bagi kebahagiaan rumah tangga.
Pada ayat ini Quṭb menjelaskan bahwa permulaan ayat ini masih berkaitan
dengan pangkal ayat ke dua, yang merupakan kelanjutan jawaban dari ayat ke dua
yakni syarat untuk mandapat pertolongan dan rizki dari Allah adalah dengan
ketakwaan. Namun takwa disini bukan berarti takwa yang dilakukan dengan
pamrih, Allah mengisyaratkan sifat takwa yang merupakan ibadah hati ini
dilakukan dengan hanya mengharap ridha dari Allah saja. Maka jika ketakwaan
itu telah tumbuh dengan sendirinya Allah memberi nya jalan keluar dari setiap
kesempitan dan kesulitan di dunia dan di akhirat. Juga diberikan kepadanya rizki
yang tidak pernah dibayangkan dan dinantikannya.9
Lebih khusus ayat ini menjelaskan tentang perkara talak bukanlah perkara
yang sepele dan main-main, tidak ada yang dapat menhentikan seseorang dari
perbuatan yang dibenci Allah ini selain ketakwaan kepada Allah dan perasaan
paling dalam dari hati nurani. Karena konspirasi dan tipu daya setan sangatlah
banyak dan berat dalam hubungan perkawinan.10
Agar terhindar dari tipudaya syaitan maka ayat ini mengisyaratkan untuk
bertawakal kepada Allah, karena Ia pasti menjamin segala kecukupan bagi orang-
orang yang bertawakal kepadanya-Nya dan menuntaskan serta menyempurnakan
segala urusannya.
Setiap sesuatu telah ditentukan sesuai dengan ukurannya, waktunya,
tempatnya, kandungan-kanduganya, hasil-hasilnya, dan sebab-sebabnya. Tidak
9 Sayyid Qutbh, Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân, Juz XXVIII, h. 317.
10 Qutbh, Fî Zilâl al-Qur‟ân, h. 318.
53
ada sesuatupun yang terjadi secara kebetulan, tidak ada sesuatupun yang sia-sia
dalam seluruh alam semesta ini begitupun dalam jiwa manusia dan kehidupannya.
Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Furqân ayat 2
ا يس د ق ت ي ز د ق ء ف ي م ش ق ك ه خ
“Dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan
ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”
Dan suarah al-Qamar ayat 49
دز ق ث بي ى ق ه ء خ ي م ش ب ك و إ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”
Pada penjelasan ayat ini Hamka dengan tegas menelaskan Perbedaan orang
yang bertawakal ialah tidak akan pernah dijadikan kering, ketika dekat akan
kering, akan datang saja bantuan baru yang tidak di sangka-sangka, menyebabkan
manusia tidak akan terputus dari rahmat Allah.
Begitupun dengan Quṭb menekankan jika ridha atas keputusan Allah maka
Allah memberi nya jalan keluar dari setiap kesempitan dan kesulitan di dunia dan
di akhirat. Juga diberikan kepadanya rizki yang tidak pernah dibayangkan dan
dinantikannya
4. Surah al-Anfal Ayat 49: Tawakal dalam Menghadapi Musuh
ء ل ؤ س سض غ م م ث ه يه في ق ر ان ن ق بف ى م ل ان ق ذ ي إ
يم ك يص ح ص ع ن للا ئ ف هى للا م ع ك ت ه ي م م يى د
Artinya: (Ingatlah), ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang ada
penyakit di dalam hatinya berkata: "Mereka itu (orang-orang mukmin) ditipu
oleh agamanya". (Allah berfirman): "Barangsiapa yang bertawakal kepada
Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Hamka menjelaskan, setelah diteliti dari riwayat dan sirah Rasul, terutama
dalam peperangan Badar, beberapa orang dalam kelompok Quraisy itu hendak
54
memerangi Nabi Muhammad, tetapi hati mereka tidak begitu bulat dan teguh.
Bersama mereka itu pula ada pula orang-orang yang hatinya sakit dan dendam.
Mereka dari dua golongan ini setelah melihat kaum Muslimin yang sedikit yaitu
300 orang telah menyepele kaum Muslimin dengan sombong mereka berkata:
“Telah menipu kepada mereka agama mereka”.
Padahal ini bukanlah karena tertipu oleh agama, melainkan karena
tebalnya iman yang diterangkan Allah pada akhir ayat: “Barangsiapa bertawakal
kepada Allah, ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana”. Soal ini
bukanlah soal tertipu oleh agama. Melainkan soal dari sekelompok ummat yang
telah menyerahkan diri sepenuh-penuhnya dan sebulat-bulatnya kepada Allah.11
Sebab tawakal itu adalah puncak tertinggi atau pucuk terakhir dari iman.
Kalau iman sudah matang, tawakal pasti timbul dengan sendirinya. Belum berarti
pengakuan iman kalau belum tiba di puncak tawakal. Maka apabila seseorang
Mukmin telah bertawakal yakni berserah diri kepada Allah, terlimpah ke dalam
dirinya sifat „Aziz yang ada pada Allah, maka merekapun menjadi gagah dan
semangat pula. Mereka tidak takut lagi menghadang maut. Dan terlimpah kepada
mereka pengetahuan Allah, maka merekapun mendapat ilham dari Allah untuk
mencapai kemenangan.
Maka baik munafiqin Quraisy dan orang-orang yang sakit hati di zaman
Rasul di perang Badar itu, mereka katakan bahwa kaum Muslimin telah ditipu
oleh agama mereka. Padahal ini bukan urusan kena tipu oleh agama, melainkan
urusan iman yang telah sampai di puncak, yaitu tawakal. Kalau tawakal sudah
datang, betapa besarpun musuh, mereka tidak peduli lagi. Orang yang sudah
bertawakal kepada Allah, hidup syukur, matinya syahid. Daripada hidup
bercermin bangkai, baiklah mati berkalang tanah. Kalau sudah sampai di suasana
yang demikian, diripun menjadi gagah, karena telah dipercik oleh sifat „Aziz
Allah dan disinari sifat Hakim Allah.12
Quṭb pula menceritakan tentang kondisi kaum munafik di Makkah saat
perang Badar kala itu yang mengatakan bahwa mereka adalah sekelompok orang
11
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 4, hlm. 2780. 12
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 4, hlm. 2781.
55
yang cenderung kepada agama Islam sewaktu di Makkah. Namun aqidahnya
belum benar dan hatinya belum mantap. Mereka keluar dengan rombongan kaum
Musyrikin dengan hati yang tidak mantap kepada Islam. 13
Melihat pasukan Musyrikin dengan bangga menjerumuskan diri mereka
sendiri karena melihat jumlah pasukan orang-orang Muslimin yang sedikit
sementara jumlah kaum Musyrikin lebih banyak. Oleh karena itu pula mereka
menganggap orang-orang Islam tertipu oleh agamanya sendiri. Sesungguhnya
mereka orang-orang munafik yang ada penyakit di dalam hatinya tidak benar-
benar mengetahui hakikat sebab-sebab kemenangan dan kekalahan, mereka
melihat segala sesuatu dari segi lahiriyah (yang tampak) saja. Juga tanpa
merasakan kekuatan tersembunyi dalam akidah kepercayaan kepada Allah SWT.
Quṭb menjelaskan pandangan orang munafik yang yang kososng dari iman
membuat mereka hanya melihat lahiriyyah saja. Sementara inilah yang diketahui
hati orang beriman yang menjadikannya tenang dan mantap tidak gentar melihat
pasukan musuh yang lebih besar jumlahnya. Di dalam hati mereka mentertawakan
kaum Muslimin yang dianggapnya berani menerjang bahaya dan menganggap
remeh mereka. Merekapun merasa heran mengapa kaum Muslimin begitu berani
menyengsarakan diri mereka yang jelas-jelas akan merugikan mereka dengan
kebinasaan. Karena kaum musrikin mengaggap kehidupan ini secara keseluruhan
termasuk agama dan akidah, termasuk komoditas di pasar dagang. Jika tampak
menguntungkan mereka maju, dan jika tampak membahayakan mereka meilih
keselamatan diri mereka yang utama.
Mereka tidak melihat urusan dengan pandangan batin orang beriman,
mereka tidak menimbang keberhasilan dengan timbangan iman Sementara
persiapan kaum Muslimin yang pokok adalah akidah agama ini, yaitu akidah yang
memotivasi dan memancarkan semangat tanpa rasa takut. Itulah pancaran tawakal
dari hari orang-orang yang beriman.
Hamka menjelaskan bahwa buah dari tawakal kepada Allah dalam ayat ini
ialah keberanian dan sikap tak gentar menghadapi musuh sebesar apapun.
13
Qutbh, Fî Zilâl al-Qur‟ân, Juz.X, h.212.
56
Begitupun Quṭb bahwa orang yang bertawakal melihat dengan pandagan
keimanan yang terpancar dari akidah yang kuat dan melahirkan semangat tanpa
rasa takut.
5. Surah al-Ahzab, ayat 3: Tawakal Sebagai Sifat Orang Yang Beriman
يل ك بلل فى ث ك هى للا م ع ك ت
“Dan bertawakallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai
Pemelihara”.
Hamka menafsirkan pada pangkal ayat ini, Allah telah memerintahkan
Rasulullah SAW supaya menyerahkan dirinya sebulat bulatnya kepada Allah
dengan penuh kepercayaan dan jangan bimbang. Harus yakin bahwasanya jalan
yang ditunjukkan Allah itulah jalan yang benar, tidak ada jalan lain. Dan cukuplah
kepada Allah saja bertawakal.
Ayat ketiga dari surah al-Ahzab ini adalah pegangan hidup bagi Rasul dan
bagi tiap orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.14
Pendirian
yang tegas dan pegangan yang teguh, berani menghadapi segala kemungkinan di
dalam mempertahankan pendirian. Itu sebabnya maka pada ayat yang pertama
dari surah al-Ahzab ini diperingatkan kepada Rasul sendiri agar beliau sekali-kali
jangan mengacuhkan dan mengikuti kehendak dan permintaan orang yang telah
nyata kafir, apatah lagi munafik. “Bertawakallah kepada Allah”, artinya ialah
bahwa tempat bertanggung jawab hanya semata-mata Allah.
Begitupula Quṭb menafsirkan bahwa Rasulullah diperintahkan untuk tidak
memikirkan orang-orang kafir dan munafik yang menentangnya. Sebaliknya
Allah memerintahkan Rasul untuk bertawakal dengan sepenuh hati karena Allah
lah yang akan mengatur dan memberikan jalan keluar dari kegundahan.15
Jadi mengembalikan urusan kepada Allah dan bertawakal kepadanya pada
akhirnya adalah kaidah kokoh yang menenangkan, di mana hati akan selalu
merasa tenang. Pada titik itulah hati akan menyadari betapa terbatasnya
kemampuan manusia. Maka setelah berupaya dengan sungguh-sungguh, langkah
14
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 8, hlm. 5629. 15
Qutbh, Fî Zilâl al-Qur‟ân, Juz.XXI, h.217.
57
selanjutnya hanyalah memasrahkan diri dengan kehendak-Nya, bukan berarti
berserah tanpa berupaya terlebih dahulu.
Kesimpulan dari ayat ini ialah Hamka dan Quṭb sama-sama menjelaskan
bahwa Allah memerintahkan Rasul untuk bertawakal dengan sepenuh hati karena
Allah lah yang akan mengatur dan memberikan jalan keluar dari kegundahan.
B. Kisah Hamka dan Quṭb Dalam Mengaplikasikan Tawakal
Semasa hidupnya Hamka juga mengalami kepahitan-kepahitan dalam
menjalankan dakwahnya. Tepatnya pada hari Senin, 12 Ramadhan 1383,
bertepatan dengan 27 Januari 1964, Hamka mengadakan pengajian mingguan di
Masjid Agung Al-Azhâr terhadap kira kira 100 orang kaum ibu, membahas QS
Al-Baqarah 255, atau ayat al-Kursi. Pukul 11 siang selesailah pengajian dan
Hamka kembali ke rumah melepas lelah sejenak menunggu datangnya waktu
Dzuhur.
Pada saat istirahat itulah empat orang menjemput Hamka untuk ditahan,
setelah sebelumnya menyerahkan surat tugas penahanan. Setelah empat hari
dalam tahanan, barulah Hamka diperiksa dengan tuduhan: merencanakan
membunuh Menteri Agama H. Saifuddin Zuhri, hendak mengadakan coup d‟etat,
menghasut mahasiswa agar meneruskan pemberontakan Kartosuwiryo, Daud
Beureuh, M. Natsir dan Syafruddin Prawiranegara.16
Lain yang difikirkan Hamka, lain pula rencana Allah. Allah rupanya
menghendaki agar masa terpisah dari anak istri, dan masyarakat dua tahun, dapat
digunakan Hamka menyelesaikan pekerjaan berat, yaitu menafsirkan al Qur‟an.
Dengan petunjuk dan hidayah Allah, beberapa hari sebelum dia dipindahkan ke
dalam tahanan rumah, penafsiran al-Qur‟an 30 Juz telah selesai. Semasa dalam
tahanan rumah dua bulan lebih, Hamka mempergunakan pula buat menyisip mana
yang masih kekurangan.17
Hamka merasa bersyukur, meskipun harus melewati hari-harinya di balik tirai
besi. Betapa tidak, karena fitnah dan hasad manusia Hamka hidup terpencil.
16
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 1, hlm. 66-67. 17
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 1, hlm. 70.
58
Padahal dalam masa terpencil itulah beliau dapat berkhalwat dan beribadah lebih
khusyu‟. Saat-saat senggang yang begitu luas, malamnya dapat digunakan buat
ibadah, munajat dan tahajjud. Siang yang panjang dapat digunakannya buat
mengarang, tafakkur dan muthala‟ah.18
Demikianlah, penjara itu membawa
hikmah yang besar buat Hamka, pekerjaan menulis Tafsir Al-Azhâr telah selesai.
Hamka mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum MUI (Majlis Ulama
Indonesia), pada Mei 1981. Lewat MUI, beliau berfatwa: Umat Islam diharamkan
menghadiri perayaan Natal. Namun pemerintah agaknya berkeberatan terhadap
fatwa itu, dan memerintahkan agar MUI mencabut fatwa tersebut. Bagi Hamka,
walau langit runtuh, kebenaran harus tetap disampaikan. Haram bagi seorang
muslim berbuat munafik hanya semata mata karena sebuah jabatan. Fatwa
memang ditarik oleh MUI dengan embel embel tanpa tekanan. Sambil
mengucapkan selamat tinggal, Hamka berujar: “Fatwa boleh dicabut, tetapi
kebenaran tak bisa diingkari”.
Begitupun dengan Quṭb, pada Juli 1952, Quṭb mendukung Gerakan Perwira
Bebas yang dipimpin Gamal Abdel Nasser untuk menjatuhkan raja dan
menggantinya dengan sistem presidensial. Selama kudeta berlangsung, Quṭb dan
Nasser sangat dekat bagai seorang sahabat. Dalam beberapa kesempatan, Nasser
kerap mengunjungi rumah Quṭb dan berdiskusi soal revolusi. Hubungan ini
membuat Ikhwanul Muslimin berharap agar Nasser melahirkan pemerintahan
yang Islami. Namun, hal itu ternyata tidak terjadi, sebab Nasser memilih ideologi
nasionalis sekular yang sangat bertentangan dengan Ikhwanul Muslimin.
Rupanya, Nasser mempersiapkan agenda rahasia di dalamnya sebelum
menduduki jabatan sebagai presiden. Hal itu disadari Quṭb dan memutuskan
mundur, namun Nasser bersikeras agar Quṭb tetap berada dalam satu barisan
dengan menawarinya sebuah jabatan. "Kami akan memberikan posisi apapun
yang kamu inginkan di pemerintahan, apakah itu Menteri Pendidikan, Menteri
Kesenian, atau lainnya," ujar Nasser saat itu. Namun, tawaran-tawaran itu
ditolaknya. Quṭb kesal karena Nasser telah mengecewakannya. Hingga suatu
18
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 1, hlm. 72.
59
ketika, Mesir dikejutkan dengan berita rencana pembunuhan Nasser oleh
kelompok Ikhwanul Muslimin.
Terungkapnya rencana tersebut membuat Nasser menuduh seluruh anggota
Ikhwanul Muslimin terlibat. Kemudian, Quṭb diburu militer dan dijebloskan ke
penjara. Tiga tahun pertama dalam penahanan, kondisinya sangat buruk serta
menjalani pelbagai penyiksaan. Dan dibebaskan pada 1964.
Pengalaman Quṭb hari-hari pertama dia ditahan: “Jangan gentar menghadapi
kesukaran, karena dalam kesukaran itu pasti ada kemudahan, asal kita
mempergunakan otak buat memecahkannya. Sungguh, Allah tidak akan
mengecewakan orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
Setelah delapan bulan menghirup udara bebas, atas perintah Perdana Menteri
Irak, Abdul Salam Arif, Quṭb lagi-lagi dipenjara atas tuduhan yang sama. Selama
sidang berlangsung, dia diberikan berbagai macam tuduhan hingga pengadilan
memvonis hukuman mati. Dia akhirnya tewas di tiang gantungan pada 29
Agustus. Salah satu kata-katanya yang paling terkenal adalah, "Semua akan
kembali pada Allah ketika mati, tapi yang berbahagia adalah orang yang dekat
dengan Allah semasa hidupnya."
Setelah penulis teliti dari berbagai penafsiran kata tawakal menurut Hamka
dan Quṭb, penafsiran kata tawakal itu hampir sama. Menurut Quṭb tawakal adalah
berserah dengan hati dengan melakukan usaha atau ikhtiar dengan anggota tubuh.
Tawakal juga menampakkan kelemahan seseorang dalam suatu perkara, maka ia
pergi kepada orang yang lebih kuat dan bergantung kepadanya. Maka tawakal itu
adalah gabungan antara usaha dan berserah diri kepada yang lebih kuasa yaitu
Allah SWT.
Hamka pula menyebut bahwa tawakal itu adalah menyerahkan keputusan dari
segala usaha dan ikhtiar kepada Allah SWT, berserah kepada Allah sebulat-
bulatnya ketika menunggu hasil dari segala usaha dan ikhtiar tersebut. Tawakal
mesti disertai dengan syukur dan sabar. Tawakal itu mesti diiringi dengan syukur
dan sabar. Syukur, jika apa yang dikehendaki tercapai, sabar jika hasil yang
60
didapat masih mengecewakan dan ikhlas menyerahkan diri kepada Allah,
sehingga hidayah-Nya selalu turun dan kita tidak kehilangan akal.
Secara keseluruhannya, orang yang bertawakal kepada Allah tidak akan
berkeluh kesah dan gelisah. Ia akan selalu berada dalam ketenangan dan
ketentraman dan kegembiraan. Jika ia memperoleh nikmat dan karunia adari Allah
SWT, ia akan bersyukur dan jika tidak ia akan bersabar. Ia menyerahkan semua
keputusan, bahkan dirinya sendiri kepada-Nya. Penyerahan itu dilakukan dengan
sungguh-sungguh dan semata-mata karena Allah SWT. Namun tidak berarti orang
yang bertawakal harus meninggalkan semua usaha dan ikhtiar. Usaha dan ikhtiar
itu harus tetap dilakukan, sedangkan keputusan terakhir di serahkan kepada Allah
SWT.
C. Aktualisasi Nilai-Nilai Tasawuf Konsep Tawakal dalam Spiritualitas
Kehidupan
Manusia di era global, dan sebagai konsekuensi modernisasi, melepaskan diri
dari keterikatannya dengan Tuhan (theomorphisme), untuk selanjutnya
membangun tatanan manusia yang semata-mata berpusat pada manusia
(anthropomorphisme). Manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri, yang
mengakibatkan terputusnya mereka dari nilai-nilai spiritual.19
Setiap orang didorong berjuang keras menjadi pekerja sukses dan kaya demi
penegasan akan keberhasilannya itu. Kemakmuran melambangkan nilai jualnya
yang tinggi dan dihargai di pasar. Kemiskinan dimaknai sebagai sebaliknya.
Kebaikan, kejujuran, kesetiaan pada kebenaran dan keadilan dipandang tidak
bernilai jika tidak memberikan manfaat bagi kesuksesan dan kemakmuran. Sejauh
kondisi ekonominya tidak makmur, dia dinilai belum sukses.
Manusia modren tidak lagi berpijak pada kualitas kemanusiaan, melainkan
oleh keberhasilannya dalam mencapai kekayaan materil. Keadaan ini
memalingkan kesadaran manusia sebagai makhluk termulia. Keutamaan dan
kemuliaannya menyatu dengan kekuatan kepribadiannya, bukan bergantung pada
19
Muhkhibat, Spiritualisasi dan Konfigurasi Pendidikan Karakter Berparadigma
Kebangsaan dalam Kurikulum 2013, (Al-Ulum: Jurnal Studi Islam, vol 14, no 1. Juni 2014), hal
24
61
sesuatu di luar dirinya. Karena itu, masyarakat modern mengalami kehampaan,
dan mengalami hidup yang tidak bermakna. Kehadirannya bergantung pada
pemilikan dan penguasaan pada simbol kekayaan. Hasrat mendapatkan harta yang
berlimpah melampaui komitmennya terhadap solidaritas sosial, hal ini didorong
pandangan bahwa orang banyak harta merupakan manusia unggul.
Tujuan akhir terpenting dari tasawuf adalah lahirnya akhlak yang baik dan
menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Tasawuf menjadi obat yang
mengatasi krisis kerohanian manusia yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga
ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari hidupnya. Ketidakjelasan
atas makna dan tujuan hidup ini membuat penderitaan batin. Tasawuf sebagai
khazanah moralitas luhur, dimaksudkan bukan hanya untuk mencapai ketenangan
dan kebahagiaan diri sendiri saja tetapi juga dimaksudkan memiliki dampak-
dampak sosial yang membangun. 20
Di sinilah perlunya transformasi tasawuf dalam konteks dinamika sosial.
Praktek tasawuf tidak dilakukan dengan menyembunyikan diri dari fenomena
sosial untuk memburu kenikmatan spirirtual individual (hedonisme spiritual)
tetapi praktek tasawuf dituntut untuk menjadi rahmat bagi masyarakat melalui
spiritualitas diri. Artinya, tasawuf dapat diperankan sebagai basis moral dalam
sikap mental dan pola pikir, sehingga kehidupan keseharian yang berkualitas.21
Dalam prakteknya, tawakal sangat dapat diterapkan dalam nilai-nilai
spiritualitas kehidupan. Karena dengan mengaplikasikan tawakal berarti manusia
menyerahkan diri kepada kehendak Allah. Ia tidak memikirkan hari esok, baginya
cukup apa yang ada untuk hari ini. Tawakal adalah suatu kondisi yang
menggabungkan antara ilmu dan iman. Tidak mungkin seorang hamba tidak
membutuhkan tawakal, baik tawakal kepada Allah yang di Tangan-Nya
kekuasaan atas segala sesuatu, atau tawakal kepada sesama makhluk yang lemah
seperti dirinya. Tidak memiliki kuasa memberikan manfaat atau bahaya. 22
20
Syafiq A Mughni, Nilai-nilai Islam: Perumusn Ajaran dan Upaya Aktualisasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 182 21
Asep Usmar Ismail, dkk, Tasawuf , (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Jakarta, 2005),
hal. 111 22
Amir An-Najar, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf , (Jakarta: Pustaka Azam, 2004), hal 238
62
Manfaat tawakal adalah dapat 1) Ketenangan jiwa dan rehat hati. 2)
Kecukupan dari Allah segala kebutuhan orang yang bertawakal. 3) Mewariskan
kesabaran, ketahanan, kemenangan dan kekokohan. 4) Mewariskan rezeki, rasa
ridha. Sementara contoh perilaku tawakal antara lain:
Selalu bersyukur apabila mendapatkan nikmat (keberhasilan/kesuksesan
dll) dari Allah swt, dan bersabar apabila mendapatkan musibah.
Tidak berkeluh kesah dan gelisah ketika berusaha dan beriktiar
Selalu berusaha dan berikhtiar dengan maksimal, selanjutnya bertawakal
kepada Allah swt
Tidak mudah berputus asa dalam berusaha
Menerima segala ketentuan Allah swt dengan rasa ikhlas dan ridha.
Berusaha memperoleh sesuatu yang dapat memberikan manfaat kepada
orang lain.
D. Bentuk-Bentuk Tawakal Para Nabi dan Sahabat
Tawakal adalah akhlak agung yang sangat dibutuhkan seorang hamba
dalam menjalankan setiap urusannya, baik urusan agama atau urusan duniawi.
Meskipun ia telah dianugerahi kekuatan, kemampuan dan tenaga, akan tetapi
sesungguhnya tidak ada daya dan kekuatan bila ia tidak memperoleh taufik dan
pertolongan Allah Swt. Allah memerintahkan bertawakal dalam firman-Nya:
كها إن كىتم مؤمىيه فت عهى للا
Dan bertawakallah kamu kepada Allah, jika kamu orang-orang beriman (Q.S al-
Mâidah: 23)
1. Tawakalnya Rasulullah Saw.
Kisah Rasulullah Saw. di perang Hunain, perang yang terjadi pasca Fathu
Makkah (penaklukan kota Mekah), Rasulullah Saw. tetap gigih di medan laga,
saat kebanyakan orang yang bersama beliau kocar-kacir oleh sergapan panah
musuh.
Dalam Shahîhain, Barâ bin „Azib r.a menyebutkan bahwa ada seorang lelaki
bertanya kepadanya,” Wahai Abu „Amarah, apakah kalian melarikan diri di
perang Hunain? Jawabnya: (Ya), akan tetapi Rasulullâh tidak. Suku Hawâzin
63
kaum ahli panah. Ketika menghadapi mereka, kami berhasil memukul mundur
mereka. Orang-orang pun berpaling menuju harta rampasan perang. Ternyata,
mereka (suku Hawâzin), dengan tiba-tiba menghujani kami dengan anak panah
sehingga orang-orang (Sahabat) kalah. Aku menyaksikan Rasulullâh dengan Abu
Sufyân bin Hârits yang memegang tali kendali keledai putih beliau.23
Beliau
meneriakkan:
أوب انىجي ل كرة أوب اثه عجد انمطهت
Aku seorang nabi tidak dusta. Aku putra `Abdul Muththalib [HR al-Bukhâri,
Muslim, dan at-Tirmidzi]
Setelah membawakan hadits ini, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah
mengatakan dalam tafsirnya: “Ini adalah puncak Tawakal dan keberanian yang
sempurna. Dalam keadaan perang yang sengit, pasukan beliau yang telah terpukul
mundur, hanya dengan menunggangi keledai, hewan yang tidak bisa lari kencang,
tidak mampu dipakai bergerak maju mundur untuk menyerang atau melarikan
diri, beliau menerobos ke tengah mereka sambil meneriakkan nama beliau. Hal
itu, agar orang yang tidak mau mengenal beliau sampai hari Kiamat sudah tahu
tentang beliau. Ini semua tiada lain karena kepercayaan dan tawakal beliau kepada
Allah Swt. dan serta karena beliau yakin bahwa Allah akan menolongnya,
menyempurnakan risalahnya dan memenangkan agamanya di atas seluruh
agama”24
2. Tawakalnya Nabi Ibrahim
Sikap ini tercermin dalam kisah beliau „alaihissallam saat berdakwah
mengajak manusia untuk bertauhid dan mengesakan Allah Swt. namun
kebanyakan menolaknya dengan penuh kenistaan. Ketabahan Nabi Ibrahim ini
menjadi teladan bagi setiap dai dalam mengajak manusia menuju jalan yang
diridhai Allah. Kisah ketabahan Nabi Ibrahim diabadikan dalam al-Qur‟an melalui
firman-firman-Nya. Meskipun kaumnya dengan kuatnya untuk membakar dirinya,
namun Nabi Ibrahim tetap tabah dan menyerahkan segala perkara kepada Allah
Subhanahu wa Ta‟ala. Sebagaimana firman Allah:
23
Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1430H/2009, h.34 24
Tafsîr Ibnu Katsîr Jilid II, h.357
64
مب تعمهن. قبنا اثىا ن ثىيبوب فأنقي في انجحيقبل أ خهقكم للا م. تعجدن مب تىحتن.
م السفهيه كيدا فجعهىب فأزادا ث
Ibrahim berkata: “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat
itu? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
Mereka berkata: “Dirikanlah suatu bangunan untuk (membakar) Ibrahim;lalu
lemparkanlah dia ke dalam api yang menyala-nyala itu”. Mereka hendak
melakukan tipu muslihat kepadanya, maka Kami jadikan mereka orang-orang
yang hina. (QS. Ash-Shaffat: 95-98).
As-Suddi rahimahullah berkata: “Mereka menahannya dalam sebuah
rumah. Mereka mengumpulkan kayu bakar, bahkan hingga seorang wanita yang
sedang sakit bernadzar dengan mengatakan „sungguh jika Allah Swt. telah
memberikan bagiku kesembuhan, maka aku akan mengumpulkan kayu bakar
untuk membakar Ibrahim‟. Setelah kayu bakar terkumpul menjulang tinggi,
mereka mulai membakar setiap ujung tepian dari tumpukkan itu, sehingga apabila
ada seekor burung yang terbang di atasnya niscaya ia akan hangus terbakar.
Mereka mendatangi Nabi Ibrahim kemudian mengusungnya sampai di puncak
tumpukan tinggi kayu bakar tersebut”. Riwayat lain menyebutkan, ia diletakkan
dalam ujung manjaniq.25
Nabi Ibrahim mengangkat kepalanya menghadap langit, maka langit,
bumi, gunung-gunung dan para malaikat berkata: “Wahai, Rabb! Sesungguhnya
Ibrahim akan dibakar karena (memperjuangkan hak-Mu)”26
Pada saat Nabi Ibrahim diletakkan di ujung manjaniq, ia dalam keadaan
terbelenggu dengan tangan di belakang. Kemudian kaumnya melemparkan Nabi
Ibrahim ke dalam api, dan ia pun berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, dan Dia
sebaik-baik Penolong”. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari
Sahabat Ibnu Abbas, ia berkata:
كيم حسجىب هللا وعم ان
Cukuplah Allah bagi kami dan Dia sebaik-baik penolong.27
25
Tafsir ath-Thabari, Juz 9, hal: 43 26
Fathul-Bari, Juz 6, hal: 483 27
Shahih Bukhari dan Fathul-Bari, Juz 8, hal: 288, no. 4563
65
Demikianlah, Nabi Ibrahim sangat yakin dengan kebesaran, pertolongan
dan perlindungan Allah, karena beliau sedang memperjuangkan hak Allah yang
terbesar, yakni tauhid dalam beribadah kepada-Nya.
3. Tawakalnya Siti Hajar
Ketika Ismail baru saja dilahirkan dan dalam penyusuan ibunya (Hajar), Nabi
Ibrahim membawa keduanya menuju Baitullah pada dauhah (sebuah pohon
rindang) di atas zam-zam. Saat itu, tidak ada seorangpun di Makkah, dan juga
tidak ada sumber air.
Nabi Ibrahim meninggalkan jirab, yaitu kantung yang biasa dipakai untuk
menyimpan makanan. Kantung itu berisi kurma untuk keduanya. Juga
meninggalkan siqa` (wadah air) yang berisi air minum. Kemudian Nabi Ibrahim
berpaling dan pergi. Diantara munajat Nabi Ibrahim sebelum meninggalkan anak
dan istrinya adalah:
"Ya Tuhan kami, sesungguhnya Aku telah menempatkan keturunanku di lembah
yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang
dihormati" (QS. Ibrahim: 37).
Hajar mengikutinya sembari berkata:
“Wahai, Ibrahim! Kemana engkau akan pergi meninggalkan kami di lembah yang
sunyi dan tak berpenghuni ini?” Hajar mengulangi pertanyaan itu berkali-kali,
namun Ibrahim tidak menoleh, tak pula menghiraukannya. Kemudian Hajar pun
bertanya: “Apakah Allah Subhanahu wa Ta‟ala yang telah memerintahkan
engkau dengan ini?”
"Iya!" jawab Nabi Ibrahim.
"Kalau begitu, pasti Allah tidak akan menyia-nyiakan kita!" sambut Hajar dengan
mantap dan yakin.28
Ungkapan terakhir seorang Hajar inilah yang hendak kita jadikan inspirasi
dalam sikap tawakal. Ini adalah kalimat yang agung yang penuh makna dan
bertenaga. Menariknya lagi, kalimat ini terucap dari lisan seorang wanita dalam
28
http://adnan-kisahkasihibu.blogspot.com/2012/07/pelajaran-tawakkal-siti-hajar-ibunda.html
66
segala keterbatasan kondisinya. Intinya hanyalah satu, jika suatu perkara memang
telah menjadi perintah Allah yang harus ia ta'ati, maka pasti akan berujung pada
kebaikan dan keberkahan yang melimpah, pasti akan berujung pada keajaiban-
keajaiban hidup yang luar biasa. Sekalipun secara logika tidak masuk. Sekalipun
secara hitung-hitungan manusia terkesan mustahil.
Saat Ibrahim tak lagi kelihatan, Siti Hajar memandang semua wilayah di
lembah, kosong, gersang dan sangat panas. Wanita berhati mulia ini pun berlari
dari bukit Shafaa ke bukit Marwa sebanyak tujuh kali untuk mencari perbekalan
dan berharap bertemu sufi yang akan membantunya. Sayang, ia tidak menemukan
apapun.
Di tengah kebingungan juga kegelisahan yang menyelimuti hati juga
pikirannya, Allah memberikan mukjizat-Nya. Dari bawah kaki Ismail kecil yang
sedang menangis kehausan, muncul sumber mata air yang kini dikenal sebagai
mata air Zam-Zam. Air itulah yang membantunya bertahan. Tak hanya muncul
air, beberapa waktu kemudian juga lewat beberapa sufi yang akhirnya
membantunya mengatasi segala kesulitan di lembah gersang.
Siti Hajar adalah sosok yang begitu tegar, tabah juga senantiasa
bertawakal hanya kepada Allah semata. Ia juga menjadi cerminan sebagai seorang
istri yang kuat dan tak mudah putus asa meski kesulitan bertubi-tubi menimpanya.
4. Tawakalnya Ibnu Mas’ud
Abdullah bin Mas‟ud radhiyallahu „anhu. Beliau adalah salah satu ulama dari
para sahabat, salah satu orang-orang yang pertama kali masuk Islam, beliau ikut
serta dalam kedua hijrah ke Habasyah, ikut serta dalam perang Badar, uhud dan
peperangan lainnya bersama Rasulullah, beliau termasuk salah satu sahabat
terdekat dengan Nabi, beliau dikirim oleh Umar bin Khatthab ke Kufah untuk
mengajari agama Islam kepada mereka. Di dalam Shahihain beliau meriwayatkan
848 hadits.
Kisah keberanian beliau ketika membaca Al-Qur‟an terang-terangan.
Muhammad bin Ishaq mengisahkan; Yahya bin „Urwah bin Zubair menceritakan
67
dari ayahnya berkata, “Orang pertama yang membaca Al-Qur‟an terang-
terangan setelah Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam adalah Abdullah bin
Mas‟ud.” Beliau mengisahkan:
Suatu hari sekelompok sahabat berkumpul, salah seorang mereka berkata,
“Kaum Quraisy belum pernah mendengar Al-Qur‟an ini dibaca terang-terangan,
adakah orang diantara kalian yang bisa meperdengarkan Al-Qur‟an kepada
mereka?” Abdullah bin Mas‟ud berkata, “Aku” mereka berkata, “Kami takut
mereka menyakitimu, yang kami mau adalah orang yang memiliki banyak kerabat
yang bisa membelanya jika mereka mencelakainya.” Ibnu Mas‟ud berkata, “Biar
aku melakukannya, karena Allah yang akan membelaku.”
Esok harinya Ibnu Mas‟ud keluar di waktu dhuha ketempat perkumpulan
Quraisy, ketika ia sampai, ia membaca:
حمه ) حيم. انس حمه انس انس 2( عهم انقسآن )1ثسم للا
Beliau terus membacanya sehingga mereka merasa tidak senang dan
berkata, “Apa yang dikatakan Ibnu Ummi „Abd (kuniyah/gelar beliau)? Sebagian
mereka yang lain menjawab, “Ia membaca sebagian ayat yang dibawa oleh
Muhammad.” Kemudian mereka berdiri dan menujunya serta memukuli wajahnya
sedang beliau terus membaca sampai kepada batas tertentu yang Allah kehendaki.
Setelah itu beliau kembali kepada perkumpulan para sahabat sedang orang-orang
Quraisy telah menyisakan bekas pukulan mereka di wajahnya. Maka para sahabat
berkata, “Ini yang kami takutkan terjadi padamu.” Ibnu Mas‟ud menjawab,
“Mereka sekarang lebih ringan bagiku dari sebelumnya, dan jika kalian mau esok
hari aku akan mendatangi mereka lagi.” Mereka berkata, “Sudah, cukup bagimu
karena engkau telah memperdengarkan kepada mereka yg mereka tidak suka (Al-
Qur‟an).”29
Demikianlah keberanian Abdullah bin Mas‟ud, beliau adalah prang
pertama yang membacakan Al-Qur‟an secara terang-terangan di hadapan Kaum
Quraisy setelah Rasulullah Saw. Padahal beliau tidak memiliki banyak kerabat
yang dapat membela beliau jika kaum kafir Quraisy ingin mencelakainya. Bahkan
29 Majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII/1429/2008M h.54
68
ketika para sahabat melarangnya untuk berangkat, beliau menjawab, “Allah lah
yang akan menolongku.” Ini menunjukkan betapa tingginya tawakal beliau
kepada Allah sehingga beliau tidak merasa takut karena imannya yang kuat bahwa
Allah yang akan menolongnya. Bahkan meliau masih menawarkan untuk
mendatangi mereka yang kedua kalinya dan membacakan Al-Qur‟an lagi kepada
mereka. Dari kisah diatas kita akan mendapatkan bahwa bertawakal kepada Allah
adalah sesuatu yang lazim dalam segala hal terutama dalam amar ma‟ruf nahi
munkar. Kemudian tawakal dapat melahirkan keberanian dan menghilangkan rasa
takut.
47
BAB IV
ANALISIS KOMPARASI TAFSIR AL-AZHÂR DAN FÎ ZILÂL AL-
QUR’ÂN TENTANG AYAT-AYAT TAWAKAL
Sebelum menjelaskan penafsiran Hamka dan Sayyid Quṭb tentang
tawakal. Terlebih dahulu penulis akan menyampaikan ayat-ayat yang berbicara
tentang tawakal di dalam al-Qur‟an. al-Qur‟an
Dalam kitab Mu‟jam Al Mufahras, kata tawakal dalam arti menyerahkan
urusan kepada Allah, disebutkan Alquran dalam berbagai bentuk sebanyak 59
kali, dalam 47 ayat dari 25 surat.1 Penyebutan kata ini dalam al-Qur‟an memiliki
konteks beragam yang mencakup berbagai aspek kehidupan. Mengingat
banyaknya ungkapan kata yang seakar dengan kata tawakal, maka penulis
membatasi kajian ini kepada 5 ayat. Ayat-ayat tersebut adalah seperti berikut:
1. Surah az-Zumâr Ayat 38
2. Surah at-Taghâbun Ayat 13
3. Surah at-Thalaq Ayat 3
4. Surah al-Anfâl, ayat 49
5. Surah al-Ahzâb, ayat 3
Ayat-ayat tersebut dipilih karena kondisi yang berbeda isim dan fi‟il dan
terdapat penafsiran tentang tawakal pada setiap ayat yang dikaji di dalam Tafsir
Al-Azhâr dan Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân agar penulis dapat mencari titik perbedaan
atau persamaan di antara kedua tafsir tersebut.
A. Penafsiran Tawakal dalam Tafsir Al-Azhâr dan Fî Zilâl al-Qur’ân
1. Surat az-Zumar Ayat 38: Hanya Kepada Allah Orang Mukmin
Bertawakal
م ق ه للا ن ق ي ض ن ز ال ات ب م ق انس ه ه خ م م ت ن أ ه س ئ ن
ه م س ثض وي للا اد ز ن أ إ ن للا ه د عن م د ب ت م م ت ي أ س ف أ
1 Muhammad Fu‟ad Abd al-Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras lî Alfâd al-Qur‟an (Beirut: Dar
al-Fikr, 1994), h. 929-930.
48
ت م ح بت ز ك س م ه م م ة م ح س وي ث اد ز أ ي أ س بت ض ف بش ك
ن ه ك ت م م ان ك ت ي ي ه ع جي للا س م ح ق
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah".
Katakanlah: "Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain
Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah
berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah
hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-
Nya?. Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku". Kepada-Nya-lah bertawakal
orang-orang yang berserah diri.
Pada permulaan ayat ini Hamka menjelaskan tentang kondisi hati manusia
itu sesungguhnya meyakini bahwa penguasa alam semesta ialah Allah yang Esa
tiada yang lain selain-Nya. Hamka menerangkan bahwa sekalipun ditanyakan
kepada orang-orang arab dahulu, siapakah pencipta langit dan bumi, mereka tidak
akan menjawab berhala al-Laata, atau „Uzza, atau Manaata yang besar, atau
berhala-berhala lain. Pasti mereka akan menjawab bahwa pencipta semua langit
dan bumi tidak ada lain dari Allah.2
Ketauhidan yang tertanam dari hati manusialah yang melahirkan keimanan
tinggi kepada Allah SWT. Inilah yang Hamka coba jelaskan dalam tafsirnya
bahwa konsep ketuhanan yang diyakini manusia akan dengan mudah
menghantarkannya kepada kesempurnaan iman yakni bertawakal kepada Allah.
Dalam ayat ini, meskipun orang-orang kafir menolak kebenaran bahwa
Allah sajalah yang dapat mendatangkan mudharat kepada seseorang, dan
begitupula mendatangkan rahmat kepada seseorang.3 Sehingga seringkali mereka
menggunakan perantara seperti memuja batu, kuburan, gunung, pohon, jin, dan
beragam hal lainnya yang mereka anggap dapat mengusir kesialan dan
mendatangkan kebaikan, namun bagi orang-orang yang bertawakal maka ia akan
menjawab "Cukuplah Allah bagiku", tak akan ada rasa takut dan kekhawatiran
yang menyelimuti hati orang-orang yang bertawakal. Karena ia percaya jika Allah
yang memberi rahmat maka tak akan ada kebhatilan yang dapat menghalanginya
2 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Pustaka Panji, Mas cet.II, 2000) Juz.XXIV, h. 51
3 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz.XXIV, h. 52
49
dan mencelakainya sebesar apapun, begitupun sebaliknya. Karena kesempurnaan
iman dan tauhid ialah bertawakal, yaitu berserah diri sebulat dan sepenuhnya
hanya kepada Allah saja.
Dalam penjelasan tafsir ayat ini, ia bercerita bahwa pada suatu hari Hamka
melewati suatu kampung yang warganya banyak terserang penyakit muntaber, dan
masyarakatnya diminta oleh dukun kampung menggantungkan daun jiluang atau
daun pandan musang di tiap-tiap atap rumah warga yang berfungsi sebagai
penangkal penyakit agar tidak dapat masuk kerumah. Dan kerap kali Hamka
melihat jika seorang perempuan muda yang sedang mengandung anak pertamanya
di tangga masuk kerumah harus di pakukan terompah besi kuda, yang bertujuan
sebagai penangkal dari gangguan hantu.4 Semuanya ini adalah bekas kepercayaan
zaman jahiliyah, yang apabila Iman, Tauhid dan Tawakal telah memenuhi jiwa
seseorang tidaklah ia akan berbuat demikian. Ia akan berupaya dengan cara yang
rasional menurut ilmu kesehatan, seperti berikhtiar menjaga kebersihan rumah
agar penyakit itu tak menular ke rumahnya.
Begitupun Quṭb, menjelaskan bahwa tidak ada yang dapat memungkiri
penciptaan Allah terhadap langit dan bumi, bahkan akal pun tak dapat membantah
nya, karena manusia telah diciptakan dengan fitrah yang baik. Dan lebih lanjut
Quṭb menjelaskan bahwa jika hati sudah yakin dan mantap dengan kuasa Allah,
bahwa tidak ada yang dapat melenyapkan kemudharatan dan mendatangkan
rahmat kecuali dengan kekuasaan Allah semata, maka selesailah persoalan,
berakhirlah perdebatan, dan sirnalah segala ketakutan, putuslah semua harapan
kecuali harapan kepada Allah SWT. Karena dialah yang mencukupi hambanya.
Dan hanya kepada-Nyalah kita berserah diri.5
Dan hanya dengan keyakinan inilah akan lahir, kepercayaan dan
ketentraman yang tidak mengenal ketakutan, kepercayaan yang tidak mengenal
kegundahan dan keyakinan yang tak mengenal goncangan. Kita akan berjalan
4 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz.XXIV, h. 53
5 Sayyid Qutbh, Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân, Juz XXIV h.84
50
menjalani lorong kehidupan dengan penuh rasa tenang sampai akhir perjalanan
yaitu akhirat kelak.
Dalam menafsirkan ayat ini Hamka dan Quṭb memiliki kesimpulan yang
sama ialah meyakini bahwa dalam konteks ayat ini, tak akan ada rasa takut dan
kekhawatiran yang menyelimuti hati orang-orang yang bertawakal. Karena ia
percaya jika Allah yang memberi rahmat maka tak akan ada kebhatilan yang dapat
menghalanginya dan mencelakainya sebesar apapun, begitupun sebaliknya.
2. Surah at-Taghaabun Ayat 13: Iman Melahirkan Sifat Tawakal
ن ى م ؤ م م ان ك ت ي ه ف هى للا ع إل ن ل إ للا
“(Dialah) Allah tidak ada Tuhan selain Dia. Dan hendaklah orang-
orang mukmin bertawakal kepada Allah saja.”
Pada permulaan ayat ini Hamka menjelaskan bahwa tauhid kepada Allah
merupakan pokok dari keimanan seseorang. Apabila keyakinan ini telah teguh
maka manusia beriman menjadi tahan menderita, kuat menhadapi segala
kesulitan. maka jika kita selalu meneguhkan kepercayaan atas ke-esaan Allah,
segala cita-cita dan segala tujuan, apapun musibah yang akan menimpa diri, asal
sudah ada tawakal, berpasrah dengan bulat, dengan sendirinya pula jiwa menjadi
kuat.6
Dengan tawakal bukan berarti pula manusia berhenti berusaha. Manusia
harus pula mengerahkan segala daya dan upaya sebagai insan, menggunakan
kecerdasan akal dengan sebaik-baiknya, dan diakhir baru menyadari bahwa
kepandaian, ikhtiar dan usahanya sangatlah terbatas. Sebab itu selebihnya hal-hal
yang diluar jangkauan manusia di serahkan kepada Allah. Dengan demikian, jika
maksud belum tercapai atau sesuatu rencana gagal ia tidak akan menyesal dan
mengeluh. Seab ia akan sangat percaya bahwa Allah yang lebih tau dari dia.
Quṭb menjelaskan bahwa hakikat dari tauhid merupakan asas dari segala
pandangan iman. Kepercayaan kepada Allah yang tiada tuhan selain Dia membuat
hati orang beriman akan selalu terpaut dan sadar akan kehendak Allah lebih besar
6 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz.XXVIII, h. 245
51
dari pada kehendak manusia, Dan hal itu menentukan bahwa segala bentuk
tawakal harus ditujukan kepada diri-Nya semata. Inilah salah satu bentuk
pandangan iman yang ada di dalam hati.7
Pada ayat ini, hasil dari sikap tawakal menurut Hamka adalah jiwa yang
kuat dalam menghadapi ujian hidup, serta sikap tidak mudah mengeluh dengan
apapun hasil yang Allah berikan. Sementara Quṭb lebih kepada kesadaran diri
bahwa kehendak Allah lebih besar dari pada kehendak manusia.
3. Surah at-Thalaq Ayat 3: Tawakal Dalam Mencari Rezeki Dan Usaha
Mencapai Suatu Tujuan
ف هى للا م ع ك ت ه ي م ت س ت ح ث ل ي ي ه ح م ق ش س ي
ا ز د ء ق ي م ش ك ن عم للا د ج ي ق س م غ أ بن ث إن للا ج س ح
“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan
barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan
urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
Hamka menerangkan bahwa takwa dapat mendatangkan ketenangan hati,
thuma‟ninah dalam hati akan tumbuh sehingga kita akan bersabar ketika ujian
datang dan akan bersyukur ketika nikmat tiba. Maka ia bertawakal kepada Allah,
menyerahkan dengan sebulat hati dan yakin bahwa Allah tidak akan
mengecewakannya. Ini lah yang menyebabkan manusia tidak akan terputus dari
rahmat Allah. Perbedaan orang yang bertawakal ialah tidak akan pernah dijadikan
kering, ketika dekat akan kering, akan datang saja bantuan baru yang tidak di
sangka-sangka.8
Tidak ada satupun yang dapat menghambat dan menghalangi kehendak
Allah. Apa yang dikehendaki Allah itulah yang pasti berlaku. Demikian juga
halnya dalam rumah tangga ada seribu satu banyaknya ujian didalam ibadah ini.
7 Sayyid Qutbh, Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân, Juz XXVIII, h.300.
8 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz.XXVIII, h. 269
52
Kesukaran bisa datang di awal bisa juga datang di akhir. Dan kita harus ingat
bahwa semuanya itu tuhanlah yang menentukan, bukan mausia. Manusia hanya
berhenti pada tahap berupaya dengan baik. Adapun hasil tetap Allah sajalah yang
menentukan. Rumah tangga panjang atau pendek, dihadirkan keturunan atau
tidak, siapa yang mati di awal dan mati di akhir. Bahkan penentuan jodoh
sekalipun pada hakikatnya Tuhan jualah yang menentukan. Oleh sebab itu takwa
dan tawakal adalah sebab mutlak bagi kebahagiaan rumah tangga.
Pada ayat ini Quṭb menjelaskan bahwa permulaan ayat ini masih berkaitan
dengan pangkal ayat ke dua, yang merupakan kelanjutan jawaban dari ayat ke dua
yakni syarat untuk mandapat pertolongan dan rizki dari Allah adalah dengan
ketakwaan. Namun takwa disini bukan berarti takwa yang dilakukan dengan
pamrih, Allah mengisyaratkan sifat takwa yang merupakan ibadah hati ini
dilakukan dengan hanya mengharap ridha dari Allah saja. Maka jika ketakwaan
itu telah tumbuh dengan sendirinya Allah memberi nya jalan keluar dari setiap
kesempitan dan kesulitan di dunia dan di akhirat. Juga diberikan kepadanya rizki
yang tidak pernah dibayangkan dan dinantikannya.9
Lebih khusus ayat ini menjelaskan tentang perkara talak bukanlah perkara
yang sepele dan main-main, tidak ada yang dapat menhentikan seseorang dari
perbuatan yang dibenci Allah ini selain ketakwaan kepada Allah dan perasaan
paling dalam dari hati nurani. Karena konspirasi dan tipu daya setan sangatlah
banyak dan berat dalam hubungan perkawinan.10
Agar terhindar dari tipudaya syaitan maka ayat ini mengisyaratkan untuk
bertawakal kepada Allah, karena Ia pasti menjamin segala kecukupan bagi orang-
orang yang bertawakal kepadanya-Nya dan menuntaskan serta menyempurnakan
segala urusannya.
Setiap sesuatu telah ditentukan sesuai dengan ukurannya, waktunya,
tempatnya, kandungan-kanduganya, hasil-hasilnya, dan sebab-sebabnya. Tidak
9 Sayyid Qutbh, Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân, Juz XXVIII, h. 317.
10 Qutbh, Fî Zilâl al-Qur‟ân, h. 318.
53
ada sesuatupun yang terjadi secara kebetulan, tidak ada sesuatupun yang sia-sia
dalam seluruh alam semesta ini begitupun dalam jiwa manusia dan kehidupannya.
Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Furqân ayat 2
ا يس د ق ت ي ز د ق ء ف ي م ش ق ك ه خ
“Dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan
ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”
Dan suarah al-Qamar ayat 49
دز ق ث بي ى ق ه ء خ ي م ش ب ك و إ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”
Pada penjelasan ayat ini Hamka dengan tegas menelaskan Perbedaan orang
yang bertawakal ialah tidak akan pernah dijadikan kering, ketika dekat akan
kering, akan datang saja bantuan baru yang tidak di sangka-sangka, menyebabkan
manusia tidak akan terputus dari rahmat Allah.
Begitupun dengan Quṭb menekankan jika ridha atas keputusan Allah maka
Allah memberi nya jalan keluar dari setiap kesempitan dan kesulitan di dunia dan
di akhirat. Juga diberikan kepadanya rizki yang tidak pernah dibayangkan dan
dinantikannya
4. Surah al-Anfal Ayat 49: Tawakal dalam Menghadapi Musuh
ء ل ؤ س سض غ م م ث ه يه في ق ر ان ن ق بف ى م ل ان ق ذ ي إ
يم ك يص ح ص ع ن للا ئ ف هى للا م ع ك ت ه ي م م يى د
Artinya: (Ingatlah), ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang ada
penyakit di dalam hatinya berkata: "Mereka itu (orang-orang mukmin) ditipu
oleh agamanya". (Allah berfirman): "Barangsiapa yang bertawakal kepada
Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Hamka menjelaskan, setelah diteliti dari riwayat dan sirah Rasul, terutama
dalam peperangan Badar, beberapa orang dalam kelompok Quraisy itu hendak
54
memerangi Nabi Muhammad, tetapi hati mereka tidak begitu bulat dan teguh.
Bersama mereka itu pula ada pula orang-orang yang hatinya sakit dan dendam.
Mereka dari dua golongan ini setelah melihat kaum Muslimin yang sedikit yaitu
300 orang telah menyepele kaum Muslimin dengan sombong mereka berkata:
“Telah menipu kepada mereka agama mereka”.
Padahal ini bukanlah karena tertipu oleh agama, melainkan karena
tebalnya iman yang diterangkan Allah pada akhir ayat: “Barangsiapa bertawakal
kepada Allah, ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana”. Soal ini
bukanlah soal tertipu oleh agama. Melainkan soal dari sekelompok ummat yang
telah menyerahkan diri sepenuh-penuhnya dan sebulat-bulatnya kepada Allah.11
Sebab tawakal itu adalah puncak tertinggi atau pucuk terakhir dari iman.
Kalau iman sudah matang, tawakal pasti timbul dengan sendirinya. Belum berarti
pengakuan iman kalau belum tiba di puncak tawakal. Maka apabila seseorang
Mukmin telah bertawakal yakni berserah diri kepada Allah, terlimpah ke dalam
dirinya sifat „Aziz yang ada pada Allah, maka merekapun menjadi gagah dan
semangat pula. Mereka tidak takut lagi menghadang maut. Dan terlimpah kepada
mereka pengetahuan Allah, maka merekapun mendapat ilham dari Allah untuk
mencapai kemenangan.
Maka baik munafiqin Quraisy dan orang-orang yang sakit hati di zaman
Rasul di perang Badar itu, mereka katakan bahwa kaum Muslimin telah ditipu
oleh agama mereka. Padahal ini bukan urusan kena tipu oleh agama, melainkan
urusan iman yang telah sampai di puncak, yaitu tawakal. Kalau tawakal sudah
datang, betapa besarpun musuh, mereka tidak peduli lagi. Orang yang sudah
bertawakal kepada Allah, hidup syukur, matinya syahid. Daripada hidup
bercermin bangkai, baiklah mati berkalang tanah. Kalau sudah sampai di suasana
yang demikian, diripun menjadi gagah, karena telah dipercik oleh sifat „Aziz
Allah dan disinari sifat Hakim Allah.12
Quṭb pula menceritakan tentang kondisi kaum munafik di Makkah saat
perang Badar kala itu yang mengatakan bahwa mereka adalah sekelompok orang
11
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 4, hlm. 2780. 12
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 4, hlm. 2781.
55
yang cenderung kepada agama Islam sewaktu di Makkah. Namun aqidahnya
belum benar dan hatinya belum mantap. Mereka keluar dengan rombongan kaum
Musyrikin dengan hati yang tidak mantap kepada Islam. 13
Melihat pasukan Musyrikin dengan bangga menjerumuskan diri mereka
sendiri karena melihat jumlah pasukan orang-orang Muslimin yang sedikit
sementara jumlah kaum Musyrikin lebih banyak. Oleh karena itu pula mereka
menganggap orang-orang Islam tertipu oleh agamanya sendiri. Sesungguhnya
mereka orang-orang munafik yang ada penyakit di dalam hatinya tidak benar-
benar mengetahui hakikat sebab-sebab kemenangan dan kekalahan, mereka
melihat segala sesuatu dari segi lahiriyah (yang tampak) saja. Juga tanpa
merasakan kekuatan tersembunyi dalam akidah kepercayaan kepada Allah SWT.
Quṭb menjelaskan pandangan orang munafik yang yang kososng dari iman
membuat mereka hanya melihat lahiriyyah saja. Sementara inilah yang diketahui
hati orang beriman yang menjadikannya tenang dan mantap tidak gentar melihat
pasukan musuh yang lebih besar jumlahnya. Di dalam hati mereka mentertawakan
kaum Muslimin yang dianggapnya berani menerjang bahaya dan menganggap
remeh mereka. Merekapun merasa heran mengapa kaum Muslimin begitu berani
menyengsarakan diri mereka yang jelas-jelas akan merugikan mereka dengan
kebinasaan. Karena kaum musrikin mengaggap kehidupan ini secara keseluruhan
termasuk agama dan akidah, termasuk komoditas di pasar dagang. Jika tampak
menguntungkan mereka maju, dan jika tampak membahayakan mereka meilih
keselamatan diri mereka yang utama.
Mereka tidak melihat urusan dengan pandangan batin orang beriman,
mereka tidak menimbang keberhasilan dengan timbangan iman Sementara
persiapan kaum Muslimin yang pokok adalah akidah agama ini, yaitu akidah yang
memotivasi dan memancarkan semangat tanpa rasa takut. Itulah pancaran tawakal
dari hari orang-orang yang beriman.
Hamka menjelaskan bahwa buah dari tawakal kepada Allah dalam ayat ini
ialah keberanian dan sikap tak gentar menghadapi musuh sebesar apapun.
13
Qutbh, Fî Zilâl al-Qur‟ân, Juz.X, h.212.
56
Begitupun Quṭb bahwa orang yang bertawakal melihat dengan pandagan
keimanan yang terpancar dari akidah yang kuat dan melahirkan semangat tanpa
rasa takut.
5. Surah al-Ahzab, ayat 3: Tawakal Sebagai Sifat Orang Yang Beriman
يل ك بلل فى ث ك هى للا م ع ك ت
“Dan bertawakallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai
Pemelihara”.
Hamka menafsirkan pada pangkal ayat ini, Allah telah memerintahkan
Rasulullah SAW supaya menyerahkan dirinya sebulat bulatnya kepada Allah
dengan penuh kepercayaan dan jangan bimbang. Harus yakin bahwasanya jalan
yang ditunjukkan Allah itulah jalan yang benar, tidak ada jalan lain. Dan cukuplah
kepada Allah saja bertawakal.
Ayat ketiga dari surah al-Ahzab ini adalah pegangan hidup bagi Rasul dan
bagi tiap orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.14
Pendirian
yang tegas dan pegangan yang teguh, berani menghadapi segala kemungkinan di
dalam mempertahankan pendirian. Itu sebabnya maka pada ayat yang pertama
dari surah al-Ahzab ini diperingatkan kepada Rasul sendiri agar beliau sekali-kali
jangan mengacuhkan dan mengikuti kehendak dan permintaan orang yang telah
nyata kafir, apatah lagi munafik. “Bertawakallah kepada Allah”, artinya ialah
bahwa tempat bertanggung jawab hanya semata-mata Allah.
Begitupula Quṭb menafsirkan bahwa Rasulullah diperintahkan untuk tidak
memikirkan orang-orang kafir dan munafik yang menentangnya. Sebaliknya
Allah memerintahkan Rasul untuk bertawakal dengan sepenuh hati karena Allah
lah yang akan mengatur dan memberikan jalan keluar dari kegundahan.15
Jadi mengembalikan urusan kepada Allah dan bertawakal kepadanya pada
akhirnya adalah kaidah kokoh yang menenangkan, di mana hati akan selalu
merasa tenang. Pada titik itulah hati akan menyadari betapa terbatasnya
kemampuan manusia. Maka setelah berupaya dengan sungguh-sungguh, langkah
14
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 8, hlm. 5629. 15
Qutbh, Fî Zilâl al-Qur‟ân, Juz.XXI, h.217.
57
selanjutnya hanyalah memasrahkan diri dengan kehendak-Nya, bukan berarti
berserah tanpa berupaya terlebih dahulu.
Kesimpulan dari ayat ini ialah Hamka dan Quṭb sama-sama menjelaskan
bahwa Allah memerintahkan Rasul untuk bertawakal dengan sepenuh hati karena
Allah lah yang akan mengatur dan memberikan jalan keluar dari kegundahan.
B. Kisah Hamka dan Quṭb Dalam Mengaplikasikan Tawakal
Semasa hidupnya Hamka juga mengalami kepahitan-kepahitan dalam
menjalankan dakwahnya. Tepatnya pada hari Senin, 12 Ramadhan 1383,
bertepatan dengan 27 Januari 1964, Hamka mengadakan pengajian mingguan di
Masjid Agung Al-Azhâr terhadap kira kira 100 orang kaum ibu, membahas QS
Al-Baqarah 255, atau ayat al-Kursi. Pukul 11 siang selesailah pengajian dan
Hamka kembali ke rumah melepas lelah sejenak menunggu datangnya waktu
Dzuhur.
Pada saat istirahat itulah empat orang menjemput Hamka untuk ditahan,
setelah sebelumnya menyerahkan surat tugas penahanan. Setelah empat hari
dalam tahanan, barulah Hamka diperiksa dengan tuduhan: merencanakan
membunuh Menteri Agama H. Saifuddin Zuhri, hendak mengadakan coup d‟etat,
menghasut mahasiswa agar meneruskan pemberontakan Kartosuwiryo, Daud
Beureuh, M. Natsir dan Syafruddin Prawiranegara.16
Lain yang difikirkan Hamka, lain pula rencana Allah. Allah rupanya
menghendaki agar masa terpisah dari anak istri, dan masyarakat dua tahun, dapat
digunakan Hamka menyelesaikan pekerjaan berat, yaitu menafsirkan al Qur‟an.
Dengan petunjuk dan hidayah Allah, beberapa hari sebelum dia dipindahkan ke
dalam tahanan rumah, penafsiran al-Qur‟an 30 Juz telah selesai. Semasa dalam
tahanan rumah dua bulan lebih, Hamka mempergunakan pula buat menyisip mana
yang masih kekurangan.17
Hamka merasa bersyukur, meskipun harus melewati hari-harinya di balik tirai
besi. Betapa tidak, karena fitnah dan hasad manusia Hamka hidup terpencil.
16
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 1, hlm. 66-67. 17
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 1, hlm. 70.
58
Padahal dalam masa terpencil itulah beliau dapat berkhalwat dan beribadah lebih
khusyu‟. Saat-saat senggang yang begitu luas, malamnya dapat digunakan buat
ibadah, munajat dan tahajjud. Siang yang panjang dapat digunakannya buat
mengarang, tafakkur dan muthala‟ah.18
Demikianlah, penjara itu membawa
hikmah yang besar buat Hamka, pekerjaan menulis Tafsir Al-Azhâr telah selesai.
Hamka mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum MUI (Majlis Ulama
Indonesia), pada Mei 1981. Lewat MUI, beliau berfatwa: Umat Islam diharamkan
menghadiri perayaan Natal. Namun pemerintah agaknya berkeberatan terhadap
fatwa itu, dan memerintahkan agar MUI mencabut fatwa tersebut. Bagi Hamka,
walau langit runtuh, kebenaran harus tetap disampaikan. Haram bagi seorang
muslim berbuat munafik hanya semata mata karena sebuah jabatan. Fatwa
memang ditarik oleh MUI dengan embel embel tanpa tekanan. Sambil
mengucapkan selamat tinggal, Hamka berujar: “Fatwa boleh dicabut, tetapi
kebenaran tak bisa diingkari”.
Begitupun dengan Quṭb, pada Juli 1952, Quṭb mendukung Gerakan Perwira
Bebas yang dipimpin Gamal Abdel Nasser untuk menjatuhkan raja dan
menggantinya dengan sistem presidensial. Selama kudeta berlangsung, Quṭb dan
Nasser sangat dekat bagai seorang sahabat. Dalam beberapa kesempatan, Nasser
kerap mengunjungi rumah Quṭb dan berdiskusi soal revolusi. Hubungan ini
membuat Ikhwanul Muslimin berharap agar Nasser melahirkan pemerintahan
yang Islami. Namun, hal itu ternyata tidak terjadi, sebab Nasser memilih ideologi
nasionalis sekular yang sangat bertentangan dengan Ikhwanul Muslimin.
Rupanya, Nasser mempersiapkan agenda rahasia di dalamnya sebelum
menduduki jabatan sebagai presiden. Hal itu disadari Quṭb dan memutuskan
mundur, namun Nasser bersikeras agar Quṭb tetap berada dalam satu barisan
dengan menawarinya sebuah jabatan. "Kami akan memberikan posisi apapun
yang kamu inginkan di pemerintahan, apakah itu Menteri Pendidikan, Menteri
Kesenian, atau lainnya," ujar Nasser saat itu. Namun, tawaran-tawaran itu
ditolaknya. Quṭb kesal karena Nasser telah mengecewakannya. Hingga suatu
18
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 1, hlm. 72.
59
ketika, Mesir dikejutkan dengan berita rencana pembunuhan Nasser oleh
kelompok Ikhwanul Muslimin.
Terungkapnya rencana tersebut membuat Nasser menuduh seluruh anggota
Ikhwanul Muslimin terlibat. Kemudian, Quṭb diburu militer dan dijebloskan ke
penjara. Tiga tahun pertama dalam penahanan, kondisinya sangat buruk serta
menjalani pelbagai penyiksaan. Dan dibebaskan pada 1964.
Pengalaman Quṭb hari-hari pertama dia ditahan: “Jangan gentar menghadapi
kesukaran, karena dalam kesukaran itu pasti ada kemudahan, asal kita
mempergunakan otak buat memecahkannya. Sungguh, Allah tidak akan
mengecewakan orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
Setelah delapan bulan menghirup udara bebas, atas perintah Perdana Menteri
Irak, Abdul Salam Arif, Quṭb lagi-lagi dipenjara atas tuduhan yang sama. Selama
sidang berlangsung, dia diberikan berbagai macam tuduhan hingga pengadilan
memvonis hukuman mati. Dia akhirnya tewas di tiang gantungan pada 29
Agustus. Salah satu kata-katanya yang paling terkenal adalah, "Semua akan
kembali pada Allah ketika mati, tapi yang berbahagia adalah orang yang dekat
dengan Allah semasa hidupnya."
Setelah penulis teliti dari berbagai penafsiran kata tawakal menurut Hamka
dan Quṭb, penafsiran kata tawakal itu hampir sama. Menurut Quṭb tawakal adalah
berserah dengan hati dengan melakukan usaha atau ikhtiar dengan anggota tubuh.
Tawakal juga menampakkan kelemahan seseorang dalam suatu perkara, maka ia
pergi kepada orang yang lebih kuat dan bergantung kepadanya. Maka tawakal itu
adalah gabungan antara usaha dan berserah diri kepada yang lebih kuasa yaitu
Allah SWT.
Hamka pula menyebut bahwa tawakal itu adalah menyerahkan keputusan dari
segala usaha dan ikhtiar kepada Allah SWT, berserah kepada Allah sebulat-
bulatnya ketika menunggu hasil dari segala usaha dan ikhtiar tersebut. Tawakal
mesti disertai dengan syukur dan sabar. Tawakal itu mesti diiringi dengan syukur
dan sabar. Syukur, jika apa yang dikehendaki tercapai, sabar jika hasil yang
60
didapat masih mengecewakan dan ikhlas menyerahkan diri kepada Allah,
sehingga hidayah-Nya selalu turun dan kita tidak kehilangan akal.
Secara keseluruhannya, orang yang bertawakal kepada Allah tidak akan
berkeluh kesah dan gelisah. Ia akan selalu berada dalam ketenangan dan
ketentraman dan kegembiraan. Jika ia memperoleh nikmat dan karunia adari Allah
SWT, ia akan bersyukur dan jika tidak ia akan bersabar. Ia menyerahkan semua
keputusan, bahkan dirinya sendiri kepada-Nya. Penyerahan itu dilakukan dengan
sungguh-sungguh dan semata-mata karena Allah SWT. Namun tidak berarti orang
yang bertawakal harus meninggalkan semua usaha dan ikhtiar. Usaha dan ikhtiar
itu harus tetap dilakukan, sedangkan keputusan terakhir di serahkan kepada Allah
SWT.
C. Aktualisasi Nilai-Nilai Tasawuf Konsep Tawakal dalam Spiritualitas
Kehidupan
Manusia di era global, dan sebagai konsekuensi modernisasi, melepaskan diri
dari keterikatannya dengan Tuhan (theomorphisme), untuk selanjutnya
membangun tatanan manusia yang semata-mata berpusat pada manusia
(anthropomorphisme). Manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri, yang
mengakibatkan terputusnya mereka dari nilai-nilai spiritual.19
Setiap orang didorong berjuang keras menjadi pekerja sukses dan kaya demi
penegasan akan keberhasilannya itu. Kemakmuran melambangkan nilai jualnya
yang tinggi dan dihargai di pasar. Kemiskinan dimaknai sebagai sebaliknya.
Kebaikan, kejujuran, kesetiaan pada kebenaran dan keadilan dipandang tidak
bernilai jika tidak memberikan manfaat bagi kesuksesan dan kemakmuran. Sejauh
kondisi ekonominya tidak makmur, dia dinilai belum sukses.
Manusia modren tidak lagi berpijak pada kualitas kemanusiaan, melainkan
oleh keberhasilannya dalam mencapai kekayaan materil. Keadaan ini
memalingkan kesadaran manusia sebagai makhluk termulia. Keutamaan dan
kemuliaannya menyatu dengan kekuatan kepribadiannya, bukan bergantung pada
19
Muhkhibat, Spiritualisasi dan Konfigurasi Pendidikan Karakter Berparadigma
Kebangsaan dalam Kurikulum 2013, (Al-Ulum: Jurnal Studi Islam, vol 14, no 1. Juni 2014), hal
24
61
sesuatu di luar dirinya. Karena itu, masyarakat modern mengalami kehampaan,
dan mengalami hidup yang tidak bermakna. Kehadirannya bergantung pada
pemilikan dan penguasaan pada simbol kekayaan. Hasrat mendapatkan harta yang
berlimpah melampaui komitmennya terhadap solidaritas sosial, hal ini didorong
pandangan bahwa orang banyak harta merupakan manusia unggul.
Tujuan akhir terpenting dari tasawuf adalah lahirnya akhlak yang baik dan
menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Tasawuf menjadi obat yang
mengatasi krisis kerohanian manusia yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga
ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari hidupnya. Ketidakjelasan
atas makna dan tujuan hidup ini membuat penderitaan batin. Tasawuf sebagai
khazanah moralitas luhur, dimaksudkan bukan hanya untuk mencapai ketenangan
dan kebahagiaan diri sendiri saja tetapi juga dimaksudkan memiliki dampak-
dampak sosial yang membangun. 20
Di sinilah perlunya transformasi tasawuf dalam konteks dinamika sosial.
Praktek tasawuf tidak dilakukan dengan menyembunyikan diri dari fenomena
sosial untuk memburu kenikmatan spirirtual individual (hedonisme spiritual)
tetapi praktek tasawuf dituntut untuk menjadi rahmat bagi masyarakat melalui
spiritualitas diri. Artinya, tasawuf dapat diperankan sebagai basis moral dalam
sikap mental dan pola pikir, sehingga kehidupan keseharian yang berkualitas.21
Dalam prakteknya, tawakal sangat dapat diterapkan dalam nilai-nilai
spiritualitas kehidupan. Karena dengan mengaplikasikan tawakal berarti manusia
menyerahkan diri kepada kehendak Allah. Ia tidak memikirkan hari esok, baginya
cukup apa yang ada untuk hari ini. Tawakal adalah suatu kondisi yang
menggabungkan antara ilmu dan iman. Tidak mungkin seorang hamba tidak
membutuhkan tawakal, baik tawakal kepada Allah yang di Tangan-Nya
kekuasaan atas segala sesuatu, atau tawakal kepada sesama makhluk yang lemah
seperti dirinya. Tidak memiliki kuasa memberikan manfaat atau bahaya. 22
20
Syafiq A Mughni, Nilai-nilai Islam: Perumusn Ajaran dan Upaya Aktualisasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 182 21
Asep Usmar Ismail, dkk, Tasawuf , (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Jakarta, 2005),
hal. 111 22
Amir An-Najar, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf , (Jakarta: Pustaka Azam, 2004), hal 238
62
Manfaat tawakal adalah dapat 1) Ketenangan jiwa dan rehat hati. 2)
Kecukupan dari Allah segala kebutuhan orang yang bertawakal. 3) Mewariskan
kesabaran, ketahanan, kemenangan dan kekokohan. 4) Mewariskan rezeki, rasa
ridha. Sementara contoh perilaku tawakal antara lain:
Selalu bersyukur apabila mendapatkan nikmat (keberhasilan/kesuksesan
dll) dari Allah swt, dan bersabar apabila mendapatkan musibah.
Tidak berkeluh kesah dan gelisah ketika berusaha dan beriktiar
Selalu berusaha dan berikhtiar dengan maksimal, selanjutnya bertawakal
kepada Allah swt
Tidak mudah berputus asa dalam berusaha
Menerima segala ketentuan Allah swt dengan rasa ikhlas dan ridha.
Berusaha memperoleh sesuatu yang dapat memberikan manfaat kepada
orang lain.
D. Bentuk-Bentuk Tawakal Para Nabi dan Sahabat
Tawakal adalah akhlak agung yang sangat dibutuhkan seorang hamba
dalam menjalankan setiap urusannya, baik urusan agama atau urusan duniawi.
Meskipun ia telah dianugerahi kekuatan, kemampuan dan tenaga, akan tetapi
sesungguhnya tidak ada daya dan kekuatan bila ia tidak memperoleh taufik dan
pertolongan Allah Swt. Allah memerintahkan bertawakal dalam firman-Nya:
كها إن كىتم مؤمىيه فت عهى للا
Dan bertawakallah kamu kepada Allah, jika kamu orang-orang beriman (Q.S al-
Mâidah: 23)
1. Tawakalnya Rasulullah Saw.
Kisah Rasulullah Saw. di perang Hunain, perang yang terjadi pasca Fathu
Makkah (penaklukan kota Mekah), Rasulullah Saw. tetap gigih di medan laga,
saat kebanyakan orang yang bersama beliau kocar-kacir oleh sergapan panah
musuh.
Dalam Shahîhain, Barâ bin „Azib r.a menyebutkan bahwa ada seorang lelaki
bertanya kepadanya,” Wahai Abu „Amarah, apakah kalian melarikan diri di
perang Hunain? Jawabnya: (Ya), akan tetapi Rasulullâh tidak. Suku Hawâzin
63
kaum ahli panah. Ketika menghadapi mereka, kami berhasil memukul mundur
mereka. Orang-orang pun berpaling menuju harta rampasan perang. Ternyata,
mereka (suku Hawâzin), dengan tiba-tiba menghujani kami dengan anak panah
sehingga orang-orang (Sahabat) kalah. Aku menyaksikan Rasulullâh dengan Abu
Sufyân bin Hârits yang memegang tali kendali keledai putih beliau.23
Beliau
meneriakkan:
أوب انىجي ل كرة أوب اثه عجد انمطهت
Aku seorang nabi tidak dusta. Aku putra `Abdul Muththalib [HR al-Bukhâri,
Muslim, dan at-Tirmidzi]
Setelah membawakan hadits ini, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah
mengatakan dalam tafsirnya: “Ini adalah puncak Tawakal dan keberanian yang
sempurna. Dalam keadaan perang yang sengit, pasukan beliau yang telah terpukul
mundur, hanya dengan menunggangi keledai, hewan yang tidak bisa lari kencang,
tidak mampu dipakai bergerak maju mundur untuk menyerang atau melarikan
diri, beliau menerobos ke tengah mereka sambil meneriakkan nama beliau. Hal
itu, agar orang yang tidak mau mengenal beliau sampai hari Kiamat sudah tahu
tentang beliau. Ini semua tiada lain karena kepercayaan dan tawakal beliau kepada
Allah Swt. dan serta karena beliau yakin bahwa Allah akan menolongnya,
menyempurnakan risalahnya dan memenangkan agamanya di atas seluruh
agama”24
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl9 Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
2. Tawakalnya Nabi Ibrahim
Sikap ini tercermin dalam kisah beliau „alaihissallam saat berdakwah
mengajak manusia untuk bertauhid dan mengesakan Allah Swt. namun
kebanyakan menolaknya dengan penuh kenistaan. Ketabahan Nabi Ibrahim ini
menjadi teladan bagi setiap dai dalam mengajak manusia menuju jalan yang
23
Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1430H/2009, h.34 24
Tafsîr Ibnu Katsîr 2 h.357
64
diridhai Allah. Kisah ketabahan Nabi Ibrahim diabadikan dalam al-Qur‟an melalui
firman-firman-Nya. Meskipun kaumnya dengan kuatnya untuk membakar dirinya,
namun Nabi Ibrahim tetap tabah dan menyerahkan segala perkara kepada Allah
Subhanahu wa Ta‟ala. Sebagaimana firman Allah:
مب تعمهن. قبنا اثىا ن ثىيبوب فأنقي في انجحيقبل أ خهقكم للا م. تعجدن مب تىحتن.
م السفهيه كيدا فجعهىب فأزادا ث
Ibrahim berkata: “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat
itu? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
Mereka berkata: “Dirikanlah suatu bangunan untuk (membakar) Ibrahim;lalu
lemparkanlah dia ke dalam api yang menyala-nyala itu”. Mereka hendak
melakukan tipu muslihat kepadanya, maka Kami jadikan mereka orang-orang
yang hina. (QS. Ash-Shaffat: 95-98).
As-Suddi rahimahullah berkata: “Mereka menahannya dalam sebuah
rumah. Mereka mengumpulkan kayu bakar, bahkan hingga seorang wanita yang
sedang sakit bernadzar dengan mengatakan „sungguh jika Allah Swt. telah
memberikan bagiku kesembuhan, maka aku akan mengumpulkan kayu bakar
untuk membakar Ibrahim‟. Setelah kayu bakar terkumpul menjulang tinggi,
mereka mulai membakar setiap ujung tepian dari tumpukkan itu, sehingga apabila
ada seekor burung yang terbang di atasnya niscaya ia akan hangus terbakar.
Mereka mendatangi Nabi Ibrahim kemudian mengusungnya sampai di puncak
tumpukan tinggi kayu bakar tersebut”. Riwayat lain menyebutkan, ia diletakkan
dalam ujung manjaniq.25
Nabi Ibrahim mengangkat kepalanya menghadap langit, maka langit,
bumi, gunung-gunung dan para malaikat berkata: “Wahai, Rabb! Sesungguhnya
Ibrahim akan dibakar karena (memperjuangkan hak-Mu)”26
Pada saat Nabi Ibrahim diletakkan di ujung manjaniq, ia dalam keadaan
terbelenggu dengan tangan di belakang. Kemudian kaumnya melemparkan Nabi
Ibrahim ke dalam api, dan ia pun berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, dan Dia
sebaik-baik Penolong”. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari
Sahabat Ibnu Abbas, ia berkata:
25
Tafsir ath-Thabari, Juz 9, hal: 43 26
(Fathul-Bari, Juz 6, hal: 483)
65
كيم حسجىب هللا وعم ان
Cukuplah Allah bagi kami dan Dia sebaik-baik penolong.27
Demikianlah, Nabi Ibrahim sangat yakin dengan kebesaran, pertolongan
dan perlindungan Allah, karena beliau sedang memperjuangkan hak Allah yang
terbesar, yakni tauhid dalam beribadah kepada-Nya.
3. Tawakalnya Siti Hajar
Ketika Ismail baru saja dilahirkan dan dalam penyusuan ibunya (Hajar), Nabi
Ibrahim membawa keduanya menuju Baitullah pada dauhah (sebuah pohon
rindang) di atas zam-zam. Saat itu, tidak ada seorangpun di Makkah, dan juga
tidak ada sumber air.
Nabi Ibrahim meninggalkan jirab, yaitu kantung yang biasa dipakai untuk
menyimpan makanan. Kantung itu berisi kurma untuk keduanya. Juga
meninggalkan siqa` (wadah air) yang berisi air minum. Kemudian Nabi Ibrahim
berpaling dan pergi. Diantara munajat Nabi Ibrahim sebelum meninggalkan anak
dan istrinya adalah:
"Ya Tuhan kami, sesungguhnya Aku telah menempatkan keturunanku di lembah
yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang
dihormati" (QS. Ibrahim: 37).
Hajar mengikutinya sembari berkata:
“Wahai, Ibrahim! Kemana engkau akan pergi meninggalkan kami di lembah yang
sunyi dan tak berpenghuni ini?” Hajar mengulangi pertanyaan itu berkali-kali,
namun Ibrahim tidak menoleh, tak pula menghiraukannya. Kemudian Hajar pun
bertanya: “Apakah Allah Subhanahu wa Ta‟ala yang telah memerintahkan
engkau dengan ini?”
"Iya!" jawab Nabi Ibrahim.
"Kalau begitu, pasti Allah tidak akan menyia-nyiakan kita!" sambut Hajar dengan
mantap dan yakin.28
27
Shahih Bukhari dan Fathul-Bari, Juz 8, hal: 288, no. 4563
66
Ungkapan terakhir seorang Hajar inilah yang hendak kita jadikan inspirasi
dalam sikap tawakal. Ini adalah kalimat yang agung yang penuh makna dan
bertenaga. Menariknya lagi, kalimat ini terucap dari lisan seorang wanita dalam
segala keterbatasan kondisinya. Intinya hanyalah satu, jika suatu perkara memang
telah menjadi perintah Allah yang harus ia ta'ati, maka pasti akan berujung pada
kebaikan dan keberkahan yang melimpah, pasti akan berujung pada keajaiban-
keajaiban hidup yang luar biasa. Sekalipun secara logika tidak masuk. Sekalipun
secara hitung-hitungan manusia terkesan mustahil.
Saat Ibrahim tak lagi kelihatan, Siti Hajar memandang semua wilayah di
lembah, kosong, gersang dan sangat panas. Wanita berhati mulia ini pun berlari
dari bukit Shafaa ke bukit Marwa sebanyak tujuh kali untuk mencari perbekalan
dan berharap bertemu sufi yang akan membantunya. Sayang, ia tidak menemukan
apapun.
Di tengah kebingungan juga kegelisahan yang menyelimuti hati juga
pikirannya, Allah memberikan mukjizat-Nya. Dari bawah kaki Ismail kecil yang
sedang menangis kehausan, muncul sumber mata air yang kini dikenal sebagai
mata air Zam-Zam. Air itulah yang membantunya bertahan. Tak hanya muncul
air, beberapa waktu kemudian juga lewat beberapa sufi yang akhirnya
membantunya mengatasi segala kesulitan di lembah gersang.
Siti Hajar adalah sosok yang begitu tegar, tabah juga senantiasa
bertawakal hanya kepada Allah semata. Ia juga menjadi cerminan sebagai seorang
istri yang kuat dan tak mudah putus asa meski kesulitan bertubi-tubi menimpanya.
4. Tawakalnya Ibnu Mas’ud
Abdullah bin Mas‟ud radhiyallahu „anhu. Beliau adalah salah satu ulama dari
para sahabat, salah satu orang-orang yang pertama kali masuk Islam, beliau ikut
serta dalam kedua hijrah ke Habasyah, ikut serta dalam perang Badar, uhud dan
peperangan lainnya bersama Rasulullah, beliau termasuk salah satu sahabat
terdekat dengan Nabi, beliau dikirim oleh Umar bin Khatthab ke Kufah untuk
28
http://adnan-kisahkasihibu.blogspot.com/2012/07/pelajaran-tawakkal-siti-hajar-ibunda.html
67
mengajari agama Islam kepada mereka. Di dalam Shahihain beliau meriwayatkan
848 hadits.
Kisah keberanian beliau ketika membaca Al-Qur‟an terang-terangan.
Muhammad bin Ishaq mengisahkan; Yahya bin „Urwah bin Zubair menceritakan
dari ayahnya berkata, “Orang pertama yang membaca Al-Qur‟an terang-
terangan setelah Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam adalah Abdullah bin
Mas‟ud.” Beliau mengisahkan:
Suatu hari sekelompok sahabat berkumpul, salah seorang mereka berkata,
“Kaum Quraisy belum pernah mendengar Al-Qur‟an ini dibaca terang-terangan,
adakah orang diantara kalian yang bisa meperdengarkan Al-Qur‟an kepada
mereka?” Abdullah bin Mas‟ud berkata, “Aku” mereka berkata, “Kami takut
mereka menyakitimu, yang kami mau adalah orang yang memiliki banyak kerabat
yang bisa membelanya jika mereka mencelakainya.” Ibnu Mas‟ud berkata, “Biar
aku melakukannya, karena Allah yang akan membelaku.”
Esok harinya Ibnu Mas‟ud keluar di waktu dhuha ketempat perkumpulan
Quraisy, ketika ia sampai, ia membaca:
ح حمه انس انس حمه )ثسم للا 2( عهم انقسآن )1يم. انس
Beliau terus membacanya sehingga mereka merasa tidak senang dan
berkata, “Apa yang dikatakan Ibnu Ummi „Abd (kuniyah/gelar beliau)? Sebagian
mereka yang lain menjawab, “Ia membaca sebagian ayat yang dibawa oleh
Muhammad.” Kemudian mereka berdiri dan menujunya serta memukuli wajahnya
sedang beliau terus membaca sampai kepada batas tertentu yang Allah kehendaki.
Setelah itu beliau kembali kepada perkumpulan para sahabat sedang orang-orang
Quraisy telah menyisakan bekas pukulan mereka di wajahnya. Maka para sahabat
berkata, “Ini yang kami takutkan terjadi padamu.” Ibnu Mas‟ud menjawab,
“Mereka sekarang lebih ringan bagiku dari sebelumnya, dan jika kalian mau esok
hari aku akan mendatangi mereka lagi.” Mereka berkata, “Sudah, cukup bagimu
68
karena engkau telah memperdengarkan kepada mereka yg mereka tidak suka (Al-
Qur‟an).”29
Demikianlah keberanian Abdullah bin Mas‟ud, beliau adalah prang
pertama yang membacakan Al-Qur‟an secara terang-terangan di hadapan Kaum
Quraisy setelah Rasulullah Saw. Padahal beliau tidak memiliki banyak kerabat
yang dapat membela beliau jika kaum kafir Quraisy ingin mencelakainya. Bahkan
ketika para sahabat melarangnya untuk berangkat, beliau menjawab, “Allah lah
yang akan menolongku.” Ini menunjukkan betapa tingginya tawakal beliau
kepada Allah sehingga beliau tidak merasa takut karena imannya yang kuat bahwa
Allah yang akan menolongnya. Bahkan meliau masih menawarkan untuk
mendatangi mereka yang kedua kalinya dan membacakan Al-Qur‟an lagi kepada
mereka. Dari kisah diatas kita akan mendapatkan bahwa bertawakal kepada Allah
adalah sesuatu yang lazim dalam segala hal terutama dalam amar ma‟ruf nahi
munkar. Kemudian tawakal dapat melahirkan keberanian dan menghilangkan rasa
takut.
29
Majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII/1429/2008M h.54
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan seluruh pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Dari berbagai penafsiran yang ditampilkan oleh Quṭb dan Hamka, Hamka
menafsirkan kata tawakal secara umum sebagaimana pendapat-pendapat
ulama’ sebelumnya terutama ulama’ tasawuf. Beliau menambah bahwa
tawakal itu harus disertai dengan syukur dan sabar. Syukur, jika
keputusannya baik dan sabar jika keputusannya kurang memuaskan.
Sementara Quṭb menjelaskan kata tawakal dengan pendekatan emosi di dalam
hati orang beriman dan menyimpulkan berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an yang
berkait dengan tawakal. Beliau juga menambah bahwa tawakal itu
menunjukkan kelemahan seorang hamba sehingga perlu bergantung kepada
yang lebih kuasa yaitu Allah Swt.
2. Menurut Hamka, tawakal adalah menyerahkan keputusan segala perkara,
ikhtiar dan usaha kepada Tuhan Semesta Alam. Percaya bahwa Dia Yang
Maha Kuat dan Kuasa, manusia lemah tak berdaya. Tawakal adalah puncak
dari iman sepertimana yang ditempuh oleh Rasulullah Saw. kelihatanlah
tawakal itu tumbuh dengan sendirinya sejalan dengan ikhtiar. Berlindung dan
bersandar hanya kepada Allah. Ridha terhadap keputusan Allah serta yakin
bahwa hanya Allah yang memberi kecukupan ketika melakukan ikhtiar dan
ketika menerima hasilnya. Tawakal mesti disertai dengan sabar dan syukur.
Jika baik hasil itu maka bersyukur, jika sebaliknya maka bersabar. Maka akan
terlihat tawakal itu dengan sempurna.
3. Menurut penafsiran Quṭb, tawakal itu menunjukkan ketidakupayaan seorang
insan kepada Allah Swt. di atas sebab-sebab tertentu. Secara prakteknya
tawakal itu adalah dengan hati dan melaksanakannya dengan amal. Berusaha
dengan bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu urusan sama ada
urusan dunia maupun urusan akhirat. Kemudian bertawakal kepada Allah.
70
Dengan kata lain, tawakal adalah gabungan antara usaha dengan
menyerahkan segala urusan dan keputusan kepada yang dapat menguruskan
manusia dengan yang benar pula, yaitu Allah Yang Maha Berkuasa dan Maha
Bijaksana. Percaya bahwa hanya Allah yang mampu melindungi orang-orang
beriman dari kejahatan orang terhadap diri mereka, yakin bahwa hanya Allah
yang memberi rezeki kepada mereka dan bergantung kepada Allah dalam
setiap urusan dan keputusan karena hanya Allah, tidak ada yang lain, yang
mampu mentadbir dengan sempurna.
4. Dari analisa tersebut, dapatlah penulis membuat kesimpulan bahwa tawakal
itu adalah ibadah hati dengan menyerahkan kepada Allah Swt. segala
keputusan setelah berusaha dan ikhtiar dengan sungguh sungguh, bergantung
dan percaya hanya kepada Allah karena Dia yang mampu menguruskan
segala urusan hamba-hamba-Nya. Kemudian apabila keputusan itu
menyenangkan sesuai dengan harapan orang yang bertawakal, ia mesti
bersyukur dan jika keputusan itu gagal atau kurang memuaskan, tidak seperti
yang diharapkan, maka ia mesti bersabar dan bersangka baik pada Allah
bahwa Allah tidak akan menzalimi hamba-Nya yang taat kepada-Nya serta
yakin dengan keputusan yang diberikan Allah Swt. itu adalah yang terbaik
buat diri hamba tersebut. Sesuai dengan sunnatullah, dalam kehidupan
sebagai seorang hamba bergantung harap kepada yang menciptakan ia yakni
Allah Swt. Maka pada suatu waktu, ia akan merasai keajaiban tawakal itu
dengan Allah memudahkan urusannya, menolongnya dalam segala hal dan
memberi rezeki kepadanya dari jalan yang dia sangka maupun dari jalan yang
tidak dia sangka. Maka dari itu lahirlah insan taqwa dengan puncak keimanan
yang paling tinggi yaitu tawakal kepada Allah Swt.
B. Saran
Segala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan rahmat-Nyama kepada
kita semua, khususnya kepada penulis, sehingga bisa menyelesaikan penelitian
ini. Penulis sadari bahwa karya yang berjudul “KONSEP TAWAKAL DALAM
AL-QUR’AN” (Studi Komparatif dengan Analisis Tafsir Al-Azhâr Dan Tasir Fî
70
Zilâl al-Qur’ân ) ini masih jauh dari kesempurnaan, dari itu penulis mohon
kepada pembaca agar memberi masukan dan saran.
Dari saat penulis mengerjakan tulisan ini, ada beberapa hal yang terdetik
dalam benak penulis, dan ini merupakan saran untuk penulis khususnya dan siapa
saja yang membaca tulisan ini, yaitu:
1. Terasa sekali bagi penulis, bahwa untuk membuat sebuah tulisan atau karya kita
butuh ilmu pengetahuan yang luas, dari itu janganlah puas dengan apa yang kita
dapatkan sekarang, tapi marilah kita tetap mencari dan menggali ilmu.
2. Siapapun yang telah membaca tulisan ini, semoga dapat menerapkan pelajaran
yang terkait dengan tulisan ini dalam kehidupan sehari-hari. Karena tawakal yang
benar kepada Allah SWT sesuai dengan tujuan dan kondisi dapat meningkatkan
taqwa dan iman kepada Allah Swt.
3. Kepada generasi tafsir hadis, mari kita lanjutkan perjuangan ulama’ terdahulu
dengan tetap eksis mengkaji dan mempelajari serta mengembangkan kitab
warisannya. Semoga kita juga dapat membuat karya-karya yang bermanfaat
seperti ulama’ terdahulu.
Terakhir, semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan para
pembaca pada umumnya, tidak sekadar membaca tapi mampu untuk
mengaplikasikan tawakal dalam kehidupan kita, sehingga kita mampu menjadi
hamba-hamba yang bertaqwa dan mulia disisi-Nya.
71
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, Fauruz, Majduddin Muhammad bin Ya’qub, Al-Qâmûs al-Muḥîṭ, Dar Al
Hadith: Mesir,1999.
Ad-Dumaji, Abdullah Bin Umar, Rahasia Tawakal Sebab dan Akibat Terj. Drs.
Kamaluddin Sa’diatulharamaini dan Farizal Tarmizi, Jakarta: Pustaka Imam
Azzam, 2000.
Al Azhari, Muhammad ibn Ahmad, Tadzhîb Al-Lugah, Beirut: Dar Ihya Al-Turast
Al-Arabi, 2001.
Al- Mash, Badr Abdurrazzaq, Manhaj Da‟wah Hasan al Banna, Jakarta:Gema
Insani Press, 2005.
Al-Aṣfahânî, Abu al-Qasim al-Râghib, Mufradât fî gharîb al-Qur'ân, Dar Al-
Ma`rifah, Beirut, 2002.
Al-Baqi, Muhammad Fu’ad Abd, al-Mu‟jam al-Mufahras lî Alfâd al-Qur‟an ,
Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Al-Farmawi, Abdul Hayy, Al-Bidayah Fi At-Tafsir Al-Maudhu‟i: Dirasah
Manhajiyyah Maudhu‟iyyah, (Mesir: Maktabah Jumhuriyyah, tk), terj.
Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhu‟I dan Cara Penerapannya,
Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Al-Hijazi, Muhammad Mahmud, al-Tafsir al-Wadhih , Beirut: Dar al-Jail, 1969.
Al-Jauziy, Ibnu Qayyim, Arruh Fî Kalam „Ala Arwahil Amwat wa al- Ahya‟
Bidalail Minal Kitab was Sunnah, 1975.
Al-Jauziy, Ibnu Qayyim, Madarijis Salikin, terj. Kathur Suhardi, Pustaka Al
Kautsar: Jakarta, 1998.
Al-Khalidi, Shalah Abdul Fatah,“Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl al-
Qur‟ân”, Terj: Salafuddin Abu Sayyid, Surakarta: Era Intermedia, 2001.
Al-Qaththan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al Qur‟an, Jakarta:Litera Antar
Nusa, 2013.
Al-Zuhaili, Wahbah, al-Tafsir al-Munir, Beirut: Dar al-Fikr, 1994
Amin, Mafri, Literatur Tafsir Indonesia, Cv. Sejahtera Kita: Ciledug, 2013.
An-Najar, Amir, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf , Jakarta: Pustaka Azam, 2004.
Ar-Rumi, Fahd bin Abdurrahman, Ulumul Qur‟an, penj: amirul Hasan an M.
Halabi, Yogyajarta: Titian Olahi Pres, 1996.
Basri, Muh. Mu’inuddinillah, Indahnya Tawakal: Sebuah Tuntunan Holistik
Untuk Meluruskan Pemaknaan Tawakal. Jakarta: Indiva Media Kreasi,
2007.
Chirzin, Muhammad, Jihad Menurut Saayid Quthb Dalam Tafsir Zilal, Solo, Era
Intermedia, 2001.
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, Madinah: Majma’ Khadim
al-Haramain, 1412 H.
Federspel, Howard M., Kajian Al-Qur‟an di Indonesia, Terj. Tajul Arifin, Mizan:
Jakarta 1996 .
Ghafsas, Badrut Tamam, Jalan Istiqamah Sang Legenda, Islamic Book Publisher:
2003.
Hamka, Rusydi, Pribadi Dan Martanbat Buya Hamka, PT Mizan Publika:
Bandung, 2016.
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panji Mas cet.II, 2000.
Hamzah, Yunus Amir, Hamka Sebagai Pengarang Roman, Jakarta: Puspa Sari
Indah,
Hidayat, Nuim, Sayyid Quṭb: Biografi Dan Kejernihan Pikirannya, Gema Insani,
Jakarta, 2008.
Ismail, Asep Usmar, dkk, Tasawuf , Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Jakarta,
2005.
Manzhur, Ibnu, Lisan al 'Arab, Beirut: Dar al-Shadir, 2000.
Mastur, Fadli, Tanya Jawab Lengkap Mutiara Ibadah, Jakarta: Ladang Pustaka &
Intemedia, 2001.
Mughni, Syafiq A, Nilai-nilai Islam: Perumusn Ajaran dan Upaya Aktualisasi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Muhkhibat, Spiritualisasi dan Konfigurasi Pendidikan Karakter Berparadigma
Kebangsaan dalam Kurikulum 2013, Al-Ulum: Jurnal Studi Islam, vol 14,
no 1. Juni 2014.
Qhardhawi, Yusuf, “Ikhlas dan Tawakal, Ilmu Suluk Menurut Al-Qur‟an dan
Sunnah”, Jakarta: ISTANBUL, 2012.
Quthb, Sayyid, Tafsir Fî Zilalil Qur‟an, terj. As’ad Yasin dkk.,
Rush, James R., Adicerita Hamka : Visi Islam Sang Penulis Besar Untuk
Indonesia Modern Penulis, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2014.
Saefuddin, Didin, Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam: Biografi Intelektual
17 Tokoh, PT Grasindo: Jakarta, 2003.
Salahudin D, “Konsep Tawakkal menurut Al-Gazali”. Thesis Fakultas
Ushuluddin. Prodi Tafsir Hadis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2009.
Salim, Bahnasawi, K., Butir-butir Pemikiran Sayyid Quthb. Jakarta: Gema Insani
Press, 2003.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur‟an
Vol.2 Penerbit Lentera Hati, 2000.
Sodiman, “Menghadirkan Nilai-Nilai Spiritual Tasawuf Dalam Proses
Mendidik”. Jurnal Al-Ta’dlib Volume 7 No. 2, edisi Juli-Desember 2014.
Supriyanto, Tawakal Bukan Pasrah, Jakarat: Qultum Media, 2010.
Syadzi, Khalid, Yakin Agar Hati Selalu Yakin Dengan Allah, Jakarta: Amzah,
2012.
Tamara, Nasir, Hamka Di Mata Umat, Cet iii, Sinar Harapan: Jakarta, 1996.
Uyun, Ardina Shulhah Qurotul, “Hubungan Tawakal dan Resiliensi pada Santri
Remaja Penghafal Al-Quran di Yogyakarta”. Jurnal psikologi islam
Volume 4, No. 1, 2017.
Yakan, Mohd Fathi Bin Zakaria, “Konsep Tawakkal Dalam Al-Qur‟an (Kajian
Komparatif Antara Tafsir As-Sya‟rawi Dan Tafsir Al-Azhar)”. Skripsi
Fakultas Ushuluddin. Prodi Tafsir Hadis, UIN Sultan Syarif Kasim Riau,
2013.
Yusuf, Muhammad Yunan, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, Pustaka
Panjimas Jakarta:, 1990.