Post on 25-Jun-2015
PENDAHULUAN
Complex Regional Pain Syndrome (CRPS) adalah penyakit progresif kronik dengan
disfungsi sistem saraf pusat atau perifer yang dikarakteristik oleh nyeri berat,
pembengkakan dan perubahan kulit.
Pada abad ke-17, Ambroise Pare pertama kali mendeskripsikan RSD sebagai nyeri
berat yang terjadi setelah kerusakan saraf perifer. Pare, adalah seorang ahli bedah
untuk raja Charles IX. Pada tahun 1864, Mitchell menciptakan istilah causalgia, yang
berarti nyeri terbakar, untuk mendeskripsikan gejala-gejala persistent yang timbul
setelah luka tembak pada nervus perifer selama perang sipil Amerika. Tahun 1900,
Sudeck mendeskripsikan secara radiografik spot osteopenia. 1916, Leriche
memfokuskan pada sympathetic nervous system. Livingstone 1943 memperluas
teori lingkaran setan Leriche yang disimpulkan sbb:
- Terjadi putaran dorsal horn
- Ditimbulkan oleh fokus iritasi kecil pada ujung saraf kecil dari nervus trunkus
major
- Mengaktivasi serat-serat sentral yang menimbulkan nyeri6
Tahun 1946, Evans menggunakan istilah RSD, dia percaya bahwa hiperaktifitas
simpathetik terlibat dalam aktifitas abnormal perifer. 1993, International
Association for the Study of Pain (IASP) sesuai konfrensi konsensus khusus yang
dialamatkan pada diagnosis dan terminologi, memperkenalkan istilah CRPS.5
Asosiasi internasional untuk studi nyeri telah membagi CRPS kedalam dua
tipe yang didasarkan pada adanya lesi-lesi saraf yang terjadi setelah injury:
Tipe I, Reflex Sympathetic Dystrophy (RSD), Sudeck's atrophy, Reflex
Neurovascular Dystrophy (RND) atau Algoneurodystrophy, tanpa adanya lesi
saraf.
Tipe II, Causalgia, dengan kerusakan saraf sebelumnya.1, 2
Reflex Symphatetic Dystrophy (RSD) merupakan gangguan yang manifestasi
kliniknya mirip, muncul dari kerusakan seperti tegangan minor, keseleo dan fraktur
yang membutuhkan operasi minor pada ekstremitas. Sering terjadi pada lengan
atau tungkai sesudah trauma minor. Karakteristik khasnya berupa nyeri, regulasi
aliran pembuluh darah dan keringat yang abnormal, edema kulit dan jaringan
subkutan, perubahan tropik kulit dan jaringan subkutaneus serta gangguan
pergerakan aktif dan pasie jaringan. Istilah kausalgia adalah kondisi yang
sebelumnya didahului oleh kerusakan komplet atau parsial atau kerusakan pada
nervus trunkus mayor. Nyeri yang timbul dimediasi oleh aktifitas berlebihan
simpatetik.1, 2, 3
RSD memiliki dua komponen, RSD major dan RSD minor. RSD major
termasuk kausalgia, nyeri tungkai phantom, nyeri sentral seperti thalamic
syndrome, lesi-lesi sentral, lesi brain stem dan lesi medula spinalis. RSD minor dapat
terjadi setelah trauma atau penyakit. Kondisi traumatik termasuk Sudeck’s atrophy,
arthritis traumatik, neuralgia post-traumatik, shoulder-hand syndrome dan post-
traumatic angiospase. International Association for Study of Pain memperkenalkan
istilah CRPS (Complex Regional Pain Syndrome) daripada terminologi tua RSD dan
Causalgia, yang menggambarkan kemungkinan alamiah kondisi yang sangat nyeri
ini.2
PATOFISIOLOGI
CRPS adalah gangguan yang sering terjadi dengan patofisiologi yang belum
diketahui. RSD adaah suatu symptome compleks variabel yang kemungkinan terjadi
dari sejumlah penyebab dengan mekanisme patofisiologi yang berbeda. Perubahan
pada pada somatosensori perifer dan sentral, otonomik, motorik dan interaksi
patologik serta sistem afferent, mekanismenya dideskripsikan dideskripsikan
sebagai berikut.
Beberapa hipotesis mengenai mekanisme simpatetik memediasi timbulnya
nyeri dan deskripsi komponen sentral dan peirfer. Wasner dan rekannya
memperlihatkan hilangnya fungsi aktifitas vasokonstriktor simpatik kutaneus
complete pada stadium awal RSD/CRPS I, dengan pemulihan. Disfungsi otonom ini
dimulai pada sistem saraf pusat.
Kurvers dan rekannya menduga adanya abnormalitas komponen spinal
terhadap mikrosirkulasi pada RSD stadium 1, manifestasi melalui mekanisme neural
antidromic. Komponen spinal ini dapat ditimbulkan oleh eksitasi traumatik nervus
perifer pada sisi yang dipengaruhi.
Baron dan Janig mengusulkan suatu sirkuit feedback positif, yang terdiri dari
neuron afferent primer, neuron medula spinalis, neuron simpatik dan gabungan
patologi simpatik. Penyebab abnormalitas vaskuler tidak diketahui,dan perdebatan
masih seputar pertanyaan apakah sistem saraf simpatik terlibat dalam
pembentukan perubahan ini. Konsep Sudeck yang lama mengenai respon inflamasi
regional yang berlebihan, didukung oleh data terbaru yang menunjukkan bahwa,
pada pasien dengan RDS akut, immunoglobulin G yang diberi label indium In 111
terkonsentrasi pada ekstremitas yang dipengaruhi.
Suatu studi yang menggunakan P (phosphorus) nuclear magnetic resonance
(NMR) spectroscopy memperlihatkan suatu kerusahan metabolisme fosfat energi
tinggi, yang menjelaskan mengapa pasien ini tidak mampu untuk melakukan latihan.
Studi mikroskop elektron pada biopsi otot skletal memperlihatkan adanya
penurunan aktifitas enzim mitokondria, vesikulasi mitokondria, disintegrasi
myofibril, deposisi abnormal dari lipofuscin, pembengkakan lapisan endothelial dan
penebalan membran basal, kesemuanya merupakan tanda stress oxidatif. Konsumsi
oksigen menurun pada tungkai yang dipengaruhi RSD, dan terjadi penurunan nyeri
setelah penanganan vasodilator oral. Sesudah lesi parsial saraf, aktifasi antidromik
berlebihan pada serat-serat afferent C yang tidak mengalami kerusakan dan
pelepasan neuropeptida, memicu vasodilatasi akut diantara daerah-daerah yang
diinervasi nervus yang terkena. Frekuensi human lymphocyte antigen-DQ1 (HLA-
DQ1) meningkat signifikan pada RSD dibandingkan dengan kontrol. Keadaan ini
memberikan indikasi organik. Oleh karena auto-antibodies melawan struktur sistem
saraf telah dideskripsikan pada pasien ini, Blaes rekannya menduga suatu etiologi
autoimun.
FREKUENSI
CRPS dapat menyerang umur mana saja, tapi umur saat diagnosis adalah 42 tahun.
CRPS dapat terdiagnosa pada anak-anak umur 2 tahun. Mempengaruhi pria atau
wanita dengan frekuensi 3 kali lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria.2
Studi prospektif oleh Veldman dan rekannya, yang mereview 829 pasien, 628 pasien
wanita (76%), dan 201 adalah pria (24%), terjadi paling sering pada wanita.
Terbatasnya informasi kejadian CRPS di Ameriksa Serikat dan Internasional,
insiden sebenarnya tidak diketahui, dan sering CRPS salah didiagnosa. Beberapa
sumber melaporkan, insiden causalgia (CRPS II) setelah keruskaan saraf perifer
sebesar 1-5%. Insiden RSD (CRPS I) sesudah berbagai fraktur sebesar 1-2% dan 2-5%
sesudah kerusakan saraf perifer.
GEJALA DAN TANDA
Pada kebanyakan kasus CRPS terdapat tiga stadium. Meskipun seringkali tidak
mengikuti pola ini. 6
Stadium 1(berakhir 1-3 bulan):
- Peningkatan pertumbuhan kuku dan rambut
- Nyeri yang menjalar keatas atau kebawah dari tungkai yang dipengaruhi
- Rasa terbakar berat, nyeri kambuhan yang meningkat dengan sentuhan
ringan atau saat kena angin.
- Kulit menjadi kering dan tipis, perubahan warna
- Pembengkakan yang hangat atau dingin
Stadium 2 (berakhir 3-6 bulan):
- Penurunan pertumbuhan rambut
- Perubahan nyata pada tekstur dan warna kulit
- Penyebaran pembengkakan
- Kekakuan otot dan sendi
Stadium 3 (dapat terlihat perubahan ireversibel)
- Kontraksi otot dan tendon yang terlibat
- Gerakan tungkai terbatas
- Nyeri seluruh tungkai
- Kelemahan otot
- Depresi atau perubahan mood dapat terjadi, khususnya pada stadium 3.
PEMERIKSAAN DAN TES YANG DIGUNAKAN
Diagnosis CRPS sulit dilakukan, tapi diagnosis awal sangat penting. Seringkali gejala-
gejala yang muncul lebih berat dibandingkan dengan kerusakan awal yang terjadi.
Tes yang dilakukan yaitu: 5,6
Studi laboratorium
Tidak ada kriteria diagnositik yang diterima secara umum untuk RSD, dan tidak ada
penelitian tunggal khusus yang terbukti sensitif dan spesifik untuk mendiagnosa RSD
dengan cukup. Belum ada kriteria standar untuk membuat diagnosis klinik,
walaupun beberapa tes perlu dilakukan untuk membantu diagnosis atau untuk
menyingkirkan kondisi medis lain yang mungkin terjadi.
Yang diperlukan, tes darah rutin dan spesifik seperti pemeriksaan penyakit lain,
dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab. Tes yang tepat sangat tergantung pada
area tubuh yang terlibat, yang dapat dihubungkan dengan riwayat dan pemeriksaan
fisik.
Studi Imaging
Film Radiografik memperlihatkan bercak demineralisasi peri-articular antara 3-6
minggu. Penyebaran osteoporosis meruapkan abnormalitas yang sering terlihat
dengan radiografik.
Scan tulang tiga-fase
Sangat membantu memperlihatkan diagnosis khas RSD dan menyingkirkan kondisi
lain yang menyebabkan gejala pada pasien. False-negative sering terjadi. Sensitif
and spesifik, khususnya pada fase awal (<20 minggu) sindrome, tapi tudi Werner
dan rekannya melaporkan bahwa scan tulang 3-fase sensitifitasnya hanya 44%.
Aktifitas abnormal yang meningkat lebih difuse, tidak fokal. Temuan yang paling
sensitif dan diduga kuat gangguan RSD, yaitu peningkatan aktifitas difuse, dengan
penekanan tajam juxta-articular foto yang tertunda (fase 3). Fase 1 dan 2 kurang
sensitif dan spesifik untuk RSD.
Tes lain
Temperatur kulit- Pengukurannya sederhana, tapi penting dicatat selama
pemeriksaan pasien dengan RSD. Temperatur kulit diukur dengan (1) persepsi taktil,
(2) termistor permukaan dan (3) hand-held infrared thermometers.
Perubahan vaskuler pada RSD
Fase hiperemik - peningkatan temperatur kulit pada rangkaian awal RSD Tungkai
dingin – penurunan temperatur kulit setelah rangkaian RSD
Thermografi – tes ini menunjukkan temperatur tungkai yang berbeda secara
kuantitatif, namun tes ini kurang sensitif. Bruehl dan rekannya mencatat bahwa
termografik berguna pada situasi dimana sensitifitas dan spesifitas sama penting;
perbedaan 0.6 0 C optimal. Jika yang penting sensitifitasnya, perbedaan 0.8 0 C atau
1.0 0 C optimal.
Sudomotor function testing – melalui tes anatomi dari 396 pasien dengan nyeri,
Chelminsky rekannya memperlihatkan abnormalitas output keringat saat istrahat,
temperatur kulit istrahat dan pada quantitative sudomotor axon reflex test, dapat
memprediksi diagnosis CRPS I dengan spesifitas 98% .
Tes keringat- sympathetic skin response (SSR)memberikan informasi yang berguna
terhadap disfungsi sudomotor pasien RSD; akan tetapi, tidak memungkinkan untuk
menentukan nilai akhir SSR untuk diagnosis RSD.
Quantitative sudomotor axon reflex test (QSART)
Tes kimia keringat- tes ini menggunakan agent seperti ninhydrin, cobalt blue, atau
tepung iodine.
Tes output urine – pada QSART, output keringat yang distimulasi lebih besar dan
memanjang jika ada sympathetic hyperfunction.
Electrodiagnostic studies
Hasil electromyography (EMG) dan nerve conduction studies (NCS) khas dan berada
pada range referensi untuk RSD. Penelitian Single-fiber EMG tidak memperlihatkan
abnormalitas pasti. Studi electrodiagnostic bisa normal oleh karena abnormalitas
serat-C tidak dapat dideteksi dengan baik. Pasien dengan allodynia (dengan nyeri
ekstrim yang terjadi saat tesentuh pakaian atau saat terhembus angin) sulit
mentoleransi EMG dan NCS.
Tes Quantitative sensory
Tujuan quantitative sensory testing (QST) untuk mengukur persepsi ambang secara
objektif. QST yang digunakan dengan tepat, menghasilkan stimuli, yang
memungkinkan perbandingan area asimptomatik, dapat membandingkan umur dan
jenis kelamin dengan kontrol, dan perubahan waktu atau penanganan. Tes ini
memberi dokter informasi mengenai beratnya dan progresifitas disfungsi sensorik.
QST standar meliputi penentuan ambang deteksi vibrotactile (suat serat-Ab yang
memediasi sensasi), ambang deteksi dingin (suatu serat-Ad yang memediasi
sensasi), dan ambang warm thermal (serat- C yang memediasi sensasi) pada area
yang tepat. Ambang nyeri terhadap panas dan dingin diperoleh dari respon pasien
dan kontrol terhadap jumlah stimulus yang diberikan.
Laser Doppler imaging
Laser Doppler imaging, dengan stressor yang tepat, menjadikannya metode yang
sederhana, cepat, noninfasif dan nyeri kurang untuk menilai fungsi otonomik
segmental. Tipe imaging ini memberikan informasi yang sangat tepat,
mengeliminasi berbagai sumber artifact, dan dapat digunakan dengan cepat dan
refleks otonom kulit biateral dapat diulang.
Sepanjang baseline images, stresor ringan (inspiratory gasp, presor ringan
tergantugn posisi) digunakan untuk mengukur refleks vasokonstrikor kulit). Penulis
menemukan bahwa metode ini berguna untuk membantu membedakan kondisi
nyeri sympathetically mediated dan sympathetically independent.
Diagnostic blokade ganglion simpatetik
Konsensus kelompok IASP tidak mengenal respon terhadap blok ganglion
sympathetic sebagai bagian dari kriteria diagnostik CRPS, sampai tes ini dilakukan
secara universal. Respon terhadap blokade ini menunjukkan bahwa sympathetically
mempertahankan nyeri, dimana termasuk etiologi lain untuk CRPS.
PENANGANAN COMPLEX REGIONAL PAIN SYNDROME 7
Penanganan multi-disipliner
Oleh karena sifat alamiah penyakit ini sangat menantang, complex regional pain
syndrome (CRPS) memerlukan pendekatan multidisipliner. Ini berarti penanganan
membutuhkan banyak spesialisasi. Masing-masing spesialis bertanggung jawab
untuk menangani aspek spesifik CRPS. Kemungkinan spesialis yang terlibat dalam
penanganan ini adalah:
- Neurologist – dokter yang khusus menangani kondisi yang mempengaruhi
sistem saraf.
- Physiotherapist – akan membantu memperbaiki range of movement dan
koordinasi.
- Occupational therapist – membantu memperbaiki keahlian yang diperlukan
untuk aktifitas sehari-hari.
- Psychologist – walaupun bahyak ahli percaya bahwa CRPS bukan kondisi
psikologis, dapat menjadi masalah psikologis karena pasien seperti ini akan
hidup dengan kondisi nyeri kronik dan berat, sehingga perlu bantuan psikologis.
- Pekerja sosial – akan memberikan informasi seputar bantuan ekstra dan layanan
yang tersedia untuk penderita.
- Spesialis untuk menghilangkan nyeri – seorang dokter, atau layanan kesehatan
profesional lain, yang berpengalaman menggunakan obat-obatan penghilang
nyeri.
Fisioterapi
Beberapa ahli menduga bahwa fisioterapi merupakan faktor yang paling penting
dalam kesuksesan penanganan CRPS. Tujuan fisioterapi adalah membantu
memperbaiki atau mengembalikan pergerakan tungkai atau lengan yang
dipengaruhi, dan mencegah kelemahan otot dan perubahan tulang.
pada awalnya, fisioterapi akan sangat menyakitkan, tapi peneliti memperlihatkan
bahwa gejala-gejala nyeri cenderung mengalami perbaikan secara dramatikal bagi
mereka yang tetap mengikuti program fisioterapi mereka.
Intervensi operasi 6
Blokade simpatetik
Untuk ekstremitas atas, blokade pada ganglion stellata (cervicothoracic). Digunakan
Bupivacaine dari pada lidocaine oleh karena waktu paruh lebih panjang. Tidak
semua pasien setelah blokade ini menghilang nyerinya.
Kateter percutaneous lumbar sympathetic plexus memberikan efek hilang nyeri
jangka pendek dan efek jangka panjang.
Block Bier (blokade regional bintravenous)
Konsep ini diperkenalkan tahun 1974. Blokade dengan bretylium atau reserpine
mengurangi efek yang menonjol, yang berakhir 2-3 hari.
Studi random double-blind, didesain untuk membandingkan efektifitas intravenous
regional sympatholysis menggunakan guanethidine, reserpine, dan saline
normal; hasilnya nyeri hilang secara signifikan pada ketiga kelompok. Tidak ada
perbedaan signifikan dari derajat penurunan nyeri pada ketiga kelompok. Kelompok
saline laju nyeri menghilang lebih tinggi akibat parsial dari mekanisme tourniquet-
induced analgesia.
Blokade somatik melalui continuous epidural infusion dengan blokade pleksus
brachial berbeda, termasuk pendekatan aksilaris, supraclavicular, atau
infraclavicular.
Stimulator kolum dorsal
Nyeri ekstremitas terlokalisir dapat menghilang dengan stimulator ini. Spinal cord
stimulator (SCS) efektif pada penanganan RSD, termasuk nyeri rekuren sesudah
sympathectomy ablatif.
Infus Intrathecal
Baclofen pump – menurut van Hilten dkk, intrathecal (IT) Baclofen pump untuk
penanganan dystonia pasien RSD.
Morphine pump – Intrathecal opioid dipertimbangkan pada nyeri kronik yang
asalnya non malignant.
Infus intrathecal bupivacaine - seperti yang dicatat pada studi Lundborg dan rekannya,
pendekatan ini mengurangi nyeri yang sukar disembuhkan, tapi penanganan ini tidak
mempengaruhi gejala-gejala lain yang berhubungan atau CRPS I.
Sympathectomy
- Radiofrekuensi atau cryoprobe lesioning
- Sympathectomy operasi
- Sympathectomy kimia
Amputasi
Dielissen dkk, dari 28 patients RSD, fungsi residual diperbaiki, hanya 2 pasien yang
nyeri hilang oleh amputasi, dan jumlah ini tidak dapat diprediksi.
Penanganan lain
- Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) – menurut Hassenbusch dan
rekannya, stimulasi nervus perifer memberikan efek menghilangkan nyeri yang
baik untuk RSD bila distribusi terbatas pada satu nervus major.
- Ultrasonography
- Superficial hot packs
- Percobaan double-blind, prospective, multicenter dari 416 patients oleh
Zollinger dkk, memperlihatkan bahwa Vitamin C menurunkan prevalensi CRPS
sesudah fraktur pergelangan. Rekomendasi dosis harian 500 mg dalam 50 hari.
Memperbaiki nyeri dan densitas tulang dengan pemberian pamidronate,
alendronate, atau clodronate intravena.
Obat-obatan
Terapi obat analgesik untuk CRPS dibagi dalam kategori-kategori berikut:
Analgesik opioid
Sering digunakan sebagai analgesik beberapa syndrome nyeri.
Aman dan pilihan terbaik pada pasien dengan nyeri nonmalignant yang menetap
tanpa riwayat penyalah gunaan obat.
Tramadol dosis tinggi efektif dan aman menghilangkan nyeri neuropatik termasuk
allodynia.
Analgesik nonopioid (misalnya, NSAIDs, acetaminophen)
Acetaminophen pilihan aman untuk penanganan nyeri selama kehamilan dan
menyusui.
Antidepressant
Obat antidepressant memainkan peranan utama dalam penanganan nyeri
neuropatik.
Antidepressants trisiklik
- Amitriptyline (Elavil)
- Imipramine (Tofranil)
- Doxepin (Sinequan)
- Clomipramine (Anafranil)
- Nortriptyline (Pamelor)
Antidepressan Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI)
- Paroxetine (Paxil)
- Fluoxetine (Prozac)
- Sertraline (Zoloft)
- Escitalopram (Lexapro)
Antidepressant lain
- Nefazodone (Serzone)
- Venlafaxine (Effexor)
- Duloxetine (Cymbalta)
- Bupropion (Wellbutrin)
Anticonvulsan
- Antagonis sodium channel untuk penanganan nyeri neuropathic untuk
beberapa tahun.
- Obat ini dimulai lambat dan diberikan sesuai kebutuhan.
- Monitor pasien dengan ketat.
- Penggunaan barbagai obat anticonvulsant (misalnya, pregabalin,
carbamazepine, phenytoin, sodium valproate, clonazepam, topiramate,
lamotrigine) telah dicoba untuk penanganan RSD.
- Nicholson dan Rowbothan dkk, gabapentin efektif pada nyeri kronik neuropatik
Ziconotide digunakan untuk nyeri neuropathic masa datang.
Analgesik lain yang dianjurkan
- Hewitt menetapkan bahwa N -methyl-D-aspartate (NMDA) – antagonis
reseptor, termasuk ketamine dan dextromethorphan, potensial sebagai co-
analgesics bila digunakan dalam kombinasi dengan opioids.
- Benzodiazepines, baclofen, dan tizanidine membantu menurunkan spasme dan
memberikan efek menghilangkan nyeri.
- Corticosteroid, mexiletine (agent anti-arrhythmic class Ib yang aktif secara oral),
nifedipine (calcium channel blocker), propranolol (beta blocker),
phenoxybenzamine (alpha blocker), dan clonidine (alpha2-adrenergic agonist)
adalah alternatif lain.
- Lidoderm 5% tempel kadang-kadang membantu untuk allodynia dan
menurunkan nyeri.
- Walaupun belum disetujui oleh FDA untuk indikasi ini, toksin botulinum
dipertimbangkan untuk dystonia terlihat pada pasien RSD.
Nonsteroidal anti-inflammatory drugs
Obat-obat ini menghambat reaksi inflamasi dan nyeri dengan menurunkan aktifitas
cyclo-oxygenase, yang bertanggung jawab untuk sintesis prostaglandin. NSAID
menghilangkan nyeri pada stadium awal RSD.
- Ibuprofen
- Naproxen sodium (Anaprox, Naprelan, Naprosyn)
Antidepressants
Obat ini meningkatkan konsentrasi sinaptik serotonin dan/atau norepinephrine
pada SSP dengan menghambat re-uptake melalui membran neuronal presynaptic.
Agen lain yang mirip adalah duloxetine (Cymbalta) dan venlafaxine (Effexor).
- Nortriptyline (Pamelor); efektif untuk penanganan nyeri kronik dan neuropatik.
- Amitriptyline (Elavil); efektif untuk penanganan nyeri kronik tertentu dan nyeri
neuropatik
- Duloxetine (Cymbalta); diindikasikan untuk nyeri neuropatik perifer. Inhibitor
potent neuronal serotonin dan reuptake norepinephrine.
Anticonvulsants
Penggunaan anti-epileptic drugs tertentu, seperti analog GABA gabapentin
(Neurontin), terbukti membantu pada beberapa kasus nyeri neuropatik. Obat anti
konvulsan lain (misalnya, carbamazepine, phenytoin, sodium valproate atau
clonazepam, topiramate, lamotrigine, zonisamide, tiagabine) juga telah dicoba pada
RSD.
Gabapentin (Neurontin); Memiliki efek antikonvulsan dan anti alergik; mekanisme
sebenarnya dari obat ini belum diketahui. Secara struktkural berhubungan dengan
GABA tapi tidak berinteraksi dengan reseptor GABA.
Pregabalin (Lyrica); Secara struktural berasal dari GABA. Mekanisme aksi tidak
diketahui. terikat dengan alpha 2 -delta site afinitas tinggi (subunit chanel calcium).
In vitro, menurunkan pelepasan calcium-dependent dari berbagai
neurotransmitters, kemungkinan melalui modifikasi chanel calcium. FDA menyetujui
untuk nyeri neuropathic yang berhubungan dengan diabetic peripheral neuropathy
atau postherpetic neuralgia dan sebagai terapi adjuvant pada serangan kejang
parsial.
Opioid analgesics
Analgesik in sering digunakan untuk beberapa syndroma nyeri.
Oxycodone (OxyContin)
Saat ini, bentuk long-acting dari opioid sering digunakan pada RSD stadium awal
dan lanjut. Dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan berangsur-angsur.
Morphine sulfate (MS Contin, Avinza, Kadian, Duramorph, Astramorph)
DOC untuk analgesia akibat efek yang dapat dipercaya dan dapat diprediksi, profil
aman, dan meringankan reversibilitas naloxen. Berbagai dosis IV digunakan; sering
dititrasi sampai efek yang diinginkan tercapai.
Fentanyl transdermal patch (Duragesic)
Analgesik narkotik potent dengan waktu paruh lebih pendek daripada morphine
sulfate. Pilihan terbaik untuk penanganan nyeri dan sedasi dengan durasi pendek
(30-60 menit) dan mudah dititrasi. Mudah dan cepat dikembalikan melalui
naloxone.
Ketika menggunakan bentuk dosis transdermal, banyak pasien terkontrol dengan
interval dosis 72 jam; akan tetapi, beberapa pasien membutuhkan interval dosis 48
jam.
REFERENSI
1. Complex Regional Pain Syndrome (CRPS, Reflex Sympathetic Dystrophy [RSD],
Causalgia, Sympathetically Maintained Pain). National institute of neurological
disorder and stroke, national institute of health. National Institute of
Neurological Disorders and Stroke. National Institutes of Health. Bethesda, MD
20892. Update Feb 03, 2009 available at http://www.
ninds.nih.gov/disorders/reflex_sympathetic_dystrophy/detail_reflex_sym
pathetic _dystrophy.htm.
2. Complex Regional Pain Syndrome available at HYPERLINK
"http://en.wikipedia.org/wiki/Complex_regional_pain_syndrome"
3. Medical treatment CRPS. Available at HYPERLINK
"http://www.lni.wa.gov/ClaimsIns/Files/OMD/MedTreat/CRPS.pdf"
4. Complex Regional Pain Syndrome available at HYPERLINK
http://www.nhs.uk/Conditions/Complex-Regional-Pain-Syndrome/Pages
/Introduction.aspx?url=Pages/what-is-it.aspx
5. Manish K. Singh, MD. Complex Regional Pain Syndromes. Jun 10, 2008
Available at HYPERLINK "http://emedicine.medscape.com/article/793370-
overview"
6. Luc Jasmin. Complex regional pain syndrome. Departments of Anatomy &
Neurological Surgery, University of California, San Francisco, CA. MHA, Medical
Director, A.D.A.M., Inc. HYPERLINK
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/complexregionalpainsyndrome.html
7. Complex regional pain syndrome. Available at. HYPERLINK
"http://www.direct.gov.uk" www.direct.gov.uk. Accessed April 1, 2009
8. Teadsdall RD, Smith BP, Koman AL. Complex regional pain syndrome (reflex
synthetic dystrophy). Clinics in Sports Medicine. 2004;23:1.
9. Goetz CG. Goetz: Textbook of Clinical Neurology. 3rd ed. Philadelphia, Pa:
Saunders; 2007.