Complex Regional Pain Syndrome2

22
PENDAHULUAN Complex Regional Pain Syndrome (CRPS) adalah penyakit progresif kronik dengan disfungsi sistem saraf pusat atau perifer yang dikarakteristik oleh nyeri berat, pembengkakan dan perubahan kulit. Pada abad ke-17, Ambroise Pare pertama kali mendeskripsikan RSD sebagai nyeri berat yang terjadi setelah kerusakan saraf perifer. Pare, adalah seorang ahli bedah untuk raja Charles IX. Pada tahun 1864, Mitchell menciptakan istilah causalgia, yang berarti nyeri terbakar, untuk mendeskripsikan gejala-gejala persistent yang timbul setelah luka tembak pada nervus perifer selama perang sipil Amerika. Tahun 1900, Sudeck mendeskripsikan secara radiografik spot osteopenia. 1916, Leriche memfokuskan pada sympathetic nervous system. Livingstone 1943 memperluas teori lingkaran setan Leriche yang disimpulkan sbb: - Terjadi putaran dorsal horn - Ditimbulkan oleh fokus iritasi kecil pada ujung saraf kecil dari nervus trunkus major - Mengaktivasi serat-serat sentral yang menimbulkan nyeri 6 Tahun 1946, Evans menggunakan istilah RSD, dia percaya bahwa hiperaktifitas simpathetik terlibat dalam aktifitas abnormal perifer. 1993, International Association for the Study of Pain (IASP) sesuai konfrensi konsensus

Transcript of Complex Regional Pain Syndrome2

Page 1: Complex Regional Pain Syndrome2

PENDAHULUAN

Complex Regional Pain Syndrome (CRPS) adalah penyakit progresif kronik dengan

disfungsi sistem saraf pusat atau perifer yang dikarakteristik oleh nyeri berat,

pembengkakan dan perubahan kulit.

Pada abad ke-17, Ambroise Pare pertama kali mendeskripsikan RSD sebagai nyeri

berat yang terjadi setelah kerusakan saraf perifer. Pare, adalah seorang ahli bedah

untuk raja Charles IX. Pada tahun 1864, Mitchell menciptakan istilah causalgia, yang

berarti nyeri terbakar, untuk mendeskripsikan gejala-gejala persistent yang timbul

setelah luka tembak pada nervus perifer selama perang sipil Amerika. Tahun 1900,

Sudeck mendeskripsikan secara radiografik spot osteopenia. 1916, Leriche

memfokuskan pada sympathetic nervous system. Livingstone 1943 memperluas

teori lingkaran setan Leriche yang disimpulkan sbb:

- Terjadi putaran dorsal horn

- Ditimbulkan oleh fokus iritasi kecil pada ujung saraf kecil dari nervus trunkus

major

- Mengaktivasi serat-serat sentral yang menimbulkan nyeri6

Tahun 1946, Evans menggunakan istilah RSD, dia percaya bahwa hiperaktifitas

simpathetik terlibat dalam aktifitas abnormal perifer. 1993, International

Association for the Study of Pain (IASP) sesuai konfrensi konsensus khusus yang

dialamatkan pada diagnosis dan terminologi, memperkenalkan istilah CRPS.5

Asosiasi internasional untuk studi nyeri telah membagi CRPS kedalam dua

tipe yang didasarkan pada adanya lesi-lesi saraf yang terjadi setelah injury:

Tipe I, Reflex Sympathetic Dystrophy (RSD), Sudeck's atrophy, Reflex

Neurovascular Dystrophy (RND) atau Algoneurodystrophy, tanpa adanya lesi

saraf.

Tipe II, Causalgia, dengan kerusakan saraf sebelumnya.1, 2

Page 2: Complex Regional Pain Syndrome2

Reflex Symphatetic Dystrophy (RSD) merupakan gangguan yang manifestasi

kliniknya mirip, muncul dari kerusakan seperti tegangan minor, keseleo dan fraktur

yang membutuhkan operasi minor pada ekstremitas. Sering terjadi pada lengan

atau tungkai sesudah trauma minor. Karakteristik khasnya berupa nyeri, regulasi

aliran pembuluh darah dan keringat yang abnormal, edema kulit dan jaringan

subkutan, perubahan tropik kulit dan jaringan subkutaneus serta gangguan

pergerakan aktif dan pasie jaringan. Istilah kausalgia adalah kondisi yang

sebelumnya didahului oleh kerusakan komplet atau parsial atau kerusakan pada

nervus trunkus mayor. Nyeri yang timbul dimediasi oleh aktifitas berlebihan

simpatetik.1, 2, 3

RSD memiliki dua komponen, RSD major dan RSD minor. RSD major

termasuk kausalgia, nyeri tungkai phantom, nyeri sentral seperti thalamic

syndrome, lesi-lesi sentral, lesi brain stem dan lesi medula spinalis. RSD minor dapat

terjadi setelah trauma atau penyakit. Kondisi traumatik termasuk Sudeck’s atrophy,

arthritis traumatik, neuralgia post-traumatik, shoulder-hand syndrome dan post-

traumatic angiospase. International Association for Study of Pain memperkenalkan

istilah CRPS (Complex Regional Pain Syndrome) daripada terminologi tua RSD dan

Causalgia, yang menggambarkan kemungkinan alamiah kondisi yang sangat nyeri

ini.2

PATOFISIOLOGI

CRPS adalah gangguan yang sering terjadi dengan patofisiologi yang belum

diketahui. RSD adaah suatu symptome compleks variabel yang kemungkinan terjadi

dari sejumlah penyebab dengan mekanisme patofisiologi yang berbeda. Perubahan

pada pada somatosensori perifer dan sentral, otonomik, motorik dan interaksi

patologik serta sistem afferent, mekanismenya dideskripsikan dideskripsikan

sebagai berikut.

Beberapa hipotesis mengenai mekanisme simpatetik memediasi timbulnya

nyeri dan deskripsi komponen sentral dan peirfer. Wasner dan rekannya

Page 3: Complex Regional Pain Syndrome2

memperlihatkan hilangnya fungsi aktifitas vasokonstriktor simpatik kutaneus

complete pada stadium awal RSD/CRPS I, dengan pemulihan. Disfungsi otonom ini

dimulai pada sistem saraf pusat.

Kurvers dan rekannya menduga adanya abnormalitas komponen spinal

terhadap mikrosirkulasi pada RSD stadium 1, manifestasi melalui mekanisme neural

antidromic. Komponen spinal ini dapat ditimbulkan oleh eksitasi traumatik nervus

perifer pada sisi yang dipengaruhi.

Baron dan Janig mengusulkan suatu sirkuit feedback positif, yang terdiri dari

neuron afferent primer, neuron medula spinalis, neuron simpatik dan gabungan

patologi simpatik. Penyebab abnormalitas vaskuler tidak diketahui,dan perdebatan

masih seputar pertanyaan apakah sistem saraf simpatik terlibat dalam

pembentukan perubahan ini. Konsep Sudeck yang lama mengenai respon inflamasi

regional yang berlebihan, didukung oleh data terbaru yang menunjukkan bahwa,

pada pasien dengan RDS akut, immunoglobulin G yang diberi label indium In 111

terkonsentrasi pada ekstremitas yang dipengaruhi.

Suatu studi yang menggunakan P (phosphorus) nuclear magnetic resonance

(NMR) spectroscopy memperlihatkan suatu kerusahan metabolisme fosfat energi

tinggi, yang menjelaskan mengapa pasien ini tidak mampu untuk melakukan latihan.

Studi mikroskop elektron pada biopsi otot skletal memperlihatkan adanya

penurunan aktifitas enzim mitokondria, vesikulasi mitokondria, disintegrasi

myofibril, deposisi abnormal dari lipofuscin, pembengkakan lapisan endothelial dan

penebalan membran basal, kesemuanya merupakan tanda stress oxidatif. Konsumsi

oksigen menurun pada tungkai yang dipengaruhi RSD, dan terjadi penurunan nyeri

setelah penanganan vasodilator oral. Sesudah lesi parsial saraf, aktifasi antidromik

berlebihan pada serat-serat afferent C yang tidak mengalami kerusakan dan

pelepasan neuropeptida, memicu vasodilatasi akut diantara daerah-daerah yang

diinervasi nervus yang terkena. Frekuensi human lymphocyte antigen-DQ1 (HLA-

DQ1) meningkat signifikan pada RSD dibandingkan dengan kontrol. Keadaan ini

Page 4: Complex Regional Pain Syndrome2

memberikan indikasi organik. Oleh karena auto-antibodies melawan struktur sistem

saraf telah dideskripsikan pada pasien ini, Blaes rekannya menduga suatu etiologi

autoimun.

FREKUENSI

CRPS dapat menyerang umur mana saja, tapi umur saat diagnosis adalah 42 tahun.

CRPS dapat terdiagnosa pada anak-anak umur 2 tahun. Mempengaruhi pria atau

wanita dengan frekuensi 3 kali lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria.2

Studi prospektif oleh Veldman dan rekannya, yang mereview 829 pasien, 628 pasien

wanita (76%), dan 201 adalah pria (24%), terjadi paling sering pada wanita.

Terbatasnya informasi kejadian CRPS di Ameriksa Serikat dan Internasional,

insiden sebenarnya tidak diketahui, dan sering CRPS salah didiagnosa. Beberapa

sumber melaporkan, insiden causalgia (CRPS II) setelah keruskaan saraf perifer

sebesar 1-5%. Insiden RSD (CRPS I) sesudah berbagai fraktur sebesar 1-2% dan 2-5%

sesudah kerusakan saraf perifer.

GEJALA DAN TANDA

Pada kebanyakan kasus CRPS terdapat tiga stadium. Meskipun seringkali tidak

mengikuti pola ini. 6

Stadium 1(berakhir 1-3 bulan):

- Peningkatan pertumbuhan kuku dan rambut

- Nyeri yang menjalar keatas atau kebawah dari tungkai yang dipengaruhi

- Rasa terbakar berat, nyeri kambuhan yang meningkat dengan sentuhan

ringan atau saat kena angin.

- Kulit menjadi kering dan tipis, perubahan warna

- Pembengkakan yang hangat atau dingin

Stadium 2 (berakhir 3-6 bulan):

- Penurunan pertumbuhan rambut

Page 5: Complex Regional Pain Syndrome2

- Perubahan nyata pada tekstur dan warna kulit

- Penyebaran pembengkakan

- Kekakuan otot dan sendi

Stadium 3 (dapat terlihat perubahan ireversibel)

- Kontraksi otot dan tendon yang terlibat

- Gerakan tungkai terbatas

- Nyeri seluruh tungkai

- Kelemahan otot

- Depresi atau perubahan mood dapat terjadi, khususnya pada stadium 3.

PEMERIKSAAN DAN TES YANG DIGUNAKAN

Diagnosis CRPS sulit dilakukan, tapi diagnosis awal sangat penting. Seringkali gejala-

gejala yang muncul lebih berat dibandingkan dengan kerusakan awal yang terjadi.

Tes yang dilakukan yaitu: 5,6

Studi laboratorium

Tidak ada kriteria diagnositik yang diterima secara umum untuk RSD, dan tidak ada

penelitian tunggal khusus yang terbukti sensitif dan spesifik untuk mendiagnosa RSD

dengan cukup. Belum ada kriteria standar untuk membuat diagnosis klinik,

walaupun beberapa tes perlu dilakukan untuk membantu diagnosis atau untuk

menyingkirkan kondisi medis lain yang mungkin terjadi.

Yang diperlukan, tes darah rutin dan spesifik seperti pemeriksaan penyakit lain,

dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab. Tes yang tepat sangat tergantung pada

area tubuh yang terlibat, yang dapat dihubungkan dengan riwayat dan pemeriksaan

fisik.

Studi Imaging

Film Radiografik memperlihatkan bercak demineralisasi peri-articular antara 3-6

minggu. Penyebaran osteoporosis meruapkan abnormalitas yang sering terlihat

Page 6: Complex Regional Pain Syndrome2

dengan radiografik.

Scan tulang tiga-fase

Sangat membantu memperlihatkan diagnosis khas RSD dan menyingkirkan kondisi

lain yang menyebabkan gejala pada pasien. False-negative sering terjadi. Sensitif

and spesifik, khususnya pada fase awal (<20 minggu) sindrome, tapi tudi Werner

dan rekannya melaporkan bahwa scan tulang 3-fase sensitifitasnya hanya 44%.

Aktifitas abnormal yang meningkat lebih difuse, tidak fokal. Temuan yang paling

sensitif dan diduga kuat gangguan RSD, yaitu peningkatan aktifitas difuse, dengan

penekanan tajam juxta-articular foto yang tertunda (fase 3). Fase 1 dan 2 kurang

sensitif dan spesifik untuk RSD.

Tes lain

Temperatur kulit- Pengukurannya sederhana, tapi penting dicatat selama

pemeriksaan pasien dengan RSD. Temperatur kulit diukur dengan (1) persepsi taktil,

(2) termistor permukaan dan (3) hand-held infrared thermometers.

Perubahan vaskuler pada RSD

Fase hiperemik - peningkatan temperatur kulit pada rangkaian awal RSD Tungkai

dingin – penurunan temperatur kulit setelah rangkaian RSD

Thermografi – tes ini menunjukkan temperatur tungkai yang berbeda secara

kuantitatif, namun tes ini kurang sensitif. Bruehl dan rekannya mencatat bahwa

termografik berguna pada situasi dimana sensitifitas dan spesifitas sama penting;

perbedaan 0.6 0 C optimal. Jika yang penting sensitifitasnya, perbedaan 0.8 0 C atau

1.0 0 C optimal.

Sudomotor function testing – melalui tes anatomi dari 396 pasien dengan nyeri,

Chelminsky rekannya memperlihatkan abnormalitas output keringat saat istrahat,

temperatur kulit istrahat dan pada quantitative sudomotor axon reflex test, dapat

memprediksi diagnosis CRPS I dengan spesifitas 98% .

Tes keringat- sympathetic skin response (SSR)memberikan informasi yang berguna

terhadap disfungsi sudomotor pasien RSD; akan tetapi, tidak memungkinkan untuk

Page 7: Complex Regional Pain Syndrome2

menentukan nilai akhir SSR untuk diagnosis RSD.

Quantitative sudomotor axon reflex test (QSART)

Tes kimia keringat- tes ini menggunakan agent seperti ninhydrin, cobalt blue, atau

tepung iodine.

Tes output urine – pada QSART, output keringat yang distimulasi lebih besar dan

memanjang jika ada sympathetic hyperfunction.

Electrodiagnostic studies

Hasil electromyography (EMG) dan nerve conduction studies (NCS) khas dan berada

pada range referensi untuk RSD. Penelitian Single-fiber EMG tidak memperlihatkan

abnormalitas pasti. Studi electrodiagnostic bisa normal oleh karena abnormalitas

serat-C tidak dapat dideteksi dengan baik. Pasien dengan allodynia (dengan nyeri

ekstrim yang terjadi saat tesentuh pakaian atau saat terhembus angin) sulit

mentoleransi EMG dan NCS.

Tes Quantitative sensory

Tujuan quantitative sensory testing (QST) untuk mengukur persepsi ambang secara

objektif. QST yang digunakan dengan tepat, menghasilkan stimuli, yang

memungkinkan perbandingan area asimptomatik, dapat membandingkan umur dan

jenis kelamin dengan kontrol, dan perubahan waktu atau penanganan. Tes ini

memberi dokter informasi mengenai beratnya dan progresifitas disfungsi sensorik.

QST standar meliputi penentuan ambang deteksi vibrotactile (suat serat-Ab yang

memediasi sensasi), ambang deteksi dingin (suatu serat-Ad yang memediasi

sensasi), dan ambang warm thermal (serat- C yang memediasi sensasi) pada area

yang tepat. Ambang nyeri terhadap panas dan dingin diperoleh dari respon pasien

dan kontrol terhadap jumlah stimulus yang diberikan.

Laser Doppler imaging

Laser Doppler imaging, dengan stressor yang tepat, menjadikannya metode yang

Page 8: Complex Regional Pain Syndrome2

sederhana, cepat, noninfasif dan nyeri kurang untuk menilai fungsi otonomik

segmental. Tipe imaging ini memberikan informasi yang sangat tepat,

mengeliminasi berbagai sumber artifact, dan dapat digunakan dengan cepat dan

refleks otonom kulit biateral dapat diulang.

Sepanjang baseline images, stresor ringan (inspiratory gasp, presor ringan

tergantugn posisi) digunakan untuk mengukur refleks vasokonstrikor kulit). Penulis

menemukan bahwa metode ini berguna untuk membantu membedakan kondisi

nyeri sympathetically mediated dan sympathetically independent.

Diagnostic blokade ganglion simpatetik

Konsensus kelompok IASP tidak mengenal respon terhadap blok ganglion

sympathetic sebagai bagian dari kriteria diagnostik CRPS, sampai tes ini dilakukan

secara universal. Respon terhadap blokade ini menunjukkan bahwa sympathetically

mempertahankan nyeri, dimana termasuk etiologi lain untuk CRPS.

PENANGANAN COMPLEX REGIONAL PAIN SYNDROME 7

Penanganan multi-disipliner

Oleh karena sifat alamiah penyakit ini sangat menantang, complex regional pain

syndrome (CRPS) memerlukan pendekatan multidisipliner. Ini berarti penanganan

membutuhkan banyak spesialisasi. Masing-masing spesialis bertanggung jawab

untuk menangani aspek spesifik CRPS. Kemungkinan spesialis yang terlibat dalam

penanganan ini adalah:

- Neurologist – dokter yang khusus menangani kondisi yang mempengaruhi

sistem saraf.

- Physiotherapist – akan membantu memperbaiki range of movement dan

koordinasi.

- Occupational therapist – membantu memperbaiki keahlian yang diperlukan

untuk aktifitas sehari-hari.

Page 9: Complex Regional Pain Syndrome2

- Psychologist – walaupun bahyak ahli percaya bahwa CRPS bukan kondisi

psikologis, dapat menjadi masalah psikologis karena pasien seperti ini akan

hidup dengan kondisi nyeri kronik dan berat, sehingga perlu bantuan psikologis.

- Pekerja sosial – akan memberikan informasi seputar bantuan ekstra dan layanan

yang tersedia untuk penderita.

- Spesialis untuk menghilangkan nyeri – seorang dokter, atau layanan kesehatan

profesional lain, yang berpengalaman menggunakan obat-obatan penghilang

nyeri.

Fisioterapi

Beberapa ahli menduga bahwa fisioterapi merupakan faktor yang paling penting

dalam kesuksesan penanganan CRPS. Tujuan fisioterapi adalah membantu

memperbaiki atau mengembalikan pergerakan tungkai atau lengan yang

dipengaruhi, dan mencegah kelemahan otot dan perubahan tulang.

pada awalnya, fisioterapi akan sangat menyakitkan, tapi peneliti memperlihatkan

bahwa gejala-gejala nyeri cenderung mengalami perbaikan secara dramatikal bagi

mereka yang tetap mengikuti program fisioterapi mereka.

Intervensi operasi 6

Blokade simpatetik

Untuk ekstremitas atas, blokade pada ganglion stellata (cervicothoracic). Digunakan

Bupivacaine dari pada lidocaine oleh karena waktu paruh lebih panjang. Tidak

semua pasien setelah blokade ini menghilang nyerinya.

Kateter percutaneous lumbar sympathetic plexus memberikan efek hilang nyeri

jangka pendek dan efek jangka panjang.

Block Bier (blokade regional bintravenous)

Konsep ini diperkenalkan tahun 1974. Blokade dengan bretylium atau reserpine

mengurangi efek yang menonjol, yang berakhir 2-3 hari.

Studi random double-blind, didesain untuk membandingkan efektifitas intravenous

regional sympatholysis menggunakan guanethidine, reserpine, dan saline

Page 10: Complex Regional Pain Syndrome2

normal; hasilnya nyeri hilang secara signifikan pada ketiga kelompok. Tidak ada

perbedaan signifikan dari derajat penurunan nyeri pada ketiga kelompok. Kelompok

saline laju nyeri menghilang lebih tinggi akibat parsial dari mekanisme tourniquet-

induced analgesia.

Blokade somatik melalui continuous epidural infusion dengan blokade pleksus

brachial berbeda, termasuk pendekatan aksilaris, supraclavicular, atau

infraclavicular.

Stimulator kolum dorsal

Nyeri ekstremitas terlokalisir dapat menghilang dengan stimulator ini. Spinal cord

stimulator (SCS) efektif pada penanganan RSD, termasuk nyeri rekuren sesudah

sympathectomy ablatif.

Infus Intrathecal

Baclofen pump – menurut van Hilten dkk, intrathecal (IT) Baclofen pump untuk

penanganan dystonia pasien RSD.

Morphine pump – Intrathecal opioid dipertimbangkan pada nyeri kronik yang

asalnya non malignant.

Infus intrathecal bupivacaine - seperti yang dicatat pada studi Lundborg dan rekannya,

pendekatan ini mengurangi nyeri yang sukar disembuhkan, tapi penanganan ini tidak

mempengaruhi gejala-gejala lain yang berhubungan atau CRPS I.

Sympathectomy

- Radiofrekuensi atau cryoprobe lesioning

- Sympathectomy operasi

- Sympathectomy kimia

Amputasi

Dielissen dkk, dari 28 patients RSD, fungsi residual diperbaiki, hanya 2 pasien yang

nyeri hilang oleh amputasi, dan jumlah ini tidak dapat diprediksi.

Penanganan lain

Page 11: Complex Regional Pain Syndrome2

- Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) – menurut Hassenbusch dan

rekannya, stimulasi nervus perifer memberikan efek menghilangkan nyeri yang

baik untuk RSD bila distribusi terbatas pada satu nervus major.

- Ultrasonography

- Superficial hot packs

- Percobaan double-blind, prospective, multicenter dari 416 patients oleh

Zollinger dkk, memperlihatkan bahwa Vitamin C menurunkan prevalensi CRPS

sesudah fraktur pergelangan. Rekomendasi dosis harian 500 mg dalam 50 hari.

Memperbaiki nyeri dan densitas tulang dengan pemberian pamidronate,

alendronate, atau clodronate intravena.

Obat-obatan

Terapi obat analgesik untuk CRPS dibagi dalam kategori-kategori berikut:

Analgesik opioid

Sering digunakan sebagai analgesik beberapa syndrome nyeri.

Aman dan pilihan terbaik pada pasien dengan nyeri nonmalignant yang menetap

tanpa riwayat penyalah gunaan obat.

Tramadol dosis tinggi efektif dan aman menghilangkan nyeri neuropatik termasuk

allodynia.

Analgesik nonopioid (misalnya, NSAIDs, acetaminophen)

Acetaminophen pilihan aman untuk penanganan nyeri selama kehamilan dan

menyusui.

Antidepressant

Obat antidepressant memainkan peranan utama dalam penanganan nyeri

neuropatik.

Antidepressants trisiklik

- Amitriptyline (Elavil)

- Imipramine (Tofranil)

- Doxepin (Sinequan)

Page 12: Complex Regional Pain Syndrome2

- Clomipramine (Anafranil)

- Nortriptyline (Pamelor)

Antidepressan Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI)

- Paroxetine (Paxil)

- Fluoxetine (Prozac)

- Sertraline (Zoloft)

- Escitalopram (Lexapro)

Antidepressant lain

- Nefazodone (Serzone)

- Venlafaxine (Effexor)

- Duloxetine (Cymbalta)

- Bupropion (Wellbutrin)

Anticonvulsan

- Antagonis sodium channel untuk penanganan nyeri neuropathic untuk

beberapa tahun.

- Obat ini dimulai lambat dan diberikan sesuai kebutuhan.

- Monitor pasien dengan ketat.

- Penggunaan barbagai obat anticonvulsant (misalnya, pregabalin,

carbamazepine, phenytoin, sodium valproate, clonazepam, topiramate,

lamotrigine) telah dicoba untuk penanganan RSD.

- Nicholson dan Rowbothan dkk, gabapentin efektif pada nyeri kronik neuropatik

Ziconotide digunakan untuk nyeri neuropathic masa datang.

Analgesik lain yang dianjurkan

- Hewitt menetapkan bahwa N -methyl-D-aspartate (NMDA) – antagonis

reseptor, termasuk ketamine dan dextromethorphan, potensial sebagai co-

analgesics bila digunakan dalam kombinasi dengan opioids.

Page 13: Complex Regional Pain Syndrome2

- Benzodiazepines, baclofen, dan tizanidine membantu menurunkan spasme dan

memberikan efek menghilangkan nyeri.

- Corticosteroid, mexiletine (agent anti-arrhythmic class Ib yang aktif secara oral),

nifedipine (calcium channel blocker), propranolol (beta blocker),

phenoxybenzamine (alpha blocker), dan clonidine (alpha2-adrenergic agonist)

adalah alternatif lain.

- Lidoderm 5% tempel kadang-kadang membantu untuk allodynia dan

menurunkan nyeri.

- Walaupun belum disetujui oleh FDA untuk indikasi ini, toksin botulinum

dipertimbangkan untuk dystonia terlihat pada pasien RSD.

Nonsteroidal anti-inflammatory drugs

Obat-obat ini menghambat reaksi inflamasi dan nyeri dengan menurunkan aktifitas

cyclo-oxygenase, yang bertanggung jawab untuk sintesis prostaglandin. NSAID

menghilangkan nyeri pada stadium awal RSD.

- Ibuprofen

- Naproxen sodium (Anaprox, Naprelan, Naprosyn)

Antidepressants

Obat ini meningkatkan konsentrasi sinaptik serotonin dan/atau norepinephrine

pada SSP dengan menghambat re-uptake melalui membran neuronal presynaptic.

Agen lain yang mirip adalah duloxetine (Cymbalta) dan venlafaxine (Effexor).

- Nortriptyline (Pamelor); efektif untuk penanganan nyeri kronik dan neuropatik.

- Amitriptyline (Elavil); efektif untuk penanganan nyeri kronik tertentu dan nyeri

neuropatik

- Duloxetine (Cymbalta); diindikasikan untuk nyeri neuropatik perifer. Inhibitor

potent neuronal serotonin dan reuptake norepinephrine.

Anticonvulsants

Penggunaan anti-epileptic drugs tertentu, seperti analog GABA gabapentin

(Neurontin), terbukti membantu pada beberapa kasus nyeri neuropatik. Obat anti

konvulsan lain (misalnya, carbamazepine, phenytoin, sodium valproate atau

Page 14: Complex Regional Pain Syndrome2

clonazepam, topiramate, lamotrigine, zonisamide, tiagabine) juga telah dicoba pada

RSD.

Gabapentin (Neurontin); Memiliki efek antikonvulsan dan anti alergik; mekanisme

sebenarnya dari obat ini belum diketahui. Secara struktkural berhubungan dengan

GABA tapi tidak berinteraksi dengan reseptor GABA.

Pregabalin (Lyrica); Secara struktural berasal dari GABA. Mekanisme aksi tidak

diketahui. terikat dengan alpha 2 -delta site afinitas tinggi (subunit chanel calcium).

In vitro, menurunkan pelepasan calcium-dependent dari berbagai

neurotransmitters, kemungkinan melalui modifikasi chanel calcium. FDA menyetujui

untuk nyeri neuropathic yang berhubungan dengan diabetic peripheral neuropathy

atau postherpetic neuralgia dan sebagai terapi adjuvant pada serangan kejang

parsial.

Opioid analgesics

Analgesik in sering digunakan untuk beberapa syndroma nyeri.

Oxycodone (OxyContin)

Saat ini, bentuk long-acting dari opioid sering digunakan pada RSD stadium awal

dan lanjut. Dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan berangsur-angsur.

Morphine sulfate (MS Contin, Avinza, Kadian, Duramorph, Astramorph)

DOC untuk analgesia akibat efek yang dapat dipercaya dan dapat diprediksi, profil

aman, dan meringankan reversibilitas naloxen. Berbagai dosis IV digunakan; sering

dititrasi sampai efek yang diinginkan tercapai.

Fentanyl transdermal patch (Duragesic)

Analgesik narkotik potent dengan waktu paruh lebih pendek daripada morphine

sulfate. Pilihan terbaik untuk penanganan nyeri dan sedasi dengan durasi pendek

(30-60 menit) dan mudah dititrasi. Mudah dan cepat dikembalikan melalui

naloxone.

Ketika menggunakan bentuk dosis transdermal, banyak pasien terkontrol dengan

interval dosis 72 jam; akan tetapi, beberapa pasien membutuhkan interval dosis 48

Page 15: Complex Regional Pain Syndrome2

jam.

Page 16: Complex Regional Pain Syndrome2

REFERENSI

1. Complex Regional Pain Syndrome (CRPS, Reflex Sympathetic Dystrophy [RSD],

Causalgia, Sympathetically Maintained Pain). National institute of neurological

disorder and stroke, national institute of health. National Institute of

Neurological Disorders and Stroke. National Institutes of Health. Bethesda, MD

20892. Update Feb 03, 2009 available at http://www.

ninds.nih.gov/disorders/reflex_sympathetic_dystrophy/detail_reflex_sym

pathetic _dystrophy.htm.

2. Complex Regional Pain Syndrome available at HYPERLINK

"http://en.wikipedia.org/wiki/Complex_regional_pain_syndrome"

3. Medical treatment CRPS. Available at HYPERLINK

"http://www.lni.wa.gov/ClaimsIns/Files/OMD/MedTreat/CRPS.pdf"

4. Complex Regional Pain Syndrome available at HYPERLINK

http://www.nhs.uk/Conditions/Complex-Regional-Pain-Syndrome/Pages

/Introduction.aspx?url=Pages/what-is-it.aspx

5. Manish K. Singh, MD. Complex Regional Pain Syndromes. Jun 10, 2008

Available at HYPERLINK "http://emedicine.medscape.com/article/793370-

overview"

6. Luc Jasmin. Complex regional pain syndrome. Departments of Anatomy &

Neurological Surgery, University of California, San Francisco, CA. MHA, Medical

Director, A.D.A.M., Inc. HYPERLINK

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/complexregionalpainsyndrome.html

7. Complex regional pain syndrome. Available at. HYPERLINK

"http://www.direct.gov.uk" www.direct.gov.uk. Accessed April 1, 2009

8. Teadsdall RD, Smith BP, Koman AL. Complex regional pain syndrome (reflex

synthetic dystrophy). Clinics in Sports Medicine. 2004;23:1.

9. Goetz CG. Goetz: Textbook of Clinical Neurology. 3rd ed. Philadelphia, Pa:

Saunders; 2007.