Post on 02-Feb-2015
description
I. LANDASAN TEORITIS
A. Pengertian Umum Akta
Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi
dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semua dengan sengaja untuk
pembuktian. Ia adalah salah satu alat bukti tertulis (surat) sebagaimana diatur dalam
pasal 138, 165, 167 HIR; 164, 285-305 Rbg dan pasal 1867-1894 BW.
Keharusan ditandatanganinya suatu akta didasarkan pada ketentuan pasal 1869
BW, dengan tujuan untuk mengindividualisir suatu akta sehingga dapat membedakan
dari satu akta dengan yang lainnya. Yang dimaksudkan dengan penandatangan dalam
akta ini adalah membubuhkan nama dari si penanda tangan, sehingga membubuhkan
paraf (singkatan tanda tangan) dianggap belum cukup. Dipersamakan dengan tanda
tangan pada suatu akta dibawah tangan adalah sidik jari (cap jari atau cap jempol)
yang dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau
pejabat lain yang ditujuk oleh undang-undang, yang menyatakan bahwa ia mengenal
orang yang membubuhkan sidik jari atau orang itu diperkenalkan kepadanya, dan
bahwa isi akta itu telah dibacakan dan dijelaskan kepadanya, kemudian sidik jari itu
dibubuhkan pada akta di hadapan pejabat tersebut (Pasal 1874 BW, Staatsblad
Nomor 29, Pasal 1, 286 Rbg). Pengesahan sidik jari ini lebih dikenal dengan
waarmerking.
B. Jenis-jenis Akta
Menurut bentuknya akta dapat dibagi menjadi akta otentik dan akta di bawah
tangan. Akta otentik adalah akta yag dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk
1
itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan
maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan (pasal 165 HIR, 1868 BW, dan 285
Rbg). Sedangkan akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani
oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat
bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya (Pasal 101
ayat b Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara)
Perbedaan mendasar antara akta otentik dan akta di bawah tangan adalah:
1. Bentuk dari akta otentik sesuai sesuai dengan sesuai dengan undang-undang,
maksudnya yaitu bentuk dari akta notaris, akta perkawinan, akta kelahiran dan
sebagainya sudah ditentukan format dan isinya oleh Undang-Undang. Namun
ada juga akta-akta yang bersifat perjanjian antara kedua belah pihak yang
isinya berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak sesuai dengan azas
kebebasan berkontrak. Sedangkan akta dibawah tangan berbentuk bebas.
2. Akta otentik dibuat di hadapan pejabat umum yang berwenang, sedangkan
akta di bawah tangan tidak diwajibkan.
3. Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, artinya selama
tidak dapat dibuktikan sebaliknya, maka akta otentik tersebut harus dianggap
asli atau benar. Sedangkan akta di bawah tangan juga mempunyai kekuatan
pembuktian selama tidak disangkal oleh pembuatnya.
4. Kalau disangkal mengenai kebenarannya, maka penyangkal harus
membuktikan mengenai ketidakbenaran dari akta otentik tersebut. Sedangkan
2
untuk membuktikan akta di bawah tangan harus terdapat saksi-saksi dan
bukti-bukti lainnya.
Jika melihat perbedaan tersebut di atas, maka akta notaris termasuk dalam jenis
akta otentik karena memenuhi semua unsur-unsurnya.
C. Pengertian Akta Otentik
Di dalam HIR pasal 165 akta otentik disebutkan bahwa :
“ Akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan juga tentang yang ada di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka; akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta”.
Dan juga tertulis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pasal 1868 menyatakan
bahwa:
“Suatu akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-
undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan tempat akta itu
dibuat”
Akta otentik yang dimaksud adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum
yang mengenai isi surat itu berkuasa untuk membuatnya, dan juga berkuasa di tempat surat
(akta) tersebut dibuat. Seperti misalnya akta notaris, berita acara, akta yang dibuat oleh juru
sita, pegawai pencatat sipil, hakim dan lain sebagainya. Akta tersebut merupakan suatu surat
yang ditandatangani, berisi perbuatan hukum, seperti misalnya suatu persetujuan jual-beli,
gadai, pinjam-meminjam uang, pemberian kuasa, sewa-menyewa, dan lain sebagainya.
Otentik tidaknya suatu akta tidaklah cukup apabila akta itu dibuat oleh dan di hadapan
pejabat saja. Di samping itu caranya membuat akta otentik itu haruslah menurut ketentuan
yang ditetapkan oleh undang-undang. Sutau akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa ada
3
wewenang dan tanpa ada kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat,
tidaklah dapat dianggap sebagai akta otentik, tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta di
bawah tangan apabila ditandatangani oleh pihak–pihak yang bersangkutan.
Sebagai keterangan dari seorang pejabat, yaitu apa saja yang dikatakan oleh pejabat itu
adalah sebagai yang dilihatnya dianggap benar terjadi di hadapannya, maka ketentuan
pembuktiannya berlaku bagi setiap orang. Karena akta otentik itu merupakan risalah dari
pejabat, maka hanyalah merupakan bukti dari pada apa yang terjadi di hadapannya saja.
Oleh karena dalam hal akta otentik itu pejabat terikat pada syarat-syarat dan ketentuan
dalam undang-undang, sehingga hal itu cukup merupakan jaminan dapat dipercayakannya
pejabat tersebut, maka isi daripada akta otentik itu cukup dibuktikan oleh akta itu sendiri.
Jadi dianggaplah bahwa akta otentik itu dibuat sesuai dengan kenyataan seperti yang dilihat
oleh pejabat itu, sampai dibuktikan sebaliknya.
Menurut pasal 165 HIR ( Ps. 285 Rbg, 1870 BW) , maka akta otentik merupakan bukti
yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak
daripadanya, yang berarti bahwa akta otentik itu masih juga dapat dilumpuhkan oleh bukti
lawan. Terhadap pihak ketiga akta otentik itu merupakan alat bukti dengan kekuatan
pembuktian bebas, yaitu bahwa penilainnya diserahkan kepada pertimbangan hakim.
Pasal 101 ayat a Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara juga menjelaskan tentang akta otentik, bahwa:
“Akta otentik adalah yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;
Dalam UU No. 5/1986 ini lebih menegaskan tentang akta otentik sebagai alat
pembuktian dari suatu peristiwa hukum.
4
Akta otentik menurut Sudikno Mertokusumo ( 1985 : 124) adalah
“Akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan baik, maupun tanpa bantuan dari yang berkeptningan, yang dicatat apa yang dimintakan untuk dimuat didalamnya oleh yang berkepentingan. Akta otentik terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat dihadapannya.”
Ada beberapa alasan sehingga akta otentik merupakan satu-satunya alat bukti
yang mempunyai nilai yang sangat tinggi dari alat bukti lainnya termasuk akta
dibawah tangan yaitu :
1. Akta otentik merupakan alat bukti tertulis sebagaimana yang dmaksud dalam
pasal 1868 BW, 164 RIB dan 283 RDS;
2. Akta otentik sejak semula sengaja dibuat sebagai alat bukti;
3. Akta otentik dibuat oleh dan dihadapan pejabat Negara yang ditunjuki
berdasarkan undang-undang;
4. Berdasarkan pasal 1870 BW atau 165 RIB akta otentik memberikan diantara pada
pihak, ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari mereka suatu bukti
yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya;
5. Akta otentik selain merupakan alat bukti sempurna, juga sebagai bukti yang
mengikat. Merupakan bukti yang sempurna dalam arti tidak memerlukan sesuatu
penambahan pembuktian. Sedangkan mengikat dalam arti bahwa apa yang ditulis
didalmnya harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus diangap sebagai benar,
selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan.
5
Apabila kita melihat dari kepastian hukumnya, maka kekuatan pembuktian akta
otentik itu adalah sebagai berikut :
1. Kekuatan pembuktian lahir
Bahwa suatu akta yang lahirnya tampak sebagi akta otentik sert memenuhi
syarat–syarat yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat diangap
sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya. Hal ini berarti bahwa tanda
tangan pejabat dianggap sebagai aslinya, sampai ada pembuktian sebaliknya.
2. Kekuatan pembuktian formil
Dalam arti formil akta otentik membuktikan kebenaran dari pada apa yang
dilihat, didengar dan dilakukan pejabat. Ini adalah pembuktian tentang kebenaran
daripada keterangan pejabat sepanjang mengenai apa yang dilakukan dan
dilihatnya. Dalam hal ini yang pasti adalaha tanggal dan tempat akta otentik itu
dibuat serta keaslian tanda tangannya.k
3. kekuatan pembuktian materiil
Pada umumnya akta pejabat tidak mempunyai kekuatan materiil, karena akta
pejabat tidak lain hanyalah untuk membuktikan kebenaran apa yang dolihat dan
dilakukan oleh pejabat. Akta pejabat yang mempunyai kekuatan pembuktian
materil adalah akta yang dilakukan atau dikeluarkan kantor pencatatan sipil.
Ada 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi untuk dikategorikan sebagai akta otentik
yaitu :
6
1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat
umum.
Akta ini disebut juga dengan akta relaas atau akta berita acara yang berisi
uraian dari pejabat umum yang dilihat dan disaksikaan pejabat umum sendiri atas
permintaan para pihak agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan
dituangkan ke dalam bentuk akta otentik. Sedangkan akta yang dibuat di hadapan
pejabat umum dalam praktek disebut akta pihak yang berisi uraian atau
keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan
dihadapan pejabat umum. Para pihak berkeinginan agar uraian atau
keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta otentik.
Disini harus ada keinginan atau kehendak dan permintaan para pihak . jika
keinginan dan permintaan para pihak tidak ada pejabat umum tidak akan
membuat akta dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak
pejabat umum dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum.
Ketika saran pejabat umum diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam bentuk
akta otentik, hal tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak,
bukan saran atau pendapat pejabat umum, selain itu, atau isi aktapun merupakan
perbuatan para pihak, bukan perbuatan atau tindakan pejabat umum.
Pengertian tersebut di atas merupakan salah satu karakter yuridis dari akta
otentik. Dalam arti hal ini tidak berarti bahwa pejabat umum sebagai pelaku dari
akta tersebut, tetapi pejabat umum tetap berada di luar para pihak atau buka pihak
dalam akta tersebut.
7
Dalam tataran hukum yang benar mengenai akta otentik, jika suatu akta
otentik dipermasalahkan oleh para pihak, maka :
a. Para pihak datang kembali ke pajabat umum untuk membuat pembatalan
tersebut dan jika ada yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak,
para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut;
b. Jika para pihak tidak sepakat bahwa akta yang bersangkutan dibatalkan, salah
satu pihak dapat menggugat pihak lainnya dengan gugatan untuk
mendegradisikan, hakim yang memeriksa gugatan dapat memberikan
penafsiran tersendiri atas akta otentik yang sudah didegradasikan, apakah
tetap mengikat para pihak atau dibatalkan ?. hal ini tergantung pada
pembuktian dan penilaian hakim.
Apabila dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan dari
akta yang dibuat oleh pejabat umum, pihak yang merasa dirugikan dapat
menuntut ganti rugi berupa tuntutan ganti rugi kepada pejabat umum yang
bersangkutan dengan kewajiban penggugat, yaitu dalam gugatan harus dapat
membuktikan bahwa kerugian tersebut akibat langsung dari akta otentik tersebut.
Dalam kedua posisi tersebut, penggugat harus dapat membuktikan apa saja yang
dilanggar oleh pejabat umum, baik dari aspek lahiriah, aspek formal, maupun
aspek materiil atas akta otentik.
2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (wet).
8
Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum dalam bentuk yang udah
ditentukan dalam undang-undang. Dalam hal ini undang-undang harus diartikan
sebagaimana yang tersebut dalam undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Perturan Perundang-undangan.
Pasal 1 angka 2 undang-undang tersebut menegaskan bahwa :
“Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh
lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”.
Pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa :
“Undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan rakyat dengan persetujuan bersama presiden”.
Dalam pasal 38 UUJN disebutkan bahwa :
(1) Setiap akta Notaris terdiri atas :
a. Awal akta atau kepala akta;
b. Badan akta; dan
c. Akhir atau penutup akta.
(2) Awal akta atau kepala akta memuat :
a. Judul akta;
b. Nomor akta;
c. Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan
d. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
(3) Badan akta memuat :
9
a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan,
jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang
mereka wakili;
b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang
berkepentingan; dan
d. Nama lengkap, tempat tinggal dan tanggal alhir, serta pekerjaan, jabatan,
kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
(4) Akhir atau penutup akta memuat :
a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat
(1) huruf I atau Pasal 16 ayat (7);
b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau
penerjemahan akta apabila ada;
c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan,
dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan
d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembutaan akta
atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan,
pencoretan atau penggantian.
3. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai
wewenang untuk membuat akta itu.
Wewenang Notaris dan PPAT meliputi empat hal , yaitu :
a. Notaris harus berwenang sepanjang menyangkut akta yang harus dibuat itu.
10
Wewenang Notaris dan PPAT dalam pembuatan akta otentik sepanjang
tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain atau notaris juga berwenang
membuatnya. Di samping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain, juga
mengandung makna bahwa wewenang notaris dalam membuat akta otentik
mempunyai wewenang yang umum, sedangkan pihak lainnya mempunyai
wewenang terbatas, seperti halnya PPAT yaitu hanya terbatas pada pembuatan
delapan jenis akta saja.
b. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang untuk kepentingan siapa
akta itu dibuat.
Mengenai orang dan untuk siapa akta itu dibuat harus ada keterkaitan yang
jelas.
c. Pejabat umum harus berwenang sepanjang mengenai tempat di mana akta itu
dibuat.
Baik Notaris maupun PPAT mempunyai tempat kedudukan dan wilayah
kerja masing-masing .
d. Notaris haris berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.
Notaris Dan PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam
keadaan aktif, artinya tidak dalam keadaan cuti, atau diberhentikan sementara
waktu.
Dengan demikian seorang Notaris sudah memenuhi syarat sebagai pejabat umum-
Notaris sebagaimana yang ditentukan oleh pasal 1868 BW, sehingga akta yang
dibuatnya adalah akta otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
11
Jika demikian, maka bagaimana kedudukan hukum tentang akta yang dibuat oleh
PPAT ?
II. FAKTA EMPIRIS
Untuk melakukan kegiatan yang berkaitan dengan Pendaftaran Tanah baik itu
pemindahan hak atas tanah, pembebanan hak atas tanah dan akta-akta lainnya yang
diatur dalam peraturan Perundang-undangan yang berlaku yaitu Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam
melaksanakan Pendaftaran Tanah Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah ( selanjutnya PPAT ). Pengaturan tentang PPAT tersebut
berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 37 Tahun 1998. PPAT
adalah Pejabat Umum yang diberikan wewenang untuk membuat akta-akta otentik
mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas
satuan rumah susun.
akta pejabat umum PPAT tidak memenuhi syarat sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 1868 BW, khususnya akta PPAT dibuat tidak berdasarkan undang-
undang, tetapi hanya berupa aturan hukum setingkat Peraturan Pemerintah atau
Peraturan Menteri. Dengan demikian , akta PPAT bukan sebagai akta otentik,
melainkan sebagai perjanjian biasa setingkat dengan akta dibawah tangan. Dari segi
fungsi, akta PPAT hanya mempunyai pembuktian dengan kualifikasi sebagai surat di
bawah tangan yang penilaian pembuktiannya ( jika bermasalah) diserahkan kepada
hakim jika hal tersebut diperiksa atau menjadi objek gugatan di pengadilan negeri.
Alasan lain bahwa akta PPAT bukan akta otentik , karena para PPAT hanya mengisi
12
formulir/blanko akta (to fiil) yang telah disediakan oleh pihak lain, bukan membuat
(to make) akta.
Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia agar dapat dibuatkan suatu
peraturan yang jelas mengenai Kompetensi Peradilan terhadap Kedudukan PPAT dan
Akta-aktanya. Maka dari itu PPAT harus juga memahami tentang Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Balk, meliputi: asas kepastian hukum, asas keseimbangan, asas
bertindak cermat, asas motivasi untuk setiap keputusan badan pemerintahan, asas
tidak boleh mencampuradukan kewenangan, asas kesamaan dalam mengambil
keputusan, asas permainan yang layak, asas keadilan atau kewajaran, asas
menanggapi pengharapan yang wajar, asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan
yang batal, asas perlindungan atas pandangan hidup, asas kebijaksanaan dan asas
penyelenggaraan kepentingan umum. Perbedaan yang mendasar antara PPAT dan
Pejabat Tata Usaha Negara adalah PPAT tidak mendapat fasilitas dari negara seperti
gaji, tunjangan-tunjangan dan pensiun.
Sekretaris Daerah Kota (Sekdakot) Bogor H.Deddy S Hamdan, mewakili
Walikota Bogor HR. Iswara Natanegara membuka penyuluhan hukum bagi aparatur
kecamatan dan kelurahan. Kegiatan ini diikuti oleh Camat, Sekcam, dan Lurah se
Kota Bogor. Dalam sambutan tertulisnya, Walikota Bogor mengatakan, penyuluhan
ini merupakan kegiatan pembinaan hukum, yang sangat penting dilakukan untuk
meningkatkan wawasan dan pemahaman serta kesadaran hukum aparatur kecamatan
dan Kelurahan. Diharapkan ada dukungan lebih besar bagi upaya penegak hukum
yang bertujuan mewujudkan ketertiban umum.
13
Di era otonomi daerah sekarang perlu untuk diperhatikan upaya penegak hukum
dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya. Dengan peran penting yang
harus diemban sesuai berbagai ketentuan tentang kewenangan tugas yang berlaku,
salah satu peran penting adalah peran sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah, mengingat akta yang dibuat merupakan dokumen
otentik yang kebenarannya tidak dapat disangkal dan oleh karenanya bisa menjadi
bukti sempurna dibadan peradilan. Oleh karena itu diharapkan setiap PPAT dapat
melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya karena proses
pembuatan akta tanah harus berpegang pada asas patiha, yaitu kewaspadaan,
ketelitian dan hati-hati, sehumgga akta yang dihasilkan benar-benar bisa memberikan
kepastian hukum bagi masyarakat yang menggunakannya.
Setiap perjanjian yang bertujuan untuk memindahkan hak atas tanah,
menggadaikan, atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai jaminan atau
tanggungan harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan
pejabat umum yang khusus ditunjuk untuk itu oleh Menteri Negara/Kepala Badan
Pertanahan Nasional, dalam hal ini adalah PPAT. Keharusan pemindahan hak atas
tanah dilakukan dengan akta PPAT adalah disebabkan akta PPAT yang dibuat
merupakan dasar kepastian hukum selanjutnya. Tanah yang diperjual belikan dengan
perantaraan PPAT, boleh jadi tanah yang sudah bersertifikat dan tanah yang belum
bersertifikat. Atas tanah yang sudah bersertifikat, peran PPAT adalah dapat langsung
membuatkan akta jual belinya dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, setelah
14
sebelumnya PPAT memeriksa dan dirasa benar mengenai surat-surat atau persyaratan
yang diperlukan. Selanjutnya, baru dapat dibuatkan peralihan hak atas tanah atau
balik nama di Kantor Pertanahan. Sedangkan atas tanah yang belum bersertifikat,
pada saat pembuatan akta jual beli saksinya adalah Lurah setempat dan stafnya,
sebelumnya PPAT memperoleh surat pernyataan tidak sengketa dari pemilik yang
diketahui oleh Lurah dan Camat setempat. Kemudian pembeli dapat melakukan
permohonan hak atas tanah tersebut kepada Kantor Pertanahan atas namanya sendiri.
Dari rangkaian tersebut di atas, maka pemahaman dari sebagian aparatur Negara
kita, secara khusus dalam lingkup pertanahan, lebih melihat bahwa akta PPAT
merupakan akta otentik yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Sehingga untuk
menyangkalnya harus dilakukan dengan membuktikan sebaliknya. Maksudnya bahwa
penggugat harus menghadirkan akta otentik lain untuk menyangkal keabsahan dari
akta otentik yang sebelumnya.
III. PANDANGAN PAKAR HUKUM
Pada dasarnya PPAT dan akta PPAT belum memmpunyai kedudukan hukum
yang kuat, oleh karena itu agar kjedudukan hukumnya kuat maka harus diatur dan
dibuatkan Undang-undang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. (Habib Adjie,
Meneropng Khazanah Notaris dan PPAT di Indonesia (kumpulan Tulisan tentang
Notaris dan PPAT), 2009 : 267-275, Citra Aditya Bakti, Bandung).
Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN. Pemberian kualifikasi
sebagai pejabat umum tidak hanya kepada Notaris saja, tapi juga diberikan kepada
15
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Lelang, dengan demikian Notaris
sudah pasti Pejabat Umum, tapi tidak setiap Pejabat Umum pasti Notaris, karena
Pejabat umum bisa juga PPAT atau Pejabat Lelang.
Dalam aturan hukum yang lain, ada juga istilah Pejabat Negara, selain itu ada
juga Badan atau Pejabat Tata usaha Negara , yaitu badan atau Pejabat yang
melaksanakan urursan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undanagn
yang berlaku. Penjelasan pasaltersebut, yang dimaksud urusan pemerintahan ilaha
kegiatan yang bersifat eksekutif. Dalam kehidupan sehari-hari yang dimaksud dengan
pemerintah adalah keseluruhan kegiatan yang menjadi tugas dan dilaksanakan oleh
para Badan dan Jabatan (Pejabat) Tata Usaha Negara (TUN) yang bukan pembuatan
peraturan dan mengadili.
Sebutan Pejabat Tata Usaha Negara , tidak hanya ditujukan kepada mereka yang
secara struktural memangku suatu jabatan Tata Usaha Negara , tetapi juga dapat
ditujukan kepada siapa saja yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
melaksanakan urusan pemerintahan (fungsional), maka yang berbuat demikian dapat
dianggap sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, sehingga segala keputusan
yang mereka keluarkan yang memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha
Negara, jika merugikan pihak-pihak tertentu, keputusan tersebut dapat dijadikan
objek gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Untuk hal tertentu, tidak selalu keputusan yang dibuat oleh Pejabat Tata Usaha
Negara memenuhi syarat sebagai Keputusan tata usaha Negara, hal ini berlaku pada
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Secara fungsional Jabatan PPAT termasuk
16
dalam kategori Pejabat Tata Usaha Negara , yaitu ketika menjalankan urusan
pemerintahan berupa tangkaian merupakan satu kesatuan dari proses pendaftaran
tanah, dengan membuat akta PPAT, tapi akta PPAT tidak termasuk objek gugatan di
Pengadilan Tata Usaha Negara, karena akta PPAT bukanlah beschikking. Oleh
karena elemen obyek tidak dipenuhi, maka seorang PPAT tidak dapat digugat di
Pengadilan Tata Usaha Negara . oleh Philpus M. Hadjon dikemukakan pula bahwa :
Figur hukum akta PPAT bukan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) , karena
akta PPAT :
1. Tidak memenuhi hakekat KTUN sebagai suatu besluit. Suatu besluit pada
hakekatnya adalah suatu beslissing. Akta PPAT bukanlah suatu beslissing dari
PPAT.
2. Bukan norma hukum sebagaimana halnya KTUN adalah norma penutup dalam
rangkaian norma hukum.
3. Tidak memenuhi unsur KTUN menurut ketentuan pasal 1. 3 UU No.5 1986. Dan
PPAT bukanlah pejabat TUN dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 1.6 UU.
No. 5 Tahun 1986.
Kedudukan PPAT sebagaimana tersebut di atas ditegaskan dalam Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia :
1. Nomor 62 K/TUN/1998, tanggal 28 Juli 2001, ditegaskan bahwa Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) sebagai Pejabat Tata Usaha Negara , namun dalam hal ini
pejabat tersebut bertindak sebagai Pejabat Umum dalam bidang perdata, dan akta
PPAT bukan Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud
17
dalam pasal 1 sub 3 undang-undang nomor 5 tahun 1986, sehingga tidak dapat
dijadikan obyek sengketa Tata Usaha Negara.
2. Nomor 302 K/TUN/1999, tanggal 8 Februari 2000, ditegaskan bahwa Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah Pejabat Tata Usaha Negara, karena
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
(Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Pasal 19 PP . No. 10
Tahun 1961), akan tetapi akta jual beli yang dibuat oleh PAT bukan merupakan
Keputusan Tata Usaha Negara karena bersifat bilateral ( kontraktual), tidak berifat
universal yang merupakan sifat Keputusan Tata Usaha Negara.
Menurut Philipus M. Hardjon, Formulir Pendaftaran Tanah bukan akta otentik,
(Surabaya Post, 31 januari 2001 halaman 3 ) karena syarat dari akta otentik itu , yaitu:
1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang (bentuknya baku),
2. Dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Umum.
Sedangkan Irawan Soerodjo ( Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia,
Arkola, Surabaya, 2003 : 148 ) bahwa ada 3 (tiga) unsur esensialia agar terpenuhinya
syarat formal suatu akta otentik, yaitu :
1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
2. Dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Umum;
3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu
dan di tempat dimana akta itu dibuat.
Pasal 1868 BW merupakan sumber untuk otensitas akta Notaris juga merupakan
dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat–syarat sebagai berikut :
18
a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (tenoverstaan) seorang Pejabat
Umum;
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
c. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai
wewenang untuk membuat akta itu.
IV. PANDANGAN PENULIS
Berdasarkan teori dan landasan yuridis tersebut di atas, maka penulis
berkesimpulan bahwa akta PPAT tidak dapat dikategorikan sebagai akta otentik.
Walaupun dalam kenyataannya Notaris dan PPAT merupakan pejabat Negara, tetapi
dalam hal pembuatan aktanya berbeda.
Notaris telah memenuhi syarat sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 1868 BW,
sehingga akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris sebagai akta otentik yang
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sedangkan akta Pejabat Umum
PPAT tidak memenuhi syarat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1868
KUHPerdata, khususnya akta PPAT dibuat tidak berdasarkan Undang-undang, tapi
hanya berupa aturan hukum setingkat Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri.
Dengan demikian akta PPAT bukan sebagai akta otentik, tapi hanya perjanjian
biasa setingkat dengan akta dibawah tangan, dari segi fungsi hanya mempunyai
pembuktian dengan kualifikasi sebagai surat di bawah tangan, yang penilaian
pembuktiannya (jika bermasalah) diserahkan kepada hakim, jika hal tersebut
diperiksa atau menjadi objek gugatan di pengadilan negeri. Alasan lain bahwa akta
19
PPAT bukan akta otentik, karena para PPAT hanya mengisi formulir/blangko akta (to
fill) yang telah disediakan oleh pihak lain, bukan membuat (to make) akta.
Berdasarkan aturan hukum yang terakhir tersebut, telah membuka mata kita
sebagai PPAT, ternyata secara kelembagaan, dalam hal ini PPAT dan akta PPAT
belum mempunyai kedudukan hukum yang kuat, oleh karena itu, jika memang
lembaga PPAT masih tetap dipertahankan sebagai bagian dari sistem hukum nasional,
(artinya kewenangan PPAT tidak akan diambil alih oleh Notaris berdasarkan Pasal 15
ayat 2 huruf f UUJN), maka untuk segera dibuat Undang-undang Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah.
20