Critical respiratory
-
Upload
haryaman-justisia -
Category
Documents
-
view
244 -
download
5
description
Transcript of Critical respiratory
RESUME KEPERAWATAN KRITIS
PADA SISTEM PERNAFASAN
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan kritis
DINI APRILIA
NPM. 220110120082
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
BANDUNG
2016
I. Gagal Napas (Respiratory Failure)
A. Definisi
Kegagalan pernafasan adalah sindrom di mana sistem pernapasan gagal untuk
mempertahankan pertukaran gas yang memadai pada saat istirahat atau selama latihan yang
mengakibatkan hipoksemia dengan atau tanpa hiperkarbia bersamaan. Meskipun banyak
kemajuan teknis dalam diagnosis, monitoring dan intervensi terapeutik, kegagalan pernafasan
akut terus menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di unit perawatan intensif
(ICU). Gagal napas (RF) didiagnosis ketika pasien kehilangan kemampuan untuk ventilasi
memadai atau untuk menyediakan oksigen yang cukup untuk darah dan organ sistemik.
Kegagalan pernapasan secara klinis didiagnosis ketika PaO2 kurang dari 60mm Hg dengan
atau tanpa tingkat CO2 tinggi. Tingkat kematian yang tinggi adalah umum untuk pasien
dengan kegagalan pernafasan akut, bahkan di ICU yang mengkhususkan diri dalam teknik
perawatan kritis modern.
Dalam sebuah studi multicenter Internasional, hanya 55,6% pasien dengan kegagalan
pernafasan akut yang selamat selama menjalani perawatan di rawat inap sedangkan 44,4%
meninggal di rumah sakit. Resusitasi mendesak pasien membutuhkan kontrol napas,
manajemen ventilator, dan stabilisasi sirkulasi. Pada pasien saat yang sama harus dievaluasi
untuk penyebab kegagalan pernapasan dan rencana terapi harus berasal dari pemeriksaan
klinis dan laboratorium informasi dilengkapi dengan hasil unit khusus perawatan intensif
(ICU). Kemajuan terbaru dalam pengelolaan ICU dan teknologi pemantauan memfasilitasi
deteksi dini patofisiologi fungsi vital, dengan potensi untuk pencegahan dan awal titrasi
terapi untuk pasien dengan kegagalan pernafasan akut yang meningkatkan hasilnya.
B. Klasifikasi
Gagal napas diklasifikasikan menjadi gagal napas tipe 1 dan gagal napas tipe 2.
Gagal napas tipe 1 didefinisikan oleh PaO2 <60mmHg dengan PaCO2 normal atau rendah.
Gagal napas tipe 2 didefinisikan oleh PaO2 <60 MHG dan PCO2 >45mmHG. Gagal napas
juga diklasifikasikan sebagai akut, akut pada kronis atau kronis. Pembedaan ini penting
dalam menentukan apakah pasien harus dirawat di unit perawatan intensif (ICU) atau dapat
dikelola di lingkungan medis umum dan strategi pengobatan yang paling tepat, khususnya
pada gagal napas tipe 2.
Gagal Napas (Respiratory Failure)
Tipe 1 (Hypoxemic) Tipe 2 (Hypercabic)
PaO2 rendah, PaCO2 normal/rendah PaO2 rendah, PaCO2 Tinggi
Akut Kronik Akut Kronik
C. Etiologi
Acute Respiratory Failure (ARF)
a. Deskripsi Acute Respiratory Failure (ARF)
Penyebab umum dari tipe II(Hypercapnic)
Bronkitis kronis dan emfisemaAsma Overdosis ObatMyathenia gravisPolineuropatiPolioGangguan otot primerPorfiriaHipoventilasi alveolar utamaSleep apnea syndromeEdema paruSindrom gannguan pernapasan akutEdema laring
Penyebab umum dari tipe I (hypoxaemic)
Sesak napasBronkitis kronis dan emfisemaPneumoniaEdema paruFibrosis paruAsmaPneumotoraksEmboli paruHipertensi paru tromboemboliLimfatik carcinomatosisPneumoconiosisPenyakit paru-paru granulomatosaPenyakit jantung bawaan sianotikSindrom gangguan pernapasan akutLemak emboliParu fistula arteriovenosa
Acute Respiratory Failure (ARF) adalah suatu kondisi klinis di mana sistem paru
gagal untuk mempertahankan pertukaran gas yang memadai. Hal ini merupakan kegagalan
organ yang paling umum terlihat di unit perawatan intensif, dengan tingkat mortalitas 22%
sampai 75%. Kematian bervariasi secara langsung dengan jumlah kegagalan organ tambahan.
Faktor risiko lain penyebab kematian termasuk riwayat liver, ginjal, atau disfungsi
hematologi; Kehadiran syok; dan usia lebih dari 55 tahun.
ARF merupakan hasil dari kurangnya kinerja sistem pernafasan. Hal ini biasanya
disebabkan oleh gangguan lain yang telah merubah fungsi normal dari sistem paru
sedemikian rupa yang mengakibatkan kurangnya ventilasi, penurunan kekuatan otot,
menurunkan elatisitas dada, penurunan kapasitas paru-paru, meningkatkan resistensi saluran
napas, atau meningkatkan metabolisme kebutuhan oksigen.
ARF diklasifikasikan menjadi hypoxemic normocapnic repiratory failure (tipe I) dan
hypoxemic hipercapnic respiratory failure (tipe II). Klasifikasi ini tergantung pada hasil
analisa gas darah pasien. Dalam tipe 1 gagal napas, hasil AGD pasien menunjukkan bahwa
PaO2 rendah dan PaCO2 normal, sedangkan pada tipe II PaO2 rendah dan PaCO2 tinggi.
b. Etiologi
Penyebab ARF dapat diklasifikasikan menjadi penyebab intrapulmonar dan
ekstrapulmonar. Hal ini tergantung pada komponen sistem pernapasan yang terpengaruh.
Yang termasuk kedalam kategori ekstrapulmonar adalah gangguan yang mempengaruhi otak,
sumsum tulang belakang, sistem neuromuskulr, dada, pleura, dan saluran napas atas.
Penyebab intrapulmonar termasuk gangguan yang mempengaruhi saluran udara lebih rendah
dari alveoli, sirkulasi paru-paru, dan membran kapiler alveoli.
Area yang terpengaruh Gangguan
Ekstrapulmonar :Otak
Spinal Cord
Sistem Neuromuskular
Overdosis ObatSindrom hipoventilasi alveolar pusatTrauma otak/lesiPasca operasi anestesiGuillain-Barre syndrome (GBS)PoliomyelitisAmyotrophic lateral sclerosisTrauma spinal cord /lesiMyasthenia gravis
Toraks
Pleura
Saluran Napas Atas
Multiple sclerosisNeuromuscular-blocking antibiotikOrganophospate poisoningDistrofi ototObesitas masivTrauma toraksEfusi pleuraPneumotoraksApneaObstruksi trakeaEpiglotitis
Intrapulmonar Saluran Napas Bawah dan Alveoli
Sirkulasi PulmonarMembran Kapiler Alveoli
PPOK (COPD)AsmaBronchiolitisPneumoniaEmboli PulmonarAcute Lung Injury (ALI)
c. Patofisiologi
Patofisiologi Gagal Napas Akut Tipe 1
Istilah hipoksemia menunjukan PO2 yang rendah didalam darah arteri (PaO2) dan
dapat digunakan untuk menunjukan PO2 pada kapiler, vena dan kapiler paru. Istilah tersebut
juga dipakai untuk menekankan rendahnya kadar O2 darah atau berkurangnya saturasi
oksigen didalam hemoglobin. Hipoksia berarti penurunan penyampaian (delivery) O2 ke
jaringan atau efek dari penurunan penyampaian O2 ke jaringan. Hipoksemia berat
menyebabkan hipoksia. Hipoksia dapat pula terjadi akibat penurunan penyampaian O2
karena faktor rendahnya curah jantung, anemia, syok septik atau keracunan karbon
monoksida, dimana PaO2 arterial dapat meningkat atau normal.
Mekanisme fisiologi hipoksemia dibagi dalam dua golongan utama yaitu
berkurangnya PO2 alveolar dan meningkatnya pengaruh campuran darah vena (venous
admixture). Jika darah vena yang bersaturasi rendah kembali ke paru, dan tidak mendapatkan
oksigen selama perjalanan dipembuluh darah paru, maka darah yang keluar di arteri akan
memiliki kandungan oksigen dan tekanan parsial oksigen yang sama dengan darah vena
sistemik. Kadar PO2 darah vena sistemik (PVO2) menentukan batas bawah PaO2. Bila
semua darah vena yang bersaturasi rendah melalui sirkulasi paru dan mencapai keseimbangan
dengan gas di rongga alveolar, maka PO2 = PAO2. Maka PO2 alveolar (PAO2) menentukan
batas atas PO2 arteri dan semua nilai PO2 berada diantara PVO2 dan PAO2.
Hipoksemia arteri selalu merupakan akibat penurunan PO2 alveolar, atau peningkatan
jumlah darah vena bersaturasi rendah yang bercampur dengan darah kapiler pulmonal
(campuran vena).4,5
Penurunan PO2 Alveolar. Tekanan total diruang alveolar ialah jumlah dari PO2,
PCO2, PH2O, dan PN2. Bila PH2O dan PN2 tidak berubah bermakna, setiap peningkatan
pada PACO2 akan menyebabkan penurunan PaO2. Hipoventilasi alveolar menyebabkan
penurunan PAO2, yang menimbulkan penurunan PaO2 bila darah arteri dalam keseimbangan
dengan gas diruang alveolus. Persamaan gas alveolar, bila disederhanakan menunjukan
hubungan antara PO2 dan PCO2 alveolar.
PAO2 = FiO2 x PB - PACO2/R
FiO2 adalah fraksi oksigen dari udara inspirasi. PB adalah tekanan barometrik, dan R
adalah rasio pertukaran udara pernapasan, menunjukan rasio steady-state CO2 memasuki dan
O2 meninggalkan ruang alveolar. Dalam praktek, PCO2 arteri sering digunakan sebagai nilai
perkiraaan PCO2 alveolar (PaCO2). PAO2 berkurang bila PACO2 meningkat. Jadi,
hipoventilasi alveolar menyebabkan hipoksemia (berkurangnya PaO2). Persamaan gas
alveolar juga mengindikasikan bahwa hipoksemia akan terjadi jika tekanan barometrik total
berkurang, seperti pada ketinggian, atau bila FiO2 rendah ( seperti saat seseorang menghisap
campuran gas dimana sebagian oksigen digantikan gas lain). Hal ini juga akibat penurunan
PO2. Pada hipoksemia, yang terjadi hanya karena penurunan PaO2, perbedaan antara PO2
alveolar – arteri adalah normal pada hipoksemia karena hipoventilasi.
Hipoksemia yang berkaitan dengan hipoventilasi murni umumnya ringan (PaO2 = 50
sampai 80 mmHg) dan langsung disebabkan oleh peningkatan PCO2 alveolar (PaCO2).
Kejadian ini dapat dijelaskan dengan mengingat bahwa tekanan parsial alveolar atau gas-gas
darah pada seluruh arteri harus ditambahkan pada tekanan total (atmosfer). Dengan demikian
bila PaCO2 meningkat, PaO2 harus menurun, dan sebaliknya pada tekanan atmosfer yang
konstan.
Pencampuran Vena (Venous Admixture). Meningkatnya jumlah darah vena yang
mengalami deoksigenasi, yang mencapai arteri tanpa teroksigenasi lengkap oleh paparan gas
alveolar. Perbedaan PO2 alveolar-arterial (P(A-a)O2) meningkat dalam keadaan hipoksemia
karena peningkatan pencampuran darah vena. Dalam pernapasan udara ruangan, perbedaan
PO2 alveolar arterial normalnya sekitar 10 dan 20 mmHg, meningkat dengan usia dan saat
subyek berada pada posisi tegak. 5
Hipoksemia terjadi karena salah satu penyebab meningkatnya pencampuran vena,
yang dikenal sebagai pirau kanan ke kiri (right-to-left-shunt). Sebagian darah vena sistemik
tidak melalui alveolus, bercampur dengan darah yang berasal dari paru, akibatnya adalah
pencampuran arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru dengan PO2 diantara
PAO2 dan PVO2. Pirau kanan ke kiri dapat terjadi karena : kolaps lengkap atau atelektasis
salah satu paru atau lobus sedangkan aliran darah dipertahankan, penyakit jantung kongenital
dengan defek septum, dan ARDS, dimana dapat terjadi edema paru yang berat, atelektaksis
lokal, atau kolaps alveolar sehingga terjadi pirau kanan ke kiri yang berat. Pertanda terjadinya
pirau kanan ke kiri adalah : hipoksemia berat dalam pernapasan udara ruangan, sedikitnya
peningkatan PaO2 dengan tambahan oksigen, dibutuhkannya FiO2 > 0,6 untuk mencapai
PaO2 yang diinginkan, PaO2 < 55 mmHg saat mendapat O2 100%. Jika PaO2 < 55 mmHg
saat bernapas dengan O2 100% maka dikatakan terjadi pirau kanan ke kiri.5
Ketidakseimbangan Ventilasi-Perfusi (Ventilation-perfusion mismatching = V/Q
mismatching). Merupakan penyebab hipoksemia tersering, terjadinya ketidaksesuaian
ventilasi-perfusi. Ketidaksesuaian ini bukan disebabkan darah vena tidak melintasi daerah
paru yang mendapat ventilasi seperti yang terjadi pada pirau kanan ke kiri. Sebaliknya
beberapa area di paru mendapat ventilasi yang kurang dibandingkan banyaknya aliran darah
yang menuju ke area-area tersebut. Disisi lain, beberapa area paru yang lain mendapat
ventilasi berlebih dibandingkan aliran darah regional yang relatif sedikit. Darah yang melalui
kapiler paru diarea yang hipoventilasi relatif, akan kurang mendapat oksigen dibandingkan
keadaan normal. Hal tersebut menimbulkan hipoksemia darah arteri.5
Efek ketidaksesuaian V/Q terhadap pertukaran gas antara kapiler-alveolus seringkali
kompleks. Contoh dari penyakit paru yang merubah distribusi ventilasi atau aliran darah
sehingga terjadi ketidaksesuaian V/Q adalah : Asma dan penyakit paru obstruktif kronik lain,
dimana variasi pada resistensi jalan napas cenderung mendistribusikan ventilasi secara tidak
rata. Penyakit vaskular paru seperti tromboemboli paru, dimana distribusi perfusi berubah.
Petunjuk akan adanya ketidaksesuaian V/Q adalah PaO2 dapat dinaikan ke nilai yang dapat
ditoleransi secara mudah dengan pemberian oksigen tambahan.5
Keterbatasan Difusi (diffusion limitation). Keterbatasan difusi O2 merupakan
penyebab hipoksemia yang jarang. Dasar mekanisme ini sering tidak dimengerti. Dalam
keadaan normal, terdapat waktu yang lebih dari cukup bagi darah vena yang melintasi kedua
paru untuk mendapatkan keseimbangan gas dengan alveolus. Walaupun jarang, dapat terjadi
darah kapiler paru mengalir terlalu cepat sehingga tidak cukup waktu bagi PO2 kapiler paru
untuk mengalami kesetimbangan dengan PO2 alveolus. Keterbatasan difusi akan
menyebabkan hipoksemia bila PAO2 sangat rendah sehingga difusi oksigen melalui
membran alveolar-kapiler melambat atau jika waktu transit darah kapiler paru sangat
pendek.5
Beberapa keadaan dimana keterbatasan difusi untuk transfer oksigen dianggap
sebagai penyebab utama hipoksemia adalah pulmonary alveolar proteinosis, keadaan dimana
ruang alveolar diisi cairan mengandung protein dan lipid serta keadaan penyakit vaskular
paru juga berperan dalam terjadinya keterbatasan difusi.
Patofisiologi Gagal Napas Akut Tipe 2
Kegagalan napas hiperkapnia atau ventilasi dapat disebabkan oleh
hipoventilasi saja atau gabungan dengan salah satu atau semua mekanisme
hipoksemia seperti ketidakseimbangan V/Q, pirau, atau mungkin gangguan
difusi. Kegagalan pada ventilasi murni terjadi pada gangguan ekstrapulmonal
yang melibatkan kegagalan kendali saraf atau otot-otot pernapasan. Contoh
klasik gagal napas hiperkapnia adalah PPOK dan melibatkan ketidakseimbangan
V/Q dan hipoventilasi.
Hipoventilasi Alveolar . Dalam keadaan stabil, pasien memproduksi
sejumlah CO2 dari proses metabolik setiap menit dan harus mengeliminasi
sejumlah CO2 tersebut dari kedua paru setiap menit. Jika keluaran semenit CO2
(VCO2) menukarkan CO2 ke ruang pertukaran gas dikedua paru, sedangkan VA
adalah volume udara yang dipertukarkan dialveolus selama semenit (ventilasi
alveolar), didapatkan rumus :
VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) X VA (L/men) X 1/863
Untuk output CO2 yang konstan, hubungan antara PaCO2 dan VA
menggambarkan hiperbola ventilasi, dimana PaCO2 dan VA berhubungan
terbalik. Jadi hiperkapnia selalu ekuivalen dengan hipoventilasi alveolar, dan
hipokapnia sinonim dengan hiperventilasi alveolar. Karena ventilasi alveolar
tidak dapat diukur, perkiraan ventilasi alveolar hanya dapat dibuat dengan
menggunakan rumus PaCO2 diatas.
Ventilasi Semenit. Pada pasien dengan hipoventilasi alveolar, VA
berkurang ( dan PaCO2 meningkat). Meskipun VA tidak dapat diukur secara
langsung, jumlah total udara yang bergerak masuk dan keluar kedua paru setiap
menit dapat diukur dengan mudah. Ini didefinisikan sebagai minute ventilation
(ventilasi semenit, VE, L/men). Konsep fisiologis menganggap bahwa VE
merupakan penjumlahan dari VA (bagian dari VE yang berpartisipasi dalam
pertukaran gas) dan ventilasi ruang rugi (dead space ventilation, VD)
VE = VA + VD VA = VE – VD
VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) X VE (L/men) X (1-VD/VT)/863
VT menunjukan derajat insufisiensi ventilasi kedua paru. Pada orang
normal yang sedang istirahat sekitar 30 % dari ventilasi semenit tidak ikut
berpartisipasi dalam pertukaran udara. Pada kebanyakan penyakit paru proporsi
VE yang tidak ikut pertukaran udara meningkat, maka VD/VT meningkat juga.
Hiperkapnia (hipoventilasi alveolar) terjadi saat : nilai VE dibawah normal, nilai
VE normal/tinggi tetapi rasio VD/VT meningkat, dan nilai VE dibawah normal
dan rasio VD/VT meningkat.
Trakea dan saluran pernapasan menjadi penghantar pergerakan udara dari
dan ke dalam paru selama siklus pernapasan, tetapi tidak ikut berpartisipasi pada
pertukaran udara dengan darah kapiler paru (difusi). Komponen ini merupakan
ruang rugi anatomis, jalan napas buatan dan bagian dari sirkuit ventilator
mekanik yang dilalui udara inspirasi dan ekspirasi juga merupakan ruang rugi
anatomis. Pada pasien dengan penyakit paru, sebagian besar peningkatan ruang
rugi total terdiri dari ruang rugi fisiologis.
Ruang rugi fisiologis terjadi karena ventilasi regional melebihi jumlah
aliran darah regional (ventilation-perfusion [V/Q] mismatching). Walaupun V/Q
mismatching umumnya dianggap sebagai mekanisme hipoksemia dan bukan
hiperkapnia, tetapi secara teori juga akan meningkatkan PaCO2. Kenyataannya
dalam hampir semua kasus, kecuali dengan V/Q mismatching yang berat,
hiperkapnia merangsang peningkatan ventilasi, mengembalikan PaCO2 ke tingkat
normal. Jadi V/Q mismatching umumnya tidak menyebabkan hiperkapnia, tetapi
normokapnia dengan peningkatan VE.
d. Manifestasi Klinik
Sistem Organ Hypoxemia Hypercapnia Asidosis
SSP KegelisahanAgitasi IritabilitasKebingunganPerubahan kepribadianHilang ingatan Gangguan tidurPerilaku anehPenurunan kesadaran
Sakit kepalaMengantukPenurunan kesadaranPapilledemaKebingungan Kejang-kejangGangguan tidur
MengantukPenurunan kesadaranKebingungan
kardiovaskular TakikardiaDenyut nadi cepatHipertensiDisritmiaPalpitasiNyeri dada
Sama seperti hipoksemia.
Denyut nadi lemahHipotensiBradikardi
Pulmonari TakipneaHiperventilasiDispneaNapas pendekAscites, edema nyeri leher
Sama seperti hpoksemia
Sama seperti hpoksemia
Ginjal Penurunan keluaran urin PolisitemiaHipertensi Edema
Penurunan keluaran urin HipokloremiaEdema Hipertensi
Hypochloremic metabolic alkalosis.
Gastrointestinal Penurunan bising ususDistensi abdomenAnoreksiaMual muntahKonstipasiPerdarahan GI
Sama seperti hpoksemia
Sama seperti hpoksemia
Kulit Kulit pucatSianosisDingin
Kulit kemerahan Respon sistem saraf simpatis (dingin, pucat, lembab)
e. Pengkajian dan Diagnosa
Pasien dengan ARF mungkin mengalami berbagai manifestasi klinis, tergantung pada
penyebab yang mendasarinya dan tingkat hipoksia jaringan. manifestasi klinis sering terlihat
pada pasien dengan ARF biasanya terkait dengan pengembangan hipoksemia, hiperkapnia,
dan asidosis. Karena gejala klinis yang sangat bervariasi, mereka tidak dianggap handal
dalam memprediksi tingkat hipoksemia atau hiperkapnia atau keparahan ARF.
Diagnosis dan pemantauan jalannya kegagalan pernafasan yang terbaik dicapai
dengan analisis ABG. analisis ABG mengetengahkan tingkat PaCO2, pH darah. secara umum
diterima bahwa ARF hadir ketika PaO2 kurang dari 60 mmHg atau PaCO2 lebih besar dari 45
mmHg, atau keduanya. pada pasien dengan kadar PaCO2 meningkat secara kronis. kriteria ini
harus diperluas untuk mencakup kurang dari 7,35.
Berbagai tes tambahan dilakukan tergantung pada kondisi yang mendasari pasien. ini
termasuk surveilans bronkoskopi napas atau pengambilan spesimen, radiografi dada, USG
toraks, computed tomography (CT) dada, pemeriksaan fungsi paru-paru yang dipilih.
f. Manajemen Medis
Manajemen medis ARF ditujukan untuk mengobati penyebab yang mendasari,
mempromosikan pertukaran gas yang memadai, mengoreksi asidosis, memulai dukungan
nutrisi, dan mencegah komplikasi intervensi medis untuk mempromosikan pertukaran gas
ditujukan untuk meningkatkan oksigenasi dan ventilasi.
Oksigenasi. Tindakan untuk meningkatkan oksigenasi mencakup pemberian oksigen
tambahan dan penggunaan tekanan saluran udara positif. Tujuan terapi oksigen adalah untuk
memperbaiki hipoksemia. Meskipun tingkat absolut hipoksemia bervariasi antara pasien,
sebagian besar pendekatan pengobatan bertujuan untuk menjaga saturasi oksigen hemoglobin
arteri lebih besar dari 90%. Tujuannya adalah untuk menjaga jaringan perlu puas sementara
tidak memproduksi hiperkapnia atau oksigen toksisitas. Pemberian oksigen tambahan efektif
dalam mengobati hipoksemia berhubungan dengan hipoventilasi alveolar dan V / Q
mismatch. Jika shunting intrapulmonary ada, oksigen saja tidak efektif. Dalam situasi ini,
tekanan positif diperlukan untuk membuka alveoli runtuh dan memfasilitasi partisipasi
mereka dalam pertukarangas. Tekanan positif disampaikan oleh ventilasi mekanis invasif dan
non-invasif. Untuk menghindari intubasi, tekanan positif biasanya diberikan awalnya
noninvasively oleh masker.
Ventilasi. Intervensi untuk meningkatkan ventilasi termasuk penggunaan ventilasi
mekanik invasif dan noninvasif. Tergantung pada penyebab yang mendasari dan tingkat
keparahan ARF, pasien mungkin awalnya diobati dengan ventilasi non invasif. Namun, satu
studi menemukan bahwa pasien dengan pH kurang dari 7,25 pada presentasi awal memiliki
kemungkinan peningkatan kebutuhan untuk ventilasi mekanik invasif. Pemilihan modus
ventilasi dan pengaturan tergantung pada kondisi pasien yang mendasari, keparahan gagal
napas, dan ukuran tubuh. Awalnya, pasien mulai pada ventilasi volume dalam modus
membantu. Pada pasien dengan hiperkapnia kronis, pengaturan harus disesuaikan untuk
menjaga nilai-nilai AGD dalam parameter diharapkan dapat dipertahankan oleh pasien
setelah ekstubasi.
Farmakologi. Obat untuk memfasilitasi pelebaran saluran udara juga mungkin
bermanfaat dalam pengobatan ARF. Bronkodilator, seperti agonis B2-adrenergik dan agen
antikolinergik, membantu relaksasi otot polos dan manfaat khusus untuk pasien dengan
keterbatasan aliran udara. Methylxanthines, seperti aminofilin, tidak lagi dianjurkan karena
efek samping negatif. Steroid sering diberikan untuk mengurangi peradangan saluran udara
dan meningkatkan efek dari B2-agonis. Mukolitik dan ekspektoran tidak lagi digunakan,
karena mereka tidak memiliki manfaat pada populasi pasien ini. Sedasi diperlukan dalam
banyak pasien untuk membantu menjaga ventilasi yang memadai. Dapat digunakan untuk
menghibur pasien dan untuk mengurangi kerja pernapasan, khususnya jika pasien berjuang
ventilator. Analgesik harus diberikan untuk mengontrol rasa sakit. Pada beberapa pasien, obat
penenang tidak menurun upaya pernapasan spontan cukup untuk memungkinkan ventilasi
yang memadai. Kelumpuhan mungkin diperlukan untuk mengurangi konsumsi oksigen pada
pasien terancam.
Asidosis. Asidosis dapat terjadi karena sejumlah alasan. Hipoksemia menyebabkan
gangguan perfusi jaringan, yang mengarah ke produksi bantuan laktat dan asidosis metabolik.
Ventilasi terganggu menyebabkan akumulasi karbon dioksida dan asidosis pernafasan.
Setelah pasien cukup oksigen dan ventilasi, asidosis harus memperbaiki sendiri. Penggunaan
natrium bikarbonat untuk memperbaiki asidosis telah terbukti menjadi manfaat minimal dan
tidak lagi direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama. Terapi bikarbonat menggeser
kurva disosiasi oksigen-hemoglobin ke kiri dan dapat memperburuk hipoksia jaringan.
Natrium bikarbonat dapat digunakan jika asidosis adalah melayani (ph <7,1), refrakter
terhadap terapi, dan menyebabkan disritmia atau ketidakstabilan hemodinamik.
Dukungan nutrisi. Dukungan nutrisi ini sangat penting dalam pengelolaan ARF.
Tujuan dukungan nutrisi yang memenuhi kebutuhan gizi secara keseluruhan pasien sambil
menghindari overfeeding, untuk mencegah gizi komplikasi persalinan, dan untuk
meningkatkan hasil pasien. Kegagalan untuk menyediakan pasien dengan hasil dukungan
nutrisi yang cukup dalam pengembangan gizi buruk. Malnutrisi dan overfeeding dapat
mengganggu kinerja dari sistem paru, lanjut mengabadikan ARF. Malnutrisi menurunkan
ventilasi drive dan kekuatan otot pasien, sedangkan overfeeding meningkatkan produksi
karbon dioksida, yang kemudian meningkatkan kebutuhan ventilasi pasien, sehingga
mengakibatkan kelelahan otot pernafasan.
G. Nursing Care Plan
1. Primary survey
1) Airway:
a. Peningkatan sekresi pernapasan
b. Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi
c. Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar atau di rasakan.
2) Breathing:
a. Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, retraksi.
b. Menggunakan otot aksesori pernapasan
c. Kesulitan bernafas : diaforesis, sianosis
d. Pada gerakan pernafasan spontan terlihat retraksi supra klavikula dan sela iga
serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi.
e. Adanya kesulitan inflansi paru dalam usaha memberikan ventilasi buatan.
3) Circulation:
a Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
b Sakit kepala
c Gangguan tingkat esadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk
d Papiledema
e Penurunan haluaran urine
f Kapiler refill
g Sianosis.
4) Disability: Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran
5) Exposure: kulit kering, turgor kulit kurang
2. Secondary survey
1) Keadaan umum: lemah
2) Kesadaran : coma, GCS: E1M2VET
3) Pemeriksaan head to toe
a. Kepala: Mesosefal, tidak ada luka ataupun hematom.
b. Mata: Konjungtiva palpebra tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor 1mm,
tidak ada hematoma pada kelopak mata.
c. Hidung: apakah menggunakan cuping hidung, apakah terpasang NGT
d. Telinga: Bersih tidak ada serumen yang keluar, apakah ada gangguan
pendengaran
e. Mulut: -
f. Leher: Tidak ada peningkatan JVP
g. Dada
a) Jantung
Inspeksi: Apakah ada jejas, apakah ada masa (Ictus cordis tak tampak)
Palpasi: Apakah ada nyeri apakah terapa masa (cyus cordis teraba pada
SIC V, 2 cm dibawah midclavikula sinistra)
Perkusi: Apakah ada perpanjangan bunyi jantung (suara pekak)
Auskultasi: Apakah ada suara jantung tambahan
b) Paru-paru
Inspeksi: Apakah ada kelainan bentuk paru, apakah simetris pergerakan
dinding dada
Palpasi: apakah ada nyeri, apakah ada massa, apakah ada retraksi
dinding dada
Perkusi: apakah ada perbedaan suara pada kedua dinding dada, apakah
ada kelainan suara pada saat dinding dada diperkusi.
Auskultasi: Apakah ada suara napas tambahan seperti ronchi, krakels,
wheezing/mengi (terdengar suara ronkhi di seluruh lapang paru)
h. Abdomen
Inspeksi: apakah ada jejas,perhatikan kesimetrisan
Auskultasi:apakah ada kelainan bunyi bising usus.
Palpasi: apakah ada masa, nyeri tekan dan lepas
Perkusi: apakah ada kelainan suara perkusi
i. Ekstremitas : Tidak ada edema, tangan kanan terpasang infus.
j. Integumen : kulit kering, turgor kulit kurang
4) Pemeriksaan diagnostik
3. Diagnosa
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi secret
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan sekresi tertahan di permukaan alveoli,
alveolar hipoventilasi.
3) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan PPOM, distensi dinding dada, kelelahan,
kerja pernafasan.
4) Resiko tinggi kelebihan cairan yang berhubungan dengan kor pulmonal, infus IV,
peningkatan permeabilitas kapiler pulmonal, tirah baring.
5) Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan menurunnya curah jantung, hipoksia
jaringan, asidosis dan kemungkinan trombus atau emboli.
6) Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat
7) Nyeri berhubungan dengan agen injuri biologi
8) Defisit perawatan diri berhubungan penurunan kesadaran
4. Intervensi
No Diagnosa NOC NIC
1 Bersihan jalan nafas tidak
efektif berhubungan dengan
peningkatan produksi secret
a Menunjukan pembersihan jalan nafas
yang efektif.
b Mengeluarkan sekresi secara efektif
c Mempunyai irama dan frekwensi
pernafasan dalam rentang normal.
d Mempunyai fungsi paru dalam batas
normal
Airway suction
1. Pastikan kebutuhan oral/
tracheal suctioning
2. Auskultasi suara nafas
sebelum dan sesudah
suctioning
3. Informasikan kepada klien
dan keluarga tentang
suctioning
4. Berikan O2 dgn menggunakan
nasal untuk memfasilitasikan
soction nasotrakeal
5. Anjurkan alat yang steril
setiap melakukan tindakan
6. Monitor status oksigen pasien
Airway management
1. Buka jalan nafas
2. Posiskan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
3. Indentifikasi pasien perlunya
pemasangan alat jalan nafas
buatan
4. Lakukan fisio terapi dada jika
perlu
5. Berikan bronchodilator bila
perlu
6. Monitor respirasi dan status
O2
2 Gangguan pertukaran gas
berhubungan dengan sekresi
tertahan di permukaan
alveoli, alveolar hipoventilasi
a Dapat memepertahankan Pertukaran
CO2 atau O2 di alveolar dalam keadaan
normal
b Tidak terdapat cyanosis pada pasien
c Pasien tdk mengalami nafas dangkal
atau ortopnea
Air way management
1. Buka jalan nafas
2. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
3. Pasang mayo bila perlu
4. Lakukan suction pada mayo
5. Auskultasi suara nafas, catat
adanya suatu tambahan
6. Monitor konsentrasi dan
status O2
Respiratory monitoring :
1. Monitor rata-rata, kedalaman,
irama dan usaha respirasi
2. Catat pengerakan dada,amati
kesimetrisan, penggunaan otot
tambahan, retraksi otot
supraclavikular dan
intercostatis
3. Monitor suara nafas, sprt
dengkur
4. Catat lokasi trakea
5. Monitor kelelahan otot
diafragma ( gerakan
paradoksis )
6. Tentukan kebutuhan suction
dengan mengaukultasi crekles
dan ronchi pada jlan nafas
utama
7. Auskultasi suara paru setelah
tindakan untuk mengetahui
hasilnya
3 Pola nafas tidak efektif
berhubungan dengan PPOM,
distensi dinding dada,
kelelahan, kerja pernafasan.
a Pertukaran gas dan ventilasi pasien
tidak bermasalah
b Tidak menggunakan pernafasan mulut
Airway management
1. Buka jalan nafas
2. Posiskan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
3. Pasang mayo bila perlu
4. Lakukan suction pada mayo
5. Auskultasi suara nafas, catat
adanya suatu tambahan
6. Monitor konsentrasi dan status
O2
7. Terapi oksigen
8. Bersihkan mulut, hidung dan
secret trakea
9. Pertahankan jalan nafas yang
paten
10. Atur peralatan oksigenasi
11. Monitor aliran oksigenasi
12. Monitor adanya kecemasan
pasien trhadap oksigenasi
Vital sign management
1. Monitor TD, nadi, suhu, dan
RR
2. Catat adanya fluktasi tekanan
darah
3. Monitor VS saat verbaring,
duduk, atau berdiri
4. Auskultasi tekanan darah pada
kedua lengan dan bandingkan
5. Monitor frekuensi dan irama
pernafasan
6. Monitor suhu,warna dan
kelembaban kulit
7. Monitor adanya tekanan nadi
yang melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik
8. Indentifikasi penyebab dari
perubahan vital sign
II. ADULT RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (ARDS)
A. Definisi
ARDS adalah suatu penyakit yang ditandai oleh kerusakan luas alveolus dan / atau
membran kapiler paru. ARDS selalu terjadi setelah suatu gangguan besar pada system paru,
kardiovaskular, atau tubuh secara luas. ARDS adalah kondisi kedaruratan paru yang tiba-tiba
dan bentuk kegagalan nafas berat, biasanya terjadi pada orang yang sebelumnya sehat yang
telah terpajan pada berbagai penyebab pulmonal atau nonpulmonal.
ARDS adalah sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan progresif kandungan
oksigen arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera. ARDS merupakan suatu bentuk gagal
nafas akut yang berkembang progresif pada penderita kritis dan cedera tanpa penyakit paru
sebelumnya, ditandai dengan adanya inflamasi parenkim paru dan peningkatan permeabilitas
unit alveoli kapiler yang mengakibatkan hiperventilasi, hipoksemia berat dan infiltrate luas.
ARDS pertama kali digambarkan sebagai sindrom klinis pada tahun
1967.Diperkirakan ada 150.000 orang yang menderita ARDS tiap tahunnya dan laju
mortalitas tergantung pada etiologi dan sangat bervariasi. Tingkat mortilitasnya 50 %. Sepsis
sistemik merupakan penyebab ARDS terbesar sekitar 50%, trauma 15 %, cardiopulmonary
baypass 15 %, viral pneumoni 10 % dan injeksi obat 5 %.
B. Etiologi
ARDS dapat terjadi akibat cedera langsung kapiler paru atau alveolus. Namun, karena
kapiler dan alveolus berhubungan sangat erat, maka destruksi yang luas pada salah satunya
biasanya menyebabkan estraksi yang lain. Hal ini terjadi akibat pengeluaran enzim-enzim
litik oleh sel-sel yang mati, serta reaksi peradangan yang terjadi setelah cedera dan kematian
sel. Contoh-contoh kondisi yang mempengaruhi kapiler dan alveolus disajikan di bawah ini.
Destruksi kapiler, apabila kerusakan berawal di membran kapiler, maka akan terjadi
pergerakan plasma dan sel darah merah ke ruang interstisium. Hal ini meningkatkan jarak
yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbon dioksida untuk berdifusi, sehingga kecepatan
pertukaran gas menurun. Cairan yang menumpuk di ruang interstisium bergerak ke dalam
alveolus, mengencerkan surfaktan dan meningkatkan tegangan permukaan. Gaya yang
diperlukan untuk mengembangkan alveolus menjadi sangat meningkat. Peningkatan tegangan
permukaan ditambah oleh edema dan pembengkakan ruang interstisium dapat menyebabkan
atelektasis kompresi yang luas.
Destruksi Alveolus apabila alveolus adalah tempat awal terjadinya kerusakan, maka
luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran gas berkurang sehingga kecepatan pertukaran
gas juga menurun. Penyebab kerusakan alveolus antara lain adalah pneumonia, aspirasi, dan
inhalasi asap. Toksisitas oksigen, yang timbul setelah 24-36 jam terapi oksigen tinggi, juga
dapat menjadi penyebab kerusakan membran alveolus melalui pembentukan radikal-radikal
bebas oksigen.
Tanpa oksigen, jaringan vaskular dan paru mengalami hipoksia sehingga semakin
menyebabkan cedera dan kematian sel. Apabila alveolus dan kapiler telah rusak, maka reaksi
peradangan akan terpacu yang menyebabkan terjadinya edema dan pembengkakan ruang
interstitium serta kerusakan kapiler dan alveolus di sekitarnya. Dalam 24 jam setelah awitan
ARDS, terbentuk membran hialin di dalam alveolus. Membran ini adalah pengendapan fibrin
putih yang bertambah secara progesif dan semakin mengurangi pertukaran gas. Akhirnya
terjadi fibrosis menyebabkan alveolus lenyap. Ventilasi, respirasi dan perfusi semuanya
terganggu. Angka kematian akibat ARDS adalah sekitar 50%.
Gangguan yang dapat mencetuskan terjadinya ARDS adalah:
Sistemik:
o Syok karena beberapa penyebab
o Sepsis gram negative
o Hipotermia
o Hipertermia
o Takar lajak obat (Narkotik, Salisilat, Trisiklik, Paraquat, Metadone, Bleomisin)
o Gangguan hematology (DIC, Transfusi massif, Bypass kardiopulmonal)
o Eklampsia
o Luka bakar
Pulmonal:
o Pneumonia (Viral, bakteri, jamur, penumosistik karinii)
o Trauma (emboli lemak, kontusio paru)
o Aspirasi (cairan gaster, tenggelam, cairan hidrokarbon)
o Pneumositis
Non-Pulmonal:
o Cedera kepala
o Peningkatan TIK
o Pascakardioversi
o Pankreatitis
o Uremia
C. Tanda dan gejala
ARDS biasaya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan awal pada
paru. Awalnya pasien akan mengalami dispnea, kemudian biasanya diikuti dengan
pernapasan yang cepat dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral dan perifer, bahkan tanda
yang khas pada ARDS ialah tidak membaiknya sianosis meskipun pasien sudah diberi
oksigen. Sedangkan pada auskultasi dapat ditemui ronkhi basah kasar, serta kadang wheezing.
Diagnosis dini dapat ditegakkan jika pasien mengeluhkan dispnea, sebagai gejala
pendahulu ARDS. Diagnosis presumtif dapat ditegakkan dengan pemeriksaan analisa gas
darah serta foto toraks. Analisa ini pada awalnya menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO2
sangat rendah, PaCO2 normal atau rendah, serta peningkatan pH). Foto toraks biasanya
memperlihatkan infiltrat alveolar bilateral difus yang mirip dengan edema paru atau batas-
batas jantung, namun siluet jantung biasanya normal. Bagaimanapun, belum tentu kelainan
pada foto toraks dapat menjelaskan perjalanan penyakit sebab perubahan anatomis yang
terlihat pada gambaran sinar X terjadi melalui proses panjang di balik perubahan fungsi yang
sudah lebih dahulu terjadi.
PaO2 yang sangat rendah kadang-kadang bersifat menetap meskipun konsentrasi
oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini merupakan indikasi adanya pintas
paru kanan ke kiri melalui atelektasis dan konsolidasi unit paru yang tidak terjadi ventilasi.
Keadaan inilah yang menandakan bahwa paru pasien sudah mengalami bocor di sana-sini,
bentuk yang tidak karuan, serta perfusi oksigen yang sangat tidak adekuat.
Setelah dilakukan perawatan hipoksemia, diagnosis selanjutnya ditegakkan dengan
bantuan beberapa alat. Untuk menginvestigasi adanya gagal jantung dapat dipasang kateter
Swan-Ganz, dari sini dapat dilihat bahwa pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) akan
terukur rendah (<18 mmHg) pada ARDS serta meningkat (>20 mmHg) pada gagal jantung.
Jika terdapat emboli paru (keadaan yang menyerupai ARDS) mesti dieksplorasi hingga
pasien stabil sambil mencari sumber trombus yang mungkin terdapat pada pasien, misalnya
dari DVT. Pneumosystis carinii dan infeksi-infeksi paru lainnya patut dijadikan diagnosis
diferensial, terutama pada pasien-pasien imunokompromais.
D. Patofisiologi
Mula – mula terjadi kerusakan pada membrane kapiler alveoli menyebabkan terjadi
peningkatan permeabilitas endotel kapiler paru dan epitel alveoli mengakibatkan terjadi
edema alveoli dan interstitial. Cairan yang berkumpul di interstitium sehingga alveoli mulai
terisi cairan menyebabkan atelektasis kongesti yang luas. Terjadi pengurangan volume paru,
paru-paru menjadi kaku dan keluwesan paru (compliance) menurun, fungsional residual
capacity juga menurun. Hipoksemia yang berat merupakan gejala penting ards, penyebabnya
adalah ketidakseimbangan ventilasi – perfusi, hubungan arterio – venous (aliran darah
mengalir kealveoli yang kolaps) dan kelainan difusi alveoli – kapiler sebab penebalan dinding
alveoli – kapiler.
Trauma langsung / trauma tidak
langsung pada paru
Toksik terhadap epithelium alveolar
Kerusakan membrane kapiler alveoli
Kerusakan epithelium alveolar
Gangguan endothelium kapiler
Kebocoran cairan ke dalam alveoli
Kebocoran cairan kearah interstitial
Volume dan compliance
paru menurun
Ketidakseimbangan ventilasi perfusi
hubungan arterio –venus dan
Kerusakan pertukaran gas
Edema alveolar Atelektaksis Edema Interstitial
Mengganggu mekanisme pertahanan saluran napas
Kehilangan fungsi selia
jalan napas
Tidak efektifnya jalan
napas
Sesak napas
Penurunan nafsu makan
Intake nutrisi tak adekuat
Penurunan berat badan
Kelemahan otot
Mudah lelah
E. Manifestasi Klinik
Gejala klinis utama pada kasus ARDS adalah:
Penurunan kesadaran mental
Takikardi, takipnea
Dispnea dengan kesulitan bernafas
Terdapat retraksi interkosta
Sianosis
Hipoksemia
Auskultasi paru: ronkhi basah, krekels, stridor, wheezing
Auskultasi jantung: BJ normal tanpa murmur atau gallop
F. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan hasil Analisa Gas Darah:
Hipoksemia (pe ↓ PaO2)
Hipokapnia (pe ↓ PCO2) pada tahap awal karena hiperventilasi
Hiperkapnia (pe ↑ PCO2) menunjukkan gagal ventilasi
Gangguan pemenuhan nutrisi
Intoleransi
aktivitas
Perubahan status kesehatan
Koping individu tak efektif
Kurang info tentang penyakit
Stress psikologis
Ansietas
Alkalosis respiratori (pH > 7,45) pada tahap dini
Asidosis respiratori / metabolik terjadi pada tahap lanjut
Pemeriksaan Rontgent Dada:
Tahap awal; sedikit normal, infiltrasi pada perihilir paru
Tahap lanjut; Interstisial bilateral difus pada paru, infiltrate di alveoli
Tes Fungsi paru:
Pe ↓ komplain paru dan volume paru
Pirau kanan-kiri meningkat
G. Pemeriksaan diagnostik
Untuk menegakkan diagnosa ARDS sangat tergantung dari pengambilan anamnesa
klinis yang tepat. Pemeriksaan laboraturium yang paling awal adalah hipoksemia, sehingga
penting untuk melakukan pemeriksaan gas-gas darah arteri pada situasi klinis yang tepat,
kemudian hiperkapnea dengan asidosis respiratorik pada tahap akhir. Pada permulaan, foto
dada menunjukkan kelainan minimal dan kadang-kadang terdapat gambaran edema
interstisial. Pemberian oksigen pada tahap awal umumnya dapat menaikkan tekanan PO2
arteri ke arah yang masih dapat ditolelir. Pada tahap berikutnya sesak nafas bertambah,
sianosis penderita menjadi lebih berat ronki mungkin terdengar di seluruh paru-paru. Pada
saat ini foto dada menunjukkan infiltrate alveolar bilateral dan tersebar luas. Pada saat
terminal sesak nafas menjadi lebih hebat dan volume tidal sangat menurun, kenaikan PCO2
dan hipoksemia bertambah berat, terdapat asidosis metabolic sebab hipoksia serta asidosis
respiratorik dan tekanan darah sulit dipertahankan.
H. Penatalaksanaan medis
Pasang jalan nafas yang adekuat * Pencegahan infeksi
Ventilasi Mekanik * Dukungan nutrisi
TEAP * Monitor system terhadap respon
Pemantauan oksigenasi arteri * Perawatan kondisi dasar
Cairan
Farmakologi (O2, Diuretik, A.B)
I. Komplikasi
komplikasi yang dapat terjadi pada ARDS adalah:
Abnormalitas obstruktif terbatas (keterbatasan aliran udara)
Defek difusi sedang
Hipoksemia selama latihan
Toksisitas oksigen
Sepsis
J. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Keadaan-keadaan berikut biasanya terjadi saat periode latent saat fungsi paru
relatif masih terlihat normal (misalnya 12 – 24 jam setelah trauma/shock atau 5 – 10
hari setelah terjadinya sepsis) tapi secara berangsur-angsur memburuk sampai tahapan
kegagalan pernafasan. Gejala fisik yang ditemukan amat bervariasi, tergantung
daripada pada tahapan mana diagnosis dibuat.
Pengumpulan Data
A. Biodata
Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status, suku/bangsa, diagnosa,
tanggal masuk, tanggal pengkajian, no. medical record, dan alamat.
Identitas penanggung jawab
Meliputi nama, umur, alamat, jenis kelamin, pekerjaan, alamat, dan hubungan
dengan klien.
B. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan sekarang
RSMRS
- Kaji apakah klien sebelum masuk rumah sakit memiliki riwayat penyakit
yang sama ketika klien masuk rumah sakit.
Keluhan utama: Nyeri
Riwayat keluhan utama
P : nyeri
Q : Terus menerus
R : seluruh persendian, dada, dan perut
S : 4(0-5)
T : saat beraktifitas
Riwayat kesehatan dahulu
- Kaji apakah klien pernah menderita riwayat penyakit yang sama
sebelumnya.
- Riwayat pemakaian obat-obatan
C. Pengkajian primer
Airway
a. Pengkajian Primer
1) Airway
Jalan napas tidak normal
Terdengar adanya bunyi napas ronchi
Tidak ada jejas badan daerah dada
2) Breathing
Peningkatan frekunsi napas
Napas dangkal dan cepat
Kelemahan otot pernapasan
Kesulitan bernapas: sianosis
3) Circulation
Penurunan curah jantung: gelisah, letargi, takikardia
Sakit kepala
Pingsan
berkeringat banyak
Reaksi emosi yang kuat
Pusing, mata berkunang – kunang
4) Disability
Dapat terjadi penurunan kesadaran
Triase: merah
D. Pengkajian Sekunder
Aktivitas / istrahat
Gejal
a
: - Klien mengeluh mudah lelah
- Klien mengatakan kurang mampu melakukan aktivitas
Tanda : - Klien nampak gelisah
- Kelemahan otot
Sirkulasi
Tanda : - Tekanan darah bisa normal atau meningkat (terjadinya
hipoksemia)
- Hipotensi terjadi pada stadium lanjut (shock).
- Heart rate: takikardi biasa terjadi
- Kulit dan membran mukosa: mungkin pucat, dingin.
- Cyanosis biasa terjadi (stadium lanjut)
Integritas ego
Gejal
a
: - Klien mengatakan ingin cepat sembuh dari penyakit
- Klien mengatakan takut akan kondisi penyakitnya
Tanda : - Cemas
- Ketakutan akan kematian
Makanan dan cairan
Gejal
a
: - Klien mengatakan nafsu untuk makan kurang
Tanda : - Perubahan berat badan
- Porsi makan tidak dihabiskan
Pernapasan
Gejal
a
: - Klien mengatakan kesulitan untuk bernapas
- Klien mengatakan merasakan sesak
Tanda : - Peningkatan kerja napas (penggunaan otot pernapasan)
- Bunyi napas mungkin crakles, ronchi, dan suara nafas
bronchial
- Napas cepat
- Perkusi dada: Dull diatas area konsolidasi
- Penurunan dan tidak seimbangnya ekpansi dada
- Peningkatan fremitus (tremor vibrator pada dada yang
ditemukan dengan cara palpasi.
- Sputum encer, berbusa
- Pallor atau cyanosis
a. Pengelompokan data
Data subyektif
- Klien mengeluh mudah lelah
- Klien mengatakan kurang mampu melakukan aktivitas
- Klien mengatakan ingin cepat sembuh dari penyakit
- Klien mengatakan takut akan kondisi penyakitnya
- Klien mengatakan nafsu untuk makan kurang
- Klien mengatakan kesulitan untuk bernapas
- Klien mengatakan merasakan sesak
Data obyektif
- Peningkatan kerja napas (penggunaan otot pernapasan)
- Bunyi napas mungkin crakles, ronchi, dan suara nafas bronchial
- Napas cepat
- Perkusi dada: Dull diatas area konsolidasi
- Penurunan dan tidak seimbangnya ekpansi dada
- Peningkatan fremitus (tremor vibrator pada dada yang ditemukan dengan cara
palpasi.
- Sputum encer, berbusa
- Pallor atau cyanosis
- Perubahan berat badan
- Porsi makan tidak dihabiskan
- Cemas
- Ketakutan akan kematian
- Tekanan darah bisa normal atau meningkat (terjadinya hipoksemia)
- Hipotensi terjadi pada stadium lanjut (shock).
- Heart rate: takikardi biasa terjadi
- Kulit dan membran mukosa: mungkin pucat, dingin.
- Cyanosis biasa terjadi (stadium lanjut)
- Klien nampak gelisah
- Kelemahan otot
- Klien nampak mudah lelah bila beraktivitas
b. Analisa Data
Data Penyebab Masalah
Ds :
- Klien mengatakan kesulitan untuk
bernapas
Trauma langsung / tak
langsung pada paru
↓
Tidak efektifnya
jalan napas
- Klien mengatakan merasakan
sesak
Do :
- Bunyi napas mungkin crakles,
ronchi, dan suara nafas bronchial
- Perkusi dada: Dull diatas area
konsolidasi
- Peningkatan fremitus (tremor
vibrator pada dada yang
ditemukan dengan cara palpasi.
- Sputum encer, berbusa
Mengganggu mekanisme
pertahanan saluran napas
↓
Kehilangan fungsi silia
jalan napas
↓
Tidak efektifnya jalan
napas
Ds :
- Klien mengatakan kesulitan untuk
bernapas
- Klien mengatakan merasakan
sesak
Do :
- Peningkatan kerja napas
(penggunaan otot pernapasan)
- Napas cepat
- Penurunan dan tidak
seimbangnya ekpansi dada
- Kulit dan membran mukosa:
mungkin pucat, dingin.
- Cyanosis biasa terjadi (stadium
lanjut)
Trauma langsung / tak
langsung pada paru
↓
Toksik terhadap
epithelium asleolar
↓
Kerusakan membrane
kapiler alveoli
↓
Kerusakan epithelium
alveolar
↓
Kebocoran cairan dalam
alveoli
↓
Edema alveolar
↓
Wolume dan compliance
paru menurun
↓
Ketidak seimbangan
Gangguan
pertukaran gas
ventilasi perfusi hubungan
arterio – venus dan
kelainan difusi alveoli –
kapiler
↓
Kerusakan pertukaran gas
Ds :
- Klien mengeluh mudah lelah
- Klien mengatakan kurang mampu
melakukan aktivitas
Do :
- Kelemahan otot
- Klien nampak mudah lelah bila
beraktivitas
Trauma pada paru
↓
Kerusakan membrane
kapiler alveoli
↓
Edema alveolar dan
interstitial
↓
Sesak
↓
Kelemahan otot
↓
Mudah lelah
↓
Intoleransi aktivitas
Intoleransi
aktivitas
Ds :
- Klien mengatakan nafsu untuk
makan kurang
Do :
- Perubahan berat badan
- Porsi makan tidak dihabiskan
Trauma pada paru
↓
Kerusakan membrane
kapiler alveoli
↓
Edema alveolar dan
interstitial
↓
Sesak
↓
Menurunan nafsu makan
↓
Gangguan
pemenuhan nutrisi
Intake nutrisi kurang
↓
Penurunan berat badan
↓
Nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Ds :
- Klien mengatakan ingin cepat
sembuh dari penyakit
- Klien mengatakan takut akan
kondisi penyakitnya
Do :
- Cemas
- Ketakutan akan kematian
Gangguan pernapasan
↓
Perubahan status
kesehatan
↓
Koping individu tak
efektif
↓
Kurang informasi tentang
penyakitnya
↓
Stress psikologis
↓
Ansietas
Ansietas
c. Prioritas masalah
1) Tidak efektifnya jalan nafas
2) Gangguan pertukaran gas.
3) Gangguan pemenuhan nutrisi
4) Intoleransi aktivitas
5) Ansietas
2. Diagnosa Keperawatan
1. Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan nafas
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan alveolar hipoventilasi, penumpukan
cairan di permukaan alveoli
3. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake nutrisi tidak adekuat
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot
5. Cemas/takut berhubungan dengan perubahan status kesehatan
3. Intervensi Keperawatan
Hari/
Tgl
No.
Dx
Rencana Perawatan Ttd
Tujuan dan
Kriteria Hasil
Intervensi Rasional
1 Setelah diberikan
tindakan
keperawatan
selama ..x…
jam,
diharapkan
jalan nafas
menjadi
efektif, dengan
criteria hasil :
- Px dapat
mempertahan-
kan jalan nafas
dengan bunyi
napas yang
jernih dan
ronchi (-)
- Px bebas dari
dispnea
- Px dapat
mengeluarkan
secret tanpa
kesulitan
1. Catat perubahan
dalam bernafas dan
pola nafasnya
2. Observasi dari
penurunan
pengembangan
dada dan
peningkatan
fremitus
3.Catat
karakteristik dari
suara nafas
4. Catat
karakteristik dari
batuk
1. Penggunaan otot-otot
interkostal /abdominal/leher
dapat meningkatkan usaha
dalam bernafas
2. Pengembangan dada dapat
menjadi batas dari akumulasi
cairan dan adanya cairan
dapat meningkatkan fremitus
3. Suara nafas terjadi karena
adanya aliran udara melewati
batang tracheo branchial dan
juga karena adanya cairan,
mukus atau sumbatan lain
dari saluran nafas
4. Karakteristik batuk dapat
merubah ketergantungan
pada penyebab dan etiologi
dari jalan nafas. Adanya
sputum dapat dalam jumlah
yang banyak, tebal dan
- Px dapat
memperlihatka
n tingkah laku
mempertahank
a jalan nafas
- RR = 20
x/menit ; HR =
75 – 100
x/menit
5. Pertahankan
posisi tubuh/posisi
kepala dan gunakan
jalan nafas
tambahan bila perlu
6. Kaji kemampuan
batuk, latihan nafas
dalam, perubahan
posisi dan lakukan
suction bila ada
indikasi
7. Peningkatan oral
intake jika
memungkinkan
Kolaborasi:
8. Berikan oksigen,
cairan IV;
tempatkan di kamar
humidifier sesuai
indikasi
9. Berikan
fisiotherapi dada
misalnya: postural
drainase, perkusi
dada/vibrasi jika
ada indikasi
10. Berikan therapi
aerosol, ultrasonik
nabulasasi
11. Berikan
bronchodilator
purulent
5. Pemeliharaan jalan nafas
bagian nafas dengan paten
6. Penimbunan sekret
mengganggu ventilasi dan
predisposisi perkembangan
atelektasis dan infeksi paru
7. Peningkatan cairan per
oral dapat mengencerkan
sputum
8. Mengeluarkan sekret dan
meningkatkan transport
oksigen
9. Meningkatkan drainase
sekret paru, peningkatan
efisiensi penggunaan otot-oto
pernafasan
10. Dapat berfungsi sebagai
bronchodilatasi dan
mengeluarkan secret
11. Diberikan untuk
mengurangi bronchospasme,
misalnya:
aminofilin, albuteal
dan mukolitik
menurunkan viskositas secret
dan meningkatkan ventilasi
2 Setelah diberikan
tindakan
keperawatan
selama 2x 24 jam,
diharapkan
gangguan
pertukaran gas
tidak terjadi,
dengan criteria
hasil :
- Pasien dapat
memperlihatkan
ventilasi dan
oksigenasi yang
adekuat
- Bebas dari
gejala distress
pernafasan
- RR = 20
x/menit ; HR =
75 – 100
x/menit
1. Kaji status
pernafasan,
catat
peningkatan
respirasi atau
perubahan pola
nafas
2. Catat ada
tidaknya suara
nafas dan
adanya bunyi
nafas tambahan
seperti crakles,
dan wheezing
3. Kaji adanya
cyanosis
1. Takipneu adalah
mekanisme
kompensasi untuk
hipoksemia dan
peningkatan usaha
nafas
2. Suara nafas
mungkin tidak
sama atau tidak ada
ditemukan. Crakles
terjadi karena
peningkatan cairan
di permukaan
jaringan yang
disebabkan oleh
peningkatan
permeabilitas
membran alveoli –
kapiler. Wheezing
terjadi karena
bronchokontriksi
atau adanya mukus
pada jalan nafas
3. Selalu berarti
bila diberikan
oksigen (desaturasi
5 gr dari Hb)
4. Observasi
adanya somnolen,
confusion, apatis,
dan
ketidakmampuan
beristirahat
5. Berikan istirahat
yang cukup dan
nyaman
Kolaborasi:
6. Berikan
humidifier oksige
dengan masker
CPAP jika ada
indikasi
7. Berikan
pencegahan IPBB
8. Review X-Ray
dada
sebelum cyanosis
muncul. Tanda
cyanosis dapat
dinilai pada mulut,
bibir yang indikasi
adanya hipoksemia
sistemik, cyanosis
perifer seperti pada
kuku dan
ekstremitas adalah
vasokontriksi.
4. Hipoksemia
dapat menyebabkan
iritabilitas dari
miokardium
5. Menyimpan
tenaga pasien,
mengurangi
penggunaan
oksigen
6. Memaksimalkan
pertukaran oksigen
secara terus
menerus dengan
tekanan yang sesuai
7. Peningkatan
ekspansi paru
meningkatkan
oksigenasi
8.Memperlihatkan
kongesti paru yang
9. Berikan obat-
obat jika ada
indikasi seperti
steroids, antibiotic,
bronchodilator dan
ekspektorant
progresif
9.Untuk mencegah
ARDS
3 Setelah diberikan
tindakan
keperawatan
selama 2x 24 jam,
diharapkan
kebutuhan nutrisi
pasien terpenuhi ,
dengan criteria
hasil :
-Dapat
meningkatkan
nafsu makan klien
- porsi makan
dihabiskan
-Peningkatan berat
badan
1.Evaluasi
kemampuan makan
2.Observasi
penurunan otot
umum,kehilangan
lemak subkutan
3.Timbang berat
badan sesuai
indikasi
4. Berikan makan
lembut sering
dalam jumlah
kecil/mudah
dicerna bila
mampu menelan
Kolaborasi:
5. Pastikan diet
memenuhi
1. Mengetahui nafsu
makan klien
2. Gejala ini indikasi
penurunan energy otot
dan dapat menurunkan
fungsi otot pernapasan
3. Kehilangan berat
badan bermakna dan
pada saat ini dan
masukan makanan buruk
memerikan petunjuk
tentang katabolisme,
simpanan glikogen otot
dan sensitivitas
kemudian ventilator
4. Mencegah kelelahan
berlebihan,meningkatkan
pemasukan dan
penurunan resiko
distress gaster
5. Tinggi karbohidrat,
protein dan kalori
kebutuhan
pernapasan sesuai
indikasi
6. Awasi
pemeriksaan
laboratorium sesuai
indikasi, contoh
serum, transferrin,
glukosa
diperlukan selama
ventilasi untuk
memperbaiki fungsi otot
pernpaasan, karbohidrat
mungkin menurun dan
lemak kadang meningkat
sebelum penyapihan
upaya untuk mencegah
produksi CO2 berlebihan
dan menurunkan kemudi
pernapasan
6. Memberikan
informasi tentang
dukungan nutrisi adekuat
/ perlu perubahan
4 Setelah diberikan
tindakan
keperawatan
selama 1x 24 jam,
diharapkan pasien
dapat
meningkatkan
aktivitas, dengan
kriteria hasil:
-Vital sign dalam
1. Evaluasi respons
pasien terhada
aktivitas. Catat
laporan dyspnea,
peningkatan
kelemahan /
kelelahan dan
perubahan tanda
vital selama dan
setelah aktivitas
1. Menetapkan
kemampuan / kebutuhan
pasien dan memudahkan
pilihan intervensi
rentang normal
keika beraktivitas
RR:16-24x/menit
Nadi:60-100x/
menit
Suhu: 36,50C –
37,50C
TD: 110/70 -
139/89 mmHg
-Kelemahan berat
tak tampak
2. Berikan
lingkungan tenang
dan batasi
pengunjung selama
fase akut sesuai
indikasi. Dorong
penggunaan
manajemen stress
dan pengalihan
yang tepat
3. Jelaskan
pentingnya istrahat
dalam rencana
pengobatan dan
perlunya
keseimbangan
aktivitas dan
istirahtat
4. Bantu pasien
memilih posisi
nyaman untuk
istrahat dan tidur
5.Bantu aktivitas
perawatan diri
yang diperlukan
2. Menurunkan stress
dan rangsangan
berlebihan,
meningkatkan istirahat
3. Tirah baring
dipertahankan selama
fase akut untuk
menurunkan kebutuhan
metabolic, menghemat
energy untuk
penyembuhan.
Pembatasan aktivitas
ditentukan dengan
respons individual
pasien terhadap aktivitas
dan perbaikan kegagalan
pernapasan
4. Pasien mungkin
nyaman dengan kepala
tinggi, tidur di kursi atau
menunduk kedepan meja
atau bantal
5. Meminimalkan
kelelahan dan membantu
keseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen
5 Setelah diberikan 1.Observasi 1.Hipoksemia dapat
tindakan
keperawatan
selama 1x 24 jam,
diharapkan
ansietas/ketakutan
(spefisikkan) px
dapat berkurang,
dengan criteria
hasil :
-Pasien dapat
mengungkapkan
perasaan
cemasnya secara
verbal
-Ketakutannya,dan
rasa cemasnya
mulai berkurang
peningkatan
pernafasan, agitasi,
kegelisahan dan
kestabilan emosi.
2. Pertahankan
lingkungan yang
tenang dengan
meminimalkan
stimulasi.
Usahakan
perawatan dan
prosedur tidak
menggaggu waktu
istirahat
3. Bantu dengan
teknik relaksasi,
meditasi.
4.Identifikasi
persepsi pasien
dari pengobatan
yang dilakukan
5. Dorong pasien
untuk
mengekspresikan
kecemasannya
6. Membantu
menerima situasi
dan hal tersebut
menyebabkan
kecemasan
2. Cemas berkurang oleh
meningkatkan relaksasi
dan pengawetan energi
yang digunakan.
3.Memberi kesempatan
untuk pasien untuk
mengendalikan
kecemasannya dan
merasakan sendiri dari
pengontrolannya.
4. Menolong mengenali
asal
kecemasan/ketakutan
yang dialami.
5. Langkah awal dalam
mengendalikan
perasaan-perasaan yang
teridentifikasi dan
terekspresi.
6. Menerima stress yang
sedang dialami tanpa
denial, bahwa segalanya
harus
ditanggulanginya
7. Berikan
informasi tentang
keadaan yang
sedang dialaminya
8.Identifikasi
tehnik pasien yang
digunakan
sebelumnya untuk
menanggulangi
rasa cemas
Kolaborasi:
9. Memberikan
sedative sesuai
indikasi dan
monitor efek yang
merugikan
akan menjadi lebih baik.
7. Menolong pasien
untuk menerima apa
yang sedang terjadi dan
dapat mengurangi
kecemasan/ketakutan
apa yang tidak
diketahuinya.
Penentraman hati yang
palsu tidak menolong
sebab tidak ada perawat
maupun pasien tahu hasil
akhir dari permasalahan
itu
8. Kemampuan yang
dimiliki pasien akan
meningkatkan sistem
pengontrolan terhadap
kecemasannya
9. Mungkin dibutuhkan
untuk menolong dalam
mengontrol kecemasan
dan meningkatkan
istirahat. Bagaimanapun
juga efek samping
seperti depresi
pernafasan mungkin
batas atau kontraindikasi
penggunaan.
III. TRAUMA TORAKS
A. Definisi
Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma
atau ruda paksa tajam atau tumpul. Trauma thorak adalah trauma yang terjadi pada toraks
yang menimbulkan kelainan pada organ-organ didalam toraks. Trauma thorax adalah luka
atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding
thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul
dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.
B. Etiologi
1. Trauma Tajam
Luka Tembak
Luka Tikam / tusuk
2. Trauma tumpul
Kecelakaan kendaraan bermotor
Jatuh
Pukulan pada dada
C. Klasifikasi
Trauma toraks dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu trauma tembus atau
tumpul:
1. Trauma tembus (tajam)
Biasanya disebabkan tekanan mekanikal yang dikenakan secara direk yang berlaku
tiba-tiba pada suatu area fokal. Berat ringannya cedera internal yang berlaku tergantung pada
organ yang telah terkena dan seberapa vital organ tersebut. Derajat cedera tergantung pada
mekanisme dari penetrasi dan temasuk, diantara faktor lain (kecepatan, ukuran permukaan
impak, densitas jaringan yang terpenetrasi), adalah efisiensi dari energi yang dipindahkan
dari obyek ke jaringan tubuh yang terpenetrasi. Terutama akibat tusukan benda tajam (pisau,
kaca, dsb) atau peluru. Sekitar 10-30% memerlukan operasi torakotomi.
2. Trauma tumpul
Trauma tumpul lebih sering didapatkan berbanding trauma tembus, kira-kira lebih dari
90% trauma thoraks. Dua mekanisme yang terjadi pada trauma tumpul: (1) transfer energi
secara direk pada dinding dada dan organ toraks dan (2) deselerasi deferensial, yang dialami
oleh organ toraks ketika terjadinya impak. Terutama akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh,
olahraga, crush atau blast injuries. Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah
kontusio paru. Sekitar <10% yang memerlukan operasi torakotomi. Trauma tumpul toraks
akibat kecelakaan lalu lintas sebagai hasil mendadaknya kontak antara dinding toraks dan
batang kemudi mobil, merupakan trauma deselerasi yang khas, yang bisa menyebabkan
kontusio paru atau miokardium yang bermakna. Mungkin ada sedikit bukti trauma luar pada
pemeriksaan dinding toraks. Harus diinspeksi cermat dinding toraks dan harus secara khusus
awas untuk mendeteksi adanya fraktur iga atau sternum, pemisahan costochondral serta flail
chest. Fraktur iga pertama atau kedua biasanya menunjukkan bahwa tenaga bermakna telah
diberikan ke dinding toraks dan fraktur demikian disertai dengan 14 persen insidens cedera
vaskular bermakna.
D. Mekanisme
1. Akselerasi
Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab trauma. Gaya perusak
berbanding lurus dengan massa dan percepatan (akselerasi); sesuai dengan hukum Newton II
(Kerusakan yang terjadi juga bergantung pada luas jaringan tubuh yang menerima gaya
perusak dari trauma tersebut).
Pada luka tembak perlu diperhatikan jenis senjata dan jarak tembak; penggunaan senjata
dengan kecepatan tinggi seperti senjata militer high velocity (>3000 ft/sec) pada jarak dekat
akan mengakibatkan kerusakan dan peronggaan yang jauh lebih luas dibandingkan besar
lubang masuk peluru.
2. Deselerasi
Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan. Biasanya terjadi pada
tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat trauma. Kerusakan terjadi oleh karena pada
saat trauma, organ-organ dalam yang mobile (seperti bronkhus, sebagian aorta, organ visera,
dsb) masih bergerak dan gaya yang merusak terjadi akibat tumbukan pada dinding
toraks/rongga tubuh lain atau oleh karena tarikan dari jaringan pengikat organ tersebut.
3. Torsio dan rotasi
Gaya torsio dan rotasio yang terjadi umumnya diakibatkan oleh adanya deselerasi organ-
organ dalam yang sebagian strukturnya memiliki jaringan pengikat/fiksasi, seperti isthmus
aorta, bronkus utama, diafragma atau atrium. Akibat adanya deselerasi yang tiba-tiba, organ-
organ tersebut dapat terpilin atau terputar dengan jaringan fiksasi sebagai titik tumpu atau
poros-nya.
4. Blast injury
Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya kontak langsung dengan
penyebab trauma. Seperti pada ledakan bom. Gaya merusak diterima oleh tubuh melalui
penghantaran gelombang energi.
E. Faktor Lain yang Mempengaruhi
1. Sifat jaringan tubuh
Jenis jaringan tubuh bukan merupakan mekanisme dari perlukaan, akan tetapi sangat
menentukan pada akibat yang diterima tubuh akibat trauma. Seperti adanya fraktur iga pada
bayi menunjukkan trauma yang relatif berat dibanding bila ditemukan fraktur pada orang
dewasa. Atau tusukan pisau sedalam 5 cm akan membawa akibat berbeda pada orang gemuk
atau orang kurus, berbeda pada wanita yang memiliki payudara dibanding pria, dsb.
2. Lokasi
Lokasi tubuh tempat trauma sangat menentukan jenis organ yang menderita kerusakan,
terutama pada trauma tembus. Seperti luka tembus pada daerah pre-kordial.
3. Arah trauma
Arah gaya trauma atau lintasan trauma dalam tubuh juga sangat mentukan dalam
memperkirakan kerusakan organ atau jaringan yang terjadi. Perlu diingat adanya efek
"ricochet" atau pantulan dari penyebab trauma pada tubuh manusia. Seperti misalnya : trauma
yang terjadi akibat pantulan peluru dapat memiliki arah (lintasan peluru) yang berbeda dari
sumber peluru sehingga kerusakan atau organ apa yang terkena sulit diperkirakan.
Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma toraks. Hipoksia
jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh
karena hipovolemia (kehilangan darah), pulmonary ventilation/perfusion mismatch (contoh
kontusio, hematoma, kolaps alveolus) dan perubahan dalam tekanan intratoraks (contoh :
tension pneumotoraks, pneumotoraks terbuka). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh
tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intratoraks atau penurunan tingkat
kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dan jaringan (syok).
1. Trauma Tembus
Pneumothoraks terbuka
Hemothoraks
Trauma tracheobronkial
Contusi Paru
Ruptur diafragma
Trauma Mediastinal
2. Trauma Tumpul
Tension pneumothoraks
Trauma tracheobronkhial
Flail Chest
Ruptur diafragma
Trauma mediastinal
Fraktur kosta
F. Kelainan Akibat Trauma Toraks
1. Fraktur iga.
Fraktur pada iga (costae) merupakan kelainan tersering yang diakibatkan trauma
tumpul pada dinding dada. Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur iga, oleh karena
luas permukaan trauma yang sempit, sehingga gaya trauma dapat melalui sela iga. Fraktur
iga terutama pada iga IV-X (mayoritas terkena) . Perlu diperiksa adanya kerusakan pada
organ-organ intra-toraks dan intra abdomen. Kecurigaan adanya kerusakan organ intra
abdomen (hepar atau spleen) bila terdapat fraktur pada iga VIII-XII . Kecurigaan adanya
trauma traktus neurovaskular utama ekstremitas atas dan kepala (pleksus brakhialis, a/v
subklavia, dsb.), bila terdapat fraktur pada iga I-III atau fraktur klavikula.
Penatalaksanaan
1. Fraktur 1-2 iga tanpa adanya penyulit/kelainan lain : konservatif (analgetika)
2. Fraktur >2 iga : waspadai kelainan lain (edema paru, hematotoraks, pneumotoraks)
3. Penatalaksanaan pada fraktur iga multipel tanpa penyulit pneumotoraks,
hematotoraks, atau kerusakan organ intratoraks lain, adalah:
Analgetik yang adekuat (oral/ iv / intercostal block)
Bronchial toilet
Cek Lab berkala : Hb, Ht, Leko, Tromb, dan analisa gas darah
Cek Foto Ro berkala
Penatalaksanaan fraktur iga multipel yang disertai penyulit lain (seperti:
pneumotoraks, hematotoraks dsb.), ditujukan untuk mengatasi kelainan yang mengancam
jiwa secara langsung, diikuti oleh penanganan pasca operasi/tindakan yang adekuat
(analgetika, bronchial toilet, cek lab dan ro berkala), sehingga dapat menghindari
morbiditas/komplikasi. Komplikasi tersering adalah timbulnya atelektasis dan pneumonia,
yang umumnya akibat manajemen analgetik yang tidak adekuat.
2. Fraktur Klavikula
Cukup sering sering ditemukan (isolated, atau disertai trauma toraks, atau disertai
trauma pada sendi bahu ).
Lokasi fraktur klavikula umumnya pada bagian tengah (1/3 tengah)
Deformitas, nyeri pada lokasi taruma.
Foto Rontgen tampak fraktur klavikula
Penatalaksanaan
1. Konservatif : "Verband figure of eight" sekitar sendi bahu. Pemberian analgetika.
2. Operatif : fiksasi internal
Komplikasi : timbulnya malunion fracture dapat mengakibatkan penekanan pleksus
brakhialis dan pembuluh darah subklavia.
3. Fraktur Sternum
Insidens fraktur sternum pada trauma toraks cukup jarang, umumnya terjadi pada
pengendara sepeda motor yang mengalami kecelakaan.
Biasanya diakibatkan trauma langsung dengan gaya trauma yang cukup besar
Lokasi fraktur biasanya pada bagian tengah atas sternum
Sering disertai fraktur Iga.
Adanya fraktur sternum dapat disertai beberapa kelainan yang serius, seperti:
kontusio/laserasi jantung, perlukaan bronkhus atau aorta.
Tanda dan gejala: nyeri terutama di area sternum, krepitasi
Pemeriksaan
Seringkali pada pemeriksaan Ro toraks lateral ditemukan garis fraktur, atau gambaran
sternum yang tumpang tindih.
Pemeriksaan EKG : 61% kasus memperlihatkan adanya perubahan EKG (tanda
trauma jantung).
Penatalaksanaan
1. Untuk fraktur tanpa dislokasi fragmen fraktur dilakukan pemberian analgetika dan
observasi tanda2 adanya laserasi atau kontusio jantung
2. Untuk fraktur dengan dislokasi atau fraktur fragmented dilakukan tindakan operatif
untuk stabilisasi dengan menggunakan sternal wire, sekaligus eksplorasi adanya
perlukaan pada organ atau struktur di mediastinum.
4. Dislokasi Sendi Sternoklavikula
Kasus jarang
Dislokasi anterior : nyeri, nyeri tekan, terlihat "bongkol klavikula" (sendi
sternoklavikula) menonjol kedepan
Posterior : sendi tertekan kedalam
Pengobatan : reposisi
5. Flail Chest
Adalah area toraks yang "melayang" (flail) oleh sebab adanya fraktur iga multipel
berturutan ≥ 3 iga , dan memiliki garis fraktur ≥ 2 (segmented) pada tiap iganya. Akibatnya
adalah: terbentuk area "flail" yang akan bergerak paradoksal (kebalikan) dari gerakan
mekanik pernapasan dinding dada. Area tersebut akan bergerak masuk saat inspirasi dan
bergerak keluar pada ekspirasi.
Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan
keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau
lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya semen flail chest (segmen
mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan
parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan
menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma
pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan
dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan
ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya
hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding
dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya.
Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan
dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan
tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur
tulang rawan membantu diagnosisi. Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat
fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat.
Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga
membantu dalam diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian
ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan.
Bila tidak ditemukan syok maka pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih
berhati-hati untuk mencegah kelebihan pemberian cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru
pada Flail Chest, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun kelebihan resusitasi
cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar
optimal.
Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi
yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua
penderita membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting
pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat
sampai diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara
lengkap. Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian
kinerja pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi
dan ventilasi.
Karakteristik
Gerakan "paradoksal" dari (segmen) dinding dada saat inspirasi/ekspirasi; tidak
terlihat pada pasien dalam ventilator
Menunjukkan trauma hebat
Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala, abdomen, ekstremitas)
Komplikasi utama adalah gagal napas, sebagai akibat adanya ineffective air
movement, yang seringkali diperberat oleh edema/kontusio paru, dan nyeri. Pada pasien
dengan flail chest tidak dibenarkan melakukan tindakan fiksasi pada daerah flail secara
eksterna, seperti melakukan splint/bandage yang melingkari dada, oleh karena akan
mengurangi gerakan mekanik pernapasan secara keseluruhan.
Penatalaksanaan
sebaiknya pasien dirawat intensif bila ada indikasi atau tanda-tanda kegagalan
pernapasan atau karena ancaman gagal napas yang biasanya dibuktikan melalui
pemeriksaan AGD berkala dan takipneu
pain control
stabilisasi area flail chest (memasukkan ke ventilator, fiksasi internal melalui operasi)
bronchial toilet
fisioterapi agresif
tindakan bronkoskopi untuk bronchial toilet
Indikasi Operasi (stabilisasi) pada flail chest:
1. Bersamaan dengan Torakotomi karena sebab lain (cth: hematotoraks masif, dsb)
2. Gagal/sulit weaning ventilator
3. Menghindari prolong ICU stay (indikasi relatif)
4. Menghindari prolong hospital stay (indikasi relatif)
5. Menghindari cacat permanen
Tindakan operasi adalah dengan fiksasi fraktur iga sehingga tidak didapatkan lagi area
"flail"
6. Kontusio paru
Merupakan kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan potentially lethal
chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak
langsung terjadi setelah kejadian, sehingga rencana penanganan definitif dapat berubah
berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan
evaluasi penderita yang berulang-ulang. Penderita dengan hipoksia bermakna (PaO2 < 65
mmHg atau 8,6 kPa dalam udara ruangan, SaO2 < 90 %) harus dilakukan intubasi dan
diberikan bantuan ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma.
Terjadi terutama setelah trauma tumpul toraks
Dapat pula terjadi pada trauma tajam dg mekanisme perdarahan dan edema parenkim
→ konsolidasi
Patofisiologi : kontusio/cedera jaringan → edema dan reaksi inflamasi → lung
compliance ↓ → ventilation-perfusion mismatch → hipoksia & work of breathing ↑
Diagnosis : ro toraks dan pemeriksaan lab (PaO2 ↓) . Manifestasi klinis dapat timbul atau
memburuk dalam 24-72 jam setelah trauma
Kondisi medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit paru kronis
dan gagal ginjal menambah indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi
mekanik. Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani secara selektif tanpa
intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik. Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan
analisis gas darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan diperlukan untuk
penanganan yang optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan perlu ditransfer maka harus
dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih dahulu.
Penatalaksanaan
Tujuan:
Mempertahankan oksigenasi
Mencegah/mengurangi edema
Tindakan : bronchial toilet, batasi pemberian cairan (iso/hipotonik), O2, pain control,
diuretika, bila perlu ventilator dengan tekanan positif (PEEP > 5)
7. Laserasi Paru
Robekan pada parenkim paru akibat trauma tajam atau trauma tumpul keras yang disertai
fraktur iga.
Manifestasi klinik umumnya adalah : hemato + pneumotoraks
Penatalaksanaan umum : WSD
Indikasi operasi :
Hematotoraks masif (lihat hematotoraks)
Adanya contiuous buble pada WSD yang menunjukkan adanya robekan paru
Distress pernapasan berat yang dicurigai karena robekan luas
8. Pneumotoraks
Adanya udara yang terperangkap di rongga pleura. Pneumotoraks akan meningkatkan
tekanan negatif intrapleura sehingga mengganggu proses pengembangan paru. Terjadi karena
trauma tumpul atau tembus toraks. Dapat pula terjadi karena perlukaan pleura viseral
(barotrauma), atau perlukaan pleura mediastinal (trauma trakheobronkhial)
Diakibatkan masuknya udara pada ruang potensial antara pleura viseral dan parietal.
Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat ditemukan bersama dengan pneumotoraks.
Laserasi paru merupakan penyebab tersering dari pnerumotoraks akibat trauma tumpul.
Dalam keadaan normal rongga toraks dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya
sampai dinding dada oleh karena adanya tegangan permukaan antara kedua permukaan
pleura. Adanya udara di dalam rongga pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan paru.
Gangguan ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak mengalami
ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi. Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun
pada sisi yang terkena dan pada perkusi hipesonor.
Foto toraks pada saat ekspirasi membantu menegakkan diagnosis. Terapi terbaik pada
pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest tube lpada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior
dari garis mid-aksilaris. Bila pneumotoraks hanya dilakukan observasi atau aspirasi saja,
maka akan mengandung resiko. Sebuah selang dada dipasang dan dihubungkan dengan WSD
dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi
pengembangan kembali paru-paru.
Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan positif tidak boleh diberikan pada
penderita dengan pneumotoraks traumatik atau pada penderita yang mempunyai resiko
terjadinya pneumotoraks intraoperatif yang tidak terduga sebelumnya, sampai dipasang chest
tube.
Pneumotoraks sederhana dapat menjadi life thereatening tension pneumothorax, terutama
jika awalnya tidak diketahui dan ventilasi dengan tekanan posiif diberikan. Toraks penderita
harus dikompresi sebelum penderita ditransportasi/rujuk.
Diklasifikasikan menjadi tiga : simpel, tension, open
Pneumotoraks Simpel
Adalah pneumotoraks yang tidak disertai peningkatan tekanan intra toraks yang progresif.
Ciri:
Paru pada sisi yang terkena akan kolaps (parsial atau total)
o Tidak ada mediastinal shift
PF: bunyi napas ↓ , hyperresonance (perkusi), pengembangan dada ↓
Penatalaksanaan: WSD
Pneumothorax terbuka ( Sucking chest wound )
Terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada dada sehingga udara dapat keluar
dan masuk rongga intra toraks dengan mudah. Tekanan intra toraks akan sama dengan
tekanan udara luar. Defek atau luka yang besar plada dinding dada yang terbuka
menyebabkan pneumotoraks terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura akan segera menjadi
sama dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding dada mendekati 2/3 dari diameter
trakea maka udara akan cenderung mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang
kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan trakea.
Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.
Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa stril yang diplester hanya pada 3 sisinya
saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek flutter Type Valve dimana
saat inspirasi kasa pnutup akan menutup luka, mencegah kebocoran udara dari dalam.
Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk menyingkirkan udara keluar. Setelah itu
maka sesegera mungkin dipasang selang dada yang harus berjauhan dari luka primer.
Menutup seluruh sisi luka akan menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura
yang akan menyebabkan tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang.
Kasa penutup sementara yang dapat dipergunakan adalah Plastic Wrap atau Petrolotum
Gauze, sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan dilanjutkan dengan
penjahitan luka.
Penatalaksanaan:
1. Luka tidak boleh ditutup rapat (dapat menciptakan mekanisme ventil)
2. Pasang WSD dahulu baru tutup luka
3. Singkirkan adanya perlukaan/laserasi pada paru-paru atau organ intra toraks lain.
4. Umumnya disertai dengan perdarahan (hematotoraks)
Pneumotoraks Tension
Merupakan pneumotoraks yang disertai peningkatan tekanan intra toraks yang
semakin lama semakin bertambah (progresif). Pada pneumotoraks tension ditemukan
mekanisme ventil (udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak dapat keluar).
Ciri:
Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi : kolaps total paru,
mediastinal shift (pendorongan mediastinum ke kontralateral), deviasi trakhea →
venous return ↓ → hipotensi & respiratory distress berat.
Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu,
hipotensi, JVP ↑, asimetris statis & dinamis
Merupakan keadaan life-threatening → tdk perlu Ro
Berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil), kebocoran udara yang
berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk ke dalam rongga pleura dan tidak
dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang
tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi
kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah
vena ke jantung (venous return), serta akan menekan paru kontralateral.
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi penggunaan
ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita dengan
kerusakan pada pleura viseral.
Tension pneumothorax dapat timbul sebagai komplikasi dari penumotoraks sederhana
akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau
setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vnea jugularis interna. Kadangkala
defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan tension pneumothorax, jika
salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan pembalut (occhusive dressings) yang
kemudian akan menimbulkan mekanisme flap-valve.
Tension pneumothorax jug adapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang
mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures). Diagnosis tension pneumotorax
ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan tetapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu
konfirmasi radkologi. Tension pneumothorax ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak,
distres pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakes, hilangnya suara nafas pada satu sisi
dan distensi vena leher. Sianosisi merupakan manifestasi lanjut.
Karena ada kesamaan gejala antara tension pneumothorax dan tamponade jantung
maka sering membingungkan pada awalnya tetapi perkusi yang hipersonor dan hilangnya
suara nafas pada hemitoraks yang terkena pada t
9. Hemothorax.
Terakumulasinya darah pada rongga toraks akibat trauma tumpul atau tembus pada
dada. Sumber perdarahan umumnya berasal dari A. interkostalis atau A. mamaria interna.
Perlu diingat bahwa rongga hemitoraks dapat menampung 3 liter cairan, sehingga pasien
hematotoraks dapat syok berat (kegagalan sirkulasi) tanpa terlihat adanya perdarahan yang
nyata, oleh karena perdarahan masif yang terjadi terkumpul di dalam rongga toraks.
Penampakan klinis yang ditemukan sesuai dengan besarnya perdarahan atau jumlah darah
yang terakumulasi. Perhatikan adanya tanda dan gejala instabilitas hemodinamik dan depresi
pernapasan.
Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh
darah interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh trauma tajam atau trauma
tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat menyebabkan terjadinya
hemotoraks.
Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi.
Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks, sebaiknya diterapi
dengan selang dada kaliber besar. Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga
pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat
dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya.
Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap
kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik. Walaupun banyak faktor yang berperan
dalam memutuskan perlunya indikasi operasi pada penderita hemotoraks, status fisiologi dan
volume darah yang keluar dari selang dada merupakan faktor utama.
Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada sebanyak
1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jam untuk 2 sampai 4 jam, atau
jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah herus dipertimbangkan.
Pemeriksaan
Ro toraks (yang boleh dilakukan bila keadaan pasien stabil)
Terlihat bayangan difus radio-opak pada seluruh lapangan paru
Bayangan air-fluid level hanya pada hematopneumotoraks
Indikasi Operasi
Adanya perdarahan masif (setelah pemasangan WSD)
Ditemukan jumlah darah inisial > 750 cc, pada pemasangan WSD < 4 jam setelah
kejadian trauma.
Perdarahan 3-5 cc/kgBB/jam dalam 3 jam berturut-turut
Perdarahan 5-8 cc/kgBB/jam dalam 2 jam berturut-turut
Perdarahan > 8cc/kgBB/jam dalam 1 jam
Bila berat badan dianggap sebagai 60 kg, maka indikasi operasi, bila produksi WSD:
≥ 200 cc/jam dalam 3 jam berturut-turut
≥ 300 cc/jam dalam 2 jam berturut-turut
≥ 500 cc dalam ≤ 1 jam
Penatalaksanaan
Tujuan:
Evakuasi darah dan pengembangan paru secepatnya.
Penanganan hemodinamik segera untuk menghindari kegagalan sirkulasi.
Tindakan Bedah : WSD (pada 90% kasus) atau operasi torakotomi cito (eksplorasi)
untuk menghentikan perdarahan
10. Hemotoraks masif
Yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1.500 cc di dalam rongga pleura.
Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah sistemik atau
pembuluh darah pada hilus paru. Hal ini juga dapat disebabkan trauma tumpul. Kehilangan
darah menyebabkan hipoksia. Vena leher dapat kolaps (flat) akibat adanya hipovolemia berat,
tetapi kadang dapat ditemukan distensi vena leher, jika disertai tension pneumothorax. Jarang
terjadi efek mekanik dari adarah yang terkumpul di intratoraks lalu mendorong mesdiastinum
sehingga menyebabkan distensi dari pembuluh vena leher.
Diagnosis hemotoraks ditegakkan dengan adanya syok yang disertai suara nafas
menghilang dan perkusi pekak pada sisi dada yang mengalami trauma. Terapi awal
hemotoraks masif adalah dengan penggantian volume darah yang dilakukan bersamaan
dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara cepat
dengan jarum besar dan kemudian pmeberian darah dengan golongan spesifik secepatnya.
Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk
autotransfusi. Bersamaan dengan pemberian inf us, sebuah selang dada (chest tube) no. 38
French dipasang setinggi puting susu, anteriordari garis midaksilaris lalu dekompresi rongga
pleura selengkapnya.
Ketika kita mencurigai hemotoraks masif pertimbangkan untuk melakukan
autotransfusi. Jika pada awalnya sudah keluar 1.500 ml, kemungkinan besar penderita
tersebut membutuhkan torakotomi segera. Beberapa penderita yang pada awalnya darah yang
keluar kurang dari 1.500 ml, tetapi pendarahan tetap berlangsung. Ini juga mamebutuhkan
torakotomi. Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah terus menerus
sebanyak 200 cc/jam dalam waktu 2 sampai 4 jam, tetapi status fisiologi penderita tetap lebih
diutamakan. Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi untuk toraktomi.
Selama penderita dilakukan resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan dengan
selang dada (chest tube) dan kehilangan darah selanjutnya harus ditambahkan ke dalam
cairan pengganti yang akan diberikan. Warna darah (arteri atau vena) bukan merupakan
indikator yang baik untuk dipakai sebagai dasar dilakukannya torakotomi.
Luka tembus toraks di daerah anterior medial dari garis puting susu dan luka di daerah
posterior, medial dari skapula harus disadari oleh dokter bahwa kemungkinan dibutuhkan
torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar, struktur hilus dan
jantung yang potensial menjadi tamponade jantung. Torakotomi harus dilakukan oleh ahli
bedah, atau dokter yang sudah berpengalaman dan sudah mendapat latihan.
11. Cedera trakea dan Bronkus.
Cedera ini jarang tetapi mungkin disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tembus,
manifestasi klinisnya yaitu yang biasanya timbul dramatis, dengan hemoptisis bermakna,
hemopneumothorax, krepitasi subkutan dan gawat nafas. Empisema mediastinal dan servical
dalam atau pneumothorax dengan kebocoran udara masif. Penatalaksanaan yaitu dengan
pemasangan pipa endotrakea ( melalui kontrol endoskop ) di luar cedera untuk kemungkinan
ventilasi dan mencegah aspirasi darah, pada torakostomi diperlukan untuk hemothorax atau
pneumothorax.