Post on 08-Feb-2016
description
PSIKOLOGI PERKEMBANGAN
“Death and Dying”
DISUSUN OLEH :
STRUKTUR KELOMPOK VIII:
Anggota:
AMANDA UTARI
ANNISA PUTRI MALTA
RIVO SYAPUTRA
YOHANA GEVITA
PRODI S1 KEPERAWATAN
STIKES ALIFAH PADANG
2012/2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberi rahmat,hidayah,
serta karuniaNya kepada kelompok kami.sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “ Death & dying ” tepat pada waktunya. Makalah ini ditulis sebagai persyaratan dalam
memenuhi tugas kelompok program studi S1 Keperawatan semester V .
Kelompok kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna dan banyak
kesalahan,oleh karena itu kelompok kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini.
Padang, Oktober 2012
(Kelompok)
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ……………………………………………………………………... i
Daftar Isi………………………………………………………………………….…ii
BAB I
Pendahuluan
Latar belakang ………………………………………….……………….… 1
Rumusan masalah…………………………………….……………………. 2
Tujuan makalah………………………………………………………….…..2
BAB II
Tinjauan teori
Defenisi……………………………………………………………………. 3
Ruang lingkup upaya pencegahan…….…………………………………….5
Upaya pencegahan masalah pasien gangguan kesehatan jiwa ….………….7
BAB III
Penutup
Kesimpulan……………………………………………………………… . 14
Saran ……………………………………………………………………... 14
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masa akhir kehidupan merupakan tahap akhir dari masa perkembangan manusia. Pada
fase ini berkembang dua hal harapan hidup dan kematian. Individu yang memiliki harapan hidup
tinggi pun tidak lepas pemikirannya dari kemaatian juga.Kematian merupakan keniscayaan dan
semua orang memiliki perspektif masing-masing mengenai kematian.Dari sini berkembang
harapan tentang akhir hidup (kematian) yang ideal atau baik bagi tiap-tiap individu.Bahkan
sebelum masuk pada masa tua pun individu telah mengembangkan perspektif tentang kematian.
Mulai pada masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa.
Pada usia tua, tiap-tiap individu mengalami proses pertemuan antara perspektif kematian
yang dikembangkannya dengan kematiannya sendiri. Individu pada masa menjelang kematian
(sekarat) menurut Kubler-Ross akan mengalami proses-proses berkaitan dengan pola pikir dan
perilakunya dalam menghadapi kematiannya hingga akhirnya individu mencapai penerimaan
akan kematian yang akan menjemputnya. Kematian memiliki pengaruh sosial yaitu bagi keluarga
dan kerabat yang ditinggalkan. Perasaan berduka dan kehilangan dirasakan oleh keluarga yang
ditinggalkan dan hal ini memiliki dampak psiokologis bagi mereka yang berduka. Hal-hal diatas
dari berkembangnya perspektif tentang kematian pada akhir usia, fase-fase menjelang kematian,
fase berduka cita, kehilangan pasangan hidup menjadi bahasan dalam makalah ini.
1.2Rumusan masalahDalam makalah yang berjudul “Death and Dying” ini memiliki rumusan masalah yaitu :
1. Menjelaskan pengertian dasar dari death and dying tersebut
2. Menjelaskan Tahapan dalam proses kondisi menuju kematian.
3. Menjelaskan Menghadapi Kondisi menuju Kematian
4. Menjelaskan Berhadapan dengan kematian dan situasi sekarat
5. Fase menghadapi duka cita
1.3 tujuan dan manfaattujuan dalam pembuatan makalah ini adalah
1. untuk mengetahui lebih dalam mengenai materi death and dying dalam dunia psikolog
perkembangan
2. Dan sebagai bahan perkuliahan semester V.
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1Death and Dying
Mati dan proses kematian merupakan kondisi yang terkait erat dengan masa tua dan
proses penuaan. Lebih dari itu, mati dan proses kematian menjadi masalah sosial, karena
pemahaman yang kurang mengenai hal itu dengan penelitian yang juga kurang dan belum ada
teknologi yang mampu memperhitungkan mati dan proses kematian. Pada abad ke-15, kematian
dilihat sebagai suatu hinaan terhadap kehidupan. Ketika memasuki abad pencerahan, kematian
dipandang sebagai akhir dari kehidupan dan awal dari keabadiaan. Dalam era borjuis, pandangan
mereka terhadap kematian menyebabkan kematian merupakan suatu kondisi yang dapat dicegah
dengan perawatan dokter. Kemudian pada abad ke-19, kematian dianggap sebagai proses yang
alamiah, di mana para dokter berusaha untuk mencegah pasien dari kematian. Dapat disimpulkan
bahwa tahapan tersebut telah mengubah persepsi mengenai kematian di masyarakat, dari
kejadian yang alamiah menjadi kekuatan alamiah yang memerlukan penanganan medis dan
menelanbiaya.
Definisi tentang kematian pun tidak memiliki kepastian. Dalam hal ini terdapat juga
usaha untuk menegaskan mengenai definisi kematian dengan adanya pengajuan oleh dua
lembaga medis, yaitu berupa The Harvard Plan dan Kansas Statute. Namun setidaknya kematian
didefinisikan sebagai terhentinya fungsi-fungsi organis dan aliran darah dalam tubuh.
2.2 Berhubungan dengan kematian dan kondisi menuju kematian (sekarat) :
Tahapan dalam proses kondisi menuju kematian.Dalam kehidupan makhluk hidup, khususnya manusia tentunya akan menemui akhir dari
segala perjalanan kehidupannya yakni pada kematian. Dari adanya anggapan mengenai
kematian munculah berbagai pertanyaan dalam benak manusia terkait kematian dan kondisi
sekarat. Tiga pertanyaan utama yang umumnya diajukan adalah seperti apakah kondisi
sekarat itu?, apakah kematian merupakan suatu hal yang pasti akan terjadi untuk kita
semua ?, dan bagaimana kondisi sekarat dipandang dari orang yang sedang mengalami hal
tersebut?. Pada tahun 1986, Elisabeth Kübler-Ross dalam bukunya yang berjudul On Death
and Dying ia menjelaskan mengenai lima tahapan yang dilalui oleh pasien dalam kondisi
sekarat. Dimana dalam menjelaskan hal tersebut sebelumnya ia melakukan wawancara
mendalam kepada 400 orang pasien yang telah didiagnosis oleh tenaga medis bahwa
waktunya sudah tidak akan lama lagi bagi mereka untuk mencapai kematian akibat penyakit
yang dideritanya.
Kelima tahapan tesebut diantaranya adalah
Tahap penolakan (Denial)
Tahap kemarahan (Anger)
Tahap penawaran (Bargaining)
Tahap bersiap menuju kematian/depresi (Preparatory grief/Deppression)
Tahap penerimaan (Acceptance).
Kelima tahap yang dibentuk oleh Kübler-Ross sedikit banyak mampu memberikan
gambagaran bagi kita untuk memperkirakan bagaimana perilaku dan apa yang dirasakan
oleh orang yang berada dalam proses menuju kematian (sekarat).
1. Penolakan
Pada tahap pertama yakni penolakan, pasien cenderung merasakan kondisi terguncang
dan menolak diagnosa dari tenaga medis bahwa penyakit yang dideritanya sudah sangat
parah dan memang sudah tidak lama lagi waktu yang ia miliki untuk tetap hidup di dunia.
Menurut Kübler-Ross pada tahap ini umumnya pasien memberikan reaksi seperti “Hal ini
tidak mungkin, dan tidak mungkin saya yang harus mengalami hal ini, setiap harinya
banyak orang lain diluar sana memang mengalami hal ini tapi kenapa sekarang harus
saya yang mengalami hal ini, setidaknya tidak untuk hari ini”. Penolakan yang terjadi
dalam diri pasien mengenai kematian yang telah dekat baginya untuk dialami disebabkan
juga oleh adanya persepsi yang selama ini tertanam kuat dalam pemahaman manusia
pada umumnya bahwa sesulit apapun kondisinya dan sebesar apapun biaya yang harus
dikeluarkan untuk menyelamatkan nyawa manusia dari kematian hal tersebut haruslah
dilakukan dan ketika seseorang menerima kondisi dan berbicara bahwa ia mengalami
kondisi sakit yang parah dan menuju kematian maka orang tersebut dipandang sebagai
orang yang gagal dalam menjalani tugas dengan baik atas kehidupan di dunia yang telah
diberikan Tuhan kepadanya.
2. Kemarahan
Pada tahap kedua yakni kemarahan, pada tahap ini perasaan terguncang yang dialami
pasien berubah menjadi kemarahan yang menurut Kübler –Ross identik dengan respon
“Bukan saya” dan “Kenapa harus saya”. Dalam hal ini yang dimaksudkan bahwa pasien
marah dengan kondisi menuju kematian yang dibebankan kepadanya karena membuatnya
merasa sendiri ketika orang-orang disekitarnya tidak berada bersamanya lagi seperti saat
ia sehat dan mampu beraktifitas dengan baik dalam kehidupannya. Kemarahan yang ada
pada dirinya akan kondisi sebenarnya coba disembunyikan oleh pasien yang kemudian
berimbas pada dilepaskannya kemarahan yang ia rasakan kepada orang-orang
sekelilingnya yang mencoba memberikan perhatian kepadanya seperti kepada para
dokter, perawat, teman, keluarga dengan mengatakan bahwa ia merasa terganggu dengan
kehadiran mereka, ia baik-baik saja dan mampu mengurus dirinya sendiri dan
sebagainya.
3. Penawaran
Pada tahap ketiga yakni penawaran, pada tahap ini pasien sudah lebih mampu mengontrol
emosinya dan mulai menyadari bahwa sebesar apapun kemarahan yang ia rasakan tidak
akan mampu membuatnya berada pada kondisi yang lebih baik maka ia mencoba untuk
memikirkan hal apa yang sebaiknya dilakukan untuk memanfaatkan waktunya yang
sudah tidak lama lagi di dunia. Dengan kesadarannya bahwa memang saat ini dirinyalah
yang berada pada kondisi kematian pasien masih berusaha untuk kembali kepada sang
penciptanya dan melakukan penawaran kepada Tuhan, yang memang hal tersebut
cenderung dapat dipahami sebagai permohonan pasien tersebut kepada tuhannya dengan
harapan agar diberikan waktu untuk hidup yang lebih panjang dan berjanji untuk
menjalani kehidupan degan lebih baik. Semisalnya pasien tersebut berdoa dan berjanji
ketika diberi kesembuhan dan waktu untuk hidup lebih lama lagi maka ia akan lebih
berbakti kepada orang tua, taat beragama, memperhatikan kehidupan anak yatim, dan
sebagainya.
4. Tahap bersiap menuju kematian/depresi
Pada tahap keempat yakni persiapan menuju kematian atau depresi, pada tahap ini terjadi
perubahan dalam diri pasien yang sebelumnya memberikan reaksi bahwa “bukan saya”
yang kemudian menjadi “iya, saya”. Yang dimaksud dari hal ini adalah pasien telah
berusaha menerima kenyataan bahwa memang waktu kematiannya akan tiba dalam waktu
yang tidak lama lagi dan proses penawaran (permohonan) yang ia lakukan terhadap
Tuhan-nya telah berakhir. Kemudian pada tahap ini pula pasien mulai untuk meneguhkan
hatinya untuk perlahan mengiklaskan untuk melepaskan hubungannya selama di dunia
dengan orang-orang terkasihnya untuk menuju akhir dari kehidupan.
5. Penerimaan
Kemudian pada tahap kelima yang merupakan tahap terakhir, pada tahap penerimaan ini
pasien merasa bahwa kematian sudah tidak lagi dapat dihindari dan siap untuk mencapai
kematian dengan perasaan yang tenang dan iklas bukan dengan perasaan yang merasa
kalah dan terpaksa harus menerima kematian. Menurut Kübler-Ross reaksi yang umunya
dilakukan oleh pasien adalah “ Saya telah menyelesaikan segala urusan saya, saya talah
mengucapkan segala hal yang harus saya katakan, dan saya sudah siap untuk pergi
meninggalkan dunia”. Maka pada tahap ini pasien telah yakin dan tenang dalam
mencapai kematiannya yang dijelaskan pula oleh Kübler-Ross bahwa di dunia yang
berbeda dari dunia manusia pasien tersebut akan menjalani kehidupannya yang baru.
2.3 Menghadapi Kondisi menuju Kematian
Untuk membantu seseorang yang tengah menghadapi kondisi menuju kematian, terdapat enam
cara yang diajukan oleh Pattison(1969).
o Pertama, upayakan untuk berbagi dengan orang yang mengalami kondisi tersebut guna
mengurangi kegelisahan dan kebingungannya menghadapi kondisi tersebut.
o Kedua, menjelaskan secara spesifik mengenai kondisi yang sebenarnya terjadi dalam
kehidupannya.
o Ketiga, Dampingi orang tersebut dalam melepas peran yang selama ini melekat pada
dirinya dalam kehidupan, dengan memberikan pemahaman yang baik bahwa hubungan
dengan segala sesuatu yang ada didunia akan terlepas.
o Keempat, usahakan untuk mengurangi beban fisik dan psikologis yang dialaminya
dengan tidak membuatnya merasa rendah diri.
o Kelima, Bantu orang tersebut untuk membesarkan hatinya dalam menerima situasi akhir
dari kehidupannya dengan segala keutuhan jiwa dan martabat. Keenam pelihara
hubungan sosial dengan orang-orang lingkungan sekitarnya yang bermanfaat dan mampu
membantu bagi kondisi orang tersebut dalam menghadapi kondisi menuju kematiannya
2.4 Berhadapan dengan kematian dan situasi sekarat : Kesadaran akan situasi sekarat
Dalam memahami proses sekarat seorang pasien maka sebelumnya kita harus menyadari situasi
sekarat itu dahulu. Kubler-Ross yang meneliti tentang keadaan sekarat yang dialami pasien heran
dengan sikap personil atau pegawai rumah sakit yang seakan enggan mengidentifikasi pasien
yang sekarat. Kubler-Ross melakukan penelitian tersebut karena pada saat itu setengah dari
orang Amerika meninggal di rumah sakit, berbagai konteks mengenai kesadaran akan keadaan
sekarat dan kematian menjadi hal yang penting dalam memahami keseluruhan isu tersebut. Para
personil rumah sakit melihat keadaan sekarat dan kematian sebagai hal yang dapat sangat
mengganggu atau mengacaukan setting sosial yang dibuat order. Personil rumah sakit
memanipulasi situasi sosial untuk meminimalisasi gangguan terhadap situasi sosial yang telah
order seperti keadaan sekarat pasien dan kematian.
Dalam buku Awareness of Dying Glaser dan Strauss (1996) mengidentifikasi adanya 4 tipe
keadaan kesadaran rumah sakit terhadap keadaan sekarat dan kematian pasien yaitu : Closed
awareness, suspected awareness, mutual pretense awareness dan open awareness. Keadaan
yang saling mempengaruhi antara pasien dan personil rumah sakit tergantung pada konteks
kesadaran terhadap situasi serta cepat dan lambatnya kesadaran terhadap situasi sekarat tersebut.
Closed Awareness
Situasi closed awareness terjadi apabila personil rumah sakit menyadari bahwa si pasien dalam
keadaan sekarat namun pasien itu sendiri tidak menyadari. Glaser dan strauss
mengidentifikasikan 5 faktor yang menyebabkan terjadinya close awareness yaitu : pertama,
kebanyakan pasien tidak memiliki pengalaman dalam mengenali tanda-tanda sekarat sehingga
dirinya tidak menyadari sedang menjelang ajal; kedua, para psikiater juga biasanya tidak
memberitahukan samasekali pada pasien atau keluarganya bahwa pasien bahwa ia sedang
menjelang ajal untuk menghindari guncangan emosional; ketiga, Keluarga mengetahui bahwa
pasien dalam keadaan sekarat namun tidak diberitahukan pada pasien agar tidak membuatnya
sedih; keempat adanya struktur rumah sakit yang membuat informasi medis dalam bentuk
dokumen dan pengetahuan yang dimiliki staff tidak dapat diakses oleh pasien; kelima, pasien
yang sekarat tidak memiliki keinginan untuk mencari tahu informasi apakah dirinya sekarat atau
tidak. Terdapat beberapa keuntungan dari keadaan closed awareness ini yaitu psiakiater tidak
perlu mendiskusikan tentang proses kematian dengan pasien, kedua trauma emosional terhadap
kematian dapat dihindarkan, serta pasien dapat bertahan menghadapi tahap yang membuatnya
menderita dalam proses sekarat dan menjelang ajal.
Suspected awareness
Konteks suspected awareness terjadi saat si pasien mencurigai dirinya bahwa ia sekarat dan tidak
yakin namun para personil rumah sakit juga mengetahui dan yakin bahwa si pasien dalam
keadaan sekarat. Dalam konteks ini si pasien yang sekarat berusaha menggambarkan informasi
dan keadaan yang dialaminya dengan kemampuan yang dimilikinya namun pasien dan personil
rumah sakit akan menghindari permintaan atau keinginan si pasien untuk mengetahui informasi
tentang penyakit atau apa yang dialami pasien agar tidak membuat emosional pasien terguncang
sehingga ia bisa dapat bertahan dalam menghadapi situasi sekarat tersebut.
Mutual pretense
Dalam mutual pretense, antara staff rumah sakit dan pasien sama sama menyadari bahwa si
pasien dalam keadaan sekarat dan akan menjelang ajal. Namun si pasien akan cenderung
menghindari untuk membicarakannya dan staff rumah sakit memposisikan dirinya untuk tidak
membahas hal tersebut dengan pasien walaupun si pasien meminta untuk mendiskusikan atau
menanyakannya. Dengan kata lain konteks mutual pretense ini pengetahuan tentang si pasien
yang akan menjelang ajal diikuti dengan panghindaran diskusi untuk mencegah terjadinya
kesedihan bagi si pasien.
Open awareness
Pada situasi ini Pasien yang sekarat dan staff rumah sakit sama-sama mengetahui bahwa si
pasien sekarat dan akan menjelang ajal serta menyatakan secara terbuka situasi tersebut. Staff
rumah sakit berusaha untuk membuat hari-hari terkahir si pasien senyaman mungkin dan tidak
mengalami kesakitan da si pasien berusaha menghadapi ajalnya dengan tanggung jawab dan
harga diri. Deggan kata lain dalam konteks ini pasien dan personil rumah sakit saling bekerja
sama dan mendukung agar si pasien dapat menghadapi masa sekaratnya.
Konteks kesadaran terhadap situasi sekarat dan kematian yang diidentifikasi oleh Glaser
dan strauss berdasarkan pada setting sosial (termasuk interaksi sosial) dan kontrol informasi
mengenai pasien yang sekarat di rumah sakit. Pada konteks closed awareness, setting sosial
tertutup dan informasi mengenai keadaan pasien tidak diberitahukan pada pasien sedangkan
sebaliknya pada open awareness setting sosial terbuka dan adanya pemberian informasi pada
pasien. Dengan kata lain konteks kesadaran yang berbeda merepresentasikan cara yang berbeda
dalam mengatur pengalaman keadaan sekarat yang dialami oleh pasien, disaat kondisi sekarat
mulai dirasakan oleh pasien lalu pasien dan personil rumah sakit mulai berinteraksi maka
konteks kesadaran yang tadinya berada dalam situasi yang tertutup berubah menjadi lebih
terbuka.Namun bagi beberapa orang keadaan yang tertutup akan membuatnya lebih mudaj untuk
menghadapi kondisi sekarat dan kematian. Konteks kesadaran terhadap sistuasi sekarat dan
menghadapi kematian menjadi penting karena adanya peningkatan fakta bahwa orang Amerika
meninggal karena keadaan kronis membuat mereka membutuhkan hospitalisasi untuk
memperpanjang waktu hidup mereka. Olehh karena itu terjadi peningkatan keadaan sekarat yang
dialami oleh pasien di rumah sakit. Dengan memanipulasi setting sosial dan mengendalikan arus
informasi yang ada, personil rumah sakit dapat memilih konteks kesadaran yang dianggap paling
membuat pasien nyaman dan sesuai dengan keadaan pasien.
Pendekatan konteks kesadaran yang diidentifikasi oleh Glaser dan Strauss mirip dengan
tahap proses sekarat yang dijelaskan oleh Kubler Ross. Pertama 4 macam konteks kesadaran
hanya sesuai dengan saat pasien tersebut sadar dan berada di rumah sakit pada periode yang
memungkinkan sebelum ia meninggal, hal tersebut membuat pasien yang dalam keadaan tidak
sadar/koma tidak sesuai dengan konteks ini. Kedua konteks kesadaran tersebut hanya dapat
diaplikasikan apabila staff rumah sakit mengatur informasi atau pengetahuan tentang kondisi
sekarat yang dialami pasien serta terakhir para pasien yang diteliti oleh Glaser dan strauss
merupakan pasien dengan status sosial ekonomi diatas rata-rata dan membayar sendiri biaya
perawatannya. Hal tersebut menempatkan para pasien yang sekarat tersebut lebih memiliki posisi
yang lebih menguntungkankarena dapat bernegosiasi dengan staff rumah sakit untuk
mendapatkan informasi dan hasilnya mereka menjadi tidak tipikal. Dengan kata lain Glasser dan
Strauss menggambarkan bahwa keadaan sekarat dan kematian dilihat sebagai proses yang
disruptive atau menganggu oleh personil rumah sakit yang mengatur setting sosial dan arus
informasi dalam rangka meminimalisasi gangguan terhadap setting sosial yang dibuat order.
2.5 fase yang biasanya dilalui oleh seseorang ketika mengalami duka cita
Menurut Dr. Elisabeth Kubler-Ross, seorang psikiatri dari Swiss, Ada lima fase yang dilalui
seseorang akibat kematian salah seorang anggota keluarga atau teman dekat yaitu shock, denial,
anger, mourning dan recovery.
1. Shock (Terkejut)
Perasaan terkejut dan tidak percaya dengan kabar yang didengar. Dalam diri bilang “Tidak”, ini
tidak boleh dan tidak mungkin terjadi.
2. Denial (Penyangkalan)
Individu merasa kematian hanyalah mimpi buruk saja, dan bukan merupakan suatu kenyataan.
Menurut Kubler-Ross, kata ‘meninggal’ merupakan suatu kata yang memperhalus kata ‘mati’
sebagai produk dari budaya masyarakat yang menyangkal kematian.
3. Anger (Kemarahan)
Individu tidak terima dengan kematian dan mulai menyalahkan semua pihak yang menyebabkan
itu terjadi. Individu bahkan cenderung menyalahkan Tuhan (Ini adalah reaksi wajar bagi orang-
orang yang mengakui adanya Tuhan yang Maha Kuasa), juga menyalahkan situasi dan orang
lain, dokter dan tim medis, ambulan yang tidak tersedia dan rumah sakit.
4. Mourning (Berkabung)
Menurut Kubler-Ross, Fase ini merupakan fase yang berlangsung cukup lama, bisa berlangsung
dalam beberapa bulan atau mungkin beberapa tahun. Perasaan depresi, rasa bersalah, rasa
kehilangan, kesepian, panik dan menangis tanpa pemicu yang jelas bisa saja ditampakkan dalam
fase ini, bahkan bisa termanifestasi dalam penyakit fisik ringan.
5. Recovery (Pemulihan)
Menurut beberapa orang, kematian tidak bisa dipulihkan karena kematian telah mengubah hidup
mereka selamanya dan tidak bisa mengembalikan situasi kembali seperti sebelumnya. Namun
demikian rasa sakit akibat kematian akan berkurang seiring dengan berjalannya waktu.
BAB III
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
Mati dan proses kematian merupakan kondisi yang terkait erat dengan masa tua
dan proses penuaan. Lebih dari itu, mati dan proses kematian menjadi masalah sosial,
karena pemahaman yang kurang mengenai hal itu dengan penelitian yang juga kurang
dan belum ada teknologi yang mampu memperhitungkan mati dan proses kematian.
Teori Elizabeth Kubler-Ross (1969) mengenai fase-fase menjelang kematian ,
yaitu: Penolakan (denial), Amarah (anger), Tawar-menawar (bargaining), Depresi
(depression), Penerimaan (acceptance).
2.2 Saran
Diharapkan mahasiswa/i keperawatan dapat memahami mengenai materi ”death and
dying” ini dalam psikologi perkembangan. Gunanya untuk diaplikasikan sendiri kepada
pasien nantinya.
DAFTAR PUSTAKA
Monks, F. J dkk. 2001. Psikologi Perkembangan. Yogjakarta: Gajah Mada University Press.
Papalia, D.E., Old, S.W., Feldman, R.D.,2008. Psikologi Perkembangan edisi kesembilan.
Jakarta: Kencana Prenada media group.
http://sunuwijianto.blogspot.com/2010/05/perkembangan-kepercayaan-dan-perasaan.html