Post on 07-Mar-2019
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kelor (Moringa oleifera)
Tanaman kelor di Indonesia dikenal dengan berbagai nama. Masyarakat
Sulawesi menyebutnya kero, wori, kelo, atau keloro. Orang-orang Madura
menyebutnya maronggih. Di Sunda dan Melayu disebut kelor. Di Aceh disebut
murong. Di Ternate dikenal sebagai kelo. Di Sumbawa disebut kawona. Sedangkan
orang-orang Minang mengenalnya dengan nama munggai (Krisnadi, 2010).
Kelor awalnya banyak tumbuh di India, namun kini kelor banyak ditemukan
di daerah beriklim tropis (Grubben, 2004). Pada beberapa Negara kelor dikenal
dengan sebutan benzolive, drumstick tree, kelor, marango, mlonge, mulangay,
nebeday, sajihan, dan sajna (Fahey, 2005).
Tanaman kelor dapat tumbuh pada lingkungan yang berbeda. Tanaman kelor
dapat tumbuh dengan baik pada suhu 25-35oC, tetapi mampu mentoleransi
lingkungan dengan suhu 28oC (Palada, 2003).
Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, tanaman kelor (Moringa
oleifera) diklasifikasikan sebagai berikut :
Klasifikasi :
Regnum : Plantae (Tumbuhan)
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledone
Sub kelas : Dialypetalae
Ordo : Rhoeadales (Brassicales)
Famili : Moringaceae
Genus : Moringa
Spesies : Moringa oleifera
Sumber : (Rollof et al, 2009)
Pada penelitian yang dilakukan di Bangladesh, ekstrak daun kelor
memberikan efek hipolipidemik dan hipokolesterol pada tikus yang diinduksi
dengan adrenaline. Tanaman kelor juga memiliki kandungan fenolik yang terbukti
efektif berperan sebagai antioksidan. Efek antioksidan yang dimiliki tanaman kelor
memiliki efek yang lebih baik daripada Vitamin E secara in vitro dan menghambat
peroksidasi lemak dengan cara memecah rantai peroxyl radical. Fenolik juga secara
langsung menghapus reactive oxygen species (ROS) seperti hidroksil, superoksida
dan peroksinitrit (Chumark et al., 2007). Gambar dari Daun kelor dapat dilihat pada
gambar 1.
Gambar 1. Daun Kelor
Sumber : Tilong (2012)
Morfologi daun kelor adalah berupa daun majemuk menyirip ganda 2-3
posisinya tersebar, tanpa daun penumpu, atau daun penumpu telah mengalami
metamorfosis sebagai kelenjar-kelenjar pada pangkal tangkai daun. Bunga banci,
zigomorf, tersusun dalam malai yang terdapat dalam ketiak daun, dasar bangun
mangkuk, kelopak terdiri atas lima daun kelopak, mahkotapun terdiri atas lima daun
mahkota, lima benang sari, bakal buah, bakal biji banyak, buahnya buah kendaga
yang membuka dengan tiga katup dengan panjang sekitar 30 cm, biji besar,
bersayap, tanpa endosperm, lembaga lurus. Dari segi anatomi mempunyai sifat
yang khas yaitu terdapat sel - sel mirosin dan buluh-buluh gom dalam kulit batang
dan cabang. Dalam musim - musim tertentu dapat menggugurkan daunnya
(meranggas) (Rollof et al, 2009).
Daun Kelor berbentuk sebesar ujung jari berbentuk bulat telur, tersusun
majemuk dan gugur di musim kemarau, tinggi pohon mencapai 5-12 m, bagian
ujung membentuk payung, batang lurus (diameter 10-30 cm) menggarpu, berbunga
sepanjang tahun berwarna putih / krem, buah berwarna hijau muda, tipis dan lunak.
Tumbuh subur mulai dataran rendah sampai ketinggian 700 m di atas permukaan
laut (Schwarz, 2000).
B. Manfaat dan kandungan daun Kelor
Manfaat dan khasiat tanaman kelor (Moringa oleifera) terdapat pada semua
bagian tanaman baik daun, batang, akar maupun biji. Daun kelor merupakan salah
satu bagian dari tanaman kelor yang telah banyak diteliti kandungan gizi dan
kegunaannya. Daun kelor sangat kaya akan nutrisi, diantaranya kalsium, besi,
protein, vitamin A, vitamin B dan vitamin C (Misra & Misra, 2014; Oluduro, 2012;
Ramachandran et al., 1980). Daun kelor mengandung zat besi lebih tinggi daripada
sayuran lainnya yaitu sebesar 17,2 mg/100 g (Yameogo et al. 2011).
Berdasarkan penelitian Verma et al (2009) bahwa daun kelor mengandung
fenol dalam jumlah yang banyak yang dikenal sebagai penangkal senyawa radikal
bebas. Kandungan fenol dalam daun kelor segar sebesar 3,4% sedangkan pada daun
kelor yang telah diekstrak sebesar 1,6% (Foild et al., 2007).
Kelor dikenal di seluruh dunia sebagai tanaman bergizi dan WHO telah
memperkenalkan kelor sebagai salah satu pangan alternatif untuk mengatasi
masalah gizi (malnutrisi) (Broin, 2010 dalam Aminah, dkk, 2015). Di Afrika dan
Asia daun kelor direkomendasikan sebagai suplemen yang kaya zat gizi untuk ibu
menyusui dan anak pada masa pertumbuhan. Semua bagian dari tanaman kelor
memiliki nilai gizi, berkhasiat untuk kesehatan dan manfaat dibidang industri.
Daun kelor sangat terkenal dikonsumsi sebagai sayuran dan dapat berfungsi
meningkatkan jumlah ASI (air susu ibu) pada ibu menyusui sehingga mendapat
julukan Mother’s Best Friend (Jongrungruangchok et al., 2010; Tilong, 2012). Hal
ini disebabkan karena daun kelor mengandung unsur zat gizi mikro yang sangat
dibutuhkan oleh ibu hamil, seperti betacarotene , tiamin (B1), riboflavin (B2),
niacin (B3), kalsium, zat besi, fosfor, magnesium, seng, vitamin C, sebagai
alternatif untuk meningkatkan status gizi ibu hamil.
Kelor disebut Miracle Tree dan Mother’s Best Friend karena kelor memiliki
sifat fungsional bagi kesehatan serta mengatasi kekurangan nutrisi. Kelor
berpotensi sebagai bahan baku dalam industri kosmetik, obat-obatan dan perbaikan
lingkungan yang terkait dengan cemaran dan kualitas air bersih. daun kelor
mengandung antioksidan tinggi dan antimikrobia Hal ini disebabkan oleh adanya
kandungan asam askorbat, flavonoid,fenolic dan karoteinoid (Anwar et al., 2007b;
Makkar & Becker, 1997; Moyo et al., 2012; Dahot, 1998). Hal ini menyebabkan
kelor dapat berfungsi sebagai pengawet alami dan memperpanjang masa simpan
olahan berbahan baku daging yang disimpan pada suhu 4 0C tanpa terjadi perubahan
warna selama penyimpanan. Kandungan nutrisi mikro sebanyak 7 kali vitamin C
jeruk, 4 kali vitamin A wortel, 4 gelas kalsium susu, 3 kali potassium pisang, dan
protein dalam 2 yoghurt. (Aminah, dkk, 2015).
Menurut hasil penelitian, daun kelor ternyata mengandung vitamin A, vitamin
C, vitamin B, kalsium, kalium, besi, dan protein, dalam jumlah sangat tinggi yang
mudah dicerna dan diasimilasi oleh tubuh manusia. Tidak hanya itu, kelor pun
diketahui mengandung lebih dari 40 antioksidan dalam pengobatan tradisional
Afrika dan India serta telah digunakan dalam pengobatan tradisional untuk
mencegah lebih dari 300 penyakit (Krisnadi, 2010).
Menurut Haryadi (2011) Daun Kelor kering per 100 g mengandung air 7,5%,
kalori 205 g, karbohidrat 38,2 g, protein 27,1 g, lemak 2,3 g, serat 19,2 g, kalsium
2003 mg, magnesium 368 mg, fosfor 204 mg, tembaga 0,6 mg, besi 28,2 mg, sulfur
870 mg, potasium 1324 mg. Daun kelor yang masih segar setara dengan 7 kali
vitamin C yang terdapat pada jeruk segar sedangkan daun kelor yang sudah
dikeringkan setara dengan setengah kali vitamin C yang terdapat pada jeruk segar.
Manfaat vitamin C menjaga ketahanan tubuh terhadap penyakit infeksi dan racun.
Gopalakrishnan (2016) Menyebutkan kandungan daun Kelor adalah sebagai
berikut :
Tabel 1. Kandungan nutrisi daun kelor segar
Kandungan Daun Segar
Kalori (kal) 92
Protein (g) 6.7
Lemak (g) 1.7
Karbohidrat (g) 12.5
Serat (g) 0.9
Vitamin B1 (mg) 0.06
Vitamin B2 (mg) 0.05
Vitamin B3 (mg) 0.8
Vitamin C (mg) 220
Vitamin E (mg) 448
Kalsium (mg) 440
Magnesium (mg) 42
Fosfor (mg) 70
Potassium (mg) 259
Tembaga (mg) 0.07
Besi (mg) 0.85
Sulphur (mg) –
Sumber: Gopalakrishnan et al. (2016)
Dr. Gary Bracey mempublikasikan bahwa serbuk daun kelor mengandung
vitamin A 10 kali lebih banyak dibanding wortel, vitamin B1 4 kali lebih banyak
dibanding daging babi, vitamin B2 50 kali lebih banyak dibanding sardines, vitamin
B3 50 kali lebih banyak dibanding kacang, vitamin E 4 kali lebih banyak dibanding
minyak jagung, beta carotene 4 kali lebih banyak dibanding wortel, zat besi 25 kali
lebih banyak dibanding bayam, zinc 6 kali lebih banyak dibanding almond, kalium
15 kali lebih banyak dibanding pisang, kalsium 17 kali dan 2 kali lebih banyak
dibanding susu, protein 9 kali lebih banyak dibanding yogurt, asam amino 6 kali
lebih banyak dibanding bawang putih, poly phenol 2 kali lebih banyak dibanding
red wine, serat (dietary fiber) 5 kali lebih banyak dibanding sayuran pada
umumnya, GABA (gamma-aminobutyric acid) 100 kali lebih banyak dibanding
beras merah (Kurniasih, 2013).
C. Antioksidan
Antioksidan dalam pengertian kimia adalah senyawa pemberi elektron
(electron donors) dan secara biologis antioksidan merupakan senyawa yang mampu
mengatasi dampak negatif oksidan dalam tubuh seperti kerusakan elemen vital sel
tubuh. Keseimbangan antara oksidan dan antioksidan sangat penting karena
berkaitan dengan kerja fungsi sistem imunitas tubuh, terutama untuk menjaga
integritas dan berfungsinya membran lipid, protein sel, dan asam nukleat, serta
mengontrol tranduksi signal dan ekspresi gen dalam sel imun (Hery, 2007).
Produksi antioksidan di dalam tubuh manusia terjadi secara alami untuk
mengimbangi produksi radikal bebas. Antioksidan tersebut kemudian berfungsi
sebagai sistem pertahanan terhadap radikal bebas, namun peningkatan produksi
radikal bebas yang terbentuk akibat faktor stress, radiasi UV, polusi udara dan
lingkungan mengakibatkan sistem pertahanan tersebut kurang memadai, sehingga
diperlukan tambahan antioksidan dari luar (Deddy, 2013).
Antioksidan di luar tubuh dapat diperoleh dalam bentuk sintesis dan alami.
Antioksidan sintetis seperti buthylatedhydroxytoluene (BHT), buthylated
hidroksianisol (BHA) dan ters-butylhydroquinone (TBHQ) secara efektif dapat
menghambat oksidasi. Namun, penggunaan antioksidan sintetik dibatasi oleh
aturan pemerintah karena, jika penggunaannya melebihi batas justru dapat
menyebabkan racun dalam tubuh dan bersifat karsiogenik, sehingga dibutuhkan
antioksidan alami yang aman. Salah satu sumber potensial antioksidan alami adalah
tanaman karena mengandung senyawa flavonoid, klorofil dan tannin.(Triyem,
2010)
Antioksidan berdasarkan mekanisme reaksinya dibagi menjadi tiga macam,
yaitu antioksidan primer, antioksidan sekunder dan antioksidan tersier:
a. Antioksidan Primer
Antioksidan primer merupakan zat atau senyawa yang dapat menghentikan
reaksi berantai pembentukan radikal bebas yang melepaskan hidrogen.
Antioksidan primer dapat berasal dari alam atau sintetis. Contoh antioksidan primer
adalah Butylated hidroxytoluene (BHT) (Hery 2007).
Reaksi antioksidan primer terjadi pemutusan rantai radikal bebas yang sangat
reaktif, kemudian diubah menjadi senyawa stabil atau tidak reaktif. Antioksidan ini
dapat berperan sebagai donor hidrogen atau CB-D (Chain Breaking donor) dan
dapat berperan sebagai akseptor elektron atau CB-A (Chain breaking acceptor)
(Triyem, 2010).
Gambar Reaksi Antioksidan Primer Dengan Radikal Bebas dapat dilihat pada
gambar 2.
Gambar 2. Reaksi Antioksidan Primer Dengan Radikal Bebas
b. Antioksidan Sekunder
Antioksiden sekunder disebut juga antioksidan eksogeneus atau non
enzimatis. Antioksidan ini menghambat pembentukan senyawa oksigen reaktif
dengan cara pengelatan metal, atau dirusak pembentukannya. Prinsip kerja sistem
antioksidan non enzimatis yaitu dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai
dari radikal bebas atau dengan menangkap radikal tersebut, sehingga radikal bebas
tidak akan bereaksi dengan komponen seluler. Antioksidan sekunder di antaranya
adalah vitamin E, vitamin C, beta karoten, flavonoid, asam lipoat, asam urat,
bilirubin, melatonin dan sebagainya (Deddy, 2013).
c. Antioksidan tersier.
Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-Repair dan
metionin sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berperan dalam perbaikan
biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas. Kerusakan DNA yang
terinduksi senyawa radikal bebas dicirikan oleh rusaknya Single dan Double strand
baik gugus non-basa maupun basa.
D. Vitamin C
Vitamin C adalah kristal putih yang mudah larut dalam air. Dalam keadaan
kering vitamin C cukup stabil, tetapi dalam keadaan larut vitamin C mudah rusak
karena bersentuhan dengan udara (oksidasi) terutama bila terkena panas. Oksidasi
dipercepat dengan adanya tembaga dan besi. Vitamin C tidak stabil dalam larutan
alkali, tetapi cukup stabil dalam larutan asam (Almatsier, 2005). Gambar Struktur
Kimia Vitamin C dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Struktur Kimia Vitamin C
Sumber: Kirk Othmer, Encylopedia of Chemical Technology
Vitamin C adalah turunan heksosa dan diklasifikasikan sebagai karbohidrat
yang erat kaitannya dengan monosakarida. Vitamin C dapat disintesis dari D-
glukosa dan D-galaktosa dalam tumbuh-tumbuhan dan sebagian besar hewan.
Vitamin C terdapat dalam dua bentuk di alam, yaitu L-asam askorbat (bentuk
tereduksi) dan L-asam dehidro askorbat (bentuk teroksidasi). Oksidasi bolak-balik
L-asam askorbat menjadi L-asam dehidro askorbat terjadi apabila bersentuhan
dengan tembaga, panas, atau alkali (Akhilender, 2003).
Vitamin C merupakan suatu donor elektron dan agen pereduksi. Disebut anti
oksidan, karena dengan mendonorkan elektronnya, vitamin ini mencegah senyawa-
senyawa lain agar tidak teroksidasi. Walaupun demikian, vitamin C sendiri akan
teroksidasi dalam proses antioksidan tersebut, sehingga menghasilkan asam
dehidroaskorbat (Padayatty, 2003). Gambar Reaksi reduksi dan oksidasi asam
askorbat dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Reaksi reduksi dan oksidasi asam askorbat (Szent-Györgyi, 1937)
Menurut Padayatty (2003), setelah terbentuk, radikal askorbil (suatu senyawa
dengan elektron tidak berpasangan), serta asam dehidroaskorbat dapat tereduksi
kembali menjadi asam askorbat dengan bantuan enzim 4-hidroksifenilpiruvat
dioksigenase. Tetapi, di dalam tubuh manusia, reduksinya hanya terjadi secara
parsial, sehingga asam askorbat yang telah teroksidasi tidak seluruhnya kembali.
Vitamin C dapat dioksidasi oleh senyawa-senyawa lain yang berpotensi pada
penyakit.
Vitamin C disebut juga asam askorbat, merupakan vitamin yang paling
sederhana, mudah berubah akibat oksidasi, tetapi amat berguna bagi manusia.
Struktur kimianya terdiri dari rantai 6 atom C dan kedudukannya tidak stabil
(C6H8O6), karena mudah bereaksi dengan O2 di udara menjadi asam
dehidroaskorbat. Vitamin ini merupakan fresh food vitamin karena sumber
utamanya adalah buah-buahan dan sayuran segar. Berbagai sumber nya adalah
jeruk, brokoli, Brussel sprout, kubis, lobak dan straberi (Linder, l992).
Kebutuhan manusia akan vitamin C semakin meningkat diiringi semakin
berkembangnya produk-produk baik makanan, minuman, dan obat-obatan. Vitamin
C merupakan vitamin yang paling sering digunakan sebagai suplemen. Menurut
Siregar (2009), vitamin C juga dapat membantu mengaktifkan asam folat,
meningkatkan penyerapan zat besi sehingga mencegah anemia, reregenerasi
vitamin E sehingga bisa dipakai lagi sebagai anti-oksidan. Vitamin C ada yang
alami juga ada yang sintetik (Siregar, 2009).
E. Flavonoid
Senyawa flavonoid adalah senyawa polifenol yang mempunyai 15 atom
karbon yang tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6 , yaitu dua cincin aromatik yang
dihubungkan oleh 3 atom karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin
ketiga. Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan hijau sehingga dapat ditemukan
pada setiap ekstrak tumbuhan (Markham, 1988). Golongan flavonoid dapat
digambarkan sebagai deretan senyawa C6-C3-C6 , artinya kerangka karbonnya
terdiri atas dua gugus C6 (cincin benzena tersubstitusi) disambungkan oleh rantai
alifatik tiga karbon (Robinson, 1995).
Gambar Struktur Kimia Flavonoid dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5. Struktur Kimia Flavonoid
Sumber : (Grotewold, 2006)
Flavonoid merupakan senyawa metabolit tumbuhan yang sangat melimpah di
alam. Fungsi senyawa flavonoid sangatlah penting bagi tanaman pada pertumbuhan
dan perkembangannya. Fungsi tersebut seperti penarik perhatian hewan pada proses
penyerbukan dan penyebaran benih, stimulan fiksasi nitrogen pada bakteri
Rhizobium, peningkat pertumbuhan tabung serbuk sari, serta resorpsi nutrisi dan
mineral dari proses penuaan daun. Senyawa flavonoid juga dipercaya memiliki
kemampuan untuk pertahanan tanaman dari herbivora dan penyebab penyakit, serta
senyawa ini membentuk dasar untuk melakukan interaksi alelopati antar tanaman
(Andersen dan Markham, 2006).
Berbagai jenis senyawa, kandungan dan aktivitas antioksidatif flavonoid
sebagai salah satu kelompok antioksidan alami yang terdapat pada sereal, sayur-
sayuran dan buah, telah banyak dipublikasikan. Flavonoid berperan sebagai
antioksidan dengan cara mendonasikan atom hidrogennya atau melalui
kemampuannya mengkelat logam, berada dalam bentuk glukosida (mengandung
rantai samping glukosa) atau dalam bentuk bebas yang disebut aglikon (Cuppett et
al.,1954).
Flavonoid umumnya terdapat pada tumbuhan, terikat pada gula sebagai
glikosida dan aglikon flavonoid yang mana pun, mungkin saja terdapat dalam satu
tumbuhan dengan beberapa bentuk kombinasi glikosida. Menurut strukturnya,
semua flavonoid merupakan turunan senyawa induk flavon yang terdapat pada
tumbuhan berupa tepung putih dan mempunyai sejumlah sifat yang sama. Golongan
flavonoid dibagi menjadi 10 kelas (Harborne, 1987).
Berikut merupakan pembagian flavonoid keragaman pada rantai C3 yaitu :
a. Antosianin
Antosianin merupakan salah satu pewarna alami karena merupakan zat
berwarna merah, jingga, ungu, ataupun biru yang banyak terdapat pada bunga dan
buah-buahan (Hidayat dan Saati, 2006). Antosianin merupakan senyawa flavonoid
yang memiliki kemampuan sebagai antioksidan. Antosianin dalam bentuk aglikon
lebih aktif daripada bentuk glikosidanya (Santoso, 2006). Zat pewarna alami
antosianin tergolong kedalam turunan benzopiran. Struktur utama turunan
benzopiran ditandai dengan adanya cincin aromatik benzena (C6H6) yang
dihubungkan dengan tiga atom karbon yang membentuk cincin (Moss, 2002).
b. Proantosianidin
Proantosianidin adalah polimer dari flavonoid (Tanner et.al., 1999). Salah satu
contohnya adalah Sorghum procyanidin, senyawa ini merupakan trimer yang tersusun
dari epiccatechin dan catechin (Hagerman, 2002). Senyawa ini jika dikondensasi maka
akan menghasilkan flavonoid jenis flavon dengan bantuan nukleofil berupa
floroglusinol (Hagerman, 2002). Tanin terkondensasi banyak terdapat dalam paku-
pakuan, gymnospermae, dan tersebar luas dalam angiospermae, terutama pada jenis
tumbuhan berkayu (Robinson, 1991).
c. Flavonol & Flavon
Flavonol dan flavon merupakan jenis flavonoid yang paling banyak ditemukan
di sayur-sayuran. Di tanaman, Kedua kelompok senyawa ini biasanya berada dalam
bentuk O-glikosida. Perbedaan yang paling utama antara flavonol dan flavon yaitu
flavonol memiliki gugus hidroksi pada C3 dan favon tidak. Flavonol dan flavon banyak
terdapat pada bagian daun dan bagian luar dari tanaman, hanya sedikit yang berada di
bawah permukaan tanah (Hertog et al. 1992).
Flavonol terdiri atas quersetin, kaemferol dan mirisetin. Quersetin umumnya
merupakan komponen terbanyak dalam tanaman. Dalam Sayuran, quercetin
glikosida merupakan komponen yang paling menonjol walaupun terdapat pula
glikosida dari kaemferol, luteolin, dan apigenin (Hertog et al. 1992). Berbeda
dengan flavonol, flavon yang terdiri atas apigenin dan luteolin, hanya ditemukan
pada bahan pangan tertentu. Contoh tanaman yang mengandung flavon antara lain
seledri, lada (hanya luteolin), dan peterseli (hanya apigenin) (Lee 2000).
d. Biflavonoid
Biflavonoid (atau biflavonil, flavandiol) merupakan dimer flavonoid yang
dibentuk dari dua unit flavon atau dimer campuran antara flavon dengan flavanon
dan/atau auron (Geiger dan Quinn, 1976; DNP, 1992; Ferreira dkk., 2006).
Biflavonoid terdapat pada buah, sayuran, dan bagian tumbuhan lainnya. Senyawa
ini mula-mula ditemukan oleh Furukawa dari ekstrak daun G. biloba berupa
senyawa berwarna kuning yang dinamai ginkgetin (Baker dan Simmonds, 1940).
Senyawa biflavonóid berperan sebagai antioksidan, anti-inflamasi, anti kanker, anti
alergi, antimikrobia, antifungi, antibakteri, antivirus, pelindung terhadap iradiasi
UV, vasorelaksan, penguat jantung, anti hipertensi, anti pembekuan darah, dan
mempengaruhi metabolisme enzim (Havsteen, 1983).
e. Khalkon
Senyawa khalkon (C15H12O) atau benziliena asetofenon atau E-1,3-
difenilprop-2-en-1-on, merupakan senyawa golongan flavonoid yang ditemukan
dalam tanaman buah dan sayur. Khalkon mempunyai kerangka karbon (C6-C3-C6)
(Patil et al., 2009). Senyawa khalkon merupakan prekursor dari senyawa flavonoid
dan isoflavonoid (Kishor et al., 2010). Senyawa khalkon juga sebagai perkursor
dalam sintesis senyawa heterosiklis yang berperan dalam aktivitas biologis seperti
benzodiazepin, pirazolin, dan flavon (Rahman, 2011).
f. Auron
Auron berupa pigmen kuning emas yang terdapat dalam bunga tertentu dan
bryophyta. Dalam larutan basa senyawa ini berwarna merah ros dan tampak pada
kromatografi kertas berupa bercak kuning, dengan sinar ultraviolet warna kuning
kuat berubah menjadi merah jingga bila diuapi amonia.
g. Flavanon
Flavanon terdistribusi luas di alam. Flavanon terdapat di dalam kayu, daun dan
bunga. Flavanon glikosida merupakan konstituen utama dari tanaman genus prenus
dan buah jeruk, dua glikosida yang paling lazim adalah neringenin dan hesperitin,
terdapat dalam buah anggur dan jeruk.
h. Isoflavon
Isoflavon merupakan isomer flavon dan jumlahnya sangat sedikit. Isoflavon
berperan sebagai fitoaleksin yaitu senyawa pelindung yang terbentuk dalam
tumbuhan sebagai pertahanan terhadap serangan penyakit. Isoflavon sukar dicirikan
karena reaksinya tidak khas dengan berbagai jenis pereaksi warna. Beberapa
isoflavon, misal daidzein, memberikan warna biru muda cemerlang dengan sinar
UV bila diuapi amonia, tetapi kebanyakan yang lain tampak sebagai bercak
lembayung yang pudar dengan amonia berubah menjadi cokelat.
1. Sifat Kelarutan Flavonoid
Aglikon flavonoid adalah polifenol yang memiliki sifat kimia senyawa
fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga dapat larut dalam basa. Tetapi harus
diingat, bila dibiarkan dalam larutan basa, dan di samping itu terdapat oksigen maka
banyak yang akan terurai. Flavonoid bersifat polar karena mempunyai sejumlah
gugus hidroksil atau gula, maka pada umumnya flavonoid cukup larut dalam pelarut
polar seperti etanol, metanol, butanol, aseton, dimetilsulfoksida (DMSO),
dimetilformamida (DMF), air, dan pelarut polar lain. Adanya gula yang terikat pada
flavonoid (bentuk yang umum ditemukan) cenderung menyebabkan flavonoid lebih
mudah larut dalam air sehingga campuran pelarut yang disebut di atas dengan air
merupakan pelarut yang lebih baik untuk glikosida. Sebaliknya, aglikon yang
kurang polar seperti isoflavon, flavanon, dan flavon serta flavonol yang
termetoksilasi cenderung mudah lebih larut dalam pelarut seperti eter dan
kloroform.
2. Sifat Kimia Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa bersifat asam karena adanya gugus hidroksi.
Gugus hidroksi ini akan bereaksi dengan basa membentuk garam fenolat, sehingga
pada penambahan uap amonia atau Na+ warna berubah menjadi kuning. Perubahan
ini menyebabkan terjadinya pergeseran batokromik dari spektrum senyawa yang
mempunyai gugus orto dihidroksi jika bereaksi dengan AlCl3 atau H3BO3 dan akan
membentuk kompleks khelat. Ion aluminium akan membentuk khelat berwarna
kuning, ion besi akan membentuk khelat berwarna cokelat, dan sitroborat akan
berwarna kuning. Kompleks yang terbentuk dari gugus orto dihidroksi bersifat
reversibel dengan penambahan HCl, sedangkan kompleks hidroksi karbonil bersifat
ireversibel (tetap). Gugus metoksi atau metil tidak dapat membentuk kompleks
dengan AlCl3 sehingga tidak terjadi pergeseran batokromik (Harborne dkk., 1975;
Mabry dkk., 1970; Pramono, 1994).
F. Blanching
Menurut Winarno (1980), blanching adalah pemanasan pendahuluan dalam
pengolahan pangan. Blanching merupakan tahap pra proses pengolahan bahan
pangan yang biasa diakukan dalam proses pengalengan, pengeringan sayuran dan
buah-buahan. Blanching merupakan suatu proses yang dilakukan pada bahan
pangan sebelum dilakukan pengeringan pengalengan atau pembekuan. Blanching
merupakan suatu proses pemanasan pada bahan pangan dengan menggunakan suhu
dibawah 100oC. Blanching dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pemanasan
secara langsung dengan air panas (Hot Water Blancing) atau dengan menggunakan
uap (Steam Blanching). Kedua proses tersebut mempunyai keuntungan dan
kerugian tersendiri tergantung dari bahan yang akan di blanching.
Proses blanching pada umumnya membutuhkan suhu yaitu sekitar 75-95oC
selama 1-10 menit. Proses blanching merupakan perlakuan pendahuluan untuk
beberapa jenis sayuran dan buah-buahan dengan tujuan untuk mendapatkan mutu
produk yang dikeringkan, dikalengkan dan dibekukan dengan kualitas baik
(Estiasih, 2008).
Blanching bertujuan untuk menginaktifkan enzim yang memungkinkan
perubahan warna, tekstur, cita rasa bahan pangan. Namun tujuan blanching juga
bermacam-macam tergantung dari bahan yang akan digunakan serta tujuan proses
selanjutnya (Muchtadi, 1997).
Secara umum tahap proses blanching bertujuan untuk menonaktifkan enzim
polifenoloksidase, akan tetapi akhir akhir ini banyak penelitian tentang perubahan
komponen aktif selama blanching. Pada bahan tertentu proses blanching dapat
meningkatkan aktivitas antioksidan misalnya pada jagung (Randhir dkk, 2008),
tomat (Kwan dkk., 2007), kobis brussel (Viña dkk., 2007; Olivera dkk., 2008).
Peningkatan aktivitas antioksidan selama blanching diduga terjadi perubahan
senyawa kurang aktif menjadi aktif, hal ini sesuai hasil penelitian Kim dkk. (2010)
bahwa pemanasan tanin menunjukkan peningkatan aktivitas antioksidan dibanding
tanpa pemanasan.
Enzim polifenolase merupakan enzim yang bertanggung jawab atas
perubahan warna coklat pada sayuran dan buah, enzim tersebut akan membuat