Post on 06-Aug-2019
i
RELEVANSI HUKUM PROGRESIF TERHADAP HUKUM
ISLAM
(Studi Analisis Pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo Tentang
Hukum Progresif di Indonesia)
SKRIPSI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :
ABDUL KHOIRUDDIN
NIM: 0 6 2 2 1 1 0 0 7
JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
ii
Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag
Jln. Prof. Hamka km 2 Ngaliyan
Semarang 50181
Brillian Ernawati, S.H. M.Hum.
Jln. Prof. Hamka km 2 Ngaliyan
Semarang 50181
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 Naskah eks
Hal : Naskah Skripsi
An. Sdr. Abdul Khoiruddin
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini
kami kirimkan naskah skripsi Saudara :
Nama : Abdul Khoiruddin
NIM : 062211007
Jurusan : Jinayah Siyasah
Judul Skripsi :“RELEVANSI HUKUM PROGRESIF
TERHADAP HUKUM ISLAM (Studi Analisis
Pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo Tentang
Hukum Progresif Di Indonesia)”.
Dengan ini kami mohon kiranya skripsi mahasiswa tersebut dapat segera
dimunaqosahkan.
Demikian harap menjadi maklum.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Semarang, 1 Juni 2011
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag Brillian Ernawati, S.H. M.Hum.
NIP : 19690709 199703 1 001 NIP : 19631219 199903 2 001
iii
KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH
PENGESAHAN
Nama : Abdul Khoiruddin
NIM : 062211007
Jurusan : Jinayah Siyasah
Judul Skripsi :“RELEVANSI HUKUM PROGRESIF
TERHADAP HUKUM ISLAM (Studi Analisis
Pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo Tentang
Hukum Progresif Di Indonesia)”.
Telah dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut
Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan
predikat cumlaud / baik / cukup, pada tanggal 22 Juni 2011.
dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata 1
tahun akademik 2011.
Semarang, 22 Juni 2011
Mengetahui,
Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,
Moh. Khasan, M.Ag Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag
NIP : 19741212 200312 1 004 NIP :19690709 199703 1 001
Penguji I, Penguji II,
Prof. Dr. Mujiono, M.A Akhmad Arief Budiman, M.Ag
NIP: 19590215 198503 1 005 NIP :19691031 199503 1 002
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag Brillian Ernawati, S.H. M.Hum.
NIP :19690709 199703 1 001 NIP :19631219 199903 2 001
Alamat : Jl. Prof. Dr. Hamka Km.2 Ngaliyan Kampus III Telp/Fax : 024-7614454 Semarang 50185
iv
MOTTO
Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. (QS. al-Baqarah ayat
185).
v
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah, berkat do’a dan segenap asa merayu nan suci teruntuk
mereka yang arif, maka skripsi ini penulis persembahkan sebagai ungkapan
syukur kepada Allah dan tali kasih pada hambanya, kepada:
Kedua orang tuaku, ayahanda tercinta Suwardi yang senantiasa mendo’akan
dan mengharapkan kiprah penulis, penyemangat moral dan spiritual dalam
hidupku untuk tidak selalu berputus asa, ibunda tersayang Supaah yang tak
lelah mendoakan dengan kasih sayang dan kesabaran dalam mendidik serta
senantiasa mengharapkan kesuksesan untuk putra-putranya. Ta’dzimku
untukmu. Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil.
Adik-adikku, Ulfatul Khoiroh, Setyoningsih Hariyanti, Wahyu Handayani,
Nur Yanti, Della, Dinok, yang selalu menghiburku dan membuatku sadar akan
sebuah cita-cita yang besar. Thank’s to all.
Tumpuan hati penyejuk iman, Dinda Elly Nur Rohmah. Terima kasih atas
dukungan, pengertian, dan motivasinya selama ini. Semoga Allah SWT selalu
menyertai langkahmu.
Guru-guruku di seluruh jenjang pendidikan yang telah membekali ilmu yang
bermanfaat baik akademik maupun non akademik dan mendidikku dengan
penuh kesabaran serta memberikan barokah doa padaku.
Semua rekan-rekan yang telah membantu penyusunan skripsi ini.
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak
berisi materi yang pernah ditulis oleh orang
lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini
tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain
kecuali informasi yang terdapat dalam
referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 10 Juni 2011
Deklarator
Abdul Khoiruddin
NIM : 062211007
vii
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh munculnya gagasan hukum progresif
yang dipelopori oleh Prof. Satjipto Rahardjo seorang Guru Besar Emiritus
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, mencoba untuk membongkar tradisi
civil law yang statis. Telah banyak karya yang membahas masalah ini, namun
jarang sekali (atau belum ada) yang menghubungkannya dengan hukum Islam di
Indonesia. Padahal hukum Islam di Indonesia telah berkembang dan diakui
eksistensinya.
Prof. Satjipto Rahardjo merupakan salah satu intelektual hukum yang
mencoba memberikan beberapa solusi dengan pemikiran-pemikirannya seputar
persoalan hukum di Indonesia, terutama persoalan ketidakadilan hukum yang
berlandaskan pada hukum positivistik. Berawal dari beberapa artikel yang dimuat
di Harian Kompas, kemudian artikel tersebut dibukukan dalam beberapa buku.
Hukum progresif memang muncul dari kerisauan kita sebagai bangsa
terhadap kurangnya keberhasilan cara kita berhukum untuk turut memecahkan
problem-problem besar bangsa dan negara kita. Cara-cara berhukum yang lama,
yang hanya mengandalkan penerapan undang-undang, sudah waktunya untuk
ditinjau kembali. Selama ini, dengan cara berhukum yang demikian itu, hukum
kurang mampu untuk memecahkan problem sosial. Penegakan hukum memang
sudah dilakukan, tetapi belum menyelesaikan problem sosial.
Suatu cara berhukum yang baru perlu dilakukan untuk menembus
kemacetan. Sejak hukum progresif menyimpan banyak alternatif terhadap cara
berhukum yang lama, maka sekalian arsenal kesenjataan yang ada pada hukum
progresif perlu dikerahkan, mulai dari pengkonsepan kembali hukum, paradigma,
penegakan hukum, pembuatan hukum, pendidikan dan lain-lain.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji
pemikiran dari seorang begawan ilmu hukum Prof. Satjipto Rahardjo tentang
hukum progresif di Indonesia serta melihat kesesuaian antara hukum progresif
dengan hukum Islam.
Metode penelitian yang digunakan adalah jenis library research
(dokumentasi) dengan cara mengumpulkan berbagai data melalui peninggalan
tertulis, terutama arsip-arsip, termasuk buku-buku tentang pendapat teori,
dalil/hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian dengan
bantuan pendekatan Historical Approach dan Conceptual Approach.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum progresif memiliki
kesesuaian dengan hukum Islam, karena sama-sama mementingkan kemaslahatan
manusia. Ijtihad dalam hukum Islam juga menunjukkan bahwa dalam hukum
Islam juga menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Asas-
asas hukum Islam memiliki tujuan dasar untuk mewujudkan kebahagiaan
manusia.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim,
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang menciptakan
segala sesuatu dengan keteraturan agar dapat dijadikan pelajaran bagi seluruh
makhluk-Nya untuk mengatur dan memanage berbagai kegiatan yang akan
mereka lakukan. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda
Rasulullah SAW, segenap keluarga, sahabat dan seluruh umatnya.
Bagi penulis, penyusunan skripsi merupakan suatu tugas yang tidak
ringan. Penulis sadar banyak hambatan yang menghadang dalam proses
penyusunan skripsi ini, dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis sendiri.
Suatu kebanggaan tersendiri jika suatu tugas dapat terselesaikan dengan sebaik-
baiknya. Walaupun banyak halangan dan rintangan tetapi penulis yakin
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, akhirnya skripsi ini dapat
terselesaikan.
Dengan niat dan semangat yang sangat besar dalam waktu yang cukup
lama dan setelah melewati beragam tantangan atau kendala akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penelitian hingga menghasilkan karya tulis ini. Namun demikian
penulis sangat menyadari bahwa hal tersebut tidak akan terwujud dengan baik
manakala tidak ada bantuan yang telah penulis terima dari berbagai pihak. Oleh
sebab itu penulis menyampaikan rasa terimakasih secara tulus kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag Selaku Rektor IAIN Walisongo, Drs. H.
Machasin, M.Si, Prof. Dr. H. Erfan Soebahar, M.Ag, tak lupa kami sampaikan
ix
kepada Prof Dr. H. Abdul Djamil, M.A yang sekarang di Balitbang Kemenag
Jakarta. Terima kasih banyak atas arahan dan bimbingannya selama ini.
2. Bapak Dr. Imam Yahya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang. Bapak Abdul Ghofur M.Ag selaku PD I, Bapak
Saifullah M.Ag selaku PD II, Bapak Arif Budiman M.Ag selaku PD III.
Terima kasih atas arahan dan bimbingannya selama ini.
3. Bapak Drs. H. Muhyidin, M.Ag (Demisioner Dekan FS), Terima kasih atas
arahan serta wejangannya selama ini.
4. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag selaku
Demisioner PD III. Kesalahan dan kekhilafan yang penulis perbuat sewaktu
menjabat sebagai anak didik njenengan, sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa
Jurusan Hukum Pidana dan Politik Islam (HMJ HPPI/JS), rasanya menjadi
bahan pelajaran yang berharga, penulis jadi “ngerti” bagaimana lika-liku
birokrasi kampus. Bapak Drs. H. Musahadi, M.Ag dan Bapak Drs. H. Makhsun
Faiz, M.A yang selalu memberikan masukan kepada penulis.
5. Bapak Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag selaku pembimbing I, serta Ibu Brillian
Ernawati, S.H. M.Hum. selaku pembimbing II, yang telah bersedia
membimbing dalam proses penulisan skripsi ini. Terima kasih atas bimbingan
dan motivasinya serta saran-sarannya hingga skripsi ini selesai. Dari revisi-
revisinya, penulis juga bisa mengerti banyak hal tentang dunia hukum, baik
hukum Islam maupun hukum progresif serta bahasan-bahasan lain. Terima
kasih sekali lagi pak bu, jasa Njenengan sulit untuk penulis lupakan.
x
6. Bapak Akhmad Arif Junaidi M.Ag selaku Demisioner Kepala Jurusan Jinayah
Siyasah dan Bapak Rupi’i M.Ag selaku demisioner Sekretaris Jurusan. Terima
kasih atas arahan, bimbingan dan dukungannya selama ini. Tak lupa penulis
sampaikan terima kasih kepada Bapak Harun selaku staf administrasi JS, dari
diskusi-diskusi kecil beliau, penulis jadi tambah “ngerti” tentang hukum
progresif dan seluk-beluknya, dan matur nuwun atas pinjaman bukunya.
7. Bapak Solek, M.Ag selaku Kepala Jurusan Jinayah Siyasah dan Bapak Rustam
D.K.A.Harahap M.Ag, selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah, selamat atas
terpilihnya bapak “mengepalai” JS dan semoga bisa mengemban amanah
dengan baik. Semoga Jurusan JS semakin lebih maju.
8. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang Bapak Johan
Arifin MM, Ibu Nur Huda, Ibu Mujibatun, Ibu Anthin, Ibu Nur Hidayati
Setyani, Ibu Maria Ana, Pak Wahab (Wali Studi), pak Arifin, dll. Terima kasih
yang tak terhingga atas bekal ilmu pengetahuannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan kuliah sekaligus penulisan skripsi ini. Tak lupa kepada
karyawan-karyawan FS Bu Shoimah, Pak Basith, Pak Mustaqim, Bu Khotim,
Pak Setiyono, dll.
9. Seluruh Staf dan Karyawan Perpustakaan IAIN Walisongo dan Perpustakaan
Fakultas Syariah yang telah memberikan izin dan layanan kepustakaan yang
diperlukan, terimakasih banyak atas pinjaman bukunya Pak.
10. Sembah sujud saya haturkan kepada kedua Orang Tua kami tercinta, yang
telah mencurahkan kasih sayang, memberikan dukungan serta do’anya dan
semuanya yang tak ternilai, adik dan keponakan-keponakanku, dan sahabat-
xi
sahabatku yang selalu mendukung dan mendo’akan tiap langkah penulis.
Tiada kata-kata yang dapat saya ungkapkan karena begitu besar pengorbanan,
perhatian, motivasi dan bimbingan hingga penulis bisa sampai pada saat ini.
11. Keluarga Besar Bapak Abdul Hamid, Ibu Siti Nur Hayati, Dek Faiq, Dek
Vita. Kalian adalah keluarga kedua bagiku. Suasana yang hangat, akrab,
selalu penulis dapatkan di keluarga ini. Semoga kita dipertemukan kembali di
lain waktu.
12. All Wadyabala Justisia, Mas Adib, Mas Sarung, Mas Iman, Mas Tedi, Mas
Gepeng Pujianto, Mas Umam, Mas Arif, Mas Najib, Mas Suji, Kang
Nasrudin, Om Jojo, Mbak Ana, Hambali, Serta Adik-adikku di Justisia Yani
Bu PU, Encep, Musa Talinta, Soli, Salam, Ima, Khomsah, Sani, Anis, Putri,
Nadya dll. Kibarkan Bendera Justisia.
13. Pengurus PMII Rayon Syari’ah periode 2008-2009. Yayan calon M.H, Fian,
Nikmah, Ubed, Ani “Komting”, Hima “Atul”, Uswatun pengantin baru, Huda
“Robot”, Tamam Ucil, you’re my best friend’s.
14. Mantan Pengurus PMII Komisariat Walisongo 2009. Sahabat Naryoko
pengurus cabang, Ropik (calon ketua cabang), Arifin, Supri Nggacuk yang
selalu buat penulis tertawa, Adib Cinta Wity, Uplik, Mbak Yaya dll. Kapan
Skripsinya nih...Tangan Terkepal dan Maju ke Muka.
15. Pengurus DEMA 2010, si Zaki Jeknong yang suka gonta ganti pasangan, Pak
Guru Arifuddin, Tabi’in, Coco (tiga bersaudara harus rukun ya), Pipid si
Putri Salju, dll. Tetaplah berjuang.
xii
16. Senior-senior PMII, Mas Ricard, Mas Saifuddin, Mas Gupong, Mbak Evi,
Mbak Ovi, Mbak Viroh, Mas Koyin, Mas Yoni dll. Terima kasih telah
memberikan penulis arti tentang kehidupan di kampus.
17. Adik-adikku pengurus Rayon Syariah 2010, Arif Kera Slanker’s, Endang,
Asiroh al-Ebeli, Aslamiyah “Bos Pulsa”, Salamah, Rohaniah, Aqil, Juki,
Nirma dll. Teruslah Berjuang.
18. Teman-teman satu angkatan 2006 Jurusan Jinayah Siyasah, Karom si Raja
Tempe, Wahib the King of Pulsa, Dian dan Esa, kalian berdua adalah wanita
tercantik di SJA 2006, Zia si Jenggot, Kaji Wahid, Mujab Gondrong, Ambon
Naga, Ulfa, Nasiatul, Cak Imron, Zami, Delon, Kiswandi. Ayo “Ndang”
Wisuda.
19. Teman-teman di KSWM, Hijriyah, Munir, Neha, Anam sang “Rektor”,
Umam Gendut Houler, dll. Langgegkan diskusinya...
20. Para penghuni PKM Fasya, Khudori BEM-per, Nazar M.Top (Madit),
Wahid, Heri, Cahyono, Khusni, Budi, Jamil, Takim dll. Ayo bersihkan PKM.
Jangan lupa pada mandi ya, tapi jangan mandi di Masjid terus.
21. Tim Rewo-Rewo 2005. Tomi Penguasa Pandana, Hamdani al-Mungili, Rouf
yang putus asa dengan Alfu, SuBam’s yang masih bingung dengan
skripsinya, Faizin, Bu Widya dll. Ayo yang belum lulus “Ndang” nyusul.
22. Teman-teman 2006 Sani, Tyas, Ulil, Miftah, eNHa, Nazil, Huda Darno,
Falak dll.
xiii
23. Kawan-kawan di PERMAHI DPC Semarang. Plato Said, David “Ndut”
Narendra, Dicky, Hasan, Sute, dll. Jika Dadamu Bergetar Melihat
Ketidakadilan Maka Engkaulah Saudaraku. Salam PERMAHI.
24. Tim KKN Sidorejo, Paul Kordes, Basir Aiwa, Topan Popeye, Pok Lia, Pok
Rika, Umi, Titin “ndang” dapet momongan, Nana, Tak ketinggalan pula
Keluarga Besar Pak Lurah Ahmad Hidayat. Dan keluarga besar Bu
Susmiyati, Mas Rudi, Mas Iwan. Terima kasih atas arahan baik materil
maupun immateril dan “tumpangan” hidup selama penulis KKN di Sidorejo
Kec. Sayung Kab. Demak.
25. Dan yang tidak akan terlewatkan, Para Ketua Fosia yang telah sudi
merelakan “markaz”nya untuk penulis gunakan sebagai tempat “semedi”
hingga selesainya skripsi ini.
26. Dan Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu
yang telah membantu penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.
Semoga amal baik dan keikhlasan yang telah mereka perbuat menjadi
amal saleh dan mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT, Amin. Penulis
telah berusaha semaksimal mungkin demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.
Penulis sadar atas kekurangan dan keterbatasan yang ada pada diri penulis. Untuk
itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran konstruktif demi kesempurnaan
skripsi ini.
Semarang, 10 Juni 2011
Penulis,
Abdul Khoiruddin
NIM: 062211007
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. v
HALAMAN DEKLARASI .......................................................................... vi
HALAMAN ABSTRAK .............................................................................. vii
HALAMAN KATA PENGANTAR ............................................................. viii
HALAMAN DAFTAR ISI ........................................................................... xiv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………............ 1
B. Rumusan Masalah………………………………….................. 16
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………….............. 16
D. Telaah Pustaka …………………………………...................... . 18
E. Kerangka Teoritik …………………………………................. 20
F. Metode Penelitian…………………………………….............. 22
G. Sistematika Penulisan …………………………....................... 26
BAB II : KETENTUAN UMUM HUKUM PROGRESIF DAN ISLAM
A. Pengertian Hukum Progresif ....................................................... 28
1. Definisi Hukum Progresif ..................................................... 28
2. Keterkaitan Hukum Progresif dengan Teori Lain.................. 33
a) Hukum Progresif dan Aliran Hukum Kodrat.................. 33
b) Hukum Progresif dan Critical Legal Studies................... 35
c) Hukum Progresif dan Teori Hukum Responsif................ 36
B. Landasan Filosofis Hukum Progresif .......................................... 38
C. Asas Hukum Progresif dan Hukum Islam....................... ............ 45
xv
1. Asas Hukum Progresif .......................................................... 45
2. Asas Hukum Islam.................................................................. 52
D. Konsep Maslahah dalam Hukum Islam........................................ 65
E. Hukum Progresif di Indonesia .................................................... 71
BAB III : PEMIKIRAN PROF SATJIPTO RAHARDJO TENTANG
HUKUM PROGRESIF
A. Biografi Prof Satjipto Rahardjo .................................................. 78
1. Biografi Prof Satjipto Rahardjo............................................. 78
2. Karya-karya Prof Satjipto Rahardjo....................................... 81
3. Latar Belakang Pemikiran Prof Satjipto Rahardjo................. 83
B. Memahami Hukum Progresif Prof Satjipto Rahardjo ................. 88
1. Potret Kebuntuan Legalitas Formal............................. ......... 93
2. Agenda Membebaskan Hukum.............................................. 98
C. Upaya Mewujudkan Hukum Progresif........................................ 103
1. Peranan Moral atau Etika............................. ......................... 103
2. Melakukan Penafsiran Hukum yang Progresif..................... 106
3. Dimulai dari Pendidikan di Fakultas Hukum........................ 107
4. Mengangkat Orang-orang Baik............................. ................ 110
BAB IV : ANALISIS RELEVANSI HUKUM PROGRESIF
TERHADAP HUKUM ISLAM
A. Analisis Pemikiran Prof Satjipto Rahardjo Tentang Hukum
Progresif di Indonesia.................................................................. 112
B. Analisis Relevansi Hukum Progresif terhadap Hukum Islam..... 117
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 123
B. Saran-Saran ................................................................................. 124
C. Penutup ........................................................................................ 125
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Segala sesuatu di dunia ini selalu mengalami perubahan seiring
berjalannya waktu. Ilmu pengetahuan di segala bidang akan selalu
berkembang dengan penemuan-penemuan mutakhir. Tidak terkecuali dengan
ilmu hukum, yang juga senantiasa mengalami dinamika dan pasang surut.
Hukum ada untuk memenuhi kebutuhan manusia yang secara naluriah
menginginkan hidup dalam suasana yang tenang dan tertib. Oleh karena itu
disusunlah hukum berupa peraturan-peraturan dalam rangka mewujudkan
ketertiban di masyarakat.1
Namun sayangnya seringkali peraturan-peraturan itu tidak dapat
mewujudkan ketertiban yang diinginkan oleh masyarakat, karena
perkembangan masyarakat yang lebih cepat daripada peraturan-peraturan
tersebut sehingga peraturan-peraturan itu tidak dapat menjawab
permasalahan-permasalahan yang muncul. Yang lebih ironis adalah,
peraturan-peraturan yang telah disusun tersebut membuat masyarakat yang
diaturnya sengsara dan tidak bahagia.2
1 A. Qodri Azizy, Menggagas Ilmu Hukum Indonesia, dalam Ahmad Gunawan BS dan
Mu'amar Ramadhan (ed) et. al., Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006, hlm. x. 2 Ibid.
2
Hal-hal seperti inilah yang memancing timbulnya gagasan-gagasan
baru di bidang hukum. Di Amerika, muncul gagasan hukum responsif dari
Philippe Nonet dan Philippe Selznick ataupun Studi Hukum Kritis (The
Critical Legal Studies) dengan tokohnya seperti Roberto M. Unger. Tidak
ketinggalan di Indonesia yang memang merupakan negara hukum,3 tidak bisa
dihindari akan kemunculan gagasan hukum dari pakar hukum Indonesia
sendiri. Salah satu gagasan yang muncul di Indonesia adalah gagasan hukum
progresif yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo.
Bila dicermati pada sejumlah tulisannya, gagasan itu ternyata bukan
sesuatu yang baru. Namun memang lebih mengkristal sejak beberapa tahun
terakhir. Menurut Qodri Azizy,4 sejak tahun 2002, Satjipto Rahardjo telah
berbicara beberapa kali tentang hukum progresif dimana ia mengidealkannya.
Menurut Ufran,5 Hukum progresif merupakan salah satu gagasan
yang paling menarik dalam literatur hukum Indonesia pada saat ini.6 Hal ini
menarik dibicarakan karena hukum progresif telah menggugat keberadaan
hukum modern7 yang telah dianggap mapan dalam berhukum selama ini.
3 Seperti yang tertera dalam Naskah UUD 1945 BAB I pasal I ayat III yang berbunyi
Negara Indonesia adalah negara hukum. 4 A. Qodri Azizy, op.cit, hlm. xi.
5 Lihat dalam Pengantar Editor buku Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia,
Yogyakarta: Genta Publishing, 2009, hlm. v. 6 Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum Progresif pertama
kali dilontarkan pada tahun 2002 lewat sebuah artikel yang ditulis oleh Prof. Satjipto Rahardjo di
Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15
Juni 2002. 7 Istilah Hukum Modern yang dipergunakan dalam tulisan ini sekedar untuk menyebut
model hukum pada masyarakat modern yang bersifat liberal, individualistik dan rasional. Hukum
modern muncul di Eropa pada awal abad XIX yang saat itu didominasi oleh alam pemikiran
positivistik. Model ini juga sekedar untuk membedakan dengan model hukum pada masyarakat
tradisional yang lebih bersifat komunal dan magis. Lihat Wisnubroto dalam makalah Menelusuri
dan Memaknai Hukum Progresif di http://wisnubroto.blogs.friendster.com/ makalah-menelusuri-
memaknai-hukumprogresif.html. Diambil pada tanggal 17 Januari 2011.
3
Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu
menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu
melayani kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek
moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.8
Hukum tersebut menyingkap tabir dan menggeledah berbagai
kegagalan hukum modern yang didasari oleh filsafat positifistik, legalistik
dan linier tersebut untuk menjawab berbagai persoalan hukum.9 Hukum
progresif mengandung semangat pembebasan yaitu pembebasan dari tradisi
berhukum konvensional yang legalistik dan linier tersebut.
Menjalankan sebuah hukum tidak hanya semata-mata tekstual
perundang-undangan akan tetapi dalam menjalankan hukum harus dengan
determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa untuk
berani mencari jalan lain guna mensejahterakan rakyat sesuai dengan apa
yang telah diamanatkan oleh UUD 1945.10
Hukum progresif dimulai dari suatu asumsi dasar, hukum adalah
institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil,
8 Hukum Progresif menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi kelumpuhan
hukum di Indonesia. Lihat, Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Kompas,
2006, hlm. ix. 9 Hukum progresif didasarkan oleh keprihatinan terhadap kontribusi yang rendah oleh
ilmu hukum di Indonesia dalam mencerahkan bangsa keluar dari krisis termasuk krisis dalam
bidang hukum. Munculnya hukum modern mengguncang ketertiban dalam masyarakat. Hukum
yang seyogyanya dibutuhkan untuk menciptakan atau menata ketertiban masyarakat pada
praktiknya seringkali justru meminggirkan ketertiban yang telah ada dalam mayarakat lokal atau
masyarakat adat. Hukum adat bukan lagi menjadi landasan hukum nasional, melainkan dikalahkan
oleh hukum nasional, yang diumpamakan dengan “memasukkan kambing dan harimau dalam satu
kandang”. Hukum modern meminggirkan kehidupan dalam tatanan lokal dan kaidah-kaidah sosial
yang menata ketertiban di masyarakat. Lihat Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta:
Kompas, 2008, hlm. 11. 10
Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan, menjadi roh penyelenggara
hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiannya) menjadi titik orientasi dan
tujuan akhir dari hukum. Para penegak hukum menjadi unjung tombak perubahan. Lihat Ufran
op.cit, hlm. vi.
4
sejahtera dan membuat manusia bahagia. Hukum tersebut tidak
mencerminkan hukum sebagai institusi yang mutlak serta final, melainkan
ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia.11
Belakangan ini muncul kesan bahwa proses hukum seringkali tidak
mampu menyelesaikan persoalan secara tuntas apalagi memberikan keadilan
substantif bagi para pihak. Proses hukum lebih nampak sebagai mesin
peradilan yang semata-mata hanya berfungsi mengejar target penyelesaian
perkara yang efektif dari sisi kuantitas sesuai dengan tahap-tahap dan aturan
main yang secara formal ditetapkan dalam peraturan.12
Hukum dan proses peradilan seringkali merasa terkendala ketika
harus dihadapkan pada kasus-kasus yang semakin rumit dan kompleks seiring
dengan perkembangan masyarakat yang sangat dipacu oleh sistem global.
Sistem hukum modern yang telah terlanjur diformat dalam sekat-sekat
pembagian bidang hukum secara tradisionil hitam putih13
menjadi gagap
ketika dituntut harus menyelesaikan perkara-perkara yang berada pada ranah
abu-abu.14
Pada beberapa kasus, sangat jelas terpampang fenomena penegakan
hukum yang keliru dan cenderung tidak humanis. Ambil contoh penahanan
10 orang anak penyemir sepatu usia 11-14 tahun oleh Polres Metro Bandara
11
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta:
Genta Publishing, 2009, hlm. 1. 12
Wisnubroto, op.cit. 13
Maksud dari Redaksi tradisionil Hitam Putih ini adalah mengacu pada Hukum Perdata,
Hukum Pidana, Hukum Administrasi dll. 14
Ranah abu-abu di sini lebih menitikberatkan pada hal-hal yang tidak nampak jelas batas
antara persoalan etika, privat atau publik.
5
Tangerang, karena kasus bermain yang disebut polisi sebagai perjudian (pasal
303).15
Secara paradigmatik dapat dijelaskan bahwa modernisme terkait
dengan berkembangnya tradisi pemikiran yang mengedepankan rasionalitas
daripada hal-hal yang bersifat metafisika sebagaimana yang berkembang
dalam era sebelumnya. Tradisi pemikiran ilmu pengetahuan didominasi
paradigma Cartesian/Baconian/Newtonian telah merubah dunia menuju era
masyarakat modern dengan modernismenya. Secara singkat tradisi tersebut
adalah cara berpikir yang menonjolkan aspek rasional, logis, memecah atau
memilah (atomizing), matematis, masinal, deterministik dan linier.16
Perkembangan IPTEK yang sangat pesat pasca era pencerahan di
dunia sains dan seni secara nyata juga berpengaruh terhadap perkembangan
(perubahan) di bidang sosial, politik, ekonomi dan juga hukum. Di bidang
sosial misalnya terjadi perubahan dari tipe masyarakat agraris menuju
masyarakat industri yang bersifat liberal. Di bidang politik nampak pada
terbentuknya negara modern dengan platform konstitusional dan
15
Secara positivisme pasal-pasal, maka anak-anak di Tanggerang itu bersalah dalam
melakukan perjudian. Tetapi jika dikaitkan hal ini dengan kajian sosiologis, ekonomi dan budaya
maka anak-anak di Tanggerang tidak dapat dinyatakan bersalah. Anak-anak di Tanggerang adalah
korban konstruksi sosial yang membuat mereka terpaksa bekerja di masa kanak-kanaknya dan
tidak mengerti pasal-pasal perjudian yang dituduhkan kepada mereka. Kurangnya pendidikan
mempengaruhi anak-anak tersebut dalam melakukan tindakan tersebut. Sehingga secara garis
besar dalam memutus sebuah kasus, para aparat penegak hukum tidak hanya melihat kepastian
hukum semata. Nilai keadilan dan kemanfaatan harus diperjuangkan dalam memutus sebuah
kasus. Dalam perkembangannya penahanan anak-anak di Rutan Anak tersebut mencapai 29 hari
dan kemudian dilakukan penangguhan, dan kini kasusnya pergulir di pengadilan. 16
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2004, hlm. 35.
6
demokrasinya. Di bidang ekonomi muncul sistem perekonomian terbuka yang
membuka pasar bebas dan cenderung bersifat kapitalistik.17
Tak pelak lagi perubahan yang terjadi pada masyarakat modern
tersebut juga diikuti dengan perubahan pada tatanan hukumnya, yakni muncul
dan berkembangnya tatanan hukum modern atau lebih dikenal dengan
sebutan sistem hukum positif.18
Surutnya kejayaan cara berpikir Cartesian/Baconian/Newtonian
setelah munculnya teori-teori baru pada dunia sains seperti teori relativitas
dan teori Chaos19
telah merubah cara pandang terhadap kebenaran. pada
positivisme20
menyebabkan terjadinya pereduksian makna dan manipulasi
fakta yang menyebabkan kegagalan dalam memahami realita secara benar
dan utuh.
Hal demikian nampaknya terjadi pula pada model hukum modern
yang masih bertahan dengan dominasi positivismenya yang semakin sulit
17
Ibid, hlm. 36. 18
Sistem Hukum Positif didasarkan pada asas-asas dan lembaga-lembaga hukum Barat
yang untuk sebagian besar didasarkan atas asas-asas dan lembaga-lembaga hukum Romawi. Lihat
Nur Hidayati Setyani, Paradigma Positivisme dan Implikasinya Terhadap Perkembangan Hukum,
dalam Al-Ahkam, XIX, Edisi I April 2008, hlm. 45. 19
Chaos theory merupakan teori yang berkembang dalam bidang fisika. Perkembangan
teori ini tidak lepas dari perkembangan teori sebelumnya yang telah mendominasi dan memberi
penjelasan tentang dunia fisik dalam rentang waktu yang cukup lama. Chaos adalah sesuatu yang
ada di mana-mana, akan tetapi sukar untuk menjelaskannya, satu situasi ketidakteraturan atau
kekacauan benda (benda, ekonomi, sosial, politik) yang tidak bisa diprediksi polanya. Lihat Agus
Raharjo, Membaca Keteraturan Dalam Ketakteraturan (Telaah Tentang Fenomena Chaos Dalam
Kehidupan Hukum Indonesia), dalam Jurnal Ilmu Hukum Syiar Madani, IX, No. 2 Juli 2007, FH
Unisba Bandung, hal. 142-160. Di di http://agusraharjo.blogspot.com/membaca-keteraturan-
dalam-ketakaturan.html. Diambil pada tanggal 23 Pebruari 2011. 20
Positivisme adalah suatu faham falsafati dalam alur tradisi pemikiran Gallilean.
Kebanyakan kelompok positivisme berasal dari kalangan orang-orang yang progresif yang
bertekat mencampakkan tradisi-tradisi irasional dan memperbaharui masyarakat menurut hukum
alam sehingga lebih rasional. Lihat Robert M.Z.Lawang, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid
I, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994, hlm. 82.
7
menjadi sarana untuk mengatasi persoalan-persoalan yang berkembang pada
masyarakat.21
Fenomena yang nampak jelas menunjukkan perubahan paradigma
pada masyarakat pasca industri atau yang disebut juga sebagai masyarakat
informasi adalah perkembangan IPTEK telah mencapai tahap yang sangat
mutakhir. Salah satu produk IPTEK yang kini menjadi simbol kemajuan
adalah IT (Information Technology). Teknologi inilah yang secara
revolusioner merombak paradigma-paradigma yang ada sebelumnya. Sebut
saja misalnya perubahan paradigma itu terjadi pada sistem teknologi, yakni
dari sistem manual menjadi sistem digital/elektronik, yang mengakibatkan
perubahan terhadap realitas yang ada yakni dari hard reality menjadi virtual
reality atau hypperreality.22
Perubahan-perubahan paradigma secara revolusioner tersebut yang
dalam bahasanya Thomas Khun disebut dengan istilah Lompatan
Paradigmatik23
atau dalam bahasanya Fritjof Capra disebut dengan istilah
Ingsutan Paradigma, secara nyata telah menciptakan wajah baru pada pola
21
Teori tersebut tetap hidup bahkan mendominasi kehidupan hukum di Indonesia. Ini
disebabkan karena teori positivis telah mengakar kuat, tidak hanya dalam lembaga pendidikan
tinggi, tetapi juga pada lembaga-lembaga penegak hukum yang mewujudkan hukum yang ada
dalam undang-undang sebagai hukum yang hidup. 22
Teknologi telematika telah melahirkan sebuah dimensi ketiga dalam fenomena
kehidupan masyarakat. Dimensi pertama (hard reality) adalah kenyataan dalam kehidupan empiris
yang secara fisik bisa dilihat/didengar/dirasakan, dimensi kedua (soft reality) adalah kenyataan
dalam kehidupan simbolik dan nilai-nilai yang dibentuk, dimensi ketiga (virtual reality) adalah
kenyataan dalam kehidupan dunia mayantara (cyber space). Lihat Ashadi Siregar, Negara,
Masyarakat dan Teknologi Informasi, Makalah dalam Seminar Teknologi Informasi,
Pemberdayaan Masyarakat dan Demokrasi Dies Natalis FISIPOL UGM ke-46, Yogyakarta 19
September 2001. Di http://ashadisiregar.blogspot.com/negara-masyarakat-dan-teknologi-.html.
Diambil pada tanggal 18 Januari 2011. 23
Menurut Khun, Revolusi Sains muncul jika paradigma yang lama mengalami krisis dan
akhirnya orang mencampakkannya serta merangkul paradigma yang baru. Lihat Thomas Khun,
Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains The Structure of Scientific Revolutions, (diterjemahkan
oleh: Tjun Surjaman), Bandung: Remadja Karya CV, 1989, hlm. 57-83.
8
perilaku termasuk tatanan nilai-nilai di berbagai belahan dunia, sehingga lalu
muncul era atau aliran posmodernisme yang mencoba merespon, mengoreksi,
mengkritisi bahkan mengecam berbagai kesalahan dalam modernisme.
Sebenarnya secara filosofis ada aliran pemikiran yang dekat dengan
semangat posmodernisme, seperti: Legal Realism dan Critical Legal
Studies.24
Legal realism antara lain mengajarkan bahwa peraturan perundang-
undangan bisa dikesampingkan jika ternyata keberadaannya menghalangi
pencapaian keadilan. Critical Legal Studies bahkan sejak awal bersikap
bahwa peraturan perundang-undangan harus dihindari karena proses
penyusunannya sarat dengan muatan kepentingan yang timpang.25
Penerapan Legal Realism dan Critical Legal Studies dalam praktek
penegakan hukum di Indonesia pada saat ini jelas tidak realistis karena
keberadaan paradigma hukum positif masih mendominasi dunia hukum di
Indonesia. Disamping itu pada kenyataannya bagaimanapun kritikan atau
kecaman posmodernisme terhadap modenisme toh terbukti belum mampu
menghadang derasnya arus liberalisme, kapitalisme dan positivisme.26
Berkaitan dengan realitas-realitas tersebut maka konsep (penafsiran)
hukum progresif dianggap jalan tengah yang terbaik. Ajaran hukum progresif
tidak mengharamkan hukum positif namun tidak juga mendewakan ajaran
24
Studi Hukum Kritis (critical legal studies) yang dipelopori oleh Roberto M. Unger.
Mazhab ini tidak puas dengan hukum modern yang sarat dengan prosedur. Gerakan Studi Hukum
Kritis telah menggerogoti gagasan pokok pemikiran hukum modern dan menyodorkan satu
konsepsi hukum yang secara tak langsung mengenai masyarakat dan memberi gambaran tentang
satu praktek politik. Dua perhatian yang paling menonjol dari gerakan ini ialah kritik terhadap
formalisme dan objektivisme. Lihat Roberto M. Unger, Gerakan Studi Hukum Kritis, Jakarta:
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 1999, hlm. 15. 25
Wisnubroto, op.cit, hlm. 4. 26
Ibid.
9
hukum bebas. Progresivisme tetap berpijak pada aturan hukum positif, namun
disertai dengan pemaknaan yang luas dan tajam. Keluasan dan ketajaman
pemaknaan hukum progresif bahkan lebih dari apa yang dikembangkan dalam
Sociological Jurisprudence,27
namun mencakup pula aspek psikologis dan
filosofis.
Pemikiran positivistis yang menghasilkan aliran hukum normative-
dogmatik masih dominan dalam berbagai produk hukum di Indonesia,28
baik
yang berupa putusan lembaga peradilan maupun perundang-undangan,
dimana aliran tersebut menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah
semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum. Dari anggapan ini
akhirnya memunculkan pertanyaan kritis, untuk siapa sebenarnya hukum itu
dibuat, apakah untuk kepastian hukum dan ketertiban itu sendiri, ataukah
untuk kesejahteraan manusia? Lalu pertanyaan berikutnya, bila hukum itu
ditujukan semata-mata untuk kepastian hukum, lalu di mana fungsi hukum
yang melindungi masyarakat itu?.
Penerapan dan penegakan hukum sangat dipengaruhi beberapa
faktor, yaitu: faktor hukumnya sendiri, faktor aparatnya, faktor sarana dan
27
Sociological Jurisprudence muncul pada abad ke IXX dan abad ke XX. Diawali
dengan munculnya aliran Sejarah dan Antropologis yang mulai meletakkan hukum pada
lingkungan sosial. Sociological Jurisprudence menempatkan hukum secara sosiologis sebagai
perwujudan dari kehendak masyarakat. Hukum dianggap sebagai suatu kebutuhan bagi masyarakat
untuk mengatur mereka sehingga keberadaan hukum merupakan suatu kesatuan dengan
masyarakatnya. Lihat Novita Dewi Masyitoh, Mengkritisi Analytical Jurisprudence Versus
Sosiological Jurisprudence Dalam Perkembangan Hukum Indonesia, dalam Al-Ahkam, XX, Edisi
II Oktober 2009, hlm. 17-22. 28
Pendekatan normatif-dogmatis pada hakekatnya menganggap apa yang tercantum
dalam peraturan hukum sebagai deskripsi dari keadaan yang sebenarnya.
10
prasarana, faktor masyarakat dan, faktor budaya.29
Faktor-faktor ini satu sama
lain kait-mengait. Penerapan dan penegakan hukum yang baik akan
memberikan rasa keadilan bagi masyarakat secara menyeluruh, yang
mencakup keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice) dan,
keadilan sosial (social justice). Atau dengan kata lain, penerapan dan
penegakan hukum dapat dikatakan baik apabila dapat memberikan keadilan
dan kemanfaatan bagi masyarakat disamping kepastian hukum. Sebab yang
terjadi dalam praktek, produk hukum dari lembaga peradilan maupun
pemerintah lebih sering menekankan asas kepastian hukum dan ketertiban
daripada asas keadilan dan kepentingan umum.30
Realitas hukum di Indonesia yang masih bersifat sentralistik,
formalisitik, represif dan status quo telah banyak mengundang kritik dari para
pakar dan sekaligus memunculkan suatu gagasan baru untuk mengatasi
persoalan tersebut,31
seperti apa yang sering diperkenalkan oleh Satjipto
Rahardjo dengan ilmu hukum progresifnya, yaitu yang meletakkan hukum
untuk kepentingan manusia sendiri, bukan untuk hukum dan logika hukum,
seperti dalam ilmu hukum praktis. Pengertian hukum progresif ini kiranya
tidak berbeda dengan apa yang telah diperkenalkan oleh Philippe Nonet &
29
Ali Irfan Asmuin, “Membangun Hukum Indonesia yang Progresif”, Makalah Magister
Hukum, Semarang: Perpustakaan UNISSULA, 2010, hlm. 45. 30
Ibid, hlm. 46. 31
Hukum Represif secara khusus bertujuan untuk mempertahankan status quo penguasa
yang kerap kali ditemukan dengan dalih untuk menjamin ketertiban umum. Aturan-aturan dalam
hukum represif bersifat keras dan terperinci, akan tetapi lunak dalam mengikat para pembuatnya
sendiri. Lihat Eman Sulaiman, Hukum Represif: Wajah Penegakan Hukum di Indonesia, dalam al-
Ahkam, XIII, Edisi II 2001, hlm. 91.
11
Philip Selznick yang dinamakan dengan hukum responsif, yaitu hukum yang
berfungsi melayani kebutuhan dan kepentingan sosial.32
Gagasan mengusung pembangunan hukum nasional yang progresif
sebetulnya bertolak dari keprihatinan bahwa ilmu hukum praktis lebih
menekankan paradigma peraturan, ketertiban dan kepastian hukum, yang
ternyata kurang menyentuh paradigma kesejahteraan manusia sendiri. Satjipto
mengatakan bahwa perbedaannya terletak pada ilmu hukum praktis yang
menggunakan paradigma peraturan (rule), sedang ilmu hukum progresif
memakai paradigma manusia (people). Penerimaan paradigma manusia
tersebut membawa ilmu hukum progresif untuk memedulikan faktor perilaku
(behavior, experience).33
Bagi ilmu hukum progresif, hukum adalah untuk manusia, sedang
pada ilmu hukum praktis manusia adalah lebih untuk hukum dan logika
hukum. Disinilah letak pencerahan oleh ilmu hukum progresif. Oleh karena
ilmu hukum progresif lebih mengutamakan manusia, maka ilmu hukum
progresif tidak bersikap submisif atau tunduk begitu saja terhadap hukum
yang ada melainkan bersikap kritis.34
Gagasan tentang pembaruan hukum di Indonesia yang terutama
bertujuan untuk membentuk suatu hukum nasional, tidaklah semata-mata
32
Philippe Nonet and Philippe Selznick, Law and Society in Transition, Towars
Responsive Law, diterjemahkan Raisul Muttaqien, Hukum Responsif, Bandung: Nusamedia, 2008,
Cet 2, hlm. 84. 33
Hal ini bertentangan diametral dengan paham bahwa hukum itu hanya urusan
peraturan. Peranan manusia disini merupakan konsekuensi terhadap pengakuan bahwa sebaiknya
tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan. Lihat Satjipto Rahardjo,
Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Kompas, 2008, hlm. 138. 34
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum, dalam
buku Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Semarang: Kerjasama Pustaka Pelajar, IAIN
Walisongo dan Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, 2006, hlm. 1-17.
12
bermaksud untuk mengadakan pembaruan (ansich), akan tetapi juga
diwujudkan menuju pembaruan hukum yang berwatak progresif, yang mana
kebijakan pembaruan hukum merupakan konkretisasi dari sistem nilai-nilai
yang berlaku dalam masyarakat. Suatu keadaan yang dicita-citakan adalah
adanya kesesuaian antara hukum dengan sistem-sistem nilai tersebut.
Konsekuensinya adalah bahwa perubahan pada sistem nilai-nilai harus diikuti
dengan pembaruan hukum, atau sebaliknya.35
Kerisauan dan kegalauan di atas menjadi pijakan berpikir dalam
perenungan panjang untuk menentukan gagasan pembaruan hukum melalui
studi hukum kritis yang berbasis progresif. Pembaruan hukum merupakan
wujud imajinasi sebuah kesadaran baru yang menggeluti sebuah wilayah
konseptual yang sangat luas. Di sana berbagai motivasi dan konsep
pembaruan akan berkelit-kelindan yang menunjukkan tempat pembaruan
hukum Indonesia saat ini.36
Manakala proses pembaruan hukum demi terwujudnya kesadaran
baru-tanpa bisa diingkari-merupakan bagian dari proses politik yang progresif
dan reformatif. Di sini hukum dapat difungsikan sebagai suatu alat
pembaharuan masyarakat (tool of social engineering), entah yang diefektifkan
lewat proses-proses yudisial atau yang diefektifkan melalui proses legislatif.37
35
Ibid. 36
Ibid, hlm. 18. 37
Orientasinya tidak hanya ditujukan kepada pemecahan masalah yang ada, melainkan
berkeinginan untuk menimbulkan perubahan-perubahan dalam dalam tingkah laku anggota
masyarakat. Satjipto Rahardjo, op.cit, hlm. 19.
13
Pembaruan hukum acapkali hanya diperbincangkan sebagai legal
reform.38
Secara harfiah legal reform berarti pembaruan dalam sistem
perundangan-undangan belaka. Kata legal berasal dari kata lege yang berarti
undang-undang alias materi hukum yang secara khusus telah dibentuk
menjadi aturan-aturan yang telah dipastikan atau dipositifkan sebagai aturan
hukum yang berlaku secara formal. Dengan demikian, pembaruan hukum
akan berlangsung sebagai aktivitas legislatif yang umumnya melibatkan
pemikiran-pemikiran kaum politis dan atau sejauh-jauhnya juga pemikiran
para elit profesional yang memiliki akses lobi.39
Bergeraknya proses pembaruan hukum yang membatasi
perbincangannya pada pembaruan norma-norma positif perundang-undangan
saja, membuktikan masih kokohnya watak keras positivisme hukum dalam
pembangunan hukum kita saat ini. Alam pemikiran positivisme hukum
menjadi jalan kelam masa depan legal reform, serta membuat hukum
terisolasi dari dimensi sosial-masyarakat. Lantas tak heran, ketika fungsi
legislasi sebagai pintu awal pembaruan hukum lebih sering mengedepankan
konflik kepentingan politik melalui dalih-dalih prosedur legislasi dari pada
mencerminkan dialektika subtansial.40
Hukum progresif bersifat membebaskan diri dari dominasi tipe
hukum liberal yang tidak selalu cocok diterapkan pada negara-negara yang
38
Soetandyo Wignjosoebroto, Pembaharuan Hukum Masyarakat Indonesia Baru,
Jakarta: HuMa, 2007, hlm. 97. 39
Ibid, hlm. 98. 40
Ibid.
14
telah memiliki sistem masyarakat berbeda dengan sistem masyarakat asal
hukum modern (dalam hal ini adalah Eropa).41
Konsep progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan
sehingga berupaya merubah hukum yang tak bernurani menjadi institusi yang
bermoral. Paradigma hukum untuk manusia membuatnya merasa bebas untuk
mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta aksi-aksi yang tepat
untuk mewujudkan tujuan hukum yakni keadilan, kesejahteraan dan
kepedulian terhadap rakyat. Satu hal yang patut dijaga adalah jangan sampai
pendekatan yang bebas dan longgar tersebut disalahgunakan atau
diselewengkan pada tujuan-tujuan negatif.42
Akhirnya, masalah interpretasi atau penafsiran menjadi sangat urgen
dalam pemberdayaan hukum progresif dalam rangka untuk mengatasi
kemandegan dan keterpurukan hukum. Interpretasi dalam hukum progresif
tidak terbatas pada konvensi-konvensi yang selama ini diunggulkan seperti
penafsiran gramatikal, sejarah, sistematik dan sebagainya, namun lebih dari
itu berupa penafsiran yang bersifat kreatif dan inovatif sehingga dapat
membuat sebuah terobosan dan lompatan pemaknaan hukum menjadi sebuah
konsep yang tepat dalam menjangkau hukum yang bermoral kemanusiaan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa yang
dimaksud dengan pembaruan bukanlah secara tekstual melainkan secara
kontekstual. Oleh karena itu pemahaman dan penerapannya memerlukan
penyesuaian dengan konteks perkembangan zaman.
41
Ibid, hlm. 99. 42
Ibid, hlm. 101.
15
Hal ini dapat dipadukan dengan hukum Islam yang diformulasikan
dalam bentuk Islam adalah agama yang universal yang misinya adalah rahmat
bagi semua penghuni alam semesta, sebagaimana dalam firman-Nya dalam
surat al-Anbiya’ (21) : 107.43
Dengan demikian hukum Islam akan tetap
relevan dan aktual serta mampu dalam menjawab tantangan modernitas.
Hukum progresif di Indonesia memiliki kesesuaian dengan hukum
Islam, karena sama-sama mementingkan kemaslahatan manusia.44
Ijtihad
dalam hukum Islam juga menunjukkan bahwa dalam hukum Islam juga
menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Asas-asas
hukum Islam memiliki tujuan dasar untuk mewujudkan kebahagiaan umatnya.
Tujuan penetapan hukum dalam Islam diorientasikan untuk
kemaslahatan manusia dalam bentuk memberikan manfaat maupun
menghindarkan dari kerusakan baik dalam kehidupan di dunia maupun
akhirat. Reformasi hukum Islam dewasa ini semakin signifikan sehingga lebih
akomodatif dengan dinamika perubahan sosial. Dalam konteks ini untuk
mengeksplorasi kajian terhadap hukum Islam digunakan sistem berfikir
eklektif.45
Suatu dalil yang diprioritaskan, mengacu pada dalil mana yang
43
Yang artinya adalah dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam. 44
Inilah yang digulirkan oleh pemikir Islam Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya Al-
Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah yang kemudian disebut dengan Maqashid al-Syar’iyah. Dalam
pandangan al-Syathibi maslahat adalah sesuatu yang melandasi tegaknya kehidupan manusia,
terwujudnya kesempurnaan hidup manusia serta yang memungkinkan manusia memperoleh
keinginan-keinginan jasmaniyahnya dan aqliyahnya secara mutlak sehingga manusia dapat
merasakan kenikmatan dalam hidupnya. Inilah kesesuaian dengan hukum progresif yang digagas
oleh Satjipto Rahardjo tentang hukum progresif di Indonesia. 45
Eklektif adalah sebuah pemikiran yang memiliki pendirian yang luas dan juga bersifat
memilih yang terbaik. Lihat Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer,
Surabaya: Arkola, 2001, hlm. 130.
16
lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran dan didukung oleh dalil yang
kuat yang selaras dengan perkembangan masyarakat.
Karena penelitian yang terkait antara hubungan gagasan hukum
progresif dengan hukum Islam di Indonesia-sampai saat ini sejauh
pengetahuan penulis-belum ada, maka penelitian ini penting untuk dilakukan
untuk menambah khazanah kepustakaan.
B. Rumusan Masalah
Dari gambaran dan uraian di atas dapat peneliti kemukakan beberapa
pokok permasalahan sehubungan dengan judul yang diajukan tersebut di atas
antara lain:
1. Bagaimana Pemikiran Satjipto Rahardjo tentang Hukum Progresif di
Indonesia?
2. Bagaimana Relevansi antara Hukum Islam dalam Memandang Hukum
Progresif yang digagas oleh Satjipto Rahardjo?
Perumusan masalah tersebut, coba peneliti telisik sampai akhir
sebagai hasil penelitian dan bagaimana penelitian ini mencapai kesimpulan
yang menjadi jawaban ilmiah atas masalah-masalah yang mendasar.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Setelah menentukan perumusan masalah dalam penelitian ini dengan
pasti, maka tujuan dan kegunaan terhadap masalah tersebut di atas adalah
sebagai berikut:
17
1. Untuk mengetahui dan mengkaji pemikiran Satjipto Rahardjo tentang
Hukum Progresif di Indonesia.
2. Untuk mengetahui relevansi antara Hukum Islam dalam memandang
Hukum Progresif yang digagas oleh Satjipto Rahardjo.
Sedangkan manfaat penelitiannya dibagi menjadi dua, yaitu manfaat
secara teoritis dan praktis.46
Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk
perkembangan keilmuan dan untuk mengisi kekosongan penelitian yang
menelaah hubungan antara semangat dan nilai-nilai hukum progresif dengan
hukum Islam serta sebagai bahan informasi untuk penelitian lebih lanjut. Dan
manfaat secara praktis empirik, penelitian ini berguna bagi para penegak
hukum agar dalam menerapkan hukum, menggunakan prinsip-prinsip hukum
progresif, yaitu agar hukum ada untuk kebahagiaan manusia.
Selain itu karena penelitian ini nantinya adalah penelitian hukum
normatif dengan tema utama hukum progresif, maka perlu kiranya dikutip
pendapat Sunaryati Hartono yang menyebutkan beberapa manfaat penelitian
hukum normatif, salah satunya adalah untuk melakukan penelitian dasar
(basic research) di bidang hukum, khususnya apabila kita mencari asas
hukum, teori hukum dan sistem hukum, terutama dalam hal-hal penemuan
dan pembentukan asas-asas hukum baru, pendekatan hukum yang baru dan
sistem hukum nasional yang baru.47
46
Saifullah, Konsep Dasar Proposal Penelitian, Fakultas Syari’ah UIN Malang, TK,
2006, hlm. 10. 47
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad Ke-20, Bandung:
Alumni, 1994, hlm. 141.
18
D. Telaah Pustaka
Telah menjadi sebuah ketentuan di dunia akademis, bahwa tidak ada
satupun bentuk karya seseorang yang terputus dari usaha intelektual yang
dilakukan generasi sebelumnya, yang ada adalah kesinambungan pemikiran
dan kemudian dilakukan perubahan yang signifikan. Penulisan ini juga
merupakan mata rantai dari karya-karya ilmiah yang lahir sebelumnya.
Sejauh penelusuran peneliti, terdapat beberapa penelitian yang
berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Diantaranya adalah Penelitian
skripsi tahun 2009 oleh Mahmud Kusuma yang juga sudah dibukukan
berjudul Menyelami Semangat Hukum Progresif (Terapi Paradigmatik bagi
Lemahnya Hukum Indonesia) sebagai tugas akhir pada Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Dalam penelitiannya itu Mahmud Kusuma mencoba untuk terlebih
dahulu menelusuri asal-usul dari gagasan hukum progresif itu dengan
menelusuri pemikiran-pemikiran dari para pemikir terdahulu (Einstein, Kuhn,
Capra, Zohar & Marshall, Sampford, Nonet & Selznick, Holmes, Pound,
Heck, Unger) yang menurut keyakinan Mahmud Kusuma ikut memengaruhi
dan membentuk pemikiran Satjipto Rahardjo hingga sampai pada gagasannya
tentang hukum progresif. Kemudian dipaparkan berbagai permasalahan yang
dihadapi dalam penyelenggaraan dan penegakan hukum di Indonesia.
19
Selanjutnya dipaparkan paradigma hukum progresif sebagai alternatif untuk
penyelenggaraan hukum dalam garis besarnya.48
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas
Syari’ah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang berjudul Nilai-Nilai
Hukum Progresif dalam Aturan Perceraian dan Izin Poligami. Penelitian ini
merupakan karya skripsi yang ditulis oleh M. Yudi Fariha pada tahun 2010.
Dalam skripsi ini, M. Yudi Fariha mencoba memaparkan tentang nilai-nilai
hukum progresif yang terkandung dalam latar belakang kelahiran Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI maupun dalam materi hukum yang
diaturnya, yang difokuskan pada aturan perceraian dan izin poligami yang
dulu tidak banyak dibicarakan ulama fikih.
Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian
sebelumnya adalah penelitian ini lebih memfokuskan pada relevansi hukum
progresif dikaitkan dengan hukum Islam. Secara kualitatif, buku-buku yang
membahas tentang hukum progresif cukup banyak, namun di antara buku-
buku yang ada belum secara spesifik membahas tentang keterkaitan antara
hukum progresif dengan hukum Islam.
Sepanjang pengetahuan penulis, di IAIN Walisongo sendiri belum
banyak karya yang mengkaji secara mendetail pemikiran tokoh yang satu ini,
terutama yang menghubungkannya dengan hukum Islam di Indonesia.
Padahal hukum Islam di Indonesia telah berkembang dan diakui
48
Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif (Terapi Paradigmatik bagi
Lemahnya Hukum Indonesia), Yogyakarta: antonyLib, 2009, hlm. 189-190.
20
eksistensinya.49
Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk membahas
tema ini. Namun, apabila terdapat kesamaan atau kemiripan dengan karya
ilmiah lain itu merupakan sesuatu yang tidak disengaja atau ketidaksengajaan
dan tentunya memiliki objek kajian serta pembahasan permasalahan yang
berbeda dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah.
E. Kerangka Teoritik
Satjipto Rahardjo yang mulai menggulirkan Hukum Progresif sejak
tahun 2002 menyatakan bahwa Hukum Progresif menolak untuk
mempertahankan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo
berarti mempertahankan segalanya, dan hukum adalah tolak ukur untuk
semuanya.
Satjipto Rahardjo secara ringkas memberikan rumusan sederhana
tentang hukum progresif, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara
berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan
49
Ada lima teori eksistensi hukum Islam di Indonesia, yaitu: 1). Teori Receptio in
Complexu (Lodewijk Willem Christian van den Berg): bagi setiap penduduk berlaku hukum
agamanya masing-masing. Bagi orang Islam berlaku hukum Islam, demikian pula bagi pemeluk
agama lain. 2) Teori Receptie (Cornelis van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje):
hukum Islam tidak otomatis berlaku bagi orang Islam. Hukum Islam berlaku bagi orang Islam,
kalau ia sudah diterima (diresepsi) oleh dan telah menjadi hukum adat. 3). Teori Receptie Exit
(Hazairin): pemberlakuan hukum Islam tidak harus didasarkan atau ada ketergantungan kepada
hukum adat. 4). Teori Receptio A Contrario (Sayuti Thalib): hukum adat baru berlaku kalau tidak
bertentangan dengan hukum Islam, ini adalah kebalikan dari teori Receptie. 5). Sebagai kelanjutan
dari teori Receptie Exit dan Receptie A Contrario, muncullah Teori Eksisteni (Ichtianto S.A): teori
ini menerangkan adanya hukum Islam dalam hukum Nasional Indonesia. Menurut teori ini, bentuk
eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional itu ialah (a) Ada, dalam arti hukum Islam berada
dalam hukum nasional sebagai bagian integral darinya; (b) Ada, dalam arti adanya kemandirian
yang diakui berkekuatan hukum nasional dan sebagai hukum nasional; (c) Ada dalam hukum
nasional dalam arti norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum
nasional Indonesia; (d) Ada dalam hukum nasional dalam arti sebagai bahan utama dan unsur
utama hukum nasional Indonesia. Lihat H. Mustofa dan H. Abdul Wahid, Hukum Islam
Kontemporer, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 143-152.
21
hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada
manusia dan kemanusiaan.50
Ada catatan penting yang diberikan Satjipto, bahwa faktor manusia
dalam hukum sudah terlalu lama diabaikan untuk lebih memberi tempat
kepada hukum. Salah satu upaya untuk membebaskan manusia dari belenggu
hukum adalah dengan ide (penegakan) hukum progresif. Catatan penting lain
yang diberikan Satjipto dalam Menggagas Hukum Progresif Indonesia bahwa
berbicara ilmu hukum, kita akan berhadapan dengan suatu ilmu dengan
sasaran objek yang nyaris tak bertepi. Hal ini menggambarkan betapa ilmu ini
sangat luas karena bersentuhan dengan berbagai aspek kehidupan. Di samping
itu, pada saat yang sama, berbagai aspek itu masih pula tidak bisa dibatasi
dengan wilayah teritori, baik lokal, kawasan, nasional, maupun global.51
Maka tawaran hukum progresif dalam konteks Indonesia, bagi
Satjipto, didasari oleh keprihatinan terhadap rendahnya kontribusi ilmu hukum
Indonesia dalam turut mencerahkan bangsa ini untuk keluar dari krisis,
termasuk krisis di bidang hukum.
Begitu juga dengan hukum Islam. Hukum Islam sebagaimana hukum-
hukum yang lain mempunyai asas dan tiang pokok. Kekuatan suatu hukum,
sukar mudahnya, dapat diterima atau ditolak masyarakat tergantung kepada
50
Sejak digulirkan tahun 2002, sudah banyak orang yang tergugah dengan pendekatan
hukum progresif karena hukum progresif dianggap sebagai pendekatan alternatif di tengah
kejumudan positivisme hukum. 51
Satjipto Rahardjo, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006, hlm. 16.
22
asas dan tiang-tiang pokoknya. Salah satu asas yang sesuai dengan hukum
progresif adalah tentang memperhatikan kemaslahatan manusia.52
Hukum Islam dihadapkan kepada bermacam-macam jenis manusia dan
ke seluruh dunia. Maka tentulah pembina hukum memperhatikan
kemaslahatan masing-masing mereka sesuai dengan adat kebudayaan mereka
serta iklim yang menyelubunginya. Jika kemaslahatan-kemaslahatan itu
bertentangan satu sama lain, maka pada saat itu didahulukan maslahat umum
atas maslahat khusus dan diharuskan menolak kemudharatan yang lebih besar
dengan jalan mengerjakan kemudharatan yang kecil.53
Kemudian asas mewujudkan keadilan yang merata. Manusia di dalam
hukum Islam, sama kedudukannya. Mereka tidak lebih melebihi karena
kebangsaan, karena keturunan, karena harta atau karena kemegahan. Tak ada
di dalam hukum Islam penguasa yang bebas dari jeratan Undang-undang,
apabila mereka berbuat zalim. Semua manusia di hadapan Allah Hakim yang
Maha Adil adalah sama.54
F. Metode Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan jenis
penelitian hukum normatif.55
Penelitian dilakukan dengan cara melakukan
52
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm.
71. 53
T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,
2001, hlm. 58. 54
Ibid, hlm. 68-69. 55
Penelitian ini terdiri dari penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf
sinkronisasi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum. Lihat Bambang Sunggono,
Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 42.
23
kajian analitis yang komprehensip terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, dan bila diperlukan didukung oleh bahan hukum
tersier.56
Untuk mendapatkan data-data yang lengkap dan benar dalam
rangka menyelesaikan permasalahan serta untuk mencari kebenaran ilmiah
yang bersifat obyektif dan rasional juga dapat dipertanggungjawabkan,
maka penulis menggunakan metode dokumentasi.57
Dalam hal ini penulis
mengkaji data-data dan fakta yang berupa catatan-catatan dokumen, buku,
jurnal, majalah, arsip dan hal-hal lain yang menyangkut dengan penelitian
ini.
2. Sumber Data
Karena penelitian ini merupakan studi terhadap hasil pemikiran
dari seorang tokoh, maka data-data yang dipergunakan lebih merupakan
data pustaka. Ada dua macam data yang dipergunakan, yakni data primer
dan data sekunder.
a. Sumber Data Primer.
56
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat dan merupakan data
utama dalam penelitian ini, seperti buku-buku ataupun tulisan langsung dari Prof. Satjipto
Rahardjo, Bahan hukum sekunder adalah yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti literatur atau buku dan artikel para pengkaji pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo,
sedangkan bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia hukum. Lihat
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006, hlm.13. 57
Metode dokumentasi adalah cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis,
terutama arsip-arsip, termasuk buku-buku tentang pendapat teori, dalil/hukum dan lain-lain yang
berhubungan dengan masalah penelitian. Lihat Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Hukum,
Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press, 1998, hlm. 100.
24
Sumber data primer merupakan sumber data utama dan paling
pokok berupa buku dan tulisan asli yang berasal dari karya Satjipto
Rahardjo. Dari beberapa karya yang telah diterbitkan, penulis
menggunakan rujukan utama dari karya Satjipto Rahardjo yang berjudul
Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia diterbitkan di
Yogyakarta oleh Genta Publishing tahun 2009 dan buku Menggagas
Hukum Progresif Indonesia terbitan Pustaka Pelajar tahun 2006.
b. Sumber Data Sekunder.
Data sekunder tetap diperlukan sebagai data pendukung yang
berupa buku atau artikel yang dapat mendukung penelitian skripsi ini.
Sumber data sekunder adalah data yang mengutip dari sumber lain
sehingga tidak bersifat otentik karena sudah diperoleh dari sumber
kedua dan ketiga. Sumber sekunder penulis ambil dari beberapa
pengkaji pemikiran Satjipto Rahardjo, baik itu berupa buku, skripsi,
tesis, maupun karya ilmiah lainnya, diantaranya adalah buku
Pembaharuan Hukum Masyarakat Indonesia Baru, karangan Soetandyo
Wignjosoebroto,58
dan buku Menelusuri dan Memaknai Hukum
Progresif yang ditulis oleh Wisnubroto, serta beberapa referensi lainnya
yang mendukung dalam penulisan skripsi ini.
58
Soetandyo Wignjosoebroto boleh disebut sebagai satu-satunya Guru Besar (bukan
IlmuHukum) di Indonesia namun secara konsisten dan tekun melalui beberapa bukunya mencoba
mengintroduksikan dengan cara mengelaborasi kembali kondisi Indonesia dimasa lalu termasuk
proses pemberlakuan hukum asing kepada rakyat jajahan kala itu, sehingga generasi bangsa
Indonesia dewasa ini diharapkan mendapatkan panduan yang jelas mengenai hal tersebut. Lihat
juga di Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial
Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1994.
25
3. Metode Analisis Data
Metode yang akan digunakan sebenarnya cukup sederhana, yakni
mencoba menarik beberapa pokok pemikiran dari karya Satjipto Rahardjo
tersebut, kemudian menguraikannya secara sistematis. Adapun metode
penelitian dalam penulisan karya skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Metode Deskriptif-Analitik.59
Metode ini penulis gunakan untuk melakukan pelacakan dan analisa
terhadap pemikiran, biografi serta kerangka metodologis pemikiran
Satjipto Rahardjo dengan cara menganalisis data yang diteliti dengan
memaparkan data-data tersebut kemudian diperoleh kesimpulan. Untuk
mempertajam analisis, metode content analysis (analisis isi) juga bisa
penulis pakai. Content analysis digunakan melalui proses mengkaji data
yang diteliti. Dari hasil analisis isi ini diharapkan akan mempunyai
sumbangan teoritik. Metode ini akan penulis gunakan dalam BAB IV
yaitu Analisis Pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo tentang Hukum
Progresif di Indonesia.
2. Metode Historical Approach.
Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang
dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.
Pendekatan ini penulis gunakan karena ingin mengungkap filosofis dan
59
Deskriptif adalah berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan apa yang ada,
baik mengenai kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang sedang tumbuh, proses yang
sedang berlangsung atau yang telah berkembang. Cara ini digunakan dengan maksud untuk
mengetahui latar belakang munculnya pemikiran Satjipto Rahardjo tentang hukum progresif di
Indonesia, sehingga dalam pembuatan skripsi ini akan lebih mudah memahami jalan pikiran
maupun makna yang terkandung di dalamnya secara komprehensif. Lihat Bambang Sunggono,
op.cit, hlm. 38.
26
pola pikir yang melahirkan gagasan tentang hukum progresifnya Prof.
Satjipto Rahardjo sehingga natinya sangat relevan dengan
perkembangan hukum di Indonesia saat ini.
3. Metode Konsep (conceptual approach)
Penelitian hukum normatif akan lebih akurat bila dibantu oleh satu atau
lebih pendekatan lain yang cocok, guna memperkaya pertimbangan-
pertimbangan hukum yang tepat untuk menghadapi problem hukum
yang dihadapi, maka Pendekatan Konsep dilakukan karena peneliti
merujuk kepada prinsip-prinsip hukum progresif dalam menelaah
hukum di Indonesia. Prinsip-prinsip ini ditemukan dari tulisan seorang
pakar hukum yaitu Satjipto Rahardjo sebagai penggagas hukum
progresif.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran yang jelas serta mempermudah dalam
pembahasan, maka secara keseluruhan dalam penelitian skripsi ini terbagi
menjadi lima bab, dimana setiap bab merefleksikan muatan isi yang satu sama
lain saling melengkapi. Untuk itu disusun sistematika sedemikian rupa
sehingga dapat tergambar ke mana arah dan tujuan dari tulisan ini.
Bab pertama, berisi pendahuluan yang merupakan garis besar dari
keseluruhan pola berpikir dan dituangkan dalam konteks yang jelas serta
padat. Atas dasar itu deskripsi skripsi diawali dengan latar belakang masalah
yang terangkum di dalamnya tentang apa yang menjadi alasan memilih judul,
dan bagaimana pokok permasalahannya. Selanjutnya untuk lebih memperjelas
27
maka dikemukakan pula tujuan penelitian yang mengacu pada perumusan
masalah. Penjelasan ini akan mengungkap seberapa jauh signifikasi tulisan ini.
Dilanjutkan dengan metode penulisan yang diungkap apa adanya dengan
harapan dapat diketahui apa yang menjadi sumber data, teknik pengumpulan
data dan analisis data. Pengembangannya kemudian nampak dalam
sistematika penulisan ini.
Bab kedua dimaksudkan sebagai landasan teoritik dalam
pembahasan skripsi ini. Bab ini berisi penjelasan umum tentang hukum
progresif yang meliputi pengertian hukum progresif, landasan filosofis, asas
hukum progresif dan asas hukum Islam serta hukum progresif di Indonesia.
Selanjutnya bab ketiga yang berisi pemikiran-pemikiran Satjipto
Rahardjo. Dalam bab ini penulis menguraikan tentang biografi, karya-karya
Satjipto Rahardjo yang kemudian dilanjutkan dengan pemikiran-pemikiran
Satjipto Rahardjo tentang hukum progresif di Indonesia.
Analisis data sebagai bab keempat diperoleh berdasarkan landasan
teori dan data yang diperoleh dan terkumpulkan dengan tetap
mempertahankan tujuan pembahasan. Adapun isi bab ini adalah analisis
pemikiran Satjipto Rahardjo tentang hukum progresif di Indonesia dilanjutkan
dengan analisis relevansi hukum progresif terhadap hukum Islam.
Sebagai akhir pembatasan dari keseluruhannya, maka bab kelima
penulis mencoba mengambil beberapa kesimpulan, dilanjutkan dengan
beberapa saran dan diakhiri dengan kata penutup. Adapun mengenai daftar
pustaka, lampiran, serta riwayat pendidikan akan dimasukkan dalam lampiran.
28
BAB II
KETENTUAN UMUM HUKUM PROGRESIF
A. Pengertian Hukum Progresif
1. Definisi Hukum Progresif
Progresif adalah kata yang berasal dari bahasa asing (Inggris)
yang asal katanya adalah progress yang artinya maju. Progressive adalah
kata sifat, jadi sesuatu yang bersifat maju. Hukum Progresif berarti
hukum yang bersifat maju. Pengertian progresif secara harfiah ialah,
favouring new, modern ideas, happening or developing steadily1
(menyokong ke arah yang baru, gagasan modern, peristiwa atau
perkembangan yang mantap), atau berhasrat maju, selalu (lebih) maju,
meningkat.2
Istilah hukum progresif di sini adalah istilah hukum yang
diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, yang dilandasi asumsi dasar bahwa
hukum adalah untuk manusia. Satjipto Rahardjo merasa prihatin dengan
rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia,
dalam mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum itu sendiri.
Untuk itu beliau melontarkan suatu pemecahan masalah dengan gagasan
tentang hukum progresif.
Adapun pengertian hukum progresif itu sendiri adalah
mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam
1 Oxford Learner's Pocket Dictionary (New Edition), Edisi ketiga; Oxford: Oxford
University Press, hlm. 342. 2 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola,
2001, hlm. 628.
29
teori dan praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan.
Pembebasan tersebut didasarkan pada prinsip bahwa hukum adalah untuk
manusia dan bukan sebaliknya dan hukum itu tidak ada untuk dirinya
sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri
manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.3
Pengertian sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo
tersebut berarti hukum progresif adalah serangkaian tindakan yang
radikal, dengan mengubah sistem hukum (termasuk merubah peraturan-
peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna, terutama dalam
mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan
manusia.
Secara lebih sederhana beliau mengatakan bahwa hukum
progresif adalah hukum yang melakukan pembebasan, baik dalam cara
berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan
hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada
manusia dan kemanusiaan. Jadi tidak ada rekayasan atau keberpihakan
dalam menegakkan hukum. Sebab menurutnya, hukum bertujuan untuk
menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua rakyat.4
Satjipto Rahardjo mencoba menyoroti kondisi di atas ke dalam
situasi ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu hukum, meski tidak sedramatis
dalam ilmu fisika, tetapi pada dasarnya terjadi perubahan yang
fenomenal mengenai hukum yang dirumuskannya dengan kalimat dari
3 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Kompas, 2007, hlm. 154.
4 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum; Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Surakarta:
Muhammadiyah Press University, 2004, hlm. 17.
30
yang sederhana menjadi rumit dan dari yang terkotak-kotak menjadi satu
kesatuan. Inilah yang disebutnya sebagai pandangan holistik dalam ilmu
(hukum).
Pandangan holistik tersebut memberikan kesadaran visioner
bahwa sesuatu dalam tatanan tertentu memiliki bagian yang saling
berkaitan baik dengan bagian lainnya atau dengan keseluruhannya.
Misalnya saja untuk memahami manusia secara utuh tidak cukup hanya
memahami, mata, telinga, tangan, kaki atau otak saja, tetapi harus
dipahami secara menyeluruh.5
Menurut Satjipto tumbangnya era Newton mengisyaratkan suatu
perubahan penting dalam metodologi ilmu dan sebaiknya hukum juga
memperhatikannya dengan cermat. Karena adanya kesamaan antara
metode Newton yang linier, matematis dan deterministic dengan metode
hukum yang analytical-positivism atau rechtdogmatiek yaitu bahwa alam
(dalam terminology Newton) atau hukum dalam terminologi positivistic
(Kelsen dan Austin) dilihat sebagai suatu sistem yang tersusun logis,
teratur dan tanpa cacat.6
Analogi terkait ilmu fisika dengan teori Newton saja dapat
berubah begitu pula dengan ilmu hukum yang menganut faham
5 Ibid, hlm. 18.
6 Analytical-positivism atau rechtdogmatiek adalah suatu paham dalam ilmu hukum yang
dilandasi oleh gerakan positivisme. Gerakan ini muncul pada abad ke sembilanbelas sebagai
counter atas pandangan hukum alam. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya
Bhakti, 2006, hlm. 260.
31
positivisme.7 Sebuah teori terbentuk dari komunitas itu memandang apa
yang disebut hukum, artinya lingkungan yang berubah dan berkembang
pastilah akan perlahan merubah sistem hukum tersebut.8
Hukum progresif bermakna hukum yang peduli terhadap
kemanusiaan sehingga bukan sebatas dogmatis belaka. Secara spesifik
hukum progresif antara lain bisa disebut sebagai hukum yang pro rakyat
dan hukum yang berkeadilan. Konsep hukum progresif adalah hukum
tidak ada untuk kepentingannya sendiri, melainkan untuk suatu tujuan
yang berada di luar dirinya.9 Oleh karena itu, hukum progresif
meninggalkan tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek.
Aliran-aliran tersebut hanya melihat ke dalam hukum dan
membicarakan serta melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum
sebagai suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan
logis. Hukum progresif bersifat responsif yang mana dalam responsif ini
hukum akan selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual
hukum itu sendiri.10
7 Positivisme adalah salah satu aliran dalam filsafat (teori) hukum yang beranggapan,
bahwa teori hukum itu hanya bersangkutpaut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak
membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitasnya
hukum dalam masyarakat. Lihat Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum, Bandung: Armico,
1992, hlm. 80. 8 Satcipto Rahardjo beranggapan bahwa teori bukan sesuatu yang telah jadi, tetapi
sebaliknya akan semakin kuat mendapat tantangan dari berbagai perubahan yang terus
berlangsung, dan kemudian selanjutnya akan lahir teori-teori baru sebagai wujud dari perubahan
yang terus berlangsung tersebut. Lihat Turiman, Memahami Hukum Progresif Prof. Satjipto
Rahardjo Dalam Paradigma “Thawaf” (Sebuah Komtemplasi Bagaimana Mewujudkan Teori
Hukum Yang Membumi/Grounded Theory Meng-Indonesia). Makalah pada Program Doktor Ilmu
Hukum Universitas Diponegoro. (diambil tanggal 25 Desember 2010). 9 Karakter progresif dicirikan oleh kecenderungan pada nalar kritis dan keberpihakan
pada keadilan dan kemanusiaan. 10
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum; Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, op.cit, hlm.
19.
32
Kehadiran hukum dikaitkan pada tujuan sosialnya, maka hukum
progresif juga dekat dengan sociological jurisprudence dari Roscoe
Pound.11
Hukum progresif juga mengundang kritik terhadap sistem
hukum yang liberal, karena hukum Indonesia pun turut mewarisi sistem
tersebut. Satu moment perubahan yang monumental terjadi pada saat
hukum pra modern menjadi modern. Disebut demikian karena hukum
modern bergeser dari tempatnya sebagai institusi pencari keadilan
menjadi institusi publik yang birokratis. Hukum yang mengikuti
kehadiran hukum modern harus menjalani suatu perombakan total untuk
disusun kembali menjadi institusi yang rasional dan birokratis. Akibatnya
hanya peraturan yang dibuat oleh legislatiflah yang sah yang disebut
sebagai hukum.12
Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum bukan raja,
tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi
memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Asumsi yang mendasari
progresifisme hukum adalah pertama hukum ada untuk manusia dan
tidak untuk dirinya sendiri, kedua hukum selalu berada pada status law in
the making dan tidak bersifat final, ketiga hukum adalah institusi yang
bermoral kemanusiaan.13
11
Teori yang sering dikemukakannya adalah law as a tool of sosial engineering.
Menurutnya tujuan dari sosial engineering adalah untuk membangun suatu struktur masyarakat
sedemikian rupa sehingga secara maksimum dicapai kepuasan akan kebutuhan dengan seminimum
mungkin terjadi benturan dan pemborosan. Lihat Novita Dewi Masyitoh, Mengkritisi Analytical
Jurisprudence Versus Sosiological Jurisprudence Dalam Perkembangan Hukum Indonesia, dalam
Al-Ahkam, XX, Edisi II Oktober 2009, hlm. 19. 12
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum; Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, op.cit, hlm.
20. 13
Ibid.
33
Berdasar asumsi-asumsi di atas maka kriteria hukum progresif
adalah:
1. Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan
manusia.
2. Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat.
3. Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan meliputi
dimensi yang amat luas yang tidak hanya bergerak pada ranah
praktik melainkan juga teori.
4. Bersifat kritis dan fungsional.
2. Keterkaitan Hukum Progresif Dengan Teori Lain
Satjipto Rahardjo menyebut sedemikian banyak aliran
pemikiran yang berdekatan atau berbagi dengan pemikiran hukum
progresif. Sebagian besar di antaranya dikenal sebagai aliran-aliran klasik
dalam filsafat hukum. Sebagian lagi termasuk ke dalam gerakan berpikir
dalam hukum atau suatu teori hukum. Pemikiran-pemikiran tersebut akan
disajikan secara berurutan di bawah ini.
a) Hukum Progresif dan Aliran Hukum Kodrat
Menurut Satjipto Rahardjo, kedekatan aliran hukum kodrat14
dengan hukum progresif terletak pada kepeduliannya terhadap hal-hal
14
Sebagai suatu nama aliran, penggunaan istilah "aliran hukum kodrat" merupakan
pilihan yang dirasakan lebih baik daripada "aliran hukum alam". Jika meminjam kategorisasi John
Austin, posisi hukum kodrat (natural law) masuk dalam kriteria hukum yang sebenarya (laws
properly so called), sedangkan hukum alam (law of nature) adalah suatu hukum yang bukan
sebenarnya (laws imporperly so called) karena berasal dari hasil metafora. Baca John Austin
dalam Mark R. Mac Guigan, Jurisprudence: Readings and Cases Toronto: University of Toronto
Press, 1966, hlm. 130-142.
34
yang oleh Hans Kelsen disebut sebagai meta-juridical. Beliau menulis
sebagai berikut: "Teori hukum alam mengutamakan 'the search of justice'
daripada lainnya, seperti dilakukan oleh aliran analitis. Hukum progresif
mendahulukan kepentingan manusia yang lebih besar daripada
menafsirkan hukum dari sudut 'logika dan peraturan.15
Ada beberapa hal yang perlu diberikan catatan atas pernyataan
Satjipto Rahardjo di atas. Pertama, nilai keadilan dan kemanusiaan pada
aliran hukum kodrat memiliki dimensi yang lebih luas daripada aliran
filsafat hukum manapun. Aliran hukum kodrat meletakkan dimensi
keadilan dan kemanusiaan secara universal, bukan partikular.16
Hal kedua adalah bahwa gagasan pemikiran aliran hukum kodrat
bertolak dari filsafat idealisme, sesuatu yang tidak klop dengan keinginan
Satjipto Rahardjo untuk menjadikan hukum sebagai institusi yang
dibiarkan mengalir. Dalam idealisme, apa yang dianggap adil dan baik
itu sudah selesai berproses. Justru karena sudah berupa produk itulah,
maka nilai-nilai ini bisa diberlakukan secara universal dan abadi.
Ketiga, cara bernalar dalam aliran hukum kodrat juga
menerapkan logika doktrinal-deduktif yang self-evident. Keyakinan
tentang kebenaran yang mutlak dan tidak terbantahkan itu terkesan
paradoks dengan pemikiran Satjipto Rahardjo, mengingat beliau
mengharapkan hukum senantiasa membangun dan mengubah dirinya
15
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif.., Op.cit., hlm. 8. 16
Gagasan universalisme ini bahkan mampu mengatasi ruang dan waktu. Hal ini tentu
saja sangat bertolak belakang dengan semangat hukum progresif yang menempatkan latar
belakang pemikirannya sebagai pemikiran hukum di tengah-tengah masa transisi ke Indonesiaan.
35
menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Setiap tahap
dalam perjalanan hukum adalah putusan-putusan yang dibuat guna
mencapai ideal hukum.
Titik singgung lain yang dapat dilacak antara hukum progresif
dan aliran hukum kodrat adalah pada apa yang disebut logika kepatutan
sosial (social reasonableness) dan logika keadilan. Kedua logika ini,
menurut Satjipto Rahardjo, harus diikutsertakan dalam membaca kaidah
hukum karena membaca kaidah adalah menyelam ke dalam roh, asas,
dan tujuan hukum.17
Dalam kaca mata aliran hukum kodrat, konsep
tentang keadilan merupakan salah satu isu paling penting yang
diwacanakan. Sebagai seorang sosiolog hukum, Satjipto Rahardjo
memang tidak secara khusus menceburkan diri ke dalam diskusi terkait
topik ini. Jika ia sepakat bahwa hukum progresif menganut tipe hukum
responsif, maka dapat diasumsikan bahwa beliau cenderung memandang
keadilan sebagai keadilan substantif.
b) Hukum Progresif dan Critical Legal Studies
Titik temu antara hukum progresif dan Critical Legal Studies
(CLS), menurut Satjipto Rahardjo, terletak pada kritik keduanya terhadap
sistem hukum liberal yang didasarkan pada pikiran politik liberal,
khususnya terkait dengan rule of law.18
Tentu saja pemikiran yang
bertentangan dengan sistem hukum liberal tidak hanya ada pada gerakan
CLS. Namun, jika kritik-kritik CLS ingin ditampilkan dan disandingkan
17
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum..., Op.cit., hlm. 120-125. 18
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi..., Op.cit., hlm. 238.
36
dengan pemikiran hukum progresif, maka dapat diberikan sejumlah
catatan.
CLS menusuk jantung formalisme hukum sebagaimana dianut
sistem hukum liberal dengan mengajukan dua keberatan, yaitu terhadap
konsep the rule of law dan legal reasoning. Dalam kaca mata CLS, tidak
ada yang dinamakan the rule of law, karena yang ada hanyalah the rule of
the rulers. Di sini wacana tentang kesamaan hak misalnya, menjadi
utopis. Satjipto Rahardjo termasuk orang yang tidak pernah percaya
dengan asas kesamaan hak ini di lapangan. Dalam kuliah-kuliahnya
beliau sering mengutip pernyataan Marc Galanter tentang "the haves
always come out ahead"19
yang menunjukkan adanya praktik
diskriminatif (dalam arti negatif) dalam penegakan hukum. Sementara
tentang penalaran hukum (legal reasoning), juga ditolak oleh CLS.
Penganut CLS memandang tidak ada yang istimewa dari apa yang
disebut penalaran hukum itu.
c) Hukum Progresif dan Teori Hukum Responsif
Sekalipun hukum responsif tidak dapat dikategorikan sebagai
sebuah aliran filsafat hukum, dalam tulisan ini teori hukum ini layak
untuk disinggung. Perkenalan dan ketertarikan Satjipto Rahardjo
terhadap teori ini sudah jauh-jauh hari disuarakannya. Tidak heran
apabila saat beliau sampai pada pemikirannya tentang hukum progresif,
19
Satjpto Rahardjo, Hukum Progresif..., Op.cit., hlm. 9.
37
tipe hukum responsif dari Nonet dan Selznick ini ikut digandengnya
sebagai salah satu karakteristik pemikirannya pula.20
Nonet dan Selznick pada dasarnya tidak memposisikan ketiga
model perkembangan hukum (developmental model) dalam satu garis
hierarkis. Artinya, tidak ada klaim bahwa tahapan hukum responsif
adalah tahapan yang paling cocok, paling dapat menyesuaikan diri, atau
paling stabil dibandingkan dengan tahapan hukum otonom atau hukum
represif. Setiap pola menuntut adanya proses adaptasi.
Bahkan menurut mereka, model pada tahapan ketiga kurang
stabil dibandingkan dengan tahapan kedua dan pertama. Nonet &
Selznick juga menyatakan, "We want to argue that repressive,
autonomous, and responsive law are not only distinct types of law but, in
some sense, stages of evolution in the relation of law to the political and
social order.21
Satjipto Rahardjo tidak memberi uraian tentang potensi-potensi
kelemahan ini tatkala beliau menyodorkan tipe responsif sebagai karakter
pemikiran hukum progresifnya. Sebagai contoh, patut diperdebatkan:
benarkah tahapan hukum otoriter yang menurut kajian Moh. Mahfud
20
Boleh jadi penyebutan hukum responsif ini adalah konsekuensi logis dari pemikiran
Pak Tjip yang sejak awal telah berada pada arus sosiologis. Hal ini sejalan pula dengan pernyataan
Allan C. Hutchinson tatkala meresensi buku Nonet & Selznick di dalam the American Journal of
Jurisprudence, Vol. 24 (1979), hlm. 210. Hutchinson menyatakan, "A crystallized vision of such a
responsive legal order forms the core of the third modality of responsive law. Building on the work
of Pound and the American Realist, the authors attempt to construct an institutional framework for
substantive justice; 'responsive law, not sociology, was the true program of sociological and
realist jurisprudence'." 21
Phillippe Nonet & Philip Selznick, Law and Society in Transition: toward Responsive
Law (New Jersey: Transaction Publishers, 2001), hlm. 18.
38
M.D, telah menandai politik hukum pada era Orde Baru itu22
dan baru
saja kita lewati masanya tersebut sungguh-sungguh telah siap untuk
digiring saat ini langsung menuju ke tahap hukum responsif? Dengan
perkataan lain, tidakkah kita membutuhkan adaptasi terlebih dulu pada
tahapan hukum otonom sebelum dapat melangkah ke tahapan hukum
responsif? Dan, bukankah pemikiran hukum progresif didesain sebagai
teori hukum pada masa transisi?
B. Landasan Filosofis Hukum Progresif
Hukum progresif memang masih berupa wacana, namun
kehadirannya terasa sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang sudah
mengalami krisis kepercayaan terhadap hukum yang berlaku sekarang ini.
Hukum progresif belum lagi menampakkan dirinya sebagai sebuah teori yang
sudah mapan.
Demikian pula halnya dengan hukum progresif, harus ada inti pokok
program (hard core) yang perlu dijaga dan dilindungi dari kesalahan-
kesalahan yang mungkin timbul ketika hukum progresif itu akan diterapkan
ke dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, manakala hukum
progresif dikembangkan dari wacana menjadi sebuah teori, maka haruslah
dilengkapi dengan hipotesis pelengkap. Hal inilah yang nampaknya belum
dimiliki hukum progresif, sehingga pencetus ide Satjipto Rahardjo harus
dapat mengembangkan program riset ilmiah tentang hukum progresif secara
serius tidak hanya berhenti pada tataran wacana.
22
Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, hlm. 28.
39
Inti pokok program yang perlu dipertahankan dalam hukum
progresif adalah hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Adagium
bahwa hukum adalah untuk manusia perlu dipertahankan dari berbagai bentuk
falsifiable agar kedudukan hukum sebagai alat untuk mencapai sesuatu,
bukan sebagai tujuan yang sudah final. Apa yang dimaksud dengan falsifiable
yaitu sebuah hipotesis atau teori hanya diterima sebagai kebenaran sementara
sejauh belum ditemukan kesalahannya. Semakin sulit ditemukan
kesalahannya, maka hipotesis atau teori itu justru mengalami pengukuhan.23
Setiap teori ilmiah, baik yang sudah mapan maupun yang masih
dalam proses kematangan, memiliki landasan filosofis. Ada tiga landasan
filosofis pengembangan ilmu termasuk hukum yaitu ontologis, epistemologis
dan aksiologis. Landasan ontologis ilmu hukum artinya hakikat kehadiran
ilmu hukum itu dalam dunia ilmiah. Artinya apa yang menjadi realitas hukum
sehingga kehadirannya benar-benar merupakan sesuatu yang substansial.24
Landasan epistemologis ilmu hukum artinya cara-cara yang
dilakukan di dalam ilmu hukum sehingga kebenarannya bisa dipertanggung
jawabkan secara ilmiah. Kemudian landasan aksiologis ilmu hukum artinya
manfaat dan kegunaan apa saja yang terdapat dalam hukum itu sehingga
kehadirannya benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Landasan ontologis hukum progresif lebih terkait dengan persoalan
realitas hukum yang terjadi di Indonesia. Masyarakat mengalami krisis
23
Chalmers, A.F, Apa itu Yang Dinamakan Ilmu?, Terjemahan: Redaksi Hasta Mitra,
What is this thing called Science?, Jakarta: Penerbit Hasta Mitra, 1983, hlm. 24
Rizal Mustansyir dalam Hukum Progresif Tinjauan Filsafat Ilmu. Makalah diunduh
pada tanggal 12 Februari 2011 di progresiflshp.com.
40
kepercayaan terhadap peraturan hukum yang berlaku. Hukum yang ada
dianggap sudah tidak mampu mengatasi kejahatan kerah putih (white colar
crime) seperti korupsi, sehingga masyarakat mengimpikan teori hukum yang
lebih adekuat. Ketika kehausan masyarakat akan kehadiran hukum yang lebih
baik itu sudah berakumulasi, maka gagasan tentang hukum progresif ibarat
gayung bersambut. Persoalannya adalah substansi hukum progresif itu sendiri
seperti apa, belum ada hasil pemikiran yang terprogram secara ilmiah.25
Landasan epistemologis hukum progresif lebih terkait dengan
dimensi metodologis yang harus dikembangkan untuk menguak kebenaran
ilmiah. Selama ini metode kasuistik --dalam istilah logika lebih dekat dengan
pengertian induktif—lebih mendominasi bidang hukum. Kasus pelanggaran
hukum tertentu yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku – dicari dalam pasal-pasal hukum yang tertulis, menjadikan dimensi
metodologis belum berkembang secara optimal.
Interpretasi atas peraturan perundang-undangan yang berlaku
didominasi oleh pakar hukum yang kebanyakan praktisi yang memiliki
kepentingan tertentu, misalnya untuk membela kliennya. Tentu saja hal ini
mengandung validitas tersendiri, namun diperlukan terobosan metodologis
yang lebih canggih untuk menemukan inovasi terhadap sistem hukum yang
berlaku. Misalnya interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan yang
tidak semata-mata bersifat tekstual, melainkan juga kontekstual.
25
Ibid.
41
Hukum tidak dipandang sebagai kumpulan huruf atau kalimat yang
dianggap mantera sakti yang hanya boleh dipahami secara harafiah. Metode
hermeneutika boleh dikembangkan oleh para pakar hukum untuk membuka
wawasan tentang berbagai situasi yang melingkupi kasus hukum yang sedang
berkembang dan disoroti masyarakat. Misalnya kasus korupsi yang terjadi di
kalangan birokrat, bukan semata-mata dipahami sebagai bentuk kecilnya gaji
yang mereka terima, sehingga sikap permisif atas kejahatan korupsi yang
dilakukan acapkali terjadi.26
Pemahaman atas sikap amanah atas jabatan yang mereka emban jauh
lebih penting untuk menuntut rasa tanggung jawab (sense of responsibility)
mereka. Hukum harus dikaitkan dengan kemampuan seseorang dalam
mengemban amanah. Dengan demikian landasan epistemologis hukum
progresif bergerak pada upaya penemuan langkah metodologis yang tepat,
agar hukum progresif dapat menjadi dasar kebenaran bagi peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.27
Metodologi merupakan bidang yang ditempuh untuk memperoleh
pengetahuan dan sekaligus menjamin objektivitas atau kebenaran ilmu.
Metodologi merupakan proses yang menampilkan logika sebagai paduan
sistematis dari berbagai proses kognitif yang meliputi: klasifikasi,
konseptualisasi, kesimpulan, observasi, eksperimen, generalisasi, induksi,
deduksi, dan lain-lain. Hukum progresif baru dapat dikatakan ilmiah
26
Ibid. 27
Apa yang dimaksud dengan metodologis disini ialah kajian perihal urutan langkah-
langkah yang ditempuh (prosedur ilmiah), supaya pengetahuan yang diperoleh benar-benar
memenuhi ciri ilmiah.
42
manakala prosedur ilmiah berupa langkah-langkah metodis di atas sudah
jelas.
Landasan aksiologis hukum progresif terkait dengan problem nilai
yang terkandung di dalamnya. Aksiologi atau Teori Nilai menurut Runes
adalah hasrat, keinginan, kebaikan, penyelidikan atas kodratnya, kriterianya,
dan status metafisiknya. Hasrat, keinginan, dan kebaikan dari hukum
progresif perlu ditentukan kriteria dan status metafisiknya agar diperoleh
gambaran yang lebih komprehensif tentang nilai yang terkandung di
dalamnya. Kriteria nilai terkait dengan standar pengujian nilai yang
dipengaruhi aspek psikologis dan logis.28
Pentingnya memahami landasan nilai dalam sebuah teori atau
gerakan ilmiah adalah untuk mengetahui secara pasti orientasi atau kiblat dari
teori atau aliran tersebut. Persoalan yang pokok dalam aksiologi ilmu adalah:
Apa tujuan pengembangan ilmu? Apakah ilmu bebas nilai ataukah tidak?
Nilai-nilai apa yang harus ditaati oleh ilmuwan? Tujuan ilmu yang hakiki
adalah untuk kemaslahatan atau kepentingan manusia, bukan ilmu untuk ilmu
(science to science).
Ilmu yang dikembangkan untuk kepentingan manusia senantiasa
akan memihak pada masyarakat, bukan pada dokumen atau lembaran ilmiah
semata. Ketika kepentingan manusia terkalahkan oleh dokumen ilmiah, maka
28 Hal ini sangat tergantung pada aliran filsafat yang dianut, kaum hedonist misalnya
menemukan standar nilai dalam kuantitas kesenangan. Kaum idealis lebih mengakui sistem
objektif norma rasional sebagai kriteria. Sedangkan kaum naturalis menemukan ketahanan biologis
sebagai tolok ukur. Hukum progresif seharusnya lebih memihak pada cara pandang kaum idealis
yang mengakui sistem objektif norma rasional, karena persoalan yang dihadapi hukum progresif
harus dipandang secara objektif-rasionalistik.
43
di sanalah dibutuhkan landasan nilai (basic of value) yang mampu
memperjuangkan dan mengangkat martabat kemanusiaan sebagai suatu
bentuk actus humanus. Hukum progresif harus memiliki landasan nilai yang
tidak terjebak ke dalam semangat legal formal semata, namun memihak
kepada semangat kemanusiaan (spirit of humanity).29
Habermas mengatakan bahwa ilmu selalu memiliki kepentingan. Ia
menegaskan bahwa pemahaman atas realitas didasarkan atas tiga kategori
pengetahuan yang mungkin, yakni informasi yang memperluas kekuasaan
kita atas kontrol teknik; informasi yang memungkinkan orientasi tindakan
dalam tradisi umum; dan analisis yang membebaskan kesadaran kita dari
ketergantungannya atas kekuasaan. Dengan demikian hanya ada tiga struktur
kepentingan yang saling terkait dalam organisasi sosial, yaitu kerja, bahasa,
dan kekuasaan.30
Hukum progresif pun tak sepenuhnya bebas nilai, bahkan
sangat terkait dengan kepentingan pembebasan kesadaran kita dari
ketergantungan atas kekuasaan (politik, hukum positif, dan lain-lain).
Nilai-nilai yang harus ditaati oleh ilmuwan (termasuk pakar hukum),
tidak hanya peraturan perundang-undangan sebagai bentuk rule of the game
dalam kehidupan berbangsa-bernegara, tetapi juga keberpihakan kepada
29
Problem ilmu itu bebas nilai atau tidak, masih menjadi perdebatan di kalangan
ilmuwan. Namun mereka yang berpihak pada kubu bebas nilai (value-free) -- terutama kaum
positivistik-- harus mengakui bahwa manusia tidak dapat diperlakukan seperti benda mati atau
angka-angka yang bersifat exactly, measurable, clear and distinct. Manusia adalah mahluk
berkesadaran yang memiliki nurani yang tidak sertamerta serba pasti, terukur, jelas dan terpilah.
Manusia adalah mahluk dinamis yang selalu berproses dalam menemukan jati dirinya. Lantaran itu
pula terma kejahatan (criminal) tidak ditemukan dalam ranah benda mati atau dunia satwa,
melainkan dalam kehidupan manusia. 30
Jurgen Habermas, Knowledge and Human Interest, Translated by: Jeremy J. Shapiro,
Boston:.Beacon Press, 1971, hlm. 313. Lihat juga makalah Rizal Mustansyir dalam Hukum
Progresif Tinjauan Filsafat Ilmu. Makalah diunduh pada tanggal 12 Februari 2011 di
progresiflshp.com.
44
kebenaran (truth), pengembangan profesionalitas yang menuntut
pertanggungjawaban ilmiah, dan lain-lain.
Sayangnya sampai sekarang tidak banyak kalangan yang berminat
mempersoalkan akar filosofis dari pemikiran Satjipto Rahardjo. Sebagian
orang bahkan memandang pemikiran hukum progresif tidak lebih daripada
suatu kiat penemuan hukum (rechtsvinding).31
Dalam perspektif konfigurasi aliran-aliran filsafat hukum, Satjipto
Rahardjo sebenarnya tidak cukup jelas memposisikan letak pemikirannya. Ia
juga memberikan beberapa label untuk pemikiran hukum progresif ini.
Misalnya, suatu ketika ia mengatakan bahwa hukum progresif adalah suatu
gerakan intelektual.32
Pada kesempatan lain ia menyebut hukum progresif
merupakan suatu paradigma33
dan konsep mengenai cara berhukum.34
Bahkan, suatu ketika beliau juga pernah memberi predikat: ilmu hukum
progresif.35
31
Artinya bahwa sepanjang seseorang menafsirkan hukum dengan tidak lagi semata-mata
mengikuti bunyi teks undang-undang, maka ia sudah berpikir mengikuti cara hukum yang
progresif. 32
Ia menekankan, "Hukum progresif bisa dimasukkan ke dalam kategori suatu gerakan
intelektual, seperti critical legal studies movement (CLS) di Amerika Serikat." Satjipto Rahardjo,
Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009, hlm. 22
dan 52. 33
Ia menyatakan, "Peta yang memandu hukum perlu dibuat sedemikian rupa, sehingga
benar-benar bersifat mendasar. Sifat mendasar tersebut memberi jawaban terhadap pertanyaan
'hukum untuk apa?' dan 'hukum untuk siapa?'. Suasana puncak atau ultimate ini lazim disebut
sebagai paradigma. Sebuah paradigma yang disodorkan di sini adalah hukum untuk manusia
sebagaimana disebut di atas." Baca Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan
Rakyatnya, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009, hlm. 70. 34
Ia juga menulis, "Hukum progresif adalah sebuah konsep mengenai cara berhukum.
Cara berhukum tidak hanya satu; melainkan bermacam-macam. Di antara cara berhukum yang
bermacam-macam itu, hukum progresif memiliki tempatnya sendiri." Baca Satijpto Rahardjo,
"Hukum Progresif: Aksi, Bukan Teks," dalam Satya Arinanto & Ninuk Triyanto, ed., Memahami
Hukum: dari Konstruksi sampai Implementasi, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, hlm. 3. 35
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif.., op.cit., hlm. 81.
45
Dalam satu buku yang ditulis oleh Bernard L. Tanya dkk. dan diberi
kata sambutan oleh Satjipto Rahardjo, pemikiran hukum progresif ini juga
diposisikan sebagai suatu teori hukum dan tampaknya Satjipto Rahardjo pun
tidak menunjukkan tanda-tanda keberatan dengan pengklasifikasian ini. Teori
beliau ditempatkan bersama-sama dengan teori hukum responsif dari Nonet
dan Selznick sebagai kelompok teori hukum pada masa transisi.36
C. Asas Hukum Progresif dan Hukum Islam
1. Asas Hukum Progresif
Menurut Satjipto Rahardjo pembahasan mengenai asas hukum
adalah membicarakan unsur yang penting dan pokok dari peraturan
hukum, dan tidak berlebihan pula jika dikatakan bahwa asas hukum
merupakan jantung dari peraturan hukum. Hal ini dikarenakan asas
hukum adalah landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan
hukum. Ini berarti bahwa setiap peraturan hukum selalu bisa
dikembalikan kepada asas-asas tersebut.37
Menurut Paton -sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo-
asas hukum adalah sarana yang membuat hukum itu hidup, tumbuh dan
berkembang dan ia juga menunjukkan bahwa hukum itu bukan sekedar
kumpulan dari peraturan-peraturan belaka.38
Hukum memiliki titik pandang dan akan bertolak dari situ pula.
Dalam hukum titik pandang itu terdapat pada asas hukum. Asas hukum
36
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, & Markus Y. Hage, op.cit., hlm. 175-180. 37
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, op.cit, hlm. 45. 38
Ibid.
46
bukanlah peraturan seperti pasal-pasal Undang-undang, namun
sebagaimana dikatakan Scholten, hukum tidak dapat dipahami dengan
baik tanpa asas-asas.
Asas hukum menjadikan hukum lebih dari sekedar peraturan
yang dibuat dengan sengaja dan rasional, tetapi juga suatu dokumen
moraletis. Asas hukum memang tidak tampil sebagai aturan (rule) yang
konkrit, tetapi lebih sebagai kaidah (norm) di belakang peraturan. Aturan
itu rasional, sedangkan kaidah memiliki kandungan moral dan bersifat
etis. Asas hukum menjelaskan dan memberi ratio legis mengapa harus
ada aturan. Ia menjadi penghubung antara peraturan hukum dan cita-cita
sosial serta pandangan etis masyarakatnya.39
Hukum progresif melihat dunia dan hukum dengan pandangan
yang mengalir saja, seperti ―panta rei‖ (semua mengalir) dari filsuf
Heraklitos. Apabila orang berkeyakinan dan bersikap seperti itu, maka ia
akan membangun suatu cara berhukum yang memiliki karakteristiknya
sendiri, sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.40
Pertama, paradigma dalam hukum progresif adalah bahwa
hukum adalah untuk manusia. Pegangan, optik, atau keyakinan dasar ini
tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum,
melainkan manusialah yang berada di titik pusat peraturan hukum.
Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum ada
39
Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagat Ketertiban, Jakarta: UKI Press, 2006, hlm. 124-
129. 40
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Penertbit Buku Kompas, 2008,
hlm. 139.
47
untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Apabila kita berpegangan
pada keyakinan, bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia
itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk
ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum.41
Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan
keadaan status quo dalam berhukum.42
Mempertahankan status quo
memberi efek yang sama, seperti pada waktu orang berpendapat, bahwa
hukum adalah tolok ukur untuk semuanya, dan manusia adalah untuk
hukum. Cara berhukum yang demikian itu sejalan dengan cara
positivistik, normatif dan legalistik. Sekali undang-undang mengatakan
atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali
hukumnya dirubah lebih dulu.43
Ada hal lain yang berhubungan dengan penolakan terhadap cara
berhukum yang pro status quo tersebut yaitu berkaitan dengan
perumusan-perumusan masalah kedalam perundang-undangan. Substansi
undang-undang itu berangkat dari gagasan tertentu dalam masyarakat
yang kemudian bergulir masuk ke lembaga atau badan legislatif. Dalam
41
Lin Yu Tang, seorang intelektual China yang lama bermukim di Amerika telah
membedakan penempatan rasionalitas hukum modern, dan mengingatkan ada tujuan yang lebih
besar dan karena itu kita perlu lebih berhati-hati dalam melaksanakan sistem yang rasional itu.
Apabila tujuan lebih besar itu tidak disadari, maka hukum akan menjadi kering sehingga
masyarakat (manusia) bisa menjadi sakit dan tidak bahagia. Menurut Satjipto Rahardjo, para
penyelenggara hukum di negeri ini hendaknya senantiasa merasa gelisah apabila hukum belum
bisa membuat rakyat bahagia. Inilah yang juga disebut sebagai penyelenggaraan hukum yang
progresif. Lihat di Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Kompas, 2007, hlm.
11-12. 42
Mempertahankan status quo adalah menerima normativitas dan sistem yang ada tanpa
ada usaha untuk melihat aneka kelemahan di dalamnya, lalu bertindak mengatasinya. Satjipto
Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, cet ketiga, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008, hlm.
114. 43
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, op.cit, hlm. 139.
48
lembaga inilah suatu gagasan itu kemudian dirumuskan dalam kata serta
kalimat dan akhirnya menjadi undang-undang.44
Namun, menurut Satjipto Rahardjo, pengalaman di lapangan
menunjukkan betapa kompleksnya masalah dan bekerjanya hukum.
Hukum tidak selalu sejelas, segampang, dan sesederhana seperti
dibayangkan orang, kendati dikatakan, hukumnya sudah jelas. Hukum
adalah dokumen yang terbuka untuk atau mengundang penafsiran.
Undang-undang yang dirasakan tidak adil oleh masyarakat mungkin akan
ditidurkan atau dikesampingkan.45
Menurut Satjipto Rahardjo, dalam nada yang mungkin agak
ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan para penegak
hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak
peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat. Misalnya, badan
legislatif membuat peraturan yang sulit dilaksanakan dalam masyarakat,
maka sejak saat itu sebetulnya badan tersebut telah menjadi arsitek bagi
kegagalan para penegak hukum dalam menerapkan peraturan tersebut.
Hal ini, misalnya dapat terjadi karena peraturan tersebut memerintahkan
dilakukannya sesuatu yang tidak didukung oleh sarana yang mencukupi.
Akibatnya, tentu saja peraturan tersebut gagal dijalankan oleh penegak
hukum.46
Hal ini dapat juga terjadi bahwa pembuat undang-undang
mengeluarkan peraturan yang mewajibkan rakyat untuk melakukan
44
Ibid, hlm. 140. 45
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, op.cit, hlm. 96. 46
Ibid.
49
sesuatu, misalnya untuk menanam jenis tanaman tertentu. Perintah
peraturan tersebut kemudian ternyata mendapatkan perlawanan dari
rakyat. Berhadapan dengan situasi tersebut, apa yang akan dilakukan oleh
penegak hukum tergantung dari tanggapan yang diberikan terhadap
tantangan pada waktu itu. Penegak hukum dapat tetap bertekad untuk
menjalankan keinginan serta perintah yang terkandung dalam peraturan.
Bertindak demikian berarti penegak hukum harus menggunakan kekuatan
untuk memaksa. Sebaliknya, dapat pula terjadi, penegak hukum
menyerah pada perlawanan rakyat, yang berarti penegak hukum
mengendorkan penerapan dari peraturan tersebut.47
Uraian di atas menegaskan, bahwa membaca undang-undang
bukan sekedar mengeja kalimat dalam undang-undang, melainkan
memberi makna kepada teks tertulis itu. Oleh sebab itu, kepastian hukum
adalah hal yang tidak sederhana, karena teks undang-undang yang secara
eksplisit mengatakan tidak boleh ditambah dan dikurangi pun, masih saja
bisa diberi makna lain. Penerapan hukum yang meniru cara kerja mesin,
tidak memedulikan resiko-resiko yang muncul dari peraturan yang buruk
itu.48
Ketiga, apabila diakui bahwa peradaban hukum tertulis akan
memunculkan sekalian akibat dan resiko sebagaimana dikemukakan di
atas, maka cara kita berhukum sebaiknya juga mengantisipasi tentang
bagaimana mengatasi hambatan-hambatan dalam menggunakan hukum
47
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta
Pubishing, 2009, hlm. 25. 48
Biarkan Hukum Mengalir, op.cit, hlm. 142.
50
tertulis tersebut. Secara ekstrem kita tidak dapat menyerahkan
masyarakat untuk sepenuhnya tunduk kepada hukum, yang tertulis itu.
Menyerah bulat-bulat seperti itu adalah sama dengan membiarkan diri
kita diatur oleh teks formal tertulis yang belum tentu benar-benar berisi
gagasan asli yang ingin dituangkan ke dalam teks tersebut dan yang
memiliki resiko bersifat kriminogen.49
Oleh karena itu menurut Satjipto Rahardjo cara berhukum yang
lebih baik dan sehat, dalam keadaan seperti itu adalah memberikan
peluang untuk melakukan pembebasan dari hukum formal.50
Karakteristik yang kuat dari hukum progresif adalah wataknya
sebagai hukum yang membebaskan. Dengan watak pembebasan itu,
hukum progresif sangat peka terhadap perubahan dan ide perubahan serta
berkeinginan kuat untuk menjadikan hukum agar bersifat protagonis.51
Untuk menunjang pemikiran hukum progresif, diperlukan
semangat pembebasan untuk melihat kekurangan dan kegagalan hukum
dalam fungsinya untuk memberikan perlindungan dan pelayanan kepada
masyarakat.52
Keempat, hukum progresif memberikan perhatian besar
terhadap peranan perilaku manusia dalam hukum. Ini bertentangan
diametral dengan paham bahwa hukum itu hanya urusan peraturan.
Peranan manusia di sini merupakan konsekuensi terhadap pengakuan,
49
Ibid. 50
Ibid. 51
Lapisan-lapisan dalam Studi Hukum, op.cit, hlm. 82. 52
Ibid, hlm. 88.
51
bahwa sebaiknya kita tidak berpegangan secara mutlak kepada teks
formal suatu peraturan. Di atas sudah diuraikan betapa besar risiko yang
dihadapi apabila kita menyerah sepenuhnya kepada peraturan.53
Cara berhukum melalui teks tidak selalu menghasilkan
perbuatan yang sesuai dengan yang dikehendaki teks. Ironisnya tidak
jarang teks hukum berubah fungsi, yaitu dari menghendaki orang untuk
mematuhinya menjadi suatu panduan untuk melakukan perbuatan yang
menyimpang dengan selamat. Sebelum seorang koruptor melakukan
korupsi, ia terlebih dahulu dapat mempelajari dengan cermat seluk-beluk
undang-undang tentang korupsi, sehingga ia dapat menemukan celah
hukum untuk meloloskan diri. Ini termasuk varian mengenai cara
berhukum melalui teks, yaitu secara sadar melakukan penyimpangan
terhadap teks hukum atau menyelundupi undang-undang.54
Menurut Satjipto Rahardjo,55
perilaku manusia didorong oleh
kepentingan, dan kepentingan itu berbeda-beda bagi setiap orang,
sehingga kita dihadapkan kepada pilihan-pilihan. Dengan demikian
menjalankan hukum adalah suatu pilihan, bukan pekerjaan otomatis.
Hukum yang canggih sekalipun tidak dapat mengontrol penggunaan
hukum menurut kemauan yang melakukannya. Maka hukum yang
dijalankan pun tergantung dari sudut masuknya suatu kepentingan. Orang
yang berperilaku baik akan menjadikan hukum bekerja dengan baik pula,
53
Hukum dalam Jagat Ketertiban, op.cit, hlm. 144. 54
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009, hlm.
71. 55
Ibid, hlm. 160.
52
begitu pula sebaliknya, hukum akan menjadi alat untuk melakukan
kejahatan jika dijalankan oleh orang yang berperilaku jahat.
Perilaku manusia yang memiliki sifat-sifat alami dan fitri itulah
yang menjadi landasan kuat bagi keberlangsungan kehidupan bersama
manusia. Sesungguhnya sifat-sifat itu tidak hanya menjadi landasan
hukum, melainkan jugan institut lain, seperti ekonomi dan politik.
Strukturisasi keduanya tidak menghilangkan perilaku baku manusia.
Dalam bernegara hukum dan berhukum, pada akhirnya masyarakat akan
kembali bersandar pada perilaku mereka. Perilaku tersebut tersimpulkan
dalam cara hidup kita seharihari. Menjalani kehidupan dengan baik
adalah landasan fundamental dari hukum.56
2. Asas Hukum Islam
Hukum Islam sebagaimana hukum-hukum yang lain mempunyai
asas dan tiang pokok. Kekuatan suatu hukum, sukar mudahnya, dapat
diterima atau ditolak masyarakat tergantung kepada asas dan tiang-tiang
pokoknya.57
Hudari Bik berpendapat bahwa dalam pembinaan hukum
Islam, setidaknya ada tiga asas.58
a) ‘Adamul Harj (Tidak Menyempitkan).
Haraj menurut bahasa Arab adalah sempit. Banyak dalil-
dalil yang menunjukkan bahwa syari’at ini didasarkan atas
dihilangkannya kesempitan. Firman Allah Ta’ala:
56
Ibid, hlm. 170. 57
T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,
2001, hlm. 58. 58
Hudari Bik, Tarikh al-Tasyri‟ al-Islami, diterjemahkan Mohammad Zuhri, Sejarah
Pembinaan Hukum Islam, Darul Ihya, 1980, hlm. 31-39.
53
Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. (QS. al-Baqarah ayat
185).
Artinya: Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan. (QS. Al-Hajj ayat 78).
Artinya: “Dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-
belenggu yang ada pada mereka.”(QS. al-A’raaf ayat
157).
Maksudnya adalah dalam syari'at yang dibawa oleh Nabi
Muhammad itu tidak ada lagi beban-beban yang berat yang
dipikulkan kepada Bani Israil. Umpamanya: mensyari'atkan
membunuh diri untuk sahnya taubat, mewajibkan qisas pada
pembunuhan baik yang disengaja atau tidak tanpa membolehkan
membayar diat, memotong anggota badan yang melakukan
kesalahan, membuang atau menggunting kain yang kena najis.
Dan hadits Nabi :
انسحت بانحفت بؼثت Artinya:”Aku diutus dengan agama yang ringan”
Menurut Yusuf al-Qaradhawi,59
memudahkan adalah
manhaj al-Qur’an dan Nabi. Manhaj tersebut diajarkan oleh Nabi
kepada para sahabat. Beliau memerintahkan mereka untuk
59
Yusuf al-Qaradhawi, Dirasah fi Fiqh Maqashid Syari‟ah, diterjemahkan H. Arif
Munandar Riswantom Fiqih Maqashid Syariah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007, hlm. 158.
54
mengikutinya. Baik individu maupun jamaah. Ketika mengutus Abu
Musa dan Muadz bin Jabal ke Yaman, beliau mengutus dengan
wasiat ini, “Mudahkan jangan menyulitkan, beri kabar gembitra
bukan ketakutan, dan taatlah bukan berselisih”.
Hal yang beliau wasiatkan kepada Muadz dan Abu Musa
beliau wasiatkan juga kepada umat. Anas meriwayatkan bahwa Nabi
pernah bersabda, “Mudahkanlah dan jangan menyulitkan, berilah
kabar gembira dan jangan ketakutan.” (Muttafaq alaih). Dengan
demikian yang dicipta adalah memudahkan dalam fatwa, dan
memberi kabar gembira dalam dakwah.60
Ulama sering menguatkan pendapat mereka dengan
perkataan “Ini lebih mudah bagi manusia”. Jika berijtihad, mereka
pun sering membetulkan muamalah manusia sesuai dengan
kemampuan. Mereka menyandarkan hal tersebut kepada kaidah-
kaidah syariat, seperti al-dharurat tubih al-mahzhurat (keadaan
darurat membolehkan hal yang terlarang), al-hajah tunazzil manzilah
al-dharurah (kebutuhan mendesak disesuaikan dengan kedudukan
darurat), al-dharar yuzal (darurat harus dihilangkan), al„adah
muhakkamah (adat menjadi hukum), al-masyaqqqah tajlib al-taysir
(kesulitan mendatangkan kemudahan), serta kaidah-kaidah lainnya
60
Ibid.
55
yang dibuat oleh ulama dan mereka ambil dari teks-teks dan hukum-
hukum syariat.61
Di sini harus diingatkan ungkapan yang diriwayatkan oleh
Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul Auliya, Imam Ibnu Abdil Barr
dalam al-Ilm, dan Imam an-Nawawi dalam muqaddimah kitab al-
Majmu‟ dari Imam Sufyan bin Said al-Tsauri, yang menjadi imam
dalam bidang fiqih, hadits, dan wara’. Ia berkata dengan ungkapan
yang sangat agung, “Fiqih adalah pemberian rukhshah dari tokoh
yang tsiqat, sedang memberikan tuntutan hukum yang keras dapat
dilakukan oleh semua orang.”62
Kita harus memperhatikan perkataannya bahwa rukhshah
dari ulama yang tsiqat, yaitu ulama yang dipercayai kefaqihan dan
kesalehan agamanya. Sedangkan orang yang tidak memiliki kedua
hal itu atau salah satunya maka bisa saja ia memberikan rukhshah
dalam sesuatu yang tidak boleh diberikan rukhshah, sehingga
tindakannya itu melanggar dalil-dalil syari’at yang qath‟i dan
muhkamat serta kaidah-kaidahnya. Hal ini tentunya tidak dapat
61
Salah satu contoh bahwa Rasulullah SAW mempraktekkan kemudahan ialah ketika
beliau memperhatikan karakter orang-orang Ethiopia yang senang menari dan bermain. Oleh
karena itu, beliau mengizinkan mereka untuk melakukan hal itu di masjid beliau yang mulia. Saat
itu Umar melempari mereka dengan kerikil, Rasululah SAW bersabda kepadanya, “Biarkanlah
mereka wahai Umar”. (Muttafaq alaih). Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Mereka adalah
Bani Rafdah. Lihat juga Yusuf al-Qaradhawi, “Taisir al-Fiqh li al-Muslim al-Mua‟shir fi Dahu al-
Qur‟an wa as-Sunnah”, diterjemahkan Abdul Hayyie al-Kattani, M. Yusuf Wijaya, dan Noor
Cholis Hamzain, Fiqih Praktis bagi Kehidupan Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, hlm.
20. 62
Ibid, hlm. 21
56
diterima oleh insan muslim yang cinta dan teguh memegang
agamanya.63
Yusuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa maksud dari
kemudahan itu mengandung beberapa perkara:64
1) Memperhatikan sisi keringanan atau rukhshah.
2) Memperhatikan kondisi yang mendesak dan kondisi yang
meringankan.
3) Memilih yang paling mudah dan bukan yang paling hati-hati di
zaman kita hidup masa kini.65
4) Membatasi dalam masalah-masalah yang wajib dan yang haram.
5) Membebaskan diri dari fanatisme mazhab.
6) Kemudahan dalam semua masalah.
Terkait dengan prinsip ini, dalam kaidah fiqih terdapat
kaidah yang berbunyi al-masyaqqah tajlib al-taysir (kesulitan
mendorong kemudahan) yang oleh Ali Haydar dijelaskan bahwa
kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam
mempermudah dan memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya
63
Ibid. 64
Ishom Talimah, al-Qaradhawi Faqihan, diterjemahkan Samson Rahman, Manhaj Fiqih
Yusuf al-Qaradhawi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001, hlm. 94. 65
Al-Qaradhawi berkata ―Manhaj yang menjadi pilihan saya dan manhaj yang Allah
tunjukkan kepada saya dan saya akan selalu komitmen dengannya dalam tulisan, fatwa dan
pengajaran. Saya akan mengambil yang mudah dalam masalah furu‟ (cabang) dan tegas dalam
masalah yang ushul (pokok). Jika dalam satu masalah terdapat dua pandangan yang berbeda dan
dua pendapat yang sama berdekatan, satu diantaranya penuh kehati-hatian, sedangkan yang
satunya lagi lebih mudah, maka selayaknya bagi kita untuk memilih fatwa yang lebih mudah bagi
seluruh manusia dan jangan mengambil yang paling hati-hati. Alasan dan hujjahnya ialah
perkataan Aisyah, “Tidaklah Rasulullah diberi pilihan dua perkara kecuali dia memilih yang
paling gampang di antara keduanya selama itu tidak mengandung dosa.‖ Siapa pun yang belajar
fiqih sahabat dan para ulama salafus shalih (ujar al-Qaradhawi), dia akan mendapatkan bahwa
fiqih yang mereka ambil umumnya mengarah kepada fiqih yang lebih mudah, sedangkan fiqih
setelah sahabat lebih cenderung kepada kehati-hatian. Ishom Talimah, Ibid, hlm. 95.
57
menekankan besarnya perhatian syariat pada bentuk-bentuk
kemudahan dan keringanan hukum. Bahkan al-Sya’bi pernah
menyatakan, jika seorang muslim diperintahkan melakukan salah
satu di antara dua hal, kemudian ia memilih yang paling ringan
baginya, maka pilihannya itu lebih disukai Allah SWT.66
Petunjuk dari kaidah ini adalah segala kesukaran dan
kesulitan yang tidak dapat dihindari oleh manusia akan diberikan
keringanan oleh Tuhan. Di samping itu kaidah ini menjadi sumber
adanya bermacam-macam rukhsah dalam melaksanakan tuntunan
syariat.67
Selain itu, terdapat kaidah lain yang secara substansial
mempunyai kemiripan dengan kaidah al-masyaqqah tajlib al-taysir,
yaitu kaidah yang berbunyi al-dlarar yuzalu (kerusakan harus
dihilangkan). Inti dari kaidah ini adalah bagian dari upaya syariat
dalam menciptakan kemaslahatan dan menolak kerusakan dengan
memberi kemudahan bagi kaum muslimin. Ciri kemudahan yang
dikandung kaidah al-masyaqqah tajlibu al-taysir adalah upaya
merengkuh nilai-nilai maslahat yang menjadi inti dari kaidah al-
dlarar yuzalu.68
b) Taqlil al-Taklif (Menyedikitkan Beban)69
66
Abdul Haq, Ahmad Mubarok, dan Agus Ro’uf, Formulasi Nalar Fiqh, Telaah Kaidah
Fiqh Konseptual, Surabaya: Khalista, 2006, hlm. 177. 67
Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami
Bandung: Al-Ma’arif, 1993, hlm. 504. 68
Abdul Haq, Ahmad Mubarok, dan Agus Ro’uf, op. cit., 213. 69
Hudari Bik, loc. cit., hlm. 35.
58
Menyedikitkan beban merupakan konsekuensi logis bagi
tidak adanya menyulitkan (asas pertama), karena di dalam
banyaknya beban mengakibatkan kesempitan. Orang yang
menyibukkan diri terhadap al-Qur’an untuk melihat perintah-
perintah dan larangan-larangan yang di dalamnya niscaya dapat
menerima terhadap kebenaran pokok ini, karena dengan melihatnya
sedikit memungkinkan untuk mengetahuinya dalam waktu sekilas
dan mudah mengamalkannya, tidaklah banyak perincian-
perinciannya sehingga banyaknya itu tidak menimbulkan kesulitan
terhadap orang-orang yang mau berpegang dengan kitab Allah yang
kuat. Sebagian dari ayat yang menunjukkan hal itu adalah firman
Allah Ta’ala dalam surat al-Maidah yang berbunyi:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika
diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika
kamu menanyakan di waktu al-Qur‟an itu diturunkan,
niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan
(kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyantun. (QS. Al-Maidah ayat 101).
Masalah-masalah yang dilarang ini adalah sesuatu yang
telah dimaafkan oleh Allah yakni didiamkan pengharamannya.
59
Seandainya mereka tidak menanyakannya niscaya hal itu diampuni
dalam meninggalkannya.
Mereka boleh memilih dalam melakukannya atau
meninggalkannya. Sebagian dari padanya adalah sabda Nabi
Muhammad SAW yang berbunyi:
ػ – سض اهلل ػ – ػ أب ثؼهبت انخش جشثو ب اشش
: " سسل اهلل صهى اهلل ػهت سهى قال فشائض فشض اهلل إ
ا، فال ا فال حذدا حذ تضؼ فال أشاء حشو تؼتذ
ا، ك ت سكت ت ت أشاء ػ ش نكى سح غ تبحثا فال سا
ا غش انذاسقط سا حس حذث .(يسهى سا)"ػ
Artinya: “Dari Abu Tsa‟labah Al Khusyani, jurtsum bin Nasyir
radhiallahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
Sallam, beliau telah bersabda : “ Sesungguhnya Allah
ta‟ala telah mewajibkan beberapa perkara, maka janganlah
kamu meninggalkannya dan telah menetapkan beberapa
batas, maka janganlah kamu melampauinya dan telah
mengharamkan beberapa perkara maka janganlah kamu
melanggarnya dan Dia telah mendiamkan beberapa
perkara sebagai rahmat bagimu bukan karena lupa, maka
janganlah kamu membicarakannya”. (HR. Muslim).
حذثا حى ب حى أخبشا إبشاى ب سؼذ ػ ب شاب ػ
ػايش ب سؼذ ػ أب قال قال سسل اهلل صهى اهلل ػه سهى
إ أػظى انسه ف انسه جشيا ي سأل ػ شء نى
(يسهى سا) حشو ػهى انسه فحشو ػهى ي أجم يسأنت
Artinya: Menceritakan Yahya bin Yahya, menceritakan pada kita
Ibrahim bin Sa‟ad dari Ibnu Syihab dari Amir bin Sa‟ad
dari bapaknya mengatakan bahwa Rosulullah SAW telah
bersabda. “Sebesar-besar dosa orang muslim terhadap
muslim lain adalah orang yang menanyakan sesuatu yang
tidak diharamkan atas mereka, maka sesuatu itu
diharamkan karena pertanyaannya.”(HR. Muslim).
60
c) Berangsur-angsur Mendatangkan Hukum
Dalam menetapkan suatu hukum, hendaknya tidak
dilakukan secara radikal, karena masyarakat akan sulit untuk
melaksanakannya. Maka seyogyanya dilakukan setahap demi
setahap. Sebagai contoh, jika pemerintah mengeluarkan peraturan
tentang kewajiban bagi pengendara sepeda motor agar menyalakan
lampu di siang hari secara sekaligus, maka masyarakat akan
menentangnya karena belum mengetahui tujuan dari hal tersebut,
namun masyarakat akan mudah menerima dan melaksanakannya jika
peraturan itu diterapkan secara bertahap dan setelah masyarakat
memahami manfaatnya.70
Dalam sosiologi Ibnu Khaldun dinyatakan bahwa suatu
masyarakat (tradisional atau yang tingkat intelektualnya masih
rendah) akan menentang apabila ada sesuatu yang baru atau sesuatu
yang datang kemudian dalam kehidupannya, lebih-lebih apabila
sesuatu yang baru tersebut bertentangan dengan tradisi yang ada.
Masyarakat senantiasa memberikan respon apabila timbul sesuatu di
tengah-tengah mereka.71
Dengan mengingat faktor tradisi dan ketidaksenangan
manusia untuk menghadapi perpindahan sekaligus dari suatu
keadaan lain yang asing sama sekali bagi mereka, al-Qur’an
70 Rachmat Djatnika, Jalan Mencari Hukum Islami Upaya ke Arah Pemahaman
Metodologi Ijtihad, dalam kata pengantar, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,
Amrullah Ahmad, dkk (ed), et. al., Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 107-108. 71
Fatchurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm.
69
61
diturunkan secara berangsur-angsur, surat demi surat dan ayat demi
ayat sesuai dengan peristiwa, kondisi, dan situasi yang terjadi.
Dengan cara demikian, hukum yang diturunkannya lebih disenangi
oleh jiwa dan lebih mendorong ke arah menaatinya, serta bersiap-
siap meninggalkan ketentuan lama dan menerima ketentuan baru.72
Berangsur-angsur mendatangkan hukum, artinya Allah
dalam mendatangkan hukum-hukumnya tidak dengan sekaligus,
tetapi diangsur dari satu demi satu. Misalnya tentang hukum
dilarangnya orang meminum khamar dan main judi. Ketika
Rasulullah SAW ditanya tentang hukum keduanya itu oleh sebagian
kaum muslim yang telah meminum khamar dan main judi, maka
turun firman Allah dalam surat al-Baqarah yang berbunyi:
Arttinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamardan judi.
Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya
lebih besar dari manfaatnya .(QS. Al-Baqarah ayat 219).
Dalam ayat ini tidak jelas kelihatan tentang terlarangnya
kedua perkara yang ditanyakan itu, padahal sebenarnya sudah
terkandung di dalamnya larangan keras, karena segala yang
72
Ibid, hlm. 70.
62
mendatangkan dosa bagi orang yang mengerjakannya sudah dilarang
keras orang mengerjakannya.73
Belakangan diturunkan pula satu ayat yang berarti melarang
orang mengerjakan shalat dikala mabuk yang bunyinya :
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat,
sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan. (QS. An-Nisa’ ayat 43).
Kemudian pada suatu saat diturunkan pula ayat yang tegas
jelas melarang orang meminum arak dan bermain judi, yang
bunyinya :
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah,74
adalah termasuk perbuatan syaitan.
73
Chalil Moenawar, Kembali Kepada Al-Qur‟an dan As-Sunnah, Jakarta: PT Midas
Surya, 1993, hlm. 230. 74
Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah
menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan apakah mereka akan
melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya Ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang
belum pakai bulu. setelah ditulis masing-masing Yaitu dengan: lakukanlah, jangan lakukan,
sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam
Ka'bah. bila mereka hendak melakukan sesuatu Maka mereka meminta supaya juru kunci ka'bah
mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti Apakah mereka akan melakukan atau tidak
melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. kalau yang terambil anak
panah yang tidak ada tulisannya, Maka undian diulang sekali lagi.
63
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu
bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan
berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah
dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari
mengerjakan pekerjaan itu).
Barulah dengan ayat ini jelas terlarangnya orang meminum
arak dan bermain judi, yang berarti supaya kedua macam perbuatan
itu dijauhi benar-benar oleh segenap orang yang beriman.
Fathurrahman Djamil75
menambahkan dua asas lagi, yaitu:
d) Memperhatikan Kemaslahatan Manusia
Hukum Islam dihadapkan kepada bermacam-macam jenis
manusia dan ke seluruh dunia. Maka tentulah pembina hukum
memperhatikan kemaslahatan masing-masing mereka sesuai dengan
adat kebudayaan mereka serta iklim yang menyelubunginya. Jika
kemaslahatan-kemaslahatan itu bertentangan satu sama lain, maka
pada saat itu didahulukan maslahat umum atas maslahat khusus dan
diharuskan menolak kemudharatan yang lebih besar dengan jalan
mengerjakan kemudharatan yang kecil.76
Dalam masa kepemimpinannya, Umar menjadikan maslahat
dan nash sebagai pokok atau dasar tasyri’nya. Hampir pada semua
kejadian dan kasus yang dihadapinya diputuskan dengan tujuan
untuk maslahat ammah. Jika dalam suatu kejadian ada nash
75
Fathurrahman Djamil, op. cit., hlm. 71-75. 76
T.M Hasbi Ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 66.
64
khususnya, maka Umar harus melaksanakannya dan agar hal itu
dapat membawa maslahat, serta menjadikan masalah yang ada
nashnya itu membawa dua sisi manfaat. Karena penguasa jika
memutuskan satu keputusan hanya karena menurutnya hal itu ada
kemaslahatannya, dan dengan sengaja melanggar nash, maka
putusannya itu tidak harus dipatuhi, sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Nujaim.77
Umar selalu berpijak pada pemahaman nash dan yang tidak
ditolak oleh akal, di samping ia juga selalu berpegangan pada
keputusan-keputusan tasyri’ yang umum. Adapun jika dalam
masalah yang tidak ada nash khususnya, maka pada saat itu Umar
tidak mengeluarkan satu keputusan tasyri’ hanya dengan
menggunakan ra’yu dan ijtihadnya dan mengatakan bahwa itu adalah
maslahat, dengan tanpa mengaitkan dan menguatkannya dengan
alasan lain.78
e) Mewujudkan Keadilan yang Merata.
Manusia di dalam hukum Islam, sama kedudukannya.
Mereka tidak lebih melebihi karena kebangsaan, karena keturunan,
karena harta atau karena kemegahan. Tak ada di dalam hukum Islam
penguasa yang bebas dari jeratan undang-undang, apabila mereka
77
Muhammad Baltaji, Manhaj Umar Ibn al-Khathab fi al-Tasyrii‟, diterjemahkan H.
Masturi Irham, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab, Jakarta: Khalifa, 2005, hlm. 480. 78
Ibid.
65
berbuat zalim. Semua manusia di hadapan Allah Hakim yang Maha
Adil adalah sama.79
Nabi bersabda:
تستؼش يخضيت ايشاة كات قانت ػا اهلل سض ػائشت ػ
ب أسايت أها فأت ذا بقطغ و.ص انب فأيش تجحذ انتاع
انب ن فقال فا و.ص انب فكهى فكه ػ اهلل سض صذ
قاو ثى ػضجم؟ اهلل حذد ي حذ ف أتشفغ! اأست : و.ص
ارا كا أى قبهكى ي انز هك اا : فقال خطبا و.ص انب ػه أقا انضؼف فى اراسشق تشك انششف فى سشق
نقطؼت سشقت يحذ بت فاطت كات ن بذ فس انزي انحذ
(.يسهى سا )ذا
Artinya: “diriwayatkan dari Aisyah r.a ia berkata;”ada seorang perempuan
mahzumiah meminjam barang dan mengingkarinya. Kemudian Nabi
Muhammad saw menyuruh agar tangan perempuan itu dipotong.
Tetapi kemudian keluarganya datang kepada Usamah bin Zaid ra
dan mengadukan hal itu. Selanjutnya Usamah bin Zaid
menyampaikan pengaduan itu kepada Nabi. Nabi saw berkata,‟Hai
Usamah, aku tidak melihatmu dapat membebaskan suatu hadd dari
Allah Azza wa Jalla‟. Kemudian Nabi berdiri dan berkhotbah,
seraya berkata.‟ Sesungguhnya kehancuran generasi sebelum kamu
adalah karena bila orang yang meulia dari mereka mencuri, maka
mereka biarkan. Bila orang yang rendah dari mereka mencuri, maka
mereka menegakkan hadd potong tangan atasnya. Demi Dzat yang
jiwaku berada di dalam genggamanNya, Andaikata Fatimah putri
Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya.‟ Dengan
demikian maka tangan perempuan mahzumah itu dipotong. (HR.
Muslim).80
D. Konsep Maslahah dalam Hukum Islam
Dalam pemikiran hukum Islam bila dikaitkan dengan perubahan
social, muncul dua teori; Pertama, teori Keabadian yang meyakini bahwa
hukum Islam tidak mungkin bisa berubah dan dirubah sehingga tidak bisa
79
T.M Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., hlm. 68-69. 80
Muslim ibn Hajjaj al-Qusyairy al-Naysabury, Sahih Muslim, Jilid II, Libanon: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, t.th.
66
beradaptasi dengan perkembangan zaman. Peran akal manusia hanya
memahami doktrin teks-teks hukum.
Kedua, teori Adaptabilitas yang meyakini bahwa hukum Islam,
sebagai hukum yang diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia, dan bisa
beradaptasi dengan perkembangan zaman, sehingga ia bisa dirubah demi
mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Hukum Islam terikat dan dipahami
menurut latar belakang sosio-kultural yang mengelilinginya, sehingga peran
akal dapat memahami perputaran hukum.81
Dasar lahirnya teori adaptabilitas adalah prinsip Maslahah, yang
merupakan tujuan hukum Islam itu sendiri. Prinsip maslahah ini yang
membuat hukum Islam mampu merespons setiap perubahan sosial.82
Dalam
catatan sejarah, eksistensi maslahah sebagai metode istinbath hukum bila
dikaitkan dengan peran akal di dalamnya, memunculkan corak maslahah yang
berbeda-beda di kalangan pemikiran hukum Islam.
Kata maslahah yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan
maslahat, berasal dari Bahasa Arab yaitu maslahah. Maslahah ini secara
bahasa atau secara etimologi berarti manfaat, faedah, bagus, baik, kebaikan,
guna atau kegunaan. Maslahah merupakan bentuk masdar (adverd) dari fi‟il
(verb) salaha. Dengan demikian terlihat bahwa, kata maslahah dan kata
manfaat yang juga berasal dari Bahasa Arab mempunyai makna atau arti yang
sama.
81
Ahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Yogyakarta: PT LKIS, 2005, hlm. 16-17. 82
Muhammad Khalid Mas’ud, Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al-Shatibi‟s Life
and Thought, terj. Yudian W Asmin, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Surabaya: al-
Ikhlas, 1995, hlm. 23-24.
67
Sedangkan menurut istilah atau epistemology, maslahah diartikan
oleh para ulama Islam dengan rumusan hampir bersamaan, di antaranya al-
Khawarizmi (w. 997 H.) menyebutkan, maslahah adalah al-marodu bil-
maslahatil-mukhaafazatu „ala maqsudi-syar‟i bidaf‟i-l mufaasidi „ani-l-
kholqi, yaitu memelihara tujuan hukum Islam dengan menolak
bencana/kerusakan/hal-hal yang merugikan diri manusia (makhluq).
Sedangkan ulama telah berkonsensus, bahwa tujuan hukum Islam adalah
untuk memelihara agama, akal, harta, jiwa dan keturunan atau kehormatan.
Tidak jauh berbeda dengan al-Khawarizmi di atas, al-Ghazali
merumuskan maslahah sebagai suatu tindakan memelihara tujuan syara‟ atau
tujuan hukum Islam, sedangkan tujuan hukum Islam menurut al-Ghazali
adalah memelihara lima hal di atas. Setiap hukum yang mengandung tujuan
memelihara salah satu dari lima hal di atas disebut maslahah, dan setiap hal
yang meniadakannya disebut mafsadah, dan menolak mafsadah disebut
maslahah.83
Sedangkan menurut asy-Syatibi dari golongan mazhab Malikiyah
sebagai orang yang paling popular dan kontropersi pendapatnya tentang
maslahah-mursalah mengatakan bahwa maslahah itu (maslahat yang tidak
ditunjukkan oleh dalil khusus yang membenarkan atau membatalkan) sejalan
dengan tindakan syara‟.84
Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut adalah memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila seseorang melakukan
aktivitas yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’
83
Malcom H. Keer, Moral and Legal Judgment Indevendent of Relevation, Philosophy:
East and West 18, 1968, hlm, 279. 84
Muhammad Khalid Mas’ud, op.cit, hlm. 26.
68
diatas, maka dinamakan maslahah. Disamping itu untuk menolak segala
bentuk kemadhorotan (bahaya) yang berkaitan dengan kelima tujuan syara’
tersebut, juga dinamakan maslahah.85
Imam al-Ghazali memandang bahwa
suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun
bertentangan dengan tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia tidak
selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering didasarkan pada
hawa nafsu. Oleh sebab itu, yang dijadikan patokan dalam mentukan
kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan syara’, bukan kehendak dan
tujuan manusia.86
Kemaslahatan yang dapat dijadikan pertimbangan untuk menetapkan
hukum menurut al-Ghazali adalah apabila; Pertama, maslahah itu sejalan
dengan tindakan syara’. Kedua, maslahah itu tidak meninggalkan atau
bertentangan dengan nash syara’. Ketiga, maslahah itu termasuk ke dalam
kategori maslahah yang dhoruri, baik yang menyangkut kemaslahatan pribadi
maupun orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua
orang.87
Maslahah menurut Abu Ishak al- Syathibi dapat dibagi dari beberapa
segi: pertama, dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan ada tiga
macam, yaitu:
(a) Maslahah al-Dharuriyyah
85
Abu Hamid Al-Ghazali, al-Mustashfa min „Ilmi al-Ushul, Beirut: Dar al Kutub al-
‖Ilmiyah’, 1980, hlm. 286. 86
Ibid. 87
Ibid, hlm. 289.
69
Kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia
di dunia dan di akhirat, yakni memelihara agama, memelihara jiwa,
memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara harta. Kelima
kemaslahatan ini disebut dengan al-mashalih al-khamsah.
(b) Maslahah al-Hajiyah
kemaslahatan yang dibutuhkan untuk menyempurnakan atau
mengoptimalkan kemaslahatan pokok (al-mashalih al-khamsah) yaitu
berupa keringanan untuk mepertahankan dan memelihara kebutuhan
mendasar manusia (al-mashalih al-khamsah) diatas.
(c) Maslahah al-Tahsiniyyah,
Kemaslahatan yang sifatnya komplementer (pelengkap), berupa
keleluasan dan kepatutan yang dapat melengkapi kemaslahatan
sebelumnya ( maslahah al-hajiyyah).
Kedua, dari segi keberadaan maslahah, ada tiga macam, yaitu :
(a) Maslahah al-Mu‟tabarah
Kemaslahatan yang didukung oleh syara’. Maksudnya, adanya dalil
khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.
(b) Maslahah al-Mulghah
Kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan
ketentuan syara’.
(c) Maslahah al-Mursalah
Kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula
dibatalkan atau ditolak syara’ melalui dalil yang rinci, tetapi didukung
70
oleh sekumpulan makna nash (ayat atau hadits). Kemaslahatan dalam
bentuk ini terbagi dua, yaitu maslahah gharibah dan maslahah mursalah.
Maslahah gharibah adalah kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan
yang sama sekali tidak ada dukungan syara’, baik secara rinci maupun
secara umum. Al-Syathibi mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak
ditemukan dalam praktek, sekalipun ada dalam teori. Maslahah mursalah
adalah kemaslahatan yang tidak didukung dalil syara’ atau nash yang
rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash.88
Jumhur Ulama Ushul Fiqh (Ulama Hanafiyah, Syafi’iyyah,
Malikiyyah dan Hanabilah) menetapkan bahwa maslahah dapat dijadikan
dalil untuk menetapkan hukum, apabila memenuhi tiga syarat: Pertama,
kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis
kemaslahatan yang didukung nash secara umum. Kedua, kemaslahatan itu
bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan sehingga hukum yang
diterapkan melalui maslahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan
manfaat dan menghindari atau menolak kemudaratan. Ketiga, kemaslahatan
itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau
kelompok kecil tertentu.89
Alasan Jumhur ulama Ushul Fiqh, antara lain :
(a). Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum
mengandung kemaslahatan bagi umat manusia.
88
Abu Ishak Al Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, Beirut: Dar al-Ma’rifah.
1973, hlm. 8-12. 89
Ibid.
71
(b). Kemaslahatan manusia senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat,
zaman dan lingkungan mereka sendiri. Apabila Syari’at Islam terbatas
pada teks-teks hukum yang ada, akan membawa kesulitan.
(c). Merujuk kepada tindakan yang dilakukan oleh beberapa sahabat Nabi
SAW., antara lain Umar Ibn al-Khaththab tidak memberi zakat kepada
para mu’allaf, karena kemaslahatan orang banyak menuntut hal itu. Abu
Bakar Ash-Shiddiq mengumpulkan al-Qur’an atas saran Umar ibn al-
Khaththab sebagai salah satu kemaslahatan kelestarian al-Qur’an dan
menuliskan al-Qur’an pada satu logat bahasa di zaman Utsman bin Affan
demi memelihara tidak terjadinya perpedaan bacaan al-Qur’an itu
sendiri.90
E. Hukum Progresif di Indonesia
Hukum progresif memasukkan prilaku sebagai unsur penting dalam
hukum dan lebih khusus lagi dalam penegakkan hukum. Pengalaman bidang
hukum di Indonesia masih kental dengan pengalaman hukum dari pada
pengalaman prilaku. Proses hukum masih lebih dilihat sebagai proses
peraturan dari pada prilaku mereka yang terlibat di situ. Untuk mengatasi
stagnasi disarankan agar aspek perilaku dilihat, diperhatikan dan dibicarakan
secara sungguh-sungguh tidak kalah dengan perhatian terhadap komponen
peraturan. Secara sistem hukum menjadi tidak lengkap apabila komponen
dari sistem tersebut hanya terdiri dari peraturan dan institusi dan atau struktur
90
Ibid, hlm. 13.
72
saja. Perilaku menjadi bagian integral dari hukum, sehingga memajukan
hukum melibatkan pula tentang bagaimana peran prilaku.91
Secara historis dapat dilihat, penegakkan hukum di Indonesia ada
beberapa faktor yang menggerakkan semangat penegakkan hukum.92
Pertama, substansi hukum di Indonesia (undang-undang dan peraturan di
bawah undang-undang) cenderung pasif dan tidak futuristik, dalam arti bahwa
substansi-substansi hukum tersebut tertinggal dari dinamika masyarakat yang
melahirkan banyak persoalan baru yang sama sekali tidak tersentuh hukum.
Hal tersebut merupakan suatu cerminan bahwa hukum positif di Indonesia
masih klasik dan tidak visioner.93
Kedua, penegakan hukum di Indonesia cenderung permisif dan pasif
(lemah) terhadap terdakwa yang notabene punya nama dan struktur
kekuasaan yang cukup kuat, baik di masyarakat maupun di pemerintahan.
Salah satu hal yang mengarah pada kondisi tersebut adalah kurang aktifnya
jaksa dalam mencari dan mengajukan alat buki untuk menjerat terdakwa di
persidangan.
Sebut saja dalam penanganan kasus-kasus korupsi (selain yang
ditangani di Pengadilan Tipikor) yang melibatkan pejabat yang memiliki
pengaruh cukup kuat cenderung mendapat hukuman yang sangat ringan
dengan kualifikasi kesalahan yang cukup berat.94
91
Sacipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku, op.cit, hlm. 78. 92
Ibid. 93
Ibid. 94
Bahkan data TII (Transparansi Internasional Indonesia) dan ICW (Indonesia
Corruption Watch) menyebutkan angka tidak kurang dari 50% terdakwa kasus korupsi yang
ditangani di Pengadilan Negeri divonis bebas.
73
Berdasar analisis Prof. Surya Jaya,95
banyaknya terdakwa yang
divonis bebas di PN disebabkan karena bukti yang diajukan oleh jaksa tidak
cukup kuat sehingga mudah dimentahkan oleh terdakwa. Lebih lanjut,
dikatakan bahwa berbeda dengan bukti jaksa, bukti yang diajukan KPK lebih
kuat dan minimal melampirkan dua alat bukti, sehingga sangat kecil
kemungkinan bagi terdakwa untuk lolos dari jeratan hukum.96
Hal ini
menunjukkan bahwa penegakan hukum tehadap kalangan elite masih jauh
dari pemenuhan rasa keadilan masyarakat maupun keadilan hukum nasional.
Kasus lain terjadi di akhir Mei 2009, dimana untuk menunggu jam
tayang siaran langsung sepak bola Liga Champions, sekelompok pedagang
sayuran keliling yang mengontrak secara bertetangga kamar ukuran 2×3
meter, melakukan permainan kartu remi. Bukannya menikmati aksi pemain
bola, tetapi malah datang petugas polsek menangkap dan menahan 5 orang
penjual sayuran keliling itu, dengan tuduhan berjudi, meskipun barang bukti
yang ada hanyalah Rp.4.000,-.97
Pertanyaan saat ini adalah mungkinkah paradigma penegakan hukum
progresif diterapkan di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu
dikaji terlebih dahulu mengenai dimensi-dimensi perubahan atau
pembaharuan hukum nasional. Ismail Saleh mengemukakan bahwa dalam
95
Seorang hakim ad hoc Pengadilan Tipikor di Jakarta. 96
Tabloid Tribun Timur, edisi 23 Agustus 2009. 97
Kejadian tersebut membuat para pakar hukum kaget dan mempertanyakan proses
penahanan yang dilakukan aparat kepolisian. Betapa tidak, anak-anak yang berumur belasan tahun
ditahan karena dugaan berjudi yang sama sekali tidak berdasar. Permainan yang dilakukan oleh
anak-anak tersebut murni sekadar permainan belaka, dan bukan judi seperti disangkakan oleh
aparat. LSM-LSM pun serempak mengumbar kritik atas tindakan polisi tersebut, sebab
bagaimanapun, anak seperti mereka sharusnya tidak ditahan dan dipenjarakan.
74
rangka pembaharuan dan pengembangan hukum nasional, terdapat tiga
dimensi utama, yaitu:
1. Dimensi Pemeliharaan
Dimensi pemeliharaan adalah dimensi yang berkaitan dengan
pemeliharaan (maintenance) tatanan hukum yang telah ada. Pemeliharaan
di sini tidak diartikan sebagai mempertahankan tatanan hukum yang ada
secara penuh, tetapi mempertahankan tatanan dengan berpijak pada situasi
atau kondisi yang sudah berubah.98
Inilah yang kemudian melahirkan
pemahaman dan penerapan hukum secara holistik dalam rangka mencapai
nilai-nilai dan tujuan substantif hukum.
2. Dimensi Pembaruan
Aksentuasi dimensi pembaruan adalah peningkatan dan penyempurnaan
pembangunan hukum nasional. Dalam konteks pembaruan ini dianut
kebijaksanaan bahwa pembangunan hukum nasional disamping
pembentukan peraturan-peraturan perundang-perundangan yang baru,
dilakukan pula usaha penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang
telah ada sesuai dengan konteks dan kebutuhan hukum.99
3. Dimensi Penciptaan
98
Penulis menyebut hal ini dengan kontekstualisasi hukum, yaitu memahami dan
menerapkan hukum sesuai dengan konteks atau kapasitas permasalahan yang dihadapi. Dengan
demikian, penerapan hukum tidak bersandar pada penafsiran normatif belaka, melainkan sudah
melibatkan dimensi eksternal hukum itu sendiri, yaitu konteks hukum. 99
Pembaruan menurut Abdul Mannan tidak perlu dilakukan secara radikal atau
membongkar semua aturan yang ada, tetapi cukup aturan yang dianggap sudah tidak relevan
dengan situasi yang ada dan paradigma penegakan hukum nasional. Lihat Abdul Mannan,
Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007, hlm. 14.
75
Dimensi ini disebut juga dengan dimensi kreatifitas. Perkembangan yang
pesat pada berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi berimplikasi
pada kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di bidang ekonomi
yang melahirkan gagasan baru, lembaga baru, dan digitalisasi transaksi
keuangan. Hal ini membutuhkan peraturan baru yang berarti bahwa harus
diciptakan peraturan perundang-undangan baru yang mengakomodir hal
tersebut, sehingga fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool
of social engineering) dapat terlaksana dengan baik.
Dengan melihat dimensi pembaharuan hukum nasional tersebut,
dapat dipahami bahwa pada dasarnya pembaharuan hukum nasional menuju
hukum progresif merupakan proses yang sistemik dan berkelanjutan.
Penegakan hukum progresif sebagai unit dari sistem hukum progresif sebagai
gagasan yang dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo, sangat mungkin
diterapkan di Indonesia, paling tidak karena beberapa hal. Pertama, landasan
pemikiran penegakan hukum progresif sudah mengalami perkembangan, baik
di kalangan akademisi maupun praktisi hukum. Satjipto Rahardjo, sebagai
tokoh yang mencetuskan ide hukum progresif telah menanamkan dasar-dasar
sistem hukum modern yang holistik dan berorientasi pada pencapaian tujuan
substantif hukum, yaitu keadilan.100
Kritik atas model penegakan hukum yang hanya ―mengeja undang-
undang‖ oleh Satjipto Rahardjo dijabarkan dengan proposisi filsafati, yaitu
penegakan hukum harus dilakukan sebagai kegiatan penemuan hukum; suatu
100
Ibid, hlm. 15.
76
proses untuk menggali dan menemukan jiwa hukum itu sendiri, sehingga
hukum tidak dijalankan secara pasif. Lebih lanjut, hukum dalam perspektif
hukum progresif merupakan upaya berkesinambungan, kreatif, inovatif, dan
berkeadilan. Ufran mengemukakan bahwa penegakan hukum progresif tidak
hanya melibatkan kecerdasan intelektual belaka, melainkan juga melibatkan
kecerdasan emosional dan spiritual.101
Dengan kata lain penegakan hukum
merupakan upaya yang dilandasi determinasi, empati, dedikasi, komitmen
terhadap penderitaan bangsa dan disertai dengan keberanian untuk mencari
jalan lain yang berbeda dengan jalan atau cara konvensional.
Kedua, secara faktual riak penegakan hukum progresif telah ada dan
mulai dikampanyekan oleh sebagian penegak hukum. Kepolisian misalnya
secara massif mengkampanyekan iklan maupun slogan yang esensinya
membuat pencitraan positif kepolisian di masyarakat. Kampanye institusi
polisi sebagai mitra dan pelayan masyarakat merupakan upaya sistemik yang
bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan pelayanan kepolisian sekaligus
mengembangkan kerja sama yang padu dengan masyarakat dalam
menegakkan hukum.
Ketiga, masyarakat, dalam hal ini direpresentasikan oleh LSM-LSM
semakin menunjukkan kepekaannya terhadap upaya penegakan supremasi
hukum. Lembaga-lembaga independen seperti ICW, MTI, dan LBH semakin
menunjukkan kontribusinya dalam mengawal penegakan hukum di Indonesia.
101
Lihat dalam Pengantar Editor buku Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum
Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009, hlm. viii.
77
Tidak jarang kritik tajam ditujukan kepada penegak hukum yang dianggap
lamban dan tidak serius dalam menangani perkara.
Kondisi-kondisi faktual demikian sesungguhnya merupakan aset
dalam menghidupkan penegakan hukum yang progresif. Sejatinya, untuk
membangun suatu sistem penegakan hukum yang baik diperlukan kerja sama
dari semua unsur dalam sistem. Bekerjanya setiap unsur akan menggerakkan
roda penegakan hukum secara berkelanjutan.102
Dalam konteks ini pula, penegakan hukum progresif harus dilihat
sebagai upaya menyeluruh. Upaya tersebut tidak hanya pada unsur struktur
dan kultur hukum, melainkan merangsek ke unsur substansi hukum, terutama
hukum formil. Pembaruan aturan-aturan dalam perundang-undangan yang
sudah tidak sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakat merupakan
keniscayaan, sehingga esensi penegakan hukum progresif benar-benar dapat
dilaksanakan.
102
Abdul Mannan, op.cit, hlm. 16.
78
BAB III
PEMIKIRAN PROF. SATJIPTO RAHARDJO TENTANG HUKUM
PROGRESIF
A. Biografi Prof. Satjipto Rahardjo
1. Biografi Prof. Satjipto Rahardjo
Beliau memiliki nama lengkap Prof. DR. Satjipto Rahardjo, SH.
Lahir di Karanganyar, Banyumas, Jawa Tengah pada tanggal 15
Desember 1930. Riwayat pendidikannya cukup panjang. Beliau
menyelesaikan pendidikan hukum di Fakultas Hukum Universitas
Indonesia (UI) Jakarta pada tahun 1960. Pada tahun 1972, mengikuti
visiting scholar di California University selama satu tahun untuk
memperdalam bidang studi Law and Society.1
Dalam kurun waktu yang sama ketika Satjipto Rahardjo sedang
mendalami kajian ilmu hukum di negeri Paman Sam tersebut, pada
Tahun 1970-an itu sebuah gerakan hukum yang juga dilandasi pandangan
sosiologi hukum sedang berkembang di Amerika. Gerakan yang
menyebut ideologinya sebagai critical legal studies (CLS) tersebut
mewabah dalam cara pandang ilmuwan hukum negara adikuasa tersebut.
CLS atau Studi Hukum Kritis itu sendiri merupakan perkembangan
pemikiran sosiologi hukum, bidang yang digeluti oleh Satjipto dengan
teguh dari awal karir hukumnya. Hal ini tidak bermaksud menyebutkan
1 Lembar Biografi Prof. Satjipto Rahardjo dalam buku “Hukum Progresif Sebuah Sintesa
Hukum Indonesia”, hlm. 153.
79
cara pandang keilmuwan Satjipto adalah cara pandang yang sepenuhnya
dipengaruhi oleh Studi Hukum Kritis tersebut, namun setidak-tidaknya
Satjipto sedikit banyaknya merasakan cakrawala intelektual di Amerika
ketika gerakan CLS itu diusung.2
Kemudian beliau menempuh pendidikan doktor di Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro dan diselesaikan pada tahun 1979.
Satjipto kemudian menjadi salah satu panutan utama studi sosiologi
hukum di tanah air. Tulisan-tulisan ilmiah lepas dan buku-bukunya
menjadi pokok perdebatan pemikiran hukum serta pelbagai diskursus
sosiologi hukum. Terhadap hasil karya dan pemikirannya itu, Satjipto
pantas ditasbihkan oleh sebagian kalangan sebagai salah satu begawan
hukum terbesar yang dimiliki Indonesia saat ini.3
Selain mengajar di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
(UNDIP), beliau juga mengajar pada sejumlah Program Pascasarjana di
luar UNDIP, antara lain di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogjakarta,
Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian
(PTIK), Nara sumber di beberapa Universitas di dalam negeri maupun di
luar negeri.4
Prof Tjip sapaan akrab beliau, pernah memangku jabatan sebagai
Ketua Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) di Universitas Diponegoro.
Sebagai orang pertama yang memimpin PDIH UNDIP, Prof Tjip
2 Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum, Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum
di Indonesia 1945-1990, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005, hlm. 162. 3 Ibid, hlm. 163.
4 Suteki, Rekam Jejak Pemikiran Hukum Prof. Satjipto Rahardjo. Makalah diunduh pada
tanggal 15 Februari 2011.
80
memiliki andil yang sangat besar dalam menjalankan program ini multi-
entry, yang mana program ini memungkinkan orang yang berlatar
belakang bukan sarjana hukum (SH) bisa mengikuti program ini.
Sebagai pakar Satjipto juga pernah menduduki jabatan prestigious
bahkan di era Soeharto. Melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 50
Tahun 1993 yang menjadi pegangan Ali Said (Mantan Ketua Mahkamah
Agung) untuk menunjuk beberapa tokoh nasional sebagai anggota
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) yang pertama di
Indonesia. Pada tanggal 7 Desember 1993, Satjipto Rahardjo menjadi
salah satu dari 25 tokoh yang menduduki jabatan sebagai anggota
KOMNAS HAM pertama tersebut bersama Soetandyo Wignyosoebroto
yang juga sejawatnya sesama pakar sosiologi hukum Indonesia.5
Sejak awal memang sangat kelihatan sekali bahwa Satjipto
dengan sengaja mendedikasikan kehidupannya dalam dunia hukum. Hal
ini terbukti dengan latar belakang pendidikan yang diambilnya sejak
awal. Semua orang tahu dengan pasti bahwa Satjipto Rahardjo
merupakan akademisi yang sangat getot sekali membicarakan
kebobrokan dan mengkritisi hukum di Indonesia. Bahkan dengan sikap
kritisnya ia kemudian menemukan berbagai sikap yang dinilai
menghalangi kemajuan hukum bagi rakyat. Tidak hanya sebatas itu, yang
5 Khudzaifah Dimyati, op.cit, hlm. 164.
81
terpenting beliau juga mencoba menawarkan solusi berhukum yang
sesuai dengan konteks masyarakat.6
2. Karya-karya Prof. Satjipto Rahardjo
Bisa dibilang bahwa Prof Tjip adalah orang yang paling produktif
dalam berkarya.7 Hal ini dibuktikan dengan berbagai publikasi yang
disusun dalam bentuk karya buku antara lain: Pemanfaatan Ilmu-ilmu
Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum yang diterbitkan pada tahun
1977. Hukum, Masyarakat dan Pembangunan yang ditulis tahun 1980.
Ditahun yang sama juga menulis buku Hukum dan Masyarakat.
Kemudian pada tahun 1981 beliau juga menulis Masalah Penegakan
Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis.
Kemudian buku yang berjudul Permasalahan hukum di Indonesia
berhasil beliau terbitkan pada tahun 1983, ditahun yang sama juga
menulis buku Hukum dan Perubahan Sosial. Kemudian Ilmu Hukum
ditulis pada tahun 1991, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan
Pilihan Masalah tahun 2002, Membangun Polisi Sipil tahun 2002, Sisi-
Sisi Lain Hukum di Indonesia tahun 2003.
Pada tahun 2004 beliau juga menulis buku yang berjudul Ilmu
Hukum: Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, yang diterbitkan di
6 Miftahul A’la, Prof. Tjip dan Mazhab Hukum Progresif, Makalah diunduh pada tanggal
23 Pebruari 2011 di miftah.blogspot.com. 7 Produktivitas Prof Tjip tampaknya berangkat dari motto hidupnya sebagai intelektual,
yakni seorang intelektual adalah orang yang berpikir dengan tangannya. Lihat sambutan Satjipto
Rahardjo dalam Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, & Markus Y. Hage, Teori Hukum:
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Surabaya: Kita, 2006, hlm. ii.
82
Surakarta oleh Muhammadiyah University Press,8 Membedah Hukum
Progresif tahun 2006,9 Hukum Dalam Jagat Ketertiban tahun 2006,
Biarkan Hukum Mengalir tahun 2007, Polisi Sipil dalam Perubahan
Sosial di Indonesia, Mendudukkan Undang-Undang Dasar: Suatu Optik
dari Ilmu Hukum Umum tahun 2007, Negara Hukum Yang
Membahagiakan Rakyatnya tahun 2009, Pendidikan Hukum Sebagai
Pendidikan Manusia juga ditulis pada tahun 2009, Lapisan-lapisan
dalam Studi Hukum tahun 2009, Hukum Progresif Sebuah Sintesa
Hukum Indonesia tahun 2009.
Selanjutnya buku yang berjudul Pendidikan Hukum Sebagai
Pendidikan Manusia Kaitannya Dengan Profesi Hukum dan
Pembangunan Hukum Nasional tahun 2009 dengan penerbit Genta
Publishing Yogyakarta. Di penerbit dan tahun yang sama pula buku
Membangun dan Merombak Hukum Indonesia Sebuah Pendekatan
Lintas Disiplin berhasil diterbitkan. Kemudian Buku Hukum dan Perilaku
Hidup Baik adalah Dasar Hukum Yang Baik yang terbit tahun 2009.10
8 Buku ini pada hakikatnya merupakan eksperimen Satjipto Rahardjo dalam dunia ilmu
hukum. Selama ini beliau gelisah disebabkan hukum biasanya dipahami secara dangkal dan
sempit, dilihat dari sisi kulitnya saja tanpa menyentuh pada aspek hakikat dari ilmu hukum itu
sendiri. Lewat buku ini, Satjipto Rahardjo secara implisit mengungkapkan kegelisahannya lewat
kata-kata: “inikah tanda-tanda lonceng kematian hukum?”. 9 Buku yang ditulis ini membedah tuntas tentang gagasan hukum progresif. Mulai dari
pemikiran awal, menggugat harmonisasi dan idealisme hukum, posisi hukum ideal di masa depan
hingga kristalisasi gagasan hukum progresif. Dibahas pula dengan tajam peranan sejumlah
mazdhab hukum serta urgensi etika terhadap pembangunan hukum progresif juga bagaimana
posisi hukum progresif dalam pembangunan hukum. 10
Buku ini adalah buku yang terakhir ditulis oleh Prof. Satjipto Rahardjo sebelum beliau
meninggal dunia dalam usia 80 tahun pada hari Jum’at tanggal 8 Januari 2011 di Rumah Sakit
Pertamina Jakarta akibat mengalami kegagalan dalam pernafasan.
83
Tulisan-tulisan beliau yang berupa artikel juga sering tampil
menghiasi sejumlah media cetak, seperti Kompas,11
Forum Keadilan,
Tempo, Editor, Suara Merdeka dll.12
3. Latar Belakang Pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo
Sosiologi hukum13
sebelum diperkenalkan Maxmillian Weber
sesungguhnya secara praktis telah menjadi kajian dari para ilmuwan-
ilmuwan terkemuka di pelbagai zaman. Georges Gurvitch setidaknya
adalah salah satu ilmuwan yang menggolongkan Aristoteles, Hobbes,
Spinoza, dan Montesquieu sebagai pengkaji sosiologi hukum dari aneka
zaman. Baik era pra modern hingga modern. Bahkan saat ini keilmuwan
mereka tetap dihargai sebagai bagian tak terpisah untuk dikaji oleh
generasi keilmuwan masa post modern.14
Hal ini tidak lain menurut Gurvitch karena kajian sosiologi
hukum itu timbul dengan serta-merta dalam penyelidikan sejarah dan
11
Di Harian Kompas Prof. Tjip menulis dari tahun 1975 hampir 33 tahun lebih. Menurut
catatan wartawan Kompas Subur Tjahjono, berdasarkan database dari Pusat Informasi Kompas,
artikel yang ditulis Prof. Tjip ini telah lebih dari 387 (per 23 November 2009) dan masih diminati
sebagai karya yang mampu memberikan opini pembanding dan solutif. Lihat Subur Tjahjono,
Satjipto, 33 Tahun Menulis Artikel, dalam Kompas.com, dapat diakses melalui:
http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/27/05383141/satjipto.33.tahun.menulis.artikel. 12
Dari tinjauan kepustakaan yang coba penulis gali, penulis sendiri berkeyakinan masih
terdapat karya-karya lain dari Prof. Tjip yang tidak terdeteksi. Penulis mengakui memiliki
keterbatasan kemampuan untuk menjelajahi tulisan-tulisan ilmiahnya di pelbagai Jurnal dan
Majalah. Setidaknya tulisannya di media massa telah mencapai ratusan artikel bahkan mungkin
ribuan. 13
Sosiologi berasal dari kata latin, socius yang berarti kawan dan kata Yunani, logos yang
bermakna kata atau bicara, sehingga definisi sosiologi berarti bicara mengenai masyarakat.
Sedangkan menurut Auguste Comte, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan
umum yang merupakan hasil terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan. Lihat Georges
Gurvitch, Sosiologi Hukum, Jakarta: Penerbit Bharatara, 1996, hlm. 58. 14
Feri Amsari, Satjipto Rahardjo dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif, dalam Jurnal
Konstitusi Mahkamah Konstitusi RI edisi September 2009.
Diunduh di http://www.feriamsari.wordpress.com.
84
etnografi yang berkenaan dengan hukum, dan juga dalam penyelidikan di
lapangan hukum yang sekaligus mencari tujuan lain, misalnya dalam hal
mencari solusi ideal terhadap masalah sosial.15
Menurut Satjipto, sosiologi hukum memiliki basis intelektual dari
paham hukum alam (lex naturalist),16
itu sebabnya capaian paham
sosiologi hukum adalah untuk menyelesaikan persoalan kehidupan
manusia dan lingkungannya. Filosofi dari teori hukum alam adalah
kesatuan dengan kondisi lingkungan. Karena itu, kalangan sosiologi
hukum selalu mengaitkan aturan hukum dengan kondisi masyarakat dan
lingkungan sekitarnya. Bahkan terbentuknya sebuah negara berdasarkan
teori du contract social yang dipopulerkan J.J. Rosseau pun harus diakui
merupakan kajian sosiologi hukum, bahkan ketika manusia masih dalam
kelompok-kelompok kecil di alam liar.
Menurut Kranenburg yang mensitir pandangan Locke,
menuturkan bahwa ketika di masa purba sesungguhnya pemberlakuan
hukum yang melindungi hak-hak asasi manusia sudah terjadi. Kemudian
secara berlahan-lahan timbulah kontrak sosial antara masyarakat untuk
membentuk pemerintahan yang mampu melindungi hak-hak manusia
yang sebelumnya dilindungi secara hukum alamiah (moral
kemasyarakatan). Selengkapnya Kranenburg mengisahkan sebagai
berikut;
15
Ibid. 16
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah,
Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002, hlm, 12.
85
Menurutnya alam manusia berhak atas beberapa hak, malahan
atas hak-hak yang paling penting yaitu hak hidup, hak kemerdekaan dan
hak milik. Sekarang tujuan perjanjian pembentukan negara adalah
menjamin suasana hukum individu secara alam itu. Kekuasaan
pemerintah dengan demikian menemukan batasnya dalam suasana
hukum individu secara alam itu. Apabila pemerintah memperkosa
suasana hukum itu, maka ia bertentangan dengan tujuan utama perjanjian
masyarakat. Maka gezag pemerintah secara absolut memperkosa hakekat
asasi perjanjian untuk pembentukan negara.17
Paparan Kranenburg di atas memperlihatkan bahwa masyarakat
mengkreasikan hukum demi perlindungan lingkungan sosialnya sendiri.
Kajian mengenai kondisi lingkungan sosial itu dari hari ke hari kemudian
berkembang. Bahkan kajian sosiologi hukum kekinian juga menyentuh
tema mengenai kondisi lingkungan dan hubungan manusia dan alam itu
sendiri.18
Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Green Constitution
menuturkan relasi hukum dan perlindungan lingkungan hidup tempat
masyarakat sosial tumbuh dan berkembang. Jika dicermati kutipan Jimly
dalam bukunya mengenai Konstitusi Vermont bahwa; Semua orang
dilahirkan sama-sama bebas dan merdeka serta memiliki hak-hak tertentu
yang bersifat alami, inheren, dan tidak dapat dikurangi. Di antara hak-hak
itu adalah hak untuk menikmati dan mempertahankan hidup dan hak atas
17
Kranenburg, Ilmu Negara Umum, diterjemahkan Tk. B. Sabaroedin, Jakarta: J.B.
Wolters, 1959, hlm. 17. 18
Feri Amsari, op.cit.
86
kebebasan mendapatkan, memiliki, dan melindungi hak milik, dan
mencari serta mendapatkan kebahagian hidup dan keselamatan.19
Kutipan Jimly tersebut memperlihatkan telah terjadi kaitan antara
ilmu lingkungan dan Hukum Tata Negara. Kaitan dua ilmu tersebut bisa
dikatakan sebagai bagian dari ilmu sosiologi hukum. Keterkaitan Hukum
Tata Negara dan sosiologi hukum sesungguhnya telah pula ditelusuri
oleh pakar-pakar Hukum Tata Negara dan politik lampau seperti
Montesquieu.20
Sosiologi hukum Montequieu memperlebar dasar penyelidikan
Aristoteles dengan menyajikan masalah hubungan antara sosiologi
hukum dan cabang sosiologis lainnya, khsususnya ekologi sosial yang
menyelidiki dan menelaah volume suatu masyarakat, bentuk dan
bangunan tanahnya, sifat khas geografisnya, dan lain-lain dalam
hubungannya dengan kepadatan penduduk.21
Walaupun tidak langsung
menceritakan aturan hukum yang peduli kepada pelestarian lingkungan,
namun tautan itu memperlihatkan bahwa pemikiran sosiologi hukum
setidaknya telah merangkai jalan menuju pemikiran hukum hijau
sebagaimana saat ini sedang di dengung-dengungkan oleh pelbagai pakar
hukum.
Teori hukum alam yang menjembatani institusi hukum kepada
dunia manusia dan masyarakat menjadikan tujuan dari kehadiran hukum
19
Jimly Asshiddiqie, Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Rajawali Press, 2009, hlm. 14. 20
Ibid. 21
Georges Gurvitch op.cit, hlm, 66-67.
87
tidak dapat dipungkiri adalah penemuan rasa keadilan secara otentik.
Bukan terlibat ke dalam wacana hukum positif yang berkonsentrasi
kepada bentuk prosedur serta proses formal hukum.22
Hubungan hukum dan manusia serta masyarakat itu juga
dijelaskan oleh Thomas Hobbes dalam Leviathan bahwa lex naturalis
yang merupakan suatu aturan atau aturan umum, diperoleh melalui nalar,
dimana manusia dilarang membuat sesuatu, yang berbahaya terhadap
kehidupannya, atau menghilangkan sarana-sarana pelestarian kehidupan
itu.23
Pandangan tersebut memperlihatkan bahwa hukum dan
masyarakat merupakan bangunan yang terus berkembang, tidak terjebak
kepada bentuk normatif yang mati rasa. Sebagaimana dinyatakan
Satjipto; Teori hukum alam selalu menuntun kembali sekalian wacana
dan institusi hukum kepada basisnya yang asli, yaitu dunia manusia dan
masyaraka. Kebenaran hukum tidak dapat dimonopoli atas nama otoritas
para pembuatnya, seperti pada aliran positivisme, melainkan kepada
asalnya yang otentik, norma hukum alam, kalau boleh disebut demikian,
berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan cita-cita keadilan yang
wujudnya berubah-ubah dari masa ke masa.24
22
Ibid. 23
Thomas Hobbes, Mengenai Manusia dan Negara, Leviathan, dalam Shadia B. Drury,
Hukum dan Politik, Bacaan Mengenai Pemikiran Hukum dan Politik, Bandung: Penerbit Tarsito,
1986, hlm. 254-255. 24
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum…, op.cit hlm. 12-13.
88
B. Memahami Hukum Progresif Prof. Satjipto Rahardjo
Adalah Satjipto Rahardjo, atau Prof. Tjip yaitu seseorang yang
dijuluki Begawan sosiologi hukum Indonesia yang pertama kali mencetuskan
gagasan hukum progresif.25
Gagasan ini kemudian mencuat kepermukaan dan
menjadi kajian yang sangat menarik ditelaah lebih lanjut. Apa yang digagas
oleh Prof. Tjip ini menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi
kelumpuhan hukum di Indonesia. Hukum hendaknya mampu mengikuti
perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala
dasar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan
menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak
hukum itu sendiri.26
Dilihat dari kemunculannya, hukum progresif bukanlah sesuatu yang
kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang
jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian
kebenaran yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif-yang dapat
dipandang sebagai yang sedang mencari jati diri bertolak dari realitas empirik
tentang bekerjanya hukum di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan
keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting
Indonesia akhir abad ke-20. Dalam proses pencariannya itu, Prof. Tjip
kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya kinerja dan
25
Gagasan dimaksud pertama kali dilontarkan pada tahun 2002 lewat sebuah artikel yang
ditulis di Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”,
Kompas, 15 juni 2002. 26
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006 hlm ix.
89
kualitas penegak hukum di Indonesia adalah dominasi paradigma positivisme
dengan sifat formalitasnya yang melekat.27
Dalam pandangan hukum progresif hal inilah yang disebut kebijakan
yang tidak memberikan kemanfaatan sosial bagi masyarakat, dan seakan-akan
ilmu ekonomi hanya tombol kematian bagi kepentingan masyarakat secara
umum. Karena pilihan meanstream ekonomi Indonesia yang cenderung
postivistik terhadap kepentingan neo liberalisme belaka.28
Sehingga tak heran
agenda untuk menjalankan sistem ekonomi seperti ini, yang pertama adalah
melakukan globalisasi hukum yang disesuaikan dengan kepentingan
pragmatis yaitu akumulasi modal. Artinya mekanisme hukum yang diciptakan
bertitik sentral pada mazhab sistem pembangunan ekonomi neo liberalisme
sampai masuk ke dalam ranah positivisme hukum.
Paradigma hukum progresif sangat menolak meanstream seperti ini
yang berpusat pada aturan/mekanisme hukum positivistik, dan hukum
progresif membalik paham ini. Kejujuran dan ketulusan menjadi mahkota
penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan,
menjadi roh penyelenggara hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan
27
Ibid. hlm 10-11, Lihat juga Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia,
Kompas, Jakarta, 2003, hlm 22-25. 28
Apa yang menjadi pendirian neo-liberalisme dicirikan sebagai berikut: kebijakan pasar
bebas yang mendorong perusahaan-perusahaan swasta dan pilihan konsumen, penghargaan atas
tanggung jawab personal dan inisiatif kewiraswastaan, serta menyingkirkan birokrasi dan parasit
pemerintah. Aturan dasar kaum neo-liberalis adalah, liberalisasikan perdagangan dan finansial,
biarkan pasar menentukan harga, akhiri inflasi, stabilitas ekonomi-makro dan privatisasi kebijakan
pemerintah haruslah menyingkirkan dari penghalang jalan. Paham inilah yang saat ini oleh para
aktor globalisasi dipaksakan untuk diterima semua bangsa-bangsa di seluruh dunia, khususnya
juga terjadi di Indonesia.
90
kebahagiannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir dari hukum. Para
penegak hukum menjadi unjung tombak perubahan.29
Dalam logika inilah revitalisasi hukum dilakukan. Perubahan tak lagi
pada peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum
dalam ruang dan waktu yang tepat. Aksi perubahan pun bisa segera dilakukan
tanpa harus menunggu perubahan peraturan, karena pelaku hukum progresif
dapat melakukan pemaknaan yang progresif terhadap peraturan yang ada.
Menghadapi suatu aturan, meskipun aturan itu tidak aspiratif misalnya, aparat
penegak hukum yang progresif tidak harus menepis keberadaan aturan itu. Ia
setiap kali bisa melakukan interpretasi30
secara baru terhadap aturan tersebut
untuk memberi keadilan dan kebahagiaan pada pencari keadilan.31
Berdasarkan uraian diatas, hukum progresif sebagaimana hukum yang
lain seperti positivisme, realisme, dan hukum murni, memiliki karakteristik
yang membedakannya dengan yang lain, sebagaimana akan diuraikan
dibawah ini.32
Pertama, paradigma dalam hukum progresif adalah, bahwa hukum
adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada
kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Artinya
paradigma hukum progresif mengatakan bahwa hukum adalah untuk manusia.
Pegangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai
29
Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi Hukum Progresif, Artikel dalam Jurnal Ilmu
Hukum, Vol.8 No 2 September 2005, hlm 186. 30
Satjipto Rahardjo, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2006 hlm 3-4. 31
Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi…op,cit. 32
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, 2007, hlm 139.
91
sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di
titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai
pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Apabila
kita berpegangan pada keyakinan bahwa manusia itu adalah untuk hukum,
maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk
bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum.33
Sama halnya, ketika situasi tersebut di analogikan kepada undang-
undang penanaman modal yang saat ini cenderung hanya mengedepankan
kepentingan investasi belaka, tanpa melihat aspek keadilan dan keseimbangan
sosial masyarakat. Sewajarnya bahwa undang-undang penanaman modal
sebagai regulasi yang pada kaitannya juga dengan pembangunan ekonomi di
Indonesia diciptakan untuk pemenuhan hak dasar masyarakat. Bukan dengan
tujuan sebaliknya, masyarakat menjadi victim akibat dari aturan tersebut.34
Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan status quo
dalam berhukum. Mempertahankan status quo memberikan efek yang sama,
seperti pada waktu orang berpendapat, bahwa hukum adalah tolak ukur
semuanya, dan manusia adalah untuk hukum. Cara berhukum yang demikian
itu sejalan dengan cara positivistik, normative dan legalistik. Sekali undang-
undang mengatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bias berbuat
banyak, kecuali hukumnya dirubah lebih dulu.35
Dalam hubungan dengan ini, ada hal lain yang berhubungan dengan
penolakan terhadap cara berhukum yang pro status quo tersebut, yaitu
33
Ibid, hlm. 140. 34
Ibid. 35
Ibid, hlm. 143.
92
berkaitan dengan perumusan-perumusan masalah kedalam perundang-
undangan. Substansi undang-undang itu berangkat dari gagasan tertentu
dalam masyarakat yang kemudian bergulir masuk ke lembaga atau badan
legislatif.
Terakhir adalah, hukum progresif memberikan perhatian besar
terhadap peranan perilaku manusia dalam hukum. Ini bertentangan dengan
diametral dengan paham, bahwa hukum itu hanya urusan peraturan. Peranan
manusia disini merupakan konsekuensi terhadap pengakuan, bahwa
sebaiknya kita tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu
peraturan.36
Diatas telah dijelaskan betapa besar risiko dan akibat yang akan
dihadapi apabila kita menyerah bulat-bulat kepada peraturan. Cara berhukum
yang penting untuk mengatasi kemandegan atau stagnasi adalah dengan
membebaskan diri dari dominasi yang membuta kepada teks undang-undang.
Cara seperti ini bias dilakukan, apabila kita melibatkan unsur manusia atau
perbuatan manusia dalam berhukum. Karena pada dasarnya the live of law
has not been logis, but experience.37
Gagasan hukum progresif dan karakteristik yang membedakannya
dengan yang lain sebagaimana uraian di atas, memberi warna dan cara
pandang baru di dalam memahami hukum sebagai regulasi pembangunan
ekonomi. Gagasan tersebut paling tidak merupakan pertimbangan pada aspek
36
Ibid, hlm. 146. 37
Penjelasan bahwa hukum itu adalah prilaku, bukan aturan, lihat Satjipto Rahardjo,
Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri, artikel pada Harian Kompas, 23 September 2002. Lihat juga
Satjipto Rahardjo dalam Hukum dan Perilaku Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik,
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009.
93
mekanisme yang dijalankan pada roda pembangunan ekonomi Indonesia,
walaupun kita tahu bersama bahwa paradigma hukum progresif bukanlah
sesuatu ilmu ekonomi murni. Berkaitan dengan hal itu, muncul pertanyaan,
bagaimana jika gagasan hukum progresif ini secara mekanistik dapat
diterapkan dalam alternatif pembangunan ekonomi Dunia Ketiga, yang pada
khususnya dalam konteks Indonesia. Uraian di bawah ini akan menjelaskan
persoalan tersebut.
1. Potret Kebuntuan Legalitas Formal
Konsistensi pemikiran yang holistik terhadap hukum menuntun
Satjipto Rahardjo untuk berpikir melampaui pemikiran positivistik
terhadap hukum sekalian berusaha memasukkan ilmu hukum ke ranah
ilmu-ilmu sosial, salah satunya adalah sosiologi. Memasukkan hukum ke
dalam ilmu-ilmu sosial adalah langkah yang progresif, karena dengan
demikian memungkinkan hukum itu dianalisis dan dipahami secara lebih
luas dan akan meningkatkan kualitas keilmuan dari Ilmu Hukum.38
Kemajuan ilmu-ilmu alam, ekonomi dan sosial serta politik
seharusnya mendorong para ahli hukum untuk melihat apa yang bisa
dimanfaatkan dari temuan-temuan disiplin-disiplin ilmu tersebut bagi
praktik hukum. Dikatakan oleh Schuyt, kemajuan dalam bidang-bidang
ilmu di luar hukum seharusnya menantang para ahli hukum yang baik
untuk memberikan reaksi yang memadai dan bisa memilah-milah dengan
38
Suteki, op.cit,
94
bantuan disiplin ilmu lain, mana persoalan hukum yang bisa diselesaikan
dengan baik.39
Pengaitan antara Ilmu Hukum dengan ilmu-ilmu lain tidak hanya
berhenti sampai ke ilmu-ilmu sosial, oleh karena kontekstualisasi Ilmu
Hukum itu harus lebih luas lagi. Erdward O. Wilson sudah menulis buku
berjudul Consilience – The Unity of Knowledge40
yang melihat kesatuan
sains itu dalam suatu kontinum, yang dimulai dari ilmu tentang sel
(biologi) sampai ke ilmu-ilmu sosial. Studi tentang sel yang tidak
bermuara ke ilmu-ilmu sosial tidak tuntas, demikian pula sebaliknya
apabila ilmu-ilmu sosial tidak dilacak kaitannya sampai ke biologi. Ilmu-
ilmu sosial yang hanya saling merujuk antara sesamanya disebut Wilson
sebagai kerdil, tumpul.41
Mengikuti pendekatan holistik dalam Ilmu Hukum, maka menjadi
tugas para ilmuwannya untuk menyatukan kembali hukum. Menyatukan
kembali hukum dengan lingkungannya, alam dan orde kehidupan yang
lebih besar. Memasukkan studi hukum ke dalam orde yang lebih besar
tersebut bertujuan untuk menghilangkan pemisahan antara hukum dan
kehidupan manusia.42
Inilah yang dinamakan mengembalikan hukum ke dalam
keutuhannya. Oleh Brian Z. Tamanaha dikatakan bahwa hukum dan
39
Suteki, op.cit. 40
Edward O. Wilson, Consielence The Unity of Knowledge, Alfred A. Knof inc, New
York, USA, 1998, hlm. 9. Lihat juga Suteki Rekam Jejak Pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo. 41
Suteki op.cit. 42
Satjipto Rahardjo, Pendekatan Holistik Terhadap Hukum, Bacaan untuk Mahasiswa
Program doktor Ilmu Hukum Undip Oktober 2005. Makalah Tidak diterbitkan dan diunduh pada
tanggal 26 Januari 2011.
95
masyarakat memiliki bingkai yang disebut The Law-Society Framework
yang memiliki karakteristik hubungan tertentu. Hubungan tersebut
ditunjukkan dengan dua komponen dasar. Komponen pertama terdiri dari
dua tema pokok yaitu ide yang menyatakan bahwa hukum adalah cermin
masyarakat dan ide bahwa fungsi hukum adalah untuk mempertahankan
social order.43
Komponen kedua terdiri dari tiga elemen, yaitu: custom/consent;
morality/reason; dan positive law. Custom/consent and morality/reason
dapat dipahami dalam pemikiran Donald Black sebagai culture.
Pandangan Satjipto Rahardjo terhadap hukum dengan cara mengoreksi
kekeliruan dan kekurangan paradigm positivistik dalam ilmu hukum
mendorongnya untuk berpikir ulang terhadap cara mempelajari dan cara
berhukum yang bertujuan menghadirkan sebenar keadilan atau sering
disebut keadilan substantif. Berhukum dengan hati nurani itulah kalimat
yang sering mengalir dari Satjipto Rahardjo.
Sampai sekarang ini masih banyak ketidakadilan muncul sebagai
akibat cara kita berhukum yang masih terpenjara oleh ritual-ritual
legalitas formal yang mengunggulkan cara kerja diskriminatif, measure,
categorize yang menghasilkan gambar hukum yang berkeping-keping.
Gambar yang muncul dari metodologi seperti itu adalah kerangka, bukan
sosok hukum yang utuh.44
43
Ibid. 44
Suteki, loc.cit.
96
Fenomena peradilan terhadap wong cilik misalnya: kasus
pencemaran nama baik dokter dan RS Omni International oleh Prita
Mulyasari.45
Kemudian kasus pencurian satu buah semangka oleh Cholil
dan Basar Suyanto warga Kampung Wonosari, Kelurahan Bujel,
Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri yang dipidana selama 15 hari
percobaan 1 bulan di PN Kediri Jawa Timur. Selanjutnya kasus
pencurian kapuk randu seharga Rp 12.000 oleh 4 anggota keluarga yaitu
Manisih, 2 anaknya (Sri dan Juwono) dan sepupunya (Rustono) yang
akhirnya ditahan di LP Rowobelang Batang.46
Kemudian kasus Pak Klijo Sumarto warga Jering, Sidorejo
Godean, Kabupaten Sleman tersangka pencurian setandan pisang kluthuk
mentah seharga Rp 2000.47
Kasus Mbok Minah yang dituduh mencuri 3
biji kakao seharga Rp 2.100, dan pada tanggal 2 Agustus 2009 dihukum
pidana percobaan 1 bulan 15 hari di PN Purwokerto. Kemudian kasus
Lanjar yang kehilangan nyawa isterinya karena kecelakaan bersama,
namun dia didakwa menghilangkan nyawa orang lain karena
kelalaiannya dan harus mendekam dipenjara di Karanganyar, dan kasus
yang melibatkan orang besar misalnya kasus Bank Century telah
45
Prita mulyasari ditahan pada tanggal 3 Mei sampai 3 Juni 2009 di PN Tangerang.
Dalam perkembangannya, hakim memvonis bebas Prita Mulyasari walau memenuhi unsur delik
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Penulis yakin bahwa hakim-hakim tersebut dalam memutus perkara
mempertimbangkan aspek sosiologis dari hukum termasuk sosial effectnya, bahkan dalam kasus
ini masyarakat turut membelanya dengan pengumpulan koin uang recehan yang hampir mencapai
1 milyar rupiah. Ini merupakan sebuah pemberontakan rakyat terhadap peadilan yang legal
formalistik. Dan akhirnya coin for justice menjadi salah satu icon di penghujung tahun 2009 lalu. 46
Data dihimpun dari berbagai sumber al: republika.co.id, kompas.com dan
Suaramerdeka.com. 47
Akhirnya pada tanggal 7 Desember 2009 Pak Klijo mendekam di LP Cebongan
Sleman.
97
membuktikan bahwa hukum hanya dipahami sebatas skeleton legal
formalistik yang terasing (teralienasi) dengan masyarakatnya sehingga
seringkali mengalami kebuntuan legalitas formalnya.48
Hukum kita sekarang seolah seperti sebilah pisau dapur, tajam ke
bawah namun tumpul ke atas. Terhadap orang kecil hukum bersifat
represif, sedangkan terhadap orang besar hukum bersifat protektif dan
memihaknya. Fenomena peradilan terhadap orang kecil maupun orang
besar seperti disebutkan di atas seolah menunjukkan bahwa penegakan
hukum menemui kebuntuan legalitas formalnya untuk melahirkan
keadilan substantif. Hal ini disebabkan oleh karena penegak hukum
terpenjara oleh ritual penegakan hukum yang mengandalkan materi,
kelembagaan serta prosedur yang kaku dan anti dengan inisiasi rule
breaking.49
Gerakan hukum progresif memang lahir akibat kekecewaan
kepada penegak hukum yang kerap berperspektif positivis. Yakni, hanya
terpaku pada teks dalam undang-undang tanpa mau menggali lebih dalam
keadilan yang ada di masyarakat. Para penganut paham positivisme kerap
48
Suteki, op.cit. 49
Rule breaking sebagai salah satu strategi menembus kebuntuan legalitas formal
merupakan icon dalam merefleksikan gerakan hukum progresif yang digagas oleh Satjipto
Rahardjo. Cara berhukum ini sebaiknya dilihat sebagai usaha untuk mematahkan ketidakadilan,
sehingga tidak boleh dijalankan secara asal-asalan. Ia merupakan kekuatan yang disimpan untuk
menghadapi keadaan yang tidak adil. Kepedulian terhadap manusia termasuk ke dalam
mengusahakan keadilan tersebut. Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku Hidup Baik adalah
Dasar Hukum yang Baik, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009, hlm. 102.
98
berdalih paham civil law yang dianut Indonesia mengharuskan hakim
sebagai corong undang-undang.50
Sebagai seorang pendidik ilmu hukum, apa yang diperoleh setelah
mengajarkan ilmu hukum yang mengagungkan the order selama puluhan
tahun tidaklah selalu menemukan the order dalam kehidupan hukum
bahkan acapkali menemukan disorder.51
Hal ini diilustrasikan dalam
pidato Emeritus sebagai Guru Besar Fakultas Hukum UNDIP tanggal 15
Desember 2000. yang berjudul: Mengajarkan Keteraturan Menemukan
Ketidakteraturan (Teaching Order Finding Disorder); Tigapuluh Tahun
Perjalanan Intelektual dari Bojong ke Pleburan.52
2. Agenda Membebaskan Hukum
Hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya, dan hukum
itu tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas,
yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan
kemuliaan manusia. Berawal, dari pesan pendek dari Satjipto Rahardjo
yang menjelaskan bagaimana memahami hukum sebagai relasi sosial
selayaknya mewakili ekspresi kepentingan masyarakat.
Menjalankan hukum di Indonesia kini terancam kedangkalan
berpikir karena orang lebih banyak membaca huruf undang-undang
50
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik,
op.cit, hlm. 103. 51
Hal inilah yang kemudian disebut dengan hukum itu penuh dengan ketidakteraturan
yang dikatakan oleh Charles Samford. Charles Samford adalah pemikir hukum yang banyak
berpengaruh terhadap pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo tentang hukum progresifnya. 52
Suteki, op.cit.
99
daripada berusaha menjangkau makna dan nilai yang lebih dalam. Ini
adalah rumusan kualitatif dari pengalaman empirik selama ini, seperti
upaya menjalankan supremasi hukum, menangani koruptor-koruptor
kelas kakap seperti terbebas dari jangkauan hukum, belum lagi pelaku
pelanggaran berat hak asasi manusia menikmati kebebasan dari hukuman
dan pemandangan kelam parodi lainnya. Alih-alih memberi
kesejahteraan dan kebahagiaan kepada rakyat, supremasi hukum malah
kehilangan pesonanya sebagai institusi keadilan.53
Maka kesempatan untuk merenungkan apakah yang mendasari
hukum telah mengalami degradasi cita-cita sosialnya. Kita memang
seperti berkejaran dengan waktu, sehingga skeptis memikirkan soal yang
lebih mendasar itu. Masalahnya barangkali terletak di sini, yakni pada
paradigma hukum atau cara pandang yang selama ini mendasari praktik
hukum kita. Paradigma positivisme yang selama ini menjadi kaca mata
kita dalam membaca realitas hukum barangkali sudah kehilangan
relevansinya dalam menjawab problem sosial saat ini. Akibatnya kita
memberikan jawaban dan solusi yang keliru pula. Pemeriksaan kembali
secara kritis terhadap paradigma yang mendasari pandangan-pandangan
kita selama ini mau tidak mau sepertinya harus dilakukan. Sudah saatnya
masalah ini tidak membelenggu paradigma penegak hukum kita yang
cenderung postivistik dalam penerapannya.54
53
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007,
hlm. 26 54
Seperti diketahui, kajian hukum di Indonesia yang secara geneologis berasal dari tradisi
hukum Eropa Kontinental atau civil law (masuk melalui kolonial Belanda), berkembang di bawah
100
Diaplikasikan ke dalam pemikiran tentang hukum, positivisme
menghendaki dilepaskannya pemikiran metayuridis mengenai hukum,
sebagaimana dianut pemikir hukum kodrat. Karena itu setiap norma
hukum harus eksis dalam alamnya yang objektif sebagai norma-norma
yang positif, ditegaskan sebagai wujud kesepakatan kontraktual yang
konkrit antara warga masyarakat. Hukum tidak lagi dikonsepsi sebagai
asas moral meta-yuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan,
melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex.
Masuknya arus utama aliran positivisme hukum itu ke bumi
Indonesia, dalam perkembangannya menjadi saham pemikiran yang
dominan. Positivisasi hukum selalu memperoleh prioritas utama dalam
setiap upaya pembangunan hukum di negara-negara yang tengah tumbuh
modern dan menghendaki kesatuan atau penyatuan hukum. Dinyatakan
oleh Anthon F. Susanto bahwa positivisasi hukum selalu berakibat
sebagai proses nasionalisasi dan etatisasi hukum, dalam rangka
penyempurnaan kemampuan negara dan pemerintah untuk monopoli
kontrak sosial yang formal melalui pemberlakuan atau pemberdayaan
hukum positif.55
bayang-bayang paradigma positivisme. Paradigma ini sebetulnya berasal dari filsafat positivisme
August Comte pada tahun 1798-1857. Positivisme merupakan paham yang menuntut agar setiap
metedologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas
sebagai sesuatu yang eksis, sebagai sesuatu objek, yang harus dilepaskan dari sembarang macam
pra-konsepsi metafisis yang subjektif sifatnya. Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, Pembaharuan
Hukum Masyarakat Indonesia Baru, Lihat Dony Donardono, Wacana Pembaharuan Hukum di
Indonesia, Jakarta: HuMa, 2007, hlm. 27 55
H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum “Mengingat, Mengumpulkan,
dan Membuka Kembali”, Cet IV, Bandung: Refika Aditama, 2008, hlm. 80.
101
Seakan-akan paradigma positivisme hukum dalam perjalanannya
tidak pernah mengalami apa yang disebut oleh Kuhn sebagai anomaly;
menjadi heran ia terus relevan digunakan untuk memandang atau
membaca realitas hukum saat ini. Bukannya paradigma postivisme
hukum memahami realitas hanya cenderung menggunakan teks-teks
formal secara kaku.56
Dengan menekankan pada konteks tersebut, aliran hukum Critical
Legal Studies Movement (Gerakan Studi Hukum Kritis) akan
menampilkan pemikiran hukum yang menjadi oposisi dari paradigma
postivisme hukum yang sedemikian dominan.
Gerakan CLS sudah menggejala pada tahun 1970an di Amerika
Serikat, sebagai arus pemikiran hukum yang tidak puas dan menentang
paradigma hukum liberal yang sudah mapan dalam studi-studi hukum
atau jurisprudence. Dengan menengok pada perkembangan
jurisprudence di tempat lain, wacana ingin mengajak melihat secara
kritis permasalahan hukum di Indonesia, terutama dengan mengajak
membebaskan kajian-kajian pembaruan hukum dari paradigma
otorianisme kaum positivis yang sangat elitis.
Sebagai topik awal perhatian, CLS mengalihkan alur berpikir
normologik ke arah nomologik.57
Sehingga pembacaan terhadap proses
pembaruan hukum dapat dilakukan tanpa harus terjebak sebatas
merubah/membuat sejumlah pasal dan ayat dalam undang-undang, lebih
56
Ibid, hlm. 81. 57
Ifdhal Kasim, Gerakan Studi Hukum Kritis, terjemahan ELSAM, Jakarta, 1999, hlm.
27.
102
jauh gagasan pembaruan hukum juga mengena pada dasar-dasar
paradigmatiknya. Sebagaimana analisis CLS, tidak semata-mata
bertumpu pada teks, tetapi juga mengarahkan analisisnya pada konteks
dimana hukum itu eksis, dan melihat hubungan kausal antara teks
(doktrin hukum) dengan realitas.58
Adapun agenda implementasi hukum progresif adalah dengan
melalui dua hal yakni agenda akademis dan agenda aksi. Agenda
akademis berkaitan dengan hukum progresif yang menolak pengutamaan
dan pengunggulan ilmu hukum yang bekerja secara analitis (analytical
jurisprudence), yaitu yang mengedepankan peraturan dan logika atau
rule and logic. Cara kerja analitis yang berkutat dalam ranah hukum
positif tidak akan banyak menolong hukum untuk membawa Indonesia
keluar dari keterpurukan secara bermakna. Hukum progresif lebih
mengunggulkan aliran realisme hukum dan penggunaan optik sosiologis
dalam menjalankan sebuah hukum.59
Hukum progresif tidak melihat hukum sebagai suatu produk
final, melainkan yang secara terus menerus masih harus dibangun. Oleh
sebab itu hukum progresif lebih melihat hukum sebagai proses. Sesuai
dengan penggunaan optik sosiologis, maka proses dan pembangunan
tersebut tidak harus melalui hukum. Apabila harus melalui hukum, maka
tidak akan perubahan sebelum hukum dirubah. Hukum progresif lebih
58
Ibid. 59
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, op.cit, hlm. 110
103
memilih konsep perubahan dan pengubahan Karl Renner yang mengikuti
modus gradually working out dari pada changing the rule.
Sedangkan pada agenda aksi kita sudah seharusnya mengubah
siasat dengan lebih mengandalkan pada mobilisasi hukum. Mobilisasi
hukum lebih mengandalkan pada keberanian untuk melakukan
interpretasi hukum secara progresif dari pada tunduk dan membiarkan
dibelenggu oleh peraturan-peraturan hukum. Advokasi tersebut yang
pertama kali ditujukan kepada agensi sistem peradilan, seperti hakim dan
jaksa, dan juga kepada pemerintah atau birokrasi dan elite-elite politik.
Pada agenda aksi pendidikan hukum, fakultas hukum perlu segera
berbenah diri dengan menyiapkan kurikulum dan pembelajaran menuju
kepada realisasi dari hukum progresif.60
C. Upaya Mewujudkan Hukum Progresif
Setidaknya ada beberapa hal yang bisa dikatakan sebagai upaya
untuk mewujudkan gagasan hukum progresif, sejauh kesimpulan penulis,
yaitu:
1. Peranan Moral atau Etika.
Progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa
manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifat-sifat kasih sayang serta
kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting bagi membangun
kehidupan berhukum dalam masyarakat. Progresivisme mengajarkan
bahwa hukum bukan raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar
60
Ibid.
104
kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan
manusia. Progresivisme tidak ingin menjadi hukum sebagai teknologi yang
tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusiaan.61
Etika atau moral akan berbicara benar dan salah atau baik dan
buruk yang melekat langsung pada diri manusia. Jika seorang tidak
memiliki etika atau moral, maka manusia itu sama saja dengan makhluk
lain yaitu binatang yang dicipta demikian. Rasionalnya, bahwa hukum
progresif adalah institusi yang bermoral kemanusiaan, ini jelas penekanan
yang tidak dapat ditawar-tawar.
Hal ini sangat erat dengan pembangunan mental, pembangunan
fisik bagus, tetapi mental buruk, tidak ada artinya. Oleh karena hukum
progresif sasarannya adalah manusia, maka perlu pembangunan etika atau
moral manusia yang isi dan sifatnya bermacam-macam, antara lain:
a. pembaharuan, penyegaran atau perombakan cara berpikir manusia.
b. peningkatan, pembinaan ataupun pengarahan dalam cara kerja
manusia.
c. penataran, pemantapan, ataupun adanya penyajian dan penemuan
prakarsa-prakarsa baru dan sebagainya.62
Namun demikian, etika dengan sendirinya mempunyai alat
pengukur yang dapat digunakan untuk menilai, menetapkan atau
memutuskan sesuatu perbuatan/tindakan yang susila dan mana yang
61
Joni Emirzon, Urgensi Etika (Moral) dalam pembangunan Hukum Progresif di Masa
Depan, dalam Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif,Ed, I Gede A.B Wiranata, Joni
Emirzon, dan FirmanMuntaqo, (Jakarta: Penertbit Buku Kompas, cet 2; 2007), 228. 62
Ibid, hlm. 229.
105
asusila atau tidak susila. Alat penilai tersebut dalam bahasa filsafat disebut
“consciousness” yaitu kata hati atau kesadaran jiwa manusia. Isi dari
consciousness ini merupakan kesatuan dari totalitas sejumlah sikap jiwa,
yang terdiri antara lain ialah:
a. kesadaran (terhadap kesanggupan, kekurangan diri sendiri).
b. pertimbangan rasa (sebagai cerminan dari adanya rasa keadilan,
kemanusiaan dan kesehatan pikiran).
c. kedewasaan jiwa (sebagai pencerminan dari kekayaan
pengalaman,kemasakan pertimbangan dan sikap penghati-hatian).63
Kata hati atau kesadaran jiwa manusia, sesungguhnya sangat
abstrak dan sulit untuk diketahui, kecuali dari perilaku atau tindakan
(action). Hati nurani ataukesadaran jiwa manusia sangat dipengaruhi oleh
akal pikirannya, untuk itu perlu kekuatan etika yang membentenginya agar
tidak menyimpang. Dengan kata lain, etika tidak lain dari suatu norma
yang berfungsi mempertahankan dan menegakkan nilainilai moral
manusia, supaya dapat dipatuhi oleh anggota masyarakat itu sendiri dalam
kehidupan sebagai makhluk sosial.
Inilah inti hukum progresif. Di dalamnya terkandung moral
kemanusiaan yang sangat kuat. Jika etika atau moral manusia telah luntur,
maka penegakan hukum tidak akan tercapai, sehingga membangun
63
Ibid, hlm. 232.
106
masyarakat untuk sejahtera dan kebahagiaan manusia juga tidak akan
terwujud.64
2. Melakukan Penafsiran Hukum yang Progresif
Penafsiran bukan semata-mata membaca peraturan dengan
menggunakan logika peraturan, melainkan juga membaca kenyataan atau
apa yang terjadi di masyarakat. Kedua pembacaan itu disatukan dan dari
situ akan muncul kreatifitas, inovasi, dan progresivisme.65
Sejak peraturan itu keluar dari dapur yang memproduksinya maka
ia menjalani kehidupan sendiri. Ia dianggap sebagai sarana yang mampu
untuk menyelesaikan persoalanpersoalan yang dihadapkan kepadanya.
Dalam perjalanannya ia harus mampu mengatakan, bahwa listrik bisa
dicuri, bahwa kapal itu juga berarti kapal terbang, sekalipun menurut
legislatif yang bisa dicuri adalah barang dan pada waktu peraturan dibuat
belum ada kapal terbang.66
Sejak penerapan peraturan adalah timebound dan spacebound67
dan sejak peraturan dibuat itu juga terikat kepada keduanya, maka setiap
saat peraturan itu akan mengalami pendefinisian kembali agar bisa
melayani situasi “di sini dan sekarang”. Paul Scholten mengatakan sebagai
berikut, “Het recht is er, doch het moet worden gevonden” (hukum itu
ada, tetapi masih harus ditemukan). Oleh sebab itu dikatakan, bahwa
penegakan hukum itu bukan semata-mata pekerjaan masinal, otomatis dan
64
Ibid, hlm. 233. 65
Hukum dalam Jagat Ketertiban, Op. Cit,, 171. lihat pula, Hukum Progresif, Op. Cit.,
127. 66
Ibid. 67
Dibatasi ruang dan waktu
107
linier, melainkan penuh dengan kreativitas. Pekerjaan menemukan adalah
pekerjaan kreatif dan di situlah letak penafsiran.68
Penafsiran adalah pemberian makna terhadap teks peraturan dan
karena itu tidak boleh berhenti pada pembacaan harfiah saja. Dengan cara
seperti itu hukum menjadi progresif karena bisa melayani masyarakatnya.
Melayani masyarakat berarti melayani kehidupan masa kini dan oleh sebab
itu progresif. Penafsiran progresif memahami proses hukum sebagai proses
pembebasan terhadap konsep yang kuno yang tidak dapat lagi dipakai
untuk melayani kehidupan masa kini.69
3. Dimulai dari Pendidikan di Fakultas Hukum
Sudah diketahui luas, bahwa pendidikan hukum di Indonesia
lebih menekankan penguasaan terhadap perundang-undangan yang
berakibat pada terpinggirkannya manusia dan perbuatannya dalam proses
hukum. Sembilan puluh persen lebih kurikulum mengajarkan tentang
teksteks hukum formal dan bagaimana mengoperasikannya.70
Namun model pembelajaran hukum seperti itu tidak hanya
dimonopoli oleh pendidikan hukum di Indonesia. Keadaan tersebut juga
terjadi di Amerika Serikat, oleh karena menjadi sebab merosotnya
kepedulian terhadap penderitaan manusia, yang seharusnya ditolong oleh
hukum.71
68
Ibid. 69
Ibid, hlm. 172. 70
Biarkan Hukum Mengalir,Op. Cit., 145. 71
Ibid.
108
Secara agak ekstrem, Gerry Spence mengatakan, bahwa sejak
mahasiswa memasuki pintu fakultas hukum, maka rasa kemanusiaannya
dirampas dan direnggutkan. Mereka lebih disiapkan untuk menjadi
profesional, tetapi mengabaikan dimensi kemanusiaan. Spence
mengibaratkan keadaan tersebut bagaikan membeli pelana kuda berharga
ribuan dolar hanya untuk dipasang pada kuda yang harganya sepuluh
dolar.72
Ketidakmampuan sarjana hukum Amerika bukan terletak pada
profesionalitasnya, tetapi pada kemiskinannya sebagai manusia (human
being). Mereka ini telah dididik untuk melawan (againts) perasaan,
mengasihi (caring) orang lain, dan sesama manusia (being). Spence
mengatakan, bahwa untuk memperoleh bantuan hukum yang sebenarnya
orang akan lebih berhasil jika pergi ke jururawat, yang jelas akan
merawatnya sebagai manusia yang menderita, daripada pergi ke kantor
advokat. Maka itu Spence menyarankan agar sebelum menjadi seorang
profesional, para sarjana hukum itu dididik untuk menjadi manusia yang
berbudi luhur (evolved person) terlebih dahulu.73
Perubahan peranan yang diharapkan dari para sarjana hukum
sedikit banyak dengan jelas dapat dibaca pada perumusan mengenai tujuan
umum pendidikan hukum sebagaimana yang diadakan oleh Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, yaitu: “Berusaha menghasilkan
sarjanasarjana hukum yang mampu menciptakan masyarakat
72
Ibid. 73
Ibid, hlm. 146.
109
sebagaimana dikehendaki melalui saranasarana hukum, dan mampu
menyelesaikan masalahmasalah hukum di dalam konteks sosialnya”.74
Selain itu, pada tahun 1975 diadakan seminar “Sarjana Hukum
dan Pembangunan” oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Salah
satu keputusan yang menyangkut tipe sarjana hukum mengatakan, “Tipe
sarjana hukum pembaharu adalah mereka yang melihat tertib hukum yang
berlaku sebagai suatu bahan untuk diuji (to be challenged) kegunaannya di
dalam masyarakat sekarang, dan mengemukakan alternatif-alternatif
pengaturan yang lain”.75
Tampaknya sekarang yang dikehendaki adalah agar sarjana
hukum tidak hanya memikirkan bagaimana menerapkan hukum yang
sekarang berlaku, melainkan juga tentang kemungkinan-kemungkinan
untuk merombaknya sebagai bagian dari perubahan-perubahan yang
sedang berjalan dalam masyarakat. Para sarjana hukum dituntut untuk
tidak hanya mempertahankan status quo, melainkan juga sebagai seorang
yang berkeahlian untuk turut membentuk masyarakat melalui jalan hukum.
Membentuk masyarakat bukan hanya dalam artian menyusun
suatu sturktur yang statis, melainkan juga menggerakkan perubahan-
perubahan dalam perilaku anggota masyarakat. Perubahan perilaku ini
merupakan salah satu ciri dari pembinaan hukum pada negara-negara
sedang berkembang, oleh karena di sini dibangun banyak institusi sosial
74
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009,
hlm. 228. 75
Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009, hlm. 141.
110
dan kenegaraan yang baru dan dengan sendirinya memerlukan perilaku
yang sesuai. Sangat jelas sekali peraturan perundang-undangan sekarang
digunakan untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik yang
mendatangkan perubahan-perubahan, suatu karakteristik dalam peraturan
perundang-undangan yang kiranya bisa disebut sebagai “legislative
forward planning” atau “developmental legislation”.76
4. Mengangkat Orang-orang Baik
Meski mungkin jumlah Orang-orang baik di negeri ini tidak
sedikit, namun umumnya mereka tidak muncul atau tidak bisa muncul.
Mereka tidak bisa bermain menurut “kultur preman” sehingga tersisihkan
menjadi kelompok pinggiran.77
Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto telah
merasakan pahitnya akibat yang menimpa seorang hakim progresif anti
status quo. Hanya karena ingin mengangkat kualitas Mahkamah Agung,
dengan membongkar kolusi di kalangan korps sendiri, Adi Andojo harus
terdepak. Ironisnya, bukan kekuatan progresif yang menang, justru
sebaliknya, mereka yang pro status quo yang menang. Begitulah Adi
Andojo, begitu pula nasib kekuatan progresif lain, Baharuddin Lopa dan
Hoegeng.78
Begitu pula nasib Bismar Siregar, seorang hakim yang memiliki
semangat progresif, justru dicap sebagai hakim yang kontroversial oleh
komunitas hukum yang didominasi oleh pikiran yang positivistik.
76
Ibid, hlm. 142. 77
Membedah Hukum Progresif, op. cit., hlm. 26. 78
Ibid, hlm. 115.
111
Menurut Satjipto Rahardjo, hal yang amat menarik adalah
pelakupelaku hukum progresif, sedikit ditemukan di tingkat nasional,
tetapi lebih banyak di tingkat lokal, di kalangan manusia dan pelaku kecil.
Hakim-hakim progresif, seperti Amiruddin Zakaria, Teguh Prasetyo, dan
Benyamin Mangkudilaga (saat ikut membatalkan pencabutan SIUPP
Tempo), bukanlah “hakim-hakim besar”. Sayang mereka Orang-orang
marjinal dan kian dipinggirkan bila tidak bersatu dan dipersatukan.79
Maka jika Orang-orang seperti ini diangkat dan tidak
dimarjinalkan, maka gagasan hukum progresif yang membebaskan dan
membuat manusia bahagia akan dapat terwujud.
79
Ibid, hlm. 118.
112
BAB IV
ANALISIS RELEVANSI HUKUM PROGRESIF TERHADAP HUKUM
ISLAM
A. Analisis Pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo tentang Hukum Progresif di
Indonesia
Gagasan hukum progresif lahir di tengah-tengah kegalauan dan
karena itu lebih sarat dengan keinginan untuk bertindak daripada suatu
kontemplasi abstrak. Namun demikian, karena ia dilontarkan dan berasal
dari komunitas akademik, maka pemikirannyapun perlu bersifat komprehensif
dan di sini pemikiran teoritispun tak dapat ditinggalkan.
Hukum progresif mengajak bangsa ini untuk meninjau kembali cara-
cara berhukum di masa lalu. Cara berhukum merupakan perpaduan dari
berbagai faktor sebagai unsur, antara lain, misi hukum, paradigma yang
digunakan, pengetahuan hukum, perundang-undangan, penggunaan teori-teori
tertentu, sampai kepada hal-hal yang bersifat keperilakuan dan psikologis,
seperti tekad dan kepedulian, keberanian, determinasi, empati serta rasa-
perasaan.
Pemikiran Satjipto Rahardjo tentang hukum memang sedikit berbeda
dengan tokoh dan praktisi hukum lain yang sebagian besar menganut aliran
positivistik dan legalistik. Namun pemikiran hukum progresif yang dianut
Prof Tjip itu sebenarnya tidak bertentangan dengan aliran positivistik,
melainkan bersifat komplementer atau melengkapi. Hukum progresif
113
memandang hukum bukan hanya dari aspek prosedur, formalitas, dan
kepastian hukum secara formal, namun bagaimana hukum dapat menyentuh
rasa keadilan masyarakat.
Penegakan hukum di Indonesia merupakan entitas yang tidak
terpisahkan dalam perkembangan tata dan sistem hukum di Indonesia.
Penegakan hukum di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari riak sejarah
bangsa, mulai dari masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan pasca
kemerdekaan. Harus diakui bahwa mekanisme dan implementasi penegakan
hukum kita masih banyak celah dan kekurangan. Sebagai contoh, dalam kasus
pelanggaran lalu lintas, penegakan hukum cenderung masih sangat lemah.
Hal ini dapat ditunjukkan dengan beberapa fakta bahwa ada sebagian
oknum aparat (polisi) yang belum kebal dengan suap, aparat yang tidak
bijaksana dalam melakukan tindakan, serta hubungan antara aparat kepolisian
dengan pengendara yang cenderung resisten. Contoh lain dapat ditunjukkan
dari beberapa kasus yang melibatkan oknum jaksa nakal, yang paling
mendapat sorotan adalah Jaksa Urip Tri Gunawan yang divonis bersalah oleh
Pengadilan Tipikor dengan pidana penjara 20 tahun.1
Dari kasus Jaksa Urip, kita memperoleh gambaran -tanpa
menggeneralisasi- bahwa masih ada oknum jaksa yang memanfaatkan
kewenangan yang dimilikinya untuk memanipulasi hukum sehingga pihak-
pihak yang berpotensi dijerat hukum karena pelanggaran pidana dapat dengan
mudah lepas dan menghirup udara bebas tanpa ada rasa khawatir.
1 Dalam berbagai kesempatan, Jaksa Agung Hendarman Supandji menyebut peristiwa
penangkapan Urip Tri Gunawan salah satu koordinator Tim Jaksa BLBI Gedung Bundar dengan
istilah Tjunami Kejaksaan.
114
Salah satu permasalahan yang cukup riskan dalam penegakan hukum
di Indonesia adalah banyaknya aturan dalam hukum formil (hukum acara)
yang menimbulkan banyak penafsiran, sehingga berdampak pada kekaburan
peraturan dan ketidakpastian dalam pelaksanaan aturan tersebut. Sebagai
contoh, kasus PK oleh Jaksa dalam kasus Mukhtar Pakpahan pada tahun 1996
merupakan PK pertama yang diajukan oleh jaksa dalam sejarah penegakan
hukum di Indonesia,2 kemudian PK jaksa terhadap vonis bebas Djoko Tjandra
dan Sjahril Sabirin yang akhirnya dikabulkan Mahkamah Agung.
Banyak pihak yang mempertanyakan bahkan mengkritik keras
tindakan jaksa tersebut, karena menurut mereka Pasal 263 ayat (1) KUHAP
secara tegas menyebutkan bahwa pihak yang berhak mengajukan PK adalah
terpidana atau ahli warisnya. Akan tetapi, pendapat ini mendapat perlawanan
dari beberapa pakar hukum. Paustinus Siburian (2009) misalnya
mengemukakan bahwa jika dibaca dengan seksama ketentuan pasal 263
KUHAP, maka Jaksa dapat mengajukan PK dengan ketentuan bahwa
terdakwa divonis bersalah oleh hakim, akan tetapi tidak diikuti dengan
pemidanaan. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 263 ayat (3) KUHAP.
Sementara itu, Wisnubroto (2009) mengemukakan bahwa PK dapat
diajukan oleh jaksa jika situasi perkara adalah anomali atau tidak biasa
2 Oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Jakarta, Mukhtar Pakpahan dijatuhi
sanksi pidana atas tuduhan berbuat makar pada masa Soeharto. Dalam tingkat kasasi di Mahkamah
Agung, Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar. Menurut MA, para hakim di bawah telah
melakukan penerapan hukum yang salah dengan menggunakan yurisprudensi yang sudah ada sejak
zaman kolonial Belanda. Dan secara sosiologis, hal itu keliru jika diterapkan pada penduduk suatu
bangsa yang sudah merdeka dan sudah mulai menjalankan demokrasi dan memperhatikan hak
asasi manusia. Lihat juga penjelasan Suteki, Rekam Jejak Pemikiran Hukum Prof. Satjipto
Rahardjo. Makalah diunduh pada tanggal 15 Februari 2011.
115
(extraordinary crime), misalnya pelanggaran HAM berat, kejahatan
lingkungan, dan korupsi. Kontroversi apakah jaksa berhak mengajukan PK
atau tidak sudah cukup menggambarkan kepada kita bahwa betapa masih
banyak aturan atau ketentuan dalam hukum acara yang multi tafsir dan
menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian pelaksanaannya.
Satjipto Rahardjo sebagai tokoh yang mencetuskan ide hukum
progresif telah menanamkan dasar-dasar sistem hukum modern yang holistik
dan berorientasi pada pencapaian tujuan substantif hukum, yaitu keadilan.
Kritik atas model penegakan hukum yang hanya “mengeja undang-undang”
oleh Satjipto Rahardjo dijabarkan dengan proposisi filsafati, yaitu penegakan
hukum harus dilakukan sebagai kegiatan penemuan hukum; suatu proses
untuk menggali dan menemukan jiwa hukum itu sendiri, sehingga hukum
tidak dijalankan secara pasif.
Lebih lanjut, hukum dalam perspektif hukum progresif merupakan
upaya berkesinambungan, kreatif, inovatif, dan berkeadilan. Ufran
mengemukakan bahwa penegakan hukum progresif tidak hanya melibatkan
kecerdasan intelektual belaka, melainkan juga melibatkan kecerdasan
emosional dan spiritual. Dengan kata lain penegakan hukum merupakan upaya
yang dilandasi determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan
bangsa dan disertai dengan keberanian untuk mencari jalan lain yang berbeda
dengan jalan atau cara konvensional.
Kedua, secara faktual riak penegakan hukum progresif telah ada dan
mulai dikampanyekan oleh sebagian penegak hukum. Kepolisian misalnya
116
secara massif mengkampanyekan iklan maupun slogan yang esensinya
membuat pencitraan positif kepolisian di masyarakat. Kampanye institusi
polisi sebagaimitra dan pelayan masyarakat merupakan upaya sistemik yang
bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan pelayanan kepolisian sekaligus
mengembangkan kerja sama yang padu dengan masyarakat dalam
menegakkan hukum.
Ketiga, masyarakat, dalam hal ini direpresentasikan oleh LSM-LSM
semakin menunjukkan kepekaannya terhadap upaya penegakan supremasi
hukum. Lembaga-lembaga independen seperti ICW, MTI, dan LBH semakin
menunjukkan kontribusinya dalam mengawal penegakan hukum di Indonesia.
Tidak jarang kritik tajam ditujukan kepada penegak hukum yang dianggap
lamban dan tidak serius dalam menangani perkara. Bila fungsi ini dapat
dijalankan dengan lebih baik lagi, konstruksi kultur hukum di masyarakat
melalui pendidikan dan penyadaran (kontemplasi) hukum masyarakat.
Kondisi-kondisi faktual demikian sesungguhnya merupakan aset
dalam menghidupkan penegakan hukum yang progresif. Sejatinya, untuk
membangun suatu sistem penegakan hukum yang baik diperlukan kerja sama
dari semua unsur dalam sistem. Bekerjanya setiap unsur akan menggerakkan
roda penegakan hukum secara berkelanjutan.
Dalam konteks ini pula, penegakan hukum progresif harus dilihat
sebagai upaya menyeluruh. Upaya tersebut tidak hanya pada unsur struktur
dan kultur hukum, melainkan merangsek ke unsur substansi hukum, terutama
hukum formil. Pembaruan aturan-aturan dalam perundang-undangan yang
117
sudah tidak sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakat merupakan
keniscayaan, sehingga esensi penegakan hukum progresif benar-benar dapat
dilaksanakan.
B. Analisis Relevansi Hukum Progresif Terhadap Hukum Islam
Sebagaimana dijelaskan pada bab terdahulu bahwa Hukum progresif
mempunyai empat karakteristik yaitu:
1. Hukum progresif berpendirian hukum adalah untuk manusia
2. Hukum progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam
berhukum
3. Peradaban hukum tertulis akan melahirkan akibat penerapan hukum
bekerja seperti mesin. Harus ada cara untuk melakukan pembebasan dari
hukum formal.
4. Hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku
manusia dalam berhukum. Karena peranan perilaku menentukan teks
formal suatu peraturan tidak dipegang secara mutlak.3
Menurut penulis, karakteristik utama dari hukum progresif terdapat
pada dua nomor pertama (1 dan 2). Sedangkan karakteristik nomor 3 adalah
karakteristik turunan dari karakteristik nomor 2. Adapan karakteristik nomor 4
tidak lain adalah turunan dari karakteristik pertama. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa karakteristik inti dari hukum progresif adalah hukum
3 Rangkuman karakteristik ini juga terdapat pada artikel Mukhtar Zamzami, Mencari
Jejak Hukum Progresif dalam sistem Khadi Justice, Varia Peradilan, tahun XXIV No. 286
(September 2009), hlm. 23.
118
untuk kepentingan manusia dan menolak mempertahankan status quo dalam
berhukum.
Jika melihat kepada asas hukum Islam secara umum sebagaimana
pendapat dari Hudari Bik, yaitu ‘adamul harj (meniadakan kesempitan), taqlil
al-taklif (menyedikitkan beban), dan tadarruj fi al-tasyri’ (berangsur-angsur
dalam menetapkan hukum), maka ketiga asas pembangunan hukum Islam itu
dekat sekali memiliki kesesuaian dengan karakteristik pertama dari hukum
progresif, yaitu hukum untuk manusia.
Asas meniadakan kesempitan dan menyedikitkan beban yang juga
didukung oleh kaidah fikih yang berbunyi al-masyaqqah tajlib al-taysir
(kesulitan mendorong kemudahan) dan al-dlarar yuzalu (kerusakan harus
dihilangkan) menunjukan bahwa syariat Islam memiliki perhatian yang sangat
besar terhadap kemudahan dan keringanan hukum bagi manusia. Hal ini
berarti, hukum Islam memposisikan hukum bagi kemaslahatan manusia, hal
ini sesuai dengan semangat dari hukum progresif, yaitu hukum untuk manusia.
Pembangunan hukum Islam juga sangat memperhatikan perilaku
manusia dalam berhukum sebagaimana salah satu karakteristik dari hukum
progresif (karakteristik ke empat). Hal ini dibuktikan dengan adanya asas
berangsur-angsur dalam mendatangkan hukum. Contoh dari penerapan asas ini
adalah mengenai pengharaman khamar yang tidak sekaligus turun dalam satu
kali perintah, melainkan beberapa kali. Hal ini dikarenakan untuk menghindari
penolakan secara radikal dari masyarakat yang menjadi objek perintah ini.
Karena masyarakat ketika itu sudah terbiasa meminum khamar sehingga sulit
119
untuk merubahnya sekaligus. Maka mengingat perilaku masyarakat yang
demikian, maka hukum keharaman khamar tidak turun dalam sekali waktu
saja.
Selanjutnya, terkait dengan karakteristik kedua dari hukum progresif
yang menolak adanya status quo dalam berhukum, maka menurut penulis,
karakteristik ini sesuai dengan adanya ijtihad di dalam fikih. Alasan logis dari
adanya ijtihad adalah dikarenakan setiap masalah berbeda-beda tergantung
tempat, waktu maupun kondisi yang melingkupinya dan selalu muncul
masalah-masalah baru yang membutuhkan jawaban segera. Menganggap
bahwa semua permasalahan telah dijawab oleh kitab-kitab fikih menurut
penulis adalah sama dengan memposisikan kitab-kitab fikih dalam status quo.
Dalam konteks Indonesia, maka gagasan para tokoh di Indonesia
yang berusaha menyingkirkan anggapan bahwa ijtihad telah tertutup dan
menggagas fikih yang berkepribadian Indonesia bisa digolongkan kepada
penerapan asas menolak status quo dalam berhukum.
Peranan ijtihad sangat besar dalam perkembangan dan pembaruan
hukum Islam di Indonesia. Langkah awal yang dilaksanakan oleh para
pembaru hukum Islam di Indonesia adalah mendobrak paham ijtihad telah
tertutup, dan membuka kembali kajian-kajian tentang hukum Islam dengan
metode komprehensif yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Fikih yang dihasilkan oleh mujtahid pada masa lalu adalah suatu
karya agung yang dapat memandu kehidupan umat dalam segala bidangnya,
karena ia dipahami dan dirumuskan sesuai dengan keadaan dan kondisi pada
120
masa itu. Namun waktu, kondisi dan tempat yang dihadapi umat sekarang
sudah berbeda dengan waktu, kondisi dan tempat dirumuskannya fikih
tersebut. Oleh karena itu, fikih lama itu secara tekstual sulit dijadikan panduan
kehidupan beragama secara utuh pada saat ini. Karenanya fikih lama sulit
diterapkan pada saat ini, sedangkan umat sangat membutuhkannya.4
Hampir di seluruh umat Islam sudah berpikir untuk mengaktualkan
hukum Islam dengan cara memahami semua hukum Islam untuk
menghasilkan rumusan baru sehingga dapat menjadi panduan dalam
kehidupan nyata.
Gagasan agar fikih yang diterapkan di Indonesia harus
berkepribadian Indonesia dicetuskan oleh Hasbi ash-Shiddieqy. Menurut
Hasbi ash-Shiddiqy, dalam rangka pembaruan hukum Islam di Indonesia perlu
dilaksanakan metode talfiq5 dan secara selektif memilih pendapat mana yang
cocok dengan kondisi negara Indonesia. Di samping itu perlu digalakkan
metode komparasi.6 Kajian komparasi ini hendaknya dilakukan juga dengan
hukum adat dan hukum positif Indonesia, juga dengan syari’at agama lain.
Sehubungan dengan hal ini, seorang yang ingin melakukan kajian
komparasi hendaknya mempunyai pengetahuan yang luas dalam berbagai ilmu
4 Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, (Ed) Abdul Halin, Jakarta: Ciputat Press,
2002, hlm. 76. 5 Yang dimaksud dengan talfiq adalah meramu beberapa pemikiran atau ijtihad ulama
terdahulu, sehingga dengan ramuan ini muncul satu bentuk lain yang kelihatannya baru. Hal ini
ditempuh karena bila diambil dari satu mazhab tertentu dalam menghadapi suatu masalah terlihat
ada hal-hal yang tidak aktual. Fikih-fikih yang ada ini di samping mengandung hal-hal yang sudah
tidak aktual masih banyak pula mengandung bagian-bagian yang bersifat aktual. Bagian-bagian
yang mengandung daya aktual dari beberapa aliran fikih itu digabung menjadi satu hingga
masalahnya dalam bentuk keseluruhan menjadi aktual dalam arti mengandung nilai-nilai maslahat. 6 Yaitu metode memperbandingkan satu pendapat dengan pendapat lain dari seluruh
aliran hukum yang ada atau yang pernah ada, dan memilih yang lebih baik dan lebih dekat kepada
kebenaran serta didukung oleh dalil yang kuat.
121
pengetahuan dan juga mengetahui secara lengkap tentang berbagai masalah
fikih.
Gagasan ini mendapat sambutan positif dari berbagai pihak para
pembaru hukum Islam di Indonesia, baik secara perorangan maupun secara
organisasi. Di Indonesia dikenal beberapa orang pembaru hukum Islam yang
banyak memberikan kontribusi dalam perkembangan hukum Islam,
diantaranya Hasan Bangil, Harun Nasution, Hazairin, Ibrahim Husen,
Munawir Syadzali, Busthanul Arifin dan lain-lain. Para tokoh ini berjasa
begitu besar dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia terutama dalam
hal memasukkan nilai-nilai hukum Islam ke dalam legalisasi nasional dan juga
ide lahirnya beberapa peraturan perundang-undangan untuk dipergunakan oleh
umat Islam pada khususnya dan warga negara Indonesia pada umumnya.
Di samping itu, organisasi Islam seperti Nahdhatul Ulama,
Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Jamiatul Wasliyah, al-Irsyad,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia
(ICMI) telah banyak memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap
pembaruan hukum Islam di Indonesia dan telah berusaha semaksimal mungkin
agar hukum Islam dapat masuk ke dalam legalisasi hukum nasional.
Fleksibelitas perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia
sangat relevan dengan memperkenalkan etos progresivisme dalam dinamika
dan kristalisasi hukum Islam. Implikasi dari corak pemikiran progresif ini
adalah pembebasan manusia dari hal-hal yang bersifat mitologis, pasif
122
maupun agresif-konservatif. Atas dasar etos progresif ini, diakui kapasitas
manusia yang memiliki segenap kebebasan (free will, free act).
123
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan data yang diperoleh dan hasil analisis penulisan,
kiranya dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1. Hukum progresif yang bertolak pada pengertian bahwa hukum untuk
manusia menjadikan manusia sebagai tujuan penegakan hukum yang
utama. Kepastian hukum yang dianggap tidak adil, pada konteks tertentu,
dapat diabaikan asalkan bisa menemukan keadilan dengan metode yang
lain. Intinya keadilan tidak hanya berada di pengadilan dan yang tertulis
dalam Undang-undang, tapi keadilan berada di mana-mana. Hukum
progresif memandang hukum bukan hanya dari aspek prosedural,
formalitas, dan kepastian hukum secara formal, namun bagaimana
hukum dapat menyentuh rasa keadilan bagi masyarakat. Hukum progresif
memiliki dua karakteristik inti yaitu hukum untuk manusia dan menolak
mempertahankan status quo dalam berhukum.
2. Kemudian bahwa antara gagasan hukum progresif dan hukum Islam
memiliki kesesuaian yang dapat diuraikan dengan dua poin penting. Jika
dilihat dari asas-asas hukum Islam secara umum, maka asas-asas hukum
Islam tersebut memiliki kesesuaian dengan karakteristik hukum
progresif, yaitu hukum untuk (kepentingan) manusia. Sedangkan ijtihad
sebagai cara untuk menjadikan hukum Islam sesuai dengan setiap zaman
124
adalah sesuai dengan karakteristik menolak mempertahankan status quo
dalam berhukum.
B. Saran
Sesuai dengan harapan penulis agar pikiran-pikiran dalam skripsi ini
dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, kiranya penulis menyampaikan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Untuk membangun hukum nasional yang ideal serta sesusai dengan jiwa
masyarakat Indonesia maka perlu juga merujuk pada asas-asas hukum
Islam maupun hukum progresif karena keduanya memiliki kesesuaian.
2. Karena hukum progresif adalah diperuntukkan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat Indonesia dan memuat pemahaman baru yang menggeser
pemahaman lama, maka perlu sosialisasi lebih lanjut kepada masyarakat
luas agar apa yang menjadi tujuan hukum dapat tercapai. Perlu juga
dilakukan penelitian mengenai progresifitas pada aparat penegak hukum
dalam menerapkan hukum materil.
3. Dalam tataran praktis hendaknya semangat hukum progresif di Indonesia
tidak hanya berhenti pada tataran diskursus saja melainkan juga harus
dijiwai oleh para aparat penegak hukum itu sendiri, sehingga apa yang
menjadi tujuan dari hukum itu bisa terwujud dengan baik.
4. Untuk dapat menghadirkan gambar hukum yang utuh di tengah
masyarakat maka kita harus mempelajari hukum dan cara berhukum kita
harus dengan berani keluar dari alur tradisi penegakan hukum yang
hanya bersandarkan pada peraturan perundang-undangan saja. Hukum
125
harus dilihat dalam perspektif sosial karena hukum bukan hanya rule
melainkan juga behavior.
5. Penegakan hukum di Indonesia harus diarahkan untuk menegakkan
keadilan dengan cara menjalankan kepastian hukum yang bermanfaat
untuk masyarakat demi tercapainya kesejahteraan sosial bagi seluruh
masyarakat Indonesia. Apapun model penegakan hukum, harus
berorientasi pada nilai-nilai keadilan dan bertujuan demi kesejahteraan
rakyat, karena hukum bukan hanya untuk ketertiban maupun kedamaian,
tapi semuanya akan bermuara pada kesejahteraan yang hakiki dan
kesejahteraan secara umum.
C. Penutup
Alhamdulillah berkat rahmat, taufiq dan hidayah-Nya akhirnya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis sadar sepenuhnya bahwa
dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan juga masih banyak
kekurangan. Namun kekurangan tersebut bukan berarti penulis lepas
tanggung jawab secara ilmiah. Oleh karena itu saran dan kritik yang
konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan dan semoga semua itu
dapat terealisasikan demi kesempurnaan skripsi ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat baik bagi diri penulis
sendiri maupun bagi para pembaca pada umumnya. Akhirnya penulis banyak
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
terselesaikannya skripsi ini. Dan semoga Allah SWT senantiasa memberikan
jalan yang lurus sebagai petunjuk agar kita selalu dalam ridha-Nya. Amiin.
126
DAFTAR PUSTAKA
A’la, Miftahul, Prof. Tjip dan Mazhab Hukum Progresif, Makalah diunduh
pada tanggal 23 Pebruari 2011 di miftah.blogspot.com.
Ali, Achmad, Keterpurukan Hukum di Indonesia: Penyebab dan Solusinya,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.
Al-Ghazali, Abu Hamid, al-Mustashfa min „Ilmi al-Ushul, Beirut: Dar al Kutub
al-”Ilmiyah’, 1980.
Al-Qaradhawi, Yusuf, Taisir al-Fiqh li al-Muslim al-Mua‟shir fi Dahu al-
Qur‟an wa as-Sunnah, diterjemahkan Abdul Hayyie al-Kattani, M.
Yusuf Wijaya, dan Noor Cholis Hamzain, Fiqih Praktis bagi
Kehidupan Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
--------------, Dirasah fi Fiqh Maqashid Syari‟ah, diterjemahkan H. Arif
Munandar Riswantom Fiqih Maqashid Syariah, Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2007.
Al-Syathibi, Abu Ishak, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, Beirut: Dar al-
Ma’rifah. 1973.
Amsari, Feri, Satjipto Rahardjo dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif,
dalam Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi RI edisi September
2009. Diunduh di http://www.feriamsari.wordpress.com.
Al-Naysabury, Muslim Ibnu Hajjaj al-Qusyairy, Shohih Muslim, Jilid II,
Libanon: Dar al Kutub al-Ilmiyah, t.th.
Ash-Shiddieqy, T.M Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 2001.
--------------, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
--------------, Pengantar Ilmu Perbandingan Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang,
1975.
Asshiddiqie, Jimly, Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Rajawali Press,
2009.
Austin, John dalam Mark R. Mac Guigan, Jurisprudence: Readings and Cases
Toronto: University of Toronto Press, 1966.
127
Baltaji, Muhammad, Manhaj Umar Ibn al-Khathab fi al-Tasyri‟ diterjemahkan
H. Masturi Irham, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab. Jakarta:
Khalifa, 2005.
Bik, Hudari, Tarikh al-Tasyri‟ al-Islami, diterjemahkan Mohammad Zuhri,
Sejarah Pembinaan Hukum Islam, Darul Ihya, 1980.
Chalmers, A.F, Apa itu Yang Dinamakan Ilmu?, Terjemahan: Redaksi Hasta
Mitra, What is this thing called Science?, Jakarta: Penerbit Hasta
Mitra, 1983.
Dewi Masyitoh, Novita, Mengkritisi Analytical Jurisprudence Versus
Sosiological Jurisprudence Dalam Perkembangan Hukum Indonesia,
dalam Al-Ahkam, XX, Edisi II Oktober 2009, Semarang: FS IAIN
Walisongo, 2009.
Dimyati, Khudzaifah, Teorisasi Hukum, Studi tentang Perkembangan
Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2005.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997.
Donardono, Dony, Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia, Jakarta:
HuMa, 2007.
Fuad, Ahsun, Hukum Islam Indonesia, Yogyakarta: PT LKIS, 2005.
Gurvitch, Georges, Sosiologi Hukum, Jakarta: Penerbit Bharatara, 1996.
Habermas, Jurgen, Knowledge and Human Interest, Translated by: Jeremy J.
Shapiro, Boston:.Beacon Press, 1971.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Ofset, 1997.
Hidayati Setyani, Nur, Paradigma Positivisme dan Implikasinya Terhadap
Perkembangan Hukum, dalam Al-Ahkam, XIX, Edisi I April 2008,
Semarang: FS IAIN Walisongo, 2008.
Hobbes, Thomas, Mengenai Manusia dan Negara, Leviathan, dalam Shadia B.
Drury, Hukum dan Politik, Bacaan Mengenai Pemikiran Hukum dan
Politik, Bandung: Penerbit Tarsito, 1986.
Kasim, Ifdhal, Gerakan Studi Hukum Kritis, terjemahan ELSAM, Jakarta,
1999.
128
Keer, Malcom H, Moral and Legal Judgment Indevendent of Relevation,
Philosophy: East and West 18, 1968.
Khun, Thomas, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains The Structure of
Scientific Revolutions, (diterjemahkan oleh: Tjun Surjaman),
Bandung: Remadja Karya CV, 1989.
Kranenburg, Ilmu Negara Umum, diterjemahkan Tk. B. Sabaroedin, Jakarta:
J.B. Wolters, 1959.
Kusuma, Mahmud, Menyelami Semangat Hukum Progresif (Terapi
Paradigmatik bagi Lemahnya Hukum Indonesia), Yogyakarta:
antonyLib, 2009
Lawang, Robert M.Z, Teori Sosiologi Klasik dan Modern jilid I, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1994.
Mahfud, Moh. M.D., Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Mannan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2007.
Mas’ud, Muhammad Khalid, Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al-
Shatibi‟s Life and Thought, terj. Yudian W Asmin, Filsafat Hukum
Islam dan Perubahan Sosial, Surabaya: al-Ikhlas, 1995.
Moenawar, Chalil, Kembali Kepada Al-Qur‟an dan As-Sunnah, Jakarta: PT
Midas Surya, 1993.
Mustansyir, Rizal, Hukum Progresif Tinjauan Filsafat Ilmu. Makalah diunduh
pada tanggal 12 Februari 2011 di progresiflshp.com.
Mustofa dan H. Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Sinar
Grafika, 2009.
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Hukum, Yogyakarta: Gajah Mada
Universitas Press, 1998.
Nonet, Philippe and Philippe Selznick, Law and Society in Transition, Towars
Responsive Law, diterjemahkan Raisul Muttaqien, Hukum Responsif,
Bandung: Nusamedia, 2008.
Oxford Learner's Pocket Dictionary (New Edition), Edisi ketiga; Oxford:
Oxford University Press.
129
Partanto, Pius A dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:
Arkola, 2001.
Rahardjo, Satjipto, Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Kompas, 2008.
--------------, "Hukum Progresif: Aksi, Bukan Teks," dalam Satya Arinanto &
Ninuk Triyanto, ed., Memahami Hukum: dari Konstruksi sampai
Implementasi, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
--------------, Hukum dalam Jagat Ketertiban, Jakarta: UKI Press, 2006.
--------------, Hukum dan Perilaku Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik,
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009.
--------------, Hukum dan Perilaku, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009.
--------------, Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri, artikel pada Harian Kompas, 23
September 2002.
--------------, Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum,
dalam buku Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Semarang:
Kerjasama Pustaka Pelajar, IAIN Walisongo dan Program Doktor
Ilmu Hukum UNDIP, 2006.
--------------, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta:
Genta Publishing, 2009.
--------------, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2006.
--------------, Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan,
Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004.
--------------, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Kompas, 2006.
--------------, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006.
--------------, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta:
Genta Publishing, 2009.
--------------, Penafsiran Hukum Yang Progresif, Semarang: t.p, 2005.
--------------, Pendekatan Holistik Terhadap Hukum, Bacaan untuk Mahasiswa
Program doktor Ilmu Hukum Undip Oktober 2005.
130
--------------, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta
Pubishing, 2009.
--------------, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Kompas, 2003.
--------------, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah,
Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002.
Raharjo, Agus, Membaca Keteraturan Dalam Ketakteraturan (Telaah Tentang
Fenomena Chaos Dalam Kehidupan Hukum Indonesia), Dimuat
dalam Jurnal Ilmu Hukum Syiar Madani, Vol. IX No. 2 Juli 2007 FH
Unisba Bandung, 2007.
Roestandi, Achmad, Responsi Filsafat Hukum, Bandung: Armico, 1992.
Saifullah, Konsep Dasar Proposal Penelitian, Fakultas Syari’ah UIN Malang,
TK, 2006.
Salman, H.R. Otje dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum “Mengingat,
Mengumpulkan, dan Membuka Kembali”, Cet IV, Bandung: Refika
Aditama, 2008.
Sastroatmojo, Sudjiono, Konfigurasi Hukum Progresif, dalam Jurnal Ilmu
Hukum, Vol.8 No 2 September 2005.
Siregar, Ashadi, Negara, Masyarakat dan Teknologi Informasi, Makalah dalam
Seminar Teknologi Informasi, Pemberdayaan Masyarakat dan
Demokrasi Dies Natalis FISIPOL UGM ke-46, Yogyakarta 19
September 2001.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.
Sulaiman, Eman, Hukum Represif: Wajah Penegakan Hukum di Indonesia,
dalam al-Ahkam, XIII, Edisi II 2001, Semarang: FS IAIN Walisongo,
2001.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2006.
Suteki, Rekam Jejak Pemikiran Hukum Prof. Satjipto Rahardjo. Makalah
diunduh pada tanggal 15 Februari 2011.
Tabloid Tribun Timur, edisi 23 Agustus 2009.
131
Tanya, Bernard L., Yoan N. Simanjuntak, & Markus Y. Hage, Teori Hukum:
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Surabaya: Kita,
2006.
Tjahjono, Subur, Satjipto, 33 Tahun Menulis Artikel, dalam Kompas.com,
http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/27/05383141/satjipto.33.ta
hun.menulis.artikel.
Turiman, Memahami Hukum Progresif Prof. Satjipto Rahardjo Dalam
Paradigma “Thawaf” (Sebuah Komtemplasi Bagaimana Mewujudkan
Teori Hukum Yang Membumi/Grounded Theory Meng-Indonesia).
Makalah pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.
Ulfran dalam Pengantar Editor buku Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum
Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.
Unger, Roberto M, Gerakan Studi Hukum Kritis, Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, 1999.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional:
Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia,
Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1994.
--------------, Pembaharuan Hukum Masyarakat Indonesia Baru, Jakarta:
HuMa, 2007.
Wilson, Edward O., Consielence The Unity of Knowledge, Alfred A. Knof inc,
New York, USA, 1998.
Wisnubroto dalam makalah Menelusuri dan Memaknai Hukum Progresif.
Diambil pada tanggal 17 Januari 2011.
Zamzami, Mukhtar, Mencari Jejak Hukum Progresif dalam Sistem Khadi
Justice, Varia Peradilan, tahun XXIV No. 286 (September 2009).
BIODATA MAHASISWA
Yang bertanda tangan dibawah ini,
Nama : Abdul Khoiruddin
Tempat/Tanggal Lahir : Kudus, 16 Mei 1985
Alamat : Kesambi RT 01 RW 04 Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus
Kode Pos 59381
Nama orang tua
Bapak : Suwardi
Ibu : Supaah
Alamat : Kesambi RT 01 RW 04 Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus
Kode Pos 59381
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana
mestinya .
Semarang, 22 Juni 2011
Penulis,
Abdul Khoiruddin
NIM: 062211007
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Abdul Khoiruddin
Tempat/ Tgl Lahir : Kudus, 16 Mei 1985
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat Rumah : Jl. Kademangan RT 01 RW 04 Desa Kesambi Kec. Mejobo Kab.
Kudus. Kode Pos 59381
Email : arjuna_sambi@yahoo.co.id
Jenjang Pendidikan :
1. SDN Kesambi I Lulus tahun 1997
2. MI Qudsiyyah Lulus tahun 2000
3. MTs Qudsiyyah Lulus tahun 2003
4. MA Qudsiyyah Lulus tahun 2006
5. Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang Jurusan Hukum Pidana dan Politik
Islam angkatan 2006
Pendidikan Non Formal:
1. TPQ al-Qur’an Darus Salam Kesambi
2. Madrasah Diniyah Tarbiyatus Sibyan wal Banat Kesambi Mejobo
3. Ponpes Raudlatul Muta’allimin Jagalan Kudus
Pengalaman Organisasi:
1. Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) HPPI 2009
2. Koordinator Departemen Sospol PMII Rayon Syari’ah Komisariat Walisongo 2007-
2008
3. Departemen Sospol PMII Komisariat Walisongo Semarang 2008-2009
4. Ketua OPAK Mahasiswa Baru 2010
5. Bidang Pengembangan Wacana dan Penerbitan Kelompok Studi Mahasiswa
Walisongo (KSMW) IAIN Walisongo Semarang 2007-2008
6. Wakil Ketua Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) cabang
Semarang 2009-2011
7. Koordinator Menkumdang DEMA IAIN Walisongo Semarang 2010
8. Sekretaris Jurnal LPM Justisia
9. Direktur eLSa Justisia 2007-2008
10. Keluarga Mahasiswa Kudus di Semarang (KMKS)
11. Ketua III Persatuan Pelajar Qudsiyyah (PPQ) tahun 2004
12. Koordinator Desa (Kordes) Tim KKN IAIN Walisongo di Demak 2010
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Atas perhatiannya
saya ucapkan terima kasih.
Semarang, 22 Juni 2011
Hormat Saya,
Abdul Khoiruddin
NIM: 062211007