Post on 21-Jun-2019
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERIKANAN
PUSAT PERANCANGAN UNDANG-UNDANG
BADAN KEAHLIAN DPR RI
TAHUN
2017
PUSAT PUU B
K DPR
RI
i
SUSUNAN TIM KERJA PENYUSUNAN
NASKAH AKADEMIK DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG PERIKANAN
Pengarah : K. Johnson Rajagukguk, S.H., M.Hum.
Penanggung Jawab : Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.Hum.
Ketua : Laksmi Harundani S.H., M.Kn.
Wakil Ketua : Zaqiu Rahman, S.H., M.H.
Sekretaris : M. Nurfaik, S.H.I.
Anggota 1. Khopiatuziadah, S.Ag., LL. M.
2. Mohammad Teja, S.Sos., M.Si.
3. Achmad Wirabrata, S.T., M.M.
4. Febri Liany, S.H., M.H.
5. Muhammad Yusuf, S.H.M.H.
6. Meirina Fajarwati, S.H.
7. Dwi Muhammad Dewadji, SSt.Pi., M.Si.
8. Andi Rahman, S.Kel, M.Si
PUSAT PUU B
K DPR R
I
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat
karunia dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang tentang Perikanan.
Badan Keahlian DPR RI sebagai badan baru yang mempunyai
tugas dan fungsi dukungan keahlian kepada DPR RI sebagaimana
diamanatkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 42
Tahun 2014, Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2015 Tentang
Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR, Peraturan DPR RI Nomor
1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan DPR RI Nomor 3 Tahun 2015, dan Peraturan Pimpinan DPR RI
Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Tugas Dukungan Keahlian
Badan Keahlian DPR.
Dalam hal legislasi, Badan Keahlian DPR RI memberikan
dukungan keahlian kepada Alat Kelengkapan dan Anggota DPR RI di
antaranya adalah membantu penyiapan Program Legislasi Nasional
Prioritas Tahunan, penyiapan dan penyusunan Naskah Akademik dan
Draf RUU sesuai dengan standar penyusunan RUU sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang- undangan serta dukungan keahlian dalam proses
pembahasan RUU.
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang ini
merupakan usul inisiatif Komisi IV DPR RI dalam daftar Program
Legislasi Nasional 2014-2019, yang selanjutnya diamanatkan kepada
Badan Keahlian DPR RI untuk disusun naskah akademik dan draf RUU-
nya. Penyusunan Naskah Akademik ini dilakukan dalam rangka untuk
memberikan penyesuaian dan penyempurnaan atas dinamika
penyelenggaraan perikanan serta kebutuhan hukum yang berkembang
di masyarakat. Selain dari permasalahan tersebut terdapat juga
disharmonisasi antara UU tentang Perikanan dengan undang-undang
sehingga perlu dilakukan perubahan.
Dalam proses penyusunan Naskah Akademik ini, Tim Penyusun
telah mendapatkan pandangan dan masukan dari pemangku
PUSAT PUU B
K DPR R
I
iii
kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan perikanan, di
antaranya Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Kementerian
Koordinator Bidang Kemaritiman, Pengadilan Perikanan, akademisi, dan
organisasi kemasyarakatan pemerhati perikanan. Selain itu, Tim
Penyusun juga melakukan
pengumpulan data dan uji konsep ke beberapa provinsi untuk
mendapatkan masukan langsung dari pemangku kepentingan serta
masyarakat, yaitu di Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Kalimantan
Selatan, Provinsi Jawa Timur (Banyuwangi), dan Provinsi Bangka
Belitung.
Kami menyadari terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan
Naskah Akademik ini. Oleh karenanya, kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak agar pada
penyusunan Naskah Akademik berikutnya dapat lebih baik. Akhir kata,
kami harapkan isi dari Naskah Akademik dan Draf RUU tentang
Perikanan dapat menjadi dasar hukum bagi penyelenggaran perikanan di
Indonesia.
Jakarta, Mei 2017
Kepala Badan Keahlian DPR RI,
TTD.
K. JOHNSON RAJAGUKGUK, S.H., M.HUM.
NIP: 195811081983031006
PUSAT PUU B
K DPR R
I
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat
karunia dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan Naskah Akademik
dan Draf Rancangan Undang-Undang tentang Perikanan.
Naskah Akademik dan Draf Rancangan Undang-Undang ini
disusun berdasarkan standar operasional yang telah diberlakukan oleh
Badan Keahlian DPR RI, yang dilakukan oleh Tim yang terdiri dari
Perancang Undang-Undang, Peneliti, Tenaga Ahli, dan Kepala Pusat
Perancangan Undang-Undang sebagai penanggung jawab. Penyusunan
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang ini merupakan usul
inisiatif Komisi IV DPR RI dalam daftar Program Legislasi Nasional
2014-2019, yang selanjutnya diamanatkan kepada Badan Keahlian DPR
RI untuk disusun naskah akademik dan draf RUUnya.
Penyusunan Naskah Akademik dan Draf RUU ini dilakukan
dalam rangka untuk memberikan penyesuaian dan penyempurnaan atas
dinamika penyelenggaraan perikanan serta kebutuhan hukum yang
berkembang di masyarakat. Selain dari permasalahan tersebut
terdapat juga disharmonisasi antara UU tentang Perikanan dengan
undang-undang lainnya sehingga perlu dilakukan perubahan.
Dalam proses penyusunan Naskah Akademik ini, Tim Penyusun
telah mendapatkan pandangan dan masukan dari pemangku
kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan perikanan, di
antaranya Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Kementerian
Koordinator Bidang Kemaritiman, Pengadilan Perikanan, akademisi, dan
organisasi kemasyarakatan pemerhati perikanan. Selain itu, Tim
Penyusun juga melakukan pengumpulan data dan uji konsep ke
beberapa provinsi untuk mendapatkan masukan langsung dari
pemangku kepentingan serta masyarakat, yaitu di Provinsi Sulawesi
Tenggara, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Jawa Timur
(Banyuwangi), dan Provinsi Bangka Belitung.
Kami menyadari terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan
Naskah Akademik dan draf Rancangan Undang-Undang ini. Oleh
karenanya, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak agar pada penyusunan Naskah
Akademik berikutnya dapat lebih baik. Akhir kata, kami harapkan isi
PUSAT PUU B
K DPR R
I
v
dari Naskah Akademik dan Draf Rancangan Undang-Undang tentang
Perikanan dapat menjadi dasar hukum bagi penyelenggaran perikanan
di Indonesia.
Jakarta, Mei 2017
Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang
DR. INOSENTIUS SAMSUL, S.H., M.HUM. NIP 196507101990031007
PUSAT PUU B
K DPR R
I
iii
DAFTAR ISI
SUSUNAN TIM .................................................................................... i
KATA PENGANTAR …………………........……….……………………………. ii
DAFTAR ISI ……………………........…………………………………………… iii
BAB I PENDAHULUAN …………………….......……………………………… 1
A. Latar Belakang …………………………….....…………………………..... 1
B. Identifikasi Masalah ……………………………………………..………… 7
C. Tujuan dan Kegunaan …..…………………………………………………. 8
D. Metode Penyusunan ..................................….………………….……. 8
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTEK EMPIRIS …………………….. 10
A. Kajian Teoretis ………………………………...….……………………….. 10
1. Ruang Lingkup Perikanan ………………...………………………… 10
2. Wilayah Pengelolaan Perikanan …………...…………………….… 15
3. Pengakuan Pengelolaan Perikanan Masyarakat Hukum Adat dan
Nelayan Kecil Berbasis Masyarakat ............................................ 19
4. Usaha Perikanan ………………………………...………………….... 24
5. Peran Serta Masyarakat dan Masyarakat Hukum Adat/
Tradisional/Kearifan Lokal ..……………………...………………... 28
6. Penegakan Hukum …………………………………...……………….. 36
B. Kajian terhadap Asas/Prinsip dalam RUU Perikanan ……………… 38
C. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang ada, serta
Permasalahan yang dihadapi Masyarakat ……………..……………. 40
1. Ruang Lingkup ...................…………………………..…………..…. 40
2. Wilayah Pengelolaan Perikanan ……………………...……..……… 41
3. Usaha Perikanan …………………………………….……....……….... 42
a. Akses Kapal Asing ……………………………………...……..…... 42
b. Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Perikanan ……...……….. 43
4. Sistem Informasi dan Data Statistik Perikanan ........................ 44
5. Pungutan Perikanan …………………………………….....………….. 46
6. Penelitian dan Pengembangan Perikanan serta Pendidikan, ....
Pelatihan, dan Penyuluhan Perikanan …………………………..... 50
7. Penyerahan Urusan dan Tugas Pembantuan ..................…...... 51
8. Pengawasan Perikanan …………………………………………..…..... 54
9. Peran Serta Masyarakat ...............................................…......... 58
10. Pengadilan Perikanan, Penegakan Hukum, dan Sanksi ……..... 61
a. Pengadilan Perikanan ......................................................... 61
PUSAT PUU B
K DPR R
I
iv
b. Penegakan Hukum .............................................................. 65
c. Sanksi .................................................................................. 67
D. Kajian terhadap Impilkasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan Diatur
Dalam Undang-Undang Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan
Dampaknya terhadap Aspek Beban Keuangan Negara ....................... 68
1. Implikasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan Diatur Dalam
Undang-Undang Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat ........... 68
2. Kajian Ekonomi dan Dampak Pelaksanaan Perubahan Undang-
Undang tentang Jalan terhadap Aspek Beban Keuangan Negara .. 71
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT ..………………….................…………………....……………………….. 73
A. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI Tahun 1945) ................................................................ 73
B. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan (UU Perikanan) ........... 74
C. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam
(UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan) ............................. 76
D. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan
(UU Kelautan) ................................................................................. 78
E. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (UU Pemda) ....................................................................... 83
F. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU
Pelayaran) ...................................................................................... 87
G. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-pulau Kecil
(UU PWP3K) ..................................................................................... 87
H. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (UU SP3K) ............................. 88
I. UU Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 (UU
tentang Pengesahan UNCLOS 1982) ................................................. 89
J. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional
Indonesia (UU TNI) ........................................................................... 93
K. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia .......................................................................... 95
L. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
(UU Perairan) ................................................................................... 96
PUSAT PUU B
K DPR R
I
v
M. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan,
Ikan, dan Tumbuhan (UU KHIT) ....................................................... 99
N. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistem (UU KSDAHE) .............................. 100
O. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Ekslusif (UU ZEE) ............................................................................. 102
P. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan
(UU Bagi Hasil Perikanan) .................................................................. 104
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS ……………. 107
A. Landasan Filosofis …………………………………………………………… 107
B. Landasan Sosiologis …………………………………………………………. 108
C. Landasan Yuridis …………………………………………………………….. 112
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG ………………………………....…….… 113
A. Jangkauan dan Arah Pengaturan Rancangan Undang-
Undang tentang Perikanan …………………………………………………. 113
B. Ruang Lingkup Materi Muatan RUU Perikanan ………………………. 114
1. Ketentuan Umum ………………………………….....………..….…..… 114
2. Materi yang akan diatur …………………………………………......… 117
a. Perencanaan Perikanan …………………………………..…..…… 117
b. Pengelolaan Perikanan ………………………………………….... 118
c. Usaha Perikanan …………………………………………………… 122
d. Kapal dan Pelabuhan/Kesyahbandaran Perikanan ……….. 128
e. Sistem Data dan Informasi Perikanan ………………….…….. 132
f. Pungutan Perikanan ………………………………………………. 133
g. Konservasi Perikanan …………………………………………….. 134
h. Penelitian dan Pengembangan perikanan ……………………. 134
i. Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Perikanan ……..… 136
j. Kerja Sama Internasional ……………..……………………….... 136
k. Pengawasan Perikanan …………………………………..………. 137
l. Larangan ………………………………………………………....…. 139
m. Pengadilan Perikanan ……………………………….………….. 142
n. Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang
Pengadilan Perikanan ……………………………………..……… 142
PUSAT PUU B
K DPR R
I
vi
o. Sanksi Administratif …………………………………………….... 147
p. Ketentuan Pidana ……………………………………………….... 147
BAB VI PENUTUP …………………………………………………...........………… 155
A. Kesimpulan ……………………………………………………………............. 155
B. Saran ………………………………………………………...……….........…... 156
DAFTAR PUSTAKA
PUSAT PUU B
K DPR R
I
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia
dengan 17.504 pulau, luas daratan 1.922.570 km2, dan luas perairan
laut 5,8 juta km² terdiri dari luas laut teritorial 0,3 juta km2, luas
perairan kepulauan 2,95 juta km², dan luas Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) 2,55 juta km2. Secara geo politik, Indonesia memiliki
peran yang sangat strategis karena berada di antara benua Asia dan
Australia, serta diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia,
yang menempatkan Indonesia sebagai poros maritim dunia dalam
konteks perdagangan global (the global supply chain system) yang
menghubungkan kawasan Asia Pasifik dengan Australia.1 Sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia Indonesia memiliki luas wilayah
laut yang dapat dikelola sebesar 5,8 juta km2 yang memiliki
keanekaragaman sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat
besar. Potensi lestari sumber daya ikan atau perairan laut Indonesia
sebesar 7,2 juta ton per tahun, dengan jumlah tangkapan yang
diperbolehkan sebesar 7,0 juta ton/tahun.2
Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia, memiliki
kekayaan alam sangat besar dan beragam, baik berupa sumber daya
alam (SDA) terbarukan (perikanan, terumbu karang, padang lamun,
hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi), SDA
tak terbarukan3, energi kelautan (seperti pasang-surut, gelombang,
angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), maupun jasa-
jasa lingkungan kelautan dan pulau-pulau kecil untuk pariwisata
bahari, transportasi laut, dan sumber keragaman hayati serta plasma
nutfah. Kekayaan alam tersebut menjadi salah satu modal dasar yang
harus dikelola dengan optimal untuk mewujudkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat Indonesia.4
1 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 25/Permen-KP/2015 Tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan Dan Perikanan Tahun 2015-2019
2 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 47/Kepmen-KP/2016 Tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indones
3 Yang dimaksud dengan sumber daya alam tak terbarukan seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya).
4 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 25/Permen-KP/2015, Loc. Cit.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
2
Selama berabad-abad ekstraksi sumber daya ikan menjadi
sumber ketahanan pangan, penghidupan, dan budaya masyarakat
kelautan dan pesisir dan kini ikan menjadi komoditas penting dunia.5
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia dan
kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan
ikan terus menerus meningkat setiap tahunnya.6 Dengan semakin
meningkatnya kebutuhan pangan dari sektor perikanan maka dapat
dikatakan bahwa permintaan produk perikanan meningkat 20 kali
lipat selama 30 tahun terakhir dan diproyeksikan akan terus
meningkat dengan rata-rata 1.5% per tahun sampai dengan tahun
2020.7
Menurut data Food and Agriculture Organization of The United
Nations (FAO) diketahui bahwa total produksi perikanan pada tahun
2014 sebesar 93.4 juta ton, dimana 81.5 juta ton berasal dari laut
Cina dan kemudian diikuti oleh Indonesia, Amerika Serikat, dan
Rusia. Dari data FAO tahun (2016) diketahui bahwa total produksi
perikanan tangkap dunia pada tahun 2014 sebesar 93.4 juta ton,
sedangkan untuk perikanan budidaya sebesar 73.8 juta ton.8 Untuk
konsumsi perikanan tangkap dunia dari Tahun 2013 sampai dengan
tahun 2015 sebesar 50%, sedangkan untuk konsumsi perikanan
budidaya dunia sebesar 50%.9 Dari data diatas maka diketahui
bahwa perikanan tangkap menjadi sumber produksi ikan yang utama
di dunia.
Dari Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kelautan dan
Perikanan Tahun 2015-2019 diketahui bahwa Potensi lestari
sumberdaya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 7,3 juta ton per
tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan ZEEI.
Dari seluruh potensi sumberdaya ikan tersebut, jumlah tangkapan
yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5,8 juta ton per tahun atau sekitar
80 persen dari potensi lestari, dan baru dimanfaatkan sebesar 5,4
juta ton pada tahun 2013 atau baru 93% dari JTB, sementara total
5 Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indoneisia Edisi Revisi, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2013, Hal 75
6 Johanes Widodo dan Suadi, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2008, Hal 1
7 Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indoneisia Edisi Revisi, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2013, Hal 75
8 Food and Agriculture Organization of The United Nations, In Brief The State Of World Fisheries and Aquaculture, 2016, Hal 8
9 Ibid., hal.20.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
3
produksi perikanan tangkap (di laut dan danau) adalah 5,863 juta
ton.10
Dapat diketahui pula bahwa laut Indonesia memiliki sekitar
8.500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut dan 950 spesies biota
terumbu karang. Sumber daya ikan di laut meliputi 37% dari species
ikan di dunia, dimana beberapa jenis di antaranya mempunyai nilai
ekonomis tinggi, seperti tuna, udang, lobster, ikan karang, berbagai
jenis ikan hias, kekerangan, dan rumput laut.11
Selain untuk perikanan tangkap, pengelolaan perikanan
Indonesia juga dipergunakan untuk perikanan budidaya. Dari data
yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan maka
diketahui bahwa budidaya ikan di Indonesia terdiri dari beberapa
jenis yaitu budidaya air tawar, budidaya air payau, budidaya laut,
dan budidaya rumput laut. Untuk potensi luas areal budidaya air
tawar saat ini tercatat 2.830.540 Ha, termasuk potensi di perairan
umum daratan (sungai dan danau), dengan tingkat pemanfaatan
302.130 Ha (10,7%).12 Sedangkan luasan potensial budidaya air tawar
di waduk dan danau sebesar 51.824 Ha. Untuk potensi luas areal
budidaya air payau saat ini tercatat 2.964.331 Ha, dengan tingkat
pemanfaatan 650.509 Ha (21,9%).13 Disamping itu juga diketahui
bahwa potensi luas areal budidaya laut di Indonesia saat ini tercatat
12.123.383 Ha, dengan tingkat pemanfaatan 325.825 Ha (2,7%).
Sedangkan potensi luas areal budidaya rumput laut saat ini tercatat
1,1 juta Ha atau 9% dari seluruh luas kawasan potensial budidaya
laut yang sebesar 12.123.383 Ha. Adapun tingkat pemanfaatannya
diperkirakan baru mencapai 25%.14
10 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 25/Permen-KP/2015, Loc.Cit.
11 Tingkat pemanfaatan rumput laut diperkirakan baru mencapai 25%. Adapun jenis rumput laut yang dimiliki Indonesia tercatat 555 jenis rumput laut. Beberapa kendala dalam pengembangan budidaya rumput laut adalah terkait kualitas bibit rumput laut, penyakit, akses pasar serta tata niaga produk.
12 Kecilnya pemanfaatan potensi budidaya air tawar disebabkan karena belum terkelolanya secara optimal potensi tersebut akibat tumpang tindihnya pemanfaatan potensi lahan budidaya air tawar, serta belum terbukanya secara mudah akses menuju kawasan potensil budidaya air tawar tersebut.
13 Kecilnya pemanfaatan potensi budidaya air payau disebabkan karena pengelolaan kawasan potensial budidaya air payau masih berada/ bersinggungan dengan kawasan mangrove, sehingga pemanfaatan potensi lahan budidaya air tersebut harus sejalan dengan kebijakan pengelolaan hutan mangrove.
14 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 25/Permen-KP/2015, Loc Cit.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
4
Berdasarkan data yang dirilis Food and Agriculture
Organization (FAO) maka diketahui bahwa Asia merupakan produsen
ikan terbesar dunia. Produksi perikanan tangkap terbesar dunia pada
tahun 2014 yaitu Cina, Indonesia, Amerika Serikat, Russia, Jepang,
Peru, India, Vietnam, Myanmar, dan Norwegia. Sedangkan untuk 10
negara dengan produksi perikanan budidaya terbesar pada tahun
2014 yaitu Cina, Indonesia, India, Vietnam, Filipina, Bangladesh,
Korea Selatan, Norwegia, Chile, dan Mesir.15 Dari data di atas
diketahui bahwa Indonesia menempati urutan kedua setelah Cina
terkait dengan produksi perikanan tangkap terbanyak di dunia
dengan jumlah produksi sebesar 6.016.525 ton pada tahun 2014, dan
perikanan budidaya sebesar 14.330.9 ribu ton pada tahun 2014.16
Untuk produksi perikanan Indonesia pada tahun 2014
mencapai 20,72 juta ton, yang terdiri dari produksi perikanan
tangkap sebesar 6,72 juta ton dan produksi perikanan budidaya
sebesar 14,52 juta ton (termasuk rumput laut).17 Ekspor hasil
perikanan tahun 2014 mencapai USD 4,64 miliar. Capaian nilai
ekspor tersebut didominasi oleh nilai ekspor komoditas udang yang
mencapai USD 2,09 miliar dan diikuti oleh komoditas Tuna Tongkol
Cakalang (TTC) sebesar USD 0,69 miliar pada tahun 2014. Konsumsi
ikan pada tahun 2014 mencapai 37,89 kg/kapita.18 Produk Domestik
bruto (PDB) yang didapatkan dari sektor Perikanan pada tahun 2014
tumbuh sebesar 6,97%. Angka tersebut lebih tinggi dari pertumbuhan
PDB nasional yang besarnya 5,1%. Jika dilihat dari besaran nilai
ekonominya, PDB Perikanan tahun 2014 mencapai Rp. 340,3 triliun.
Angka ini belum termasuk PDB dari industri pengolahan dan
kegiatan perikanan lainnya disektor hilir.19 Sedangkan pertumbuhan
PDB sektor perikanan pada akhir tahun 2015 mengalami kenaikan
menjadi 8,9 %.20
15 Food and Agriculture Organization of The United Nations, Op. Cit., 10-11. 16 Ibid., hal.9-11. 17 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
25/Permen-KP/2015, Loc. Cit. 18 Ibid. 19 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
25/Permen-KP/2015, Loc. Cit. 20 Antara, PDB Sektor Perikanan Makin Tumbuh pada Triwulan I 2016 ,
https://m.tempo.co/read/news/2016/04/04/090759733/pdb-sektor-perikanan-makin-tumbuh-pada-triwulan-i-2016, diakses tanggal 30 September 2016.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
5
Potensi perikanan yang sangat besar di Indonesia menjadi
modal yang sangat besar untuk mencapai tujuan negara yaitu
memajukan kesejahtaraan bagi masyarakat. Saat ini regulasi yang
mengatur koridor penyelenggaraan perikanan dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009 (yang selanjutnya disebut UU Perikanan). Pada dasarnya UU
Perikanan ditujukan untuk pemanfaatan sumber daya ikan secara
lestari melalui penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengolahan
dan pemasaran hasil perikanan, dan meningkatkan ekspor, serta
meningkatkan taraf hidup nelayan.
Namun dalam praktiknya timbul permasalahan terkait dengan
keberlakuan UU Perikanan yaitu dengan banyaknya praktik-praktik
Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) fishing yang terjadi di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI),
baik yang dilakukan oleh kapal-kapal perikanan Indonesia (KII)
maupun oleh kapal-kapal perikanan asing menyebabkan kerugian
baik dari aspek sosial, ekologi/lingkungan, maupun ekonomi. Namun
saat ini UU Perikanan belum mengakomodir ketentuan mengenai IUU
Fishing sehingga banyak sekali kasus IUU Fishing yang terjadi di
Indonesia.21
Dalam penyelenggaraan perikanan masih banyak terdapat
konflik yang dialami nelayan misalnya seperti konflik yang terjadi di
wilayah perbatasan antara nelayan Indonesia dengan nelayan asing,
konflik yang disebabkan oleh pembagaian wilayah tangkapan dimana
banyak sekali kapal penangkapan ikan dari pihak asing yang
melakukan pemanfaatan perikanan di wilayah perairan Indonesia, hal
ini disebabkan karena belum optimalnya rencana tata ruang dan
rencana zonasi dalam sektor perikanan untuk perikanan tangkap.
Keterbatasan armada penangkapan ikan yang masih
didominasi oleh kapal berukuran kecil menjadi suatu permasalahan
yang dialami oleh nelayan, karena hal ini menyebabkan jangkauan
wilayah penangkapan ikan menjadi terbatas sehingga jumlah
tangkapan yang didapat menjadi sedikit. Permasalahan lain yang
21 Dalam Renstra Kerugian negara akibat dari IUU fishing di perairan Arafura diperkirakan mencapai Rp 11–17 triliun. Estimasi kerugian negara-negara di dunia akibat IUU fishing mencapai US$ 10–23,5 miliar.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
6
sering dihadapi nelayan yaitu dalam proses perizinan baik perizinan
usaha penangkapan ikan maupun perizinan kapal perikanan. Dalam
praktiknya terdapat banyak permasalahan yang dialami oleh
pembudidaya perikanan seperti tumpang tindihnya pemanfaatan
lahan; terbatasnya prasarana saluran irigasi; terbatasnya
ketersediaan serta distribusi induk dan benih unggul; tingginya harga
pakan menyebabkan hasil dari budidaya ikan masih belum
maksimal; serangan hama dan penyakit ikan/udang; adanya
pencemaran yang mempengaruhi kualitas lingkungan perikanan
budidaya.
Jika melihat lingkup pengaturan dalam UU Perikanan saat ini
lebih menitikberatkan kepada perikanan tangkap, sedangkan
pengaturan perikanan budidaya dirasa belum komprehensif.
Sehingga dalam praktiknya perikanan budidaya membutuhkan
pengaturan yang lebih komperhensif mengingat potensi dan
pengembangannya perikanan budidaya ke depan akan semakin
signifikan. Di samping itu penggunaan sumberdaya kelautan dan
perikanan yang belum memperhatikan kearifan lokal menjadi salah
satu dampak yang diakibatkan karena hal tersebut yaitu kerusakan
lingkungan laut dan pencemaran laut, pencurian ikan (illegal fishing)
dan gejala penangkapan ikan yang berlebihan. Lemahnya
kemampuan nelayan dalam melakukan pemasaran produk juga
menjadi salah satu kendala dalam pengembangan usaha nelayan
untuk menjadi usaha yang maju.
Sampai saat ini penyidikan dalam kasus perikanan sebagian
besar terfokus untuk tindak pidana di bidang penangkapan ikan
terutama di wilayah perairan ZEEI dan kurang menyentuh tindak
pidana di bidang budidaya, pengolahan serta tindak pidana yang
terjadi di perairan territorial. Penjatuhan sanksi pidana yang terdapat
dalam UU Perikanan belum memberikan efek jera terhadap tindak
pidana di bidang perikanan. Sedangkan ketentuan pengaturan
mengenai keterlibatan masyarakat dalam sektor perikanan dalam UU
Perikanan masih sangat terbatas yakni hanya pada pengawasan
perikanan.22
22 Keterlibatan masyarakat dalam Pengawasan Perikanan hanya sebatas melaporkan kepada aparat penegak hukum apabila terdapat dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perikanan.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
7
Hal lain yang menyebabkan perlunya dilakukan perubahan
terhadap UU Perikanan yaitu dengan diterbitkannya beberapa
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perikanan maka
perlu dilakukan sinkronisasi kewenangan pemerintah dan
pemerintah daerah dibidang perikanan terkait dengan keberlakuan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan
Daerah, sinkronisasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya
Ikan, dan Petambak Garam, UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan, dan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
Dengan uraian permasalahan di atas, perlu dilakukan
penyempurnaan dalam UU Perikanan. Oleh karena itu, DPR RI
bersama dengan Pemerintah Pusat telah menetapkan RUU tentang
Perubahan Kedua Atas UU Perikanan masuk dalam agenda Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2015-2019 dengan nomor urut
68.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, terdapat
permasalahan yang dapat diidentifikasi untuk kebutuhan
penyusunan Naskah Akademik ini, yaitu:
1. Bagaimana perkembangan teori tentang penyelenggaraan
perikanan Indonesia serta bagaimana praktik empiris
penyelenggaraan perikanan Indonesia?
2. Bagaimana peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
penyelenggaraan perikanan saat ini?
3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, dan yuridis dari pembentukan RUU tentang
Perikanan?
4. Apa yang menjadi sasaran, jangkauan, arah pengaturan, dan
materi muatan yang perlu diatur dalam RUU tentang Perikanan?
C. Tujuan dan Kegunaan
PUSAT PUU B
K DPR R
I
8
Sesuai dengan identifikasi masalah yang dikemukakan di atas,
tujuan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai berikut:
1. mengetahui perkembangan teori tentang penyelenggaraan
perikanan dan praktik empiris serta urgensi pembentukan
undang undang tentang perikanan dalam menjawab kebutuhan
hukum guna mewujudkan tata kelola perikanan yang lebih baik;
2. mengetahui kondisi peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan penyelenggaraan perikanan saat ini;
3. merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,
yuridis pembentukan RUU tentang Perikanan;
4. merumuskan sasaran, ruang lingkup pengaturan, jangkauan,
arah pengaturan, dan materi muatan dalam RUU tentang
Perikanan.
Naskah Akademik RUU tentang Perikanan diharapkan dapat
digunakan sebagai bahan bagi penyusunan draf RUU tentang
Perikanan yang akan menggantikan (seluruh atau sebagian materi
muatan) UU Perikanan.
D. Metode Penyusunan
Penyusunan Naskah Akademik RUU tentang Perikanan
dilakukan melalui studi kepustakaan/literatur dengan menelaah
berbagai data sekunder seperti hasil-hasil penelitian atau kajian,
literatur, serta peraturan perundang-undangan terkait baik di tingkat
undang-undang maupun peraturan pelaksanaan dan berbagai
dokumen hukum terkait.
Guna melengkapi studi kepustakaan dan literatur dilakukan
pula diskusi (focus group discussion) dan wawancara dengan
mengundang beberapa pakar serta kegiatan uji konsep dihadapan
berbagai stakeholder, pakar, akademisi, maupun LSM, serta dengan
melakukan pencarian dan pengumpulan data lapangan ke 4 (empat)
daerah yaitu Provinsi Maluku, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi
Kepulauan Riau, dan Provinsi Sulawesi Tenggara. Adapun
stakeholder yang memberikan masukan dalam penyusunan NA dan
RUU ini adalah:
a. Kementerian Kelautan dan Perikanan,
b. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi;
c. Pelabuhan Perikanan;
PUSAT PUU B
K DPR R
I
9
d. Pengadilan Perikanan;
e. Polisi Perairan;
f. Universitas (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan serta Fakultas
Hukum); dan
g. LSM (HNSI/KIARA/TELAPAK).
Data yang diperoleh dari masukan pakar, maupun data yang
berasal dari pencarian dan pengumpulan data lapangan selanjutnya
diolah dan dirumuskan dalam format Naskah Akademik dan draf
RUU sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya
Lampiran I mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik dan
Lampiran II tentang perancangan peraturan perundang-undangan.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
10
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoretis
1. Ruang Lingkup Perikanan
Ruang lingkup perikanan dapat diklasifikasikan menjadi: 1).
Produksi (perikanan tangkap dan perikanan budidaya), dan 2). Pasca
produksi (pengolahan dan pemasaran). Namun yang ditekankan
dalam materi ini adalah aspek produksi perikanan tangkap dan
produksi perikanan budidaya. Kita ketahui bahwa penangkapan ikan
adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam
keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk
kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau
mengawetkannya.23
Untuk produksi perikanan tangkap Indonesia baik di laut
ataupun di perairan umum daratan menunjukkan kecenderungan
yang stagnasi, dengan total produksi usaha perikanan tangkap masih
memberikan sumbangan produksi yang terbesar, sedangkan sisanya
berasal dari usaha perikanan budidaya. Terlihat produksi perikanan
tangkap di tahun 2015 sebanyak 6,52 juta ton atau 103,51% dari
target sebesar 6,30 juta ton. Dengan komposisi produksi dari perairan
laut sebesar 6.07 juta ton atau 93,02%, dan dari perairan umum
sebesar 0,46 juta ton atau 6,98% dengan jenis ikan hasil tangkapan
di perairan laut sebagian besar adalah jenis ikan cakalang (skipjack
tuna), layang (scad), kembung (short-bodied mackerel), madidihang
(yellowfin tuna) dan tongkol krai (frigate tuna), sedangkan di perairan
umum didominasi oleh ikan jenis gabus (snakehead murrel), baung
(asian redtail catfish), nila (nile tilapia), lele (walking catfish) dan patin
jambal (cat fishes).24
Stagnasi produksi perikanan tangkap diantaranya disebabkan
oleh pemanfaatan sumberdaya ikan yang melebihi daya dukungnya,
penggunaan alat tangkap yang merusak sumberdaya ikan dan
lingkungan khususnya di kawasan pemijahan dan asuhan ikan, serta
kerusakan lingkungan perairan yang diakibatkan oleh pencemaran.
Sementara Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO)
23 Menurut UU No. 31 Tahun 2004. 24 Laporan Kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2015.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
11
memperkirakan penangkapan ikan sudah berlebih (overfishing)
hingga 75% dari perikanan laut dunia, dengan stok yang tersisa
hanya 25% dari sumber daya yang masih berada pada kondisi
tangkap kurang (FAO, 2002). Apabila sumber daya perikanan
mengalami penurunan, maka stok ikan membutuhkan waktu yang
cukup lama untuk pulih kembali, walaupun telah dilakukan
kebijakan penghentian operasi kapal bekas asing sebagaimana dalam
peraturan menteri.
Jika kebijakan pengelolaan perikanan tangkap baik maka
akan memberikan efek domino pada kelestarian sumber daya ikan
(SDI). Namun jika penggunaan teknologi penangkapan modern
dengan teknik pendeteksian tidak dikontrol maka dapat
membahayakan SDI itu sendiri, dengan kata lain generasi yang akan
datang kurang menikmati dan memperoleh manfaat dari SDI
tersebut. Faktor pendorong peningkatan kuantitas dan kualitas
sarana dan prasarana penangkapan ikan menggunakan armada
kapal dan alat tangkapnya mempunyai andil besar. Untuk itu,
Indonesia perlu memegang kode etik perikanan yang bertanggung
jawab (The Code of Conduct for Responsible Fisheries) agar potensi
perikanan tidak rusak dan punah. Hal ini juga sesuai dengan
kesepakatan asas dan standar internasional dalam menjamin
terlaksananya aspek konservasi dan keanekaragaman hayati. Berikut
hal-hal yang melatar belakangi kesepakatan Code of Conduct for
Responsible Fisheries (CCRF) internasional, yaitu:
• keprihatinan para pakar perikanan dunia terhadap SDI yang
tidak terkendali;
• issue lingkungan;
• Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing;
• ikan sebagai sumber pangan dunia;
• pengelolaan SDI tidak berbasis masyarakat dan lingkungan, serta
tidak mencakup konservasi; dan
• dukung konferensi Internasional perikanan.
Untuk itu, pemanfaatan sumber daya ikan harus dilakukan
secara rasional yaitu dengan memperhatikan daya dukungnya
sehingga stok, populasi, dan hasil tangkap per satuan upaya (CPUE)
dapat terjaga. Mengingat sumber daya perikanan tangkap bersifat
unik dan berbeda dengan sumber daya lainnya karena selalu
PUSAT PUU B
K DPR R
I
12
bergerak (mobile) dan bersifat buruan. Pendekatan potensi lestari
menggunakan metode Maximum Sustainable Yield (MSY), saat ini
dirasa kurang tepat digunakan karena bersifat tidak stabil. Berbeda
dengan penggunaan Maximum Economic Yield (MEY), yang dirasa
lebih tepat karena lebih ramah lingkungan (conservative mainded) dan
dapat dilihat dengan kasat mata, dimana MEY dihitung berdasarkan
jumlah upaya penangkapan (effort) armada penangkapan. Selain
model MEY, model bioekonomi juga merupakan model yang dapat
digunakan dalam penyelesaian pengelolaan perikanan tangkap di
Indonesia. Berdasarkan model ini akan dapat dikeluarkan kebijakan
yang tepat, karena bersifat gabungan atau multispesies. Oleh karena
itu, pendekatan multispesies sangat penting, mengingat potensi
keanekaragaman Indonesia sangat tinggi dan penangkapan perikanan
juga semakin tinggi.
Sementara untuk potensi budidaya laut Indonesia juga tidak
kalah besarnya, diperkirakan dalam 5 km dari garis pantai ke arah
laut, potensi lahan diperkirakan sekitar 24,53 juta ha. Luasan potensi
kegiatan budidaya laut tersebut terbentang dari ujung wilayah barat
Indonesia sampai ke ujung wilayah timur Indonesia, dengan
komoditas-komoditas yang dapat dibudidayakan antara lain ikan
kakap, kerapu, tiram, kerang darah, teripang, kerang mutiara dan
abalone serta rumput laut.25
Jika melihat dari definisi pembudidayaan ikan, yaitu sebagai
kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan
ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol,
termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,
mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah,
dan/atau mengawetkannya,26 untuk pemanenan ikan dilakukan
setelah kegiatan penyiapan wadah (pemupukan, pengapuran, dan
pemberantasan hama) penebaran benih, pemberian pakan,
pengelolaan air, penanggulangan/ pemberantasan hama dan
penyakit, serta pemantauan pertumbuhan dan populasi.
Capaian produksi perikanan budidaya di Indonesia di tahun
2015 mencapai 17.467.037 ton atau tercapai 97,58% dari target
25 R. Dahuri, Membangun Kembali Perekonomian Indonesia melalui Sektor Perikanan dan Kelautan, LISPI: Jakarta, 2002.
26 Menurut UU No. 31 tahun 2004.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
13
17.900.000 ton dengan nilai produksi sebesar Rp 121.625 miliar.
Selama kurun waktu 2011-2015, produksi perikanan budidaya
memperlihatkan tren yang positif dengan kenaikan rata-rata sebesar
22,17. Sedangkan jika melihat prosentase kenaikan produksi tahun
2014-2015 sebesar 21,64%. Bahkan pada tahun 2013 capaian
produksi Indonesia sebesar 13.300.906 ton. Capaian tersebut
menjadikan Indonesia sebagai produsen perikanan budidaya terbesar
kedua setelah China (FAO, 2015).27
Perikanan masa depan tampaknya akan banyak menggunakan
pola integrasi, baik antara akuakultur dengan pengolahan maupun
antara akuakultur dengan perikanan tangkap, ataupun integrasi
ketiganya. Integrasi yang sudah dilakukan di masyarakat walaupun
tidak disengaja adalah perikanan tangkap berbasis budidaya,
contohnya benih yang dimasukkan ke dalam perairan adalah benih
yang tidak laku dijual maupun benih yang produksinya berlebih. Hal
ini dilakukan oleh banyak perusahaan pembenihan udang, kerapu,
dan bandeng yang secara sukarela melakukan stocking di perairan
sekitarnya. Contoh lain untuk integrasi antara kegiatan akuakultur
dengan perikanan tangkap, yakni kegiatan restocking dengan cara
menebar benih ikan di perairan (danau, waduk, sungai, teluk, rawa)
yang bertujuan meningkatkan stok (stock enhancement). Penerapan di
Jepang, negara-negara Uni Eropa, Amerika Serikat dan Cina kegiatan
restoking sudah menjadi kegiatan komersial, bukan sekedar kegiatan
konservasi dan sosial. Untuk integrasi budidaya dengan pengolahan,
komoditas patin dan ikan nila yang mencapai ukuran 1 kg/ekor
dapat dipisahkan daging dari tulangnya (deboning) untuk dijadikan
bahan baku industri makanan (fillet).28
Beberapa faktor yang mendukung integrasi pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya, antara lain:
a. Lokasi geografis Indonesia yang strategis, yang memungkinkan
akses jasa, produk perikanan dan kelautan ke berbagai bagian
dunia;
b. Kawasan perairan laut yang sangat luas, serta iklim tropik yang
memungkinkan untuk pengembangan budidaya laut berbagai ikan
dan jenis kehidupan air lainnya;
27 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2015. 28 Effendi, Pengantar Akuakultur, Penebar Swadaya: 2004.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
14
c. Jumlah penduduk pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia yang
relatif banyak merupakan faktor pendukung pengembangan
perikakan tangkap berbasis budidaya;
d. Adanya sistem ekonomi terbuka yang telah memungkinkan
keikutsertaan negara dalam zona perdagangan bebas regional,
sehingga menyediakan peluang yang lebih besar untuk
memasukkan produk perikanan Indonesia ke pasar global dan
regional;
e. Adanya sertifikasi sistem pengendalian mutu yang telah diakui
masyarakat dunia, sehingga dapat menjamin mutu produk
perikanan Indonesia di pasar ekspor;
f. Adanya peningkatan permintaan ikan yang merupakan hasil
perubahan kecenderungan dalam pola konsumsi makanan dunia.
Saat ini perikanan budidaya tidak hanya berperan menopang
pemenuhan kebutuhan bahan pangan berupa protein hewani, akan
tetapi juga dalam menyediakan bahan baku bio-industri, dan upaya
pelestarian spesies ikan yang terancam punah (endangered species).
Dalam pelestarian fungsi lingkungan perairan, para pembudidaya
ikan dapat menjadi ”pengamanan swakarsa” dari ancaman perusak
lingkungan seperti: pengebom dan penggunaan racun dalam kegiatan
penangkapan ikan; pembuangan limbah industri ke perairan;
penambangan karang. Untuk lahan pantai berpasir yang tidak dapat
dimanfaatkan untuk pertanian dapat digunakan untuk tambak
udang dengan konstruksi khusus seperti biocrete dan knock down
concrete.
Model integrasi perikanan telah diadopsi banyak negara
penghasil produk perikanan utama dunia seperti: China, Thailand,
Vietnem, Philipina, Kamboja, Birma, Bangladesh, Laos dan Sri Lanka.
Kegiatan tersebut juga sudah diterapkan di Lebak-Lebung di
Sumatera Selatan, Ikan Larangan di Sumatera Barat, Sasi di Maluku
dan Awik-Awik di Nusa Tenggara Barat dengan pendekatan kearifan
lokal (local wisdom). Namun sebagian kearifan lokal tersebut telah
memudar atau kurang efektif karena pengaruh modernisasi dan
globalisasi. Untuk itu perlu dilakukan upaya perbaikan guna
meningkatkan efektivitas pelaksanaanya, dimana model perikanan
tangkap berbasis budidaya dapat menjadi salah satu pilihan untuk
dikembangkan melalui wadah kelembagaan (organisasi) yang
PUSAT PUU B
K DPR R
I
15
merumuskan penetapan wilayah, penentuan jenis ikan yang akan
ditebar, ketersediaan benih ikan, pengendalian penangkapan,
monitoring dan pengawasan.
2. Wilayah Pengelolaan Perikanan
Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Kesatuan Republik
Indonesia atau sering disingkat dengan WPP NKRI merupakan
wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, konservasi,
penelitian, dan pengembangan perikanan yang meliputi perairan
pedalaman, perairan kepulauan, laut territorial, zona tambahan, dan
ZEEI. Awalnya penentuan WPP NKRI didasarkan pada daerah tempat
ikan hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan perikanan
menjadi 9 WPP NKRI, sebagai berikut:
1. Selat Malaka meliputi Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Riau.
2. Laut Cina Selatan meliputi Provinsi Kepulauan Riau, Jambi,
Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat.
3. Laut Jawa meliputi Provinsi Lampung, Banten, Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan.
4. Laut Flores dan Selat Makassar meliputi Provinsi Bali, Nusa
Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara.
5. Laut Banda meliputi Provinsi Maluku.
6. Laut Arafura meliputi Laut Aru, dan Laut Timur Timor meliputi
Provinsi Papua.
7. Laut Seram dan Teluk Tomini meliputi Teluk Tomini dan Laut
Seram meliputi Provinsi Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan
Papua Barat.
8. Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik meliputi Provinsi Gorontalo,
Sulawesi Utara, Papua dan Kalimantan Timur.
9. Samudera Hindia meliputi Provinsi Aceh,Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara
Barat.
Namun penentuan WPP NKRI berdasarkan metode tersebut
sudah tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan perikanan terkait
pemantauan potensi SDI. Hal itu dikarenakan dasar dalam
PUSAT PUU B
K DPR R
I
16
penentuan 9 (sembilan) WPP NKRI berdasarkan tempat pendaratan
ikan. Oleh karena itu, dalam rangka pengelolaan sumberdaya
perikanan yang berkelanjutan, Komisi Nasional Pengkajian
Sumberdaya Ikan (KOMNASJISKAN) melakukan revisi WPP-NRI dari 9
WPP-NRI menjadi 11 WPP-NRI. Penentuan 11 WPP-NRI mengacu
kepada FAO (Food and Agriculture Organization of The United Nations)
dimana penomoran dan pembagian wilayah pengelolaan sudah sesuai
standar internasional FAO.
Sementara berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan No.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan
Republik Indonesia telah menetapkan pembagian WPP menjadi 11
WPP yaitu:
1. WPP-RI 571 meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman.
2. WPP-RI 572 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Barat
Sumatera dan Selat Sunda.
3. WPP-RI 573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan
Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut
Timor bagian Barat.
4. WPP-RI 711 meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan
Laut China Selatan.
5. WPP-RI 712 meliputi perairan Laut Jawa.
6. WPP-RI 713 meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut
Flores, dan Laut Bali.
7. WPP-RI 714 Meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda.
8. WPP-RI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut
Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau.
9. WPP-RI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara
Pulau Halmahera.
10. WPP-RI 717 meliputi perairan Teluk Cenderawasih dan Samudera
Pasifik.
11. WPP-RI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut
PUSAT PUU B
K DPR R
I
17
Timor bagian Timur.
Gambar Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
Adapun dasar dari penomoran WPP NKRI di Indonesia adalah
mengacu kepada pengaturan “Fisheries Area” dari FAO. Di Indonesia
sendiri, masuk kedalam Fishing Area 57 (Indian Ocean, Eastern) dan
71 (Pacific, Western Central) dari 19 Fishing Areas yang ada di dunia.
Berikut 19 Fishing Areas berdasarkan FAO:
1. Area 18 (Arctic Sea)
2. Area 21 (Atlantic, Northwest)
3. Area 27 (Atlantic, Northeast)
4. Area 31 ( Atlantic, Western Central)
5. Area 34 (Atlantic, Eastern Central)
6. Area 37 (Mediterranean and Black Sea)
7. Area 41 (Atlantic, Southwest)
8. Area 47 (Atlantic, Southeast)
9. Area 48 (Atlantic, Antarctic)
10. Area 51 ( Indian Ocean, Western)
11. Area 57 (Indian Ocean, Eastern)
12. Area 58 (Indian Ocean, Antarctic and Southern)
13. Area 61 (Pacific, Northwest)
14. Area 67 (Pacific, Northeast)
15. Area 71 (Pacific, Western Central)
16. Area 77 (Pacific, Eastern Central)
17. Area 81 (Pacific, Southwest)
18. Area 87 (Pacific, Southeast)
19. Area 88 (Pacific, Antarctic)
Indonesia sendiri tercakup dalam dua fishing areas, yaitu Area
57 dan Area 71. Untuk Major Fishing Area 57, yang terdiri dari
1. Bay of Bengal (Subarea 57.1)
2. Northern (Subarea 57.2)
3. Central (Subarea 57.3)
4. Oceanic (Subarea 57.4)
5. Western Australia (Subarea 57.5)
6. Southern Australia (Subarea 57.6)
Dimana perairan Indonesia termasuk ke dalam Subarea 57.1
dan 57.2.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
18
Melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No
45/2011 tentang estimasi potensi sumberdaya ikan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia, maka estimasi potensi
SDI Indonesia adalah 6,520 juta ton dengan distribusi tingkat
eksploitasi yang berbeda-beda menurut WPP, dengan tingkat
eksploitasi terbagi menjadi 4 kategori yaitu over exploited, fully
exploited, moderate, dan moderate-to-fully exploited.29 Berdasarkan
Kepmen tersebut maka dapat dianalisis kategori over exploited SDI di
Indonesia sebagaimana gambar berikut.
Gambar eksploitasi sumberdaya ikan di Indonesia
Dalam konteks ini maka diperlukan strategi yang tepat untuk
memulihkan sumberdaya ikan dan sekaligus menjamin keberlanjutan
perikanan. Hal ini mengingat ekosistem perairan Indonesia baik
perairan laut maupun perairan umum daratan adalah perairan tropis
yang dicirikan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, namun
volume stoknya relatif tidak banyak. Selain itu, SDI masih menjadi
mata pencaharian masyarakat dalam memenuhi sumber protein
(ketahanan pangan). Untuk itu, dalam pengelolaan perikanan yang
tingkat kompleksitas sistem sosial-ekologis (social-ecological system)
tinggi maka perlu adanya pendekatan yang ramah lingkungan dan
mampu mensejahterakan masyarakat, salah satu contohnya
menggunakan pendekatan Ecosystem Approach to Fisheries (EAF)
atau Ecosystem Appproach to Fisheries Management (EAFM) dalam
menyelesaikan persoalan tersebut.
29 PKSPL IPB 2015, dalam Tata Kelola Kawasan Konservasi Perairan Untuk Perikanan Berkelanjutan di Indonesia Oleh Luky Adrianto
PUSAT PUU B
K DPR R
I
19
3. Pengakuan Pengelolaan Perikanan Masyarakat Hukum Adat
Dan Nelayan Kecil Berbasis Masyarakat
Konstitusi dan undang-undang perikanan mengharuskan
pemerintah mengelola SDI untuk memastikan keberlanjutan
produktifitas perikanan untuk jangka panjang sehingga dapat
menyediakan manfaat sosial, ekonomi dan budaya untuk generasi
saat ini dan yang akan datang. Namun, perikanan Indonesia saat ini
telah mengalami tangkap lebih akibat akses terhadap perikanan yang
relatif terbuka (open access fisheries), kegiatan perikanan illegal (IUU
fishing), dan pengelolaan yang belum memadai. Untuk itu diperlukan
pilihan-pilihan instrumen pengelolaan yang mampu mengatasi
masalah open access, IUU fishing dan permasalahan lainnya yang
selaras dengan budaya yang berkembang di dalam masyarakat
Indonesia. Pemerintah telah mengambil langkah-langkah tegas dalam
membangun fondasi pengelolaan perikanan. Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) telah memperkuat pengawasan untuk
mengurangi terjadinya IUU fishing di perairan Indonesia.
Kelembagaan baru yang mengatur kesebelas Wilayah Pengelolaan
Perikanan (WPP) sedang dikembangkan dan Rencana Pengelolaan
Perikanan (RPP) telah disusun untuk setiap WPP dan jenis atau
kelompok jenis ikan prioritas.30
Dalam berbagai kondisi yang memungkinkan peningkatan
upaya pengelolaan telah tersedia, masih terdapat ketidakpastian
tentang bagaimana Indonesia dapat mengatasai permasalahan
perikanan akses terbuka yang telah umum diketahui di dunia
menyebabkan terjadinya tangkap lebih dan kehilangan keuntungan
ekonomis bagi pelaku perikanan. Dalam hal ini pengelola perikanan
meresponnya dengan membatasi jumlah tangkapan melalui sistem
perizinan, pembatasan alat tangkap dan musim penangkapan ikan.
Pendekatan seperti ini biasanya tidak berhasil karena dalam kondisi
perikanan akses terbuka, nelayan akan berlomba menangkap ikan
sebanyak-banyaknya.31
30 Kelompok Kerja Right Based Fisheries Management, Pertimbangan Akademis Hak Pengelolaan Perikanan sebagai Instrumen untuk Mencapai Perikanan Yang Berkelanjutan dan Mensejahterakan, hal. 2.
31 Kelompok Kerja Right Based Fisheries Management, Pertimbangan Akademis Hak Pengelolaan Perikanan sebagai Instrumen untuk Mencapai Perikanan Yang Berkelanjutan dan Mensejahterakan, hal. 2.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
20
Tangkap lebih perikanan bisa terjadi akibat IUU fishing yang
dilakukan baik oleh kapal-kapal ikan luar maupun dalam negeri.
Tangkap lebih bisa terjadi secara legal dalam kerangka pengaturan
perikanan nasional baik skala besar maupun kecil apabila instrumen
pengelolaan yang diterapkan tidak efektif. Pemerintah telah
mengambil langkah-langkah penting seperti mengatasi IUU fishing
khususnya di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan
menetapkan penataan ruang di wilayah pesisir dan perairan laut.
Langkah ini merupakan permulaan yang baik dalam upaya mengatasi
permasalahan akses terbuka, tetapi belum menyentuh akar masalah
berupa dorongan/motivasi untuk menangkap ikan sebanyak-
banyaknya dan belum menyelaraskan antara dorongan finansial dan
pemenuhan kebutuhan hidup dengan upaya perlindungan dan
pelestarian sumberdaya ikan. Untuk itu, pendekatan pengelolaan
sumberdaya ikan yang mampu menghilangkan akses terbuka
perikanan sangat diperlukan dan mendesak. Telah diketahui dengan
baik bahwa Hak Pengelolaan Perikanan (HPP) bisa membantu
mencapai tujuan tersebut diatas. HPP terbukti32:
• menyumbang terhadap pemulihan populasi ikan dan
keuntungan finansial dari perikanan;
• mengurangi pembiayaan berlebihan (overcapitalization) dan
meningkatkan manfaat ekonomis penangkapan ikan;
• meningkatkan kepatuhan terhadap batasan jumlah tangkapan
dan mengurangi mortalitas penangkapan insidental; dan
• meningkatkan partisipasi pemangku kepentingan dalam
kegiatan pengelolaan.
Pada dasarnya HPP berfungsi karena pendekatan ini
menyelaraskan dorongan kebutuhan ekonomi nelayan dengan
perlindungan dan pelestarian sumberdaya ikan. Kondisi ini
dimungkinkan apabila nelayan atau kelompok masyarakat memiliki
jaminan untuk mengamankan kesempatannya menangkap ikan dan
mencegah orang lain menangkap dan mengeksploitasi manfaat dari
sumber daya ikan tersebut. Saat ini, nelayan dan kelompok
masyarakat tidak memiliki eksklusifitas ini, sehingga mereka tidak
32 Kelompok Kerja Right Based Fisheries Management, Pertimbangan Akademis Hak Pengelolaan Perikanan sebagai Instrumen untuk Mencapai Perikanan Yang Berkelanjutan dan Mensejahterakan, hal. 3.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
21
memiliki jaminan untuk dapat terus menerus menangkap ikan dan
memperoleh penghasilan darinya. Dengan adanya HPP, nelayan dan
kelompok masyarakat dapat merasakan langsung kerugian dari
penurunan SDI dan sebaliknya keuntungan ekonomis dari
pelestarian dan perlindungan sumber daya ikan. Keuntungan dari
instrument HPP juga merambat hingga pada rantai pasok produk
makanan dari laut, konsumer dan masyarakat yang memiliki
ketergantungan terhadap populasi ikan yang sehat.33
Pada instrumen pengelolaan berbasis HPP, pemerintah tetap
memiliki otoritas tertinggi terhadap sumber daya ikan dan tanggung
jawab konstitutional untuk mengendalikan dan mengelolanya untuk
sebesar-besarnya kemakmuran bangsa Indonesia. Ini termasuk
otoritas untuk memberikan hak-hak dan tanggung jawab pengelolaan
kepada nelayan, masyarakat, koperasi dan asosiasi perikanan atau
entitas lainnya dengan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.
Dalam pelaksanaannya, pemberian tersebut berbentuk izin yang
dapat dibatalkan oleh pemerinah untuk memanfaatkan dan
mengelola sumber daya secara eksklusif, terjamin dari penguasaan
oleh orang lain dan dalam beberapa contoh dapat dipindah
tangankan.34
Bentuk-bentuk HPP di berbagai negara di dunia berbeda-beda.
Bentuk yang paling umum adalah berbasis wilayah (area-based) dan
berbasis kuota tangkapan (quota-based). HPP berbasis wilayah atau
yang umum dikenal sebagai hak penangkapan ikan pada wilayah
tertentu (territorial use rights in fishing/TURFs) memiliki batas-batas
wilayah yang jelas dan biasanya diimplementasikan untuk mengelola
sumber daya ikan dengan pergerakan terbatas seperti teripang,
abalone, kerapu dan kakap. HPP berdasarkan kuota didasarkan pada
besaran alokasi tangkapan (kuota tangkapan) dan banyak
diterapakan untuk SDI yang berada di laut dalam lepas pantai (deep
sea demersal species, pelagic dan migratory fish) seperti ikan kakap
laut dalam dan tembang (mackerel).35
33 Kelompok Kerja Right Based Fisheries Management, Pertimbangan Akademis Hak Pengelolaan Perikanan sebagai Instrumen untuk Mencapai Perikanan Yang Berkelanjutan dan Mensejahterakan, Ibid.,
34 Ibid., 35 Ibid., hlm. 4
PUSAT PUU B
K DPR R
I
22
Praktek HPH lokal berkembang di dalam tatanan adat dan
tradisi yang beraneka ragam dengan tujuan dan otoritas kewenangan
yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lainnya. Masyarakat
memiliki hak, tanggung jawab dan mekanisme pengambilan
keputusan dalam mengelola sumber dayanya untuk kepentingan
bersama. Terkait keberadaan HPP ini terdapat keberatan yang
dikemukanan menyangkut alokasi kuota (kepada siapa diberikan dan
berapa besar/banyak wilayah/alokasi yang diberikan) dan apakah
distribusi manfaat sumber daya cukup adil dimata sebagian besar
masyarakat. Tidak ada satu pendekatan yang sesuai untuk semua
jenis dan karakteristik perikanan. Pendekatan yang paling berhasil
adalah yang dikembangkan secara transparan melalui proses yang
inklusif dan sesuai dengan budaya dan karakteristik lingkungan dan
sumberdaya dari perikanan yang hendak dikelola. 36
Pada dasarnya HPP merupakan instrumen pengelolaan yang
tidak berdiri sendiri. HPP harus diterapkan sebagai bagian dari
rencana pengelolaan perikanan yang utuh yang disusun melalui
proses yang transparan dan inklusif, didukung oleh ilmu
pengetahuan terbaik yang tersedia dan kearifan setempat, termasuk
langkah-langkah penegakan aturan dan penyeimbangan pemanfaatan
sumberdaya laut dengan sektor lainnya di wilayah yang sama. Tidak
ada istilah yang baku yang menggambarkan HPP, karena kata ‘hak’
mempunyai definisi dan implikasi hukum yang berbeda-beda
diberbagai negara. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Meksiko,
Belize dan Chili menggunakan istilah ‘managed access’ dan ‘catch
shares’ untuk menghindari kata hak dan selanjutnya didefinisikan
dan diadopsi kedalam berbagai aturan perundangan yang sesuai.37
Penerapan HPP merupakan salah satu dari sekian banyak
langkah yang saling terkait yang harus dilaksanakan di dalam sebuah
siklus pengelolaan perikanan yang adaptif. Seperti tertera pada
gambar dibawah ini, terdapat tujuh langkah pengelolaan perikanan
adaptif yaitu: pelaporan, monitoring, pendugaan, keputusan
pengelolaan, pelaksanaan, penangkapan ikan dan dinamika sumber
daya (Fulton et al., 2011). HPP merupakan salah satu pilihan bentuk
36 Ibid., 37 Ibid., hlm. 5.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
23
intervensi pengaturan penangkapan ikan. Pilihan ini didasarkan pada
informasi status sumber daya ikan dan sistem perikanan yang
menjadi target pengelolaan dan pertimbangan berbagai pilihan
pengelolaan yang tersedia. 38
Gambar diagram siklus pengelolaan perikanan adaptif dan letak Hak
Pengelolaan Perikanan (dimodifikasi dari Fulton et al., 2011).
Terkait dengan status HPP dalam kerangka pengelolaan
perikanan Indonesia, maka dapat diketahui jika HPP harus
ditempatkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kerangka
besar Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) dari sebuah WPP.
Kementerian Kelautan dan Perikanan dan pemerintah provinsi
memiliki otoritas, sesuai dengan wilayah kewenangannya, untuk
mengeluarkan HPP sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari RPP di
dalam sebuah WPP. HPP diberikan kepada kelompok yang memenuhi
syarat yaitu (a) berbadan hukum di Indonesia seperti: koperasi,
lembaga adat, asosiasi perikanan, dan yayasan dan/atau (b)
38 Abdul Halim, Budy Wiryawan, Neil R Loneragan, M. Fedi A Sondita, Adrian Hordyk, Dedi S Adhuri, Tukul R Adi, dan Luky Adrianto, Konsep Hak Pengelolaan Perikanan Sebagai Alat Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Di Indonesia, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol.9 No.1 Mei 2017, hlm. 8
PUSAT PUU B
K DPR R
I
24
organisasi masyarakat lokal yang memiliki struktur kepengurusan
dan pengurus yang jelas dan direkomendasikan oleh Kepala Desa
(Lurah) dan Camat (Lembar Informasi #1 yang diperbaharui
berdasarkan hasil diskusi Extended Core Group RBFM Indonesia, 11
Oktober 2016). Kelompok yang mengajukan permohonan HPP harus
menyertakan RPP jenis atau kelompok sumber daya ikan yang
hendak dikelola yang selaras dengan RPP WPP di dalam wilayah yang
dimaksud. Pemerintah atau pemerintah provinsi secara berkala dapat
melakukan evaluasi terhadap HPP yang diberikan sesuai dengan
tujuan dan target capaian pengelolaan yang dimuat didalam RPP jenis
atau kelompok sumber daya ikan tersebut.39
HPP memberikan insentif terhadap pemanfaatan dan konservasi
SDI. Dengan demikian sebuah kawasan HPP, tidak selalu hanya
diperuntukkan untuk wilayah penangkapan saja, tetapi juga perlu
dibentuk kawasan tertutup untuk perbaikan stok ikan. Ovando
mengatakan bahwa fishing cooperative yang memiliki HPP berbasis
wilayah (TURFs), dengan sukarela membentuk kawasan tertutup
disekitar TURFs, karena memberi manfaat perbaikan stok ikan.
Analisis global yang dilakukan oleh Afflerbach, menunjukkan bahwa
wilayah hak penangkapan ikan tidak selalu dibentuk secara
bersamaan dengan wilayah tertutup, yang lebih sering dibentuk
belakangan.40
4. Usaha Perikanan
Berdasarkan Undang-Undang 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang
Perikanan, yang dimaksud dengan perikanan adalah semua kegiatan
yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,
pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam
suatu sistem bisnis perikanan. Dari pengertian tersebut, ternyata
ruang lingkup bidang perikanan sangat luas, yang tidak hanya
39 Abdul Halim, Budy Wiryawan, Neil R Loneragan, M. Fedi A Sondita, Adrian Hordyk, Dedi S Adhuri, Tukul R Adi, dan Luky Adrianto, Konsep Hak Pengelolaan Perikanan Sebagai Alat Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Di Indonesia, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol.9 No.1 Mei 2017, hal. 9.
40 Abdul Halim, Budy Wiryawan, Neil R Loneragan, M. Fedi A Sondita, Adrian Hordyk, Dedi S Adhuri, Tukul R Adi, dan Luky Adrianto, Konsep Hak Pengelolaan Perikanan Sebagai Alat Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Di Indonesia, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol.9 No.1 Mei 2017, hal. 10.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
25
memanfaatkan sumberdaya ikan dan lingkungannya, tetapi juga
mengelolanya. Kata “pemanfaatan” bermakna sekedar
mengeksploitasi, mengeksplorasi dan memanfaatkan sumberdaya
ikan dan lingkungannya tanpa ada upaya perencanaan,
pengendalian, evaluasi, serta konservasi. Oleh karena itu, kajian yang
terkandung dalam kata “perikanan” diperluas dengan adanya kata
“pengelolaan”. Lebih lanjut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
mendefinisikan pengelolaan sebagai semua upaya, termasuk proses
yang terintegrasi dalam pengumpulkan informasi, analisis,
perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber
daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan
perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh
pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai
kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan
yang telah disepakati.
SDI adalah potensi semua jenis ikan. Ikan adalah segala jenis
organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di
dalam lingkungan perairan. Lingkungan sumber daya ikan adalah
perairan tempat kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan
faktor alamiah sekitarnya. Sumber daya perikanan termasuk kepada
kelompok sumber daya alam yang dapat diperbaruhi (renewable
source). Meskipun demikian dalam pemanfaatan sumber daya ini
harus rasional sebagai usaha untuk menjaga keseimbangan produksi
dan kelestarian sumber daya. Hal ini perlu adanya penegasan karena
sumber daya perikanan merupakan sumber daya milik bersama
(common property resources) dalam artian hak properti atas sumber
daya tersebut dipegang secara bersama-sama sehingga tidak ada
larangan bagi siapapun untuk memanfaatannya.
Pengelolaan SDI dan lingkungan (Resources) menjadi tanggung
jawab bersama antara masyarakat sebagai pengguna sumberdaya
(Users) dan pemerintah sebagai fasilitator dan manager pengelolaan
(Management). Dua komponen yang pertama adalah Resources dan
Users memerlukan komponen ketiga yaitu manager pengelolaan
(Management) agar penggunaan resources oleh users lebih
berdayaguna, bernilai tambah (added value), dan tetap
memperhatikan kelestariannya. Dengan kata lain, agar pemanfaatan
sumberdaya ikan dan lingkungan (resources) oleh users (nelayan,
PUSAT PUU B
K DPR R
I
26
pembudidaya ikan, pedagang, dan komponen masyarakat lainnya)
tidak sekedar berorientasi kepentingan ekonomi semata, maka peran
pemerintah sangat penting untuk membuat berbagai kebijakan untuk
mengatur pemanfaatan dan pengelolaan.
Usaha yang dilakukan oleh users dalam memanfaatkan
sumberdaya ikan dan lingkungannya disebut sebagai usaha
perikanan. Praktek pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat
melalui penangkapan ikan (perikanan tangkap) dan budidaya ikan.
Sehingga usaha perikanan merupakan semua kegiatan yang
dilakukan oleh perorangan atau badan hukum untuk menangkap
atau membudidayakan ikan termasuk kegiatan pasca panen mulai
dari menyimpan (storage), mengolah (processing), mendinginkan atau
mengawetkan ikan untuk tujuan komersil dan mendapatkan laba
dari kegiatan yang dilakukan. Menurut UU Perikanan, yang dimaksud
usaha perikanan adalah usaha yang dilaksanakan dalam sistem
bisnis perikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan
pemasaran. Dengan demikian, usaha perikanan bukan hanya usaha
di bidang produksi (budidaya ikan dan penangkapan ikan), namun
demikian juga usaha pendukung produksi (usaha pra produksi) dan
usaha pasca produksi (pengolahan dan pemasaran) untuk
meningkatkan nilai tambah (added value) hasil-hasil perikanan.
Sedangkan berdasarkan BPS dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha
Indonesia Tahun 2012 Buku I, yang termasuk dalam sektor
perikanan adalah kegiatan usaha yang mencakup penangkapan dan
budidaya ikan, jenis crustacea (seperti udang, kepiting), moluska, dan
biota air lainnya di laut, air payau dan air tawar.41 Dari berbagai
pemahaman di atas, maka usaha perikanan dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
a. Usaha pra produksi perikanan merupakan usaha pendukung dan
penyedia sarana, input,saprodi, dan berbagai perbekalan nelayan
maupun pembudidaya ikan, misalnya usaha pembuatan kapal
ikan, usaha penyedia alat tangkap ikan (jaring, pancing,
pelampung, dan lain-lain), usaha produksi mesin penangkapan
ikan (diesel, sparepart, dan lain-lain), usaha penyediaan pupuk,
41Subdirektorat Pengembangan Standardisasi dan Klasifikasi Statistik. 2012. Baku Lapangan Usaha Indonesia Tahun 2012 Buku I .Badan Pusat Statistik. Jakarta.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
27
pakan ikan, es, keranjang, box, cold box, obat-obatan perikanan,
usaha penyediaan teknologi reproduksi buatan, usaha pertokoan
sembako, makanan dan minuman untuk perbekalan melaut dan
budidaya, sampai usaha jasa penyediaan tenaga kerja produksi
perikanan, dan lain-lain.
b. Usaha pembudidayaan ikan (aquaculture effort) adalah kegiatan
untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan
serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol,
termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,
mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah,
dan/atau mengawetkannya. Orang yang mata pencahariannya
melakukan pembudidayaan ikan disebut pembudidaya ikan.
c. Penangkapan ikan (fishing effort) adalah kegiatan untuk
memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan
dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan
yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau
mengawetkannya. Orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan disebut nelayan (fisherman). Sumber daya
perikanan laut dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok
besar yaitu:42 (1) sumber daya ikan demersal, yaitu jenis ikan
yang hidup di atau dekat dasar perairan; (2) sumber daya ikan
pelagis, yaitu jenis sumber daya ikan yang hidup di sekitar
permukaan perairan; (3) sumber daya ikan pelagis besar, yaitu
jenis ikan oceanik seperti tuna, cakalang, tenggiri dan lain-lain; (4)
sumber daya udang dan biota laut non ikan lainnya seperti kuda
laut.
d. Usaha pengolahan ikan (fish processing effort) merupakan usaha
yang bertujuan menciptakan dan atau menambah kegunaan
(utility) ikan, baik kegunaan waktu (time utility) maupun kegunaan
bentuk (form utility). Orang yang melakukan usaha pengolahan
ikan disebut pengolah ikan (fish processor).
e. Usaha pemasaran ikan (fish marketing effort) merupakan semua
upaya untuk menyampaikan ikan dari produsen ke konsumen.
Orang yang melakukan kegiatan pemasaran ikan disebut
42 Ningsih, 2005. Strategi Mengelola dan Memanfaatkan Sumber Daya Laut dan Perikanan. Majalah Info Kajian Bappenas, Volume 2, 2005.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
28
pedagang atau pemasar ikan (fish middlemen). Menurut Crawford
(1997), kegiatan pemasaran menurut fungsinya ada 3 kelompok,
yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitasi. Dari
ketiga fungsi tersebut terbagi menjadi 9 kegiatan, yaitu buying,
selling, storage, transportation, processing, standardization,
financing, risk bearing, market intelligence.43 Berdasarkan apa
yang ditulis oleh Crawford, ternyata pengolahan (processing)
merupakan bagian kegiatan pemasaran, sedangkan pemerintah RI
melalui UU Perikanan mengklasifikasikan usaha pengolahan
sebagai salah satu usaha mandiri dalam sistem bisnis perikanan
yang meliputi usaha praproduksi, produksi,pengolahan, dan
pemasaran.
f. Sebagai tambahan, ada usaha jasa dan kelembagaan pendukung
keseluruhan usaha perikanan (rantai agribisnis perikanan),
misalnya lembaga keuangan penyedia kredit/permodalan untuk
usaha agribisnis perikanan seperti bank, koperasi, bakul
(pedagang) ikan yang sekaligus meminjami modal ke nelayan, dan
sejenisnya.
Selanjutnya, UU Perikanan juga mengatur setiap orang yang
melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan,
pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan di
wilayah NKRI wajib memiliki SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan). SIUP
adalah izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk
melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi
yang tercantum dalam izin tersebut. SIUP menjadi salah satu tool
pemerintah dalam mengelola sumberdaya ikan dan lingkungannya.
5. Peran Serta Masyarakat dan Masyarakat Hukum Adat/
Tradisional/ Kearifan Lokal
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi sumber
daya laut yang besar dan kaya akan jenis ragam kehidupan lautnya.
Bagi masyarakat pesisir, sektor perikanan masih menjadi andalan
masyarakat. Pentingnya menjaga aset kemaritiman oleh masyarakat
pesisir sebagai wujud warisan budaya leluhur yang menunjukan
identitas budaya merupakan warisan budaya yang harus tetap ada
43 Crawford, I.M. (1997). Agricultural and Food Marketing Management (2), FAO, Rome, pp. 6-10.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
29
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Ketergantungan masyarakat kepulauan terhadap sumber daya
laut sangat erat hubungannya dengan keberlanjutan dan terjaganya
keberadaan lingkungan di sepanjang garis pantai. Perikanan
Nasional, masih didominasi oleh nelayan tradisional (meskipun di
beberapa daerah sudah tidak lagi ditemukan perahu tanpa motor)
tetapi tipologi masyarakat pesisir yang masih bisa dinyatakan dengan
tingkat perkembangan ekonomi, sistem sosial, dan kondisi
ekosistemnya, berbeda dengan kondisi masyarakat pertanian yang
kegiatannya berada di darat (society), tetapi masyarakat pesisir
terekonstruksi dari basis sumberdaya.44
Pelestarian sumberdaya pesisir dalam pemanfaatannya sering
kali melupakan dampak kelestarian dan keseimbangannya,
eksploitasi secara berlebihan atau perlakuan salah terhadap
lingkungan dan cara penangkapan ikan baik dilakukan oleh
masyarakat ataupun korporasi masih menjadi persoalan di Indonesia.
Kegiatan dan perlakuan salah ini tentunya akan cepat merusak
potensi kekayaan laut kita.
Terumbu karang tempat ikan berkembang biak yang harus
terjaga dengan baik merupakan modal dasar bagi masyarakat untuk
mendapatkan ikan dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari pantai.
Masyarakat tradisional/ nelayan tradisional dengan kemampuan daya
jelajah kapal dan alat-alat penangkapan ikan yang masih serba
tradisional tentunya sangat bergantung oleh lingkungan biota laut
yang baik. Aktivitas mereka di laut masih ada yang mengandalkan
pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan penangkapan hasil
laut, seperti pengetahuan tentang musim, jenis ikan, arus serta
gelombang, gejala alam yang diwariskan dari leluhur mereka.45
Pengetahuan tradisional atau sering disebut sebagai kearifan
lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman
44 Arif Satria, 2015, Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
45 lihat Julian J. Pattipeilohy, Sistem Penangkapan Ikan Tradisional Masyarakat Nelayan di Pulau Saparua, Jurnal Penelitian Vol. 7 No.5, Edisi November 2015, hal 3, 4
PUSAT PUU B
K DPR R
I
30
atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun
perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.46
Persoalan yang sering terjadi dalam masyarakat, khususnya
masyarakat pesisir justru kualitas sumberdaya yang kian hari makin
menurun, banyaknya eksploitasi yang terlalu berlebihan berdampak
kepada kerusakan lingkungan laut dan terumbu karang dan pada
akhirnya mengakibatkan kemiskinan dan marjinalisasi komunitas
lokal dalam kehidupan kesehariannya.
Sumberdaya yang dimiliki bersama (common property
resources) termasuk di dalamnya adalah masyarakat pengelola laut
sebagai sumber mata pencahariannya secara komunal (communally
owned resources) dan masuk dalam kategori akses bebas (open
access) yang berujung pada eksplorasi yang berlebihan terhadap
hasil-hasil perikanan dan sumberdaya yang ada di dalamnya.
Kerusakan lingkungan laut berseta isinya membutuhkan waktu yang
tidak sebentar untuk memulihkannya, sementara kebutuhan
masyarakat terus meningkat.
Kerusakan yang terjadai terhadap sumberdaya milik bersama
disebut oleh Hardin sebagai tragedi milik bersama (tragedy of the
common).47 Hardin juga menjelaskan bahwa untuk pengelolaan
sumberdaya milik bersama beberapa pakar memberikan alternatif
solusi yang berbeda-beda, menurut Hardin peranan pemerintah, juga
para ahli ekonomi menawarkan alternatif pelembagaan kepemilikan
pribadi atas sumberdaya milik bersama. Tetapi solusi di atas belum
juga dapat memberikan penyelesaian dan penghentian tindakan
eksploitasi yang berlebihan. Pentingnya penguatan aturan-aturan
yang dimotori oleh komunitas lokal tentunya menjadi solusi yang
membuka peluang pulihnya segala potensi kelautan yang ada.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas
lokal membuat pranata-pranata dan menaruhnya menjadi landasan
pengelolaan eksploitasi sumberdaya mereka dan ditaati bersama
melalui pengembangan institusi dan aturan-aturan yang dapat
46 Keraf, S. A, 2002, Etika Lingkungan,. Pn. Buku Kompas, Jakarta, dalam Stefanus Stanis, Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Melalui Pemberdayaan Kearifan Lokal di Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur, Tesis tidak diterbitkan, 2005, Universitas Diponegoro Semarang.
47 Ummanah, Sasi Laut Nelayan di Maluku Tenggara, Provinsi Maluku, hal 3
PUSAT PUU B
K DPR R
I
31
memberikan batasan terhadap eksploitasi sumberdaya alam.48
Selanjutnya local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia
dengan menggunakan akal budinya untuk bertindak dan bersikap
terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang
tertentu.49 Potensi kearifan lokal yang ada di Indonesia yang syarat
kebijaksanaan dalam pengelolaan lingkungan, khususnya pada
wilayah pesisir tentunya tidak dapat kita kesampingkan begitu saja,
jika terjadi akan habis tergerus waktu dan kebutuhan hidup manusia
yang jumlahnya semakin meningkat setiap harinya.
Tetapi persoalan lain muncul beberapa kasus yang terjadi di
beberapa daerah di Indonesia, seringnya terjadi gesekan antara
kebijakan pemerintah dan kesatuan hukum adat. Seringnya
penguasaan wilayah masyarakat hukum adat oleh
perusahaan/korporasi yang mengantongi ijin dari pemerintah yang
menggunakan teknologi yang sudah maju menyebabkan
terganggunya sumber penghidupan masyarakat yang berada di
wilayah tersebut. Seperti yang terjadi di desa Ety50, Kabupaten Seram
Bagian Barat, wilayah hukum adat dikapling pengusaha mutiara
dengan ijin yang diberikan kepada perusahaan tersebut dan melarang
masyarakat hukum adat untuk memasuki daerah tersebut. Padahal
wilayah itu merupakan sumber mata pencaharian bagi masyarakat
tradisional untuk memenuhi kebutuhan hidup keseharian mereka.
Kasus lainnya lagi, masyarakat di pulau Benjina, Kabupaten
Kepulauan Aru, masyarakat hukum adat tidak lagi mempunyai akses
untuk menyelam mutiara karena laut sekitarnya telah terkontaminasi
dengan buangan sisa-sisa hasil produksi ikan. Kasus seperti ini
membuat masyarakat tidak dapat memperoleh penghasilan yang
biasanya mereka lakukan, dan akhirnya membuat mereka harus
berjuang lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup
keseharian mereka.51
48 Ibid. 49 Ridwan, Nurma A. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Jurnal STAIN
Purwokerto. Purwokerto. dalam, Juniarta, Susilo dan Primyastanto, Kajian Profil Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir Pulau Gili Kecamatan Sumberasih Kabupaten Probolinggo Jawa Timur, 2013, Jurnal ECSOFiM Vol. 1. hal. 12
50 Lili Halim, Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Pengelolaan Sumber daya Alam di Wilayah Pesisir laut, diakses 5 Oktober 2016, http://fhukum.unpatti.ac.id/artikel/hukum-pidana/364-perlindungan-hukum-terhadap-hak-hak-masyarakat-hukum-adat-dalam-pengelolaan-sumber-daya-alam-di-wilayah-pesisir-dan-laut
51 Ibid.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
32
Di Indonesia masih terdapat berbagai bentuk kearifan lokal
dari kelompok masyarakat adat yang mempraktekan cara tradisional
untuk mengelola sumberdaya pesisir.52 Sebagai contoh pada
masyarakat adat di pesisir Pulau Saparua Maluku yang memiliki cara
memelihara kawasan pesisir dengan konsep petuanan Sasi yang
mengatur tentang hal konservasi sumberdaya tertentu agar dapat
memberikan manfaat dan keuntungan secara berkelanjutan. Akan
tetapi sejalan dengan proses dinamika kehidupan masyarakat,
kearifan lokal terdegradasi dengan nilai-nilai dan norma adat yang
memudar, karena perkembangan dan tantangan kehidupan yang
semakin kompleks. Sejumlah substansi kearifan lokal yang pernah
dianut dalam masyarakat tidak lagi menjadi pedoman berperilaku.
Kearifan lokal dalam pelestarian wilayah pesisir misalnya untuk
menjaga dan mengatur sistem penangkapan ramah lingkungan, saat
ini sudah menghilang dan digantikan dengan sistem eksploitasi
berlebihan.
Melemahnya posisi kearifan lokal akibat derasnya arus
kapitalisasi yang lebih mengedepankan analisa untung rugi membuat
memudarnya warisan budaya lokal. Proses kemunduran kearifan
lokal/tradisional ditandai dengan perubahan tatanan sosial,
kurangnya nilai humanis, kemiskinan moral, sifat ketergantungan
dan kurangnya kemandirian masyarakat dan terdegradasinya
sumberdaya alam dan lingkungan yang justru mendukung kehidupan
mereka.53
Memudarnya keyakinan masyarakat lokal, khususnya
masyarakat tradisional untuk menggunakan metode atau cara
tradisional dalam pengelolaan hasil laut kembali bukan perkara
mudah untuk dilakukan. Membangun kembali pentingnya kelestarian
alam dengan kondisi kekinian oleh masyarakat pesisir yang
kebanyakan kondisi kehidupan kesehariannya sulit, baik secara
ekonomi ataupun sosial mendorong mereka untuk selalu mengambil
lebih dari apa yang tersedia di sekitar mereka. Kondisi ini tentu perlu
52 Prijono, S.N. 2000a. Laporan Pendukung No 1: Sejarah dan Latar Belakang Proyek. dalam Zulkarnain, Asdi Agustar, Rudi Febriamansyah, 2008, Kearifan Lokal Dalam Pemanfaatan dan Pelestarian Sumberdaya Pesisir (Studi Kasus di Desa Panglima Raja Kecamatan Concong Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau), Jurnal Agribisnis Kerakyatan, Vol. 1 Juli, hal 70.
53 Husni Thamrin, 2013, Kearifan Lokal dalam Pelestarian lingkungan , Kutubkhanah, Vol. 16 No. 1 Januari, hal. 46
PUSAT PUU B
K DPR R
I
33
campur tangan pemerintah untuk membuat kebijakan yang tepat,
dan yang tak kalah penting adalah peran serta masyarakat asli dan
masyarakat di luar komunitas tersebut baik secara perseorangan
maupun kelompok.
Kearifan lokal merupakan suatu gagasan masyarakat,
kebiasaan yang baik yang diikuti oleh kelompok masyarakatnya.54
Meskipun begitu kearifan lokal cenderung sudah banyak dilupakan
kebanyakan masyarakat khususnya di wilayah pesisir. Di sisi lain,
masyarakat yang sudah sadar atau mulai sadar akan pentingnya
kelestarian lingkungan dalam menjaga sumberdaya kelautan
khususnya di wilayah tempat mereka tinggal mulai membangun,
merekonstruksi dan menata kebiasaan/perlakuan buruk mereka
terhadap lingkungan ke arah pemulihan dan pemeliharaan sumber
potensi kelautannya.
Kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian
lingkungannya kembali tentu perlu keterlibatan dari semua pihak,
disamping kemauan masyarakat itu sendiri yang kuat dan konsisten.
Untuk merekonstruksi kearifan lokal itu kembali, sangat penting
untuk menimbulkan kesadaran yang tinggi terhadap
ketergantungannya kepada perubahan kondisi lingkungan alam,
diikuti oleh kemampuan manusianya terhadap teknologi yang mampu
diciptakan untuk mengatur dan mengendalikan lingkungan, bukan
malah merusaknya.
Harapan terbesar masyarakat pesisir agar pemerintah
memberikan akses kepada masyarakat adat untuk mencari
penghidupan mereka di wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil serta
pengelolaannya. Masyarakat tradisional/adat perlu diberikan wilayah
penangkapan ikan secara tradisional di dalam RZWP-3-K (Rencana
Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil) dan memberikan
pengelolaan wilayah tersebut sesuai dengan hukum adat daerah yang
bersangkutan selama tidak bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan.
Pengelolaan berbasis masyarakat atau biasa disebut
Community-Based Management, menurut Nikijuluw55, merupakan
54 Lihat., Sartini, 2009, Mutiara Kearifan Lokal Nusantara. (Yogyakarta: Kepel Press), hal. 9.
55 Latama, Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat, Bogor: 2002.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
34
pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang meletakkan
pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai
dasar pengelolaanya. Selain itu mereka juga memiliki akar budaya
yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion).
Carter56 memberikan defenisi pengelolaan berbasis masyarakat
sebagai: “A strategy for achieving a people-centered development where
the focus of decision making with regard to the sustainable use of
natural resources in an area lies with the people in the communities of
that area” atau sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan
yang berpusat pada manusia, di mana pusat pengambilan keputusan
mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu
daerah berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di
daerah tersebut.57
Masyarakat dalam melibatkan dirinya untuk berperan serta
disyaratkan untuk ikut hadir memecahkan persoalan-persoalan
masyarakatnya sendiri, termasuk aktif untuk memikirkan,
merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan yang
dilakukannya secara bersama.
Untuk menjaga ketersediaan ikan dan ekosistem laut,
tentunya peran masyarakat luas tidak dapat dipandang sebelah mata,
banyak kasus-kasus pencurian dan perusakan terumbu karang yang
dilakukan oleh nelayan asing maupun lokal. Beberapa jenis
pelanggaran pidana yang sering terjadi dan tercatat di Pengadilan
Negeri Ambon adalah58, mengoperasikan kapal penangkapan ikan
berbendera asing di ZEEI tidak dilengkapi Surat Ijin Penangkapan
Ikan, penggunaan alat penangkapan ikan yang tidak sesuai,
pengangkutan ikan tidak memiliki Surat Keterangan Berlayar dari
Syahbandar perikanan dan melanggar ketentuan persyaratan atau
standard operasional penangkapan ikan.
Selain itu, kegiatan pengawasan sumber daya perikanan
terutama di laut, pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan juga dilakukan oleh TNI-AL, Bakamla dan
Polair, yang dapat dilakukan secara mandiri oleh masing-masing
56 Ibid. 57 Op. Cit., Stefanus Stanis, hal. 24. 58 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon dalam Kegiatan
Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 5-9 September 2016.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
35
instansi ataupun melalui operasi bersama (tetapi jarang terjadi)59.
Persoalan yang terjadi di lapangan adalah kendala sarana kapal
pengawas/patrol yang tidak memadai, baik kapasitas, jarak jelajah
dan sudah usangnya kapal patrol tersebut. Luasnya perairan di
Indonesia ini, termasuk di dalamnya Maluku, dengan keterbatasan
sarana yang ada pengawasan tersebut belum maksimal untuk
menjangkau perairan di wilayah tersebut.
Guna menunjang kegiatan pengawasan oleh instansi terkait,
dengan keterbatasan yang telah disebutkan di atas peran serta
masyarakat sebagai pengawas terhadap wilayah dan kekayaan
sumber daya perikanan di wilayah tangkap mereka, masyarakat
nelayan dapat berpartisipasi dan aktif memberikan informasi di
lapangan jika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh kapal-kapal
nelayan asing ataupun lokal (nelayan lokal di kepulauan Maluku
ataupun nelayan berbendera Indonesia yang sedang melakukan
penangkapan ikan di kawasan Maluku).
Pelibatan masyarakat dalam pengawasan tentu menjadi hal
yang krusial dan penting diikutsertakan terutama dalam
pembahasan-pembahasan program pemerintah yang terkait dengan
nelayan. Bantuan kapal dari pemerintah misalnya, disesuaikan
dengan kebutuhan nelayan lokal dan diberikan sesuai data nelayan
yang benar-benar membutuhkannya, alih-alih bantuan malah jatuh
kepada orang atau kelompok orang yang bukan nelayan, akibatnya
kapal bantuan tidak dapat digunakan dengan maksimal.60
Keikutsertaan masyarakat dalam pengawasan, kebutuhan
program terletak pada pengambilan keputusan menyangkut
kebutuhan terpenting bagi mereka sesuai dengan perubahan kondisi
lingkungan dan perubahan sosial, ini berkaitan dengan ketahanan
adaptasi nelayan terhadap persoalan-persoalan tertentu yang
berhubungan dengan persoalan pesisir ketidakpastian hasil
tangkapan serta kerusakan lingkungan/ sumberdaya perikanan yang
menyebabkan penurunan hasil tangkapan mereka.
59 Diskusi dengan Kepolisian Perairan Maluku dalam Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 5-9 September 2016.
60 Diskusi dengan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, Provinsi Maluku dalam Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 5-9 September 2016.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
36
6. Penegakan Hukum
Secara konsepsional inti dan arti penegakan hukum terletak
pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di
dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk
menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup.61
Menurut pakar sosiologi hukum, Satjipto Rahardjo, penegakan
hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide yang
adalah pula sebagai hakekat penegakan hukum.62 Dalam
pemahaman umum, penegakan hukum adalah menerapkan dan/atau
menjalankan perintah/larangan yang telah dirumuskan dalam
undang-undang atau hukum positif suatu negara. Mewujudkan apa
yang telah dirumuskan menjadi kaidah perundang-undangan itulah,
sebuah kerja penegakan hukum.63
Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan
perundang-undangan, namun dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu:64
a. Faktor hukumnya itu sendiri yang mencakup peraturan
perundang-undangan.
Penegakan hukum terhadap undang-undang dapat terganggu
karena tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang,
belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan
untuk menerapkan undang-undang, dan ketidakjelasan arti
kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan
kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya.
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum.
Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan
peranan (role) dan sebagaimana halnya dengan warga
masyarakat lainnya, lazimnya mempunyai beberapa kedudukan
61 Soerjono Soekanto, “Penegakan Hukum dan Kesadaran Hukum”, Makalah pada Seminar Hukum Nasional ke IV, Jakarta, 1979.
62 Satjipto Rahardjo, Masalah penegakan hukum suatu tinjauan sosiologis, Bandung: CV. Sinar Baru, hal. 15.
63 Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Laporan Penelitian “Penegakan Hukum Pidana Illegal Fishing”, Jakarta, 2012, hal. 79.
64 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hal 8.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
37
dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil,
bahwa antara pelbagai kedudukan dan peranan timbul konflik
(status conflict dan conflict of roles).
Selain itu, dalam penegakan hukum diskresi menjadi sangat
penting, oleh karena:
1) Tidak ada perundang-undangan yang sedemikian
lengkapnya, sehingga dapat mengatur semua perilaku
manusia.
2) Adanya kelambatan untuk menyesuaikan perundang-
undangan dengan perkembangan-perkembangan di dalam
masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakpastian.
3) Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan
sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentuk undang-
undang.
4) Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan
penanganan secara khusus.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan
hukum.
Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain mencakup tenaga
mausia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik,
peralatan yang memadai, keuangan yang cukup.
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan
untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena
itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat
mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Seorang penegak
hukum harus mengenal stratifikasi sosial atau pelapisan
masyarakat yang ada di lingkungan tersebut, beserta tatanan
status/kedudukan dan peranan yang ada. Selain itu, hal lain
yang perlu diketahui dan dipahami adalah perihal lembaga-
lembaga sosial yang hidup, serta yang sangat diharagai oleh
bagian terbesar warga masyarakat setempat.
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan
hidup.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
38
Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-
nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang
merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang
dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk
(sehingga dihindari).
B. Kajian terhadap Asas/Prinsip Dalam RUU Perikanan
Dalam penyelenggaraan perikanan di Indonesia terutama bagi
semua warga masyarakat termasuk Pemerintah yang
menyelenggarakan perikanan harus berlandaskan asas-asas sebagai
berikut:
1. Asas manfaat.
Pengelolaan perikanan harus mampu memberikan keuntungan
serta manfaat sebesar-besarnya bagi peningkatan kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat.
2. Asas keadilan.
Pengelolaan perikanan harus mampu memberikan peluang dan
kesempatan yang sama secara proporsional bagi seluruh warga
tanpa kecuali.
3. Asas kebersamaan.
Pengelolaan perikanan dilakukan secara bersama-sama oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, nelayan, nelayan kecil,
pembudidaya ikan, pembudidaya ikan kecil, masyarakat, dan
pihak lain yang terkait pengelolaan perikanan.
4. Asas kemandirian.
Kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Ikan dari
dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan
Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan
memanfaatkan potensi sumber daya Perikanan secara
bermartabat.
5. Asas pemerataan.
Pengelolaan perikanan dilakukan secara seimbang dan merata,
dengan memperhatikan pelaku utama perikanan yaitu nelayan,
nelayan kecil, pembudi daya ikan, pembudidaya ikan kecil, dan
petambak garam.
6. Asas keterpaduan.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
39
Pengelolaan perikanan dilakukan secara terpadu dari hulu
sampai hilir dalam upaya meningkatkan produktivitas dan
efesiensi.
7. Asas keterbukaan.
Pengelolaan perikanan dilakukan dengan ketersediaan akses
informasi dan memberikan informasi oleh masyarakat, asas
keterbukaan diperlukan karena pengelolaan perikanan tidak
dapat dilakukan secara sepihak yang melibatkan hanya satu
instansi namun harus didukung oleh semua instansi serta
pengawasannya dilakukan oleh masyarakat.
8. Asas efisiensi.
Pengelolaan perikanan dilakukan dengan tepat, cermat,
terkonteksi (pendistribusian/pemasaran hasil pengolahan ikan)
dan berdaya saing maksimal, untuk masalah efisiensi dalam
pengelolaan perikanan sebenarnya sudah tercakup di dalam asas
keterpaduan diatas, namun keterpaduan tidak dapat dilepaskan
dari efisiensi.
9. Asas kelestarian lingkungan.
Pengelolaan perikanan dilakukan dengan cara memperhatikan
aspek kelestarian lingkungan, baik secara nasional ataupun
internasional, hal ini termasuk dalam kaidah pokok perikanan
yakni Code Of Conduct For Responsible Fisheris (CCRF) yang
didalamnya menyatakan bahwa negara harus memberlakukan
pendekatan terhadap konversi pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya ikan serta negara harus dapat mengembangkan alat
penangkapan yang selektif dan ramah lingkungan, dan
memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.
10. Asas pembangunan yang berkelanjutan.
Pengelolaan perikanan dilakukan secara terencana, terpadu dan
mampu meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan
masyarakat dengan mengutamakan kelestarian lingkungan
hidup untuk masa kini dan masa depan baik secara Nasional
dan Internasional.
11. Asas kearifan lokal.
pengelolaan perikanan dilakukan dengan cara memperhatikan
aspek kearifan lokal/budaya lokal setempat baik cara
penangkapan ikan dan pengolahan ikan, yang mampu
PUSAT PUU B
K DPR R
I
40
meningkatkan kesejaheraan dari pelaku utama perikanan yaitu
nelayan, nelayan kecil, pembudi daya ikan, pembudidaya ikan
kecil, dan petambak garam.
12. Asas kedaulatan.
Negara Indonesia sebagai negara kepulauan melakukan
pengelolaan perikanan dalam bentuk perlindungan dan
pengawasan terhadap sumber daya laut khususnya perikanan
terhadap penangkapan ikan secara illegal oleh warga asing
dan/atau perusahaan asing dengan tujuan mewujudkan sumber
daya laut yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi kesejahteraan
rakyat.
C. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada,
serta Permasalahan yang dihadapi Masyarakat
1. Ruang Lingkup
Lingkup pengaturan di UU Perikanan saat ini lebih
menitikberatkan kepada perikanan tangkap, adapun perikanan
budidaya sampai saat ini pengaturannya masih dirasa belum
komprehensif. Secara umum, UU Perikanan belum banyak mengatur
tentang perikanan budidaya. Di antaranya, belum diatur mengenai
pemanfaatan wilayah pesisir antara industri budidaya dengan
masyarakat lokal yang menggunakan ruang yang sama untuk
kegiatan penangkapan dan aktivitas lain. Belum ada ketentuan
tentang kepemilikan pulau-pulau kecil oleh perorangan atau
korporasi untuk kepentingan budidaya, yang tidak merugikan
kepentingan masyarakat lokal.
Selain itu beberapa substansi yang belum terakomodir adalah
mengenai tata ruang ruang bagi pembudidaya perikanan agar tidak
terjadi pencemaran dan perebutan lahan petambak yang mencakup
perikanan lahan petambak dan pesisir; belum adanya kebijakan yang
jelas mengenai roadmap riset-riset strategis dibidang rekayasa
teknologi budidaya; pembinaan dan penguatan ekonomi masyarakat
pesisir melalui pengembangan usaha budidaya laut termasuk
pemberian pelatihan teknologi budidaya terapan dan pelatihan
manajemen keuangan; akses permodalan/pembiayaan bagi
pembudidaya; sertifikasi kompetensi para pembudidaya ikan; dan
kewenangan pemerintah dan/atau pemerintah daerah terkait
PUSAT PUU B
K DPR R
I
41
pengelolaan perikanan budidaya, pembagian tugas dan tanggung
jawab antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana
amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah. Belum adanya pengaturan mengenai perijinan budidaya
perikanan yang dilaksanakan di atas 3 mil laut (budidaya tuna) dan
tidak melintasi wilayah kabupaten lainnya, karena sesuai UU 23
Tahun 2014 batas kewenangan kabupaten/kota adalah 2 mil laut,
sementara kewenangan Provinsi jika usaha perikanan budidaya
tersebut lintas kabupaten/kota.
2. Wilayah Pengelolaan Perikanan
Wilayah pengelolaan perikanan dalam UU Perikanan belum
mengakomodir ketentuan mengenai pengelolaan perikanan tangkap
dan perikanan budidaya di wilayah perairan umum sehingga
kedepannya perlu ditambahkan mengenai wilayah pengelolaan
perikanan di perairan umum.
Dalam ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Perikanan diketahui
bahwa nelayan kecil bebas melakukan penangkapan ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia, dan hal ini dapat
menimbulkan potensi konflik antara nelayan lokal dan nelayan
pendatang dalam melakukan pengelolaan perikanan. Persoalan lain
yang sering terjadi di wilayah pengelolaan perikanan yaitu dimana
terdapat nelayan asing yang melakukan penangkapan ikan di wilayah
territorial pada waktu tertentu padahal jika melihat ketentuan dalam
UU Perikanan diketahui bahwa nelayan asing hanya dapat
melakukan penangkapan ikan di ZEEI.
Permasalahan mengenai pengelolaan perikanan di wilayah
perairan Indonesia oleh nelayan asing, maka kedepannya perlu
pengaturan pembatasan yang ketat bagi nelayan asing yang
melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia dan juga
sanksi yang tegas bagi nelayan asing yang tetap melakukan
penangkapan ikan di wilayah yang bukan wilayah penangkapannya
agar sumber daya perikanan yang seharusnya diperuntukan untuk
memajukan kesejahteraan rakyat dapat dimanfaatkan secara
maksimal untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan
meningkatkan kesejahteraan nelayan serta masyarakat indonesia.
Permasalahan yang dihadapi oleh pembudidaya ikan yaitu tumpang
PUSAT PUU B
K DPR R
I
42
tindih pemanfaatan lahan yang terus terjadi sebagai akibat dari
belum optimalnya penyusunan tata ruang dan pengendaliannya,
akibat belum sinkronnya peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah
(RTRW) antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Diharapkan jika peta
Rencana Tata Ruang dan Wilayah sudah sinkron maka tidak akan
terjadi pemanfaatan lahan baik untuk nelayan pembudidaya maupun
nelayan perikanan tangkap.
3. Usaha perikanan
a. Akses Kapal Asing
Akses kapal asing yang dapat menangkap ikan di wilayah
perairan Indonesia ditengarai banyak merugikan kepentingan Negara
dan nelayan Indonesia. Kondisi inilah yang menyebabkan
dikeluarkannya kebijakan moratorium untuk kapal ikan asing.
Sejak diterbitkannya Peraturan Menteri KP Nomor:
56/PERMEN-KP/2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium)
Perizinan Usaha Perikanan Tangkap Di WPPNRI pada bulan
November 2014 memang ada fenomena menarik terkait dengan
kondisi perikanan di beberapa wilayah Indonesia.
Moratorium di satu sisi memberikan dampak positif dimana
potensi ikan di wilayah perairan Indonesia meningkat cukup tinggi
sehingga para nelayan kecil dan nelayan tradisional mendapatkan
kemudahan mendapatkan hasil tangkapan ikan di wilayah yang tidak
terlalu jauh ke tengah laut. Di sisi lain, moratorium menyebabkan
turunnya pendapatan daerah dari sektor perikanan mengingat
turunnya jumlah kapal yang mengajukan izin penangkapan dan
pengangkutan.
Moratorium hakikatnya hanya terkait usaha perikanan yang
berasal dari ikan yang ditangkap di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia
(ZEEI) sebagai wilayah yang diizinkan menjadi wilayah operasional
dari kapal-kapal asing dan eks asing yang merupakan kapal dengan
ukuran besar.
Mekanisme penangkapan ikan di dalam Zona ZEEI dilakukan
berdasarkan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 tentang Perikanan yang menyebutkan bahwa usaha perikanan
di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia (WPPNRI)
hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau
badan hukum Indonesia (ayat 1). Kondisi ini dikecualikan kepada
PUSAT PUU B
K DPR R
I
43
orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan
ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara
Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau
ketentuan hukum internasional yang berlaku (ayat 2).
WPPNRI merupakan WPP untuk kegiatan penangkapan ikan,
konservasi, penelitian dan pengembangan, yang meliputi : perairan
pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan
ZEEI
Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United
Nation on The Low of The Sea/Unclos) Indonesia harus dapat
menetapkan kemampuannya dalam memanfaatkan sumberdaya ikan
di ZEEI. Bila belum memiliki kemampuan untuk memanfaatkan
seluruh jumlah tangkapan yang dibolehkan, maka berilah
kesempatan kepada negara lain untuk memanfaatkan surplus
sumberdaya ikan yang ada di ZEEI melalui perjanjian dan ketentuan
yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia.
b. Pengelolaan dan Pemasaran hasil perikanan
Dalam hal pengelolaan dan pemasaran hasil perikanan belum
ada suatu master plan atau perencanaan yang terpadu baik yang
berlaku nasional maupun tiap daerah yang disesuaikan dengan
kondisi, potensi, dan tantangan yang dihadapi oleh masing-masing
daerah. Besarnya potensi dan hasil tangkap maupun budidaya
perikanan tidak akan cukup menghidupi nelayan dan memajukan
masyarakat nelayan dan sekitanya jika aspek pengolahan dan
pemasaran hasil perikanan belum ditata dengan baik.
Terdapat banyak kendala atau hambatan yang dihadapi dari
aspek pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yang harus segara
dibenahi dan ditanggulangi seperti: banyaknya kegaitan
penyelundupan; kemampuan teknologi pasca panen (penanganan dan
pengolahan) produk perikanan sesuai dengan selera konsumen dan
standar mutu produk secara internasional (seperti HACCP,
persyaratan sanitasi, dll); lemahnya kemampuan pemasaran produk
perikanan karena lemahnya market intelegence (penguasaan
informasi tentang pesaing, segmen pasar, dan selera konsumen),
serta belum memadainya prasarana dan sarana sistem transportasi
dan komunikasi untuk mendukung distribusi produk perikanan dari
PUSAT PUU B
K DPR R
I
44
produsen ke konsumen secara tepat waktu; terbatasnya sarana dan
prasarana pemasaran (bangunan pasar, TPI); lemahnya koordinasi
antara unsur terkait; terbatasnya kebijakan tentang kredit murah
dan lunak bagi nelayan; sistem hukum dan kelembagaan perikanan
yang masih Lemah; iklim usaha yang belum kondusif (seperti adanya
berbagai pungutan dan proses perizinan yang masih birokratis;
lemahnya posisi tawar nelayan, pembudidaya dan pengolah rendah
terhadap pasar/penjual (keterikatan kepada pengijon); tidak stabilnya
harga-harga faktor produksi; belum optimalnya sertifikasi produk;
sentra produksi yang tersebar sehingga sulit mencapai skala
ekonomi; dan harga BBM yang mahal.
4. Sistem Informasi dan Data Statistik Perikanan
Sistem informasi dan data statistik perikanan merupakan hal
yang sangat penting dalam bidang perikanan. Data dan informasi
yang akurat dapat dijadikan sebagai salah satu bahan acuan untuk
perencanaan pembangunan, penentuan kebijakan, dan indikator
dalam menilai keberhasilan pembangunan yang telah dilaksanakan.
Selanjutnya, data statistik dan informasi perikanan yang telah
disusun dan dikembangkan oleh pemerintah dipublikasikan kepada
para pelaku usaha perikanan sehingga mereka dapat menata dan
mengelola usaha perikanan dengan baik.65
Data dan informasi statistik perikanan tangkap, selama ini
didapat berdasarkan mekanisme pelaporan oleh Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten/Kota secara periodik per 3 tiga bulan
(triwulan). Data statistik tersebut selanjutnya akan divalidasi
ditingkat provinsi, untuk selanjutnya akan divalidasi ditingkat
nasional untuk memastikan bahwa data yang diperoleh tersebut
sudah sesuai dengan metode yang dipergunakan, dan merupakan
data yang berkualitas serta dapat dipertanggungjawabkan, namun
disatu sisi kelemahannya tidak ada sistem pertukaran data antar
provinsi bertetangga sehingga tingkat eksploitasi Wilayah Pengelolaan
Perikanan (WPP) tidak diketahui secara akurat.66
65 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku dalam Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 5-9 September 2016.
66 Ibid.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
45
Saat ini ada satu sistem informasi dan data statistik perikanan
yang dapat digunakan untuk mengetahui sumber ikan yaitu Sistem
Informasi Geografis (SIG) telah diaplikasikan dalam konsep penetapan
potensi lahan untuk budidaya perikanan maupun dalam kegiatan
penangkapan ikan di laut. SIG memerlukan suatu sistem basis data
spatial (keruangan) dan basis data non spasial (atribute).
Penyerbaluasan informasi dan data statistik kepada nelayan melalui
sistem informasi berbasis komputer di pelabuhan perikanan, TPI, dan
sentra penyuluhan.67 Untuk itu perlu diperbaharui setiap 2 (dua)
tahun terutama mengenai potensi perikanan. Untuk data hasil
tangkap dan data lainnya sudah bisa diakses secara online setiap
harinya.68 Walaupun data statistik perikanan di Indonesia sudah
tersedia namun belum dapat diakses dengan mudah, selain itu
banyak data yang jika dikaji lebih dalam terlihat jauh dari
kebenarannya. Dengan demikian sulit dijadikan dasar pengambilan
keputusan/kebijakan atau untuk kepentingan ilmiah. Banyak
industri penangkapan yang memberikan data daerah penangkapan
yang tidak sesuai.69
Terdapat hambatan dalam pengembangan sistem dan
informasi perikanan adalah terbatasannya tenaga atau personel di
lapangan guna melakukan pengumpulan data, terbatasnya dana
operasional untuk pengambilan data, perubahan desa sampel yang
dijadikan lokasi budidaya ikan yang tidak sesuai.70 Data tangkapan
oleh industri penangkapan belum dapat didata dengan benar. Masih
ada informasi yang belum terekam dari semua kapal sesuai keadaan
sebenarnya. Di sisi lain belum ada sanksi bagi industri penangkapan
67 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung Mangkurat, Provinsi Kalimantan Selatan dalam Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Kalimantan Selatan, 12-17 September 2016.
68 Diskusi dengan Pelabuhan Perikanan, Provinsi Kalimantan Selatan dalam Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Kalimantan Selatan, 12-17 September 2016.
69 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura, Provinsi Maluku dalam Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 5-9 September 2016.
70 Diskusi Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Kalimantan Selatan dalam Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Kalimantan Selatan, 12-17 September 2016.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
46
yang tidak memberikan informasi dengan benar.71 Sistem informasi
dan data statistik perikanan yang diperoleh di pelabuhan perikanan
adalah dengan menggunakan instrumen Log Book Penangkapan, yang
memuat infomasi tentang jumlah volume dan jenis hasil tangkapan,
daerah penangkapan, serta kebutuhan logistik.72
Di Provinsi Kalimantan Selatan juga terkait dengan sistem
informasi dan data statistik perikanan yang dapat digunakan untuk
mengetahui keberadaan dan jumlah hasil tangkapan pada tiap
pelabuhan saat ini belum ada, karena penangkapan ikan di laut
Provinsi Kalimantan Selatan lebih bnyak dilakukan oleh nelayan dari
luar Jawa, sehingga ikan-ikan tersebut selanjutnya dibawa ke
pelabuhan di Jawa. Adapun hasil perikanan di oleh nelayan Provinsi
Kalimantan Selatan banyak yang tidak dilakukan penjualannya
dipelabuhan perikanan, sehinga potensi maupaun hasil tangkap
perikanan yang ada di wilayah laut Provinsi Kalimantan Selatan sulit
untuk didata.73 Data dan informasi juga penting bagi pendataan
jumlah nelayan secara benar dan terkini, serta perlu dilakukan
sensus Perikanan yang dilaksanakan minimal 10 tahun sekali sebagai
database tindakan selanjutnya.74
5. Pungutan Perikanan
Dalam UU Perikanan, pungutan perikanan dikenakan kepada
setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya
ikan namun pungutan ini tidak dikenakan kepada nelayan dan
pembudidaya ikan kecil. Namun dengan dikeluarkannya UU Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mana perizinan
usaha perikanan hanya terdapat di Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah. Perizinan mengenai pengelolaan ruang laut diatas 12 mil
dilakukan oleh Pemerintah Pusat sedangkan untuk perizinan
pengelolaan ruang laut dibawah 12 mil dilakukan oleh Pemerintah
Provinsi. Terkait pengelolaan perikanan dan perizinan pendaftaran
serta pendaftaran kapal diatas 30 GT dilakukan oleh Pemerintah
71 Ibid. 72 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit. 73 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung
Mangkurat, Loc. Cit. 74 Diskusi dengan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, Provinsi Kalimantan
Selatan dalam Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 12-17 September 2016.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
47
Pusat sedangkan untuk kapal dibawah 30 GT dilakukan oleh
pemerintah provinsi. Dengan ditariknya perizinan ke Pemerintah
Pusat, maka Pemerintah Daerah tidak mendapatkan bagi hasil yang
adil, karena pungutan yang seharusnya diambil ketika mengurus
perizinan pengelolaan perikanan saat ini hanya dilakukan oleh
Pemerintah Provinsi untuk pemanfaatan perikanan di bawah 12 mil.75
Jika melihat pada praktiknya tidak dapat dipungkiri terdapat pula
nelayan yang melakukan pemanfaatan perikanan di wilayah
kabupaten/kota, namun dengan adanya ketentuan ini pemerintah
kabupaten/kota tidak mendapatkan bagi hasil apapun.
Di samping itu dalam Pasal 14 huruf d UU Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dikatakan
bahwa “Penerimaan Perikanan yang diterima secara nasional dibagi
dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80%
(delapan puluh persen) untuk seluruh kabupaten/kota”. Pembagian
80% dari penerimaan negara disektor perikanan dibagikan dengan
porsi yang sama besar kepada kabupaten/kota seluruh Indonesia
sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 ayat (2) UU Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Dengan
adanya frasa ini maka daerah penghasil sumber ikan terbesar tidak
mendapatkan bagi hasil yang adil karena bagi hasilnya tersebut juga
dibagi ke daerah yang tidak memiliki sumber daya perikanan.
Sehingga banyak daerah yang memiliki sumber daya ikan yang
melimpah yang masih kekurangan dan tidak sejahtera dengan bagi
hasil seperti ini. Dengan Perizinan kapal diatas 30 GT dilakukan oleh
Pemerintah Pusat maka pemerintah kabupaten/kota hanya menarik
retribusi dari nelayan.76 Jadi dapat dikatakan bahwa pemasukan bagi
pemerintah daerah dalam sektor perikanan hanya didapat dari bagi
hasil dari sektor perikanan yang sama rata dengan provinsi lain di
seluruh Indonesia dan juga retribusi yang dikenakan bagi nelayan.
Provinsi Maluku memiliki peraturan mengenai retribusi yang
diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 15 Tahun
2013 tentang Retribusi Perizinan Tertentu. Dalam Perda tersebut
75 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Provinsi Maluku dalam Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 5-9 September 2016.
76 Ibid.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
48
dijelaskan mengenai subjek dan objek yang dikenai retribusi
perikanan. Selain itu dalam Perda Retribusi Perizinan tertentu juga
diatur sanksi administratif dan sanksi pidana yang dikenakan bagi
wajib retribusi yaitu orang pribadi atau badan yang menurut
peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk
melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau
pemotong retribusi tertentu.77
Mekanisme pungutan saat ini sudah berjalan dengan baik,
namun perlu kontrol dan sanksi hukum yang jelas. Terkait
penentuan dana bagi hasil dari pungutan sesuai yang diatur dalam
Pasal 48-51 sejauh ini belum diberikan ke nelayan, karena
peruntukannya sesuai Pasal 50 bukan untuk nelayan tetapi untuk
konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan. Namun jika penentuan
bagi hasil yang dimaksud dalam pertanyaan ini adalah dalam kaitan
dengan upah yang diterima sebagai seorang nelayan/tenaga
kerja/buruh berdasarkan beban kerja, belum terlalu adil bagi
nelayan. Dalam banyak jurnal hasil penelitian diketahui salah satu
sumber kemiskinan nelayan adalah sistem bagi hasil yang diterapkan
belum berpihak kepada nelayan kecil.78
Menurut Pelabuhan Perikanan Nusantara sampai sejauh ini
tidak ada kendala mengenai pungutan perikanan, karena pungutan
pengusahaan perikanan baru atau perubahan serta pungutan hasil
perikanan atas izin penangkapan ikan dan/atau kapal operasi
penangkapan ikan baru atau perpanjangan ditangani oleh Pusat
(DJPT), sedangkan yang ditangani oleh pelabuhan perikanan adalah
jasa pelabuhan perikanan yang mana tarifnya berdasarkan PP Nomor
75 Tahun 2015 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara
bukan pajak yang berlaku pada kementerian kelautan dan perikanan.
Kedepannya diharapkan pungutan hasil perikanan ditangani oleh
pelabuhan perikanan dimana izin kapal tersebut dikeluarkan.79
Beberapa kendala dalam pengembangan sektor perikanan
tangkap di Provinsi Kalimantan Selatan terkait dengan pungutan
77 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit. 78 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Pattimura, Provinsi Maluku, Loc Cit. 79 Diskusi dengan Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon, Kegiatan
Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 5-9 September 2016.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
49
salah satunya adalah tidak adanya kebijakan pemerintah yang
memberikan kepastian usaha, hal ini lebih diperlemah dengan
berlakunya sistim otonomi daerah muncul pungutan berganda yaitu
pungutan yang ada di pusat dan didaerah (Pemda). Pungutan-
pungutan tersebut sering menjadi keluhan bagi pengusaha yang
terjun ke bisnis perikanan laut. Sebagai contoh untuk 1 unit kapal,
harus membayar yang disebut Pungutan Pengusaha Perikanan (PPP)
yang dihitung berdasarkan gross ton (GT) kapal. Per kapal minimum
bisa kena Rp 10 juta. Setelah membayar PPP baru pengusaha
mengantongi Izin Usaha Perikanan (IUP). Sementara untuk
memperoleh Surat izin Perusahaan (SIP) pengusaha terlebih dahulu
harus membayar pungutan hasil penangkapan (PHP). Hitungannya
berdasarkan GT kapal dikali produktivitas tangkapan dikali 2,5%,
lalu dikali lagi harga patokan jenis ikan. Belum lagi harus mengurus
surat lain dari instansi perhubungan laut, pihak keamanan, dan
instansi lain. Sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya biaya
tingga (high cost) dalam perekonomian dan menyebabkan
menurunnya daya saing dan produktivitas sektor perikanan tangkap.
Sementara di daerah, hal yang sama akan terjadi, dimana seorang
pengusaha harus membayar pungutan yang ditetapkan Pemerintah
daerah. Misalnya, pungutan 2% dari harga ikan paling tinggi. Kalau
sekali mendarat kapal membawa 10 ton hasil tangkap. Dimana 2 ton
udang dan sisanya ikan biasa. Maka pungutan 2% dihitung dengan
menganggap 10 ton itu harga udang karena harga udang yang paling
mahal. Kendala lainnya, adalah harga kapal yang mahal. Untuk kapal
di atas 30 GT minimal harganya Rp 1 miliar. Harga tersebut buat
kelompok nelayan jelas tidak akan terjangkau, kecuali ada kredit dari
bank. Namun, pihak bank banyak yang enggan mengucurkan kredit
untuk pembelian kapal ikan. Kalau pun ada yang mau memberikan
kredit kepada kelompok nelayan, bank biasanya meminta jaminan.
Sementara nelayan tidak memiliki jaminan kecuali kapal dan hasil
tangkapan. Disisi lain bank tidak menerima jaminan berupa kapal.
Dengan kondisi seperti itu, sulit rasanya mendongkrak jumlah kapal
berukuran 30 GT keatas tanpa ada dukungan dari bank.80
80 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung Mangkurat, Loc. Cit.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
50
6. Penelitian dan Pengembangan Perikanan serta Pendidikan,
Pelatihan, dan Penyuluhan Perikanan
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Maluku
diperuntukkan sebagai wilayah untuk kegiatan penangkapan ikan,
konservasi, penelitian dan pengembangan. Selalu ada penelitian yang
dilakukan di Maluku oleh lembaga-lembaga terkait di pusat tetapi
hasilnya jarang disampaikan kepada daerah. Hasil dari suatu
kegiatan penelitian dan pengembangan di suatu wilayah seharusnya
dapat dijadikan bahan acuan dalam perencanaan pembangunan dan
penentuan kebijakan di bidang perikanan. Bentuk pendidikan,
pelatihan, dan penyuluhan perikanan di Maluku salah satunya
melalui program magang nelayan penerima paket ke Balai
Penangkapan Ikan di Tegal. Selain itu juga dilakukan pelatihan
berupa perbaikan dan perawatan mesin kapal, dan pelatihan
manajemen usaha perikanan.81
Adapun beberapa kendala dan hambatan dalam penerapan
teknologi, yaitu:
a. Penerimaan dan pemahaman teknologi bagi pelaku utama/pelaku
usaha merupakan bagian dari proses edukasi dan adaptasi
teknologi. Mereka diyakinkan dengan bukti (termasuk insentif)
bukan sebatas ujicoba.
b. Berbagai upaya dalam menghasilkan teknologi akan menjadi tidak
berarti jika tidak diikuti dengan usaha menyebarluaskannya. Di
sisi lain diseminasi bukan hanya semata-mata menyebarkan
informasi, namun juga menjadi media dalam memperoleh umpan
balik untuk perencanaan penelitian dan diseminasinya serta
sebagai bahan masukan bagi penentu kebijakan.
c. Di bidang sumber daya manusia, jumlah peneliti dan perekayasa
sebagai penghasil teknologi dan jumlah penyuluh sebagai tenaga
pendamping teknologi di masyarakat masih sangat minim
dibandingkan dengan negara-negara maju.
d. Keterkaitan yang erat antara unsur peneliti, penyuluh, pelatih dan
masyarakat kelautan dan perikanan sangat diperlukan dalam
upaya mempercepat proses adopsi teknologi, dimana penyuluh dan
pelatih berperan sebagai jembatan antara peneliti dan masyarakat.
81 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
51
Teknologi yang dihasilkan oleh peneliti akan disalurkan oleh
penyuluh dan pelatih kepada masyarakat sebagai adopter. Oleh
karena itu, diperlukan suatu usaha agar ada link antara sumber
teknologi, penyampai teknologi dan pengguna teknologi agar
penyampaian teknologi dapat dilakukan secara informatif, aplikatif
dan efektif. Link tersebut dapat berupa kegiatan yang dapat
mempertemukan keempat unsur tersebut (peneliti-
penyuluh/pelatih-masyarakat) guna terjadi komunikasi dan tukar-
menukar pengalaman dalam penerapan teknologi.
7. Penyerahan Urusan dan Tugas Pembantuan (Otonomi Daerah)
Terkait apakah substansi di dalam UU Perikanan dan UU No.
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sudah sinkron, pada
bidang kelautan yang semula kewenangan dibagi antara Pemerintah
Pusat, Pemerintahan Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/ Kota, kini hanya diberikan kepada Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah Propinsi. Kewenangan Kabupaten/Kota yang
hilang diantaranya adalah pelaksanaan kebijakan, penataan ruang
laut, pengawasan dan penegakan hukum, koordinasi pengelolaan dan
pemanfaatan, dan perizinan (kecuali ijin usaha perikanan). Untuk itu
hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah kewenangan dalam
mengatur tata ruang perikanan dan pengelolaan perikanan berbasis
masyarakat/kearifan lokal.82
Selain itu hambatan terkait pelaksanaan otonomi daerah
adalah masih dirasa belum terjadi sinkronisasi antara peraturan
dengan teknis pelaksanaan, hal ini terlihat dari beberapa hal yaitu;
(a) Provinsi mengawasi laut secara keseluruhan sementara sarana,
prasaran dan koordinasi dengan kabupaten/kota tidak tersedia
cukup baik; (b) kelembagaan pengawasan wilayah laut masih lemah
terlihat dari armada dan jumlah personil; (c) terjadi disharmonisasi
dengan peraturan daerah. Disamping itu, dalam sektor perikanan
budidaya masih terdapat perumusan yang masih belum sinkron yaitu
masalah pengelolaan areal pembudidayaan lintas kabupaten/kota
yang masih belum jelas contohnya pengelolaan induk (grandparent
stock) yang merupakan wewenang provinsi ternyata dimiliki pula oleh
82 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung Mangkurat, Loc. Cit.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
52
pemerintah kabupaten/kota sehingga menimbulkan tumpang tindih
kewenangan. Untuk sektor perikanan tangkap sendiri, lahirnya UU
Pemda memberikan kemudahan bagi nelayan dan pelaku perikanan
tangkap untuk melakukan pendaftaran serta memperoleh perizinan
terpadu satu pintu agar SIUP dan SIKPI yang diperlukan dalam
kegiatan perikanan tangkap dapat dilaksanakan.83
Terkait dengan wacana pembentukan lembaga khusus yang
menangani masalah pengelolaan perikanan, grand desain wilayah
pengelolaan perikanan di kawasan pulau-pulau kecil dan terluar
(PPKT). Pembentukan lembaga khusus tidak begitu diperlukan, tetapi
hal ini menjadi tanggungjawab bersama untuk menjaga keutuhan
NKRI termasuk upaya mensejahterakan masyarakat didalamnya. 84
Dalam rangka otonomi daerah, Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Maluku memberi usulan sebagai berikut:85
a. Penguatan urusan pemerintahan terutama substansi terkait
dengan perikanan budidaya yang dirasa masih kurang diatur
secara komprehensif bila dibandingkan dengan perikanan tangkap,
walaupun penyerahan urusan pemerintahan antara Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan telah sinkron dan sinergi.
b. Penguatan regulasi terkait dengan alokasi anggaran DAU dan DAK
pada Provinsi Maluku yang bercirikan kepulauan dengan wilayah
administrasi yang sebagian besar terdiri dari laut (92,4%),sehingga
pemerataan pembangunan disektor perikanan di Provinsi Maluku
mampu optimal dari hulu hingga hilir, khususnyauntuk perikanan
tangkap, perikanan budidaya sampai pengolahan dan pemasaran
yang masih banyak hambatan/kendala.
c. Tindak lanjut yang serius terhadap dukungan anggaran
Pemerintah Pusat yang telah mencanangkan Provinsi Maluku
sebagai “Lumbung Ikan Nasional” oleh Presiden RI pada waktu
yang lalu. Hal ini mengingat pengelolaan sumberdaya kelautan dan
perikanan di Provinsi Maluku belum optimal jika hanya
83 Diskusi Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Kalimantan Selatan, Loc. Cit.
84 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung Mangkurat, Loc. Cit.
85 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Maluku, Loc Cit.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
53
mengandalkan dari Badan Pengelola Lumbung Ikan Nasional
Provinsi Maluku saja.
d. Perluasan kewenangan Pemerintah Provinsi dalam mengelola
sumberdaya kelautan dan perikanan dari 12 mil diukur dari garis
pantai menjadi 24 mil.
e. Kewenangan penerbitan izin (baru) sebaiknya tidak terbatas sampai
dengan 30 GT, tapi sampai dengan 60 GT. Perluasan kewenangan
penerbitan ijin oleh Gubernur saja, sehingga para nelayan tidak
perlu lagi mengurus izin ke Jakarta ( > 30 GT – 60 GT).
f. Segala perijinan yang berasal dari Pemerintah Pusat ataupun
daerah, agar mengacu atau berdasarkan rekomendasi Gubernur,
seperti Konservasi.
g. Komoditas ikan yang akan diekspor melalui daerah lain, agar
memperhatikan daerah produsen sehingga daerah penghasil
mendapat bagian atau perhatian khusus.
h. Kewenangan melakukan pendataan pesisir dan pulau-pulau kecil
yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dapat diserahkan kepada
Pemeritah Kabupaten/Kota.
i. Pembagian kewenangan yang tidak seimbang dapat
menurunkan Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) dan juga
ketika terjadi masalah di daerah yang kebijakannya ditangani
oleh Pusat tidak bisa diselesaikan secara cepat.
j. Perlu pola hubungan dan pembagian kewenangan yang tepat
antara Pemerintah Pusat dan Daerah agar dapat dihindari
fenomena atau ekses buruk akibat ketimpangan hubungan dan
pembagian kewenangan antara Pusat dan Daerah, dengan
memasukkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif,
demokratis dan terpercaya.
Selain itu, Universitas Patimura Provinsi Maluku juga
memberikan usulan sebagai berikut:86
a. Perlu penguatan kewenangan kearifan lokal budaya sasi, adat yang
telah dilakukan masyarakat setempat dalam mengelola
sumberdaya perikanan secara turun temurun dari nenek
moyangnya,baik melalui moratorium aspek kawasan, aspek jenis
komoditas maupun aspek alat tangkap, sehingga masyarakat lokal
86 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas, Pattimura Provinsi Maluku, Loc Cit.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
54
dapat sejahteradampak kebijakan pembagian kewenangan yang
dikeluarkan.
b. Perlu ada pengaturan kewenangan mengenai jalur penangkapan
ikan bagi para nelayan asli dan pendatangyang akan melakukan
penangkapan ikan di daerah tertentu, agar tidak terjadi konflik
diantara nelayan.
c. Perlu ada pengaturan kewenangan yang jelas terkait dengan sistem
pengelolaan breeding dan spawning.
d. Perlu penyegaran kembali kajian mengenai stok ikan di Provinsi
Maluku, mengingat Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya
Ikan Laut belum optimal sehingga akan lebih mudah dalam
pendugaan Maximum Sustainable Yield (MSY) ikan di Provinsi
Malukuuntuk pengaturan kewenangannya.
e. Perlu ada revisi pengaturan perimbangan keuangan UU 33 Tahun
2004, agar bersifat adil bagi daerah penghasil sumberdaya ikan.
Selama ini dirasakan tidak adil dalam pembagian bagi hasil ke
pemerintah daerah. Contoh Potensi Perikanan di Kabupaten
Kepulauan Aru sangat besar, namun fasilitas perikanannya hanya
dimiliki oleh pengusaha dan belum berpihak ke
masyarakatsehingga masyarakatnya selalu miskin.
f. Perlu ada keberpihakan kepada kabupaten/kota yang mampu
mengelola sumberdaya ikan secara berkelanjutan, mengingat
dengan meningkatnya peran provinsi dalam kewenangannya, akan
berdampak kabupaten/kotakurang optimal dalam memanfaatkan
sumberdaya ikan yang ada, dan/atau mungkin bisa berakibat
makin tidak peduli atas wilayah lautnya.
g. Perlu ada pengaturan kewenangan terhadap pemanfaatan perairan
umum, waduk dan sejenisnya pada bidang perikanan budidaya
agar sejak dini lingkungan perairan tidak tercemar oleh ride tide
atau blooming algae.
h. Perlu ada tambahan pengaturan kewenangan mengenai alat
tangkap selain alat tangkap utama, yaitu alat tangkap bantu dan
tambahan. Hal ini untuk meminimalisir konflik antar nelayan di
daerah penangkapan.
8. Pengawasan Perikanan
PUSAT PUU B
K DPR R
I
55
Pengawasan perikanan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pengelolaan perikanan, guna mendukung
terwujudnya kedaulatan pengelolaan perikanan secara berkelanjutan
untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini diharapkan berdampak
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian
perikanan.
Saat ini, terdapat sejumlah permasalahan terkait dengan
pengawasan terhadap pengelolaan sektor perikanan, yaitu:87
1. Di wilayah 12 mil laut provinsi Kalimantan Selatan masih sering
terjadi konflik antara nelayan pendatang dengan nelayan lokal.
Umumnya konflik terjadi karena nelayan pendatang memasuki
wilayah tangkap nelayan lokal. Tidak dapat dipungkiri potensi
perikanan tangkap provinsi Kalimantan Selatan sebesar
339.437,3 ton yang dinilai cukup besar serta kekayaan wilayah
perairan laut yang melimpah turut mengundang nelayan
pendatang yang umumnya berasal dari pulau jawa untuk mencari
dan menangkap ikan di perairan kalimantan selatan. Hal ini
berpotensi konflik besar yang perlu untuk mendapatkan
penanganan secara tepat.
2. Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti
centrang, lampaesar dan pukat yang mengancam ekosistem
lingkungan dan benih ikan ditengarai masih sering terjadi.
Kurangnya kesadaran dan pengetahuan para nelayan tangkap
menjadi akar masalah yang perlu untuk mendapatkan
penangangan baik melalui penindakan maupun sosialisasi dan
upaya preventif lainnya agar kondisi lingkungan tetap terjaga.
3. Keterbatasan sarana dan prasarana serta tenaga sumberdaya
manusia yang memadai merupakan permasalahan klasik yang
kerap terjadi. Hal ini menjadi kendala utama dalam penegakan
dan pengawasan sektor perikanan di Provinsi Kalimantan Selatan.
4. Dokumen tangkap, budidaya, pengangkutan, maupun penjualan
ikan dari dan didalam wilayah provinsi Kalimantan Selatan
maupun di luar wilayah provinsi Kalimantan Selatan yang masih
belum lengkap dimiliki oleh para pelaku usaha perikanan.
87 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Kalimantan Selatan, Loc Cit.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
56
5. Alih fungsi wilayah perikanan menjadi perkebunan yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang dan wilayah.
6. Padat tangkap (overfishing) di perairan pantai.88
7. Di bidang perikanan budidaya, masalah peraturan tata ruang
yang sering kali dilanggar atau tidak dipatuhi tanpa ada tindakan
yang tegas dari pemerintah atau aparat penegak hukum. Bahkan
tidak sedikit aturan tata ruang diganti atau disesuaikan dengan
kepentingan pribadi atau kelompok penguasa.89
Dalam kegiatan pengawasan perikanan, instansi yang
melaksanakan pengawasan di bidang perikanan adalah Ditjen
Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), TNI AL,
Polairud, dan Pokwasmas, yang dilakukan melalui koordinasi intensif.
Terkait dengan kegiatan kegiatan pengawasan di bidang
perikanan tersebut masih terdapat beberapa masalah, antara lain:90
1. pengawasan perairan perbatasan masih lemah, keterbatasan
kapal patroli dan sistem pengawasan;
2. pengawasan pemanfaatan sumber daya ikan yang masih
lemah dan belum efektif; dan
3. IUU Fishing masih terjadi, penegakan hukum/ penanganan kasus
tindak pidana perikanan masih sangat lemah
Mengingat pentingnya kegiatan pengawasan perikanan, maka
diperlukan solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut, yaitu
antara lain:91
a) Pelaksanaan pengawasan perikanan dalam rangka tertib dan
patuh terhadap peraturan perundang-undangan, perlu
dilaksanakan baik dalam bentuk sosialisasi peraturan, maupun
uji petik dan patroli.
b) Perlu penguatan koordinasi lintas sektor pada pengawasan
perikanan yang melibatkan instansi terkait lainnya, yaitu Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Polri, TNI-AL, Satker PSDKP,
Bakamla, dan lain-lain.
88 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung Mangkurat, Loc. Cit.
89 Ibid 90 Ibid. 91 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Maluku, Loc Cit.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
57
c) Pengaturan kewenangan petugas pengawasan perikanan terhadap
Kapal Penangkap Ikan ukuran besar perlu diperketat dan dibatasi
jumlahnya dalam rangka untuk kelestarian sumberdaya ikan.
d) Perlu ada penguatan pengaturan sistem pengawasan pengelolaan
sumberdaya kelautan dan perikananberbasis masyarakat. Hal ini
karena keterlibatan masyarakat menjadi sangat penting, sebab
sarana dan prasarana pengawasan yang disediakan oleh
pemerintah terbatas, dan sudah menjadi adat budaya masing-
masing daerah sebagai wujud rasa tanggung jawab terhadap
sumber penghidupannya, seperti Awig-awig di Bali dan NTB,
Panglima Laut di Aceh, dan Sasi di Maluku.
e) Terkait dengan pengaturan mengenai pengawasan perikanan
budidaya, belum terakakomodir di UU Perikanan maupun Perda.
f) Perlu penguatan sarana prasana, peningkatan kuantitas dan
kualitas aparat SDM pengawas perikanan, dukungan anggaran
untuk biaya operasional yang memadai, keterlibatan Kelompok
Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) yang intensif mengingat hal
tersebut sudah termaktub dalam UU 45/2009 Pasal 67, serta
KEPMEN 58/2001 tentang Tata Cara Pengawasan Masyarakat
dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan
Perikanan.
g) Perlu ada penguatan kewenangan yang sama dengan instansi lain
khususnya pada Polisi Air dalam melakukan patroli di perairan
dengan tidak dibatasi areanya, dan jika memungkinkan sampai di
atas 12 mil, sehingga mempunyai kekuatan hukum dalam
melakukan kegiatan pengawasan perikanan. Contohnya dalam
Pasal 66A ayat (1) yang menyatakan bahwa Pengawas perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 merupakan pegawai
negeri sipil yang bekerja di bidang perikanan yang diangkat oleh
menteri atau pejabat yang ditunjuk, perlu ditambah kata-kata
Polisi Air agar lebih kuat.92
h) Perlu ada pengaturan sanksi yang berat terhadap pelaku bom
ikan di RUU tentang Perikanan agar mempunyai efek jera.
Kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan bom (handak)
dan zat kimia (potassium) tersebut sangat merusak ekosistem
92 Diskusi dengan Kepolisian Perairan Maluku dalam, Loc. Cit.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
58
terumbu karang sehingga bisa berakibat kepunahan keragaman
jenis ikan atau sejenisnya. Kondisi tersebut tentu tidak boleh
dibiarkan berlarut-larut. 93
i) Perlu ada revisi terkait dengan permintaan saksi ahli yang
dihadirkan tidak harus dari pusat, namun bisa dari Provinsi
sehingga akan mempercepat proses penyidikan perkara. Selain
itu, perlu ada penambahan waktu masa penahanan di Pasal 73B,
dan Pasal 76.94
j) Perlu ada kewenangan yang lebih luas, bagi siapa saja tim
pengawas perikanan yang menangkap kapal yang terlibat IUU
Fishing untuk diteruskan atau diproses lebih lanjut hingga
penahanan.95
k) Perlu ada pengaturan yang spesifik mengenai “Operasi Bersama”
antara Bakamla, Polisi Air dan PPNS dalam melakukan kegiatan
penangkapan pelaku IUU Fishing sehingga sinergi dan efektif
serta optimal, walaupun terkadang operasi pengawasan di laut
dilakukan secara mandiri oleh masing-masing instansi. Mengingat
luasnya perairan yang harus diawasi, keterbatasn sarana kapal
pengawas/patroli dan besarnya biaya operasional kapal.96
9. Peran Serta Masyarakat
Pengaturan mengenai peran serta masyarakat di UU
Perikanan saat ini masih dirasa kurang komprehensif. Peran serta
masyarakat masih dinilai belum optimal terutama terkait pengelolaan
wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Terdapat 5 (lima)
kabupaten pesisir dan 126 desa peisir dengan jumlah penduduk
sebesar 686.956 jiwa. Potensi sumber daya manusia ini sayangnya
belum terkelola secara baik, sehingga upaya peningkatan pengelolaan
ekosistem lingkungan, sosial ekonomi, perikanan, dan pengamanan
pulau-pulau pesisir belum terlaksana dengan baik. Kedepannya
peran serta masyarakat baik secara mandiri maupun melalui
93 Ibid. 94 Ibid 95 Ibid. 96 Ibid.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
59
penguatan Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) menjadi
prioritas dalam bidang perikanan dan kelautan.97
Partisipasi aktif masyarakat dalam penyelenggaraan perikanan
juga diperlukan melalui pendampingan atau penyuluhan perikanan,
yang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 98
Dalam kegiatan pengelolaan perikanan, masyarakat masih
menjunjung tinggi adat dalam menjaga kelestarian lingkungan dan
berkelanjutannya ketersedian ikan di daerah mereka. Keberadaan
hukum adat selalu dijunjung tinggi dalam kehidupan keseharian
masyarakat.
Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan pemanfaatan
sumberdaya kelautan dan perikanan menjadi sangat penting,
dikarenakan keterbatasan sarana dan prasarana pengawasan yang
disediakan oleh pemerintah, di lain pihak potensi sumberdaya
pengawasan di masyarakat cukup besar, dan sudah menjadi adat
budaya masing-masing daerah sebagai wujud rasa tanggung jawab
terhadap sumber penghidupannya, seperti Awig-awig di Bali dan NTB,
Panglima Lut di Aceh, dan Sasi di Maluku.
Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat, adalah merupakan
sistem pengawasan yang melibatkan peran aktif masyarakat dalam
mengawasi dan mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya kelautan dan perikanan secara bertanggung jawab.
Peran masyarakat tidak dapat dipandang sebelah mata, banyak
kasus-kasus pencurian dan perusakan terumbu karang yang
dilakukan oleh nelayan asing maupun lokal. Beberapa jenis
pelanggaran pidana yang sering terjadi adalah99: mengoperasikan
kapal penangkapan ikan berbendera asing di ZEEI tidak dilengkapi
Surat Ijin Penangkapan Ikan, penggunaan alat penangkapan ikan
yang tidak sesuai, pengangkutan ikan tidak memiliki Surat
Keterangan Berlayar dari Syahbandar perikanan dan melanggar
ketentuan persyaratan atau standard operasional penangkapan ikan.
97 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Selatan, Loc. Cit.
98 Diskusi dengan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, Provinsi Kalimantan Selatan, Loc. Cit.
99 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon dalam Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 5-9 September 2016.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
60
Selain itu, kegiatan pengawasan sumber daya perikanan
terutama di laut, pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan juga dilakukan oleh TNI-AL, Bakamla dan
Polair, yang dapat dilakukan secara mandiri oleh masing-masing
instansi ataupun melalui operasi bersama (tetapi jarang terjadi)100.
Persoalan yang terjadi di lapangan adalah kendala sarana kapal
pengawas/patrol yang tidak memadai, baik kapasitas, jarak jelajah
dan sudah usangnya kapal patrol tersebut. Luasnya perairan di
Indonesia ini, dengan keterbatasan sarana yang ada pengawasan
tersebut belum maksimal untuk menjangkau perairan di wilayah
tersebut.
Guna menunjang kegiatan pengawasan oleh instansi terkait,
dengan keterbatasan yang telah disebutkan di atas peran serta
masyarakat sebagai pengawas terhadap wilayah dan kekayaan
sumber daya perikanan di wilayah tangkap mereka, masyarakat
nelayan dapat berpartisipasi dan aktif memberikan informasi di
lapangan jika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh kapal-kapal
nelayan asing ataupun local.
Pelibatan masyarakat dalam pengawasan tentu menjadi hal
yan krusial dan penting diikutsertakan terutama dalam pembahasan-
pembahasan program pemerintah yang terkait dengan nelayan.
Bantuan kapal dari pemerintah misalnya, disesuaikan dengan
kebutuhan nelayan lokal dan diberikan sesuai data nelayan yang
benar-benar membutuhkannya, alih-alih bantuan malah jatuh
kepada orang atau kelompok orang yang bukan nelayan, alhasil kapal
bantuan tidak dapat digunakan dengan maksimal.101
Keikutsertaan masyarakat dalam pengawasan, kebutuhan
program terletak pada pengambilan keputusan menyangkut
kebutuhan terpenting bagi mereka sesuai dengan perubahan kondisi
lingkungan dan perubahan sosial, ini berkaitan dengan ketahanan
adaptasi nelayan terhadap persoalan-persoalan tertentu yang
berhubungan dengan persoalan pesisir ketidakpastian hasil
tangkapan serta kerusakan lingkungan/ sumberdaya perikanan yang
menyebabkan penurunan hasil tangkapan mereka.
100 Diskusi dengan Kepolisian Perairan Maluku, Loc. Cit. 101 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung
Mangkurat, Loc. Cit.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
61
10. Pengadilan Perikanan, Penegakan Hukum, dan Sanksi
a. Pengadilan Perikanan
Pada dasarnya pelaksanaan fungsi pengadilan perikanan yang
menuntut suatu proses penyelesaian perkara yang mudah, murah
dan cepat secara umum telah berjalan dengan baik. Beberapa hal
yang menjadi kendala dalam perkara perikanan antara lain:102
1) Permasalahan Waktu Penahanan Tersangka/Terdakwa.
Dalam ketentuan Pasal 37 ayat 6 UU No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan disebutkan bahwa “untuk kepentingan penyidikan,
Penyidik dapat menahan Tersangka paling lama 20 (dua puluh)
hari”, selanjutnya ayat 7 dijelaskan jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat 6 apabila diperlukan guna pemeriksaan
yang belum selesai maka jangka waktu penahanan tersebut dapat
diperpanjang oleh Penuntut Umum untuk paling lama 10
(sepuluh) hari, dengan demikian maka total jangka waktu seorang
ditahan dalam proses penyidikan tindak pidana perikanan adalah
30 (tiga puluh) hari.
Jika dibandingkan masa penahanan tersangka dalam proses
penyidikan tindak pidana perikanan dengan tindak pidana umum
sebagaimana ditentukan dalam KUHAP maka penyidikan tindak
pidana perikanan lebih singkat, hal ini merupakan tantangan dan
kendala sendiri karena pihak penyidik dituntut untuk secepat
mungkin menyelesaikan proses penyidikan dalam waktu yang
relatif singkat. Bahwa ditinjau dari prespektif asas penanganan
suatu tindak pidana dalam kerangka penegakan hukum yang
mengedepankan asas cepat adalah sesuatu yang baik, namun hal
ini menjadi persoalan tersendiri jika penyidik menjadikan waktu
penahanan yang singkat sebagai alasan dalam menyiapkan hal-
hal terkait dengan pembuktian perkara, sehingga pembuktian
lemah dan tidak sempurna yang pada akhirnya dapat
menyebabkan pembuktian di persidangan tidak maksimal dan
memungkinkan terdakwa lepas dari tuntutan hukum.
2) Tentang Persoalan Mengadili Tanpa Kehadiran Terdakwa (In
absensia).
102 Ibid.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
62
Berkaitan dengan pemeriksaan sidang pengadilan secara In
Absensia muncul persoalan manakala terjadi, seorang tersangka
yang meninggal dunia ketika perkaranya hendak dilimpahkan ke
Pengadilan untuk disidangkan, hal ini menimbulkan masalah
tersendiri karena disatu sisi dengan kematian tersangka tersebut
menjadikan perkara dinyatakan ditutup demi hukum, namun
disisi lain perkara tersebut tidak selesai sehingga upaya untuk
melakukan perampasan barang bukti kapal sebagai modal
merehabilitasi kerugian negara akibat adanya IUU Fishing tidak
tercapai dengan baik.
Persoalan tersebut pernah terjadi pada tahun 2013 dalam perkara
atas nama Mr. Jaruey Kamthong/Nahkoda KM.SF2-3872. Pada
waktu itu penyidik hendak melimpahkan perkara meskipun
Tersangka telah meninggal dunia dengan mendasarkan pada
ketentuan Pasal 79 UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Pihak Kejaksaan Negeri setempat berkeberatan dengan
pelimpahan perkara dimaksud dengan berdasar kepada ketentuan
Pasal 77 KUHP. Terhadap permasalahan tersebut menurut
pendapat penulis hal tersebut harus dikaitkan dengan asas
legalitas. Secara yuridis undang-undang telah melakukan suatu
pembatasan khusus tentang hapusnya pertanggungjawaban
pidana, pengaturan tersebut dapat dilihat dalam Bab VIII tentang
hapusnya kewenangan menuntut pidana. Pasal 77 bab tersebut
disebutkan, “Kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh
meninggal dunia”.
Ini mengindikasikan bahwa bagi seseorang tersangka yang telah
meninggal dunia maka tidak dapat dilakukan penuntutan oleh
jaksa penuntut umum, ketentuan ini tidak saja membatasi
pertanggung jawaban hukum pelaku tindak pidana yang telah
meninggal dunia akan tetapi lebih dari itu ada kandungan/nilai-
nilai kemanusian yang tersirat di dalamnya. Oleh karena itu, bagi
pelaku yang telah meninggal dunia tidak dapat dilanjutkan proses
hukumnya, tidak boleh ada dalam proses penegakan hukum itu
dilakukan dengan cara melanggar hukum juga, tidak ada alasan
baik yuridis maupun filosofis yang dapat dijadikan argumentasi
pembenar untuk tetap melakukan penuntutan bagi pelaku tindak
pidana yang telah meninggal dunia.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
63
Harus dipahami maksud ketentuan Pasal 79 UU No. 31 Tahun
2004 tersebut adalah ditekankan pada proses persidangan,
artinya pada tahap penyidikan tersangka masih ada namun ia
tidak ada lagi pada tahap persidangan dan alasan ketiadaan
terdakwa di sidang tersebut diterjemahkan dalam bentuk seperti
melarikan diri, bukan karena kematian. Jika terdakwa dalam
proses persidangan melarikan diri, maka persidangan tetap
dilangsungkan secara In Absensia, namun jika meninggal maka
perkara dimaksud haruslah dinyata-kan ditutup demi hukum
dengan mengacu pada ketentuan Pasal 77 KUHP.
3) Bahasa
Nelayan asing umumnya hanya dapat berkomunikasi
menggunakan bahasa daerah asalnya sehingga proses
pemeriksaan di pengadilan sangat tergantung oleh penterjemah.
Secara umum penterjemah yang memahami bahasa daerah
nelayan asing tersebut sulit ditemukan.
4) Saksi
Saksi penangkap utamanya dari Angkatan Laut tidak pernah
dapat dihadirkan di pengadilan untuk memberikan kesaksian
dengan alasan sedang tugas patroli di laut. Hal ini tidak
memungkin dilakukan pengecekan/konfirmasi keterangan pada
saat pemeriksaan di pengadilan khususnya keterangan dari saksi
penangkap yang tidak diakui/dibantah oleh terdakwa. Selain itu,
Sulit menghadirkan ahli sesuai bidang kompetensi yang
diperlukan dan saksi yang dihadirkan belum dilengkapi sertifikat
keahlian.
5) Permasalahan Pemanfaatan Kembali Barang Bukti berupa
Kapal.
Berdasarkan ketentuan Pasal 104 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun
2004, benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau
yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas
untuk negara, dan hampir pasti ditemui Jaksa Penuntut Umum
akan menuntut agar kapal yang digunakan sebagai alat dirampas
untuk negara terlebih apabila kapal tersebut adalah kapal nelayan
asing. Ketika tuntutan Jaksa Penuntutan Umum tersebut
dikabulkan oleh hakim, maka benda yang dirampas tersebut
PUSAT PUU B
K DPR R
I
64
sudah sah menjadi hal milik negara untuk selanjutnya yang
menjadi permasalahan kemudian adalah pemanfaatan kapal-
kapal dimaksud sehingga tidak rusak sia-sia di dermaga.
Terkait dengan hukum acara di bidang perikanan, saat ini
keberlakuannya masih dirasa kurang efektif. Pemerintah dalam
hal ini telah mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 14
Tahun 2000 tentang Pemanfaatan Kapal Perikanan yang
dinyatakan dirampas untuk negara. Dalam point pertama Keppres
tersebut disebutkan kapal perikanan berserta kelengkapannya
yang dinyatakan dirampas untuk negara, dimanfaatkan untuk
meningkatkan kemampuan nelayan kecil dan nelayan
transmigran dalam usaha penangkapan ikan. Namun demikian
pemanfaatan kapal tersebut bukannya tanpa persoalan karena
dalam praktiknya terdapat beberapa kendala yaitu, pertama pada
umumnya kapal nelayan asing yang dirampas banyak diantanya
menggunakan teknologi penangkapan ikan yang tidak bisa
digunakan oleh nelayan tradisional kita sehingga kapal yang
diserahkan tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal.103
Kendala kedua dalam upaya pemanfaatan barang bukti
kapal ini adalah bahwa menurut informasi kapal yang telah
ditangkap karena melakukan tindak pidana perikanan tidak bisa
diterbitkan izin usahanya lagi, hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya ada kekhawatiran jika pihak korporasi tempat
kapat tersebut disita bernaung akan melakukan upaya
memperoleh kembali kapal tersebut dengan cara membeli untuk
kemudian digunakan lagi melakukan usaha penangkapan ikan.
Alasan lain mengapa kapal yang ditangkap tidak bisa lagi
diberikan izin melakukan usaha penangkapan ikana karena
berdasarkan Code of Conduct for Responsible Fisheries
(CCRF) menyatakan bahwa pengelolaan perikanan yang lestari dan
bertanggung jawab perlu dilaksanakan dengan pemberian tanda
terhadap kapal ikan, alat penangkapan ikan dan alat bantu
penangkapan. Pemberian tanda dimaksudkan untuk
mempermudah pemantauan, pengawasan, dan evaluasi terhadap
setiap pelaku penangkapan ikan. Dan bagi kapal ikan yang
103 Ibid.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
65
ditangkap kerena melakukan IUU Fishing tidak akan diberi tanda
lagi, oleh karena itu secara universal kapal dimaksud dianggap
kapal yang tidak memiliki tanda khusus/kapal ilegal.104
Sampai saat ini penyidikan terfokus (sebagian besar)
dilakukan untuk tindak pidana di bidang penangkapan ikan
terutama di wilayah perairan ZEEI dan kurang menyentuh tindak
pidana di bidang budidaya, pengolahan serta tindak pidana yang
terjadi di perairan territorial. Untuk itu diperlukan upaya untuk
penguatan lembaga penyidik perikanan khususnya PPNS dan
Polri berupa peningkatan kemampuan teknis penyidikan,
dukungan pembiayaan serta penyediaan sarana dan prasaran
pendukung agar dapat menjangkau dan menangani seluruh
tindak pidana di bidang perikanan.
Selain alat bukti yang telah di atur di dalam KUHAP, untuk
memudahkan pembuktian pada proses pemeriksaan di pengadilan
perlu ditambahkan alat elektonik. Hal ini berkaitan dengan
pembuktian lokasi (lokus) terjadinya tindak pidana yang
memerlukan data dari alat elektronik seperti Vessel Monitoring
System (VMS), GPS dll.
Tempat penyimpanan barang bukti tindak pidana
perikanan khususnya Kapal, sampai saat ini belum ada. Untuk
menyiasati masalah tersebut maka barang bukti kapal, jaring dan
uang hasil lelang di titipkan di JPU berdasarkan berita acara
penitipan barang.
Pasal 80 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan perkara
dari penuntut umum hakim harus menjatuhkan putusan, namun
tidak disebutkan mekanisme apabila waktu tersebut terlampaui.
b. Penegakan Hukum
Pelaksanaan Pasal 69 ayat (4) UU Perikanan yaitu tindakan
khusus berupa pembakaran atau penenggelaman kapal berdasar
bukti permulaan yang cukup dilakukan oleh Penyidik dan/atau
pengawas perikanan apabila diyakini bahwa kapal ikan asing tersebut
benar-benar melakukan tindak pidana perikanan di WPPNRI tanpa
SIPI atau SIKPI.105 Tindakan ini perlu dilakukan secara hati hati
104 Ibid. 105 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
66
karena berpotensi melanggar ketentuan UNCLOS Pasal 57 ayat (1)
yang menjamin kebebasan pelayaran di wilayah perairan ZEE. Di
wilayah ZEE kapal penangkap ikan berbendera asing dapat berlayar
bebas dengan syarat seluruh alat penangkap ikan di simpan di dalam
palka sesuai Pasal 38 ayat (1). Demikian pula dengan kapal
pengangkut ikan yang mengangkut ikan bukan dari hasil tangkapan
di WPP Indonesia dapat berlayar tanpa perlu dilengkapi dengan
SIKPI.Penenggelaman kapal yang dilakukan penyidik berdasarkan
ketentuan Pasal 69 ayat (4) pada prinsipnya bertentangan dengan
asas praduga tidak bersalah oleh sebab itu maka penenggelaman
sebaiknya dilakukan setelah ada keputusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap.106
Untuk mendukung pengembangan usaha perikanan bagi
nelayan kecil maka kapal dan alat tangkap ikan yang telah disita
sebaiknya tidak ditengggelamkam atau dimusnahkan tetapi di
serahkan kepada kelompok bersama usaha nelayan dan atau
koperasi perikanan sesuai ketentuan Pasal 76C ayat (5).107
Kegiatan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU
Fishing) tidak semua dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
kejahatan. Yang dimaksud dengan tindak pidana kejahatan, apabila
telah melanggar ketentuan Pasal 8 ayat (1) s/d ayat (4), Pasal 9, Pasal
12 ayat (1) s/d ayat (4), Pasal 16 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 26
ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28 ayat (1).108
Pemerintah dituntut harus aktif dan konsistem melakukan
perjanjian kerjasama penaggulangan IUU Fishing baik secara bilateral
maupun multilateral. Selain itu dukungan pemenuhan kebutuhan
aparat yang tangguh yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana
yang memadai antara lain berupa kapal pengawas serta memperkuat
pos penjagaan di daerah perbatasan dengan memperhatikan
perekonomian mereka. Permasalahan IUU Fishing juga terkait karena
kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang hukum
perikanan sehingga perlu dilakukan sosialisasi yang melibatkan
semua pihak baik aparat penegak hukum maupun pihak swasta
secara berkelanjutan. Hal ini ditujukan untuk menghindari adanya
106 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon, Loc Cit. 107 Ibid. 108 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
67
penafsiran hukum yang berbeda antar aparat penegak hukum.
Koordinasi antar-lembaga terkait perlu di lakukan secara konsisten
dalam penegakan hukum perikanan sehingga dengan kewenangan
yang mereka miliki masing-masing dapat mencapai tujuan yang
sama.109
c. Sanksi
Sanksi pidana dalam UU Perikanan masih belum efektif dan
kurang memberikan efek jera bagi para pelaku tindak pidana.
Contohnya untuk jenis pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf m
dan huruf n, sanksinya masih terlalu ringan dan tidak akan pernah
memberikan efek jera bagi pelaku, sehingga disarankan agar sanksi
pidana denda dinaikan dari Rp. 250.000.000 menjadi paling banyak
Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) ditambah dengan pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan.110
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 35A ayat (3) mengenai
penggunaan nahkoda dan anak buah kapal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administrasi berupa
peringatan, pembekuan izin atau pencabutan izin yang diberikan
secara bertahap.111Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk
penyerapan tenaga kerja Indonesia di bidang perikanan, karena pada
pelaksanaannya pasal ini tidak dapat menyentuh operator kapal
dengan alasan investor asing. Selain itu perlu dilakukan monitoring
atau pengecekan terinci oleh masing-masing instansi yang
mengeluarkan surat izin.112
Pelanggaran terhadap jenis, jumlah dan ukuran alat
penangkap ikan sebagai mana di atur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a
sebaiknya diatur dalam satu pasal tersendiri dan digolongkan
sebagai satu tindak pidana kejahatan sesuai pasal Pasal 103 ayat (1),
karena pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat menyebabkan
berbagai jenis dan ukuran ikan non target ikut tertangkap sehingga
berpotensi membahayakan kelestarian sumber daya ikan.113
109 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon, Loc Cit. 110 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit. 111 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon, Loc Cit. 112 Diskusi dengan Kepolisian Perairan Maluku, Loc Cit. 113 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon, Loc Cit.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
68
Sanksi bagi korporasi yang melakukan tindak pidana
perikanan hendaknya dijatuhkan hanya kepada korporasi dalam
bentuk denda bukan kepada pengurus sebagaimana di atur dalam
Pasal 101.114
Ketentuan Pasal 102 yang tidak membolehkan pidana penjara
bagi nelayan asing yang melakukan tindak pidana di ZEE Indonesia
kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia
dengan pemerintah negara yang bersangkutan, bertentangan dengan
asas equality before the law bahwa semua orang sama kedudukannya
dimata hukum. Disamping itu penjatuhan hukuman denda semata
tanpa di barengi dengan pemberian hukuman pengganti akan
menyulitkan nelayan asing yang tidak mampu membayar denda.
Nasib nelayan tersebut, terkatung katung tidak akan diizinkan oleh
pihak imigrasi untuk pulang kenegaranya selama kewajiban denda
belum dibayarkan. Oleh sebab itu perlu dipertimbangkan suatu
bentuk hukuman pengganti berupa kurungan bagi nelayan asing
yang tidak mampu membayar denda.115
Untuk efektifitas penerapan sanksi terhadap tidak pidana
perikanan yang terjadi diperlukan pemahaman yang baik dari
petugas penyidik dan JPU untuk menganalisa dan mengidentikasi
bentuk pelanggaran yang terjadi, apakah digolongkan ke dalam
tindak kejahatan atau pelanggaran. Untuk itu diperlukan upaya
peningkatan kemampuan dan kapasitas aparat melalui kegiatan
pembinaan dan pelatihan secara teratur.116
D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan
Diatur Dalam Undang-Undang Terhadap Aspek Kehidupan
Masyarakat Dan Dampaknya Terhadap Aspek Beban Keuangan
Negara
1. Implikasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan Diatur Dalam
Undang-Undang Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat
Beberapa materi muatan baru yang akan diatur dalam Undang-
Undang Perikanan tentu akan menimbulkan implikasi terhadap
masyarakat. Beberapa hal yang dimungkinkan akan mempengaruhi
114 Ibid. 115 Ibid. 116 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
69
usaha perikanan serta penyelenggaraan perikanan secara
keseluruhan dapat diuraikan berikut ini:
a. pengaturan mengenai usaha perikanan budidaya diatur lebih
komprehensif diharapkan dapat memberikan implikasi terhadap
meningkatnya hasil perikanan budidaya yang dapat menunjang
potensi perikanan di Indonesia selain dari hasil perikanan
tangkap.
b. pengaturan mengenai Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) dalam
implementasinya diharapkan dapat mengatasi berbagai persoalan
perikanan, karena:
1) SLIN merupakan implementasi konsep logistik berbasis
komoditas, yaitu melakukan penanganan (penyimpanan dan
pengiriman) dan mengembangkan sarana dan prasarananya
sesuai dengan karakteristik komoditas.
2) SLIN menggunakan prinsip supply chain management (SCM)
dengan mengintegrasikan proses-proses pengadaan,
penyimpanan, transportasi, dan distribusi, dengan melibatkan
kementerian-kementerian terkait, pemerintah daerah, pelaku
usaha, hingga nelayan dan pembudidaya ikan.
3) SLIN menggunakan pendekatan komoditas unggulan,
wilayah/kawasan, dan konektivitas sesuai dengan potensi
daerah.
Pengaturan SLIN diharapkan dapat berperan dalam:
1) mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan
pangan nasional melalui jaminan ketersediaan,
keterjangkauan, dan keberlanjutan untuk pemenuhan
konsumsi ikan dan industri pengolahan ikan; dan
2) memenuhi konsumsi ikan dan industri pengolahan ikan
melalui jaminan terhadap pengadaan, penyimpanan,
transportasi, dan distribusi ikan dan produk perikanan, serta
bahan dan alat produksi.
c. pengaturan mengenai sistem data dan informasi perikanan yang
mewajibkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya untuk membangun, menyusun,
mengembangkan, dan menyediakan sistem data dan informasi
Perikanan diharapkan dapat memperkuat penyelenggaraan
perikanan terutama pada saat perencanaan. Dengan adanya
PUSAT PUU B
K DPR R
I
70
sistem data dan informasi yang mutakhir dan akurat potensi
perikanan di Indonesia juga dapat lebih terukur dan terjaga
kelestariannya.
d. pengaturan tersendiri mengenai konservasi perikanan diharapkan
dapat menjamin keberadaan, ketersediaan, dan
kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan. Dengan
penguatan pengaturan Konservasi sumber daya ikan yang
dilakukan melalui konservasi ekosistem, jenis ikan, dan sumber
daya genetik ikan diharapkan juga peran serta masyarakat agar
lebih peduli terhadap potensi sumber daya ikan serta pengelolaan
perikanan secara keseluruhan.
e. pengaturan mengenai kewenangan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah yang disesuaikan dengan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah setidaknya
mempengaruhi beberapa urusan kewenangan di bidang kelautan
dan perikanan pada pemerintahan daerah seperti:
1) Kelembagaan
a) Kelembagaan kelautan dan perikanan hanya ada di
provinsi.
b) Kelembagaan yang ada di kabupaten/kota berganti status
menjadi cabang dinas atau UPTD provinsi.
c) Perlu pengaturan pemindahan P3D (personil, pembiayaan,
sarana dan prasarana, dan dokumen).
d) Tahap transisi dilakukan melalui mekanisme tugas
pembantuan dari provinsi ke kabupaten/kota.
2) Personil (ASN) Daerah
a) Personil (ASN) Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) di
kabupaten/kota dapat beralih status menjadi pegawai
provinsi.
b) Bagi personil kabupaten/kota yang tidak mau beralih
status, kekosongan diisi oleh personil provinsi.
c) Tata cara pengubahan status kepegawaian di fasilitasi BKN
regional.
d) Pemerintah pusat menentukan standar kompetensi bagi
pejabat DKP terkait seleksi terbuka sesuai UU ASN;
3) Keuangan Daerah
PUSAT PUU B
K DPR R
I
71
a) Kewajiban penganggaran menjadi kewenangan provinsi
(money follow function).
b) Bantuan keuangan pusat kedepan hanya diperuntukan
bagi provinsi.
4) Pelayanan Publik
a) Perijinan terkait kelautan dan perikanan akan beralih ke
provinsi.
b) Perijinan harus diatur oleh Norma, Standar, Prosedur dan
Kriteria (NSPK) yang jelas.
c) NSPK jadi lebih rumit karena ada yang bersifat cross-
cutting ketika terkait dengan kementerian atau lembaga
lain.
5) Bimbingan dan Pengawasan (BinWas)
a) BinWas tekhnis dilakukan langsung oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan.
b) BinWas umum dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri.
c) Rule of engagement atau interface antara BinWas umum
dan teknis harus diatur antara kedua kementerian di atas.
d) Pengawasan terhadap Unit Pelaksana Tekhnis Daerah
(UPTD) atau cabang dinas provinsi dilakukan oleh
inspektorat provinsi.
2. Kajian Ekonomi dan Dampak Pelaksanaan Perubahan Undang-
Undang tentang Jalan terhadap Aspek Beban Keuangan Negara
Kajian ekonomi dan dampak pelaksanaan dari RUU Perikanan
ini tidak mengalami banyak perubahan terhadap aspek beban
keuangan negara. Namun demikian ada beberapa pengaturan yang
memang memberi dampak pada aspek keuangan negara seperti
pengaturan mengenai pungutan Perikanan dan pembentukan
Pengadilan Perikanan.
Pungutan perikanan berdampak pada jumlah pendapatan
negara bukan pajak (PNBP) yang tercatat meningkat dari Rp 77,49
miliar pada tahun 2015 menjadi Rp 360,86 miliar pada tahun 2016.
Kenaikan pencapaian PNBP pada tahun 2016 disebabkan
pemberlakuan Peraturan Pemerintah yang menaikkan tarif pungutan
hasil perikanan secara progresif dengan menerapkan formula baru
bagi sistem pemungutan retribusi kegiatan kelautan dan perikanan.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
72
Pembentukan Pengadilan Perikanan pada dasarnya dilakukan
secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
keuangan Negara. Oleh karena itu, seiring dengan peningkatan
penegakan hukum terutama untuk menindaklanjuti tindak pidana
perikanan maka penambahan Pengadilan Perikanan tentunya akan
menambah beban penggunaan keuangan Negara, seperti perekrutan
hakim ad hoc serta pembangunan sarana dan prasarana Pengadilan
Perikanan.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
73
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT
A. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki
luas wilayah laut yang dapat dikelola sebesar 5,8 juta km2 yang
memiliki keanekaragaman sumberdaya kelautan dan perikanan yang
sangat besar. Potensi lestari sumber daya ikan atau perairan laut
Indonesia sebesar 7,2 juta ton per tahun, dengan jumlah tangkapan
yang diperbolehkan sebesar 7,0 juta ton/tahun. Indonesia sebagai
negara maritim terbesar di dunia, memiliki kekayaan alam sangat
besar dan beragam, baik berupa sumber daya alam (SDA) terbarukan
(perikanan, terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove,
rumput laut, dan produk-produk bioteknologi), SDA tak terbarukan,
energi kelautan (seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC
(Ocean Thermal Energy Conversion), maupun jasa-jasa lingkungan
kelautan dan pulau-pulau kecil untuk pariwisata bahari, transportasi
laut, dan sumber keragaman hayati serta plasma nutfah. Kekayaan
alam tersebut menjadi salah satu modal dasar yang harus dikelola
dengan optimal untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat Indonesia.
Potensi perikanan yang sangat besar di Indonesia menjadi salah
satu sumber kekayaan Indonesia merupakan rahmat dari Tuhan
Yang Maha Esa yang harus dikelola, dimanfaatkan, dan dilestarikan
secara bertanggungjawab dan berkelanjutan, demi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah juga wajib mengelola potensi sumber daya perikanan
Indonesia dengan menguasai perairan perikanan Indonesia dan
mengelolanya demi sebesar-besranya kemammuran rakyat. Hal ini
sesuai dengan amanah Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang
menyatakan: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemammuran rakyat.”
PUSAT PUU B
K DPR R
I
74
B. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Saat ini regulasi yang mengatur tentang penyelenggaraan
perikanan dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 (yang selanjutnya disebut UU Perikanan). Pada
dasarnya UU Perikanan ditujukan untuk pemanfaatan sumber daya
ikan secara lestari melalui penangkapan ikan, pembudidayaan ikan,
pengolahan dan pemasaran hasil perikanan, dan meningkatkan
ekspor, serta meningkatkan taraf hidup nelayan.
Namun dalam praktiknya timbul permasalahan terkait dengan
keberlakuan UU Perikanan yaitu dengan banyaknya praktik-praktik
Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing yang terjadi di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI),
baik yang dilakukan oleh kapal-kapal perikanan Indonesia (KII)
maupun oleh kapal-kapal perikanan asing menyebabkan kerugian
baik dari aspek sosial, ekologi/lingkungan, maupun ekonomi. Namun
saat ini UU Perikanan belum mengakomodir ketentuan mengenai IUU
Fishing sehingga banyak sekali kasus IUU Fishing yang terjadi di
Indonesia.
Dalam penyelenggaraan perikanan masih banyak terdapat
konflik yang dialami nelayan misalnya seperti konflik yang terjadi di
wilayah perbatasan antara nelayan Indonesia dengan nelayan asing,
konflik yang disebabkan oleh pembagaian wilayah tangkapan dimana
banyak sekali kapal penangkapan ikan dari pihak asing yang
melakukan pemanfaatan perikanan di wilayah perairan Indonesia, hal
ini disebabkan karena belum optimalnya rencana tata ruang dan
rencana zonasi dalam sektor perikanan untuk perikanan tangkap.
Keterbatasan armada penangkapan ikan yang masih
didominasi oleh kapal berukuran kecil menjadi suatu permasalahan
yang dialami oleh nelayan, karena hal ini menyebabkan jangkauan
wilayah penangkapan ikan menjadi terbatas sehingga jumlah
tangkapan yang didapat menjadi sedikit. Permasalahan lain yang
sering dihadapi nelayan yaitu dalam proses perizinan baik perizinan
usaha penangkapan ikan maupun perizinan kapal perikanan. Dalam
PUSAT PUU B
K DPR R
I
75
praktiknya terdapat banyak permasalahan yang dialami oleh
pembudidaya perikanan seperti tumpang tindihnya pemanfaatan
lahan; terbatasnya prasarana saluran irigasi; terbatasnya
ketersediaan serta distribusi induk dan benih unggul; tingginya harga
pakan menyebabkan hasil dari budidaya ikan masih belum
maksimal; serangan hama dan penyakit ikan/udang; adanya
pencemaran yang mempengaruhi kualitas lingkungan perikanan
budidaya.
Jika melihat lingkup pengaturan dalam UU Perikanan saat ini
lebih menitikberatkan kepada perikanan tangkap, sedangkan
pengaturan perikanan budidaya dirasa belum komprehensif.
Sehingga dalam praktiknya perikanan budidaya membutuhkan
pengaturan yang lebih komperhensif mengingat potensi dan
pengembangannya perikanan budidaya ke depan akan semakin
signifikan. Di samping itu penggunaan sumberdaya kelautan dan
perikanan yang belum memperhatikan kearifan lokal menjadi salah
satu dampak yang diakibatkan karena hal tersebut yaitu kerusakan
lingkungan laut dan pencemaran laut, pencurian ikan (illegal fishing)
dan gejala penangkapan ikan yang berlebihan. Lemahnya
kemampuan nelayan dalam melakukan pemasaran produk juga
menjadi salah satu kendala dalam pengembangan usaha nelayan
untuk menjadi usaha yang maju.
Sampai saat ini penyidikan dalam kasus perikanan sebagian
besar terfokus untuk tindak pidana di bidang penangkapan ikan
terutama di wilayah perairan ZEEI dan kurang menyentuh tindak
pidana di bidang budidaya, pengolahan serta tindak pidana yang
terjadi di perairan territorial. Penjatuhan sanksi pidana yang terdapat
dalam UU Perikanan belum memberikan efek jera terhadap tindak
pidana di bidang perikanan. Sedangkan ketentuan pengaturan
mengenai keterlibatan masyarakat dalam sektor perikanan dalam UU
Perikanan masih sangat terbatas yakni hanya pada pengawasan
perikanan.
Hal lain yang menyebabkan perlunya dilakukan perubahan
terhadap UU Perikanan yaitu dengan diterbitkannya beberapa
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perikanan maka
perlu dilakukan sinkronisasi kewenangan pemerintah dan
pemerintah daerah dibidang perikanan terkait dengan keberlakuan
PUSAT PUU B
K DPR R
I
76
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan
Daerah, sinkronisasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya
Ikan, dan Petambak Garam, UU No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan,
dan UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil.
C. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan
dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak
Garam (UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan)
UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan merupakan dasar
hukum yang berlaku di Indonesia dalam menyelenggarakan
perlindungan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam
termasuk keluarga nelayan dan pembudi daya ikan yang melakukan
pengolahan dan pemasaran, sehingga memberikan jaminan kepastian
hukum serta keadilan bagi mereka agar mencapai sasaran yang
maksimal. Nelayan di dalam UU ini mencakup nelayan, nelayan kecil,
nelayan tradisional, nelayan buruh, dan nelayan nelayan pemilik.
Adapun pembudidaya ikan mencakup pembudidaya ikan,
pembudidaya ikan kecil, penggarap lahan budi daya, dan pemilik
lahan budidaya. UU ini juga mencakup petambak garam, petambak
garam kecil, penggarap tambak garam dan pemilik tambak garam.
Adapun keterkaitan UU Perlindungan dan Pemberdayaan
Nelayan dengan UU Perikanan adalah meliputi definisi perikanan dan
usaha perikanan (Pasal 1 angka 20 dan angka 22 UU Perlindungan
dan Pemberdayaan Nelayan), komoditas perikanan (Pasal 1 angka 24
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan), subyek pelaku di bidang
perikanan yaitu nelayan dan pembudidaya ikan (Pasal 1 angka 3
sampai dengan angka 4, dan angka 9 sampai dengan angka 12 UU
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan), upaya-upaya
pemberdayaan dan perlindungan bagi nelayan dan pembudidaya ikan
(Bab IV dan Bab V UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan).
Salah satu permasalahan yang timbul adalah ketidaksinkronan
mengenai definisi “nelayan kecil” yang ada di UU Perikanan dan UU
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Pasal 1 angka 11 UU
PUSAT PUU B
K DPR R
I
77
Perikanan mendefinisikan “nelayan kecil adalah orang yang mata
pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan
berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT)”. Adapun ketentuan
Pasal 1 angka Pasal 1 angka 4 UU Perlindungan dan Pemberdayaan
Nelayan mendefinisikan “nelayan kecil adalah Nelayan yang
melakukan Penangkapan Ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap Ikan
maupun yang menggunakan kapal penangkap Ikan berukuran paling
besar 10 (sepuluh) gros ton (GT)”.
Definisi nelayan yang berbeda tersebut akan menimbulkan
permasalahan hukum dalam implementasi penyelenggaraan
perikanan khususnya yang terkait dengan pengaturan terhadap
“nelayan kecil” karena menyangkut substansi pengaturan yang ada di
Bab X, Pasal 60 sampai dengan Pasal 64 UU No. 31 Tahun 2004 dan
ketentuan lainnya yaitu ketentuan “pengecualian” terhadap
kewajiban mematuhi ketentuan mengenai sistem pemantauan kapal
perikanan (Pasal 7 ayat (3) UU No. 45 Tahun 2009), kewajiban
memiliki SIPI dan/atau membawa SIPI asli (Pasal Pasal 27 ayat (5)
dan Pasal 28 ayat (4) UU No. 45 Tahun 2009), pungutan perikanan
(Pasal 48 ayat (2) UU No. 45 Tahun 2009), dan keringanan pengenaan
sanksi pidana dan denda (Pasal 100B dan Pasal 100C UU No. 45
Tahun 2009).
Definisi pembudi daya ikan dalam UU Perikanan yang berbunyi
“Pembudi daya Ikan adalah setiap orang yang mata pencahariannya
melakukan pembudidayaan ikan.” perlu disesuaikan dengan Pasal 1
angka 9 UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya
Ikan, dan Petambak Garam yang berbunyi “Pembudi daya Ikan
adalah setiap orang yang mata pencahariannya melakukan
pembudidayaan ikan air tawar, ikan air payau, dan ikan air laut.”
Karena saat ini telah ada UU Perlindungan dan Pemberdayaan
Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, substansi
pengaturan terkait perlindungan dan perberdayaan nelayan yang ada
di UU Perikanan, substansinya disinkronkan atau jika perlu dihapus,
karena sudah cukup diatur di UU Perlindungan dan Pemberdayaan
Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, selain juga
PUSAT PUU B
K DPR R
I
78
untuk memperkecil kemungkinan tumpang tindih atau tidak sinkron
di antara keduanya.
Materi yang terkait dengan usaha-usaha bagi perlindungan dan
pemberdayaan nelayan yang ada di UU Perikanan harus disinkronkan
dengan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, yang mencakup
substansi definisi nelayan dan pembudidaya ikan (Pasal 1 angka 10
sampai dengan angka 13 UU No. 45 Tahun 2009), tujuan
penyelenggaraan perikanan, pemberdayaan nelayan, system
pemantauan kapal perikanan (Pasal 7 ayat (3) UU No. 45 Tahun
2009), kebersamaan dan kemitraan (Pasal 25 (2) UU No. 45 Tahun
2009), kewajiban dan pengecualian pemilikan SIPI dan SIKPI (Pasal
27 ayat (5) dan Pasal 28 ayat (4) UU No. 45 Tahun 2009), pungutan
perikanan, pelestarian perikanan, dan pemanfaatan bahan rampasan
dari hasil tindak pidana dibidang perikanan. Semua substansi
tersebut harus sinkron pengaturannya antara UU Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan dan UU Perikanan.
D. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan (UU
Kelautan)
NKRI sebagai negara kepulauan memiliki sumber daya alam
yang melimpah yang merupakan rahmat dan karunia Tuhan Yang
Maha Esa bagi seluruh bangsa dan negara Indonesia yang harus
dikelola secara berkelanjutan untuk memajukan kesejahteraan
umum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Wilayah laut sebagai bagian
terbesar dari wilayah Indonesia yang memiliki posisi dan nilai
strategis dari berbagai aspek kehidupan yang mencakup politik,
ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan merupakan
modal dasar pembangunan nasional. UU Kelautan ini disusun untuk
memberikan kepastian hukum dalam pengelolaan dan pemanfaatan
kelautan serta untuk menegaskan bahwa Indonesia merupakan
negara kepulauan.
UU kelautan disusun dengan tujuan untuk menegaskan
Indonesia sebagai negara kepulauan berciri nusantara dan maritim;
mendayagunakan Sumber Daya Kelautan dan/atau kegiatan di
wilayah laut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan hukum laut internasional demi tercapainya
PUSAT PUU B
K DPR R
I
79
kemakmuran bangsa dan negara; mewujudkan laut yang lestari serta
aman sebagai ruang hidup dan ruang juang bangsa Indonesia;
memanfaatkan sumber daya kelautan secara berkelanjutan untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan bagi generasi sekarang tanpa
mengorbankan kepentingan generasi mendatang; memajukan budaya
dan pengetahuan Kelautan bagi masyarakat; mengembangkan
sumber daya manusia di bidang Kelautan yang profesional, beretika,
berdedikasi, dan mampu mengedepankan kepentingan nasional
dalam mendukung Pembangunan Kelautan secara optimal dan
terpadu; memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi seluruh
masyarakat sebagai negara kepulauan; dan mengembangkan peran
NKRI dalam percaturan kelautan global sesuai dengan hukum laut
internasional untuk kepentingan bangsa dan negara.
Kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan dalam UU
Kelautan meliputi wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan
kepulauan, dan laut teritorial, termasuk ruang udara di atasnya serta
dasar laut dan tanah dibawahnya termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat
(2) UU Kelautan. Keterkaitan UU Kelautan dengan UU Perikanan
terletak dalam pengelolaan kelautan, karena salah satu bentuk
pengelolaan kelautan Indonesia yaitu dalam sektor perikanan. Dalam
UU Kelautan dikatakan bahwa wilayah Laut terdiri atas wilayah
perairan dan wilayah yurisdiksi serta laut lepas dan kawasan dasar
laut internasional. Di wilayah laut Indonesia yang terdiri atas wilayah
perairan dan wilayah yurisdiksi serta laut lepas dan kawasan dasar
laut internasional. Pemerintah berhak melakukan pengelolaan dan
pemanfaatan kekayaan alam dan lingkungan laut. Wilayah perairan
meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial.
Sedangkan wilayah yurisdiksi meliputi Zona Tambahan, ZEE, dan
Landas Kontinen. Dapat dikatakan bahwa pengelolaan dan
pemanfaatan kelautan yang salah satunya dilakukan melalui sektor
perikanan dapat dilakukan di perairan pedalaman, perairan
kepulauan, dan laut teritorial, Zona Tambahan, ZEE, Landas
Kontinen, laut lepas, dan kawasan dasar laut internasional. Jika
melihat ketentuan UU Perikanan wilayah pengelolaan perikanan
untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan terdapat di
perairan Indonesia; ZEEI; Sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan
PUSAT PUU B
K DPR R
I
80
air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan
yang potensial di wilayah Republik Indonesia; Laut Lepas; dan laut
teritorial. Jika melihat dari ketentuan di atas maka wilayah laut yang
dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan perikanan di UU Perikanan
dan UU Kelautan sudah selaras namun di UU Perikanan tidak
terdapat ketentuan mengenai pengelolaan perikanan di Zona
Tambahan dan Landas Kontinen. Terdapatnya nomenklatur baru
dalam wilayah laut, maka mengenai pengelolaan perikanan di zona
tambahan dan landas kontinen dapat dijadikan materi muatan dalam
perubahan RUU Perikanan.
Pemerintah wajib untuk berpartisipasi dalam pengelolaan
perikanan di laut lepas melalui forum pengelolaan perikanan regional
dan internasional. Pembangunan kelautan yang terdapat dalam Bab
V dilaksanakan untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara
kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan
nasional. Pembangunan kelautan diselenggarakan melalui
perumusan dan pelaksanaan kebijakan salah satunya terkait
pengelolaan sumber daya kelautan yakni perikanan.
Dalam Bab Keenam bagian kesatu diatur mengenai pengelolaan
kelautan. Pengelolaan kelautan yang dilakukan oleh pemerintah dan
pemerintah daerah yang ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat melalui pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya kelautan
dengan menggunakan prinsip ekonomi biru. Kebijakan ekonomi biru
dalam UU kelautan ditetapkan oleh pemerintah. Pembangunan
ekonomi kelautan dilaksanakan melalui penciptaan usaha yang sehat
dan peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat pesisir
dengan mengembangkan kegiatan ekonomi produktif, mandiri, dan
mengutamakan kepentingan nasional. Pemanfaatan sumber daya
kelautan meliputi perikanan; energi dan sumber daya mineral;
sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil; dan sumber daya
nonkonvensional.
Terkait pemanfaatan sumber daya kelautan yang berupa sektor
perikanan maka pemerintah mengatur pengelolaan sumber daya ikan
di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi serta menjalankan
pengaturan sumber daya ikan di laut lepas berdasarkan kerja sama
dengan negara lain dan hukum internasional sebagaimana tercantum
dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 19. Dalam melakukan
PUSAT PUU B
K DPR R
I
81
pemanfaatan sektor perikanan pemerintah mengoordinasikan
pengelolaan sumber daya ikan serta memfasilitasi terwujudnya
industri perikanan. Dalam memfasilitasi terwujudnya industri
perikanan, pemerintah bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian
sumber daya ikan; menjamin iklim usaha yang kondusif bagi
pembangunan perikanan; dan melakukan perluasan kesempatan
kerja dalam rangka meningkatkan taraf hidup nelayan dan
pembudidaya ikan. Pemerintah mengatur sistem logistik ikan
nasional untuk kepentingan distribusi hasil perikanan. Selain itu
dalam rangka peningkatan usaha perikanan, maka pihak perbankan
bertanggung jawab dalam pendanaan suprastruktur usaha
perikanan, yang mana pendanaan tersebut diatur dalam undang-
undang tersendiri. Di samping itu perikanan termasuk ke dalam
pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Dalam paragraf 3 UU Kelautan dikatakan bahwa pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi
sumber daya hayati, sumber daya nonhayati, sumber daya buatan,
dan jasa lingkungan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Perikanan termasuk ke dalam
sumber daya buatan dan jasa lingkungan. Dalam penjelasan Pasal 22
ayat (3) UU Kelautan dikatakan bahwa sumber daya buatan meliputi
infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan.
Sedangkan jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan
dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan
dan perikanan, serta energi gelombang laut.
UU Kelautan juga mengatur mengenai penegakan kedaulatan
dan hukum di wilayah perairan Indonesia, dasar laut, dan tanah di
bawahnya yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan hukum internasional. Untuk penegakkan
hukum di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi khususnya dalam
melaksanakan patrol keamanan dan keselamatan di wilayah perairan
dan wilayah yurisdiksi Indonesia dilakukan badan keamanan laut.
Badan Keamanan Laut (Bakamla) memiliki tugas patroli keamanan
dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi
Indonesia.
Bakamla memiliki fungsi untuk menyusun kebijakan nasional
di bidang keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia
PUSAT PUU B
K DPR R
I
82
dan wilayah yurisdiksi Indonesia; menyelenggarakan sistem
peringatan dini keamanan dan keselamatan di wilayah perairan
Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia; melaksanakan
penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran
hukum di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi
Indonesia; menyinergikan dan memonitor pelaksanaan patroli
perairan oleh instansi terkait; memberikan dukungan teknis dan
operasional kepada instansi terkait; memberikan bantuan pencarian
dan pertolongan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi
Indonesia; dan melaksanakan tugas lain dalam sistem pertahanan
nasional. Selain Bakamla dibentuk pula sistem pertahanan laut yang
berfungsi untuk mengelola kedaulatan negara, mempertahankan
keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi segenap bangsa Indonesia
dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan
Indonesia di wilayah laut. Sistem pertahanan laut diselenggarakan
oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia.
Dalam wilayah laut dibutuhkan perencanaan ruang laut untuk
menentukan struktur ruang dan pola ruang laut. Struktur ruang
Laut merupakan susunan pusat pertumbuhan kelautan dan sistem
jaringan prasarana dan sarana laut yang berfungsi sebagai
pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis
memiliki hubungan fungsional. Pola ruang laut meliputi kawasan
pemanfaatan umum, kawasan konservasi, alur laut, dan kawasan
strategis nasional tertentu. Perencanaan ruang laut meliputi
perencanaan tata ruang laut nasional, perencanaan zonasi wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil, dan perencanaan zonasi kawasan laut.
Perencanaan ruang laut merupakan suatu proses untuk
menghasilkan rencana tata ruang laut dan/atau rencana zonasi
untuk menentukan struktur ruang laut dan pola ruang laut.
Perencanaan ruang laut dipergunakan untuk menentukan kawasan
yang dipergunakan untuk kepentingan ekonomi, sosial budaya,
misalnya, kegiatan perikanan, prasarana perhubungan laut, industri
maritim, pariwisata, permukiman, dan pertambangan; untuk
melindungi kelestarian sumber daya kelautan; serta untuk
menentukan perairan yang dimanfaatkan untuk alur pelayaran,
pipa/kabel bawah laut, dan migrasi biota laut.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
83
E. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (UU Pemda)
Keterkaitan UU Pemda dengan UU Perikanan adalah mengenai
pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Pasal 9
ayat (1) UU Pemda mengklasifikasikan urusan pemerintahan yang
terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan
konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Selanjutnya dalam
Pasal 9 ayat (3) menyatakan bahwa urusan pemerintahan konkuren
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah urusan pemerintahan
yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah
kabupaten/kota. Pasal 9 ayat (4) menyatakan urusan pemerintahan
konkuren yang diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan
otonomi daerah.
Urusan pemerintahan konkuren kemudian terbagi menjadi
kewenangan daerah yang terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan
urusan pemerintahan pilihan. Salah satu urusan pemerintahan
pilihan tersebut meliputi kelautan dan perikanan (Pasal 11 ayat (1)).
Pasal 14 ayat (1) UU Pemda menyebutkan bahwa penyelenggaraan
urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan
sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah
provinsi. Dalam Pasal 14 ayat (5) disebutkan daerah kabupaten/kota
penghasil dan bukan penghasil mendapatkan bagi hasil dari
penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dan pada ayat (5) selanjutnya diatur penentuan daerah
kabupaten/kota penghasil untuk penghitungan bagi hasil kelautan
adalah hasil kelautan yang berada dalam batas wilayah 4 (empat) mil
diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan
kepulauan.
Dengan berlakunya UU Pemda tersebut, terjadi perubahan
kewenangan pengelolaan laut provinsi yang semula 4-12 mil kini
menjadi 0-12 mil, pengelolaan perairan yang dilakukan sebelumnya
oleh pemerintah kabupaten/kota diambil alih oleh pemerintah
provinsi, salah satunya kewenangan zonasi laut yang dulu 4-12 mil
menjadi 0-12 mil. Sebelumnya zonasi laut 0-4 mil merupakan
kewenangan Pemerintah kabupaten/kota.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
84
Dalam hal pembagian urusan bidang antara pemerintah pusat,
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota, khususnya pada sektor
kelautan dan perikanan yang diatur oleh Undang-Undang tidak
terdapat pemberian kewenangan pengelolaan kepada daerah
kabupaten/kota yang diambil alih oleh pemerintah pusat dan daerah
provinsi.
Berikut rincian pembagian urusan pemerintahan bidang
kelautan dan perikanan:
a. Sub Urusan Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
1) Pemerintah Pusat
a) Pengelolaan ruang laut di atas 12 mil dan strategis nasional.
b) Penerbitan izin pemanfaatan ruang laut nasional.
c) Penerbitan izin pemanfaatan jenis dan genetik (plasma nutfah)
ikan antarnegara.
d) Penetapan jenis ikan yang dilindungi dan diatur perdagangannya
secara internasional.
e) Penetapan kawasan konservasi.
f) Database pesisir dan pulau-pulau kecil.
2) Pemerintah Daerah Provinsi
a) Pengelolaan ruang laut sampai dengan 12 mil di luar minyak dan
gas bumi.
b) Penerbitan izin dan pemanfaatan ruang laut di bawah 12 mil di
luar minyak dan gas bumi.
c) Pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
b. Sub Urusan Perikanan Tangkap
1) Pemerintah Pusat
a) Pengelolaan penangkapan ikan di wilayah laut di atas 12 mil.
b) Estimasi stok ikan nasional dan jumlah tangkapan ikan yang
diperbolehkan (JTB).
c) Penerbitan izin usaha perikanan tangkap untuk:
(1) kapal perikanan berukuran di atas 30 Gross Tonase (GT);
dan
(2) di bawah 30 Gross Tonase (GT) yang menggunakan modal
asing dan/atau tenaga kerja asing.
d) Penetapan lokasi pembangunan dan pengelolaan pelabuhan
perikanan nasional dan internasional.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
85
e) Penerbitan izin pengadaan kapal penangkap ikan dan kapal
pengangkut ikan dengan ukuran di atas 30 GT.
f) Pendaftaran kapal perikanan di atas 30 GT.
2) Pemerintah Daerah Provinsi
a) Pengelolaan penangkapan ikan di wilayah laut sampai dengan
12 mil.
b) Penerbitan izin usaha perikanan tangkap untuk kapal
perikanan berukuran di atas 5 GT sampai dengan 30 GT.
c) Penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan
perikanan provinsi.
d) Penerbitan izin pengadaan kapal penangkap ikan dan kapal
pengangkut ikan dengan ukuran di atas 5 GT sampai dengan
30 GT.
e) Pendaftaran kapal perikanan di atas 5 GT sampai dengan 30
GT.
3) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
a) Pemberdayaan nelayan kecil dalam Daerah kabupaten/kota.
b) Pengelolaan dan penyelenggaraan Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
c. Sub Urusan Perikanan Budidaya
1) Pemerintah Pusat
a) Sertifikasi dan izin edar obat/dan pakan ikan.
b) Penerbitan izin pemasukan ikan dari luar negeri dan
pengeluaran ikan hidup dari wilayah Republik Indonesia.
c) Penerbitan Izin Usaha Perikanan (IUP) di bidang
pembudidayaan ikan lintas Daerah provinsi dan/atau yang
menggunakan tenaga kerja asing.
2) Pemerintah Daerah Provinsi
Penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang usahanya
lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.
3) Pemerintah Kabupaten/Kota
a) Penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang usahanya
dalam 1 (satu) Daerah kabupaten/kota.
b) Pemberdayaan usaha kecil pembudidayaan ikan.
c) Pengelolaan pembudidayaan ikan.
d. Sub Urusan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
1) Pemerintah Pusat
PUSAT PUU B
K DPR R
I
86
Pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan di atas 12 mil,
strategis nasional dan ruang laut tertentu.
2) Pemerintah Daerah Provinsi
Pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan sampai dengan
12 mil.
e. Sub Urusan Pengolahan dan Pemasaran
1) Pemerintah Pusat:
a) Standardisasi dan sertifikasi pengolahan hasil perikanan.
b) Penerbitan izin pemasukan hasil perikanan konsumsi dan
nonkonsumsi ke dalam wilayah Republik Indonesia.
c) Penerbitan izin usaha pemasaran dan pengolahan hasil
perikanan lintas Daerah provinsi dan lintas negara.
2) Pemerintah Daerah Provinsi:
Penerbitan izin usaha pemasaran dan pengolahan hasil
perikanan lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah
provinsi.
f. Sub Urusan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan
Hasil Perikanan
1) Pemerintah Pusat:
Penyelenggaraan karantina ikan, pengendalian mutu dan
keamanan hasil perikanan.
g. Sub Urusan Pengembangan SDM Masyarakat Kelautan dan
Perikanan
1) Pemerintah Pusat:
a) Penyelenggaraan penyuluhan perikanan nasional.
b) Akreditasi dan sertifikasi penyuluh perikanan.
c) Peningkatan kapasitas SDM masyarakat kelautan dan
perikanan.
Perubahan konstelasi kewenangan pengelolaan perikanan
pasca ditetapkannya UU Pemda perlu segera ditindaklanjuti dengan
melakukan penyesuaian aturan tentang perikanan untuk menjamin
adanya kepastian hukum bagi masyarakat, memastikan tidak
terganggunnya fungsi pelayanan publik, serta memastikan inisiatif
pengelolaan perikanan yang selama ini telah digagas dan
dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota tidak terbengkalai.
Perubahan terhadap aturan di bidang perikanan yang perlu
disesuaikan mencakup kewenangan perizinan (termasuk pendaftaran
PUSAT PUU B
K DPR R
I
87
kapal perikanan), pengaturan zona tangkap, kelembagaan
pengelolaan perikanan yang selama ini ada di kabupaten/kota, serta
kewenangan pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan dan
genetik.
F. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU
Pelayaran)
Keterkaitan UU Pelayaran dengan UU Perikanan adalah
angkutan di perairan yang termasuk didalamnya kapal perikanan.
Definisi Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau
memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan
kapal. Pasal 219 UU Pelayaran menyatakan bahwa setiap kapal yang
berlayar wajib memiliki Surat Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan
oleh Syahbandar. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 42 UU Perikanan,
bahwa dalam rangka keselamatan operasional kapal perikanan,
ditunjuk syahbandar di pelabuhan perikanan yang mempunyai tugas
dan wewenang menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar. Setiap kapal
perikanan yang akan berlayar melakukan penangkapan ikan
dan/atau pengangkutan ikan dari pelabuhan perikanan wajib
memiliki Surat Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan oleh
syahbandar di pelabuhan perikanan yang diangkat oleh menteri yang
membidangi urusan pelayaran. Pelaksanaan ketentuan mengenai
Surat Persetujuan Berlayar ini menimbulkan beberapa permasalahan
seperti adanya dualisme rezim yang dipakai untuk menentukan jenis
kapal perikanan yang digunakan, apakah menggunakan ketentuan
UU Pelayaran atau UU Perikanan.
Pasal 276 sampai dengan Pasal 271 UU Pelayaran mengatur
mengenai penjagaan laut dan pantai. Adapun tugas dari penjaga laut
dan pantai diantaranya melakukan pengawasan dan penertiban
kegiatan serta lalu lintas kapal dimana di dalamnya termasuk kapal
perikanan. Hal ini perlu sinkronisasi dengan ketentuan mengenai
pengawas perikanan yang ada dalam Pasal 66B UU Perikanan
sehingga tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan.
G. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-pulau
Kecil (UU PWP3K)
PUSAT PUU B
K DPR R
I
88
Keterkaitan UU PWP3K dengan UU Perikanan adalah mengenai
ikan (sumber daya hayati) dan sumber daya buatan meliputi
infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan yang
termasuk sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil (Pasal 1 angka
4). Berdasarkan UU Perikanan wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau
pembudidayaan ikan meliputi perairan Indonesia, ZEEI dan sungai,
danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat
diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di
wilayah Republik Indonesia. Perairan Pesisir termasuk dalam
pengelolaan wilayah perikanan sebagaimana definisi dalam UU
PWP3K yaitu laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan
sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang
menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan
dangkal, rawa payau, dan laguna (Pasal 1 angka 7).
Selain itu, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di
sekitarnya salah satunya diprioritaskan untuk kepentingan usaha
perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari (Pasal
23). UU Perikanan belum secara tegas mengatur mengenai usaha
perikanan serta industri perikanan di wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil, sehingga perlu ditambahkan pengaturannya dalam
perubahan UU Perikanan.
H. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (UU SP3K)
Kegiatan penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan
merupakan proses pembelajaran bagi pelaku utamanya agar mereka
mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam
mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya
lainnya. Selain itu, kegiatan penyuluhan pertanian, perikanan, dan
kehutanan dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan
produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraan, serta
meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.
UU SP3K telah mengatur secara komprehensif dalam suatu
pengaturan yang terpadu dan serasi antara penyuluhan yang
diselenggarakan oleh kelembagaan penyuluhan pemerintah,
kelembagaan penyuluhan swasta, dan kelembagaan penyuluhan
PUSAT PUU B
K DPR R
I
89
swadaya kepada pelaku utama dan pelaku usaha. Sedangkan UU
Perikanan dianggap masih bersifat parsial dan belum mengatur
sistem penyuluhan secara jelas, tegas, dan lengkap.
Di dalam UU Perikanan terdapat bab mengenai pendidikan,
pelatihan, dan penyuluhan perikanan yaitu Bab IX. Pada Pasal 57
ayat (1) disebutkan bahwa Pemerintah menyelenggarakan pendidikan,
pelatihan, dan penyuluhan perikanan untuk meningkatkan
pengembangan sumber daya manusia di bidang perikanan. Pada ayat
(2) Pemerintah menyelenggarakan sekurang-kurangnya 1 (satu)
satuan pendidikan dan/atau pelatihan perikanan untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan dan/atau pelatihan yang
bertaraf internasional.
Selanjutnya dalam Pasal 58 disebutkan bahwa Pemerintah
dapat bekerja sama dengan lembaga terkait, baik di tingkat nasional
maupun di tingkat internasional, dalam menyelenggarakan
pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan. Sedangkan dalam
Pasal 59 untuk ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pengaturan peyuluhan perikanan dalam UU Perikanan tersebut
masih belum spesifik dan masih didelegasikan kepada Peraturan
Pemerintah. Oleh karena itu, kegiatan penyuluhan perikanan dapat
mengacu pada UU SP3K. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
UU SP3K ini merupakan undang-undang rujukan bagi kegiatan
penyuluhan perikanan terhadap nelayan, pembudi daya ikan,
pengolah ikan, dan masyarakat.
I. UU Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan UNCLOS 1982
(UU tentang Pengesahan UNCLOS 1982)
UU tentang Pengesahan UNCLOS 1982 dibentuk dalam rangka
meratifikasi ketentuan konvensi internasional yang diatur dalam
United Nations Convention of The Law on The Sea Tahun 1982.
Meskipun konvensi internasional ini telah ditandatangani pada tahun
1982, Indonesia baru melakukan resepsi (receptie) akan ketentuan
yang dikandung didalamnya setelah 3 tahun konvensi tersebut
berlaku secara internasional yaitu tanggal 31 Desember 1985. Pada
tanggal 11 Desember 1982 UNCLOS menetapkan asas-asas dasar
PUSAT PUU B
K DPR R
I
90
untuk penataan kelautan, sebagai instrumen perjanjian internasional
UNCLOS merupakan hasil negosiasi antar lebih dari seratus negara
termasuk Indonesia, yang mengatur materi yang begitu luas dan
kompleks. Secara rinci UNCLOS menetapkan hak dan kewajiban,
kedaulatan, hak-hak berdaulat dan yurisdiksi negara-negara dalam
pemanfaatan dan pengelolaan laut.
Keberadaan UNCLOS dapat dikatakan telah mengakhiri
ketidaktertiban hukum dalam pemanfaatan laut. Selain
mempertahankan berbagai zona maritim seperti perairan pedalaman,
laut territorial, landas kontinen dan laut lepas, UNCLOS telah
menetapkan sejumlah ketentuan baru seperti tentang selat yang
digunakan untuk pelayaran internasional, perairan kepulauan, dan
ZEE, serta perubahan pada ketentuan tentang landas kontinen
(sampai dengan 200 mil atau lebih). Di samping itu UNCLOS juga
menciptakan suatu rezim zona maritim yang baru yaitu untuk dasar
laut samudera dalam di luar yurisdiksi nasional yang dikenal sebagai
international sea bed area yang ditetapkan sebagai “warisan bersama
umat manusia” (common heritage of mankind).
Untuk mengantisipasi timbulnya sengketa dalam
pengimplementasian ketentuan-ketentuan baru tersebut, UNCLOS
menyediakan suatui kerangka kelembagaan. Disamping kelembagaan
yang telah tersedia dalam lingkup PBB seperti specialized agencies
dan International Court of Justice (ICJ), UNCLOS mendirikan
Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLCS), International
Sea-bed Authority (ISBA) dan International Tribunal for the Law of the
Sea (ITLOS) untuk menjamin interpretasi yang tepat dan mudah dari
ketentuan-ketentuannya yang sangat kompleks tersebut. Seperti
diketahui meskipun UNCLOS dan Annex-nya mengandung ratusan
ketentuan-ketentuan yang rinci, masih tersedia kemungkinan adanya
perbedaan dalam interpretasi dan pengimplementasiannya. Dengan
demikian perlu kita perhatikan praktek negara-negara, serta fungsi
dari berbagai lembaga internasional yang disebutkan di atas untuk
memperjelas arti dan maksud dari ketentuan-ketentuan tersebut agar
menjamin pengimplementasiannya dengan baik. Dalam hal ini kerja
sama antar negara pihak disertai dukungan dari lembaga
internasional tersebut sangat penting untuk mencegah sengketa
tentang hukum laut.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
91
UNCLOS telah merumuskan pengaturan secara internasional
bagi pelbagai kegiatan kelautan, ke dalam suatu dokumen yang
terdiri dari 320 pasal dan aturan tambahannya yang dimuat dalam 9
buah lampiran serta beberapa resolusi pendukungnya. Sebagian
besar merupakan perubahan dan kodifikasi dari ketentuan-ketentuan
yang telah ada, akan tetapi bagian terpenting dari UNCLOS ini
menggambarkan usaha pembaharuan yang merefleksikan adanya
suatu perkembangan yang progresif (progressive development) dari
hukum internasional. Secara keseluruhan UNCLOS ini merupakan
suatu kerangka pengaturan yang sangat komprehensif dan meliputi
hampir semua kegiatan di laut, sehingga dianggap sebagai “a
constitution for the oceans”. Sejumlah pembaharuan dapat dilihat,
antara lain, pada perumusan ketentuan-ketentuan baru tentang ZEE,
negara kepulauan, selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional, perlindungan lingkungan laut, riset ilmiah kelautan,
serta perumusan ketentuan-ketentuan, mekanisme serta prosedur
penambangan daerah dasar laut samudra dalam yang terletak di luar
yurisdiksi nasional.
Hal lain yang cukup menarik adalah bahwa UNCLOS
mengandung beberapa kewajiban kerja sama bagi negara pihak.
Salah satu contoh adalah adanya kewajiban kerja sama regional di
bidang pengelolaan, konservasi, eksplorasi dan eksploitasi sumber
daya hayati laut. Selain dari itu UNCLOS juga menganjurkan kerja
sama serupa di bidang perlindungan lingkungan laut dan riset ilmiah
kelautan. Sejak mulai berlakunya, UNCLOS telah mengalami
perkembangan dengan diadakannya secara terus-menerus
pertemuan-pertemuan lebih lanjut mengenai pelaksanaannya melalui
pelbagai forum. Seperti diketahui, sebagai kelanjutan dari
pelaksanaan Konvensi telah dibentuk antara lain, International
Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS), Commission on the Limits of the
Continental Shelf (CLCS), dan telah dilengkapi dengan dua perjanjian
tambahan, yaitu Perjanjian Tambahan (Implementing Agreement)
tahun 1994 tentang Implementasi Bab XI dan tahun 1995 tentang
jenis ikan yang sama atau persediaan jenis ikan yang termasuk
dalam jenis yang sama di ZEE dua negara atau di ZEE dan zona
diluar dan yang berdekatan dengannya (Pasal 63) dan jenis ikan yang
PUSAT PUU B
K DPR R
I
92
bermigrasi jauh (Pasal 64) yang dikenal sebagai Straddling Stocks dan
Highly Migratory Stocks.
UNCLOS dibagi ke dalam tujuh belas bab, dan empat belas bab
daripadanya mengatur tentang berbagai hal, antara lain tentang
pengertian atau istilah dan ruang lingkup berlakunya. Bab-bab
selanjutnya berisi ketentuan-ketentuan tentang laut teritorial dan
zona tambahan; selat yang digunakan untuk pelayaran internasional;
negara kepulauan; zona ekonomi eksklusif; landas kontinen; laut
lepas; pulau; laut tertutup dan setengah tertutup; hak negara tak
berpantai untuk akses ke dan dari laut serta kebebasan transit;
daerah dasar laut samudera dalam (Kawasan); perlindungan dan
pelestarian lingkungan laut; riset ilmiah kelautan; dan
pengembangan dan alih teknologi kelautan. Tiga Bab terakhir berisi
ketentuan tentang Penyelesaian Sengketa (Bab XV), Ketentuan Umum
(Bab XVI) dan Ketentuan Penutup.
Di samping itu, UNCLOS juga dilengkapi dengan sembilan
lampiran (Annex) yang berisi ketentuan-ketentuan lebih lanjut
tentang jenis ikan yang bermigrasi jauh; komisi tentang batas-batas
landas kotinen; persyaratan dasar untuk prospekting, eksplorasi dan
eksploitasi di Kawasan; anggaran dasar Enterprise (sebagai pelaksana
kegiatan di Kawasan); konsiliasi; Statuta Mahkamah Internasional
Hukum Laut (ITLOS); Arbitrase; Arbitrase Khusus, dan partisipasi
organisasi internasional. Seperti telah diuraikan sebelumnya
Konvensi ini juga dilengkapi dengan dua Perjanjian Tambahan.
UNCLOS serta Resolusi-Resolusi yang menyertainya merupakan
suatu dokumen hukum yang sangat luas, dan bagi mereka yang tidak
familiar atau kurang mengikutinya sangat kompleks dan
membingungkan. Hal ini terbukti dari banyaknya para ahli, bahkan
ahli hukum, yang mencoba menginterpretasikan ketentuan-
ketentuan konvensi dengan cara selain “pick and choose” juga tanpa
memperhatikan sejarah dan tujuan pembentukannya.
Keterkaitan antara UNCLOS dengan RUU tentang Perikanan
antara lain terletak pada pemanfaatan wilayah perairan Indonesia
yang meliputi landas kontinen, ZEE, dan wilayah perairan lepas
pantai lainnya. Dalam UNCLOS dibenarkan bahwa setiap negara
memiliki kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah lautan mulai dari
wilayah landas kontinen 12 mil hingga ZEE 200 mil. Dalam wilayah
PUSAT PUU B
K DPR R
I
93
kedaulatan atau yurisdiksi sebagaimana dimaksud, negara memiliki
wewenang untuk melakukan pemanfaatan dan pendayagunaan
secara menyeluruh terhadap wilayah laut tersebut. Ditegaskan pula
dalam hal wilayah laut itu berbatasan secara langsung dengan
wilayah laut dari negara lain maka penyelesaiannya ditetapkan
melalui kesepakatan bersama antara kedua negara tersebut.
Pemanfaatan terhadap wilayah laut termasuk didalamnya persoalan
perikanan mulai dari penangkapan hingga aktifitas penjagaan
ketersediaan sumber daya alam hayati secara berkelanjutan.
Dalam RUU Perikanan nantinya harus mengakomodir mengenai
batasan atas yurisdiksi wilayah perairan yang diperkenankan untuk
mengambil sumberdaya alam hayati berupa komoditi perikanan.
Aspek pengelolaan lingkungan mulai dari penangkapan, larangan
penggunaan bahan dan alat tangkap yang mengganggu ekosistem
dan keselamatan lingkungan, pencemaran lingkungan hidup, hingga
kewajiban ganti rugi dan rekonsiliasi atas sengketa yang timbul dari
pelanggaran wilayah perairan dan wilayah tangkap perikanan harus
pula diakomodir secara utuh didalam RUU tentang Perikanan.
J. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara
Nasional Indonesia (UU TNI)
UU TNI dibentuk karena adanya perubahan sistem
ketatanegaraan yang berimplikasi terhadap TNI, antara lain adanya
pemisahan TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
menyebabkan perlunya penataan kembali peran dan fungsi masing-
masing. Pembentukan Undang-Undang tentang TNI bertujuan untuk
membangun dan mengembangkan TNI secara profesional sesuai
dengan kepentingan politik negara yang mengacu pada nilai dan
prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan
hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang telah
diratifikasi.
TNI mempunyai tugas pokok yaitu menegakkan kedaulatan
negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman
dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. TNI
PUSAT PUU B
K DPR R
I
94
mempertahankan keutuhan dan kesatuan wilayah kekuasaan negara
dengan segala isinya, di darat, laut, dan udara yang batas-batasnya
ditetapkan dengan undang-undang.
Ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan
negara di antaranya adalah pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh
negara lain dan ancaman keamanan di laut atau udara yurisdiksi
nasional Indonesia yang dilakukan pihak-pihak tertentu, berupa
salah satunya penangkapan ikan secara ilegal atau pencurian
kekayaan laut. TNI mempunyai wewenang dalam melindungi
kekayaan laut Indonesia yang dilakukan untuk kepentingan
pertahanan negara dan/atau dalam rangka mendukung kepentingan
nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Matra TNI Angkatan Laut (TNI AL) merupakan matra yang
bersinggungan langsung dengan kegiatan perikanan khususnya di
bidang pengawasan dan penyidikan. AL bertugas untuk
melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan,
menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut
yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan
hukum internasional yang telah diratifikasi, melaksanakan tugas
diplomasi Angkatan laut dalam rangka mendukung kebijakan politik
luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah, melaksanakan tugas
TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra laut,
dan melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut.
UU Perikanan memberikan kewenangan kepada TNI AL
melalui penyidik perwira TNI AL dalam rangka penyidikan tindak
pidana di bidang perikanan di wilayah pengelolaan perikanan NKRI.
Penyidik perwira TNI AL juga berwenang melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di ZEEI.
Lebih lanjut UU Perikanan menjabarkan secara rinci
kewenangan yang dimiliki oleh para penyidik. Salah satu kewenangan
yang secara nyata dilakukan oleh TNI AL adalah kewenangan untuk
menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau
menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak
pidana di bidang perikanan.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
95
K. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia
Kepolisian merupakan alat negara yang mempunyai salah satu
fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pengemban fungsi
kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu
oleh kepolisian khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan/atau
bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Kepolisian khusus adalah
instansi dan/atau badan Pemerintah yang oleh atau atas kuasa
undang-undang (peraturan perundang-undangan) diberi wewenang
untuk melaksanakan fungsi kepolisian dibanding teknisnya masing-
masing. Wewenang bersifat khusus dan terbatas dalam “lingkungan
kuasa soal-soal” (zaken gebeid) yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya. Contoh dari
kepolisian khusus yaitu Balai Pengawasan Obat dan Makanan, Polsus
Kehutanan, dan lain-lain.
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia antara lain
adalah memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum,
melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa, dan melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana
dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam rangka menyelenggarakan tugas Kepolisian Negara
Republik Indonesia secara umum berwenang antara lain menerima
laporan dan/atau pengaduan, melaksanakan pemeriksaan khusus
sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan,
melakukan tindakan pertama di tempat kejadian, dan mencari
keterangan dan barang bukti. Selain kewenangan secara umum,
Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai kewenangan di
bidang proses pidana yaitu melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan; melarang setiap orang meninggalkan
atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan
penyidikan; membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik
dalam rangka penyidikan; membawa dan menghadapkan orang
kepada penyidik dalam rangka penyidikan; menyuruh berhenti orang
PUSAT PUU B
K DPR R
I
96
yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; memanggil orang
untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara; mengadakan penghentian penyidikan;
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; memberi
petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri
sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil
untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Ketentuan
mengenai kewenangan di bidang proses pidana ini sangat terkait
dengan UU Perikanan karena ketentuan penyidikan dalam UU
Perikanan mengacu pada sebagian besar ketentuan kewenangan di
bidang proses pidana dalam Undang-Undang tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Selain ketentuan kewenangan di bidang proses pidana,
ketentuan tugas dan kewenangan secara umum juga ikut menjadi
acuan dalam ketentuan penyidikan pada UU Perikanan, yaitu
ketentuan yang mengatur mengenai penerimaan laporan dan/atau
pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana di bidang
perikanan dan koordinasi antar penyidik dalam penanganan
penyidikan tindak pidana di bidang perikanan.
L. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia (UU Perairan)
Indonesia merupakan negara kepulauan yang seluruh
wilayahnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan. Sebagai negara
kepulauan Indonesia memiliki suatu gugusan pulau, termasuk
bagian pulau, dan perairan di antara pulau-pulau tersebut, dan lain-
lain sebagai wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain
demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah
lainnya merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi, pertahanan,
keamanan, dan politik yang hakiki, atau yang secara historis
dianggap sebagai demikian. Penegasan bahwa Indonesia merupakan
negara kepulauan terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perairan.
Keterkaitan antara UU Perairan dan UU Perikanan terdapat
dalam pengelolaan perikanan di wilayah perairan Indonesia. Definisi
PUSAT PUU B
K DPR R
I
97
perairan Indonesia terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU Perairan yang
menyatakan bahwa perairan indonesia terdiri dari laut teritorial
Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.
Jadi dapat diketahui bahwa pengelolaan perikanan di perairan
Indonesia mencakup laut teritorial Indonesia beserta perairan
kepulauan dan perairan pedalamannya. Selain dalam UU Perairan
definisi mengenai perairan juga terdapat dalam Pasal 1 angka 20 dan
Pasal 3 ayat (1) UU Perikanan yang menyatakan bahwa Perairan
Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan
dan perairan pedalamannya. Jika melihat wilayah pengelolaan
perikanan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perikanan terlihat
bahwa wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk
penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi perairan
Indonesia; ZEEI; sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air
lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan
yang potensial di wilayah NKRI.
Jika melihat dalam UU Perikanan dan UU Perairan Indonesia
diketahui bahwa wilayah pengelolaan perikanan baik untuk
penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi laut
teritorial beserta perairan kepulauan dan perairan pedalaman, ZEEI,
dan sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang
dapat diudahakan serta lahan pembudidayaan ikan. Laut teritorial
dapat diartikan sebagai jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut
yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Sedangkan
perairan kepulauan diartikan semua perairan yang terletak pada sisi
dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan
kedalaman atau jaraknya dari pantai. UU Perairan juga memberikan
definisi mengenai perairan pedalaman yang diartikan semua perairan
yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai
Indonesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang
terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup.
Terkait dengan pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan
pelestarian lingkungan perairan Indonesia yang salah satunya
dilakukan melalui sektor perikanan dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan hukum internasional.
Meskipun Indonesia memiliki hak berdaulat di wilayah perairan
Indonesia, namun pemerintah Indonesia harus tetap menghormati
PUSAT PUU B
K DPR R
I
98
persetujuan dan perjanjian yang ada dengan negara lain yang
menyangkut bagian perairan yang merupakan perairan kepulauan
yang meliputi pelaksanaan hak perikanan tradisional, hak akses dan
komunikasi negara tetangga yang langsung berdampingan,
pemasangan, pemeliharaan, dan penggantian kabel di dasar laut oleh
negara lain.
Di wilayah perairan Indonesia semua kapal dari berbagai
negara dapat menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial dan
perairan kepulauan Indonesia. Lintas damai dapat diberikan jika
berkaitan dengan navigasi yang normal, atau perlu dilakukan karena
keadaan memaksa, mengalami kesulitan, memberi pertolongan
kepada orang, kapal atau pesawat udara yang dalam bahaya atau
kesulitan. Lintas dianggap damai diberikan apabila tidak merugikan
kedamaian, ketertiban, atau keamanan Indonesia, dan dilakukan
sesuai dengan ketentuan konvensi dan hukum internasional yang
lain. Lintas oleh kapal asing dianggap membahayakan kedamaian,
ketertiban, atau keamanan Indonesia dan melakukan salah satu
kegiatan yang dilarang oleh konvensi dan/atau hukum internasional
termasuk setiap kegiatan perikanan.
Pemerintah Indonesia menetapkan alur laut dan skema
pemisahan lalu lintas di laut territorial dan perairan kepulauan dalam
rangka untuk melakukan pengawasan terhadap kapal-kapal asing
yang melaksanakan hak lintas damai di perairan Indonesia, serta
untuk menjamin keselamatan pelayaran. Lintas damai melalui alur-
alur yang telah ditetapkan khususnya diperuntukan bagi lintas kapal
tanki, kapal bertenaga nuklir, dan kapal yang mengangkut muatan
yang berbahaya atau beracun, termasuk limbah radio aktif. Selain itu
alur lintas damai dapat juga ditetapkan untuk kepentingan
perlindungan perikanan, termasuk budidaya laut dan pelestarian
lingkungan laut. Penetapan alur-alur laut, terutama skema pemisah
lalu lintas tersebut dilakukan dengan bekerja sama dengan organisasi
internasional yang berwenang terutama dalam masalah teknis
keselamatan pelayaran.
Selain itu keterkaitan antara UU Perikanan dan UU Perairan
Indonesia dapat dilihat dalam Bab V UU Perairan Indonesia mengenai
penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia. Dalam
rangka untuk menegakkan hukum di perairan Indonesia, ruang
PUSAT PUU B
K DPR R
I
99
udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya maka diperlukan
pengawasan oleh pemerintah. Pengawasan dalam sektor perikanan
dilakukan oleh pengawas perikanan yang merupakan pegawai negeri
sipil yang bekerja di bidang perikanan yang diangkat oleh menteri
atau pejabat yang ditunjuk. Di samping itu pengawas perikanan juga
dapat dididik untuk menjadi Penyidik Pengawai Negeri Sipil
Perikanan. Sanksi atas pelanggaran yang telah dilakukan, sesuai
dengan ketentuan konvensi hukum internasional dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
M. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina
Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (UU KHIT)
Tindakan karantina sebagai suatu upaya pencegahan masuk
dan tersebarnya hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan,
atau organisme pengganggu tumbuhan dari luar negeri dan dari
suatu area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam
wilayah negara Republik Indonesia. Lebih lanjut, tindakan karantina
merupakan salah satu cara untuk menghindarkan ancaman yang
dapat merusak kelestarian sumberdaya perikanan dari hama dan
penyakit ikan. Kerusakan tersebut akan menurunkan hasil produksi
budidaya ikan, baik kuantitas maupun kualitas atau dapat
mengakibatkan musnahnya jenis-jenis ikan tertentu yang bernilai
ekonomis dan ilmiah tinggi. Bahkan beberapa penyakit hewan dan
ikan tertentu dapat menimbulkan gangguan terhadap kesehatan
masyarakat.
Dalam UU Perikanan dan UU KHIT terdapat perbedaan dalam
mendefinisikan ikan. Dalam UU Perikanan Pasal 1 angka 4 “Ikan
adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus
hidupnya berada di dalam lingkungan perairan” dan penjelasan Pasal
7 ayat (6) UU Perikanan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
“jenis ikan” adalah:
1. ikan bersirip (Pisces);
2. udang, rajungan, kepiting dan sebangsanya (Crustacea);
3. kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput dan sebangsanya
(Mollusca);
4. ubur-ubur dan sebangsanya (Coelenterata);
PUSAT PUU B
K DPR R
I
100
5. tripang, bulu babi dan sebangsanya (Echinodermata);
6. kodok dan sebangsanya (Amphibia);
7. buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air dan sebangsanya
(Reptilia);
8. paus, lumba-lumba, pesut, duyung dan sebangsanya (Mammalia);
9. rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lain yang hidupnya di dalam
air (Algae);
10. biota perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis
tesebut di atas, termasuk ikan yang dilindungi.
semuanya termasuk bagian-bagiannya dan ikan yang dilindungi.
Sedangkan definisi ikan dalam Pasal 1 angka 10 UU KHIT
“Ikan adalah semua biota perairan yang sebagian atau seluruh daur
hidupnya berada di dalam air, dalam keadaan hidup atau mati,
termasuk bagian-bagiannya.
Pada Pasal 41A huruf j disebutkan bahwa fungsi pelabuhan
perikanan dalam mendukung kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya
dapat berupa tempat pelaksanaan fungsi karantina ikan. Hal ini
berhubungan dengan kegiatan karantina dimana pada Pasal 5 UU
KHIT dimana setiap media pembawa hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme
pengganggu tumbuhan karantina yang dimasukkan ke dalam wilayah
NKRI wajib:
1. dilengkapi sertifikat kesehatan dari negara asal dan negara transit
bagi hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan, ikan,
tumbuhan dan bagian-bagian tumbuhan, kecuali media pembawa
yang tergolong benda lain;
2. melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan;
3. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di
tempat-tempat pemasukan untuk keperluan tindakan karantina.
N. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (UU KSDAHE)
UU KSDAHE merupakan dasar hukum yang berlaku dalam
penyelenggaraan perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam
PUSAT PUU B
K DPR R
I
101
hayati dan ekosistemnya, agar dapat menjamin pemanfaatannya bagi
kesejahteraan masyarakat dan peningkatan mutu kehidupan
manusia. UU ini mencakup semua segi di bidang KSDAHE.
Adapun keterkaitan UU KSDAHE dengan UU Perikanan adalah
mencakup lingkup dari pengaturan UU KSDAHE yang meliputi
ekosistem, tumbuhan, dan satwa yang ada di wilayah perairan.
Ekosistem dalam hal ini adalah mencakup kawasan suaka alam,
cagar alam, kawasan pelestarian alam, cagar biosfer, suaka alam,
taman hutan raya, maupun taman wisata yang ada diwilayah
perairan. Adapun tumbuhan dan satwa mencakup tumbuhan dan
satwa liar yang berada di wilayah konservasi yang ada diwilayah
perairan.
Di dalam ketentuan Pasal 5 UU KSDAHE dinyatakan bahwa
KSDAHE dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga
kehidupan; pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya; dan pemanfaatan secara lestari sumber daya
alami hayati dan ekosistemnya. Selain itu ketentuan larangan
maupun sanksi terkait konservasi yang ada di wilayah perairan harus
juga disinkronkan dengan UU KSDAHE. Ini berarti, segala tindakan
KSDAHE yang ada di wilayah perairan yang telah diatur di dalam UU
Perikanan atau akan diatur di dalam RUU Perikanan harus
disinkronkan substansinya dengan materi yang ada di dalam UU
KSDAHE.
Kegiatan konservasi di dalam UU Perikanan mencakup
konservasi sumber daya ikan, yang di dalam Pasal 1 angka 8 UU No.
45 Tahun 2009 didefinisikan sebagai perlindungan, pelestarian, dan
pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan
genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan
kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan. Adapun usaha
konservasi pengelolaan sumber daya ikan, dilakukan melalui upaya
konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika
ikan (Pasal 13 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004). Kemudian Penjelasan
Pasal 13 ayat (1) menjelaskan bahwa konservasi sumber daya
perikanan Kawasan konservasi yang terkait dengan perikanan, antara
lain, adalah terumbu karang, padang lamun, bakau, rawa, danau,
sungai, dan embung yang dianggap penting untuk dilakukan
PUSAT PUU B
K DPR R
I
102
konservasi. Dalam hal ini Pemerintah dapat melakukan penetapan
kawasan konservasi, antara lain, sebagai suaka alam perairan, taman
nasional perairan, taman wisata perairan, dan/atau suaka perikanan.
Selain itu pengaturan terkait dengan konservasi perikanan
yang ada di UU No. 45 Tahun 2009 mencakup juga substansi
mengenai penetapan jenis ikan yang dilindungi (Pasal 7 ayat (6)),
penetapan Menteri dalam mendukung kebijakan pengelolaan
konservasi sumber daya perikanan (Pasal 7 ayat (1) huruf r),
penggunaan pungutan perikanan untuk konservasi (Pasal 50),
pengawasan (Pasal 66 ayat (3)), serta tugas dan tempat pengawas
perikanan (Pasal 66 ayat (3) dan Pasal 66B ayat (2) huruf f).
Substansi pengaturan terkait konservasi yang ada di dalam UU
Perikanan ini harus sinkron dengan UU KSDAHE.
O. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Ekslusif (UU ZEE)
UU ZEE dibentuk dengan tujuan untuk menjamin eksistensi
hukum laut di wilayah Indonesia. Eksistensi hukum laut itu
diwujudkan dalam bentuk perlindungan yang mencakup beberapa
hal diantaranya; (i) perlindungan dalam rangka peningkatan
kesejahteraan bangsa dengan memanfaatkan segala sumber daya
alam yang tersedia baik hayati maupun non hayati; (ii) penjaminan
kegiatan penelitian ilmiah di wilyah yurisdiksi hukum laut Indonesia;
(iii) pemanfaatan segenap energi potensial dan efektif yang dapat
diperoleh dari wilayah hukum laut Indonesia; (iv) legitimasi wilayah
ZEE sebagai mana yang telah di atur dalam konvensi hukum laut
internasional yang mengakui wilayah ZEE sejauh 200 mil dari lepas
pantai. Selain itu, UU ZEE berperan juga sebagai payung hukum
yang mengatur segala bentuk aspek pendayagunaan dan pengelolaan
atas wilayah laut Indonesia.
UU ZEE ini terdiri dari 9 Bab dan 21 Pasal. UU ZEE mengatur
mulai dari hak kedaulatan negara beserta yurisdiksi dan kewajiban-
kewajibannya, kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan di wilayah
ZEE, ganti rugi terhadap pelanggaran wilayah ZEE, dan penegakan
hukum di wilayah ZEE Indonesia. Dari beberapa hal pokok yang
diatur dalam UU ini menggambarkan bahwa penyelenggaran
kedaulatan di wilayah laut Indonesia merupakan suatu tindakan
PUSAT PUU B
K DPR R
I
103
serius dalam rangka menjamin yurisdiksi dan pemanfaatan secara
tepat dan bertanggung jawab atas wilayah ZEE Indonesia.
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 UU ZEE,
ZEE Indonesia diartikan sebagai jalur di luar dan berbatasan dengan
laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-
undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar
laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200
mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Dari
ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa sepanjang 200 mil wilayah
ZEE, Indonesia memiliki kedaulatan penuh termasuk aspek
pemanfaatan dan pendayagunaan atas sumber-sumber yang
terkandung baik dipermukaan maupun yang ada di dalam wilayah
laut ZEE Indonesia. Bertolak dari adanya penjaminan atas
pemanfaatan itu, dapat dipahami bahwa keterkaitan utama antara
UU ZEE dengan Rancangan Undang-Undang tentang Perikanan dapat
dilihat dari adanya kepastian untuk memanfaatkan sumber daya
alam hayati berupa perikanan secara bertanggung jawab demi
kesejahteraan bangsa.
Keterkaitan lainnya terletak dalam Pasal 4 UU ZEE tentang
prinsip kedaulatan dan yurisdiksi. Hak berdaulat untuk melakukan
eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya
alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya
serta air di atasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi
dan eksploitasi ekonomis zona tersebut, termasuk di dalamnya
pemanfaatan terhadap kegiatan perikanan. Kegiatan perikanan yang
dilakukan di dalam wilayah ZEE itu harus dilakukan secara berdaya
guna dan tepat guna dengan memperhatikan aspek pengelolaan,
ketersedian dan keberlanjutan sumber daya alam, dan lingkungan.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di wilayah ZEE termasuk di
dalamnya aspek pengelolaan baik eksploitasi dan eksplorasi
dilakukan berdasarkan izin Pemerintah Republik Indonesia atau
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam konvensi-konvensi hukum
internasional. Oleh sebab itu kegiatan perikanan terutama
penangkapan ikan diwilayah ZEE Indonesia harus dilakukan
berdasarkan izin Pemerintah dan dengan memperhatikan aspek
lingkungan sehingga kegiatan pemanfaatan perikanan tidak dapat
PUSAT PUU B
K DPR R
I
104
dilakukan secara sembarangan dan tanpa memperhatikan aspek
pengelolaan dan pencemaran lingkungan.
P. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil
Perikanan (UU Bagi Hasil Perikanan)
UU Bagi Hasil Perikanan ini bertujuan untuk meningkatkan
taraf hidup para nelayan penggarap dan penggarap tambak serta
memperbesar produksi ikan, sehingga proses bagi hasil tersebut
harus sejauh mungkin menghilangkan unsur-unsurnya yang bersifat
pemerasan dan semua pihak yang turut serta masing-masing
mendapat bagian yang adil dari usaha itu. Sebelum UU Bagi Hasil
Perikanan tersebut dikeluarkan, bagi hasil di bidang perikanan
diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan hukum adat setempat
yang menurut ukuran sosialisme Indonesia pada waktu itu belum
memberikan dan menjamin bagian yang layak bagi para nelayan
penggarap dan penggarap tambak.
Perjanjian bagi hasil perikanan menurut UU Bagi Hasil
Perikanan adalah perjanjian yang diadakan dalam usaha
penangkapan atau pemeliharaan ikan antara nelayan penggarap
dengan nelayan pemilik atau antara petani penggarap tambak dengan
petani pemilik tambak. Menurut perjanjian, mereka masing-masing
menerima bagian dari hasil usaha tersebut menurut imbangan yang
telah disetujui sebelumnya.
Pasal 3 ayat (1) UU Bagi Hasil Perikanan menyebutkan bahwa
jika suatu usaha perikanan diselenggarakan atas dasar perjanjian
bagi-hasil, maka dari hasil usaha itu kepada pihak nelayan
penggarap dan penggarap tambak paling sedikit harus diberikan
bagian sebagai berikut, yaitu: Pertama, untuk perikanan laut. Jika
dipergunakan perahu layar: minimum 75% (tujuh puluh lima persen)
dari hasil bersih; sedangkan, jika dipergunakan kapal motor:
minimum 40% (empat puluh persen) dari hasil bersih. Kedua, untuk
perikanan darat. Mengenai hasil ikan pemeliharaan minimum 40%
(empat puluh persen) dari hasil bersih, sedangkan mengenai hasil
ikan liar minimum 60% (enam puluh persen) dari hasil kotor.
Selanjutnya pada ayat (2) dijelaskan, bahwa pembagian hasil diantara
para nelayan penggarap dari bagian yang mereka terima menurut
ketentuan dalam ayat 1 pasal ini diatur oleh mereka sendiri, dengan
PUSAT PUU B
K DPR R
I
105
diawasi oleh Pemerintah Daerah Tingkat II yang bersangkutan untuk
menghindarkan terjadinya pemerasan, dengan ketentuan, bahwa
perbandingan antara bagian yang terbanyak dan yang paling sedikit
tidak boleh lebih dari 3 (tiga) lawan 1 (satu).
Kemudian Pasal 4 UU Bagi Hasil Perikanan menjelaskan
bahwa angka bagian pihak nelayan penggarap dan penggarap tambak
sebagai yang tercantum dalam Pasal 3 ditetapkan dengan ketentuan,
bahwa beban-beban yang bersangkutan dengan usaha perikanan itu
harus dibagi sebagai berikut: Pertama, untuk perikanan laut. Beban-
beban yang menjadi tanggungan bersama dari nelayan pemilik dan
pihak nelayan penggarap antara lain: ongkos lelang, uang
rokok/jajan, dan biaya perbekalan untuk para nelayan penggarap
selama di laut, biaya untuk sedekah laut (selamatan bersama) serta
iuran-iuran yang disahkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II yang
bersangkutan seperti untuk koperasi dan pembangunan
perahu/kapal, dana kesejahteraan, dana kematian, dan lain-lainnya.
Sedangkan beban-beban yang menjadi tanggungan nelayan pemilik
antara lain: ongkos pemeliharaan dan perbaikan perahu/kapal serta
alat-alat lain yang dipergunakan, penyusutan dan biaya eksploitasi
usaha penangkapan, seperti untuk pembelian solar, minyak, es, dan
lain sebagainya.
Kedua, untuk perikanan darat. Bahan-bahan yang menjadi
tanggungan bersama dari pemilik tambak dan penggarap tambak,
uang pembeli benih ikan pemeliharaan, biaya untuk pengeduk
saluran (caren), biaya-biaya untuk pemupukan tambak dan
perawatan pada pintu-air serta saluran, yang mengairi tambak yang
diusahakan itu. Sedangkan, bahan-bahan yang menjadi tanggungan
pemilik tambak; disediakannya tambak dengan pintu-air dalam
keadaan yang mencukupi kebutuhan, biaya untuk memperbaiki dan
mengganti pintu-air yang tidak dapat dipakai lagi serta pembayaran
pajak tanah yang bersangkutan; dan bahan-bahan yang menjadi
tanggungan penggarap tambak: biaya untuk menyelenggarakan
pekerjaan sehari-hari yang berhubungan dengan pemeliharaan ikan
didalam tambak, dan penangkapannya pada waktu panen.
Dalam UU Perikanan, saat ini tidak diatur secara khusus
mengenai sistem bagi hasil perikanan, akan tetapi UU Perikanan
tersebut telah mengamanatkan pengusaha perikanan untuk
PUSAT PUU B
K DPR R
I
106
mendorong kemitraan usaha yang saling menguntungkan dengan
kelompok nelayan kecil atau pembudi daya ikan kecil dalam kegiatan
usaha perikanan.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
107
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian
besar wilayahnya terdiri dari laut, memiliki potensi perikanan yang
sangat besar dan beragam. Potensi perikanan yang dimiliki
merupakan rahmat dan karunia dari Tuhan yang dapat dimanfaatkan
untuk masa depan bangsa, sebagai tulang punggung pembangunan
nasional. Tugas Negara adalah untuk melindungi segala tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraaan umum
sebagaimana diamanatkan Alinea Ketiga Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indoensia Tahun 1945.
Upaya perlindungan dan memajukan kesejahteraan tersebut
dilakukan melalui penyelenggaraan perikanan yang memanfaatkan
secara optimal, yang diarahkan pada pendayagunaan sumber daya
ikan dengan memperhatikan daya dukung yang ada dan
kelestariannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,
meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil,
meningkatkan penerimaan dari devisa negara, menyediakan
perluasan dan kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai
tambah dan daya saing hasil perikanan serta menjamin kelestarian
sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan serta tata ruang. Hal
ini berarti bahwa pemanfaatan sumber daya perikanan harus
seimbang dengan daya dukungnya, sehingga diharapkan dapat
memberikan manfaat secara terus menerus. Salah satunya dilakukan
dengan pengendalian usaha perikanan melalui pengaturan
pengelolaan perikanan.
Selain itu pemerintah juga melakukan upaya perlindungan
potensi perikanan melalui kebijakan dan pengaturan pengelolaan
perikanan berupa pengawasan, sekaligus penegakaan hukum untuk
menjaga potensi perikanan Indonesia agar tidak hanya diekploitasi
negara lain maupun kekuatan asing, tetapi sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat Indonesia. Hal ini sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan:
“bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalammnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat.”
PUSAT PUU B
K DPR R
I
108
Selain itu, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
Hukum Laut Tahun 1982 yang telah diratifikasi dengan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations
Convention on the Law of the Sea 1982, menempatkan Indonesia
memiliki hak berdaulat (sovereign rights) untuk melakukan
pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan SDI di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan Laut Lepas yang dilaksanakan
berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.
Oleh karena itu, dibutuhkan dasar hukum pengelolaan sumber daya
ikan yang mampu menampung semua aspek pengelolaan sumber
daya ikan dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum dan
teknologi melalui perubahan UU Perikanan yang dapat
mengantisipasi sekaligus sebagai solusi terhadap perubahan yang
sangat besar di bidang perikanan, baik yang berkaitan dengan
ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya
ikan, perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin
efektif, efisien, dan modern maupun upaya pengawasan dan
penegakan hukum.
B. Landasan Sosiologis
Potensi kelautan dan perikanan yang dimiliki merupakan
potensi ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk masa depan
bangsa, sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi. Kita harus
dapat mengantisipasi terjadinya perubahan di bidang perikanan, baik
yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian
lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode
pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern.
Sektor perikanan di Indonesia telah sedemikian rupa diatur dan
dipayungi oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009. Dalam perjalanan selama lebih dari 10 tahun masih
terdapat berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan perikanan.
Kondisi dan permasalahan yang ada memang tidak seluruh
bersumber dari kekuranglengkapan norma pengaturan di tingkat
undang-undang. Namun demikian banyak faktor kebijakan yang
harus dibenahi dan diperkuat dalam konteks penyelengaraan
perikanan yang harus dilakukan di tingkat undang-undang.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
109
Secara umum permasalahan lingkup pengaturan, pembagian
tugas dan kewenangan di tingkat pusat dan daerah dalam
penyelenggaraan perikanan, pengaturan pengelolaan, pengolahan dan
pemasaran hasil perikanan, dan aspek pengawasan dan penegakan
hukum masih menjadi kendala dan belum sepenuhnya dapat dijawab
dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009.
Lingkup pengaturan UU Perikanan saat ini lebih
menitikberatkan kepada perikanan tangkap, sedangkan pengaturan
perikanan budidaya dirasa belum komprehensif. Dalam praktiknya
perikanan budidaya membutuhkan pengaturan yang lebih
komprehensif mengingat potensi dan pengembangannya ke depan
akan semakin signifikan. Saat ini belum diatur secara jelas mengenai
zonasi bagi perikanan budidaya, sehingga nelayan budidaya kesulitan
untuk mengetahui wilayah yang dapat dilakukan pembudidayaan dan
menimbulkan terjadi konflik antara nelayan pembudidaya dan
nelayan tangkap ketika nelayan pembudidaya melakukan
pembudidayaan ikan di wilayah perairan.
Pada intinya penting untuk mengatur tata ruang bagi
perikanan budidaya agar tidak terjadi pencemaran dan perebutan
lahan. Saat ini belum ada kebijakan yang jelas mengenai roadmap
riset-riset strategis dibidang rekayasa teknologi budidaya dan
revitalisasi program reservaat (suaka perikanan) untuk
pengembangan usaha budidaya.
Penyelenggaraan perikanan juga erat kaitannya dengan otonomi
daerah, terutama masalah kewenangan dan perizinan, serta tentang
kesyahbandaran. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengaturan terkait
kewenangan pemerintah baik pusat maupun daerah dalam
penyelenggaraan perikanan harus dilakukan sinkronisasi. Di sisi lain,
masyarakat masih menemukan kendala akibat adanya perubahan
kebijakan pembagian kewenangan tersebut terutama terkait dengan
aspek perizinan dan pengawasannya.
Degradasi sumberdaya kelautan dan perikanan, dikarenakan
eksploitasi yang tidak berwawasan lingkungan, maupun dampak dari
kegiatan sektor lain seperti pertambangan, minyak dan gas bumi di
PUSAT PUU B
K DPR R
I
110
wilayah perairan yang menyebabkan pencemaran laut, gejala
penangkapan ikan yang berlebihan, degradasi fisik habitat pesisir,
pencurian ikan (illegal fishing) dan pembuangan limbah secara illegal
menjadi pekerjaan rumah dalam pengelolaan potensi perikanan di
Indonesia.
Selain itu, mutu hasil produk perikanan masih harus terus
ditingkatkan sehingga nilai jual hasil perikanan baik di pasar lokal,
nasional, regional maupun global bisa lebih bersaing. Keamanan
pangan (food safety) merupakan syarat mutlak bagi negara importer,
kondisi ini masih harus terus ditingkatkan bagi nelayan kita agar
dapat bersaing di tingkat global. Sarana dan prasarana penunjang
juga menjadi syarat multak peningkatan kualitas hasil perikanan.
Kita harus dapat meningkatkan kemampuan teknologi pasca panen
yang meliputi penanganan dan pengolahan produk perikanan sesuai
dengan selera konsumen dan standar mutu produk secara
internasional terutama persyaratan sanitasi.
Lemahnya kemampuan pemasaran produk perikanan karena
lemahnya market intelegence yakni penguasaan informasi tentang
pesaing, segmen pasar, dan selera konsumen, serta belum
memadainya prasarana dan sarana sistem transportasi dan
komunikasi untuk mendukung distribusi produk perikanan dari
produsen ke konsumen secara tepat waktu menjadi kendala bagi
distribusi dan pemasaran hasil perikanan yang efisien dan
menguntungkan.
Aspek pengawasan dan penegakan hukum di sektor perikanan
masih menyisakan masalah penting terkait mekanisme koordinasi
antar instansi penyidik dalam penanganan penyidikan tindak pidana
di bidang perikanan, penerapan sanksi (pidana atau denda), hukum
acara, terutama mengenai penentuan batas waktu pemeriksaan
perkara; permasalahan waktu penahanan tersangka/terdakwa;
pengadilan tanpa kehadiran terdakwa (In absensia); permasalahan
pemanfaatan kembali barang bukti berupa kapal; dan fasilitas dalam
penegakan hukum di bidang perikanan, termasuk kemungkinan
penerapan tindakan hukum berupa penenggalaman kapal asing yang
beroperasi di wilayah perikanan Indonesia.
Kewenangan yang dimiliki oleh penyidik di bidang perikanan
khususnya cukup memadai untuk melakukan tindakan terhadap
PUSAT PUU B
K DPR R
I
111
setiap perbuatan pidana di bidang perikanan. Namun demikian
sampai saat ini penyidikan sebagian besar terfokus untuk tindak
pidana di bidang penangkapan ikan terutama di wilayah perairan
ZEEI dan kurang menyentuh tindak pidana di bidang budidaya,
pengolahan serta tindak pidana yang terjadi di perairan territorial.
Untuk itu diperlukan upaya untuk penguatan lembaga penyidik
perikanan khususnya PPNS dan Polri berupa peningkatan
kemampuan teknis penyidikan, dukungan pembiayaan serta
penyediaan sarana dan prasaran pendukung agar dapat menjangkau
dan menangani seluruh tindak pidana di bidang perikanan.
Selain alat bukti yang telah di atur di dalam KUHAP, untuk
memudahkan pembuktian pada proses pemeriksaan di pengadilan
perlu ditambahkan alat elektonik. Hal ini berkaitan dengan
pembuktian lokasi (lokus) terjadinya tindak pidana yang memerlukan
data dari alat elektronik seperti Vessel Monitoring System (VMS), GPS,
dan lain-lain. Kendala lainnya terkait alat bukti adalah tempat
penyimpanan barang bukti tindak pidana perikanan khususnya
Kapal.
Pada dasarnya pelaksanaan fungsi pengadilan perikanan yang
menuntut suatu proses penyelesaian perkara yang mudah, murah
dan cepat secara umum telah berjalan dengan baik. Namun disadari
aspek waktu penyelesaiaan perkara utamanya perkara perikanan
yang terjadi di ZEE Indonesia oleh nelayan asing masih berlangsung
lebih dari 30 hari melebihi batas waktu penyelesaian perkara
berdasarkan Pasal 80 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan. Nelayan asing umumnya hanya dapat berkomunikasi
menggunakan bahasa daerah asalnya sehingga proses pemeriksaan
di pengadilan sangat tergantung oleh penterjemah. Secara umum
penterjemah yang memahami bahasa daerah nelayan asing tersebut
sulit ditemukan.
Perluasan yurisdiksi dan penambahan jumlah pengadilan
perikanan dan pembentukannya di tingkat banding dan kasasi juga
menjadi wacana yang penting agar penegakan hukum mampu
mencakup seluruh wilayah Indonesia. Saat ini penyelesaian perkara
pidana perikanan di tingkat kasasi relatif berlangsung lama bahkan
mencapai 1 tahun. Hal tersebut kemungkinan di sebabkan oleh
belum dibentuknya Hakim Ad hoc Perikanan di tingkat kasasi.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
112
C. Landasan Yuridis
Penyelenggaraan Perikanan yang selama ini dilaksanakan
berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 45 tahun 2009 telah berlangsung lebih dari
sepuluh tahun dan dalam kurun waktu tersebut terdapat berbagai
permasalahan hukum mengingat adanya perkembangan dan
dinamika penyelenggaraan perikanan yang terjadi. Saat ini ada
beberapa undang-undang yang terkait dengan penyelenggaraan
perikanan, diantaranya UU Nomor 27 tahun 2007 sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan, serta yang baru saja disahkan UU Nomor 7 Tahun 2016
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya
Ikan, dan Petambak Garam. Dari beberapa ketentuan tersebut, dapat
dijadikan acuan dalam membangun paradigma baru terhadap
penyelenggaraan Perikanan dengan memperluas ruang lingkup
termasuk perikanan budidaya, mengutamakan peran serta seluruh
pemangku kepentingan, pelibatan masyarakat, penguatan sistem
data dan informasi terkait sumber daya ikan, serta penegakan hukum
dan pemberian sanksi terutama terkait Illegal Unreported and
Unregulated Fishing.
Selanjutnya, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, perlu dilakukan
sinkronisasi terhadap pembagian kewenangan antara Pemerintah
pusat dan daerah terkait penyelenggaran Perikanan.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
113
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG
A. Jangkauan dan Arah Pengaturan Rancangan Undang-Undang
tentang Perikanan
Jangkauan dan arah pengaturan RUU Perikanan bertujuan
untuk menegakkan kedaulatan kemaritiman Indonesia sekaligus
melaksanakan pemanfaatan sumber daya perikanan yang terkandung
di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia dalam rangka
mewujudkan kedaulatan pangan dan ketahanan nasional untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Arah pengaturan yang ingin diwujudkan dalam RUU
Perikanan yaitu untuk meningkatkan produktivitas sumber daya ikan
baik perikanan tangkap maupun budidaya, pelestarian lingkungan
pembudidayaan ikan, pemanfaatan sistem pendukung perikanan dan
penegakan hukum di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia agar
dapat berdaya guna dan bersaing guna.
Untuk mencapai hal tersebut maka penyelenggaraan
perikanan memiliki beberapa tujuan pokok, yaitu:
a. mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan Perikanan;
b. menjamin kelestarian Sumber Daya Ikan dan Lingkungan Sumber
Daya Ikan;
c. meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein yang
memenuhi standar mutu dan keamanan pangan;
d. meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri
pengolahan Ikan dan industri lainnya;
e. meningkatkan penerimaan dan devisa negara;
f. meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing;
dan
g. mendorong perluasan dan kesempatan kerja serta berusaha.
Pengaturan dalam RUU Perikanan yang terkait dengan
penyelenggaraan perikanan meliputi:
1. penambahan materi dan substansi baru dalam rangka
penyempurnaan RUU Perikanan yang berorientasi pada
kedaulatan maritim Indonesia dan dalam rangka mencapai
ketahanan pangan melalui pemanfaatan sumber daya perikanan
yang berkelanjutan atau lestari.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
114
2. pengaturan komponen Perikanan beserta segala aspek
pendukungnya meliputi pemberdayaan dan pengelolaan
perikanan tangkap, pengelolaan perikanan budi daya terpadu,
penyediaan sarana dan prasarana pendukung perikanan,
manajemen usaha perikanan, dan pelaksanaan kewenangan
pengawasan dan penegkan hukum perikanan di wilayah
pengelolaan perikanan Indonesia.
3. mencakup perencanaan dan pengelolaan perikanan, usaha
perikanan, kapal perikanan, pelabuhan, syahbandar, sistem data
dan informasi perikanan, pungutan perikanan, konservasi
perikanan, penelitian dan pengembangan di bidang perikanan,
pendidikan pelatihan dan penyuluhan perikanan, kerjasama
internasional di bidang perikanan, pengawasan perikanan serta
peran serta masyarakat dalam menjaga, mengelola dan
memanfaatkan sumber daya perikanan Indonesia.
B. Ruang Lingkup Materi Muatan RUU Perikanan
1. Ketentuan Umum
Ketentuan umum ini memberikan definisi dan batasan
pengertian terhadap:
a. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan
lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pascaproduksi,
pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam
suatu sistem bisnis perikanan.
b. Sumber Daya Ikan adalah potensi semua jenis Ikan dan
organisme lain yang berhubungan dengan Ikan.
c. Sumber Daya Perikanan adalah potensi semua Sumber Daya
Ikan, sumber daya lingkungan, serta segala sumber daya buatan
manusia yang digunakan untuk memanfaatkan Sumber Daya
Ikan.
d. Lingkungan Sumber Daya Ikan adalah perairan tempat kehidupan
Sumber Daya Ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya.
e. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian
dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.
f. Penangkapan Ikan adalah kegiatan untuk memperoleh Ikan di
perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat
PUSAT PUU B
K DPR R
I
115
dan cara yang mengedepankan asas keberlanjutan dan
kelestarian, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk
memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani,
mengolah, dan/atau mengawetkannya.
g. Pembudidayaan Ikan adalah kegiatan untuk memelihara,
membesarkan, dan/atau membiakkan Ikan serta memanen
hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan
yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau
mengawetkannya.
h. Pengolahan Ikan adalah pengolahan hasil Penangkapan Ikan dan
Pembudidayaan Ikan untuk tujuan komersial.
i. Pengelolaan Perikanan adalah semua upaya, termasuk proses
yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis,
perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi Sumber
Daya Ikan, implementasi, pemantauan dan evaluasi, serta
penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang
Perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain
yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas
sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
j. Hasil Perikanan adalah Ikan yang ditangani dan/atau diolah
dan/atau dijadikan produk akhir yang berupa Ikan segar, Ikan
beku, dan olahan lainnya.
k. Konservasi Sumber Daya Perikanan adalah segala upaya
perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Sumber Daya Ikan,
termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin
keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragaman Sumber Daya Ikan.
l. Kapal Perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang
digunakan untuk melakukan Penangkapan Ikan, mendukung
operasi Penangkapan Ikan, pembudidayaan Ikan, pengangkutan
ikan, pengolahan Ikan, pelatihan Perikanan, dan
penelitian/eksplorasi Perikanan.
m. Nelayan Kecil adalah Nelayan yang melakukan Penangkapan Ikan
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak
menggunakan kapal penangkap Ikan maupun yang menggunakan
PUSAT PUU B
K DPR R
I
116
kapal penangkap Ikan berukuran paling besar 10 (sepuluh) gros
ton (GT).
n. Nelayan Tradisional adalah Nelayan yang melakukan
Penangkapan Ikan di perairan yang merupakan hak Perikanan
tradisional yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun sesuai
dengan budaya dan kearifan lokal.
o. Pembudi Daya Ikan adalah Setiap Orang yang mata
Pencahariannya melakukan Pembudidayaan Ikan air tawar, Ikan
air payau, dan Ikan air laut.
p. Pembudi Daya Ikan Kecil adalah Pembudi Daya Ikan yang
melakukan Pembudidayaan Ikan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.
q. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik
yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbadan
hukum.
r. Surat Izin Usaha Perikanan yang selanjutnya disingkat SIUP
adalah izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan Perikanan
untuk melakukan usaha Perikanan dengan menggunakan sarana
produksi yang tercantum dalam izin tersebut.
s. Surat Izin Penangkapan Ikan yang selanjutnya disingkat SIPI
adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap Kapal Perikanan
untuk melakukan Penangkapan Ikan yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari SIUP.
t. Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan yang selanjutnya disingkat
SIKPI adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap Kapal
Perikanan untuk melakukan pengangkutan Ikan.
u. Perairan Indonesia adalah Laut Teritorial Indonesia beserta
perairan kepulauan dan perairan pedalamannya
v. Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas)
mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.
w. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang selanjutnya disingkat
ZEEI adalah jalur di luar dan berbatasan dengan Laut Teritorial
Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang
yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut,
tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200
(dua ratus) mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial
Indonesia.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
117
x. Laut Lepas adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam
ZEEI, Laut Teritorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia,
dan perairan pedalaman Indonesia.
y. Pelabuhan Perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan
perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat
kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis Perikanan yang
digunakan sebagai tempat Kapal Perikanan bersandar, berlabuh,
dan/atau bongkar muat Ikan yang dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang Perikanan.
z. Hari adalah hari kerja.
aa. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang Perikanan.
bb. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
cc. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
2. Materi yang akan diatur
a. Perencanaan Perikanan
Untuk mencapai tujuan penyelenggaraan Perikanan dibentuk
perencanaan perikanan yang dilakukan secara sistematis, terpadu,
terarah, menyeluruh, transparan, akuntabel, dan sesuai dengan
karakteristik Perikanan setempat. Perencanaan perikanan dilakukan
berdasarkan pada:
a. daya dukung Sumber Daya Perikanan;
b. potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. potensi lahan dan Perairan;
d. rencana tata ruang wilayah;
e. rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, rencana
tata ruang laut nasional, dan rencana zonasi kawasan laut;
f. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
g. kebutuhan sarana dan prasarana;
PUSAT PUU B
K DPR R
I
118
h. kelayakan teknis dan ekonomis serta kesesuaian dengan budaya
setempat; dan
i. tingkat pertumbuhan ekonomi.
Perencanaan perikanan merupakan bagian yang integral dari:
rencana pembangunan nasional; rencana pembangunan daerah;
rencana anggaran pendapatan dan belanja negara; dan rencana
anggaran pendapatan dan belanja daerah. Perencanaan perikanan
paling sedikit memuat kebijakan dan strategi. Kebijakan dan strategi
perikanan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya. Perencanaan Perikanan disusun oleh
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya. Perencanaan Perikanan disusun di tingkat nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota. Perencanaan Perikanan ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota menjadi rencana Perikanan baik jangka pendek,
jangka menengah, maupun jangka panjang.
Perencanaan Perikanan terdiri atas rencana Perikanan
nasional; rencana Perikanan provinsi; dan rencana Perikanan
kabupaten/kota. Rencana Perikanan nasional menjadi pedoman
untuk menyusun perencanaan Perikanan di tingkat provinsi.
Sedangkan Rencana Perikanan provinsi menjadi pedoman untuk
menyusun perencanaan Perikanan di tingkat kabupaten/kota.
Rencana Perikanan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota menjadi
pedoman untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan
Perikanan.
b. Pengelolaan Perikanan
Kebijakan Pengelolaan Perikanan dalam wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan untuk
melindungi, memanfaatkan, dan melestarikan Sumber Daya
Perikanan secara optimal dan berkelanjutan, dengan
mempertimbangkan potensi Sumber Daya Perikanan Indonesia.
Untuk mendukung kebijakan pengelolaan perikanan, Menteri
menetapkan:
1) rencana pengelolaan perikanan;
2) potensi dan alokasi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
PUSAT PUU B
K DPR R
I
119
3) jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
4) potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
5) potensi dan alokasi induk serta benih ikan tertentu di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
6) jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
7) jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan
ikan;
8) daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan;
9) persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan
ikan;
10) pelabuhan perikanan;
11) sistem pemantauan kapal perikanan;
12) jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;
13) jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan
ikan berbasis budi daya;
14) pembudidayaan ikan dan perlindungannya;
15) pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta
lingkungannya;
16) rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta
lingkungannya;
17) ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;
18) kawasan konservasi perairan;
19) wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;
20) jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan
dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara Republik Indonesia; dan
21) jenis ikan yang dilindungi.
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan yang ditetapkan
oleh Menteri. Kewajiban untuk mematuhi ketentuan mengenai sistem
pemantauan kapal perikanan dikecualikan bagi Nelayan Kecil,
Nelayan Tradisional, dan/atau Pembudidaya Ikan kecil. Dalam
pengelolaan perikanan maka ditetapkan potensi dan jumlah
tangkapan yang diperbolehkan, setelah mempertimbangkan
rekomendasi dari komisi nasional yang mengkaji sumber daya ikan.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
120
Komisi nasional ini dibentuk oleh Menteri dan beranggotakan para
ahli di bidangnya, yang berasal dari lembaga terkait.
Dalam kebijakan pengelolaan perikanan terdapat kawasan
konservasi perairan dan jenis ikan yang dilindungi yang
diperuntukkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan,
pariwisata, dan/atau kelestarian Sumber Daya Perikanan. Dalam
kebijakan pengelolaan perikanan Pemerintah Pusat mengatur
pemasukan, pengeluaran, dan/atau transit jenis calon induk, induk,
dan/atau benih Ikan ke dalam dan ke luar wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu
Pemerintah Pusat mengatur dan mengembangkan penggunaan
sarana dan prasarana Pembudidayaan Ikan dalam rangka
pengembangan Pembudidayaan Ikan.
Pemerintah Pusat mengatur dan membina tata kelola air dan
lahan pembudidayaan Ikan. Pelaksanaan tata kelola air dan lahan
Pembudidayaan Ikan dilakukan sesuai dengan kebutuhan teknis
Pembudidayaan Ikan dan menghindari penggunaan lahan yang dapat
merugikan pembudidayaan Ikan, termasuk ketersediaan sabuk hijau.
Pengaturan dan pembinaan dilakukan dalam rangka menjamin
kuantitas dan kualitas air serta perairan untuk kepentingan
pembudidayaan Ikan. Pada dasarnya pelaksanaan tata kelola air dan
lahan Pembudidayaan Ikan dilakukan oleh pemerintah daerah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan dan pembinaan tata
kelola air dan lahan Pembudidayaan Ikan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Dalam kebijakan pengelolaan perikanan maka Pemerintah
Pusat menetapkan persyaratan dan standar serta melakukan
pengawasan terhadap alat pengangkut, unit penyimpanan hasil
produksi budi daya ikan, dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan
lingkungannya. Pemerintah Pusat dalam melaksanakan pengelolaan
kesehatan ikan dan lingkungannya berkewajiban untuk melibatkan
masyarakat. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan
standar serta pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil
produksi budi daya ikan, dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan
lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan
lingkungannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
121
Wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk
penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi perairan
Indonesia; ZEEI; dan landas kontinen. Pengelolaan perikanan di luar
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima secara
umum.
Nelayan kecil bebas menangkap ikan di seluruh wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Kebebasan menangkap
ikan dikecualikan di dalam kawasan zona inti konservasi perairan,
wilayah hak perikanan tradisional, dan/atau wilayah izin pengelolaan
Perikanan. Disamping nelayan kecil Pembudi daya ikan kecil juga
bebas membudidayakan komoditas ikan pilihan di seluruh wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Ketentuan lebih lanjut
mengenai wilayah pengelolaan perikanan dan kebebasan untuk
menangkap serta membudidayakan ikan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Dalam wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
untuk kepentingan penangkapan Ikan diberikan pengakuan terhadap
pengelolaan Perikanan yang dilakukan masyarakat hukum adat yang
diakui keberadaannya. Selain pengakuan terhadap masyarakat
hukum adat, Pemerintah Daerah memberikan izin pengelolaan
Perikanan kepada Nelayan Kecil yang berbasis masyarakat.
Pengelolaan perikanan harus dijalankan dengan sistem pengelolaan
yang menjamin kelestarian, keberlanjutan, dan kesejahteraan. Terkait
dengan Izin pengelolaan perikanan dapat berupa hak pengelolaan
wilayah laut tertentu dan pengelolaan bagian dari alokasi
penangkapan yang diperbolehkan untuk satu atau lebih jenis
kelompok ikan.
Pengelolaan yang dilakukan masyarakat hukum adat dan
Nelayan Kecil yang berbasis masyarakat harus sesuai dengan rencana
pengelolaan perikanan di suatu wilayah Pengelolaan Perikanan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Izin pengelolaan perikanan
diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada Nelayan Kecil secara
berkelompok. Kelompok nelayan harus menyusun rencana aksi
pengelolaan Perikanan. Rencana aksi pengelolaan Perikanan menjadi
dasar bagi Pemerintah Daerah untuk memberikan izin pengelolaan,
PUSAT PUU B
K DPR R
I
122
evaluasi, atau pencabutan izin pengelolaan. Ketentuan lebih lanjut
mengenai mekanisme dan tata cara, serta kriteria penetapan wilayah
izin pengelolaan Perikanan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
c. Usaha Perikanan
Usaha Perikanan merupakan kegiatan yang dilaksanakan
dengan sistem bisnis Perikanan yang meliputi praproduksi, produksi,
pascaproduksi, pengolahan, dan pemasaran. Jenis Usaha Perikanan
terdiri atas usaha perikanan tangkap; perikanan budidaya;
pengangkutan perikanan; pengolahan perikanan; dan pemasaran
perikanan.
Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib
memiliki SIUP dan setiap orang dapat memiliki satu jenis atau
gabungan beberapa jenis usaha perikanan. SIUP diperoleh melalui
pelayanan terpadu satu pintu yang bertujuan membantu Setiap
Orang dalam memperoleh kemudahan pelayanan perizinan usaha
Perikanan. Pelayanan terpadu satu pintu dilaksanakan secara
bersama oleh instansi yang berwenang di bidang Perikanan dan
perhubungan. Ketentuan mengenai mekanisme, tata cara, dan
pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu diatur dengan Peraturan
Presiden.
Kewajiban memiliki SIUP dikecualikan bagi Nelayan Kecil
dan/atau Pembudi Daya Ikan Kecil. Meskipun dibebaskan dari SIUP,
Nelayan Kecil dan Pembudi Daya Ikan Kecil harus mendaftarkan diri,
usaha, dan kegiatannya kepada instansi Perikanan setempat tanpa
dikenakan biaya. SIUP diterbitkan untuk masing-masing jenis usaha
Perikanan dengan mencantumkan koordinat daerah penangkapan
ikan, jumlah dan ukuran kapal perikanan, jenis alat penangkap ikan
yang digunakan, dan pelabuhan pangkalan. Sedangkan SIUP untuk
jenis usaha Perikanan budidaya dengan mencantumkan kepemilikan,
luas lahan atau perairan, dan letak lokasinya.
SIUP untuk jenis usaha pengangkutan perikanan harus
mencantumkan daerah pengumpulan/pelabuhan muat, pelabuhan
pangkalan, jenis ikan, serta jumlah dan ukuran kapal perikanan.
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam menerbitkan SIUP
harus mempertimbangkan potensi dan jumlah sumber daya ikan;
PUSAT PUU B
K DPR R
I
123
daerah penangkapan dan pembudidayaan ikan; jenis alat
penangkapan ikan yang ramah lingkungan; dan cara pembudidayaan
ikan yang ramah lingkungan.
Setiap orang yang melakukan jenis usaha perikanan harus
memenuhi standar mutu dan keamanan pangan hasil perikanan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya membina dan memfasilitasi pengembangan usaha
perikanan agar memenuhi standar mutu dan keamanan pangan hasil
perikanan. Disamping itu Pemerintah Pusat membina dan
memfasilitasi berkembangnya industri perikanan nasional dengan
mengutamakan penggunaan bahan baku dan sumber daya manusia
dalam negeri. Industri perikanan nasional dibangun di lokasi yang
dekat dengan sumber bahan baku ikan. Pemerintah Pusat dan
Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya membina
terselenggaranya kebersamaan dan kemitraan yang sehat antara
industri perikanan, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan/atau koperasi
perikanan.
Usaha Penangkapan Ikan terdiri dari usaha Penangkapan Ikan
dengan menggunakan kapal penangkap Ikan yang dioperasikan
secara tunggal; dan/atau usaha Penangkapan Ikan dengan
menggunakan kapal penangkap Ikan yang dioperasikan dalam satuan
armada Penangkapan Ikan. Usaha Penangkapan Ikan dilakukan oleh
kapal penangkap Ikan yang sekaligus berfungsi sebagai kapal
pengangkut Ikan hasil tangkapan. Usaha Penangkapan Ikan
dilakukan oleh kapal penangkap Ikan, kapal pengangkut Ikan, dan
kapal pendukung operasi Penangkapan Ikan yang merupakan satu
kesatuan armada Penangkapan Ikan.
Usaha Penangkapan Ikan wajib menggunakan alat
Penangkapan Ikan yang ramah lingkungan dan tidak merusak
ekosistem dan kelestarian Sumber Daya Ikan. Usaha Penangkapan
Ikan yang menggunakan kapal penangkap Ikan dan/atau kapal
pengangkut Ikan dengan jumlah kumulatif 100 (seratus) gross ton
(GT) ke atas, hanya dapat dilakukan oleh badan usaha berbadan
hukum.
Jenis usaha Penangkapan Ikan yang berada di wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya
dapat dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum
PUSAT PUU B
K DPR R
I
124
Indonesia. Ketentuan tersebut dikecualikan bagi orang atau badan
hukum asing yang melakukan usaha Penangkapan Ikan di ZEEI,
sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau
ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Pemberian SIUP kepada orang dan/atau badan hukum asing
yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, harus didahului
dengan perjanjian perikanan dan pengaturan akses antara
Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera
kapal. Perjanjian perikanan harus mencantumkan kewajiban
pemerintah negara bendera kapal untuk bertanggung jawab atas
kepatuhan orang atau badan hukum negara bendera kapal untuk
mematuhi perjanjian perikanan. Ketentuan mengenai pemberian SIUP
kepada orang dan/atau badan hukum asing diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Setiap Orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendera Indonesia yang digunakan untuk
melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia dan/atau di luar wilayah pengelolaan
Perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memiliki SIPI.
disamping itu Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan
kapal penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk
melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib memiliki SIPI. Bagi
Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera
Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan
Republik Indonesia atau mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing di ZEEI wajib membawa SIPI asli. Kapal penangkap
ikan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di
wilayah yurisdiksi negara lain harus terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan dari Pemerintah Pusat. Kewajiban memiliki SIPI
dan/atau membawa SIPI asli dikecualikan bagi Nelayan Kecil.
Setiap kapal penangkap ikan dapat melakukan alih muatan ke
kapal penangkap ikan dan/atau ke kapal pengangkut ikan dengan
ketentuan sekurang-kurangnya:
a. mempunyai pelabuhan pangkalan yang sama;
b. pelaksanaannya diawasi oleh pemantau kapal penangkap ikan
dan kapal pengangkut ikan;
PUSAT PUU B
K DPR R
I
125
c. sistem pemantauan kapal Perikanan dalam kondisi aktif dan
dapat dipantau secara daring/online;
d. melaporkan kepada kepala pelabuhan pangkalan sebagaimana
tercantum dalam SIPI atau SIKPI; dan
e. melaporkan kepada pengawas perikanan di pelabuhan pangkalan
sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI.
Dalam pelaksanaan alih muatan setiap kapal yang melakukan
alih muatan wajib mendaratkan Ikan di pelabuhan pangkalan sesuai
SIPI atau SIKPI dan tidak dibawa ke luar negeri. Ketentuan lebih
lanjut mengenai usaha Perikanan tangkap diatur dengan Peraturan
Menteri.
Usaha pembudidayaan Ikan terdiri dari usaha pembenihan
ikan; usaha pembesaran ikan; dan/atau usaha pengangkutan ikan
hasil pembudidayaan. Bagi Setiap orang yang melakukan usaha
pembudidayaan Ikan wajib memiliki izin sekurang-kurangnya berupa
izin lokasi, SIUP, dan SIKPI. Ketentuan mengenai izin dikecualikan
bagi pembudidaya ikan kecil. Setiap Orang yang melakukan usaha
pembudidayaan Ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan menggunakan modal asing
wajib memiliki rekomendasi pembudidayaan ikan penanaman modal.
Dalam usaha pembudidayaan Ikan, Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan
pembinaan usaha pembudidayaan Ikan yang sekurang-kurangnya
meliputi pengelolaan usaha; pengelolaan sarana dan prasarana;
teknik pembudidayaan; jaminan mutu keamanan dan kesehatan hasil
perikanan; dan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha pembudidayaan ikan diatur
dalam Peraturan Menteri.
Usaha pengangkutan Ikan terdiri dari usaha pengangkutan
ikan; dan usaha pengangkutan ikan hidup. Dalam usaha
pengangkutan Ikan maka Setiap Orang yang melakukan usaha
pengangkutan Ikan wajib memiliki SIUP. Bagi setiap orang yang
memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan
berbendera Indonesia yang digunakan untuk melakukan
pengangkutan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Kesatuan Republik Indonesia wajib memiliki SIKPI. Setiap orang yang
memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan
PUSAT PUU B
K DPR R
I
126
berbendera asing yang digunakan untuk melakukan pengangkutan
ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik
Indonesia wajib memiliki SIKPI. Setiap orang yang mengoperasikan
kapal pengangkut ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
membawa SIKPI asli. Kewajiban memiliki SIKPI dan/atau membawa
SIKPI asli tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau Pembudidaya
Ikan Kecil. Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha pengangkutan
Ikan diatur dalam Peraturan Menteri.
Usaha pengolahan Ikan bertujuan untuk meningkatkan nilai
tambah Hasil Perikanan yang memenuhi kelayakan pengolahan ikan,
sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagi Setiap Orang yang
melakukan usaha pengolahan ikan dan produk perikanan wajib
memenuhi dan menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan,
sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan. Sistem
jaminan mutu dan keamanan Hasil Perikanan terdiri atas
pengawasan dan pengendalian mutu; pengembangan dan penerapan
persyaratan atau standar bahan baku, sanitasi dan teknik
penanganan serta pengolahan, mutu produk, sarana dan prasarana,
dan metode pengujian; dan sertifikasi.
Setiap orang yang memenuhi dan menerapkan persyaratan
kelayakan pengolahan dibuktikan dengan sertifikat kelayakan
pengolahan. Setiap orang yang memenuhi dan menerapkan
persyaratan penerapan sistem jaminan mutu hasil perikanan harus
dibuktikan dengan sertifikat penerapan program manajemen mutu
terpadu.
Untuk menghasilkan produk pengolahan Perikanan yang
memenuhi kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan
keamanan, Pemerintah Pusat menetapkan bahan baku, bahan
tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang
membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya melakukan sosialisasi bahan baku, bahan tambahan
makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan
kesehatan manusia dan/atau lingkungan. Dalam rangka pengolahan
perikanan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
PUSAT PUU B
K DPR R
I
127
kewenangannya menyediakan atau memfasilitasi prasarana
pengolahan Hasil Perikanan.
Pemerintah Pusat dapat mendorong peningkatan nilai tambah
produk hasil perikanan dan dapat membatasi pengeluaran bahan
baku industri pengolahan ikan ke luar negeri untuk menjamin
ketersediaan bahan baku di dalam negeri. Ketentuan mengenai
peningkatan nilai tambah produk hasil perikanan dan pembatasan
pengeluaran bahan baku industri pengolahan ikan ke luar negeri
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Untuk menunjang ketersediaan bahan baku industri
pengolahan Ikan dalam negeri, Pemerintah Pusat mengembangkan
sistem logistik Ikan nasional. Sistem logistik Ikan nasional meliputi:
1) pengembangan jaringan distribusi Ikan yang menjangkau seluruh
wilayah secara efisien;
2) pengelolaan sistem distribusi Ikan yang dapat mempertahankan
mutu dan keamanan Hasil Perikanan;
3) pengembangan sarana dan prasarana distribusi Ikan;
4) pengembangan kelembagaan distribusi Ikan;
5) pengelolaan pasokan Ikan dan permintaan Ikan;
6) pengembangan sistem informasi ketersediaan Ikan; dan
7) peningkatan peran pemerintah daerah dalam penyediaan dan
penyaluran bahan baku.
Untuk ketentuan lebih lanjut mengenai usaha pengolahan
perikanan diatur dengan Peraturan Menteri. Usaha pemasaran
Perikanan bertujuan untuk mendistribusikan hasil perikanan agar
dapat dimanfaatkan, dinikmati, dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Dalam usaha pemasaran perikanan Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
mengembangkan sistem pemasaran produk hasil perikanan melalui
penyimpanan; transportasi; pendistribusian; dan promosi. Di
samping itu Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya menyediakan atau memfasilitasi prasarana
pemasaran Hasil Perikanan.
Pemerintah Pusat berkewajiban menyelenggarakan dan
memfasilitasi kegiatan usaha pemasaran hasil perikanan baik di
dalam negeri maupun ke luar negeri. Pengeluaran hasil produksi
usaha perikanan ke luar negeri dilakukan apabila produksi dan
PUSAT PUU B
K DPR R
I
128
pasokan di dalam negeri telah mencukupi kebutuhan konsumsi
nasional. Pemasukan Hasil Perikanan dari luar negeri harus
memperhatikan hasil panen, hasil tangkapan, musim ikan, iklim, dan
cuaca di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengeluaran dan pemasukan Hasil
Perikanan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Ketentuan lebih lanjut
mengenai usaha pemasaran perikanan diatur dalam Peraturan
Menteri.
d. Kapal dan Pelabuhan/Kesyahbandaran Perikanan
Kapal Perikanan berdasarkan fungsinya meliputi kapal
penangkap Ikan; kapal pengangkut Ikan; kapal penyangga; kapal
pengolah Ikan; kapal latih Perikanan; kapal penelitian/eksplorasi
Perikanan; dan kapal pendukung operasi Penangkapan Ikan
dan/atau Pembudidayaan Ikan.
Bagi Setiap orang yang membangun, memasukkan dari luar
negeri, atau memodifikasi kapal perikanan wajib mendapat
persetujuan Menteri. Pembangunan atau modifikasi kapal perikanan
dapat dilakukan di dalam atau di luar negeri setelah mendapat
pertimbangan teknis laik berlayar dari menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pelayaran.
Untuk kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan
penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan
Republik Indonesia wajib menggunakan nakhoda dan anak buah
kapal berkewarganegaraan Indonesia. Sedangkan bagi Kapal
perikanan berbendera asing yang melakukan penangkapan ikan di
ZEEI wajib menggunakan anak buah kapal berkewarganegaraan
Indonesia paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah anak
buah kapal.
Setiap orang yang berkewarganegaraan negara indonesia yang
memiliki Kapal Perikanan yang dioperasikan di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan laut lepas wajib
didaftarkan terlebih dahulu sebagai kapal perikanan Indonesia.
Pendaftaran kapal perikanan harus dilengkapi dengan dokumen bukti
kepemilikan; identitas pemilik; dan surat ukur. Sedangkan Kapal
perikanan yang telah terdaftar diberikan surat tanda kebangsaan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
129
Untuk pendaftaran kapal perikanan yang dibeli atau diperoleh
dari luar negeri dan sudah terdaftar di negara asal untuk didaftar
sebagai kapal perikanan Indonesia, selain dilengkapi dengan
dokumen harus dilengkapi pula dengan surat keterangan
penghapusan dari daftar kapal yang diterbitkan oleh negara asal.
Setiap kapal perikanan Indonesia yang beroperasi di wilayah
perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia diberi tanda pengenal
kapal perikanan.
Bagi setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak
memiliki izin penangkapan ikan selama berada di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, wajib menyimpan
alat penangkapan ikan di dalam palka. Sedangkan setiap kapal
penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin
penangkapan ikan wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam
palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan
di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang
dipergunakan oleh Nelayan Kecil dapat menggunakan 2 (dua) jenis
alat penangkapan ikan yang diizinkan secara bergantian berdasarkan
musim. Ketentuan lebih lanjut mengenai kapal perikanan diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pelabuhan Perikanan merupakan pendukung kegiatan
pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Daya Ikan dan lingkungannya,
mulai dari praproduksi, produksi, pascaproduksi, pengolahan, dan
pemasaran. Pelabuhan Perikanan mempunyai fungsi pemerintahan;
dan pengusahaan. Fungsi pemerintahan pada pelabuhan perikanan
merupakan fungsi untuk melaksanakan pengaturan, pembinaan,
pengendalian, pengawasan, serta keamanan dan keselamatan
operasional kapal perikanan di pelabuhan perikanan. Sedangkan
fungsi pengusahaan pada pelabuhan perikanan merupakan fungsi
untuk melaksanakan pengusahaan berupa penyediaan dan/atau
pelayanan jasa kapal perikanan dan jasa terkait di pelabuhan
perikanan. Fungsi pemerintahan, meliputi:
1) pelayanan pembinaan mutu hasil perikanan;
2) pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan;
3) tempat pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat
nelayan;
PUSAT PUU B
K DPR R
I
130
4) pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan;
5) tempat pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumberdaya
ikan;
6) pelaksanaan kesyahbandaran;
7) tempat pelaksanaan fungsi karantina ikan;
8) publikasi hasil pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan
kapal pengawas kapal perikanan;
9) tempat publikasi hasil penelitian kelautan dan perikanan;
10) pemantauan wilayah pesisir;
11) pengendalian lingkungan;
12) kepabeanan; dan/atau
13) keimigrasian.
Selain memiliki fungsi pemerintahan pelabuhan perikanan
dapat melaksanakan fungsi pemerintahan lainnya yang terkait
dengan pengelolaan perikanan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Fungsi pengusahaan dari pelabuhan
perikanan, meliputi:
1) pelayanan tambat dan labuh kapal perikanan;
2) pelayanan bongkar muat ikan;
3) pelayanan pengolahan hasil perikanan;
4) pemasaran dan distribusi ikan;
5) pemanfaatan fasilitas dan lahan di pelabuhan perikanan;
6) pelayanan perbaikan dan pemeliharaan kapal perikanan;
7) pelayanan logistik dan perbekalan kapal perikanan;
8) wisata bahari; dan/atau
9) penyediaan dan/atau pelayanan jasa lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya menyelenggarakan dan membina pengelolaan
pelabuhan perikanan. Dalam penyelenggaraan dan pembinaan
Menteri menetapkan:
1) rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional;
2) klasifikasi pelabuhan perikanan;
3) pengelolaan pelabuhan perikanan;
4) persyaratan dan/atau standar teknis dalam perencanaan,
pembangunan, operasional, pembinaan, dan pengawasan
pelabuhan perikanan;
PUSAT PUU B
K DPR R
I
131
5) wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan yang
meliputi bagian perairan dan daratan tertentu yang menjadi
wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan; dan
6) pelabuhan perikanan yang tidak dibangun oleh Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah.
Bagi Setiap Orang yang mengoperasikan kapal penangkap
ikan dan/atau kapal pengangkut ikan wajib mendaratkan seluruh
ikan tangkapannya di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau
pelabuhan lainnya yang ditunjuk. Dalam rangka keselamatan
operasional kapal perikanan, ditunjuk syahbandar di pelabuhan
perikanan yang mempunyai tugas dan wewenang:
1) menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar;
2) mengatur kedatangan dan keberangkatan kapal perikanan;
3) memeriksa ulang kelengkapan dokumen kapal perikanan;
4) memeriksa teknis dan nautis kapal perikanan dan memeriksa alat
penangkapan ikan, dan alat bantu penangkapan ikan;
5) memeriksa dan mengesahkan perjanjian kerja laut;
6) memeriksa log book penangkapan dan pengangkutan ikan;
7) mengatur olah gerak dan lalulintas kapal perikanan di pelabuhan
perikanan;
8) mengawasi pemanduan;
9) mengawasi pengisian bahan bakar;
10) mengawasi kegiatan pembangunan dan pemanfaatan fasilitas
pelabuhan perikanan;
11) melaksanakan bantuan pencarian dan penyelamatan;
12) memimpin penanggulangan pencemaran dan pemadaman
kebakaran di pelabuhan perikanan;
13) mengawasi pelaksanaan perlindungan lingkungan maritim;
14) memeriksa pemenuhan persyaratan pengawakan kapal perikanan;
15) menerbitkan Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan dan
Keberangkatan Kapal Perikanan; dan
16) memeriksa sertifikat ikan hasil tangkapan.
Syahbandar di pelabuhan perikanan diangkat oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pelayaran.
Dalam melaksanakan tugasnya, syahbandar di pelabuhan perikanan
dikoordinasikan oleh pejabat yang bertanggung jawab di pelabuhan
perikanan setempat. Dalam rangkaPenyelenggaraan kesyahbandaran
PUSAT PUU B
K DPR R
I
132
di pelabuhan perikanan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagi Setiap kapal perikanan yang melakukan kegiatan
perikanan wajib memiliki surat laik operasi kapal perikanan tanpa
dikenai biaya. Surat laik operasi dikeluarkan oleh pengawas
perikanan setelah memenuhi persyaratan administrasi dan kelayakan
teknis.
Setiap nakhoda yang mengoperasikan Kapal Perikanan yang
akan berlayar melakukan penangkapan ikan dan/atau pengangkutan
ikan dari pelabuhan perikanan wajib memiliki surat persetujuan
berlayar. Surat persetujuan berlayar dikeluarkan oleh syahbandar
setelah kapal perikanan mendapatkan surat laik operasi. Dalam hal
kapal perikanan berada dan/atau berpangkalan di luar pelabuhan
perikanan, surat persetujuan berlayar diterbitkan oleh syahbandar
setempat, setelah memperoleh surat laik operasi dari pengawas
perikanan yang ditugaskan pada pelabuhan setempat.
e. Sistem Data dan Informasi Perikanan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya berkewajiban membangun, menyusun,
mengembangkan, dan menyediakan sistem data dan informasi
Perikanan. Kewajiban ini diselenggarakan dengan cara pengumpulan,
pengolahan, analisis, penyimpanan, penyajian, dan penyebaran data:
1) potensi Perikanan;
2) pergerakan ikan;
3) sarana dan prasarana Perikanan;
4) produksi Perikanan;
5) pascaproduksi Perikanan;
6) pengolahan Perikanan;
7) pemasaran Perikanan; dan
8) sosial ekonomi yang berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan
sumber daya ikan dan pengembangan sistem bisnis perikanan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya mengadakan pusat informasi perikanan untuk
menyelenggarakan sistem data dan informasi perikanan yang
sistematis, lengkap, dan terintegrasi. Sistem data dan informasi
digunakan untuk Perencanaan Perikanan; pengelolaan Perikanan;
usaha Perikanan; penelitian dan pengembangan perikanan;
PUSAT PUU B
K DPR R
I
133
pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan konservasi
perikanan; kerjasama internasional; dan pengawasan perikanan.
Sistem data dan informasi meliputi basis data; jejaring sumber
informasi; dan sumber daya manusia untuk manajemen sistem data
dan informasi. Basis data diperoleh melalui kegiatan inventarisasi
Perikanan. Basis data perikanan paling sedikit memuat informasi
mengenai wilayah pengelolaan Perikanan; potensi dan ketersediaan
Sumber Daya Ikan; status dan kriteria Perikanan; jenis Ikan; jumlah
produksi Perikanan; konsumsi ikan nasional; peluang dan tantangan
pasar Perikanan; data pemasukan dan pengeluaran ikan dari dalam
atau ke luar negeri; data perizinan Perikanan; prakiraan cuaca; dan
harga hasil perikanan.
Basis data ini wajib diperbaharui oleh Menteri bersama
dengan lembaga pemerintah di bidang pengembangan ilmu
pengetahuan sekurang-kurangnya setiap 6 (enam) bulan.
Penyelenggaraan sistem data dan informasi Perikanan dilaksanakan
oleh menteri bersama dengan lembaga pemerintah di bidang
pengembangan ilmu pengetahuan.
Dalam sistem data dan informasi perikanan maka Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangnnya
menjamin kerahasiaan informasi perikanan yang berkaitan dengan
data log book penangkapan dan pengangkutan ikan, data yang
diperoleh dari pengamat, dan data perusahaan dalam proses
perizinan usaha perikanan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Selain itu Pemerintah Pusat memiliki
kewajiban untuk membangun jaringan informasi perikanan dengan
lembaga lain, baik di dalam maupun di luar negeri. Pada dasarnya
sistem informasi perikanan harus dapat diakses dengan mudah dan
cepat oleh seluruh pengguna informasi perikanan. Ketentuan lebih
lanjut mengenai sistem data dan informasi diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
f. Pungutan Perikanan
Dalam penyelenggaraan perikanan maka dikenakan pungutan
perikanan yang dikenakan bagi setiap orang yang memperoleh
manfaat langsung dari Sumber Daya Ikan dan lingkungannya di
wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan/atau di luar wilayah pengelolaan Perikanan Negara Kesatuan
PUSAT PUU B
K DPR R
I
134
Republik Indonesia. Pungutan perikanan ini terdiri dari penerimaan
negara bukan pajak; dan retribusi izin usaha perikanan. Namun
ketentuan pungutan perikanan ini dikecualikan bagi Nelayan Kecil
dan Pembudidaya Ikan Kecil. Pungutan perikanan digunakan untuk
penyelenggaraan perikanan dan kegiatan konservasi sumber daya
ikan dan lingkungannya. Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan
perikanan diatur dengan Peraturan Pemerintah sedangkan ketentuan
lebih lanjut mengenai pungutan perikanan masing-masing diatur
dengan Peraturan Daerah.
g. Konservasi Perikanan
Dalam penyelenggaraan perikanan maka dilakukan konservasi
perikanan yang ditujukan untuk menjamin perlindungan, pelestarian,
dan pemanfaatan Sumber Daya Ikan dilakukan usaha konservasi
Sumber Daya Ikan. Konservasi Sumber Daya Ikan dilakukan melalui
konservasi ekosistem, jenis ikan, dan sumber daya genetik ikan.
Konservasi ekosistem dilakukan pada semua tipe ekosistem yang
terkait dengan sumber daya ikan yang dilakukan melalui kegiatan
perlindungan dan/atau rehabilitasi habitat dan populasi ikan;
penelitian dan pengembangan; pemanfaatan sumber daya ikan dan
jasa lingkungan; pengembangan sosial ekonomi masyarakat;
pengawasan dan pengendalian; dan/atau monitoring dan evaluasi.
Penyelenggaraan Konservasi jenis ikan dilakukan melalui:
penggolongan jenis ikan; penetapan status perlindungan jenis ikan;
pemeliharaan; dan pengembangbiakan. Sedangkan penyelenggaran
konservasi sumber daya genetik ikan dilakukan melalui upaya
pemeliharaan; pengembangbiakan; penelitian; dan pelestarian gamet.
Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi ekosistem, konservasi
jenis ikan, dan konservasi sumber daya genetik ikan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
h. Penelitian dan Pengembangan perikanan
Dalam penelitian dan pengembangan perikanan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
menyelenggarakan kegiatan penelitian dan pengembangan perikanan
dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dibutuhkan untuk mendukung pembangunan Perikanan. Kegiatan
Penelitian dan pengembangan bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di
PUSAT PUU B
K DPR R
I
135
bidang perikanan sebagai upaya mempercepat pembangunan
perikanan. Pelaksanaan Penelitian dan Pengembangan perikanan
harus memperhatikan kelestarian lingkungan, kearifan lokal, dan
kode etik.
Pelaksanaan dari kegiatan penelitian dan pengembangan
perikanan dilaksanakan oleh perorangan; perguruan tinggi; lembaga
swadaya masyarakat; dan/atau lembaga penelitian dan
pengembangan milik pemerintah atau swasta. Kegiatan penelitian
dan pengembangan Perikanan juga dapat dilakukan dengan bekerja
sama dengan pelaku usaha perikanan; asosiasi perikanan; dan/atau
lembaga penelitian dan pengembangan milik asing.
Kerjasama dalam kegiatan penelitian dan pengembangan juga
dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya dengan badan atau lembaga penelitian
nasional dan/atau internasional dalam rangka kegiatan penelitian
dan pengembangan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hasil penelitian dan pengembangan Perikanan bersifat terbuka
untuk semua pihak kecuali penelitian tertentu yang dinyatakan oleh
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah tidak untuk
dipublikasikan. Pada dasarnya hasil penelitian dan pengembangan
Perikanan dapat dipergunakan untuk:
1) meningkatkan kemandirian dalam penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi di bidang perikanan;
2) mengungkapkan dan memahami potensi dan permasalahan
sumber daya ikan dan lingkungannya serta mengembangkan
teknologi pengelolaan perikanan dan konservasi sumber daya
ikan; dan
3) menyiapkan dan menyediakan basis ilmiah yang kuat dan
teknologi tepat guna sebagai kunci dalam menyusun kebijakan
pengelolaan dan pengembangan usaha perikanan agar lebih
efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi, dan ramah
lingkungan serta menghargai kearifan tradisi/budaya lokal.
Bagi Warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang
melakukan penelitian Perikanan di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Kesatuan Republik Indonesia harus memperoleh izin dari
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah. Selain itu kegiatan
PUSAT PUU B
K DPR R
I
136
penelitian yang dilakukan oleh warga negara asing dan/atau badan
hukum asing harus mengikutsertakan peneliti Indonesia. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Warga negara asing dan/atau badan
hukum asing di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan
Republik Indonesia wajib diserahkan kepada Pemerintah Pusat
dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
Kegiatan penelitian dan pengembangan perikanan yang
dilakukan oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing di
wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia
mendapatkan pengawasan dari Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan
melibatkan peran serta masyarakat. Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan penelitian dan pengembangan perikanan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
i. Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Perikanan
Dalam penyelenggaraan Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan
Perikanan maka Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya berkewajiban untuk menyelenggarakan
pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan guna meningkatkan dan
mengembangkan kompetensi sumber daya manusia di bidang
Perikanan. Kegiatan pendidikan dan pelatihan dapat diselenggarakan
oleh Pemerintah Pusat; Pemerintah Daerah; swasta; dan/atau
swadaya. Kegiatan pendidikan dan pelatihan paling sedikit berupa
pemberian pelatihan, penyuluhan, beasiswa, dan/atau bantuan biaya
pendidikan di bidang praproduksi, produksi, pascaproduksi,
pengolahan, dan pemasaran Ikan.
Pendidikan dan pelatihan perikanan dapat dilakukan melalui
pendidikan dan pelatihan formal atau non formal. Sedangkan
kegiatan Penyuluhan perikanan dilakukan secara partisipatif dan
berkelanjutan antara Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah
terhadap sumber daya manusia di bidang perikanan. Mengenai
pengaturan lebih lanjut mengenai pendidikan, pelatihan, dan
penyuluhan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
j. Kerja Sama Internasional
Dalam pengelenggaraan pengelolaan perikanan dapat dilakukan
kerja sama internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau
PUSAT PUU B
K DPR R
I
137
Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dengan
pemerintah negara lain; lembaga atau organisasi internasional di
bidang Perikanan; dan/atau warga negara atau organisasi non-
pemerintah dari negara lain. Kerja sama internasional dalam
penyelenggaraan pengelolaan perikanan dapat berupa:
1) publikasi secara berkala hal-hal yang terkait dengan langkah
konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan;
2) kerja sama dalam rangka konservasi dan pengelolaan sumber
daya ikan di laut lepas, laut lepas yang bersifat tertutup atau semi
tertutup, dan wilayah kantong;
3) kerja sama pencegahan dan pemberantasan tindak pidana di
bidang Perikanan;
4) tukar menukar informasi di bidang Perikanan;
5) penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang Perikanan;
6) pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan di bidang Perikanan; dan
7) keanggotaan pada badan/ lembaga/organisasi regional dan
internasional di bidang perikanan.
Kerja sama internasional di bidang Perikanan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima secara
umum. Pengaturan lebih lanjut mengenai kerja sama internasional
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
k. Pengawasan Perikanan
Dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan perikanan maka
dilakukan pengawasan perikanan untuk menjamin tercapainya
tujuan penyelenggaraan Perikanan dan terciptanya tertib
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perikanan. Pengawasan Perikanan dilakukan terhadap:
1) penangkapan ikan;
2) pembudidayaan Ikan;
3) pengolahan Ikan;
4) pemasaran hasil Perikanan;
5) mutu hasil Perikanan;
6) produksi, pemasaran, dan penggunaan pakan serta obat Ikan;
7) konservasi Perikanan; dan
8) penelitian dan pengembangan perikanan.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
138
Kegiatan Pengawasan Perikanan dilakukan oleh pengawas
perikanan yang merupakan pegawai negeri sipil yang bekerja di
bidang perikanan yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atau
pejabat yang ditunjuk. Pengawas perikanan dapat dididik untuk
menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan. Pengawas perikanan
juga dapat ditetapkan sebagai pejabat fungsional pengawas
perikanan. Dalam rangka menyelenggarakan pengawasan Perikanan
maka pengawas dapat melibatkan peran serta masyarakat baik
berupa perorangan atau kelompok.
Dalam melaksanakan pengawasan maka Pengawas Perikanan
melaksanakan tugas di:
1) wilayah pengelolaan Perikanan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
2) kapal Perikanan;
3) Pelabuhan Perikanan dan/atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk;
4) pelabuhan tangkahan;
5) sentra usaha Perikanan;
6) unit pengolahan ikan;
7) area pembenihan ikan;
8) area pembudidayaan ikan; dan
9) kawasan konservasi perairan.
Dalam melaksanakan tugas pengawasan pengawas Perikanan
berwenang:
1) memasuki dan memeriksa tempat kegiatan usaha Perikanan;
2) memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha
Perikanan;
3) memeriksa kegiatan usaha Perikanan;
4) memeriksa sarana dan prasarana yang digunakan untuk kegiatan
Perikanan;
5) memverifikasi kelengkapan dan keabsahan SIPI dan SIKPI.
6) mendokumentasikan hasil pemeriksaan;
7) mengambil contoh ikan dan/atau bahan yang diperlukan untuk
keperluan pengujian laboratorium;
8) memeriksa peralatan dan keaktifan sistem pemantauan kapal
Perikanan;
9) menghentikan, memeriksa, membawa, menahan, dan menangkap
kapal dan/atau orang yang diduga atau patut diduga melakukan
PUSAT PUU B
K DPR R
I
139
tindak pidana perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Kesatuan Republik Indonesia sampai dengan diserahkannya kapal
dan/atau orang tersebut di pelabuhan tempat perkara tersebut
dapat diproses lebih lanjut oleh penyidik;
10) menyampaikan rekomendasi kepada pemberi izin di bidang
Perikanan untuk memberikan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan/atau
11) melakukan tindakan khusus terhadap kapal perikanan yang
berusaha melarikan diri dan/atau melawan dan/atau
membahayakan keselamatan kapal pengawas perikanan dan/atau
awak kapal perikanan.
Dalam rangka mendukung kegiatan pengawasan maka
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya wajib menyediakan dan/atau memfasilitasi sarana
dan prasarana pengawasan Perikanan. Dalam melaksanakan
tugasnya, pengawas perikanan dapat dilengkapi dengan kapal
pengawas perikanan, senjata api, dan/atau alat pengaman diri.
Disamping itu juga Kapal pengawas perikanan dapat dilengkapi
dengan senjata api.
Pengawas Perikanan dan/atau penyidik dapat melakukan
tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman
kapal perikanan yang berbendera asing yang patut diduga telah
melakukan tindak pidana di bidang Perikanan berdasarkan bukti
permulaan yang cukup. Tindakan khusus berupa pembakaran
dan/atau penenggelaman kapal dapat dilakukan dalam hal kapal
berbendera asing yang berusaha melarikan diri; melakukan
perlawanan yang dapat membahayakan keselamatan kapal,
pengawas, dan/atau awak kapal perikanan; dan/atau tidak memiliki
SIPI dan SIKPI serta secara nyata menangkap dan/atau mengangkut
ikan ketika memasuki wilayah pengelolaan perikanan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pengaturan lebih lanjut mengenai
pengawasan perikanan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
l. Larangan
Dalam penyelenggaraan pengelolaan perikanan terdapat
larangan bagi setiap orang untuk:
1) melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan
dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan
PUSAT PUU B
K DPR R
I
140
peledak, alat, cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan
dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
2) Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan,
dan anak buah kapal yang melakukan penangkapan ikan dilarang
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat,
cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
3) Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan,
penangunggjawab perusahaan perikanan, dan/atau operator
kapal perikanan dilarang melakukan penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat,
cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
4) Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik
perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab
perusahaan pembudidayaan ikan yang melakukan usaha
pembudidayaan ikan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan
biologis, bahan peledak, alat, cara, dan/atau bangunan yang
dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber
daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5) menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat,
cara, dan/atau bangunan untuk penangkapan ikan dan/atau
pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan untuk kepentingan penelitian. Ketentuan mengenai
penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat,
cara, dan/atau bangunan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Larangan lain dalam penyelenggaraan pengelolaan perikanan
dikenakan bagi setiap orang yang:
1) memiliki, menguasai, membawa, menggunakan alat penangkapan,
dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan
PUSAT PUU B
K DPR R
I
141
merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap
ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. untuk ketentuan mengenai alat penangkapan
dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan
merusak keberlanjutan sumber daya ikan diatur dalam Peraturan
Menteri;
2) melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia;
3) membudidayakan ikan dan/atau ikan hasil rekayasa genetik yang
dapat membahayakan sumber daya ikan, lingkungan sumber
daya ikan, dan/atau kesehatan manusia di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
4) memproduksi, memasarkan, dan/atau menggunakan pakan dan
obat Ikan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan
sumber daya ikan, lingkungan sumber daya ikan, dan/atau
kesehatan manusia di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Kesatuan Republik Republik Indonesia. Ketentuan lebih lanjut
mengenai larangan yang telah diuraikan diatas diatur dalam
Peraturan Pemerintah;
5) memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan,
dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat ke dalam
dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Ketentuan mengenai pemasukan,
pengeluaran, pengadaan, pengedaran, dan/atau pemeliharaan
ikan, diatur dengan Peraturan Pemerintah;
6) menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan
penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia
dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan
pengolahan ikan;
7) memalsukan SIUP, SIPI, dan/atau SIKPI; dan/atau menggunakan
SIUP, SIPI, dan/atau SIKPI palsu;
8) membawa lebih dari satu alat penangkapan ikan lainnya, karena
hanya memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat
penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
142
m. Pengadilan Perikanan
Dalam rangka penegakan hukum dibidang perikanan maka
dibentuk pengadilan perikanan untuk mengadili tindak pidana di
bidang Perikanan dibentuk pengadilan khusus yang berada di
lingkup peradilan umum. Pengadilan perikanan merupakan
berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana
di bidang perikanan. Pengadilan perikanan berkedudukan di
pengadilan negeri. Pada dasarnya pembentukan pengadilan
perikanan dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan keuangan Negara dan pembentukannya ditetapkan
dengan Keputusan Presiden.
Kewenangan Pengadilan perikanan berlaku di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. untuk
yurisdiksi pengadilan Perikanan dibagi berdasarkan yurisdiksi
pengadilan yang berada di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pembagian yurisdiksi pengadilan
Perikanan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
n. Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang
Pengadilan Perikanan
Dalam rangka penegakkan hukum di bidang perikanan maka
dilakukan Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang
Pengadilan Perikanan. Penyidikan dalam perkara tindak pidana di
bidang perikanan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku
kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Penyidikan tindak
pidana di bidang perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dilakukan oleh Penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia; Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan;
dan/atau Penyidik Perwira TNI AL.
Penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang
terjadi di pelabuhan perikanan diutamakan dilakukan oleh Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Perikanan. Dalam melakukan penyidikan maka
Penyidik harus melakukan koordinasi dalam penanganan penyidikan
tindak pidana di bidang perikanan. Untuk melakukan koordinasi
dalam penanganan tindak pidana di bidang perikanan maka Menteri
membentuk forum koordinasi. Penyidik memiliki kewenangan untuk:
1) menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana
di bidang perikanan;
PUSAT PUU B
K DPR R
I
143
2) memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi untuk
didengar keterangannya;
3) membawa dan menghadapkan tersangka dan/atau saksi untuk
didengar keterangannya;
4) menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga
digunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana
di bidang perikanan;
5) menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau
menahan kapal dan/atau orang yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang perikanan;
6) memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha
perikanan;
7) memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di
bidang perikanan;
8) mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
tindak pidana di bidang perikanan;
9) membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
10) melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan
dan/atau hasil tindak pidana; dan
11) melakukan penghentian penyidikan.
Penyidik yang melakukan penangkapan atau penahanan kapal
asing di ZEEI harus segera memberitahukan kepada Negara bendera
mengenai penangkapan atau penahanan tersebut. Penyidik dapat
memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum
paling lama 7 (tujuh) Hari sejak ditemukan adanya tindak pidana di
bidang perikanan. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat
menahan tersangka paling lama 20 (dua puluh ) hari. Jangka waktu
penahanan jika diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan yang
belum selesai dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama
40 (empat puluh) hari. Ketentuan mengenai jangka waktu penyidikan
tidak menutup kemungkinan tersangka dikeluarkan dari tahanan
sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan
pemeriksaan telah terpenuhi. Setelah jangka waktu 60 (enam puluh)
hari maka penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari
tahanan demi hukum. Penyidik harus menyampaikan hasil
penyidikan ke penuntut umum paling lama 60 (enam puluh) Hari
sejak pemberitahuan dimulainya penyidikan. Jangka waktu
PUSAT PUU B
K DPR R
I
144
penyidikan dapat diperpanjang paling lama 10 (sepuluh) Hari dalam
hal penyidikan membutuhkan kerjasama dengan negara lain
dan/atau terkait dengan tindak pidana non perikanan. Sedangkan
permohonan jangka waktu penyidikan dimohonkan kepada ketua
pengadilan negeri.
Penuntutan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan
dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Penuntutan terhadap
tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh penuntut umum
yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. Penuntut umum perkara tindak
pidana di bidang perikanan harus memenuhi persyaratan:
1) berpengalaman menjadi penuntut umum sekurang-kurangnya 2
(dua) tahun;
2) telah mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis di bidang
perikanan; dan
3) cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama
menjalankan tugasnya.
Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari
penyidik wajib memberitahukan hasil penelitiannya kepada penyidik
dalam waktu 5 (lima) Hari terhitung sejak tanggal diterimanya berkas
penyidikan. Dalam hal hasil penyidikan yang disampaikan tidak
lengkap, penuntut umum harus mengembalikan berkas perkara
kepada penyidik yang disertai dengan petunjuk tentang hal-hal yang
harus dilengkapi. Dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari
terhitung sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus
menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada penuntut
umum. Penyidikan dianggap telah selesai jika dalam waktu 5 (lima)
Hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau
apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir sudah ada
pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.
Dalam hal penuntut umum menyatakan hasil penyidikan
tersebut lengkap dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari
terhitung sejak tanggal penerimaan berkas dari penyidik dinyatakan
lengkap, penuntut umum harus melimpahkan perkara tersebut
kepada pengadilan perikanan. Untuk kepentingan penuntutan,
penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan
lanjutan selama 20 (dua puluh) hari. Jangka waktu penahanan atau
PUSAT PUU B
K DPR R
I
145
penahanan lanjutan, apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua
pengadilan negeri yang berwenang paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Ketentuan penahanan dan penahanan lanjutan tidak menutup
kemungkinan tersangka dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka
waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan telah
terpenuhi. Penuntut umum menyampaikan berkas perkara kepada
ketua pengadilan negeri yang berwenang paling lama 50 (lima puluh)
Hari sejak tanggal penerimaan berkas dari penyidik dinyatakan.
Selain alat bukti yang telah di atur di dalam hukum acara
pidana yang berlaku, untuk memudahkan pembuktian pada proses
pemeriksaan di pengadilan dapat menggunakan alat bukti elektronik.
Benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang
dihasilkan dari tindak pidana di bidang perikanan dirampas untuk
negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua
pengadilan negeri. Pengadilan negeri harus menyediakan tempat
penyimpanan barang bukti berupa benda dan/atau alat yang
digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana di
bidang perikanan yang telah dirampas. Barang bukti dari hasil tindak
pidana di bidang perikanan dapat dilelang untuk negara.
Barang bukti dari hasil tindak pidana di bidang perikanan yang
mudah rusak atau memerlukan biaya perawatan yang tinggi dapat
dilelang terlebih dahulu dengan persetujuan ketua pengadilan negeri.
Pelaksanaan lelang dilakukan oleh badan lelang negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan uang
hasil pelelangan disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara
bukan pajak.
Pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana
di bidang perikanan dilakukan berdasarkan hukum acara yang
berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa
kehadiran terdakwa. Dalam jangka waktu paling lama 50 (lima puluh)
Hari terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan perkara dari
penuntut umum, hakim harus sudah menjatuhkan putusan dan
putusan perkara dapat dilakukan oleh hakim tanpa kehadiran
terdakwa.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
146
Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang pengadilan
berwenang menetapkan penahanan selama 35 (tiga puluh lima) hari.
Jangka waktu penahanan, jika diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua
pengadilan negeri yang bersangkutan paling lama 10 (sepuluh) hari.
Ketentuan mengenai jangka waktu penahanan tidak menutup
kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka
waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan sudah terpenuhi.
Dalam hal putusan pengadilan dimohonkan banding ke
pengadilan tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam
jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) Hari terhitung sejak
tanggal berkas perkara diterima oleh pengadilan tinggi. Untuk
kepentingan pemeriksaan di tingkat banding, hakim berwenang
menetapkan jangka waktu penahanan paling lama 35 (tiga puluh
lima) hari. Jangka waktu penahanan jika diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai dapat diperpanjang oleh
ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan paling lama 10 (sepuluh)
hari. Ketentuan waktu penahanan dalam tingkat banding tidak
menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum
jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan di
tingkat banding telah terpenuhi.
Dalam hal putusan pengadilan tinggi dimohonkan kasasi ke
Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam
jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) Hari terhitung sejak
tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung. Untuk
kepentingan pemeriksaan di tingkat kasasi, hakim berwenang
menetapkan jangka waktu penahanan paling lama 35 (tiga puluh
lima) hari. Jangka waktu penahanan pada tingkat kasasi jika
diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat
diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung paling lama 10 (sepuluh)
hari. Ketentuan waktu penahanan dalam tingkat kasasi tidak
menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum
jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan di
tingkat kasasi telah terpenuhi.
Selain awak kapal yang ditetapkan sebagai tersangka dalam
tindak pidana perikanan atau tindak pidana lainnya, awak kapal
PUSAT PUU B
K DPR R
I
147
lainnya dapat dipulangkan termasuk yang berkewarganegaraan asing.
Pemulangan awak kapal berkewarganegaraan asing dilakukan oleh
instansi yang bertanggung jawab di bidang keimigrasian melalui
kedutaan atau perwakilan negara asal awak kapal. Ketentuan
mengenai pemulangan awak kapal berkewarganegaraan asing
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
o. Sanksi Administratif
Pengenaan sanksi berupa sanksi administratif yang melanggar
ketentuan larangan dalam RUU Perikanan. Adapun sanksi yang
dikenakan meliputi:
1) teguran tertulis;
2) denda administratif;
3) pembatasan kegiatan usaha;
4) penghentian sementara kegiatan usaha;
5) penarikan ikan dan/atau hasil pengolahan ikan dari peredaran;
6) pembekuan izin usaha;
7) deportasi bagi tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
8) pencabutan izin usaha; dan/atau
9) larangan untuk turut serta dalam kegiatan usaha, dan
ekspor/impor.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara
dan mekanisme pengenaan sanksi administratif diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Pada dasarnya Pengenaan sanksi administratif
tidak mengurangi pengenaan ketentuan pidana dalam Undang-
Undang ini.
p. Ketentuan Pidana
Pengaturan pidana dalam RUU Perikanan ini nantinya
menerapkan pola pemidanaan batas maksimum ketentuan pidana
yang dapat dikenakan terhadap setiap perbuatan yang diancamkan
dengan pidana.
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan penangkapan
ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan
kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat, cara, dan/atau bangunan
yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber
PUSAT PUU B
K DPR R
I
148
daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 112 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.200.000.000,00
(satu miliar dua ratus juta rupiah).
Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan
ikan, dan anak buah kapal yang dengan sengaja menggunakan bahan
kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat, cara, dan/atau bangunan
yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber
daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 112 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.400.000.000,00
(satu miliar empat ratus juta rupiah).
Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan,
penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal
perikanan yang dengan sengaja melakukan penangkapan ikan
dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak,
alat, cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (3),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik
perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab
perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja menggunakan
bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat, cara, dan/atau
bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan
kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (4), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai,
membawa, menggunakan alat penangkapan, dan/atau alat bantu
PUSAT PUU B
K DPR R
I
149
penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan
sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja membudidayakan ikan
dan/atau ikan hasil rekayasa genetik yang dapat membahayakan
sumber daya ikan, lingkungan sumber daya ikan, dan/atau
kesehatan manusia di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
114 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar
lima ratus juta rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi, memasarkan,
dan/atau menggunakan pakan dan obat Ikan dalam pembudidayaan
ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan, lingkungan
sumber daya ikan, dan/atau kesehatan manusia di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja memasukkan,
mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara
ikan yang merugikan masyarakat ke dalam dan/atau ke luar wilayah
pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku,
bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang
PUSAT PUU B
K DPR R
I
150
membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam
melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 116 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah).
Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
melanggar kewajiban memiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).
Setiap Orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendera Indonesia yang digunakan untuk
melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia dan/atau di luar wilayah pengelolaan
Perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang melanggar
kewajiban memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan
penangkapan ikan di ZEEI yang melanggar kewajiban memiliki SIPI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Kesatuan Republik Indonesia di ZEEI, yang melanggar kewajiban
membawa SIPI asli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3),
dipidana dengan paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing di ZEEI, yang melanggar kewajiban membawa SIPI
asli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
PUSAT PUU B
K DPR R
I
151
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
pengangkut ikan berbendera Indonesia yang digunakan untuk
melakukan pengangkutan ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melanggar kewajiban
memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan SIUP, SIPI,
dan/atau SIKPI dan/atau menggunakan SIUP, SIPI, dan/atau SIKPI
palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Setiap orang yang membangun, memasukkan dari luar negeri,
atau memodifikasi kapal perikanan yang melanggar kewajiban untuk
mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Setiap orang yang berkewarganegaraan negara indonesia yang
memiliki Kapal Perikanan yang dioperasikan di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan laut lepas yang
melanggar kewajiban mendaftarkan kapal perikanannya sebagai
Kapal Perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah).
Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak
memiliki izin penangkapan ikan selama berada di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melangaar
kewajiban menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), dipidana dengan
pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Setiap Orang yang menangkap ikan dengan menggunakan
bendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1
(satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di
ZEEI yang dengan sengaja membawa alat penangkapan ikan lainnya
PUSAT PUU B
K DPR R
I
152
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118, dipidana dengan pidana
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah
memiliki izin penangkapan ikan, yang melanggar kewajiban
menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di
luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64
ayat (2), dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Setiap nakhoda yang mengoperasikan Kapal Perikanan yang
akan berlayar melakukan penangkapan ikan dan/atau pengangkutan
ikan dari pelabuhan perikanan yang melanggar kewajiban memiliki
surat persetujuan berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73
ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
pengelolaan perikanan yang melanggar kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
117, pemalsuan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
ayat (1), dan pemalsuan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 ayat (1) yang melibatkan pejabat, pidananya ditambah 1/3
(satu pertiga) dari ancaman pidana pokok.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
141 ayat (1), Pasal 142, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, Pasal 146,
Pasal 147, Pasal 148, Pasal 149, Pasal 150, Pasal 151, Pasal 152, dan
Pasal 153 dilakukan oleh atau atas nama suatu Korporasi, pidana
dikenakan terhadap Korporasi dan/atau personil pengendali
Korporasi.
Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi jika tindak pidana:
dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali Korporasi;
dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;
dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi
perintah; dan/atau dilakukan dengan maksud memberikan manfaat
PUSAT PUU B
K DPR R
I
153
bagi Korporasi. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu
Korporasi, maka Korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
Pidana denda yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah
maksimum pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141
ayat (1), Pasal 142, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, Pasal 146, Pasal
147, Pasal 148, Pasal 149, Pasal 150, Pasal 151, Pasal 152, dan Pasal
153 ditambah dengan 2/3 (dua per tiga). Selain pidana denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Korporasi dapat
dikenai pidana tambahan berupa:
1) pengumuman putusan hakim;
2) pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;
3) pencabutan izin usaha sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
4) pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;
5) perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau
6) pengambilan Korporasi oleh negara.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (2), Pasal 23 ayat (1), Pasal 30, Pasal 34 ayat (1), Pasal 34
ayat (2), Pasal 34 ayat (3), Pasal 35 ayat (2), Pasal 38 ayat (1), Pasal
43, Pasal 46 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 61 ayat (1), Pasal 64 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 69, Pasal 72,
Pasal 73, dan Pasal 95 yang dilakukan oleh Nelayan Kecil dan/atau
Pembudi Daya Ikan kecil dipidana dengan pidana penjara paling lama
1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah).
Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana denda, denda
dimaksud wajib disetorkan ke kas negara sebagai penerimaan negara
bukan pajak kementerian yang membidangi urusan perikanan.
Ketentuan tentang pidana penjara dalam Undang-Undang ini
tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1), kecuali telah ada perjanjian antara
Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang
bersangkutan.
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, Pasal
142, Pasal 143, Pasal 145, Pasal 148, Pasal 149, Pasal 150, dan Pasal
151 adalah kejahatan. Sedangkan tindak pidana sebagaimana
PUSAT PUU B
K DPR R
I
154
dimaksud dalam Pasal 144, Pasal 146, Pasal 147, Pasal 150, Pasal
151, Pasal 152, Pasal 153, Pasal 154, dan Pasal 155 adalah
pelanggaran.
Permohonan untuk membebaskan kapal dan/atau orang yang
ditangkap karena melakukan tindak pidana di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (1), dapat dilakukan setiap waktu sebelum ada keputusan dari
pengadilan perikanan dengan menyerahkan sejumlah uang jaminan
yang layak, yang penetapannya dilakukan oleh pengadilan perikanan.
Benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang
dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk
negara.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
155
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah merupakan Negara
Kepulauan, yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari wilayah
perairan (laut) yang sangat luas dengan potensi perikanan yang
sangat besar dan beragam. Potensi perikanan yang dimiliki
merupakan kekayaan negara dan sebagai potensi ekonomi yang dapat
dimanfaatkan untuk masa depan bangsa, sebagai tulang punggung
pembangunan nasional.
Merujuk kepada hal itu, potensi perikanan yang ada di perairan
Indonesia tentunya perlu dikelola secara sinergis oleh seluruh
pemangku kepentingan. Untuk mewujudkan hal tersebut tentunya
perlu digawangi oleh pembentukan dan implementasi berbagai
kebijakan, regulasi, dan koordinasi lintas sektor yang sinergis.
Sampai dengan saat ini sinergitas yang dibutuhkan tersebut
dirasakan masih menyisakan ruang untuk penyempurnaan.
Untuk mewujudkan sinergi kebijakan di bidang perikanan,
harus merujuk kepada salah satunya usaha optimalisasi sumberdaya
perikanan yang ada demi kepentingan nasional. Hal tersebut tentu
akan membutuhkan sinergi dari berbagai pemangku kepentingan.
Sebagai salah satu gambaran dibutuhkannya sinergi tersebut adalah
fakta bahwa dalam pembangunan perikanan, harus tetap memelihara
kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup. Para pelaku industri
penangkapan dan pembudidayaan ikan tidak boleh hanya
mengutamakan jumlah hasil perikanan yang maksimal untuk
keuntungan finansial, namun mengacuhkan peran lingkungan
perikanan yang menopang keberlanjutan industri perikanan di masa
datang.
Selain itu, sinergi juga dibutuhkan antar pemangku
kepentingan ketika sektor industri perikanan perlu ditata secara
menyeluruh dan terpadu dengan melibatkan sektor yang terkait
dalam suatu keutuhan usaha perikanan yang saling menunjang dan
saling menguntungkan baik yang berskala kecil, menengah, dan
besar.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
156
Terkait dengan penegakan hukum di bidang perikanan,
seharusnya tidak berhenti kepada pelaku di lapangan tetapi juga
menyangkut kepada korporasi. Upaya penegakan hukum di bidang
perikanan harusnya lebih maju. Selain menimbulkan efek jera,
penegakan hukum tersebut juga harus memberikan sanksi ganti rugi
yang efektif untuk memulihkan sumber daya perikanan melalui ganti
kerusakan sumber daya ikan.
Adapun lingkup pengaturan dalam RUU Perikanan mencakup
perencanaan Perikanan, pengelolaan Perikanan, usaha Perikanan,
kapal dan pelabuhan/kesyahbandaran Perikanan, sistem data dan
informasi Perikanan, pungutan Perikanan, penelitian dan
pengembangan Perikanan, pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan
Perikanan, Konservasi Perikanan, kerja sama internasional,
pengawasan Perikanan, larangan, pengadilan Perikanan, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan Perikanan,
larangan, dan sanksi.
B. Saran
Penyempurnaan UU Perikanan sangat diperlukan sebagai
jawaban dari perkembangan, permasalahan, dan kebutuhan hukum
yang terjadi terkait dengan penyelenggaraan perikanan. Oleh karena
itu, penyusunan NA Perikanan ini diharapkan dapat menjadi
pedoman, acuan, dasar dalam penyusunan dan pembahasan RUU
Perikanan Komisi IV DPR bersama dengan Pemerintah.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
157
DAFTAR PUSTAKA
Buku Djoko Tribawono, 2013, Hukum Perikanan Indoneisia Edisi Revisi,
Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Johanes Widodo dan Suadi, 2008, Pengelolaan Sumberdaya
Perikanan Laut, Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Subdirektorat Pengembangan Standardisasi dan Klasifikasi Statistik,
2012, Baku Lapangan Usaha Indonesia Tahun 2012 Buku I .Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Arif Satria, 2015, Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Sartini, 2009, Mutiara Kearifan Lokal Nusantara. Yogyakarta: Kepel Press.
Satjipto Rahardjo, Masalah penegakan hukum suatu tinjauan sosiologis, Bandung: CV. Sinar Baru.
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Makalah dan Artikel Abdul Halim, Budy Wiryawan, Neil R Loneragan, M. Fedi A Sondita,
Adrian Hordyk, Dedi S Adhuri, Tukul R Adi, dan Luky Adrianto, Konsep Hak Pengelolaan Perikanan Sebagai Alat Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Di Indonesia, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol.9 No.1 Mei 2017.
Food and Agriculture Organization of The United Nations, In Brief The State Of World Fisheries and Aquaculture, 2016.
Husni Thamrin, 2013, Kearifan Lokal dalam Pelestarian lingkungan, Kutubkhanah, Vol. 16 No. 1 Januari.
Julian J. Pattipeilohy, Sistem Penangkapan Ikan Tradisional Masyarakat Nelayan di Pulau Saparua, Jurnal Penelitian Vol. 7 No.5, Edisi November 2015.
Kelompok Kerja Right Based Fisheries Management, Pertimbangan Akademis Hak Pengelolaan Perikanan sebagai Instrumen untuk Mencapai Perikanan Yang Berkelanjutan dan Mensejahterakan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Laporan Kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2015.
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2015.
Keraf, S. A, 2002, Etika Lingkungan,. Pn. Buku Kompas, Jakarta, dalam Stefanus Stanis, Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Melalui Pemberdayaan Kearifan Lokal di Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur, Tesis tidak diterbitkan, 2005, Universitas Diponegoro Semarang.
Ningsih, 2005. Strategi Mengelola dan Memanfaatkan Sumber Daya Laut dan Perikanan. Majalah Info Kajian Bappenas, Volume 2, 2005.
Ridwan, Nurma A. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Jurnal STAIN Purwokerto. Purwokerto. dalam, Juniarta, Susilo dan
PUSAT PUU B
K DPR R
I
158
Primyastanto, Kajian Profil Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir Pulau Gili Kecamatan Sumberasih Kabupaten Probolinggo Jawa Timur, 2013, Jurnal ECSOFiM Vol. 1.
Prijono, S.N. 2000a. Laporan Pendukung No 1: Sejarah dan Latar Belakang Proyek. dalam Zulkarnain, Asdi Agustar, Rudi Febriamansyah, 2008, Kearifan Lokal Dalam Pemanfaatan dan Pelestarian Sumberdaya Pesisir (Studi Kasus di Desa Panglima Raja Kecamatan Concong Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau), Jurnal Agribisnis Kerakyatan, Vol. 1 Juli.
Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Laporan Penelitian “Penegakan Hukum Pidana Illegal Fishing”, Jakarta, 2012.
Soerjono Soekanto, “Penegakan Hukum dan Kesadaran Hukum”, Makalah pada Seminar Hukum Nasional ke IV, Jakarta, 1979.
Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kelautan, UU Nomor 32
Tahun 2014, LN Tahun 2014 Nomor 294, TLN Nomor 5603. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah,
UU Nomor 23 Tahun 2014, LN Tahun 2014 Nomor 244, TLN Nomor 5587.
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, UU Nomor 1 Tahun 2014, LN Tahun 2014 Nomor 2, TLN Nomor 5490.
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, UU Nomor 45 Tahun 2009, LN Tahun 2009 Nomor 154, TLN 5073.
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengesahan UNCLOS 1982, UU Nomor 21 Tahun 2009.
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pelayaran, UU Nomor 17 Tahun 2008, LN Tahun 2008 Nomor 64, TLN 4849.
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, UU Nomor 16 Tahun 2006, LN Tahun 2006 Nomor 92, TLN Nomor 4660.
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Tentara Nasional Indonesia, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004.
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, UU Nomor 33 Tahun 2004, LN Tahun 2004 Nomor 126, TLN 4438.
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU Nomor 2 Tahun 2002, LN Tahun 2002 Nomor 2, TLN Nomor 4168.
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Perairan Indonesia, UU Nomor 6 Tahun 1996.
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, UU Nomor 16 Tahun 1992, LN Tahun 1992 Nomor 56, TLN Nomor 3482.
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang tentang Zona Ekonomi Ekslusif, UU Nomor 5 Tahun 1983.
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Bagi Hasil Perikanan, UU Nomor 16 Tahun 1964.
PUSAT PUU B
K DPR R
I
159
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak, PP Nomor 75 Tahun 2015.
Republik Indonesia, Peraturan Daerah Provinsi Maluku tentang Retribusi Perizinan Tertentu, Perda Provinsi Maluku Nomor 15 Tahun 2013.
Republik Indonesia, Keputusan Presiden tentang Pemanfaatan Kapal Perikanan, Keppres Nomor 14 Tahun 2000.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan Dan Perikanan Tahun 2015-2019, Permen-KP Nomor 25 Tahun 2015.
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Tentang Estimasi Potensi, Kepmen KP Nomor 47 Tahun 2016.
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Tata Cara Pengawasan Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Kepmen 58/2001.
Internet Antara, PDB Sektor Perikanan Makin Tumbuh pada Triwulan I 2016 ,
https://m.tempo.co/read/news/2016/04/04/090759733/pdb-sektor-perikanan-makin-tumbuh-pada-triwulan-i-2016, diakses tanggal 30 September 2016.
Lili Halim, Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Pengelolaan Sumber daya Alam di Wilayah Pesisir laut, diakses 5 Oktober 2016, http://fhukum.unpatti.ac.id/artikel/hukum-pidana/364-perlindungan-hukum-terhadap-hak-hak-masyarakat-hukum-adat-dalam-pengelolaan-sumber-daya-alam-di-wilayah-pesisir-dan-laut
PUSAT PUU B
K DPR R
I