Post on 19-Mar-2019
STABILITAS DAN PENGARUH GEL RIMPANG KUNYIT DALAM PROSES PENYEMBUHAN LUKA MENCIT
HIPERGLIKEMIK
LINA NOVIYANTI SUTARDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Bogor 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Stabilitas dan Pengaruh Gel Rimpang Kunyit dalam Proses Penyembuhan Luka Mencit Hiperglikemik adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2010
Lina Noviyanti Sutardi NIM B351080021
ABSTRACT
LINA NOVIYANTI SUTARDI. Stability and Wound Healing Activity of Curcuma longa Gel in Hyperglycemic Mice. Under direction of IETJE WIENTARSIH and WIWIN WINARSIH
Indonesia has a rich tradition of plant based on knowledge in healthcare. A large number of plants are used by people in Indonesia for treatment of diabetic, wounds, and antiinflammatory. Curcuma longa Linn is popular for its medicinal. The specific aim of this study is to evaluate formulation, physical stability, safety test, and investigate the possible effect on wound healing of Curcuma longa gel in skin hyperglycemic mice. The physical stability of aethyl acetate gel and n-hexane gel was determined by observation of changes in physical appearance, colour, odor, pH, and viscosity during eight months storage periods (temperature 25°C and 40°C). There are no physical changes on each gel, but the pH determination in six months storage periods at temperature 40°C is showed decreasing in pH value but the value in range safety gel. The Curcuma longa gel was evaluated for its healing efficiency on excision wound in fourty mice. The animal were divided into four groups, KN as a negative control (without treatment), KP as a positive control (Neomycin sulfate), treated groups (GE=aethyl acetat gel and GH=n- hexane gel). Compare to KN group there were significant effect of GE and GH (p< 0.05) in histopathological characteristics in treated mice. The study showed that gel is safe enough to be used and it provides a scientific rationale for the use of this plant in the management of the wounds.
Keywords: Curcuma longa, gel, Wound healing, hyperglycemic mice
RINGKASAN
LINA NOVIYANTI SUTARDI. Stabilitas dan Pengaruh Gel Rimpang Kunyit dalam Proses Penyembuhan Luka Mencit Hiperglikemik. Dibimbing oleh IETJE WIENTARSIH dan WIWIN WINARSIH.
Tanaman merupakan salah satu sumber bahan baku dalam sistem pengobatan tradisional maupun modern. Kunyit telah digunakan dalam pengobatan tradisional sebagai antiinflamasi, antiseptik, antiiritansia, anoreksia, luka diabetik, dan gangguan hati. Kunyit mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi sediaan farmasi, salah satunya adalah sediaan topikal kunyit yang berkhasiat dalam mempercepat proses penyembuhan luka pada pasien diabetes. Berawal dari hal tersebut maka penelitian ini dilakukan dengan merancang suatu formulasi bentuk sediaan farmasi yang tepat dari tanaman kunyit. Penelitian ini bertujuan untuk menguji stabilitas sediaan gel dari fraksi etil asetat dan fraksi n-heksan rimpang kunyit serta aktivitasnya terhadap proses penyembuhan luka pada mencit hiperglikemik yang diinduksi streptozotocin (STZ).
Metode penelitian terdiri dari ekstraksi dan fraksinasi rimpang kunyit, penapisan fitokimia, formulasi sediaan gel, uji stabilitas fisik sediaan gel yang meliputi uji organoleptik (warna, bau, konsistensi), perubahan nilai pH dan nilai viskositas selama penyimpanan. Uji keamanan dilakukan pada 10 orang sukarelawan dengan mengoleskan sediaan gel fraksi n-heksan dan gel fraksi etil asetat pada punggung tangan. Semua uji dilakukan pada hari penyimpanan ke 1, 3, 5, 7, 14, 21, 28, 35, 42, 49, dan 56. Induksi hiperglikemik menggunakan STZ diberikan secara intraperitonial dengan dosis 40mg/kg BB. Pemeriksaan kadar gula darah dilakukan pada hari ke 1, 7, 14, 21 setelah penyuntikan STZ atau sampai kadar gula darah ≥200mg/dl. Hewan coba yang digunakan adalah yang mempunyai kadar gula darah ≥200mg/dl. Pemeriksaan kadar gula darah dilakukan pada hari ke 1, 7, 14, 21 menggunakan glukometer. Uji efektifitas sediaan gel dalam proses penyembuhan luka menggunakan 40 ekor mencit (Mus musculus albinus) hiperglikemik, strain DDY umur 4-6 minggu yang dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok KN yaitu kontrol negatif tidak diobati, kelompok KP yaitu kontrol positif diobati dengan obat luka komersial neomisin sulfat, Kelompok GH dan GE berturut-turut yaitu kelompok yang diobati dengan gel fraksi n-heksan dan gel fraksi etil asetat rimpang kunyit. Perlukaan dilakukan pada punggung mencit dengan membuat sayatan sepanjang 1,5cm. Gel fraksi n-heksan dan gel fraksi etil asetat diberikan secara topikal dengan cara mengoleskannya pada bagian luka mencit setiap pagi dan sore selama 21 hari pasca perlukaan. Pada hari ke 2, 4, 7, 14, 21 pasca perlukaan dilakukan nekropsi untuk mengambil sampel organ kulit. Sampel dibuat preparat histopatologi dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin untuk mengamati jumlah sel radang dan pewarnaan Masson Trichrome untuk mengamati pembentukan neovaskularisasi, merapatnya lapisan epidermis kulit, dan pembentukan jaringan kolagen. Analisis data menggunakan uji anova dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat ada tidaknya perbedaan yang nyata (P≤0,05).
Berdasarkan hasil determinasi diketahui rimpang kunyit yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari tanaman Curcuma longa Linn. Hasil ekstraksi
serbuk rimpang kunyit dengan pelarut etanol 96% berupa ekstrak kental berwarna coklat dan berbau khas. Sebanyak 1000g serbuk rimpang kunyit didapat 187,7g ekstrak kental sehingga diperoleh randemen sebesar 18,77%. Hasil fraksinasi ekstrak etanol rimpang kunyit dengan pelarut n-heksan dan etil asetat berupa ekstrak kental berwarna coklat dan berbau khas. Sebanyak 44,28g ekstrak etanol rimpang kunyit diperoleh 10,3g fraksi n-heksan dan 15,2 g fraksi etil asetat. Besarnya randemen dari fraksi n-heksan 4,4 sedangkan fraksi etil asetat 6,4. Hasil penapisan fitokimia ekstrak dan fraksi rimpang kunyit terdeteksi senyawa metabolit sekunder golongan alkaloid pada simplisia, ekstrak etanol dan fraksi n-heksan. Flavanoid terdeteksi pada simplisia dan fraksi etil asetat. Kuinon terdeteksi pada simplisia, ekstrak etanol, fraksi n-heksan, dan fraksi etil asetat. Saponin terdeteksi pada fraksi n-heksan. Polifenol pada simplisia, ekstrak, dan semua fraksi dari rimpang kunyit. Sediaan gel yang dibuat diamati secara organoleptis. Gel tanpa penambahan ekstrak berwarna bening sedangkan dengan penambahan fraksi n-heksan rimpang kunyit dihasilkan sediaan gel berwarna kuning karena fraksi yang ditambahkan pada gel berwarna coklat kekuningan. Gel dengan penambahan fraksi etil asetat berwarna coklat karena fraksi yang ditambahkan berwarna coklat. Intensitas warna gel bertambah dibandingkan dengan basis gel karena tingginya konsentrasi ekstrak yang ditambahkan. Ketiga formula yang dibuat menghasilkan sediaan gel kental. Berdasarkan hasil pengamatan organoleptis, diketahui bahwa gel tanpa ataupun dengan penambahan rimpang kunyit tidak mengalami perubahan konsistensi, warna maupun bau selama penyimpanan. Hasil pengamatan tersebut menunjukan bahwa semua sediaan gel yang dibuat stabil secara fisik. Hasil pengamatan nilai pH, setelah dilakukan analisis statistik, diketahui Hipotesis nol (Ho) ditolak untuk semua formula gel yang dibuat (P< 0,05). Ini berarti bahwa suhu dan lama penyimpanan mempengaruhi nilai pH gel. Selanjutnya dilakukan uji Duncan untuk mengetahui perbedaan efek pada setiap kelompok perlakuan. Berdasarkan analisis uji Duncan diketahui bahwa terdapat perbedaan nilai pH gel pada suhu penyimpanan 25ºC dan 40ºC. Pada suhu penyimpanan 25ºC pH gel tidak mengalami perubahan sedangkan pada suhu 40ºC pH gel mengalami perubahan. Perubahan pH gel pada suhu 40ºC juga dipengaruhi oleh lama penyimpanan. Berdasarkan analisis uji Duncan diketahui bahwa pada ketiga formula tidak terdapat perbedaan pH pada penyimpanan selama 41 hari, terjadi perubahan nilai pH pada suhu 40ºC dari 7 menjadi 6 saat penyimpanan memasuki hari ke 42. Kestabilan nilai pH kembali terjadi pada penyimpanan hari ke 42 sampai ke 56. Penurunan nilai pH pada suhu penyimpanan 40ºC kemungkinan disebabkan terjadinya hidrolisis senyawa pada ekstrak rimpang kunyit. Gel plasebo (KN) juga mengalami penurunan nilai pH dari 8 menjadi 7 sehingga dapat disimpulkan basis gel juga mengalami penguraian. Secara umum nilai pH gel selama penyimpanan adalah antara 6-8. Nilai tersebut masih sesuai dengan persyaratan pH gel untuk kulit yaitu antara 5-10 sehingga gel aman bila digunakan. Secara umum viskositas dari semua formula gel mengalami perubahan. Nilai viskositas semua sediaan gel pada suhu penyimpanan 40oC mengalami penurunan dan mulai stabil pada penyimpanan hari ke 42. Setelah dilakukan analisis statistik diketahui Hipotesis nol (Ho) diterima untuk semua formula gel yang dibuat (P> 0,05). Ini berarti bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata nilai viskositas selama penyimpanan pada suhu 25oC dan 40oC. Pada uji keamanan sediaan gel fraksi n-heksan dan gel
fraksi etil asetat menunjukan semua sukarelawan tidak mengalami iritasi kulit sehingga dapat disimpulkan bahwa gel rimpang kunyit aman digunakan dan stabil selama penyimpanan. Sediaan gel selama pemakaian dapat disimpan pada suhu ruangan. Hasil pengamatan histopatologi menunjukan kelompok KN mempunyai jumlah sel radang (neutrofil dan makrofag) yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok KP, GH, dan GE. Kelompok KN mempunyai jumlah neovaskularisasi, persentase re-epitelisasi, dan persentase luas jaringan kolagen yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok lain, hal ini disebabkan kelompok KN tidak diobati. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui pemberian gel fraksi etil asetat dan gel fraksi n-heksan dapat mempercepat proses penyembuhan luka pada mencit hiperglikemik. Hal ini terjadi karena pemberian gel fraksi etil asetat dan gel fraksi n-heksan dapat mengurangi proses peradangan, dapat mempercepat pembentukan pembuluh darah baru, re-epitelisasi, dan jaringan ikat. Gel fraksi n-heksan dan gel fraksi etil asetat memiliki pengaruh yang sama.
Keywords: Curcuma longa, gel, proses penyembuhan luka, mencit hiperglikemik
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan karya hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
STABILITAS DAN PENGARUH GEL RIMPANG KUNYIT DALAM PROSES PENYEMBUHAN LUKA MENCIT
HIPERGLIKEMIK
LINA NOVIYANTI SUTARDI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Biomedis Hewan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
STABILITAS DAN PENGARUH GEL RIMPANG KUNYIT DALAM PROSES PENYEMBUHAN LUKA MENCIT
HIPERGLIKEMIK
LINA NOVIYANTI SUTARDI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Biomedis Hewan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman merupakan salah satu sumber bahan baku dalam sistem
pengobatan tradisional maupun modern. Lebih dari 60% produk farmasetik
berasal dari tanaman (Jain et al. 2007). Curcuma longa Linn. (sinonim Curcuma
domestica Val) yang biasa disebut dengan kunyit, famili zingiberaceae adalah
tanaman obat yang dianggap penting di Indonesia. Kunyit digunakan dalam
berbagai bidang seperti kesehatan, kuliner, dan kosmetik. Pada pengobatan
tradisional, kunyit digunakan sebagai antiinflamasi, antiseptik, antiiritansia,
anoreksia, luka diabetik, dan gangguan hati (Jain et al. 2007; Chattopadhyay et al.
2004). Beberapa tahun terakhir penelitian secara ekstensif dilakukan untuk
mengetahui aktivitas biologi dan aksi farmakologi dari kunyit dan ekstraknya.
Kurkumin merupakan komponen bioaktif dalam kunyit yang berwarna kuning.
Kurkumin menunjukan aktivitas biologi dan potensi terapetik yang hebat,
termasuk aktivitasnya sebagai antiinflamasi, antioksidan, antikarsinogenik,
antimutagenik, antikoagulan, antifertilitas, antidiabetik, antibakteri, antifungi,
antiprotozoa, antiviral, antifibrosis, antivenom, antiulcer, hipotensif, dan
hipokolesterolemia (Jain et al. 2007; Chattopadhyay et al. 2004).
Menurut Nwozo et al. (2009) pemberian ekstrak kunyit dapat menurunkan
kadar gula darah pada kelinci yang diinduksi aloksan. Pada suatu studi
membuktikan ekstrak rimpang kunyit, mempunyai aktivitas antialergi terutama
pada fraksi etil asetat (Yano 1996, 2000). Selain itu kunyit mempunyai aktivitas
antibakteri yang signifikan pada Bacillus cereus, Staphylococcus aureus,
Pseudomonas aeruginosa (Jain et al. 2007). Pemberian kunyit juga diakui
sebagai terapi yang tepat dalam penyembuhan luka. Menurut Pandya 1995; Jain et
al. 2007 pemberian secara topikal serbuk kunyit dan ekstrak kunyit efektif dalam
menyembuhkan luka pada mencit yang diinduksi streptozotocin (STZ). Pada
penelitian Winarsih et al. (2007) diketahui ekstrak rimpang kunyit dapat
memperbaiki proses penyembuhan luka dibandingkan dengan kontrol negatif.
Fraksi etil asetat dan fraksi n-heksan rimpang kunyit mempunyai pengaruh yang
lebih besar dibandingkan dengan fraksi air.
2
Berdasarkan studi yang telah dilakukan mengenai evaluasi keamanan dari
kunyit dan kurkumin menyatakan bahwa pada dosis di bawah 100mg/kg BB tidak
menimbulkan efek toksik, oleh karena itu kunyit dan kurkumin sangat potensial
dikembangkan dalam pengobatan modern untuk terapi berbagai penyakit
(Chattopadhyay et al. 2004). Salah satunya adalah penggunaan kunyit secara
topikal pada penyakit kaki diabetik karena hiperglikemia kronik.
Hiperglikemia kronik seperti pada kasus diabetes melitus sering
menyebabkan terjadinya komplikasi sekunder seperti pada pembuluh darah,
ginjal, saraf, gangguan penglihatan dan infeksi. Kerusakan pembuluh darah dapat
menyebabkan aliran darah menurun sehingga terjadi kerusakan saraf pada kaki.
Hal ini dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya ulkus pada kaki (kaki
diabetik) (Scobie 2007).
Penyakit kaki diabetik merupakan komplikasi kronik yang terjadi pada
hampir 15% dari semua pasien diabetes. Faktor yang berhubungan dengan
kesembuhan pasien membutuhkan biaya yang besar. Beberapa penelitian
menyatakan bahwa 6–43% pasien dengan kaki diabetik pada akhirnya akan
diamputasi. Faktor utama yang menyebabkan ulkus pada kaki adalah terjadinya
neuropati. Faktor ini akan lebih parah lagi kalau terkena infeksi bakteri seperti
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes, diiringi spesies Bacteroides
(Scobie 2007).
Sediaan farmasi yang sering digunakan untuk penyembuhan luka adalah gel.
Sediaan gel mempunyai keuntungan yaitu efeknya mendinginkan karena
mengandung banyak air sehingga diharapkan dapat membantu mempercepat
proses penyembuhan luka. Gel merupakan sediaan semipadat digunakan pada
kulit, umumnya sediaan tersebut berfungsi sebagai pembawa pada obat-obat
topikal, sebagai pelunak kulit, atau sebagai pelindung (Lachmann et al. 1994).
Kunyit memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi sediaan topikal
penyakit kaki diabetik dan gel merupakan sediaan yang tepat untuk obat
penyembuhan luka, oleh karena itu perlu kajian lebih lanjut tentang aktivitas
sediaan gel fraksi etil asetat dan gel fraksi n-heksan dari ekstrak kunyit. Gel yang
dibuat diharapkan mempunyai efek dalam proses penyembuhan luka, stabil
selama penyimpanan, dan aman bila digunakan.
3
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji stabilitas sediaan gel dari fraksi etil
asetat dan fraksi n-heksan rimpang kunyit serta aktivitasnya terhadap proses
penyembuhan luka pada mencit hiperglikemik yang diinduksi streptozotocin.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan suatu metode pembuatan
sediaan topikal dari rimpang kunyit serta dapat memberikan informasi suatu
alternatif pengobatan luka pada pasien diabetes.
TINJAUAN PUSTAKA
Rimpang Kunyit
Kunyit merupakan tanaman obat asli dari Asia Tenggara dan telah
dikembangkan secara luas di Asia Selatan, Cina Selatan, Taiwan, Filipina dan
tumbuh dengan baik di Indonesia. Tanaman kunyit (Gambar 1) tumbuh tegak
mencapai tinggi 1,0-1,5m. Kunyit memiliki batang semu yang dililit oleh pelepah-
pelepah daun. Daun tanaman runcing dan licin dengan panjang sekitar 30cm dan
lebar 8cm. Bunga muncul dari batang semu dengan panjang sekitar 10-15cm.
Warna bunganya putih atau putih bergaris hijau dan terkadang ujung bunga
berwarna merah jambu. Bagian utama dari tanaman adalah rimpang yang berada
di dalam tanah (Gambar 2). Rimpang ini biasanya tumbuh menjalar dan rimpang
induk berbentuk lonjong. Rimpang kunyit (Curcuma domestica rhizoma) terdiri
atas rimpang Curcuma domestica Val dalam keadaan utuh atau dipotong-potong.
Rimpang kunyit mempunyai bau khas aromatik, rasa agak pahit, agak pedas, lama
kelamaan menimbulkan rasa tebal. Kepingan rimpangnya ringan, rapuh, berwarna
kuning jingga, kuning jingga kemerahan sampai kuning jingga kecoklatan (Dirjen
POM 2000).
Kunyit digunakan sebagai zat tambahan makanan (rempah), pengawet, dan
pewarna di sebagian besar negara Asia. Pada pengobatan tradisional bubuk kunyit
digunakan untuk terapi gangguan kelenjar empedu, anoreksia, batuk, luka
diabetes, rematik, sinusitis dan gangguan hati. Di Cina, kunyit biasa digunakan
untuk penyakit yang berkaitan dengan gangguan abdominal (Chattopadhyay et al.
2004).
Gambar 1 Tanaman kunyit.
5
Menurut Linnaeus dalam Chattopadhyay et al. (2004) kunyit dideskripsikan
sebagai Curcuma longa dengan taksonomi sebagai berikut:
Kelas : Liliopsida
Subkelas : Kommelinida
Ordo : Zingiberales
Keluarga : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma longa
Kunyit yang tumbuh liar sering disebut dengan Curcuma Aromatica
sedangkan kunyit yang dibudidayakan disebut dengan Curcuma Longa (sinonim
Curcuma Domestica Val) (Chattopadhyay et al. 2004; Dirjen POM 2000).
Gambar 2 Rimpang kunyit.
Senyawa kimia utama yang terkandung di dalam rimpang kunyit adalah
minyak atsiri dan kurkuminoid. Minyak atsiri mengandung senyawa α-felandren
(1%), sabinen (0,6%), sineol (1%), borneol (0,5%), seskuiterpen (53%),
zingiberen (25%). Kurkuminoid mengandung senyawa kurkumin (3-4%) dan
turunannya (berwarna kuning) yang meliputi desmetoksikurkumin dan
bidesmetoksikurkumin. Selain itu rimpang kunyit juga mengandung senyawa
lemak (5,1%), protein (6,3%), mineral (3,5%), dan karbohidrat (69,4%)
(Chattopadhyay et al. 2004). Kunyit telah tersedia secara komersial dalam bentuk
salep, krim antiseptik, dan kapsul yang mengandung serbuk, ekstrak, dan tingtur.
Bromelain seringkali ditambahkan dalam formulasi sediaan kunyit, karena
6
bromelain dapat meningkatkan absorpsi dan efek antiinflamasi dari kurkumin
(Ravindran et al. 2007).
Kunyit mempunyai banyak aktivitas farmakologi. Salah satu aktivitas
farmakologi kunyit adalah sebagai antiinflamasi pada hewan percobaan yang
diinduksi karagenan. Efektivitasnya pada tikus dilaporkan sama dengan efektivitas
hidrokortison asetat dan indometasin. Menurut Jain et al. (2007) ekstrak kunyit
mempunyai aktivitas sebagai antialergi melalui penghambatan pelepasan
antihistamin oleh sel mast dan fraksi etil asetat mempunyai potensi yang paling
tinggi dibandingkan dengan fraksi lain. Rimpang kunyit menunjukan aktivitas
hepatoprotektor secara in vitro maupun in vivo pada hewan percobaan yang
diinduksi karbon tetraklorida, aflatoksin B1, parasetamol, besi, dan siklospamid
pada mencit, tikus, dan itik. Ekstrak kunyit pada profil lipid menunjukan, efikasi
kunyit pada penurunan resiko aterosklerosis. Pemberian ekstrak kunyit dapat
menghambat oksidasi LDL dan mempunyai efek hipokolesterolemia pada kelinci
aterosklerosis. Ekstrak kunyit juga mempunyai aktivitas antifertilitas dan
antispermatik yang signifikan pada tikus albino dengan pemberian jangka panjang
(500mg/kg BB/ tikus/hari sampai 60 hari) (Jain et al. 2007).
Serbuk kunyit menurut Pandya (1995), mempunyai aktivitas penyembuhan
luka pada pasien diabetes dan terbukti mempunyai aktivitas antimikroba dan
antifungi yang signifikan. Komponen minyak atsiri, turmeron dan kurlon
mempunyai daya spektrum yang luas dalam membunuh bakteri, seperti Bacillus
cereus, Bacillus coagulans, Bacillus. subtilis, Staphylococcus aureus, Escherichia
coli, dan Pseudomonas aeruginosa dan fungi seperti Candida albicans MTCC-
183 Cryptococcus neoformans MTCC-1347 (Jain et al. 2007). Minyak atsiri
kunyit menunjukan, aktivitas antiinflamasi pada tikus arthritis yang diinduksi
ajuvan, karagenan dan hialuronidase melalui penghambatan enzim tripsin dan
hialuronidase (Dirjen POM 2000).
Kurkumin (Gambar 3) dan turunannya juga mempunyai aktivitas
antiinflamasi, karena kemampuannya mengikat radikal bebas oksigen (Jain et al.
2007; Dirjen POM 2000). Kurkumin mempunyai aktivitas sebagai antioksidan
karena aktivitas dan kemampuannya melindungi lipid, hemoglobin, dan Dioxy
Ribonucleic Acid (DNA) dari degradasi oksidatif. Kurkumin merupakan
7
penghambat yang kuat dari sitokrom P450 pada hati, yang merupakan suatu
isoenzim yang terlibat dengan beberapa toksin (Dirjen POM 2000).
Studi farmakokinetik pada kurkumin menunjukan bahwa kurkumin yang
diberikan peroral atau intraperitonial sebagian besar dibuang melalui feses dan
hanya sebagian kecil melalui urin. Hanya sejumlah kecil kurkumin yang
ditemukan pada darah dari jantung, hati, dan ginjal. Kurkumin setelah
dimetabolisme di hati, akan disekresikan melalui empedu (Chattopadhyay et al.
2004).
Gambar 3 Struktur kimia kurkumin (Chattopadhyay et al. 2004).
Kunyit seperti halnya tanaman obat lain mengandung senyawa aktif yang
mungkin menyebabkan timbulnya efek samping dan interaksi dengan herbal lain,
suplemen, atau obat. Kunyit dan kurkuminoid diketahui aman apabila diberikan
sesuai dengan dosis yang direkomendasikan. Berdasarkan studi evaluasi
keamanan yang dilakukan Chattopadhyay et al. (2004) kunyit tidak memberikan
efek toksik pada dosis tinggi, tetapi pada penggunaan berlebihan kurkumin murni
dapat menyebabkan gangguan lambung dan pada kasus ekstrem dapat
menyebabkan ulkus pada lambung. Pemberian kunyit dapat menimbulkan
kontraindikasi pada pasien dengan batu atau kerusakan saluran empedu, pasien
yang diberikan warfarin, aspirin, antiinflamasi non steroid, obat hipotensif, dan
reserpin. Studi pada tikus, mencit, dan kera bunting menyatakan bahwa pemberian
kunyit atau kurkumin aman pada hewan bunting. Studi tersebut tidak menyertakan
wanita hamil sebagai subyek sehingga belum diketahui keamanan penggunaan
kunyit pada wanita hamil (Dirjen POM 2000).
Pada studi klinis yang telah dilakukan oleh Aggarwal et al. (2003)
menyatakan bahwa pemberian kurkumin pada dosis 10g/hari tidak menimbulkan
efek toksik. Pada studi klinis fase pertama terhadap 25 orang relawan dengan
O O
OH
OMe
OH
OMe
8
pemberian 8g kurkumin perhari selama tiga bulan tidak ditemukan toksisitas
(Cheng et al. 2001). Lima relawan lain diberikan 1,125 sampai 2,5g kurkumin per
hari dan hasilnya tidak ditemukan efek toksik. Ekstrak kunyit aman diberikan
pada pasien kanker sampai dosis 2,2g/hari yang setara dengan 0,18g kurkumin
(Sharma et al. 2001).
Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang telah dikeringkan dan digunakan
sebagai obat, yang belum mengalami pengolahan atau sudah mengalami
pengolahan secara sederhana tetapi belum merupakan zat murni kecuali
dinyatakan lain, dan merupakan bahan yang telah dikeringkan (Dirjen POM
2000).
Simplisia nabati adalah simplisia berupa tanaman utuh, bagian tanaman
(contohnya akar tinggal, herbal, daun) atau eksudat tanaman. Eksudat tanaman
adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel dengan cara
tertentu dikeluarkan dari selnya atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara
tertentu dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat kimia murni,
contohnya: opium, papainum (Dirjen POM 2000).
Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan
atau zat-zat yang berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia
murni, contohnya: adepslanae (Dirjen POM 2000).
Simplisia mineral adalah simplisia yang berupa mineral yang belum diolah
atau sudah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni,
contohnya: vaselinum album, parafinum solidum (Dirjen POM 2000).
Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair (tingtur) dibuat dengan
menyari simplisia menurut cara yang cocok berasal dari tanaman obat atau hewan.
Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk. Maserasi merupakan salah
satu cara untuk mendapatkan ekstrak di bawah temperatur yang tetap.
Perbandingan antara tanaman obat dan pelarut yang digunakan pada maserasi
9
adalah 1:5 atau 1:10 untuk menjamin kualitas ekstrak yang digunakan (Gaedcke
dan Barbara 2003).
Fraksinasi dengan menggunakan pelarut merupakan salah satu metode
pemisahan yang baik dan populer karena dapat dilakukan untuk tingkat mikro
maupun makro. Fraksinasi terdiri dari dua macam yaitu ekstraksi padat-cair dan
cair-cair. Fraksinasi padat-cair dapat dikerjakan dengan alat sokhlet, pada
fraksinasi ini terjadi keseimbangan di antara fasa padat dan fasa cair (pelarut).
Fraksinasi cair-cair merupakan suatu pemisahan yang didasarkan pada perbedaan
kelarutan komponen dua pelarut yang tidak saling bercampur. Alat yang
digunakan adalah alat yang sederhana yaitu corong pisah. Prinsip fraksinasi
menggunakan pelarut didasarkan pada distribusi zat terlarut dan perbandingan
tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur (Harborne 2006).
Sediaan Gel
Gel atau jeli merupakan bentuk semi padat terdiri dari suspensi yang dibuat
dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi
oleh suatu cairan. Jika bentuk gel terdiri dari jaringan partikel yang terpisah, gel
digolongkan sebagai sistem dua fase yaitu fase terdispersi dan pendispersi
(misalnya gel alumunium hidroksida). Dalam sistem dua fase jika ukuran partikel
dari fase terdispersi relatif besar, bentuk gel dinyatakan sebagai magma (misalnya
magma bentonit). Baik gel maupun magma dapat berupa tiksotropik dan bila
dibiarkan dapat membentuk semipadat dan pada pengocokan menjadi cair. Gel
fase tunggal terdiri dari makromolekul organik yang tersebar serba sama dalam
suatu cairan, sehingga tidak terlihat adanya ikatan antara molekul makro yang
terdispersi dan cairan. Gel fase tunggal dapat dibuat dari makromolekul sintetik
(misalnya karbomer) atau dari gom alam (misalnya tragakan). Gel dapat
digunakan untuk obat yang diberikan secara topikal atau dimasukan melalui anus
atau vagina (Depkes 1995). Gel memiliki banyak keuntungan seperti praktis,
mudah digunakan, tahan lama mudah diaplikasikan (Ansel 1989), dan
memberikan efek dingin (USP NF 2007).
Gel terdiri dari sistem koloid setengah padat yang diperoleh dari mucilago,
bisa mengandung zat berkhasiat atau tidak. Sifat-sifat gel antara lain: transparan,
10
jernih, lunak, lembut, mempunyai daya pelumas yang baik, viskositas setara atau
terikat dengan kenaikan pH. Gel dari bahan alam mempunyai viskositas
bervariasi, sedangkan gel dari sintetis mempunyai viskositas sama (Voight 1995).
Proses stabilisasi gel dapat dilakukan dengan penambahan bahan-bahan kimia
(misalnya zat pengawet, zat pengental, antioksidan), penggunaan panas (proses
termal), atau dengan kombinasi dari kedua cara tersebut (Morsy 1991).
Pemilihan basis gel dalam sediaan farmasi dan kosmetik harus inert, aman
dan tidak bereaksi dengan komponen lain. Penambahan basis gel dalam formula
perlu dipertimbangkan yaitu tahan selama penyimpanan dalam tube dan selama
pemakaian topikal. Beberapa basis gel terutama polisakarida alami peka terhadap
mikroba. Penambahan bahan pengawet perlu untuk mencegah kontaminasi dan
hilangnya karakter gel dalam kaitannya dengan mikrobial (Lieberman 1996).
Berdasarkan komposisinya basis gel dapat dibedakan menjadi basis gel
hidrofobik dan basis gel hidrofilik (Ansel 1989). Basis gel hidrofobik antara lain
petrolatum, alumunium stearat, karbowax sedangkan basis gel hidrofilik antara
lain bentonit, veegum, silika, pektin, tragakan, metil selulosa, karbomer
(Ansel 1989). Basis gel hidrofobik umumnya terdiri dari partikel-partikel
anorganik yang tidak dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul dari fase
pendispersi. Berbeda dengan bahan hidrofilik, bahan hidrofobik tidak secara
spontan menyebar (Ansel 1989). Basis gel hidrofilik umumnya adalah molekul-
molekul organik yang besar dan dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul
dari fase pendispersi. Sistem koloid hidrofilik biasanya lebih mudah untuk dibuat
dan memiliki stabilitas yang lebih besar (Ansel 1989). Gel hidrofilik umumnya
mengandung komponen bahan pengembang, air, penahan lembab, dan bahan
pengawet. Keuntungan gel hidrofilik antara lain: daya sebarnya pada kulit baik,
efek dingin yang ditimbulkan akibat lambatnya penguapan air pada kulit,
tidak menghambat fungsi fisiologis kulit khususnya respirasi pada kulit karena
tidak melapisi permukaan kulit secara kedap dan tidak menyumbat pori-pori kulit,
mudah dicuci dengan air dan memungkinkan pemakaian pada bagian tubuh yang
berambut serta pelepasan obatnya baik (Voight 1995).
Karbopol termasuk dalam basis gel hidrofilik yang sangat umum digunakan
pada produk kosmetika dan obat karena sifat stabilitas dan kompatibilitasnya
11
tinggi juga mempunyai ketoksikan yang rendah. Pemerian karbopol adalah
berbentuk serbuk halus putih, sedikit berbau khas, higroskopis, memiliki
berat jenis 1,76-2,08 g/cm³ dan titik lebur pada 260ºC selama 30 menit. Karbopol
larut dalam air, etanol dan gliserin. Konsentrasi lazim karbopol sebagai basis gel
yaitu dengan 0,5-2% (Rowe et al. 2009). Menurut Lu dan Jun (1998), karbopol
konsentrasi 2% memiliki nilai difusi paling besar.
Propilen glikol
Propilen glikol sering digunakan sebagai kosolven dalam formulasi sediaan
parenteral dan non parenteral sebagai pengganti gliserin (Jones 2008). Propilen
glikol dapat meningkatkan kelarutan bahan obat sehingga meningkatkan
penetrasinya melalui membran kulit untuk mencapai tempat aksinya. Propilen
glikol sebagai humektan dan kosolven pada kadar 10-24%. Propilen glikol dapat
digunakan sebagai peningkat penetrasi pada konsentrasi 1% sampai 10% (Boylan
1994). Penggunaan propilen glikol untuk sediaan topikal, memiliki efek iritasi
yang kecil, tetapi penggunaan pada membran mukosa dilaporkan dapat
menyebabkan iritasi lokal. Propilen glikol mengalami inkompatibilitas dengan
agen pengoksidasi seperti kalium permanganat (Rowe et al. 2009). Sifat fisik
propilen glikol adalah cairan jernih, tidak berwarna, kental, tidak berbau dan
memiliki rasa manis. Propilen glikol bersifat higroskopis sehingga harus disimpan
dalam wadah tertutup rapat, ditempat dingin dan kering serta terlindung dari
cahaya (USP NF 2007).
Zat Pengawet
Gel merupakan bentuk sediaan non steril, meskipun diproduksi di dalam
ruangan bersih untuk meminimalkan jumlah bakteri dalam sediaan gel. Berbeda
dengan salep dan pasta, gel mengandung lebih banyak air sehingga dibutuhkan
pengawet. Beberapa contoh pengawet yang digunakan dalam sediaan topikal
antara lain:
• Golongan fenolik: fenol (0,2–0,5%), klorokresol (0,075–0,12%)
• Asam benzoat dan garamnya (0,1–0,3%)
• Metilparaben (0,02–0,3%)
12
• Propilparaben (0,02–0,3%)
• Benzil alkohol (3,0%)
• Fenoksietanol (0,5–1,0%)
• Bronopol (0,01–0,1%, biasanya 0.02%)
Kombinasi metilparaben dan propilparaben efektif digunakan pada kisaran
pH yang luas, memiliki aktivitas mikroba dengan spektrum luas dan paling efektif
digunakan pada kapang dan jamur. Kombinasi antara metilparaben dan
propilparaben dengan perbandingan 9:1 atau 10:1, sering digunakan untuk
meningkatkan efektivitas sebagai pengawet (Jones 2008).
Hewan Percobaan
Mencit (Mus musculus), dikarakterisasi mempunyai kemampuan untuk
hidup berdampingan dengan manusia. Faktanya sebagian besar mencit tergantung
pada perlindungan dan aktivitas manusia dan bermigrasi bersama-sama dengan
populasi manusia selama lebih dari 10.000 tahun. Mencit merupakan hewan yang
relatif berbagi dalam suplai makanan. Mencit seperti manusia merupakan
omnivora. Mencit dianggap sebagai hewan model yang baik untuk meneliti
pengaturan asupan makanan dan metabolisme nutrisi pada manusia. Selain itu
sumber informasi dan penelitan yang mengacu pada genetik mencit telah banyak
dilakukan. Informasi tersebut dapat digunakan untuk mempelajari proses biologi
termasuk penyakit pada manusia. Sebagai contoh diabetes melitus tipe 2 yang
secara klinik didefinisikan melalui nilai kadar glukosa, yaitu kadar glukosa puasa
lebih dari 126 mg/dL, kadar glukosa 2 jam setelah makan, lebih dari 200 mg/dL.
Hasil tersebut juga digunakan sebagai dasar kriteria hewan model (mencit)
diabetes melitus tipe 2, meskipun pada mencit nilai baseline glukosa lebih tinggi.
Dalam hal ini mencit sebagai hewan model dibagi menjadi 2 tipe: pertama model
genetik berkembang mengalami gejala diabetes, tidak dipengaruhi perubahan
lingkungan dan kedua mencit yang diberi diet untuk menginduksi obesitas,
sehingga terjadi peningkatan resistensi insulin (Baribault 2010).
Mencit laboratorium (Gambar 4) merupakan strain mencit yang telah
dikembangkan oleh ahli genetik dari peternak mencit peliharaan sejak 100 tahun
silam (Penn 1999). Mencit laboratorium memiliki berat yang relatif sama dengan
13
mencit liar yaitu mencapai 18-20 g pada umur empat minggu dan saat dewasa
dapat mencapai 30-40 g (Smith 1988).
Klasifikasi mencit menurut Linnaeus dalam Ungerer (1985) adalah:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Sub ordo : Myomorphoa
Familia : Muridae
Sub familia : Murinae
Genus : Mus
Spesies : Mus musculus
Sub Spesies : Mus musculus albinus
Gambar 4 Mus musculus albinus.
Kulit
Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh yang sempurna terhadap
pengaruh luar, baik pengaruh fisik maupun pengaruh kimia (Aiache 1993). Kulit
berfungsi sebagai sistem epitel pada tubuh untuk menjaga keluarnya substansi-
substansi penting dari dalam tubuh dan masuknya substansi-substansi asing ke
dalam tubuh. Kulit relatif permiabel terhadap senyawa-senyawa kimia, namun
dalam keadaan tertentu kulit dapat ditembus oleh senyawa-senyawa obat atau
bahan berbahaya yang dapat menimbulkan efek terapetik atau efek toksik baik
14
yang bersifat setempat maupun sistemik (Aiache 1987). Menurut Swarbrick dan
Boylan (1995) pergerakan air melalui lapisan kulit yang tebal tergantung pada
pertahanan lapisan stratum corneum yang berfungsi sebagai rate limiting barrier
pada kulit.
Secara mikroskopik, kulit tersusun dari berbagai lapisan yang berbeda-
beda, berturut-turut dari luar ke dalam yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis
yang tersusun atas pembuluh darah dan pembuluh getah bening dan lapisan
jaringan di bawah kulit yang berlemak atau yang disebut lapisan hipodermis
(Aiache 1993). Struktur kulit yang terdiri dari stratum corneum, lapisan
epidermis, dan dermis ditunjukan pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur kulit manusia. a) bagian-bagian kulit b) perbesaran 200µm
(Rosen 2006)
Penetrasi Kulit oleh Obat
Obat dapat mempenetrasi kulit setelah pemakaian topikal melalui dinding
folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar lemak, antara sel-sel dari selaput tanduk
(stratum corneum), dan lapisan epidermis. Absorpsi perkutan obat pada umumnya
disebabkan oleh penetrasi langsung obat melalui stratum corneum. Komponen
15
lemak pada stratum corneum merupakan faktor utama yang mempengaruhi
rendahnya penetrasi obat. Ketika obat dapat melalui stratum corneum, obat akan
diteruskan melalui epidermis dan masuk ke lapisan dermis. Apabila obat
mencapai pembuluh kulit maka obat tersebut siap diabsorpsi ke dalam sirkulasi
umum (Ansel 1989).
Stratum corneum sebagai jaringan keratin bersifat semi permiabel. Molekul
obat mempenetrasi lapisan ini dengan cara difusi pasif. Konsentrasi obat yang
masuk ke lapisan kulit tergantung pada dosis obat, kelarutannya dalam air, dan
koefisien partisi minyak atau airnya. Bahan-bahan yang dapat larut dalam minyak
dan air merupakan bahan yang baik untuk berdifusi melalui lapisan kulit (Ansel
1989).
Streptozotocin
Streptozotocin (STZ) adalah antibiotik yang diproduksi oleh Streptomyces
achromogenes. Streptozotocin (Gambar 6) merupakan analog glukosa dan telah
digunakan untuk menginduksi diabetes pada hewan percobaan. Induksi STZ pada
hewan model rodensia telah diakui sebagai salah satu teknik penggunaan hewan
model untuk mendeteksi efikasi uji pada percobaaan diabetes. Efikasi dari uji
tersebut berdasarkan pada perubahan kadar gula dalam darah dan urin, berat
badan, dan histopatologi dari pankreas. Kerusakan sel β timbul setelah tiga hari
pemberian STZ dan meningkat setelah tiga sampai empat minggu. Pada kasus
studi terapeutik pemberian bahan uji harus dilakukan sedikitnya 21 hari setelah
pemberian STZ (Kim 2006).
Gambar 6 Struktur kimia streptozotocin (Elsner 2000).
16
Pemberian dosis rendah STZ pada mencit dapat menggambarkan fase lanjut
diabetes melitus, sedangkan pemberian dosis tinggi menyebabkan terjadinya
diabetes melitus tipe 1. Pada tikus dengan dosis 25 mg/kgBB dapat menginduksi
diabetes, sedangkan dosis 100 mg/kgBB menyebabkan diabetes fase lanjut. Pada
tikus, nilai LD50
Proses Penyembuhan Luka
sekitar 130 mg/kg. Secara klinik streptozotocin biasa digunakan
untuk terapi kanker dan tumor sel pulau langerhans pankreas (Brenna 2003).
Penyembuhan luka merupakan suatu proses dinamik beragam yang
kompleks dan belum sepenuhnya diketahui. Proses biologik dari penyembuhan
luka meliputi berbagai macam aspek dari mekanisme molekuler dan seluler.
Penyembuhan luka diatur dan dikoordinasikan oleh sekelompok sitokin yang
disebut faktor pertumbuhan, disekresi dari trombosit, makrofag, neutrofil,
limfosit, sel endotelium, dan fibroblas. Banyak sitokin telah diidentifikasi
mempunyai peranan dalam proses penyembuhan luka, seperti platelet-derived
growth factor (PDGF), fibroblast derived growth factor (FGF), epidermal growth
factor (EGF), tumor necrosis factor (TNF), granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor (GM-CSF), insulin-like growth factor (IGF), dan transforming
growth factors (TGF) α dan β. Faktor pertumbuhan menginduksi proliferasi
lapisan dalam sel, termasuk fibroblas, sel endotelium, dan sel epitelium. Faktor
pertumbuhan juga menginduksi proses seperti kontraksi luka dan deposisi matriks
ekstraseluler (Shai 2005).
Secara umum proses penyembuhan luka terdiri dari tiga tahap yaitu fase
peradangan, fase pembentukan jaringan, dan fase perbaikan jaringan (Gambar 7).
Fase peradangan
Secara normal fase peradangan berlangsung selama 4-6 hari. Peristiwa yang
mengawali fase inflamasi setelah terjadinya perlukaan adalah vasokonstriksi
pembuluh darah dan limfatik. Vasokonstriksi ini berlangsung hanya beberapa
menit. Agregat trombosit menutupi endotelium pembuluh yang mengalami
kerusakan. Proses luka juga mengaktivasi terjadinya koagulasi. Fibrinogen diubah
menjadi monomer fibrin dengan pembentukan clot. Agregasi trombosit dan
pembentukan clot mencegah keluarnya darah pada pembuluh yang rusak. Clot
yang telah dibentuk akan tersusun membentuk matriks dari fibrin, sejumlah kecil
17
fibronektin, vitronektin, dan trombospondin. Proses tersebut diakhiri dengan
proses fibrinolisis.
Gambar 7 Fase penyembuhan luka yaitu fase peradangan, fase pembentukan
jaringan, dan fase perbaikan jaringan (Shai 2005).
Vasodilatasi pembuluh darah dan kenaikan permeabilitas kapiler akibat
pelepasan prostaglandin dari jaringan yang rusak dan pelepasan histamin dari sel
mast menyebabkan timbulnya gejala peradangan seperti panas, kemerahan, dan
bengkak.
Selama fase inflamasi, trombosit mendorong sekresi faktor pertumbuhan
sehingga terjadi peningkatan jumlah sel darah putih melalui pembuluh darah
menuju tempat luka. Beberapa jam setelah terjadi luka, neutrofil akan muncul di
daerah sekitar luka. Jumlah neutrofil akan mencapai puncak setelah 1 sampai 2
18
hari berikutnya. Jika tidak terjadi infeksi jumlah neutrofil akan menurun pada hari
kedua. Bersamaan dengan munculnya neutrofil terdapat makrofag dan monosit.
Sel-sel yang rusak atau mati segera difagositosis dengan cepat dari tempat luka
(Thomson 1997). Akumulasi makrofag dan sel-sel debris yang merupakan tanda
awal perbaikan jaringan terjadi selama beberapa hari pertama proses
penyembuhan luka (Spector 1980). Jumlah maksimum makrofag dan neutrofil
terjadi setelah 4-5 hari dan merupakan sel yang paling signifikan untuk melakukan
proses fagositosis. Limfosit mencapai jumlah maksimal kira-kira 6 hari setelah
terjadinya luka. Sel darah putih dan makrofag beraksi melawan organisme
patogen, menghasilkan faktor pertumbuhan yang selanjutnya akan mengaktivasi
proses penyembuhan luka (Shai 2005).
Fase pembentukan jaringan
Fase ini merupakan fase terpenting dalam proses penyembuhan luka dan
mulai terjadi 4-5 hari setelah terjadi luka dan berakhir beberapa minggu
sesudahnya pada kasus normal penyembuhan luka. Fase pembentukan jaringan
meliputi angiogenesis dan pembentukan jaringan granulasi, pembentukan matriks
ekstraseluler, re-epitelisasi, dan kontraksi luka. Pada pengamatan patologi anatomi
dalam fase ini, pada luka akan terlihat adanya jaringan granulasi yang ditandai
dengan munculnya keropeng.
a. Angiogenesis dan pembentukan jaringan granulasi
Pelepasan faktor pertumbuhan menginduksi terjadinya migrasi dan
proliferasi sel endotelium. Proliferasi sel endotelium mengakibatkan terjadinya
angiogenesis yaitu pembentukan pembuluh darah baru ke dalam luka. Pembuluh
baru membentuk percabangan dan menggantikan matriks fibrin disekitar luka,
dengan cara demikian terbentuk komplek dan jaringan percabangan pembuluh.
Pembuluh ini manifestasi kliniknya berupa jaringan granulasi baru melindungi
area permukaan luka selama proses penyembuhan luka. Jaringan granulasi terdiri
dari kolagen immatur (tipe III) dan substansi dasar, seperti sel darah putih, sel
endotelium muda, dan fibroblas. Sitokin dari kelompok TGF-β berperan dalam
peningkatan angiogenesis, proliferasi fibroblas, dan diferensiasi myofibroblas dan
menginduksi deposisi matriks ekstraseluler (Shai 2005).
19
b. Pembentukan matriks ekstraseluler
Dua atau tiga hari setelah terjadi luka, fibroblas bermigrasi dan muncul pada
luka, kemudian berproliferasi. Setelah beberapa hari diproduksi kolagen tipe III.
Terbentuknya kolagen merupakan proses awal pemulihan keutuhan kulit (Shai
2005).
c. Re-epitelisasi
Re-epitelisasi merupakan tahapan perbaikan luka yang meliputi mobilisasi,
migrasi, mitosis dan diferensiasi sel epitel. Tahapan-tahapan ini akan
mengembalikan integritas kulit yang hilang. Mitosis dan migrasi sel epitel akan
berfungsi untuk mengembalikan integritas dari kulit. Pada permukaan kulit, re-
epitelisasi akan terjadi melalui pergerakan sel-sel epitel dari tepi jaringan bebas
menuju jaringan rusak (Kalangi 2004).
d. Kontraksi luka
Kontraksi luka berasal dari miofibroblas yang merupakan sel kontraktil.
Miofibroblas merupakan jumlah terbesar dalam jaringan granulasi pada luka yang
memperantarai kontraksi pada jaringan granulasi yang terlihat seperti otot
(Kalangi 2004).
Fase perbaikan jaringan
Fase ini menunjukan proses penyembuhan yang lambat, berkurangnya
jumlah fibroblas secara berkala dan penurunan jumlah pembuluh-pembuluh
kapiler. Serabut kolagen mengalami pertambahan jumlah dan menyusun diri
sepanjang garis lebar luka. Luka meningkatkan kekuatan integritasnya terhadap
tekanan secara berangsur-angsur. Pada fase ini matriks ekstraseluler sementara
yang telah terbentuk pada fase sebelumnya digantikan oleh matriks kolagen
dermis. Proses ini merupakan isyarat terbentuknya jaringan parut (Gambar 8).
Tahap akhir dari penyembuhan luka ini merupakan tahap yang hampir bersamaan
waktunya dengan tahap granulasi. Komposisi dan struktur matriks ektraseluler
yang terbentuk pada masa jaringan granulasi akan terus menerus berubah.
Perubahan ini akan bergantung pada waktu setelah terjadi perlukaan dan jarak
tepi luka (Shai 2005).
20
Gambar 8 Pembentukan jaringan parut (Shai 2005).
Diabetes melitus
Penyakit Diabetes Melitus (DM) ditandai dengan adanya glukosa dalam urin
(glukosuria). Dalam keadaan tak terkendali penyakit ini ditandai adanya poliuri,
polidipsi, poliphagia. Diabetes melitus secara tradisional dibagi menjadi: DM tipe
1 (Insulin Dependent Diabetes Mellitus) dan DM tipe 2 (Non Insulin Dependent
Diabetes Mellitus) (Suryohudoyo 2000).
Diabetes melitus tipe 1 merupakan hasil interaksi antara faktor genetik,
lingkungan, dan imunologi. Interaksi faktor ini menyebabkan kerusakan sel beta
pankreas dan defisiensi insulin. Diabetes melitus tipe 1 merupakan hasil dari
proses autoimun kerusakan sel beta pankreas (Suryohudoyo 2000). Proses
autoimun disebabkan adanya interaksi antara infeksi dan faktor lingkungan
(seperti virus coxsackie dan virus gondongan) (Scobie 2007).
Diabetes Melitus tipe 2 biasanya berawal di usia sekitar 45 tahun, meskipun
demikian DM tipe 2 sering terjadi pada usia yang lebih muda. Seseorang yang
mengidap diabetes sering tidak mengetahui secara dini bahwa penyakit ini telah
ada dalam dirinya karena gejala yang timbul berkembang secara perlahan
(Mutschler 1991). Beberapa gen secara bersama-sama dapat menyebabkan DM
tipe 2. Para ilmuwan percaya bahwa obesitas memiliki peran yang besar dalam
21
menyebabkan penyakit diabetes. Hampir 80% dari pengidap penyakit DM tipe 2
mengalami kelebihan berat badan. Diabetes melitus tipe 2 terjadi ketika pasien
mengalami penyusutan sel beta yang progresif serta penumpukan amiloid di
sekitar sel beta. Sel beta yang tersisa pada umumnya masih aktif tetapi sekresi
insulinnya semakin berkurang. Selain itu kepekaan reseptornya menurun.
Hipofungsi sel beta bersama resistensi insulin ini yang mengakibatkan terjadinya
hiperglikemia (Scobie 2007).
Komplikasi kronik yang sering terjadi pada DM salah satunya adalah
ulkus pada kaki (kaki diabetik). Adanya polineuropati simetris dengan manifestasi
klinis berupa penurunan getaran dan tekanan sensasi kulit dan hilangnya reflek
pada pergelangan kaki, merupakan penyebab kaki diabetik (75-90%). Pada
sebagian besar pasien kaki diabetik dilakukan amputasi. Hal ini terjadi karena
adanya iskemia pada penyakit mikrovaskular dan makrovaskular, infeksi
disebabkan oleh perubahan fungsi neutrofil dan insufisiensi pembuluh, dan
kegagalan proses penyembuhan luka yang penyebabnya tidak diketahui (Scobie
2007).
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmasi dan Bagian Patologi,
Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan.
Laboratorium Kimia Fisik, Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Pada bulan Mei 2009 sampai dengan
bulan Juni 2010.
Alat dan Bahan
Alat
Kotak plastik (beralaskan sekam) dan kawat untuk kandang mencit,
anaerobik jar untuk anastesi, peralatan bedah (gunting anatomis untuk bedah,
scalpel), plastik, timbangan, kaca arloji, sendok kecil, kertas perkamen, cawan
porselin dan penangas air, mikrotom, gelas objek dan gelas penutup, mikroskop.
Bahan
Sediaan gel rimpang kunyit (fraksi n-heksan dan fraksi etil asetat), sediaan
gel komersial, sediaan gel plasebo, eter untuk euthanasia, larutan neutral buffer
formalin 10% untuk fiksasi, kapas dan bahan-bahan untuk sediaan histopatologi
yaitu larutan Mayer’s Hematoxylin, larutan Eosin, Xylol, alkohol dengan
konsentrasi yang bertingkat (70%, 80%, 90%, 95%, 100%), larutan Lithium
Carbonat, akuades, asam asetat 1%, Schiff Reagent, air sulfit, larutan Mordant,
larutan Carrazi’s Hematoxylin, larutan Orange G 0,75%, larutan Ponceau
Xylidine Fuchsin, larutan Phosphotungstic Acid 2,5%, Anilin Blue dan parafin.
Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Mus
musculus albinus) strain DDY umur 4-6 minggu. Mencit dipelihara di dalam
kandang individual dari kotak plastik yang pada bagian atasnya diberi kawat kasa
sebagai penutup sekaligus tempat pemberian pakan dan minum. Alas digunakan
alas sekam yang berfungsi untuk menjaga suhu dan menyerap urin. Pakan yang
23
diberikan yaitu pakan komersial berbentuk pelet dan minum secara ad libitum.
Sekam pada kandang mencit diganti 3 hari sekali.
Metode Penelitian
Pengumpulan Bahan dan Determinasi Tanaman.
Pada penelitian ini digunakan rimpang kunyit yang didapatkan dari Balitro
Bogor. Determinasi rimpang kunyit dilakukan di Herbarium Bogoriensis untuk
mengetahui spesies dari tanaman kunyit yang digunakan.
Ekstraksi dan Fraksinasi Rimpang Kunyit
Ekstraksi simplisia rimpang kunyit dilakukan dengan metode maserasi
selama 3X24 jam dengan pelarut etanol 96%. Ekstrak yang diperoleh dipekatkan
dengan rotary evaporator pada suhu 40°C dan 50 rpm sampai diperoleh ekstrak
kental.
Ekstrak etanol dipartisi dengan n-heksan, lapisan n-heksan dipekatkan.
Lapisan air kemudian dipartisi dengan etil asetat. Lapisan etil asetat dan lapisan
air yang diperoleh dipekatkan, sehingga diperoleh fraksi n-heksan dan fraksi etil
asetat.
Penapisan Fitokimia Ekstrak dan Fraksi Rimpang Kunyit
Penapisan fitokimia dilakukan untuk mengetahui adanya senyawa yang
termasuk dalam metabolit sekunder antara lain: alkaloid, flavonoid, tanin, steroid,
kuinon, dan saponin. Prosedur penapisan fitokimia yang digunakan adalah metode
Fransworth (1966) yang dimodifikasi dijelaskan sebagai berikut:
Senyawa Alkaloid
Serbuk simplisia dibasakan dengan amonia, kemudian ditambahkan
kloroform, digerus kuat-kuat. Lapisan kloroform dipipet sambil disaring,
kemudian kedalamnya ditambahkan asam klorida 2N. Campuran dikocok kuat-
kuat hingga terdapat dua lapisan. Lapisan asam dipipet, kemudian dibagi menjadi
3 bagian: Kepada bagian 1 ditambahkan pereaksi Mayer, terjadinya endapan atau
kekeruhan diamati. Bila terjadi kekeruhan atau endapan berwarna putih berarti
dalam simplisia kemungkinan terkandung alkaloid. Bagian 2 ditambahkan
24
pereaksi Dragendorff, terjadinya endapan atau kekeruhan diamati. Bila terjadi
kekeruhan atau endapan berwarna jingga kuning berarti dalam simplisia
kemungkinan terkandung alkaloid. Bagian 3 digunakan sebagai blangko.
Senyawa Tanin
Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam
tangas air, kemudian disaring. Kepada filtrat ditambahkan larutan pereaksi besi
(III) klorida sehingga terjadi warna hijau-biru hitam hingga hitam, kemudian
ditambahkan larutan gelatin 1%. Adanya senyawa tanin ditandai dengan
terjadinya endapan berwarna putih.
Senyawa Flavonoid
Simplisia dipanaskan dengan campuran logam Magnesium dan asam klorida
5N, kemudian disaring. Adanya flavonoid akan menyebabkan filtrat berwarna
merah yang dapat ditarik oleh amil alkohol. Untuk lebih memudahkan
pengamatan, sebaiknya dilakukan percobaan blangko.
Senyawa Kuinon
Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam
tangas air, kemudian disaring. Filtrat ditambahkan larutan KOH 5%. Adanya
senyawa kuinon ditandai dengan terjadinya warna kuning hingga merah.
Senyawa Saponin
Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam
tangas air, kemudian disaring. Setelah dingin filtrat dalam tabung reaksi dikocok
kuat-kuat selama lebih kurang 30 detik. Pembentukan busa sekurang-kurangnya
setinggi 1 cm dan persisten selama beberapa menit, serta tidak hilang pada
penambahan satu tetes asam klorida encer, menunjukan bahwa dalam simplisia
terdapat saponin.
Senyawa Polifenolat
Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam
tangas air, kemudian disaring. Kepada filtrat ditambahkan larutan pereaksi besi
(III) klorida. Adanya senyawa fenolat ditandai dengan terjadinya warna hijau-biru
hitam hingga hitam.
25
Formulasi Gel Fraksi n-Heksan dan Gel Fraksi Etil Asetat Rimpang Kunyit.
Formula sediaan gel dibuat dengan komposisi sebagai berikut (Herdiana
2007): karbopol sebagai basis gel, trietanolamin sebagai surfaktan dan pembuat
basa, metil paraben dan propil paraben sebagai pengawet, propilen glikol sebagai
humektan dan kosolven, air suling, ekstrak atau fraksi rimpang kunyit sebagai zat
aktif.
Pengujian Stabilitas Sediaan Gel Selama Penyimpanan.
Evaluasi sediaan dilakukan dengan mengamati karakteristik fisika yang
meliputi: organoleptik (warna, bau, kejernihan, konsistensi), pH, viskositas.
Organoleptik
Pada uji organoleptik diamati perubahan warna, bau, kejernihan, dan
konsistensi dari sediaan gel. Pengamatan sediaan dilakukan pada hari ke 1, 3, 5, 7,
14, 21, 28, 35, 42, 49, dan 56 (Herdiana 2007).
Pengukuran pH
Pengukuran pH dari formula yang dibuat dengan cara mencelupkan kertas
pH universal ke dalam gel setelah tercelup dengan sempurna, pH universal
tersebut dilihat perubahan warnanya dengan menggunakan standar pH universal.
Pengukuran dilakukan untuk masing-masing sediaan pada hari ke 1, 3, 5, 7, 14,
21, 28, 35, 42, 49, dan 56 (Herdiana 2007).
Pengukuran Viskositas
Pengukuran viskositas sediaan gel dilakukan dengan menggunakan
Viscometer TV-10 Toki Sangyo Co. Ltd. (kecepatan 20 rpm, spindle nomor 21
M2). Prosedur pengukuran viskositas sebagai berikut: sediaan yang akan diperiksa
ditempatkan dalam wadah bermulut besar, kemudian alat dinyalakan dan
didiamkan beberapa lama hingga diperoleh angka yang stabil. Pengukuran
dilakukan pada hari ke 1, 3, 5, 7, 14, 21, 28, 35, 42, 49, dan 56 (Herdiana 2007).
Uji keamanan
Pada uji keamanan digunakan metode patch test. Pengujian dilakukan
terhadap 10 orang sukarelawan dengan cara mengoleskan sediaan gel pada
punggung tangan. Apabila sukarelawan tidak mengalami iritasi kulit setelah
pemakaian gel maka diasumsikan sediaan gel aman digunakan (Sihombing 2007).
26
Pengamatan dilakukan terhadap sediaan selama penyimpanan hari ke 1, 3, 5, 7,
14, 21, 28, 35, 42, 49, dan 56.
Induksi Hiperglikemia dengan Streptozotocin
Induksi hiperglikemia pada hewan coba menggunakan STZ (Eshrat dan
Hussain 2002), sebelum diinduksi hewan coba dipuasakan semalam, kemudian
disuntik dengan STZ secara intraperitonial (ip). Hewan coba diinjeksi STZ dengan
dosis 40 mg/kg BB, kemudian secara interval dilakukan pemeriksaan kadar
glukosa darah setiap mencit, untuk mengetahui keberhasilan induksi
hiperglikemia. Hewan coba yang digunakan adalah yang mempunyai kadar gula
darah ≥200mg/dl.
Pemeriksaan kadar glukosa darah pada hewan coba dilakukan secara berkala
diukur dengan glukometer (Eshrat dan Hussain 2002; Mazunder et al. 2005).
Sampel darah diambil dari vena pada ekor, pada hari ke 1, 7, 14 dan hari ke 21
setelah penyuntikan STZ atau sampai kadar gula darah mencapai ≥200 mg/dl.
Desain Penelitian
Pada penelitian ini digunakan 40 ekor mencit strain DDY umur 4-6 minggu
yang dibagi menjadi 4 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 10 ekor
mencit.
a. Kelompok KN yaitu kontrol negatif (tidak diobati)
b. Kelompok KP yaitu kontrol positif (obat luka komersial Neomycin sulfat 5%)
c. Kelompok GE (sediaan gel fraksi etil asetat)
d. Kelompok GH (sediaan gel fraksi n-heksan)
Perlukaan dilakukan pada punggung mencit dengan membuat sayatan
sepanjang 1,5 cm (Halper et al. 2003; Chen et al. 2005). Sebelum dilakukan
perlukaan bulu di sekitar punggung dicukur dan dibersihkan dengan alkohol.
Gel fraksi etil asetat dan gel fraksi n-heksan rimpang kunyit diberikan
secara topikal yaitu dengan cara mengoleskannya pada bagian luka mencit 2 kali
setiap hari pada pagi dan sore. Pemberian gel fraksi etil asetat dan gel fraksi n-
heksan secara topikal pada luka dilakukan dari hari ke 1 sampai hari ke 21 (Halper
et al. 2003). Sebagai pembanding digunakan kelompok KN dan kelompok KP
27
Pengamatan Histopatologi pada Hewan Coba Hiperglikemik
Pada hari ke 2, 4, 7, 14, 21 pasca perlukaan dilakukan nekropsi untuk
mengambil sampel organ kulit. Sampel organ kulit difiksasi dalam larutan Buffer
Normal Formalin (BNF) 10%, didehidrasi dengan alkohol berbagai konsentrasi
(70%, 80%, 90%, dan alkohol absolut I dan II), clearing dengan xylol dan
diembedded dalam parafin. Jaringan dimasukan ke dalam alat pencetak parafin
cair dan dibiarkan sampai parafin mengeras. Jaringan dipotong dengan mikrotom
dengan ketebalan 5 mikron. Kemudian dilakukan proses rehidrasi dan sediaan
diwarnai dengan hematoksilin eosin (HE) dan pewarnaan khusus (Masson
Trichrome).
Pengamatan histopatologi menggunakan metode lesio skoring menurut
metode Chen et al. 2005 dan Winarsih et al. 2007. Peubah yang diamati adalah
merapatnya lapisan epidermis kulit (reepitelisasi), jumlah sel radang,
pembentukan neovaskularisasi (pembentukan pembuluh darah baru),
pembentukan jaringan ikat (kolagen) .
Analisis Data
Data yang didapat diuji secara statistika menggunakan uji anova yang dilanjutkan
dengan uji Duncan untuk melihat ada tidaknya perbedaan yang nyata (P≤ 0.05).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Ekstraksi Rimpang Kunyit
Berdasarkan hasil determinasi diketahui rimpang kunyit yang digunakan
dalam penelitian ini berasal dari tanaman Curcuma longa Linn. Hasil ekstraksi
serbuk rimpang kunyit dengan pelarut etanol 96% berupa ekstrak kental berwarna
coklat dan berbau khas. Sebanyak 1000g serbuk rimpang kunyit didapat 187,7g
ekstrak kental sehingga diperoleh randemen sebesar 18,77% memenuhi
persyaratan Depkes RI. Menurut Depkes RI 1995 randemen ekstrak dari rimpang
kunyit sebesar 11%. Hasil ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 1.
Metode ekstraksi yang digunakan adalah metode maserasi. Maserasi
merupakan metode ekstraksi dingin yaitu proses pengekstrakan simplisia dengan
beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan, sehingga
zat-zat yang terkandung di dalam simplisia relatif lebih aman jika dibandingkan
dengan penggunaan ekstraksi panas (Gaedcke dan Barbara 2003). Keuntungan
dari cara ini adalah pekerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana.
Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan
penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga
sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan
kadar antara larutan zat aktif yang ada di dalam dan di luar sel maka larutan yang
terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut terjadi berulang-ulang sehingga terjadi
kesetimbangan kadar antara larutan di dalam dan di luar sel.
Pemilihan pelarut dalam ekstraksi berdasarkan pada tingkat keamanan dan
kemudahan saat menguapkan. Pada penelitian ini maserasi menggunakan etanol
sebagai cairan pengekstraksinya, karena etanol tidak menyebabkan
pembengkakan membran sel dan memperbaiki stabilitas bahan aktif terlarut.
Etanol relatif lebih aman dibandingkan dengan metanol dan mempunyai sifat
dapat menarik metabolit sekunder secara optimal dalam simplisia (Voight 1995).
Hasil Fraksinasi Rimpang Kunyit
Hasil fraksinasi ekstrak etanol rimpang kunyit dengan pelarut n-heksan dan
etil asetat berupa ekstrak kental berwarna coklat dan berbau khas. Sebanyak
29
44,28g ekstrak etanol rimpang kunyit diperoleh 10,3g fraksi n-heksan dan 15,2 g
fraksi etil asetat. Besarnya randemen dari fraksi n-heksan 4,4 sedangkan fraksi etil
asetat 6,4 (Tabel 1).
Tabel 1 Hasil Ekstraksi dan Fraksinasi Rimpang Kunyit
Ekstrak/fraksi Berat (g) Rendemen (%)
Ekstrak etanol 187,7 18,8 Fraksi n- heksan 10,3 4,4 Fraksi etil asetat 15,2 6,4
Metode fraksinasi yang digunakan adalah metode ekstraksi cair-cair.
Ekstrak etanol diekstraksi dalam corong pisah dengan n-heksan untuk
membebaskan ekstrak dari zat-zat yang kepolarannya rendah seperti lemak,
terpen, klorofil, xantofil. Ekstraksi dilakukan berulang kali untuk mengoptimalkan
pemisahan (Markham 1988). Larutan etanol kemudian diekstraksi dengan etil
asetat sehingga dihasilkan fraksi n-heksan dan fraksi etil asetat.
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan ekstraksi adalah
pemilihan pelarut. Pada proses pelarutan suatu zat, pemilihan pelarut didasarkan
pada prinsip like dissolves like (Suatu senyawa akan larut dalam pelarut yang
mempunyai kepolaran hampir sama). Pemilihan bahan pelarut yang paling sesuai
untuk ekstraksi metabolit sekunder dalam simplisia nabati adalah berdasarkan
tingkat kepolaran. Dalam hal ini n-heksan bersifat non polar sedangkan etil asetat
bersifat semi polar.
Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak dan Fraksi Rimpang Kunyit
Penapisan fitokimia dilakukan pada ekstrak etanol dan fraksi n-heksan serta
fraksi etil asetat rimpang kunyit untuk mengetahui golongan senyawa-senyawa
yang terkandung di dalamnya. Hasil penapisan fitokimia ekstrak dan fraksi
rimpang kunyit terdeteksi senyawa metabolit sekunder golongan alkaloid pada
simplisia, ekstrak etanol dan fraksi n-heksan . Flavanoid terdeteksi pada simplisia
dan fraksi etil asetat. Kuinon terdeteksi pada simplisia, ekstrak etanol, fraksi n-
heksan, dan fraksi etil asetat. Saponin terdeteksi pada fraksi n-heksan. Polifenol
pada simplisia, ekstrak, dan semua fraksi dari rimpang kunyit (Tabel 2).
30
Tabel 2 Hasil Penapisan Fitokimia Senyawa Metabolit Sekunder
Metabolit sekunder Simplisia Ekstrak etanol Fraksi n-heksan Fraksi etil asetat
Alkaloid + + + -
Flavonoid + - - +
Kuinon + + + +
Saponin - - + -
Polifenol + + + +
*Keterangan : + : terdeteksi; - : tidak terdeteksi
Hasil Pembuatan Sediaan Gel Rimpang Kunyit
Gel merupakan bentuk sediaan semisolid yang banyak digunakan untuk
sediaan topikal. Basis gel dalam formulasi harus bersifat inert dan non reaktif
dengan komponen lain. Bahan-bahan pembentuk gel yang dapat digunakan antara
lain alginat, tragakan, pektin, karagenan, derivat selulosa, dan karbomer. Karbopol
termasuk golongan karbomer bersifat hidrofilik sehingga mudah didispersikan
oleh air dan dengan konsentrasi yang kecil (0.050-2,00%) mempunyai kekentalan
yang cukup sebagai basis gel. Dalam penelitian ini digunakan karbopol sebagai
basis gel. Pemilihan basis gel ini berdasarkan pada keuntungan yang dimiliki oleh
karbopol dibandingkan dengan bahan lain. Berdasarkan penelitian Lu dan Jun
(1998) difusi dan pelepasan obat dari karbopol 20 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan salep, dimana difusi dan pelepasan obat mempengaruhi absorbsi perkutan
dan durasi efikasi obat pada formulasi topikal.
Karbopol sebagai basis gel bekerja tergantung pada pH. Penambahan
alkohol dapat menurunkan viskositas dan kejernihan dari gel karbopol.
Permasalahan ini dapat diatasi dengan menambahkan sedikit konsentrasi karbopol
dan dapat mengubah pH gel tersebut. Karbopol sebagai basis gel memiliki pH
asam, untuk mencapai pH normal pada sediaan ditambahkan trietanolamin (Jones
2008).
Dalam formulasi sediaan gel, basis gel ditambahkan humektan untuk
memperbaiki konsistensi dan dapat juga bersifat sebagai kosolven yang dapat
meningkatkan kelarutan bahan obat (Barry 1983). Apabila kelarutan bahan obat
31
meningkat akan lebih mudah lepas dari basis kemudian berpengaruh pada
efektifitasnya. Basis gel yang baik tidak mengikat bahan obat terlalu kuat, karena
bahan obat harus terlepas sebelum menembus kulit.
Humektan juga berfungsi sebagai pembuat lunak harus memenuhi
beberapa persyaratan. Pertama harus mampu meningkatkan kelembutan dan
daya sebar sediaan dan kedua melindungi dari kemungkinan menjadi kering.
Tingginya kandungan air dalam sediaan gel dengan basis karbopol
dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi mikroba. Kontaminasi ini dapat
dicegah dengan penambahan bahan pengawet. Bahan pengawet yang digunakan
merupakan campuran larutan pengawet metil paraben dan propil paraben. Pada
formulasi sediaan gel dosis kedua pengawet tersebut ditingkatkan, karena
beberapa pengawet seperti paraben dan fenolik berinteraksi dengan basis gel
hidrofilik. Interaksi ini mengakibatkan menurunnya konsentrasi pengawet di
dalam formulasi (Jones 2008).
Sediaan gel disimpan dalam tube untuk menghindari penguapan dan
mengeringnya sediaan. Penyimpanan sediaan dalam botol meskipun tertutup baik
tidak menjamin perlindungan yang memuaskan (Voight 1995).
Sediaan gel yang dibuat diamati secara organoleptis. Hasil pengamatan
organoleptis sediaan gel dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil Sediaan Gel secara Organoleptis
Formula Warna Bau Konsistensi
KN Bening Khas karbopol Kental
GH Kuning Khas ekstrak kunyit Kental
GE Coklat Khas ekstrak kunyit Kental
Gel tanpa penambahan ekstrak berwarna bening sedangkan dengan
penambahan fraksi n-heksan rimpang kunyit dihasilkan sediaan gel berwarna
kuning karena fraksi yang ditambahkan pada gel berwarna coklat kekuningan. Gel
dengan penambahan fraksi etil asetat berwarna coklat karena fraksi yang
ditambahkan berwarna coklat. Intensitas warna gel bertambah dibandingkan
32
dengan basis gel karena tingginya konsentrasi ekstrak yang ditambahkan. Ketiga
formula yang dibuat menghasilkan sediaan gel kental.
Gambar 9 Sediaan gel. Keterangan: KN : Formula tanpa ekstrak rimpang kunyit GH : Formula dengan fraksi n-heksan rimpang kunyit GE : Formula dengan fraksi etil asetat rimpang kunyit
Hasil Pengujian Stabilitas Sediaan Gel
Hasil Pengamatan Organoleptis
Hasil pengamatan perubahan stabilitas gel secara organoleptis yang
meliputi konsistensi, warna, dan bau dari masing-masing formula gel pada
penyimpanan selama 56 hari pada suhu 25oC dan 40o
Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa gel tanpa ataupun dengan
penambahan rimpang kunyit tidak mengalami perubahan konsistensi, warna
maupun bau selama penyimpanan. Hasil pengamatan tersebut menunjukan bahwa
semua sediaan gel yang dibuat stabil secara fisik.
C dapat dilihat pada Tabel 4.
KN
GH GE
33
Tabel 4 Hasil Pengamatan Perubahan Konsistensi, Warna, dan Bau Sediaan Gel
Suhu
penyimpanan Pengamatan Formula
Lama Penyimpanan (Hari)
1 3 5 7 14 21 28 35 42 49 56
25o
Konsistensi
C
KN - - - - - - - - - - -
GH - - - - - - - - - - -
GE - - - - - - - - - - -
Warna KN - - - - - - - - - - -
GH - - - - - - - - - - -
GE - - - - - - - - - - -
Bau KN - - - - - - - - - - -
GH - - - - - - - - - - -
GE - - - - - - - - - - -
40o
Konsistensi
C
KN - - - - - - - - - - -
GH - - - - - - - - - - -
GE - - - - - - - - - - -
Warna KN - - - - - - - - - - -
GH - - - - - - - - - - -
GE - - - - - - - - - - -
Bau KN - - - - - - - - - - -
GH - - - - - - - - - - -
GE - - - - - - - - - - -
*Keterangan : + Ada perubahan; - Tidak ada perubahan
Hasil Pengukuran pH
Stabilitas gel dapat juga dilihat dari pH sediaan selama penyimpanan.
Perubahan pH sediaan selama penyimpanan dapat digunakan untuk mengamati
stabilitas gel. Hasil pengukuran pH sediaan gel yang dibuat ditunjukan pada
Tabel 5.
Berdasarkan Tabel 5, setelah dilakukan analisis statistik dengan desain acak
sempurna model tetap diperoleh hasil dengan taraf signifikan P≤ 0, 05. Hipotesis
nol (Ho) ditolak untuk semua formula gel yang dibuat (P< 0,05). Ini berarti
bahwa suhu dan lama penyimpanan mempengaruhi nilai pH gel. Selanjutnya
dilakukan uji Duncan untuk mengetahui perbedaan efek pada setiap kelompok
34
perlakuan. Berdasarkan analisis uji Duncan diketahui bahwa terdapat perbedaan
nilai pH gel pada suhu penyimpanan 25ºC dan 40ºC. Pada suhu penyimpanan
25ºC pH gel tidak mengalami perubahan sedangkan pada suhu 40ºC pH gel
mengalami perubahan. Perubahan pH gel pada suhu 40ºC juga dipengaruhi oleh
lama penyimpanan. Berdasarkan analisis uji Duncan diketahui bahwa pada ketiga
formula tidak terdapat perbedaan pH pada penyimpanan selama 41 hari, terjadi
perubahan nilai pH pada suhu 40ºC dari 7 menjadi 6 saat penyimpanan memasuki
hari ke 42 . Kestabilan nilai pH kembali terjadi pada penyimpanan hari ke 42
sampai ke 56 (Tabel 5). Penurunan nilai pH pada suhu penyimpanan 40ºC
kemungkinan disebabkan terjadinya hidrolisis senyawa pada ekstrak rimpang
kunyit. Gel plasebo (KN) juga mengalami penurunan nilai pH dari 8 menjadi 7
sehingga dapat disimpulkan basis gel juga mengalami penguraian. Secara umum
nilai pH gel selama penyimpanan adalah antara 6-8. Nilai tersebut masih sesuai
dengan persyaratan pH gel untuk kulit yaitu antara 5-10 sehingga gel aman bila
digunakan dan tidak berkurang efektifitasnya (Jones 2008).
Tabel 5 Hasil Pengamatan Perubahan pH Sediaan Gel
Suhu
penyimpanan Formula Lama Penyimpanan (Hari)
1 3 5 7 14 21 28 35 42 49 56
25o
KN
C
8 8A 8A 8A 8A 8A 8A 8A A 88Aa 8Aa A
GH 7 7A 7A 7A 7A 7A 7A 7A 7A 7Aa 7Aa
GE
A
7 7A 7A 7A 7A 7A 7A 7A 7A 7Aa 7Aa
40
A
o
KN
C
8 8A 8A 8A 8A 8A 8A 8A 7A 7Bb 7Bb Bb
GH 7 7A 7A 7A 7A 7A 7A 7A 6A 6Bb 6Bb
GE
Bb
7 7A 7A 7A 7A 7A 7A 7A 6A 6Bb 6Bb Bb
*Huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda nyata P>0,05 (huruf kecil) *
Huruf yang sama pada baris yang sama menyatakan tidak berbeda nyata P>0,05 (huruf besar)
Hasil Pengukuran Viskositas
Viskositas sediaan gel diukur selama penyimpanan 56 hari, dan hasil
pengamatannya dapat dilihat pada Tabel 6.
35
Tabel 6 Hasil Pengamatan Perubahan Viskositas (cPa) Sediaan Gel
Suhu
penyimpanan Formula Lama Penyimpanan (Hari) pada suhu 40oC
1 3 5 7 14 21 28 35 42 49 56
25o
KN
C
335 335 336 336 336 336 335 335 335 335 335
GH 335 335 336 335 335 335 335 335 335 336 336
GE 335 335 335 335 336 335 335 335 335 335 335
40o
KN
C
335 335 335 335 337 336 336 338 336 336 336
GH 335 335 335 336 328 335 335 337 335 335 335
GE 335 335 335 336 328 335 335 336 335 335 335 Tn
Tidak berbeda nyata (p>0,05)
Secara umum viskositas dari semua formula gel mengalami perubahan.
Nilai viskositas semua sediaan gel pada suhu penyimpanan 40oC mengalami
penurunan dan mulai stabil pada penyimpanan hari ke 42 (Tabel 6). Setelah
dilakukan analisis statistik dengan desain acak sempurna model tetap diperoleh
hasil dengan taraf signifikan P≤ 0,05. H ipotesis nol (Ho) diterima untuk semua
formula gel yang dibuat (P> 0,05). Ini berarti bahwa tidak terdapat perbedaan
yang nyata nilai viskositas selama penyimpanan pada suhu 25oC dan 40o
C.
Pengujian Keamanan Gel Rimpang Kunyit
Pada uji keamanan digunakan metode patch test. Pengujian dilakukan
terhadap punggung tangan 10 orang sukarelawan. Gel yang diuji adalah gel
dengan fraksi n-heksan dan fraksi etil asetat rimpang kunyit. Gel yang diberikan
mempunyai konsentrasi tinggi. Sukarelawan tidak mengalami iritasi kulit setelah
pemakaian gel konsentrasi tinggi maka diasumsikan dengan memakai gel dengan
konsentrasi lebih kecil juga akan aman atau tidak terjadi reaksi iritasi. Dari hasil
pengujian dapat disimpulkan bahwa gel rimpang kunyit aman digunakan.
36
Gambar 10 Pengujian sediaan gel fraksi n heksan (GH) dan gel fraksi etil asetat (GE)
pada penyimpanan hari ke 56, tidak terjadi iritasi pada sukarelawan. Tabel 7 Hasil Pengujian Keamanan Gel Rimpang Kunyit
Formula Sukarelawan Lama Penyimpanan (Hari)
1 3 5 7 14 21 28 35 42 49 56
1 - - - - - - - - - - -
2 - - - - - - - - - - -
3 - - - - - - - - - - -
4 - - - - - - - - - - -
GH 5 - - - - - - - - - - -
6 - - - - - - - - - - -
7 - - - - - - - - - - -
8 - - - - - - - - - - -
9 - - - - - - - - - - -
10 - - - - - - - - - - -
1 - - - - - - - - - - -
2 - - - - - - - - - - -
3 - - - - - - - - - - -
4 - - - - - - - - - - -
GE 5 - - - - - - - - - - -
6 - - - - - - - - - - -
7 - - - - - - - - - - -
8 - - - - - - - - - - -
9 - - - - - - - - - - -
10 - - - - - - - - - - -
*Keterangan : + Terjadi reaksi alergi; - Tidak terjadi reaksi alergi
GH GE
37
Hasil Pengamatan Mikroskopis (Histopatologi)
Proses penyembuhan luka merupakan suatu proses kompleks yang meliputi
tiga tahap yaitu inflamasi, pembentukan jaringan granulasi, dan remodeling
jaringan.
Parameter yang diamati pada pemeriksaan histopatologi adalah jumlah sel-
sel radang (neutrofil dan makrofag), jumlah neovaskularisasi dengan preparat
yang digunakan adalah preparat yang telah diwarnai dengan pewarnaan
Hematoxylin-Eosin, sedangkan persentase re-epitelisasi dan kepadatan jaringan
ikat (fibroblas) preparat yang digunakan adalah preparat yang telah diwarnai
dengan pewarnaan Masson Trichrome.
Neutrofil
Neutrofil merupakan sel radang pertama yang dilepaskan segera setelah
terjadi luka. Neutrofil memberikan respon imun dengan menghasilkan enzim
proteolitik untuk mencerna partikel asing dan membunuh bakteri melalui proses
fagositosis dan produksi hidrogen peroksida. Neutrofil akan mengalami apoptosis
setelah 24 sampai 48 jam dan digantikan dengan makrofag (Stroncek dan Reichert
2008).
Tabel 8 Rataan Jumlah Sel Radang Neutrofil
Hari ke- Kelompok
GH GE KP KN
2 8 ±3,6 10,4±6,19Aa 31,2 ±122,46Aa 93,6 ±31,20Aa Ba
4 4,4 ±1,14 7,4 ±3,65Aab 35,4 ±33,94Aab 63,8 ±30,49Aab
7
Bab
1,0 ±0,71 4,6 ±1,52 Aab 0,8 ±1,23Aab 62,4 ±22,68Aab
14
Bab
0,8 ±0,4 1,4 ±0,55Ab 4,8 ±2,38Ab 14,2 ±9,52Ab
21
Bb
0,8 ±0,84 2,4 ±1,14Ab 1 ±0,86Ab 1,2 ±2,99Ab Bb *Huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda nyata P>0,05 (huruf kecil) *
Huruf yang sama pada baris yang sama menyatakan tidak berbeda nyata P>0,05 (huruf besar)
Berdasarkan Tabel 8 setelah dilakukan analisis statistik dengan desain
acak sempurna model tetap diperoleh hasil dengan taraf signifikan P≤ 0, 05.
Hipotesis nol (Ho) ditolak untuk semua kelompok percobaan (P< 0,05). Ini
38
berarti bahwa terdapat perbedaan pengaruh perlakuan pada setiap kelompok
terhadap jumlah neutrofil. Selanjutnya dilakukan uji Duncan untuk mengetahui
perbedaan jumlah neutrofil pada setiap kelompok perlakuan. Berdasarkan analisis
uji Duncan diketahui bahwa terdapat perbedaan, jumlah sel neutrofil pada
kleompok KN lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lain, sedangkan
jumlah neutrofil pada kelompok GH, GE, dan KP tidak memiliki perbedaan yang
signifikan (Tabel 8).
Gambar 11 Gambar histopatologi kulit, kontrol positif 2 hari pasca perlukaan sel radang
neutrofil (N). (HE, obyektif 100X)
Pada pengamatan jumlah neutrofil, ketiga kelompok menunjukan pola
rataan jumlah neutrofil yang hampir sama, yaitu tinggi pada hari awal dan
kemudian menurun secara gradual pada hari-hari berikutnya (Tabel 8). Pada
semua kelompok perlakuan pada hari kedua pasca perlukaan jumlah neutrofil
tinggi, hal ini disebabkan kemungkinan adanya infeksi pada luka terbuka diikuti
dengan reaksi peradangan. Jumlah neutrofil pada kelompok KN paling tinggi
39
secara nyata (P< 0,05), dibandingkan dengan KP, GE, dan GH. Hal ini disebabkan
kelompok KN diberikan sediaan gel plasebo.
Makrofag
Makrofag akan menggantikan peran neutrofil, ketika neutrofil mengalami
apoptosis. Makrofag menghasilkan sitokin seperti IL-1, TGF-β, and tumor
necrosis factor-α (TNF-α) yang mengaktivasi fibroblas. Makrofag akan
memfagositosis sel-sel nekrotik dan partikel asing dalam waktu tertentu
tergantung pada tingkat keparahan luka, jumlah sel nekrotik serta jumlah partikel
asing (Stroncek dan Reichert 2008).
Berdasarkan Tabel 9 setelah dilakukan analisis statistik dengan desain acak
sempurna model tetap diperoleh hasil dengan taraf signifikan P≤ 0, 05. Hipotesis
nol (H0) diterima untuk semua kelompok percobaan. Ini berarti bahwa tidak
terdapat perbedaan jumlah makrofag pada setiap kelompok perlakuan.
Gambar 12 Gambar histopatologi kulit, kontrol negatif 21 hari pasca perlukaan, sel
radang makrofag (M). (HE, obyektif 100X)
40
Tabel 9 Rataan Jumlah Sel Radang Makrofag
Hari ke- Kelompok
GH GE KP KN
2 1,8 ±0,84 3,4 ±2,51a 0,8 ±2,21a 3,8 ±1,90ab b
4 1,2 ±0,45 2,0 ±2a 0,8 ±2,80a 3,8 ±7,32ab
7
b
0,8 ±0,84 1,4 ±0,55a 25 ±6,43a 21,4 ±20,32ab
14
b
0,4 ±0,55 1,0 ±1,0a 8 ±2,62a 25,8 ±6,73ab
21
b
0,2 ±0,45 1,2 ±0,84a 18,4 ±9,37a 21 ±4,92ab b
*
Huruf yang sama pada baris yang sama menyatakan tidak berbeda nyata P>0,05
Jumlah makrofag pada kelompok KN lebih tinggi dari kelompok lain. Hal
ini dikarenakan pada kelompok KN diduga terdapat infeksi dan sel nekrotik yang
lebih banyak. Pada kelompok GH dan GE jumlah makrofag sedikit disebabkan
adanya zat aktif yang membantu mengeliminir partikel-partikel asing dan sel
nekrotik sehingga tingkat inflamasi rendah.
Neovaskularisasi
Keberadaan pembuluh darah memiliki peranan yang penting untuk
memberikan asupan nutrisi bagi jaringan yang sedang beregenerasi. Selain itu,
pembuluh darah juga mempunyai peranan untuk menghantarkan sel-sel radang
yang dibentuk di sumsum tulang sehingga mendekati jaringan yang terluka, sel
radang tersebut melakukan emigrasi.
Tabel 10 Rataan Jumlah Neovaskularisasi
Hari ke- Kelompok
GH GE KP KN
2 1,4 ±1,34 0,2 ±0,45Aa 6,2 ±6,89Aa 0ABa Ba
4 0,4 ±0,55 0,6 ±1,94Aab 1,2 ±2,53Aab 0ABab
7
Bab
0,4 ±0,89 1,0 ±0,71Aab 4,2 ±2,78Aab 10,2 ±4,56ABab
14
Bab
0,2 ±0,45 0,6 ±0,89Aab 13,2 ±4,04Aab 21,4 ±9,18ABab
21
Bab
0 0,2 ±0,45Ab 23,6 ±6,82Ab 28,4 ±6,42ABb Bb *Huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda nyata P>0,05 (huruf kecil) *Huruf yang sama pada baris yang sama menyatakan tidak berbeda nyata P>0,05 (huruf besar)
41
Pembuluh darah akan membentuk tunas-tunas pembuluh baru yang nantinya akan
berkembang menjadi percabangan baru di daerah jaringan yang terluka untuk
menunjang fungsi-fungsinya (Spector 1993).
Pada Tabel 10 terlihat bahwa pemberian gel fraksi etil asetat dan gel fraksi
n-heksan dapat mempercepat pembentukan pembuluh darah baru
(neovaskularisasi), reepitelisasi, dan jaringan ikat. Pada kelompok GH dan GE
neovaskularisasi terjadi dua hari pasca perlukaan. Pada kelompok KN
neovaskularisasi baru mulai terjadi pada hari ke 7 pasca perlukaan. Hal ini berarti
tidak terdapat vaskularisasi yang cukup pada kelompok KN, sehingga
kemungkinan terjadi hambatan pasokan darah kedaerah luka yang menyebabkan
luka mengalami hambatan penyembuhan.
Gambar 13 Gambar histopatologi kulit, kontrol positif 14 hari pasca perlukaan, neovakularisasi (V). (MT, obyektif 100X)
Re-epitelisasi dan Luas Jaringan Kolagen
Hasil pengamatan jumlah reepitelisasi dan luas jaringan kolagen dapat
dilihat pada Tabel 11 dan Tabel 12.
42
Tabel 11 Rataan Persentase Re-epitelisasi
Hari ke- Kelompok
GH GE KP KN
2 5 ±0,07 5 ±0,0ABa 13 ±0,05ABa 0Aa Ba
4 15 ±0,21 8 ±0,04ABb 53 ±0,57ABb 24 ±0,17Ab
7
Bb
100 ±0 100 ±0ABc 100 ±0ABc 42 ±0,12Ac
14
Bc
100 ±0 100 ±0ABc 100 ±0ABc 38 ±0,53Ac
21
Bc
100 ±0 100 ±0ABc 100 ±0ABc 92 ±0,12 Ac Bc *Huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda nyata P>0,05 (huruf kecil) *
Huruf yang sama pada baris yang sama menyatakan tidak berbeda nyata P>0,05 (huruf besar)
Gambar 14 Perbandingan re-epitelisasi dan ketebalan jaringan ikat pada hari ke 2 pasca
perlukaan. Pada kelompok KP (Kontrol Positif), GE (Gel fraksi etil asetat), dan GH (Gel n-heksan) re-epitelisasi dan jaringan ikat mulai terbentuk, sedangkan pada kelompok KN (Kontrol Negatif) re-epitelisasi dan jaringan ikat belum terbentuk. (MT, 20X)
GH GE
KN KP
43
Tabel 12 Rataan Persentase Luas Jaringan Kolagen
Hari ke- Kelompok
GH GE KP KN
2 2,5 ±0,035 5 ±0,00Aa 13 ±0,11 ABa 0ABa Ba
4 2,5 ±0,035 5 ±0,00Aa 10 ±0,00ABa 8 ±0,04ABa
7
Ba
20 ±0 5 ±0Ab 28 ±0,04ABb 23 ±0,04ABb
14
Bb
100 ±0 88 ±0,18Abc 65 ±0,21ABbc 40 ±0,14ABbc
21
Bbc
100 ±0 100 ±0Ac 100 ±0 ABc 45 ±0,07ABc ABc
*Huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda nyata P>0,05 (huruf kecil) *
Huruf yang sama pada baris yang sama menyatakan tidak berbeda nyata P>0,05 (huruf besar)
Gambar 14 Perbandingan re-epitelisasi dan ketebalan jaringan ikat pada hari ke 21 pasca
perlukaan. Pada kelompok KP (Kontrol Positif), GE (Gel fraksi etil asetat),
dan GH (Gel n-heksan) re-epitelisasi 100%, jaringan ikat padat dan kompak
(100%), sedangkan pada kelompok KN (Kontrol Negatif) re-epitelisasi 92%
dan jaringan ikat belum terbentuk sempurna (45%). (MT, 40X)
KN KP
GE GH
44
Berdasarkan Tabel 11 dan 12 setelah dilakukan analisis statistik dengan
desain acak sempurna model tetap diperoleh hasil dengan taraf signifikan P≤ 0,05.
Hipotesis nol (Ho) ditolak untuk semua kelompok percobaan. Ini berarti bahwa
terdapat perbedaan pengaruh perlakuan pada setiap kelompok terhadap rataan
persentase re-epitelisasi dan luas jaringan kolagen. Selanjutnya dilakukan uji
Duncan untuk mengetahui perbedaan jumlah re-epitelisasi dan luas jaringan
kolagen pada setiap kelompok perlakuan. Berdasarkan analisis uji Duncan
diketahui bahwa terdapat perbedaan, pada kelompok KN menunjukan hasil yang
berbeda yaitu lebih rendah dibandingkan dengan kelompok lain. Hasil
pengamatan rataan pesentase re-epitelisasi dan luas jaringan kolagen pada
kelompok GH, GE, dan KP tidak memiliki perbedaan. Pada kelompok KN re-
epitelisasi dan pembentukan jaringan kolagen baru terjadi pada hari ke 4 pasca
perlukaan (Tabel 11 dan 12).
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui pemberian gel fraksi etil asetat
dan n-heksan dapat mempercepat proses penyembuhan luka pada mencit
hiperglikemik yang diinduksi STZ. Hal ini terjadi karena pemberian gel fraksi etil
asetat dan gel fraksi n-heksan dapat mengurangi proses peradangan
(antiinflamasi), dapat mempercepat pembentukan pembuluh darah baru
(neovaskularisasi), re-epitelisasi, dan jaringan ikat. Gel fraksi etil asetat dan gel
fraksi n-heksan menunjukan pengaruh yang sama. Hal ini mungkin berhubungan
dengan senyawa metabolit sekunder yang terdapat di dalam fraksi etil asetat dan
n-heksan. Hasil penapisan fitokimia fraksi etil asetat mengandung flavonoid,
kuinon, polifenol sedangkan fraksi n-heksan mengandung alkaloid, saponin,
kuinon dan polifenol. Salah satu senyawa polifenol pada rimpang kunyit adalah
kurkumin yang mempunyai aktivitas antiinflamasi dengan menghambat enzim
cyclooxygenase-2 (COX-2) dan lipooxygenase (LOX). Keduanya merupakan
enzim penting dalam proses inflamasi. Kurkumin bersifat sebagai antioksidan
yang dapat menetralkan radikal bebas. Kurkumin meningkatkan re-epitelisasi,
neovaskularisasi, migrasi makrofag ke jaringan luka, dan stabilitas kolagen.
Kurkumin juga meningkatkan kinerja TGF-β 1 dan 2 serta reseptornya.
Terjadinya apoptosis juga dihambat oleh kurkumin (Tangapazham 2007). Selain
itu terdapat senyawa yang mendukung efek kurkumin, antara lain kuinon dan
45
saponin yang bersifat antibakteri, flavonoid yang bersifat sebagai antioksidan dan
anti bakteri (Andersen dan Markham 2006). Flavonoid berfungsi sebagai
antibakteri dengan cara membentuk senyawa kompleks terhadap protein
ekstraseluler yang mengganggu integritas membran sel bakteri. Flavonoid
merupakan senyawa fenol dapat bersifat koagulator protein. Turunan fenol
berinteraksi dengan sel bakteri melalui proses adsorpsi yang melibatkan ikatan
hidrogen. Pada kadar rendah terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan yang
lemah dan segera mengalami penguraian, diikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan
menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein. Pada kadar tinggi fenol
menyebabkan koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis. Minyak atsiri
pada rimpang kunyit berperan sebagai antibakteri dengan cara mengganggu proses
terbentuknya membran atau dinding sel sehingga tidak terbentuk atau terbentuk
tidak sempurna. Minyak atsiri yang aktif sebagai antibakteri pada umumnya
mengandung gugus fungsi hidroksil (-OH) dan karbonil. Alkaloid memiliki
kemampuan sebagai antibakteri. Mekanisme yang diduga adalah dengan cara
mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga
lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel
tersebut (Juliantina et al. 2008).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Gel fraksi etil asetat dan gel fraksi n-heksan rimpang kunyit stabil secara
organoleptis meliputi konsistensi, warna dan bau. Nilai pH gel tidak
mengalami perubahan selama penyimpanan pada suhu 25oC sedangkan pada
suhu 40oC mengalami perubahan, tetapi masih dalam rentang persyaratan pH
gel untuk kulit. Nilai viskositas gel pada semua formula tidak mengalami
perubahan yang signifikan. Sediaan gel stabil dalam penyimpanan pada suhu
25o
2. Gel fraksi etil asetat dan gel fraksi n-heksan rimpang kunyit merupakan
sediaan yang stabil dan aman bila digunakan berdasarkan uji keamanan pada
punggung tangan 10 orang sukarelawan.
C.
3. Gel fraksi etil asetat dan gel fraksi n-heksan rimpang kunyit memiliki aktivitas
dalam proses penyembuhan luka karena dapat mengurangi proses peradangan
(antiinflamasi), dapat mempercepat pembentukan pembuluh darah baru
(neovaskularisasi), re-epitelisasi. Gel fraksi etil asetat dan gel fraksi n-heksan
menunjukan pengaruh yang sama.
Saran
Penelitian lanjutan untuk formulasi bentuk sediaan topikal lainnya seperti
salep atau krim yang mengandung ekstrak rimpang kunyit untuk penyembuhan
luka serta diperlukan upaya pengemasan dan penyimpanan yang baik untuk
mengurangi dan menghindari efek oksidasi dari cahaya dan udara yang dapat
menurunkan aktivitas zat aktif rimpang kunyit dalam sediaan.
DAFTAR PUSTAKA
Andersen OM. Markham KR. 2006. Flavonoids Chemistry, Biochemistry and Applications. New York: CRC Press
Aiache JM. 1993. Farmasetika 2 Biofarmasi. Ed ke-2. Widji Soeratri,
penerjemah. Surabaya: Airlangga University Press. Ansel HC. 1989. Pengantar Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press. Baribault H. 2010. Mouse Models of Type II Diabetes Mellitus. Di dalam:
Gabriele P. Michael V. W. Drug Discovery in Mouse Models for Drug Discovery Methods and Protocols. New Yok: Springer. hlm 135-156.
Barry, BW. 1983. Dermatological formulations: percutaneous absorption. New
York: Marcel Dekker. Brenna O, Qvistad G, Brenna E, Waldum HL. 2003. Cytotoxicity of
Streptozotocin on Neuroendocrine Cells of the Pancreas and the Gut. Digestive Diseases and Sciences, Vol. 48, No. 5. 906–910
Chattopadhyay I, Biswas K, Bandyopadhyay U, Banerjee RK. 2004. Turmeric
and curcumin; biological actions and medicinal applications. Current Sci. 87 (1): 44-53
Chen J. et. al. 2005. Tissue factor as a link between wounding and tissue repair.
Diabetes 52: 2143-2154 Corwin EJ. 2000. Buku saku patofisiologi. Endah P, editor. Jakarta: EGC. (Dirjen POM) Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan. 2000. Acuan sediaan
herbal. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (Dirjen POM) Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan. 1995. Farmakope
Indonesia. Ed ke-4. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
(Depkes RI) Departemen Kesehatan RI. 1995. Materia Medika Indonesia. Jakarta Elsner M, Guldbake B, Tiedge M, Munday R, Lenzen S. 2000. Relative
importance of transport and alkylation for pancreatic beta-cell toxicity of streptozotocin. Diabetologia 43:1528-1533
Eshrat H, Hussain MA. 2002. Hypoglicemic, hypolipidemic and antioxidant
properties of combination of curcuma from Curcuma longa Linn and partially purified product from Abroma augusta Linn in streptozotocin induced diabetes. Indian Journal of Clinical Biochemistry.17(2)33-43.
48
Fransworth NR. 1966. Biological and Phytochemical Screening of Plants. J. Pharm.Sci. 55(3):243-269.
Gaedcke F. Barbara S. 2003. Herbal Medicinal Products. London: CRC press. Halper J, Leshin LS, Lewis SJ, Li WI. 2003. Wound healing and angiogenic
properties of supernatant from Lactobacillus cultures. Exp. Biology and Med. 228:1329-1337
Harborne JB. 2006. Metode fitokimia: penuntun cara modern menganalisis
tumbuhan. Ed ke-2. Bandung: Penerbit ITB. Herdiana Y. 2007. Formulasi gel undesilenil fenilalanin dalam aktivitas sebagai
pencerah kulit. Karya ilmiah yang tidak dipublikasikan. Jain S. et. al. 2007. PHCOG MAG.: Plant Review Recent trends in Curcuma
Longa Linn. Pharmacognosy Reviews. Vol 1. Issue 1. Juliantina FR. Dewa ACM. Bunga N. Titis N. Indrawati TB. 2008. Manfaat sirih
merah (Piper crocatum) sebagai antibakterial terhadap bakteri gram positif dan negatif. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia.
Jones D. 2008. Pharmaceutics Dosage Form and Design. London:
Pharmaceutical Press Kalangi SJR. 2004. Peran Kolagen pada Persembuhan Luka. http://www.dexa-
medica.com/test/htdocs/dexamedica/article_files/kolagen.pdf.html [15 April 2009]
Kim J. et. al. 2006. Anti-diabetic Activity of SMK001, a Poly Herbal Formula in
Streptozotocin Induced Diabetic Rats: Therapeutic Study. Biol. Pharm. Bull. 29(3) 477—482
Lachman L. Herbert AL. Joseph LK. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri.
Ed ke-3. Jakarta: UI Press. Lieberman. Rieger. Banker. 1989. Pharmaceutical Dosage Form : Disperse
System. Ed ke-2. New York: Marcel Dekker Inc. Boylan JC. 1994. Cairan. Di dalam: Lachman L. Lieberman HA. Kanig JL, editor.
Teori dan Praktek Farmasi Industri II. Diterjemahkan oleh Suyatmi S. Kawira J. Aisyah I. Jakarta: UI Press.
Lu G. Jun HW. 1998. Diffusion studies of methotrexate in Carbopol and
Poloxamer gels. International Journal of Pharmaceutics. 160 (1): 1-9 Markham KR. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Kosasih Padmawinata,
penerjemah. Bandung: Penerbit ITB.
49
Mazunder UK. Gupta M. Rajeshwar Y. 2005. Antihyperglicemic effect and antioxidant potential of Phyllantus niruri (Euphorbiaceae) in streptozotocin induced diabetics rats. European Bulletin of Drug Research.13, (1): 15-23.
Morsy EM. 1991. The Final Technical Report on: Aloe Vera Stabilization and
Processing for The Cosmetic, Bevearage and Food Industries (5rd
ed). United States of America: CITA International.
Murundar P. Pari L. 2007. Protective role of tetrahydrocurcumin on changes in fatty acid composition in streptozotocin-nicotinamide induced type 2 diabetic rats. J. Appl. Biomed. 5:31-38.
Mutschler R. 1991. Dinamika Obat. Bandung: Penerbit ITB. Nwozo S. Adaramoye O. Ajaiyeoba E. 2009. Oral administration of extract from
Curcuma longa lowers blood glucose and attenuates alloxan-induced hyperlipidemia in diabetic rabbits. Pakistan Journal of Nutrition 8 (5): 625-628.
Pandya M.M. 1995. A study of septic wounds in diabetics and role of herbal
treatment. Sach. Ayur. 48(3): 392-4. Penn D. 1999. A House Mouse Primer.
http://www.stormybiology.utah.edu./lab/mouse_primer.html. [13 April 2009].
Ravindran PN. Babu KN. Sivaraman K. 2007. Turmeric The Genus Curcuma.
New York: CRC Press. Rosen MR. 2005.Delivery system handbook for personal care and cosmetic
products: technology, applications, and formulations. United States of America: William Andrew, Inc.
Rowe RC. Paul JS. Marian EQ. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients.
Sixth edition. London: Pharmaceutical Press. Scobie IN. 2007. Atlas of Diabetes. Ed. 3. United Kingdom: Informa UK Ltd. 74 Senthilvel G. et al. 2006. Effect of a Polyherbal Formulation (Diarun plus) on
Streptozotocin induced experimental diabetes. International Journal of Tropical Medicine. 1(2): 88-92.
Shai A. Howard IM. 2005. Wound Healing and Ulcers of The Skin: Diagnosis and
Therapy The Practical Approach. Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
50
Sihombing CN. N Wathoni. T Rusdiana. 2007. Formulasi gel antioksidan ekstrak buah buncis (Phaseolus vulgaris L.) dengan menggunakan basis aqupec 505 HV [skripsi]. Bandung: Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran.
Smith JB. Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan
Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI press). hlm. 10-14.
Spector WG. Spector TD. 1988. Pengantar Patologi Umum. Ed ke-3. Soetjipto
NS, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Stroncek JD. Reichert WM. 2008. Overview of Wound Healing in Different Tissue
Types. New York: Taylor and francis group. Suryohudoyo P. 2000. Ilmu kedokteran molekuler. Jakarta: CV. Sagung seto. Thomson AD. Cotton RE. 1997. Catatan Kuliah Pathology. Ed ke-3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Tangapazham RL. Anuj S. Radha KM. 2007. Beneficial Role of Curcumin in Skin
Diseases. Di dalam: Aggarwal BB. Young JS. Shishir S, editor. The Molecular Targets and Therapeutics Uses of Curcumin in Health and Disease. New York: Springer. Hlm 347-350.
Ungerer T. 1985. Biologi Reproduksi Hewan Percobaan Laboratorium.
Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
US Pharmacopeia 25. 2007. Pharmaceutical Stability. Voight R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. Winarsih W. Wientarsih I. Handharyani E. 2007. Kajian aktivitas ekstrak rimpang
kunyit (Curcuma longa) dalam proses persembuhan luka pada mencit sebagai model penderita diabetes. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun Pertama. Institut Pertanian Bogor.
Yano SM. et. al. 2000. Antiallergic activity of Curcuma longa (I) Effectiveness of
extracts containing curcuminoids. Nat. Med. 54(6), 318-324.
Yano SM. et. al. 1996. Antiallergic activity of C. longa extracts active component and MDA. Phytomedicine. 3(1): 58.