Post on 10-Mar-2019
i
TARI INAI PADA UPACARA MALAM BERINAI MASYARAKAT MELAYU DI KOTA BINJAI:
ANALISIS STRUKTUR DAN MAKNA
TESIS
OLEH
Nama : SUCI PURNANDA NIM : 147037009
PROGRAM STUDI MAGISTER (S-2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2017
ii
TARI INAI PADA UPACARA MALAM BERINAI MASYARAKAT MELAYU DI KOTA BINJAI :
ANALISIS STRUKTUR DAN MAKNA
TESIS
Untuk memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn)
dalam Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni
pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
OLEH
Nama : SUCI PURNANDA NIM : 147037009
PROGRAM STUDI MAGISTER (S-2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iii
MEDAN 2017
Judul Tesis : TARI INAI PADA UPACARA MALAM BERINAI MASYARAKAT MELAYU DI KOTA BINJAI : ANALISIS STRUKTUR DAN MAKNA
Nama : SUCI PURNANDA Nomor Pokok : 147037009 Program Studi : Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Dr. H.Muhizar Muchtar, M.S. Yusnizar Heniwaty, S.St, M.Hum. NIP. 19541117 198003 1 002 NIP. 19651021199203 2 003
Ketua Anggota
Program Studi Magister (S2) Fakultas Ilmu Budaya Penciptaan dan Pengkajian Seni Dekan, Ketua, Drs. Irwansyah, M.A. Dr. Budi Agustono, M.S. NIP. 19621221 199703 1 001 NIP.19600805 198703 1 001
Tanggal lulus:
iv
Telah diuji pada
Tanggal : 9 Februari 2017
Dengan SK Penetapan Panitia Penguji oleh Dekan No.
PANITIA PENGUJI UJIAN TESIS
Ketua : Drs. Irwansyah, M.A. (……………………..)
Sekretaris : Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. (……………………..)
Anggota I : Dr. H.Muhizar Muchtar, M.S. (……………………..)
Anggota II : Yusnizar Heniwaty, S.St, M.Hum. (……………………..)
Anggota III : Drs. M.Takari, M.Hum, Ph.D. (……………………..)
v
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SAW atas berkat rahmat
dan karuniaNya tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Tari Inai Pada Upacara
Malam Berinai Masyarakat Melayu di Kota Binjai : Analisis Struktur dan Makna.
Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang S-2 dan
memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn) pada Program Magister (S-2) Penciptaan
dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
tidak terhingga kepada kedua orang tua penulis, yaitu bapak Raden Sunartono,
S.H dan ibu Dra. Aina Adhani Harahap, yang telah memberikan doa dan perhatian
yang selalu penulis dapatkan hingga sekarang. Begitu pula dukungan dan motivasi
kepada saya dalam bentuk moril maupun materil sampai terselesaikannya tesis ini.
Serta ucapan terima kasih kepada mama dan papa yang selalu mendukung,
memberikan doa, dan nasehat kepada saya agar dapat mencapai jenjang
pendidikan yang lebih tinggi.
Secara akademik penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof.
Dr. Runtung, S.H., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, dan Bapak Dr.
Budi Agustono, M.S., sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya, yang telah memberi
fasilitas, sarana, dan prasarana belajar bagi penulis sehingga dapat menuntut ilmu
di kampus Universitas Sumatera Utara ini dengan baik.
vi
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ketua Program Studi
Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs. Irwansyah, M.A., dan Sekretaris, Bapak
Drs. Torang Naiborhu, M.Hum., atas bimbingan akademis dan arahan yang
diberikan.
Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis ucapkan kepada Bapak
Dr. Muhizar Muchtar sebagai pembimbing I, dan Ibu Yusnizar Heniwaty, S.St,
M.Hum., sebagai pembimbing II atas semua tuntunan, nasehat, serta
bimbingannya dan memotivasi penulis supaya tetap semangat, terus maju, dan
tidak menyerah dalam menyelesaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Drs. M. Takari, M.Hum, Ph.D., yang memberikan koreksi
dan kritikan demi perbaikan penulisan tesis.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh dosen Program
Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni atas ilmu yang telah
diberikan selama masa perkuliahan, sehingga penulis merasa memiliki
kesanggupan dalam menyelesaikan tesis ini. Begitu juga kepada Bapak Drs.
Ponisan sebagai pegawai administrasi, terima kasih atas segala bantuannya selama
penulis berada di program studi ini.
Dalam kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada nde tercinta Tengku Mira Sinar, M.A, Prof. Dr. Tengku Silvana
Sinar, M.A, dan Dr. Tengku Thyrhaya Zein, M.A, yang telah banyak memberikan
bantuan maupun dukungan sejak awal proses pendaftaran kuliah hingga akhir
vii
penyusunan tesis. Mereka banyak memberikan saran dan arahan sehingga
memotivasi dan menyemangati penulis dalam menyelesaikan perkuliahan ini.
Penulis juga megucapkan terima kasih untuk seluruh teman-teman kuliah
di Program Studi Magister (S-2) jurusan Penciptaan dan Pengkajian Seni USU
seangkatan penulis: Herlin Kristina Siboro, Brian Titus Tarigan, Reny Yuliati
Lumbantoruan, Marini Pratiwi Sinaga, Hadi Hamdani Dalimunte, Peta FS
Hutagalung, atas segala bantuan dan kerjasamanya yang telah terbangun selama
ini.
Penulis berharap kiranya tulisan ini bermanfaat bagi pembaca. Oleh karena
tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis mengaharapkan saran dan
kritik yang bersifat membangun pada tesis ini.
Akhir kata, penulis berterima kasih kepada seluruh pihak yang sudah
membantu penulisan tesis ini. Semoga hasil penelitian dari tesis ini dapat berguna
bagi dunia penelitian seni pada umumnya dan bagi kebudayaan tari tradisi
masyarakat Kota Binjai pada khususnya. Terima kasih.
Medan, Desember 2017
Penulis,
viii
SUCI PURNANDA
NIM. 147037009
RIWAYAT HIDUP
IDENTITAS DIRI
1. Nama : SUCI PURNANDA 2. NIM : 147037009 3. Tempat / Tanggal Lahir : Medan / 9 Januari 1984 4. Jenis Kelamin : Perempuan 5. Agama : Islam 6. Kewarganegaraan : Indonesia 7. Nomor Handphone : 081361763630 8. Alamat : JL. Sidomulyo Lingkungan 27 Kel. Tanjung
Mulia Kec. Medan Deli Kota Medan 9. Pekerjaan : Guru Seni Budaya
PENDIDIKAN
1. Sekolah Dasar (SD Negeri 163097 Tebing Tinggi) Lulus Tahun 1996 2. Sekolah Menengah Pertama ( SMP Negeri 17 Medan ) Lulus Tahun 1999 3. Sekolah Menengah Atas (SMA Negeri 8 Medan ) Lulus Tahun 2002 4. Sarjana (S-1) Jurusan Sendratasik (Seni Tari) UNIMED Lulus Tahun 2007 5. Magister (S2) Jurusan Penciptaan dan Pengkajian Seni
di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara T.A 2014/2017
ix
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan
Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
diacu dalam naskah ini dan disebutkan di dalam daftar pustaka.
Medan, Februari 2017
SUCI PURNANDA
NIM. 147037009
x
ABSTRACT
This thesis titled Inai Dance At Night Ceremony Berinai Malay
Community In The City Of Binjai : Analyzed Structure And Meaning. With this thesis, the author has analyzed two aspects of Inai Dance at berinai night ceremony in the context of the Malay traditional wedding ceremony in the city of Binjai. These two aspects are: (1). The structure of Inai Dance, dan (2). The meaning of Inai Dance inside the culture of Malay people in Binjai city.
Thus the main purpose of this study was to analyze the structure of Inai Dance, and to analyze the meaning of the range of motion in this Inai Dance, which is referred to berinai night ceremony in the context of the Malay traditional wedding ceremony in the city of Binjai
In This study, the writer used qualitative interpretative methods, which is applied four critical theories, namely: Structure Dance Theory, Music Theory, Semiotic Theory and Signifying Theory.
The result from this analysis is to show the structure of Inai Dance consist of some aspects, those are the motion that consist of opening, content, and closing movement and has elevent range of motion which taken from the motion of silat. Silat is a martial art in the Malay culture. Starts with free pattern, and then divided inti pair pattern, circle pattern, and the last was four direction pattern. The pattern concept of Inai Dance is free and varied. Musical accompaniment for Inai Dance used ensemble composed of violin and accordion with the melody, plus two ronggeng drum that consit of the main and sub drums with rentak music. The song dan rentak that used patam-patam. The meaning of Inai Dance is to keep the bride from supernatural disturbance that come from human or supernatural creature and the all of dance motions are to teach the process of the journey of life and event in the world to all society proponent. Keywords: marriage, dance, inai, structure, meaning.
xi
INTISARI
Tesis ini berjudul Tari Inai Pada Upacara Malam Berinai Masyarakat Melayu Di Kota Binjai : Analisis Struktur Dan Makna. Melalui tesis ini, penulis menganalisis tentang dua aspek yang terdapat dalam pertunjukan Tari Inai pada upacara malam berinai dalam konteks upacara adat perkawinan Melayu di wilayah Kota Binjai. Kedua aspek tersebut adalah : (1). Struktur Tari Inai, dan (2). Makna yang terdapat pada Tari Inai dalam budaya masyarakat Melayu di wilayah Kota Binjai.
Dengan demikian yang menjadi tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana struktur dalam Tari Inai, serta untuk menganalisis makna yang terkandung pada setiap ragam gerak dalam tarian ini, yang dimaksud pada upacara malam berinai dalam konteks upacara adat perkawinan masyarakat Melayu di wilayah Kota Binjai. Dalam tesis ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yang dilakukan dengan empat tahap yaitu tahap sebelum ke lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data, dan penulisan laporan. Selain itu penulis menggunakan beberapa teori yang dianggap relevan dan berhubungan dengan judul diatas, antara lain teori struktur tari, teori musik, teori semiotik, dan teori makna.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan struktur Tari Inai yang terdiri dari beberapa aspek yaitu gerakan tari yang terdiri dari gerak pembuka, isi, dan penutup serta memiliki sebelas ragam yang diambil dari gerak-gerak silat, merupakan salah satu seni bela diri dalam kebudayaan Melayu. Diawali dengan pola lantai bebas, kemudian dibagi menjadi pola lantai berpasangan, pola lantai lingkaran, dan yang terakhir pola lantai empat arah. Musik iringan yang digunakan adalah ensembel yang terdiri dari biola dan akordion yang membawa melodi, ditambah dua gendang ronggeng yaitu gendang induk dan gendang anak yang membawa rentak musik. Lagu dan rentak yang digunakan disebut patam-patam. Makna dari Tari Inai adalah menjaga calon mempelai wanita dari gangguan yang berasal dari manusia ataupun makhluk gaib serta secara keseluruhannya mengajarkan proses perjalanan hidup beserta peristiwanya di dalam dunia kepada seluruh masyarakat pendukungnya.
Kata kunci : perkawinan, tari, inai, struktur, makna.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii PRAKATA ................................................................................................. iv DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................... vii PERNYATAAN ......................................................................................... viii ABSTRACT ............................................................................................... x INTISARI ................................................................................................... xi DAFTAR ISI .............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xiv DAFTAR ILUSTRASI................................................................................ xv DAFTAR TABEL ....................................................................................... xvi DAFTAR SKEMA ..................................................................................... xvii BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................... 1 1.2 Pokok Permasalahan .............................................................. 8 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 9
1.3.1 Tujuan........................................................................... 9 1.3.2 Manfaat ......................................................................... 9
1.4 Tinjauan Pustaka.................................................................... 10 1.5 Konsep dan Teori ................................................................... 13
1.5.1 Konsep .......................................................................... 13 1.5.1.1 Upacara ......................................................... 14 1.5.1.2 Ritual ............................................................ 15 1.5.1.3 Inai ................................................................ 17 1.5.1.4 Tari .............................................................. 18
1.5.1.4.1 Fungsi tari .................................. 19 1.5.1.4.2 Peranan tari ................................ 24 1.5.1.4.3 Ragam gerak pada tari ................ 25 1.5.1.4.4 Tari Melayu ................................ 29 1.5.1.4.5 Jenis-jenis tari Melayu ................ 32 1.5.1.4.6 Tari Inai...................................... 35
1.5.1.5 Masyarakat Melayu...................................... 36 1.5.1.6 Adat perkawinan Melayu ............................. 38 1.5.1.7 Kota Binjai .................................................. 39 1.5.1.8 Struktur........................................................ 40 1.5.1.9 Makna ......................................................... 41
1.5.2 Teori ............................................................................. 47 1.5.2.1 Teori struktur .............................................. 50 1.5.2.2 Teori semiotik .............................................. 56
xiii
1.6 Metode Penelitian .................................................................. 63 1.6.1 Teknik pengumpulan data .......................................... 65
1.6.1.1 Observasi (pengamatan) ............................... 66 1.6.1.2 Wawancara .................................................. 67 1.6.1.3 Perekaman ................................................... 67
1.6.2 Penelitian lapangan .................................................... 68 1.6.3 Kerja laboratorium ..................................................... 68
1.7 Lokasi Penelitian ................................................................... 69 1.8 Sistematika Penulisan ............................................................ 69
BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MELAYU DI KOTA BINJAI
2.1 Pemerintahan dan Wilayah Kota Binjai .................................. 71 2.1.1 Sejarah......................................................................... 72 2.1.2 Geografi ...................................................................... 74 2.1.3 Pemerintahan ............................................................... 75 2.1.4 Demografi ................................................................... 77 2.1.5 Perekonomian .............................................................. 78
2.2 Gambaran Umum Masyarakat Melayu Kota Binjai ................ 80 2.2.1 Suku Melayu ............................................................... 82 2.2.2 Adat istiadat Melayu .................................................... 87 2.2.3 Sistem kepercayaan dan agama .................................... 93 2.2.4 Sistem kekerabatan ...................................................... 95 2.2.5 Kesenian ...................................................................... 97
BAB III ADAT PERKAWINAN MELAYU DI KOTA BINJAI
3.1 Gambaran Umum Upacara Perkawinan Masyarakat Melayu................................................................ 101
3.2 Rangkaian Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Melayu................................................................ 103 3.2.1 Merisik melalui penghulu telangkai ............................. 104 3.2.2 Meminang ................................................................... 105 3.2.3 Jamu sukut ................................................................... 109 3.2.4 Mengantar bunga sirih ................................................. 110 3.2.5 Malam berinai.............................................................. 111 3.2.6 Akad nikah .................................................................. 116 3.2.7 Berandam dan mandi berhias ....................................... 118 3.2.8 Bersanding (tepung tawar dan
nasi adap-adapan) ........................................................ 118 3.2.9 Mandi berdimbar ......................................................... 131 3.2.10 Meminjam pengantin ................................................... 122
3.3 Pertunjukan Tari Inai Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Melayu di Kota Binjai ......................................... 123
BAB IV ANALISIS STRUKTUR TARI INAI
4.1 Struktur Tari Inai ................................................................... 127
xiv
4.1.1 Struktur ritual dalam Tari Inai ....................................... 128 4.1.1.1 Ritual Tari Inai diluar pertunjukan .................. 131
4.1.1.2 Ritual dalam pertunjukan Tari Inai .................. 133
4.2 Deskripsi Tari Inai ................................................................. 135 4.2.1 Gerak palam pertunjukan .............................................. 150 4.2.2 Susunan gerak ............................................................... 155 4.2.3 Pola lantai ..................................................................... 184 4.2.4 Busana .......................................................................... 184 4.2.5 Properti ......................................................................... 186
4.3 Pendukung Pertunjukan ......................................................... 187 4.3.1 Penari ............................................................................ 188 4.3.2 Pemusik ........................................................................ 190 4.3.3 Penonton ....................................................................... 191 4.3.4 Penyelenggara ............................................................... 192
4.4 Perlengkapan Pertunjukan ...................................................... 193 4.4.1 Tempat dan waktu pelaksanaan pertunjukan .................. 194
4.5 Musik Pengiring Tari Inai ...................................................... 195 4.5.1 Alat musik pengiring ..................................................... 197 4.5.2 Hubungan musik pengiring dan Tari Inai....................... 199
BAB V ANALISIS MAKNA TARI INAI
5.1 Makna Tari Inai ..................................................................... 202 5.2 Makna Pada Ragam Gerak Tari Inai....................................... 205
5.1.1 Makna pada gerak silat tarung .................................... 209 5.1.2 Makna pada gerak sembah empat sudut ...................... 210 5.1.3 Makna pada gerak ular todung membuka lingkar ........ 211 5.1.4 Makna pada gerak ular todung meniti riak .................. 212 5.1.5 Makna pada gerak atraksi kayang dan
memutar piring ........................................................... 213 5.1.6 Makna pada gerak itik bangun dari tidur ..................... 214 5.1.7 Makna pada gerak itik berdiri memandang langit ....... 215 5.1.8 Makna pada gerak puting beliung berbalik arah .......... 216 5.1.9 Makna pada gerak buaya melintang tasik.................... 217 5.1.10 Makna pada gerak berokik melintas batas ................... 217 5.1.11 Makna pada gerak sembah akhir ................................. 218
5.3 Makna Pada Pola Lantai ........................................................ 223 5.3.1 Formasi berpasangan .................................................. 224 5.3.2 Formasi lingkaran ...................................................... 225 5.3.3 Formasi empat Arah ................................................... 226
5.4 Makna Pada Busana ............................................................. 227 5.5 Makna Pada Properti ............................................................ 228 BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan............................................................................ 231 6.2 Implikasi Studi....................................................................... 233
xv
6.3 Saran ..................................................................................... 237 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 240 DAFTAR INFORMAN .............................................................................. 245 LAMPIRAN-LAMPIRAN .......................................................................... 247
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 : Pintu Masuk Kota Binjai. ................................................... 72 Gambar 2.2 : Peta Kota Binjai ................................................................. 75 Gambar 2.3 : Kantor Walikota Binjai ...................................................... 76 Gambar 2.4 : Taman Merdeka Binjai ....................................................... 77 Gambar 2.5 : Binjai Super Mall ............................................................... 80 Gambar 2.6 : Peralatan Tepung Tawar..................................................... 92 Gambar 3.1 : Pemakaian Inai................................................................... 114 Gambar 3.2 : Penari Inai pada Upacara Malam Berinai ........................... 115 Gambar 4.1 : Daun Pacar (inai) ............................................................... 132 Gambar 4.2 : Inai yang ditumbuk ............................................................ 133 Gambar 4.3 : Campuran Inai ................................................................... 133 Gambar 4.4 : Busana Tari Inai ................................................................. 185 Gambar 4.5 : Properti Tari Inai ................................................................ 187 Gambar 4.6 : Penari Inai.......................................................................... 190 Gambar 4.7 : Biola .................................................................................. 197 Gambar 4.8 : Akordion ............................................................................ 198 Gambar 4.9 : Gendang Ronggeng ............................................................ 198 Gambar 5.2.1 : Gerak silat tarung ............................................................... 209 Gambar 5.2.2 : Gerak sembah 4 sudut ........................................................ 211 Gambar 5.2.3 : Gerak ular todung membuka lingkar .................................. 212 Gambar 5.2.4 : Gerak ular todung meniti riak ............................................. 213 Gambar 5.2.5 : Gerak atraksi kayang dan memutar piring .......................... 214 Gambar 5.2.6 : Gerak itik bangun dari tidur ............................................... 215 Gambar 5.2.7 : Gerak itik berdiri memandang langit .................................. 216 Gambar 5.2.8 : Gerak puting beliung berbalik arah..................................... 216 Gambar 5.2.9 : Gerak buaya melintang tasik .............................................. 217 Gambar 5.2.10 : Gerak berokik melintas batas ............................................. 218 Gambar 5.2.11 : Gerak sembah akhir ........................................................... 219 Gambar 5.3.1 : Formasi berpasangan.......................................................... 224 Gambar 5.3.1.1 : Penari pada pola lantai berpasangan .................................. 224 Gambar 5.3.2 : Formasi lingkaran .............................................................. 225 Gambar 5.3.2.1 : Penari pada pola lantai lingkaran ....................................... 225 Gambar 5.3.3 : Formasi empat arah ............................................................ 236 Gambar 5.3.3.1 : Penari pada pola lantai empat arah .................................... 226 Gambar 5.4 : Busana Tari Inai ................................................................ 228 Gambar 5.5 : Properti Tari Inai ............................................................... 230
xvii
DAFTAR ILUSTRASI
Ilustrasi 4.2.1 : Sembah .............................................................................. 151 Ilustrasi 4.2.2 : Sujud ................................................................................. 152 Ilustrasi 4.2.3 : Bersimpuh ......................................................................... 152 Ilustrasi 4.2.4 : Meliuk ............................................................................... 153 Ilustrasi 4.2.5 : Berdiri kaki sebelah ........................................................... 153 Ilustrasi 4.2.6 : Kuda-kuda ......................................................................... 154 Ilustrasi 4.2.2 : Kayang .............................................................................. 154
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Deskripsi Pertunjukan Tari Inai ...................................................... 139 Tabel 2 : Susunan Gerak Tari Inai ................................................................. 158
xix
DAFTAR SKEMA
Skema 1.: Analisa Data ................................................................................. 48
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Binjai adalah salah satu kota dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Binjai merupakan daerah pertanian dan juga dikenal dengan wilayah
peternakannya yang cukup luas. Komoditas andalan Kotamadya Binjai adalah
rambutan, dan dikenal sebagai penghasil rambutan terbesar di Sumatera Utara.
Selain itu kawasan ini juga memiliki kemajuan yang cukup pesat pada sektor
perekonomian, hal ini disebabkan penduduk Binjai yang semakin bertambah
setiap tahunnya. Seperti terlihat dengan banyaknya industri yang berdiri di daerah
ini, sehingga memberikan dampak terhadap penduduk di sekitarnya. Selain itu,
wilayah Binjai juga terkenal dengan seni budayanya. Masyarakat Melayu di
Binjai memiliki berbagai bentuk kesenian, yang memiliki fungsi di dalam
kehidupan mereka. Diantara bentuk-bentuk kesenian Melayu tersebut adalah :
Barzanji dan Marhaban, Pantun, Hadrah, Rinjis-rinjis dan Anak Ikan, Tari
Serampang Dua Belas, Tari Persembahan, Tari Zapin atau Gambus, Tari Inai,
Ronggeng, dan lain-lain.
Berdasarkan keseluruhan bentuk kesenian yang ada tersebut, diantaranya
memiliki fungsi di dalam upacara pernikahan (perkawinan), terutama Tari Inai,
tari persembahan, dan silat. Upacara pernikahan dalam kebudayaan masyarakat
Melayu di Kota Binjai di dalam pelaksanaannya berlandaskan kepada tata cara
adat Melayu dan agama Islam. Dalam hal ini masyarakat Melayu mempunyai
2
konsep dasar yaitu adat bersendikan syarak (hukum Islam), dan syarak
bersendikan kitabullah (Al-Qur’an).
Upacara pernikahan yang dilaksanakan oleh masyarakat Melayu
mempunyai tata cara yang digunakan dalam prosesnya. Tata cara tersebut
merupakan gabungan dua aspek yang saling melengkapi, yaitu aspek syari’at
sebagaimana yang diajarkan di dalam agama Islam dan aspek adat. Setiap upacara
pernikahan dalam budaya Melayu melibatkan adat-istiadat dan agama yang akan
dilakukan secara tertib dan berurutan dari awal sampai akhir. Sehingga peraturan
tersebut melibatkan tata cara komunikasi yang digunakan ketika proses upacara
pernikahan berlangsung.
Adat perkawinan dari berbagai etnis di indonesia kaya akan resam adat
mereka masing-masing, dan ada kalanya adat istiadat mereka terlalu rumit ketika
dilihat. Untuk diketahui, adat istiadat persandingan Melayu juga pada asalnya
tertib dan rumit dilaksanakan. Kehalusan estetika bangsa jelas terlihat di dalam
pelaksanaan adat tersebut. Adat istiadat persandingan Melayu harus mengikuti
protokol halus kekeluargaan, seni yang tertib beradat dan kaya budayanya.
Secara umum seni pertunjukan memiliki berbagai sistem nilai dan
sekaligus juga berperan dalam mengkomunikasikan kesenian kepada penikmat.
Begitu juga dengan seni pertunjukan dalam dunia Melayu yang
mengkomunikasikan kebudayaan Melayu secara umum termasuk seni
pertunjukan. Seni pertunjukan ini mengalami proses kesejarahan yang panjang,
sekaligus memperkuat jati diri masyarakat Melayu. Seni pertunjukan dunia
3
Melayu, memperlihatkan proses kreatif masyarakat Melayu dalam menempatkan
budayanya dalam konteks global.
Berdasarkan kesejarahan, seni pertunjukan Melayu dimulai dari masa
Animisme, Hindu, Budha, Islam, dan pengaruh budaya barat. Dalam proses
perkembangannya, pengaruh Islam mendominasi budaya Melayu sejak abad 14,
sehingga agama Islam menjadi dasar dari semua aktifitas budaya. Masyarakat
Melayu menjadikan seni pertunjukan berhubungan antara satu daerah dengan
daerah lain yang berbudaya Melayu, seperti bentuk-bentuk seni musik dan seni
tari. Bentuk-bentuk seni yang ada seperti, kesenian zapin, penggunaan rentak
dalam klasifikasi seni musik yaitu senandung, joget, mak inang, lagu dua, zapin,
dan lain sebagainya.
Akan tetapi hanya sedikit orang yang mau melihat dan membicarakan
jenis-jenis tari Melayu yang semakin jarang dipersembahkan ke masyarakat luas.
Apalagi jenis-jenis tari Melayu seperti Tari Inai memang memiliki ruang yang
sangat terbatas dibandingkan tari-tari Melayu lainnya. Itu disebabkan media
penampilannya bergantung pada acara-acara tertentu yang tidak bisa ditempatkan
dimana saja dan kapan saja. Oleh karena itu dari hal-hal yang jarang diangkat dan
dibicarakan orang tersebutlah salah satunya adalah kesenian inai, merupakan seni
pertunjukan yang di dalamnya melibatkan tari dan musik. Seni pertunjukan ini
mewarnai budaya Melayu hingga sekarang dan patut untuk diselidiki.
Tari Inai merupakan salah satu upacara adat masyarakat Melayu di Kota
Binjai, yang dilakukan pada acara malam berinai. Dalam upacara pernikahan
masyarakat Melayu, pada umumnya malam berinai digunakan untuk berkumpul
4
dengan semua keluarga dan teman-teman terdekatnya sebagai tanda melepas masa
lajangnya untuk terakhir kali. Tari Inai pada Masyarakat Melayu Kota Binjai
dapat dikatakan sebagai pelengkap upacara adat oleh golongan masyarakat yang
tingkat perekonomiannya relatif baik saja. Sebab jika Tari Inai atau upacara
malam berinai tidak diadakan, maka keesokan harinya upacara pernikahan akan
tetap dapat dilangsungkan.
Dalam penelitian ini, penulis mengkaji dua aspek dari Tari Inai, yaitu
struktur tari dan hubungan musik iringan, serta kajian terhadap makna gerak Tari
Inai dalam kebudayaan Melayu di Kota Binjai, Provinsi Sumatera Utara. Struktur
gerak akan difokuskan terhadap deskripsi gerak tari yang meliputi ragam gerak,
hitungan dan siklus, pola lantai, busana, properti tari, dan hal-hal sejenis.
Kemudian untuk musik iringan meliputi alat-alat musik yang digunakan di dalam
Tari Inai. Untuk makna akan difokuskan kepada bagaimana Tari Inai
menyumbangkan perannya di dalam kehidupan masyarakat Melayu di Kota
Binjai.
Tari Inai memiliki pergerakan kaki dan juga tangan yang terbilang sulit
dipahami dibandingkan dengan beberapa tarian Melayu lainnya. Dalam
pergerakan tarian ini terus berkelanjutan di dalam sebuah lingkaran yang
dilakukan terus menerus. Dalam hal ini, Tari Inai mempunyai beberapa gerakan
yang merupakan gabungan dari tarian yang terdapat dalam beberapa gerakan
bunga silat. Gerakan seperti silat dan posisi duduk akrobatik yang dikenal dengan
nama meliuk, dimana para penari membungkukkan badannya kedepan atau
merebahkan badan ke belakang.
5
Pada zaman dulu tarian ini biasanya di persembahkan oleh dua orang
penari laki-laki. Pada pelaksanaan Tari Inai saat ini, penari biasanya berjumlah
genap dan bisa lebih dari dua penari, yaitu empat penari, maupun enam penari
yang menggunakan properti piring dan pahar sebagai alas. Hal ini disebabkan
dalam penyajiannya, Tari Inai diawali dengan melakukan gerakan silat yang
bersifat refleks dan saling berlawanan dengan mengisi gerakan dan ruangan yang
kosong antara penari yang satu dengan penari yang lainnya, untuk itu diperlukan
pasangan agar dapat melakukan gerakan tersebut. Namun terlebih dahulu, para
penari akan memberikan sembah penghormatan kepada calon pengantin.
Kemudian dilanjutkan dari posisi depan, dengan melakukan tarian penghormatan
ke empat arah yang menandai dimulainya urutan ragam gerak tari. Tari Inai juga
menggunakan istilah-istilah gerak tertentu yang dari waktu ke waktu mengalami
perubahan dan terciptalah gerakan-gerakan variatif sesuai ide para penari.
Gerakan yang terdapat pada Tari Inai ialah merupakan kombinasi dari
bentuk gerak olah tubuh berdasarkan gerak-gerak hewan atau kejadian-kejadian
alam, sehingga gerakannya hampir menyerupai gerakan jurus-jurus yang terdapat
di beberapa perguruan silat. Sedangkan alat-alat musik yang biasa digunakan
untuk mengiringi Tari Inai ini adalah sebuah biola dan sebuah akordion yang
berfungsi sebagai pembawa melodi, satu atau dua buah gendang Melayu (gendang
ronggeng), dan sebuah gong. Rentak musik yang disajikan berdasarkan irama
musik silat seperti yang telah diketahui bahwa musik dari Melayu Kota Binjai
yang selalu digunakan adalah musik Melayu yang berirama dan bertajuk patam-
patam. Namun dari hasil pengamatan di lapangan, alat-alat musik yang biasa
6
digunakan untuk mengiringi tari hiburan Melayu adalah sebuah biola, sebuah
akordion, sebuah gendang ronggeng, dan keyboard. Sedangkan alat musik untuk
mengiringi Tari Inai adalah sebuah gendang ronggeng sebagai rentak atau tempo,
sebuah akordion dan satu buah biola sebagai pembawa melodi. Hal itu
dipengaruhi karena adanya perubahan dalam penggunaan alat musik, akan tetapi
musik dalam penyajian Tari Inai tetap menggunakan tempo patam-patam.
Busana yang digunakan oleh penari Inai adalah busana adat Melayu
dengan memakai tutup kepala seperti peci atau ikat kepala, mengenakan baju
Gunting Cina atau baju Kecak Musang dan celana panjang longgar, kemudian
memakai sesamping yaitu kain sarung atau songket yang dibentuk segitiga atau
sejajar dan diikatkan ke pinggang tepatnya di atas lutut. Properti yang digunakan
pada tarian berfungsi sebagai pelengkap saja atau juga sebagai alat pendukung
gerak tari tersebut. Properti yang digunakan pada Tari Inai suku Melayu di Kota
Binjai, penari menggunakan piring dan lilin yang sudah dinyalakan, serta inai1
yang sudah ditumbuk mengelilingi lilin. Masing-masing penari memegang dua
buah piring untuk tangan kanan dan tangan kiri.
Tari inai yang terdapat pada rangkaian upacara adat perkawinan Melayu
ini difungsikan karena mempunyai makna simbolis dan pengintegrasian
masyarakat terhadap keluarga yang menggunakan acara malam berinai. Seiring
berjalannya waktu, keberadaan Tari Inai dalam setiap upacara adat Melayu telah
mengalami pergeseran. Dahulu tari ini penting digunakan dalam upacara
1Inai adalah sejenis tumbuhan yang biasanya hidup di dataran kering maupun tropis
dimana daunnya dapat digunakan untuk berbagai ramuan dan kecantikan yang jika ditumbuk dan diaplikasikan ke tangan akan menghasilkan warna antara orange, merah, sampai coklat yang dapat bertahan di kulit selama 1-2 minggu.
7
perkawinan masyarakat Melayu, terutama pada waktu acara malam berinai,
namun dalam penerapan di masa sekarang hanya sebagai salah satu pelengkap
atau bisa dikatakan penyemaraknya upacara perkawinan. Disesuaikan juga dengan
tingkat ekonomi yang mempunyai acara perkawinan. Hal ini dikarenakan sanggar-
sanggar yang memfokuskan pelatihan pada tari Melayu semakin banyak, dan
saling bersaing. Jika tari ini tidak ditampilkan, upacara akan tetap terlaksana,
namun terasa kurang lengkap jika kesenian tradisional ini tidak ditampilkan.
Dari beberapa sanggar tari Melayu yang ada di Kota Binjai yang pernah
mempersembahkan Tari Inai, penulis memilih sanggar Gema Citra untuk di
fokuskan. Sanggar yang didirikan sejak tahun 1992 ini terbentuk dengan adanya
musyawarah beberapa tokoh masyarakat yang ada di kecamatan Binjai Barat.
Sanggar Gema Citra merupakan salah satu sanggar yang memiliki tujuan untuk
menjaga dan melestarikan kebudayaan Melayu khususnya pada pelatihan tari
tradisi dan bidang-bidang lainnya yang menyangkut dengan seni daerah setempat.
Selain itu, sanggar ini juga masih sering mengadakan pertunjukan Tari Inai, baik
di wilayah sekitar maupun di luar Kota Binjai.
Penelitian ini juga akan memperhatikan pertunjukan Tari Inai dalam upacara
malam berinai pada upacara perkawinan adat masyarakat Melayu di Kota Binjai.
Adapun aspek utama yang akan penulis diskusikan di dalam penulisan ini adalah
bagaimana struktur, hubungan musik iringan, dan makna dalam penyajiannya
pada upacara malam berinai masyarakat Melayu di Kota Binjai? Gerak-gerak
yang bagaimanakah yang diekspresikan penari Inai ini, apa saja istilah-istilah dan
maknanya menurut para penari Melayu? Kemudian di dalam penyajian Tari Inai
8
digunakan musik pengiring. Selanjutnya bagaimanakah proses penyajian Tari Inai
tersebut? Berdasarkan pertanyaan diatas, penulis memilih judul untuk penelitian
ini adalah : Tari Inai Pada Upacara Malam Berinai Masyarakat Melayu di Kota
Binjai : Analisis Struktur dan Makna.
1.2 Pokok Masalah
Pokok permasalahan yang ditentukan agar pembahasan lebih terarah
dalam Tesis nantinya. Penulis menentukan dua pokok masalah yaitu :
1. Bagaimana struktur Tari Inai yang digunakan dalam upacara malam
berinai masyarakat Melayu di Kota Binjai?
2. Bagaimana makna dalam gerak Tari Inai pada upacara malam berinai
masyarakat Melayu di Kota Binjai?
Pokok masalah pertama ini akan melibatkan struktur penyajian Tari Inai
melalui deskripsi tentang jenis-jenis gerak, pola lantai, properti, tata rias, dan
busana. Selanjutnya juga akan melibatkan uraian terhadap ensambel musik inai,
dan jalinan antara alat-alat musik. Dengan mengkaji hubungan Tari Inai dan
musik iringan dengan melodi yang disajikan oleh biola. Juga rentak gendang yang
disajikan oleh pemain gendang ronggeng.
Pokok masalah kedua akan mengkaji istilah gerak, makna gerak, dan
unsur-unsur simbolik serta hal-hal sejenis yang terkandung di dalam penyajian
Tari Inai pada konteks upacara adat perkawinan masyarakat Melayu di Kota
Binjai.
9
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk menganalisis dan mendeskripsikan gerak yang dilakukan penari
dalam menarikan Tari Inai.
2. Untuk menganalisis dan memahami makna yang terdapat dalam gerak
Tari Inai pada upacara malam berinai masyarakat Melayu di Kota
Binjai.
1.3.2 Manfaat penelitian
Manfaat yang diambil dari penelitian yang diwujudkan dalam tesis ini
adalah sebagai berikut :
1. Menambah referensi tulisan tentang kesenian, khususnya Tari Inai
dalam konteks kebudayaan Melayu.
2. Sebagai bahan informasi bagi pembaca dan masyarakat mengenai
kesenian Tari Inai.
3. Untuk menambah khasanah keilmuan khususnya etnokoreologi dalam
konteks ilmu pengetahuan.
4. Untuk menambah pengetahuan tentang makna dari semiotik khususnya
di bidang pendidikan.
5. Untuk memberikan data awal bagi pengembangan kesenian etnik
sebagai pendukung utama kesenian nasional, dalam konteks
10
pembentukan jati diri dan karakter bangsa di tengah-tengah
globlalisasi.
1.4 Tinjauan Pustaka
Kepustakaan ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan
pemahaman terhadap fenomena sesuai dengan topik kajian. Di dalam tinjauan
pustaka ini akan dikemukakan mengenai pemahaman konsep terhadap kajian yang
dilakukan,kajian kepustakaan hasil-hasil penelitian dan landasan teori.
Dalam tahapan ini penulis mencari, mempelajari, dan menggunakan
literatur-literatur yang berhubungan dan dapat membantu pemecahan
permasalahan. Dari hasil studi kepustakaan yang dilakukan penelitian Tari Inai
dalam upacara adat perkawinan masyarakat Melayu masih sulit didapat. Namun
penulis menemukan beberapa buku maupun hasil penelitian berbentuk skripsi dan
tesis yang mampu dijadikan panduan antara lain : Dila Purnama Sari, (2014).
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Lancang Kuning Pekan Baru. Mengangkat
judul skirpsi: “Kajian Semiotik Pada Malam Berinai Dalam Upacara Adat
Perkawinan Masyarakat Melayu Kecamatan Rumbai”, membahas keseluruhan
upacara adat perkawinan Melayu di Kecamatan Rumbai, Pekan Baru. Secara
umum aspek infomasi kesejarahan menggunakan rujukan dari pustaka sejarah dan
bahan arkeologis. Selain itu juga membicarakan tentang fungsi acara malam
berinai, dan aspek-aspek penyajian, bentuk-bentuk tata cara dalam upacara adat
perkawinan Melayu. Linda Asmita, (1994). Menulis skripsi dengan judul ”Studi
Deskriptif Musik Inai dalam Konteks Upacara Perkawinan Melayu di Desa
11
Batang Kuis dan Desa Nagur, Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Deli
Serdang”. Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.
Yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah bentuk penyajian Tari Inai dan
musik pengiringnya dalam rangkaian upacara adat perkawinan Melayu. Syarifah
Aini, (2013). mengambil obyek skripsi S-l tentang Tari Inai yang berjudul: “Tari
Inai Dalam Konteks Upacara Adat Perkawinan Melayu di Batang Kuis : Deskripsi
Gerak, Musik Iringan, dan Fungsi”. Etnomusikologi, Universitas Sumatera Utara.
Penelitian tersebut memfokuskan pada kesejarahan Tari Inai di Kecamatan Batang
Kuis, struktur pertunjukan, fungsi pertunjukan kaitannya dengan kepentingan
masyarakat pendukungnya. Dewi Marlina Maru, (2005). mengajukan judul
skripsi: “Pergeseran Fungsi dan Simbol Tari Inai di Kota Medan”, Sendratasik,
Universitas Negeri Medan. Tujuan penelitan tersebut seperti yang diajukan oleh
Dewi Marlina Maru, yaitu masalah diskripsi struktural elemen gerak tari dan
kemungkinan pengembangan garapan koreografinya. Skripsi yang mengangkat
pertunjukan tari Sigeh Penguten dari sudut analisis bentuk dan gaya tari, yaitu
Dian Ayu Yarita, (tahun 2016 pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Lampung), berjudul “Analisis Semiotika Dalam Ragam Gerak Tari
Sigeh Penguten”. Adapun tekanan pada penelitian ini adalah analisis struktural
gerak tari Sigeh Penguten.
Seorang mahasiswi dari Program Penciptaan dan Pengkajian Seni Pasca
Sarjana Institut Seni Yogyakarta; Fifie Febriyanti Sukman, (2014). Juga
mengajukan penelitian untuk tesis S-2 dengan judul “Makna Simbolik Tari
PAOLLE Dalam Upacara Adat Akkawaru Di Kecamatan Gantarangkeke,
12
Kabupaten Bantaeng Sulawesi Selatan”, yang memfokuskan secara umum tentang
keberadaan Tari PAOLLE di Kecamatan Gantarangkeke, yaitu masalah aspek
kesejarahan, gaya tari, tata busana, dan unsur-unsur seni yang membentuk
kesatuan pertunjukan.
Yang terakhir adalah tesis S-2 di STSI Surakarta; Soerjo Wido Minarto
(2008). dengan judul: “Struktur Simbolik Tari Topeng Patih Pada Pertunjukan
Dramatari Wayang Topeng Malang di Dusun Kedungmonggo Desa
Karangpandan Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang Jawa Timur”. Tulisan yang
tebalnya kurang lebih 400 halaman ini, membahas tentang pertunjukan wayang
topeng di Kedungmonggo kaitannya dengan sosial kemasyarakatan
pendukungnya. Teori yang diterapkan adalah strukturalisme Levi Strauss. Isinya
cukup luas, mengenai kesejarahan, bentuk pemanggungan, kaitan sosial
kemasyarakatan dengan pertunjukan, kaitan geografi dan kondisi alam desa
Kedungmonggo dengan tempat kedudukan bahkan penulisnya terkesan ingin
memasukkan segala apa yang dilihat, didengar perkumpulan Wayang Topeng,
hubungan religius/kepercayaan masyarakat dengan pertunjukan dan analogi
pertunjukan Wayang Topeng Kedungmongga melalui tokoh-tokoh dan struktur
pemanggungan dengan bentuk rumah “Jawa”.
Buku-buku semiotika yang penulis gunakan dalam referensi penelitian ini
dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Semiotika Komunikasi karangan Alex Sobur (2004). Buku ini menyajikan
cara memahami semiotika, pokok dan tokoh semiotika, aplikasi semiotika
13
komunikasi, komunikasi dengan simbol-simbol, ideologi dan mitologi, kata-
kata dan makna, serta hubungan antara manusia, bahasa, dan komunikasi.
2. Semiotic for Beginners karangan Paul Cobley dan Litza Jansz (2002). Buku
ini berisi tentang identifikasi para ahli semiotika yang terkemuka dan karya-
karya mereka. Semiotika dalam buku ini dipaparkan dengan konsep-konsep
sederhana yang sebelumnya merupakan istilah-istilah yang pelik. Buku ini
penulis jadikan sebagai pijakan untuk memepelajari betapa pentingnya tanda-
tanda dan sistem penandaan bagi keberadaan manusia.
Tujuan dari tinjauan pustaka ini adalah untuk mendapatkan konsep-
konsep, teori, serta informasi yang dapat digunakan sebagai acuan dalam
pembahasan atau penelitian, menambah wawasan penulis tentang kebudayaan
masyarakat Melayu yang diteliti dan berhubungan dengan kepentingan
pembahasan atau penelitian.
1.5 Konsep dan Teori
1.5.1 Konsep
Pengertian konsep adalah unsur penelitian yang terpenting dan merupakan
defenisi yang dipakai oleh para peneliti untuk menggambarkan secara abstrak
suatu fenomenon sosial atau fenomenon alami (Singarimbun dan Sofian Effendi,
1982:17). Konsep dapat mempunyai tingkat generalisasi yang berbeda. Semakin
dekat suatu konsep kepada realita semakin mudah konsep itu diukur. Banyak
konsep ilmu sosial sangat abstrak terutama yang merupakan unsur dari teori yang
sangat umum (grand theory).
14
Konsep diartikan juga sebagai gagasan abstrak atau ide yang
digeneralisasikan untuk melukiskan suatu gejala dengan ciri-ciri tertentu.
Pengertian konsep menurut Ratna adalah sebagai alat untuk memahami gejala,
konsep berada di luar gejala. Setip kata, bahkan setiap simbol adalah konsep.
Konsep dibedakan menjadi leksikal dan operasional (2010:465-466).
Menurut Melly G. Tan (dalam Koentjaraningrat, 1994:21), konsep atau
pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. Ia sebagai defenisi
secara singkat dari kelompok fakta atau gejala. Untuk itu, guna memperluas
wawasan dan mempertajam sensitifitas teoritis dalam rangka memahami realitas,
maka penelitian ini mengemukakan pemahaman beberapa konsep yang secara
langsung terkait dengan topik penelitian, antara lain ; Upacara, Ritual, Inai, Tari,
Tari Melayu, Masyarakat Melayu, Adat Perkawinan Melayu, Kota Binjai,
Struktur, Simbol, dan Makna.
1.5.1.1 Upacara
Selain melalui mitologi dan legenda, cara yang dapat dilakukan untuk
mengenal kesadaran sejarah pada masyarakat yang belum mengenal tulisan yaitu
melalui upacara. Upacara yang dimaksud bukanlah upacara yang dalam
pengertian upacara yang secara formal sering dilakukan, seperti upacara
penghormatan bendera. Melacak melalui upacara, yaitu upacara yang pada
umumnya memiliki nilai sakral oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.
Upacara adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada
aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama dan kepercayaan. Jenis upacara
15
dalam kehidupan masyarakat antara lain : upacara penguburan, upacara
perkawinan, dan upacara pengukuhan kepala suku. Upacara adat adalah suatu
upacara yang dilakukan secara turun-temurun yang berlaku di suatu daerah.
Dengan demikian, setiap daerah memiliki upacara adat sendiri-sendiri yang
sebenarnya tidak lepas dari unsur sejarah.
Upacara yang dilakukan masyarakat dilandasi oleh kepercayaan dan
kebudayaan rutinitas semata, akan tetapi mengandung maksud dan tujuan tertentu.
Upacara bukan sebagai suatu kegiatan biasa yang dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari, akan tetapi merupakan aktivitas yang mengandung makna religius
yang sakral dan terpisah dari hal yang bersifat duniawi. (KBBI, 2005:1250).
Dalam tulisan ini yang dimaksud adalah upacara perkawinan, setiap
upacara perkawinan masing-masing etnik memiliki tujuan tertentu dan selalu
menampilkan musik dan tarian yang berfungsi sebagai hiburan maupun
kepercayaan religius.
1.5.1.2 Ritual
Ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan keramat
yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama. Yang ditandai dengan adanya
berbagai macam unsur dan komponen, yaitu adanya waktu, tempat-tempat dimana
upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara, serta orang-orang yang menjalankan
upacara (Koentjaraningrat, 1985:56).
Pada dasarnya ritual adalah rangkaian kata, tindakan pemeluk agama
dengan benda-benda, peralatan dan perlengkapan tertentu, di tempat tertentu dan
16
memakai pakaian tertentu pula (Suprayogo, 2001:41). Begitu halnya dalam ritual
upacara perkawinan, banyak perlengkapan, benda-benda yang harus dipersiapkan
dan dipakai.
Ritual atau ritus dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan berkah atau
rezeki yang banyak dari suatu pekerjaan. Seperti upacara menolak bala dan
upacara karena perubahan siklus dalam kehidupan manusia seperti kelahiran,
pernikahan dan kematian (Bustanuddin, 2007:95).
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa ritual merupakan serangkaian
perbuatan keramat yang dilakukan oleh umat beragama dengan menggunakan
alat-alat tertentu, tempat, dan tata cara tertentu pula. Namun ritual memiliki fungsi
yang sama yaitu untuk berdoa agar mendapatkan suatu berkah. Ritual-ritual yang
yang sering kita temui dan alami dalam kehidupan sehari-hari adalah ritual siklus
kehidupan. Yaitu ritual kelahiran, ritual pernikahan, dan ritual kematian. Yang
mana ritual-ritual tersebut tidak terlepas dari suatu masyarakat beragama yang
meyakininya. Salah satu upacara ritual yang sering dilakukan umat beragama
adalah ritual untuk mendoakan para leluhur yang sudah meninggal dunia.
Hal ini berkaitan dengan ritual Tari Inai dalam acara malam berinai yaitu
sebagai salah satu cara yang dilakukan untuk menghormati para leluhur (orang tua
dan keluarga yang telah meninggal dunia), memohon keselamatan dan
perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar terhindar dari hal-hal yang dapat
mengganggu jalannya acara serta mendapatkan kelancaran dalam pelaksanaan
acara tersebut.
17
1.5.1.3 Inai
Sudah sejak dahulu masyarakat mengenal Inai sebagai sejenis tumbuhan
yang biasanya hidup di dataran kering maupun tropis dimana daunnya dapat
digunakan untuk berbagai ramuan dan kecantikan yang jika ditumbuk dan
diaplikasikan ke tangan akan menghasilkan warna antara orange, merah, sampai
coklat yang dapat bertahan di kulit selama 1-2 minggu. Inai mempunyai keunikan
warna yang dihasilkan tergantung dari oksidasi zat yang ada di dalam daun ini
dengan suhu tubuh si pemakai. Semakin lancar metabolisme si pemakai maka
akan semakin gelap warna Inai yang dihasilkan.
Pemakaian inai pada upacara perkawinan memiliki pengaruh dari Arab,
karena inai dipercaya dapat menangkal roh jahat dan sebagai obat untuk luka
dikulit, tetapi seiring berkembangnya pengetahuan masyrakat, sekarang inai
digunakan dalam masyarakat Melayu sebagai tanda sudah menikah (Takari,
240:2014).
Kini Inai semakin sering digunakan oleh para pengantin untuk
mempercantik penampilan di hari pernikahan dan dikenal dengan sebutan henna.
Menurut wawancara dengan beberapa jasa pemakaian henna di Kota Binjai,
tradisi ini memiliki arti tersendiri dan bukan hanya digunakan di Indonesia tetapi
juga terdapat di India. Di wilayah Sumatera henna/inai yang diaplikasikan di
setiap ujung kelima jari itu gunanya untuk mendatangkan kebahagiaan,
menangkal kesialan dan nasib buruk bagi kedua mempelai. Hal ini juga ditemukan
di India sebagai ritual pemberkatan dan pengharapan untuk mempelai supaya
18
kelak memiliki hidup yang manis tanpa kegetiran, jauh dari kejahatan, panjang
umur, kaya, dan makmur.
Kesemua itu tidak terlepas dari kepercayaan dan adat yang beredar di
masyarakat. Dewasanya henna/inai makin sering digunakan para pengantin untuk
mempercantik penampilan di hari pernikahannya. Dengan tidak lagi memandang
adat dan budaya henna/inai kini semakin populer di Indonesia dan menarik
sejumlah orang untuk mempelajari seni henna tersebut. Kepopuleran ini juga
dapat ditilik dari semakin banyaknya bermunculan jasa-jasa pemakaian henna
pada media sosial yang terdapat di seluruh Indonesia.
1.5.1.4 Tari
Tari adalah keindahan bentuk dari anggota badan manusia yang bergerak,
berirama, dan berjiwa yang harmonis. Indah bukan hanya hal-hal yang halus
dan bagus saja,melainkan sesuatu yang memberi kepuasan batin manusia.
Gerak yang kasar, keras, kuat dan lainnya bisa merupakan gerak yang
indah. Berjiwa biasa diartikan memberi kekuatan yang bisa menghidupkan.
Jadi, gerak yang telah dibentuk dan berirama tersebut seakan hidup dan dapat
memberikan pesan yang dapat kita mengerti dan berarti. Harmonis adalah
kesatuan yang selaras dari keindahan yang bergerak, berirama, dan berjiwa
tersebut (Kussudiardjo, dalam Wahyudiyanto 2008:11).
Tari sejak awal merupakan sebuah seni kolektif, sebab dalam
kerangka wujudnya tempat dibentuk oleh berbagai disiplin seni yang lain
misalnya, sastra musik, seni rupa, dan seni drama. Tari pada waktu itu masih
19
sebagai bentuk pengungkapan yang bersahaja dan sangat tunduk pada
kepentingan adat serta religi. Perkembangan selanjutnya, tari tidak lagi
menjadi bagian dari aktivitas adat atau religi, tetapi kehadiran tari menjadi
berdiri sendiri sebagai sebuah ekspresi seni yang mandiri (Hidayat, 2005:26).
Dalam seni tari, tenaga sangat dibutuhkan karena dengan tenaga, tari
yang ditampilkan lebih kreatif. Tenaga dalam seni tari sangat berhubungan
dengan rasa dan emosi, bukan dengan kekuatan otot. Gerakan tari yang
dikendalikan dan diatur dengan tenaga yang berbeda-beda akan
membangkitkan kesan yang mendalam, bukan hanya bagi penonton, juga bagi si
penari (Sumardjo, 2010:28).
1.5.1.4.1 Fungsi tari
Menciptakan sebuah tarian bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan,
butuh waktu lama karena sebuah tarian tidak dibuat secara sembarangan. Tari
diciptakan karena memiliki fungsi. Adapun fungsi-fungsi yang terdapat dalam
tarian adalah sebagai berikut :
1. Tari untuk upacara
Nenek moyang kita percaya bahwa di dalam tubuh kita terdapat
kekuatan. Kekuatan itu kemudian memunculkan kepercayaan-
kepercayaan, yaitu animisme dan dinamisme. Mereka percaya bahwa
semua benda yang ada di alam semesta ini memiliki roh atau
kekuatan gaib. Oleh karena itu, mereka meminta keselamatan dan
kebahagiaan kepada benda yang memiliki roh atau kekuatan gaib tersebut
20
dengan jalan melakukan ritual atau upacara. Upacara tersebut diwujudkan
dalam bentuk tari-tarian.
2. Tarian sebagai sarana pergaulan dan hiburan
Sebuah Tarian dapat tercipta karena adanya perasaan benci, cinta,
bahkan perang. Selain itu, dapat pula tercipta karena hubungan
persahabatan dan pergaulan yang terjalin, tidak hanya kepada sesama
manusia, tetapi juga kepada alam. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa tarian dapat berfungsi sebagai sarana pergaulan.
Selain berfungsi sebagai sarana pergaulan, tarian dapat juga berfungsi
sebagai sarana hiburan. Hal ini karena dalam perkembangannya, tarian daerah
tidak hanya dipentaskan di daerahnya masing-masing, tetapi juga dipentaskan di
gedung-gedung kesenian dan bahkan ke mancanegara sebagai sarana hiburan
(Khasanah, 2009:8).
Fungsi merupakan tujuan dari suatu pertunjukan kesenian. Setiap suatu
upacara adat yang dibuat pasti memiliki suatu tujuan dari pihak keluarga ataupun
sudut pandangan dari masyarakat itu sendiri. Jadi, upacara adat malam berinai
yang menggunakan musik dan Tari Inai yang memiliki tujuan dan pandangan
yang berbeda-beda dari masyarakat, selain untuk meneruskan kebiasaan etnik
Melayu yang telah ada sejak zaman dahulu, Tari Inai ini juga memiliki fungsi
religi dan pengintegrasian masyarakat. Fungsi sebagai religi menurut keluarga
ataupun masyarakat, jika Tari Inai yang ditampilkan diharapkan supaya kedua
belah pihak calon pengantin tidak mendapatkan kendala ketika menjelang akad
nikah keesokan harinya. Sedangkan fungsi pengintegrasian masyarakat menurut
21
penulis pada penelitian di lapangan, ketika upacara malam berinai akan
dilaksanakan, sebelumnya pihak keluarga juga mengundang persatuan masyarakat
Melayu yang ada di daerah Kota Binjai agar menghadiri upacara tersebut dan
menjalin silaturahmi sesama masyarakat Melayu.
Pada umumnya Tari Inai yang dipakai oleh masyarakat Melayu di Kota
Binjai yang dilakukan pada saat upacara malam berinai termasuk ke dalam
konteks upacara adat perkawinan masyarakat Melayu. Menurut pengamatan yang
penulis lakukan selama ini, seorang penari dalam rangka menari Tari Inai tetap
mengharapkan rezeki dari jasa ia menari di dalam sebuah pesta perkawinan.
Oleh karena itu, fungsi Tari Inai dalam kebudayaan masyarakat Melayu
memang kompleks juga. Ini dapat dikaji secara mendalam melalui kaitan
tari ini dengan berbagai konteks sosial dan budaya, seperti, religi, ekonomi,
estetik, hiburan, sistem sosial, dan lain-lain.
Perkataan fungsi digunakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia,
menunjukkan kepada aktifitas dan dinamika manusia dalam mencapai tujuan
hidupnya. Dilihat dari tujuan hidup, kegiatan manusia merupakan fungsi dan
mempunyai fungsi. Secara kualitatif fungsi dilihat dari segi kegunaan dan manfaat
seseorang, organisasi atau asosiasi tertentu.
Menurut Michael J. Jucius dalam Soesanto (1974:57) mengungkapkan
bahwa fungsi sebagai aktivitas yang dilakukan oleh manusia dengan harapan akan
tercapai apa yang diinginkan. Michael J. Jucius dalam hal ini lebih menitik
beratkan pada aktifitas manusia dalam mencapai tujuan.
22
Seorang ahli teori fungsionalisme dalam disiplin antropologi, yaitu
Radeliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkaitan erat dengan
struktur sosial masyarakat. Dalam kenyataannya bahwa struktur sosial itu
umumnya akan hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti
setiap saat. Dengan demikian, Radeliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari
sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi
adalah sumbangan suatu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam
sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat
harmoni atau konsistensi internal.
Berdasarkan kepada teori fungsi Radeliffe-Brown ini, maka dalam
kaitannya dengan Tari Inai pada upacara perkawinan adat Melayu pada
kebudayaan Melayu di Binjai, maka tari ini adalah salah satu aktivitas dari
sekian banyak aktivitas etnik Melayu, yang tujuannya adalah untuk mencapai
harmoni atau konsistensi internal. Tari Inai dan musik iringannya adalah
bahagian dari sistem sosial yang bekerja untuk mendukung tegaknya budaya
Melayu.
Dari sisi pandangan aspek internal, maka Tari Inai ini didukung oleh
aspek tarian yang di dalamnya juga terdiri dari para penari lelaki, busana,
aksesoris, tata rias wajah, gerak-gerak dengan ragam dan polanya, pola
lantai, makna gerak, dan seterusnya. Tarian Inai juga didukung oleh aktivitas
musik, yang terdiri dari pemain musik pembawa melodi dan pembawa ritme.
Pemusik yang membawa melodi adalah pemain akordion dan biola. Sementara
pembawa ritme adalah pemain gendang ronggeng. Mereka menggunakan
23
melodi dan ritme (rentak) yang disebut patam-patam. Antara tari dan musik
terjadi integrasi pertunjukan yang kuat.
Setelah itu diperhatikan dari sudut eksternal, maka Tari Inai dan
musik iringannya adalah berfungsi untuk memenuhi institusi sosial lainnya
yaitu perkawinan adat. Tari dan musik Inai ini menjadi bahagian penting
dalam tatanan upacara perkawinan adat Melayu, yang terdiri dari berbagai
tahapan. Sementara perkawinan ini sendiri adalah institusi yang bertujuan
atau berfungsi utama untuk melanjutkan generasi manusia Melayu.
Selain itu, dalam konteks yang lebih luas lagi, Tari Inai dan musik
iringannya adalah bagian dari kebudayaan Melayu, yang mendasarkan
kebijakannya dalam adat. Seperti diketahui bahwa adat Melayu adalah
berdasar kepada konsep adat bersendikan syarak, dan syarak bersendikan
kitabullah. Artinya bahwa kebudayaan Melayu beradasarkan adat, dan dasar
kebudayaan ini adalah wahyu Allah SWT berupa ajaran-ajaran agama Islam.
Dengan demikian, konsep, kegiatan, dan artefak Tari Inai, adalah bahagian dari
adat dan kebudayaan Melayu secara umum. Berdasarkan teori fungsi yang
ditawarkan Radcliffe-Brown, demikianlah yang dapat penulis uraikan untuk
terapannya dalam mengkaji fungsi Tari Inai dalam konteks adat perkawinan
dalam kebudayaan Melayu di Kota Binjai.
Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat
dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus,
sedangkan individu-individu dapat berganti setiap saat. Dengan demikian,
Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam
24
suatu masyarakat, mengemukakan bahawa fungsi adalah sumbangan satu
bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial
masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau
konsistensi internal, seperti yang diuraikannya berikut ini.
By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181). Dalam hubungannya dengan Tari Inai pada upacara malam berinai yang
terdapat dalam rangkaian upacara perkawinan adat Melayu di Kota Binjai, maka
Tari Inai merupakan salah satu aktivitas dari sekian banyak aktivitas etnik
Melayu, yang tujuannya adalah untuk mencapai harmoni atau konsistensi
internal. Tari Inai dan musik iringannya adalah bagian dari sistem sosial yang
bekerja untuk mendukung tegaknya budaya Melayu secara umum, dan khususnya
Melayu Langkat dan Sumatera Timur.
1.5.1.4.2 Peranan tari
Tari memiliki peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat. Peranan
tari dalam kehidupan bermasyarakat antara lain, yaitu :
1. Sebagai sarana upacara : untuk memperingati upacara
2. Sebagai sarana hiburan : untuk menghibur masyarakat
3. Sebagai sarana penyaluran terapi : sebagai media penyembuhan
25
4. Sebagai media pendidikan : berfungsi untuk mendidik
5. Sebagai media pergaulan : untuk melibatkan beberapa orang
6. Sebagai media pertunjukkan : menunjukkan kreativitas budaya setempat
7. Sebagai media katartis : pembersih jiwa
(Aulia Mustika, 2011:34)
1.5.1.4.3 Ragam gerak pada tari
Gerak merupakan medium utama dalam tari. Gerak tari adalah
sebuah proses perpindahan dari satu sikap tubuh yang satu ke sikap tubuh
yang lain. Dengan kenyataan tersebut maka gerak dapat dipahami sebagai
kenyataan visual (Hidayat, 2005: 44).
Gerak dalam tari dijadikan sebagai sarana mengungkapkan gagasan,
perasaan, dan pengalaman seniman (penari) kepada orang lain, maka tidak
mengherankan apabila dikatakan bahwa gerak tari dapat dijadikan sebagai alat
komunikasi seniman (penari). Kesan paling awal yang dapat dilihat pada saat
melihat suatu pertunjukan tari adalah gerak. Gerak dalam tari merupakan gerakan-
gerakan tubuh manusia yang telah diolah dan digarap dari gerak wantah (gerak
yang biasa dipakai sehari-hari) menjadi suatu gerak yang tidak wantah.
Penggarapan gerak tari tersebut dinamakan stilisasi (diperhalus) atau distorsi
(dirombak) (Supardjan, 2008: 8).
Dari hasil pengolahan suatu gerakan atau gerak yang telah mengalami
stilisasi atau distorsi inilah lahir dua jenis gerak tari yaitu gerak murni (pure
movement) dan gerak maknawi (gesture).
26
1. Gerak murni
Gerak yang hanya mempunyai unsur keindahan saja tanpa
mengandung makna, maksud, atau arti tertentu.
2. Gerak maknawi
Gerak yang mengandung arti yang jelas. Dalam tari,
perbendaharaan kata berupa locomotion atau penggerak dan gesture atau
gerak-isyarat. Gerak tari dapat bersifat lembut mengalir, bias juga
terpatah-patah atau tersentak-sentak. Di samping itu, semua dapat
diperbedakan sikap-sikap tubuh yang semua mempunyai peran dalam
mewujudkan bentuk-bentuk. Di antara yang terpenting dalam suatu
tarian, atau bahkan keseluruhan suatu gaya tari, adalah sikap dasar
tungkai beserta arah hadap kaki. Tungkai itu dapat berdiri tegak lurus,
dapat pula ditekuk, dengan tekukan yang dapat berbeda-beda pula antara
yang paling samar dan yang paling dalam sehingga hampir seperti
jongkok. Arah hadap kaki pun dapat dibedakan antara yang menghadap
ke depan, agak serong ke samping, sampai yang sama sekali dihadapkan
ke samping. Gerak kaki pun bervariasi dari yang hampir selalu
menyentuh tanah, atau kadang diangkat sedikit, sampai yang dapat
diangkat tinggi-tinggi (Paeni, 2009:8).
Sedyawati (2010:73) menyimpulkan tari sebagai gerak ritmis dari
anggota badan, perpaduan pola-pola dalam ruang, gerak spontan yang
dipengaruhi emosi yang kuat, paduan gerak-gerak indah dan ritmis, dan
gerak terlatih yang disusun secara beraturan untuk menyatakan tindakan
27
dan rasa. Gerak dalam tari tentu saja berbeda dengan gerak manusia
dalam kehidupan sehari-hari. Tari bukanlah gerak tanpa makna. Setiap
gerak dalam tari bermakna dan memiliki motif tertentu. Hadirnya tari
dalam kehidupan manusia merupakan respon manusia terhadap gerak
kehidupan di alam semesta ini. Bahkan hadirnya ritma dalam tari
disebabkan adanya ritma jantung manusia. Ritma tak bisa dipisahkan
dari tari sebagaimana ritma menjadi elemen dasar musik. Ini semakin
menegaskan betapa eratnya hubungan manusia dengan tari.
Tari hadir bersamaan dengan peradaban manusia di muka
bumi. Dari sejak zaman dahulu kala hingga sekarang manusia terus
menari. Bentuk dan fungsi tari tentu saja bersifat dinamis sesuai dengan
dinamika zamannya. Ada berbagai alasan mengapa orang menari,
misalnya memuja tuhan, hiburan, terapi fisik, terapi psikologis dan
merayakan sesuatu (Sedyawati, 2010:75).
Tari lahir dalam ruang kehidupan manusia sehingga penciptaan dan
pemaknaan tari tidak boleh lepas dari ruang kebudayaan nya. Gerak
manusia sangat dipengaruhi oleh faktor sosial dan kultural. Dengan
demikian, gerak tari pun harus dimaknai secara sosial dan kultural.
Misalnya, gerak menggoyangkan pinggul dalam budaya A mungkin
berbeda maknanya dengan budaya B.
Gerak dalam tari diciptakan berdasarkan imajinasi terhadap
penafsiran terhadap sesuatu. Proses interpretasi dapat dilakukan melalui
penglihatan, pendengaran dan perabaan. Hubungan budaya dan tari
28
bersifat reciprocal atau timbal balik. Artinya, budaya akan memberikan
makna pada siapa menari apa, mengapa, bagaimana, bila, dimana, dengan
siapa, dan untuk. Karena itu, tari bisa menghasilkan berbagai makna
seperti orientasi seks, identitas etnis, identitas kelompok, jati diri,
karakter bangsa, sedih, perang, damai dan apapun (Endang, 2007:65).
Kata-kata adalah simbol. Demikian juga dengan gerak dalam tari.
Tari seperti puisi, penuh dengan tanda-tanda simbolik. Karena itu,
tanda-tanda dalam gerak tari perlu dilakukan pembacaan untuk
mengetahui maknanya. Penari dan penikmat tari perlu memperdalam
pengetahuan tentang semiotics of dance. Semiotika tari sangat
membantu kita dalam memahami makna gerak dan tari. Konsep-
konsep kunci tari lainnnya seperti emotional experience dan culture
sangat perlu direalisasikan dengan konsep symbolization dalam tari
dengan melibatkan pendekatan semiotika tari. Lebih lanjut menyatakan
bahwa paling tidak ada enam perangkat simbolik untuk melakukan
pemaknaan tari: concretization (mengkonkretkan), icon (karakter
khusus), stylization (gerak konvensional dan gerak bebas), metonym
(sesuatu menggantikan yang lain), metaphor (perumpamaan), dan
actualization (aktualisasi). Pemaknaan tari secara lebih serius akan
memberikan makna yang lebih mendalam terhadap tari agar tari lebih
memberikan manfaat bagi manusia (Endraswara, 2006:48).
29
1.5.1.4.4 Tari Melayu
Pada awalnya masyarakat Melayu tidak mengenal istilah tari, selama ini
yang mereka kenal adalah “tandak” untuk menyebutkan tentang tari. Dalam
berbagai kegiatan keseharian, suku Melayu selalu menyertakan kesenian dalam
hal ini adalah tari untuk memeriahkan suasana perayaan yang biasa mereka
adakan. Dalam perayaan ini, mereka biasanya akan “bertandak”, atau menari yang
dilakukan secara berpasangan, bergantian dengan tetap menjaga norma-norma
adat sesuai kebiasaan yang berlaku. Lama kelamaan istilah “tandak” tidak
disebutkan lagi yang kemudian perlahan menghilang dan diganti dengan istilah
“tari”.
Bagi masyarakat Melayu, tari menjadi sebuah kegiatan untuk
mengungkapkan keinginan dan ekspresi mereka, dalam berbagai acara yang
bertujuan menyampaikan kehendak sesuai keinginan dan harapan. Bentuk-bentuk
tari yang dipertunjukkan disesuaikan dengan kegiatan yang mereka lakukan.
Beragam jenis tari dengan berbagai pola penggarapan, mereka pertunjukkan
dengan memunculkan masing-masing ciri khas dari ke Melayuan. Ciri-ciri dalam
karya tari tersebut adalah tetap mempertahankan norma-norma adat dalam
penciptaannya, dengan Islam sebagai panduan bagi mereka. Dengan kata lain
Islam sebagai agama yang dianut dan norma adat Melayu menjadi dasar dalam
tari-tari Melayu, baik dalam tari tradisi maupun tari-tari kreasi. Hal ini
dikarenakan pada masa lalu pusat-pusat pemerintahan atau kerajaan-kerajaan
Melayu, hampir seluruhnya terletak di tepi sungai atau di tepi pantai, yang
menyebabkan terpengaruhnya kesenian yang mereka miliki dengan
30
masyarakatnya para pendatang yang juga membawa kebudayaannya. Selain itu
suku Melayu juga dulunya ahli berdagang, yang juga memberikan adanya
keterbukaan terhadap pengaruh luar. Salah satu pengaruh besar yang kemudian
meresap dalam bidang religi adalah pengaruh Arab-Islam. Disini kita bisa
melihatnya pada bentuk-bentuk kesenian seperti kesenian Zapin (Gambus),
Kasidah, Rodat (Barodah), dan Zikir Barat adalah pengaruh dari kebudayaan
Islam tersebut (Sinar, 1982:3).
Selain pembagian bentuk-bentuk kesenian seperti di atas, masyarakat
Melayu baik di Sumatera, Kalimantan maupun semenanjung, mengenal istilah
“rentak” yang terdiri atas :
- Rentak Zapin
- Rentak Semenanjung
- Rentak Mak Inang
- Rentak Dua/Joged
- Rentak Pulau Sari
- Rentak Cik Minah Sayang
Penamaan rentak dalam pembagian jenis-jenis tari ini, berdasarkan
penjenisan irama. Hal ini juga dilakukan dalam penamaan tari atau bagian tarian
yang disebut sebagai rentak Senandung, rentak Mak Inang, rentak Lagu Dua, dan
rentak Pulau Sari yang dibedakan atas penjenisan iramanya. Selain itu tari Melayu
ditemukan juga sebagai bagian dari teater Bangsawan yaitu Makyong, Mendi, dan
sebagainya dengan memberikan bobot gerak yang tidak sama namun sejenis. Tari-
31
tari yang dimasukkan dalam teater-teater tersebut disesuaikan dengan cerita/lakon
yang dipertunjukkan.
Dengan demikian, tari-tari tradisi Melayu sama dengan tari tradisi lainnya
di Indonesia yang memiliki ciri-ciri sesuai dengan daerahnya dan akhirnya hal
tersebut yang membedakan tari Melayu dengan tari-tari tradisi lainnya. Menurut
Soedarsono (1976:15) “tari merupakan ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan
dengan gerakan yang ritmis dan indah”. Ungkapan jiwa manusia ini tertuang
dalam bentuk-bentuk tari yang memiliki tujuan sesuai fungsi dan penciptaannya.
Adapun jenis-jenis tari berdasarkan fungsinya menurut Soemardjo (2001:70)
yaitu:
Tarian sakral yang hanya dilakukan atas perintah kepala suku atau pawang yang bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah demi kepentingan seluruh penduduk. Tari adat yang dilangsungkan pada acara keluarga dan tari profan yang bersifat pesta gembira bersama setelah berhasil menyelesaikan suatu masalah demi kepentingan penduduk.
Berbicara mengenai tari Melayu, maka tidak terlepas dari pembicaraan dan
bahasan tentang orang Melayu, sejarah, dan perkembangannya, sehingga dengan
demikian dapat diketahui kejelasan dari tari-tarian Melayu. Penjelasan tentang
keberadaan suku Melayu sudah banyak ditulis oleh para sejarawan, namun tulisan
tentang tari-tari Melayu secara spesifik masih belum begitu banyak didapatkan,
walaupun sudah ada tulisan tentang tari Melayu dari beberapa tulisan berbentuk
skripsi. Dalam tulisannya, Sinar (1976) telah menjelaskan latar belakang tari
Melayu, sejak adanya kerajaan-kerajaan di sebelah Timur Sumatera.
Dengan melihat fungsi tari yang dikemukakan oleh Soemardjo, maka
Soedarsono (1976:9) berpendapat bahwa tari dapat dibagi berdasarkan fungsi
32
menjadi tari yang berfungsi primer dan tari yang berfungsi sekunder. Sedangkan
berdasarkan pola garapannya, tari dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu tari
tradisonal dan tari kreasi baru. Sehingga tari bagi masyarakat Melayu memiliki
posisi seperti yang dikemukakan para pakar diatas. Dimana fungsi sekunder dan
fungsi primer dilakukan dalam aktifitas keseharian di berbagai kegiatan dan
tujuan yang diinginkan, dengan pola penggarapan yang diciptakan berdasarkan
keinginan masyarakatnya.
1.5.1.4.5 Jenis-jenis tari Melayu
Pada penjelasan sebelumnya telah dikatakan bahwa masyarakat Melayu
mengenal istilah tandak yang berarti tari, yang menekankan pada langkah-langkah
kaki; igal, yang menekankan pada gerakan-gerakan tubuh; liuk, yang menekankan
pada gerakan merendahkan tubuh dan mengayunkan badan dan tangan seperti
menggelai dan melayah; dan tari, yang ditandai dengan gerakan lengan, tangan,
dan jari-jari yang lemah gemulai. Istilah tari juga digunakan untuk menyebut tari
Melayu pada umumnya (Sheppard, 1972;82).
Menurut Sheppard, istilah-istilah tari ini dikenal oleh suku Melayu.
Dengan pengistilahan yang dilakukan Sheppard berdasarkan penelitian pada tari-
tari tradisi Malaysia, yang digunakan oleh masyarakatnya secara turun temurun.
Namun istilah-istilah tari ini tidak umum dipahami masyarakat Melayu di pesisir
Sumatera Timur, sehingga pewarisan tari-tari tradisi mngikut sertakan istilah tari
dalam pengajarannya. Begitu pula halnya dengan Tari Inai yang memiliki istilah
dan makna pada setiap geraknya. Akan tetapi pada umumnya, para penggiat tari
33
Melayu dalam pewarisannya lebih menekankan pada pengajaran bentuk gerak,
ragam tari, tanpa mengakrabkan istilah tari tersebut di dalam pengajarannya.
Sehingga banyak seniman tari pada umumnya tidak mengetahui secara pasti dari
istilah-istilah tari Melayu. Hal ini yang menyebabkan pemakaian istilah dalam
gerak-gerak tari tidak dikenal lagi.
Selanjutnya seperti penjelasan diatas, melalui pendapat T. Luckman Sinar
(1982:5-12), jenis-jenis tari Melayu dapat dibagi dalam empat kelompok.
Pertama, kelompok tari yang masih bersifat magis-religius. Tari dipimpin oleh
pawang yang mengucapkan mantra-mantra tertentu, seperti yang dilakukan dalam
upacara mengambil madu lebah, jamu laut, jamu bendang atau dalam tarian
keliling sambil menginjak-injak padi (Ahot-ahot) atau biasa disebut juga dengan
tari “tari ahoi”. Dalam pertunjukan Makyong, pawang mendapat bagian yang
menghadap rebab. Kedua, kelompok tari perang. Tari yang termasuk jenis ini
adalah tari silat dan tari pedang yang ditarikan oleh laki-laki dengan memakai
senjata (pisau, keris, atau pedang). Tarian ini dilakukan untuk menyambut tamu
penting atau untuk mengarak pengantin. Tari Gobuk, yang ditarikan dengan
membawa 2mayang dari pohon kelapa, dengan gerak buai (mengayunkan mayang
seperti menidurkan anak), kemudian penari berjalan di atas gobuk (kendi)
berjumlah 7 atau 9 buah. Tari Inai dengan gerakan silat sambil memegang lilin
yang ditarikan di depan pelaminan dalam “malam berinai besar” termasuk dalam
kelompok ini. Ketiga, tari pertunjukan. Tari ini dibedakan menjadi tari yang
bersifat semi religius dan tari yang semata-mata bersifat hiburan. Barodah dan
2 Buah kelapa yang masih di bungkus pelepah daun, berwarna kuning muda berbentuk kecil-kecil.
34
Zikir Barat yang menyanyikan syair pemujaan kepada Allah dan Rasulullah dalam
bahasa Arab dan bersumber dari kitab Barzanzi masuk dalam tari semireligius.
Adapun tari yang bersifat hiburan semata-mata yaitu zapin. Keempat, kelompok
tari-tari Ronggeng untuk menandak, antara lain tari Lagu Senandung, tari Lagu
Dua, tari Lenggang Mak Inang/Cik Minah Sayang, tari Pulau Sari, tari Patam-
patam, dan tari Persembahan. Tari Lagu Senandung, tari Lagu Dua, tari Lenggang
Mak Inang/Cik Minah Sayang, dan tari Pulau Sari ini sering dilakukan dalam satu
rangkaian dan disebut sebagai tari Melayu “empat serangkai”.
Dengan melihat posisinya sebagai tari yang memiliki arti melindungi
calon pengantin dan tuan rumah dari hal-hal yang mengganggu jalannya upacara
pernikahan. Maka Tari Inai sebagai topik dalam kajian tesis ini, merupakan tari
yang masuk dalam 4 kelompok tari diatas yaitu sebagai kelompok tari perang. Hal
ini berkaitan dengan pendapat yang dikemukakan oleh T. Luckman Sinar diatas.
Keempat jenis kelompok tari di atas, merupakan tari yang dimiliki oleh
suku Melayu, yang dipertunjukkan dalam berbagai acara, seiring dengan pendapat
Narawati dan Soedarsono (2005:15-16) yang membedakan tujuan dari
pertunjukan tari menjadi dua kelompok, yaitu (1) kategori fungsi tari yang bersifat
primer, yang dibedakan menjadi tiga, yaitu : (a) fungsi tari sebagai sarana ritual,
(b) fungsi tari sebagai ungkapan pribadi, dan (c) fungsi tari sebagai presentasi
estetik, dan (2) kategori fungsi tari yang bersifat sekunder, yaitu lebih mengarah
pada aspek komersial atau sebagai lapangan mata pencaharian.
Apabila dikaitkan dengan Tari Inai yang ada di Kota Binjai, maka
berdasarkan penjelasan Narawati dan Soedarsono di atas dapat dimasukkan dalam
35
2 kelompok tari. Sebagai tari yang menjadi acara utama, sehingga fungsinya
menjadi tari yang bersifat primer. Namun Tari Inai akan menjadi tari yang bersifat
komersil, apabila pertunjukannya diposisikan sebagai bisnis. Walaupun fungsinya
masuk dalam kategori upacara, namun setiap upacara perkawinan khususnya pada
acara malam berinai boleh meniadakan Tari Inai dalam materi acara.
1.5.1.4.6 Tari Inai
Tari Inai merupakan tarian Istana yang ditarikan pada masa berkhatan
anak para pembesar-pembesar Istana. Dalam hal ini biasanya tari tersebut
dipersembahkan kepada anak-anak semasa mereka akan dikhatankan dan duduk
diatas pelaminan. Dikhatankan sendiri merupakan bahasa yang sudah ada sejak
dulu, dimana artinya adalah sama dengan sudah siap untuk melakukan pernikahan
ataupun sudah siap untuk jenjang perkawinan dalam sebuah hubungan.
Tari Inai pun sangat terkenal di Perlis, Utara dari Kedah dan juga
Kelantan. Tarian ini jarang dipersembahkan dibanding tarian Istana yang lain,
dikarenakan tarian ini biasanya hanya di tampilkan pada acara-acara khusus
seperti perkawinan, berkhatan, dan juga penabalan ataupun penobatan Raja yang
ada pada zaman tersebut. Tari ini juga merupakan tarian yang sangat penting
keberadaannya pada saat ada peristiwa penting zaman dahulu, karena tidak
sembarang orang juga dapat melihat tarian ini.
Tari Inai adalah tari yang nyaris terdapat di seluruh daerah Melayu di
Sumatera Utara seperti Langkat, Deli, Serdang, Asahan, maupun Labuhan Batu.
Masing-masing masyarakat Melayu di daerah tersebut membentuk Tari Inai
36
sesuai dengan keadaan alam, ungkapan dan falsafah yang dimilikinya. Oleh
karena itu, Tari Inai bisa sangat beragam antara daerah Melayu yang satu dengan
daerah Melayu lainnya juga memiliki persamaan dan perbedaan sendiri. Baik
persamaan ragamnya, istilah geraknya, garis edar pola lantainya, sampai kepada
properti yang digunakannya. Meski demikian keberadaan Tari Inai dimanapun
tetap sama. Yaitu sebagai bagian dari prosesi pemberian tanda yang dinamakan
Inai kepada pengantin wanita.
Tari Inai merupakan salah satu upacara adat masyarakat Melayu di Kota
Binjai yang bisa dikatakan sebagai pelengkap upacara adat, yang dilakukan oleh
golongan masyarakat yang tingkat perekonomiannya relatif baik. Tarian ini
dipertunjukkan saat sub bahagian upacara pernikahan yang disebut dengan malam
berinai. Kesenian inai adalah merupakan seni pertunjukan yang melibatkan dua
unsur yaitu tari dan musik. Tarian ini biasanya hanya dilakukan di rumah
pengantin wanita saja, sedangkan di rumah pengantin pria tidak dilakukan upacara
malam berinai. Hanya saja inai dihantar dari rumah pengantin wanita kerumah si
calon pengantin pria dan menurut adat diadakan tepung tawar kemudian
dilanjutkan pemasangan inai ke kuku jari-jari tangan dan kakinya oleh keluarga
dan teman-teman dekatnya.
1.5.1.5 Masyarakat Melayu
Menurut Koentjaraningrat (1996:119), masyarakat berasal dari kata Arab
“syaraka” yang berarti ikut serta atau berperan serta. Pada sumber yang sama
Koentjaraningrat menegaskan konsep masyarakat adalah kesatuan hidup manusia
37
yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat istiadat tertentu yang sifatnya
berkesinambungan dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Selanjutnya,
Koentjaraningrat juga menulis tentang istilah-istilah khusus untuk menyebutkan
kesatuan khusus dalam masyarakat, yaitu kategori sosial, golongan sosial,
komunitas, kelompok, dan perkumpulan. Konsep masyarakat dan konsep
komunitas saling tumpang tindih, keduanya mengedepankan masyarakat. Konsep
masyarakat lebih umum bagi satu kesatuan hidup manusia yang bersifat mantap
dan terikat oleh satuan adat-istiadat serta rasa identitas bersama, sedangkan
konsep komunitas bersifat khusus, karena adanya ikatan lokasi dan kesadaran
wilayah (Koentjaraningrat, 1996:123).
Kroeber berpendapat, sebenarnya ada dua jenis orang Melayu yang datang
ke Indonesia. Pertama, yaitu mereka yang datang lebih awal dan menetap di
pedalaman. Kedua, yaitu mereka yang datang dan menetap di pesisir (Loeb,
1974). Selanjutnya, R. Heine-Geldern mengatakan bahwa orang Melayu adalah
orang Austronesia yang pada tahun 2000 SM datang ke Indonesia dari daratan
Cina Selatan. Ini merupakan suatu pendapat yang sudah diterima dalam penelitian
tentang latar belakang bahasa Indonesia. Kemudian Marsden dalam Sinar (1976)
memperkuat pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa orang Melayu adalah
penduduk pesisir yang beragama Islam yang dianggap seperti orang Moor di
India.
Masyarakat Melayu adalah salah satu etnis asli yang berdiam di Provinsi
Sumatera Utara, selain etnis Batak Toba, etnis Karo, Etnis Simalungun, etnis
Mandailing, etnis Angkola, etnis Dairi/Pakpak, etnis Nias, dan etnis Sibolga.
38
Dengan demikian konsep masyarakat dan komunitas dapat meliputi kesatuan
hidup manusia di suatu negara, desa, atau kota yang oleh Soekanto (2004:149)
disebut sebagai warga sebuah desa, kota, suku, atau bangsa. Barker (2005:480)
mengatakan bahwa, strategi multikulturalis juga menginginkan citra-citra positif,
tetapi tidak mengusahakan terwujudnya asimilasi. Strategi menganggap semua
kelompok etnis memiliki status yang setara, dengan hak untuk melestarikan
warisan budayanya masing-masing.
1.5.1.6 Adat perkawinan Melayu
Perkawinan merupakan fase kehidupan manusia yang bernilai sakral dan
amat penting. Dibandingkan dengan fase kehidupan lainnya, fase perkawinan
boleh dibilang terasa sangat spesial. Perhatian pihak-pihak yang berkepentingan
dengan acara tersebut tentu saja akan banyak tertuju kepadanya, mulai dari
memikirkan proses akan menikah, persiapannya, upacara pada hari perkawinan,
hingga setelah upacara selesai di gelar.
Adat perkawinan dari berbagai etnis di indonesia kaya akan resam adat
mereka masing-masing, dan ada kalanya adat istiadat mereka terlalu rumit ketika
dilihat. Untuk diketahui, adat istiadat persandingan Melayu juga pada asalnya
agak tertib dan rumit dilaksanakan. Kehalusan estetika bangsa jelas terlihat di
dalam pelaksanaan adat tersebut. Adat istiadat persandingan Melayu harus
mengikuti protokol halus kekeluargaan, seni yang tertib beradat dan kaya
budayanya. Dikarenakan perkawinan merupakan fase kehidupan manusia yang
bernilai sakral dan amat penting dibandingkan dengan fase kehidupan lainnya,
39
sehingga fase perkawinan boleh dibilang terasa sangat spesial. Perhatian pihak-
pihak yang berkepentingan dengan acara tersebut tentu saja akan banyak tertuju
kepadanya, mulai dari memikirkan proses akan menikah, persiapannya, upacara
pada hari perkawinan, hingga setelah upacara selesai di gelar.
Upacara pernikahan yang dilaksanakan oleh masyarakat Melayu
merupakan gabungan dua faktor yang saling melengkapi, yaitu aspek syari’at
sebagaimana yang diajarkan di dalam agama Islam dan aspek adat. Setiap upacara
pernikahan dalam budaya Melayu melibatkan adat-istiadat dan agama yang akan
dilakukan secara tertib dan berurutan dari awal sampai akhir.
Dalam upacara pernikahan masyarakat Melayu, pada umumnya yang
melaksanakan acara malam berinai digunakan untuk berkumpul dengan semua
keluarga dan teman-teman terdekatnya sebagai tanda melepas masa lajang untuk
terakhir kalinya. Kegiatan upacara berinai ini biasanya disertai dengan Tari Inai
dan musik iringannya. Tari Inai dalam kebudayaan Melayu sangat berkaitan erat
dengan upacara pernikahan terutama di saat malam berinai. Diawali dengan
penampilan Tari Inai, kemudian pengantin wanita dipasangkan inai pada kuku
jari-jari tangan dan kakinya oleh kedua orangtuanya, keluarga, dan teman-teman
dekatnya.
1.5.1.7 Kota Binjai
Seperti dikutip dalam Ensiklopedi Indonesia (Shadily, 1992:1878),
dijumpai pengertian kota dalam batasan sosiologi, bahwa “Daerah permukiman
yang ditandai dengan kesatuan bangunan yang dihuni masyarakat non agraris.
40
Sistem kesatuan bangunan dikelompokkan sekitar suatu wilayah kegiatan
ekonomis, pemerintahan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan; demikian pula
orientasi penduduknya”. Berikutnya dalam sumber yang sama dijelaskan tentang
sejarah perkotaan masa lalu di Indonesia menunjukkan bahwa cikal bakal kota-
kota di Indonesia terbentuk dari Kerajaan. Contohnya antara lain Kota
Yogyakarta, Solo, Medan, dan Binjai.
Binjai adalah salah satu kota dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Sebelum berstatus Kotamadya, Binjai adalah ibukota Kabupaten Langkat yang
kemudian dipindahkan ke Stabat. Saat ini Binjai merupakan daerah pertanian dan
juga terkenal dengan peternakannya. Selain itu, wilayah Binjai juga terkenal
dengan seni budayanya. Kawasan ini juga berkembang dengan pesat di sektor
perekonomian, yang memberikan dampak terhadap penduduk yang
menempatinya. Mereka hidup dalam budaya yang heterogen, dilihat dari
masyarakat yang terdapat di daerah Binjai terdiri dari bermacam-macam suku
seperti; Melayu, Jawa, Karo, Nias, Mandailing, Pakpak-Dairi, Batak Toba,
Tionghoa, dan lain-lainnya. Dengan demikian, masyarakat Binjai adalah etnis
Melayu yang sangat terbuka menerima etnis-etnis lain untuk berdampingan hidup
bersama secara sosial dengan mereka.
1.5.1.8 Struktur
Struktur yang dimaksud dalam tulisan ini adalah bagaimana bagian-bagian
yang berhubungan antara satu dengan yang lain, atau bagaimana menyatukan
bagian-bagian tersebut. Dalam konteks struktur Tari Inai, yang akan di diskusikan
41
dalam tulisan ini adalah bagaimana mendeskripsikan gerak yang ada, demikian
juga halnya dengan pola lantai, serta properti dan busana yang digunakan, hal-hal
yang menyangkut nilai adat, nilai agama, atau nilai yang terkait budaya lokal yang
dilambangkan atau diekspresikan.
Dalam penyajiannya, penari Inai biasanya berjumlah genap yakni dua
penari, empat penari, maupun enam penari yang menggunakan properti piring
yang telah diberi inai diatasnya. Hal ini disebabkan dalam tarian ini akan
menggunakan gerakan silat yang saling berlawanan, sehingga membutuhkan
pasangan untuk melakukannya. Tari Inai diawali dari posisi depan, sebelum
memulai tarian dilakukan penghormatan kepada pengantin dan para tamu, yang
kemudian dilanjutkan dengan melakukan gerakan silat yang bersifat refleks dan
saling berlawanan (saling mengisi gerakan dan ruangan yang kosong antara penari
yang satu dengan penari yang lainnya). Tari Inai juga menggunakan istilah-istilah
gerak tertentu yang dari tahun ke tahun mengalami perubahan dan terdapat
gerakan-gerakan variatif sesuai ide para penari. Gerakan-gerakan tersebut
menggambarkan sebagai lentera yang selalu menerangi pengantin di sepanjang
perjalanannya, dalam mengharungi hidup berumah tangga pada masa yang tidak
lama lagi.
1.5.1.9 Makna
Makna digunakan untuk menyampaikan suatu pesan. Pemancaran makna
dan pesan itu melibatkan semua bentuk perlakukan dan konteks kewujudannya
(Innis,1985:10-111). Pengirim akan memilih lambang-lambang tertentu dan
42
disusun secara sistematis untuk mewujudkan makna tertentu (Berlo, 1960:269).
Karena pengirim bebas memilih lambang-lambang yang hendak digunakan, maka
makna bersifat subyektif.
Sedangkan Smith (1985:310), berpendapat bahwa “tanpa suatu kompleks
simbol, pikiran relasional tidak akan mungkin terjadi. Manusia memiliki
kemampuan untuk mengisolasi hubungan-hubungan dan mengembangkannya
dalam makna abstrak”. Smith (1985:290), juga mengungkapkan dalam suatu
tulisan tentang manusia sebagai makhluk yang mampu menggunakan simbol,
menunjuk pentingnya konteks dalam makna simbol.
Semua obyek apapun tentang hasil kebudayaan yang mempunyai makna
dapat disebut simbol. Semua komunikasi manusia adalah penampakan simbol atau
tanda-tanda, sesuatu dari teks yang dibaca. Sebuah simbol adalah sesuatu yang
merepresentasikan atau berdiri sebagai sesuatu yang lain dalam pikiran seseorang.
Sebuah simbol adalah sesuatu yang merepresentasikan atau berdiri sebagai
sesuatu yang lain dalam pikiran seseorang. Sebuah simbol terdiri dari contoh;
ekspresi, seperti kata, suara, gerak atau simbol lain dan isi, atau sesuatu yang
dipandang sebagai penyelesaian makna ekspresi (Hjemslev, 1961).
Menurut Spradley, semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan
simbol-simbol. Simbol yang mengacu pendapat Spradley (1997:121) adalah objek
atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Semua simbol melibatkan
tiga unsur ; pertama, simbol itu sendiri. Kedua, satu rujukan atau lebih. Ketiga,
hubungan antar simbol dengan rujukan. Semuanya itu merupakan dasar bagi
43
keseluruhan makna simbolik. Sementara itu, simbol sendiri meliputi apapun yang
dapat kita rasakan atau alami.
Simbol atau tanda dapat dilihat sebagai konsep-konsep yang dianggap oleh
manusia sebagai pengkhasan sesuatu yang lain. Suatu simbol menstimulasi atau
membawa suatu pesan yang mendorong pemikiran atau tindakan. Simbol adalah
objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tulis yang diberi makna oleh
manusia. Bentuk primer simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Tetapi
manusia juga berkomunikasi melalui tanda dan simbol dalam bentuk lain seperti
lukisan, tarian, musik, arsitektur, pakaian, perhiasan, dan lain-lain.
Begitu juga yang terdapat pada masyarakat Melayu Binjai yang penuh
dengan kepercayaan terhadap simbol-simbol. Salah satu contohnya pada Tari Inai
ini banyak simbol-simbol yang muncul di dalamnya. Dari bentuk busana hingga
properti yang digunakan di dalam Tari Inai juga mengandung makna tertentu.
Begitu pun dengan gerakan-gerakan tari yang dilakukan dalam Tari Inai serta
musik pengiringnya juga terdapat simbol yang bermakna.
Tari merupakan komunikasi nonverbal yang lebih banyak
menonjolkan gerak yang memiliki makna. Gerak tersebut dikomunikasikan
dengan penonton sehingga penonton tidak bisa secara langsung memahami apa
yang menjadi tujuan gerak. Gerak hanya perlambang dalam komunikasi. Hal
ini dikatakan oleh Liliweri (2002:178) bahwa komunikasi nonverbal merupakan
komunikasi melalui pernyataan wajah, nada suara, isyarat-isyarat, dan kontak
mata.
44
Sebagai contoh dalam Tari Inai, seorang pemain kalau tidak hati-hati atau
terlalu sombong, akan mendapat hukuman, yaitu dapat terjatuh pada saat
melakukan gerakan ataupun menjatuhkan properti sehingga tidak mampu hadir
kembali di arena Tari Inai. Gerak yang tidak menyentuh lawan juga
merupakan simbol. Akan tetapi, gerakan-gerakan tersebut merupakan gerakan
menyerang dan bertahan seperti halnya silat biasa. Namun, dalam Tari Inai
gerak itu hanya dari jarak jauh dan ini merupakan fakta nyata, dan
termasuk dalam dicent-indexical-sinsign (sebuah gerak yang muncul dan
memerlukan penjelasan atas gerak tersebut dalam Tari Inai).
Dalam suatu sistem budaya dapat ditemui empat perangkat simbol yang
masing-masing mempunyai fungsi tersendiri bagi manusia-manusia yang
bersangkutan dalam tindakan antar mereka. Keempat perangkat simbol tersebut
dikemukakan oleh Hidajat (2011:16), yaitu :
1. Simbol-simbol konstitutif yang terbentuk sebagai kepercayaan-kepercayaan
yang biasanya merupakan inti dari agama.
2. Simbol-simbol kognitif yang membentuk ilmu pengetahuan.
3. Simbol-simbol penilaian moral yang membentuk nilai-nilai dan aturan-aturan.
4. Simbol-simbol pengungkapan perasaan atau simbol-simbol ekspresif.
Para strukturalis merujuk pada de Saussure, melihat tanda sebagai
pertemuan antara bentuk dan makna. Terkait hal yang dikemukakan oleh De
Saussure dalam Sumandiyo (2003:3-4), hubungan antara bentuk dan makna tidak
bersifat pribadi, tetapi sosial, yakni didasari oleh kesepakatan (konvensi) sosial.
De Saussure menggunakan istilah signifiant (signifier, ing; penanda, ind.) untuk
45
segi suatu tanda, dan signifie (signified, ing; petanda, ind.) untuk segi maknanya.
Dengan demikian mereka melihat tanda sebagai sesuatu yang menstruktur (proses
pemaknaan berupa kaitan antara penanda dan petanda) dan terstruktur (hasil
proses tersebut) di dalam kognisi manusia.
Dalam teori de Saussure, signifiant bukanlah bunyi bahasa secara konkrit,
tetapi merupakan citra tentang bunyi bahasa (image acoustique). Dengan
demikian, apa yang ada dalam kehidupan kita dilihat sebagai bentuk yang
mempunyai makna tertentu. Bahasa yang disampaikan, diungkapkan, dan
digambarkan melalui bahasa gerak tubuh para penari. Secara umum gerak tari
yang dilakukan mengungkapkan suatu maksud di dalamnya. Gerakan-gerakan
pada tari ini memiliki makna yang berbeda apabila gerak-gerak tersebut dilakukan
di daerah lain dengan bentuk gerak dan tempo yang berbeda pula.
Selain itu secara khusus Susanne K. Langer memang membuat teori dasar
mengenai simbol untuk teori simbol presentasional, dari sana ia mendefenisikan
seni sebagai “kreasi bentuk-bentuk simbolis perasaan manusia”. Defenisi seni
ini mengimplikasikan beberapa hal :
1. Seni merupakan kreasi. Kreasi berarti pengadaan sesuatu yang tadinya
tidak ada.
2. Rumusan bentuk simbolis. Bentuk simbolis tidak mengacu pada
pengalaman sendiri secara langsung melainkan pengalaman yang sudah
disimbolkan.
Bentuk virtual karya seni merupakan bentuk yang hidup (living
form). Disebut bentuk yang hidup karena mengekspresikan kehidupan,
46
pertumbuhan, gerak, dan sebagainya. Seni sebagai bentuk yang hidup dapat
ditemukan dalam segala jenis kesenian. Contohnya desain dekoratif yang
menunjukkan perasaan hidup menjadi bentuk dan warna yang terlihat.
Dengan mengacu pada pendapat Langer, seni juga seperti ilmu
pengetahuan. Seni membawa isi dunia emosi, namun tidak hanya memberikan
kesenangan bagi pengamatnya. Melainkan menanamkan pemahaman konsep
keindahan bagi pengamat (Langer, 1951:76,80,81).
Dalam tulisan ini yang dimaksud Tari Inai adalah tari yang nyaris terdapat
di seluruh daerah Melayu di Sumatera Utara seperti Langkat, Deli, Serdang,
Asahan, maupun Labuhan Batu. Masing-masing masyarakat Melayu di daerah
tersebut membentuk Tari Inai sesuai dengan keadaan alam, ungkapan dan falsafah
yang dimilikinya. Oleh karena itu, Tari Inai bisa sangat beragam antara daerah
Melayu yang satu dengan daerah Melayu lainnya juga memiliki persamaan dan
perbedaan sendiri. Baik persamaan ragamnya, istilah geraknya, garis edar pola
lantainya, sampai kepada properti yang digunakannya. Tari Inai tidak di temukan
hadir dalam acara-acara hiburan, karena Tari Inai membawa lambang dan simbol
tertentu melalui gerak dan properti yang dibawakan oleh penari.
Jika mengkaji keseluruhan teori yang dikemukakan diatas, maka setiap
simbol akan senantiasa memiliki makna, baik yang tersirat maupun yang tersurat,
sehingga Tari Inai pada upacara malam berinai masyarakat Melayu Kota Binjai
tentunya memiliki simbol dan makna yang menarik untuk dianalisis, ditafsirkan,
dan dijelaskan.
47
1.5.2 Teori
Untuk mengkaji dan memecahkan permasalahan makna yang terkandung
di dalam simbol-simbol estetik dan fenomena budaya yang terdapat pada kesatuan
pertunjukan Tari Inai, penulis berpedoman pada beberapa teori yang berhubungan
dengan permasalahan yang akan dibahas. Marckward et al (1990:302),
berpendapat bahwa teori memiliki tujuh pengertian, yaitu: (1) sebuah rancangan
atau skema yang terdapat dalam pikiran saja, namun pada prinsip-prinsip
verifikasi dengan cara eksperimen atau pengamatan; (2) sebuah bentuk prinsip
dasar ilmu pengetahuan dan penerapan ilmu pengetahuan; (3) abstrak pengetahuan
yang selalu dilawankan dengan praktik; (4) penjelasan awal atau rancangan
hipotesis, sebagai ide atau yang mengarahkan seseorang; (5) spekulasi atau
hipotesis, sebagai ide atau yang mengarahkan seseorang; (6) dalam matematika
berarti sebuah rancangan hasil atau sebuah bentuk teorema, yang menghadirkan
pandangan sistematis dari beberapa subjek; dan (7) ilmu pengetahuan tentang
komposisi musik, yang membedakannya dengan seni yang dilakukan atau seni
yang di eksekusi.
Pentahapan yang dilakukan dalam langkah analisis ini diadopsi dari Miles
dan Huberman (1984), yaitu mereduksi data, memaparkan bahan empirik, dan
menarik kesimpulan serta memverifikasikan. Reduksi data dimaksudkan
melakukan penyederhanaan, pengabstrakan dan mentransformasikan data yang
masih kasar dari beberapa catatan di lapangan yang dilakukan sejak awal
pengumpulan data. Dengan tahap ini dimaksudkan dapat menggolongkan,
48
mengarahkan, membuang yang tidak perlu hingga dapat mengorganisir data yang
sangat diperlukan.
Pemaparan, adalah menyajikan data yang telah direduksi dalam bentuk
bahan yang diorganisir melalui ringkasan terstruktur, diagram, matrik maupun
sinopsis dan beberapa teks. Dengan cara ini dapat membantu menyusun analisis
yang dikehendaki, dan diarahkan kepada supaya merumuskan temuan konsep.
Tahap penarikan kesimpulan dan verifikasi, dugunakan untuk menyusun
penafsiran makna dari sajian/pemaparan data, kemudian memverifikasikannya.
Untuk meyakinkan keabsahan hasil penarikan kesimpulan, maka diperlukan
tinjauan atau periksa ulang hasil verifikasi dengan melihat kembali ke lapangan,
mendiskusikan secara informal maupun formal melalui seminar atau sarasehan.
Diharapkan dengan menggunakan cara ini hasilnya benar-benar dapat teruji
sehingga memiliki derajad kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas, maupun
tingkat konfirmabilitas seperti yang telah disebutkan terdahulu. Perhatikan skema
langkah proses analisis di atas sebagai berikut.
Skema 1: analisa data
Pengumpulan dan pemeriksaan data di
lapangan
Pemaparan data, ringkasan, terstruktur,
diagram, teks
Reduksi data, penyederhanaan, pengabstrakan, penggolongan
Penarikan kesimpulan penafsiran dan verifikasi
49
Data yang terkumpul selama penelitian berlangsung, dianalisis setiap
waktu secara induktif dengan mengolah bahan empirik (synthesizing), tujuannya
agar dapat disederhanakan ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca, dipahami,
dan diinterpretasikan. Interpretasi data yang bersifat kualitatif dimaksudkan guna
mencari makna dan implikasi hubungan yang ada (contextual analysis).
Analisis induktif dimulai dengan merumuskan terlebih dahulu sejumlah
permasalahan ke dalam beberapa pertanyaan atau issue spesifik yang dijadikan
tujuan penelitian. Beberapa pertanyaan yang menjadi permasalahan utama telah
dikemukan dalam perumusan masalah, tetapi pertanyaan-pertanyaan issue spesifik
yang lain dapat digali melalui wawancara bebas, atau observasi partisipatoris di
lapangan, sehingga dapat mengumpulkan ungkapan kognitif, emosional atau
intuisi dari para pelaku atau aktor yang terlibat (Hadi, 2006: 78-80). Data tersebut
diusahakan dirangkum secara diskriptif untuk membantu menemukan konsep-
konsep indigenous atau keaslian yang diungkapkan oleh subyek penelitian
sendirisesuai dengan realitasnya (Patton, 1990: 390). Dengan cara ini akan dapat
menyajikan realitas yang sebenarnya nyata (emik) sebagaimana yang diharapkan
dalam penelitian kualitatif.
Usaha supaya mampu menganalisis dengan penuh arti pada topik yang
tengah dikaji, selanjutnya melakukan berbagai abstraksi mengenai apa yang
sesungguhnya tengah terkaji di lapangan, maka diperlukan pegangan teori. Oleh
sebab itu beberapa konsep ataupun teori yang telah dikemukakan akan digunakan
untuk menganalisis struktur, mendeskripsikan gerak Tari Inai, musik iringan, dan
makna Tari Inai, penulis menggunakan teori yang berhubungan dengan judul
50
diatas dan dianggap relevan. Teori yang dimaksud sesuai dengan pendapat
Koenjaraningrat (1990:30), yaitu bahwa pengetahuan yang diperoleh dari buku-
buku, dokumen-dokumen, serta pengalaman kita sendiri merupakan landasan dari
pemikiran untuk memperoleh pengertian tentang suatu teori bersangkutan.
Dengan demikian teori adalah pendapat yang dijadikan acuan dalam menganalisis
permasalahan keilmuan yang ditemui pada tulisan ini.
1.5.2.1 Teori struktur
Dalam meneliti struktur Tari Inai, penulis akan menganalisis dan
mendeskripsikan bagaimana gerakan-gerakan yang terdapat dalam Tari Inai.
Penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari maupun dari
kelompok penari bersama. Ditambah dengan penyesuaian ruang, sinar, warna, dan
seni sastranya, semuanya merupakan suatu pengorganisasian seni tari yang
disebut koreografi (Djelantik, 1990:23). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan
koreografi adalah gerakan-gerakan yang dilakukan para penari pada upacara
perkawinan masyarakat Melayu. Memiliki ciri-ciri khas tertentu dari bentuk tarian
etnik lain yang dapat dilihat dan dinikmati oleh pelaku dan penontonnya.
Gerakan-gerakannya terpola di dalam aturan-aturan adat dan nilai keindahan
setempat yang dilakukan secara simbolis serta memiliki makna-makna sendiri.
Landasan teori ini akan difungsikan untuk mempertajam analisis untuk
mengembangkan kepekaan atas fenomena di dalam eksistensi Tari Inai dalam
kesatuan seni upacara malam berinai. Semua hasil-hasil penelitian tersebut akan
menjadi bahan acuan serta bahan pertimbangan di dalam penulisan tesis ini.
51
Dengan demikian penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menguji maupun
membuktikan suatu teori, melainkan sebagai alat untuk memaknakan realitas dan
data yang tengah dihadapi dan dikaji agar mampu menganalisis dengan penuh
kritik (Strauss, 1990: 23, Hadi 2006: 50). Menelaah tekstual kesenian adalah
memandang kesenian sebagai sebuah ‘teks’ untuk dibaca, untuk diberi makna,
atau untuk dideskripsikan strukturnya, bukan untuk dijelaskan atau dicarikan
sebab musababnya. Paradigma yang digunakan disini jika bukan hermeneutik
adalah struktural. Pendapat yang hampir sama juga diuraikan oleh Y. Sumandiyo
Hadi (2007:23) dalam bukunya yang berjudul Kajian Tari Teks dan Konteks
bahwa kajian tekstual artinya fenomena tari dipandang sebagai bentuk fisik (teks)
yang relatif berdiri sendiri, yang dapat dibaca, ditelaah atau dianalisis secara
tekstual atau ‘men-teks’ sesuai konsep pemahamannya. Semata-mata tari
merupakan bentuk atau struktur yang nampak secara empirik dari luarnya saja
atau surface structure tidak harus mengaitkan dengan struktur dalam (deep
structure). Adanya suatu kesamaan dalam menganalisa Tari Inai secara tekstual,
maka berangkat dari pemahaman di atas, paradigma yang digunakan dalam
menganalisis tekstual Tari Inai adalah analisis komposisi yang akan
mendeskripsikan bagaimana uraian mengenai beberapa elemen yang dimiliki Tari
Inai antara lain: penari, gerak, pola lantai, properti, busana, musik iringan, dan
pendukung pertunjukan.
Budiman (1999: 111-112), berpendapat bahwa strukturalisme adalah cara
berpikir tentang dunia yang secara khusus memperhatikan persepsi dan deskripsi
mengenai struktur, yaitu di dalamnya akan menitikberatkan pada usaha mengkaji
52
fenomena seperti mitos, ritual, relasi-relasi kekerabatan dan sebagainya.
Disamping itu, strukturalisme memandang beberapa dokumen sebagai obyek fisik
aktual atau tersusun secara konkrit, sebagai “teks”, fenomena teoritis yang
dihasilkan oleh definisi-definisi dan operasi-operasi teoritis (Foucoult, 1973: 47).
Strukturalisme pada hakikatnya adalah sebuah metode komparatif, sebab
strukturalisme berusaha menemukan isomorfim dalam dua atau lebih isi. Sekali
unit-unit, bagian-bagian, atau elemen-elemen itu dipisahkan secara analitis,
mereka dapat digabungkan, digabungkan ulang, dan ditransformasikan untuk
menciptakan model-model baru. Strukturalisme berusaha untuk mengidentifikasi
elemen-elemen menyeluruh melalui prosedur-prosedur sistematis, dimana metode
analisis adalah strukturalis ketika makna, menurut obyek yang dianalisis, diambil
bergantung pada susunan bagian-bagiannya.
Menurut teori, strukturalisme bekerja dengan sistem makna tertutup yang
elemen-elemennya dapat diperoleh dan dipisahkan menurut beberapa prinsip atau
aturan. Dengan demikian fenomena-fenomena semacam itu dapat dipahami
sebagai sistem penandaan atau simbol yang terbuka untuk dikaji.
Fenomena tari dapat dilihat sebagai fenomena kebahasaan karena
keberadaan tari pada dasarnya adalah ekspresi, perwujudan, atau simbolisasi dari
pandangan atau perasaan-perasaan manusia. Pandangan dan perasaan ini ingin
dikomunikasikan, disampaikan kepada orang lain (penonton). Jadi pertunjukan
tari sebenarnya adalah juga wahana komunikasi seperti bahasa. Suatu tarian dapat
dijelaskan sebagai suatu totalitas dimana elemen-elemen strukturalnya
mempunyai pola tata urutan tertentu sesuai dengan konteks budayanya. Seperti
53
Andrianne Kaeppler Gyorgy Martin dan Erno Pesovar yang meneliti tarian
dengan tujuan untuk pendokumentasian. Hasil penelitiannya berupa
pengklasifikasian gerak. Berpujak dari hasil penelitian tersebut, Andrianne
Kaeppler menyusun sebuah teori struktur gerak tari dengan menganalogikan gerak
tari sebagai struktur bahasa atau sebanding dengan fonem dalam bahasa. Dalam
analisis struktural tari itu pada tingkat pertama Kaeppler menyebut unsur elemen
kinetic (gerak); tingkat kedua menggunakan istilah kinemic atau morphokinemic,
yaitu berdasarkan gerak yang sudah dikenal, artinya unit terkecil yang memiliki
makna dalam struktur sebagai sistem gerak; tataran atau tingkat ketiga dengan
istilah motifs, yaitu mengkombinasikan unit-unit terkecil dengan cara khusus
sebagai gerak tari sesuai dengan konteks budayanya. Tingkat keempat atau
terakhir dalam organisasi gerak tari itu disebut struktur tari secara utuh (lihat
Royce, 1977:64-85, Hadi, 2007:81-84).
Gerak merupakan materi baku dan paling mendasar di dalam tari. Gerak
tersebut dipergunakan sebagai media untuk mengungkapkan ekspresi dan
mediumnya adalah tubuh manusia. Ungkapan ekspresi melalui gerak tersebut
merupakan suatu pernyataan imajinatif yang dituangkan dalam bentuk simbol-
simbol. Karena simbol-simbol ini berupa gerak, maka di dalam konteks
koreografi, gerak merupakan sesuatu yang sangat esensial. Sedangkan perwujudan
simbol-simbol merupakan kemanunggalan dari pola imajinasi manusia dengan
kenyataan indrawi atau kasat mata. Gerak dapat berfungsi tidak saja karena
koordinasi berbagai faktor, tetapi juga karena fungsi ritmis dari struktur tubuh.
54
Atas dasar gerak-gerak alamiah yang tidak perlu dilatih, gerak tari berkembang
menuju bentuk perwatakannya dan nilai ekspresifnya.
Dalam struktur gerak tari, gerak dibaca sebagai teks, yang memiliki tataran
hirarki sebagaimana struktur bahasa. Tataran yang tertinggi dalam hirarki struktur
kebahasaan dapat dikatakan sebagai bentuk atau wujud karangan. Identik dengan
itu, struktur teks tari tersusun dari gerak yang diwujudkan untuk menghasilkan
“bentuk” secara keseluruhan? Kata “bentuk” dipakai oleh semua cabang seni
untuk menerangkan sistem di dalam kehadiran cabang seni. Gagasan atau emosi
menjadi terwujud jika dikomunikasikan lewat bentuk. Bentuk adalah aspek estetis
yang dikomunikasikan dan dilihat secara visual oleh penonton. Penonton tidak
melihat elemen-elemennya tetapi melalui kesan yang mengikat secara
menyeluruh. Hal ini relevan khususnya buat seni waktu seperti musik, teater, dan
tari.
Bentuk sesungguhnya dapat didefinisikan sebagai hasil pernyataan
berbagai macam elemen yang didapatkan secara kolektif melalui vitalitas estetis.
Dengan demikian hanya dalam pengertian inilah elemen-elemen tersebut dihayati
keseluruhan menjadi lebih besar dari jumlah bagian-bagiannya. Proses penyatuan
dimana bentuk yang dicapai tersebut dinamakan komposisi.“Bentuk” merupakan
sesuatu yang dapat dibedakan dari materi yang ditata (Smith, 1985: 6). Bentuk tari
merupakan hasil keseluruhan di dalam koreografi. Dengan demikian, bentuk
adalah wujud dari rangkaian-rangkaian gerak atau pengaturan laku-laku. (Elfeldt,
1967). Rangkaian-rangkaian gerak yang dimaksud adalah keselarasan hubungan
55
antara motif gerak satu dengan motif gerak yang lainnya, secara hirarkis atau
susunan yang berjenjang (Wido, 1992: 9).
Dalam antropologi budaya, analisis seni dan kesenian dapat menggunakan
beberapa paradigma. Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan struktural
ini, Tari Inai akan dikaji secara tekstual yang relatif berdiri sendiri dan secara
kontekstual sosial budaya masyarakat Kota Binjai tempat hidup dan
berkembangnya kesenian Tari Inai. Konteks dapat dipahami melalui teks atau
wujud fisiknya. Dengan demikian teks dan konteks merupakan satu kesatuan yang
tak terpisahkan, Ahimsa (1977) menyebutnya sebagai teks dalam konteks.
Di sisi lain, Musik dan tarian merupakan fenomena yang berbeda tetapi
dapat bergabung apabila terdapat aspek yang sama mengkoordinasikannya. Musik
adalah rangkaian ritmis nada, sedangkan tarian adalah merupakan rangkaian
ritmis dan pola gerak tubuh (Wimbrayardi, 1988:13-14). Aspek dasar yang
menghubungkan keduanya adalah waktu, yaitu gerak ritmis (musik dan tari) dan
tempo. Musik merupakan audio (bunyi) yang tidak terlihat, dan tari merupakan
fenomena audio (bunyi) yang tidak terdengar. Baik musik dan tari bergerak
didalam ruang dan waktu (Sachs, 1993:1-4 dan Blacking 1974:64-74) serta dapat
dirasakan melalui getaran yang dihasilkannya.
Untuk mendeskripsikan musik iringan Tari Inai dan menganalisis
hubungan musik pengiring dengan gerak Tari Inai, dalam hal ini penulis akan
menggunakan teori Nettl (1964:98) yang memberikan dua pendekatan yaitu : 1).
Kita dapat menguraikan dan menganalisis apa yang kita dengar, 2). Kita dapat
menulis apa yang kita dengar tersebut diatas kertas dan kita dapat
56
mendeskripsikan apa yang kita lihat tersebut. Kemudian penulis akan
menggambarkan musiknya secara sederhana melalui tabel bersama gerak tari yang
telah dideskripsikan, dan diharapkan dapat mewakili hubungan Tari Inai dan
musik pengiring tersebut.
1.5.2.2 Teori semiotik
Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti ‘tanda’
(Sudjiman dan Van Zoest, 1991:12). Teori semiotika adalah sebuah teori
mengenai lambang yang dikomunikasikan. Teori ini lazim dipergunakan dalam
berbagai ilmu termasuk kajian seni pertunjukan, yang difungsikan dalam usaha
untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui
sistem simbol yang membangun sebuah karya seni.
Dua tokoh semiotika adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa
dari Switzerland dan Charles Sanders Pierce, seorang filosof dari Amerika
Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa
itu terdiri daripada sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang
berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi
tersendiri.
Pierce menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri
daripada tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat
(interpretant), dan (3) obyek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus
memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton, sebagai pengantar
lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses
57
penciptaan. Pierce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori, ikon,
indeks, dan simbol. Apabila lambang tidak menyerupai yang dikembangkan,
seperti foto, maka disebut ikon. Jika lambang tidak menyerupai yang
dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia,
atau harimau melambangkan negara Malaysia, maka disebut dengan simbol atau
lambang.
Panuti Soedjarman dan Van Zoest (1992) menyatakan bahwa semiotika
berarti tanda atau syarat dalam satu sistem lambang yang lebih besar. Manakala
bidang pragmatik mengkaji kesan penggunaan lambang terhadap proses
komunikasi. Dengan menggunakan pendekatan semiotik, seseorang boleh
menganalisis makna yang tersurat dan tersirat di balik penggunaan lambang.
Penggunaan lambang, pemaknaan pesan, dan cara penyampaiannya (Eco
1979:15:Littlrjohn, 192:64:Manning,1987:26:Brathers,1967:79). Lambang itu
mewakili obyek yang dilambangkan. Dengan itu, makna lambang hanya wujud
dalam minda interpretan setelah interpretan menghubungkan lambang dengan
obyek.
Hubungan antara pemikiran, lambang dan obyek yang dirujuk itu yang
menghasilkan makna (Littlejohn, 1992). Oleh karena hubungan dengan obyek
bersifat arbitari (Supardy, 1990:29), pengertian terhadap suatu lambang juga
berubah-ubah dari masa ke masa mengikuti keadaan dan kehendak masyarakat.
Makna digunakan untuk menyampaikan suatu pesan. Pemancaran makna
dan pesan itu melibatkan semua bentuk perlakukan dan konteks kewujudannya
(Innis,1985:10-111). Pengirim akan memilih lambang-lambang tertentu dan
58
disusun secara sistematis untuk mewujudkan makna tertentu (Berlo, 1960:269).
Karena pengirim bebas memilih lambang-lambang yang hendak digunakan, maka
makna bersifat subyektif. Oleh karena itu hubungan antara lambang dengan obyek
yang dilambangkan adalah berdasarkan imej suatu obyek (Littlejohn, 1992:64).
Minda penerima harus menafsir (Blumer, 1962:2:Brathers,1967:44) lambang yang
digunakan oleh pengirim pesan. Penafsiran penerima terhadap makna lambang
bergantung kepada situasi dan juga konteks (Eco,1979:15). Dalam hal ini cara
pengirim menggunakan lambang sangat penting untuk merangsang pikiran
penerima dalam mengkonseptualisasikan obyek (Elam,1983:1, Anderson,1988:16,
Panuti Sudirman dan van Zoest, 1992:27). Rangsangan itu juga sangat penting
karena lambang mempunyai makna yang versatil yakni setiap lambang boleh
membawa makna konotatif pada suatu rasa, dan pada masa dan ruang yang lain
dapat membawa makna denotatif bergantung kepada konteksnya.
Pengkajian semiotika di bidang estetis mencakup semua jenis seni, yaitu
seni bangunan, teater, lukis, pahat, ukir, patung, seni rupa, seni sastra, seni
suara, musik, tari, arsitektur, interior, batik, dan sebagainya (Santosa, 1993:20).
Jacques Maquet (1986:98) menjelaskan semiotika Peirce dalam
bukunya yang berjudul The Aesthetic Experience: An Anthropologist Looks at
the Visual Arts sebagai berikut.
Peirce’s icons include images, maps, and diagrams. Our notion of image agrees with his accptation of this term. For him, in “maps” and “diagrams” the similarity of sign and signified derives from internal organization and not from visual appearance. Peirce’s symbol is a conventional sign. In our use, referent corresponds to what calls symbol. We part company with Peirce and his followers in the social sciences on this important matter. Signification by
59
participation is an essential type of relationship in the aesthetic field, and the word symbol was and still is used to denote it in the tradition of the humanities. This tradition is expressed in many important works. For instance, the used symbols as nonconventional signs is constant in Jung. In the dictionary compiled by the members of the Societe francaise de Philosophie, the symbolic relationship is described as natural, and syimbol, as a sign “opposed to artificial sign in that it possesses an internal power of represetation; for example, the serpent biting its tail as symbol of eternity”. Peirce’s index “which refers to the Object that it denotes by virtue of being really affected by that Object” is a concept between indicator and symbol in our terminology. Like our indicator, the index is firmly associated to its signified, but like our symbol, it is connatural to it. For Peirce, the height of a mercury column in a thermometer is an index of temperature, and the symptoms of a disease are indices of that disease.
Sebagai contoh dalam Tari Inai, seorang pemain kalau tidak hati-hati atau
terlalu sombong, akan mendapat hukuman, yaitu ia terjatuh dan takut hadir di
arena Tari Inai. Gerak yang tidak menyentuh lawan juga merupakan simbol.
Akan tetapi, gerakan-gerakan tersebut merupakan gerakan menyerang dan
bertahan seperti halnya silat biasa. Namun, dalam Tari Inai gerak itu hanya
dari jarak jauh dan ini merupakan fakta nyata, dan termasuk dalam dicent-
indexical-sinsign (sebuah gerak yang muncul dan memerlukan penjelasan atas
gerak tersebut dalam Tari Inai).
Teori semiotika digunakan untuk melihat dampak dan makna
dinamika Tari Inai pada masyarakat Kota Binjai. Pembahasan penelitian ini
diarahkan pada rumusan masalah ketiga, yaitu apakah dampak dan makna relasi
dalam dinamika Tari Inai pada masyarakat Kota Binjai, Sumatera Utara.
Tari merupakan komunikasi nonverbal yang lebih banyak
menonjolkan gerak yang memiliki makna. Gerak tersebut dikomunikasikan
60
dengan penonton sehingga penonton tidak bisa secara langsung memahami apa
yang menjadi tujuan gerak. Gerak hanya perlambang dalam komunikasi. Hal
ini dikatakan oleh Liliweri (2002:178) bahwa komunikasi nonverbal merupakan
komunikasi melalui pernyataan wajah, nada suara, isyarat-isyarat, dan kontak
mata.
Di samping semiologi Charles Sanders Pierce, kajian ini juga ditunjang
oleh semiotika Langer, seorang filsuf, memikirkan simbolisme yang menjadi inti
pemikiran filosofi karena simbolisme mendasari pengetahuan dan pemahaman
semua manusia. Tanda (sign) adalah sebuah stimulus yang menandakan
kehadiran dari suatu hal. Dengan demikian, sebuah tanda berhubungan erat
dengan makna dari kejadian sebenarnya. Hubungan sederhana ini disebut
pemaknaan (signification). Simbol adalah konseptualisasi manusia tentang
suatu hal, sebuah simbol untuk sesuatu. Sebuah simbol atau kumpulan simbol-
simbol bekerja dengan menghubungkan sebuah konsep, ide umum, pola, atau
bentuk. Menurut Langer, konsep adalah makna yang disepakati bersama-
sama di antara pelaku komunikasi.
Teori simbol yang diciptakan oleh Susanne K. Langer, penulis Phylosophy
in a New Key ini sangat terkemuka dan sangat bermanfaat. Teori Langer
bermanfaat karena teori ini menegaskan beberapa konsep dan istilah yang biasa
digunakan dalam bidang komunikasi. Teori ini memberikan sejenis standarisasi
untuk tradisi semiotik dalam kajian komunikasi.
Langer yang seorang ahli ilmu filsafat menilai simbol sebagai suatu hal
yang sangat penting karena simbol penyebab dari semua pengetahuan dan
61
pengertian yang dimiliki manusia. Gagasan utama dari pemikiran Langer yaitu
bahwa semua binatang yang hidup di dominasi oleh perasaan, tetapi perasaan
manusia dimediasikan oleh konsepsi, simbol dan bahasa. Binatang merespon
tanda, tetapi manusia menggunakan lebih dari sekedar tanda sederhana dengan
menggunakan simbol. Sebuah tanda berkaitan erat dengan makna dari
kejadian sebenarnya. Hubungan ini disebut (Sratification). Sebuah simbol
adalah sebuah “instrument pemikir”, simbol merupakan konseptualisasi manusia
tentang suatu hal, sebuah simbol ada untuk sesuatu (Littlejohn, 2011:89).
Ada perbedaan antara menggunakan simbol-simbol atau hanya
menggunakan tanda-tanda. Penggunaan tanda-tanda adalah manifestasi
pertama dari pikiran (Langer,1951:35).
Seni tidak di lihat dari manfaat atau fungsinya melainkan dari apa yang
terkandung dan dimiliki oleh seni itu sendiri. Sebelumnya, Langer melihat
bahwa ada sangat banyak teori mengenai seni dan adanya kencenderungan
untuk menjadi paradoks. Yakni ketika ada sisi yang menyatakan teori A,
kemudian adapula yang menentang di sisi B dan adanya anggapan bahwa ketika A
benar maka B salah. Teori- teori seni berperilaku seperti ini, selalu ada kutub
negatif dan positifnya. Dari kejadian ini maka Susanne Langer melihatnya sebagai
sebuah paradoks dan itu merupakan suatu gejala adanya kesalahan konsepsi.
Mencoba meluruskan konsepsi dan menghindari paradoks, maka dari itu para
ahli mengurangi dua aspek subjek diatas, dan menganggap aspek emosional
karya seni sebagai sesuatu yang melekat pada karya itu sendiri. Keberadaannya
seobjektif bentuk, fisik, warna, dan lain lain.
62
Sebuah simbol atau kumpulan simbol bekerja dengan menghubungkan
sebuah konsep, ide umum, pola atau bentuk. Konsep adalah makna yang
disepakati bersama diantara pelaku komunikasi, makna yang disepakati bersama
adalah makna denotatif, sedangkan konotasi merupakan gambaran atau makna
pribadi (Langer, 1951:34).
Berdasarkan teori yang ada tentang simbol, maka simbol dapat dibagi
menjadi dua:
1. Simbol diskursif, ialah bentuk yang digunakan secara literal dimana
unit-unitnya bermakna berdasarkan konvensi (aturan yg disepakati
bersama). Selain itu setiap unit memiliki maknanya sendiri sendiri.
Contoh: dalam sebait kata yang tertulis memiliki makna nya sendiri-
sendiri yang ingin disampaikan.
2. Simbol presentasional, tidak terdiri dari unit-unit yang memiliki arti
tetap untuk digabung berdasarkan aturan tertentu dan juga tidak dapat
diuraikan. Maknanya ada dalam bentuk totalnya. Contoh: sebuah
lukisan yang hanya dapat ditangkap melalui arti secara keseluruhan.
Dengan mengacu pada teori yang telah dikemukakan diatas, maka untuk
mengkaji makna tari dalam pertunjukan Tari Inai, penulis menitik beratkan pada
teori semiotik yang dikemukakan oleh Suzzane K. Langer, dengan membagi
menjadi dua simbol. Tari Inai akan dapat dilihat menggunakan makna diskursif
dan makna presentasional melalui penjelasan makna yang tergandung di dalam
gerakan tari tersebut.
63
1.6 Metode Penelitian
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2011:2).
Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif, metode kualitatif
dinamakan sebagai metode baru, karena popularitasnya belum lama,
dinamakan metode postpositivistik karena berlandaskan pada filsafat
postpositivisme. Metode ini disebut juga sebagai metode artistik, karena proses
penelitian bersifat seni (kurang terpola), dan disebut sebagai metode interpretive
karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interprestasi terhadap data
yang ditemukan di lapangan. Metode penelitian kualitatif digunakan untuk
meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah
eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan
data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat
induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari
pada generalisasi. (Sugiyono, 2011:7,8,9).
Dijelaskan secara deskriptif, ialah data yang dikumpulkan bukanlah
angka-angka, dapat berupa kata-kata atau gambaran sesuatu. Hal tersebut
sebagai akibat dari metode kualitatif. Semua yang dikumpulkan mungkin dapat
menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Ciri ini merupakan ciri yang
sejalan dengan penamaan kualitatif (Djajasudarma, 1993:15).
Proses memperoleh data atau informasi pada setiap tahapan
(deskripsi, reduksi dan seleksi) tersebut dilakukan secara sirkuler, berulang-
ulang dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber. Setelah peneliti memasuki
64
obyek penelitian atau sering disebut sebagai situasi sosial (yang terdiri atas,
tempat, pelaku/orang-orang, dan aktivitas), peneliti berfikir apa yang akan
ditanyakan.
1. Setelah berfikir sehingga menemukan apa yang akan ditanyakan,
maka peneliti selanjutnya bertanya pada orang-orang yang dijumpai
pada tempat tersebut.
2. Setelah pertanyaan diberi jawaban, peneliti akan menganalisis apakah
jawaban yang diberikan itu betul atau tidak.
3. Kalau jawaban atas pertanyaan dirasa benar, maka dibuatlah kesimpulan.
(Sugiyono, 2011:20)
Untuk meneliti Tari Inai pada upacara malam berinai masyarakat Melayu
di Kota Binjai, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, sesuai dengan
apa yang dikemukakan oleh Miller (1990:3), yang mengatakan “Penelitian
kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara
fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan
berhubungan dengan orang-orang dalam bahasa dan peristilahannya.”
Penelitian kualitatif dapat dibagi dalam empat tahap yaitu : 1). tahap
sebelum ke lapangan, 2). pekerjaan lapangan, 3). analisis data, dan 4). penulisan
laporan. Pada tahap pra lapangan penulis mempersiapkan segala macam
kebutuhan yang diperlukan sebelum turun ke dalam penelitian itu sendiri. Dalam
bagian ini disusun rancangan penelitian, menjajaki atau menilai keadaan lapangan,
memilih informan, perlengkapan penelitian, dan etika penelitian.
65
1.6.1 Teknik pengumpulan data
Selanjutnya pada tahap pekerjaan di lapangan, seorang peneliti untuk
mengumpulkan data harus semaksimal mungkin. Dalam hal ini penulis
menggunakan alat bantu yaitu : kamera digital, dan catatan lapangan. Pengamatan
langsung dengan menyaksikan beberapa rekaman video upacara perkawinan adat
Melayu di Kota Binjai dan melakukan rekontruksi gerak pada Tari Inai.
Kehadiran peneliti di lapangan cukup banyak dilakukan karena jangkauan lokasi
cukup dekat, hubungan personal antara pemangku tradisi (seniman tari, pawang,
pemusik, dan narasumber) dengan peneliti cukup dekat dan akrab, serta waktu
yang cukup tersedia. Terutama pengumpulan data yang berhubungan dengan
deskripsi gerak, makna simbol yang terdapat pada Tari Inai.
Dalam tahap menganalisis data penulis mengorganisasikan data yang telah
terkumpul dari catatan lapangan, foto, studi kepustakaan, rekaman, dan
sebagainya ke dalam suatu pola atau kategori. Deskripsi daerah setempat antara
lain mengenai lokasi dan keadaan alamnya, sistem kemasyarakatan, kekerabatan,
jumlah penduduk dan sebagainya, banyak didapatkan dari masyarakat melalui
berbagai macam sumber. Maka untuk lebih jelasnya gambaran metode penelitian
ini disajikan secara lengkap pentahapannya. Sebagai hasil akhir dari menganalisis
data adalah membuat laporan yang dalam hal ini adalah penulisan tesis.
1.6.1.1 Observasi (pengamatan)
Dalam hal ini penulis mengadakan pengamatan langsung, hal tersebut
sesuai dengan pendapat Bachtiar (1990:114-115), bahwa seorang peneliti harus
66
melihat langsung akan kegiatan-kegiatan dari sasaran penelitiannya dalam
mendapatkan data-data di lapangan, maka pengamat menghadapi persoalan
bagaimana cara ia dapat mengumpulkan keterangan yang diperlukan tanpa harus
bersembunyi, tetapi juga tidak mengakibatkan perubahan oleh kehadirannya pada
kegiatan-kegiatannya yang diamatinya.
Mengacu pada teori di atas penulis mengumpulkan keterangan yang
diperlukan dengan cara mengamati sasaran penelitian, misalnya tentang jalannya
Tari Inai pada upacara, sarana yang dipergunakan, pelaku, dan masalah-masalah
lain yang relevan dengan pokok permasalahan, dan dalam pengamatan, penulis
juga melakukan pencatatan data-data di lapangan sebagai laporan
hasilpengamatan penulis. Dalam hal ini penulis terlebih dahulu mendapat ijin dari
pihak panitia upacara.
1.6.1.2 Wawancara
Dalam suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan keterangan tentang
kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-pendirian mereka itu,
merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi.
Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi secara
lisan pada informan. Untuk ini penulis mengacu pada pendapat Koentjaraningrat
(1990:129-155) yang membagi tiga kegiatan wawancara yaitu : persiapan
wawancara, teknik wawancara, dan pencatatan data wawancara. Sedangkan
wawancara terdiri dari wawancara terfokus, wawancara bebas, dan wawancara
sambil lalu.
67
Dalam wawancara terfokus, pertanyaan tidak mempunyai stuktur tertentu
tetapi selalu terpusat kepada pokok permasalahan lain. Wawancara sambil lalu,
sifatnya hanya untuk menambah data yang lain. Dalam mengumpulkan data,
penulis menggunkan ketiga wawancara ini serta terlebih dahulu membuat daftar
pertanyaan dan mencatat secara langsung data-data yang diperlukan.
1.6.1.3 Perekaman
Dalam hal ini penulis melakukan perekaman dengan dua cara, yaitu (1).
Perekaman yang penulis lakukan yaitu perekaman audio dengan menggunakan
handphone. Perekaman ini sebagai bahan analisis tekstual dan musikal. (2). Untuk
mendapatkan dokumentasi dalam bentuk gambar digunakan kamera digital.
Pengambilan gambar dilakukan setelah terlebih dahulu mendapat ijin dari pihak
pelaksana dan pihak yang bersangkutan.
1.6.2 Penelitian lapangan
Penelitian ini digunakan untuk memahami makna dan fungsi Tari Inai
pada acara malam berinai masyarakat Melayu di daerah Kota Binjai, dalam
hubungannya dengan pemahaman masyarakat pemangku tradisi (penari, pawang,
pemusik, penikmat). Dengan posisi tersebut, penelitian ini berupaya untuk
mengkaji secara mendalam makna simbol pada koreografi, struktur penampilan
Tari Inai dengan seluruh aspek atribut pendukungnya dan perilaku pendukungnya
(termasuk perilaku ritual) yang merupakan satu kesatuan dengan pertunjukan Tari
Inai.
68
Sebagai acuan dalam mengumpulkan data di lapangan, penulis
berpedoman kepada Bachtiar dan Koenjaraningrat dalam buku Metode-metode
penelitian masyarakat. Dalam buku tersebut dikatakan, bahwa pengumpulan data
dilakukan melalui kerja lapangan (field work) dengan menggunakan :
1.6.3 Kerja laboratorium
Kerja laboratorium merupakan proses penganalisaan data-data yang telah
didapat dari lapangan. Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan maupun
bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pembahasan dan
penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskipsian
dan selanjutnya dianalisa. Pada akhirnya hasil dari pengolahan data dan
penganalisaan disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan.
Untuk menyajikan aspek kebudayaan, penulis mengacu dari antropologi,
aspek struktur musik dari musikologi, dan juga unsur sosial lainnya (sesuai
dengan keperluan pembahasan ini), sehingga permasalahannya yang merupakan
hasil laporan penelitian yang disusun dalam bentuk tesis. Jika data yang dirasa
masih kurang lengkap, maka penulis melengkapinya dengan menjumpai informan
kunci atau informan lain dan hal ini dilakukan berulang-ulang.
1.5 Lokasi Penelitian
Sebagai lokasi penelitian, penulis memilih daerah Kota Binjai yang masih
menggunakan Tari Inai pada upacara adat malam berinai, informan dan anggota
69
penari serta pimpinan sanggar Gema Citra yang menjadi penari Inai pada acara
tersebut.
1.6 Sistematika Penulisan
Penelitian ini direncanakan terdiri dari 5 (lima) bab. Bab I terdiri dari
Pendahuluan berisi tentang Latar Belakang penelitian, Rumusan Masalah, Tujuan
dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Konsep, Teori, Metode Penelitian, dan
Sistematika Penulisan. Bab ini memfokuskan kajian konsep yang terdiri dari
konsep Upacara, Ritual, Inai, Tari, Tari Melayu, Masyarakat Melayu, Adat
Perkawinan Melayu, Kota Binjai, Struktur, Simbol, dan Makna. Begitupun
dengan teori yang akan digunakan untuk menganalisis tesis ini adalah teori
strukturalis menurut Levi Strauss dan teori semiotik.
Berikutnya pada Bab II berupa Gambaran Umum Masyarakat Melayu
Kota Binjai. Bab ini berisi penjelasan tentang sejarah Kota Binjai, selain
membahas tentang pemerintahan, geografi, batas wilayah, demografi, dan
perekonomian. Termasuk pembahasan di dalamnya mengenai adat istiadat
Melayu, sistem kepercayaan dan agama, sistem kekerabatan, dan bagian
terpenting mengenai kesenian yang terdapat pada wilayah tersebut.
Kemudian pada Bab III berjudul Upacara Adat Perkawinan Masyarakat
Melayu. Dimana yang menjadi pembahasan pada bab ini adalah tentang
bagaimana pembagian upacara perkawinan masyarakat Melayu. Pada tata cara
tersebut salah satu bagian yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai Tari
Inai yaitu adalah malam berinai.
70
Bab IV berjudul Struktur Tari Inai. Bab ini mengkhususkan kajian
terhadap struktur tari dengan melihat aspek ritual di dalamnya dengan
menggunakan beberapa teori yang membahas tentang struktur yang terdapat
dalam Tari Inai. Mendeskripsikan Tari Inai berdasarkan gerak tari, properti, pola
lantai, tata rias dan busana. Menganalisis hubungan Tari Inai dan musik
iringannya.
Bab V berjudul Makna Tari Inai. Pada bab ini fokus kajian dilakukan
terhadap simbol-simbol yang terdapat pada setiap ragam gerak Tari Inai. Kajian
ini untuk menjawab apakah keseluruhan tari tersebut memiliki makna yang sama
atau maknanya akan berubah sesuai dengan gerak pada setiap ragamnya.
Bab VI adalah Kesimpulan, Implikasi Studi, dan Saran, yang merupakan
bahagian penutup dari tulisan berbentuk tesis ini.
71
BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MELAYU DI KOTA BINJAI
2.1 Pemerintahan dan Wilayah Kota Binjai
Kota Binjai adalah salah satu kota (dahulu daerah tingkat II berstatus
Kotamadya) dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Binjai terletak 22
km dari sebelah barat ibukota Provinsi Sumatera Utara, Medan. Sebelum berstatus
Kotamadya, Binjai adalah ibukota Kabupaten Langkat yang kemudian
dipindahkan ke Stabat. Binjai berbatasan langsung dengan Kabupaten Langkat di
sebelah barat dan utara, serta Kabupaten Deli Serdang di sebelah timur dan
selatan.
Binjai merupakan salah satu daerah dalam proyek pembangunan
Mebidang yang meliputi kawasan Medan, Binjai, dan Deli Serdang. Saat ini
Binjai dan Medan dihubungkan oleh jalan raya lintas Sumatera yang
menghubungkan antara Medan dan Banda Aceh. Oleh karena ini, Binjai terletak
di daerah strategis dimana merupakan pintu gerbang Kota Medan dari Provinsi
Aceh.
Binjai sejak lama dijuluki sebagai kota rambutan karena rambutan Binjai
memang sangat terkenal. Bibit rambutan asal Binjai telah tersebar dan
dibudidayakan di berbagai tempat di Indonesia seperti Blitar, Jawa Timur menjadi
komoditi unggulan tersebut. (Sumber. www.binjaikota.go.id)
72
Gambar 2.1 Pintu Masuk Kota Binjai (Dok. Suci Purnanda, 2016)
2.1.1 Sejarah
Masih sangat sedikit sekali terungkapkan mengenai asal usul Kota Binjai
pada masa silam, yang disebut sebagai sebuah kota yang terletak diantara Sungai
Mencirim di sebelah timur dan Sungai Bingai di sebelah barat, terletak diantara
dua kerajaan Melayu yaitu Kesultanan Deli dan Kesultanan Langkat.
Berdasarkan penuturan orang-orang tua yang kini sudah tiada,
diperkirakan mengetahui sejarah asal usul Kota Binjai, baik yang dikisahkan atau
yang diriwayatkan dalam berbagai tulisan yang pernah dijumpai, bahwa Kota
Binjai itu berasal dari sebuah kampung yang kecil terletak di pinggir Sungai
Bingai, kira-kira di Kelurahan Pekan Binjai yang sekarang. Upacara adat dalam
rangka pembukaan kampung tersebut diadakan di bawah sebatang pohon Binjai
(Mangifera Caesia) yang rindang dan batangnya sangat besar, tumbuh kokoh di
pinggir Sungai Bingai yang bermuara ke Sungai Wampu, sungai yang cukup besar
dan dapat di layari sampan-sampan besar yang berkayuh sampai jauh ke udik.
73
Di sekitar pohon Binjai yang besar itulah kemudian di bangun beberapa
rumah yang lama-kelamaan menjadi besar dan luas yang akhirnya berkembang
menjadi bandar atau pelabuhan yang ramai didatangi oleh tongkang-tongkang
yang datang dari Stabat, Tanjung Pura, dan juga dari Selat Malaka. Kemudian
nama pohon Binjai itulah yang akhirnya melekat menjadi nama Kota Binjai.
Konon pohon Binjai ini adalah sebangsa pohon embacang dan istilahnya berasal
dari bahasa Karo.
Dalam versi lain yang merujuk dari beberapa referensi, asal muasal kata
Binjai merupakan kata baku dari istilah “Binjѐi” yang merupakan makna dari kata
“ben” dan “i-jѐi” yang dalam bahasa Karo artinya “bermalam di sini”. Pengertian
ini dipercaya oleh masyarakat asli Kota Binjai, khususnya etnis Karo merupakan
cikal bakal kota Binjai pada masa kini. Hal ini berdasarkan fakta sejarah, bahwa
pada masa dahulu kala, Kota Binjai merupakan perkampungan yang berada di
jalur yang digunakan oleh Perlanja Sira yang dalam istilah Karo merupakan
pedagang yang membawa barang dagangan dari dataran tinggi Karo dan
menukarnya (barter) dengan pedagang garam di daerah pesisir Langkat.
Perjalanan yang ditempuh Perlanja Sira ini hanya dengan berjalan kaki
menembus hutan belantara menyusuri jalur tepi sungai dari dataran tinggi Karo ke
pesisir Langkat dan tidak dapat ditempuh dalam waktu satu atau dua hari,
sehingga selalu bermalam di tempat yang sama, begitu juga sebaliknya, kembali
dari dataran rendah Karo yaitu pesisir Langkat. Para Perlanja Sira ini kembali
bermalam di tempat yang sama pula, selanjutnya seiring waktu menjadi sebuah
74
perkampungan yang mereka namai dengan “Kuta Binjѐi”. (Sumber.
www.binjaikota.go.id)
2.1.2 Geografi
Letak geografis Binjai 03°03'40" - 03°40'02"LU dan 98°27'03" -
98°39'32"BT. Ketinggian rata-rata adalah 28 meter di atas permukaan laut.
Sebenarnya, Kota Binjai hanya berjarak 8 km dari Medan bila dihitung dari
perbatasan diantara kedua wilayah yang dipisahkan oleh Kabupaten Deli Serdang.
Jalan Raya Medan-Binjai yang panjangnya 22 km, 9 km pertama berada di dalam
wilayah Kota Medan, 10 km – 17 km berada dalam wilayah Kabupaten Deli
Serdang dan mulai km 17 adalah berada dalam wilayah Kota Binjai.
Ada dua sungai yang membelah Kota Binjai yaitu Sungai Bingai dan
Sungai Mencirim yang menyuplai kebutuhan air bersih bagi PDAM Tirta Sari
Binjai untuk kemudian disalurkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota.
Namun di pinggiran kota, masih banyak penduduk yang menggantungkan
kebutuhan air mereka kepada air sumur yang memang masih layak untuk
dikonsumsi.
Kota Binjai yang memiliki luas wilayah 90,23 km² ini terletak pada
ketinggian 28 m di atas permukaan laut, beriklim tropis dan dikelilingi oleh
Kabupaten Deli Serdang. Adapun batas wilayah Kota Binjai adalah sebagai
berikut :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Kecamatan
Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang.
75
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sei Bingei Kabupaten
Langkat dan Kecamatan Kutalimbaru Kabupaten Deli Serdang.
3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Selesai Kabupaten
Langkat.
4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli
Serdang. (Sumber. www.Bappeda kotabinjai.go.id)
Gambar 2.2 Peta Kota Binjai (Sumber. www.binjaikota.go.id)
2.1.3 Pemerintahan
Kota Binjai terbagi atas 5 kecamatan yang kemudian dibagi lagi menjadi
37 kelurahan dan desa. Sedianya Binjai hanyalah sebuah kecamatan di dalam
lingkup Kabupaten Langkat. Lima kecamatan tersebut masing-masing adalah :
76
1. Binjai Kota
2. Binjai Utara
3. Binjai Selatan
4. Binjai Barat
5. Binjai Timur
Kecamatan Binjai Kota, Binjai Timur, dan Binjai Selatan baru dibentuk
pada tahun 1981. Dengan Walikota yang sekarang adalah H.M. Idaham SH, Msi
dan Wakil Walikota Timbas Tarigan Amd, yang dilantik pada tanggal 26 Januari
2016 untuk masa jabatan 2016-2021. Walikota berkantor di Balai Kota yang
beralamat di Jalan Jenderal Sudirman No. 6, Binjai. (Sumber.
www.binjaikota.go.id)
Gambar 2.3 Kantor Walikota Binjai (Dok. Suci Purnanda, 2016)
Kota Binjai sebelumnya merupakan tempat bermarkas Kepolisian Resort
Langkat yang mengurusi urusan Kepolisian Kota Binjai dan Kabupaten Langkat.
Pada tahun 2001, Polres Langkat kemudian dipindahkan bermarkas di Stabat,
77
ibukota Kabupaten Langkat. Sedangkan untuk Kota Binjai dibentuk Kepolisian
Resort Kota Binjai (Polresta Binjai).
Tepat di depan kantor Walikota, terdapat Lapangan Merdeka dan Pendopo
Umar Baki di Jalan Veteran. Lapangan Merdeka merupakan alun-alun warga Kota
Binjai, sedangkan Pendopo Umar Baki adalah gedung serba guna untuk tempat
melangsungkan banyak acara resmi maupun tidak resmi.
Gambar 2.4 Taman Merdeka Binjai (Dok. Suci Purnanda, 2016)
2.1.4 Demografi
Kota Binjai merupakan kota multietnis, dihuni oleh suku Melayu, suku
Jawa, suku Karo, dan suku Tionghoa. Kemajemukan etnis ini menjadikan Binjai
kaya akan kebudayaan yang beragam. Jumlah penduduk Kota Binjai sampai pada
April 2003 adalah 223.535 jiwa dengan kepadatan penduduk 2.506 jiwa/km
persegi. Tenaga kerja produktif sekitar 160.000 jiwa. Banyak juga penduduk
Binjai yang bekerja di Medan karena transportasi dan jarak yang relatif dekat.
78
Agama di Kota Binjai terutama :
1. Islam, dipeluk oleh mayoritas etnis Jawa dan Melayu, mesjid terbesar
berlokasi di Jalan Kapten Machmud Ismail.
2. Kristen, dipeluk oleh sebagian besar etnis Karo.
3. Budha, dipeluk oleh mayoritas etnis Tionghoa yang berdomisili di Binjai
Kota dan Binjai Barat.
4. Hindu, dipeluk terutama oleh etnis India, terdapat satu pura di Jalan
Ahmad Yani. (Sumber. www.binjaikota.go.id)
2.1.5 Perekonomian
Daerah komersial dan pusat perekonomian serta pusat pemerintahan
terutama berpusat di wilayah Kecamatan Binjai Kota. Kawasan perindustrian
dipusatkan di daerah Binjai Utara, sedangkan di sebelah timur dan selatan adalah
daerah konsentrasi pertanian. Daerah pengembangan peternakan dipusatkan di
kawasan Binjai Barat. Kawasan industri Binjai di kecamatan Binjai Utara
direncanakan di kelurahan Cengkeh Turi dengan luas wilayah 300 ha. Binjai juga
adalah penghasil minyak bumi dan gas ditandai dengan kawasan eksplorasi
minyak bumi dan gas alam di kawasan Tandam Hilir, kecamatan Binjai Utara.
Data tahun 1999 menunjukkan bahwa 29% dari total kegiatan
perekonomian Kotamadya Binjai bersumber dari sektor perdagangan dan jasa.
Sedangkan sektor industri menyumbang nilai 23% dari total kegiatan
perekonomian tadi. Pendapatan per kapita penduduk Binjai adalah sebesar Rp. 3,3
79
juta, sayang angka ini masih berada di bawah rata-rata pendapatan per kapita
Provinsi Sumatera Utara yang besarnya Rp. 4,9 juta.
Laju pertumbuhan ekonomi Kota Binjai atas dasar harga tetap sebesar 5,68
persen pada tahun 2007. Hal ini menunjukkan kenaikan yang cukup baik jika
dibandingkan dengan tahun 2006 sebesar 5,32 persen.
Secara umum ada empat sektor yang cukup dominan dalam pembentukan
total PDRB Kota Binjai yaitu Sektor industri pengolahan, Sektor industri
pengolahan, Sektor perdagangan, hotel, dan restoran, Sektor keuangan, persewaan
dan jasa perusahaan, dan Sektor jasa-jasa.
Bidang perkebunan tentu saja yang menjadi perhatian adalah perkebunn
rambutan yang mencapai 425 ha dengan kapasitas produksi 2.400 ton per tahun.
Sayangnya, kapasitas sebesar ini tidak disertai dengan modernisasi industri
pengolahan rambutan menjadi komoditi unggulan yang benilai plus dibandingkan
dengan hanya menjual buah rambutan itu sendiri, misalnya inudstri pengalengan
rambutan dengan jalur pemasaran yang komplit.
Pusat perbelanjaan tradisional di Binjai melayani penjual dan pembeli dari
Binjai sendiri dan Kabupaten Langkat. Pasar tradisioanal tersebut misalnya :
1. Pusat Pasar Tavip, merupakan pasar tradisional terbesar di Binjai,
berlokasi di Binjai Kota.
2. Pasar Kebun Lada, berlokasi di Binjai Barat.
3. Pasar Brahrang, berlokasi di Binjai Barat.
4. Pasar Rambung, berlokasi di Binjai Selatan.
5. Pasar Trengganu, berlokasi di Binjai Timur.
80
Selain itu juga ada pusat perbelanjaan modern seperti :
1. Binjai Super Mall
2. Pusat Perbelanjaan Suzuya
3. Mini Market Tahiti
4. Toserba Binjai Ramayana
5. Mall Ramayana
Pertokoan komersial yang lebih kecil terutama terpusat di rumah toko
(ruko) di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman, juga ada di Jalan Ahmad Yani (d/h
Jalan Bangkatan) yang menjadi pusat makanan pada malam hari (Sumber.
www.binjaikota.go.id).
Gambar 2.5 Binjai Super Mall (Dok. Suci Purnanda, 2016)
2.2 Gambaran Umum Masyarakat Melayu Kota Binjai
Menurut Tengku Lah Husni, Orang Melayu adalah kelompok yang
menyatukan diri dalam ikatan perkawinan antar suku, dan selanjutnya memakai
adat resam serta bahasa Melayu dalam kehidupan sehari-hari (Husni, 1957:7).
81
Selanjutnya Husni menyebutkan lagi bahwa, orang Melayu Pesisir Sumatera
Timur merupakan turunan campuran antara orang Melayu yang memang sudah
menetap di Pesisir Sumatera Timur dan suku-suku Melayu pendatang, seperti
Johor, Melaka, Riau, Aceh, Mandailing, Jawa, Minangkabau, Karo, India, Bugis
dan Arab yang selanjutnya memakai adat resam dan bahasa Melayu sebagai
bahasa pengantar dalam pergaulan antara sesamanya atau dengan orang dari
daerah lain, serta yang terpenting adalah beragama Islam. Suku Melayu
berdasarkan falsafah hidupnya, terdiri dari lima dasar : Islam, beradat, berbudaya,
berturai dan berilmu (Husni, 1975:100). Berturai adalah mempunyai susunan-
susunan sosial dan berusaha menjaga integrasi dalam perbedaan di antara
individu.
Pelzer (1985:18-19) menyebutkan bahwa masyarakat yang tinggal di
Sumatera Timur tersebut diperkirakan sebagai keturunan dari para migrant dari
berbagai daerah kebudayaan seperti : Semenanjung Melaka, Jambi, Palembang,
Jawa, Minangkabau, Bugis, yang telah menetap dan bercampur di wilayah
setempat. Percampuran dan adaptasi Melayu dalam pengertian sebagai kelompok
etnik dangan kelompok etnik lain, terjadi di sepanjang pantai pulau Sumatera,
semenanjung Malaysia dan Kalimantan. Demikian dapat disimpulkan bahwa
orang Melayu terdiri dari berbagai macam asal-usul sehingga membentuk suatu
kelompok atau masyarakat yang mendiami daerah pesisir dan daerah sepanjang
sungai hilir, mereka hidup didaerah maritim dan kelangsungan hidupnya sangat
erat berkaitan dengan lingkungan alam di laut maupun pesisir.
82
Begitu juga pada daerah penelitian penulis yakni di Kota Binjai terletak di
dataran rendah, yang dominan menggunakan adat-istiadat Melayu, Kota Binjai
terdiri dari berbagai suku bangsa antara lain : Melayu, Karo, Jawa, Tionghoa,
Nias, Batak Toba, dan yang lain-lain pada umumnya memeluk agama Islam,
Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Hal ini sejalan dengan pendapat Usman Pelly
(1990:84) bahwa suku bangsa lain yang menetap di Binjai terbagi (1) suku bangsa
tempatan (natif) yaitu suku Melayu, dengan alasan bahwa suku Melayu pertama
sekali bermukim di wilayah teritorial Kota Binjai, (2) suku pendatang antara lain:
suku Jawa, suku Karo, suku Nias, suku Tionghoa, suku Batak Toba, suku
Simalungun, suku Pakpak-Dairi, suku pesisir Sibolga, dan suku Mandailing.
2.2.1 Suku Melayu
Suku Melayu adalah salah satu suku yang ada di Indonesia, seperti suku-
suku lainnya, suku Melayu mempunyai kebudayaan sendiri, meskipun kalau
diamati kebudayaan tersebut hampir sama dengan kebudayaan suku-suku Melayu
lainnya yang ada di Sumatera Utara. Secara umum mereka mempunyai bahasa
yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia, adat istiadat, yang kemungkinan tidak
sama dengan adat istiadat suku lainnya. Namun sejak Islam masuk dan menjadi
agama yang diikuti oleh suku Melayu, kebudayaan secara umum lebih keliatan
sama, terutama dengan suku lain yang juga menganut agama Islam.
Zein berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Melayu adalah bangsa
yang menduduki sebagian besar pulau Sumatera serta pulau-pulau Riau-Lingga,
Bangka, Belitung, Semenanjung Melaka, dan Pantai Laut Kalimantan. Banyak
83
orang menyangka bahwa nama Melayu itu artinya lari, yang berasal dari bahasa
Jawa--yaitu lari dari bangsa sendiri dan menganut agama Islam. Namun nyatanya
nama Melayu sudah lama terpakai sebelum agama Islam datang ke Nusantara ini.
Jadi menurut Zein pernyataan di atas adalah salah. Menurutnya, istilah Melayu itu
adalah kependekan dari Malayapura, yang artinya adalah kota di atas bukit
Melayu, kemudian dipendekkan menjadi Malaipur, kemudian menjadi Malaiur,
dan akhirnya menjadi Melayu (Zein, 1957:89).
Suku Melayu sangat dipengaruhi keadaan dimana mereka tinggal, yang
begitu mempengaruhi kehidupan mereka, terutama dalam soal bahasa. Pengaruh
dalam bahasa, dikarenakan pengajaran, pengembangan, dan penyebaran dari
ajaran agama Islam, literatur berupa naskah-naskah buku, tulisan tangan, surat
menyurat pada umumnya dikomunikasikan baik lisan maupun tulisan dengan
menggunakan bahasa Arab-Melayu.
Keterikatan antara adat Melayu dengan Islam tercermin dalam ungkapan
“adat bersendikan syarak (hukum Islam), syarak bersendikan kitabullah
(Alquran)”. Salah satu fungsi adat dalam adat Melayu adalah untuk menjaga
syariat Islam, yang berarti adatlah yang menjaga hukum (syariat). Dalam
menjalankan kegiatan adat, suku Melayu tetap berlandaskan pada ajaran Islam,
hal-hal yang mengenai peraturan adat disesuaikan dengan aturan-aturan dalam
Islam. Selain itu, mereka juga taat dalam menjalankan kewajiban yang diajarkan
dalam Islam.
Jika dilihat berdasarkan aspek kewilayahan, rasial, budaya, masyarakat
yang mendiami gugusan kepulauan di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia,
84
Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, Filipina sampai Madagaskar, Suriname,
dan Kepulauan Oceania. Selain aspek ras, mereka juga memiliki kesamaan
dibidang bahasa dan kesenian, yang dikategorikan dalam rumpun Melayu. Suku
Melayu di Indonesia sendiri merupakan salah satu suku yang ada dengan
mendefinisikan dirinya sebagai masyarakat yang berasal usul secara turun
temurun. Suku Melayu tersebar di Indonesia dari masyarakat yang mendiami
wilayah bekas kerajaan-kerajaan Melayu seperti di Provinsi Riau, Kepulauan
Riau, Kalimantan Barat, serta sebagian Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi,
serta daerah-daerah Melayu lainnya di Nusantara. Dikatakan sebagai suku bangsa
Melayu karena mereka sehari-hari berkomunikasi dalam bahasa Melayu,
berbudaya, dan beradat istiadat Melayu serta beragama Islam (Ahmad Dahlan,
2002:14, Luckman Sinar:1976).
Untuk dapat memahami suku Melayu, maka selayaknya kita akan
memulainya dari pengertian kata Melayu. Pengertian Melayu berkembang
mengikuti perkembangan zaman dan dinamika sejarah sejak dahulu kala sampai
sekarang, diantaranya dapat dijelaskan di bawah ini :
1. Sebutan Melayu berasal dari kata “himalaya” lalu kemudian disingkat
menjadi “malaya”. “hima” berarti “salju” atau “sejuk” sedangkan
“alaya” bermakna “tempat”. Dengan demikian dapat disimpulkan
“alaya” bermakna “tempat” yang sejuk seperti puncak gunung yang
tinggi.
2. Frasa Melayu dapat pula bersal dari perkataan “malaiyur-pura” yang
berarti “kota malaiyur” atau “kota gunung”.
85
3. Kata “Melayu” dapat pula berasal dari kata “mala” dan “yu”. “mala”
artinya “mula” atau “permulaan” dan “yu” artinya “negeri”. Melayu
berarti “negeri mula” ; negeri asal mula atau negeri asal usul.
4. Melayu adalah nama sebuah kerajaan tua yang pernah ada di muara
sungai Melayu (kini bernama Sungai Batang Hari, Jambi) dalam abad
ke-7 M. Penamaan sebuah kerajaan berdasarkan nama sungai hal yang
biasa dalam tradisi Melayu, karena bangsa Melayu zaman dulu selalu
membangun kerajaan di pinggir sungai. Sedangkan penamaan sungai
sebagai “Melayu” berasal dari sifat air sungai itu sendiri yang deras
atau kencang atau melaju seperti orang berlari.
5. Kata Melayu juga dipakai untuk menyebut bahasa, yaitu bahasa
Melayu yang berkembang di tengah masyarakat Melayu mulai dari
zaman kerajaan Melayu Jambi Tua, Kemaharajaan Melayu Sriwijaya,
dan lain sebagainya.
6. Dalam konteks perilaku, frasa “Melayu” diartikan pula “layu” yang
bermakna “rendah”, Melayu selalu “merendah”. Tapi bukan rendah diri
(Abdul Rashid, 2005:9).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan Melayu menjadi identitas
kolektif yang diakui sebagian masyarakat, yang akhirnya tanpa disadari menjadi
milik bersama dan sedang berlaku di masyarakat, seperti : orang-orang Banjar
yang sudah lama bermukim di Tembilahan Riau, yang mengidentikkan dirinya
sebagai orang Melayu. Selanjutnya orang-orang China dan India di Malaysia yang
sudah memeluk agama Islam diakui dan digolongkan sebagai orang Melayu.
86
Demikian juga dengan ragam suku bangsa lainnya yang dengan sukarela
menyelenggarakan aktifitas kebudayaan Melayu dengan ikut serta dalam berbagai
tradisi Melayu yang dilaksanakan.
Seperti halnya dengan suku Melayu di Sumatera Utara, yang menyebar di
wilayah pesisir pantai Timur, seperti Tanjung Balai, Asahan, Langkat, Serdang
Bedagai, Binjai, dan Kota Medan. Bahwa mereka menjadi Melayu dikarenakan
menjalankan budaya yang sama, adat yang sama dengan berpedoman pada Islam
sebagai agama yang mayoritas dianut. Suku Melayu di Kota Binjai mempunyai
resam dan adat tradisi yang turun temurun dengan memiliki nilai-nilai agama
Islam. Nobeck dalam Kasmahadiyat (2010:7), mengatakan bahwa :
“Agama dapat dilihat sebagai human Creation dan human Made sebagai; (1) ekspresi simbolis dari kehidupan manusia dengan manusia menafsirkan dirinya dan semesta di sekelilingnya, (2) yang memberikan motif bagi perbuatan manusia, dan (3) sekumpulan tindakan yang berhubungan satu sama lain yang memiliki nilai-nilai untuk keberlangsungan kehidupan manusia.”
Dengan demikian suku Melayu merupakan masyarakat yang terbuka
dengan pengaruh-pengaruh yang datang dikarenakan wilayahnya yang berada di
daerah persimpangan antara Timur dan Barat di Selat Malaka dan Laut Cina
Selatan. Hal inilah yang membuat suku Melayu menerima dan menghargai orang-
orang yang datang, dan memasukkan unsur-unsur yang sesuai dengan
kebiasaannya dan menjadikan budaya masyarakat Melayu. Demikian pula halnya
dengan suku Melayu di Kota Binjai yang sangat menghargai keberagaman suku di
setiap sudutnya, sehingga kerukunan dan kebersamaan dijunjung tinggi oleh
87
masyarakatnya. Hingga pembangunan di Kota Binjai bisa terbilang pesat di
bandingkan kota kabupaten lainnya.
2.2.2 Adat-istiadat Melayu
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:5,6) adat istiadat
merupakan kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi ke generasi lain
sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat.
Sedangkan perkataan adat itu sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti
kebiasaan. Kedatangan Islam ke Alam Melayu membawa konsep ini dengan
makna yang lebih luas dan mendalam sehingga mencakup keseluruhan cara hidup
yang kini ditetapkan sebagai kebudayaan, undang-undang, sistem masyarakat,
upacara, dan segala kebiasaan yang sering dilakukan, seperti cara makan atau cara
duduk. Saat ini, makna adat dalam masyarakat Melayu sudah menjadi semakin
khusus, yakni upacara kebiasaan serta unsur-unsur masyarakat yang tidak
digolongkan sebagai unsur Islam.
Masyarakat Melayu yang telah menerima pengaruh Islam dan peradaban
Arab, mengetahui arti dan konsep adat. Meski demikian halnya, ternyata bahwa
hampir semua masyarakat Melayu atau Nusantara, baik masyarakat itu telah
menerima pengaruh peradaban Islam atau tidak, telah memadukan konsep itu
dengan arti yang hampir sama dalam kebudayaan mereka. Mereka ini termasuk
masyarakat tradisional yang masih mengamalkan kepercayaan tradisi (animisme
dan dinamisme).
88
Dalam kehidupan suku Melayu, upacara adat menjadi bahagian yang tidak
terpisahkan dan sering dilaksanakan oleh masyarakat Melayu. Hal ini selalu
berkaitan dengan mata pencaharian hidup masyarakatnya, adat istiadat, dan agama
serta kepercayaan suku Melayu. Seperti dalam hal perikanan, upacara biasanya
dilakukan ketika hendak ke laut, dengan melakukan kenduri. Bertujuan untuk
mengharapkan hasil yang didapat akan berlimpah dan terhindar dari gangguan
makhluk gaib penunggu laut. Dalam hal pertanian juga dilakukan kegiatan yang
dilakukan setelah panen padi, upacara ini bertujuan untuk mengucapkan rasa
syukur atas hasil yang telah didapatkan. Selain beberapa upacara tersebut, upacara
perkawinan juga merupakan peristiwa penting yang dilakukan dengan berbagai
proses tahapan dari meminang hingga perkawinan dilangsungkan.
Masyarakat Melayu di Kota Binjai juga mempunyai adat-istiadat yang
sangat dipatuhi oleh penduduknya. Hal ini berlaku sejak zaman animisme terdapat
beberapa kebiasaan suku Melayu, seperti memakan sirih. Penggunaan sirih tidak
boleh terlupakan dalam upacara adat. Sirih tersebut diletakkan pada sebuah tepak
bersama dengan kapur, pinang, gambir, dan tembakau. Dikarenakan pada zaman
tersebut memahami bahwa tumbuh-tumbuhan itu mempunyai sifat yang khas dan
mempunyai kekuatan dalam kehidupan. Menurut kepercayaan mereka dengan
memakan tumbuh-tumbuhan itu, daya hidup manusia dapat bertambah.
Selain itu, ada pula kebiasaan suku Melayu yang bahkan sudah menjadi
adat, yaitu salah satu adat-istiadat suku bangsa Melayu yang sangat penting adalah
upacara tepung tawar. Upacara ini biasanya dilakukan pada kejadian penting,
seperti perkawinan, pertunangan, sunatan, atau jika seseorang kembali dengan
89
selamat dari sesuatu perjalanan atau terlepas dari bahaya. Tepung tawar juga
dilakukan apabila seseorang mendapatkan rezeki tidak terduga sebelumnya.
Tepung tawar ini dilakukan dengan pengharapan seseorang itu akan tetap selamat
dan bahagia. Dalam adat istiadat Melayu, tepung tawar memiliki arti
menghapuskan atau membuang segala penyakit. Sumber lain menyebutkan tepung
tawar dilakukan sebagai perlambangan mencurahkan rasa kegembiraan dan
sebagai rasa syukur atas keberhasilan, hajat, acara atau niat yang akan atau yang
telah dapat dilaksanakan, baik terhadap benda bergerak (manusia) maupun benda
mati (yang tidak bergerak). Adapun peralatan atau kelengkapan tepung tawar yang
digunakan oleh masyarakat Melayu secara garis besar terdiri dari tiga bagian
pokok, yaitu:
1. Ramuan Penabur
2. Ramuan Rinjisan
3. Perdupaan (perasapan)
Ramuan Penabur, diatas wadah terletak sepiring beras putih, sepiring beras
kuning, sepiring bertih, dan sepiring tepung beras, sebagai pelambang sebagai
berikut :
1. Beras putih, melambangkan kesuburan dan pembasuh diri dari yang
kotor.
2. Beras kuning, melambangkan kemuliaan, kesungguhan, dan
keagungan.
3. Bertih, melambangkan perkembangan, perlambang rezeki, yang
tumbuh dari bumi dan dari langit.
90
4. Bunga rampai, melambangkan wanginya persahabatan, manisnya
persaudaraan, dan harumnya keakraban.
5. Tepung beras, melambangkan kebersihan hati.
Arti dari keseluruhan bahan-bahan diatas adalah ungkapan rasa
kebahagiaan.
Ramuan rinjisan, sebuah mangkuk putih (dahulu tempurung kelapa puan)
berisi air biasa, segenggam beras putih dan sebuah jeruk purut yang telah diiris-
iris. Tempat atau wadah tepung tawar disebut ampar artinya bumi. Adapun arti
dari bahan-bahan diatas adalah sebagai berikut:
1. Mangkuk putih berisi air putih bermakna kejernihan. Kadang ada juga
yang menggunakan air mawar, yang terbuat dari aneka daun-daunan
yang beraroma wangi seperti pandan, serai wangi, jeruk purut yang
direbus dan airnya dijadikan air pecung.
2. Beras atau bedak beras, dibuat dari tepung beras yang diadun bersama
larutan wewangian alami dari tumbuh-tumbuhan yang mempunyai
makna sebagai pendinginan, peneduh kalbu, dan kesuburan.
3. Limau purut diiris tipis, yang mempunyai makna sebagai pemberi
kekuatan dan kesabaran sekaligus membersihkan. Secara keseluruhan
diartikan sebagai keselamatan dan kebahagiaan.
Ketiga peralatan ini diaduk menjadi satu wadah dan dirinjis dengan
menggunakan gabungan alat penepuk yang terdiri dari dedaunan tersebut.
Perdupaan, dengan menggunakan kemenyan atau setanggi yang dibakar
dapat diartikan dengan pemujaan atau doa kepada Yang Maha Kuasa agar
91
permintaan dimaksud dapat restu atau terkabul kehendaknya. Perdupaan ini
sangat jarang dilakukan pada upacara tepung tawar yang ada sekarang ini.
Di dalam mangkuk tersebut juga diletakkan sebuah ikatan daun-daunan
yang terdiri dari 7 (tujuh) macam daun, yaitu:
1. Daun Kalijuhang/jenjuang (tumbuhan berdaun panjang dan lebar
berwarna merah). Melambangkan penolak bala dan menjauhkan dari
hantu, setan, serta iblis yang mengganggu maasyarakat serta
pembangkit semangat juang yang tinggi.
2. Tangkai pohon pepulut/setawar (tumbuh-tumbuhan berdaun tebal
bercabang). Ini melambangkan sebagai penawar (obat) segala yang
berbisa, bisa laut, bisa bumi, dan membuang segala sesuatu yang jahat.
Daun ini juga bermakna memulihkan sesuatu yang rusak atau yang
sakit.
3. Daun Gandarusa (tumbuhan berdaun tipis berbentuk lonjong). Daun
ini bermakna, berjuang untuk menahan sesuatu penyakit yang akan
datang masuk ke suatu daerah. Daun ini juga merupakan daun
penangkal musuh dari luar, penangkal dari dalam, penangkal sihir dan
serapah, penangkal segala kejahatan yang dibawa setan lalu.
4. Daun ribu-ribu (tumbuhan melata berdaun kecil bercanggah).
Fungsinya sebagai pengikat diantara daun-daun tersebut, maknanya
untuk mengikat segala penyakit yang datang dan penguat kesatuan dan
kebersamaan serta penguat semangat.
92
5. Daun Keduduk/Senduduk, maknanya segala penyakit yang datang
didudukkan atau ditaklukkan dan dilumpuhkan.
6. Daun Sedingin, bermakna untuk memberikan kesejukan, ketenangan,
dan kesehatan.
7. Pohon sembau dengan akarnya, pohon ini memiliki akar yang liat dan
sukar dicabut, mengingatkan kita pada kekuatan dan keteguhan.
(Sumber. Kompasiana.com)
Maka ketujuh macam tumbuhan tersebut diatas melambangkan suatu
seruan atau doa tanpa suara untuk kesempurnaan orang yang ditepung tawari.
Ketujuh daun tersebut diikat dengan akar atau benang jadi satu berkas kecil
sebagai rinjisan.
Gambar 2.6 Peralatan Tepung Tawar (Sumber. dilham.blogspot.com)
Adat Melayu berasas kepada ajaran-ajaran agama Islam, yang dikonsepkan
sebagai adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah. Hal ini merujuk
lebih jauh dan dalam perintah Allah sebagai panduan manusia dalam mengisi
kebudayaannya. Seperti dalam adat Melayu yang juga mempunyai adat-istiadat
93
perkawinan, apabila orang tua ingin mencari menantu harus berpegang pada lima
syarat utama, yaitu calon menantu haruslah beragama Islam, berketurunan,
budiman, berilmu, dan rupawan. Kemudian, dalam melakukan arah budayanya
orang Melayu memutuskan untuk menerapkan empat bidang (ragam) adat, yaitu:
1. Adat yang sebenar adat adalah apabila menurut waktu dan keadaan, jika
dikurangi akan merusak, jika dilebihkan akan mubazir atau terbuang-
buang.
2. Adat yang diadatkan adalah adat itu bekerja pada suatu landasan tertentu,
berdasarkan mufakat dari daerah tersebut yang pelaksanaannya dilakukan
oleh penduduk.
3. Adat yang teradat adalah kebiasaan-kebiasaan yang secara berangsur-
angsur dengan cepat atau lambat akan menjadi adat.
4. Adat istiadat adalah kumpulan dari berbagai kebiasaan, yang lebih banyak
diartikan tertuju kepada upacara khusus seperti adat : perkawinan,
penobatan raja dan pemakaman raja. (Sumber. Syarifah Aini,2013)
Keseluruh konsep adat ini berdasarkan pada ajaran agama Islam yang
senantiasa dipergunakan dalam keseharian masyarakat Melayu, termasuk
penerapannya dalam seni pertunjukan. Dalam hal ini Tari Inai tergolong kepada
konsep keempat yang diklasifikasikan sebagai tari upacara yaitu perkawinan.
2.2.3 Sistem kepercayaan dan agama
Wilayah Kota Binjai pada umumnya didiami oleh orang Melayu. Selain
itu, terdapat juga etnis Batak, Jawa dan Warga Negara Indonesia keturunan
94
Tionghoa juga India, yang dalam kehidupan sosial masyarakat mereka cukup
menyatu dengan masyarakat setempat. Masyarakat Melayu di Kota binjai
umumnya menggunakan bahasa bahasa Melayu dengan dialek Langkat, yang
dipakai dan dikenal secara umum oleh masyarakat melayu di wilayah lainnya.
Akan halnya suku-suku lain yang jumlahnya hampir seimbang dengan orang
Melayu, dikarenakan kemajemukan bahasa itulah sehingga sebagai alat
komunikasi sehari-hari mereka memakai bahasa Melayu atau bahasa daerahnya
masing-masing untuk berkomunikasi antar sesamanya. Sebagaimana halnya
masyarakat Melayu secara umum adalah pemeluk agama Islam, seperti yang
dikatakan oleh Masindan (1987: 10-11) bahwa agama yang dianut oleh penduduk
Melayu adalah agama Islam yang mencapai puncak kejayaannya pada masa
pemerintahan para sultan Melayu.
Peran agama sangat penting artinya dalam kehidupan masyarakat Kota
Binjai, yaitu sebagai landasan dalam sistem kehidupannya. Akan tetapi pada
awalnya banyak kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat Melayu sehingga
mempengaruhi pandangan hidupnya. Hal ini dapat dilihat dari tanda-tanda
Animisme yang masih ada pada sebagian penduduknya, meskipun penduduk
Melayu itu telah beragama Islam. Ada kepercayaan pada masyarakat Melayu
bahwa kita harus memberi salam kepada penghuni rimba, sungai, dan tanah yang
berbukit (busut), dan tempat-tempat yang dianggap angker. Kalau tidak memberi
salam, ada kepercayaan, kita akan sakit atau tersesat dalam perjalanan. Jenis
kepercayaan lain masyarakat di Kota Binjai yang masih memegang teguh adat-
istiadat leluhurnya, tampak dalam kehidupan sehari-hari seperti kenduri turun ke
95
sawah, memberkati bayi yang baru lahir, kenduri arwah (mengirim doa), dan
sebagainya.
2.2.4 Sistem kekerabatan
Sistem kekerabatan dalam kebudayaan Melayu Sumatera Utara
berdasarkan pada pihak bapak maupun ibu, dan masing masing-masing anak
wanita atau pria mendapat hak hukum adat yang sama. Dengan demikian, garis
keturunan ditentukan berdasarkan pada sistem patrilineal atau garis keturunan
bilateral, yaitu garis keturunan dari pihak ayah maupun ibu. Namun, dengan
masuknya agama Islam dalam kehidupan etnik Melayu yang dijadikan pandangan
hidupnya, maka garis keturunan cenderung ke arah garis keturunan patrilineal,
yaitu berdasarkan garis keturunan ayah.
Pembagian harta pusaka berdasarkan kepada hukum Islam (syarak) yang
terlebih dahulu mengatur pembagian yang adil terhadap hak syarikat, yaitu harta
yang diperoleh bersama dalam sebuh pernikahan suami-istri. Hak syarikat ini
tidak mengenal harta bawaan dari masing-masing pasangan. Harta syarikat
dilandaskan pada pengertian saham yang sama diberikan dalam usaha hidup, yang
artinya mencakup : (1) suami berusaha dan mencari rezeki di luar rumah; (2) istri
berusaha mengurus rumah tangga, membela dan mendidik anak-anak. Hak
masing-masing adalah 50%, separuh daripada harta pencarian. Hukum ini adalah
budaya Melayu Sumatera Utara, pada awalnya ditetapkan oleh Sultan Gocah
Pahlawan, ketika menjadi Wakil Sultan aceh, Iskandar Muda, di Tanah deli.
Sehingga kini hukum ini tetap berlangsung (Takari dan Fadlin:2014).
96
Sistem kekerabatan etnik Melayu di Kota Binjai menggunakan sistem
kekerabatan secara vertikal yang dimulai dari urutan tertua sampai yang termuda,
peristilahan ini merupakan sistem adat yang dipegang teguh oleh suku Melayu
dalam bertutur yang menunjukkan sopan santun dalam berkomunikasi dengan
sesama baik dari anak-anak hingga orang tua. Adapun urutan sistem kekerabatan
tersebut adalah : (1) nini, (2) datu, (3) oyang (moyang), (4) atok (datuk), (5) ayah
(bapak), (6) anak, (7) cucu, (8) cicit, (9) piut, dan (10) entah-entah. Sedangkan
sistem kekerabatan secara horizontal adalah (1) saudara satu ibu dan satu ayah
(ayah tiri), (2) saudara sekandung yaitu saudara seibu atau lain ayah, (3) saudara
seayah yaitu saudara satu ayah lain ibu (ibu tiri), (4) saudara sewali yaitu ayah nya
saling bersaudara, (5) saudara berimpal yaitu anak dari makcik (saudara
perempuan ayah).
Begitu pula berlaku panggilan atau sapaan dan istilah kekerabatan selain
sistem kekerabatan ini adalah sebagai berikut : (1) ayah, (2) emak, (3) abang
(abah), (4) akak (kakak), (5) uwak (saudara ayah atau ibu yang lebih tua
umurnya), (6) uda (saudara ayah atau ibu yang lebih muda umurnya), (7) uwak
ulung (saudara ayah atau saudara ibu yang pertama baik laki-laki maupun
perempuan), (8) uwak ngah (uwak tengah, saudara ayah atau saudara ibu yang
kedua baik laki-laki maupun perempuan), (9) uwak alang (saudara ayah atau
saudara ibu yang ketiga baik laki-laki maupun perempuan), (10) uwak utih
(saudara ayah atau saudara ibu yang keempat baik laki-laki maupun perempuan),
(11) uwak andak (saudara ayah atau saudara ibu yang kelima baik laki-laki
maupun perempuan), (12) uwak uda (saudara ayah atau saudara ibu yang keenam
97
baik laki-laki maupun perempuan), (13) uwak ucu (saudara ayah atau saudara ibu
yang bungsu/paling akhir baik laki-laki maupun perempuan).
Selain itu, ada juga istilah kekerabatan lainnya yang digunakan yaitu: (1)
mertua (kedua orang tua istri), (2) besan (sebutan antara orang tua istri atau
sebaliknya), (3) menantu (kepada suami atau istri dari anak), (4) ipar (suami dari
saudara perempuan atau istri dari saudara laki-laki).
2.2.5 Kesenian
Masyarakat Melayu di Kota Binjai memiliki berbagai genre kesenian,
yang difungsikan di dalam kehidupan mereka. Kesenian-kesenian ini hidup dan
berkembang terus sampai sekarang, diantaranya seperti: Barzanji dan Marhaban,
Pantun, Hadrah, Rinjis-rinjis dan Anak Ikan, Tari Serampang Dua Belas, Tari
Persembahan, Tari Zapin atau Gambus, Tari Inai, Ronggeng, dan lain-lain.
Barzanji dan Marhaban adalah seni berunsur Islam yang umum digunakan
di dalam upacara-upacara yang berkaitan dengan agama Islam dalam kebudayaan
Melayu, seperti perkawinan, khitanan, mengantar calon dan menyambut haji,
festival-festival budaya Islam, dan lain-lain. Kesenian ini bersumber dari Kitab
Al-Barzanji yang di dalamnya adalah kisah tentang kehidupan Nabi Muhammad.
Kitab ini dikarang oleh ulama Islam ternama yaitu Syekh Ahmad Barzanji. Seni
barzanji biasanya disajikan secara bersama dengan seni marhaban sekaligus,
sebab keduanya memang dua genre seni yang selalu berpasangan.
Selanjutnya adalah pantun yang merupakan salah satu genre sastra
tradisional Melayu yang paling lazim dan umum digunakan dalam berbagai
98
konteks kebudayaan Melayu. Pantun dapat terdiri dari dua baris, empat baris, dan
enam baris. Penggal pertama adalah sampiran dan penggal kedua adalah isi
pantun. Antara sampiran dan isi pantun terjadi kesatuan, baik dari segi isi, tema,
dan rima (persajakan). Yang paling umum adalah pantun empat baris atau pantun
empat rangkap, dengan rima rata (a-a-a-a) maupun binari (a-b-a-b). Pantun dapat
disajikan dengan gaya berbicara sehari-hari, tetapi dapat juga dinyanyikan dengan
berbagai melodi dalam budaya musik Melayu.
Berikutnya hadrah yaitu kesenian khas Melayu yang berunsur Islam.
Hadrah merupakan perpaduan seni membawakan gendang dengan para penari
yang menari dengan gaya duduk serta lenggak lenggok lemah gemulai disertai
gerakan yang dimodifikasi hingga timbul satu kesatuan gerak. Biasanya alunan
gendang dibawakan oleh tiga orang penabuh dan lagu yang didendangkan adalah
yang bernafaskan Islami.
Rinjis-rinjis dan Anak Ikan adalah dua lagu yang paling umum digunakan
untuk mengiringi upacara tepung tawar yang menjadi salah satu bahagian dari
keseluruhan rangkaian upacara perkawinan adat Melayu. Lagu ini akan terus
mengiringi para sanak keluarga dan tetamu yang menepungtawari kedua
mempelai. Panjang dan pendeknya persembahkan disesuaikan dengan konteks.
Penyanyi pula bisa berhenti sementara musik terus saja dipersembahkan.
Tari Serampang Dua Belas (XII) adalah tari yang berasal dari Kesultanan
Serdang, pada awalnya disebut musik dan tari Pulau Sari yang kemudian
dipolakan oleh Guru Sauti dibantu oleh seniman O.K. Adram. Tarian ini menjadi
begitu populer di era awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia. Tarian ini
99
bercerita tentang pengalaman sepasang kekasih dari mulai kenal, memadu kasih,
sampai bersanding di atas pelaminan. Tarian ini setiap waktu selalu
diperlombakan, termasuk di Kota Binjai sendiri.
Tari Persembahan atau sering disebut juga Tari Makan Sirih adalah sebuah
tari kreasi baru yang telah mentradisi, umumnya digunakan untuk menyambut
tamu. Gerakan tari yang digunakan umunya gerak tari Lenggang Patah Sembilan,
juga menggunakan properti berupa tepak. Penari yang membawa tepak akan
menghaturkan tepak yang berisi sirih kepada para tamu yang dihormati.
Selanjutnya Tari Zapin atau Gambus adalah satu jenis tari dalam
kebudayaan Melayu dan berbagai kelompok masyarakat Nusantara ini yang
begitu populer. Tarian ini dipercayai berasal dari kawasan Arabia, khususnya
Yaman. Tarian ini awalnya digunakan untuk hiburan para tetamu di acara pesta
perkawinan. Tari zapin memiliki berbagai nama sesuai dengan judul lagu atau
musik yang diciptakan untuk mengiringinya. Dalam kebudayaan Melayu di antara
tari zapin yang terkenal adalah Ya Salam, Selabat Laila, Zapin Persebatian, Bunga
Hutan, Lancang Kuning, Menjelang Maghrib, Zapin Deli, Zapin Kasih dan Budi,
Zapin Serdang, dan lain-lain.
Tari Inai adalah salah satu tarian yang digunakan pada saat upacara malam
berinai adat Melayu, dan menurut kepercayaan orang tua dulu, upacara malam
berinai dapat menjauhkan pengantin dari hal-hal yang buruk ketika telah berumah
tangga nanti. Tetapi kini semakin berkembangnya pola fikir dan religi masyarakat
terhadap fungsi upacara malam berinai sekaligus Tari Inai hanya sebagai
pelengkap upacara adat.
100
Ronggeng adalah sebuah genre tari pergaulan sosial dalam kebudayaan
Melayu Sumatera Utara yang begitu populer. Ronggeng digunakan dalam
berbagai kegiatan budaya seperti untuk merayakan perkawinan, hiburan ditempat-
tempat hiburan di Sumatera Utara. Kesenian ronggeng ini adalah satu kegiatan
kesenian yang melibatkan beberapa penari (perempuan) menyanyi dan menari
melayani para penonton untuk menari bersama mereka, dan nyanyian tersebut
berupa berbalas pantun. Para penonton yang hendak menari atau menyanyi
bersama biasanya meminta kepada pihak penyelenggara saja.
101
BAB III
UPACARA ADAT PERKAWINAN
MASYARAKAT MELAYU DI KOTA BINJAI
3.1 Gambaran Umum Upacara Perkawinan Masyarakat Melayu
Jika dilihat secara sosial, budaya, maupun agama tujuan perkawinan
adalah untuk menjaga struktur sosial, terutama kekerabatan dalam kelompok etnik
atau yang lebih besar adalah seluruh kelompok manusia di dunia. Dengan
demikian, melalui perkawinan ini, maka akan terjaga hubungan kekerabatan yang
berakar dari hubungan darah. Institusi perkawinan ini akan menjaga eksistensi dan
istilah kekerabatan seperti: ayah, ibu, nini, moyang, anak, cucu, cicit, piut, dan
seterusnya. Begitu pentingnya institusi perkawinan ini dalam kebudayaan Melayu,
sehingga diatur oleh adat Melayu, secara rinci, berlapis-lapis, namun menjadi
identitas yang khas. Sebagai contoh hubungan kekerabatan karena faktor
perkawinan ini menjadikan dirinya yang berasal dari etnis lain dapat dikatakan
masuk menjadi Melayu karena faktor perkawinan.
Namun demikian, selaras dengan konsep adat yang dipakai dalam
kebudayaan Melayu yaitu adat bersendikan syarak, syarak bersendikan
kitabullah, maka adat perkawinan Melayu juga mengacu kepada ajaran Islam
mengenai perkawinan. Terapannya dalam kebudayaan Melayu, selain
menggunakan konsep perkawinan dalam Islam, juga diselaraskan dengan budaya
Melayu, yang membedakan upacara perkawinan ini dengan negeri-negeri Islam di
seluruh dunia.
102
Perkawinan dalam perspektif adat Melayu merupakan salah satu masa
dalam siklus kehidupan setiap manusia yang bernilai religius dan budaya. Apabila
dibandingkan dengan fase kehidupan yang lainnya, maka perkawinan dapat
dikatakan sangat khas dan dipandang sebagai peristiwa yang sangat khusus.
Perhatian kultural berbagai pihak yang berkepentingan dengan acara (istiadat)
perkawinan ini, akan banyak tertumpu kepadanya. Di antaranya adalah mulai dari
memikirkan proses akan menikah, persiapannya, upacara pada hari perkawinan,
hingga setelah upacara usai dilaksanakan.
Penjelasan mengenai tahap-tahap, terminologi dan ciri khas perkawinan
etnis Melayu, akan dijelaskan pada bab ini khususnya yang berada dalam wilayah
kebudayaan melayu Sumatera Utara. Pada kebudayaan etnis Melayu dikawasan
Kota Binjai ini, biasanya berjalan secara konseptual dan praktik, atas persetujuan
keluarga dari kedua belah pihak calon pengantin. Biasanya pernikahan akan
dilakukan jika masing-masing calon pengantin sudah dewasa dan akil baligh. Ini
berarti seorang pria dan wanita dapat dinikahkan oleh tuan kadi apabila telah
dewasa (akil baligh menurut hukum Islam).
Menurut Bapak Salim (informan) sebuah perkawinan yang ada pada etnis
Melayu di Kota Binjai biasanya berawal dari merisik melalui perantara kedua
belah pihak kemudian dilanjutkan dengan pertunangan (antara pihak wanita dan
pihak pria mengikat janji) yang waktunya ditentukan oleh kedua belah pihak.
Dalam masa pertunangan itulah seorang gadis dan pemuda berkenalan terlebih
dahulu. Kemudian masa perkenalan dan pertunangan tersebut dinaikkan ke
jenjang yang lebih tinggi yaitu masa perkawinan.
103
3.2 Pembagian Upacara Perkawinan pada Masyarakat Melayu
Pada bagian ini akan membahas tentang pembagian upacara Perkawinan
Melayu yang merupakan salah satu bagian penting yang menyertai serangkaian
upacara pernikahan menurut adat budaya Melayu. Rangkaian upacara dan adat
istiadat perkawinan Melayu yang biasanya dilalui oleh sepasang mempelai
pengantin sebelum, selama, dan setelah pernikahan meliputi:
1. Merisik melalui Penghulu Telangkai
a. Merisik kecil
b. Merisik resmi
2. Meminang
a. Ikat Janji
b. Tukar tanda
3. Jamu Sukut
4. Mengantar Bunga Sirih.
5. Malam Berinai:
a. Berinai Curi
b. Berinai Kecil
c. Berinai Besar
6. Akad Nikah
7. Berandam dan mandi berhias
8. Bersanding
a. Tepung tawar
b. Nasi hadap-hadapan
104
9. Mandi berdimbar
10. Meminjam pengantin.
Di antara berbagai ragam upacara tersebut bahwa yang perlu ditegaskan di
sini adalah hanya pada acara Merisik, Peminangan, Mengantar Bunga Sirih, Akad
Nikah, Bersanding dan Meminjam Pengantin yang menggunakan Hantaran.
3.2.1 Merisik melalui penghulu telangkai (merisik kecil dan merisik resmi)
Jika dalam sebuah keluarga, khususnya pada kebudayaan Melayu terdapat
seorang anak lelaki yang telah dewasa, maka biasanya orang tua selalu
membicarakan dan memberikan arahan-arahan mengenai jodoh anaknya. Secara
umum, pihak lelaki yang mencari pasangan hidupnya, sedangkan pihak
perempuan hanya menunggu datangnya seorang pria yang dapat menjadi
pasangan hidupnya. Jika kedua orang tua dari pria tersebut telah mendapatkan
calon untuk anaknya, maka secara diam-diam, tanpa diketahui orang lain, mereka
memanggil seorang wanita yang berusia relatif tua dan sudah terbiasa
mengerjakan tugas sebagai telangkai atau utusan untuk merisik ke rumah calon
istri sambil melihat tingkah laku si gadis serta kemungkinan orang tua gadis
tersebut menerima peminangan.
Merisik merupakan sebuah upaya dari seorang calon pengantin lelaki
dalam mendekati calon pengantin wanita yang masih belum diketahui apakah
sang calon sudah memiliki calon lain atau belum. Biasanya dilakukan oleh ibu-ibu
yang dijadikan utusan (Telangkai) untuk merisik dan mencari informasi tentang
sang calon. Kembali lagi ke dalam deskripsi upacara adat perkawinan Melayu.
105
Dalam tahap awal ini, telangkai tidak resmi, yaitu wanita setengah baya tadi,
mengemukakan maksud dari pihak keluarga lelaki.
Ketika Merisik kecil selesai kemudian dilanjutkan dengan merisik resmi
yang dihadiri oleh sanak famili kedua belah pihak. Penghulu Telangkai adalah
utusan dari calon pengantin laki-laki kepada orang tua calon istri untuk
menanyakan hal-hal yang disepakati untuk dipersiapkan ketika acara peminangan
nanti. Jika telangkai ini telah berhasil melakukan tugas risikannya, maka biasanya
ia mendapat upah berupa pakaian atau baju (atau apapun) sebagai cenderamata
dari pihak laki-laki. Juga sebagai ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada telangkai ini.
3.2.2 Meminang
Selanjutnya dilakukan poses acara meminang yang diadakan setelah ada
kata sepakat dari kedua belah pihak. Dalam acara peminangan ini, kedua-dua
orang tua tidak boleh hadir, baik orang tua perempuan maupun orang tua laki-laki.
Hanya sanak keluargalah yang saling berhadapan, terutama anak beru yang paling
penting dalam konteks pertemuan peminangan ini. Merekalah sebagai orang
semenda (saudara) ) mengurus semua peralatan adat yang akan dibutuhkan oleh
keluarga. Pada hari yang ditentukan, serombongan pihak laki-laki yang dipimpin
anak beru (menantu laki-laki dan perempuan) dan orang tua yang berpengalaman
dalam hal adat perkawinan datang kerumah calon pengantin perempuan. Penghulu
telangkai ikut serta sebagai saksi, karena dari awal penghulu telangkai sudah
menjadi penghubung resmi.
106
Selain itu, tata cara adat Melayu menentukan bahwa kaum perempuan
biasanya masuk dan duduk di ruangan dalam rumah, di sisi lain golongan laki-
laki, baik dari pihak perempuan maupun laki-laki duduk di ruangan depan atau
tengah rumah, yang disaksikan oleh penghulu telangkai sebagai penengah (wasit)
adat, apabila ada kesalahpahaman antara kedua belah pihak, yang berkepentingan
ini. Biasanya yang tertua ataupun yang mampu diantara mereka jadi pimpinan.
Utusan ini bertujuan, agar calon pengantin perempuan setuju diikat secara adat
dalam menuju jenjang perkawinan dengan calon pengantin laki-laki. Hal ini perlu
disampaikan kembali di depan orang banyak, agar jangan sampai terjadi salah
paham dikemudian hari. Dalam acara meminang ini, pihak laki-laki datang
membawa serta tepak sirih sebanyak lima jenis, yang terdiri dari:
1) Tepak sirih pembuka kata
1) Tepak sirih merisik
2) Tepak sirih meminang
3) Tepak sirih bertukar tanda
4) Tepak sirih ikat janji dan beberapa tepak sirih pengiring.
Sedangkan dari pihak perempuan juga telah menanti dengan menyiapkan tiga
tepak sirih, yaitu diantaranya adalah :
1) Tepak menanti
2) Tepak ikat janji
3) Tepak tukar tanda
Selain dari tepak-tepak tersebut, disediakan pula makanan-makanan yang
dihidangkan apabila acara peminangan telah selesai dilaksanakan. Ini merupakan
107
jamuan bersama antara pihak utusan (biasanya keluarga) laki-laki dan perempuan,
yang bertujuan untuk menjalin silaturahmi agar lebih akrab lagi.
Untuk menyampaikan maksud dan tujuan dalam proses pemberian tepak
ini pada umumnya selalu diiringi dengan pantun ataupun bahasa kiasan,
ungakapan, dan sebagainya. Jika kedua belah pihak telah berhadapan, maka
dimulai dari pihak perempuan memberikan sebuah tepak sirih (Sirih Menanti)
kepada pihak tamu keluarga laki-laki sebagai penyambut tamu sambil berkata :
“Terbentang luas bumi dan lautan, Matahari pun bersinar terang, Sang bayu pula bertiup sepoi, Sedang awan berarak megah, Di angkasa sana awan berarak mesra, Burung-burung pun ria bersenandung ceria, Kami lihat tetamu datang dengan tujuan, Berbinar wajah alamat sentosa, Kami terima di gubuk yang serba kurang, Membuat kami ahlil bait bersuka cita. “Burung belibis terbang mengawan, Hinggap sebentar di pohon alpukat, Tetamu datang apa gerangan, Harus disambut secara adat. “Oleh sebab itulah, tuan-tuan Sirih nanti kami sorongkan”.
Diiringi dengan pantun:
“Jikalau pergi ke Kota Pinang “Luasnya kebun merata-rata Makan sirih sekapur seorang Itulah mula asal kata”. Dalam konteks kebudayaan Melayu, secara umum pihak laki-laki harus
lebih banyak mengalah dalam menerima sindiran. Hal ini merupakan prinsip dari
kalah untuk menang, biarlah mengalah asalkan maksudnya untuk meminang
tercapai. Kemudian setelah itu, tepak sirih bagi pihak laki-laki ini diedarkan oleh
108
pihak perempuan sambil masing-masing mengambil sirih tersebut lalu dimakan.
Setelah tepak pertama selesai, dilanjutkan dengan menyerahkan tepak sirih oleh
pihak laki-laki kepada pihak perempuan, sambil berpantun sebagai berikut :
“Kami datang membawa pesan Salam takzim penuh keikhlasan Dari keluarga yang jadi pangkalan Semoga kita dalam lindungan tuhan “. “Tinggi-tinggi si matahari Anak kerbau mati tertambat Sudah lama kami mencari Tempat berteduh di hujan lebat”. Ketika akan menyodorkan tiap-tiap tepak haruslah dengan sangat hati-hati,
jangan sampai posisi tepaknya terbalik. Tepak sirih yang dari pihak laki-laki
diberikan pula kepada pihak perempuan dan keluarga pihak perempuan.
Kemudian dari pihak laki-laki memberikan Tepak Merisik sambil memberi
tahukan maksud dan tujuan yang diwakilinya menggunakan bahasa kiasan,
ungkapan, pantun, dan sejenisnya. Apabila maksud dikatakan secara langsung
atau terang-terangan, maka juru bicara tersebut dapat dikatakan kasar dan tidak
tahu adat sopan santun.
Dengan demikian membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berbalas
pantun, hingga akhirnya mendapatkan penyelesaian sesuatu, terutama ketika pihak
laki-laki mengutarakan maksud kedatangannya, maka seluruh tamu
mendengarkan dengan penuh perhatian. Secara resmi pihak perempuan bertanya
siapa kira-kira pihak calon yang meminang, siapa gadisnya yag hendak dipinang.
Akhirnya semuanya diterima oleh pihak perempuan. Kemudian, mulailah mereka
memakan sirih risik, Setelah risik diterima, maka pihak laki-laki menyodorkan
kepada pihak perempuan tepak peminang dan pihak perempuan setelah
109
mendengar niat dan janji laki-laki lalu menerima sirih peminang tersebut dan
diberikan pula ke ruangan belakang agar dicicipi oleh keluarga.
Setelah seluruh rangkaian acara ini selesai, maka pihak laki-laki
mengeluarkan sebentuk cincin, yang telah dimasukkan dalam sebuah tempat yang
indah berhias dan disertai oleh sebuah tepak bertukar tanda, langsung diserahkan
kepihak perempuan. Demikian juga pihak perempuan menyorongkan sebuah
tanda benda berharga dalam baki yang telah dihiasi disertai tepak bertukar tanda.
Tanda ini boleh berupa cincin ataupun perhiasan lain. Setelah bertukar tanda,
maka pihak laki-laki menyorongkan pula sebuah tepak ikat janji, untuk
memperbincangkan dan menentukan: hari pernikahan, mengantar sirih besar, hari
mengantar mas kawin, hari bersanding, besarnya jumlah mas kawin, adat-adat lain
yang dipakai, syarat-syarat seperti yang diuraikan diwaktu meminang.
3.2.3 Jamu sukut
Acara jamu sukut merupakan acara yang tujuan utamanya adalah untuk
memberitahukan atau mengabarkan kepada keluarga masing-masing calon
pengantin, bahwa telah terjadi acara peminangan, antara dua kerabat besar ini.
Acara ini juga sekaligus sebagai ungkapan syukur kepada Allah atas segala
rahmat dan hidayah-Nya kepada kedua keluarga besar ini. Selepas saja
peminangan secara resmi diterima oleh pihak perempuan, maka baik ibu dan ayah
dari calon pengantin perempuan maupun kedua orang tua dari calon pengantin
laki-laki masing-masing mengadakan sebuah jamuan (kenduri) untuk
mengabarkan keluarga besar mereka masing-masing tentang peminangan yang
110
baru diterima. Pada beberapa tempat di daerah Sumatera Timur pada umumnya
acara kenduri yang seperti ini disebut jamu sukut.
Jamu sukut adalah acara memberikan jamuan makan yang disediakan oleh
orang tua calon pengantin untuk kaum kerabat dan tetangga terdekat. Tujuan acara
tersebut adalah untuk memberitahukan acara peminangan dari pihak laki-laki
untuk meminang calon istri (pihak yang menerima pinangan), jamuan makan ini
diadakan oleh orang tua calon pengantin perempuan sambil mengharapkan juga
bantuan moral dan material dari keluarga, serta kaum kerabat terdekat. Bantuan
ini diharapkan dapat meringankan beban persoalan yang dihadapi pihak orangtua
calon mempelai perempuan. Sejak itu tuan rumah hanya memperhatikan proses
kerja, menyediakan bahan dan hal-hal yang diperlukan. Sedangkan pelaksanaan
dan tanggung jawab atas lancarnya pekerjaan diserahkan kepada anak beru dan
keluarga lainnya.
Setelah selesai jamu sukut, maka pihak laki-laki juga pihak perempuan
memberi kabar kepada semua keluarga. Sewaktu mengundang diwajibkan
membawa tepak sirih yang dibungkus dengan kain.
3.2.4 Mengantar bunga sirih
Mengantar bunga sirih bertujuan untuk meramaikan suasana iring-iringan
dari pihak laki-laki ke rumah pihak perempuan. Jumlah bunga sirih dapat
menunjukkan banyaknya keluarga dan kerabat pihak laki-laki. Dengan demikian
tepak bunga sirih pun dibuat dengan bermacam-macam bentuk yang indah dan
beraneka ragam warna . Misalnya bentuk burung, bunga, rumah, buah, binatang
111
dan lain-lain. Biasanya di dalam bunga sirih ini diletakkan secarik kertas yang
berisi pantun atau kata-kata sindiran yang manis yang ditujukan kepada kedua
mempelai.
Namun seiring berjalannya waktu bunga sirih ini berganti dengan benda-
benda yang lebih bermanfaat seperti: alat sholat, pakaian, peralatan mandi, buah,
makanan yang juga dibentuk dengan berbagai bentuk yang indah dan cantik, hal
ini mungkin disebabkan zaman sekarang sulit mendapatkan sirih yang banyak
untuk dirangkai dan juga zaman sekarang jarang orang yang mau makan sirih
seperti orang-orang dahulu sehingga jika dipaksakan dibuat maka sirih-sirih
tersebut akan terbuang percuma,perubahan ini dapat diterima suku Melayu karena
sesuai dengan semboyan orang melayu “Sekali air bah sekali tepian berubah”
maksudnya suku melayu dapat menerima perubahan selagi tidak melanggar
syariat agama dan adat.
3.2.5 Malam berinai
Upacara berinai merupakan pengaruh dari ajaran Hindu. Perhelatan ini
memiliki makna dan tujuan untuk menjauhkan diri dari bencana, membersihkan
diri, dan melindungi calon pengantin dari hal-hal yang tidak baik. Bentuk
kegiatannya bermacam-macam dengan tujuan mempersiapkan calon pengantin
agar tidak menemui masalah di kemudian hari. Hal yang paling dikenal dalam
upacara ini biasanya adalah kegiatan memerahkan kuku, tetapi sebenarnya masih
banyak hal lain yang perlu dilakukan. Disamping itu tujuannya juga untuk
memperindah calon pengantin agar terlihat lebih bercahaya, menarik, dan cerah.
112
Upacara ini merupakan lambang kesiapan pasangan calon pengantin untuk
meninggalkan hidup menyendiri dan kemudian menuju kehidupan rumah tangga.
Dalam ungkapan adat disebutkan :
Malam berinai disebut orang Membuang sial muka belakang Memagar diri dari jembalang Supaya hajat tidak terhalang Supaya niat tidak tergalang Supaya sejuk mata memandang Muka bagai bulan mengambang Serinya naik tuah pun datang Upacara berinai diadakan sehari sebelum pelaksanaan akad nikah di rumah
pengantin perempuan dan dihadiri oleh famili dan teman-teman terdekat dari
calon pengantin. Ada tiga upacara berinai yaitu berinai curi, berinai kecil dan
berinai besar. Adapun pelaksanaan malam berinai yang dilakukan oleh pihak laki-
laki hanya tepung tawar oleh keluarga dan teman-temannya saja, sedangkan
malam berinai yang dilakukan oleh pihak perempuan ialah serangkaian acara
sakral malam berinai diawali dengan kenduri arwah (mendoakan leluhur),
bersalaman kepada kedua orangtua (memohon restu) sebelum calon pengantin
wanita duduk diatas pelaminan, kemudian dilanjutkan oleh acara hiburan dan
kemudian Tari Inai ditampilkan sebagai pelengkap kesakralan dan menandakan
dimulainya upacara malam berinai tersebut.
Biasanya malam berinai dilakukan selama 3 malam berturut-turut yakni :
Malam berinai pertama disebut Malam Inai Curi ialah pengantin yang diberi inai
oleh teman-temannya sewaktu ia tidur sehingga tidak ketahuan. Pada pelaksanaan
malam berinai ini sebelumnya disepakati terlebih dahulu oleh teman-teman dari
calon pengantin secara diam-diam, agar acara ini dapat berjalan sesuai dengan
113
rencana yang telah diatur dan tidak diketahui sama sekali oleh calon pengantin.
Malam kedua disebut malam Inai kecil, pengantin wanita dihiasi, didandani dan
didudukkan di atas pelaminan. Dalam pelaksanaan malam berinai ini, sebelumnya
telah mengundang dan melibatkan sanak keluarga, tetangga, dan kerabat seperti;
saudara ayah atau saudara ibu baik laki-laki maupun perempuan, untuk
menghadiri acara tersebut serta meminta mereka untuk ikut menepungtawari calon
pengantin. Lalu dilanjutkan dengan malam Inai besar, pada saat pengantin duduk
di pelaminan inilah Tari Inai dan kesenian-kesenian Melayu lainnya seperti rodat,
hadrah, gambus, dan ronggeng, dimainkan untuk memeriahkan acara tersebut.
Namun Tari Inai ditampilkan terlebih dahulu sebelum tarian Melayu lainnya,
kemudian pengantin wanita dipasangkan inai pada kuku jari-jari tangan dan
kakinya terlebih dahulu oleh kedua orangtuanya, lalu kemudian dilanjutkan
dengan keluarga, yang secara berurutan terdiri dari : datu, nini, abah, emak, akak,
uwak, uda, uwak ulung, uwak ngah, uwak alang, uwak utih, uwak andak, uwak
uda, uwak ucu, dan yang terakhir adik serta teman-teman dekatnya. Setelah semua
acara selesai dan pada saat pengantin wanita dipasangkan inai inilah yang
sebenarnya disebut berinai besar. Tetapi kini malam berinai hanya dilakukan satu
malam dan acara sakralnya diadakan dirumah pihak perempuan saja karena faktor
dana dan waktu yang kurang mendukung. Sehingga, malam berinai yang
dilakukan hanya malam berinai besar saja yang dihadiri seluruh keluarga dan
kerabat pihak perempuan.
Tari Inai merupakan salah satu upacara adat masyarakat Melayu di Kota
Binjai yang bisa dikatakan sebagai pelengkap upacara adat, yang dilakukan oleh
114
golongan masyarakat yang tingkat perekonomiannya relatif baik. Jika Tari Inai
atau upacara malam berinai tidak diadakan, upacara pernikahan keesokan harinya
akan tetap berlangsung. Kesenian Tari Inai adalah merupakan seni pertunjukan
yang melibatkan tari dan musik. Dahulu, malam berinai dilakukan dalam waktu
yang bersamaan oleh pasangan calon pengantin. Hanya saja secara teknis
dilakukan secara terpisah, bagi pengantin perempuan dilakukan di rumahnya
sendiri, begitu pula dirumah pengantin laki-laki. Namun, kini hanya dilakukan di
rumah pengantin wanita saja, sedangkan di rumah pengantin pria tidak dilakukan
upacara malam berinai. Akan tetapi inai akan dihantar dari rumah pengantin
perempuan kerumah si calon pengantin laki-laki. Kemudian menurut adat
diadakan tepung tawar dan dilanjutkan pemasangan inai ke kuku jari-jari tangan
dan kakinya oleh keluarga dan teman-teman dekat calon pengantin laki-laki.
Gambar 3.1 Pemakaian Inai (Sumber. Syarifah Aini, 2013)
Gerakan Tari Inai yang dilakukan merupakan kombinasi dari gerak-gerak
hewan atau kejadian-kejadian alam, sehingga gerakannya dibuat hampir
menyerupai gerakan silat. Pada dasarnya alat-alat musik yang biasa digunakan
untuk mengiringi Tari inai ini adalah sebuah serunai Melayu yang berfungsi
115
sebagai pembawa melodi, satu atau dua buah gendang Melayu satu muka
(gendang ronggeng), dan sebuah gong.
Rentak musik yang disajikan berdasarkan irama musik silat seperti yang
telah diketahui bahwa musik dari Melayu Kota Binjai yang selalu digunakan
adalah musik Melayu yang berirama dan bertajuk patam-patam. Gendang patam-
patam merupakan sebuah istilah musikal dalam kebudayaan musik Karo. Selain
pada kebudayaan musik Karo, istilah patam-patam ini juga dapat ditemukan
dalam kebudayaan musik Melayu. Seperti pada awal mulanya judul musik ini
terkenal di wilayah Melayu khususnya daerah Melayu Asahan. Sedangkan pada
masyarakat Karo, patam-patam merupakan judul sebuah komposisi instrumental
musik tradisional. Komposisi yang dimaksud tersebut adalah melodi dan juga
ritem yang dihasilkan dari permainan gendang lima sendalanen.
Namun, dari hasil pengamatan dilapangan, alat-alat musik yang biasa
digunakan untuk mengiringi Tari Inai ini adalah sebuah biola, akordion, gendang
ronggeng dan keyboard. Hal itu dipengaruhi karena adanya perubahan dalam
penggunaan alat musik, akan tetapi musik dalam penyajian Tari Inai hingga saat
ini masih tetap menggunakan rentak patam-patam.
Gambar 3.2 Penari Inai pada Upacara Malam Berinai (Sumber. Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013)
116
3.2.6 Acara akad nikah
Umumnya akad nikah dilaksanakan pada pagi hari, diantara sekitar pukul
8 atau 9 pagi. Diawali dari calon pengantin laki-laki yang diantarkan oleh
keluarga dan sanak famili ke rumah pihak perempuan untuk mengucapkan akad
nikah, dan biasanya membawa serta hantaran berupa :
1. Uang mahar seperti yang telah dijanjikan dan disepakati oleh kedua belah
pihak, biasanya uang mahar tersebut sudah dipersiapkan sebelumnya oleh
calon pengantin pada waktu nikah.
2. Uang tambahan dibungkus dan diikat dengan benang perca warna-warni
diikat dengan simpul hidup. Kemudian uang yang telah dibungkus
itu dimasukkan ke dalam “uncang”, dan dibungkus pula dalam sehelai
kain panjang, setelah itu diletakkan di atas sebuah dulang kecil yang
diberi nama “semerip”. Uang mahar ini digendong oleh ibu dari mempelai
laki-laki sewaktu dibawa ke rumah pihak perempuan dengan penuh kasih
sayang seperti menggendong bayi laki-lakinya.
3. Pahar berisi pulut kuning dan ayam panggang yang telah dipersiapkan
sebelumnya.
4. Tepak nikah yang di dalamnya dimasukkan sebagian upah nikah
untuk tuan kadi yang biasanya dibayar oleh kedua belah pihak.
Pada kesempatan yang sama pihak perempuan juga mempersiapkan
tepak sirih dan pahar berisi pulut kuning dan panggang ayam yang akan
ditukarkan dengan hantaran dari pihak laki-laki. Jika rombongan pihak laki-laki
telah sampai maka pengantin laki-laki didudukkan di sebuah tilam yang di atasnya
117
dibentangkan tikar dan dilapisi dengan kain sehingga terlihat lebih rapih dan
bersih. Tepak sirih nikah, pulut kuning dan bungkusan uang mahar berada di
tengah-tengah majelis atau keluarga dan tamu.
Kemudian tuan rumah menyodorkan tepak sirih penyambut untuk
dimakan dan dimulailah acara berpantun untuk pengantar nikah, setelah itu maka
oleh anak beru dari pihak perempuan dibukalah bungkusan uang mahar secara
hati-hati dan dihitung jumlah isinya jika telah cukup maka oleh famili yang
tua-tua bergantian maksudnya agar perkawinan itu nanti mendapat kekekalan
dan keselamatan seperti perkawinan orang tua-tua dulu, kemudian uang
diserahkan kepada ibu bapak pengantin perempuan.
Sebagaimana lazimnya dalam adat perkawinan menurut ajaran agama
Islam, upacara akad nikah harus mengandung pengertian ijab dan kabul.
Pemimpin upacara ini biasanya adalah tuan kadi atau pejabat lain yang
berwenang. Setelah pernyataan ijab kabul telah dianggap sah oleh para saksi,
maka dilanjutkan dengan dibacakannya doa walimatul urusy yang dipimpin oleh
tuan kadi atau orang yang telah ditunjuk. Kemudian pengantin laki-laki
mengucapkan taklik (janji nikah) yang dilanjutkan dengan penandatanganan surat
janji nikah.
Seluruh rangkaian upacara akad nikah ini diakhiri dengan pembacaan doa
untuk menandai dapat dimulainya acara berikutnya yaitu makan bersama. Lalu
pihak laki-laki pulang dengan membawa pahar pulut kuning yang telah
ditukarkan dari pihak perempuan serta alat-alat lainnya seperti” benda tanda”
yang diserahkan dulu. Akan tetapi dalam kenyataan yang dijumpai di masyarakat,
118
sering juga akad nikah ini tidak dapat berjalan lancar. Biasanya yang selalu
mendapatkan gangguan adalah calon mempelai laki-laki, terkadang pada waktu
pengucapan ijab kabul tersebut bisa sampai diulang-ulang beberapa kali hingga
jelas. Keadaan tersebut biasanya diakibatkan oleh sesuatu gangguan secara
supranatural yang sengaja dibuat oleh pihak-pihak yang tidak senang serta
menghendaki gagalnya acara ini. Dalam budaya Melayu, dipercayai bahwa
masalah ini adalah berasal dari gangguan makhluk halus terhadap pengantin pria,
wanita, dan juga keluarganya.
3.2.7 Berandam dan mandi berhias
Upacara berandam biasa dilakukan di rumah pengantin perempuan.
Dengan cara si calon pengantin perempuan digunting rambutnya sedikit-sedikit
saja dengan menggunakan pisau cukur, lalu calon pengantin tersebut diandam
atau dikerik rambut-rambut halus yang ada di wajah agar cantik ketika
didandani, setelah itu pengantin melanjutkannya dengan mandi berhias yaitu
mandi dengan air wangi-wangian. Setelah itu bersiap-siap untuk didandani. Di
tempat yang terpisah, calon pengantin laki-laki juga melakukan upacara
berandam.
3.2.8 Bersanding (tepung tawar dan nasi hadap-hadapan)
Dalam keseluruhan rangkaian upacara adat perkawinan Melayu, terdiri
lagi dari bahagian-bahagian yang lebih kecil. Dimulai dari prosesi rombongan
pengantin lelaki memasuki halaman rumah. Kemudian dilanjutkan dengan
119
hempang batang. Seterusnya ada juga hempang pintu, kemudian pijak batu lagan.
Diteruskan dengan pengembang tikar, buka tabir, buka kipas, tepung tawar,
makan nasi hadap-hadapan, acara naik sembahan, serah terima pengantin, dan
mandi bedimbar.
Pelaksanaan upacara bersanding diadakan di rumah pengantin
perempuan. Pengantin perempuan telah dirias dengan memakai pakaian adat
lengkap, bersanggul dan menggengam sirih genggam kemudian naik ke atas
pelaminan dan ditutup beberapa pintu dan hempang kipas dengan
menggunakan kain panjang atau selendang. Pihak laki-laki yang terdiri atas
kerabat dekat ikut serta untuk mengantar pengantin laki-laki yang telah
memakai destar dan menggenggam sirih genggam. Adapun beberapa jenis
hantaran yang dibawa pada acara bersanding antara lain :
1. Balai berbentuk meja kecil bertingkat, yang terbuat dari papan dengan
ukiran diluarnya, berkaki empat, tinggi kaki lebih kurang 40 cm.
Umumnya kotak balai berbentuk segi empat; segi lima; segi enam atau segi
delapan tinggi tiap tingkat lebih kurang 10 cm. Jumlah tingkatan balai
biasanya selalu ganjil seperti ; 1, 3, dan 5. Masing-masing tingkatan balai
tersebut berisi pulut kuning, namun pada tingkat pertama atau yang paling
atas pada posisi di tengah-tengah balai diletakkan satu ekor ayam panggang
yang dipacakkan bunga kemuncak, di tingkat kedua dipacakkan bunga telur
dan pada tingkat yang paling bawah di pacakkan merawal atau bendera. Rata-
rata tingkat ketinggian sebuah balai dapat diartikan sebagai kedudukan dan
posisi yang memiliki balai. Semakin tinggi tingkatan balai, menunjukkan
120
semakin tinggi pula kedudukan yang mempunyai acara. Kini yang sering di
dapati pada acara perkawinan, ketinggian balai hanya sampai pada tiga
tingkat. Untuk warna balai kuning dan putih dikhususkan bagi kalangan raja
dan bangsawan. Warna kuning untuk upacara perkawinan, menyambut
tamu dan lain-lain. Sedangkan warna putih untuk upacara khataman, ataupun
naik haji. Namun untuk rakyat biasa balai ini boleh berwarna warni. Adapun
makna yang terkandung dalam alat-alat pada balai ini adalah:
a. Pulut kuning berarti lambang kesuburan dan kemuliaan
b. Panggang ayam berarti lambang pengorbanan
c. Telur ayam berarti lambang keberhasilan, keturunan, perkembangan,
kejayaan,
d. Bunga kemuncak berarti lambang pelindung, pengayom, pemimpin,
kukuh dan jaya
e. Bendera atau merawal berarti lambang persatuan, kehormatan,
kemuliaan
2. Tepak sirih penyongsong
3. Bunga sirih
4. Nasi besan (nasi dengan lauk pauknya)
5. Sebaki tabur taburan tepung tawar (beras putih, beras kuning, bertih,
bunga rampai)
6. Tujuh buah telur ayam mentah (telur aluan)
7. Sisa uang hantaran
8. 2 (dua) Uncang uang hempang pintu
121
9. 2 (dua) uang buka hempang kipas, yang dibungkus di dalam uncang
kuning oleh kedua anak beru perempuan dan laki-laki.
10. Hempang Batang
Ketika rombongan pengantin laki-laki tiba di halaman rumah pengantin
perempuan, ditandai oleh masuknya terlebih dahulu anak beru, sebab ketika
rombongan tersebut akan memasuki pintu rumah telah dihempang dengan sehelai
kain yang disebut hempang batang dan dijaga oleh anak beru laki-laki dari pihak
perempuan sementara pihak tuan rumah bersiap-siap untuk menaburkan
segenggam bertih dan beras kunyit kepada rombongan pengantin laki-laki.
Setelah berdebat dengan saling berbalas pantun, maka diserahkanlah uang
hempang pintu tersebut. Setelah itu maka rombongan laki-laki diijinkan masuk
ke rumah, akan tetapi ketika sampai di dekat pelaminan terhalang lagi karena
adanya hempang kedua yang dijaga oleh anak beru perempuan dari pihak
perempuan setelah berdebat berpantun maka uang buka kipas diserahkan,
setelah itu dipenuhi, dibuka dan akhirnya pengantin laki-laki diperkenankan
naik ke pelaminan dan duduk di sebelah kanan pengantin perempuan.
Setelah melewati buka kipas maka sirih genggam pun selanjutnya
ditukarkan antara pengantin laki-laki dan pengantin perempuan, kemudian 7 telur
aluan diserahkan pada pihak perempuan. Dilanjutkan dengan menyerahkan
semua hantaran yang dibawa dari pihak keluarga laki-laki. Lalu dilakukan
upacara tepung tawar oleh perwakilan sanak famili dari kedua belah pihak
yang jumlahnya haruslah ganjil. Setelah semua selesai, maka kedua pengantin
dibawa turun untuk mengikuti acara nasi-hadap-hadapan yang telah disediakan.
122
Pada upacara nasi hadap-hadapan ini pengantin akan didudukkan di depan
sebuah dulang yang berisi nasi beserta lauk pauknya. Di dalam nasi
tersebut disembunyikan ayam panggang yang nantinya akan diperebutkan
kedua pengantin. Menurut kepercayaan orang Melayu, pengantin yang
berhasil mendapatkannya lebih dulu, menjadi pertanda bahwa dia akan lebih
berperan dalam mangarungi rumah tangga. Di samping itu, untuk lebih
memeriahkan suasana pada acara itu, disediakan berbagai macam makanan dan
buah buahan yang telah diukir atau dihias dengan indah. Begitu juga disediakan
berbagai kue, halwa atau manisan. Setelah acara ini selesai, lalu pengantin
laki-laki memberikan sebentuk cincin atau perhiasan lain yang biasa disebut
dengan cemetuk. Kemudian dipakaikan langsung oleh pengantin laki-laki kepada
pengantin perempuan.
3.2.9 Mandi berdimbar
Mandi bedimbar artinya mandi berhias, hal ini diperoleh dari sisa-sisa
agama Hindu yang memiliki kepercayaan tersebut. Pada adat Melayu yang
terdapat di Kota Binjai acara mandi bedimbar diadakan dua kali, terutama
untuk kalangan bangsawan. Setelah upacara ini kedua mempelai menghadap
orang tua perempuan dan keluarga dekatnya, pada saat itu diberilah macam-
macam hadiah cemetuk dari urutan keluarga yang berusia lebih tua sampai
yang termuda kecuali tutur adik. Selanjutnya mandi berdimbar diulangi lagi
karena lepas halangan yang dinamai mandi selamat, upacara tersebut serupa
dengan mandi berdimbar pertama, setelah mandi pengantin laki-laki akan
123
memberikan lagi cemetuk ke-2 kepada pengantin perempuan. Namun pada saat
ini, mandi berdimbar hanya dilakukan sekali saja atau bahkan sudah tidak ada lagi
sama sekali. Dikarenakan acara ini juga membutuhkan waktu dan dana dalam
pelaksanaannya.
3.2.10 Meminjam pengantin
Saat tiba pada hari yang sudah ditentukan oleh kedua belah pihak, maka
orang tua pengantin laki-laki mengutus anak beru laki-laki dan perempuan.
Kemudian dari pihak pengantin laki-laki meminjam pengantin ke rumah ibu
dan bapak pengantin perempuan, lalu pengantin membawakan beberapa bentuk
barang untuk mertua yang terdiri dari : berbagai jenis kue, satu balai nasi kuning,
serta tilam dan bantal.
Selain itu secara simbolik orang tua dari pengantin perempuan juga
menyerahkan beberapa jenis barang kepada menantunya berupa; asam, garam,
beras, lesung, dan alat-alat memasak dengan maksud bila berada di rumah
mertua agar menantunya mau ikut turun ke dapur. Setelah diadakan upacara
tepung tawar, malamnya dilakukan acara mebat, yaitu kedua pengantin pergi
mengunjungi kaum kerabat pihak laki-laki sambil membawa tepak sirih dan
makanan, kemudian pihak kerabat pun akan memberikan cemetuk kepada kedua
pengantin sebagai hadiah. Setelah tiga malam atau sesuai perjanjian yang telah
disepakati, maka kedua pengantin diantar kembali ke rumah pihak perempuan
dan pengantin perempuan menerima dari mertua yaitu beberapa perlengkapan
124
yang telah dibawa sebelumnya. Dengan demikian, berakhirlah seluruh rangkaian
upacara adat perkawinan Melayu ini.
3.3 Pertunjukan Tari Inai Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Melayu di
Kota Binjai
Seni pertunjukan biasanya digunakan dan memiliki fungsi dalam setiap
upacara adat perkawinan Melayu. Hal terpenting pada pertunjukan ini adalah
untuk memperkuat identitas kebudayaan, karena di dalamnya terkandung nilai-
nilai budaya terutama adat perkawinan Melayu. Terdapat berbagai seni
pertunjukan yang ditampilkan oleh para seniman Melayu di dalam rangkain
upacara adat perkawinan ini. Genre-genre seni pertunjukan tersebut, ada yang
memang hanya dilakukan dalam tahapan upacara tertentu, tetapi ada pula yang
diselenggarakan untuk berbagai acara dalam rangkaian upacara adat perkawinan
Melayu ini.
Berbagai genre seni pertunjukan ada yang digunakan dalam acara tertentu
dan ada pula yang digunakan dalam berbagai acaranya. Seperti seni tari dan musik
inai, digunakan dalam acara malam berinai. Kemudian barzanji dan marhaban
diselenggarakan ketika selesainya akad nikah dan acara tepung tawar. Begitu juga
lagu Rinjis-rinjis diperdengarkan ketika acara tepung tawar. Di sisi lain, tari
Persembahan dan Lagu Makan Sirih dipertunjukkan ketika acara menyambut
kedatangan pengantin lelaki di tengah halaman rumah. Seterusnya berbagai seni
pertunjukan Melayu, dipertunjukkan dalam acara-acara yang sifatnya hiburan
dalam rangkaian upacara adat perkawinan Melayu. Genre yang dipilih pun bebas,
125
disesuaikan dengan keinginan tuan rumah dan penyelenggara pesta, juga
keuangan yang tersedia. Di antara genre-genre seni pertunjukan yang dilakukan
dalam konteks hiburan ini, adalah: (1) seni zapin (gambus); (2) seni ronggeng, (3)
Serampang Dua Belas; (4) keyboard Melayu; dan lain-lainnya (Takari, 225:2014).
Dalam upacara perkawinan masyarakat Melayu, pada umumnya malam
berinai digunakan untuk berkumpul dengan semua keluarga dan teman-teman
terdekatnya sebagai tanda melepas masa lajangnya untuk terakhir kalinya. Dahulu
malam berinai dapat dilakukan selama tiga malam yakni: malam pertama disebut
malam inai curi, dimana pengantin diberi inai oleh teman-temannya sewaktu ia
tidur sehingga tidak ketahuan. Malam kedua disebut malam inai kecil, pengantin
wanita dihiasi, didandani dan didudukkan di atas pelaminan yang dihadiri oleh
sanak keluarga, tetangga, dan kerabat untuk ditepung tawari. Lalu dilanjutkan
dengan inai besar, terlebih dahulu Tari Inai ditampilkan dan tarian Melayu
lainnya, kemudian pengantin wanita dipasangkan inai pada kuku jari-jari tangan
dan kakinya oleh kedua orangtuanya, keluarga, dan teman-teman dekatnya.
Setelah semua acara selesai, selanjutnya pengantin wanita dipasangkan inai yang
sebenarnya yang disebut berinai besar. Tetapi kini malam berinai hanya dilakukan
satu malam saja karena faktor dan waktu yang kurang mendukung. Sehingga,
malam berinai yang dilakukan hanya malam berinai besar saja. Kegiatan upacara
berinai ini biasanya disertai dengan Tari Inai dan musik iringannya.
Tari Inai merupakan salah satu upacara adat masyarakat Melayu di Kota
Binjai yang bisa dikatakan sebagai pelengkap upacara adat, yang dilakukan oleh
golongan masyarakat yang tingkat perekonomiannya relatif baik. Jika Tari Inai
126
atau upacara malam berinai tidak diadakan, upacara pernikahan keesokan harinya
tetap berlangsung. Namun demikian, seiring berjalannya waktu, malam berinai
sekarang dilakukan satu malam saja karena faktor waktu dan dana yang terkadang
menjadi kendala, sehingga malam berinai hanya dilakukan satu malam sebelum
keesokan harinya melakukan akad nikah. Kesenian inai adalah merupakan seni
pertunjukan yang melibatkan tari dan musik. Tarian ini biasanya hanya dilakukan
di rumah pengantin wanita saja, sedangkan di rumah pengantin pria tidak
dilakukan upacara malam berinai. Hanya saja inai dihantarkan dari rumah
pengantin wanita kerumah si calon pengantin pria dan menurut adat diadakan
tepung tawar kemudian dilanjutkan pemasangan inai ke kuku jari-jari tangan dan
kakinya oleh keluarga dan teman-teman dekatnya.
127
BAB IV
ANALISIS STRUKTUR TARI INAI
4.1 Struktur Tari Inai
Menurut Budiman (1999:111-112), strukturalisme adalah sebuah cara
berfikir tentang dunia yang secara khusus memperhatikan persepsi dan deskripsi
mengenai struktur, yaitu di dalamnya akan menitik beratkan pada usaha mengkaji
fenomena seperti mitos, ritual, relasi-relasi kekerabatan dan sebagainya.
Penjelasan struktural berusaha untuk mengidentifikasi dan menyusun unit-unit
dalam sebuah sistem untuk menemukan hubungan atau pola yang lebih mendalam
dan mendasar dari suatu kejadian atau serangkaian kejadian. Penjelasan berusaha
untuk menyelidiki fenomena yang mendasar aturan-aturan, prinsip-prinsip, atau
konvensi yang menghasilkan makna permukaan.
Fenomena Tari Inai merupakan dialektika antara teks pertunjukan dan
penonton. Apabila kaidah dialektis itu diformulasikan, terlebih dahulu harus
diketahui dan dijelaskan apa yang sesungguhnya diharapkan oleh penonton;
peneliti harus mengetahui apakah penonton diharuskan melihat apa yang di lihat
atau penonton diberikan suatu kebebasan dan peneliti harus menempatkan
persepsi dalam urutan utama.
Pendekatan strukturalisme ala Budiman, dalam penelitian ini di gunakan
untuk memahami berbagai macam teks yang dapat dibaca pada Tari Inai dalam
kesatuan pertunjukan malam berinai di Kota Binjai. Struktur Tari Inai adalah
sejumlah unsur yang secara sistematik saling membuat ikatan satu dengan yang
128
lain, yaitu : (1). Ritual, di dalamnya terdapat bagian peralatan atau properti,
perilaku dan mantra atau doa; (2). Koreografi, meliputi tampilan, formasi (pola
lantai), hingga busana; (3). Deskripsi struktur ragam gerak tari, meliputi istilah-
istilah atau penyebutan nama ragam gerak; (5). Musik pengiring, terdiri dari
bentuk gendang sebagai pengatur tempo, biola sebagai pembawa melodi.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Soedarsono (1975:75) bahwa
bentuk sebuah pertunjukan dapat dilihat dari keseluruhan elemen-elemen yang
terdapat dalam tari tersebut. Adapun elemen-elemen yang dimaksud adalah gerak,
musik, kostum, perlengkapan, pola lantai, penari, dan tempat pertunjukan.
Keseluruhan elemen-elemen tersebut merupakan satu kesatuan struktur.
Begitu pula analisis struktural dalam Tari Inai ini adalah penyajian yang
tidak terlepas dari segala unsur-unsur utama tari, baik itu gerak dasar tarian,
susunan tarian, pola lantai, serta unsur-unsur pelengkap tari, yaitu penggunaan
properti dan pengenaan busana tradisional Melayu.
4.1.1 Struktur ritual dalam Tari Inai
Wilayah indonesia sebagian besar adalah pegunungan, maka
masyarakatnya merupakan masyarakat agraris yang tentu mementingkan nilai
kesuburan sebagai prioritas utama untuk menuju kesejahteraan hidup yang
diimpikan. Terkait dengan permasalahan itu, maka berbagai upacara ritual
dilaksanakan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan yang berhubungan dengan
kesuburan, kesejahteraan, dan keselamatan. Misalnya upacara bersih desa,
mendatangkan hujan, memelihara keselamatan hewan ternak, perkawinan, inisiasi
129
(proses perjalanan hidup manusia), dan sebagainya. Semua permohonan yang
bersifat doa itu mempengaruhi hidup dan perkembangan seni tradisi, seperti
halnya dalam kesenian rakyat yang dianggap dapat menjadi media antara
masyarakat dengan segala macam bentuk roh, serta Tuhan Yang Maha Kuasa
yang diyakini dapat mengabulkan permohonannya (Maharsiwara, 2006:28-19).
Kesenian tradisional (termasuk di dalamnya tari tradisional) memegang
peranan penting dalam kehidupan manusia baik dilihat dari fungsi religi maupun
fungsi sosialnya. Pengolahannya didasarkan atas cita-cita masyarakat
pendukungnya yang pada dasarnya seni tradisional bermula dari adanya
keperluan-keperluan ritual yang biasanya dimunculkan dalam suatu gerak, suara,
ataupun tindakan-tindakan tertentu dalam upacara ritual. Sedangkan proses
penciptaannya terjadi hubungan antara subjek pencipta dan kondisi
lingkungannya. Kegiatan yang bersifat mitos dan magis dalam bentuk upacara-
upacara dengan menggunakan mantra-mantra, alat-alat, lagu-lagu, dan gerak-
gerak yang berirama dan lazim dinamakan tari.
Telah diyakini bahwa sejak masa pra-Hindu, tari dapat menjadi media
komunikasi dengan berbagai kekuatan yang tidak kasat mata, yang dapat
memberikan keselamatan, kemakmuran, kesejahteraan hidup, mengatur cuaca
atau apa saja yang memberikan kekuatan, keseimbangan antara kebutuhan
jasmani dan kebutuhan rohani. Oleh karenanya tari juga merupakan ekspresi
sosial masyarakat, sekaligus sebagai ritual keagamaan. Pada masa itu (dari pra-
Hindu sampai masuknya pengaruh Islam ke tanah Melayu), tari bukan hanya
sebagai tontonan yang menghibur, tetapi juga merupakan kebutuhan dan menjadi
130
tuntunan dalam hidup bermasyarakat. Demikian pula kiranya pada pertunjukan
Tari Inai yang hidup dan berkembang di pedesaan dalam wilayah Kota Binjai.
Ritual merupakan suatu bentuk upacara yang berhubungan dengan
beberapa kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat khusus yang
menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti merupakan pengalaman suci
(O’Dea, 1995:5-36). Hubungan atau perjumpaan tersebut bukan merupakan
sesuatu yang umum atau biasa, tetapi sesuatu yang bersifat khusus dan istimewa,
sehingga manusia membuat sesuatu cara yang pantas guna melaksanakan
hubungan atau pertemuan tersebut. Inti dari ritual kepercayaan/keyakinan/agama
merupakan ungkapan permohonan atau rasa syukur kepada yang dihormati atau
yang “berkuasa”. Oleh karenanya, upacara ritual diselenggarakan pada waktu
yang khusus, tempat yang khusus, perbuatan yang luar biasa dengan dilengkapi
berbagai peralatan ritus yang bersifat sakral.
Pertunjukan Tari Inai yang tumbuh dan berkembang di kalangan
masyarakat di wilayah Kota Binjai, di dalam setiap pergelarannya tidak lepas dari
aspek ritual. Sampai saat ini, para pendukung pertunjukan ini baik penari,
pawang, pemusik, maupun penonton adalah orang Melayu.
Fungsi pertunjukan Tari Inai, selain sebagai tontonan juga sebagai
tuntunan kehidupan manusia dalam “berhubungan” dengan alam nyata maupun
alam gaib. Berhubungan dengan alam nyata adalah perilaku yang dilaksanakan
dalam kehidupan di dunia, yang selalu berhubungan antara diri dengan dirinya
sendiri, dirinya dengan sesama manusia, dengan lingkungan sekitar, seperti
binatang, tumbuhan, air, tanah, api, udara, dan lain sebagainya (ekosistem).
131
Sedangkan hubungan dengan alam gaib, yaitu melakukan hubungan antara dirinya
dengan yang dipertuhan/yang dipercaya (sesuatu yang menguasai dirinya) yang
tak kasat mata. Membina hubungan dengan alam nyata, dapat dilakukan secara
visual yang dapat diukur, seperti sopan santun, ramah tamah, dermawan, dan
sebagainya. Sedangkan membina hubungan dengan alam gaib, hanya dapat
dilakukan melalui hubungan transcedental, yaitu dengan melakukan perilaku yang
bersifat transenden, seperti puasa, amalan, dan upacara ritual. Perilaku ritual
dalam Tari Inai dapat dibagi 2 (dua), yaitu ritual di luar pertunjukan dan ritual di
dalam proses pertunjukan.
4.1.1.1 Ritual Tari Inai di luar pertunjukan
Zulkarnaini, menjelaskan bahwa inai merupakan lambang dari manusia itu
sendiri. Maka ketika membuat (mulai menumbuk atau menggiling) dan
mengenakannya harus dilakukan dengan penghormatan. Ia sendiri ketika hendak
menarikan Tari Inai dulu sering melakukan ritual, yaitu puasa dengan tujuan
membersihkan diri. Hal ini dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT
dan menjalin komunikasi dengan para leluhur (Zulkarnaini, wawancara tgl 15
agustus 2016).
Kenyataan ini dapat dilihat pada waktu inai tersebut dalam proses
pengambilannya pun harus menggunakan tata cara, seperti meminta tolong kepada
seorang nenek (perempuan tua) yang dianggap sudah berpengalaman dalam
membedakan daun pacar atau inai yang dipetik nantinya akan memunculkan
warna yang lebih terang ataupun tidak dengan membedakan daun yang lebih tua
132
biasanya terdapat bintik-bintik hitam di dalamnya. Karena jika dilakukan secara
sembarangan memetiknya maka akan berdampak pada pertumbuhan daun inai
tersebut nantinya.
Kemudian jika ingin menggunakan inai ini, terlebih dahulu mencuci
hingga bersih dari kotoran dan debu, lalu menjemurnya hingga kering. Setelah itu
ditumbuk dengan campuran gambir, kapur, arang, dan sedikit nasi sebagai
perekat, serta perasan jeruk nipis untuk mengkilatkan kuku. Sehingga ketika
dipakai akan menghasilkan warna pekat seperti yang diharapkan.
Namun saat ini di wilayah Sumatera inai yang diaplikasikan di setiap
ujung kelima jari itu lebih sering menggunakan yang berbentuk instant atau bubuk
yang biasa disebut henna. Dipercayai memiliki makna untuk mendatangkan
kebahagiaan, menangkal kesialan dan nasib buruk bagi kedua mempelai. Hal ini
juga ditemukan di India sebagai ritual pemberkatan dan pengharapan untuk
mempelai supaya kelak memiliki hidup yang manis tanpa kegetiran, jauh dari
kejahatan, panjang umur, kaya, dan makmur.
Gambar 4.1 Daun Pacar (inai) (Sumber. wordpress.com)
133
Gambar 4.2 Inai yang ditumbuk (Sumber. wordpress.com)
Gambar 4.3 Campuran Inai (Dok. Suci Purnanda, 2016)
4.1.1.2 Ritual dalam pertunjukan Tari Inai
Dalam hal ini, pawang sebagai pusat kosmos dalam Tari Inai pada setiap
pergelarannya selalu mengadakan upacara ritual, baik di awal, di pertengahan,
134
maupun di akhir pertunjukan. Pawang mengadakan ritual dengan kelengkapan
ritual dan properti yang akan digunakan. Dalam kaitannya dengan seluruh
pertunjukan, ritul ini merupakan permohonan selamat kepada Tuhan dengan
mengajak semua mahkluk penghuni desa baik yang kasat mata maupun yang tidak
kasat mata, untuk bersama-sama menikmati pertunjukan Tari Inai. Permohonan
selamat ini ditujukan khususnya untuk yang punya hajad sekeluarga yaitu terdiri
dari ayah, ibu, kakak, adik atau saudara kandung dari calon mempelai, para
pembantu hajadan seperti sanak keluarga baik dari pihak ayah ataupun ibu, para
penari, pemusik, pembawa acara, petugas lampu, sound sistem, dekorator, dan
lain-lain, juga para tamu dan penonton/masyarakat desa sekitarnya.
Pada saat melaksanakan ritual ini, hal pertama yang dilakukan oleh
pawang adalah menghadapi semua peralatan tari berupa seluruh properti yang
hendak dimainkan. Yang terdiri dari piring, inai yang telah ditumbuk, dan juga
lilin. Kemudian ia membaca doa sambil membakar lilin. Tujuan lilin tersebut
dinyalakan adalah untuk menunjukkan bahwa lilin memiliki makna penerangan
yang artinya senantiasa mampu menerangi pasangan calon pengantin dalam
mengarungi bahtera rumah tangga yang akan dihadapi kedepan, serta memberikan
tuntunan kepada keseluruhan pihak yang terlibat terutama pemilik hajad hingga
acara berakhir (Zulkarnaini, 28 september 2016).
Perilaku di atas membuktikan bahwa di dalam mengawali dan melakukan
pertunjukan, senantiasa dilakukan ritual yang berfungsi untuk mensucikan diri
agar di dalam melakukan pergelaran didasari dengan ketulusan hati, ikhlas tanpa
pamrih, kecuali berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian,
135
sesungguhnya manusia melakukan kesenian adalah usaha mendekatkan diri
kepadaNya, dengan kata lain adalah berdoa. Penjelasan tersebut memberikan
penegasan bahwa di dalam kesenian tradisional tidak akan terlepas dari unsur
ritual. Bahkan dari perangkat yang paling kecil pun diberikan norma-norma
tertentu dan norma-norma tersebut sesungguhnya visualisasi dari ritual.
4.2 Deskripsi Tari Inai
Pertunjukan Tari Inai bukanlah satu-satunya pertunjukan dalam konteks
upacara perkawinan adat Melayu.Pertunjukan ini hanya merupakan salah satu
bahagian saja dari berbagai seni pertunjukan dalam satu rangkaian upacara adat
perkawinan Melayu secara lengkap. Ketika calon pengantin wanita telah duduk di
pelaminan inilah Tari Inai dan kesenian-kesenian Melayu lainnya seperti rodat,
dedeng (gurindam), hadrah, gambus, ronggeng, dimainkan untuk memeriahkan
acara tersebut.
Pada awal kebudayaan tari telah mencapai tingkat kesempurnaan yang
belum tercapai oleh seni atau ilmu pengetahuan lainnya. Curt Sachs (1963:5)
dalam bukunya yang berjudul History of The Dance mengemukakan bahwa
perkembangan tari sebagai seni yang tinggi telah ada pada zaman prasejarah.
Menurut persepsi masyarakat Melayu, pada zaman dulu Inai diartikan
sebagai penambah tenaga jasmani dan rohani yang memakainya serta menolak
bala atau musibah, terutama bahaya yang ditimbulkan oleh makhluk-makhluk
halus yang jahat. Sejalan dengan informasi yang dikemukakan oleh Zulkarnaini,
Tari Inai ditampilkan di depan pelaminan, gunanya untuk menghormati calon
136
pengantin, memberikan perlindungan dan menambah kekuatan serta ketahanan
fisik maupun batin (menurut konsep religi animisme Melayu, sebelum masuknya
Islam). Dalam sistem kosmologinya, etnik Melayu pada umumnya percaya bahwa
penyakit pertama kali datang dari ujung kaki dan tangan, maka pada bahagian
inilah Inai ditempelkan.
Setelah masuknya Islam, kegunaan Tari Inai untuk menjaga calon
pengantin berangsur-angsur tidak lagi dipercayai. Setelah masuknya agama Islam
dalam kehidupan etnik Melayu, dan dijadikan sebagai pandangan hidup berupa
adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah, maka kegunaaan Tari
Inai adalah sebagai hiburan yang mengandung nilai-nilai estetis dan ekspresi
ritual, sebagai salah satu identitas budaya Melayu dalam aktivitas perkawinan.
Sedangkan fungsinya, dapat saja sebagai pengabsahan pengantin secara adat,
meneruskan generasi, pengintegrasian masyarakat, perlambangan, pengungkapan
esetetis, emosi jasmani, dan lainnya. Setelah selesainya upacara malam berinai ini,
maka pada malam tersebut diselenggarakan juga hiburan dengan pertunjukan
musik dan tarian Melayu lainnya, seperti hadrah, burdah, rodat, ronggeng, dan
lain-lain. Ini semua dilakukan di rumah pihak calon mempelai perempuan. Setelah
semua terlaksana maka keesokan harinya dilaksanakan upacara akad nikah.
Djelantik (1990:23) mengemukakan bahwa penyusunan gerak dalam
seni tari, gerak dari masing-masing penari, ditambah dengan penyesuaian
dengan ruang, sinar, warna, dan seni sastranya, kesemuanya merupakan suatu
pengorganisasian seni tari yang disebut koreografi. Koreografi ini memiliki
ciri-ciri khas tertentu dari bentuk tarian yang dapat dilihat dan dinikmati
137
oleh pelakunya dan penontonnya. Dikarenakan dalam penyajian tarian Inai ini
secara umum menggunakan gerakan-gerakan yang merupakan kombinasi dari
gerak-gerak hewan atau kejadian-kejadian alam. Sebahagian gerakannya diambil
dari gerak-gerak variatif pencak silat, yang merupakan olahraga beladiri
tradisional khas Melayu.
Sehingga dapat diartikan gerakan-gerakan yang terbentuk dalam tari
adalah terstruktur ataupun terpola di dalam aturan-aturan adat dan nilai
keindahan setempat yang dilakukan secara simbolis serta mengandung
makna-makna tersendiri. Dengan demikian struktur disini adalah bagian-bagian
yang melengkapi Tari Inai dalam pertunjukannya saling berhubungan satu dengan
yang lain, ataupun tahapan-tahapannya. Struktur gerak Tari Inai memiliki 11
(sebelas) ragam (kalimat gerak), letaknya dari awal tarian hingga keluarnya penari
dari ruangan. Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Almahdi pada tanggal
17 maret 2017, menjelaskan tentang arti dari ragam yang berjumlah 11 bahwa
angka tersebut merupakan angka yang dianggap sangat disukai oleh makhluk gaib
penunggu alam, karena setiap angka ganjil seperti 3,5,7,9,11 akan mampu
mendatangkan para makhluk gaib tersebut, sehingga mampu mendorong potensi
manusia untuk menembus batas spiritual, kegelapan, misteri, dan berakhir pada
pencerahan. Hal ini didukung oleh pendapat Rosman Lubis (2001) yang menulis
tentang keajaiban angka 11 dalam Al-Quran. Penjelasan dengan cara menghitung
nilai numerik dari lafadz Allah yang memiliki unsur bilangan 11, selain itu
kalimat Al-Asma’ul Husna juga terdiri dari 11 huruf Arab.
138
Jika ditinjau dari konsep dasar Melayu yang berazaskan agama Islam,
maka hal ini dapat diterima dan dipercayai oleh masyarakat Melayu sebagai
aturan-aturan adat dan nilai keindahan setempat yang dilakukan secara
simbolis serta mengandung makna tersendiri. Keterikatan antara adat Melayu
dengan Islam tercermin dalam ungkapan “adat bersendikan syarak (hukum
Islam), syarak bersendikan kitabullah (Alquran)”. Salah satu fungsi adat dalam
adat Melayu adalah untuk menjaga syariat Islam, yang berarti adatlah yang
menjaga hukum (syariat). Dalam menjalankan kegiatan adat, suku Melayu tetap
berlandaskan pada ajaran Islam, hal-hal yang mengenai peraturan adat disesuaikan
dengan aturan-aturan dalam Islam. Selain itu, mereka juga taat dalam
menjalankan kewajiban yang diajarkan dalam Islam.
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, Tari Inai di
pertunjukkan pada awal acara, dengan jumlah 4 orang penari menggunakan
gerakan yang diambil gerak-gerak bunga silat yaitu gerakan variatif yang
bersumber dari pencak silat khas Melayu. Dimana dalam tari ini gerak merupakan
materi baku dan paling mendasar. Tari Inai memiliki motif gerakan dasar yang
terpola dan disusun dalam bentuk bagian susunan tahapannya, serta diatur dalam
susunan pola lantai yang telah dibuat.
139
Tabel 1
Deskripsi Pertunjukan Tari inai
No Ragam Pola Lantai Gambar Gerak Penari Inai Sub Gerak
1
Silat tarung
140
2
Sembah 4 sudut
141
142
3
Ular todung membuka lingkar
143
4
Ular todung meniti riak
144
5
Kayang dan Atraksi memutar piring
145
6
Itik bangun dari tidur
146
7
Itik berdiri kaki sebelah dan memandang langit
147
8
Puting beliung berbalik arah
148
9
Buaya melintang tasik
149
10
11
Berokik melintas batas Sembah akhir
150
4.2.1 Gerak dalam pertunjukan
Menurut Tengku Luckman Sinar (1986:5) tari adalah segala gerak yang
berirama atau segala gerak yang dimaksudkan untuk menyatakan keindahan
ataupun kedua-duanya. Medium tari adalah gerak dan alat yang digerakkan adalah
tubuh yang telah diberi bentuk ekspresif dan estetis. Gerak dalam sebuah tarian
merupakan media utama dalam melahirkan atau mengungkapkan suatu tujuan.
Gerak tersebut digunakan sebagai media untuk mengungkapkan ekspresi
mediumnya adalah tubuh manusia. Ungkapan ekspresi melalui gerak tersebut
merupakan suatu pernyataan imajinatif yang dituangkan dalam bentuk simbol-
simbol. Dikarenakan simbol-simbol tersebut berupa gerak, maka dalam konteks
koreografi gerak merupakan sesuatu yang sangat esensial. Gerak tidak saja dapat
berfungsi karena koordinasi berbagai faktor, tetapi juga karena fungsi ritmis dari
struktur tubuh.
Gerak dalam struktur tari Melayu dibaca sebagai teks, yang memiliki
tatanan hirarki sebagaimana struktur bahasa. Tataran yang tertinggi dalam hirarki
struktur kebahasaan dapat dikatakan sebagai bentuk atau wujud karangan. Sejalan
dengan itu, struktur teks tari tersusun dari gerak yang diwujudkan untuk
menghasilkan “bentuk” secara keseluruhan. Menurut Smith (1985:6) “bentuk”
merupakan sesuatu yang dapat dibedakan dari materi yang ditata. Bentuk tari
merupakan hasil keseluruhan di dalam koreografi. Jadi, bentuk adalah wujud dari
rangkaian-rangkaian gerak atau pengaturan laku-laku (Elfeldt,1967). Sejalan
dengan pendapat Wido (1992:9), rangkaian-rangkaian gerak yang dimaksud
151
adalah keselarasan hubungan antara motif gerak satu dengan motif gerak yang
lainnya, secara hirarkis atau susunan yang berjenjang.
Dengan demikian, gerakan-gerakan yang terbentuk dalam Tari Inai adalah
terstruktur dan terpola di dalam aturan-aturan adat Melayu setempat yang
dilakukan secara simbolis serta memiliki makna-makna tersendiri. Hampir di
setiap tari Melayu memiliki gerak dasar yang menjadi panduan pijakan bagi
koreografer dan senimannya. Masing-masing gerakan tersebut ada yang memiliki
arti, adapula yang berfungsi sebagai penyambung gerakan ataupun untuk
memperindah gerakan yang dilakukan. Begitu pula halnya dalam Tari Inai juga
memiliki beberapa gerakan dasar yang akan selalu digunakan dalam melakukan
tarian ini, diantaranya adalah sebagai berikut.
Ilustrasi 4.2.1 Sembah (ilustrasi oleh Brian Titus Tarigan)
kepala menunduk
kaki kiri ditekuk ke belakang
lutut kanan ditekuk ke atas
tangan diletakkan di depan kepala
kedua tangan disatukan
152
Ilustrasi 4.2.2 Sujud (ilustrasi oleh Brian Titus Tarigan)
Ilustrasi 4.2.3 Bersimpuh (ilustrasi oleh Brian Titus Tarigan)
kedua kaki ditekuk ke belakang
kedua tangan disatukan ke depan hingga menyentuh lantai
badan menunduk ke depan
kepala menunduk ke lantai
torso tegak kedua tangan memegang properti di depan dada
kedua kaki ditekuk ke belakang
pandangan ke bawah
153
Ilustrasi 4.2.4 Meliuk (ilustrasi oleh Brian Titus Tarigan)
Ilustrasi 4.2.5 Berdiri kaki sebelah (ilustrasi oleh Brian Titus Tarigan)
kaki kanan ditekuk ke samping
kepala mengikuti arah tangan
kedua tangan proses memutar dari bawah sampai atas
kaki kiri dilipat ke belakang
kedua tangan diputar
kaki kanan ditekuk dan diangkat ke depan
badan sedikit membungkuk
kaki kiri setengah berdiri
154
Ilustrasi 4.2.6 Kuda-kuda (ilustrasi oleh Brian Titus Tarigan)
Ilustrasi 4.2.7 Kayang (ilustrasi oleh Brian Titus Tarigan)
kedua tangan proses memutar ke samping
badan dicondongkan ke depan
kaki kiri di tekuk dengan posisi terbuka
kedua tangan memutar di atas kepala
badan direbahkan ke lantai
kedua kaki dilipat ke belakang
telapak tangan posisi tegak mengarah ke atas
kaki kanan membuka ke samping
155
Koreografi yang tersusun dalam sebelas ragam Tari Inai memiliki 2 (dua)
aspek utama, yaitu konsep gerak (norma yang harus diketahui dan dijalankan
dalam pertunjukan Tari Inai). Sedangkan aspek yang kedua adalah bentuk gerak
itu sendiri, yang memiliki fungsi transisi (penyambung) gerak satu ke gerak yang
lain. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan ketujuh gerak dasar diatas di dalam
keseluruhan urutan Tari Inai. Salah satu gerak yang memiliki fungsi sebagai
transisi adalah gerak bersimpuh, dimana hampir dalam setiap ragam gerak akan
terdapat gerak tersebut untuk menandai perpindahan dari satu ragam gerak ke
ragam gerak yang lainnya. Hanya saja gerak transisi dapat berubah sesuai bentuk
ragam, seperti misalnya gerakan bersimpuh dapat dilakukan berlutut atau bahkan
setengah berdiri namun masih dengan posisi tangan yang sama.
4.2.2 Susunan gerak
Pada kebudayaan etnik Melayu, Tari Inai yang ditampilkan pada
upacara perkawinan di waktu malam berinai merupakan kegiatan yang penting
dalam suatu perkawinan dan pada upacara tersebutlah Tari Inai ditampilkan.
Dari gerakan-gerakan Tari Inai memiliki makna-makna religius dan
kombinasi dari gerakan-gerakan silat. Selanjutnya menurut Pak Zulkarnaini
yang merupakan informan penulis, gerakan-gerakan Tari Inai merupakan
gerakan silat yang memiliki hitungan variatif dan mempunyai makna tersendiri.
Gerakan seolah menggambarkan sebagai lentera yang selalu menerangi
sepanjang jalan pengantin dalam mengarungi hidupnya di kemudian hari.
156
Diawali dengan melakukan gerak penghormatan kepada calon pengantin
dan para tamu undangan. Kemudian melakukan gerak silat Melayu yang variatif.
Kedua penari yang saling bertarung menggunakan jurus yang berbeda-beda pula.
Gerakan silat yang dilakukan tersebut dikenal dengan istilah tangkapan yaitu
dipukul, ditangkis, dan dijatuhkan. Dipukul berarti melakukan penyerangan,
ditangkis merupakan perlawanan pada saat mendapat serangan, dan dijatuhkan
berarti sudah dapat melumpuhkan lawan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
ketiga gerakan ini memiliki arti bahwa dalam menghadapi masalah hendaklah kita
memiliki cara agar dapat mempertahankan diri dari hal-hal yang dapat menganggu
kehidupan kita dimanapun berada. Dilanjutkan dengan bagian isi yang ditandai
melakukan ke sebelas ragam gerak tari secara berurutan. Pada bagian akhir
ditutup dengan sembah penghormatan kepada calon mempelai.
Ragam gerak ini merupakan simbol sifat-sifat manusia dewasa yang sudah
mampu merasakan segala sesuatu yang di dapatkan. Cita-citanya adalah hidup
dengan gembira, maka selalu berusaha untuk mencapainya. Meski demikian,
usaha tersebut tidak selamanya berjalan dengan mulus. Maka harus dilalui dengan
segala kenikmatan dan kesengsaraan yang sudah dialami. Jika bekal untuk
kembali kepadaNya sudah siap dan merasa cukup, maka ia selalu ingin
mempercepat menemuiNya. Hal ini diperkuat dengan pandangan menyatunya dua
kutup yang bertentangan, yakni langit dan bumi sudah menjadi satu kesatuan,
artinya tidak ada tinggi dan rendah, tidak ada baik dan buruk, dan sebagainya,
maka tinggal satu kesatuan antara makhluk dan penciptanya, yaitu yang ditandai
157
dengan sembah penutup (terakhir), setelah itu berjalan menuju “tujuan akhir”
kehidupan.
Dengan demikian seluruh struktur gerak Tari Inai menggambarkan
perjalanan dan perilaku kehidupan manusia dari lahir sampai meninggal dunia.
Pernik-pernik yang ada di dalamnya merupakan isi dan dinamika yang harus
dijalani atau bahkan harus ditinggal. Gerakan-gerakan tersebut, dapat dilihat
dari deskripsi secara kinisiologis sebagai berikut.
158
Tabel 2
Susunan Gerak Tari Inai
Ragam Hitungan Deskripsi Gerak Gambar Musik Iringan
1. Silat Tarung
Variatif
1 x 8
Dua orang penari berjalan masuk ke tengah
lapangan/depan pelaminan.
Diawali dengan melakukan gerak
penghormatan kepada pengantin dan para
tamu undangan.
Gerak awal penari masuk ini ditandai
dengan melakukan penghormatan
dan intro musik yaitu beberapa
ketukan dari gendang.
159
Variatif
Variatif
Kemudian melakukan gerak silat Melayu
yang variatif. Kedua penari yang saling
bertarung menggunakan jurus yang
berbeda-beda pula.
Gerakan silat yang dilakukan dikenal
dengan istilah tangkapan yaitu dipukul,
ditangkis, dan dijatuhkan.
Kemudian dilanjutkan dengan ragam
gerak silat tarung, permulaan gerak
ini ditandai dengan melodi dari biola.
160
Variatif
Variatif
Pertarungan silat ini dilakukan dengan
menggunakan 5 jurus silat yang berbeda
sesuai dengan kemampuan masing-masing
penari.
Jurus yang digunakan tidak dilakukan
secara sebenar-benarnya, dikarenakan
gerak silat ini hanya merupakan simbolis
dari kekuatan para penari saja.
161
Variatif
1 x 8
Jika salah satu penari telah berhasil
dilumpuhkan, maka pertarungan ini dapat
diakhiri.
Untuk menuju kepada bagian isi Tari Inai
ditandai dengan berakhirnya pertarungan
silat ketika para penari telah melakukan
gerakan penghormatan dengan saling
berhadapan.
162
2. Sembah 4
Sudut
2 x 8
1 x 8
Gerakan sembah awal yang dilakukan
dengan dua bagian yaitu, gerak sembah
dengan bunga silat dan gerak hormat
kepada calon pengantin. Bunga silat yaitu
gerakan yang didasari dari gerakan silat,
hanya saja tidak menggunakan jurus.
Kaki kanan dan tangan kanan bertemu
searah ke depan sebelah kanan, bertumpu
pada kaki kiri setengah berdiri, tangan kiri
diangkat ke atas sejajar kepala.
163
2 x 8
1 x 8
Selalu menggunakan posisi kuda-kuda
dengan mempertahankan gerak kaki
ditekuk setengah berdiri.
Posisi kaki ditekuk setengah berdiri,
tangan menyilang di depan dada, badan di
condongkan ke depan.
164
1 x 8
1 x 8
Dilakukan 4 (empat) kali gerakan sembah
ke empat arah hadap yg berbeda.
Diakhiri dengan gerakan hormat penutup
kepada calon pengantin.
165
3. Ular
Todung
Membuka
Lingkar
2 x 8
2 x 8
Badan dicondongkan ke depan, kepala
menunduk dengan gerakan tangan sembah
menghadap ke arah calon pengantin
Gerakan tangan sembah untuk proses
mengambil piring satu per satu.
Pada bagian ini salah seorang penari
akan memulai susunan ragam gerak
berikutnya dengan memberikan tanda
yaitu menghentakkan piring-piring
yang ada di atas pahar. Dilanjutkan
dengan pengambilan piring oleh
masing-masing penari Dalam hal ini
musik masih menggunakan tempo
yang sama dengan bagian awal tari.
166
2 x 8
1 x 8
Kemudian kedua tangan diletakkan di
depan dada sambil melakukan gerakan
menyilang ke kanan bawah dan kiri atas
dan posisi badan tetap duduk tegak.
Proses gerakan memutar piring ke samping
kanan dan kiri membentuk lingkaran
menuju ke atas kepala.
167
2 x 8
2 x 8
Kemudian melakukan gerakan memutar
piring di atas kepala.
Gerakan memutar piring dengan dua arah
yang berbeda, secara bolak-balik.
168
4. Ular
Todung Meniti
Riak
2 x 8
2 x 8
Melakukan proses memutar kedua tangan
kemudian dibawa ke arah kanan sedangkan
badan dicondongkan ke kiri, lalu memutar
piring disamping badan.
Menggerakkan kedua tangan dengan
bentuk melingkar dan dilakukan dengan
arah berlawanan. Begitu juga sebaliknya
untuk sebelah kiri setelah tangan memutar
ke samping, kembali dibawa ke arah dada.
169
1 x 8
2 x 8
Kedua tangan memegang piring di depan
dada, sebagai gerakan transisi untuk
menuju ke gerak berikutnya.
Kedua piring dibawa kembali ke samping
kanan, dengan melakukan proses gerakan
memutar pada kedua tangan.
170
2 x 8
2 x 8
Kedua tangan berproses menuju ke
samping kiri, badan mengarah condong ke
depan, posisi kedua kaki ditekuk ke
belakang (duduk).
Posisi badan condong ke arah kiri, kedua
tangan diputar berlawanan ke atas dan
kebawah, dengan gerak kepala searah
tangan.
171
5. Kayang dan
Atraksi
Memutar
Piring.
1 x 8
1 x 8
Melakukan gerakan meliuk melalui proses
merendahkan badan dengan menggunakan
tangan sebagai tumpuan agar bisa turun
perlahan-lahan.
Memulai proses menjatuhkan badan ke
belakang sambil melipat kedua kaki dan
sebelah tangan tetap berputar diatas
kepala.
172
2 x 8
1 x 8
Level terendah untuk penari dengan
melipat kedua kaki sambil merebahkan
badan ke beakang dan kedua tangan terus
memutar piring.
Proses untuk bangkit dari posisi
rebah/kayang dari arah yang berlawanan
ketika turun.
173
6. Itik Bangun
Dari Tidur
1 x 8
1 x 8
Posisi setengah berdiri bertumpu pada lutut
yang ditekuk (lutut kiri mencecah lantai
dan kaki kanan menapak dilantai).
Melakukan proses memutar pada tangan
kiri memegang piring di depan dada dan
tangan kanan di atas kepala kearah
samping kanan.
174
2 x 8
Dilanjutkan kearah kiri proses memutar
pada kedua tangan dengan memegang
piring inai dan kembali kearah depan.
7. Itik berdiri
kaki sebelah
dan
memandang
langit
2 x 8
Posisi kaki kiri ditekuk rendah, kaki kanan
sebagai tumpuan badan berputar ke kanan
agak rendah, mata melihat ke atas, kedua
tangan me-lakukan proses gerakan
memutar dengan memegang kedua piring
inai.
175
1 x 8
1 x 8
Kedua kaki dilipat ke belakang, sikap
badan condong ke depan, arah menghadap
ke kanan (lutut kanan ditekuk, kaki kiri
lurus).
Gerak selanjutnya dilakukan ke arah kiri,
dengan proses gerak yang sama seperti ke
arah kanan.
176
8. Puting
beliung
berbalik arah
2 x 8
2 x 8
Kedua kaki dilipat ke belakang, sikap
badan condong ke depan, arah menghadap
kedua tangan diputar ke samping badan.
Sikap statis hanya pada kedua tangan
dengan memegang piring, sikap badan
direbahkan ke samping dan kaki tetap
dilipat ke belakang.
177
1 x 8 Sebaliknya, posisi badan berbalik ke kiri,
sehingga badan condong ke depan arah
hadap kiri, dan tangan melakukan proses
gerakan memutar.
9. Buaya
Melintang
Tasik
2 x 8
Kaki kanan di tekuk dengan posisi lutut
mengarah ke depan, sedangkan kaki kiri
dilipat kebelakang dengan posisi lutut
menyentuh lantai, dan kedua tangan berada
di depan dada.
178
2 x 8
2 x 8
Posisi kaki masih sama dengan gerakan
sebelumnya, tetapi badan lebih
dicondongkan ke arah depan, kedua tangan
proses memutar dari samping kanan.
Setelah melakukan proses dari arah kanan,
kedua tangan dibawa berputar ke arah kiri
atas, dengan posisi kaki yang sama.
179
10. Berokik
melintas batas
1 x 8
1 x 8
Kaki kanan diangkat ke arah depan, kaki
kiri setengah berdiri. Tangan sebelah
kanan berada di samping pinggul,
sedangkan tangan kiri disorongkan ke
depan, dengan posisi badan membungkuk
ke depan.
Masih dengan posisi kaki dan badan yang
sama, tetapi kedua tangan berada di depan
dada melakukan proses memutar.
180
2 x 8
2 x 8
Melakukan proses gerakan mundur, kaki
kiri disilang ke belakang, kaki kanan tetap
di posisi depan dan keduanya tetap ditekuk
setengah berdiri. Kedua tangan melakukan
proses memutar ke kanan.
Posisi kaki kuda-kuda, membuka ke
samping kanan dan kiri, diikuti gerakan
tangan yang berputar ke arah samping kiri
dan atas.
181
2 x 8 Masih dengan posisi kaki kuda-kuda,
dengan posisi badan di condongkan ke kiri,
diikuti kedua tangan di letakkan di
samping kiri sambil memutar ke atas dan
ke bawah.
1 x 8 Kaki kanan diangkat ke arah depan, kaki
kiri di tekuk setengah berdiri. Kedua
tangan berada di depan dada, dengan posisi
badan tegak.
182
11. Sembah
akhir
2 x 8
1 x 8
Posisi terakhir kembali duduk, dengan
melipat kedua kaki ke belakang, kedua
tangan proses memutar ke samping kanan
untuk menuju ke depan.
Kedua tangan meletakkan properti ke
bawah di depan kaki, dengan posisi kaki
kanan ditekuk ke arah depan, sedangkan
kaki kiri dilipat ke belakang, sambil
mencondongkan badan ke arah depan.
Di bagian ini musik yang dimainkan
masih sama seperti awal dan isi,
maka keseluruhan gerak tari ini akan
diakhiri, yang ditandai dengan
meletakkan piring dan melakukan
gerak sembah akhir kepada calon
mempelai.
183
1 x 8
Gerakan akhir ditutup dengan
penghormatan kepada calon pengantin.
Dengan posisi kaki berlutut dan kedua
tangan melakukan gerak sembah.
Dilanjutkan dengan penyerahan
piring berisikan inai yang akan
dipakai oleh calon mempelai, maka
setelah itu penari perlahan-lahan
dapat meninggalkan tempat sambil
diiringi musik yang juga perlahan-
lahan akan semakin mengecil
suaranya sampai akhirnya berhenti.
184
4.2.3 Pola lantai
Di dalam tarian terdapat formasi atau pola lantai. Formasi atau pola lantai
pada Tari Inai pada dasarnya ada tiga macam yaitu formasi berpasangan, formasi
lingkaran, dan formasi empat arah. Formasi berpasangan, ini digunakan untuk
melakukan ragam gerak tari di tempat (statis). Seluruh ragam gerak yang
dilakukan dalam formasi ini “sama dan sebangun”. Formasi lingkaran, yang
merupakan gambaran kehendak manusia yang tidak ada batasnya. Hal ini dapat
dipahami karena secara hakiki manusia memiliki sifat dasar ingin menjadi yang
ter/paling, yang pusatnya berada di dalam hati. Kehendak inilah yang
menyebabkan manusia selalu mengembara berputar-putar mengitari jagad raya
(mikro kosmos) untuk mencari yang diinginkannya. Formasi empat arah, selalu
diawali dari depan menuju kearah kanan melalui arah kiri kemudian berputar dan
kembali ke tengah. Formasi ini merupakan simbol tentang perilaku manusia,
kanan adalah sesuatu yang baik atau dianggap baik, sedangkan kiri adalah sesuatu
yang dianggap salah, jelek, perusak, dan sebagainya. Oleh karena itu, jika
manusia berani menanggulangi segala kesalahan maka ia akan menuju kebaikan,
nikmat, menyenangkan, dan seterusnya.
4.2.4 Busana
Pada acara malam berinai, penari Inai menggunakan baju Kecak Musang
pada bagian lehernya berupa kerah tegak seperti kerah shanghai, berkancing
lima buah yang melambangkan rukun islam yang berjumlah lima dan juga
berlengan panjang. Jadi, pakaian yang dipakai oleh pemusik dan penari Inai ialah
185
baju Gunting Cina atau baju Kecak Musang dan celana panjang longgar, kepala
ditutup dengan memakai peci atau ikat kepala. Selain itu juga menggunakan
sesamping berupa kain sarung atau songket yang dibentuk segitiga atau sejajar
dan diikatkan ke pinggang tepatnya di atas lutut.
Sepasang penari Tari Inai menggunakan busana yang sama (kembar),
menyimbolkan kesatuan jiwa. Secara fisik tampak dua, namun secara hakiki
semua paradoksial ada dalam diri masing-masing manusia. Kejantanan,
kelemahlembutan, keangkuhan, ketulusan, kebesaran, kerendahan, dan seterusnya
merupakan sifat-sifat alamiah atau sifat kodrati manusia. Hanya diri sendiri yang
dapat memilih mana yang harus dituruti dan dikembangkan.
Gambar 4.4 Busana Tari Inai (Dok. Suci Purnanda, 2016)
186
4.2.5 Properti
Properti yang digunakan dalam tari ini terdiri dari 3 macam yaitu, (1) inai
adalah tumbuhan yang hidup didataran tinggi yang memiliki daun yang
lebat dan berukuran relatif kecil. Daun yang telah tua ditandai dengan
adanya bintik-bintik hitam yang terdapat di daun tersebut, daun yang tua
itulah yang digiling halus dicampur dengan gambir dan kapur dan dibubuhkan
pada kuku atau kulit sehingga menghasilkan warna kemerah-merahan. Pemakaian
inai pada upacara perkawinan memiliki pengaruh dari arab, karena Inai
dipercaya dapat menangkal roh jahat dan sebagai obat untuk luka dikulit,
tetapi seiring berkembangnya pengetahuan masyarakat, sekarang Inai digunakan
dalam masyarakat Melayu sebagai tanda sudah menikah. (2) piring sebagai tempat
untuk meletakkan inai yang sudah digiling tersebut, sehingga memudahkan para
penari untuk membawanya ke dalam tarian. (3) lilin gunanya untuk menerangi
setiap piring dan inai yang dibawa, serta memiliki makna dan simbol dalam tarian.
Selain digunakan sebagai pendukung sebuah tari, properti juga sering
dipakai sebagai nama, judul dari sebuah tarian, misalnya properti payung untuk
tari payung, properti piring untuk tari piring, keris untuk tari keris, dan lain-
lainnya. Jadi, properti yang digunakan penari pada Tari Inai adalah 2 buah lilin, 2
buah piring dan Inai secukupnya, lilin di tegakkan diatas piring kemudian
pinggiran lilin dikelilingi oleh inai yang sudah digiling halus, disusun diatas alas
dinamakan pahar.
187
Gambar 4.5 Properti Tari Inai (Dok. Suci Purnanda, 2016)
4.3 Pendukung Pertunjukan
Sebagai seni tradisional, Tari Inai dalam kesatuan pertunjukan di acara
malam berinai secara hakiki bukan sekedar tontonan untuk pelepas lelah atau
hiburan semata, akan tetapi di dalamnya mengandung berbagai unsur yang
berkaitan langsung dengan sosial masyarakat pendukungnya. Hubungan kedua
belah pihak antara seni pertunjukan dengan masyarakat merupakan interaksi
simbolik. Hal ini dapat divisualkan melalui bentuk-bentuk visual (kasat mata),
seperti perilaku, ritual, musik pengiring, penari, tata rias busana dan tata
panggung, termasuk pula aspek komunikasi baik penari, pawang, pemusik dengan
penonton, atau yang punya hajad yaitu orang tua calon pengantin.
188
4.3.1 Penari
Penari merupakan bagian terpenting dalam pertunjukan Tari Inai ini,
karena penari yang akan mempertunjukan tarian tersebut. Penari menjadi
pusat perhatian penonton, sehingga diperlukan penari yang memiliki
kecakapan dan kemampuan menarikan Tari Inai tersebut di pelataran depan
pelaminan pengantin.
Dahulu para penari Tari Inai adalah para pemuda desa yang merupakan
pendekar atau orang-orang sakti penjaga desa. Mereka sebelumnya harus
menguasai beberapa jurus silat yang diajarkan oleh masing-masing perguruan
silat tempat mereka menuntut ilmu. Selain itu mereka juga memiliki kekuatan atau
kesaktian untuk dapat mengusir segala kemungkinan buruk yang akan terjadi pada
desa tempat akan diselenggarakannya acara ini, baik yang datang dari manusia
atau bahkan dari mahkluk gaib yang berniat menganggu jalannya acara di desa
tersebut.
Dalam penyajian Tari Inai pada masyarakat Melayu pada konteks upacara
adat perkawinan biasanya harus menggunakan penari laki-laki berjumlah
genap atau berpasangan misalnya dua penari, empat penari ataupun enam penari
yang memiliki alasan, sebelum melakukan urutan ragam gerak Tari Inai maka
penari melakukan gerakan silat yang saling berlawanan, selain itu jika lilin salah
satu penari mati maka penari yang lainnya memberikan api agar lilin
tersebut dapat menyala lagi. Diawali dari posisi depan, sebelum memulai
tarian dilakukan penghormatan kepada pengantin, kepada Tuhan Yang Maha
Esa, para leluhur dan para tamu, yang kemudian dilanjutkan dengan
189
melakukan gerakan silat yang bersifat refleks dan saling berlawanan (saling
mengisi gerakan dan ruangan yang kosong antara penari yang satu dengan
penari yang lainnya). Namun dalam penyajian Tari Inai yang penulis
dapatkan dilapangan penari berjumlah tiga orang dan menampilkan secara
bergilir, hal ini dikarenakan setiap penari harus memiliki ketahanan fisik untuk
melakukan setiap gerakan, untuk itu jika ada penari yang dianggap tidak siap
maka ia tidak akan diikut sertakan dalam pertunjukan ini. Dimana struktur
penyajiannya diawali dari posisi depan dengan membawa keseluruhan piring yang
akan digunakan oleh para penari dengan beralaskan sebuah pahar. Sebelum
memulai tarian juga dilakukan penghormatan kepada pengantin dan para tamu.
Atraksi Putar Piring merupakan atraksi penari melakukan gerak memutar
piring dalam posisi berguling. Penari melakukan proses kayang, atraksi ini juga
adalah atraksi yang sangat unik dan selalu digemari oleh penonton karena atraksi
ini juga mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi. Penari juga harus
memperhatikan bagian tubuhnya, jika tidak memperhatikan kemungkinan akan
mengakibatkan terbakarnya baju dari penari tersebut.
Pemilihan penari Inai yang penulis dapatkan dilapangan merupakan
anggota dari sanggar Gema Citra di Kota Binjai. Para penari yang dipilih
mempunyai waktu akan berlatih lagi untuk mempelajari sebelum hari
pelaksanaan. Pada saat pertunjukan, penari secara bergantian menghadap
pengantin sambil melakukan gerakan dengan pola lantai yang berpindah tempat.
190
Gambar 4.6 Penari Inai (Dok. Suci Purnanda, 2016)
4.3.2 Pemusik
Musik iringan Tari Inai ditampilkan oleh satu ensambel musik yang terdiri
dari: satu biola, satu akordion, dan satu buah gendang ronggeng Melayu,
dimainkan secara apik oleh para pemusik yang sudah sangat menguasai alat musik
masing-masing. Biola dan akordion membawakan melodis yang terjalin secara
heterofonis. Sementara gendang ronggeng adalah membawakan irama atau rentak
di dalam budaya musik Melayu. Melodi dan rentak musik iringan untuk Tari Inai
disebut dengan patam-patam. Iringan musik dalam Tari Inai sangatlah penting,
karena pada dasarnya tari ini mengikuti musik. Dimana sebagai pembentuk
suasana dan juga untuk memperjelas tekanan-tekanan gerak, sehingga tari dapat
dinikmati secara keseluruhan dengan baik. Biasanya untuk memainkan musik
dalam Tari Inai dibutuhkan sekitar 2 hingga 3 pemusik, diantaranya 1 orang
pemain biola, 1 orang pemain gendang, 1 orang pemain akordion. Kesemuanya
191
akan saling berinteraksi antar sesama pemusik pada saat pertunjukan, dalam hal
pergantian suasana untuk mengiringi tari.
4.3.3 Penonton
Tari Inai pada kesatuan acara malam berinai, merupakan seni pertunjukan
tradisional yang memiliki ciri-ciri; bersifat religius, yaitu seni yang kehadirannya
terkait dengan acara religi, keagamaan atau kepercayaan yang hadir sebagai
pelengkapan upacara religi, dan menyiratkan ajaran moral, ajaran agama dan
tujuan hidup yang intinya memuja Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian yang
hadir (penonton) juga merupakan bagian dari acara tersebut, yang membutuhkan
tuntunan melalui simbol-simbol yang diungkapkan dalam pertunjukan.
Upacara religi tersebut biasanya berhubungan dengan keselamatan,
kesuburan, rezeki, syukuran dari seseorang/masyarakat, ataupun yang
berhubungan dengan kehidupan pertanian atau nelayan. Karena itu seni tradisi
sangat erat hubungannya dengan masyarakat pemiliknya, yang berfungsi sebagai
sarana ungkapan kejiwaan, komunikasi dari masyarakat kepada anggota
masyarakat lainnya maupun dengan “Yang Diatas”, dan sekaligus mencerminkan
lambang yang menyiratkan nilai-nilai yang berlaku dalam kehiupan dan budaya
masyarakat tertentu. Dengan menyimak ciri-ciri tersebut, dapat disimpulkan
bahwa seni tradisional pada dasarnya adalah sarana mengungkap petuah dari guru
(tampilan seni pertunjukan dari berbagai aspek) kepada muridnya (penonton).
192
4.3.4 Penyelenggara
Dalam setiap acara, penyelenggara atau tuan rumah menjadi salah satu
unsur yang harus ada, karena acara tidak akan teraksana apabila
penyelenggara/tuan rumah tidak ada. Apabila acara yang dilakukan acara
perkawinan, maka yang menjadi tuan rumah adalah orang tua dari pengantin yang
menyelenggarakan pesta, termasuk melibatkan sanak keluarga dari pihak ayah
ataupun ibu dari calon mempelai. Dalam hal ini khususnya penempatan Tari Inai
pada acara malam berinai.
Penyelenggara upacara/tuan rumah menyiapkan segala kebutuhan yang
diperlukan dalam acara malam berinai, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
hingga akhir dari acara. Pada hal perencanaan, tuan rumah menyiapkan persiapan
acara seperti; tempat acara (gedung atau rumah), materi acara (malam berinai,
akad nikah, resepsi perkawinan), transportasi dan akomodasi (untuk pendukung
acara), undangan, pembawa acara, dan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam
acara. Persiapan sebelum acara sangat penting dilakukan sebagai upaya acara
dapat terlaksana dengan baik dan tujuan dari acara dapat tercapai. Untuk itu
biasanya terlebih dahulu dilakukan acara pembentukan panitia di rumah pihak
penyelenggara.
Pada tahap pelaksanaan, semua yang terlibat dalam acara harus sudah
bersiap ditempat masing-masing dengan tugas dan tanggung jawab yang sudah
diberikan. Pada tahap ini, peran penari dan pengiring musik sebagai acara utama
menjadi penting. Penari dan pemusik harus saling bekerjasama agar pertunjukan
dapat dilaksanakan dengan baik, tidak boleh mendahului dari aturan yang sudah
193
ditetapkan dari masing-masing peran dan semua pihak harus berkoordinasi
dengan baik untuk meminimalisir kesalahan yang mungkin dapat terjadi.
Dalam hal ini peran pembawa acara tidak kalah pentingnya, orang yang
melakukan tugasnya selain sebagai perwakilan tuan rumah, sekaligus juga
pemimpin acara dalam panggung pertunjukan, hiburan, pernikahan, dan acara-
acara sejenis. Pembawa acara membawakan narasi atau informasi dalam suatu
kegiatan ataupun acara tertentu. Biasanya pembawa acara membaca naskah yang
telah disiapkan sebelumnya, tetapi sering juga harus memberikan komentar atau
informasi tanpa naskah. Pembawa acara juga biasanya memperkenalkan pihak
penyelenggara, peserta, ataupun pelaksana yang akan segera tampil di atas
panggung, serta berdialog dengan penonton, dan secara garis besar berusaha
menjaga tempo acara. Keseluruhan rangkaian ini tergantung kepada acara yang
dibawakan, sebab kadang-kadang pembawa acara dituntut untuk dapat
membawakan lelucon ataupun pantun. Demikian pula halnya pada pelaksanaan
acara malam berinai, ketika mengawali penampilan Tari Inai maka pembawa
acara diharuskan dapat menyampaikan narasi atau penjelasan tentang tari tersebut
agar para penonton yang menyaksikan dapat memahami maksud dan tujuan tarian
ini dilaksanakan.
4.4 Perlengkapan Pertunjukan
Beberapa perlengkapan yang perlu dipersiapkan sebelum dilaksanakannya
pertunjukan Tari Inai. Dimana perlenkapan yang dipersiapkan nantinya akan
digunakan untuk mendukung jalannya pertunjukan, serta dapat menambah daya
194
tarik dalam pertunjukan. Persiapan ini haruslah maksimal dalam penyusunan dan
penataannya, agar dapat menghasilkan pertunjukan yang baik. Perlengkapan
tersebut diantaranya yaitu properti, alat musik, serta tidak kalah penting adalah
lapangan tempat diadakannya tarian ini. Untuk itu, segala perlenkapan tersebut
harus diperhatikan dengan teliti sebab perlengkapan ini saling melengkapi agar
pertunjukan dapat berjalan dengan lancar.
4.4.1 Tempat dan waktu pelaksanaan pertunjukan
Panggung merupakan tempat memvisualisasikan pertunjukan, salah
satunya Tari Inai sebagai bagian dari keseluruhan acara malam berinai. Secara
visual panggung pertunjukan Tari Inai adalah di depan pelaminan (kursi
pengantin), sehingga dapat dilihat dari tiga sisi penonton, yaitu dari belakang, kiri,
dan kanan panggung. Penari masuk diawali dari luar panggung yang berada di
depan calon pengantin, kemudian setelah seluruh penari berjalan keluar maka
diadakanlah tarian tersebut di tengah panggung dengan jarak diantara penonton
dari belakang dan di depan pelaminan. Tari Inai dapat disimpulkan sebagai salah
satu jenis tarian masyarakat Melayu yang sudah lama dikenal dan disajikan pada
saat kegiatan upacara malam berinai sebagai kegiatan khas masyarakat Melayu.
Fungsi utamanya adalah sebagai ekspresi ritual dalam sistem kosmologi Melayu,
yaitu menjaga calon pengantin dari gangguan-gangguan manusia atau makhluk
gaib. Dengan demikian untuk pemilihan waktu juga tidak sembarangan, tetapi
dipilih waktu yang paling baik, diantara menjelang malam hingga tepat tengah
195
malam. Dikarenakan jika sampai lewat tengah malam maka sudah berada pada
waktu yang dianggap milik para makhluk gaib.
4.5 Musik Iringan Tari Inai
Musik adalah ekspresi kultural yang bersifat universal seperti halnya
bahasa dan humor. Satu-satunya ikatan antara musik dan kehidupan adalah emosi,
musik tidak terpakai jika tidak ada emosi. Rhythm dari musik bisa menjelaskan
setiap emosi (Sinar, 1990:1).
Seni musik menjadi salah satu seni yang juga ada pada suku Melayu.
Musik adalah salah satu media ungkap dalam kesenian. Kesenian adalah salah
satu unsur dari kebudayaan universal. Musik mencerminkan kebudayaan
masyarakat pendukungnya. Di dalam musik terkandung nilai-nilai dan norma-
norma yang menjadi bagian dari proses enkulturasi budaya baik dalam bentuk
formal maupun informal. Musik itu sendiri memiliki bentuk yang khas, baik dari
sudut struktural maupun genrenya dalam kebudayaan. Demikian juga yang terjadi
pada musik dalam kebudayaan masyarakat Melayu.
Dalam musik Melayu secara umum terbagi dua bagian yaitu musik
tradisional dan musik modern. Musik tradisional mengikuti aturan-aturan
tradisonal. Dalam pertunjukn ini, selalu berkaitan dengan penguasaan alam,
mantra (jampi), sesaji, yang bertujuan untuk menjauhkan bencana, mengusir
mahkluk gaib, dan hal-hal lain yang dipercayai.
Musik tradisi Melayu berkembang secara improvisasi, berdasarkan
transmisi tradisi oral. Setiap musik mempunyai nama tertentu dan alat-alat musik
196
mempunyai legenda asal-usulnya. Pertunjukan musik mengikuti aturan dan
menjaga etika permainan. Berdasarkan penggunaan, musik terbagi dalam musik
vokal dan musik instrumental. Dalam musik vokal tradisional pembagian
ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut yang dapat dilihat dari isi
syairnya, yang berisi permohonan, doa, ungkapan harapan yang tertuang dalam
kata-kata dan nada-nada yang sesuai. Musik vokal menjadi kekuatan bagi suku
Melayu untuk menyertakannya sebagai musik yang mengiringi acara-acara adat,
keagamaan, maupun untuk mengiringi tarian. Musik vokal ini seperti nyanyian
Senandung atau Didong, yang selalu ada dan menjadi awal pengantar dalam setiap
penyajiannya, sehingga menjadi penting untuk menyertakannya dalam berbagai
kegiatan. Lagu-lagu Melayu juga menjadi lagu yang memiliki cengkok berbeda
dengan lagu dari daerah lain dan menjadi ciri khas musik suku Melayu.
Musik instrument suku Melayu yang ada antara lain; accordion, gendang,
rebab, suling, gong, serunai, dan bansi. Sampai saat ini alat-alat musik instrument
tersebut masih dipergunakan sesuai dengan jenis acara yang dilaksanakan, seperti
penobatan Raja Melayu yang menggunakan alat musik nobat yang terdiri dari
gendang, nafiri, dan gong. Alat musik nobat ini dipercayai memiliki kekuatan
magis, sehingga tidak semua orang dapat menyentuhnya. Kesemua ini merupakan
hasil akulturasi dengan kebudayaan luar, yang mempengaruhi perkembangan
musik Melayu baik alat musik maupun nyanyiannya. Pengaruh ini didapat dari
China, India, Timur Tengah, dan Barat, termasuk juga unsur dalam musik
tradisional Indonesia.
197
4.5.1 Alat musik pengiring
Uraian kaitan dalam suatu ragam gerak dengan gerak lain yang bertumpu
pada irama musik dalam Tari Inai sebagai berikut. Alat musik Melayu dapat
dikelompokkan menurut pendapat Curt Sachs dan Hornbostel (1914) yaitu (1)
Idiofon penggetar utamanya badannya sendiri, (2) Membranofon, penggetar
utamanya membrane, (3) Kordofon, penggetar utamanya senar, (4) Aerofon
penggetar utamanya adalah melalui udara. Alat musik Melayu yang digunakan
sebagai pengiring Tari Inai adalah sebuah biola, akordion dan gendang ronggeng.
Gambar 4.7 Biola (Sumber. www.melayuonline.com)
Biola adalah sebuah alat musik yang tergolong kedalam klasifikasi
kordofon (bersenar) yang dimainkan dengan cara digesek. Biola memiliki empat
senar (G-DA-E) yang disetel berbeda satu sama lain dengan interval sempurna
kelima. Nada yang paling rendah adalah G. Kertas musik untuk biola hampir
selalu menggunakan atau ditulis pada kunci G. Sebuah nama yang lazim dipakai
untuk biola ialah fiddle, dan biola seringkali disebut fiddle jika digunakan untuk
memainkan lagu-lagu tradisional.
198
Kedudukan akordion pada ensambel musik Melayu merupakan instrumen
yang penting dan menjadi pembawa akord bahkan sering membawa melodi secara
heterofoni dengan biola. Meski merupakan alat musik yang diadopsi dari
kebudayaan Barat, akordion pada musik Melayu mempresentasikan gaya musik
Melayu. Instrumen ini diadopsi dari kebudayaan musik bass registers dan bassis,
memiliki 12 bass 2 dengan 20 keyboard 3 sampai 160 bass dengan 45 keyboard.
Sedangkan gendang ronggeng terbuat dari kulit dan kayu termasuk kedalam
klasifikasi membranofon yang terbuat dari kulit dan dimainkan dengan cara
dipukul, sehingga penghasil bunyi adalah membran.
Gambar 4.8 Akordion (Sumber. www.melayuonline.com)
Gambar 4.9 Gendang Ronggeng (Sumber. www.melayuonline.com)
199
4.5.2 Hubungan musik pengiring dengan Tari Inai
Hubungan antara seni tari dan musik iringannya sangatlah erat. Meskipun
sebenarnya musik mampu berdiri sendiri sebagai sebuah karya seni, namun dalam
konteksnya sebagai iringan tari, musik tidak dapat lepas dari tari yang diiringnya.
Masyarakat secara umum sudah mengetahui bahwa pasangan dari seni tari adalah
musik sebagai iringannya. Keduanya merupakan pasangan yang tidak dapat
dipisahkan. Jika diperhatikan dengan seksama, karya seni tari maupun musik
sebagai iringannya memiliki sifat yang saling ketergantungan atau dengan kata
lain saling membutuhkan. Sehingga pada kenyataannya, antara seni tari dan musik
iringannya berasal dari sumber yang sama yakni dorongan atau naluri ritmis
manusia.
Seni tari menggunakan media utama berupa gerak, suasananya tidak bisa
hidup dan tidak bermakna tanpa hadirnya musik sebagai pengiringnya.
Rangsangan ide iringan tari biasanya diperoleh dari diri penari (rangsang
internal). Akan tetapi, seiring perkembangan saat ini musik iringan tari seringkali
lebih bersifat eksternal atau iringan tari yang dilakukan oleh orang lain sebagai
pengiringnya. Seperti contohnya dapat dilihat beberapa nama tarian tradisional
yang sama dengan nama musiknya. Oleh karena itu bisa jadi istilah musik
pengiring tidak terlalu cocok untuk digunakan secara harafiah, sebab belum tentu
tarian yang dibuat terlebih dahulu baru kemudian dicari musik pengiringnya. Bisa
saja dalam banyak kasus lainnya, tarian disusun atas musik yang sudah ada.
Menurut Murgiyanto (1983:43), sejak jaman dahulu kala manusia
mempergunakan suaranya untuk menyatakan perasaan gembira, asmara, marah,
200
takut, dan sebagainya. Semua ini merupakan awal mula iringan tarian orang-orang
primitif sebagai cara mengungkapkan dan menguatkan ekspresi emosional
manusia pada saat itu. Namun saat ini musik berkembang dengan wujud yang
beraneka ragam dan mengalami banyak penyempurnaan. Semakin
berkembangnya melodi dan harmoni, maka terwujudlah berbagai bentuk orkestra
musik yang lebih lengkap. Dengan dipergunakannya peralatan yang disertai
pengembangan melodi serta harmoni yang semakin bervariasi memberikan
manfaat sehingga keberadaan musik mampu bertahan hingga kini. Seiring
berjalannya waktu, bahasa, teriakan, dan bentakan, berubah menjadi kata-kata
yang kemudian berkembang menjadi syair lagu dan puisi yang dilakukan sambil
menari.
Dengan demikian, hubungan antara Tari Inai dengan musik pengiringnya
dapat terjadi pada aspek-aspek antara lain bentuk, gaya, ritme, suasana, atau
perpaduan dari aspek-aspek tersebut. Para penari haruslah mampu memahami
penerapan elemen-elemen musik seperti ritme, tempo, melodi, harmoni, dan
bentuk sesuai yang digunakan. Sebaliknya, para pemusik ini pula harus memiliki
kepekaan terhadap gerak secara kinestetik (kandungan rasa gerak). Aspek penting
dalam Tari Inai seperti ritme, tempo, dinamika, dan suasana ditentukan oleh
kehadiran musik yang menjadikan sinergi bagi tari ini.
Keberadaan musik iringan dalam Tari Inai merupakan hal yang berkaitan,
dimana tari ini mengikuti musik yang dimainkan. Beberapa aspek yang sangat
dibutuhkan dalam pembangunan struktur dramatik dalam penyajian tari antara
lain contonya, jenis lagu, jenis musik, dan ritme. Iringan musik menjadi
201
pembentuk suasana, dan untuk memperjelas tekanan-tekanan gerakan begitu juga
pergantian ragam dan pola-pola gerakan yang ada. Sehingga dalam hal ini, musik
iringan Tari Inai dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu; awal, isi, dan penutup.
Ketiganya akan dapat dijelaskan sebagai berikut :
1). Awal, pada bagian ini musik berperan penting dalam menentukan
masuknya penari untuk melakukan gerak penghormatan kepada calon mempelai,
yang ditandai dengan intro musik yaitu beberapa ketukan dari gendang. Kemudian
dilanjutkan dengan ragam gerak silat tarung, permulaan gerak ini ditandai dengan
melodi dari biola.
2). Isi, pada bagian ini salah seorang penari akan memulai susunan ke
sebelas ragam gerak dengan memberikan tanda seperti menghentakkan piring-
piring yang ada di atas pahar. Dilanjutkan dengan pengambilan piring oleh
masing-masing penari hingga berakhirnya ke sebelas ragam gerak tersebut
ditarikan. Dalam hal ini musik masih menggunakan tempo yang sama dengan
bagian awal tari.
3). Penutup, di bagian ini dengan musik yang masih sama seperti awal dan
isi tari diatas maka keseluruhan gerak tari ini akan diakhiri, yang ditandai dengan
meletakkan piring dan melakukan gerak sembah akhir kepada calon mempelai.
Dilanjutkan dengan penyerahan piring berisikan inai yang akan dipakai oleh calon
mempelai, maka setelah itu penari perlahan-lahan dapat meninggalkan tempat
sambil diiringi musik yang juga perlahan-lahan akan semakin mengecil suaranya
sampai akhirnya berhenti.
202
BAB V
ANALISIS MAKNA TARI INAI
5.1 Makna Tari Inai
Strukturalisme adalah cara berfikir tentang dunia yang secara khusus
memperhatikan persepsi dan deskripsi mengenai struktur, yaitu di dalamnya akan
menitik beratkan pada usaha mengkaji fenomena seperti mitos, ritual, relasi-relasi
kekerabatan dan sebagainya. Disamping itu, strukturalisme memandang beberapa
dokumen sebagai obyek fisik aktual atau tersusun secara konkrit, sebagai “teks”,
fenomena teoritis yang dihasilkan oleh definisi-definisi dan operasi-operasi
teoritis (Barthes, 1975b; Foucoult, 1973:47).
Tari Inai di Kota Binjai merupakan fenomena sosial yang memiliki kaitan
dengan masyarakat pendukungnya. Tarian ini dipahami sebagai sebuah cermin
interaksi dinamis pada masyarakat pendukungnya, yaitu simbol yang
menghantarkan pembentukan makna dalam realitas kehidupan sehari-hari di alam
nyata (dunia nyata).
C.S. Pierce membuat klasifikasi jenis tanda menjadi tiga jenis yang
berbeda secara essensial terutama dalam hubungannya dengan obyek-obyeknya,
yakni: ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbol). Dalam seni pertunjukan
tradisional kita, misalnya, ikon bisa digambarkan sebagai wujud atau
pengejawantahan gagasan seni menjadi genre kesenian tradisional tertentu.
Sedangkan indeks adalah berbagai fungsi literal seni pertunjukan tradisional itu
sendiri, misalnya yang berhubungan dengan nilai-nilai filosofi dan kesusastraan.
203
Simbol berhubungan dengan fungsi linear (fungsi sosial) dan vertikal (nilai-nilai
metefisik yang ada), serta berbagai nilai-nilai ideal seperti kebiasaan (adat) dan
hukum (norma) yang berlaku dalam berbagai genre yang ada.
Demikian pentingnya aspek tanda dalam konteks ini sehingga Pierce
menyebutkan sebagai yang pertama (the firstness) atau menurut istilahnya sebagai
Representamen. Sebagai yang pertama tanda berada dalam sebuah hubungan
triadik (triadic relation) yang bersifat murni (genuine), dengan yang kedua,
sebagai obyeknya, sehingga dapat membatasi yang ketiga, yang disebutnya
sebagai Interpretant. Ketiganya bersifat genuine, saling melengkapi dan tidak
mungkin dapat berada dalam suatu kompeksitas hubungan yang hanya dyadic
terhadap obyeknya, melainkan harus berada dalam sebuah hubungan triadik
sebagaimana Representamen.
Yang pertama atau Representamen, adalah tanda (sign), dalam konteks ini
adalah nilai-nilai susbtansial yang terdiri atas ikon, indeks dan simbol dari sebuah
genre seni pertunjukan tradisional kita, misalnya, sedangkan yang kedua, adalah
obyeknya, yakni pengejawantahan dalam bentuk formal seni pertunjukan
tradisional kita, sedangkan yang ketiga, Interpretant, adalah kita sebagai
penerjemah, katakanlah sebagai pewaris, pengkaji, selanjutnya sebagai
pengembang (revitalisator) atas genre seni pertunjukan tradisional tersebut.
Tari Inai pada kesatuan acara malam berinai, merupakan seni pertunjukan
tradisional yang memiliki ciri-ciri; bersifat religius, yaitu seni yang kehadirannya
terkait dengan acara religi, keagamaan atau kepercayaan yang hadir sebagai
kelengkapan upacara religi, dan menyiratkan ajaran moral, ajaran agama dan
204
tujuan hidup yang intinya memuja Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian yang
hadir (penonton) juga merupakan bagian dari acara tersebut, yang membutuhkan
tuntunan melalui simbol-simbol yang diungkapkan dalam pertunjukan.
Upacara religi tersebut biasanya berhubungan dengan keselamatan,
kesuburan, rezeki, syukuran dari seseorang/masyarakat, ataupun yang
berhubungan dengan kehidupan pertanian atau nelayan. Karena itu seni tradisi
sangat erat hubungannya dengan masyarakat pemiliknya, yang berfungsi sebagai
sarana ungkapan kejiwaan, komunikasi dari masyarakat kepada anggota
masyarakat lainnya maupun dengan “Yang Diatas”, dan sekaligus mencerminkan
lambang yang menyiratkan nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan dan budaya
masyarakat tertentu. Dengan menyimak ciri-ciri tersebut, dapat disimpulkan
bahwa seni tradisional pada dasarnya adalah sarana mengungkap petuah dari guru
(tampilan seni pertunjukan dari berbagai aspek) kepada muridnya (penonton).
Sedangkan untuk pemilihan waktu tidak sembarangan, tetapi dipilih waktu yang
paling baik, umumnya dilakukan setelah kenduri arwah (keluarga yang telah
tiada), diantara menjelang malam hingga tepat tengah malam, dikarenakan lewat
tengah malam adalah alam milik para jin (mahkluk gaib).
Bentuk atau wujud yang tampak secara visual tersebut bukan sekedar
memenuhi kebutuhan estetika atau ritual semata, akan tetapi merupakan simbol-
simbol yang menyimpan makna mendalam berkaitan dengan perilaku kehidupan
manusia. Segala atribut visual (termasuk istilah, perilaku, masa/waktu) yang
tampak dalam peristiwa pertunjukan tersebut merupakan simbol-simbol yang
harus dipahami oleh masyarakat pendukungnya. Simbol-simbol tersebut berfungsi
205
ganda yaitu; sebagai petanda peristiwa/kejadian di dalamnya termasuk
permohonan/doa yang diungkapkan melalui upacara ritual sebelum dan saat
pertunjukan berlangsung, dan sebagai penanda peristiwa yang memiliki makna
dari simbol-simbol visual yang sekaligus berfungsi sebagai penuntun bagi
pengamatnya. Dengan demikian Tari Inai bukan hanya sekedar tari hiburan untuk
menanti persiapan di gelarnya acara pernikahan namun sekaligus merupakan
tuntunan yang perlu direnungkan dan direfleksikan pada kehidupan sehari-hari
agar sampai pada tujuan hidup.
5.2 Makna Pada Ragam Gerak Tari Inai
Semiotika terutama sekali mengkaji semiosis manusia sebagai suatu
fenomena sosial yang inheren, baik dari segi fungsi, sumber, konteks,
maupun efeknya. Semiotika juga berkaitan dengan makna-makna sosial yang
dikonstruksikan melalui berbagai bentuk semiotika, teks semiotika, dan
praktik semiotika pada semua masyarakat manusia dan dalam semua periode
sejarah manusia.
Menurut C.S. Pierce (dalam Cobley dan Jansz, 2002:23 dan Budiman,
2011:17-23) setiap gagasan adalah tanda (every thought is sign). Pierce juga
menekankan proses studi tanda. Semiotika baginya adalah doktrin dari sifat
esensial dan variasi fundamental dari semiosis. Semiosis di sini adalah
suatu proses, aksi tanda, bukan struktur bahasa atau kode. Yang dimaksud
semiosis adalah aksi, suatu pengaruh, yang melibatkan kerja sama tiga
subjek: tanda (sign), objeknya, dan interpretant. Semiosis adalah proses
206
menghubungkan tanda, objek, dan interpretant. Interpretant adalah ide yang
dihubungkan dengan tanda. Hubungan antara tanda dan interpretant masih
dikontrol oleh relasi dengan objek dan eksistensi material. Aliran yang terus-
menerus dari interpretant dikontrol oleh kebiasaan (habit), pengendalian berpikir
(sistem logonomik) sesuai dengan unsur budaya tertentu. Pierce melihat makna
sebagai suatu proses, bukan kualitas tanda atau teks.
Kode konotatif ataupun kode semantis merupakan dunia yang
ditransformasikan ke dalam pertunjukan yang bersifat lihatan. Dalam Tari
Inai, tanda-tanda verbal itu menemukan keutuhannya. Makna pernyataan
seluruh peristiwa yang ada dalam pertunjukan Tari Inai merupakan sebuah
keutuhan pula. Penyebab konotatif itu sendiri adalah fakta sejarah yang
telah dimodifikasi, artifisial, dan interpretatif yang sesuai dengan konteks action
yang diinginkan subjektivitas pengarangnya. Relasi material tanda dalam
suatu pesan adalah signifier dan acuannya (referent) adalah signified.
Struktur sistem pesan dihubungkan ke struktur referent melalui kode yang
mengorganisasi signified dan signifier melalui struktur paradigmatik yang
kompetibel.
Kode simbolik merupakan dunia perlambangan, yaitu dunia personifikasi
manusia dalam menghayati arti hidup dan kehidupan. Hal ini dapat dikenali
melalui kelompok-kelompok konvensi atau berbagai bentuk yang teratur,
mengulangi bermacam-macam mode dan bermacam-macam maksud dalam
sebuah teks pementasan yang akhirnya menghasilkan pengertian tentang
makna kode tersebut. Sistem tanda akan berfungsi lebih efektif dalam
207
menghasilkan makna jika ada hubungan yang jelas antara signifiers dan signifieds
dirasakan oleh semua pengguna tanda. Namun, hubungan yang kurang jelas
dalam peristiwa semiotika menimbulkan tendensi berlawanan. Hubungan yang
kurang tepat antara signifier dan signified, menyebabkan rusaknya sistem
hubungan keduanya. Jadi, tanda ada yang transparan dan ada yang kabur
(opague), bergantung pada tingkat kejelasan hubungan antara signifier-singnified.
Kode aksian merupakan prinsip bahwa di dalam sebuah pertunjukan
Tari Inai, perbuatan-perbuatan harus disusun dengan linier. Di dalam sebuah
pertunjukan Tari Inai sebuah peristiwa atau kejadian tidak akan sama dengan
peristiwa atau kejadian yang terjadi dalam seni tradisi lain. Pesan ditata melalui
pemanfaatan metatanda. Metatanda menandai aspek-aspek yang berbeda dari
suatu peristiwa semiotika dengan tujuan untuk membatasi perilaku semiotika
pertisipan. Metatanda umumnya mengena dalam mengonstruksi pesan dan
biasanya terdiri atas tanda transparan sebagai penanda. Kode budaya atau kode
acuan merupakan peranan metalingual. Hal ini terlihat pada saat sebuah
pertunjukan Tari Inai dihubungkan dengan persoalan-persoalan realitas budaya
yang membangunnya. Latar sosial budaya yang terdapat dalam sebuah
pertunjukan Tari Inai memungkinkan adanya kesinambungan budaya
sebelumnya. Bisa juga merupakan penyimpangan budaya sebelumnya, baik
sebagian maupun keseluruhannya, terhadap budaya yang telah mapan. Dalam
pertunjukan Tari Inai terlihat budaya yang melingkupinya, yaitu kebudayaan
Melayu dan kebudayaan Islam. Gerak dalam tarian ini mengakomodasikan gerak-
208
gerik fauna atau kejadian-kejadian alam, sesuai dengan konsep budaya Melayu
kembali ke alam semula jadi, dan alam yang terkembang menjadi guru.
Jika dilihat berdasarkan teori Langer yang digunakan untuk mengkaji
makna dalam ragam gerak Tari Inai, maka dapat dibagi menjadi dua yaitu :
1. Simbol Diskursif : merupakan makna pembagian dalam gerakan Tari
Inai ini, contohnya seperti gerakan buaya melintang tasik, ular todung meniti riak,
berokik melintas batas, dan setiap gerakan lainnya memiliki makna tersendiri
dalam tarian ini. Bahkan simbol hewan yang terdapat dalam tarian ini pun
memiliki arti, contohnya seperti elang yang secara umum berhubungan dengan
ha-hal yang bersifat spiritual, posisi atau kedudukan yang tinggi dan semangat
pantang menyerah yang terus menyala. Kemudian ular yang memiliki
keterbatasan fisik namun tidak menghalangi gerakan lincahnya sehingga ular
dianggap sebagai lambang keuletan, kekuatan, kesederhanaan, dan kebijaksanaan.
Dengan demikian, yang masuk menjadi makna diskursif dan juga memiliki makna
sebagai aturan yang telah di sepakati bersama dalam tarian ini, contohnya seperti;
gerakan sembah dan memberikan piring yang berisikan inai kepada calon
pengantin, gerakan ini merupakan kesepakatan bersama yang harus dilaksanakan
dan merupakan kewajiban sebagai simbol dalam tarian ini.
Berdasarkan hasil wawancara di lapangan pada tgl 18 oktober 2016,
menurut Zulkarnaini, gerak dalam Tari Inai secara keseluruhan dilakukan dengan
posisi rendah (tidak ada gerakan berdiri), yang berarti bahwa setiap penari harus
mampu menjaga kuda-kuda (pertahanan kaki) dari awal sampai akhir tarian,
dengan menggunakan jurus-jurus silat yang berasal dari nama-nama hewan sesuai
209
dengan gerakannya, seperti ular yang meliuk, monyet yang lincah, dan lain-lain.
Makna yang tersirat pada Tari Inai dapat dijelaskan melalui simbol yang terdapat
dalam setiap ragam gerak sebagai berikut.
5.2.1 Makna pada gerak silat tarung
Menurut sejarahnya para penari Tari Inai dahulu merupakan pendekar
yang memiliki kekuatan juga mendapat julukan orang sakti dan diharuskan
menguasai paling sedikit 5 sampai 10 jurus pencak silat. Jurus pencak silat yang
digunakan dalam pertarungan memiliki beberapa tujuan diantaranya untuk
mematahkan, melumpuhkan, bahkan mematikan. Namun pada ragam gerak silat
tarung tidak menggunakan fungi silat yang sebenarnya, silat yang digunakan
dalam Tari Inai dikenal dengan istilah tangkapan yaitu dipukul, ditangkis, dan
dijatuhkan. Dasar pencak silat tersebut yang kemudian dikembangkan menjadi
jurus bunga pencak silat.
Ragam ini memiliki makna bahwa para penari (pendekar) tersebut masing-
masing memiliki kekuatan untuk mempertahankan diri dan lingkungan dari
serangan yang kemungkinan akan datang untuk mengganggu penyelenggara dan
seluruh pendukung acara.
Gambar 5.2.1 Gerak Silat Tarung (Dok. Suci Purnanda,2016)
210
5.2.2 Makna pada gerak sembah empat sudut
Sesungguhnya manusia melakukan kesenian adalah usaha mendekatkan
diri kepadaNya, dengan kata lain adalah berdoa. Penjelasan tersebut memberikan
penegasan bahwa di dalam kesenian tradisional tidak akan terlepas dari unsur
ritual. Setiap memulai ritual Tari Inai terlebih dahulu diharuskan kepada para
penari untuk berdoa seperti membaca istighfar sebanyak tiga kali, kemudian
membaca al-fatihah dalam sekali nafas, sambil mendoakan peralatan yang akan
digunakan dalam pertunjukan. Hal tersebut dilakukan agar para penari tidak
mengalami kegagalan dalam melakukan tarian ini, dan selalu dilindungi karena
telah berserah diri kepada Allah SWT.
Makna dari ragam ini adalah memohon izin kepada Tuhan Yang Maha
Esa, tuan guru, tokoh adat, tokoh masyarakat, para alim ulama, penunggu darat,
laut, langit dan bumi, bahwa mereka (penari) bukan sekedar menunjukkan
kekuatan tetapi berniat untuk menjaga kawasan/wilayah tempat terselenggaranya
acara tersebut dari perbuatan jahat manusia atau mahkluk gaib sekalipun.
Permohonan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar hari ini bersih dari segala
rintangan maupun petaka, seperti cuaca (bersih tidak hujan, angin kencang,
gempa, dan lain sebagainya), gangguan keamanan, maupun gangguan orang-
orang yang memusuhi, apakah kepada tuan rumah atau kepada perkumpulan
sanggar Tari Inai tersebut seperti penari, pemusik, pawang dan sebagainya, berupa
hantaman “ilmu supranatural” seperti tenung, santet, guna-guna, dan sebagainya.
Dengan demikian jika dunia ini bersih dari segala kotoran tersebut diatas, maka
211
penonton/tamu dapat dengan tenang mendatangi dan menikmati pertunjukan Tari
Inai.
Gambar 5.2.2 Gerak Sembah 4 Sudut (Dok. Suci Purnanda,2016)
5.2.3 Makna pada gerak ular todung membuka lingkar
Dahulu setiap pendekar (penari) harus memiliki indra ke enam atau ilmu
kebatinan, gunanya agar dapat merasakan sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan
kasat mata. Gerakan ini didasari dari salah satu jurus yang digunakan untuk
membuka kuncian (serangan), yaitu jurus ular yang sangat berbahaya. Memiliki
makna bahwa setiap manusia sebaiknya mempunyai pertahanan atau pagar diri,
karena jika tidak dilindungi maka akan dapat disakiti oleh orang lain. Melindungi
dalam hal ini selain diri sendiri juga diantaranya adalah keluarga, sanak saudara,
dan orang-orang yang terlibat di dalam acara tersebut agar terhindar dari orang-
orang yang bersifat iri, dengki, buruk sangka, dan lain-lain.
212
Gambar 5.2.3 Gerak Ular Todung Membuka Lingkar (Dok. Suci Purnanda,2016)
5.2.4 Makna pada gerak ular todung meniti riak
Menelusuri makna yang terdapat pada kata meniti riak, diartikan sebagai
sebuah perjalanan yang bergejolak (penuh tantangan). Mengisyaratkan kepada
manusia untuk berusaha semaksimal mungkin baik tenaga, fikiran, maupun
materi, untuk meraih cita-cita. Sudah tentu sekalipun hidup di dunia amat singkat,
bukan berarti semua usaha dapat berhasil begitu saja. Akan tetapi banyak
rintangan yang harus dihadapi dan dijalani. Untuk itu dibutuhkan senantiasa
kesadaran dan konsentrasi dalam menghadapi sebesar apapun rintangan yang akan
datang.
213
Gambar 5.2.4 Gerak Ular Todung Meniti Riak (Dok. Suci Purnanda,2016)
5.2.5 Makna pada gerak atraksi kayang dan memutar piring
Atraksi Putar Piring merupakan atraksi penari melakukan gerak memutar
piring dalam posisi berguling. Penari melakukan proses kayang, atraksi ini juga
adalah atraksi yang sangat unik dan selalu digemari oleh penonton karena atraksi
ini juga mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi. Penari juga harus
memperhatikan bagian tubuhnya, jika tidak memperhatikan kemungkinan akan
mengakibatkan terbakarnya baju dari penari tersebut.
Selain itu, mereka juga ingin menunjukkan bahwa mereka memiliki
kekuatan atau kesaktian untuk dapat mengusir segala kemungkinan buruk yang
akan terjadi pada daerah tempat akan diselenggarakannya acara ini, baik yang
datang dari manusia atau bahkan dari mahkluk gaib yang berniat menganggu
jalannya acara.
214
Gambar 5.2.5 Gerak Atraksi Kayang dan Memutar Piring (Dok. Suci Purnanda,2016)
5.2.6 Makna pada gerak itik bangun dari tidur
Gerak ini menyimbolkan keharusan sifat saling tegur sapa kepada
masyarakat di sekitar pertunjukan berlangsung. Tegur sapa ini bermakna ajakan
dan mengingatkan adanya pertunjukan Tari Inai, sebagai peringatan tentang sikap,
perilaku dan usaha dalam mengarungi hidup, serta menunjukkan kepada para
kerabat dan penonton yang dapat melihat dari sudut manapun keberadaan inai
yang akan dipersembahkan untuk calon pengantin. Selain itu, berisi peringatan
atau pelajaran yang diungkapkan di atas panggung, mengenai sikap, tingkah laku,
maupun perjalanan hidup manusia di dunia ini.
215
Gambar 5.2.6 Gerak Itik Bangun Dari Tidur (Dok. Suci Purnanda,2016)
5.2.7 Makna pada gerak itik berdiri memandang langit
Hal tersebut mengisyaratkan makna tentang isi kehidupan di dalam dunia
ini. Sesungguhnya hidup harus selalu seimbang, yaitu ada langit ada bumi, ada
siang ada malam, ada laki-laki ada perempuan, dan seterusnya. Manusia
diciptakan berpasang-pasangan untuk saling berjodoh, bekerjasama, berkasih-
kasihan bahkan berlawanan. Tuhan sudah menciptakan sedemikian rupa isi dunia
ini, manusia tinggal menjalani baik yang positif atau yang negatif. Manusia harus
mampu memilih yang baik dan buruk, menyeimbangkan antara dunia dan akhirat,
dengan cara berdoa dan berusaha.
216
Gambar 5.2.7 Gerak Itik Berdiri Memandang Langit (Dok. Suci Purnanda,2016)
5.2.8 Makna pada gerak puting beliung berbalik arah
Dengan melihat kehebatan para penari dalam mempertahankan cahaya
lilin agar tetap menyala, maka gerakan ini seolah menggambarkan sebagai
lentera yang selalu menerangi sepanjang jalan pengantin dalam mengarungi
hidupnya di kemudian hari. Karena sekeras apapun angin yang menerpa, tetapi
lilin akan tetap terus menyala. Memiliki arti bahwa seberat apapun masalah yang
akan datang di masa depan harus tetap kuat mengahadapinya.
Gambar 5.2.8 Gerak Puting Beliung Berbalik Arah (Dok. Suci Purnanda,2016)
217
5.2.9 Makna pada gerak buaya melintang tasik
Memaknai gerak pada ragam ini yang berarti bahwa setiap pendekar
(penari) harus mampu mengatasi terpaan sesulit apapun, dalam hal ini jika setiap
hal buruk atau masalah yang datang mengganggu maka langsung ditangkap,
dilumpuhkan, dan tetap tangguh mengadapinya. Ragam ini dapat juga diartikan
bahwa hendaklah sesekali kita berbuat baik kepada orang yang membutuhkan
pertolongan.
Gambar 5.2.9 Gerak Buaya Melintang Tasik (Dok. Suci Purnanda,2016)
5.2.10 Makna pada gerak berokik melintas batas
Selain bertujuan untuk menunjukkan kehebatan dari masing-masing
penari, tujuan utama dari gerak tari ini yaitu menjaga calon pengantin dari
gangguan-gangguan manusia atau makhluk gaib. Termasuk menjaga beberapa
aspek pendukung lain diantaranya pawang, penari, pemusik, tuan rumah, serta
tamu dan penonton yang hadir di acara tersebut.
218
Gambar 5.2.10 Gerak Berokik Melintas Batas (Dok. Suci Purnanda,2016)
5.2.11 Makna pada gerak sembah akhir
Gerak Tari ini merupakan simbol sifat-sifat manusia dewasa yang sudah
dapat merasakan segala sesuatu yang di dapatkan. Cita-citanya adalah hidup
dengan gembira, maka selalu berusaha untuk mencapainya. Meski demikian,
usaha tersebut tidak selamanya berjalan dengan mulus. Maka harus dilalui dengan
segala kenikmatan dan kesengsaraan yang sudah dialami. Jika bekal untuk
kembali kepadaNya sudah siap dan merasa cukup, maka ia selalu ingin
mempercepat menemuiNya. Hal ini diperkuat dengan pandangan menyatunya dua
kutup yang bertentangan, yakni langit dan bumi sudah menjadi satu kesatuan,
artinya tidak ada tinggi dan rendah, tidak ada baik dan buruk, dan sebagainya,
maka tinggal satu kesatuan antara makhluk dan penciptanya, yaitu yang ditandai
dengan sembah penutup (terakhir), setelah itu berjalan menuju “tujuan akhir”
kehidupan.
219
Gambar 5.2.11 Gerak Sembah Akhir (Dok. Suci Purnanda,2016)
2. Simbol Presentasional : dalam Tari Ini memiliki makna secara
keseluruhan yang menggunakan simbol ini dalam mengartikannya menjadi suatu
pesan yang ingin disampaikan, tidak terbagi-bagi seperti simbol diskursif diatas.
Maka dari itu, penggunaan simbol presentasional digunakan untuk mengetahui
makna secara keseluruhan dalam Tari Inai.
Tari Inai digelar secara hakiki bukan sekedar untuk ditonton, sebagai
pengisi waktu dalam menanti persiapan acara pernikahan, tetapi merupakan
konsep yang dipersiapkan secara matang untuk disampaikan kepada pengamat
(bagai guru memberikan petuah kepada murid-murid) yang berfungsi sebagai
pencerahan hidup dan kehidupan. Hal ini dapat dipahami karena hampir seluruh
peristiwa yang terjadi dalam kesatuan tampilan tarian ini memiliki makna tentang
ajaran budi pekerti. Konsep tersebut dapat dilihat melalui relasi unsur-unsur dari
struktur Tari Inai dalam kesatuan pertunjukan pada malam berinai.
220
Pertama, unsur ritual yang merupakan komunikasi transedental dengan
alam gaib, yakni alam tempat dzat yang dihormati, dipuja seperti para dewa, roh
leluhur agar terjalin keselarasan, keharmonisan, dan keseimbangan, sehingga
dapat saling menjaga keselamatan desa beserta masyarakatnya, serta kelestarian
budaya Tari Inai. Dalam upacara selalu dilengkapi perilaku dan mantra atau doa,
peralatan, dan lain sebagainya. Kesemuanya merupakan simbol-simbol etika
komunikasi, baik kepada yang lebih tinggi, setingkat atau lebih rendah stratanya.
Dalam kaitannya dengan struktur pertunjukan Tari Inai, ritual yang mengawali
pertunjukan tersebut sesungguhnya merupakan simbol-simbol perilaku manusia di
dalam usaha untuk membersihkan diri sebelum melaksanakan segala aktifitas.
Terlebih aktifitas dengan hubungan sakral, baik antara manusia dengan Tuhannya
maupun antara manusia dengan manusia (seperti menjelang pernikahan), yang
fungsinya membersihkan kotoran-kotoran hati (prasangka buruk, dendam, iri,
dengki, sombong, congkak, dan sebagainya).
Kedua, unsur komunikasi dengan sesama manusia yang berisi ajakan atau
peringatan. Unsur ini menyimbolkan tegur sapa kepada masyarakat di sekitar
pertunjukan berlangsung. Tegur sapa ini bermakna ajakan dan mengingatkan
adanya pertunjukan Tari Inai, serta peringatan tentang sikap, perilaku dan usaha
dalam mengarungi hidup. Berisi peringatan atau pelajaran yang diungkapkan di
atas panggung, mengenai sikap, tingkah laku, maupun perjalanan hidup manusia
di dunia ini. Lebih tegasnya adalah senantiasa ingat kepada Tuhan Yang Maha
Esa, yang menjadikan, menggerakkan, dan membinasakan. Mengisyaratkan
kepada manusia untuk berusaha semaksimal mungkin baik tenaga, fikiran,
221
maupun materi, untuk meraih cita-cita. Sudah tentu sekalipun hidup di dunia amat
singkat, bukan berarti semua usaha dapat berhasil begitu saja. Akan tetapi banyak
rintangan yang harus dihadapi dan dijalani. Oleh karena itu jalan satu-satunya
adalah berusaha meraih dengan berbagai “cara”. Hal tersebut mengisyaratkan
makna tentang isi kehidupan di dalam dunia ini. Sesungguhnya hanya ada dua
macam paradoxial, yaitu ada langit ada bumi, ada siang ada malam, ada laki-laki
ada perempuan, dan seterusnya. Manusia diciptakan berpasang-pasangan untuk
saling berjodoh, bekerjasama, berkasih-kasihan bahkan berlawanan. Tuhan sudah
menciptakan sedemikian rupa isi dunia ini, manusia tinggal menjalani baik yang
positif atau yang negatif.
Permohonan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar hari ini bersih dari
segala rintangan maupun petaka, seperti cuaca (bersih tidak hujan, angin kencang,
gempa, dan lain sebagainya), gangguan keamanan, maupun gangguan orang-
orang yang memusuhi, apakah kepada tuan rumah atau kepada perkumpulan
sanggar Tari Inai tersebut seperti penari, pemusik, dalang dan sebagainya, berupa
hantaman “ilmu supranatural” seperti tenung, santet, guna-guna, dan sebagainya.
Dengan demikian jika dunia ini bersih dari segala kotoran tersebut diatas, maka
penonton/tamu dapat dengan tenang mendatangi dan menikmati pertunjukan Tari
Inai.
Peringatan atau anjuran untuk memegang teguh makna pertunjukan Tari
Inai yang disaksikan tersebut. Sebab jika tidak mempunyai pegangan dalam hal
ini yang dimaksud adalah keimanan, maka akan tergoyahkan pendiriannya.
222
Sehingga hanya senang dengan hal-hal yang lahiriah, mengesampingkan makna
yang lebih berarti dari pertunjukan tari tersebut.
Ketiga, unsur struktur Tari Inai. Sajian utama Tari Inai adalah koreografi
di atas panggung yang langsung dinikmati oleh penonton. Koreografi tersebut
memiliki 2 (dua) aspek utama, yaitu konsep gerak (norma yang harus diketahui
dan dijalankan dalam pertunjukan Tari Inai). Sedangkan aspek yang kedua adalah
bentuk gerak itu sendiri, yang memiliki fungsi transisi (penyambung) gerak satu
ke gerak yang lain.
Keempat, unsur tata rias dan busana. Sepasang penari Tari Inai
menggunakan busana yang sama (kembar), menyimbolkan kesatuan jiwa. Secara
fisik tampak dua, namun secara hakiki semua paradoksial ada dalam diri masing-
masing manusia. Kejantanan, kelemahlembutan, keangkuhan, ketulusan,
kebesaran, kerendahan, dan seterusnya merupakan sifat-sifat alamiah atau sifat
kodrati manusia. Hanya diri sendiri yang dapat memilih mana yang harus dituruti
dan dikembangkan.
Kelima, unsur musik pengiring. Musik pengiring pada Tari Inai ini
menggunakan sebuah biola dan dua buah gendang ronggeng, yang memberikan
penguatan makna bahwa musik merupakan alat untuk melihat sesuatu (sekecil-
kecilnya), mengisyaratkan penglihatan, mencermati, dan memahami perilaku sifat
manusia.
Keenam, unsur panggung sebagai tempat memvisualisasikan pertunjukan
Tari Inai sebagai bagian dari keseluruhan acara malam berinai. Secara visual
panggung pertunjukan Tari Inai adalah di depan pelaminan (kursi pengantin),
223
sehingga dapat dilihat dari tiga sisi penonton, yaitu dari belakang, kiri, dan kanan
panggung. Ketika penari keluar merupakan gambaran saat-saat ketegangan
seorang wanita yang hendak melaksanakan pernikahan. Setelah melalui peristiwa
yang telah dihadapi maupun situasi yang terjadi di dunia (baik-buruk, sedih-
bahagia, benar-salah, beserta segala aspek sikap dan perilaku manusia) tersebut
diungkapkan di atas panggung yang langsung dapat dinikmati oleh penonton.
Sebenarnya inilah makna dari pertunjukan tradisional Tari Inai yang
keseluruhannya mengajarkan proses inisiasi (proses perjalanan hidup beserta
peristiwanya di dalam dunia) kepada seluruh masyarakat pendukungnya.
5.3 Makna Pada Pola Lantai
Pola lantai adalah pola denah yang dilakukan seorang penari dengan
perpindahan, pergerakan, dan pergeseran posisi dalam sebuah ruang (space). Pola
lantai ini sebenarnya adalah teknik penguasaan panggung (blocking) seorang
penari. Pola lantai berfungsi untuk membuat posisi dalam sebuah ruang gerak.
Formasi atau pola lantai pada Tari Inai pada dasarnya ada tiga macam yaitu
formasi berpasangan, formasi lingkaran, dan formasi empat arah. Pola lantai
tersebut mengacu pada susunan gerak yang ada pada Tari Inai. Pola lantai ini di
dapatkan berdasarkan pengamatan di lapangan. Adapun penjelasan akan makna
dari ketiga formasi tersebut adalah sebagai berikut.
224
5.3.1 Formasi berpasangan
Formasi ini digunakan untuk melakukan ragam gerak tari di tempat
(statis). Seluruh ragam gerak yang dilakukan dalam formasi ini “sama dan
sebangun”. Hal ini memiliki arti bahwa dalam menjalani kehidupan hendaklah
saling mengisi, melengkapi, dan saling berinteraksi antar sesama.
Gambar 5.3.1 Formasi Berpasangan
Gambar 5.3.1.1 Penari pada Pola Lantai Berpasangan (Dok. Suci Purnanda,2016)
225
5.3.2 Formasi lingkaran
Formasi yang merupakan gambaran kehendak manusia yang tidak ada
batasnya. Hal ini dapat dipahami karena secara hakiki manusia memiliki sifat
dasar ingin menjadi yang ter/paling, yang pusatnya berada di dalam hati.
Kehendak inilah yang menyebabkan manusia selalu mengembara berputar-putar
mengitari jagad raya (mikro kosmos) untuk mencari yang diinginkannya.
Gambar 5.3.2 Formasi Lingkaran
Gambar 5.3.2.1 Penari pada Pola Lantai Lingkaran (Dok. Suci Purnanda,2016)
226
5.3.3 Formasi empat arah
Formasi yang selalu diawali dari depan menuju kearah kanan melalui arah
kiri kemudian berputar dan kembali ke tengah. Formasi ini merupakan simbol
tentang perilaku manusia, kanan adalah sesuatu yang baik atau dianggap baik,
sedangkan kiri adalah sesuatu yang dianggap salah, jelek, perusak, dan
sebagainya. Oleh karena itu, jika manusia berani menanggulangi segala kesalahan
maka ia akan menuju kebaikan, nikmat, menyenangkan, dan seterusnya.
Gambar 5.3.3 Formasi Empat Arah
Gambar 5.3.3.1 Penari pada Pola Lantai Empat arah (Dok. Suci Purnanda,2016)
227
5.4 Makna Pada Busana
Pada acara malam berinai, seluruh penari menggunakan baju kecak
musang pada bagian lehernya berupa kerah tegak seperti kerah shanghai,
berkancing lima buah yang melambangkan rukun islam yang berjumlah lima
dan juga berlengan panjang. Begitu pula pakaian yang dipakai oleh pemusik
yaitu baju gunting cina atau baju kecak musang dan celana panjang longgar,
kepala ditutup dengan peci atau memakai ikat kepala. Selain itu juga
menggunakan sesamping berupa kain sarung atau songket yang dibentuk segitiga
atau sejajar dan diikatkan ke pinggang tepatnya di atas lutut.
Sepasang penari Inai menggunakan busana yang sama (kembar),
menyimbolkan kesatuan jiwa. Secara fisik tampak dua, namun secara hakiki
semua paradoksial ada dalam diri masing-masing manusia. Kejantanan,
kelemahlembutan, keangkuhan, ketulusan, kebesaran, kerendahan, dan seterusnya
merupakan sifat-sifat alamiah atau sifat kodrati manusia. Hanya diri sendiri yang
dapat memilih mana yang harus dituruti dan dikembangkan.
Pada umumnya busana Tari Inai yang terdapat di wilayah Kota Binjai
berwarna gelap seperti hitam dan biru. Hal ini disebabkan sebuah warna memiliki
arti dalam budaya Melayu. Warna bagi orang Melayu adalah merupakan lambang
atau simbol yang dapat membedakan status seseorang di dalam kehidupannya.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tradisional Melayu mengartikan warna
hitam dan biru sebagai lambang keperkasaan, dahulu dipakai oleh panglima dan
hulubalang kerajaan. Selain itu, warna hitam juga memiliki makna kesetiaan,
ketabahan, bertanggung jawab, serta jujur. Berdasarkan kepercayaan tersebut
228
maka para penari inai memakai pakaian berwarna hitam yang melambangkan para
kesatria penjaga calon pengantin dari segala gangguan menjelang pernikahan.
Gambar 5.4 Busana Tari Inai (Dok. Suci Purnanda, 2016)
5.5 Makna Pada Properti
Properti tari adalah salah satu unsur yang hampir selalu ada di setiap jenis
dan ragam tarian. Properti tari merupakan semua alat yang digunakan sebagai
media atau perlengkapan dari pementasan suatu tarian. Pada dasarnya,
penggunaan properti tari ditujukan untuk memberi kesan keindahan sekaligus
sebagai media untuk menyampaikan makna yang terkandung dalam sebuah tarian.
ikat kepala
baju kecak musang
kain songket
celana panjang longgar
229
Dengan demikian properti tari dapat didefenisikan sebagai suatu alat yang
digunakan dalam satu tarian untuk menunjukkan nilai estetika tarian tersebut,
sekaligus sebagai media penyampaian pesan atau makna.
Masing-masing tari tradisional di Indonesia memiliki propertinya sendiri,
dikarenakan ada banyak sekali bentuk dan jenis properti tari. Namun yang perlu
diketahui adalah penggunaan properti tersebut haruslah mempertimbangkan
fungsi, jenis, dan asas pemakaiannya secara baik dan benar. Alasannya adalah
karena proporsi umumnya secara mendasar akan menentukan tingkat penguasaan
keterampilan penari terhadap jenis tarian tersebut.
Demikian pula halnya properti yang digunakan untuk Tari Inai yaitu dua
buah piring yang diletakkan diatas dua telapak tangan dengan pola gerakan
diayun. Piring-piring tersebut diletakkan menghadap ke atas atau dalam posisi
terbuka sebagai simbol menunjukkan ke arah Tuhan, selain itu juga memiliki
makna sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan. Berikutnya piring tersebut
digunakan untuk meletakkan inai yang sudah ditumbuk/digiling halus. Inai adalah
tumbuhan yang hidup didataran tinggi yang memiliki daun yang lebat dan
berukuran relatif kecil. Daun yang telah tua ditandai dengan adanya bintik-
bintik hitam yang terdapat di daun tersebut, daun yang tua tersebut digiling
halus dicampur dengan gambir, kapur, arang dan sedikit nasi sebagai perekat
serta perasan jeruk nipis, kemudian dibubuhkan pada kuku atau kulit sehingga
menghasilkan warna kemerah-merahan. Pemakaian inai pada upacara perkawinan
memiliki makna untuk melindungi calon pengantin dari gangguan supranatural
dan dipercaya dapat menangkal roh jahat, selain itu juga dapat digunakan sebagai
230
obat untuk luka dikuli. Tetapi seiring berkembangnya pengetahuan
masyarakat, sekarang Inai digunakan dalam masyarakat Melayu sebagai tanda
sudah menikah. Namun sebelum menyusun inai di atas piring, maka terlebih
dahulu menyalakan lilin dan diletakkan di tengah-tengah piring, barulah inai
disusun mengelilingi lilin yang sudah dipasang. Lilin tersebut gunanya untuk
menerangi setiap piring dan inai yang dibawa, serta memiliki makna sebagai
cahaya yang selalu menerangi semua orang yang ada disekitarnya. Selain itu lilin
juga memberikan kehangatan namun juga mampu membakar benda-benda yang
ada di sekitarnya jika tidak berhati-hati, hal ini mengingatkan kepada kita untuk
selalu waspada meskipun sedang berada dalam kondisi yang menyenangkan.
Sebab kurangnya kewaspadaan akan dapat menimbulkan konsekuensi yang
mengerikan.
Gambar 5.5 Properti Tari Inai (Dok. Suci Purnanda, 2016)
piring lilin
inai
231
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dengan melalui kajian-kajian yang telah dilakukan, berupa serangkaian
pngumpulan data dan menganalisisnya, maka penelitian ini menghasilkan
beberapa temuan yang perlu mendapatkan kesimpulan. Berdasarkan pada
penjelasan dari bab-bab di atas, penulis menyimpulkan pembahasan dari hasil
penelitian yang telah dilakukan. Kesimpulan ini adalah jawaban dari dua pokok
permasalahan yang telah ditetapkan pada Bab I. Adapun pokok permasalahan
tersebut adalah : 1). stuktur gerak Tari Inai, dan 2). makna gerak Tari Inai.
1). Susunan kesebelas gerak Tari Inai merupakan pengembangan dari
gerakan silat dan menggunakan istilah-istilah gerak tertentu yang akan mengalami
perubahan sesuai ide kreatif para penari. Umumnya penari Inai berjumlah genap
atau berpasangan misalnya 2 (dua) penari, 4 (empat) penari, maupun 6 (enam)
penari yang menggunakan properti piring. Atraksi Putar Piring merupakan atraksi
penari melakukan gerak memutar piring dalam posisi berguling. Penari
melakukan proses kayang, atraksi ini juga adalah atraksi yang sangat unik dan
selalu digemari oleh penonton karena atraksi ini juga mempunyai tingkat
kesulitan yang tinggi. Penari juga harus memperhatikan bagian tubuhnya, jika
tidak memperhatikan kemungkinan akan mengakibatkan terbakarnya baju dari
penari tersebut.
232
Musik iringan Tari Inai dibawakan oleh satu ensambel musik yang terdiri
dari: satu biola, satu akordion, dan satu buah gendang ronggeng Melayu. Biola
dan akordion berfungsi membawakan melodi, sedangkan gendang ronggeng
membawakan irama atau rentak di dalam budaya musik Melayu. Melodi dan
rentak musik iringan untuk Tari Inai disebut dengan rentak patam-patam. Dalam
Tari Inai musik iringan sangatlah penting, agar tari dapat dinikmati secara
keseluruhan dengan baik. Karena pada dasarnya musik sebagai pembentuk
suasana dan juga untuk memperjelas tekanan-tekanan gerak dalam tari ini.
2). Tari Inai pada kesatuan acara malam berinai, merupakan seni
pertunjukan tradisional yang memiliki ciri-ciri; bersifat religius, yaitu seni yang
kehadirannya terkait dengan acara religi, keagamaan atau kepercayaan yang hadir
sebagai kelengkapan upacara religi, dan menyiratkan ajaran moral, ajaran agama
dan tujuan hidup yang intinya memuja Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian
yang hadir (penonton) juga merupakan bagian dari acara tersebut, yang
membutuhkan tuntunan melalui simbol-simbol yang diungkapkan dalam
pertunjukan. Upacara religi tersebut biasanya berhubungan dengan keselamatan,
kesuburan, rezeki, syukuran dari seseorang/masyarakat, ataupun yang
berhubungan dengan kehidupan pertanian atau nelayan. Karena itu seni tradisi
sangat erat hubungannya dengan masyarakat pemiliknya, yang berfungsi sebagai
sarana ungkapan kejiwaan, komunikasi dari masyarakat kepada anggota
masyarakat lainnya maupun dengan “Yang Diatas”, dan sekaligus mencerminkan
lambang yang menyiratkan nilai-nilai yang berlaku dalam kehiupan dan budaya
masyarakat tertentu. Dengan menyimak ciri-ciri tersebut, dapat disimpulkan
233
bahwa seni tradisional pada dasarnya adalah sarana mengungkap petuah dari guru
(tampilan seni pertunjukan dari berbagai aspek) kepada muridnya (penonton).
Sedangkan untuk pemilihan waktu tidak sembarangan, tetapi dipilih waktu yang
paling baik, diantara menjelang malam hingga tepat tengah malam.
Bentuk atau wujud yang tampak secara visual tersebut bukan sekedar
memenuhi kebutuhan estetika atau ritual semata, akan tetapi merupakan simbol-
simbol yang menyimpan makna mendalam berkaitan dengan perilaku kehidupan
manusia. Segala atribut visual (termasuk istilah, perilaku, masa/waktu) yang
tampak dalam peristiwa pertunjukan tersebut merupakan simbol-simbol yang
harus dipahami oleh masyarakat pendukungnya. Simbol-simbol tersebut berfungsi
ganda yaitu; sebagai petanda peristiwa/kejadian di dalamnya termasuk
permohonan/doa yang diungkapkan melalui upacara ritual sebelum dan saat
pertunjukan berlangsung, dan sebagai penanda peristiwa yang memiliki makna
dari simbol-simbol visual yang sekaligus berfungsi sebagai penuntun bagi
pengamatnya. Dengan demikian Tari Inai bukan hanya sekedar tari hiburan untuk
menanti persiapan di gelarnya acara pernikahan namun sekaligus merupakan
tuntunan yang perlu direnungkan dan direfleksikan pada kehidupan sehari-hari
agar sampai pada tujuan hidup.
5.2 Implikasi Studi
Istilah implikasi bukanlah istilah yang sering digunakan sehari-hari, istilah
ini lebih sering digunakan dalam dunia penlitan atau yang berhubungan dengan
kajian mengenai sesuatu. Secara umum masyarakat sering mengaitkan istilah
234
implikasi dengan akibat atau dampak dari sesuatu, jika dikatakan berimplikasi
positif maka akan dimaknai sebagai hal yang berdampak positif. Pengertian
implikasi penelitian adalah dampak atau konsekuensi langsung temuan yang
dihasilkan dari suatu penelitian, atau dapat juga dikatakan sebagai kesimpulan
temuan dari suatu penelitian (www.pengertianmenurutparaahli.net).
Dengan adanya implikasi dari penelitian yang telah dilakukan maka
penulis bisa membandingkan hasil penelitian sebelumnya dengan yang baru
dilakukan sehingga dapat berkontribusi bagi kemajuan ilmu pengetahuan.
Berdasarkan hasil temuan penelitian ini, dapat dikemukakan dua macam implikasi
studi, yakni implikasi teoritik dan implikasi praktik.
Sebagai seni tradisional, Tari Inai dalam kesatuan pertunjukan di acara
malam berinai secara hakiki bukan sekedar tontonan untuk pelepas lelah atau
hiburan semata, akan tetapi di dalamnya mengandung berbagai unsur yang
berkaitan langsung dengan sosial masyarakat pendukungnya. Hubungan kedua
belah pihak antara seni pertunjukan dengan masyarakat merupakan interaksi
simbolik. Hal ini dapat divisualkan melalui bentuk-bentuk visual (kasat mata),
seperti perilaku, ritual, musik pengiring, penari, busana dan tata panggung,
termasuk pula aspek komunikasi baik penari, pawang, pemusik dengan penonton,
atau penyelenggara. Aspek visual ini secara langsung akan menghasilkan struktur
visual (struktur fisik). Hubungan yang terjalin dalam aspek visual ini hanya
terbatas pada tataran kulit/fisik. Tari Inai secara visual dilakukan oleh dua orang
penari berpakaian sama, dengan warna yang sama pula. Tarian ini berkarakter
gagah. Secara visual penonton hanya melihat ketrampilan dan kegagahan kedua
235
penari tersebut. Sedangkan untuk memahami interaksi simbolik pada pertunjukan
yang ditampilkan diperlukan pemahaman makna simbol-simbol yang divisualkan
melalui struktur gerak. Dengan demikian simbol-simbol visual tersebut harus
dilihat secara mendalam untuk membuka tabir makna yang terselubung dengan
melalui berbagai alat, diantaranya menggunakan alat hermeneotik. Dengan
melalui cara ini akan diketahui hubungan struktur fisik/struktur luar (surface
structure) dengan makna yang terdapat di dalamnya atau struktur isi/struktur
dalam (deep structure).
Hasil penelitian ini mendukung teori strukturalisme ala Levi Strauss yang
memiliki dua aspek struktur yakni struktur fisik/struktur luar (surface stucture)
dan struktur isi/dalam (deep structure). Namun bukan berarti teori strukturalisme
Levi Strauss tidak memiliki kelemahan. Kelemahannya terletak pada surface
structure yang hanya melihat secara global. Ia tidak memiliki perangkat untuk
melihat secara detail aspek ritual, seperti halnya gerak tari/koreografi yang di
dalamnya memiliki berbagai unsur dan masing-masing memiliki satuan-satuan
unit yang bermakna.
Sebagai sebuah pertunjukan tari pada acara malam berinai, Tari Inai
terbentuk unsur-unsur gerak hingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Unsur-unsur
gerak dalam tari setidaknya dapat dibagi menjadi empat, yakni unsur gerak
kepala, tangan, badan, dan kaki. Kesatuan unsur yang terkecil akan membentuk
motif gerak dan motif-motif gerak akan mengikat menjadi ragam/kalimat gerak.
Oleh sebab itu, dalam membedah sebuah koreografi secara tuntas dan menyeluruh
perlu di dukung oleh teori, dalam penelitian ini digunakan teori strukturalisme
236
Levi Strauss. Berdasarkan argumentasi tersebut, penelitian ini beranggapan bahwa
pemikiran struktural Levi Strauss lebih menitik beratkan pada struktur fisik secara
umum dan struktur maknanya.
Implikasi terhadap dunia pendidikan, secara teoritik hasil penelitian ini
lebih banyak menghasilkan temuan tentang perilaku budi pekerti yang baik (budi
luhur). Secara empirik, kurikulum di sekolah dasar sampai perguruan tinggi lebih
banyak menekankan pada aspek intelegensi, logika, dan pengetahuan-pengetahuan
pragmatis. Sedangkan pengetahuan dan pemahaman emosional/rasa yang
mengarah pada budi pekerti dianggap lemah, sehingga mengakibatkan lemahnya
rasa estetika, ketentraman, kedamaian dan sebagainya. Dampaknya, terjadi
lemahnya sikap hormat-menghormati, tindakan anarkis, kebebasan yang tanpa
batas dan sebagainya. Setidaknya melalui hasil temuan penelitian ini dapat
digunakan sebagai model pemahaman tentang nilai-nilai keluhuran budaya tradisi
yang diharapkan dapat menuntun para generasi muda untuk memahami sekaligus
menerapkan dalam perilaku sehari-hari.
Secara praktis hasil penelitian ini akan dapat digunakan sebagai bahan
pemantapan dan pengembangan kelompok seni pertunjukan Tari Inai khususnya
di wilayah Kota Binjai. Temuan struktur koreografi dapat secara langsung
dipelajari baik bagi penari pemula maupun sebagai bahan kajian bagi dosen, guru,
mahasiswa, agar dapat memberi apresiasi terhadap pertunjukan Tari Inai
khususnya dan pertunjukan tradisional secara umum. Hal ini dapat dipahami
bahwa seni pertunjukan Tari Inai dan seni pertunjukan tradsional pada umumnya,
bukan sekedar tontonan sebagai hiburan semata, namun lebih memberikan
237
pencerahan tentang sikap dan perilaku hidup serta membina hubungan yang
harmonis diantara alam semesta dan manusia.
5.3 Saran-saran
Sebagian besar temuan dalam penelitian ini memiliki karakteristik yang
khas dan hanya berlaku pada fenomena yang terjadi di tempat tersebut. Artinya
hasil penelitian ini tidak dapat digunakan untuk memahami fenomena yang
berbeda, terlebih pada daerah dan pertunjukan yang berbeda. Sementara
pengembangan seni pertunjukan saat ini hanya di dasarkan pada pertimbangan
kreatifitas, sangat sedikit yang mempertimbangkan aspek mendasar seperti truktur
dan makna serta kekuatan budaya yang membentuknya. Terlebih saat sekarang ini
(tahun 2016) para seniman, budayawan, dan pemerintah Kota Binjai melakukan
upaya dan pengkajian seni pertunjukan tradisional guna mengangkat kembali
kebudayaan yang dimiliki oleh Kota Binjai seperti halnya Tari Inai.
Tari inai sebagai salah satu kesenian tradisional masyarakat Melayu yang
kini sudah jarang dijumpai, akan tetapi kesenian ini mampu berkembang dengan
adanya kreatifitas-kreatifitas sanggar yang berkembang di wilayah Kota Binjai
dan tentu saja akan mendapat pengaruh dari kesenian yang ada di sekitarnya. Oleh
karena itu, sebagai upaya pelestariannya diperlukan wadah seperti sanggar-
sanggar tari Melayu dan memiliki kesadaran untuk menjaga kesenian tradisonal
ini.
Hakikat konsep makna Tari Inai pada acara malam berinai dalam upacara
adat perkawinan masyarakat Melayu di Kota Binjai ada dua sisi yang perlu
238
diperhatikan. Di satu sisi makna yang melekat pada bentuk koreografi Tari Inai
yang tampak pada struktur gerak tari, musik pengiring, tata rias busana, dan tata
panggung. Sedangkan di sisi lain makna yang melekat pada aspek pendukungnya
melalui perilaku, ritual (mantra atau doa), dan properti. Dengan melihat realitas
tersebut, maka disarankan kepada yang berkepentingan dengan pertunjukan Tari
Inai agar tidak terjerumus dengan bentuk visualnya saja terlebih dengan bentuk
modifikasi dari berbagai sudut yang mengatasnamakan modernisasi demi
memenuhi kebutuhan ekonomi semata, akan tetapi jauh tercabut dari akar
tradisinya.
Hal semacam ini disamping mendangkalkan atau bahkan menghilangkan
makna dan nilai tradisi yang luhur, juga menjerumuskan generasi muda mengenai
bentuk dan nilai tradisi setempat. Sekalipun sangat disadari bahwa tradisi tidak
statis, namun setidaknya pemahaman akan bentuk dan makna tradisi akan menjadi
benteng untuk mempertahankan keseluruhan nilai tradisi sekaligus
menanggulangi masuknya budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian
tradisi bangsa. Dengan demikian, diharapkan kepada para generasi muda untuk
dapat berperan aktif dalam menjaga kelangsungan kesenian daerahnya. Ini dapat
dilakukan dengan cara mensosialisasikannya melalui kebiasaan dengan sering
melakukan pertunjukan kesenian tradisi untuk memperkenalkan pada mereka
tradisi budayanya.
Pertunjukan seni tradisional yang masih “murni” semacam Tari Inai ini
menjadi perhatian besar bahkan diburu oleh turis, budayawan, antropolog
mancanegara sebagai aset wisata dan ilmu pengetahuan. Untuk itu, melalui hasil
239
penulisan ini, direkomendasikan khususnya kepada pemerintah Kotamadya
Binjai, perlu melestarikan keberadaannya sebagai kebudayaan lokal dan
pengembangan cagar budaya daerah. Pelestarian, pembinaan, dan pengembangan
menjadi kata kunci yang harus diperhatikan secara khusus, rekomendasi ini
berlaku pula bagi para seniman budayawan di Kota Binjai dan sekitarnya.
240
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. 1980/1981. Disekitar Komunikasi Ilmu dan Seni. Analisis Kebudayaan. Th. I. No. 1 Jakarta.
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2002. Tekstual dan Kontekstual.Makalah Seminar
Seni Partunjukan Indonesia (tidak diterbitkan). Surakarta: STSI.
Ahimsa-Putra, Heddy Shri.2001. Strukturalisme Lavi – Staruss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press.
Aini, Syarifah, 2013. Tari Inai Dalam Konteks Upacara Adat Perkawinan Melayu
di Batang Kuis : Deskripsi Gerak, Musik Iringan, dan Fungsi. Skripsi: Etnomusikologi, Universitas Sumatera Utara.
Alisjahbana, Sutan Takdir.1989. (Cetakan ke 4). Antropologi Baru. Jakarta: Aian
Rakyat. Alwasilah, A. Chaedir. 2002. Pokoknya Kualitatif, Dasar-dasar Merancang dan
Melakukan Penelitian Kualitatif.Jakarta: Pustaka Jaya. Asmita, Linda. 1994. Studi Deskriptif Musik Inai dalam Konteks Upacara
Perkawinan Melayu di Desa Batang Kuis dan Desa Nagur, Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Deli Serdang. Medan: Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara (Skripsi Sarjana Seni).
Ayu, Yarita, Dian. 2016. Analisis Semiotika Dalam Ragam Gerak Tari Sigeh
Penguten, Skripsi: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung.
Bachtiar, Harsya W. 1980/1981. Kreativitas: Usaha Memelihara Kehidupan
Budaya, Analisis Kebudayaan. 2: 13-18
Bachtiar, Harsya W. 1985. “Birokrasi dan Kebudayaan”, dalam Alfian, (ed). Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta: PT Gramedia.
Bachtiar, Harsya W. 1985. Sistem Budaya di Indonesia. Dalam Bachtiar Harsya
W. (Eds). Budaya dan Manusia di Indonesia. Yogyakarta: PT Hinindita. Baghdadi, Abdurrahman Al. 1991. Seni Dalam Pandangan Islam: Seni Vokal,
Musik dan Tari.Jakarta: Gema Insani Press.
241
Budhisantosa, S. 1980/1981. Tradisi Lisan Sebagai Sumber Informasi Kebudayaan, Majalah Analisis Kebudayaan.
Budiman, Kris. 1999. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LkiS. Cremers, Agus. 1997. Antara Alam dan Mitos. Flores: Nusa Indah. Djelantik, 1990. Estetika, Sebuah Pengantar. Bandung : Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia.
Effendy, Tenas, 2000. Pemimpin Dalam Ungkapan Melayu. Kuala Lumpur. Dewan Bahasa dan Pustaka.
Effendy, Tenas, 2004. Tunjuk Ajar Melayu: Butir-butir Budaya Melayu Riau. Yogyakarta : Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu dan Penerbit Adicita.
Febriyanti, Sukman, Fifie. 2014. Makna Simbolik Tari PAOLLE Dalam Upacara Adat Akkawaru Di Kecamatan Gantarangkeke, Kabupaten Bantaeng Sulawesi Selatan, tesis: Program Penciptaan dan Pengkajian Seni Pasca Sarjana, Institut Seni Yogyakarta.
Goldsworthy, David J. 1979. Melayu Musik of Norh Sumatera : Continuitas and Change. Sydney : Disertasi Doktoral Monash University.
Husni, Tengku, Lah, 1986. Butir-butir Adat Budaya Melayu Pesisir Sumatera Timur. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Husni, Tengku, Lah, 1975. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Pesisir Sumatera Timur 1612-1950. Medan : B. P. Lah Husni.
Husni, Tengku, Lah, 1985. Keserasian Sosial dalam Kearifan Tradisional Masyarakat Melayu. Makalah Seminar Keserasian Sosial Dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan, di Medan.
Hadi, Sumandiyo, Y, Prof. Dr. 2005. Sosiologi Tari Yogyakarta: Pustaka Jaya. Hadi, Sumandiyo, Y, Prof. Dr. 2006. Seni dalam Ritual Agama.Yogyakarta:
PUSTAKA. Hadi, Sumandiyo, Y, Prof. Dr. 2007. Kajian Tari, Teks dan Konteks.Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher. Hadi, Sumandiyo, Y, Prof. Dr. 2011. Koreografi Bentuk Isi. Yogyakarta. Cipta
Media. Hawkin, Alma M. 1964. Creating Trough Dance.New Jersey: Printice Hall Inc.
242
Hidayat, Robby.2003. Mozaik Koreografi. Malang: Gantar Gumelar. Hidayat, Robby. 2004. Wayang Topeng Malang, Kajian Strukturalisme Simbolik.
Thesis Magister Seni: Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta. Kayam, Umar. 1981.Seni, Tradisi, Masyarakat.(seri Esni No. 3) Jakarta: Sinar
Harapan. Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Koentjaraningrat. (ed) 1981. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
Koentjaraningrat. 1985. Persepsi tentang Kebudayaan Nasional dalam Alfian (ed)., Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta: PT Gramedia.
Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.Jakarta: Gramedia
Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Kroeber, A.L. 1952. The Natural of Culture. Chicago: The University of Chicago Press.
Kaeppler, Andrianne, L. 1991. American Approaches to the Study of Dance
Author(s). Published by: International Council for Tradisional Music Stable.
Langer, Susanne K. 1957. Problems of Art. New York: Charles Schribner’s Sons. Malinowski, 1944. A Scientific Theory Culture and Other Essays.
Malm, William P., 1977. Music Culture of the Pacific, Near East, and Asia. New Jersey : Prentice Hall, Englewood Cliffs ; serta terjemahannya dalam bahasa Indonesia, William P. Malm, 1993. Kebudayaan Musik Pasifik, Timur Tengah, dan Asia, dialihbahasakan oleh Muhammad Takari, Medan : Universitas Sumatera Utara Press.
Marlina, Maru, Dewi, 2005. Pergeseran Fungsi dan Simbol Tari Inai di Kota Medan, Skripsi: Sendratasik, Universitas Negeri Medan.
Merriam, Alan P., 1964. The Antropology of Music. Chicago Nortwestem University.
Miles, Mattew B. , Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press.
243
Moleong, J. Lexy. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Muhadjir, Noeng. 1989. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Reka Sarasin. Noerhadi, Toeti Heraty. 1992. “Semiotik”, Matra.71: 110 – 115. Nettl, Bruno, 1964. Theory and Method in Etnomusicology, New York : The Pree
Press.
Nettl, Bruno, 1992. “Etnomusicoloy : Some Definitions, Problems and Directions.” Music and Many Cultures : An Introduction. Elizabeth May (ed.) California : University California Press.
Peacock, L. James. 1968. Rites of Modernization (Simbolic and Social Aspects of Indonesia Proletarian Drama).Chicago: The University of Chicago.
Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan: Dalam Perspektif
Antropologi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Poerwadarminta, W.J.S., 1966. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai
Pustaka.
Purnama, Sari, Dila. 2014. Kajian Semiotik Pada Malam Berinai Dalam Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Kecamatan Rumbai, skirpsi: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Lancang Kuning Pekan Baru.
Ridwan, T. Amin. 2005. Budaya Melayu Menghadapi Globalisasi. Medan : USU Press.
Sachs, Curt, 1993. World History of the Dance, New York : The Norton Library.
Sheppard, Mubin, 1972. Taman Indera : Malay Decorative Arts and Pastimers, London : Oxford University Press.
Sinar, Tengku, Luckman, 1982. Latar Belakang Sejarah dan Perkembangan Seni Tari Melayu di Sumatera Timur. Makalah Pekan Penata Tari Komponis Muda. Dewan Kesenian. Jakarta.
Sinar, Tengku, Luckman, 1985. Kesenian Sosial dalam Kearifan Tradisional Masyarakat Melayu. Makalah Seminar Keserasian Sosial dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan, Medan.
Sinar, Tengku, Luckman, 1990. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu. Medan : Perwira.
Sinar, Tengku, Luckman, 1994. Jatidiri Melayu. Medan : Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia.
244
Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta. Sinar Harapan.
Soedarsono, 1998. Seni dan Keindahan, dalam Pidato Ilmiah. Pengukuhan Guru Besar Tetap pada Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Yogyakarta: 30 Mei 1998.
Soedarsono, 1995. Pendidikan Seni dalam Kaitannya dengan Kepariwisataan.
Makalah Seminar dalam Rangka Peringatan Hari Jadi Jurusan Pendidikan Sendratasik ke-10 FPBS IKIP Yogyakarta, 12 Februari 1995.
Soedarsono, 1972. Jawa dan Bali : Dua Pusat Perkembangan Drama Tari tradisional di Indonesia. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Soedarsono, 1974. Dances in Indonesia. Jakarta : Gunung Agung.
Strauss, Anselm L, and Juliet Corbin. 1990. Basic of Qualitative Research,Grounded Theory Procedure and Techniques.London: Sage Publications.
Suharto, 1996. Kamus Bahasa Indonesia Terbaru, Surabaya : Penerbit Indah.
Sudikan, Setyo Yuwana. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan.Surabaya: Unesa Unipress bekerja sama dengan Citra Wacana.
Takari, Muhammad. 20... Komunikasi dalam seni Pertunjukan. Jurnal
Etnomusikologi, Vol. 1 No. 2, September 2005. Takari, Muhammad, Zaidan dan Fadlin. 2014. Adat Perkawinan Melayu Gagasan,
Terapan, Fungsi, dan Kearifannya. Medan : Universitas Sumatera Utara Press.
Takari, Muhammad dan Fadlin, 2014. Ronggeng dan Serampang Dua Belas
dalam Kajian Ilmu-ulmu Seni. Medan: Universitas Sumatera Utara Press. Teew, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori.Jakarta: Pustaka Jaya. Wellek, Rene & Warren, Austin. 1956. Theory of Literature. New York:
Harcourt, Brace & World. Inc. Wido, Soerjo Minarto. 2002. Dasar-Dasar Komposisi dan Koreografi. Malang:
Universitas Kanjuruhan Malang (tidak dipublikasikan).
245
DAFTAR INFORMAN
Informan Utama 1). Nama : Zulkarnaini A.S
Usia : 67 tahun Pekerjaan : Tokoh budaya dan tokoh agama di Kota Binjai,
pekerja seni (musik, tari, teater) sejak tahun 1970an.
Alamat : Jln. Binjai
2). Nama : Salim Khas Usia : 54 tahun Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (Lurah), Pekerja seni
(telangkai), memiliki jabatan sebagai Sekretaris di Majelis Adat Budaya Melayu (MABMI) kabupaten Langkat. Sejak tahun 1995 beliau sudah mulai mengenal dunia seni pertunjukan terutama teater.
Alamat : Kec.Selesai-Langkat 3). Nama : Linda Asmita, S.Sn
Usia : 53 tahun Pekerjaan : Pegawai Negeri (guru) di SMP Negeri 1
Sampali, pekerja seni, koreografer sekaligus pemilik Sanggar Cipta Pesona.
Alamat : Jln. Batang Kuis 4). Nama : Tengku Mira Sinar, M.A
Usia : - tahun Pekerjaan : Budayawan, Sejarawan, Pekerja seni,
koreografer sekaligus pemilik Sanggar Sinar Budaya Group.
Alamat : Jln. Abdullah Lubis, 42 Medan Informan lainnya 1). Nama : Alamahdi, S.Pd
Usia : 36 tahun Pekerjaan : Pegawai Negeri (guru) di Kota Binjai, pekerja
seni, koreografer sekaligus pimpinan Sanggar Gema Citra.
Alamat : Jln. Binjai
246
2). Nama : Irfan Syah Usia : 49 tahun Pekerjaan : Pekerja seni, koreografer sekaligus pimpinan
Sanggar Nusindo Entertainment. Alamat : Jln. Medan Labuhan
3). Nama : Dewi Marlina Maru, S.Pd
Usia : 35 tahun Pekerjaan : Pegawai Negeri (guru) di SMK Negeri 11
Medan, pekerja seni, koreografer sekaligus pimpinan Sanggar NIE
Alamat : Jln. Perumnas Helvetia 4). Nama : Ade Junindra, S.Pd
Usia : 39 tahun Pekerjaan : Guru Seni Budaya di Sekolah Swasta YPI Amir
Hamzah Medan, Pekerja seni (musik dan tari), koreografer sekaligus pimpinan Sanggar Nusa Indah Entertainment
Alamat : Jln. Medan Labuhan
5). Nama : Budi Ardiansyah, S.E Usia : 27 tahun Pekerjaan : Pegawai di BPBD Kota Binjai, Pekerja seni,
koreografer di Sanggar Gema Citra Binjai. Alamat : Jln. Binjai
6). Nama : Sujadi
Usia : 49 tahun Pekerjaan : Pekerja seni, koreografer dan pimpinan Sanggar
Tari Bunga Tanjung. Alamat : Jln. Lubuk Pakam
247
PATAM – PATAM
(Sumber : Syarifah Aini, 2013)
248
249
250
251
252
253
Tabel Interval Melodi Biola
254
Transkripsi Tempo Gendang Ronggeng