ANALISA PENGARUH TARIF CUKAI TERHADAP … · ANALISA PENGARUH TARIF CUKAI TERHADAP PENDAPATAN ......
Transcript of ANALISA PENGARUH TARIF CUKAI TERHADAP … · ANALISA PENGARUH TARIF CUKAI TERHADAP PENDAPATAN ......
ANALISA PENGARUH TARIF CUKAI TERHADAP PENDAPATAN
NEGARA DAN KEBERLANGSUNGAN USAHA INDUSTRI ROKOK
(SEBUAH PENDEKATAN SISTEM DINAMIK)
Puja Kristian Adiatma, Budisantoso Wirjodirjo, dan Niniet Indah Arvitrida Jurusan Teknik Industri
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya
Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111
Email: [email protected] ; [email protected]; [email protected]
Abstrak Cukai merupakan salah satu sumber penerimaan negara dan berkontribusi sangat penting dalam
APBN terutama sektor penerimaan dalam negeri. Melihat banyaknya penerimaan yang didapat
dari cukai rokok, pemerintah berencana untuk menaikkan tarif cukai tiap tahunnya dengan
harapan mendapatkan penerimaan cukai yang lebih besar dibanding tahun sebelumnya.
Peningkatan tarif cukai juga secara tidak langsung akan mengurangi konsumsi rokok para
perokok yang mayoritasnya adalah warga miskin sehingga memperbaiki kesehatan mereka. Di
sisi lain, peningkatan tarif cukai bila ditetapkan tanpa perhitungan yang cermat dapat
menimbulkan dampak negatif pada sektor industri rokok yaitu menjadi bangkrut dan melepas
ribuan tenaga kerjanya menjadi pengangguran. Melihat hal ini, kebijakan tarif cukai rokok
memiliki dampak sistemik terhadap pendapatan negara dan industri rokok sehingga setiap
skenario kebijakan tarif cukai perlu dipikirkan dengan tepat dan menggunakan tools yang tepat
pula. Selama ini telaah sistemik atas kebijakan tarif cukai rokok belum pernah terpikirkan dalam
usaha memaksimalkan pendapatan negara dan tetap mendukung usaha industri rokok, sehingga
dikhawatirkan kebijakan cukai yang diterapkan pemerintah cenderung tidak maksimal atau tidak
memihak semua pihak (industri rokok dan pemerintah sendiri). Oleh karena itu, penyelesaian
masalah ini dilakukan dengan permodelan menggunakan pendekatan sistem dinamik. Fungsi
dari pendekatan sistem dinamik ini adalah menggambarkan model secara keseluruhan dan
melakukan simulasi skenario kebijakan pemerintah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan,
diperoleh hasil bahwa skenario peningkatan tarif cukai yang tetap memberikan dampak ideal
dan mendukung keberlangsungan usaha industri rokok dan penerimaan negara adalah dengan
menaikkan tarif cukai per tahun sebesar 5%, 10%, dan 30%.
Kata kunci: tarif cukai, sistem dinamis, industri rokok
ABSTRACT
Excise is one of the source of state revenue and importantly contributes in the state's budget
revenues especially in domestic sector. Seeing the number of revenue derived from cigarette
taxes, the government plans to raise tax rates every year with hopes of getting a larger tax
revenue than the previous year. Increasing excise tax rates will also indirectly reduces cigarette
consumption of smoker whom the majority belongs to poor people, thus improving their health.
On the other hand, this increasing in excise tax rates if determined without careful calculation
may cause a negative impact on the cigarette industries sector which become insolvent and
remove thousands of its workforce unemployed. Seeing this, the policy of cigarette excise tax
rates has a systemic impact on state revenues and the tobacco industry so any excise tax policy
scenarios should be considered appropriately and use proper tools as well. Until now, a systematic
study of cigarette excise tax policies have been unthinkable in an effort to maximize revenues and
remain supportive of tobacco industry business, so the tax policy applied by the government is
feared not to be maximal or impartial of all parties (the tobacco industry and the government
itself). Therefore, solving in this problem is done by modeling using system dynamic approach.
The function of these system dynamic approach is to describe the overall model and simulate
scenarios of government policy. Based on research conducted, it is obtained results that scenarios
of increasing tax rates which remain provides an ideal impact of supporting the business
continuity of the tobacco industries and state income is to raise excise tax rates per year by 5%,
10%, and 30%.
Keywords: excise taxes, system dynamic, cigarette industries
2
1. Pendahuluan
Cukai merupakan salah satu sumber
penerimaan negara dan berkontribusi sangat
penting dalam APBN, terutama sektor
Penerimaan Dalam Negeri. Cukai rokok
memberi proporsi sumbangan yang paling besar
terhadap penerimaan negara dibanding dua jenis
cukai lainnya yaitu: etil alkohol dan minuman
mengandung etil alkohol. Data tahun 2010
menunjukkan sekitar 95% total penerimaan cukai
tembakau yang diperoleh dari produk rokok
sigaret kretek mesin, rokok sigaret tangan dan
rokok sigaret putih mesin. Jenis cukai ini
berkontribusi sekitar 8-9% total penerimaan
negara dari seluruh sektor (Majalah Neraca,
2010).
Menurut Rachmat (2010), menyimak
Laporan Tahunan Bank Indonesia tahun 2008
dan Laporan Dana Bagi Hasil Cukai dan
2010,menunjukkan bahwa nilai pendapatan
negara dari cukai rokok mulai tahun 2001 hingga
tahun 2010 terus meningkat dengan laju rata-rata
sebesar 18% per tahun, dan mencapai sekitar Rp
56 triliun pada tahun 2010 dari Rp. 11,1 triliun
pada tahun 2001. Penerimaan pendapatan negara
berasal dari cukai pada tahun 2010 ini bernilai
8-9% dari total penerimaan negara, dan nilai ini
lebih tinggi 1% dibandingkan terhadap
penerimaan cukai pada tahun 2008. Namun, bila
dihitung berdasarkan total penerimaan seluruh
cukai, persentase pendapatan negara dari cukai
rokok tahun 2010 (95%) lebih rendah dari tahun
2008 (98%). Hasil ini dapat dijelaskan sebagai
dampak reaksi masyarakat yang mulai sadar
akan bahaya rokok dan menentang segala bentuk
layanan dari produk rokok termasuk
mengkonsumsi rokok tersebut. Pemerintah juga
merespon dengan mengeluarkan kebijakan sosial
yang mendukung reaksi masyarakat ini, seperti
adanya larangan merokok di tempat umum
(Tanjungsari, 2009).
Menyadari akan pentingnya penerimaan
negara dari sektor cukai rokok yang memberi
kontribusi yang besar terhadap kas negara setiap
tahunnya, maka pemerintah berencana untuk
menaikkan tarif cukai pada tahun 2011. Seperti
yang tertuang dalam Publikasi Kebijakan Cukai
Hasil Tembakau 2011 (2011), kebijakan
peningkatan tarif cukai ini dibuat dalam rangka
mencapai target penerimaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011
dari sektor cukai hasil tembakau, yakni sebesar
Rp. 60,07 triliun. Kebijakan tarif cukai ini hanya
berlaku pada dua golongan pabrik hasil
tembakau, yaitu jenis sigaret kretek mesin
(SKM) dan jenis sigaret kretek tangan (SKT).
Golongan pabrik hasil tembakau lain (tembakau
iris, cerutu, klobot, kelembak menyan, dan
lainnya) tidak dikenai kebijakan ini karena
pemerintah ingin melindungi mereka, yang
cenderung kecil dalam proporsi tenaga kerja
serta pertumbuhan usahanya (Peraturan Menteri
Keuangan, 2011).
Walaupun alasan pemerintah dalam
membuat kebijakan tarif cukai tersebut sebagian
besar adalah untuk mencapai target APBN 201,
secara tidak langsung kebijakan ini akan
berimbas pada pengurangan konsumsi rokok dan
perbaikan taraf kesehatan masyarakat.
Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2010, diketahui sekitar 34,7%
penduduk Indonesia menjadi perokok aktif yang
kebanyakan adalah penduduk yang tinggal di
pedesaan, tingkat pendidikan rendah, dan status
ekonomi rendah. Dalam kekuatan perekonomian,
memang benar bahwa warga miskin sangat
sensitif terhadap harga (Ross & Chaloupka,
2006). Dengan peningkatan cukai ini, maka
sebagian besar konsumen rokok yang tergolong
warga miskin akan cenderung mengurangi atau
tidak mengkonsumsi rokok lagi. Hal ini sekaligus
akan memperbaiki kesehatan mereka.
Saat ini, kebijakan pemerintah selain
peningkatan cukai rokok dalam mengendalian
dampak buruk bahaya rokok terhadap kesehatan
baru dalam tahap mengingatkan masyarakat
akan bahaya tembakau/rokok. Langkah lain
pemerintah adalah dengan disahkannya Undang
Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan,
yang menyatakan bahwa nikotin merupakan zat
adiktif. Selain kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah, makin banyak kalangan peduli
kesehatan dan lingkungan yang melakukan
penentangan dengan mengeluarkan kebijakan
sendiri. Contohnya, Majelis Ulama Indonesia
(MUI) yang mengeluarkan fatwa bahwa rokok
haram bagi anak anak dan wanita. Namun, fatwa
tersebut dinilai masih tidak tegas dan bersifat
anti gender karena tidak melarang untuk laki-laki
dewasa (Rachmat, 2010). Berbagai kebijakan
peraturan tersebut baik dari pemerintah ataupun
dari organisasi/kalangan memang bertujuan
3
positif untuk mengurangi dampak bahaya dari
rokok, namun kebijakan peningkatan tarif cukai
tetap lebih efektif dikarenakan kebijakan ini
bersifat merata semua pihak (mengenai semua
golongan baik usia, ekonomi, dan gender) serta
berpengaruh langsung kepada demand yakni
konsumen rokok.
Kebijakan tarif cukai rokok memang
berdampak positif terhadap kesehatan
masyarakat dan pendapatan negara, namun akan
berdampak negatif pada seluruh sektor industri
rokok tak terkecuali industri rokok skala kecil.
Sejak tahun 1980-an, industri rokok di Indonesia
cenderung padat karya yang dimana banyak
merekrut sumber daya manusia untuk bekerja
melakukan bisnis inti industri tersebut, seperti
pelintingan, pemasangan filter, pengemasan, dan
pelekatan pita cukai. Wibowo (2003) dengan
menggunakan data dari Badan Pusat Statistik
(BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 1997
jumlah perusahaan rokok sebanyak 226
perusahaan, tahun 1999 naik menjadi 247
perusahaan, dan tahun 2002 turun menjadi 244
perusahaan. Pertumbuhan jumlah industri rokok
memicu permintaan akan tenaga kerja. Dari
sektor penyerapan tenaga kerja, pada kurun
waktu 1997 - 2002 jumlah pekerja yang bergerak
dalam industri ini menujukkan peningkatan
dengan rata-rata pertumbuhan pekerja industri
rokok sebesar 4,08% per tahun. Pertumbuhan
terbesar terjadi pada tahun 1998 dimana jumlah
pekerja sebanyak 181,3 ribu orang pada tahun
1997, meningkat menjadi 196,8 ribu orang pada
tahun 1998 (peningkatan sebesar 8,56%).
Mempertimbangkan kondisi perekonomian
Indonesia pada tahun 1998 yang buruk, hal ini
membuktikan bahwa industri rokok mampu
bertahan atau dengan kata lain tidak terpengaruh
oleh krisis moneter. Namun, bila kebijakan
peningkatan cukai rokok ini tidak dipikirkan
secara matang, industri rokok kemungkinan
besar akan mengalami bangkrut. Salah satu
contohnya adalah di daerah Malang pada tahun
2011, Kantor Pelayanan Pajak Bea Cukai Tipe
Madya Cukai Malang mencatat bahwa terdapat
45 pabrik rokok mengalami gulung tikar karena
kenaikan tarif cukai. Dari yang semula
berjumlah 224 pabrik, kini menjadi 179 pabrik
(Sriwijaya Post, 2011). Kebangkrutan industri
rokok menyebabkan seluruh tenaga kerjanya
berpotensi untuk menjadi pengangguran. Selain
itu, ada ancaman lain yang berpotensi
menyebabkan pengangguran, yaitu mekanisasi
industri rokok. Terutama untuk industri rokok
jenis sigaret kretek mesin dan sigaret putih mesin
(SPM), dimana permintaan untuk dua produk
rokok jenis ini lebih tinggi dari jenis lain
(Tjahjaprijadi & Indarto, 2003).
Industri rokok juga menyadari kalau
masyarakat semakin lama akan semakin peka
terhadap kesehatan dan mulai mengerti akan
dampak negatif dari rokok (Antariksa, 2010).
Dengan sadarnya masyarakat serta penerapan
kebijakan tarif cukai yang menaikkan harga
eceran rokok, permintaan akan rokok menjadi
berkurang dan berpengaruh terhadap turunnya
laju keuntungan perusahaan. Bila keuntungan
yang semakin menurun dan mencapai titik
bangkrut maka bukan tidak mungkin bila
industri rokok melepas banyak tenaga kerjanya
menjadi pengangguran.
Situasi ini menjadikan kebijakan tarif cukai
rokok menjadi kebijakan yang bersifat dinamis
dan pro-kontra antar masyarakat dan
pemerintah. Yang mana dampak kebijakan ini
disatu sisi mampu meningkatkan penerimaan
negara, disisi lain dapat memungkinkan
bangkrutnya industri rokok yang menyebabkan
hilangnya lapangan kerja buruh rokok. Oleh
karena itu, perlu dilakukan analisa terhadap
seberapa luas dampak kebijakan tarif cukai
terhadap pendapatan negara dan keberlangungan
usaha industri rokok agar mampu menghasilkan
win-win solution, yang berarti meningkatkan
pendapatan kas negara dan tetap mendukung
keberlangsungan industri rokok.
Karena kebijakan tarif cukai kepada industri
rokok serta pendapatan negara memiliki kaitan
sistemik, maka setiap skenario kebijakan perlu
dipikirkan dengan tepat dan menggunakan tools
yang tepat pula. Sehingga tujuan yang ingin
dicapai pada penelitian tugas akhir ini adalah
memprediksi dampak skenario kebijakan tarif
cukai terhadap pendapatan negara dan perilaku
industri rokok dan mendapatkan skenario
kebijakan tarif cukai yang tepat sehingga tidak
mengurangi pendapatan negara dan implikasi-
implikasi lain terkait dengan masa depan usaha
industri rokok.
2. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah data-data
sekunder yang berkaitan dengan kondisi
4
perekonomian dan kondisi usaha industri rokok
di Indonesia. Data yang dikumpulkan merupakan
data sekunder yang didapat dari instansi terkait
seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai, Departemen
Perindustrian, laporan penelitian Lembaga
Demografi Universitas Indonesia, beberapa
jurnal internasional, dan lain-lain. Tahap
pengumpulan data berjalan paralel dengan tahap
identifikasi kondisi eksisting sistem.
3. Metodologi Penelitian
Mengacu pada permasalahan dan tujuan
penelitian, maka langkah pertama dalam
penelitian adalah mengidentifikasi kondisi
eksisting dari sistem yang akan diamati.
Sebelumnya, untuk memperkuat dasar penelitian
digunakan studi literatur sebagai pedoman dalam
menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan
penelitian. Setelah mengetahui variabel-variabel
dari identifikasi kondisi eksisting yang
berpengaruh dalam model, maka dilakukan
penyusunan causal loop sesuai dengan batasan
sistem. Setelah itu dilakukan pembuatan model
simulasi menggunakan perangkat lunak yaitu
Ventana Simulation (Vensim). Tahapan
selanjutnya adalah melakukan formulasi model
yaitu membuat persamaan matematis dari
variabel-variabel yang terdapat di dalam model
berdasarkan causal loop. Setelah itu model
diverifikasi dan divalidasi untuk mengetahui
bahwa model sudah mampu mewakili atau
menggambarkan sistem nyata. Berdasar pada
tujuan penelitian, maka tahap selanjutnya
dilakukan penyusunan skenario sistem. Lalu
dilakukan simulasi untuk melihat perubahan
kondisi sistem yang dilihat melalui output
simulasi yang berbeda. Berdasarkan output
simulasi dapat dilihat skenario yang seperti apa
yang dapat memberikan dampak ideal dalam
mendukung keberlangsungan usaha industri
rokok dan penerimaan negara dari cukai. Setelah
itu adalah menganalisis keseluruhan hasil
penelitian dan membuat kesimpulan dan saran.
4. Konseptualisasi Model
Setelah mengidentifikasikan variabel-
variabel kondisi eksisting sistem, maka langkah
selanjutnya adalah konseptualisasi model.
melalui diagram input-output dan diagram causal
loop. Dalam konseptualisasi model, model
dibatasi oleh batasan fokus penelitian yaitu tidak
mengikutsertakan usaha tani tembakau dan
cengkeh dalam penelitian, tidak meneliti taraf
kesehatan masyarakat secara mendalam, dan
sistem tarif cukai yang digunakan adalah sistem
tarif cukai tahun 2010 (Tabel 4.1).
Pengelolaan
Sistem Industri Rokok dan
Tarif Cukai
Input Tak Terkendali
- Inflasi
- Indeks Harga Konsumen
- Produksi tembakau dan cengkeh
- Jumlah penduduk
Input Terkendali
- Tarif cukai rokok
- Harga jual eceran
- Harga transaksi pasar rokok
Lingkungan
- Kebijakan tarif cukai pemerintah
Output Dikehendaki
- Laba industri rokok tetap
meningkat
- Pendapatan negara dari cukai
tetap meningkat
Output Tak Dikehendaki
- Laba industri rokok menurun
- Pendapatan negara dari cukai
menurun
Gambar 4.1 Diagram Input Output
Gambar 4.2 Diagram Causal Loop
Tabel 4.1 Sistem Tarif Cukai Tahun 2010
5. Formulasi Model
Setelah konseptualisasi model, tahap
berikutnya adalah formulasi model dengan
5
menggambarkan diagram stock and flow.
Diagram stock and flow akan mampu
menggambarkan sistem lebih detail karena akan
memperhatikan pengaruh waktu tiap keterkaitan
antar variabel, sehingga akan ada variabel yang
menunjukkan hasil akumulasi dalam sistem
disebut level, serta variabel yang merupakan
aktivitas sistem dan mempengaruhi level yaitu
rate. Formulasi matematis dilakukan pada tahap
penyusunan stock and flow diagram dalam
software Vensim. Dengan diberikan formulasi
matematis pada model maka model akan dapat
disimulasikan.
5.1 Submodel Industri Rokok
Submodel ini menggambarkan variabel-
variabel yang berpengaruh terhadap akumulasi
laba industri rokok, yaitu pendapatan industri
rokok dan pengeluaran industri rokok.Akumulasi
laba industri rokok yang berbentuk level,
didapatkan dengan menghitung selisih antara
rate pen-dapatan industri rokok dengan rate
pengeluaran industri rokok.
Gambar 5.1 Submodel Industri Rokok
5.2 Submodel Produksi Rokok
Submodel ini menggambarkan produksi
rokok per jenis rokok, yaitu SKT, SKM, dan
SPM beserta tiap golongannya, Golongan I,
Golongan II, dan Golongan III. Laju produksi
dipengaruhi oleh produktifitas total tenaga kerja
(untuk rokok jenis SKT) atau total kapasitas
produksi sigaret mesin (untuk rokok jenis SKM
dan SPM).
Gambar 5.2 Submodel Produksi Rokok SPM
Gambar 5.3 Submodel Produksi Rokok SKM
Gambar 5.4 Submodel Produksi Rokok SKT
5.3 Submodel Permintaan Rokok
Jumlah permintaan dipengaruhi oleh harga
transaksi pasar, jumlah perokok aktif, besar
pengeluaran untuk rokok per kuantil tingkat
pengeluaran, dan fraksi jumlah perokok menurut
tingkat pengeluaran.
Gambar 5.5 Submodel Permintaan Rokok SKT
Gambar 5.6 Submodel Permintaan Rokok SKM dan SPM
5.4 Submodel Konsumen Rokok
Laju penambahan konsumen rokok
dipengaruhi oleh pengaruh besar promosi iklan
6
terhadap penambahan konsumen rokok, jumlah
penduduk dan total prosentase calon perokok.
Total prosentase perokok merupakan jumlah dari
prosentase merokok per kuantil tingkat
pengeluaran.
Gambar 5.7 Submodel Konsumen Rokok
5.5 Submodel Sumber Daya Industri Rokok
Submodel ini menjelaskan tentang
sumberdaya produksi industri rokok, yang
meliputi tenaga kerja, bahan baku, dan kapasitas
produksi sigaret mesin.
Gambar 5.8 Submodel Sumber Daya Industri Rokok
5.6 Submodel Sistem Tarif Cukai
Sistem tarif cukai yang digunakan adalah
sistem tarif cukai tahun 2010, yang membagi
jenis pabrik menjadi beberapa golongan. Nilai
untuk variabel HJE, ditentukan oleh jenis
produksi rokok dan kapasitas produksi pabrik.
Gambar 5.9 Submodel Sistem Tarif Cukai
5.7 Submodel Penerimaan Negara
Submodel penerimaan negara menjelaskan
tentang laba yang diterima negara dari industri
rokok. Laba yang diterima dari industri rokok
berupa penerimaan cukai rokok, yang
merupakan penjumlahan dari tiga variabel yaitu
penerimaan dari rokok SKT, penerimaan dari
rokok SKM , dan penerimaan dari rokok SPM.
Gambar 5.10 Submodel Penerimaan Negara
5.8 Submodel Pertanian Tembakau dan
Cengkeh
Submodel ini menjelaskan tentang pertanian
tembakau dan cengkeh yang merupakan sumber
bahan baku utama produksi rokok. Sebagai
batas dari penelitian, fokus submodel ini hanya
menjelaskan tentang persediaan tembakau dan
cengkeh domestik.
Gambar 5.11 Submodel Pertanian Tembakau dan
Cengkeh
7
Gambar 5.11 Submodel Pertanian Tembakau dan
Cengkeh (lanjutan)
5.9 Submodel Taraf Kesehatan
Submodel taraf kesehatan yg disusun disini
menggunakan acuan Disability Adjusted Life
Years (DALY), namun pembahasan tentang
DALY dalam penelitian ini hanya bersifat makro
dan tidak mendetail. DALY dalam penelitian ini
digunakan untuk mengetahui berapa besar
tingkat pengeluaran dan tingkat pendidikan per
kapita.
Gambar 5.12 Submodel Taraf Kesehatan
6. Verifikasi dan Validasi
Verifikasi model adalah pengujian untuk
menguji kesesuaian logika pada model dan
memastikan tidak ada error yang terjadi pada
model yang dibangun. Proses verifikasi
dilakukan dengan cara pengecekan unit dan
pengecekan error pada model. Validasi model
merupakan pengujian terhadap model untuk
melihat apakah model sudah mampu mewakili
atau menggambarkan sistem nyata. Uji validasi
dengan cara uji parameter dan uji output model.
Uji output dilakukan pada variabel penerimaan
negara dari cukai, jumlah tenaga kerja industri
rokok, dan produksi industri rokok. Dengan
menggunakan metode 2 Sample-T Test, ketiga
variabel tersebut memiliki nilai P-Value lebih
dari 0,05 (tingkat kepercayaan 95%) sehingga
model dikatakan valid.
7. Analisa Hasil Simulasi
Dalam gambar 7.1 terlihat sangat jelas
bahwa dalam kondisi eksisting, laba industri
rokok akan terus melaju positif setiap tahun.
Walaupun secara rata-rata terus mengalami
peningkatan, grafik yang ditampilkan sedikit
bergelombang mengindikasikan terjadinya naik-
turunnya laba bersih pada tahun tersebut.
Turunnya laba bersih ini, disebabkan oleh laju
pendapatan yang lebih kecil daripada besar
pengeluaran industri rokok sehingga laba per
tahun yang diterima industri rokok menjadi
berkurang. Dalam kondisi eksisting, dimana tarif
cukai belum mengalami peningkatan, biaya
pengeluaran yang paling besar disumbang oleh
biaya produksi sektor bahan baku. Industri rokok
membeli bahan baku ketika persediaan dalam
gudang menipis. Sementara dalam setiap
pembelian, industri rokok selalu membeli dalam
jumlah besar dikarenakan untuk kebutuhan
keamanan persediaan jangka panjang selama tiga
tahun. Sehingga pada waktu pembelian bahan
baku tersebut, industri rokok harus
mengeluarkan biaya yang besar dan sedikit
mengurangi pendapatan bersih saat itu. Serta
dikarenakan melihat demand yang besar dari
industri rokok, maka petani cenderung untuk
menaikkan harga komoditas tanamnya.
Gambar 7.1 Hasil Simulasi Akumulasi Laba Industri
Rokok Kondisi Eksisting
Hasil simulasi berikutnya adalah penerimaan
negara dari sektor cukai rokok yang dapat dilihat
pada gambar 7.2. Hasil penerimaan negara ini
cenderung meningkat terus dan tidak me-
nunjukkan penurunan laju penerimaan pada
periode tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa
dengan kondisi eksisting penerimaan negara dari
cukai rokok pada tahun 2030 akan meningkat
lima kali lipat dibanding tahun 2010.
8
Gambar 7.2 Hasil Simulasi Penerimaan Negara Dari
Cukai Rokok Kondisi Eksisting
8. Analisa Desain Skenario Tarif Cukai
Desain skenario yang telah diterapkan
terhadap model eksisting akan memberikan
dampak pada variable tertentu yang merupakan
tujuan di-lakukan penelitian. Variable tersebut
antara lain akumulasi laba industri rokok dan
penerimaan negara. Skenario yang disusun
dibagi menjadi dua skenario utama dengan tiap
skenario memiliki beberapa subskenario.
8.1 Skenario I
Skenario pertama (I) adalah memberikan
perlakuan perubahan pada tarif cukai. Skenario
ini dimulai pada tahun 2010 dengan setiap
tahunnya terjadi penambahan tarif cukai yaitu
0% (eksisting), 5%, 10%, 30%, 57%, dan 100%
dari nilai dasar. Nilai dasar menggunakan tarif
cukai 2010. Subskenario yang disusun dalam
skenario I adalah sebagai berikut:
Tabel 8.1 Penamaan Subskenario Pada Skenario I
Pada skenario ini akumulasi laba industri rokok
akan semakin turun bila tarif cukai semakin
dinaikkan (gambar 8.1). Hal ini wajar dan sesuai
logika, dimana semakin tinggi tarif cukai maka
semakin besar biaya pengeluaran industri rokok.
Semakin besarnya biaya pengeluaran terkait
dengan semakin besarnya harga bahan baku dan
biaya pelunasan cukai itu sendiri. Walaupun
laba industri rokok semakin turun dan
menyebabkan rugi sesaat, mereka masih dapat
bertahan sehingga tidak sampai bangkrut total.
Gambar 8.1 Hasil Simulasi Skenario I Akumulasi
Laba Industri Rokok
Pada persentase kenaikan tarif cukai sebesar
skenario A, skenario B, dan skenario C,
akumulasi laba industri rokok tetap menunjuk-
kan peningkatan, dengan rata-rata hasil yang di
tunjukkan oleh skenario A lebih tinggi 22% dari
skenario B, dan lebih tinggi 43% dari skenario
C. Sementara, skenario D membuat akumulasi
laba industri rokok meningkat dengan rate yang
lebih rendah dibanding ketiga skenario awal dan
mulai tahun 2020 mulai menunjukkan tren
menurun. Skenario E dan F, menyebabkan
industri rokok mengalami kondisi akumulasi laba
bersih bernilai nol rupiah pada tahun 2020 dan
2025. Namun selepas dari tahun tersebut (2020/
2025), industri rokok masih bertahan dengan
kondisi akumulasi laba yang tidak menunjukkan
peningkatan. Hal ini dikarenakan, industri rokok
mengumpulkan pendapatan dari penjualan rokok
yang sebelumnya sudah beredar di pasar.
Pendapatan yang dikumpulkan akan menjadi
modal untuk produksi berikutnya. Namun
produksi ini tidak bisa langsung stabil,
dikarenakan tarif cukai masih terlalu tinggi.
Sehingga, industri rokok hanya produksi
sementara waktu, lalu menunggu pendapatan
didapatkan kembali lalu produksi lagi, hingga
industri rokok betul-betul tidak dapat produksi
lagi.
Gambar 8.2 Hasil Simulasi Skenario I Penerimaan Negara
Dari Cukai Rokok
9
Semakin tinggi tarif cukai yang digunakan,
akan memicu untuk semakin besar biaya
pengeluaran pelunasan cukai yang dikeluarkan
oleh industri rokok sehingga semakin besar
penerimaan negara yang didapat melalui cukai.
Dari gambar 8.2, terlihat bahwa skenario F dan
E memberikan penerimaan negara yang lebih
tinggi diantara empat skenario lainnya, walaupun
penjualan rokok semakin menurun seiring
tingginya tarif cukai yang diterapkan. Namun,
hal ini hanya berlangsung selama 10 tahun dari
penerapan skenario F dan E yang setelah itu
menunjukkan tren menurun. Hal ini
menunjukkan bahwa, pada tahun dimana
skenario F dan E mulai menunjukkan tren
penurunan, industri rokok merugi sesaat, dan
menghentikan produksinya. Ketika akumulasi
laba sudah terisi dan tidak bernilai nol, industri
rokok produksi kembali. Siklus ini akan terus
terjadi hingga industri rokok benar-benar tidak
bisa berproduksi. Sementara, empat skenario lain
akan terus menunjukkan peningkatan penerimaan
cukai. Bahkan sanggup melebihi penerimaan
cukai yang dihasilkan oleh skenario E dan F.
Gambar 8.3 Hasil Simulasi Skenario I DALY per
orang.
Tingkat kesehatan ditunjukkan dengan
variabel DALY per orang. Semakin tinggi tarif
cukai yang diterapkan, konsumsi rokok akan
semakin menurun, sehingga besar DALY per
orang akan semakin turun. Dengan semakin
berkurangnya DALY maka orang tersebut akan
memiliki waktu produktif yang lebih banyak
sehingga bisa memiliki tingkat pendapatan yang
besar dan diikuti tingkat pengeluaran yang
semakin besar. Pada gambar 8.33, terlihat
bahwa skenario F (grtafik warna biru) mampu
membuat DALY per orang menurun 65% dari
kondisi eksisting (grafik warna coklat).
8.2 Skenario II
Skenario II ini merupakan kelanjutan dari
Skenario I. Skenario ini memiliki jumlah sub-
skenario yang sama dengan Skenario I, dengan
nama subskenario yang berbeda dan dapat dilihat
pada tabel 5.3. Perbedaan skenario ini dengan
Skenario I adalah adanya pengembangan kondisi
pembatasan produksi rokok pada model.
Pembatasan produksi rokok ini dimulai pada
tahun 2015 sebesar maksimum ± 260 miliar
batang. Penambahan kondisi ini, dikutip dari
Roadmap Industri Pengolahan Tembakau yang
dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian
(Departemen Perindustrian, 2009)
Tabel 8.2 Penamaan Subskenario Pada Skenario II
Gambar 8.4 Hasil Simulasi Skenario II Total
Produksi Rokok.
Dengan pemberlakuan pembatasan produksi
rokok oleh pemerintah, maka mulai tahun 2015,
industri rokok akan mengalami produksi yang
konstan. Namun, dikarenakan industri rokok
memiliki laju peningkatan kapasitas produksi
yang besar setiap tahunnya, industri rokok akan
mencapai nilai produksi sebesar 260 miliar
batang sebelum tahun 2015. Sehingga pada
tahun tersebut, produksi akan dijaga tetap stabil
hingga memenuhi pembatasan produksi
memasuki tahun 2015. Skenario G dan H
menampilkan kondisi produksi yang flat pada
tahun 2015 hingga akhir periode simulasi.
Skenario J, K, dan L, menampilkan kondisi
produksi yang mulai menurun sebelum tahun
2015 sementara skenario I menampilkan kondisi
10
penurunan produksi sebelum tahun 2020. Hal
ini, dikarenakan berkurangnya kapasitas
produksi, yang dipicu oleh bangkrutnya industri
rokok pada tahun tersebut.
Dilihat dampaknya terhadap akumulasi laba
industri rokok, skenario G, H, dan I, tetap
menampilkan hasil yang selalu positif dan
meningkat per tahun. Hasil yang ditampilkan
ketiga skenario lainnya, memberikan dampak
berupa penurunan. Hasil simulasi Skenario II
pada akumulasi laba industri rokok terlihat pada
gambar 8.5.
Gambar 8.5 Hasil Simulasi Skenario II Akumulasi
Laba Industri Rokok
Pada persentase kenaikan tarif cukai sebesar
skenario G, skenario H, dan skenario I,
akumulasi laba industri rokok tetap me-
nunjukkan peningkatan, dengan rata-rata hasil
yang ditunjukkan oleh skenario G lebih tinggi
20% dari skenario H, dan lebih tinggi 42% dari
skenario I. Sementara, skenario J membuat
akumulasi laba industri rokok meningkat dengan
rate yang lebih rendah dibanding ketiga skenario
awal dan mulai tahun 2020 mulai menunjukkan
tren menurun. Skenario E dan F, menyebabkan
industri rokok mengalami kondisi akumulasi laba
bersih bernilai nol rupiah pada tahun 2022 dan
2027. Namun selepas dari tahun tersebut
(2020/2027), industri rokok masih dapat
bertahan walaupun kondisinya akumulasi
labanya tidak menunjukkan peningkatan.
Langkah pemerintah untuk melakukan
pembatasan produksi rokok ternyata tidak
mempengaruhi besar penerimaan negara dari
cukai rokok. Karena terbukti dengan melakukan
peningkatan tarif cukai pada kondisi pembatasan
produksi rokok, pemerintah tetap memperoleh
penerimaan yang semakin besar. Semakin tinggi
tarif cukai yang diterapkan per tahun, maka
pemerintah akan mendapatkan penerimaan cukai
yang besar.
Gambar 8.6 Hasil Simulasi Skenario II Penerimaan
Negara Dari Cukai Rokok
Namun penerimaan cukai ini akan langsung
menurun disaat industri rokok mengalami
akumulasi laba industri rokok mencapai titik nol
rupiah. Hal ini sesuai logika dimana ketika
industri rokok sudah mencapai akumulasi laba
bernilai nol, maka industri rokok tidak akan lagi
membeli cukai sehingga penerimaan cukai
pemerintah akan semakin berkurang dan bernilai
nol.
Gambar 8.7 Hasil Simulasi Skenario II DALY per
orang
Pada DALY per orang, skenario II
menunjukkan perilaku yang sama dengan
skenario I. Namun, dikarenakan skenario II
menerapkan kondisi pembatasan produksi rokok,
maka pada kondisi eksisting skenario II
(subskenario G) DALY per orang akan lebih
rendah 22% dari skenario I. Pada gambar 8.7,
terlihat bahwa skenario L mampu membuat
DALY per orang menurun 54% dari skenario G
(kondisi eksisting).
11
9. Perbandingan Skenario
Dengan melihat bentuk grafik dampak
penerapan skenario pada masing-masing
variabel, maka terlihat bahwa subskenario
peningkatan tarif cukai per tahun sebesar 0%,
5%, 10%, 30% dapat memberikan hasil yang
paling ideal pada dua kondisi skenario
(pembatasan produksi dan tanpa pembatasan
produksi). Kondisi ideal disini berarti dalam
periode simulasi, industri rokok tetap memiliki
akumulasi laba yang meningkat positif, dan
industri rokok tetap mendapatkan penerimaan
cukai yang meningkat. Namun, diantara empat
subskenario peningkatan tarif cukai tersebut,
subskenario peningkatan tarif cukai sebesar 30%
(skenario D/J) dapat memberikan efek penurunan
nilai pada periode akhir simulasi. Sehingga bisa
dikatakan, prosentase sebesar 30% merupakan
batas ideal penggunaan besar peningkatan tarif
cukai pada keempat subskenario ideal.
Sedangkan, dua skenario lainnya akan membuat
nilai variabel (akumulasi laba industri rokok dan
penerimaan negara) menjadi turun hingga
mencapai nilai nol sebelum waktu berakhirnya
periode simulasi.
10. Kesimpulan
Dalam situasi saat ini, tarif cukai berperan
sebagai faktor penentu keberlangsungan usaha
industri rokok. Semakin tinggi tarif cukai,
mampu mematikan usaha industri rokok melalui
besarnya pengeluaran untuk pelunasan cukai
yang memberikan penerimaan dari cukai yang
besar kepada pemerintah. Namun berdasar
penelitian yang dilakukan, penerimaan dari cukai
ini tidak akan berlangsung lama karena tingginya
tarif cukai tersebut yang menyebabkan
berkurangnya produksi rokok, sehingga
penerimaan akan semakin lama semakin
berkurang.
Dengan melakukan running simulasi pada
kondisi eksisting selama 30 tahun, kondisi
akumulasi laba industri rokok akan tetap
mengalami peningkatan dan penerimaan negara
dari cukai rokok juga mengalami hal yang sama.
Hal ini dikarenakan belum adanya kenaikan tarif
cukai pada kondisi eksisting sehingga industri
rokok masih dapat berproduksi secara maksimal
dan penerimaan negara dari cukai juga akan
semakin meningkat (seiring meningkatnya
produksi rokok).
Baik untuk skenario pembatasan produksi
rokok dan tanpa batasan produksi rokok, hasil
simulasi subskenario penambahan tarif cukai
menyatakan bahwa industri rokok akan
mengalami penurunan akumulasi laba seiring
dengan besarnya tarif cukai yang dikenakan.
Bahkan dengan kenaikan tarif cukai sebesar 57%
(Skenario E/K) dan tarif cukai 100% (Skenario
F/L), industri rokok akan mengalami kondisi
akumulasi laba mencapai nol, serta penerimaan
negara dari cukai juga akan berkurang. Kondisi
ini disebabkan oleh naiknya pengeluaran untuk
pelunasan cukai yang semakin membebani biaya
produksi industri rokok sehingga industri rokok
lama kelamaan akan mengurangi produksinya
dan menyebabkan penerimaan negara dari cukai
juga akan berkurang.
Dari hasil simulasi, diketahui bahwa
subskenario peningkatan tarif cukai per tahun
yang tetap memberikan keuntungan penerimaan
cukai yang besar bagi negara dan tidak
mematikan industri rokok (walaupun setiap
peningkatan tarif cukai menyebabkan
berkurangnya akumulasi laba industri rokok)
adalah Skenario A/G (0%), Skenario B/H (5%),
Skenario C/I (10%), dan Skenario D/J (30% ).
11. Daftar Pustaka
Ahmad, S. dan Billimek, J., 2007. Limiting
Youth Access To Tobacco: Comparing The
Long-term Health Impacts Of Increasing
Cigarette Excise Taxes And Raising The
Legal Smoking Age To 21 In The United
States. Health Policy, (80), pp.378-91.
Ahmad, S. & Franz, G.A., 2008. Raising Taxes
To Reduce Smoking Prevalence In The US: A
Simulation Of The Anticipated Health And
Economic Impacts. Public Health, (122),
pp.3-10.
Antariksa, Y., 2010. Blog Strategi +
Manajemen.http://strategimanajemen.net/201
0/03/15/industri-rokok-indonesia-sedang-
menjemput-kematian/. Diakses pada tanggal 2
Februari 2011
Barber, S., Adioetomo, S.M., Setyonaluri, D. &
Ahsan, A., 2008. Tobacco Economic In
Indonesia. Jakarta: Lembaga Demografi FE
UI.
Borshchev, A. & Filippov, A., 2004. From
System Dynamics and Discrete Event to
Practical Agent Based Modeling: Reasons,
Techniques, Tools.
12
DeCicca, P. & McLeod, L., 2008. Cigarette
Taxes And Older Adult Smoking: Evidence
From Recent Large Tax Increases. Health
Economics, (27), pp.918-29.
Departemen Perindustrian, 2009. Roadmap
Industri Pengolahan Tembakau. Jakarta:
Direktorat Jenderal Industri Agro Dan Kimia
Departemen Perindustrian.
Hanusz, M., 2000. Kretek: The Culture and
Heritage of Indonesia's Clove Cigarettes.
Jakarta: Equinox Publishing.
Hendratmo, W., 2009. Industri Hasil Tembakau
Dan Peranannya Dalam Perekonomian
Nasional. Media Industri, Februari. pp.52-
54.
Majalah Neraca, 2010. Cukai Tembakau
Sumber Penerimaan Cukai Dalam Negeri.
http://bataviase.co.id/node/498152. Diakses
tanggal 29 February 2011.
Peraturan Menteri Keuangan, 2011. Publikasi
Kebijakan Cukai Hasil Tembakau 2011.
Phillips, C., 2009. What is a QALY ? Health
Economics, pp.1-6.
Rachmat, M., 2010. Pengembangan Ekonomi
Tembakau Nasional: Kebijakan Negara Maju
Dan Pembelajaran Bagi Indonesia. Analisis
Kebijakan Pertanian , VIII (1), pp.67-83.
Ross, H. & Chaloupka, F., 2006. Economic
Policies For Tobacco Control in Developing
Countries. Salud Pública de México, 48(1).
Rumagit, G.A.J., 2007. Kajian Ekonomi
Keterkaitan Antara Perkembangan Industri
Cengkeh dan Industri Rokok Kretek Nasional
[Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Santosa, P.B. & Rifai, B., 2005. Analisis
Industri Rokok Kretek Di Indonesia Tahun
1976-2001. Jurnal Ekonomi Pembangunan,
VI(2), pp.228-39.
Sriwijaya Post, 2011. Home: Bisnis: Finance: 45
Pabrik Rokok di Malang "Gulung
Tikar".http://palembang.tribunnews.com
/view/57543/45_pabrik_rokok_di_malang_gul
ung_tikar. Diakses pada tanggal 1 Juli 2011.
Sumarno, B.S. & Kuncoro, M., 2002. Struktur,
Kinerja, dan Kluster Industri Rokok Kretek:
Indonesia, 1996-1999. Universitas Gadjah
Mada.
Tanjungsari, W., 2009. Analisis Pengaruh
Penetapan Peraturan Pemerintah No.19
Tahun 2003 Terhadap Permintaan Rokok
Kretek dan Tenaga Kerja Industri Rokok
Kretek Di Indonesia [Skripsi]. Institut
Pertanian Bogor.
Tjahjaprijadi, C. & Indarto, W.D., 2003.
Analisis Pola Konsumsi Rokok Sigaret
Kretek Mesin, Sigaret Kretek Tangan, dan
Sigaret Putih Mesin. Kajian Ekonomi dan
Keuangan, 7(4), pp.104-23.
van Genugten, M.L.L. et al., 2003. Future
Burden and Costs of Smoking-Related
Disease in the Netherlands: A Dynamic
Modeling Approach. Value in Health,
pp.494-99.