Penentuan tarif yang wajar dalam transfer pricing
-
Upload
futurum2 -
Category
Economy & Finance
-
view
665 -
download
0
Transcript of Penentuan tarif yang wajar dalam transfer pricing
www.futurumcorfinan.com
Page 1
Penentuan Tarif yang Wajar
dalam Transfer Pricing
Pendahuluan
Pada tanggal 6 September 2010, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak No. PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai
Hubungan Istimewa (selanjutnya disebut sebagai PER-43).
Dalam bab ini akan dibahas khusus mengenai Penerapan Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha dalam Transfer Pricing yang terkait tarif atas penggunaan hak kekayaan
intelektual dan/atau aktiva tak berwujud lainnya.
Tarif atas penggunaan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) atau pemanfaatan barang
tidak berwujud lainnya
Tarif di sini dapat dibagi menjadi dua kelompok:
Royalti, umumnya terkait dengan imbalan atas penggunaan hak kekayaan
Sukarnen
DILARANG MENG-COPY, MENYALIN,
ATAU MENDISTRIBUSIKAN
SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN
INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS
DARI PENULIS
Untuk pertanyaan atau komentar bisa
diposting melalui website
www.futurumcorfinan.com
www.futurumcorfinan.com
Page 2
intelektual.
Non-royalti, misalnya licensing fee dan franchise fee atau bentuk rental rights
tertentu atau bentuk fee lainnya yang pada intinya merupakan pembayaran atas
suatu penggunaan hak di luar kategori hak kekayaan intelektual
Definisi Royalti menurut OECD Model, UN Model dan US Model adalah sebagai berikut:
2005 OECD Model, Art. 12(2)
The term “royalties” as used in this Article means payments of any kind received as a
consideration for the use of, or the right to use, any copyright of literary, artistic or scientific
work including cinematograph films, any patent, trade mark, design or model, plan, secret
formula or process, or for information concerning industrial, commercial or scientific
experience.
Definisi royalti dalam OECD Model Art. 12(2) dapat dibagi menjadi dua kelompok:
1. Consideration received for the use of, or the right to use:
– any copyright of literary, artistic or scientific work including cinematograph
films;
– any patent, trade mark, design or model, plan, secret formula or process; or
2. Consideration received for information concerning industrial, commercial
or scientific experience.
1981 UN Model/2001 UN Model, Art. 12(3)
The term “royalties” as used in this Article means payments of any kind received as a
consideration for the use of, or the right to use, any copyright of literary, artistic or scientific
work including cinematograph films, or films or tapes used for radio or television
broadcasting, any patent, trademark, design or model, plan, secret formula or process, or
for the use of, or the right to use, industrial, commercial or scientific equipment or for
information concerning industrial, commercial or scientific experience.
2006 US Model, Art. 12(2)
The term “royalties” as used in this Article means:
www.futurumcorfinan.com
Page 3
a) payments of any kind received as a consideration for the use of, or the right to use,
any copyright of literary, artistic, scientific or other work (including cinematographic
films), any patent, trademark, design or model, plan, secret formula or process, or
for information concerning industrial, commercial or scientific experience; and
b) gain derived from the alienation of any property described in subparagraph a), to the
extent that such gain is contingent on the productivity, use, or disposition of the
property.
Kalau dapat dirangkumkan, royalti diartikan sebagai:
Segala jenis pembayaran yang diterima atas penggunaan, hak penggunaan, setiap karya
tulisan, kesusasteraan atau karya ilmiah termasuk film-film bioskop dan film-film atau
rekaman untuk siaran radio atau televisi, setiap hak paten, merek dagang, disain atau
model, rencana, rumus atau cara pengolahan, atau penggunaan, atau cara
menggunakan, peralatan industri, alat-alat perdagangan atau pengetahuan, atau untuk
informasi mengenai pengalaman di bidang industri, perdagangan atau ilmu pengetahuan.
Walaupun maksud dari pembayaran royalti atau pembayaran fee lainnya di atas tidak
disebutkan secara eksplisit, akan tetapi, mengingat konteks pembayaran adalah pada
umumnya didapatkan dalam dunia bisnis, maka dapat disimpulkan bahwa ada motif profit-
www.futurumcorfinan.com
Page 4
seeking dalam pembayaran tersebut.
Bisnis dalam International Financial Reporting Standards 3, didefinisikan sebagai:
An integrated set of activities and assets conducted and managed for the purpose of
providing:
a) A return to investors; or
b) Lower costs or other economic benefits directly and proportionately to
policyholders or participants.
A business generally consists of inputs, processes applied to those inputs, and resulting
outputs that are, or will be, used to generate revenues.1
Tentunya beralasan apabila mengkaitkan antara pembayaran royalti atau bentuk fee
lainnya, dengan pemberian imbalan (atau imbal jasa – rate of returns) kepada pihak lain
sehubungan dengan penggunaan hak kekayaan intelektual properti atau hak penggunaan
benda tak berwujud.
HAKI atau benda tak berwujud sendiri digunakan sebagai input dalam proses bisnis untuk
menghasilkan pendapatan (revenue). Pihak yang membayarkan royalti atau fee tersebut,
tentunya bukan hanya semata-mata sekumpulan aset dan kewajiban (collections of assets
and liabilities). Secara normal, tentunya, pihak tersebut menjalankan suatu kegiatan bisnis
yang berkelanjutan, dengan pendapatan yang dapat diidentifikasi (identifiable revenue),
yang berarti, aset dan kewajiban entitas tersebut berinteraksi satu sama lain, termasuk
penggunaan HAKI atau harta berwujud lainnya sebagai input yang relatif penting, dan
orang-orang yang mengoperasikan input tersebut.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembayaran royalti atau fee tersebut dalam
konteks bisnis, dimaksudkan untuk memperoleh pendapatan yang dapat diidentifikasi,
yang berarti :
Ada manfaat ekonomis yang terkait dengan transaksi tersebut akan mengalir
kepada entitas tersebut
Jumlah pendapatan yang teridentifikasi tersebut dapat diukur secara andal
1 International Financial Reporting Standards, International Accounting Standards Committee
Foundation, 2010, London, UK.
www.futurumcorfinan.com
Page 5
Tentunya tidak mengherankan apabila dalam praktik bisnis, pembayaran royalti atau fee
tertentu lainnya, mengambil bentuk-bentuk sebagai berikut:
1. Tarif royalti sebagai persentase dari pendapatan bersih (net sales)
2. Tarif royalti sebagai persentase dari laba kotor (gross margin)
3. Tarif royalti sebagai persentase dari laba operasional (income from operations)
atau bentuk lainnya, seperti EBITDA
4. Jumlah royalti per jumlah unit yang terjual
5. Jumlah royalti per jumlah unit yang diproduksi
6. Suatu jumlah tertentu yang tetap (lump-sum), yang dapat pula dikombinasi dengan
jumlah yang dikaitkan dengan ukuran lain.
7. Tarif royalti yang berbeda-beda untuk tingkat penjualan yang berbeda
8. Tarif royalti yang berbeda untuk wilayah penjualan yang berbeda atau tahun
produksi yang berbeda atau jenis produk yang berbeda
9. Tarif royalti yang ditentukan minimum dan maksimumnya
Bahkan ahli penilaian untuk HAKI dan aktiva tidak berwujud, mengkaitkan secara
langsung bahwa nilai dari (penggunaan) HAKI dan aktiva tidak berwujud lainnya dengan
imbal hasil atas investasi (return on investment).
But, in the main and in the long-run, businesspeople base those decisions on a careful
(and correct) evaluation of the potential for earning a return on investment. Dollars are
not committed for idle amusement. They are planted in order to grow – businesspeople
are simply farmers with their own unique seeds and implements, trying to employ the
classic agents of production in their own way.2 (kalimat ditebalkan untuk keperluan
penekanan)
(terjemahan bebas : Akan tetapi, terutama dan dalam jangka panjang, pelaku bisnis
mendasarkan keputusan-keputusan mereka pada evaluasi yang hati-hati (dan benar) atas
kemungkinan untuk memperoleh imbal hasil atas investasi. Dolar tidak diinvestasikan
untuk kesenangan semata-mata. Investasi ditanamkan supaya bertumbuh – pelaku bisnis
2 Gordon V. Smith, Russell L. Parr, Valuation of Intellectual Property and Intangible Assets, third
edition, 2000, John Wiley & Sons, USA, halaman X.
www.futurumcorfinan.com
Page 6
adalah semata-mata petani dengan benih mereka yang unik dan berusaha menjalankan
agen produksi yang klasik dengan cara mereka sendiri.)
Tarif yang Wajar dalam Transfer Pricing
Sesudah diketahui bahwa tarif royalti dan non-royalti terkait dengan imbal hasil atas
investasi, tentunya, sekarang dihadapkan kepada pertanyaan : bagaimana menentukan
tarif yang wajar dalam konteks Transfer Pricing?
Konteks Transfer Pricing ini di sini tentunya dapat diartikan apakah transaksi pembayaran
royalti atau fee non-royalti tersebut dilakukan antara pihak-pihak:
1) yang kedua-duanya berada dalam jurisdiksi perpajakan yang sama. Sebagai
contoh, pembayaran royalti atas penggunaan HAKI dari PT A kepada PT B, di
mana baik PT A dan PT B merupakan perusahaan yang didirikan dan
berkedudukan di Indonesia. Atau,
2) yang tidak didirikan atau berkedudukan di Negara yang sama, atau dengan kata
lain, berada dalam jurisdiksi perpajakan yang berbeda. Sebagai contoh,
pembayaran royalti yang dilakukan oleh PT A (yang didirikan dan berkedudukan di
Indonesia) kepada principal-nya di Negara Jepang.
Namun menilik kepada bagian “Menimbang” dalam PER-43, dapat diketahui bahwa
ketentuan PER-43, lebih mengarah kepada point ke-2 di atas, dimana transaksi
pembayaran royalti atau fee non-royalti adalah antara pihak-pihak yang tidak berada pada
jurisdiksi perpajakan yang sama (transaksi lintas negara - cross-border transaction).3
Esensi dari permasalahan pembayaran royalti untuk transaksi lintas negara, adalah
adanya fakta bahwa pembayaran lintas jurisdiksi perpajakan tersebut, untuk penggunaan
HAKI atau pemanfaatan Barang Tidak Berwujud Lainnya (atau Barang Tidak Berwujud),
adalah pembayaran royalti atau fee non-royalti tersebut adalah merupakan :
pengurang penghasilan kena pajak bagi pihak pembayar.
penambah penghasilan kena pajak bagi pihak yang menerima pembayaran
3 Hal ini diperkuat dalam Pasal 22 dan 23 dari PER-43, dimana diatur mengenai permohonan
Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) dan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement), hal mana lebih umum didapatkan dalam literatur-literatur yang membicarakan transaksi-transaksi lintas negara.
www.futurumcorfinan.com
Page 7
Pada saat baik pihak pembayar maupun pihak yang menerima pembayaran royalti atau
fee non-royalti adalah merupakan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa,
otoritas perpajakan masing-masing negara (terutama otoritas perpajakan dari negara
pihak pembayar) dapat dimengerti akan memberikan perhatian lebih untuk memastikan
apakah:
Jumlah pembayaran royalti atau fee non-royalti merupakan fungsi dari hanya
pengelakan perpajakan (tax avoidance) atau dengan kata lain, tidak didasarkan
kepada realitas bisnis (business reality) atau transaksi yang memiliki substansi
komersial (transaction without commercial substance).
Suatu transaksi disebutkan memiliki substansi komersial adalah apabila arus kas di masa
mendatang diharapkan akan berubah secara signifikan sebagai akibat adanya transaksi
tersebut4.
Tampaknya, pihak otoritas perpajakan berusaha menyederhanakan hal di atas menjadi
penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi antara wajib pajak
dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
Tentunya, yang menjadi pertanyaan utama Wajib Pajak pada umumnya (asumsi : Wajib
Pajak sebagai pembayar royalti ke luar negeri yang merupakan pihak yang mempunyai
hubungan istimewa), adalah :
apakah yang dimaksud dengan tarif royalti atau fee non-royalti yang dianggap
memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha?
Dari PER-43, diperoleh petunjuk sebagai berikut:
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm's length principle/ALP) merupakan prinsip
yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam
rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding. (Pasal 1 point 6).
4 International Accounting Standards No. 16, Property, Plant and Equipment, International
Accounting Standards Committee Foundation, 2010, London, UK, halaman A443.
www.futurumcorfinan.com
Page 8
Harga Wajar atau Laba Wajar adalah harga atau laba yang terjadi dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi
yang sebanding, atau harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang
memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. (Pasal 1 point 7)
Analisis Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat
Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan
pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa,
dan melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.
(Pasal 1 point 8)
Pasal 2 (2b) PER-43 merupakan ruang lingkup dari yang dibicarakan dalam bab ini, yaitu
menyangkut sewa, royalti, atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan atau
pemanfaatan harta berwujud maupun harta tidak berwujud (catatan : bagian yang
ditebalkan dilakukan untuk tujuan penekanan);
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dilakukan dengan langkah- langkah sebagai
berikut:
a. melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding (catatan
: bagian yang ditebalkan dilakukan untuk tujuan penekanan);
b. menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
c. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil
Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke
dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa ; dan
d. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba
Wajar sesuai dengan ketentuan perundang- undangan perpajakan yang
berlaku.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Arm’s-length principle dalam PER-43 sangat lekat dengan
Analisis kesebandingan dan menentukan pembanding. Hal ini tidak terlalu mengherankan,
karena standar arm’s-length diterapkan hampir secara universal untuk menguji penerapan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi antara wajib pajak dengan pihak
yang mempunyai hubungan istimewa.5
5 OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations, July
2010.
www.futurumcorfinan.com
Page 9
Dari OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax
Administrations (July 2010), bagian Glossary, disebutkan bahwa:
Arm’s length principle
The international standard that OECD member countries have agreed should be used for
determining transfer prices for tax purposes. It is set forth in Article 9 of the OECD Model
Tax Convention as follows: where “conditions are made or imposed between the two
enterprises in their commercial or financial relations which differ from those which would
be made between independent enterprises, then any profits which would, but for those
conditions, have accrued to one of the enterprises, but, by reason of those conditions,
have not so accrued, may be included in the profits of that enterprise and taxed
accordingly”.
Arm’s length range
A range of figures that are acceptable for establishing whether the conditions of a
controlled transaction are arm’s length and that are derived either from applying the same
transfer pricing method to multiple comparable data or from applying different transfer
pricing methods.
Dari bacaan di atas, dapat diketahui bahwa satu dari criteria utama untuk menguji apakah
suatu transaksi adalah arm’s-length adalah :
Apakah pihak lain, yang tidak memiliki hubungan istimewa akan melakukan transaksi
dengan tarif yang sama, atau, apakah pihak yang sedang diuji akan melakukan transaksi
dengan tarif yang sama terhadap pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa?
Pertanyaan di atas, akan mengarahkan, pihak-pihak yang berkepentingan, antara lain,
otoritas perpajakan, fiskus, manajer pajak atau hakim pajak, untuk secara langsung
mereview transaksi-transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan
istimewa dan dengan pihak ke-tiga yang tidak mempunyai hubungan istimewa.
Pengertian hubungan istimewa :
1. Hubungan istimewa karena kepemilikan saham/penyertaan sebagaimana diatur
oleh Pasal 18 ayat (4) huruf a UU PPh.
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung
www.futurumcorfinan.com
Page 10
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain;
hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih;
atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
2. Hubungan istimewa karena penguasaan sebagaimana diatur oleh Pasal 18 ayat
(4) huruf b UU PPh.
3. Hubungan istimewa karena hubungan keluarga sebagaimana diatur oleh Pasal 18
ayat (4) huruf c UU PPh.
4. Hubungan istimewa karena pengendalian sebagaimana diatur oleh Pasal 9 ayat
(1) Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (tax treaty) antara Indonesia dengan
negara domisili pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak
Transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa harus konsisten
dengan prinsip arm’s-length. Dengan melakukan analisa kesebandingan, secara implisit
atau tidak langsung, pihak fiskus menerima asumsi bahwa transaksi yang dilakukan
dengan pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa sudah menerapkan prinsip arm’s-
length atau prinsip kewajaran.
Jika prinsip arm’s-length tidak dipatuhi, berdasarkan pasal 18 (3) Undang-undang No. 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang No. 36 Tahun 2008, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk
menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang
sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan
kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan
menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga
penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.
Dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2009, pemerintah Indonesia menentukan dokumentasi transfer pricing
tertentu untuk membuktikan arm’s-length nature dari transaksi-transaksi hubungan
istimewa. Dokumentasi Transfer Pricing seringkali diminta selama pemeriksaan pajak
karena isu Transfer Pricing pada umumnya merupakan subyek yang mendapat penelitian
mendalam oleh kantor pajak.
Pengungkapan Transfer Pricing yang detil diwajibkan dilampirkan dalam SPT Tahunan
www.futurumcorfinan.com
Page 11
Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, antara lain:
Daftar pihak yang mempunyai hubungan istimewa
Rincian transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa, mencakup
jenis transaksi, nilai transaksi, metode penetapan harga, alasan penggunaan
metode
Dokumentasi penetapan harga wajar
Perlu ditambahkan di sini, bahwa sengketa TP dapat diselesaikan melalui proses
keberatan dan banding, atau dimana sengketa melibatkan suatu transaksi antara suatu
pihak yang mempunyai hubungan istimewa di Negara yang merupakan Negara tax treaty
Indonesia, maka pihak-pihak tersebut dapat mengajukan double tax relief melalui Mutual
Agreement Procedures.
Ketentuan perpajakan memberikan otorisasi kepada Dirjen Pajak untuk mengadakan
Advance Pricing Agreement (APA) dengan wajib pajak sehubungan dengan transaksi-
transaksi hubungan istimewa. Proses tersebut boleh atau tidak melibatkan kerjasama dari
otoritas perpajakan luar negeri/asing. Begitu disepakati, APA pada umumnya akan berlaku
untuk jangka waktu tertentu. Sesudah periode tersebut berakhir, APA terbuka untuk
dinegosiasikan.6
Dari hal-hal di atas, dapat kita simpulkan bahwa beban pembuktian Transfer Pricing ada
pada pihak Wajib Pajak dalam negeri Indonesia, baik yang melakukan pembayaran ke
luar negeri (prinsipal, atau pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa) atau bahkan
menerima pembayaran (dapat diperkirakan sangat jarang ditemukan).
Kembali kepada konteks Indonesia, di mana sebagian besar, wajib pajak di Indonesia
dapat dikatakan banyak merupakan pembayar royalti kepada pihak di luar negeri (yang
mungkin – merupakan pihak yang memiliki hubungan istimewa), sehubungan dengan
penyediaan atau pemanfaatan barang tidak berwujud atau penggunaan HAKI. Dengan
demikian, dalam laporan laba rugi tahunan, wajib pajak akan menyajikan biaya royalti
sebagai pengurang penghasilan dalam rangka penentuan Penghasilan Kena Pajak.
6 Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-69/PJ/2010 tanggal 31 Desember 2010 tentang
Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement).
www.futurumcorfinan.com
Page 12
Walaupun sudah ada petunjuk dari PER-43, Wajib Pajak tetap menemukan kesulitan
untuk menerapkan dokumentasi yang dapat memenuhi ketentuan PER-43, terutama
dalam melakukan analisis kesebandingan dan menentukan pembanding. Jasa konsultan
pajak banyak dimanfaatkan untuk melakukan dokumentasi Transfer Pricing ini. Namun
demikian, tetap apapun produk dari jasa konsultan pajak, pada umumnya wajib pajak tidak
mengetahui bagaimana menentukan tarif yang wajar yang memenuhi Prinsip Kewajaran
dan Kelaziman Usaha. Hampir dalam kebanyakan transaksi bisnis, proses penentuan tarif
tidak dapat diketahui atau bersifat konfidensial.
Tentunya, kalau kita tanyakan langsung kepada wajib pajak (dalam konteks : tidak
memiliki hubungan istimewa), berapa tarif royalti atau fee non-royalti yang ia bersedia
bayar, tentunya ia akan berusaha untuk mencapai negosiasi tarif yang serendah-
rendahnya. Ini juga menimbulkan rasa ingin tahu pada waktu mengetahui bahwa tarif
royalti wajib pajak ada pada quartil yang 75% dari rentang harga atau laba berdasarkan
metode penentuan harga transfer, dan bukan di bawah 50%.
Apakah pertanyaan langsung kepada wajib pajak mengenai tarif adalah relevan?
Tampaknya hal ini tidak dianggap tidak terlalu relevan, dan agak subyektif, dengan kata
lain, ada kemungkinan tidak mencerminkan business reality. Otoritas perpajakan lebih
mengandalkan bahwa penerapan (dan pembuktian) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman
Usaha berdasarkan :
a. hasil Analisis Kesebandingan, dan
b. penerapan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi yang
dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
Pasal 11 (2) PER-43 menyebutkan bahwa Metode Penentuan Harga Transfer yang dapat
diterapkan adalah:
a. metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable
uncontrolled price/CUP) ;
b. metode harga penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode biaya-
plus (cost-plus method/CPM);
c. metode pembagian laba (profit split method/PSM) atau metode laba bersih
transaksional (transactional net margin method/TNMM) .
Harga Wajar atau Laba Wajar berdasarkan metode-metode Penentuan Harga Transfer
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) di atas dapat ditentukan dalam bentuk
harga atau laba tunggal (single price) atau dalam bentuk Rentang Harga Wajar atau Laba
www.futurumcorfinan.com
Page 13
Wajar (arm's length range/ALR). (Pasal 13 (1) PER-43.
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa PER-43 mengharapkan :
penerapan salah satu (atau kombinasi) dari metode di atas dapat menghasilkan
harga wajar atau laba wajar.
Apakah demikian?
Sebelum dibahas lebih lanjut, perlu dipertanyakan dua point yang mendasar:
1. Mengapa suatu pihak bersedia membayar tarif royalti atau fee non-royalti kepada
pihak lain?
2. Mengapa suatu pihak bersedia membayar tarif yang berbeda (tentunya secara
signifikan mempunyai dampak terhadap beban pajak penghasilan pihak yang
membayar) untuk transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa
dibandingkan dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa?
Tentunya secara logika, menjawab pertanyaan nomor 1 di atas, suatu pihak bersedia
membayar tarif royalti atau fee non-royalti kepada pihak lain adalah :
Penggunaan HAKI atau pemanfaatan barang tidak berwujud tersebut memiliki nilai (value)
dimana:
Nilai tersebut akan terwujud dalam bentuk manfaat ekonomis di masa mendatang
(future economic benefits) (yang dapat berupa atau terwujud dalam bentuk
pendapatan – harga premium, pangsa pasar yang lebih besar, volume yang tinggi,
biaya yang lebih rendah, dan lain-lain) yang kemungkinan akan mengalir kepada
entitas pembayar royalti (atau secara tidak langsung, kepada pihak penerima
pembayaran royalti).
Manfaat ekonomis di masa mendatang tersebut dapat di-identifikasi dan
dinyatakan dalam ukuran moneter (uang atau ekivalen uang) secara andal.
Faktor kemungkinan tersebut memiliki probabilitas di atas 50%.
Jadi, dapat dikatakan bahwa suatu pihak bersedia membayar tarif yang berbeda (untuk
transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan tidak mempunyai
hubungan istimewa) adalah karena jumlah manfaat ekonomis di masa mendatang dan
faktor kemungkinan diterima adalah berbeda, atas penggunaan HAKI atau pemanfaatan
www.futurumcorfinan.com
Page 14
barang tidak berwujud tersebut (menjawab pertanyaan nomor 2 di atas).
Kembali ke nilai (value) suatu HAKI atau barang berwujud, yang merupakan representasi
dari seluruh manfaat ekonomis di masa mendatang, yang di-kompres, menjadi satu tarif
pembayaran (single payment rate, berupa royalti atau fee non-royalti).
Menambah kompleksitas, adalah nilai ini akan secara kontinyu berubah, seiring dengan
manfaat ekonomis yang bertambah atau berkurang sejalan berlalunya waktu. Dengan
demikian, tarif royalti atau fee non-royalti, secara logika, selayaknya perlu direview secara
periodik, untuk ditentukan apakah perlu diubah – diturunkan atau bahkan dinaikkan.
Di sini, kembali dihadapkan pada penentuan manfaat ekonomis di masa mendatang.
Berdasarkan literatur-literatur yang ada, dikenal metode-metode 7:
1. Metode comparable/kesebandingan
Implisit dalam metode ini adalah asumsi bahwa jika suatu pihak melakukan suatu
transaksi pembayaran royalti yang sama atau tidak berbeda secara signifikan
dengan pihak lain, maka hal itu dianggap sudah menerapkan prinsip kewajaran
dan kelaziman usaha.
Jelas, bahwa OECD maupun PER-43 lebih condong kepada metode
kesebandingan. Pada tingkat yang mendasar, tentunya relatif sulit untuk
memperdebatkan manfaat dari metode ini, kalau memang objek yang dibicarakan
adalah sama atau memiliki karakteristik yang sama. Namun tentunya, juga disadari
bahwa apakah ada HAKI yang sama atau dapat diperbandingkan, misalnya
apakah dapat dilakukan perbandingan antara brand Coca Cola dengan Pepsi? Apa
ada cara-cara yang logis untuk melakukan penyesuaian (yang subyektif) untuk
perbedaan-perbedaan yang ada?
Walaupun OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax
Administrators menyebutkan faktor-faktor yang turut dipertimbangan untuk
kesebandingan, yaitu8, namun hal-hal itu juga tidak terlalu membantu, bahkan
cenderung membuat analisa menjadi lebih kompleks:
Karakteristik dari properti atau jasa
7 Gordon V. Smith, Russell L. Parr, Valuation of Intellectual Property and Intangible Assets, third
edition, 2000, John Wiley & Sons, Inc., USA, halaman 101.
8 OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations, July
2010, halaman 43.
www.futurumcorfinan.com
Page 15
Analisa fungsional
Syarat-syarat kontraktual
Kondisi perekonomian
Strategi bisnis
Dengan kata lain, ketergantungan pada pendekatan kesebandingan adalah juga
pada akhirnya, ketergantungan pada penyederhanaan yang berlebihan, yang
tentunya suatu yang tidak terhindarkan (unavoidable gross over-simplification).
2. Metode analitis
Berapa tarif royalti yang akan disepakati oleh pihak-pihak jika mereka
menegosiasikan transaksi bisnis berdasarkan fakta dan kondisi mereka sendiri dan
mempertimbangkan faktor-faktor HAKI yang di-alihkan.
Secara konsep, metode analitis tentunya lebih baik, karena metode ini berusaha
untuk mereview proses negosiasi arm’s-length itu sendiri, dengan
mempertimbangkan unsur-unsur yang turut dipertimbangkan oleh dua pihak yang
tidak memiliki hubungan istimewa. Proses negosiasi itu sendiri akan berdasarkan
pada fakta dan kondisi yang memang spesifik untuk negosiasi itu.
Dengan kata lain, untuk menjadi arm’s-length, apapun tarif yang nantinya
diputuskan oleh kedua belah pihak, adalah bukan merupakan hasil dari hubungan
yang non-market atau semata-mata perjanjian antara kedua belah pihak.9
Tentunya, pertanyaan klasik adalah bagaimana membawa ranah konseptual ini ke
dalam ranah yang mudah diimplementasi dalam praktik di lapangan.
Buku-buku teks yang ada10, menyebutkan adanya tiga metode:
1. Pendekatan Biaya (cost approach)
2. Pendekatan Pasar (market approach). Termasuk di dalamnya, metode
kesebandingan (comparability method)
3. Pendekatan Pendapatan (income approach)
9 Jeffrey A. Cohen, Intangible Assets – Valuation and Economic Benefit, 2005, John Wiley & Sons,
USA, halaman 6.
10 misalnya, Robert F. Reilly, Robert P. Schweihs, Valuing Intangible Assets, 1999, McGraw-Hill,
USA.
www.futurumcorfinan.com
Page 16
Perlu ditekankan di sini, bahwa penggunaan ke-tiga metode tersebut membutuhkan data
yang baik dan proyeksi data, menjadi kritikal untuk menentukan tarif yang wajar.
Analisa Transfer Pricing untuk Konteks Indonesia
Untuk kasus di Indonesia, yang menjadi pertanyaan adalah apakah memiliki database
yang dapat digunakan oleh wajib pajak untuk menentukan tarif yang wajar (pendekatan
pasar).
Tentunya keunggulan dari data databases adalah data tersebut :
diambil dari tarif royalti aktual yang sudah terjadi untuk produk-produk yang
diharapkan dapat diperbandingkan,
yang muncul dari negosiasi dan kemungkinan sudah ada beberapa transaksi yang
ada,
berasal dari transaksi antara pihak-pihak tanpa paksaan, tekanan, tuntutan hukum,
dapat mencerminkan profitabilitas segmen industri.
Kalau di Amerika Serikat, terdapat data-data yang diterbitkan oleh the Association of
University Technology Managers (AUTM) dan the Licensing Executives Society (LES).
Perlu dicatat bahwa walaupun tersedia database tersebut, bagaimana pihak wajib pajak
dapat melakukan penyesuaian untuk sampai kepada produk tertentu. Namun demikian,
adanya rentang harga wajar atau laba wajar tersebut dapat minimal memberikan
gambaran umum, walaupun tidak sangat membantu dalam penentuan produk khusus.
Namun demikian, kalaupun ada data rentang harga wajar atau laba wajar, misalkan untuk
tarif royalti untuk teknologi tertentu, misalkan 2% - 8%, hal ini tidak banyak memberikan
informasi berapa tarif royalti untuk penentuan pembayaran royalti, apakah harus diambil
rata-rata, misalnya 5%?
Sekalipun demikian, generalities don’t tell you anything about your particular deal.
Di samping itu, penggunaan metode perbandingan harga antara pihak yang independen
(comparable uncontrolled price/CUP) memerlukan data informasi dan analisa dalam
jumlah yang relatif banyak, dan analisa yang berbeda dapat memberikan hasil yang
sangat berbeda.
Sebagai contoh, untuk melakukan analisa kesebandingan atas paten, menurut Cohen
www.futurumcorfinan.com
Page 17
(2005), terdapat lima hal yang perlu dipertimbangkan11:
Fit, extension, or context
History
Scope
Useful remaining life
Likelihood of infringement
Peraturan perpajakan di Amerika Serikat (dikenal sebagai 482 Regulations)
mempertimbangkan analisa arus kas yang didiskonto (discounted cash flow - DCF)
sebagai ukuran atas potensi laba yang paling dapat diandalkan. Sekalipun demikian,
prosedur DCF sendiri menimbulkan kesulitan-kesulitan praktis, misalnya memerlukan
proyeksi yang mendetil atas pendapatan dan biaya yang terkait dengan penggunaan
aktiva/barang tak berwujud dan penentuan tingkat diskonto yang tepat dalam
menyelesaikan analisa. Analisa DCF ini, di samping kompleksitasnya, juga relatif akan
mudah dipertanyakan. Pihak Wajib Pajak, walaupun telah menghabiskan banyak waktu
dan tenaga kerja yang berpengalaman untuk membangun analisa DCF, kemungkinan
mendapati analisa DCF yang ada salah dimengerti oleh pihak fiskus, dan kemudian
ditolak untuk digunakan.
Sebelum lebih jauh mengenai metode praktis yang disarankan untuk konteks Indonesia,
ada baiknya melihat pada kasus Georgia-Pacific v. United States Plywood Corp.
Pada tahun 1970, dalam kasus Georgia-Pacific v. United States Plywood Corp. (318 F.
Supp. 1116), the U.S. District Court for the Southern District of New York menggunakan
15 faktor berikut ini untuk menentukan tarif royalti yang wajar12:
1. The royalties received by the patentee for the licensing of the patent in suit,
proving or tending to prove an established royalty.
2. The rates paid by the licensee for the use of other patents comparable to the
patent in suit.
3. The nature and scope of the license, as exclusive or nonexclusive, or as
restricted or nonrestricted in terms of territory or with respect to whom the
11
Jeffrey A. Cohen, Intangible Assets – Valuation and Economic Benefit, 2000, John Wiley & Sons, Inc., USA, halaman 93.
12 Georgia-Pacific Corporation v. United States Plywood Corporation, Civ. A. No. 99-195, 318
F.Supp. 1116; 1970 U.S. Dist. LEXIS 11541; 166 U.S.P.Q. (BNA) 235 (May 28, 1970).
www.futurumcorfinan.com
Page 18
manufactured product may be sold.
4. The licensor’s established policy and marketing program to maintain a patent
monopoly by not licensing others to use the invention or by granting licenses
under special conditions designed to preserve that monopoly.
5. The commercial relationship between the licensor and licensee, such as
whether they are competitors in the same territory in the same line of business,
or whether they are inventor and promoter.
6. The effect of selling the patented specialty in promoting sales of other products
of the licensee, the existing value of the invention to the licensor as a generator
of sales of non-patented items, and the extent of such derivative or convoyed
sales.
7. The duration of the patent and the term of the license.
8. The established profitability of the product made under the patent, its
commercial success, and its current popularity.
9. The utility and advantages of the patent property over the old modes or devices,
if any, that had been used for working out similar results.
10. The nature of the patented invention, the character of the commercial
embodiment of it as owned and produced by the licensor, and the benefits to
those who have used the invention.
11. The extent to which the infringer has made use of the invention and any
evidence probative of the value of that use.
12. The portion of the profit or of the selling price that may be customary in the
particular business or in comparable businesses to allow for the use of the
invention or analogous inventions.
13. The portion of the realizable profit that should be credited to the invention as
distinguished from non-patented elements, the manufacturing process, business
risks, or significant features or improvements added by the infringer.
14. The opinion testimony of qualified experts.
15. The amount that a licensor (such as the patentee) and a licensee (such as the
infringer) would have agreed upon (at the time the infringement began) if both
had been reasonably and voluntarily trying to reach an agreement, that is, the
amount obtain a license to manufacture and sell a particular article embodying
the patented invention—would have been willing to pay as a royalty and yet be
able to make a reasonable profit and which amount would have been
acceptable by a prudent patentee who was willing to grant a license.
www.futurumcorfinan.com
Page 19
Dari bacaan atas 15 faktor-faktor di atas, pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 5
kelompok, sebagai berikut13:
1. Market Comparable royalties – Nomor 1 dan 2
2. Licensor’s Policies/Potential Terms – Nomor 3, 4, 5 dan 7
3. Technology – Nomor 9 dan 10
4. Profitability and Other Financial Metrics – Nomor 6, 8, 11, 12, 13, 14
5. Hypothetical Negotiation – Nomor 15
Tampaknya, ukuran berupa profitabilitas dan metrik keuangan lainnya mendominasi
faktor-faktor yang menentukan tarif royalti yang dianggap wajar.
Penentuan Tarif Royalti yang Wajar
Terdapat dua point yang penting mendasari penentuan tarif royalti atau fee non-royalti
lainnya yang wajar:
(1)
Sebagaimana diutarakan di awal bab ini, penentuan tarif royalti atau fee non-royalti
lainnya erat terkait dengan imbal hasil atas investasi. Dengan demikian, suatu tarif royalti
atau fee non-royalti sering didasarkan pada logika ekonomi dengan menggunakan model
keuangan yang mengkaitkan dua hal secara langsung:
investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan HAKI atau barang tidak
berwujud tersebut, dan
pendapatan yang diharapkan akan dihasilkan oleh penggunaan HAKI atau barang
tidak berwujud tersebut.
(2)
Pada waktu pihak-pihak independen akan mengadakan suatu transaksi, kondisi dari
hubungan komersial dan keuangan masing-masing pihak (misalnya mengenai harga
barang yang akan dijual dan dibeli, jasa yang akan diberikan dan persyaratan dan kondisi
(terms & conditions) isi perjanjian) pada umumnya akan ditentukan oleh kekuatan pasar
eksternal. Namun pada waktu transaksi tersebut dilakukan antara pihak-pihak yang
13
Glen S. Newman, How Reasonable is Your Royalty?, September 2008, Richard J. Gering and Jeffrey N. Press.
www.futurumcorfinan.com
Page 20
mempunyai hubungan istimewa, hubungan komersial dan keuangan tidak akan secara
langsung dipengaruhi oleh kekuatan pasar eksternal dengan tingkatan yang sama seperti
transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Seberapa besar
perbedaan tersebut, inilah yang menjadi fokus fiskus.
Perlu dicatat bahwa pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa biasanya tetap
berusaha mereplikasi ke-dinamis-an dari kekuatan pasar eksternal pada waktu
menegosiasikan transaksi. Pihak fiskus tidak seharusnya secara otomatis
mengasumsikan bahwa pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa berusaha untuk
selalu memanipulasi laba mereka dari transaksi tersebut. Ada kemungkinan bahwa
memang ditemukan kesulitan untuk secara akurat menentukan harga pasar yang wajar,
pada saat kekuatan pasar eksternal sulit untuk dikuantifikasi atau bahkan tidak ada
(mengingat keunikan dari HAKI atau barang tidak berwujud) atau pada saat penggunaan
HAKI atau barang tidak berwujud tersebut membutuhkan penerapan strategi pemasaran
yang khusus.
Sebagai konsekuensi, pada saat menghitung tarif yang digunakan dalam transaksi antara
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, pihak fiskus akan menerapkan
pengujian prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dalam rangka mengubah nilai transaksi
menjadi apa yang disebut nilai wajar yang mengacu ke pasar.
OECD (2010) mengingatkan bahwa pada waktu penyesuaian tersebut dilakukan14:
It is important to bear in mind that the need to make adjustments to approximate arm's
length transactions arises irrespective of any contractual obligation undertaken by the
parties to pay a particular price or of any intention of the parties to minimize tax. Thus, a
tax adjustment under the arm's length principle would not affect the underlying contractual
obligations for non-tax purposes between the associated enterprises, and may be
appropriate even where there is no intent to minimize or avoid tax. The consideration of
transfer pricing should not be confused with the consideration of problems of tax fraud or
tax avoidance, even though transfer pricing policies may be used for such purposes.
(Catatan : kalimat yang digaris-bawahi dilakukan untuk keperluan penekanan).
14
OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations, July 2010, halaman 31.
www.futurumcorfinan.com
Page 21
Jadi dari dua hal di atas, ini berarti sangat relevan bahwa dalam dokumentasi Transfer
Pricing untuk melihat apakah tarif royalti atau fee non-royalti lainnya sudah menerapkan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha adalah perusahaan memiliki rencana bisnis
(business plan) yang baik. Sungguh beralasan untuk mengasumsikan bahwa
perusahaan tentunya akan memiliki rencana bisnis yang baik sebagai basis untuk
memulai suatu negosiasi penentuan tarif dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa. Rencana bisnis di sini bukan berarti suatu laporan yang harus berpuluh-puluh
lembar halaman dipenuhi dengan berbagai gambar dan chart yang warna-warni, dan tidak
selalu harus disiapkan oleh pihak konsultan. Rencana bisnis yang baik tentunya rencana
bisnis yang cukup memadai untuk memungkinkan pengambil keputusan atau manajemen
perusahaan untuk melihat seluruh aspek baik faktor eksternal maupun internal, termasuk
resiko, dan dampaknya ke depan bagi masa depan perusahaan.
Dalam konteks perusahaan multi-nasional, seperti misalnya struktur di bawah ini, adanya
suatu rencana bisnis yang komprehensif tentunya dapat membantu pihak fiskus untuk
melihat apakah faktor-faktor kekuatan pasar eksternal telah menentukan penetapan tarif.
Adanya rencana bisnis dalam dokumen alternatif persyaratan dokumentasi Transfer
Pricing juga akan dapat melengkapi :
1. Analisa atas proyeksi laba (atau bahkan target profitabilitas perusahaan yang
dijadikan acuan/benchmark) versus laba aktual dalam suatu tahun.
Analisa tarif yang wajar (termasuk dokumentasi Transfer Pricing) pada umumnya
berfokus pada laba yang sesungguhnya diperoleh oleh wajib pajak dalam suatu
www.futurumcorfinan.com
Page 22
tahun fiscal. Hal ini tentunya juga menimbulkan permasalahan (bahkan sengketa
pajak dengan wajib pajak) mengingat keputusan penentuan tarif royalti atau fee
non-royalti adalah keputusan bisnis (business decision) yang pada umumnya
ditentukan pada waktu wajib pajak mengadakan suatu transaksi dengan baik pihak
yang mempunyai hubungan istimewa atau tidak. Keputusan bisnis sendiri
mengandung resiko, dimana laba yang diharapkan diperoleh pada suatu tahun
fiskal dapat tidak terealisasi, atau bahkan bergeser ke tahun-tahun fiskal
berikutnya. Apakah hal ini sudah dipertimbangkan pada awal tahun? Tampaknya
dokumentasi Transfer Pricing berdasarkan PER-43 tidak melihat hal ini sebagai
faktor yang penting untuk dipertimbangkan.
Di samping itu, rencana bisnis juga dapat mencakup target laba yang diharapkan
oleh perusahaan multi-nasional dari penggunaan HAKI atau pemanfaatan barang
tidak berwujud lainnya, terlepas dari berapa tarif royalti atau fee non-royalti yang
akan disetujui.
Dalam rencana bisnis dan analisanya terhadap laba atau rugi yang terjadi selama
satu tahun fiskal atau dalam beberapa tahun fiskal , akan tercermin interaksi
antara laba yang diproyeksikan dengan laba atau rugi yang sesungguhnya terjadi
(projected vs. actual), informasi mana memberikan pemahaman yang lebih jauh
terhadap transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak dengan pihak yang mempunyai
hubungan istimewa.
2. Analisa atas karakteristik HAKI atau barang tidak berwujud tersebut.
Penggunaan atau manfaat dari HAKI atau barang tidak berwujud lainnya pada
umumnya berbeda dengan transfer antar-perusahaan yang membutuhkan
penilaian, di mana syarat dan kondisi penggunaan hak atau lisensi tersebut
ditentukan untuk periode waktu yang relatif lebih panjang, misalnya dibandingkan
dengan penjualan produk yang berwujud, penyediaan jasa dan lain-lain.
Mengingat jangka waktunya yang lebih panjang, maka mengkaitkan tarif royalti
apakah wajar atau tidak pada suatu tahun fiskal menjadi suatu yang dapat
diperdebatkan. Secara konseptual, tarif royalti atau fee non-royalti lainnya
selayaknya lebih dikaitkan dengan laba, penjualan atau metrik keuangan lainnya
yang bersifat proyeksi ke depan – alih-alih menggunakan hasil yang aktual.
Penggunaan pandangan yang sempit (narrow view) dengan hanya melihat hasil
aktual setiap tahun, tanpa mengkaitkan ke rencana bisnis dan hasil aktual
www.futurumcorfinan.com
Page 23
beberapa tahun, akan menciptakan tambahan resiko kepada wajib pajak, yaitu:
tarif royalti atau fee non-royalti dan jumlahnya dapat dianggap terlalu tinggi
oleh pihak fiskus, dibandingkan dengan tarif pihak yang dijadikan acuan.
margin wajib pajak sesudah beban royalti atau fee non-royalti lainnya dapat
dianggap terlalu tinggi oleh pihak fiskus, dibandingkan dengan hasil pihak
yang dijadikan acuan.
Wajib pajak menderita rugi fiskal setelah beban royalti atau fee non-royalti
lainnya, yang dianggap oleh pihak fiskus, selayaknya, wajib pajak tidak
menderita rugi fiskal mengingat wajib pajak masih mampu membayar
royalti atau fee non-royalti kepada pihak yang mempunyai hubungan
istimewa.
3. Analisa atas tarif royalti atau fee non-royalti lainnya yang dapat disesuaikan
(updated) secara periodik
Mengingat ke-dinamis-an lingkungan bisnis serta nilai HAKI atau barang tidak
berwujud dapat mengalami perubahan, analisa kesebandingan sendiri tidak
mengakomodasi kemungkinan perubahan tersebut tarif tersebut. Misalnya, kalau
tarif di negara lain tidak berubah, maka dengan menggunakan tarif yang tetap di
dalam negeri, secara PER-43, tentunya hal tersebut masih dianggap memenuhi
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Review atas rencana bisnis yang
disesuaikan secara periodik memungkinkan manajemen perusahaan/wajib pajak
untuk melihat keperluan untuk menegosiasikan ulang tarif royalti atau fee non-
royalti lainnya. Hal ini harusnya terjadi mengingat bahwa negosiasi selalu
dititikberatkan pada dampak dari faktor pasar eksternal – kalau tentunya transaksi
dilakukan dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Tarif royalti
atau fee non-royalti lainnya yang tidak pernah mengalami perubahan untuk
beberapa tahun fiskal tentunya menimbulkan pertanyaan.
Dengan demikian, penetapan tarif royalti atau fee non-royalti lainnya yang wajar, tidak
harus selalu melibatkan proses analisa kesebandingan dan mencari perusahaan
pembanding. Keputusan tarif adalah keputusan bisnis semata, yang tentunya adalah
merupakan imbal hasil atas investasi. Dari sudut pandang perusahaan multi-nasional,
investasi yang dilakukan di setiap negara adalah merupakan portofolio asset mereka, dan
pengembalian investasi dalam HAKI atau barang tidak berwujud, diusahakan dapat
www.futurumcorfinan.com
Page 24
diperoleh dari pembayaran royalti atau fee non-royalti dari setiap negara. Dengan
demikian, metode penentuan tarif royalti atau fee non-royalti, terlepas apakah
menerapkan prinsip kewajaran atau kelaziman usaha, selayaknya diserahkan seluruhnya
kepada pihak wajib pajak dan pihak lain, baik yang mempunyai hubungan istimewa atau
tidak. Penentuan tarif tersebut dapat berdasarkan ketentuan 25%15, metode biaya-plus
atau bentuk-bentuk yang lainnya, seperti:
Royalti yang wajar = investment rate of return – fair or normal rate of return
Royalti yang wajar = interest cost of capital in the capital budgeting
Royalti yang wajar = royalti rate yang dihitung dikurangi faktor diskonto (misalnya
ditentukan 25% - 35% untuk faktor-faktor ekstraneous – sebagai contoh, seberapa
cepat, produk dapat dipasarkan dan menghasilkan pendapatan, ke-eksklusif-an
dari HAKI, feature produk yang kompetitif, pangsa pasar yang sudah ada dan
target ke depan, dan lain-lain).
Kesimpulan
Transaksi penentuan tarif royalti atau fee non-royalti lainnya antara wajib pajak dengan
pihak yang mempunyai hubungan istimewa maupun tidak, tentunya melibatkan negosiasi
yang didukung oleh rencana bisnis (business plan) dengan menggunakan bisnis model
perusahaan atau grup perusahaan multi-nasional. Negosiasi tersebut tentunya
dipengaruhi oleh faktor-faktor pasar eksternal. Jadi tidak semata-mata meminta tarif royalti
yang serendah mungkin.
Penentuan tarif yang wajar termasuk proses negosiasi (akan tergambar sebagian dalam
rencana bisnis) tentunya harus memiliki substansi komersial, dimana sejauh mana arus
kas di masa mendatang diharapkan akan mengalami perubahan signifikan sebagai akibat
penggunaan HAKI atau pemanfaatan barang tidak berwujud tersebut. Analisa
kesebandingan untuk satu periode, tanpa melihat Rencana Bisnis, dan untuk beberapa
periode, tentunya tidak memberikan gambaran yang lengkap.
Metode penentuan tarif royalti atau fee non-royalti yang timbul dari penggunaan HAKI atau
pemanfaatan barang tidak berwujud dapat diserahkan seluruhnya kepada wajib pajak,
mengingat transaksi tersebut merupakan transaksi bisnis dan keputusan yang timbul
15
Lihat Russell L. Parr, Royalty Rates for Licensing Intellectual Property, 2007, John Wiley & Sons, USA, dan, Robert Feinschreiber, Transfer Pricing Methods – an Applications Guide, 2004, John Wiley & Sons, USA.
www.futurumcorfinan.com
Page 25
dengan pihak lain merupakan keputusan bisnis, yang pada umumnya ditetapkan pada
awal transaksi. Analisa kesebandingan pada hasil yang aktual kembali menjadi tidak
terlalu tepat.
Menutup bab ini, penulis ingin mengutip Stephen Albainy-Jenei (2005)16
I say that the “correct” royalty rate is the maximum royalty rate that the licensee is
willing to pay that meets the minimum royalty rate the licensor is willing to accept. If
you are only willing to pay 3% and the university will only accept 6%, then you’ll have no
deal (and I’d argue you shouldn’t!). Why front your capital on a business venture that you
can’t afford to pursue?
Considering that the total investment required for the development can be hundreds of
millions of dollars, in many cases only a small royalty rate is economically reasonable
depending upon the expected sales volume. If the expected sales volume doubles, the
reasonable royalty rate payable will likewise increase. However, as the amount of
investment capital increases, the maximum royalty rate payable to the university will
decrease. In that case, the range of reasonable royalty rates can easily vary from 1%-
12% (or even well outside this range) depending upon the expected sales.
In light of this, guide books of reasonable royalty rates don’t seem all that helpful.
~~~~~~ ####### ~~~~~~
16
Stephen Albainy-Jenei, What’s a Reasonable Royalty Rate?, 2005, http://www.patentbaristas.com/archives/2005/11/17/whats-a-reasonable-royalty-rate.
www.futurumcorfinan.com
Page 26
Disclaimer
This material was produced by and the opinions expressed are those of FUTURUM as of the date
of writing and are subject to change. The information and analysis contained in this publication
have been compiled or arrived at from sources believed to be reliable but FUTURUM does not
make any representation as to their accuracy or completeness and does not accept liability for any
loss arising from the use hereof. This material has been prepared for general informational
purposes only and is not intended to be relied upon as accounting, tax, or other professional
advice. Please refer to your advisors for specific advice.
This document may not be reproduced either in whole, or in part, without the written permission of
the authors and FUTURUM. For any questions or comments, please post it at
www.futurumcorfinan.com
© FUTURUM. All Rights Reserved