Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung...

90
ANALISIS STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT KAMPUNG SUKAGALIH TERHADAP HASIL HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK SAHDA HANDAYANI DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

description

livelihood

Transcript of Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung...

Page 1: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

ANALISIS STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT KAMPUNG

SUKAGALIH TERHADAP HASIL HUTAN DI TAMAN

NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK

SAHDA HANDAYANI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

Page 2: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak
Page 3: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

ii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Analisis Strategi

Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan di Taman

Nasional Gunung Halimun Salak adalah benar karya saya dengan arahan dari

komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan

tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Sahda Handayani

NIM I34100128

Page 4: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

iii

ABSTRAK

SAHDA HANDAYANI. Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung

Sukagalih terhadap Hasil Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

Dibimbingan SOERYO ADIWIBOWO

Analisis strategi nafkah dapat memberi gambaran tentang tindakan-tindakan yang

dilakukan rumahtangga dalam kehidupan sehari-hari sebagai hasil cerminan dari

pilihan-pilihan yang dilakukan rumahtangga.Tindakan masyarakat sehari-hari

merupakan gambaran rasionalitas rumahtangga yang melandasi pilihan strategi

nafkah rumahtangga. Masyarakat bisa bekerja atau memenuhi kebutuhan

hidupnya dari berbagai aktivitas nafkah, biasanya disebut strategi nafkah ganda.

Strategi nafkah ganda yaitu aktivitas nafkah yang dimiliki oleh masyarakat lebih

dari satu aktivitas memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kampung Sukagalih, selain

masyarakat bekerja sebagai petani, setiap ada waktu luang mereka pergi ke hutan

untuk mengambil hasil hutan seperti getah damar dan rumput untuk menambah

pendapatan mereka. Hak untuk mengelola sumberdaya alam akan terlindungi hak-

hak kepemilikannya atau biasa disebut Community Based Property Rights atau

CBPRs, yaitu hak kepemilikan berbasis masyarakat dimaknai berasal dari dan

dilakukan oleh masyarakat.

Kata kunci: Community based property rights (CBPRs), strategi nafkah, sumber

daya alam

ABSTRACT

SAHDA HANDAYANI. Analysis of Livelihoods Kampug Sukagalih Community

Strategies Concerning Forest Products at Mounten of Taman Nasional Halimun-

Salak. Supervised by SOERYO ADIWIBOWO

Analysis of livelihood strategies can give an overview of the actions performed in

the household daily life as the result of a reflection of choices that they made.

People‟s daily life is a picture of the household rationality based on the choice of

household livelihood strategies. People can work or fulfill their needs from living

activities, usually called as multiple livelihood strategies. Multiple livelihood

strategies is living activities performed by people more than one activity, to fulfill

their needs. The village of Sukagalih, besides working as a farmer, every leisure

time they go forestry to get forest products such as damar gum and grass to get an

extra income. The rights to manage natural resources will be protected its stake or

usually called Community Based Property Rights or CBPRs, is the ownership

rights based on community, meaning as what come and performed by community.

Key words : Community Based Property Rights, Livelihood strategies, natural

resources

Page 5: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

iv

ANALISIS STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT KAMPUNG

SUKAGALIH TERHADAP HASIL HUTAN DI TAMAN

NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK

SAHDA HANDAYANI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

Page 6: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

v

Judul Skripsi : Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih

Terhadap Hasil Hutan di Taman Nasional Gunung

Halimun Salak

Nama : Sahda Handayani

NIM : I34100128

Disetujui oleh

Dr Ir Soeryo Adiwibowo MS

Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah MSc

Ketua Departemen

Tanggal Lulus: _______________________

Page 7: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

vi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-

Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam

penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 sampai Mei 2014 ini ialah

strategi nafkah, dengan judul Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung

Sukagalih Terhadap Hasil Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Soeryo Adiwibowo MS

selaku pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses

penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis

sampaikan kepada seluruh warga Kampung Sukagalih, dan Center for

International Forestry Research atau dalam bahasa Indonesia Pusat Penelitian

Kehutanan Internasional (CIFOR) karena telah memberikan pelajaran,

pengalaman luar biasa. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang

tua, Bapak Agus Mulyana dan Ibu Ani Sukmarani, serta seluruh keluarga, atas doa

dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014

Sahda Handayani

Page 8: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

vii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ............................................................................................................ ix

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ x

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................... x

PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1

Latar Belakang ............................................................................................................. 1

Rumusan Masalah ........................................................................................................ 5

Tujuan Penelitian .......................................................................................................... 6

Kegunaan Penelitian ..................................................................................................... 7

PENDEKATAN TEORITIS ............................................................................................. 9

Mata Pencaharian ......................................................................................................... 9

Strategi Nafkah ........................................................................................................... 10

Akses .......................................................................................................................... 11

Kerangka pemikiran .................................................................................................. .14

Hipotesis Penelitian .................................................................................................... 15

Definisi Operasional ................................................................................................... 15

PENDEKATAN LAPANG ............................................................................................. 17

Metode Penelitian ....................................................................................................... 17

Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................................... 17

Teknik Penentuan Informan dan Responden .............................................................. 18

Teknik Pengumpulan Data ......................................................................................... 18

Teknik Analisis Data .................................................................................................. 18

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK

RESPONDEN ................................................................................................................. 21

Kondisi Umum Desa Penelitian ................................................................................. 21

Karakteristik Responden Penelitian ........................................................................... 22

Tingkat Pendidikan ................................................................................................ 22

Struktur Mata Pencaharian .................................................................................... 23

Karakteristik Sistem Pertanian ................................................................................... 24

Jenis dan Orientasi Pertanian ................................................................................. 24

Akses Modal Usaha ............................................................................................... 25

Ikhtisar ........................................................................................................................ 25

DINAMIKA AKSES MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA HUTAN ....... 27

Riwayat Penetapan TNGHS ....................................................................................... 27

Zonasi TNGHS ........................................................................................................... 28

Zona Khusus ............................................................................................................... 31

Dinamika Akses Masyarakat Pra Penetapan TNGHS ................................................ 33

Dinamika Akses Masyarakat Era TNGHS ................................................................. 36

Page 9: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

viii

KOLABORASI PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA CIFOR ................................ 41

Share Learning ...................................................................................................... 41

Manfaat Kolaborasi ............................................................................................... 45

PERUBAHAN PENGUASAAN LAHAN DAN PEMANFAATAN ASSET .............. 47

Status Penguasaan Lahan Masyarakat ....................................................................... 47

Pola Pemilikan Lahan ........................................................................................... 47

Perubahan Penguasaan Lahan ............................................................................... 48

Kaitan Strategi Nafkah dan Status Penguasaan ......................................................... 51

Ikhtisar ....................................................................................................................... 52

PERUBAHAN STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI

KAMPUNG SUKAGALIH ............................................................................................. 53

Strategi Nafkah Ganda ............................................................................................... 56

Strategi migrasi .......................................................................................................... 57

Pemanfaatan Livelihood Asset dalam Penerapan Strategi Nafkah ........................... 59

Modal Sumberdaya Alam ..................................................................................... 59

Modal Fisik ........................................................................................................... 59

Modal Manusia ..................................................................................................... 60

Modal Finansial ..................................................................................................... 60

Modal Sosial ......................................................................................................... 60

Diversifikasi Pendapatan ............................................................................................ 61

Pendapatan Usaha Tani .............................................................................................. 62

Pendapatan Usaha Non-Pertanian .............................................................................. 63

Pendapatan Total Rumah tangga ............................................................................... 64

Ikhtisar ....................................................................................................................... 67

PENUTUP ....................................................................................................................... 69

Simpulan .................................................................................................................... 69

Saran .......................................................................................................................... 70

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 71

LAMPIRAN .................................................................................................................... 73

RIWAYAT HIDUP ......................................................................................................... 87

Page 10: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

ix

DAFTAR TABEL

1 Persentase tingkat pendidikan di Desa Cipeuteuy tahun 2011 22

2 Persentase tingkat pendidikan responden di Kampung Sukagalih Desa

Cipeuteuy tahun 2014

23

3 Persentase jumlah penduduk menurut jenis mata pencaharian di Desa

Cipeuteuy tahun 2011

24

4 Riwayat pendirian dan penetapan TNGHS 28

5 Persentase kepemilikan lahan masyarakat di Desa Cipeuteuy tahun 2011 47

6 Persentase tingkat pengguasaan lahan responden berdasarkan bentuk penguasaan

lahan tahun 2003 dan 2013 49

7 Persentase pola penguasaan lahan masyarakat Kampung Sukagalih pada tahun

2003

50

8 Persentase pola penguasaan lahan masyarakat Kampung Sukagalih pada tahun

2013

50

9 Persentase jenis pekerjaan utama rumah tangga Kampung Sukagalih tahun

2014

54

10 Jumlah rumah tangga menurut jenis pekerjaannya pada tahun 2014 55

11 Jumlah ternak kambing (ekor) di Kampung Sukagalih tahun 2003 dan 2013 57

12 Rata-rata pendapatan responden perbulan dari sektor pertanian pada setiap

golongan pendapatan menurut sumberdayanya tahun 2003 dan 2013

62

13 Rata-rata pendapatan responden pertahun dari sektor non-pertanian pada

setiap golongan pendapatan menurut sumberdayanya tahun 2003 dan 2013

64

14 Konstribusi sumber pendapatan bersih pertanian dan non-pertanian terhadap

rata-rata pendapatan perbulan pada setiap golongan pendapatan tahun 2003

dan 2013

67

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran 15

2 Kampung Sukagalih 21

3 Matriks sejarah Kampung Sukagalih 35

4 Pohon damar dan tetesan resin kopal di TNGHS 38

5 Perbandingan pola penguasaan lahan masyarakat Kampung Sukagalih pada

tahun 2003 dan 2013

50

DAFTAR LAMPIRAN

1 Identitas responden 73

2 Peta zona ;okasi TNGHS 74

Page 11: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

x

3 Hasil gambar peta masyarakat Kampung Sukagalih 75

4 Gambar batasan lahan TNGHS dan lahan garapan masyarakat 76

5 Kuesioner penelitian 77

6 Panduan pertanyaan 83

7 Dokumentasi penelitian 85

Page 12: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia menghadapi peluang yang paling dramatik untuk mengubah

masa depan rakyat serta falsafah penyelenggaraan negara sejak Proklamasi

Kemerdekaan 1945. Melepaskan citra penyelenggaraan negara yang otoriter,

represif dan korup sepanjang tiga puluh dua tahun, pada 1998 pemimpin-

pemimpin Indonesia menyatakan kesungguhannya secara terbuka di hadapan

publik untuk kembali kepada prinsip-prinsip dasar konsitusi: kedaulatan rakyat,

keadilan sosial dan kemanusiaan.

Sardi (2010) mengemukakan bahwa dari semakin berkurangnya luas

kawasan hutan serta semakin mudahnya akses yang merusak kawasan hutan,

maka upaya pemerintah untuk mempertahankan kawasan hutan didorong melalui

penetapan hutan konservasi yang berwujud taman nasional, cagar biosfer, suaka

margasatwa, taman hutan rakyat (THR), hutan lindung gambut (HLG), dan hutan

kota. Pengelolaan dari masyarakat melalui sistem pengelolaan hutan adat, hutan

desa, hutan larangan, hutan kemasyarakatan, hutan kampung, hutan rakyat, dan

sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang disebut hutan tanaman rakyat

(HTR). Ketergantungan penduduk Indonesia terhadap kekayaan dan sumber-

sumber alam dapat mengakibatkan ketidak merataan dalam suatu pencapaian hasil

dan dapat mengakibatkan sumber-sumber alam habis atau tereksploitasi apabila

pemerintah tidak membuat suatu kebijakan, peraturan dan perundang-undangan

yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Seperti disebutkan pada Pancasila sila ke-

5 yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Menjelaskan

bahwa rakyat Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk

menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam

rangka ini dikembangkan perbuatannya yang luhur yang mencerminkan sikap dan

suasana kekeluargaan dan gotong royong, untuk itu dikembangkan sikap adil

terhadap sesama, menjaga kesinambungan antara hak dan kewajiban serta

menghormati hak-hak orang lain. Maka kekayaan dan sumber-sumber alam

seharusnya didapat sesuai kebijakan yang telah dibuat pemerintah mengenai hak

setiap manusia dan kewajiban manusia untuk tetap menjaga keasrian sumber-

sumber alam.

Hutan merupakan suatu kawasan luas yang di dalamnya terdapat berbagai

macam flora dan fauna. Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa

hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam

persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat

dipisahkan. Hubungan antara hutan dengan manusia atau masyarakat tidak dapat

dipisahkan begitu saja, sebab hutan memiliki fungsi yang erat kaitannya dengan

kehidupan manusia. Indonesia memiliki luas hutan sebesar 99,6 juta hektar atau

52,3% luas wilayah Indonesia. Karena wilayahnya yang luas, hutan Indonesia

memiliki potensi keanekaragaman yang sangat tinggi. Didalamnya terdapat ribuan

Page 13: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

2

jenis flora dan ribuan spesies fauna. Dengan keanekaragaman tersebut, hutan

sangat bermanfaat bagi manusia, terutama bagi masyarakat sekitar hutan.

Ketergantungan masyarakat yang hidup di sekitar hutan terhadap sumber-

sumber alam untuk memenuhi kehidupan rumahtangga mereka akan

mempengaruhi bagaimana mereka dapat bertahan hidup dan bagaimana mereka

mengatur strategi nafkah setiap rumahtangga yang berada di daerah sekitar hutan.

Setiap rumahtangga pasti memiliki cara tersendiri untuk tetap bertahan dan

memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara apapun yang dapat mereka lakukan.

Terdapat lembaga-lembaga yang melakukan studi strategi nafkah, seperti studi

strategi nafkah yang telah dilakukan oleh lembaga donor seperti DFID (

Department For Internasional Development ) lebih memahami strategi nafkah

sebagai hubungan antara sumberdaya, akses dan aktivitas yang dipengaruhi oleh

sistem ekologi dan sistem sosial kemasyarakatan (Lynch O,Harwell,2002).

Penelitian strategi nafkah banyak dilakukan oleh LSM atau lembaga donor

untuk memenuhi hubungan masyarakat yang berada di sekitar hutan dengan

hutan. Ribot dan Peluso (2003) mendefinisikan akses sebagai kemampuan untuk

memperoleh manfaat dari sesuatu. Konsep akses ini erat kaitannya dengan bundle

of power. Akses berfokus kepada kemampuan, akses mencakup jangkauan yang

lebih luas dari hubungan sosial yang membatai atau mengijinkan mengambil

manfaat dari penggunaan sumber daya dibanding hubungan hak milik itu sendiri.

Penelitian tentang pengelolaan hutan biasanya dilakukan untuk menekankan

property right oleh masyarakat adat atau penekanan pada indigenous knowledge

untuk pengelolaan hutan (Anonimous, 2000; Howitt, Connell dan Hirsch 1996;

Uluk, Sudana dan Wollenberg, 2001, Pilin 2002) dalam Lynch O,Harwell,2002.

Penelitian-penelitian tersebut menyimpulkan bahwa masyarakat sekitar

hutan memiliki kelembagaan dan pengetahuan asli yang dapat digunakan dalam

pengelolaan hutan dan pembentukan strategi nafkah setempat. Bila dilihat sekilas

sungguh beruntung masyarakat yang hidup di sekitar hutan yang menghasilkan

begitu banyak sumber-sumber alam, namun pada kenyataannya masyarakat yang

hidup di sekitar hutan harus diguncang dengan kebijakan-kebijakan pemerintah

mengenai hak-hak atas sumber-sumber alam tersebut, yang memperlihatkan

bagaimana masyarakat diuji untuk tetap bertahan dan menjalankan strategi nafkah

rumahtangga mereka dengan jalan yang sesuai tujuan mereka.

Menurut Dharmawan (2007) pengertian strategi nafkah lebih mengarah

pada pengertian livelihood strategy (strategi penghidupan) daripada means of

living strategy (strategi cara hidup). Strategi nafkah dimaknai lebih besar daripada

sekedar aktivitas mencari nafkah belaka. Sebagai strategi membangun sistem

penghidupan, maka strategi nafkah bisa didekati melalui berbagai cara atau

manipulasi aksi individual maupun kolektif. Strategi nafkah berarti cara bertahan

hidup ataupun memperbaiki status kehidupan. Strategi nafkah adalah taktik dan

aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok dalam rangka

mempertahankan kehidupan mereka dengan memperhatikan eksistensi infrastruktr

sosial, struktur sosial dan sistem budaya yang berlaku. Nafkah atau livelihood

sendiri diartikan oleh Chamber dan Conway (1992) dalam Scoones (1998)

mengatakan bahwa nafkah terdiri dari kemampuan, aset (termasuk bahan dan

sumber daya sosial) dan kegiatan yang dibutuhkan sebagai sarana hidup. Sehingga

strategi nafkah dapat diartikan sebagai cara masyarakat mengelola sumber daya

atau aset sesuai kemampuannya dalam suatu kegiatan untuk bertahan hidup.

Page 14: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

3

Taman nasional merupakan suatu kawasan yang dikelola oleh pemerintah

sebagai kawasan perlindungan alam atau yang lebih dikenal sebagai kawasan

konservasi. Menurut UU No. 5 Tahun 1990 Taman nasional adalah kawasan

pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi

yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Kawasan taman nasional dikelola

dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain

sesuai dengan keperluan. Dengan adanya sistem zonasi ini, semula masyarakat

bebas menebang pohon atau mengambil kayu, sekarang sudah ada peraturan yang

mengatur semakin membatasi akses masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya

hutan dan lahan. Kepentingan konservasi sumberdaya alam melalui penetapan dan

pembentukan sistem pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia mendapat

legitimasi secara formal melalui Undang-Undang yang dikeluarkan oleh

pemerintah. Dimana taman nasional merupakan salah satu bentuk dari kawasan

konservasi yang memungkinkan untuk mengalami perluasan dengan cara merubah

status dan fungsi hutan yang ada. Status hutan yang semula open access berubah

menjadi menjadi state property. Menurut Marx dalam Ribot dan Peluso (2003),

hak milik yang diganti menjadi state property, atau milik negara menyebabkan

penggunaan sumber daya alam oleh masyarakat dianggap pencurian. Hal ini juga

mengakibatkan masyarakat yang semula hidupnya bergantung dari hasil hutan,

menjadi kehilangan sumber mata pencahariannya. Perubahan tersebut kadang

menimbulkan adanya persoalan tersendiri pada tataran praktek sehingga perlu

dilakukan upaya-upaya dengan menggunakan teknik tertentu agar pengelolaan

kawasan tersebut dapat dilakukan sesuai yang diinginkan. Perubahan tersebut juga

menimbulkan persoalan tersendiri bagi masyarakat yang tinggal di sekitar

kawasan hutan yang masih memanfaatkan hutan sebagai bagian dari kehidupan

sehari-hari.

Taman Nasional Gunung Halimun Salak ditetapkan melalui Surat

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 282/Kpts-II/1992 pada tanggal 28 Februari

1992. Pada awalnya, Taman Nasional Gunung Halimun memiliki luas 40.000

hektar. Setelah Ditetapkan sebagai kawasan taman nasional, selama lima tahun

pengelolaan kawasan ini dititipkan kepada Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango yang wilayahnya berdekatan. Baru pada tanggal 23 Maret 1997, Balai

Taman Nasional Gunung Halimun (BTNGH) dibentuk agar lebih terfokus dalam

pengelolaan dan pengawasannya. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 selanjutnya dikeluarkan dalam rangka

perluasan kawasan TNGH. Kawasan taman nasional ditambah dengan kawasan

hutan-hutan Gunung Salak, Gunung Endut, dan beberapa bidang hutan lain di

sekelilingnya. Dari SK tersebut, nama taman nasional berubah menjadi Taman

Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Dengan adanya surat keputusan

tersebut taman nasional yang semula memiliki luas kurang lebih 40.000 hektar

melalui surat keputusan tersebut diperluas menjadi 113.357 hektar, sehingga

hampir tiga kali lebih dari luas semula. Balai pengelolaannya pun berubah nama

menjadi Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (BTNGHS). Kawasan

taman nasional mencatat bahwa terdapat 108 desa yang sebagian atau seluruh

wilayahnya berada di dalam dan/atau berbatasan langsung dengan kawasan

TNGHS. Berdasarkan survey pada tahun 2005 dan 2007, tercatat ada sekitar 348

kampung yang berada di dalam kawasan TNGHS. Bisa dipastikan, banyaknya

Page 15: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

4

desa yang berada pada kawasan taman nasional menyebabkan penduduk di desa-

desa tersebut turut memanfaatkan sumberdaya di hutan taman nasional ini.

Pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan TNGHS ini sebenarnya

telah berlangsung sejak sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional.

Beberapa kegiatan masyarakat desa yang berada di daerah kawasan

memanfaatkan sumberdaya alam di TNGHS antara lain pemanfaatan lahan untuk

pemukiman, budidaya pertanian, penambangan (emas, panas bumi, dan galena)

hanya dapat dimanfaatkan oleh Desa Malasari, pembangunan infrastruktur, dan

pemanfaatan hasil hutan di dalam kawasan TNGHS. Bahkan sebagian besar

penduduk di desa-desa, baik dalam kawasan maupun di sekitar kawasan TNGHS,

menjadikan pemanfaatan sumberdaya hutan di taman nasional sebagai sumber

pendapatan utama rumahtangga mereka. Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat

telah menginisiasi pembentukan kelompok pengamanan hutan swakarsa (Pamhut-

Swakarsa), dengan maksud membentuk suatu perkumpulan atau kelompok

penjaga atau pelestari hutan berdasarkan keinginan masyarakat (swakarsa).

Sedangkan tujuannya adalah untuk menjaga keamanan hutan dan memberikan

informasi yang selengkap mungkin sehingga dalam penanganan gangguan hutan

dapat dikerjakan secara tepat, cepat, efektif dan efisien (Dinas Kehutanan Provinsi

Jawa Barat, n.d). Masyarakat yang telah menjadi anggota Pamhut-Swakarsa akan

ikut melakukan pengamanan dan pengawasan hutan di taman nasional.

Pendapatan-pendapatan masyarakat sebelumnya yang hanya bergantung

pada sumberdaya hutan tak lagi bisa diandalkan karena keterbatasan akses,

masyarakat desa berusaha mencari strategi nafkah lain untuk bisa tetap bertahan

memenuhi kebutuhan hidup rumahtangga mereka. Mulai dari menambah

komoditas pertanian, menerapkan pola nafkah ganda, hingga strategi migrasi ke

luar desa atau ke luar negeri (menjadi TKI).

Penetapan status kawasan hutan ini sebagai taman nasional dan

pemanfaatan sumberdaya alam di daerah kawasan hutan menjadi permasalahan

yang patut mendapatkan perhatian. Akibat-akibat yang ditimbulkan dari

permasalahan ini perlu dikaji lebih dalam, mengingat kawasan hutan dan

sumberdaya didalamnya selain untuk tempat bergantungnya masyarakat desa,

namun disisilain juga harus tetap dijaga dan dilestarikan sebagai tempat

perlindungan terhadap ekosistem.

Rumusan Masalah

Kampung Sukagalih merupakan salah satu yang berada di pinggir kawasan

hutan TNGHS. Kampung ini termasuk sebagai kawasan penyangga Koridor

Halimun Salak, suatu kawasan hutan yang menghubungkan antara Hutan di

Gunung Halimun dan hutan di Gunung Salak. Keberadaan Kampung Sukagalih

yang letaknya dekat dengan kawasan hutan koridor yang memiliki nilai penting

secara ekologi membuat kampung ini menjadi salah satu desa yang dianggap

penting sebagai kawasan penyangga hutan taman nasional. Penduduk dilibatkan

dalam kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk melindungi kawasan hutan Koridor

Halimun Salak yang dianggap rentan akan terjadinya kerusakan. Pemberdayaan

Page 16: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

5

masyarakat di Kampung Sukagalih menjadi suatu fenomena yang menarik untuk

dikaji lebih dalam. Hutan di Indonesia tidak hanya menjadi penyangga kehidupan

bagi flora dan fauna, tetapi juga menjadi suatu ekosistem yang saling

berkesinambungan untuk kepentingan-kepentingan sosial, ekonomi, dan politik

dari berbagai pihak. Maka dari itu, keberadaan hutan sangat perlu dijaga dan

dilestarikan keberlanjutannya, melihat berbagai kepentingan yang tercakup di

dalamnya.

Perluasan kawasan TNGHS yang telah di sahkan oleh Perhutani

memberikan pengaruh yang begitu besar bagi masyarakat desa Cipeuteuy.

Masyarakat Desa Cipeuteuy yang mayoritas penduduknya hanya mengenyam

bangku Sekolah Dasar mungkin tidak begitu paham dengan kata konservasi dan

menganggap hutan yang telah mereka diami selama berpuluh-puluh tahun

sehingga tidak bisa serta-merta diklaim sebagai hutan konservasi. Apalagi jika

lahan-lahan hutan yang telah lama mereka manfaatkan bahkan hingga menjadi

sumber nafkah utama rumahtangga mereka harus berkurang karena masuk ke

dalam zona konservasi. Hal ini sering menimbulkan berbagai pertanyaan dari

masyarakat, misalnya pertanyaan: “apakah pemerintah lebih mementingkan

penyelamatan hewan dan tumbuhan daripada peningkatan kesejahteraan kami?” ;

“apakah taman nasional hanya untuk kaum terpelajar yang ingin belajar tanaman

dan binatang yang ada di dalam hutan, atau hanya sebagai tempat untuk

bersenang-senang wisatawan dari kota agar bisa menikmati keindahan alam?”.

Pihak Perhutani menjelaskan mengapa hutan tersebut menjadi hutan

konservasi. Bagi Perhutani, perluasan kawasan TNGHS ini justru harus dilakukan

untuk bisa tetap melindungi dan melestarikan sumberdaya hutan. Perhutani

melihat bahwa hutan adalah penopang kehidupan flora dan fauna yang wajib

dilindungi. Jika dibiarkan begitu saja, hutan akan tereksploitasi terus-menerus

hingga akhirnya kehabisan tenaga untuk bertahan. Jumlah luas hutan yang makin

tahun makin berkurang inilah yang menjadi dasar bagi Perhutani untuk

melindungi kawasan hutan yang masih tersisa. Keterbatasan akses masyarakat

membuat mereka menjalankan pola hidup yang berbeda dari sebelumnya.

Perluasan kawasan TNGHS mengurangi akses dan kontrol masyarakat terhadap

lahan dan sumberdaya hutan. Oleh karena itu masyarakat harus mencari jalan

keluar terbaik untuk bisa tetap memanfaatkan hutan dan mendapatkan penghasilan

yang minimal sama dengan penghasilan mereka sebelum lahan mereka masuk

dalam zona konservasi.

Selain itu, perluasan kawasan TNGHS ini juga memunculkan sistem

zonasi baru. Namun sistem zonasi baru yang ditetapkan menjadi tumpang tindih

dengan lahan yang dimanfaatkan masyarakat desa untuk bertani. Lahan yang

awalnya tidak masuk dalam zona konservasi harus berubah status menjadi zona

konservasi. Akibatnya, lahan garapan masyarakat menjadi berkurang. Imbas dari

berkurangnya lahan garapan dan pendapatan adalah masyarakat desa harus

memikirkan cara lain untuk bertahan hidup. Nafkah yang awalnya hanya

bergantung pada pertanian yang memanfaatkan lahan hutan harus berubah untuk

bisa tetap memenuhi kebutuhan rumahtangga mereka. Strategi nafkah baru pun

dijalankan, ada beberapa pilihan strategi nafkah yang bisa digunakan. Mulai dari

perubahan komoditas tanaman yang ditanam sampai melakukan rekayasa spasial

atau yang lebih dikenal dengan migrasi. Migrasi di sini pun lebih mengarah pada

Page 17: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

6

strategi keluar desa untuk mencari pekerjaan lain seperti pedagang, pembantu

rumah tangga, atau TKI ke luar negeri.

Strategi-strategi yang dijalankan juga tidak harus memilih salah satu dari

strategi nafkah yang ada. Bisa jadi masyarakat melakukan diversifikasi nafkah

atau lebih dikenal dengan pola nafkah ganda. Masyarakat desa tetap

memanfaatkan lahan di zona pemanfaatan untuk bertani, namun di waktu-waktu

tertentu melakukan migrasi ke luar desa untuk melakukan pekerjaan lain atau

merambah kawasan hutan di zona konservasi. Bisa juga masyarakat menerapkan

lebih dari dua strategi nafkah. Yang pasti, apapun dilakukan oleh mereka untuk

bisa tetap bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan rumahtangga mereka.

Persoalan-persoalan ini bukan hal yang sederhana dan tidak mudah diterima oleh

setiap pihak, mau tidak mau mendapat perhatian yang serius karena menyangkut

keberlangsungan sumberdaya hutan dan hubungan-hubungan sosial ekonomi

masyarakat. Dari permasalahan dan perubahan-perubahan yang terjadi pada

masyarakar menarik perhatian peneliti untuk mengkaji lebih dalam permasalahan-

permasalahan tersebut. Maka dari itu, dirumuskanlah pertanyaan penelitian yakni:

1. Sejauh mana keberadaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

mempengaruhi akses warga Kampung Sukagalih?

2. Sejauh mana perubahan akses mempengaruhi strategi nafkah hidup warga

Kampung Sukagalih?

Tujuan

Tujuan penelitian ini diantaranya adalah:

1. Menganalisis perubahan akses warga Kampung Sukagalih di sekitar hutan

pasca perubahan Gunung Halimun sebagai kawasan taman nasional

2. Menganalisis perubahan strategi nafkah warga Kampung Sukagalih

terhadap hasil hutan

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada berbagai

pihak terkait, yakni:

1. Akademisi

Penelitian ini diharapkan menjadi proses pembelajaran dalam memahami

fenomena sosial di lapangan. Selain itu, diharapkan hasil penelitian ini bisa

menambah literatur di bidang pendidikan terutama yang terkait dengan topik

livelihood studies, pertanian, dan pedesaan.

2. Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi wacana dan menambah

pengetahuan bagi masyarakat umum terkait dengan kondisi pertanian dan

permasalahan strategi nafkah masyarakat di dalam kawasan hutan.

Page 18: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

7

3. Balai TNGHS

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi suatu informasi dan data untuk

membuat kebijakan yang sesuai untuk masyarakat terkait akses dan kontrol

terhadap lahan.

Page 19: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

8

Page 20: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

9

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Mata Pencaharian

Definisi Mata Pencaharian

Menurut Reardon dan Vosti (1997) dalam Dharmawan (2007) kemiskinan

merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekurangan terhadap berbagai faktor dan

pendapatan. Faktor- faktor tersebut adalah:

1. Sumberdaya alam

2. Sumberdaya manusia

3. Faktor fisik dan finansial dari hasil pertanian

4. Faktor fisik dan finansial dari hasil non pertanian

5. Hubungan sosial

6. Politik

Menurut Dharmawan (2007), menyatakan suatu rumahtangga mungkin

mempunyai salah satu faktor di atas tetapi tidak mempunyai faktor yang lain.

Rumahtangga petani yang tergolong miskin biasanya hanya memiliki faktor

tenaga (sumberdaya manusia) dan sumberdaya alam dari lingkungannya

sedangkan rendah dalam faktor finansial, sosial dan politik sehingga perilaku

mereka lebih pada penggunaan sumberdaya alam yang dapat mereka akses untuk

memenuhi kebutuhan hidup. Mata pencaharian adalah aktivitas ekonomi yang

dilakukan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya. Mata

pencaharian dibagi menjadi tiga sektor, yaitu:

a) Mata pencaharian disektor pertanian: Pada umumnya kecenderungan

masyarakat desa menanam salah satu jenis tanaman dikarenakan harga

jualnya yang tinggi sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang lebih

baik. Menurut Arsyad (1989) dalam Astuti A, Dharmawan AH, dkk

(2008), faktor yang menentukan manusia memperlakukan tanahnya secara

bijaksana adalah: luas lahan pertanian yang diusahakan, tingkat

pengetahuan dan penguasaan teknologi, harga hasil usaha tani, perpajakan,

ikatan hutang, pasar dan sumber keperluan usaha tani, serta insfrastruktur

dan fasilitas kesejahteraan.

b) Mata pencaharian disektor non pertanian: Menurut Astuti A, Dharmawan

AH, dkk (2008) jenis kegiatan non pertanian terdiri atas pedagang, buruh

bangunan, buruh pabrik, PNS/ABRI, wiraswasta dan jasa. Dalam satu

keluarga tidak hanya kepala keluarga yang bekerja namum anggota

keluarga yang lain, seperti istri dan anak juga turut membantu. Kegiatan

pedagang dan buruh bangunan ada yang dilakukan musiman namun ada

pula yang dilakukan secara permanen. Pada saat musim kemarau disaat

kegiatan dibidang pertanian tidak dapat diandalkan, masyarakat yang

mempunyai keahlian sebagai buruh bangunan merantau ke luar daerah

Page 21: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

10

untuk mendapatkan pekerjaan sedangkan bila telah memasuki musim

penghujan pelaku profesi ini pulang ke desanya untuk mengerjakan di

bidang pertanian. Namun ada pula yang pekerjaan tersebut menjadi

pekerjaan utama sehingga dilakukan secara permanen, untuk pulang ke

desa biasanya dilakukan tiap selesainya suatu proyek bangunan. Begitu

pula yang terjadi terhadap mata pencaharian pedagang.

Mata pencaharian di sektor kehutanan: Hasil sumberdaya alam yang terlahir di

sekitar kawasan hutan yang dapat dimanfaatkan oleh semua makhluk hidup yang

berada di dalamnya. Seluruhnya menjadi sebuah kesatuan yang saling

berkesinambungan dan selaras dengan alam.

Strategi Nafkah

Definisi Strategi Nafkah

Dharmawan AH (2007) memberikan penjelasan bahwa pengertian strategi

nafkah lebih mengarah pada pengertian livelihood strategy (strategi penghidupan)

daripada means of living strategy (strategi cara hidup). Pengertian livelihood

strategy yang disamakan pengertiannya menjadi strategi nafkah (dalam bahasa

Indonesia), sesungguhnya dimaknai lebih besar daripada sekedar “aktivitas

mencari nafkah”belaka. Strategi nafkah bisa didekati melalui berbagai cara atau

manipulasi aksi individual maupun kolektif. Strategi nafkah bisa berarti cara

bertahan hidup atau memperbaiki status kehidupan. Strategi nafkah adalah taktik

dan aksi yang dibangun oleh individu maupun kelompok dalam rangka

mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi

infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku. Lebih

lanjut, menurut Scoones (1998) terdapat tiga akar dari strategi nafkah untuk

membedakan perbedaan keluaran. Tiga strategi nafkah itu adalah:

a) Intensifikasi pertanian: memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan

efisien, seperti dengan menambah tenaga kerja, maupun memperluas lahan

garapan (ekstensifikasi pertanian)

b) Diversifikasi nafkah: atau pola nafkah ganda yang dilakukan dengan

menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan

lain selain pertanian untuk meningkatkan pendapatan. Atau dengan

mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu dan anak) untuk ikut

bekerja, selain pertanian, dan memperoleh pendapatan.

c) Migrasi: antara penyebab migrasi efek investasi ulang pertanian, dan pola

perpindahan.

Menurut Turasih (2011) strategi nafkah terdiri atas strategi nafkah

pertanian dan strategi nafkah non-pertanian, strategi nafkah pertanian terdiri atas :

(1) sektor on farm dan (2) sektor off farm. Ellis (2000) dalam Turasih (2011)

menjelaskan bahwa sektor on farm merujuk pada nafkah bersumber dari hasil

pertanian dalam arti luas seperti pertanian perkebunan, peternakan, perikanan, dll.

Selain sektor on farm, sebagian petani juga menambah penghasilannya dari sektor

off farm. Menurut Ellis (2000) dalam Turasih (2011) bentuk strategi off farm ini

Page 22: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

11

masih tergolong pada sektor pertanian, hanya saja pendapatan yang diperoleh

berasal dari upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil, kontak upah tenaga

kerja non upah, dan lain-lain.

Menurut Dharmawan AH (2007) secara umum strategi nafkah masyarakat

pedesaan diasumsikan sebagai berikut: (1) Masyarakat pedesaan masih memegang

kebudayaan mereka, termasuk mekanisme pertahanan dan peraturan; (2) Jejaring

sosial lokal berfungsi dengan baik untuk memenuhi perlindungan sosial dan

keamanan nafkah mereka.

Sumber Nafkah

Scoones (1998) melihat bahwa strategi nafkah dapat dilakukan mengan

memanfaatkan sumber nafkah, ataupun mengkombinasikan penggunaan sumber

nafkah. Sumber nafkah dapat dilihat sebagai „modal‟ dasar, strategi nafkah yang

dibentuk nantinya berbeda-beda sesuai dengan nafkah yang dimiliki. Adapun lima

sumber daya tersebut adalah :

a) Modal alami: serupa sumber daya alam, (seperti tanah, air, udara, dan

lainnya) dan jasa lingkungan (siklus hidrologi, penyerapan polusi, dll)

dimana nafkah diperoleh dari manfaat yang dihasilkan dari sumber

daya.

b) Modal finansial: modal dasar (pinjaman, simpanan, dan semua aset

ekonomi termasuk infrastruktur dasar dan teknologi dan perlengkapan

produksi) yang sangat penting untuk menjalankan strategi nafkah.

c) Modal Fisik (Physical Capital) Modal fisik merupakan modal yang

berbentuk infrastruktur dasar seperti saluran irigasi, jalan, gedung, dan

lain sebagainya.

d) Human Capital: keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan untuk

bekerja, kesehatan, dan kemampuan fisik sangat penting untuk

menjalankan strateg nafkah yang berbeda.

e) Modal sosial: merupakan sumber daya sosial (jaringan, pernyataan

sosial, hubungan sosial, afiliasi, asosiasi) yang orang miliki saat

menjalankan strategi nafkah. Strategi nafkah yang berbeda

membutuhkan aksi koordinasi dengan masyarakat lainnya.

Akses

Pengertian Akses

Ribot dan Peluso (2003) mendefinisikan akses sebagai kemampuan untuk

memperoleh manfaat dari sesuatu. Konsep akses ini erat kaitannya dengan bundle

of power. Akses berfokus kepada kemampuan, akses mencakup jangkauan yang

lebih luas dari hubungan sosial yang membatasi atau mengijinkan mengambil

manfaat dari penggunaan sumber daya dibanding hubungan hak milik itu sendiri.

Akses berfokus kepada siapa yang memanfaatkan (dan siapa yang tidak

Page 23: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

12

memanfaatkan) sesuatu, bagaimana caranya, dan kapan (dalam kondisi apa).

Perhatian akses lebih ke arah berbagai cara orang mendapatkan manfaat dari

sumber daya, terkait dengan hak kepemilikan namun hal tersebut tidak

membatasi. Analisa akses membantu untuk mengerti mengapa beberapa orang

atau lembaga dapat menggunakan sumber daya, terlepas dari apakah mereka

memiliki hak terhadap sumber daya tersebut. Akses selalu berubah, tergantung

dari posisi dan kekuasaan seseorang atau kelompok dalam beragam hubungan

sosial.

Hak milik adalah hak untuk mengambil manfaat dari sesuatu. MacPherson

(1978) dalam Ribot dan Peluso (2003) mengkarakteristikan hak milik sebagai hak

untuk mengambil manfaat dari sesuatu lebih karena klaim paksaan. Hal ini

kaitannya dengan bundle of right. Hak milik, umumnya menimbulkan pernyataan

dan dukungan sosial atau hak, dimana pernyataan tersebut berdasarkan hukum,

budaya atau perjanjian. Manfaat biasanya dilihat dari akses serta hak. Menurut

Marx, hak milik yang diganti menjadi state property, atau milik negara

menyebabkan penggunaan sumber daya alam oleh masyarakat dianggap

pencurian. Hak milik dan tenurial hanya menjelaskan hubungan dari kepemilikan

sumber daya dan lembaga mana yang arusnya memberikan sangsi kontrol.

Perubahan Penguasaan Sumberdaya Hutan

Menurut Adiwibowo (2009) perubahan rezim dari de-facto customary

property regime (hutan adat) ke de-jure state common property regime (hutan

negara) membawa pengaruh besar pada tatanan kehidupan masyarakat sekitar

hutan. Perubahan rejim pengelolaan kawasan hutan akan mengubah struktur akses

dan kontrol masyarakat terhadap sumber daya hutan yang telah terjalin lama.

Menurut undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria atau yang sekarang dikenal dengan UUPA, seluruh bumi,

air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah

bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional,

dan hubungan ini bersifat abadi. Dalam UUPA dimuat empat macam hak untuk

memakai suatu bidang tanah tertentu untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu,

yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Dalam

wilayah taman nasional hak-hak agraria yang dapat diijinkan adalah Hak

Memungut Hasil Hutan dan Hak Pakai namun dengan lingkup terbatas.

Menurut Adiwibowo (2009) terdapat lima tipe akses pemukiman dan

pertanian di dalam dan sekitar taman nasional. Kelima akses permukiman dan

pertanian tersebut direspon berbeda oleh Balai taman nasional, respon tersebut

adalah:

a) Pengakuan hutan adat : Hutan yang berada di luar batas taman nasional

diakui sebagai hutan adat.

b) Akses ke taman nasional diakui oleh Balai Taman Nasional karena

terletak dalam wilayah adat, atau karena sejak lama dikelola melalui

kearifan lokal dan diatur oleh tatanan hukum. Batas desa, pola

peggunaan lahan, dan batas wilayah adat ditentukan secara rinci.

Page 24: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

13

c) Lahan pertanian di dalam taman nasional dapat diakses selama tidak

menambah luas lahan.

d) Pembinaan daerah penyangga

e) Perpindahan penduduk

f) Penindakan dan pengendalian terhadap warga yang membuka lahan,

ilegal logging, perburuan satwa liar di kawasan

g) Koordinasi

Dengan respon Balai Taman Nasional terhadap masyarakat, hanya sedikit

respon yang dianggap menguntungkan masyarakat, karena posisi tawar

masyarakat yang kurang kuat. Balai Taman Nasional bertugas untuk

mengendalikan akses masyarakat ke taman nasional dengan menegaskan batas

yang jelas antara kawasan konservasi dengan batas administrasi desa. Masyarakat

yang memiliki lahan di dalam kawasan masih dapat mengakses namun tidak dapat

memperluas lahan. Hal ini dibuat untuk mengendalikan dan membatasi aktivitas

masyarakat di dalam konservasi dan menjaga luasan kawasan taman nasional.

Common Property Right

Common-pool resources atau common property resource menurut Ostrom

(1990) dalam PKSDA (2014) adalah suatu jenis barang yang berwujud sebagai

sumber daya alam seperti hutan, daerah tangkap ikan, atau sumber daya buatan

manusia seperti irigasi, yang sifatnya:

a) Substractibility atau rivalness di dalam pemanfaatan

b) Tingginya biaya (cost) untuk membatasi akses pihak lain menjadi

pemanfaat (beneficiaries)

Hak Properti menurut Denison dan Robyn (2012) adalah hak memiliki

dan memetik manfaat sumber daya. Hak properti ada berbagai macam dimana

masing-masing didefinisikan, dinegosiasikan, dipantau, ditegakan oleh kebijakan,

hukum, dan peraturan (institusi).

Terdapat empat jenis property-rights regimes menurut Broomley (1991);

Feeny et al (1990); Lynch & Harwell (2002) dalam PKSDA (2014), yaitu:

a) Properti akses terbuka (open access property): Properti tidak dimiliki

oleh siapapun. Properti bebas diakses oleh siapapun (non-cludable) &

diperoleh dengan bersaing. Tidak ada regulasi yang mengatur, atau

regulasi tidak efektif mengatur, atau hak-hak pemilikan (property

right) tidak didefinisikan dengan jelas.

b) Properti privat (private property): Properti bersifat excludable dan

diperoleh secara bersaing (rivalry). Akses, eksklusi, dan pengelolaan

properti dikontrol oleh individu, privat, atau korporasi (group of legal

owners). Manfaat dan biaya ditanggung sendiri oleh pemilik.

c) Properti bersama (common property): properti dimiliki oleh

sekelompok orang atau komunitas. Akses, pemanfaatan, dan

mekanisme eksklusi dikontrol bersama oleh kelompok komunitas

bersangkutan. Common property dapat dicegah menjadi open acess

Page 25: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

14

property karena pemilik mempunyai kemampuan mencegah konflik

melalui penegakan aturan dan berbagi manfaat bersama.

d) Properti negara (state property): Properti dimiliki oleh semua orang

dalam suatu negara juga disebut sebagai pulic property dimana akses

dan pemanfaatannya dikontrol oleh negara (pemerintah).

Kerangka Pemikiran

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) mengalami perluasan

kawasan hutan konservasi tentu mempengaruhi berbagai aspek kehidupan warga

Kampung Sukagalih Desa Cipeuteuy yang menggantungkan hidupnya pada hasil

hutan atau sumberdaya hutan. Kampung Sukagalih yang dahulu tinggal dan

memiliki lahan garapan di dalam kawasan hutan, sekarang dipindahkan ke lahan

kosong di luar kawasan hutan. Munculnya keputusan pemerintah mengenai status

lahan, yang awalnya dimanfaatkan oleh masyarakat berubah menjadi zona

konservasi dan dilindungi.

Warga Sukagalih mayoritas tingkat pendidikannya hanya sampai Sekolah

Dasar hanya mengetahui bahwa hutan yang telah lama mereka tempati adalah

tempat mereka untuk hidup dan bergantung pada sumberdaya alam yang ada

disekitarnya, merasa hak-haknya direnggut oleh keputusan tersebut, karena

mereka yang selama ini memiliki rumah untuk tinggal di dalam kawasan,

mengelola, memanfaatkan lahan tersebut, dan memiliki tempat makam para nenek

moyang menjadi kehilangan lahan garapannya.

Perubahan pada status lahan taman nasional menjadi zona konservasi

membuat mereka tidak dapat terlalu bergantung dengan sumberdaya hutan, yang

berimbas pada variasi penerapan strategi nafkah yang dijalankan oleh

rumahtangga petani yang dapat dilihat dari jenis mata pencaharian, tingkat

pendapatan, dan tingkat penggunaan livelihood asset dari Scoones (1998) guna

menerapkan strategi nafkah yang cocok dan menguntungkan bagi mereka yang

berupa lima modal sumberdaya dimanfaatkan seefektif mungkin.

Penerapan strategi nafkah tersebut bisa berupa rekayasa sumber nafkah

pertanian, diversifikasi nafkah, rekayasa spasial (migrasi), dan ekstraksi

sumberdaya. Semua strategi nafkah dijalankan oleh warga Kampung Sukagalih

demi memperjuangkan kehidup mereka. Strategi nafkah rumah tangga yang

dilakukan tentunya beragam sesuai cara mereka untuk bertahan hidup. Secara

ringkas, kerangka pemikiran disajikan pada gambar di bawah ini

Page 26: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

15

Perluasan Taman Nasional

Gunung Halimun Salak

Perubahan Penguasaan dan

Pemanfaatan Asset

Perubahan strategi nafkah

Diversifikasi nafkah

Migrasi

Intensifikasi Pertanian

Perubahan Pendapatan

Gambar 1 Kerangka Pemikiran

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dibuat, maka hipotesis yang

dapat ditarik adalah:

1. Perluasan TNGHS membawa pengaruh kepada perubahan struktur akses

dan strategi nafkah masyarakat Kampung Sukagalih.

Definisi Operasional

1. Karakteristik rumahtangga, yaitu ciri-ciri yang dimiliki oleh rumahtangga

masyarakat Kampung Sukagalih. Karakteristik rumahtangga pertanian

diukur:

a. Jumlah tanggungan keluarga adalah jumlah anggota rumahtangga yang

menjadi tanggungan hidup keluarga, dalam hal ini termasuk dengan

kepala rumahtangga.

b. Umur adalah selisih antara tahun responden dilahirkan hingga tahun

pada saat dilaksanakan penelitian.

c. Tingkat pendidikan adalah jenis pendidikan/sekolah tertinggi yang

pernah diikuti oleh responden, yang dibedakan ke dalam kategori.

Page 27: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

16

d. Jumlah tanggungan adalah banyaknya orang yang kehidupannya masih

bergantung pada kepala keluarga tersebut terutama terkait dengan

ekonomi, termasuk dirinya sendiri.

2. Sumber nafkah dikategorikan lima modal sumberdaya tersebut adalah :

a. Modal manusia dapat dilihat dari pendidikan dan penggunaan tenaga

kerja, apakah dari keluarga atau luar keluarga.

b. Modal fisik dapat dilihat dari kepemilikan aset produksi, pemilikan

rumah dan barang berharga lain, serta transportasi.

c. Modal finansial dapat dilihat dari kepemilikan aset, pemilikan rumah

dan barang berharga lain, serta transportasi.

d. Modal sosial dapat dilihat dari jaringan kerja (networking) dengan

penyedia pinjaman modal usaha, penyedia input produksi, dan

distributor hasil usaha.

e. Modal sumberdaya alam dapat dilihat dari keadaan sumberdaya tanah,

kayu-kayuan, air, dan hewan buruan dalam hutan.

3. Strategi nafkah yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan

rumahtangganya:

a. Intensifikasi pertanian: memanfaatkan sektor pertanian secara efektif

dan efisien, seperti dengan menambah tenaga kerja. Ekstensifikasi

pertanian: memperluas lahan garapan.

b. Diversifikasi nafkah: atau pola nafkah ganda yang dilakukan dengan

menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari

pekerjaan lain selain pertanian untuk meningkatkan pendapatan.

Seperti: 1) kiriman uang dari pekerjaan di luar desa; 2) membuka

usaha sendiri bukan bidang pertanian; 3) upah tenaga kerja di dalam

pedesaan bukan bidang pertanian.

c. Migrasi: mencari pekerjaan di luar daerah maupun luar negri

Page 28: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

17

PENDEKATAN LAPANG

Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan termasuk ke dalam penelitian deskriptif dan

penelitian eksplanatori. Menurut Bungin (2005), penelitian deskriptif

dimaksudkan hanya untuk menggambarkan, menjelaskan, atau meringkaskan

berbagai kondisi, situasi, fenomena atau berbagai variabel penelitian menurut

kejadian sebagaimana adanya yang dapat dipotret, diwawancara, diobservasi, serta

yang dapat diungkapkan melalui bahan dokumenter. Kemudian Bungin

menjelaskan mengenai penelitian eksplanatori yang menjelaskan hubungan

berbagai variabel yang timbul di masyarakat dengan menggunakan hipotesis yang

diuji secara statistik. Pada umumnya, penelitian deskriptif dilakukan untuk

memperkuat hasil yang didapatkan dari penelitian eksplanatori.

Penelitian ini menggunakan pendekatan pengumpulan data kuantitatif

dengan didukung pengumpulan data kualitatif untuk memperkaya data dan

informasi yang diperoleh. Pengumpulan data kuantitatif menggunakan kuesioner

yang telah dibuat sehingga dapat memperoleh data dan informasi yang diperlukan

dari responden. Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan cara wawanacara

mendalam, observasi, dan studi dokumentasi terkait. Selain itu, untuk

memperkuat data kuantitatif maka dalam kuesioner ditambahkan slip. Data

dikumpulkan untuk menjelaskan atau menggambarkan mengenai hal yang terkait

dan mendukung dalam penelitian yaitu mengenai strategi nafkah yang dilakukan

masyarakat, serta cara masyarakat menjaga dan melestarikan hutan sebelum dan

sesudah konservasi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak daerah Kampung

Sukagalih, Kecamatan kabandungan Sukabumi.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kampung Sukagalih yang berada di sekitar Taman

Nasional Gunung Halimun-Salak. Beberapa alasan dibalik pemilihan desa ini

sebagai lokasi penelitian adalah: (1) Wilayah Kampung Sukagalih merupakan

salah satu kampung yang berada di pinggir kawasan hutan Taman Nasional

Gunung Halimun Salak dan mengalami perubahan dalam status lahan dan batas-

batas wilayah yang dapat diakses oleh masyarakat ketika terjadi perluasan areal

TNGHS, dan (2) Penduduk di Kampung Sukagalih bergantung kepada

sumberdaya hutan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak untuk mencari

nafkah. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April – Mei Tahun 2014.

Page 29: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

18

Teknik Penentuan Informan dan Responden

Sumber data dalam penelitian ini adalah responden dan informan. Unit

analisa dalam penelitian ini adalah rumahtangga yang salah satu anggota

rumahtangganya bekerja sebagai petani. Hal ini dikarenakan rumahtangga

memiliki peranan penting dalam pengambilan keputusan dan pengalokasian

sumberdaya yang berkaitan dengan penerapan bentuk strategi nafkah yang

digunakan. Penelitian ini menggunakan metode sensus yaitu mengambil seluruh

populasi responden, sebanyak 40 kepala keluarga.

Responden adalah pihak yang memberikan keterangan mengenai dirinya

dan keluarganya, sedangkan informan adalah orang yang mampu untuk

memberikan keterangan mengenai dirinya sendiri, keluarga, pihak lain, atau

lingkungannya. Keberadaan informan ini menjadi penting karena keterangan yang

ia miliki tersebut. Orang-orang yang dijadikan sebagai informan dalam penelitian

ini adalah Pihak Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Bapak Soma sebagai

ketua kelompok Kampung Sukagalih, Bapak Rokip sebagai sekretaris dan Bapak

Agus Mulyana dari Center for International Forestry Research atau dalam bahasa

Indonesia Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) yang membantu

memberikan informasi.

Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam peneilitian ini terdiri dari data primer dan

sekunder. Data primer didapatkan langsung di lapangan dengan cara observasi,

kuesioner, serta wawancara mendalam yang dilakukan langsung kepada

responden maupun informan. Data sekunder diperoleh baik dari dokumen-

dokumen tertulis di kantor desa dan kantor TNGHS. Data sekunder berupa

dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian ini, seperti dokumen sejarah

TNGHS, data jumlah penduduk Kampung Sukagalih Desa Cipeteuy Kecamatan

Kabandungan, data lahan yang dimiliki masyarakat dan TNGHS, data kegiatan

masyarakat Kampung Sukagalih dalam melakukan strategi nafkah, dan data yang

mendukung dalam penelitian yang akan dibahas. Data sekunder juga diperoleh

melalui berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas

pada penelitian ini, yaitu buku, laporan hasil penelitian, artikel, dan sebagainya.

Populasi dalam penelitian ini yaitu masyarakat (petani) di Kampung Sukagalih.

Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh, baik primer maupun sekunder, diolah menggunakan

tabel frekuensi dan Microsoft Excel 2007. Data hasil kuesioner dicatat apa adanya

dan dilakukan analisis serta interpretasi untuk menarik kesimpulan tentang hasil

Page 30: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

19

kuesioner. Data mengenai tingkat pendapatan diolah dengan cara pengkategorian

(pertanian dan non pertanian) dan dicari rata-rata pendapatannya per bulan. Data

kualitatif sendiri diolah melalui tiga tahap analisis data kualitatif, yaitu reduksi

data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan

tujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, mengeliminasi data-

data yang tidak diperlukan sehingga dapat langsung menjawab perumusan

masalah. Kemudian data disajikan dalam bentuk teks naratif dan tabel.

Setelahnya, baru ditarik kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan

penelitian.

Page 31: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

20

Page 32: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

21

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN

KARAKTERISTIK RESPONDEN

Kondisi Umum Desa Penelitian

Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan merupakan

desa yang terletak di sekitar Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

(TNGHS). Secara administratif Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy terletak di

Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Desa

Cipeuteuy memiliki keunggulan dari desa lain yang terletak di sekitar kawasan,

yaitu karena Kampung Sukagalih tidak hanya terletak di sekitar kawasan namun

berbatasan langsung dengan Kawasan TNGHS. Beberapa desa yang terletak di

sekitar kawasan yaitu Desa Purwabakti di sebelah utara, sebelah selatan Desa

Cimaherang, sebelah barat Desa Malasari dan sebelah timur Desa Kabandungan.

Desa Cipeuteuy memiliki luas wilayah 3 746 6 ha dengan ketinggian

tempat 750-850 m dpl. Kondisi lingkungan di Desa Cipeuteuy masih alami dan

memiliki banyak lahan persawahan dengan tingkat curah hujan 2 600 mm per

tahun serta suhu udara rata-rata 30 derajat celcius. Jarak Desa Cipeuteuy dari

kantor desa sekitar 5 km, jarak dari ibukota kabupaten sekitar 56 km, jarak dari

ibukota provinsi sekitar 135 km dan jarak dari ibukota negara sekitar 106 km.

Kondisi jalan di Desa Cipeuteuy yaitu jalan tanah dan bebatuan yang sedikit sulit

ditempuh karena kendaraan menuju desa tersebut masih terbatas.

Menurut data profil desa tahun 2011, menunjukkan jumlah penduduk Desa

Cipeuteuy sebanyak 6 842 jiwa yang terdiri dari 3 503 laki-laki dan 3 339

perempuan. Jumlah kepala keluarga yang tercatat sebanyak 1 777 kepala keluarga.

Kepadatan penduduk mencapai 562 jiwa/km². Jumlah kepala keluarga Kampung

Sukagalih sendiri yang tercatat sebanyak 40 kepala keluarga.

Gambar 2 Kampung Sukagalih Desa Cipeuteuy

Page 33: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

22

Karakteristik Responden Penelitian

Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan terakhir menunjukan pendidikan formal yang pernah

ditempuh oleh seseorang. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap jenis

pekerjaan yang dimiliki. Jenis pekerjaan mempengaruhi jumlah pendapatan yang

kemudian jumlah pendapatan berpengaruh terhadap kesejahteraan seseorang.

Kampung Sukagalih dan Desa Cipeuteuy sebagian besar memiliki latar belakang

pendidikan hanya sampai sekolah dasar. Alasannya, sebagian besar penduduk dari

golongan kurang mampu, biaya sekolah dan keberadaan sekolah yang letaknya

jauh menjadi kendala mereka untuk tidak meneruskan sekolah pada masa itu.

Kategori tingkat pendidikan penduduk dibagi menjadi tidak tamat SD,SD,SMP,

SMA dan Madrasah.

Tabel 1 Persentase tingkat pendidikan masyarakat di Desa Cipeuteuy

tahun 2011

Tingkat pendidikan Persentase (%)

Tidak Tamat SD 4

Sekolah Dasar (SD) 61

Sekolah Menengah Pertama (SMP) 16

Sekolah Menengah Atas (SMA) 12

Madrasah 7

Total 100

Sumber: Profil Desa Cipeuteuy 2011 Catatan: Peneliti tidak memperoleh data real jumlah penduduk Desa Cipeuteuy menurut tingkat pendidikan

Tabel 1 memperlihatkan bahwa rata-rata pendidikan di Desa Cipeuteuy

hanya sampai sekolah dasar yaitu sebesar 61 persen. Memperlihatkan masyarakat

Desa Cipeuteuy lulusan SMP sebesar 16 persen dan tidak tamat SD sebanyak 4

persen. Komposisi penduduk berdasarkan jenjang pendidikan menggambarkan

tingkat sumberdaya manusia yang berkualitas sehingga menunjukkan tingkat

kemajuan suatu wilayah dalam pembangunan.

Page 34: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

23

Tabel 2 Jumlah dan persentase tingkat pendidikan penduduk di Kampung

Sukagalih tahun 2014

Tingkat pendidikan Jumlah (n) Persentase (%)

Tidak Tamat SD 4 10

Sekolah Dasar (SD) 30 75

Sekolah Menengah Pertama

(SMP)

6 15

Sekolah Menengah Atas

(SMA)

0 0

Madrasah 0 0

Total 40 100

Berbeda dengan Tabel 1, Tabel 2 hanya menjelaskan persentase penduduk

di Kampung Sukagalih. Memperlihatkan bahwa rata-rata pendidikan di Kampung

Sukagalih hanya sampai sekolah dasar yaitu sebesar 75 persen. Penduduk lulusan

SMP sebesar 15 persen atau 6 orang dan tidak tamat SD sebanyak 10 persen atau

4 orang. Meskipun sebagian besar didominasikan pada tingkat pendidikan tamatan

SD, penduduk Kampung Sukagalih sudah menyadari akan pentingnya pendidikan.

Struktur Mata Pencaharian

Berdasarkan informasi yang dapat peneliti simpulkan dari informan walau

hanya tersirat, ada beberapa hal yang menjadi dasar status sosial dalam

masyarakat Kampung Sukagalih, yaitu penghargaan yang diberikan berdasarkan

pekerjaan dan penghargaan yang diberikan berdasarkan pendidikan formal atau

informal yang dimiliki. Warga akan dianggap mampu jika telah mengganti lantai

rumah dengan kramik, memiliki kamar mandi di dalam rumah, memiliki

kendaraan bermotor terutama mobil, memiliki pertanian yang luas dan milik

sendiri, memiliki rumah yang bagus atau peralatan elektronik. Kemampuan

menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi atau kemampuan ilmu agama

menempatkan seseorang pada kelas sosial yang tinggi.

“Penduduk Desa Cipeuteuy memang lebih banyak hanya lulusan SD

bahkan ada beberapa orangtua yang tidak tamat SD, tetapi hal itu

tidak membuat para orangtua untuk mengharuskan anak-anaknya

meneruskan jejak mereka. Para orangtua memiliki cita-cita untuk

menyekolahkan anak-anak mereka kejenjang pendidikan yang tinggi,

terlihat dari sudah banyaknya anak petani yang bersekolah bahkan

melanjutkan ke jenjang lebih tinggi lagi,” Ujar sekretaris desa, Desa

Cipeuteuy pada tanggal 17 April

Sebagian besar warga Sukagalih bermata pencaharian sebagai petani,

hanya sekitar empat orang yang bekerja diluar bidang pertanian. Warga Sukagalih

memiliki lahan-lahan untuk mereka olah sebagai sumber nafkah. Lahan yang

diolah oleh warga memiliki status yang beragam, baik itu lahan milik sendiri,

lahan dari taman nasional yang dahulu pernah diolah oleh Perhutani, atau hak

Page 35: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

24

guna usaha (HGU) bekas lahan perusahaan perkebunan. Selain bertani warga

Sukagalih memiliki pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan rumah

tangga. Semua kepala keluarga warga Sukagalih memiliki ternak kambing yang

diberi bantuan sepasang ekor kambing oleh dinas provinsi dan pemda, kemudian

mereka kembangkan dan dijadikan pekerjaan sampingan mereka.

Tabel 3 Persentase jumlah penduduk menurut jenis mata pencaharian di Desa

Cipeuteuy tahun 2011

Mata pencaharian Jumlah penduduk (%)

PNS 0,3

Wiraswasta 15,7

Petani dan buruh tani 62,8

Jasa dan pertukangan 10,4

Karyawan swasta 10,5

Pensiunan 0,2

Total 100

Sumber: Profil Desa Cipeuteuy tahun 2011 Catatan: Peneliti tidak memperoleh data real jumlah penduduk Desa Cipeuteuy menurut mata pencaharian

Dari Tabel 3 di atas dapat dijelaskan bahwa kenyataannya warga bermata

pencaharian sebagai petani atau buruh tani yaitu 62,8 persen sekitar 1.256 orang.

Tingginya mata pencaharian sebagai petani dan buruh tani dipengaruhi oleh

tingkat pendidikan warga yang rata-rata hanya lulusan sekolah dasar, sehingga

untuk menjangkau pekerjaan seperti PNS atau karyawan swasta sungguh sulit.

Karakteristik Sistem Pertanian

Jenis dan Orientasi Pertanian

Jenis pertanian yang dilakukan oleh warga Kampung Sukagalih yaitu

pertanian sawah dan ladang. Sebagian besar warga menjadikan lahan pertaniannya

sebagai ladang untuk menanam sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan

dan tidak lupa menanam pohon seperti sengon, ganitri, raksamala, puspa dan lain-

lain untuk tabungan masa depan mereka. Warga menanam padi, durian, kelapa,

alpuket, dan coklat untuk tujuan konsumsi rumahtangga atau dengan kata lain

pertanian subsisten. Selain itu, warga menanam sayuran-sayuran seperti cabai,

timun, kacang panjang, kubis, kacang-kacangan dan palawija memang sengaja

untuk dijual guna memenuhi kebutuhan sehari-hari, sisa dari yang mereka jual

baru mereka konsumsi atau dibagi-bagikan ke tetangga.

Komoditas utama yang menjadi pilihan masyarakat untuk ditanam di lahan

pertaniannya adalah padi, sayur-sayuran dan pohon kayu. Hampir seluruh warga

bertani dengan menanam tanaman cabai. Hal ini karena iklim dan cuaca di areal

lahan pertanian mereka sangat cocok. Selain itu, ada juga beberapa petani yang

menjadikan lahannya untuk menanam lebih dari satu jenis tanaman. Seperti

Page 36: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

25

sambil menaman timun, mereka menam cabai dan daun bawang, atau dilahan

yang masih kosong akan mereka manfaatkan untuk menanam kacang-kacangan,

kelapa, alpuket, durian, jeruk, coklat, dan pohon kayu, semua itu demi

meningkatkan perekonomian mereka dan mensejahterakan kehidupan warga

Akses Modal Usaha

Modal awal tentu mempengaruhi cara menjalankan kegiatan pertanian,

jika warga tidak memiliki modal maka mereka tak akan bisa bertani. Akses modal

usaha di kampung ini cukup mudah, karena terdapat banyak tengkulak-tengkulak

yang menawarkan modal usaha kepada para petani. Rata-rata tengkulak hanya

menawarkan modal usaha berupa bahan dan alat pertanian saja, mereka tidak

menawarkan jasa peminjaman modal dalam bentuk uang. Untuk modal berupa

uang, warga lebih sering menjual ternak kambing mereka daripada harus

meminjam ke tetangga, bank atau bank keliling. Karena, aset yang sangat

berharga yang dimiliki warga Sukagalih, selain hasil pertaniannya yang subur

mereka juga memiliki ternak kambing yang berjumlah lebih banyak daripada

penduduknya.

Ikhtisar

Mata pencaharian masyarakat Desa Cipeuteuy mayoritas berprofesi

sebagai petani atau buruh tani yaitu sebesar 62,8 persen dan tingkat pendidikan

terakhir rata-rata yaitu sekolah dasar (SD). Berdasarkan hasil wawancara dengan

warga di Kampung Sukagalih sendiri yang berjumlah 40 orang, terlihat bahwa

tingkat pendidikan SD yaitu sebesar 75 persen atau 30 orang. Tingkat SMP

sebesar 15 persen atau 6 orang dan SMA sebesar 0 persen. Sisanya penduduk

yang tidak tamat SD sebesar 10 persen atau hanya 4 orang. Namun secara

keseluruhan data dari kantor desa tingkat pendidikan SD yaitu sebesar 61 persen.

Komoditas utama yang menjadi pilihan masyarakat untuk ditanam di lahan

pertaniannya adalah padi, sayur-sayuran dan pohon kayu, berdasarkan

karakteristik sistem pertaniannya, pertanian yang dilakukan oleh petani Sukagali

yaitu petani padi, petani sayur, petani kacang-kacangan, palawija dan buah.

Namun petani Sukagalih lebih terfokus pada petani sayur untuk diproduksi yang

artinya memaksimalkan hasil produksi karena tujuan ekonomi. Hasil panen

sayuran dijual untuk memperoleh pendapatan guna memenuhi kebutuhan sehari-

hari. Berbeda dengan petani padi, kacang-kacangan, palawija dan buah

berorientasi pada konsumsi karena hasil panen lebih diutamakan untuk kebutuhan

konsumsi sehari-hari, apabila ada sisanya baru kemudian mereka jual. Jenis

tanaman yang biasanya ditanam diantaranya cabai, kacang panjang, kacang

merah, daun bawang, timun, kubis, alpuket, durian, pisang, nagka, kopi, dan

pohon kayu seperti sengon dan lain-lain. Para petani memilih sistem penanaman

yang mudah, waktu panen yang singkat, serta harga jual yang cukup tinggi.

Akses modal usaha para petani Sukagalih merupakan modal awal yang

sangat penting dibutuhkan oleh para petani. Biasanya para petani meminjam

Page 37: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

26

modal usaha untuk tani melalui para tengkulak yang datang ke Kampung

Sukagalih untuk menawarkan bantuan. Namun bantuan tersebut tidak berupa

uang, melainkan berupa bahan dan alat-alat untuk bertani. Untuk modal berupa

uang para petani lebih mengandalkan ternak kambingnya untuk dijual.

Page 38: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

27

DINAMIKA AKSES MASYARAKAT TERHADAP

SUMBERDAYA HUTAN

Riwayat Penetapan TNGHS

Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan wilayah

yang mempunyai karakteristik kawasan pegunungan yang masih memiliki hutan

hujan tropis di Jawa. Tipe hutan alam di kawasan TNGHS dibagi menjadi hutan

hujan dataran rendah (100-1000 m dpl) yang didomunasi oleh Zona Colin (500-

1000 m dpl), hutan hujan pegunungan bahwah (1000-1500 m dpl), dan hutan

hujan pegunungan tengah (1500-1929 m dpl). Pada awalnya TNGHS merupakan

kawasan hutan lindung dengan luas 39.941 ha selama periode 1924-1934 masa

pemerintahan Hindia-Belanda. Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1935

mengeluarkan kebijakan mengenai perubahan kawasan tersebut untuk menjadi

cagar alam dengan Cagar Alam Gunung Halimun yang dikelola oleh Djawatan

Kehutanan Jawa Barat (Jabar).

Pada tahun 1977 Gubernur Jabar menyetujui usulan bahwa seluruh hutan

lindung di wilayah Jabar diserahkan kepada PHP (Pelestarian Hutan dan

Perlindungan Alam). Usulan mengenai perluasan kawasan cagar alam melebihi 40

000 ha diusulkan oleh PHPA, namun sebagian besar hutan telah dibuka menjadi

lahan pertanian dan pemukiman. Sebagian hutan produksi juga masih merupakan

hutan primer. Tahun 1978 kawasan Cagar Alam Gunung Halimun dikelola oleh

Perum Perhutani dan tahun 1979 PHPA juga mulai mengelola kawasan ini yang

sudah diperluas menjadi 40 000 ha. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri

Kehutanan No. 282/Kpts-II/1922 tanggal 28 Februari 1992 Kawasan Cagar Alam

Halimun ditetapkan menjadi salah satu taman nasional di Indonesia dengan nama

Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) di bawah pengelolaan Taman

Nasional Gunung Gede pangrango (TNGGP). Pada tanggal 23 Maret 1997

pengelolaan TNGH dipegang oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH, Dirjen

PHKA dan Departemen Kehutanan. Melihat kondisi sumberdaya alam hutan yang

dari waktu ke waktu semakin terancam kelestariannya dan adanya dorongan dari

pihak-pihak yang peduli akan konservasi, kawasan TNGH diperluas dengan

kawasan hutan Gunung Salak, Gunung Endut dan kawasan sekitarnya yang

dulunya berstatus hutan produksi terbatas dan hutan lindung yang dikelola oleh

Perum Perhutani, dialih fungsi menjadi hutan konservasi. Melalu Surat Keputusan

Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 pada tanggal 10 Juni 2003, kawasan

TNGH diperluas dengan luas total 113.357 ha dan bernama resmi Taman

Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

Page 39: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

28

Tabel 4 Riwayat pendirian dan penetapan TNGHS

Periode

tahun

Keterangan

1924-1934 Status sebagai hutan lindung di bawah pemerintahan Belanda

dengan luas mencakup 39.941ha

1935-1961 Status cagar alam di bawah pengelolaan pemerintah Belanda dan

Republik Indonesia/Djawatan Kehutanan Jawa Barat

1961-1978 Kemudian status cagar alam berubah di bawah pengelolaan Perum

Perhutani Jawa Barat

1979-1990 Status cagar alam di bawah pengelolaan Balai Konservasi

Sumberdaya Alam III, yaitu Sub Balai Konservasi Sumberdaya

Alam Jawa Barat I

1990-1992 Status cagar alam dikelola oleh Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango

1992-1997 Status taman nasional di bawah pengelolaan Taman Nasional

Gunung Gede Pangrango

1997-2003 Status taman nasional di bawah pengelolaan Balai Taman

Nasional Gunung Halimun setingkat Eselon III

2003 Pada akhirnya status penunjukan kawasan menjadi Taman

Nasional Gunung Halimun Salak seluas 113.357ha (merupakan

penggabungan kawasan lama TNGH dengan eks hutan lindung

Perhutani Gunung Salak, Gunung Endut dan hutan produksi di

sekitarnya).

Sumber: Taman Nasional Gunung Halimun Salak (2014)

Zonasi TNGHS

TN merupakan kawasan yang ditetapkan untuk melindungi ekosistem asli

dan dikelola oleh Balai Taman Nasional (BTN) dengan sistem zonasi yang

dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

penunjangan budi daya, pariwisata, dan rekreasi (Undang-Undang No. 5, Tahun

1990).

“Karena adanya sistem zonasi ini, TN sangat mungkin dikelola

bersama masyarakat dan mengakomodasi kepentingan

masyarakat.Dalam Permenhut No. P. 56/Menhut-II/2006 tentang

Pedoman Zonasi Taman Nasional dijelaskan bahwa zonasi TN adalah

suatu proses pengaturan ruang dalam TN menjadi zona-zona. Zona

TN adalah wilayah di dalam kawasan TN yang dibedakan menurut

fungsi dan kondisi ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.

Proses pengaturan tersebut meliputi tujuh kegiatan: 1) persiapan, 2)

pengumpulan dan analisis data, 3) penyusunan draf rancangan

zonasi, 4) konsultasi publik, 5) pengiriman dokumen, 6) tata batas dan

7) penetapan,” (Agus Mulyana, Cifor)

Page 40: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

29

Menurut Permenhut tersebut, penetapan dan penataan zona didasarkan pada:

a. potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya

b. tingkat interaksi dengan masyarakat setempat

c. efektivitas pengelolaan kawasan

Pengkajian dan pemahaman aspek potensi dan fungsi, ekologi, sosial,

ekonomi dan budaya masyarakat mutlak diperlukan. Selain itu, penetapan zona

juga memperhatikan tiga hal: (a) jenis zona yang dibutuhkan, (b) luas masing-

masing zona dan (c) letak/lokasi zona. Zona TN bisa terdiri dari zona inti, zona

rimba, zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan, zona pemanfaatan dan

zona lain, misal zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, zona budaya dan

sejarah serta zona khusus. Penentuan jumlah dan jenis zona untuk tiap TN

ditentukan oleh potensi kawasan, kondisi kawasan dan kondisi sosial ekonomi

serta budaya masyarakat sekitar TN. Peraturan mengatakan bahwa TN sekurang-

kurangnya terdiri dari zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan. Akan tetapi,

peraturan juga mengatakan bahwa pemanfaatan kawasan TN tidak hanya dapat

dilakukan di zona pemanfaatan, tetapi juga di zona religi, zona budaya, zona

penelitian dan zona khusus untuk mengakomodasi masyarakat.

“Sesuai dengan peraturan yang ada, penetapan zonasi TN tidak

bersifat permanen, tetapi dapat diubah dan disesuaikan dengan

perkembangan dan kepentingan pengelolaan TN, kondisi potensi

sumber daya alam dan ekosistemnya, serta kepentingan interaksi

dengan masyarakat. Karena itu, setiap tiga tahun dimungkinkan untuk

dievaluasi. Karena bukan merupakan keharusan, kebijakan tersebut

pada satu sisi menjadi peluang bagi penetapan zona yang adaptif.

Pada sisi lain dapat menimbulkan perasaan tidak pasti, terutama bagi

masyarakat yang berada di wilayah berpotensi menjadi Zona Khusus.

Tampaknya penting untuk menjadikan RPTN (Rencana Pengelolaan

Taman Nasional) sebagai pedoman pengelolaan kerangka jangka

panjang dan kesepakatan para pihak dalam menetapkan sebuah zona

karena dapat menjamin kepastian,” (Agus Mulyana, Cifor)

Tujuh langkah penetapan zona di TN dan kriteria penetapammya

berdasarkan Permenhut senantiasa menjadi acuan baku bagi para pengelola TN

dalam penataan dan penetapan zona. Namun dalam implementasinya kebijakan

tersebut telah mempersulit penetapan dan penataan zona itu sendiri, menjauhkan

pencapaian tujuan zonasi, memperburuk keadaan, menimbulkan konflik-konflik

baru, dan membawa para pihak ke jalan buntu. Kebijakan tersebut tidak efektif

dalam menjawab berbagai tantangan pengelolaan TN yang demikian rumit, serba

tidak pasti, dinamis, dan penuh dengan sengketa. Tiga hal utama yang menjadi

penyebabnya adalah:

a. Proses penetapan zonasi diterapkan secara kaku dan tidak adaptif

b. Terlalu beragamnya kriteria penetapan zona yang tidak jelas dan

multitafsir

c. Hanya mengakomodasi satu tipe masyarakat, yaitu masyarakat yang

bermukim di dalam kawasan sebelum TN ditunjuk, padahal kaitan antara

masyarakat dan TN lebih beragam.

Page 41: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

30

TNGHS berdampingan dengan kampung-kampung, baik di dalam kawasan

maupun di sekitar perbatasan kawasan. Masyarakat yang tinggal di dalam dan

sekitar kawasan umumnya adalah masyarakat Sunda yang terbagi dalam

kelompok masyarakat kasepuhan dan masyarakat non kasepuhan. Keberadaan

kampung-kampung dengan masyarakat yang berinteraksi dengan kawasan

merupakan suatu kondisi yang bisa menimbulkan hambatan ataupun dukungan

bagi kegiatan pengelolaan TNGHS dalam jangka panjang. Kawasan TNGHS

merupakan kawasan tanah hutan milik negara yang berada di bawah kewenangan

Departemen Kehutanan yang disesuaikan dengan UU No.5/1990 tentang Kawasan

Pelestarian Alam dan UU No.24 tahun 1993 tentang Tata Ruang, yang mana

TNGHS merupakan kawasan lindung. Sistem Zonasi yang dimiliki TNGHS yang

sekiranya pihak-pihak yang berkepentingan mampu memahami dan melaksanakan

sesuai aturan yang ditetapkan. Berikut tata zonasi kawasan TNGHS berdasarkan

Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Periode 2007-

2026:

1. Zona Inti dan Zona Rimba

Zona inti dan zona rimba meliputi ekosistem hutan alam yang masih

tersisa yang mana identifikasi zona ini melalui pendekatan ilmiah dengan

mengkaji ekosistem dan habitat spesies penting, daerah-daerah yang secara

sosial budaya memiliki nilai dan pengaruh terhadap ekosistem.

2. Zona Rehabilitasi

Zona rehabilitasi merupakan ekosistem penting serta menjadi habitat

spesies penting yang telah terdegradasi seperti hutan hujan rendah, areal

yang rusak, koridor Gunung Halimun Salak, dan sebagainya. Masa yang

akan datang, setelah ekosistem ini pulih dapat ditetapkan menjadi zona inti

atau rimba atau pemanfaatan.

3. Zona Pemanfaatan

Zona pemanfaatan berkaitan dengan areal yang akan dikembangkan untuk

memenuhi fungsi-fungsi pemanfaatan di dalam taman nasional antara lain

untuk wisata alam, pembangunan sarana prasarana pengunjung dan lokasi

penelitian intensif. Zona pemanfaatan yang memiliki obyek wisata dan

areal bekas Perhutani akan tetap dikelola oleh Perhutani dan zona yang

berupa jalur-jalur pendakian dan wilayah yang rawan pengunjung akan

dikelola oleh BTNGHS.

4. Zona Khusus

Zona khusus merupakan bagian dari TNGHS yang mana sebelum

penunjukkan taman nasional, dalam wilayah ini sudah ada pemukiman dan

garapan masyarakat sejak dulu. Selain itu juga jalan provinsi dan

kabupaten yang melintas di TNGHS.

5. Zona Religi, Budaya, dan Sosial serta Zona Tradisional

Penentuan zona religi, budaya, dan sosial serta zona tradisional terbagi

menjadi 2 yaitu:

a. Areal yang penting bagi kegiatan budaya yang ditentukan melalui

penelusuran sejarah seperti makam di puncak Gunung Salak, situs

Cibedug, dan situs Kosala di Lebak dijadikan zona religi dan budaya.

b. Wilayah dimana penduduk secara tradisional memanfaatkan hasil

hutan non kayu dijadikan zona tradisional untuk memastikan akses

Page 42: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

31

masyarakat terhadap hutan. Wilayah yang termasuk zona tradisional

adalah kasepuhan yang ada di dalam kawasan TNGHS.

6. Zona Lainnya

Zona lainnya tidak termasuk dalam Permenhut No. 56. Zona ini

merupakan bagian dari taman nasional yang nantinya akan ditetapkan

menjadi zona tertentu melalui komunikasi dengan para pihak.

Zona-zona yang disebutkan di atas, Kampung Sukagalih merupakan salah

satu kampung yang berbatasan langsung dengan taman nasional yang masuk

dalam zona khusus pemanfaatan, perbatasannya antara tanah masyarakat dengan

kawasan taman nasional yang dikerjasamakan kepada masyarakat. Luas zona

khusus pemanfaatan yaitu 30 ha yang terdiri dari 15 ha ditanami dengan pohon

damar dan 15 ha persawahan, ladang dan adopsi tanaman. Masyarakat memiliki

olah tanah yang telah memiliki surat pembayaran pajak (SPPT), kemudian

masyarakat dapat melakukan kegiatan bertani di zona khusus pemanfaatan,

dulunya milik perum Perhutani yang dialihkan kepada pihak taman nasional dan

ada perbatasan-perbatasan khusus untuk kelompok pelestarian lingkungan

(KOPEL) yang bekerjasama dengan taman nasional.

Zona Khusus

Peraturan Menteri Kehutanan P.56/2006 memungkinkan penetapan sampai

7 zona berdasarkan fungsi konservasi dan pemanfaatan. Untuk mempermudah

pengelolaan, proses penetapan dan pengaturan tata batas, sebaiknya penataan

ruang Taman Nasional (TN) disederhanakan dengan membagi ruang TN menjadi

hanya dua zona yakni zona pemanfaatan (zona khusus) dan zona bukan

pemanfaatan (zona inti). Zona khusus seharusnya merupakan hasil kesepakatan

antar pihak yang dikelola secara kolaboratif sebagai satu kesatuan dengan TN.

Tujuannya untuk menyatukan pembangunan masyarakat dengan konservasi.

Konservasi di Indonesia sedang mengalami kebuntuan. Semua kawasan

konservasi yang merupakan aset umum (public good) dan dikelola pemerintah

untuk kepentingan umum telah mengalami kerusakan, pengurangan luas, atau

diperebutkan berbagai pihak yang ingin memanfaatkan kawasan tersebut untuk

kepentingan lain. Khusus TN, tidak ada yang tidak mengalami tekanan dan tidak

ada yang tanpa keberadaan masyarakat.

Akar masalahnya kompleks. Kebanyakan TN baru ditunjuk dan belum

dikukuhkan, ditetapkan tanpa konsultasi dengan pihak lain dan tidak

mempertimbangkan keberadaan masyarakat di kawasan tersebut. Kebijakan

konservasi di Indonesia pada dasarnya cenderung tidak melibatkan masyarakat

dan tidak mengijinkan adanya aktivitas manusia di 534 kawasan konservasi,

termasuk 50 taman nasional, yang secara keseluruhan mencakup 28,2 juta hektar.

Dalam politik dan ekonomi negara, konservasi dilihat sebagai hambatan terhadap

pembangunan sehingga kurang didukung, bahkan “dilawan” oleh banyak pihak.

Akibatnya, konservasi tidak dapat diwujudkan, sementara di dalam dan sekitar TN

sudah terlanjur ada masyarakat yang hidup dan menggantungkan hidup mereka

dari kawasan tersebut.

Page 43: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

32

Menjawab tantangan itu, Kementerian Kehutanan mengeluarkan Peraturan

Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi

Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang

memungkinkan keterlibatan pihak lain dalam pengelolaan kawasan konservasi,

khususnya dalam TN. Juga Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-

II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional yang memungkinkan penataan

ruang (zonasi) TN, termasuk penetapan ruang atau zona khusus untuk masyarakat

yang berada di dalam TN. Sampai saat ini baru beberapa TN menerapkan

pengelolaan kolaboratif dan baru satu dua saja yang menetapkan zona khusus,

salah satu diantaranya adalah TNGHS.

Pengamatan di TN Gunung Halimun Salak dan pembahasan serta diskusi

dengan masyarakat dan organisasi setempat, membicarakan mengenai gagasan

untuk mengembangkan zona khusus sehingga dapat mencapai tujuan ideal

pengelolaan TN. Dalam konsep yang ditawarkan, zona khusus di TN diharapkan

dapat membuka peluang bagi penyelenggara pembangunan dalam mewujudkan

ekonomi berwawasan lingkungan dan konservasi lingkungan yang berwawasan

pembangunan. Zona khusus juga dapat menjadi jawaban untuk menangani konflik

antara masyarakat dan TN, dan permasalahan lainnya. Namun, pembentukan zona

khusus tidak cukup hanya dengan peraturan semata. Lagipula, peraturan tersebut

mempunyai keterbatasan dalam mengakomodasi berbagai tipe masyarakat dan

kebutuhannya. Dibutuhkan keterlibatan para pihak dan komitmen bersama untuk

mewujudkannya. Pengalaman menunjukkan tidak ada langkah tunggal untuk

menembus kebuntuan dalam pengelolaan TN. Diperlukan berbagai tindakan

komprehensif, terintegrasi, dan terkoordinasi. Zona khusus pun bukanlah langkah

tunggal, melainkan perpaduan dari langkah jamak (multiaksi) yang secara ideal

menghasilkan model zona khusus yang khas bagi tiap TN.

Menurut peraturan, zona khusus diartikan sebagai zona untuk

mengakomodasi kelompok masyarakat yang telah tinggal di kawasan TN sebelum

ditetapkan dan atau mengakomodasi sarana/prasarana, seperti telekomunikasi,

transportasi dan listrik. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa kondisi wilayah

potensial Zona khusus berbeda-beda di setiap TN. Seperti yang dijelaskan oleh

Agus Mulyana selaku pihak Cifor bahwa batasan zona khusus dan kriteria

penetapan seharusnya beragam.

“Kondisi wilayah potensial Zona khusus fakta dilapangannya itu

berbeda-beda. Karena itu, batasan Zona khusus dan kriteria

penetapan seharusnya beragam, sesuai dengan kondisi setempat dan

kesepakatan para pihak. Penetapan sebuah wilayah menjadi zona

khusus di TN bukan merupakan pemutihan atas pelanggaran hukum,

melainkan sebuah upaya menembus kebuntuan dalam penataan ruang

di TN. Gagasan yang mendasari konsep ini adalah terakomodasinya

pembangunan ekonomi ramah lingkungan dalam batasan yang

ditetapkan fungsi konservasi TN,” ujar Agus Mulyana, Cifor.

Mulyana menambahkan tujuan umum zona khusus yang harus dicapai

adalah membuka peluang bagi para penyelenggara pembangunan untuk

mewujudkan konservasi dan ekonomi berwawasan lingkungan. Secara spesifik

zona khusus bertujuan membuka jalan keluar, menembus kebuntuan penataan

Page 44: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

33

ruang, mempermudah pengelolaan TN, dan memungkinkan berfungsinya zona

khusus sebagai zona penyangga zona inti. Zona khusus diharapkan menjadi sarana

mengatasi konflik antara masyarakat dengan TN. Zona khusus janganlah

dibayangkang sebagai penunjukan wilayah, melainkan sebagai kesepakatan

mengenai lokasi, luas, hak, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pihak.

Pembagian peran dan tanggung jawab pengelolaan dan perjanjian kerja di antara

pihak-pihak yang terkait. Zona khusus digagaskan pula sebagai bagian dari TN.

Karena itu, tujuan utamanya adalah konservasi. Pembangunan dan pengembangan

masyarakat dimungkinkan selama tidak bertentangan dengan asas konservasi.

Zona khusus juga bukan harga mati, melainkan sebuah proses pembelajaran untuk

perubahan yang adaptif. Kuncinya adalah kesepakatan dari hasil perundingan

yang adil dan transparan berdasarkan rangka negosiasi dan hukum yang jelas.

Karena itu, syarat utamanya adalah mengubah paragdigma pengelolaan

TN sendiri, dari pengelolaan sepihak oleh Kementrian Kehutanan menjadi

pengelolaan kolaboratif dan adaptif. Zona khusus memang bukan solusi yang

mudah dan bukan merupakan model yang standar. Sebaliknya, untuk tiap TN,

zona khusus harus dirancang berdasarkan kondisi setempat. Seperti dikatakan

Bapak Wiratno, “Tidak ada langkah tunggal yang dapat menembus kebuntuan.

Yang diperlukan adalah berbagai tindakan terintegrasi, terkoordinasi,

komplementer”.

Dinamika Akses Masyarakat Pra Penetapan TNGHS

Wilayah tanah yang saat ini dimiliki Kampung Sukagalih merupakan

bagian perkebunan teh milik Belanda. Saat pendudukan Jepang, perusahaan

menutup perkebunan, dengan para pekerja yang tinggal di kampung sekitar.

Tahun 1953, para mantan pekerja dimintai pertanggungjawaban atas kerusakan

yang terjadi pada perusahaan teh ini. Pak Enim yang saat itu mantan mandor di

perkebunan, menggunakan kunjungan ke pemerintah untuk memperoleh ijin dari

pemerintah agar masyarakat dapat memanfaatkan lahan bekas tanah perkebunan.

Maka tanah dibagi menjadi kapling- kapling dan memperoleh Surat Girik (surat

bukti penguasaan lahan). Pak Enim dan Pak Empen memilih tempat dan

membuka lahan dimana Kampung Sukagalih ini berada.

Kampung Sukagalih merupakan salah satu kampung yang berbatasan

dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Batas ini langsung diambil

PERHUTANI. Kampung ini terletak di Desa Cipeteuy, Kecamatan

Kabandungan, Sukabumi. Ketinggian kampung ini berada pada 800 m dpl.

Kampung Sukagalih berbatasan dengan:

a. Utara : Taman Nasional Gunung Halimun Salak

b. Selatan : Kampung Pasir Masigit

c. Barat : Sungai Ciraksa

d. Timur : Kampung Cilodor

Sejak menjadi kawasan hutan konservasi pada tahun 2003, warga tidak dapat

mengakses sumberdaya hutan dan tidak dapan menggarap di dalam kawasan.

Warga Sukagalih yang ketika itu sangat memprihatinkan kondisi ekonominya

Page 45: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

34

memjadi banyak perbincangan dan sorotan bagi para relawan untuk membantu.

Ketika itu warga Sukagalih memiliki konflik dengan Balai TNGHS, ada salah satu

warga Sukagalih yang di tahan karena disangka menebang pohon dan mengambil

sumberdaya hutan secara ilegal. Padahal, warga Sukagalih tidak pernah berani

untuk menebang pohon apa lagi merusak hutan yang telah mereka tempati sejak

dulu. Banyak pihak yang mengadu domba warga Sukagalih dengan pihak TN,

agar warga Sukagalih tidak dapat memiliki lahan mereka di dalam kawasan.

Pada tahun 2005 Cifor mendatangi Kampung Sukagalih untuk

bersilaturahmi dan ingin turun langsung kelapangan ketempat yang sedang

menjadi sorotan tersebut. Pada waktu itu warga masih malu dan tertutup untuk

bercerita apa yang sebenarnya terjadi dengan kampung mereka. Pertama Cifor

membangun hubungan saling percaya dengan masyarakat. Setelah beberapa lama

mereka tinggal bersama warga, barulah mereka mulai terbuka namun tetap belum

berani berbicara. Selama di Sukagalih, Cifor belajar bersama warga mengenai

pengelolaan sumberdaya alam, secara intensif didampingi oleh Cifor dengan

kegiatan motivating, coaching, mentoring dan termasuk mengajak mereka studi

banding ke lokasi-lokasi lain. Kemudian mereka difasilitasi menyusun suatu

perencanaan strategis pengelolaan sumberdaya alam, dimulai dengan menyusun

visi praktikal dalam jangka lima tahun.

Sepuluh visi praktikal yang mereka targetkan dan sudah sembilan yang

terwujud, kecuali pemanfaatan mata air sudah diambil terlebih dahulu oleh

PDAM. Beberapa visi praktikal mereka yaitu yang pertama rencana tata guna

lahan yang lebih seimbang dan selaras dengan keberadaan kampung dan TNGHS,

mereka sudah menetapkan dimana lahan lahan yang dijadaikan hutan, kebun,

permukiman dan lainnya. Kedua berkolaborasi dengan pihak TNGHS mengenai

lahan 30 ha untuk dapat dimanfaatkan. Agar tidak terjadi lagi konflik pemerintah

dengan warga akibat pemanfaatan ilegal, dahulu sebelum adanya konservasi ada

pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) karena konservasi sudah tidak

dapat diakses lagi. Ketiga Kampung Sukagalih ingin menjadi kampung ekowisata

yang mencampurkan antara eko, edu dan pertanian.

Pihak Cifor mendampingi warga Sukagalih untuk mewujudkan sepuluh

visi praktikal tersebut, dan pada akhirnya warga Sukagalih, pihak TNGHS dan

pihak Perhutani telah melakukan diskusi dan warga telah mendapatkan lahan di

zona khusus pemanfaatan. Pihak TN menjadikan hutan ke dalam enam zona, yang

salah satu zonanya yaitu zona khusus pemanfaatan menjadi bagian yang dapat

dikelola oleh masyarakat Sukagalih. Setelah dipindahkan, Kampung Sukagalih

merupakan salah satu kampung yang berbatasan langsung dengan taman nasional,

yang masuk dalam zona khusus pemanfaatan, perbatasannya antara tanah

masyarakat dengan kawasan taman nasional yang dikerjasamakan kepada

masyarakat.

Luas zona khusus pemanfaatan yaitu 30 ha yang terdiri dari 15 ha ditanami

dengan pohon damar dan 15 ha persawahan, ladang dan adopsi tanaman. Warga

memiliki olah tanah yang telah memiliki SPPT, kemudian warga dapat melakukan

kegiatan bertani di zona khusus pemanfaatan, dulunya milik Perum Perhutani

yang dialihkan kepada pihak taman nasional dan ada perbatasan-perbatasan

khusus untuk kelompok pelestarian lingkungan (KOPEL) yang bekerjasama

dengan taman nasional. Semua itu telah disepakati antar pihak TNGHS, Perhutani

dan warga Sukagalih. Warga Sukagalih bangkit dan memulai kembali pertanian

Page 46: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

35

mereka yang sempat hilang dan terbatas akibat perluasan TNGHS. Berikut

matriks mengenai sejarah Kampung Sukagalih.

Gambar 3 Matriks sejarah Kampung Sukagalih

Tahun Status kawasan Akses

1924-1934 1. Lahan di dalam kawasan sebagai hutan

lindung dibawah pemerintahan

Belanda

2. Lahan di luar kawasan perkebunan teh

milik Belanda

Warga dapat mengakses

hasil hutan dan bekerja

sebagai buruh pabrik di

sekitar kawasan

perkebunan teh

1935-1950 Status kawasan berubah menjadi, cagar

alam di bawah pengelolaan pemerintah

Belanda dan Republik Indonesia/Djawatan

Kehutanan Jawa Barat

Warga masih

diperkenankan akses ke

kawasan hutan

1950-1953 Lahan perkebunan teh milik Belanda di

tutup

Masyarakat hanya dapat

bertani, para mantan

pekerja diminta

pertanggungjawaban atas

kerusakan yang terjadi

pada perusahaan teh ini.

1961-1978 Status cagar alam berubah di bawah

pengelolaan Perum Perhutani Jawa Barat

(hutan produksi)

Warga dipindahkan dari

kawasan hutan produksi ke

lahan kosong dan dijadikan

dua kampung, yaitu

Kampung Sukagalih

1979-1990 1. Status cagar alam di bawah

pengelolaan Balai Konservasi

Sumberdaya Alam III, yaitu Sub Balai

Konservasi Sumberdaya Alam Jawa

Barat I

2. Lahan bekas perkebunan teh menjadi

lahan garapan masyarakat

1. Warga tidak

mendapatkan lahan

yang telah di ambil oleh

Perhutani

2. Warga dapat

memanfaatkan lahan

untuk bertani di

kawasan bekas

perkebunan teh

2003-2005 Pada akhirnya status penunjukan kawasan

menjadi Taman Nasional Gunung

Halimun Salak seluas 113.357ha

(merupakan penggabungan kawasan lama

TNGHS dengan eks hutan lindung

Perhutani Gunung Salak, Gunung Endut

dan hutan produksi di sekitarnya)

Warga tidak mendapatkan

akses lahan dan tidak dapat

mengakses sumberdaya

hutan

Page 47: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

36

Dinamika Akses Masyarakat Era TNGHS

Pengelolaan hutan TNGHS pada awalnya berada pada dua kubu, wilayah

bagian barat (Gunung Halimun) dikelola oleh Taman Nasional sedangkan wilayah

bagian timur (Gunung Salak) dikelola oleh Perum Perhutani (Rinaldi et al. 2008).

Seperti yang telah di jelaskan pada Tabel 5 di atas, warga Sukagalih akhirnya

memulai semua dengan kehidupan dan strategi nafkah yang baru. Pendapatan

mereka pun sangat memprihatinkan, selain mereka mendapat tekanan dari pihak

Perhutani yang telah mengambil lahan serta pihak TN yang menjadikan hutan

konservasi. Pada Tahun 2005 hingga 2007 proses dimana warga Sukagalih

memperjuangkan hak mereka yang telah hilang. Proses itu dimana warga ingin

mendapatkan hak atas lahan mereka yang berada di zona khusus, Warga Sukagalih di

dampingi oleh pihak Cifor untuk melakukan permohonan kawasan yang dapan

dimanfaatkan. Akhirnya Warga Sukagalih akhirnya mendapatkan lahan mereka yang

berada di zona khusus pemanfaatan seluas 30ha. Zona khusus pemanfaatan dijadikan

salah satu zona yang dapat dikelola oleh masyarakat. Pihak TN memberika surat

kontrak kepada masyarakat agar dapat mengelola lahan di kawasan zona khusus

pemanfaatan itu selama sepuluh tahun. Kontraknya sudah habis tahun 2013,

namun pihak TN selalu mengulur-ngulur untuk memperpanjang kontrak tersebut,

padahal masyarakat telah meminta agar pihak TN segera menyelesaikan surat

kontrak tersebut. Berikut wawancara salah satu penduduk Kampung Sukagalih.

“Kami sebagai warga negara yang baik ya neng selalu mengikuti apa

kata pemerintah bagaimana prosedurnya. Karena kami tahu kontrak

sudah akan habis, kami segera menyelesaikannya untuk diperpanjang.

Namun, pihak Taman Nasional ada aja sibuknya, entah itu mereka

bilang tidak ada waktu bertemu kami, entah mereka bilang ia dan

hanya ia namun sampai saat ini belum ada kejelasannya. Kami selalu

menunggu dan berusaha agar pihak TN dengan segera menyelesaikan

kontrak untuk diperpanjang.” (SM)

Tidak hanya itu, ternyata lahan HGU PT. Intan Hepta yang dahulu

merupakan perkebunan teh telah habis masa HGUnya yang berlaku 35 tahun dan

telah habis pada tahun 2002. Sampai sekarang pihak pemerintah belum

memutuskan apakah lahan tersebut akan diperpanjang kontrak HGUnya kepada

PT. Intan atau akan menjadi tanah terlantar. Definisi tanah terlantar tidak diatur di

dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang

Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (“PP No.11/2010”), tetapi diatur

di dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik

Indonesia Nomor 4 tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar.

Tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak

Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan,

atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau

tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak

atau dasar penguasaannya.

Pasal 2 PP No.11/2010, yang termasuk sebagai obyek tanah terlantar

meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak

Page 48: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

37

Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar

penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak

dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau

dasar penguasaannya. Akibat dari ketidak jelasan antara pemerintah dan pemilih

hak atas tanah, masyarakat Sukagalih banyak yang berbondong-bondong

mempergunakan lahan eks HGU dan banyak yang menjualnya kepada orang luar.

Seharusya pemegang hak segera mengurusi perpanjangan kontrak HGU tersebut,

apabila tetap tidak ada kejelasan dari pemegang hak maka Kepala Kantor Wilayah

mengusulkan kepada Kepala BPN untuk menetapkan tanah yang bersangkutan

sebagai tanah terlantar.

Kepala BPN menetapkan tanah yang diusulkan oleh Kepala Kantor

Wilayah sebagai tanah terlantar. Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai

tanah terlantar merupakan tanah hak, penetapan tanah terlantar memuat juga

penetapan hapusnya hak atas tanah, sekaligus memutuskan hubungan hukum serta

ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Dalam hal tanah

yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar adalah tanah yang telah diberikan

dasar penguasaan, penetapan tanah terlantar memuat juga pemutusan hubungan

hukum serta penegasan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.

Setelah pemerintah memutuskan akan diapakan lahan tersebut, kalau sudah

menjadi tanah terlantar baru dapat di akses oleh masyarakat tanpa ada kontrak

yang membebani.

Warga Kampung Sukagalih sudah jauh ada sebelum ditetapkannya

kawasan hutan konservasi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Mereka

sudah sangat bergantung terhadap sumber daya hutan. Karena berada dalam zona

khusus pemanfaatan, warga dapat memanfaatkan sumberdaya hutan untuk

keperluan sehari-hari. Adapun sumberdaya yang dimanfaatkan oleh warga adalah

sebagai berikut:

1. Pohon Damar

Pohon damar adalah sejenis pohon anggota tumbuhan runjung

(Gymnospermae) yang merupakan tumbuhan asli Indonesia. Pohon yang

besar, tinggi hingga 65m², berbatang bulat silindris dengan diameter yang

mencapai lebih dari 1,5 m. Damar tumbuh secara alami di hutan.

Tumbuhan ini dibudidayakan untuk diambil getahnya, getah akan

mengalir keluar dan membeku setelah terkena udara beberapa waktu

lamanya. Warga Sukagalih memanfaatkan getah damar diolah untuk

dijadikan kopal. Lama-kelamaan getah ini akan mengeras dan dapat

dipanen yang dikenal sebagai kopal sadapan. Getah juga dapat diperoleh

dari deposit damar yang terbentuk dari luka-luka alami, di atas atau di

bawah tanah, jenis ini disebut kopal galian. Kayu damar berwarna keputih-

putihan, tidak awet, dan tidak seberapa kuat. Di Bogor , kayu ini hanya

dimanfaatkan sebagai papan yang digunakan di bawah atap.

Page 49: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

38

Gambar 4 Pohon damar dan tetesan resin kopal di TNGHS

2. Rumput

Rumput merupakan tumbuhan renek dan sering dijadikan pakan ternak

kambing yang ada di Sukagalih. Biasanya warga setelah berladang selalu

pergi kehutan mengambil rumput untuk pakan ternak, rumput

dikumpulkan sebanyak mungkin sekitar 3 karung lebih agar kambing tidak

bersuara dimalam hari karena kekurangan rumput.

3. Kayu bakar

Segala jenis bahan kayu yang dikumpulkan untuk digunakan sebagai

bahan bakar. Umumnya kayu bakar merupakan bahan yang tidak diproses

selain pengeringan dan pemotongan, dan masih terlihat jelas bagian-bagian

kayu seperti kulit kayu, mata kayu dan sebagainya. Warga Sukagalih

sudah jarang memanfaatkan kayu bakar, karena sebagian rumahtangga

sudah mulai menggunakan kompor gas. Alasan mereka mengurangi

penggunaan kayu bakar karena mereka tidak ingin menghabiskan sumber

kayu yang ada di hutan dan sudah mendapat larangan dari pihak TNGHS

agar tidak menebang pohon, bila warga melanggar maka akan terkena

sanksi.

4. Air

Sumberdaya air di Sukagalih sangatlah melimpah, warga disana tidak

pernah kesulitan untuk mendapatkan air untuk segala kebutuhan mereka.

Air yang ada mereka gunakan untuk persawahan, kebutuhan rumahtangga,

dan lain-lain. Namun sumberdaya air tersebut telah lebih dahulu diambil

oleh pihak PDAM.

“Disini setiap warga berangkat ke sawah itu jam 6 abis subuhlah

neng. Bapa, ibu berangkat ke sawah sampai jam setengah dua belas.

Terus pulang dulu kerumah buat sholat Zuhur sama makan, baru ke

ladang neng sama ambil rumput buat ternak.” (BI, 38 tahun)

“Setiap warga boleh memanfaatkan hasil hutan yang ada di TN,

cuman yang boleh dimanfaatkan itu yang masih berada di dalam

Page 50: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

39

kawasan zona khusus pemanfaatan telah diputuskan oleh pihak TN.

Kalau di zona lain mah kami tidak diperkenankan untuk

memanfaatkan hasil hutan tersebut maupun lahannya.Pohon-pohon

yang ada pun kami tidak pernah boleh menebang, malahan kami

menanam dan merawat pohon-pohon yang ada dikawasan” (AS, 34

tahun)

Page 51: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

40

Page 52: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

41

KOLABORASI PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA

CIFOR

Shared Learning

Bertempat di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS),

Sukabumi, tanggal 11 – 19 Juni 2007, sekelompok masyarakat, lembaga

pendamping dan pemerintah berkumpul. Mereka berbagi kisah dan pengalaman

tentang penataan ruang. Kegiatan ini dikemas dalam Shared Learning (SL) VI

diprakarsai Center for International Forestry Research (CIFOR) dan Pusat

Informasi Lingkungan Indonesia (PILI-NGO Movement); didukung pula oleh The

Forest Partnership, Japan International Cooperation Agency (JICA), TNGHS,

PEKA, Jaringan Masyarakat Koridor (Jarmaskor), dan Kelompok Peduli

Lingkungan (KOPEL) dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

Sebanyak 35 orang peserta SL, bertema “Penataan Ruang: Titik Temu

Kolaborasi Pengelolaan Hutan”. Para peserta berasal dari berbagai daerah; seperti

Jawa Tengah, Jawa Barat, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimatan Timur, serta

masyarakat lokal Kampung Cisarua dan Sukagalih. Kegiatan ini diawali dengan

berbagi pengalaman dari peserta mengenai penataan ruang dan pengelolaan

kawasan hutan. Selain berbagi pengalaman, peserta juga mendapatkan informasi

lain dari sesi seminar dan sejumlah pembekalan yang terkait dengan peningkatan

kapasitas penataan ruang.

Pembekalan meliputi: Multidisciplinary Landscape Assesment (MLA),

sebuah metode untuk menilai arti penting sumberdaya alam bagi masyarakat lokal

dan aplikasinya untuk penataan ruang, PAR (Partisipatory Action Research),

Rapid Land Tenure Appraisal (RaTA), seperangkat alat untuk menganalisis,

memahami dan menjelaskan masalah dan akar konflik penguasaan tanah, dan

Skenario Masa Depan (Future Scenario).

Penataan ruang merupakan media untuk menampung berbagai peran dan

kepentingan para pihak atas suatu kawasan. Penataan ruang yang baik seharusnya

menjamin hak para pihak, mengurangi konflik atas penggunaan ruang dan yang

tidak kalah penting, mencegah kerusakan lingkungan. Bermacam kelengkapan

peraturan telah tersedia, meskipun belum sepenuhnya menjamin tertib

penerapannya. Otonomi daerah juga telah membuka jalan bagi banyak pihak

untuk berkontribusi dalam penataan ruang. Peluang partisipasi publik makin

terbuka ketika peran pemerintah daerah makin menonjol seiring angin kencang

otonomi daerah. Peluang dan tantangan selalu mengiringi setiap dinamika

penataan ruang. Semakin berperannya pemerintah daerah justru menimbulkan

setiap daerah untuk menata ruang bagi kepentingannya sendiri yang seringkali

bertentangan dengan kepentingan pembangunan kehutanan.

Tetapi dibalik kecenderungan itu muncul pula harapan agar penataan

ruang dapat mendorong pengembangan wilayah untuk meningkatkan kualitas

hidup yang adil dalam lingkungan yang berkelanjutan. Pada saat yang sama, tata

ruang bisa juga menjadi jembatan bagi banyak kalangan untuk bekerjasama dalam

Page 53: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

42

menyelesaikan persoalan yang ada dan dalam mengembangkan pengelolaan hutan

yang lebih baik. Penataan ruang di Indonesia yang carut marut ikut menyebabkan

kerusakan lingkungan dan bencana alam. Terjadinya bencana alam, menunjukkan

betapa pentingnya penataan ruang yang menyeluruh. Tata ruang suatu kawasan

sangat mempengaruhi kawasan yang lain.

Penataan ruang yang mampu menampung banyak „kepentingan‟,

sebenarnya juga mencerminkan sebuah „kewajiban‟ bagi para pemangku

kepentingan; terutama ketika terjadi bencana. Dengan demikian, diperlukan

sebuah sudut pandang lain tentang tata ruang. Menyangkut kebencanaan, tata

ruang seharusnya dipandang sebagai media tanggung renteng atas pencegahan,

penangkalan dan kedaruratan bencana. Tata ruang tak bisa lagi dipandang sebagai

pergumulan kepentingan atas sumberdaya di suatu kawasan. Lebih dari itu, tata

ruang juga harus dipahami sebagai peluang membagi peran dan tanggung jawab

atas kelayakan lingkungan untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya

bencana alam. Tata ruang bagian hulu sebuah daerah aliran sungai (DAS),

misalnya, akan sangat mempengaruhi bagian hilir DAS bersangkutan. Artinya,

perlu adanya pemahaman bagi luasnya cakupan penataan ruang; dan tergantung

pada cakupan spasial ekosistem dan administratif yang dihadapi. Tata ruang harus

menghindari pendekatan parsial; sebaliknya harus menyeluruh.

Pada saat yang sama, dipahami juga bahwa watak berbagi tanggung jawab

tata ruang bukan berarti sebagai upaya pelemparan tanggung jawab dari satu pihak

ke pihak lain. Itulah sebabnya, tata ruang yang menyeluruh dan komprehensif

harus dipahami sebagai perwujudan tanggung renteng semua pihak atas bencana

yang mungkin dan sedang terjadi. Sebelum berjalannya SL, pihak Cifor

melakukan pendekatan dengan masyarakat dengan membangun hubungan saling

percaya, agar proses SL berjalan dengan lancar tanpa adanya pihak masyarakat

yang tidak ikut berkolaborasi. Seperti yang dijelaskan oleh Agus Mulyana dari

Cifor, bahwa sebentar atau lamanya pendekatan kepada masyarakat itu

tergantung personaliti kita.

“Pertama memulai dengan membangun hubungan saling percaya

dengan masyarakat. Pertama kali datang Warga masyarakat itu bisa

langsung percaya dengan orang luar namun bisa dengan waktu lama

sekali percaya pada kita. Lama atau sebentarnya itu tergantung

dengan personality kita, kalau saya membangun hubungan saling

percaya memulai dengan apresiasi kepada masyaakat, memberi

apresisai dengan tulus kepada mereka. Kita tahu semua orang butuh

apresiasi, apalagi org desa yang sering kali dihujat, dimarjinilisasi

dan tidak dihargai prestasinya oleh orang luar yang merasa lebih

pintar dari mereka. Saya tidak pernah mau mempunyai mindset

seperti itu, maindset saya adalah menempatkan mereka sebagai guru

saya dan ini tidak pura-pura, karena memang mereka itu punya

pengalaman empirik yang jauh lebih lama dari saya. Jadi wajar kalau

saya menjadikan mereka guru saya, saya belajar dari mereka, dan

sungguh luar biasa pengalaman hidup mereka. Dan saya

mengapresiasi pengalaman mereka itu sebagai suatu hal yang tidak

saya miliki,”(Agus Mulyana, Cifor).

Page 54: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

43

Dalam membangun rasa saling percaya dengan masyarakat, harus ada niat

baik yang ditekadkan bulat-bulat di hati datang ke kampung itu. Masyarakat desa

itu perasaannya lebih sensitif dan mereka dapat merasakan niat kita.

“Kalau saya mau datang ke kampung-kampung dimana pun dan

terasing, karena ingin membangun niat yang baik. Mereka bisa

merasakan niat yang ada dihati kita, orang kampung itu sangat

sensitif dan perjelaskan niat kita kepada mereka dengan cara permisi

terlebih dahulu kepada mereka dan menjelaskan apa tujuan dan niat

baik kita datang ke kampung mereka,” Ujar Agus Mulyana, Cifor.

Program Shared Learning (SL) ini terutama melibatkan masyarakat

Sukagalih. Melibatkan mereka dalam proses pembelajaran bersama tentang

pengelolaan sumberdaya alam. Tidak hanya masyarakat Sukagalih saja, banyak

peserta dari Jawa yang hadir untuk bertukar pengalaman. Berikut penjelasan dari

Agus Mulyana mengenai masyarakat yang ikut berperan dalam segala keputusan.

“Pertama melibatkan mereka di dalam proses SL pembelajaran

bersama tentang pengelolaan sumberdaya alam, dalam proses ini

mereka dipertemukan untuk berbagi pengalaman dengan peserta dari

seluruh indonesia. Kemudian sebelum mereka menjadi peserta SL

didampingi oleh Cifor agar mereka memiliki pemahaman yang lebih

lengkap mengenai pengalaman mereka mengenai SDA dan mengatasi

masalah-masalah mereka. Berdiskusi menyiapkan satu bahan untuk

dibagi kepada peserta lain. Kemudian mereka mempresentasikan

tentang Kampung Sukagalih. Ketika itu seketika Kampung Sukagalih

menjadi kampung belajar bagi peserta-peserta lain di seluruh

Indonesia, semacam berbagi pengalaman saja,”Agus Mulyana,Cifor.

Keseluruhan proses ini didampingi reviewer dan dukungan tim

dokumentasi dalam proses SL memungkinkan peserta untuk memperoleh materi

diskusi sebagai bahan refleksi.

a. Orientasi Peserta

Proses ini bertujuan membuat suasana belajar menjadi lebih dinamis dan

nyaman untuk memasuki proses belajar bersama. Orientasi diawali dengan

uji kepribadian, peserta diberikan beberapa pertanyaan yang menunjukkan

kepribadian masing-masing. Tahap ini bertujuan untuk mengenal karakter

setiap peserta sehingga dapat mengetahui potensi dan kapasitas diri. Sesi

selanjutnya, „harapan dan kekhawatiran‟ dan „pengukuran

kapasitas‟.Peserta diminta menempelkan sticker di rentang angka 0 – 9

untuk mengetahui kapasitas dan harapan akan SL 6 ini. untuk konsep tata

ruang dan pemahaman kebijakan, peserta lebih banyak menempatkan

sticker di rentang 5 kebawah. Sedangkan untuk metode, beberapa peserta

menempatkan sticker di rentang 8 -9.

b. Berbagi Pengalaman

Tujuan proses ini adalah melakukan berbagi cerita dan refleksi bersama

atas pengalaman masing-masing peserta dan mendapatkan masukan positif

Page 55: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

44

dari peserta lain serta menarik hikmah dan pelajaran penting dari

pengalaman tersebut.

Shared learning juga dirancang agar seluruh peserta dapat bersama-sama

mengasah dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam metode-

metode yang dapat digunakan dalam penataan ruang. Peserta diberikan

pembekalan mengenai metode-metode tersebut. Praktik metode dengan

melibatkan masyarakat sebagai narasumber bertujuan untuk berbagi informasi

bersama dan melakukan kajian lapangan dengan situasi yang hampir mirip situasi

sebenarnya. Dalam proses belajar dari lapangan ini, para peserta Shared Learning

berperan sebagai fasilitator dan bersama masyarakat setempat melakukan kajian

mengenai penataan ruang kampung dan pengelolaan kawasan koridor. Berbagai

hasil kajian tersebut, kemudian menjadi bahan masukan bagi masyarakat untuk

mengembangkan potensi daerah mereka dan rekomendasi penataan ruang

kampung.

Selama proses ini berlangsung Penduduk Kampung Sukagalih memiliki

harapan setelah terjadinya konservasi. Harapan Masyarakat Sukagalih:

1. Ada pihak yang menjadi jembatan dengan pihak luar

2. Konservasi hutan

3. Kampung ekowisata

4. Adanya payung hukum bagi masyarakat dalam tata ruang

5. Sarana kegiatan ekonomi.

Setelah adanya program SL, seluruh pihak-pihak telah mengetahui program-

program apa yang sebenarnya masyarakat butuhkan. Sukagalih seperti terangkat

kepermukaan dan mendapat perhatian dari banyak pihak. TNGHS dan

pemerintah provinsi dan kabupaten daerah sukabumi, kemudian banjir program ke

kampung itu. Pemerintah kabupaten seakan-akan berlomba-lomba membawa

program ke kampung itu dan terlihat menjadi kurang baik bagi masyarakat.

Berikut paparan dari Agus Mulyana.

“Banyaknya pihak yang berlomba-lomba membawa program ke

Sukagalih, menjadi terlihat kurang baik. Karena banyak program dari

pemerintah yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh masyarakat

Sukagalih, pemerintah belum ada perubahan mengenai program,

masih topdown, kebanyakan orang luar dan pemerintah masih

menjadikan masyarakat sebagai objek mereka. Jadi, pemerintah dan

masyarakat luar sudah memiliki sejumlah program dan masyarakat

hanya disuruh menjalankannya, tidak menanyakan terlebih dahulu

kepada mereka apa yang diinginkan,” Agus Mulyana, Cifor.

Disitulah peran Cifor untuk memperkuat mereka agar mereka dapat

memilih dan membuat keputusan proyek mana yang sebenarnya dibutuhkan oleh

mereka. Cifor mendampingi tidak intensif, hanya secara personal saja. Intinya

kalau kita mau melakukan pendampingan transformatif atau penelitian yang

memberdayakan, itu harus jelas apa yang ingin di berdayakan dan tetap harus

disepakati oleh masyarakat. Contohnya pertama yaitu ketika masyarakat sukagalih

tidak mandiri untuk membuat keputusan maka harus didorong agar mandiri dan

mampu membuat keputusan untuk memilih proyek yang mereka butuhkan,

Page 56: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

45

keputusan-keputusan itu harus dilembagakan, harus ada perencanaan bersama

masyarakat. Kedua ingin mendorong proses perubahan mengenai modal sosial

mereka, dari modal sosial yang lemah rentan dan mudah patah menjadi komunitas

dengan modal sosial yang kuat. Disitu mereka harus punya pemahaman mengenai

masyarakat dengan modal sosial yang kuat itu seperti apa, antara lain hubungan

relasi sosial antara anggota masyarakat, hubungan saling percaya, kompak gotong

royong dan lain-lain. Sebenarnya elemen itu sudah ada di masyarakat Sukagalih

dan hanya diperkuat dengan cara membuat perencanaan bersama masyarakat.

Intinya kelembagaan lokal yang ada untuk memperkuat modal sosial mereka,

bukan sebaliknya memperlemah.

Manfaat Kolaborasi

Kolaborasi yang terjalin antara pihak Cifor dan masyarakat Sukagalih

membuat perubahan yang begitu besar bagi masyarakat. Masyarakat Sukagalih

yang awalnya sudah tidak dapat mengakses lahan di dalam kawasan dan

berkurangnya pendapatan dalam bidang pertanian, seketika mulai bangkit dengan

keberadaan pihak Cifor yang membantu dalam suatu pencapaian bersama. Kasus

adanya hutan yang di jadikan sebagai hutan konservasi dalam penelitian-

penelitian yang lain, memperlihatkan bahwa setiap masyarakat lokal yang

dahulunya berada di dalam kawasan hutan konservasi tidak akan ada yang

mendapatkan lahan untuk dapat di akses oleh warga.

Seperti contoh kasus yang berjudul Dampak Perluasan Taman Nasional

Gunung Gede Pangrango (TNGGP) terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga

Petani Desa Ciputri, Cianjur. Menjelaskan bahwa pada akhirnya TNGGP yang

telah menjadi kawasan konservasi, tidak dapat diakses oleh masyarakat setempat.

Setiyadi Indra (20013), menjelaskan bahwa pada saat kawasan TNGGP

bertambah luas sebagai akibat beralihanya status kawasan hutan produksi menjadi

hutan konservasi (salah satunya wilayah yang terkena adalah Desa Ciputri,

Cianjur). Petani penggarap di Desa Ciputri mengalami imbas dari perluasan

kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Diawali petani

membuka lahan untuk menggarap lahan kawasan berdasarkan adanya perjanjian

PHBM oleh Perum Perhutani pada tahun 1980an. Namun pada tahun 2003

menurut 2003 berdasarkan SK Menhut No 174, lahan garapan tersebut, dialih

fungsikan karena mengalami perluasan TNGGP. Perubahan alih fungsidari

kawasan hutan produksi Perhutani menjadi kawasa konservasi Taman Nasional

Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Akibat perubahan alih fungsi petani tidak

perbolehkan lagi menggarap kawasan hutan.

Contoh kasus di atas sangat terlihat jelas perbedaan yang terjadi pada

penelitian ini di TNGHS, bahwa masyarakat Kampung Sukagalih yang terkena

dampak konservasi mendapatkan lahan di dalam kawasan untuk di kelola oleh

masyarakat Sukagalih seluas 30 ha. Masyarakat dapat bernafas lega, karena berkat

adanya Cifor yang membantu masyarakat dalam proses negosiasi dengan pihak

Balai TNGHS. Akhirnya, masyarakat diberikan lahan oleh TNGHS seluas 30ha

Page 57: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

46

yang terdiri dari 15ha yang ditanami pohon damar dan 15ha untuk persawahan

dan adopsi pohon bersama masyarakat.

Awalnya masyarakat Sukagalih merasakan kesulitan ketika belum

mendapatkan lahan dari pihak TNGHS. Mereka sulit untuk memulai dari mana

agar pendapatan mereka yang hanya berasal dari bidang pertanian dapat kembali

seperti sebelum adanya konservasi. Namun, setelah adanya Cifor yang membantu

banyak dalam hal negosiasi dalam pengelolaan lahan seluas 30ha tersebut,

masyarakat juga diajarkan bagaimana cara bertahan hidup dan mengelola

sumberdaya alam dengan baik agar mereka menjadi desa yang sejahtera.

Akibat adanya peran Cifor yang mendampingi masyarakat Sukagalih,

strategi nafkah yang awalnya hanya sebagai petani, sekarang masyarakat

Sukagalih bermata pencaharian lebih dari satu bidang yaitu disebut strategi nafkah

multi. Masyarakat Sukagalih saat ini tidak hanya bergantung pada pendapatan dari

hasil pertanian naum memiliki pendapatan lain di bidang non pertanian. Terutama

pada hasil ternak yang begitu mendominasi pada pendapatan para rumah tangga

petani.

Page 58: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

47

PERUBAHAN PENGUASAAN LAHAN DAN PEMANFAATAN

ASSET

Status Penguasaan Lahan Masyarakat

Pola Pemilikan Lahan

Pola penguasaan atas tanah menurut struktur agraria yaitu pola

kepemilikan lahan, pola penguasaan lahan, dan pola pemanfaatan lahan. Bab ini

membahas mengenai pola kepemilikan lahan. Pola kepemilikan lahan adalah pola

penguasaan atas tanah yang paling tinggi tingkatannya karena telah memiliki

pengukuhan yang sah yaitu hak milik yang bisa ditandai dengan adanya sertifikat

tanah. Pola kepemilikan lahan terdiri dari dua cara yaitu yang pertama

kepemilikan tanah dari proses waris terjadi ketika sebuah tanah diwariskan dari

seseorang kepada orang lain dengan mengalihkan nama atas kepemilikan tanah

tersebut. Di Kampung Sukagalih, mayoritas kepemilikan tanah atau lahan berasal

dari kepemilikan melalui proses warisan. Ketika orang tua meninggal, maka hak

waris atas tanah tersebut jatuh kepada anaknya. Tanah yang diwariskan biasanya

adalah tanah yang telah dibangun rumah di atasnya.

Pola kepemilikan yang kedua berasal dari proses jual beli. Kepemilikan

tanah dari proses ini terjadi ketika seseorang ingin menjual tanahnya kepada orang

lain yang ditandai dengan akta jual beli dan alih nama sertifikat. Di Kampung

Sukagalih jual beli tanah jarang dilakukan ketika HGU masih terikat kontrak,

namun ketika kontrak HGU sudah habis dan pemerintah belum memutuskan,

masyarakat Sukagalih sering menjual lahan eks HGU PT. Intan Hepta yang

dahulu merupakan perkebunan tersebut kepada orang luar, baik luar kota maupun

luar negri yang datang ke Sukagalih dan tertarik untuk membelinya. Contohnya

lahan eks HGU itu sudah dijual kepada orang Jepang dan orang Jakarta.

Kepemilikan tanah, baik melalui proses warisan maupun jual beli tentu

ditandai dengan adanya sertifikat tanah. Hal tersebut menjadi salah satu cara yang

sah bagi pengukuhan atas sebuah tanah yang dimiliki. Sayangnya Sukagalih ini,

kepemilikan tanah yang ditandai dengan adanya sertifikat masih sedikit,

begitupula bila dilihat secara keseluruhan dari Desa Cipeuteuy. Mayoritas

kepemilikan tersebut hanya ditandai dengan surat pengukuhan atau pengakuan

dari kepala desa.

Tabel 5 Persentase kepemilikan lahan masyarakat di Desa Cipeuteuy tahun 2011

Kepemilikan tanah Persentase (%)

Tanah milik negara 72,01

Tanah milik sendiri (masyarakat) 27,99

Total 100

Sumber: Profil Desa Cipeuteuy tahun 2011 Catatan: Peneliti tidak memperoleh data real jumlah penduduk Desa Cipeuteuy menurut mata

pencaharian

Page 59: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

48

Dari Tabel 5 di atas, terlihat bahwa kepemilikan tanah milik sendiri hanya

sekitar 27,99 persen, sedangkan tanah milik negara yang berada di desa mencapai

72,01 persen. Tanah milik negara di sini terdiri dari tanah dalam koridor TNGHS

dan tanah eks HGU PT. Intan Hepta yang dahulu merupakan perkebunan.

Sedangkan untuk tanah milik sendiri pun hanya sedikit yang memiliki sertifikat

sebagai tanda pengesahan kepemilikan tanah. Sebagian besar masyarakat hanya

bermodal surat keterangan dari pihak desa. Proses pembuatan sertifikat yang lama

sehingga menjadi alasan masyarakat tidak mau membuat sertifikat atas tanahnya.

Padahal sebenarnya, hal tersebut rentan terhadap adanya klaim ganda atas

kepemilikan sebuah tanah.

Perubahan Penguasaan Lahan

Pola penguasaan lahan di lokasi penelitian terdiri dari tiga jenis cara yaitu:

1. Sewa-menyewa

Di Kampung Sukagalih tidak ada pola penguasaan lahan melalui sewa-

menyewa, masyarakat tidak pernah menyewa tanah untuk digarap. Mereka

cenderung bergantung pada lahan yang bisa dipakai secara cuma-Cuma

tanpa harus mengeluarkan biaya sewa.

2. Pinjam-pakai

Lahan yang digarap oleh masyarakat kebanyakan lahan di dalam TN.

Masyarakat menggunakan lahan tersebut atas pola penguasaan pinjam-

pakai lahan. Masyarakat menggunakan lahan tersebut secara cuma-Cuma

tanpa mengeluarkan biaya sewa.

3. Sistem bagi hasil.

Selain itu, ada lahan desa yang merupaka milik orang luar, yaitu pemilik

dari Jakarta maupun dari Jepang dan lain sebagainya. Lahan-lahan tersebut

dibeli namun tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya, warga pun

memanfatkan lahan tersebut untuk bercocok tanam. Sistem bagi hasil ini

tidak berpedoman pada perjanjian kontrak bagi hasil, melainkan hanya

secara kekeluargaan. Pemilik lahan tersebut kebanyakan merupakan orang

yang pernah meneliti di Sukagalih. Sebagai ucapan terima kasih, petani

yang memanfaatkan lahannya akan memberikan sebagian kecil hasil panen

kepada sang pemilik lahan.

Beberapa sistem dan bentuk penguasaan lahan yang telah dijelaskan di

atas memperlihatkan bahwa kawasan hutan TNGHS dan lahan-lahan yang ada di

wilayah Kampung Sukagalih telah dimanfaatkan oleh warga melalui berbagai cara

perizinan, guna menjadi pendukung sumber nafkah mereka sebagai petani. Warga

Sukagalih memiliki lahan yang dikuasai dan digarap, namun mereka tidak hanya

bergantung pada satu lahan garapan saja. Setiap responden penelitian

memaksimalkan kegiatan pertaniannya tidak dengan satu lahan garapan saja.

Warga Sukagalih termasuk warga yang kompak maka dari itu mereka membuat

sistem liliuran, yaitu setiap warga Sukagalih selain memiliki lahan sendiri mereka

juga membantu menggarap di lahan warga lainnya secara bergilir. Bentuk-bentuk

penguasaan lahan responden terdiri dari tiga jenis yaitu tidak memiliki lahan,

Page 60: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

49

lahan di luar kawasan (lahan milik sendiri, lahan sewa/bagi hasil, dan eks HGU)

dan lahan di dalam kawasan.

Tabel 6 Jumlah dan persentase tingkat penguasaan lahan penduduk di Kampung

Sukagalih berdasarkan bentuk penguasaan lahan tahun 2003 dan 2013 Bentuk

penguasaan

lahan

Tahun 2003 Tahun 2013

N % N %

Tidak memiliki

lahan

2 1,94 1 0,97

Lahan di luar

kawasan

- Lahan

milik

sendiri

29 28,15 28 27,18

- Lahan

sewa/ba

gi hasil

18 17,5 18 17,5

- Lahan

eks

HGU

24 23,30 26 25,24

Lahan dalam

kawasan

30 29,12 30 29,12

Total 103 100 103 100

Tabel 6 di atas memperlihatkan persentase paling besar pada tahun 2003-

2013 adalah penduduk yang menguasai lahan melalui lahan di dalam kawasan

TNGHS yaitu sebesar 29,12 persen atau sebanyak 30 orang. Kemudian penduduk

yang memiliki lahan sendiri pada tahun 2003 sebesar 28,15 persen atau 29 orang.

Pada tahun 2013 mengalami penurunan hanya sekitar 27,18 persen penduduk

yang memiliki lahan sendiri, karena sebagian orangtua memberika warisan tanah

kepada anaknya yang telah menikah. Penduduk yang tidak memiliki lahan tahun

2003 berada pada angka 1,94 persen dan mengalami penurunan pada tahun 2013

sekitar 0,97 persen. Persentase yang sama pada tahun 2003-2013 muncul pada

bentuk penguasaan lahan bagi hasil sebesar 17,5 persen atau sebanyak 18 orang.

Secara keseluruhan pada tahun 2003 sekitar 34 orang penduduk yang

menggunakan lebih dari satu lahan garapan untuk kegiatan pertanian. Penduduk

yang hanya menggunakan satu lahan garapan sekitar empat orang dan dua orang

yang tidak memiliki lahan garapan sama sekali. Alasannya, karena mereka masih

berumur antara 21 tahun – 28 tahun yang pada tahun 2003 mereka masih belum

berkeluarga atau belum menikah. Maka, mereka hanya memiliki satu lahan

garapan. Tahun 2013 mengalami penambahan untuk penduduk yang hanya

menggunakan satu lahan garapan saja sekitar lima orang dan untuk penduduk

yang menggunakan lebih dari satu lahan bekurang menjadi 33 orang. Hal ini

disebabkan adanya perluasan TN yang berdampak bagi Kampung Sukagalih yang

berbatasan langsung dengan kawasan konservasi.

Pada Tabel 7 dan 8 dibawah ini terlihat pola penguasaan lahan dari 2003

sampai 2013 semakin berkurang. Masyarakat yang memiliki lahan dengan

kategori luas pada tahun 2003 di dalam kawasan dengan persentase sebesar 15

persen atau berjumlah enam orang dan mengalami penurunan tahun 2013 di dalam

kawasan sebesar 10 persen atau empat orang. Masyarakat yang tadinya

Page 61: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

50

mendapatkan hak untuk mengolah lahan mereka sendiri sekarang semakin susah

karena Kampung Sukagalih berbatasan dengan zona khusus pemanfaatan,

masyarakat yang sudah memiliki cucu atau sudah menikahkan anaknya, dan lahan

diwariskan untuk mereka.

Tabel 7 Persentase pola penguasaan lahan masyarakat Kampung Sukagalih pada

tahun 2003

Kategori Luas lahan (ha) tahun 2003

Dalam kawasan Lahan sendiri Eks HGU

N % n % n %

x≥0,3 6 15 1 3 4 10

0,3>x≥0,5 7 18 3 8 1 3

x<0,5 27 68 36 90 35 88

Tabel 8 Persentase pola penguasaan lahan masyarakat Kampung Sukagalih pada

tahun 2013

Kategori Luas lahan (ha) tahun 2013

Dalam kawasan Lahan sendiri Eks HGU

N % n % n %

x≥0,3 4 10 1 3 2 5

0,3>x≥0,6 7 18 0 0 0 0

x<0,3 29 73 39 98 38 95

Lebih jelas dapat dilihat pada gambar 5, dibawah ini.

Patok istilah yang sering dipakai warga untuk mengemukakan luasan lahan. Satu patok = 400m

2

Gambar 5 Perbandingan pola penguasaan lahan masyarakat Kampung Sukagalih

pada tahun 2003 dan 2013.

n % n % n % n % n % n %

Dalam

Kawasan

Lahan

SendiriHGU

Dalam

Kawasan

Lahan

SendiriHGU

Luas Lahan (Ha) Tahun

2003/2008/2011

Luas Lahan (Ha) Tahun

2013

Luas (> xmax-x) 6 15% 1 3% 4 10% 4 10% 1 3% 2 5%

Sedang (xmin+x< x <xmax-x) 7 18% 3 8% 1 3% 7 18% 0 0% 0 0%

Sempit (< xmin+x) 27 68% 36 90% 35 88% 29 73% 39 98% 38 95%

05

1015202530354045

Perbandingan Pola Penguasaan lahan

Tahun 2003 dan 2013

Page 62: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

51

Sebagaimana terlihat pada gambar 5, bila dilihat dari ketiga lokasi lahan,

masyarakat lebih dominan menggunakan lahan di dalam kawasan sebanyak enam

orang atau 15 persen yang memiliki lahan pada golongan luas yang berada di

dalam kawasan pada tahun 2003 dan mengalami penurunan pada tahun 2013

hanya sekitar empat orang atau 10 persen yang hanya memiliki lahan pada

golongan luas. Namun, yang lebih terlihat jelas banyaknya penduduk yang berada

di lahan golongan sempit yang berada di lahan sendiri pada tahun 2013 sekitar 39

orang atau 98 persen itu mengalami peningkatan dari tahun 2003 yang hanya 90

persen.

Kaitan Strategi Nafkah dan Status Penguasaan

Status penguasaan lahan warga Kampung Sukagalih memang bermacam-

macam bentuk penguasaannya, mulai dari lahan milik sendiri pinjam-pakai, eks

HGU hingga bagi hasil. Namun mayoritas yang dipakai oleh warga Sukagalih

yaitu lahan milik TNGHS. Petani di Kampung Sukagalih cukup bergantung pada

keberadaan lahan TNGHS. Ketergantungan terhadap lahan TNGHS ini tentu

mempengaruhi cara petani dalam mencari nafkah bagi rumahtangganya. Saat ini

petani Sukagalih merasakan ketidakamanan dalam penggunaan lahan TNGHS

tersebut, karena lahan TNGHS telah habis masa kontraknya. Statusnya

penguasaan lahannya pun berubah menjadi tidak jelas karena pihak BTNGHS

belum memperpanjang kontrak lahan tersebut.

Mayoritas petani di Sukagalih memanfaatkan lahan tersebut untuk

kegiatan pertaniannya. Secara tidak langsung, hal ini mempengaruhi perasaan

tidak bebas dalam memanfaatkan lahan dalam keberlangsungan kegiatan

pertanian.

“Kontrak perjanjian yang dijanjikan oleh pihak TNGHS sudah habis

masa berlakunya, kami petani disini merasa cemas akibat status

penguasaan lahan yang tidak jelas. Kami takut akan ada lahan yang

dipersempit. Kalau begitu kami tidak dapat menjamin bisa

mendapatkan kehidupan yang baik.” (CA)

Ketakutan akan ditariknya lahan tersebut sewaktu-waktu oleh pihak

TNGHS menimbulkan permasalahan yang baru bagi masyarakat Sukagalih.

Terdengar kabar bahwa pihak TNGHS sengaja menunda-nunda surat kontrak

kerjasama karena akan adanya penambahan konservasi dan mulai masuknya

perusahaan perkebunan teh, sawit dan sebagainya ke daerah Kampung Sukagalih,

maka masyarakat Sukagalih terancam ekspansi dan terancam wilayah garapan

mereka dipersempit.

Page 63: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

52

Ikhtisar

Pengelolaan hutan TNGHS pada masa sebelum ditunjuk menjadi areal

konservasi berada di tangan Perum Perhutani. Pada masa itu, masyarakat masih

memiliki kebebasan untuk mengakses sumberdaya dalam hutan. Masyarakat tidak

memiliki kekuatan untuk merebut kembali lahan mereka yang berada di dalam

kawasan dan jika lahan garapan mereka yang sekarang digusur oleh Perhutani,

masyarakat hanya memiliki hak pemanfaatan terhadap lahan tersebut namun tidak

secara sah memilikinya.

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003, dilakukan

perluasan kawasan taman nasional menjadi TNGHS. Perluasan kawasan TNGHS

ini menjadikan lahan masyarakat masuk ke dalam kawasan TNGHS. Meskipun

terdapat zona-zona yang sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh warga, namun lahan-

lahan garapan warga sebelum berstatus taman nasional telah memasuki zona inti

atau zona rimba.

Tentu saja status yang sekarang tidak jelas membuat warga Sukagalih

tidak merasa aman dan merasa terancam. Inti persoalan yang terjadi di Sukagalih

yaitu masyarakat memperjuangkan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya

akibat lahan nenek moyang mereka yang diambil, kemudia wilayah garapan

mereka yang terancam dipersempit dan terancam ekpansi perkebunan teh, sawit

dan sebagainya. Maka dari itu, pengelolaan kawasan TNGHS yang dijalankan

oleh BTNGHS mempengaruhi status penguasaan lahan masyarakat, terutama

lahan yang selama ini digunakan oleh mereka untuk kegiatan pertanian. Jika

begitu, masyarakat harus memiliki pekerjaan lain selain petani untuk memenuhi

kebutuhan ekonomi mereka yang juga terus meningkat.

Page 64: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

53

PERUBAHAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA

PETANI KAMPUNG SUKAGALIH

Kampung Sukagalih merupakan salah satu kampung yang ternyata

dulunya berada di dalam kawasan TNGHS baik area pemukiman, lahan garapan,

area pemakaman dan lain sebagainya. Tempat yang dulunya mereka tempati itu

telah dinamakan menjadi zona khusus pemanfaatan, pada tahun 1963 masyarakat

Kampung Sukagalih dipaksa pindah oleh pihak-pihak yang ingin merampas lahan

nenek moyang mereka. Perlakuan tidak menyenangkan sering mereka dapatkan,

dan akhirnya mereka keluar dari lahan nenek moyang mereka dan pindah ke lahan

yang sampai sekarang mereka diami. Kondisi yang serba kekurangan dan

kebingungan bagaimana mereka harus menjalani hari-hari mereka untuk tetap

bertahan hidup.

Harapan yang mereka bangun musnah seketika lahan nenek moyang

tersebut dimbil alih oleh pihak perum Perhutani. Tahun demi tahun mereka lewati

dan memperjuangkan kebutuhan yang lebih baik. Ketika 2003 taman nasional

telah resmi disahkan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)

sebagai hutan konservasi. Warga Kampung Sukagalih tidak mendapatkan bagian

lahan untuk dapat mereka garap, namun pada tahun 2005-2007 akhirnya warga

mendapatkan bagian lahan di dalam kawasan seluas 30 hektar yaitu 15 hektar

ditanami pohon damar dan 15 hektar untuk persawahan dan ladang yang telah

mendapatkan MOU dari pihak taman nasional, yang dinamakan kawasan zona

khusus pemanfaatan. Pemberian lahan di dalam kawasan merupakan persetujuan

yang dibentuk oleh pihak taman nasional dan warga Sukagalih, untuk mengelola

kawasan hutan yang dinamakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat

(PHBM).

“Masyarakat lokal itu baru pindah dilahan ini sekitar tahun 1963,

dahulunya kami itu tinggal di dalam kawasan hutan. Pihak

perkebunan yang menyuruh kami keluar dari kawasan hutan dan

memberikan tempat disini.padahal ari kami mah tidak ingin atuh

keluar dari rumah dan lahan kami sendiri. Hanya karena kami mah

tidak punya surat-surat yang kuat untuk diberitahu.” (RP,15 April

2014)

“Atuh iya kami mah pan tidak punya nanaon neng yang mau

ditunjukan, bukti-bukti yang kami miliki hanya sejarah cerita nenek

moyang kami dan benda atau semacamna yang dijadikan untuk

penyekat ini batasan wilayah kami sampai dieu jeung ieu.” (SM, 15

April 2014)

Sumber nafkah merupakan hal terpenting untuk setiap keluarga mencapai

tujuan rumahtangga dan dapat bertahan hidup di tempat tinggal mereka. Terdapat

empat sumber nafkah rumahtangga responden Kampung Sukagalih sekarang ini

yaitu lapangan pekerjaan sebagai petani, peternakan, jasa konstruksi, dan instansi

negara. Seluruh sumber nafkah tersebut dikategorikan dalam dua struktur nafkah:

Page 65: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

54

a. Nafkah dari sumber-sumber pertanian (petani dan peternakan) atau disebut

sebagai nafkah yang bersumber dari on farm/off farm.

b. Nafkah dari sumber-sumber non pertanian (jasa konstruksi,dll) atau

disebut sebagai nafkah yang bersumber dari non farm.

Sumber nafkah dari pertanian dan non pertanian tersebut merupakan ciri

struktur nafkah warga Kampung Sukagalih yang ditunjukan oleh 40 responden

yang sudah di dapatkan. Berikut tabel persentase jenis lapangan kerja di Kampung

Sukagalih.

Tabel 9 Jumlah dan persentase jenis pekerjaan utama rumah tangga Kampung

Sukagalih tahun 2014

Jenis pekerjaan Jumlah (n) Persentase (%)

Tani 20 50

Buruh Tani 18 45

Karyawan Swasta/BUMN 2 50

Total 40 100

Tabel 9 menjelaskan beberapa profesi penduduk Kampung Sukagalih.

Profesi tersebut meliputi lapangan pekerjaan pertanian dan non pertanian.

Terdapat empat jenis profesi penduduk Kampung Sukagalih, yaitu Petani dengan

kepemilikan lahan sendiri, buruh petani, karyawan swasta dan karyawan PLN.

Profesi sebagai petani berjumlah 20 orang atau 50 persen, profesi sebagai buruh

tani 18 orang atau sebanyak 45 persen, sedangkan karyawan swasta dan karyawan

PLN hanya 50 persen atau 2 orang.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa penduduk Kampung Sukagalih

mayoritas bermata pencaharian sebagai petani yang memiliki lahan sendiri namun

tetap memanfaatkan lahan kawasan TN. Warga Kampung Sukagalih jarang ada

yang merantau keluar atau bekerja dikota, terlihat hanya dua orang saja yang

mencari nafkah di luar bidang pertanian, karena mereka bukan asli Sukagalih,

melainkan mereka kepala keluarga yang menikah dengan perempuan asli

Sukagalih dan ikut menetap disana. Warga Sukagalih tetap menjaga profesi petani

agar tidak punah dan memiliki penerus yang tetap berpendidikan tinggi.

Penduduk Kampung Sukagalih tidak hanya menggeluti pada satu jenis

lapangan pekerjaan saja. Penduduk mencari beberapa jenis pekerjaan yang lain

untuk mempertahankan keberlanjutan hidup rumah tangga atau disebut pola

nafkah ganda, hampir semua mengatakan perlu memiliki pekerjaan sampingan

untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Adapun jenis strategi nafkah yang

dimiliki warga Sukagalih sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidup adalah

sebagai berikut:

Page 66: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

55

Tabel 10 Jumlah dan persentase rumah tangga menurut jenis pekerjaan

tahun 2014

Jenis pekerjaan Jumlah Persentase (%)

Petani 0 0

Strategi nafkah ganda

Petani dan Buruh tani 1 2,5

Petani dan Berternak Kambing 7 17,5

Buruh Tani dan Berternak Kambing 9 22,5

Strategi nafkah multi

Petani, Buruh Tani, Berternak

Kambing/Ikan dan Homestay 12 30,0

Petani/Buruh Tani dan Berternak

Kambing, Homestay dan Berdagang 3 7,5

Karyawan, Petani/Buruh Tani,

Berternak Kambing/Berternak

Ayam dan Homestay 4 10,0

Petani/Buruh Tani, Berternak

Kambing, Ojeg/buruh

bangunan/penjaga hutan dan

Homestay 4 10,0

Total 40 100

Menurut Tabel 10 warga Kampung Sukagalih mayoritas bekerja sebagai

petani, namun tidak ada yang hanya menjadi petani saja (nafkah tunggal). Selain

menjadi petani, mereka juga menjadi buruh tani juga dilahan orang lain, hal ini

dilakukan oleh satu responden atau sebanyak 2,5 persen. Selain menjadi buruh

tani, pekerjaan sampingan yang dilakukan adalah berdagang, berternak kambing,

berternak ikan, berternak ayam, ojeg, home stay, penjaga hutan, maupun menjadi

buruh bangunan. Masyarakat yang memiliki lebih dari dua pekerjaan disebut

strategi nafkah multi, secara keseluruhan penduduk yang melakukan lebih dari

dua pekerjaan yaitu sebanyak 23 orang. Berikut yang diungkapkan oleh beberapa

penduduk yang memiliki lebih dari dua pekerjaan.

“Semua yang ada di Sukagalih memiliki pekerjaan sampingan yaitu

ternak, ada juga yang jadi buruh bangunan tapi hanya satu orang.

Mau bagaimanapun jenis pekerjaan utama mereka, datang ke

Sukagalih pasti melakukan ternak atau mengambil rumput untuk

pakan ternak. Kalau hanya mengandalkan dari pertanian tidak akan

dapat kebeli parabola, tv dan lain-lainnya.”(TR, 31 tahun)

“Bapak mah pekerjaan utamanya itu petani neng, tapi kalau cuman

ngandalin tani mah susah gak bisa dilihat pendapatannya seberapa

besar. Tami mah pan untung-untungan neng, kalau panennya bagus

berhasil harga jual cabai naik baru bisa dapet pendapatan besar.

Tapi, kalau lagi gagal panen terus harga jual cabe turun ya harus

sabar. Kalau dapet untung besar juga uangnya cepet ilangnya untuk

Page 67: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

56

dibayar ke pemodal bibit yaitu tengkulak. Jadi, ya segini-gini aja lagi

gak akan kaya-kaya.” (UK, 43 tahun)

“Selain jadi petani bapak masih harus kerja di lahan orang atau

biasa disebut buruh tani neng, nah kalau buruh tani biasanya bapa

dibayar 40.000 per harinya. Tapi, dalam seminggu paling bapak

dapet 2-3 kali untuk jadi buruh. Ya lumayan lah untuk nambah-

nambah pemasukan. Kalau ada tamu yang sering datang ke Sukagalih

biasanya setiap rumah itu dijadikan homestay untuk mereka tinggal,

satu kamar perhari itu Rp25 000. Karena warga kami sangat kompak

kami buat iuran atau seperti uang khas kampung kami, uangya itu

berasal dari setiap rumah yang dijadikan homestay dipotong Rp5 000

untuk dimasukan khas.” (RP, 24 tahun)

Strategi Nafkah Ganda

Pola nafkah ganda (diversifikasi nafkah) dapat dilakukan dengan

menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain

selain pertanian untuk menambah pendapatan, atau dengan mengerahkan tenaga

kerja keluarga (ayah, ibu, dan anak) untuk ikut bekerja. Pola nafkah ganda

dilakukan dengan mengerahkan sendi-sendi lain kehidupan untuk memberi jalan

menambah pundi-pundi pendapatan. Pola nafkah ganda dapat dilakukan dengan

berbagai cara yang pada intinya tidak hanya memanfaatkan satu sumber nafkah

saja. Mata pencaharian utama Kampung Sukagalih yaitu pada dasarnya sebagai

petani, baik petani padi maupun petani sayur. Rata-rata para petani di Kampung

Sukagalih melakukan hal sama yaitu strategi diversifikasi nafkah. Mereka tidak

hanya menggantungkan kehidupannya pada sektor pertanian melainkan juga pada

sektor lain di luar pertanian. Penghasilan dari sektor pertanian terhitung kecil dan

tak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mulai dari kebutuhan pangan,

listrik, pendidikan, pengeluaran tak terduga seperti rumah sakit dan sebagainya.

Sektor pertanian yang dilakukan warga juga dibatasi oleh akses petani terhadap

lahan. Akses petani Sukagalih terhadap lahan yang dipinjam dari TNGHS belum

sepenuhnya bebas. Permasalahan pemanfaatan lahan yang dibatasi oleh sistem

zonasi dan larangan perluasan menyebabkan petani tak dapat mengintensifkan

pendapatannya melalui sektor pertanian. Maka dari itu, sektor non-pertanian

menjadi sektor pendukung yang tepat bagi petani untuk mencukupi kebutuhan

rumahtangga.

Sektor non-pertanian yang dijalankan oleh masyarakat jelas ditampilkan

pada Tabel 7 terdapat perbedaan pada tiap jenis pekerjaan dari sektor non-

pertanian yang menjadi penyumbangan pendapatan terbesar, terutama di sektor

perternakan kambing yang menjadi penyumbang pendapatan terbesar. Kampung

Sukagalih merupakan kampung yang memiliki banyak ternak kambing

dibandingkan jumlah penduduknya. Berikut tabel jumlah ternak kambing yang

ada di Sukagalih.

Page 68: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

57

Tabel 11 Jumlah ternak kambing (ekor) di Kampung Sukagalih Tahun 2003 dan

2013

Jenis kelamin

kambing

Jumlah kambing (ekor)

Tahun 2003 Tahun 2013

Jantan 66 71

Betina 107 257

Anakan 0 6

Total 173 334

Tabel 11 menjelaskan jumlah ternak kambing secara kesuluran di

Kampung Sukagalih pada tahun 2003 yaitu 173 ekor dan pada tahun 2013

bertambah menjadi 334 ekor. Kambing yang ada di Sukagalih merupakan

sumbangan dari pemerintah provinsi dan kabupaten, setiap rumah tangga

diberikan sepasang kambing untuk mereka kembangbiakan agar menjadi

penghasilan tambahan mereka. Jumlah kambing yang ada di Sukagalih melebihi

jumlah penduduk Kampung Sukagalih, rata-rata warga menjual hasil ternak

mereka sesuai kebutuhan yang akan mereka penuhi. Harga jual satu ekor kambing

jantan biasanya sekitar Rp2 000 000 – Rp2 500 000, kambing betina Rp1 000 000

– Rp1 500 000, dan anaknya sekitar Rp500 000. Mereka menjual ternak ketika

kebutuhan meningkat, dan ada pengeluaran tak terduga atau ketika hasil panen

mereka tidak begitu baik. Berikut ini adalah hasil wawancara salah satu penduduk

Kampung Sukagalih.

“Bapak mah koleksi kambing aja neng buat tabungan masa depan

anak-anak, daripada harus pinjam uang ke bank keliling atau harus

pinjam ke sana sini lebih baik jual kambing, jadi gak ada beban utang

menumpuk. Biasanya bapa jual kambing buat kebutuhan sekolah

anak. Tapi, alhamdulillah sih neng rezeky mah ada aja biarpun

penghasilan dari tani tidak begitu besar untuk mencukupi kebutuhan

selama sebulan.” (SM, 45 tahun)

“Aset yang paling berguna menurut warga sini mah neng yaitu

kambing, disini mah setiap kk pasti piara kambing, malahan

kambingnya itu lebih banyak daripada warga disini. Bapa aja

alhamdulillah punya kambing 15 ekor, itu untuk tabungan masa

depan ke dua anak bapak. Mudah – mudahan kambingnya semakin

tambah, karena pendapatan terbesar ya dari hasil jual kambing.”

(AG, 34 tahun)

Strategi Migrasi

Rekayasa spasial (migrasi) merupakan usaha yang dilakukan dengan

melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen

Page 69: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

58

maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan. Di Kampung Sukagalih, migrasi

secara sirkuler maupun permanen tidak begitu dilakukan. Migrasi permanen

dilakukan oleh anggota keluarga yang kepala keluarganya bukan penduduk asli

Kampung Sukagalih, sehingga lebih memilih merantau ke luar desa. Namun, istri

dan keluarga yang ditinggalkan tetap menjalankan pertanian namun dengan satu

lahan garapan.

Migrasi sirkuler kadang terjadi ketika pendapatan para petani berkurang,

dan terjadi hanya kepada beberapa anak yang baru lulus SMA dan melanjutkan

bekerja di luar desa. Intinya, migrasi menjadi salah satu cara yang dilakukan oleh

para petani untuk membantu menunjang strategi nafkah mereka. Meskipun pada

dasarnya migrasi tersebut hanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu.

Berikut ini adalah contoh kasus dari responden yang memanfaatkan

dengan maksimal dua sektor nafkah yaitu sektor pertanian dan sektor non-

pertanian. Kedua sektor ini dijalankan bersama-sama untuk membantu mencukupi

kebutuhan rumah tangga.

Kotak 01. Kasus responden AS (42 tahun)

Bapak AS adalah seorang kepala keluarga yang bekerja sebagai petani. Ia bertani dengan

menanam padi, cabai, timun, kacang panjang, dan kacang merah. Meskipun banyak

varietas tanaman yang ditanam, hasil yang diperoleh memang tidak seberapa. Dari padi,

per panen ia hanya bisa menghasilkan 2-3kw saja dengan harga jual Rp4 500/kg dan

pendapatan bersih sekitar Rp900 000 – Rp1 350 000 sedangkan tanaman cabai

menghasilkan satu ton dengan harga jual yang tidak menentu, apabila harga cabai dipasar

naik maka dapat terjual dengan harga Rp6 000 – Rp30 000/kg dengan pendapatan kotor

sekitar Rp6 000 000 – Rp30 000 000 , namun bila harga cabai rendah, petani hanya dapat

menjual seharga Rp4 000/kg atau dengan pendapatan sebesar Rp4 000 000. Hal ini

dikarenakan tanah yang semakin sering digunakan menanam cabai atau padi akan

semakin berkurang kualitas kesuburan tanahnya, maka hasil panen pun dapat menurun.

Untuk itu warga Sukagalih mengakalinya dengan cara menanam bibit lain atau menanam

bibit lain disela-sela tanaman cabai. Pendapatan dari sektor pertanian ini tidaklah

mencukupi kebutuhan rumah tangga, maka ia lebih banyak memanfaatkan sektor non-

pertanian. Ia bekerja mengambil rumput untuk pakan ternak kambingnya 32 ekor, selain

memiliki ternak kambing ia memiliki ternak ikan. Pendapatan yang di dapat dari hasil

ternak kambing dan ikan memang lebih besar yaitu sekitar Rp2 000 000 – Rp3 000 000.

Selain dari tani dan ternak, iya memiliki uang tambahan dari rumahnya yang sering

dijadikan homestay. Jika diakumulasikan, dalam setahun pendapatannya berkisar Rp 18

000 000 dan dalam sebulan berkisar Rp1 000 000 – Rp2 000 000 namun pendapatan itu

pun belum tentu karena pengaruh harga cabai yang tidak menentu. Mengingat pendapatan

dari sektor pertanian hanya sekitar Rp300 000 – Rp400 000 perbulan tidak cukup untuk

memenuhi kebutuhan sekolah kedua anaknya yang duduk dibangku SMA dan SD,

kebutuhan rumahtangga dan lain-lain.

Kasus Bapak AS memperlihatkan sangat memaksimalkan sektor lain,

selain ia menjadi petani ia juga menjadi buruh tani, ternak kambing, ternak ikan

dan homestay. Secara umum tujuan dari mengintensifikan kedua sektor nafkah ini

adalah sebagai tambahan penghasilan bagi rumahtangga. Pemasukan dari sektor

pertanian saja tidak cukup sehingga membutuhkan dukungan sektor non-pertanian

untuk mencakupi kebutuhan sehari-hari rumahtangga.

Page 70: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

59

Pemanfaatan Livelihood Asset dalam Penerapan Strategi Nafkah

Penerapan strategi nafkah rumahtangga petani juga memanfaatkan

berbagai sumberdaya yang dimiliki dalam upaya untuk dapat bertahan hidup

(Scoones 1998 dalam Turasih 2011). Lima bentuk modal atau biasa disebut

livelihood asset menurut Ellis (2000) yaitu modal sumberdaya alam, modal fisik,

modal finansial, modal sosial, dan modal manusia.

Modal Sumberdaya Alam (Natural Capital)

Modal ini disebut sebagai lingkungan yang merupakan gabungan dari

berbagai faktor biotik dan abiotik di sekeliling manusia. Modal ini dapat berupa

sumberdaya alam yang bisa diperbaharui maupun tidak bisa diperbaharui,

diantaranya air, tanah, pepohonan, stok kayu dari kebun atau hutan, stok ikan

diperairan, maupun sumberdaya mineral seperti minyak, emas, batu bara, dan

lainnya. Kampung Sukagalih memiliki modal sumberdaya alam yang lebih

mengarah pada keberadaan kawasan hutan konservasi TNGHS. Masyarakat hanya

dapat memanfaatkan lahan di dalam kawasan hutan TNGHS sebagai lahan

pertanian. Masyarakat berbondong-bondong ingin memiliki lahan-lahan bekas

perusahaan perkebunan yang telah di HGU kan kepada masyarakat, namun

sekarang lahan HGU itu menjadi lahan yang tidak diketahui statusnya atau dapat

dibilang sudah habis masa HGUnya, karena pemerintah belum memutuskan

kembali lahan tersebut akan diperpanjang HGUnya atau lahan tersebut menjadi

tanah terlantar.

Lahan taman nasional, sumber mata air alami dari hutan konservasi

TNGHS ini juga dimanfaatkan oleh warga. sumber air dari mata air dipergunakan

warga untuk kebutuhan sehari-hari dengan cara membuat jalur untuk mengalirkan

air ke rumah-rumah melalui pipa besar. Air ini selain untuk tanaman pertanian

mereka, kebutuhan rumahtangga seperti keperluan mandi, mencuci, dan minum.

Modal Fisik (Physical Capital)

Modal fisik merupakan modal yang berbentuk infrastruktur dasar seperti

jalan, gedung dan lain sebagainya. Kampung Sukagalih adalah kampung yang

memiliki jalan tidak begitu lebar, tidak beraspal, dan jalanannya pun rusak

berbatu. Meskipun jalanan yang tidak begitu baik, Kampung Sukagalih tetap

menjadi tempat yang sering dikunjungi oleh seluruh masyarakat luar yang ingin

mengetahui keindahan dan kelebihan yang dimiliki oleh Kampung Sukagalih.

Wilayah Kampung Sukagalih cukup luas dan jarak menuju kantor desa serta antar

dusun pun sangat jauh sehingga membutuhkan transportasi ojek.

Kepemilikan aset dalam rumahtangga pun bisa dikategorikan sebagai

modal fisik. Kepemilikan rumah, tanah warisan, kendaraan bermotor, TV,

parabola, handphone, perhiasan dan sebagainya dapat dikategorikan sebagai

modal fisik bagi masyarakat. Kendaraan bermotor yang mereka miliki biasanya

dipergunakan untuk pekerjaan tambahan mengojek jika tidak sedang bertani

Page 71: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

60

Modal Manusia (Human Capital)

Merupakan modal utama pada masyarakat yang dikategorikan “miskin”.

Modal ini berupa tenaga kerja yang tersedia dalam rumahtangga yang dipengaruhi

oleh pendidikan, keterampilan, dan kesehatan untuk dapat memenuhi kebutuhan

hidup. Rata - rata tingkat pendidikan masyarakat Kampung Sukagalih hanya

sampai tamat sekolah dasar. Hal ini karena kemampuan ekonomi yang rendah

sehingga tak mampu membiayai pendidikan yang lebih tinggi dan akibatnya

mayoritas mata pencahariannya sebagai petani. Tingkat pendidikan mulai

meningkat semenjak ada dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), para orang

tua yang dulunya hanya lulusan SD ingin anak-anaknya menduduki bangku

sekolah yang lebih tinggi dibanding mereka, agar kelak mendapatkan pekerjaan

yang lebih baik namun tetap tidak melupakan kampung halaman.

Rumahtangga petani Kampung Sukagalih cukup memanfaatkan modal

manusia untuk membantu meingkatkan pendapatan. Beberapa petani

memanfaatkan dan mengupah tenaga kerja di luar tenaga kerja keluarga untuk

membantu mengolah tanah pertanian. Upah untuk tenaga kerja atau buruh tani

sebesar Rp 40 000 per hari.

Modal Finansial (Financial Capital)

Modal berupa uang yang digunakan oleh suatu rumahtangga. Modal ini

dapat berupa tabungan, uang tunai, ataupun pinjaman. Peminjaman modal di

Sukagalih ini biasanya melalui akses pinjaman ke tengkulak berupa pupuk, bahan

dan alat untuk modal pertanian, atau mereka menjual ternak kambing yang

mereka miliki. Warga Sukagalih tidak pernah berani meminjam uang ke bank,

bank keliling maupun ke tetangga karena, selain para tetangga yang mayoritas

sama-sama tidak begitu mampu dan mereka takut apabila pinjam ke bank keliling

dapat menambah hutang. Warga cenderung tidak memiliki tabungan, baik di

rumah maupun di bank. Alasannya, uang pemasukan telah habis digunakan untuk

kebutuhan sehari-hari dan modal untuk kegiatan pertanian berikutnya.

Modal Sosial (Social Capital)

Menurut Widianto, Dharmawan, dan Prasodjo (2009), Modal sosial juga

berpengaruh terhadap kapabilitas yang menyangkut kemampuan beradaptasi pada

tekanan dan menemukan peluang-peluang strategi nafkah. Modal ini merupakan

gabungan komunitas yang dapat memberikan keuntungan bagi individu atau

rumahtangga yang tergabung di dalamnya. Modal sosial disini lebih kepada

jaringan kerja (networking) yang merupakan hubungan vertikal maupun hubungan

horizontal untuk bekerja sama dan memberikan bantuan untuk memperluas akses

terhadap kegiatan ekonomi. Hal ini menunjukkan sosial capital berperan penting

dalam memfasilitasi rumah tangga petani untuk dapat mengakses sumberdaya

lainnya. Hubungan kerja terjalin antara beberapa pihak, jaringan sosial terbentuk

antara warga (petani) dengan pihak TNGHS dinilai saling menguntungkan, petani

diberi kebebasan untuk bercocok tanam di lahan kawasan zona khusus

Page 72: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

61

pemanfaatan, namun dengan syarat-syarat tertentu seperti petani tidak boleh

menebang pohon hutan dan mengambil kayu untuk dijual atau untuk membangun

rumah.

Jaringan kerjasama lainnya antara warga dengan peneliti dimana warga

diminta untuk menjadi buruh hutan. Tugas buruh hutan adalah membantu peneliti

mendapatkan informasi terkait dengan sumberdaya dalam kawasan hutan

TNGHS. Kemudian jaringan yang terjalin yaitu antar petani dengan tengkulak,

dimana tengkulak membantu para petani untuk meminjamkan modal usaha.

Semua hubungan networking, pada dasarnya harus dilandasi oleh kepercayaan

(trust). Pihak-pihak yang terkait dengan masyarakat Sukagalih menjalin trust yang

kuat sehingga mampu bekerja sama menjaga kelangsungan hutan.

Diversifikasi Pendapatan

Diversifikasi pendapatan penting dilakukan untuk memenuhi kebutuhan

hidup rumahtangga yang besar pengeluarannya. Diversifikasi pendapatan berarti

memaksimalkan pendapatan dari berbagai sumbernafkah, entah pertanian atau

non-pertanian, untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga. Kebutuhan hidup yang

semakin besar tentunya membutuhkan pendapatan yang besar untuk

mengimbanginya. Masyarakat Kampung Sukagalih, rata-rata melakukan

diversifikasi dalam pendapatannya. Mereka memaksimalkan pendapatan dari

berbagai sumber nafkah yang mereka jalankan seperti pekerjaan sebagai petani,

buruh tani, buruh ternak, buruh bangunan, pedagang warung, ojek, satpam hutan,

dan lainnya. Mereka tidak akan mampu menghidupi keluarga jika hanya

mengandalkan atau bergantung pada satu sumber nafkah. Berikut salah satu

responden yang bercerita mengenai mata pencahariannya.

“Mata pencaharian masyarakat Sukagalih mayoritas itu memang

petani, namun untuk mengandalkan pendapatan dari tani saja tidak

akan mencukupi kebutuhan rumahtangga kami. Semenjak kami pindah

tempat tinggak, kami memperjuangkan kehidupan yang lebih baik

dengan cara mencari nafkah selain dari tani. Sebenarnya tidak ingin

bekerja banyak-banyak, tapi demi masa depan anak-anak sekarang

saya dan istri rela untuk bekerja menjadi buruh tani, ternak kambing,

buruh hutan, satpam hutan sampai rumah kami pun sering kami

jadikan homestay untuk para wisatawan yang datang dan ingin

menginap. Kalau dilihat dari pekerjaan kami yang banyak itu, ternyata

masih belum mencukupi kehidupan rumahtangga kami yang semakin

kesini kebutuhan semakin meningkat. Namun, dari ternak kambing dan

satpam hutan alhamdulillah ada saja rezekynya dan kami tidak harus

meminjam uang kepada bank keliling atau tengkulak.” (AE, 34tahun)

Diversifikasi pendapatan tentu dipengaruhi oleh kebutuhan ekonomi yang

besar dan jumlah tanggungan yang banyak. Maka dari itu, masyarakat Sukagalih

Page 73: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

62

tidak hanya bergantung dari pertanian saja, mereka memanfaatkan sektor non-

pertanian untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.

Pendapatan Usaha Tani

Pendapatan dari usaha tani masyarakat Kampung Sukagalih bisa diperoleh

dari beberapa sumber pemdapatan, diantaranya menghasilkan pendapatan dari

mengelola lahan sendiri sebagai petani padi atau sayur dan menjadi buruh tani.

Untuk pendapatan dari petani padi tidak memberikan penghasilan secara

langsung, karena rata-rata hasil panen padi digunakan untuk kebutuhan konsumsi

beras sehari-hari. Dari hasil penelitian 40 responden, mengkonsumsi padi dari

hasil panen mereka agar berhemat tidak perlu membeli beras. Mereka

mengutamakan uangnya agar dapat membeli lauk, bensin, bayaran sekolah, jajan

anak dan sebagainya. Namun, apabila beras yang dimiliki sekiranya masih sangat

cukup untuk setahun, mereka baru menjual atau memberikan kepada warga yang

tidak memiliki beras. Berikut adalah tabel pendapatan pertanian untuk

menjelaskan lebih lengkap mengenai jenis pendapatan kotor dari tiap golongan

pendapatan.

Tabel 12. Rata-rata pendapatan penduduk perbulan dari sektor pertanian pada

setiap golongan pendapatan menurut sumberdaya tahun 2003 dan

2013

Rp/RT/bulan 2003 2013

n % n % ≥850.000 1 2,5 1 2,5

850.000>Rp>420.000 1 2,5 0 0

420.000≥ 38 95,0 39 97,5

Total 40 100 40 100

Kemudian Tabel 13 di bawah ini memperlihatkan rata-rata pendapatan dari

usaha pertanian selama satu bulan dalam bentuk angka persentase. Angka

persentase ini ditampilkan untuk memudahkan pembaca dalam membandingkan

rata-rata pendapatan penduduk pada tiga golongan dari sektor pertanian. Tabel di

atas memperlihatkan bahwa jumlah pendapatan sebagai petani menyumbang rata-

rata tahun 2003 sekitar 95 persen pada golongan rendah, 2,5 pada golongan

sedang, dan 2,5 pada golongan tinggi. Persentase pada golongan rendah tahun

2013 rata-rata menigkat sekitar 97,5 persen, 2,5 pada golongan tinggi masih tetap

sama, dan pada golongan rendah menurun menjadi 0 persen. Artinya pendapatan

masyarakat yang tergantung terhadap lahan dan pertanian ternyata belum dapat

memenuhi kebutuhan rumahtangga yang semakin meningkat. Namun, semakin

banyaknya masyarakat di golongan rendah menyatakan bahwa kurangnya akses

lahan yang dapat mereka gunakan, hasil panen yang berkurang karena faktor

tanah yang sering digunakan, dan harga jual yang sedang rendah.

Page 74: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

63

Pendapatan Usaha Non-Pertanian

Masyarakat Sukagalih telah menjadikan sektor non-pertanian menjadi

bagian dari cara bertahan hidupnya. Sektor non-pertanian yang dijalankan

masyarakat pun bermacam-macam, mulai dari tukang ternak kambing, ternak

ayam, ternak ikan, ojek, pedagang warung, buruh bangunan, satpam hutan, buruh

hutan, dan karyawan swasta. Pemasukan dari sektor non-pertanian telah mampu

mencukupi kebutuhan rumahtangga masyarakat Sukagalih yang tergolong masih

susah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pendapatan-pendapatan lain dari

sektor non-pertanian dijadikan sebagai pekerjaan sampingan ketika tidak bertani

atau setelah selesai melakukan pekerjaan tani.

Pendapatan yang di dapat dari sektor non-pertanian memberikan

pemasukan yang lebih besar dibandingkan dari sektor pertanian. Rata-rata

masyarakat yang bekerja di bidang non-pertanian memiliki penghasilan yang lebih

besar.

a. Golongan tinggi memiliki ternak kambing guna untuk menabung bila

keperluan belum terpenuhi. Kemudian, mereka juga membuka warung,

menjadi burh hutan, satpam hutan, ataupun menjadikan rumah mereka

homestay.

b. Golongan Sedang masyarakat masih memiliki ternak kambing, hanya yang

berbeda jumlah kambingnya. Selain itu mereka menjadikan rumah mereka

homestay, karena mampu memberika pemasukan tambahan.

c. Golongan rendah diperoleh dari pekerjaan sebagai buruh bangunan, buruh

ternak, atau pun memiliki ternak ayam dan ikan. Mereka yang masuk

kedalam golongan rendah, rata-rata pasangan yang baru menikah dan baru

memiliki satu orang anak.

“Hasil pertanian yang didapat kurang cukup atuh neng untuk

kebutuhan sehari-hari. Cabai yang sudah panen tidak dapat

diprediksi terkadang harga jual tinggi, kadang hasil panennya kurang

bagus, kadang kalau harga jual rendah gak menutupi modal.

Makanya saya memperbanyak ternak kambing dan membuka warung

agar pendapatan alhamdulillah bertambah.” (TR, 31 tahun)

“Kalau saya hanya bergantung sama pertanian aja itu gak menutupi

semuanya. Bapak punya ternak kambing kurang lebih sekitar 15 ekor,

itu juga untuk tabungan kalau ada keperluan yang tidak terpenuhi

jadi bisa bapak jual kambingnya. Terus, bapak juga jadi satpam hutan

karena pendapatannya yang lumayan. Kerja di ladang kan hanya dari

hari Senin-Jumat, Jumat juga itu cuman setengah hari jadi untuk

mengisi waktu yang kosong bapak bekerja jadi satpam hutan dan

kadang suka menjadi buruh hutan.” (NY,30 tahun)

Persentase pendapatan dari sektor non-pertanian terlihat besar, masyarakat

mengandalkan pendapatan dari sektor pertanian karena dianggap paling

mencukupi atau menutupi untuk kebutuhan sehari-hari. Berikut ini adalah tabel

Page 75: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

64

yang menunjukkan rata-rata jumlah pendapatan non-pertanian pada tiap golongan

pendapatan menurut jenis pendapatannya.

Tabel 13 Rata-rata pendapatan penduduk perbulan dari sektor non-pertanian pada

setiap golongan pendapatan menurut sumbernya tahun 2003 dan 2013 Sumber

pendapatan

Rata-rata pendapatan rumahtangga/bulan (Rp)

Petani golongan tinggi Petani golongan sedang Petani golongan rendah

2003 2013 2003 2013 2003 2013

Ternak 14 875 000 16 500 000 7 200 000 7 464 705,88 1 494 230,77 2 960 714,29

Warung 0 2 500 000 0 1 500 000 0 800 000

Buruh Bangunan 100 000 180 000 0 0 0 0

Satpam Hutan 0 500 000 0 0 0 0

Buruh Hutan 0 300 000 0 250 000 0 150 000

Homestay 0 1 500 000 0 0 0 0

Total 14 975 000 21 530 000 7 200 000 9 214 705 1 494 230 3 910 714

Tabel 13 di atas memperlihatkan angka mutlak rata-rata pendapatan non-

pertanian per tahun. Hasil analisis memperlihatkan bahwa yang menyumbang

pendapatan tertinggi yaitu sumber pendapatan dari ternak pada tahun 2003 sebesar

Rp14 875 000 dan tahun 2013 sebesar Rp16 500 000 yang termasuk pada

golongan tinggi. Pada golongan tinggi untuk total sumber pendapatan tahun 2003

sebesar Rp14 975 000 dan tahun 2013 sebesar Rp21 530 000. Masyarakat

Sukagalih terlihat sangat bergantung pada sumber pendapatan dari ternak yang

dapat memenuhi atau mencukupi kehidupan sehari-hari.

Pendapatan total rumahtangga

Pendapatan total rumahtangga merupakan penjumlahan dari pendapatan

yang diperoleh oleh rumahtangga dari berbagai sumber nafkah. Masyarakat

Sukagalih memperoleh nafkah dari sektor pertanian dan non-pertanian. Kedua

sektor tersebut saling melengkapi untuk memenuhi kebutuhan mereka yang lebih

besar daripada pendapatannya. Berdasarkan tabel-tabel di atas, diperoleh bahwa

golongan pendapatan rendah dan sedang lebih banyak memperoleh dari sektor

pertanian. Sedangkan pada golongan pendapatan tinggi, pendapatan justru lebih

banyak diperoleh dari sektor non-pertanian.

Pendapatan masyarakat petani dari sektor non-pertanian baik di tingkat

pendapatan rendah, sedang, maupun tinggi tergolong cukup besar. Bila dianalisis

secara umum, pendapatan dari sektor non-pertanian cukup besar bila dilihat dari

Page 76: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

65

basis nafkah utama masyarakat yang dasarnya sebagai petani. Masyarakat petani

Sukagalih ini melakukan bermacam-macam kegiatan non-pertanian untuk

menutupi pendapatan mereka dari sektor pertanian yang terbilang kecil dan tidak

dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Sebagian besar rumahtangga pedesaan pada umumnya tidak dapat

menghindar dari resiko, apakah yang disebabkan oleh manusia atau karena faktor

lingkungan, dan mereka biasanya memanajemen struktur nafkah sehingga mampu

meminimalkan resiko, tergantung kepada sumberdaya yang dimiliki (Ellis 2000).

Strategi nafkah rumahtangga merupakan landasan pilihan aktivitas nafkah yang

dilakukan untuk memenuhi kebutuhan atau mencapai tujuan rumahtangga.

Sumberdaya yang dimiliki oleh rumahtangga petani mempengaruhi aktivitas

nafkah, demi memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Dharmawan (2007)

menyatakan bahwa strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh

individu ataupun kelompok untuk mempertahankan kehidupan mereka dengan

tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial dan sistem nilai

budaya yang berlaku. Upaya memperjuangkan kehidupan ekonomi rumahtangga

petani akibat berbagai risiko, biasanya mekakukan diversifikasi sumber nafkah

yaitu proses yang dilakukan oleh keluarga pedesaan untuk melakukan berbagai

aktivitas dan kemampuan dorongan sosial dalam upaya berjuang untuk bertahan

hidup dan untuk meningkatkan standar hidup.

Berbagai alasan individu dan rumahtangga melakukan diversifikasi

sebagai strategi nafkah adalah karena keterpaksaan dan pilihan mereka. Istilah

yang sering digunakan adalah bertahan hidup (survival) dan pilihan atau antara

bertahan hidup (survival) dan akumulasi. Contoh kasus suatu kondisi yang

memaksa misalnya tidak adanya akses lahan bagi petani, lahan yang semakin

sempit dan lain-lain.

Kotak 02. Kasus responden UA

Bapak UA adalah seorang buruh tani yang bekerja di lahan orang lain, membantu orang

lain untuk bertani. Ketika dulu bapak UA memiliki lahan sendiri yang dapat dipakai

umtuk bertani. Namun, ketika lahan hutan dijadikan sebagai TN yang dikonservasikan,

bapak UA tidak memili lahan sendiri untuk bertani, hanya memiliki lahan rumah untuk

bernaung. Susahnya untuk menjalankan kehidupan sehari-hari, bapak mulai berusaha

mencari pekerjaan selain menjadi buruh tani. Karena, buruh tani hanya bekerja jika

dipakai oleh pemiliki lahan yang ingin lahannya digarap. Jika bapak UA bergantung

dengan pekerjaannya dibidang pertanian saja tidak akan cukup untuk memenuhi

kebutuhan sehari-harinya. Akhirnya mulailah dia mencari pekerjaan diluar pertanian

untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, tidak hanya satu pekerjaan yang dilakukan

namun strategi nafkah multi dilakukan oleh bapak agar tetap bertahan dan sejahtera. Jika

dia hanya bergantung dan pasrah menerima keadaan lahan yang semakin sempit, dia tidak

akan dapat hidup. Semua dia lakukan hanya untuk bertahan dari kesulitan yang

dialaminya. Luasnya lahan dan status lahan dapat mempengaruhi mata pencaharian dan

cara untuk bertahan hidup, maka kebanyakan masyarakat Sukagalih memilik cara

bertahan hidup dengan melakukan lebih dari satu mata pencaharian.

Masalah yang timbul tidak hanya pada contoh kasus 02, namun masih

banyak masalah-masalah yang mengakibatkan masyarakat Sukagalih melakukan

strategi bertahan hidup yang begitu berat, misalnya: tidak adanya akses lahan bagi

Page 77: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

66

petani, lahan yang semakin sempit akibat fragmentasi lahan warisan, gagal panen

dan lain-lain.

White dalam Widiyanto et al (2009), membedakan rumahtangga petani

kedalam tiga kelompok dengan strategi nafkah yang berbeda.

1. Strategi akumulasi: Rumahtangga yang mengusahakan tanah pertanian

luas, yang menguasai surplus produk pertanian diatas kebutuhan hidup

mereka. Surplus ini seringkali dimanfaatkan untuk membiayai pekerjaan di

luar sektor non-pertanian, dengan imbalan penghasilan yang relatif tinggi.

Pada strategi ini yang diterapkan adalah strategi akumulasi dimana hasil

pertaniannya mampu diinvestasikan kembali baik pada sektor pertanian

maupun non-pertanian.

2. Strategi konsolidasi: Rumahtangga usaha tani yang hanya mampu

memenuhi kebutuhan subsisten. mereka biasanya bekerja pada sektor non-

pertanian dalam upaya melindungi diri dari gagal panen atau memberikan

sumber pendapatan yang berkelanjutan mengingat usaha pertanian bersifat

musiman.

3. Strategi bertahan hidup (survival): Rumahtangga usaha tani tidak bertanah,

maksudnya yaitu mereka bekerja dari usaha tani namun meminjam lahan

orang lain, bekerja di ladang orang lain ataupun disebut buruh tani, dimana

penghasilannya tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar.

Dianalisis secara umum, iklim dan cuaca, biaya produksi, luas lahan yang

dimanfaatkan, serta nilai jual hasil panen yang rendah adalah beberapa faktor

yang mempengaruhi pendapatan dari sektor pertanian yang tidak mencukupi.

Kebutuhan rumahtangga dan pendidikan anak yang meningkat sehingga mau tidak

mau masyarakat petani harus melakukan pekerjaan lain untuk mendapatkan hasil

yang memuaskan. Munculnya sektor non-pertanian membuat masyarakat

Sukagalih sukses mendapatkan tambahan penghasilan yang membuat masyarakat

menjadi lebih sejahtera, bahkan dengan persentase yang lebih besar daripada

pendapatan di sektor pertanian.

Sektor non-pertanian telah membuat masyarakat Sukagalih menjadi lebih

sejahtera. Meskipun pendapatan masyarakat lebih besar didapat dari sektor non-

pertanian, mereka tidak akan pernah meninggalkan dan melupakan basis nafkah

utama mereka sebagai petani. Karena, bagi mereka pertanian adalah tempat

mereka bernaung dan bergantung. Mereka tidak ingin meninggalkan lahan

pertanian yang sudah dijalankan oleh nenek moyang mereka terdahulu, dan

mereka selalu mengajarkan kepada anak-anak mereka agar tidak pernah lupa

dengan masa lalu tidak seperti kacang lupa kulitnya.

Berikut ini adalah Tabel 14 yang menunjukan rata-rata dari total pendapatan

baik sektor pertanian maupun sektor non-pertanian pada tiap golongan pendpatan

menurut jenis pendapatannya.

Page 78: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

67

Tabel 14 Kontribusi sumber pendapatan bersih pertanian dan non-pertanian

terhadap rata-rata pendapatan responden per bulan pada setiap

golongan pendapatan tahun 2003 dan 2013

Sumber

pendapatan

Rata-rata pendapatan rumahtangga/bulan (Rp)

Petani golongan tinggi Petani golongan

sedang

Petani golongan

rendah

2003 2013 2003 2013 2003 2013

Pertanian 1 500 0000 1 714 286 554 545 866 667 300 000 464 583

Non-pertanian 2 500 000 3 500 000 2 000 000 2 250 000 500 000 1 500 000

Total 4 000 000 5 214 286 2 055 454 3 116 667 800 000 1 964 583

Tabel 14 di atas menunjukkan rata-rata dilihat dari total pendapatan dari

sektor pertanian maupun sektor non-pertanian pada tahun 2003 sebesar Rp4 000

000 dan 2013 sebesar Rp5 214 286 termasuk kedalam golongan tinggi. Pendapatan dari sektor pertanian tentu saja tidak mampu memenuhi kebutuhan

hidup, maka warga mengandalkan sektor non-pertanian untuk mencukupinya.

Pada tahun 2007 warga Sukagalih mulai mendapatkan perhatian dari pihak

provinsi dan kabupaten. Pihak-pihak tersebut memiliki program yang sekiranya

dibutuhkan oleh warga Sukagalih, untuk dapat meningkatkan perekonomian

warga. Maka pihak pemerintah provinsi dan kabupaten memberi dua pasang ekor

kambing kepada setiap kepala keluarga, agar mereka tidak hanya bergantung pada

pendapatan pertanian dan tengkulak untuk meminjam uang.

Warga Sukagalih tidak lagi dapat disebut sebagai petani murni, karena

pendapatan dari sektor non-pertanian cukup besar dan jumlah kambing yang

melebihi jumlah penduduk Kampung Sukagalih. Namun warga Sukagalih tetap

bersandar kepada tiang utama yaitu pertanian. Meski pendapatan terbesar mereka

di sektor non-pertanian, tidak berarti banyak warga yang melakukan migrasi dan

yang bekerja di kota, semua tetap berdiri di sektor pertanian yang dibantu oleh

sektor non-pertanian yaitu ternak kambing, polisi hutan, buruh hutan, serta

lainnya.

Ikhtisar

Tingkat pendapatan dari sektor pertanian dari on-farm dan off-farm, yaitu

sebagai petani dan buruh tani. Masyarakat Sukagalih mayoritas adalah petani,

petani yang menanam padi dan sayur. Namun, mayoritas mereka menjadi petani

sayur untuk memperoleh pendapatan yang berbentuk uang dari hasil produksinya.

Padi yang mereka tanam lebih sebagai konsumsi keluarga saja (pertanian

subsisten). pendapatan dari sektor non-pertanian diperoleh dari pekerjaan seperti

buruh bangunan, satpam hutan, buruh hutan, homestay, ojeg, atau pedagang

warung.

Page 79: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

68

Pendapatan pertanian per bulan hampir seimbang, hanya berbeda ketika

panen cabai meningkat dan harga jual meningkat. Bila dilihat dari konstribusi

pendapatan pertanian dan sektor non-pertanian terhadap rata-rata pendapatan

rumahtangga per bulan hampir seimbang. Hasil penelitian telah memperlihatkan

bahwa pendapatan masyarakat Sukagalih di dominasi pendapatan melalui non-

pertanian yang diperlihatkan dengan tiga golongan, untuk golongan tinggi sebesar

Rp3 500 000, pendapatan pada golongan sedang Rp2 250 000 dan pada gologan

rendah sebesar Rp1 500 000.

Pemerintah provinsi dan kabupaten memberikan sepasang kambing kepada

setiap kepala keluarga di Sukagalih, yang bertujuan untuk meningkatkan

perekonomian warga Kampung Sukagalih. Semua itu dilihat dari total pendapatan

bersih bidang non-pertanian yang ternyata pendapatan ini yang menyumbang

lebih besar dibanding pendapatan dari pertanian. Penyumbang pendapatan

terbesar dari non-pertanian itu dari ternak kambing yang dimiliki setiap

responden. Karena itu, Kampung Sukagali disebut kampung yang jumlah ekor

kambing lebih banyak dibandingkan jumlah manusia.

Page 80: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

69

PENUTUP

Simpulan

Studi ini berangkat dari hipotesa bahwa perluasan TNGHS membawa

pengaruh kepada perubahan struktur akses dan strategi nafkah masyarakat

Kampung Sukagalih. Dalam kajian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa

kesimpulan penting. Pertama perluasan TNGHS telah menyebabkan perubahan

status penguasaan lahan pertanian di Kampung Sukagalih. Setelah adanya

perluasan dan penetapan hutan konservasi di kawasan TNGHS, lahan yang semula

dapat diakses untuk lahan garapan menjadi lebih sempit dibandingkan

sebelumnya.

Konservasi dan perluasan TNGHS ini berdampak pada perubahan mata

pencaharian, strategi nafkah rumahtangga petani, penguasaan lahan dan aktivitas

rumahtangga petani Sukagalih. Namun akibat ada peran Cifor yang mendampingi,

masyarakat Sukagalih mendapatkan izin dari pihak Balai TNGHS dapat

mengakses lahan seluas 30ha yang terdiri dari 15ha yang ditanami pohon damar

dan 15ha persawahan serta adopsi pohon di dalam zona khusus pemanfaatan.

Diberbagai TN yang lain seperti TNGGP perluasan membawa pengaruh

negatif terhadap luas lahan yang dikuasai. Namun di TNGHS masyarakat dapat

mengakses lahan dalam kawasan sesuai perjanjian bersama pihak TNGHS, berkat

adanya kolaborasi masyarakat dengan pihak Cifor.

Perubahan mata pencaharian yang terjadi terlihat signifikan, pada awalnya

responden bermata pencaharian hanya pada sektor pertanian, sekarang sebagian

besar bermata pencaharian kombinasi dari sektor pertanian dan non-pertanian.

Warga Sukagalih memperjuangkan kehidupan yang lebih baik dengan beragam

cara melakukan strategi nafkah. Mereka mencoba bekerja tidak hanya di satu

bidang saja namun mencarai pendapatan dari strategi nafkah ganda dan strategi

nafka multi.

Perubahan strategi nafkah untuk bertahan hidup ini dilakukan dengan

mengkombinasi berbagai aneka nafkah dari sektor pertanian dan non-pertanian.

Namun, pendapatan warga Sukagalih didominasi oleh pendapatan dari ternak,

ternak kambing milik warga Sukagalih sangat membantu kemajuan perekonomian

mereka. Wilayah garapan masyarakat yang dipersempit oleh pihak-pihak

berkuasa, mengakibatkan masyarakat susah untuk menggarap dan mencari

peruntungan lain.

Pola kepemilikan lahan di Kampung Sukagalih antara lain kepemilikan

melalui warisan, dan jual beli. Kepemilikan lahan melalui sistem waris lebih

banyak dibandingkan melalui jual beli karena rata-rata masyarakat tidak menjual

lahan mereka, melainkan menggunakannya untuk kegiatan pertanian. Sedangkan

pola penguasaan lahan antara lain sistem pinjam-pakai yang digunakan pada lahan

di dalam kawasan TNGHS, sistem bagi hasil yang digunakan untuk lahan milik

orang lain di luar kampung, dan juga lahan eks HGU.

Khusus untuk lahan di kawasan TNGHS, terdapat sistem zonasi yang

mengatur kawasan-kawasan yang boleh dimanfaatkan dan dilarang dimanfaatkan

Page 81: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

70

untuk kegiatan di luar konservasi. Saat ini kondisi Kampung Sukagalih terancam

ekspansi perkebunan teh dan sawit, mulai banyaknya perkebunan sawit yang

masuk membuat warga Sukagalih merasa takut dan tidak tenang. Karena

perjanjian lahan dengan pihak TNGHS dan eks HGU telah habis kontrak.

Saran

Saran yang dapat diberikan oleh peneliti adalah proses dalam persoalan

pengelolaan lahan oleh masyarakat, seharusnya pemerintah melihat dengan benar

apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, jangan membuat peraturan tanpa melihat

keadaan sekitar. Warga Sukagalih yang sejak dulu berada tinggal di dalam

kawasan konservasi merasa hak-hak mereka terenggut. Perjanjian pinjam pakai

lahan di TNGHS sudah habis, seharusnya pemerintah cepat menyelesaikan

perpanjangan kontrak, jika tidak dapat membuat masyarakat tidak tenang. Inti

permasalahan yang ada segera diselesaikan dengan cara pemerintah harus

mengetahui sebenarnya program yang dibutuhkan masyarakat itu apa, bukan

membuat program demi kekuasaan semata. Selain itu, pemerintah harus

melindungi dan melihat bahwa masyarakat sukagalih berhak untuk mendapatkan

hak dan kesejahteraan untuk hidup. petani membutuhkan rasa aman dan nyaman

dalam melakukan aktivitas nafkah, jika petani telah mendapatkan rasa aman

tersebut, tentu saja petani dapat lebih memaksimalkan sektor pertanian yang

menjadi basis nafkah mereka sejak dulu.

Page 82: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

71

DAFTAR PUSTAKA

Adiwibowo S, et al. 2009. Analisis isu pemukiman di tiga taman nasional

Indonesia. Bogor [ID] : Sajogyo Institute.

Astuti A, Dharmawan AH, et al. 2008. Struktur nafkah rumahtangga dan

pengaruhnya terhadap kondisi ekosistem subDAS Citanduy Hulu. Sodality

[Internet]. [dikutip tanggal 18 November 2013]: volume 2 no1. Dapat

diunduh dari : http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/5895.

Denison M, Robyn K. 2012. Annotated bibliography for rapid review on property

rights.

Dharmawan AH, Winfried M. 2000. Livelihood Strategies and Rural Changes in

Indonesia: Studies on Small Farm Communities, Hohenheim. [Internet]. [

diunduh tanggal : 12 November 2013. Dapat diunduh dari :

http://ftp.gwdg.de/pub/tropentag/proceedings/2000/Full%20Papers/Section

%20I/WG%20b/Dharmawan%20A.pdf.

Dharmawan AH. 2007. Sistem penghidupan dan nafkah pedesaan: pandangan

sosiologi nafkah (livelihood sociology) mahzab barat dan mahzab Bogor.

Sodality [Internet]. [dikutip tanggal 5 Februari 2014]: Volume 01 Nomor

02. Dapat diunduh dari:

http://jurnalsodality.ipb.ac.id/index.php/component/sodality/?id=86&task=v

Ellis F. 2000. Rural livelihoods and diversity in developing countries. New York:

Oxford University Press.

Gönner C, et al. 2007. Menuju kesejahteraan: pemantauan kemiskinan di Kutai

Barat, Indonesia. Bogor [ID]: Center for International Forestry Research.

Amanda M. Rangkuman Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2010 tentang

Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. [Internet].[dikutip tanggal

11 Juni 2014]. Dapat diunduh dari :

http://www.hukumproperti.com/2012/08/16/rangkuman-peraturan-

pemerintah-nomor-11-tahun-2010-tentang-penertiban-dan-pendayagunaan-

tanah-terlantar-2

Lynch O, Harwell. 2002. Whose natural resources? whose common good? toward

a new paradigm of environmental justice and the national interest in

Indonesia. Bogor [ID]: Studio Kendil.

Mulyana A. 2005. Melangkah di atas batu karang pengelolaan sumberdaya alam

berbasis masyarakat di Nusa Tenggara. Sumba Timur [ID]: KOPPESDA.

Page 83: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

72

[PKSDA] Pengelolaan Kolaoratif Sumberdaya Alam. 2014. Teori Common-Pool

Resource & Property. [ppt]. Bogor [ID] : Departemen SKPM- FEMA.

Ribot J, Peluso NL. 2003. A theory of access. Rural Sociology. 68(02) : 153-181.

USA: Rural Sociological Society.

Purnomo, Agustina M. 2006. Strategi nafkah rumahtangga desa sekitar hutan.

[Tesis]. [Internet]. [dikutip tanggal 3 Maret 2013]. Bogor [ID]: Institut

Pertanian Bogor. 218 hal. Dapat diunduh dari :

repository.ipb.ac.id/handle/123456789/8466 .

Sardi I. 2010. Konflik sosial dalam pemanfaatan sumberdaya hutan (studi kasus di

Taman Nasional Bukit Dua Belas Propinsi Jambi). [Tesis]. Bogor [ID]:

Institut Pertanian Bogor.

Scoones I. 1998. Sustainable rural livelihood: a framework for analysis.

[Internet]. [dikutip tanggal: 14 November 2013]. IDS Working Paper 72.

Dapat diunduh dari : http://www.ids.ac.uk/files/dmfile/Wp72.pdf.

Senoaji G. 2005. Kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan lindung bukit

daun di Bengkulu. Sosiohumaniora [internet]. [dikutip 4 Desember 2013]:

Volume 13, No. 1, Maret 2011 : 1 – 17. Dapat Diunduh dari:

http://www.sosiohumaniora.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/07/gunggu

ng-senoaji.pdf.

Turasih. 2011. Sistem nafkah rumahtangga petani kentang di dataran tinggi Dieng

(kasus Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara,

Provinsi Jawa Tengah). [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 113

hal.

Widiyanto, Dharmawan AH, Nuraini W. 2009. Strategi nafkah rumahtangga

petani tembakau di Lereng Gunung Sumbing (studi kasus di Desa Wonotirto

dan Desa Campursari, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung). Sodality

[internet]. [diunduh 9 Maret 2014]; Volume 04 Nomor 01. Dapat diunduh

dari: http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/5851.

Zuhaida. 2011. Strategi nafkah masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi di

Taman Nasional Gunung Halimun Salak. [Skripsi]. Bogor [ID]: Institut

Pertanian Bogor. 119 hal.

Page 84: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

73

Lampiran 1 Identitas Responden

No Nama

Responden

Jenis

kelamin

Umur Pendidikan

terakhir

Status

perkawinan

Pekerjaan

utama

1 SO L 43 Tamat SD Menikah Petani

2 RP L 42 SMP Menikah Petani

3 UT L 45 Tamat SD Menikah Petani

4 SA L 51 Tamat SD Menikah Petani

5 SI L 32 SMP Menikah Buruh Tani

6 TG L 50 Tamat SD Menikah Petani

7 UA L 43 Tamat SD Menikah Petani

8 TA L 31 Tamat SD Menikah Buruh Tani

9 EG L 34 Tamat SD Menikah Petani

10 WO L 39 Tamat SD Menikah Buruh Tani

11 MR L 36 Tamat SD Menikah Buruh Tani

12 RT L 24 Tamat SD Menikah Buruh Tani

13 CA L 29 Tamat SD Menikah Buruh Tani

14 IN L 31 Tamat SD Belum

Menikah

Buruh Tani

15 BI L 38 Tamat SD Menikah Petani

16 AS L 34 SMP Menikah Buruh Tani

17 AH P 50 Tamat SD Janda Petani

18 UKT L 52 Tamat SD Menikah Petani

19 SO L 28 SMP Menikah Buruh Tani

20 AG L 53 Tidak Tamat

SD

Menikah Petani

21 MH P 21 Tidak Tamat

SD

Janda Buruh Tani

22 AA P 56 Tidak Tamat

SD

Janda Petani

23 SN L 45 Tamat SD Menikah Karyawan

Swasta

24 AP L 24 Tamat SD Menikah Buruh Tani

25 AEP L 39 Tamat SD Menikah Petani

26 FN L 23 SMP Menikah Buruh Tani

27 NA L 30 Tamat SD Menikah Buruh Tani

28 IWN L 36 SMP Menikah Karyawan

PLN

29 IK L 50 Tamat SD Menikah Petani

30 AG L 48 Tamat SD Menikah Petani

31 RA P 56 Tidak Tamat

SD

Janda Petani

32 AN L 50 Tamat SD Menikah Petani

33 DI L 36 Tamat SD Menikah Petani

34 NO L 45 Tamat SD Menikah Buruh Tani

Page 85: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

74

35 ANA L 28 Tamat SD Menikah Buruh Tani

36 KM L 38 Tamat SD Menikah Buruh Tani

37 DA L 45 Tamat SD Menikah Petani

38 FI L 50 Tamat SD Menikah Buruh Tani

39 JA L 45 Tamat SD Menikah Buruh Tani

40 TO L 39 Tamat SD Menikah Petani

Lampiran 2 Peta Zona Lokasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Page 86: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

75

Lampiran 3 Hasil Gambar Peta Masyarakat Kampung Sukagalih Tahun 2007

Page 87: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

76

Lampiran 4 Gambar Batasan Lahan TNGHS dan lahan Garapan Masyarakat

Page 88: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

77

Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian

Pintu masuk kawasan Balai Taman

Nasional Gunung Halimun Salak

Rumah warga Kampung Sukagalih

Bersama Ketua dan Sekretaris

Kampung Sukagalih

Lahan Kampung Sukagalih tahun 2007

Setelah Shared Learning dan langsung

menuju kawasan hutan TNGHS pada

tahun2007

Warga Kampung Sukagalih

mendiskusikan peta zonasi di dampingi

oleh CIFOR pada tahun 2007

Page 89: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

78

Warga panen cabai Bapak Agus ikut membantu warga yang

akan menggarap sawah

Lahan persawahan Kampung

Sukagalih

Kampung Sukagalih

Page 90: Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

79

RIWAYAT HIDUP

Sahda Handayani dilahirkan pada tanggal 09 Maret 1992 di Bogor, Jawa

Barat. Penulis merupakan anak ketiga dari empat orang bersaudara dari pasangan

Agus Mulyana dan Ani Sukmarani. Penulis lulus Sekolah Dasar Negeri Polisi 4

Bogor pada tahun 2004. Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama

Kesatuan Kota Bogor dan lulus pada tahun 2007.Penulis melanjutkan ke Sekolah

Menengah Atas Negeri 8 Kota Bogor dan lulus tahun 2010. Kemudian penulis

melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010 melalui jalur BUD

(Beasiswa Utusan Daerah dari PILI) pada jurusan Sains Komunikasi dan

Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.

Selama SMA hingga awal kuliah penulis aktif dalam beberapa

Organisasi,seperti ketua mading dan majalah sekolah SMAN 8 Bogor, wartawan

REBEL di koran harian Jurnal Bogor, anggota Event Organizer (EO) di Jurnal

Bogor, dan anggota EO di MAX IPB.Penulis juga aktif dalam kepanitian dari

tahun 2008-2011, seperti Panitia PEMILU divisi Sekretaris sekaligus MC diacara

tersebut, Panitia Festival Film Indie divisi Wakil Presiden dan

Dokumentasi,Panitia Menanam 1000 Pohon bersama Jurnal Bogor divisi

Dokumentasi,Panitia Rebel On School divisi Sekretaris, Panitia Mojang Jajaka

Jurnal Bogor (MOKA) divisi Acara dan dokumentasi, Panitia Ulang Tahun Jurnal

Bogor divisi Konsumsi, Panitia Musik Sexophone divisi dokumentasi dan lainnya.

Penulis saat ini sedang menekuni usaha mandirinya yaitu onlineshop dan AYS

Picture (video and photo) sebagai Manager yang sudah berjalan selama dua tahun

lebih