APLIKASI HERMENEUTIKA DOUBLE MOVEMENT FAZLUR RAHMAN TERHADAP PEMAHAMAN AHLI KITAB...

148
APLIKASI HERMENEUTIKA DOUBLE MOVEMENT FAZLUR RAHMAN TERHADAP PEMAHAMAN AHLI KITAB DALAM AL-QUR’AN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh : Siti Robikah NIM 21514015 JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2018

Transcript of APLIKASI HERMENEUTIKA DOUBLE MOVEMENT FAZLUR RAHMAN TERHADAP PEMAHAMAN AHLI KITAB...

  • APLIKASI HERMENEUTIKA DOUBLE MOVEMENT

    FAZLUR RAHMAN TERHADAP PEMAHAMAN AHLI

    KITAB DALAM AL-QUR’AN

    SKRIPSI

    Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

    Guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

    Oleh :

    Siti Robikah

    NIM 21514015

    JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

    FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

    2018

  • ii

  • iii

  • iv

  • v

    MOTTO

    لُّٖ َهاّٖۖفََّّٖٖولِك َوُّلِ َوّٖم وا ّٖوِۡجَهٌةّٖه ّّٖٖٱۡۡلَۡيَرَِٰت ّّٖٖٱۡستَبِق م ِتّٖبِك

    ۡون وا ّٖيَأ ۡيَنَّٖماّٖتَك

    َا ََّٖجِيع ّّٖٖٱّلَل ّٖأ

    ءلّٖقَِديٞرّّٖٖٱّلَلَّٖإَِنّٖ ََّٖشۡ ُِ ّٖك َٰ ١٤٨لََعَ

    148. Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya.

    Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti

    Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha

    Kuasa atas segala sesuatu. (Al Baqarah[2]: 148).

    “ Rethinking the Past, Reshaping the Future”

    Mun’im Sirry

  • vi

    PERSEMBAHAN

    Untuk Ayahanda,

    Untuk Sang Motivator,

    Untuk Keluargaku tercinta,

    Untuk para Sahabat, Teman dan Seluruh Pembaca

  • vii

    PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

    Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan Skripsi ini

    berpedoman padaSurat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan

    Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan 0543b/U/1987.

    A. Konsonan Tunggal

    Huruf

    Arab Nama Huruf Latin Nama

    Alif tidak اdilambangkan

    tidak dilambangkan

    ba’ B be ب

    ta’ T te ت

    (ṡa ṡ es (dengan titik di atas ث

    Jim J je ج

    ḥa’ ḥ ha (dengan titik di حbawah(

    kha’ Kh ka dan ha خ

    Dal D de د

    (Żal Ż zet (dengan titik di atas ذ

  • viii

    ra’ R er ر

    Zal Z zet ز

    Sin S es س

    Syin Sy es dan ye ش

    ṣad ṣ es (dengan titik di صbawah)

    ḍad ḍ de (dengan titik di ضbawah)

    (ṭa’ ṭ te (dengan titik di bawah ط

    ẓa’ ẓ zet (dengan titik di ظbawah)

    (ain ‘ koma terbalik (di atas‘ ع

    Gain G ge غ

    fa’ F ef ف

    Qaf Q qi ق

    Kaf K ka ك

    Lam L el ل

  • ix

    Mim M em م

    Nun N en ن

    Wawu W we و

    ha’ H ha ه Hamzah ` apostrof ء ya’ Y ye ي

    B. Konsonan Rangkap Tunggal karena Syaddah Ditulis Rangkap

    Ditulis Muta’addidah متعددة

    Ditulis ‘iddah عدة

    C. Ta’ Marbuṭah di akhir kata ditulis h

    a. Bila dimatikan ditulis h

    Ditulis Ḥikmah حكمة

    Ditulis Jizyah جزية(ketentuan ini tidak diperlukan kata-kata Arab yang sudah terserap ke dalam bahasa

    Indonesia, seperti zakat, shalat dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya)

    b. Bila diikuti kata sandang “al” serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis h.

  • x

    `Ditulis Karâmah al-auliyā كرمة االولياءc. Bila Ta’ Marbuṭah hidup dengan harakat, fatḥah, kasrah, atau ḍammah ditulis t.

    Ditulis Zakat al-fiṭrah زكاة الفطرة

    D. Vokal Pendek

    ___ َ Fatḥah Ditulis A

    ___ َ Kasrah Ditulis I

    ___ َ Ḍammah Ditulis U E. Vokal Panjang

    Fatḥah bertemu Alif

    Ditulis جاهليةĀ

    Jahiliyyah

    Fatḥah bertemu Alif Layyinah

    Ditulis تنسىĀ

    Tansa

    Kasrah bertemu ya’ mati

    Ditulis كرميĪ

    Karīm

    Ḍammah bertemu wawu mati

    Ditulis فروضŪ

    Furūḍ

  • xi

    F. Vokal Rangkap

    Fatḥah bertemu Ya’ Mati

    Ditulis بينكمAi

    Bainakum

    Fatḥah bertemu Wawu Mati

    Ditulis قولAu

    Qaul

    G. Vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof

    Ditulis A`antum أأنتم

    Ditulis U’iddat أعدت

    Ditulis La’in syakartum لئن شكرمت

    H. Kata sandang alif lam yang diikuti huruf Qamariyyah maupun Syamsyiyyah ditulis dengan menggunkan “al”

    Ditulis Al-Qur`ān القران

    Ditulis Al-Qiyās القياس

    `Ditulis Al-Samā السماء

    Ditulis Al-Syams الشمس

  • xii

    I. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat ditulis menurut bunyi atau pengucapannya

    Ditulis Żawi al-furūḍ ذوى الفروض

    Ditulis Ahl al-sunnah اهل السنة

  • xiii

    ABSTRAK

    Robikah, Siti. 2018. Aplikasi Hermeneutika Double Movement Fazlur Rahman terhadap

    Pemahaman Ahli Kitab Dalam Al-Qur’an. Dr. Adang Kuswaya, M.Ag.

    Kata Kunci: double movement, ahli kitab, Fazlur Rahman

    Penelitian ini bertujuan untuk mengaplikasikan teori hermeneutika double

    movement Fazlur Rahman dalam memahami term ahli kitab dalam al-Qur’an. Ahli kitab

    pada masa sekarang ini sering menjadi perdebatan dari berbagai pemikir Muslim. Hal ini

    dikarenakan adanya Surah yang menyatakan kebolehan menikahi ahli kitab (QS Al

    Maidah:5). Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode kualitatif

    berbasis pada kajian pustaka berupa kajian tematik dengan menggunakan teori tokoh

    tafsir era kontemporer, Fazlur Rahman. Rumusan masalah pada penelitian ini adalah (1),

    bagaimana hermeneutika double movement Fazlur Rahman?, (2) bagaimana aplikasi

    hermeneutika double movement Fazlur Rahman dalam pemahaman ahli kitab dalam al-

    Qur’an? dan (3) bagaimana relevansi aplikasi hermeneutika double movement Fazlur

    Rahman terhadap pemahaman term ahli kitab dalam konteks Indonesia? Untuk menjawab

    hal tersebut maka penulis menggunakan teori hermeneutika Gadamer yang berakhir pada

    teori aplikasinya. Hermeneutika Fazlur Rahman menurut beberapa peneliti mempunyai

    kemiripan dengan Gadamer.

    Dalam pengaplikasikan teori Rahman harus melihat tiga komponen utama

    yaitu situasi sekarang kembali ke situasi masa pewahyuan dan dikembalikan ke masa

    sekarang sebagai sebuah jawaban. Berdasarkan penelitian ini, menghasilkan tiga

    komponen penting yang harus ada dalam hermeneutika double movement Fazlur

    Rahman. Pertama, ahli kitab masa sekarang (sebagai sebuah problem), kedua ahli kitab

    pra Islam dan ahli kitab masa pewahyuan. Dari ketiga komponen tersebut akan

    dikembalikan pada masa sekarang sebagai sebuah jawaban. Problem yang ada mengenai

    ahli kitab masa sekarang adalah pertanyaan mengenai masih adakah ahli kitab pada masa

    ini? setelah ditarik ke masa pewahyuan dimana terbagi dalam tiga komponen yang telah

    disebutkan.

    Maka hasil akhir dari ahli kitab masa sekarang masih ada karena secara

    realitasnya Yahudi dan Nasrani tidak mengalami perubahan dalam hal teologis

    (keimanan). Nasrani masih tetap menuhankan Yesus dan Yahudi tetap pada

    kepercayaannya bahwa Uzair adalah anak Tuhan (at-Taubah:30). Menurut teori Rahman

    legal spesifik dari ahli kitab adalah masih adanya ahli kitab pada masa sekarang dan ideal

    moral (nilai yang dapat diambil) dari keragaman agama adalah adanya fastabiqul khoirat

    dan menemukan kalimatun sawa dalam semua agama. Yang pada akhirnya dapat

    membentuk masyarakat damai dan harmonisasi umat beragama tercapai. Setelah

    ditemukan adanya ideal moral tersebut maka relevansi aplikasi hermeneutika double

    movement dalam memahami term ahli kitab yaitu memperbolehkannya pernikahan beda

    agama dengan catatan dapat menerapkan kedua prinsip dengan komprehensif. Berlomba-

    lomba dalam kebaikan dan menemukan persatuan dalam kehidupan berumah tangga.

  • xiv

    KATA PENGANTAR

    Assalamu’alaikum Wr. Wb

    Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya

    sehingga penulis dapat menyelesaikna skripsi ini yang berjudul “Aplikasi Hermeneutika

    Double Movement Fazlur Rahman terhadap Pemahaman Ahli Kitab Dalam Al-Qur’an”

    Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang

    telah menerangi dunia dari zaman jahiliyah menuju zaman terang benderang dengan

    kesempurnaan agama islam.

    Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana

    Agama (S.Ag) pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Keberhasilan

    penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan semua pihak yang

    terkait. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

    1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri

    (IAIN) Salatiga.

    2. Bapak Dr. Benny Ridwan, M. Hum selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan

    Humaniora (FUADAH) beserta jajarannya yang selalu memberikan dukungannya.

    3. Ibunda Tri Wahyu Hidayati, M. Ag Selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

    IAIN Salatiga yang tidak lelahnya mengingatkan untuk selalu bersemangat dalam

    belajar dan selalu memberikan dukungan agar segera menyelesaikan tugas akhir ini.

  • xv

    4. Ayahanda Dr. Adang Kuswaya, M.Ag selaku Dosen Pembimbing dan motivator

    terbaik yang telah membimbing, memberikan nasihat, arahan, serta masukan-

    masukan yang sangat membangun dalam penyelesaian tugas akhir ini.

    5. Seluruh dosen dan petugas admin Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di IAIN

    Salatiga yang telah banyak membantu selama kuliah dan penelitian berlangsung

    terkhusus untuk Bapak Farid Hasan, S.Thi, M.hum, yang telah memberikan

    bimbingan dalam penulisan proposal dan selalu mengingatkan agar segera

    menyelesaikan tugas akhir dengan maksimal. Bu Ika, Pak Mujib dan Pak Tafin yang

    selalu memberikan pelayanan terbaiknya.

    6. Bapak Munawari dan Ibu Asiyah yang telah mencurahkan pengorbanan, kasih

    sayang dan do’a restu yang tiada henti bagi keberhasilan studi penulis. Begitu juga

    Abah Wafir Rahman dan Umi Lathifah yang selalu memberikan wejangannya agar

    dapat memaksimalkan diri untuk mengaji dan kuliah.

    7. Mbak Ula dan Mas Surur yang selalu memberikan dukungan agar segera

    melanjutkan sekolah ke tingkat selanjutnya dan selalu direpotkan untuk translete

    kebahasaannya. Ummul dan Ulil yang menyimpankan berjuta do’a untuk kesuksesan

    penulis.

    8. Motivator terbaik mas mk Ridwan yang tak pernah lelah memberikan pelajaran

    berharga untuk tetap selalu belajar, membaca dan menulis dari mulai titik nol hingga

    sekarang apa yang telah dicapai oleh penulis. Terima kasih pula untuk mbak

    Khairunnisa, Tio famor, Sifa Arif, Putri SKA, Puput dan Eka SKA yang selalu

    memberikan api penyemangat untuk tetap berkarya.

  • xvi

    9. Keluarga besar IAT spesial untuk IAT 2014, Samsil, Day, Latep, Abrir, Fisa, Say,

    Mpok, Mbak Nopita, Dek Wahyu, Nisa, Nenok, Yusta, Ucu, Layla, Aditya yang

    melaju terus pantang mundur demi kesuksesan kita semua. Keluarga Mahasantri

    Denok, Rima, Mba Cho, Mba Am dan Mba Ana yang selalu memberikan tambahan

    asupan gizi setiap hari. Sahabat posko 101 pak ketua Ucil, Imam, Igun, Mamah,

    Karin, Yulia, Uyun inces, Bu Es, Santi yang telah memberikan banyak hadiah cerita

    dan tawanya. Teruntuk my twins Inay Hasanah yang selalu memberikan cerita beda

    tiap harinya.

    10. Teman-teman pesantrenku PPHQ Al Manshur yang selalu memberikan kesan indah

    kebersamaan teruntuk Ri_ul, Yaya, Ustadzah Midah, Foajri, Bu Kunul, Nyai Mas

    dan seluruh jajarannya. Terima kasih telah mau direpotkan, selalu menjadi pendengar

    setia saat bercerita bersama di pesantren. Dan untuk kalian anak-anak PPRT yang

    selalu mengajarkan kedewasaan dan kesabaran.

    Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, sehingga kritik dan

    saran yang bersifat membangun sangat Penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat

    bagi para Pembaca dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

    Wassalamualaikum Wr. Wb

    Salatiga, 15 Maret 2018

    Penulis

  • xvii

    DAFTAR ISI

    PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .................................................... ii

    NOTA PEMBIMBING ................................................................................. iii

    HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iv

    HALAMAN MOTTO ..................................................................................... v

    HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... vi

    TRANSLITERASI ARAB-LATIN .............................................................. vii

    ABSTRAK ...................................................................................................... xiii

    KATA PENGANTAR .................................................................................... xiv

    DAFTAR ISI ................................................................................................... xvii

    BAB I : PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang .................................................................... 1

    B. Batasan dan Rumusan Masalah ........................................... 6

    C. Tujuan Penelitian ................................................................. 7

    D. Manfaat Penelitian ............................................................... 7

    E. Kajian Pustaka ...................................................................... 8

    F. Dasar Pemikiran ................................................................... 14

    G. Metodologi Penelitian ......................................................... 18

    H. Sistematika Penulisan .......................................................... 20

    BAB II : HERMENEUTIKA AL QUR’AN FAZLUR RAHMAN

    A. Hermeneutika Barat ............................................................. 19

  • xviii

    1. Pengertian dan Ruang Lingkup Hermeneutika .............. 19

    2. Model- model Hermeneutika ......................................... 23

    B. Hermeneutika Barat dan Tafsir al-Qur’an ........................... 31

    1. Teori kesadaran sejarah dan teori pra pemahaman ........ 32

    2. Teori Fusion of Horizons dan Dirasat ma hawla

    al-Nashsh ........................................................................ 33

    3. Teori Aplikasi dan Interpretasi Ma’na cum Maghza ..... 33

    C. Teori Double Movement Fazlur Rahman ............................. 43

    1. Setting Historis Rahman dan Teorinya ......................... 43

    2. Contoh aplikasi Double Movement ............................... 56

    BAB III : PEMAHAMAN AHLI KITAB DARI BERBAGAI PERSPEKTIF

    A. Terminologi Ahli Kitab ........................................................ 60

    B. Pergeseran Makna Ahli Kitab ............................................. 62

    C. Apresiasi al-Qur’an Terhadap Ahli Kitab ........................... 72

    BAB IV : APLIKASI HERMENEUTIKA DOUBLE MOVEMENT

    FAZLUR RAHMAN TERHADAP PEMAKNAAN AHLI KITAB

    A. Aplikasi Hermeneutika Double Movement Fazlur Rahman Terhadap

    Pemaknaan Ahli Kitab ......................................................... 86

    1. Ahli Kitab Masa Sekarang ............................................ 86

    2. Ahli Kitab Masa Pra-Islam ............................................ 92

    3. Ahli Kitab Masa Pewahyuan ......................................... 97

    a. Masa Pewahyuan di Mekah .................................... 97

  • xix

    b. Masa Pewahyuan di Madinah ................................. 101

    4. Ahli Kitab Masa Sekarang Sebagai Jawaban ................ 111

    B. Skema Double Movement dalam Memahami ahli kitab ..... 113

    C. Relevansi Aplikasi Double Movement Terhadap Pemaknaan

    Ahli Kitab Dalam Konteks Indonesia ................................. 113

    BAB V : PENUTUP

    A. Kesimpulan ......................................................................... 114

    B. Saran .................................................................................... 117

    DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 119

    CURICULUM VITAE ................................................................................... 124

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    “Shahih li Kulli zaman wa makan” adalah salah satu tujuan terpenting atas

    al-Qur’an sebagai petunjuk umat Islam. Al-Qur’an tidak akan mampu memberi

    petunjuk kepada umat Islam jika umat Islam sendiri tidak tergerak untuk

    mengungkap rahasia ayat-ayat al-Qur’an. Salah satu hal yang perlu diperhatikan

    dalam mengungkapkan rahasia ayat al-Qur’an adalah dengan melakukan

    penafsiran. Tafsir telah ada sejak Nabi Muhammad yang kemudian dilanjutkan

    pada masa Sahabat sampai pada masa kontemporer saat ini. Pendekatan yang

    digunakan para Mufasir dari masa klasik hingga kontemporer semakin beragam.

    Belakangan ini, ada sejumlah pemikir muslim kontemporer yang ingin

    memperkenalkan hermeneutika sebagai pendekatan atau bahkan pengganti Ilmu

    al-Qur’an dan tafsir.1

    Hermeneutika dimunculkan sebagai salah satu metode penafsiran

    dikarenakan anggapan bahwa metode terdahulu tidak mempunyai variabel

    kontekstualisasi. Metodologi tafsir yang dikembangkan ulama masa lalu,

    diasumsikan terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik,

    terlalu memberhalakan teks dan mengabaikan realitas. Paradigma tafsir klasik

    dianggap memaksakan prinsip-prinsip universal al-Qur’an dalam konteks

    apapun ke dalam teks al-Qur’an. Akibatnya pemahaman yang muncul cenderung

    1 Lihat Abdul Muqtasim-Sahiron Syamsuddin (ed), Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana

    Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2002).

  • 2

    tekstualis-literalis. Dengan demikian menurut pandangan ini, dekontruksi

    sekaligus rekonstruksi metodologi penafsiran al-Qur’an adalah suatu

    keniscayaan.2

    Kemunculan hermeneutika sebagai metode penafsiran al-Qur’an tidak

    berjalan secara mulus. Kontroversi hermeneutika semakin marak ketika banyak

    dari mufasir kontemporer memunculkan metode hermeneutika sebagai metode

    baru untuk menafsirkan al-Qur’an. Sebagai contoh Hassan Hanafi menjelaskan

    bahwa hermeneutika bukan sekedar teori penafsiran dan pemahaman, namun ia

    adalah ilmu yang menerangkan proses penerimaan wahyu sejak perkataan

    sampai pada tingkat kenyataan, serta meggambarkan pemikiran Tuhan kepada

    manusia. Untuk dapat memahami teks sangat diperlukan kritik kesejarahan,

    guna menjamin keaslian sebuah teks atau kitab suci. Hassan Hanafi menilai

    bahwa belum tentu semua teks bebas dari ketidakaslian dan tidak mengalami

    distorsi kepentingan ideologis maupun politis. Mengetahui keaslian teks akan

    mempermudah proses penafsiran dan menghasilkan pemahaman yang tepat.3

    Berbeda dengan pernyataan Hassan Hanafi di atas, sebagian kalangan

    yang menolak adanya hermenutika sebagai metode tafsir mengatakan bahwa

    hermeneutika berasal dari Barat dan digunakan pada awalnya untuk mengkritisi

    kitab suci Bibel. Adian Husaini sebagai salah satu dari golongan tersebut,

    mengatakan terdapat tiga persoalan besar apabila hermeneutika diterapkan

    2 Sudarto Muwafiq, “Hermeneutika Al Quran: Kritik Atas Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid”,

    Akademika, (Vol.9, No.1, Juni 2015), hlm. 3 Reflita, “Kontroversi Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir(menimbang Penggunaan

    Hermeneutika dalam Penafsiran Al Quran), Jurnal Ushuluddin, (Vol.24, No.2, Juli-Desember

    2016), hlm. 139

  • 3

    dalam tafsir al-Qur’an. Pertama, hermeneutika menghendaki sikap yang kritis

    dan bahkan cenderung curiga. Sebuah teks bagi seorang hermeneut tidak bisa

    lepas dari kepentingan-kepentingan tertentu, baik dari si pembuat teks maupun

    budaya masyarakat pada saat teks itu dilahirkan. Kedua, hermeneutika

    cenderung memandang teks sebagai produk budaya (manusia) dan mengabaikan

    hal-hal yang sifatnya transenden (illahiyyah). Ketiga, aliran hermeneutika sangat

    plural, karenanya kebenaran tafsir ini menjadi sangat relatif, yang pada

    gilirannnya menjadi repot untuk diterapkan.4Hal tersebut tidak menjadi hal yang

    perlu diperdebatkan karena jika dilihat pada masing-masing golongan

    mempunyai landasan atas apa yang diungkapkannya.

    Pada masa kontemporer ini, bisa dilihat bahwa problematika yang

    dihadapi oleh umat Islam semakin beragam dan memang harus ada pembaharuan

    metode penafsiran yang memperhatikan konteks kehidupan di masa sekarang.

    Maka dari itu, meskipun terdapat pro dan kontra atas hermeneutika tidaklah

    menjadi kekeliruan ketika umat Islam menggunakan metode tersebut untuk

    menafsirkan al-Qur’an. Salah satu tokoh yang telah menerapkan hermeneutika

    sebagai metode tafsir al-Qur’an yaitu Fazlur Rahman. Salah satu tokoh

    pembaharu dalam Islam kelahiran Pakistan, menawarkan satu metode tafsir

    dalam memahami teks al-Qur’an yang dinamai dengan double movement theory,

    dimana gerakan pertama merupakan penjabaran dari tiga pendekatan penafsiran

    al-Qur’an yaitu pendekatan historis, kontekstual dan sosiologis. Sedang gerakan

    4 Reflita, “Kontroversi Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir(menimbang Penggunaan

    Hermeneutika dalam Penafsiran Al Quran)”, hlm. 142

  • 4

    kedua merupakan upaya merumuskan prinsip, nilai, dan tujuan al-Qur’an yang

    telah disistematisasikan melalui gerakan pertama terhadap situasi atau kasus

    aktual saat ini.5 Dalam hal ini penulis mencoba mengaplikasikan hermeneutika

    Fazlur Rahman (selanjutnya akan ditulis Rahman) untuk memahami term ahli

    kitab dalam al-Qur’an yang berimplikasi pada problem pernikahan beda agama.

    Pernikahan beda agama menjadi sebuah problem yang masih

    diperbincangkan sampai saat ini. Dapat dilihat dalam Fatwa Majelis Ulama

    Indonesia Nomor: 4/MUNAS VII/ MUI/8/2005 memutuskan bahwa pernikahan

    beda agama antara laki-laki muslim dengan ahli kitab menurut qaul mu’tamad

    adalah tidak sah (haram).6 Hal ini juga dijelaskan dalam al-Qur’an Q.S. Al

    Baqarah:221,

    221. dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum

    mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari

    wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu

    menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum

    mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang

    5 Labib Muttaqin, “Aplikasi Teori Double Movement Fazlur Rahman Terhadap Doktrin

    Kewarisan Islam Klasik”, Al Manahij:Jurnal Kajian Hukum Islam, (Vol.VII, No.2, Juli 2013),

    hlm.196 6 Majelis Ulama Indonesia dalam Musywarah Nasional MUI VII pada tanggal 19-22 Jumadil

    Akhir 1426 H/ 26-29 Juli 2005 M

  • 5

    musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang

    Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah

    menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya

    mereka mengambil pelajaran.

    Ayat tersebut menjelaskan secara tekstual jika tidak diperbolehkannya

    orang Islam (laki-laki) menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka

    beriman. Berbeda dengan ayat diatas, jika melihat dalam QS Al Maidah:5

    menjelaskan bahwa adanya kebolehan menikahi ahli kitab bagi orang Islam.

    5. pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan)

    orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal

    (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga

    kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang

    menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu,

    bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya,

    tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.

    Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam)

    Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.

    Dari kedua ayat tersebut menjadi penyebab adanya perbedaan pendapat

    dari kalangan para Ulama. Yang menjadi sorotan utama pada kedua ayat tersebut

  • 6

    adalah membedakan antara wanita musyrik (yang dilarang untuk dinikahi) dan

    Ahli kitab (yang boleh dinikahi). Maka dari itu menjadi kegelisahan penulis

    untuk mencari masih adakah ahli kitab yang dimaksudkan dalam ayat tersebut

    dengan mencoba mengaplikasikan hermeneutika Fazlur Rahman dalam

    memecahkan problematika nikah beda agama di kalangan umat Islam.

    Ada beberapa alasan akademik penulis memilih riset dengan tema

    hermeneutika oleh tokoh Fazlur Rahman dan diaplikasikan untuk memahami

    term Ahli kitab bukan yang lain. Pertama, Rahman adalah salah satu garda

    depan pencetus hermeneutika yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an.

    Kedua, Hermeneutika Rahman menarik untuk diteliti dikarenakan konsep yang

    dicetuskan sistematis dan mudah dipahami. Ketiga, pemahaman atas term Ahli

    kitab masih penting untuk diperjelas karena menimbulkan banyaknya perbedaan

    pendapat di kalangan umat. Maka dari itu penulis ingin menerapkan

    hermeneutika Rahman untuk memahami term Ahli kitab yang implikasinya pada

    problem pernikahan beda agama.

    B. Batasan dan Rumusan Masalah

    1. Bagaimana konsep hermeneutika Fazlur Rahman?

    2. Bagaimana Aplikasi Hermeneutika Double Movement Fazlur Rahman

    terhadap pemahaman term Ahli kitab dalam al-Qur’an?

    3. Bagaimana Relevansi Aplikasi Hermeneutika Double Movement Fazlur

    Rahman terhadap pemahaman term Ahli kitab dalam Konteks Indonesia?

  • 7

    C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

    1. Untuk mengetahui konsep hermeneutika Fazlur Rahman.

    2. Untuk mengetahui Aplikasi Hermeneutika Fazlur Rahman terhadap

    pemahaman term ahli kitab dalam al-Qur’an.

    3. Untuk Mengetahui Relevansi Aplikasi Hermeneutika Double Movement

    Fazlur Rahman terhadap pemahaman term Ahli kitab dalam Konteks

    Indonesia.

    D. Manfaat dan Kontribusi

    Sebuah karya akademik harus memiliki manfaat dan kontribusi dalam

    pengembangan keilmuan Islam, dalam konteks ini adalah studi al-Qur’an.

    Secara umum penelitian ini bermanfaat untuk mencari pengertian yang jelas

    tentang term ahli kitab dalam al-Qur’an dengan metode hermeneutika Fazlur

    Rahman. Secara terperinci manfaat dan kontribusi penelitian ini, sebagai berikut:

    1. Memperluas kajian seputar metodologi penafsiran al-Qur’an sebagai

    salah satu sarana untuk menjawab problematika di era kontemporer ini

    salah satunya dengan metode hermeneutika.

    2. Penelitian ini diharapkan dapat memperbarui mindset umat Muslim

    mengenai term-term al-Qur’an yang masih menimbulkan kontroversi

    di antara pendapat para Ulama’.

    3. Memberikan wawasan tentang double movement theory yang

    diaplikasikan pada term ahli kitab dalam al-Qur’an dan menemukan

    pesan al-Qur’an secara kontekstual.

  • 8

    E. Kajian Pustaka

    Disertasi yang telah dibukukan karya Ahmad Syukri pada tahun 2007

    dengan judul “Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer Dalam Pemikiran

    Fazlur Rahman” menjelaskan bahwa: pertama, metode tafsir Rahman muncul

    disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an, metode klasik

    dan modern tidak lagi kondusif bagi kehidupan umat Islam dewasa ini. Para

    pakar modern belum mampu menawarkan metode tafsir yang sistematis dan

    setia pada ajaran al-Qur’an dalam menghadapi persoalan kontemporer. Maka

    dari itu, menurut Rahman perlunya rancangan sebuah metode tafsir yang dapat

    berlaku adil terhadap tuntunan intelektual dan integritas moral yang mengacu

    pada kritik sejarah dalam pengertian yang lebih luas. Metode yang diusulkannya

    berbeda dengan para mufasir sebelumnya, dimana ia mengusulkan pendekatan

    sejarah dan hermeneutika yang diserap dari sumber klasik dan modern Islam

    serta Barat kontemporer.

    Kedua, proses perumusan metode ini berlangsung tidak kurang dari 12

    tahun. Gagasan pertama dengan nama metode penafsiran sisitematis, kemudian

    disempurnakan dengan dua gerakan pemikiran hukum, yaitu pemikiran dengan

    berangka dari yang khusus kepada yang umum, kemudian dari umum ke khusus.

    Akhirnya, metode ini hadir dalam bentuknya yang final dengan nama gerakan

    ganda. Ketiga, gerakan ganda didefinisikan sebagai sebuah metode yang

    bertolak dari situasi sekarang menuju masa al-Qur’an diturunkan lalu kembali

    pada masa sekarang. Keberadaan metode Rahman merupakan kontribusi yang

    sangat berarti dalam sejarah perkembangan al-Qur’an metode tafsir

  • 9

    kontemporer. Metode Rahman menjadikan asbab al-nuzul dan konteks historis-

    sosiologis masyarakat di mana al-Qur’an diturunkan sebagai pertimbangan

    dalam menggali prinsip-prinsip umum dan mengajukan model penafsiran yang

    memperlihatkan keterkaitan aspek teologi, etika, dan hukum yang merupakan

    manifestasi syariat Islam.7

    “Aplikasi Teori Double Movement Fazlur Rahman Terhadap Doktrin

    Kewarisan Islam Klasik” artikel yang ditulis oleh Labib Muttaqin dalam jurnal

    Al Manahij Vol. VII, No.2, Juli 2013 berisi tentang tawaran Rahman terhadap

    suatu metode penggalian hukum agar prinsip-prinsip umum dan semangat teks

    al-Qur’an tetap tertanam dalam suatu hukum. Metode yang dikembangkan oleh

    Rahman mengupayakan agar al-Qur’an tidak hanya dipahami sebagai doktrin

    normatif semata, tetapi juga harus dikembangkan menjadi konsepsi operatif,

    sehingga tetap adanya kesinambungan dan relevansi dari suatu teks al-Qur’an

    dengan realitas sosial yang terus berlangsung. Berkembangnya suatu peradaban

    dan tatanan sosial adalah sebuah keniscayaan. Hal ini juga berlaku pada

    eksistensi dan peran perempuan pada saat ini baik dalam ranah publik maupun

    domestik. Realitas inilah yang kemudian dijadikan indikator bagi Rahman dalam

    menafsirkan kembali teks-teks kewarisan yang ada dalam al-Qur’an. Dalam re-

    interpretasinya, Rahman menggunakan teori double movement dengan

    pendekatan historis-kontekstual yang pada akhirnya menyimpulkan bahwa

    7 Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al Quran Kontemporer dalam Pemikiran Fazlur

    Rahman, (Jakarta: badan Litbang dan Diklat Departemen Agama,2007), hlm.x-xi

  • 10

    ketentuan pembagian waris antara laki-laki dan perempuan yang tadinya

    dipahami 2:1 menjadi 1:1. 8

    Dr. Sa’dullah Assa’idi dalam bukunya “Pemahaman Tematik Al-Qur’an

    menurut Fazlur Rahman” yang diterbitkan oleh Pustaka pelajar pada November

    2013 memusatkan pembahasannya pada telaah metodologis atas Major Themes

    of the Qur’an karya Fazlur Rahman. Metodologi yang dimaksud merupakan

    suatu analisis dan pengaturan yang sistemik mengenai prinsip dan proses

    rasional serta eksperimental, dan mengarah pada penyelidikan ilmiah.

    Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif

    yang berlandaskan pada filsafat rasionalisme. Langkah yang ditempuh selalu

    dimulai dengan berfikir menggunakan rasio, karena yang menjadi objek

    penelitian itu berasal dari pemahaman intelektual yang dibangun di atas

    kemampuan argumentasi secara logis.

    Studi tentang pemikiran tafsir atas Major Themes of the Qur’an karya

    Fazlur Rahman mempunyai muatan kontributif terhadap bidang keilmuan

    sumber ajaran Islam, yaitu ilmu-ilmu al-Qur’an (Ulum al-Qur’an) terutama ilmu

    tafsir al-Qur’an. Paradigma Rahman tentang pandangan al-Qur’an yang kohesif

    mengenai alam semesta dan kehidupan memberikan perluasan misi “tafsir”,

    bukan sekedar berarti menjelaskan ayat al-Qur’an, akan tetapi justru

    menafsirkannya dalam arti memberikan petunjuk. Studi tafsir al-Qur’an

    menggunakan paradigma Rahman dapat memberikan kontribusi dalam

    8 Labib Muttaqin, “Aplikasi Teori Double Movement Fazlur rahman Terhadap Doktrin

    Kewarisan Islam Klasik”, Al Manahij, (Vol.VII, No.2, 2013), hlm.195- 206

  • 11

    pengembangan ilmu-ilmu Islam. Jadi, buku ini merupakan book review karya

    Fazlur Rahman Major Themes of the Qur’an.

    Tulisan Mawardi “Hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman (Teori

    Double Movement” dalam buku Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis yang

    diterbitkan oleh eLSAQ Press pada tahun 2010 berisi tentang teori double

    movement terdiri dari dua gerakan. Pertama, dari arti khusus (partikular) ke

    umum (general). Artinya sebelum seorang mufasir mengambil kesimpulan

    hukum, ia harus mengetahui terlebih dahulu arti yang dikehendaki secara

    tekstual dalam suatu ayat dengan meniliti alasan hukumnya, baik yang disebut

    eksplisit maupun implisit. Gambaran setting sosial masyarakat Arab baik yang

    berkenaan dengan adat kebiasaan, pranata sosial, maupun kehidupan keagamaan

    saat al-Quran diturunkan, juga harus diperhatikan secara serius oleh seorang

    mufasir. Setelah itu, dilakukan generalisasi terhadap pesan yang ingin

    disampaikan oleh al-Qur’an. Adapun mengenai ayat-ayat teologis-metafisis,

    Rahman menawarkan sebuah pendekatan sintesis logis, yaitu pendekatan dengan

    mengevaluasi ayat-ayat yang berhubungan dengan tema yang akan dibahas dan

    yang berhubungan tidak selalu berbicara tentang tema yang sama.9

    Artikel jurnal Al-Dzikra dengan judul “Konsep Ahlul al-kitab dalam Al-

    Qur’an Menurut Penafsiran Muhammed Arkoun dan nurcholish Madjid” yang

    ditulis oleh Andi Eka Putra Dosen Fakultas ushuluddin IAIN Raden Intan

    Lampung diterbitkan pada Vol.X,No.1, Januari-Juni tahun 2016 ini menjelaskan

    9 Kurdi,dkk, Hermeneutka Al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta:eLSAQ Press, 2010),hlm. 59-

    82

  • 12

    tentang konsep ahli kitab dalam perspektif Arkoun dan Nurcholish Madjid.

    Keduanya melihat komunitas Ahli kitab tidak hanya pada agama Yahudi dan

    Nasrani saja akan tetapi bagi mereka yang menganut kitab suci berdasarkan

    keyakinan mereka masing-masing. Dalam hal ini Cak Nur dan Arkoun

    menawarkan model penafsiran baru dengan memasukkan pertimbangan relasi

    antar umat beragama yang semakin inklusif dan dialogis. Perbedaannya jika Cak

    Nur tetap menggunakan kata ahli kitab akan tetapi Arkoun mengubahnya

    menjadi masyarakat kitab. Implikasi dari tafsiran Cak Nur dan Arkoun mengenai

    ahli kitab dalam al-Qur’an memberikan wawasan baru seputar hubungan antar

    umat beragama. Keduanya menawarkan konsep yang bermuara pada rethinking

    Islam, memikirkan kembali Islam dalam menerima keberadaan agama lain.

    Konsep Ahli kitab dalam al-Qur’an pada prinsipnya mengajak umat beragama

    untuk saling menyapa, berdialog dan hidup dalam kedamaian dan ketentraman

    bersama.10

    Waryono Abdul Ghafur menuliskan dalam bukunya yang berjudul

    “Persaudaraan Agama-Agama, Millah Ibrahim dalam Tafsir Al Mizan”

    diterbitkan oleh mizan pada November 2016 juga menjelaskan perihal ahli kitab

    dalam tafsir Al Mizan. Dia membagi Ahli kitab menjadi dua bagian yaitu ahli

    kitab yang mukmin dan Ahli kitab yang kafir. Dalam buku ini pembahasan ahli

    kitab hanya secara singkat dengan mencari ayat yang berhubungan dengan ahli

    10 Andi Eka Putra,”Konsep Ahlil al-Kitab dalam Al Quran Menurut Penafsiran Muhammed

    Arkoun dan Nurcholish Madjid”, Al-Dzikra, (Vol.X, No.1,2016),hlm. 43-65

  • 13

    kitab kemudian menafsirkannya dengan menggunakan tafsir Al Mizan karya

    Thabathaba’i.11

    Artikel Ali Masrur dengan judul “Ahli kitab Dalam Al-Qur’an (Model

    Penafsiran Fazlur Rahman)”. Dalam tulisannya, Masrur menjelaskan

    keselamatan ahli kitab dalam perspektif Fazlur Rahman, yang pada akhir

    tulisannya tersebut, Masrur memberikan kritikan terhadap pemikiran Fazlur

    Rahman. Menurutnya, dalam menafsirkan ayat mengenai keselamatan ahli kitab

    Rahman lebih menekankan pada esensi dan substansi ajaran Islam. Masrur juga

    menyimpulkan dari pemikiran Rahman mengenai ahli kitab bahwa ahli kitab

    tidak hanya terbatas pada Yahudi dan Nasrani akan tetapi semua agama yang

    mempunyai seorang utusan pembawa berita.

    Dengan adanya pencarian penelitian ataupun artikel sebelumnya, maka

    didapati bahwa penelitian ini mempunyai kesamaan pada pembahasan teori

    double movement Fazlur Rahman dengan mengkonsentrasikan pembahasan

    yang berbeda-beda. Ahmad Syukri dan Mawardi mengkonsentrasikan

    pembahasan secara mendalam pada metodologi teori double movement Fazlur

    Rahman. Dalam tulisannya, Labib Muttaqin menjelaskan aplikasi double

    movement pada problem kewarisan Islam. Kemudian, Dr. Sa’dullah yang

    membahas tentang metode yang digunakan Fazlur Rahman dalam bukunya

    Major Themes of the Quran. Artikel yang membahas tentang ahli kitab seperti

    Andi Eka dan Waryono akan tetapi memiliki perbedaan pada penggunaan

    11 Waryono Abdul Ghofur, Persaudaraan Agama-Agama;Millah Ibrahim dalam Tafsir Al

    Mizan, (Bandung:PT. Mizan Pustaka,2016),hlm.191-120

  • 14

    metodenya. Penelitian Ali Masrur yang berfokus pada ahli kitab dengan metode

    penafsiran Fazlur Rahman sebenarnya mempunyai kesamaan yang signifikan,

    akan tetapi tulisan ini mengfokuskan pada aplikasi gerakan ganda Fazlur

    Rahman yang akan menghasilkan sebuah pembahasan mengenai ahli kitab masa

    sekarang, ahli kitab pra-Islam dan ahli kitab masa pewahyuan. Ketiga aspek ini

    merupakan tahapan-tahapan dalam teori double movement Fazlur Rahman, yang

    mana hal tersebut tidak tersentuh dalam artikel Ali Masrur. Meskipun telah

    banyak yang membahas mengenai double movement dan ahli kitab akan tetapi

    tidak ada kesamaan dengan tulisan ini.

    F. Dasar Pemikiran

    Dalam penelitian ilmiah, kerangka teori sangat diperlukan untuk

    membantu memecahkan dan mengidentifikasi masalah yang hendak diteliti

    sebagai acuan dalam melakukan analisis pada konteks masalah yang hendak

    dicarikan jawabannya. Sehingga dalam penelitian aplikasi double movement

    theory Fazlur Rahman ini menggunakan teori application Hans Goerge Gadamer

    sebagai teori inti.

    1. Teori “Penerapan/Aplikasi” Gadamer (Anwendung, application)

    Awalnya tradisi hermeneutik dibedakan menjadi problem atau seluk

    beluk pemahaman (understanding, substilitas intelegendi), dan problem

    penafsiran (interpretation, substilitas explicandi.) Baru kemudian dalam

    tradisi pietisme ditambah elemen ketiga yaitu problem penerapan

  • 15

    (application, substilitas applicandi).12Dengan menekankan elemen ketiga

    itu, yang belum masuk dalam konsep hermeneutik Schleiermacher

    maupun Dilthey, Gadamer ingin menekankan bahwa penafsiran bukan

    suatu elemen tambahan yang bisa kadang-kadang saja dilakukan setelah

    pemahaman dilakukan.13

    Penggabungan batin pemahaman dan penafsiran –seperti dalam

    hermeneutika Schleiermacher dan Post-Romantik ditegaskan bahwa

    adanya satu kesatuan dalam dua elemen-- menyebabkan unsur ketiga

    dalam masalah hermeneutik, penerapan, sepenuhnya menjadi terputus dari

    hubungan apapun dengan hermeneutika. Di dalam perjalanan refleksi kita

    harus melihat bahwa pemahaman selalu melibatkan sesuatu seperti

    penerapan terhadap teks untuk dipahami oleh situasi penafsir sekarang.

    Jadi, penerapan merupakan bagian dari satu proses terpadu dalam

    hermeneutika dan sebagai bagian integral dari tindakan hermeneutika

    sebagaimana pemahaman dan penafsiran.14

    Dalam sejarahnya, tugas hermeneutika adalah untuk menyesuaikan

    makna sebuah teks dengan situasi konkret dimana ia bicara. Sebagai

    seorang penafsir kitab suci, mereka tidak hanya bertugas memproduksi

    kembali apa yang dikatakan oleh penerjemah akan tetapi mengungkapkan

    apa yang niscaya baginya dalam mempertimbangkan situasi yang real saat

    12 Hans Gorge Gadamer, Truth and Method, terj. Ahmad Sahidah, (Yogyakarta: Pustaka

    Pelajar,2004), hlm.370 13 Richard E Palmer. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery

    dan Damanhuri Muhammed. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005). Hlm.187 14 Hans Gorge Gadamer, Truth and Method, terj. Ahmad Sahidah, hlm.370

  • 16

    ini. Hubungan yang orisinil dari bentuk-bentuk hermeneutika ini

    tergantung pada pengakuan terhadap aplikasi sebagai sebuah unsur

    integral dari semua pemahaman. Di dalam hermeneutika teologis dan

    hukum terdapat ketegangan antara teks yang dituliskan –dari hukum atau

    penyataan—di satu sisi, di sisi lain, pengertian dicapai oleh penerapannya

    di dalam peristiwa penafsiran khusus, baik dalam pertimbangan maupun

    ajaran. Hukum di sini tidak dipahami secara historis akan tetapi secara

    konkret dianggap sahih melalui penafsiran. Dengan cara yang sama,

    sebuah pernyataan religius tidak dipahami semata-mata sebagai dokumen

    historis, akan tetapi dipahami dengan cara bagaimana ia menunjukkan

    pengaruh penyelamatannya. Ini meliputi fakta bahwa teks, apakah hukum

    ataupun kitab suci, jika dipahami dengan tepat, yakni menurut apa yang

    dibuat klaim pada setiap peristiwa, di dalam setiap situasi khusus, cara

    baru dan berbeda maka hal tersebut yang disebut dengan aplikasi.15

    Pokok dari pemahaman, sebagaimana yang terjadi dalam ilmu-ilmu

    kemanusiaan, secara esensial bersifat historis, yakni sebuah teks dipahami

    dengan cara yang berbeda di setiap waktu. Struktur historitas di dalam

    pemahaman mensugestikan pentingnya sebuah faktor yang telah lama

    diabaikan dalam hermeneutika, aplikasi, fungsi interpretasi dalam

    hubungannya dengan makna teks terhadap situasi kekinian.16

    15 Hans Gorge Gadamer, Truth and Method, terj. Ahmad Sahidah, hlm.371 16 Richard E Palmer. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery

    dan Damanhuri Muhammed, hlm.221

  • 17

    2. Fusion of Horizons Gadamer dan Double Movement Theory Rahman

    Menurut Gadamer dalam menafsirkan, seorang penafsir harus selalu

    berusaha merehabilitasi pra pemahamannya. Hal ini berkaitan dengan teori

    “penggabungan atau asimilasi horison”, dalam arti bahwa proses penafsiran

    seseorang harus sadar bahwa dalam proses penafsiran seseorang harus sadar

    bahwa ada horison, yakni cakrawala (pengetahuan) atau horison di dalam

    teks dan cakrawala (pemahaman) atau horison pembaca. Soerang pambaca

    teks memulainya dengan cakrawala hermeneutika, namun dia juga

    memperhatikan bahwa teks juga mempunyai horison sendiri yang mungkin

    berbeda dengan horison yang dimiliki pembaca.17

    Horison teks atau disebut dengan weltanschauung (pandangan

    dunia) hanya dapat diketahui dengan melakukan apa yang disebut al-Khulli

    dengan dirāsāt mā fî n-nashsh (studi atas apa yang ada di dalam teks) dan

    dirāsāt mā hawla n-nashsh (studi atas sesuatu yang melingkupi teks). Studi

    apa yang ada di dalam teks dilakukan antara lain dengan menganalisis aspek

    kebahasaan teks, sedangkan studi atas sesuatu yang melingkupi teks berupa

    analisis terhadap aspek historis yang melingkupinya, seperti aspek historis

    mikro (asbaab an-nuzul) dan aspek historis makro yakni kondisi bangsa

    Arab saat al-Qur’an diturunkan. Setelah seorang penafsir melakukan

    analisis-analisis di atas, maka dia akan mendapatkan Weltanschauung atau

    horison teks secara baik.18

    17 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran (Edisi Revisi dan

    Perluasan), (Yogyakarta:Baitul Hikmah Press, 2017), hlm.81 18 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran (Edisi Revisi dan

    Perluasan), hlm.87

  • 18

    Pemikiran Gadamer fusion of horizons dianggap menginspirasi

    Rahman dalam pemikiran double movement theorynya, meskipun secara

    tegas Rahman menampik jika ia terpengaruh oleh hermeneutika Gadamer,

    bahkan mengklaim bahwa pemikirannya sama sekali berbeda dengan

    pemikiran Gadamer.19 Dari keduanya mempunyai kemiripan ketika

    membahas dua horison yang perlu diperhatikan ketika akan menafsirkan

    sebuah teks. Dalam teori double movementnya, Rahman juga mengatakan

    bahwa dibutuhkannya dua gerakan yang saling berkaitan dan tidak dapat

    dipisahkan demi mendapatkan pesan yang sebenarnya (pokok) akan

    disampaikan oleh teks (al-Qur’an).

    G. Metodologi Penelitian

    1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

    Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang menitik

    beratkan pada telaah kepustakaan( library research) dengan analisis

    deskriptif. Penulis mengumpulkan tulisan atau buku yang bersangkutan

    kemudian mengaplikasikan pemikiran tokoh tersebut untuk menjawab

    sebuah problem yang menjadi latar belakang adanya penelitian.

    2. Kebutuhan dan Sumber data

    Penulisan ini merupakan penulisan kepustakaan, karenanya data

    yang digunakan adalah buku-buku atau tulisan yang disusun oleh Fazlur

    Rahman. Selain itu penulis juga melakukan pengumpulan data dengan

    19 Mu’amar Zayn Qadafy, Buku Pintar Sababun Nuzul Dari Mikro Hingga Makro,

    (Yogyakarta: IN AzNa Books,2015), hlm.124

  • 19

    jalan mempelajari literatur dari buku-buku lain yang mendukung

    pendalaman analisis.

    Secara garis besar sumber data terbagi mejadi dua yaitu

    a). Sumber pilihan (Primer)

    Sumber data primer dalam penelitian ini meliputi karya-karya Fazlur

    Rahman yang dipakai bahan analisis, seperti:

    1. Fazlur Rahman, Major Themes of the Quran,(Chicago: The

    University of Chicago,2009)

    2. Fazlur Rahman, Islam, (Chicago :The University of

    Chicago,1979)

    3. Fazlur Rahman, Revival and reform in Islam, Terj. Aam

    Fahmia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2000).

    4. Fazlur Rahman, Metode dan Altertif Neomodernisme Islam,

    Penyunting Taufik Adnan Amal, (Bandung: Mizan,1989).

    5. Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an

    Intelectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago

    Press,1982).

    b). Sumber Tambahan ( Sekunder)

    Data sekunder merupakan pendukung karya yang ditulis oleh para

    tokoh yang berkaian dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian

    ini yakni yang membahas tentang Fazlur Rahman dan ahli kitab:

  • 20

    1. Waryono Abdul Ghofur, Persaudaraan Agama-

    Agama;Millah Ibrahim dalam Tafsir Al Mizan,

    (Bandung:PT. Mizan Pustaka,2016).

    2. Abd A’la, Dari Neomodernisme Ke Islam Liberal, (Jakarta:

    Dian Rakyat,2009).

    3. Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer

    dalam Pemikiran Fazlur Rahman, (Badan Litbang dan

    Diklat Depag RI, 2007).

    4. Sa’dullah Assa’idi, Pemahaman Tematik al-Qur’an

    Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Pustaka

    Pelajar,2013).

    5. Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas:

    Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlurrahman, (Bandung:

    Mizan, 1996).

    3. Teknik Pengumpulan data

    Dalam penelitian ini pengumpulan data menggunakan studi pustaka

    yaitu dengan mencari literatur baik berupa buku atau jurnal yang berkaitan

    dengan penelitian.

    H. Sistematika Penulisan

    Pada penelitian ini terdiri dari 5 (lima) bab. Yang mana setiap bab saling

    berkaitan satu sama lain. Sistematika penulisan laporan penelitian ini bertujuan

    agar pembahasan dalam laporan penelitian ini tersusun secara sistematis supaya

    lebih mudah untuk dipahami. Sistematikanya antara lain:

  • 21

    Bab pertama Pendahuluan; berisi hal-hal yang berkaitan dengan penelitian

    ini yang menguraikan pemikiran latar belakang masalah, rumusan masalah,

    tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian sebagai

    cara metodologis dalam penulisan dan sistematika penulisan. Bab pertama

    merupakan gambaran awal tentang penulisan laporan penelitian ini.

    Bab kedua Hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman. Bab ini meliputi

    pengertian, macam-macam dan hubungan hermeneutika umum dengan

    penafsiran al-Qur’an yang kemudian dilanjutkan pembahasan pada

    hermeneutika double movement Fazlur Rahman dan beberapa contoh penerapan

    metode hermeneutika tersebut.

    Bab ketiga Pemahaman terma ahli kitab dari berbagai perspektif. Dalam

    bab ini dijelaskan beberapa pengertian ahli kitab baik secara kebahasaan maupun

    secara luas. Pengertian ahli kitab juga diperluas dengan adanya pendapat-

    pendapat dari para tokoh Muslim. Bab ini akan menghasilkan pengertian yang

    luas mengenai terma ahli kitab.

    Bab keempat Aplikasi Hermenutika Double Movement Fazlur Rahman

    Terhadap Pemaknaan Ahli kitab. Pada bab ini, akan diketahui bagaimana

    penggunaan teori double movement Fazlur Rahman dalam memahami terma ahli

    kitab dan relevansinya dalam konteks Indonesia.

    Bab kelima penutup yang berisi simpulan seluruh rangkaian yang telah

    dikemukanan dan merupakan jawaban atas permasalahan yang ada. Bab ini juga

    berisi saran-saran yang bisa direkomendasikan dan menunjukan hasil akhir dari

    penelitian yang telah dilakukan.

  • 22

    BAB II

    HERMENEUTIKA AL QUR’AN FAZLUR RAHMAN

    A. Hermeneutika Barat

    1. Pengertian dan Ruang Lingkup Hermeneutika

    Secara etimologis, kata hermeneutika diambil dari bahasa Yunani,

    yakni hermeneuein, yang berarti “menjelaskan”. Kata hermeios dan kata

    kerja yang lebih umum hermeneuein dan kata bensa hermenia diasosiasikan

    pada Dewa Hermes. Tepatnya, Hermes diasosiasikan dengan fungsi

    transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk yang

    dapat ditangkap oleh intelegensia manusia.20 Pada suatu ketika Hermes

    dihadapkan dengan sebuah masalah bagaimana menyampaikan pesan Zeus

    yang menggunakan “bahasa langit” kepada manusia yang menggunakan

    “bahasa bumi”. Akhirnya, dengan kebijaksanaannya, Hermes menafsirkan

    bahasa Zeus ke dalam bahasa manusia dalam bentuk teks suci.21

    Pengasosiasian hermeneutik dengan Hermes secara sekilas

    menunjukkan adanya tiga unsur yang menjadi variabel utama pada kegiatan

    manusia dalam memahami. Pertama, adanya tanda, pesan atau teks yang

    menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan

    pesan yang dibawa oleh Hermes. Kedua, adanya perantara atau penafsir

    yaitu Hermes dan ketiga, penyampaian pesan oleh seorang perantara agar

    dapat dipahami dan sampai kepada yang menerima. Beberapa kajian

    20 Richard E Palmer. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery

    dan Damanhuri Muhammed, hlm.15 21 Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka

    Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta:Belukar,2004), hlm.135

  • 23

    menyebutkan bahwa hermeneutika adalah proses mengubah sesuatu atau

    situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti.22

    Kata tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Jerman Hermeneutik

    dan bahasa Inggris hermeneutics. Sebagai sebuah istilah, kata tersebut

    didefinisikan secara beragam dan bertingkat. Hermeneutika adalah seni

    praktis, yakni techne yang digunakan dalam hal-hal seperti berceramah,

    menafsirkan bahasa-bahasa lain, menerangkan dan menjelaskan teks-teks,

    dan sebagai dasar dari semua ini (ia merupakan) seni memahami, sebuah

    seni yang secara khusus dibutuhkan ketika makna sesuatu (teks) itu tidak

    jelas.23

    Dengan makna ini pulalah F. Schleiermacher mengartikan istilah

    tersebut dengan seni memahami secara benar bahasa orang lain, khususnya

    bahasa tulis (the art of understanding rightly another man’s language,

    particularly his written language). Selain sebagai seni, hermeneutika pada

    masa modern, menurut Gadamer diartikan sebagai art of exegesis (seni

    menafsirkan), melainkan lebih dari itu sebagai disiplin yang membahas

    aspek-aspek metodis yang secara teoritis dapat menjustifikasi aktivitas

    penafsiran. Definisi hermeneutika sebagai gabungan antara aktivis dan

    metode penafsiran ini juga didapati pada definisi yang dikemukakan oleh

    Franz-Peter Burkard yaitu “seni menafsirkan teks dan dalam arti yang lebih

    luas hermeneutika adalah refleksi teoritis tentang metode-metode dan

    22Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an Tema-tema Kontroversial,

    (Yogyakarta:Kalimedia,2015), hlm.5 23Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, (Yogyakarta:

    Pesantren Nawesea Press, 2009), hlm. 5-6

  • 24

    syarat-syarat pemahaman. Definisi tersebut dengan jelas memasukkan

    aktivitas penafsiran dan metodenya ke dalam istilah hermeneutika.24

    Hermeneutika berbicara tentang pemahaman bukan untuk

    menciptakan kembali hal yang dibaca. Hermeneutika bukan hanya

    mengeluarkan kembali sesuatu yang sudah tersimpan lama akan tetapi

    sebagai sebuah seni yang bertujuan untuk menghindari kesalahpahaman.

    Menurut Schleiermacher terdapat dua masalah universal dalam

    hermeneutika yaitu penjumpaan dengan sesuatu yang asing dan

    kemungkinan salah paham manakala harus memahami lewat kata-kata.25

    Maka dengan adanya hermeneutika, pemahaman atas sebuah teks

    diharapkan tidak terjadi kesalahpahaman dan dapat dicapai makna objektif-

    orisinil.26

    Problem dasar yang diteliti hermeneutika adalah masalah penafsiran

    teks secara umum, baik berupa teks historis maupun teks keagamaan. Oleh

    karenanya, yang ingin dipecahkan merupakan persoalan yang sedemikian

    banyak lagi kompleks yang terjalin sekitar watak dasar teks dan

    hubungannya al-turats di satu sisi, serta hubungan teks dengan

    pengarangnya di sisi lain. Yang terpenting di antara sekian banyak persoalan

    di atas adalah bahwa hermeneutika mengkonsentrasikan diri pada hubungan

    mufasir dengan teks. Konsentrasi atas hubungan mufasir dengan teks

    24 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, hlm. 6 25 W. Poespoprodje, Hermeneutika, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 24 26 Siti Robikah, “Contextual Interpretations of the Quran: Telaah Hermeneutika Inklusif Nasr

    Hamid Abu Zayd”, Proceeding The 2nd BUAF 17-20 Juli 2017, (Banjarmasin:UIN Antasari).

  • 25

    merupakan titik pangkal dan persoalan serius bagi hermeneutik.27 Jika

    dilihat dalam berbagai pembahasan, interpretasi dan pemahaman –dimana

    pemahaman adalah hal yang menjadi tujuan hermeneutika—erat terjalin.

    Setiap masalah interpretasi adalah masalah pemahaman, dengan alasan

    bahwa pemahaman dicapai melalui interpretasi.

    Memahami teks melalui interpretasi menurut hermeneutika tidak bisa

    lepas dari konteks sejarah dimana teks itu muncul, kepada siapa teks itu

    berdialog, mengapa teks itu dibuat dan seterusnya, yang pasti tidak lepas

    dari ruang yang mengintarinya. Teks adalah produk kebudayaan yang

    mengintarinya sehingga harus dipahami secara kritik historis. Menurut

    Schleiermacher, karya sastra atau seni merupakan manifestasi pribadi

    sehingga membaca teks adalah suatu dialogia dengan pengarang atau

    seniman. Teks bukanlah objek mati, bukan sekedar benda yang merentang

    dalam ruang dan waktu (res extensa).28

    2. Model-Model Hermeneutika

    Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika terdiri atas tiga

    bentuk atau model. Pertama, hermeneutika objektif yang dikembangkan

    tokoh-tokoh klasik, khususnya F. Schleimacher, W. Dilthey, dan Emilio

    Betti. Menurut model ini, penafsiran berarti memahami teks sebagaimana

    yang dipahami pengarangnya, sebab apa yang ada di dalam teks adalah

    ungkapan jiwa pengarangya, sehingga apa yang disebut makna atau tafsiran

    27Nasr Hamid Abu Zayd, Isykaliyat al-Qira’ah wa Aliyyat at-Ta’wil, terj. Muhammad

    Mansur, (Jakarta: ICIP, 2004), hlm. 3 28 W. Poespoprodje, Hermeneutika, hlm. 19

  • 26

    atasnya tidak didasarkan pada kesimpulan pembaca melainkan diturunkan

    dan bersifat instruktif.29 Untuk dapat mencapai tingkatan itu, menurut

    Schleiermacher, ada dua cara yang dapat ditempuh, dengan bahasanya yang

    mengungkapkan hal-hal baru atau lewat karakteristik bahasanya yang

    ditransfer kepada kita. Ketentuan ini didasarkan atas konsepnya tentang

    teks. Menurut Schleiermacher, setiap teks mempunyai dua sisi yaitu

    pertama, sisi linguistik yang merujuk pada bahasa yang memungkinkan

    proses memahami menjadi mungkin dan kedua, sisi psikologis yang isi

    pikiran si pengarang yang termenifestasi pada gaya bahasa yang digunakan.

    Dua sisi ini mencerminkan pengalaman pengarang yang mana pembaca

    mengkontruksikannya dalam upaya memahami pikiran pengarang dan

    pengalamannya.30

    Untuk memahami maksud pengarang –dengan gaya bahasa yang

    berbeda- maka tidak ada jalan lain bagi mufasir kecuali harus keluar dari

    tradisinya sendiri untuk kemudian masuk ke dalam tradisi dimana si penulis

    teks tersebut hidup, atau paling tidak membayangkan seolah dirinya hadir

    pada zaman itu. Dengan masuk ke dalam dunia pengarang, memahami dan

    menghayati budaya yang melingkupinya, mufasir akan mendapatkan makna

    objektif sebagaimana yang dimaksud si pengarang.31

    29 Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics, (London: Roudege & Kegars Paul,1980),

    hlm.29 30 Nasr Hamid Abu Zayd, Isykaliyat al-Qira’ah wa Aliyyat at-Ta’wil, terj. Muhammad

    Mansur, hlm.11 31 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, (Jakarta:Gramedia, 1981), hlm.230

  • 27

    Scheleimacher juga telah mempelopori tokoh-tokoh setelahnya,

    terutama Dilthey dan Gadamer. Dilthey memulai pembahasannya dalam

    wilayah yang mana Schelemacher berhenti, yakni pembahasan tentang

    penafsiran dan pemahaman yang benar dalam bidang ilmu-ilmu humaniora.

    Usaha Dilthey terfokus pada pemisahan antara disiplin ilmu alam, sejarah

    dan humaniora. Dilthey menolak metode kalangan positivisme yang

    mengatakan bahwa penyelamatan satu-satunya bagi ketertinggalan ilmu

    humaniora dan ilmu-ilmu alam adalah dengan menerapkan metode

    eksperimental ilmu-ilmu eksakta dalam ilmu-ilmu humaniora, sebagai

    upaya untuk mencapai aturan umum yang pasti dan untuk menghindari

    subjektivitas dan kedangkalan ilmu humaniora.32

    Dilthey berusaha membangun ilmu sosial dengan landasan metode

    yang berbeda dengan ilmu alam. Menurutnya, perbedaan diantara keduanya

    terletak pada persoalan materinya, materi ilmu sosial (akal manusia) bukan

    merupakan bentukan di luar dirinya sebagaimana materi ilmu alam adalah

    derivasi dari alam.

    Kedua, hermeneutika subjektif yang dikembangkan oleh tokoh

    modern Hans Georg Gadamer dan Jacques Derida. Menurut model ini,

    hermeneutika bukan sebuah usaha untuk menemukan makna objektif yang

    dimaksud penulis melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu

    sendiri.33 Stressing mereka adalah isi teks itu sendiri secara mandiri bukan

    32 Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an, Hermeneutika dan kekuasaan, terj. Dede Iswadi,

    (Bandung:RqiS), hlm.47 33 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, hlm.230

  • 28

    pada ide awal penulis. Inilah yang membedakan antara hermeneutika

    subjektif dan objektif. Dalam pandangan subjektif, teks bersifat terbuka dan

    dapat diinterpretasikan oleh siapapun, ia telah berdiri sendiri dan tidak lagi

    berkaitan dengan penulis. Karena itu, teks tidak harus dipahami berdasarkan

    ide penulis melainkan berdasarkan materi yang ada dalam teks itu sendiri.

    seseorang menafsirkan teks berdasarkan apa yang dimiliki saat ini

    (vorhabe), apa yang dilihat (vorsicht), dan apa yang diperoleh kemudian

    (vorgriff).34 Menurut pendapat Gadamer, ketiga unsur tersebut, yang disebut

    dengan lingkaran hermeneutika, didiskusikan oleh Heidegger bukan sebagai

    usaha pemahaman praktis, melainkan dimaksudkan untuk memberikan

    deskripsi cara pencapaian pemahaman melalui interpretasi. Heidegger

    menjelaskan bahwa jika ingin memahami sesuatu, maka seseorang haruslah

    membawa latar belakang tradisi yang telah ia miliki sebelumnya. Unsur

    pertama dalam lingkaran hermeneutika disebut dengan vorhabe (fore-have).

    Selanjutnya dalam menafsirkan, orang itu dibimbing oleh cara pandang

    tertentu. Maka dari itu dalam melakukan proses pemahaman ia selalu

    didasari oleh apa yang telah dilihat sebelumnya yang disebut pada unsur

    kedua dengan vorsicht (fore-sight). Unsur selanjutnya yaitu Vorgiff (fore-

    conception) yang menjadi syarat pemahaman adalah konsep-konsep yang

    memberi kerangka awal. Ketiga unsur tersebut menjadi syarat pemahaman

    dalam lingkaran hermeneutik yang bertitik tolak dari konsep ontologis

    Heidegger yang lebih mendasar pada being there dari Dasein yang terikat

    34 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, hlm.232

  • 29

    temporalitasnya. Menurut penjelasan Gadamer bahwa lingkaran

    hermeneutika mengandung kapasitas primordial pemahaman manusia yang

    positif karena adanya pra-pengertian.35

    Ketiga, hermeneutika pembebasan yang dikembangkan oleh tokoh

    Muslim kontemporer yaitu Hassan Hanafi dan Farid Esack. Pada model ini

    hermeneutika tidak hanya berarti ilmu interpretasi akan tetapi lebih pada

    aksi.36 Hassan Hanafi biasanya dianggap sebagai filosof dibandingkan

    dengan hermeneutikus, namun disertasinya merupakan sebuah pengkajian

    hermeneutik Islam yang sangat komprehensif dan sangat disayangkan jika

    diabaikan begitu saja. Dia juga menulis beberapa artikel yang berisi tentang

    hermeneutika al-Qur’an dan juga karya eksegetis meskipun dalam

    pengertian tradisionalnya bukan merupakan kitab tafsir. Menurutnya,

    hermeneutika bukan hanya sebuah seni interpretasi dan teori pemahaman,

    namun juga merupakan ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu dari

    tingkat kata ke tingkat realitas, dari logos ke praksis. Dia mengusulkan

    sebuah hermeneutika al-Qur’an yang spesifik (juz’i), tematik, temporal dan

    realistik, dia juga lebih menekankan makna dan tujuan ketimbang kata-kata

    dan huruf. Hermeneutika al-Qur’an haruslah berdasarkan atas pengalaman

    hidup, dimulai dengan kajian atas problem-problem manusia. Teori

    hermeneutikanya terutama didasarkan atas pengertian asbaab an nuzul

    dalam pengertian realitas selalu mendahului wahyu. Interpretasi haruslah

    35 Agus Darmaji, “Dasar-Dasar Ontologis Pemahaman Hermeneutik Hans-Georg Gadamer”,

    Refleksi, (Vol.13,No.4,2013),hlm.473 36 Hassan Hanafi, Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Firdaus,

    (Yogyakarta:Prisma,2003), hlm.109

  • 30

    mengambil titik berangkatnya dari realitas, dalam problem-problem di mana

    manusia mendapatkan dirinya, kemudian kembali kepada wahyu (al-

    Qur’an) untuk mendapatkan sebuah jawaban teoritis. Jawaban teoritis ini

    haruslah kemudian diterapkan dalam praksis. Interpretasi selalu berakhir

    dalam praksis.37

    Farid Esack, seorang intelektual Muslim Afrika Selatan dan aktivis

    hak asasi manusia, mengusulkan sebuah hermeneutika al-Qur’an tentang

    plularisme religius untuk pembebasan. Yang didasarkan atas konteks dan

    pengalaman hidup di Afrika Selatan, yang pernah dibentuk oleh politik

    aparteid, ketidakadilan dan penindasan. Dia lebih menekankan

    hermeneutika penerimaan yang biasanya didiskusikan dalam konteks

    fungsionalisme. Yang sentral dalam hermeneutika adalah pertanyaan

    mengenai bagaimana teks al-Qur’an diterima oleh masyarakat Muslim

    Afrika Selatan. Demikian pula koteks spesifik di mana teks al-

    Qur’anditerima dan dialami, dan bukannya konteks universal, adalah titik

    dimana interpretasi apapun dimulai. Dalam hal ini masyarakatlah yang

    berhak menginterpreatsi wahyu Allah bukanlah Ulama.38

    Dengan demikian, terdapat tiga model hermeneutika. Pertama,

    hermeneutika objektif yang berusaha memahami makna asal dengan cara

    mengajak kembali ke masa lalu; Kedua, hermeneutika subjektif yang

    memahami makna dalam konteks kekinian dengan menepikan masa lalu;

    37 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, (Jakarta:TERAJU, 2003),

    hlm.40 38 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, hlm.41

  • 31

    Ketiga, hermeneutika pembebasan yang memahami makna asal dalam

    konteks kekinian tanpa menghilangkan masa lalu dan yang terpenting

    pemahaman tersebut tidak sekedar berkutat dalam wacana melainkan benar-

    benar mampu menggerakan sebuah aksi dan perubahan sosial.39

    B. Hermeneutika Barat dan Tafsir al-Qur’an

    Mengenal hermeneutika Barat bermula dari hermeneutika yang

    dikenalkan oleh Schleiermacher—yang kemudian dikenal sebagai bapak

    hermeneutika—kemudian dilanjutkan oleh para tokoh setelahnya. Dhitley,

    Gadamer dan Jorge Gracia sebagai deretan nama yang berada setelah

    Schleiermacher. Pada era kontemporer ini, banyak tokoh intelektual Islam

    yang mengadopsi pemikiran hermeneutika Barat untuk memahami kitab

    suci al-Qur’an. Salah satunya pemikiran Fazlur Rahman yang banyak

    mengadopsi pemikiran Gadamer, meskipun Fazlur Rahman tidak

    mengakuinya secara keseluruhan. Jika dilihat secara spesifik maka terlihat

    dari teori kedua tokoh—fusion of horizon dan double movement-- tersebut

    terdapat keterkaitan di antara keduanya.

    Kesesuaian hermeneutika Gadamer dan penafsiran al-Qur’an terlihat

    pada setiap teori yang dia kemukakan.

    39 Muhammad Aji Nugroho, “Hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi; Merefleksikan Teks

    pada Realitas Sosial dalam Konteks Kekinian”, Millati, (Vol.1, No,2, Desember 2016), hlm. 192-

    193

  • 32

    1. Teori kesadaran sejarah dan teori pra pemahaman dalam menafsirkan

    al-Qur’an

    Inti dari teori pra pemahaman adalah bahwa seorang penafsir harus

    berhati-hati dalam menafsirkan teks dan tidak menafsirkan sesuai

    kehendaknya semata-mata hanya terpengaruh pada pengetahuan awal. Teori

    ini sangat jelas adanya keterkaitan dengan ilmu tafsir al-Qur’an. Dalam

    hadis Nabi dijelaskan bahwa “Barang siapa yang menafsirkan al-Qur’an

    dengan ra’y-nya, maka bersiaplah untuk menempati nereka.” Kata ra’y

    dalam hadis tersebut diartikan sebagai “akal”, sebab kata akal mengandung

    arti berfikir secara positif, sebagaimana telah tertera dalam surah al-

    Qur’an.40 Kata ra’y diatas lebih tepatnya diartikan dengan “dugaan” atau

    pra pemahaman yang tidak atau belum diuji ketepatannya. Seperti dalam

    istilah Gadamer yaitu ‘vorverstaendnis’.41Dalam hadis lain dikatakan

    bahwa man fassara l-Qur’ana bi ghairi ‘ilm (siapapun yang menafsirkan al-

    Qur’an tanpa ilmu pengetahuan). Dengan demikian penafsiran yang

    dilarang oleh Nabi adalah penafsiran yang tidak didasarkan pada ilmu

    pengetahuan yang dibutuhkan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an saat

    penafsiran dan hanya didasarkan pada ‘subyektivitas’ penafsir semata.42

    40 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, Edisi Revisi dan

    Perluasan, hlm. 84 41 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, Edisi Revisi dan

    Perluasan, , hlm. 84 42 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, Edisi Revisi dan

    Perluasan, hlm.84

  • 33

    2. Teori Fusion of Horizons dan Dirāsāt mā hawla al-Nashsh

    Dengan teori fusion of horizons, Gadamer mengatakan bahwa dalam

    proses penafsiran terdapat dua horison yang harus diperhatikan dan

    diasimilasi, yakni horison teks dan horison penafsir. Horison teks, atau bisa

    saja disebut dengan weltanschauung (pandangan dunia) teks hanya bisa

    diketahui dengan melakukan apa yang disebut dengan dirāsāt mā fi n-

    nashsh dan dirāsāt mā hawla n-nashsh oleh Amin Al khulli. Studi atas apa

    yang terdapat di dalam teks dilakukan, antara lain dengan menganalisis

    aspek kebahasaan teks, sedangkan studi atas sesuatu yang melingkupi teks

    berupa analisis terhadap aspek historis yang melingkupinya seperti aspek

    historis mikro (asbaab an nuzul) dan aspek historis makro yaitu kondisi

    bangsa Arab saat al-Qur’an diturunkan. Setelah seseorang melakukan

    analisis-analisis di atas, dia akan mendapatkan weltanschauung atau horison

    teks secara baik. Horison ini pada gilirannya akan digabungkan dengan

    horison penafsir dalam bentuk reaktualisasi penafsiran.43

    3. Teori Aplikasi dan Interpretasi Ma’na-cum-maghza

    Teori aplikasi yang dikemukakan Gadamer menegaskan bahwa

    setelah seorang penafsir menemukan makna yang dimaksud dari sebuah

    teks pada saat teks tersebut muncul, dia kemudian melakukan

    pengembangan penafsiran atau reaktualisasi (reinterpretasi) dengan tetap

    memperhatikan kesinambungan ‘makna baru’ dengan makna asal sebuah

    43 Sahiron Syamsuddin, “Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Pengembangan Ulum al-

    Qur’an dan Pembacaan al-Qur’an Pada Masa Kontemporer” dalam buku Upaya Integrasi

    Hermeneutika Dalam Kajian Qur’an dan Hadis (Teori dan Aplikasi), (Yogyakarta: Lembaga

    Penelitian UIN SUKA, 2011), hlm. 38

  • 34

    teks. Dengan teori ini diharapkan bahwa pesan teks tersebut dapat

    diaplikasikan pada saat penafsiran.44

    Teori ini dapat diterapkan dalam praktik penafsiran al-Qur’an yang

    bisa disebut dengan “interpretasi ma’na-cum-maghza”. Interpretasi yang

    dimaksud di sini adalah satu bentuk interpretasi yang memperhatikan baik

    makna asal dari teks yang diinterpretasikan maupun makna terdalam

    darinya. Gadamer menyebutnya dengan sinn (arti) dan makna yang berarti

    atau mendalam. Interpretasi ini dilakukan dengan cara memperhatikan

    konteks tekstual dengan analisis bahasa sebagai basisnya dan konteks

    sejarah di mana teks itu muncul dengan analisis historis sebagai

    instrumennya.45

    Gadamer memusatkan perhatiannya pada problem pemahaman yang

    dianggapnya sebagai problem eksistensial. Ia memulainya dengan

    pembahasan historis kritik bagi hermeneutik sejak masa Scheleimacher

    sampai masa Dilthey. Ia berpendapat bahwa Scheleimacher meletakkan

    kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang menyelamatkan kita dari buruknya

    pemahaman. Pemahaman buruk yang sering dilakukan ketika usia teks

    tersebut sudah tua. Akhirnya bahasanya menjadi samar dan rancu.

    Titik berangkat dalam pandangan Gadamer bukanlah membahas apa yang

    harus dilakukan atau dihindari dari praktek pemahaman, tetapi yang lebih

    44 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, Edisi Revisi dan

    Perluasan, hlm. 85 45 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, Edisi Revisi dan

    Perluasan, hlm.85, lihat tulisan Sahiron Syamsuddin dalam buku buku Upaya Integrasi

    Hermeneutika Dalam Kajian Qur’an dan Hadis (Teori dan Aplikasi), hlm. 40

  • 35

    penting adalah membahas apa yang sebenarnya terjadi dalam pemahaman

    ini, tanpa melihat niat atau maksud kita.46

    Gadamer memulai dari persoalan filosofis sebagaimana Heidegger

    tentang hubungan pemahaman dengan pengalaman yang universal yang

    melampaui bingkai metode dalam pengertian ilmiah. Ia mementingkan

    pembahasan mengenai pengalaman sejati yang melampui bingkai metode

    ilmiah yang sistematis. Dan yang termanifestasikan dalam filsafat, sejarah

    dan seni. Hermeneutika Gadamer tidak berusaha mambahas metode ilmu

    humaniora. Tetapi berusaha memahami ilmu-ilmu humaniora tanpa

    metodenya. Dan untuk memahami relasinya dengan pengalaman kita yang

    menyeluruh di alam semesta. Menurut Gadamer, sesungguhnya Dilthey

    telah melakukan kesalahan fatal yang yang sesungguhnya dia sensiri

    mencoba untuk menghindarinya. Praktek pemahaman dalam ilmu

    humaniora dan ilmu eksakta merupakan praktek yang melampaui wilayah

    metode. Karena pada akhirnya metode tidak menghasilkan apa-apa selain

    objek yang dibahas atau tidak menjawab kecuali atas persoalan-persoalan

    yang dilontarkan. Metode apapun yang memberikan jawabannya secara

    implisit, dan tidak menyampaikan pada suatu yang baru. Kalau begitu

    hermeneutik Gadamer melampaui wilayah metodologis dalam menganalisis

    praktek pemahaman itu sendiri.47

    46 Nasr Hamid Abu zayd, Al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan, Terj. Dede Iswadi dkk,

    (Bandung: RqiS, 2003), hlm.65 47 Nasr Hamid Abu zayd, Al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan, Terj. Dede Iswadi dkk,

    hlm.66

  • 36

    Dari titik tolak pemikiran ini, Gadamer mulai menganalisis konsep

    kebenaran dalam seni, sejarah dan filsafat. Seni, dalam pandangannya tidak

    hanya bertujuan pada kesenangan estetis yang dalam filsafat estetika

    umumnya terfokus pada bentuk. Sedangkan menurut pengalaman kita,

    dalam menerima aktifitas seni, kesadaran kita normal tidak terpisah dari diri

    kita. Dengan kesadaran seperti itulah kita memasuki lingkaran kesadaran

    estetis. Selanjutnya dengan dua bentuk kesadaran estetis dengan kesadaran

    non estetis menurut Gadamer terletak pada pandangan bahwa kesadaran

    subjektif merupakan dasar segala pengetahuan dalam filsafat Barat. Di sisi

    lain, terdapat perbedaan antara wilayah pengetahuan seni dan non seni,

    seperti sejarah dan filsafat. Seni tidak lahir hanya untuk menjadi objek

    penilaian dengan menolak atau menerimanya semata-mata berdasarkan

    kesadaran estetis subjektif.48

    Kesadaran estetis—menurut Gadamer—berada pada tempat kedua

    bila dibandingkan dengan hakikat yang muncul dari aktivitas seni hanya atas

    dasar kesadaran estetis saja, maka kita akan merasa asing terhadap hakikat

    aktivitas seni itu. Hal itu disebabkan karena menafikkan hakekat yang

    tersembunyi dalam aktivitas ini. Gadamer berpendapat sama dengan

    kalangan sosialis yang berpendapat bahwa seni terkait dengan manusia dan

    bahwa seni merupakan pemikiran yang paling orisinil. Tetapi Gadamer

    memahami hal tersebut sebagai objek yang berbeda dari anggapan kalangan

    48 Nasr Hamid Abu zayd, Al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan, Terj. Dede Iswadi dkk,

    hlm. 66

  • 37

    sosialis sendiri. Ia menganggap bahwa di dalam bingkai formalistis seni

    estetis pada suatu hakikat. Yaitu makna yang merupakan pesan seni itu

    sendiri. Ia juga berusaha menolak pendapat kaum estetis yang berpendapat

    bahwa seni tidak memiliki tujuan apapun kecuali mewujudkan kesenangan

    estetis. Ia menegaskan bahwa seni mengutarakan secara implisit satu jenis

    kebenaran yang tidak didapatkan dari sumber lain.49

    Untuk memperjelas metode interpretasi Gadamer dalam penafsiran al-

    Qur’an, akan lebih mudah jika diberikan contoh. Salah satu contoh

    penafsiran dengan metode Gadamer tentang kepemimpinan publik dilihat

    dari segi jenis kelamin. Ayat-ayat yang dipandang dan sering dijadikan

    landasan oleh para ulama klasik dan sarjana muslim dalam perdebatan

    tentang kesetaraan jender dalam bidang kepemimpinan.50 Allah berfirman;

    “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena

    Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang

    lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian

    dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat

    kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena

    Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan

    nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat

    tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,

    maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.

    Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”51

    Ayat yang termasuk dari ayat-ayat Madaniyah ini sering digunakan

    oleh para ulama yang berpendapat bahwa seorang wanita tidak boleh

    49 Nasr Hamid Abu zayd, Al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan, Terj. Dede Iswadi dkk,

    hlm.67 50 Sahiron Syamsuddin dalam buku Upaya Integrasi Hermeneutika Dalam Kajian Qur’an

    dan Hadis (Teori dan Aplikasi), hlm. 47 51 QS 4:34

  • 38

    menjadi pemimpin publik. Mereka mengatakan bahwa seorang wanita tidak

    boleh menjadi pemimpin publik. Mereka mengatakan bahwa ar-rijalu

    qawwamuna ‘ala n-nisa’i menunjukkan bahwa kaum lelaki adalah

    pemimpin bagi kaum wanita. Meskipun demikian, kalau kita

    memperhatikan konteks tekstual ayat tersebut, maka kita akan mendapati

    bahwa ayat tersebut tidak terkait dengan kepemimpinan dalam ranah publik,

    melainkan dalam ranah keluarga.52 Hal ini dapat dilihat dari asbaab an-

    nuzul ayat tersebut. Ibnu katsir, menyebutkan satu riwayat dari ‘Ali ibn

    Thalib bahwa suatu ketika Nabi Muhammad saw didatangi oleh seorang

    wanita yang mengadukan kepadanya bahwa dia dipukul oleh suaminya.

    Terhadap pengaduan ini, rasulullah merespon: “al-qishash” (balas dia

    dengan pukulan lagi) atau, dalam riwayat lain, “laysa lahu dzalika” (dia

    suami tidak berhak / boleh melakukan hal itu). setelah itu, turunlah ayat

    tersebut. Beliau mengatakan: Saya menghendaki sesuatu, namun Allah

    menghendaki yang lain” (yakni bolehnya memukul istri dalam batas

    tertentu).53Seandainya riwayat ini memang benar, maka dapat kita katakan

    bahwa ayat tersebut terkait dengan kepemimpinan lelaki dalam keluarga

    secara historis (dengan memperhatikan sistem masyarakat Arab Madinah

    52 Sahiron Syamsuddin, “Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan pengembangan Ulum al-

    Qur’an dan Pembacaan al-Qur’an Pada Masa Kontemporer” dalam buku Upaya Integrassi

    Hermeneutika Dalam Kajian Qur’an dan Hadis (Teori dan Aplikasi), hlm. 48 53 Sahiron Syamsuddin, “Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Pengembangan Ulum al-

    Qur’an dan Pembacaan al-Qur’an Pada Masa Kontemporer”, hlm.49

  • 39

    waku itu) memang berkarakteristik pratriarkal dan tentunya riwayat ini

    sangat multi-interpretable (dapat ditafsirkan secara beragam).54

    Para Ulama yang mendasarkan ayat tersebut untuk mengatakan lelaki

    juga pemimpin dalam ranah publik tampaknya mengambil keumuman lafal

    tersebut, sehingga mereka berkesimpulan bahwa al-Qur’anpun memberikan

    runtutan agar kepemimpinan publik juga dipegang oleh laki-laki,

    sebagaimana pemimpin keluarga. Dalam hal ini, yang berpandangan seperti

    itu berpegang pada prinsip al-‘ibrah bi-‘umum al-lafzh la bi khushush as-

    sabab (keumuman lafal bukan kekhususan sebab turunnya). Pemahaman

    semacam ini kiranya cukup problemik karena tidak memperhatikan konteks

    ayat baik tekstual maupun historis. Kemudian ayat QS 2:228;

    “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru´. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan

    Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat.

    Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika

    mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai

    hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma´ruf.

    Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada

    isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

    Melihat ayat tersebut secara tekstual maka dapat disimpulkan bahwa

    ayat tersebut berkenaan dengan masalah perceraian, bukan masalah

    kepemimpinan publik. Penafsiran ini digaris bawahi oleh mufasir awal yaitu

    al-Thabari mengatakan bahwa penggalan tersebut berarti pemberian maaf

    oleh suami kepada istrinya yang melalaikan sebagian kewajiban-

    54 Sahiron Syamsuddin, “Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Pengembangan Ulum al-

    Qur’an dan Pembacaan al-Qur’an Pada Masa Kontemporer”, hlm.48

  • 40

    kewajibannya, melupakan kesalahan istri dan menunaikan kewajibannya

    kepada istrinya.55

    Terkait dengan ayat tersebut banyak mufasir yang menafsirkan ayat

    tersebut dengan bias jender. Tafsir bias jender yang dimaksud adalah tafsir

    yang memiliki tendensi diskriminatif terhadap sekelompok manusia atas

    jenis kelamin. Tafsir semacam ini biasanya dipengaruhi oleh pra

    pemahaman (pre understanding)56 yang membentuk horison seseorang. Pra

    pemahaman dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lingkungan dan sistem

    masyarakat, ilmu pengetahuan, subjektivitas serta kecenderungan penafsir.

    Hal ini yang dapat mempengaruhi mufasir. Mufasir yang hidup di

    masyarakat pratiarkal maka akan terpengaruh dalam penafsirannya dengan

    sistem patriarkal pula. Adanya pra pemahaman adalah suatu keharusan,

    karena tanpa adanya pra pemahaman, seseorang tidak akan mampu

    memahami teks yang ditafsirkan. Yang menjadi problem adalah jika pra-

    pemahaman tidak terkontrol dan akhirnya akan memaksakan agar teks yang

    sedang ditafsirkan itu “berbicara” kepada penafsir, padahal tugas utama

    penafsir adalah membiarkan teks berbicara dengan sendirinya bukan

    memaksa sesuai dengan kehendak penafsir. Dengan kata lain, tugas penafsir

    adalah mencari tahu dan memaparkan apa yang benar-benar dimaksud oleh

    teks (objective meaning, al ma’na al-ashli). Dengan demikian bukan berarti

    55 Sahiron Syamsuddin, “Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan pengembangan Ulum al-

    Qur’an dan Pembacaan al-Qur’an Pada Masa Kontemporer”, hlm.49 56 Hans-Gorge Gadamer, Hermeneutika Klasik dan Filosofis, terj. Syafa’atun Almirzanah,

    dalam Pemikiran Hermeneutika Dalam Tradisi Barat, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN

    SUKA,2011), hlm. 153

  • 41

    penafsir hanya berhenti di situ saja akan tetapi setelah mendapatkan dan

    menyampaikan makna yang dimaksud teks, penafsir berhak melakukan

    “reinterpretasi” dan “reaktualisasi” terhadap makna teks sesuai dengan

    situasi dan kondisi dimana penafsiran tersebut dilakukan.57 Beberapa

    penafsir memang menafsirkan ayat QS 4: 34 dipandang bias jender,

    diantaranya Ibn Katsir, al-Thabari dan Fakhruddin Ar Razi.

    Beranjak dari ayat tersebut yang mana banyak diantara penafsir abad

    pertengahan menyatakan ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin

    dalam ranah publik, ayat QS 27: 29-35 berisi tentang kepemimpinan ratu

    Balqis. Meskipun ayat-ayat tersebut berisi tentang kepemimpinan ratu

    Balqis, namun sebagian ulama memahaminya secara implisit dan simbolik

    sebagai justifikasi Qur’ani seorang perempuan memimpin Negeri, seperti

    yang dilakukan oleh Ratu Balqis. Dalam al-Qur’an sama sekali tidak

    mencela kepemimpinan Ratu Balqis, sebaliknya al-Qur’an justru

    memaparkan betapa baiknya dan tepatnya keputusan dan kebijakan Ratu

    Balqis sebagai pemimpin Negeri Saba’. Hal ini menunjukkan bahwa

    seorang perempuan juga bisa memimpin suatu negeri dengan baik. Respon

    interpretatif ini disebut dengan interpretasi ma’na-cum-maghza. Adapun

    terkait dengan ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Ratu Balqis

    adalah seorang Ratu yang mempunyai karakteristik demokrasi,

    57 Lebih detail lihat Hans Gorge Gadamer, Wahrheit and Method, hlm. 398

  • 42

    mengutamakan ketentraman rakyat, menyukai diplomasi dan perdamaian,

    cerdas dan berhati-hati.58

    Dari pemaparan tersebut, dapat dilihat secara detail bagaimana gerak