ASPEK.pdf

download ASPEK.pdf

of 8

Transcript of ASPEK.pdf

  • 1

    ASPEK NEUROFISIOLOGI GANGGUAN DEPRESI

    Dr. Ratna Indriawati, M Kes

    Pendahuluan

    Stres kronik juga dapat meningkatkan sintesis autoreseptor 5 HTIA di nukleus

    rafe dorsalis yang selanjutnya menurunkan transmisi serotonin. Dalam keadaan stres

    kronik, glukokortikoid akan meningkat dan cenderung meningkatkan fungsi

    serotonin, Depresi merupakan salah satu gangguan psikiatrik yang lazim terdapat

    dalam populasi. Insidensi depresi terdapat sekitar 5 % dari populasi. Hanya sepertiga

    orang dengan gangguan depresi yang berobat, hal ini dikarenakan selain tidak

    terdeteksi oleh petugas kesehatan juga dikarenakan gangguan ini dianggap suatu

    defisiensi moral yang dirasa memalukan dan harus disembunyikan. Depresi

    merupakan satu bentuk gangguan mood (gangguan afektif) dan lebih bersifat

    sindrom, yang terdiri dari sekumpulan gejala. Kumpulan gejala depresi adalah 1.

    gangguan vegetatif seperti tidur, nafsu makan, berat badan dan dorongan seksual; 2.

    gambaran kognitif, seperti perhatian, toleransi terhadap frustrasi, memori, distorsi

    negatif; 3. kontrol impuls misalnya pembunuhan, bunuh diri; 4. gambaran perilaku,

    misalnya motivasi, perasaan senang, minat, kelelahan dan 5. gambaran fisik (somatik)

    misalnya nyeri kepala, nyeri perut dan tegang otot. (1,2).

    Beberapa faktor risiko terjadinya gangguan depresi berat diantaranya wanita

    dua kali dibanding pria, usia awitan 20-40 tahun, riwayat keluarga positif depresi

    berisiko 1,5 3 kali, status marital misalnya pasangan yang berpisah atau cerai,

    wanita yang kawin , pria yang tidak kawin dan wanita post partum (1)

    Pasien depresi yang tidak diobati memiliki konsekwensi biaya tersembunyi

    (hidden cost), misalnya bunuh diri, kecelakaan fatal akibat gangguan konsentrasi,

    kematian dikarenakan penyakit akibat penyalahgunaan alkohol, kehilangan pekerjaan,

    gagal melanjutkan sekolah, penyalahgunaan obat, disharmoni keluarga, penurunan

    produktivitas, kecelakaan akibat kerja dan sebagainya. (1)

    Faktor biologik

    Terjadinya gangguan depresi dapat diakibatkan oleh beberapa faktor ialah

    faktor biologik, genetik, faktor psikososial dan faktor lingkungan. (3,4)

    Beberapa studi faktor biologik melaporkan adanya kelainan metabolit amin

    biogenik, misalnya 5 hydroxy indol acetic acid (5-HIAA), homovanilic acid (HVA)

  • 2

    dan 5-hydroxy-4-hydroxyphenyl-glycol (MHPG) dalam darah, urine dan cairan

    serebrospinal pada pasien gangguan mood. Dari laporan data tersebut sangat

    konsisten dengan hipotesis, bahwa gangguan mood berkaitan dengan disregulasi

    heterogen amin biogenik. Di antara amin biogenik tersebut norepinefrin dan serotonin

    merupakan neurotransmiter yang paling terlibat pada patofisiologi gangguan mood.

    Tapi ada juga hipotesis yang mengatakan bahwa dopamin terlibat pada gangguan

    tersebut. Selain amin biogenik, terdapat teori yang mengatakan keterlibatan regulasi

    endokrin dan faktor-faktor neurokimiawi lainnya misalnya asetilkolin, gama amino

    butyric acid (GABA), melatonin, glisin, histamin, tiroid, hormon adrenal dan

    neuropeptid (3,4,5)

    Norepinefrin

    Diduga, bahwa sistem noradrenergik terlibat pada gangguan depresi. Hal ini

    berdasarkan studi ilmu dasar yang mengkaitkan adanya down regulation reseptor

    adrenergik dengan respon klinik terhadap antidepresan. Neuron noradrenergik

    mempunyai badan sel (cell body) sebagian besar di batang otak yang disebut locus

    ceruleus. Fungsi utama locus ceruleus adalah menentukan apakah perhatian bisa

    terfokus pada lingkungan eksternal dan memantau lingkungan internal tubuh.

    Norepinefrin dan locus ceruleus diduga memberi input penting pada kontrol sistem

    saraf pusat, misalnya fungsi kognisi , mood, emosi, gerakan dan tekanan darah.

    Malfungsi locus ceruleus diduga mendasari gangguan mood dan kognisi seperti

    depresi, cemas, gangguan perhatian dan pemrosesan informasi. Sindroma defisiensi

    norepinefrin secara teoritis ditandai dengan hendaya perhatian, gangguan konsentrasi,

    gangguan working memory, gangguan pemrosesan informasi, retardasi psikomotor,

    kelelahan, apatis dan penurunan libido. Gejala-gejala tersebut sering menyertai

    depresi seperti juga menyertai gangguan perhatian, kognisi, skizofrenia dan

    sebagainya (1,6). Bukti lain menunjukkan, bahwa pada depresi terjadi aktivasi

    terhadap reseptor presinaptik 2 yang menyebabkan menurunnya pelepasan

    norepinefrin. Peran norepinefrin ini didukung dengan efektifnya, paling tidak untuk

    beberapa gejala, obat yang bekerja pada sistem norepinefrin misalnya venlafaxin (3)

    Serotonin

    Dengan makin maraknya SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor) untuk

    mengobati depresi, serotonin menjadi satu neurotransmiter penting berkaitan dengan

  • 3

    gangguan ini. Selain SSRI dan serotonergik antidepresan efektif, data lain

    menunjukkan, bahwa serotonin terlibat dalam patofisiologi depresi. Kekurangan

    serotonin dapat mempresipitasi depresi dan pasien dengan impulsivitas bunuh diri

    memiliki kadar metabolit serotonin rendah (1,3).

    Markas besar badan sel neuron serotonergik berada di batang otak pada area

    yang dinamakan rafe nukleus. Dari rafe nukleus banyak terdapat proyeksi neuron ke

    bagian lain otak dan di luar otak. Proyeksi ke korteks frontalis diduga penting dalam

    pengaturan mood. Proyeksi ke basal ganglia berperan pada gerakan seperti obsesi dan

    kompulsi. Proyeksi ke daerah limbik terlibat pada keadaan cemas dan panik. Proyeksi

    ke hipotalamus mengatur selera serta perilaku makan. Neuron serotonergik di pusat

    tidur batang otak mengatur tidur terutama tidur stadium 3 dan 4 (slow wave sleep).

    Proyeksi serotonergik ke bawah ke medula spinalis diduga bertanggung jawab

    terhadap refleks spinalis, bagian dari reseptor seksual seperti orgasme dan ejakulasi.

    Terdapat zona pacuan di batang otak yang dapat memediasi muntah. Juga terdapat

    reseptor perifer di sistem gastrointestinal yang mengatur fungsi gastrointestinal

    misalnya gerakan usus. Defisiensi serotonin mengakibatkan satu sindrom yang

    meliputi mood depresi, anxietas, panik, fobia, obsesi-kompulsi dan bulimia. (1)

    Terdapat bukti, bahwa neurotransmisi serotonin sebagian dipengaruhi atau

    dikontrol faktor genetik. Tonus serotonin berfluktuasi. Dalam keadaan stres akut

    terjadi peningkatan serotonin sementara, dalam keadaan stres kronik menyebabkan

    penurunan aktivitas serotonin dan penyimpanan serotonin. sehingga mempunyai efek

    kompensasi yang bermakna. (1,6)

    Dopamin

    Meskipun kebanyakan teori terjadinya depresi melibatkan serotonin dan

    norepinefrin, namun dopamin juga diduga mempunyai peran pada gangguan ini. Data

    menunjukkan, bahwa dopamin menurun pada depresi sedangkan pada mania

    meningkat. Obat-obat yang menurunkan kadar dopamin, misalnya reserpin dan

    penyakit dengan penurunan dopamin, misalnya Parkinson, berkaitan dengan gejala

    depresi. Sebaliknya obat-obat yang meningkatkan kadar dopamin, misalnya tirosin,

    amfetamin mengurangi gejala depresi. Teori saat ini mengenai dopamin dan depresi

    mengatakan bahwa lintasan dopamin mesolimbik mengalami disfungsi, dan reseptor

    dopamin tipe D1 mengalami hipoaktif pada depresi. Penurunan aktivitas lintasan

  • 4

    mesolimbik dan mesokorteks pada depresi menggangu fungsi kognitif, motorik dan

    hedonia (3,6)

    Faktor neurokimiawi lain

    Walaupun belum merupakan suatu kesimpulan, neurotransmiter asam amino

    (terutama gamma-amino butyric acid GABA) dan peptida neuroaktif (terutama

    vasopressin dan opiat endogen) dikatakan berperan dalam patofisiologi gangguan

    mood. Beberapa peneliti berpendapat bahwa sistem second messenger seperti

    adenylate cyclase, phosphotidylinositol dan kalsium dapat terlibat secara kausal.

    Asam amino glutamat dan glisin, yang merupakan neurotransmiter eksitatori utama

    dalam susunan saraf pusat terikat pada sisi yang berkaitan dengan N-methylD

    aspartate (NMDA), dalam keadaan berlebihan mempunyai efek toksik. Hipokampus

    memiliki banyak (konsentrasi tinggi) reseptor NMDA, sehingga dalam keadaan

    dimana orang mengalami stres kronik akan terjadi efek neurokognitif, karena

    dimediasi oleh hiperkortisolemia. Terdapat bukti juga, bahwa obat yang bekerja

    antagonis terhadap NMDA reseptor memiliki efek anti depresan. (3)

    Regulasi neuroendokrin

    Salah satu organ penting dalam otak, yaitu hipotalamus merupakan pusat

    regulasi aksis neuroendokrin. Ia memperoleh input neuronal yang melibatkan

    neurotransmiter amin biogenik. Berbagai gangguan neuroendokrin telah dilaporkan

    pada pasien-pasien gangguan mood , dan gangguan regulasi aksis neuroendokrin

    dapat diakibatkan oleh fungsi abnormal neuron-neuron yang mengandung amin

    biogenik. Aksis neuroendokrin utama yang terlibat di sini adalah aksis hormon

    adrenal, tiroid dan hormon pertumbuhan. (3)

    Aksis adrenal

    Peran kortisol. Seperti sudah kita ketahui, teori lama mengatakan bahwa terdapat

    hubungan antara hipersekresi kortisol dengan depresi. Sekitar 50 % penderita

    depresi memiliki peningkatan kadar kortisol. Neuron dalam nukleus

    paraventrikuler (PVN) hipotalamus melepaskan corticotropin releasing hormon

    (CRH); hormon ini merangsang pelepasan adrenocorticotrophic hormon (ACTH)

    dari hipofisis anterior. ACTH dilepas bersama dengan endorphin dan

    lipotropin, dua peptida yang disintesis dari prekursor protein yang sama dengan

    sintesisnya ACTH. ACTH merangsang pelepasan kortisol korteks adrenal.

  • 5

    Mekanisme balik kortisol bekerja dengan cara paling tidak melalui 2 mekanisme.

    Mekanisme balik cepat : sensitif terhadap peningkatan kadar kortisol, bekerja

    melalui reseptor kortisol hipokampus dan menurunkan pelepasan ACTH.

    Mekanisme lambat : sensitif terhadap kadar stabil kortisol, mekanismenya diduga

    lewat reseptor hipofisis dan adrenal. (3)

    Aksis tiroid

    Gangguan tiroid ditemukan pada sekitar 5 10 % pasien depresi. Implikasi

    klinis dari kaitan ini adalah pentingnya penentuan status tiroid pada pasien

    depresi. Sekitar sepertiga pasien gangguan depresi berat memperlihatkan

    pelepasan lambat (tumpul) tirotropin (TSH) terhadap infus protirelin (suatu

    thyrotropin releasing hormone). Tapi abnormalitas ini terdapat juga pada

    gangguan psikiatrik lain, sehingga kemanfaatan diagnostiknya terbatas.(3)

    Hormon pertumbuhan

    Beberapa studi menunjukkan perbedaan statistik antara pasien depresi dengan

    lainnya dalam hal pelepasan hormon pertumbuhan. Somatostatin menghambat

    GABA, ACTH dan TSH. Kadar somatostatin lebih rendah pada cairan

    serebrospinal orang depresi dibandingkan dengan orang skizofrenia atau orang

    normal, dan kadarnya meningkat pada orang dengan mania. Pelepasan prolaktin

    dari hipofisis dirangsang oleh serotonin dan dihambat oleh dopamin. Pada depresi

    tidak ditemukan abnormalitas bermakna sekresi prolaktin. (3)

    Abnormalitas tidur

    Masalah tidur initial and terminal insomnia, sering terbangun, hipersomnia-

    merupakan gejala klasik depresi. Telah lama diketahui, bahwa gambaran EEG tidur

    orang depresi memperlihatkan abnormalitas, yang lazim adalah delayed sleep onset,

    pemendekan latensi REM (rapid eyes movement) , periode REM pertama memanjang,

    tidur delta abnormal. EEG tidur ini sering dipakai oleh para peneliti dalam asesmen

    diagnostik pasien dengan gangguan mood (3)

    Neurofisiologi

    Gejala-gejala gangguan mood dan studi biologik menunjukkan, bahwa pada

    gangguan mood terdapat gangguan pada sistem limbik, hipotalamus dan basal ganglia.

  • 6

    Orang yang mengalami gangguan neurologik basal ganglia dan sistem limbik

    tampaknya mengalami gejala-gejala depresi. Sistem limbik dan basal ganglia

    merupakan dua organ yang saling terkait erat. Sistem limbik mempunyai peran

    penting pada munculnya emosi. Adanya disfungsi hipotalamus pada depresi

    ditunjukkan dengan adanya perubahan tidur, napsu makan, perilaku seksual,

    perubahan-perubahan endokrin dan immunologik. Gejala lain depresi, seperti postur

    bungkuk, perlambatan motorik dan hendaya kognitif minor mirip dengan tanda orang

    dengan gangguan basal ganglia, misalnya Parkinson. (3)

    Hipotesis monoamin ekspresi gen

    Walaupun teori defisiensi monoamin sudah begitu sering dikemukakan

    berkaiatan terjadinya depresi, namun sebenarnya hingga sejauh ini belum ada bukti

    yang jelas dan meyakinkan bahwa defisiensi monoamin bertanggung jawab terhadap

    depresi, dalam arti tidak ada defisit monoamin yang nyata. Tidak ada bukti yang

    benar-benar nyata, bahwa kelebihan atau defisiensi reseptor monoamin

    mengakibatkan depresi. Sebaliknya berkembang bukti, bahwa walaupun kadar

    monoamin dan reseptornya normal tapi sistem tersebut tidak berespon secara normal

    misalnya penelitian terhadap reseptor monoaminergik dengan obat yang menstimulir

    sistem ini akan mengakibatkan penurunan output hormon neuroendokrin, dan

    menyebabkan perubahan defisit pada neuronal firing rates seperti diperlihatkan pada

    positron emission tomography (PET). Pemikiran ini memunculkan suatu ide bahwa

    depresi dapat merupakan defisiensi pseudomonoamin akibat defisiensi transduksi

    sinyal dari neurotransmiter monoamin ke neuron post sinaptik dimana jumlah

    neurotransmiter dan reseptornya normal. Apabila terdapat defisiensi proses molekuler

    dimulai dari okupansi reseptor oleh neurotransmiter dapat menyebabkan defisiensi

    respon seluler sehingga terjadi yang disebut defisiensi pseudomonoamin, misalnya

    reseptor dan neurotransmiter normal tapi transduksi sinyal dari neurotransmiter ke

    reseptornya kacau. (1).

    Keadaan yang mirip mungkin terjadi dari hipotesis adanya problem peristiwa

    molekuler distal dari reseptor. Sistem pembawa pesan ke dua (second messenger

    system) yang mengakibatkan pembentukan faktor transkripsi intra seluler yang

    mengatur gen dapat merupakan sisi defisiensi fungsi sistem monoamin. Ini merupakan

    tantangan riset saat ini yang berbasis molekuler pada gangguan afektif. Hipotesis ini

    mengatakan bahwa defisiensi secara molekuler terjadi pada monoamin yang berada

  • 7

    distal terhadap neuron monoamin dan reseptornya, meskipun tampak jumlah

    monoamin dan reseptornya normal (1)

    Satu kemungkinan mekanisme gangguan transduksi sinyal dari reseptor

    monoamine adalah target gen bagi BDNF (brain derived neurotrophic factor). Secara

    normal BDNF berfungsi mempertahankan kehidupan neuron otak. Dalam keadaan

    stres, gen untuk BDNF tertekan mengakibatkan atrofi atau apoptosis neuron-neuron

    hipokampus yang vulnerable bila BDNF mengalami kerusakan. Keadaan ini bisa

    menyebabkan depresi dan konsekwensi terjadinya episode berulang, artinya bisa

    muncul berkali-kali episode berulang dan kurang responsif terhadap pengobatan.

    Kemungkinan turunnya jumlah neuron dan hendaya fungsi neuron-neuron di

    hipokampus selama depresi didukung oleh studi imaging klinis yang memperlihatkan

    penurunan volume otak (struktur yang terkait). Hipotesis molekuler dan seluler ini

    sesuai dengan mekanisme distal reseptor dan melibatkan ekspresi gen. Dengan

    demikian stress induced vulnerability menurunkan ekspresi gen, dan hal ini membuat

    faktor neurotropik seperti BDNF menjadi hal yang penting bagi kehidupan dan fungsi

    neuron. Hipotesis ini berkonsekuensi logis, bahwa obat anti depresan mengatasi

    kondisi ini dengan teraktivasinya gen bagi faktor neurotropik. (1)

    Penutup

    Terdapat beberapa faktor seperti neurofisiologi, sistem neurotransmiter,

    neuroendokrin dan hipotesis ekspresi gen. Diharapkan untuk waktu mendatang lebih

    banyak lagi bukti-bukti secara neurobiologi mengungkap proses atau mekanisme

    gangguan psikiatri khususnya gangguan depresi.

  • 8

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Stahl,S.M. 2002, Essential Psychopharmacology-Neuroscientific Basic and Practical Applications,2

    nd Ed,Canbridge University Press,Canbridge.

    2. Neal,M.Z, 1993,Medical Pharmacology at a Glance, 2nd , Black Well Scientific Publications, London.

    3. Sadock B.J. and Sadock V.A., eds, 2003, Kaplan and Sadocks Synopsis of Psychiatry, Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 9

    thed, Lippincott Williams

    and Wilkins, New York

    4. Loosen,P.T, 2000, Mood Disorder dalam Ebert,M.H,at.al,ed, Current Diagnosis & Treatment in psychiatry, Mc Graw-Hill International editions, New York, 290 -

    327.

    5. Hyman,S.E, 1993, The Molecular Foundation of Psychiatry, American Psychiatric Press, Inc.1

    st ed, Washington.

    6. Thase,M.E, 2005, Mood Disorder : Neurobiology dalam Sadock .B.Y. and Sadok,V.A,eds : Comprehensive Textbook of Psychiatry, vol 1 B, 8

    th ed.

    Lippincott Williams and Wilkins, New York, 1594 1603.