PENYAKIT PEMBULUH KAYU (Oncobasidium theobromae) PADA TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.)
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. LATAR...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit kardiovaskuler adalah penyebab kematian tertinggi di dunia.
Berdasarkan fakta angka kematian akibat pernyakit kardiovaskuler mencapai
sekitar 17,5 juta orang setiap tahun. Tahun 2012, penyakit jantung iskemik dan
stroke menjadi penyebab kematian berturut-turut bagi 7,4 juta orang di dunia dan
stroke menjadi penyebab kematian 6,7 juta orang (WHO, 2014). Salah satu yang
menjadi faktor penyebab penyakit kardiovaskuler adalah agregasi platelet yang
abnormal. Penyakit ketidaknormalan vaskuler bisa ditangani dengan obat-obatan
yang bersifat antitrombosis, antiplatelet, antikoagulan, dan fibrinolotik. Diantara
berbagai jenis obat tersebut, antiplatelet merupakan obat yang paling banyak
digunakan. Antiplatelet merupakan obat yang memiliki mekanisme menghambat
agregasi trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan thrombus.
Sering ditemukan pada sistem arteri yang bekerja mencegah pelekatan (adhesi)
platelet dengan dinding pembuluh darah yang cedera atau dengan platelet lainnya,
yang merupakan tahap awal terbentuknya trombus. Aspirin adalah salah satu dari
obat antiplatelet tersebut namun aspirin tergolong Non-Steroidal Anti-
Inflammatory Drug (NSAID) sehingga memiliki efek samping salah satunya yaitu
menyebabkan iritasi lambung akibat penghambatan enzim COX secara tidak
selektif khususnya COX-1. Kerugian pada pemakaian aspirin sebagai antiplatelet
tersebut mendasari pencarian alternatif obat baru yang memiliki kemampuan
2
menekan agregasi platelet. Tanaman obat telah dapat diterima secara luas di dunia
untuk memelihara dan meningkatkan kualitas hidup manusia. Manusia memiliki
kecenderungan untuk kembali ke alam dalam hal memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari termasuk menggunakan obat sebagai solusi masalah kesehatan kini
semakin besar. World Health Organization (WHO) sendiri menganggap bahwa
obat yang berasal dari tanaman obat sangat penting peranannya dalam menunjang
upaya kesehatan masyarakat (Soemantri, 1993). Indonesia merupakan negara
yang kaya akan berbagai jenis tanaman sebagai kearifan lokal yang banyak
digunakan sebagai sumber obat tradisional. Biodiversitas yang tinggi tersebut
membuka peluang ditemukannya obat baru dari senyawa alami dalam tumbuhan
obat. Beranjak dari sini maka diperlukan adanya metode skrining tanaman
berpotensi antiplatelet yang dapat dengan mudah dikerjakan dan cepat dengan
tidak meninggalkan selektivitas dan keakuratan.
Penelitian pendahuluan telah dilakukan terhadap 150 jenis tumbuhan
Indonesia menunjukkan bahwa beberapa ekstrak tumbuhan asal Indonesia
memiliki aktivitas antiagregasi platelet. Dimana 150 jenis tanaman tersebut dibuat
tiga stok konsentrasi uji yakni 10 mg/mL, 2 mg/mL dan 0,5 µg/mL kemudian
diuji pada platelet darah yang diinduksi CaCl2 (Husni; Wardana; Wulandari, 2015)
(Mufinnah, 2016). Metode yang digunakan adalah microplate screening assay
seperti yang dilakukan oleh Pimentel et al., (2003). Diperoleh 7 jenis ekstrak
tumbuhan yang dinilai berpotensi sebagai antiplatelet karena ketujuh ekstrak
tumbuhan tersebut mampu menghambat agregasi platelet terinduksi CaCl2 pada
konsentrasi 10 mg/mL dan 2 mg/mL, sedangkan pada ekstrak tumbuhan lainnya
3
sudah terjadi agregasi platelet pada kedua konsentrasi uji tersebut. Ketujuh ekstrak
tumbuhan tersebut diantaranya adalah ekstrak etanolik kulit buah Garcinia
mangostana, daun Avverhoa bilimbi, daun Physallis angulata, ekstrak metanol
kulit batang Cinnamomum sintoc Bl, herba Tetracera Maingayi, daun Rubus
chrysophyllus Rienw. Ex. Miq., herba Leea aequata, ekstrak diklorometan
kelopak buah Physallis angulata, dan ekstrak kloroform herba Tetracera
maingayi. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengetahui kemampuan beberapa
ekstrak tumbuhan Indonesia dalam menghambat agregasi platelet secara in vitro
agar selanjutnya dapat ditentukan apakah ekstrak-ekstrak tersebut cukup poten
sebagai agen kardioprotektif.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, dapat ditarik suatu
rumusan masalah:
Apakah ekstrak ekstrak etanolik kulit buah Garcinia mangostana, daun Avverhoa
bilimbi, daun Physallis angulata, ekstrak metanol kulit batang Cinnamomum
sintoc Bl., herba Tetracera Maingayi, daun Rubus chrysophyllus Rienw. Ex. Miq.,
herba Leea aequata, ekstrak diklorometan kelopak buah Physallis angulata, dan
ekstrak kloroform herba Tetracera maingayi dapat memberikan efek antiplatelet
pada platelet yang diinduksi ADP dan epinefrin?
4
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk menguji potensi aktivitas antiplatelet ekstrak
etanolik kulit buah Garcinia mangostana, daun Avverhoa bilimbi, daun Physallis
angulata, ekstrak metanol kulit batang Cinnamomum sintoc Bl., herba Tetracera
Maingayi, daun Rubus chrysophyllus Rienw. Ex. Miq., herba Leea aequata,
ekstrak diklorometan kelopak buah Physallis angulata, dan ekstrak kloroform
herba Tetracera maingayi yang diinduksi ADP dan epinefrin.
D. TINJAUAN PUSTAKA
1. Platelet
Platelet darah manusia atau trombosit berukuran kecil dan berbentuk
cakram, dengan dimensi kira-kira 2-5 mikron. Platelet merupakan sel terbanyak
kedua pada darah yang normalnya bersirkulasi antara 150–450x109 /L. Platelet
tidak mempunyai nukleus pada selnya, berasal dari megakariosit dan biasanya
berada di sirkulasi selama sepuluh hari (George, 2000).
Platelet memainkan peran yang penting pada sistem homeostasis ketika
terjadi kerusakan jaringan. Mereka berinteraksi dengan plasma clotting factors di
lokasi pembuluh darah yang terluka membentuk mekanisme penyumbatan yang
memblok kerusakan jaringan dan mengakhiri kehilangan darah (Harker & Mann,
1992).
Agregasi platelet diinduksi dengan aksi agonis endogen seperti asam
arakhidonat (AA), adenosine difosfat (ADP), platelet activating factor (PAF),
5
trombin, dan kolagen (Arita et al., 1989). Kecenderungan platelet untuk
mengumpul pada pembuluh darah yang cedera pertama kali diketahui lebih dari
seratus tahun yang lalu (Bizzozero, 1882).
Fenomena ini dideskripsikan sebagai kohesi platelet walaupun secara
umum lebih diketahui sebagai agregasi platelet, dan kemudian diidentifikasikan
penting untuk formasi penyumbatan homeostatis. Waktu itu juga dipahami
agregasi platelet yang abnormal memainkan peranan peran kunci pada
perkembangan trombosis, sampai seabad kemudian secara luas dapat diterima
hiperaktivitas platelet memegang peranan sangat penting pada perkembangan
penyakit kardiovaskular. Akibatnya, inhibitor agregasi platelet secara pesat
menjadi bagian penting untuk pencegahan dan perawatan pada banyak penyakit
atherothrombotic (Jackson, 2007).
2. Platelet dan Agregasi Platelet
Platelet berbentuk bulat pipih. Bentuk dan ukurannya yang sangat kecil
tersebut mengakibatkan platelet terdorong ke tepi pembuluh oleh aliran darah,
membuat platelet terkonsentrasi di dekat permukaan apikal endotelium sehingga
platelet dapat mendeteksi dengan cepat adanya kerusakan vaskuler (Hartwig,
2013). Dalam keadaan inaktif, trombosit bentuknya seperti cakram bikonveks
dengan diameter 2-4 μm. Platelet dapat mengalami perubahan bentuk ketika
teraktivasi yaitu dari bentuk diskoid menjadi sferis berduri-duri. Fenomena ini
disebut metamorphosis viskus (Firkin, 1984). Ketika terjadi luka, reaksi awal
yang memicu penggumpalan darah diperantarai terutama oleh platelet dan
perubahan dinding pembuluh darah. Saat luka operasi, dinding pembuluh darah
6
yang rusak mengeluarkan kolagen subendotelial, mengikat faktor von Willebrand
dalam plasma, kemudian mengubah struktur dinding pembuluh darah sehingga
platelet dapat melekat. Proses ini dinamakan adhesi platelet dan diperantarai
reseptor glikoprotein Ib dan IIb/IIIa pada membran platelet. Setelah proses
tersebut, platelet teraktivasi. Saat aktivasi, platelet berubah bentuk dari bulat pipih
menjadi bulat utuh dan mempunyai kaki semu yang kemudian menyebar ke
jaringan-jaringan yang luka. Proses inilah yang disebut agregasi platelet.
Gambar 1 Adhesi dan agregasi platelet (Harrison, 2005)
Setelah terjadi agregasi, platelet melepaskan granul-granul melalui sistem
kanalikularnya. ADP memicu lepasnya kandungan granul dari platelet-platelet di
sekitarnya dan membuat platelet lekat satu sama lain sehingga membentuk sumbat
hemostatis. Selain ADP, platelet bisa teraktivasi oleh agonis lain seperti yang
disebutkan pada tabel 1.
7
Faktor aktivasi platelet:
(Trombin, serotonin, ADP, epinefrin, kolagen)
Permukaan reseptor
Fosfolipase
PIP2
IP3 DAG
Pelepasan Ca2+ PKC
Prostanoid Pengikatan fibrinogen & agregasi
TXA2
Aktivasi platelet lebih lanjut
Gambar 2 Mekanisme Aktivasi Platelet (Willoughby et al., 2002)
Gambar 3 Jalur aktivasi reseptor platelet (Varga-Szabo et al., 2008)
8
Tabel 1. Agonis dan Reseptornya (Badimon & Vilahur, 2008)
Agonis Reseptor Platelet
ADP P2Y1, P2Y12
ATP P2X1
Kolagen GPIa/IIa
Gas 6 Axl, Tyro-3, Mer
Epinefrin α2-adrenergik
Platelet Activating Factor PAF-receptor
von Wilbrand Factor GPIb, GPIIb/IIIa
Fibrinogen GPIIb/IIIa
Fibrinocetin GPIc/IIa, GPIIb/IIIa
Laminin GPIc/IIa
Serotonin 5-HT2
Trombin PAR-1, PAR-2
Trombosopondin Vitronectin receptor, GPIIb/IIIa
Tromboksan A2 TP
Vasopresin V1
Vitronectin Vitronectin receptor
3. Adenosin Difosfat (ADP)
Adenosin difosfat (ADP) adalah agonis platelet yang memegang peranan
penting dalam hemostasis dan pada patofisiologis trombosis arteri. ADP
menyebabkan platelet mengalami perubahan bentuk, melepas granul dan
teragregasi melalui efeknya pada reseptor P2Y1, P2Y12 dan P2X1. (Gachet et al.,
1997). Meskipun ketiga reseptor tersebut dibuthkan untuk agregasi platelet,
aktivasi P2Y12 memainkan peranan penting untuk agregasi platelet berkelanjutan
dan stabilitas agregat platelet (Bertrand et al., 2000). Setelah agonis mengaktifkan
ADP, platelet menghidrolisis fosfolipid dimana terdapat asam arakhidonat dan
mengubahnya menjadi tromboksan A2 oleh oksigenasi berurutan melalui jalur
siklooksigenase dan tromboksan A2 sintetase (Samuelsson et al., 1978).
Pelepasan tromboksan A2 beraksi sebagai mediator umpan balik positif
pada aktivasi dan rekruitmen lebih banyak platelet saat hemostatik primer
9
(Hourani & Cusack., 1991). ADP juga menyebabkan adhesi platelet terhadap
vitronektin atau osteopontin yang mungkin memainkan peranan penting dalam
penahanan platelet pada plak aterosklerotik dan pada dinding arteri yang terluka
(Bennett et al., 1997).
4. Epinefrin
Epinefrin (adrenalin) sebagai agonis adrenergik secara rutin digunakan
untuk meningkatkan aliran darah serebral dan miokardial dengan mencegah
arterial collapse dan dengan menambah tekanan diastolik aorta melalui reseptor
alfa-1 dan inhibisi alfa-2 (Sreevastava et al., 2004). Reseptor alfa-1 adrenergik
menstimulasi peningkatan tekanan perfusi koroner (Huang, 2013).
Epinefrin telah lama dianggap sebagai pilihan pengobatan pada anafilaksis
(Bochner & Lichtenstein, 1992). Penambahan epinefrin pada sitrat-prp
menyebabkan agregasi sebagaimana yang terdeteksi dari kenaikan transmisi
cahaya ataupun penurunan kandungan platelet. (O’Brien, 1964). Epinefrin bekerja
melalui stimulasi reseptor alfa dan beta-1 adrenergik, dan memiliki aktivitas
moderat pada adrenergik beta-2 reseptor (Nash, 1990). Epinefrin menginduksi
agregasi platelet melalui jalur reseptor α-2 adrenergik memacu reduksi aktivitas
adenilat siklase (Zhou & Schmaier, 2005) sehingga kadar cAMP turun (Spalding,
1998) dan Ca2+
meningkat dan terlepas menuju sitosol melalui rangsangan IP3
(Zhou & Schmaier, 2005).
5. Yohimbin
Yohimbin adalah alkaloid tanaman yang pada awal penemuannya
didapatkan dari kulit pohon Pausynistalia yohimbe dan berbagai sumber lain.
10
Yohimbin digunakan sebagai afrodisiaka. Yohimbin memiliki afinitas tinggi
terhadap reseptor alfa-2 dan studi baru-baru ini pada hewan menunjukan
yohimbin sebagai antagonis relatif reseptor alfa-2. Yohimbin mengantagonis alfa-
adrenergik, menghambat transmisi adrenergik dan membalikan efek pada
beberapa agen antihipertensi secara terpusat. Lebih jauh yohimbin memberikan
efek pada peningkatan tekanan darah dan detak jantung (Goldberg & Robertson,
1983). Yohimbin adalah salah satu antagonis selektif reseptor α-2 adrenergik dan
memiliki afinitas tinggi pada ikatan radioligan (Goldberg et al., 1983; Grunhaus et
al., 1989). Yohimbin merupakan antagonis reseptor α-2 adrenergik dengan
aktivitas di pusat dan peripheral pada sistem syaraf (Morales, 2001). Yohimbin
menghambat respon platelet terhadap katekolamin termasuk gelombang agregasi
pertama dan kedua, menghambat pelepasan 5-HT (serotonin), menghambat
produksi TX-A2 (tromboksan A2) (Lahiri et al., 2009).
6. Ticagrelor
Ticagrelor adalah obat antiplatelet oral seperti klopidogrel dan prasugrel.
Ticagrelor juga menghambat agregasi platelet dengan memblok reseptor ADP
P2Y12. Mekanisme klopidogrel adalah dengan membuat CD39 pada permukaan
sel endothelial menghidrolisis ADP menjadi AMP non aktif, juga dihasilkan PGI2
dan NO sehingga meningkatkan konsentrasi cAMP dan cGMP. Konsentrasi
cAMP yang meningkat akan menurunkan Ca2+ sehingga tidak terjadi agregasi
platelet.
Perbedaan antara klopidigrel, prasugrel, ticagrelor mengikat secara
reversibel sehingga efek penghambatannya lebih cepat untuk kembali Klopidogrel
11
dan prasugrel adalah prodrug, sedangkan ticagrelor tidak membutuhkan
metabolisme untuk menjadi aktif secara biologi. Perbedaan lainnya adalah
ticagrelor memiliki onset yang lebih cepat dibandingkan klopidogrel (Australian
Government Department of Health, 2011).
Gambar 4 Mekanisme klopidogrel (Woulfe, 2011)
7. DMSO (Dimetil Sulfoksida)
DMSO mampu meningkatkan permeabilitas membran dengan mekanisme
yang belum diketahui. Namun sebagaimana telah diketahui penghilangan kalsium
dari membran biologi dapat meningkatkan permeabilitas membran sehingga
apabila DMSO mampu menghasilkan kelat berbagai logam terutama kalsium yang
sangat memegang peranan kunci pada agregasi platelet. Meskipun DMSO
diketahui dapat menaikan permeabilitas membran sel namun tidak selalu
12
menjamin kenaikan absorpsi obat baik secara oral ataupun parenteral (Pope &
Oliver, 1966). DMSO juga digunakan sebagai kontrol negatif dengan konsentrasi
tidak lebih dari 0,5% karena akan merusak platelet (Wulandari, 2015).
8. Light Transmission Aggregometry (LTA)
Light Transmission Aggregometry (LTA) adalah metode standar dalam
laboratorium klinik untuk menguji fungsi platelet. Metode ini juga dapat
digunakan untuk menguji reaktivitas platelet terhadap agonis yang berbeda-beda
seperti ADP, asam arakhidonat, epinefrin, ristosetin, dan kolagen. Prinsip dasar
dari alat ini adalah cahaya melewati suspensi PRP sehingga cahaya akan
dihamburkan dan meningkatkan besarnya transmitan. (Linnerman et al., 2008).
Kekurangan dari metode ini adalah penggunannya secara manual dan
membutuhkan tenaga terlatih (Paniccia et al., 2009). PPP ditetapkan sebagai 100%
transmitan dan PRP sebagai 0% baseline. Hasil pembacaan adalah besarnya
transmitan vs waktu.
9. Koleksi Tanaman
a. Averrhoa bilimbi
Taksonomi A. bilimbi adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Oxalidales
Famili : Oxalidaceae
Genus : Averrhoa
13
Spesies : Averrhoa bilimbi
(Soenarjono, 2004)
Belimbing wuluh adalah tanaman yang berasal dari Indonesia dan
Malaysia. Di Filipina, daunnya biasa digunakan sebagai pasta untuk mengobati
gatal, bengkak pada gondok dan rematik, dan erupsi atau kelainan kulit. Di tempat
lain, digunakan untuk mengatasi racun atau bisa pada gigitan hewan. Di Malaysia,
daun segarnya difermentasikan untuk mengobati penyakit kelamin. Infus daunnya
digunakan sebagai obat batuk dan sebagai pemulih pasca melahirkan. Dekokta
daunnya digunakan untuk mengobati inflamasi rektal. Infus bunganya efektif
untuk mengatas batuk dan sariawan. Di Jawa, buahnya dikombinasikan dengan
lada dan dimakan oleh orang yang kurang sehat. Pasta acar belimbing wuluh juga
digunakan untuk pemulihan setelah mengalami demam. Buahnya juga dibuat
menjadi sirup untuk mengobati demam dan inflamasi, untuk meringankan dan
menghentikan pendarahan rektal (Orwa, et al., 2009). Kandungan kimia yang
terdapat pada averrhoa bilimbii adalah alkaloid, saponin, dan flavonoid (Siddiquel
et al., 2013).
b. Garcinia mangostana
Taksonomi G. mangostana adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Malpighiales
Famili : Clusiaceae
14
Genus : Garcinia
Spesies : Garcinia mangostana
(USDA, 2000)
Garcini mangostana adalah tumbuhan tropis yang berasal dari asia
tenggara, India dan Sri Lanka (Morton, 1987). Manggis telah terbukti
mengandung berbagai varietas metabolit sekunder seperti xanton terprenilasi dan
teroksigenasi (Govindachari & Muthukumaraswamy, 1971). Xanton sintetik telah
digunakan pada beberapa studi. Antioksidan, antitumoral, antiinflamasi,
antialergi, antibakteri, antifungi, dan antivirus adalah beberapa aktivitas yang
dilaporkan dari xanton yang diisolasi dari manggis (Suksamrarn et al., 2006).
Manggis digunakan sebagai obat astringen pada disentri dan enteritis (Burkill,
1994). Kulit buahnya yang mengandung resin digunakan untuk diare dan disentri.
Daun mudanya juga digunakan untuk tujuan yang sama dan untuk penyakit
saluran genital dan urin (Jayaweera, 1981). Di makasar, daun dan kulit buahnya
juga digunakan untuk diare dan disentri dan telah terbukti sangat efektif terutama
untuk mengatasi diare pada anak-anak. Kandungannya terutama pada resin yang
kemungkinan berperan sebagai stimulan pada intestin. Dekokta akarnya diminum
untuk mengatasi dismenoria (Quisumbing & Eduardo, 1978).
c. Leea aequata
Taksonomi L. aequata adalah sebagai berikut:
Kindom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledonae
15
Bangsa : Rhamnales
Suku : Leeacea
Marga : Leea
Jenis : Leea aequata L.
(Depkes RI, 2001)
Leea aequata atau biasa yang disebut dengan girang (Jawa Tengah)
tersebar diseluruh pulau Jawa pada ektinggian kurang dari 1000 meter di atas
permukaan laut dalam bentuk semak belukar tidak berduri dan tumbuh di tepi
sungai-sungai maupun dilembah-lembah (Heyne, 1950). Tumbuhan ini memiliki
nama lain seperti : ginggiyang (Sunda), Jirang (Madura), Kayu ajer perempuan
(Melayu), mali-mali (Makasar), uka (Maluku) (Depkes RI, 2001).
Di masyarakat, daunnya berkhasiat untuk mengobati luka dan pegal linu.
Pengobatan luka secara tradisional, biasanya digunakan daun segar Leea aequata
yang dicuci, ditumbuk sampai lumat, dan ditempelkan pada luka dan dibalut kain
bersih (Depkes RI, 2001). Selain itu, daunnya juga digunakan sebagai obat
astringen, antelmetik, gangguan pencernaan, sakit kuning, demam kronis, dan
malaria. Daun dan rantingnya juga bisa digunakan untuk antiseptik dan mengobati
luka (Khare, 2007).
Bijinya mengandung saponin, flavonoid, dan polifenol (Depkes RI, 2001).
Jenis lain dalam family yang sama dengan Leea aequata, yaitu Leea indica
memiliki kandungan metabolit sekunder berupa alkaloid, glikosida,
steroid/terpenoid, flavonoid, dan tannin (Rahman et al., 2013).
16
d. Physallis angulata
Taksonomi P. angulata adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonnae
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae
Marga : Physalis
Spesies : Physalis angulata L.
(USDA, 2000)
Physalis angulata atau ciplukan awalnya berasal dari Amerika namun
sudah tersebar keberbagai daerah tropis di dunia. Di Jawa, ciplukan tumbuh secara
liar di kebun, tepi jalan, semak, tepi hutan, dan hutan kecil. Tumbuhan dapat
ditemukan di daerah dengan ketinggian 1-1550 meter di atas permukaan laut.
Akarnya digunakan untuk mengatasi cacingan dan sebagai penurun
demam. Daunnya digunakan untuk mengatasi patah tulang, bisul, borok, penguat
jantung, nyeri perut, dan kencing nanah. Buahnya dimakan untuk mengobati
epilepsi, susah kencing, dan sakit kuning. Penelitian terdahulu menunjukan
ciplukan mengandung senyawa aktif seperti saponin, flavonoid, polifenol, dah
fisalin.
Penelitian secara in vitro pada mencit diketahui bahwa ekstrak daun
ciplukan dapat menstimulasi sel beta insulin pankreas. Hal ini menunjukan daun
17
ciplukan memiliki aktivitas antihiperglikemik (Baedowi, 1998). Ekstrak murni
herba ciplukan juga menunjukan aktivitas antimikroba dengan adanya
penghambatan pada Mycobacterium tubercolosis (Januario et al, 2010).
e. Rubus Chrysophyllus
Taksonomi R. Chrysophyllus adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Rosales
Familia : Rosaceae
Subfamilia : Rosoideae
Genus : Rubus
Spesies : Rubus chrysophyllus
(USDA, 2007)
Rubus tersebar luas di bumi belahan utara, terutama di Amerika Utara dan
Eropa. Beberapa sepsis tertentu tumbuh di daerah alpin dan kutub utara. Di daerah
tropis dan belahan selatan bumi genus rubus ini relatif jarang ditemukan (Bailey,
1929; Edmond dkk., 1977). Di Asia Tenggara, rubus dapat ditemukan di atas
ketinggian 1000 m di atas permukaan air laut. Genus ini tumbuh secara liar
dilahan terbuka, namun ada juga yang memerlukan pembudidayaan (Jansen &
Westphal, 1989).
Kandungan kimia yang terdapat pada rubus jenis lain yaitu Rubus
rosifolius adalah antosianin yang memberikan warna merah, biru, dan ungu pada
18
berbagai buah, bunga, dan sayuran. Antosianin mampu mengurangi resiko
penyakit jantung dan membantu daya penglihatan. Antosianin tergolong dalam
salah satu kelas flavonoid (Winarno, 2004).
Rubus juga diketahui mengandung beberapa mineral seperti kalium,
mangan, tembaga, besi, dan magnesium. Kalium berperan sangat penting sebagai
komponen dari sel dan cairan tubuh yang membantu mengontrol detak jantung
dan tekanan darah. Ekstrak rubus menggunakan etanol-asam asetat juga diketahui
memiliki aktivitas antioksidan (Amanda et al., 2015).
f. Tetracera maingayi
Taksonomi T. maingayi adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Dilleniidae
Ordo : Dilleniales
Famili : Dilleniaceae
Genus : Tetracera
Spesies : Tetracera maingayi
(Steenis & Kruseman, 1948)
19
Tetracera banyak ditemukan di Indonesia, Malaysia dan Thailand. Secara
tradisional rebusan bagian akarnya direbus dan airnya untuk menurunkan tekanan
darah tinggi dan suhu badan saat demam panas. Selain itu juga digunakan sebagai
obat bubuk untuk menghilangkan penyakit gatal-gatal pada kulit. Tumbuhan ini
juga dapat dimanfaatkan sebagai obat bagi penderita diabetes melitus, dan bau
mulut (Fitrya & Kobaywan, 2012).
Senyawa-senyawa kimia yang terdapat dalam genus tetracera adalah
berbagai golongan flavonoid seperti kuersetin, kaemferol, apigenin, rhamnetin,
dan azaletin (Silvia, 2003). Penelitian terdahulu menunjukkan adanya golongan
senyawa flavonoid yaitu 5,7-dihidroksi-8-metoksiflavon yang telah diisolasi dari
tetracera (Harrison, 1994).
g. Cinnamomum sintoc
Taksonomi C. sintoc adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Laurales
Famili : Lauraceae
Genus : Cinnamomum
Spesies : Cinnamomum sintoc Bl
(Australia’s Virtual Herbarium, 2015)
Cinnamomum sintoc terdistribusi di Kalimantan, semenanjung Malaya,
Sumatera, dan Jawa (Kuang, 2011). Kulitnya digunakan untuk obat diare,
20
gangguan usus, dan serbuknya dimanfaatkan untuk mengobati penyembuh luka.
Kulit sintok selain menghasilkan minyak atsiri juga digunakan sebagai obat untuk
menyembuhkan sakit encok, digigit serangga, disentri sariawa, dan cacingan. Di
Jawa Barat digunakan dengan cara ditumbuk dan dibalurkan ke daerah yang sakit
(Hidayat, 2006).
Bau khasnya yang berasal dari eugenol digunakan sebagai bahan
kosmetik. Minyak atsiri yang terkandung dalam kayunya juga memiliki aktivitas
antibakteri (Dzulkarnain dan Wahjoedi, 1996). Berdasarkan penelitian terdahulu,
minyak esensial dari kulit Cinnamomum sintoc telah terbukti memiliki aktivitas
antiinflamasi (Sumiwi et al., 2015).
Eugenol memiliki aktivitas anti-inflamasi dengan menghambat COX-2
(Leem & Wansu, 2015). Miristin menunjukkan aktivitas anti-inflamasi (Ozaky,
1989). Limonene memiliki aktivitas penghambatan terhadap produksi
prostaglandin sehingga dapat disimpulkan bahwa miristin dan limone dapat
berperan sebagai inhibitor COX (Yoon et al., 2010); (Rahman et al., 2014).
10. Ekstraksi
A. Ekstraksi
Ekstraksi merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan cara
mengekstraksi zat aktif baik dari simplisia nabati maupun hewani menggunakan
pelarut yang sesuai. Proses mendapatkan ekstrak tersebut disebut ekstraksi.
Ekstraksi atau penyarian merupakan proses penarikan zat yang dapat larut
sehingga terpisah dari zat yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Kecepatan
difusi zat yang larut untuk melalui lapisan batas antara bahan yang mengandung
21
zat tersebut dengan cairan penyari menjadi faktor yang sangat penting dalam
mempengaruhi kecepatan penyarian. Kecepatan melintasi lapisan batas
dipengaruhi oleh derajat perbedaan konsentrasi, tebal lapisan batas, dan koefisien
difusi (Depkes RI, 1986).
Pelarut yang digunakan dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut
yang optimal untuk senyawa aktif yang diinginkan sehingga senyawa tersebut
dapat terpisahkan dari bahan dan kandungan lain yang tidak diinginkan (Depkes
RI, 2000). Kriteria yang perlu dipenuhi oleh pelarut yang baik diantaranya murah
dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah
menguap dan terbakar, selektif yang berarti hanya menarik zat aktif yang
dikehendaki, tidak mempengaruhi zat berkhasiat, dan diperbolehkan menurut
peraturan. Pelarut yang banyak digunakan oleh perusahaan obat tradisional adalah
air, etanol atau etanol-air (Depkes RI, 1986).
Etanol menjadi pertimbangan sebagai penyari karena merupakan pelarut
semipolar yang dapat melarutkan berbagai senyawa, kapang dan kuman sulit
tumbuh dalam etanol 20% ke atas, selain itu tidak beracun, netral, dapat
bercampur dengan air pada segala perbandingan, dan untuk menguapakan pelarut
dibutuhkan waktu yang relatif lebih cepat. Kerugian dari penggunaan etanol
sebagai penyari adalah harganya yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan
air. Etanol sering dicampurkan dengan air dalam berbagai perbandingan dengan
tujuan meningkatkan selektivitas penyarian (Depkes RI, 1986).
22
B. Maserasi
Salah satu metode ekstraksi yang sering digunakan adalah maserasi.
Maserasi merupakan proses penyarian melalui perendaman simplisia
menggunakan pelarut dengan berbagai kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur ruangan. Prinsip metode maserasi adalah pencapaian konsentrasi pada
kesetimbangan. Maserasi kinetik diartikan sebagai adanya pengadukan yang
kontinyu. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah
dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Depkes RI, 2000)
Keuntungan metode maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang
digunakan sederhana serta mudah dilakukan. Kerugian metode maserasi adalah
pengerjaannya yang membutuhkan waktu lama dan penyariannya kurang
sempurna. Maserasi diperlukan adanya pengadukan dengan tujuan agar gradien
konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan pelarut tetap terjaga. Hasil
penyarian atau maserat perlu dibiarkan selama waktu tertentu agar zat-zat yang
tidak diperlukan mengendap (Depkes RI, 1986).
11. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah metode yang paling sederhana
dalam kromatografi dibandingkan metode lainnya. Prinsip KLT adalah campuran
berupa larutan yang akan dipisahkan, ditotolkan berupa bercak pada fase diam.
(Gandjar & Rohman,2010). KLT lebih mudah dan murah dalam pengerjaannya,
dari segi peralatan juga dinilai sederhana, dan membutuhkan waktu yang relatif
cepat (Rohman, 2009).
23
Fase gerak adalah medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa
pelarut. Pemlihan fase gerak dapat ditentukan dari pustaka, namun salah satu cara
optimasi fase gerak dengan menggunakan fase gerak yang memiliki kemurnian
tinggi. Hal ini dikarenakan KLT adalah teknik yang sensitif (Gandjar & Rohman,
2010). Keuntungan KLT adalah pemilihan fase gerak yang fleksibel, proses
dilakukan dengan mudah, semua komponen sampel dapat teramati, dan dapat
dilakukan optimasi terhadap fase geraknya. Fase diam berupa lapisan tipis terbuat
dari silika yang dimodifikasi, resin penukar ion, gel eksklusi, dan siklodekstrin
yang berfungsi untuk pemisahan kiral. Fase diam atau penjerap perlu dikontrol
terkait keajegan ukuran partikel, dan luas permukaannya. Kandungan air ideal
yang dipersyaratkan sekitar 11-12% (Rohman, 2009).
Metode deteksi KLT ditujukan untuk meningkatkan sensitivitas,
selektivitas, dan memberi bukti tentang kualitas pemisahan. Deteksi secara visual
digunakan bagi senyawa yang tidak berwarna. Senyawa-senyawa tertentu akan
mengabsorbsi sinar UV atau berfluoresensi ketika tereksitasi oleh UV atau sinar
tampak, namun beberapa harus disemprot dengan reagen tertentu (Wall, 2005).
E. LANDASAN TEORI
Penelitian pendahuluan terhadap 150 jenis ekstrak tumbuhan Indonesia
pernah dilakukan dengan menggunakan metode microplate screening assay. Hasil
menunjukkan bahwa beberapa tumbuhan asal Indonesia memiliki aktivitas
antiagregasi platelet. Diperoleh 7 jenis ekstrak tumbuhan yang dinilai berpotensi
sebagai antiplatelet. Diantaranya adalah ekstrak etanolik kulit buah Garcinia
24
mangostana, daun Avverhoa bilimbi, daun Physallis angulata, ekstrak metanol
kulit batang Cinnamomum sintoc Bl, herba Tetracera Maingayi, daun Rubus
chrysophyllus Rienw. Ex. Miq., herba Leea aequata, ekstrak diklorometan
kelopak buah Physallis angulata, dan ekstrak kloroform herba Tetracera
maingayi. CaCl2 merupakan jalur dalam aktivasi platelet. Perlu untuk mengetahui
aktivitasnya pada reseptor tertentu P2Y1 (ADP) dan α-2 (epinefrin).
F. KETERANGAN EMPIRIS
Keterangan empiris yang akan diperoleh berupa aktivitas antiplatelet dari
ekstrak uji pada platelet yang diinduksi ADP dan epinefrin.