BAB I PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA...
Transcript of BAB I PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA...
-1-
BAB I
PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN DESA DAN KELURAHAN
Deskripsi Singkat Topik :
Pokok Bahasan :
Sub Pokok Bahasan : 1. Problematika Penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Kelurahan
2. Perbedaan Antara Desa dan Kelurahan
Waktu : 1 (satu) kali tatap muka pelatihan (selama 100 menit)
Tujuan : Praja dapat memahami perkembangan model
pertanggungjawaban Kepala Desa dari Masa ke Masa
Metode : Ceramah
Keberadaan pemerintah daerah sesungguhnya memiliki peran ganda,
pada satu sisi berperan sebagai penyelenggara pemerintahan dan pada sisi yang
lain berperan sebagai penyelenggara utama pembangunan di daerah. Peran
pemerintah daerah sebagai penyelenggara pemerintahan di daerah nampak dari
adanya pengaturan terhadap tatanan kehidupan bermasyarakat di daerah,
sedangkan sebagai penyelenggara utama dalam pembangunan daerah, pemerintah
daerah berperan sebagai pelaksana dan penanggung jawab utama dalam
keseluruhan proses pembangunan yang dilaksanakan di daerah terutama berkaitan
dengan penyediaan barang dan jasa serta pelayanan publik.
-2-
Begitu pentingnya keberadaan pemerintah sehingga wajar apabila
masyarakat memerlukan organisasi pemerintah karena banyak bagian penting dari
kebutuhannya yang tidak dapat dipenuhi oleh organisasi lain seperti halnya
organisasi swasta baik pencari laba maupun organisasi swasta nirlaba. Organisasi
swasta pencari laba dianggap gagal dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat
menyangkut kebutuhan eksternalitas dan barang publik karena motifnya yang
hanya mengejar keuntungan semata. Begitu pula halnya dengan organisasi swasta
nirlaba hanya mampu memberikan pelayanan dalam skala kecil dan sederhana,
serta terbatas pada lapisan masyarakat tertentu saja.
Rasyid (1996:10) menyatakan pendapatnya bahwa :
Pemerintahan modern, dengan kata lain, pada hakekatnya adalah
pelayanan kepada masyarakat. Pemerintahan tidaklah diadakan untuk
melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan
kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan
kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama.
Berkaitan dengan fungsi pemerintah, lebih lanjut Rasyid (1996:38)
mengemukakan setidaknya ada tiga fungsi pemerintahan yang hakiki yaitu :
Pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment) dan pembangunan
(development). Dipandang dari kacamata etika, keberhasilan seseorang di
dalam memimpin pemerintahan harus diukur dari kemampuannya
mengemban ketiga fungsi yang hakiki itu.
Pelayanan akan membuahkan keadilan dalam masyarakat, pemberdayaan
akan mendorong kemandirian masyarakat, dan pembangunan akan
menciptakan kemakmuran dalam masyarakat.
-3-
Pendapat berlainan dikemukakan oleh Ndraha (2003 : 75-76), bahwa
fungsi pembangunan bukanlah fungsi hakiki pemerintah melainkan fungsi ad
interim ketika masyarakat belum mampu membangun dirinya sendiri. Oleh sebab
itu, konsep pembangunan hanya dikenal di negara ketiga. Asumsinya, semakin
berhasil pembangunan maka semakin meningkat kondisi ekonomi masyarakat
sehingga semakin berkurang fungsi pemerintah dalam pembangunan tersebut.
Fungsi-fungsi yang diemban oleh pemerintah dan pemerintah daerah
pada tahap pertama adalah ingin menciptakan law and order (ketenteraman dan
ketertiban) sehingga muncul istilah pemerintah sebagai “penjaga malam” yaitu
pemerintah yang seolah-olah diumpamakan hanya bertugas menjaga ketenteraman
dan ketertiban semata. Fungsi pemerintah sebagai penjaga malam dirasakan
belumlah cukup karena sesuai kodratnya bahwa kebutuhan manusia senantiasa
meningkat dan berbeda satu sama lain karena berbagai faktor. Intinya, manusia
tidak pernah puas dan menginginkan hidupnya sejahtera, lebih baik daripada yang
lalu maupun sekarang. Tingkatan rasa aman merupakan dasar (primer) disamping
tercukupinya kebutuhan pokok yang lain.
Pada tahap selanjutnya, muncul tuntutan keberadaan pemerintah yang
lebih luas yaitu harus mampu mengupayakan kesejahteraan (welfare) bagi
rakyatnya, sehingga muncul welfare state yaitu negara yang bertujuan
memakmurkan rakyatnya (Oentarto dkk, 2004:2). Terdapat dua “main stream”
utama untuk mewujudkan kemakmuran atau kesejahteraan warganya, pertama
adalah melalui kebijakan sentralisasi, kemudian yang kedua adalah dengan cara
desentralisasi. Keduanya sama-sama berpotensi untuk berhasil dan gagal,
-4-
tergantung pada pilihan dari elit penguasa dan bagaimana elit tersebut
menerapkan cara yang dipilihnya tersebut. Masalahnya bukan pada apa warna
kucing tapi bagaimana kucing itu mampu menangkap tikus (Oentarto dkk, 2004 :
3-6).
Kebijakan pemberian otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab kepada
daerah yang telah digagas paska kegagalan rezim orde baru pada Tahun 1998
pada dasarnya merupakan koreksi terhadap sistem sentralisasi yang dianut oleh
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974. Kegagalan itu nampak dari rendahnya
kreativitas dan daya inovasi daerah serta ketergantungannya pada dukungan pusat
dalam segala bidang.
Keluarnya paket kebijakan otonomi daerah melalui Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999, yang kemudian disempurnakan dengan Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 telah memberikan angin segar dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, dimana daerah diberikan kewenangan yang luas untuk
mengelola dan mendayagunakan segenap potensinya untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran masyarakat.
Di pihak lain, semakin besar kewenangan daerah sebenarnya berkorelasi
terhadap besaran beban daerah terutama berkaitan dengan pengelolaan dan
pembiayaan urusan pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangganya seperti
hak untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan, memilih
pemimpin, mengelola aparatur daerah, memungut pajak dan retribusi daerah,
mengelola kekayaan daerah dan juga mendapatkan sumber pembiayaan yang
berasal dari daerah sendiri yang sah. Sebagai konsekuensinya, daerah wajib
-5-
menyediakan pelayanan publik yang dibutuhkan oleh masyarakat dan
memfasilitasi proses pembangunan di daerah. Tidak seimbangnya keduanya
berakibat pada kegagalan misi pemerintah daerah.
Secara umum, pemberian otonomi luas kepada daerah sebagaimana
tercantum dalam penjelasan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di
samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya
saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
A. Problematika Penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Kelurahan
Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa
yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa. Pembentukan,
penghapusan, dan/atau penggabungan Desa dengan memperhatikan asal usulnya
atas prakarsa masyarakat. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa
adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan
pemberdayaan masyarakat. Pemerintah mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa
ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat
diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari Pemerintah ataupun pemerintah
daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedang terhadap desa di
luar desa geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang
dibentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun karena
-6-
alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen, maka
otonomi desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang
mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.
Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Desa yang
dimaksud dalam ketentuan ini termasuk antara lainNagari di Sumatera
Barat, Gampong di Provinsi Nangggroe Aceh Darussalam
(NAD), Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan
Selatan danPapua, Negeri di Maluku. Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa
dan perangkat desa lainnya. Yang dimaksud dengan Perangkat Desa lainnya
dalam ketentuan ini adalah perangkat pembantu Kepala Desa yang terdiri dari
Sekretariat Desa, pelaksana teknis lapangan seperti kepala urusan, dan unsur
kewilayahan seperti kepala dusun atau dengan sebutan lain.
Kepala desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa warga negara
Republik Indonesia yang syarat selanjutnya dan tata cara pemilihannya diatur
dengan Perda yang berpedoman kepada Peraturan Pemerintah. Calon kepala desa
yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan kepala desa sebagaimana
dimaksud, ditetapkan sebagai kepala desa. Masa jabatan kepala desa adalah 6
(enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan
berikutnya. Masa jabatan kepala desa dalam ketentuan ini dapat dikecualikan bagi
kesatuan masyarakat hukum adat yang keberadaannya masih hidup dan diakui
yang ditetapkan dengan Perda.
Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa
bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Di desa
-7-
dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan dengan peraturan desa
dengan berpedoman pada peraturan perundangundangan. Yang dimaksud dengan
lembaga kemasyarakatan desa dalam ketentuan ini seperti: Rukun Tetangga,
Rukun Warga, PKK, karang taruna, lembaga pemberdayaan masyarakat.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:
1. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;
2. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang
diserahkan pengaturannya kepada desa;
3. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau
pemerintah kabupaten/kota;
4. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-
perundangan diserahkan kepada desa.
Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun
berupa barang yang dapat dijadikan milik desa berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban. Desa dapat mendirikan badan usaha
milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Desa dapat
mengadakan kerja sama untuk kepentingan desa yang diatur dengan
keputusan bersama dan dilaporkan kepada Bupati/Walikota melalui
camat.
-8-
B. Perbedaan Antara Pemerintah Desa dan Kelurahan
Data terbaru Ditjen Pemerintahan Umum Kemendagri, Mei 2010 menunjukkan
bahwa jumlah desa dan kelurahan di Indonesia adalah 75.244 yang terdiri dari
67.172 (89%) desa dan 8.072 kelurahan (11%).
“Pertanggungjawaban Kades/Lurah sangat berkaitan dengan Tupoksi, Wewenang
dan Kewajibannya”
Banyak sekali tantangan yang dihadapi untuk melakukan reformasi desa dan
pemerintahannya di Indonesia antara lain menyangkut :
1) variasi bentuk desa dan pemerintahannya yang sangat tinggi,
2) ketidakpastian kedudukan keorganisasian pemerintah desa ( ada sikap
ambivalensi dari pemerintah supradesa);
3) kualitas sumber daya aparat desa yang relatif sangat rendah;
4) manajemen pemerintahan yang masih sangat tradisional;
5) potensi sumber keuangan yang sangat terbatas, karena sudah habis diambil
oleh pemerintahan supradesa;
Organisasi pemerintah desa bersifat ambivalen dan semu, dalam arti bukan
sbg organisasi pemerintah yg sesungguhnya. Cirinya :
- pegawainya bukan pegawai pemerintah;
- tidak mempunyai penghasilan tetap yag berasal dari anggaran negara;
- tidak memiliki karier & uang pensiun;
- tidak memiliki kewenangan utk mengumpulkan pendapatan, yang ada
hanyalah penerimaan ( bersifat pasif); artinya pemerintah desa tidak
mempunyai kewenangan memungut pajak dan retribusi atas namanya
-9-
sendiri, kecuali yang berasal penugasan dari Pemerintah dan atau
Pemerintah Daerah;
Dilihat dari komposisi asal-usul penduduknya, dapat dibedakan tiga kategori
Desa yaitu :
a. Desa Geneologis, apabila lebih dari 75% penduduknya berasal dari desa
setempat dan masih mempunyai ikatan kekeluargaan yang kuat. Pada Desa
geneologis, ikatan adat istiadat umumnya masih kuat.
b. Desa Campuran, apabila penduduk asli yang berasal dari desa setemnpat
jumlahnya hampir seimbang (50%) dengan penduduk pendatang. Ikatan
adat istiadat umumnya sudah mulai memudar.
c. Desa Teritorial, apabila lebih dari 75% penduduknya berasal dari
pendatang. Ikatan adat istiadat biasanya sudah memudar. Hubungan sosial
antar warga diatur dengan hukum-hukum nasional.
Sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum, Desa memiliki otonomi yang
bersifat pengakuan, bukan pemberian dari pemerintah pusat.
Isi otonomi Desa menyangkut :
a. hak untuk memilih pemimpinnya sendiri secara bebas;
b. hak untuk memiliki dan mengelola kekayaannya sendiri secara bebas;
c. hak untuk membuat peraturan hukumnya sendiri;
d. hak untuk mempunyai pegawainya sendiri.
• Kebebasan penggunaan hak-hak di atas dibatasi oleh :
- peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya;
- kepentingan umum;
-10-
Sejak dari jaman penjajahan Belanda sampai sekarang, kedudukan desa
adalah sebagai sebuah “self governing society”. Pola hubungan yang digunakan
adalah “indirect rule”.
Organisasi pemerintahan desa adalah organisasi pemerintahan semu, karena
pegawainya tidak digaji dari keuangan negara, tidak ada karier, serta tidak
ada pensiun. Desa juga tidak memiliki kewenangan untuk memungut pajak
dan atau retribusi atas namanya sendiri, melainkan hanya membantu
memungut pajak dan atau retribusi dari pemerintah supradesa (pusat,
propinsi, kabupaten/kota).
Pemerintah Desa sebenarnya lebih sesuai dinamakan sebagai lembaga
kemasyarakatan yang berfungsi membantu menjalankan tugas-tugas
pemerintahan.
MODEL PENGEMBANGAN DESA
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan adanya tiga model
pengembangan desa dan pemerintahannya, yakni :
1. Model otonomi tradisional seperti yang sekarang;
2. Model otonomi rasional berdasarkan perintah Tap MPR Nomor IV/MPR-
RI/2000 rekomendasi Nomor 7.
3. Model otonomi desa eklektik, yakni memadukan antara otonomi
tradisional dengan otonomi rasional.
-11-
MODEL OTONOMI TRADISIONAL
* Ciri- ciri model otonomi tradisional bagi desa dengan pemerintahannya
yaitu sebagai berikut :
a) otonominya bersifat pengakuan; bukan pemberian. Hal ini sejalan
dengan semangat yang tertuang dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
b) berbasis pada hukum adat;
c) kedudukan organisasinya bersifat ambivalen;
d) kedudukan kepegawaian perangkat desanya bersifat ambivalen.
• Kekuatan model ini :
a) ada dasar konstitusionalnya;
b) sudah menjadi model dan paradigma yang berjalan sejak jaman Hindia
Belanda, dengan beberapa perubahan secara terbatas.
• Kelemahan model ini :
a) hukum adat sebagai basisnya sebagian besar sudah mulai melemah
sehingga kehilangan daya ikat pada kesatuan masyarakat hukum.
b) karena bersifat ambivalen, menimbulkan ketidakpastian mengenai hak,
wewenang, tanggung jawab, kedudukan keorganisasian, sumber
keuangan, serta kepegawaian.
c) menimbulkan banyak polarisasi bentuk sesuai lingkaran hukum adatnya
masing-masing ( vide pendapat van Vollen Hoven tentang 19 lingkaran
hukum adat di Indonesia).
-12-
MODEL OTONOMI RASIONAL
Ciri-ciri model ini antara lain:
a) otonominya bersifat pemberian dari pemerintah pusat sehingga bersifat
rasional;
b) memperoleh sumber-sumber keuangan yang berasal dari keuangan
negara.
c) mempunyai birokrasi tersendiri yang formal serta mempunyai anggota
perwakilan rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum.
d) sama dengan daerah otonom lain, desa mempunyai hak untuk
memungut retribusi dan pajak atas namanya sendiri.
Kekuatan model ini :
a) mempunyai kedudukan, bentuk, wewenang, tugas dan tanggung jawab
yang konsisten dengan daerah otonom lainnya.
b) memperkuat demokrasi pada tingkat lokal, pada semua dimensi (politik,
ekonomi, sosial dan budaya).
• Kelemahan model ini :
a) apabila tidak dilakukan amalgamasi melalui parameter yang disepakati
akan menimbulkan proliferasi birokrasi yang luar biasa, yang pada
gilirannya akan menambah beban negara.
b) tanpa pendidikan politik yang sistemik dan berkelanjutan, akan
membuka konflik politik horisontal yang meluas.
-13-
MODEL OTONOMI EKLEKTIK
Model ini sebenarnya memadukan kekuatan model otonomi tradisional
dengan model otonomi rasional.
Ciri-ciri model ini yaitu sebagai berikut :
a) secara bertahap pemerintah pusat memberikan urusan-urusan
pemerintahan untuk menjadi urusan rumah tangga desa ( otonomi
pengakuan dipadukan dengan otonomi pemberian);
b) secara bertahap pemerintah pusat memberikan sumber-sumber
keuangan untuk dipungut sendiri, seiring dengan sumber-sumber
keuangan yang bersifat tradisional;
Kekuatan model ini :
a) sepanjang disiapkan grand design yang jelas dan transparan, dapat
dilakukan perubahan secara incremental tanpa terlampau menimbulkan
gejolak yang berarti.
b) kecepatan perubahannya dapat dirancang sesuai perkembangan politik
nasional serta kemampuan keuangan negara.
• Kelemahan model ini :
a) menyimpang dari teori yang umum berlaku;
b) karena merupakan sebuah eksperimen baru, keberhasilannya masih
belum dapat diprediksikan secara jelas.
-14-
POLA PENGEMBANGAN
Pola pengembangan desa dan pemerintahannya dapat dilakukan secara :
1. Incremental
a. menyeluruh
b. bertahap
2. Serentak
Pola pengembangan incremental dilakukan secara bertahap sesuai tingkat
perkembangan masing-masing daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Pola ini dapat dilakukan dengan adanya ujicoba satu desa untuk setiap
provinsi untuk kurun waktu lima tahun, kemudian dilanjutkan ujicoba satu
desa untuk setiap kabupaten/kota untuk lima tahun berikutnya. Dari hasil
ujicoba, dilakukan penyempurnaan konsep untuk diberlakukan secara
meluas.
-15-
Lampiran : Perbedaan Antara Desa dan Kelurahan
Menurut Peraturan Perundang-undangan
NO PERBEDAAN KEPALA DESA LURAH (KELURAHAN)
1. Dasar Hukum PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa PP Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan 2. Definisi Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui
dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat
Daerah Kabupaten/Kota dalam wilayah kerja Kecamatan.
3. Kedudukan Ketidakpastian kedudukan keorganisasian pemerintah
desa (ada sikap ambivalensi dari pemerintah supradesa). Ke depan menjadi daerah otonom tingkat III???
Kelurahan merupakan perangkat daerah Kabupaten/Kota
yang berkedudukan di wilayah kecamatan.
4. Kewenangan/urusan yang
dijalankan Pasal 7
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa
mencakup :
a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak
asal usul desa;
b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada
desa;
c. tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan
d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangundangan diserahkan kepada desa.
Pasal 4 (2)
Lurah melaksanakan urusan pemerintahan yang dilimpahkan
oleh Bupati/Walikota (Kewenangan delegatif)
5. Tugas Pokok Pemimpin
(Kepala Desa dan Lurah) Pasal 14 ayat (1)
Kepala Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan
pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.
Pasal 4 ayat (1)
Lurah mempunyai tugas pokok menyelenggarakan urusan
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan
(Kewenangan atributif)
Pasal 5 ayat (1)
-16-
1) Dalam melaksanakan tugas pokok, Lurah mempunyai
tugas :
a. pelaksanaan kegiatan pemerintahan kelurahan;
b. pemberdayaan masyarakat;
c. pelayanan masyarakat;
d. penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban
umum;
e. pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan
umum; dan
f. pembinaan lembaga kemasyarakatan.
6. Wewenang Kepala Desa dan
Lurah Pasal 14 ayat (2) Kepala Desa mempunyai wewenang : 1. memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa
berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD;
2. mengajukan rancangan peraturan desa;
3. menetapkan peraturan desa yang telah mendapat
persetujuan bersama BPD;
4. menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa
mengenai APB Desa untuk dibahas dan ditetapkan
bersama BPD;
5. membina kehidupan masyarakat desa;
6. membina perekonomian desa;
7. mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif;
8. mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan
dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan; dan
9. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Lurah mempunyai hak :
Membuat peraturan dan keputusan lurah, dan tupoksinya diatur lebih lanjut dalam Perwal/Perbup.
7. Hak Kepala Desa dan Lurah Pasal 27
(1) Kepala Desa dan Perangkat Desa diberikan penghasilan
tetap setiap bulan dan/atau tunjangan lainnya sesuai
dengan kemampuan keuangan desa.
Pasal 3
Lurah diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Camat dari
Pegawai Negeri Sipil.
-17-
(2) Penghasilan tetap dan/atau tunjangan lainnya yang
diterima Kepala Desa dan Perangkat Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun dalam
APBDesa.
(3) Penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling sedikit sama dengan Upah Minimum Regional
Kabupaten/Kota.
(4) Syarat-syarat lurah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) meliputi:
a. Pangkat/golongan minimal Penata (III/c).
b. Masa kerja minimal 10 tahun.
c. Kemampuan teknis di bidang administrasi
pemerintahan dan memahami sosial budaya
masyarakat setempat.
Gaji sesuai standar pangkat/gol.
Kewajiban Pasal 15
Kepala Desa mempunyai kewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila,
melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta
mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
b. meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
c. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;
d. melaksanakan kehidupan demokrasi;
e. melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang
bersih dan bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme;
f. menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja
pemerintahan desa;
g. menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundangundangan;
h. menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa
yang baik;
i. melaksanakan dan mempertanggungjawabkan
pengelolaan keuangan desa;
j. melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan desa;
k. mendamaikan perselisihan masyarakat di desa;
l. mengembangkan pendapatan masyarakat dan desa;
m. membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai
sosial budaya dan adat istiadat;
n. memberdayakan masyarakat dan kelembagaan di desa;
Memimpin kelurahan
-18-
dan
o. mengembangkan potensi sumber daya alam dan
melestarikan lingkungan hidup.
Mekanisme
Pemilihan/Pengangkatan Pasal 43 – 54
Kepala Desa dipilih secara langsung, dengan periode 6
tahunan.
Lurah diangkat oleh Bupati/Walikota
Pertanggungjawaban Pasal 15
Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk memberikan
laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada
Bupati/Walikota, memberikan laporan keterangan
pertanggungjawaban kepada BPD, serta menginformasikan
laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada
masyarakat.
Pasal 3
Lurah yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada
Bupati/Walikota melalui Camat.
-19-