BAB II
-
Upload
chairunisa-tanjung -
Category
Documents
-
view
217 -
download
0
description
Transcript of BAB II
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Saluran Pernapasan
Saluran pengantar udara yang membawa udara kedalam paru adalah hidung,
faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus. Saluran pernapasan dari hidung sampai
bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa bersilia. Ketika masuk dihidung udara
disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama
dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia dan bersel
goblet. Permukaan epitel diliputi oleh lapisan mukus yang disekresi oleh sel goblet
dan kelenjar mukosa.
Partikel debu yang kasar disaring oleh rambut-rambut yang terdapat didalam
lubang hidung, sedangkan partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan lapisan
mukus. Gerakan silia mendorong lapisan mukus ke arah posterior didalam rongga
hidung, dan kesuperior kedalam sistem pernapaan bagian bawah menuju ke faring
kemudian menuju laring. Laring terdiri dari rangkaian cincin tulang rawan yang
dihubungkan oleh sel-sel otot dan mengandung pita suara. Ruang berbentuk segitiga
diantara pita suara disebut glotis bermuara kedalam trakea dan membentuk bagian
antara saluran pernapasan atas dan bawah.
Trakea disokong oleh cincin tulang rawan kira-kira lima perenam panjang
trakea berbentuk seperti sepatu kuda yang panjangnya kurang lebih 12,5 cm (5 inci).
Bronkus utama kanan dan kiri tidak simetris. Bronkus utama kanan lebih pendek dan
lebar dan merupakan kelanjutan dari trakea yang arahnya hampir vertikal. Sebaliknya
bronkus utama kiri lebih panjang dan sempit dan merupakan kelanjutan dari trakea
yang arahnya lebih tajam. Pada dinding bronkus terdapat kartilago yang kecil dan
melengkung, yang mempertahankan rigiditas namun tetap memungkinkan pergerakan
3
yang cukup agar paru dapat mengembang dan mengempis. Kartilago ini secara
progresif menjadi semakin kecil pada akhir bronkus dan tidak dijumpai lagi dalam
bronkiolus, yang biasanya memiliki diameter kurang dari 1,5 mililiter.
Bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkul lobaris dan kemudian
bronkus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronkus yang ukurannya
semakin kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus terminalis. Bronkiolus dilebarkan
oleh tekanan transpulmonal yang sama yang mengembangkan alveoli. Dengan
demikian bila alveoli melebar, bronkiolus juga melebar, tetapi tidak selebar alveoli.
Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional
paru, yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari bronkilus respiratorius, duktus
alveolaris, sakus alveolaris terminalis. Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk
kerucut, dan terletak dalam rongga dada atau toraks. Paru kanan terdiri dari tiga lobus
oleh fisura interlobaris. Paru kiri terbagi menjadi dua lobus. Suatu lapisan tipis
kontinu yang mengandung kolagen dan jaringan elastis, dikenal sebagai pleura, yang
melapisi rongga dada (pleura parietalis) dan menyelubungi setiap paru (pleura
viseralis). Diantara plaura parietalis dan viseralis terdapat suatu lapisan tipis cairan
pleura yang berfungsi untuk memepermudahkan kedua permukaan itu bergerak
selama pernapasan. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfer,
sehingga mencegah kolaps paru.
4
B. Fisiologi Pernapasan
Proses fisiologi pernapasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke dalam
jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan keudara ekspirasi, dapat dibagi menjadi tiga
stadium. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya campiran gas-gas
kedalam dan keluar paru-paru. Stadium kedua, transportasi, yang harus ditinjau dari
beberapa aspek: (1) difusi antara gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi
eksterna) dan antara darah sistemik dan sel-sel jaringan; (2) sirkulasi darah dalam
sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam alveolus-
alveolus; dan (3) reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2 dengan darah.
Gambar 2.3
Proses Difusi
Gambar 2.4
Proses Difusi
6
1. Ventilasi
Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan yang
terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Selama
inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga
terangkat akibat kontraksi beberapa otot. Otot sternokleidomastoideus
mengangkat sternum keatas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis
eksternus mengangkat iga-iga. Toraks membesar ketiga arah : anterposterior,
lateral, dan vertikal.peningkatan volume ini menyebabkan penurunan tekanan
intrapleura, dari sekitar -4sampai -5 mmHg, yang merupakan nilai isap yang
dibutuhkan untuk memepertahankan paru agar tetap terbuka sampai nilai
istirahatnya. Kemudian, selama inspirasi normal, pengembangan rangka dada
akan menarik paru kearah luar dengan kekuatan yang lebih besar dan
menyebabkan tekanan menjadi lebih negatif menjadi sekitar -7,5 sampai -
8mmHg. Pada saat yang sama tekanan intrapulmonal atau tekanan jalan napas
menurun sampai sekitar -2mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfer) dari 0
mmHg pada waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan antara jalan napas pada
akhir inspirasi sama dengan tekanan atmosfer.
Gambar 2.5
Proses Ventilasi
7
Pada waktu otot interkostalis eksternus relaksasi, rangka iga turun dan
lengkung diafragma naik keatas kedalam rongga toraks, menyebabkan volume
toraks berkurang. pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan
intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Tekanan intrapulmonal sekarang
meningkat dan mencapai sekitar 1 sampai 2 mmHg diatas tekanan atmosfer.
Selisih tekanan antara jalan napas dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga
udara keluar dari paru sampai tekanan jalan napas dan tekanan atmosfer
menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi.
2. Difusi
Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas
yang melintasi membran alveolus-kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5
µm). Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial
antara darah dan fase gas. Tekanan parsial O2 (PO2) dalam atmosfer pada
permukaan laut besarnya sekitar 159 mmHg (21% dari 760 mmHg). Namun,
pada waktu O2 sampai di trakea, tekanan parsial ini akan mengalami
penurunan sampai sekitar 149 mmHg karena dihangatkan dan dilembabkan
oleh jalan napas (760 – 47 x 0.21 = 149). Tekanan parsial uap air pada suhu
tubuh adalah 47 mmHg. Tekanan parsial O2 yang di inspirasi akan menurun
kira-kira 103 mmHg pada saat mencapai alveoli karena tercampur dengan
udara dalam ruang mati anatomik pada saluran jalan napas. Ruang mati
anatomik ini dalam keadaan normal mempunyai volume sekitar 1 ml udara per
pound berat badan ideal (missal, 150 ml/150 pound laki-laki). Hanya udara
bersih yang mencapai alveolus yang merupakan ventilasi efektif. Dalam
keadaan berisitirahat normal, difusi dan keseimbangan antara O2 di kapiler
8
darah paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu
kontak selama 0,75 detik.
Hubungan Antara Ventilasi – Perfusi
Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru membutuhkan
distribusi merata dari udara dalam paru dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler. Pada
orang normal dengan posisi tegak dan dalam keadaan istirahat, ventilasi dan perfusi
hampir seimbang kecuali pada apeks paru. Sirkulasi pulmonar dengan tekanan dan
resistensi rendah mengakibatkan aliran darah di basis paru lebih besar daripada di
bagian apeks, hal ini disebabkan pengaruh gaya tarik bumi. Namun, ventilasinya
cukup merata. Nilai rata-rata rasio antara ventilasi terhadap perfusi (V/Q) adalah 0.8.
Angka ini didapatkan dari rasio rata-rata laju ventilasi alveolar normal (4L/menit)
dibagi dengan curah jantung normal (5L/menit).
3. Pengangkutan Oksigen Dan Karbondioksida Di Dalam Darah Dan Cairan
Tubuh
Bila oksigen telah berdifusi dari alveoli kedalam darah paru, oksigen diangkut
ke kapiler jaringan dalam bentuk gabungan dengan hemoglobin. Adanya
hemoglobin didalam sel darah memungkinkan darah untuk mengangkut 30 sampai
100 kali jumlah oksigen yang dapat diangkut dalam bentuk oksigen terlarut
didalam cairan darah (plasma). Dalam sel jaringan tubuh, oksigen bereaksi dengan
berbagai bahan makanan untuk membentuk sejumlah besar karbondioksida.
Karbondioksida ini masuk kedalam kapiler jaringan dan diangkut kembali ke paru.
Pada dasarnya, gas dapat bergerak dari satu tempat ke tempat lain dengan cara
difusi, dan pergerakan ini selalu disebabkan oleh perbedaan tekanan dari tempat
9
pertama ke tempat lainnya. Oksigen berdifusi dari alveoli ke dalam darah kapiler
paru, karena tekanan parsial oksigen (PO2) dalam alveoli lebih besar daripada
PO2dalam darah kapiler paru. Sebaliknya, bila oksigen di metabolisme dalam sel
untuk membentuk karbondioksida, tekanan karbondioksida (PCO2) intrasel
meningkat ke nilai yang tinggi, sehingga menyebabkan karbondioksida berdifusi
kedalam kapiler jaringan. Setelah darah mengalir ke paru, karbondioksida berdifusi
keluar dari darah masuk kedalam alveoli karena PCO2 dalam darah kapiler paru
lebih besar daripada dalam alveoli, sehingga pengangkutan oksigen dan
karbondioksida oleh darah bergantung pada difusi keduanya dan aliran darah.
Volume Paru
Empat volume paru bila semua dijumlahkan, sama dengan volume maksimal
paruyang mengembang. Arti dari masing-masing volume ini adalah:
1. Volume tidal adalah volume udara yang diinspirasi atau diekspirasi setiap kali
bernapas normal; besarnya kira-kira 500 mililiter.
2. Volume cadangan inspirasi adalah volume udara ekstra yang dapat diinspirasi
setelah dan diatas volume tidal normal bila dilakukan inspirasi kuat; biasanya
mencapai 3000 mililiter.
3. Volume cadangan ekspirasi adalah volume udara ekstra maksimal yang dapat
diekspirasi melalui ekspirasi kuat pada akhir ekspirasi tidak normal; jumlah
normalnya adalah sekitar 1100 mililiter.
4. Volume residu yaitu volume udara yang masih tetap berada dalam paru setelah
ekspirasi paling kuat; volume ini besarnya kira-kira 1200 mililiter.
10
Gambar 2.6
Volume Paru
Volume Darah di Paru
volume darah diparu kira-kira 450 mililiter, sekitar 9% dari volume darah total
pada seluruh sistem sirkulasi. Kira-kira 70 mililiter dari volume darah diparu berada
dikapiler paru, sedangkan sisanya terbagi sama rata antara arteri dan vena paru.
Konsentrasi dan Tekanan Parsial Oksigen dalam Alveolus
Oksigen diabsorbsi dari alveoli kedalam darah paru secara terus-menerus, dan
oksigen yang baru juga secara terus-menerus dihirup masuk kealveoli dari atmosfer.
Makin cepat oksigen diabsorbsi, makin rendah konsentrasinya dalam alveoli.
Sebaliknya, makin cepat oksigen baru dihirup kedalam alveoli melalui atmosfer,
makin tinggi konsentrasinya. Oleh karena itu konsentrasi O2 dalam alveoli dan juga
11
tekanan parsialnya diatur oleh (1) kecepatan absorbsi oksigen kedalam darah dan, (2)
kecepatan masuknya oksigen baru kedalam paru melalui proses ventilasi.
Gambar 2.7
Tekanan parsial oksigen alveolus
Gambar menunjukkan efek ventilasi alveolus dan kecepatan absorbsi oksigen
kedalam darah pada tekanan partial oksigen alveolus (PO2). Kurva dengan garis tebal
menyatakan kecepatan absorbsi oksigen sebesar 250 ml/ menit, dan kurva titik-titik
menunjukkan kecepatan 1000 ml/ menit. Pada kecepatan ventilasi normal 4,2 liter/
menit dan pemakaian oksigen 250 ml/ menit, titik kerja normal. Gambar juga
memeperlihatakan bahwa bila 1000 ml oksigen diabsorbsi setiap menit, seperti yang
terjadi selama kerja sedang, maka kecepatan ventilasi alveolus harus meningkat empat
kali lipat untuk mempertahankan PO2 alveolus pada nilai normal, yaitu 104 mmHg.
12
Konsentrasi dan Tekanan Parsial CO2 dalam Alveoli
Karbon dioksida secara terus-menerus dibentuk dalam tubuh dan kemudian
diangkut dalam darah ke alveoli; karbon dioksida secara terus-menerus pula
dikeluarkan dari alveolus melalui ventilasi. Nilai untuk PCO2 yaitu 40 mmHg.
C. Definisi Gagal Napas
Gagal napas adalah suatu keadaan yang terjadi apabila paru tidak lagi dapat
memenuhi fungsi primernya dalam pertukaran gas, yaitu oksigenasi darah arteria dan
pembuangannya karbondioksida.Gagal napas merupakan suatu sindrom yang terjadi
akibat ketidakmampuan sistem pulmoner untuk mencukupi kebutuhan metabolisme
(eliminasi CO2 dan oksigenasi darah). Sistem pernapasan gagal untuk
mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel
tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal.
Gagal napas terjadi bila :
1) PO2 arterial (PaO2) < 60 mmHg atau
2) PCO2 arterial (PaCO2) > 45 mmHg
Pada PaO2< 60 mmHg, yang berarti ada gagal napas hipoksemia, berlaku bila
bernapas pada udara ruangan biasa (fraksi O2 inspirasi [F1 O2] = 0,21), maupun saat
mendapatkan bantuan oksigen. Sedangkan pada PaCO2> 45 mmHg yang berarti
gagal napas hiperkapnia.
D. Klasifikasi Gagal Napas
Gagal napas diklasifikasikan menjadi dua tipe: 1) gagal napas tipe I yang
diketahui dari kadar PaO2 < 60mmHg dengan kadar PaCO2 yang normal ataupun
13
rendah. 2) gagal napas tipe II yang diketahui dari kadar PaO2 < 60 mmHg dan kadar
PaCO2 > 45 mmHg. Gagal napas juga diklasifikasikan menjadi tiga jenis : acute,
acute on chronic dan chronic. Perbedaan ini penting untuk menentukan terapi
terutama gagal napas tipe II.
Gambar 2.8
Klasifikasi gagal nafas
- Acute:terjadi bila penderita mempunyai gangguan napas minimal yang mengawali
keadaan tersebut dengan AGD menunjukkan PaCO2 yang tinggi, pH rendah dengan
bikarbonat normal
- Acute on chronic: apabila terjadi perburukan tiba-tiba pada seseorang yang sudah
mengalami gagal napas hiperkarbik sebelumnya, ditandai dengan PaCO2 yang tinggi,
pH rendah dengan bikarbonat yang meningkat.
- Chronic: apabila terdapat penyakit paru kronik ditandai dengan PaCO2 tinggi, pH
normal dan bikarbonat meningkat.
1) Gagal napas tipe I (hipoksemia)
Gagal nafas hipoksemia lebih sering dijumpai daripada gagal nafas
hiperkapnia. Pasien tipe ini mempunyai nilai PaO2 yang rendah tetapi PaCO2
14
normal atau rendah. Selain pada lingkungan yang tidak biasa, dimana atmosfer
memiliki kadar oksigen yang sangat rendah, seperti pada ketinggian, atau saat
oksigen digantikan oleh udara lain, gagal nafas hipoksemia menandakan adanya
peyakit yang mempengaruhi parenkim paru atau sirkulasi paru. Contoh klinis
yang umum menunjukkan hipoksemia tanpa peningkatan PaCO2 ialah pneumonia,
aspirasi isi lambung, emboli paru, asma dan ARDS (Acute Respiratory Distress
Syndrome).
Istilah hipoksemia menunjukkan PO2 yang rendah di dalam darah arteri (PaO2)
dan dapat digunakan untuk menunjukkan PO2 pada kapiler, vena dan kapiler paru.
Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan rendahnya kadar O2 darah atau
berkurangnya saturasi oksigen didalam hemoglobin. Hipoksia berarti penurunan
penyampaian (delivery) O2 ke jaringan atau efek dari penurunan penyampaian O2
ke jaringan. Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia dapat pula
terjadi akibat penurunan penyampaian O2 karena faktor rendahnya curah jantung,
anemia, syok septic atau keracunan karbonmonoksida, dimana PaO2 dapat
meningkat atau normal.
1) Gagal nafas tipe II (hiperkapnia)
Gagal napas hiperkapnia mempunyai kadar PaCO2yang abnormal tinggi.
Karena CO2 meningkat dalam ruang alveolus, O2 tersisih didalam alveolus dan
PaO2 menurun. Maka, pada pasien biasanya didapatkan hiperkapnia dan
hipoksemia bersama-sama, kecuali bila udara insprasi dibeli tambahan oksigen.
Paru mungkin normal atau tidak pada pasien dengan gagal napas hiperkapnia,
terutama jika penyakit utama mengenai bagian non parenkim paru seperti dinding
dada, otot pernapasan atau batang otak. Penyakit paru obstruktif kronis yang parah
15
sering mengakibatkan gagal napas hiperkapnia. Pasien dengan asma berat, fibrosis
paru stadium akhir dan ARDS berat dapat menunjukan gagal nafas hiperkapnia.
Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat. Peningkatan
PaCO2 merupakan penekanan sistem saraf pusat, mekanismenya terutama melalui
turunnya PH cairan serebrospinal yang terjadinya karena peningkatan akut PaCO2.
Karena, CO2 berdifusi secara bebas dan cepat kedalam cairan serebrospinal, PH
turun secara cepat dan hebat karena hiperkapnia akut.
E. Etiologi Gagal Napas Tipe I ( Hipoksemia)
Penyebab dari gagal napas tipe I:
A. Acute asthma
B. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
C. Pneumonia
D. Pulmonary embolus
E. Pulmonary fibrosis
F. Pulmonary oedema
G. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD)
H. Emphysema
I. Pneumothorax
Etiologi Gagal Napas Tipe II (Hiperkapnia)
Paru:
- Acute severe asthma
- Chronic obstructive pulmonary disease (COPD)
16
- Bronchiectasis
- Obstructive sleep apnoea
- Pulmonary oedema
Thoracic wall:
- Cedera dinding dada
- Ruptured diphragm
- Kyphoscoliosis
- Abdominal distension (ascites, blood, surgical packs)
Central nervous system:
- Koma
- Cedera kepala
- Obat opioid dan sedative
Neuromuskular:
- Cervical cord lesions (trauma, tumor)
- Spinal cord (poliomyelitis)
- Peripheral nerves (Guillain- Barre syndrome, diphtheria)
- Neuromuscular junction (myasthenia gravis, muscle relaxants)
F. Patofisiologi
1. Gagal Napas Hipoksemia
Ketidakseimbangan ventilasi dengan perfusi merupakan penyebab hipoksemia
tersering, terjadi ketidaksesuaian vntilasi-perfusi. Area paru mendapatkan ventilasi
yang kurang dibandingkan banyaknya aliran darah yang menuju kearea-area
17
tersebut. Disisi lain beberapa area paru lain mendapat ventilasi berlebih
dibandingkan aliran darah regional yang relatif sedikit.
Hipoksemia dapat terjadi karena meningkatnya pencampuran vena, yang
dikenal sebagai pirau kanan ke kiri (right-to-left-shunt). Sebagian darah vena sistemik
tidak melalui alveolus, bercampur dengan darah yang berasal dari paru, akibatnya
adalah percampuran arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru dengan
PO2 dan POV2. Pirau kanan kekiri dapat terjadi karena: 1) jika bronkus dan bronkiolus
tersumbat, udara dalam alveolus dibelakang sumbatan akan direabsorbsi dan segmen
paru tersebut akan kolaps. Kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau lobus,
sebagian darah akan dialihkan dari daerah yang kolaps kebagian paru dengan ventilasi
yang lebih baik, dan hal ini akan mengurangi besarnya penurunan PO2 darah arteri. 2)
penyakit jantung kongenital dengan defek septum. 3) ARDS, dimana dapat terjadi
edema paru yang berat, atau kolaps alveolar sehingga terjadi pirau kanan ke kiri yang
berat.
2. Gagal Napas Hiperkapnia
Hipoventilasi merupakan penyebab hiperkapnia yang paling sering. Selain
meningkatnya PaCO2 juga terdapat asidosis respirasi yang sebanding dengan
kemampuan bufer jaringan dan ginjal. Menurunnya VA, pertama dapat disebabkan
oleh karena menurunnya faktor minute ventilation (VE) yang sering disebut sebagai
hipoventilasi global atau kedua, karena meningkatnya dead space (VD). Penyebab
hipoventilasi global adalah overdosis obat yang menekan pusat pernpasan.
18
G. Manifestasi Klinis
1. Gagal Napas Hipoksemia
Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen ke jaringan
yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan pergeseran metabolisme
kearah anaerobik disertai pembentukan asam laktat. Peningkatan asam laktat didarah
selanjutnya akan merangsang ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat menyebabkan
gangguan mental, terutama untuk pekerjaan kompleks dan berpikir abstrak. Hipoksia
yang berat dapat meneyebabkan perubahan status mental yang lanjut, seperti
somnolen, koma, kejang dan kerusakan otot hipoksik permanen.
Aktifitas sistem saraf simpatis meningkat. Sehingga menyebabkan takikardi,
diaphoresis dan vasokonstriksi sistemik, diikuti hipertensi. Hipoksia yang lebih berat
lagi dapat menyebabkan bradikardi, vasodilatasi dan hipotensi, serta menimbulkan
hipoksemia miokard, infark, artmia dan gagal jantung.
Manifestasi hipoksemia akan lebih buruk jika gangguan hantaran oksigen ke
jaringan ( tissue oxygen delivery). Pasien dengan curah jantung yang berkurang,
anemia, atau kelainan sirkulasi dapat diramalkan akan mengalami hipoksia jaringan
global dan regional pada hipoksia yang lebih dini. Misalnya pada pasien syok
hipovolemik yang menunjukkan tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia arterial
ringan.
Manifestasi gagal napas hipoksemia merupakan kombinasi dari gambaran
hipoksemia arterial dan hipoksemia jaringan. Hipoksemia arterial meningkatkan
ventilasi melalui stimulus kemoreseptor glomus karotikus, diikuti dispnea
didefinisikan sebagai proses pernapasan yang sulit atau berat pada subjek yang secara
sadar merasakan sesak napas, takipnea yaitu pernapasan secara cepat dan dangkal,
hiperpnea yaitu peningkatan frekuensi atau kedalaman pernapasan, dan biasanya
19
hiperventilasi. Derajat respon ventilasi tergantung kemampuan mendeteksi
hipoksemia dan kemampuan sistem pernapasan untuk merespon, pada pasien yang
fungsi glomus kortikusnya terganggu maka tidak ada respon ventilasi terhadap
hipoksemia. Mungkin didapatkan sianosis, terutama diekstremitas distal, tetapi juga
didapatkan pada daerah sentral disekitar membran mukosa dan bibir.
2. Gagal Napas Hiperkapnia
manifestasi klinis yang terjadi pada system syaraf pusat dapat berupa
iritabilitas, kebingungan, mengantuk bahkan koma.
H. Diagnosis Gagal Napas
Gambaran klinis gagal napas bervariasi pada setiap pasien. Hipoksemia dan
hiperkapnia yang ringan dapat pergi tanpa disadari sepenuhnya. Kandungan oksigen
dalam darah harus jatuh tajam untuk dapat terjadi perubahan dalam bernapas dan
irama jantung. Untuk itu cara mendignosis gagal napas ada;ah dengan mengukur gas
darah pada arteri (arterial blood gases, ABG), PaO2PaCO2 selain itu juga dapat
dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap untuk mengetahui apakah ada anemia
yang dapat menyebabkan hipoksia jaringan. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan
untuk menunjang diagnosis underlying disease (penyakit yang mendasarinya).
Pemeriksaan Fisik
Tanda dan gejala dari gagal napas menggambarkan proses penyakit yang
mendasarinya dan hubungannya dengan hipoksemia dan hiperkapnia. Kelainan paru
yang terlokalisir menggambarkan penyebab akut dari hipoksemia (pneumonia, asma,
edema paru, atau PPOK).
20
Takikardia dapat terjadi pada kondisi hipoksemia dan asisdosis. Sianosis dapat
mengindikasikan terjadinya hipoksemia. Kondisi sianosis dapat terlihat ketika
konsentrasi dari hemoglobin deoksigenasi kurang dari 5 gr/dl.
Dispnea, sering kali menjadi tanda terjadinya gagal napas. Usaha napas yang
berlebihan, refleks vagal dan stimulasi kimia menyebabkan terjadinya dispnea.Gejala
kebingungan dan somnolen dapat terjadi pada kondisi gagal napas. Mioklonus dan
kejang dapat terjadi pada hipoksemia berat.
Pemeriksaan Laboratorium
Setelah kondisi gagal napas dapat diduga dari gejala klinis, analisa gas darah
dapat perlu dilakukann untuk memastikan diagnosa dan untuk membantu
membedakan akut dan kronis. Pemeriksaan ini dapat membantu dalam menilai tingkat
keparahan dari gagal napas dan dapat membantu mengarahkan penanganan pada
pasien.
Pemeriksaan darah lengkap dapat mendeteksi terjadinya anemia, yang dapat
menyebabkan kondisi hipoksemia jaringan, sedangkan polisitemia mengindikasikan
gagal nafas hipoksemia kronik.
Pengukuran kreatinin kinase serum dapat menolong dalam menyingkirkan
dugaan terjadinya infark miokard. Pada kondisi peningkatan nilai kreatinin kinase
dengan troponin I yang normal mengindikasikan miositis, yang dapat menyebabkan
terjadinya gagal nafas.
21
Pemeriksaan Radiologi
Foto toraks sangat penting dilakukan untuk menilai gagal napas. Hal ini
disebabkan karena kemungkinan dapat ditemukan penyebab terjadinya gagal napas
dari foto toraks. peningkatan ukuran jantung, peribrochial cuffing, dan efusi pleura.
Ekokardiografi
Ekokardiografi tidak rutin dilakukan kesetiap pasien gagal napas. Namun
demikian, pemeriksaan ini sangat berguna ketika ada dugaan gagal napas disebabkan
kelainan pada jantung.
I. Tatalaksana
Indikasi Untuk Bantuan Pernapasan
Tatalaksana hipoksia yang terlambat dan tidak adekuat akan berdampak pada
kerusakan serebral dan disfungsi organ hal tersebut akan berujung pada kematian oleh
karena hipoksia. Gagal napas tipe II jarang terjadi dibandingkan dengan gagal napas
oleh karena hipoksia. Dalam gagal napas akut PaO2< 8 kPa (60mmHg) atau SaO2<
95% adalah indikasi untuk terapi oksigen. Ada banyak jenis alat untuk memberikan
O2.
Tabel 2.1
22
Alat untuk pemberian oksigen
Tujuan dari alat tersebut untuk mempertahankan SaO2> 95%. Pasien dipantau
dengan menggunakan pulse oxymetry dan analisis gas darah yang dilakukan per20
menit sekali, jika SaO2< 95% atau PaO2< 7kPa (53 mmHg) pada pasien yang
sebelumnya tidak ada riwayat penyakit paru maka konsentrasi O2 harus ditingkatkan
dan gas darah harus dicek kembali setelahnya. Selain itu penyebab utama dari
keadaan pasien tersebut harus diatasi.
Pemeriksaan klinis pada pasien dengan gagal napas sangat penting contohnya
dengan menggunakan AGD untuk menilai kebutuhan ventilasi. Jika hipoksemia tidak
membaik dengan terapi oksigen atau jika pasien menjadi kelelahan dengan
peningkatan PaCO2 maka harus dipertimbangkan pemindahan ke ICU dan ventilasi
mekanik.
Indikasi untuk dilakukan intubasi trakeal:
1. Proteksi dari aspirasi
Pasien dengan disfungsi bulbar, contohnya syndrome guillain-barre atau
menurunnya tingkat kesadaran adalah resiko potensial aspirasi cairan lambung dan
mungkin membutuhkan intubasi untuk melindungi jalan napas dan paru.
Endotracheal tube dengan cuff tidak menjamin absolut terhadap aspirasi. Aspirasi
cairan lambung merupakan faktor resiko terjadinya pneumonia pada pasien
dengan ventilasi mekanik. Berdasarkan pengalaman hal ini dapat dikurangi
dengan membuat pasien dalam posisi 30 derajat head up.
2. Sebagai sarana untuk suction trakeobronkial
Jika pasien batuk tidak efektif karena nyeri atau kelemahan otot-otot
pernapasan sekresi akan tertahan terutama saat sekresi trakeobronkialnya
23
meningkat hal ini akan menyebabkan atelektasis dan memperburuk keadaan gagal
napas. Intubasi memungkinkan dilakukan suction trakeal dan sekresi dapat
dibersihkan dari saluran napas.
3. Obstruksi saluran pernapasan bagian bawah
Hal ini dapat terjadi penurunan kesadaran, edema, trauma atau benda asing.
Intubasi trakeal diperlukan untuk mempertahanan jalan napas hingga sampai
penyebabnya teratasi. Pasien-pasien dengan resiko tinggi misalnya luka bakar,
edema laring sekunder, anafilaktik atau trauma facial harus diintubasi segera.
Tabel 2.2
Indikasi intubasi
Indikasi pemasangan ventilator:
1. Sebagai tatalaksana untuk gagal napas
Indikasi utama dilakukannya pemasangan ventilator disamping keperluan
operasi adalah sebagai terapi suportif dalam management gagal napas. Jika pasien
tidak mampu mempertahankan oksigenasi yang adekuat dan keadaan tersebut
memburuk secara progresif maka perlu dilakukan pemasangan ventilator,
keputusan untuk pemasangan ventilator harus berdasarkan pemeriksaan klinis dan
24
didukung oleh AGD, pemasangan ventilator harus dipertimbangkan jika PaCO2>
7 kPa (53 mmHg) pada pasien yang umumnya PaCO2 nya normal atau jika PaCO2
meningkat > 2 kPa ( 15 mmHg ) terutama disertai dengan asidosis.
Gambaran klinis yang menunjukkan perlunya bantuan napas invasif berupa
kesulitan bicara, berkeringat, bibirnya tertutup rapat dan retraksi dari otot-otot
pernapasan. Tanda-tanda kardiovaskular seperti akral dingin, takikardia, disritmia
dan penurunan drasis dari urin output menunjukkan peningkatan dari kerja
pernapasan. Tanda-tanda dari distress pernapasan akut terkadang merupakan
indikator yang lebih baik dibanding hasil AGD, respiratory rate yang meninggkat
> 30x/menit, tidal volume rendah < 3- 4 ml/ kg dan kapasitas vital < 15 ml/ kg
sering disertai dengan disorientasi.
2. Untuk mengontrol tekanan intrakranial
Peningkatan CO2 harus dihindari pada pasien dengan TIK yang meningkat,
PaCO2 harus dipertahankan pada batas terendah dari range normal ( 4,5 – 5,0 kPa
33 – 38 mmHg). Pada pasien dengan cedera kepala untuk mengurangi aliran darah
keotak dan mengurangi tekanan intrakranial. Penurunan secara tajam dari PaCO2
harus dihindari karena dapat menyebabkan vasospasme serebral dan iskemik
serebral.
3. Reduksi bahan-bahan metabolik
Sistem kardiovaskular pada pasien syok dapat diuntungkan dengan
pengeluaran hasil-hasil metabolik oleh diaphragmatic dan kontraksi otot-otot
pernapasan.
4. Ventilasi post operatif
Harus dipertimbangkan dilakukakan ventilasi postoperatif pada pasien dengan
resiko gagal napas opstoperatif. Yang temasuk didalamnya berupa pasien-pasien
25
dengan penyakit kardiosrespiratori yang berat, penyakit neuromuskular atau
gangguan pada pengatur pusat pernapsan. Merokok dan obesitas berat dengan
BMI > 35 dapat meningkatkan resiko pemasangan ventilator. Bedah abdomen atas
dan torax serta bedah emergency menjadi resiko terbesar dari gagal napas
postoperatif.
Tabel 2.3
Indikasi ventilasi mekanis
26
Gambar 2.9
Algoritma pasien gagal nafas
Ventilasi noninvasif merupakan teknik ventilasi tanpa menggunakan pipa
trakea ( endotracheal tube) pada jalan napas. tindakan intubasi trakea pada ventilasi
invasif memiliki risiko komplikasi yang lebih besar seperti cidera jalan napas atas,
paralisis pita suara, stenosis trakea, ventilator associated pneumonia (VAP).
Penggunaan ventilator noninvasif semakin berkembang dan membuat penderita
merasa lebih nyaman, biaya perawatan lebih murah.
27
Indikasi penggunaan ventilator noninvasif adalah penyakit paru kronik
(PPOK), gagal napas hipoksemik akibat acute respiratory distress syndrome (ARDS),
pneumonia, trauma, edema paru kardiogenik.
Ventilasi Mekanis Noninvasif
Teknik ventilasi noninvasif saat ini mulai digunakan secara luas pada kegagalan napas
akut karena mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan ventilasi invansif seperti
tidak memerlukan obat penenang, memungkinkan penderita untuk tetap berkomunikasi
dengan petugas kesehatan ventilasi mekanis noninvasif terdiri dari 2 bagian yaitu ventilasi
tekanan negatif dan ventilasi tekanan positif.
1) Ventilasi tekanan negatif
Prinsip dari tekanan negatif adalah memberikan tekanan pada dinding toraks dan
abdomen untuk mencaoai tekanan dibawah tekanan atmosfer saat inspirasi. Tekanan
ini menyebabkan rongga toraks mengembang dan terjadi penurunanan tekanan
dipleura dan alveolar sehingga menimbulkan perbedaan teknanan yang
memungkinkan udara masuk kealveoli. Saat ekspirasi, tekanan dinding toraks kembali
sama dengan tekanan atmosfer.
2) Ventilasi tekanan positif
Noninvasive positive pressure ventilation (NPPV) atau ventilasi tekanan
positif merupakan ventilasi noninvasif yang lebih efektif dan nyaman. Ventilasi
tekanan positif menggunanakan sungkup atau alat penghubung untuk menghantarkan
udara dari ventilator tekanan positif melalui hidung atau mulut sehingga udara masuk
kejalan napas. prinsip ventilasi tekanan positif adalah memberikan udara dengan
tekanan positif atau diatas tekanan atmosfer secara intermiten kedalam jalan napas,
meningkatkan tekanan transpulmoner sehingga terjadi pengembangan paru.
28
Kontraindikasi NPPV
Trauma atau luka bakar pada wajah
Sumbatan jalan napas atas
Hipoksemia berat
Hemodinak tidak stabil
Penyakit penyerta yang berat
Gangguan kesadaran
Kejang/ gelisah
Muntah
Sekret napas berlebihan
Gambaran konsolidasi foto toraks
Pneumotoraks yang belum diatasi
Tabel 2.4
Kontraindikasi NPPV
J. Komplikasi Gagal Napas
Komplikasi gagal napas akut dapat terjadi pada sistem pernapasan,
kardiovaskular,infeksi. Komplikasi pernapasan paling sering adalah emboli paru,
barotrauma, fibrosis paru, dan komplikasi sekunder akibat pemakaian alat mekanik.
Fibrosis pulmo biasanya disebabkan oleh kerusakan paru karena kondisi ARDS.
29
Komplikasi pada kardiovaskular yang paling sering dialami pasien adalah
hipotensi, berkurangnya cardiac output, aritmia, perikarditis, dan infark miokard akut.
Komplikasi yang terjadi kemungkinan karena penyakit yang mendasarinya.
K. Prognosis Gagal Napas
Angka kematian karena gagal napas bervariasi tergantung dari penyebabnya.
Pada ARDS, angka mortalitas berkisar sekitar 40-45%. Pada pasien berusia muda
memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasien yang berusia tua. Kira-kira dua
pertiga dari pasien gagal napas yang dapat bertahan hidup memiliki risiko gangguan
fungsi paru sekitar lebih dari 1 tahun setelah masa pemulihan.
Angka mortalitas yang cukup signifikan juga terjadi pada pasien dengan gagal
napas hiperkapnia. Hal ini dikarenakan pada pasien memiliki gangguan napas kronik
disertai komorbiditas yang lain, seperti pada kardipulmoner, renal, hepar, atau
gangguan neurologis.
Sebelum memulai ventilasi, reversibilitas pasien penting dinilai untuk
menentukan prognosis kedepannya. Jika ketika diantisipasi ternyata kondisi pasien
buruk, ventilasi perlu untuk dilakukan. Hal ini terutama penting bagi pasien dengan
penyakit kronis (misalnya : PPOK). Prognosis akan berubah mengalami kemajuan
dan semakin lebih baik dalam tindakan terapi medis.
30
BAB III
KESIMPULAN
Gagal napas merupakan ketidakmampuan sistem pernapasan untuk
mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel
tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal. Gagal napas diklasifikasikan menjadi
gagal napas hipoksemia dan gagal napas hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia
ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2 normal atau rendah. Gagal napas
hiperkapnia, ditandai dengan PaCO2 > 45 mmHg. Penyebab gagal napas dapat
diakibatkan oleh kelainan pada otak, susuna neuromuscular, dinding thoraks dan
diafragma, paru serta sistem kardiovaskuler. Penatalaksanaan pasien dengan gagal
napas yang utama adalah membuat oksigenasi adekuat, sehingga meningkatkan
perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang
mendasari gagal napas tersebut.
31