BAB II

42
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi Saluran Pernapasan Saluran pengantar udara yang membawa udara kedalam paru adalah hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus. Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa bersilia. Ketika masuk dihidung udara disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia dan bersel goblet. Permukaan epitel diliputi oleh lapisan mukus yang disekresi oleh sel goblet dan kelenjar mukosa. Partikel debu yang kasar disaring oleh rambut-rambut yang terdapat didalam lubang hidung, sedangkan partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan lapisan mukus. Gerakan silia mendorong lapisan mukus ke arah posterior didalam rongga hidung, dan kesuperior kedalam sistem pernapaan bagian bawah menuju ke faring kemudian menuju laring. Laring terdiri dari rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh sel-sel otot dan mengandung pita 3

description

gagal napas

Transcript of BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Saluran Pernapasan

Saluran pengantar udara yang membawa udara kedalam paru adalah hidung,

faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus. Saluran pernapasan dari hidung sampai

bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa bersilia. Ketika masuk dihidung udara

disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama

dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia dan bersel

goblet. Permukaan epitel diliputi oleh lapisan mukus yang disekresi oleh sel goblet

dan kelenjar mukosa.

Partikel debu yang kasar disaring oleh rambut-rambut yang terdapat didalam

lubang hidung, sedangkan partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan lapisan

mukus. Gerakan silia mendorong lapisan mukus ke arah posterior didalam rongga

hidung, dan kesuperior kedalam sistem pernapaan bagian bawah menuju ke faring

kemudian menuju laring. Laring terdiri dari rangkaian cincin tulang rawan yang

dihubungkan oleh sel-sel otot dan mengandung pita suara. Ruang berbentuk segitiga

diantara pita suara disebut glotis bermuara kedalam trakea dan membentuk bagian

antara saluran pernapasan atas dan bawah.

Trakea disokong oleh cincin tulang rawan kira-kira lima perenam panjang

trakea berbentuk seperti sepatu kuda yang panjangnya kurang lebih 12,5 cm (5 inci).

Bronkus utama kanan dan kiri tidak simetris. Bronkus utama kanan lebih pendek dan

lebar dan merupakan kelanjutan dari trakea yang arahnya hampir vertikal. Sebaliknya

bronkus utama kiri lebih panjang dan sempit dan merupakan kelanjutan dari trakea

yang arahnya lebih tajam. Pada dinding bronkus terdapat kartilago yang kecil dan

melengkung, yang mempertahankan rigiditas namun tetap memungkinkan pergerakan

3

yang cukup agar paru dapat mengembang dan mengempis. Kartilago ini secara

progresif menjadi semakin kecil pada akhir bronkus dan tidak dijumpai lagi dalam

bronkiolus, yang biasanya memiliki diameter kurang dari 1,5 mililiter.

Bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkul lobaris dan kemudian

bronkus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronkus yang ukurannya

semakin kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus terminalis. Bronkiolus dilebarkan

oleh tekanan transpulmonal yang sama yang mengembangkan alveoli. Dengan

demikian bila alveoli melebar, bronkiolus juga melebar, tetapi tidak selebar alveoli.

Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional

paru, yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari bronkilus respiratorius, duktus

alveolaris, sakus alveolaris terminalis. Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk

kerucut, dan terletak dalam rongga dada atau toraks. Paru kanan terdiri dari tiga lobus

oleh fisura interlobaris. Paru kiri terbagi menjadi dua lobus. Suatu lapisan tipis

kontinu yang mengandung kolagen dan jaringan elastis, dikenal sebagai pleura, yang

melapisi rongga dada (pleura parietalis) dan menyelubungi setiap paru (pleura

viseralis). Diantara plaura parietalis dan viseralis terdapat suatu lapisan tipis cairan

pleura yang berfungsi untuk memepermudahkan kedua permukaan itu bergerak

selama pernapasan. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfer,

sehingga mencegah kolaps paru.

4

Gambar 2.1

Anatomi sistem respirasi

Gambar 2.2

Anatomi paru-paru

5

B. Fisiologi Pernapasan

Proses fisiologi pernapasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke dalam

jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan keudara ekspirasi, dapat dibagi menjadi tiga

stadium. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya campiran gas-gas

kedalam dan keluar paru-paru. Stadium kedua, transportasi, yang harus ditinjau dari

beberapa aspek: (1) difusi antara gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi

eksterna) dan antara darah sistemik dan sel-sel jaringan; (2) sirkulasi darah dalam

sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam alveolus-

alveolus; dan (3) reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2 dengan darah.

Gambar 2.3

Proses Difusi

Gambar 2.4

Proses Difusi

6

1. Ventilasi

Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan yang

terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Selama

inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga

terangkat akibat kontraksi beberapa otot. Otot sternokleidomastoideus

mengangkat sternum keatas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis

eksternus mengangkat iga-iga. Toraks membesar ketiga arah : anterposterior,

lateral, dan vertikal.peningkatan volume ini menyebabkan penurunan tekanan

intrapleura, dari sekitar -4sampai -5 mmHg, yang merupakan nilai isap yang

dibutuhkan untuk memepertahankan paru agar tetap terbuka sampai nilai

istirahatnya. Kemudian, selama inspirasi normal, pengembangan rangka dada

akan menarik paru kearah luar dengan kekuatan yang lebih besar dan

menyebabkan tekanan menjadi lebih negatif menjadi sekitar -7,5 sampai -

8mmHg. Pada saat yang sama tekanan intrapulmonal atau tekanan jalan napas

menurun sampai sekitar -2mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfer) dari 0

mmHg pada waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan antara jalan napas pada

akhir inspirasi sama dengan tekanan atmosfer.

Gambar 2.5

Proses Ventilasi

7

Pada waktu otot interkostalis eksternus relaksasi, rangka iga turun dan

lengkung diafragma naik keatas kedalam rongga toraks, menyebabkan volume

toraks berkurang. pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan

intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Tekanan intrapulmonal sekarang

meningkat dan mencapai sekitar 1 sampai 2 mmHg diatas tekanan atmosfer.

Selisih tekanan antara jalan napas dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga

udara keluar dari paru sampai tekanan jalan napas dan tekanan atmosfer

menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi.

2. Difusi

Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas

yang melintasi membran alveolus-kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5

µm). Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial

antara darah dan fase gas. Tekanan parsial O2 (PO2) dalam atmosfer pada

permukaan laut besarnya sekitar 159 mmHg (21% dari 760 mmHg). Namun,

pada waktu O2 sampai di trakea, tekanan parsial ini akan mengalami

penurunan sampai sekitar 149 mmHg karena dihangatkan dan dilembabkan

oleh jalan napas (760 – 47 x 0.21 = 149). Tekanan parsial uap air pada suhu

tubuh adalah 47 mmHg. Tekanan parsial O2 yang di inspirasi akan menurun

kira-kira 103 mmHg pada saat mencapai alveoli karena tercampur dengan

udara dalam ruang mati anatomik pada saluran jalan napas. Ruang mati

anatomik ini dalam keadaan normal mempunyai volume sekitar 1 ml udara per

pound berat badan ideal (missal, 150 ml/150 pound laki-laki). Hanya udara

bersih yang mencapai alveolus yang merupakan ventilasi efektif. Dalam

keadaan berisitirahat normal, difusi dan keseimbangan antara O2 di kapiler

8

darah paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu

kontak selama 0,75 detik.

Hubungan Antara Ventilasi – Perfusi

Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru membutuhkan

distribusi merata dari udara dalam paru dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler. Pada

orang normal dengan posisi tegak dan dalam keadaan istirahat, ventilasi dan perfusi

hampir seimbang kecuali pada apeks paru. Sirkulasi pulmonar dengan tekanan dan

resistensi rendah mengakibatkan aliran darah di basis paru lebih besar daripada di

bagian apeks, hal ini disebabkan pengaruh gaya tarik bumi. Namun, ventilasinya

cukup merata. Nilai rata-rata rasio antara ventilasi terhadap perfusi (V/Q) adalah 0.8.

Angka ini didapatkan dari rasio rata-rata laju ventilasi alveolar normal (4L/menit)

dibagi dengan curah jantung normal (5L/menit).

3. Pengangkutan Oksigen Dan Karbondioksida Di Dalam Darah Dan Cairan

Tubuh

Bila oksigen telah berdifusi dari alveoli kedalam darah paru, oksigen diangkut

ke kapiler jaringan dalam bentuk gabungan dengan hemoglobin. Adanya

hemoglobin didalam sel darah memungkinkan darah untuk mengangkut 30 sampai

100 kali jumlah oksigen yang dapat diangkut dalam bentuk oksigen terlarut

didalam cairan darah (plasma). Dalam sel jaringan tubuh, oksigen bereaksi dengan

berbagai bahan makanan untuk membentuk sejumlah besar karbondioksida.

Karbondioksida ini masuk kedalam kapiler jaringan dan diangkut kembali ke paru.

Pada dasarnya, gas dapat bergerak dari satu tempat ke tempat lain dengan cara

difusi, dan pergerakan ini selalu disebabkan oleh perbedaan tekanan dari tempat

9

pertama ke tempat lainnya. Oksigen berdifusi dari alveoli ke dalam darah kapiler

paru, karena tekanan parsial oksigen (PO2) dalam alveoli lebih besar daripada

PO2dalam darah kapiler paru. Sebaliknya, bila oksigen di metabolisme dalam sel

untuk membentuk karbondioksida, tekanan karbondioksida (PCO2) intrasel

meningkat ke nilai yang tinggi, sehingga menyebabkan karbondioksida berdifusi

kedalam kapiler jaringan. Setelah darah mengalir ke paru, karbondioksida berdifusi

keluar dari darah masuk kedalam alveoli karena PCO2 dalam darah kapiler paru

lebih besar daripada dalam alveoli, sehingga pengangkutan oksigen dan

karbondioksida oleh darah bergantung pada difusi keduanya dan aliran darah.

Volume Paru

Empat volume paru bila semua dijumlahkan, sama dengan volume maksimal

paruyang mengembang. Arti dari masing-masing volume ini adalah:

1. Volume tidal adalah volume udara yang diinspirasi atau diekspirasi setiap kali

bernapas normal; besarnya kira-kira 500 mililiter.

2. Volume cadangan inspirasi adalah volume udara ekstra yang dapat diinspirasi

setelah dan diatas volume tidal normal bila dilakukan inspirasi kuat; biasanya

mencapai 3000 mililiter.

3. Volume cadangan ekspirasi adalah volume udara ekstra maksimal yang dapat

diekspirasi melalui ekspirasi kuat pada akhir ekspirasi tidak normal; jumlah

normalnya adalah sekitar 1100 mililiter.

4. Volume residu yaitu volume udara yang masih tetap berada dalam paru setelah

ekspirasi paling kuat; volume ini besarnya kira-kira 1200 mililiter.

10

Gambar 2.6

Volume Paru

Volume Darah di Paru

volume darah diparu kira-kira 450 mililiter, sekitar 9% dari volume darah total

pada seluruh sistem sirkulasi. Kira-kira 70 mililiter dari volume darah diparu berada

dikapiler paru, sedangkan sisanya terbagi sama rata antara arteri dan vena paru.

Konsentrasi dan Tekanan Parsial Oksigen dalam Alveolus

Oksigen diabsorbsi dari alveoli kedalam darah paru secara terus-menerus, dan

oksigen yang baru juga secara terus-menerus dihirup masuk kealveoli dari atmosfer.

Makin cepat oksigen diabsorbsi, makin rendah konsentrasinya dalam alveoli.

Sebaliknya, makin cepat oksigen baru dihirup kedalam alveoli melalui atmosfer,

makin tinggi konsentrasinya. Oleh karena itu konsentrasi O2 dalam alveoli dan juga

11

tekanan parsialnya diatur oleh (1) kecepatan absorbsi oksigen kedalam darah dan, (2)

kecepatan masuknya oksigen baru kedalam paru melalui proses ventilasi.

Gambar 2.7

Tekanan parsial oksigen alveolus

Gambar menunjukkan efek ventilasi alveolus dan kecepatan absorbsi oksigen

kedalam darah pada tekanan partial oksigen alveolus (PO2). Kurva dengan garis tebal

menyatakan kecepatan absorbsi oksigen sebesar 250 ml/ menit, dan kurva titik-titik

menunjukkan kecepatan 1000 ml/ menit. Pada kecepatan ventilasi normal 4,2 liter/

menit dan pemakaian oksigen 250 ml/ menit, titik kerja normal. Gambar juga

memeperlihatakan bahwa bila 1000 ml oksigen diabsorbsi setiap menit, seperti yang

terjadi selama kerja sedang, maka kecepatan ventilasi alveolus harus meningkat empat

kali lipat untuk mempertahankan PO2 alveolus pada nilai normal, yaitu 104 mmHg.

12

Konsentrasi dan Tekanan Parsial CO2 dalam Alveoli

Karbon dioksida secara terus-menerus dibentuk dalam tubuh dan kemudian

diangkut dalam darah ke alveoli; karbon dioksida secara terus-menerus pula

dikeluarkan dari alveolus melalui ventilasi. Nilai untuk PCO2 yaitu 40 mmHg.

C. Definisi Gagal Napas

Gagal napas adalah suatu keadaan yang terjadi apabila paru tidak lagi dapat

memenuhi fungsi primernya dalam pertukaran gas, yaitu oksigenasi darah arteria dan

pembuangannya karbondioksida.Gagal napas merupakan suatu sindrom yang terjadi

akibat ketidakmampuan sistem pulmoner untuk mencukupi kebutuhan metabolisme

(eliminasi CO2 dan oksigenasi darah). Sistem pernapasan gagal untuk

mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel

tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal.

Gagal napas terjadi bila :

1) PO2 arterial (PaO2) < 60 mmHg atau

2) PCO2 arterial (PaCO2) > 45 mmHg

Pada PaO2< 60 mmHg, yang berarti ada gagal napas hipoksemia, berlaku bila

bernapas pada udara ruangan biasa (fraksi O2 inspirasi [F1 O2] = 0,21), maupun saat

mendapatkan bantuan oksigen. Sedangkan pada PaCO2> 45 mmHg yang berarti

gagal napas hiperkapnia.

D. Klasifikasi Gagal Napas

Gagal napas diklasifikasikan menjadi dua tipe: 1) gagal napas tipe I yang

diketahui dari kadar PaO2 < 60mmHg dengan kadar PaCO2 yang normal ataupun

13

rendah. 2) gagal napas tipe II yang diketahui dari kadar PaO2 < 60 mmHg dan kadar

PaCO2 > 45 mmHg. Gagal napas juga diklasifikasikan menjadi tiga jenis : acute,

acute on chronic dan chronic. Perbedaan ini penting untuk menentukan terapi

terutama gagal napas tipe II.

Gambar 2.8

Klasifikasi gagal nafas

- Acute:terjadi bila penderita mempunyai gangguan napas minimal yang mengawali

keadaan tersebut dengan AGD menunjukkan PaCO2 yang tinggi, pH rendah dengan

bikarbonat normal

- Acute on chronic: apabila terjadi perburukan tiba-tiba pada seseorang yang sudah

mengalami gagal napas hiperkarbik sebelumnya, ditandai dengan PaCO2 yang tinggi,

pH rendah dengan bikarbonat yang meningkat.

- Chronic: apabila terdapat penyakit paru kronik ditandai dengan PaCO2 tinggi, pH

normal dan bikarbonat meningkat.

1) Gagal napas tipe I (hipoksemia)

Gagal nafas hipoksemia lebih sering dijumpai daripada gagal nafas

hiperkapnia. Pasien tipe ini mempunyai nilai PaO2 yang rendah tetapi PaCO2

14

normal atau rendah. Selain pada lingkungan yang tidak biasa, dimana atmosfer

memiliki kadar oksigen yang sangat rendah, seperti pada ketinggian, atau saat

oksigen digantikan oleh udara lain, gagal nafas hipoksemia menandakan adanya

peyakit yang mempengaruhi parenkim paru atau sirkulasi paru. Contoh klinis

yang umum menunjukkan hipoksemia tanpa peningkatan PaCO2 ialah pneumonia,

aspirasi isi lambung, emboli paru, asma dan ARDS (Acute Respiratory Distress

Syndrome).

Istilah hipoksemia menunjukkan PO2 yang rendah di dalam darah arteri (PaO2)

dan dapat digunakan untuk menunjukkan PO2 pada kapiler, vena dan kapiler paru.

Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan rendahnya kadar O2 darah atau

berkurangnya saturasi oksigen didalam hemoglobin. Hipoksia berarti penurunan

penyampaian (delivery) O2 ke jaringan atau efek dari penurunan penyampaian O2

ke jaringan. Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia dapat pula

terjadi akibat penurunan penyampaian O2 karena faktor rendahnya curah jantung,

anemia, syok septic atau keracunan karbonmonoksida, dimana PaO2 dapat

meningkat atau normal.

1) Gagal nafas tipe II (hiperkapnia)

Gagal napas hiperkapnia mempunyai kadar PaCO2yang abnormal tinggi.

Karena CO2 meningkat dalam ruang alveolus, O2 tersisih didalam alveolus dan

PaO2 menurun. Maka, pada pasien biasanya didapatkan hiperkapnia dan

hipoksemia bersama-sama, kecuali bila udara insprasi dibeli tambahan oksigen.

Paru mungkin normal atau tidak pada pasien dengan gagal napas hiperkapnia,

terutama jika penyakit utama mengenai bagian non parenkim paru seperti dinding

dada, otot pernapasan atau batang otak. Penyakit paru obstruktif kronis yang parah

15

sering mengakibatkan gagal napas hiperkapnia. Pasien dengan asma berat, fibrosis

paru stadium akhir dan ARDS berat dapat menunjukan gagal nafas hiperkapnia.

Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat. Peningkatan

PaCO2 merupakan penekanan sistem saraf pusat, mekanismenya terutama melalui

turunnya PH cairan serebrospinal yang terjadinya karena peningkatan akut PaCO2.

Karena, CO2 berdifusi secara bebas dan cepat kedalam cairan serebrospinal, PH

turun secara cepat dan hebat karena hiperkapnia akut.

E. Etiologi Gagal Napas Tipe I ( Hipoksemia)

Penyebab dari gagal napas tipe I:

A. Acute asthma

B. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)

C. Pneumonia

D. Pulmonary embolus

E. Pulmonary fibrosis

F. Pulmonary oedema

G. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD)

H. Emphysema

I. Pneumothorax

Etiologi Gagal Napas Tipe II (Hiperkapnia)

Paru:

- Acute severe asthma

- Chronic obstructive pulmonary disease (COPD)

16

- Bronchiectasis

- Obstructive sleep apnoea

- Pulmonary oedema

Thoracic wall:

- Cedera dinding dada

- Ruptured diphragm

- Kyphoscoliosis

- Abdominal distension (ascites, blood, surgical packs)

Central nervous system:

- Koma

- Cedera kepala

- Obat opioid dan sedative

Neuromuskular:

- Cervical cord lesions (trauma, tumor)

- Spinal cord (poliomyelitis)

- Peripheral nerves (Guillain- Barre syndrome, diphtheria)

- Neuromuscular junction (myasthenia gravis, muscle relaxants)

F. Patofisiologi

1. Gagal Napas Hipoksemia

Ketidakseimbangan ventilasi dengan perfusi merupakan penyebab hipoksemia

tersering, terjadi ketidaksesuaian vntilasi-perfusi. Area paru mendapatkan ventilasi

yang kurang dibandingkan banyaknya aliran darah yang menuju kearea-area

17

tersebut. Disisi lain beberapa area paru lain mendapat ventilasi berlebih

dibandingkan aliran darah regional yang relatif sedikit.

Hipoksemia dapat terjadi karena meningkatnya pencampuran vena, yang

dikenal sebagai pirau kanan ke kiri (right-to-left-shunt). Sebagian darah vena sistemik

tidak melalui alveolus, bercampur dengan darah yang berasal dari paru, akibatnya

adalah percampuran arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru dengan

PO2 dan POV2. Pirau kanan kekiri dapat terjadi karena: 1) jika bronkus dan bronkiolus

tersumbat, udara dalam alveolus dibelakang sumbatan akan direabsorbsi dan segmen

paru tersebut akan kolaps. Kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau lobus,

sebagian darah akan dialihkan dari daerah yang kolaps kebagian paru dengan ventilasi

yang lebih baik, dan hal ini akan mengurangi besarnya penurunan PO2 darah arteri. 2)

penyakit jantung kongenital dengan defek septum. 3) ARDS, dimana dapat terjadi

edema paru yang berat, atau kolaps alveolar sehingga terjadi pirau kanan ke kiri yang

berat.

2. Gagal Napas Hiperkapnia

Hipoventilasi merupakan penyebab hiperkapnia yang paling sering. Selain

meningkatnya PaCO2 juga terdapat asidosis respirasi yang sebanding dengan

kemampuan bufer jaringan dan ginjal. Menurunnya VA, pertama dapat disebabkan

oleh karena menurunnya faktor minute ventilation (VE) yang sering disebut sebagai

hipoventilasi global atau kedua, karena meningkatnya dead space (VD). Penyebab

hipoventilasi global adalah overdosis obat yang menekan pusat pernpasan.

18

G. Manifestasi Klinis

1. Gagal Napas Hipoksemia

Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen ke jaringan

yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan pergeseran metabolisme

kearah anaerobik disertai pembentukan asam laktat. Peningkatan asam laktat didarah

selanjutnya akan merangsang ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat menyebabkan

gangguan mental, terutama untuk pekerjaan kompleks dan berpikir abstrak. Hipoksia

yang berat dapat meneyebabkan perubahan status mental yang lanjut, seperti

somnolen, koma, kejang dan kerusakan otot hipoksik permanen.

Aktifitas sistem saraf simpatis meningkat. Sehingga menyebabkan takikardi,

diaphoresis dan vasokonstriksi sistemik, diikuti hipertensi. Hipoksia yang lebih berat

lagi dapat menyebabkan bradikardi, vasodilatasi dan hipotensi, serta menimbulkan

hipoksemia miokard, infark, artmia dan gagal jantung.

Manifestasi hipoksemia akan lebih buruk jika gangguan hantaran oksigen ke

jaringan ( tissue oxygen delivery). Pasien dengan curah jantung yang berkurang,

anemia, atau kelainan sirkulasi dapat diramalkan akan mengalami hipoksia jaringan

global dan regional pada hipoksia yang lebih dini. Misalnya pada pasien syok

hipovolemik yang menunjukkan tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia arterial

ringan.

Manifestasi gagal napas hipoksemia merupakan kombinasi dari gambaran

hipoksemia arterial dan hipoksemia jaringan. Hipoksemia arterial meningkatkan

ventilasi melalui stimulus kemoreseptor glomus karotikus, diikuti dispnea

didefinisikan sebagai proses pernapasan yang sulit atau berat pada subjek yang secara

sadar merasakan sesak napas, takipnea yaitu pernapasan secara cepat dan dangkal,

hiperpnea yaitu peningkatan frekuensi atau kedalaman pernapasan, dan biasanya

19

hiperventilasi. Derajat respon ventilasi tergantung kemampuan mendeteksi

hipoksemia dan kemampuan sistem pernapasan untuk merespon, pada pasien yang

fungsi glomus kortikusnya terganggu maka tidak ada respon ventilasi terhadap

hipoksemia. Mungkin didapatkan sianosis, terutama diekstremitas distal, tetapi juga

didapatkan pada daerah sentral disekitar membran mukosa dan bibir.

2. Gagal Napas Hiperkapnia

manifestasi klinis yang terjadi pada system syaraf pusat dapat berupa

iritabilitas, kebingungan, mengantuk bahkan koma.

H. Diagnosis Gagal Napas

Gambaran klinis gagal napas bervariasi pada setiap pasien. Hipoksemia dan

hiperkapnia yang ringan dapat pergi tanpa disadari sepenuhnya. Kandungan oksigen

dalam darah harus jatuh tajam untuk dapat terjadi perubahan dalam bernapas dan

irama jantung. Untuk itu cara mendignosis gagal napas ada;ah dengan mengukur gas

darah pada arteri (arterial blood gases, ABG), PaO2PaCO2 selain itu juga dapat

dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap untuk mengetahui apakah ada anemia

yang dapat menyebabkan hipoksia jaringan. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan

untuk menunjang diagnosis underlying disease (penyakit yang mendasarinya).

Pemeriksaan Fisik

Tanda dan gejala dari gagal napas menggambarkan proses penyakit yang

mendasarinya dan hubungannya dengan hipoksemia dan hiperkapnia. Kelainan paru

yang terlokalisir menggambarkan penyebab akut dari hipoksemia (pneumonia, asma,

edema paru, atau PPOK).

20

Takikardia dapat terjadi pada kondisi hipoksemia dan asisdosis. Sianosis dapat

mengindikasikan terjadinya hipoksemia. Kondisi sianosis dapat terlihat ketika

konsentrasi dari hemoglobin deoksigenasi kurang dari 5 gr/dl.

Dispnea, sering kali menjadi tanda terjadinya gagal napas. Usaha napas yang

berlebihan, refleks vagal dan stimulasi kimia menyebabkan terjadinya dispnea.Gejala

kebingungan dan somnolen dapat terjadi pada kondisi gagal napas. Mioklonus dan

kejang dapat terjadi pada hipoksemia berat.

Pemeriksaan Laboratorium

Setelah kondisi gagal napas dapat diduga dari gejala klinis, analisa gas darah

dapat perlu dilakukann untuk memastikan diagnosa dan untuk membantu

membedakan akut dan kronis. Pemeriksaan ini dapat membantu dalam menilai tingkat

keparahan dari gagal napas dan dapat membantu mengarahkan penanganan pada

pasien.

Pemeriksaan darah lengkap dapat mendeteksi terjadinya anemia, yang dapat

menyebabkan kondisi hipoksemia jaringan, sedangkan polisitemia mengindikasikan

gagal nafas hipoksemia kronik.

Pengukuran kreatinin kinase serum dapat menolong dalam menyingkirkan

dugaan terjadinya infark miokard. Pada kondisi peningkatan nilai kreatinin kinase

dengan troponin I yang normal mengindikasikan miositis, yang dapat menyebabkan

terjadinya gagal nafas.

21

Pemeriksaan Radiologi

Foto toraks sangat penting dilakukan untuk menilai gagal napas. Hal ini

disebabkan karena kemungkinan dapat ditemukan penyebab terjadinya gagal napas

dari foto toraks. peningkatan ukuran jantung, peribrochial cuffing, dan efusi pleura.

Ekokardiografi

Ekokardiografi tidak rutin dilakukan kesetiap pasien gagal napas. Namun

demikian, pemeriksaan ini sangat berguna ketika ada dugaan gagal napas disebabkan

kelainan pada jantung.

I. Tatalaksana

Indikasi Untuk Bantuan Pernapasan

Tatalaksana hipoksia yang terlambat dan tidak adekuat akan berdampak pada

kerusakan serebral dan disfungsi organ hal tersebut akan berujung pada kematian oleh

karena hipoksia. Gagal napas tipe II jarang terjadi dibandingkan dengan gagal napas

oleh karena hipoksia. Dalam gagal napas akut PaO2< 8 kPa (60mmHg) atau SaO2<

95% adalah indikasi untuk terapi oksigen. Ada banyak jenis alat untuk memberikan

O2.

Tabel 2.1

22

Alat untuk pemberian oksigen

Tujuan dari alat tersebut untuk mempertahankan SaO2> 95%. Pasien dipantau

dengan menggunakan pulse oxymetry dan analisis gas darah yang dilakukan per20

menit sekali, jika SaO2< 95% atau PaO2< 7kPa (53 mmHg) pada pasien yang

sebelumnya tidak ada riwayat penyakit paru maka konsentrasi O2 harus ditingkatkan

dan gas darah harus dicek kembali setelahnya. Selain itu penyebab utama dari

keadaan pasien tersebut harus diatasi.

Pemeriksaan klinis pada pasien dengan gagal napas sangat penting contohnya

dengan menggunakan AGD untuk menilai kebutuhan ventilasi. Jika hipoksemia tidak

membaik dengan terapi oksigen atau jika pasien menjadi kelelahan dengan

peningkatan PaCO2 maka harus dipertimbangkan pemindahan ke ICU dan ventilasi

mekanik.

Indikasi untuk dilakukan intubasi trakeal:

1. Proteksi dari aspirasi

Pasien dengan disfungsi bulbar, contohnya syndrome guillain-barre atau

menurunnya tingkat kesadaran adalah resiko potensial aspirasi cairan lambung dan

mungkin membutuhkan intubasi untuk melindungi jalan napas dan paru.

Endotracheal tube dengan cuff tidak menjamin absolut terhadap aspirasi. Aspirasi

cairan lambung merupakan faktor resiko terjadinya pneumonia pada pasien

dengan ventilasi mekanik. Berdasarkan pengalaman hal ini dapat dikurangi

dengan membuat pasien dalam posisi 30 derajat head up.

2. Sebagai sarana untuk suction trakeobronkial

Jika pasien batuk tidak efektif karena nyeri atau kelemahan otot-otot

pernapasan sekresi akan tertahan terutama saat sekresi trakeobronkialnya

23

meningkat hal ini akan menyebabkan atelektasis dan memperburuk keadaan gagal

napas. Intubasi memungkinkan dilakukan suction trakeal dan sekresi dapat

dibersihkan dari saluran napas.

3. Obstruksi saluran pernapasan bagian bawah

Hal ini dapat terjadi penurunan kesadaran, edema, trauma atau benda asing.

Intubasi trakeal diperlukan untuk mempertahanan jalan napas hingga sampai

penyebabnya teratasi. Pasien-pasien dengan resiko tinggi misalnya luka bakar,

edema laring sekunder, anafilaktik atau trauma facial harus diintubasi segera.

Tabel 2.2

Indikasi intubasi

Indikasi pemasangan ventilator:

1. Sebagai tatalaksana untuk gagal napas

Indikasi utama dilakukannya pemasangan ventilator disamping keperluan

operasi adalah sebagai terapi suportif dalam management gagal napas. Jika pasien

tidak mampu mempertahankan oksigenasi yang adekuat dan keadaan tersebut

memburuk secara progresif maka perlu dilakukan pemasangan ventilator,

keputusan untuk pemasangan ventilator harus berdasarkan pemeriksaan klinis dan

24

didukung oleh AGD, pemasangan ventilator harus dipertimbangkan jika PaCO2>

7 kPa (53 mmHg) pada pasien yang umumnya PaCO2 nya normal atau jika PaCO2

meningkat > 2 kPa ( 15 mmHg ) terutama disertai dengan asidosis.

Gambaran klinis yang menunjukkan perlunya bantuan napas invasif berupa

kesulitan bicara, berkeringat, bibirnya tertutup rapat dan retraksi dari otot-otot

pernapasan. Tanda-tanda kardiovaskular seperti akral dingin, takikardia, disritmia

dan penurunan drasis dari urin output menunjukkan peningkatan dari kerja

pernapasan. Tanda-tanda dari distress pernapasan akut terkadang merupakan

indikator yang lebih baik dibanding hasil AGD, respiratory rate yang meninggkat

> 30x/menit, tidal volume rendah < 3- 4 ml/ kg dan kapasitas vital < 15 ml/ kg

sering disertai dengan disorientasi.

2. Untuk mengontrol tekanan intrakranial

Peningkatan CO2 harus dihindari pada pasien dengan TIK yang meningkat,

PaCO2 harus dipertahankan pada batas terendah dari range normal ( 4,5 – 5,0 kPa

33 – 38 mmHg). Pada pasien dengan cedera kepala untuk mengurangi aliran darah

keotak dan mengurangi tekanan intrakranial. Penurunan secara tajam dari PaCO2

harus dihindari karena dapat menyebabkan vasospasme serebral dan iskemik

serebral.

3. Reduksi bahan-bahan metabolik

Sistem kardiovaskular pada pasien syok dapat diuntungkan dengan

pengeluaran hasil-hasil metabolik oleh diaphragmatic dan kontraksi otot-otot

pernapasan.

4. Ventilasi post operatif

Harus dipertimbangkan dilakukakan ventilasi postoperatif pada pasien dengan

resiko gagal napas opstoperatif. Yang temasuk didalamnya berupa pasien-pasien

25

dengan penyakit kardiosrespiratori yang berat, penyakit neuromuskular atau

gangguan pada pengatur pusat pernapsan. Merokok dan obesitas berat dengan

BMI > 35 dapat meningkatkan resiko pemasangan ventilator. Bedah abdomen atas

dan torax serta bedah emergency menjadi resiko terbesar dari gagal napas

postoperatif.

Tabel 2.3

Indikasi ventilasi mekanis

26

Gambar 2.9

Algoritma pasien gagal nafas

Ventilasi noninvasif merupakan teknik ventilasi tanpa menggunakan pipa

trakea ( endotracheal tube) pada jalan napas. tindakan intubasi trakea pada ventilasi

invasif memiliki risiko komplikasi yang lebih besar seperti cidera jalan napas atas,

paralisis pita suara, stenosis trakea, ventilator associated pneumonia (VAP).

Penggunaan ventilator noninvasif semakin berkembang dan membuat penderita

merasa lebih nyaman, biaya perawatan lebih murah.

27

Indikasi penggunaan ventilator noninvasif adalah penyakit paru kronik

(PPOK), gagal napas hipoksemik akibat acute respiratory distress syndrome (ARDS),

pneumonia, trauma, edema paru kardiogenik.

Ventilasi Mekanis Noninvasif

Teknik ventilasi noninvasif saat ini mulai digunakan secara luas pada kegagalan napas

akut karena mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan ventilasi invansif seperti

tidak memerlukan obat penenang, memungkinkan penderita untuk tetap berkomunikasi

dengan petugas kesehatan ventilasi mekanis noninvasif terdiri dari 2 bagian yaitu ventilasi

tekanan negatif dan ventilasi tekanan positif.

1) Ventilasi tekanan negatif

Prinsip dari tekanan negatif adalah memberikan tekanan pada dinding toraks dan

abdomen untuk mencaoai tekanan dibawah tekanan atmosfer saat inspirasi. Tekanan

ini menyebabkan rongga toraks mengembang dan terjadi penurunanan tekanan

dipleura dan alveolar sehingga menimbulkan perbedaan teknanan yang

memungkinkan udara masuk kealveoli. Saat ekspirasi, tekanan dinding toraks kembali

sama dengan tekanan atmosfer.

2) Ventilasi tekanan positif

Noninvasive positive pressure ventilation (NPPV) atau ventilasi tekanan

positif merupakan ventilasi noninvasif yang lebih efektif dan nyaman. Ventilasi

tekanan positif menggunanakan sungkup atau alat penghubung untuk menghantarkan

udara dari ventilator tekanan positif melalui hidung atau mulut sehingga udara masuk

kejalan napas. prinsip ventilasi tekanan positif adalah memberikan udara dengan

tekanan positif atau diatas tekanan atmosfer secara intermiten kedalam jalan napas,

meningkatkan tekanan transpulmoner sehingga terjadi pengembangan paru.

28

Kontraindikasi NPPV

Trauma atau luka bakar pada wajah

Sumbatan jalan napas atas

Hipoksemia berat

Hemodinak tidak stabil

Penyakit penyerta yang berat

Gangguan kesadaran

Kejang/ gelisah

Muntah

Sekret napas berlebihan

Gambaran konsolidasi foto toraks

Pneumotoraks yang belum diatasi

Tabel 2.4

Kontraindikasi NPPV

J. Komplikasi Gagal Napas

Komplikasi gagal napas akut dapat terjadi pada sistem pernapasan,

kardiovaskular,infeksi. Komplikasi pernapasan paling sering adalah emboli paru,

barotrauma, fibrosis paru, dan komplikasi sekunder akibat pemakaian alat mekanik.

Fibrosis pulmo biasanya disebabkan oleh kerusakan paru karena kondisi ARDS.

29

Komplikasi pada kardiovaskular yang paling sering dialami pasien adalah

hipotensi, berkurangnya cardiac output, aritmia, perikarditis, dan infark miokard akut.

Komplikasi yang terjadi kemungkinan karena penyakit yang mendasarinya.

K. Prognosis Gagal Napas

Angka kematian karena gagal napas bervariasi tergantung dari penyebabnya.

Pada ARDS, angka mortalitas berkisar sekitar 40-45%. Pada pasien berusia muda

memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasien yang berusia tua. Kira-kira dua

pertiga dari pasien gagal napas yang dapat bertahan hidup memiliki risiko gangguan

fungsi paru sekitar lebih dari 1 tahun setelah masa pemulihan.

Angka mortalitas yang cukup signifikan juga terjadi pada pasien dengan gagal

napas hiperkapnia. Hal ini dikarenakan pada pasien memiliki gangguan napas kronik

disertai komorbiditas yang lain, seperti pada kardipulmoner, renal, hepar, atau

gangguan neurologis.

Sebelum memulai ventilasi, reversibilitas pasien penting dinilai untuk

menentukan prognosis kedepannya. Jika ketika diantisipasi ternyata kondisi pasien

buruk, ventilasi perlu untuk dilakukan. Hal ini terutama penting bagi pasien dengan

penyakit kronis (misalnya : PPOK). Prognosis akan berubah mengalami kemajuan

dan semakin lebih baik dalam tindakan terapi medis.

30

BAB III

KESIMPULAN

Gagal napas merupakan ketidakmampuan sistem pernapasan untuk

mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel

tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal. Gagal napas diklasifikasikan menjadi

gagal napas hipoksemia dan gagal napas hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia

ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2 normal atau rendah. Gagal napas

hiperkapnia, ditandai dengan PaCO2 > 45 mmHg. Penyebab gagal napas dapat

diakibatkan oleh kelainan pada otak, susuna neuromuscular, dinding thoraks dan

diafragma, paru serta sistem kardiovaskuler. Penatalaksanaan pasien dengan gagal

napas yang utama adalah membuat oksigenasi adekuat, sehingga meningkatkan

perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang

mendasari gagal napas tersebut.

31