BAB II pjg

47
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Buah Naga Merah II.1.1 Sistematika Buah Naga Merah Sistematika tanaman buah naga merah adalah sebagai berikut (Pushpakumara dkk., 2005): Kerajaan : Plantae (Tumbuhan) Sub kingdom : Tracheobionta (Tanaman vaskular) Super divisi : Spermatophyta (Tanaman berbiji) Divisi : Magnoliophyta (Tanaman berbunga) Kelas : Magnoliopsida (Tanaman dikotil) Bangsa : Caryophyllales Suku : Cactaceae (Kaktus-kaktusan) Marga : Hylocereus Jenis : Hylocereus polyrhizus Britton dan Rose II.1.2 Uraian Tanaman Di daerah asalnya, buah naga dinamai pitahaya atau pitaya roja. Buah naga berkembang secara besar-besaran di Asia seperti Vietnam dan Thailand, sehingga buah ini lebih dikenal sebagai tanaman dari Asia. Buah naga 6

Transcript of BAB II pjg

Page 1: BAB II pjg

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Buah Naga Merah

II.1.1 Sistematika Buah Naga Merah

Sistematika tanaman buah naga merah adalah sebagai berikut

(Pushpakumara dkk., 2005):

Kerajaan : Plantae (Tumbuhan)

Sub kingdom : Tracheobionta (Tanaman vaskular)

Super divisi : Spermatophyta (Tanaman berbiji)

Divisi : Magnoliophyta (Tanaman berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (Tanaman dikotil)

Bangsa : Caryophyllales

Suku : Cactaceae (Kaktus-kaktusan)

Marga : Hylocereus

Jenis : Hylocereus polyrhizus Britton dan Rose

II.1.2 Uraian Tanaman

Di daerah asalnya, buah naga dinamai pitahaya atau pitaya roja. Buah naga

berkembang secara besar-besaran di Asia seperti Vietnam dan Thailand, sehingga

buah ini lebih dikenal sebagai tanaman dari Asia. Buah naga masuk ke daratan

Asia, yaitu Vietnam, oleh orang Perancis sekitar tahun 1870 yang dibawa dari

Guyana, Amerika Selatan. Masuknya tanaman ini ke Vietnam sebenarnya

ditujukan sebagai tanaman hias (Kristanto, 2008). Buah yang berasal dari

Meksiko ini berbeda dengan famili Cactaceae yang lainnya, yakni memiliki rasa

6

Page 2: BAB II pjg

7

yang manis dan segar. Kekhasan lain dari tanaman ini adalah pada tiap nodus

batang terdapat duri. Bunga mekar malam hari dan layu pada pagi hari sehingga

disebut night blooming cereus (Umayah dkk., 2007).

Gambar 1. Buah naga merah

Di Indonesia, buah naga merah (Gambar 1) mulai dikenal sekitar

pertengahan tahun 2000. Pada saat itu buah naga yang masuk ke Indonesia

sebagian besar merupakan hasil impor dari Thailand dan Vietnam. Buah naga

yang diimpor dari Thailand dan Vietnam mencapai 200-400 ton/tahun. Angka

tersebut masih jauh dibawah tuntutan permintaan konsumen. Padahal sebenarnya

pembudidayaan tanaman ini tidak sulit, apalagi iklim Indonesia sangat

mendukung pengembangannya (Kristanto, 2008).

II.1.3 Habitat

Buah naga termasuk tanaman tropis dan sangat mudah beradaptasi pada

berbagai lingkungan tumbuh dan perubahan cuaca, seperti matahari, angin dan

curah hujan. Namun, tanaman ini tidak tahan terhadap genangan air. Selain itu

tempat tumbuh tanaman ini juga harus memiliki sirkulasi udara yang baik

(Kristanto, 2008).

Page 3: BAB II pjg

8

Pertumbuhan dan perkembangan tanaman ini akan lebih baik bila ditanam

di daerah dataran rendah antara 0-350 meter dpl. Suhu udara yang ideal bagi

tanaman ini antara 260-360C dengan kelembapan 70-90%. Sementara derajat

keasaman (pH) tanah yang ideal bersifat sedikit alkalis, yaitu 6,5-7 (Kristanto,

2008).

II.1.4 Morfologi

Buah naga memiliki bentuk bulat panjang maupun lonjong, serta

berdaging merah dan sangat tebal. Biji berbentuk bulat yang berukuran kecil,

keras dan berwarna hitam. Setiap buah terdapat sekitar 1.200-2.300 biji. Tanaman

ini dijuluki sebagai night blooming cereus, hal ini dikarenakan bunganya akan

mekar penuh pada sekitar tengah malam. Kuncup bunga yang sudah berukuran

panjang sekitar 30 cm akan mulai mekar pada sore hari. Batang dan cabang

mengandung kambium yang berfungsi untuk pertumbuhan tanaman. Warnanya

hijau kebiru-biruan atau ungu (Kristanto, 2008).

Perakaran tanaman buah naga bersifat epifit. Perakaran tanaman buah naga

sangat tahan terhadap kekeringan, namun tidak tahan terhadap genangan air yang

cukup lama. Kulit buah naga memiliki berat rata-rata sekitar 22 % dari berat

keseluruhan buah (Jamilah, 2011). Ketebalan kulit buah sekitar 1-2 cm dan pada

permukaan terdapat sirip atau jumbai yang berukuran sekitar 2 cm. Karakteristik

kulit buah naga yang cukup tebal menyebabkan buah naga jenis H. Polyrhizus dan

H. Costaricensis memiliki sifat toleran terhadap cahaya matahari (Kristanto,

2008).

Page 4: BAB II pjg

9

II.1.5 Kandungan Buah Naga Merah

Buah naga kaya akan serat, vitamin C dan mineral. Kandungan nutrisi

buah naga merah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Buah Naga Merah

Nutrisi Kandungan

Kadar Gula 13-18 briks

Air 90,2 %

Karbohidrat 11,5 g

Asam 0,139 g

Protein 0,53 g

Serat 0,71 g

Kalsium 134,5 mg

Fosfor 8,7 mg

Magnesium 60,4 mg

Vitamin C 9,4 mg

(Kristanto, 2008)

Berdasarkan skrining fitokimia, diketahui ekstrak kloroform kulit buah

naga merah mengandung metabolit sekunder terpenoid, alkaloid dan flavonoid

(Mitasari, 2012). Kulit buah naga merah juga terbukti mengandung betasianin.

Betasianin adalah pigmen warna yang berperan memberikan warna merah hingga

ungu yang berpotensi sebagai antioksidan alami (Azeredo, 2009; Jamilah dkk.,

2011). Betasianin memiliki sifat antioksidan dan radical scavenging sebagai

perlindungan terhadap gangguan yang disebabkan oleh stres oksidatif tertentu

(Mastuti, 2010). Selain betasianin, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Page 5: BAB II pjg

10

Choo dkk., (2011) ekstrak etanol kulit buah naga merah terbukti mengandung

vitamin C dan senyawa fenol yang berpotensi sebagai antioksidan.

II.1.6 Penelitian Tentang Buah Naga Merah

Menurut Jamilah dkk., (2011) kulit buah naga merah mengandung pigmen

warna betalain, dimana senyawa tersebut memiliki aktivitas antioksidan. Menurut

Nurliyana dkk., (2010) diketahui bahwa aktivitas antioksidan yang terdapat pada

kulit buah naga merah (IC50 = 0,3 mg/mL) lebih tinggi daripada aktivitas

antioksidan yang terdapat pada daging buahnya (IC50 > 1 mg/mL). Selain itu

menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Choo dkk., (2011) ekstrak etanol

kulit buah naga merah terbukti mengandung vitamin C dan senyawa fenol yang

berpotensi sebagai antioksidan. Potensi aktivitas antioksidan dari kulit buah naga

merah diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Mitasari (2012) yang

menyatakan bahwa ekstrak kloroform kulit buah naga merah (Hylocereus

polyrhizus Britton dan Rose) memiliki aktivitas antioksidan yang sangat kuat,

yakni dengan nilai IC50 sebesar 43,836 µg/ml.

II.2 Penyarian Simplisia

II.2.1 Simplisia

Simplisia merupakan bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang

belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa

bahan yang telah dikeringkan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979).

Simplisia atau herbal adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang digunakan

untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan kecuali dinyatakan lai suhu

pengeringan simplisia tidak lebih dari 60%. Simplisia segar adalah bahan alam

Page 6: BAB II pjg

11

segar yang belum dikeringkan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,

2010). Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, simplisia hewani dan

simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati merupakan simplisia yang berupa

tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan

ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan

cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau senyawa nabati lainnya yang dengan

cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia

murni. Simplisia hewani adalah simplisia berupa hewan utuh atau zat-zat berguna

yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa bahan kimia murni. Simplisia

pelikan atau mineral adalah simplisia berupa bahan pelikan atau mineral yang

belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa bahan

kimia murni (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979).

II.2.2 Estrak dan Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair yang dibuat dengan

menyari simplisia nabati atau hewani menggunakan cara yang cocok, di luar

pengaruh cahaya matahari langsung (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,

1979). Ekstrak kental (Extractum spissum) memiliki konsistensi liat dalam

keadaan dingin dan tidak dapat dituang. Kandungan air ekstrak kental berjumlah

5-30%. Ekstrak kering (Extractum siccum) memiliki konsistensi yang kering,

berbentuk serbuk, diperoleh melalui penguapan cairan pengekstraksi dan

pengeringan sisanya dengan kandungan kelembapan yang tidak lebih dari 5%

(Voigt, 1995).

Page 7: BAB II pjg

12

Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat

larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair.

Simplisia yang di ekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan

senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain.

Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke

dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Struktur kimia

yang berbeda-beda akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawa-

senyawa tersebut dalam pemanasan, udara, cahaya, logam berat dan derajat

keasaman. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang terkandung pada simplisia

tersebut, maka akan mempermudah dalam pemilihan pelarut dan cara ekstraksi

yang tepat. Simplisia yang lunak seperti rimpang dan daun, mudah diserap oleh

pelarut, karena itu pada proses ekstraksi tidak perlu di serbuk sampai halus.

Simplisia yang keras seperti biji, kulit kayu dan kulit akar susah diserap oleh

pelarut, karena itu perlu diserbuk sampai halus (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 2000). Tujuan utama ekstraksi ialah mendapatkan atau memisahkan

sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan (concentrata) dari

zat-zat yang tidak berguna, agar lebih mudah dipergunakan (kemudahan

diabsorpsi, rasa, pemakaian dan lain-lain) dan disimpan dibandingkan simplisia

asal, serta tujuan pengobatannya lebih terjamin (Harborne, 1987).

II.2.3 Maserasi

Maserasi (macerase) merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana

(Voigt, 1995). Maserasi adalah proses pengekstraksian simplisia dengan

menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada

Page 8: BAB II pjg

13

temperatur ruangan (kamar). Maserasi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode

pencapaian konsentrasi pada keseimbangan (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 2000). Maserasi merupakan proses esktraksi, dimana obat yang sudah

halus memungkinkan untuk direndam dalam menstrum sampai meresap dan

melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut. Dalam

proses maserasi, sampel yang akan di ekstraksi biasanya ditempatkan pada wadah

atau bejana yang bermulut lebar, bersama menstrum yang telah ditetapkan, bejana

ditutup rapat, dan isinya dikocok berulang-ulang. Pengocokan memungkinkan

pelarut segar mengalir berulang-ulang masuk ke seluruh permukaan dari sampel

yang sudah halus (Ansel, 2005). Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan

terus-menerus. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut

setelah dilakukan penyarian maserat pertama, dan seterusnya (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 2000).

Lamanya waktu maserasi berbeda-beda tergantung pada sifat atau ciri

campuran serbuk dan pelarut. Lama maserasi harus cukup, supaya dapat

memasuki semua rongga dari struktur serbuk dan melarutkan semua zat yang

mudah larut. Lamanya maserasi bisa memerlukan waktu beberapa jam atau

beberapa hari untuk ekstraksi yang optimum. Maserasi biasanya dilakukan pada

temperature 15-20°C selama 3 hari, sampai bahan-bahan yang larut, melarut

(Ansel, 1989).

Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan

peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan, murah, dan dapat

menghindari rusaknya komponen senyawa akibat panas. Kerugian maserasi

Page 9: BAB II pjg

14

adalah pengerjaan yang lama dibandingkan dengan metode-metode pada ekstraksi

panas lainnya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).

II.3. Cairan Pelarut

Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik

(optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan

demikian senyawa tersebut dapat dipisahkan dari bahan dan dari senyawa

kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa

kandungan yang diinginkan. Faktor utama untuk pertimbangan pada pemilihan

cairan penyari adalah selektivitas, kemudahan bekerja dan proses dengan cairan

tersebut, ekonomis, ramah lingkungan dan keamanan (Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, 2000).

Pada prinsipnya cairan pelarut harus memenuhi syarat kefarmasian atau

perdagangan dikenal dengan kelompok spesifikasi “pharmaceutical grade”.

Sampai saat ini berlaku aturan bahwa pelarut yang diperbolehkan adalah air dan

alkohol (etanol) serta campurannya. Jenis pelarut lain seperti metanol dan lain-lain

(alkohol turunannya), heksan dan lain-lain (hidrokarbon alifatik), toluen dan lain-

lain (hidrokarbon aromatik), kloroform (dan segolongannya), dan aseton,

umumnya digunakan sebagai pelarut untuk tahap separasi dan tahap pemurnian

fraksinasi). Khusus metanol, dihindari penggunaannya karena sifatnya yang toksik

akut dan kronik, namun demikian jika dalam uji ada sisa pelarut dalam ekstrak

menunjukkan negatif, maka metanol sebenarnya pelarut yang lebih baik dari

etanol (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).

Page 10: BAB II pjg

15

Pada penelitian pelarut yang digunakan pada maserasi adalah metanol.

Metanol adalah pelarut golongan alkohol yang dapat bercampur dengan air

membentuk cairan jernih tidak bewarna, mempunyai rumus kimia CH3OH.

Fraksinasi menggunakan pelarut n-heksan dengan cara ekstraksi cair-cair. Heksan

adalah sebuah senyawa hidrokarbon alkana dengan rumus kimia C6H14. Awalan

heks- merujuk pada enam karbon ato yang terdapat pada heksan dan akhiran –ana

berasal dari alkana yang merujuk pada ikatan tunggal yang menghubungkan atom-

atom karbon tersebut. Pelarut n-heksan merupakan jenis pelarut non polar

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).

II.4 Fraksinasi dengan Metode Partisi (Ekstraksi Cair-cair)

Ekstraksi cair-cair atau fraksinasi merupakan metode ekstraksi yang

didasarkan pada sifat kelarutan komponen target dan distribusinya dalam dua

pelarut yang tidak saling bercampur. Senyawa polar akan terbawa dalam pelarut

polar, senyawa semipolar akan terbawa dalam pelarut yang semipolar, dan

senyawa nonpolar akan terbawa dalam pelarut nonpolar. Ekstraksi cair-cair

bertahap merupakan teknik ekstraksi cair-cair yang paling sederhana, cukup

dengan menambahkan pelarut pengekstraksi yang tidak saling bercampur

kemudian dilakukan pengocokan sehingga terjadi distribusi zat terlarut di antara

kedua pelarut (Khopkar, 2002). Dalam hal ini, pemisahan zat yang polar dan

nonpolar dapat dilakukan dengan ekstraksi cair-cair dalam corong pisah.

Pengocokan bertujuan memperluas area permukaan kontak di antara kedua pelarut

sehingga pendistribusian zat terlarut di antara keduanya dapat berlangsung dengan

baik. Syarat pelarut untuk ekstraksi cair-cair adalah memiliki kepolaran yang

Page 11: BAB II pjg

16

sesuai dengan bahan yang diekstraksi dan harus terpisah setelah pengocokan

(Harvey, 2000).

II. 5. Stress Oksidatif

Stres merupakan kondisi dimana individu tidak mampu mengeliminasi

sumber-sumber yang berpotensial membahayakan dirinya. Untuk mempelajari

respon-respon yang ditemukan pada manusia yang berada dalam kondisi stres,

pada saat ini banyak digunakan hewan yang diberi perlakuan stres. Selain itu

hewan di bawah stress dapat digunakan secara murni untuk mempelajari masalah

masalah yang berkaitan dengan keadaan hewan di bawah stres (Prasetyawati,

2003).

Ada bebagai macam jenis stres yang sering digunakan pada hewan

percobaan antara lain stres fisik seperti pembatasan pakan, olahraga, dan stres

sosial seperti pengelompokan hewan berdasarkan jenis kelamin. Latihan fisik

yang teratur memberi efek positif bagi kesehatan. Pada saat latihan fisik, terjadi

peningkatan jumlah oksigen dan peningkatan aktivitas otototot skeletal, kelelahan

dan kemampuan fisik yang menurun. Pada saat latihan fisik, kebutuhan akan

oksigen meningkat. Oksigen walaupun sangat dibutuhkan, ternyata juga bersifat

toksis. Hal ini akan memicu terjadinya peningkatan produk Reactive Oxygen

Species (ROS) dan radikal bebas. Aktivitas fisik yang berat atau berlebih dapat

meningkatkan terjadinya stres oksidatif. Stres oksidatif terjadi akibat menurunnya

jumlah oksigen dan nutrisi, sehingga menimbulkan proses iskemik dan kerusakan

mikrovaskular. Keadaan ini disebut dengan Reperfusion Injury. Hal ini juga dapat

memicu terjadinya kerusakan jaringan (Sasaki and Joh , 2007).

Page 12: BAB II pjg

17

Suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan antara prooksidan dan

antioksidan akan menimbulkan suatu keadaan yang disebut dengan stres oksidatif.

Ketika jumlah antioksidan yang diperlukan oleh tubuh saat mengalami stres

oksidatif tidak mencukupi, akan dapat merusak membran sel, protein, dan DNA.

Dengan demikian penumpukan hasil kerusakan oksidatif yang berulang dan dalam

waktu yang lama akan menyebabkan sel atau jaringan akan kehilangan fungsinya

dan rusak / mati (Sen and Packer, 2000).

II.6 Radikal bebas

II.6.1 Definisi

Radikal bebas (free radical) adalah suatu senyawa atau molekul yang

mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya.

Adanya elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat

reaktif mencari pasangan dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul

yang berada di sekitarnya (Winarsi, 2007).

Radikal bebas yang ditulis dengan simbol huruf R* dapat terbentuk dari

senyawa non-radikal melalui reaksi redoks (menerima atau melepas elektron),

melalui absorpsi radiasi (ionisasi, UV) atau jika ikatan kovalen dalam suatu

senyawa pecah (homolitic fusion) atau karena adanya reaksi fenton (Priyanto,

2010). Radikal bebas yang sangat berbahaya dalam makhluk hidup antara lain

adalah golongan hidroksil (OH-), superoksida (O2-), nitrogen monoksida (NO),

dan peroksida (RO2-), peroksinitrit (ONOO-), asam hipoklorit (HOCl), hidrogen

peroksida (H2O2) (Silalahi, 2006).

Page 13: BAB II pjg

18

II.6.2 Sumber Radikal Bebas

Pembentukan radikal bebas dan reaksi oksidasi pada biomolekul akan

berlangsung sepanjang hidup. Inilah memiliki mekanisme pertahanan antioksidan

(antioxidant defense) dalam bentuk enzim antioksidan dan zat antioksidan untuk

menetralisir radikal bebas. Akan tetapi karena perkembangan industri yang pesat,

manusia berkontak dengan berbagai sumber radikal bebas yang berasal dari

lingkungan dan dari kegiatan fisik yang tinggi sehingga sistem pertahanan

antioksidan dalam tubuh tidak memadai (Silalahi, 2006). Radikal bebas dapat

terbentuk melalui dua cara yaitu secara endogen (sebagai respon normal proses

biokimia intrasel maupun ekstrasel) dan secara eksogen (berasal dari polusi,

makanan, serta injeksi ataupun absorpsi melalui kulit) (Winarsi, 2007).

Radikal bebas dalam tubuh sebagian besar dari oksigen sehingga dikenal

istilah reactive oxygen species (ROS) yaitu molekul yang mengandung oksigen

dan bersifat reaktif, sedangkan yang berasal dari nitrogen dikenal dengan reactive

nitrogen species (RNS) (Nurmi, 2008).

ROS atau RNS yang berperan pada kerusakan sel dikenal sebagai radikal

bebas (free radical) yaitu anion superoksidase (*O2), radikal hidroksil (*OH),

radikal alkolsil (RO*), radikal peroksil (ROO*), lipid peroksidase (LOO*), nitrit

oksida (NO*) dan non free radical seperti H2O2, singlet oksigen (1O2), asam

gipoklorus (HOCL) dan aldehid (Halliwell & Gutteridge 2000; Ziyatdhinova

Dkk., 2006). ROS atau RNS umumnya memiliki waktu paruh hidup (half life)

yang singkat, half life dalam ukuran mili, mikro dan nanodetik (Devasagayam

dkk., 2004).

Page 14: BAB II pjg

19

Radikal bebas ini dapat berasal dari dalam (endogenus) dan dari luar

(eksogenus). Sumber eksogenus terdiri dari pulutan, ozon, konsentrasi oksigen

yang tinggi dan oksigen hiperbarik akibat ionisasi dan iradiasi non ionisasi, bahan

kimia, asap rokok, racun, bakteri patogen dan virus (Halliwell & Gutteridge 2000;

Ziyatdhinova dkk., 2006). Sumber endogenus berasal dari kebocoran proses

pernafasan yang menghasilkan radikal superoksida (O2*), hidrogen peroksida

(H2O2) dan radikal hidroksil (OH*) (Lehninger 1993). Radikal bebas endogenus

juga ada yang berasal dari enzim yang secara tidak langsung mengahasilkan ROS

seperti xantin oksidase. ROS selain merubah xantin/hipoxantin menjadi asam urat,

juga merubah oksigen menjadi anion superoksida radikal, hidroksil dan hidrogen

peroksida. Hipoxantin dapat dihasilkan pada peristiwa iskemi yaitu deplesi ATP

akibat kekurangan oksigen, dimana terjadi pemecahan ATP menjadi AMP,

adenosin dan hipoxantin. Pada proses sintesa nitrit oksida dihasikan nitrit oksida

radikal (NO*) yang dapat berinteraksi dengan anion superoksida menjadi

peroksinitrit (Haliwell & Gutteridge, 1999; Ziyatdhinova dkk., 2006). ROS atau

RNS dapat bersifat positif dan negatif. Sifat positifnya berperan proses fungsi

biologis dalam jumlah yang terkontrol, seperti dala bakterisidal dan bakteriolisis

normal dalam proses menghasilkan energi atau transport elektron (ATP tubuh),

sebagai mediator respon terhadap infeksi patogen, sebagai signal apoptosis sel

atau jalur signal tranduksi dan second messenger serta pada sisntesis eikosanoid

(Batish dkk., 2006).

Sifat negatif radikal bebas (ROS/RNS) dapat menyebabkan stres oksidatif

yaitu keadaan ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan, radikal

Page 15: BAB II pjg

20

dalam jumlah berlebihan, sementara jumlah antioksidan seluler tetap atau lebih

sedikit, maka akan terjadi stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel.

Kerusakan sel merupakan gangguan atau perubahan yang dapat mengurangi

viabilitas dan fungsi essensial sel. Target kerusakan sel yaitu: (1) lipida melalui

oksidasi PUFA dengan tahapan inisiasi, propagasi dan terminasi; (2) protein

(glikoprotein) melalui inaktivasi enzim, mengikat protein atau reseptor; (3) DNA

melalui perusakan penyusun DNA (asam nukleat), lipoprotein, karbohidrat, pada

tahapan mutasi, inisiasi dan promosi kanker (Costa dkk., 2005).

Pengontrolan jumlah ROS secara normal dalam sistem biologis melaui

antioksidan endogenus yang bersifat enzimatis dan non enzimatik (Veliky dkk.,

2001). Pengukuran radikal bebas dalam sistem biologis dilakukan secara langsung

dan tidak langsung. Teknik pengukuran langsung yaitu RPE (Resonan

Paramagnetik Elektronik) dan PMRRT (Proton Magnetik Resonansi Resolusi

Tinggi). Teknik tersebut menggunakan senyawa yang dapat menangkap sinyal

radikal bebas pada sistem in vivo. Pengukuran secara langsung sangat sulit

dilakukan karena radikal bebas bereaksi sangat cepat, sehingga sering dilakukan

dengan metode pengukuran tidak langsung melalui pengukuran produk turunan

seperti molondehida (MDA) dan 4-hidroksinonenal. Dua turunan tersebut sering

digunakan untuk pengukuran reaksi radikal bebas lipid (Nabet 1996).

II.6.3 Mekanisme Pembentukan Radikal Bebas

Mekanisme reaksi pembentukan radikal bebas terdiri atas tiga tahap, yaitu

inisiasi, propagasi dan terminasi. Tahap inisiasi merupakan tahap awal

pembentukan radikal bebas. Pada tahap inisiasi terjadi pembelahan homolitik

Page 16: BAB II pjg

21

ikatan kovalen didalam suatu molekul dan menghasilkan radikal bebas. Tahap

kedua adalah propagasi, yaitu perubahan suatu molekul radikal bebas menjadi

radikal bentuk lain (pembentukan radikal bebas baru). Tahap yang terakhir adalah

terminasi. Pada tahap terminasi, dua molekul radikal bebas bergabung bersama

membentuk ikatan kovalen dan secara efektif mengakhiri proses reaksi rantai dan

menghasilkan senyawa yang stabil (Cairns, 2008). Mekanisme reaksi ketiga

tahapan tersebut dapat ditulis seperti pada gambar 2.

Inisiasi :

RH + OH R* + H2O

Propagasi :

R* + O2 ROO*

ROO* + RH ROOH + R*

Terminasi :

ROO* + ROO* ROOR + O2

ROO* + R* ROOR

R* + R* RR

Gambar 2. Mekanisme pembentukan radikal bebas (Cairns, 2008)

II.7 Malondialdehida (MDA)

Reaksi radikal bebas dengan komponen sel seperti asam tidak jenuh ganda

(PUFA), heksosa, pentosa, asam amino dan komponen DNA menghasilkan

beberapa produk seperti malondialdehida (MDA), diena terkonyugasi, dikarbonil

dan asam 1,5-hidroperoksi-5,8,4,13 eikosatetraenoik (15-HPETE) (Nabet 1996).

MDA merupakan produk enzimatis dan non enzimatis dari pemecahan

prostaglandin endoperoksida dan produk akhir dari lipid peroksidasi.

Malondialdehida lebih dikenal sebagai penanda (marker) peroksidasi lipid

(Leibler,1997)

Page 17: BAB II pjg

22

Malondialdehida (C3H4O2) merupakan molekul reaktif yang memiliki

tiga atom C. Malonaldehida adalah salah satu hasil dari peroksidasi lemak tidak

jenuh terutama asam arakidonat serta sebagai produk samping biosintesa

prostaglandin (Frankel & Neff 1993). Pengukuran MDA telah digunakan sebagai

indek tidak langsung kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh peroksidasi lipid.

Prinsif pengukuran MDA adalah adanya reaksi 1 molokul MDA dengan 2

molekul asam tiobarbiturat (TBA) membentuk warna pink yaitu bentuk komplek

MDA-TBA yang dapat dibaca pada spektrofotometer λ 532 nm (Tokur dkk.,

2006)

Prekursor MDA adalah tetraetoksipropana sehingga dapat digunakan

sebagai larutan standar pada pengukuran MDA. Perubahan tetraetoksipropana

dengan tiobarbutirat acid (TBA) akan membentuk warna pink. Mekanisme

pembentukan MDA dari oksidasi lipid dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 : Mekanisme Pembentukan Malondialaldehida (MDA).

Pengukuran kadar MDA merupakan pengukuran aktivitas radikal bebas

secara tidak langsung sebagai indikator stres oksidatif. Pengukuran ini dilakukan

Page 18: BAB II pjg

23

dengan tes Thiobarbituric Acid Reactive Substances (TBARS test). Metode ini

didasarkan pada reaksi antara MDA dan TBA(thiobarbituric acid) dalam suasana

asam. MDA dapat melakukan reaksi penambahan nukleofilik dengan TBA

membentuk kompleks MDA-TBA. Kompleks MDA-TBA yang terbentuk

memiliki warna merah jambu dan absorbansinya dapat diukur pada panjang

gelombang 532 nm (Conti et al. 1991).

Menurut Nawar (1985), metode uji TBA merupakan metode yang paling

banyak digunakan untuk mengukur keberadaan radikal bebas dan peroksida lipid

dikarenakan mempunyai kepekaan yang cukup tinggi, mudah diaplikasikan untuk

berbagai sampel pada berbagai tahap oksidasi lipid, dan biayanya tidak mahal.

II.8 Antioksidan

II.8.1 Definisi

Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau

lebih elektron (electron donor) kepada radikal bebas, sehingga reaksi radikal

bebas tersebut dapat terhambat. Senyawa ini memiliki berat molekul yang kecil,

tetapi mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi dengan cara

mencegah terbentuknya radikal (Winarsi, 2007).

Antioksidan dapat menghambat reaksi oksidasi dengan cara mengikat

radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif sehingga dapat menghambat

kerusakan sel. Berkaitan dengan reaksinya di dalam tubuh, status antioksidan

merupakan parameter penting untuk memantau kesehatan seseorang. Tubuh

manusia memiliki sistem antioksidan untuk menangkal reaktivitas radikal bebas,

yang secara berlanjut dibentuk sendiri oleh tubuh. Jika jumlah senyawa oksigen

Page 19: BAB II pjg

24

reaktif ini melebihi jumlah antioksidan dalam tubuh, kelebihannya akan

menyerang komponen lipid, protein maupun DNA sehingga mengakibatkan

kerusakan-kerusakan yang disebut dengan stres oksidatif (Winarsi, 2007).

II.8.2 Sumber antioksidan

Berdasarkan sumber perolehannya, antioksidan dibedakan menjadi dua

macam, yaitu antioksidan alami dan antioksidan buatan (sintetik). Ada empat

antioksidan sintetik yang penggunaannya meluas dan menyebar di seluruh dunia,

yaitu Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT), propil galat,

Tert-Butil Hidroksi Quinon (TBHQ) (Akoh dan Min, 2002).

Senyawa antioksidan alami antara lain asam askorbat, tokoferol, β-

karoten, flavonoid, asam amino, protein, produk-produk dari reaksi Maillard,

fosfolipid dan sterol. Selain itu, enzim juga memegang peranan penting sebagai

antioksidan (Akoh dan Min, 2002).

II. 8.3 Klasifikasi Antioksidan

Antioksidan dapat diklasifikasi dengan mekanisme aksi sebagai

antioksidan primer (primary antioxidant) dan antioksidan sekunder (secondary

antioxidant) (Rajalakshmi & Narisimhan 1996) yaitu :

1. Antioksidan primer (primary antioxidant)

Menghambat atau memecah rantai radikal bebas dengan memberikan ion

hidrogen atau elektron pada radikal bebas sehingga, menjadi produk yang stabil.

Radikal peroksil (ROO*) atau alkosil (RO*) akan dihambat pada tahap reaksi

inisiasi radikal bebas lemak dan tahap propagasi. Antioksidan (A) primer

mekanisme utamanya adalah penangkap radikal (scavenger) (pada reaksi 1,2) dan

Page 20: BAB II pjg

25

dapat sebagai terminasi reaksi oksidasi (reaksi 3,4) antioksidan radikal (A*) dapat

bereaksi dengan radikal peroksil atau aloksil, selain dapat mereduksi

hidroperoksida (ROOH) menjadi hidroksil (H*).

ROO* + AH ROOH + A* (1)

RO* + AH ROH + A* (2)

ROO* + A* ROOA (3)

RO* + A* ROA (4)

Antioksidan yang termasuk antioksidan primer adalah natural fenol

(flavonoid, eugenol, vanilin dan rosemari), hindered phenolic (BHT, BHA, TBH

dan tokoferol) dan polyhroxyfenolik (gallat), ascobic acid (vitamin C), ascobyl

palmitate, sulfites dan erythorbates. Sifatnya dapat bereaksi dengan oksigen bebas

atau singlet oxygen, sehingga menjadi produk stabil dan juga sinergis dengan

tokoferol. Chelator seperti ethylenediaminetetraacetic acid, citrat acid dan

phosphates bukan antioksidan, tetapi sinergis dengan antioksidan primer.

2. Antioksidan sekunder (secondary antioxidant)

Antioksidan sekunder (A) adalah umumnya bersifat pencegahan

terbentuknya radikal bebas, tidak merubah radikal bebas menjadi stabil, tetapi

sebagai pengkelat (chelating) prooksidan logam (M(n-1)) sehingga menjadi tidak

aktif (MA), menginaktif singlet oksigen, menyerap radiasi ultraviolet, cara

kerjanya seperti oksigen scavenger, umumnya berkerja sinergis dengan

Page 21: BAB II pjg

26

antioksidan primer (tipe 1). Mekanisme reaksi antioksidan sekunder sebagai

pengkelat logam (reaksi 5)

M(n-1)* + A MA (5)

Antioksidan sekunder adalah thiodipropinat, dilauril, distearil ester, EDTA

(pengelat logam), pengikat protein (transferin), flavonoid dan inositol Olifosfat.

II.8.4 Mekanisme Antioksidan

Mekanisme aktivitas antioksidan adalah sebagai berikut (Supriyono,

2008):

II.8.4.1 Donasi Elektron

Antioksidan primer adalah senyawa yang dapat menghentikan reaksi

berantai dengan mendonorkan elektron pada radikal bebas, sehingga

menghentikan tahap propagasi. Enzim seperti glutathione peroxidase (GPx) dapat

juga berperan sebagai antioksidan dengan mengurangi oksidasi lipid dan

hidroperoksida fosfolipid (ROOH dan PL-OOH). Senyawa yang termasuk dalam

kelompok antioksidan primer (chain-breaking antioxidant) adalah vitamin E

(tokoferol), vitamin C (asam askorbat), flavonoid, β-karoten, glutation dan sistein.

II.8.4.2 Metal Chelation

Antioksidan sekunder dapat mengurangi kecepatan reaksi inisiasi radikal

yang disebut sebagai inisiator eliminasi. Hal ini dapat dipenuhi dengan deaktivasi

energi tinggi (misalnya: singlet oxygen), absorbsi sinar UV, oxygen scavenging

(merantas oksigen) sehingga kadar oksigen berkurang, mengikat logam yang

Page 22: BAB II pjg

27

mengkatalisis reaksi radikal bebas, atau dengan menghambat peroksidase, seperti

NADPH oxidase, xanthine oxidase, dopamine-β-hydroxylase atau lipoxygenase.

Kemampuan antioksidan untuk mengikat ion logam transisi dapat

diketahui dengan spektroskopi. Protein dengan molekul tinggi dapat menghambat

produksi radikal bebas yang dikatalisis oleh logam. Beberapa komponen dengan

molekul yang rendah, seperti polifenol, ditambahkan karena kemampuannya

mendonor atom hidrogen dengan mekanisme memutus rantai pembentuk radikal,

selain itu bisa juga mengikat ion logam transisi sehingga menghambat

pembentukan radikal bebas. Senyawa yang termasuk dalam kelompok antioksidan

sekunder antara lain turunan-turunan asam fosfat, asam askorbat, senyawa

karoten, sterol, fosfolipid dan produk-produk reaksi maillard.

II.8.4.3 Ko-antioksidan

Asam askorbat (vitamin C) bekerja sebagai suatu koantioksidan dengan

membentuk kembali (regenerasi) radikal vitamin E menjadi vitamin E kembali (α-

tokoferol), melalui pengikatan radikal-radikal yang larut dalam lipida.

II.9 Enzim Antioksidan

Enzim-enzim antioksidan atau antioksidan endogenous enzimatik terhadap

radikal bebas melibatkan enzim-enzim superoksida dismustase (SOD), katalase

dan glutation peroksidase (GPx) (Halliwell 1994; Schmid dkk., 2000).

II.9.1 Superoksida Dismustase (SOD)

Superoksida dismutase SOD (EC 1.15.1) adalah metaloenzim yang

mengkatalis dismutasi radikal anion superoksida (O2*) menjadi hidrogen

peroksida (H202) dan oksigen (02). Enzim ini bersifat tidak stabil terhadap panas,

Page 23: BAB II pjg

28

cukup stabil pada kondisi basa, masih mempunyai aktifitas walau disimpan

sampai 5 tahun pada suhu 5oC (http:/www. Orthington-biochem.com).

Aktivitas SOD memerlukan logam sebagai kofaktor yaitu Zn, Cu dan Mn

dan aktivitasnya dihambat oleh hidrogen peroksida (H2O2) dan sianida (HCN),

oleh karena aktivitasnya dihambat oleh hidrogen peroksida, maka dalam

aktivitasnya memerlukan katalase (Rice-Evan dkk., 1999; Haliwell & Gutteridge

1999). Menurut Ben Best (2009) molekul SOD dalam sitoplasma terdiri dari

copper dan zink (Cu/Zn-SOD) sedangkan SOD di mitokondria mengandung

mangan (Mn-SOD). Aktivitasnya sebagai penetralisir ROS melalui kemampuan

menangkap (scavenger) dapat dilihat pada reaksi 10 (Jakus, 2000):

(10)

aktivitas SOD tertinggi ditemukan dihati, selanjutnya ditemukan pada

kelenjar adrenalin, ginjal, darah, limfa, pankreas, otak, paru-paru, lambung, usus,

ovarium dan timus (Haliwell dan Gutteridge, 1999).

II.10. Hati

II.10.1 Morfologi dan Anatomi Hati

Hati merupakan kelenjar tubuh terbesar dengan berat sekitar 2,5% berat

badan orang dewasa, atau berkisar dari 1.400 sampai 1.600 g. Hati sebagian besar

terletak di perut bagian kanan atas di belakang iga. Ukuran hati yang normal

sebesar telapak tangan individu itu sendiri (MacLachan dan Cullen Noer, 1987;

Cotran dkk, 1999).

Page 24: BAB II pjg

29

Permukaaan hati diliputi oleh lapisan jaringan ikat padat, dan ditutupi oleh

peritoneum. Hati tersusun dalam lobulus yang didalamnya mengalir darah

melewati sel-sel hati melalui sinusoid dari cabang vena porta hepatika ke dalam

vena sentralis tiap lobulus. Setiap lobulus hati terbangun dari berbagai komponen,

yaitu sel-sel parenkim hati (hepatosit), vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang

vena porta, cabang-cabang arteri hepatika, sel kupffer dan kanalikuli billiaris. Sel-

sel kupffer yang berada dalam lumen sinusoid bertindak sebagai makrofag yang

memiliki fungsi fagositik (Ganong, 2003).

Hati terdiri atas dua bagian terbesar, lobus kanan dan lobus kiri yang

dipisahkan oleh ligamentum falsiformis pada bagian anterior, pada bagian inferior

oleh lekukan tempat ligamentum teres, dan lekukan untuk ligamentum vonosum

di bagian posterior. Hati mendapat vaskularisasi ganda, yaitu melalui vena porta

dan vena hepatika. Melalui vena porta masuk darah yang berasal dari saluran

pencernaan dan organ abdomen lain yaitu limpa, pankreas dan kantung empedu.

Darah yang masuk mengandung berbagai nutrisi yang baru diserap dan siap untuk

diproses lebih lanjut oleh hati. Selain nutrisi, turut masuk berbagai bakteri, darah

merah yang sudah tua dan toksin yang harus diolah, dihancurkan atau juga

disimpan. Sebanyak 75-80 % darah pada organ hati berasal dari vena porta

sedangkan dari arteri hepatika mengalir sekitar 20-25 % darah yang kaya oksigen

( MacLachan dan Cullen Noer, 1987; Cotran dkk, 1999).

Hepatosit (sel parenkim hati) merupakan bagian yang paling

bertanggungjawab atas peran hati dalam metabolisme. Hepatosit terletak di antara

sinusoid yang terdiri atas darah dan saluran empedu. Hepatosit merupakan sel

Page 25: BAB II pjg

30

berbentuk polihedral, mempunyai permukaan 6 atau lebih, dengan membran sel

yang jelas, inti bulat di tengah. Sel yang besar dengan inti besar atau inti 2 dapat

ditemukan karena terjadi mitosis (Cotran dkk, 1999).

II.10.2. Fungsi Hati

Fungsi dasar hati diantaranya adalah fungsi vaskular untuk menyimpan

dan menyaring darah, fungsi metabolisme yang berhubungan dengan sebagian

besar sistem metabolisme tubuh seperti menyimpan lemak, glikogen, albumin,

sintesis protein plasma darah, detoksifikasi zat-zat toksik, merombak eritrosit

yang rusak, mengeliminasi asam amino, menyimpan vitamin A dan B. Fungsi

sekresi dan ekskresi yang berperan membentuk empedu sebagai kelenjar eksokrin

yang mengalir melalui saluran empedu menuju ke saluran pencernaan, disamping

itu hati juga merupakan tempat mensintesis lemak sebagai cadangan energi.

(Guyton dan Hall, 1996).

Hati dipilih sebgai organ tempat diamatinya perubahan kandungan SOD

karena kandungan enzim ini dihati 10 kali lipat per gram berat basah

dibandingkan keberadaannya pada jaringan lain di tubuh tikus (Slot dkk., 1986).

Dilaporkan juga oleh Makita (1993) bahwa kandungan enzim cu-zn SOD terbesar

ditemukan di hati dibanding organ-organ lain seperti ginjal paru-paru dan saluran

pencernaan (Makita, 1993).

II.11. Hewan Uji

II.11.1 Tikus Putih Galur Wistar

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan

galur wistar (Rattus norvegicus) gambar 4 :

Page 26: BAB II pjg

31

Gambar 4. Tikus Putih (Rattus norvegicus)

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008)

Tikus termasuk famili Muridae dari kelompok mamalia (hewan menyusui)

dan termasuk golongan hewan yang mengerat. Klasifikasinya sebagai berikut

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008):

Dunia : Animalia

Kelas : Mammalia

Ordo : Rodentia

Famili : Muridae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

II.11.2 Karakteristik Hewan Uji

Karakteristik morfologi dari Rattus norvegicus adalah mempunyai berat

badan 150-600 gram, hidung tumpul, panjangnya 18-25 cm, ekor lebih pendek

dari kepala ditambah badan yaitu 16-21 cm, bagian atas lebih tua dan warna

merah muda pada bagian bawahnya dengan rambut pendek kaku, telinga relatif

kecil, separoh tertutup bulu, jarang lebih dari 20-23 mm yang ditujukan pada

gambar 12 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008).

II.12.Landasan Teori

Page 27: BAB II pjg

32

Tuntutan terhadap pemenuhan kebutuhan hidup tidak lagi dapat dihindari

sehingga masyarakat harus bekerja keras dan seringkali lupa untuk mengatur

waktu istirahat. Kerja keras tanpa istirahat pada akhirnya akan membebani semua

organ-organ dalam tubuh serta memicu kondisi stres oksidatif. Aktivitas fisik

yang berat ternyata dapat menimbulkan perubahan metabolisme dalam tubuh dan

menghasilkan senyawa radikal bebas (oxidant) yang mampu merusak sel-sel

termasuk sel-sel hepar (Jawi dkk., 2006).

Hepar merupakan salah satu organ vital di dalam tubuh yang memiliki

berbagai fungsi dalam menjaga kesehatan tubuh misalnya pembentukan dan

sekresi empedu, metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak, dan lain

sebagainya. Aktifitas berat dapat menurunkan aliran darah di hepar sampai

setengah dari normal, yang dapat mengindikasikan adanya iskemia atau hipoxia

yang di induksi oleh aktivitas berat seperti renang. Penurunan ini dapat

mengakibatkan peningkatan faktor-faktor pembentukan ROS (Reactive oxigen

Spesies) yang kemudian dapat merusak struktur dan fungsi dari sel hepar

(Nayanatara dkk., 2005 ). Pelatihan fisik berat akut pada penelitian secara in vivo

pada tikus dapat menyebabkan peningkatan kadar lipid peroksidase (MDA) pada

hepar dan jantung sebagai pertanda dari stress oksidatif serta kerusakan pada

nuclear DNA sel (Ogonovszky dkk., 2005).

Menurut Kevin dkk., (2006) dan Valko dkk., (2007), juga mengungkapkan

bahwa kerusakan oksidatif yang diakibatkan oleh radikal bebas berimplikasi pada

berbagai kondisi patologis, yaitu kerusakan sel, jaringan, dan organ seperti hati,

ginjal, jantung baik pada manusia maupun hewan. Kerusakan ini dapat berakhir

Page 28: BAB II pjg

33

pada kematian sel sehingga terjadi percepatan timbulnya berbagai penyakit

degeneratif. Sehubungan dengan potensi toksisitas senyawa radikal bebas, tubuh

memiliki mekanisme sistem pertahanan alami berupa enzim antioksidan endogen

yang berfungsi menetralkan dan mempercepat degradasi senyawa radikal bebas

untuk mencegah kerusakan komponen makromolekul sel (Valko dkk., 2007).

Sistem ini dibagi dalam dua kelompok besar yaitu: sistem pertahanan preventif

seperti enzim superoksida dismutase, katalase, dan glutation peroksidase (Valko

dkk., 2007) dan sistem pertahanan melalui pemutusan reaksi radikal seperti

isoflavon, vitamin A, vitamin C, dan vitamin E. Tubuh memiliki tiga ensim

antioksidan intrasel atau antioksidan endogen, yaitu superoksida dismutase

(SOD), glutation peroksidade (GPx) dan katalse (Cat), SOD merupakan salah satu

antioksidan endogen yang berfungsi mengkatalisis reaksi dismutasi radikal bebas

anion superoksida (O2 -) menjadi hidrogen peroksida dan molekul oksigen

(Halliwell, 2006). Pada kondisi stres oksidatif terjadi produksi radikal bebas yang

berlebihan. Meningkatkan produksi radikal bebas di dalam tubuh dapat

menurunkan ensim-ensim antioksidan intrasel dan menyebabkan kerusakan sel.

Oleh karena itu, asupan antioksidan eksogen (Suarsana, 2013).

Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau

lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga reaksi radikal bebas tersebut dapat

terhambat. Senyawa ini memiliki berat molekul yang kecil, namun mampu

menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi dengan cara mencegah

terbentuknya radikal (Winarsi, 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Jamilah dkk. (2011) kulit buah naga merah mengandung pigmen warna betalain,

Page 29: BAB II pjg

34

dimana senyawa tersebut memiliki aktivitas antioksidan. Menurut Nurliyana dkk.

(2010) diketahui bahwa aktivitas antioksidan yang terdapat pada kulit buah naga

merah (IC50 = 0,3 mg/mL) lebih tinggi daripada aktivitas antioksidan yang

terdapat pada daging buahnya (IC50 > 1 mg/mL). Potensi aktivitas antioksidan dari

kulit buah naga merah diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Mitasari

(2012) yang menyatakan bahwa ekstrak kloroform kulit buah naga merah

(Hylocereus polyrhizus Britton dan Rose) memiliki aktivitas antioksidan yang

sangat kuat, yakni dengan nilai IC50 sebesar 43,836 µg/ml. Namun sampai saat

ini belum ada penelitian terhadap aktivitas antioksidan fraksi n-heksan kulit buah

naga merah yang dilakukan secara in-vivo. Oleh karena itu perlu dilakukan

penelitian mengenai aktivitas antioksidan secara in-vivo berdasarkan kadar MDA

dan SOD pada tikus putih jantan galur wistar yang diberi stres oksidatif.

II.13. Hipotesis

Fraksi n-heksan kulit buah naga memiliki aktivitas antioksidan yang

ditunjukan dengan menurunnya kadar malondialdehyde dan meningkatnya enzim

superoksida dismutase (SOD) pada hati tikus jantan galur wistar yang diberi stres

oksidatif.